BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tanaman Ekor Naga Tanaman ekor naga sejenis tanaman merambat yang besar, memanjat pada pohon yang tingginya bisa mencapai 5-15 m, daun berbentuk bulat memanjang, daun berbagi-bagi, ujung daunnya meruncing, mempunyai toreh, dalamnya melebihi setengah panjang tulang daun yang berjumlah 7-12, dengan batang yang bulat, dan mempunyai akar pelekat dan akar gantung yang panjang bergantungan seperti ular yang meliliti pohon. Tanaman ini berasal dari Himalaya sampai Australia dan Pasifik (Burkill, 1935; Heyne, 1987). 2.1.1 Sinonim (Lemmens and Bunyapraphatsa, 2003) Epipremnun pinnatum (L.) Engl, Scindapsus pinnatus (L.) schott, Rhaphidophora merillii Engl 2.1.2 Nama Daerah (Heyne, 1987) Indonesia
: Tapanawa tairis (Mal.)
Sunda
: Lolo munding, Lolo tali
Jawa
: Jalu mampang, Sulang
Bali
: Samblung
Sumatera Utara
: Ekor naga
2.1.3 Sistematika Tanaman Ekor Naga (Arthur, 1981) Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Monocotyledoneae
Bangsa
: Arales
Famili
: Araceae
Genus
: Rhaphidophora
Spesies
: Rhaphidophora pinnata Schott.
2.1.4 Kegunaan Tanaman Ekor Naga Kulit akar gantung dikunyah dengan pinang dan kapur, berguna untuk menguatkan akar gigi dan dapat menghitamkan gigi sebagai efek sampingnya. Batang digiling dapat menyembuhkan anggota badan yang salah urat (terkilir). Di Singapura, daunnya digunakan sebagai teh herbal untuk mengobati reumatik dan kanker. Di Pilipina, getah dari batang tanaman digunakan untuk mengobati gigitan ular beracun. Di Vietnam, tanaman ini berguna untuk mengobati batuk, paralisis dan konjungtivitis (Heyne, 1987; Lemmens, 2003). 2.2
Uraian Kimia Triterpenoid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isopren, dimana kerangka karbonnya dibangun oleh dua atau lebih satuan C5 tersebut. Senyawa terpenoid terdapat bebas dalam jaringan tanaman, tetapi banyak diantaranya yang terdapat sebagai alkohol, aldehid (Harbone,1987), glikosida
dan ester asam aromatik (Sastrohamidjojo, 1996). Struktur kimia
isopren dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Struktur Kimia Isopren Triterpenoid merupakan senyawa yang tidak berwarna, berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi dan optik aktif, yang umumnya sukar dicirikan karena tidak mempunyai kereaktifan kimia. Kebanyakan senyawa ini memberikan warna hijau-
biru dengan pereaksi Liebermann-Burchard (asam asetat anhidrid-asam sulfat pekat) (Harborne, 1987). Triterpenoid memiliki beberapa aktivitas fisiologi, antara lain untuk penyakit diabetes, gangguan menstruasi, patukan ular, gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria (Robinson, 1995), radang (Aguirre, et al., 2006), analgesik (Delporte, et al., 2007) dan kanker (Atenza, dkk, 2009). Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat golongan senyawa, yaitu triterpenoid sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung (Harborne, 1987). 1. Triterpenoid Pembagian triterpenoid berdasarkan jumlah cincin yang terdapat pada struktur molekulnya (Robinson, 1995), antara lain: a. Triterpenoid asiklik, yaitu triterpenoid yang tidak mempunyai cincin tertutup dalam cincin molekulnya, contohnya skualen. b. Triterpenoid trisiklik, yaitu triterpenoid yang mempunyai tiga cincin tertutup dalam cincin molekulnya, contohnya ambrein. c. Triterpenoid tetrasiklik, yaitu triterpenoid yang mempunyai tiga cincin tertutup dalam cincin molekulnya, contohnya lanosterol. d. Triterpenoid pentasiklik, yaitu triterpenoid yang mempunyai tiga cincin tertutup dalam cincin molekulnya, contohnya α-amirin. Struktur kimia triterpenoid dapat dilihat pada gambar 2.
Skualen
Ambrein
α-amirin Gambar 2. Struktur Kimia Triterpenoid Senyawa triterpenoid tetrasiklik menarik perhatian karena kemungkinan Lanosterol
ada kaitan biogenesis dengan steroid, contohnya lanosterol, senyawa antara biosintesis steroid pada hewan. Triterpenoid pentasiklik paling tersebar luas, umumnya pada tumbuhan berbiji, baik dalam bentuk bebas maupun sebagai glikosida (Robinson, 1995). 2. Steroid Steroid
adalah
senyawa
yang
memiliki
kerangka
dasar
siklopentanafenantren. Pada umumnya, gugus metil berada pada C10 dan C13. Rantai samping alkil dapat juga berada pada C17. Sterol adalah steroid yang memiliki gugus hidroksi pada C3. Atom karbon tambahan dapat berada pada rantai samping (IUPAC, 1989). Struktur kimia dan sistem penomoran steroid dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Struktur Kimia dan Sistem Penomoran Steroid 3. Saponin
Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Dalam larutan yang sangat encer sangat beracun untuk ikan. Diberikan nama saponin karena sifatnya yang menyerupai sabun (bahasa Latin, sapo: sabun). Saponin dibagi menjadi dua jenis, yaitu glikosida triterpenoid dan glikosida steroid (Robinson, 1995). 4. Glikosida Jantung Glikosida
jantung
merupakan
glikosida
steroid
dengan
kerangka
dasar
siklopentanafenantren, gugus lakton tak jenuh pada rantai samping C17, sebuah gugus hidroksi pada C14 dan glikon selalu terikat pada C3. Aglikon glikosida jantung ada dua, yaitu kardenolida (gugus lakton pentasiklik pada C17) dan bufadienolida (gugus lakton heksasiklik pada C17) (Robinson, 1995). 2.3 Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat aktif yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat dapat dipermudah dengan mengetahui terlebih dahulu zat aktif yang dikandung simplisia. Ekstraksi dipengaruhi oleh derajat kehalusan serbuk dan perbedaan konsentrasi. Jika hanya dengan mencelupkan serbuk simplisia ke dalam pelarut, maka ekstraksi tidak akan sempurna karena terjadi kesetimbangan antara larutan zat aktif di luar sel dan larutan zat aktif di dalam sel (Depkes, 1986). Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai cara (Depkes, 2000), yaitu: 1. Maserasi Maserasi adalah proses ekstraksi menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Menurut Depkes (1986) maserasi
dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari, dimana cairan akan berdifusi dengan dinding sel yang mengandung zat aktif. Pengadukan dilakukan untuk menjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Larutan yang terpekat didesak keluar dinding sel sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan hasil maserasi pertama dikenal dengan remaserasi.
2. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna, umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prosesnya terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pengembangan bahan, maserasi antara, dan perkolasi sebenarnya (penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh perkolat. 3. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. 4. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan menggunakan alat khusus, sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dan adanya pendingin balik. 5. Digesti Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu 40-500C.
6. Infundasi Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-980C) selama waktu tertentu biasanya 15-20 menit. 7. Dekok Dekok adalah infundasi pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air. 2.4 Kromatografi Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Saat ini, kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling umum dimanfaatkan untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif maupun kuantitatif, atau preparatif dalam bidang farmasi (Rohman, 2007). Kromatografi pertama kali dikembangkan pada tahun 1903 oleh Michael Tswett, seorang ahli botani Rusia dalam memisahkan pigmen berwarna, sehingga dinamakan kromatografi. Namun sekarang hampir kebanyakan pemisahan secara kromatografi digunakan untuk senyawa tak berwarna (Sastrohamidjojo, 1985). 2.4.1 Kromatografi Lapis Tipis Penggunaan umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya komponen dalam campuran, identifikasi senyawa, memantau proses reaksi, menentukan efektifitas pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta untuk memantau kromatografi kolom, melakukan skrining sampel untuk obat (Rohman, 2007). Fase diam pada KLT sering disebut penyerap, biasanya dapat melewati ayakan 250 mesh dengan ukuran partikel lebih kecil dari 63µm (Gritter, et al.,
1991). Banyak penyerap yang telah digunakan, termasuk silika gel dengan ketebalan sekitar 0,10 sampai 0,25 mm, didukung oleh plat kaca, aluminium atau plastik (Wall, 2005). Permukaan polar dari gugus hidroksi silika gel berfungsi menarik molekul sampel. Lapisan silika gel harus sesedikit mungkin mungkin mengandung air, sehingga harus diaktifkan dengan pemanasan pada 1000C selama 1-3 jam. Jika suhu pengaktifan jauh di atas 1100C terjadi dehidrasi yang tak bolakbalik menyebabkan pemisahan kurang efektif. Setelah diaktifkan, lapisan disimpan dalam lingkungan yang kering (Gritter, et al., 1991). Fase gerak adalah medium angkut, terdiri dari satu atau beberapa pelarut, yang bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori karena adanya gaya kapiler (Stahl, 1985). Pemilihan sistem pelarut yang dipakai didasarkan atas prinsip like dissolves like, artinya untuk memisahkan sampel yang bersifat nonpolar digunakan sistem pelarut yang bersifat nonpolar juga. Proses pengembangan akan lebih baik bila ruangan pengembangan tersebut telah jenuh dengan uap sistem pelarut (Adnan, 1997). Pelarut dalam ruangan pengembang dihindarkan dari atmosfer luar untuk menghindari penguapan komponen-komponen (Sastrohamidjojo, 1985) dan campuran pelarut dianjurkan hanya dipakai untuk sekali pengembangan saja karena susunannya mudah berubah akibat salah satu komponennya menguap (Gritter, et al., 1991). Harga
dihitung dengan menggunakan perbandingan sebagaimana persamaan sebagai
berikut:
Harga maksimum
adalah 1, sampel bermigrasi dengan kecepatan sama dengan
fase gerak. Harga minimum
adalah 0, dan ini teramati jika sampel tertahan
pada posisi titik awal di permukaan fase diam (Rohman, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf pada KLT (Sastrohamidjojo, 1985), antara lain: 1.
Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan
2.
Sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya
3.
Tebal dan kerataan lapisan penyerap
4.
Derajat kemurnian fase gerak
5.
Derajat kejenuhan uap pengembang pada bejana
6.
Jumlah cuplikan
7.
Suhu.
2.4.2 Kromatografi Kolom Penggunaan kolom besar merupakan metode kromatografi untuk pemisahan campuran dalam jumlah besar (lebih dari 1 g). Campuran yang akan dipisahkan berupa pita pada bagian atas kolom penyerap. Fase gerak dialirkan melalui kolom oleh gaya berat atau oleh tekanan. Pita campuran bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah, dan dikumpulkan berupa fraksi (Gritter, et al., 1991). Ukuran partikel penyerap untuk kolom dengan gaya tarik bumi biasanya lebih besar daripada untuk KLT, yaitu 63-250 µm, dapat melewati ayakan mesh 70-230; sedangkan untuk kolom dengan tekanan biasanya lebih kecil daripada untuk KLT (Gritter, et al., 1991; Hostettmann, et al., 1995). Besar partikel yang sama akan memudahkan untuk mendapatkan pengisian yang homogen. Harus
diperhatikan agar tidak ada bagian penyerap yang kering, baik selama pengisian maupun pemisahan (Sastrohamidjojo, 1985). Kromatografi kolom memerlukan waktu yang lama dan bahan yang cukup banyak, sehingga perlu dipastikan campuran pelarut yang terbaik untuk pemisahan. Masalah ini dapat dipecahkan melalui tiga pendekatan, yaitu penelusuran pustaka, penerapan data KLT dan pemakaian elusi landaian Fraksi kolom yang mengandung senyawa yang sama yang diperiksa dengan KLT kemudian digabungkan, diuapkan dengan tekanan rendah. Jika pelarut dan penyerap murni, maka fraksi-fraksi pun murni. Namun mungkin masih diperlukan rekristalisasi untuk memperoleh senyawa murni (Gritter, et al., 1991). 2.5
Spektroskopi Spekstroskopi adalah studi mengenai interaksi cahaya dengan atom dan
molekul. Radiasi cahaya dan elektromagnetik dapat dianggap menyerupai gelombang (Creswell, et al., 2005). 2.5.1 Spektrofotometri Ultraviolet Spektrum ultraviolet merupakan gambaran antara panjang gelombang serapan dan intensitas serapan (absorbansi) (Sastrohamidjojo, 1991). Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm, sedangkan sinar tampak pada 400-800 nm. Beberapa kegunaan penggunaan spektrofotometri ultraviolet (Dachriyanus, 2002), antara lain: 1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjugasi dan auksokrom dari senyawa organik, 2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang maksimum suatu senyawa,
3. Analisis kuantitatif senyawa organik menggunakan hokum Lambert-Beer. Apabila suatu molekul menyerap radiasi ultraviolet, di dalam molekul tersebut terjadi perpindahan tingkat energi elektron-elektron ikatan di orbital molekul terluar dari tingkat energi terendah ke tingkat energi yang tertinggi. Baik molekul senyawa organik maupun anorganik dapat menyerap radiasi ultraviolet (Noerdin, 1985). Semakin kecil perbedaan energi antara tingkat terendah dan tingkat tereksitasi, maka semakin besar panjang gelombang dari serapan. (Silverstein, et al., 1986). Untuk senyawa yang mempunyai sistem konjugasi, perbedaan energi menjadi lebih kecil sehingga penyerapan terjadi pada panjang gelombang yang lebih besar (Dachriyanus, 2002). Beberapa istilah yang sering digunakan dalam spektrofotometri ultraviolet (Sastrohamidjojo, 1991), antara lain: 1. Kromofor adalah gugus tak jenuh kovalen yang dapat menyerap radiasi di daerah ultraviolet, contohnya: C=C, C=O dan NO2. 2. Auksokrom adalah gugus jenuh yang bila terikat pada kromofor akan mengubah panjang gelombang dan intensitas serapan maksimum, contohnya – Cl, -OH dan NH2. 3. Pergeseran batokromik (pergeseran merah) adalah pergeseran serapan ke arah panjang gelombang yang lebih panjang disebabkan subtitusi atau pengaruh pelarut. 4. Pergeseran hipsokromik (pergeseran biru) adalah pergeseran serapan ke arah panjang gelombang yang lebih pendek disebabkan subtitusi atau pengaruh pelarut. 5. Efek hiperkromik adalah kenaikan intensitas serapan.
6. Efek hipokromik adalah penurunan intensitas serapan. 2.5.2 Spektrofotometri Inframerah Spektrofotometri inframerah merupakan teknik spektrofotometri tercepat dan termurah yang digunakan dalam kimia organik. Sampel dapat berupa padatan, cairan atau gas, dan dapat diukur dalam larutan dengan KBr atau minyak mineral. Kemudian spektrum dapat diperoleh hanya dalam beberapa menit dari material murni parsial dengan tujuan memberikan indikasi bahwa reaksi yang terjadi terjadi seperti yang diinginkan (Cooper, 1980). Sinar inframerah bila dilewatkan melalui cuplikan senyawa organik, maka sejumlah frekuensi diserap dan sebagian diteruskan tanpa diserap. Daerah inframerah terletak antara spektrum ultraviolet dan spektrum radio, yakni antara 4000-400 cm-1. Beberapa kegunaan penggunaan spektrofotometri inframerah (Dachriyanus, 2002), antara lain: 1. Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik, 2. Mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya. Identifikasi senyawa yang tidak diketahui gugus fungsinya dapat diuji struktur inframerahnya, kemudian spektrum dideteksi menggunakan data korelasi untuk memperoleh gugus fungsional apa saja yang terdapat (Sastrohamidjojo, 1991). Langkah-langkah umum untuk memeriksa pita serapan (Pavia et al., 1988) adalah sebagai berikut: 1. Apakah terdapat gugus karbonil? Gugus C=O memberikan puncak pada daerah 1820-1660 cm-1. Puncak ini biasanya merupakan yang terkuat dengan medium lebar pada spektrum.
2. Jika gugus C=O ada, periksa gugus-gugus berikut. Jika tidak ada, langsung ke nomor 3. a. Asam. Apakah ada O-H? Serapan lebar di daerah 3300-2500 cm-1. Biasanya tumpang tindih dengan C-H. b. Amida. Apakah ada N-H? Serapan medium di dekat 3500 cm-1, kadangkadang dengan puncak rangkap. c. Ester. Apakah ada C-O? Serapan medium di daerah 1300-1000 cm-1. d. Anhidrida. Mempunyai dua serapan C=O di daerah 1810 dan 1760 cm-1. e. Aldehida. Apakah ada C-H aldehid? Dua serapan lemah di daerah 28502750 cm-1 yaitu di sebelah kanan serapan C-H. f. Keton. Jika kelima kemungkinan di atas tidak ada. 3. Bila gugus C=O tidak ada. a. Alkohol/fenol. Periksa gugus O-H, merupakan serapan lebar di daerah 3600-3300 cm-1 yang diperkuat adanya serapan C-O di daerah 1300-1000 cm-1. b. Amina. Periksa gugus N-H, yaitu serapan medium di daerah 3500 cm-1. c.
Eter. Periksa gugus C-O (serapan O-H tidak ada), yaitu serapan medium di daerah 1300-1000 cm-1.
4. Ikatan rangkap dua dan/atau cincin aromatik. a. C=C mempunyai serapan lemah di daerah 1650 cm-1. b. Serapan medium sampai kuat pada daerah 1650-1450 cm-1 sering menunjukkan adanya cincin aromatik.
c. Buktikan kemungkinan di atas dengan memperhatikan serapan pada daerah C-H aromatik di sebelah kiri 3000 cm-1, sedangkan C-H alifatis terjadi di sebelah kanan daerah tersebut. 5. Ikatan rangkap tiga. a. C≡N mempunyai serapan medium dan tajam di daerah 2250 cm-1. b. C≡C mempunyai serapan lemah tapi tajam di daerah 2150 cm-1. Periksa juga CH asetilenik di dekat 3300 cm-1. 6. Gugus nitro. Dua serapan kuat di daerah 1600-1500 cm-1 dan 1390-1300 cm-1. 7. Hidrokarbon. a. Apabila keenam kemungkinan di atas tidak ada. b. Serapan utama di daerah C-H dekat 3000 cm-1. c. Spektrum sangat sederhana, hanya terdapat serapan lain di daerah 14501375 cm-1.