PERTAMBAHAN TUMBUH BIBIT JABON (Anthocepalus cadamba Roxb.) UMUR ENAM BULAN DI PERSEMAIAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA
OLEH : ABDUL KADIR JAILANI NIM. 090 500 153
PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA SAMARINDA 2012
PERTAMBAHAN TUMBUH BIBIT JABON (Anthocepalus cadamba Roxb.) UMUR ENAM BULAN DI PERSEMAIAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA
OLEH : ABDUL KADIR JAILANI NIM. 090 500 153
Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Sebutan Ahli Madya pada Program Diploma III Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA SAMARINDA 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Karya Ilmiah
Tumbuh Bibit Jabon : Pertambahan (Anthocepalus Cadamb Roxb.) Umur Enam Bulan di Persemaian Politeknik Pertanian Negeri
Nama
: Abdul Kadir Jailani
NIM
: 090 500 153
Program Studi
: Manajemen Hutan
Jurusan
: Manajemen Pertanian
Pembimbing,
Penguji I,
Penguji II,
Ir. HM. Yusri, MP
Ir.Hasanudin, MP
Ir. Fendy Ucche, M.Si
NIP. 19630328 198903 1 005
NIP. 19630805 198903 1 005 NIP.19620309 198803 1 002
Menyetujui, Ketua Program Studi Manajemen Hutan,
Ir. M. Fadjeri, MP NIP. 19610812 198803 1 003 Lulus ujian pada tanggal : ……………………….
Mengesahkan, Ketua Jurusan Manajemen Pertanian,
Ir.Hasanudin, MP NIP. 19630805 198903 1 005
ABSTRAK
ABDUL KADIR JAILANI. Pertambahan Tumbuh Bibit Jabon (Anthocepalus Cadamb Roxb.) Umur Enam Bulan di Persemaian Politeknik Pertanian Negeri Samarinda (dibawah bimbingan Ir. HM. YUSRI, MP.) Penelitian ini dilatar belakangi karena kebutuhan akan bahan baku kayu semangkin meningkat maka dipandang perlu kiranya dikembangkan jenis pohon yang cepat tumbuh, diantaranya adalah tanaman jabon. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran pertumbuhan bibit tanaman jabon di persemaian sebelum dipindahkan ke lahan tanaman. Variabel yang diukur adalah Diameter, Tinggi bibit dan perhitungan Jumlah Daun. Variabel tersebut diolah dengan menggunakan perhitungan statistik yaitu Rata-rata, Standar Devisi dan Koefisien Variasi. Pengukuran pertama dilaksanakan pada saat bibit berumur 4 (empat) bulan yaitu pada saat bibit diaklimatisasi di tempat terbuka selama 2 bulan dan pengukuran kedua dilakukan pada saat bibit berumur 6 (enam) bulan. Hasil penelitian ini menunjukkan pertambahan diameter dan tinggi yang lebih bervariasi, sedangkan jumlah daun berkurang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran informasi perkembangan mengenai pertumbuhan bibit tanaman jabon di persemaian sebelum dipindahkan ke lapangan. Kata kunci : Jabon, Bibit, Pertumbuhan Nilai rata-rata, Koefisien variasi
RIWAYAT HIDUP
Abdul Kadir Jailani, lahir pada tanggal 07 Oktober
tahun
1967, anak kedua dari sepuluh bersaudara yang dilahirkan dari Pasangan suami-istri Kursani dan Maskanah (Almh). Dilahirkan di Kecamatan Muara Pahu Kabupaten Kubar. Memulai pendidikan pormal pada Sekolah Dasar Negeri 001 Muara Pahu, lulus tahun 1980, Sekolah Menengah Pertama Negeri Muara Pahu lulus tahun 1983, Melanjutkan ke Sekolah Pertanian Menengah Atas dan lulus tahun 1986. Tahun 1988 menikuti kuliah pada Pendidikan Guru Sekolah Menengah Pertama (PGSMTP) selama 1 tahun dengan Program Studi Ilmu Pengetahuan Alam. Tahun 1990 bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Politeknik Pertanian Negeri Samarinda sebagai teknisi lapangan dan ditempatkan pada laboratorium persemaian, menikah pada tahun 1994 dengan sdri,Tarsiah dan dikaruniai tiga orang putri masing-masing bernama Sulistya Ningsih, Aliciya dan Retno Ita Andini. Tahun 2009 mengikuti pendidikan Program Diploma pada Politeknik Pertanian Negeri Samarinda Program Setudi Manajemen Hutan dan pada tanggal 1 Mei 2012 melaksanakan Praktek Kerja Lapangan di Resort Pemangkuan Hutan Jati Lawang, Kesatuan Pemaangkuan Hutan Banyumas Timur Prum Perhutani Unit I Jawa Tengah.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena ,atas rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan laporan Karya Ilmiah yang dibuat sebagai syarat untuk dapat menyelesaikan studi di Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Pada kesempatan ini Penyusun juga ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Bapak Ir. H.M, Yusri, MP. selaku dosen pembimbing.
2.
Bapak Ir. M. Fadjeri, MP selaku Ketua Program Studi Manajemen Hutan
3.
Bapak Ir. Hasanudin, MP selaku Ketua Jurusan Manajemen Pertanian Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
4.
Bapak Ir. Wartomo, MP selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
5.
Keluarga tersayang, yang senantiasa berdoa untuk keberhasilan dalam pelaksanaan dan penyusunan laporan Kara Ilmiah.
6.
Rekan-rekan Mahasiswa Inbreeding dan Mahasiswa Reguler angkatan 2009 di Politeknik Pertanian Negeri Samarinda.
Tanpa bantuan dari Bapak-bapak serta semua pihak, tidak mungkin penulisan laporan Karya Ilmiah ini terlaksana dengan baik. Akhir kata penulis mengharap semoga laporan tulisan ini dapat memberikan manfaat yang besar khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Kampus Sei Keledang, Agustus 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
………………………………………………………. ………………………………………………………. ………………………………………………………. ……………………………………………………….
i ii iii iv
…………………………………………………….
1
II.
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… A. Sekilas Tentang Tanaman Jabon ……………………………… B. Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan …………………….. C. Persemaian ……………………………………………………….. ………………………………………………………………… D. Bibit
3 3 21 23 34
III.
METODE PENELITIAN ……………………………………………... A. Tempat dan Waktu ……………………………………………… B. Alat dan Bahan ………………………………………………….. C. Prosedur Kerja ………………………………………………….. D. Pengambilan dan Analisis Data ……………………………………
41 41 42 43
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………….. A. Hasil ………………………………………………………………… B. Pembahasan ………………………………………………………
46 46 50
V. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….. A. Kesimpulan ……………………………………………………… ……………………………………………………………… B. Saran
53 53 54
I. PENDAHULUAN
IV.
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………………
55
LAMPIRAN
…………………………………………………………
57
DAFTAR TABEL
Nomor 1. 2. 3. 4.
Tubuh Utama
Hal
Hasil perhitungan Rataan, Simpangan Baku, Koefisien Variasi untuk Diameter pada Tanaman Jabon …………………………….
46
Hasil perhitungan Rataan, Simpangan Baku, Koefisien Variasi untuk Tinggi pada Tanaman Jabon …………….…………………..
47
Hasil perhitungan Rataan, Simpangan Baku, Koefisien Variasi untuk Jumlah Daun pada Tanaman Jabon ………………………..
48
Hasil perhitungan Rataan, Simpangan Baku, Koefisien Variasi untuk Pengukuran I dan II pada Tanaman Jabon ………………...
49
Lampiran 1.
Hasil Pengukuran I Diameter, Tinggi dn Jumlah Daun ………….
58
2.
Hasil Pengukuran II Diameter, Tinggi dn Jumlah Daun ………….
59
3.
Diskripsi Nilai Pengukuran Diameter, Tinggi dan Jumlah Daun….
60
4.
Pengukuran Tinggi dan Diameter Bibit Jabon ……………………..
61
5.
Pengukuran I Diameter dan Tinggi ………………………………….
62
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Tubuh Utama
Hal
1.
Pohon Jabon Umur 4 Tahun……………………………………….
6
2.
Warna Kulit Jabon Muda …………………………………………...
6
3.
Daun Jabon ………………………………………………………….
6
4.
Buah Jabon ………………………………………………………….
6
5.
Anakan Jabon ……………………………………………………….
11
6.
Tanaman Jabon Yang Ditumpang sari …………………………..
11
7.
Media Tabur …………………………………………………………
42
8.
Penaburan Benih ……………………………………………………
42
9.
Bibit Jabon …………………………………………………………...
42
10.
Grafik Sebaran Pengukuran Diameter Tanaman Jabon ……….
46
11.
Grafik Sebaran Pengukuran Tinggi Tanaman Jabon …………..
47
12.
Grafik Sebaran Pengukuran Jumlah Daun Tanaman Jabon …
48
BAB I
PENDAHULUAN
Hutan mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional. Hal ini disebabkan hutan itu bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran kesejahteraan rakyat Indonesia. Manfaat itu dapat dibedakan atas dua macam yaitu langsung dan tidak langsung. Manfaat hutan secara langsung adalah menghasilkan kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, serta hasil hutan ikutan antara lain rotan, getah, buah-buahan, madu
dan lain-lain. Sedangkan manfaat hutan secara tidak
langsung adalah mengatur tata air, mencegah terjadinya erosi dan sebagai paruparu dunia. Laju pembangunan di berbagai bidang diiringi dengan laju pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan terhadap kebutuhan akan kayu dan lahan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka pembukaan lahan hutan beserta pemungutan hasil hutan terutama kayu merupakan jalan keluar yang dianggap tepat. Sebagai akibatnya maka potensi hutan terutama potensi tegakannya terus menurun dari tahun ke tahun. Demikian juga halnya dengan keberadaan lahan atau kawasan hutan yang cenderung semakin berkurang. Dalam rangka mengantisipasi laju penurunan potensi hutan sekaligus untuk memenuhi kebutuhan akan hasil hutan terutama kayu maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI). Selain itu untuk merehabilitasi lahan-lahan hutan yang sudah rusak atau sudah tidak berhutan lagi dilakukan kegiatan penanaman.
Ketersediaan kayu tergantung dari ketersediaan dari jumlah bibit yang dibudidayakan dan yang ditanam di lapangan. Bibit merupakan salah satu penentu keberhasilan budidaya tanaman. Budidaya tanaman yang sebenarnya telah dimulai sejak memilih bibit tanaman yang baik. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan kayu saat ini dipandang perlu untuk mengembangkan jenis pohon yang cepat tumbuh salah satunya adalah tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb.) Pertumbuhan Jabon sangat cepat dan dapat tumbuh pada tanah yang miskin serta memiliki rotasi yang cukup pendek sekitar 6 – 10 tahun sudah dapat di panen. Diameter batang dapat tumbuh berkisar 10cm/th. Tinggi batang pada usia 12 tahun dapat mencapai 20 meter, sehingga pada usia 6-8 tahun sudah dapat dipanen. Berbatang silinder dengan tingkat kelurusan yang sangat bagus, tidak memerlukan pemangkasan karena pada masa pertumbuhan cabang akan rontok sendiri. Dari beberapa uraian tersebut di atas, pertumbuhan
mulai
data atau informasi tentang
tingkat semai/anakan dari setiap tanaman kehutanan
sangat dibutuhkan. Dengan demikian maka di dalam penelitian ini ingin diketahui pertumbuhan
diameter dan tinggi
anakan tanaman Jabon (Anthocephalus
cadamba Roxb.) Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran pertumbuhan bibit tanaman jabon di persemaian. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada pihak yang memerlukan sampai sejauh mana pertumbuhan bibit tanaman jabon dipersemaian sebelum dipindah ke lahan tanaman.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Sekilas Tentang Tanaman Jabon 1. Umum Anthocephalus cadamba Miq., yang juga dikenal dengan nama jabon, merupakan jenis pohon tropis yang berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Menurut Slik (2006), jabon telah ditanam di Indonesia dalam skala besar sejak tahun 1930-an. Jenis ini juga telah dibudidayakan di Jawa (terutama di Jawa Barat dan Jawa Timur), Kalimantan (terutama di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur), Sumatera (hampir tersebar di seluruh provinsi), Sulawesi (hampir tersebar di seluruh provinsi), Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) dan Papua (Irian Jaya) (Martawijaya dkk. 1989). Jabon merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki prospek tinggi untuk hutan tanaman industri dan tanaman reboisasi (penghijauan) di Indonesia, karena pertumbuhannya yang sangat cepat, kemampuan beradaptasinya
pada
berbagai
kondisi
tempat
tumbuh,
perlakuan
silvikulturnya yang relatif mudah, serta relatif bebas dari serangan hama dan penyakit yang serius. Jenis ini juga diharapkan menjadi semakin penting bagi industri perkayuan di masa mendatang, terutama ketika bahan baku kayu pertukangan dari hutan alam diperkirakanakan semakin berkurang. Hutan tanaman jabon dalam skala besar dapat dijumpai di Provinsi Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah. Pada saat ini jabon juga banyak dibudidayakan oleh petani, terutama di Kalimantan dan Jawa. Di beberapa daerah di Jawa,
jabon pada umumnya ditanam untuk menggantikan tanaman jati yang miskin riap setelah pemanenan (Nair dan Sumardi 2000). 2. Deskripsi Jenis 2.1. Taksonomi Nama botani: Anthocephalus cadamba Roxb. Marga: Rubiaceae Submarga: Cinehonoideae Sinonim: Anthocephalus chinensis (Lamk.) A. Rich. Ex. Walp., Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil., Nauclea cadamba (Roxb.), Neolamarkcia cadamba (Roxb.) Bosser, Sarcocephalus cadamba (Roxb.)Kurz.,
Anthocephalus
indicus
A.
Rich.,
Anthocephalus
morindaefolius Korth. Nama lokal/umum: Nama lokal di Indonesia: galupai, galupai bengkal, harapean, johan, kalampain, kelampai, kelempi, kiuna, lampaian, pelapaian, selapaian, serebunaik (Sumatera); jabon, jabun, hanja, kelampeyan, kelampaian (Jawa); ilan, kelampayan, taloh, tawa telan, tuak, tuneh, tuwak (Kalimantan); bance, pute, loeraa, pontua, suge manai, sugi manai, pekaung, toa (Sulawesi); gumpayan, kelapan, mugawe, sencari (Nusa Tenggara); aparabire, masarambi (Papua) (Martawijaya dkk. 1989). Nama lokal di negara lain: bangkal, kaatoan bangkal (Brunei); maulettan-she, maukadon, yemau (Birma); thkoow (Kamboja); kadam,
cadamba, common burr-flower tree (Inggris); koo-somz, sako (Laos); kelempayan, laran, selimpoh (Malaysia); labula (Papua Nugini); kaatoan bangkal
(Filipina);
krathum,
krathum-bok,
taku
(Thailand);
(Soerianegara dan Lemmen 1993). 2.2. Botani Jabon termasuk pohon berukuran besar dengan batang lurus dan silindris serta memiliki tajuk tinggi seperti payung dengan sistem percabangan yang khas mendatar. Tinggi pohon dapat mencapai 45 m dengan diameter batang 100–160 cm dan kadang-kadang berbanir hingga ketinggian 2 m. Kulit pohon muda berwarna abu-abu dan mulus (Gambar 2) sedangkan kulit pohon tua kasardan sedikit beralur. Daun menempel pada batang utama, berwarna hijau mengilap, berpasangan dan berbentuk oval-lonjong (berukuran 15–50 cm x 8–25 cm). Daun pada pohon muda yang diberi pupuk umumnya lebih lebar, dengan posisi lebih rendah di bagian pangkal dan meruncing di bagian puncak. Bunga terdiri dari kepala-kepala terminal bulat tanpa brakteol, bertangkai harum, berwarna oranye atau kuning. Bunganya biseksual, terdiri dari lima bagian, kelopak bunga berbentuk corong. Mahkota bunganya gamopetal berbentuk seperti cawan. Benang sarinya ada lima, melekat pada tabung mahkota dengan filamen pendek. Buahnya merupakan buah majemuk , berbentuk bulat dan lunak, dengan filamen pendek. Buahnya merupakan buah majemuk
Gambar 1. Pohon Jabon umur 4 thn
Gambar 2. Warna kulit jabon muda
Gambar 3. Daun Jabon
Gambar 4. Buah Jabon
bagian atas terdiri dari empat struktur berongga atau padat. Buah jabon mengandung biji yang sangat kecil, berbentuk kapsul berdaging yang berkelompok rapat bersama untuk membentuk daging buah yang berisi sekitar 8.000 biji. Biji kadang berbentuk trigonal atau tidak teratur dan tidak bersayap (Soerianegara dan Lemmens 1993). 2.3. Penyebaran Jabon tumbuh secara alami di Australia, Cina, India, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Singapura dan Vietnam. Jabon merupakan jenis tanaman yang disukai tidak hanya di habitat alaminya, tetapi juga di luar habitat alaminya. Jabon juga telah berhasil diintroduksikan di Kosta Rika, Puerto Riko, Afrika Selatan, Suriname, Taiwan, Venezuela dan negaranegara subtropis dan tropis lainnya (Orwa dkk. 2009). 2.4. Tempat Tumbuh Jabon merupakan tanaman pionir yang dapat tumbuh baik pada tanah-tanah aluvial yang lembap dan umumnya dijumpai di hutan sekunder di sepanjang bantaran sungai dan daerah transisi antara daerah berawa, daerah yang tergenang air secara permanen maupun secara periodik. Beberapa pohon jabon terkadang juga ditemukan di areal hutan primer. Jenis ini tumbuh baik pada berbagai jenis tanah, terutama pada tanah-tanah yang subur dan beraerasi baik (Soerianegara dan Lemmens 1993). Cahaya merupakan faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan jabon. Pada habitat alaminya, suhu maksimum untuk pertumbuhan jabon berkisar 32–42 oC dan suhu minimum berkisar 3–15,5 oC.
Jabon tidak toleran terhadap cuaca dingin, rata-rata curah hujan tahunan di habitat alaminya berkisar 1500–5000 mm. Jabon dapat pula tumbuh pada daerah kering dengan curah hujan tahunan sedikitnya 200 mm (misalnya di bagian tengah Sulawesi Selatan). Jenis ini tumbuh baik pada ketinggian 300–800 m di atas permukaan laut. Di daerah khatulistiwa, jenis ini tumbuh pada ketinggian 0–1000 m dpl (Martawijaya dkk. 1989). 2.5. Karakteristik Kayu Jabon termasuk jenis kayu daun lebar yang lunak (ringan). Kayu teras berwarna putih kekuningan sampai kuning terang; tidak dapat dibedakan dengan jelas warnanya dari kayu gubal (Martawijaya dkk.1989). Tekstur kayu agak halus sampai agak kasar, berserat lurus, kurang mengilat dan tidak berbau (Gambar 5). Kerapatan kayunya berkisar 290–560 kg/m3 pada kadar air 15% . Kayu jabon mudah dikerjakan baik dengan tangan maupun mesin, mudah dipotong dan diketam, serta menghasilkan permukaan kayu yang halus. Kayunya juga mudah dipaku, dibor dan dilem. Namun demikian, kayu jabon dinilai tidak tahan lama. Hasil uji kayu di Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata kayu jabon dapat tahan kurang dari 1,5 tahun apabila dibiarkan di atas tanah. Kayu jabon termasuk mudah dikeringkan dengan sedikit atau tanpa cacat. Untuk mencegah jamur (noda) biru pada permukaan kayu, kayu harus segera diolah setelah pemanenan, atau harus diberi perlakuan dalam waktu 48 jam atau direndam dalam air (Soerianegara dan Lemme ns 1993).
2.6. Kegunaan Kayu jabon dapat digunakan untuk bahan baku kayu lapis, konstruksi ringan, lantai, pulp dan kertas, langit-langit, kotak, peti, mainan, ukiran, korek api, sumpit dan pensil (Soerianegara dan Lemmens 1993). Kayu jabon juga dapat dipakai untuk bahan pembuatan sampan dan perkakas rumah sederhana jika dikeringkan dengan benar. Kayu jabon juga dapat digunakan untuk lapisan inti atau lapisan permukaan vinir (kayu lapis) dan cocok pula untuk bahan papan partikel, papan semen dan papan blok. Pulp kadangkadang dicampur dengan jenis kayu lain, umumnya kayu yang berserat panjang. Pohon jabon dapat berfungsi sebagai peneduh dan hiasan di tepian jalan dan desa-desa serta pelindung bagi tanaman lain pada sistem wanatani. Jabon juga digunakan untuk program reboisasi dan penghijauan; dapat memperbaiki sifat-sifat fisika dan kimia tanah di bawah tegakan karena serasah cabang, ranting dan daun-daun yang lebar dan besar mampu meningkatkan kandungan karbon organic tanah, kapasitas tukar kation dan nutrisi tanaman (Orwa dkk. 2009). Ekstrak dari daun jabon dapat berfungsi sebagai obat kumur dan daun segarnya dapat digunakan sebagai pakan ternak atau kadang-kadang digunakan sebagai piring dan serbet. Kulit kayu yang kering digunakan sebagai bahan tonik dan obat untuk menurunkan demam. Pewarna kuning dari kulit akar dapat berfungsi sebagai tanin (Soerianegara dan Lemmens 1993).
3. Produksi Benih 3.1. Pengumpulan Benih Produksi benih tanaman jabon biasanya dimulai pada umur 5 tahun. Pohon mulai berbunga pada umur 4 tahun. Periode berbunga biasanya sekitar 2–5 bulan. Di Indonesia, musim berbunga umumnya terjadi pada bulan
April-Agustus, kadang-kadang
Maret-November dan musim
berbuah terjadi pada bulan Juni-Agustus (Martawijaya dkk. 1989). Namun di negara lain musim berbunga dan berbuah baru dimulai beberapa bulan kemudian. Buah jabon dikatakan sudah masak apabila warnanya berubah menjadi coklat gelap. Buah dapat dipanen dari pohon dengan cara memanjat atau mengumpulkan di atas permukaan tanah yang dialasi dengan terpal dengan cara menggoyang batang atau cabang pohon. 3.2. Penyiapan Benih Teknik khusus diperlukan untuk mengekstrak biji jabon dari buahnya yang tebal dan halus. Ada beberapa proses yang dilakukan untuk mengekstrak biji dari buahnya: pengeringan, penghancuran dan penyaringan. Buah jabon dibiarkan disimpan di tempat terbuka sampai membusuk, dihancurkan di tanah dengan tangan, dikeringkan dan disaring. Prosedur ini dapat meningkatkan kemurnian benih hingga 98% dan keberhasilan perkecambahan. Di Indonesia, buah dikeringkan sebelum biji dikeluarkan. Buah jabon biasanya dipotong menjadi potongan kecil dan dijemur. Buah yang kering dihancurkan sampai lembut dan dibersihkan dengan
menggunakan saringan halus. Menurut Soerianegara dan Lemmens (1993), berat satu juta butir biji kering udara adalah sekitar 38-56 g 3.3. Penyimpanan dan Viabilitas Benih Benih jabon harus disimpan di dalam wadah yang kering dan kedap udara. Apabila disimpan dalam ruangan yang dingin, benih akan tetap tahan sampai 2 tahun dan pada suhu ambien bisa tahan sampai 6 bulan (Jøker 2000). Menurut Martawijaya dkk. (1989), benih yang telah dikeringkan dan disimpan pada tempat yang tertutup rapat dalam ruangan yang sejuk dapat tahan selama 1 tahun. Laju perkecambahan benih segar (tanpa pengeringan) bervariasi, tetapi umumnya rendah sekitar 25%. Apabila penyimpanan benih dilakukan dalam kotak dingin dan kedap
udara
selama
sekitar
2,5
bulan
dapat
diperoleh
perkecambahan yang tinggi hingga 95%.
Gambar 5. Anakan jabon
Gambar 6. Tanaman Jabon yang ditumpang sari
laju
4. Propagasi dan Penanaman 4.1. Penyemaian Karena ukurannya yang kecil, benih jabon biasanya dicampur dengan pasir halus (1:10) dan kemudian ditaburkan di bedeng tabur (Jøker 2000). Alternatif lain, pot atau wadah garam atau merica dapat pula digunakan untuk menabur. Bedeng tabur harus ditutup oleh atap naungan dan tidak terlalu banyak disiram untuk menghindari penyakit lodoh (rebah semai). Untuk mencegah penyakit ini, bibit harus ditempatkan dalam ruangan yang berventilasi baik. Penyemprotan menggunakan fungisida ringan dapat juga digunakan untuk pencegahan (Soerianegara dan Lemmens 1993). Penaburan benih secara langsung di lapangan biasanya kurang berhasil karena ukuran biji yang kecil dan sensitif terhadap kekeringan, kelembapan tinggi dan sinar matahari langsung. 4.2. Persiapan Sebelum Penanaman Perkecambahan biasanya berlangsung 2–3 minggu setelah penaburan. Setelah 8–12 minggu, bibit dapat dipindahkan ke bedeng semai atau wadah/kantong plastik. Media sebaiknya diberi material organik. Bibit siap ditanam ke lapangan setelah 6–7 bulan ketika tingginya sudah mencapai 30–40 cm . Dengan perawatan yang baik, bibit kadang-kadang dapat ditanam di lapangan pada saat tingginya 10–15 cm. Menurut Soerianegara dan Lemmens (1993), bibit yang ditanam dengan ukuran diameter 1 cm dan telah mendapatkan naungan selama masa penyemaian berhasil tumbuh bagus.
4.3. Penanaman Jabon biasanya ditanam di lapangan dengan jarak tanam 3–4 m × 3–4 m (Soerianegara dan Lemmens 1993). Tetapi Martawijaya dkk. (1989) melaporkan bahwa jarak tanam 3 m × 2 m juga telah digunakan. Jarak tanam yang lebih lebar, sekitar 4–5 m × 4–5 m, juga umum diterapkan oleh sebagian besar petani di desa tempat penelitian kami di Kalimantan Selatan; beberapa tanaman ditumpangsarikan dengan tanaman buahbuahan, tanaman pangan dan karet Di lokasi lain di Kalimantan Selatan, tanaman jabon ditumpangsarikan dengan tanaman padi dataran tinggi. Penanaman lamtoro di antara larikan tanaman jabon juga dilaporkan memberikan hasil yang menjanjikan (Soerianegara dan Lemmens 1993). Jabon juga telah terbukti menjadi pohon peneduh yang sangat baik bagi larikan tanaman Dipterocarpaceae. 5. Pemeliharaan Tanaman 5.1. Penyiangan Jabon memerlukan intensitas cahaya tinggi untuk ertumbuhan bibit. Bibit jabon sangat rentan terhadap gulma. Oleh karena itu, daerah sekitar bibit perlu disiangi dari vegetasi pesaing, terutama dari tanaman merambat dan tanaman yang menaungi. Penyiangan dapat dilakukan secara manual maupun kimiawi. Penyiangan harus dilakukan beberapa kali selama beberapa tahun pertama sampai kanopi pohon tertutup. Jarak waktu penyiangan biasanya 3 bulan selama tahun pertama dan setelah itu selang 6 bulan (Soerianegara dan Lemmens 1993).
5.2. Pemupukan Untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal pada lahan yang kurang subur, pemberian pupuk sangat diperlukan. Pupuk biasanya diberikan pada saat tanam. Tetapi beberapa petani jabon di Kalimantan Selatan melakukan pemupukan lebih dari sekali selama 2 tahun pertama pertumbuhan tanaman. Pupuk yang biasa digunakan adalah urea dan TSP. Menurut Soerianegara dan Lemmens (1993), pemberian pupuk urea dengan dosis 15 gram di sekeliling setiap bibit tanaman jabon akan mempercepat pertumbuhan. 5.3. Penyulaman Penyulaman diperlukan untuk mengganti bibit tanaman yang mati di lapangan. Penyulaman umumnya dilakukan dua kali selama rotasi. Penyulaman pertama dilakukan pada musim hujan 1 bulan setelah tanam dan untuk yang kedua dilakukan pada akhir tahun kedua. 5.4. Pemangkasan Pemangkasan cabang/ranting biasanya dilakukan untuk menghasilkan kayu yang bebas simpul. Pemangkasan juga akan memberikan akses yang lebih mudah terhadap tegakan dan mengurangi risiko kerusakan bila terjadi kebakaran. Meskipun demikian, pemangkasan tidak perlu dilakukan pada tanaman jabon karena pada masa pertumbuhan cabang akan rontok sendiri (Soerianegara dan Lemmens 1993).
5.5. Penjarangan Penjarangan diperlukan untuk merangsang perkembangan tajuk yang akan meningkatkan riap diameter, untuk membuang pohon-pohon yang berkualitas rendah dan memilih pohon-pohon yang bagus. Penjarangan pada tanaman jabon sangat mudah dilakukan karena bentuk batang yang lurus dan indah tanpa cacat dan tajuk kecil yang teratur. Penjarangan harus dilakukan lebih awal mulai dari umur 2–4 tahun setelah tanam dan frekeunsi tergantung dari jarak tanam dan kualitas tempat tumbuh. Jumlah penjarangan yang diperlukan juga tergantung dari kerapatan tegakan awal, sekitar satu–tiga kali dalam satu rotasi. Krisnawati dkk. (2010) menyusun skenario penjarangan untuk hutan tanaman jabon dan menyarankan bahwa untuk tanaman dengan rotasi 15 tahun dan jarak tanam 3 m × 2 m, tiga kali penjarangan masingmasing pada umur 2, 4 dan 8 tahun bisa meningkatkan hasil yang tinggi (dalam hal volume kayu). Pada tanaman dengan jarak tanam 3 m × 3 m, penjarangan dilakukan pada umur 2, 4 dan 7 tahun dengan rotasi 13 tahun. Pada tanaman dengan jarak tanam yang lebih lebar (misalnya, 4 m × 4 m), cukup satu kali. Tanaman jabon berumur 4 tahun di lahan petani di Kalimantan Selatan yang menunjukkan pemangkasan secara alami penjarangan yang dilakukan pada umur 3-4 tahun dengan rotasi 10-15 tahun. 5.6. Pengendalian Hama dan Penyakit Sejauh ini belum ada laporan mengenai serangan penyakit yang serius pada tanaman jabon di Indonesia. Jamur Gloeosporium anthocephali
tercatat dapat menyebabkan defoliasi sebagian atau seluruh daun (Soerianegara dan Lemmens 1993). Sejumlah serangga sering dijumpai menyerang daun. Ngatiman dan Tangketasik (1987) mencatat beberapa seranggatak dikenal (sejenis ulat) menyerang tanaman jabon di Kalimantan Timur. Suratmo (1987) menyebut hama tersebut Margaronia sp. (Lepidoptera, Pyralidae) sebagai defoliator jabon. Selander (1990) melaporkan serangan yang berat pada tanaman percobaan jabon di Kalimantan Selatan oleh sejenis ulat. Meskipun serangan hama pada jabon umumnya memakan daun hingga membuat lubang parah, tetapi tanaman jabon umumnya mampu memulihkan diri dengan baik (Soerianegara dan Lemmens 1993). Intari dan Natawiria (1973) melaporkan sejenis belatung putih (larva dari beberapa kelompok kumbang) yang merusak akar pohon jabon berumur 1–2 tahun yang ditanam dengan sistem tumpangsari di Jawa. Pengendalian hama pohon mungkin dapat dilakukan dengan penyemprotan insektisida atau dengan fungisida untuk serangan jamur. 6. Pertumbuhan dan Hasil Kemampuan untuk memprediksi potensi pertumbuhan dan hasil tanaman jabon sangat diperlukan untuk perencanaan hutan tanaman. Beberapa sumber
pustaka
menyatakan
bahwa
jabon
tumbuh
dengan
cepat
(Soerianegara dan Lemmens 1993, Orwa dkk. 2009), tetapi sangat sedikit data hasil penelitian yang dapat dijadikan dasar prediksi tersebut. Informasi tentang pertumbuhan dan hasil yang disajikan di sini berdasarkan pada data awal tegakan jabon muda (sampai 5 tahun) yang dikumpulkan dari 92 petak temporer dari hutan tanaman rakyat jabon di lokasi penelitian kami di
Kalimantan Selatan. Untuk tegakan yang berumur tua, informasi diambil dari data pertumbuhan tegakan jabon dari 26 petak contoh permanen yang tersebar di Jawa (dikumpulkan oleh Lembaga Penelitian Hutan, Bogor) dan laporan sementara oleh Sudarmo (1957) serta Suharlan dkk. (1975). 6.1. Laju Pertumbuhan Hubungan antara diameter rata-rata dengan umur dan antara tinggi ratarata dengan umur tegakan jabon jarang sekali dilaporkan. Meskipun demikian, hasil pengukuran petak temporer dari hutan tanaman rakyat di Kalimantan
Selatan
dapat
digunakan
untuk
menggambarkan
perkembangan diameter dan tinggi, terutama untuk tegakan muda. Untuk tegakan tanaman yang tua, informasi yang diperoleh dari database pertumbuhan petak ukur di Jawa dapat digunakan. Berdasarkan hasil pengukuran pohon jabon yang ditanam di lahan petani di Kalimantan Selatan, diameter rata-rata untuk tegakan jabon muda (kurang dari 5 tahun) berkisar 6,0–16,4 cm dengan diameter maksimum 25,3 cm. Tinggi rata-rata untuk tegakan tersebut berkisar 4,1–14,6 m dengan nilai maksimum 17,1 m. Di tempat lain di Kalimantan Selatan, diameter ratarata tanaman jabon sampai dengan umur 4 tahun yang tumbuh di petak percobaan penanaman dilaporkan mencapai 23,9 cm dan tinggi rata-rata mencapai 17 m. Perbedaan pertumbuhan diameter dan tinggi ini karena pohon-pohon yang tumbuh di petak percobaan penanaman umumnya terpelihara dengan baik dan hanya beberapa pohon saja yang dipilih untuk diukur, sementara pohon-pohon yang ditanam di lahan petani kurang mendapatkan pemeliharaan. Kisaran diameter rata-rata pohon jabon yang tumbuh pada tegakan berumur lebih dari 10 tahun di
beberapa lokasi hutan tanaman di Jawa adalah 18,6–42,3 cm dengan nilai rata-rata 29,3 cm. Di Jawa Barat, pohon jabon pada tegakan berumur 10,5 tahun dilaporkan memiliki tinggi rata-rata 22 m dan diameter rata-rata 40,5 cm (Soerianegara dan Lemmens 1993). Di Sumatera Utara, jabon berumur 16 tahun tumbuh di hutan penelitian (arboretum) dengan jarak tanam 2 m × 2 m, dilaporkan memiliki diameter rata-rata 49 cm (diameter maksimum 70 cm) dan tinggi rata-rata 21 m. Hubungan antara diameter rata-rata dan umur dan tinggi rata-rata dan umur jabon dari hasil pengukuran petak temporer di Kalimantan Selatan dan petak permanen di Jawa disajikan pada Gambar 9. Secara umum, diameter rata-rata meningkat cukup cepat hingga 8-18 cm sampai tegakan berumur 5 tahun. Tetapi pertumbuhan mulai lambat setelah tegakan berumur 10 tahun dan pertumbuhan diameter mulai tetap setelah umur 15 tahun. Tinggi rata-rata pohon dalam tegakan tercatat mencapai 19,6 m untuk tegakan muda kurang dari 10 tahun dan setelah 10 tahun tinggi rata-rata berkisar 17,3–30 m. Variasi yang cukup besar dari diameter dan tinggi ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kualitas tempat tumbuh dan kualitas manajemen silvikultur yang diterapkan. Pertumbuhan tinggi dari beberapa pohon jabon di Kalimantan Selatan ditemukan lambat, terutama pada pohon-pohon yang tumbuh pada tegakan dengan vegetasi bawah yang cukup lebat dan kualitas tempat tumbuh yang jelek. Di Kalimantan Selatan, riap diameter hanya mencapai 1,2–4,8 cm per tahun dan riap tinggi hanya mencapai 0,8–3,7 m per tahun. Secara umum, riap diameter turun sekitar 2 cm per tahun
dan riap tinggi sekitar 3 m per tahun sampai umur 10 tahun. Setelah itu pertumbuhan jabon turun secara signifikan. 6.2. Hubungan antara Diameter dan Tinggi Diameter dan tinggi pohon merupakan data hasil inventarisasi hutan yang penting untuk menduga volume pohon. Namun demikian, pengukuran tinggi pohon lebih sulit dilaksanakan dan mahal biayanya. Diameter umumnya diukur untuk semua pohon dalam petak, tetapi hanya beberapa pohon saja yang diukur tingginya. Oleh karena itu, hubungan antara diameter dan tinggi pohon penting dikuantifikasikan untuk dapat menduga tinggi dari pohon-pohon yang belum diketahui tingginya. Ketersediaan informasi mengenai hubungan antara diameter dan tinggi untuk hutan tanaman jabon relatif masih terbatas. Dengan menggunakan data hasil pengukuran 797 pohon jabon yang dikumpulkan dari hutan tanaman rakyat di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, kami melakukan analisis awal terhadap hubungan antara diameter setinggi dada
dan
tinggi pohon total jabon. 6.3. Produktivitas Apabila kerapatan tegakan (stoking) diketahui, prediksi diameter rata-rata dapat digunakan untuk menghitung bidang dasar dan volume tegakan pada umur tertentu guna mendapatkan gambaran tentang produktivitas tegakan. Pohon jabon berdiameter 50 cm dilaporkan dapat menghasilkan kayu sebesar 2,5–3 m3. Soerianegara dan Lemmens (1993) melaporkan bahwa pada rotasi 30 tahun, tegakan dapat mencapai tinggi rata-rata 38 m dan diameter rata-rata 65 cm, yang menghasilkan volume sebesar 350
m3/ha pada akhir panen. Total produksi kayu per tahun termasuk dari hasil penjarangan sebesar 23 m3/ha. Volume ini merupakan volume kayu sampai batas diameter ujung 7 cm. Sudarmo (1957) menunjukkan bahwa tanaman jabon yang tumbuh di beberapa lokasi di Jawa mencapai riap volume rata-rata maksimum sebesar 20 m3/ha/tahun pada umur 9 tahun dengan tempat tumbuh yang berkualitas bagus dan total volume produksi yang dihasilkan sebesar 183 m3/ha pada akhir rotasi. Pada tempat tumbuh kualitas sedang, rata-rata riap volume sebesar 16,1 m3/ha/tahun dapat dicapai dalam 9 tahun dengan total volume produksi sebesar 145 m3/ha. Pada tempat tumbuh kualitas rendah, total volume produksi dalam tegakan umur 9 tahun adalah sekitar 105 m3/ha dan rata-rata riap volume maksimum sebesar 15 m3/ha/tahun mungkin baru dapat dicapai setelah tegakan berumur 24 tahun . Pada umur 24 tahun, riap volume maksimum hanya mencapai 13 m3/ha/tahun. 6.4. Rotasi Periode rotasi (waktu panen) tergantung pada tujuan produksi. Untuk produksi kayu pulp dan korek api, pemanenan dapat dimulai pada umur 4–5 tahun. Sebuah pabrik korek api di Sumatera Utara, misalnya, menanam jabon dengan rotasi 4 tahun pada tegakan yang mendapatkan perlakuan pemupukan yang optimal Untuk produksi kayu, pemanenan dapat dilakukan pada umur 10 tahun, terutama jika pohon telah mencapai diameter minimal 50 cm. Di Filipina, rotasi ekonomi yang diterapkan di hutan tanaman jabon adalah 5 tahun
untuk produksi kayu pulp dan 7 tahun untuk produksi ganda kayu gergajian dan bubur kayu (Soerianegara dan Lemmens 1993). Panjang rotasi dapat ditentukan dari waktu yang dibutuhkan oleh tegakan untuk mencapai riap volume tahunan rata-rata maksimum. Di Indonesia, Sudarmo (1957) memprediksi bahwa tanaman jabon dapat mencapai riap volume tahunan rata-rata maksimum kira-kira pada umur antara 8 dan 24 tahun, tergantung pada kualitas tempat tumbuh. Nilai ini merupakan riap volume kayu sampai batas diameter ujung 7 cm. Krisnawati dkk. (2010) menyusun scenario manajemen hutan tanaman jabon dan menyarankan bahwa rotasi optimum bervariasi antara 10 dan 20 tahun, tergantung dari kerapatan tegakan awal dan kualitas tempat tumbuh. Pada areal hutan tanaman jabon milik Perhutani di Jawa (Perum Perhutani 1995) rotasi ekonomis tanaman jabon ditetapkan sekitar 20 tahun. B. Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan
Soekotjo (1979), menyatakan bahwa tempat tumbuh hanya berbeda dengan alam vegetasi yang dihasilkan, namun berbeda juga dalam faktor iklim, tanah dan faktor lainnya. Semua faktor ini menyebabkan perbedaan-perbedaan di dalam vegetasi yang tumbuh pada bermacam-macam tempat tumbuh. Tumbuhan untuk dapat tumbuh secara optimal memerlukan hal-hal yang menunjang, menurut Danaatmadja (1989), hal yang menunjang tersebut yaitu:
a. Faktor genetik (internal) Faktor genetik ini adalah gen atau sifat bawaan yang diturunkan dari induknya seperti kecepatan tumbuh, bentuk tajuk, banyaknya cabang dan lain-lain, di sini termaksud juga kematangan biji atau buah, sebagai sifat bawaan hal ini bersifat internal. b. Faktor lingkungan (eksternal) Tumbuhan-tumbuhan tumbuh teratur di bawah pengaruh lingkungan hidup yang terutama ditentukan oleh faktor iklim, tempat tumbuh dan bentuk serta letak lapangan (relief). Menurut Abidin (1984) yang dikutip Susanti (1996), faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan antara lain : 1. Air, adalah faktor penting yang sangat diperlukan dalam tumbuhan, kehadiran air di sini sangat penting untuk aktifitas enzim serta penguraiannya, traslokasi serta kebutuhan lainnya. 2. Udara juga merupakan faktor luar yang penting untuk pernafasan atau transpirasi
pada
pertumbuhan
organ-organ
lainnya.tumbuhan
juga
memerlukan temperatur, cahaya matahari, gas CO2 media tumbuh dan unsur hara. 3. Tempat tumbuh Soetrisno (1996), menyatakan tempat tumbuh berpengaruh pada kehidupan tumbuh tumbuhan. Faktor-faktor tersebut yaitu : a. Faktor klimatis Cahaya matahari, kelembaban dan temperatur merupakan elemenelemen dari faktor klimatis. Cahaya sangat berperan dalam menentukan pertumbuhan suatu tumbuhan demikian pula dengan kelembaban serta
temperatur. Faktor klimatis ini sangat menentukan iklim suatu daerah yang
berperan
penting
dalam
pertumbuhan
terutama
proses
metabolisme yang terjadi pada tumbuhan. b. Faktor fisiografis Menggambarkan bentuk permukaan tanah dan sejarah bentuk biologinya (ketinggian tempat, kelerengan dan aspek konfigurasi bumi). Faktor-faktor ini sangatlah menentukan pertumbuhan suatu tanaman. c. Faktor edafis Faktor edafis menggambarkan sifat fisik tanah, kimia tanah dan biologi tanah. Tanah merupakan campuran yang heterogen dan beragam dari partikel mineral anorganik, hasil rombakan bahwa organik dan berbagai jenis mikro organisme, bersama-sama dengan udara dan air yang di dalamnya terlarut berbagai garam-garam anorganik dan senyawa anorganik. Tanah juga merupakan tempat tumbuh dan tumbuhan itu sendiri untuk berkembang biak. d. Faktor biotis Manusia, hewan dan tumbuhan (lingkungan biotik) merupakan elemen-elemen yang berpengaruh terhadap pertumbuhan. Kegiatan penebangan,
pembakaran
hutan
serta
aktifitas
lainnya
seperti
pengelolaan tanah, pencemaran udara dan air, yang merupakan aspekaspek biotik yang berpengaruh terhadap penyerbukan, penyebaran biji dan buah juga persaingan antara parasit dan simbiosis dengan tumbuhan lainnya. Hal ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan.
C. Persemaian Persemaian (Nursery) adalah tempat atau areal untuk kegiatan memproses benih (atau bahan lain dari tanaman) menjadi bibit/semai yang siap ditanam di lapangan. Kegiatan di persemaian merupakan kegiatan awal di lapangan dari kegiatan penanaman hutan karena itu sangat penting dan merupakan kunci pertama di dalam upaya mencapai keberhasilan penanaman hutan Penanaman benih ke lapangan dapat dilakukan secara langsung (direct planting) dan secara tidak langsung yang berarti harus disemaikan terlebih dahulu di tempat persemaian. Penanaman secara langsung ke lapangan biasanya dilakukan apabila biji-biji (benih) tersebut berukuran besar dan jumlah persediaannya melimpah. Meskipun ukuran benih besar tetapi kalau jumlahnya terbatas, maka benih tersebut seyogyanya disemaikan terlebih dulu. Pemindahan/penanaman bibit berupa semai dari persemaian ke lapangan dapat dilakukan setelah semai-semai dari persemaian tersebut sudah kuat (siap ditanam). Pengadaan bibit/semai melalui persemaian yang dimulai sejak penaburan benih merupakan cara yang lebih menjamin keberhasilan penanaman di lapangan. Selain pengawasannya mudah, penggunaan benih-benih lebih dapat dihemat dan juga kualitas semai yang akan ditanam di lapangan lebih terjamin bila dibandingkan dengan cara menanam benih langsung di lapangan.
1. Jenis Persemaian. Sebelum dimulai pembuatan perlu ditentukan terlebih dahulu jenis persemaian apa yang akan dibuat. Pada umumnya persemaian digolongkan menjadi 2 jenis/tipe yaitu persemaian sementara dan persemaian tetap. 1.1. Persemaian sementara (Flyng nursery). Jenis persemaian ini biasanya berukuran kecil dan terletak di dekat daerah yang akan ditanami. Persemaian sementara ini biasanya berlangsung hanya untuk beberapa periode panenan (bibit/semai) yaitu paling lambat hanya untuk waktu 5 tahun. Keuntungan dan kerugian persemaian sementara adalah : a. Keuntungan : 1. Keadaan ekologi selalu mendekati keadaan yang sebenarnya 2. Ongkos pengangkutan bibit murah 3. Kesuburan tanah tidak terlalu menjadi masalah karena persemaian selalu berpindah tempat setelah tanah menjadi miskin 4. Tenaga kerja sedikit sehingga mudah pengurusannya. b. Kerugian. 1. Ongkos persemaian jatuhnya mahal karena tersebarnya pekerjaan dengan hasil yang sedikit. 2. Ketrampilan petugas sulit ditingkatkan, karena sering berganti petugas. 3. Seringkali gagal karena kurangnya tenaga kerja yang terlatih. 4. Lokasi persemaian yang terpancar menyulitkan pengawasan..
1.2. Persemaian Tetap. Jenis persemaian ini biasanya berukuran (luasnya) besar dan lokasinya menetap di suatu tempat, untuk melayani areal penanaman yang luas. a. Keuntungan : 1. Kesuburan tanah dapat dipelihara dengan pemupukan 2. Dapat dikerjakan secara mekanis bila dikehendaki 3. Pengawasan dan pemeliharaan lebih efisien, dengan staf yang tetap dan terpilih 4. Perencanaan pekerjaan akan lebih teratur 5. Produktivitas semai/bibit tinggi, kualitas bibit lebih baik dan pertumbuhannya lebih seragam b. Kerugiannya : 1. Keadaan
ekologi
tidak
selalu
mendekati
keadaan
yang
sebenarnya. 2. Ongkos pengangkutan lebih mahal dibanding dengan jenis persemaian sementara. 3. Membutuhkan biaya untuk investasi lebih tinggi dibanding persemaian sementara. Hal ini karena untuk persemaian tetap biasanya keadaan sarana (misal jalan angkutan, bangunan-bangunan di persemaian) dan prasarana (misal: peralatan kerja/angkutan ) lebih baik kualitas dan lebih mahal harganya dibanding yang diperlukan persemaian sementara.
2. Pemilihan Lokasi Persemaian : Penentuan lokasi persemaian harus didahului dengan observasi lapangan. Untuk memilih lokasi persemaian persemaian yang baik, beberapa persyaratan yang perlu dipertimbangkan adalah : 2.1. Aspek Teknis 2.1.1. Letak lokasi persemaian Sejauh mungkin lokasi persemaian diusahakan terletak di tengahtengah daerah penanaman atau berjarak sedekat mungkin ke setiap areal penanaman. Areal persemaian terbuka/kena sinar matahari cukup/langsung, mudah dijangkau setiap saat dan terlindung dari angin kencang. 2.1.2. Jalan angkutan Adanya dekat jalan angkutan yang memadai sesuai keperluan, baik lewat darat maupun lewat air/sungai. Tanpa adanya jalan angkutan ini akan mempersulit pengawasan dan mempertinggi biaya angkutan. 2.1.3. Luas Persemaian Luas areal persemaian tergantung pada : a) Jumlah semai yang diproduksi/tahun b) cara penanaman apakah sistim akar telanjang (bare root) atau sistim container c) dimana lebih banyak ruang dibutuhkan dan
d) Lamanya semai/bibit dipelihara di pesemaian sampai diperoleh ukuran yang memenuhi persyaratan ukuran tinggi, diameter kekokohan batang dll.. 2.2. Aspek Fisik a. Air Adanya sumber air dan persediaan dalam jumlah yang cukup di dekat persemaian sangat memudahkan keberhasilan persemaian. Pada umumnya sumber air di dalam kawasan hutan adalah berupa sungai, mata air dan air dalam tanah, juga sumber air berupa air hujan merupakan sumber air yang banyak diharapkan oleh para pengelola persemaian.
Kebutuhan
air
untuk
persemaian
tidaklah
sama,
tergantung pada jenis tanaman yang disemaikan. b. Media tumbuh/tanah Tanah merupakan salah satu komponen habitat ( tempat tumbuh ) tanaman. Tanaman akan tumbuh subur bila medium tumbuhnya subur dan merana bila medium tumbuhnya tidak subur. Sebagai medium tumbuh semai, perlu diusahakan memilih tanah yang steril dan yang mempunyai sifat-sifat baik seperti porositas dan drainasenya baik, bebas batu dan kerikil. pH media sebaiknya berkisar antara 5 – 7 dan diusahakan tidak menggunakan tanah liat. Untuk pertumbuhan tanaman (sapihan) diperlukan adanya unsur-unsur hara penting (essensial). Menurut kebutuhan tanaman unsur-unsur hara penting dapat digolongkan menjadi : unsur-hara makro dan
unsure hara mikro. Unsur hara makro dibutuhkan dalam jumlah relative lebih banyak yaitu : carbon,©, Hidrogen (H),Oxigen(O), Nitrogen (N), Phosporus (P), Pottasium (K), Sulfat (S), Magesium(mg) dan Calcium(Ca) sedangkan unsur hara mikro ada 7 unsur yaitu : Iron (Fe), Boron (B), Copper (Cu), Zince (Zn), Molydenum (Mo) dan Chlorine (Cl). Unsur-unsur penting yang dibutuhkan tanaman tersebut diatas berasal dari sumber yang berbeda-beda. Unsur-unsur hara C,H dan O berasal dari atmofir atau air, sedang unsur-unsur hara lainnya berasal dari mineral tanah. Pada umumnya tanah-tanah pertanian di Indonesia kekurangan unsur-unsur N.P dam K. Oleh karena itu pemupukan di Indonesia (bahkan di dunia ) umumnya menggunakan unsur-unsur yang mengandung ketiga unsur tersebut. c. Kelerengan Pada umumnya persemaian dibuat pada lahan yang sedatar mungkin. Semakin miring topografinya akan semakin sulit pengerjaan persiapan lapangan dan juga semakin banyak tenaga dan biaya yang dibutuhkan. Kelas kelerengan lahan yang dijumpai di lapangan biasanya digolongkan sebagai berikut : Datar dengan kelerengan : 0-8 % Landai dengan kelerengan : 9-15 % Bergelombang dengan kelerengan : 16-25 % Berbukit dengan kelerengan : 26-45 %
Bergunung dengan kelerengan lebih dari : 45 % Untuk persemaian sedapat mungkin dipilih/digunakan lahan kelas kelerengan relative datar – landai. Pada umumnya diusahakan agar kelerengan untuk areal persemaian kurang dari 10 %. 2.3. Aspek tenaga kerja Kegiatan di persemaian, merupakan kegiatan yang sangat erat dengan masalah ketenaga kerjaan. Adanya tenaga kerja yang memadai baik kualitas maupun kuantitasnya menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan dalam usaha persemaian. Kualitas disini menyangkut pengertian keadaan tenaga kerja yang berpengetahuan dan trampil di bidang persemaian. Kebutuhan tenaga kerja ini terutama diharapkan dapat dicukupi dari penduduk sekitar atau dekat dengan persemaian sehingga lebih efisien dan memenuhi fungsi sosial penduduk setempat. Jumlah kebutuhan tenaga kerja untuk tiap-tiap persemaian bergantung pada volume pekerjaan yang ada. Volume kegiatan pekerjaan di persemaian pada umumnya berbeda pada setiap tahap kegiatan, karena itu kebutuhan tenaga kerja juga berbeda-beda sesuai dengan tahapan kegiatan. 2.4. Kebutuhan bahan Kebutuhan bahan untuk persemaian meliputi benih, pasir, tanah atau jenis medium tumbuh lainnya (gambut, sekam dsb), kantong plastik kontiner) pupuk fungsida dan pestisida.
a) Benih Dua faktor penting yang perlu mendapat perhatian di dalam penyediaan benih untuk bahan penanaman di persemaian yaitu kualitas dan kuantitas benih,. Penyediaan benih yang berkualitas baik dan dalam jumlah yang cukup dan tepat waktu sangat menentukan keberhasilan sesuatu persemaian. Seringkali terjadi kekurangan benih bukan disebabkan kurangnya jumlah/berat benih yang tersedia, tetapi karena kualitas benihnya yang jelek. Hal ini dapat terjadi bagi suatu daerah yang tidak memiliki stok b) Pasir dan tanah (jenis medium tumbuh lainnya) Pada dasarnya bahan pasir (untuk medium ) maupun tanah (atau medium tumbuh yang lain) untuk medium sapihan dipilih yang baik, bebas batu, kerikil dan benda-benda lain. Yang dapat mengganggu pertumbuhan benih yang dikecambahkan maupun pertumbuhan semai hasil sapihan. Pasir untuk medium perkecambahan diusahakan sesteril mungkin antara laindengan cara dijemur pada tempat kena sinar matahari penuh selama 2-3 hari atau disiram air panas atau digoreng untuk menghindari kemungkinan adanya jamur. Dalam usaha untuk memacu pertumbuhan semai hasil sapihan, akhir-akhir ini banyak dilakukan pemberian pupuk yaitu secara dicampur dengan tanah yang telah dipilih untuk medium sapih. Pekerjaan ini dilakukan dengan cara mencampur pupuk dan tanah sampai merata (diaduk) baru setelah itu diisikan kekantong plastik yang telah disiapkan.
c.) Kantong plastik/container Kantong plastik/container ini digunakan untuk medium sapihan setelah diisi hampir penuh dengan tanah. Tanah untuk medium sapih dipilih tanah yang baik halus, merata dan dicampur dengan pupuk. Banyaknya kantong plastik yang dipergunakan tergantung beberapa banyak semai yang akan dihasilkan dan berapa besar prosentase kerusakannya. 4. Peralatan dan tenaga kerja 4.1. Peralatan Macam-macam peralatan yang perlu diadakan di persemaian adalah 4.1.1.Kantor Kantor persemaian harus memenuhi persyaratan dan harus ada pelengkapan kantor perlu dilengkapi ruang kerja, ruang data, ruang istirahat, ruang P3K dan ruang khusus untuk gudang. Ruang gudang harus memenuhi syarat: tidak lembab dan ventilasinya harus cukup baik 4.1.2. Barak Kerja Barak kerja diperlukan terutama untuk tempat pengisian tanah dan wadah/kantong plastik medium sapih dan sebagai tempat istirahat para pekerja.
4.1.3. Rumah Jaga Rumah jaga disediakan untuk tempat tinggal dan gudang petugas (mandor persemaian). Hal ini sangat penting agar persemaian selalu terjaga dan dapat mengambil tindakan secara apabila terdapat masalah-masalah di persemaian, antara lain masalah adanya gangguan persemaian oleh hama dan penyakit tanaman yang mungkin mendadak, pengaturan, dan sebagainya. 4. 1.4. Sarana pengairan Sarana pengairan dipersemaian antara lain berupa parit/saluran dan bak penampung air yang cukup memadahi dengan keperluan. Disamping itu umumnya persemaian tidak terlalu menggantungkan air penyiraman dari hujan. Oleh karena itu perlu adanya pompa air yang lengkap dengan peralatannya/pipa penyalur air. Untuk penyiraman persemaian dengan kurang dari 50.000 semai biasanya dilakukan dengan tangan, yaitu menggunakan gembor. Sedang untuk persemaian dengan produksi bibit/semai dari 50.000 semai akan lebih menguntungkan dengan menggunakan pompa motor dengan penyiraman otomatis. Pada persemaian modern penyiraman dilakukan dengan cara ”sprinkle irrgation” dengan cara ini air disemprotkan lewat spayer yang dapat diputar seperti air mancur
4.1.5..Jalan angkutan dan jalan inspeksi Jalan angkutan perlu dibuat untuk mengangkut bahan-bahan dan peralatan
yang
diperlukan
dipersemaian
termasuk
untuk
mengangkut semai-semai pada saat akan ditanam di lapangan. Lebar jalan angkutan biasanya tidak kurang dari 2,5 meter sedang lebar jalan inspeksi antara 0,75-1,00 meter. 4.1.6. Pemagaran Persemaian Seringkali diabaikan karena fungsi pagar dirasakan tidak terlalu penting. Tetapi bagi berbagai kondisi persemaian adanya pagar dirasakan tidak terlalu penting. Persemaian yang membutuhan pagar biasanya dalam kondisi : • seringkali terjadi hembusan angin yang kencang • adanya gangguan ternak 4.1.7. Pengadaan naungan Naungan dibuat dengan maksud untuk menghindarkan kerusakan semai dari cahaya dan suhu udara yang berlebihan serta kerusakan yang disebabkan oleh tempat air hujan. Tujuannya ialah untuk mendapatkan semai dengan pertumbuhan yang baik dengan jalan memberikan cahaya serta suhu sesuai yang dibutuhkannya. Untuk memberikan naungan pada semai; hal yang harus diketahui terlebih
dahulu
adalah
sifat
jenis
semai
inti
mengenai
kebutuhannya akan cahaya. Untuk perkecambahan benih dan pertumbuhannya apakah semai itu memerlukan cahaya penuh ataukah perlu naungan. Dalam prakteknya naungan diperlukan baik untuk jenis yang perlunaungan maupun yang tidak perlu naungan. Hanya saja untuk jenis-jenis yang tidak perlu naungan atau memerlukan cahaya penuh, diberikan naungan yang ringan misalnya naungan yang dibuat dari bahan kasa plastik atau alangalang/daun kelapa sebagai atap yang diatur tidak terlalu rapat sehingga cahaya matahari masih bisa masuk ke bedengan/bak, naungan sering dibuka, kecuali jika ada hujan deras dan matahari begitu terik.Intensitas naungan dikurangi secara berangsurangsur. Pada umumnya 8-10 minggu sebelum semai dipindahkan di tanam ke lapangan. naungan sama sekali ditiadakan. Hal ini dimaksudkan agar menjelang penanaman dilapangan semai dapat menyesuaikan diri dari keadaan di lapangan yang biasanya terbuka. 4.1.8. Sarana-sarana lain Sarana lain yang biasanya perlu disediakan antara lain adalah alat-alat kerja seperti : a) sabit,cetok,cangkul dan peralatan pemberantas hama dan penjakit/sprayer, b) Tenaga Kerja
5. Tata Waktu Penyelenggaraan Persemaian tata
waktu
kegiatan
dipersemaian
perlu
direncanakan
masak-masak
mengingat bahwa kegiatan pembuatan tanaman di Indonesia khususnya sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim setempat. Penanaman dilapangan biasanya dilakukan pada permulaan musim penghujan, sehingga sebelum saat itu tata bibit (semai) harus sudah siap. Mengingat musim penghujan untuk masing-masing daerah kemungkinan berbeda-beda, maka permulaan dari pembuatan persemaian juga mengukuti keadaan setempat. D. Bibit Pengertian bibit masih sering dirancukan dengan pengertian benih (seed) dan tanaman induk (parent stock). Banyak orang yang tertukar untuk mengistilahkan bibit pada benih. Pengertian bibit juga sering tertukar dengan tanaman induk penghasil benih atau bibit. Pengertian bibit yang dimaksud ialah tanaman kecil (belum dewasa) yang berasal dari pembiakan generatif (dari biji), vegetatif, kultur jaringan, atau teknologi perbanyakan lainnya. Selain itu, bibit juga dapat diperoleh dari kombinasi cara-cara perbanyakan tersebut. Bibit merupakan salah satu penentu keberhasilan budidaya tanaman. Budidaya tanaman sebenarnya telah dimulai sejak memilih bibit tanaman yang baik, karena bibit merupakan obyek utama yang akan dikembangkan dalam proses budidaya selanjutnya. Selain itu, bibit juga merupakan pembawa gen dari induknya yang menentukan sifat tanaman setelah berproduksi. Oleh karena itu untuk memperoleh tanaman yang memiliki sifat tertentu dapat diperoleh dengan memilih bibit yang berasal dari induk yang memiliki sifat tersebut. Berdasarkan cara perbanyakan, bibit dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Bibit Generatif Bibit generatif diperoleh dari hasil perbanyakan secara kawin (sexual). Bibit generatif lebih dikenal konsumen dengan bibit dari biji sebab bibit ini dikembangkan dari biji. Anggapan seperti ini tidak selalu benar sebab ada bibit dari biji yang tidak diperoleh dari hasil perkawinan (biji apomiktik). Namun, pada kebanyakan buah memang biji ini telah dibuahi atau sebagai hasil perkawinan antara bunga jantan dan bunga betina. Mekanisme perkawinan terjadi pada saat penyerbukan, yaitu kepala putik diserbuki dengan serbuk sari yang berlanjut sampai pembentukan biji. 2. Bibit Vegetatif Bibit vegetatif diperoleh dari pembiakan secara tak kawin (asexual). Alasan yang utama sehingga banyak bibit yang diperbanyak secara vegetatif ialah untuk mendapatkan bibit yang memiliki sifat-sifat yang serupa dengan induknya. Pada perkembangan selanjutnya, sistem pembiakan vegetatif memungkinkan penggabungan dua atau lebih induk yang masing-masing memiliki sifat tertentu. Sebagai contoh pada bibit sambung atau okulasi, bibit yang dihasilkan dapat memiiki sifat yang baik dari batang atas (misal kualitas buah baik) dan sifat yang baik dari batang bawah (misal perakaran baik). Di pasaran dikenal berbagai macam jenis bibit. Konsumen sudah akrab dengan jenis bibit biji, cangkokan, sambung, atau okulasi. Berdasarkan jenis perbanyakannya, bibit terbagi enam jenis, yaitu : 1. Bibit dari biji Manusia pertama kali mengenal cara perbanyakan tanaman yaitu dari biji. Cara perbanyakan ini bahkan dapat terjadi secara alami. Biji tanaman yang jatuh ke tanah, baik secara alami atau melalui tangan manusia (setelah
buahnya dikonsumsi), akan tumbuh menjadi tanaman jika mendapat kondisi yang sesuai untuk pertumbuhannya. Kelebihan bibit ini ialah perakarannya kuat, tetapi kelemahannya ialah sifat bibit belum tentu sama dengan sifat induk dan pertumbuhan generatifnya lambat. Dengan demikian tidak mengherankan kalau umur berbuahnya tidak secepat tanaman yang berasal dari bibit vegetatif. Bibit dari biji dapat dikenali dari sosoknya yang lebih tinggi dan percabangannya lebih sedikit dari bibit vegetatif. Selain itu pada bibit ini tidak ditemukan luka bekas okulasi atau sambungan. 2. Bibit Setek (cuttage) Bibit setek diperoleh dengan memisahkan atau memotong beberapa bagian dari tanaman, seperti akar, batang, daun, dan tunas dengan maksud agar bagian-bagian tersebut membentuk akar. Kelebihan dari cara perbanyakan ini ialah caranya sederhana (tidak memerlukan teknik-teknik tertentu yang rumit) dan bibit yang diperoleh mewarisi sifat-sifat yang dimiliki induknya. Kelemahannya ialah tidak banyak jenis tanaman yang dapat diperbanyak dengan cara ini sehingga penggunaannya terbatas. 3. Bibit cangkok (air layerage) Bibit cangkokan termasuk jenis bibit yang diperoleh secara vegetatif, tanpa melalui
proses
perkawinan
(aseksual).
Pencangkokan
lebih
banyak
digunakan pada tanaman buah karena kebanyakan cabang tanaman ini tidak dapat dilengkungan seperti cara pembubunan yang umum. Kelebihan cara pembiakan cangkokan ialah pohon dari bibit cangkokan lebih cepat berbuah dan dapat mewarisi sifat baik dari tanaman induk karena induknya dapat dipilh yang memiliki sifat baik. Sedangkan kelemahannya ialah perakaran cangkokan krang kuat dan dangkal, bentuk pohon menjadi rusak, tidak dapat
menyediakan bibit yang relatif banyak dalam waktu yang cepat, cara pengerjaan sedikit lebih rumit dan memerlukan ketelatenan, serta jika sering dilakukan pencangkokan, produksi buah pohon induk menjadi terganggu. Jenis bibit dapat dikenali dengan memperhatikan percabangannya yang lebih banyak. Selain itu, bibit cangkokan dapat dibedakan dari bibit biji dengan melihat sosoknya yang lebih pendek pada umur dan kondisi yang sama dengan bibit dari biji, dapat juga dengan dilihat dengan tidak adanya bekas luka tempelan atau sambungan. 4. Bibit okulasi (budding) Bibit okulasi termasuk jenis bibit yang diperoleh secara vegetatif, tanpa melalui proses perkawinan (aseksual). Sebenarnya bibit ini tidak murni bibit vegetatif sebab batang bawahnya berasal dari biji. Bibit ini diperoleh dengan menempel tunas pada batang bawah yang telah disiapkan sebelumnya. Namun, batang bawahnya lebih banyak berfungsi sebagai penopang tanaman dan menghasilkan perakaran yang baik. Setelah tunas tempelan (entris) tumbuh dengan baik, kelebihan batang bawah yang berada di atas tunas dipotong. Untuk pertumbuhan selanjutnya, pertumbuhan tunas tempelan lebih dominan dibandingkan dengan batang bawahnya. Kelebihan dari pembibitan okulasi ialah dapat mewarisi sifat baik dari induk entries (tempelan) karena induk dipilih memiliki sifat baik, perakaran bibit cukup kuat karena batang bawahnya berasal dari biji, dapat mewarisi sifat baik dari batang bawah karena batang bawah dipilih dari yang memiliki sifat baik, dan lebih cepat berbuah dibandingkan bibit dari biji. Kelemahan dari pembibitan ini terutama dalam masalah teknis pengerjaannya karena memerlukan keterampilan teknis yang baik melalui pengalaman dan latihan. Selain dapat
dikenali dari bekas tempelan, bibit okulasi mempunyai percabangan yang cukup banyak dibandingkan bibit dari biji,. Hal ini dapat digunakan untuk membedakannya dari bibit biji, tetapi perbedaannya tidak terlalu mencolok sehingga tidak semua orang dapat membedakannya dengan cara ini. 5. Bibit sambung (detached scion grafting) Bibit ini banyak dijumpai di pasaran, bibit ini sama dengan bibit okulasi yaitu termasuk bibit vegetatif, walaupun sebenarnya tidak murni vegetatif karena batang bawahnya berasal dari perbanyakan biji. Prinsip pembuatannya sama dengan biji okulasi, yang membedakannya ialah, pada bibit okulasi yang disambungkan adalah mata tunas, sedangkan pada bibit sambungan yang disambungkan adalah kumpulan mata tunas atau batang. Kelebihan dan kekurangan dari cara pembibitan ini sama dengan cara pembibitan okulasi.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Persemaian Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Adapun waktu penelitian dilaksanakan selama 6 bulan yang meliputi kegiatan, Persiapan, Penaburan, Penyapihan & pemeliharaan bibit, Pengambilan dan pengolahan data serta Penyusunan laporan penelitian
B. Alat dan Bahan 1. Alat; -
Bak tabur plastik digunakan untuk tempat media tabur
-
Wajan untuk menyangrai media tabur
-
Tungku perapian untuk pemanasan
-
Sprayer sebagai alat penyiraman
-
Saringan teh untuk membantu penaburan benih
-
Mistar & Microcalifer digunakan sebagai alat ukur pengambilan data
-
Alat tulis menulis data
-
Potray digunakan untuk tempat media sapih bibit
-
Cetok alat untuk mengaduk media sapih
2. Bahan; -
Benih Jabon
-
Air digunakan untuk menyiram benih
-
Kompos sebagai campuran media sapih
-
Pasir sebagai media tabur
-
Pupuk Kandang sebagai campuran media sapih
-
Topsoil sebagai campuran media sapih
-
Kayu bakar bahan bakar sterilisasi media
-
Polibag tempat media sapih
-
Fungisida Dithene M-45 bahan pemberantas jamur
C. Prosedur Kerja 1. Persiapan media tabur dengan penyanggraian pasir untuk perkecambahan benih.
Gambar 7. Media tabur 2. Penaburan benih dan pemeliharaan kecambah.
Gambar 8. Penaburan benih
Gambar 9. Bibit jabon
3. Persiapan media sapih yang akan digunakan berupa campuran tanah topsoil pasir dan pupuk kandang (7:2:1) 4. Penyapihan dan Pemeliharaan bibit tanaman jabon 5. Pengambilan Data dengan pengukuran diameter dan tinggi bibit dan perhitungan jumlah daun. Pengukuran 1 dilaksanakan pada saat bibit berumur 4 (empat) bulan yaitu pada saat benih diaklimatisasi
Pengukuran kedua dilakukan pada saat bibit berumur 6 (enam) bulan 6. Pengolahan Data yang didapat di lapangan 7. Penyusunan laporan hasil penelitian
D. Pengambilan dan Analisis Data
Pengambilan data dimulai pada saat bibit berumur 4 bulan setelah sapih (pengukuran pertama) dan pengambilan data kedua setelah bibit berumur 6 bulan. Variable yang digunakan adalah diameter, tinggi, dan Jumlah daun tanaman Dari hasil data yang didapat dilakukan analisis dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
1. Menghitung nilai rata-rata :
x?
?
x
n
Keterangan :
x
? n
= nilai rata-rata
x = jumlah nilai individu = jumlah sampel
2. Standar Deviasi (Simpang Baku) Standar deviasi (Simpang Baku) merupakan suatu nilai untuk mengetahui penyimpangan nilai-nilai individu terhadap rata-rata. Dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
(? ? )2 ?? ? n n ?1 2
Sd ?
Keterangan : Sd
= Standar Deviation (Simpang Baku)
?x
= Jumlah Nilai Indvidu
?X
= Jumlah Individu yang dikuadratkan
n
2
= Jumlah Pohon
3. Koefisien Variasi Mengingat ukuran dispersi absolut mudah menimbulkan kekaburan, maka sering digunakan ukuran dispersif relatif. Diantara berbagai macam ukuran dispersi relatif yang terkenal ialah yang bernama Coefficient Of Variation (koefisien variasi), yaitu persentasi standar deviation terhadap nilai rata-rata X dan untuk klasifikasi dari koefisien variasi (Becking, 1981) sebagai berikut : C.V = 0 – 10 % (dikatakan kecil / seragam)
C.V = 10 – 20 % (dikatakan sedang) C.V = 20 – 30 % (dikatakan besar) C.V = > 30 % (dikatakan sangat besar) Rumus :
CV ?
Sd x100% ?
Keterangan : CV = Coefficient Of Variation (koefisien Variasi) Sd = Standar Deviasi (Simpang Baku)
?
= Rata-rata
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Diameter Hasil pengukuran pertama dan kedua diameter tanaman (Anthocephalus cadamba Roxb) di Persemaian
Jabon
tersaji pada Lampiran 1,2
dan 3, untuk lebih jelasnya hasil pengukuran diameter tersebut dituangkan dalam bentuk grafik seperti terlihat di bawah ini :
Gambar 10. Grafik Sebaran Pengukuran Diameter Jabon Hasil perhitungan data diameter pada lampiran 1 dan 2 diketahui deskripsi nilai-nilai terlihat seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Perhitungan rataan, Simpangan Baku, Koefisien Variasi untuk Diameter pada Tanaman Jabon
No.
Variabel 1 Rata-rata 2 Simpangan baku 3 Koefisien Variasi
Pengukuran 1` 0,67
Pengukuran 2
0,08
0,82 0,10
12,51
11,86
Keterangan
2. Tinggi Hasil pengukuran tinggi tanaman jabon dapat dilihat pada Lampiran 1, 2 dan 3, untuk lebih jelasnya hasil pengukuran tinggi tersebut digambarkan dalam bentuk grafik seperti di bawah ini :
Gambar 11. Grafik Sebaran Pengukuran Tinggi Tanaman Jabon Hasil perhitungan data tinggi
pada lampiran 1, 2 dan 3 diketahui
deskripsi nilai-nilainya yang tersaji seperti pada berikut ini. Tabel 2. Hasil Perhitungan rataan, Simpangan Baku, Koefisien Variasi untuk Tinggi pada Tanaman Jabon
No.
Variabel 1 Rata-rata 2 Simpangan baku 3 Koefisien Variasi
Pengukuran 1` 21,75
Pengukuran 2
5,15
25,68 5,20
23,68
20,26
Keterangan
3. Jumlah Daun Hasil perhitungan jumlah daun tanaman jabon dapat dilihat pada Lampiran 1, 2 dan 3, untuk lebih jelasnya hasil pengukuran tinggi tersebut digambarkan dalam bentuk grafik seperti di bawah ini :
Gambar 12.. Grafik Sebaran Perhitungan Jumlah Daun Tanaman Jabon Hasil perhitungan data jumlah daun pada lampiran 1, 2 dan 3 diketahui deskripsi nilai-nilainya yang tersaji seperti pada berikut ini. Tabel 3. Hasil Perhitungan rataan, Simpangan Baku, Koefisien Variasi untuk Jumlah Daun pada Tanaman Jabon
No.
Variabel 1 Rata-rata 2 Simpangan baku 3 Koefisien Variasi
Pengukuran 1`
Pengukuran 2
10,79 2,17
8,57
20,09
16,63
1,43
Keterangan
4. Pertambahan tumbuh Hasil perhitungan pertambahan diameter, tinggi dan jumlah daun didapat dari pengurangan pengukuran II dengan pengukuran I, untuk lebih jelasnya deskripsi nilai-nilai pertambahan tinggi dan diameter serta jumlah daun dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.
No.
Hasil perhitungan rata-rata, SD dan Koefisien Variasi pengukuran I dan Pengukuran II
Variabel
Ø
T
S DAUN
1
Rata-rata
0,15
3,93
-2,21
2
Simpangan baku
0,05
1,48
2,45
3
Koefisien Variasi
35,03
37,58
-110,87
untuk
Keterangan
B. Pembahasan Pengukuran diameter dan tinggi serta perhitungan jumlah daun tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq) dalam penelitian ini dilakukan selama 2 (dua) bulan yang dimulai bulan Juli 2012 (pengukuran I) sampai pada bulan September 2012 (pengukuran II) 1. Diameter Dengan memperhatikan grafik penyebaran diameter jabon seperti yang terlihat pada Gambar 10. Dapat diketahui bahwa grafik pengukuran kedua diameter jabon selalu berada diatas grafik pengukuran 1 hal ini menunjukan bahwa terjadi pertambahan tinggi untuk semua bibit yang diteliti. Hasil pengukuran awal tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb) di persemaian
Politeknik Pertanian Negeri Samarinda menunjukan
bahwa diameter terbesar 0,83 cm dan diameter terkecil 0,52 cm, dengan
rata-rata 0,67 cm dan koefisien variasi 12,51 %.
Pengukuran
kedua
menunjukan bahwa diameter terbesar 1,03 cm dan diameter terkecil 0,66 cm, dengan rata-rata 0,82 cm dan koefisien variasi 11,86 %. Dengan memperhatikan koefisien variasi dari pengukuran 1 pengukuran 2 menunjukkan variasi yang relatif sedang
dan
dari diameter
pohon yang terendah dengan yang tertinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Becking (1981) yang menyatakan bahwa koefisien variasi antara 10 – 20 % termasuk kriteria variasi sedang. 2. Tinggi Grafik penyebaran tinggi jabon seperti pada Gambar 11. Dapat dilihat bahwa grafik pengukuran kedua tinggi jabon selalu berada diatas grafik pengukuran 1 hal ini menunjukan bahwa terjadi pertambahan tinggi untuk semua bibit yang diteliti. Hasil pengukuran tinggi awal tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb) di persemaian
Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
menunjukan bahwa tinggi terbesar 28,50 cm dan tinggi terkecil 10,00 cm, dengan rata-rata 21,75 cm dan koefisien variasi 23,68. %. Pengukuran kedua menunjukan bahwa tinggi terbesar 34,00 cm dan tinggi terkecil 15,00 cm, dengan rata-rata 25,68 cm dan koefisien variasi 20,26 %. Dengan memperhatikan koefisien variasi dari pengukuran 1 pengukuran 2
dan
menunjukkan adanya variasi yang beragam (besar), atau
adanya kesenjangan yang besar dari tinggi pohon yang terendah dengan yang tertinggi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Becking (1981) yang
menyatakan bahwa koefisien variasi antara 20 – 30 % termasuk kriteria besar.
3.
Jumlah Daun Grafik penyebaran jumlah daun jabon seperti pada Gambar 12. Dapat diketahui bahwa grafik perhitungan pertama dan kedua jumlah daun saling silang antara keduanya dan sebagian besar grafik pengukuran kedua berada dibawah grafik pengukuran pertama hal ini menunjukan bahwa jumlah daun dari pengukuran pertama dan pengukuran kedua hanya sebagian kecil yang bertambah, sedangkan yang berkurang lebih banyak. Keadaan ini dikarenakan pertumbuhan tanaman terjadi pada dimensinya yaitu tinggi dan diameter sedangkan jumlah daunnya secara kuantitas berkurang tetapi secara kualitas membaik (kondisi daun membesar dan sehat). Hal ini terlihat pada perhitungan rata-rata perhitungan pertama lebih besar dengan rata-rata perhitungan kedua untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Tabel 3.
4. Pertambahan tumbuh Berdasarkan hasil perhitungan untuk pertambahan tumbuh seperti pada Tabel 4. menunjukan bahwa pertambahan tumbuh bibit jabon selama 2 (dua) bulan untuk diameter sebesar 0,15 cm, tinggi sebesar 3,93 cm sedangkan jumlah daunnya berkurang rata-rata 2 buah. Dengan memperhatikan nilai koefisien
variasi dari pertambahan
tumbuh baik diameter maupun tinggi menunjukkan pertambahan tumbuh yang tidak seragam (variasinya sangat besar).
Hal ini sesuai dengan
pendapat Becking (1981) yang menyatakan bahwa koefisien variasi terletak > 30 % di kategori sangat besar.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
1.
Diameter rata-rata bibit Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb)) pada umur 4 bulan sebesar 0,67 cm koefisien variasi sebesar 12,51%. Sedangkan pada umur 6 bulan diameter rata-ratanya sebesar 0,82 cm dengan koefisien variasi sebesar 11,86 %., ini menunjukkan adanya variasi yang sedang dari diameter yang terendah dengan yang tertinggi
2.
Tinggi rata-rata bibit Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb)) pada umur 4 bulan sebesar 21,75 cm koefisien variasi sebesar 23,68%. Sedangkan pada umur 6 bulan tinggi rata-ratanya sebesar 25,68 cm dengan koefisien variasi sebesar 20,26%., hal ini menunjukkan adanya variasi yang besar atau adanya kesenjangan yang besar antara tinggi yang terendah dengan yang tertinggi
3.
Rata-rata jumlah daun bibit Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb)) pada umur 4 bulan sebesar 10,79 buah dengan koefisien variasi sebesar 20,69%. Sedangkan pada umur 6 bulan jumlah daun rata-rata sebesar 8,57 buah dengan koefisien variasi sebesar 16,63 %.,
4.
Pertambahan tumbuh
bibit jabon selama 2 (dua) bulan untuk diameter
sebesar 0,15 cm, tinggi sebesar 3,93 cm sedangkan jumlah daunnya berkurang rata-rata 2 buah.
B. Saran 1.
Perlu dilakukan penelitian serupa mengenai keberhasilan pembibitannya dan perlakuan-perlakuan agar bibit dapat tumbuh dengan baik.
2.
Penelitian lanjutan antara lain dengan waktu yang cukup lama agar informasi mengenai riapnya dapat diketahui dan riap pertumbuhan setelah ditanaman di lapangan.
3.
Untuk mendapatkan hasil pertumbuhan yang lebih seragam diperlukan kegiatan
tindakan
silvikultur
seperti
pemeliharaan
diharapkan akan dapat memperkecil koefisien variasi.
bibit,
sehingga
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1974. Pedoman Pembuatan Tanaman Pinus merkusii, Direksi Perum Perhutani, Jakarta. Anonim, 1981 Perlakuan dan Penyemaian Benih. Program Bantuan Penghijauan dan Reboisasi, No. 10. Diterbitkan oleh Proyek Pendidikan dan Latihan Petugas Lapangan Program Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Departeman Pertanian ………1986. Pedoman Kehutanan,
Pembuatan Persemaian Parmanan.
Departeman
Direktorat Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi. Anonim, 1995. Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pembuatan Hutan Tanaman Industri. Kooperasi Karyawan Departemen Kehutanan. Jakarta. 136 h. Becking, W. R. 1981.Manual Of Forest Inventory Part Two. Darjadi L dan Harjono, 1972. Sendi-sendi Silvikultur. Kehutanan
Direktorat Jendral
Salemba Raya 16 Jakarta. Danaatmadja, Oh. M, 1989. Mata Kuliah Tanaman Hutan Semester II dan III. Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi Universitas Padjajaran Bandung Fandeli, Ch, 1984. Ilmu Persemaian Jurusan Silvikultur, Fakultas Kehutanan UGM. Intari, S.E. dan Natawiria, D. 1973 White grubs in forest tree nurseries and young plantations. Laporan Penelitian Hutan No. 167. Bogor, Indonesia. Kahaerudin, 1996. Pembibitan Hutan Tanaman Industri. PT. Penebaran Swadaya. Jakarta. Krisnawati H dkk (2011) Anthocephalus cadamba Miq. Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas (terjemahan). Center for International Forestry Research. Bogor.
Martawijaya, A. Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A. dan Kadir, K. 1989 Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor, Indonesia. Nair, K.S.S dan Sumardi 2000 Insect pests and diseases of major plantation species. Dalam: Insect pests and diseases in Indonesian forests: an assessment of the major treats, research efforts and literature. CIFOR, Bogor, Indonesia. Ngatimandan Tangketasik, J. 1987 Some insect pests on trial plantation of PT. ITCI Balikpapan, East Kalimantan, Indonesia (dalam bahasa Indonesia). Jurnal Penelitian Hutan Pelupessy.L. 2007. Pelatihan Penanaman Hutan di Maluku & Maluku Utara – Ambon Panitia Implementasi Program NFP-FAO Regional Maluku & Maluku Utara – Ambon, 12 – 13 Desember 2007 Selander, J. 1990 Forest pests and diseases of plantation trees in South Kalimantan, Indonesia. Technical Report No. 8.Reforestation and Tropical Forest Management Project, Phase V. FINNIDA danDepartemenKehutanan.Enso Forest Development Oy. Soekotjo, W. 1979. Perhutani.
Diktat Silvika. Pusat Pendidikan Cepu. Direksi Perum
Soerianegara, I. dan Lemmens, R.H.M.J. 1993 Plant Resources of South-East Asia 5(1): Timber trees: major commercial timbers. Pudoc Scientific Publishers, Wageningen, Belanda. Soetrisno. K. 1996. Silvika. Bahan Kuliah Silvika Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Sudarmo, M.K. 1957 Tabel hasil sementara Anthocephalus cadamba Miq. (jabon). Pengumuman No. 59. Lembaga Penelitian Kehutanan, Bogor, Indonesia. Suhariyadi dan Wasito Hadi 1980. Pemeliharaan Persemaian dan Tatalaksana Persemaian, Program Bantuan Penghijauan dan Reboisasi, No. 15 Departeman Pertanian, diterbitkan oleh Proyek Pendidikan dan Latihan Petugas Lapangan Program Bantuan Penghijauan dan Reboisasi. Susanti, 1996. Studi Tentang Tinggi dan Diameter Tanaman Acacia mangium Willd Umur 1 Tahun di Arboretum POLITANI Unmul Samarinda. Karya Ilmiah Mahasiswa (Tidak di Terbitkan).
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Pengukuran 1 Diameter, Tinggi dan Jumlah Daun NO
Jenis
Ø
T
S DAUN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon
0,640 0,678 0,620 0,640 0,720 0,700 0,630 0,720 0,680 0,520 0,640 0,630 0,660 0,640 0,742 0,520 0,584 0,720 0,620 0,550 0,720 0,540 0,720 0,834 0,814 0,800 0,730 0,756
12,0 20,0 14,0 10,0 22,0 24,0 23,0 16,0 18,0 24,0 20,0 22,0 13,0 22,5 23,0 19,0 24,0 22,0 25,5 18,0 26,0 27,0 28,0 28,0 26,0 28,5 26,0 27,5
6 11 10 6 12 12 12 12 8 10 10 10 12 14 12 10 14 12 12 10 12 8 13 12 7 13 12 10
Keterangan
Lampiran 2. Hasil Pengukuran 2 Diameter, Tinggi dan Jumlah Daun NO
Jenis
Ø
T
S DAUN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon Jabon
0,790 0,890 0,774 0,720 0,980 0,834 0,736 0,780 0,800 0,680 0,776 0,796 0,800 0,720 0,920 0,660 0,690 0,800 0,796 0,752 0,974 0,754 0,840 0,950 0,940 1,030 0,890 0,874
15,0 23,0 17,0 18,0 27,0 26,5 25,5 18,0 21,0 30,0 24,5 25,5 16,5 25,0 28,0 25,0 27,0 26,0 29,0 22,5 31,0 34,0 32,0 30,5 29,5 33,0 29,0 30,0
6 9 7 9 9 10 7 7 9 10 9 9 8 8 10 10 8 8 9 10 12 10 10 7 7 8 8 6
Keterangan
Lampiran 3. Deskripsi nilai pengukuran Diameter, Tinggi dan Jumlah Daun NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Rata-2 SD CV (%)
Pengukuran I
Pertambahan
Pengukuran I
Ø
T
S DAUN
Ø
T
S DAUN
0,640 0,678 0,620 0,640 0,720 0,700 0,630 0,720 0,680 0,520 0,640 0,630 0,660 0,640 0,742 0,520 0,584 0,720 0,620 0,550 0,720 0,540 0,720 0,834 0,814 0,800 0,730 0,756
12,0 20,0 14,0 10,0 22,0 24,0 23,0 16,0 18,0 24,0 20,0 22,0 13,0 22,5 23,0 19,0 24,0 22,0 25,5 18,0 26,0 27,0 28,0 28,0 26,0 28,5 26,0 27,5
6 11 10 6 12 12 12 12 8 10 10 10 12 14 12 10 14 12 12 10 12 8 13 12 7 13 12 10
0,790 0,890 0,774 0,720 0,980 0,834 0,736 0,780 0,800 0,680 0,776 0,796 0,800 0,720 0,920 0,660 0,690 0,800 0,796 0,752 0,974 0,754 0,840 0,950 0,940 1,030 0,890 0,874
15,0 23,0 17,0 18,0 27,0 26,5 25,5 18,0 21,0 30,0 24,5 25,5 16,5 25,0 28,0 25,0 27,0 26,0 29,0 22,5 31,0 34,0 32,0 30,5 29,5 33,0 29,0 30,0
6 9 7 9 9 10 7 7 9 10 9 9 8 8 10 10 8 8 9 10 12 10 10 7 7 8 8 6
0,67 0,08 12,51
21,75 5,15 23,68
10,79 2,17 20,09
0,82 0,10 11,86
25,68 5,20 20,26
8,57 1,43 16,63
Ø
T
S DAUN
0,150 0,212 0,154 0,080 0,260 0,134 0,106 0,060 0,120 0,160 0,136 0,166 0,140 0,080 0,178 0,140 0,106 0,080 0,176 0,202 0,254 0,214 0,120 0,116 0,126 0,230 0,160 0,118
3,0 3,0 3,0 8,0 5,0 2,5 2,5 2,0 3,0 6,0 4,5 3,5 3,5 2,5 5,0 6,0 3,0 4,0 3,5 4,5 5,0 7,0 4,0 2,5 3,5 4,5 3,0 2,5
0 -2 -3 3 -3 -2 -5 -5 1 0 -1 -1 -4 -6 -2 0 -6 -4 -3 0 0 2 -3 -5 0 -5 -4 -4
0,15 0,05 35,03
3,93 1,48 37,58
-2,21 2,45 -110,87
Lampiran4. Pengukuran Tinggi dan Diameter Bibit Jabon
Pengukurantinggi
Pengukuran diameter
Lampiran5. Pengukuran 1 Diameter danTinggi
Pengukuran diameter bibit Jabon