Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU SEBAGAI SUMBERDAYA GENETIK LOKAL DALAM KONTEKS SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT (Potency of Buffalo Local Genetic Resources for Development: Public Socio Culture) HASANATUN HASINAH Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E 59, Bogor 16151
ABSTRACT The rate of buffaloes demand tends to increase with respect to the role as meat and producer of meat and milk, as a producer of organic fertilizer and labor resources, in addition to the socio-cultural function (tradition and rituals). In the Batak, Toraja, and several other tribes, buffalo has a very high value. In Tanah Toraja, South Sulawesi, buffaloes are used in the ritual feast that is the buffalo fight or in the Toraja language is called Mappasilaga Tedong. Therfore, the price of buffaloes is more expensive than that of cattle. Indonesia has a variety of buffalo, where they had been separated from its original place in a long time so they adapted to the local environment and are named according to the name of a place like Pampangan Buffalo (Pampangan/South Sumatra), Binanga Buffalo (Tapanuli Selatan/North Sumatra), swamp buffalo (in Sumatra and Kalimantan), Benuang Buffalo (Bengkulu), Spotted Buffalo in Tanatoraja (South Sulawesi), Sumbawa Buffalo (NTB), Sumba Buffalo (NTT), Moa Buffalo (Maluku) etc. The buffaloes have advantages role primarily concerned with genetic potential and environmental aspects. The buffaloes have a very high adaptability and able to survive in conditions of low-quality feed. There are some constraints in the development of buffalo including slow growth and the occurrence of inbreeding which can down-graded buffalosbreeding condition. These constraints can be overcome by the efforts through technological innovations (breeding, management, feed) as well as disease prevention and control. Improving quality breeding stock, including: population selection on body weight and milk production, avoid inbreeding and the implementation of artificial insemination in accordance to local potential. To maintain buffalo genetic resources it needs to pursue the optimization of buffalo through the protection, conservation and sustainable management. Key Words: Potential, Buffalo, Social Cultural, Animal Genetic Resources ABSTRAK Laju permintaan ternak kerbau terus meningkat berkenaan dengan perannya sebagai penghasil: daging, susu, pupuk organik dan sumber tenaga kerja. Selain itu kerbau mempunyai fungsi yang terkait dengan sosial budaya (adat dan ritual). Kerbau dinilai sangat tinggi dalam budaya Batak, Toraja, dan beberapa suku lain. Di Tana Toraja, Sulawsi Selatan, kerbau dipakai dalam ritual pesta kematian yaitu adu kerbau atau dalam bahasa Toraja-nya Mappasilaga Tedong. Dengan kondisi sosial budaya yang seperti ini, harga kerbau jauh lebih mahal dari pada sapi. Indonesia mempunyai berbagai bangsa kerbau yang karena lama terpisah dari tempat asalnya kemudian beradaptasi dengan lingkungan setempat dan diberi nama sesuai dengan nama tempat seperti Kerbau Pampangan (Pampangan/Sumsel), Kerbau Binanga (Tapsel/Sumut), Kerbau Rawa (Sumatra dan Kalimantan), Kerbau Benuang (Bengkulu), Kerbau Belang Tanatoraja (Sulsel), Kerbau Sumbawa (NTB), Kerbau Sumba (NTT), Kerbau Moa (Maluku) dan lain-lain. Ternak kerbau mempunyai kelebihan untuk ditingkatkan perannya terutama berkaitan dengan potensi genetik dan aspek lingkungannya. Kerbau mempunyai daya adaptasi yang sangat tinggi, mampu hidup pada kondisi pakan berkualitas rendah. Beberapa kendala dalam pengembangan kerbau meliputi pertumbuhan yang lambat dan terjadinya inbreeding yang dapat menurunkan mutu bibit, namun hal ini dapat ditekan dengan adanya upaya-upaya melalui perbaikan teknologi (bibit, manajemen, pakan) serta pencegahan dan pengendalian penyakit. Perbaikan mutu ternak bibit, meliputi seleksi populasi pada bobot badan dan produksi susu, kemudian menghindari perkawinan dalam (inbreeding) serta pelaksanaan kawin suntik (IB) dan pengembangan ternak harus sesuai dengan
170
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
potensi daerah. Untuk mempertahankan sumber daya genetik (SDG) kerbau perlu mengupayakan optimalisasi kerbau melalui perlindungan, pelestarian dan pengelolaan ternak kerbau secara berkelanjutan. Kata Kunci: Potensi, Kerbau, Sosial Budaya, SDG
PENDAHULUAN Kerbau merupakan salah satu ruminansia besar/sumberdaya genetik yang keberadaanya relatif kurang diperhatikan. Namun demikian, secara nasional kontribusinya terhadap pembangunan peternakan cukup berperan penting. FAO (2007) melaporkan, hanya 41 negara yang menunjukan perhatiann untuk pemeliharaan kerbau. Dari negara-negara ini, 29% menyebutkan breeding kerbau merupakan prioritas dan 22% memiliki program breeding. Negara-negara yang memiliki program breeding kerbau dengan tujuan utama produksi susu adalah India, Pakistan, China, Mesir dan Bulgaria. Populasi kerbau di Indonesia pada tahun 2004 sekitar 2,4 juta ekor, menurun menjadi 1,93 juta ekor pada tahun 2008 (DITJENNAK, 2008). Populasi kerbau lebih terpusat di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Jawa Barat (Tabel 1), dimana sebagian besar kerbau dipelihara oleh peternak kecil dengan tingkat kepemilikan 2 – 3 ekor. Sementara data pemotongan meningkat dimana pada tahun
2004 sekitar 182.346 ekor dan pada tahun 2008 menjadi 208.757 ekor (DITJENNAK, 2008). Menurut sejarah perkembangan domestikasi, moyang dari kerbau (Bubalus bubalus) adalah kerbau liar di Asia. Ditemukan dua tipe utama kerbau, yaitu kerbau lumpur dan kerbau sungai atas dasar perbedaan fenotipe, karyotipe dan mitokondria DNA (TANAKA et al., 1996 dalam FAO, 2007). Kerbau sungai penghasil utama susu hidup subkontinen India, Timur Tengah dan sekitarnya, dan Eropa Timur; sedangkan kerbau lumpur yang berperan penting sebagai tenaga kerja pada budidaya padi berdiam di China dan negara-negara di Asia tenggara. Kedua tipe kerbau ini merupakan hasil hibridisasi di bagian timur laut India. Kerbau tersebut mungkin didomestikasi terpisah, dengan kemungkinan pusat domestikasi kerbau sungai terjadi di Lembah Indus dan atau Lembah Efrat dan Lembah Tigris pada 5000 tahun yang lalu; sedangkan kerbau lumpur didomestikasi di China sekitar 4000 tahun yang lalu bersamaan dengan munculnya budidaya padi. Asal kerbau di Indonesia diduga telah lama dibawa ke Jawa, yaitu pada saat perpindahan
Tabel 1. Populasi Kerbau di Sepuluh Provinsi Indonesia (ekor) Tahun Provinsi/
2004
2005
2006
2007
2008 *)
NAD
409,071
338,272
371,143
390,334
410,518
Sumbar
322,692
201,421
211,531
192,148
197,335
Sumut
263,435
259,672
261,794
189,167
189,167
Jabar
149,960
148,003
149,444
149,030
170,568
NTB
156,792
154,919
155,166
153,822
169,204
NTT
136,966
139,592
142,257
144,981
159,479
Banten
139,707
135,040
146,453
144,944
144,944
Sulsel
161,504
124,760
129,565
120,003
120,003
Jateng
122,482
123,815
112,963
109,004
116,014
Sumsel
86,528
90,300
86,777
90,160
93,675
Sumber: DITJENNAK (2008)
171
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
nenek moyang kita dari India Belakang ke Jawa pada tahun 1.000 SM (HARDJOSUBROTO dan ASTUTI, 1993). Melihat kemampuan adaptasi kerbau tersebut pengembangan dan penyebaran kerbau dapat dilakukan di banyak daerah di Indonesia dengan memperhatikan kerbau dan daya adaptasinya. Sebagian besar kerbau di Indonesia adalah tipe kerbau lumpur, namun telah muncul berbagai spesifikasi mengikuti agroekosistem yang membentuknya (SIREGAR et al., 1997), sehingga kerbau ini dikenal dengan berbagai nama seperti di Toraja ada kerbau Tedong Bonga, di daerah Alabio ada kerbau Kalang yang selalu berendam di rawa-rawa dan hanya naik ke darat apabila menjelang malam hari untuk masuk ke ‘kandang’ yang disebut Kalang, di Tapanuli Selatan ada kerbau Binanga dan di Maluku ada kerbau Moa. Kerbau lumpur mempunyai variasi yang cukup besar pada bobot badan dan warna kulit. Sementara kerbau sungai hanya sedikit ditemui di sekitar Medan yaitu Kerbau Murrah yang dibawa oleh masyarakat keturunan India dari negeri asalnya. Kerbau Murrah sebagai kerbau perah menghasilkan susu lebih banyak dibanding kerbau rawa dengan kemampuan produksi susu sekitar 8 liter/ekor/hari. Pemerahan susu kerbau yang banyak dilakukan di beberapa daerah biasanya diolah sebelum dikonsumsi dan dikenal dengan berbagai nama seperti Dadih (Sumatra Utara), sago puan, Gulo puan (Sumatra Selatan dan Barat), Danke (Sulawesi Selatan), susu goreng (NTT) dan lain-lain. Kerbau dalam sistem pemeliharaan tradisional memiliki berbagai kegunaan disamping manfaat utamanya sebagai penghasil daging dan susu; difungsikan sebagai tenaga kerja (meluku, transportasi) yang membantu sebagian peternak miskin yang memiliki keterbatasan modal, pupuk organik, diambil kulitnya dan pada beberapa daerah kerbau mempunyai fungsi yang terkait dengan sosial budaya yang digunakan dalam upacara adat atau ritual/keagamaan. Di beberapa daerah, kerbau memiliki nilai yang sangat tinggi misalnya dalam budaya Batak, Toraja, dan beberapa suku lain. Makalah ini mengungkapkan potensi pengembangan ternak kerbau di Indonesia terkait dengan pemanfaatannya dalam kegiatan sosial budaya masyarakat.
172
KERBAU DALAM BUDAYA MASYARAKAT Kerbau menempati peran yang menonjol dalam kehidupan sosial masyarakat tertentu: Kerbau Belang pada masyarakat Tana Toraja mempunyai nilai ritus yang tinggi dan sangat dibanggakan. Selain sebagai hewan untuk memenuhi kebutuhan sosial, ritual maupun kepercayaan tradisional, kerbau juga menjadi alat takaran status sosial, dan alat transaksi. Menurut adat Toraja, Tedong Bonga (kerbau belang) merupakan simbol kekayaan. Dari sisi sosial, kerbau merupakan harta yang bernilai tinggi bagi pemiliknya. Dari segi adat kebiasaan masyarakat Tana Toraja, kerbau Belang mempunyai kedudukan penting yang erat kaitannya dangan upacara adat, terutama sebagai kerbau potong persembahan kepada Sang Pencipta. Ritus atau upacara adat orang Toraja dapat terbagi 2, yaitu Rambu Tuka' dan Rambu Solo' (http://www.angingmammiri.org/portal). Rambu Tuka' adalah ritus yang terkait dengan upacara sekitar kehidupan, dalam kelompok ini antara lain upacara kelahiran, perkawinan, pesta panen, pesta sukuran/suka cita dst. Sementara itu, Ritus Rambu Solo' adalah upacara terkait kematian. Acara Rambu Solo' merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya dengan memotong kerbau. Upacara ini biasanya membutuhkan waktu 2 – 3 hari, bahkan bisa sampai dua minggu dan dilakukan oleh kalangan bangsawan atau orang terpandang di Toraja yang tentunya mampu secara finansial untuk menggelar acara ini. Upacara ini bagi masing-masing golongan masyarakat tentunya berbeda-beda. Bila yang meninggal dunia seorang bangsawan, maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak dibandingkan dengan untuk mereka yang bukan bangsawan. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 – 100 ekor kerbau. Semara itu, warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama upacara sekitar 3 hari. Upacara Rambu Solo' menjadi penting karena dalam perspektif Masyarakat Adat, kesempurnaan upacara kematian akan
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
menentukan posisi arwah, apakah sebagai bombo (arwah gentayangan), to-membali puang (arwah yg mencapai tingkat dewa), atau deata (menjadi dewa pelindung). Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu. Dalam konteks ini, upacara kematian menjadi sebuah "kewajiban", maka dengan cara apapun orang Toraja hampir pasti akan mengadakan upacara tersebut, karena dengan begitulah mereka mengabdi kepada orang tua serta menjaga dan melestarikan budaya/tradisi. (http://www. angingmammiri.org/portal. Pada rangkaian ritus tersebut juga selalu diadakan adu kerbau, atau Mappasilaga Tedong. (http://foto.detik. com/readfoto/2008/07/01/092412/965181/157/ 3/), hal ini merupakan hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja hingga sampai pada hari penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane' (kuburan dari kayu berbentuk rumah adat). Kerbau Belang/Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) dengan warna kulit belang hitam dan putih, merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga kerbau ini sering juga disebut kerbau Tana Toraja. Kerbau jenis ini harganya sangat mahal tergantung corak dan besarnya. Harga Tedong Bonga paling mahal, bisa mencapai Rp 350 juta. Maklum, populasi kerbau belang jantan endemik Toraja hanya sekitar 300 ekor saja. Reproduksinya pun lambat, cuma beranak sekali dalam tiga tahun. Kesulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat sumber daya genetika asli ini terancam kelestariannya (http://toraja tourism. com/.). Kerbau di daerah Sumatra Barat mempunyai nilai historis yang cukup penting dan telah menjadi simbol kebanggan dalam sejarah kerajaan Minangkabau dan menjadi legenda masyarakat Minang, dimana dalam berbagai kegiatan sosial dan adat istiadat kerbau sangat berperan. Bagi suku besar Minangkabau, Sumbar, kerbau telah mengantarkan kejayaan mereka di masa silam. Untuk warga Minang, mempunyai kerbau aduan yang kuat bak memiliki harta berharga sekaligus kehormatan. Adu kerbau telah menjadi budaya turun-temurun masyarakat
Minangkabau, Sumatra Barat. Budaya warisan leluhur yang telah berlangsung ratusan tahun itu sampai kini masih dijaga dengan baik oleh masyarakat Minang. Di Kalimantan Selatan, kerbau rawa hanya berfungsi sebagai penghasil daging. Khusus di daerah Hulu Sungai, daging kerbau digunakan pada saat hajatan atau kenduri serta perayaan hari-hari besar Islam. Sejak tahun 1991 pemerintah daerah setempat telah menetapkan kerbau rawa sebagai salah satu objek wisata, berupa perlombaan atau pacuan kerbau di Sungai Paminggir Desa Barawa, Kecamatan Danau Panggang pada kedalaman air sekitar 3,50 m (SURYANA dan MAWARDI 1999 yang dikutip oleh SURYANA 2007). Di Provinsi Jawa Barat, kerbau dimanfaatkan untuk agrowisata tepatnya di daerah pantai Cipatujah-Tasikmalaya, ada pertunjukkan balap kerbau yang merupakan budaya tradisional yang berkembang sejalan dengan potensi daerah Cipatujah sebagai daerah peternakan kerbau. Balap kerbau sebenarnya acara para peternak kerbau dalam mengisi kebutuhan rekreasi mereka disaat-saat senggang, diiringi kesenian rakyat seperti kendang penca, buncis dan dogdog (http://www.westjava-indonesia.com/gurilap). Pada masyarakat Lombok Utara dan Lombok Selatan, upacara perkawinan dengan pemotongan kerbau dianggap suatu prestise tersendiri. Dengan kondisi sosial budaya masyarakat seperti tersebut di atas, kerbau memiliki peluang pasar tersendiri dan dapat dikatakan bahwa ternak kerbau memiliki peluang yang cukup besar untuk dikembangkan. POTENSI TERNAK KERBAU Banyak laporan yang telah mengemukakan hasil penelitian mengenai kemampuan produksi ternak kerbau. Kerbau mempunyai beberapa keunggulan untuk ditingkatkan perannya terutama berkaitan dengan potensi genetik dan aspek lingkungannya. Kerbau mempunyai daya adaptasi yang sangat tinggi, terlihat dari penyebarannya yang luas, mulai dari daerah iklim kering, lahan rawa, daerah pegunungan, dan daerah dataran rendah. Kerbau juga memiliki kemampuan memanfaatkan pakan berkualitas rendah seperti
173
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
rumput kering dengan kadar nutrisi rendah dan serat kasar tinggi, DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN (2006) menulis kerbau memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan sapi, yakni mampu hidup pada kawasan yang relatif ‘sulit’ terutama bila pakan yang tersedia berkualitas rendah. Pada kondisi kualitas pakan yang tersedia relatif jelek, setidaknya pertumbuhan kerbau dapat menyamai atau bahkan lebih baik daripada sapi, dan masih dapat berkembangbiak dengan baik. Seperti juga dilaporkan oleh REGGETTE dan RODRIGUES yang dikutip PRAHARANI (2009) bahwa pada pemeliharaan sistem ekstensif di dataran rendah Amerika Selatan dengan kondisi gersang kerbau lebih produktif dibandingkan dengan sapi (Tabel 2). Selain itu kerbau memiliki kapasitas yang cukup tinggi untuk mengatasi tekanan dan perubahan lingkungan yang ekstrim. Sebagai contoh, kerbau mampu bertahan hidup dengan baik meski terjadi perubahan temperature (heat load) dan perubahan vegetasi padang rumput. Dengan keunggulan-keunggulan tersebut, kerbau adalah salah satu ternak yang potensial untuk dikembangkan, pengembangan usaha peternakan kerbau dan wilayah agribisnis kerbau sangat luas, hampir meliputi seluruh agroekosistem dan sosio-budaya yang ada. Sistem pemeliharaan kerbau relatif lebih mudah. Dalam usaha peternakan rakyat, kerbau dipelihara secara ekstensif terutama di daerah pantai, dimana pemeliharaan kerbau umumnya digembalakan. Para petani biasanya memanfaatkan biomasa hijauan yang tersedia di sekitar sebagai sumber bahan pakan utama, dan praktisnya penggunaan input eksternal masih sangat terbatas. Sistem penggembalaan
juga diterapkan oleh peternak kerbau di Pulau Sumbawa. BEBERAPA PERMASALAHAN KERBAU Kerbau memiliki beberapa keunggulan tetapi juga tidak terlepas dari adanya kelemahan. Perkembangan populasi kerbau terlihat agak lamban dibandingkan dengan ternak sapi. Secara nasional perbandingannya sekitar 20% kerbau dan 80% sapi dan ratio ini masih berlangsung sampai saat ini. Kondisi tersebut diatas antara lain dapat disebabkan karena tingkat reproduksi kerbau yang rendah, masa kebuntingan kerbau yang relatif lebih lama, angka kelahiran kerbau rendah, dewasa kelamin dan selang beranak (calving interval) relatif panjang, dan kerbau memiliki persentasi karkas lebih rendah sekitar 3 – 5% dari karkas sapi karena ukuran kepala dan kaki yang lebih besar serta kulit yang lebih tebal. Selain itu kerbau dikenal sebagai ternak silent heat yaitu sulit untuk mendeteksi ternak betina yang estrus karena tidak menunjukkan tanda-tanda berahi. Produktivitas kerbau dalam beberapa hal lebih rendah dibandingkan dengan sapi terkait dengan sifat-sifat biologis yang dimilikinya (TRIWULANNINGSIH dan PRAHARANI, 2006; HARDJOSUBROTO, 2004; DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN, 2006). Sifat-sifat biologis tersebut memperlihatkan bahwa pemeliharaan kerbau lebih cocok dengan manajemen ekstensif sehingga sesuai untuk dikembangkan di peternakan rakyat dengan sarana dan prasarana terbatas.
Tabel 2. Keunggulan ternak kerbau dibandingkan dengan sapi pada kondisi ekstensif Parameter
Sapi
Kerbau
Beranak (%)
40
80
Mortalitas pra-sapih (%)
10
1,4
120-150
220-250
Berat potong (kg)
450
500
Umur potong (bulan)
48
24
51-52
48-53
Berat sapih (kg)
Karkas (%)
Sumber: REGGETTE dan RODRIGUES 2004 yang dikutip PRAHARANI (2009)
174
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
Penurunan populasi juga diduga berkaitan dengan sistem pengusahaannya yang masih secara tradisional. Penyebab lainnya adalah tingginya jumlah pemotongan, terbatasnya pakan dan padang penggembalaan alami akibat alih fungsi/konversi lahan ke penggunaan lain (seperti perumahan dan industri). Selain itu, peran kerbau pada sistem usaha tani belum berorientasi agribisnis serta ketersediaan bibit unggul yang masih sangat terbatas. Permasalahan lain yang umum dihadapi di beberapa daerah adalah kelangkaan kerbau jantan sebagai pemacek, sehingga diperkirakan terjadi inbreeding yang tinggi, tingginya yang menurunkan mutu bibit, Namun hal ini dapat ditekan dengan adanya upaya-upaya melalui perbaikan teknologi (bibit, manajemen, pakan) serta pencegahan dan pengendalian penyakit. Disamping itu perlu adanya upaya peningkatan produktivitas kerbau melalui program pemuliaan berkelanjutan. UPAYA PENGEMBANGAN DAN PELESTARIAN KERBAU Jumlah pemotongan kerbau (baik untuk kebutuhan daging maupun keperluan ritus adat budaya), semakin meningkat. Seperti yang terjadi pada kerbau Belang di Tana Toraja, menurut laporan DISNAK TANA TORAJA (2004), bahwa jumlah pemotongan kerbau Belang mencapai 50 – 60 ekor/tahun, sedangkan kelahirannya hanya 10 – 20 ekor/tahun. Hal ini akan berdampak semakin terkurasnya populasi kerbau Belang. Keadaan seperti ini akan mengancam sumberdaya genetik kerbau. Diperlukan upaya untuk menyelamatkan dan mengembangkan kerbau Belang sebagai salah satu sumberdaya genetik ternak yang perlu dilestarikan, untuk kemudian ditingkatkan potensinya dan dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, ketersediaan bahan pangan, terciptanya lapangan kerja dan peningkatan devisa negara. Sudah banyak laporan dan kajian tentang prospek yang cukup baik untuk pengembangan ternak kerbau pada beberapa daerah, namun kurang mendapat perhatian yang serius. Berbagai upaya perlu terus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kerbau terutama di
daerah-daerah sentra kerbau yang secara nasional penting. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi pengurasan ternak yang berakibat penurunan populasi. Sejauh ini peternak tradisional memegang peranan yang besar dalam pelestarian ternak asli dan ternak lokal termasuk kerbau. Di sisi lain ancaman kelestarian sumberdaya genetik datang sebagai akibat dari pemanfaatan yang berlebihan dan pencemaran akibat migrasi genetik yang terjadi. Upaya untuk mempertahankan kelestarian dan kemurnian ternak asli perlu ditangani dalam rangka mempertahankan sumber daya genetik ternak asli yang mempunyai keunggulan adaptasi yang tinggi. Upaya pengembangan dapat dilakukan sesuai dengan potensi daerah yang didukung dengan perbaikan teknologi (bibit, manajemen, pakan). Dalam upaya pelestarian perlu adanya dukungan dan campur tangan pemerintah dalam hal regulasi dan kebijakan, penerapan teknologi yang tepat, penguatan kelembagaan serta peningkatan keterampilan dan wawasan para peternak. Pembentukan village breeding centre dapat dilakukan dengan melibatkan kelompok-kelompok peternak merupakan salah satu cara untuk memperbanyak populasi atau pembentukan pusat-pusat/usaha pembibitan kerbau terutama pada wilayah yang memiliki populasi kerbau banyak. Upaya pelestarian lainnya adalah diperlukan adanya lomba keindahan, kontes ternak misalnya dilihat dari performansnya dan bursa hewan, kegiatan seperti ini sekaligus untuk penjaringan bibit unggul. DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN (2006) menyampaikan alternatif program pemuliaan yang dapat diterapkan di kawasan sumber bibit adalah program pemuliaan inti terbuka (Open Nucleus Breeding System). Dalam program ini, instansi pemerintah (UPT/UPT Daerah Dinas Peternakan) atau pihak swasta dapat bertindak sebagai inti yang memelihara ternak bibit dasar. Bibit dasar diperoleh dengan penjaringan ternak yang mempunyai kualitas terbaik dalam hal: 1. Daya reproduksi 2. Pertumbuhan 3. Tidak mempunyai cacat fisik atau turunan 4. Bebas dari segala penyakit berbahaya.
175
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
Sementara itu, UPT Daerah atau swasta lainnya dapat bertindak sebagai pemelihara ternak bibit induk dan selanjutnya peternak memelihara. Kegiatan perbaikan mutu genetik dengan pola terbuka (open nucleus breeding system, ONBS) dan penjaringan dengan metoda yang tepat, benar, mudah dan murah perlu dimulai dan dilakukan secara konsisten. Hasil dari penjaringan ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai replacement dan sisanya baru disebarkan untuk keperluan pengembangan atau komersial. Pola ONBS ini sangat tepat dilakukan untuk kawasan village breeding center (VBC) yang terintegrasi dengan pusat pembibitan ternak unggul, dimana output utamanya adalah pejantan unggul yang akan dipergunakan oleh Balai (Besar) Inseminasi Buatan. Ancaman terbesar untuk menerapkan ONBS adalah masuknya penyakit ketika dilakukan penjaringan sapi betina dari VBC yang dimasukkan dalam populasi inti. Kawasan pembibitan pada prinsipnya harus bebas penyakit menular. Pengadaan pejantan unggul diperlukan dalam suatu wilayah/kelompok peternak kerbau pada lokasi yang strategis, sehingga mudah dijangkau oleh semua peternak dalam kelompok tersebut, hal ini akan sangat membantu dalam meningkatkan populasi dan produktivitas kerbau. Jika perkawinan dilakukan secara alam, maka pejantan dapat digilir untuk setiap kelompok. Seleksi atau pemilihan calon induk dan pejantan bertujuan untuk menghasilkan anak atau turunan yang baik pada generasi mendatang. Hal penting yang harus dijadikan prinsip utama dalam pemilihan calon induk dan pejantan adalah standar ternak yang akan diseleksi perlu disesuaikan dengan permintaan konsumen atau pasar. Misalnya, pemilihan calon induk dan pejantan diarahkan untuk menghasilkan ternak pedaging, tangkas (balapan), atau penghasil susu. Kendala dalam seleksi ternak kerbau adalah masih lemahnya identifikasi ternak dan rekording yang dilakukan. Seleksi akan dapat berjalan dengan baik jika didasarkan pada identifikasi dan rekording data yang akurat. Peternak di Indonesia sebagaian besar belum melakukan indentifikasi maupun recording. Kondisi ini memungkinkan terjadinya kawin dalam
176
keluarga antara bapak dengan anak, atau sebaliknya antara anak dengan induk, yang pada gilirannya akan meningkatkan tingkat inbreeding. KESIMPULAN Kerbau bagi beberapa kalangan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan pada upacara ritual tertentu, kerbau merupakan ternak penting yang harus selalu tersedia. Dengan kondisi sosial budaya yang seperti ini, harga ternak kerbau sering kali jauh lebih mahal dari pada sapi. Penurunan populasi kerbau perlu diwaspadai dan ditanggulangi dengan usaha peningkatan dan pengembangan populasinya. Pengembangan populasi dapat lebih diarahkan untuk wilayah-wilayah yang sudah memiliki potensi pemeliharaan ternak kerbau. Upaya peningkatan populasi dan pengembangan ternak kerbau diperlukan perbaikan teknologi (bibit, manajemen, pakan) serta diperlukan dukungan kebijakan pemerintah, untuk menetapkan wilayahwilayah pengembangan kerbau secara murni untuk pemanfaatan dan pelestarian. Rekording sangat diperlukan agar dapat dilakukan pengamatan terhadap potensi genetik kerbau yang diduga cukup besar keragamannya karena belum banyak disentuh oleh usaha seleksi. Keragaman ini merupakan bahan dasar bagi usaha pemuliaan kerbau. Program persilangan hendaknya direncanakan dengan baik dan mempunyai tujuan yang pasti kalau tidak maka akan merusak keragaman sumberdaya genetik kerbau. DAFTAR PUSTAKA ABDURRAHMAN M.N. 2008. Adu kerbau ritual kematian http://foto.detik.com/readfoto (1 Juli 2008). DISNAK TANA TORAJA. 2004. Laporan Dinas Peternakan Kabupaten Tana Toraja. 2004. DITJENNAK. 2008. Statistik Peternakan 200.8. Direktorat Jendral Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta DIWYANTO, K. dan E. HANDIWIRAWAN. 2006. Strategi pengembangan ternak kerbau: Aspek
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009
penjaringan dan distribusi. Pros. Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 − 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerja sama dengan Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa. hlm. 3−12
Peningkatan Peran Kerbau dalam mendukung Kebutuhan Daging Nasional. Sumbawa, 24 – 26 Oktober 2008. Puslitbang Peternakan bekerja sama dengan Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan dan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Toraja. hlm. 29 – 37
FAO. 2007. The state of the worlds animal genetic resources for food and agriculture. Commision on genetic resources for foor and agriculture organisation of the united nations, Rome. pp. 12; 217.
SIREGAR A.R., K. DIWYANTO , E. BASUNO, T. SARTIKA, R. H. MATONDANG, J. BESTARI, M. ZULBARDI. M. SITORUS, T. PANGGABEAN, E. HANDIWIRAWAN, Y. WIDIAWATI dan N. SUPRIYATNA. 1997. Karakteristik performan nutrisi, mikroba rumen, morfologi darah dan dinamika populasi kerbau lumpur di Pulau Jawa. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor. 18 – 19 November 1997. hlm. 555 – 569
HARDJOSUBROTO, W. 2004. Prospek sosial ekonomi peternakan kerbau di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Peningkatan Populasi dan Produktivitas Ternak Kerbau di Indonesia. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan bekerja sama dengan Pusat Bioteknologi LlPI. Banjarmasin, 7 − 8 Desember 2004. hlm. 11. HARDJOSUBROTO, W. dan J.M. ASTUTI. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. MOJAWOR 2008. Kerbau Toraja. http://torajatourism.com. (1 Agustus 2008) MULYADI D. 2007. Balap Kerbau di Pantai Cipatujah. http://www.westjavaindonesia.com (2 November 2007) PRAHARANI, L. 2009. Tinjauan Performa Persilangan Kerbau Sungai X Kerbau Lumpur. Pros. Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau
SURYANA. 2007. Usaha Pengembangan Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan. J. Litbang Pertanian 26(4): 139 – 145. TRIWULANNINGSIH E and L PRAHARANI. 2006. Buffaloes in Indonesia. Proc. International seminar on artificial reproductive biotechnologies for buffaloes. Indonesian center for an res at develop colaborated with food and fertilizer technologi center-ASPAC. Bogor, August 29 – 31 2006. Bogor, Indonesia pp. 114 – 120 WIDIANTORO R. 2008. Upacara Rambu Solo di Tana Toraja. http://www.angingmammiri.org/portal. 2 April 2008
177