UNDIP PRESS
POTENSI OLAHAN GULA KELAPA DALAM MENDUKUNG PEMANFAATAN PEKARANGAN DI MKRPL KABUPATEN MAGELANG Retno Endrasari dan Dian Maharso Yuwono Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah, Bukit Tegalepek,Sidomulyo Ungaran Jawa Tengah Email:
[email protected]
ABSTRACT
Endrasari, R. and D.M. Yuwono. Potential Of Coconut Sugar Processing For Support Of The Yards Utilization In MKRPL Program-Magelang District. Madukoro Village, Kajoran Subdistrict, Magelang District is one replica food independent village. Madukoro village has the potential of agricultural, livestock and fisheries are quite prospected but most maximum untapped. Land use in the yard MKRPL activities can be a source of income and productive resources and nutritional needs people in the pilot areas, but it also will encourage food self-sufficiency at the farm household level. Some of the potential of existing agricultural processed as coconut sugar, wild yam crisp, banana chips, sandora crackers (cassava crackers), cassava fermented gum done by the citizens individually and collectively in the KWT (Women Farmer Groups) of Bukit Madu and produced every day or if there is order. Of the variety of processed agricultural dominate the coconut sugar. The purpose of this paper is to explore the potential and constraints encountered in the processing of coconut sugar in favor of the yard using in MKRPL Magelang District. Studies conducted in the Madukoro II Subvillage, Madukoro Village, Kajoran Subdistrict, Magelang District in August-October 2012. Methods researching were in the form of survey using questionnaires for 80 respondents interviews and observations in the field. Madukoro II Subvillage has a total population by age, both men and women is dominated by 31-40 years in men and 20-40 years for women. In the Madukoro II Subvillage can be found almost of coconut sugar producers which is generally a hereditary profession with capital limited. Production technology applied is very simple with little for health sanitary. Experience as a coconut sugar producer average over 10 years with a production capacity of 60-90 kg/month. Coconut sugar industry to increase production and quality of coconut sugar, still need guidance in terms of production of palm sugar, raw material, markets information and capital access. Keywords: potential, processing, utilization, yard, coconut
PENDAHULUAN Kementerian Pertanian telah menyusun suatu konsep yang disebut dengan “Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL)” yang merupakan himpunan dari Rumah Pangan Lestari (RPL) yaitu rumah tangga dengan prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan dan dirancang untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan, serta peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk
menjaga keberlanjutannya, pemanfaatan pekarangan dalam konsep Model KRPL dilengkapi dengan kelembagaan Kebun Bibit Desa, unit pengolahan serta pemasaran untuk penyelamatan hasil yang melimpah (Kementerian Pertanian, 2011). Seperti tertuang dalam Pedoman Umum MKRPL bahwa tujuan pengembangan MKRPL adalah: 1) memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari; (2) meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
457
UNDIP PRESS
pekarangan di perkotaan maupun perdesaan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan, pengolahan hasil serta pengolahan limbah rumah tangga menjadi kompos; (3) mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan; dan (4) mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri. Dalam upaya mencapai sasaran kemandirian dan ketahanan pangan maka rancangan pemanfaatan pekarangan dalam kegiatan M-KRPL memperhatikan program yang telah ada seperti Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) yang merupakan wujud kebijakan pemerintah terhadap program diversifikasi pangan non-beras melalui pemanfaatan lahan pekarangan. Desa Madukoro Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang merupakan salah satu replika desa mandiri pangan. Dusun Madukoro II memiliki potensi hasil pertanian, peternakan dan perikanan yang cukup berprospek namun sebagian besar belum tergarap maksimal. Suatu peluang usaha akan menjadi sumber pendapatan yang memberikan tambahan penghasilan kepada masyarakat jika mampu menangkap peluang usaha yang potensial dikembangkan menjadi suatu kegiatan usaha yang nyata. Dengan demikian kemampuan masyarakat memanfaatkan peluang yang ada akan dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat dalam menangkap peluang itu sendiri. Oleh karena itu, kemampuan mengorganisir sumber daya yang dimiliki sedemikian rupa diperlukan sehingga peluang yang potensial menjadi usaha yang secara aktual dapat dioperasikan. Pengembangan peluang usaha dapat berupa pengembangan komoditas unggulan dan andalan, peningkatan nilai tambah produk pertanian, pengembangan sistem pemasaran, penyediaan sarana pengangkutan dan penyebaran produk, pengembangan kemitraan dan penstrukturulangan sistem dan kelembagaan pertanian dan agroindustri, serta memberikan nilai tambah produk pertanian. Tujuan penulisan ini adalah
458
untuk menggali potensi maupun kendala yang ditemui pada olahan gula kelapa dalam mendukung pemanfaatan pekarangan di MKRPL Kabupaten Magelang untuk mendorong tumbuh kembangnya agroindustri skala rumah tangga melalui pemanfaatan lahan pekarangan berbasis sumberdaya lokal. METODE Pengkajian dilakukan di Dusun Madukoro II Desa Madukoro Kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang pada bulan Agustus Oktober 2012. Metode penelitian berupa survey melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan dan pengamatan langsung di lapangan. Data bersumber dari warga masyarakat RT 4, RT 7 dan RT 8 sebanyak 40 orang responden laki-laki dan 40 orang responden perempuan. Selain itu, informasi juga berasal dari tokoh masyarakat, pejabat dan instansi terkait. Analisis data bersifat kuantitatif dan kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum/ Profil Desa Madukoro Secara geografis Desa Madukoro terletak pada 110o 04’ 00’’ sampai dengan 110o 05’ 00’’ LS dan 07o 31’ 00’’ sampai dengan 07o 32’ 30’’ BT. Desa Madukoro secara administratif termasuk wilayah Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, terletak dengan jarak 20 km sebelah barat daya Kabupaten Magelang dan 6 km dari Kecamatan Kajoran. Desa Madukoro berada tepatnya di lereng Gunung Sumbing dengan ketinggian kurang lebih 500 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Desa Madukoro 92 ha dengan batas sebelah utara Desa Sambak Kecamatan Kajoran, sebelah timur Desa Bumiayu Kecamatan Kajoran, sebelah selatan Desa Kaliabu Kecamatan Salaman dan sebelah Barat Desa Bambusari dan Kuwaderan Kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang. Pola penggunaan lahan pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 1, dengan mayoritas penggunaan lahan untuk tegalan (Anonim, 2011). Hasil survey dari 80 responden dapat diketahui sebaran jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin pada Tabel 2 dan sebaran pekerjaan penduduk pada Tabel 3.
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
Tabel 1. Penggunaan Lahan Desa Madukoro Tahun 2010 Penggunaan Lahan Luas (Ha) Lahan sawah 25,5 Pekarangan dan pemukiman 26,9 Tegalan 38,6 Tempat pendidikan 0,28 Jalan, kuburan dan lain-lain 1,17 Sumber: Anonim (2011)
Tabel 2. Sebaran Jumlah Penduduk Menurut Umur Umur (tahun) Laki-laki (%) Perempuan (%) <20 0 2,5 20-30 17.5 27,5 31-40 35.0 32,5 41-50 20.0 22,5 51-60 22.5 15,0 61-70 2.0 0 Sumber: Analisis data primer (2012)
Jumlah penduduk menurut umur baik lakilaki maupun perempuan didominasi oleh usia produktif 31-40 tahun pada laki-laki dan 20-40 tahun pada perempuan. Umur produktif bagi seseorang sangat penting dan erat sekali hubungannya dengan produktivitas kerja karena sifat pekerjaan yang dihadapi memerlukan stamina fisik yang baik. Sebaran pekerjaan untuk responden laki-laki lebih banyak sebagai petani sedangkan responden wanita sebagai ibu rumah tangga. Tabel 3. Sebaran Pekerjaan Penduduk Menurut Jenis Kelamin Pekerjaan Laki-laki Perempuan (%) (%) Guru 2,5 2,5 Swasta 15 5 Petani 75 22,5 Perangkat desa 7,5 0 Ibu rumah tangga 0 70 Sumber: Analisis data primer (2012)
Desa Madukoro terletak di dekat perbatasan Kabupaten Magelang dengan Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo dan merupakan desa pertanian namun juga banyak warganya yang menjalankan usaha perkayuan dan makanan olahan. Selain industri kerajinan, Desa Madukoro mempunyai potensi ekonomi
pada bidang agribisnis olahan pertanian (Anonim, 2011). Pemanfaatan lahan pekarangan dalam kegiatan MKRPL dapat menjadi sumber penghasilan produktif dan sumber pemenuhan kebutuhan gizi dan masyarakat di daerah percontohan, selain itu juga akan mendorong kemandirian pangan di tingkat rumah tangga tani. Beberapa potensi hasil olahan pertanian yang ada seperti gula kelapa, krupuk gadung, keripik pisang, krupuk sandora (krupuk ubikayu), permen tape dikerjakan oleh warga secara individual maupun berkelompok dalam wadah KWT (Kelompok Wanita Tani) Bukit Madu dan diproduksi setiap hari ataupun jika ada pesanan. Dari sekian ragam olahan pertanian yang mendominasi adalah gula kelapa. Sumber Potensi Olahan Gula Kelapa Kelapa merupakan salah satu tanaman tahunan yang banyak dibudidayakan selain tanaman rambutan, durian, manggis, nangka dan duku di lahan tegalan tiap rumah tangga pelaksana kegiatan MKRPL Kabupaten Magelang. Di setiap strata luasan kepemilikan lahan tegalan ditanami kelapa rata-rata sebanyak 1-4 pohon. Populasi tanaman kelapa terbanyak dijumpai di RT 4 (Tabel 4). Oleh karena itu, di RT 4 Dusun Madukoro II hampir dapat dijumpai 80% pengrajin gula kelapa yang umumnya merupakan profesi turun temurun dengan keterbatasan modal. Teknologi produksi yang diterapkan sangat sederhana dengan proses produksi sebagian besar belum memperhatikan sanitasi kesehatan. Olahan gula kelapa merupakan salah satu sumber penghasilan selain dari hasil tani, buruh tani, dagang, kolam dan lain-lain. Pengalaman sebagai pengrajin gula kelapa rata-rata lebih dari 10 tahun dengan kapasitas produksi sebesar 6090 kg/bulan. Produk gula kelapa berbentuk setengah lingkaran bola, jarang yang menggunakan bentuk silinder. Berdasarkan informasi di lapang, hal itu untuk mengantisipasi agar konsumen tidak menduga produk berasal dari Kabupaten Purworejo yang umumnya berbentuk silinder dan kebanyakan menggunakan pengawet. Wilayah pemasaran menjangkau hingga pasar kecamatan dengan status pembeli adalah bakul maupun pengepul.
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
459
UNDIP PRESS
Tabel 4. Tingkat Penguasaan Tanaman Kelapa Tiap RT Di Dusun Madukoro II Kelas RT 4 RT 5 RT 6 RT 7 RT 8 (pohon) --------- % ------------1–2 46,15 50,00 0 58,33 84,62 3–4
38,46 33,33
5–6
11,54
8,33
7–8
3,85
8,33
Populasi (pohon)
76
38
66,67 25,00 15,38 33,33 16,67 0 0 0 0 12
30
20
Sumber: Analisis data primer (2012)
Proses Produksi Olahan Gula Kelapa di Dusun Madukoro Bertindak sebagai penderes nira kelapa adalah kaum laki-laki. Sedangkan pengolah nira kelapa untuk dijadikan gula kelapa sebagian besar dikerjakan oleh perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Proses produksi menderes (dalam bahasa Jawa, deres berarti deras mengalir) nira kelapa diawali dengan memilih mayang/manggar (bunga kelapa) lalu dengan benda tumpul dipukul-pukul secara merata. Secara fisiologis pemukulan ini bertujuan untuk melunakan pori-pori atau menguraikan selsel sehingga sekresi berupa sukrosa yang nantinya menjadi nira akan mudah keluar. Proses selanjutnya bagian ujung mayang dilukai dengan cara menoreh dengan sabit yang tajam, dalam membuat luka harus benar-benar rata agar hasilnya baik. Usai dilukai maka akan menetes cairan bening yang disebut nira tersebut selanjutnya ditampung dengan bumbung dari potongan ruas bambu dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Nira segar mempunyai rasa manis, berbau harum dan tidak berwarna. Dalam sehari dapat menghasilkan sekitar 1 liter nira/pohon. Setiap hari dilakukan penorehan lagi untuk membuat luka yang baru. Tanaman secara otomatis akan mengalami regenerasi sel untuk menutup luka dan menghentikan keluarnya nutrisi dari dalam tubuhnya, sehingga produksi terus berlangsung. Nira atau legen dalam bahasa jawa yang artinya "legi/manis" adalah hasil sekresi dari tumbuhan dari keluarga Palmae, seperti; kelapa,
460
lontar, aren, kurma, sawit, sagu, siwalan dan lain sebagainya. Nira dapat diproses menjadi beberapa produk turunannya, antara lain; tuak/minuman keras, asam cuka, bioethanol, gula kelapa / gula jawa / gula merah dan gula jawa serbuk. Nira merupakan nutrisi yang dihasilkan oleh tanaman kelapa untuk persiapan pembentukan buah. Konsekuensi logis dari penderesan nira adalah kegagalan dari pembentukan bunga dan buah, sehingga kelapa tidak akan menghasilkan buah. Nira memiliki kadar gula yang melimpah dan menjadi media yang sesuai bagi berkembangnya mikroorganisme. Hama nira saat di pohon kelapa antara lain semut, tupai dan kadangkala tikus. Jika nira sudah dihinggapi mikroorganisme maka nira tersebut akan rusak, karena gula akan diubah menjadi asam cuka atau alkohol. Sehabis penyadapan biasanya bumbung akan dicuci dan diguyur dengan air panas, tujuannya adalah untuk mematikan mikroorganisme. Penyadapan nira kelapa merupakan suatu kegiatan fisik untuk memperoleh nira dari malai kelapa yang masih belum terbuka atau mengembang menjadi bunga (Setyamidjaja, 1991). Kegiatan penyadapan memerlukan suatu pengalaman dan ketrampilan untuk menghasilkan nira yang berkualitas dan berkuantitas yang tinggi (Sunantyo dan Bambang, 1996). Proses penyadapan malai kelapa berlangsung cukup lama yaitu selama 8 jam untuk penyadapan pagi hari dan selama 16 jam untuk penyadapan sore hari. Pemasangan bumbung dilakukan pada pagi hari sekitar jam 5.00 - 6.00 WIB untuk diambil sore harinya jam 16.00-17.00 WIB dan jika pemasangan bumbung sore hari maka pengambilan bumbung dilakukan pagi harinya. Jadi tiap pohon kelapa memerlukan pemanjatan dua kali sehari tanpa peduli apakah sedang musim kemarau atau hujan dengan kondisi pohon licin. Penyadapan tersebut berlangsung cukup lama, oleh karena proses keluarnya nira dari irisan malai hanya sedikit demi sedikit. Penderes biasanya memasang 1-3 bumbung per pohon. Sekali menderes sebanyak kurang lebih 15-20 pohon kelapa. Saat hendak digunakan untuk menyadap biasanya bumbung akan ditambah kapur sirih sebanyak seujung sendok. Tujuan pemberian
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
kapur sebagai larutan penyangga untuk mempertahankan derajat keasaman pH nira sekitar 6-7, sebab nira rusak jika pH kurang dari 6 atau ditandai rasa yang masam. Biasanya nira yang dipanen sore hari akan direbus hingga mendidih yang berguna untuk mematikan mikroorganisme sebelum diproses pada esok harinya, Proses selanjutnya adalah penyaringan nira karena di dalam bumbung biasanya terikut kotoran-kotoran seperti bagian kecil dari mayang, pelepah, lebah dan semut. Sisa air kapur yang mengumpul di ujung bumbung tidak diikutkan karena akan menghasilkan warna gula yang kurang baik. Nira kemudian dibuat menjadi gula kelapa yakni dengan proses evaporasi/penguapan pada suhu tinggi. Pada fase ini terjadi karamelisasi, yakni penggumpalan gula menjadi lebih karena kadar air berkurang. Karamelisasi dilakukan dengan cara merebus nira dalam wajan yang dipanaskan pada suhu 110oC sambil dilakukan pengadukan sampai pada pemekatan. Pada saat nira mulai mendidih, kotoran halus akan terapung ke permukaan bersama-sama buih nira dan harus diambil dengan menggunakan serok. Pendidihan selanjutnya akan menimbulkan busa nira yang meluap-luap berwarna coklat kekuningkuningan. Bila nira sudah mengental, api dikecilkan dan pekatan nira tetap diaduk-aduk. Waktu yang diperlukan untuk memasak 2530 liter nira kira-kira 4-5 jam. Setelah sekitar 5 jam pemanasan, maka akan diketahui gula sudah
jadi atau belum dengan cara meneteskan cairan karamel dalam air dingin. Apabila sudah menggumpal dan keras didalam air berarti sudah siap menjadi gula, jika belum atau masih lunak berarti kadar air masih tinggi. Proses tersebut membutuhkan kecermatan dan ketelitian, maka pengalaman mutlak diperlukan agar kualitas gula benar-benar bagus, tidak terlalu lunak atau gosong karena pemanasan terlalu lama (Gambar 1). Untuk mempercepat proses pendinginan, pekatan nira tetap dilakukan pengadukan hingga suhunya turun menjadi sekitar 70oC. Pengadukan ini juga akan menyebabkan tekstur dan warna gula lebih baik dan cepat kering. Selanjutnya gula dicetak dalam tempurung kelapa yang sebelumnya dibasahi dengan air supaya tidak lengket. Lama mendinginkan gula butuh waktu sekitar 2 jam dan siap untuk dikemas. Rata-rata di Dusun Madukoro II tiap pohonnya menghasilkan nira 1 liter dan menjadi gula sekitar 1-2 ons. Harga 1 kg gula jawa sekitar 1315 ribu rupiah. Penderesan dapat dilakukan setiap hari sepanjang tahun, sehingga penghasilan harian dapat diperoleh dari nira daripada menunggu sampai menjadi buah kelapa. Industri kecil gula kelapa ini dalam proses pemasakannya menggunakan bahan bakar dari kayu bakar, sekam padi, kayu pagar, daun-daun kering. Namun, sebagian besar pengrajin menggunakan kayu bakar yang dikumpulkan dari tegalan.
Gambar 1. Pengolahan Gula Kelapa di Dusun Madukoro
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
461
UNDIP PRESS
Kendala yang Dihadapi Dilihat dari segi kualitas gula kelapa itu sendiri, ternyata kualitas hasil produksi masih belum sama di antara para pengrajin. Bahkan seseorang pengrajin tidak dapat menghasilkan produk gula kelapa yang sama kualitasnya setiap harinya. Kondisi ini sebagian besar dialami pengrajin gula kelapa tidak saja di lokasi MKRPL Kabupaten Magelang namun juga di wilayah Kabupaten Purbalingga sebagai daerah yang mempunyai potensi industri gula kelapa berskala besar baik dilihat dari tingkat lokal, regional maupun nasional (Prasodjo, 2001; Supomo, 2007). Berdasarkan infornasi di lapang, hal tersebut dipengaruhi oleh musim dan umur pohon. Kualitas gula kelapa pada musim kemarau lebih bagus dibandingkan saat musim hujan. Produk tidak berasa asam dan warna yang dihasilkan lebih terang kekuningan sedangkan saat musim hujan gula kelapa agak masam, berwarna merah kecoklatan dan mudah lembek karena sifat higroskopisnya. Sementara kriteria pasar menginginkan gula kelapa berwarna kuning dan keras. Di kalangan pengrajin untuk menyiasati kualitas gula kelapa di saat musim hujan agar tidak mudah lembek adalah membungkus gula dengan klaras (daun pisang yang sudah kering). Umur pohon juga mempengaruhi kualitas produk. Pohon kelapa berumur tua ditandai dengan ketinggian pohon lebih dari 10 meter menghasilkan nira lebih banyak namun susut masak sedikit sedangkan pohon kelapa muda dengan ketinggian 3 meter menghasilkan susut masak banyak. Prihatini (2011) menambahkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas produk antara lain pH nira segar, suhu pemasakan, waktu pemasakan, proses kristalisasi, kebersihan peralatan, jenis cetakan dan ketrampilan pengrajin. Hasil analisis pengolahan data menggunakan diagram pareto, lembar pengecekan dan diagram tulang ikan maka kriteria cacat produk mulai dari jumlah terbesar hingga terkecil adalah bentuk, berat, aroma dan rasa. Dalam kaitannya dengan sistem sewa antara pemilik pohon kelapa dengan penderes nira kelapa yang tidak memiliki pohon kelapa sendiri, sistem sewanya bervariasi, tergantung kesepakatan antara petani penderes dengan
462
pemilik pohon kelapa yaitu: sistem jumlah pohon, dengan penyetorannya tiap dua hari sekali, yaitu dua hari memanjat pohon kelapa hasilnya untuk penderes, dua hari berikutnya untuk pemilik pohon kelapa. Jika petani penderes nira kelapa berstatus buruh maka pembagian hasilnya tiga hari memanjat pohon kelapa hasilnya untuk penderes dan satu hari berikutnya untuk pemilik pohon kelapa. Pada umumnya petani penderes nira kelapa merangkap sebagai pengrajin pembuat gula kelapa sendiri. Dengan kata lain tidak ada petani penderes nira kelapa yang menjual niranya kepada pengrajin pembuat gula kelapa. Nilai lebih yang menjadi penghasilan petani penderes nira kelapa/pengrajin pembuat gula kelapa ditentukan oleh sikap pemilik pohon kelapa. Dalam hal pemasaran, hampir semua pengrajin tidak mengetahui jalur atau jaringan pemasaran. Belum ada koperasi atau kelompok pengrajin yang bertujuan untuk mencari alternatif pasar lain. Satu-satunya jalan untuk menjual hasil produksinya hanyalah kepada para bakul atau pengepul dengan harga standar yang ditetapkan oleh pedagang pengepul. Kinerja atau nilai tambah yang diterima sebagai pengrajin gula kelapa dalam mata rantai hulu-hilir komoditas gula kelapa sangat rendah. Karena pengorbanan waktu seorang suami yang menderes nira kelapa dan seorang istri yang bertugas memasak nira menjadi gula kelapa sepanjang hari hanya mendapatkan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar saja. Indiyastuti (2009) menjelaskan tentang hasil penelitian di Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo bahwa kondisi usaha pembuatan gula kelapa di daerah penelitian tidak menguntungkan. Keuntungan akan tercapai ketika pengrajin tidak melakukan penggantian input tetap berupa peralatan produksi dan hanya input kayu bakar yang diperoleh dengan membeli. Indiyastuti (2009) menyarankan untuk meningkatkan produksi dengan mengurangi pemborosan penggunaan input dan biaya produksi. Inovasi Teknologi Perbaikan Mutu Gula Kelapa Mutu gula kelapa ditentukan oleh beberapa faktor antara lain, mutu bahan baku (nira), teknik pengolahan, penggunaan bahan tambahan (food
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
No. 1.
2 3 4 5 6 7
Kriteria Uji
Tabel 5. Syarat Mutu Gula Palma Satuan Cetak
Keadaan 1.1 Bentuk 1.2 Rasa dan Aroma 1.3 Warna Bagian yang tak larut dalam air Air Abu Gula pereduksi Jumlah gula sebagai sakarosa Cemaran logam 7.1 Seng (Zn) 7.2 Timbal (Pb)
Persyaratan Butiran/Granula
% b/b % b/b % b/b % b/b % b/b
Normal Normal, khas Kuning kecoklatan sampai coklat Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 2,0 Maks. 10,0 Maks. 77
Normal Normal, khas Kuning kecoklatan sampai coklat Maks. 0,2 Maks. 3,0 Maks. 2,0 Maks. 6,0 Maks. 90,0
mg/kg mg/kg
Maks. 40,0 Maks. 2,0
Maks. 40,0 Maks. 2,0
Sumber Badan Standardisasi Nasional (1995)
additive) dan pengalaman pengrajin (skill) gula kelapa itu sendiri. Upaya pencegahan fermentasi (kerusakan) nira yang belum optimal, teknologi penyimpanan gula kelapa yang belum memadai, serta meluasnya pemakaian bahan kimiawi telah memperburuk mutu gula kelapa sebagai produk bahan pangan yang rawan bagi kesehatan. Gula kelapa sendiri telah memiliki standardisasi mutu yang mengacu pada SNI 01-3743-1995 tentang Gula Palma seperti pada Tabel 5. Berkaitan dengan mutu gula kelapa tersebut, beberapa hal perlu mendapat perhatian untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu gula kelapa antara lain: a. Komposisi Nira Kelapa Komposisi nira dari suatu jenis tanaman dipengaruhi beberapa faktor antara lain varietas tanaman, umur tanaman, kesehatan tanaman, keadaan tanah, iklim, pemupukan dan pengairan. Setiap jenis tanaman mempunyai komposisi nira yang berlainan dan umumnya terdiri dari air, sukrosa, gula reduksi, bahan organik lain dan bahan anorganik. Air dalam nira merupakan bagian terbesar antara 75-90%. Sukrosa merupakan bagian zat padat yang terbesar antara 12,30-17,40%. Gula reduksi antara 0,50-1,00% dan sisanya merupakan senyawa organik serta anorganik. Gula reduksi dapat terdiri dari heksosa, glukosa dan fruktosa serta mannose dalam jumlah yang rendah sekali. Bahan organik terdiri dari
karbohidrat (tidak termasuk gula), protein, asam organik, asam amino, zat warna dan lemak. Bahan anorganik terdiri dari garam mineral (Hieronymus, 1993). b. Pengendalian Penurunan Kualitas Nira Kelapa Nira kelapa yang digunakan untuk pembuatan gula kelapa harus memiliki kualitas baik. Nira yang kurang baik mudah menjadi basi (lumer), aroma dan rasanya masam dan akan menghasilkan gula kelapa yang mudah lengket. Nira kelapa berkualitas baik dan masih segar mempunyai rasa manis, berbau harum, tidak berwarna (bening), pH berkisar 6-7 dan kandungan gula reduksinya relatif rendah. Mengingat nira kelapa merupakan suatu media yang manis, maka sangat baik untuk pertumbuhan mikroba. Sebagai tanda bahwa nira mulai menurun kualitasnya, yaitu terjadi perubahan fisik antara lain nira mulai berbau asam terbentuk lendir, berbuih putih, disamping viskositasnya juga meningkat (Child, 1974). Perubahan kimiawi yang terjadi yaitu terbentuknya alkohol hingga mencapai 7% dalam waktu 15-20 jam oleh khamir dan pembentukan asam asetat hingga 1% dalam waktu 47-50 jam oleh bakteri asam (Siagian, 2002). Kontaminan dari golongan mikroba yang menyebabkan kerusakan pada kelapa dan olahannya meliputi bakteri, kapang dan khamir. Kerusakan pada nira kelapa disebabkan karena
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
463
UNDIP PRESS
aktivitas fermentasi oleh Saccharomyces carlbergensis var. Alcohophila, Candida cruse, Candida intermedia var. Ethanphila, Pichia membranefeciens dan Turulopsis stella. Beberapa jenis bakteri seperti Micrococcus, Eschericia, Achromobacterium dan Flavobacterium yang dapat tumbuh pada pH netral dan suhu kamar (Suwardjono, 2001). Terdapat tiga jalur yang dapat digunakan oleh mikroba untuk mengkontaminasi olahan gula kelapa yaitu: bahan baku, pekerja pada pengolahan kelapa dan lingkungan pengolahan (Siagian, 2002). Prinsip dalam mereduksi jumlah mikroba pada kelapa dan olahannya adalah dengan cara menurunkan Aw, kadar air, pH dan suhu (Koespeno, 2004). c. Penggunaan Bahan Pengawet Dalam upaya untuk menekan atau menghambat kecepatan penurunan kualitas nira selama proses penyadapan berlangsung diperlukan suatu tambahan bahan kimia, baik secara alami maupun sintetis (Sunantyo, 1992). Upaya tersebut mutlak dilakukan mengingat dalam proses pembuatan gula kelapa diperlukan kualitas nira yang prima, HK (harkat kemurnian) sekitar 85 untuk memperoleh gula kelapa dengan kualitas baik (Martoyo dan Santosa, 1989). Proses pengawetan gula kelapa di tingkat petani ada yang menggunakan larutan kapur (laru) dengan ditambah kulit manggis maupun tatal kayu nangka untuk mengawetkan nira. Penambahan bahan pengawet berupa tatal kayu nangka (10 gram) + susu kapur 5o Be (10 mL) tiap liter nira sadapan cukup mangkus menekan laju penurunan kualitas nira sadapan kelapa (Sunantyo, 1999). Namun, tidak jarang pemberian laru sering overdosis sehingga produk gula yang dihasilkan sedikit terasa pahit (bitter taste) dan juga karena efek overtime maka akan terjadi produk cenderung berwarna coklat (coklat kehitaman). Selain itu, ketersediaan dari pengawet tersebut terbatas sehingga tidak sedikit petani yang menggunakan bahan pengawet sintetis, natrium benzoate maupun natrium metabisulfit. Dengan keterbatasan teknologi yang dikuasai, pengrajin gula kelapa memberikan bleaching treatment tersebut dengan dosis melampaui ambang batas kesehatan yang diizinkan. Tujuan pemberian adalah untuk mendapatkan warna gula kelapa
464
kuning kecoklatan, over dosis terkadang sering dapat dirasakan dari rasa gula kelapa yang sedikit asin (indikasi kandungan sulphur yang relatif tinggi). Winarno (2002) menyatakan bahwa senyawa sulfit merupakan zat pengawet anorganik yang masih sering dipakai dan digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na, atau K-sulfit, bisulfit dan metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai bahan pengawet adalah asam sulfit yang tidak terdisosiasi dan terutama terbentuk pada pH di bawah 3. Molekul sulfit lebih mudah menembus dinding sel mikroba, bereaksi dengan asetaldehid membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi oleh enzim mikroba, mereduksi ikatan disulfide enzim dan bereaksi dengan keton membentuk hidroksisulfonat yang dapat menghambat mekanisme pernafasan sehingga sangat berbahaya bagi penderita atau pernah menderita penyakit asma. Lebih jauh jika senyawa ini terus tertimbun dalam hati melalui makanan maka dapat mengakibatkan kerusakan hati (liver). Selain sebagai pengawet, sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi tersebut akan mengikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Tjahjaningsih (1996) menyatakan bahwa gula yang dalam pembuatannya diberi zat pengawet seperti natrium metabisulfit, warnanya lebih baik (kuning cerah) dan terhindar dari kerusakan nira akibat fermentasi sehingga dapat mencegah terjadinya kegagalan pencetakan gula jawa (gula gemblung). Banyak produsen gula kelapa yang masih menggunakan senyawa sulfit terutama pada saat musim penghujan karena dapat mencegah resiko terjadinya “gula gemblung”. Beberapa pengawet alami yang dapat dijadikan sebagai alternative untuk memperpanjang umur simpan nira adalah daun sirih, daun cengkeh, daun jambu biji, kayu secang dan daun teh. Bahan-bahan tersebut memiliki komponen bioaktif yang bersifat sebagai antimikroba. Winarno (2002) menjelaskan bahwa asam benzoate sebagai zat pengawet secara alami terdapat dalam rempahrempah seperti cengkeh dan kayu manis. Sulistyaningrum dkk. (2012) menunjukkan bahwa nira yang ditambah pengawet daun cengkeh, daun jambu biji dan kulit buah manggis dengan konsentrasi 4,5 % memberikan nilai pH,
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
kadar sukrosa dan nilai sensori yang tertinggi jika dibandingkan dengan pengawet lainnya. Sedangkan pembuatan gula kelapa dari nira kelapa yang mendapat pengawet kulit buah manggis, daun cengkeh dan daun jambu biji tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap variabel kimia (kadar air, kadar abu, kadar gula reduksi dan kadar gula total) tetapi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap variabel organoleptik (warna, aroma, rasa, tekstur dan kesukaan). Kombinasi perlakuan pengawet kulit buah manggis dengan konsentrasi 1,5% dan pengawet daun jambu biji dengan konsentrasi 1,5% memiliki warna mendekati coklat, aroma dan rasa khas gula kelapa dan tekstur mendekati keras sehingga disukai panelis. d. Pemanasan Nira Kelapa Pembuatan gula merah non tebu seperti halnya gula kelapa bertujuan untuk mendapatkan kadar gula dengan kadar sukrosa tinggi. Makin tinggi kadar sukrosa makin baik kualitas dan makin lama daya simpannya. Temperatur pengolahan nira menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan. Selain itu, pemanasan berlebih juga boros terhadap pemakaian bahan bakar. Pragita (2010) menambahkan bahwa untuk meminimalkan keragaman dan penyimpangan mutu, harus menghindari terjadinya pemasakan yang melewati titik end point yakni berkisar 110oC. End point merupakan suhu akhir pemasakan, yaitu nira sudah mulai kental dan meletup-letup. Reaksi yang terjadi antara gula yang terdapat dalam nira yaitu gula reduksi dengan asam amino yang membentuk 5 hidroksi metil furfural yang merupakan precursor coklat. Makin tinggi temperatur pemasakan, makin tinggi intensitas warnanya. Reaksi pencoklatan juga terjadi akibat terbentuknya naglikosida yang menyebabkan perubahan warna dari kunig menjadi coklat dan akhirnya akan berwarna coklat tua atau pigmen yang disebut melanoidin (Sunantyo dan Sri, 1997). Hermawati dan Pariyo (2000) memberikan teknologi untuk industri rumah tangga gula kelapa berupa kompor minyak tanah dengna tambahan blower. Penggunaan kompor dan blower dapat mengurangi asap dan debu, sehingga menghasilkan gula yang bersih dan
mempertahankan kesehatan petani. Selain itu, dengan kompor dan blower didapat panas yang stabil. Hal ini mempercepat proses pembuatan gula dan meratakan pemasakan gula. e. Pengemasan Pengemasan merupakan teknologi yang penting mengingat bahwa dengan cara pengemasan yang baik dapat mempertahankan kualitas produk dan sekaligus membantu pengawetan. Selain itu, pengemasan juga memberikan bentuk yang menarik bagi konsumen. Gula kelapa dengan kadar air < 10% walaupun dikemas baik, rapat dan tidak terjadi kebocoran udara, namun gula akan berubah struktur/teksturnya. Cara pengemasan tidak mempunyai efek terhadap retensi warna selama penyimpanan pada temperatur ruang, tetapi berpengaruh terhadap perubahan tekstur/struktur. Pengemasan dengan plastik polietilen dapat mencegah kerusakan gula akibat absorpsi uap air dan udara (Sunantyo dan Sri, 1997). Pengembangan Agroindustri Gula Kelapa Gula kelapa sebagai salah satu kemoditas sektor perkebunan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan pengembangan agroindustri. Gula kelapa juga merupakan komoditas yang memiliki prospek yang bagus, karena permintaan yang tinggi dari dalam maupun luar negeri. Prospek yang cukup cerah dari gula kelapa belum diikuti dengan cerahnya kehidupan pengrajin. Hal tersebut disebabkan harga gula yang berfluktuasi dan ditunjang posisi tawar pengrajin yang lemah, teknologi pengolahan masih sederhana sehingga produk yang dihasilkan masih beragam serta belum intensifnya pembinaan dari instansi/lembaga terkait. Ditinjau dari aspek budidaya tanaman kelapa yang berperan dalam kontinuitas ketersediaan bahan baku merupakan salah satu rantai nilai industri gula kelapa yang juga mendapat perhatian utama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas tanaman kelapa sebagian besar telah turun berkisar antara 30-50% dari seharusnya. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas pohon kelapa antara lain penggunaan bibit yang tidak berkualitas, belum
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
465
UNDIP PRESS
tumbuhnya kesadaran memupuk tanaman dan tidak adanya peremajaan tanaman (Anonim, 2011). Varietas kelapa genjah entok merupakan salah satu bibit tanaman kelapa unggul karena pohonnya tidak terlalu tinggi yaitu hanya 4-5 meter, sehingga memudahkan para petani dalam menderes nira kelapa, tidak perlu memanjat pohon dan petani lebih aman dari resiko kecelakaan jatuh dari pohon kelapa. Uji coba penanaman sejumlah pohon kelapa genjah entok di Pandak Baturaden Kabupaten Purwokerto sudah dapat berbuah atau disadap niranya. Setiap pohon kelapa dapat menghasilkan paling sedikit 5-6 liter nira per hari, kadar gula berkisar 1529% (Anonim, 2011). Anonim (2008) mengemukakan kaitannya dengan strategi pengembangan agroindustri gula kelapa di Kecamatan Majenang, Jeruklegi, Kesugihan dan Nusawungu Kabupaten Cilacap bahwa sasaran yang ingin dicapai dalam pengembangan agroindustri gula kelapa adalah peningkatan pendapatan pengrajin (0,58) kemudian peningkatan daya saing produk (0,27) serta perluasan pasar (0,19). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan agroindustri gula kelapa adalah kualitas produk (0,26), peluang pasar (0,19), permodalan (0,17), kualitas dan kuantitas bahan baku (0,12), pengembangan SDM (0,10), informasi pasar (0,084) dan penguasaan teknologi (0,08). Dalam mengembangkan agroindustri gula kelapa, strategi yang dapat dicapai antara lain pelatihan (0,22), pemberian bantuan modal usaha (0,21), pemasyarakatan standardisasi mutu (0,20), perlindungan harga (0,123), pembentukan dan pembinaan melalui koperasi industri (0,12), pembinaan kelompok asosiasi (0,09) dan pengembangan pola kemitraan (0,05). KESIMPULAN Dusun Madukoro II memiliki jumlah penduduk menurut umur baik laki-laki maupun perempuan didominasi oleh usia produktif 31-40 tahun pada laki-laki dan 20-40 tahun pada perempuan. Di dusun Madukoro II hampir dapat dijumpai pengrajin gula kelapa yang umumnya merupakan profesi turun temurun dengan keterbatasan modal. Teknologi produksi yang diterapkan sangat sederhana dengan proses produksi sebagian besar belum memperhatikan
466
sanitasi kesehatan. Pengalaman sebagai pengrajin gula kelapa rata-rata lebih dari 10 tahun dengan kapasitas produksi sebesar 60-90 kg/bulan. Dalam hal pemasaran, hampir semua pengrajin tidak mengetahui jalur atau jaringan pemasaran. Industri gula kelapa di Dusun Madukoro berpotensi untuk dikembangkan mengingat ketersediaan bahan baku, profesi yang turun temurun serta pengrajin dalam skala usia produktif. Industri gula kelapa yang ada dalam peningkatan produksi dan mutu gula kelapa, masih memerlukan pembinaan dalam hal produksi gula kelapa, informasi bahan baku, pasar dan akses modal. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Strategi Pengembangan Agroindustri Gula Kelapa Kabupaten Cilacap Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP). http://groups.yahoo.com/group/forum_ko munikasi_warga_cilacap/message /5182 (diakses tanggal 29 Oktober 2012) Anonim, 2011. Materi Pelatihan Peningkatan Produktivitas Tanaman Pohon Kelapa di Kabupaten Banyumas. Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Banyumas Anonim. 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Madukoro Kecamatan Kajoran Tahun 2011-2015. Magelang Badan Standardisasi Nasional. 1995. Gula Palma. SNI 01-3743-1995. Child, R. 1974. Coconut, 2nd Edition. Longmans, Green & Co., London Hermawati, W dan Pariyo P. 2000. Studi Peningkatan Kemampuan Industri Rumah Tangga Gula Kelapa di Kecamatan Kebasen Kabupaten Tk II Banyumas Propinsi Jawa Tengah. Pusat Analisa Perkembangan Iptek LIPI. Jakarta. 26 hal Hieronymus, B.S. 1993. Pembuatan Gula Kelapa. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Indiyastuti, E. 2009. Analisis Produksi Pembuatan Gula Kelapa di Kecamatan Kokap.http:digilib.uns.ac.id/abstrakpdf_2 209_analisis-produksi-pembuatan-gulakelapa-kecamatan-kokap (diakses 29
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
Oktober 2012) Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Jakarta Koespeno. 2004. Proses Pembuatan Nata de Coco. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Semarang Martoyo dan Bambang E.S. 1989. Studi Tentang Pembuatan Gula Merah Nipah dari Nira Nipah. Prosiding Pertemuan Teknis Budidaya Lahan Kering P3GI. Pasuruan Pragita, T. E. 2010. Evaluasi Keragaman dan Penyimpangan Mutu Gula Kelapa Kristal (Gula Semut) di Kawasan Home Industri Gula Kelapa Kabupaten Banyumas. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto Prasodjo, S. 2001. Pemberdayaan Pengrajin Gula Kelapa Sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Purbalingga. 89 hal Prihatini, I.G. 2011. Studi Penyebab Kesalahan Mutu Gula Kelapa pada Industri Gula Kelapa di Kabupaten Jember. Skripsi Universitas Negeri Malang Setyamidjaja, D. 1991. Bertanam Kelapa. Penerbit Kanisius. Edisi Baru. Jogjakarta Siagian, A. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara Sulistyaningrum, A., Yanto, T dan Naufalin, R. 2012. Penambahan Berbagai Jenis Pengawet Alami dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Gula Kelapa Cetak. Tesis. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto
Sunantyo. 1992. Kayu Angin Sebagai Bahan Pengawet Alami Nira Nipah. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Cisarua. Bogor Sunantyo, 1996. Pengaruh Pemakaian Bahan Pengawet Terhadap Kualitas Hasil Nira Sadapan Kelapa dan Hasil Gula Semut. Prosiding Seminar Teknologi Pangan: 384394 Sunantyo dan Bambang, E.S. 1996. Mengenal Cara Menyadap dan Membuat Gula Kelapa di Daerah Pare, Kediri, Blitar, Pacitan dan sekitarnya. Berita P3GI No.15. Pasuruan Sunantyo dan Sri, U. 1997. Suatu Upaya Peningkatan Kualitas Gula Merah Nabati Non Tebu. Prosiding Seminar Teknologi Pangan: 196-213 Supomo. 2007. Meningkatkan Kesejahteraan Pengrajin Gula Kelapa di Wilayah Kabupaten Purbalingga. Jurnal Ekonomi Pembangunan Kajian Ekonomi Negara Berkembang 12 (2) Agustus 2007: 149162 Suwardjono. 2001. Pengaruh Penggunaan Bahan Pengawet Alam terhadap Kualitas Nira Kelapa yang Digunakan untuk Pembuatan Gula Kelapa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UT. Tjahjaningsih, J. 1996. Evaluasi Daya Simpan dan Prevalensi Berbagai Macam Gula Merah Palma Tradisional dari Beberapa Daerah Potensi Produksi di Karesidenan Banyumas. Laporan Hasil Penelitian. Lembaga Penelitian UNSOED. Purwokerto (tidak dipublikasikan) Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 253 hal
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
467