PERTANYAAN KRITIS DALAM CERITA ANAK UNTUK MEWUJUDKAN MEMBACA YANG BERMAKNA
Kusubakti Andajani Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Kemampuan membaca dan minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak bermaknanya cerita atau bacaan yang dibaca anak. Agar anak dapat mencapai membaca yang bermakna perlu dilakukan pendampingan oleh orang tua atau guru bagi anak saat mereka membaca buku. Namun, tidak selalu orangtua atau guru memiliki kesempatan yang cukup untuk mendampingi anak dalam membaca. Penyusunan serangkaian pertanyaan kritis pada setiap akhir cerita dapat menjadi alternatif pengganti kehadiran orangtua atau guru. Pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut akan membimbing anak dalam menemukan nilai-nilai dalam cerita yang dibacanya sehingga aktivitas membaca anak menjadi bermakna. Kata kunci: pertanyaan kritis, cerita anak, membaca bermakna
Kondisi kemampuan membaca (reading literacy) anak Indonesia sangat rendah. Hasil studi International Association for Evaluation of Educational tentang reading literacy siswa sekolah dasar kelas IV pada 30 negara di dunia menyimpulkan bahwa pada tahun 1992 Indonesia menempati urutan ke-29, setingkat di atas Venezuela yang menempati peringkat terakhir pada urutan ke-30. Data di atas relevan dengan data World Bank tahun 1998 yang menunjukkan bahwa reading literacy anak-anak kelas VI SD di Indonesia menduduki peringkat terakhir dengan nilai rata-rata 51,7. Posisi ini berada di bawah anak-anak Filipina (52,6), Thailand (65,1), Singapura (74,0), dan Hongkong (75,5) (dalam Baderi, 2003). Data lain dari Badan Pusat Statistik tahun 2006 menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama untuk mendapatkan informasi. Orang Indonesia lebih memilih menonton televisi (85,9%) dan/atau mendengarkan radio 389
(40,3%) daripada membaca koran/ majalah (23,5%). Hasil penelitian Program for International Student Assessment menemukan bahwa pada tahun 2009 Indonesia berada pada peringkat ke-57 dari 65 negara di dunia dalam hal reading literacy (dalam Sudaryanto, 2012). Kondisi ini secara otomatis juga menggambarkan betapa rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak usia SD. Dan ternyata, kondisi ini belum banyak berubah hingga sekarang. Ada banyak alasan mengapa minat baca anak Indonesia rendah. Berdasarkan survei di masyarakat, sebagian besar keluarga Indonesia tidak memiliki tradisi membaca dalam kehidupan rumah tangga mereka. Sampai saat ini tradisi yang kuat, bahkan mungkin telah membudaya, pada sebagian besar keluarga Indonesia adalah menonton sinetron dan sejumlah acara televisi lainnya. Penggunaan berbagai jenis gadget untuk berbagai tujuan juga telah menjadi kebiasaan hampir seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan.
390, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
Alasan lain adalah kurangnya upaya orang tua, termasuk di antaranya guru, dalam menyediakan bahan bacaan yang layak untuk dikonsumsi anak. Seringkali anak mendapatkan bacaan-bacaan yang sekilas dari segi bahasa dan layout-nya layak untuk dikonsumsi anak usia SD tetapi jika dicermati lebih lanjut dari segi isi ternyata mengarah ke cerita remaja/ dewasa. Rendahnya reading literacy yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya minat baca anak Indonesia juga terjadi karena anak jarang sekali memperoleh pendampingan di saat mereka membaca. Akibatnya, anak akan ‘menelan mentahmentah’ informasi yang tersaji dalam bacaan tanpa mampu memaknainya secara tepat. Besar kemungkinan anak memaknainya secara salah atau bahkan ia tidak menemukan makna apapun dari apa yang dibacanya. Mereka hanya membaca kata demi kata dan memahaminya secara dangkal tanpa tahu apa sebenarnya yang ada di balik bacaan tersebut. Membaca yang tidak bermakna hanya akan membuat anak menjadi cepat bosan karena mereka tidak menemukan kenikmatan dari membaca itu sendiri. Apabila hal ini berlangsung terus-menerus, akhirnya mereka pun menjadi malas membaca. Ada banyak faktor yang menyebabkan anak tidak memperoleh pendampingan dalam aktivitas membacanya. Kesibukan orangtua pada saat anak di rumah dan terbatasnya waktu guru untuk membimbing saat anak di sekolah merupakan kendala kurangnya pendampingan anak dalam membaca. Keadaan ini harus diatasi agar rendahnya reading literacy anak Indonesia tidak terus berlanjut dan kualitas minat baca mereka dapat ditingkatkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melampirkan pertanyaanpertanyaan kritis di setiap akhir bacaan anak. Pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut dimaksudkan untuk mengarahkan anak
dalam menemukan makna yang terdapat di dalam bacaan. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, meski anak tidak memperoleh pendampingan dari siapa pun, secara tak langsung anak akan dapat menemukan sendiri makna yang terkandung dalam bacaan yang dibacanya, termasuk di antaranya pada bacaan cerita anak. Makalah ini ditulis dengan maksud menunjukkan model-model pertanyaan kritis sebagaimana yang dimaksud di atas dengan fokus bacaan pada cerita anak. Pertanyaan kritis yang menyertai setiap cerita anak tersebut dapat menjadi model untuk membuat pertanyaan-pertanyaan kritis sejenis pada cerita-cerita anak yang lain. Dengan demikian, diharapkan anak mampu memaknai sendiri setiap cerita atau bacaan yang dibacanya, dan pada akhirnya bermuara pada tumbuhnya minat baca pada diri mereka. CERITA ANAK Cerita anak merupakan salah satu jenis wacana narasi yang disampaikan secara sederhana, tetapi kompleks. Kesederhanaan itu terlihat dalam sistematika wacananya yang baku dan berkualitas tinggi, tetapi tidak ruwet. Dengan demikian, cerita anak terasa lebih ringan dibaca dan komunikatif. Selain dapat membantu daya imajinasi anak, cerita anak juga dapat membantu daya kreativitas mereka. Substansi isi cerita yang disajikan dalam rangkaian bahasa yang sederhana dan menarik akan membuat anak secara tak sadar berimajinasi untuk membayangkan peristiwa dalam cerita tersebut. Lebih lanjut anak akan mengembangkan imajinasinya sedemikian rupa, sehingga tanpa sadar mereka pun telah mengembangkan daya kreativitas dan bahkan kekritisannya. Sebuah cerita anak hendaknya juga sarat dengan pesan moral. Hal yang perlu
Andajani, Pertanyaan Kritis dalam Cerita Anak, 391
diperhatikan, pesan moral tersebut dapat disampaikan kepada anak tanpa harus mereka merasa digurui. Selain itu, elemen moral tersebut harus dapat diintegrasikan dalam jalinan cerita yang menyenangkan. Cerita anak menempatkan imajinasi sebagai kekuatan cerita. Terkait dengan hal tersebut, penulis cerita anak harus mampu mengalihkan ide dan pola pikir anak, bahkan orang dewasa, kepada dunia anak-anak dalam bahasa yang sederhana. Keberadaan jiwa dan sifat anak-anak yang tersirat dalam sebuah cerita nantinya menjadikan cerita anak tersebut digemari. Hal ini sejalan dengan pendapat Huck, Hepler, & Hickman (dalam Lestari, 2009). Dalam bukunya yang berjudul Becoming a Nation of Readers, didefinisikan cerita anak sebagai penggunaan pandangan anak atau kacamata anak dalam menghadirkan cerita atau dunia imajiner. Itu sebabnya, sangat sering ditemukan cerita anak yang di dunia nyata sangat mustahil terjadi. Pola pikir imajinatif juga masih dominan bagi anak usia SD. Itu sebabnya, buku cerita fiksi yang imajinatif juga sangat cocok untuk dikonsumsi anak, termasuk di antaranya anak usia SD. Dapat ditegaskan bahwa unsur imajinasi dapat disematkan di semua bentuk cerita anak tanpa ada batasan untuk berimajinasi. Imajinasi dapat dilakukan seliar mungkin. Namun, keliaran itu harus tetap mempertimbangkan sisi pendidikan. Artinya, selain menawarkan kesenangan/keceriaan/kelucuan, sebaiknya cerita anak juga disesuaikan dengan nalar dan tidak bertentangan dengan moral. Aspek struktur yang menentukan sebuah bangun cerita anak, sesuai pemaparan Sarumpaet (2003), antara lain meliputi alur, tokoh, latar, tema, dan gaya. Bangun yang menentukan atau mendasari cerita fiksi adalah alur. Alur menentukan sebuah cerita menarik atau tidak. Hal yang penting dari alur ini adalah konflik, karena konflik
dapat menggerakkan sebuah cerita. Konflik juga dapat menyebabkan seseorang menangis, tertawa, marah, senang, jengkel ketika membaca sebuah cerita. Alur cerita anak biasanya dirancang secara kronologis, yang menaungi periode tertentu dan menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam periode tertentu. Alur lain yang digunakan adalah sorot balik. Alur sorot balik digunakan penulis untuk menginformasikan peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Biasanya alur sorot balik ini dijumpai pada bacaan anak yang lebih tua dan biasanya akan membingungkan anakanak di bawah usia sembilan tahun. Tokoh adalah "pemain" dari sebuah cerita. Tokoh yang digambarkan secara baik dapat menjadi teman, tokoh identifikasi, atau bahkan menjadi orang tua sementara bagi pembaca. Peristiwa tak akan menarik bagi anak, jika tokoh yang digambarkan dalam cerita tidak mereka gandrungi. Hal penting dalam memahami tokoh adalah penokohan yang berkaitan dengan cara penulis dalam membantu pembaca untuk mengenal tokoh. Hal ini terlihat dari penggambaran secara fisik tokoh serta kepribadiannya. Aspek lain adalah perkembangan tokoh. Perkembangan tokoh menunjuk pada perubahan baik atau buruk yang dijalani tokoh dalam cerita-cerita. Latar adalah waktu yang menunjukkan kapan sebuah cerita terjadi dan tempat di mana cerita itu terjadi. Misalnya, dalam cerita kesejarahan penciptaan waktu yang otentik sangatlah penting untuk memahami sebuah cerita. Keberadaan latar sangat menunjang keberadaan alur dalam suatu cerita. Artinya, alur cerita dapat dideskripsikan dengan memanfaatkan deskripsi latar demi latar, baik itu latar waktu maupun latar tempat. Tema sebuah cerita adalah makna yang tersembunyi. Tema mencakup moral atau pesan/amanat cerita. Tema bagi cerita
392, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
anak haruslah yang perlu dan baik bagi mereka, serta mampu menerjemahkan kebenaran. Hal penting yang perlu diperhatikan juga, bahwa tema tidak boleh mengalahkan alur dan tokoh-tokoh cerita. Isi cerita anak yang baik tidak hanya menyampaikan pesan moral, tetapi juga harus bercerita tentang sesuatu pesan secara mengalir. Dengan cara itu, tema dapat disampaikan kepada anak secara tersamar. Jadi, jika nilai moral hendak disampaikan pada anak, tema harus terjahit dalam bahan cerita yang kuat. Dengan demikian, anak dapat membangun pengertian baik atau buruk tanpa merasa diindoktrinasi. Gaya adalah cara bagaimana penulis berkisah dalam tulisan. Aspek yang digunakan untuk menelaah gaya dalam sebuah cerita fiksi adalah pilihan kata, meliputi panjang atau pendek, biasa atau tidak, membosankan atau menggairahkan. Kata-kata yang digunakan haruslah tepat dengan maksud cerita itu. Hal ini dikarenakan pilihan kata dapat menimbulkan efek tertentu bagi pemahaman anak terhadap isi cerita tersebut. Bahkan, tingkat keterpahaman anak terhadap aspek moral yang disampaikan melalui cerita tersebut sangat ditentukan oleh gaya penyampaian yang dipilih oleh penulisnya. Selain pilihan kata, kalimat dalam cerita anak-anak haruslah lugas, tidak bertele-tele. Kalimat yang digunakan juga tidak harus berupa kalimat tunggal. Kalimat yang kompleks juga dapat digunakan selama kalimat tersebut logis dan langsung mengarah kepada apa yang ingin disampaikan. Kedudukan penulis, dalam hal ini penulis cerita anak, sangatlah sentral. Hal ini disebabkan karena penulislah yang menulis, menerbitkan, menjual, memilih, membeli, dan menyampaikan kepada anak. Anak-anak hanya disuguhi dan yang bertanggung jawab adalah penulis. Hal penting yang harus dimiliki penulis cerita
anak, menurut Titik (2003) meliputi bakat, kemauan atau niat, wawasan luas, kaya imajinasi, disiplin, kreatif, persepsi, tanggung dan tidak mudah putus asa, menguasai teknik menulis, serta memahami bahasa. Dengan mendengarkan/membaca cerita, secara kritis mereka dapat mengenali karakter tokoh yang dimainkan dalam cerita tersebut, konflik-konflik yang ada, serta alternatif-alternatif penyelesaian terhadap konflik-konflik itu. Dengan mendengarkan/membaca cerita, secara kritis anak juga belajar mengenai nilai-nilai edukatif yang terkandung di dalam cerita tersebut. Apabila aktivitas mendengarkan/membaca cerita ini dilakukan secara rutin, maka secara perlahan dan tanpa disadari, kualitas kekritisan penalaran anak dapat ditingkatkan. Dan, hampir dapat dipastikan bahwa nilai-nilai edukatif itu akan dipahami oleh anak, untuk selanjutnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan dewasanya kelak. Tentunya, semua itu dapat terjadi apabila kualitas cerita yang diberikan kepada anak memang telah memenuhi standar edukatif suatu cerita. Wacana narasi cerita anak merupakan bangun cerita yang menampilkan sebuah dunia yang dikreasikan pengarang. Wujud formalnya berupa kata dan katakata. Sebagai sebuah bangun yang utuh, cerita anak memiliki bangun-bangun atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain, termasuk di dalamnya adalah bahasa. Pesan yang terkandung dalam sebuah narasi cerita anak, serta gagasan yang ada di dalamnya, dikomunikasikan melalui wacana bahasa. Jadi, bahasa dalam cerita anak mengembangkan fungsi utamanya, yaitu fungsi komunikatif. Dunia dalam cerita anak diciptakan, dibangun, ditawarkan, diabstraksikan dan ditafsirkan melalui bahasa.
Andajani, Pertanyaan Kritis dalam Cerita Anak, 393
KARAKTERISTIK ANAK USIA SEKOLAH DASAR Menurut Teori Kognitif Piaget, pemikiran anak usia sekolah dasar disebut pemikiran operasional konkret (concrete operational thought). Aktivitas mental anak dalam menghubung konsep-konsep atau skema-skema dalam pikiran mereka difokuskan pada objek dan peristiwa nyata atau konkret. Dan, seluruh aktivitas mental tersebut dapat diukur secara jelas. Pada masa ini anak juga sudah mengembangkan pikiran-pikiran logis dan mampu memahami operasi dalam sejumlah konsep. Anak tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber pada pancaindera karena mereka mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan antara apa yang bersifat sementara dengan yang bersifat menetap (Desmita, 2007). Pada masa operasional konkret anak telah mampu menyadari adanya konversi, yaitu kemampuan berhubungan dengan sejumlah aspek yang berbeda secara serempak. Terkait dengan hal itu anak juga mulai mampu melakukan konversi pada dimensi-dimensi lain dalam kehidupan nyata. Hal ini dikarenakan anak telah mengembangkan operasi berpikir (1) negasi, (2) resiprokasi, dan (3) identitas. Pada operasi negasi, anak tidak hanya melihat apa yang terjadi pada suatu kegiatan, melainkan mampu memahami proses terjadinya kegiatan, sekaligus memahami hubungan antara satu aspek dengan aspek yang lain dalam kegiatan tersebut. Adapun pada operasi resiprokasi, anak mampu mengetahui lebih jauh adanya hubungan timbal-balik antara satu aspek dengan aspek lain dalam suatu kegiatan. Pada operasi identitas, anak mengenal dengan baik satu per satu benda-benda yang ada pada suatu kegiatan sehingga meski dilakukan pengubahan posisi pada
benda-benda tersebut anak masih dapat mengenalinya dengan baik (Papalia, 2008). Dalam perkembangan lebih lanjut, anak mengetahui suatu perbuatan tanpa harus melihat perbuatan tersebut secara nyata, atau anak dapat berpikir untuk melakukan suatu masih terbatas pada halhal yang berhubungan dengan sesuatu yang bersifat konkret dan nyata secara fisik. Dalam keadaan normal, anak masih kesulitan untuk memikirkan benda-benda atau peristiwa-peristiwa yang tidak ada hubungannya secara jelas dan konkret, seperti konsep mengenai kiamat, surga, kesetiaan, atau kebersamaan. Secara sederhana, anak pada tahap operasional konkret juga mulai menapaki ranah kreativitas. Dalam hal ini kreativitas didefinisikan sebagai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Melalui proses kreatif dapat diciptakan produkproduk baru, baik itu produk yang baru sama sekali dan belum pernah ada sebelumnya, atau produk yang baru sebagai hasil kombinasi sejumlah produk yang telah ada sebelumnya, maupun produk yang baru sebagai hasil inovasi dari produk yang telah ada sebelumnya. J.P. Guilford (dalam Sukmadinata, 2005) menegaskan bahwa kreativitas perlu dikembangkan melalui jalur pendidikan guna mengembangkan potensi anak secara utuh dan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan seni. Lebih lanjut Guilford mengemukakan konsepnya tentang struktur intelektual, yang menganggap bahwa kombinasi yang utuh antara kemampuan berpikir konvergen (penalaran logis) dan kemampuan berpikir divergen (pemikiran yang menghasilkan banyak jawaban yang luas atas pertanyaan yang sama) akan menghasilkan kreativitas yang tinggi. Bahkan, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil kreativitas yang tinggi biasanya indentik dengan hasil intelegensi yang tinggi, meski orang dengan kreativitas
394, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
tinggi belum tentu memiliki intelegensi yang tinggi, dan sebaliknya, orang dengan intelegensi yang tinggi belum tentu menghasilkan kreativitas yang tinggi. Munandar (dalam Sukmadinata, 2005) mengemukakan hasil penelitiannya tentang 10 indikator kepribadian kreatif yang diharapkan oleh bangsa Indonesia. Ke sepuluh indikator tersebut meliputi (1) berdaya imajinasi kuat, (2) berinisiatif tinggi, (3) berminat luas, (4) bebas dalam berpikir, (5) bersifat ingin tahu, (6) selalu ingin mendapat pengalaman baru, (7) rasa percaya diri kuat, (8) penuh semangat, (9) berani mengambil resiko, dan (10) berani mengemukakan pendapat berdasarkan keyakinan. Namun, pengembangan kepribadian kreatif pada diri anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Karenanya, peran orang tua dan guru dalam mengembangkan kepribadian anak agar menjadi anak yang kreatif sangatlah besar. Kemampuan memori jangka panjang anak usia sekolah dasar menunjukkan perkembangan yang pesat, setelah memori jangka pendek yang berkembang pesat masa awal anak-anak mereka (usia 2 sampai 6 tahun). Memori jangka panjang sangat bergantung pada kegiatan-kegiatan belajar individu ketika mempelajari, mengorganisasi, dan mengingat informasi. Usia, sikap, motivasi, kesehatan, serta skemata merupakan sejumlah aspek yang turut mempengaruhi perkembangan memori anak usia sekolah dasar. Pada periode ini anak mulai menggunakan strategi memori, yaitu perilaku yang disengaja untuk meningkatkan memori. Matlin (dalam Desmita, 2007) menyebutkan empat macam strategi memori, yang tiga di antaranya banyak digunakan oleh anak usia sekolah dasar, yaitu (1) pengulangan (rehearsal), (2) organisasi (organization), (3) perbandi-
ngan (imagery), dan (4) pemunculan kembali (retrieval). Strategi pengulangan merupakan salah satu strategi peningkatan memori dengan cara mengulangi berkalikali informasi yang diterima. Strategi ini sangat berguna bagi peningkatan memori jangka pendek. Strategi organisasi merupakan strategi peningkatan memori dengan cara mengkategorikan atau mengelompokkan. Daya ingat yang diperoleh melalui strategi organisasi relatif lebih tahan lama daripada strategi pengulangan, karena penggunaan strategi ini menuntut adanya pemahaman terhadap informasi terlebih dulu. Adapun strategi perbandingan merupakan strategi peningkatan memori dengan cara membandingkan informasi yang hendak diingat dengan sesuatu yang sejenis dan lebih dikenal sebelumnya. Pembuatan ilustrasi merupakan salah satu metode yang dapat dikembangkan dari strategi perbandingan ini. Sebagaimana strategi organisasi, daya ingat yang diperoleh melalui strategi perbandingan ini relatif lebih tahan lama daripada strategi pengulangan. Sedangkan strategi pemunculan kembali merupakan strategi peningkatan memori dengan cara mengangkat kembali informasi yang telah lama disimpan. Dari keempat macam strategi peningkatan memori di atas, strategi pengulangan merupakan strategi yang banyak digunakan oleh anak usia awal sekolah dasar. Adapun anak usia menengah dan akhir sekolah dasar mulai mendayagunakan strategi organisasi dan strategi perbandingan dengan cara yang relatif sederhana jika dibandingkan dengan remaja atau orang dewasa. Sedangkan strategi pemunculan kembali masih sangat jarang digunakan oleh anak usia sekolah dasar. Ketika suatu isyarat merangsang diungkapnya kembali memori lama, orang dewasalah yang dapat dengan segera memunculkannya kembali dari ‘tempat penyimpanan’ dan secara spontan merespon, kemudian
Andajani, Pertanyaan Kritis dalam Cerita Anak, 395
mengaitkannya dengan informasi baru. Adapun pada anak usia sekolah dasar, setelah memori lama itu muncul, mereka tidak mampu secara spontan merespon dan mengaitkannya dengan informasi baru. Dengan kata lain, strategi pemunculan kembali kurang tepat dikenakan pada anak usia sekolah dasar. Pemikiran kritis (critical thinking) juga mulai dimiliki oleh anak usia sekolah dasar, khususnya kelas tinggi. Pemikiran kritis adalah pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka bagi pendekatan dan perspektif yang berbeda, tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber, dan berpikir secara reflektif-evaluatif (lihat Santrock, 1998 dan Desmita, 2007). Perkins, Jay, dan Tishman (dalam Santrock, 1998) mengemukakan bahwa pemikiran yang baik meliputi disposisidisposisi untuk (1) berpikir terbuka, fleksibel, dan berani mengambil resiko, (2) mendorong keingintahuan intelektual, (3) mencari dan memperjelas pemahaman, (4) merencanakan dan menyusun strategi, (5) berhati-hati secara intelektual, (6) mencari dan mengevaluasi pertimbangan-pertimbangan rasional, serta (7) mengembangkan metakognitif. Pemikiran kritis bukanlah sesuatu yang pasif. Pemikiran kritis dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga seseorang menjadi lebih peka terhadap kehidupan dan lingkungannya. Robert J. Sternber (dalam Desmita, 2007) mengusulkan sejumlah cara mengembangkan pemikiran kritis pada anak usia sekolah dasar, yaitu (1) mengajarkan anak cara menggunakan proses berpikir yang benar, (2) mengembangkan strategi-strategi pemecahan masalah, (3) meningkatkan gambaran mental anak, (4) memperluas landasan pengetahuan anak, serta (5) memotivasi anak untuk
selalu menggunakan keterampilan berpikir yang telah dipelajarinya. Untuk mampu berpikir secara kritis, anak harus berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Santrock (1998) menyatakan bahwa anak perlu mengembangkan berbagai proses berpikir aktif, yaitu (1) mendengarkan dengan seksama, (2) mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan-pertanyaan, (3) mengorganisasi pemikiran-pemikiran yang ada, (4) memperhatikan persamaan/perbedaan objekobjek yang ada di sekitarnya, (5) melakukan tindakan berpikir deduktif, serta (6) membedakan antara kesimpulan yang valid dan tidak valid secara logis. Santrock menambahkan bahwa selain lima hal di atas, anak juga harus belajar bagaimana mengajukan pertanyaan klarifikasi, bagaimana mengombinasikan proses-proses berpikir untuk menguasai suatu pengetahuan baru, serta belajar melihat sesuatu persoalan dari berbagai sudut pandang. Istilah kritis tidak merujuk pada pemikiran semata, melainkan pemikiran bermakna dan mendalam yang dapat menghasilkan pengetahuan atau wawasan baru, serta dapat memberi suatu landasan bagi kualitas inteligensi. Pemikiran kritis dapat dikategorikan sebagai bagian dari kecakapan praktis. Karenanya, pemikiran kritis merupakan satu aspek penting yang perlu dikembangkan dalam penalaran sehari-hari, termasuk di antaranya oleh anak usia sekolah dasar. Dalam hal ini, kualitas perkembangan bahasa, perkembangan memori, perkembangan inteligensi, perkembangan kreativitas, serta perkembangan bakat anak menjadi faktor internal yang turut menentukan kualitas pemikiran kritis anak, di samping faktor-faktor lain yang bersifat eksternal. Faktor eksternal yang mempengaruhi kekritisan penalaran anak meliputi tindakan-tindakan yang berasal dari luar diri anak, tetapi secara nyata dialami oleh
396, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
anak sehingga mempengaruhi kualitas kekritisan penalaran mereka. Hal ini berbeda-beda pada setiap individu karena sangat bergantung dari pola hidup dan kebiasaan masing-masing anak dalam kehidupan keseharian mereka. Perlakuan yang diterima di lingkungan keluarga dan di lingkungan sekolah menjadi faktor eksternal yang berperan dominan terhadap kualitas berpikir kritis anak. MEMBACA BERMAKNA Di Indonesia, pada umumnya huruf telah dikenalkan kepada anak sejak mereka berada pada jenjang PAUD dengan harapan ketika masuk jenjang SD anak telah mampu membaca secara lancar. Dan faktanya, sebagian besar anak Indonesia usia 6—7 tahun mampu membaca huruf, kata, bahkan kalimat. Tidak sedikit di antara mereka telah lancar membaca. Biasanya, anak dengan kondisi demikian, akan selalu membaca tulisan apapun yang ditemuinya. Ini adalah masa emas anak suka membaca karena ia baru bisa membaca. Jika pada masa ini anak mendapatkan bacaan yang tepat dengan pendampingan yang memadai, maka anak akan menemukan ‘asyiknya’ membaca. Dan, apabila hal ini terus berlanjut, dapat dipastikan anak akan memiliki minat baca yang tinggi. Ketika anak usia menemukan istilah abstrak dalam bacaan, misalnya, diyakini sebagian besar dari mereka tidak tahu persis arti kata-kata tersebut. Mereka hanya menduga-duga berdasarkan konteks bacaan. Jika ternyata dugaannya salah, dan
itu terjadi berkali-kali, sangat dimungkinkan mereka akan menjadi putus asa. Mereka merasa tidak menemukan hal yang menarik, menyenangkan, atau bermanfaat (baca: bermakna) dari aktivitas membacanya. Ketika seorang anak usia melihat gambar dalam sebuah headline berita di suatu surat kabar, misalnya, biasanya ia akan tertarik untuk mencari tahu penjelasan dari gambar tersebut. Salah satu cara yang akan dilakukannya adalah membaca rangkaian huruf di sekitar gambar sambil mencoba menghubung-hubungkan arti kata-kata dalam tulisan yang dibacanya dengan gambar tersebut. Hasilnya, kadangkadang ia merasa puas karena berhasil memperoleh penjelasan tentang gambar tersebut. Namun, tidak jarang ia merasa frustasi karena sampai tamat ia membaca kata demi kata dalam lembar itu tidak membuatnya paham cerita apa yang ada di balik gambar tersebut. Sebagai contoh berita di suatu surat kabar tentang semburan lumpur minyak di Desa Metatu, Kecamatan Benjang, Gresik, Jawa Timur. Biasanya berita dengan posisi headline cenderung menarik perhatian lebih dibanding dengan beritaberita lain pada media massa tersebut. Seorang anak menjadi terterik membaca berita tersebut karena berita tersebut menjadi headline dan disertai gambar dan ilustrasi yang menarik. Apalagi, biasanya berita yang menjadi headline dalam suatu surat kabar juga banyak dibahas di media televisi. Berikut cuplikan berita tersebut.
Andajani, Pertanyaan Kritis dalam Cerita Anak, 397
Gambar 1. Contoh headline koran
Beberapa kalimat yang tertulis dalam contoh berita di muka adalah: 1) Semburan lumpur minyak Metatu membesar. 2) Kawasan steril api diperluas hingga radius 100 meter. 3) Banyak sumur tua peninggalan Belanda. Pada halaman surat kabar yang ada di hadapannya, anak melihat ada gambar sesuatu yang keluar meluap dari dalam tanah. Untuk mencari tahu apa sesuatu tersebut, anak membaca sejumlah tulisan berukuran besar yang ada di sekitar gambar tersebut. Ia telah memahami bahwa tulisan-tulisan tersebut adalah kata kunci yang akan memberi penjelasan terhadap gambar tersebut. Namun, ternyata tidak semua kata dalam tulisan-tulisan tersebut dapat dipahami anak. Tulisan semburan lumpur minyak merupakan konsep baru bagi anak dan ia akan bertanya-tanya bagaimana wujud lumpur minyak tersebut. Tulisan kawasan steril api juga membuat anak-anak bertanya-tanya mengapa harus ada kawasan steril api. Tulisan sumur tua peninggalan Belanda juga menimbulkan pertanyaan apa hubungannya dengan semburan lumpur. Jika ia tidak segera mendapat jawaban yang memuaskan maka ia akan terus berandai-andai dan memba-
yangkan objek tersebut. Apabila sampai lama anak tidak menemukan jawaban yang diharapkan, pada akhirnya ia pun menjadi tidak peduli dan tidak akan bertanya lagi. Satu konsep semburan lumpur minyak atau kawasan steril api yang seharusnya menjadi kosakata baru mereka akhirnya hilang demi ketidakjelasan anak terhadap konsep tersebut. Barangkali sampai kapan pun anak tidak akan pernah menanyakannya lagi. Mereka pun merasa tidak menemukan hal yang menarik, menyenangkan, atau bermanfaat (baca: bermakna) dari aktivitas membacanya. Dan, apabila hal ini berlangsung terus-menerus, akhirnya, mereka pun menjadi malas membaca. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka perlu sekali dikondisikan agar anak dapat membaca secara bermakna. Terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk pengondisian yang dimaksud. Strategi pertama, orangtua atau guru harus mau memberikan pendampingan secara intensif terhadap anak, khususnya saat mereka membaca. Strategi ini sangat tepat diterapkan pada anak usia awal sekolah dasar yang memang masih berada pada tahap membaca permulaan. Dengan pendampingan ini, anak akan merasa senang karena aktivitasnya mendapat perhatian dari orangtua atau guru. Karena merasa mendapat perhatian, mereka pasti akan
398, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
berusaha melakukan yang terbaik saat membaca. Bagi pembaca tingkat pemula, biasanya mereka membaca dengan volume suara yang keras, dan kadang-kadang akan sedikit bermain dengan intonasi dan pelafalan. Bagi pembaca tingkat menengah, mereka akan sering bertanya tentang istilah-istilah baru yang ditemuinya di dalam bacaan tersebut, atau tentang nalar dan kelogisan isi cerita. Bagi pembaca tingkat lanjut biasanya cenderung mengajak para pendampingnya untuk berdiskusi tentang kejadian-kejadian dalam cerita tersebut. Dari kebiasaan-kebiasan ini dapat dilihat bahwa sebenarnya anak memerlukan ‘sandaran’ untuk berdiskusi, bertanya, atau sekedar menunjukkan eksistensi diri saat mereka membaca. Stategi kedua adalah menyediakan teman membaca yang memadai bagi anak. Akan lebih baik apabila teman tersebut berusia sebaya. Istilah memadai di sini dimaknai sebagai individu yang memiliki wawasan relatif sama atau lebih luas daripada si anak. Tujuannya, teman tersebut dapat menjadi tumpuan bagi anak untuk bertanya atau berdiskusi tentang hal baru yang dibacanya. Dengan demikian, si anak akan merasa senang karena aktivitas membacanya tidak monoton melainkan juga diselingi dengan bertanya-jawab, berdiskusi, dan bahkan tidak menutup kemungkinan mengobrol santai tentang berbagai hal lainnya. Membentuk klub membaca yang beranggotakan sejumlah anak dengan usia sebaya dapat menjadi strategi ketiga yang dapat dijadikan alternatif sebagai upaya mewujudkan kemampuan membaca bermakna. Banyak sekali keuntungan dari adanya klub membaca ini. Anak akan merasa bangga saat menjadi komunitas bergengsi (catatan: biasanya klub semacam ini dipandang bergengsi bagi sebagian besar kalangan). Mereka akan dengan sukacita berdiskusi tentang apapun yang
dibacanya, terutama untuk hal-hal yang dianggap baru. Bahkan, besar kemungkinan ada semacam ‘persaingan terselubung’ di antara mereka untuk terus menginformasikan hal-hal baru kepada temannya. Dengan demikian, mereka terpacu untuk membaca dan terus membaca. Hal lain, sebagai strategi keempat, yang dapat dilakukan orangtua atau guru untuk mengondisikan membaca yang bermakna bagi anak adalah dengan membuat pertanyaan-pertanyaan kritis pada setiap akhir bacaannya. Pada cerita anak, pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat mengondisikan anak untuk berpikir secara kritis terkait isi cerita yang dibacanya. Pertanyaan-pertanyaan itu dikembangkan sedemikian rupa sehingga tanpa sadar akan menggiring pemikiran anak untuk menemukan makna yang terkandung di dalam cerita. Dimulai dari pertanyaan sederhana yang menanyakan hal-hal tersurat dalam cerita, kemudian bertahap menuju kepada pertanyaan yang untuk menjawabnya anak harus menganalisis isi cerita terlebih dulu, bahkan untuk anak kelas tinggi dapat pula dikondisikan untuk sampai pada tahap sintesis isi cerita. Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, secara bertahap anak akan digiring untuk mau berpikir kritis tetapi dalam situasi dan kondisi yang menyenangkan. Pendek kata, anak tidak merasa bahwa sebenarnya ia sedang ‘dipaksa’ untuk berpikir lebih daripada sekedar membaca dan memahami isi cerita. Keunggulan dari strategi yang terakhir di atas adalah anak dapat membaca secara mandiri. Orangtua atau guru tinggal mengondisikan anak untuk mau menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis yang menyertai setiap cerita yang dibacanya. Tentunya hal semacam ini belum tepat diterapkan kepada anak usia sekolah dasar kelas rendah karena mereka masih dalam tahap membaca permulaan. Strategi
Andajani, Pertanyaan Kritis dalam Cerita Anak, 399
semacam ini sangat tepat untuk diterapkan kepada anak usia sekolah dasar kelas menengah (kelas 3 atau 4 SD) atau kelas tinggi (kelas 5 atau 6 SD), khususnya apabila mereka telah memiliki cukup kemampuan membaca secara mandiri. Hasil terbaik akan diperoleh apabila orangtua atau guru mampu menggabungkan beberapa alternatif strategi membaca bermakna di atas dalam satu kegiatan. Selain pendampingan, baik oleh orangtua, guru, maupun teman sebaya, bacaan-bacaan yang diberikan kepada anak dikondisikan telah dilampiri oleh rangkaian pertanyaan kritis. Memang sulit menemukan cerita anak yang siap dengan pertanyaan-pertanyaan kritis. Karenanya, pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikembangkan sendiri oleh orangtua atau guru dengan memperhatikan sejumlah ketentuan yang dipersyaratkan).
wab pertanyaan-pertanyaan tersebut, secara tidak sadar anak akan digiring untuk memahami isi bacaan, kemudian menganalisisnya, mungkin juga menyintesisnya, hingga pada akhirnya anak akan menemukan makna yang terkandung dalam cerita tersebut. Pada hakikatnya, apabila anak telah mampu menemukan maka yang terkandung dalam cerita tersebut maka keberadaan pertanyaan-pertanyaan kritis ini tidak diperlukan lagi. Anak yang cermat akan mampu memaknai dengan sendirinya isi cerita tersebut, dan ia akan mampu menemukan nilai yang terkandung dalam cerita itu. Hal demikian biasanya lebih mudah dimiliki oleh anak yang memang memiliki kegemaran membaca. Berikut dikemukakan model pertanyaan kritis serta beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membuat pertanyaan kritis dari suatu cerita anak.
PERTANYAAN KRITIS DALAM CERITA ANAK Keberadaan pertanyaan kritis dalam cerita anak, sebagaimana disampaikan di muka, dimaksudkan untuk membantu anak dalam memaknai isi cerita yang dibacanya secara mandiri. Dengan menja-
“Aduuh pagar rumahku!” teriak Pak Lodi. “Ini pasti ulah si nakal Puput Liliput!”ujarnya sambil memandangi pagar rumahnya yang penuh coretan. “Aduuh tembok rumahku!” teriak Bu Loni. “Padahal baru seminggu yang lalu kucat!” omelnya sambil berkacak pinggang di depan tembok rumahnya yang tak karuan oleh „hasil karya‟ Puput Liliput. Lalu di manakah Puput Liliput? Tentu saja ia sembunyi di tempat yang aman, karena takut dimarahi. Tapi bila ada kesempatan, ia akan beraksi kembali. Dengan pensil ajaibnya yang berwarna-warni dan tak akan pernah habis, ia akan terus mencoret-coret di mana pun. Di batu, di tembok, di pagar, di pepohonan, bahkan di seprei yang sedang dijemur. Tak heran bila penduduk negeri Liliput kesal dibuatnya. Karena ulah Puput Liliput, negeri itu jadi kotor dipenuhi coret-coretean yang tak sedap dipandang. Lalu mereka berbondong-bondong lapor pada Ratu.
400, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
Ratu mendengarkan keluhan rakyatnya. Diperintahkan pengawalnya untuk membawa Puput Liliput ke istana. Di hadapan Ratu, Puput Liliput tertunduk takut. “Aku pasti akan dihukum berat…” gumam Puput Liliput kecut. Namun, ternyata Ratu malah memberinya selembar kertas. Beliau berkata, “Puput liliput, karena kenakalanmu, kamu akan dihukum untuk tinggal di istana. Di sini kau harus belajar menggambar bersama Pak Lukis” ujar Ratu sambil tersenyum. Semenjak hari itu, Puput Liliput tinggal di istana dan belajar menggambar bersama Pak Lukis. Puput Liliput seorang murid yang pandai dan berbakat. Pak Lukis sangat sayang padanya. Penduduk Negeri Liliput pun senang, karena mereka terbebas dari tangan jahil Puput Liliput. Saat Puput Liliput diperbolehkan Ratu untuk keluar istana, ia mencoret-coret lagi. Namun, kali ini tak ada satu pun penduduk yang marah. Mereka justru mengharapkan rumahnya dicoret-coret Puput Liliput. Mengapa? Karena Puput Liliput dapat menggambar dengan indah. Tentu saja ini berkat bimbingan Pak Lukis dan Ratu yang bijaksana. (Diceritakan kembali oleh Aqlia Pratiwi, IVB, SDI Sabilillah Malang) Pertanyaan Kritis: 1) Tahukah kalian, siapa Puput Liliput? Di mana Puput Liliput tinggal? 2) Puput Liliput suka mencoret-coret di mana pun. Menurut kalian, baikkah yang dilakukan oleh Puput Liliput ini? Mengapa? 3) Penduduk negeri Liliput kesal oleh ulah Puput Liliput. Mereka melaporkan ulah Puput Liliput kepada Ratu. Ratu pun memanggil Puput Liliput. Kemudian Puput Liliput dihukum tinggal di istana. Kalian tentu tahu bahwa tinggal di istana itu menyenangkan. Akan tetapi, mengapa Ratu justru menghukum Puput Liliput untuk tinggal di istana? 4) Menurut kalian, sudah tepatkah hukuman yang diberikan Ratu kepada Puput Liliput? Kalau kalian menjadi Ratu, apa yang akan kalian lakukan kepada Puput Liliput? 5) Bagaimana kesan kalian kepada Puput Liliput? 6) Bagaimana kesan kalian kepada Ratu? 7) Pelajaran apa yang bisa kalian ambil dari cerita berjudul “Puput Liliput yang Nakal?
Terlebih dulu diidentifikasi hal-hal pokok yang terdapat dalam cerita. Dari hal-hal pokok tersebut selanjutnya akan teridentifikasi pula nilai-nilai yang terkandung dalam cerita itu. Langkah berikutnya adalah membuat pertanyaan-pertanyaan terkait isi cerita. Pertanyaan diawali dengan hal yang bersifat tersurat, yang berada pada kategori Kognitif 1 atau 2 (C1 atau C2). Hal ini penting terutama untuk anak usia sekolah dasar jenjang kelas 1 atau 2. Jawaban dari pertanyaan tersebut tersedia secara eksplisit dalam cerita.
Tahukah kalian, siapa Puput Liliput? Di mana Puput Liliput tinggal? Pertanyaan semacam ini mudah dijawab oleh anak karena biasanya jawabannya sudah tersedia secara jelas dalam cerita. Setelah pertanyaan seperti di atas, selanjutnya dibuat pertanyaan yang menuntut anak berpikir lebih lanjut, yang berada pada kategori Kognitif 3 atau 4 (C3 atau C4). Hal ini mulai dapat diterapkan pada anak usia sekolah dasar jenjang kelas 3 atau 4. Namun, beberapa anak kelas awal
Andajani, Pertanyaan Kritis dalam Cerita Anak, 401
(1 atau 2 SD) yang tergolong cerdas biasanya sudah mampu menjawab pertanyaan kategori ini. Jawaban dari pertanyaan tersebut tersedia secara implisit dalam cerita. Artinya, dengan berpikir lebih mendalam anak akan dapat menemukan jawabannya dalam cerita tersebut. Puput Liliput suka mencoret-coret di mana-mana. Perilakunya tidak disukai banyak orang. Menurut kalian, baikkah yang dilakukan oleh Puput Liliput? Mengapa? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut anak harus mencarinya secara lebih cermat di dalam cerita. Anak dituntut mampu menemukan jawaban yang sebenarnya sudah ada di dalam cerita, bahkan mungkin di dalam pertanyaan tersebut, tetapi disajikan dalam redaksi bahasa yang berbeda. Pada contoh di atas, jawaban yang dibutuhkan adalah tidak karena perbuatan mencoret di mana-mana mengganggu lingkungan. Jawaban mengganggu lingkungan merupakan kondisi yang tersembunyi di balik perilakunya tidak disukai banyak orang. Atau mungkin di balik kalimat-kalimat lain di dalam cerita tersebut. Selanjutnya dibuat pertanyaan yang menuntut anak berpikir kritis. Pertanyaan ini berada pada kategori Kognitif 5 atau 6 (C5 atau C6). Jawaban atas pertanyaan tersebut tidak tersedia dalam cerita, baik tersurat maupun tersirat. Anak dituntut mampu memahami isi cerita secara utuh, menemukan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dan bahkan mungkin anak akan bereksplorasi dengan berbagai kemungkinan pengembangan jalan cerita. Pertanyaan semacam ini, dalam kondisi wajar, akan mampu dijawab secara tepat oleh anak usia sekolah dasar jenjang kelas 5 atau 6. Tidak tertutup kemungkinan beberapa anak kelas 4 yang memiliki ke-
mampuan lebih juga akan mampu menjawab pertanyaan ini secara tepat. Penduduk negeri Liliput kesal oleh ulah Puput Liliput. Mereka melaporkan ulah Puput Liliput kepada Ratu. Ratu pun memanggil Puput Liliput. Kemudian Puput Liliput dihukum tinggal di istana. Kalian tentu tahu bahwa tinggal di istana itu menyenangkan. Akan tetapi, mengapa Ratu justru menghukum Puput Liliput untuk tinggal di istana? Menurut kalian, sudah tepatkah hukuman yang diberikan Ratu kepada Puput Liliput? Kalau kalian menjadi Ratu, apa yang akan kalian lakukan kepada Puput Liliput? Bagaimana kesan kalian kepada Puput Liliput? Bagaimana kesan kalian kepada Ratu? Pertanyaan-pertanyaan di atas menuntut anak untuk berpikir secara kritis. Pola pikir mereka harus logis. Mencari tesis utamanya, lalu mencari tesis-tesis penunjangnya, dan selanjutnya mengaitkan satu sama lain dengan berbagai kemungkinan wujud dan pola penalaran yang mungkin terjadi. Untuk mendapatkan jawaban yang tepat siswa dituntut mampu berpikir secara cermat. Proses berpikir yang kompleks ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi anak. Tidak semua anak, meski mereka berada pada jenjang sekolah dasar tingkat akhir, mampu menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut secara tepat. Karenanya, diperlukan pendampingan dari seseorang yang dianggap mampu dan menguasai kemampuan berpikir kritis tersebut dengan baik. Di antara orang terbaik yang dipandang mampu membimbing anak usia sekolah dasar dalam membaca cerita, men-
402, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
jawab pertanyaan, dan menemukan nilainilai dalam cerita anak yang dibacanya adalah orang tua dan guru. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa pendampingan bagi anak usia sekolah dasar saat mereka membaca cerita menjadi satu hal yang dipandang penting untuk dilakukan, dibiasakan, dan dibudayakan. KESIMPULAN Kemampuan membaca dan minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Tidak bermaknanya isi bacaan bagi anak menjadi salah satu penyebab rendahnya kemampuan membaca dan minat baca mereka. Untuk mengatasi itu perlu ada pendampingan bagi anak, khususnya anak usia sekolah dasar, saat mereka membaca buku. Pendampingan dapat dilakukan oleh orangtua atau guru, atau siapa pun yang memiliki kemampuan membantu anak dalam memaknai cerita dan menemukan nilai-nilai dalam cerita yang dibacanya. DAFTAR RUJUKAN Baderi, Athaillah. 2003. Gerakan Nasional Membaca: Suatu Pemikiran Ke Arah Akuntabilitas Pemerintah. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Desmita. 2007. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Lestari, Kristina Dwi. 2009. Berkreativitas dengan Menulis Cerita Anak. (Online), (http://pelitaku.sabda.org, diakses 31 Januari 2009). Papalia, Diane E, et al. 2008. Human Development. New York: The McGraw Hill Companies. Santrock, John W. 1998. Child Development (8th ed.). Boston: McGraw Hill Companies, Inc. Sarumpaet, Riris K. Toha. 2003. ‘Struktur Bacaan Anak’, dalam Teknik Menulis Cerita Anak. Yogyakarta:
Namun, tidak selalu orangtua atau guru memiliki kesempatan untuk mendampingi anak dalam membaca. Peran tersebut dapat digantikan dengan menyusun serangkaian pertanyaan kritis pada setiap akhir cerita. Pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut akan membimbing anak dalam menemukan nilai-nilai dalam cerita yang dibacanya. Dengan demikian, aktivitas membaca anak menjadi bermakna. Penyusunan pertanyaan kritis dilakukan dengan memperhatikan gradasi tingkat kesulitan jawaban atas pertanyaan tersebut. Gradasi yang dimaksud meliputi ranah Kognitif 1 (C1) hingga Kognitif 6 (C6); mulai pertanyaaan yang jawabannya tersurat hingga pertanyaan yang memerlukan jawaban dengan mendayaupayakan pemikiran kritis terlebih dulu. Jika hal ini dapat dilakukan, maka frekuensi orangtua atau guru dalam melakukan pendampingan dapat lebih ditekan. Anak pun menjadi lebih mandiri dalam membaca. Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati. Sudaryanto, 2012. Mengatasi Rendahnya Minat Baca di Indonesia. (Online) (http://writingsdy.wordpress.com/, diakses 26 Oktober 2012). Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Titik W.S. 2003. ‘Menulis Cerita Anak’, dalam Teknik Menulis Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.