Sunarsih, Saptana, dan Supena Friyatno
KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN PEKARANGAN UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA Local Wisdom in the Utilization of Home Garden to Support Household Food Security Sunarsih, Saptana, dan Supena Friyatno Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani no. 70 Bogor 16161 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Utilization of the home garden has been known for generations in the community in Kesetnana and Boentuka, South Central Timor regency, East Nusa Tenggara. This paper aims to reveal the wisdom of local communities in using the home garden to meet food needs. The primary source of this article was obtained from the results of research conducted in 2012 at the site, coupled with the various sources of data and other relevant information. The concept of the home garden for the local community, including the land around their home, either in front, side, and rear of the house, with an average holding per 2 household around 1,280 m . Local wisdom in using the home garden indicated by its ability to select and cultivate a variety of crops and livestock locally appropriate local agro-climatic conditions, and in managing landscapes gardens. Structuring the home garden and plant and animal management is done in such a way as well, so the habitat functions, sociocultural, ecological, aesthetic and economic can be accommodated. There are more than 30 types of crops and livestock grown locally in their home garden, and managed in accordance with the needs and ability of the household. The home garden land use significantly improves the availability and household food access through a variety of local food production and commercial commodities (cash crop), and can provide additional household income. Empirically the feasibility of utilization of various commodities in the home garden area indicated by the results of the analysis of R/C in the range 1.5-5.7, and the results of the farm yard area around 1.3-23.5 percent able to contribute to the household income. Land use policy front yard should be able to support the increasing variety of home garden functions suit the needs of the household and environmental sustainability, through the introduction of technological and institutional innovation and is much better, with regard to local wisdom that has been proven to be able to accommodate it. Keywords: local knowledge, home garden, food security, income, household
ABSTRAK Pemanfaatan pekarangan sudah dikenal secara turun temurun di kalangan masyarakat di Kesetnana dan Boentuka, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap kearifan lokal masyarakat setempat dalam memanfaatkan pekarangan untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Sumber utama tulisan ini diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 di lokasi tersebut, ditambah dengan berbagai sumber data dan informasi lainnya yang relevan. Konsep pekarangan bagi masyarakat setempat, mencakup lahan sekeliling rumah tinggalnya, baik
434
Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Pekarangan untuk Mendukung Ketahanan Pangan Rumah tangga
di depan, samping, maupun belakang rumah, dengan rataan penguasaan lahan pekarangan 2 tanpa bangunan per rumah tangga sekitar 1,280 m . Kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan pekarangan ditunjukkan dari kemampuannya dalam memilih serta membudidayakan berbagai jenis tanaman dan ternak lokal sesuai kondisi agroklimat setempat, dan dalam menata lanskap pekarangannya. Penataan pekarangan dan pengelolaan tanaman dan ternak dilakukan juga sedemikian rupa, sehingga fungsi-fungsi habitat, sosial budaya, ekologi, estetika dan ekonomi dapat terakomodasi. Terdapat lebih dari 30 jenis tanaman dan ternak lokal yang dibudidayakan di lahan pekarangan, dan dikelola sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan rumah tangga. Pemanfaatan lahan pekarangan tersebut secara nyata meningkatkan ketersediaan dan akses pangan rumah tangga melalui produksi berbagai bahan pangan lokal dan komoditas komersial (cash crop), dan dapat memberikan tambahan pendapatan rumah tangga. Secara empiris tingkat kelayakan pengusahaan berbagai komoditas di lahan pekarangan ditunjukkan oleh hasil analisis R/C yang berkisar 1,5-5,7, dan hasil usahatani lahan pekarangan mampu menyumbang sekitar 1,3-23,5 persen terhadap pendapatan rumah tangga. Kebijakan pemanfaatan lahan pekarangan ke depan harus mampu mendukung peningkatan berbagai fungsi pekarangan sesuai kebutuhan rumah tangga dan kelestarian lingkungan, melalui introduksi inovasi dan teknologi serta kelembagaan yang jauh lebih baik, dengan tetap memperhatikan kearifan lokal yang selama ini telah terbukti mampu mengakomodasikan hal tersebut. Kata kunci: kearifan lokal, pekarangan, ketahanan pangan, pendapatan, rumah tangga
PENDAHULUAN
Pembangunan ketahanan pangan dihadapkan pada permasalahan pokok yang terkait dengan pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan produksinya. Pertumbuhan permintaan pangan yang cepat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan industri berbasis pangan (food, feed dan bio-fuel), daya beli masyarakat, serta perubahan selera menyebabkan kebutuhan pangan nasional meningkat dengan cepat baik dalam jumlah, mutu, dan keberagamannya. Di sisi lain, kapasitas produksi pangan nasional terkendala oleh kompetisi dalam penggunaan lahan, perubahan iklim yang ekstrim, fenomena degradasi sumber daya alam dan lingkungan, dan terbatasnya dukungan infrastruktur pertanian. Dalam situasi tersebut, pemanfaatan lahan pekarangan untuk mendukung ketahanan pangan rumah tangga dipandang sebagai salah satu langkah yang cukup strategis. Tidak saja karena potensi lahan pekarangan yang secara statistik disebutkan ada sekitar 10,3 juta ha atau 14 persen dari keseluruhan luas lahan pertanian nasional (Badan Litbang Pertanian, 2011), namun juga didasarkan pada fakta sejarah bahwa pertanian itu lahir dari proses domestikasi tanaman dan ternak oleh perempuan di sekitar rumah alias di lahan pekarangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan pekarangan untuk mendukung ketahanan pangan sudah dilakukan sejak sangat lama. Walau pun fungsinya dalam memenuhi pangan rumah tangga kemudian bergeser pada pemanfaatan lahan yang lebih luas yaitu lahan pertanian, namun pemanfaatan 435
Sunarsih, Saptana, dan Supena Friyatno
lahan pekarangan tidaklah sama sekali ditinggalkan. Sejarah yang telah demikian lama dalam pemanfaatan lahan pekarangan, telah melahirkan akumulasi pengetahuan tentang pemanfaatan lahan pekarangan, yang kemudian diwariskan secara turun temurun dan tetap lestari di sebagian komunitas, diantaranya warga Kesetnana dan Boentuka di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Luas total lahan pekarangan termasuk bangunan rumah dan halaman di Kabupaten Timor Tengah Selatan mencapai 30.954 ha (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Timor Tengah Selatan, 2012). Dengan asumsi luas bangunan 10 persen dan lahan yang efektif telah digunakan seluas 60 persen, maka masih ada potensi luas lahan pekarangan di Kabupaten Timor Tengah Selatan seluas 9.286,2 ha. Selama turun temurun, masyarakat setempat telah terbiasa memanfaatkan lahan pekarangannya untuk bertanam, beternak, maupun fungsi lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap kearifan lokal masyarakat setempat dalam memanfaatkan pekarangan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya,
METODOLOGI PENELITIAN
Pengertian kearifan lokal dalam tulisan ini, adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-politis, historis, dan situasional yang bersifat lokal yang mengandung sikap, pandangan, dan kemampuan suatu masyarakat di dalam mengelola lingkungan, khususnya lingkungan fisik berupa lahan pekarangan. Pengetahuan tentang hal ini, diharapkan dapat menjadi masukan bagi implementasi berbagai program yang berbasis pada pemanfataan lahan pekarangan. Sumber utama tulisan ini diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 di Desa Kesetnana, Kecamatan Molo, dan Desa Boentuka, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Pengambilan data dilakukan menggunakan metode survei. Tulisan ini juga dilengkapi dengan berbagai sumber data dan informasi lainnya yang relevan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penguasaan dan Pemanfataan Lahan Pekarangan Penguasaan Lahan Pekarangan Pemanfaatan lahan pekarangan oleh masyarakat di dua desa yang menjadi lokasi penelitian telah lama dilakukan. Ada pun rataan luasan lahan 2 , pekarangan dan bangunan yang dimiliki berkisar 1,773.80 m per rumah tangga dengan kisaran pemilikan per rumah tangga 0.1-0.5 hektare. Jika dirinci lebih
436
Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Pekarangan untuk Mendukung Ketahanan Pangan Rumah tangga
2
lanjut, rataan luas pekarangan tanpa bangunan sekitar 1,280.00 m , dan yang 2 dimanfaatkan untuk budidaya tanaman dan ternak sekitar 1,244.50 m .
Penataan dan Pemanfaatan Lahan Pekarangan Penataan lahan pekarangan dilakukan sedemikian rupa, sehingga rumah berada di posisi agak ke depan. Lahan pekarangan yang terletak di belakang rumah umumnya lebih luas dibandingkan lahan yang berada di sisi lain, dan tampaknya lebih berfungsi sebagai “gudang pangan”. Lahan samping untuk tanaman sayuran, obat-obatan dan buah-buahan, lahan di depan rumah untuk berbagai tanaman hias, buah-buahan dan sebagian dikosongkan untuk berbagai kepentingan. Pengetahuan masyarakat tentang berbagai jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di lahan pekarangan, diperoleh secara turun temurun. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman dalam kurun waktu yang lama, mereka mengetahui bahwa jenis-jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi lahan dan agroklimat setempat, baik yang merupakan pangan pokok maupun penunjang. Ada pun jenis tanaman bahan pangan pokok (sumber karbohidrat) yang ditanam di lahan pekarangan yaitu pisang, ubi jalar, ubi kayu, jagung, juga kacang-kacangan yang biasa dicampurkan dalam pangan pokok. Jenis tanaman bahan pangan pokok yang ditanam di pekarangan, biasanya lebih banyak untuk jenis pangan yang dikonsumsi pagi hari (sarapan). Namun saat musim kemarau, dimana lahan pertanian tidak bisa berproduksi, hasil dari lahan pekarangan menjadi tumpuan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga secara langsung maupun tidak. Sistem tanam yang dikenal oleh masyarakat setempat adalah sistem kebun campuran. Berbagai tanaman dibudidayakan dengan jarak tanam yang biasanya tidak teratur. Perawatan yang dilakukan terhadap tanaman berupa permbersihan tanaman pengganggu, tanpa atau dengan aplikasi pemupukan sederhana, biasanya menggunakan pupuk kandang hasil ternak sendiri, tanpa pupuk dan obat-obatan buatan pabrik.
Fungsi Lahan Pekarangan Secara teoritis, fungsi pekarangan dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu sebagai fungsi habitat, sosial budaya, ekonomi (penghidupan dan pendukung usaha), dan ekologi. Pemanfataan pekarangan yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian juga mengakomodasi berbagai fungsi di atas, walaupun proporsinya untuk masing-masing fungsi tidak selalu sama. Fungsi pekarangan menurut masyarakat setempat adalah sebagaimana tertera pada Tabel 1. Berbagai fungsi tersebut diungkapkan secara hampir seimbang oleh masyarakat di lokasi penelitian. Fungsi ekonomi yang mencakup fungsi lahan pekarangan sebagai warung hidup, apotek hidup, lumbung hidup dan tempat pendukung usaha. Fungsi ekologi tercakup pada pelestarian SDA dan lingkungan, sumber plasma nutfah/biodiversitas, dan estetika.
437
Sunarsih, Saptana, dan Supena Friyatno
Tabel 1. Persepsi tentang Fungsi Pekarangan Menurut Responden di Lokasi Penelitian, 2012 No.
Fungsi pekarangan
% terhadap total
1
Pelestarian SDA dan Lingkungan
82.61
2
Sumber Plasma Nutfah/Biodiversitas
82.61
3
Fungsi Sosial Budaya/Religi
78.26
4
Fungsi Estetika
91.30
5
Tempat usaha/pendukung usaha non pertanian
69.57
6
Apotik hidup
95.65
7
Lumbung Hidup
91.30
8
Warung hidup Lainnya (Penjemuran Gabah, Sale Pisang, Kandang Ternak, Olah raga)
100.00
9
8.80
Fungsi Habitat. Fungsi habitat yaitu fungsi pekarangan dalam menampung aktivitas anggota rumah tangga yang meliputi tempat meletakkan berbagai perabot rumah tangga, bermain anak, tempat berolah raga, dan tempat bersantai. Fungsi habitat biasanya dilakukan pada lahan pekarangan yang terdekat dengan rumah yaitu tepat di belakang rumah (untuk menyimpan perabot), di samping atau depan rumah yang biasanya dibiarkan kosong, untuk tempat bermain anak, dan bersantai anggota keluarga.
Fungsi Sosial Budaya. Fungsi sosial budaya meliputi pemanfataan lahan pekarangan untuk kegiatan interaksi antar anggota rumah tangga dengan anggota masyarakat lainnya, kegiatan keagamaan, serta estetika. Fungsi ini juga cukup menonjol, terutama pada rumah tangga yang masih mempertahankan bentuk rumah asli, karena ukuran dan bentuk rumah yang sedemikian rupa, sehingga anggota rumah tangga seringkali lebih memilih berinteraksi dengan orang lain di luar rumah, biasanya di bawah pohon yang ditanam samping atau depan rumah. Fungsi pekarangan untuk tujuan mempertahankan budaya setempat juga mewujud melalui adanya tanaman pinang yang biasanya ditanam di lahan yang terletak di depan rumah, dan tanaman sirih yang biasanya ditanam di samping rumah. Sirih dan pinang biasa digunakan untuk “nyirih” yang merupakan salah satu upaya masyarakat setempat untuk membuat giginya menjadi kuat dan bersih dari kuman. Selain itu, nyirih juga berfungsi sebagai ungkapan selamat datang bagi tamu. Suguhan sirih merupakan simbol penerimaan tuan rumah terhadap tamu yang datang, dan respons tamu terhadap suguhan sirih ini digunakan untuk memaknai kedekatan/pengakuan tamu terhadap tuan rumah. Jika tamu mau menerima dan memakan sirih yang disuguhkan, artinya tamu dan tuan rumah 438
Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Pekarangan untuk Mendukung Ketahanan Pangan Rumah tangga
saling mengakui eksistensi satu sama lain yang sederajat, sehingga tuan rumah juga tidak ragu lagi untuk memperlakukan tamu sebagaimana layaknya orang yang bersaudara.
Fungsi Ekonomi Fungsi ekonomi mencakup dua fungsi yaitu fungsi penghidupan dan pendukung usaha. Fungsi kehidupan dikaitkan dengan usaha untuk memperoleh dan menikmati hasil secara langsung dari pekarangan, juga untuk memperoleh pendapatan dari usaha yang dilakukan di pekarangan, sedangkan fungsi pendukung usaha dikaitkan dengan penggunaan pekarangan untuk mendukung aktivitas ekonomi di luar pekarangan. Fungsi ekonomi, khususnya untuk pemenuhan aspek susbsistensi rumah tangga, mungkin merupakan fungsi awal pekarangan. Dalam hal ini, lahan pekarangan digunakan untuk memproduksi berbagai sumber pangan, baik yang bersal dari tanaman maupun ternak, yang hasilnya dikonsumsi secara langsung oleh anggota rumah tangga. Kemudian dalam perkembangannya, ketika masyarakat mengenal sistem ekonomi pasar, maka kelebihan produksi dijual. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, lahan pekarangan menjadi salah satu sumber penghasilan melalui produksi tanaman dan ternak yang lebih intensif yang hasilnya memang ditujukan untuk diperdagangkan.
Produksi dan Konsumsi Hasil Lahan Pekarangan Pekarangan terbukti mampu menyumbangkan produksi berbagai jenis hasil tanaman dan ternak (Tabel 2). Kelompok tanaman yang besar produksi yaitu palawija, buah-buahan dan umbi-umbian. Buah lokal yang ditanam adalah alpukat, jeruk dan berbagai jenis buah “baru” seperti rambutan, mangga. Umbi-umbian yang ditanam adalah ubi jalar, uwi. Komoditas ikan (air tawar), belum dibudidayakan oleh masyarakat setempat karena kondisi alamnya yang kering memang tidak mendukung untuk itu. Namun di lokasi lain yang kondisi alamnya mendukung, budidaya ikan air tawar mulai dicoba. Jenis tanaman yang mampu diproduksi dari lahan pekarangan cukup beragam, termasuk di dalamnya bahan pangan sumber karbohidrat. Diversifikasi pangan pokok bukan suatu hal yang baru bagi masyarakat setempat, dan sebagian diantaranya bisa dihasilkan dari lahan pekarangannya. Mereka memiliki pisang luan, yang biasa digunakan sebagai bahan pangan pokok, biasanya dipanen saat masih hijau, direbus dan dimakan sebagai pangan pokok. Juga memiliki jenis ubi kayu yang biasa dimakan sebagai sumber karbohidrat. Tanaman bahan pangan sumber karbohidrat lainnya yang biasa ditanam oleh masyarakat setempat karena cocok dengan lahan dan agroklimat jagung putih, jagung rote, ubi jalar, talas, uwi. Jagung sebenarnya merupakan bahan pangan pokok masyarakat setempat, walau pun akhir-akhir ini mulai bergeser ke beras. Aneka kacang-kacangan juga ditanam di lahan yang terletak di bagian belakang rumah yaitu kacang paris, kacang tanah, kacang arbila. Kacang439
Sunarsih, Saptana, dan Supena Friyatno
kacangan ini biasa dimasak bersama-sama dengan jagung sebagai pangan pokok, yang dimakan bersama sayuran atau ikan. Kacang-kacangan juga biasa dicampur dengan beras atau jagung rote (jewawut) untuk membuat bubur, dan biasanya dimakan pagi hari (sarapan). Tabel 2. Produksi dan Konsumsi yang Bersumber dari Usahatani di Lahan Pekarangan menurut Kelompok Komoditas dari Seluruh Responden di Lokasi Penelitian, Tahun 2012 (kg/tahun) Kelompok komoditas
Produksi
Konsumsi
0
0
Palawija
5785
2747.15
47
Umbi-umbian
2000
633.00
32
Sayuran
1767
856.87
49
Padi-padian
% K/P
Biofarmaka
240
132.63
55
Buah-buahan
2085
983.88
45
Perkebunan
1663
589.10
35
Peternakan
175
34.24
19
0
0
0
Perikanan
Dalam hal produksi, selain memiliki pengetahuan mengenai jenis-jenis tanaman yang sesuai untuk lahan dan kondisi agroklimat setempat, masyarakat juga mampu memenuhi sendiri kebutuhan benih/bibit yang akan ditanam di lahan pekarangannya. Berdasarkan pengetahuan yang dipelajari dari orang tua atau pihak lain di lingkungannya, mereka mampu melakukan seleksi terhadap benih yang akan digunakan untuk kegiatan tanam berikutnya. Pemenuhan benih/bibit secara mandiri sangat dimungkinkan karena jenisnya adalah tanaman lokal, bukan hibrida. Secara keseluruhan alokasi pemanfaatan hasil pekarangan adalah : dikonsumsi secara langsung berkisar 19-55 persen, sedangkan sisanya dijual dan diberikan kepada pihak lain. Secara kuantitas, palawija merupakan yang terbanyak dikonsumsi, menyusul buah-buahan dan sayuran. Hasil ternak, ternyata lebih banyak yang dijual, mencapai 81 persen dari total produksi. Adapun jenis ternak yang biasa dipelihara oleh masyarakat di tempat di lahan pekarangannya (biasanya diletakkan di bagian belakang rumah) adalah babi, sapi, ayam buras, entog dan itik. Ternyata tujuan masyarakat setempat memelihara ternak di pekarangan memang ditujukan untuk tabungan, yang hasil penjualannya digunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga dengan nilai yang besar. Produksi hasil pekarangan yang dijual secara umum menunjukkan proporsi yang cukup besar yaitu 45-81 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pekarangan saat ini tidak hanya sekedar sebagai strategi pemenuhan subsistensi, namun juga sebagai penyangga nafkah rumah tangga. 440
Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Pekarangan untuk Mendukung Ketahanan Pangan Rumah tangga
Analisis Usaha Tanaman dan Ternak di Lahan Pekarangan Jika melihat fakta di atas, terlihat bahwa pemanfaatan lahan pekarangan untuk saat ini lebih sebagai salah satu sumber pendapatan, dan bukan lagi sebagai pemenuhan kebutuhan pangan keluarga secara langsung. Dengan demikian budidaya tanaman maupun ternak cenderung mulai dipandang sebagai mata pencaharian atau suatu bentuk usaha. Untuk mengetahui sejauhmana usaha di lahan pekarangan layak dilakukan, berikut ini akan disajikan analisis usahatani dari sebagian usahatani/usahaternak yang dilakukan di atas lahan pekarangan (Tabel 3). Tabel 3. Analisis Biaya dan Pendapatan Usaha Ternak dan Sayuran di Lahan Pekarangan Masyarakat Boentuka dan Kesetnana, Timor Tengah Selatan, NTT, Tahun 2012 Komoditas
Jumlah
Jumlah Biaya (Rp)
Jumlah Harga Nilai Produksi Keuntungan Produksi (Kg) (Rp/Kg) (Rp) (Rp)
R/C Ratio
Ternak Sapi Potong
3
16.500.000
900.00
35.000
31.500.000
15.000.000
1.91
Ayam Buras
19
310.000
14.00
50.000
700.000
390.000
2.26
Itik
3
220.000
2.18
57.462
478.769
258.769
2.18
Lainnya
1
30.000
3.75
16.000
60.000
30.000
2.00
Sawi Bawang Merah
50
45.000
21.17
7.500
158.775
113.775
3.53
60
120.000
24.60
15.000
369.000
249.000
3.08
Cabai Rawit
20
55.000
19.69
10.000
196.900
141.900
3.58
Terung
20
40.000
15.80
8.000
126.400
86.400
3.16
Tomat
20
23.500
14.89
6.000
89.334
65.834
3.80
Kubis
100
10.000
37.50
6.500
243.750
143.750
2.44
Sayuran
Sapi Potong. Sebagian besar Sapi Potong yang diusahakan oleh rumah tangga setempat adalah sapi lokal jenis Bali dan Sumbawa. Rata-rata jumlah ternak Sapi Potong yang diusahakan oleh rumah tangga petani sebanyak 3 ekor dengan pengeluaran biaya sebesar Rp 16,5 juta periode (satu tahun). Produksi berupa bobot Sapi hidup sebanyak 900 Kg dan dengan harga Rp 35.000,-/Kg Sapi hidup. Dengan demikian nilai produksi berupa penggemukan bobot sapi hidup atau penerimaan yang diperoleh petani sebesar Rp 31,5 juta /tahun dan tingkat keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp 15,00 juta. Hasil analisis R/C ratio usaha ternak Sapi Potong nonpeserta program M-KRPL diperoleh angka sebesar 1,91. Tingkat efisiensi pengembalian modal usahaternak Sapi Potong nonpeserta tergolong cukup tinggi, karena didukung ketersediaan bahan pakan hijauan ternak yang cukup. Pengembangan usahaternak Sapi Potong di lokasi contoh Timor 441
Sunarsih, Saptana, dan Supena Friyatno
Tengah Selatan berpeluang meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga tani. Ayam Buras. Rata-rata jumlah ternak Ayam Buras yang diusahakan oleh rumah tangga petani sebanyak 19 ekor dengan pengeluaran biaya sebesar Rp 310.000 per tahun. Total produksi yang dihasilkan berupa penjualan ayam buras 14 ekor dengan tingkat harga Rp 50.000/ekor. Dengan demikian nilai produksi atau penerimaan yang diperoleh petani nonpeserta program dari hasil penjualan tersebut sebesar Rp 700.000 dan tingkat keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 390.000. Hasil analisis R/C ratio usahaternak ayam buras nonpeserta program MKRPL di lokasi contoh diperoleh angka sebesar 2,26. Artinya bahwa pada tingkat harga yang berlaku usaha ternak ayam buras layak untuk diusahakan. Tingkat efisiensi pengembalian modal usahaternak Ayam Buras secara tradisional ini tergolong tinggi karena rendahnya penggunaan input dengan sistem dilepas. Itik/Entok. Rata-rata jumlah ternak Itik/Entog yang diusahakan oleh rumah tangga di lokasi contoh Timor Tengah Selatan dengan pengeluaran biaya usahaternak sebesar Rp 220.000/siklus. Total produksi yang dihasilkan berupa penjualan telur 2,18 kg dengan harga jual Rp 57.462/kg. Dengan demikian nilai produksi atau penerimaan yang diperoleh petani nonpeserta program swadaya sebesar Rp 478.769 dan tingkat keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp 258.769. Hasil analisis R/C ratio usaha ternak itik/entok di lokasi contoh Timor Tengah Selatan diperoleh angka sebesar 2,18. Artinya bahwa pada tingkat harga input dan output usaha ternak itik/entok layak untuk diusahakan. Tingkat efektivitas pengembalian modal pada usahaternak itik/entok tegolong cukup tinggi. Sawi. Sawi yang banyak diusahakan petani nonpeserta adalah Sawi putih. Rata-rata jumlah tanaman Sawi yang ditanam oleh rumah tangga sebanyak 50 pohon. Besarnya biaya usahatani Sawi tersebut sebesar Rp 45.000,-/siklus. Total produksi yang dihasilkan sebanyak 21,17 kg dengan harga jual Rp 7.500/kg. Dengan demikian nilai produksi yang diperoleh petani nonpeserta adalah sebesar Rp 158.775/siklus dan tingkat keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 113.775. Hasil analisis R/C ratio usahatani komoditas Sawi diperoleh angka sebesar 3,53. Artinya bahwa dalam berusahatani Sawi di lahan pekarangan bagi petani nonpeserta program juga layak untuk diusahakan dan memberikan keuntungan positif. Efektivitas pengembalian modal cukup baik, meskipun sedikit di bawah petani peserta M-KRPL baik pola introduksi maupun pola swadaya. Bawang Merah. Bawang merah yang ditanam adalah jenis unggul lokal. Rata-rata jumlah pohon yang diterima sebanyak 60 pohon. Besarnya biaya usahatani Bawang Merah sebesar Rp 120.000/siklus. Total produksi yang dihasilkan 24,60 kg dengan tingkat harga jual sebesar Rp 15.000/kg. Dengan demikian penerimaan yang diperoleh petani Bawang Merah nonpeserta sebesar Rp 369.000 dan tingkat keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 249.000/siklus. Hasil analisis R/C ratio usahatani Bawang Merah diperoleh angka sebesar 3,08. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa pada tingkat harga input dan harga output yang berlaku usahatani Bawang Merah pada petani nonpeserta layak untuk diusahakan. Efektivitas pengembalian modal untuk usahatani Bawang Merah
442
Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Pekarangan untuk Mendukung Ketahanan Pangan Rumah tangga
tergolong cukup tinggi dan sedikit dibawah petani peserta baik pola introduksi maupun pola swadaya. Cabai Rawit. Tanaman cabai rawit yang diintroduksikan terdiri atas Cabai Rawit jenis unggul lokal. Rata-rata jumlah pohon yang ditanam sebanyak 20 pohon per KK. Besarnya biaya usahatani Cabai Rawit sebesar Rp 55.000/siklus. Total produksi yang dihasilkan hanya sebesar 19,69 kg dengan tingkat harga jual Rp 10.000/kg. Dengan demikian nilai produksi yang diterima petani peserta sebesar Rp 196.900/kg dan tingkat keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 141.900/siklus. Hasil analisis R/C ratio usahatani komoditas Cabai Rawit diperoleh angka sebesar 3,58. Hasil ini menunjukkan bahwa usahatani Cabai Rawit pada petani nonpeserta layak untuk diusahakan dengan keuntungan positif. Efektivitas pengembalian modal tergolong tinggi, menjadikan usahatani Cabai Rawit termasuk yang juga diminati petani. Terung. Rata-rata jumlah tanaman Terung yang diterima oleh rumah tangga sebanyak 20 pohon dengan pengeluaran biaya sebesar Rp 40.000/siklus. Total produksi yang dihasilkan 15,80 kg dengan tingkat harga Rp 8.000/kg. Dengan demikian nilai produksi atau penerimaan yang diperoleh petani adalah sebesar Rp 126.400 dan tingkat keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp 86.400/siklus. Hasil analisis R/C ratio usahatani komoditas Terung diperoleh angka sebesar 3,16. Artinya bahwa dalam berusahatani komoditas Terung layak untuk diusahakan dengan tingkat efektivitas pengembalian modal yang tinggi. Tomat. Tomat yang ditanam sebagian besar merupakan tomat sayur jenis lokal dengan rata-rata jumlah pohon yang ditanam sebanyak 20 pohon. Besarnya biaya usahatani Tomat pada sebesar Rp 235.500/siklus. Total produksi yang dihasilkan sebesar 14,89 kg dengan tingkat harga jual sebesar Rp 6.000/kg. Dengan demikian penerimaan yang diperoleh petani adalah sebesar Rp 89.334 dan tingkat keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp 65.834-/siklus. Hasil analisis dengan R/C ratio usahatani Tomat sebesar 3,80. Artinya bahwa pada tingkat harga input dan output yang ada, usahatani komoditas tomat layak untuk diusahakan dan efefktivitas pengembalian modal tergolong tinggi. Kubis/Kol. Bibit Kubis/Kol yang ditanam adalah jenis hibrida yang dibeli dari toko setempat. Rata-rata jumlah pohon yang ditanam oleh petani mencapai 100 pohon/KK. Besarnya biaya usahatani sebesar Rp 100.000/siklus. Total produksi yang dihasilkan sebesar 37,50 kg dengan tingkat harga jual sebesar Rp 6.500/kg. Dengan demikian nilai produksi atau penerimaan yang diperoleh petani adalah sebesar Rp 243.750 dan tingkat keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp 143.750/siklus. Hasil analisis R/C ratio usahatani Kembang Kol sebesar 2,44. Artinya bahwa usahatani komoditas Kubis/Kol layak untuk diusahakan dengan keuntungan positif. Tingkat efektivitas pengembalian modal tergolong sedang.
Sumbangan terhadap Pendapatan Rumah Tangga Hasil usahatani di lahan pekarangan, memberikan sumbangan pendapatan yang bervariasi antarrumah tangga, yaitu 0,83-23,52 persen terhadap total pendapatan rumah tangga. Sumbangan tersebut dihitung, baik yang dikonsumsi 443
Sunarsih, Saptana, dan Supena Friyatno
secara langsung maupun tidak. Proporsi sumbangan tersebut ditentukan oleh luasan lahan, jenis aktivitas usaha yang dilakukan di atas lahan dan juga besarnya penghasilan di luar lahan pekarangan.
Fungsi Ekologi Fungsi ekologi merupakan kegiatan yang berkaitan dengan upaya memelihara lingkungan di sekitarnya, termasuk di dalamnya untuk melestarikan tanaman bahan pangan lokal. Jenis tanaman dan ternak yang dibudidayakan di lahan pekarangan oleh masyarakat setempat, secara dominan merupakan tanaman lokal, yang telah terbukti mampu bertahan dan tumbuh dengan baik dalam kondisi agroklimat seperti yang ada di wilayah tersebut. Beberapa jenis tanaman, seperti Jeruk So’e mulai terancam punah, karena tidak lagi dibudidayakan di lahan usahatani oleh petani setempat. Namun tanaman ini masih bisa dijumpai di lahan pekarangan, walau dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Dalam kasus seperti ini, pekarangan bisa menunjukkan fungsinya sebagai pelestari plasma nutfah asli daerah setempat, yang merupakan salah satu kekayaan yang tak ternilai harga.
KESIMPULAN
Lahan pekarangan telah terbukti secara empiris memiliki banyak fungsi, dan masyarakat setempat juga memiliki akumulasi pengetahuan yang cukup baik untuk memanfaatkannya. Dan dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat, berbagai fungsi lahan seperti fungsi habitat, sosial budaya, ekonomi, dan ekologi dapat diakomodasikan dengan baik. Keragaman bahan pangan yang ada di pekarangan, bisa menjadi salah satu sarana untuk mendukung diversikasi pangan, secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan dalam perkembangannya, usaha pada lahan pekarangan juga dapat menjadi salah satu sumber pendapatan. Pemanfaatan lahan pekarangan juga cenderung lebih ke arah komersial, sehingga usaha-usaha pada lahan pekarangan yang dinilai kurang mendatangkan keuntungan akan cenderung ditinggalkan. Jika pemilik tetap mempertahankan pemanfaatan lahan pekarangan untuk proses budidaya, maka yang bersangkutan juga akan memilih tanaman/ternak yang mendatangkan keuntungan lebih besar. Dengan demikian, pemanfaatan pekarangan ke depan harus dapat mencakup semua aspek yang dibahas di atas. Berbagai program yang diimplementasikan di pekarangan, harus memperhatikan kearifan lokal yang telah terbukti dapat mewadahi banyak fungsi dari pemanfaatan pekarangan, sekaligus mengakomodasi berbagai perubahan dan kecenderungan perubahan yang ada di masyarakat.
444
Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Pekarangan untuk Mendukung Ketahanan Pangan Rumah tangga
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Budhi, G. S., B. Hutabarat, R.S. Rivai, Hermanto, Sunarsih, Supadi, D. Hiadayat, J. Hestina, A.F. Suddin, dan Y. H. Saputra. 2011. Pemetaan Aspek Sosial Ekonomi Rumah tangga untuk Mendukung Pengambangan M-KRPL. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Timor Tengah Selatan. 2012. Laporan Tahunan SKPD Tahun 2012. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Timor Tengah Selatan. Saptana, S. Friyatno, dan Sunarsih. 2012. Analisis Kebijakan dan Program M-KRPL. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
445