KONDISI PEMELIHARAAN SAPI PERAH DI PETERNAKAN RAKYAT KAWASAN USAHA PETERNAKAN (KUNAK) CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR
SKRIPSI PRIA SEMBADA
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PETERNAKAN BOGOR 2012
RINGKASAN Pria Sembada. D14070253. 2012. Kondisi Pemeliharaan Sapi Perah di Peternakan Rakyat Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M. Agr. Pembimbing Anggota : Ir. Andi Murfi, M. Si. Peternakan sapi perah memiliki peran yang besar dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat melalui produk utamanya berupa susu dan merupakan salah satu sektor yang membantu menopang pembangunan ekonomi nasional. Produksi susu dalam negeri masih belum bisa mencukupi kebutuhan susu nasional. Hal ini disebabkan salah satunya oleh tata laksana pemeliharaan yang kurang baik pada peternakan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek teknis pemeliharaan sapi perah pada peternakan sapi perah rakyat di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai September 2011 di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Metode yang digunakan adalah metode survei. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan jumlah peternak sebagai sampel adalah sebanyak 30 peternak dari jumlah populasi 118 peternak yang ada. Data primer didapat dari semua responden melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, teknik observasi dan pengukuran langsung di lapangan yang meliputi pengukuran lingkar dada, pengukuran produksi susu dan pakan yang diberikan oleh peternak. Data sekunder diperoleh dari kecamatan dan KPS Bogor berupa keadaan umum KUNAK dan data peternak yang tergabung dalam kelompok peternak di KUNAK 1 dan 2. Data karakteristik peternak dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Data keterampilan teknis beternak dianalisis menggunakan analisis statistik menggunakan Wilcoxon Signed Test. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa capaian penerapan aspek teknis pemeliharaan di KUNAK Cibungbulang dari yang tertinggi hingga yang terendah secara berturut-turut adalah aspek kandang dan peralatan, kesehatan hewan, pengelolaan, makanan ternak, dan pembibitan dan reproduksi. Capaian nilai penerapan rata-rata adalah sebesar 86,88%. Nilai terendah terdapat pada aspek pembibitan dan reproduksi dengan nilai 78,18%. Berdasarkan hasil penelitian, sapisapi yang berumur 5 tahun memiliki rata-rata produksi susu harian maksimum yaitu sebesar 11,45 liter/ekor/hari. Sapi- sapi pada periode laktasi ketiga berdasarkan hasil penelitian menunjukkan rata-rata produksi susu harian maksimum yaitu sebesar 11,19 liter/ekor/hari. Kata-kata kunci: sapi perah, manajemen, KUNAK, Cibungbulang
ABSTRACT Condition of Dairy Management in Small Holder Dairy Farm at Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang Bogor Sembada, P., B.P. Purwanto, A. Murfi This research was conducted to observe and evaluate the farming practices in small holder dairy farm at Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang, Bogor. This research was carried out from June to September 2011. Data were collected from 30 farms by using survey method which based on field observation, interview farmers, and direct measurement. Secondary data were collected from milk cooperation and district regency. Then, the data frequency were tabulated. The differences between observation and expectation value were analyzed by using Wilcoxon Signed Test. The results showed that the average of score of dairy farming practices was 86,88%. The farmers’ knowledge and skills breeding and reproduction aspect lower than expectated value (78,18%). Based on research, the peak milk production was 11,45 l/d/h in 5 years old, with the peak of production on the third lactation period was 11,19 l/d/h. Therefore, the farmers’ skills and knowledge need to be improved especially for breeding and reproduction aspect, so the production of KUNAK and national milk can be improved. Keywords: dairy cattle, dairy farming practices, KUNAK Cibungbulang, Bogor
KONDISI PEMELIHARAAN SAPI PERAH DI PETERNAKAN RAKYAT KAWASAN USAHA PETERNAKAN (KUNAK) CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR
PRIA SEMBADA D14070253
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PETERNAKAN BOGOR 2012
Judul : Kondisi Pemeliharaan Sapi Perah di Peternakan Rakyat Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang Kabupaten Bogor Nama : Pria Sembada NIM
: D14070253
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M. Agr) NIP. 19600503 198503 1 003
(Ir. Andi Murfi, M. Si.) NIP. 19631229 198903 1 002
Mengetahui: Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc) NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian: 27 Januari 2012
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 16 Oktober 1988 dari pasangan Bapak Drs. Bambang Djaluprapto dan Ibu Rohana. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan Penulis dimulai dari TK Nurul Jannah pada tahun 1993-1995. Selanjutnya Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada sekolah percontohan SDN 011 pagi, Pondok Labu, Jakarta Selatan. Pendidikan lanjutan tingkat menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SMP 85 Jakarta dan pendidikan lanjutan tingkat menengah atas diselesaikan di SMA 34 Jakarta pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2007 dan terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008. Selama menjadi mahasiswa, Penulis aktif di berbagai organisasi dan kepanitiaan. Penulis pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Budaya, Olahraga dan Seni di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan periode 2008/2009, lalu menjabat sebagai Ketua Umum di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan periode 2009/2010. Selanjutnya, penulis diamanahkan menjadi Menteri Kebijakan Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB periode 2010/2011. Beberapa prestasi yang pernah diterima penulis selama menjadi mahasiswa antara lain Juara individu Kontes Penjurian Sapi Perah Tingkat Nasional 2010, Juara 1 Beregu Kontes Penjurian Sapi Perah Tingkat Nasional 2010, Juara 3 Film Documenter IPB Art Contest 2009 dan menjadi Kadep Terbaik BEM Fapet tahun 2008. Berbagai beasiswa juga pernah diterima penulis antara lain beasiswa Pengembangan Prestasi Akademik (PPA), beasiswa Bogor Intenational Club dan Beasiswa Korean Exchange Bank Foundation. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Pendidikan Agama Islam selama dua semester.
KATA PENGANTAR Bismillahirohmannirrohiim, Alhamdulillahirobbilalamiin, puji syukur senantiasa Penulis panjatkan kehadirat Sang Pencipta, Pemilik seiisi alam semesta, Allah SWT atas segala nikmat, karunia, rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga Penulis mendapat berbagai macam kemudahan dan kelancaran dalam penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Kondisi Pemeliharaan Sapi Perah di Peternakan Rakyat Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang”. Shalawat dan salam tak henti-hentinya tercurah kepada seorang pemimpin, qudwah hasanah, junjungan besar Nabi Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang senantiasa istiqomah berjuang di jalan-Nya hingga yaumil akhir nanti. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga bulan September 2011 yang berlokasi di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang Kabupaten Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek teknis pemeliharaan sapi perah di lokasi tersebut. Penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat menjadi rekomendasi untuk para peternak, pemerintah, dan semua stakeholders pada peternakan sapi perah rakyat di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, sehingga perbaikan tata laksana pemeliharaan dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi susu. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para pembaca, selain itu juga dapat menambah ilmu pengetahuan terutama di bidang manajemen sapi perah. Penulis berterima kasih kepada semua pihak yang telah mendorong, membantu dan mengizinkan untuk mempergunakan bagian atau materi-materi yang digunakan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
Bogor, Januari 2012
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ………………………………………………………..…………
i
ABSTRACT…………………………………………………………………….
ii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………..
iii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………..
iv
RIWAYAT HIDUP……………………………………………………………..
v
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..
vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….
vii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………….
ix
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………
xi
PENDAHULUAN……………………………………………………………….
1
Latar Belakang………………………………………………………….. Tujuan………………………………………………………………......
1 2
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………
3
Peternakan Sapi Perah…………………………………………………... Sapi Friesian Holstein (FH)……………………………………………. Faktor Penentu Ternak Sapi Perah………………………………………
3 3 4
Pengembangbiakan dan Reproduksi……………………………. Pakan Sapi Perah………………………………………………... Pengelolaan……………………………………………………... Kandang dan Peralatan…………………………………………. Kesehatan Hewan………………………………………………..
4 6 7 9 10
MATERI DAN METODE………………………………………………………
11
Waktu dan Lokasi………………………………………………………. Materi…………………………………………………………………… Prosedur………………………………………………………………….
11 11 11
Persiapan Kuesioner…………………………………………….. Survey dan Wawancara…………………………………………. Analisis Data…………………………………………………………….
16 16 16
Peubah yang Diamati……………………………………………
17
HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………….
19
Keadaan Umum Lokasi………………………………………………….
19
Karakteristik Peternak dan Komposisi Sapi Perah………………………
21
Umur Responden……………………………………………….. Tingkat Pendidikan……………………………………………... Pengalaman Beternak…………………………………………… Struktur Kepemilikan Ternak……………………………………
22 22 23 23
Faktor Penentu Ternak Sapi Perah………………………………………
25
Pembibitan dan Reproduksi…………………………………….. Makanan Ternak………………………………………………… Pengelolaan……………………………………………………... Kandang dan Peralatan………………………………………….. Kesehatan Hewan………………………………………………..
26 30 35 39 42
Pertumbuhan Pedet dan Dara……………………………………………
44
Produksi Susu Harian berdasarkan Umur……………………………….
46
Produksi Susu Harian berdasarkan Jumlah Laktasi………...…………..
48
KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………….
50
Kesimpulan……………………………………………………………...
50
Saran…………………………………………………………………….
50
UCAPAN TERIMAKASIH……………………………………………………..
51
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...
52
LAMPIRAN…………………………………………………………………….
55
viii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman Faktor Penentu Ternak Sapi Perah Ditinjau dari Aspek Pembibitan dan Reproduksi Berdasarkan Dirjen Peternakan (1983)……………………
12
Faktor Penentu Ternak Sapi Perah Ditinjau dari Aspek Makanan Ternak Berdasarkan Dirjen Peternakan (1983)…………………………………
13
Faktor Penentu Ternak Sapi Perah Ditinjau dari Aspek Pengelolaan Berdasarkan Dirjen Peternakan (1983)………………………………….
14
Faktor Penentu Ternak Sapi Perah Ditinjau dari Aspek Kandang dan Peralatan Berdasarkan Dirjen Peternakan (1983)………………………
15
Faktor Penentu Ternak Sapi Perah Ditinjau dari Aspek Kesehatan Hewan Berdasarkan Dirjen Peternakan (1983)………………………….
15
Umur, Pendidikan, dan Pengalaman Beternak Responden di KUNAK, Cibungbulang…………………………………………………………….
21
Rataan Kepemilikan Sapi Perah Peternak di KUNAK, Cibungbulang……………………………………………………………
24
Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Aspek Teknis Peternakan Sapi Perah Rakyat di KUNAK, Cibungbulang, Bogor…….
25
Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Aspek Pembibitan dan Reproduksi di KUNAK Cibungbulang, Kabupaten Bogor……………
27
Penerapan Aspek Pembibitan dan Reproduksi Sapi Perah di KUNAK, Cibungbulang……………………………………………………………
28
11.
Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Makanan Ternak……
31
12.
Penerapan Aspek Makanan Ternak Sapi Perah di KUNAK, Cibungbulang……………………………………………………………
33
13.
Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Aspek Pengelolaan….
35
14.
Penerapan Aspek Pengelolaan Sapi Perah di KUNAK, Cibungbulang, Bogor…………………………………………………………………….
37
Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Aspek Kandang dan Peralatan………………………………………………………………..
39
Penerapan Aspek Kandang dan Peralatan Sapi Perah di KUNAK, Cibungbulang, Bogor……………………………………………………
40
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9. 10.
15. 16.
17. 18.
Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Aspek Kesehatan Hewan……………….…………………………………………………. Penerapan Aspek Kesehatan Sapi Perah di Kunak, Cibungbulang, Bogor
42 43
x
DAFTAR GAMBAR Halaman
Nomor 1. 2. 3.
Pertumbuhan Lingkar Dada dari Pedet Sapi Perah sampai Umur 24 Bulan…………………..…………………………………..
45
Grafik Rataan Produksi Susu pada Umur Sapi Perah yang Berbeda di KUNAK, Cibungbulang……………………………………………..
47
Grafik Rataan Produksi Susu pada Setiap Kali Laktasi Sapi Perah di KUNAK, Cibungbulang………………………………………………
48
PENDAHULUAN Latar Belakang Peternakan sapi perah merupakan salah satu sektor pertanian yang dapat membantu menopang pembangunan ekonomi nasional. Selain itu, peternakan sapi perah juga memiliki peran yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Produk utama yang dihasilkan dari peternakan sapi perah adalah susu. Susu merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan gizi lengkap dan seimbang sehingga mengkonsumsi susu sangat diperlukan untuk meningkatkan kecerdasan dan pertumbuhan yang baik pada seseorang. Kesadaran terhadap pentingnya mengkonsumsi susu masih perlu ditingkatkan. Namun, produksi susu nasional untuk memenuhi kebutuhan susu nasional ternyata masih jauh dari cukup. Indonesia masih mengimpor susu dari luar negeri. Tercatat dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2010), produksi dalam negeri hanya dapat memasok sekitar 20% dari permintaan susu sehingga masih terjadi ketergantungan dengan susu yang diimpor dari luar negeri. Melihat hal tersebut, perlu dilakukan peningkatan produktivitas baik melalui perbaikan genetik dan lingkungan serta peningkatan populasi ternak sapi perah maupun tatalaksana pemeliharaan. Salah satu
upaya untuk
perbaikan tatalaksana pemeliharaan
yaitu
ditetapkannya Cibungbulang sebagai salah satu Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) sapi perah. Topografi Kawasan Usaha Peternakan ini bergelombang sampai dengan berbukit dan berada 600-700 meter di atas permukaan laut. Daerah ini cukup baik sebagai tempat berproduksi sapi perah baik dalam bentuk perusahaan maupun peternakan rakyat. Peternakan sapi perah rakyat memiliki peranan yang cukup strategis dalam menyumbang produksi susu nasional. Namun demikian, produktivitas dari peternakan sapi perah rakyat masih perlu ditingkatkan. Melihat hal tersebut, penting diketahui pengetahuan tentang teknis beternak sapi perah sehingga produktivitas ternak dapat meningkat. Direktorat Jenderal Peternakan (1983) menyatakan bahwa teknis pemeliharaan sapi perah rakyat meliputi pengembangbiakan dan reproduksi, makanan ternak, pengelolaan, kandang dan peralatan, serta kesehatan hewan.
Tujuan Penelitian ini dilakukan
untuk mempelajari aspek teknis pemeliharaan
(pengembangbiakan dan reproduksi, makanan ternak, pengelolaan, kandang dan peralatan, serta kesehatan hewan) peternakan sapi perah rakyat di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Hasil penelitian yang didapat diharapkan dapat memberi informasi atau gambaran mengenai aspek teknis pemeliharaan sapi perah di KUNAK yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perbaikan tatalaksana pemeliharaan sapi perah sehingga terjadi peningkatan produksi susu di daerah tersebut.
2
TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Usaha peternakan sapi perah di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan skala usahanya yaitu perusahaan peternakan sapi perah dan peternakan sapi perah rakyat (Sudono, 1999). Pulungan dan Pambudy (1993) menyatakan bahwa usaha peternakan sapi perah rakyat adalah usaha peternakan yang memiliki total sapi perah di bawah 20 ekor, sedangkan perusahaan peternakan sapi perah adalah usaha peternakan yang memiliki lebih dari 20 ekor sapi perah. Tedapat beberapa faktor yang berpengaruh dalam beternak sapi perah. Faktor yang terpenting untuk sukses dalam usaha peternakan sapi perah adalah peternak harus dapat menggabungkan kemampuan tata laksana yang baik dengan menentukan lokasi peternakan yang baik, besarnya peternakan, pemilihan sapi yang berproduksi tinggi, pemakaian peralatan yang tepat, tanah yang subur untuk tanaman hijauan makanan ternak dan pemasaran yang baik (Sudono, 1999). Usaha peternakan sapi perah memiliki beberapa keuntungan yaitu peternakan sapi perah termasuk usaha yang tetap, sapi perah sangat efisien dalam mengubah pakan menjadi protein hewani dan kalori, jaminan pendapatan yang tetap, tenaga kerja yang tetap, pakan yang relatif mudah dan murah, kesuburan tanah dapat dipertahankan, pedet jantan dijual untuk sapi potong dan pedet betina bisa dipelihara hingga dewasa dan menghasilkan susu (Sudono et al., 2003). Sapi Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah yang paling banyak dipelihara di Indonesia adalah sapi perah Friesian Holstein (FH). Diwyanto et al. (2001) menyatakan bahwa bangsa sapi jenis ini merupakan keturunan dari sapi Bos Taurus. Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi dibandingkan dengan sapi perah lainnya, dengan memiliki kadar lemak susu rendah. Sudono et al. (2003) menyatakan bahwa warna bulu bangsa sapi FH murni pada umumnya berwarna hitam putih, kadang-kadang merah dan putih dengan batas-batas warna yang jelas. Ginting dan Sitepu (1989) melaporkan bahwa rata-rata produksi susu FH mencapai 6000-7000 liter per laktasi di negara yang peternakan sapi perahnya telah maju, sedangkan di Indonesia
Diwyanto et al. (2001) menyatakan produksi susu FH berkisar 2400-3000 liter per laktasi. Sapi FH adalah sapi yang berasal dari iklim sedang, memerlukan suhu yang optimum (sekitar 180C) dan kelembaban 55% untuk mencapai produksi maksimalnya. Pada suhu yang lebih tinggi, ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behavior). Yani dan Purwanto (2006) menyatakan bahwa usaha peternakan sapi FH di Indonesia umumnya terdapat pada daerah dengan ketinggian lebih dari 800 meter di atas permukaan laut, kondisi yang baik untuk penyesuaian lingkungan yang dibutuhkan sapi FH. Faktor Penentu Ternak Sapi Perah Faktor-faktor penentu ternak sapi perah merupakan indikator untuk melihat pengetahuan teknis beternak sapi perah dari para peternak. Faktor-faktor penentu ternak sapi perah meliputi lima aspek sesuai dengan standar penilaian dari Direktorat Jenderal Peternakan (1983), yaitu 1). Breeding dan Reproduksi, 2). Makanan Ternak, 3). Pengelolaan, 4). Kandang dan Peralatan, dan 5). Kesehatan Hewan. Pengembangbiakan dan Reproduksi Sudono et al. (2003) menyatakan bahwa bibit sapi perah yang akan dipelihara sangat menentukan keberhasilan usaha ternak sapi perah. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bibit sapi perah yaitu: a.
Genetik dan keturunan: bibit sapi harus berasal dari induk yang produktivitasnya tinggi dan pejantan yang unggul. Hal ini disebabkan sifat unggul kedua tetua akan menurun kepada anaknya
b.
Bentuk ambing: ambing yang baik adalah ambing yang besar, pertautan antar otot kuat dan memanjang sedikit ke depan, serta puting tidak lebih dari empat
c.
Eksterior atau penampilan: secara keseluruhan penampilan bibit sapi perah harus proporsional, tidak kurus dan tidak terlalu gemuk, kaki berdiri tegak dan jarak kaki kanan dengan kiri cukup lebar (baik kaki depan maupun belakang) serta bulu mengilat. Besar tubuh tidak menentukan jumlah susu yang dihasilkan dan ketahanannya terhadap penyakit
4
d.
Umur bibit: umur bibit sapi perah betina yang ideal adalah 1,5 tahun dengan bobot badan sekitar 300 kg, sedangkan umur pejantan dua tahun dengan bobot badan sekitar 350 kg. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan
produksi susu adalah aspek reproduksi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam reproduksi menurut Ginting dan Sitepu (1989) adalah dewasa kelamin dan perkawinan pertama, masa dan tanda-tanda serta siklus estrus, saat perkawinan yang tepat di waktu estrus, lama bunting, perkawinan kembali setelah beranak, cara perkawinan dan kegagalan reproduksi dan penanggulangannya. Ensminger (1971) menyatakan bahwa sapi dara dengan asupan nutrisi yang tinggi akan mengalami estrus pertama pada umur 9-11 bulan, jika asupan nutrisinya kurang baik maka estrus pertama pada umur 18-20 bulan. Lama estrus tergantung umur, sapi dara mempunyai masa estrus lebih pendek dibandingkan dengan sapi dewasa pada umumnya. Siklus estrus berkisar antara 18-24 hari (± 21 hari). Ginting dan Sitepu (1989) menyatakan bahwa tanda-tanda estrus yang paling penting adalah : 1)
Sapi kelihatan tidak tenang, gelisah dan nafsu makan biasanya turun
2)
Vulva tampak bengkak, merah, hangat dan keluar cairan seperti lendir mirip putih telur dari vagina
3)
Bulu di pangkal ekor rontok
4)
Sering menguak seolah-olah memanggil pejantan
5)
Produksi susu turun
6)
Sapi lebih sering berbaring dibandingkan dengan berdiri
7)
Bermesraan dengan sapi betina lainnya
8)
Apabila di kandang, selalu ingin memisahkan diri dan jika berada di padang penggembalaan dinaiki pejantan akan diam dan pasrah, terkadang menaiki sapi lain
9)
Bila pemilik memegang seekor sapi, maka sapi segera mengangkat ekornya
10) Sapi yang digembalakan sering berhenti merumput Salah satu hal yang cukup penting dalam pengembangbiakan dan reproduksi sapi perah adalah perkawinan. Perkawinan sapi perah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu kawin alam dan kawin suntik (inseminasi buatan atau IB). Kawin alam biasa dilakukan oleh peternak besar dengan biaya yang relatif mahal karena harus 5
memelihara pejantan, sedangkan kawin suntik biasa dilakukan oleh peternak kecil dengan biaya lebih murah, karena tidak harus memelihara pejantan (Sudono et al., 2003). Syarief dan Sumoprastowo (1984) menyatakan bahwa inseminasi buatan merupakan suatu cara beternak modern dalam usaha meningkatkan mutu ternak secara efisien. Perkawinan kembali setelah beranak tidak sama pada setiap bangsa bahkan setiap individu dalam satu bangsa, namun secara garis besarnya berkisar antara 60-90 hari. Ginting dan Sitepu (1989) menyatakan bahwa waktu istirahat ini sangat perlu untuk memulihkan semua jaringan tubuh sapi terutama yang erat kaitannya dengan reproduksi dan produksi susu. Interval beranak (calving interval) yang optimal adalah 12 dan 13 bulan. Bila interval beranak diperpendek akan menurunkan produksi susu 3,7-9,0 % pada laktasi yang sedang berjalan atau yang berikutnya, sedangkan bila calving interval diperpanjang sampai 450 hari, maka laktasi yang sedang berlaku dan laktasi yang akan datang akan meningkatkan produksi susu 3,5 % tetapi bila ditinjau dari segi ekonomi akan rugi karena kenaikan produksi susu yang dihasilkan tidak sesuai dengan makanan yang diberikan (Sudono, 1999). Pakan Sapi Perah Pakan merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap kemampuan berproduksi susu sapi perah (Siregar, 2007). Sudono (1999) menyatakan bahwa pemberian pakan harus diperhitungkan dengan cermat dan harus dilakukan secara efisien untuk mencegah timbulnya kerugian. Pemberian pakan harus sesuai dengan bobot badan sapi, kadar lemak susu dan produksi susu, terutama bagi beberapa sapi yang telah berproduksi (Sudono et al., 2003) karena pada umumnya variasi dalam kadar lemak dan produksi susu disebabkan adanya perubahan pakan dan tata laksana pemeliharaan sapi perah (Sudono, 1999). Pakan sapi perah yang sedang berproduksi susu terdiri dari hijauan dan konsentrat (Siregar, 2007). Aryogi et al. (1994) menyatakan bahwa peranan hijauan pakan menjadi lebih penting karena berpengaruh terhadap kadar lemak susu yang dihasilkan. Konsentrat adalah pakan yang mengandung nutrisi tinggi dengan kadar serat kasar yang rendah. Campuran pakan konsentrat biasanya disusun dari beberapa bahan pakan yang terdiri dari biji-bijian dan limbah hasil proses industri bahan pangan bijian seperti jagung giling, tepung kedelai, menir, dedak, bekatul, bungkil 6
kelapa, tetes dan umbi. Peranan pakan konsentrat adalah untuk meningkatkan nilai nutrisi agar memenuhi kebutuhan normal hewan untuk tumbuh dan berkembang secara sehat (Akoso,1996). Sudono et al. (2003) menyarankan bahwa pemberian konsentrat adalah 50% dari jumlah susu yang dihasilkan. Sutardi (1981) menyatakan bahwa jumlah pemberian ransum (hijauan dan konsentrat) dapat diperkirakan dari kebutuhan bahan kering. Jumlah bahan kering yang disarankan ialah 2-3% dari bobot tubuh, artinya dengan jumlah bahan kering tertentu harus dapat terpenuhi kebutuhan energi dan protein (Sigit, 1985). Menurut Despal et al. (2008), sapi yang berproduksi tinggi dapat mengonsumsi bahan kering pakan 3,6-4,0% bobot hidupnya. Besarnya konsumsi BK dipengaruhi antara lain oleh bobot badan ternak, jenis ransum, umur atau kondisi ternak, jenis kelamin, kandungan energi bahan pakan dan tingkat stress ternak (Chuzaemi dan Hartutik, 1988). Proses hidup dan produksi sangat memerlukan energi. Kekurangan energi pada usia muda dapat menghambat pertumbuhan dan pencapaian dewasa kelamin. Pada sapi laktasi, kekurangan energi akan menurunkan produksi dan bobot hidup. Defisiensi energi yang parah dapat mengganggu reproduksi (Sutardi, 1981). Kebutuhan energi untuk sapi perah adalah berdasarkan kebutuhan untuk hidup pokok, produksi susu, kadar lemak susu dan kebutuhan untuk reproduksi (Schmidt et al., 1988). Sudono (1999) menyatakan bahwa disamping energi, protein merupakan zat pakan yang penting untuk proses metabolisme tubuh. Protein penting untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi susu dan perkembangan fetus sapi perah. Selain itu, protein dibutuhkan juga untuk formulasi enzim dan hormon yang mengontrol reaksi kimia dalam tubuh. Kebutuhan protein sapi merupakan kebutuhan untuk asam amino. Sintesis protein oleh mikroba rumen tergantung pada konsumsi pakan, bahan organik yang dapat dicerna, jenis pakan, level protein dan sistem pemberian pakan (Tyler dan Ensminger, 1993). Despal et al. (2008) menyarankan kadar protein ransum sekitar 17-18 %. Penurunan protein ransum biasanya lebih banyak mempengaruhi tingkat produksi susu. Pengelolaan Pengelolaan yang baik perlu dilakukan agar kesehatan masyarakat, kesehatan sapi, dan kualitas susu yang dihasilkan dapat terjaga. Pengelolaan yang baik salah 7
satunya adalah selalu menjaga kebersihan kandang. Cara menjaga kebersihan kandang menurut Hidayat et al. (2002) yaitu dengan cara membersihkan tempat pakan dan minum, membersihkan lantai kandang dan memiliki tempat khusus untuk menyimpan atau membuang kotoran kandang. Sebelum sapi diperah, Sudono (1999) menyarankan kandang dimana tempat sapi itu diperah harus dibersihkan atau dicuci terlebih dahulu dan dihilangkan dari bau-bauan, baik yang berasal dari kotoran sapi maupun dari makanan atau hijauan yang berbau (silage) karena susu mudah sekali menyerap bau-bauan yang dapat mempengaruhi kualitas susu. Sebaiknya sapi dimandikan sebelum pemerahan. Jika sapi hendak diperah dan kondisinya kotor, sapi tersebut dapat dimandikan dengan syarat hanya membersihkan bagian tubuh yang kotor dan disiram dengan air, menyikat bagian tubuh yang kotor dari punggung ke perut dan menjatuhkan bulu-bulu yang lepas (Hidayat et al., 2002). Pemerahan dengan cara manual lazim digunakan pada peternakan sapi perah di Indonesia. Pemerahan dilakukan dengan menggunakan kelima jari tangan, yakni puting susu dipegang antara jempol dengan empat jari tangan lainnya, lalu kelima jari tangan meremas-remas sampai susu keluar. Ada pula yang melakukan pemerahan dengan cara memegang pangkal puting susu antara ibu jari dengan jari tengah, lalu kedua jari tersebut menekan dan menarik ke bawah sampai susu mengalir keluar. Pemerahan cara ini umumnya dilakukan pada sapi-sapi perah yang mempunyai puting susu panjang. Namun, Siregar et al. (1996) menyarankan peternak untuk menghindari cara pemerahan dengan menarik-narik puting susu dari atas ke bawah karena hal ini dapat membuat puting susu melar dan menjadi panjang ke bawah. Selesai diperah puting dibersihkan dan dicelupkan ke dalam larutan desinfektan chlor atau iodophor dengan kepekatan 0,01% (Sudono, 1999). Kebersihan penting untuk diperhatikan pada proses penanganan produksi susu. Susu dipindahkan dari peternakan ke konsumen melalui 3 tahap yaitu a) susu dikumpulkan kemudian ditransportasikan ke tempat pemrosesan b) pemrosesan dan pengemasan ke dalam berbagai produk susu dan c) pendistribusian susu yang telah dikemas atau produk susu dari pabrik ke konsumen (Tyler dan Ensminger, 2006). Penyaringan dilakukan untuk mencegah agar kotoran tidak ikut masuk ke dalam susu (Syarief dan Sumoprastowo, 1984). Menyaring susu dilaksanakan pada saat memindahkan susu dari ember perah ke milkcan. Selesai pemerahan, susu harus 8
segera dibawa ke Tempat Pengumpulan Susu (TPS) atau langsung ke tangki pendingin di KUD/Koperasi. Susu dan hasil olahannya harus disimpan pada suhu rendah untuk menghambat pertumbuhan mikroba (Hidayat et al., 2002). Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan pada usaha peternakan sapi perah adalah program pembesaran pedet dan dara sebagai replacement stock untuk dapat mempertahankan ataupun dapat meningkatkan produksi susu (Sudono, 1999). Pedet adalah anak sapi yang baru lahir sampai dengan umur delapan bulan. Pedet yang baru lahir masih perlu mendapat perhatian khusus, sebab pedet mungkin mengalami mati lemas, infeksi dan lain sebagainya jika kurang diperhatikan. Dalam membesarkan pedet harus memperhatikan pemberian pakan, penyediaan kandang, pencegahan penyakit, pemotongan tanduk, kastrasi, pemasangan kaling, pemberian tanda pengenal dan menghilangkan tanduk. Pertumbuhan sapi dara tergantung dari cara pemeliharaan dan pemberian pakannya. Bila pemberian makan dan minum baik, sapi betina akan tumbuh baik sampai umur empat hingga lima tahun. Dewasa tubuh pada sapi dara dapat dicapai pada umur 15-18 bulan, sehingga pada umur tersebut sapi mulai dapat dikawinkan, hal ini sangat penting supaya sapi dapat cepat beranak pada umur 2,5 tahun (Muljana, 1982). Pengeringan pada sapi yang sedang berproduksi dan sudah bunting 7-7,5 bulan harus dilakukan. Pengeringan artinya sapi tidak boleh diperah lagi. Sudono (1999) menjelaskan, cara mengeringkan sapi adalah dengan pemerahan berselang atau penghentian pemerahan secara mendadak. Kandang dan Peralatan Fungsi utama kandang ternak yaitu untuk menjaga ternak agar tetap berada dalam lingkungan yang nyaman sesuai dengan kebutuhan ternak agar dapat berproduksi secara maksimal (Ginting dan Sitepu, 1989). Di dalam kandang dibuat sistem drainase atau pengaliran air agar kotoran mudah dibersihkan dan air buangan mengalir lancar (Suharno dan Nazarudin, 1994). Ginting dan Sitepu (1989) menjelaskan, konstruksi lantai kandang dapat dibagi atas kandang tunggal yaitu terdiri satu baris saja dan kandang ganda yang terdiri dari 2 baris kandang. Kandang ganda ada dua yaitu berhadapan artinya sapi berhadapan hanya dibatasi oleh sekat atau dinding yang rendah, dan berlawanan artinya sapi saling bertolak belakang. 9
Syarief dan Sumoprastowo (1984) menyatakan, peralatan kandang sapi perah yang selalu dipakai adalah sekop, sapu, ember, sikat, kereta dorong, tali, dan bangku kecil. Sudono et al. (2003) menambahkan, peralatan susu yang digunakan untuk menampung dan meyimpan susu segar berupa ember perah dan milkcan. Kesehatan Hewan Peningkatan produktivitas sapi perah tak lepas dari masalah kesehatan hewan. Serangan penyakit pada sapi perah sedapat mungkin dicegah. Itulah sebabnya penting bagi peternak untuk selalu menjaga kebersihan kandang dan ternak serta memberikan pakan yang cukup. Ternak yang sakit sebaiknya dipisahkan dan diobati hingga sembuh. Pengertian ternak sakit adalah suatu kondisi yang ditimbulkan oleh suatu individu hidup atau oleh penyebab lainnya, baik yang diketahui maupun tidak yang merugikan kesehatan hewan yang bersangkutan. Dari pengertian ini, maka hewan atau ternak sakit dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor mekanis, termis, kekurangan nutrisi, pengaruh zat kimia, faktor keturunan, dan sebagainya (Akoso, 1996). Beberapa penyakit yang dapat menyerang sapi perah antara lain TBC, brucellosis atau keluron, mastitis atau radang kelenjar susu, radang limpa dan penyakit kulit dan kuku (Suharno dan Nazarudin, 1994).
10
MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai September 2011 di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan KUNAK sebagai lokasi penelitian karena Kawasan Usaha Peternakan ini berada 600-700 m dpl sehingga cukup baik sebagai lokasi budidaya sapi perah dengan topografi bergelombang sampai dengan berbukit. Materi Penelitian dilaksanakan dengan peternak yang memiliki sapi kurang dari 20 ekor sebagai responden yang berjumlah 30 orang. Dari 30 peternak tersebut diamati 260 ekor sapi, pada 30 kandang dan hijauan serta konsentrat sebagai pakannya. Peralatan yang digunakan meliputi alat tulis, pita ukur, timbangan, gelas ukur, dan kuesioner (lembar panduan wawancara). Prosedur Penelitian ini menggunakan metode survei. Metode survei dilakukan dengan cara mengambil informasi atau data dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan jumlah peternak sebagai sampel sebanyak 30 peternak dari jumlah populasi 118 peternak. Penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari semua responden melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, teknik observasi atau dengan melakukan pengamatan langsung ke lapangan untuk melihat fenomena yang ada pada objek-objek penelitian, dan pengukuran langsung di lapangan yang meliputi pengukuran lingkar dada, pengukuran jumlah susu yang dihasilkan dan pakan yang diberikan. Data sekunder diperoleh dari kecamatan dan KPS Bogor berupa keadaan umum KUNAK dan data peternak yang tergabung dalam kelompok peternak di KUNAK 1 dan 2. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik peternak responden, jumlah dan komposisi sapi perah, aspek pembibitan dan reproduksi, makanan ternak, pengelolaan, kandang dan peralatan, dan kesehatan hewan.
Tabel 1. Faktor Penentu Ternak Sapi Perah Ditinjau dari Aspek Pembibitan dan Reproduksi Berdasarkan Dirjen Peternakan (1983) No. 1.
2.
3.
Faktor Penentu Bangsa sapi yang dipelihara
Cara seleksi
Cara kawin
Alternatif Jawaban
Nilai
a. FH murni
30
b. Peranakan FH
20
c. Persilangan
15
d. Lain-lain
10
a. Produksi susu
40
b. Silsilah
30
c. Bentuk luar
10
a. IB
40
b. Alam dengan pejantan unggul
30
c. Alam dengan pejantan tidak
10
unggul 4.
5.
6.
7.
Pengetahuan berahi
Umur beranak pertama
Saat dikawinkan setelah beranak
Calving interval
a. Paham
40
b. Kurang paham
20
c. Tidak paham
10
a. 2
40
tahun
b. 3 tahun
20
c. Lebih dari 3 tahun
10
a. 60 hari
40
b. 60-90 hari
20
c. Lebih dari 90 hari
10
a. 1 tahun
10
b. 1- 1
5
tahun
c. Lebih dari 1
tahun
2
Sumber : Dirjen Peternakan (1983)
12
Tabel 2. Faktor Penentu Ternak Sapi Perah Ditinjau dari Aspek Makanan Ternak Berdasarkan Dirjen Peternakan (1983) No.
Faktor penentu
Alternatif Jawaban
Nilai
Hijauan Makanan Ternak (HMT) 1.
2.
3.
4.
Cara pemberian
Jumlah pemberian
Kualitas HMT
Frekuensi pemberian hijauan
a. Setelah diperah
25
b. Sebelum diperah
15
a. Cukup
40
b. Berlebihan
35
c. Kurang
20
a. Unggul
45
b. Campur
35
c. Lapangan
25
a. Dua kali
20
b. Satu kali
10
c. Tidak teratur
5
Konsentrat 1.
2.
3.
4.
Cara Pemberian
Jumlah Pemberian
Kualitas Konsentrat
Frekuensi Pemberian
a. Sebelum diperah
15
b. Sedang diperah
10
c. Setelah diperah
5
a. Cukup
35
b. Berlebihan
30
c. Kurang
20
a. Baik dan lengkap
35
b. Baik dan kurang mineral
20
c. Kurang baik
10
a. Dua kali per hari
15
b. Satu kali
10
c. Tidak teratur 5.
Air Minum
5
a. Tersedia terus menerus
30
b. Dua kali perhari
20
c. Tidak teratur
10
Sumber : Dirjen Peternakan (1983)
13
Tabel 3. Faktor Penentu Ternak Sapi Perah Ditinjau dari Aspek Pengelolaan Berdasarkan Dirjen Peternakan (1983) No. 1.
Faktor penentu Membersihkan sapi
Alternatif Jawaban a. Tiap hari
20
b. Kadang-kadang
10
c. Jarang 2.
Membersihkan kandang
4.
5.
6.
Cara pemerahan
Penanganan pasca panen
Pemeliharaan anak sapi dan dara
Pengeringan sapi laktasi
5
a. Dua kali perhari
20
b. Satu kali perhari
10
c. Jarang 3.
Nilai
5
a. Benar dan baik
35
b. Kurang benar
25
c. Salah
10
a. Benar dan baik
35
b. Kurang benar
25
c. Salah
10
a. Baik
35
b. Kurang baik
25
c. Salah
10
a. 2 bulan sebleum beranak
30
b. 1
20
bulan sebelum beranak
c. Kurang dari 1 bulan sebelum
10
beranak 7.
Pencatatan usaha
a. Ada dan baik
20
b. Ada dan tidak baik
10
c. Tidak ada
5
Sumber : Dirjen Peternakan (1983)
14
Tabel 4. Faktor Penentu Ternak Sapi Perah Ditinjau dari Aspek Kandang dan Peralatan Berdasarkan Dirjen Peternakan (1983) No.
Faktor penentu
1.
Tata letak kandang
2.
Konstruksi kandang
3.
Drainase kandang
4.
Tempat kotoran
5.
Peralatan kandang
6.
Peralatan susu
Alternatif Jawaban
Nilai
a. Tersendiri b. Jadi satu dengan rumah a. Memenuhi syarat b. Kurang memenuhi syarat c. Tidak memenuhi syarat a. Baik b. Kurang baik c. Tidak baik a. Baik b. Tidak baik c. Tidak ada a. Lengkap b. Kurang lengkap c. Tidak lengkap a. Lengkap dan sesuai persyaratan b. Kurang lengkap dan tidak memenuhi persyaratan c. Tidak lengkap
10 5 25 15 5 15 10 5 10 15 2 15 10 5 25 15 5
Sumber : Dirjen Peternakan (1983)
Tabel 5. Faktor Penentu Ternak Sapi Perah Ditinjau dari Aspek Kesehatan Hewan Berdasarkan Dirjen Peternakan (1983) No. 1.
2.
3.
Faktor Penentu Pengetahuan penyakit
Pencegahan penyakit (vaksinasi)
Pengobatan penyakit
Alternatif Jawaban
Nilai
a. Baik
40
b. Cukup
30
c. Kurang
10
a. Teratur
100
b. Tidak teratur
50
c. Tidak pernah
5
a. Dilakukan dengan benar
60
b. Dilakukan kurang benar
30
c. Tidak dilakukan
5
Sumber : Dirjen Peternakan (1983)
15
Persiapan Kuesioner Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data. Kuesioner disusun untuk mengetahui karakteristik peternak dan keterampilan teknis peternak dalam mengelola usaha beternak sapi perah. Aspek teknis meliputi pengembangbiakan dan reproduksi, makanan ternak, pengelolaan, kandang dan peralatan, serta kesehatan hewan. Survey dan Wawancara Sebelum penelitian dimulai, terlebih dahulu dilakukan survei pendahuluan ke Kawasan Usaha Peternakan Cibungbulang dengan melihat data peternak untuk menentukan responden. Wawancara dilakukan terhadap 30 peternak rakyat (memiliki populasi sapi kurang dari 20 ekor) yang sudah terpilih sebagai responden dengan menggunakan kuesioner. Analisis Data 1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik peternak responden dengan bantuan tabulasi frekuensi. Karakteristik peternak yang diamati meliputi umur, pendidikan, pengalaman beternak, kepemilikan ternak dan keterampilan teknis beternak. 2. Analisis Statistik Keterampilan teknis peternak diuji dengan menggunakan prosedur statistika nonparametrik. Data yang digunakan adalah data ordinal. Berdasarkan kuesioner dapat diketahui bahwa pilihan jawaban pertanyaan yang sifatnya kategorik diberikan nilai atau kode yang mengandung levelisasi. Alat analisis yang digunakan adalah analisis statistika Wilcoxon Signed Test. Uji ini dapat digunakan untuk menguji hipotesis: Ho: median suatu sampel = median yang dihipotesiskan H1: median suatu sampel ≠ median yang dihipotesiskan Uji ini untuk membandingkan nilai hasil pengamatan dengan nilai harapan faktor penentu ternak sapi perah menurut Direktorat Jenderal Peternakan (1983).
16
Peubah yang Diamati 1. Struktur Kepemilikan Ternak Populasi ternak dihitung berdasarkan satuan ternak. Komposisi ternak yang diamati adalah: 1. Anak sapi yaitu sapi jantan atau betina berumur kurang dari 1 tahun, dihitung sama dengan 0,25 satuan ternak. 2. Sapi dara yaitu sapi betina yang berumur lebih dari 1 tahun dan belum pernah beranak, dihitung sama dengan 0,5 satuan ternak. 3. Sapi laktasi yaitu sapi betina yang sedang dalam masa menghasilkan susu, dihitung sama dengan 1,00 satuan ternak. 4. Sapi kering kandang yaitu sapi betina dewasa yang tidak dalam masa menghasilkan susu, dihitung sama dengan 1,00 satuan ternak. 5. Sapi jantan muda yaitu sapi jantan yang berumur lebih dari 1 tahun dan kurang dari 2 tahun, dihitung sama dengan 0,50 satuan ternak. 6. Sapi jantan dewasa yaitu sapi jantan yang telah berumur 2 tahun, dihitung sama dengan 1,00 satuan ternak. 2. Pengembangbiakan dan Reproduksi Peubah yang diamati meliputi bangsa sapi yang dipelihara, cara seleksi, cara kawin, pengetahuan berahi, umur beranak pertama, saat dikawinkan setelah beranak dan selang beranak (calving interval). 3. Makanan Ternak Peubah yang diamati meliputi cara pemberian, jumlah pemberian, frekuensi pemberian, kualitas HMT dan konsentrat, serta pemberian air minum. 4. Pengelolaan Peubah yang diamati meliputi kebersihan ternak, kebersihan kandang, cara pemerahan oleh peternak, penanganan pasca panen, pemeliharaan pedet dan dara, pengeringan sapi laktasi dan pencatatan usaha. 5. Kandang dan Peralatan Peubah yang akan diamati meliputi tata letak, konstruksi, drainase, tempat kotoran, peralatan kandang dan peralatan susu. 17
6. Kesehatan Hewan Peubah yang diamati meliputi pengetahuan peternak tentang penyakit, cara pencegahan dan pengobatan penyakit. 7. Produksi susu, diukur dengan cara mengukur susu yang dihasilkan dari seekor sapi hasil pemerahan pagi hari dan sore hari. Pengukuran susu dilakukan dengan menggunakan gelas ukur 1000 ml. 8. Lingkar dada (LD), diukur dengan cara melingkarkan pita ukur pada rongga dada di belakang sendi bahu (Os Scapula); lingkar dada digunakan untuk mengestimasi bobot badan. 9. Pakan, pakan hijauan dan konsentrat diukur dengan menggunakan timbangan pada saat peternak akan memberikannya pada ternak. Timbangan yang digunakan adalah timbangan gantung.
18
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Sejarah KUNAK Salah satu Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) sapi perah yang ada di Kabupaten Bogor, terletak di daerah Cibungbulang. Amilia (1997) menyatakan, sebelum dijadikan Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK), lahan yang berada di KUNAK terdiri atas semak belukar, tanaman pisang yang berada di lereng, di beberapa tempat terdapat pohon jeungjing dan sedikit kebun singkong, cabe dan kacang-kacangan. Kegiatan pembangunan KUNAK dilaksanakan secara bertahap dan dibagi menjadi tiga lokasi. Lokasi I dan II telah diisi dan digunakan oleh peternak, sedangkan lokasi III masih dalam pembangunan. Tujuan pembangunan KUNAK adalah: 1.
Meningkatkan pendapatan peternak
2.
Memperluas kesempatan kerja
Setiap peternak diberikan fasilitas khusus per unit/kavling sebagai berikut: 1.
Luas lahan
4250 m2
2.
Rumah tipe 21
21 m2
3.
Kandang sapi tipe 63 m2
63 m2
4.
Sarana air bersih
1 unit
5.
Sarana listrik 450 watt
1 unit
Adapun jangka waktu peternak mengembalikan kredit selama tujuh tahun termasuk tenggang waktu angsuran pokok selama satu tahun, dengan suku bunga pinjaman sebesar 6% pertahun atau 0,5% perbulan. Populasi sapi perah di KUNAK pada awalnya tahun 1996 berdasarkan data dari KPS Bogor berjumlah 1475 ekor. Kepemilikan rata-rata setiap peternak berjumlah 10 ekor. Para peternak peserta KUNAK diarahkan hanya memelihara sapi betina dewasa 10 ekor, sedangkan pedet diserahkan kepada KPS Bogor. Pedet betina oleh KPS Bogor dipelihara selama 18 bulan dan disebarkan lagi kepada peternak dengan pola kredit setelah dalam keadaan bunting 2-3 bulan. Pedet jantan oleh KPS Bogor dipelihara kemudian dijual ke pasar atau digemukkan sebagai sapi pedaging. dengan pola tersebut, ditujukan agar peternak tidak mengalami kesulitan dalam
pemeliharaan pedet yang pada akhirnya akan mengganggu kelancaran usaha sapi perahnya. Peternak yang berada di lokasi KUNAK berasal dari Desa Situ Udik kecamatan Cibungbulang dan Desa Pasarean Kecamatan Pamijahan 10%. Sebesar 90% peternak berasal dari luar daerah Cibungbulang dan Pamijahan, yaitu dari Cisarua, Megamendung, Caringin, Cijeruk, Ciomas, Sukaraja, Bojong Gede, Beji, Sawangan, Cibinong, Ciawi Hilir, dan Tanah Sareal. Jumlah peternak yang berada di lokasi KUNAK pada tahun 1996 sebanyak 181 orang, yang sebagian besar berasal dari luar daerah Cibungbulang dan Pamijahan. Ini disebabkan karena prioritas yang menjadi peserta KUNAK berasal dari peternakan rakyat yang mulai terdesak oleh pemukiman penduduk di sekitarnya. Jumlah inipun sebenarnya masih kecil, jika dibandingkan dengan peternak yang masih berada di sekitar pemukiman penduduk (822 peternak), karena jumlah kavling yang terbatas. Sehingga peserta KUNAK ditetapkan atas dasar hasil penilaian (skoring) oleh tim pengisian KUNAK. Adapun persyaratan peternak yang mengalihkan usahanya ke Kawasan Usaha Peternakan adalah: 1. Mempunyai usaha peternakan sapi perah sebagai usaha pokok. 2. Sudah menjadi anggota KPS Bogor. 3. Mampu menyediakan sapi minimal 10 ekor sapi dewasa/laktasi. 4. Lahan yang ada sebelumnya sudah tidak memungkinkan untuk pengembangan sapi perah. 5. Sebagai penduduk yang berdomisili di Kabupaten Bogor. 6. Mampu membayar angsuran kredit yang telah ditetapkan. 7. Bersedia menandatangani surat perjanjian. Kondisi Geografis Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) meliputi Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang dan Desa Pasarean, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Daerah tersebut memiliki curah hujan sebesar 2000 mm/tahun. Suhu udaranya berkisar antara 180-240C. Total luas wilayah pengembangan KUNAK adalah 140 hektar yang terdiri atas 80 hektar di Desa Situ Udik dan 60 hektar berada di Desa Pamijahan.
20
Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang memiliki topografi wilayah yang bergelombang sampai dengan berbukit dan berada 600-700 m dpl. Sebagian besar lahannya mempunyai kemiringan 15-25 persen (45 hektar). Kemiringan lahan 8-15 persen sekitar 25 hektar, kemiringan 15-25 persen sekitar 20 hektar dan kemiringan lahan lebih dari 40 persen hanya 5 hektar. Sumber air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh kegiatan adalah sumber air dari Sungai Cigamea. Terdapat dua mata air di daerah puncak bukit yang dapat dijadikan sumber air bersih untuk seluruh peternak yang ada di KUNAK Cibungbulang. Total peternak yang terdaftar di KUNAK Cibungbulang pada tahun 2011 adalah sebanyak 118 peternak merupakan peternak relokasi dari Cisarua, Kebon Pedes dan Ciawi. Pengelola peternakan yang ada di KUNAK saat ini sebagian besar hanyalah sebagai pegawai kandang, sementara pemilik ternak berada di tempatnya masing-masing seperti di Jakarta dan Bogor Kota. Karakteristik Peternak dan Komposisi Sapi Perah Karakteristik peternak yang meliputi umur, pendidikan, dan pengalaman beternak yang secara lengkap disajikan pada Tabel 6. Umur peternak responden diTabel 6. Umur, Pendidikan, dan Pengalaman Beternak Responden di KUNAK, Cibungbulang No. 1.
2.
3.
Uraian
Jumlah Peternak Orang
%
Umur (tahun) 15-35 (muda) 36-51 (sedang) >52 (tua)
22 6 2
73,33 20 6,67
Pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi
2 14 8 4 2
6,67 46,67 26,67 13,33 6,67
Pengalaman Beternak 2-8 (baru) 9-15 (berpengalaman) 16-22 (sangat berpengalaman)
9 16 5
30 53,33 16,67
21
kelompokkan menjadi 3, yaitu berumur 20-35 tahun sebagai peternak muda, berumur 36-51 tahun sebagai peternak berumur sedang, dan berumur lebih dari 52 tahun sebagai peternak tua. Pengalaman beternak dikelompokkan menjadi 3 yaitu, peternak baru (<8 tahun), berpengalaman (9-15 tahun) dan peternak sangat berpengalaman (>16 tahun). Pendidikan dilihat berdasarkan pendidikan terakhir peternak. Umur Responden Peternak sapi perah di KUNAK, Cibungbulang berdasarkan Tabel 6 umumnya berada pada kelompok umur 15-35 tahun atau termasuk peternak yang berusia muda yaitu sebesar 73,33%. Apabila dikategorikan sebagai usia kerja produktif, sebagian besar peternak (90%) memiliki usia produktif (20-51 tahun). Hanya 1 orang (3,33%) berusia di bawah usia kerja produktif dan dapat dikategorikan sebagai usia sekolah sedangkan peternak dengan usia tidak produktif (>51 tahun) ada sebanyak 2 peternak (6,67%). Hal ini dikarenakan sebagian besar pengelola peternakan di KUNAK adalah pegawai kandang saja bukan pemilik. Para pemilik ternak lebih memilih peternak muda untuk menjadi pengelola peternakan mereka karena para peternak muda masih memiliki tenaga dan kemampuan yang baik untuk memelihara ternak. Semakin banyak peternak di KUNAK yang berusia produktif, memungkinkan peternakan di daerah tersebut, bisa berkembang lebih baik. Hal ini dikarenakan kemampuan kerja seseorang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, kesehatan dan faktor alam sesuai yang dipaparkan Hernanto (1989). Tingkat Pendidikan Berdasarkan Tabel 6, tingkat pendidikan peternak yang ada di KUNAK Cibungbulang bervariasi mulai dari yang tidak memiliki pendidikan formal hingga lulusan perguruan tinggi. Sebagian besar peternak memiliki pendidikan terakhir yaitu Sekolah Dasar (46,67%). Peternak di KUNAK dalam hal ini pengelola peternakan, memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini disebabkan para pemilik ternak mencoba memberdayakan warga sekitar lokasi peternakan untuk menjaga atau menjadi pegawai kandangnya. Hal ini bisa disebabkan, para peternak yakin dapat meminimalisasi pengeluaran apabila mempekerjakan warga sekitar yang belum memiliki pekerjaan dibanding mereka harus mempekerjakan lulusan perguruan 22
tinggi, padahal peternak yang memiliki pendidikan formal yang tinggi, sangat memungkinkan dirinya untuk bisa lebih mengembangkan usaha peternakan yang dimilikinya, karena perbedaan tingkat pendidikan memungkinkan terjadinya perbedaan tingkat pola pikir, pola kerja, dan wawasan intelektual. Peternak yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan dapat melakukan transfer ilmu, teknologi, dan wawasannya untuk bisa menyeimbangkan dan mengembangkan peternakan di KUNAK tersebut. Pengalaman Beternak Pengalaman beternak merupakan salah satu hal yang penting dalam menyikapi dan menjawab tantangan dunia beternak sapi perah. Pengalaman beternak merupakan lamanya waktu peternak menekuni usaha peternakan perah yang dinyatakan dalam tahun. Salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan usaha sapi perah adalah pengalaman beternak karena pengalaman beternak mempengaruhi kemampuan kerja seorang peternak. Berdasarkan Tabel 6, peternak di KUNAK
Cibungbulang
secara
umum
merupakan
peternak
yang
sudah
berpengalaman (70%). Banyaknya peternak yang berpengalaman di lokasi penelitian ini karena KUNAK merupakan lokasi peternakan yang peternaknya merupakan relokasi dari peternakan Cisarua, Kebon Pedes dan Ciawi. Sebelum mereka pindah ke KUNAK, mereka terlebih dahulu sudah beternak sapi perah. Sehingga mereka sudah berpengalaman dalam beternak sapi perah. Hanya sekitar 30% peternak yang bisa dikatakan peternak baru (2-8 tahun). Hal ini merupakan salah satu bentuk ketertarikan atas potensi peternakan sapi perah sehingga terus ada orang-orang baru yang mencoba berkecimpung di bisnis peternakan sapi perah. Struktur Kepemilikan Ternak Peternak di KUNAK Cibungbulang memiliki ternak dengan komposisi ternak yang berbeda-berda. Komposisi ternak atau struktur kepemilikan ternak di lokasi penelitian ini dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7, peternak di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang memiliki rataan kepemilikan ternak sebanyak 6,49 satuan ternak. Sapi perah yang dipelihara meliputi pedet jantan, pedet betina, sapi dara, sapi laktasi, sapi kering, dan sapi jantan. Rataan
23
kepemilikan di KUNAK lebih tinggi dibandingkan dengan rataan kepemilikan ternak di Desa Cilumber (Akilah, 2008) dan Desa Cibeureum (Juliani, 2011). Tabel 7. Rataan Kepemilikan Sapi Perah Peternak di KUNAK, Cibungbulang Kelompok ternak
Ekor
ST
Persentase (%)
Pedet Jantan
27
6,75
3,47
Betina
32
8
4,11
42
21
10,78
Kering
10
10
5,13
Laktasi
146
146
74,97
3
3
1,54
Dara Dewasa
Jantan Jumlah Rataan
260 8,67
194,75
100,00
6,49
Jumlah ternak yang paling banyak dipelihara adalah sapi laktasi yaitu sebanyak 146 satuan ternak (74,97%) dan yang paling sedikit adalah sapi jantan yaitu 3 satuan ternak (1,54%). Sapi jantan memiliki persentase yang paling sedikit dipelihara di KUNAK Cibungbulang karena sapi-sapi jantan dijual pada saat usia ternak jantan menginjak satu tahun. Hal ini disebabkan pemeliharaan sapi jantan hanya akan menambah biaya pemeliharaan sehingga para peternak lebih memilih untuk menjual yang akan dijadikan sapi potong (Sudono et al., 2003). Sapi pedet yang dipelihara di KUNAK juga relatif sedikit, hanya sebanyak 7,58%. Hal ini disebabkan sebagian peternak menjual pedetnya untuk dibelikan dara bunting atau sapi yang laktasi. Pada awal-awal penempatan KUNAK tahun 1996, para peternak peserta KUNAK memang diarahkan untuk hanya memelihara sapi perah betina dewasa sebanyak 10 ekor. Pedet betina oleh KPS Bogor dipelihara selama 18 bulan dan disebarkan lagi kepada peternak dengan pola kredit setelah dalam keadaan bunting 2-3 bulan. Pedet jantan oleh KPS Bogor dipelihara kemudian dijual ke pasar atau digemukkan sebagai sapi pedaging. Dengan pola tersebut,
24
ditujukan agar peternak tidak mengalami kesulitan dalam pemeliharaan pedet yang pada akhirnya akan mengganggu kelancaran usaha sapi perahnya. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan peternakan sapi perah adalah keberhasilan program pembesaran anak-anak sapi dan dara sebagai replacement stock. Umumnya lebih ekonomis bagi seorang peternak untuk membesarkan sendiri replacement stock (Sudono, 1999). Peternak di KUNAK memelihara sapi dara dan pedet betina (14,89%) untuk dijadikan replacement stock. Hal ini dilakukan para peternak untuk mengefisiensi biaya walaupun terkadang pedet yang dijadikan replacement stock bukan merupakan betina unggulan. Faktor Penentu Ternak Sapi Perah Keberhasilan peternakan sapi perah sangat bergantung dari beberapa faktor penentu. Faktor-faktor penentu ternak sapi perah merupakan indikator untuk melihat pengetahuan teknis beternak sapi perah dari para peternak. Faktor-faktor penentu tersebut meliputi lima aspek sesuai dengan standar penilaian dari Direktorat Jenderal Peternakan (1983), yaitu 1). Pembibitan dan Reproduksi, 2). Makanan Ternak, 3). Pengelolaan, 4). Kandang dan Peralatan, dan 5). Kesehatan Hewan. Hasil pengamatan tentang aspek teknis pemeliharaan sapi perah yang didapat dari peternak KUNAK Cibungbulang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Aspek Teknis Peternakan Sapi Perah Rakyat di KUNAK, Cibungbulang, Bogor No.
Aspek
1.
Pembibitan dan reproduksi
176,97 ± 10,56
Nilai Harapan 240
2.
Makanan ternak
220,67 ± 8,01
260
84,87
3.
Pengelolaan
178,17 ± 9,99
200
89,08
4.
Kandang dan peralatan
95,33 ± 4,91
100
95,33
5.
Kesehatan hewan
200
93,50
1000
86,88
Total
Pengamatan
187
± 33,71 868,80
Pengamatan (%) 78,18
25
Berdasarkan penyajian Tabel 8, dapat dilihat bahwa aspek teknis peternakan sapi perah di KUNAK, Cibungbulang baru menerapkan sebesar 86,88% dari yang direkomendasikan. Nilai ini termasuk lebih tinggi dibandingkan dengan peternakan sapi perah di Desa Cilumber yang hanya mencapai 79,73% (Akilah, 2008) dan peternakan sapi perah di Desa Cibeureum sebesar 82,98% (Juliani, 2011). Nilai terendah didapat pada aspek pembibitan dan reproduksi (78,18%) sedangkan nilai tertinggi didapat pada aspek kandang dan peralatan (95,33%). Aspek kandang dan peralatan memiliki nilai penerapan yang tinggi dikarenakan para peternak mendapatkan kandang melalui pembelian secara tunai ataupun kredit melalui KPS Bogor dengan bentuk standar yang telah memenuhi persyaratan teknis sebagai kandang sapi perah. Sementara, nilai rendah pada aspek pembibitan dan reproduksi disebabkan para peternak kurang memerhatikan dan rendahnya penerapan sub aspek cara seleksi, selang beranak, pengetahuan berahi, dan saat dikawinkan kembali setelah beranak. Hal ini diduga karena para peternak di lokasi ini sebagian besar merupakan hanya para pegawai kandang sehingga menyebabkan rendahnya kepekaan dan kepedulian peternak terhadap ternaknya serta pengembangan peternakannya. Padahal salah satu aspek penting untuk menentukan tingkat produktivitas suatu ternak perah adalah aspek pembibitan dan reproduksinya. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, produksi susu yang ada di lokasi ini diduga tidak bisa meningkat dengan baik. Seperti yang bisa dilihat di pembahasan pada sub bab produksi susu, produksi susu rata-rata tertinggi di KUNAK hanya mencapai 11,45 liter. Pembibitan dan Reproduksi Beberapa hal yang diamati pada aspek pembibitan dan reproduksi, diantaranya meliputi bangsa sapi yang dipelihara, cara seleksi, cara kawin, pengetahuan berahi, umur beranak pertama, saat dikawinkan setelah beranak, dan calving interval. Hasil pengamatan pada peternak di KUNAK Cibungbulang disajikan pada Tabel 9. Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel 9, didapati bahwa beberapa sub aspek masih berada jauh dari nilai harapan (P<0,01). Sub aspek ter-
26
Tabel 9. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Aspek Pembibitan dan Reproduksi di KUNAK Cibungbulang, Kabupaten Bogor No.
Aspek
Pengamatan
1.
Bangsa sapi yang dipelihara
29
± 4,03
Nilai Harapan 30
2.
Cara seleksi
23**
± 13,68
40
3.
Cara kawin
40
± 0,00
40
4.
Pengetahuan berahi
33,33** ± 9,59
40
83,33
5.
Umur beranak pertama
34
± 10,37
40
85
6.
Saat dikawinkan beranak
21,33** ± 13,06
40
53,33
7.
Calving interval
6,97** ± 2,80
10
69,67
setelah
Pengamatan (%) 96,67 57,50 100
Keterangan: ** = sangat nyata (P<0,01)
sebut antara lain sub aspek cara seleksi, pengetahuan berahi, saat dikawinkan setelah beranak dan calving interval. Rendahnya nilai pengamatan sub aspek cara seleksi sehingga berbeda dengan nilai harapan dikarenakan para peternak lebih banyak menyeleksi ternaknya dengan melihat bentuk luar ternak. Hal ini dapat terjadi karena pengalaman yang dilakukan selama ini adalah dengan melihat bentuk luar dan kurangnya pengetahuan para peternak terhadap cara seleksi ternak. Pengetahuan yang berkembang pada peternak, semakin baik bentuk luar ternak semakin bagus pula produksi susunya. Sub aspek yang paling rendah nilainya adalah sub aspek saat dikawinkan setelah beranak. Beberapa hal yang menyebabkan antara lain pengetahuan berahi yang kurang sehingga berdampak terhadap ketepatan deteksi berahi sehingga terjadi keterlambatan waktu pengawinan ternak, pengetahuan terhadap waktu yang tepat untuk pengawinan kembali, dan belum siapnya performa ternak untuk dikawinkan kembali karena kondisi kesehatan. Hal ini dapat berakibat pada efisiensi peternakan tersebut karena keterlambatan pengawinan kembali dapat menyebabkan calving interval yang lama. Menurut Sudono (1999), keterlambatan dalam pengawinan kembali dapat menyebabkan daya reproduksi sapi tersebut menurun, artinya sulit untuk menjadikan bunting. Tabel 9 menunjukkan bahwa sub aspek yang paling tinggi nilai penerapannya adalah sub aspek cara kawin. Peternakan di KUNAK 27
Cibungbulang menggunakan inseminasi buatan dalam mengawinkan ternaknya untuk mengefisiensikan biaya. Jumlah dan persentase peternak yang menerapkan aspek pembibitan dan reproduksi disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Penerapan Aspek Pembibitan dan Reproduksi Sapi Perah di KUNAK, Cibungbulang No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Uraian
Jumlah Peternak Orang %
Bangsa sapi yang dipelihara a. FH murni b. Peranakan FH c. Persilangan d. Lain-lain
27 1 0 2
90 3,33 0 6,67
Cara seleksi a. Produksi susu b. Silsilah c. Bentuk luar
9 6 15
30 20 50
Cara kawin a. IB b. Alam dengan pejantan unggul c. Alam dengan pejantan tidak unggul
30 0 0
100 0 0
Pengetahuan berahi a. Paham b. Kurang paham c. Tidak paham
20 10 0
66,67 33,33 0
Umur beranak pertama a. 2,5 tahun b. 3 tahun c. Lebih dari 3 tahun
22 6 2
73,33 20 6,67
Saat dikawinkan setelah beranak a. 60 hari b. 60-90 hari c. Lebih dari 90 hari
9 7 14
30 23,33 46,67
Calving interval a. 1 tahun b. 1-1,5 tahun c. Lebih dari 1,5 tahun
13 15 2
43,33 50 6,67
28
Sapi yang dipelihara pada peternakan KUNAK sebagian besar (90%) adalah sapi Fries Holland atau biasa disebut sapi FH. Menurut Blakely dan Bade (1991), sapi FH dan peranaknnya memiliki warna hitam dan putih (ada juga yang berwarna merah putih). Sapi ini sangat dikenal oleh para peternak karena jumlah susu yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan sapi lain, namun kadar lemaknya lebih rendah. Berdasarkan hasil pengamatan, ada 2 orang peternak (6,67%) yang memelihara selain sapi perah, yaitu sapi potong dengan alasan untuk menambah penghasilan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa peternak di KUNAK Cibungbulang, sebagian besar (50%) peternaknya melakukan seleksi dengan cara melihat bentuk luar ternak. Hal ini menurut Sudono (1999) sebenarnya tidak tepat karena hewanhewan yang memiliki bentuk badan (eksterior) yang baik, belum tentu memiliki produksi susu yang tinggi. Cara seleksi yang paling tepat untuk memilih sapi-sapi perah untuk dijadikan bibit adalah seleksi berdasarkan atas uji produksi (Sudono, 1999). Akan tetapi cara seleksi berdasarkan produksi susu ini hanya diterapkan oleh 30% peternak. Peningkatan pengetahuan peternak terhadap cara seleksi yang tepat sangat diperlukan karena sebagian besar peternak masih belum begitu tahu dan memahami cara seleksi yang paling benar. Tabel 10 menunjukkan bahwa semua peternak di KUNAK Cibungbulang melakukan IB untuk mengawinkan ternaknya. Hal ini dilakukan untuk menghemat dan mengefisiensi pengeluaran para peternak daripada harus memelihara pejantan, kawin suntik (IB) biasa dilakukan oleh peternak kecil dengan biaya lebih murah, karena tidak harus memelihara pejantan (Sudono et al., 2003). Para peternak apabila melihat sapinya ada yang berahi, segera melapor ke petugas dari koperasi agar dilakukan IB terhadap ternaknya. Deteksi berahi yang kurang baik dapat merupakan alasan utama rendahnya tingkat kebuntingan pada peternakan di Indonesia (Tomaszewska, et al., 1991). Demikian juga peternak di KUNAK, Cibungbulang sebagian peternak (33,33%) masih kurang memahami tanda-tanda berahi. Menurut Hosein & Gibson (2006), tanda-tanda sapi berahi, yaitu: a) Sapi gelisah b) Frekuensi sapi mengeluarkan urin meningkat c) Vulva terlihat merah, keluar lender, dan bengkak 29
d) Diam apabila dinaiki e) Keluarnya bercak darah. Peternak hanya bisa menyebutkan antara dua sampai tiga tanda saja apabila ditanyakan mengenai tanda-tanda berahi. Menurut para peternak dua tanda saja cukup untuk mengetahui bahwa ternaknya sedang berahi atau tidak. Sapi-sapi yang beranak pada umur yang tua (3 tahun) akan menghasilkan susu yang lebih banyak daripada sapi-sapi yang beranak muda (2 tahun) (Sudono, 1999). Hasil pengamatan peternak di KUNAK, Cibungbulang menunjukkan bahwa umur beranak pertama paling banyak pada sapi perah yang dipelihara adalah pada umur 2,5 tahun (73,33%). Hal ini disebabkan para peternak mulai mengawinkan ternaknya pada umur 17-18 bulan. Hasil pengamatan ini menunjukkan ada kemajuan dalam beternak di Bogor dibandingkan hasil pada tahun 1999. Pada tahun 1999, Sudono (1999) melaporkan bahwa umur beranak pertama sapi perah di Bogor pada umur 36 bulan. Berdasarkan hasil pengamatan, peternak di KUNAK Cibungbulang sebagian besar (46,67%) mengawinkan kembali sapinya setelah beranak dalam waktu lebih dari 60 hari. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal, seperti terlambat mendeteksi berahi dan performa sapi yang belum siap dikawinkan karena faktor pakan atau kesehatan. Selang beranak atau calving interval merupakan salah satu sub aspek yang penting dalam mempengaruhi produksi susu. Berdasarkan Tabel 10, sebagian besar peternak (50%) di KUNAK Cibungbulang memelihara sapinya dengan calving interval 1-1,5 tahun. Hal ini kurang sesuai dengan pendapat Sudono (1999) yang menyatakan bahwa selang beranak (calving interval) yang optimal adalah 12 dan 13 bulan. Penyebab utama calving interval yang lama dikarenakan waktu pengawinan kembali setelah beranak juga lama dan ternak belum tentu langsung bunting pada pegawinan pertama setelah beranak. Perlu diantisipasi hal-hal yang menyebabkan calving interval menjadi lama karena apabila hal ini dibiarkan, pada jangka panjang akan mempengaruhi efisiensi dari peternakan tersebut. Makanan Ternak Sub aspek yang diamati pada aspek makanan ternak di KUNAK, Cibungbulang yaitu: cara pemberian hijauan, jumlah pemberian hijauan, kualitas 30
hijauan, frekuensi pemberian hijauan, cara pemberian konsentrat, jumlah pemberian konsentrat, kualitas konsentrat dan mineral, frekuensi pemberian, dan pemberian air minum. Hasil pengamatan rataan dan simpangan baku aspek makanan ternak secara lengkap disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Makanan Ternak No.
Aspek
Pengamatan ± 3,79
Nilai Harapan 25
Pengamatan (%) 93,33
1.
Cara pemberian hijauan
23,33
2.
Jumlah pemberian hijauan
29,17**± 10,01
40
72,92
3.
Kualitas hijauan
37,67**± 5,83
45
83,70
4.
Frekuensi pemberian hijauan
20
20
5.
Cara pemberian konsentrat
11,5** ± 4,76
15
76,67
6.
Jumlah pemberian konsentrat
27,67**± 6,66
35
79,05
7.
Kualitas konsentrat
28**
± 7,61
35
80
8.
Frekuensi pemberian konsentrat
15
± 0
15
100
9.
Pemberian air minum
28,33
± 5,31
30
± 0
100
94,44
Keterangan: ** = sangat nyata (P<0,01)
Berdasarkan hasil pengamatan, aspek makanan ternak pada peternakan sapi perah di KUNAK Cibungbulang memiliki beberapa sub aspek yang sudah memenuhi nilai harapan (Wilcoxon Signed Test, P<0,01). Sub aspek yang sudah sesuai dengan harapan yaitu cara pemberian hijauan, frekuensi pemberian hijauan, frekuensi pemberian konsentrat, dan pemberian air minum. Akan tetapi masih ada aspek yang belum memenuhi penerapan aspek teknis atau memiliki nilai yang jauh dari nilai harapan seperti sub aspek jumlah pemberian hijauan, kualitas hijauan, cara pemberian konsentrat, jumlah pemberian konsentrat, dan kualitas konsentrat. Sub aspek jumlah pemberian hijauan memiliki nilai persentase penerapan aspek teknis yang paling rendah. Begitu juga dengan sub aspek kualitas hijauan yang masih tidak sesuai dengan nilai yang diharapkan. Hal ini dikarenakan pemberian hijauan disesuaikan dengan hijauan yang tersedia, dengan kata lain pemberian hijauan hanya dilakukan berdasarkan
ketersedian hijauan
dan kebiasaan peternak tanpa
mempertimbangkan kebutuhan ternak. Ketersediaan hijauan yang tak menentu menyebabkan kualitas hijauan yang diberikan kepada ternak menjadi tidak baik. 31
Selain pemberian dan kualitas hijauan yang rendah, sub aspek pemberian konsentrat juga tidak sesuai dengan nilai yang diharapkan. Hal yang menyebabkan sub aspek jumlah pemberian konsentrat berbeda dengan nilai harapan adalah harga konsentrat yang mahal. Harga konsentrat yang dijual dari koperasi tidak sebanding dengan produksi dan harga susu yang dijual ke koperasi sehingga para peternak kesulitan untuk memberikan konsentrat dengan jumlah yang cukup. Konsentrat yang dijual di koperasi menurut peternak memiliki kualitas yang tidak stabil, terkadang baik namun terkadang juga tidak bagus. Jumlah dan persentase peternak yang sudah menerapkan aspek makanan ternak dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 12. Cara pemberian hijauan oleh sebagian besar peternak (83,3%) di KUNAK Cibungbulang dilakukan setelah melakukan pemerahan. Standar kebutuhan sapi laktasi pada populasi sapi yang diamati di KUNAK adalah sebanyak 39,6 kg untuk hijauan. Dihitung dari rata-rata bobot badan populasi sapi perah di daerah tersebut kemudian dicari 10% dari ratarata tersebut. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa para peternak masih cukup bervariasi dalam memberikan hijauannya, mulai dari yang terendah sebesar 21 kg dan yang tertinggi sebesar 44 kg. Sebanyak 13 peternak (43,33%) yang memberikan hijauan pada ternaknya sesuai dengan yang dibutuhkan ternak yaitu sebesar 36 kg-43 kg. Paling banyak peternak (53,33%) memberikan hijauan kepada ternaknya dibawah jumlah yang disarankan yaitu pemberian hijauannya kurang dari 36 kg. Kekurangan tersebut disebabkan oleh terbatasnya lahan yang dimiliki para peternak di KUNAK Cibungbulang untuk membudidayakan hijauan unggul untuk ternaknya. Menurut Sudono (1999), sapi perah yang memiliki produktivitas tinggi, bila tidak mendapat pakan yang cukup baik secara kuantitas maupun kualitas, tidak akan menghasilkan susu yang sesuai dengan kemampuannya. Cara pemberian pakan yang salah dapat mengakibatkan penurunan produksi, gangguan kesehatan bahkan dapat juga menyebabkan kematian. Hanya ada sebanyak satu peternak (3,33%) yang memberikan hijauan secara berlebihan yaitu sebesar 44 kg hijauan. Hijauan makanan ternak yang diberikan pada ternak di KUNAK, Cibungbulang antara lain, rumput gajah, rumput lapang, leguminosa, jerami,dan sawi. Setelah diamati, sebagian besar peternak (60%) memberikan hijauan dengan
32
kualitas campuran dan semua peternak (100%) memberikan hijauan dengan frekuensi sebanyak 2 kali pemberian. Hal ini menyebabkan kualitas hijauan yang diTabel 12. Penerapan Aspek Makanan Cibungbulang, Bogor No.
Uraian
1.
Cara pemberian hijauan a. Setelah diperah b. Sebelum diperah
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Ternak
Sapi
Perah
di
KUNAK,
Jumlah Peternak Orang % 25 5
83,33 16,67
Jumlah pemberian hijauan a. Cukup b. Berlebihan c. Kurang
13 1 16
43,33 3,33 53,33
Kualitas HMT a. Unggul b. Campur c. Lapang
10 18 2
33,33 60 6,67
Frekuensi pemberian hijauan a. dua kali b. satu kali c. tidak teratur
30 0 0
Cara pemberian konsentrat a. Sebelum diperah b. Sedang diperah c. Setelah diperah
19 1 10
63,33 3,33 33,33
Jumlah pemberian konsentrat a. Cukup b. Berlebihan c. Kurang
10 7 13
33,33 23,33 43,33
Kualitas konsentrat dan mineral a. Baik dan lengkap b. Baik dan kurang mineral c. Kurang baik
16 14 0
53,33 46,67 0
Frekuensi pemberian konsentrat a. dua kali perhari b. satu kali c. tidak teratur
30 0 0
100 0 0
Air minum a. tersedia terus menerus b. dua kali perhari c. tidak teratur
27 1 2
90 3,33 6,67
100 0 0
33
berikan kepada ternaknya bukan kualitas unggulan kaarena sebagian besar peternak masih mencampur hijauannya dengan beberapa bahan hijauan lain. Terkadang peternak mencampur jerami dengan rumput gajah, atau mencampur rumput gajah dengan rumput lapang dan sawi. Hal tersebut dilakukan untuk menghemat hijauan yang dibudidayakan agar dapat memenuhi kebutuhan ternak sepanjang tahun. Menurut Ensminger (1971), hijauan yang berkualitas adalah hijauan yang memiliki karakteristik fisik dan kimia umum dengan palatabilitas baik dan kaya akan nutrisi. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi susu adalah pakan konsentrat. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar peternak (63,3%) di KUNAK, Cibungbulang memberikan pakan konsentrat kepada ternaknya sebelum diperah. Pemberian pakan konsentrat pada lokasi KUNAK berkisar antara yang paling rendah sebesar 2,2 kg sampai yang paling tinggi yaitu sebesar 29,3 kg. Biasanya para peternak mencampur konsentrat dengan ampas tahu atau ampas tempe. Jumlah pemberian pakan konsentrat yang dilakukan oleh sebagian besar peternak (43,3%) di lokasi penelitian tersebut termasuk pada kategori kurang secara kuantitas yaitu kurang dari 4 kg pakan konsentrat. Sebanyak 33,33% peternak sudah memberikan pakan konsentrat sesuai standar kuantitas yang dibutuhkan yaitu sebesar 4-6 kg. Hal ini yang menyebabkan produksi susu di lokasi tersebut hanya sekitar 10 liter/ekor/hari. Menurut Sudono (1999), pada umumnya produksi sapi perah di Indonesia cukup rendah, produksi susu rata-rata berkisar antara 3-10 liter/ekor/hari tergantung pada jenis peternakannya. Produksi yang rendah ini dapat disebabkan salah satunya karena makanan yang diberikan baik kuantitas maupun kualitasnya kurang baik. Konsentrat yang digunakan para peternak di KUNAK, Cibungbulang berasal dari KPS Bogor, pabrik pakan pada salah satu peternak, pabrik pakan Cibinong, dan ada yang didatangkan dari Bandung. Sejumlah kecil peternak (23,33%) masih ada yang memberikan konsentrat kepada ternaknya melebihi kuantitas yang dibutuhkan bahkan mencapai 29 kg. Hal ini dapat meningkatkan biaya pakan yang akan berdampak pada efisiensi peternakan tersebut. Masih ada peternak (46,7%) yang memberikan konsentrat tanpa tambahan mineral. Hal ini dikarenakan pengetahuan peternak yang kurang terhadap manfaat mineral tersebut, selain itu harga pakan konsentrat yang sudah relatif mahal menyebabkan mereka untuk membeli pakan dengan skala prioritas. Harga pakan 34
yang tersedia di KPS Bogor memiliki harga yang bervariasi sesuai dengan kualitas pakan, mulai dari yang harganya Rp.60 ribuan sampai mencapai harga Rp.120 ribuan. Sebanyak 46,7% peternak masih menggunakan pakan dengan kualitas yang paling rendah yaitu yang harganya hanya Rp. 60 ribuan. Hal ini dilakukan, karena kurangnya pendapatan para peternak dan harga susu yang rendah menyebabkan mereka kesulitan untuk membeli pakan dengan kulaitas yang paling baik. Semua peternak memberikan konsentrat pada ternaknya dengan frekuensi dua kali pemberian dan sebanyak 90% peternak memberikan minum ternaknya dengan cara ad libitum atau tersedia terus menerus. Hal ini disebabkan suplai air yang ada, terkadang tidak menentu. Apabila suplai airnya baik, biasanya para peternak memberikan ternaknya minum secara ad libitum. Pengelolaan Aspek pengelolaan yang diamati meliputi sub aspek membersihkan sapi, membersihkan kandang, cara pemerahan, penanganan pasca panen, pemeliharaan anak sapi dan dara, pengeringan sapi laktasi dan pencatatan usaha. Hasil pengamatan aspek pengelolaan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Aspek Pengelolaan No.
Aspek
Pengamatan
1.
Membersihkan sapi
20
±0
Nilai Harapan 20
Pengamatan (%) 100
2.
Membersihkan kandang
20
±0
20
3.
Cara pemerahan
31,33** ± 3,46
40
4.
Penanganan pasca panen
35
±0
35
100
5.
Pemeliharaan anak sapi dan dara
35
±0
35
100
6.
Pengeringan sapi laktasi
29
± 4,03
30
96,67
7.
Pencatatan usaha
7,83** ± 5,20
20
39,17
100 78,33
Keterangan: ** = sangat nyata (P<0,01)
Hasil pengamatan dan analisis Wilcoxon Signed Test menunjukkan bahwa sebagian besar sub aspek, seperti membersihkan sapi, membersihkan kandang, penanganan pasca panen, pemeliharaan anak sapi dan dara telah mencapai nilai harapan yang ditentukan. Sub aspek yang tidak sesuai dengan nilai harapan adalah 35
sub aspek cara pemerahan dan sub aspek pencatatan usaha yang juga memiliki nilai pengamatan aspek teknis yang paling rendah. Hal ini terjadi karena pada peternakan di KUNAK, Cibungbulang sebagian besar pengelola peternakan disana hanyalah sebagai pegawai kandang saja dan masih ada anggapan bahwa pencatatan usaha dirasa tidak begitu penting. Adanya pencatatan apabila mereka diminta melakukan hal tersebut oleh pemilik ternaknya. Tidak sesuainya sub aspek cara pemerahan pada lokasi penelitian tersebut disebabkan para peternak sudah terbiasa dengan cara pemerahan yang kurang benar. Hal tersebut dilakukan selama bertahun-tahun walaupun terkadang mereka juga mengetahui bahwa cara pemerahan tersebut kurang benar. Cara pemerahan yang kurang benar tersebut dilakukan untuk mempercepat proses pemerahan sehingga waktu yang digunakan dalam memerah menjadi efektif. Jumlah dan persentase peternak di KUNAK Cibungbulang dapat dilihat pada Tabel 14. Semua peternak (100%) di KUNAK, Cibungbulang membersihkan sapi setiap hari dan membersihkan kandang sebanyak dua kali sehari. Hal ini membuktikan bahwa para peternak yang ada di lokasi penelitian tersebut sudah mulai menyadari akan arti pentingnya sanitasi. Peternak membersihkan sapi terutama pada bagian ambing, lipatan paha, dan bagian belakangnya. Bagian-bagian tersebut menjadi prioritas dalam membersihkan sapi karena keterbatasan suplai air dari aliran irigasi yang bersumber dari Sungai Cigamea tidak menentu. Hal ini bertujuan untuk menjaga kehigienisan susu yang diperah. Ketika suplai airnya lancar, mereka melakukan penampungan air untuk mengatasi kekeringan air pada waktu-waktu tertentu. Cara membersihkan sapi, ketika airnya cukup melimpah adalah dengan cara menyiram ke seluruh bagian ternak, kemudian menyikatnya dan memakai pembersih seperti pemutih atau sabun pencuci. Cara membersihkan kandang yang biasanya dilakukan
oleh
peternak
di
KUNAK,
Cibungbulang
yaitu:
pertama-tama
membersihkan kotoran ternak yang ada di lantai, kemudian membersihkan sisa pakan dan minum, setelah itu menyiram dan menyikat lantai kandang. Peternak di KUNAK, Cibungbulang sebagian besar (86,67%) melakukan pemerahan dengan cara yang kurang benar. Mereka tidak membersihkan ambing dan puting menggunakan air hangat. Hal tersebut dikarenakan akan memperlambat kerja mereka dalam memerah susu, selain itu pembersihan dengan air hangat yang mereka
36
Tabel 14.
Penerapan Aspek Pengelolaan Sapi Perah di KUNAK, Cibungbulang, Bogor
No.
Uraian
1.
Membersihkan sapi a. tiap hari b. kadang-kadang c. jarang
2.
Jumlah Peternak Orang % 30 0 0
100 0 0
Membersihkan kandang a. dua kali perhari b. satu kali perhari c. jarang
30 0 0
100 0 0
Cara pemerahan a. benar dan baik b. kurang benar c. salah
4 26 0
Penanganan pasca panen a. benar dan baik b. kurang benar c. salah
30 0 0
100 0 0
5. Pemeliharaan anak sapi dan dara a. baik b. kurang baik c. salah
30 0 0
100 0 0
6. Pengeringan sapi laktasi a. 2 bulan sebelum beranak b. 1,5 bulan sebelum beranak c. Kurang dari 1 bulan sebelum beranak
28 1 1
93,33 3,33 3,33
7. Pencatatan usaha a. ada dan baik b. ada dan tidak baik c. tidak ada
4 4 22
13,33 13,33 73,33
3.
4.
13,33 86,67 0
rasakan hanyalah akan menambah biaya pengeluaran karena mereka harus merebus air terlebih dahulu. Peternak melakukan pemerahan dengan cara menarik puting dari atas ke bawah. Hal ini menjadi kurang benar karena akan membuat puting dari ternak tersebut menjadi panjang. Pendapat ini diperkuat oleh Siregar et al. (1996) yang menyarankan peternak untuk menghindari cara pemerahan dengan menarik-narik 37
puting susu dari atas ke bawah karena hal ini dapat membuat puting susu melar dan menjadi panjang ke bawah. Penanganan pasca panen yang dilakukan semua peternak di KUNAK, Cibungbulang sesuai hasil pengamatan adalah benar dan baik. Setelah pemerahan selesai dan susu dimasukkan ke dalam milkcan, susu tersebut kemudian langsung disetor ke koperasi yang ada di lokasi KUNAK. Hal-hal yang dilakukan setelah disetor adalah dilakukan uji berat jenis, kadar air dan kadar lemak kemudian susu diberi perlakuan pendinginan untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Uji-uji tersebut yang kemudian akan menentukan harga dari susu yang disetor oleh para peternak. Aspek lain yaitu pemeliharaan pedet dan dara sebagai replacement stock. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemeliharaan pedet dan dara oleh para peternak (100%) dilakukan dengan baik. Kandang pedet dari mulai berumur sehari sampai dua hari langsung dipisahkan dari induknya. Sudono (1999) menyatakan pada umumnya anak sapi dibiarkan bersama-sama dengan induknya selama 24 jam sampai dengan 48 jam setelah lahir. Peternak di KUNAK, Cibungbulang memberikan susu pada pedetnya sampai sapi tersebut berumur tiga hingga empat bulan. Tiap peternak biasanya melakukan penyapihan pada anak sapinya dengan waktu yang beragam disesuaikan pada tenaga dan faktor-faktor ongkos yang lain, besarnya anak sapi, kecepatan tumbuhnya dan kesehatan umum dari anak sapi (Sudono, 1999). Pemeliharaan dara dilakukan dengan cara memberikan pakan yang lebih sedikit dibandingkan pemberian pakan terhadap sapi yang sedang laktasi. Pengeringan sapi laktasi artinya sapi laktasi sudah tidak boleh diperah lagi. Berdasarkan Tabel 14, hasil pengamatan di KUNAK Cibungbulang menunjukkan bahwa masih ada peternak (3,33%) yang melakukan pengeringan pada waktu kurang dari 1 bulan sebelum beranak. Hal ini disebabkan produksi susu dari ternaknya masih tinggi sehingga menurutnya akan sangat disayangkan apabila langsung dikeringkan. Kejadian seperti ini bisa terjadi karena masih rendahnya pengetahuan peternak tentang arti pentingnya pengeringan pada sapi laktasi yang sudah ingin melahirkan. Muljana (1982) menjelaskan, tujuan pengeringan yaitu untuk mengembalikan kondisi tubuh atau memberi istirahat sapi supaya produksi yang akan datang bisa baik, mengisi kembali kebutuhan-kebutuhan vitamin dan mineral setelah mengalami 38
laktasi berat sehingga kondisi sapi tetap sehat dan menjamin pertumbuhan fetus di dalam kandungan. Pencatatan usaha tidak dilakukan oleh para peternak di KUNAK, Cibungbulang (73,33%). Beberapa hal yang menjadi penyebabnya, antara lain kurangnya kepedulian dan kesadaran peternak untuk mengembangkan usahanya, dan peternak yang ada biasanya ada di lokasi tersebut hanya sebagai pegawai bukan pemilik. Peningkatan sub aspek ini harus dilakukan agar pengembangan peternakan sapi perah di KUNAK Cibungbulang dapat terus dilakukan. Semakin baik pencatatan usaha yang dilakukan para peternak, akan semakin mudah pula dalam mengidentifikasi permasalahan pada peternakannya sehingga dapat menemukan jalan keluar yang sesuai. Kandang dan Peralatan Sub aspek yang diamati pada aspek kandang yaitu tata letak kandang, konstruksi kandang, drainase kandang, tempat kotoran, peralatan kandang dan peralatan susu. Hasil pengamatan aspek perkandangan disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Aspek Kandang dan Peralatan No.
Aspek
Pengamatan
1.
Tata letak kandang
10
±0
Nilai Harapan 10
2.
Konstruksi kandang
25
±0
25
100
3.
Drainase kandang
15
±0
15
100
4.
Tempat kotoran
10
±0
10
100
5.
Peralatan kandang
15
±0
15
100
6.
Peralatan susu
15,33** ± 1,83
25
Pengamatan (%) 100
61,33
Keterangan: ** = sangat nyata (P<0,01)
Hampir semua sub aspek telah menerapkan sesuai nilai harapan, hanya ada satu sub aspek yaitu sub aspek peralatan susu yang masih jauh dari nilai harapan. Hal ini dikarenakan harga dari peralatan susu yang sesuai standar masih relatif mahal menurut peternak sehingga mereka belum terlalu memprioritaskan peralatan susu yang sesuai standar untuk dibeli. Hal tersebut tidak bisa dibiarkan karena susu yang 39
dihasilkan bisa terkena kontaminasi ketika ditampung dengan peralatan yang tidak higienis. Perlu adanya subsidi atau kredit yang ringan agar peternak bisa mendapatkan peralatan susu yang sesuai standar sehingga kualitas susu yang dihasilkan bisa ikut terjaga. Jumlah peternak yang telah menerapkan aspek perkandangan dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 16. Tabel 16. Penerapan Aspek Kandang dan Peralatan Sapi Perah di KUNAK, Cibungbulang, Bogor No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Uraian
Jumlah Peternak Orang %
Tata letak a. Tersendiri b. Jadi satu dengan rumah
30 0
100 0
Konstruksi kandang a. Memenuhi syarat b. Kurang memenuhi syarat c. Tidak memenuhi syarat
30 0 0
100 0 0
Drainase kandang a. Baik b. Kurang baik c. Tidak baik
30 0 0
100 0 0
Tempat kotoran a. Baik b. Tidak baik c. Tidak ada
30 0 0
100 0 0
Peralatan kandang a. Lengkap b. Kurang lengkap c. Tidak lengkap
30 0 0
100 0 0
Peralatan susu a. Lengkap, dan sesuai persyaratan b. Kurang lengkap dan tidak persyaratan c. Tidak lengkap
memenuhi
1 29 0
3,33 96,67 0
Semua kandang yang tergabung dalam kelompok ternak di KUNAK, Cibungbulang memiliki tata letak yang tersendiri. Konstruksi kandang semua peternak memiliki atap asbes, dengan bahan struktur tiang dan beton, kuda-kuda 40
atapnya besi dan ada juga yang kayu, serta memiliki lantai semen. Drainase yang ada pada setiap kandang peternakan yang ada di lokasi penelitian ini, memiliki kemiringan dan memiliki saluran air dengan keadaan saluran air yang relatif lancar. Tempat kotoran yang ada pada setiap peternak (100%) bisa dikatakan baik. Biasanya para peternak setelah kotoran ditampung di tempat kotoran, kemudian disalurkan ke ladang pertaniannya atau ladang yang dipakai untuk budidaya rumput gajah untuk dijadikan pupuk alami. Ada pula peternak yang memiliki instalasi biogas, sehingga kotoran ternak dapat dimanfaatkan untuk dijadikan biogas sebagai energi alternatif. Kandang sapi perah di KUNAK Cibungbulang bisa dikatakan baik. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Sudono et al., (2003), kandang sapi perah yang baik adalah kandang yang sesuai dan memenuhi persyaratan kebutuhan dan kesehatan sapi perah. Persyaratan umum kandang untuk sapi perah yaitu sirkulasi udara cukup dan mendapat sinar matahari sehingga kandang tidak lembab (kelembaban ideal yang dibutuhkan sapi perah adalah 60-70%), lantai kandang selalu kering, tempat pakan yang lebar dan tempat air dibuat agar air selalu tersedia sepanjang hari (Sudono et al., 2003). Semua sub aspek kandang, seperti tata letak, konstruksi kandang, drainase kandang, dan tempat kotoran bisa baik dan benar dikarenakan dari koperasi setempat (KPS Bogor) telah melakukan standarisasi untuk semua kavling kandang yang ada. Kavling kandang sudah disediakan oleh pemerintah (KPS Bogor), kemudian para peternak diberikan kemudahan untuk mendapatkan kavling tersebut dengan cara pembelian dengan sistem kredit lunak. Peralatan kandang yang ada pada semua peternak di KUNAK, Cibungbulang termasuk kategori lengkap. Peralatan kandang yang ada, antara lain sekop, selang air, ember, sikat, dan sapu lidi. Peralatan susu yang dimiliki sebagian besar peternak (96,67%) termasuk kategori tidak lengkap dan tidak memenuhi persyaratan. Peralatan susu yang dimiliki antara lain ember perah (terbuat dari plastik hanya sebagian kecil yang terbuat dari bahan stainless steel), milkcan (stainless steel), saringan (kain kassa atau ada yang memakai saringan santan), pelicin (vaselin, margarin), dan teat dipping (biocyd). Pada lokasi penelitian ini kelengkapan peralatan susu masih belum menjadi prioritas karena pendapatan peternak yang ada lebih diprioritaskan untuk biaya pakan harian.
41
Kesehatan Hewan Aspek yang penting diamati adalah aspek kesehatan hewan. Menurut Akoso (1996), sapi yang sehat akan menampakkan gerakan yang aktif, sikapnya sigap, selalu sadar dan tanggap terhadap perubahan situasi sekitar yang mencurigakan. Sub aspek yang diamati pada peternak di KUNAK, Cibungbulang, antara lain: pengetahuan penyakit, pencegahan penyakit dan pengobatan. Tabel 17 menunjukkan capaian rataan penerapan aspek kesehatan di KUNAK Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Tabel 17. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Aspek Kesehatan Hewan No.
Aspek
1.
Pengetahuan penyakit
2.
Pencegahan penyakit
3.
Pengobatan
Pengamatan 35** ± 5,09 100 52
±0 ±13,49
Nilai Harapan 40 100 60
Pengamatan (%) 87,50 100 86,67
Keterangan: ** = sangat nyata (P<0,01)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penerapan sub aspek pencegahan penyakit dan pengobatan sudah sesuai dengan nilai harapan. Satu sub aspek yang jauh dari nilai harapan adalah sub aspek pengetahuan penyakit. Salah satu penyebabnya diduga karena rendahnya tingkat pendidikan para peternak. Semakin rendah pendidikan para peternak, semakin rendah pula pola berpikir dan kebiasaan membaca yang menyebabkan pengetahuannya terbatas. Selain itu, kemauan peternak untuk mempelajari penyakit-penyakit pada ternak sapi perah diduga masih rendah, hal ini juga yang menyebabkan pengetahuan para peternak menjadi rendah. Rendahnya kemauan peternak dalam mempelajari pengetahuan tentang penyakit dikarenakan sebagian besar peternak yang ada di KUNAK hanyalah pegawai kandang (bukan pemilik) sehingga rasa memiliki terhadap ternaknya masih rendah. Kebanyakan peternak di lokasi ini, hanya mengetahui penyakit ternaknya berdasarkan pengalaman. Jumlah peternak yang telah menerapkan aspek kesehatan dapat dilihat pada Tabel 18. Pengetahuan para peternak terhadap penyakit memiliki persentase yang sama 50% yaitu baik dan cukup. Ciri-ciri ternak yang sakit menurut para peternak adalah tidak nafsu makan, perut kembung, dan tidak melakukan aktivitas seperti biasanya. 42
Penyakit-penyakit yang diketahui para peternak di KUNAK, Cibungbulang antara lain: luka, cacingan, mastitis, masuk angin, bengong dan antraks. Tidak banyak penyakit yang diketahui para peternak. Menurut Akoso (1996), penyakit bengong yang sering menyerang ternak di KUNAK dikenal dengan istilah medis Demam Tiga Hari (Three Days Sickness/Bovine Ephemeral Fever). Tabel 18. Penerapan Aspek Kesehatan Sapi Perah di KUNAK, Cibungbulang, Bogor No.
Uraian
Jumlah Peternak Orang %
Pengetahuan penyakit a. Baik b. Cukup c. Kurang
15 15 0
50 50 0
Pencegahan penyakit a. Teratur b. Tidak teratur c. Tidak pernah
30 0 0
100 0 0
3. Pengobatan a. Dilakukan dengan benar b. Dilakukan kurang benar c. Tidak dilakukan
22 8 0
1.
2.
73,33 26,67 0
Semua peternak di lokasi penelitian ini sudah sangat baik dalam melakukan pencegahan terhadap penyakit. Pencegahan terhadap penyakit sangat baik diterapkan di lokasi ini karena mendapat perhatian dan dibantu secara langsung dari instansi pemerintah dan akademisi. Akademisi yang membantu pencegahan penyakit di lokasi ini adalah mahasiswa IPB dari Fakultas Kedokteran Hewan yang sedang koas. Cara yang dilakukan untuk pencegahan terhadap penyakit antara lain adalah melakukan vaksinasi dan menjaga kebersihan serta kehigienisan kandang. Vaksinasi dilakukan secara rutin setiap enam bulan atau setahun sekali, dilakukan oleh petugas keswan dan dinas peternakan Kabupaten Bogor. Vaksin yang diberikan biasanya vaksin antraks untuk mencegah penyakit antraks. Sebanyak 73,33% peternak melakukan pengobatan terhadap ternaknya yang sakit dengan cara yang benar. Pengobatan dilakukan dengan langsung menghubungi tenaga keswan yang ada di koperasi setempat. Setelah menghubungi tenaga keswan, 43
tenaga keswan tersebut yang akan datang langsung ke lokasi peternakan untuk memberikan pengobatan terhadap ternak yang sakit baru kemudian para peternak dikenakan biaya pengobatan. Ada juga peternak yang melakukan kegiatan pengobatannya sendiri dengan menggunakan ramuan jamu tradisional seperti gula merah, asam jawa, telor, dan lainnya. Apabila tidak ada perubahan dari penanganan sendiri, barulah mereka menghubungi tenaga keswan untuk dibantu pengobatannya. Pengobatan tradisional dilakukan oleh sebagian para peternak karena pengobatan tersebut dirasa lebih efektif dan efisien serta dipandang masih cukup mujarab. Selain itu, pengobatan tradisional dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan oleh para peternak. Pertumbuhan Pedet dan Dara Salah satu hal yang diamati adalah pertumbuhan pedet dan dara di KUNAK Cibungbulang. Pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran lingkar dada. Menurut Sutardi (1983), ukuran lingkar dada dapat menjadi pedoman untuk menduga bobot badan dan rusuk yang panjang memungkinkan sapi mampu menampung jumlah makanan yang banyak. Ukuran tulang terutama pada bagian dada sapi, menentukan kapasitas rongga dalam dan merupakan tempat ditemukan alat-alat vital seperti paru-paru, jantung dan alat pencernaan. Lingkar dada juga dipengaruhi oleh kondisi tubuh sehingga berkorelasi positif dengan bobot badan. Hasil yang diamati, disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 1. Berdasarkan grafik pertumbuhan, pada pedet jantan terus mengalami peningkatan lingkar dada dan bobot badan. Pada 4 bulan awal pertumbuhannya, pedet jantan rata-rata memiliki bobot badan sebesar 147,42 kg kemudian terus mengalami penambahan bobot badan sampai akhir caturwulan ketiga (umur 1 tahun) memiliki bobot badan sebesar 222 kg. Data pada Gambar 1 hanya menampilkan pedet jantan sampai caturwulan ketiga saja karena sapi-sapi jantan dijual pada saat usia ternak jantan menginjak 1 tahun. Hal ini disebabkan pemeliharaan sapi jantan hanya akan menambah biaya pemeliharaan sehingga para peternak lebih memilih untuk menjual yang akan dijadikan sapi potong (Sudono et al., 2003).
44
180.00
Lingkar Dada (cm)
170.00 160.00 150.00 140.00 130.00
jantan
120.00
betina
110.00 100.00 90.00 1
2
3
4
5
6
Kelompok Umur (caturwulan)
Gambar 1. Pertumbuhan Lingkar Dada dari Pedet Sapi Perah sampai Umur 24 Bulan. Keterangan: 1= umur 0-4 bulan; 2= umur 5-8 bulan; 3= umur 9- 12 bulan; 4= 13-16 bulan; 5= 17-20 bulan; 6=21-24 bulan Hasil pengamatan sesuai dengan grafik pertumbuhan menunjukkan bahwa pedet betina juga senantiasa mengalami pertambahan bobot badan. Grafik menunjukkan bahwa bobot badan di awal masa pertumbuhan (4 bulan pertama) adalah sebesar 146,8 kg. Bobot badan rata-rata pedet betina selama kurun waktu setahun mencapai 266,4 kg. Hal ini menunjukkan bahwa pada peternakan sapi perah di KUNAK, Cibungbulang pedet betina memiliki pertambahan bobot badan rata-rata yang lebih besar daripada pedet jantan. Pertumbuhan sapi dara pada peternakan rakyat di KUNAK, Cibungbulang secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan pengamatan, sapi dara pada umur yang berkisar antara 13 hingga 16 bulan dapat memiliki rataan bobot badan sebesar 289 kg atau memiliki rataan lingkar dada sebesar 148 cm. Pada kisaran umur 17 hingga 20 bulan, sapi dara memiliki bobot badan rata-rata sebesar 327 kg atau memiliki rataan lingkar dada sebesar 158,9 cm. Menurut Blakely dan Bade (1991), umur bibit sapi perah betina yang ideal adalah 1,5 tahun dengan bobot badan sekitar 300 kg, sementara itu umur pejantan 2 tahun dengan bobot badan sekitar 350 kg. Pendapat lain, Sudono (1999) menyatakan bahwa sapi-sapi dara dapat dikawinkan untuk pertama kali setelah sapi tersebut berumur 15 bulan dan ukuran tubuhnya cukup besar dengan bobot badan ± 275 kg. Berdasarkan hal tersebut, maka 45
pada peternakan rakyat di KUNAK, Cibungbulang sapi-sapi dara yang memiliki bobot badan sebesar 275 kg atau berada pada kisaran 15-16 bulan sudah bisa dikawinkan. Seharusnya, umur beranak pertama apabila umur sapi 16 bulan dikawinkan pertama kali adalah 24-25 bulan namun pada lokasi penelitian ini, hanya ada 10 ekor sapi laktasi yang berumur 2 tahun atau hanya sebesar ± 6% dari total populasi sapi laktasi. Hal ini terjadi disebabkan oleh para peternak yang tidak melakukan perkawinan pada ternaknya yang berumur 15-16 bulan. Keterlambatan waktu kawin ternak salah satunya disebabkan oleh penerapan sub aspek pengetahuan berahi pada aspek pembibitan dan reproduksi belum dilakukan sesuai dengan nilai harapan. Terlambat mendeteksi berahi berakibat terlambat mengawinkan ternaknya. Ternak dikawinkan ketika ternak berumur 18 bulan atau lebih sehingga terjadi keterlambatan beranak. Hal ini yang menyebabkan umur ternak pertama kali mencapai 3 tahun atau lebih. Akibat jangka panjang yang dapat mungkin terjadi adalah kali laktasi yang rendah padahal umur sapi nya bisa jadi sudah tua. Penyebab lain adalah faktor makanan ternak. Peternak di KUNAK Cibungbulang pada sub bahasan aspek makanan ternak, masih memiliki sub aspek yang belum sesuai dengan nilai harapan seperti jumlah pemberian hijauan, kualitas hijauan, cara pemberian konsenstrat, jumlah pemberian konsentrat, dan kualitas konsentrat. Hal ini berakibat pada pertumbuhan dan performa sapi yang ada di lokasi ini. Performa yang tidak baik dari ternak diduga dapat memperlambat atau menunda waktu pengawinan ternak sehingga dapat berdampak jangka panjang. Dampak jangka panjang yang dimaksud adalah bisa terjadi masa produktif ternak yang pendek sehingga dapat mempengaruhi produktivitas pada peternakan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sudono (1999), faktor yang dapat menyebabkan keterlambatan waktu kawin adalah tidak baiknya pemeliharaan dan makanan yang diberikan. Produksi Susu Harian berdasarkan Umur Hasil penelitian yang mengamati produksi susu berdasarkan umur sapi perah pada peternakan rakyat di KUNAK Cibungbulang secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2. Grafik tersebut menyajikan umur sapi dengan produksi susunya mulai dari umur 3 tahun hingga umur 6 tahun. Sapi laktasi yang berumur 2, 8, 10, dan 11 tahun tidak dimasukkan ke dalam kurva dikarenakan jumlah populasi pada ternak yang berusia tersebut tidak cukup merepresentasikan populasi yang ada. Berdasarkan 46
grafik, hasil pengamatan menunjukkan bahwa puncak rata-rata produksi susu harian yaitu sebesar 11,45 liter/ekor/hari terdapat pada sapi laktasi yang berumur 5 tahun. Puncak rata-rata produksi susu harian pada lokasi penelitian ini tergolong rendah karena idealnya menghasilkan 15-20 liter /ekor/hari (Hartutik, 2006). Pernyataan ini diperkuat oleh Yusdja (2005), bibit sapi perah yang unggul mampu berproduksi
Produksi Susu Rata-Rata (liter/ekor/hari)
sebanyak 15-20 liter/ekor/hari. 12.000
10.000
8.000 3
4
5
6
Umur Sapi Laktasi (tahun)
Gambar 2. Grafik Rataan Produksi Susu Harian pada Umur Sapi Perah yang Berbeda di KUNAK, Cibungbulang Hasil pengamatan yang didapat, memiliki perbedaan dengan laporan yang dinyatakan oleh Balai Informasi Pertanian (1985) bahwa puncak produksi dicapai umur 7 sampai 8 tahun. Sesudah umur 10 tahun produksi susu mulai menurun serta banyak terjadi kesulitan dalam melahirkan. Pendapat tersebut diperkuat oleh Sudono (1999) yang menyatakan bahwa produksi susu akan terus meningkat dengan tambahnya umur sapi sampai sapi itu umur 7 atau 8 tahun, yang kemudian setelah umur tersebut produksi susu akan menurun sedikit demi sedikit sampai sapi berumur 11 tahun atau 12 tahun hasil susunya akan rendah sekali. Turunnya hasil susu pada hewan tua disebabkan aktivitas-aktivitas kelenjar-kelenjar ambing sudah berkurang. Perbedaan umur ternak dalam mencapai puncak produksi rata-rata susu diduga karena penerapan aspek pembibitan dan reproduksi di lokasi penelitian ini masih berbeda dari nilai harapan terutama sub aspek cara seleksi. Cara seleksi yang kurang benar memungkinkan para peternak tidak dapat menemukan bibit unggul dalam
47
peternakannya sehingga didapat sapi yang terlalu cepat mencapai puncak produksi rata-rata. Produksi Susu Harian berdasarkan Jumlah Laktasi Pengamatan yang terakhir dilakukan adalah pengamatan terhadap rataan produksi susu harian berdasarkan jumlah laktasi sapi perah. Hasil pengamatan disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 3.
Gambar 3. Grafik Rataan Produksi Susu pada Setiap Kali Laktasi Sapi Perah di KUNAK, Cibungbulang Grafik tersebut hanya memuat populasi sapi yang sedang laktasi pertama hingga laktasi ke tujuh. Produksi susu yang ditampilkan pada grafik, memiliki nilai rataan puncak produksi susu harian yaitu sebesar 11,19 liter/ekor/hari sedangkan nilai terendah produksi susu adalah sebesar 6,17 liter/ekor/hari. Berdasarkan grafik yang disajikan, dapat dilihat bahwa puncak rataan produksi susu harian sapi di KUNAK, Cibungbulang berada pada laktasi ketiga dan rataan produksi susu harian terendah berada pada laktasi ketujuh. Menurut Sudono (1999), kemampuan sapi dara untuk berproduksi tak hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan badannya, tetapi juga pertumbuhan ambingnya yang mencapai pertumbuhan yang maksimum pada laktasi ketiga atau keempat. Hasil penelitian yang didapat tidak sesuai dengan pernyataan Blakely & Bade (1991) yang menyatakan bahwa kebanyakan sapi mencapai tingkat produksi maksimum pada laktasi yang keempat sampai keenam setelah itu produksi tiap tahunnya menurun. Salah satu penyebabnya adalah penerapan aspek teknis yang 48
belum sesuai dengan nilai harapan seperti aspek teknis pembibitan dan reproduksi terutama sub aspek cara seleksi sehingga bibit ternak atau sapi yang ada di lokasi ini bukan merupakan bibit unggul. Selain itu, sub aspek saat pengawinan kembali setelah beranak yang terlalu lama. Hal ini dapat berdampak kepada calving interval yang lama sehingga sapi dapat mencapai kali laktasi yang rendah padahal umurnya bisa jadi sudah tua.
49
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penerapan aspek teknis pemeliharaan pada peternakan rakyat Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK), Cibungbulang masih lebih rendah dari yang diharapkan. Rataan penerapan aspek teknis di lokasi penelitian ini sebesar 86,88%. Capaian penerapan aspek teknis dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah berturutturut adalah aspek kandang dan peralatan, kesehatan hewan, pengelolaan, makanan ternak, dan pembibitan dan reproduksi. Umur 5 tahun dan laktasi ketiga merupakan puncak rata-rata produksi harian di lokasi penelitian ini. Saran Perlu adanya perbaikan tata laksana pemeliharaan terutama pada aspek pembibitan dan reproduksi, dan makanan ternak. Perbaikan tersebut diharapkan dapat membantu meningkatkan produktivitas sapi perah dalam menghasilkan susu. Salah satu upaya nyata yang dapat dilakukan adalah penyuluhan, pembinaan, dan pendampingan secara khusus dari instansi manapun baik itu pemerintah, swasta, maupun dari kalangan akademisi agar peternak di KUNAK, Cibungbulang dapat menerapkan semua aspek teknis pemeliharaan dengan nilai yang diharapkan. Pemerintah juga diharapkan dapat mengatur kebijakan harga pakan dan susu yang lebih berpihak kepada para peternak terutama peternak rakyat agar kesejahteraan para peternak dapat terjamin.
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, segala puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, rahmat, dan karuniaNya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, seorang pemimpin umat yang senantiasa menjadi qudwah hasanah bagi seluruh umat manusia. Ucapan terima kasih yang tak terhingga diberikan kepada kedua orangtua tercinta (Bambang Djaluprapto dan Rohana) serta saudara kandung terkasih (Puspita Rini dan Triwahyudi) yang senantiasa memberikan cinta, kasih sayang, motivasi, semangat, doa, dan perhatian kepada penulis. Terimakasih kepada Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr dan Ir. Andi Murfi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, saran dan motivasi kepada penulis. Terimakasih kepada Dr. Idat G.P., Ahmad Yani, S.TP, M.Si, dan Baihaqi, S.Pt, M.SC selaku dosen penguji skripsi. Ir. Salundik, M.Si selaku dosen pembahas seminar. Terimakasih kepada Dr. Ir. Rukmiasih, MS selaku dosen pembimbing akademik. Terimakasih kepada seluruh dosen pengajar, staf (terutama Umi), dan tenaga pendidik Fakultas Peternakan IPB atas bimbingan dan bantuannya selama ini. Terimakasih kepada Bogor International Club (BIC) yang memberikan beasiswa penelitian kepada penulis. Kepada KPS Bogor, Pak Agustanto, seluruh peternak di KUNAK, Bapak dan Ibu Sagimin, penulis ucapkan terimakasih atas bantuannya. Terimakasih kepada rekan seperjuangan penelitian (Sodiqin), Ahmad S., Dian Dinar, Eva, Desti, Azmah, Dea, Keninda, Rey, Hendra, Nunu, Siti, dan Gagah yang memberikan bantuan secara langsung kepada penulis. Terimakasih untuk para sahabat IPTP 44, BEM KM IPB 2011 terutama JAKNAS, BEM FAPET 2010 dan 2009, IPS 2 dan 3, Fosfor, Al Fatih, Alizzah dan semua pihak yang telah membantu, tanpa mengurangi rasa hormat tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah membalasnya. Mohon dimaafkan atas segala macam khilaf dan salah selama pelaksanaan penelitian dan penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Januari 2012 Pria Sembada
DAFTAR PUSTAKA Akilah, F. 2008. Evaluasi teknis pemeliharaan sapi perah rakyat di Cilumber, KPSBU Lembang Bandung. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Akoso, B. T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta. Amilia, L. 1997. Dampak lingkungan kawasan usaha peternakan sapi perah terhadap aspek sosial-ekonomi masyarakat (Studi kasus di Kawasan Usaha Peternakan sapi perah Desa Situ Udik, Kec. Cibungbulang dan Desa Pasarean, Kec. Pamijahan, Kab. Bogor). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Aryogi, N., K. Wardhani & A. Musofie. 1994. Pola penyediaan hijauan pakan di daerah sentra pemeliharaan sapi perah di dataran tinggi di Jawa Timur. Proceedings Pertemuan Ilmiah Pengelolaan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Sub Balai Penelitian Ternak Grati. Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian. Balai Informasi Pertanian. 1985. Sapi Perah. Departemen Pertanian, Ungaran, Jawa Tengah. Blakely, J. & D.H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Edisi ke-4. Terjemahan B. Srigandono. UGM Press, Jogjakarta. Chuzaemi, S. & Hartutik. 1988. Ilmu Makanan Ternak Khusus (Ruminansia). Universitas Brawijaya, Malang. Despal, N. Sigit, Suryahadi, D. Evvyernie, A. Sardita, I. G. Permana & T. Toharmat. 2008. Nutrisi Ternak Perah. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Agribisnis http://ditjennak.go.id/berita.asp?id=110 [ 18 Januari 2011]
persusuan.
Direktorat Jenderal Peternakan. 1983. Laporan pertemuan pelaksanaan uji coba faktor-faktor penentu dan perencanaan tata penyuluhan subsektor peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. Diwyanto, K., A. Anggraeni, T. Sugiarti, Nurhasanah, H. Setyanto & L. Praharani. 2001. Pengkajian sistem budidaya sapi perah untuk meningkatkan produktivitas. Prosiding Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan Armp-II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian, Bogor. Ensminger, M. E. 1971. Dairy Cattle Science. The Interstate Printers and Publisher Inc. Danville, Illnois. Ginting, N. & P. Sitepu. 1989. Teknik Beternak Sapi Perah di Indonesia. PT. Rekan Anda Setiawan, Jakarta.
Hartutik. 2006. Strategi manajemen pakan untuk meningkatkan produksi susu sapi perah. Pertemuah ilmiah. Jurusan Nutrisi Makanan Ternak, Universitas Brawijaya, Malang. Hernanto, F. 1989. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya, Jakarta. Hidayat, A., P. Effendi, A. A. Fuad, Y. Patyadi, K. Taguchi & T. Sugiwaka. 2002. Kesehatan Pemerahan. Dairy Technology Improvement Project in Indonesia, Bandung. Hosein, A. & N. Gibson. 2006. Dairy cattle management: Heat detection for improved breeding management. Dalam: Factsheet Caribean Agricultural Research and Development Institute. Juliani, R. 2011. Evaluasi teknis pemeliharaan sapi perah Friesian Holstein peternakan rakyat di Desa Cibeureum Cisarua Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muljana, W. 1982. Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Sapi Perah. Aneka Ilmu, Semarang. Pulungan, I. & R. Pambudy. 1993. Peraturan dan Undang-Undang Peternakan. Produksi Media Informasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Schmidt, G. H., L. D. Van Vleck & M. P. Hutjens. 1988. Principles of Dairy Science. 2nd Edition. Prentice Hall. Englewood Cliffs, New Jersey. Sigit, N. 1985. Makanan sapi perah dan cara pemberiannya. Prosiding pertemuan konsultasi peternakan sapi perah kabupaten sukabumi jawa barat. Pemerintah DT II Sukabumi dan Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siregar, S. B. 2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah yang Ekonomis dan Kiat Melipatgandakan Keuntungan. Pribadi, Bogor. Siregar, S. B., M. Rangkuti, Y. T. Rahardja & H. Budiman. 1996. Informasi Teknologi Budidaya, Pascapanen, dan Analisis Usaha Ternak Sapi Perah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sudono, A., R. F. Rosdiana & B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta. Suharno, B. & Nazarudin. 1994. Ternak Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta. Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutardi, T. 1983. Pengaruh kelamin dan kondisi tubuh terhadap hubungan bobot badan dengan lingkar dada pada sapi perah. Media Peternakan 8(2): 32-43. Syarief, M. & R. M. Sumoprastowo. 1984. Ternak Perah. Yasaguna, Jakarta. 53
Tomaszweska, M. W., I. K. Sutarna., I. G. Putu & T. D. Chaniago. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tyler, H. & M. E. Ensminger. 1993. Dairy Cattle Science. Pearson Prentice Hall, New Jersey. Tyler, H. & M. E. Ensminger. 2006. Dairy Cattle Science Fourth Edition. Prentice Hall, New Jersey. Yani, A. & B. P. Purwanto. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respons fisiologis sapi peranakan Fries Holland dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya. Media Peternakan 2 (1): 35-46 Yusdja, Y. 2005. Kebijakan ekonomi industri agribisnis sapi perah di Indonesia. Analisis kebijakan pertanian vol. 3 No. 3: 257:268
54
LAMPIRAN
Kuesioner A. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama peternak
:
2. Alamat
:
3. Kelompok peternak
:
4. Tanggal kunjungan
:
5. Umur
:
6. Pengalaman
:
7. Pendidikan
:
B. KEPEMILIKAN TERNAK Kelompok Ternak
Jumlah (ekor)
ST
Keterangan
1. Pedet ● Jantan ● Betina 2. Dara 3. Dewasa ● Kering ● Laktasi 4. Jantan
C. PENGEMBANGBIAKAN DAN REPRODUKSI 1. Bangsa sapi yang dipelihara a. FH murni
b. Peranakan FH
c. Persilangan
d. Lain-lain
2. Cara seleksi a. Produksi susu
b. Silsilah
c. Bentuk luar
3. Cara kawin a. IB
b. Alam dengan pejantan unggul
c. Alam dengan pejantan tidak
unggul 4. Pengetahuan berahi a. Paham
b. Kurang paham
c. Tidak paham
Pengetahuan berahi adalah sebagai berikut: 56
Siklus berahi berkisar antara 18-24 hari (± 21 hari). Tanda-tanda berahi yang paling penting menurut Ginting dan Sitepu (1989) adalah: - Sapi kelihatan tidak tenang, gelisah dan nafsu makan biasanya turun - Vulva tampak bengkak, merah, hangat dan keluar cairan seperti lender mirip putih telur dari vagina - Bulu di pangkal ekor rontok - Sering menguak seolah-olah memanggil pejantan - Produksi susu turun - Sapi lebih sering berbaring dibandingkan dengan berdiri - Bermesraan dengan sapi betina lainnya - Apabila di kandang, selalu ingin memisahkan diri dan jika berada di padang penggembalaan dinaiki pejantan akan diam dan pasrah dan kadang-kadang menaiki sapi lain - Bila pemilik memegang seekor sapi, maka sapi segera mengangkat ekornya - Sapi yang digembalakan sering berhenti merumput Pengetahuan berahi menurut peternak: 1. …………………………………………………………. 2. …………………………………………………………. 3. …………………………………………………………. 4. …………………………………………………………. 5. …………………………………………………………. 6. …………………………………………………………. 5. Umur beranak pertama a. 2
tahun
b. 3 tahun
c. Lebih dari 3 tahun
6. Saat dikawinkan setelah beranak a. 60 hari
b. 60-90 hari
c. Lebih dari 90 hari
7. Calving interval a. 1 tahun
b. 1- 1
tahun
c. Lebih dari 1
tahun
D. MAKANAN TERNAK 1. Cara pemberian hijauan 57
a. Setelah diperah
b. Sebelum diperah
2. Jumlah dan kualitas hijauan
No
Hijauan
Jumlah (kg)
Kualitas
1
Rumput alam
………….
Baik, sedang, buruk
2
Rumput gajah
………….
Baik, sedang, buruk
3
………….
………….
Baik, sedang, buruk
4
………….
………….
Baik, sedang, buruk
5
………….
………….
Baik, sedang, buruk
Menurut Sutardi (1981), kebutuhan hijauan dalam keadaan segar untuk sapi perah minimal yaitu sebesar 10 % dari bobot badan. 3. Frekuensi pemberian hijauan a. Dua kali
b. Satu kali
c. Tidak teratur
b. Sedang diperah
c. Setelah diperah
4. Cara pemberian konsentrat a. Sebelum diperah
5. Jumlah dan kualitas konsentrat a. Cukup
b. Lebih
c. Kurang
No
Konsentrat dan mineral
Jumlah (kg)
Keterangan
1
Konsentrat jadi
…………
TDN=……
PK=……
BK=…… 2
Ampas tahu
…………
TDN=……
PK=……
BK=…… 3
Mineral mix
…………
Mikro & makro, makro, mikro
4
…………..
…………
TDN=……
PK=……
BK=…… 5
…………..
…………
TDN=……
PK=……
BK=……
Sudono et al. (2003) menyarankan bahwa pemberian konsentrat adalah 50 % dari jumlah susu yang dihasilkan. 58
8. Frekuensi pemberian konsentrat a. Dua kali per hari
b. Satu kali
c. Tidak teratur
9. Air minum a. Tersedia terus menerus b. Dua kali perhari
c. Tidak teratur
E. PENGELOLAAN 1. Membersihkan sapi a. Tiap hari
b. Kadang-kadang
c. Jarang
2. Membersihkan kandang a. Dua kali perhari
b. Satu kali perhari
c. Jarang
b. Kurang benar
c. Salah
3. Cara pemerahan a. Benar dan baik
Pemerahan dilakukan dengan menggunakan kelima jari tangan, yakni puting susu dipegang antara jempol dengan empat jari tangan lainnya, lalu kelima jari tangan meremas-remas sampai susu keluar. Ada pula yang melakukan pemerahan dengan cara memegang pangkal puting susu antara ibu jari dengan jari tengah, lalu kedua jari tersebut menekan dan menarik ke bawah sampai susu mengalir keluar. Pemerahan cara ini umumnya dilakukan pada sapi-sapi perah yang mempunyai puting susu panjang. Cara pemerahan yang benar menurut Sudono (1999), yaitu: - tekankan ibu jari dan jari telunjuk melingkari pangkal puting sehingga susu tidak dapat kembali lagi ke ambing - tekan jari tengah pada puting untuk memancarkan susu keluar. Pancaran susu yang keluar pertama sebaiknya diperiksa dengan uji mastitis. - tekanlah jari manis pada puting, dan perah dengan tekanan yang tetap, tetapi puting jangan ditarik kuat ke bawah - akhirnya, tekankan jari kelingking pada puting dan perahlah dengan seluruh jari tangan sampai susu keluar semua - kemudian lepaskan tekanan tangan dari puting dengan membuka semua jari, sehingga puting diisi susu kembali. Ulangi cara pemerahan tersebut di atas dengan menggunakan tangan yang kiri.
59
- jika susu yang keluar sudah sangat sedikit, tekan ambing menggunakan siku untuk menguji apakah susu telah keluar semua. Kadang-kadang menekan ambing dengan siku menyebabkan sisa-sisa susu masuk ke dalam puting - agar supaya sisa-sisa tersebut keluar, maka perahlah puting dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk - dengan menggunakan kedua jari pemerahan dilanjutkan sepanjang puting, tetapi pemerahan ini tidak boleh dengan menarik-narik puting yang dapat mengakibatkan rusaknya puting. - sebaiknya untuk mencegah terjadinya mastitis, maka segera setelah pemerahan tiap-tiap puting dihapushamakan dengan mencelupkan puting tersebut dengan hati-hati dalam larutan desinfektan chloor atau iodophor dengan kepekatan 0.01% Cara pemerahan yang dilakukan oleh peternak: a. …………………………………… b. …………………………………… c. …………………………………… d. …………………………………… e. …………………………………… 4. Penanganan pasca panen a. Pendinginan susu
: Dilakukan/Tidak dilakukan
b. Pemeriksaan susu - Berat jenis
: Dilakukan/Tidak dilakukan
- Kadar lemak
: Dilakukan/Tidak dilakukan
- Kadar air
: Dilakukan/Tidak dilakukan
- Total bakteri
: Dilakukan/Tidak dilakukan
- ……….. - ……….. c. pendistribusian susu menggunakan: ……… d. ………………….. e. ………………….. 5. Pemeliharaan anak sapi dan dara a. Kandang untuk pedet
: Dicampur/Dipisah dengan induknya 60
b. Pemberian susu pada pedet
: Hingga umur ………
c. Pemisahan kandang pedet dengan induknya ketika pedet berumur ……… d. Pemberian pakan pada dara
: Sama/Lebih/Kurang dari pakan yang diberikan kepada sapi laktasi
6. Pengeringan sapi laktasi a. 2 bulan sebelum beranak
b. 1
bulan sebelum beranak
c. Kurang dari 1 bulan sebelum beranak 7. Pencatatan usaha a. Ada dan baik
b. Ada dan tidak baik
c. Tidak ada
F. KANDANG DAN PERALATAN 1. Tata letak kandang a. Tersendiri
b. Jadi satu dengan rumah
2. Konstruksi kandang a. Bahan atap
: Genteng
Asbes
Rumbia
b. Bahan struktur : Tiang
Kayu
Beton
c. Kuda-kuda atap : Kayu `
Beton
Besi
d. Lantai kandang : Tanah
Kayu
Seng Campur
Konkret
e. Ukuran kandang (Panjang X Lebar) - Sapi dewasa
: …..x…..
- Sapi pejantan
: …..x…..
- Sapi dara/jantan muda
: …..x…..
- Sapi pedet
: …..x…..
3. Drainase kandang a. Kemiringan lantai
: Miring/Tidak miring
b. Saluran air
: Ada/Tidak ada
c. Keadaan saluran air
: Lancar/Mampat
4. Tempat kotoran a. Baik
b. Tidak baik
c. Tidak ada
5. Peralatan kandang a. Sekop
: Ada/Tidak ada
b. Selang air
: Ada/Tidak ada 61
c. Ember
: Ada/Tidak ada
d. Sikat
: Ada/Tidak ada
e. Sapu lidi
: Ada/Tidak ada
6. Peralatan susu a. Ember perah
: Stainless steel
Plastik
Lainnya..………
b. Milk can
: Stainless steel
Plastik
Lainnya..………
c. Saringan
: Kain Kassa
Saringan santan
Lainnya..………
d. Pelicin
: Vaselin
Lainnya..………
e. Teat dipping
: Chlor
Alkohol
Lainnya..………
G. KESEHATAN HEWAN 1. Pengetahuan penyakit Ciri-ciri penyakit sakit: a. ………………………………………………………………. b. ………………………………………………………………. c. ………………………………………………………………. d. ………………………………………………………………. e. ………………………………………………………………. f. ………………………………………………………………. 2. Pencegahan penyakit (vaksinasi) a. Teratur
b. Tidak teratur
c. Tidak pernah
3. Pengobatan penyakit a. Dilakukan dengan benar, menggunakan jasa tenaga Keswan (dokter hewan) b. Dilakukan kurang benar, dilakukan oleh peternak itu sendiri c. Tidak dilakukan
62