LITERAT No. 31 Tahun 2010
ISSN: 1411–2566
Prawacana Bismillahirrohmanirrohiim, Assalamu’alaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh, Pada bulan Maret tahun ini, Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas (JIKK) Akademi Kebidanan Ar Rahmah hadir dengan sejumlah hasil kajian dan penelitian para dosen, baik dosen AKBID Ar Rahmah maupun dosen perguruan tinggi lainnya, yang dengan senang hati berbagi wawasan dan pengetahuan mereka demi meningkatkan kualitas keilmuan di bidang kebidanan di bumi pertiwi ini. Mengawali JIKK edisi ke-1 ini, Irma Rosliani Dewi memaparkan Gambaran Status Gizi Balita Di Puskesmas. Tulisan selanjutnya, Diah Nurmayawati memaparkan Hubungan Pengetahuan Dan Dukungan Keluarga Terhadap Keaktifan Lansia Ke Posyandu Lansia Karakteristik Penderita Hepatitis Gambaran Kejadian Kista Ovarium. Tak kalah menarik, Sundari mendeskripsikan tentang Gambaran Faktor Risiko Terjadinya Kehamilan Ektopik. Selanjutnya, Yuliati memaparkan tentang Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS) Di Lingkungan Rumah Tangga. Tulisan selanjutnya, Esti Hitatami mengkaji tentang Gambaran Pengetahuan Ibu Hamil Trimester III Tentang Hypnobirthing. Tulisan Selanjutnya, Widyastuti mengkaji tentang Hubungan Tingkat Pengetahuan, Umur Dan Tingkat Ekonomi Akseptor KB Suntik Baru Terhadap Penggunaan Kontrasepsi Suntik. Tulisan Terakhir, Winarni memaparkan tentang Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Ibu Hamil Trimester III Dengan Kepatuhan Ibu Hamil Trimester III Dalam Melakukan Kunjungan ANC. Tak hentinya kami mengajak pembaca dari semua kalangan untuk senantiasa menggunakan JIKK sebagai media publikasi hasil kajian dan penelitian. Kami yakin, setiap kegiatan ilmiah yang telah dilakukan akan terasa lebih bermanfaat tatkala dipublikasikan dan menjadi konsumsi masyarakat ilmiah. Oleh karena itu, kami tunggu karya Anda untuk edisi JIKK selanjutnya. Akhir kata, sajian JIKK edisi kali ini diharapkan bermanfaat dan senantiasa membuka cakrawala informasi bagi Anda. Selamat membaca! Billahittaufiq walhidayah, Wassalamu’alaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh.
Penyunting.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 1
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 01 Tahun 2011
jikk Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Nomor 01 Tahun 2011, ISSN: 2356-5454 Diterbitkan oleh,
Ar Rahmah Press Akademi Kebidanan Ar Rahmah – Bandung Penanggung Jawab Hj. Diah Nurmayawati Ketua Penyunting Yuliati Wakil Ketua Penyunting Andi Laksana B Anggota Esti Hitatami Sundari Desra Amelia Irma Rosliani Dewi Iis Wahyuni Widyastuti Nunung Kanianingsih Winarni Ajeng Windyastuti JM Weking Yuliustina Mitra Bestari (Penyunting Ahli) Elvi Era Liesmayani (AKBID Panca Bhakti) Widyah Setyowati (STIKES Ngudi Waluyo U) Titiek Soelistyowatie (Unika Atma Jaya) Ari Murdiati (Univ. Muhammadiyah Semarang) Lingga Kurniawati (POLTEKKES Semarang) Frida Cahyaningrum (STIKES Karya Husada) Crismis Novalina Ginting (Univ. Gadjah Mada) Santy Deasy Siregar (Univ. Sumatera Utara) Deby Novita Siregar (STIKes Helvetia) Jupri Kartono (AKBID Panca Bhakti) Aries Cholifah (Univ. Negeri Surakarta) Setting Layout & Sirkulasi M. Andriana Gaffar Yadi Firmansyah Hamdan Hidayat Hamdani Fitriasukma Ekaputra
Hal | 2
Daftar Isi GAMBARAN STATUS PUSKESMAS oleh Irma Rosliani Dewi … 3
GIZI
BALITA
DI
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEAKTIFAN LANSIA KE POSYANDU LANSIA KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS GAMBARAN KEJADIAN KISTA OVARIUM oleh Diah Nurmayawati … 8 GAMBARAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA KEHAMILAN EKTOPIK oleh Sundari … 14 GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA oleh Yuliati … 22 GAMBARAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TRIMESTER III TENTANG HYPNOBIRTHING oleh Esti Hitatami … 27 HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN, UMUR DAN TINGKAT EKONOMI AKSEPTOR KB SUNTIK BARU TERHADAP PENGGUNAAN KONTRASEPSI SUNTIK oleh Widyastuti … 34 HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP IBU HAMIL TRIMESTER III DENGAN KEPATUHAN IBU HAMIL TRIMESTER III DALAM MELAKUKAN KUNJUNGAN ANC Oleh Winarni … 41
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
ISSN: 2356-5454
GAMBARAN STATUS GIZI BALITA DI PUSKESMAS oleh Irma Rosliani Dewi ABSTRAK Status Gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, dan lebih yang diukur dengan menggunakan salah satu indeks antopometri yaitu indeks berat badan menurut umur (BB/U). Tujuan:Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran status gizi anak balita di PPA ID-127 (Pusat Pengembangan Anak) dan CSP CS-07 (Child Survival Programme) di Kelurahan Cikalong Bandung Barat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan mengadakan survey. Populasi penelitian adalah balita 0-59 bulan dengan sampel sebanyak 80 anak balita, responden dalam penelitian ini adalah ibu dari anak balita yang menjadi sampel penelitian. Hasil: Berdasarkan pengukuran antopometri dengan indikator berat badan menurut umur (BB/U) didapatkan anak balita dengan status gizi kurang sebanyak 11 orang (13,5%), gizi baik sebanyak 69 orang (86,5%) sedangkan gizi buruk tidak ada. Kata Kunci : Status gizi, anak balita. PENDAHULUAN Lebih dari 90% anak di Dunia lahir hidup di negara berkembang setiap tahun. 35.000 dari mereka mati setiap hari, sebagian besar karena masalah yang umum dan mudah di cegah. Kesehatan dan sakit anak ini adalah akibat dari dinamika kompleks faktor-faktor lingkungan, sosial, politik dan ekonomi. Tidak ada intervensi tunggal yang secara sukses memotong siklus morbiditas dan mortalitas yang membayangi mereka (Nelson, 2002:28). Kekurangan gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius dikebanyakan negara berkembang. Di India, kekurangan zat besi, kekurangan vitamin A, dan kelainan kekurangan yodium terbesar adalah makna kesehatan masyarakat (www.google.co.id, 2002).
Meskipun prevalensi gizi buruk di Indonesia menunjukkan penurunan, Depkes tetap mewaspadai 19 provinsi yang memiliki angka gizi buruk di atas kasus nasional. Karena itu, Depkes meningkatkan penambahan desa siaga diseluruh provinsi Indonesia. Menurut Hernawati (2009) mengatakan, berdasarkan riset kesehatan dasar yang dilakukan Depkes, prevalensi gizi buruk secara nasional pada balita sebesar 5,4 %. Sedangkan, gizi kurang adalah 13 %. Artinya, tiap 100 ribu balita, 5,4 % di antaranya mengalami gizi buruk. Pencapaian itu dinilai memenuhi target rencana jangka panjang dan menengah untuk perbaikan gizi. Termasuk sudah memenuhi millennium development gold pada tahun 2015, dimana angka gizi buruk harus sudah turun menjadi 18,5 %.
Pada tahun 1989, prevalensi balita bergizi kurang (Skor Z Berat Badan menurut Umur) mencapai 37,5%. Pada tahun-tahun berikutnya prevalensi kurang gizi pada balita terus mengalami penurunan, sehingga pada tahun 2000 prevalensi kurang gizi pada balita menjadi 24,7%. Akan tetapi mulai tahun 2000 setelah Indonesia mengalami krisis multidimensi, prevalensi gizi kurang mengalami kenaikan lagi berturut-turut menjadi 26,1%(2001), 27,3%(2002) dan 27,5%(2003) (www.depkes.go.id2004).
Di beberapa provinsi masih ada kasus gizi buruknya di atas prevalensi nasional. Misalnya, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan angka 10,7 %, Nusa Tenggara Timur (NTT) 9,4 %, Nusa Tenggara Barat (NTB) 8,1 %, Sumatera Utara (8,4 %), Sulawesi Barat (10 %), Sulawesi Tengah (8,9 %), dan Maluku (9,3 %). Ada juga provinsi-provinsi yang kasus gizi buruk maupun kurang gizinya cukup tinggi. Yakni, NTT, NTB, Sulteng, dan Maluku. Karena itu, berbagai penanganan diupayakan untuk menangani kasus gizi
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 3
jikk
ISSN: 2356-5454 buruk, terutama untuk daerah dengan tingkat kejadian cukup tinggi. Gizi buruk terjadi lantaran ketidakseimbangan antara berat badan terhadap usia. Masalah gizi kedua adalah kurang gizi akut. Masalah tersebut terjadi karena ketidakseimbangan berat badan terhadap tinggi badan. Ada dua jenis kurang gizi akut. Yakni, kurus dan kurus sekali. Sedangkan, persoalan ketiga adalah kekurangan gizi kronis. Kasus itu terjadi karena ketidakseimbangan tinggi badan terhadap usia. Ironisnya, kasus tersebut di Indonesia juga cukup tinggi. Kasus balita dengan tinggi badan sangat pendek di Indonesia 18,8 %. Sedangkan, kasus balita pendek 18 %. ‘‘Artinya, balita dengan tinggi badan normal hanya 63,20 %, ujarnya. Karena itu, problem gizi tersebut juga harus ditangani serius. Salah satunya juga dengan memutus mata rantai kemiskinan. Termasuk, memperbaiki pola asuh orang tua yang masih sering keliru. Orang tua harus mengusahakan konsumsi karbohidrat, protein, vitamin, mineral secara imbang untuk anaknya (www.manduamas.com 2009). Menurut WHO, terjadinya kekurangan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni terjangkit penyakit, infeksi, dan asupan makanan yang secara langsung berpengaruh terhadap kekurangan gizi. Sementara pola asuh dan pengetahuan sang ibu juga salah satu faktor penentu secara tidak langsung (www.gizi.net 2004). Menurut Soetjiningsih (1995:10) menyatakan, pertama dengan sosial ekonomi yang cukup dan jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang di terima anak, apalagi kalau jarak anak terlalu dekat, berarti sosial ekonomi yang cukup tidak menjamin status gizi anak balita itu baik. Kedua masalah pendidikan, pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak dan ini sangat erat dengan masalah yang ketiga yaitu pola pengasuahan anak, karena dengan pendidikan yang baik,
Hal | 4
Nomor 01 Tahun 2011
maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar, terutama tentang pengasuhan anak yang baik Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia baik masyarakat, swasta, maupun pemerintah. (Depkes RI, 2007) Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan. Upaya mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah untuk meningkatkan keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat kesehatan yang optimal adalah tingkat kesehatan yang tinggi dan mungkin dapat dicapai suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat dan harus diusahakan peningkatannya secara terusmenerus. (UU Kes. No. 23, 1992) Program kesehatan ibu dan anak yang telah dilaksanakan selama ini bertujuan untuk meningkatkan status derajat kesehatan ibu dan anak serta menurunkan AKI dan AKB. Untuk itu diperlukan upaya pengelolaan program kesehatan ibu dan anak yang bertujuan untuk memanfaatkan dan meningkatkan jangkauan serta mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak secara efektif dan efisien. (Depkes RI, 2008) Badan Pusat Statistik mengestimasikan Angka Kematian Bayi (AKB) tahun 2007 di Indonesia sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini sedikit menurun jika dibandingkan dengan AKB tahun 2002-2003 sebesar 35per 1.000 kelahiran hidup. (Depkes RI, 2008) Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2008 Angka Kematian Bayi sedikitnya mencapai 38 per 1.000 kelahiran hidup dari 1.000 kelahiran di Jawa Barat, sementara itu, di Negara-negara Asia lainnya, dari 1.000 kelahiran yang
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
meningggal di bawah 20 bayi. Ini membuktikan bahwa angka kematian bayi saat dilahirkan di wilayah Jawa Barat tergolong tinggi. (Dinkes Jabar, 2009)
PEMBAHASAN Pencapaian pembangunan MDGs (Millen-nium Development Goals) terkait upaya peningkatan kelangsungan hidup anak di masa mendatang, pada tahun 2015 setiap negara harus berupaya terus untuk menurunkan separuh jumlah penduduk miskin dan kelaparan. Tujuan MDGs menempatkan manusia sebagai fokus utama pembangunan yang mencakup semua kom-ponen kegiatan, termasuk kesehatan, yang tujuan akhirnya ialah kesejahteraan masya-rakat. Di Indonesia pencapaian MDGs dengan indikatorindikator paling menentu-kan untuk memberantas kemiskinan dan kelaparan adalah prevalensi gizi kurang dan gizi buruk. Prevalensi gizi kurang menurun secara signifikan dari 31% (1989) menjadi 17,9% (2010). Demikian pula prevalensi gizi buruk menurun dari 12,8 % (1995) menjadi 4,9% (2010). Kecenderungan ini menunjukan target penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk menjadi 15% dan 3,5% pada 2015, diharapkan dapat tercapai. Kurang gizi menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental, mengurangi tingkat kecer-dasan, kreativitas, dan produktifitas pendu-duk. Indonesia menghadapi masalah gizi yang cukup memprihatinkan, ini dapat dili-hat berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Na-sional (Susenas) tahun 2007, terdapat 13% balita dengan status gizi kurang dan 5,4% balita berstatus gizi buruk dari 18 juta balita. Menurut Depkes 2008, jumlah balita penderita malnutrisi pada tahun 2007 yaitu 4,1 juta jiwa. Sebanyak 3,38 juta jiwa berstatus gizi kurang dan 755 ribu termasuk kategori resiko gizi buruk. 1. Pola Makan
ISSN: 2356-5454 Pola makan adalah cara yang ditempuh seseorang/sekelompok orang untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial (Suhardjo, 1986: 35). Pengertian pola makan menurut Lie goan Hong dalam Sri Kerjati (1985) adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang di makan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu (Santoso, 2004:89). Makanan merupakan kebutuhan mendasar bagi hidup manusia. Makanan yang dikonsumsi beragam jenis dengan berbagai cara pengolahannya. Di masyarakat dikenal pola makan atau kebiasaan makan yang ada pada masyarakat dimana seorang anak hidup. Pola makan kelompok masyarakat tertentu juga menjadi pola makan anak. Pola makan mempengaruhi penyusunan menu. Seorang anak dapat memiliki kebiasaan makan dan selera makan, yang terbentuk dari kebiasaan dalam masyarakat. Jika menyusun hidangan untuk anak, hal ini perlu diperhatikan disamping kebutuhan zat gizi untuk hidup sehat dan bertumbuh kembang. Kecukupan zat gizi ini berpengaruh pada kesehatan dan kecerdasan anak, maka pengetahuan dan kemampuan mengelola makanan sehat untuk anak adalah suatu hal yang amat penting (Santoso,2004:41). 2.
Macam-Macam Zat Gizi
Pangan dan gizi sangat berkaitan erat karena gizi seseorang sangat tergantung pada kondisi pangan yang dikonsumsinya. Masalah pangan antara lain menyangkut ketersediaan pangan dan kerawanan konsumsi pangan yang dipengaruhi oleh kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan adat/kepercayaan yang terkait dengan tabu makanan. Sementara, permasalahan gizi tidak hanya terbatas pada kondisi kekurangan gizi saja, melainkan tercakup pula kondisi kelebihan gizi (Yayuk Farida, 2004 : 19).
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 5
jikk
ISSN: 2356-5454 Menurut Sunita Almatsier (2004 : 1), zat gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan serta mengatur prosesproses kehidupan. Zat-zat makanan yang diperlukan tubuh dapat dikelompokkan menjadi 5, yaitu : karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. a.
Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber tenaga utama kegiatan sehari-hari Terdiri dari unsur C, H, dan O. Berdasarkan gugus penyusun gulanya dapat dibedakan menjadi monosakarida, disakarida dan polisakarida. Karbohidrat terdiri dari tepung terigu seperti : nasi, kentang, mie, ubi, singkong dll, gula seperti : gula pasir, gula merah dll. Dampak yang ditimbulkan apabila kekurangan karbohidrat sebagai sumber energi dan kekurangan protein adalah KEP (Kurang Energi Protein). b. Protein Terdiri dari unsur C, H, O dan N, dan kadang – kadang S dan P, diperoleh melalui tumbuh-tumbuhan (protein nabati) dan melalui hewan (protein hewani) berfungsi : Membangun sel – sel yang telah rusak, membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon, membentuk zat anti energi, dalam hal ini tiap gram protein menghasilkan sekitar 4,1 kalori Perlu diperhatikan bahwa apabila tubuh menderita kekurangan protein, maka serangan penyakit busung lapar (hongeroedeem) akan selalu terjadi. Protein banyak terdapat pada ikan, daging, telur, susu tahu, tempe dll. c.
Lemak
Lemak juga merupakan sumber tenaga. Lemak merupakan senyawa organik yang majemuk, terdiri dari unsur-unsur C, H, O yang membentuk senyawa asam lemak dan gliserol (gliserin) apabila bergabung dengan zat lain akan membentuk lipoid --- fosfolipid
Hal | 6
Nomor 01 Tahun 2011
dan sterol. Berfungsi : penghasil kalori terbesar yang dalam hal ini tiap gram lemak menghasilkan sekitar 9,3 kalori ; sebagai pelarut vitamin tertentu, seperti A, D, E, K ; sebagai pelindung alat-alat tubuh dan sebagai pelindung tubuh dari temperatur rendah. d. Vitamin Vitamin dikelompokkan menjadi; vitamin yang larut dalam air, meliputi vitamin B dan C dan vitamin yang larut dalam lemak/minyakmeliputi A, D, E, dan K. Di Indonesia saat ini anak kelompok balita menunjukkan prevalensi tinggi untuk defisiensi vitamin A. Vitamin A(Aseroftol) berfungsi : penting bagi pertumbuhan sel-sel epitel dan penting dalam proses oksidasi dalam tubuh serta sebagai pengatur kepekaan rangsang sinar pada saraf mata. e.
Mineral
Mineral merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang sangat sedikit. Contoh mineral adalah zat besi/Fe, zat fosfor (P),zat kapur (Ca), zat fluor (F), natrium (Na), chlor (Cl), dan kalium (K).Umumnya mineral terdapat cukup di dalam makanan sehari-hari. Mineral mempunyai fungsi : sebagai pembentuk berbagai jaringan tubuh, tulang, hormon, dan enzim ; sebagai zat pengatur berbagai proses metabolisme, keseimbangan cairan tubuh, proses pembekuan darah. Zat besi atau Fe berfungsi sebagai komponen sitokrom yang penting dalam pernafasan dan sebagai komponen dalam hemoglobin yang penting dalam mengikat oksigen dalam sel darah merah. 3.
Kebutuhan Gizi Balita
Gizi kurang banyak menimpa anak-anak balita sehingga golongan anak ini disebut golongan rawan gizi. Masa peralihan antara saat disapihdan mulai mengikuti pola makanan orang dewasa atau bukan anak merupakan masa gawat karena ibu atau pengasuh anak mengikuti kebiasaan yang keliru (Sajogyo et al, 1994 : 31).
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat–zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik dan lebih (Almatsier, 2004:3). Status gizi (nutrian status)adalah ekpresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2002:18).
PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian maka didapatkan kesimpulan bahwa status gizi balita menurut indeks Berat badan menurut umur (BB/U) berdasarkan baku rujukan WHO-NHCS: Status gizi buruk tidak ada, Responden dalam penelitian yaitu Iibu-ibu dengan tingkat pendidikan SMA dan sebagian besar ibu-ibu bekerja sebagai ibu ru-mah tangga. Hal ini berpengaruh pada sta-tus gizi balita karena tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka penge-tahuannya tentang gizi akan lebih baik dibandingkan dengan yang berpendidikan kurang. Kurangnya perhatian pemberian makanan bergizi pada anak juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gizi kurang pada balita.
REFERENSI Kemiskinan Kelaparan dan Kekurangan GiziAdalahMasalahKompleks[homepage on the Internet]. 2010[cited 2011 Nov 11]. Available from: http://www.depkes.go.id/index.php/be
ISSN: 2356-5454 rita/press-release/1108-kemis kinankelaparan-dan-kekurangan-gizi-ada lahmasalah-kompleks.html. Aswar A. Gizi Seimbang Menuju Hidup Sehat bagi Balita. Jakarta: Departemen Kesehatan Dan Kesejahteraan RI, 2002; hal.124-6. Badan Litbangkes, Depkes simnas IV [homepage on the Internet]. 2009. Available from: URL: http:/www.scribd.com/doc/1360077/res ume-hasil-kesehatan-dasar-indonesia Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Indonesia. Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika, 200; hal.314-6. Windy R, Sari F, Ikeu N.15 April 2009. Hubungan Status Gizi, Imunisasi Pada Anak Di Wilayah Puskesmas Ciawi Tasikmalaya[homepage on the Internet]. 2009 [updated 2009 Apr 15]. Available from URL: http//www.tasikmalayakab.go.id/comp onent/option.com Sulistyoningsih H.Gizi Untuk Kesehatan Anak.Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011; hal.184-6. Siswanto H. Pendidikan Kesehatan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Purtaka Rihama, 2010; hal.126-8. Widjaja MC. Gizi Tepat untuk Perkembangan Otak dan Kesehatan Balita. Jakarta: Kawan Pustaka, 2002; hal.87-89.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 7
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 01 Tahun 2011
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEAKTIFAN LANSIA KE POSYANDU LANSIA KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS GAMBARAN KEJADIAN KISTA OVARIUM oleh Diah Nurmayawati ABSTRAK Lansia memerlukan pemeliharaan kesehatan yang terjangkau untuk mengatasi masalah kesehatannya. Posyandu lansia merupakan alternatif sarana untuk memenuhi kebutuhan kesehatan lansia. Penelitian ini bertujuan menganalisis pemanfaatan posyandu lansia di wilayah kerja Puskesmas Arjasari tahun 2012. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Informan penelitian adalah lansia yang aktif di posyandu lansia. Data diperoleh melalui wawancara mendalam (indepht interview). Analisa data dilakukan melalui tahapan pengumpulan data, reduksi data (emik), interprestasi (etik) dan penarikan kesimpulan berdasarkan intisari wawancara. Hasil penelitian menunjukkan: pengetahuan tentang posyandu lansia dimulai dari sumber informasi, sasaran, pengertian, pelayanan, status lansia, manfaat posyandu lansia, orang yang bertugas di posyandu, dan peranan lansia sehingga mempengaruhi keaktifan lansia dalam pemanfaatan posyandu. Sikap lansia terhadap posyandu sangat positif, lansia tidak terbebani terkait kegiatan posyandu yang rutin, lansia bersikap negatif terkait rencana perubahan fungsi posyandu yang melayani masyarakat umum. Keluarga terutama anak-anak lansia berperan sebagai support system. Kemampuan lansia dalam mengakses pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh jarak rumah dengan posyandu lansia yang intinya semakin dekat jarak rumah semakin aktif lansia dalam memanfaatkan posyandu lansia. Kata Kunci : Posyandu, Lansia, Kualitatif. PENDAHULUAN Salah satu hasil pembangunan kesehatan di Indonesia adalah meningkatnya angka harapan hidup (life expectancy). Usia Harapan Hidup (UHH) penduduk Indonesia pada 1983 hanya 58 tahun dan 1988 menjadi 63 tahun. Proporsi penduduk Indonesia umur 55 tahun ke atas pada tahun 1980 sebesar 7,7% dari seluruh populasi, sedangkan pada tahun 2000 meningkat menjadi 9,37%. Diperkirakan tahun 2010 proporsi itu akan meningkat menjadi 12% dan UHH meningkat menjadi 65 - 70 tahun (Hartanto, 2009). Pembangunan kesehatan di Indonesia sudah cukup berhasil, karena dilihat dari sisi angka harapan hidup telah meningkat secara bermakna. Namun, disisi lain dengan meningkatnya angka harapan hidup ini membawa beban bagi masyarakat, karena populasi penduduk usia lanjut (lansia) meningkat. Hal ini berarti kelompok risiko dalam masyarakat menjadi lebih tinggi lagi. Meningkatnya populasi lansia ini bukan hanya fenomena di Indonesia saja tetapi juga
Hal | 8
secara global. Pada tahun 2000 penduduk usia lanjut di seluruh dunia diperkirakan sebanyak 426 juta atau sekitar 6,8%. Jumlah ini akan meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2025, yaitu menjadi sekitar 828 juta jiwa atau sekitar 9,7% dari total penduduk dunia. Di negara-negara maju, jumlah lansia juga teryata mengalami peningkatan, antara lain: Jepang (17,2%), Singapura (8,7%), Hongkong (12,9%), dan Korea Selatan (7,5%). Sementara negaranegara seperti Belanda, Jerman, dan Perancis sudah lebih dulu menghadapi masalah yang serupa (Notoatmodjo, 2007). Gejala menuanya struktur penduduk juga terjadi di Indonesia. Biro Pusat Statistik (2004) menyimpulkan bahwa abad 21 bagi bangsa Indonesia merupakan abad lansia (era of population aging), karena pertumbuhan penduduk lansia di Indonesia diperkirakan lebih cepat dibandingkan dengan negaranegara lain. Proyeksi penduduk oleh Biro Pusat Statistik menggambarkan bahwa antara 2005-2010 jumlah penduduk usia lanjut sekitar 19 juta jiwa atau 8,5% dari seluruh jumlah penduduk. WHO pun telah
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
memperhitungkan bahwa di tahun 2025, Indonesia akan mengalami peningkatan tertinggi di dunia. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan bahwa di tahun 2050 jumlah warga lansia di Indonesia akan mencapai ± 60 juta jiwa. Hal ini yang menyebabkan Indonesia berada pada peringkat ke-4 untuk jumlah penduduk lansia terbanyak setelah China, India, dan Amerika Serikat (Notoatmodjo, 2007). Kecenderungan peningkatan populasi lansia perlu mendapatkan perhatian khusus terutama peningkatan kualitas hidup mereka agar dapat mempertahankan kesehatannya. Pemerintah telah merumuskan berbagai peraturan dan perundang-undangan, yang diantaranya seperti tercantum dalam UndangUndang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dimana pada pasal 19 disebutkan bahwa kesehatan manusia usia lanjut diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kemampuannya agar tetap produktif, serta pemerintah membantu penyelenggaraan upaya kesehatan usia lanjut untuk meningkatkan kualitas hidupnya secara optimal. Oleh karena ini berbagai upaya dilaksanakan untuk mewujudkan masa tua yang sehat, bahagia, berdaya guna dan produktif untuk usia lanjut (Grahacendikia, 2009). Posyandu atau pos pelayanan terpadu merupakan program Puskesmas melalui kegiatan peran serta masyarakat yang ditujukan pada masyarakat setempat, khususnya balita, wanita usia subur, maupun lansia. Pelayanan kesehatan di posyandu lanjut usia meliputi pemeriksaan kesehatan fisik dan mental emosional yang dicatat dan dipantau dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita atau ancaman masalah kesehatan yang dihadapi. Jenis pelayanan kesehatan yang diberikan di posyandu lansia antara lain pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari, pemeriksaan status mental, pemeriksaan status gizi, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan hemoglobin, kadar gula dan protein dalam urin, pelayanan rujukan ke
ISSN: 2356-5454 puskesmas dan penyuluhan kesehatan. Kegiatan lain yang dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi setempat seperti Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dengan memperhatikan aspek kesehatan dan gizi lanjut usia dan olah raga seperti senam lanjut usia, gerak jalan santai untuk meningkatkan kebugaran (Grahacendikia, 2009). Kegiatan posyandu lansia yang berjalan dengan baik akan memberi kemudahan bagi lansia dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dasar, sehingga kualitas hidup masyarakat di usia lanjut tetap terjaga dengan baik dan optimal. Berbagai kegiatan dan program posyandu lansia tersebut sangat baik dan banyak memberikan manfaat bagi para orang tua di wilayahnya. Seharusnya para lansia berupaya memanfaatkan adanya posyandu tersebut sebaik mungkin, agar kesehatan para lansia dapat terpelihara dan terpantau secara optimal (Grahacendikia, 2009). Fenomena di lapangan menunjukkan fakta yang berbeda. Posyandu lansia ternyata hanya ramai pada awal pendirian saja, selanjutnya lansia yang memanfaatkan posyandu semakin berkurang. Seperti yang terjadi di Desa Klapasawit Kecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas, dengan jumlah lansia 172 orang dan hanya ada 1 posyandu lansia. Dari data di posyandu lansia, untuk jumlah lansia yang mengikuti posyandu dalam 1 tahun terakhir ini, rata-rata hanya 10 orang per bulan. Hal ini menunjukan motivasi atau dorongan lansia untuk mengikuti posyandu lansia rendah. Motivasi mempunyai arti dorongan, berasal dari bahasa latin Movere yang berarti mendorong atau menggerakkan. Motivasi inilah yang mendorong seseorang untuk berperilaku beraktifitas dalam pencapaian tujuan (Widayatun, 1999). Menurut Efandi (2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi lansia untuk mengikuti posyandu lansia yaitu pengetahuan lansia tentang posyandu lansia, jarak rumah dengan lokasi posyandu yang jauh atau sulit
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 9
jikk
ISSN: 2356-5454 dijangkau, dukungan keluarga untuk mengantar maupun mengingatkan lansia untuk datang ke posyandu, sikap kurang baik terhadap petugas, fasilitas kesehatan, dan kesiapan petugas. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti kepada 10 orang lansia, dimana didapatkan hasil 7 orang lansia mengatakan tidak mengetahui tentang posyandu lansia, 1 orang mengatakan malas karena kegiatannya membosankan dan 2 orang mengatakan sibuk dengan pekerjaannya. Dari hasil tersebut kemungkinan faktor yang mempengaruhi motivasi lansia mengikuti posyandu lansia adalah tingkat pengetahuan lansia. Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu termasuk ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia (Suriasumantri, 1998). Pengetahuan itu sendiri banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: pendidikan formal. Jadi pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah, mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa, peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal (Wipayani, 2008).
PEMBAHASAN Penelitian tentang pemanfaatan posyandu lansia ini menemukan bahwa pengetahuan informan tentang posyandu lansia berbeda-beda sesuai dengan manfaat yang dirasakan dan penafsiran informan. Pengetahuan informan ini diperoleh dari petugas kesehatan, pengurus posyandu lansia, orang tua maupun teman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Notoatmodjo (2007) yaitu bahwa pengalaman yang dihasilkan melalui panca indera mempengaruhi penafsiran yang
Hal | 10
Nomor 01 Tahun 2011
berbeda terhadap suatu objek. Pengetahuan lansia tentang posyandu lansia mempengaruhi keakifan lansia dalam memanfaatkan posyandu lansia. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Maria (2008) yang menyatakan bahwa dukungan kader mempengaruhi keaktifan kunjungan lansia ke posyandu. Sasaran posyandu lansia yang dipahami lansia adalah hanya untuk para lansia itu sendiri. Hal ini sesuai dengan DepKes RI (2002) yang menyatakan bahwa sasaran posyandu lansia ditujukan secara langsung pada para lansia. Manfaat yang dirasakan lansia ditinjau dari aspek fisik yaitu kondisi kesehatan senantiasa terjaga atau sehat. Manfaat ditinjau dari aspek psikis yang dirasakan yaitu perasaan senang dapat siraman rohani dan adanya rekreasi untuk menghilangkan kejenuhan. Perasaan senang dapat bertemu sesama lansia merupakan manfaat yang didapatkan lansia secara sosial dari adanya posyandu lansia. Pengalaman lansia terkait manfaat posyandu lansia tersebut mempengaruhi motivasi lansia mengikuti posyandu lansia, sebagaimana hasil penelitian Fuad (2008) tentang study fenomenologi motivasi lansia dalam memanfaatkan posyandu lansia yaitu bahwa dengan lansia mengetahui manfaat posyandu, lansia termotivasi untuk mengikuti posyandu lansia. Lansia menyatakan bahwa orang yang bertugas di posyandu lansia tidak hanya petugas puskesmas dan pengurus lansia, tetapi juga ustad, guru senam, maupun petugas pemerintahan. Pengetahuan lansia tentang petugas puskesmas maupun pengurus lansia yang seharusnya bertugas sesuai dengan aturan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2005) tentang pelaksana sistem lima tahapan kegiatan di posyandu. Sikap lansia terkait penelitian meliputi pandangan lansia terhadap pendirian posyandu lansia, waktu atau jadwal kegiatan posyandu lansia serta respon terhadap rencana perubahan fungsi posyandu. Berdasar hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa pandangan informan terhadap
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
pendirian posyandu lansia yaitu informan merasakan banyak memperoleh manfaat baik secara jasmani, rohani, maupun sosial. Sikap terbentuk dari pengetahuan dan pengalaman selama proses aktif di posyandu lansia sehingga informan mampu menyatakan dan memutuskan bahwa posyandu lansia sangat bermanfaat bagi informan, sehingga perlu didirikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Thursdayani (2006), yaitu bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara karakteristik, pengetahuan serta persepsi lansia terhadap kegiatan posyandu lansia. Hasil wawancara dan observasi diketahui, frekuensi waktu yang digunakan dalam pemanfaatan posyandu lansia antara satu sampai dua kali dalam sebulan. Alasan lansia memilih mengikuti posyandu lansia sebulan sekali karena mengikuti kegiatan lain di kampung maupun di mesjid, sehingga jika terlalu banyak kegiatan maka dapat mempengaruhi kesehatan akibat kelelahan. Depkes RI (2005), menerangkan bahwa penurunan kesehatan secara fisik tersebut dapat mempengaruhi kondisi lansia pada aspek lain serta sebaliknya. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi ditemukan Informan tidak setuju terhadap perubahan fungsi posyandu yang akan melayani masyarakat umum selain lansia. Hal ini dikarenakan petugas puskesmas terbatas sehingga dikhawatirkan tidak mampu memberikan pelayanan yang baik bagi lansia, alasan lainnya adalah lansia tidak kuat antri lama, mudah tersinggung, pusing, dan capek. Kondisi ini berhubungan dengan perubahan lansia dari berbagai aspek yaitu secara fisik, psikis, dan sosial. Jika kondisi ini tidak diperhatikan dan dibiarkan dalam waktu lama maka akan menyebabkan ketidakstabilan emosi yaitu lansia mudah tersinggung (Meiner, 2006). Perilaku informan dalam pemanfaatan posyandu, dibuktikan dengan tanggapan yang positif tentang pendirian posyandu dan keaktifan lansia dalam mengikuti semua kegiatan yang ada di posyandu. Teori Green dalam Notoadmodjo (2007), menyatakan
ISSN: 2356-5454 Faktor predisposisi (predisposing factor), yaitu faktor pencetus yang mempermudah dan mendasari dalam perubahan perilaku yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan persepsi yang membangkitkan motivasi seseorang untuk bertindak. Keluarga memiliki peran yang penting dalam kehidupan lansia terutama terkait dengan pemanfaatan posyandu lansia. Berdasarkan wawancara dan observasi didapatkan dukungan keluarga yang diberikan pada informan dalam pemanfaatan posyandu lansia meliputi antar jemput informan yang datang ke posyandu dan mengingatkan jadwal kegiatan posyandu. Sejalan dengan Stanley (2005), didalam bukunya dijelaskan bahwa segala bentuk perhatian yang diberikan keluarga khususnya maupun masyarakat termasuk petugas kesehatan pada umumnya, menumbuhkan motivasi lansia untuk tetap berkarya dan eksis di kehidupannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Fuad (2008) yang menyatakan bahwa dukungan keluarga menjadi motivasi bagi lansia dalam memanfaatkan posyandu lansia. Demikian pula pernyataan Gallo (1998) dalam Hardywinoto (2007), yaitu jaringan¬jaringan informal, dalam pembinaan lansia meliputi jaringan pendukung yaitu keluarga dan kawan-kawan. Dukungan yang diterima lansia oleh petugas kesehatan berupa pembinaan lansia yang meliputi fisik, psikis, dan sosial guna peningkatan kesehatan lansia. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Camacho, dkk (2009) tentang perbedaan status sosial ekonomi dan karakteristik institusional dalam pelayanan umum tindakan preventif bagi lansia di Costa Rica yang menyatakan bahwa kebijakan kesehatan berpengaruh terhadap peningkatan status kesehatan lansia melalui upaya perawatan kesehatan primer secara professional. Hasil penelusuran di lapangan diketahui bahwa aksesibilitas yang dilakukan informan terkait dengan cara informan untuk mencapai pelayanan posyandu, lebih menyukai berjalan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 11
jikk
ISSN: 2356-5454 kaki dengan alasan sambil olahraga. Jika lansia kurang mampu untuk berjalan kaki, maka lansia menggunakan taksi ataupun diantar oleh anggota keluarga. Kondisi kesehatan informan terkait akses ke posyandu dengan berjalan kaki tidak menunjukkan masalah gangguan kesehatan yang signifikan, hanya terkadang sakit pinggang. Kondisi ini menurut Potter, dkk (1997) adalah wajar akibat penurunan fisiologis lansia yang mempengaruhi aktifitas fisik. Kendala yang dialami oleh lansia dalam mengakses posyandu lansia disebabkan lansia memiliki peran tambahan dalam keluarga untuk membantu menjaga cucu, maupun peran dalam bekerja sebagai petugas perawatan jenazah. Selain itu situasi saat kumpul bersama keluarga (anak) yang jauh, dan kondisi cuaca ketika hujan juga menjadi kendala lansia dalam mengakses pelayanan posyandu lansia. Kondisi yang dialami lansia tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian Federman, dkk (2010), tentang pengembangan dan pemulihan kesulitan aktifitas sehari-hari berdasarkan analisis data nasional yang menyatakan bahwa kondisi kesehatan kronik pada lansia merupakan penyebab penurunan aktifitas sehari-hari. Kendala aksesibilitas posyandu lansia tidak hanya dialami lansia tetapi juga petugas kesehatan. Hal ini disebabkan oleh minimnya cakupan kunjungan posyandu lansia karena hanya ada dua buah posyandu lansia untuk seluruh wilayah puskesmas yang membawahi dua kelurahan meliputi 78 RT sehingga terjadi ketidakseimbangan jumlah posyandu dengan luas wilayah. Hal ini sejalan dengan teori McKillip dalam Nyorong (1989), bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh ketersediaan, kesadaran, keterterimaan secara budaya, aksesibilitas.
KESIMPULAN Simpulan penelitian tentang pemanfaatan posyandu lanjut usia di wilayah Puskesmas Arjasari Kabupaten Bandung adalah sebagai berikut: Pengetahuan posyandu yang
Hal | 12
Nomor 01 Tahun 2011
diketahui masing-masing lansia berbeda-beda berdasarkan dari manfaat yang dirasakan oleh lansia. Pengetahuan lansia yang baik mempengaruhi keaktifan lansia dalam memanfaatkan posyandu. Sikap lansia terhadap pendirian posyandu lansia sangat positif. Kemampuan lansia dalam mengakses pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh jarak rumah dengan posyandu lansia yaitu semakin dekat jarak rumah dengan posyandu lansia maka lansia semakin aktif memanfaatkan posyandu lansia. Saran penelitian tentang pemanfaatan posyandu lanjut usia di wilayah Puskesmas Arjasari Kabupaten Bandung ditujukan pada pihak sebagai berikut:Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung khususnya Bidang Kesehatan Keluarga dan puskesmas diharapkan adanya peningkatan pemberian informasi-informasi tambahan tentang kesehatan melalui subsidi bahan maupun media kesehatan lansia sehingga dapat digunakan posyandu lansia untuk meningkatkan pengetahuan lansia maupun kader kesehatan posyandu lansia terkait kesehatan lansia dan kepada keluarga lansia dan masyarakat diharapkan adanya peningkatan dukungan positif terhadap lansia dengan cara merawat kesehatan lansia baik fisik maupun psikis.
REFERENSI BPS, (2009). Human Development Index (HDI) by Province and National, http://dds.bps.go.id/eng/tab_sub/view. php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=26&n otab =2 Camacho, G.B and Bixby, L.R, (2009). Differentials by Socioeconomic Status and Institutional Characteristics in Preventive Service Utilization by Older Persons, Journal Aging Health 21 ; 730 Depkes RI., (2002), Pedoman Pengelolaan Kegiatan Kesehatan di Kelompok Usia Lanjut, Jakarta
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
Depkes RI., (2005), Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas Kesehatan I, Kebijaksanaan Program, Departemen Kesehatan RI Dinkes Kabupaten Bandung, (2011), Profil Kesehatan Kabupaten Bandung, Bagian KIA, Bandung.
ISSN: 2356-5454 Federman, A.D, Pendrod, J.D, Livot, E, Hebert P, S, Doucette, J, and Siu, A.L, 2010. Development of and Recovery From Difficulty Wityh Activities of Daily Living : An Analysis of National Data. Journal Aging Health 22 ; 1081
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 13
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 01 Tahun 2011
GAMBARAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA KEHAMILAN EKTOPIK oleh Sundari ABSTRAK Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tetap tinggi, bahkan jumlahnya meningkat. Hal ini merupakan cerminan keterpurukan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan, sekitar 25-50% kematian perempuan usia subur disebabkan oleh masalah yang terkait dengan kehamilan, persalinan dan nifas. Kehamilan dan persalinan merupakan proses yang alami tetapi bukannya tanpa resiko dan merupakan beban bagi seorang wanita. Dalam kehamilan dan persalinan tiap ibu hamil akan menghadapi resiko terjadinya penyakit atau komplikasi baik ringan maupun berat yang dapat memberikan bahaya kematian, kesakitan, ketidaknyamanan ataupun ketidakpuasan bagi ibu dan bayinya. Lebih dari 80% abortus terjadi dalam 12 minggu, pertama kehamilan. Resiko terjadinya abortus meningkat dengan makin tingginya usia ibu serta makin banyaknya kehamilan (graviditas) atau jumlah persalinan yang dialami ibu (paritas) selain itu kemungkinan terjadinya abortus bertambah pada wanita yang hamil dalam waktu tiga bulan setelah melahirkan. Kata Kunci : graviditas, kehamilan ektopik PENDAHULUAN Sejak awal 1990-an para pakar yang aktif dalam usaha safe motherhood menyatakan bahwa pendekatan risiko yang mengelompokkan ibu hamil dalam kelompok tidak berrisiko sebaiknya tidak digunakan lagi. Hal ini berdasarkan kenyataan lebih dari 90 % kematian ibu disebabkan oleh komplikasi obstetrik yang sering tidak dapat diramalkan pada saat kehamilan, karena kebanyakan komplikasi itu terjadi pada saat atau sekitar persalinan. (Winkjosastro, 2002) Kehamilan dan persalinan merupakan proses yang alami tetapi bukannya tanpa resiko dan merupakan beban bagi seorang wanita. Dalam kehamilan dan persalinan tiap ibu hamil akan menghadapi resiko terjadinya penyakit atau komplikasi baik ringan maupun berat yang dapat memberikan bahaya kematian, kesakitan, ketidaknyamanan ataupun ketidakpuasan bagi ibu dan bayinya (Saifuddin. 2000). Lebih dari 80% abortus terjadi dalam 12 minggu, pertama kehamilan. Resiko terjadinya abortus meningkat dengan makin tingginya usia ibu serta makin banyaknya kehamilan (graviditas) atau jumlah persalinan yang dialami ibu (paritas) selain itu kemungkinan terjadinya abortus bertambah
Hal | 14
pada wanita yang hamil dalam waktu tiga bulan setelah melahirkan (Cuningham, 2002). Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tetap tinggi, bahkan jumlahnya meningkat. Hal ini merupakan cerminan keterpurukan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan, sekitar 25-50% kematian perempuan usia subur disebabkan oleh masalah yang terkait dengan kehamilan, persalinan dan nifas. (Winkjosastro, 2002) Berdasarkan data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), bahwa pada tahun 2003 terdapat 1 dari 250 (0,04%) kelahiran di dunia menderita kehamilan ektopik, dengan jenis kehamilan ektopik adalah kehamilan tuba falopii, yang sebagian besar (80 %) dialami oleh wanita pada usia 35 tahun ke atas serta dilaporkan bahwa 60 % dialami oleh wanita dengan paritas pertama dan kedua. (Cunningham, 2001) Beberapa sumber menyebutkan bahwa AKI di Indonesia merupakan yang tertinggi di Negara ASEAN. Pada tahun 2008 menunjukan AKI 307/100.000 kelahiran hidup atau 20.000 per hari, berarti 50,5 perhari atau 2,1 % per jam. Yang antara lain disebabkan oleh perdarahan (53,23 %), infeksi (11,29 %), eklamsia 27,42 % lain-lain (8,06 %) (Depkes RI, 2008).
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
Di Indonesia, berdasarkan laporan dari Biro Pusat Statistik Kesehatan diketahui bahwa pada tahun 2007 terdapat 20 kasus setiap 1.000 kehamilan menderita kehamilan ektopik atau 0,02%.s (BPS Kesehatan, 2007). Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2007 terdapat 153 kehamilan ektopik diantara 4007 persalinan, atau 1 diantara 26 persalinan. Salah satu tolak ukur penting dalam menciptakan Indonesia sehat 2010 adalah menekan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Di Indonesia menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2008 Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi, yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu terbesar ( 58,1 %) adalah karena perdarahan dan eklamsi. Kedua sebab itu sebenarnya dapat dicegah dengan pemeriksaan kehamilan yang memadai. Walaupun proporsi perempuan usia 15-45 tahun melakukan ANC minimal 1 kali telah mencapai lebih dari 80%, tetapi menurut survei hanya 43,2% yang persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan. Persalinan oleh tenaga kesehatan masih sangat rendah, sebesar 54% persalinan masih ditolong oleh dukun (Winkjosastro, 2002). Tingginya angka kematian maternal yang berhubungan dengan kehamilan dipengaruhi faktor didalam dan faktor diluar kesehatan. Beberapa faktor kesehatan antara lain : tindakan aborsi yang tidak aman, perdarahan ante, intra, dan postpartum infeksi, persalinan macet, penyakit hipertensi, anemia dan kehamilan ektopik. Dari segi medis sebenarnya sudah diketahui usahausaha preventif dan pengobatan yang mampu menolong wanita khususnya wanita hamil sehingga dapat terhindar dari bahaya kematian. Hanya saja sistem pelayanan terhadap hal ini terasa masih kurang memadai. (Cunningham, 2002) Sedangkan di Sulawesi Tenggara pada tahun 2007 angka kejadian kehamilan ektopik sebanyak 10 per 1.000 kelahiran atau 0,01%. Namun demikan data tersebut akan mengalami peningkatan yang disebabkan oleh banyaknya wanita hamil pada usia 35 tahun ke atas. (Depkes RI, 2007)
ISSN: 2356-5454 Sedangkan di Rumah Sakit Umum Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara dilaporkan bahwa pada tahun 2007 sampai tahun 2009 ibu hamil dengan kehamilan ektopik sebanyak 46 kasus dari 1972 persalinan atau 2,4%. Keaslian Penelitian Telah ada penelitian terdahulu yang mengkaji hal-hal yang menyangkut pemanfaatan pelayanan kesehatan, namun dalam penelitian ini memfokuskan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh ibu bersalin, penelitian yang telah dilakukan : 1) Penelitian Elvi Ibrahim (2006), tentang studi tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan ektopik di RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara. Jenis penelitian Elvi Ibrahim yaitu Penelitian Deskriptif, Lokasi penelitian di RSUD Propinsi Sultra Tahun 2006 dan subyek penelitian yaitu semua ibu hamil yang mengalami kehamilan ektopik. 2) Penelitian Abdullah (2006) tentang gambaran kasus kehamilan ektopik terganggu di RSUD Arifin Achmad Pekan Baru Peride 1 Januari 2003 sampai 31 Desember 2005. Jenis penelitian ini adalah deskriptif retrospektif. Data dikumpulkan dengan melihat kembali semua catatan medic kasus kehamilan ektopik terganggu yang tercatat dibagian rekam medic RSUD Arifin Achmad Pekan Baru. Data dikumpulkan dan diolah secara manual, kemudian disajikan dalam bentuk diagram dan tabel distribusi frekuensi. PEMBAHASAN Kehamilan Ektopik Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang berkembang diluar uterus. Kehamilan ektopik ini paling sering terjadi pada tuba fallopi. Penyebab kehamilan tuba belum dapat diketahui dengan pasti, tetapi factor fredisposisinya adalah tuba yang mengalami obstruksi (sumbatan). Juga dikatakan terdapat
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 15
jikk
ISSN: 2356-5454 insidensi yang lebih tinggi pada wanita yang menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim. Apabila embrio berkembang didalam isthmus, yaitu bagian yang paling sempit, maka embrio tadi akan segera mengerosi (merusak) lapisan tipis jaringan pada proses implantasi, sehingga memecahkan tuba dan membuka vasa-vasa darah besar sehingga menyebabkan perdarahan intraperitoneal. Keadaan demikian disebut sebagai kehamilan ektopik yang pecah dan menyebabkan gawat abdomen akut. Transfuse darah kemudian diikuti operasi segera, dengan melakukan eksisi tuba, merupakan operasi penyelamat jiwa. (Sylvia verralls : 2002) Perjalanan hasil konsepsi dapat terganggu dalam perjalanan sehingga tersangkut dalam lumen tuba. Tuba faloopi tidak mempunyai kemampuan untuk berkembang dan menampung pertumbuhan janin sehingga setiap saat kehamilan yang terjadi terancam pecah. Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya karena tempat implantasinya tidak memberikan kesempatan untuk tumbuh kembang mencapai aterm. Perjalanan klinik kehamilan ektopik bervariasi, sehingga bidan dapat dimintai pertolongan pertama. Oleh karena itu bidan didaerah pedesaan perlu mengetahui kemungkinan terganggunya kehamilan ektopik, sehingga dapat melakukan rujukan medis. (Manuaba, 2002) Terdapat dua pengertian yang perlu mendapat perhatian, yaitu kehamilan ektopik adalah kehamilan yang berimplantasi diluar endometrium normal dan kehamilan ekstrauterin adalah kehamilan yang berimplantasi diluar uterus. a. Berdasarkan tempat implantasinya kehamilan ektopik b. Pars interstisial tuba c. Pars ismika tuba d. Pars ampularis tuba e. Kehamilan infundibulum f. Kehamilan abdominal primer atau sekunder Kejadian kehamilan ektopik bervariasi pada setiap pusat penelitian atau rumah sakit.
Hal | 16
Nomor 01 Tahun 2011
Frekuensi ini tergantung dari beberapa faktor diantaranya : a. Pemakaian antibiotika 1. Memyebabkan kesembuhan dari infeksi pada tuba, tetapi lumennya menyempit sehingga memperbesar kejadian hamil ektopik. 2. Pemakaian alat kontrasepsi meningkatkan kejadian hamil ektopik, karena fungsinya menghindari hamil tetapi tidak sekaligus mengurangi kejadian hamil ektopik. b. Umur penderita hamil ektopik antara 20 sampai 40 tahun dengan puncaknya pada usia sekitar 30 tahun. 2. Penyebab Kehamilan Ektopik Sebagian besar kehamilan ektopik terjadi pada tuba sehingga setiap gangguan pada tuba yang disebabkan infeksi akan menimbulkan gangguan dalam perjalanan hasil konsepsi menuju rahim. Sebagai gambaran penyebab kehamilan ektopik dapat dijabarkan sebagai berikut : a. Gangguan pada lumen tuba 1. Infeksi menimbulkan perlekatan endosalping sehingga penyempitan lumen. 2. Hipoplasia tuba sehingga lumenya menyempit 3. Operasi plastik pada tuba (rekonstruksi) atau melepaskan perlekatan dan tetap menyempitkan tuba. b. Gangguan diluar tuba 1. terdapat endometriosis tuba sehingga memperbesar kemungkinan implantasi 2. terdapat divertikel pada lumen tuba 3. terdapat perlekatan sekitar tuba sehingga memperkecil lumen tuba 4. kemungkinan migrasi eksternal, sehingga hasil konsepsi mencapai tuba
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011 dalam
keadaan
ISSN: 2356-5454 blastula.
Berikut ini berbagai faktor yang menyebabkan kehamilan ektopik yaitu : 1. Faktor-faktor mekanis yang mencegah atau menghambat perjalanan ovum yang telah dibuahi kedalam kavum uteri. a. Salpingitis, khususnya endosalpingitis, yang menyebabkan mukosa tuba mengalami penyempitan tuba sehingga terjadi pembentukan kantong-kantong buntu. b. Kehamilan ektopik sebelumnya, insidensi kehamilan ektopik berikutnya akan menjadi 7 hingga 15 %. Meningkatnya risiko ini kemungkinan besar disebabkan oleh salpingitis yang terjadi sebelumnya. c. Pembedahan sebelumnya, biasa dilakukan untuk memperbaiki patensi tuba atau kadang-kadang dilakukan pada kegagalan sterilisasi. d. Abortus induksi yang dilakukan lebih dari satu kali akan memperbesar resiko terjadinya kehamilan ektopik. Risiko ini akan terjadi dua kali lipat setelah menjalani abortus induksi e. Tumor yang mengubah bentuk tuba, seperti mioma uteri dan adanya benjolan pada adneksa. 2. Faktor-faktor fungsional yang memperlambat perjalanan ovum yang telah dibuahi kedalam kavum uteri. 3. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang telah dibuahi. Dengan terjadinya implantasi didalam lumen tuba dapat terjadi beberapa kemungkinan A. Hasil konsepsi mati dini 1) Tempatnya tidak mungkin memberikan kesempatan tumbuh kembang hasil konsepsi mati secara dini 2) Karena kecilnya kemungkinan diresorbsi. B. Terjadi abortus
1) Kesempatan berkembang yang sangat kecil menyebabkan hasil mati dan lepas dalam lumen. 2) Lepasnya hasil konsepsi menimbulkan perdarahan dalam lumen tuba atau keluar lumen serta membentuk timbunan darah 3) Tuba tampak berwarna hijau pada saat dilakukan operasi C. Tuba fallopi pecah 1) Karena tidak dapat berkembang dengan baik maka tuba dapat pecah 2) Jonjot villi menembus tuba, sehingga terjadi rupture yang menimbulkan timbunan darah ke dalam abdomen 3) Ruptura tuba menyebabkan hasil konsepsi terlempar keluar dan kemungkinan untuk melakukan implantasi menjadi kehamilan abdominal sekunder 4) Kehamilan abdominal dapat mencapai cukup besar. (Cunningham, 1995) 3. Gejala Klinik Kehamilan Ektopik Gambaran klinik kehamilan ektopik bervariasi dari bentuk abortus tuba atau terjadi rupture tuba. Mungkin dijumpai rasa nyeri dan gejala hamil muda. Pada pemeriksaan dalam terdapat pembesaran uterus yang tidak sesuai dengan tua kehamilan dan belum dapat diraba kehamilan pada tuba, karena tuba dalam keadaan lembek. Bila terjadi gangguan kehamilan tuba, gejalanya tergantung pada tua kehamilan tuba, lamanya kedalam rongga abdomen, jumlah darah yang terdapat dalam rongga abdomen, dan keadaan umum ibu sebelum kehamilan terjadi. Dengan demikian trias gejala klinik hamil ektopik terganggu sebagai berikut : 1. Amenorea a. Lamanya amenorea bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa bulan. b. Dengan amenore dapat dijumpai tanda hamil muda, yaitu morning sickness, mual muntah, terjadi perasaan ngidam. 2. Terjadi nyeri abdomen a. Nyeri abdomen disebabkan kehamilan tuba yang pecah
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 17
jikk
ISSN: 2356-5454 b. Rasa nyeri dapat menjalar ke seluruh abdomen tergantung dari perdarahan didalamnya. c. Bila rangsangan darah dalam abdomen mencapai diafragma, dapat terjadi nyeri didaerah bahu. d. Bila darahnya membentuk hematokel yaitu timbunan didaerah kavum Douglas akan terjadi rasa nyeri dibagian bawah dan saat buang air besar. 3. Perdarahan a. Terjadinya abortus atau rupture kehamilan tuba terdapat perdarahan ke dalam kavum abdomen dalam jumlah yang bervariasi. b. Darah yang tertimbun dalam kavum abdomen tidak berfungsi sehingga terjadi gangguan dalam sirkulasi umum yang menyebabkan nadi meningkat, tekanan darah menurun sampai jatuh dalam keadaan syok. c. Hilangnya darah dari peredaraan darah umum yang mengakibatkan penderita tampak anemis, daerah ujung ekstremitas dingin, berkeringat dingin, kesadaran menurun dan pada abdomen terdapat timbunan darah d. Setelah kehamilannya mati, desidua dalam kavum uteri dikeluarkan dalam bentuk desidua spuria, seluruhnya dikeluarkan bersama dan dalam bentuk perdarahan hitam seperti menstruasi. (Manuaba, 2002) 4. Diagnosis Hamil ektopik terganggu Menegakkan diagnosis Hamil ektopik terganggu tidaklah terlalu sukar dengan melakukan : a. Anamnese tentang trias kehamilan ektopik terganggu 1) Terdapat amenorea (terlambat datang bulan) 2) Terdapat rasa nyeri mendadak disertai rasa nyeri di daerah bahu dan seluruh abdomen 3) Terdapat perdarahan melalui vaginal b. Pemeriksaan fisik
Hal | 18
Nomor 01 Tahun 2011
1) Fisik umum a. Penderita tampak anemis dan sakit b. Kesadaran bervariasi dari baik sampai koma c. Daerah ujung dingin d. Pemeriksaan nadi meningkat, tekanan darah turun sampai syok e. Pemeriksaan abdomen : perut kembung, terdapat cairan bebasdarah, nyeri saat perabaan. 2) Pemeriksaan khusus melalui vaginal a. Nyeri goyang pada pemeriksaan serviks b. Kavum douglas menonjol dan nyeri c. Mungkin terasa tumor disamping uterus d. Pada hematokel tumor dan uterus sulit dibedakan (Saifuddin, 2001)
Kehamilan Abdominal Kehamilan abdominal dapat berlanjut sampai mencapai besar tertentu. Dalam perkembangannya kadang-kadang mencapai aterm, atau mati karena kekurangan nutrisi yang disebabkan plasenta tidak mencapai tempat yang baik. Karena trimplantasi di luar rahim, setiap gerakan menimbulkan rasa sakit, gerakan janin tampak dengan jelas dibawah dinding abdomen. (Manuaba, 2002) Gambaran Karakteristik Ibu 1. Umur Ibu Ibu yang berusia tua dipertimbangkan dapat beresiko tinggi untuk mengalami komplikasi selama kehamilan khususnya kehamilan ektopik. Semakin banyak wanita yang berusia 35 tahun ke atas memiliki kecenderungan kehamilan ektopik. (Winkjosastro, 2002) Umur beresiko pada ibu pada saat kehamilan dan persalinan. Umur < 20 tahun dan 25 – 35 tahun dalam kurun waktu reproduksi yang sehat dikenal bahwa umur yang aman untuk kehamilan. Sedangkan pada umur > 35 tahun sudah beresiko karena alat reproduksi tidak berfungsi secara sempurna (Manuaba, 2003). Pada umur kehamilan muda
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
dalam 12 minggu pertama kehamilan, semakin muda umur kehamilan maka semakin berpotensi untuk terjadinya abortus. Disebabkan villi korialis belum menembus desidua secara mendalam dan plasenta belum terbentuk secara sempurna (Cunningham, dkk. 2001). 2. Paritas Ibu Paritas adalah jumlah kelahiran yang diakhiri dengan kelahiran janin yang memenuhi syarat untuk melangsungkan kehidupan (28 minggu). Paritas menunjukan jumlah kehamilan terdahulu yang telah mencapai batas viabilitas dan telah dilahirkan. Paritas 2 – 3 merupakan paritas yang paling aman, ditinjau dari sudut kematian maternal, paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstertik yang lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat di kurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan. (Manuaba, 2002). Jumlah anak yang telah dilahirkan dan hidup oleh ibu, menurut Royston, persalinan yang berulang akan menimbulkan banyak resiko. Dibuktikan bahwa persalinan pertama, kedua dan ketiga adalah persalinan yang aman. Ibu dengan paritas lebih dari tiga mempunyai resiko terjadinya kehamilan ektopik hal ini dikarenakaan sudah seringnya plasenta berimplantasi segmen bawah rahim menjadi rapuh dan banyak serabut kecil pembuluh darah yang mengalami kerusakan akibat riwayat persalinan (Wiknjosastro, 2002). 3. Riwayat Abortus Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum umur kehamilan 20 minggu atau berat janin < 500 gram. Meningkatnya insidensi aborsi yang induksi menyebabkan kerusakan histologik dan structural terhadap tuba tanpa penanganan yang baik. Akibat kerusakan tersebut secara langsung akan menyebabkan terjadinya insidensi kehamilan ektopik pada ibu.
ISSN: 2356-5454 Frekuensi aborsi lebih dari satu kali sangat beresiko tinggi menyebabkan kehamilan ektopik. (Manuaba, 2002) PEMBAHASAN Setelah mengadakan penelitian di RSUD Propinsi Jawa Barat dan dilanjutkan pengolahan data pada beberapa faktor yang diteliti yakni Umur, Paritas, dan riwayat Abortus maka penulis akan membahas faktor tersebut sehubungan dengan pemeriksaan kehamilan pada kunjungan trimester pertama. 1. Karakteristik Ibu dengan Kehamilan Ektopik ditinjau dari segi umur Berdasarkan tabel 1 diatas bahwa dari hasil perhitungan persentase kejadian kehamilan ektopik kelompok umur 20 – 35 tahun relative lebih tinggi yakni 40 orang (86,9 %), sedangkan yang terendah kelompok umur < 20 yakni 2 orang (4,34 %). Berdasarkan hasil penelitian diatas jumlah persentase kehamilan ektopik tertinggi pada umur 20 – 35 tahun, hal ini disebabkan karena pada usia ini sudah terjadi kematangan reproduksi baik secara biologis maupun psikologi. Dalam kurun waktu reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20 – 35 tahun. Menurut Manuaba (2002) Usia < 20 tahun dan > 35 tahun merupakan salah satu faktor resiko, sehingga pada usia ini akan mengalami komplikasi karena usia < 20 tahun fungsi alat reproduksi belum matang serta tubuhnya belum siap sepenuhnya untuk menghadapi kehamilan, sedangkan usia > 35 tahun fungsi hormone dalam tubuh mengalami kemunduran sehingga kemungkinan besar ibu hamil pada usia itu akan mengalami komplikasi. Umur ibu pada saat hamil merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelangsungan kehamilan. Ini dapat dilihat dari faktor-faktor risiko tinggi suatu kehamilan dan penyebab penyulit persalinan yang antara lain adalah ibu berumur dibawah 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. Oleh karena itu, ibu hamil tersebut sebaiknya rajin melakukan pemeriksaan ANC. (Manuaba, 1998) Hal ini menunjukan bahwa terdapat ketidaksesuain antara teori dan hasil penelitian dimana berdasarkan teori mengatakan bahwa salah satu faktor
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 19
jikk
ISSN: 2356-5454 predisposisi terjadinya kehamilan ektopik adalah < 20 tahun dan > 35 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mardianingsih, 2005 di Rumah Sakit Pringadi, Medan yang mengatakan bahwa umur 20 – 35 tahun merupakan salah satu indikasi terjadinya kehamilan ektopik, dengan angka kejadian 24, 2%. 2. Karakteristik Ibu dengan Kehamilan Ektopik ditinjau dari Paritas Ibu Berdasarkan tabel 2 diatas bahwa dari hasil perhitungan persentase kejadian kehamilan ektopik yakni pada paritas 0-1 sebanyak 25 orang (54,3 %), sedangkan yang terendah yakni pada paritas 2–3 sebanyak 10 orang (23,9%) Berdasarkan hasil penelitian diatas, jumlah kehamilan ektopik tertinggi pada paritas 0 – 1, hal ini disebabkan adanya kehamilan atau persalinan sebelumnya tidak ditangani secara medis dengan pelayanan obstetric yang aman atau pada persalinan ditolong tenaga non medis. Paritas 2 – 3 merupakan paritas yang paling aman, ditinjau dari sudut kematian maternal, paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik yang lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat di kurangi atau dicegah dengan KB. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan. (Manuaba, 2002) Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hestiayuningsih, 2005 di Rumah Sakit Umum Cibabat-Cimahi yang mengatakan bahwa paritas 1 dan > 3 merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya kehamilan ektopik, dengan angka kejadian 20, 8 %. 3. Karakteristik Ibu dengan Kehamilan Ektopik ditinjau dari Riwayat Abortus Berdasarkan tabel 3 diatas bahwa dari hasil perhitungan persentase riwayat abortus ibu yang mengalami kehamilan ektopik relative lebih tinggi pada ibu yang mengalami
Hal | 20
Nomor 01 Tahun 2011
abortus (abortus 1-2) yakni 3 orang (6,52%), sedangkan yang terendah yakni abortus ≥ 3 sebanyak 1 orang (2,16%). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Abdullah, 2006 dengan jumlah kehamilan ektopik dengan riwayat abortus 1-2 hal ini disebabkan adanya kegagalan kehamilan yang tidak ditangani secara medis dengan pelayanan obstetric yang tidak aman dan berlebihan. Hal ini didukung oleh teori Adam et al, yang menyebutkan bahwa apabila abortus terjadi lebih dari satu kali akan memperbesar terjadinya kehamilan ektopik. Karena risiko ini akan berubah menjadi dua kali lipat setelah menjalani abortus dengan induksi, kenaikan risiko ini kemungkinan terjadi akibat peningkatan yang kecil tetapi bermakna pada insidensi salpingitis. (Cuningham, 2002) Kejadian kehamilan Ektopik dengan riwayat abortus perlu menjadi perhatian semua pihak, mengingat akibat yang akan ditimbulkan karena kasus tersebut merupakan masalah penting yang berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas ibu. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang Karakteristik Ibu dengan Kasus Kehamilan Ektopik (KET) pada Ibu Di RSUD Propinsi Jawa Barat Tahun 2007-2009 maka disimpulkan : 1) Berdasarkan Umur ibu, hasil perhitungan persentase kejadian kehamilan ektopik kelompok umur 20 – 35 tahun relative lebih tinggi yakni 40 orang (86,9 %), sedangkan yang terendah kelompok umur > 35 yakni 4 orang (8,6%). 2) Berdasarkan Paritas, hasil perhitungan persentase kejadian kehamilan ektopik yakni pada paritas 0-1 sebanyak 25 orang (54,3 %), sedangkan yang terendah yakni pada paritas 2–3 sebanyak 10 orang (23,9%) 3) Berdasarkan Riwayat abortus, hasil perhitungan persentase riwayat abortus ibu yang mengalami kehamilan ektopik relative lebih tinggi
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
pada ibu yang mengalami abortus (abortus 1-2) yakni 3 orang (6,52%), sedangkan yang terendah yakni abortus ≥ 3 sebanyak 1 orang (2,16%). Saran 1) Adanya penyuluhan dan pendekatan oleh tenaga kesehatan khususnya bidan tentang faktor risiko tinggi suatu kehamilan dan penyebab penyulit persalinan yang antara lain adalah ibu berumur dibawah 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. Oleh karena itu, ibu hamil tersebut sebaiknya rajin melakukan pemeriksaan ANC. 2) Perlu adanya penyuluhan yang efektif dari petugas kesehatan khususnya bidan atau dokter dalam meningkatkan pentingnya pemeriksaan kehamilan (ANC), khususnya pada ibu dengan riwayat abortus dalam upaya mencegah terjadinya hal-hal yang beresiko kemungkinan dapat terjadi pada ibu hamil. 3) Perlu adanya kebijakan tenaga kesehatan khususnya bidan kepada masyarakat untuk mengatur jarak kehamilan dengan cara mengikuti program keluarga berencana (KB) REFERENSI Cunningham FG, Mc Donald PC, Gant NF. 2002. William Obstetri. 18th edition Jakarta : EGC.
ISSN: 2356-5454 Depkes RI, 2008. Laporan BPS Kesehatan. Jakarta. Depkes RI, 2007. Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu. Jakarta. Depkes RI, 2008. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Muchtar R, 2002. Sinopsis Obstetri Jilid I edisi 2. Jakarta ; EGC Manuaba IBG. 2002. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan, Jakarta : EGC. Natsir, M. 1998. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia : Jakarta. Notoatmodjo S. 2002 Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Mintarsi, 2001. Kematian Maternal dan Berbagai Faktor terkait di Indonesia dalam Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, Silvia Verrals, 200. Anatomi Fisiologi Terapan Dalam Kebidanan, Jakarta : EGC Saifuddin, AB. 2002. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta. EGC. Saifuddin, AB. 2001. Maternal dan Nenatal Kealth. Jakarta. EGC. Sriyono, 2003. Perawatan Ibu dan Antenatal Anak di Puskesmas. Biro Hukum dan Humas Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Winkjosastro H, 2002 : Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Winkjosastro H, 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 21
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 01 Tahun 2011
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA oleh Yuliati ABSTRAK PHBS adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga menolong dirinya sendiri dibidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan kesehatan di masyarakat. Namun saat ini masih banyak pula yang terserang penyakit, akibat tidak menerapkannya perilaku hidup bersih dan sehat strata rumah tangga. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan keluarga tentang perilaku hidup bersih dan sehat strata rumah tangga. Hasil dari penelitian didapatkan sebagian kecil (19,24%) responden memiliki tingkat pengetahuan baik, hampir setengahnya (36,53%) responden memiliki tingkat pengetahuan cukup, dan hampir setengah (44,23%) responden memiliki tingkat pengetahuan kurang. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan keluarga hampir setengahnya berpengetahuan kurang. Untuk itu memerlukan saran yang baik antara lain perlunya menambah pengetahuan bagi masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat strata rumah tangga melalui tabloid, majalah, media elektronik, serta masyarakat lebih proaktif menambah pengetahuan. Kata Kunci : Pengetahuan, Kepala Keluarga, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat PENDAHULUAN Sehat adalah karunia Tuhan yang perlu disyukuri, karena sehat merupakan hak asasi manusia yang harus dihargai. Sehat juga investasi untuk meningkatkan produktivitas kerja guna meningkatkan kesejahteraan keluarga. Orang bijak mengatakan bahwa ―Sehat memang bukan segalanya tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak berarti ‖. Oleh karena itu kesehatan perlu dijaga, dipelihara dan ditingkatkan oleh setiap anggota rumah tangga serta diperjuangkan oleh semua pihak. Kebijakan Indonesia Sehat 2010 menetapkan tiga pilar utama yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat dan pelayanan kesehatan bermutu adil dan merata. Untuk mendukung pencapaian Visi Indonesia Sehat 2010 telah ditetapkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 131/Menkes/SK/II/2004 dan salah satu Subsistem dari SKN adalah Subsistem Pemberdayaan Masyarakat. Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan untuk mendukung upaya peningkatan perilaku sehat ditetapkan Visi Nasional Promosi Kesehatan sesuai Keputusan Menteri
Hal | 22
Kesehatan RI. No. 1193/MENKES /SK/X/2004 yaitu ―Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 2010‖ (PHBS 2010). Visi PHBS 2010 adalah keadaan dimana individu-individu dalam rumah tangga (keluarga) masyarakat Indonesia telah melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dalam rangka mencegah timbulnya penyakit, menanggulangi penyakit dan masalahmasalah kesehatan lain, dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan, memanfaatkan pelayanan kesehatan, serta mengembangkan dan menyelenggarakan upaya kesehatan bersumber masyarakat (www.promosikesehatan.com). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004 mencatat 35% penduduk usia 15 ke atas adalah perokok dan sebanyak 99% dari kategori usia itu kurang mengkonsumsi sayur dan buah. Idealnya, porsi buah dan sayuran adalah 2-4 atau 3-5, maksudnya anggota rumah tangga umur 10 ke atas mengonsumsi 2 porsi buah dan 4 porsi sayur atau 3 porsi buah dan 5 porsi sayur. Tampaknya porsi ideal ini belum terpenuhi. Hasil survei pun menunjukkan bahwa 85% penduduk usia 15 ke atas kurang beraktivitas fisik. Dari tiga perilaku diatas yaitu merokok,
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
gizi dan aktivitas fisik menunjukkan bahwa indeks skala kesehatan masyarakat Indonesia sangat rendah. (http://www.tabloidnakita.com). Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2006, menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada anak balita mencapai 337 per 1.000 anak laki-laki dan 492 per 1.000 anak perempuan. Pada usia 5-14 tahun mencakup 428 per 1.000 anak lelaki dan 492 per 1.000 anak perempuan (http://www.suaramerdeka.com). Secara keseluruhan, perilaku tidak sehat tentunya berisiko mengundang datangnya berbagai penyakit. Tidak mustahil bila kasuskasus penyakit akibat perilaku tidak sehat seperti penyakit jantung koroner, diebetes tipe II, hipertensi, dan obesitas masih banyak ditemukan. Penyakit infeksi ini lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi sanitasi lingkungan yang buruk seperti akses air bersih yang masih belum dinikmati semua lapisan dan jamban sehat yang juga belum dipunyai setiap rumah tangga, hingga akhirnya memperburuk keadaan kesehatan pada rumah tangga (Rahmat, 2004). Selain dipengaruhi oleh perilaku dan sanitasi lingkungan, kesehatan masyarakat juga dipengaruhi oleh tingkat ekonomi sosial dan pendidikan. Semakin rendah tingkat ekonomi, sosial dan pendidikan seseorang maka semakin rendah status kesehatannya (Balitbang Depkes RI, 2004). Kegiatan promosi kesehatan tingkat Provinsi dalam upaya pencapaian visi PHBS 2010 yaitu berfokus dalam pengembangan pemetaan PHBS dan intervensinya dalam upaya pencapaian 37 % rumah tangga sehat ( pemetaan PHBS rumah tangga sehat, pengembangan dan pengadaan media PHBS rumah tangga, pelatihan pemetaan rumah tangga sehat, serta pelatihan Metode dan tehnik), pengembangan dan pengadaan media penanggulangan masalah kesehatan, advokasi pada penentu kebijakan di tingkat provinsi tentang program Promkes, advokasi percepatan pencapaian rumah tangga sehat dengan Bupati, pengembangan media
ISSN: 2356-5454 tradisional, penyusunan profile promosi kesehatan, pengembangan model Promkes, pelatihan pengembangan masyarakat dalam PKMD, sosialisasi Kepmenkes tentang Promosi Kesehatan Daerah dan orientasi promkes, konferensi promkes 2006, forum koordinasi, dan dukungan administrasi dan operasional program (www.promosikesehatan.com). Presentase data rumah tangga sehat di Kab. Bandung pada tahun 2005 hanya 4,2 % padahal target Depkes 2005 adalah 30 % dan 2007 adalah 44 %, walaupun pengkajian PHBS sudah dilakukan secara serentak pada awal tahun 2005 di wilayah Kab. Bandung. Dari survei cepat PHBS yang dilakukan Suku Dinas Kesehatan Masyarakat tahun 2005, didapat data bahwa rumah tangga di Kab. Bandung yang mencuci tangan dengan sabun sebesar 84,4%, mengkonsumsi air yang sudah dimasak sebesar 84,4%, menggunakan jamban sendiri 96,1%, menggunakan sarana air bersih 98,7%, mempunyai tempat sampah 88%, SPAL 90,3%, ventilasi 90,9% dan kepadatan hunian layak 81,3%. Kondisi PHBS terburuk terdapat di wilayah Kelurahan Bukit duri. Dari survei tersebut terlihat hanya 6,7% yang mencuci tangan dengan sabun, 77,8% memiliki jamban sendiri, yang mengkonsumsi air yang sudah dimasak 86%, memiliki tempat sampah hanya 28,2%, sarana air bersih 82,6%, memiliki SPAL 90,3%, ventilasi 90,9% dan kepadatan hunian yang layak hanya 31,5% (Sudin Kesmas Jaksel, 2005). Berdasarkan laporan SP2TP Tahun 2007 Sudin Kesmas Kab. Bandung, penyakit infeksi berbasis lingkungan (ISPA, penyakit kulit alergi, dan diare) serta hipertensi termasuk dalam sepuluh penyakit terbanyak di daerah kab. Bandung. Dari sepuluh penyakit tersebut, ISPA berada pada urutan pertama, penyakit kulit infeksi pada urutan kelima, hipertensi urutan ke enam, penyakit kulit alergi pada urutan ke tujuh, dan diare pada urutan ke delapan (Sudin Kesmas Jaksel, 2008). Pelaksanaan program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dikelompokkan menjadi 5 tatanan yaitu tatanan rumah tangga, intitusi
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 23
jikk
ISSN: 2356-5454 pendidikan, instansi kesehatan, tempat kerja dan tempat umum. Dari beberapa tatanan PHBS tersebut, rumah tangga merupakan tatanan awal dari pelaksanaan PHBS karena rumah tangga merupakan kelompok masyarakat terkecil yang paling dekat dengan individu. Oleh karena itu hendaknya pelaksanaan PHBS di tatanan rumah tangga mendapat perhatian besar agar dapat berjalan maksimal. PHBS pada tatanan rumah tangga memiliki 7 indikator perilaku dan 3 indikator lingkungan. Indikator perilaku terdiri dari tidak merokok di dalam rumah, makan buah serta sayur setiap hari, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, penimbangan bayi dan balita, mencuci tangan pakai sabun, memberikan ASI Eksklusif dan melakukan aktifitas fisik minimal 30 menit secara rutin. Indikator lingkungan meliputi penggunaan jamban keluarga, air bersih, dan memberantas jentik nyamuk (Depkes RI, 2007). Dalam rumah tangga ibu mempunyai peran yang sangat besar dalam memberi contoh, teladan, pendidikan di suatu keluarga daripada ayah (Singgih, 1991). Ibu juga lebih mendominasi dalam hal pengaturan menu makanan dan menjaga kebersihan rumah, termasuk didalam memberikan pendidikan kesehatan di keluarga, seperti menanamkan PHBS karena pendidikan kesehatan dapat berlangsung di keluarga (Notoatmodjo, 2003). Sebagian besar masyarakat Kelurahan Bukit Duri yang memiliki tingkat PHBS terburuk di kab. Bandung tinggal di bantaran kali, rumah berpetak-petak dan tingkat sosial, ekonomi dan pendidikan yang rendah. Kondisi yang tidak jauh berbeda dapat juga ditemukan di RW04 Kelurahan Patrolsari kab. Bandun. Berdasarkan laporan kunjungan pada Puskesmas Patrolsari Tahun 2007, ISPA menempati urutan pertama dari sepuluh jenis penyakit terbanyak dengan jumlah 7.128 kasus (25,55%), penyakit kulit infeksi urutan ke empat (4,72%), dan diare urutan ke delapan (1,75%) (Puskesmas Patrolsari : 2008). Hal yang sama juga dijumpai di klinik Mer-C yang membuka pelayanan kesehatan untuk warga miskin di RW04 Kelurahan Patrolsari. Berdasarkan laporan kunjungan pasien di Hal | 24
Nomor 01 Tahun 2011
klinik Mer-C, bahwa selama Bulan Juni – Agustus 2007 keluhan terbesar pasien adalah infeksi saluran pernapasan atas. Ditambah lagi dengan banyaknya anak balita yang berstatus gizi buruk di RW04 sebanyak 47 anak (PKPU , 2008). Atas realita tersebut, maka dalam rangka membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat, intervensi atau upaya yang ditujukan kepada faktor perilaku ini sangat strategis untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat Kelurahan Patrolsari. Penulis tertarik melakukan penelitian terhadap ibu rumah tangga RW04 Kelurahan Patrolsari mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan berfokus pada indikator ASI eksklusif, cuci tangan memakai sabun, merokok, aktifitas fisik. Indikator lingkungan yang akan diteliti yaitu penggunaan air bersih, jamban dan jentik nyamuk.
PEMBAHASAN Pendidikan merupakan salah satu usaha pengorganisasian masyarakat untuk meningkatkan kesehatan karena tingkat pendidikan dapat mempengaruhi perilaku sehat keluarga dengan tingkat pendidikan yang kurang mendukung akan menyebabkan rendahnya kesadaran lingkungan, semakin baik tingkat pendidikan formal sehingga akan mematangkan pemahaman tentang pengetahuan kesehatan lingkungan dan kesadaran menjaga kesehatan lingkungan termasuk penerapan prinsip - prinsip PHBS. Mubarak (2007) juga menjelaskan bahwa pendidikan sebagai suatu proses dalam rangkaian mempengaruhi dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan perilaku pada diri nya, karena tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi kesehatan. Sebaliknya jika seseorang yang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan seseorang terhadap penerimaan, informasi kesehatan dan nilai – nilai baru yang diperkenalkan.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Kusumawati, et. al (2008) menjelaskan bahwa ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Zaahara dalam Kusumawati, et. al (2008) yang juga mengemukakan bahwa status sosial ekonomi yang didalamnya termasuk pendidikan mempunyai hubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Adanya keterkaitan antara pendidikan dengan perilaku hidup bersih dan sehat mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat kesehatan. Makin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri, kreatif dan berkesinambungan. Hasil penelitian Amalia (2009) menyebutkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara tingkat pendidikan dengan PHBS. Pengetahuan dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai dengan keyakinan tersebut dengan pengetahuan kesehatan lingkungan yang baik diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menciptakan kondisi lingkungan yang sehat, sehingga dapat memutuskan rantai penularan penyakit melalui lingkungan serta perilaku hidup bersih dan sehat agar tidak mudah tertular penyakit. Mubarak (2007) menjelaskan bahwa sebuah perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, sebab perilaku ini terjadi akibat adanya paksaan atau aturan yang mengharuskan untuk berbuat. Salah satu wujud dari perilaku adalah pengetahuan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Kusumawati, et. al (2008) menjelaskan bahwa ada hubungan pengetahuan kesehatan lingkungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat dan juga hasil penelitian Resminawati (2010) yang menjelaskan adanya hubungan pengetahun kepala keluarga dengan PHBS kepala keluarga tetapi hal ini tidak sesuai dengan hasil dari penelitian Effendi, et. al (2004) yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
ISSN: 2356-5454 pengetahuan dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Di dalam lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh informasi kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku Hidup Bersih dan sehat keluarga tidak hanya diukur dari aspek fisik dan mental saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi sehingga diharapkan dapat lebih mendorong atau memfasilitasi keluarga untuk PHBS. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Zaahara dalam Kusumawati, et. al (2008) yang menjelaskan jenis pekerjaan mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku hidup bersih dan sehat dalam keluarga. Makin tinggi status sosial ekonomi yang meliputi jenis pekerjaan, maka makin tinggi pula semakin baik perilaku hidup bersih dan sehat dalam keluarga, dan sebaliknya semakin rendah makin buruk perilaku hidup sehatnya. Bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan perilaku dan dengan bertambahnya umur seseorang akan sulit menerima informasi, mereka kurang aktif, mudah terserang penyakit dan cederung mengabaikan PHBS. Menurut Suryanto dalam Wantiyah (2004) mengatakan bahwa usia muda lebih mudah menerima informasi dan lebih bersifat dinamis dibandingkan usia tua sehingga lebih mudah menerima perubahan perilaku. Disamping itu pada usia dewasa muda apabila dilihat dari perkembangan kongnifnya maka kebiasaan berfikir rasional mereka meningkat, juga biasannya mereka cukup aktif dan jarang menerima penyakit yang berat. PENUTUP Kesimpulan dalam adalah sebagai berikut :
penelitian
ini
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Hubungan Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah Tangga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan Kejadian Diare pada
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 25
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 01 Tahun 2011
Balita Hal ini terlihat dari hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai p value > α (0,05) yaitu p = 0,677 yang berarti bahwa Ho diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah Tangga dengan Kejadian Diare
Depkes RI. 2006. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga. Jakarta: Depkes RI
Saran yang peneliti ajukan dapat dipertimbangkan adalah :
Dinkes Sragen. 2010. Laporan Hasil Pelaksanaan Kegiatan PHBS Kabupaten Sragen th 2010. Sragen: Dinkes Sragen
untuk
Diharapkan kepada masyarakat agar lebih aktif mencari informasi kesehatan yang berhubungan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah Tangga agar mereka memiliki pengetahuan yang baik tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah Tangga dan akan termotivasi untuk melakukan atau menerapkannya di dalam Rumah Tangganya sehingga Kejadian Diare pada Balitanya dapat dicegah. Instansi Puskesmas agar dapat memberikan informasi tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah Tangga pada masyarakat melalui penyuluhan maupun penempelan poster atau penyebaran leaflet agar masyarakat dapat mengetahui dan melaksanakan atau menerapkannya dalam Rumah Tangga mereka sehingga timbulnya Kejadian Diare pada Balita dapat dicegah.
REFERENSI Amalia, I. 2009. Hubungan Antara Pendidikan, Pendapatan, dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Pada Pedagang HIK Di Pasar Kliwon dan Jebres Kota Surakarta. Skr ipsi
Dinkes Jateng. 2010. Pedoman Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah Tangga. Semarang: Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
Effendi, L., Umami, R. 2004. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Pada SD Negeri Cikeusal Kidul 01 Ketanggungan Jawa Tengah tahun 2004. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Vol.1,No.2, Juli 2005 Harwinta. 2008. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah Tangga Dilokasi Proyek Kesehatan Keluarga Dan Gizi (KKG) Kebupaten Tapanuli Selatan 2004. Tesis Program Studi Magister Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Sumatra Utara Kusumawati, Y., Astuti, D., Ambarwati. 2008. Hubungan antara Pendidikan dan Pengetahuan Kepala Keluarga tentang Kesehatan Lingkungan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 1, No.1.Juni.2008 Mubarak, W. I. 2007. Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar — Mengajar dalam Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Surakarta Budioro, B. 2007. Pendidikan (Penyuluhan) Kesehatan Masyarakat. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Hal | 26
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
ISSN: 2356-5454
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TRIMESTER III TENTANG HYPNOBIRTHING oleh Esti Hitatami ABSTRAK Kecemasan yang dialami calon ibu antara lain kecemasan akan mengalami kesakitan pada saat akan melahirkan anaknya. Ketidaktauan tentang apa yang dialami dalam persalinan menimbulkan banyak kecemasan, ketakutan dan kekhawatiran yang akan mengakibatkan ibu hamil mengalami nyeri yang berlebih saat persalinan. Intervensi untuk mengurangi ketidaknyamanan atau nyeri selama persalinan yaitu intervensi farmakologis dan non farmakologis. Penanggulangan nyeri non farmakologis yaitu melalui cara-cara ilmiah atau disebut juga terapi alternative, salah satunya dengan menggunakan hypnobirthing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan tentang tehnik hypnobirthing pada ibu hamil d Jenis penelitian ini adalah deskriptif, dengan metode survey. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner yang berisi pernyataan untuk mengukur pengetahuan ibu hamil tentang hypnobirthing. Data di analisa secara statistic dengan menggunakan tehnik deskriptif dengan uji analisis univariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang hypnobirthing sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang kurang sebanyak dengan demikian maka diharapkan ibu hamil mau melaksanakan tehnik hypnobirthing sebagai salah satu tehnik dalam mengurangi sakit dan nyeri saat persalinan. Kata Kunci : Kehamilan, hypnobirthing . PENDAHULUAN Menurut data statistik yang dikeluarkan World Health Organization (WHO) sebagai badan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani masalah bidang kesehatan, tercatat Angka Kematian Ibu (AKI) dalam kehamilan dan persalinan di dunia mencapai 586.000 jiwa setiap tahun (Ayude, 2009). Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2008 AKI Indonesia sebesar 307/100.000 kelahiran hidup, mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi 228/100.000 kelahiran hidup. AKI di Provinsi Jawa Tengah untuk tahun 2008 sebesar 114,42/100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 117,02/100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 104,97/100.000 kelahiran hidup. AKI tertinggi di Pemalang sebanyak 48/100.000 kelahiran hidup dan di Grobogan menempati urutan kesepuluh dari 35 Provinsi di Jawa Tengah tahun 2009 sebanyak 18/100.000 kelahiran hidup. Target Millenium Development Goal‘s (MDG‘s) pada tahun 2015 yaitu 102 per 100.000 kelahiran hidup, tetapi sampai tahun 2010 hal tersebut belum terpenuhi karena AKI
di Indonesia masih tinggi (Dinkes RI, 2010). Kematian ibu diwarnai oleh hal-hal nonteknis yang masuk kategori penyebab mendasar, seperti taraf pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu hamil yang masih rendah (Prawirohardjo, 2002). Kehamilan merupakan peristiwa dan pengalaman penting dalam kehidupan seorang wanita. Namun, sebagaimana tahap transisi lain dalam fase kehidupan, peristiwa itu dapat pula menimbulkan stres, sehingga respon yang terjadi dapat berupa kebahagiaan maupun sebaliknya, seperti kecemasan dan juga kekecewaan (Pusdiknakes, 2003). Metode hipnosis yang dapat dilakukan mulai masa kehamilan dapat membantu menurunkan tingkat kecemasan dan ketakutan. Dasar dari metode ini sebenarnya sudah dikenal dalam salah satu management nyeri nonfarmakologi yang dikenal sebagai imajinasi terbimbing yang dikembangkan dengan berbagai teknik salah satunya adalah hipnosis. Teknik hipnosis dapat membantu merilekkan otot-otot sehingga ibu terhindar dari kecemasan dan dapat membantu ibu lebih tenang dalam menghadapi persalinan. Teknik hipnosis merupakan salah satu cara yang dapat di aplikasikan oleh ibu hamil
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 27
jikk
ISSN: 2356-5454 untuk memperoleh ketenangan saat menghadapi kehamilan dan persalinan (Bramantyo, 2003). Persalinan dengan metode hipnosis dalam kehamilan dan persalinan disebut hypnobirthing. Hypnobirthing merupakan kombinasi antara proses kelahiran alami dengan hipnosis untuk membangun persepsi positif dan rasa percaya diri serta menurunkan ketakutan, kecemasan, tegang dan panik sebelum, selama dan setelah persalinan. Hypnobirthing merupakan sebuah paradigma baru dalam pengajaran melahirkan secara alami. Teknik ini mudah dipelajari, melibatkan relaksasi yang mendalam, pola pernapasan lambat dan petunjuk cara melepaskan endorfin dari dalam tubuh (relaksan alami tubuh) yang memungkinkan calon ibu menikmati proses kelahiran yang aman, lembut, cepat dan tanpa proses pembedahan. Berdasarkan fenomena yang terjadi bahwa rendahnya pengetahuan ibu tentang metode hipnosis pada ibu hamil dan bersalin berdampak pada sikap ibu yang kemudian akan berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam melakukan metode hipnosis pada kehamilan. Status kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah sikap seseorang itu merespon suatu penyakit. Sikap dapat digunakan untuk memprediksikan tingkah laku apa yang mungkin terjadi. Dengan demikian sikap dapat diposisikan sebagai suatu predisposisi tingkah laku yang akan tampak aktual apabila kesempatan untuk menyatakan terbuka luas (Azwar, 2005). PEMBAHASAN Hypno-birthing adalah teknik yang menyenangkan, santai dan bebas stres. Ini merupakan metode dari melahirkan yang didasarkan pada keyakinan bahwa ketika seorang ibu benar siap untuk melahirkan secara fisik, mental dan spiritual, ibu dapat mengalami sukacita dan mampu melahirkan bayinya dengan lebih mudah, lebih nyaman. Selanjutnya, kelahiran sering bebas rasa sakit. Hypno-birthing mengajarkan seni melahirkan dengan cara yang memungkinkan untuk
Hal | 28
Nomor 01 Tahun 2011
memanfaatkan naluri alamiah untuk melahirkan. Hypno-birthing menekankan menggunakan pikiran untuk mencapai keadaan relaksasi dan menghilangkan rasa takut, ketegangan dan nyeri selama persalinan dan kelahiran. Konsep Hypno-birthing bukanlah hal yang baru, tetapi adalah ―kelahiran kembali‖ dari filsafat melahirkan sebagaimana yang ada ribuan tahun yang lalu. Dr Grantly Dick-Read adalah seorang dokter Inggris yang percaya bahwa perempuan mengalami rasa sakit melahirkan adalah psikologis dan karena kekhawatiran tentang proses persalinan. Hal ini disebabkan apa yang disebut sindrom ketakutanketegangan-sakit. Dia percaya bahwa jika takut dapat dikurangi, akan mengurangi ketegangan dan rasa sakit bisa diperkecil. Dia adalah salah satu dokter pertama yang membawa suami ke ruang persalinan dan dokter pertama yang menganjurkan ―melahirkan normal‖ pada 1020 itu. Dalam bukunya Melahirkan tanpa Rasa takut yang diterbitkan pada 1944, ia menjelaskan Hypnobirthing sebagai relaksasi nyata — keadaan ini, biasanya dialami sebelum jatuh tertidur. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa hampir tidak mungkin untuk mengkhawatirkan sesuatu. jika ibu benarbenar santai, maka termasuk otot rahim pun juga akan santai. Dr Dick-Read setuju dengan Dr Odent bahwa tanpa rasa takut dan ketegangan, sakit parah tidak harus terjadi dan mengiringi dalam prose melahirkan. Pikiran / Tubuh aspek metode Hypnobirthing berasal dari Mind / Body program untuk penyembuhan penyakit dikembangkan oleh Carl O. MD Simonton Dr Leclaire O‘Neill PhD, RN bekerja dengan Dr Simonton selama 10 tahun. kemudian dikembangkan oleh Marie F. Mongan pada tahun 1989 juga dikenal sebagai Hypno-birthing, yang menggabungkan karya Dr Dick-Read dengan metode Leclaire. Dan di Indonesia pertama kali di kembangkan oleh seorang bidan bernama Lanny Kuswandi. Kelas Hypno-birthing adalah biasanya dikemas dalam seri 3-5 kelas dan mengikuti pola dasar melahirkan kelas-kelas lain, dengan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
bagian dari program yang ditujukan untuk pendidikan dan bagian lain yang ditujukan untuk demonstrasi dan praktek latihan. Meskipun belum tersedia di beberapa daerah, kelas menjadi semakin populer di seluruh negara. Sebagaimana dengan semua metode, pendidikan tentang melahirkan disertakan. Penekanan dari kelas-kelas adalah pada teknik self-hypnosis untuk mencapai relaksasi yang mendalam, fokus pada pernapasan perut, dan latihan dengan kondisi tubuh untuk melahirkan. kelas ini ditawarkan dalam berbagai format (mis. akhir pekan, kelas mingguan, dll) Saat anak Anda lahir dengan Hypno-birthing, Anda akan terjaga dan waspada dalam keadaan pikiran relaks. Anda tidak akan tertidur, tapi Anda akan benarbenar santai, tetapi dalam kontrol penuh. Anda akan mengalami persalinan dalam suasana relaksasi tenang, bebas dari rasa takut dan ketegangan yang dinyatakan akan menghalangi Anda dari otot berfungsi secara bebas dan alami. Dalam keadaan tenang, anestesi alami tubuh Anda, endorfin, menggantikan hormon terkait stres yang menyebabkan penyempitan dan nyeri. Anda akan menyadari sensasi tubuh Anda dan lonjakan, namun akan dapat menentukan sejauh mana Anda merasa gelora. Bagian lain dari kelas mengajar teknik hypnosis diri dan rasa takut teknik rilis, untuk mengatasi ketakutan atau kekhawatiran bahwa orang tua baik dapat memegang, dan membantu mereka untuk melepaskan rasa takut yang tidak didasarkan pada realitas. Hypno-birthing membantu untuk melepaskan semua ketakutan akan melahirkan. Ibu hamil akan belajar bagaimana untuk mempercayai tubuh dan bekerja dengannya. Hal-hal yang perlu di pelajari: a. Relaksasi dan teknik self-hypnosis untuk menghilangkan rasa takut dan ketegangan yang menyebabkan proses persalinan yang panjang dan rasa sakit, menggantikannya dengan kepercayaan diri, tenang dan nyaman. b. teknik lain untuk menghasilkan proses persalinan yang lebih pendek, lebih nyaman. c. Penciptaan anestesi alami tubuh.
ISSN: 2356-5454 d. Bagaimana tubuh ibu dirancang untuk bekerja secara harmonis dengan alam neuromuskuler seluruh proses persalinan. e. Praktek di relaksasi yang mendalam f. Diajarkannya caranya bonding pralahir, ikatan perinatal dan postnatal. g. Bagaimana pikiran menentukan apa dan ketika tubuh merasa sesuatu. h. relaksasi dan visualisasi i. Relaksasi dan ideomotor respon j. Mempersiapkan tubuh untuk melahirkan k. Menghindari untuk berurusan dengan keadaan khusus l. Bagaimana mempersiapkan rencana melahirkan m. Peran pendamping selama persalinan n. Seluruh tahapan proses kelahiran. o. Beberapa audio / visual alat yang digunakan serta rekaman self-hypnosis. Instruktur Hypno-birthing menggunakan bahasa yang menggambarkan pengalaman melahirkan adalah dengan cara yang lembut, sehingga menciptakan citra positif yang lebih dalam pikiran. Kelahiran menggunakan hipnoterapi tidaklah sebuaah proses Kelahiran yang bebas dari sensasi. Mungkin ada perasaan tekanan, pengetatan atau pembakaran – namun akan melakukan sesuatu. Dengan membiarkan tubuh untuk mengikuti jalan yang ditetapkan dari awal waktu, bayi lahir lebih waspada; ibu lebih dienergik, dan memulihkan lebih cepat. 1.
Manfaat Hypnosis selama kehamilan, persalinan dan seterusnya Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1990 dalam Journal of Konseling dan Klinis Psikologi, peneliti mengamati dua kelompok ibu hamil. Satu kelompok dilatih di napas teratur dan teknik relaksasi sementara kelompok kedua adalah dilatih dalam teknik Hypno-birthing. Temuan menunjukkan perbedaan statistik yang signifikan antara kelompok perempuan. Para wanita Hypnobirthing memiliki persalinan yang lebih pendek, lebih sedikit permintaan untuk obatobatan, laporan lebih sedikit rasa sakit, dan bayi mereka menunjukkan skala yang lebih
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 29
jikk
ISSN: 2356-5454 tinggi pada pembacaan Apgar setelah lahir. Selain itu, ibu Hypno-birthing melaporkan insiden lebih sedikit depresi dan periode pemulihan lebih cepat setelah melahirkan ―. Menghilangkan sindrom Fear-TensionPain sebelum, selama, dan setelah melahirkan. Takut merangsang produksi hormon stres dalam tubuh (katekolamin), hormon ini menyebabkan rahim untuk menegangkan dan darah mengalir ke kaki meninggalkan uterus dan organ lain dengan oksigen tidak cukup, ini pada gilirannya menyebabkan rahim menjadi kekurangan oksigen menyebabkan untuk bekerja tidak efektif dan menyebabkan rasa sakit. Ketika kita berada dalam ketakutan, kita bereaksi dan rasa sakit akan yang lebih kita rasakan. Pada dasarnya, rahim anda tidak hanya mempunyai satu otot besar saja, namun rahim terbuat dari dua lapisan otot dengan dua arah yang berbeda. Satu lapisan dari atas ke bawah dan satu lapisan lagi dari sisi samping. Selama proses persalinan otot yang mengarah ke atas dan bawah bertugas untuk mendorong bayi kebawah dan menarik leher rahim keatas. Dan setelah bayi Anda lahir ma otot di masingmasing sisi menarik otot di leher rahim. dengan adanya hormone adrenalin akibatnya satu sisi otot mencoba membuka leher rahim, sementara satu lapisan otot mencoba untuk menutup leher rahim. Hal ini membuat proses persalinan menjadi sangat panjang, menyakitkan dan tidak produktif. pengalaman rasa sakit seorang wanita saat bersalin akan menambah semakin stress wanita tersebut, dan akhirnya dia merasa lebih takut dan lebih sakit lagi. Ini adalah lingkaran setan yang sulit untuk diputuskan, padahal sebenarnya tubuh seorang wnita dirancang sempurna untuk proses melahirkan bayi dengan mudah, lembut dan nyaman. Hipnosis memberdayakan kita untuk menghilangkan rasa takut, ketegangan, nyeri dan siklus kecemasan, yang pada gilirannya melemaskan otot-otot rahim, sehingga mengurangi rasa sakit. Akhirnya, hypnosis memungkinkan seorang wanita untuk melahirkan lebih nyaman dan memungkinkan ikatan yang lebih baik dengan bayi menjadi lebih santai, menyenangkan dan berenergi.
Hal | 30
Nomor 01 Tahun 2011
2.
Melahirkan dengan Hipnosis a. Memperpendek Kala I Abramson dan Heron melakukan penelitian terhadap 100 ibu hamil yang dilatih hypno-birthing dan ternyata temuan yang diperoleh mereka mengalami pemendekan durasi kala I persalinan (3,23 jam) dibandingkan dengan kelompok control sebanyak 88 ibu hqamil. 45 ibu yang pertama kali menggunakan hypno-birthing saat bersalin memiliki rata-rata 4,5 jam untuk kala I fase Aktif. Abramson, M., & Heron, Sebuah evaluasi obyektif WT ‗hipnosis dalam kebidanan: Laporan Pendahuluan. Jenkins dan Pritchard, Journal Obstetri dan Ginekologi American, 1950. Melakukan penelitian juga tentang Hypnosis untuk Melahirkan: pendidikan prenatal dan output proses persalinannya. diterbitkan, Juni 2001. Dalam studinya dari 262 subyek dengan 600 kontrol yang dilakukan oleh, ditemukan bahwa lama kala I berkurang hingga 3 jam untuk ibu yang pertama kalinya melahirkan (primigravida) dan 1 jam untuk wanita yang sudah berpengalaman dalam melahirkan (Multigravida). Studi lain di Inggris olehMellegren, A. menemukan pengurangan yang signifikan secara statistik kali durasi/ panjangnya lama kala I untuk ibu primi dan secundi gravida: 1) 70 pasien dengan hipnosis: 6 jam 21 menit 2) 70 pasien dengan relaksasi: 9 jam 28 menit 3) 70 kelompok kontrol: 9 jam 45 menit Menghilangkan atau sangat mengurangi kebutuhan akan anestesi dan obat kimia untuk menghilangkan rasa nyeri. Dalam sebuah penelitian di Inggris, 55% dari 90 pasien (ibu primi & secundi) tidak membutuhkan obat untuk menghilangkan rasa sakit. Sedangkan pada kelompok-kelompok non-hipnosis lain, hanya 22% dari 90 pasien tidak diperlukan pengobatan.Dua buah penelitian yang dilaporkan pada 1.000 kelahiran berturutturut: dari 850 wanita yang dilakukan hypnoanesthesia didapatkan hasil bahwa 58 % tidak memerlukan obat. Sedangkan dipenelitian lain pada pasien yang dilakukan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
hypnoanesthesia didapatkan hasil bahwa 79% persalinan tanpa obat anesthesia. Review bukti dari Hypnosis untuk menghilangkan nyeri persalinan dan melahirkan: Sebuah review sistematik dari British Journal of Anaesthesia, dirilis pada bulan Juli / Agustus 2005. Review ini dinilai merupakan penelitian terbaik yang tersedia tentang efek hipnosis untuk nyeri persalinan. dari 4 percobaan acak terkontrol dan 2 perbandingan non-acak dengan 1102 perempuan untuk menilai hipnosis. kelompok Hipnosis mengalami penurunan penggunaan obat nyeri dan co-intervensi, lebih baik, jika dibandingkan dengan perawatan biasa. Studi tersebut juga melaporkan bahwa tidak ada efek yang merugikan/ negative dari penggunaan hypnosis saat melahirkan. b. Posisi bayi sungsang dapat diubah dengan menggunakan hipnosis. Seorang peneliti di University of Vermont, Burlington, Amerika Serikat, digunakan hipnosis pada 100 wanita hamil yang bayinya berada dalam posisi sungsang antara 37 dan 40 minggu kehamilan. Para wanita menerima hipnosis dengan saran-saran untuk relaksasi umum dan pelepasan ketakutan dan kecemasan. 81% dari bayi di kelompok hypnosis ternyata bayinya berubah ke posisi verteks, sedangkan pada kelompok control hanya 48%. Hypnosis paling efektif untuk perempuan yang termotivasi untuk menggunakan teknik ini. Selain melibatkan teknik visualisasi , relaksasi hipnosis dapat membantu Anda untuk merilekskan otot-otot di rahim dan sekitar perut sehingga cukup atau memungkinkan bayi untuk mengubah posisinya. Lewis E. Mehl, MD, PhD (1994) Archives Kedokteran Keluarga, Vol. 3, Oktober 1994. Para ahli juga mengatakan hipnosis ibu membantu meringankan kecemasan dan ketakutan saat bersalin dan Sebuah studi oleh Mehl (1994) menunjukkan hypnosis memiliki tingkat keberhasilan 86% dalam mengubah presentasi sungsang: 69% lebih tinggi daripada menjalani perawatan kebidanan standar
ISSN: 2356-5454 Kebutuhan prosedur invasif seperti induksi, episiotomy, epidural dan operasi berkurang drastis. Menurut penelitian penggunaan hipnosis untuk membantu dalam persiapan pasien obstetrik untuk persalinan. Pengurangan komplikasi, operasi, dan lama rawat di rumah sakit selain itu hypnosis menunjukkan manfaat kesehatan langsung kepada ibu dan anak. Harmon, Hynan dan Tirus melaporkan persalinan lebih spontan, Apgar skor yang lebih tinggi dan menggunakan obat-obatan minimal dalam penelitian mereka dari 60 perempuan. c.
Hypno-birthing mencegah morning sickness. Waxman (1989) menyatakan bahwa hipnosis dapat ―sangat berguna‖ dalam mengurangi mual pagi hari, Sebuah studi oleh Fuchs et al (1980) dilakukan pada 138 wanita yang menderita dari ―muntah sangat parah‖ diobati dengan hipnosis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 87 perempuan dari 138 diobati dengan hipnosis: 1) 61 ibu bebas dari muntah-muntah dan mual 2) 24 ibu bebas dari mual muntah meskipun beberapa tahap. 3) 1. Ibu gagal.Simon & Schwartz (1999) merekomendasikan penggunaan hipnosis dalam morning sickness menyebabkan kehamilan lebih nyaman dan janin sehat serta mencegah hiperemesis gravidarum. d. Hypnosis dapat digunakan untuk mengurangi resiko SC. 1) Hypnosis dalam persalinan/ hypnobirthing membantu menurunkan hipertensi hingga 50% 2) Membuat kala I lebih pendek 2-4 jam 3) Menurunkan resiko SC e. Hypnosis membantu mencegah dan menyembuhkan Depresi Post partum Banyak ibu yang tenyata tidak siap untuk perubahan, beberapa penelitian menunjukkan hasil yang signifikan bahwa dengan hypnosis dapat mencegah dan mengobati depresi post partum.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 31
jikk
ISSN: 2356-5454
f.
Hypnosis membantu meningkatkan Fertilitas Hasil penelitian dari Poehl et al (1999) menyatakan 56,4% wanita yang menerima terapi psikologis (hipnoterapi, psikoterapi, dan relaksasi) merekomendasikan bahwa terapi psikologis harus menjadi aspek ―penting dari IVF.‖ Gravitz (1995) menemukan tingkat keberhasilan 100% pada sebuah studi terbatas menggunakan hipnosis pada ‗infertilitas fungsional‘.
Beberapa cara untuk mengurangi rasa sakit saat persalinan : a. Belajarlah untuk mengendurkan otot saat melahirkan. Tenang adalah hal yang paling bijak yang harus Anda lakukan saat bersalin. Tapi apa yang harus Anda lakukan untuk membantu kemajuan persalinan Anda adalahsantai /rileks. Saat Anda Bersantai maka semua otototot lain tetap rileks, sementara hanya otot rahim anda saja yang berkontyraksi. Ini akan memudahkan Anda untuk tetap santai dan mempercepat kemajuan persalinan. Jika ada ketegangan di mana saja di tubuh anda, terutama di wajah dan leher, ketegangan ini akan menyebar ke otot-otot panggul yang sebenarnya perlu tetap longgar selama kontraksi. perubahan kimia dalam sebuah otot, kelelahan akibat ketegangan sebenarnya menurunkan ambang nyeri otot, dan Anda lebih menyakitkan. Ketika otot-otot ketat melawan, kontraksi tanpa henti akan memaksa rahim Anda, hasilnya adalah rasa sakit. Lelah otot segera menyebabkan pikiran yang kelelahan, meningkatkan kesadaran Anda tentang rasa sakit dan mengurangi kemampuan Anda untuk mengatasinya.
Nomor 01 Tahun 2011
dalam situasi-situasi yang memerlukan upaya yang luar biasa, seperti mengejan juga prose persalinan. Hormon ini sering disebut sebagai ―fight or flight‖ hormon, dan apakah ada perlindungan tubuh. Selama persalinan tubuh Anda membutuhkan cukup hormon stres untuk membantu Anda mengejan, tapi jika hormon ini di prosuksi terlalu banyak yang tubuh justru akan membuat Anda menjadi gelisah dan tertekan, menyebabkan pikiran dan otot untuk bekerja tidak efisien. hormon Stres bahkan mungkin mengalihkan darah dari rahim untuk organ-organ vital dari otak, jantung, dan ginjal.
3.
b. Belajarlah untuk bersantai untuk menyeimbangkan hormon Anda untuk lahir. Ada hormon membantu persalinan Anda berlangsung secara efisien. hormon adrenal (juga disebut hormon stres) memberikan tubuh Anda kekuatan ekstra yang dibutuhkan
Hal | 32
c.
Tenang untuk meningkatkan endorfin. Satu jenis hormon juga bekerja untuk Anda selama persalinan – dan secara alami menghilangkan rasa sakit-hormon, dikenal sebagai endorfin. (Kata ini berasal dari endogen, yang berarti diproduksi di dalam tubuh, dan morfin, kimia yang menghalangi rasa sakit). Ini adalah narkotika alami tubuh Anda, membantu untuk bersantai Anda ketika Anda sedang stres dan menghilangkan rasa sakit ketika Anda sakit. asisten fisiologis tenaga kerja ini diproduksi dalam sel saraf. Mereka melekat pada situs reseptor rasa sakit pada sel saraf, di mana mereka menumpulkan sensasi rasa sakit. latihan berat meningkatkan kadar endorfin, dan endorfin memasuki sistem anda secara otomatis selama latihan berat tenaga kerja, selama Anda tidak melakukan apapun untuk memblokir mereka. dengan Bersantai akan memungkinkan hormon pereda sakit alami inibekerja untuk Anda. Ketakutan dan kecemasan Anda dapat meningkatkan tingkat hormon stres dan melawan efek santai endorfin. Endorfin merangsang sekresi prolaktin, yang santai dan ―ibu‖ hormon yang mengatur produksi susu dan memberikan dorongan psikologis terhadap kenikmatan ibu. Penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat endorphin dapat dipicu dengan tertawa. d. Bernapas dengan rileks
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
Cobalah untuk rileks, tarik nafas panjang dan hembuskan sambil melepaskan semua beban/pikiran, bisa dibantu dengan mengitung 1-3 saat mengambil nafas, demikian halnya saat menghembuskan nafas. Lemaskan otot mulut dan rahang anda, semakin lemas maka otot vagina pun akan melemas, sehingga mempermudah pembukaan. tetap tanamkan afirmasi positif bahwa persalinan ini berjalan cepat, lancar, tenang, dan nyaman. Ibu yg merasa tenang saat persalinan dan bernafas secara rileks akan membantu memasukkan oksigen ke dalam tubuh yg berpengaruh pada kondisi janin agar tidak kekurangan oksigen. Dan jangan lupa berdoa selama proses kehamilan. Karena seberapa besarpun usaha anda, yang menentukan adalah Allah.
PENUTUP Inti dari Hypnobirthing, yaitu agar ibu hamil menjalani kehamilan dengan tenang, ikhlas dan nyaman sampai melahirkan. Jadi Hypnobirthing bagus jika dilatih sejak awal kehamilan (trimester 1) agar ibu tetap tenang dan rileks, demi kesehatan ESQ janin. Tetapi tidak ada kata terlambat jika ibu baru memulai saat kehamilan di trimester akhir, yg
ISSN: 2356-5454 penting cukup waktu untuk berlatih dan belum lahir karena tidak gampang menyisihkan buat relaksasi, pada intinya harus ada komitmen antara ibu hamil dengan bidan pelatih. REFERENSI http://perpusnwu.web.id/karyailmiah/share d/biblio_view.php?resource_id=2153&ta b=opac http://sweetlikestrawberry.wordpress.com/t ag/hypnobirthing/ http://www.bidankita.com Azwar, 2005. Penyusunan Skala Pesikologi. Pustaka Pelajar. Offset cetakan ke V: Yogyakarta Manuaba, I.B.G. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC. Prawirohardjo, S. 2009. Ilmu Kebidanan. Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. World Health Organization, Complication of Abortion, technical and Managerial for Prevention and Treatment. Geneva: 1995. Pusdiknakes, 2003
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 33
jikk
ISSN: 2356-5454
Nomor 01 Tahun 2011
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN, UMUR DAN TINGKAT EKONOMI AKSEPTOR KB SUNTIK BARU TERHADAP PENGGUNAAN KONTRASEPSI SUNTIK oleh Widyastuti ABSTRAK Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan berbagai jenis masalah yang dihadapi di Indonesia salah satunya adalah dibidang kependudukan yaitu masih tingginya pertumbuhan penduduk. Berdasarkan sensus tahun 2010 diketahui bahwa pertumbuhan penduduk melebihi proyeksi nasional yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 1,49 per tahun. Jika laju pertumbuhan penduduk 1,49 % per tahun maka setiap tahunnya akan terjadi pertumbuhan penduduk sekitar 3,5 juta. Jika di tahun 2010 jumlah penduduk 237,6 juta jiwa maka di tahun 2011 bertambah 3,5 juta yakni sekitar 241,1 juta jiwa. Jika laju pertumbuhan tidak ditekan maka jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2045 menjadi sekitar 450 juta jiwa. Ini berarti 1 dari 20 penduduk dunia adalah orang Indonesia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan akseptor melakukan Keluarga Berencana (KB) suntik antara lain pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan, sikap, jumlah anak, fasilitas kesehatan, fasilitas umum, dukungan tenaga kesehatan dan dukungan suami. Peran suami dalam Keluarga Berencana (KB) antara lain sebagai peserta Keluarga Berencana (KB) dan mendukung pasangan menggunakan alat kontrasepsi. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Bidan Praktek Swasta (BPS) Siti Aisyah Amd.Keb Kendangsari Surabaya pada bulan Maret 2012 dengan metode wawancara dari 10 orang akseptor lama Keluarga Berencana (KB) suntik, didapatkan hasil 6 orang (60%) tidak mendapat dukungan suami untuk melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik. Kata Kunci : Keluarga berencana, akseptor, KB Suntik
PENDAHULUAN Program Keluarga Berencana Nasional telah diawali dan dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 1974. Tujuan dari pemerintah adalah untuk mengurangi jumlah penduduk dan juga untuk mengurangi tingkat kematian pada ibu hamil dan bayi yang dilahirkan. Keluarga Berencana adalah merupakan suatu perencanaan kehamilan yang diinginkan untuk menjadikan norma keluarga kecil, bahagia dan sejahtera dan pada hakikatnya keluarga berencana adalah upaya untuk menjarangkan kelahiran dan menghentikan kehamilan, bila ibu sudah melahirkan anak yang banyak. Secara tidak langsung Keluarga Berencana dapat menyehatkan fisik dan kondisi, sehat ekonomi keluarga dan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak (DEPKES RI 2010). Paradigma baru Program Keluarga Berencana Nasional telah diubah visinya dan mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk
Hal | 34
mewujudkan ―Keluarga Berkualitas Tahun 2015‖. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam paradigma baru Program Keluarga Berencana ini, misinya sangat menekan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi, sebagai upaya integral dalam meningkatkan kualitas keluarga. Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar dan utama bagi wanita, meskipun tidak selalu diakui demikian. Untuk optimalisasi manfaat kesehatan KB, pelayanan tersebut harus disediakan bagi wanita dengan cara menggabungkan dan memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi utama dan yang lain. Juga responsif terhadap berbagai tahap kehidupan reproduksi wanita. Pada saat sekarang ini telah banyak beredar berbagai macam alat kontrasepsi, khususnya
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
alat kontrasepsi metode efektif yaitu: pil, suntik, IUD implant. Alat kontrasepsi hendaknya memenuhi syarat yaitu aman pemakaiannya dan dapat dipercaya, efek samping yang merugikan tidak ada, lama kerjanya dapat diatur menurut keinginan, tidak mengganggu hubungan seksual, harganya murah dan dapat diterima oleh pasangan suami istri. Setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan. Namun demikian, meskipun telah mempertimbangkan untung rugi semua kontrasepsi yang tersedia, tetap saja terdapat kesulitan untuk mengontrol fertilitas secara aman, efektif, dengan metode yang dapat diterima, baik secara perseorangan maupun budaya pada berbagai tingkat reproduksi. Tidaklah mengejutkan apabila banyak wanita merasa bahwa penggunaan kontrasepsi terkadang problematis dan mungkin terpaksa memilih metode yang tidak cocok dengan konsekuensi yang merugikan atau tidak menggunakan metode KB sama sekali. Berdasarkan visi dan misi tersebut, program Keluarga Berencana Nasional mempunyai kontribusi penting dalam upaya meningkatkan kualitas penduduk. Kontribusi Program Keluarga Berencana Nasional tersebut dapat dilihat pada pelaksanaan program Making Pregnancy Saver. Salah satu pesan kunci dalam rencana strategi program Making Pregnancy Saver (MPS) di Indonesia 2001- 2010 adalah bahwa setiap kehamilan merupakan kehamilan yang diinginkan. Indonesia menghadapi masalah dengan jumlah dan kualitas sumber daya manusia dengan kelahiran 5.000.000 per tahun. Untuk dapat mengangkat kehidupan bangsa telah dilaksanakan bersamaan pembangunan ekonomi dan keluarga berencana yang merupakan sisi masing-masing mata uang. Bila gerakan KB tidak dilakukan bersamaan dengan pembangunan ekonomi, dikhawatirkan hasil pembangunan tidak akan berarti. Pencegahan kehamilan dan kesakitan ibu merupakan alasan utama diberlakukannya Keluarga Berencana. Masih banyak alasan lain, misalnya membebaskan
ISSN: 2356-5454 wanita dari rasa khawatir terhadap terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, terjadinya gangguan fisik atau psikologik akibat abortus yang tidak aman, serta tuntunan perkembangan sosial terhadap peningkatan status perempuan di masyarakat. Banyak perempuan yang mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi. Hal ini tidak hanya karena terbatasnya metode yang tersedia, tetapi juga oleh ketidaktahuan mereka tentang persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut. Berbagai faktorfaktor yang harus dipertimbangkan, termasuk status kesehatan, efek samping potensial, konsekuensi kegagalan atau kehamilan yang tidak diinginkan, keluarga yang direncanakan, persetujuan suami bahkan norma budaya lingkungan orang tua. Untuk ini semua konseling merupakan bagian integral yang sangat penting dalam pelayanan Keluarga Berencana. Tidak ada satupun metode kontrasepsi yang aman dan efektif bagi semua klien, karena masing-masing mempunyai kesesuaian dan kecocokan individual bagi setiap klien (Saifuddin, 2003). Salah satu jenis kontrasepsi efektif yang menjadi pilihan kaum ibu adalah KB suntik, ini disebabkan karena aman, efektif, sederhana dan murah. Cara ini mulai disukai masyarakat kita dan diperkirakan setengah juta pasangan memakai kontrasepsi suntikan untuk mencegah kehamilan (Muchtar, 2002). Berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang dibuat pada bulan April 2011 di temukan data bahwa peserta KB baru yang dihitung mulai bulan Januari – April 2011 secara nasional sebanyak 2.770.796 peserta dengan perincian 172.517 (6,23%) peserta IUD, 33.722 (1,220%) peserta MOW, 8.811 (0,32%) peserta MOP, 168.835 (6,09%) peserta kondom, 181.136 (6,54%) peserta implan, 1.424.172 (51,40%) peserta suntikan dan 781.603 (28,21%) peserta pil. Keuntungan yang di dapat pengguna dari pemakaian alat kontrasepsi suntik adalah : sangat efektif, pencegahan kehamilan jangka panjang, tidak berpengaruh pada hubungan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 35
jikk
ISSN: 2356-5454 suami istri, tidak mengandung estrogen sehingga tidak berdampak serius terhadap penyakit jantung, dan gangguan pembekuan darah, tidak memiliki pengaruh terhadap ASI, sedikit efek samping, klien tidak perlu menyimpan obat suntik, dapat digunakan oleh perempuan usia > 35 tahun sampai perimenopause, membantu mencegah kanker endometrium dan kehamilan ektopik, menurunkan kejadian penyakit jinak payudara, mencegah beberapa penyebab penyakit radang panggul dan menurunkan krisis anemia bulan sabit (sickle cell) (Sarwono, 2003). Hartanto (2004) menyatakan bahwa pemilihan alat kontrasepsi KB suntik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya, yaitu : Umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dukungan suami dan pengetahuan. Umur adalah usia ibu yang secara garis besar menjadi indikator dalam kedewasaan dalam setiap pengambilan keputusan yang mengacu pada setiap pengalamannya. Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan tentang manfaat, kelebihan dan kelemahan dalam penentuan alat kontrasepsi KB suntik. Faktor bekerja saja nampak belum berperan sebagai timbulnya suatu masalah pada pemilihan alat kontrasepsi yang cocok bagi mereka. Pada ibu-ibu yang bekerja di luar rumah cenderung untuk memilih alat kontrasepsi yang relatif aman, praktis, cepat dan dapat dilayani di tempat-tempat pelayanan kesehatan yang terdekat dari rumah. Pendapatan mempengaruhi kesiapan keluarga dalam mempersiapakan semua kebutuhan keluarga, pendapatan juga berpengaruh pada daya beli seseorang untuk membeli sesuatu termasuk menentukan jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Faktor lain yang ikut menentukan pemilihan alat kontrasepsi adalah faktor dukungan suami, dimana dukungan tersebut sangat mempengaruhi ibu dalam pemilihan alat kontrasepsi yang cocok. dukungan suami biasanya berupa perhatian dan memberikan
Hal | 36
Nomor 01 Tahun 2011
rasa nyaman serta percaya diri dalam mengambil keputusan tersebut dalam pemilihan alat kontrasepsi. Pengetahuan merupakan faktor yang cukup dominan dalam pemilihan alat kontrasepsi, informasi yang di dapat dari ibu baik dari media maupun kegiatan penyuluhan dan seminar akan memberikan kemantapan hati dalam pemilihan alat kontrasepsi (Hartanto, 2004). Berdasarkan data Puskesmas Kedungmundu Semarang, pada bulan Nopember 2010 sampai dengan Januari 2011 terdapat 95 orang akseptor KB Pasangan Usia Subur (PUS) dengan perincian : KB suntik sebanyak 45 akseptor (47,57%), KB pil 32 akseptor (34%), implant 6 akseptor (6%), IUD 8 akseptor (9%), MOW 2 akseptor (2%), MOP 1 akseptor (1%), kondom 1 akseptor (1%). Dari beberapa jenis KB yang ada, KB suntik merupakan alat kontrasepsi dengan persentase paling tinggi diantara kontrasepsi lainnya. PEMBAHASAN Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan berbagai j enis masalah yang dihadapi di Indonesia salah satunya adalah dibidang kependudukan yaitu masih tingginya pertumbuhan penduduk. Berdasarkan sensus tahun 2010 diketahui bahwa pertumbuhan penduduk melebihi proyeksi nasional yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 1,49 per tahun. Jika laju pertumbuhan penduduk 1,49 % per tahun maka setiap tahunnya akan terjadi pertumbuhan penduduk sekitar 3,5 juta. Jika di tahun 2010 jumlah penduduk 237,6 juta jiwa maka di tahun 2011 bertambah 3,5 juta yakni sekitar 241,1 juta jiwa. Jika laju pertumbuhan tidak ditekan maka jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2045 menjadi sekitar 450 juta jiwa. Ini berarti 1 dari 20 penduduk dunia adalah orang Indonesia (BKKBN,2011). Data yang diperoleh dari Bidan Praktek Swasta (BPS) Siti Aisyah Amd.Keb Kendangsari Surabaya tahun 2010 menunjukkan hasil pencapaian peserta
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
Keluarga Berencana (KB) menurut jenis kontrasepsi yang paling banyak digunakan pada tahun 2009 dan tahun 2010 adalah jenis kontrasepsi suntik. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Bidan Praktek Swasta (BPS) Siti Aisyah Amd.Keb Kendangsari Surabaya pada bulan Maret 2012 dengan metode wawancara dari 10 orang akseptor lama Keluarga Berencana (KB) suntik, didapatkan hasil 4 orang (40%) terlambat dalam melakukan suntik ulang. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan akseptor melakukan Keluarga Berencana (KB) suntik antara lain pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan, sikap, jumlah anak, fasilitas kesehatan, fasilitas umum, dukungan tenaga kesehatan dan dukungan suami. Peran suami dalam Keluarga Berencana (KB) antara lain sebagai peserta Keluarga Berencana (KB) dan mendukung pasangan menggunakan alat kontrasepsi. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Bidan Praktek Swasta (BPS) Siti Aisyah Amd.Keb Kendangsari Surabaya pada bulan Maret 2012 dengan metode wawancara dari 10 orang akseptor lama Keluarga Berencana (KB) suntik, didapatkan hasil 6 orang (60%) tidak mendapat dukungan suami untuk melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik. Maka dipandang penting diadakan suatu penelitian tentang pengaruh dukungan suami terhadap kepatuhan akseptor melakukan Keluarga Berencana (KB) suntik di Bidan Praktek Swasta (BPS) Siti Aisyah Amd.Keb Kendangsari Surabaya tahun 2012. Desain penelitian yang digunakan adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Teknik sampling menggunakan simple random sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 63 responden, data yang dikumpulkan menggunakan kuesioner. Penelitian ini dilakukan di BPS Siti Aisyah Amd.Keb Kendangsari Surabaya. Analisis data menggunakan analisis regresi logistik. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dukungan suami sedangkan variable terikat
ISSN: 2356-5454 dalam penelitian ini adalah kepatuhan akseptor melakukan Keluarga Berencana (KB) suntik. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan berbagai j enis masalah yang dihadapi di Indonesia salah satunya adalah dibidang kependudukan yaitu masih tingginya pertumbuhan penduduk. Berdasarkan sensus tahun 2010 diketahui bahwa pertumbuhan penduduk melebihi proyeksi nasional yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 1,49 per tahun. Jika laju pertumbuhan penduduk 1,49 % per tahun maka setiap tahunnya akan terjadi pertumbuhan penduduk sekitar 3,5 juta. Jika di tahun 2010 jumlah penduduk 237,6 juta jiwa maka di tahun 2011 bertambah 3,5 juta yakni sekitar 241,1 juta jiwa. Jika laju pertumbuhan tidak ditekan maka jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2045 menjadi sekitar 450 juta jiwa. Ini berarti 1 dari 20 penduduk dunia adalah orang Indonesia (BKKBN,2011). Data yang diperoleh dari Bidan Praktek Swasta (BPS) Siti Aisyah Amd.Keb Kendangsari Surabaya tahun 2010 menunjukkan hasil pencapaian peserta Keluarga Berencana (KB) menurut jenis kontrasepsi yang paling banyak digunakan pada tahun 2009 dan tahun 2010 adalah jenis kontrasepsi suntik. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Bidan Praktek Swasta (BPS) Siti Aisyah Amd.Keb Kendangsari Surabaya pada bulan Maret 2012 dengan metode wawancara dari 10 orang akseptor lama Keluarga Berencana (KB) suntik, didapatkan hasil 4 orang (40%) terlambat dalam melakukan suntik ulang. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan akseptor melakukan Keluarga Berencana (KB) suntik antara lain pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan, sikap, jumlah anak, fasilitas kesehatan, fasilitas umum, dukungan tenaga kesehatan dan dukungan suami. Peran suami dalam Keluarga Berencana (KB) antara lain sebagai peserta Keluarga Berencana (KB) dan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 37
jikk
ISSN: 2356-5454 mendukung pasangan menggunakan alat kontrasepsi. Dukungan dapat diartikan sebagai satu diantara fungsi pertalian atau ikatan sosial segi fungsionalnya mencakup dukungan emosional, mendorong adanya ungkapan perasaan, memberi nasihat atau informasi, pemberian bantuan material. Sebagai fakta sosial yang sebenarnya sebagai kognisi individual atau dukungan yang dirasakan melawan dukungan yang diterima. Dukungan sosial terdiri atas informasi atau nasihat verbal dan atau non verbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima (Ninuk, 2007). Sebagian besar suami menyarankan ibu untuk melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik sesuai jadwal. Namun pada dukungan penghargaan, sebagian besar suami tidak memberikan semangat untuk ibu agar melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik sesuai jadwal. Pada dukungan instrumental lebih banyak suami mengantarkan ibu melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik hanya menunggu diluar klinik dan hanya sebagian kecil suami mendampingi ibu sampai kedalam ruang praktek bidan. Pada dukungan emosional sebagian besar suami menanyakan bagaimana kondisi kesehatan ibu setelah melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik. Namun sebagian besar suami dalam dukungan emosional tidak mendukung seperti suami tidak pernah mendengarkan keluhan¬keluhan yang ibu sampaikan selama menggunakan Keluarga Berencana (KB) suntik. Hal tersebut dapat menyebabkan ibu merasa kurang diperhatikan secara emosional oleh suami sehingga dapat menggurangi semangat ibu untuk melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik sesuai jadwal. Dukungan suami pada masing-masing akseptor Keluarga Berencana (KB) suntik sangat berbeda jika dilihat berdasarkan data karakteristik responden. Berdasarkan tabulasi
Hal | 38
Nomor 01 Tahun 2011
silang antara usia ibu dengan dukungan suami ternyata usia tidak mempengaruhi dukungan suami sedangan berdasarkan pekerjaan ibu rumah tangga paling banyak medapat dukungan suami. Berdasarkan data penghasilan, didapatkan paling banyak penghasilan ibu Rp. 1.000.000-Rp.1.500.000 tidak mendapat dukungan dari suami. Berdasarkan data pendidikan paling banyak suami mendukung istrinya yang berpendidikan SMU. Responden yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi lebih mudah memahami informasi tentang Keluarga Berencana (KB) suntik sehingga informasi yang telah diperoleh diberitahukan kepada suaminya untuk mendukung dalam penggunaan alat kontrasepsi suntik. Hal ini sesuai dengan pendapat Koenjoroningrat (1991) yang dikutip oleh Nursalam (2001) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah dalam menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Berdasarkan data jumlah anak didapatkan ibu yang mempunyai 1 anak paling banyak mendapatkan dukungan dari suaminya. Lawrence green (1980) mengemukakan bahwa salah satu factor yang mempengaruhi perubahan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan adalah dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya, terutama dukungan sosial dari keluarga terdekat terutama suami. Hal ini di dukung oleh pendapat Notoatmodjo (2003) bahwa keluarga (suami) dan teman merupakan salah satu unsur pendukung dalam perilaku kepatuhan. Secara umum orang merasa bahwa menerima penghiburan, perhatian dan pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang biasanya cenderung lebih mudah mengikuti atau mematuhi nasehat daripada pengguna Keluarga Berencana (KB) suntik yang kurang mendapat dukungan suami. Kepatuhan adalah suatu kondisi yang tercipta dan berbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan,
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
keteraturan dan ketertiban. Sikap atau perbuatan yang dilakukan bukan lagi atau sama sekali tidak dirasakan sebagai beban, bahkan sebaliknya akan membebani dirinya bila mana ia tidak dapat berbuat sebagaimana lazimnya (Prijodarminto,2003). Kepatuhan akseptor melakukan Keluarga Berencana (KB) suntik sangat diperlukan untuk mencegah kehamilan serta menyukseskan program keluarga berencana nasional untuk menekan laju pertumbuhan penduduk indonesia. Kepatuhan akseptor melakukan Keluarga Berencana (KB) suntik diklasifikasikan menjadi dua yaitu sesuai jadwal dan tidak sesuai jadwal. Berdasarkan usia didapatkan paling banyak ibu yang berusia 26- 30 tahun lebih banyak melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik sesuai jadwal. Usia individu terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja (Azwar, 2009). Semakin cukup umur akseptor Keluarga Berencana (KB) suntik akan semakin matang dalam berpikir bahwa kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik sesuai jadwal sangat penting untuk dilakukan. Berdasarkan pekerjaan ternyata tidak mempengaruhi kepatuhan akseptor melakukan Keluarga Berencana (KB) suntik sedangkan berdasarkan data penghasilan didapatkan paling banyak penghasilan ibu Rp. 1.000.000-Rp.1.500.000 lebih banyak melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik sesuai jadwal. Semakin tinggi penghasilan semakin tinggi pula status ekonomi. Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang (Latipun,2006). Pengguna Keluarga Berencana (KB) suntik yang berasal dari keluarga yang status sosial ekonominya baik lebih memiliki sikap positif memandang diri dan masa depannya dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah. Berdasarkan data pendidikan di dapatkan bahwa pendidikan terakhir tamat SLTP lebih banyak melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB)
ISSN: 2356-5454 suntik tidak sesuai jadwal. Responden yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah tidak mudah memahami informasi tentang (KB) suntik sehingga masih banyak yang melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik tidak sesuai jadwal. Hal ini sesuai dengan pendapat Koenjoroningrat (1991) yang dikutip oleh Nursalam (2001) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah dalam menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki begitupun sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan seseorang semakin tidak mudah dalam menerima informasi . Berdasarkan data jumlah anak didapatkan ibu yang mempunyai 1 anak lebih banyak melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik sesuai jadwal. Kepatuhan akseptor Keluarga Berencana (KB) suntik dipengaruhi beberapa hal yaitu 1)Pendidikan, 2) Pekerjaan, 3) Tingkat Pengetahuan, 4) Sikap, 5) Jumlah Anak dan 6) Dukungan Suami. Berdasarkan teori faktor dukungan suami merupakan dorongan terhadap ibu secara moral maupun material, dimana dukungan suami mempengaruhi ibu untuk menjadi akseptor Keluarga Berencana (KB) suntik. Berdasarkan hasil penelitian dukungan suami mempunyai andil yang besar bagi seorang istri untuk melakukan kunjungan ulang sesuai jadwal. Dukungan suami sangatlah penting dalam memberikan semangat istrinya untuk melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik sesuai jadwal. Hal tersebut terbukti pada hasil penelitian yang membuktikan hipotesis bahwa terdapat pengaruh dukungan suami terhadap kepatuhan akseptor Keluarga Berencana (KB) suntik, namun yang perlu diperhatikan adalah dukungan suami tersebut tidak dapat diberikan secara setengah-setengah seperti hanya memberikan dukungan instrumental saja, informatif saja, emosional saja atau penghargaan saja sebaiknya dukungan suami diberikan secara sepenuhnya mencakup semua aspek didalamnya.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 39
jikk
ISSN: 2356-5454
PENUTUP Berdasarkan pemaparan diatas dapa di simpulkan 1. Sebagian besar suami mendukung terhadap kepatuhan akseptor melakukan Keluarga Berencana (KB) suntik yaitu sebanyak 39 orang (61,9%) 2. Sebagian besar responden patuh dalam melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik sesuai jadwal yaitu sebanyak 39 responden (61,9%). 3. Masyarakat khususnya ibu yang menggunakan alat kontrasepsi Keluarga Berencana (KB) suntik agar meningkatkan kepatuhan akseptor dengan melakukan kunjungan ulang Keluarga 4. Berencana (KB) suntik sesuai jadwal. Dukungan suami dalam bentuk dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informatif seperti menemani ibu melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik sangat diperlukan agar ibu dapat melakukan kunjungan ulang Keluarga Berencana (KB) suntik sesuai jadwal. REFERENSI Arikunto, S. 2010. ‖Prosedur Penelitian ‖. Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, S. 2009. ―Sikap Manusia Teori Dan Pengukuranya‖. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.2011. ―Per kembangan Pencapaian Peserta KB baru Menurut Alat Kontrasepsi‖. Di akses pada tanggal 20 November 2011 jam 09.00 WIB melalui http://bkkbn.go.id
Hal | 40
Nomor 01 Tahun 2011
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2010. ― Riset Kesehatan Dasar ‖. Jakarta. Di akses pada tanggal 20 November 2011 jam 10.00 WIB melalui http://www.riskesdas.litbang.depkes.go. id Glasier, A. 2005. ―Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi ‖. Jakarta: EGC. Hartanto, H. 2006. ― Keluarga Berencana dan Kontrasepsi‖. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hidayat A.Aziz.2007. ― Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisi Data‖. Jakarta: Salemba Medika. Kuntoro, H. 2010. ―Metode Sampling dan Penentuan Besar Sampel ‖. Surabaya: Pustaka Melati Kurniawati, Ninuk dian, 2007.‖Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIVAID S‖. Jakarta. SalembaMedika Notoadmodjo, S. 2003. ―Ilmu Perilaku Kesehatan‖. Jakarta: Rineka Cipta Notoadmodjo, S. 2003. ― Pendidikan dan Per ilaku Kesehatan ‖. Jakarta: Rineka Cipta Nursalam & Pariani. (2001). ― Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan‖. Surabaya: FK UNAIR Nursalam. 2008. ― Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skr ipsi,, Tesis dan Instr umen Penelitian Keperawatan‖. Jakarta: Salemba Medika. Prijodarminto, S. 2003. ― Disiplin Kiat Menuju Sukses‖. Jakarta : PT. Pradnya Paramita Sugiyono. 2007. ― Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D‖. Bandung: Alfabeta‖ Saifuddin, AB. 2006. ―Buku Pedoman Praktis Pelayanan Kontrasepsi ‖. Jakarta:YBP–SP.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
ISSN: 2356-5454
HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP IBU HAMIL TRIMESTER III DENGAN KEPATUHAN IBU HAMIL TRIMESTER III DALAM MELAKUKAN KUNJUNGAN ANC oleh Winarni ABSTRAK Antenatal care sangat diperlukan untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan bayi demi kualitas hidup yang lebih baik. Penelitian ini adalah deskriptif korelasi bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan pengetahuan ibu hamil dan motivasi keluarga terhadap pelaksanaan antenatal care. Penelitian ini dilakukan selama Februari 2011 menggunakan sampel 94 orang sesuai kriteria dengan metode accidental sampling. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner berisi data demografi, pengetahuan, motivasi keluarga dan pelaksanaan ANC. Dari hasil penelitian diperoleh, mayoritas responden berusia 21-35 (83%), sebagian besar responden multigravida (67%), primipara (36,2%), mayoritas tidak pernah mengalami keguguran (89,4%), mayoritas responden berpendidikan rendah (85,5%), mayoritas ibu tidak bekerja (80,9%). Berdasarkan kategori pengetahuan diperoleh tingkat pengetahuan yang baik (72,3%). Berdasarkan motivasi keluarga, responden mendapat motivasi keluarga pada kategori baik (94,7%). Berdasarkan pelaksanaan, mayoritas responden melaksanakan antenatal care dengan baik (80,9 %). Dari uji korelasi Spearman untuk menganalisa hubungan pengetahuan ibu hamil dan pelaksanaan antenatal care diperoleh nilai p = 0,036 > 0,05 maka dapat disimpulkan terdapat korelasi bermakna antara pengetahuan dan pelaksanaan antenatal care dan untuk analisa hubungan motivasi keluarga dan pelaksanaan antenatal care diperoleh nilai p = 0,524 < 0,05 dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara motivasi keluarga dengan pelaksanaan antenatal care. Sehingga dapat dianalisa bila ibu memiliki pengetahuan rendah maka motivasi dari keluarga akan meningkatkan motivasi ibu untuk melaksanakan ANC lebih teratur dan demikian juga sebaliknya. Jadi, penyampaian informasi oleh tenaga kesehatan sangat diperlukan untuk memberikan pengetahuan dan pentingnya motivasi keluarga guna pelaksanaan ANC yang lebih baik. Kata Kunci : Pengetahuan, motivasi keluarga, antenatal care PENDAHULUAN Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2005), antenatal care (ANC) adalah suatu program yang terencana berupa observasi, edukasi, dan penanganan medik pada ibu hamil, untuk memperoleh suatu proses kehamilan serta persalinan yang aman dan memuaskan. Tujuan antenatal care adalah untuk menj aga agar ibu sehat selama masa kehamilan, persalinan, dan nifas serta mengusahakan bayi yang dilahirkan sehat, memantau kemungkinan adanya risiko-risiko kehamilan, dan merencanakan penatalaksanaan yang optimal terhadap kehamilan risiko tinggi serta menurunkan morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal (Prawirohardj o, 2006).
Dalam pelaksanaan antenatal care, ibu akan semakin teratur jika mendapat dukungan besar dari keluarga. Dalam hal ini dukungan dari suami, keluarga dan masyarakat sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan pelaksanaan ANC. Keluarga merupakan unit terkecil masyarakat yang terdiri atas 2 orang atau l ebi h, adanya ikatan persaudaraan atau pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga beri nteraksi satu sama lain, mempertahankan satu kebudayaan (Effendy, 2006). Hasil penelitian sebelumnya Tungkup (2008) didapat bahwa faktor usia, pendidikan, pengetahuan, pekerj aan, sosial ekonomi , sosial budaya, j arak layanan kesehatan adalah faktor yang mempengaruhi ibu melakukan kunj ungan ANC. Dari penelitian tersebut,
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 41
jikk
ISSN: 2356-5454 faktor pengetahuan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi ibu hamil melakukan kunjungan ANC di dapat hasil bahwa responden yang memiliki pengetahuan yang baik j ustru bertolak belakang dengan j umlah kunj ungannya. Bila dibandingkan dengan peran suami sebagai faktor sosial ekonomi dalam penelitian Demiaty (2009) didapat bahwa peran suami dalam memotivasi istri hamil untuk melakukan pemeriksaan kehamilan mayoritas berperan cukup yakni sebanyak 33 orang (75%). Suami sebagai salah satu anggota kel uarga j uga beperan dalam kehamilan meningkatkan kesiapan ibu hamil dalam menghadapi proses persalinan, dan j uga memicu produksi ASI (Ary, 2009). Sehi ngga hipotesis yang dapat diambil adalah ada hubungan pengetahuan ibu hamil terhadap pelaksanaan Antenatal care dan ada hubungan motivasi keluarga terhadap pelaksanaan Antenatal care terhadap pelaksanaan Antenatal care. PEMBAHASAN Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Antenatal Care Pengetahuan akan memberikan penguatan terhadap individu dalam setiap mengambil keputusan dalam berperilaku. Pada penelitian ini, pengetahuan ibu hamil tentang antenatal care meliputi tujuan ANC, frekuensi kunjungan ANC, tempat pelaksanaan ANC, standar pelayanan ANC, dan perilaku sehat selama kehamilan. Berdasarkan j awaban responden, didapat hasil bahwa mayoritas responden (72,3%) memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang antenatal care. Pada penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa pengalaman menj adi salah satu faktor yang membentuk pengetahuan ibu hamil karena mayoritas responden (67%) pernah hamil lebih dari 1 kali. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Notoatmodjo (2007) bahwa pengetahuan dapat terbentuk dari pengalaman dan ingatan sebelumnya. Dari hasil penelitian juga diperoleh data ternyata ada responden yang berpengetahuan kurang yaitu dari 94 responden ada 16
Hal | 42
Nomor 01 Tahun 2011
responden (17%) yang mempunyai pengetahuan kurang. Keadaan ini disebabkan masih ada tingkat pendidikan responden yang masih rendah dan pengetahuan responden tentang asuhan kehamilan yang masih kurang. Pengetahuan tentang asuhan kehamilan berdasarkan umur responden dapat dilihat bahwa pada umur responden 21-35 tahun ada sebanyak 78 orang (83%) dan pengalaman responden multigravida sebanyak 63 orang (67%). Hal ini menunjukkan umur mempengaruhi pengetahuan seseorang, karena ilmu tidak hanya didapat dari pendidikan formal tetapi didapat juga dari pengalaman seseorang dan kemungkinan informasi yang diterima dari tenaga kesehatan sebelumnya menarik perhatian responden sehingga reponden lebih cepat menyerap informasi yang diberikan. Motivasi Keluarga Dalam penelitian ini motivasi keluarga merupakan motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang datangnya dari luar individu. Adapun motivasi berfungsi untuk mendorong manusia untuk berbuat, menentukan arah perbuatan dan menyeleksi perbuatan (Sardiman, 2007). Seseorang akan melakukan suatu usaha karena adanya motivasi. Berdasarkan hasil jawaban responden diperoleh bahwa mayoritas responden mendapat motivasi yang baik dari keluarga. Bila dikaji dari karakteristik, mayoritas responden primipara dan nulipara. Menurut peneliti, dari data diatas menunjukkan bahwa riwayat paritas ibu hamil juga mempengaruhi motivasi keluarga. Nulipara akan cenderung melaksanakan antenatal care, karena merupakan kehamilan yang pertama dan memiliki kecemasan dalam kehamilannya dikarenakan tidak mempunyai pengalaman. Dalam hal ini untuk meningkatkan pemahaman ibu maka ibu Pelaksanaan Antenatal Care Pelaksanan antenatal care dikatakan baik atau tidak bila ibu yang melakukan kunjungan antenatal care sesuai dengan
Jurnal Ilmiah Kebidanan Akademi Kebidanan Panca Bhakti
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
jumlah kunjungan antenatal yaitu pada trimester I minimal melakukan 1 kali kunjungan, pada trimester II minimal melakukan 1 kali kunjungan dan pada trimester III minimal melakukan 2 kali kunjungan. Responden melaksanakan antenatal care pada kategori lengkap sebesar 80,9 % dan melaksanakan antenatal care pada kategori tidak lengkap sebesar 19,1%. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi ibu melaksanakan antenatal care, dalam penelitian Sinaga (2003) didapat tingkat pendidikan ibu, jumlah anak dalam keluarga, jarak kehamilan, riwayat kehamilan, pendapatan keluarga, status pekerjaan ibu, dukungan suami dan jarak pelayanan kesehatan memiliki pengaruh yang signifikan sehingga faktor¬faktor tersebut juga berpengaruh terhadap lengkap atau tidaknya pelaksanaan ANC. Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Terhadap Pelaksanaan Antenatal Care Berdasarkan uji statistik hubungan antara pengetahuan ibu hamil terhadap pelaksanaan Antenal care diperoleh korelasi yang sangat lemah antara pengetahuan dan pelaksanaan antenatal care. Dari analisa ini juga di dapat nilai P yang menyatakan korelasi yang bermakna antara pengetahuan dan pelaksanaan antenatal care. Kekuatan korelasinya bernilai positif yang berarti searah, semakin besar nilai satu variabel semakin besar pula nilai variabel lainnya. Hal itu berarti semakin banyak pengetahuan ibu hamil maka semakin baik pula pelaksanaan ANC-nya. Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh, memperlihatkan bahwa kelompok responden yang mempunyai tingkat pengetahuan tentang asuhan kehamilan yang baik mempunyai tingkat pelaksanaan yang lengkap. Hal ini disebabkan karena tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Menurut Notoadmojo (2003) pendidikan kesehatan bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang tetapi dipengaruhi oleh faktor pendukung eksternal yang secara langsung
ISSN: 2356-5454 dapat mempengaruhi perubahan perilaku seperti sarana yang dimiliki, fasilitas lain yang tersedia atau alat-alat yang dibutuhkan serta dukungan positif yang diberikan orang lain untuk terjadi perubahan perilaku artinya responden yang mempunyai pengetahuan baik belum tentu memiliki perilaku yang baik demikian juga sebaliknya. Hasil penelitian ini juga didukung dengan penelitian Demiaty (2009) mengenai hubungan tingkat pengetahuan ibu hamil tentang kepatuhan kunjungan antenatal care di RSUD Pandan Arang Boyolali menyatakan bahwa adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kunjungan antenatal care. Hubungan Motivasi Keluarga terhadap Pelaksanaan Antenatal Care Motivasi keluarga merupakan suatu dukungan psikososial yang mampu memberikan kekuatan emosional kepada ibu. Kasih sayang keluarga dan keinginan ingin mendapatkan keturunan akan sangat membantu dalam upaya antenatal care, sampai terjadi persalinan yang diakhiri dengan kebahagiaan keluarga. Kehamilan yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan hal-hal berikut; keluhan hamil yang berlebihan, ketidakseimbangan jiwa menghadapi kehamilan dan persalinan, upaya mengakhiri kehamilan dengan menggugurkan kandungan, berpisah setelah persalinan karena perkawinan yang dipaksakan. Itulah sebabnya motivasi keluarga sangat penting agar ibu tidak merasa takut menghadapi kehamilan dan persalinan (Manuaba, 2006). Hasil penelitian antara motivasi keluarga terhadap pelaksanaan Antenal care diperoleh korelasi yang sangat lemah. Dari analisa ini juga di dapat nilai P yang menyatakan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara pengetahuan dan pelaksanaan antenatal care. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Fithriani (2011) yang menyatakan ada hubungan signifikan dukungan keluarga dengan kepatuhan ibu hamil trimester III dalam pemeriksaan kehamilan.
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 43
jikk
ISSN: 2356-5454 PENUTUP Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan mayoritas responden memiliki pengetahuan yang baik tentang antenatal care. Mayoritas responden mendapat motivasi yang baik dari keluarga. Mayoritas responden melaksanakan antenatal care dengan lengkap. Petugas tenaga kesehatan khususnya pihak Puskesmas Ujung Batu untuk meningkatkan pemberian informasi kepada ibu hamil tentang pentingnya pelaksanaan ANC selama kehamilan REFERENSI Arikunto, S. (2007). Manajemen Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta ------------(2006). Prosedur Penelitian.Jakarta: PT. Rineka Cipta Ari, S. (2009). Asuhan Kebidanan Pada Masa Kehamilan. Jakarta: Salemba Medika, Demiaty. (2009). Peran suami menurut isteri yang sedang hamil dalam memotivasi untuk melakukan pemeriksaan kehamilan di Klinik Bersalin Mitra Indah di Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten Serdang Bedagai. Diambil dari httprepository.usu. ac.idhandle 12 345678922180 2011. (Diakses tanggal 15 September 2011). Effendy, N. (1998). Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC Fithriani, N. 2011. Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Ibu Dalam
Hal | 44
Nomor 01 Tahun 2011
Pemeriksaan Kehamilan Trimester III di Klinik Bersalin Sri Wahyuni Medan. Available from: http:// repository.usu.ac.id/bitstream/12 3456789/27310/1/.pdf (Diakses tanggal 18 Juli 2012 Manuaba. (2006). Buku ajar patologi obstetri. Jakarta: EGC Notoatmodjo, S. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-Prinsip Dasar). Jakarta: PT. Rineka Cipta ------------(2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta Prawirohardjo, S. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo Sadirman. (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada Tungkup, Juliana. L. (2008). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ibu Hamil Melakukan Kunjungan ANC di Rumah Sakir Kota Medan. Available from: http://repository.usu.ac.id/jspuix1 /handle/123456789/16572 (Diakses tanggal 15 Juni 2012) Sinaga, E. (2003). Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Frekuensi Pemeriksaan Kehamilan Di Desa Jorlang Huluan Kecamatan Sidamanik Kab. Simalungun Tahun 2003. Available from: http://repository.usu.ac.id/handle/ 123456789/32355.pdf (Diakses tanggal 17 Juni 2012).
Jurnal Ilmiah Kebidanan Akademi Kebidanan Panca Bhakti
jikk
Nomor 01 Tahun 2011
Standar Prosedur Operasional Publikasi Karya Tulis dan Artikel Ilmiah Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas
ISSN: 2356-5454
JIKK Akademi Kebidanan Ar Rahman Ketentuan Umum 1. Topik dan tema karya tulis atau artikel (selanjutnya disebut naskah) memiliki keterkaitan dengan dunia kesehatan, khususnya bidang kebidanan; 2. Karya tulis ataupun artikel merupakan hasil penelitian lapangan (work-field study), penelitian pustaka (literature study) atau asah gagasan (proposition); 3. Karya tulis ataupun artikel ditulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia maupun English yang baik dan benar serta mengikuti aturan tata bahasa yang baku; 4. Setiap naskah yang masuk akan ditinjau ulang oleh Mitra Bestari yang memiliki kepakaran di bidangnya, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar institusi AKBID Ar Rahmah; 5. Penyerahan naskah dikirim selambatlambatnya dua bulan sebelum penerbitan reguler (bulan Februari dan Oktober) kepada redaksi JIKK; 6. Kepastian pemuatan atau tidaknya sebuah naskah akan diberitahukan secara tertulis, baik melalui surat ataupun email; 7. Naskah yang tidak dimuat dapat dikembalikan dengan sepengetahuan penulis naskah. Ketentuan Khusus 1. Naskah ditulis dengan menggunakan aplikasi Microsoft Office Word (baik itu XP, 2003 atau 2007); 2. Naskah ditulis menggunakan font Times New Roman atau Arial dengan ukuran font 12 (tanpa page number ataupun keterangan header/footer); 3. Panjang naskah maksimal 10 halaman dengan ukuran kertas A4 serta ukuran margin (kiri: 4, kanan: 3, atas: 3 dan bawah: 3). Sistematika Penulisan Judul (informatif, lugas, singkat dan jelas), Nama penulis (tanpa gelar), Abstrak/ Rangkuman eksekutif (ditulis dalam bentuk narasi dan terdiri atas 100-150 kata),
Kata kunci (istilah teknis/ operasional yang digunakan dalam artikel), Pendahuluan (deskripsi sekilas mengenai topik yang dibahas, status topik saat ini, perubahan yang terjadi berkaitan dengan topik, dan kontribusi naskah dalam topik yang dibahas; akhir pendahuluan memuat tujuan, metode, manfaat pembahasan topik, dan harapan yang dapat diambil dari topik yang dibahas), Isi/ Pembahasan (uraian, pemaparan ataupun penjabaran yang berkaitan dengan hasil temuan penelitian atau asah gagasan untuk naskah non-penelitian; isi/ pembahasan dapat terdiri atas beberapa subbahasan, tergantung pada topik/masalah yang dibahas serta penjelasan yang mendalam dari topik/ tema yang dibahas), Simpulan dan Saran, Daftar pustaka atau Pustaka Rujukan, dan Riwayat penulis (ditulis secara singkat).
Sistematika Penulisan Resensi Buku Buku yang diresensi harus aktual (up to date); buku berbahasa Indonesia terbitan satu tahun terakhir sedangkan buku berbahasa asing terbitan tiga tahun terakhir, Isi (content) buku yang diresensi berkontribusi signifikan bagi perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, Susunan resensi terdiri atas deskripsi formal buku, ringkasan (summary), evaluasi/ kritik/ komentar, dan simpulan. Penyerahan Naskah (karya tulis ataupun artikel ilmiah) Penyerahan naskah dapat dilakukan melalui, Email; naskah tidak ditulis dalam kotak pesan (message box) melainkan disisipkan (attachment) dan dikirimkan ke
[email protected] atau
[email protected] , Surat/ pos; naskah dimasukkan ke dalam amplop ukuran A4 dan pojok kanan atas ditulis JIKK AKBID Ar Rahmah, kemudian dikirimkan ke alamat Jalan Pasteur No. 21 A, Bandung– Jawa Barat.
Alamat Redaksi dan Tata Usaha JIKK Press – AKBID Ar Rahmah Jalan Pasteur no. 21, Bandung – Jawa Barat Telepon/ Faximile (022) 4214127 Email
[email protected] Website www.arrahmah.ac.id
Jurnal Ilmiah Kebidanan Komunitas Akademi Kebidanan Ar Rahmah - Bandung
Hal | 45