Newsletter
Yayasan Merangat strengthens the self-help capacities of local community to fight against poverty and injustice and promote the integrity of creation
cerita-cerita dari perjalanan awal
EDISI 1, FEBRUARI 2014
Dari Redaksi
Sambutan Ketua Yayasan Merangat
Pembaca yang budiman, Salam sejahtera. Sungguh gembira hati kami bisa menghadirkan Buletin Yayasan Merangat edisi perdana ini ke hadapan Anda. Kita bergembira bersama warga dusun Laung mencanangkan program swasembada pangan dan belajar berdemokrasi bersama OMK St. Fidelis Sejiram. Kita juga sangat kagum melihat kreatifitas bermain anak-anak pedalaman yang sangat ekologis. Namun ada juga keprihatinan saat menemukan adanya fakta krisis benih lokal di Kapuas Hulu akibat datangnya benih modern hasil rekayasa yang ternyata berakibat buruk terhadap system ketahanan pangan local. Kita juga tertantang mencari solusi terbaik untuk meneruskan generasi pengerajin seni Tenun suku Iban. Selamat Membaca. Team Redaksi
Yayasan Merangat Newsletter
adalah sarana informasi dan komunikasi antar jejaring warga dan komunitas kelompok serta organisasi masyarakat lokal dan penentu kebijakan. Pelindung—Penasehat: Dewan Pembina Yayasan Merangat Penanggung Jawab : Pengurus Yayasan Merangat Team Pelaksana: Suci Margawati.MI : Web-Admin dan Pemimpin Publikasi Team Dokumentasi Yayasan Merangat
S E KR E TA R I A T Jl. Pipit Tengil 38, Desa Tajau Mada, Sejiram, Kec. Seberuang, 78772, Kapuas Hulu, Kalbar Phone: +62-81280503764 E-mail:
[email protected] website: merangat.or.id
Stephanus Mulyadi, M.Sc Ketua Yayasan Merangat Pembaca yang budiman, para sahabat, mitra kerja Yayasan Merangat dan relawan di manapun Anda berada, salam kehidupan! Saya menyambut gembira terbitnya Buletin Yayasan Merangat ini. Semoga hadirnya Buletin ini bisa menjadi berkat bagi kita semua, menjadi pembawa Kabar Gembira. Kami berharap melalui buletin ini kita bisa berbagi berita, ide-ide, inspirasi dan bahkan berbagi perasaan hati serta saling bertukar pengalaman. Melalui Buletin ini kita juga dapat mengetahui keadaan kerabat dan sahabat kita di tempat lain. Begitulah kita dapat ikut merasakan pengalaman yang dialami saudara-saudara kita. Kita bahkan dapat saling bertukar ide dan inspirasi untuk kemajuan kita. Dengan demikian kita menghidupkan proses belajar bersama. Kedua, kehadiran buletin ini dengan demikian lalu memperkuat kita, menumbuhkan belarasa dan mendorong kita untuk bersinergi menghadapi berbagai persoalan dan mengembangkan kehidupan bersama yang lebih baik. Semoga Buletin ini semakin memperkuat jejaring sosial kita. Salam Stephanus Mulyadi
Isi edisi ini
Wabup Kapuas Hulu kunjungi Dusun Laung
Sekolah Demokrasi ala OMK Sejiram
Permainan ekologis anak pedalaman
Krisis benih lokal semakin parah
Kerajinan tenun adat kesulitan penerus
Cerita lumbung padi yang rubuh
2
Pencanangan Program Swasembada Pangan Dusun Laung Sabtu, (15/2/2014) merupakan hari bersejarah bagi Dusun Laung, Desa Seneban, Kec. Seberuang, Kab. Kapuas Hulu. Karena pada hari itu, bertepatan dengan acara penancapan tiang pertama gereja St. Paulus Laung oleh Bp. Wakil Bupati Kapuas Hulu, Agus Mulyana, SH., M.H., dusun Laung juga mencanangkan program swasembada pangan yang ditargetkan tercapai pada tahun 2020. “Program Swasembada Pangan ini merupakan inisiatif dari Dusun Laung sendiri,” jelas Situ, Kepala Dusun Laung. “Percaya pada kekuatan masyarakat Laung dan bimbingan serta dampingan Yayasan Merangat, kami yakin bisa mencapai target itu,” ungkap Situ penuh semangat. Pencanangan program swasembada pangan itu ditandai dengan penyerahan batu asah oleh Bp. Wakil Bupati kepada ketua 5 (lima) kelompok Tani dusun Laung. Menurut Bp. Antonius Suryadi, koordinator umum Kelompok Tani Dusun Laung, sebenarnya program swasembada pangan bukanlah hal yang baru dan sulit dicapai oleh dusun Laung. Pada tahun 1960-1980 an Dususn Laung pernah mengukir sejarah emas sebagai Dusun Lumbung Padi terbesar di Kapuas Hulu. Petrus Gunung (alm) adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah pertanian Laung sebagai perintis pertanian persawahan. Lembah sungai Katur Lemah dan Katur Besar yang sangat subur, mulai dari kaki bukit Biru, bukit Ngang sampai perbatasan Bati, demikian juga lembah sungai Lutih yang memiliki luas bentangan lebih dari seratus hektar merupakan potensi persawahan utama Dusun Laung. “Jika semua areal itu dapat dikelola dengan baik, Laung akan menjadi lumbung beras yang cukup untuk seluruh kecamatan Seberuang,” jelas Bp. Suryadi. Namun sekarang menurut Bp. Suryadi masyarakat Laung memiliki keterbatasan modal, alat dan irigasi untuk menjadikan semua areal itu lahan persawahan. Sekarang masih dikelola secara tradisional menggunakan tenaga manusia sepenuhnya. Selain itu tidak ada jalan tani dan kesulitan irigasi. Oleh karena itu masyarakat Laung sangat mengharapkan pihak pemerintah bisa memberikan bantuan yang diperlukan. Secara swadaya saat ini masyarakat Laung bertekad menguatkan dan memberdayakan kelompok tani sawah. Kegiatan Kelompok Tani Laung saat ini mencakup pengerjaan lahan persawahan di sepanjang lembah Katur Lemah seluas sekitar 40 hektar secara tradisional. Namun untuk itu mereka mengharapkan pendampingan atau penyuluhan dan peralatan pertanian serta pengairan sederhana dan bantuan bibit ternak. Menanggapi penyampaian Koordinator Kelompok Tani Laung, Bp. Wakil Bupati menyatakan rasa terima kasih dan bangga serta memberikan dukungannya kepada masyarakat Laung, yang telah berinisiatif menyusun program dusun secara mandiri. Dusun Laung merupakan dusun pertama yang dia temui di Kab. Kapuas Hulu yang telah secara mandiri mampu menyusun program swasembada pangan. “Pemerintah Kabupaten akan mendukung program yang sangat bagus ini secara penuh,” demikian diungkapkan Bp. Wakil Bupati, yang disambut tepuk tangan warga. Dukungan pemerintah diberikan secara simbolis dalam bentuk penyerahan batu asah kepada lima kelompok tani. Saat menyerahkan batu asah, Bp. Wakil Bupati menjelaskan makna filosofis dari batu asah. Pertama sebagai batu “pencelap”, pendingin. Batu asah akan memberikan aura ketenangan dan kedamaian kepada pemiliknya. Kedua, batu asah juga untuk mengasah parang, agar tetap tajam. Demikian juga semangat, pengetahuan dan keterampilan warga dusun Laung supaya terus dipertajam, sehingga program dusun Laung dapat tercapai. (ym).
Penancapan tiang pertama Gereja Laung oleh Bp. Wabup Kapuas Hulu, Agus Mulyana, SH., M.H.
Bp. Wabup Kapuas Hulu memberikan wejangan sebelum menyerahkan Batu Asah kepada para Ketua Kelompok Tani Dusun Laung
Bp. Wabup Kapuas Hulu memberikan wejangan dan motivasi kepada masyarakat dalam rangka program Swasembada Pangan 2020 di Dusun Laung
Bp. Wabup Kapuas Hulu memperkenalkan para Kepala SKPD baru Kab. Kapuas Hulu
3
Yayasan Merangat menggelar Sekolah Demokrasi di Sejiram Begitu mulai bekerja di Sejiram, Yayasan Merangat langsung menggelar sebuah perhelatan besar, yaitu acara pelatihan kepemimpinan kristiani untuk kaum muda Katolik (OMK) di paroki tertua di Kalbar, yaitu paroki St. Fidelis Sejiram, Kapuas Hulu. Untuk menyelenggarakan acara Pelatihan Kepemimpinan Kristiani tersebut Yayasan Merangat menggandeng DPP Sejiram dan Pemerintah Kab. Kapuas Hulu. Acara tersebut dikemas dalam Kemah Rohani. Lebih dari 300 OMK dari tiga Paroki sub Regio Selatan, Kapuas Hulu ini (Paroki Sejiram, Dangkan Silat dan Semitau ) berpartisipasi dalam acara tersebut. “Kemah Rohani ini bagian awal dari program pelatihan kepemimpinan bagi OMK sub Regio Selatan Kapuas Hulu,” ungkap Stephanus Mulyadi, pendamping OMK Sejiram dan sekaligus pelatih dalam acara tersebut. “Dalam bagian awal ini kita mengadakan gathering dulu, tujuannya agar OMK di Regio Selatan kumpul dan saling kenal dan dari situlah akan muncul sebuah komunitas. Jadi kegiatan ini pertama-tama bertujuan membangun komunitas OMK dulu,” jelas Direktur Yayasan Merangat ini. Lebih jauh Stephanus Mulyadi menjelaskan bahwa tahun 2014—2015 kebetulan adalah tahun-tahun demokrasi atau tahun politik. Acara pelatihan Kepemimpinan Kristiani yang mengambil tema, “Implementasi Iman dalam Politik dan Kekuasaan untuk Kesejahteraan Masyarakat Kapuas Hulu,” ini juga dimaksudkan sebagai Sekolah Demokrasi. Anak-anak muda, menurutnya, sangat perlu belajar tentang politik praktis. “Iman tanpa perbuatan adalah mati. Nah, ketika orang berbuat, apapun perbuatannya, itu adalah bagian dari tindakan politik,” jelasnya. Hadir sebagai Dosen utama di Sekolah Demokrasi tersebut Wakil Bupati KH, Bp. Agus Mulyana, S.H., M.H, Ketua Komcab Pemuda Katolik KH, Herkulanus Sutomo Manna, SP., dan Stephanus Mulyadi, M.Sc,. Mulai dari spiritualitas pemimpin, Stephanus Mulyadi mengatakan bahwa visi kepemimpinan kita ada dalam doa Yesus, yaitu “Datanglah Kerajaan-Mu, Jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga.” Selanjutnya Bp. Agus Mulyana memberikan makna dan tanggung jawab seorang pemimpin. Pengalaman pribadinya, bagaimana dia berjuang dari NOL sampai menjadi seorang wakil Bupati sangat inspiratif dan memotivasi agar orang muda jangan mudah menyerah, melainkan secara kreatif selalu berusaha untuk maju. Kemudian Herkulanus Sutomo Manna, SP, mengatakan bahwa kaum muda katolik sangat perlu terlibat dalam dunia politik praktis. “Kita tidak bisa hanya menjadi penonton apalagi hanya mengeluh. Kita harus menjadi pemainnya, juga di dunia politik. Dengan bagitu kita bisa mengubah keadaan,” tegas Bang Tomo, yang juga adalah Caleg DPRD Provinsi Kalbar dari Partai Demokrat. Sementara Ibu Iyul, Camat Seberuang mengatakan, sebagai seorang pemimpin kita perlu total menjalankan amanat kepemimpinan kita. “Bila perlu kita memberikan segalanya, “ demikian dikatakan Camat Perempuan pertama di Kapuas Hulu ini. Sementara Pastor Paskalis, CP., pastor paroki Sejiram mendorong OMK agar melayani dengan sepenuh hati., apapun tugas dan pekerjaan kita.. Pada sessi kedua, setelah makan malam, suasana berubah menjadi panas. Pasalnya 7 orang caleg dari berbagai partai tampil bersama di atas satu panggung. Selain memperkenalkan diri, visi dan misi mereka, mereka juga ditantang oleh Moderator untuk unjuk kebolehannya berdiskusi dan berdebat tentang tema pembangunan. Begitulah sebagian kegiatan dari Pelatihan Kepemimpinan Kristiani yang baru pertama kali digelar ini. Peserta mengaku puas karena mendapatkan pendidikan politik. Beberapa mengaku tidak takut untuk terjun ke dunia politik. Indonesia butuh politisi yang mampu meingmplementasikan iman dalam politik dan kekuasaan untuk kesejahteraan masyarakat . (ym).
Pengguntingan pita oleh Bp. Wabup Kapuas Hulu, sebagai ucapan selamat datang ke acara Kemah Rohani OMK St. Fidelis Sejiram
Bp. Wabup Kapuas Hulu memberikan kuliah Kemepimpinan kepada peserta Kemah Rohani
Sebagian peserta Kemah Rohani tekun mendengarkan kuliah dari Bp. Wakil Bupati KH
4
Pesona permainan ekologis anak-anak Rumah Panjang Setelah naik mobil sekitar satu jamlebih dari Putussibau, ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu, saya tiba di Rumah Panjang (Betang) Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu. Kala itu jam 10:00 pagi. Matahari hampir tepat berada di atas ubun-ubun. Saya ke Sungai Utik untuk menjemput 2 teman crew NET yang sedang shooting untuk program TV Indonesia Bagus. Perlahan saya menaiki tangga bagian paling ujung timur Rumah Panjang yang dibangun pada tahun 1973 itu. Dari beranda yang sangat panjang mata saya mencoba mencari seseorang di sana, sedikit mengintip dari jendela yang hamper tertutup oleh tikar dari anyaman daun pandan. Sepi. Saya masuk ke ruangan besar yang sangat panjang. Sebuah ruang serbaguna bagi warga 28 bilik yang menempati rumah panjang itu. Di kejauhan terlihat seorang nenek sedang duduk menganyam tikar dari pandan di depan sebuah bilik. Agak lebih jauh lagi, di depan pintu, duduk seorang nenek menjaga tiga cucunya. Mereka semua diam, tidak bersuara. Tiba-tiba saya dikagetkan oleh seorang anak yang tiba-tiba muncul dari pintu bilik di dekat saya berdiri. Dia juga kaget melihat saya berdiri di sana. Mereka segera masuk kembali ke dalam bilik dan menutup pintu. Suasana kembali hening, Sekitar dua menit kemudian tiga pintu bilik serempak membuka perlahan. Beberapa kepala anakanak, laki-laki dan perempuan, muncul ragu-ragu dari balik pintu seakan memastikan suasana aman untuk keluar. “suit….” terdengar siulan perlahan. Kini lima pintu bilik membuka serempak. Enam anak-anak keluar dari bilik dengan ceria. Mereka ngobrol dengan bahasa Iban yang kental. Spontan saya duduk di depan sebuah pintu, tidak jauh dari anak-anak itu, menunggu dengan rasa ingin tahu. Apa yang akan mereka buat? Anak-anak duduk di lantai, melingkar sambil mengeluarkan biji-biji buah pohon karet dari saku celana mereka. Setiap orang mengeluarkan 5 biji karet sesuai dengan kesepakatan. Kemudian bijibiji karet itu disusun berderet memanjang. Setelah itu mereka berdiri berbaris, masing-masing melempar sebuah biji karet ke poisi lain dari biji karet yang disusun. Setelah semua biji karet dilempar, masingmasing pindah posisi mendekati biji karet miliknya yang dilempar. Siapa yang biji karetnya terjauh dialah yang mendaat giliran terlebih dulu menjentikkan biji karet ke sasaran, yaitu biji-biji karet yang disusun memanjang. Jika sentikan biji karet mengenai sasaran, biji karet yang terkena sentikan menjadi milik si penyentik. Kemudian dilanjutkan penyentik kedua, dan seterusnya. Pemenang adalah siapa yang berhasil mengumpulkan biji karet terbanyak. Permainan ini mirip dengan permainan kelereng. Bedanya bolanya dari biji pohon karet. Dan sasarannya disusun membujur dari titik tembak. Sehingga lebih sulit mengenai sasaran. Ternyata dalam hal menembak sasaran, belum tentu pemain laki-laki lebih hebat dari perempuan. Dari beberapa kali tembakan, terbukti justru seorang anak perempuan yang dipanggil “bule”, karena berambut pirang, yang lebih lihai menembakkan bolanya, sehingga lebih sering emngenai sasaran. Yang bagi saya sangat mempesona adalah ternyata anak-anak itu sengaja memilih biji pohon karet untuk bermain. Pilihan itu bukan karena mereka tidak bisa membeli bola kelereng dari kaca, melainkan karena mereka lebih senang memakai alat permainan organik. Selain itu, setelah biji karet itu tidak mereka pakai lagi untuk bermain, biji-biji karet itu tidak mereka buang, melainkan disimpan disuatu wadah. Dan jika sudah banyak, biji karet itu mereka berikan kepada orang tua mereka untuk ditanam di kebun karet. Jadi dengan bermain, mereka telah membantu orang tuanya mengumpulkan bibit tanaman karet. Sungguh anak-anak yang arif dan kreatif. (sm)
5
Tidak sekedar krisis benih lokal
Mentimun Selit (mentimun padi). Jenis mentimun local yang buahnya lebih besar dan terasa manis. Mentimun ini bebas zat kimia (karena menggunakan system pertanian organic) dan berkhasiat menyembuhkan penyakit hipertensi dan panas dalam. Salah satu ciri dari industrialisasi pertanian antara lain adalah bisa panen secepat-cepatnya dengan hasil yang sebanyakbanyaknya, biaya produksi serendah-rendahnya dengan keuntungan yang sebesar-besarnya. Salah satu cara untuk bisa mencapai yang seperti itu adalah rekayasa benih. Namun apa yang terjadi dengan benih rekayasa itu? Benih itu hanya bisa sekali tanam. Akibatnya petani harus selalu membelinya dari toko. Tanpa disadari tahu-tahu beberapa tahun belakangan ini benih-benih hasil rekayasa genetik itu sudah jauh merambah masuk ke pedalaman Kabupaten Kapuas Hulu. Akibatnya langsung terasa. Benih benih padi lokal, mentimun, jagung, tomat, kacang, terong lokal mulai menghilang. Mengapa? Petani tradisional juga ingin cepat panen, ingin dapat panen yang banyak, dan berharap atas keuntungan yang melimpah. Namun harapan-harapan itu tanpa terasa mulai mengubah kultur pertanian lokal. Kalau dulu orang rajin mencabut rumput di ladang sambil menceritakan dongeng kebijaksanaan pada anakcucu, sekarang tidak perlu mencabut rumput lagi. Karena ada racun rumput. Tinggal semprot bablas rumpute (bhs. Jawa—hilang rumputnya). Namun pPada saat menyemprot ladang dengan racun orang tua tidak mungkin lagi membawa anak kecil ke ladang dan menceritakan dongeng kebijaksanaan. Karena hal itu bisa menyebabkan anak-anak keracunan. Perubahan lain adalah meningkatnya kebutuhan pemakaian pupuk kimia, meskipun untuk mendapatkan pupuk tidaklah mudah bagi warga pedalaman. Sementara ternyata bibit hasil rekayasa genetik tidak begitu suka tumbuh subur di lahan yang tidak dipupuk. Alhasil petani tergantung pada perusahaan pertanian. Bibit, pupuk, racun rumput semuanya harus dibeli dari took di kota. Padahal harga barang-barang itu selangit. Karena ongkos transportasi mahal. Ongkos transportasi mahal karena harga BBM mahal. Di kota Putussibau harga BBM rata-rata Rp.9.000,00, di kampong-kampong pedalaman bisa sampai Rp.15.000,00 per liter. Biaya transport mahal berdampak pada rendahnya harga produk pertanian. Mimpi untuk makmur dari hasil pertanian semakin sirna. Dampak lain yang lebih memilukan yang muncul dari situasi itu adalah menurunya kesadaran sebagian warga masyarakat akan pentingnya memelihara dan mempertahankan tanah. “Tanah tidak mendatangkan keuntungan, maka untuk apa punya tanah?” demikian kemudian pikiran yang berkembang dalam sebagian warga.
Dalam situasi demikian, warga sangat rentan terhadap godaan untuk menjual tanah warisan leluhur mereka. Kemudian situasi seperti itulah yang dimanfaatkan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit atau tambang untuk menguasai tanah warga. Jadi terlihat, dampak hilangnya benih local ternyat lebih mengkhawatirkan dari apa yang kita bayangkan. Munculnya benih hasil rekayasa genetik tidak hanya mengeser benih local, tetapi juga mulai menggeser pola pikir masyarakat local mengenai hakekat tanah sebagai “ibu” mereka. Berharap pada kelompok petani adat Beruntung bahwa tidak semua masyarakat terpengaruh oleh godaan untung besar industri pertanian. Ibu Elisabeth Nuliana, seorang guru SD di Putussibau adalah salah satu dari sekelompok masyarakat adat Dayak yang tetap setia menerapkan pertanian yang berpegang pada kearifan local. Mereka tetap setia menanam dan memuliakan benih local. Hasil yang diperoleh memang tidak banyak. Tapi cukup untuk kebutuhan hidup keluarga. “Cukup untuk makan,” itulah prinsip keberhasilan pertanian masyarakat adat Dayak. Cukup untuk makan bermakna mengejar hasil yang secukupnya, tidak berlebihan untuk diperjualbelikan. Maka juga petani adat Dayak umumnya enggan menjual tanah mereka, meskipun mereka digoda dengan harga tanah yang tinggi. “Kita tidak mungkin menjual „ibu‟ kita.” Bagi masyarakat Dayak yang masih berpegang teguh pada kearifan local tanah adalah IBU. (sm).
6
Seni Kerajinan tenun adat Dayak Iban kesulitan mencari penerus
Jika kita bertandang ke Rumah Panjang suku Dayak Iban, pemandangan pertama yang sangat mengesankan adalah kerajinan tenun. Di semua bilik terdapat alat tenun tradisional. Di situlah ibu-ibu, menghabiskan waktunya di selasela pekerjaan rumah tangga dan kegiatan di lading. Kerajinan tenun Dayak Iban minimal memiliki empat jenis, yaitu tenun songket, kebat, sidan dan pole. Masingmasing jenis itu memiliki keunikan, keindahan dan kerumitan sendiri dalam pengerjaannya. Karena proses dari pewarnaan benang sampai penenunan sangat rumit, sehingga dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk menghasilkan sehelai kain tenun. Oleh karena itu hanya orang-orang yang terlatih dan sabar saja yang mampu menghasilkan kain tenun yang indah. Harga kain tenun bervariasi, tergantung pada ukuran dan kerumitan pengerjaannya. Sebuah syal kecil dihargai antara Rp.50.000—300.000,00. Sedangkan untuk kain bisa mencapai Rp. 3.000.000,00 per helai. Kain tenun Iban laku keras di pasar, bahkan di Malaysia. Kebanyakan untuk souvenir.
penenun, yang umumnya perempuan, tenun Dayak Iban juga terancam punah.
terputus, dan sejarah
Mendambakan SMK Kerajinan Tenun Untuk mengatasi persoalan itu, Stephanus Mulyadi menggagas suatu ide yaitu membuka SMK atau kursus kerajinan tenun terintegrasi dengan kehidupan Rumah Panjang Dayak Iban. Dengan adanya SMK atau kursus Kerajinan Tenun terintegrasi tersebut, anak-anak Dayak Iban bisa tetap bersekolah sekaligus tetap tinggal di rumah orang tuanya untuk belajar dan praktek menenun. Dengan demikian kerajinan tenun Dayak Iban tidak akan punah dan anak-anak Iban, khususnya anak-anak perempuan tidak harus melanjutkan sekolah ke luar daerah untuk mendapatkan pendidikan dan keterampilan.(sm).
Kesulitan regenerasi penenun Meskiun harga kain tenun Iban relative mahal dan diburu para pencari sovenir, namun kerajinan tenun Iban sulit berkembang. Hambatan utama terletak pada sulitnya regenerasi penenun. Anak-anak muda Iban masih harus bersekolah ke kota untuk mendapatkan pendidikan tingkat menengah. Setelah mereka selesai sekolah, apalagi yang sudah kuliah, sedikit yang kembali ke desa. Akibatnya generasi
7
Cerita lumbung padi yang rubuh Sekitar tahun 70-an Dusun Laung pernah terkenal dengan julukan sebagai Lumbung Padi di Kapuas Hulu. Selain dari kecamatan Seberuang sendiri, orang-orang dari kecamatan lain seperti Semitau, Hulu Gurung bahkan Selimbau pernah mencari padi ke sana. Karena itu, kala itu perhantian pemerintah, dari pemerintah Kabupaten sampai pemerintah provinsi menaruh perhatian besar terhadap dusun Laung. Hal itu dibuktikan dari kunjungan berbagai pejabat pemerintah, seperti Bupati Kapuas Hulu yang mengadakan panan raya di Laung dan mahasiswa dari berbagai universitas silih berganti datang mengadakan penelitian atau KKN di Laung. Padahal untuk mencapai Laung, kala itu, mereka harus menempuh jalan kaki sehari penuh dari Sejiram. Lumbung padi yang rubuh Dusun Laung memiliki pesona yang tidak dimiliki oleh dusun lain di Kecamatan Seberuang. Dusun ini memiliki hamparan lembah yang sangat luas di sepanjang sungai Katur Lemah, dari kaki bukit Ngang sampai ke perbatasan Bati. Penduduk dusun Laung adalah petani-petani handal. Merekalah yang pertama-tama mengembangkan persawahan di Kec. Seberuang. Mereka adalah petani tradisional yang menerapkan prinsip-prinsip kearifan lokal. Mereka inilah yang menghasilkan padi berlimpah sepanjang tahun. Sehingga pada tahun 70-an dusun Laung mendirikan lumbung padi, di mana orang yang kekurangan makanan bisa mengambil padi ke lumbung itu dengan pembayaran bunga 10% (10:1). Karena begitu banyaknya padi di lumbung, sampai lumbung itu rubuh. Runtuhnya kejayaan padi Laung Karena pesonanya itu, pemerintah “jatuh cinta” pada dusun Laung. Bak seorang bujang tergila-gila pada si dara, pemerintah menghadiahkan bendungan untuk dusun Laung. Niatnya meningkatkan hasil panen. Dan petani yang semula membangun bendungan sederhana dari kulit kayu atau daundaunan untuk mengairi sawah, kini dijanjikan tak perlu bersusah payah lagi. Akan ada bendungan permanen yang siap mengairi sawah mereka sepanjang musim. Adalah Akik Gunung, seorang tokoh yang memulai budaya bersawah di Laung, tertegun melihat rencana bendungan dan saluran irigasi yang akan dibangun dibawah permukaan sawah oleh seorang insinyur dari Pontianak. Pengalamannya puluhan tahun bersawah dan kearifan local yang dimilikinya membuat Akik Gunung ragu, apakah bendungan dan saluran irigasi hadiah dari pemerintah itu akan membawa hasil seperti yang diharapkan? Sementara masyarakat lain bergembira atas bendungan itu, Akik Gunung justru khawatir. Menurut perhitungan Akik Gunung konstruksi bangunan dan saluran irigasi
yang dibangun itu justru membuat air tidak akan bisa naik lagi ke areal persawahan. Itu artinya persawahan di Laung akan mati. Takut kekhawatirannya terjadi, Akik Gunung memberanikan diri pergi ke lokasi pembangunan bendungan menemui sang Insinyur. Namun dengan nada sombong sang Insinyur berkata, “Saya ini Insinyur. Saya lebih tahu dari kamu!”. Akik Gunung terdiam. Saat pulang matanya menerawang ke hamparan sawah di bagian hilir bendungan. Ia tidak mendebat. Karena ia bukan insinyur. Pembangunan bendungan dan saluran irigasipun terus berjalan. Sampai akhirnya selesai. Tapi apa yang kemudian terjadi? Ternyata Akik Gunung benar. Air tidak bisa naik ke sawah. Sejak tahun itu, ratusan hektar sawah tidak lagi mendapat air. Lalu sang Insinyur? Dia sudah kembali ke Pontianak. Proyeknya sudah selesai! Sejak itu ratusan hektar sawah tidak berair. Sawah tidak menghasilkan panenan dan sejak itu lumbung padi dusun Laung runtuh! Masyarakat Laung pun frustrasi. Sawah terbengkalai menjadi hutan dan semak belukar. Kejayaan sawah Laung meredup. Masyarakat Laung kembali ke kebiasaan berladang lahan kering. Upaya membangun kembali lumbung padi yang rubuh 30 tahun kemudian, warga Laung seakan terbangun
dari tidur, setalah mereka sadar bahwa sekarang hampir 100% masyarakat Laung bergantung pada beras dari luar. Jika suplai lancar dan harga karet mahal, tidak ada masalah. Tapi jika harga karet jatuh dan jalan rusak, beras menjadi sulit didapat. Pengalaman pahit menggantungkan diri pada karet dan hasil hutan membuat warga Laung bertekad agar sawah di Laung kembali hidup. Kesadaran itu membuat masyarakat Laung membangun tekad, tahun 2020 kembali swasembada pangan. Untuk mengejar target itu, kelompokkelompok tani dibentuk. Pendekatan dengan pemerintah kembali dilakukan. Bapak Wakil Bupati diundang ke Laung untuk berdialog. Sementara Yayasan Merangat mulai mengajari penduduk menekuni budaya pertanian terintegrasi. Dengan penuh semangat masyarakat Laung bertekad membangun kembali lumbung padi Laung yang runtuh itu (sm).
Akik Gunung
8