cerita anak-1 (1-10) MUTIARA CERITA UNTUK ANAK-ANAK
Dikumpulkan oleh P. A. Siboro
Mutiara Cerita Untuk Anak-anak 1. Menolak Upah Hari itu sangat dingin. Angin berhembus kencang dari bukit yang gundul, membuat jendela berderak-derik. Membuat bunyi berdesir di daun-daun. Pekerjaan pak Burhan hari itu membuatnya harus pergi sekitar sepuluh kilometer jauhnya dari rumah, melalui jalan yang sunyi dan rumah yang jarang ada. Setelah ia menyelesaikan pekerjaannya, ia bersiap-siap untuk kembali lebih cepat pada sore hari yang berangin topan itu. Dengan mobilnya, ia harus mendaki bukit terjal yang jauh. Di jalan menanjak ini, mobilnya mogok. Tidak sempat meminggirkan kenderaan, sebab mesinnya berhenti dengan tiba-tiba. Waktu dicoba dihidupkan, mesin tidak mau hidup. Dua jam kemudian pak Burhan masih tetap berada di sana. Ia tidak cemas meskipun jarang ada kenderaan yang lewat. Tetapi ia tahu bahwa cepat atau lambat, mobil polisi pasti lewat, dan ia akan tertolong. Yang ia cemaskan ialah isterinya di rumah. Pasti isterinya cemas sebab pak Burhan belum juga tiba di rumah pada waktu yang diharapkan. Seandainya saja ia bisa meneleponnya memberi kabar kepada isterinya! Ia memandang sekeliling. Tak seorangpun yang kelihatan! Di kejauhan tampak beberapa rumah, tetapi terlalu jauh untuk dicapai dengan jalan kaki oleh orang setua pak Burhan. Tidak berapa lama kemudian, sekolah keluar. Dua orang anak dekat rumah-rumah itu mulai menjajakan surat kabar. Pak Burhan membunyikan klakson mobilnya. Pada waktu anak-anak itu melihat, pak Burhan melambaikan tangannya. Anak-anak itu datang ingin tahu apa yang diperlukan pak Burhan. Pak Burhan minta tolong kepada anak-anak itu, "Maukah kamu pergi ke sebuah telepon dan memberitahukan kepada isteriku bahwa saya tidak apa-apa?" "Tentu saja, pak," kata anak-anak itu. "Nah, ini namaku -- pak Burhan -- dan ini nomor teleponku di rumah." Ia memberikan kartu namanya kepada anak-anak itu dengan keterangan tertulis pada karti itu. "Dan sekarang, anak-anak, siapa nama kamu, sebab saya akan mengirimkan upah kepada kamu sesudah saya tiba di rumah." "O tidak, tidak, pak Burhan," kata anak-anak itu menolak, "kami tidak mau menerima upah." Dan sebelum pak Burhan sempat berkata-kata lagi, anak-anak itu telah berbalik dan berlari menuruni bukit.
1
Tidak berapa lama kemudian, pertolonganpun datang. Pak Burhan tiba di rumah beberapa jam kemudian, senang bertemu kembali dengan isterinya yang tidak cemas., karena anak-anak itu telah meneleponnya. "Betapa aku ingin untuk memberi upah kepada kedua anak-anak yang baik hati itu," katanya kepada isterinya. "Saya heran masih ada anak-anak sebaik itu di dunia yang penuh dengan kejahatan ini. Tetapi saya tidak tahu di mana mereka tinggal. Bahkan, namanyapun saya tidak tahu." Hari berikutnya ada surat yang sangat menarik perhatian di kotak surat pak Burhan. Pak Burhan membuka surat itu dan membacanya. "Pak Burhan yang terhormat, harap jangan menganggap kami anak-anak yang tidak tahu berterima kasih, tetapi kami merasa kami tidak perlu menerima upah. Kami telah melakukan hal serupa kepada siapa saja yang mengalami kesulitan yang sama." Tertanda, "Tomi dan Dicki." "Coba lihat ini, sayang!" seru pak Burhan kepada isterinya. "Betapa suatu surat yang luar biasa! Betapa anak-anak yang luar biasa! Nah, sekarang namanya kita sudah tahu sekarang. Saya tidak akan berhenti sebelum saya menemukan di mana mereka tinggal dan memberikan sesuatu kepada mereka. Ia menelepon -- dan saya yakin sekarang pak Burhan sudah menemukan anakanak yang luar biasa itu dan mendesak mereka agar menerima upah yang sangat mereka tolak. -- Paman Lauwrence. [Pesan moral: Kebesaran jiwa adalah kerelaan menolong seseorang yang mengalami kesulitan tanpa mengharapkan sesuatu imbalan. Dan orang yang sudah ditolong, sebaiknya tahu mengucapkan terimakasih kepada yang menolongnya. – PAS]
2. Jangan Pernah Tawar Hati Ia sakit-sakitan. Bahkan boleh dikata, ia tidak pernah benar-benar sehat. Bentuk tubuhnya tinggi semampai, dengan bahu yang lebar dan lengan yang besar. Tetapi itu sajalah yang bisa dikatakan mengenai tubuhnya. Itu dan kenyataan bahwa dia tidak mati - yang beberapa saudara-saudarinya sudah meninggal. Karena ia hidup pada zaman di mana Amerika masih dikenal sebagai negeri jajahan, dan hampir semua keluarga bisa menunjukkan saudara-saudarinya atau ibunya atau bapanya yang dikuburkan di kuburan yang terletak di samping gereja. Orang tua anak ini adalah seorang yang berada sehingga sanggup menyekolahkannya ke perguruan tinggi pada waktu itu, walaupun sekarang mungkin itu cuma sebuah sekolah menengah atas. Ia tamat dari perguruan tinggi pada umur 17 tahun, dan hanya itulah pendidikan yang diperolehnya. Ia bekerja untuk melakukan pemetaan, yang berarti ia harus sering berkemah di hutan, bahkan sering dekat rawa-rawa. Kita tahu bahwa rawa-rawa adalah sarang nyamuk penyebab penyakit malaria, sehingga anak muda ini menderita penyakit malaria. Ia tidak mempersalahkan nyamuk, karena dia tidak tahu bahwa nyamuk-nyamuk itulah yang membawa bibit penyakit yang membuatnya sakit. Ia mengatakan serangan menggigil yang luar biasa yang dialaminya itu "demam" yang dideritanya seumur hidupnya. Pada waktu ia berumur kira-kira 19 tahun, anak muda ini menderita cacar, yang meninggalkan bekas-bekas di seluruh wajahnya. 2
Saudara kesayangannya, Lawrence, meninggal. Pemuda ini merasa tertekan dan malu karena bekas-bekas cacar di wajahnya, tetapi ia tidak tawar hati. Engkau harus perhatikan itu pada pemuda ini. Ia tidak tawar hati. Kemudian ia menderita penyakit tuberkulosis, yang membuatnya harus tinggal di rumah hampir selama dua tahun. Pada waktu ia dinyatakan sembuh, daerah jajahan Amerika sedang berperang melawan orang-orang Indian. Pemuda ini ikut menjadi pasukan tentara suka rela. Seharusnya, pemuda seperti dia ini tidak boleh masuk menjadi tentara. Tetapi tak seorangpun memberitahukannya, dan ia sendiri juga tidak mengetahuinya. Cara hidup tentara pada waktu itu tidak sebaik seperti sekarang, terdapat berbagai penyakit pada mereka. Lebih banyak tentara yang mati karena penyakit dari pada karena tertembak peluru musuh. Pemuda ini menderita penyakit yang begitu berat, sehingga ia harus ditolong untuk naik ke atas kudanya supaya ia bisa memimpin anak buahnya. Perhatikan itu -menderita penyakit yang begitu berat, sehingga ia harus ditolong untuk naik ke atas kudanya, dan sesudah di atas kudanya, sakit atau tidak, ia memimpin anak buahnya. Mungkin masih banyak lagi yang dilakukannya. Pada waktu perang sudah berakhir, ia kembali ke rumah. Tidak lama sesudah itu, jajahan ini berperang melepaskan diri dari penjajahan Inggeris, dan orang yang sakitsakitan ini menjadi salah seorang dari para pemimpin dalam perang kemerdekkan itu. Pada waktu perang sudah berakhir, ia diminta menjadi salah seorang pemimpin negara baru itu. Ia menerimanya. Tidak lama sesudah itu kakinya sangat mengganggunya sehingga ia harus terbaring di tempat tidur selama enam minggu lamanya. Dua kali dalam tahun-tahun itu ia menderita radang paru-paru sampai hampir mati. Walaupun ia sakit-sakitan, ia hidup sampai umur 67 tahun, yang pada waktu itu sudah merupakan umur yang tua. Ia hidup lebih lama dari pada anak-anaknya. Akhirnya ia menderita radang tenggorokan. Dokter mengeluarkan darahnya, percaya bahwa tubuh akan memproduksi serum untuk menggantikan darah "buruk" dan menyembuhkan pasien. Mereka menggiling daun semacam daun sirih lalu menyapukan airnya ke kerongkongannya, yang membakar kulitnya sampai melepuh. Dokter mengharapkan ini akan menarik darah buruk ke luar. Semua pengobatan ini tidak berhasil. Lahir pada bulan Februari 1732, pasien ini meninggal pada jam sepuluh malam tanggal 14 Desember 1799. Sebagai seorang anak yang sakit-sakitan, ia telah berbuat banyak. Sekarang kita mengenalnya sebagai Bapa Negara dan Presiden pertama Amerika Serikat, George Washington. -- Paman Lawrence. [Pesan moral: Seseorang yang tidak pernah tawar hati dan yang terus berusaha, walaupun banyak rintangan, dengan pertolongan Tuhan, akan memperoleh sukses. –PAS]
3. Si Rahmat yang suka keluyuran Rahmat suka keluyuran. Jika temannya anak-anak bermain bersama, ia suka menyendiri dan bermain sendirian. Jika kelasnya sedang belajar, guru harus lebih memperhatikannya, sebab Rahmat mengeluyur keluar dari pintu -- dan harus memanggilnya kembali.
3
Pada suatu hari semua anak-anak pergi mengadakan satu perjalanan. Orang-orang tua membawa mereka dengan mobil beberapa kilometer ke tempat di mana jalan raya menyeberangi sungai. Pak Markus, pimpinan perjalanan, membariskan mereka dan menghitungnya. Tepatnya semua ada 25 orang. "Kita akan berjalan ke arah hulu sungai," katanya menjelaskan. "Setelah satu setengah atau tiga kilometer kita akan menyeberang dan kembali ke sisi sebelah sungai. Pada waktu kita tiba kembali di sini, kita akan makan bersama. Ingat," katanya mengakhiri, "kita harus selalu bersama-sama. Tak seorangpun yang boleh jalan sendiri." Lalu berjalanlah mereka ke hulu sungai dan menikmati perjalanan itu, khususnya menyeberangi sungai, karena tidak ada jembatan di sana, dan mereka harus menyeberanginya dengan berjalan di atas batu-batu besar. Sudah sore pada waktu mereka tiba kembali di mobil dan membuka keranjang-keranjang makanan untuk makan malam. "Sebelum kamu makan," kata pak Markus, "kita harus menghitung kamu semua. Apakah semua ada di sini?" Hanya ada 24 orang. "Siapa yang hilang?" tanyanya. "Ronnie ada?" "Ada, pak." "Daud?" "Ya, pak." "Rahmat?" Tidak ada jawaban. "Rahmat? ada yang lihat Rahmat?" "Pak Markus," kata Rudi, "aku melihat Rahmat terus berjalan ke hulu di mana kita menyeberang. Katanya ia melihat sebuah sarang burung dan ia ingin melihatnya dari dekat." "Jadi itulah masalahnya," kata pak Markus, kejengkelan tersirat di wajahnya. "Rahmat mengeluyur lagi. Teruskan makan, anak-anak. Aku akan pergi ke hulu sungai untuk mencarinya." Pada waktu anak-anak mulai makan, pak Markus ke hulu sungai ke satu belokan dari mana ia bisa melihat jauh. Tetapi tidak ada tanda-tanda Rahmat ada di sana. Yang terlihat olehnya hanyalah matahari sudah hampir terbenam di ufuk barat. "Dasar anak nakal," gerutunya. "Tunggu sampai aku menangkapnya!" Pada waktu ia kembali ke rombongan ia dihujani dengan pertanyaan. "Apakah pak Markus menemukannya?" Rudi ingin tahu. "Apakah ia tidak apa-apa?" tanya Alise. "Apakah tidak mungkin ia terluka?" kata Rohim. "Saya tidak tahu," kata pak Markus. "Bungkus semua barang-barangmu, kita akan segera pulang." "Tetapi kita tidak akan meninggalkan Rahmat, bukan?" kata Rudi ingin tahu. "Rahmat harus menjaga dirinya sendiri untuk sementara," kata pak Markus. "Kamu tidak boleh tinggal di sini sepanjang malam. Aku akan kembali nanti untuk mencarinya." "Tetapi tidakkah kita perlu berdoa untuknya?" kata Alise. Lalu mereka berdoa -- kemudian naik ke mobil dan berangkat menuju ke rumah. Pada waktu mereka sudah berjalan kita-kira dua kilometer, ada seruan besar dalam mobil yang dikendarai oleh pak Markus. "Itu Rahmat!" Benar saja, seorang anak yang masih kecil yang kelelahan berjalan di tepi jalan dengan pelan-pelan sambil tangannya masuk ke dalam kantungnya. "Apa yang terjadi?" tanya anak-anak itu pada waktu ia naik ke atas mobil.
4
"Aku pergi untuk melihat sarang burung, dan pada waktu aku memandang sekeliling, kamu semua sudah tidak kelihatan. Kemudian aku mengikuti jalan yang salah, sebab itu aku akhirnya tiba di jalan raya ini. Aku menyadarinya, lalu aku berjalan menuju ke rumah. Bayangkan, aku sudah berjalan sejauh lima kilometer. Dan tiga kilometer lagi baru sampai di rumah. Masih sangat jauh, sedangkan saya sudah sangat lapar. Apa kamu sudah makan?" "Ya," kata pak Markus. "Makanan semua sudah habis." Dan saya pikir, pak Markus tidak perduli sama sekali Rahmat lapar, oleh karena kecemasan dan kesusahan yang ditimbulkannya. Tetapi sejak itu, suatu yang indah terjadi. Rudi berkata, "Aku tinggalkan sebelah apel untukmu, Rahmat. Ini, makanlah." "Dan aku tinggalkan satu pisang untukmu," kata Rohim, sambil mengeluarkan dari sakunya. Apakah pak Markus memarahinya? Tidak. Ia sudah lega melihat Rahmat kembali dengan selamat. Itu sudah cukup baginya. Perjalanan jauh dan sendirian, itulah yang dibutuhkan oleh Rahmat. Sejak waktu itu ia tidak pernah keluyuran lagi. -- Paman Spencer. [Hikmah: Sifat tidak suka menurut akan menyusahkan diri sendiri, dan juga orang lain. Untuk masih ada orang yang mengasihinya. -- PAS]
4. Elang Yang Rakus Sungai itu bermuara ke danau. Di sumbernya, di tebing yang terjal, hiduplah sepasang burung elang botak. Di sarangnya ada anak elang, dan setiap pagi elang botak jantan bolak-balik terbang mengumpulkan makanan buat anaknya. Mangsanya yang paling disukainya ialah ikan yang hidup di sungai itu. Dari ketinggian ia terbang mengitari air sungai sampai matanya yang tajam melihat ikan dalam air, dengan ukuran yang sesuai. Kemudian ia akan melipat sayapnya rapat ke badannya, lalu ia menukik menyambar bagaikan batu yang jatuh. Ia membentur air sungai dengan sangat keras dan menghilang di bawah permukaan air. Beberapa detik kemudian ia muncul kembali, dan hampir selalu ia membawa seekor ikan di cakarnya. Dengan mengepakkan sayapnya kuat-kuat ia terbang kembali ke sarangnya dan memberi makan keluarganya. Pada waktu anak elang bertumbuh semakin besar, selera makannya juga semakin bertambah, sehingga perjalanan elang jantan ke sungai mencari ikan juga semakin sering. Tetapi selama elang botak jantan merasa puas dengan tangkapan ikan yang biasa besarnya, segalanya berjalan baik baginya maupun bagi keluarganya. Pada suatu hari, elang botak jantan yang mengitari air sungai melihat di dalam air ikan yang paling besar, yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Ia berpikir, dengan ikan sebesar ini, ia tidak perlu lagi terbang mencari makanan untuk beberapa hari. Ia terbang mengitarinya sampai rencananya sudah bulat; lalu ia melipat sayapnya dan menukik menyambar ke bawah masuk ke dalam air. Pada waktu itu, sekelompok pekemah sedang berkemah tidak jauh dari sungai itu, dan pemimpin rombongan melihat elang menyambar masuk ke dalam sungai. Sebenarnya, ia telah memperhatikan elang itu sejak satu dua hari yang lalu. Ia 5
mengharapkan burung itu akan muncul ke permukaan beberapa saat kemudian setelah burung itu masuk ke dalam air, dan terbang kembali ke sarangnya sambil membawa ikan di cakarnya. Itulah sebabnya, pekemah itu heran melihat setelah beberapa saat burung elang itu tidak muncul kembali. Setelah beberapa menit burung itu belum juga muncul, ia berjalan menuju tepi sungai untuk melihat apa yang sedang terjadi. Tidak terlihat apa-apa di tempat di mana burung itu menyambar. Dalam keheranannya, kira-kira dua ratus lima puluh meter ke hilir, ia melihat dalam air yang tenang dan berbusa, tiba-tiba elang itu muncul sambil mengepak-epakkan sayapnya dengan kuatnya. Namun, ia tidak bisa terbang. Gantinya, ia kelihatan di tarik ke bawah ke dalam air, dan pada waktu ia muncul kembali, ia sudah semakin jauh hanyut ke hilir. Hal ini berulang beberapa kali, dan pekemah itu memperhatikan sampai akhirnya arus kuat menyapu burung yang sedang berjuang itu ke suatu sudut dan tidak kelihatan lagi. Ia berlari kembali ke kemahnya, lalu dengan cepat memberitahukan peristiwa itu kepada teman-temannya, dan dua orang dari mereka melompat ke dalam kanu mereka. Di sekitar sudut itu mereka melihat akhir dari pertarungan. Seekor ikan besar, hampir tiga meter panjangnya, tergeletak mati. Di sampingnya, terkapar burung elang botak, cakarnya masih tertancap pada tubuh ikan, juga telah mati. Burung elang rakus yang malang! -- Paman Lawrence. [Pesan moral: Sifat rakus selalu akan membawa malapetaka, oleh sebab itu jauhilah dia. – PAS]
5. Anak-anak, Gunakan Otakmu! Ada seorang yang memelihara tikus-tikus berkaki putih dalam sangkar di rumahnya. Pada suatu malam tikus-tikus itu terlepas, gentayangan di dapur sampai akhirnya mereka menemukan sebuah lubang di lemari, lalu menghilang melalui lubang itu. Pada hari berikutnya pemilik tikus-tikus itu menaburkan kacang yang masih berkulit di lantai dapur dan menunggu apa yang akan terjadi. Pada waktu malam tiba, seekor dari tikus-tikus itu muncul dari lobang, melihat ke sekeliling, kemudian berjalan. Ia menemukan sebuah kacang, lalu merenggutnya dan memegangnya kuat-kuat dengan kaki depannya, lalu memanjat masuk ke lubang. Tetapi sayang, lubang itu kurang besar untuk bisa meloloskannya bersama kacangnya. Beberapa saat lamanya tikus itu meraba-raba kacang itu, lalu membiarkannya jatuh ke lantai. Ia berlari mengejar kacang yang jatuh itu, dan kali ini ia mendorong kacang itu ke atas di dinding menuju lubang. Ia bisa mendorong kacang sampai ke mulut lubang, tetapi ia bersama kacang tidak bisa masuk melalui lubang itu. Dengan memegang kacang kuat-kuat, ia berbalik membelakangi lubang lalu mencoba masuk. Namun, tetap tidak berhasil.
6
Pada waktu penghuni rumah bangun jam tujuh pagi, yang pertama didengarnya ialah kacang jatuh dari lubang ke lantai dapur. Apakah tikus ini atau tikus lain telah berjuang sepanjang malam, namun semuanya tanpa hasil? Orang yang empunya tikus itu terus memberikan kacang selama beberapa minggu. Cara satu-satunya tikus itu boleh memakan kacang itu ialah dengan mengulitinya lalu memakannya di lantai dapur. Tidak mungkin ia membawanya masuk melalui lubang. Seharusnya mereka bisa menggigit memperbesar lubang itu sedikit lagi, kalau saja mereka sedikit mau berpikir menggunakan otaknya. Pengalaman dua ekor burung yang disebut "water hen" di Inggeris berbeda dengan pengalaman tikus ini. Burung ini hidup di perkebunan seseorang di Inggeris. Pemilik perkebunan bangga akan kawanan burung "pheasant" peliharaannya. Untuk menjaga agar burung-burung itu tetap sehat, mereka memberikan hanya biji-bijian yang terbaik untuk makanan burung-burung "pheasant" itu. Biji-bijian itu disimpan dalam kotak khusus dengan pegangan yang dirancang sedemikian rupa, sehingga jika burung "pheasant" itu bertengger di atas pegangan itu maka penutupnya akan terbuka dan burung bisa memakan biji-bijian itu. Pada suatu hari seekor "water hen" memperhatikan burung "pheasant" itu, lalu menunggu sampai burung itu pergi, lalu ia datang dan bertengger di atas pegangan. Tetapi "water hen" lebih kecil dari burung "pheasant", dan beratnya tidak cukup untuk membuka penutup kotak yang berisi biji-bijian. "Water hen" melompat-lompat di atas pegangan, tentu saja ini membuka penutup kotak, tetapi hanya untuk sementara, tidak cukup waktu untuk memakan biji-bijian itu. Boleh saja "water hen" menari-nari sepanjang hari sepanjang malam di atas pegangan, seperti tikus bodoh, namun tidak mendapat apa-apa. Gantinya, ia terbang selama beberapa menit, lalu kembali dengan seekor "water hen" lain. Burung yang cerdik! Kedua "water hen" bertengger di pegangan kotak bersamasama, sehingga beratnya cukup untuk membuka penutup kotak -- dan keduanya boleh memakan biji-bijian sebanyak yang mereka suka. -- Paman Lawrence. [Pesan moral dari kedua cerita ini, saya rasa ialah. "Anak-anak, gunakan otakmu! Jangan mudah putus asa! Tetapi saya rasa engkau sudah mendengar ratusan kali ibumu mengatakan ini kepadamu! – PAS]
6.
Bola yang tidak turun
"Strike dua, bola tiga," kata wasit. Jimi memegang pemukul dengan sedikit lebih kencang. Sekaranglah waktunya atau tidak sama sekali. Ia harus memukul lemparan (pitch) berikut. Lemparan bola tepat seperti yang diinginkannya, dan dia memukul sekuat tenaga. Pukulannya pukulan mematikan, pukulan sempurna. Bola melambung di atas kepala "pitcher," selama beberapa detik, lalu lewat jauh di luar lapangan. Jimi berlalu dengan mudah untuk yang pertama, lalu mulai yang kedua. Sekilas terlihat di luar lapangan menunjukkan bahwa orang tidak menemukan bola; oleh sebab itu ia melingkari yang kedua, lalu meluncur ke yang ketiga.
7
Orang-orang belum menemukan bola, dan Jimi menyadari bahwa ia sedang melakukan "home run." Dia tahu itu adalah pukulan yang baik, tetapi tidak mengira sebaik itu. Ia berharap semua penonton memperhatikannya! Yang melakukan "home run," tanpa seorangpun memperhatikan? Ia melihat apakah mereka memperhatikan -- dan tak seorangpun memperhatikannya. Semua mereka melihat ke lapangan ke arah bola. Mereka bahkan tidak melihat ke arah dia. Bukan itu saja. Bahkan anak-anak itu menunjukkan ekspresi wajah yang aneh. Mata mereka melotot, dan mulut mereka pelan-pelan terbuka lebar. Sesuka Jimi melakukan "home run" itu, ia berhenti tepat di "base line" dan berbalik melihat apa yang para penonton perhatikan -- dan tepat waktunya pandangan yang paling mengagumkan seumur hidupnya. Bola tidak turun! Kelihatannya seperti mau jatuh. Tetapi tiba-tiba berbalik, meluncur tinggi ke udara, dengan kecepatan tinggi. Tepat enam detik lalu hilang dari pemandangan, dan tidak pernah kelihatan lagi! Tidak, hal itu tidak mungkin terjadi. Tentu saja tidak! Engkau tahu, sebagaimana saya juga tahu, bahwa setiap bola yang melambung naik, akan turun. Harus. Bola harus mematuhi hukum gravitasi, hukum alam. Segala sesuatu yang naik akan turun. Sudah selama enam ribu tahun demikian halnya, dan hukum itu belum pernah dilanggar. Tetapi seandainya permainan "baseball" pada suatu hari tidak lagi mematuhi hukum gravitasi. Umpamanya "baseball" berkata, "Telah lama sekali saya menuruti hukum itu. Belum pernah sekalipun kulanggar. Tentu saja tidak akan menyakitkan jika sesekali melanggarnya!" Umpamanya, waktu berikutnya Dicki mengambil pemukul, memukul bola, lalu bola itu naik semakin tinggi dan semakin tinggi dan hilang tidak pernah turun. Lucu sekali. Saya suka menontonnya, dan engkau juga, bukan? Tetapi tunggu dulu. Apakah begitu lucu? Bagaimana jadinya permainan, jika semua bola hilang lenyap di angkasa? Atau seandainya buku sekolahmu memutuskan untuk melanggar hukum itu. Mungkin, sementara menunggu bus sekolah engkau meletakkan bukumu, lalu pada waktu engkau hendak mengambilnya, dia sudah tidak ada -- sudah terbang di langit. Saya suka itu! Tak seorangpun mempersalahkanmu karena tidak belajar, sebab bukumu sedang melayang di angkasa. Tetapi bagaimana engkau bisa mempelajari sesuatu tanpa buku? Engkau akan bertumbuh menjadi seorang gelandangan yang bodoh. Umpamanya seseorang memberimu es krim "cone." Pada waktu engkau membuka mulut hendak menjilat es krim yang menarik dan lezat itu, tiba-tiba es krim itu melanggar hukum gravitasi. Ia lalu terbang, tinggi di angkasa, meninggalkanmu sangat dungu, dengan mulutmu terbuka lebar dan lidahmu menjulur ke luar dengan air liur yang meleleh, dan tidak ada apa-apa yang tinggal di dalam "cone" itu. Tentu saja sangat mengecewakan. Betapa kacaunya kita jika seandainya segala sesuatu tidak mengikuti hukum! Pada waktu engkau pulang ke rumah pada sore hari, barangkali engkau akan menemukan rumahmu melayang-layang di awan-awan, dengan ibumu di dalamnya melambailambaikan tangannya mengucapkan selamat tinggal sementara rumah itu membawanya semakin tinggi dan semakin jauh! -- Paman Maxwell.
8
[Pesan moral: Lain kali, jika seseorang menyuruh supaya engkau menuruti hukum dan peraturan, jangan mencibir, memikirkan bahwa hanya engkaulah orang yang mematuhi hukum itu, dan yang paling baik kita lakukan ialah menuruti hukum itu dengan sukacita setiap saat.—PAS]
7. Malaikat Dengan Sekop Salju turun sepanjang hari. Salju itu telah menutupi jalan menuju pintu depan rumah Nenek Hilda, dan juga salju telah menumpuk di pintu belakang. Nenek Hilda melihatnya dengan cemas. Ia tidak lagi semuda seperti dulu. Suaminya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Anak-anaknya sudah dewasa dan tinggal jauh dari padanya. Ia hidup sendirian, dan menyekop salju di jalan adalah pekerjaan yang terlalu berat baginya. Dua atau tiga kali sehari ia melihat Bili dan Jeck, dua anak laki-laki tetangga sebelah, keluar untuk membersihkan salju dari jalan mereka. Ia hampir saja memanggil anak-anak itu untuk membantunya, tetapi diurungkannya maksudnya. Tentu saja mereka mau dibayar. Semua orang harus dibayar sekarang ini. Dan dia tahu bahwa ia tidak mampu untuk membayar anak-anak itu. Pada suatu kali, tepat pada waktu malam tiba, Nenek Hilda memperhatikan Bili dan Jeck bersandar pada sekop mereka dan melihat ke arah rumahnya, tetapi kemudian mereka berbalik dan masuk kembali ke rumah. Nenek Hilda lekas pergi tidur. Tidak banyak yang dilakukan oleh seorang perempuan tua pada malam hari, terutama pada musim salju seperti ini. "Saya perlu tidur nyenyak," kata Nenek Hilda pada dirinya sendiri, "untuk membuangkan salju itu besok pagi." Tepat sebelum tengah malam Nnenek Hilda terbangun dan melihat ke luar dari jendela. Salju masih terus turun, tetapi sekarang lebih tenang, dan angin masih berhembus pelan-pelan. Dunia ini putih dan indah dan luar biasa senyapnya, dan sinar dari lampu jalan terlihat berkilau-kilauan pada kristal salju. Kemudian ia mengingat jalan yang harus dibersihkannya besok pagi. Sangat susah kalau sudah tua dan lemah. Lalu ia tertidur kembali. Dengar! Apa itu? Suara-suara di bawah jendela! Suara sekop beradu dengan semen! Nenek Hilda berbaring di tempat tidurnya, terlalu takut untuk bergerak. Tetapi ia harus melihat apa yang sedang terjadi di luar. Dan suara itu kedengarannya aneh. Ia turun dari tempat tidur dan mengintip dari sudut jendela di balik tirai. Angin tidak lagi bertiup. Matahari mulai muncul, semuanya berwarna jingga dan oranye oleh karena pancaran langit biru. Bili dan Jeck sedang menyekop salju dari jalan Nenek Hilda! "Anak-anak manis itu," ia berbisik. "Aku harus merogoh dompetku untuk memberi upah mereka. Dan saya pikir saya harus menambah pakaianku sebelum aku keluar." Anak-anak itu, yang bekerja keras, lebih cepat dari Nenek Hilda. Mereka menyelesaikan jalan di depan, lalu beralih ke bagian belakang. Nenek Hilda memeriksa mereka sekali lagi dari jendela yang lain, dan ia melihat mereka sudah selesai bekerja. Tak sedikit saljupun tertinggal di jalan nenek itu.
9
"Sekarang mereka akan mengetuk pintu meminta upahnya," pikir Nenek Hilda. Ia segera ke pintu dan membukanya -- dan melihat anak-anak itu berlari pulang ke rumah mereka. "Anak-anak," panggilnya, "tunggu, saya akan bayar upah kamu." "Oh, tidak nek," teriak mereka. Kami tidak memerlukan upah untuk pekerjaan sedikit seperti itu." Nenek Hilda hanya berdiri dan melongo memandanginya. Sungguh ia telah dikunjungi oleh malaikat-malaikat bersekop. Masih adakah anak-anak seperti mereka di dunia ini, anak-anak yang melakukan pekerjaan kebaikan tetapi menolak menerima upah? Tiba-tiba Nenek Hilda yakin ia telah dikunjungi oleh malaikat bersekop! Ia masuk ke dalam rumah ke tempat telepon, lalu menelepon ibu anak-anak itu dan memberitahukan apa yang telah terjadi. Kemudian ia duduk lalu menulis sebuah surat yang ditujukan kepada redaksi sebuah surat kabar. Redaksi menyiarkan surat itu, dan perbuatan baik yang dilakukan oleh anak-anak pada pagi hari itu telah dibaca orang di seluruh negeri. Saya yakin malaikat-malaikat di surga juga telah memberitakan perbuatan baik Bili dan Jeck. -- Paman Lawrence. [Pesan moral: Anak-anak manis harus memperhatikan orang-orang yang memerlukan pertolongan, dan berusaha menolong mereka tanpa memandang upah dari mereka. – PAS]
8. Bagaimana Joan Menghentikan Pertengkaran Joan dan Dian adalah bersaudara, tetapi tidak selamanya mereka cocok satu sama lain. Mereka sering bertengkar. Dian, yang beberapa tahun lebih muda dari Joan, selalu mengganggu dan mengejek Joan. Joan sering memarahinya dan menyampaikan keluhannya kepada Ibu. Tetapi tidak ada perubahan. Lalu pada suatu malam, sementara Joan mempelajari pelajaran Sekolah Sabat minggu itu, ia membaca buku Roma 12:21, "Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan." Ia lalu memadamkan lampu dan berbaring di tempat tidur sambil memikirkan ayat itu, dan semakin dipikirkannya semakin lebar senyumnya. "Kalahkan kejahatan dengan kebaikan." Ini merupakan ide baru bagi Joan, dan ia suka itu. Akhirnya ia tertidur. Keesokan harinya segala sesuatu berjalan seperti biasa. Joan melompat ari tempat tidur dan segera membereskan tempat tidurnya dan melipat selimutnya. Ia ingin seandainya ia mempunyai kamar sendiri ia akan menjaga agar kamar itu tetap bersih dan rapi. Tidak lama kemudian Dian terbangun -- suasana hatinya tidak begitu baik hari ini. Joan mengusulkan agar Dian membuka piyamanya. Dan tiba-tiba Dian membuka piyamanya dan melemparkannya ke lantai di kamar itu. Kemudian ia melihat tempat tidur Joan yang sudah bersih dan rapi, lalu ia melompat ke atasnya dan duduk di tengah-tengah tempat tidur itu dengan pongahnya.
10
Joan memandang kepadanya sejenak, lalu berjalan ke arah tempat tidur Dian. Ia merapikan tempat tidur itu seperti tempat tidurnya. Ia memungut pakaian Dian yang berserakan di lantai dan menaruhnya di tempatnya yang semestinya. Dian memperhatikan dengan keheranan. Apa yang terjadi pada kakaku? Pada waktu mereka pulang dari sekolah, Joan mempunyai pekerjaan rumah yang agak banyak. Dian hanya mempunyai sebuah sajak yang harus dihafalkannya. Pada waktu Joan mencoba untuk belajar di meja di ruang keluarga, Dian duduk di ujung meja lalu ia menghafal sajak dengan suara keras berulang-ulang, dengan sengaja mengganggu kakaknya. Joan berkata, "Berikan bukumu padaku, sayang, aku akan membantumu menghafalkan sajak itu." Dian tidak menyadari! Ia memberikan bukunya pada Joan sebelum ia menyadari apa yang dilakukannya. Dalam beberapa menit saja ia sudah bisa menghafalkan sajak itu dengan baik, lalu ia pergi ke luar untuk bermain-main. Joan tersenyum puas! Sesudah makan malam Joan masih mempunyai PR yang harus dikerjakan. Dian menghidupkan TV dengan suara lebih keras dari yang dibutuhkan dan menjatuhkan dirinya di lantai diepan TV itu. Joan berkata, "Tolong kecilkan suara TV itu sedikit, dik." "Aku mau suaranya keras," kata Dian dengan kasar. "Jika kau mau suaranya keras, tidak apa," kata Joan. Ia lalu mengambil bantal dari sofa, dan dengan lembut mengangkat kepala adiknya, Dian, lalu menaruh bantal itu di bawahnya. "Begini terasa lebih nyaman, bukan?" katanya. Dian sangat kaget, sehingga tidak bisa menjawab. Tidak lama kemudian Ibu memanggil, "Waktu untuk tidur, Dian." Dian bangkit untuk naik tangga. Ia harus melewati Joan. Sebuah buku teks yang terbuka terletak di lantai. Secepat kilat ia menutupkannya, lalu berlari naik tangga. Ia naik ke tempat tidur. Penutup tempat tidurnya sudah dilipat, selimutnya sudah disiapkan dan piyamanya diletakkan siap untuk dipakai. Tempat tidurnya tidak pernah terlihat serapi dan senyaman itu. Siapa yang melakukan semua ini? Tiba-tiba ia ingat bagaimana Joan begitu sabar dan begitu baik kepadanya sepanjang hari. Joan telah merapikan tempat tidurnya dan menyimpan pakaiannya tadi pagi, ia telah menolongnya mempelajari sajaknya, telah memberikan bantal kepadanya pada waktu ia menghidupkan TV dengan suara begitu keras. Dan sekarang ___ Ia kemudian menuruni tangga pelan-pelan, lalu berdiri disamping kursi Joan. "Kak, apakah engkau yang merapikan tempat tidurku?" Joan berbalik, memandanginya dengan tatapan mata yang penuh kasih. "Apakah engkau menyukainya?" Suara Dian hampir seperti berbisik. "Kakak begitu baik kepadaku sepanjang hari. Saya menyesal, saya sudah begitu nakal pada kakak." Joan menarik adiknya ke pangkuannya, lalu memeluknya. ""Kak, engkau tahu," kata gadis kecil itu, "aku berharap bisa sebaik kakak pada waktu aku sudah besar." Joan merangkul adiknya. Ayat itu, ia merenungkan, benar-benar telah menghentikan pertengkaran. -- Paman Lawrence.
11
[Pesan moral: Jangan lawan kejahatan dengan kejahatan, tetapi dengan kebaikan, maka engkau akan berhasil. – PAS]
9. Nenek Minah Di luar terdengar suara-suara kegembiraan Natal. Tetapi di dalam rumah sepi dan gelap. Terang satu-satunya hanya datang dari perapian di mana Nenek Minah duduk di dekat perapiandi dapurnya. Baginya saat ini akan menjadi Hari Natal yang sepi. Ia tahu itu. Suaminya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Dan sekarang anak satu-satunya yang masih hidup sedang di rawat di rumah sakit karena mengidap penyakit yang aneh. Tidak berapa lama anak itupun akan mati juga, kemudian ia akan benar-benar tinggal sendirian. Kadang-kadang ia pergi ke gereja, tetapi sekarang sudah sangat jarang. Dan kadang-kadang orang-orang dari gereja datang melawatnya. Tetapi hanya sesekali. Orang-orang yang lebih muda tidak mempunyai banyak waktu bagi nenek-nenek seperti Nenek Minah. Oh, ia akan mati juga tidak berapa lama lagi; dan mungkin itu akan lebih baik. Matanya menjadi lelah memandangi api, dan ia mulai mengantuk. Pada waktu yang bersamaan, dalam sebuah rumah kira-kira lima kilometer jauhnya dari situ, berkumpullah sekelompok anak-anak. Mereka dengan gembira berbicara mengenai pesta-pesta dan pohon-pohon Natal dan hadiah-hadiahnya. Kemudian pemimpin mereka mengangkat sebuah kotak kosong. "Sebagaimana kamu tahu," ia mulai bicara, "Yesus berkata bahwa bilamana kita berbuat baik kepada orang-orang miskin sama artinya dengan berbuat baik kepada-Nya. Aku teringat kepada Nenek Minah ___" Ia tidak berkesempatan berkata lebih lanjut. "Tentu saja, kita akan memberikan sesuatu kepadanya!" "Mari kita isi kotak itu sampai penuh!" Semua berbicara serentak! Anak-anak itu tidak jauh tempat tinggalnya dari situ, lalu mereka berlarian ke rumah masing-masing untuk mengambil makanan. Tidak berapa lama mereka kembali dan memenuhi kotak itu. Gelak tawa anak-anak di jalan raya membangunkan Nenek Minah. "Mereka pasti sedang pergi ke pesta," pikirnya. Gelak tawa anak-anak itu terdengar semakin dekat. Dan kemudian terdengar ketukan kuat di pintu Nenek Minah. "Mereka pasti memasuki rumah yang salah," pikirnya. "Lebih baik saya bangkit dan memberitahu mereka supaya jangan membuang-buang waktu mereka, sehingga terlambat tiba di tempat pesta." Dengan rasa kaku ia berdiri dan berjalan tertatih-tatih ke arah pintu. Pelan-pelan pintu dibukanya. "Selamat Hari Natal, Nek Minah," seru anak-anak itu. "Kami membawa sesuatu untukmu, Nek." Dan sebelum nenek tua yang kebingungan itu mengetahui apa yang sedang terjadi, anak-anak beramai-ramai memasuki rumahnya sambil mengangkat satu kotak besar penuh dengan berbagai barang-barang yang baik. Sang Nenek tidak tahu mau bilang apa -- juga ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengatakannya! Karena dalam sekejap anak-anak itu sudah mulai menyanyikan 12
beberapa lagu-lagu Natal, dan kemudian pemimpin mereka melayangkan doa buat Nenek Minah. Sang Nenek lama berdiri di pintu sesudah anak-anak itu pergi. "Oh, Tuhan, tolonglah," bisiknya, "berkatilah semua anak-anak yang manis-manis dan baik hati itu." Pelan-pelan ia menutup pintu dan kembali ke perapian. Tetapi sekarang ia tidak lagi sendirian dan kesepian. -- Paman Lawrence. [Pesan moral: Bilamana kita bergembira, jangan lupa orang lain, terutama yang kesepian. – PAS]
10. Gajah Yang Tidak Mau Bergerak Cerita ini terjadi pada waktu India masih dijajah Inggeris. Pada waktu itulah cerita ini untuk pertama kali diterbitkan oleh The London Times. Terjadi pada waktu perang di India. Tentara salah satu propinsi di India Tengah sedang memerangi tentara propinsi lain. Peshwa (pimpinan salah satu propinsi) telah memberikan bendera kepada penunggang gajahnya yang terpercaya dan memerintahkannya agar terus mengibarkan bendera tersebut. Penunggang gajah -- yang disebut mahout -- mengikatkan bendera itu ke gajahnya di mana semua orang bisa melihatnya. Pada mulanya perang berlangsung dengan kemenangan di pihak Peshwa. Tetapi kemudian tentaranya mengalami kesulitan. Mahout memerintahkan gajahnya untuk berhenti, dan tidak berapa lama kemudian mahout itu terbunuh. Tentara Peshwa benar-benar mengalami kesulitan. Banyak tentaranya yang merasa pasti bahwa mereka tidak mempunyai harapan lagi, dan oleh sebab itu mereka hendak melarikan diri sementara mereka masih hidup. Kemudian, untuk sekejap asap hilang dari medan perang. Tentara Peshwa yang sudah ketakutan melihat bendera mereka masih berkibar di atas gajah. Gajah itu tidak mundur! Tuan gajah telah memerintahkan gajah untuk tetap berdiri di tempatnya dan membawa bendera. Dan gajah itu akan terus berdiri di sana di mana ia mengibarkan bendera sampai tuannya mengubah perintahnya. Jika bendera masih tetap berkibar, masih ada kesempatan untuk menang! Tentara Peshwa kembali timbul keberaniannya dan melipatgandakan usaha mereka. Gelombang peperangan berubah. Sekarang para tentara menyapu musuh dari sekitar gajah yang tak bergerak itu ke arah yang berlawanan dan membiarkan gajah itu berdiri di sana bagaikan gunung di antara korban-korban tentara musuh yang begelimpangan! Benar-benar keadaan musuh tanpa harapan, lalu mereka yang masih hidup melarikan diri. Tentara Peshwa yang menang berkumpul di sekitar gajah mereka dan memujimujinya. Kemudian, karena waktu untuk pulang sudah tiba, salah seorang mahout lain naik ke atas gajah dan memerintahkannya untuk mengikuti gajah-gajah lain yang sedang meninggalkan medan perang itu. Tetapi gajah pembawa bendera itu tidak mau bergerak. Mahout yang lain mencoba memerintahkannya tetapi tanpa hasil. Tiga hari berlalu. Gajah itu masih tetap berdiri di tempat yang sama. Lalu seseorang mengingat bahwa mahout yang sudah gugur itu mempunyai seorang anak, seorang anak laki-laki
13
yang kadang-kadang di suruh memerintah gajah itu. Mereka menjemput anak itu walaupun tinggal ratusan kilometer jauhnya dari situ. Pada waktu ia datang, gajah itu mengenali suara anak tuannya. Kemudian, dengan langkah yang gagah gajah itu mengikuti anak itu pulang ke rumah.-- Paman Lawrence *** [Pesan moral: Kadang-kadang kita berada di antara kelompok orang-orang muda yang hanyut dalam berbagai jenis dosa. Jika hal ini terjadi kepadamu, ingatlah gajah yang tidak mau bergerak. Jika saja engkau mau berdiri di mana engkau berada dan terus mengibarkan bendera kebenaran bagi Raja segala raja, maka teman-temanmu akan melihat teladanmu dan akan memperoleh keberanian mereka kembali. Mereka akan menolak kejahatan sampai mereka menang. Anak-anak laki-laki dan perempuan yang bagaimakah kita jika kita memutuskan, dalam keadaan apapun, untuk tidak mau mendengar perintah dari manapun selain dari Pemimpin surgawi kita, Yesus Kristus? Semoga.—PAS]
The End of Cerita Untuk Anak-1 (1-10).
14