PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih pada tugas akhir ini adalah keamanan dan khasiat dari bahan alam yang digunakan untuk obat atau suplemen makanan, dengan judul ”Efek toksisitas dan proliferasi sel limfosit manusia pada pemberian ekstrak dan minyak buah merah (Pandanus conoideus Lam)”. Pembuatan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan Program Magister Profesi Teknologi Pangan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Prof.Dr.Ir. Fransiska R . Zakaria, MSc dan Ibu Dr.Ir. Nurheni Sri Palupi, MS selaku dosen pembimbing serta Ibu Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, selaku dosen Penguji. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Bapak drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD. Kepala Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan Ibu Dr. Sri Wahyuni sebagai instruktur dalam pengujian kultur jaringan, ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada saudara Yessica Meiriana, saudara Femi Olivia yang telah bekerjasama dalam melakukan pengujian kultur jaringan. Tidak lupa ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Bapak DR. Ary Prihardyanto Keim Bagian Botani (Herbarium Bogoriense) Pusat Penelitian Biologi, LIPI yang telah membantu mengidentifikasi dan memberi banyak informasi tentang buah merah. Disamping itu ucapan terima kasih kami ucapkan kepada seluruh staf Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM yang telah membantu dalam pelaksanaan pennelitian ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada istri, anak dan seluruh keluarga serta semua pihak atas segala doa dan dukungannya, sehingga saya dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa tugas akhir yang telah dapat diselesaikan ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu segala saran dan kritik yang bersifat membangun untuk penyempurnaan tugas akhir ini sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat umum dan khusus nya bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor,
April 2007 Penulis
i
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 15 Desember 1955 oleh Bapak dan Ibu Pawirodikromo. Penulis adalah putra ke enam dari tujuh bersaudara. Tahun 1974 penulis lulus SMA Negeri XII Jakarta dan pada tahun 1976 masuk Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Setelah menyelesai kan studi di UGM pada tahun 1983, kemudian pada tahun 1984 bekerja di Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pada tahun 1995 diangkat menjadi Kepala Seksi Toksikologi Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan, Sejak April 2001 Direktorat Jeneral Pengawasan Obat dan Makanan, berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, dan bersama itu penulis diangkat menjadi Kepala Bidang Toksikologi Pusat Riset Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, hingga sekarang. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studi S-2 Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tanggal 22 Desember 2006.
ii
DAFTAR ISI
Halaman PRAKATA............................................................................................................... i RIWAYAT HIDUP................................................................................................. ii DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii DAFTAR TABEL................................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................vi DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ vii BAB I. PENDAHULUAN A.
Latar Belakang ............................................................................................ 1
B.
Tujuan Penelitian ........................................................................................ 2
C.
Hipotesa ...................................................................................................... 3
D.
Manfaat Penelitian ...................................................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A.
Buah Merah................................................................................................. 4
B.
Sistem Imun ................................................................................................ 7
C.
Bahan Pangan yang Mempunyai Aktivitas Peningkatan Proliferasi Limfosit dan Imunomodulasi ................................................................... 16
D.
Sitotoksik .................................................................................................. 17
E.
Kultur Sel Limfosit dan Proliferasi Sel Limfosit ...................................... 19
F.
Mitogen Sebagai Senyawa Pemacu Proliferasi Sel Limfosit................... 24
BAB III. BAHAN DAN METODOLOGI A.
Tempat dan Waktu .................................................................................... 27
B.
Bahan dan Alat.......................................................................................... 27
C.
Identifikasi Buah Merah............................................................................ 27
D.
Pembuatan Ekstrak dan Minyak Buah Merah........................................... 28
E.
Penentuan Dosis Uji / Konsentrasi Ekstrak ............................................. 30
F.
Pengujian Proliferasi Sel Limfosit ........................................................... 30 iii
G.
Penghitungan EC50 (Efective Concentration-50) ..................................... 33
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Karakteristik Buah Merah ......................................................................... 34
B.
Rendemen Ekstrak dan Rendemen Minyak Buah Merah ....................... 35
C.
Pengaruh Ekstrak dan Minyak Buah Merah Terhadap Proliferasi Sel Limfosit ..................................................................................................... 38
D.
Pengaruh Ekstrak dan Minyak Buah Merah Terhadap Toksisitas Sel ...... 45
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN A.
Simpulan ................................................................................................... 49
B.
Saran.......................................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 50 LAMPIRAN.......................................................................................................... 57
iv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Kandungan senyawa aktif dalam buah merah jenis barugum ....................5
Tabel 2
Komposisi zat gizi per 100 gram buah merah ...........................................5
Tabel 3 Pengaruh metode ekstraksi terhadap parameter senyawa bioaktif buah merah ........................................................................................................6 Tabel 4
Sifat fisiko-kimia yang terpenting pada ekstrak buah merah ...................7
Tabel 5
Nilai normal elemen-elemen seluler pada darah manusia. ......................11
Tabel 6
Total fenol, karotenoid dan kadar vitamin E (ppm) berbagai jenis ekstrak ............................................................................................34
Tabel 7
Hasil rendemen beberapa macam ekstrak buah merah ............................35
Tabel 8
Rendemen bagian-bagian buah merah .....................................................36
Tabel 9
Hasil EC50 ekstrak air, metanol, heksan dan minyak buah merah dari berbagai konsentrasi ...............................................................................44
Tabel 10 Hasil bioasai anti kanker dan EC 50 dengan sel leukomia L1210 terhadap ekstrak kasar etil asetat daging buah, metanol daging buah, n-heksan kulit biji, etil asetat kulit biji dan metanol kulit biji mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] .................44 Tabel 11 Pengaruh inkubasi bersama hidrolisat kitooligomer dan mitogen terhadap proliferasi sel limfosit ..............................................................48 Tabel 12 Pengaruh senyawa kitooligomer terhadap aktivitas anti kanker...............48
v
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1
Buah merah (Pandanus conoideus Lam) jenis barugum ........................4
Gambar 2
Diagram dari organ-organ limfoid primer dan Proses pembentukan darah pada embrio dan dewasa (Plyfair, 1987).....................................10
Gambar 3
Sel-sel yang terlibat dalam proses kekebalan tubuh melalui sistim hemopoitik (Playfair, 1987). .................................................................13
Gambar 4
Reaksi antioksidan fenol dengan radikal substrat (Ranney, 1979) .......14
Gambar 5
Foto mikroskop elektron dari : a) sel normal dan b) sel yang mengalami kondensasi kromatin...........................................................17
Gambar 6
Mekanisme reaksi MTT menjadi MTT Formazan (Kubota, et al. 2003) .............................................................................24
Gambar 7
Tahapan ekstraksi dan pembuatan minyak buah merah.......................28
Gambar 8
Persentase pertumbuhan sel limfosit .....................................................38
Gambar 9
Persentase pertumbuhan sel limfosit dengan lima dosis .......................40
Gambar 10 Proliferasi sel limfosit yang ditumbuhkan pada media dengan penambahan ekstrak dan minyak buah merah ......................................42 Gambar 11 Tingkat kematian sel limfosit.................................................................46 Gambar 12 Tingkat kematian sel limfosit dengan lima dosis uji..............................47
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Surat keterangan identifikasi buah merah ...........................................57 Lampiran 2. Penentuan dosis uji / konsentrasi ekstrak ............................................58 Lampiran 3. Perhitungan rendemen ekstrak dan minyak buah merah dan Cara Penghitungan jumlah kematian sel Limfosit......................................59 Lampiran 4. Penghitungan persentase proliferasi dan efective concentration 50 (EC50) .................................................................................................60 Lampiran 5. Surat pernyataan kesediaan menjadi responden penelitian (inform consern) ..............................................................................................62 Lampiran 6. Tabel Komposisi larutan PBS..............................................................63 Lampiran 7. Tabel data hasil penetapan absorbansi suspensi limfosit dengan penambahan ekstrak metanol, heksan, air dan minyak buah merah .........................................................................................64 Lampiran 8. Tabel kematian sel limfosit .................................................................65 Lampiran 9. Skema prosedur uji proliferasi dan uji toksisitas sel limfosit..............66 Lampiran 10. Gambar foto prosedur uji proliferasi dan toksisitas sel limfosit.........67 Lampiran 11. Gambar peta sumur pada microplate..................................................69 Lampiran 12. Penghitungan dan analisa statistik minyak..........................................70 Lampiran 13. Penghitungan dan analisa statistik ekstrak metanol ............................72 Lampiran 14. Penghitungan dan analisa statistik ekstrak heksan ..............................76 Lampiran 15. Penghitungan dan analisa statistik ekstrak air .....................................81
vii
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di abad ke 20 ini, kita lihat perkembangan teknologi di semua bidang sangat pesat, termasuk kedokteran, farmasi, dan ilmu pangan. Perkembangan dalam ilmu pangan yang meliputi ilmu gizi, teknologi pangan, keamanan pangan (Food Safety) mendapat perhatian sangat besar untuk dikembangkan baik di negara maju maupun negara bekembang termasuk Indonesia. Pengembangan obat tradisional di Indonesia telah diamanatkan di dalam GBHN tahun 1998. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman hayati terutama tumbuh-tumbuhan. Ada lebih dari 30.000 jenis tumbuhan yang terdapat di Indonesia, dan lebih dari 1000 jenis telah diketahui dapat dimanfaatkan untuk pengobatan. Obat bahan alam yang telah terdaftar di Badan POM hingga saat ini berjumlah 11.776 produk, sedangkan jumlah industri obat bahan alam Indonesia pada saat ini berjumlah 1046 industri (NADFC, 2004). Sangat sedikit spesies tanaman obat yang mempunyai data keamanan dan khasiat pada aplikasi medis, sehingga jaminan keamanan, kualitas dan khasiat merupakan isu kunci dari industri (WHO, 1999). Kecenderungan
yang berkembang saat ini, orang
membatasi atau mengurangi konsumsi obat, makanan, kosmetika yang berasal dari bahan kimia sintetik dan cenderung menggunakan bahan yang berasal dari alam, dikenal dengan istilah back to nature. Dewasa ini telah banyak dikembangkan produk pangan yang memadukan antara fungsi nutrisi dan kesehatan, yang sering disebut pangan fungsional. Pangan fungsional merupakan produk pangan yang memberi keuntungan terhadap kesehatan. Pangan fungsional dapat mencegah atau mengobati penyakit. Di Ameri ka Serikat nilai pasar dari pangan fungsional diperkirakan mencapai 86 bilion US $ (Mazza, 1998). Konsep penelitian dan pengembangan bahan alam sebagai obat, makanan dan kosmetika meliputi dua hal yang penting yaitu penelitian khasiat dan penelitian keamanan baik secara preklinik maupun klinik. Untuk melakukan penelitian khasiat dan keamanan/toksisitas bisa dilakukan secara in vivo maupun in vitro (WHO, 1993).
1
2
Keuntungan pengujian secara in vitro adalah relatif lebih murah, lebih cepat, dan tidak bertentangan dengan azas animal walfare karena percobaan dilakukan di luar tubuh hewan atau manusia. Sedangkan kerugiannya tidak bisa mendapatkan gambaran hasil uji yang sangat akurat dan tepat. Keuntungan pengujian secara in vivo akan mendapatkan gambaran hasil yang lebih akurat dan tepat, karena dilakukan di dalam tubuh hewan atau manusia, akan tetapi mempunyai kelemahan, antara lain lebih mahal, lebih lama, relatif lebih sulit dan dapat bertentangan dengan azas animal walfare. Saat ini yang popular dalam pemanfaatan obat bahan alam adalah pengembangan buah merah. Buah merah diklaim dan diyakini dapat menanggulangi beberapa penyakit, walaupun belum terlihat laporan hasil penelitian yang sistematis dan bersifat ilmiah. Penyakit tersebut anatara lain HIV/AIDS, stroke, kanker payudara, kanker rahim, thalasemia, asam urat, tekanan darah tinggi, tumor, kista, diabetes, gangguan prostat, gangguan
imunitas, dan sebagai hepatoprotektor. Keuntungan lain dari
buah merah adalah dapat meningkatkan omega 3 dalam telur pada ternak yang diberi ransum yang dicampur buah merah, dan bisa menghilangkan bau yang tidak sedap pada daging dan telur itik. Disamping efek yang menguntungkan ada pula dampak negatif yang dilaporkan akibat mengkonsumsi buah merah dalam bentuk minyak antara lain diarhe, warna faeces dan urine membiru, dan penurunan hemoglobin. Klaim-klaim ini dapat dibaca pada beberapa majalah populer seperti Majalah Trubus (2005). Dengan adanya klaim khasiat dan efek samping tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang khasiat dan toksisitas. Pada kesempatan ini akan dilakukan penelitian mengenai efek toksisitas dan immunomodulator dari ekstrak air, ekstrak metanol, ekstrak heksan, dan minyak dari buah merah terhadap sel limfosit manusia secara in vitro. Apabila terbukti secara ilmiah efek keuntungan mengkonsumsi buah merah tersebut, diwaktu mendatang dapat dikembangkan sebagai minuman, pangan fungsional atau suplemen makanan.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji toksisitas seluler khususnya sifat toksik terhadap sel-sel limfosit manusia dan menguji aktivitas imunomodulasi setelah pemberian ekstrak atau minyak dari buah merah.
3
C. Hipotesa 1. Buah merah dianggap toksik, apabila menyebabkan kematian sel limfosit 2. Buah merah dianggap dapat meningkatkan imunitas apabila dapat memacu proliferasi sel limfosit. 3. Buah merah dianggap tidak mempunyai efek toksik dan tidak mempunyai efek peningkatan imunitas apabila sel limfosit dalam keadaan hidup, tetapi tidak berproliferasi.
D. Manfaat Penelitian Data ilmiah mengenai sifat toksik dan khasiat buah merah tersebut dapat merupakan salah satu dasar pengambilan kebijakan dan keputusan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia terhadap konsumsi buah merah, sehingga masyarakat dapat terlindungi dalam mengkonsumsi buah merah. Selain itu dapat merupakan dasar untuk penelitian dan pengembangan buah merah lebih lanjut. Apabila terbukti secara ilmiah efek keuntungan mengkonsumsi buah merah tersebut diwaktu mendatang kemungkinan dapat dikembangkan sebagai mi numan, pangan fungsional atau suplemen makanan.
4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Buah Merah Botani Menurut Keim (2005), tanaman buah merah termasuk jenis tanaman pandan-pandanan atau pandanus, dengan nama ilmiah Pandanus conoideus Lam, walaupun hingga saat ini sistematika taksonomi pandan buah merah sendiri masih bermasalah karena di dalamnya melibatkan banyak taksa lain baik yang telah dipublikasi sebagai jenis tersendiri maupun keberadaan pada sekitar 36 kultivar. Selanjutnya
oleh
Rumphius
dikatakan, Pandanus
ceramicus setidaknya
mempunyai dua bentuk kepala (cephalium) yaitu bulat (bundar) seperti buah melon,
panjang buah sekitar 30 cm dan bulat lonjong menyerupai buah
cempedak, buah merah jenis barugum berwarna merah (Gambar 1).
Sumber: Anonim, (2005)
Gambar 1
Buah merah (Pandanus conoideus Lam) jenis barugum
Pandan buah merah pertama dilaporkan keberadaannya beserta informasi pemanfaatannya oleh Rumphius pada tahun 1743, hal ini berdasarkan koleksi yang dibuatnya di Pulau Seram, Maluku dan saat itu diberi nama Pandanus ceramicus. Kedua cephalium
memiliki kesamaan dalam struktur dan warna
cephalium. Pericarp dan struktur buah tunggal berbentuk segi lima. ujung putik (stigmatic remains) agak menonjol namun tidak tajam. Adapun yang memberi nama Pandanus conoideus yang pertama kali adalah Lamarck. Pada tahun 1939, Merrill dan Perry pertama kali menempatkan takson di New Guinea (Papua) yang disebut Pandanus conoideus Lamarck.
5
Kandungan kimia buah merah Menurut Budi (2001), bahwa potensi kandungan yang diunggulkan di dalam sari buah merah diantaranya antioksidan. Yang membuat warna merah dari buah merah ini adalah karotenoid dan tokoferol. Kadar karotenoid sangat tinggi, yaitu 12.000 ppm. Untuk kandungaan tokoferol di dalam buah merah adalah 11.000 ppm. Selain itu kandungan mineral makro dan mikro sangat lengkap, terutam Fe, Mg dan Zn. Berdasarkan hasil penelitian oleh Budi (2001), kandungan senyawa aktif dari buah merah jenis barugum dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1
Kandungan senyawa aktif dalam buah merah jenis baruguma) Senyawa Aktif
Kandungan
Total karotenoid
12.000 ppm
Total tokoferol
11.000 ppm
Beta karoten
700 ppm
Alfa tokoferol
500 ppm
Asam oleat
58%
Asam asam linoleat
8,8%
Asam linolenat
7,8%
Dekanoat
2,0%
a
)Budi (2001)
Tabel 2
Komposisi zat gizi per 100 gram buah merah b)
Senyawa aktif
Kandungan
Energi
394,00 Kalori
Protein
3.3 g
Lemak
28.1 g
Serat
20.9 g
Kalsium
55.4 mg
Fosfor
30,00 mg
Besi
2,44 mg
Vitamin B1
0.90 mg
Vitamin C
25.70 mg
Niasin
1.80 mg
Air b
)Budi (2001)
34.90
6
Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair, dibuat dengan mensari simplisia menurut cara yang cocok diluar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (Dep Kes RI, 2000). Menurut Harborne (1987), untuk analisis fitokimia harus digunakan jaringan tumbuhan segar, namun ada cara lain tumbuhan dapat dikeringkan sebelum dilakukan ekstraksi. Cara pengeringan harus dilakukan dalam keadaan terawasi untuk mencegah terjadinya perubahan kimia yang terlalu banyak. Bioavailabilitas karotenoid dari bahan pangan, ekstrak, atau produk sangat beragam. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyerapan dan bioavailabilitas karotenoid adalah proses pengolahan, penyimpanan, dan pemasakan (Papas, 1999). Menurut Goodman et al. (1966), persentase beta karoten yang diserap langsung sebagai beta karoten sekitar 15-25%. Beta karoten yang diserap langsung dalam bentuk utuh dan tidak dikonversi menjadi retinol sangat potensial untuk mencegah penyakit cardiovascular dan beberapa jenis kanker (Gey et al. 1993). Sebagai pembanding dan pandukung pada penelitian ini dapat dilihat data penelitian dari Andarwulan et al. (2006), telah melakukan penelitian terhadap kandungan senyawa bioaktif dan sifat fisiko-kimia buah merah dengan membandingkan metode ekstraksi secara tradisional terhadap dua metode yang dimodifikasi. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. Tabel 3 Pengaruh metode ekstraksi terhadap parameter senyawa bioaktif buah merah c) Bagian Metode
c
buah
Kadar (ppm) β-karoten
Minyak
Total karotenoid 55.000
α-tokoferol
9.185
Total tokoferol 42.009
Buah segar
Biji
647,23
120,65
802,61
83,55
Metode
Minyak
10.022
1.852
5.033
425.52
Tradisional
Biji
227,51
37,99
171,34
15,13
Metode
Minyak
12.427
2.000
9.200
800
Modifikasi 1
Biji
391,44
65,37
180,47
15,24
Metode
Minyak
21.430
4.583
10.832
1.368,26
Modifikasi 2
Biji
439,77
132,53
628,88
53,17
)Andarwulan, et al. (2006)
3.685
7
Dari data ini dapat dilihat bahwa kandungan senyawa mikronutrien pada ekstrak buah merah sangat dipengaruhi oleh metode ekstraksinya. Sifat fisiko-kimia yang terpenting pada ekstrak buah merah d)
Tabel 4 Parameter
Satuan
Buah segar
Metode
Metode
Metode
Tradisional
Modifikasi 1
Modifikasi 2
Berat Jenis
g/ml
0.65
0.60
0.62
0.66
Titik Asap
˚C
192.75
181.30
188.50
190.50
Kadar Air
%
0.03
0.03
0.04
0.03
Bililangan
%
0.089
21.96
0.57
0.09
g/ek
0.15
4.46
2.31
0.16
˚C
12.35
16.00
15.00
12.50
Asam/FFA Bilangan Peroksida Titik Cair d
) Andarwulan, et al (2006).
Metode ekstraksi dapat berpengaruh terhadap sifat fisiko kimia ekstrak buah merah yang dihasilkan. Metode ekstraksi modifikasi 2 merupakan metode ekstraksi yang menghasilkan karakteristik fisiko-kimia buah merah terbaik. Selanjutnya menurut Andarwulan et al. (2006), ekstrak selain mengan dung senya wa mikronutrien juga mengandung asam lemak tidak jenuh dengan dominasi oleat C18:1) dan palmitat (C16:0).
B. Sistem Imun Sistem imun adalah suatu sistem yang merupakan interaksi komplek dari beragam jenis sel immunokompeten yang bekerja sama dalam proses identifikasi dan eliminasi mikroorganisme patogen dan zat-zat berbahaya lainnya yang masuk ke dalam tubuh. Menurut Kimball (1992), respon imun didifinisikan sebagai respon atau reaktifitas yang terjadi jika ada kontak antara antigen dengan molekul yang memiliki konfigurasi spesifik. Respon imun menjalankan tiga fungsi yaitu fungsi pertahanan, fungsi homeostatis dan fungsi pengawasan. Fungsi pertahanan bertujuan melawan invasi mikroorganisme dan senyawa asing lainnya. Fungsi hemostasis untuk mempertahankan dari jenis sel tertentu dan memusnakan sel-sel
8
yang rusak. Fungsi pengawasan bertujuan untuk memonitor jenis sel yang abnormal atau sel mutan (Belanti,1993). Sistem imun digolongkan menjadi dua golongan yaitu sistem imun non spesifik dan sistem imun spesifik. Adapun respon imun non spesifik dapat timbul sebagai reaksi terhadap adanya mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya melalui fagositosis dan
monosit (makrofag). Pertahanan tubuh yang tidak
termasuk di dalam sistem imun antara lain zat sebagai barier kimia melalui sekresi internal dan eksternal, zat lisozim yang terdapat di dalam mukus jaringan, air mata, laktoperoksidase dalam saliva, protein darah, interferon, sistem kinin, komplemen dan sel natural killer (NK.) ( Parslow 1997). Menurut Kresno (1996), berbagai penelitian telah membuktikan respon imun seluler memegang peranan penting, antara lain diperankan oleh sel makrofag, Tc, dan sel natural killer (NK). Makrofag merupakan salah satu mediator seluler yang potensial dalam imunitas anti tumor dengan memproduksi sitokin seperti tumor nekrosis Faktor-α (TNF–α). Sel natural killer adalah salah satu populasi sel nul karena sel tersebut tidak memiliki reseptor antigen pada permukaan seperti sel B dan sel T tetapi memiliki reseptor untuk C3 (komplemen) dan fragmen molekul antibodi (Fe).
Menurut Colegate (1993), berdasarkan pada beberapa penelitian tentang
aktivitas imunomodulator pada tanaman obat, diketahui terdapat beberapa golongan senyawa yang dapat berperan sebagai imunomodulator, yaitu golongan karbohidrat, terpen, steroid, flavonoid, kumarin asam amino, protein glikoprotein, alkaloid dan senyawa organik yang lainnya yang megandung nitrogen. Sistem imun terdiri dari komponen genetik, molekuler, dan seluler yang berinteraksi secara luas dalam merespon antigen endogenus dan eksogenus. Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem imunitas antara lain faktor genetis,
umur,
kondisi
metabolik, anatomi, status gizi, fisiologi manusia, dan sifat benda asing (Bellanti, 1993). Kekebalan tubuh adalah suatu peristiwa terbentuknya kekebalan tubuh akibat masuknya zat asing baik secara alami maupun secara perolehan. Pembentukan kekebalan tubuh dapat terjadi melalui proses pengenalan (recognition), proses ingatan (memory) terhadap zat asing, selanjutnya diolah oleh bagian tubuh pembentuk zat kebal (immune system) maka akhirnya dapat terbentuk zat kebal yang bersifat khas (Pasaribu dan Joeniman, 1989). Menurut
9
Roitt dan Delves (2001), sistem imun spesifik meliputi sistem imun seluler dan sistem imun humoral. Sistem imun seluler memberikan pertahanan terhadap masuknya mikroorganisme intra dan ekstra seluler melalui sekresi limfokin seperti interferon dan interleukin. Sedangkan sistem imun humoral memberi pertahanan melalui produksi antibodi terhadap antigen spesifik. Sistem imun merupakan sistem interakif komplek dari beragam jenis sel immunokompeten yang bekerja sama dalam proses identifikasi dan eliminasi mikroorganisme patogen dan zat-zat berbahaya lainnya yang masuk ke dalam tubuh. Dikatakan pula oleh Roitt (2001), limfosit adalah sel darah putih (leukosit), yang berukuran kecil, berbentuk bulat dengan diameter 7-15 µm, mampu menghasilkan respon spesfik terhadap berbagai jenis antigen yang berbeda. Selain terdapat di dalam darah perifer limfosit terdapat juga pada organ limfoid seperti limpa, kelenjar limfe, dan timus. Limfosit merupakan sel kunci dalam proses respon imun spesifik, untuk mengenali melalui reseptor antigen. Populasi limfosit mempunyai reseptor antigen yang beragam, namun setiap limfosit hanya dapat mengenali satu antigen sehingga dalam proses respon imun limfosit saling bekerjasama untuk mengeliminasi beragam antigen yang masuk ke dalam tubuh. Menurut Garvey et al. (1977), antigen adalah bahan yang dapat merangsang respon imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada. Secara fungsional antigen dapat dibagi menjadi imunogen dan hapten. Imunogen adalah bahan yang dapat menimbulkan respon imun. Hapten adalah molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada secara langsung, tetapi tidak dapat merangsang pembentukan antibodi secara langsung (Bratawidjaja, 2002). Sebagai contoh antigen adalah sel darah merah. Sel darah merah dari suatu spesies tertentu dapat menunjukkan sifat antigenik setelah disuntikkan kepada spesies yang lain. Kemudian antibodi yang timbul langsung akan menyerang antigen yang menetap sementara pada membran sel. Membran
ini
terdiri
dari
campuran
serabut-serabut
protein,
lemak,
mukopolisakarida. Cara mendapatkan antibodi yaitu apabila darah dibiarkan membeku, akan meninggalkan serum yang mengandung berbagai bahan larut tanpa sel. Bahan larut tersebut antara lain antibodi yang digolongkan dalam protein yang disebut globulin, lalu dikenal sebagai imunoglobulin. Sedangkan menurut Bratawidjaja (2002), struktur dasar dari imunoglobulin terdiri dari dua
10
fragmen besar (heavy chain) yang identik, dan dua rantai ringan (light chain) yang juga identik. Setiap rantai ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfida. Molekul ini oleh enzim papain dapat dipecah menjadi tiga fragmen, yaitu dua fragmen fab (fragmen antigen binding) dan satu fragmen Fe (Fregmen crystallizable). Imunoglobulin terdiri dari lima kelas utama yaitu Ig G, Ig A, Ig M, Ig M, Ig D, dan Ig E. Ig G merupakan imunoglobulin terbanyak, khususnya di dalam darah dan berguna untuk melawan jasad renik dan toksin. Imunoglobulin A terdapat sebagai monomer dan polimer dan terletak pada sekreta selaput lendir dan darah. Imunoglobulin ini merupakan imunuglobulin utama yang berfungsi mengatur pertahanan permukaan luar dari tubuh yang dapat membentuk suatu dimer yang terikat pada komponen sekret. Ig M merupakan suatu molekul pentamer yang terdapat pada intravaskuler dan dibentuk pada awal respon imun. Karena bervalensi tinggi, Ig M merupakan aglutinin kuman yang sangat efektif dan sebagai perantara sitolisis yang tergantung pada komplemen sehingga merupakan pertahanan yang kuat terhadap bakteri. Ig D sebagian besar terdapat pada limfosit dan berfungsi sebagai reseptor antigen. Ig E berperan penting pada infeksi parasit tertentu dan merupakan penyebab gejala-gejala alergi tropik. (Bratawidjaja, 2002). Diagram dari organ-organ limfoid primer dan proses pembentukan darah pada embrio dan dewasa dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2
Diagram dari organ-organ limfoid primer dan Proses pembentukan darah pada embrio dan dewasa (Plyfair, 1987)
11
Menurut Ganong (1990), respon imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi berbagai serangan mikroorganisme, sehingga dapat memberikan
respon
langsung
terhadap
antigen.
Sistem
imun
spesifik
membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu, sebelum dapat memberikan respon. Respon imunologik yang dilakukan oleh sel limfosit adalah respon imun yang bersifat spesifik. Respon imun spesifik terdiri atas dua jenis yaitu imunitas humoral dan imunitas seluler. Imunitas humoral dilakukan oleh sel plasma yaitu sel limfosit B dewasa yang mensekresikan antibodi, sedangkan imunitas seluler dijalankan oleh sel limfosit T. Komposisi dan nilai normal dari masing-masing elemen seluler pada darah manusia dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5
Nilai normal elemen-elemen seluler pada darah manusia. e)
Elemen-elemen seluler A. Leukosit
e
-Granulosit : Neutrofil Eusinofil Basofil -Agranulosit: Limfosit Monosit B. Eritrosit Laki-laki wanita C. Platelets
Rata-rata sel/ml 9000
Kisaran normal 4000-9000
Persen dari leukosit total -
5400 275 35
3000-6000 150-300 0-100
50-70 1-4 0-4
2750
15000
5,4x106 4,8x106 300000
2-5x10
20-40
) Ganong (1990)
Respon imun dapat dipakai pula dalam analisis menentukan konsentrasi antigen. Menurut Mancini (1996), Imuno difusi radial (RID) atau teknik Mancini adalah suatu metode yang sering digunakan untuk mengukur konsentrasi berbagai macam antigen yang larut di dalam cairan biologis. Metode ini melibatkan antigen yang berdifusi secara radial dari sumuran menembus gel agarosa yang mengandung antibodi spesifik yang sesuai. Apabila antigen dibiarkan berdifusi ke dalam agar yang mengandung anti serum sesuai yang telah diencerkan, pada mulanya akan terdapat dalam konsentrasi yang relatif tinggi dan membentuk kompleks yang larut, dengan berdifusi lebih jauh lagi konsentrasi antigen akan menurun sampai tercapai titik dimana kedua reaktan terdapat di dalam perbandingan yang optimal dan terbentuklah suatu cincin presipitat. Makin tinggi
12
konsentrasi
antigen,
makin
besar
diameter
cincin
presipitat.
Misalnya
menggunakan tiga macam ukuran konsentrasi antigen dalam lempeng agar-agar, suatu kurva kalibrasi dapat diperoleh dan digunakan untuk menentukan jumlah antigen dalam bahan-bahan pemeriksaan yang sedang diperiksa. Metode ini biasa dipakai dalam imunologi klinik, terutama untuk penentuan imunoglobulin (Tizard,1982). Menurut Kuby (1992), limfosit merupakan sel kunci di dalam proses
respon
imun spesifik,
melalui
reseptor
antigen dan mampu
membedakan dari komponen tubuhnya sendiri. Adapun menurut Pasaribu dan Joeniman (1989), limfosit merupakan sel yang bertanggung jawab dan sesuai untuk membentuk kekebalan adaptif yang mempunyai keunikan penting yaitu dibatasi /dikelilingi oleh reseptor-reseptor yang mamungkinkan terjadinya reaksi terhadap antigen individual. Limfosit dapat mengadakan
recirculation dari
jaringan tubuh ke dalam aliran darah, yang menjamin terbentuknya reaksi lokal yang diikuti terjadinya specific memory, dapat disebar luaskan di dalam tubuh. Limfosit digolongkan dua yaitu limfosit T (Thymus dependet) dan limfosit B (Bursa atau bone merrow dependent) yang secara kasar mempunyai pengaruh yang sama pada imunitas seluler. Sifat utama limfosit T yang dikenal yaitu membantu sel B untuk membuat antibodi. Sel limfosit dapat mengenal suatu antigen secara spesifik dan menerima sinyal untuk berproliferasi. Setelah berikatan dengan antigen, limfosit B akan mengalami proses perkembangan melalui dua jalur yaitu : (a) berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan imunoglobulin dan (b) membelah lalu kembali dalam keadaan istirahat sebagai sel limfosit B memori. Sel limfosit mampu berproliferasi dan berdeferensiasi menjadi sebuah klon yang terdiri dari sel-sel efektor dengan spesifisitas antigen yang sama. Pada orang-orang tertentu bisa terjadi penyimpangan reaksi kekebalan tubuh sebagai contoh pada penderita autoimmune disease, yaitu kejadian dimana tubuh mengalami kegagalan kemampuan untuk membedakan antara zat sendiri (self antigen) dengan zat asing(non self antigen), sehingga tubuh akan membentuk autoantibodies yang akan berfungsi sebagai anti bodi terhadap bagian-bagian tubuhnya sendiri (Pasaribu dan Joeniman, 1999). Darah adalah suspensi yang terdiri dari elemen-elemn atau sel-sel, dan plasma yaitu larutan yang mengandung berbagai molekul organik dan anorganik. Dikatakan pula bahwa darah
13
digolongkan menjadi tiga grup sel, yaitu sel darah merah atau eritrosit, sel darah putih atau luekosit, yang terdapat kurang dari 1% dari volume total darah, dan butir pembeku (platelets) atau trobosit. (Decker, 2001). Sel-sel yang terlibat di dalam proses kekebalan tubuh melalui sistem hemopoitik secara skematik dapat dilihat pada Gambar 3.
Keterangan gambar = S : Steam cell, LS : Limfoid stem cells, T :Thymus, B: Bursa Fabricii, HS : Haemopoietic stem cells, MK : Megakariosit, ES : Erytroid stem cell, TP : Trombophoietin, EP : Eritropoietin, CFS: Colony stimulating factors. Gambar 3
Sel-sel yang terlibat dalam proses kekebalan tubuh melalui sistim hemopoitik (Playfair, 1987).
Keseimbangan oksidan dan antioksidan pada sistem imun Sel imunokompeten sangat sensitif terhadap oksidasi oleh radikal bebas karena kandungan asam lemak tak jenuh (ALTJ) yang tinggi pada lipid membran sel. Radikal bebas bertindak sebagai prooksidan melalui transfer elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya sehingga dapat melakukan oksidasi terhadap ALTJ dan protein membran serta DNA inti sel (Krinsky, 1992). Stres oksidatif adalah keadaan ketidak seimbangan antara prooksidan dan anti oksidan. Keadaan stres oksidatif dapat diinduksi oleh beberbagai faktor antara lain kurangnya anti
14
oksidan dan kelebihan produksi radikal bebas. Pada keadaan pertahanan anti oksidan lemah, asupan zat kimia sintetik berbahaya seperti pestisida, asap rokok, polusi udara, radiasi, diet tinggi asam lemak tak jenuh (ALTJ) dan cahaya ultra violet dapat menimbulkan stres oksidatif, hal ini dapat berakibat menyebabkan kerusakan sel,
sehingga terjadi percepatan proses penuaan dan dapat
menimbulkan penyakit jantung, tumor ganas, diabetes militus, dan lainnya (Supari, 1996). Antioksidan adalah sebagai senyawa yang melindungi sistem biologi, melawan efek potensial dan proses atau reaksi yang dapat menyebabkan oksidasi yang berlebihan (Krinsky, 1992). Mekanisme reaksi antioksidan senyawa fenolik terjadi melalui pemberian atom hidrogen dari gugus hidroksil dengan cepat kepada radikal substrat, dapat dilihat pada Gambar 4. Oe
OH + Re
Gambar 4
+ RH
Reaksi antioksidan fenol dengan radikal substrat (Ranney, 1979)
Radikal antioksidan yang terbentuk dari mekanisme di atas cukup stabil atau secara sterik dicegah dari reaksi berikutnya, maka radikal antioksidan tersebut tidak akan bekerja sebagai suatu inisiator bagi reaksi berikutnya. Menurut, Kuby (1992), bahwa limfosit merupakan sel kunci di dalam proses respon imun spesifik melalui reseptor antigen dan mampu membedakannya dari komponen tubuhnya sendiri. Pemisahan dan pemeliharaan dari limfosit T dan limfosit B dari spesimen klinik dapat dilakukan dengan tiga tingkatan yaitu : Tingkat pemisahan dari darah atau jaringan lain, tingkat pengkayaan dari masing-masing limfosit B dan limfosit T dan tingkat pemeliharaan kultur primer. Yang terpenting dalam pengkayaan limfosit B dan limfosit-T harus dapat diperoleh tingkat kemurnian >90%. Sedangkan
menurut Bellanti (1993), sel limfosit terdiri dari 2 tipe sel yang
mampu membuat kekebalan yaitu sel limfosit T yang berfungsi di dalam imunitas seluler dan sel limfosit B yang berfungsi di dalam imunitas humoral. Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang
dan dapat berdiferensiasi di dalam
jaringan ekivalen bursa. Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar
15
antara 10-15%. Setiap sel B memiliki 105 B Cel Receptor (BCR) memiliki dua situs pengikatan antigen yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein dengan struktur tiga dimensi. BCR dan antibodi mengikat antigen dalam bentuk aslinya, hal ini yang membedakan antara sel B dengan sel T, yang mengikat antigen yang telah terproses di dalam sel. (Kresno, 1996). Menurut Pasaribu dan Joeniman (1989), sel sel yang menyerupai makrofag yang ditemukan pada simpul limfe disebut dendritic cell, sel-sel tersebut juga ditemukan di dalam lymphoid follicel dari limpa dan sel-sel serupa yang ditemukan di dalam epidermis dikenal sebagai sel-sel langerhans, diduga sel-sel tersebut mampu merangsang sel T, sehingga sel T tersebut mampu mengenali antigen-antigen asing yang terikat pada permukaan sel yang merupakan tanda bagi
major histocompatibility
complex (MHC). MHC merupakan daerah genetik yang terkait erat dengan tanggap kebal. Diduga ada sel dendrit tertentu yang dapat mampu menghantarkan antigen kepada sel-sel B. Pendapat lain, bahwa sel dendrit dan sel-sel langerhan dapat mengikat antibodi pada sitoplasmanya sehingga antibodi dapat tetap melekat pad antigen, sehingga dapat membentuk sebuah jaring-jaring penjerat antigen yang sangat kuat (10.000 kali) lebih kuat dari antigen bebas. Satu limfosit dapat mengenali suatu sel antigen secara spesifik dan menerima sinyal untuk berproliferasi. Setelah berikatan dengan antigen, limfosit B akan mengalami proses perkembangan melalui 2 jalur yaitu a) berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan imunoglobulin, dan b) membelah kemudian kembali dalam keadaan istirahat sebagai sel limfosit B memori. Sel limfosit mampu berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sebuah klon yang terdiri dari sel-sel efektor dengan spesifitas antigen yang sama (Decker, 2001). Sel limfosit T merupakan bagian dari sel limfosit yang sebagian besar terdapat di dalam sirkulasi darah, yaitu sebanyak 65-85% (Kresno, 1996). Sel limfosit T terdiri dari 3 subset yaitu subset sel TC atau subset sel T sitotoksik, subset sel Th atau subset sel helper, dan subset sel Ts atau sel T supressor (Roitt dan Delves, 2001). Tumbuhan obat yang bekerja pada sistem imunitas bukan hanya bekerja sebagai efektor yang langsung menghadapi penyebab penyakitnya, melainkan bekerja melalui pengaturan imunitas.
Bahan-bahan
yang
bekerja
demikian
digolongkan
sebagai
imunomodulator, sehingga apabila kita mengobati penyakit yang disebabkan oleh
16
infeksi mikroorgsanisme dengan imunomodulator, maka imunomodulator tersebut tidak akan langsung menghadapi mikroorganismenya melainkan sistem imunitas akan didorong untuk menghadapi melalui efektor sistem imunitas (Subowo, 1996). Kemampuan limfosit untuk
berproliferasi menunjukkan secara
tidak
langsung terhadap kemampuan respon imunologik (Zakaria et.al. 1992). C. Bahan Pangan yang Mempunyai Aktivitas Peningkatan Proliferasi Limfosit dan Imunomodulasi Menurut Budiharto (1997), vitamin C dan E merupakan bahan pangan yang mempunyai efek imunomodulasi atau dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit.
Bahan lain yang dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit yaitu
ekstrak jahe (Zakaria et al. 1999). Sedangkan ekstrak bawang putih juga dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit
(Lestari, 1998). Menurut Pandoyo (2000), ekstrak
tanaman cincau hijau dapat pula miningkatkan proliferasi sel limfosit. Kecuali itu hasil penelitian dari Setiawati (2003), bahwa teh daun cincau (Cyclea) dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit 141% dan pada penelitiannya terhadap serbuk gel cincau dapat menyebabkan peningkatan proliferasi sel limfosit 122% sedang menurut Aquarini (2005), pada penelitian terhadap bunga kumis kucing (Orthosimiphon stamineus benth) dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit 240%, dan pada penelitiannya terhadap bunga knop (Gomphrena globosa L) dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit 107%. Peneliti lain, Puspaningrum, 2003, ekstrak air kayu secang (Caesalpinia sappan Linn) dapat menyebabkan peningkatan proliferasi sel limfosit 150%. Penelitian terhadap kitooligomer kitin dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit 136% (Hertriyani, 2005). Menurut hasil penelitian Wahyuni (2006), Hidrolisat kitooligomer (FBS 0,0085 1j DD85) dapat menyebabkan peningkatan proliferasi sel limfosit 288%. Cara kerja senyawa-senyawa tersebut diatas adalah melalui mekanisme menginduksi proliferasi sel limfosit. Senyawa oleoresin, shogaol dari jahe dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit B, bahkan senyawa gingerol secara nyata dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit B pada kondisi stres oksidatif (Tejasari et al. 2000).
17
D. Sitotoksik Sitotoksik adalah suatu zat, senyawa atau sel yang mempunyai efek dapat me nyebabkan kerusakan dan kematian terhadap sel dari makluk hidup. Senyawa tersebut bisa berasal dari luar tubuh dan dapat berasal dari dalam tubuh itu sendiri. Menurut Tyler et al. (1995), sel apoptosis menunjukkan terjadinya degradasi DNA menjadi fragmen-fragmen kecil yang terdiri atas beberapa pasang DNA. Fragmentasi DNA terjadi sebelum lisis dan diduga akibat aktivitas endonuklease di dalam nukleus sel sasaran sendiri, sehingga serupa dengan proses bunuh diri. Adanya kematian sel ditandai dengan fenomena sel menjadi lisut, pemecahan selaput intim, kondensasi kromatin dan degradasi DNA (Becker, 2000). Sel normal dan sel yang mengalami kondensasi kromatin dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5
Foto mikroskop elektron dari : a) sel normal dan b) sel yang mengalami kondensasi kromatin (Tyler, 1995)
Menurut Doyle dan Padhye (1995), kematian sel secara umum pada sistem kultur jaringan biasanya melalui apoptosis dan nekrosis. Apoptosis dicirikan dengan terjadinya kondensasi dan fragmentasi inti dan terjadi pengerutan sel. Kematian sel karena apoptosis terjadi oleh perubahan kondisi lingkungan.
18
Menurut Govan et al. (1995), apoptosis merupakan kematian terhadap sel tunggal atau sekelompok sel. Kematian sel disebabkan karena perubahan metabolik di dalam sel yang mengakibatkan sel mengalami gangguan, sehingga terjadi kondensasi sitoplasma dan inti. Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, tetapi sel utama yang berperan dalam pertaahanan non spesifik
adalah
sel
mononuklear
(monosit
dan
makrofag)
serta
sel
polimorfonuklear atau granulosit. Perforin terpolimerisasi untuk membentuk pori transmembran sehingga sitolisis dapat masuk ke dalam membran sel target dengan cara pengikatan ke fosforilkolin. Hal tersebut menyebabkan terjadinya fragmentasi nuklease yang sangat cepat sehingga menyebabkan sel mati dengan cara apoptosis (Roitt, 1991). Menurut Bird dan Forrester (1981), pada perhitungan sel yang mati dapat dilakukan dengan metode pewarnaan biru trifan, yang hanya dapat mewarnai
apabila
sel sudah rusak, sehingga dapat digunakan untuk
membedakan sel hidup, mati atau rusak. Sel yang hidup tidak akan berwarna, berbentuk bulat, sedangkan sel yang mati berwarna biru dan mengkerut. Untuk menguraikan mekanisme apoptosis dan kerusakan sel membran. Menurut Wahyuni (2006), komponen kimia yang memiliki aktivitas anti tumor dapat melalui dua cara, yaitu a) langsung membunuh sel, dan b) secara tidak langsung dengan menggertak sistem imun, dimana cara ini harus dilakukan secara in vivo. Menurut Becker, 2000, bahwa mekanisme terjadinya kerusakan DNA akibat bahan uji dapat terjadi pada tahap sel menyiapkan proses replikasi (G1) dan pada saat setelah sel menyelesaikan proses replikasi DNA dan sedang bersiap untuk mengalami mitosis (G2). Hadirnya bahan uji di dalam sel dapat bertindak sebagai inhibitor CDK yang dapat menekan aktifitas kompolek CDK-siklin dan menghalangi tahap G1dalam siklus sel, sehingga terjadi kematian sel yang disebut apoptosis. Peristiwa apoptosis biasanya dikarakterisasi oleh adanya perubahan permiabilitas membran mitokondria. Menurut Wispriyono et al. (2002), kerusakaan sel merupakan gangguan atau perubahan yang dapat mengurangi viabilitas atau fungsi esensial sel. Stres oksidatif menyebabkan kematian sel secara apoptosis, mencakup proses otodistruksi seluler aktif yang ditandai dengan penyusutan sel, kerusakan membran dan frakmentasi DNA inti sedangkan nekrosis merupakan kematian sel akibat kerusakan berat yang ditandai dengan
19
kerusakan struktur seluler secara menyeluruh diikuti dengan lisisnya sel dan inflamasi jaringan. Kejadian apoptosis dapat divisualisasikan dengan pewarna flurosen karena prinsip kerja zat pewarna yang berperan sebagai interkalator DNA Fluorokrom bis-benzimida triklorida (Hoechst 33342) akan berikatan dengan DNA sel kanker. Hilangnya spesifitas sel yang disebabkan sewaktu sel atau jaringan tersebut masih berada di dalam tubuh, sel atau jaringan tersebut bekerja secara terintegritas dalam satu jaringan dan berhubungan erat dengan yang lain. Sel yang hidup tidak
berwarna, berbentuk bulat, sedangkan sel yang mati
berwarna biru dan mengkerut. Sel natural killer (NK) berperan penting di dalam pertahanan alami terhadap pertumbuhan sel kanker dan berbagai macam penyakit infeksi, khususnya infeksi virus. Sel NK dikenal sebagai large granular lymphocyte (LGL) yang merupakan limfosit besar berisi sejumlah sitoplasma dengan granula azurofilik (Kuby,1992). Menurut Ohno, et al. (1995), untuk menghitung persentase toksisitas seluler dapat dilakukan dengan menghitung selisih antara rata-rata kematian sel yang ditambah zat uji dan rata-rata kematian sel blangko, dibagi dengan selisih rata-rata kematian sel kontrol dan rata-rata kematian sel blangko, dikalikan dengan 100%.
E. Kultur Sel Limfosit dan Proliferasi Sel Limfosit Limfosit adalah sel darah putih (leukosit), yang berukuran kecil, berbentuk bulat dengan diameter 7-15 µm, selain terdapat di dalam darah perifer terdapat juga pada organ limfoid seperti limpa, kelenjar limfe, dan timus. Limfosit merupakan sel kunci dalam proses respon imun spesifik, untuk mengenali melalui reseptor antigen. Populasi limfosit mempunyai reseptor antigen yang beragam, namun setiap limfosit hanya dapat mengenali satu antigen sehingga dalam proses respon imun limfosit saling bekerjasama untuk mengeliminasi beragam antigen yang masuk ke dalam tubuh (Roitt, 1991). Limfosit merupakan sel yang bertanggung jawab dan sesuai untuk membentuk kekebalan adaptif, yang mempunyai keunikan penting yaitu dibatasi /dikelilingi oleh reseptor-reseptor yang memungkinkan terjadinya reaksi terhadap antigen individual. Limfosit dapat mengadakan recirculasi (beredaar kembali) yaitu dari jaringan tubuh ke dalam aliran darah, hal ini menyebabkan reaksi lokal yang diikuti terjadinya spcific
20
memory (Pasaribu dan Joeniman, 1989). Limfosit terdiri dari limfosit B dan limfosit T, limfosit B disintesis menjadi dewasa di dalam sumsum tulang dan menghasilkan antibodi yang berfungsi sebagai imunitas humoral sedangkan limfosit T disintesis menjadi dewasa di dalam timus dan menghasilkan komponen yang berfungsi sebagai mediator untuk imunitas seluler (Abbas dan Lichtman, 2003). Menurut, Pasaribu dan Joeniman (1989), sub populasi utama dari limfosit yaitu limfosit T (thymus dependen) dan limfosit B (bursa atau bone marrow dependent), yang secara kasar mempunyai pengaruh yang sama pada imunitas seluler. Sedangkan sifat utama limfosit T yaitu membantu sel B untuk membuat antibodi. Menurut Langdon (2004), untuk mengisolasi sel limfosit digunakan larutan ficoll-hypaque, disentrifus selama 20-30 menit dengan kecepatan 450 G pada temperatur kamar, akan didapat lapisan sel berinti tunggal. Sel tersebut dapat terlihat pada bagian atas sedangkan granulosit berinti banyak dan eritrosit, keduanya akan terpusat di bawah fase ficoll-hypaque. Untuk memeriksa kematian dan kehidupan sel kultur digunakan alat hematositometer dengan pewarnaan biru trifan, biru trifan hanya mewarnai sitoplasma sel-sel yang mati dengan kerusakan dinding sel. Proliferasi merupakan fungsi biologis mendasar limfosit, yaitu proses diferensiasi dan pembelahan (mitosis) sel. Limfosit adalah sel tunggal yang bertahan baik saat diukur dalam media sederhana, dan secara konsisten tetap dalam tahap diam dan tidak membelah sampai ditambahkan mitogen. Respon proliferatif kultur limfosit digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu (Tejasari, 2000). Menurut Wagner (199), ketahanan sel dapat diukur dengan cara pewarnaan biru trifan, uji ini juga dapat digunakan untuk pengujian terhadap makrofag atau monosit. Uji proliferasi limfosit dapat dilakukan melalui pengukuran kemampuan sel limfosit yang ditumbuhkan dalam kultur sel jangka pendek yang mengalami proliferasi klonal ketika dirangsang secara in vitro oleh antigen maupun mitogen (Valentine dan Lederman, 2000). Menurut Malole (1990), faktor yang mendukung pertumbuhan sel dalam kultur adalah media pertumbuhan. Pemilihan medium merupakan langkah yang penting di dalam teknik kultur sel. Fungsi utama media kultur sel adalah untuk mempertahankan
pH, menyediakan lingkungan yang baik dimana sel dapat
21
bertahan hidup dan juga menyediakan substansi-substansi yang tidak dapat disintesa oleh sel itu sendiri. Menurut Zakaria et al. (1992), kemampuan limfosit untuk berproliferasi atau membentuk klon menunjukkan secara tidak langsung kemampuan respon imunologik atau tingkat kekebalan. Apabila sel dikultur dengan senyawa mitogen, maka limfosit akan berproliferasi secara tidak spesifik, begitu pula bila limfosit dikultur dengan antigen spesifik misalnya kasein susu, maka kemampuan limfosit untuk merespon secara spesifik dapat diukur. Menurut Fresney (1994), menyatakan bahwa protein merupakan komponen serum terbesar dan protein yang penting yaitu albumin dan globulin. Fibronectin (globulin tak larut) berguna untuk merangsang pelekatan sel, sedangkan alpha-2makroglobulin berfungsi menghambat tripsin yang merupakan enzim proteolitik. Fetuin yang terdapat di dalam serum fetus meningkatkan pelekatan sel. Transferin berfungsi mengikat unsur besi. Protein lain yang bermanfaat dalam pelekatan sel dan pertumbuhan mungkin masih banyak, tetapi belum jelas karakteristiknya. Pertumbuhan sel memerlukan pH 7.4, apabila pada proses pembiakan sel, dengan pH media lebih rendah dari 7, maka pertumbuhan sel biasanya terhambat. Sebagai indikator pH media, biasanya digunakan zat warna fenol merah. Media akan berwarna merah pada pH 7.4, oranye pada pH 7.0 dan kuning pada pH 6.5, merah kebiruan pada pH 7.6 dan ungu pada pH 7.8. Pengaturan pH dapat dilakukan dengan penambahan 5% CO2 pada ruangan di atas media. Keseimbangan pH dijaga dengan menambah NaHCO3.HEPES (N-2-hidroxymetil-piperazine-N-2ethansu fonic acid) pada pH 7.2-7.6 merupakan buffer yang kuat dan mulai banyak digunakan. Suhu kultur dipertahankan pada 37oC, untuk menyamakan dengan suhu tubuh. Selain memberi pengaruh langsung terhadap pertumbuhan sel, temperatur juga mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO2 pada temperatur rendah dan mungkin melalui perubahan ionisasi dan pH dari buffer. Kebutuhan oksigen sebesar 95 %. Ketebalan media kultur dapat mempengaruhi difusi oksigen ke dalam sel. Oleh karena itu ketebalannya berkisar antara 2-5 mm. Antibiotik ditambahkan ke dalam media untuk mencegah terjadinya kontaminasi (Fresney, 1994). Menurut Subekti (1997), suhu kultur dipertahankan 37°C, untuk menyamakan dengan suhu tubuh. Selain memberikan pengaruh langsung terhadap pertumbuhan sel, temperatur juga mempengaruhi pH melalui peningkatan
22
kelarutan CO2 pada temperatur rendah dan mungkin melalui perubahan ionisasi dan pH dari buffer. Kultur sel secara in vitro merupakan suatu cara untuk mengembangbiakkan atau menumbuhkan sel di luar tubuh hewan atau manusia. Lingkungan atau bahan makanan untuk pertumbuhan sel secara in vitro diusahakan menyerupai keadaan sel secara in vivo. Oleh karena itu diperlukan media pertumbuhan yang berisi asam-asam amino, vitamin, mineral, garamgaram anorganik, glukosa dan serum. Peranan serum di dalam medium biakan sangat penting yaitu sebagai nutrien untuk pertumbuhan sel serta fungsinya dalam pelekatan sel. Serum memberi kan hormon - hormon penting, faktor penempel sel ke matrik tempat sel tumbuh, protein lipid serta mineral-mineral yang diperlukan sebagian besar jenis sel untuk tumbuh dan berkembang (Freshney, 1994). Proliferasi merupakan fungsi biologis mendasar limfosit, yaitu proses diferensiasi dan pembelahan (mitosis) sel. Limfosit adalah sel tunggal yang bertahan baik saat dikultur dalam media sederhana, dan secara konsisten tetap dalam tahap diam dan tidak membelah sampai ditambahkan mitogen. Respon proliferatif kultur limfosit digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu (Tejasari, 2000). Senyawa oleoresin, shogaol dari jahe dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit B, bahkan senyawa gingerol secara nyata dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit B pada kondisi stres oksidatif (Tejasari et al. 2000). Penelitian jahe lainnya memperlihatkan secara signifikan ekstrak air jahe menperlihatkan efek peningkata proliferasi sel limfosit T, efek perlindungan terhadap limfosit dari stres oksidatif, peningkatan aktivitas sitolitik sel NK, dan menurunkan MDA dalam plasma (Zakaria et al, 2001 c). Sebagian besar penggunaan antibiotik untuk pengendalian kontaminasi dari sel atau kultur jaringan baik terhadap bakteri gram positip maupun bakteri gram negatif. Gentamisin dan siprofloksasin mempunyai aktivitas terhadap pengendalian spesies mikoplasma, penggunaan polynes ampotrisin B dan nistatin dapat digunakan untuk pencegahan kontaminasi oleh ragi dan jamur. Kombinasi dari penisillin G sampai konsentrasi 105 U 1-1 dengan streptomisin 1-1 sulfas (100 mg) dan ampoterisin B (5mg 1-1 ) mencegah terjadinya kontaminasi bakteri dan jamur pada sel dan kultur jaringan, penggunaan gentamisin sulfat pada konsentrasi 50 mg/l dengan streptomisin sulfat dapat digunakan sebagai alternatif, karena
23
kombinasi tersebut mempunyai kemampuan untuk mencegah aktivifitas spesies Pseudomonas (Doyle dan Griffiths 2000). Menurut Pollard dan Walker (1997), 5
penambahan penisillin G 10 IU dan streptomisin sulfat 100 μg untuk mencegah kontaminasi bakteri gram positif, maupun gram negatif (Doyle dan Griffiths, 2000). Menurut Castel dan Gomez-Lechon (1997), pemisahan limfosit dari darah dilakukan pertama-tama ambil darah dengan antikoagulan, sentrifuse, campur dengan ficoll 1:3, sentrifus 800 G selama 25 menit pada suhu kamar, ambil endapan putih tambahkan 5 ml RPMI, sentrifuse 400 G selama 10 menit pada suhu kamar, ulangi dua kali atau lebih, pindahkan ke dalam ficoll-pâque, hitung limfosit menggunakan hematositometer dengan pewarnaan biru trifan, terlihat sel hidup berwarna hijau, dan yang mati berwarna oranye. Pengujian proliferasi sel dapat dilakukan dengan pewarnaan MTT(3-[4,5-dimethylthiazol-2-yl ]-2,5diphenyl-tetrazolium). Prinsip pewarnaan MTT adalah MTT diubah oleh enzim suksinat dehidrogenase di dalam mitokondria menjadi formazan, dengan penambahan DMSO, isopropanol atau larutan yang sesuai, maka formasan dapat diukur absorbansinya secara kolorimetri. Kandungan suksinat dehidrogenase relatif konstan, sehingga jumlah formazan yang terbentuk proporsional terhadap jumlah sel dan merupakan indikasi dari aktivitas mitokondria, yang mana juga dapat merupakan interpertasi pengukuran ketahanan sel. Menurut Doyle dan Griffiths (2000), pengujian ketahanan sel dapat ditentukan berdasarkan aktivitas enzim dehidrogenase dari mitokondria dan dapat diukur secara kolorimetri dengan spektrofotometer. Enzim ditutup oleh substrat kuning dari MTT yang bersifat larut air dan masuk ke dalam formasan berwarna biru tua yang bersifat tidak larut air. Jumlah formasan yang terjadi secara langsung proporsional dengan ketahanan sel. Menurut Kubota et al. (2003), metode penghitungan jumlah sel yang
mengalami
proliferasi
adalah
metode
pewarnaan
MTT(3-[4,5-
dimethylthiazol-2-yl ]-2,5-diphenyl-tetrazolium bromide). Prinsip metode MTT adalah konversi MTT menjadi senyawa formasan berwarna ungu oleh enzim suksinatdehidrogenase dari mitokondria sel hidup. Jumlah formasan yang terbentuk adalah proporsional dengan jumlah sel limfosit yang hidup. Sel yang hidup tidak akan berwarna, berbentuk bulat, sedangkan sel yang mati berwarna
24
biru dan mengkerut (Bird dan Forrester, 1981). Mekanisme reaksi MTT menjadi MTT Formazan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6
Mekanisme reaksi MTT menjadi MTT Formazan (Kubota, et al. 2003)
Selanjutnya menurut Doyle dan Griffiths (2000), kecuali dengan metode MTT tersebut, untuk menghitung sel secara rutin dapat digunakan dengan metode biru trifan. Metode ini menggunakan prinsip penyerapan zat warna biru trifan melalui membran sel dan hanya dapat mewarnai sitoplasma jika membran sel mengalami kerusakan, oleh karena itu pewarnaan ini dapat digunakan untuk membedakan antara sel hidup atau sel mati/rusak. Sel hidup tidak akan berwarna (terang) dan berbentuk bulat, sedangkan sel mati akan berwarna biru dan mengkerut. Pada pemeriksaan dan penghitungan sel limfosit ini secara rutin digunakan alat yang disebut hemtositometer dengan kedalaman chamber 0,1 mm kemudian sel limfosit segera dilihat dengan menggunakan mikroskop dalam keadaan segar (Doyle dan Griffiths, 2000).
F. Mitogen Sebagai Senyawa Pemacu Proliferasi Sel Limfosit Mitogen adalah agen yang mampu menginduksi pembelahan sel, baik sel T maupun sel B dalam persentase tinggi. Mitogen dikenal sebagai aktivator poliklonal karena dapat mengaktivasi banyak klon sel T aqtau sel B tanpa tergantung spesifitas antigennya. Sejumlah mitogen yang umum digunakan adalah protein (lektin) yang berasal dari tumbuhan dan gula terikat. Lektin mengenali perbedaan glikoprotein pada permukaan setiap sel,termasuk limfosit. Namun, tidak semua mitogen adalah lektin. Lipopolisakarida (LPS) adalah komponen
25
dinding sel bakteri gram negatif. Aktivitas mitogenik LPS berasal dari bagian lipid yang berinteraksi dengan membran plasma, kemudian menghasilkan aktivitas seluler (Kuby, 1992). Beberapaa mitogen yang umum adalah concanavalin A
(Con A), phitohemaglutinin (PHA), pokeweed (PWM), dan
lipopolisakarida (LPS). Mitogen Con A dan PHA menginduksi sel T dan sekitar 50-60% sel T memberikan respon terhadap stimulasi Con A dan PHA, sedangkan LPS menginduksi sel B (Kresno, 1996). Mitogen adalah ligan polipeptida yang dapat berikatan dengan reseptor yang terdapat pada permukaan sel. Beberapa jenis mitogen merupakan faktor pertumbuhan yang mengaktivasi tirosin kinase, dikarenakan aktivasi tersebut diawali oleh mitogen yang mengakibatkan adanya urutan sinyal yang berpengaruh terhadap berbagai faktor transkripsi dan berpengaruh terhadap aktivitas gen di dalam sel (Decker, 2001). Menurut Letwin dan Quimby (1987), respon terhadap mitogen tersebut dianggap menyerupai respon limfosit terhadap antigen, sehingga uji tranformasi terhadap rangsangan mitogen tersebut banyak dipakai untuk menguji fungsi limfosit. Stimulasi limfosit dengan antigen maupun mitogen menyebabkan berbagai reaksi biokimia di dalam sel, sebagai contoh fosforilasi nukleoprotein pembentukan DNA dan RNA, peningkatan metabolisme lemak dan sebagainya. Lektin pada umumnya adalah merupakan protein yang berikatan dengan senyawa karbohidrat. Concanavalin A dan fitohemglutinin (PHA) mempunyai struktur tetramer dengan setiap monomernya mempunyai satu situs pengikat karbohidrat sehingga dapat mengikat glikoprotein pada permukaan sel. Selanjutnya menurut Kuby (1992), pokeweed (PWM) adalah merupakan jenis mitogen yang berasal dari tanaman pokeweed (Phitolacca americana). Pokeweed mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan di-N-asetyl kitobiose dan mampu menginduksi sel limfosit B maupun sel limfosit T. Lectin concanavalin A adalah suatu mitogen yang berasal dari legum yang bersifat sebagai imunomodulator karena dapat merangsang proliferasi limfosit. Menurut Letwin dan Quimby (1987), lektin fitohemaglutinin (PHA) adalah protein non enzimatik, berikatan dengan karbohidarat secara reversibel. Fungsi biologis dari lektin adalah mempunyai kemampuan untuk mengenal dan berikatan dengan struktur karbohidrat spesifik khususnya berikatan dengan oligosakarida. Lektin dapat berikatan dengan semua sel yang memiliki molekul
26
permukaan berupa glikoprotein atau glikolipid. Beberapa gugus spesifik lektin telah diidentifikasi seperti manose, galaktose, N-asetil glukosamin, N-asetilgalak tosamin, L-fruktosa, asam N-asetil neraminik. Sub unit lektin saling berhubungan satu dengan yang lain melalui ikatan non kovalen atau ikatan-ikatan disulfida. Beberapa lektin membutuhkan kation divalen seperti kalsium, magnesium dan mangan untuk berikatan dangan karbohidrat. Lebih dari enam famili yang telah dikenal yaitu : lektin legum, lektin sereal, lektin jenis P,C,S dan pentraxis. Menurut Wagner (1999), immunostimulants atau immunopotentiators memegang peranan penting sebagai stimulasi non spesifik dalam sistem
mekanisme
pertahanan tubuh, hal ini bukan termasuk antigen riil, tetapi termasuk antigenomimetic atau disebut mitogens, yang mana mitogen tersebut tidak spesifik dan tidak mempunyai efek terhadap sel memori imunitas, hal ini karena tidak menstimulasi antigen bebas. Beberapa immunostimulants juga dapat menstimulasi sel T-suppressor, sehingga dapat menurunkan resistensi imunitas (Wagner, 1999). Imunoglobulin dibentuk oleh sel-sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat kontak dengan antigen. Antibodi yang terbentuk secara spesifik ini akan mengikat antigen baru yang sejenis (Garvey, 1997).
27
BAB III BAHAN DAN METODOLOGI A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pusat Riset Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI dan di Laboratorium Kultur Jaringan Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi (KRP) Fakultas Kedokteran Hewan IPB, sejak bulan Februari sampai dengan Maret 2006.
B. Bahan dan Alat Bahan yang diperlukan dalam penelitian mencakup bahan baku utama, pelarut dan bahan kimia untuk ekstraksi, bahan-bahan untuk analisis kimia dan uji in-vitro. Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah buah merah segar (Pandanus conoideus Lam) jenis barugum dengan panjang buah ± 40 cm, diameter ±10 cm, warna merah tua, yang diperoleh dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Papua. Sedangkan bahan yang diperlukan untuk mengisolasi dan uji in vitro limfosit adalah : RPMI-1640 (Gibco BRL), NaHCO3, aquabidest, phospat buffer saline (PBS) pH 7.4, fetal bovine serum (FBS) (Sigma Chemical, USA), antibiotik penisilin-streptomisin, H2O2, MTT(3-[ 4,5-dimethyl thizol-2-yl ]-2,5-diphenyl-tetrazolium), larutan biru trifan, larutan HCL- isopropa nol 0.04N, Na2HPO4/Na2HPO4.2H2O, alkohol 70%. Peralatan serta perangat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu flask kultur, lempeng mikrokultur, pipet Pasteur, mikropipet, mikrotip, eppendorf retiter pipett (SIGMA, USA) dan hemasi tometer. Sedangkan peralatan besar lainnya antara lain inkubator VWR Scientific Merk Jouan IG 150, laminar flow hood, sentrifugator, mikroskop, dan spectropho tometer microplate reader. Limfosit diperoleh dari darah segar yang berasal dari donor yang sehat (inform cocern pada Lampiran 5).
C. Identifikasi Buah Merah Identifikasi buah merah dilakukan di Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor, secara makroskopik dan berdasarkan penggolongan takso nomi buah merah tersebut termasuk jenis Pandanus conoideus Lamarck suku
28
Pandaneseae. jenis barugum, panjang ± 40 cm, diameter ±10 cm, warna merah tua (Surat keterangan pada Lampiran 1).
D. Pembuatan Ekstrak dan Minyak Buah Merah Buah merah segar diekstraksi dengan air, metanol dan heksan serta dibuat minyak. Untuk mengetahui pembuatan ekstrak dan minyak buah merah secara umum dapat dilihat pada Gambar 7. Buah merah segar
Dipisahkan dari empulurnya
Ditimbang ± 100 g
Ditimbang ± 700 g
Di potong kecil-kecil Di potong kecil-kecil
Dikukus pada suhu 80 °C selama satu jam
Dimaserasi di dalam pelarut (air, metanol, heksan berturut- turut 500 ml selama 72 jam, 350 ml selama 24 jam dan 250 ml selama 24 jam menggunakan shaker pada suhu kamar.
diperas, disaring
Dipisahkan dengan penyaringan Ampas
Filtrat Direbus pada suhu 45°C selama Filtrat 72 jam menggunakan termostart
Maserat Dievaporasi menggunakan rotary evaporator
Minyak Gambar 7
Ekstrak Tahapan ekstraksi dan pembuatan minyak buah merah
29
Buah merah segar dipisahkan dari empulurnya lalu ditimbang sejumlah ±100 gram, kemudian di potong kecil-kecil, dimaserasi di dalam air 500 ml dengan digoyang menggunakan shaker pada suhu ±29ºC selama 72 jam, selanjutnya residu dimaserasi lagi di dalam air 350 ml selama 24 jam, kemudian dimaserasi dengan air 250 ml selama 24 jam, lalu disaring. Lagkah selanjutnya maserat tersebut dilakukan evaporasi di dalam Rotary Evaporator, untuk membantu pengeringan, dilakukan penguapan menggunakan hot plate pada suhu 45°C, ekstrak yang terjadi ditimbang.
Pembuatan ekstrak metanol Buah merah segar dipisahkan dari empulurnya, ditimbang sejumlah ±100 gram, dipotong kecil-kecil, di maserasi di dalam metanol 500 ml dengan digoyang menggunakan shaker pada suhu ±29ºC selama 72 jam, lalu dimaserasi lagi di di dalam matanol 350 ml selama 24 jam, dan dimaserasi kembali dengan metanol sisa pelarut rotavapor selama 24 jam, disaring akan didapatkan maserat ketiga selanjutnya maserat tersebut dilakukan evaporasi dengan menggunakan Rotary Evaporator, ekstrak yang terjadi ditimbang untuk menentukan rendemen.
Pembuatan ekstrak heksan Buah merah segar dipisahkan dari empulurnya, ditimbang sejumlah ±100 gram, kemudian di potong kecil-kecil, dimaserasi di dalam n-heksan selama 72 jam, dimaserasi lagi dengan n-heksan 350 ml dengan digoyang menggunakan shaker pada suhu ±29ºC selama 24 jam, dan dimaserasi kembali dengan n-heksan sisa pelarut rotavapor selama 24 jam,
disaring, maserat
yang didapatkan
dievaporasi dengan evaporator, ekstrak yang terjadi ditentukan rendemennya.
Pembuatan minyak Pembuatan minyak dari buah merah dilakukan dengan cara memisahkan buah merah tersebut dari empulurnya, lalu dilakukan penimbangan sebanyak ± 700 gram, kemudian dikukus pada temperatur ± 80°C selama satu jam selanjutnya diperas, disaring, filtrat yang terjadi dididihkan pada temperatur ± 45°C secara
30
terus menerus selama 72 jam menggunakan termostart, sehingga keluar minyak, kemudian minyak yang terjadi ditimbang untuk menentukan rendemen.
E. Penentuan Dosis Uji / Konsentrasi Ekstrak Untuk menentukan dosis/ konsentrasi uji didasarkan pada pendekatan dosis referensi yang diminum orang, yaitu 10 ml per hari dan diperhitungkan dengan pengenceran di dalam darah manusia. Cara penentuan dan hasil penghitungan dosis uji/ konsentrasi ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 2. yaitu : 66,7; 33,3 dan 8,3 µg/ml (sebagai dosis normal). Dosis kontrol (+) yaitu lipopolisakarida maupun concanavalin A adalah 50 µg/ml.
F. Pengujian Proliferasi Sel Limfosit Persiapan ekstrak, pereaksi, media kultur 1. Persiapan ekstrak Ekstrak n-heksan dan minyak buah merah dipersiapkan dengan menambahkan 0.15 ml tween 80 ke dalam 0.85 ml ekstrak, sehingga konsentrasi tween pada kultur sebesar 3%. Setelah itu, dibuat pengenceran bertingkat, sehingga diperoleh konsentrasi ekstrak 66,7 μg/ml, 33,3 μg/ml dan 8,3 μg/ml. Pada ekstak air dan metanol langsung diencerkan secara bertingkat sehingga diperoleh konsentrasi ekstrak 66,7 μg/ml, 33,3 μg/ml dan 8,3 μg/ml. Pada ekstrak air dan metanol yang dapat larut dengan pelarut polar, langsung dilakukan pengenceran bertingkat, sehingga diperoleh konsentrasi ekstrak C1 (66,7 μg/ml), C2 (33,3 μg/ml) dan C3 (8,3 μg/ml). 2. Persiapan pereaksi Pembuatan phosphate buffer saline (PBS), komposisi PBS yang digunakan yaitu NaCl, KCl, KH2PO4, Na2HPO4/Na2HPO4. 2H2O, kemudian semua bahan tersebut dicampur dan dilarutkan dalam 500 ml aquabidest dan diatur hingga mencapai pH 7,2. Kemudian larutan tersebut disterilisasi dengan membran sterilisasi (milipore) yang berdiameter 0,22 µm. (pada Lampiran 6).
31
Pembuatan indikator biru trifan 0,20% , bubuk trifan biru sebanyak 0,04 g dilarutkan dalam 20 ml PBS dan diaduk hingga homogen. 3. Persiapan larutan media kultur Media yang digunakan untuk kultur sel adalah RPMI-1640 (Lampiran3). Bubuk RPMI sebanyak 10,42 g dilarutkan dalam 11 aquabidest, kemudian ditambahkan 2 g NaHCO3, dan 1% penisilin-streptomisin. Untuk kultur 90 ml RPMI-1640 ditambahkan 10 ml Fetal Bovine Serum (FBS). Larutan tersebut disterilisasi dengan membran sterilisasi (milipore) yang berdiameter 0,22 µm. Untuk pembuatan MTT 0,5%, bubuk MTT sebanyak 0,25 g dilarutkan dalam 50 ml PBS dan diaduk hingga homogen. Kemudian larutan disterilisasi dengan membran sterilisasi (milipore) yang berdiameter 0,22 µm. Pembuatan isopropanol-HCl 0,04 N dilakukan dengan cara Isopropanol sebanyak 100ml ditambah dengan HCl pekat sebanyak 339 ml.
Isolasi limfosit. Limfosit diisolasi dari darah perifer mahasiswa dewasa sehat, jenis kelamin laki-laki. Pengambilan darah dilakukan oleh seorang perawat, dengan cara darah diambil lewat vena sejumlah 50 ml dengan menggunakan tabung vacutaener steril yang berisi EDTA 5%, kemudian digoyang pelan-pelan, disentrifuse dengan kecepatan 2500 RPM selama 30 menit. Terlihat ada 3 lapisan, lapisan paling atas berwarna kuning dibuang menggunakan mikropipet, lapisan tengah disisakan 1 cm lalu diambil menggunakan mikropipet, kemudian dimasukkan kedalam tabung valkon steril berisi larutan ficoll 3 ml dengan cara dialirkan melewati dinding tabung secara pelan-pelan, kemudian disentrifuse lagi dengan kecepatan 2.500 rpm selama 30 menit pada suhu kamar, terlihat bentukan cincin ditengah, bagian atas cincin dibuang, diambil cincin tersebut setinggi ½ cm bersama cairan dibawahnya dan ½ cm cairan di atasnya, lalu ditambahkan media RPMI hingga 9 ml. Tabung disentrifuse lagi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit pada suhu kamar, terjadi endapan limfosit. Endapan dicuci dengan RPMI sebanyak dua kali, ditambahkan RPMI sebanyak 5 ml, selanjutnya sel limfosit dihitung menggunakan hematositometer dengan cara mengambil 20 µl suspensi
32
limfosit, lalu ditambah dengan biru tripan sebanyak 20 µl, diaduk dengan mikropipet, kemudian sel limfosit dilihat dan dihitung menggunakan mikroskop pada perbesaran 200 X. Jumlah sel limfosit dapat dihitung dengan rumus, lalu 6
dilakukan pengenceran suspensi limfosit sehingga didapat konsentrasi sel 10 /ml. Rumus cara penghitungan sel limfosit dengan menggunakan hematositometer yaitu : N = A x FP x 104 sel/ml
N = Jumlah sel limfosit A = Jumlah sel hidup/mati rata-rata/bidang pandang. FP = Faktor pengenceran
Kultur Sejumlah 80 µl suspensi limfosit dimasukkan ke dalam masing-masing sumur pada mikrokultur, kemudian masing-masing sumur ditambah dengan 20 µl ekstrak air, ekstrak metanol, ekstrak heksan atau minyak, Untuk kontrol (+), sel limfosit dikultur dengan 20 µl lipopolisakarida (LPS) maupun concanavalin A (Con A). Sebagai kontrol (-), suspensi sel limfosit dikultur dengan media standard tanpa dilakukan penambahan apapun, lalu kesemuanya diinkubasi ke dalam inkubator CO2 pada 37 °C, 5% CO2, 95% O2 RH 96% selama 72 jam. Kemudian dilakukan pemotretan dan dilihat terjadinya proliferasi sel limfosit. Penghitungan dan penetapan proliferasi sel limfosit dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara manual menggunakan pewarnaan biru trifan, dan dengan cara pewarnaan MTT. Penghitungan secara manual dilakukan dengan cara suspensi limfosit yang telah diinkubasi selama 72 jam kemudian suspensi limfosit tersebut diambil 20 µl ditambah 20 µl larutan biru trifan, diaduk, lalu dihitung kematian sel limfosit menggunakan hematositometer dan dilihat di mikroskop pada perbesaran 200x. Penetapan proliferasi sel limfosit secara kimia (metode MTT) dilakukan dengan cara menambahkan larutan MTT (3-{4,5-dimethylthiasol-2-yl}-2,5diphenyl-tetrasolium), sebanyak 10 µl ke dalam masing-masing sumur pada saat setelah kultur diinkubasi di dalam inkubator CO2 selama 72 jam, diaduk, diinkubasi kembali di dalam inkubator CO2 selama 4 jam, selajutnya ditambahkan larutan isopropanol-HCl sebanyak 100 µl pada masing-masing sumur, kemudian absorbansinya ditentukan dengan spectrophotometer microplate reader pada
33
panjang gelombang 570 nm. Hasil absorbansi kemudian dapat dihitung persentase aktivitas proliferasi dari sel limfosit dengan rumus berikut dan dihitung EC50 nya menggunakan analisa linieritas regresi ganda. Aktivitas proliferasi sel limfosit selanjutnya dianalisa secara statistik menggunakan analisa statistik dengan t-Test: Two sample assuming equal variances (P(T≤t) one –tail = 0,01. Rumus persentase Pertumbuhan sel =
AE - AK X100% AK
AE : Rata-rata absorban ekstrak AK : Rata-rata absorban kontrol (-)
Skema prosedur uji proliferasi dan uji toksisitas sel limfosit dapat dilihat pada lampiraan Gambar 1, 2 dan 3
G. Penghitungan EC50 (Efective Concentration-50) Setelah dilakukan penghitungan persentase proliferasi sel limfosit, kemudian dilakukan
penghitungan EC50 (Efective Concentration-50). Cara
penghitungan EC50 dilakukan dengan rumus analisa linieritas regresi ganda yaitu : Y= a (x) +b
Y= x= a= b=
A (serapan) konsentrasi/suspensi limfosit yang dicari (EC50) intersep Slope = tangen α -1
Cara penghitungan dan hasil EC50 dapat dilihat pada Lampiran 4..
34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Buah Merah Karakteristik sampel buah merah dapat ditentukan berdasarkan sifat fisikokimia dari ekstrak air, metanol, heksan dan minyak. Kandungan kimia buah merah ditentukan dalam penelitian terpisah oleh Yessica M, 2006 yang meliputi total fenol, total karotenoid dan kadar vitamin E. Sampel yang digunakan penelitian berasal dari sumber ekstrak yang sama, tetapi berbeda konsentrasi. Konsentrasi yang dipakai adalah :C1 = 4.2, C2 = 8.3, dan C3 =16.7 μg/ml. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Total fenol, karotenoid dan kadar vitamin E (ppm) berbagai jenis ekstrak f) Parameter (ppm) Total fenol Total karotenoid Kadar vitamin E f)
Ekstrak air
Ekstrak metanol
Ekstrak n-heksan
Minyak
26.335
23.070
13.052
18.894
0.343
1.213
1.539
4.160
188.649
432.838
113.919
442.838
Yessica (2006).
Dari hasil penelitian pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa total fenol pada ekstrak air paling tinggi, menyusul ekstrak metanol dan ekstrak heksan, hal ini membuktikan bahwa sifat polaritas dari ekstrak berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kadar total fenol (polaritas air>polaritas metanol> polaritas heksan) hal ini dikarenakan bahwa komponen fenolik merupakan komponen polar, sehingga sebagian besar komponen fenolik ikut terekstrak oleh air. Kadar total fenol pada minyak lebih besar dari ekstrak heksan, hal ini dimungkinkan karena pada proses pembuatan minyak terlebih dahulu buah merah diperas menggunakan media air, sehingga sebagian besar fenol terekstrak di dalam air, dan pada ekstrak heksan kadar total fenol paling rendah, hal ini dikarenakan heksan termasuk zat bersifat non polar. Pada penelitian total karotenoid dapat dilihat bahwa total karotenoid di dalam ekstrak minyak sangat tinggi, menyusul ekstrak heksan, metanol, dan air hal ini membuktikan bahwa karotenoid mudah larut di dalam minyak dan sangat
35
sukar larut di dalam air, sehingga komponen karotenoid paling bayak tersari di dalam minyak. Hal ini sesuai dengan Windholz (1983), β-karoten larut di dalam CS2, benzene, kloroform, moderat larut di dam eter, petrolium eter, minyak, sangat sedikit larut di dalam metanol dan etanol, dan praktis tidak larut di dalam air, asam, alkali. Kelarutan β-karoten di dalam heksan adalah 109 mg dilarutkan di dalam 100 ml pada 0ºC. β-karoten, litcin, violavantin, dan neoxantin merupakan karotenoid umumnya terdapat di dalam tumbuhan yang tinggi (Harborne, 1987). Untuk melakukan penelitian terhadap kandungan vitamin E dengan menggunakan α-D,1-tokoferol sebagai standard. Hasil penelitian pada tabel 6 terlihat kandungan vitamin E tertinggi pada minyak yaitu 442.838 ppm dan terendah pada ekstrak air hal ini kemungkinan disebabkan karena vitamin E larut di dalam minyak atau lemak dan relatif tidak larut di dalam air, sehinga pada proses ekstraksi dengan air vitamin E tidak banyak dapat tersari. Hal ini sesuai dengan Ebadi (2002), di dalam tanaman mengandung vitamin yang larut di dalam lemak atau minyak, yaitu vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin K dan vitamin yang larut air yaitu C, B1, B2, B3, B5, B6, B12, biotin, asam folat. B. Rendemen Ekstrak dan Rendemen Minyak Buah Merah Hasil rendemen yang diperoleh pada pembuatan ekstrak dan minyak buah merah tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7
Hasil rendemen beberapa macam ekstrak buah merah
Jenis ekstrak
Air
Metanol
Heksan
Minyak
Rendemen (%)
1.96
17.58
5,83
1,72
Menurut Andarwulan et al. (2006), telah dilakukan penelitian terhadap perbandingan metode antara pembuatan minyak secara tradisional terhadap cara pembuatan minyak dengan modifikasi suhu dan waktu. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.
36
Tabel 8
Rendemen bagian-bagian buah merahg)
Metode Bagian buah merah Biji
Tradisional (%)
Modifikasi 1 (%)
Modifikasi 2 (%)
47.9
47.94
48.00
Minyak
21.00
20.00
18.00
g) Andarwulan et al.(2006)
Hasil rendemen pada pembuatan minyak buah merah adalah 1,72 %, sangat rendah apabila dibandingkan dengan hasil penelitian pembuatan minyak pada Tabel 8 yaitu secara tradisional menghasilkan rendemen 21.00 %, secara modifikasi 1 menghasil kan rendemen : 20.00% dan secara modifikasi 2 menghasilkan rendemen : 18% . Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan suhu dan waktu proses pembuatan minyak tersebut. Hasil pembuatan minyak pada Tabel 8 tersebut dilakukan dengan cara mengukus pada temperatur 100 ºC selama 3 jam, 45 menit dan 15 menit. Sedangkan hasil penelitian pada Tabel 7 dilakukan pengukusan pada temperatur 45 ºC selama 78 jam. Maka lama waktu dan suhu sangat berpengaruh dalam proses pembuatan minyak, sehingga
proses
pembuatan minyak dengan suhu 45 ºC selama 78 jam menghasilkan rendemen ekstrak sangat kecil apabila dibandingkan dengan proses pembuatan minyak dengan suhu 100 ºC. Maksud dari modifikasi 1 dan modifikasi 2 pada ekstraksi adalah untuk merubah suhu dan waktu pengukusan, bahkan pada modifikasi 2 dilakukan pengepresan dengan tekanan (4000-4500 psi) serta dilakukan sentrifus. Pada ekstraksi secara tradisional dilakukan pengukusan pada suhu 100 ºC selama 2 jam tanpa dilakukan pengepresan dan sentrifus. Total karotenoid pada minyak di dalam penelitian ini adalah 14.160 ppm (Tabel 7), hal ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil total karotenoid dari penelitian Andarwulan et al. 2006, yaitu total karotenoid di dalam minyak buah merah segar : 55.00 ppm, pada cara ekstraksi tradisional : 10.022 ppm, pada cara modifikasi 1: 12.427 ppm, pada cara modifikasi 2 : 21.430 ppm. Sedangkan hasil pengujian terhadap kadar vitamin E di dalam minyak buah merah pada penelitian ini adalah 442.838 ppm, sedikit lebih tinggi dibanding dengan hasil penelitian oleh Andarwulan et al. (2006), terhadap kadar vitamin E pada minyak buah merah segar yaitu 3.685 ppm dan lebih tinggi juga terhadap cara ekskstraksi tradisional yaitu 425.52 ppm. Sedangkan bila dibanding terhadap cara ekstraksi modifikasi 1 jauh lebih rendah yaitu 800 ppm. Apabila dibanding dengan cara ekstraksi modifikasi 2, paling rendah yaitu 1.368.26 ppm. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pada buah segar dan metode ekstraksi secara tradisional akan menghasilkan vitamin E yang lebih sedikit dibanding dengan minyak buah merah pada penelitian ini dan secara umum jumlah rendemen minyak yang banyak akan
37
menghasilkan total karotenoid dan jumlah vtamin E yang banyak juga, khususnya pada cara pembuatan minyak metode 1 dan metode 2. Untuk meyakinkan terjadi atau tidaknya kerusakan pada temperatur proses 100 ºC, dapat dilakukan pengujian terhadap aktivitas biologi dari minyak tersebut, misalnya dilakukan pengujian proliferasi dan toksisitas sel limfosit.
Rendemen ekstrak adalah persentasi antara ekstrak yang diperoleh terhadap jumlah simplisia yang diekstraksi ( Dep Kes RI, 2000). Dari hasil ekstraksi diatas diperoleh hasil rendemen yang berbeda-beda, sebagai contoh hasil rendemen ekstrak air dan minyak dari buah merah terlihat paling rendah bila dibandingkan dengan rendemen hasil ekstraksi metanol dan heksan. Hal ini berarti ekstrak metanol dapat menarik semua komponen baik komponen atau zat aktif yang bersifat polar maupun zat aktif yang bersifat non polar, bahkan zat aktif yang bersifat semi polar juga tertarik. Kesemuanya dapat tertarik pada waktu ekstraksi, maka rendemen yang didapat paling tinggi (17,58%), Berbeda dengan ekstraksi air, yang dapat tertarik hanya komponen dan zat aktif yang bersifat polar saja, sehingga hasil rendemen yang diperoleh lebih sedikit (1,96%) begitu pula pada pembuatan minyak dari buah merah, hasil rendemen yang diperoleh paling sedikit (1,72%), dikarenakan yang dapat tertarik hanya komponen atau zat aktif yang bersifat larut di dalam minyak atau lemak saja. Hasil ekstraksi dengan heksan diperoleh rendemen lebih banyak dari pada ekstrak air dan lebih sedikit dari ekstrak metanol (5,83 %). Hal ini kemungkinan besar dikarenakan komponen dari zat aktif yang bersifat non polar lebih banyak dari pada yang bersifat polar, sehingga dapat dikatakan bahwa yang mempengaruhi peningkatan proliferasi dan toksisitas tidak tergantung pada jumlah ekstrak (kuantitas), tetapi sangat dipengaruhi oleh kualitas dan jenis zat aktif yang sesuai. Dari hasil peningkatan proliferasi limfosit tertinggi terjadi pada ekstrak air dan minyak, hal ini sangat menarik untuk di dalami. Proses pembuatan minyak khususnya pembuatan minyak buah merah secara tradisional pertama-tama buah merah diperas bersama air, lalu di didihkan hingga keluar minyak. Dalam proses ini tujuan pendidihan adalah menguapkan air, setelah semua air menguap diharapkan yang tinggal hanya fraksi minyak saja, hal ini dikarenakan titik didih air lebih rendah dari pada titik didih
minyak. Dalam pembuatan minyak buah
merah khususnya secara tradisional, setelah proses pemerasan menggunakan air
38
sebaiknya air dipisahkan terlebih dahulu dari fraksi minyak antara lain dengan cara pengendapan. Pada proses pengendapan, karena pengaruh berat jenis air lebih besar dari pada berat jenis minyak, maka akan terjadi bagian air mengendap di sebelah bawah, dan minyak akan berada pada lapisan bagian atas. Selanjutnya bagian minyak dipisahkan dari bagian air, kemudian dilakukan perebusan pada suhu 45 ºC dan bagian air dapat dimanfaatkan untuk dibuat ekstrak air maupun dapat dikonsumsi langsung.
C. Pengaruh Ekstrak dan Minyak Buah Merah Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Pengujian proliferasi sel limfosit dengan metode MTT Hasil penetapan absorbansi dapat dilihat pada Lampiran 7, sedangkan peningkatan proliferasi (pertumbuhan) sel limfosit dapat dilihat pada Gambar 8.
Nilai proliferasi sel limfosit
250 200
Eks air
150
Eks metanol Minyak
100
Eks heksan 50 0 8,3
33,3
66,7
Dosis (Ug/ml)
Gambar 8
Persentase pertumbuhan sel limfosit
Pada gambar 8 terlihat peningkatan proliferasi sel limfosit paling tinggi terjadi pada ekstrak air, menyusul minyak, ekstrak metanol, dan n-heksan, hal ini dimungkinkan disebabkan oleh kandungan zat bioaktif dari buah merah yang larut air dan larut minyak dapat berfungsi meningkatkan proliferasi sel limfosit. Zat yang larut air antara lain vitamin C, vitamin C, B1, B2, B3, B5, B6, B12, biotin,
39
asam folat. Adapun proliferasi sel limfosit sangat tinggi terjadi pada ekstrak air, hal ini kemungkinan disebabkan oleh zat aktif yang terlarut di dalam ekstrak air mempunyai sifat memacu proliferasi sel limfosit sehingga secara otomatis dapat menurunkan sifat toksisitas dari sel limfosit. Demikian pula pada minyak buah merah terjadi peningkatan proliferasi sel limfosit lebih tinggi dari pada ekstrak metanol dan ekstrak n-heksan, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan zat aktif yang terlarut di dalam lemak atau minyak buah merah tersebut mengandung zat aktif yang dapat menyebabkan peningkatan proliferasi sel limfosit, zat aktif tersebut antara lain vitamin A,D,E (tokoferol) dan vitamin K. Menurut Ebadi (2002), β-karoten merupakan provita min A yang berasal dari tanaman, vitamin C, β-karoten, dan tokoferol (vitamin E) bersifat sebagai antioksidan, selain itu lycopene dan β-karoten mempunyai efek pada kekebalan. Hasil penelitian Zakaria, at al. (2000 b), suplementasi buah dan sayur mengandung vitamin C dan E dapat meningkatkan proliferasi limfosit dan aktivitas sitotoksik NK. Penelitian toksisitas seluler dan proliferasi sel telah dilakukan secara in vitro menggunakan sel limfosit manusia, hal ini sesuai dengan Castell dan Gomez (1997), sel mast dari plasenta manusia, timus dan sel limfosit dalam keadaan segar selalu digunakan untuk penelitian toksisitas seluler. Terlihat ekstrak air pada dosis rendah, sedang dan dosis tinggi mempunyai persentase proliferasi sangat tinggi, lebih dari 200%, menyusul ekstrak metanol pada dosis rendah dan dosis sedang terjadi peningkatan diatas 100%, sedikit menurun pada dosis tinggi. Minyak pada dosis rendah dan sedang terjadi sedikit peningkatan hingga kisaran 50%, tetapi dosis besar terjadi peningkatan persentase proliferasi cukup tinggi mendekati 150%, hingga melampaui ekstrak metanol dan heksan, sehingga dapat dikatakan bahwa minyak baru bisa berefek mulai dari dosis sedang. Pada ekstrak heksan dosis rendah, sedang dan dosis tinggi terjadi peningkatan proliferasi walau hanya lemah yaitu kisaran 50%. Hasil analisa statistik dengan t-Test menunjukkan ekstrak air, metanol, heksan dan minyak buah merah aktivitas proliferasi rata-rata dibanding rata-rata proliferasi kontrol (-) mengalami peningkatan secara nyata (p ≤0.05). Kecuali itu aktivitas proliferasi sel limfosit yang ditambahkan ekstrak dan minyak buah merah dibanding dengan sel limfosit kontrol (-) terjadi peningkatan yang nyata (p≤0.05), yaitu ekstrak air
40
paling tinggi, menyusul minyak, ekstrak metanol, dan terendah ekstrak heksan. Hasil penggabungan dengan data dosis uji, hasil persentase peningkatan proliferasi sel limfosit dari Yessica (2006), dapat dilihat pada Gambar 9. Pada Gambar 9 terlihat bahwa pada dosis 4,2; 8,3 dan 16,7 terjadi kenaikan proliferasi sel limfosit ringan pada kisaran 50%, hal ini hampir seiring antara ekstrak air, metanol, heksan dan minyak. Mulai dosis 33,3; 66,7 ekstrak air terlihat terjadi kenaikan proliferasi sel limfosit sangat tinggi yaitu lebih dari 200% menyusul minyak, ekstrak metanol dan ekstrak n-heksan. Dapat dikatakan bahwa hasil penelitian dengan tiga tingkatan dosis dan lima tingkatan dosis tidak ada perubahan, tetap urutan peningkatan proliferasinya berturut-turut ekstrak air paling tinggi, menyusul minyak, ekstrak metanol dan ekstrak n-heksan.
Nilai proliferasi sel limfosit
250 200
Eks air 150
Eks metanol minyak
100
Eks heksan 50 0 4,2
8,3
16,7
33,3
66,7
dosis (Ug/ml)
Gambar 9
Persentase pertumbuhan sel limfosit dengan lima dosis
Faktor penyebab terjadinya peningkatan proliferasi tersebut kemungkinan disebabkan oleh kandungan bioaktif yang terdapat di dalam buah merah yang diteliti, baik kandungan zat aktif yang larut di dalam air maupun di dalam minyak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian terhadap sampel uji yang dilakukan oleh Yessica, 2006. Adapun penelitian tersebut meliputi kandungan bioaktif yang larut air, diperoleh hasil : Kadar fenol ekstrak air adalah 26.4 ppm, ekstrak metanol : 23.1 ppm, ekstrak heksan : 13.1 ppm dan kadar fenol dari minyak buah merah adalah 18.9 ppm. Hasil penelitian terhadap zat bioaktif yang larut minyak adalah
41
kadar karotenoid ekstrak air : 0.4 ppm, ekstrak metanol : 1.2 ppm, ekstrak heksan : 1.6 ppm dan kadar karotenoid minyak : 4.2 ppm. Sedangkan kadar vitamin E dari ekstrak air adalah 188.7 ppm, dari ekstrak metanol : 432.9 ppm, ekstrak heksan : 114.0 ppm dan kadar vitamin E dari minyak buah merah adalah 442.9 ppm. Selain hasil penelitian tersebut, dikuatkan pula dengan dilakukannya penelitian kandungan zat bioaktif dari sampel yang lain oleh Andarwulan et al. 2006, Hasil penelitian tersebut antara lain ekstrak biji buah segar mengandung total karotenoid 647,2 ppm, β-karoten 1.9 ppm, total tokoferol 802,6 ppm, α tokoferol 425,5 ppm. Minyak buah merah mengandung total karotenoid 55.0 ppm, β-karoten 9.2 ppm, total tokoferol 42.0 ppm, dan α tokoferol 3.7 ppm. Selain itu telah dilakukan pula penelitian sifat fisiko-kimia terhadap ekstrak buah merah seperti viskositas, indeks bias, berat jenis, titik asap, titik cair, kadar air, bilangan asam/FFA, peroksida,
penyabunan dan bilangan Iod (Andarwulan et
al, 2006). Pada kondisi dan konsentrasi yang sama, ekstrak air buah merah dapat menyebabkan peningkatan proliferasi sel limfosit paling tinggi, menyusul minyak, eksrak metanol, dan ekstrak heksan, hal ini kemungkinan besar disebabkan terjadinya sinergisme antara komponnen-komponen bioaktif di dalam ekstrak dan minyak buah merah tersebut, walaupun masih perlu dilakukan penelitian untuk pembuktiannya. Sifat sinergisme antara komponen bioaktif tersebut telah disampaikan oleh beberapa peneliti lain, misalnya menurut Zakaria et al. (2000), pada konsentrasi dan kondisi yang sama, ekstrak air jahe lebih mampu untuk menghambat pembentukan malonaldehida dibandingkan dengan α-tokoferol. Sinergisme antara antioksidan fenolik pada ekstrak air jahe mungkin mempengaruhi penghambatan pembentukan malonaldehida. Menurut Nurrahman et al. (1999), Adanya sinergisme menyebabkan konsumsi kombinasi isoflavon dan α-tokoferol akan menurunkan konsentrasi malonaldehid, meskipun konsumsi isoflavon tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar malonaldehida dari LDL teroksidasi. Minyak dan ekstrak kasar dari buah merah cukup baik untuk meningkat kan proliferasi dan tidak toksik terhadap sel limfosit manusia, maka tidak perlu di
42
fraksinasi dari ekstrak tersebut. Skema prosedur uji proliferasi dan toksisitas sel dapat dilihat pada Lampiran 9.
Hasil foto proliferasi sel limfoait Kultur yang telah ditambahkan ekstrak dan minyak buah merah serta kontrol (-) maupun kontrol (+) diinkubasi di dalam inkubator CO2 selama 72 jam, kemudian dilakukaan pengambilan foto. Hasil foto dari suspensi limfosit yang dikultur dengan penambahan ekstrak air, minyak, ekstrak metanol dan ekstrak heksan dapat dilihat pada Gambar 10.
Kontrol (-)
Ekstrak air
Minyak
Ekstrak metanol
Ekstrak heksan
Kontrol (+)
Gambar 10 Proliferasi sel limfosit yang ditumbuhkan pada media dengan penambahan ekstrak dan minyak buah merah Pada Gambar 11 terlihat bahwa kontrol (-) terlihat terjadi proliferasi sel limfosit, tetapi tidak terlalu banyak bila dibanding dengan ekstrak air. Untuk minyak terjadi
43
proliferasi sel lebih banyak dari pada kontrol (-), tetapi lebih sedikit dari pada ekstrak air, begitu pula pada ekstrak metanol terjadi proliferasi lebih banyak apabila dibanding dengan kontrol (-), tetapi lebih sedikit dari pada ekstrak air dan minyak. Selanjutnya, pada ekstrak heksan terlihat terjadi proliferasi lebih banyak apabila dibandingkan dengan kontrol (-) tetapi lebih sedikit dari pada ekstrak air, minyak dan metanol. Pada minyak terlihat sedikit kotor karena kemungkinan di dalam kultur masih ada fraksi minyak yang ikut. Untuk kontrol (+) terlihat terjadi proliferasi sel lebih banyak dari pada kontrol (-) tetapi lebih sedikit bila dibanding dengan ekstrak air, minyak, ekstrak metanol, dan heksan. Berdasarkan perhitungan secara statistik menggunakan analisa
statistik
dengan t-T est: Two sample assuming equal variances (P(T≤t) one –tail = 0,01 terhadap ekstrak air, minyak, ekstrak metanol, dan ekstrak heksan buah merah, didapat hasil perhitungan bahwa dengan penambahan ekstrak air, minyak, ekstrak metanol, dan ekstrak heksan dari buah merah ke dalam suspensi sel limfosit di dalam media kultur, dapat menyebabkan peningkatan proliferasi sel limfosit secara signifikan. Perhitungan analisa statistik tersebut dapat dilihat pada Lampiran 12,13,14 dan 15. Dari hasil tersebut dapat terlihat bahwa proliferasi sel limfosit tertinggi terjadi pada penambahan ekstrak air, menyusul penambahan minyak, ekstrak metanol, dan terendah terjadi pada penambahan ekstrak heksan. Berdasarkan hasil perhitungan analisa statistik dan dikuatkan dengan hasil foto pemeriksaan secara mikroskopik tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum dengan penambahan ekstrak air, minyak, ekstrak metanol, ekstrak heksan dengan konsentrasi/dosis meningkat dapat menyebabkan peningkatan proliferasi sel limfosit. Pada penambahan ekstrak air dan minyak buah merah menyebabkan peningkatan proliferasi sel limfosit sangat tinggi. Hasil Penghitungan EC50 EC
50
(Effective Concentration
50)
adalah suatu dosis (konsentrasi) dimana pada
dosis tersebut sudah dapat menyebabkan efek proliferasi 50%. Penghitungan EC50 adalah dengan cara persamaan garis regresi linier. Secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 4. Hasil penghitungan Effective Concentration dilihat pada Tabel 9.
50
(EC
50)
dapat
44
Tabel 9
Hasil EC50 ekstrak air, metanol, heksan dan minyak buah merah dari berbagai konsentrasi Ekstrak EC50 ( µg/ml)
Air
Metanol
0,97
0,98
Heksan
Minyak 1,6
1
Dari data diatas dapat dilihat bahwa EC50 terendah adalah ekstrak air, menyusul ekstrak metanol, ekstrak heksan, dan tertinggi adalah minyak. Hal ini membukti kan bahwa sifat polaritas dari ekstrak cenderung sangat mempengaruhi kemampuan menimbulkan proliferasi, makin tinggi polaritas dari ekstrak makin kecil dosis yang diperlukan untuk dapat menimbulkan proliferasi. Contoh lain dari pehitungan EC50 adalah penelitian dari Lisdawati (2002), tentang bioasai anti kanker terhadap
sel leukomia L1210
dengan penambahan beberapa macam
ekstrak kasar buah mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.]. Hasil EC50 dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Hasil bioasai anti kanker dan EC 50 dengan sel leukomia L1210 terhadap ekstrak kasar etil asetat daging buah, metanol daging buah, n-heksan kulit biji, etil asetat kulit biji dan metanol kulit biji mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] h) Dosis (µg/ml)
Jumlah sel X 104
Efektifitas (%)
EC 50 (µg/ml)
12 10 5 0 12 10 5 0 12 10 5 0 12 10 5 0 12 10 5 0
3 29 47 88.5 19 35 46 88.5 6 21 46 88.5 4 11 34 88.5 16 30 61 88.5
96.6 67.2 46.9
5.76
78.5 60.5 48.0
5.80
93.2 76.3 48.0
5.35
95.5 87.6 61.6
<5.0
81.9 77.4 23.2
7.47
Jenis ekstrak Eks. kasar etil asetat daging buah
Ekstrak kasar metanol daging buah
Ekstrak kasar n-heksan kulit biji
Ekstrak kasar Etil asetat kulit biji
Ekstrak kasar metanol kulit biji h)
Lisdawati (2002)
45
Pada tabel 12 terlihat bahwa EC50 ekstrak kasar etil asetat daging buah : 5.76 µg/ml, ekstrak kasar metanol daging buah : 5.80 µg/ml, ekstrak kasar n-heksan kulit biji : 5.35 µg/ml, ekstrak kasar etil asetat kulit biji µg/ml dan ekstrak kasar metanol kulit biji : 7.47 µg/ml. EC50 dari ekstrak buah mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] terhadap sel leukemia L1210 adalah <5.0-7.47 µg/ml, dosis ini lebih besar bila dibanding dengan EC50 dari ekstrak dan minyak buah merah terhadap efektifitas peningkatan proliferasi sel limfosit yaitu 0.97-1.6 µg/ml. Perbedaan dosis tersebut kemungkinan disebabkan perbedaan zat bioaktif antara kedua ekstrak tersebut. Selain itu karena mekanisme untuk menimbulkan efek pada sel limfosit berbeda dengan mekanisme untuk menimbulkan efek pada sel leukomia L1210.
D.
Pengaruh Ekstrak dan Minyak Buah Merah Terhadap Toksisitas Sel Pemberian ekstrak dan minyak buah merah pada kultur selain diuji
terjadinya peningkatkan proliferasi sel limfosit, maka diperiksa pula terhadap kemungkinan terjadinya toksisitas seluler terhadap sel limfosit. Toksisitas seluler dapat ditentukan dengan memeriksa kematian dari sel limfosit. Cara dan hasil perhitungan kematian sel dapat dilihat pada Lampiran 3b, 8a, 8b, 8c, 8d. Adanya kematian sel limfosit tersebut bukan semata-mata merupakan akibat pemberian ekstrak dan minyak buah merah, melainkan dapat terjadi karena kematian sel secara fisiologis, karena umur sel limfosit pada manusia ± 7 hari. Hal ini dikuatkan oleh
Metcalf dan Wiadrowski (1996), waktu generasi dari sel
limfosit sedang dan limfosit besar di dalam timus mencit dewasa antara 6-8 jam. Estimasi yang sama juga dilaporkan terjadi di dalam pusat pertumbuhan (germinal centers) dari limfonodus dan limfa (Fliedner et al.1964b dan Hanna, 1964). Menurut Matsuyama et al. (1966), Osmon dan Everett (1964), melakukan analisa secara autoradiographic terhadap limfosit pada hewan laboratorium menunjukkan waktu kematian dari sel limfosit kecil di dalam timus dan sumsum tulang belakang
adalah 2-4 hari. Hasil penghitungan kematian sel dapat dilihat pada
Gambar 11.
Kemation Sel Limfosit (x10.000)
46
160 140 120 100
Eks. air Eks. M etannol
80
Ekst. Heksan
60
M inyak
40 20 0 8.3
33.3
66.7
Dosis (Ug/ml)
Gambar 11 Tingkat kematian sel limfosit Jumlah sel yang mati mempunyai kecenderungan menurun sesuai dengan peningkatan dosis uji, dengan kenaikan dosis uji tersebut ekstrak air terjadi penurunan tingkat kematian sel limfosit sangat tajam. Tingkat kematian sel yang rendah cenderung terjadi pada ekstrak yang mempunyai sifat polaritas tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa sifat polaritas ekstrak makin tinggi (polaritas air >metanol > minyak > heksan), maka makin rendah sifat toksisitasnya dan polari tas ekstrak makin tinggi, akan mempunyai sifat proliferasi sel makin tinggi. Kecuali penggunaan tiga tingkatan dosis uji tersebut di atas, pada kesempatan ini dipaparkan pula tingkat kematian sel limfosit dengan lima tingkatan dosis. Penggabungan dosis tersebut dilakukan dengan menambah dua dosis yaitu dosis ke 1 (4.2 µg/ml) dan dosis ketiga (16.7µg/ml) yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap sampel uji yang sama oleh Yessica (2006), Tingkat kematian sel limfosit dengan 5 dosis dapat dilihat pada Gambar 12. Pada Gambar 12 terlihat penurunan tingkat kematian sel limfosit, seperti pada Gambar 11, yaitu penurunan terendah tetap terjadi pada ekstrak air, kemudian pada minyak, selanjutnya pada ekstrak metanol dan ekstrak heksan terjadi penurunan hampir sama, tetapi ekstrak metanol terjadi penurunan sedikit lebih rendah dari pada ekstrak heksan. Hasil penghitungan kematian sel dengan menggunakan 5 dosis dapat dilihat pada Gambar 12.
Kematian Sel Limfosit (x10.000)
47
160 140 120 Eks. air
100
Eks. M et annol
80
Ekst . Heksan M inyak
60 40 20 0 4.2
8.3
16.7
33.3
66.7
Dosis (Ug/ml)
Gambar 12 Tingkat kematian sel limfosit dengan lima dosis uji. Pada ekstrak air mengalami penurunan yang sangat tajam mulai dosis kedua, pada dosis ke empat dan ke lima terjadi penurunan terendah yang konstan. Pada minyak terjadi penurunan yang cukup tajam mulai dosis keempat hingga mencapai titik terendah mendekati ekstrak air. Perbedaan angka kematian sel limfosit tersebut berarti menunjukkan perbedaan derajat toksisitas selular. Kematian sel limfosit yang rendah berarti
ekstrak tersebut tidak menyebabkan toksisitas seluler.
Berdasarkan gambar 11 dan12 secara umum dapat terlihat bawa dengan penambahan ekstrak air, ekstrak metanol, ekstrak heksan dan minyak buah merah dengan konsentrasi/dosis meningkat menyebabkan jumlah kematian sel limfosit menurun secara gradual. Khusus pada penambahan ekstrak air dan minyak akan menyebabkan penurunan kematian sel limfosit sangat tajam, berarti dengan penambahan ekstak air, ekstak metanol, ekstak n-heksan dan minyak buah merah relatif tidak menyababkan toksisitas terhadap sel limfosit. Telah banyak peneliti lain yang
menggunakan metode/prosedur uji
proliferasi sel limfosit dan toksisitas seluler yang sama tetapi dengan bahan uji yang berbeda dari penelitian ini, seperti oleh Wahyuni (2006), pada penelitian dengan judul ”Aktivitas kitooligomer hasil reaksi enzimatik terhadap proliferasi sel limfosit dan sel kanker”. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 11dan 12.
48
Tabel 11 Pengaruh inkubasi bersama hidrolisat kitooligomer dan mitogen terhadap proliferasi sel limfosit i) Hidrolisat
% Stimulasi proliferasi Mitogen Con A
Mitogen PKW
215.90 198.57 207.12 268.43 218.96 116.39 184.48 -
263.90 196.56 308.26 267.14 318.77 205.26
FBS 0.0085 1jDD85 FBSMn 0.0085 1jDD85 AS 0.0085 1jDD85 AS 0.10 1jDD85 AS 0.17 1jDD85 EM 0.0085 1jDD85 Con A PKW i) Wahyuni (2006)
Tabel 12 Pengaruh senyawa kitooligomer terhadap aktivitas anti kanker (Hasil pengujian kebocoran membran)j)
1.
Sel hela tapa hidrolisat kitooligomer
0.101
0.085
Aktivitas anti kanker (%) 0
2.
Sel hela dengan hidrolisat kitooligomer FBS 0.0085 1j DD85 AS 0.0085 1j DD85 AS 0.005 3j DD85
0.111 0.138 0.250
0.134 0.163 0.339
9.47 16.08 18.90
No
Sampel
Abs 280
Abs 280
j). Wahyuni (2006)
Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa dengan penggunaan metode uji tersebut diatas, dapat sebagai referensi dan dapat mendukung keabsahan metode uji yang digunakan dalam penelitian efek toksisitas dan proliferasi sel limfosit manusia pada pemberian ekstrak dan minyak buah merah (Pandanus Conoideus Lam)”.
49
BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa : 1. Pada konsentrasi 8,3 µg/ml, 33,3 µg/ml, 66,7 µg/ml semua ekstrak dan minyak dari buah merah yang diuji tidak menyebabkan toksisitas terhadap sel limfosit manusia. 2. Semua ekstrak dan minyak dari buah merah dapat menyebabkan peningkat an proliferasi sel limfosit sehingga secara tidak langsung dikatakan dapat meningkatkan imumunomodulator. Peningkatan proliferasi sel limfosit seiring dengan sifat polaritas dari
ekstrak, makin tinggi polaritas ekstrak,
maka semakin tinggi peningkatan proliferasinya. Efektivitas proliferasi sangat berhubungan dan tergantung dari tinggi rendahnya dosis uji, makin tinggi dosis uji akan semakin tinggi pula efektivitas proliferasinya.
B. Saran Saran yang disampaikan pada karya ilmiah ini adalah : 1. Untuk memastikan bahwa peningkatan proliferasi sel limfosit tersebut aki bat sinergisme dari masing-masing zat aktif yang terlarut di dalam ekstrak kasar, maka disarankan untuk dilakukan penelitian tentang terjadinya sinergisme antara zat bioaktif dari ekstrak kasar tersebut. 2. Untuk memastikan apakah aktivitas proliferasi merupakan aktivitas immunostimulan, maka disarankan dilakukan penelitian lebih lanjut tentang mekanisme terjadinya proliferasi sel limfosit tersebut, sehingga dapat ditentukan apakah mekanisme tersebut seperti mekanisme lipo polisakrida, concanavalin A, mitogen, atau mekanisme immunostimulan. 3. Karena ekstrak air menyebabkan peningkatan proliferasi sel limfosit paling tinggi, maka disarankan dalam proses pembuatan minyak dari buah merah, terlebih dahulu dipisahkan bagian air dari bagian minyak bisa dengan cara pengendapan, kemudian air tersebut dapat di buat ekstrak air maupun langsung dikonsumsi.
50
DAFTAR PUSTAKA Abbas AK. dan Lichtman AH. 2003. Cellular and Molecular Immunology, fifth edition. Copyright by Elsivier Science USA. Halaman 17. Andarwulan N , Palupi NS. dan Susanti, 2006. Pengembangan Metode Ekstraksi dan Karakterisasi Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.). Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI). oleh Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia Bekarjasama Dengan Fakultas Teknologi Pertanian dan Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, halaman R 508, R 510. Anonim. (2005). Khasiat Buah merah (http://www.geocities.com/lanklax/buah me rah/index.htm). [ 15 April 2007] Aquarini TH. 2005. Ekstrak Kumis Kucing (Orthosimphon stamineus benth) dan Bunga Knop(Gomphrena globosa L.) Meningkatkan Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara in vitro.Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Becker WM, Kleinsmith LJ, Hardin J. 2000. The World of The Cell. The Benjamin/cummings Publ. San Fransisco. Bellanti JA. 1993. Imunologi III. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Bird BR, Forrester FT. 1991.Basic Laboratory Teckhniques in Cell Culture.U.S. Departement of Health and Huma Services. Public Health Service. Atlanta. Bratawidjaja KG.2002. Imunologi Dasar Fakultas Kedokteran Universitas Indone sia, Jakarta hal. 119 – 125. Budiharto A. 1997. Pengaruh Intervensi Vitamin C dan Vitamin E dari Sayuran dan Buah-Buahan terhadap Proliferasi Sel Limfosit T, Persentase CD3+ dan Sel T sub set CD3+ CD4+ pada Populasi Buruh Industri di Bogor. Skripsi. [Fateta[. Institut Pertanian Bogor. Budi IM. 2001. Kajian Kandungan Zat Gizi dan Sifat Fisiko Kimia Berbagai Jenis Minyak Buah Merah(Pandanus conoideus Lam) Hasil Ekstraksi Secara Tradisional di Kabupaten Jayawijaya. Propinsi Irian Jaya. Tesis. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Castell JV. dan Gomez-Lechon MJ. 1997. In Vitro Methods in Pharmaceutical Research . Copyright by Academic Press Inc. California. Halaman 43. Colegate MS, Molyneux JR. 1993. Bioactive Natural Products. Boca Rotan , SRC Press. Halaman 288, 298-9, 304-06.
51
Decker JM. 2001. Introduction to Immunology. Blackwell Scientific, Inc. Massa Chusetts, USA. Dep Kes RI . 2000. (Departemen Kesehatan RI). Acuan Sediaan Herbal. Edisi pertama, digandakan oleh PT Indo Farma Jakarta, hal.7-8. Doyle A dan Griffiths JB. 2000. Cell and Tissue Culture for Medical Research. copyright by John Wiley & Sons, Ltd. England. Halaman 12, 17. Doyle MP, Padhye NV. 1995. Escherichia coli.Univerdity of Wisconsin-Madison, Marcel Dekker. New York. Ebadi M. 2002. Pharmacodynamic Basic of Herbal Medicine. University of North Dakota Grand Forks, CRC Press LLC, USA. Halaman. 51, 57, 85. Fliedner TM, Kesse M, Gronkite EP, and Roberson JS.1964b : Cell Proliferation in Germinal Centres of the Rat Spleen. Ann. N.Y. acad.Sei., 113:578. Freshney IR. 1994. Culture of Animal Cells. Jhon Willey and Sons Co. New York. Ganong WF.1990. Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Garvey JS, Cremer NA, Sussdorf DH. 1997. Cellular Antigens. Methods in Immunology. 3 rd ed. New York. Addison Wesley Publishing CO. Inc. Halaman 347-371. Goldberg L. 1994. Funcional Foods. Chapman and Hall, New York. Govan DT, Macfariane PS, Callander R. 1995. Pathology Illustrated. Churchill Living stone. New York. Hanna MG. 1964. An Autoradiographic Study of the Germinal Center in Spleen White Pulp During Early Intervals of the Immune Response. Lab. Invest. 13 : 95. Hertriyani. 2005. Produksi Oligomer Kitin dan Enzim Kitinase dan Aktivitasnya terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara in vitro.Skripsi. [Fateta] Institut Pertanian Bogor. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terbitan kedua, Penerbit ITB Bandung. Jakubowski. 2000. Apoptosis : Programmed Cell Death. Nature 405:85. Keim Ary Prihardhyanto. 2005. Pandan Buah Merah, Klasifikasi dan Permasalah an yang Terkait Dengannya. Bagian Botani (Herbarium Bogoriense) Pusat Penelitian Biologi LIPI.
52
Kresno SB. 1996. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi II. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Krinsky I.1992. Mechanism of Action of Biological Antioxidants. The Society for Experimental Biology an Medicine. Boston, Massachussets. Kubota T. 2003. Cancer Chemotherapy Chemosensitivity Testing is Useful In Evaluating the Appropriate Adjuvant Cancer Chemotherapy for Stages III/IV Gastric Cancers Without Peritoneal Dissemination. Anticancer Res. 23:583-587. Kuby J. 1992. Immunology. W.H. Freeman and Company. New Yorl USA. Langdon SP. 2004. Cancer Cell Culture, Methods and Protocols, Humana Press Inc. 999 Riverview, Suite 208, Totowa, New Jersey 07512. Halaman 144 Lestari DS. 1998. Mempelajari Pengaruh Komponen Bioaktif Bawang Putih terhadap Aktifitas Sitolitik Sel Limfosit Manusia Secara in vitro.Tesis. [Fateta], Institut Pertanian Bogor. Letwin BW, Quimby Fw.1987. Effects of Cocanavalin A, Phytohemaglutinin, Pokeweed Mitogen, and Lipopolysaccharide on the Replication and Immunoglobulin Synthesis by Canine Peripheral Blood Lymphocytes In vitro. Immunol Lett. 14:79-85. Lisdawati. 2002. Bioasai Anti Kanker Terhadap Sel Leukemia L1210 Dengan Penambahan Beberapa Macam Ekstrak Kasar Buah Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.]. Tesis Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Jakarta. Malole MBM. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mancini G, Carbanora AO. 1996. Immuno Chemical Quantitation of Antigens by Single Radial Immunodifusion. Immunochem. Halaman 235-54. Martha Windholz. 1983. The Merck Index an Enclopedia of Chemicals Drugs, and Biologicals, Tenth edition, Editor Published by Merck –Co., Inc. Rahway. NJ. USA. Halaman 259 – 259. Matsuyama M, Wiadrowski M, and Metcalf D. 1966. Autoradiographic Analysis of Lymphopoiesis and Lymphocyte Migration in Mice Bearing Multiple Thymus Grafts. J. Exp. Med. 123 : 559. Mazza G.1998. Fungtional Food, Biochemical & Processing Aspect, Technomic Publishing Company, Inc. USA. Halaman 1.
53
Metcalf D and Wiadrowski M. 1966. Autoradiographic Analysis of Lymphocyte Proliferation in the Thymus and in Thymic Lymphoma Tissue Cancer Res., 26 : 483. NADFC RI (National Agency of Drug and Food Control The Republic of Indonesia). 2004. Monograph of Indonesian medicinal plant exctracts. First edition, Jakarta. Halaman i. Ohno T, Itagaki H, Hatao M, Hattori C, Hayasaka A, Hayashi M, Hori H, Ishibashi T, Kato M. 1995. Validation study on five cytotoxicity Assys by JCAAE VII. 1st. Correspondence : The working group of JCAAE. C/O. Ohno T, RIKEN Cell Bank, 3-1-1 Koyadai, Tsukuba Science, Ibaraki 305, Japan. Osmond DG dan Everett NB. 1964. Radioautographic Studies of Bone Marrow Lymphocytes in vivo and in Diffusion Chamber Cultures. Blood, 23: 1. Pandoyo AS. 2000. Pengaruh Aktivitas Ekstrak Tanaman Cincau Hijau (Cycle barbata L. Miers) terhadap Proliferasi Sel Limfosit Darah Tepi Manusia Secara in vivo. Skripsi. [Fateta. Institut Pertanian Bogor. Papas AM.1999. Antioxidant : Status, Diet, Nutrition and Health. CRC Press, New York. Pasaribu FH, Joeniman B, 1999 Pengantar Imunologi. Laboratorium Teknologi Biomedis, PAU Bioteknologi – IPB. Parslow TG, Bainton DF. 1992. Innate Immuniity. di dalam Stites DP, Terr Al, Parslow Tg. editor. Medical Immunology. Prentice Hall International. Inc. California 49. Playfair JHL.1987. Immunology at Glance. Fourth edition, Blackwell Scientific Publications, Boston, Massachusetts, USA. Laboratorium Teknologi Biomedis, PAU Bioteknologi – IPB. Pollard Jeffrey W dan Walker John M. 1997. Basic Cell Culture Protocols, Methods in Molecular Biology. Volume 75. Second edition, Humana press Inc.999 Riverview Drive, Suite 208, Iowa, New Jersey 07512. Halaman 91. Puspaningrum R. 2003. Pengaruh Ekstrak Kayu Secang (Caeselvinia sappan Linn) terhadap Proliferasi Sel Limfosit Limpa Tikus dan Sel Kanker K562 (Chronic myelogenous Leukimia) Secara in vitro.skripsi. [Fateta] Institut Pertanian Bogor. Ranney MW. 1979. Antioxidants Recent Development. Noyes data Co. Park Ridge, New Jesrsey, USA.
54
Reed JC.1999. Dysregulation of Apoptosis in Cancer. J of Clin Oncol. 17 : Halaman 29-41. Roitt IM. 1991. Essential Immunology, Blackwell Science Publication London. Kikyzaki H, Kobayashi M, Nakatani N.1991. Diarylheptanoids from Rhizomes of Zingiber officinale, Phytochemestry 30 (11) : 3651. Roitt IM, Delves PJ.2001. Essential Immunology.10 Ltd. London.
th
edition. Blackwell Science
Rusmarilin H. 2003. Aktivitas Anti Kanker Ekstrak Rimpang Lengkuas Lokal(Alpinia galangal (L) SW) pada Alur Sel Kanker Manusia Serta Mencit yang Ditransplantasi Dengan Sel Tumor Primer. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Setiawati R. 2003. Pengaruh Produk Daun Cincau Hijau Cyclea barbata L.Miers dan Premna oblongifolia Merr. terhadap Kapasitas Antioksidan Limfosit Mencit C3H Bertumor Kelenjar Susu. skripsi. [Fateta]. Institut Pertanian Bogor. Sigma Product Information. 2004. 5-Bromo-2-deoxyuridine. Sigma Aldrich. Subekti EM. 1997. Pengaruh Pemberian Vitamin A, E dan C Serta Minyak Sawit terhadap Proliferasi Limfosit dan Kadar Merah (CPO) Malonaldehid PlasmaTikus Percobaan yang Diberi Ransum Malathion. Program Pasca Sarjna IPB. Bogor. Subowo. 1996. Efek Imunomodulator Dari Tumbuhan Obat. Warta Tumbuhan Obat Indonesia : 3(1) : 1-4. Supari F. 1996. Radikal Bebas dan Patofisiologi Beberapa Penyakit. Prosiding Seminar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan : Reaksi Biomolekuler, Dampak Terhadap Kesehatan, dan penangkalan. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor dan Kedutaan Besar Perancis, Jakarta. Tejasari. 2000. Efek Komponen Bioaktif Oleoresin Rimpang Jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap Fungsi Limfosit Secara In Vitro. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Tizard I. 1982 Pengantar Imunologi Veteriner. Edisi II. WB. New York : Sounder Company. Halaman 18-35, 45-62. Tjahjono. 1999. Deteksi Dini Kanker. Peran Pemeriksaan Sitologik dan Antisipasi Era Pasca Genom. Majalah Kedokteran Indonesia. 49:278-290. Tyler KL. 1995. Apoptosis. J Virol. 69:69 72-6979.
55
Wagner Hildebert. 1999. Immunomodulatory Agents from Plant, Birkhauser Verlag, Baset-Boston- Berlin, halaman 1. Wahyuni S. 2006. Aktivitas Senyawa Fenolik Hasil Reaksi Enzimatik terhadap Proliferasi SelLlimfosit dan Sel Kanker.Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Wispriyono B, Schmelz EM, Pelayo H, Hanada K, Separovic D. 2002. A rule for de novo sphingolipids in apoptosis of photosensitized cells. Experimen Cell Res. 279:153-165. WHO (World Health Organization). 1993. Research Guidelines for Evaluating the Pacific. Safety and Efficacy of Herbal Medicines. WHO Regional office for the western WHO (World Health Organization). 1993. WHO monographs on selected medici nal plants, volume 1, WHO, Geneva. Halaman 1. Yessica M. 2006. Pengaruh Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam) Terhadap Aktivitas Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara In Vitro Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Zakaria FR, Belleville F, Nabet P, Linden G. 1992 a. Allergenicity of Bovine Casein I. Spesific Lymphocyte Proliferation and Histamine Accumulation in the Mastocyte as Result of Casein Feeding in Mice. Food Agric. Immunol. 4:41-51. Zakaria FR, Nurrahman, Pramudya SM dan Sanjaya 1999. Pengaruh Konsumsi Sari Jahe Terhadap Perlindungan Limfosit dari Stres Oksidatif pada Mahasiswa Pesantren Ulil Albaab. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) dan Kantor Menteri Negara Pangan dan Holtikultura Jakarta. Zakaria FR, Belleville F, Nabet P, Linden G. 1992 b. Allergenicity of Bovine Casein II. Casein and its Digestive Enzyme Hydrolizates Induce Lymphocyte Proliferation and Histamine Accumulation in Casein-free Mice. Food Agric. Immunol. 4:51-62. Zakaria FR, Mellasanti MA, Sanjaja, Pramudya SM dan Richards AL. 1997. Aktivitas proliferasi limfosit dari darah tepi konsumen makan jajanan di Bogor, Jawa Barat. Buletin Teknologi Pangan. dan Industri Vol XI (2). Halaman 57-65. Zakaria FR, Susanto H, dan Hartoyo A. 2000a. Pengaruh Konsumsi Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Terhadap Kadar Malonaldehida dan Vitamin E Plasma Pada mahasiswa Pesantren Ulil Albaab Kedung Badak , Bogor Bul. Teknol.dan Industri Pangan, Vol XI, No. 1. Halaman 39.
56
Zakaria FR, Irawan B, Prmudya SM, Sanjaya. 2000 b. Intervensi Sayur dan Buah Pembawa Vitamin C dan Vitamin E Meningkatkan Sistem Imun Populasi Buruh Pabrik di Bogor. Bul. Teknol.dan Industri Pangan. 11:21-27. Zakaria FR. 2001. Pangan dan Pencegahan kanker. Teknol.dan Industri Pangan. 12:171-177. Zakaria FR, Nurahman, E Prangdimurti dan Tejasari. 2003. Antioxidant and Immu Noenhancement Activities of Ginger (Zingiber officinale Roscoe). Extract and Compount in vitro and in vivo Mouse and Human System. utraceuticals anf Food 8 : 96-104.
57
LAMPIRAN Lampiran 1. Surat keterangan identifikasi buah merah
58
Lampiran 2. Penentuan dosis uji / konsentrasi ekstrak Untuk menentukan dosis uji / konsentrasi ekstrak didasarkan pada pendekatan dosis yang dipakai sebagai referensi yaitu 10 ml per hari. Volume darah pada manusia sekitar 6000 ml, sehingga konsentrasi dalam darah manusia adalah 10ml/6000ml = 1/600. Dengan demikian untuk mengggunakan di dalam kultur limfosit perlu pengenceran 1/600. Pada pengujian ini ditambahkan masingmasing 20 µl minyak dan ekstrak buah merah ke dalam 80 µl kultur limfosit, sehingga dapat dikatakan bahwa V1 : 20 µl, V2 :100 µl, M1 = 1/600, maka M2 dapat ditentukan dengan rumus V1M1=V2M2, dimana V1 = Volume total sumur = 20 µl, V2
= Volume
ekstrak dan minyak yang ditambahkan ke dalam sumur =100
µl, M1 = Konsentrasi ekstrak di dalam darah =1/600, sehingga M2 ( Konsentrasi ekstrak dan minyak yang ditambahkan ke dalam sumur) dapat dihitung, yaitu 100 µl x 1/600 = 20 µl x M2, maka M2 = 1/120 = 8,3 µg/ml, dosis ini adalah dosis referensi. Kemudian dosis referensi tersebut dipakai sebagai dosis terendah, untuk dosis sedang dan dosis tinggi didapat dengan mengalikan faktor perkalian tetap yaitu 4x, sehingga urutan dosis uji adalah 8,3 µg/ml ; 33,3 µg/ml; dan 66,7 µg/ml. Dosis kontrol (+) lipopolisakarida maupun concanavalin A adalah 50 µg/ml.
59
Lampiran 3. Perhitungan rendemen ekstrak dan minyak buah merah dan Cara Penghitungan jumlah kematian sel Limfosit Lampiran 3a. Penghitungan rendemen ekstrak dan minyak buah merah Cara penghitungan rendemen ekstrak mengikuti rumus berikut : Rendemen ekstrak =
A x100% B
A:Bobot ekstrak /minyak yang didapat B:Bobot buah merah segar
Rendemen ekstrak air = 1,966 x 100% = 1,96% 100,3 Rendemen ekstrak metanol = 7,733 x 100% = 17,58% 100,9 Rendemen ekstrak heksan = 5,861 x 100% 100,5
= 5,87%
Rendemen minyak = 12,026 x100% = 1,718% 700 Lampiran 3b. Cara Penghitungan jumlah kematian sel Limfosit Rumus : N= A x FP x104 sel /ml Ekstrak air dosis 66.7 µg/ml, adalah : N= 11x2x104 sel/ml
= 22 x 104 sel/ml
Ekstrak air dosis 33.3 µg/ml , adalah : N= 12 x2x104 sel/ml = 24 x 104 sel/ml Ekstrak air dosis 8.3 µg/ml, adalah : N= 62 x2x104 sel/ml
= 134 x 104 sel/ml
Ekstrak metanol dosis 66.7 µg/ml, adalah : N= 32 x2x104 sel/ml = 64 x 104 sel/ml Ekstrak metanol dosis 33.3 µg/ml , adalah : N= 43 x2x104 sel/ml = 87 x 104 sel/ml Ekstrak metanol dosis 8.3 µg/ml, adalah : N= 39 x2x104 sel/ml = 78 x 104 sel/ml Ekstrak n-heksan dosis 66.7 µg/ml, adalah : N= 33 x2x104 sel/ml = 66 x 104 sel/ml Ekstrak n-heksan dosis 33.3 µg/ml, adalah : N= 35 x2x104 sel/ml = 70 x 104 sel/ml Ekstrak n-heksan dosis 8.3 µg/ml, adalah : N= 46 x2x104 sel/ml = 92 x104 sel/ml Minyak dosis 66.7 µg/ml, adalah : N= 19 x2x104 sel/ml = 39 x 104 sel/ml Minyak dosis 33.3 µg/ml , adalah : N= 59 x2x104 sel/ml = 118 x 104 sel/ml Minyak dosis 8.3 µg/ml, adalah : N= 50 x2x104 sel/ml = 100 x 104 sel/ml
60
Lampiran 4. Penghitungan persentase proliferasi dan efective concentration 50 (EC50) Rumus penghitungan persentase proliferasi = Rata-rata absorban sampel - rata-rata absorban kontrol X 100 % Absorban kontrol Persentase proliferasi sel limfosit untukminyak : dosis 8,333µg/ml = 0,810 – 0,575 x100 % = 40,87% 0,575 dosis 33,334 µg/ml = 0,887 – 0,575 x100 % = 54,26% 0,575 dosis 66,667 µg/ml = 1,380 – 0,575 x100 % = 140% 0,575 Rumus penghitungan EC50 : y = ax + b 50= 23,479x + 13,442 EC50 dari minyak = x = 1,57 µg/ml
a : 23,479 b : 13,442 y : 50 r : 0,953
Persentase proliferasi sel limfosit untuk ekstrak air : dosis 8,333µg/ml = 0,874 – 0,575 x100 % = 52,00% 0,575 dosis 33,334 µg/ml = 1,230 – 0,575 x100 % = 113,913% 0,575 dosis 66,667 µg/ml = 1,779 –0,575 x100 % = 209,391% 0,575 a : 43,577 Rumus penghitungan EC50 adalah : y = ax + b b : 7,700 y : 50 50= 43,577x + 7,700 r : 0,526 EC50 dari ekstrak air = x = 0,971 µg/ml Persentase proliferasi sel limfosit untuk ekstrak metanol : dosis 8,333µg/ml = 0,931 – 0,575 x100 % = 61,91% 0,575 dosis 33,334 µg/ml = 1,236 – 0,575 x100 % = 114,96% 0,575 dosis 66,667 µg/ml = 1,187 –0,575 x100 % = 106,43% 0,575 a : 50,793 b : 8,328 Rumus penghitungan EC50 adalah : y = ax + b y : 50 r : 0,807 50= 50,793x + 8,328 EC50 dari metanol = x = 0,820 µg/ml Persentase proliferasi sel limfosit untuk ekstrak heksan :
61
dosis 8,333µg/ml = 0,738 – 0,575 x100 % = 60,87% 0,575 dosis 33,334 µg/ml = 0,789 – 0,575 x100 % = 37,22% 0,575 dosis 66,667 µg/ml = 0,921 –0,575 x100 % = 60,18% 0,575 Rumus penghitungan EC50 adalah : y = ax + b 50= 50,793x + 8,328 EC50 dari heksan = x = 0,820
a: b: y: r :
46,846 3,362 50 0,379
62
Lampiran 5. Surat pernyataan kesediaan menjadi responden penelitian (inform consern) Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama Responden Jenis kelamin Pekerjaan NRP Alamat Telpon
: Sukirno : Laki-laki : Mahasiswa Pascasarjana program studi Magister Profesi Teknologi Pangan : F 252040035 : Jl. Cipinang Asem No 39 Rt 0011 RW 04, Kel. Kebon Pala, Kec. Makasar, Jakarta Timur : (021) 8095154
Menyatakan dalam keadaan sehat dan bersedia/tidak keberatan untuk dilakukan pengambilan darah untuk keperluan pelaksanaan penelitian yang berjudul “Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam) Tidak Toksik dan Bersifat Proliferatif Terhadap Sel Limfosit Manusia”. Penelitian ini dilakukan dalam rangka penulisan tugas akhir sekolah pascasarjana IPB oleh Sukirno /NRP F 252040035. Pengambilan darah dilakukan di klinik praktek dokter Evi Afifah, Jalan raya Darmaga, Bogor pada bulan Maret 2006. Demikian keterangan ini dibuat untuk digunakan seperlunya.
Bogor, Maret 2006 Petugas Pengambilan darah
(Lilis)
Responden
(Sukirno)
63
Lampiran 6. Tabel Komposisi larutan PBS Komposisi NaCl KCl KH2PO4 Na2HPO4 / Na2HPO4. 2H2O Aquabides
Jumlah (g) 8.000 0.200 0.200 1.150/ 1.382 500 ml
64
Lampiran 7. Tabel data hasil penetapan absorbansi suspensi limfosit dengan penambahan ekstrak metanol, heksan, air dan minyak buah merah Kelompok Uji
Absorbansi
Dosis Uji
8,3 µg/ml 33,3 µg/ml 66,7 µg/ml 8,3 µg/ml II.Ekst Metanol 33,3 µg/ml 66,7 µg/ml 8,3 µg/ml III.Ekst Hexan 33,3 µg/ml 66,7 µg/ml 8,3 µg/ml 33,3 µg/ml
0,803 0,822 1,26 1,187 1,149 0,984 0,728 0,850 0,834 0,836 1,237
0,822 0,840 1,409 0,839 1,328 1,012 0,703 0,711 0,943 0,787 1,174
0,805 1,000 1,472 0,766 1,232 1,566 0,782 0,806 0,988 1,000 1,279
Rata-Rata 0,810 0,887 1,380 0,931 1,236 1,187 0,738 0,789 0,921 0,874 1,230
66,7 µg/ml
1,812 0,509 0,824 0,625
1,805 0,774 0,686 0,492
1,719 0,774 0,734 0,609
1,779 0,686 0,748 0,575
Minyak
V. Con. A VI. LPS VII. Kontrol (-)
0,2 µg/ml 0,2 µg/ml -
65
Lampiran 8. Tabel kematian sel limfosit Lampiran 8a. Tabel data mentah rata-rata kematian sel limfosit Eks. Air Eks. Metanol Eks. Heksan Minyak Kontrol (-)
66,7 µg/ml 11 32 33 19 8
33,3 µg/ml 12 43 35 59
8,3 µg/ml 62 39 46 50
Lampiran 8b Tabel data mentah rata-rata kematian sel limfosit dengan 5 dosis
Eks. Air Eks. Metanol Eks. Heksan Minyak Kontrol (-)
66,7 µg/ml 11 32 33 19 8
33,3 µg/ml 16.7 µg/l 12 31 43 28 35 21 59 56
8,3 µg/ml 62 39 46 50
4.2 µg/ml 58 75 65 54
Lampiran 8c. Data hasil penghitungan kematian sel limfosit Eks. Air Eks. Metanol Eks. Heksan Minyak Kontrol (-)
66,7 µg/ml 22 x104 64 x104 66 x104 38 x104 16 x104
33,3 µg/ml 24 x104 86 x104 70 x104 118 x104
8,3 µg/ml 134x104 78 x104 92 x104 100 x104
Lampiran 8d. Data hasil penghitungan kematian sel limfosit dengan 5 dosis Eks. Air Eks. Metanol Eks. Heksan Minyak Kontrol (-)
66,7 µg/ml 22 x104 64 x104 66 x104 38 x104 16 x104
33,3 µg/ml 16.7 µg/l 24 x104 62 x104 86 x104 56 x104 4 70 x10 42 x104 118 x104 112 x104
8,3 µg/ml 134x104 78 x104 92 x104 100 x104
4.2 µg/ml 116 x104 150 x104 130 x104 108 x104
66
Lampiran 9. Skema prosedur uji proliferasi dan uji toksisitas sel limfosit Pembuatan ekstrak dan minyak buah merah
Persiapan ekstrak dan minyak buah merah
Persiapan pereaksi dan media kultur
Kultur limfosit
Penambahan ekstrak dan minyak buah merah
Isolasi limfosit
Inkubasi di dalam inkubator CO2 5%
Penghitungan kematian sel limfosit Secara manual dengan Pewarnaan biru trifan
Penambahan larutan MTT ke dalam kultur limfosit
Penentuan proliferasi sel limfosit dengan metode MTT dan penghitungan EC 50
Penentuan absorbansi menggunakan spectrophotometer microplate reader
67
Lampiran 10. Gambar foto prosedur uji proliferasi dan toksisitas sel limfosit
Gambar a. Pengambilan darah menggunakan vacutaener
Gambar c. Hasil isolasi limfosit (endapan putih)
Gambar e. Buah merah (Pandanus conoideus)
Gambar b. Lapisan cincin leukosit (di tengah) hasil sentrifus dari darah
Gambar d. Microplate yang telah diisi limfosit dan media kultur
Gambar f. Pemberian ekstrak buah merah ke dalam suspensi limfosit
68
Gambar g. Inkubator CO2
Gambar h. Penghitungan sel limfosit secara mikroskopik dengan pewarnaan biru trifan
Gambar i. Spektrofotometer microplate reader
69
Lampiran 11. Gambar peta sumur pada microplate
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12 A B C
C D E F G H
Keteragan : A 1,2,3 : Kontrol (-) B 1,2,3 : Kontrol (+) Con A C 1,2,3 : Kontrol (+) LPS E 1,2,3 : Ekstrak air dosis 66,667 µg/ml E 4,5,6 : Ekstrak air dosis 33,334 µg/ml E 10,11,12 : Ekstrak air dosis 8,333 µg/ml F 1,2,3 : Ekstrak Heksan dosis 66,667 µg/ml F 4,5,6 : Ekstrak Heksan dosis 33,334 µg/ml F 10,11,12 : Ekstrak Heksan dosis 8,333 µg/ml G 1,2,3 : Ekstrak Metanol dosis 66,667 µg/ml G 4.5.6 : Ekstrak Metanol dosis 33,334 µg/ml G 10,11,12 : Ekstrak Metanol dosis 8,333 µg/ml H 1,2,3 : Minyak dosis 66,667 µg/ml H 4,5,6 : Minyak dosis 33,334 µg/ml H 10,11,12 : Minyak dosis 8,333 µg/ml
70
Lampiran 12. Penghitungan dan analisa statistik minyak
71
72
Lampiran 13. Penghitungan dan analisa statistik ekstrak metanol
73
74
75
76
Lampiran 14. Penghitungan dan analisa statistik ekstrak heksan
77
78
79
80
81
Lampiran 15. Penghitungan dan analisa statistik ekstrak air