POLA PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN RAKYAT BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PERMINYAKAN KABUPATEN BLORA Yuni Primandini (Fakultas Peternakan Undaris Ungaran) Email :
[email protected] ABSTRAK
Pola pengembangan usaha peternakan berwawasan lingkungan di kawasan perminyakan mendapat hambatan yang besar terutama dari faktor lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pengembangan teknologi yang dapat diterapkan di kalangan petani ternak. Pengembangan usaha peternakan di kawasan perminyakan harus dilakukan secara bertahap. Langkah awal yang harus dilakukan adalah mengetahui potensi kawasan perminyakan dan inputnya kepada usaha peternakan, keadaan sosial ekonomi petani dan sistem usaha ternak yang dilakukan petani ternak di kawasan tersebut. Faktor pendukung lainnya yaitu ketrampilan petani untuk mengadopsi teknologi, manajemen pengelolaan ternak dan sistem pemasaran yang sesuai dengan teknologi yang akan diterapkan. Pengembangan usaha ini tidak akan berjalan tanpa melibatkan pihak unsur pemerintah, swasta dan Badan Usaha Milik Negara. Kata kunci : Kawasan, perminyakan, lingkungan, petani, adopsi
PENDAHULUAN
Produk peternakan merupakan penyedia utama bahan pangan protein hewani sebelum perikanan, patut diberikan perhatian khusus dimana populasi ternak yang semakin menurun akibat faktor lingkungan yang kurang mendukung. Kebutuhan daging sapi nasional rata-rata per tahun mencapai 350 ribu ton, sedangkan produksi daging sapi nasional baru mencapai 34 ribu ton (± 10 %) yang dipenuhi dari peternakan rakyat (sapi lokal). Kekurangan produksi daging nasional sekitar 90 % dipenuhi dari peternakan perusahaan (feedlotter) yang menggunakan sapi bakalan impor yang rata-rata per tahun mencapai 350 ribu ekor (Ditjennak, 1999). Melihat kondisi seperti itu maka perlu diadakan pendekatanpendekatan strategis untuk membangkitkan lagi industri peternakan di Indonesia.
Pendekatan ini akan lebih optimal jika dilaksanakan di daerah yang memiliki potensi produksi, peternak yang terampil dan potensi pasar yang mendukung. Kabupaten Blora adalah salah satu wilayah di Jawa Tengah dengan potensi ternak sapi potong yang tersebar di berbagai kawasan, termasuk didalamnya kawasan perminyakan. Padahal kita tahu bahwa lokasi perminyakan mempunyai udara yang sangat panas, tanah yang kering dan sumber air yang sulit. Kawasan perminyakan tersebut terdapat di daerah Cepu, Ledok dan Nglobo. Akan tetapi populasi ternak di daerah Ledok dan Nglobo terutama sapi PO dapat dikatakan cukup banyak. Usaha ternak merupakan aktivitas yang penting bagi petani ternak di Nglobo. Hampir setiap penduduk disana mempunyai ternak walaupun dalam jumlah yang kecil. Beternak sapi merupakan usaha sambilan yang dominan dilakukan petani ternak yang berada di daerah Nglobo. Ternak belum dikembangkan secara komersial dan hanya sebagai tabungan. Pengembangannya masih secara tradisional dengan kandang, peralatan, perawatan dan pakan seadanya karena keterbatasan modal dan pengetahuan. Untuk mewujudkan usaha ternak yang maju di kawasan perminyakan maka diperlukan pendekatan agribisnis ternak.
Menurut
Hardiyanto dan
Prasetyo (1994) pendekatan agribisnis ternak memiliki implikasi langsung terhadap manajemen usaha dan menuntut peningkatan komersialisasi pengelolaan usaha ternak.
Mengingat bahwa wilayah pengembangannya adalah kawasan
perminyakan maka faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah potensi ternak, teknologi penunjang, potensi pasar dan ketrampilan petani sebagai pengadopsi teknologi yang akan diterapkan. Tujuan penulisan Karya Ilmiah bertajuk “Pola Pengembangan Usaha Peternakan Rakyat Berwawasan Lingkungan di Kawasan Perminyakan Kabupaten Blora” ini adalah untuk mengetahui seberapa besar potensi ternak sapi potong yang dikembangkan di dekat kawasan perminyakan di Kabupaten Blora dan pola pengembangannya dengan tetap memperhatikan aspek
konservasi guna
menciptakan sistem usaha ternak yang berwawasan lingkungan. Manfaat yang bisa dipetik dari penulisan ini adalah mengetahui efek positif dan negatif yang ditimbulkan daerah perminyakan terhadap produktivitas ternak dan bagi para
petani ternak dapat mengetahui manajemen ternak yang lebih baik sehingga bisa mengeliminir hambatan-hambatan yang timbul dari kawasan perminyakan dan diharapkan nantinya ada peningkatan pendapatan dari petani ternak dan membentuk suatu ekosistem yang mantap serta dapat mempertahankan stabilitas populasi ternak demi kepentingan umat manusia.
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Potong
Jenis sapi potong yang banyak dikembangkan oleh peternak tradisional di Indonesia yaitu sapi PO (Peranakan Ongole). Sapi Peranakan Ongole memiliki ciri-ciri warna putih, gumba besar, leher dan sebagian kepala pada jantan berwarna abu-abu gelap, kulit tebal, banyak lipatan elastik dan berambut, mempunyai leher yang pendek, gelambir panjang dan lebar, telinga panjang menggantung, serta kepala relatif pendek dan melengkung (Sosroamidjojo, 1975). Pakan yang diberikan pada ternak sapi berupa konsentrat dan hijauan. Konsentrat adalah pakan yang mengandung nutrisi tinggi dengan serat kasar rendah (kurang dari 20%), dengan Total Digestible Nutrien (TDN) berkisar 80% (Blakely and Bade, 1998). Lingkungan makro adalah lingkungan yang terdapat diluar kandang seperti suhu lingkungan, kelembaban lingkungan, udara lingkungan, curah hujan dan intensitas cahaya diluar kandang. Kisaran suhu yang cocok untuk memelihara sapi potong adalah 27 – 34 oC (Santosa, 1995). Menurut Williamson dan Payne ( 1993 ) kenyamanan ternak berada pada tingkat kelembaban 50-60%.
Pengaruh Iklim pada Ternak Iklim adalah salah satu faktor lingkungan yang memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan sapi. Pengaruh tersebut bisa dirasakan ternak baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung dirasakan ternak melalui suhu
udara.
Suhu
udara, terutama suhu
yang
tinggi,
sangat
kurang
menguntungkan bagi kehidupan ternak sapi. Pengaruh kurang menguntungkan ini terlihat pada konsumsi pakan, air serta tingkah laku ternak. Ternak sapi yang tertimpa suhu tinggi akan mengalami stress berat dan gagal mengatur panas tubuhnya. Akibatnya ternak mengurangi konsumsi pakan dan banyak minum air. Suhu yang tinggi juga berpengaruh pada tingkah laku ternak. Ternak tidak tahan merumput lebih lama. Ternak akan banyak berjalan-jalan untuk mencari sumber air. Ternak akan menempuh perjalanan jauh, akibatnya ternak banyak kehilangan energi dan kerja otot lebih meningkat. Hal ini mengakibatkan banyak zat pakan yang dimobilisasikan untuk kebutuhan yang kurang bermanfaat, sehingga produktivitas dan kemampuan reproduksi ternak menjadi menurun. Pengaruh tidak langsung pada ternak yaitu melalui pakan hijauan yang diberikan. Pada musim kemarau sulit untuk mendapatkan hijauan. Banyak hijauan yang tumbuh kerdil bahkan mengering.
Hijauan yang kering mempunyai serat kasar yang
tinggi karena proses lignifikasi. Proses lignifikasi menurunkan kecernaan ternak terhadap hijauan, sehingga volume hijauan yang termakan ternak pun juga menurun. Penggembalaan di Pastora Sistem penggembalaan di pastora yaitu sistem penggembalaan dengan membiarkan ternak merumput atau melakukan grazing pada suatu lahan yang ditumbuhi dengan hijauan yang menjadi makanan bagi ternak. Kelebihannya: 1.
Tidak banyak tenaga untuk memberi hijauan ; tidak banyak grain yang digunakan, untuk memberikan grain yang kuantitasnya relatif sedikit tenaga yang dibutuhkan juga relatif sedikit.
Pemberian grain bisa
dilakukan dengan cara self feeder 2.
Di pastora ternak akan memperoleh ransum yang lebih sempurna dibanding dengan di- feed lot, karena hijauan segar mengandung protein, mineral dan vitamin yang baik
3.
Bila di pastora cukup tersedia pohon-pohonan, maka investasi untuk shelter tidak diperlukan
4.
Manure disebarkan sendiri oleh ternak
Kelemahannya: 1. Lahan pastora lebih menguntungkan bila ditanami tanaman pangan 2. Pada musim kemarau hijauan yang tersedia tidak bisa memenuhi kebutuhan 3. Hijauan pastora secara teoritis hanya baik digunakan pada musim hujan 4. Bila hujan terlampau banyak dapat merusak zat-zat yang terkandung dalam hijauan. 5. Bila pastora permanen, maka manure akan jatuh di tempat atau lapangan yang sama dari tahun ke tahun 6. Ternak yang dikembangkan di pastora menghasilkan daging yang lebih sedikit disbanding dengan bobot badannya, hal ini disebabkan daya susutnya (shrinkage) yang besar. 7. Warna lean-nya terlampau gelap dan lemaknya berwarna kuning (tidak putih seperti dry lot)
Masalah Penerapan Penelitian Ternak Ruminansia Berjalan Lambat
Penelitian
biaya tinggi
Penerapan lamban
Mengapa ?
Ternak Ruminansia
petani tradisional
- struktur sumberdaya - tujuan petani ternak
FSR (farming system research) F F F
Pendekatan holistik Program hilir (Norman, 1980) Tahap-tahap pendekatan program hilir
Penelitian ternak : Masalah Kapasitas dan Penerapan
Biaya untuk melakukan penelitian ternak cukup tinggi dan biasanya penerapan hasil penelitian tersebut lamban. Sebaliknya keuntungan ekonomis dari program-program penelitian dan penyuluhan peternakan seringkali lambat disadari, terutama untuk ternak ruminansia besar dengan tenggang waktu yang panjang antar generasi. Selain itu, sebagian besar ternak di Indonesia dipelihara oleh petani ternak berukuran kecil dengan lahan dan sumberdaya modal yang terbatas untuk disisihkan bagi ternaknya. Seringkali ternak merupakan bagian kecil dari suatu usaha pertanian dan pendapatan total. Pada umumnya ternak dipelihara dengan berbagai tujuan (De Boer, 1976), oleh karena itu penggunaan hasil-hasil penelitian tersebut secara cepat jarang tercapai. Masalah lain adalah bahwa banyak penelitian kurang memperhatikan struktur sumberdaya dan tujuan para petani ternak yang sesuai dengan sistem usaha tani kecil dan campuran yang biasa digunakan dalam pemeliharaan sebagian besar ternak di Asia (Areekul, 1980). Suatu pendekatan penelitian yang telah dikembangkan untuk mengatasi masalah ini adalah penelitian sistem pertanian (farming system research). Banyak yang dapat disarankan melalui cara pendekatan ini, baik dalam merencanakan program penelitian maupun dalam mencapai alih teknologi yang cepat.
Masalah sumber pakan Konsensus umum diantara para peneliti, ahli-ahli pembangunan, dan para petani ternak adalah bahwa terbatasnya sumber pakan merupakan kendala utama untuk jumlah dan produktivitas ternak (Winrock, 1978; Fitzhugh dan De Boer, 1981; Thang rajah, 1981; Wheeler et al.,1981). Penentuan sumberdaya pakan sangat sulit karena harus dipertimbangkan dari tingkat nasional, regional dan tingkat usaha tani.
Kualitas pakan hijau-hijauan berserat kasar tinggi yang
dihasilkan di daerah tropis beriklim angin musim menunjukkan adanya variasi musiman yang tinggi. Terdapat pula banyak bahan pakan non-konvensional dan data tentang bahan pakan yang demikian biasanya tidak dilaporkan. Akhirnya,
pemberian pakan dengan menggunakan sisa-sisa tanaman pangan yang dilakukan di tempat peternakan sulit diketahui. Tanggapan yang tertuju kepada proyek dan bersifat konvensional adalah mengembangkan padang penggembalaan ternak berdasarkan model barat, memperkenalkan penggunaan padang penggembalaan bergilir dengan sistem tanaman tumbuh-tandus yang dilakukan di seluruh Asia yang beriklim angina musim atau menggunakan makanan pokok untuk strategi persediaan musiman (Fitzhugh dan De Boer, 1981). Relatif kurang berhasilnya pendekatan seperti diatas menimbulkan program untuk meningkatkan produktivitas tanah-tanah penggembalan umum dengan biaya rendah
(Wickham et al.,1977), metode
persediaan murah berdasarkan sumber-sumber energi setempat yang bisa di dapat (Hall dan De Boer, 1977) dan usaha-usaha untuk memperbaiki kualitas hasil sampingan dan sisa-sisa tanaman pangan setempat yang dapat digunakan (APO, 1976; Fitzhugh dan De Boer, 1981; NRC, 1981; Tillman, 1981).
Tinjauan produksi ternak tradisional Crotty (1980) memberikan banyak contoh tentang rencana pengembangan ternak sapi yang tidak mencapai hasil seperti yang diharapkan karena dampak masalah-masalah penilaian tersebut tidak sepenuhnya diperhitungkan.
Oleh
karena sebagian besar ternak di Asia dihasilkan dalam kondisi usaha campuran tanaman pangan-ternak (Humpries, 1980; Winrock, 1981), ini akan melibatkan suatu komponen kuat pada interaksi tanaman pangan ternak.
Bila ini telah
dilakukan pilihan usaha khusus dapat dipertimbangkan. Ditinjau dari efisiensi teknis, sistem produksi tradisional ternak adalah suatu sistem yang mempunyai tingkat efisiensi ternak lebih rendah dibandingkan dengan sector modern dan tetap tidak berubah selama kurun waktu yang lama. Sistem tradisional biasanya adalah skala usaha kecil dari segi jumlah ternak, walaupun sistem penggembalaan tradisional di tempat-tempat yang luas dapat memiliki jumlah yang cukup besar. Jumlah ternak untuk menopang keluarga jarang melebihi kebutuhan subsistensi. Kelemahan usaha skala kecil adalah tidak
dapatnya produsen perorangan memanfaatkan secara menguntungkan sumberdaya produksi ternak khusus yang merupakan sumber produktivitas tinggi pada sector skala besar yang modern. Pakan pada sistem usaha ternak tradisional pada umumnya dihasilkan di rumah dan pakan yang dibeli kalau ada jumlahnya sangat sedikit. Ruminansia yang diberi pakan dengan sistem tradisional yang rendah biayanya cenderung berlokasi dekat dengan tempat hijauan makanan ternak berserat kasar tinggi tersedia berlimpah. Produksi ruminansia memerlukan hijauan makanan ternak berserat kasar tinggi dalam jumlah banyak dan murah, maka luas tanah harus mencukupi.
Hal ini dapat dicapai dengan perluasan pertanian, penggunaan
kembali tanah pada pertanian yang ada, dan intensifikasi produksi hijauan makanan ternak (De Boer, 1976b) Farming system research (Norman, 1980): a. Empat tahap penelitian berturut-turut uraian (diagnostic), perancangan, percobaan dan penyuluhan b. penekanan akan keterlibatan para petani dalam memperbaiki sistem dengan menggunakan sistem terbaik yang ada ditambah dengan pahampaham baru tentang peningkatan produktivitas c. Keterlibatan para peneliti dari berbagai ilmu pada semua tahap penelitian d. Mengetahui kekhususan lokasi dari rekomendasi penelitian dan kebutuhan untuk mengembangkan teknologi berbeda lingkungan utama ekologi dan sosial ekonomi e. Kebutuhan
untuk memahami keserbagunaan sumberdaya dan rumah
tangga pedesaan sebagai unit produksi dan konsumsi, untuk menjamin bahwa semua faktor yang relevan dipertimbangkan juga f. Sifat dinamis dan interaktif proses penelitian dan kebutuhan akan komunikasi yang berlangsung terus antara petani dan peneliti g. Pengaruh arus-balik (feed back) yang diberikan oleh penelitian sistem usaha tani untuk menentukan prioritas program penelitian dasar dan komoditi
Penelitian SCP (Single Cell Protein) dari Limbah Minyak Limbah minyak merupakan pemandangan yang tidak asing bagi kita jika kita berada di kawasan perminyakan.
Tumpahan sisa-sisa minyak mentah
tersebut mengotori tanah dan kemudian meresap ke tanah. Secara tidak langsung limbah ini akan merusak tanah dan tanaman yang ada diatasnya. Tanah menjadi kering dan tandus, akibatnya unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman juga akan berkurang sehingga tanaman menjadi layu. Selain di tanah, limbah minyak juga mengotori udara dan air. Udara di kawasan perminyakan sangat panas dan timbul bau tidak sedap yang berasal dari buangan pengolahan minyak (Jawa: lantung). Limbah minyak membuat air menjadi berwarna agak kehitaman dan tampak warna seperti pelangi serta bau lantung yang menyengat. Pemisahan limbah minyak dengan air dilakukan pada water treatment, dimana terjadi proses destilasi yang memisahkan antara air dengan minyak. Namun saat ini water treatment di Indonesia belum semutakhir yang ada di Jepang. Di Jepang terdapat secondary system pada water treatment-nya, sehingga air hasil destilasi pada proses penyaringan pertama masih disaring kembali. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan air buangan tadi masih mengandung polutan.
Di
Indonesia proses tersebut belum dilakukan, sehingga air buangan pabrik pengolahan minyak masih banyak mengandung polutan. Menurut BPMIGAS (2005) komposisi minyak bumi yang ditambang terdiri dari organik karbon yang secara sendiri-sendiri sulit diidentifikasi, tapi secara umum disebut total petroleum hydrocarbon (TPH). Dijelaskan lebih lanjut bahwa dilihat dari sudut pandang lingkungan, unsur-unsur paling penting dari minyak mentah ini adalah: Benzene, Toluene, Ethyl benzene dan Xylene (BTEX) yang bersifat toxic, dan Carcinogenic yang dikenal sebagai limbah berbahaya (B3) dan dicurigai memiliki dampak cukup dahsyat terhadap tanah, air, dan ekosistem. Fachruddin (2004) menambahkan bahwa senyawa BTEX dari minyak mentah bersifat rekalsitran, yang artinya sulit mengalami perombakan di alam, baik di air maupun di darat.
Saat ini sulit sekali untuk menjinakkan limbah minyak ini. Pertambangan minyak memang banyak mengganggu kelestarian lingkungan, tetapi disisi lain emas hitam ini sesuatu yang sangat berharga dan sangat dibutuhkan oleh manusia. Masalah lingkungan tentunya tanggung jawab dari manusia untuk tetap menjaga kelestariannya, salah satunya dengan mengoptimalkan dari pengolahan limbah minyak ini menjadi barang yang ramah lingkungan dan bermanfaat bagi kita. Berbagai penelitian dan upaya terus dilakukan guna menemukan cara paling efektif mengatasi masalah limbah minyak bumi ini. Salah satu teknologi yang memberi harapan dan sedang diuji coba saat ini adalah teknologi bioremediasi (bioremediation). Bioremediasi merupakan proses biologis (bioproses) yang memanfaatkan bakteri mikrobiologis di dalam proses kerjanya. Selama ini, proses ini lebih banyak dikenal dan popular digunakan dalam fermentasi pada pembuatan tape singkong (BPMIGAS, 2005). Secara sederhana proses bioremediasi bagi lingkungan dilakukan dengan mengaktifkan bakteri alami pengurai minyak bumi yang ada di dalam tanah. Bakteri ini kemudian akan menguraikan limbah minyak bumi yang telah dikondisikan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan hidup bakteri tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat kandungan minyak akan berkurang dan akhirnya hilang, inilah yang disebut sistem bioremediasi. Baru pada tahun 1980-an, bioremediasi mulai dikembangkan penggunaannya pada limbah yang lebih sulit, misalnya pada kontaminasi tanah. Tapi pada prinsipnya, bioproses yang digunakan tidaklah berbeda. Pada operasi perminyakan, khususnya lapangan minyak yang terkontaminasi oleh minyak mentah, pemanfaatan proses bioremediasi baru sekitar 30% (BPMIGAS, 2005). Pada tahun 1986 telah dikembangkan pemanfaatan limbah minyak menjadi pakan ternak berprotein tinggi yang berasal dari bakteri pemakan minyak. Pakan ini lebih dikenal dengan Single Cell Protein (SCP) yang merupakan tindak lanjut dari proses bioremediasi.
Proses bioremediasi hanya berusaha untuk
menguraikan limbah minyak dan mengurangi jumlah cemarannya di lingkungan. Sedangkan pembuatan SCP itu sendiri merupakan pemanfaatan dari bakteri pemakan minyak yang jumlahnya berlebih. Perlu kita ketahui bahwa bakteri akan
hidup optimal pada kondisi dimana kebutuhan nutrisinya terpenuhi. Bakteri akan berkembang secara cepat dan pada saat itu bakteri hidup pada fase lag. Pada proses bioremediasi bakteri akan dikondisikan sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhannya, hal ini memungkinkan bakteri untuk berkembang pesat dan akhirnya terjadi over population. Jumlah bakteri yang berlebih justru akan dapat mengancam kita karena sifatnya pemakan minyak, maka mungkin saja tidak hanya limbah yang diuraikan tetapi juga minyak yang kita butuhkan. Pakan dari bakteri pemakan minyak ini diperuntukkan untuk ternak ruminansia.
Ternak ruminansia merupakan hewan berlambung ganda dimana
didalamnya terdapat mikroorganisme yang bertugas sebagai pendegradasi serat kasar yang berbentuk lignoselulosa atau hemiselulosa menjadi VFA (Volatyl Fatty Acid).
VFA atau asam lemak mudah terbang terdiri atas asam asetat,
propionat dan butirat dimana masing-masing mempunyai persentase yang berbeda. Pada sapi pedaging propionat lebih mendominasi sedangkan asam asetat lebih banyak dihasilkan oleh sapi perah karena berkaitan dengan tampilan kadar lemak susu yang dihasilkan. SCP sendiri berperan sebagai tambahan nutrient untuk mikroorganisme yang berada dalam rumen agar senantiasa bisa menghasilkan VFA yang optimal. Jumlah VFA yang optimal dapat dilihat pada tampilan produksi ternak itu sendiri. Jadi peranan mikroorganisme ini sangat menentukan tingkat produktivitas ternak. Selama ini ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, domba dan kambing kebutuhannya hanya dipenuhi dari hijauan saja. Mungkin ada beberapa yang sudah menggunakan pakan tambahan seperti konsentrat tetapi konsentrat dengan kandungan protein tinggi akan sangat mahal harganya dan ini membuat peternakpeternak tradisional tidak mampu memberikan pakan dengan kualitas tinggi. Penelitian mengenai pemberian SCP pada ternak sapi ini hanya berjalan dalam jangka waktu yang tidak lama. Aplikasi dari penelitian ini belum dilaksanakan sepenuhnya dan hanya sebagai percontohan saja.
Sayang sekali apabila
penelitian yang menghasilkan aset berharga ini tidak dikembangkan.
SCP
merupakan pakan alternatif yang ditawarkan kepada peternak tradisional khususnya di kawasan perminyakan untuk meningkatkan produktivitas ternaknya
PEMBAHASAN
Potensi Kawasan Perminyakan
Menurut data BPS kabupaten Blora terletak pada ketinggian 36 mm dpl dengan suhu harian rata-rata 25-29 0C dan kelembaban relatif 73-86%. Kawasan perminyakan di Kabupaten Blora tersebar di tiga tempat yaitu Cepu, Ledok dan Nglobo. Daerah yang paling berpotensi untuk ternak sapi yaitu daerah Nglobo, selain itu juga ada beberapa ekor dipelihara oleh penduduk.
kambing PE (Peranakan Ettawa) yang
Daerah Nglobo merupakan kawasan pengeboran
minyak yang dikelilingi oleh hutan dan pemukiman penduduk. Mata pencaharian yang dominan penduduk di sana adalah petani. Usaha yang dijalankan petani di sana yaitu sistem pertanian campuran (Mix Farming). Beberapa petani kecil memelihara beberapa ekor sapi dengan maksud digemukkan dengan bahan pakan yang ada di dalam atau di sekitar usaha pertaniannya. Rata-rata setiap petani memiliki ternak sapi 1 hingga 5 ekor tetapi bahkan ada yang memiliki hingga 15 ekor. Ternak hanya digunakan sebagi tabungan dan sambilan saja. Ternak digembalakan pagi dan sore di tanah lapang di sekitar tangki-tangki minyak di dalam kawasan perminyakan. Ada beberapa tempat yang tidak boleh digunakan oleh untuk menggembalakan ternak karena ada jurang atau mesin yang sedang beroperasi sehingga bisa membahayakan ternak. Pakan yang diberikan pada ternak hanya berupa hijauan saja, pakan tambahan tidak diberikan karena mereka tidak mampu untuk membelinya bahkan jika diberikan jumlahnya juga sangat sedikit misalnya comboran dari dedak. Sesuatu yang menarik dari peternak tradisonal di Nglobo ini adalah ternak mereka tampak sehat dan jarang sakit, disisi lain ternak mereka hanya diberi pakan hijauan saja dan hijauan itu pun diperoleh dari sekitar tempat pengeboran minyak dan tangki-tangki penampungnya.
Menurut Parakkasi (1999), ternak
yang digembalakan di pastora akan mendapat pakan yang sempurna karena hijauan segar mengandung protein, vitamin dan mineral yang baik.
Namun
kondisi hijauan disana tentu saja tidak sama dengan yang dimaksud pada
pernyataan tersebut.
Tanah disekitar kawasan tersebut telah terkontaminasi
dengan minyak dan kemungkinan telah terserap oleh tanaman disekitarnya. Apabila tanaman-tanaman tersebut terkonsumsi oleh ternak maka akan berdampak pada kondisi fisiologisnya. Telah disebutkan bahwa minyak mengandung Benzene, Toluene, Ethyl benzene dan Xylene (BTEX) yang bersifat toksik dan karsinogenik (BPMIGAS, 2005). Senyawa-senyawa ini bisa terkonsumsi ternak melalui hijauan yang termakan saat ternak digembalakan atau hijauan yang diberikan oleh peternak bila hijauan tersebut dipotong disekitar tempat yang terkontaminasi oleh minyak.
Efek lingkungan dari kawasan perminyakan ini
tidak terlalu dirasakan oleh para peternak karena mereka tidak mengetahui bahwa limbah dari pengeboran minyak bisa membawa dampak negatif bagi ternaknya.
Alternatif Pola Pengembangan Kebutuhan daging akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Negara kita. Namun peningkatan kebutuhan daging ini tidak seimbang dengan populasi ternak yang ada. Telah disebutkan sebelumnya bahwa menurut Ditjennak (1999) kekurangan produksi daging nasional sekitar 90 % dipenuhi dari peternakan perusahaan (feedlotter) yang menggunakan sapi bakalan impor yang rata-rata per tahun mencapai 350 ribu ekor. Selama ini kebutuhan hanya dipenuhi dari peternak lokal dengan populasi yang kecil. Untuk itu perlu dikembangkan sistem usaha ternak yang maju, efisien dan tangguh serta berorientasi pada profitabilitas. Berkaitan dengan hal tersebut, daerah Nglobo merupakan salah satu lokasi yang representatif untuk didirikan sebuah farm yang bergerak dalam usaha penggemukan sapi potong. Dasar pemikiran dalam pengambilan lokasi di daerah Nglobo yaitu : 1. Daerah Nglobo berpotensi untuk menghasilkan ternak sapi potong yang produktif. Populasi ternak sapi di daerah Nglobo terhitung cukup banyak, hampir setiap penduduk memiliki ternak sapi meskipun jumlahnya tidak seragam.
2. Kawasan perminyakan mempunyai aset berharga yaitu sumber bahan pakan berprotein tinggi berupa SCP (Single Cell Protein). Pakan tersebut bisa dijadikan pakan alternatif untuk diberikan pada ternak. Disamping itu juga membantu para petani ternak dalam penyediaan pakan berkualitas tinggi. Dengan begitu penerapan dari penelitian mengenai SCP telah dilakukan sehingga penelitian tersebut tidak hanya tersimpan rapi sebagai hidden knowledge tetapi main goal dari penelitian tersebut juga benarbenar tercapai yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui produktivitas ternak. 3. Pendapatan per kapita penduduk di daerah Nglobo kebanyakan masih dibawah rata-rata.
Mata pencaharian pokok penduduk Nglobo adalah
petani dan memelihara ternak hanya sebagai usaha sambilan. Salah satu alternatif untuk meningkatkan pendapatan penduduk Nglobo yaitu dengan mengoptimalkan pemeliharaan ternak yang semula bersifat konvensional beralih menjadi usaha komersial yang berorientasi pada profitabilitas dan potensi pasar. 4. Lahan di daerah Nglobo masih banyak yang terbengkalai, belum banyak lahan yang dimanfaatkan secara optimal. Tersedianya lahan mendukung didirikannya usaha ternak sapi potong. Lahan selain berfungsi sebagai media hidup ternak tetapi juga sebagai media tumbuhnya hijauan makanan ternak. Sebagian lahan yang ada bisa digunakan peternak sebagai pastura yang bisa ditanami dengan rumput maupun legume. Kendala-kendala yang dihadapi untuk mengembangkan usaha peternakan di kawasan perminyakan antara lain : 1. Keadaan agroekologi kawasan perminyakan. Suhu rata-rata di kawasan perminyakan 25 – 29 0C dengan kelembaban relatif
73-86%.
Kondisi demikian kurang mendukung
kehidupan ternak. Zone comfort untuk ternak sapi berkisar 22,5 – 27 0C dengan kelembaban relatif maksimal 80%. Apabila ternak dipelihara pada dibawah atau diatas kisaran tersebut maka ternak akan menderita cekaman dingin atau cekaman panas.
Cekaman yang diderita akan
menyebabkan ternak menjadi stress. Pada kondisi yang stress ternak akan mengubah produksinya.
pola
konsumsinya
sehingga
berubah
pula
tampilan
Saat ternak mengalami cekaman panas, ternak akan
cenderung mengurangi konsumsinya dan banyak minum untuk mengatur panas tubuhnya. Sebaliknya, pada saat ternak menderita cekaman dingin maka konsumsinya akan meningkat untuk mempertahankan panas tubuhnya. Lahan di sekitar kawasan perminyakan merupakan lahan yang kurang subur.
Pada tanah yang kurang subur, unsur hara yang terkandung
jumlahnya terbatas.
Perlu penanganan intensif untuk mengolah lahan
kering menjadi lahan yang produktif. Di samping itu pemilikan lahan yang relatif,
tersebar dan banyak diantaranya yang masih terisolir
merupakan kendala untuk mengembangkan usaha peternakan yang intensif. 2. Kendala sumberdaya manusia dan ketrampilan petani masih sangat kurang dan itu berkaitan dengan kondisi sosio-ekonomi para petani. Petani mempunyai ketrampilan yang kurang dan kurang berorientasi pada pasar. Untuk mengusahakan semua kebutuhannya terpenuhi, petani cenderung melakukan berbagai macam usaha dan merasa puas jika hasilnya dapat dinikmati sendiri, jadi tidak ada komoditas unggulan yang diandalkan dan diperlukan oleh pasar. 3. Pemeliharaan ternak oleh petani masih dalam skala rumah tangga. Pemilikan ternak oleh petani relatif dalam jumlah yang kecil dan semuanya masih dikembangkan secara tradisional. Ternak hanya sebagai tabungan saja, dan sebagai cadangan apabila petani mengalami gagal panen. Dari gambaran diatas, bisa disimpulkan bahwa untuk mengembangkan suatu usaha peternakan rakyat di kawasan perminyakan diperlukan penanganan yang intensif agar tercipta suasana yang kondusif untuk didirikan usaha peternakan yang perspektif.
Mengingat kemampuan modal dan ketrampilan
petani terbatas, maka dalam pengembangan usaha ini petani memerlukan mitra
kerja. Dalam pelaksanaannya diperlukan keterlibatan dari pihak pemerintah, swasta dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Alternatif pola pengembangan di kawasan perminyakan digambarkan dengan ilustrasi berikut ini.
ALTERNATIF POLA PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN RAKYAT BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PERMINYAKAN
Pemerintah Swasta BUMN
Perguruan tinggi Badan Litbang
Inovasi Teknologi “PST dari Limbah Minyak”
CHANGE AGENT (Petugas penyuluh) Modal Ternak Pakan Peralatan Pemasaran
Penyuluhan Pengenalan teknologi Teaching Farm Training Petani ternak - lahan - ternak
ADOPSI TEKNOLOGI Pendapatan petani ternak meningkat
Produktivitas ternak meningkat
Meningkatkan produksi daging
Tiga Aktor Pemerintah, Swasta dan BUMN
Pembangunan merupakan upaya sadar dan terencana untuk melaksanakan perubahan-perubahan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi dan perbaikan mutu hidup atau kesejahteraan seluruh warga masyarakat untuk jangka panjang, yang dilaksanakan oleh pemerintah yang didukung oleh partisipasi masyarakatnya dengan menggunakan teknologi terpilih (Mardikanto, 1993).
Dari pengertian
tersebut tampak bahwa pemerintah merupakan aktor yang memegang peran utama dalam
melaksanakan
pembangunan.
Tugas
pokok
pemerintah
yaitu
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, dan pemerintah sendiri membutuhkan dukungan dari rakyatnya untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Pada diagram alur diatas ditunjukkan bahwa pemerintah bekerjasama dengan pihak swasta dan BUMN mempunyai peran ganda yang sangat esensial dalam pengembangan usaha peternakan rakyat di kawasan perminyakan. Pemerintah bekerjasama dengan swasta dan BUMN membantu dalam pengembangan teknologi yaitu teknologi bioremediasi yang memanfaatkan bakteri pemakan minyak.
Proses bioremediasi sebenarnya telah dikembangkan
dan diuji-coba di berbagai negara sejak tahun 1980-an , khususnya di Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri, aplikasi bioremediasi masih dalam tahap pengembangan. Menurut LAPI (Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri) ITB, PT Caltex Pacific Indonesia (Caltex) merupakan perusahaan eksplorasi dan produksi migas yang memelopori penerapan teknologi bioremediasi di Indonesia. Bermula dari partisipasi Caltex pada sebuah seminar internasional mengenai bioremediasi tahun 1994. Caltex adalah perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) BPMIGAS yang beroperasi di Riau sejak tahun 1950-an. Sejak tahun 1994, Caltex mulai melakukan uji coba bioremediasi pada tanah yang mengandung minyak di lapangan Minas yang memproduksi minyak ringan (Sumatran Light crude oil/SLC). Minas dipilih karena dalam kegiatan produksi di lapangan minyak itu, terbawa juga tanah yang mengandung minyak ke atas permukaan bumi. Caltex juga melibatkan pihak-pihak lain seperti: Lemigas (Lembaga Penelitian Minyak dan Gas), ITB, serta mahasiswa-mahasiswa tingkat
pascasarjana dan doktoral untuk menilai dan mengevaluasi lokasi kegiatan dan kinerja bioremediasi dalam pelaksanaan uji coba. Penelitian-penelitian yang dilakukan menyangkut: aspek-aspek teknis dan manajemen, dan untuk mendapatkan masukan serta gambaran menyeluruh mengenai bioremediasi di Minas bagi pertimbangan BAPEDAL terhadap aplikasinya. Dari uji coba ini diperoleh prospek yang baik untuk dapat diterapkan secara lebih luas (BPMIGAS, 2005). Hasil pengembangan lebih lanjut dari proses bioremediasi ini adalah SCP (Single Cell Protein) untuk pakan ternak. Sudah menjadi kewajiban dari pihak pemerintah untuk mensosialisasikan temuan ini kepada para peternak. Jalur sosialisasi yang bisa ditempuh oleh pemerintah yaitu melalui penyuluhan kepada para petani ternak.
Kerja sama Peneliti dan Agen Penyuluhan Penelitian di bidang peternakan sering dilakukan dan biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit, namun penerapan dari hasil penelitian tersebut sangat terbatas sekali. Hasil penelitian yang dipublikasikan melalui jurnal ilmiah terkesan hanya sebagai suatu persyaratan untuk mempromosikan suatu organisasi atau instansi.
Para peneliti cukup puas dengan pujian dari sesama peneliti
mengenai hasil penelitiannya dan tidak sadar sumbangan apa yang telah dia diberikan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh para petani. Hal ini terjadi karena lemahnya hubungan antara peneliti dengan agen penyuluh. Penerapan hasil penelitian jarang yang terlaksana karena lemahnya komunikasi antara pihak peneliti dan petugas penyuluh, di lain pihak petugas penyuluh yang langsung terjun ke lapangan mempunyai kemampuan pengetahuan dan pemahaman yang terbatas dibandingkan para peneliti, karena kurangnya sarana transportasi dan pekerjaan tulis-menulis yang mengikat mereka di belakang meja (Van den Ban dan Hawkins, 1999). Dengan adanya kerja sama antara pihak penyuluh dan peneliti maka diharapkan aplikasi dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat memberikan kontribusi berupa solusi alternatif untuk memecahkan permasalahan
di kalangan petani.
Kerjasama yang bisa dilakukan adalah dengan mengadakan
analisis bersama mengenai permasalahan yang dihadapi oleh para petani ternak. Analisis ini dapat dilaksanakan dengan pendekatan FSR (Farming System Research) dimana diperlukan keterlibatan tim peneliti dari berbagai ilmu pada setiap tahap penelitian untuk mengetahui kekhususan lokasi dari rekomendasi penelitian dan kebutuhan untuk mengembangkan teknologi berbeda bagi lingkungan utama ekologi dan sosio-ekonomi.
Kemudian tindak lanjut dari
kegiatan analisis ini adalah dilakukannya percobaan lapangan.
Percobaan
lapangan ini merupakan tanggung jawab bersama antara peneliti dan agen penyuluhan.
Peneliti berperan untuk menentukan percobaan apa yang paling
diperlukan dan hasil-hasil yang mungkin didapat berdasarkan hasil penelitian atau teori di lembaga mereka, sedangkan agen penyuluh memberikan gambaran kepada peneliti mengenai kondisi petani, karena agen penyuluhan lebih mengetahui informasi dan pengalaman apa saja yang dimiliki oleh petani. Sementara itu pada percobaan lapangan, peneliti bertugas untuk merencanakan rancangan penelitian yang baik serta menganalisis data yang diperoleh, sedang agen penyuluh lebih banyak terjun ke lapangan.
Agen
penyuluh bertugas mengawasi percobaan lapangan secara langsung dan mengadakan observasi yang diperlukan. Dengan kerjasama ini diharapkan adanya pembangunan pertanian yang mantap di wilayah tersebut dan tujuan dari pembangunan akan tercapai sehingga kesenjangan antara pihak peneliti dan penyuluh tidak lagi terjadi. Kerjasama antara pihak peneliti dan agen penyuluh untuk mengadakan percobaan lapangan, bisa diterapkan di daerah Nglobo sebagai langkah awal untuk pengembangan usaha peternakan rakyat di kawasan tersebut.
Adapun
percobaan lapangan yang bisa dilakukan adalah percobaan biologis menggunakan ternak sapi sebagai ternak percobaan. Treatment yang dilakukan yaitu pemberian pakan konsentrat dengan campuran SCP (Single Cell Protein) yang dihasilkan dari olahan bakteri pemakan minyak. Parameter yang bisa diamati yaitu ADG (Average Daily Gain), Feed Convertion dan Feed Cost per Gain. ADG yaitu pertambahan bobot badan harian yang dicapai oleh ternak dan dapat diketahui dari
selisih dari bobot badan awal dan bobot badan akhir. Feed Convertion yaitu jumlah pakan yang diperlukan oleh ternak untuk menghasilkan 1 kg daging dalam hal ini adalah sapi pedaging, dan diketahui dari hasil perbandingan bobot badan yang dicapai dengan jumlah pakan yang terkonsumsi ternak. Sedangkan Feed Cost per Gain yaitu banyaknya biaya pakan yang dibutuhkan untuk setiap peningkatan bobot badan ternak.
Pihak penyuluh bertugas mengawasi
pelaksanaan percobaan tersebut misalnya dengan mengarahkan peternak mengenai cara pemberian pakan campuran konsentrat dengan SCP, mengambil data yang ada di lapangan, sedang pihak peneliti bertugas untuk menganalisis data yang diperoleh dari agen penyuluh. Kerja sama yang baik antara peneliti dan agen penyuluh menghasilkan tim yang solid, sehingga mampu menggerakkan kembali roda usaha peternakan kita yang terkesan lamban.
Peran Penyuluh Sebagai Change Agent
Penyuluhan merupakan salah satu sarana untuk membantu masyarakat desa mencapai kehidupan yang lebih layak, khususnya melalui pemanfaatan hasilhasil penelitian dan perealisasian kebijakan pembangunan pertanian (Van den Ban dan Hawkins, 1999). Melalui penyuluhan diharapkan adanya perubahan perilaku dari masyarakat.
Perubahan perilaku yang bisa menuntun masyarakat untuk
menjadi lebih baik. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara mengubah perilaku dari masyarakat petani, karena mengubah perilaku seseorang tidak semudah untuk membalikkan tangan. Masyarakat petani yang ada di desa tidak akan menerima begitu saja kehadiran para petugas penyuluh, bahkan tidak sedikit petugas penyuluh yang mendapat tanggapan kurang menyenangkan dari para petani. Posisi yang demikian itulah yang menjadi tantangan bagi setiap petugas penyuluh. Menurut salah satu petani ternak di daerah Nglobo, di desa mereka belum pernah diadakan kegiatan penyuluhan, yang ada hanyalah mantri hewan. Mantri hewan tersebut bertugas memeriksa ternak yang sakit dari para petani hanya jika ada pengaduan dari petani. Petani jarang memanggil mantri hewan karena jarak
rumah mantri dengan rumah mereka sangat jauh, bahkan jika ternak mereka sakit tidak mantri hewan yang dipanggil melainkan dukun yang dipercaya bisa mengobati hewan dan hanya diberikan garam. Gambaran kondisi diatas diharapkan bisa membuka mata dari pemerintah bahwa daerah Nglobo sangat menantikan sentuhan dari para petugas penyuluh, mengingat potensi ternak dari daerah tersebut besar. Selama ini pemerintah kurang tahu dan tanggap mengenai potensi daerahnya sendiri, di lain pihak program kerja dengan target pertumbuhan ekonomi selalu menjadi prioritas utama. Pemerintah bisa mengandalkan peternakan sebagai sumber pendapatan daerah bila peternakan yang didirikan dikelola dengan manajemen yang tepat, mulai dari manajemen pakan, manajemen pemeliharaan, kesehatan hewan hingga manajemen pemasaran.
Bila hal ini diterapkan di daerah Nglobo, maka
pemerintah akan mengalami kesulitan menerapkan manajemen tersebut karena petani ternak di daerah Nglobo belum siap dengan semua itu.
Dibutuhkan
peternak yang trampil dan berbekal pengetahuan yang cukup untuk mengelola peternakan tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah agen untuk mengubah perilaku peternak agar peternak menjadi trampil, memiliki pengetahuan yang cukup sehingga mampu mengelola ternaknya agar produktivitasnya menjadi semakin meningkat. Alternatif metode penyuluhan yang bisa dilakukan bagi petani ternak di daerah Nglobo yaitu metode Individu-kunci (Key Person) / Kontak- tani. Individu–kunci (Key Person) adalah individu yang maju (inovatif), yang bersedia bekerja sama sebagai rekan sekerja penyuluh untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan bagi warga masyarakat sekitar terutama di lingkungannya sendiri. Jadi sasaran utama dari petugas penyuluh adalah individu-kunci yang biasanya menjadi pimpinan lembaga-lembaga sosial (kelompok/organisasi) dan diakui masyarakatnya sebagai panutan yang baik. Kemudian diharapkan dari individuindividu kunci tersebut meneruskan penyuluhan kepada seluruh warga masyarakatnya.
Metode seperti ini lebih efisien karena penyuluh tidak perlu
berhadapan langsung dengan seluruh warga masyarakat, sehingga sangat menghemat waktu dan biaya yang seringkali menjadi kendala untuk
melaksanakan kegiatan penyuluhan.
Seperti di desa Nglobo, untuk menuju
rumah penduduk, kita harus menempuh perjalanan yang jauh terlebih harus melewati kawasan perminyakan dan hutan jati. Jadi faktor geografis merupakan kendala bagi para penyuluh untuk dapat terjun langsung menemui peternak. Namun tidak dipungkiri, jika petugas penyuluh ingin melihat secara langsung keadaan di lapangan untuk benar-benar meyakinkan para petani ternak mengenai informasi yang mereka peroleh dari individu-kunci tadi. Selain itu penyuluhan metode individu kunci lebih efektif, karena penyuluhan yang dilakukan oleh individu-kunci lebih cepat diterima atau dipercayai oleh masyarakat setempat yang karena individu sudah dikenal dan diakui sebagai panutan yang baik. Apabila penyuluhan dilakukan oleh petugas penyuluh sendiri maka warga setempat akan sulit menerima dan mempercayainya karena informasi didapatkan dari orang luar lingkungannya yang belum mereka kenal. Hambatan mungkin dihadapi oleh pelaksanaan metode ini yaitu sulit untuk menemukan key person tersebut. Tidak semua individu kunci yang digunakan penyuluh mendapat sambutan yang baik dari tokoh masyarakat setempat. Alternatif yang bisa dilakukan penyuluh yaitu dengan menanyakan langsung kepada warga setempat tentang siapa yang dianggap berpengaruh/ panutan yang baik dari sebagian besar masyarakat di lingkungan tersebut, kemudian setelah diketahui individu kunci yang terpilih tadi dikonsultasikan dengan tokoh formal atau dengan pejabat setempat. Materi penyuluhan yang bisa diberikan yaitu mengenai teknik budidaya ternak sapi dan hijauan makanan ternak, cara pemilihan bibit unggul, penggunaan sapronak, pemberian
pakan yang berkualitas dan teknologi pascapanen.
Termasuk didalamnya mengenai masalah sosial ekonomi peternakan yang meliputi ekonomi produksi, pemasaran hasil serta membuat perencanaan usaha sendiri.
Materi diberikan secara bertahap dan berkelanjutan, karena melihat
kondisi penduduk desa Nglobo yang status pendidikannya rata-rata masih rendah, jadi perlu waktu yang agak lama untuk memahami materi yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya.
Setelah petani ternak dirasa sudah bisa menerima materi penyuluhan, maka untuk lebih membuat petani semakin mempercayai materi yang disampaikan, langkah selanjutnya yaitu pelaksanaan demonstrasi oleh petugas penyuluh.
Demonstrasi yaitu menunjukkan, membuktikan atau meragakan
sesuatu yang nyata agar orang lain mempercayainya (Mardikanto, 1993). Metode demonstrasi yang dilaksanakan pada tahap awal yaitu Demplot (Demonstrasi plot). Demplot ini dilaksanakan oleh kontak tani dan keluarganya dengan lahan kurang lebih 0,1 Ha. Materi yang dilakukan misalnya dengan cara menanam rumput gajah, cara pemupukan serta teknologi pengawetan hijauan seperti Silase dan pemanfaatan limbah pertanian seperti jerami untuk diamoniasi, karena di daerah Nglobo merupakan daerah yang panas dan kering sehingga sulit untuk mendapatkan hijauan untuk pakan ternak.
Dengan pelaksanaan Demplot ini
diharapkan para petani ternak semakin percaya karena dengan melihat mereka akan dapat mengetahui secara langsung bukti-bukti nyata apa yang selama ini mereka terima. Pada pelaksanaan demonstrasi, diharapkan timbul minat pada setiap diri peternak, karena mereka bisa mengevaluasi dan mempertimbangkan keuntungan yang bisa diperoleh dengan cara yang baru mereka terima disbanding dengan cara lama yang dulu mereka lakukan. Setelah timbul minat, maka langkah berikutnya yaitu mendirikan sebuah kandang percontohan(Teaching Farm) sebagai pengembangan dari demplot tadi. Kandang percontohan ini mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada yang digunakan pada saat demplot. Kandang percontohan bisa diambil dari percobaan lapangan yang merupakan hasil kerjasama antara peneliti dengan agen penyuluhan. Setelah percobaan selesai dan mendapatkan hasil yang bagus, maka bisa diterapkan lebih lanjut oleh para peternak dengan menggunakan fasilitas telah ada di kandang percontohan tersebut. Penyuluh bisa melakukan training bagi sebagian petani ternak untuk mempraktekkan materi yang telah mereka dapatkan. Bagi petani ternak pria lebih banyak mengerjakan pekerjaan yang berkaitan dengan ternak pengolahan lahan yang akan ditanami rumput gajah sebagai tanaman makan ternak, sedangkan untuk kaum wanita lebih banyak membantu untuk pemeliharaan rumput gajah, membuat silase atau pengawetan jerami dengan
cara amoniasi pada saat musim hujan, karena pada musim hujan produksi hijauan mengalami surplus sedangkan pada musim kemarau petani ternak sulit mendapatkan hijauan, jadi pengetahuan tentang pengawetan hijauan kepada petani ternak sangat diperlukan sekali. Training atau pelatihan bagi para petani ternak akan semakin menambah ketrampilan dan pengetahuan mereka, paling tidak mereka sudah paham dan mampu melaksanakan apa yang telah mereka dapatkan. Setelah materi terdahulu sudah bisa dipahami dan dilaksanakan dengan baik oleh petani ternak, maka penyuluh bisa memberikan tambahan materi seperti pengenalan teknologi SCP dan pembuatan pupuk dari kotoran ternak mereka.
Pengenalan teknologi ini
tentunya juga dilakukan secara bertahap karena materi ini setingkat lebih tinggi dari materi sebelumnya, jadi mungkin petani ternal lebih sulit untuk mencernanya. Untuk memudahkan penyampaiannya, penyuluh bisa menggunakan gambar atau film documenter mengenai manfaat SCP dan proses pembuatan pupuk dari kotoran ternak sapi.
Dengan media visual yang ditampilkan, diharapkan
mempermudah penyuluh untuk menyampaikan informasi tersebut kepada petani ternak. Dari pengenalan teknologi ini diharapkan petani ternak mau dan mampu untuk mengadopsi inovasi teknologi yang telah disampaikan. Proses adopsi ini membutuhkan kerjasama antara pihak peneliti dan agen penyuluh, pihak peneliti lebih menguasai mengenai inovasi teknologi yang disampaikan sedang agen penyuluh membantu meyakinkan petani, hingga petani bisa mengadopsi teknologi yang disampaikan kepadanya. Pemasaran Produk Setelah petani ternak dirasa sudah cukup mandiri, trampil dan mampu mengadopsi teknologi dengan baik, maka giliran pemerintah untuk membantu petani ternak untuk mengembangkan usaha peternakan. Petani ternak mampu menyediakan lahan dan beberapa ekor ternak sapi, sedangkan pemerintah bisa membantu dengan memberikan modal dengan kredit lunak, penyediaan sapronak dan membantu petani ternak untuk memasarkan ternaknya. Selama ini petani ternak menjual ternaknya melalui blantik tanpa memperhitungkan biaya produksi
yang dikeluarkan. Peternak cukup puas bila harga sapi dengan harga bibit yang dibeli dulu mempunyai selisih yang agak besar, dengan begitu peternak sudah merasa untung. Petani ternak mematok harga ternak pada nominal tertentu sesuai dengan kondisi fisik ternak secara umum tanpa ada penimbangan terlebih dahulu. Pemerintah bisa membantu petani ternak dalam memasarkan hasil ternaknya, misal dengan pemotongan ternak di RPH milik pemerintah, dari RPH maka produk yang dipasarkan berupa daging, jeroan (viscera), atau hasil ikutan ternak lainnya seperti kulit dan darah. Pemotongan hewan khususnya sapi, peternak di daerah Nglobo bisa mengirimkan ternaknya ke RPH yang ada di Cepu. Peluang bagi peternak daerah Nglobo untuk menjual ternaknya ke RPH Cepu, selain jalur transportasi mudah juga jarak yang dekat sehingga tidak membuat ternak stress dalam perjalanan. Hasil pemotongan tersebut bisa dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan daging masyarakat sekitar kecamatan Cepu bahkan seluruh masyarakat yang ada di kawasan kabupaten Blora. Dengan demikian selain bisa meningkatkan kualitas gizi masyarakat khususnya yang ada di kawasan kabupaten Blora, pendapatan petani ternak yang ada di Nglobo menjadi meningkat, setelah terjadi perubahan perilaku dalam mengembangkan usaha peternakannya. Semakin meningkatnya pendapatan petani ternak, maka modal pinjaman dari pemerintah akan semakin cepat pula dikembalikan, sehingga dana dari pemerintah juga akan segera bisa dialokasikan untuk kepentingan yang lain. Peternakan rakyat yang dikembangkan di daerah Nglobo bisa dijadikan sumber pendapatan daerah khususnya kabupaten Blora, apabila usaha peternakan tersebut sudah semakin maju dan mampu untuk melakukan ekspansi keluar.
Dengan demikian pendapatan daerah kabupaten
Blora bisa meningkat, karena ada tambahan pemasukan dari sektor peternakan.
PENUTUP
Kesimpulan
Pengembangan usaha peternakan rakyat di kawasan perminyakan yang berwawasan lingkungan yaitu pola budidaya ternak dimana kebutuhan ternak dipenuhi dari pemanfaatan sumber daya alam yang ada di sekitarnya namun tetap dengan memperhatikan aspek konservasi, sumber daya alam yang digunakan tidak rusak dan tetap terpelihara.
Pengembangan usaha peternakan di kawasan
perminyakan Nglobo tidak akan berhasil tanpa melibatkan unsur pemerintah, swasta dan BUMN.
Dengan didirikannya usaha peternakan rakyat di daerah
Nglobo, maka akan dapat meningkatkan pendapatan petani ternak dan secara tidak langsung membantu pemerintah terutama dalam sektor perekonomian.
Saran
Pada kenyataannya alternatif pola pengembangan usaha peternakan rakyat di kawasan perminyakan akan banyak menemui hambatan-hambatan terutama dalam masalah finansial dan dari pihak petani ternak sendiri, untuk mengantisipasi hal itu diperlukan perencanaan yang matang dan pertimbangan dalam berbagai aspek sehingga penerapan teknologi yang dilakukan benar-benar sesuai dengan potensi SDA, SDM dan potensi pasar. Kerjasama yang baik antara pihak peneliti dan penyuluh sebaiknya selalu dijaga karena hubungan yang efektif antara para peneliti di bidang peternakan dan agen penyuluhan akan membantu pemerintah dalam meningkatkan pembangunan pertanian khususnya di sektor peternakan.
Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa diharapkan peran
aktifnya, terutama dalam menggali potensi daerahnya agar setelah lulus nanti akan tercetak sarjana-sarjana sebagai Jobmaker, sehingga mampu menciptakan lapangan kerja bagi para Jobseeker.
DAFTAR PUSTAKA
POLA PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN RAKYAT BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PERMINYAKAN KABUPATEN BLORA
KARYA TULIS MAHASISWA
Oleh : Yuni Primandini H2C 002 181
JURUSAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2005
KATA PENGANTAR