KERAGAMAN POPULASI, UJI PROVENANSI DAN ADAPTASI JABON (Neolamarckia cadamba (ROXB.) BOSSER)
DEDE JAJAT SUDRAJAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Keragaman Populasi, Uji Provenansi dan Adaptasi Jabon (Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Dede Jajat Sudrajat NIM. E461100031
RINGKASAN DEDE JAJAT SUDRAJAT. Keragaman Populasi, Uji Provenansi dan Adaptasi Jabon (Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser). Dibimbing oleh ISKANDAR Z. SIREGAR, NURUL KHUMAIDA, ULFAH J. SIREGAR dan IRDIKA MANSUR.
Jabon [Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser, sinonim Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq., Anthocephalus chinensis (Lamk.), famili Rubiaceae)] merupakan jenis potensial asli Indonesia yang cepat tumbuh dan dapat dikategorikan jenis multiguna. Kayunya dapat digunakan sebagai bahan kayu lapis, konstruksi, pulp, furnitur, papan serat, dan papan partikel, sedangkan bagian tanaman lainnya dapat digunakan sebagai bahan parfum dan obat-obatan. Jenis ini mempunyai sebaran tumbuh yang luas dan ditemukan hampir di seluruh pulau di Indonesia yang memberi indikasi bahwa jenis ini mempunyai keragaman genetik dan daya adaptasi tinggi. Pada saat ini jabon memegang peran penting dalam sistem budidaya tanaman hutan baik secara komersial maupun tradisional di beberapa daerah di Indonesia. Tingginya minat masyarakat terhadap budidaya jabon ini belum didukung oleh ketersediaan benih bermutu sehingga inisiasi program pemuliaan untuk menghasilkan benih bermutu melalui eksplorasi materi genetik, kajian keragaman, pembangunan populasi pemuliaan, dan uji adaptasi sangat diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keragaman morfologi, genetik dan daya adaptasi provenansi jabon terhadap cekaman kekeringan dan genangan air. Secara spesifik dapat diuraikan dalam 4 tujuan sebagai berikut: (1) mengkarakterisasi keragaman tapak, buah, benih dan bibit dari beberapa populasi jabon; (2) mengkuantifikasi keragaman morfologi bibit dan genetik berdasarkan penanda Amplified Fragment Length Polymorphisms (AFLP) beberapa famili jabon; (3) mengidentifikasi parameter genetik pertumbuhan awal uji provenansiketurunan jabon di dua lokasi, yaitu Limbangan, Garut dan Parungpanjang, Bogor; dan (4) mengkaji kemampuan adaptasi bibit jabon dari beberapa provenansi terhadap cekaman kekeringan dan genangan air. Hasil sub penelitian 1 yang menggunakan 11 populasi jabon yang tersebar di Sumatera (3 populasi), Jawa (3 populasi), Kalimantan (2 populasi), Sulawesi (2 populasi) dan Sumbawa (1 populasi) menunjukkan bahwa jabon mempunyai karagaman karakteristik tempat tumbuh yang sangat luas. Jenis ini mampu tumbuh baik pada kisaran ketinggian tempat 23 m dpl sampai 628 m dpl, tipe iklim A hingga E (Schmidt dan Ferguson) dengan kisaran pH tanah 4.4 hingga 6.7 dan tingkat kesuburan tanah rendah hingga tinggi. Secara evolusi perbedaan karakteristik iklim dan tapak ini mempengaruhi keragaman genetik jabon, termasuk karakteristik morfofisiologi benih dan bibit yang menunjukkan perbedaan nyata antar populasi. Sebagian besar karakter benih dan bibit yang diamati tidak berkorelasi dengan faktor-faktor geoklimat. Koefisien keragaman genetik untuk semua parameter buah, benih, dan bibit ditemukan lebih tinggi daripada koefisien keragaman lingkungan. Begitu juga dengan nilai heritabilitas dalam arti luas yang tinggi yang memberi indikasi tingginya kontribusi komponen genetik terhadap total keragaman untuk karakter-karakter morfofisiologi benih
dan bibit. Karakter berat buah, daya berkecambah, kecepatan berkecambah, tinggi dan indeks kekokohan bibit memiliki nilai heritabilitas dan kemajuan genetik tinggi sehingga dapat digunakan sebagai indikator untuk seleksi populasi terbaik. Analisis komponen utama atau principal component analysis (PCA) dan klaster hirarki pada berbagai karakter buah, benih dan bibit membentuk 4 kelompok populasi. Konsep provenansi dapat digunakan dalam menjelaskan pengelompokan populasi dalam studi ini. Grup 1 (Kapuas dan Batu Licin), grup 2 (Gowa dan Pomalaa) dan grup 4 (Rimbo Panti) diduga merupakan provenansi yang asli (true provenance) seperti yang dikelompokan berdasarkan asal geografisnya. Sementara, grup 3 (Kampar, Ogan Komering Ilir (OKI), Garut, Nusa Kambangan, Alas Purwo dan Batu Hijau) berisi campuran dari beberapa provenansi, yang memberi indikasi keberadaan populasi tersebut telah tercampur sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan reforestasi di pulau Jawa, Sumatera dan Sumbawa. Pada tingkat famili, keragaman dianalisis dengan menggunakan 31 famili dari 4 populasi yang mewakili 4 pulau berbeda, yaitu populasi Kampar (Sumatera), Nusa Kambangan (Jawa), Kapuas (Kalimantan) dan Pomalaa (Sulawesi). Hasil penelitin ini menunjukkan bahwa karakter-karakter morfologi bibit jabon mempunyai perbedaan yang nyata. Koefisien keragaman genetik aditif morfologi bibit berkisar antara 16.16% (jumlah daun) dan 32.39% (indeks kekokohan). Nilai heritabilitas berkisar 0.44 untuk tinggi bibit dan 0.95 untuk diameter bibit. Tingkat keragaman genetik berdasarkan morfologi bibit dan analisis AFLP memberi indikasi populasi Kampar memiliki keragaman yang lebih rendah dibandingkan 3 populasi lainnya. Analisis AFLP menunjukkan keragaman genetik tertinggi dideteksi pada populasi Kapuas (He = 0.3339, I = 0.4894) yang diikuti oleh populasi Pomalaa (He = 0.2270, I = 0.3394) dan Nusa Kambangan (He = 0.1940, I = 0.2904). Keragaman genetik antar populasi berdasarkan enam karakter morfologi bibit dapat dikategorikan sedang sampai tinggi (Qst = 0.14 0.45). Kecenderungan yang sama diamati dengan analisis AFLP yang menunjukkan nilai keragaman yang relatif tinggi (Gst = 0.2707). Klaster berdasarkan karakter morfologi dan dendrogram unweighted pair group method using aritmetic average (UPGMA) berdasarkan AFLP menunjukkan pola yang mirip. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa keragaman genetik jabon terstruktur berdasarkan asalnya dan jumlah populasi yang lebih banyak sebaiknya disampling untuk meningkatkan keragaman genetik. Hasil analisis keragaman ini digunakan sebagai dasar untuk pemilihan famili dan pembuatan desain penanaman pada uji provenansi keturunan. Uji provenansi-keturunan yang dibangun dari 105 famili dari 12 populasi (tambahan 1 populasi dari Papua) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar provenansi dan antar famili di dalam provenansi pada kedua tapak (Limbangan dan Garut), kecuali untuk parameter diameter pada tapak Parungpanjang. Evaluasi komponen ragam menunjukkan bahwa provenansi memberi kontribusi lebih besar (0.5% sampai 1.7%) terhadap total keragaman dari pada pengaruh famili di dalam provenansi (0.4% sampai 0.6%). Korelasi genetik antara tinggi dan diameter tanaman menunjukkan nilai yang rendah sampai sedang. Heritabilitas famili relatif lebih besar dibandingkan dengan heritabilitas individu sehingga seleksi famili akan menyumbang perolehan genetik lebih tinggi. Namun, bagaimana pun juga, nilai kedua heritabilitas masih dikategorikan rendah sampai sedang sehingga kombinasi seleksi akan lebih efektif
untuk memperbaiki pertumbuhan jenis ini. Seleksi juga harus menunggu nilai heritabilitas yang relatif stabil sehingga didapatkan nilai perolehan genetik yang optimum. Umumnya untuk jenis cepat tumbuh, nilai heritabilitas tersebut dicapai pada umur tanaman 2-3 tahun. Uji daya adaptasi bibit jabon terhadap cekaman kekeringan dan genangan air yang menggunakan provenansi yang sama dengan sub penelitian 3 menunjukkan bahwa respon adaptif bibit jabon terhadap cekaman kekeringan dan genangan air dipengaruhi oleh provenansi. Cekaman kekeringan dan genangan air secara nyata menghambat pertumbuhan bibit, mempengaruhi akumulasi dan alokasi berat kering, menurunkan luas daun dan kandungan klorofil, meningkatkan kandungan karoten, dan mengakumulasi prolina. Kadar air relatif dan luas daun spesifik cenderung lebih tinggi pada cekaman genangan air dan menurun pada cekaman kekeringan. Hasil ini secara jelas memberi indikasi bahwa bibit jabon lebih adaptif terhadap cekaman genangan air dari pada terhadap cekaman kekeringan. Provenansi Kampar, OKI, Gowa dan Kuala Kencanamenunjukkan pertumbuhan yang lebih baik terhadap cekaman genangan air, yang memberi indikasi provenansi-provenansi tersebut cocok untuk disebarkan ke tapak-tapak yang sering mengalami banjir atau genangan air. Sementara, provenansi Gowa, Pomalaa, Kampar dan Batu Hijau memberikan pertumbuhan yang lebih baik, yang memberi indikasi provenansi tersebut mempunyai potensi yang lebih baik ketika ditransfer ke daerah-daerah yang agak kering. Kata kunci: Neolamarckia cadamba, adaptasi, AFLP, benih, bibit, genangan, kekeringan, keragaman genetik, morfologi, uji provenansiketurunan.
SUMMARY DEDE JAJAT SUDRAJAT. Population Diversity, Provenance and Adaptability Test of Jabon (Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser). Supervised by ISKANDAR Z. SIREGAR, NURUL KHUMAIDA, ULFAH J. SIREGAR dan IRDIKA MANSUR.
Jabon [Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser, synonym Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq., Anthocephalus chinensis (Lamk.), family Rubiaceae)] is a native fast-growing and multipurpose tree species. This species produces timber for multiple end uses (light construction, pulp, plywood, furniture, and particle board) and other parts of this tree can be further processed for perfume and medical purpose. It has broad geographic ranges and is distributed almost in the whole islands of Indonesia, indicating that the species has high levels of adaptation and genetic variation. At the present, jabon plays an important role in both commercial and traditional plantation systems in several sites in Indonesia. The high interest on jabon plantation activities is not yet supported by availability of high quality seeds, so initiation of tree improvement program for producing high quality seeds by exploration of genetic materials, assessing of genetic diversity, establishment of breeding population, and adaptation test is needed. The general purpose of this study was to assess the morphological and genetic diversity, and adaptability of jabon provenances to drought and waterlogging stresses. Specifically, the study has four objectives that include the following: (1) to characterize the site, fruit, seed, and seedling diversity of jabon from several population; (2) to quantify seedling morphological and genetic diversities based on AFLP markers on several families of jabon; (3) to identify genetic parameters of early growth on the provenance-progeny test of jabon at Limbangan, Garut and Parungpanjang, Bogor, West Java; and (4) to assess the adaptability of jabon seedling from several populations/provenances to the drought and waterlogging stress. The result of the sub-research 1 using 11 populations of jabon distributed in Sumatera (3 populations), Java (3 populations), Kalimantan (2 populations), Sulawesi (2 populations) and Sumbawa (1 population), revealed that jabon naturally distributed in the wide range of site conditions. Evolutionary, the differences of climate and site influenced the level of genetic diversity of jabon, included morphophysiological characteristics of seed and seedling that showed significant differences among populations. Most of the seed and seedling characters showed not significant correlation with geoclimate variables of the populations. Percentage of genotypic coefficient of variance for all of the parameters was found higher than percentage of environmental coefficient of variation. This study also revealed high percentage of broad sense heritability for all characters indicating that genotype component was broadly contributed on the total of variation for seed and seedling morphophysiological characteristics. Fruit weight, germination capacity, germination speed, seedling height and sturdiness index showed high heritability value and high genetic gain indicating that the characters can be used as indicators for selection of best population. PCA and
hierarchical cluster analysis of various traits of fruit, seed and seedling grouped all provenances into 4 groups. Provenance concept is useful to explain result of clustering in this study. Group 1 (Kapuas and Batu Licin), group 2 (Pomalaa and Gowa) and 4 (Rimbo Panti) might be consisting of true provenances from the area, as it clustered according to their geographical origins. Group 3 (Kampar, OKI, Garut, Nusa Kambangan, Alas Purwo and Batu Hijau) on the other hand might be consisting of mixture of some provenances, indicating the recent origin of those populations due to some high reforestation activities in Sumatera, Java, and Sumbawa islands. In the family level, variability was analyzed by using 31 families from 4 populations representing different islands, i.e. Kampar (Sumatera), Nusa Kambangan (Java), Kapuas (Kalimantan) and Pomalaa (Sulawesi). The result showed that populations and families within each population were significantly different for all seedling morphological characteristics. Additive genetic variation values ranged from 16.16% (leaf number) to 32.39% (sturdiness index). Heritability values ranged from 0.44 (seedling height) to 0.95 (diameter). Genetic diversity based on seedling morphology and AFLP markers indicated that Kampar population had lower genetic diversity than other populations. AFLP analysis revealed that the highest genetic diversity was detected in population Kapuas (He = 0.3339, I = 0.4894), followed by Pomalaa population (He = 0.2270, I = 0.3394) and Nusa Kambangan population (He = 0.1940, I = 0.2904). Genetic differentiation based on seedling morphological traits could be categorized as moderate to high (Qst = 0.14 - 0.45). Similar trend was observed by analysis AFLP that showed relatively high genetic diversity among population (Gst = 0.2707). Hierarchical cluster analysis based on morphological traits and UPGMA dendogram based on AFLP markers showed the resemblance pattern. The result also could be concluded that the genetic variability of the studied jabon accessions is structured according to the origin and the greater number of the population should be sampled to increase the genetic diversity. The results were used as basic data for selection of families and developing of the provenance-progeny trials design. Provenance-progeny trials established by using 105 families from 12 populations (addition of one population from Papua) showed that genetic parameters on early growth of jabon estimated in open-pollinated provenanceprogeny tests revealed significant differences among the provenances and families within provenances in term of for height and collar diameter at all sites, except the collar diameter of among provenances at Parungpanjang site. The evaluation of component of variance at the both sites showed that provenance effects (ranging from 0.5% to 1.7%) contribute more to total variance than family within provenance effects (ranging from 0.4% to 0.6%). The genetic correlations between height and collar diameter were weak to moderate. Family heritabilities were relatively higher than individual heritabilities indicating the possibility of greater gains with selection among families rather than mass selection. However, heritabilities were low to moderate and not yet stable for all traits at the both sites, indicating that possibility of genetic gains with selection is limited and selection should be done until the heritabilities reached relatively high and stable values. Generally for fast growing species, the relatively stable values of heritability are reached at 2-3 years old stand.
Adaptation test of jabon seedlings on the drought and waterlogging stress using similar provenances with the sub-research 3, showed that the adaptive responses of jabon seedling to drought and waterlogging stress were affected by genotype (provenance). The drought and waterlogging stress significantly inhibited seedling growth, affected biomass accumulation and allocation, decreased leaf area and chlorophyll content, increased carotenoids contents, and accumulated free proline. Relative water content and specific leaf area tended to higher in waterlogging and declined in drought stress. The result clearly indicated that jabon seedlings were more adaptive to waterlogging than to drought stress. Moreover, there were different responses to drought and waterlogging stress among the twelve provenances. Kampar, OKI, Gowa and Kuala Kencana provenance exhibited higher performance to waterlogging stress indicating that the provenances are suitable to transfer to the high frequency flooded or waterlogged sites. Gowa, Pomalaa, Kampar and Batu Hijau provenances had relatively better growth performance at the drought stress, indicating that provenances more survive when they are transferred to the rather dry sites. Keywords: Neolamarckia cadamba, adaptation, AFLP, drought, genetic variation, morphology, provenance-progeny test, seed, seedling, waterlogging.
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KERAGAMAN POPULASI, UJI PROVENANSI DAN ADAPTASI JABON (Neolamarckia cadamba (Roxb.) BOSSER)
Dede Jajat Sudrajat E 461100031
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji pada ujian tertutup
: 1. 2.
Dr. Ir. Supriyanto, DEA. Prof.Ris. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si.
Penguji pada ujian terbuka
: 1. 2.
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Bedjo Santoso, M.Si.
PRAKATA
Alhamdulillahi Robbil Alamin, penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT, atas segala rahmat-Nya, sehingga karya ilmiah yang berjudul: Keragaman Populasi, Uji Provenansi dan Adaptasi Jabon (Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser), dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 hingga bulan Juni 2014 di Laboratorium Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman SEAMEO BIOTROP, Laboratorium Teknologi Benih Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Laboratorium Bioteknologi dan Laboratorium Mikro Teknik Departemen Agronomi dan Hotikultur Fakultas Pertanian IPB, Laboratorium Bioteknologi LIPI dan di dua lokasi uji penanaman, yaitu Hutan Penelitian Parungpanjang, Bogor dan Desa Neglasari Kecamatan Blubur Limbangan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Sebagian dari disertasi ini telah dan akan diterbitkan pada 2 jurnal nasional terakreditasi LIPI, yaitu Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, Vol. 11 No. 1 tahun 2014 (terbit) dan Jurnal Wallaceae (review 2), serta 4 jurnal internasional terindeks Scopus, yaitu Asia Pasific Journal of Molecular Biology and Biotechnology (accepted Volume 22, Issue 3, 2015), Journal of Forest Science and Technology (accepted DOI: 10.1080/21580103.2015.1007896), Agrivita Journal of Agriculture Science (review 2) dan Journal of Biotropia (review 1). Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada yang terhormat: Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc., selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.S., Dr. Ir. Ulfah J. Siregar, M.Agr., dan Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc., masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas kerelaannya dalam membekali penulis dengan ilmu pengetahuan, saran, koreksi dan motivasi sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan. Kerelaan dan keikhlasan tersebut sungguh merupakan suatu hal yang tidak bisa dinilai dengan material. Dalam kesempatan ini, penulis hanya mampu memanjatkan doa kepada Allah SWT, semoga semuanya dapat bernilai ibadah di sisi Allah dan mendapatkan pahala yang setimpal dari-Nya. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, juga penulis sampaikan kepada semua penguji luar komisi, baik dalam ujian tertutup (Dr. Ir. Supriyanto, DEA. dan Prof. Ris. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si.) maupun dalam ujian terbuka (Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. dan Dr. Ir. Bedjo Santoso, M.Si.). Saran-saran perbaikan dari beliau-beliau ini sangat bermakna dalam penyempurnaan karya tulis ini. Melalui kesempatan ini, penulis juga sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Kepala Badan Litbang Kehutanan, Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan dan Kepada Kepala Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, atas kesempatan dan dukungan dana yang telah diberikan kepada penulis dalam mengikuti Program Doktor di Program Studi Silvikultur Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Melalui disertasi ini, penulis juga tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Direktur SEAMEO BIOTROP atas bantuan dana penelitiannya melalui program “Research Grant for the PhD Students No. 047.20/PSRP/ST-PNLT/III/2012” dan fasilitas
laboratoriumnya, Pimpinan PT. Arutmin Indonesia, Pimpinan PT. Vale Indonesia, Pimpinan PT. Newmont Indonesia dan Pimpinan PT. Dasa Intiga atas bantuan akomodasi selama eksplorasi materi genetik. Terima kasih disampaikan juga kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Garut dan Kepala Desa Neglasari, Kecamatan Blubur Limbangan, Garut atas kerjasama dan bantuannya dalam pembangunan demplot uji provenansi-keturunan di Limbangan, Garut. Terima kasih juga diucapkan kepada rekan-rekan mahasiswa S2 dan S3 di Program Studi Silvikultur Tropika dan semua pihak yang membantu dalam pelaksanaan penelitian ini, baik di lapangan maupun di laboratorium. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga secara khusus penulis sampaikan kepada keluarga besar penulis. Terima kasih yang sangat dalam kepada Ayahanda tercinta (Bapak Tahya Suryana) dan Ibunda (Alm. Ibu Watmi Suhaemi) yang sangat berjasa dalam membesarkan, mendidik dan membentuk karakter penulis, semoga Ibunda mendapatkan tempat yang baik di sisi Allah. Tak lupapenulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu dan bapak mertua (Ibu Hj. Ii Helawati, S.Pd. dan Bapak H. Engkos Kosasih) yang telah banyak memberikan motivasi dan pelajaran hidup yang berharga. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada orang terdekat yaitu istri tercinta, Ns. Wiati Marliah, S.Kep. dan anak-anak tersayang, Naila Nur Fauziah dan M. Khairy Dzaky Sudrajat yang secara utuh memberikan dukungan, do’a dan motivasi dalam menyelesaikan program S3 ini. Semoga semuanya dapat berperan sebagai penguat keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah yang sudah dibina selama ini. Khusus kepada anak-anakku tersayang, semoga semuanya ini dapat menjadi motivator untuk menggapai pendidikan yang setinggi-tinggi di masa depan, amiin.
Bogor,
Januari 2015
Dede Jajat Sudrajat
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan Penelitian 1.3. Hipotesis 1.4. Manfaat Penelitian 1.5. Ruang Lingkup Penelitian 1.6. Keterbaruan 2. KARAKTERISTIK DAN KERAGAMAN TAPAK, BENIH DAN BIBIT 11 POPULASI JABON 2.1. Pendahuluan 2.2. Bahan dan Metode 2.2.1. Bahan 2.2.2. Pengumpulan data lapangan 2.2.3. Pengukuran karakteristik buah dan benih 2.2.4. Uji perkecambahan dan karakteristik semai 2.2.5. Pengukuran karakteristik bibit 2.2.6. Analisis data 2.3. Hasil dan Pembahasan 2.3.1. Hasil 2.3.1.1. Karakteristik tapak 2.3.1.2. Karakteristik benih dan bibit 2.3.1.3. Korelasi antar karakter benih, bibit dan faktor geoklimat 2.3.1.4. Keragaman, koefisien keragaman dan heritabilitas 2.3.2. Pembahasan 2.3.2.1. Karakteristik tapak 2.3.2.2. Karakteristik benih dan bibit 2.3.2.3. Korelasi antar karakter benih, bibit dan faktor geoklimat 2.3.2.4. Keragaman, koefisien keragaman dan heritabilitas 2.4. Simpulan 3. KERAGAMAN MORFOLOGI BIBIT DAN GENETIK JABON BERDASARKAN PENANDA AFLP 3.1. Pendahuluan 3.2. Bahan dan Metode 3.2.1. Bahan 3.2.2. Analisis keragaman morfologi bibit 3.2.3. Analisis AFLP 3.3. Hasil dan Pembahasan 3.3.1. Hasil 3.3.1.1. Keragaman morfologi bibit 3.3.1.2. Keragaman genetik berdasarkan penanda AFLP
1 1 3 3 4 4 5 7 7 8 8 9 10 10 11 11 12 12 12 13 15 18 19 19 20 21 22 23 25 25 26 26 26 29 31 31 31 34
3.3.2. Pembahasan 3.3.2.1. Keragaman di dalam populasi 3.3.2.2. Keragaman antar populasi 3.3.2.3. Famili-famili potensial 3.4. Simpulan 4. PARAMETER GENETIK PERTUMBUHAN AWAL UJI PROVENANSI-KETURUNAN JABON 4.1. Pendahuluan 4.2. Bahan dan Metode 4.2.1. Bahan 4.2.2. Persiapan bibit dan rancangan penelitian 4.2.3. Analisis data 4.3. Hasil dan Pembahasan 4.3.1. Hasil 4.3.2. Pembahasan 4.4. Simpulan 5. ADAPTASI BIBIT JABON TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DAN GENANGAN AIR 5.1. Pendahuluan 5.2. Bahan dan Metode 5.2.1. Bahan 5.2.2. Persiapan bibit dan rancangan penelitian 5.2.3. Pengukuran karakteristik pertumbuhan bibit 5.2.4. Pengukuran kadar air relatif, kerapatan stomata, dan anatomi daun 5.2.5. Analisis kandungan pigmen dan prolina 5.2.6. Analisis data 5.3. Hasil dan Pembahasan 5.3.1. Hasil 5.3.1.1. Karakteristik pertumbuhan dan produksi berat kering 5.3.1.2. Luas daun, kadar air relatif dan karakteristik anatomi daun 5.3.1.3. Kerapatan stomata, kandungan pigmen dan prolina 5.3.1.4. Indeks toleransi cekaman dan pola keragaman adaptasi 5.3.1.5. Pola keragaman daya adaptasi provenansi 5.3.2. Pembahasan 5.3.2.1. Respon morfofisiologi provenansi jabon 5.3.2.2. Perbandingan antar provenansi 5.4. Simpulan 6. PEMBAHASAN UMUM 7. SIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
37 37 39 40 40 42 42 43 43 43 45 46 46 49 51 52 52 53 53 53 55 55 56 56 57 57 57 60 62 64 66 67 67 71 72 73 78 80 93
DAFTAR TABEL
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 3.1 3.2 3.3 3.4
3.5 3.6 3.7 4.1 4.2 4.3 4.4
4.5
4.6
4.7
4.8
5.1
Letak geografis provenansi/populasi yang diteliti Karakteristik geoklimat dan hasil analisis tanah 11 populasi jabon Karakter morfofisiologi benih dan bibit (𝑥 ± SD) dari 11 populasi jabon Korelasi sederhana antar karakter benih dan bibit jabon Korelasi sederhana antar karakter benih dan bibit dan faktor geoklimat Keragaman, koefisien keragaman populasi dan lingkungan serta heritabilitas karakter benih dan bibit jabon Distribusi geografis populasi dan jumlah sampel yang diteliti Daftar karakteristik morfologi bibit yangn diuji Karakter morfologi bibit jabon Ragam genetik aditif, koefisien keragaman aditif, heritabilitas dan differensiasi genetik karakter pertumbuhan jabon umur 4 bulan di persemaian Keragaman genetik di dalam populasi famili jabon berdasarkan marka APLF Jarak genetik Nei’s (diagonal bawah) dan jarak geografis dalam kilometer (diagonal atas) antar populasi jabon Keragaman genetik jabon dibandingkan dengan jenis tanaman hutan tropis dan subtropis yang dianalisis dengan penanda AFLP Deskripsi geografis 12 populasi dan jumlah family yang diuji Karakteristik tapak uji provenansi-keturunan jabon Kuadrat tengah tinggi dan diameter pada uji provenansi-keturunan jabon umur 12 bulan di dua lokasi di Jawa Barat Persen hidup dan pertumbuhan provenansi jabon umur 12 bulan di dua lokasi di Jawa Barat (nomor di dalam kurung menunjukkan rangking) Sepuluh famili terbaik berdasarkan parameter tinggi dan diameter (di dalam kurung) pada uji provenansi-keturunan jabon umur 12 bulan di dua lokasi di Jawa Barat Komponen keragaman total dan kontribusi relatif (angka di dalam kurung) sumber keragaman terhadap keragaman total pertumbuhan awal uji provenansi-keturunan jabon umur 12 bulan di dua lokasi di Jawa Barat Koefisien korelasi genetik (diagonal atas) dan fenotipik (diagonal bawah) antar parameter pada uji provenansi-keturunan jabon umur 12 bulan di dua lokasi di Jawa Barat Pendugaan heritabilitas individu dan famili pertumbuhan awal uji provenansi-keturunan jabon umur 12 bulan di dua lokasi di Jawa Barat Letak geografis dan karakteristik tegakan/populasi yang diteliti
9 13 14 16 17 18 26 28 32
33 35 36 39 43 44 46
47
47
48
48
48 54
5.2
Tinggi, diameter pangkal akar, akumulasi berat kering, rasio akarpucuk, panjang akar, jumlah daun bibit jabon di bawah kondisi control, cekaman genangan air dan kekeringan 5.3 Luas daun, luas daun spesifik, kadar air relatif dan karakteristik anatomi daun bibit jabon pada kondisi kontrol, cekaman genangan air dan kekeringan 5.4 Kerapatan stomata, kandungan klorofil, karoten, dan prolina bibit jabon pada kondisi kontrol, cekaman genangan air dan kekeringan 5.5 Evaluasi indeks sensitivitas (rangking sensitivitas) 12 provenansi jabon terhadap cekaman kekeringan dan genangan air 5.6 Evaluasi indeks toleransi (rangking toleransi) 12 provenansi jabon terhadap cekaman kekeringan dan genangan air 6.1. Status kesuburan tanah pada 11 populasi jabon (PPT, 1983) 6.2. Posisi provenansi jabon pada kuadran biplot hasil analisis PCA dan rata-rata nilai ISC dan ITC dalam hubungannya dengan daya adaptasinya terhadap cekaman kekeringan dan genangan air
56
61 63 65 66 73
76
DAFTAR GAMBAR 1.1. Kerangka pikir penelitian 2.1 Distribusi geografis 11 populasi jabon yang diuji 2.2 Populasi alami jabon (a) dan pohon induk/pohon plus (b) setelah dibandingkan dengan pohon di sekitarnya di Cagar Alam Nusa Kambangan 2.3 Buah, benih, kecambah dan bibit jabon 2.4 Karakter morfofisiologi benih dan bibit dalam hubungannya dengan letak lintang, bujur dan suhu rata-rata tahunan 2.5 Pengelompokkan populasi jabon berdasarkan analisis PCA dan analisis klaster berdasarkan morfofisiologi benih dan bibit 3.1 Tata letak bibit dan pengukuran parameter morfologi bibit 3.2 Seleksi pasangan primer untuk analisis AFLP jabon 3.3 Kekerabatan famili jabon pada tingkat bibit berdasarkan morfologinya di persemaian 3.4 Contoh cetakan AFLP 31 famili jabon dengan menggunaka primer 21 3.5 Jarak genetik dengan jarak geografis tidak berkorelasi nyata 3.6 Pola kekerabatan 4 populasi jabon berdasarkan jarak genetik Nei’s dengan metode UPGMA 3.7 Pola kekerabatan genetik antar famili jabon dari 4 populasi dengan metode UPGMA 4.1 Bibit siap tanam di persemaian (a), pengangkutan bibit di lapangan (b), penanaman (c) dan tanaman umur 1 tahun di Parungpanjang, Bogor (d) 5.1 Keragaman bibit jabon pada perlakuan control (a), genangan air (b), kapasitas air lapang 50%, dan kapasitas air lapang 25% 5.2 Jumlah akar adventif dan lentisel untuk setiap provenansi pada perlakuan genangan air 5.3 Penampilan bibit, kerapatan stomata dan pola perwarnaan pengujian prolina pada 4 perlakuan ketersediaan air 5.4 Penurunan nilai parameter kondisi cekaman (%) terhadap kontrol 5.5 Biplot pengelompokkan adaptasi populasi jabon berdasarkan parameter pertumbuhan bibit dengan menggunakan analisis PCA
6 8
9 10 17 19 27 30 34 35 36 36 37
44 59 60 64 65 67
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar famili yang digunakan dalam pembangunan uji provenansiketurunan 2. Peta tanaman uji provenansi-keturunan di Limbangan, Garut 3. Peta tanaman uji provenansi-keturunan di Parungpanjang, Bogor 4. Riwayat Hidup
93 94 95 96
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kapasitas industri pengolahan kayu nasional pada tahun 2013 mencapai 70 juta m per tahun, yang terdiri dari 38.8 juta m3 kapasitas industri tunggal dan 31.2 juta m3 kapasitas industri terintegrasi. Realisasi penggunaan bahan baku pada tahun 2013 mencapai 60.4 juta m3 per tahun yang berasal dari kawasan hutan tanaman industri dan hutan alam sebesar 23.2 juta m3 (38.4%) dan sebagian besar sisanya berasal dari Perum Perhutani, hutan rakyat, ijin lain yang sah, perkebunan dan impor kayu bulat (Ditjen Bina Usaha Kehutanan 2014). Data tersebut menunjukkan adanya kekurangan bahan baku untuk memenuhi kapasitas industri terpasang dan bukan tidak mungkin bila produksi kayu bulat dalam negeri menurun maka volume impor berpotensi makin tinggi. Untuk meningkatkan produksi, penerapan silvikultur intensif dengan pemilihan jenis yang tepat, penggunaan bibit unggul, manipulasi tapak dan pengendalian hama dan penyakit sangat mutlak dilakukan. Banyaknya jenis pohon yang tumbuh di Indomesia memberikan keuntungan sekaligus tantangan untuk memilih jenis yang potensial secara ekonomi dan mudah dibudidayakan secara lestari. Selain itu, jenis-jenis potensial tersebut dapat menjadi jenis alternatif untuk menggantikan beberapa jenis yang telah didomestikasi lebih dahulu yang pada saat ini mendapat ancaman hama dan penyakit yang serius seperti sengon, akasia dan jenis lainnya. Pengembangan jenis-jenis alternatif ini juga dapat meningkatkan keberhasilan program penanaman dan rehabilitasi lahan karena tersedianya pilihan jenis yang memiliki kesesuaian dengan tipe tapak yang menjadi objek kegiatan penanaman dan rehabilitasi lahan. Jabon [Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser, sinonim Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq., Anthocephalus chinensis (Lamk.), famili Rubiaceae)] merupakan salah satu jenis potensial asli Indonesia yang cepat tumbuh dan multiguna. Jabon dapat digunakan untuk kayu lapis, konstruksi, pulp, papan serat, papan partikel (Soerianegara dan Lemmens 1993; Kartawinata 1994) dan bahan obat-obatan seperti penghilang rasa sakit, radang, penurun demam (Modal et al. 2009), anti mikroba (Acharyya et al. 2011) dan anti bakteri (Mishra dan Siddique 2011). Menurut Wong (1989), jabon pertama kali dibudidayakan di Indonesia pada tahun 1933. Pada saat ini jabon sudah banyak ditanam dalam skala besar di beberapa daerah seperti Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah dan juga dalam skala kecil dalam bentuk hutan rakyat terutama di Jawa dan Kalimantan Selatan (Nair dan Sumardi 2000; Kallio et al. 2011; Krisnawati et al. 2011; Irawan dan Purwanto 2014). Meningkatnya intensitas budidaya jabon memerlukan dukungan program pemuliaan untuk mendapatkan benih unggul sehingga program budidayanya memberikan produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan. Untuk meningkatkan efektivitas pembangunan populasi pemuliaan, informasi keragaman populasi dan struktur genetik pada sebaran alami jenis target sangat diperlukan (Zobel dan Talbert 1984; Bawa dan Krugman 1990; Johnson et al. 2001; Ayele et al. 2011) sehingga materi genetik yang dikumpulkan mampu mewakili keragaman yang 3
2
terdapat pada sebaran alaminya (Johnson et al. 2001; White et al. 2007). Jabon secara alami tersebar luas di hutan hujan dataran rendah di Asia yang menyebar dari India, Nepal, Burma, Sri Langka dan Malaysia hingga Indonesia dan Filipina serta New Guinea (Lamprecht 1989; Orwa et al. 2009). Di Indonesia, jabon tersebar hampir di seluruh pulau, seperti Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua (Krisnawati et al. 2011). Teori evolusi menduga bahwa jenis dengan sebaran luas akan memiliki tingkat keragaman genetik yang luas. Penelitian ini dapat menjawab apakah distribusi geografis dan kisaran tipe tapak yang luas berasosiasi dengan keragaman morfofisologi benih dan bibit jabon. Karakteristik keragaman fenotipe berdasarkan pola geografis populasi alami merupakan langkah pertama yang mendasar untuk menduga kemungkinan pola keragaman genetik, adaptasi sifat-sifat khusus dan respon plastis terhadap lingkungan yang berbeda. Selain itu, kajian keragaman genetik yang berdasarkan penanda molekuler DNA juga telah secara luas diterapkan pada jenis-jenis tanaman hutan (Glaubitz dan Moran 2000; White et al. 2007). Beberapa penelitian keragaman genetik untuk jenis jabon telah dilakukan dengan menggunakan allozyme pada populasi jabon di Kalimantan Timur (Mardiningsih 2002) dan simple sequence repeats pada populasi jabon di Serawak (Phui et al. 2008; Seng et al. 2010). Mardiningsih (2002) melaporkan bahwa keragaman dalam populasi jabon cukup besar, sedangkan Phui et al. (2008) dan Seng et al. (2010) mengemukakan bahwa antar populasi jabon di serawak terdapat hubungan yang kuat. Hal ini diduga berhubungan dengan sebaran sampel yang sempit, yaitu di Kenangan dan Serawak, Kalimantan sehingga kemungkinan antar populasi masih berkerabat. Salah satu teknik yang cukup potensial dan efektif untuk studi keragaman genetik adalah Amplified Fragment Length Polymorphisms (AFLP) (Glaubitz dan Moran 2000; Bonin et al. 2007). Dalam penelitian ini, analisis AFLP digunakan untuk mengkaji keragaman genetik beberapa famili jabon dari beberapa populasi dari pulau berbeda. Informasi keragaman dan struktur genetik populasi sangat diperlukan dalam pengumpulan materi genetik untuk pembangunan populasi pemuliaan (White et al. 2007) sehingga populasi pemuliaan tersebut memiliki keragaman luas dan cukup memadai untuk dilakukan seleksi dalam rangka mendapatkan materi tanaman unggul. Uji provenansi dengan melibatkan jumlah provenansi yang memadai memungkinkan untuk menjaga dan memisahkan keturunan dari setiap pohon induk. Uji provenansi-keturunan ini dapat digunakan untuk mengamati keturunan induk tunggal (half-sib families) dalam suatu uji provenansi (Zheng et al. 1994; Sebbenn et al. 2003; Finkeldey 2005). Uji ini memungkinkan untuk mengkombinasikan uji provenansi, uji keturunan, dan produksi benih serta konservasi eksitu dalam satu uji coba tunggal. Program pemuliaan jabon tidak hanya diperlukan untuk tapak-tapak yang optimal tetapi juga untuk mengembangkan pohon-pohon yang cocok untuk tapaktapak marjinal. Kompetisi penggunaan lahan yang terus meningkat dan menurunnya kualitas lahan di beberapa lokasi telah memaksa operasional kehutanan bergeser dari lahan produktif ke lahan marjinal. Marjinalitas lahan juga akan makin meningkat dengan adanya fenomena perubahan iklim yang mempengaruhi kondisi cuaca secara ekstrim yang berdampak pada timbulnya ancaman kekeringan dan banjir pada sebagian wilayah Indonesia (Tim Sintesis
3
Kebijakan Departemen Pertanian 2008). Kondisi ini akan mengancam keberhasilan kegiatan penanaman termasuk untuk jenis jabon yang telah banyak ditanam pada berbagai tipe lahan, baik lahan kering maupun lahan basah. Secara umum, jabon memerlukan tanah yang lembab, berdrainase baik dan subur (input yang tinggi terhadap air dan hara). Beberapa studi menunjukkan bahwa jenis ini kurang cocok untuk rehabilitasi lahan kritis (Voukko dan Otsamo 1996), tidak mampu tumbuh optimal pada tanah dengan kandungan air rendah (Soetrisno 1996) atau kedalaman air tanah yang dangkal (Mansur dan Surahman 2011), namun di beberapa lokasi dilaporkan juga adanya populasi atau provenansi yang mampu tumbuh pada kondisi marjinal seperti lahan kering atau tergenang air (Martawijaya et al. 1989; Soerianegara dan Lemmens 1993). Informasi tentang respon suatu populasi atau provenansi terhadap cekaman kekeringan dan genangan air ini dapat dijadikan dasar dalam penyusunan pedoman transfer benih (Wang et al. 1998), pemilihan provenansi potensial untuk tapak-tapak yang spesifik, dan juga sebagai salah satu strategi adaptasi terhadap perubahan iklim (Rehfeldt et al. 2006; Millar et al. 2007).
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman morfologi, genetik dan daya adaptasi jabon terhadap cekaman kekeringan dan genangan air. Secara lebih spesifik tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Mengkarakterisasi keragaman tapak, buah, benih dan bibit jabon dari 11 populasi. 2. Mengkuantifikasi keragaman morfologi bibit dan genetik berdasarkan penanda AFLP beberapa famili jabon dari 4 populasi. 3. Mengidentifikasi parameter genetik pertumbuhan awal uji provenansiketurunan jabon di Parungpanjang, Bogor dan Limbangan, Garut, Jawa Barat. 4. Mengkaji kemampuan adaptasi 12 provenansi jabon terhadap cekaman kekeringan dan genangan air.
1.3 Hipotesis
1. 2. 3. 4.
Hipotesis dari penelitian ini adalah: Jabon memiliki karakteristik tapak, buah, benih, dan bibit yang berbeda antar populasi. Jabon mempunyai keragaman morfologi dan genetik antar populasi dan di dalam populasi yang luas. Pertumbuhan awal uji provenansi-keturunan jabon memiliki keragaman genetik yang luas pada tingkat provenansi dan famili. Provenansi jabon dari berbagai sebaran geografis memiliki perbedaan daya adaptasi awal (pada tingkat bibit) terhadap cekaman kekeringan dan genangan air serta ada provenansi tertentu yang adaptif terhadap kondisi-kondisi cekaman tersebut.
4
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang berupa informasi keragaman karakteristik tapak jabon memberi kontribusi dalam pemilihan lokasi untuk budidaya jabon. Informasi keragaman morfofisiologi dan genetik beberapa populasi (provenansi) jabon memberikan manfaat sebagai data dasar untuk kegiatan pengumpulan materi genetik untuk program konservasi dan pembangunan populasi pemuliaan. Demplot uji provenansi-keturunan yang telah dibangun dapat dikonversi menjadi sumber benih (kebun benih semai uji keturunan) berdasarkan informasi parameter genetik dari uji tersebut. Benih-benih dari kebun benih tersebut akan mampu meningkatkan produktivitas hutan tanaman. Hasil lainnya adalah informasi daya adaptasi awal bibit jabon dari 12 provenansi terhadap cekaman kekeringan dan genangan air yang dapat dijadikan pertimbangan untuk penyusun pedoman transfer benih, khususnya untuk daerah-daerah kering dan/atau rawan tergenang air.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dengan judul “Keragaman populasi, uji provenansi dan adaptasi jabon (Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser)” terdiri dari 4 (empat) sub penelitian yang berhubungan dengan keragaman tapak, keragaman morfologi dan molekuler, pertumbuhan awal uji provenansi-keturunan dan keragaman adaptasi beberapa provenansi jabon. Sub-sub penelitian tersebut merupakan kegiatan yang berangkai yang dimulai dari eksplorasi benih dari beberapa pohon induk pada sebaran alami jabon, analisis keragaman morfologi, analisis molekuler, pembangunan uji provenansi-keturunan dan uji adaptasi. Informasi keragaman karakteristik tapak, morfofisiologi buah, benih dan bibit antar populasi merupakan informasi awal yang sangat mendasar untuk menyatakan hipotesa tentang kemungkinan pola keragaman genetik, karakterkarakter khusus yang secara nyata beradaptasi dan respon plastis terhadap gradien lingkungan. Pada penelitian ini, kajian keragaman tapak, buah, benih dan bibit dilakukan pada 11 populasi di Indonesia (sub penelitian 1, Bab II), yaitu populasi Rimbo Panti (Sumatera Barat), Kampar (Riau), Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan), Garut (Jawa barat), Nusa Kambangan (Jawa Tengah), Alas Purwo (Jawa Timur), Kapuas (Kalimantan Tengah), Batu Licin (Kalimantan Selatan), Gowa (Sulawesi Selatan), Pomalaa (Sulawesi Tenggara) dan Batuhhijau (Sumbawa). Kajian difokuskan pada perbedaan kondisi tapak (geoklimat dan tingkat kesuburan tapak), keragaman morfologi buah, keragaman morfologi dan fisiologi benih dan bibit, heritabilitas beberapa karakteristik morfofisiologi benih dan bibit, serta korelasi antar karakter dan korelasi karakter dengan faktor-faktor geoklimat. Pada tingkat famili, analisis keragaman dilakukan pada tingkat famili di dalam populasi dan antar populasi dengan menggunakan penanda morfologi dan analisis molekuler AFLP (sub penelitian 2, Bab III). Kedua analisis ini menggunakan 31 sampel yang mewakili 4 populasi yang tumbuh di empat pulau, yaitu populasi Kampar (Sumatera), Nusa Kambangan (Jawa), Kapuas (Kalimantan) dan Pomalaa (Sulawesi). Kajian keragaman genetik ini dijadikan salah satu dasar dalam pemilihan famili yang akan digunakan dalam
5
pembangunan populasi pemuliaan (uji provenansi-keturunan) yang menjadi topik pada sub pebelitian 3 (Bab IV). Pada pembangunan uji provenansi-keturunan, jumlah provenansi yang digunakan sebanyak 12 populasi (tambahan satu populasi dari Kuala Kencana, Papua) dengan melibatkan 105 famili. Uji ini dibangun di dua lokasi, yaitu Limbangan, Garut dan Parungpanjang, Bogor, Jawa Barat dengan menggunakan rancangan acak lengkap blok (sub penelitian 3, Bab IV)). Parameter genetik yang dievaluasi terdiri dari keragaman genetik, nilai heritabilitas, korelasi fenotipik dan genetik antara karakter pertumbuhan awal jabon. Uji daya adaptasi jabon dilakukan dengan simulasi uji cekaman kekeringan dan genangan air dengan melibatkan 12 populasi (populasi yang sama pada sub penelitian 3) dengan menggunakan 4 perlakuan, yaitu kontrol (disiram optimal), genangan air (3-5 cm), kapasitas lapang air tanah 50% dan kapasitas lapang air tanah 25%. Parameter morfologi, anatomi, dan fisiologi bibit diamati selama 4 bulan untuk mengetahui respon setiap populasi atau provenansi terhadap kedua cekaman tersebut (sub penelitian 4, Bab V). Kerangka pikir dalam penelitian ini didasarkan pada permasalahan masih rendahnya produktivitas hutan tanaman dan hutan rakyat serta adanya serangan hama penyakit terhadap beberapa jenis yang telah didomestikasi lebih awal seperti serangan boktor dan karat puru pada tanaman sengon. Kondisi tersebut memerlukan jenis alternatif dengan pertumbuhan cepat, multiguna, potensial secara ekonomi dan banyak diminati untuk dibudidayakan. Salah satu jenis tersebut adalah jabon. Namun pengembangan jabon tersebut juga belum didukung program konservasi dan pemuliaan yang memadai sehingga dapat mendukung keberlanjutan budidaya dan peningkatan produktivitasnya. Inisiasi program pemuliaan dilakukan melalui kajian keragaman genetik, uji provenansi-keturunan dan uji cekaman jabon yang terdiri atas 4 sub penelitian, yaitu (1) keragaman karakteristik tapak, buah, benih dan bibit jabon dari 11 populasi, (2) keragaman morfologi bibit dan genetik beberapa famili jabon, (3) parameter genetik pertumbuhan awal uji provenansi-keturunan jabon di Limbangan, Garut dan Parungpanjang, Bogor dan (4) daya adaptasi 12 provenansi jabon terhadap cekaman kekeringan dan genangan air (Gambar 1.1). Diharapkan dari keempat sub penelitian ini mampu mengisi kesenjangan antara tingginya minat masyarakat untuk menanam jabon dengan informasi karakteristik tapak, ketersediaan materi tanaman yang unggul dan informasi daya adaptasi jabon terhadap kekeringan dan genangan air dalam rangka mendukung terbangunnya hutan tanaman jabon yang produktif dan berkelanjutan.
1.6 Keterbaruan Studi mengenai karakteristik tapak, buah, benih, bibit jabon dan keragaman genetiknya berdasarkan morfologi dan teknik molekulear AFLP di Indonesia belum tersedia sehingga informasi tersebut merupakan salah satu keterbaruan dalam penelitian ini untuk mengisi gap informasi antara populasi dasar dan populasi pemuliaan yang akan dibangun. Keterbaruan lainnya juga diperoleh dari informasi parameter genetik pertumbuhan awal uji provenansiketurunan jabon yang menggambarkan bagaimana potensi genetik masing-masing
6
provenansi dan famili dalam hubungannya dengan keunggulannya dalam pertumbuhan. Respon morfofisiologi dan kemampuan adaptasi bibit jabon dari 12 provenansi terhadap cekaman kekeringan dan genangan air merupakan keterbaruan informasi yang dapat mengisi kesenjangan informasi pemilihan provenansi yang cocok untuk dikembangkan pada tapak-tapak marjinal seperti kering atau sering tergenang air.
Belum adanya informasi keragaman genetik jabon
Belum adanya sumber benih jabon hasil pemuliaan
Belum adanya informasi provenansi jabon yang adaptif terhadap tapaktapak spesifik (kering atau tergenang)
Belum adanya program konservasi dan pemuliaan untuk mendukung kegiatan budidaya jabon Perlu inisiasi program pemuliaan melalui kajian keragaman genetik, uji provenansiketurunan dan uji adaptasi jabon
Kajian keragaman morfologi dan genetik jabon
Uji provenansiketurunan jabon di lapangan
Uji daya adaptasi provenansi jabon terhadap kekeringan dan genangan air
1) Keragaman karakteristik tapak, buah, benih dan bibit jabon (sub penelitian 1, Bab II) 2) Keragaman morfologi bibit dan genetik berdasarkan penanda AFLP terhadap beberapa famili jabon putih (sub penelitian 2, Bab III)
3) Parameter genetik pertumbuhan awal uji provenansiketurunan jabon (sub penelitian 3, Bab IV).
4) Daya adaptasi bibit jabon dari 12 provenansi terhadap cekaman kekeringan dan genangan air (sub penelitian 4, Bab V).
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
7
2 KARAKTERISTIK DAN KERAGAMAN TAPAK, BENIH DAN BIBIT 11 POPULASI JABON 2.1 Pendahuluan
Jabon merupakan jenis potensial asli Indonesia yang cepat tumbuh dan multiguna (Soerianegara dan Lemmens 1993; Kartawinata 1994). Jabon dapat dikategorikan sebagai jenis tanaman yang tumbuh pada tahap awal suksesi (Shukla dan Ramakrishnan 1986) dan tumbuh pada berbagai jenis tanah, terutama tanah-tanah aluvial yang subur, lembab dan beraerasi baik (Soerianegara dan Lemmens 1993). Jenis ini umumnya dijumpai di hutan sekunder atau terdegradasi di sepanjang bantaran sungai dan daerah transisi antara daerah berawa, serta daerah yang tergenang air secara permanen maupun secara periodik (Phillips et al. 2002). Di Indonesia, jabon tersebar hampir di seluruh pulau, seperti Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua (Martawijaya et al. 1989; Krisnawati et al. 2011). Teori evolusi menduga bahwa jenis dengan sebaran luas akan memiliki tingkat keragaman yang luas. Namun informasi keragaman jabon tersebut masih sangat terbatas, termasuk informasi tapak dan morfofisiologi benih dan bibitnya. Penelitian ini akan menjawab apakah distribusi geografi dan kisaran tipe tapak populasi jabon yang beragam berasosiasi dengan keragaman morfofisiologi benih dan bibitnya sebagai informasi dasar untuk kegiatan pemuliaan tanaman jabon. Keberadaan suatu jenis tumbuhan dalam suatu tegakan hutan tropis sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang sangat komplek (Steenis 2006) yang salah satunya adalah kondisi geoklimat tapak. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa faktor iklim (curah hujan, suhu dan kelembaban), ketinggian tempat merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap kehadiran dan pertumbuhan suatu jenis tumbuhan (Whitemore 1998) yang memungkinkan terjadinya perbedaan karakteristik buah, benih dan bibit antar tempat tumbuh dari jenis tersebut (Bonner, 1987). Studi perbedaan karakter buah dan benih antar populasi telah banyak dilakukan pada jenis-jenis tanaman hutan seperti Trigonobalanus doichangensis di China (Zheng et al. 2009), Manilkara kauki di Indonesia (Sudrajat dan Megawati 2010), Pinus wallichiana di India (Rawat dan Bakshi 2011), Jatropa curcas di India (Gairola et al. 2011), Cedrus deodara di Jammu dan Kashmir (Mughal dan Thapliyal 2012) dan Senna siamea di Thailand (Takuathung et al. 2012). Keragaman geografis untuk karakteristik bibit juga telah banyak diteliti diantaranya pada jenis Pinus strobus (Stephan 1974) dan Picea asperata (Luo et al. 2009). Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan adanya keragaman morfofisiologi benih dan bibit antar populasi. Variasi morfologi dan fisiologi benih dan bibit selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan (geoklimat) juga dikontrol oleh faktor genetik (Mkonda et al., 2003; Sudrajat dan Megawati 2010) dimana pada jenis dengan keragaman genetik yang rendah kemungkinan sedikit sekali perbedaan karakter morfofisiologi antar kelompok benih dari populasi berbeda atau kemungkinan perbedaan yang terjadi lebih disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
8
mengkaji karakteristik tapak dan keragaman morfofisiologi buah, benih, bibit dan untuk mengetahui besarnya kontribusi faktor geoklimat dan genetik terhadap karakteristik morfofisiologi buah, benih dan bibit jabon.
2.2 Bahan dan Metode 2.2.1 Bahan Pengumpulan buah dilakukan di 11 populasi jabon (Gambar 2.1, Tabel 2.1). Pengumpulan buah dilakukan selama 4 bulan dari bulan Maret hingga bulan Juni 2012. Jumlah pohon induk setiap lokasi bervariasi dari 10-20 pohon. Untuk mendapatkan variasi genetik yang maksimum, jarak antar pohon induk dipertahankan pada kisaran 100 m. Buah yang dikumpulkan dari setiap lokasi selanjutnya diproses di Laboratorium Benih, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor. Benih diekstrak dari buah secara manual per pohon induk dengan metode ekstraksi basah (Bonner et al. 1994). Sampel benih diambil dari setiap pohon induk dengan jumlah yang sama kemudian dikompositkan untuk setiap populasi.
SRP SKR KTK KKT
SOK
KBL BLK
PKS CPK
CPG PGS JGS JNK JAP
NBH
Taman Nasional Alas Purwo (JAP) Batuhijau, Sumbawa (NBS) Batulicin (KBL) Garut Selatan (JGS) Ogan Komering Ilir (SOK) Kapuas Tengah (KKT) Kampar, Riau (SKR) Cagar Alam Nusa Kambangan (JNK) Parangloe, Gowa (CPG) Pomalaa (CPK) Cagar Alam Rimbo Panti (SRP)
Gambar 2.1. Distribusi geografis 11 populasi jabon yang diuji
9
Tabel 2.1 Letak geografis populasi dan jumlah sampel pohon Lokasi populasi (singkatan)
Pulau
Lintang Bujur
Rimbo Panti, Pasaman, Sumatera Barat (SRP) Kampar, Riau (SKR) OKI-Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan (SOK) Garut Selatan, Jawa Barat (JGS) Nusa Kambangan, Jawa Tengah (JNK)
Sumatera
00°19‟ U 100°05‟ T
10
Sumatera Sumatera
00°18‟ U 100°57‟ T 03°12‟ S 104°51‟ T
14 20
Jawa 07°26‟ S 107°42‟ T Nusa 07°43‟ S 108°55‟ T Kambangan Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur Jawa 08°38‟ S 114°21‟ T (JAP) Batu Licin, Kalimantan Selatan (KBL) Kalimantan 03°19‟ S 115°41‟ T Kapuas Tengah, Kalimantan Tengah (KKT) Kalimantan 01°00‟ S 114°28‟ T Gowa, Sulawesi Selatan (CPG) Sulawesi 05°14„ S 119°35‟ T Pomalaa, Sulawesi Tenggara (CPK) Sulawesi 04°03‟ S 121°39‟ T Batu Hijau, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat Sumbawa 08°58‟ S 116°48‟ T (NBH)
20 17
(a)
Jumlah sampel
20 10 10 17 20 10
(b)
Gambar 2.2 Populasi alami jabon (a) dan pohon induk/pohon plus (b) setelah dibandingkan dengan pohon di sekitarnya di Cagar Alam Nusa Kambangan
2.2.2 Pengumpulan data lapangan Data lapangan yang dikumpulkan adalah letak geografis, curah hujan, suhu rata-rata tahunan, ketinggian tempat dan tingkat kesuburan tanah. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada kedalaman 10 - 20 cm dari permukaan tanah di bawah setiap pohon induk. Sampel tanah kemudian dikompositkan per
10
populasi (Suganda et al. 2006). Sampel tanah dari setiap populasi dianalisis tingkat kesuburannya di Laboratorium Tanah dan Tanaman, SEAMEO BIOTROP (http://www.biotrop.org), Bogor.
2.2.3 Pengukuran karakteristik buah dan benih Karakteristik buah yang diukur adalah diameter buah dan berat buah. Diameter buah diukur dengan kaliper digital terhadap diameter terbesar dan diameter terkecil buah kemudian dirata-ratakan untuk mendapatkan nilai diamaternya, sedangkan berat buah diukur dengan timbangan digital. Karakteristik benih yang diukur adalah panjang benih, lebar benih dan berat 1000 butir benih. Dari setiap kelompok benih yang mewakili 11 populasi, 100 butir benih komposit diukur panjang dan lebarnya dengan menggunakan mikroskop cahaya (Zeiss discovery V.8 stereo). Berat benih ditentukan dengan 8 ulangan, masing-masing ulangan sebanyak 100 butir benih dan kemudian ditransformasi ke dalam berat 1000 butir benih (ISTA, 2010).
Gambar 2.3 Buah, benih, kecambah dan bibit jabon 2.2.4 Uji perkecambahan dan karakteristik semai Studi perkecambahan benih dilakukan di rumah kaca pada kisaran suhu 29 sampai 34 °C. Sebanyak 100 butir benih dengan 6 ulangan ditabur pada media campuran pasir dan tanah halus (1:1 v/v), kemudian disungkup plastik transparan untuk mempertahankan kelembaban media tabur. Benih dinyatakan berkecambah bila telah muncul sepasang daun secara sempurna. Perkecambahan benih diamati setiap hari selama 21 hari. Data yang dicatat dan dihitung adalah daya
11
berkecambah, kecepatan berkecambah (Maguire 1962) dan rata-rata waktu perkecambahan (Edmond dan Drapala 1958). Panjang hipokotil dan radikula diukur pada akhir perkecambahan. Indeks vigor (total panjang kecambah dikali persentase berkecambah) dihitung berdasarkan Bhattacharya et al. (1991).
2.2.5 Pengukuran karakteristik bibit Benih disemaikan di rumah kaca dengan menggunakan bak kecambah. Bibit disapih ke polibag berukuran diameter 10 cm dan tinggi 15 cm yang diisi media campuran tanah permukaan, kompos dan arang sekam (3:2:1 v/v). Bibitbibit tersebut disusun dalam bentuk rancangan acak lengkap blok dengan 8 ulangan. Setiap ulangan terdiri dari 25 bibit yang disusun bujur sangkar (5 bibit x 5 bibit). Setelah bibit berumur 3 bulan, sebanyak 9 bibit per ulangan yang berada di bagian tengah kelompok bibit diukur tinggi total, diameter pangkal akar, jumlah daun, panjang daun, lebar daun dan indeks kekokohan bibit. Panjang dan lebar daun diukur dengan mengukur dua pasang daun bagian atas yang telah berkembang sempurna. Indeks kekokohan bibit diukur dengan membagi tinggi bibit (cm) dengan diameter (mm). Berat kering akar dan tajuk dihitung dengan membagi bibit menjadi 2 bagian, yaitu bagian akar dan bagian pucuk (batang dan daun), kemudian dikeringkan dalam oven selama 48 jam pada suhu 70 °C. Berat kering total dihitung dengan menjumlahkan berat kering akar dan pucuk. Nisban pucuk akar diukur berdasarkan berat kering pucuk dibagi berat kering akar. Pengamatan terhadap kerapatan struktur stomata daun dilakukan pada siang hari dengan menghitung jumlah stomata per satuan luas bidang pengamatan. Pencetakan stomata dilakukan pada daun bagian atas (daun kedua dari apek) yang telah berkembang sempurna dengan menggunakan cat kuku pada permukaan bawah daun (Sanchez et al. 2011). Cat kuku dioleskan pada permukaan bawah daun hingga kering, kemudian cetakan tersebut diambil dan diletakkan pada kaca obyektif pada mikroskop cahaya dengan pembesaran 40 kali dan ditutup dengan cover glass. Kerapatan stomata (jumlah stomata per millimeter) dihitung dengan membagi jumlah stomata dengan luas bidang pengamatan (0.19625 mm2). Kandungan klorofil diukur pada daun kedua dari apek. Klorofil diekstrak dari 3 sampel bibit dengan berat sampel 0.025 g daun segar. Pengukuran dilakukan dengan UV/visible spectrophotometer (UV-1201, Shimadzu Corporation, Tokyo, Japan) pada absorbansi 663 dan 647 (Lichtenthaler 1987).
2.2.6 Analisis data Karakteristik tapak dianalisis secara deskriptif. Rancangan acak lengkap digunakan untuk menguji perbedaan karakteristik buah, benih dan bibit, sedangkan rancangan acak lengkap blok digunakan untuk menguji karakteristik bibit di persemaian. Data dianalisis dengan analisis ragam dan uji Duncan (Duncan Multiple Range Test, DMRT) untuk menguji signifikasi perbedaan antara karakteristik daun, buah, benih dan bibit dengan menggunakan perangkat lunak (software) SPSS 21. Sebelumnya, data yang diperoleh diuji kenormalan datanya dan bila datanya tidak normal, data tersebut ditransformasi dengan arcsine√x
12
untuk meningkatkan kenormalan data (Zar 1996). Korelasi sederhana (Pearson) digunakan untuk menemukan hubungan antar karakter benih dan bibit dengan faktor geoklimat (curah hujan, suhu rata-rata, ketinggian tempat, lintang dan bujur). Keragaman fenotipe untuk setiap karakter dipisahkan ke dalam komponenkomponen yang disebabkan oleh faktor genetik dan non genetik (lingkungan) (Johnson et al. 1955). Keragaman fenotipe (KF) adalah total keragaman antar fenotipe ketika ditumbuhkan pada suatu kisaran lingkungan, keragaman genetik (KG) merupakan bagian dari keragaman fenotipe yang dapat dijadikan atribut untuk keragaman genetik antar populasi, sedagkan keragaman galat (KL) merupakan bagian dari keragaman fenotipe yang disebabkan pengaruh lingkungan. Untuk membandingkan besarnya keragaman yang disebabkan oleh populasi dan lingkungan dan pengaruh bukan genetik lainnya, koefisien keragaman populasi (KVG) dan keragaman lingkungan dan bukan genetik lainnya (KVL) dihitung untuk karakter benih dan bibit dengan menggunakan keragaman populasi (KG), keragaman lingkungan (KL) dan rata-rata dengan rumus sebagai berikut: 𝐾𝑉𝐺 = (𝐾𝐺)1/2 /Mean, dan 𝐾𝑉𝐿 = (𝐾𝐿)1/2 /Mean. Untuk menentukan besarnya keragaman populasi yang berkontribusi terhadap keragaman total, heritabilitas dalam arti luas (H2) dihitung sebagai berikut (Zeng et al. 2009): 𝐻2 = 𝐾𝐺/(𝐾𝐺 + 𝐾𝐿) Kemajuan genetik (genetic gain, GG) sebagai persentase dari asumsi seleksi 5% dari genetik superior (differensiasi seleksi (DS) =2.06) dihitung dengan rumus: GA (genetic advance) = DS.H2.√KF; GG (sebagai % dari rata-rata) = (GA/X) × 100, dimana KF = keragaman fenotipe, X = rata-rata parameter (Johnson et al. 1955). Analisis komponen utama (principal component analysis) dan klaster hirakhi (hierarchical cluster) digunakan untuk menerangkan pola keragaman antar populasi. Analisis-analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 21. Analisis komponen utama juga digunakan untuk mengidentifikasi karakter tanaman yang berkontribusi besar terhadap keragaman dan mengelompokan populasi yang mempunyai karakteristik morfofisiologi benih dan bibit sama.
2.3
Hasil dan Pembahasan
2.3.1 Hasil 2.3.1.1 Karakteristik tapak Kondisi tempat tumbuh 11 populasi yang diamati sangat beragam dengan ketinggian tempat tumbuh berada pada kisaran 23 m sampai 628 m dpl. Kisaran curah hujan berada pada 1500-3102 mm/tahun, suhu rata-rata tahunan 24.4-29 °C dan tipe iklim A (sangat basah) sampai dengan E (agak kering). Karakteristik tanah dicirikan dengan pH 4.4-6.7, C-organik 1.1-6.7%, N total 0.13-0.57%, nisbah C/N 7.3-17.6, P tersedia 2.47-90.28 ppm, K 0.15-4.00 cmol/kg, Ca 1.76-
13
29.65 cmol/kg dan Mg 0.57-11.41 cmol/kg. Kapasitas tukar kation berada pada kisaran 6.84-49.33 cmol/kg, sedangkan kejenuhan basa berkisar antara 33.1100%. Tekstur tanah juga cukup beragam dengan kelas tekstur tanah terdiri atas pasir berlempung (populasi Rimbo Panti, Pomalaa), lempung liat berpasir (populasi Gowa, Batu Hijau), liat berdebu (populasi Kapuas dan Batu Licin) dan liat (populasi Kampar, OKI, Garut, Nusa Kambangan dan Alas Purwo) (Tabel 2.2). Tabel 2.2 Karakteristik geoklimat dan hasil analisis tanah (kedalaman 0-20 cm) 11 populasi jabon Parameter
Populasi SRP SKR SOK
Ketinggian tempat (m dpl) 294 Curah hujan (mm/tahun) 3100 Suhu rata-rata tahunan (°C) 24.4 Tipe iklim (Schmidt dan A Fergusson) Kimia tanah : - pH H2O 5.1 - C organik (%) 1.87 - N total (%) 0.20 - Nisbah C/N 9.4 - P tersedia (ppm) 15.18 - Ca (cmol/kg) 7.03 - Mg (cmol/kg) 3.29 - K (cmol/kg) 2.10 - Na (cmol/kg) 0.28 - Kapasitas tukar kation 6.84 (cmol/kg) - Kejenuhan basa (%) 100 - Al3- (me/100g) 0.11 - H+ (me/100g) 0.05 Tekstur: - Pasir (%) 78.4 - Debu (%) 6.2 - Liat (%) 15.4 - Kelas tekstur Pasir berlempung
JGS
JNK
JAP
KKT
KBL
CPG CPK NBH
50 3000 26.5 A
23 2500 27.1 B
628 2580 27.0 B
40 2500 28.0 D
33 1500 28.5 D-E
147 2340 28.7 A
47 2970 28.5 B
132 1820 27.3 C
210 1780 28.0 C
53 2290 29.0 C-D
4.4 1.10 0.13 8.5 5.47 1.76 1.20 0.15 4.79 13.25
4.7 2.82 0.35 8.1 6.86 13.16 5.20 2.44 0.40 23.59
5.1 2.25 0.31 7.3 2.47 9.26 6.26 0.98 0.27 19.16
6.7 4.95 0.47 10.5 10.94 29.65 8.37 1.46 1.98 49.33
6.0 3.16 0.18 17.6 34.18 20.15 11.41 4.00 2.06 37.98
4.4 4.75 0.36 13.2 6.44 2.09 0.57 2.35 0.37 16.27
4,6 6.70 0.57 11.8 10.55 28.83 6.33 1.51 0.28 28.21
5,5 2.12 0.25 8.5 46.84 17.24 8.55 3.42 0.36 34.42
6,1 4.60 0.38 12.1 15.82 10.33 6.42 1.58 0.32 9.35
6,4 1.64 0.17 9.6 90.28 13.78 5.86 2.78 0.37 13.09
59.60 5.15 0.09
90 0.10 0.04
88 3.52 0.06
84 0.00 0.00
99 0.11 0.04
33.1 1.46 2.70
100 1.00 0.00
86 0.12 0.05
100 0.00 0.14
100 0.11 0.04
15.6 30.0 54.4 Liat
14.4 33.5 52.1 Liat
26.2 21.6 52.2 Liat
3.8 18.4 77.8 Liat
19.0 6.2 51.5 70.7 5.2 20.8 47.5 46.8 24.0 14.8 60.2 47.3 47.0 24.5 14.4 Liat Liat Liat Lem- Pasir berde- berde- pung berlembu bu liat pung berpasir
52.4 27.2 20.4 Lempung liat berpasir
Keterangan populasi dapat dilihat pada Tabel 2.1.
2.3.1.2 Karakteristik benih dan bibit Analisis ragam karakter buah, benih dan bibit dari 11 populasi jabon menunjukkan perbedaan nyata antar populasi, kecuali untuk panjang radikula. Koefisien keragaman (CV) tertinggi ditunjukkan oleh berat kering akar (55.24%) diikuti oleh berat kering batang (48.10%) dan berat kering total (47.90%). Koefisien keragaman terendah ditunjukkan oleh waktu perkecambahan rata-rata (3.28%) diikuti dengan berat 1000 butir benih (10.56%) (Tabel 2.3).
14
Tabel 2.3 Karakter morfofisiologi benih dan bibit (𝑥 ± 𝑆𝐷) dari 11 populasi jabon Populasi
DBuah (cm)
BBuah (g)
PBenih (µm)
LBenih (µm)
Benih1000 (mg)
DB (%)
KC (%/day)
RWB (day)
PH (mm)
PR (mm)
IV
TBibit (cm)
SRP SKR SOK JGS JNK JAP KKT KBL CPG CPK NBH
4.47±0,41 d 4.49±0,43 d 4.74±0,67 c 4.78±0,48 c 4.75±0,50 c 4.42±0,38 d 4.16±0,50 e 4.19±0,33 e 5.70±0,48 a 5.22±0,60 b 4.75±0,31 c
40.9±10.5 f 41.9±10.5 f 45.7±15.4 e 51.6±14.7 c 49.8±15.2 cd 41.4±11.2 f 35.6±9.5 g 34.8±7.4 g 86.9±12.5 a 60.5±24.1 a 46.3±9.4 de
508.1±196.8 c 567.4 ±54.0 b 566.8±43.2 b 596.3±67.7 ab 604.8±51.1 ab 584.4±88.8 ab 607.5±75.9 ab 621.9±45.1 a 586.9±73.6 ab 586.4±68.7 ab 623.9±63.2 a
360.6±144.0 d 434.7±64.4 ab 408.7±59.4 bc 404.6±55.1 bc 440.5±66.5ab 459.4±72.2 a 388.3±40.3 cd 426.5±61.1 abc 414.8±57.9 bc 388.8±53.9 cd 440.5±61.3 ab
38.3±0.5 cd 39.3±1.0 bc 37.0±0.3 de 37.7±0.3 cde 40.3±1.6 b 37.7±0.1 cde 35.8±0.3 e 33.5±3.0 f 36.7±0.8 de 46.9±0.9 a 46.1±1.9 a
44.3±0.9 e 55.5±8.1 d 42.8±2.2 e 46.3±1.5 e 68.7±2.2 c 35.7±3.9f 68.8±3.3c 64.5±6.4 c 77.5±7.3 b 84.3±1.3 a 37.2±0.9 f
3.5±0.2 e 5.2±1.3 d 3.5±0.3 e 4.9±0.3 d 7.3±0.4 ab 3.3±0.3 e 6.6±0.6 bc 6.1±0.5 c 6.7±0.9 bc 7.8±0.3 a 3.3±0.3 e
13.3±1.1 a 12.5±0.2 bc 12.8±0.4 b 12.4±0.1 bc 12.5±0.2 bc 12.6±0.2 bc 12.5±0.3 bc 12.6±0.2 bc 12.8±0.6 b 12.4±0.4 bc 12.3±1.1 c
4.4±0.50 e 5.3±2.6 de 5.2±0.6 de 8.2±1.3 a 7.8±1.0 ab 6.4±1.6 bcd 6.4±0.5 bcd 6.3±0.6 cd 6.9±0.5 abc 7.0±1.0 abc 5.3±0.3 de
16.4±6.0 16.9±9.5 22.8±3.6 25.3±3.1 21.8±6.3 22.1±2.9 23.5±4.3 23.6±2.8 24.8±4.4 18.1±2.8 23.6±3.5
9.4±2.7 d 10.9±5.6 d 11.9±1.8 cd 15.8±1.4 bc 20.3±5.2 ab 10.3±2.1 d 20.2±2.2 ab 21.0±2.3 a 24.7±4.5 a 21.7±3.3 a 10.7±1.1 d
22.5±9.5 g 40.9±4.5 d 43.5±8.2 bc 42.9±6.1 c 30.4±6.6 f 38.6±7.9 e 16.9±3.8 i 18.4±4.8 h 44.3±6.7 ab 45.3±6.0 a 41.4±11.6 d
48.68 39.68 77.81**
586.77 15.29 4.27**
415.51 18.25 4.93**
39.04 10.56 40.27*
89.00 29.46 71.07**
61.40 32.63 61.40**
13.69 3.28 3.22 *
6.32 21.80 7.13**
21.92 22.04 2.10ns
16.39 36.47 13.80**
35.03 32.01 524.21**
DBibit (mm)
IKBibit
JDBibit (lembar)
PDBibit (cm)
LDBibit (cm)
SRP SKR SOK JGS JNK JAP KKT KBL CPG CPK NBH
5.4±1.6 bc 5.2±0.7 cd 5.8±1.1 a 4.6±1.0 ef 5.3±1.0 bc 4.4±0.8 f 3.5±0.9 g 3.8±0.7 g 5.5±0.9 ab 4.9±0.9 de 4.8±0.8 e
4.2±1.1 f 8.1±1.3 c 7.8±2.1 c 9.5±2.0 a 5.9±1.5 d 9.0±2.3 ab 5.2±1.1 e 5.0±1.2 e 8.2±1.5 c 9.4±1.7 ab 8.9±2.6 b
8.1±1.3 b 6.4±1.4 d 7.8±1.5 bc 7.3±1.4 c 6.8±1.6 d 7.9±1.3 b 5.9±1.3 e 7.4±1.2 c 9.1±1.6 a 8.2±1.5 b 8.2±1.0 b
15.1±4.9 a 15.4±2.6 a 15.5±3.1 a 13.1±3.4 c 15.4±2.7 a 12.8±2.6 c 10.1±2.6 d 10.9±2.2 d 15.5±3.0 a 15.2±2.7 a 14.1±2.6 b
Rata-rata % CV F hitung
4.80 23.07 45.57 **
7.39 31.90 122.81**
7.58 20.64 34.20**
13.93 23.61 36.91**
Rata-rata 4.70 % CV 13.58 F hitung 119.77** Populasi
Kl-A (mg/g)
Kl-B (mg/g)
BKB (g)
BKA (g)
NPA
BKT (g)
8.5±3.0 abc 8.9±1.6 a 8.6±1.8 abc 6.8±1.7 e 8.2±1.6 bcd 7.1±1.4 e 5.4±1.6 f 6.0±1.3 f 8.1±1.7 cd 8.7±1.7 ab 7.6±1.7 d
(jumlah/mm2) 348.2±54.8 d 441.6±63.4 bc 448.2±21.1 d 463.7±34.8abc 456.1± 46.9abc 404.2±60.9 cd 378.8±61.7 d 379.6±29.9 d 491.6±42.9 ab 467.9±40.8 ab 509.6±63.7 a
KS
1.19±0.16 ab 1.26±0.14 ab 1.34±0.04 ab 1.09±0.24 b 1.47±0.24 a 1.24±0.23 ab 0.79±0.26 c 0.73±0.16 c 1.20±0.03 ab 1.38±0.12 ab 1.29±0.12 ab
0.55±0.05 b 0.55±0.08 b 0.53±0.02 b 0.45±0.08 bc 0.69±0.06 a 0.51±0.11 b 0.33±0.03 cd 0.31±0.02 d 0.49±0.02 bc 0.57±0.07 ab 0.54±0.13 b
1.7±1.5 b 2.3 ±0.8ab 2.0±0.5 ab 2.4±1.3 ab 1.8±0.4 ab 2.1±0.9 ab 0.8±0.5 c 1.6±0.9 bc 2.5±0.7 ab 2.7±1.0 a 2.1±0.8 ab
0.7±0.4 ab 0.8±0.3 a 0.5±0.2 ab 0.5±0.4 ab 0.5±0.1 abc 0.4±0.2 bc 0.2±0.1 c 0.6±0.2 ab 0.7±0.2 ab 0.8±0.3 a 0.6±0.4 ab
2.1±0.8 e 3.1±0.9 d 4.3±1.3 b 4.6±0.8 ab 3.5±0.9 cd 5.2±1.7 a 3.4±0.8 cd 3.4±1.3 cd 3.4±0.9 cd 3.7±1.1 c 3.7±1.3 c
2.4±1.9 ab 3.1±1.0 ab 2.5±0.7 ab 2.9±1.6 ab 2.3±0.5 ab 2.5±1.1 ab 1.0±0.6 c 2.2±1.3 ab 3.2±0.9 ab 3.5±1.3 a 2.7±1.1 ab
7.63 26.53 33.21**
426.32 16.65 8.13**
1.18 22.68 5.15**
0.50 23.99 6.34**
2.01 48.10 3.19**
0.58 55.24 2.95**
3.67 33.94 3.07**
7.50 47.90 6.44**
Keterangan: 𝑥 = rata-rata, SD = standar deviasi, DBuah = diameter buah, BBuah = berat buah, PBenih = panjang benih, LBenih = lebar benih, Benih1000 = berat 1000 butir benih, DB = daya berkecambah, KC = kecepatan berkecambah, RWB = rata-rata waktu berkecambah, PH = panjang hipokotil, PR = panjang radikula, IV = indeks vigor, TBibit = tinggi bibit, DBibit = diameter bibit, IKBibit = indeks kekokohan bibit, JDBibit = jumlah daun, PDBibit = panjang daun, LDBibit = lebar daun, KS = kerapatan stomata, Kl-A = klorofil A, Kl-B = klorofil B, BKB = berat kering tajuk, BKA = berat kering akar, NPA = nisbah pucuk akar, BKT = berat kering total; % CV = persentase koefisien keragaman; nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada p=0.05; ** = nyata pada p<0.01, * = nyata pada p<0.05. Keterangan populasi dapat dilihat Tabel 2.1.
15
Rata-rata ukuran karakter morfofisiologi buah, benih dan bibit jabon menunjukkan perbedaan nyata antar populasi. Analisis DMRT untuk karakter buah, benih dan bibit menunjukkan bahwa populasi Pomalaa memberikan nilai maksimum pada 7 karakter yang diikuti oleh populasi Gowa dengan nilai tertinggi pada 5 karakter. Populasi Pomalaa mempunyai nilai maksimum pada karakter berat 1000 butir benih (46.93 mg), daya berkecambah (84.3%), kecepatan berkecambah (7.79%/hari), tinggi bibit (45.3 cm), berat kering batang (2.74 g), berat kering akar (0.80 g), dan berat kering total (3.54 g), sedangkan populasi Gowa mempunyai nilai maksimum untuk karakter diameter buah (5.70 cm), berat buah (86.95 g), indeks vigor (24.73), jumlah daun (9.1) dan panjang daun (15.5 cm). Populasi Kapuas menunjukkan nilai terendah untruk 9 karakter, yaitu diameter buah (4.1 cm), tinggi bibit (16.9 cm), diameter pangkal akar (3.53 mm), jumlah daun (5.9), panjang daun (10.1 cm), lebar daun (5.4 cm), berat kering batang (0.81 g), berat kering akar (0.22 g) dan berat kering total (1.03 g) (Tabel 2.3).
2.3.1.3 Korelasi antar karakter benih, bibit dan faktor geoklimat Karakter diameter dan berat buah secara nyata berkorelasi positif dengan beberapa parameter pertumbuhan bibit. Panjang benih berkorelasi negatif dengan ratarata waktu berkecambah (koefisien korelasi atau r = -0.820) dan berkorelasi positif dengan panjang radikula (r = 0.650). Makin panjang benih makin pendek waktu yang diperlukan untuk berkecambah dan makin panjang radikula semai. Korelasi antar karakter morfofisiologi benih dan bibit lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.4. Korelasi sederhana antara karakter morfofisiologi benih dan bibit dengan faktor geoklimat menunjukkan bahwa letak lintang berkorelasi positif dengan lebar benih (r = 0.615), sedangkan letak bujur berkorelasi dengan panjang benih (r = 0.646) dan indeks vigor (r = 0.638). Korelasi lainnya ditunjukkan oleh suhu rata-rata yang berkorelasi positif dengan panjang benih (r = 0.917), namun berkorelasi negatif dengan rata-rata waktu berkecambah (r = -0.775). Sebagian besar karakteristik buah, benih dan bibit tidak berkorelasi nyata dengan faktor-faktor geoklimat (Tabel 2.5). Karakter buah, benih dan bibit dengan faktor geoklimat pada beberapa sifat menunjukkan adanya korelasi. Letak lintang berkorelasi positif dengan lebar benih (r = 0.615) dan nisbah pucuk akar (r = 0.690), sedangkan letak bujur berkorelasi dengan panjang benih (r = 0.646) dan indeks vigor (r = 0.638). Suhu rata-rata tahunan berkorelasi positif dengan panjang benih (r = 0.917) dan berkorelasi negatif dengan rata-rata waktu berkecambah (r = -0.775). Grafik regresi hubungan karakter-karater tersebut dengan faktor-faktor geoklimat disajikan pada Gambar 2.4. Secara umum sebagian besar karakteristik daun, buah, benih dan bibit tidak berkorelasi nyata dengan faktor-faktor geoklimat.
16
Tabel 2.4 Korelasi sederhana antar karakter benih dan bibit jabon Parameter BBuah PBenih LBenih Benih1000 DB KC RWB PH PR IV TBibit DBibit IKBibit JDBibit PDBibit LDBibit KS Kl-A Kl-B BKB BKA NPA BKT
DBuah BBuah PBenih LBenih Benih10000 DBenih 0.97** -0.03 0.01 -0.06 -0.05 0.53 0.38 0.21 0.08 0.04 0.42 0.48 0.23 -0.26 0.06 0.32 0.38 0.35 -0.14 0.05 0.96** -0.03 0.03 -0.82** -0.53 -0.47 -0.13 0.32 0.37 0.54 0.20 -0.01 0.45 0.13 0.22 0.69* 0.32 -0.33 -0.04 0.43 0.52 0.47 -0.12 -0.12 0.89** 0.59 -0.01 0.28 0.51 -0.09 0.71* 0.50 -0.57 -0.08 0.25 -0.09 0.60* 0.52 0.43 0.23 0.38 0.51 -0.13 0.26 -0.06 0.69* 0.66* -0.18 -0.04 0.52 -0.49 -0.02 0.46 0.03 0.64* 0.53 0.39 -0.56 -0.06 0.51 0.02 0.37 0.25 0.64* 0.61* 0.49 0.60* 0.53 0.37 -0.28 0.21 0.61* -0.09 0.41 0.28 -0.32 0.17 0.60 -0.06 0.16 0.49 0.08 0.74** 0.64* -0.13 0.52 -0.36 -0.12 0.45 0.21 0.60* 0.05 0.03 0.41 0.55 -0.02 -0.32 0.43 0.52 0.62* 0.61* -0.01 -0.26
KC
RWB
-0.29 0.61* -0.51 0.09 -0.34 0.89** -0.21 -0.13 -0.32 -0.19 0.39 -0.11 -0.57 -0.22 0.25 -0.06 0.22 -0.08 0.23 0.30 -0.63* -0.10 -0.06 -0.04 0.01 0.03 -0.18 0.08 0.14 -0.21 -0.48 0.43 -0.28
PH
PR
0.51 0.65* 0.38 0.18 0.05 -0.22 -0.31 0.32 0.19 -0.08 0.13 -0.16 -0.44 -0.28 -0.61* 0.47 0.23 0.01 -0.35 0.01 -0.44 0.22 -0.15 -0.19 -0.49 0.47 0.54 0.28 -0.13
IV TBibit DBibit IKBibit JDBibit PDBibit LDBibit
-0.12 -0.23 -0.10 0.04 -0.18 -0.27 0.29 -0.26 -0.25 0.01 -0.01 -0.08 0.34
0.59 0.92** 0.22 0.50 0.46 0.64* 0.96** 0.60* 0.90** 0.59 0.13 0.69* 0.79** 0.49 0.75** 0.88** 0.57 0.52 0.61* 0.48 -0.15 0.55 0.12
0.38 0.31 0.29 0.64* 0.47 0.27 0.78** 0.31 0.67* 0.57
0.42 0.36 0.31 0.32 0.19 0.61* 0.57 0.18 0.18
0.97** 0.30 0.88** 0.85** 0.67* 0.73* -0.19 0.25
0.21 0.85** 0.82** 0.66* 0.77* -0.23 0.28
KS
Kl-A Kl-B BKB BKA NPA
0.38 0.36 0.59 0.41 0.16 0.52
0.96** 0.61* 0.49 0.47 0.46 0.12 -0.05 0.18 0.06
0.79** 0.26 -0.37 0.53 0.41 0.01
Keterangan: DBuah = diameter buah, BBuah = berat buah, PBenih = panjang benih, LBenih = lebar benih, Benih1000 = berat 1000 butir benih, DB = daya berkecambah, KC = kecepatan berkecambah, RWB = rata-rata waktu berkecambah, PH = panjang hipokotil, PR = panjang radikula, IV = indeks vigor, TBibit = tinggi bibit, DBibit = diameter bibit, IKBibit = indeks kekokohan bibit, JDBibit = jumlah daun, PDBibit = panjang daun, LDBibit = lebar daun, KS = kerapatan stomata, Kl-A = klorofil A, Kl-B = klorofil B, BKB = berat kering tajuk, BKA = berat kering akar, NPA = nisbah pucuk akar, BKT = berat kering total; **= nyata pada p<0.01, *= nyata pada p<0.05
17
Tabel 2.5 Korelasi sederhana antar karakter benih dan bibit dan faktor geoklimat Parameter
Lintang
Bujur
Diameter buah (cm) Berat buah (g) Panjang benih (µm) Lebar benih (µm) Berat 1000 butir benih (g) Daya berkecambah (%) Kecepatan berkecambah (%/hari) Rata-rata waktu berkecambah (hari) Panjang hipokotil (mm) Panjang radikel (mm) Indeks vigor Tinggi bibit (cm) Diameter bibit (mm) Indeks kekokohan Jumlah daun (lembar) Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) Kerapatan stomata (jumlah/mm2) Klorofil A (mg/g) Klorofil B (mg/g) Berat kering pucuk (g) Berat kering akar (g) Nisbah pucuk akar Berat kering total (g)
0.304 0.268 0.553 0.615* 0.318 -0.226 -0.106 -0.533 0.546 0.585 0.056 0.433 -0.010 0.563 0.368 0.022 -0.114 0.586 0.336 0.264 0.327 -0.130 0.690* -0.108
0.401 0.432 0.646* 0.178 0.277 0.491 0.458 -0.473 0.412 0.446 0.638* 0.131 -0.383 0.311 0.388 -0.291 -0.327 0.478 -0.151 -0.258 0.146 -0.026 0.280 0.370
Ketinggian Curah hujan tempat 0.137 -0.498 0.142 -0.503 -0.195 -0.280 -0.523 -0.295 -0.012 -0.315 -0.045 -0.176 0.013 -0.151 0.044 0.313 0.394 -0.374 0.098 -0.302 0.032 -0.266 0.100 -0.480 -0.059 0.015 0.177 -0.592 0.073 -0.446 -0.080 -0.030 -0.124 0.014 0.122 -0.398 -0.145 -0.292 -0.139 -0.130 0.214 -0.338 0.066 0.087 0.051 -0.507 0.282 -0.431
Suhu rata-rata -0.070 -0.057 0.917** 0.578 0.159 0.171 0.265 -0.775** 0.400 0.582 0.368 0.012 -0.572 0.272 -0.128 -0.496 -0.526 0.349 -0.192 -0.272 -0.169 -0.449 0.520 0.010
Keterangan: **= nyata pada p <0.01, *= nyata pada p< 0.05. 480
Nisbah pucuk akar
420 400 380
y = 5.3832x + 391.9 R² = 0.3787
360 340 320
4 3 2
0
300 U -2
0
2
4
6
8
S 10
U -2
Lintang (°)
20 15 10 y = 0.4882x - 38.112 R² = 0.4068
Panjang benih (µm)
25
Indeks vigor
0
2 4 6 Lintang (°)
S 8 10
Bujur (° BT)
13.4
620 600 580 560 540
y = 22.565x - 34.788 R² = 0.8408
520 500
0 100 105 110 115 120 125 Bujur (° BT)
y = 2.8475x + 270.4 R² = 0.4175
100 105 110 115 120 125
640
30
5
y = 0.1728x + 2.9211 R² = 0.476
1
640 630 620 610 600 590 580 570 560 550 540 530 520 510 500
24 25 26 27 28 29 30 Suhu rata-rata (° C)
Rata-rata waktu berkecambah (hari)
Lebar benih (µm)
5
440
Panjang benih (µm)
6
460
13.2 13
y = -0.1555x + 16.895 R² = 0.6003
12.8 12.6 12.4 12.2 24 25 26 27 28 29 30 Suhu rata-rata (° C)
Gambar 2.4 Karakter morfofisiologi benih dan bibit dalam hubungannya dengan letak lintang, bujur dan suhu rata-rata tahunan
18
2.3.1.4 Keragaman, koefisien keragaman dan heritabilitas Keragaman genetik beragam dari nilai tertinggi 2858.637 (kerapatan stomata) hingga nilai terendah 0.009 (klorofil B). Koefisien keragaman fenotipe (KKF) dan koefisien keragaman genetik (KKG) memberikan nilai tertinggi pada karakter tinggi bibit (masing-masing 76.40 dan 76.33), sedangkan koefisien keragaman lingkungan (KKL) tertinggi dihasilkan oleh berat kering akar (29.36). Nilai KKF dan KKG terendah ditunjukkan oleh rata-rata waktu berkecambah (masing-masing 1.87 and 1.56) dan nilai terendah untuk KKL adalah berat 1000 butir benih (0.64) (Tabel 2.6). Keragaman genetik dan koefisien keragaman genetik untuk semua karakter buah, benih dan bibit jabon ditemukan lebih tinggi daripada koefisien keragaman lingkungan. Besaran keragaman galat relatif lebih rendah daripada keragaman genetik untuk semua karakter, sedangkan koefisien keragaman fenotipe dan genetik sangat dekat satu dengan yang lainnya untuk semua karakter. Begitu pula dengan heritabilitas yang berada pada kisaran 52% sampai 99%. Tabel 2.6 Keragaman, koefisien keragaman populasi dan lingkungan serta heritabilitas karakter benih dan bibit jabon Parameter
KF
KG
KL
KKG
KKF
KK L 1.01 1.33 2.66 3.14 0.64 2.24
H2
GA (%)
Diameter buah (cm) 0.200 0.198 0.002 9.47 9.53 0.98 19.41 Berat buah (g) 214.873 213.079 1.794 29.98 30.11 0.99 61.51 Panjang benih (µm) 1043.194 799.055 244.139 4.81 5.50 0.76 8.68 Lebar benih (µm) 844.364 673.117 171.24 6.24 6.99 0.79 11.48 Berat 1000 butir benih (g) 16.900 16.481 0.419 10.39 10.53 0.97 21.15 Daya berkecambah (%) 282.522 278.548 3.974 18.75 18.88 0.98 38.35 Kecepatan berkecambah (%/hari) 2.955 2.907 0.048 19.60 19.76 2.52 0.98 40.04 Rata-rata waktu berkecambah (hari) 0.068 0.047 0.021 1.56 1.87 1.04 0.68 2.66 Panjang hipokotil (mm) 1.359 1.169 0.190 17.10 18.45 6.90 0.85 32.68 Panjang radikel (mm) 9.683 5.079 4.603 10.28 14.19 9.78 0.52 15.34 Indeks vigor 29.920 27.753 2.166 32.14 33.37 8.98 0.92 63.77 Tinggi bibit (cm) 716.347 714.980 1.366 76.33 76.40 3.33 0.99 157.09 Diameter bibit (mm) 3.023 2.957 0.066 35.60 36.00 5.33 0.97 72.53 Indeks kekokohan 22.294 22.112 0.181 63.63 63.89 5.76 0.99 130.54 Jumlah daun (lembar) 4.921 4.777 0.143 28.83 29.26 5.00 0.97 58.52 Panjang daun (cm) 22.757 22.141 0.616 33.77 34.24 5.63 0.97 68.63 Lebar daun (cm) 7.977 7.736 0.240 36.45 37.01 6.42 0.96 73.95 Kerapatan stomata (jumlah/mm2) 3256.232 2858.637 400.594 12.54 13.08 4.69 0.87 24.19 Klorofil A (mg/g) 0.054 0.043 0.010 17.68 19.69 8.67 0.80 32.70 Klorofil B (mg/g) 0.011 0.009 0.001 19.78 21.55 8.55 0.84 37.39 Berat kering pucuk (g) 0.827 0.568 0.259 37.50 45.26 25.34 0.68 64.01 Berat kering akar (g) 0.085 0.056 0.028 41.06 50.48 29.36 0.66 68.81 Nisbah pucuk akar 2.036 1.720 0.316 35.74 38.88 15.32 0.84 67.67 Berat kering total (g) 1.329 0.897 0.432 12.62 15.37 8.76 0.67 21.37 Keterangan : KF = keragaman fenotipe, KG = keragaman genetik, KL = keragaman lingkungan, KKG = koefisien keragaman genetik, KKF = koefisien keragaman fenotipe, KKL = koefisien keragaman lingkungan, H2 = heritabilitas dalam arti luas, GA (%) = persentase kemajuan genetik terhadap rata-rata.
19
Pendugaan heritabilitas dalam arti luas berkisar dari 0.52 (untuk panjang akar) sampai 0.99 (untuk berat buah, tinggi bibit dan indeks kekokohan bibit). Kemajuan genetik berkisar antara 2.66% dan 157.09% dengan waktu perkecambahan rata-rata yang memberikan nilai terendah dan tinggi bibit yang memberikan nilai tertinggi. Beberapa karakter seperti diameter buah, berat 1000 butir benih, daya dan kecepatan berkecambah, mempunyai heritabilitas yang tinggi (>95%), tetapi koefisien keragaman genetik dan kemajuan genetiknya relatif rendah. Analisis komponen utama menghasilkan 6 komponen yang memiliki nilai eigen di atas 1 dengan nilai kumulatif varians 93.47%. Komponen utama pertama dan kedua menghasilkan masing-masing 39.94% dan 21.95% keragaman dari jumlah karakter yang ada. Komponen pertama terdiri dari diameter pangkal akar, tinggi bibit, panjang daun, lebar daun, klorofil A, indeks kekokohan, berat kering batang, berat kering total, kerapatan stomata, klorofil B, berat kering akar, diameter buah dan berat buah. Komponen tersebut merupakan indentitas dari karakter-karakter bibit dan morfologi buah. Komponen kedua terdiri dari indeks vigor, panjang hipokotil, panjang benih, kecepatan berkecambah, panjang radikel dan daya berkecambah yang dinamai sebagai kemampuan fisiologi benih. Grafik biplot sebaran populasi berdasarkan komponen utama pertama dan kedua disajikan pada Gambar 2.5a. Grafik tersebut mempunyai pola yang hampir sama dengan hasil analisis klaster (Gambar 2.5b) jjkk 2.5 2 1.5
PC 2 (21.95 %)
1
BLB KBL
Grup 2
Grup 1
CPG
KTB KKT
Grup 1 CPK
KBL
0.5
PGC CPG
JNK
KKT
PKC CPK
JGS NBH
0 JAP
-0.5
KRS SKR
Grup 3
SOK SKR
-1
Grup 2
OKS SOK APJ JAP
-1.5 -2
Grup 3
Grup 4
JGS GSJ SRP
JNK NKJ -2.5 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5
(a)
PC 1 (39.94 %)
1 1.5
2 2.5
NBH BHS SRP RPS
Grup 4
(b)
Gambar 2.5 Pengelompokkan populasi jabon berdasarkan analisis komponen utama (a) dan analisis klaster (b) berdasarkan morfofisiologi benih Kkk dan bibit
20
2.3.2 Pembahasan 2.3.2.1 Karakteristik tapak Kondisi tapak 11 populasi jabon yang tersebar di Sumatera, Jawa, Nusa Kambangan, Kalimantan, Sumbawa dan Sulawesi sangat beragam yang umumnya berada pada daerah-daerah dengan ketinggian tempat di bawah 200 m dpl, kecuali populasi Garut, Rimbo Panti dan Pomalaa yang masing-masing berada pada ketinggian tempat 628, 294, dan 210 m dpl. Rata-rata curah hujan tahunan berkisar 1500-3500 mm dengan tipe iklim berdasarkan Schmidt dan Fergusson berada pada tipe A (sangat basah) hingga E (agak kering). Dilihat dari tingkat kesuburannya, tapak pada populasi-populasi yang diamati cukup beragam, sebagian besar pH tanah dikategorikan sangat rendah dan rendah, kecuali untuk populasi Nusa Kambangan yang berada pada pH sedang. Kandungan C organik berada pada kondisi rendah hingga sangat tinggi, N total berada pada tingkatan rendah hingga tinggi, nisbah C/N berada pada tingkatan rendah sampai dengan tinggi, P tersedia berada pada kondisi rendah hingga sangat tinggi, K berkisar rendah hingga sedang, Ca berkisar sangat rendah hingga sangat tinggi dan Mg berada pada kondisi rendah hingga sangat tinggi. Unsur-unsur tersebut merupakan unsur makro yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Unsur N merupakan penyusun semua protein, klorofil di dalam koensim dan asam-asam nukleat. Unsur P berperan dalam transfer energi sebagai bagian dari adenosin tripospat, beberapa penyusun protein, koensim, asam nukleat dan substrat metabolisme. Unsur K meskipun penting tetapi hanya sedikit peranannya sebagai penuyusun komponen tanaman. Fungsi utamanya adalah untuk pengaturan mekanisme seperti fotosintesis, translokasi karbohidrat, sintesa protein dan lainlain (Soepardi 1983). Kapasitas tukar kation (KTK) dikategorikan rendah hingga sangat tinggi dan kejenuhan basa sangat tinggi (Pusat Penelitian Tanah 1983). KTK adalah kemampuan koloid tanah mengikat dan mempertukarkan kation-kation yang umumnya berkorelasi positif dengan kandungan bahan organik dan liat (Tisdale et al. 1985). Dilihat dari teksturnya, sebagian besar tapak mempunyai kelas tekstur liat, kemudian pasir berlempung, liat berdebu dan lempung liat berpasir. Secara umum, jabon dapat tumbuh pada kondisi tanah asam dengan tingkat kesuburan rendah hingga tinggi. Keragaman tapak ini memberi indikasi bahwa jabon memiliki kisaran lingkungan tumbuh dan daya adaptasi yang cukup luas. Teori evolusi menduga bahwa jenis dengan sebaran tumbuh luas akan memiliki tingkat keragaman yang luas, termasuk dalam hubungannya dengan keragaman benih dan bibit antar populasi.
2.3.2.2 Karakteristik benih dan bibit Analisis ragam dan nilai rata-rata karakter buah, benih dan bibit jabon menunjukkan perbedaan antar populasi yang nyata pada tingkat kepercayaan 5%, kecuali untuk panjang radikula. Kondisi ini memberi indikasi adanya keragaman
21
karakteristik benih dan bibit antar populasi. Populasi Pomalaa mempunyai karakteristik morfofisiologi benih dan bibit (berat dan perkecambahan benih serta pertumbuhan bibit) yang lebih baik dibandingkan populasi lainnya, sedangkan populasi Kapuas mempunyai nilai karakteristik morfofisiologi benih dan bibit yang lebih rendah. Keragaman morfofisiologi dari populasi berbeda telah diteliti juga pada beberapa jenis, seperti Pinus roxburghii (Sagwal 1984; Seghal 1984; Mukherjee 2005), Picea aspera (Luo et al. 2005), Trigonobalanus doichangensis (Zheng et al. 2009), Pinus wallichiana (Rawat dan Bakshi 2011), Senna siamea (Takuathung et al. 2012) dan Cedrus deodara (Mughal dan Thapliyal 2012). Keragaman fisiologi benih (khususnya perkecambahan) antar sumber benih juga dilaporkan pada jenis Acacia mangium (Salazar 1989), Pinus roxburghii (Roy et al. 2004), dan Pinus wallichiana (Rawat dan Bakshi 2011). Keragaman karakteristik buah dan benih dipengaruhi oleh perbedaan lokasi, pohon dalam suatu lokasi dan antar buah di dalam pohon tersebut yang dikontrol secara bersamaan oleh faktor genetik (pohon induk, keturunan) dan lingkungan, seperti iklim, tanah, posisi dalam tajuk dan kerapatannya (Lester 1969; Dunlop dan Barnett 1984; Pathak et al. 1984) yang mempengaruhi proses perkembangan benih (Harper et al. 1970). Pengaruh lingkungan makin berkurang ketika benih dan bibit ditumbuhkan pada kondisi yang sama, seperti di rumah kaca dan persemaian, namun untuk jenis jabon pada penelitian ini, keragaman parameter perkecambahan dan pertumbuhan bibit antar populasi masih tinggi. Menurut Rawat dan Bakshi (2011), ketika benih dan bibit ditumbuhkan pada kondisi yang sama, sering menghasilkan pola pertumbuhan yang berbeda yang dapat diinterpretasikan sebagai pengaruh genetik karena pengaruh lingkungan dianggap nol. Perbedaan pada tingkat bibit antar populasi juga terjadi pada jenis Pinus roxburghii (Ghildiyal et al. 2009) dan Adansonia digitata (Sanchez et al. 2011). Sneizko dan Stewart (1989) berpendapat bahwa keragaman antar populasi dan di dalam populasi dalam karakter-karakter di persemaian merupakan faktor genetik yang penting di alam.
2.3.2.3 Korelasi antar karakter benih, bibit dan faktor geoklimat Ukuran dan berat buah berkorelasi positif dengan beberapa karakter pertumbuhan bibit, seperti tinggi total, diameter, jumlah daun, panjang daun, kerapatan stomata daun, berat kering tajuk, berat kering akar dan berat kering total bibit. Menurut Maheswari dan Konar (1971), ukuran dan berat buah yang lebih besar secara nyata dapat menghasilkan benih lebih banyak dengan kualitas yang lebih baik. Benih yang berkualitas baik akan mempunyai vigor bibit yang baik sehingga ukuran dan berat benih jabon yang besar seperti pada populasi Pomalaa dan Gowa (rata-rata diameter buah >4.80 cm dan berat buah >60 g) menghasilkan pertumbuhan bibit yang lebih baik. Panjang benih berkorelasi negatif dengan waktu rata-rata berkecambah. Benih-benih yang berukuran lebih panjang berkecambah lebih cepat, mempunyai radikula yang lebih panjang, dan berkembang sempurna yang diduga berhubungan dengan cadangan makanan endosperma yang lebih banyak (Kandya 1978). Benih-benih yang lebih panjang juga mempunyai ukuran kotiledon yang lebih besar. Kotiledon secara fisiologis memainkan peran utama dalam perkecambahan,
22
pertumbuhan dan perkembangan kecambah/semai (Devagiri 1978; Singh 1998) sehingga benih jabon yang lebih panjang akan lebih cepat berkecambah. Cadangan makanan yang disimpan dalam endosperma atau kotiledon sangat penting selama proses perkecambahan dan pertumbuhan awal semai (Marshall dan Kozlowski 1976). Beberapa faktor geoklimat juga berkorelasi dengan karakter morfofisiologi benih dan bibit. Ukuran lebar benih bertambah besar dengan bertambahnya derajat garis lintang ke arah Selatan. Besarnya ukuran benih dengan bertambahnya lintang ke arah Selatan diduga berhubungan dengan tingkat kesuburan tanah pada tapak-tapak di sebelah Selatan (Tabel 2.2). Populasi di bagian Selatan umumnya memiliki pH yang relatif lebih baik (pH >5.1) dibandingkan dengan populasi di bagian Utara yang umumnya memiliki pH sangat rendah terutama populasi-populasi di Pulau Sumatera dan Kalimantan (pH <5.1). Dilihat dari tingkat kesuburan pun, tapak di populasi bagian Selatan (populasi Garut, Nusa Kambangan, Alas Purwo dan Batu Hijau) relatif lebih baik khususnya unsur makro (N, P, K, Ca dan Mg). Tingkat kesuburan yang lebih baik diduga berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan buah dan benih sehingga benih-benih dari tapak-tapak yang lebih subur berukuran lebih besar. Benih jabon juga makin panjang dan memiliki vigor yang lebih baik dengan bertambahnya garis bujur ke arah Timur. Curah hujan yang tinggi pada tapak-tapak di bagian Barat diduga menyebabkan tingginya pencucian tanah pada tapak-tapak yang sebagian besar terdegradasi yang menjadi tempat tumbuh jabon sehingga berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan benih yang lebih kecil pada populasi-populasi tersebut. Hal ini dapat diamati dari hasil analisis kesuburan tanah (Tabel 2.2) yang menunjukkan tapak-tapak populasi di bagian Barat (seperti populasi dari Pulau Sumatera) relatif mengandung unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman lebih rendah, seperti N, P, K, Ca dan Mg. Pada jenis-jenis konifer, tingginya tingkat pencucian tanah akibat curah hujan yang tinggi dalam hubungannya dengan ukuran kerucut telah dilaporkan oleh Roy et al. (2004) pada Pinus roxburghii dan Rawat dan Bakshi (2011) pada Pinus wallichiana. Suhu rata-rata tahunan makin tinggi juga berpengaruh terhadap panjang benih jabon dan juga rata-rata waktu berkecambah benihnya yang semakin cepat. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Luo et al. (2005) pada jenis Picea asperata yang menyatakan korelasi positif antara garis lintang dan suhu rata-rata tahunan dengan panjang benih. Suhu secara langsung berperan terhadap perkembangan benih, dimana peningkatan suhu pada batas optimal untuk perkembangan benih akan meningkatkan jumlah benih berisi dan laju produksi bahan kering pada benih (Kobata dan Uemuki 2004; Gao et al. 2012).
2.3.2.4 Keragaman, koefisien keragaman dan heritabilitas Pada penelitian ini, koefisien keragaman genetik untuk semua karakter morfofisiologi buah, benih dan bibit jabon ditemukan lebih tinggi daripada koefisien keragaman lingkungan yang memberi indikasi bahwa komponen genetik berkontribusi sangat besar terhadap total keragaman untuk karakter-karakter tersebut. Beberapa penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa sebagian besar karakter morfofisiologi buah, benih dan bibit jenis-jenis tanaman hutan
23
dikendalikan sangat kuat oleh faktor genetik (Khalil 1974; Jayasankar et al. 1999; Gera et al. 2000; Sivakumar et al. 2002). Faktor lingkungan, yang beragam antar lokasi dan populasi di dalam lokasi, hanya mempunyai pengaruh kecil (Khalil 1974). Keragaman yang disebabkan oleh keragaman genetik memberi indikasi lingkup karakter yang dapat dipertimbangkan untuk seleksi. Pada penelitian ini, koefisien variasi genetik dan kemajuan genetik untuk karakter berat buah, tinggi bibit, diameter pangkal akar, indeks kekokohan, jumlah daun, panjang daun dan lebar daun menunjukkan nilai yang tinggi. Koefisien keragaman genetik yang lebih tinggi menunjukkan bahwa pemuliaan untuk karakter-karakter tersebut dapat dicapai melalui seleksi sederhana, sedangkan nilai kemajuan genetik yang lebih tinggi menunjukkan bahwa rata-rata populasi untuk tinggi bibit, indeks kekokohan dan berat buah dapat bertambah melalui pemilihan genetik superior dengan intensitas 5%. Pendugaan heritabilitas ini berguna sebagai indikator awal kemungkinan untuk seleksi satu atau lebih karakter (Namkoong et al. 1966). Nilai heritabilitas yang tinggi yang berpasangan dengan kemajuan genetik yang tinggi dihasilkan oleh karakter berat buah, tinggi bibit, diameter pangkar akar, indeks kekokohan, jumlah daun, panjang daun dan lebar daun yang menunjukkan bahwa karakterkarakter tersebut mempunyai nilai genetik yang tinggi dengan jumlah komponen genetik aditif yang dapat diturunkan lebih tinggi. Johnson et al. (1995) melaporkan bahwa nilai heritabilitas yang tinggi yang diikuti dengan kemajuan genetik yang tinggi cukup memadai dan akurat untuk pemilihan populasi terbaik, sedangkan nilai heritabilitas yang tinggi yang berpasangan dengan kemajuan genetik rendah seperti yang ditunjukkan diameter buah, berat 1000 butir benih, daya dan kecepatan berkecambah, memberi indikasi bahwa karakter-karakter tersebut mempunyai lebih banyak komponen genetik non aditif daripada komponen aditifnya sehingga karakter tersebut tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi yang baik (Rawat dan Bakshi 2011). Biplot populasi jabon berdasarkan analisis komponen utama dan analisis klaster hirarkhi karakter morfofisiologi benih dan bibit (Gambar 2.5) mempunyai pola yang hampir sama dan menghasilkan kecenderungan klasifikasi genetik 11 populasi jabon dalam 4 kelompok (klaster). Kelompok I terdiri dari 2 populasi (Kapuas dan Batu Licin), kelompok II memiliki 2 anggota populasi (Gowa dan Pomalaa), kelompok III memiliki jumlah populasi terbesar, yaitu 6 populasi (Kampar, OKI, Garut, Alas Purwo dan Batu Hijau). Kelompok IV hanya memiliki 1 populasi (Rimbo Panti). Sebagian besar pengelompokan jarak populasi secara geografis ke dalam satu group menunjukkan bahwa populasi yang jaraknya berdekatan secara genetik memiliki kekerabatan yang lebih dekat, kecuali untuk populasi Rimbo Panti yang terisolasi dari populasi lainnya yang berasal dari satu pulau yang sama (Sumatera). Pengrusakan dan degradasi hutan yang sangat intensif pada wilayah tersebut menyebabkan populasi yang tersisa terisolasi dan mengalami penghanyutan genetik dan inbreeding yang menghasilkan keragaman genetik antar populasi yang tinggi.
24
2.4 Simpulan Jabon dapat tumbuh pada kisaran kondisi tapak yang cukup beragam. Jenis ini dijumpai tumbuh baik pada ketinggian tempat 23 m dpl sampai 628 m dpl dengan tipe iklim A sampai dengan E dan tingkat kesuburan rendah hingga tinggi. Keragaman tempat tumbuh ini secara evolusi berhubungan dengan daya adaptasi dan keragaman genetik karakteristik morfofisiologi benih dan bibit. Karakteristik morfofisiologi benih dan bibit antar populasi juga sangat beragam. Sebagian besar karakter benih dan bibit yang diamati tidak berkorelasi dengan faktor-fartor geoklimat. Komponen genetik berkontribusi sangat besar terhadap total keragaman untuk karakter morfofisiologi buah, benih dan bibit jabon. Nilai heritabilitas pada semua karakter menunjukkan nilai yang tinggi. Karakter berat buah, daya berkecambah, kecepatan berkecambah, tinggi bibit dan indeks kekokohan bibit memiliki nilai heritabilitas tertinggi dan diikuti dengan nilai kemajuan genetik tinggi sehingga dapat dijadikan indikator penting untuk pemilihan populasi terbaik. Pengelompokan populasi dengan menggunakan analisis komponen utama dan analisis klaster dalam hubungannya dengan jarak geografis menunjukkan bahwa sebagian besar populasi yang berdekatan secara genetik mempunyai jarak geografis berdekatan, khususnya populasi-populasi yang berada pada pulau yang sama.
25
3 KERAGAMAN MORFOLOGI BIBIT DAN GENETIK JABON BERDASARKAN PENANDA AFLP
3.1 Pendahuluan
Jabon merupakan jenis tanaman hutan potensial yang banyak dibudidayakan di Indonesia, khususnya di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Jenis ini mempunyai sebaran tumbuh yang luas dan diduga mempunyai plastisitas dan adaptasi tinggi terhadap lingkungan alaminya. Plastisitas memberi implikasi bahwa suatu kelompok gen yang terbagi di antara populasi mampu beraklimatisasi dan menghasilkan morfologi/fenotipe berbeda pada setiap lingkungannya (Via dan Lande 1987). Karakterisasi pola perbedaan morfologi pada populasi di hutan alam tersebut merupakan informasi awal yang sangat penting untuk menyatakan hipotesis tentang kemungkinan pola keragaman genetik, karakter-karakter khusus yang secara nyata beradaptasi dan respon plastis terhadap lingkungannya (Ohsawa dan Ide 2007). Beberapa peneliti telah mengkaji keragaman antar populasi pada tingkat bibit seperti pada Pseudotsuga menziesii (Campbell dan Rediske 1965), Larix sibirica dan Larix gmelinii (Lukkarinen et al. 2009), Pinus roxburghii (Ghildiyal et al. 2009) dan Sclerocarya birrea (Dlamini 2010). Informasi tersebut sangat penting untuk mendapatkan karakteristik famili-famili unggul pada tingkat bibit dan kemungkinan melakukan seleksi lebih awal (Jiang et al. 1989; Pharis et al. 1991). Untuk memperkuat informasi data penanda morfologi tersebut, diperlukan juga dukungan penanda molekuler (Danquah et al. 2011). Kajian keragaman genetik yang didasarkan penanda molekuler DNA telah secara luas diterapkan pada jenis-jenis tanaman hutan (Glaubitz dan Moran 2000; White et al. 2007). Beberapa penelitian keragaman genetik untuk jenis jabon telah dilakukan pada beberapa populasi di Kalimantan dengan menggunakan beberapa tehnik, seperti allozyme pada populasi jabon di Kalimantan Timur (Mardiningsih 2002), simple sequence repeats (Phui et al. 2008; Seng et al. 2010), single nucleotide polymorphism (Tchin et al. 2012) dan expressed sequence tagsimple sequence repeats (Lai et al. 2013) pada populasi jabon di Serawak, Malaysia. Salah satu teknik yang cukup potensial dan efektif untuk studi keragaman genetik adalah Amplified Fragment Length Polymorphisms (AFLP) (Glaubitz dan Moran 2000; Bonin et al. 2007). Dibandingkan dengan teknik lainnya (RFLP, RAPD, SSR), AFLP memberikan indeks keragaman yang lebih tinggi (Russell et al. 1997; Pakniyat et al. 1997), teknik ini mudah ditransfer pada jenis berbeda dan tidak memerlukan informasi urutan basa nukleotida sebelumnya (Vos et al. 1995) serta jumlah lokus yang lebih banyak dari setiap reaksinya (Toruan-Mathius et al. 2002) sehingga sangat efektif untuk membedakan genetik dari areal-areal yang terpisah secara geografis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji keragaman morfologi bibit dan keragaman genetik jabon berdasarkan penanda AFLP. Informasi status keragaman genetik ini sangat diperlukan untuk pengumpulan materi genetik secara efektif pada populasi terpilih dalam rangka konservasi dan pembangunan populasi pemuliaan.
26
3.2 Bahan dan Metode 3.2.1 Bahan Benih jabon dikumpulkan dari 31 famili pohon induk berfenotipe baik yang tumbuh secara alami di 4 (empat) populasi (Tabel 3.1). Pohon induk merupakan pohon dominan yang dipilih dengan kriteria tinggi total, diameter setinggi dada, bentuk tajuk, bebas hama dan penyakit dan membandingkannya dengan pohon-pohon sejenis di sekitarnya. Untuk mencegah pengambilan benih dari pohon induk berkerabat dekat, jarak minimal rata-rata antar pohon induk adalah 100 m. Tabel 3.1 Deskripsi geografis populasi dan jumlah sampel yang diteliti Populasi
Pulau
Jumlah famili 6
Kapuas (KKT)
Kalimantan
Kampar (SKR)
Sumatra
10
Nusa Kambangan (JNK)
Nusa Kambangan
10
Pomalaa (CPK)
Sulawesi
5
Kode famili KKT-2 KKT-3 KKT-4 KKT-6 KKT-14 KKT-24 SKR-1 SKR-4 SKR-6 SKR-7 SKR-9 SKR-10 SKR-11 SKR-12 SKR-13 SKR-14 JNK-2 JNK-7 JNK-11 JNK-12 JNK-13 JNK-15 JNK-17 JNK-22 JNK-23 JNK-24 CPK-6 CPK-7 CPK-8 CPK-10 CPK-21
Lokasi geografis Lintang Bujur 01°15.458 S 114°33.295 T 01°15.078 S 114°33.312 T 01°14.103 S 114°34.169 T 01°13.150 S 114°34.252 T 01°12.368 S 114°34.275 T 01°12.352 S 114°34.261 T 00°19.983 U 100°59.333 T 00°20.041 U 100°58.743 T 00°20.017 U 100°58.648 T 00°20.199 U 100°57.541 T 00°20.289 U 100°57.167 T 00°21.289 U 100°57.167 T 00°19.034 U 100°57.876 T 00°19.074 U 100°57.878 T 00°19.093 U 100°57.892 T 00°19.080 U 100°57.908 T 07°45.054 S 108°59.781 T 07°45.131 S 108°59.517 T 07°43.740 S 108°55.221 T 07°43.761 S 108°55.224 T 07°44.298 S 108°53.936 T 07°44.336 S 108°53.902 T 07°44.343 S 108°53.906 T 07°45.236 S 108°59.552 T 07°43.229 S 109°00.771 T 07°43.656 S 108°55.474 T 04°13.559 S 121°39.272 T 04°13.565 S 121°39.287 T 04°07.529 S 121°39.347 T 04°08.136 S 121°39.064 T 03°57.617 S 121°44.743 T
3.2.2 Analisis keragaman morfologi bibit Benih jabon diekstrak secara terpisah per pohon induk dengan metode ekstraksi basah (Bonner et al. 1994). Setiap benih dari tiap pohon induk diberi label sehingga tidak tercampur. Penaburan benih dilakukan di rumah kaca SEAMEO BIOTROP Bogor (http://www.biotrop.org). Benih ditabur pada pot plastik berisi media campuran pasir, kompos dan arang sekam (5:3:1 v/v/v).
27
Penaburan benih dilakukan per pohon induk dengan mencampurkan benih dengan pasir halus (1:10 v/v) sehingga benih merata pada permukaan media. Penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari dengan menggunakan sprayer. Penyapihan dilakukan setelah semai berukuran tinggi semai 2 - 3 cm ke polibag berukuran berdiameter 10 cm dan tinggi 15 cm. Media sapih yang digunakan adalah campuran top soil, kompos dan arang sekam (2:1:1 v/v/v). Rancangan acak blok dengan 4 ulangan/blok digunakan di persemaian pada tingkat bibit. Setiap famili diwakili oleh 100 bibit atau 25 bibit per blok. Pemupukan dilakukan pada umur bibit 1 bulan dengan melarutkan 5 g NPK ke dalam 1 liter air yang disiramkan secara merata (100 ml air/bibit). Pada umur bibit 4 bulan, untuk menghindari efek samping, 9 bibit yang terletak di bagian tengah blok digunakan sebagai tanaman sampel untuk pengukuran 6 parameter morfologi bibit (Gambar 3.1 dan Tabel 3.2).
Blok 1
Blok 2
Blok 3
dst…….
Gambar 3.1 Tata letak bibit dan pengukuran parameter morfologi bibit
28
Tabel 3.2 Karakteristik morfologi bibit yang diuji Karakteristik bibit Tinggi total bibit Diameter pangkal batang Indeks kekokohan Jumlah daun Panjang daun
Lebar daun
Deskripsi Diukur dengan menggunakan mistar dari mulai pangkal batang sampai ujung batang utama (apek) bibit Diukur dengan menggunakan kaliper digital pada ketinggian batang 1 cm di atas permukaan media Hasil pembagian tinggi total bibit dengan diameter bibit Diukur dengan menghitung banyaknya daun pada batang bibit Diukur dengan menggunakan mistar dari mulai pangkal tangkai daun hingga ujung daun dari sepasang daun pertama dari apek yang telah berkembang sempurna. Panjang daun merupakan rata-rata dari panjang sepasang daun pertama. Diukur dengan menggunakan mistar pada bagian helai daun terlebar pada sepasang daun pertama dari apek yang telah berkembang sempurna, mulai dari tepi daun sisi kiri hingga tepi daun tepi kanan. Lebar daun merupakan rata-rata dari lebar sepasang daun pertama.
Analisis ragam digunakan untuk setiap variabel mengikuti model statistik sebagai berikut : 𝑌𝑖𝑗𝑘 = µ + 𝑅𝑖 + 𝑃𝑗 + 𝐹(𝑃)𝑘(𝑗 ) + 𝐸𝑖𝑗𝑘𝑙 dimana: 𝑌𝑖𝑗𝑘 adalah nilai fenotipe individu ke-l famili ke-k populasi ke-j dalam ulangan ke-i; μ = nilai rata-rata umum; 𝑅𝑖 adalah pengaruh acak dari ulangan kei; Pj adalah pengaruh acak dari populasi ke-j; 𝐹(𝑃)𝑘(𝑗 ) adalah pengaruh acak famili ke-k dalam populasi ke-j; 𝐸𝑖𝑗𝑘𝑙 adalah pengaruh acak individu ke-l famili ke-k populasi ke-j dalam ulangan ke-i. Pengujian dilakukan dengan GLM procedure SAS 9.1.3 Portable. Komponen ragam genetik masing-masing variabel dihitung dengan VARCOMP procedure. Duncan multiple range test digunakan untuk membedakan nilai tengah karakter morfologi bibit jabon. Keragaman genetik aditif merupakan parameter dasar untuk menduga keragaman genetik di dalam populasi, yang dihitung dengan rumus (Falconer dan Mackay 1996): 𝜎²𝐴= 4 𝜎²𝑓 , dimana : 𝜎²𝐴 = ragam genetik aditif dan 𝜎²𝑓 = komponen ragam famili. Koefisien keragaman genetik aditif dihitung dengan rumus :
𝐶𝑉𝐴 = 100
𝜎²𝑓 𝑥
dimana x adalah rata-rata variabel. Heritabilitas dalam arti sempit (2 ) diduga dari komponen ragam (Falconer dan Mackay 1996) dengan menggunakan rumusrumus sebagai berikut: 𝜎2𝐴
2 = 𝜎 2 𝑝 =
4𝜎²𝑓 𝜎²𝑓 + 𝜎²𝑟 + 𝜎²𝑒
dimana 2 = heritabilitas, 𝜎 2 𝑝 = ragam fenotipe, 𝜎 2 𝑟= komponen ragam blok, 𝜎 2 𝑒 = ragam error.
29
Perbedaan genetik antar populasi (Qst) diduga dengan rumus sebagai berikut (Spitze, 1993): 𝑄𝑠𝑡 =
𝜎²𝑝𝑜𝑝
𝜎²𝑝𝑜𝑝 + 2(4𝜎 2𝑓 )
dimana 𝜎²𝑝𝑜𝑝 = ragam antar populasi. Analisis klaster (hierarchi cluster, average linkage between groups) digunakan untuk menerangkan pola keragaman yang disajikan dalam bentuk dendrogram. Jumlah klaster yang terbentuk didasarkan pada selisih koefisien aglomerasi terbesar, hal ini sesuai yang dikemukakan Fernandes (2008) yang menyatakan bahwa penentuan jarak antar klaster pada metode average lingkage dihitung berdasarkan jarak rata-rata dari seluruh objek yang berada di dalam kedua klaster tersebut dan identifikasi banyaknya klaster yang terbentuk didasarkan pada lompatan koefisien aglomerasi terjauh. 3.2.3 Analisis AFLP Analisis AFLP dilakukan di Laboratorium Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman, SEAMEO BIOTROP Bogor (http://www.biotrop.org). Total DNA diekstrak dari potongan-potongan daun kecil yang telah dikeringkan mengikuti protokol pabrikan Dneasy® Plant Mini Kit (QIAGEN Cat. No. 69104). Secara singkat, 0.4 g jaringan daun digerus hingga halus di dalam cawan porselin dengan menggunakan mortar dan menambahkan nitrogen cair pada setiap penggerusannya. Serbuk halus jaringan daun tersebut dicampur dengan 400 µl buffer AP1, 4 µl RNase A, dan 4 µl 2-mercaptoethanol. Sampel DNA divortek dan diinkubasi pada suhu 65 °C selama 10 menit. Kemudian 130 µl buffer AP2 ditambahkan dan diikubasi dalam es selama 5 menit dan disentrifugal pada 10 000 rpm selama 5 menit. Kemudian supernatant dipindahkan ke tube QIAshredded dan disentrifugal kembali pada putaran 10 000 rpm selama 5 menit. Buffer AP3 ditambahkan ke dalam supernatant dengan volume 1.5 kali volume supernatant dan dicampurkan secara merata dengan menggunakan pipet. Supernatant dipindahkan ke dalam mini spin column dan diletakkan pada tube baru, disentrifugal pada 6 000 rpm selama 1 menit dan kemudian supernatant dibuang dari tube. Kemudian tube diganti dengan tube baru dan ditambahkan 500 µl buffer AW ke dalam mini spin column, disentrifugal kembali pada 6 000 rpm selama 1 menit. Mini spin column dielusi dengan 50 µl buffer AE, kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 5 menit dan disentrifugasi kembali pada 8 000 rpm selama 1 menit. Sebanyak 5 µl DNA dipisahkan secara elektroporesis pada 0.8 gel agarose pada 100 V dan divisualisasi dengan DNA gel staining dan difoto pada sinar ultraviolet untuk mengecek kuantitas dan kualitas DNA-nya. DNA yang diekstrak disimpan pada suhu -20 °C. Analisis AFLP dilakukan berdasarkan protokol yang dikembangkan Vos et al. (1995) dengan menggunakan AFLP Analysis System I Kit (Life Technologies, Inc.) dengan sedikit modifikasi terhadap intruksi dari pabrikan. Sebanyak 10 µl DNA dipotong dengan 2 enzim restriksi (EcoRI/MseI) pada suhu 37 °C selama 2 jam. Untuk memotong DNA ditambahkan 24 mL larutan adapter ligasi EcoRI dan MseI dan 1 mL T4 DNA ligase dan reaksi tersebut diinkubasi pada 20 °C selama 2 jam. Polymerase chain reaction (PCR) dilakukan setelah DNA yang terligasi
30
dielusi 10 kali dengan air yang disuling/steril. Preamplifikasi fragmen dilakukan dengan 20 siklus PCR (94 °C selama 30 menit, 56 °C selama 60 menit, 72 °C selama 60 menit), menggunakan 2 primer yang mempunyai sebuah nukleotida selektif tunggal. Hasil PCR dari reaksi preamplifikasi didilusi 50 kali dan digunakan sebagai template untuk amplifikasi selektif yang menggunakan primer EcoRI +3 (AFLP starter primer kit; Life Technologies, Inc.) yang ujungnya diberi label radioaktif dengan 10 µl [γ-33P] ATP (2 000 Ci/mmol) dan primer MseI +3 tidak berlabel. Reaksi AFLP untuk 1 siklus dilakukan pada 94 °C selama 30 menit, 65 °C selama 30 menit dan 72 °C selama 60 menit, diikuti dengan penurunan suhu annealing pada setiap siklusnya dengan 0.7 °C untuk 12 siklus; suhu annealing dipertahankan pada suhu 56 °C untuk 23 siklus sisanya. Dari 22 primer yang diuji, sebanyak 6 pasang primer yang mempunyai pita-pita polimorfis tinggi dipilih dan digunakan untuk mengamplifikasi DNA jabon (Gambar 3.2). Primer tersebut adalah P3, P5, P16, P18, P19 dan P21. P1
E-AAC
M-CAC
P2
E-AAC
M-CAG
P3
E-AAC
M-CTG
P4
E-AAG
M-CAT
P5
E-AAG
M-CTC
P6
E-ACA
M-CAC
P7
E-ACA
M-CAT
P8
E-ACA
M-CTG
P9
E-ACA
M-CTT
P10
E-ACC
M-CAA
P11
E-ACC
M-CAC
P12
E-ACC
M-CTA
P13
E-ACG
M-CAA
P14
E-ACG
M-CTC
P15
E-ACT
M-CAG
P16
E-ACT
M-CAT
P17
E-ACT
M-CTA
P18
E-AGC
M-CAA
P19
E-AGC
M-CTA
P20
E-AGG
M-CAC
P21
E-AGG
M-CTC
P22
E-AGG
M-CTT
M P1 P2
P3
P4 P5 P6
P7
P8
P9 P10 P11 P12
P13 P14 P15 P16 P17 P18 P19 P20 P21 P22 M
Gambar 6. Seleksi pasangan primer untuk analisis AFLP Anthocephalus cadamba
Keterangan: E = primer EcoRI +3 (AFLP starter primer kit; Life Technologies, Inc.) yang Gambar 3.2 Seleksi pasangan primer untuk analisis AFLP jabon putih ujungnya diberi label radioaktif dengan 10 µl [γ-33P] ATP (2000 Ci/mmol), M = primer MseI +3 tidak berlabel.
Gambar 3.2 Seleksi pasangan primer untuk analisis AFLP jabon Setelah reaksi PCR selesai, ke dalam setiap sampel ditambahkan loading buferformamide 2X (98% formamide; 10 mM EDTA; 0.025% bromofenol biru; 0.025% silen sianol) dengan volume yang sama (20 μL). Untuk marker dicampurkan 1 μL 100-bp DNA Ladder, 19 μL akuades, dan 20 μL loading buferformamid 2X. Sampel dan marker dipanaskan pada 90 °C, selama 3 menit dan segera ditempatkan di es. Produk AFLP dipisahkan pada 6% poliakrilamide gel ukuran 12 x 14.5 cm yang sudah didenaturasi. Komposisi bahan penyusun gel untuk volume 22 mL (untuk 2 gel ukuran 12 x 14.5 cm) adalah urea 9.24 g (7 M); H2O 10.63 mL; akrilamid/bis (19:1) 3.30 mL (6%); bufer TBE (10x) 1.10 mL (0.5 x); APS (10%) 147.4 μL (0.067%) dan TEMED 14.74 μL. Campuran larutan dituang ke lempeng kaca yang telah dipasang spacer dan diletakkan secara vertikal, dibiarkan selama satu jam. Sebelum elektroforesis dijalankan, sekitar 200 mL TBE 0.5X ditambahkan pada wadah bagian bawah
31
peralatan elektroforesis. Lempeng kaca berisi gel dimasukkan ke wadah elektroforesis kemudian ditambahkan TBE 0.5X pada bagian atas. Preelektroforesis dilakukan selama 20 menit (15 watt) agar supaya suhu permukaan gel mencapai sekitar 50 °C. Permukaan gel dibersihkan dari kristal urea dengan buffer TBE menggunakan pipet 1 mL, kemudian sisir dipasang pada gel. Sebanyak 10 μL sampel dimasukkan ke sela-sela sisir elektroforesis dijalankan pada power konstan yaitu 12 W, selama kurang lebih 40 menit (sampai silen sianol mencapai 2/3 dari panjang gel). Lempeng kaca dikeluarkan dari peralatan elektroforesis, spacer dan satu sisi lempeng kaca dilepas, kemudian gel yang masih menempel pada lempeng kaca lainnya dilepas dan diletakkan pada wadah plastik yang diisi dengan larutan fiksasi (asam asetat glasial 10%) dan digoyang selama 20 menit. Larutan fiksasi dibuang dan dicuci tiga kali masing-masing selama 2 menit dengan air bebas ion sambil digoyang. Pewarnaan gel dengan cara perendaman selama 30 menit dalam larutan nitrat silver sambil digoyang (AgNO3 6 mM, formaldehide 0.05%). Kemudian larutan perak dibuang, dibilas cepat dengan air bebas ion dan ditambahkan larutan developer dingin, suhu 4 °C (Na2CO3 0.3 M, formaldehide 0.05%, Na2S2O3 2 μg/mL), digoyang sampai pita muncul. Larutan developer dibuang, gel direndam dalam larutan fiksasi selama 3 menit kemudian dicuci. Analisis data dilakukan dengan memberi skor fragmen AFLP yang berkisar dari 50 hingga 400 base pair (bp) dengan kriteria ada pita (1) dan tidak ada pita (0) untuk setiap kombinasi primer-populasi. Data dimasukkan dalam bentuk data matrik binary sebagai variabel diskrit. Parameter genetik ditentukan dengan menggunakan POPGENE versi 1.31 dengan asumsi Hardy-Weinberg equilibrium, yang meliputi: persentase lokus-lokus polimorfis pada tingkat 99% (PPL, Nei 1973); rata-rata jumlah alel per lokus (Na); jumlah alel efektif per lokus (Ne) (Kimura dan Crow 1964); keragaman gen (h = heterosigositas yang diharapkan He, Nei 1973); indeks Shannon (Shannon’s information index) yang diperkenakan dalam genetika populasi oleh Lewontin (1972) yang mengindikasikan derajat polimorfis AFLP di dalam populasi dengan menggunakan rumus: 𝐼 = − 𝑝𝑖 𝑙𝑜𝑔2 𝑝𝑖 , dimana 𝑝𝑖 adalah frekwensi ada dan tidak ada band; total keragaman genetik (Ht); keragaman genetik di dalam populasi (Hs); keragaman genetik antar populasi (Dst); besaran relatif differensiasi genetik antar populasi Gst = Dst/Ht (Nei 1978); dan aliran gen (Nm, jumlah migran per generasi) diduga dengan menggunakan rumus Nm = 0.25(1– GST)/GST. Dendrogram unweighted pair group method using aritmetic average (UPGMA) dibangun dengan menggunakan program NTSYS-pc versi 2.0 (Rohlf 1998) berdasarkan jarak genetik Nei (1978).
3.3 Hasil dan Pembahasan 3.3.1 Hasil 3.3.1.1 Keragaman morfologi bibit Bibit jabon umur 4 bulan dari 31 famili menunjukkan perbedaan pertrumbuhan antar populasi dan antar famili dalam populasi pada semua karakter. Famili Pomalaa-6 memiliki pertumbuhan tinggi (43.9 cm) dan diameter
32
bibit (6.00 mm) terbaik, sedangkan famili Kapuas-6 memiliki pertumbuhan tinggi terendah (10.8 cm) dan famili Kapuas-14 memiliki diameter bibit terendah (2.96 mm). Indeks kekokohan tertinggi ditunjukkan oleh famili Pomalaa-21 (10.63), sedangkan indeks kekokohan terendah diberikan oleh famili Kapuas-4 (3.35). Jumlah daun terbanyak ditunjukkan oleh famili Pomalaa-7 (8.9 lembar), sedangkan jumlah daun paling sedikit ditunjukkan famili Kapuas-2 (6.0 lembar). Daun terpanjang dihasilkan famili Pomalaa-8 (17.4 cm) dan daun terpendek dihasilkan oleh famili Kapuas-2 (9.0 cm), sedangkan daun terlebar ditunjukkan oleh famili Kampar-6 (9.9 cm) dan daun tersempit ditunjukkan oleh famili Kapuas-6 (4.4 cm) (Tabel 3.3). Tabel 3.3 Karakter morfologi bibit jabon umur 4 bulan setelah sapih Famili
Tinggi Diameter Indeks Jumlah daun Panjang Lebar bibit cm) bibit (mm) kekokohan (lembar) daun (cm) daun (cm) Kapuas-2 (KKT2) 13.4 op 3.02 m 4.51 jkl 4.6 n 6.0 l 9.0 m Kapuas-3 (KKT3) 12.8 p 3.12 m 4.18 j-m 6.1 l 9.2 m 4.7 mn Kapuas-4 (KKT4) 13.1 p 4.13 jk 6.1 kl 11.5 l 6.4 jkl 3.35 m Kapuas-6 (KKT6) 3.02 m 3.75 lm 6.1 l 9.2 m 10.8 q 4.4 n Kapuas-14 (KKT14) 14.3 nop 4.92 hij 7.0 g-j 12.3 kl 5.5 lm 2.96 m Kapuas-24 (KKT24) 16.0 n 3.99 jk 4.06 klm 7.6 efg 11.9 l 6.4 jkl Kampar-1 (SKR1) 35.9 cd 4.89 e-h 7.45 bcd 6.2 kl 13.6 h-k 7.8 hi Kampar-4 (SKR4) 40.0 b 4.99 d-g 8.20 b 6.2 kl 15.9 b-e 8.8 b-f Kampar-6 (SKR6) 31.3 fg 5.22 c-f 6.17 fg 6.1 kl 16.9 ab 9.9 a Kampar-7 (SKR7) 32.7 ef 4.66 ghi 7.21 de 7.1 g-j 16.1 a-d 9.1 abc Kampar-9 (SKR9) 27.3 ij 4.55 hi 6.12 fg 6.2 kl 13.2 jk 7.4 ijk Kampar-10 (SKR10) 27.0 ij 4.91 e-h 5.63 gh 6.4 jkl 16.9 ab 9.0 a-d Kampar-11 (SKR11) 32.1 ef 5.26 cde 6.18 fg 7.0 g-j 16.6 ab 9.3 ab Kampar-12 (SKR12) 29.9 gh 4.97 d-g 6.07 fg 7.3 fgh 16.1 a-d 9.4 ab Kampar-13 (SKR13) 28.1 hi 4.82 fgh 5.88 fg 6.8 hij 14.3 g-j 8.0 e-i Kampar-14 (SKR14) 34.0 de 5.27 cde 6.62 def 7.4 fgh 16.5 a-c 9.3 ab Nusa Kambangan-2 (JNK2) 20.3 m 5.38 bcd 3.82 klm 8.4 abc 16.8 ab 8.5 b-g Nusa Kambangan-7 (JNK7) 15.4 no 4.26 ij 3.68 lm 8.1 b-e 13.4 ijk 7.2 jk Nusa Kambangan-11 (JNK11) 25.9 jk 4.04 jk 6.55 ef 6.5 i-l 12.3 kl 6.4 jkl Nusa Kambangan-12 (JNK12) 28.6 hi 4.84 e-h 6.15 fg 6.1 kl 14.8 d-h 8.9 b-f Nusa Kambangan-13 (JNK13) 22.9 l 4.37 ij 5.32 ghi 7.1 ghi 14.7 e-i 8.0 d-i Nusa Kambangan-15 (JNK15) 25.7 jk 5.68 ab 4.59 ijk 7.9 c-f 16.4 a-c 8.0 ghi Nusa Kambangan-17 (JNK17) 24.7 kl 4.54 hi 5.52 gh 7.6 d-g 14.6 f-i 8.2 c-h Nusa Kambangan-22 (JNK22) 31.2 fg 5.49 bc 6.56 ef 6.4 jkl 16.6 ab 9.1 abc Nusa Kambangan-23 (JNK23) 23.8 kl 3.72 kl 6.56 ef 7.4 fgh 11.9 l 6.1 kl Nusa Kambangan-24 (JNK24) 24.7 kl 4.54 hi 5.52 gh 7.6 d-g 14.6 f-i 8.2 c-h Pomalaa-6 (CPK6) 7.44 bcd 8.3 a-d 16.1 a-d 8.9 a-e 43.9 a 6.00 a Pomalaa-7 (CPK7) 41.9 ab 5.25 cde 8.14 bc 15.8 b-f 8.5 b-g 8.9 a Pomalaa-8 (CPK8) 36.1 c 5.48 bc 6.74 def 7.3 fgh 8.7 b-g 17.4 a Pomalaa-10 (CPK10) 36.5 c 5.08 c-f 7.36 cde 8.7 ab 15.2 d-g 9.3 ab Pomalaa-21 (CPK21) 36.2 c 3.49 l 8.2 a-e 10.0 m 5.2 mn 10.63 a Rata-rata 26.9 4.57 5.96 7.1 14.2 7.7 F hitung: Blok 2.87ns 2.04ns 4.93ns 0.93ns 4.05ns 2.17ns Populasi 1467.18** 233.86** 231.06** 84.82** 211.11** 185.80** Famili (Populasi) 29.70** 21.43** 14.49** 8.93** 19.43** 13.30** Keterangan: nilai yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada p = 0.05, ** = berpengaruh sangat nyata pada p = 0.01, * = berpengaruh nyata pada p = 0.05, ns= tidak berbeda nyata.
Nilai keragaman genetik aditif dan koefisien keragamannya menunjukkan nilai yang rendah pada populasi Kampar yang terjadi hampir pada semua karakter. Populasi Pomalaa dan Nusa Kambangan relatif lebih beragam dibandingkan kedua populasi lainnya. Dari keseluruhan populasi, nilai ragam genetik aditif (σ²A)
33
tertinggi ditunjukkan oleh karakter tinggi bibit (54.54), sedangkan nilai koefisisen genetik aditif (CVA) tertinggi ditunjukkan oleh karakter indeks kekokohan (32.39). Jumlah daun memiliki nilai koefisien ragam genetik aditif terendah (16.62). Nilai heritabilitas dalam arti sempit (h2) yang diukur dari 31 famili menunjukkan bahwa diameter bibit dan panjang daun memiliki nilai heritabilitas tertinggi (h2 diameter bibit = 0.954 dan h2 panjang daun = 0.923) memberi indikasi kontrol genetik yang tinggi. Differensiasi genetik (Qst) rata-rata yang dihitung dari 6 karakter adalah 0.216. Nilai differensiasi tertinggi ditunjukkan oleh tinggi bibit (Qst = 0.458) (Tabel 3.4). Analisis klaster terhadap karakteristik morfologi bibit dari 31 famili menghasilkan nilai koefisien aglomerasi dengan selisih terbesar pada tahap 29 ke 30 sehingga dari analisis tersebut, jumlah klaster diperkirakan sebanyak 2 klaster atau kelompok populasi. Berdasarkan analisis tersebut, sebagian besar famili dari populasi Kapuas terpisah dari famili-famili dari 3 populasi lainnya (Gambar 3.3). Tabel 3.4 Ragam genetik aditif, koefisien keragaman aditif, heritabilitas dan differensiasi genetik karakter pertumbuhan bibit jabon umur 4 bulan di persemaian Parameter genetik Ragam genetik aditif (σ²A)
Kampar Nusa Kambangan Kapuas Pomalaa Semua populasi Koefisien Kampar keragaman Nusa Kambangan aditif (CVA)_ Kapuas (%) Pomalaa Semua populasi Heritabilitas (h2) Differensiasi genetik (Qst)
Tinggi bibit 65.05 71.86 10.38 73.14 54.54 25.35 34.86 24.08 21.97 27.45 0.442 0.458
Diameter bibit 0.19 1.64 1.07 3.49 1.30 8.75 27.33 30.74 36.92 25.02 0.954 0.149
Karakter bibit Indeks Jumlah kekokohan daun 2.49 0.84 4.25 2.13 1.09 1.58 9.00 1.30 3.72 1.39 24.07 13.77 38.01 19.99 25.31 19.47 37.21 13.77 32.39 16.62 0.681 0.563 0.213 0.142
Panjang daun 6.81 11.24 8.84 31.83 12.26 16.74 22.96 28.29 37.92 24.66 0.923 0.148
Lebar daun 2.24 3.58 3.06 10.83 4.13 17.01 24.13 32.78 40.58 26.39 0.697 0.188
34
NK17 JNK17 NK24 JNK24 NK13 JNK13
Populasi Nusa Kambangan
NK10 JNK10 NK15 JNK15 KR13 SKR13
JNK12 NK12 JNK22 KR9 JNK11 NK11 JNK23 NK23 JNK2 NK2 SKR7 KR7 SKR14 KR14 SKR6 KR6
Populasi Kampar
SKR9 NK22 SKR11 KR11 SKR12 KR12 SKR4 PM8 CPK10 PM10
Populasi Pomalaa
SKR1 KR1 CPK6 PM6 CPK7 PM7 CPK8 KR4 CPK21 PM21 KKT2 KK2
Populasi Kapuas
KKT3 KK3 KKT6 KK6 KKT24 KK24 JNK7 NK7 KKT4 KK4 KKT14 KK14
Gambar 3.3 Kekerabatan famili pada bibit tingkat bibit berdasarkan Gambar 3.3 Kekerabatan famili jabon putihjabon pada tingkat berdasarkan morfologinya di persemaian
3.3.1.2 Keragaman genetik berdasarkan penanda AFLP Parameter keragaman genetik di dalam populasi menunjukkan bahwa jumlah lokus polimorfis (JLP) berkisar antara 135 (populasi Kampar) hingga 242 (populasi Kapuas) dengan persentase lokus polimorfis 46.71% (populasi Kampar) hingga 83.74% (populasi Kapuas) (Tabel 3.5). Contoh cetakan AFLP 31 famili jabon dengan menggunakan primer 21 disajikan pada Gambar 3.4. Nilai heterozigositas (He) berkisar antara 0.1489 (populasi Kampar) hingga 0.3339 (populasi Kapuas). Indeks Shannon terendah dihasilkan oleh populasi Kampar (0.2278), sedangkan indeks Shannon terbesar ditunjukkan oleh populasi Kapuas (0.4894). Secara keseluruhan, rata-rata nilai heterozigositas dan indeks Shannon masing-masing adalah 0.2788 dan 0.4347, sedangkan jumlah alel per lokus dan jumlah alel efektif per lokus adalah 1.9723 dan 1.4475.
35
Kapuas KK
Kampar KR
Nusa Kambangan
NK
2 3 4 6 14 24 1 4 6 7 9 10 11 12 13 14 2 7 11 12 13 15
Pomalaa
PM
17 22 23 24 6 7 8 10 21
Gambar 3.4 Contoh cetakan AFLP 31 famili jabon dengan menggunakan primer 21 Tabel 3.5 Keragaman genetik di dalam populasi famili jabon berdasarkan marka APLF Populasi n JLP PLP (%) Na Ne He I Kapuas 6 242 83.74 1.8374 1.5846 0.3339 0.4894 Kampar 10 135 46.71 1.4671 1.2478 0.1489 0.2278 Nusa Kambangan 10 156 53.98 1.5398 1.3287 0.1940 0.2904 Pomalaa 5 176 60.90 1.6090 1.3774 0.2270 0.3394 Rata-rata 7.75 177 61.33 1.6133 1.3846 0.2756 0.3367 Total 31 281 97.23 1.9723 1.4475 0.2788 0.4347 SD 0.1643 0.3058 0.1465 0.1871 Keterangan: n = ukuran sampel, JLP = jumlah lokus polimorfis, PLP = persen lokus polimorfis, Na = jumlah alel yang teramati (Kimura dan Crow 1964), Ne = jumlah alel efektif (Kimura dan Crow 1964), He = heterosigositas (Nei‟s (1973) gene diversity), I = indeks Shannon (Lewontin 1972), SD = standar deviasi dari nilai total.
Keragaman genetik antar populasi diukur dengan jarak genetik antar populasi, differensiasi genetik (Gst) dan analisis klaster. Kisaran jarak genetik Nei‟s paling kecil terjadi antara populasi Nusa Kambangan dan Kampar (0.0284), sedangkan jarak terbesar ditemukan antara populasi Pomalaa dan Kapuas (0.1946) (Tabel 3.6). Jarak genetik tidak berkorelasi nyata dengan jarak geografis (Gambar 3.5). Populasi Kampar dan Nusa Kambangan membentuk satu klaster pada jarak genetik kurang dari 5%. Populasi Pomalaa membentuk satu klaster dengan populasi Kampar dan Nusa Kambangan pada jarak genetik sekitar 13%, sedangkan populasi Kapuas membentuk klaster tersendiri dan membentuk satu
36
klaster dengan klaster yang lainnya pada jarak genetik sekitar 25% (Gambar 3.6). Kemiripan terjadi juga antar pasangan individu dari populasi yang berbeda yang dapat dilihat pada dendrogram kekerabatan genetik antar famili pada Gambar 3.7, namun sebagian besar individu-individu tersebut mempunyai jarak genetik yang cukup lebar (>10%). Tabel 3.6 Jarak genetik Nei‟s (diagonal bawah) dan perkiraan jarak geografis dalam kilometer (diagonal atas) antar populasi jabon Populasi
Kapuas
Kampar
Kapuas Kampar Nusa Kambangan Pomalaa
0.1845 0.1823 0.1946
1468.0 0.0284 0.1239
Nusa Kambangan 945.7 1227.9 0.0903
Pomalaa 889.3 2331.0 1462.8 -
0.25
Jarak genetik
0.2 0.15 0.1 y = -4E-05x + 0.2146 R² = 0.0782
0.05 0 0
1000
2000
3000
Jarak geografik (km)
Gambar 3.5 Jarak genetik dengan jarak geografis tidak berkorelasi nyata
KK Kapuas Kampar KR Nusa Kambangan NK Pomalaa PM
Gambar 3.5 Pola kekerabatan 4 populasi jabon putih berdasarkan jarak genetik Gambar 3.6 Pola kekerabatan 4 populasi jabon berdasarkan jarak genetik Nei‟s dengan metode UPGMA
37
Populasi Kapuas Kapuas population
Populasi Kampar Kampar population
Nusa Kambangan Populasi Nusa population
Kambangan
Populasi Pomalaa population Pomalaa
KKT3KK3 KKT6KK6 PM7 CPK7 KK14 KKT14 KK24 KKT24 KKT4KK4 JNK15 KK2 SKR2 KR13 SKR13 KR6 SKR6 KR10 SKR10 KR11 SKR11 KR14 SKR14 KR4 SKR4KR7 SKR7 KR9 SKR9 NK7 JNK7 NK13 JNK13 NK17 JNK17 NK11 JNK11 JNK2NK7 KR12 SKR12 NK12 JNK12 NK23 JNK23 SKR1KR1 NK22 JNK22 NK24 JNK24 CPK21 PM21 CPK8 PM8 CPK6 PM6 CPK10 NK15 CPK15 PM10
Gambar 3.7 Pola kekerabatan genetik antar famili jabon dari 4 populasi dengan metode UPGMA Ketika semua famili dibandingkan, tingkat keragaman genetik antar populasi menunjukkan nilai yang cukup tinggi (Gst = 0.2707). Total keragaman hhjjj genetik (Ht) dan keragaman gen di dalam populasi (Hs) masing-masing adalah 0.3098 dan 0.2260. Laju aliran gen secara keseluruhan antar populasi (Nm) adalah 1.3473. Berdasarkan diagram kekerabatan genetik antar famili, beberapa famili mempunyai kemiripan lebih dekat secara genetik seperti Kampar-14, Kampar-4 dan Kampar-7, Nusa Kambangan-17 dan Nusa Kambangan-11, Nusa Kambangan-12 dan Nusa Kambangan-23, Pomalaa-6 dan Pomalaa-8.
3.3.2 Pembahasan 3.3.2.1 Keragaman di dalam populasi Koefisien keragaman genetik aditif populasi Pomalaa menunjukkan nilai tertinggi pada karakter diameter bibit, panjang daun dan lebar daun, sedangkan populasi Nusa Kambangan memiliki koefisien keragaman genetik tertinggi pada karakter tinggi bibit, indeks kekokohan dan jumlah daun. Populasi Kampar menunjukkan koefisien keragaman yang rendah hampir pada semua karakter bibit yang diamati. Hasil tersebut menunjukkan bahwa populasi Pomalaa dan Nusa Kambangan memiliki keragaman yang lebih tinggi, disusul dengan populasi Kapuas, sedangkan populasi Kampar memiliki keragaman yang lebih rendah.
38
Berdasarkan analisis AFLP, ukuran keragaman genetik di dalam populasi dapat dideteksi dari jumlah lokus polimorfis, heterozigositas dan indeks Shannon (Finkedley dan Hattemer 2007). Jumlah lokus polimorfis, persentase lokus polimorfis, jumlah alel yang teramati, jumlah alel efektif, heterozigositas dan indeks Shannon tertinggi ditunjukkan oleh populasi Kapuas, sedangkan yang terendah ditunjukkan oleh populasi Kampar. Nilai heterozigositas berbanding lurus dengan nilai indeks Shannon, makin tinggi nilai He makin tinggi pula indeks Shannon-nya. Dari nilai-nilai tersebut, keragaman genetik tertinggi dideteksi pada populasi Kapuas yang diikuti oleh populasi Pomalaa dan Nusa Kambangan, dan keragaman genetik terendah terdapat pada populasi Kampar. Kecenderungan keragaman hasil analisis AFLP ini mirip dengan keragaman berdasarkan morfologi bibit yang menunjukkan populasi Kampar memiliki keragaman yang lebih rendah dibandingkan 3 populasi lainnya. Populasi Kapuas merupakan populasi hutan alam yang relatif masih bagus yang berada di kawasan HPH PT. Dasa Intiga, Kapuas, Kalimantan Tengah. Jabon di kawasan ini bukan target produksi kayu sehingga keberadaannya relatif lebih baik dibandingkan jenis lainnya seperti jenis-jenis Dipterocarpaceae. Populasi Pomalaa mempunyai sebaran yang cukup luas namun sebagian telah terfragmentasi. Populasi Nusa Kambangan merupakan populasi yang terisolasi yang tumbuh di sebuah pulau kecil di bagian selatan Pulau Jawa. Populasi ini memiliki keragaman genetik yang relatif lebih rendah. Hasil yang sama juga dilaporkan Dwiyanti et al. (2014) pada jenis Dipterocarpus littoralis di Nusa Kambangan yang menunjukkan keragaman genetik dalam populasi yang rendah. Sementara, populasi Kampar merupakan populasi yang terfragmentasi berat dan terisolasi dalam populasi kecil yang menghasilkan keragaman paling rendah. Populasi-populasi yang terfragmentasi dan terisolasi secara terus-menerus akan menimbulkan hanyutan genetik yang mengakibatkan hilangnya beberapa alel penting dan keragaman genetiknya makin berkurang (Barret dan Kohn 1991). Sebagian besar tanaman hutan tropis mempunyai sistem perkawinan silang dengan polinator hewan. Jenis-jenis dengan sistem perkawinan silang umumnya mempunyai keragaman genetik dalam jenis dan dalam populasi yang tinggi (Hambrick et al. 1992). Keragaman dalam populasi jabon pada penelitian ini cukup tinggi. Rata-rata nilai He jabon dari 4 populasi yang diuji (He = 0.2788) lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis tropis lainnya seperti Tonna chinensis di Jawa (Hidayat 2011), Shorea leprosula dan Shorea parvifolia (Cao et al. 2011) dan jenis-jenis lainnya pada Tabel 3.7, kecuali pada Azadiracta indica (Singh et al. 1999). Keragaman genetik jabon pada penelitian ini juga lebih tinggi (indeks Shannon berkisar 0.2278 - 0.4894) bila dibandingkan dengan hasil penelitian Tiong et al. (2010) pada 6 populasi jabon di Serawak dengan indeks Shannon berkisar 0.154 - 0.235 dan Seng et al. (2010) pada uji keturunan jabon yang melibatkan 247 famili dengan rata-rata indeks Shannon-nya 0.296. Keragaman genetik dalam populasi yang relatif tinggi pada penelitian ini menunjukkan bahwa populasi jabon tersebut masih memiliki ukuran populasi yang cukup memadai untuk melakukan perkawinan silang sehingga keragamannya masih terpelihara.
39
Tabel 3.7 Keragaman genetik jabon dibandingkan dengan jenis tanaman hutan tropis dan subtropis yang dianalisis dengan penanda AFLP PPL (%) He Gst Asal Sumber Neolamarckia 97.23 0.2788 0.2708 Indonesia Penelitian ini cadamba Azadiracta indica 69.80 0.305 India Singh et al. 1999 Hibiscus tiliacius 88.50 0.198 0.152 China Tang et al. 2003 Cedrela odorata 84.80 0.270 Costa Rica Cavers et al. 2003 Shorea leprosula 53.32 0.161 0.25 Indonesia Cao et al. 2006 Shorea parvifolia 51.79 0.138 0.31 Indonesia Cao et al. 2006 Toona sinensis 70.00 0.154 0.15 Pulau Jawa Hidayat 2011 Keterangan: PLP = persen lokus polimorfis, He = heterosigositas (Nei‟s (1973) keragaman gen), Gst = differensiasi genetik.
Jenis
3.3.2.2 Keragaman antar populasi Keragaman antar populasi dinilai dari Gst (atau Fst) berdasarkan analisis AFLP dan Qst berdasarkan analisis morfologi. Gst adalah parameter differensiasi yang analog terhadap Qst sehingga dapat dibandingkan secara langsung (Pastorino et al. 2010). Keragaman antar populasi berdasarkan morfologi bibit (Qst) jabon berada pada kisaran 0.14-0.45 dan dapat dikategorikan sedang untuk karakter diameter, indeks kekokohan, jumlah daun, panjang daun dan lebar daun, dan tinggi untuk karakter tinggi total bibit (Bower dan Aitken 2008). Hasil analisis klaster berdasarkan 6 karakter morfologi bibit menghasilkan dua klaster, yaitu klaster I yang sebagian besar terdiri dari famili-famili dari populasi Kapuas dan klaster II yang terdiri dari famili-famili dari populasi Nusa Kambangan, Kampar dan Pomalaa. Klaster II terbagi lagi dalam 2 subklaster, subklaster 1 umumnya terdiri dari famili-famili populasi Nusa Kambangan dan famili-famili populasi Kampar, dan subklaster 2 sebagian besar terdiri dari famili-famili populasi Pomalaa. Famili-famili dari populasi Kampar nampaknya lebih dekat dengan famili-famili dari populasi Nusa Kambangan. Berdasarkan analisis AFLP, tingkat differensiasi populasi jabon pada penelitian ini juga menunjukkan nilai yang cukup tinggi (Gst = 0.2707) jika dibandingkan dengan tingkat differensiasi populasi jabon di Serawak, Malaysia (Gst = 0.2013) (Tiong et al. 2010). Jika dibandingkan dengan jenis-jenis lainnya yang dianalisis dengan AFLP, keragaman antar populasi jabon dalam penelitian ini relatif lebih tinggi, seperti pada Shorea leprosula di Indonesia dengan Gst = 0.25 (Cao et al. 2006), dan Hibiscus tiliaceus di Cina Selatan dengan Gst = 0.152 (Tang et al. 2003) (Tabel 3.7). Hasil ini sepertinya bertolak belakang dengan harapan rendahnya keragaman genetik antar populasi untuk jenis-jenis tanaman hutan yang mempunyai umur panjang dan kawin silang (Loveless dan Hambrick 1984). Jarak antar pulau yang cukup jauh dengan hambatan alam yang besar menyebabkan aliran gen antar populasi yang diamati relatif rendah (Nm = 1.3473). Laju aliran gen jabon pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan jenis lainnya seperti Shorea leprosula (Nm = 1.54) (Cao et al. 2006).
40
3.3.2.3 Famili-famili potensial Dilihat dari dendrogram UPGMA, kekerabatan genetik antar famili jabon menunjukkan nilai yang cukup lebar, namun beberapa famili diidentifikasi mempunyai kekerabatan yang dekat. Famili Nusa Kambangan-15 dan Kampar-2 memiliki jarak genetik yang dekat, namun secara morfologi, kedua famili tersebut tidak mempunyai kemiripan. Famili Nusa Kambangan-15 memiliki morfologi yang lebih baik daripada famili Kampar-2 sehingga famili Nusa Kambangan-15 dapat dinilai lebih potensial untuk dikembangkan dalam program pemuliaan. Famili lainnya yang mempunyai jarak genetik berdekatan adalah famili Kampar14, Kampar-4 dan Kampar-7. Dari ketiga famili tersebut, famili Kampar-4 memiliki morfologi yang lebih unggul sehingga dapat dinyatakan sebagai famili potensial. Famili Nusa Kambangan-12 dan Nusa Kambangan-23 secara molekuler juga mempunyai jarak genetik yang berdekatan, namun secara morfologi mempunyai karakter yang relatif berbeda. Famili Nusa Kambangan-12 relatif lebih baik secara morfologi dibandingkan famili Nusa Kambangan-23 sehingga famili Nusa Kambangan-12 lebih potensial dilihat dari pertumbuhannya pada tingkat bibit. Famili lainnya yang berdekatan secara genetik adalah Pomalaa-8 dan Pomalaa-6. Kedua famili ini juga secara morfologi mempunyai kemiripan yang cukup dekat dan dari keduanya, famili Pomalaa-6 secara morfologi lebih superior dibandingkan famili Pomalaa-8 sehingga famili Pomalaa-6 lebih potensial untuk dikembangkan. Secara keseluruhan dari 31 famili yang diuji, 5 famili kurang berpotensi karena mempunyai pertumbuhan bibit yang lebih rendah dibandingkan dengan famili lainnya yang diidentifikasi berkerabat dengan famili-famili tersebut. Dua puluh enam famili lainnya yaitu Kapuas-2, Kapuas-3, Kapuas-6, Kapuas-14, Kapuas-24, Kampar-1, Kampar-4, Kampar-6, Kampar-10, Kampar-11, Kampar12, Kampar-13, Nusa Kambangan-2, Nusa Kambangan-7, Nusa Kambangan-12, Nusa Kambangan-15, Nusa Kambangan-17, Nusa Kambangan-22, Nusa Kambangan-24, Pomalaa-6, Pomalaa-7, Pomalaa-10 dan Pomalaa-21 dapat dipertimbangkan sebagai materi genetik yang potensial untuk pembangunan populasi pemuliaan jabon.
3.4 Simpulan
Karakteristik morfologi bibit jabon antar populasi dan famili di dalam populasi mempunyai perbedaan nyata. Secara umum famili-famili dari Pomalaa memiliki pertumbuhan bibit tertinggi disusul dengan famili-famili dari Kampar, sebaliknya famili-famili dari Kapuas memiliki pertumbuhan bibit terendah. Tingkat keragaman genetik dalam populasi berdasarkan morfologi bibit memiliki kecenderungan mirip dengan keragaman hasil analisis AFLP yang menunjukkan populasi Kampar memiliki keragaman yang lebih rendah dibandingkan dengan 3 populasi lainnya. Keragaman genetik tertinggi dideteksi pada populasi Kapuas yang diikuti oleh populasi Pomalaa dan Nusa Kambangan. Keragaman antar populasi berdasarkan tingkat differensiasi baik berdasarkan morfologi bibit maupun analisis AFLP menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Analisis klaster dan
41
analisis kekerabatan berdasarkan metode UPGMA menunjukkan pola yang mirip. Analisis klaster berdasarkan selisih terbesar koefisien aglomerasi menghasilkan 2 klaster. Kedua analisis klaster tersebut menempatkan sebagian besar famili dari Kapuas dalam satu klaster yang terpisah dari famili-famili populasi lainnya. Berdasarkan analisis kedekatan genetik dengan penanda AFLP dan morfologi bibit, 26 famili dapat dipertimbangan sebagai famili-famili potensial untuk pembangunan populasi pemuliaan.
42
4 PARAMETER GENETIK PERTUMBUHAN AWAL UJI PROVENANCE-KETURUNAN JABON
4.1 Pendahuluan
Jabon merupakan salah satu jenis cepat tumbuh multiguna yang mempunyai peran penting baik dalam sistem budidaya tradisional maupun komersial di beberapa daerah di Indonesia (Kallio et al. 2011; Krisnawati et al. 2011). Keberlanjutan dan peningkatan produktivitas dalam budidaya jabon memerlukan dukungan program konservasi dan pemuliaan. Kegiatan budidaya yang belum didukung dengan program pemuliaan tidak menutup kemungkinan untuk menghasilkan tegakan-tegakan dengan keragaman yang rendah (Zobelt dan Talbert 1984) dan mengarah pada terjadinya genetic bottleneck (Hollingsworth et al. 2005), menghasilkan produktivitas yang rendah (Bischoff et al. 2008) dan rentan terhadap serangan hama dan penyakit (Sabarnudin 2000). Keberhasilan pemuliaan tanaman hutan tergantung dari banyak faktor, yang meliputi keragaman genetik, heritabilitas sifat-sifat yang diharapkan dan potensi perolehan genetik (Nebgen and Lowe 1982; Zobelt dan Talbert 1984; Borralho 2001; White et al. 2007). Secara umum, jabon mempunyai peluang yang tinggi untuk dimuliakan karena jenis ini memiliki sebaran cukup luas, nilai ekonomi cukup tinggi dan banyak diminati untuk dibudidayakan. Distribusi alami jabon yang luas secara teori berhubungan dengan keragaman genetik yang luas yang juga dibuktikan dengan hasil analisis keragaman berdasarkan morfofisiologi benih (Bab II), morfologi bibit dan analisis AFLP (Bab III) yang menunjukkan keragaman antar dan dalam populasi yang cukup luas. Pembangunan populasi pemuliaan dengan menggunakan keturunanketurunan pohon plus hasil penyerbukan terbuka telah diaplikasikan secara luas sebagai langkah awal pemuliaan tanaman hutan untuk jenis-jenis cepat tumbuh di Indonesia (Hashimoto et al. 1996; Soeseno 1998). Cara ini dianggap lebih praktis untuk mendapatkan benih yang unggul secara lebih cepat untuk digunakan dalam program pembangunan hutan di Indonesia. Secara tradisional, uji genetik tanaman hutan telah dilakukan secara berurutan melalui uji jenis, uji provenansi dan uji keturunan. Uji provenansi dengan melibatkan jumlah provenansi yang memadai memungkinkan untuk menjaga dan memisahkan keturunan dari setiap pohon induk. Uji ini dapat mengurangi interval pengujian antara tahapan uji provenansi dan uji keturunan, dapat diamati keturunan induk tunggal (half-sib) dalam suatu uji provenansi dan dapat memisahkan konstribusi provenansi dan famili terhadap total keragaman (Zheng et al. 1994; Sebbenn et al. 2003; Finkeldey 2005). Uji ini juga dapat berperan sebagai uji provenansi, uji keturunan, produksi benih dan juga konservasi eksitu dalam satu demplot uji coba. Berdasarkan alasan tersebut, populasi pemuliaan jabon dibangun dalam bentuk uji provenansi-keturunan dengan melibatkan 105 famili dari 12 provenansi di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menduga parameter genetik pertumbuhan awal uji provenansi-keturunan jabon umur 12 bulan yang dibangun di 2 lokasi, yaitu Parungpanjang, Bogor dan Limbangan, Garut, Jawa Barat.
43
4.2 Bahan dan Metode
4.2.1 Bahan Pengumpulan benih dilakukan pada pohon induk jabon di 12 populasi alami (provenansi) yang tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa dan Papua yang dilaksanakan pada bulan Maret hingga April 2012. Pohon induk merupakan pohon yang secara fenotipe rata-rata atau di atas rata-rata dengan mengamati tinggi dan diameternya dan dibandingkan dengan pohonpohon di sekitarnya dalam populasi tersebut. Jarak antar pohon induk dipertahankan sekitar 100 m untuk menghindari pengambilan sampel dari pohonpohon berkerabat dekat. Famili yang dilibatkan dalam uji coba ini adalah 105 famili (Tabel 4.1, Lampiran 1). Tabel 4.1 Deskripsi geografis 12 provenansi dan jumlah famili yang diuji Lokasi
Rimbo Panti, Sumatera Kampar , Sumatera Ogan Komering Ilir, Sumatera Garut Selatan, Jawa Nusa Kambangan Alas Purwo, Jawa Batu Licin , Kalimantan Kapuas Tengah, Kalimantan Gowa, Sulawesi Pomalaa, Sulawesi Batu Hijau, Sumbawa Kuala Kencana, Papua
Singkatan
SRP SKR SOK JGS JNK JAP KBL KKT CPG CPK NBH PKK
Lintang
Bujur
00°19‟ U 00°18‟ U 03°12‟ S 07°26‟ S 07°43‟ S 08°38‟ S 03°19‟ S 01°00‟ S 05°14„ S 04°03‟ S 08°58‟ S 04°24‟ S
100°05‟ E 100°57‟ E 104°51‟ E 107°42‟ E 108°55‟ E 114°21‟ E 115°41‟ E 114°28‟ E 119°35‟ E 121°39' E 116°48‟ E 136°52‟ T
Ketinggian tempat (m dpl) 294 50 23 628 40 33 47 147 119 210 53 107
Jumlah famili 2 14 11 8 7 11 4 2 15 22 8 1
4.2.2 Persiapan bibit dan rancangan penelitian Benih jabon diekstrak secara terpisah per pohon induk dengan metode ekstraksi basah. Setiap benih dari tiap pohon induk diberi label sehingga tidak tercampur. Penaburan benih dilakukan di rumah kaca SEAMEO BIOTROP, Bogor. Benih ditabur pada bak plastik berisi media campuran pasir, kompos dan arang sekam (5:3:1 v/v/v). Penaburan benih dilakukan per pohon induk dengan mencampurkan benih dengan pasir halus (1:10 v/v) sehingga benih dapat menyebar secara merata pada permukaan media. Penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari dengan menggunakan sprayer. Setelah semai berukuran tinggi 2-3 cm, semai tersebut disapih ke polibag berukuran diameter 10 cm dan tinggi 15 cm. Media sapih yang digunakan adalah campuran top soil, kompos dan arang sekam (2:1:1 v/v/v). Penanaman dilakukan setelah bibit berumur 4 bulan. Uji provenansi-keturunan dibangun di dua lokasi di Jawa Barat, yaitu Hutan Penelitian Parungpanjang, Bogor dan Limbangan, Garut. Informasi karakteristik tapak uji tersebut disajikan pada Tabel 4.2. Desain penanaman menggunakan rancangan acak lengkap blok (randomized complete block design,
44
RCBD) dengan 4 tree-row plots dan jarak tanam 3 m x 3 m. Peta tanaman di kedua lokasi tersebut disajikan pada Lampiran 2 dan 3. Ukuran lubang tanam adalah 40 cm x 40 cm x 40 cm dengan penambahan 3 kg pupuk kandang sebelum penanaman sebagai pupuk dasar. Karakteristik pertumbuhan yang dikaji adalah persen hidup, tinggi total dan diamater pangkal batang (collar diameter) bibit jabon pada umur 12 bulan. Tabel 4.2 Karakteristik tapak uji provenansi-keturunan jabon Karakteristik Letak geografis Ketinggian tempat (m dpl) Curah hutan (mm/tahun) Suhu rata-rata pH tanah Drainase
Limbangan, Garut 07°02‟ LS, 108°00‟ BT 520
Parungpanjang, Bogor 0620‟ LS, 10606‟BT 52
2580
2440
27 5.1 Sedang, tidak terjadi genangan air
Keterangan lain
Tanah desa dengan kemiringan 5-15%, terdapat gangguan ternak, tanaman pertanian yang tidak teratur pada beberapa areal uji coba.
28 4.8 Sedang, meskipun terjadi genangan air yang diamati pada saat hujan deras Area merupakan kawasan khusus untuk penelitian, relatif datar, pertumbuhan gulma sangat cepat setelah perbersihan lahan
Gambar 4.1 Proses pembangunan uji provenansi-keturunan: (a) bibit siap tanam di persemaian, (b) pengangkutan bibit di lapangan, (c) penanaman dan (d) tanaman umur 1 tahun di Parungpanjang, Bogor
45
4.2.3 Analisis data Sebelum analisis, data diuji distribusi normal dan homogenitasnya. Data pencilan dihilangkan dan bila data tersebut mempunyai sebaran tidak normal, maka data tersebut ditransformasikan dengan arcsine √x. Analisis ragam untuk setiap parameter mengikuti model statistik sebagai berikut : Yijkl = μ + Ri + Pj + F(P)k(j) + RPij + RF(P)ik (j) + El(ijk) dimana: Yijkl adalah nilai fenotipe individu ke-l famili ke-k provenansi ke-j dalam blok (ulangan) ke-i; μ = nilai rata-rata umum; Ri adalah pengaruh acak dari blok ke-i; Pj adalah pengaruh acak dari provenansi ke-j; F(P)k(j) adalah pengaruh acak famili ke-k dalam provenansi ke-j; RPij adalah pengaruh interaksi antara blok ke-i dan provenansi ke-j; RF(P)ik(j) adalah interaksi antara blok ke-i dan famili ke-k di dalam provenansi ke-j; Eijkl adalah pengaruh acak individu ke-l famili ke-k provenansi ke-j dalam blok ke-i; i = 1, …, b (b adalah jumlah blok); j = 1,…., p (p adalah jumlah provenansi); k = 1,…., f (f adalah jumlah famili); l = 1,…, n (n adalah jumlah pohon per famili). Heritabilitas diduga dari komponen ragam (Falconer dan Mackay 1996). Heritabilitas rata-rata individu dan famili untuk setiap karakter diukur menggunakan rumus-rumus sebagai berikut:
2 𝑖 = 𝜋𝑟 2
𝜎2𝐴 𝜎2𝑈
=
4𝜎 2 𝐹(𝑃) 𝜎2𝑈
; 2 𝑓 =
𝜎 2 𝐹(𝑃) 𝜎 2 𝑓𝑚
dimana 2 𝑖 = heritabilitas individu, 𝜎 2 𝐴 = ragam genetik aditif, 4𝜎 2 𝐹(𝑃)= komponen ragam antar famili di dalam provenansi, 𝜎 2 𝑈 = ragam fenotipe yang dihitung sebagai, 𝜎 2 𝑈 = 𝜎 2 𝐹(𝑃) + 𝜎 2 𝑅𝐹(𝑃) + 𝜎 2 𝑒, dimana 𝜎 2 𝐹(𝑃)= ragam yang disebabkan oleh interaksi antara blok dan famili di dalam provenansi (experimental error), 𝜎 2 𝑒 = ragam antar individu dalam famili (sampling error), 2 𝑓= heritabilitas famili, 𝜎 2 𝑓𝑚 = ragam fenotipe famili yang dihitung sebagai 𝜎 2 𝑓𝑚 = 𝜎 2 𝐹(𝑃) + (k2/k3) 𝜎 2 𝑅𝐹(𝑃) + (1/k3) 𝜎 2 𝑒, dimana k2 dan k3 adalah koefisien untuk 𝜎 2 𝑅𝐹(𝑃) dan 𝜎 2 𝐹 𝑃 dalam kuadrat tengah yang diharapkan. Korelasi fenotipik (𝑅𝑃 𝑥𝑦 ) dan korelasi genetik (𝑅𝑔(𝑥𝑦 ) ) diduga dari komponen ragam dan kovarian-nya (Falconer 1981) yang disubstitusi ke dalam rumus standar untuk koefisien korelasi moment product: 𝑅𝑃(𝑥𝑦 ) =
𝐶𝑂𝑉𝑈(𝑥𝑦 ) 𝜎2𝑃
𝑥
𝜎 2 𝑃(𝑦)
; 𝑅𝑔(𝑥𝑦 ) =
𝐶𝑂𝑉𝑓(𝑥,𝑦) 𝜎 2𝑓(𝑥) 𝜎 2𝑓(𝑦 )
Dimana x = tinggi tanaman, y = diameter tanaman, 𝜎 2 𝑝(𝑥) dan 𝜎 2𝑓(𝑥) = komponen ragam fenotipe dan genetik (famili dalam provenansi) untuk karakter x, 𝜎 2 𝑝(𝑦) dan 𝜎 2𝑓(𝑦) = komponen ragam fenotipe dan genetik (famili di dalam provenansi) untuk karakter y, 𝐶𝑂𝑉𝑃(𝑥𝑦 ) dan 𝐶𝑂𝑉𝑓 (𝑥,𝑦 )= komponen kovarian fenotipe dan genetik (famili di dalam provenansi) di antara karakter x dan y.
46
Untuk mendapatkan besarnya komponen kovarians dua sifat x dan y menggunakan rumus (O‟neill et al. 2001): 𝐶𝑂𝑉𝑓(𝑥,𝑦) = 0.5 (𝜎𝑓2 𝑥+𝑦 − 𝜎𝑓2 𝑥 − 𝜎𝑓2 𝑦 ) dimana 𝜎𝑓2 𝑥+𝑦 = komponen ragam sifat x dan y, 𝜎𝑓2 𝑥 = komponen ragam famili sifat x, 𝜎𝑓2 𝑦 = komponen ragam famili sifat y.
4.3 Hasil dan Pembahasan 4.3.1 Hasil Analisis ragam menunjukkan perbedaan nyata dan sangat nyata antar provenansi dan antar famili di dalam provenansi untuk tinggi dan diameter jabon umur 12 bulan di kedua lokasi, kecuali diameter yang menunjukkan tidak berbeda nyata antar provenansi pada tapak di Parungpanjang (Tabel 4.3). Pada tapak Limbangan, provenansi Kuala Kencana memberikan pertumbuhan tinggi terbaik yang diikuti oleh provenansi Garut, Pomalaa, Gowa dan Nusa Kambangan. Parameter diameter terbesar ditunjukkan oleh provenansi Garut yang diikuti oleh provenansi Kuala Kencana, Gowa, Rimbo Panti dan Nusa Kambangan. Persentase hidup tanaman terbaik dihasilkan oleh provenansi Kuala Kencana dan diikuti oleh provenansi Kampar, Pomalaa, Rimbo Panti dan Garut (Tabel 4.4). Pada tapak Parungpanjang, pertumbuhan tinggi terbaik dicatat oleh provenansi Garut, yang diikuti oleh provenansi Alas Purwo, Nusa Kambangan, Kuala Kencana dan Batu Hijau. Untuk diameter, provenansi Batu Hijau menunjukkan pertumbuhan terbaik, kemudian diikuti provenansi Pomalaa, Gowa dan Alas Purwo. Provenansi Pomalaa memberikan persentase hidup terbaik (78.9%). Sebagian besar provenansi memberikan persen hidup di atas 70%, kecuali provenansi Alas Purwo dan Batu Licin (Tabel 4.4). Tabel 4.3 Kuadrat tengah tinggi total dan diameter pangkal batang pada uji provenansi-keturunan jabon umur 12 bulan di dua lokasi di Jawa Barat Sumber keragaman
Derajat bebas
Kudrat tengah Limbangan, Garut Parungpanjang, Bogor Height Diameter Height Diameter (m) (cm) (m) (cm) R 4 61.2811 ** 221.6937 ** 8.6047 ** 35.4998 ** P 11 3.8580 ** 16.9337 ** 0.8338 * 1.6748 ns F(P) 93 2.1650 ** 8.0516 ** 0.8649 ** 3.4283 ** R*P 44 1.8595 ** 6.2086 * 1.1961 ** 4.7583 ** R*F(P) 359 1.9735 ** 7.4983 ** 1.0533 ** 3.8979 ** E 1044 0.7400 3.3535 0.4136 1.6816 Keterangan: R = blok (ulangan), P = provenansi, F(P) = famili di dalam provenansi, R*P = interaksi blok dengan provenansi, R*F(P) = Interaksi blok dengan famili di dalam provenansi, E = galat/sisa, ** = berpengaruh nyata pada P < 0.01, * = berpengaruh nyata pada P < 0.05, ns = tidak berpengaruh nyata.
47
Tabel 4.4 Tinggi total, diameter pangkal batang dan persentase hidup provenansi jabon umur 12 bulan di dua lokasi di Jawa Barat (nomor di dalam kurung menunjukkan rangking) Provenansi
Limbangan, Garut Tinggi Diameter Persen (m) (cm) hidup (%) SRP 2.34 (8) 4.78 (4) 62.5 (4) SKR 2.14 (11) 3.92 (11) 63.9 (2) SOK 2.46 (6) 4.45 (8) 58.6 (8) JGS 2.67 (2) 5.35 (1) 61.9 (5) JNK 2.47 (5) 4.68 (5) 50.7 (11) JAP 2.17 (9) 4.08 (10) 53.2 (10) KBL 2.17 (10) 4.27 (9) 58.8 (7) KKT 1.89 (12) 3.35 (12) 60.2 (6) CPG 2.57 (4) 4.87 (3) 63.7 (3) CPK 2.58 (3) 4.56 (6) 47.5 (12) NBH 2.42 (7) 4.49 (7) 53.8 (9) PKK 2.73 (1) 5.15 (2) 75.0 (1) Kisaran famili 1.40-4.81 2.10-7.03 35-90 Rata-rata 2.42 4.49 59.1 CV (%) 35.50 40.76 Keterangan: Lihat Tabel 4.1 untuk keterangan provenansi
Parungpanjang, Bogor Tinggi Diameter Persen (m) (cm) hidup (%) 1.97 (12) 4.06 (7) 77.5 (2) 2.08 (8) 3.93 (10) 75.0 (6) 2.04 (11) 3.94 (9) 70.9 (9) 2.31 (1) 4.11 (5) 71.9 (8) 2.26 (3) 4.09 (6) 70.7 (10) 2.28 (2) 4.13 (4) 68.2 (11) 2.12 (6) 3.78 (12) 57.5 (12) 2.05 (10) 3.86 (11) 73.8 (7) 2.06 (9) 4.14 (3) 76.4 (3) 2.11 (7) 4.17 (2) 78.9 (1) 2.21 (5) 4.19 (1) 76.3 (4) 2.25 (4) 4.00 (8) 75.0 (5) 1.38-2.97 2.50-5.56 40-100 2.14 4.08 72.7 30.06 31.76
Perbedaan tinggi dan diameter jabon di kedua lokasi ditemukan lebih besar antar famili daripada antar provenansi dan sebagian besar provenansi masuk dalam daftar 10 famili terbaik untuk pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman uji provenansi-keturunan (Tabel 4.5). Komponen ragam yang menujukkan keragaman provenansi berkisar antara 0.5% untuk tinggi di tapak Parungpanjang hingga 1.7% untuk diameter di tapak Limbangan Garut. Di lain pihak, komponen ragam antar famili di dalam provenansi lebih rendah daripada komponen ragam antar provenansi yang berkisar dari 0.4% hingga 0.6% di kedua tapak (Tabel 4.6). Tabel 4.5 Sepuluh famili terbaik berdasarkan parameter tinggi dan diameter (di dalam kurung) pada uji provenansi-keturunan jabon umur 12 bulan di dua lokasi di Jawa Barat Rangking 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Limbangan, Garut Nama famili Nama famili (tinggi, m) (diameter, cm) CPK-4 (4.81) CPK-4 (7.03) JGS-25 (3.38) CPG-16 (6.40) JGS-4 (3.33) CPG-14 (6.32) SOK-12 (3.30) JGS-4 (6.30) CPK-22 (3.25) JNK-1 (6.01) CPG-12 (3.17) JGS-25 (5.96) NBH-8 (3.05) CPK-22 (5.88) CPG-16 (3.05) JAP-13 (5.78) JNK-1 (3.03) CPK-24 (5.72) CPK-24 (3.01) NBH-8 (5.68)
Parungpanjang, Bogor Nama famili Nama famili (tinggi, m) (diameter, cm) JAP-11(2.97) CPG-11 (5.56) JAP-14 (2.89) JAP-14 (5.28) JAP-1 (2.83) CPK-3 (5.23) KBL-3 (2.77) SKR-3 (5.09) NBH-6 (2.73) JAP-1 (5.08) SKR-3 (2.70) CPK-10 (5.05) CPG-11 (2.65) SRP-1 (5.02) CPK-13 (2.53) CPK-13 (4.98) NBH-4 (2.53) JAP-11 (4.97) JNK-4 (2.52) NBH-6 (4.81)
48
Tabel 4.6 Komponen keragaman total dan kontribusi relatif (angka di dalam kurung) sumber keragaman terhadap keragaman total pertumbuhan awal uji provenansi-keturunan jabon umur 12 bulan di dua lokasi di Jawa Barat Komponen ragam
Limbangan, Garut Parungpanjang, Bogor Tinggi Diameter Tinggi Diameter (m) (cm) (m) (cm) σ2 R 0.49330 (28.0%) 1.54578 (22.9%) 0.06746 (9.1%) 0.27601 (9.5%) σ2 P 0.02681 (1.5%) 0.11501 (1.7%) 0.00377 (0.5%) 0.04134 (1.4%) σ2RP 0.00465 (0.3%) 0.04640 (0.7%) 0.01546 (2.1%) 0.07356 (2.5%) σ2F(P) 0.01045 (0.6%) 0.03875 (0.6%) 0.00359 (0.5%) 0.01216 (0.4%) σ2RF(P) 0.48827 (27.7%) 1.64063 (24.3%) 0.23901 (32.2%) 0.82821 (28.4%) σ2 e 0.74002 (42.0%) 3.35359 (49.8%) 0.41369 (55.7%) 1.68163 (57.7%) Keterangan: σ2R = komponen ragam blok (ulangan), σ2P = komponen ragam provenansi, σ2RP = komponen ragam interaksi ulangan/blok dengan provenansi, σ 2F(P)= komponen ragam famili di dalam provenansi, σ2RF(P) = komponen ragam interaksi ulangan dengan famili di dalam provenansi, σ2e = komponen ragam individu di dalam famili/error.
Korelasi fenotipik dan genetik antar tinggi dan diameter tanaman jabon di Parungpanjang lebih tinggi daripada korelasi fenotipik dan genetik di Limbangan. Korelasi fenotipik memberikan nilai yangn lebih besar daripada korelasi genetik antara parameter tinggi dan diameter jabon (Tabel 4.7). Heritabilitas individu dan famili untuk karakter tinggi dan diameter jabon di Limbangan menunjukkan nilai yang rendah (berkisar dari 0.031 hingga 0.055), sedangkan di Parungpanjang, nilai heritabilitas tersebut mempunyai nilai sedang dan berkisar dari 0.093 hingga 0.178. Nilai heritabilitas famili ditemukan lebih besar dibandingkan heritabilitas individu (Tabel 4.8). Tabel 4.7 Koefisien korelasi genetik (diagonal atas) dan fenotipik (diagonal bawah) antar parameter pada uji provenansi-keturunan jabon umur 12 bulan di dua lokasi di Jawa Barat
Tinggi Diameter
Limbangan, Garut Tinggi Diameter 0.29 0.799**
Parungpanjang, Bogor Tinggi Diameter 0.56 0.885**
Keterangan: **=berkorelasi nyata pada P<0.01.
Tabel 4.8 Pendugaan heritabilitas individu dan famili pertumbuhan awal uji provenansi-keturunan jabon umur 12 bulan di dua lokasi di Jawa Barat Heritabilitas individu - 2 𝑖 Heritabilitas - 2 𝑓
Limbangan, Garut Tinggi Diameter 0.034 0.031 0.055 0.054
Parungpanjang, Bogor Tinggi Diameter 0.093 0.114 0.150 0.178
Keterangan: Kategori nilai heritabilitas berdasarkan Cotterill dan Dean (1990): heritability <0.1 = rendah, 0.1-0.3 = sedang, dan >0.3 = tinggi
49
2 Pembahasan Perbedaan nyata antar provenansi dan antar famili di dalam provenansi memberi indikasi bahwa kedua demplot uji provenansi-keturunan tersebut mempunyai potensi untuk seleksi. Kisaran keragaman famili dengan mengabaikan provenansi memberikan keragaman yang luas yang dapat dilihat juga dari nilai koefisien keragamannya. Pada tapak uji Limbangan, provenansi Kuala Kencana menunjukkan pertumbuhan tinggi terbaik dan memberikan pertumbuhan 44% lebih tinggi dari provenansi dengan pertumbuhan paling rendah (Kapuas), sedangkan untuk diameter, provenansi Garut menghasilkan pertumbuhan lebih tinggi 59% dari provenansi dengan pertumbuhan diameter terendah (Kapuas). Pada tapak uji Parungpanjang, provenansi Garut Selatan mempunyai pertumbuhan tinggi terbaik dengan 17% lebih tinggi dari provenansi dengan tinggi terendah (Batu Licin), sedangkan untuk diameter, perbedaan rata-rata diameter tidak berbeda nyata secara statistik dan provenansi terbaik (Batu Hijau) hanya 10% lebih baik dari provenansi dengan diameter terendah (Batu Licin). Pada tingkat famili, famili-famili dari Pomalaa dan Garut mendominasi peringkat 3 besar di tapak uji Limbangan, sedangkan di tapak uji Parungpanjang, famili-famili dari Alas Purwo mendominasi peringkat 3 besar pertumbuhan terbaik. Ketinggian tempat asal populasi Pomalaa dan Garut yang relatif lebih tinggi dengan ketinggian tempat asal populasi lainnya diduga mampu memberikan adaptasi yang lebih cepat untuk tumbuh lebih baik di lokasi uji Limbangan, sedangkan di Parungpanjang, kondisi biofisik Alas Purwo memiliki karakteristik yang mirip dengan Parungpanjang sehingga famili-famili tersebut lebih mudah beradaptasi pada tahap awal pertumbuhannya. Pertumbuhan tinggi dan diameter jabon menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik di tapak uji Limbangan daripada pertumbuhan di tapak uji Parungpanjang. Pertumbuhan tanaman di Parungpanjang dipengaruhi oleh pertumbuhan gulma yang cepat yang menyebabkan tekanan dan kompetisi yang diduga menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat pada tapak tersebut. Di lain pihak, persentase hidup di Limbangan berkurang oleh gangguan hewan ternak dan tanaman pertanian yang tidak teratur pada beberapa bagian areal yang menutupi tanaman jabon pada awal pertumbuhannya. Secara umum, pertumbuhan di kedua tapak uji ini relatif sedikit lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan uji keturunan jabon dengan materi genetik berbeda di Wonogiri, Jawa Tengah (Setyadi et al. 2013). Perbedaan pertumbuhan di tapak uji Limbangan dan Parungpanjang menunjukkan nilai yang lebih besar pada tingkat famili dibandingkan dengan pada tingkat provenansi. Famili dengan pertumbuhan terbaik di tapak uji Limbangan melebihi famili dengan tingkat pertumbuhan terendah sebesar 243% untuk tinggi dan 234% untuk diameter, sedangkan di tapak uji Parungpanjang, famili terbaik memberikan keunggulan dibandingkan famili terjelek sebesar 57% untuk tinggi dan 122% untuk diameter. Hasil ini menunjukkan potensi penerapan seleksi pada kedua uji provenansi-keturunan tersebut. Komponen ragam antar famili di dalam provenansi lebih rendah daripada komponen ragam antar provenansi yang memberi indikasi bahwa provenansiprovenansi tersebut terisolasi atau aliran gen (gen flow) tidak mencukupi untuk menutupi pengaruh seleksi dan/atau penghanyutan genetik (genetic drift). Studi
50
berdasarkan lokus-lokus AFLP yang menggunakan 4 populasi dari Kampar, Nusa Kambangan, Kapuas dan Pomalaa juga mendeteksi perbedaan genetik antar provenansi yang cukup tinggi (Gst=0.27) (BAB 3). Keragaman genetik yang luas antar provenansi daripada antar famili di dalam provenansi juga diamati dalam uji provenansi-keturunan yang dilaporkan Zheng et al. (1994) pada Pinus caribaea di China, Baliuckas et al. (1999) pada Acer platanoides di Swedia dan Sebbenn et al. (2003) pada Araucaria angustifolia di Brazil. Korelasi fenotipik dan genetik antar tinggi dan diameter tanaman jabon di Parungpanjang lebih tinggi daripada korelasi fenotipik dan genetik di Limbangan yang memberi indikasi kemungkinan menggunakan salah satu parameter lebih efisien diterapkan di Parungpanjang. Korelasi fenotipik memberikan nilai yang lebih besar daripada korelasi genetik menunjukkan penerapan kriteria seleksi lebih efektif dengan mengkombinasikan kedua parameter (tinggi dan diameter). Nilai heritabilitas berubah dengan berubahnya tapak pada genotif yang sama. Pada penelitian ini nilai heritabilitas dikategorikan rendah hingga sedang. Hasil penelitian Setyadi (2013) melaporkan nilai heritabilitas famili yang lebih tinggi pada jabon umur 2 tahun, yaitu 0.32 untuk tinggi tanaman dan 0.38 untuk diameter tanaman. Nilai heritabilitas yang rendah pada penelitian ini diduga karena tanaman masih sangat muda sehingga sifat-sifat yang dipengaruhi genetiknya belum terekspresikan secara baik. Sebagai contoh, nilai heritabilitas famili umur 6 bulan di tapak Parungpanjang pada penelitian ini menunjukkan nilai yang lebih rendah (0.093 untuk tinggi dan 0.066 untuk diameter) daripada nilai heritabilitas pada umur 12 bulan (0.150 untuk tinggi dan 0.178 untuk diameter). Kecenderungan peningkatan heritabilitas sejalan bertambah dewasanya tanaman dilaporkan juga pada jenis Eucalyptus grandis (Osorio et al. 2001; Gapare et al. 2003), Pinus banksiana (Weng et al. 2006) dan E. urophylla (Kien et al. 2009). Nilai heritabilitas yang meningkat sejalan dengan umur tanaman diduga disebabkan dari pengaruh kompetisi yang terjadi pada umur lebih tinggi pada tegakan tersebut (Kien et al. 2009). Rendahnya nilai heritabilitas, selain dipengaruhi oleh umur tanaman, juga dipengaruhi oleh jumlah unit percobaan (individu per famili) dan jumlah ulangan/blok. Makin banyak jumlah unit percobaan dan ulangan, maka nilai heritabilitasnya akan makin besar (Russel dan Libby 1986). Heritabilitas famili menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan heritabilitas individu, yang memberi indikasi awal kemungkinan perolehan genetik (genetic gain) akan lebih tinggi dengan melakukan seleksi antar famili daripada seleksi individu/massa. Nilai heritabilitas famili yang lebih tinggi dibandingkan heritabilitas individu juga dilaporkan oleh Sebbenn et al. (2003) pada jenis Araucaria angustifolia, dan Gulcu dan Celik (2009) pada Pinus brutia. Nilai heritabilitas ini harus diinterpretasikan secara hati-hati sebab jumlah famili per provenansi yang digunakan tidak sama. Dalam suatu uji provenansiketurunan, ragam famili dirata-ratakan terhadap provenansi-provenansi berbeda, dengan lebih memberikan informasi tentang provenansi dengan penampilan yang lebih baik (Kien et al. 2009).
51
4.4 Simpulan
Pertumbuhan awal tinggi dan diameter jabon menunjukkan perbedaan nyata antar provenansi dan antar famili di dalam provenansi, kecuali untuk parameter diameter pada tapak Parungpanjang. Tingkat keragaman genetik jabon ditemukan lebih tinggi antar provenansi daripada antar famili di dalam provenansi yang memberi indikasi kemungkinan untuk menggunakan provenansi-provenansi yang berpenampilan lebih baik sebagai sumber benih untuk kegiatan-kegiatan pembangunan hutan tanaman. Heritabilitas famili yang diduga lebih tinggi daripada heritabilitas individu sehingga kemajuan genetik yang lebih tinggi akan diperoleh dari seleksi famili daripada seleksi masa. Bagaimana pun juga, heritabilitas yang relatif rendah pada semua parameter di kedua tapak memberi indikasi bahwa kemungkinan perolehan genetik melalui seleksi menghasilkan perolehan yang rendah dan seleksi sebaiknya dilakukan hingga heritabilitas mencapai nilai yang tinggi dan lebih stabil yang umumnya untuk jenis cepat tumbuh dicapai pada umur 2 hingga tahun. Kombinasi seleksi famili dan seleksi individu di dalam famili akan lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan jenis ini.
52
5 ADAPTASI BIBIT JABON TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DAN GENANGAN AIR 5.1 Pendahuluan Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah katulistiwa termasuk wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Perubahan pola curah hujan, kenaikan permukaan air laut dan suhu udara, serta peningkatan kejadian iklim ekstrim berupa banjir dan kekeringan merupakan beberapa dampak serius perubahan iklim yang dihadapi Indonesia. Menurut Tim Sintesis Kebijakan Kementerian Pertanian (2008), perubahan iklim akan menyebabkan: (a) seluruh wilayah Indonesia mengalami kenaikan suhu udara, dengan laju yang lebih rendah dibandingkan wilayah subtropis; (b) wilayah selatan Indonesia mengalami penurunan curah hujan, sedangkan wilayah utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Meningkatnya hujan pada musim hujan menyebabkan tingginya frekuensi kejadian banjir, sedangkan menurunnya hujan pada musim kemarau akan meningkatkan risiko kekekeringan. Kekeringan dan banjir atau genangan air membatasi kisaran potensial banyak jenis dengan mempengaruhi kelangsungan hidup bibit, potensi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kekeringan dan genangan air berpengaruh lebih nyata pada tahap awal pertumbuhan tanaman (Kozlowski 1997; Dunisch et al. 2003; Jaleel et al. 2009) dan membahayakan kehidupan tanaman khususnya tanaman muda. Jika kita berharap untuk meningkatkan keberhasilan penanaman bibit tanaman hutan, maka kunci untuk memahaminya adalah bagaimana bibit-bibit tersebut beradaptasi terhadap kekeringan dan genangan air, yang merupakan kondisi kritis untuk kegiatan silvikultur beberapa jenis tanaman hutan potensial. Jabon merupakan jenis cepat tumbuh multiguna potensial dengan bentuk batang bulat, lurus dan percabangan ringan. Jenis ini memainkan peran penting baik sebagai tanaman komersial maupun sistem budidaya tradisional di beberapa wilayah di Indonesia (Kallio et al. 2011). Secara umum, jabon merupakan jenis pioner yang tumbuh baik pada tapak-tapak yang dalam, lembab dan daerah endapan yang berdrainase baik (Soerianegara dan Lemmens 1993; Kartawinata 1994), namun ada juga populasi yang dilaporkan mampu tumbuh baik di daerah kering atau tergenang air (Soerianegara dan Lemmens 1993). Beberapa studi menunjukkan bahwa jabon tidak cocok untuk rehabillitasi lahan kritis yang didominasi alang-alang dan semak belukar (Voukko dan Otsamo 1996). Pertumbuhannya juga tidak optimal pada kapasitas lapang air tanah rendah (Soetrisno 1996) dan juga pada kedalaman air tanah (water table) dangkal (Mansur dan Suharman 2011). Untuk menghadapi masalah ini, simulasi penelitian kekeringan dan genangan air pada tingkat bibit dilakukan pada beberapa provenansi jabon pada kondisi terkontrol yang akan menjawab beberapa pertanyaan: (a) apakah bibit jabon dapat beradaptasi baik terhadap cekaman kekeringan atau tergenang air?, (b) bagaimana kondisi cekaman lingkungan, seperti kekeringan dan genangan air, berpengaruh terhadap variabel morfologi, anatomi, dan fisiologi bibit jabon? dan (c) provenansi mana yang beradaptasi baik terhadap cekaman kekeringan atau genangan air?
53
Pemahaman respon morfologi, anatomi, fisiologi dan informasi provenansi jabon yang beradaptasi baik terhadap cekaman sangat diperlukan sebab banyak kegiatan penanaman dilakukan baik pada lahan basah atau lahan kering. Tujuan penelitian ini adalah untuk menginvestigasi daya adaptasi bibit jabon dari 12 provenansi terhadap cekaman kekeringan dan genangan air pada kondisi terkontrol di rumah kaca.
5.2
Bahan dan Metode
5.2.1 Bahan Benih jabon dikumpulkan dari 12 populasi alami (provenansi) di Sumatera, Jawa, Nusa Kambangan, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa dan Papua (Tabel 5.1). Jumlah pohon induk setiap lokasi bervariasi dari 5-20 pohon. Buah yang dikumpulkan dari setiap lokasi dibawa ke laboratorium benih, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor. Benih diekstrak dari buah per pohon induk dengan metode ekstraksi basah (Bonner et al. 1994). Sampel benih diambil dari setiap pohon induk dengan jumlah yang sama kemudian dikompositkan untuk setiap provenansi.
5.2.2 Persiapan bibit dan desain penelitian Bibit jabon dari 12 provenansi diuji dalam kondisi terkontrol di rumah kaca untuk mengidentifikasi daya adaptasinya pada kondisi cekaman air berbeda. Untuk setiap populasi, 10 semai normal (berukuran tinggi ±3 cm) diambil secara acak dari bak penaburan dan ditempatkan pada pot (diameter pot 18.5 cm dan tinggi 16 cm). Sebanyak 40 bibit dalam pot disiapkan untuk setiap provenansi. Pada tahap pertumbuhan awal, bibit ditempatkan dalam kondisi optimum (penyiraman dan penyiangan gulma secara intensif) di persemaian dan setelah 2 bulan, bibit-bibit tersebut dipindahkan ke rumah kaca. Selama penelitian, rata-rata suhu pada siang dan malam hari di rumah kaca masing-masing adalah 34 °C dan 29 °C serta kelembaban relatif berkisar 60% sampai 70%. Perlakuan cekaman dilakukan setelah umur bibit 1 bulan berada di rumah kaca. Rancangan acak lengkap dengan pola faktorial digunakan dengan kombinasi faktor cekaman [kontrol/disiram optimal, genangan air 3 cm hingga 5 cm (GA), disiram setiap 2 hari dengan kapasitas lapang 50% (KL50%) dan disiram setiap 2 hari dengan kapasitas lapang 25% (KL25%)] dan faktor provenansi jabon (12 provenansi). Sebuah pot merupakan satu unit ulangan dan setiap perlakuan diulang 10 kali sehingga terdapat 40 bibit yang diuji untuk setiap provenansi. Kadar air media tanah setiap perlakuan, kecuali cekaman genangan, dipertahanan pada 32.8% ± 2.8% untuk kontrol, 25.3% ± 0.7% untuk perlakuan KL50% dan 19.8% ± 1.4% untuk perlakuan KL25%. Penelitian ini diakhiri setelah 120 hari dari dimulainya perlakuan cekaman di rumah kaca.
54
Tabel 5.1 Letak geografis dan karakteristik tegakan /provenansi yang diteliti Lokasi provenansi (singkatan) Rimbo Panti, Pasaman, Sumatera Barat (SRP) Kampar, Riau (SKR)
Jumlah Ketinggian Curah Tipe iklim pohon Lintang Bujur tempat hujan (Smith & induk (m dpl) mm/tahun) Ferguson) 10 00°19‟ U 100°05‟ T 294 3100 A (sangat basah) 14
00°18‟ U 100°57‟ T
50
3000
OKI-Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan (SOK) Garut Selatan, Jawa Barat (JGS)
20
03°12‟ S
104°51‟ T
23
2500
20
07°26‟ S
107°42‟ T
628
2580
Nusa Kambangan, Jawa Tengah (JNK)
17
07°43‟ S
108°55‟ T
40
2500
Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur (JAP)
20
08°38‟ S
114°21‟ T
33
1500
Batu Licin, Kalimantan Selatan (KBL) Kapuas Tengah, Kalimantan Tengah (KKT) Gowa, Sulawesi Selatan (CPG) Pomalaa, Sulawesi Tenggara (CPK) Batu Hijau, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NBH) Kuala Kencana, Papua (PKK)
10
03°19‟ S
115°41‟ T
47
2340
10
01°00‟ S
114°28‟ T
147
2970
17
05°14„ S
119°35‟ T
119
1820
20
04°03‟ S
210
1780
10
08°58‟ S
116°48‟ T
53
2290
5
04°24‟ S
136°52‟ T
107
3600
121°39‟ T
Keterangan lain
Tumbuh di lahan agak berbukit, sebagian tumbuh di pinggir sungai kecil, kawasan Cagar Alam Rimbo Panti. A (sangat basah) Tumbuh di sepanjang sempadan sungai, sebagian tergenang secara periodik. B (basah) Tumbuh pada lahan relatif basah, lahan tergenang secara periodik. B (basah) Tumbuh pada dataran tinggi berbukit, tersebar tidak merata pada hutan rakyat campuran yang dibiarkan tumbuh sendiri, sebagian tumbuh pada lereng landai. D (daerah Tumbuh di dataran agak kering dikaki bukit-bukit kecil, sedang) sebagian tumbuh pada lereng-lereng landai, Kawasan Cagar Alam Nusa Kambangan. D-E (sedang-agak Tumbuh di dataran rendah, relatif dekat dengan pantai, kering) hutan campuran agak kering, kawasan Taman Nasional Alas Purwo. B (basah) Tumbuh pada hutan sekunder yang relatif datar, sebagian di pinggir sungai-sungai kecil. A (sangat basah) Tumbuh pada hutan alam sekunder, tegakan tumbuh pada di sekitar anak sungai Kapuas. C (agak basah) Tumbuh pada dataran sempadan sungai, sebagian pada lereng bukit yang agak kering. C (agak basah) Tumbuh pada areal kaki bukit yang agak datar, sebagian tumbuh pada lereng-lereng landai, hutan alam sekunder. D (agak basahTumbuh pada dataran rendah, agak kering, hutan alam sedang) sekunder. A (sangat basah) Tumbuh pada hutan alam sekunder.
55
5.2.3 Pengukuran karakteristik pertumbuhan bibit Tinggi (TB), diameter pangkal akar (DPA) dan jumlah daun bibit dihitung sebelum perlakuan cekaman dan pada akhir penelitian. Tinggi bibit diukur untuk setiap bibit dari dasar (pangkal akar) hinggi ke ujung meristem apikal. Diameter pangkal akar diukur menggunakan kaliper digital pada pertemuan antara akar dengan batang setiap bibit. Pertumbuhan tinggi dan diameter selama perlakuan merupakan hasil pengurangan pengukuran akhir dengan pengukuran pertama. Akar adventif dan lentisel batang diukur dengan menghitung jumlah akar dan lentisel di atas permukaan air pada setiap bibit. Pada akhir perlakuan, semua tanaman dipanen dan dibagi ke dalam bagian akar, batang dan daun. Akar dicuci dengan air untuk menghilangkan tanah dan kotoran lainnya yang menempel, dan panjang akar tersebut diukur untuk setiap bibit. Bagian akar, batang dan daun dikeringkan secara terpisah dalam oven pada suhu 70 °C selama 48 jam dan ditimbang hingga ±0.0001 g. Bagian daun dan batang digabungkan dan dijadikan satu bagian sebagai berat kering pucuk (BKP), dan bagian akarnya disebut sebagai berat kering akar (BKA). Berat kering total (BKT) merupakan penjumlahan BKP dan BKA. Luas daun diukur dengan Systronics leaf area meter 211. Nisbah akar pucuk (NAP) dan luas daun spesifik (LDS) dihitung sebagai: (1) NAP=BKA/BKP dan (2) LDS=luas daun/berat kering daun (Li et al. 2011).
5.2.4 Pengukuran kadar air relatif, kerapatan stomata dan anatomi daun Kadar air relatif (KAR) ditentukan secara gravimetrik. Tiga bibit dipilih secara acak dan tiga daun dari posisi tajuk bibit bagian tengah diambil pada setiap bibit. Berat segar (BS) contoh daun diukur sesegera mungkin setelah dipanen, setelah itu sampel daun ditempatkan pada wadah yang terjenuhi air selama 24 jam hingga mencapai berat jenuh (BJ). Kemudian, contoh daun dikeringkan dalam oven pada suhu 70 °C selama 48 jam dan berat keringnya ditimbang (BK). KAR dihitung 𝐵𝑆 −𝐵𝐾 menggunakan rumus sebagai berikut: 𝐾𝐴𝑅 % = 𝐵𝐽 −𝐵𝐾 𝑥 100% (Li et al. 2011). Kerapatan stomata ditentukan dengan menggunakan cetakan cat kuku pada bagian bawah daun pertama dari meristem apikal yang telah berkembang sempurna. Cetakan tersebut dibuat pada bagian tengah daun pada 3 daun yang dipilih secara acak (Sanchez et al. 2011). Dari cetakan tersebut, stomata dihitung di bawah mikroskop pada 3 titik secara acak dengan pembesaran 40 kali. Kerapatan stomata (jumlah stomata per mm2) dihitung pada suatu daun melalui pembagian jumlah stomata dengan luas bidang pandang (0.19625 mm2). Sampel daun lainnya digunakan untuk pengukuran anatomi. Sebanyak 144 contoh daun disiapkan. Tiga lembar daun dipilih secara acak dari bibit yang berbeda dan 3 preparat dibuat untuk setiap daun. Cryotome digunakan untuk membuat potongan melintang yang ditempatkan ke kaca preparat. Gambar anatomi daun diambil pada setiap preparat pada pembesaran 40 kali dengan kamera digital yang dihubungkan dengan mikroskop cahaya (Olympus L15643). Epidermis atas, palisade
56
parenkim, spongy parenkim, epidermis bawah dan tebal daun diukur pada setiap preparat. Untuk menghindari ulangan yang samar, karakteristik anatomi setiap lembar daun dirata-ratakan per bibit.
5.2.5 Analisis kandungan pigment dan prolina Konsentrasi klorofil, karoten dan anthosianin diukur dari daun tunggal pada pasangan daun kedua dari apikal pada 3 bibit yang diambil secara acak dari setiap perlakuan. Sekitar 0.025 g daun segar per ulangan (bibit) diekstraks dengan menggunakan nitrogen cair. Kotoran dipisahkan dengan sentrifugasi pada 10 000 rpm selama 10 menit. Supernatan dikumpulkan dan absorbansi spectra dilakukan pada 663, 647 dan 470 nm dengan menggunakan UV/visible spectrophotometer (UV-1201, Shimadzu Corporation, Tokyo, Japan), setelah itu, kandungan klorofil A, klorofil B, karoten dan anthosianin diukur secara berurutan. Total klorofil dan karoten ditentukan menggunakan metode yang rumuskan oleh Lichtenthaler (1987), sedangkan anthosianin diduga dengan menggunakan persamaan Sims dan Gamon (2002). Pengukuran kandungan prolina dilakukan terhadap daun tunggal dari pasangan daun kedua dari apikal pada 3 bibit yang dipilih secara acak dari setiap perlakuan dan diukur berdasarkan metode Bates et al. (1973). Secara singkat, 0.5 g jaringan daun segar digerus dengan menambahkan 10 ml 3% asam sulfosalicylic cair dan disimpan pada suhu -20 °C. Homogenat disentrifugasi pada 10 000 rpm selama 10 menit. Dua mm filtrat dicampurkan dengan 2 ml asam ninhydrin dan asam glacial acetic pada tabung uji dan dipanaskan dalam air panas pada suhu 100 °C selama 1 jam, dan reaksi dihentikan dengan memasukannya ke dalam es. Campuran reaksi diekstrak dengan 4 ml toluene dan absorbansi pada 520 nm ditentukan dengan menggunakan Hitachi U-3900H spectrophotometer. Kandungan prolina dinyatakan sebagai microgram per gram per unit berat basah dengan menggunakan standar prolina (Proline, Sigma-Aldrich, Inc., MO, USA).
5.2.6 Analisis data Analisis ragam (ANOVA) digunakan untuk menguji pengaruh cekaman dan provenansi terhadap variabel-variabel morfologi, anatomi dan fisiologi. Duncan’s multiple range test (DMRT) pada tingkat kepercayaan 95% digunakan untuk membandingkan perbedaan nyata nilai rata-rata setiap perlakuan. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan SAS 9.1 for windows. Indeks toleransi cekaman (ITC) dianalisis terhadap parameter pertumbuhan (tinggi, diameter pangkal akar dan total biomass). Indeks sensitivitas cekaman (ISC) dan indeks toleransi cekaman (ITC) dianalisis terhadap parameter pertumbuhan (tinggi, diameter pangkal akar, dan total 𝑌𝐷𝑖 𝑌𝐷 biomass). ISC dihitung menggunakan rumus: 𝐼𝑆𝐶 = (1 − 𝑌𝑃𝑖 )/(1 − 𝑌𝑃 ) (Fischer dan Maurer 978), sedangkan ITC dihitung berdasarkan rumus (Fernandez
57
1992): 𝐼𝑇𝐶 = (𝑌𝑃𝑖 𝑥 𝑌𝐷𝑖)/𝑌𝑃2 , dimana YD = rata-rata parameter suatu provenans yang mendapatkan cekaman, YP = rata-rata provenans suatu genetik yang tumbuh pada lingkungan air optimal, YDi = rata-rata parameter dari seluruh genetik yang mendapatkan cekaman, YPi = rata-rata parameter dari seluruh genetik yang tumbuh pada lingkungan air optimal. Selain itu, analisis komponen utama (PCA) dengan menggunakan parameter pertumbuhan bibit pada masing-masing perlakuan digunakan untuk menerangkan pola keragaman adaptasi antar populasi.
5.3
Hasil dan Pembahasan
5.3.1 Hasil 5.3.1.1 Karakteristik pertumbuhan dan produksi berat kering Cekaman kekeringan (KL25% dan KL50%) dan genangan air (GA) menyebabkan perubahan tinggi bibit, diameter pangkal akar, berat kering pucuk, berat kering akar, nisbah akar pucuk dan berat kering total. Parameter-parameter tersebut menunjukkan nilai yang lebih rendah pada perlakuan kekeringan berat (KL25%) dan hampir semua parameter menunjukkan nilai tertinggi pada perlakuan kontrol. Pertumbuhan tinggi bibit menunjukkan nilai tertinggi pada perlakuan kontrol pada semua provenansi (Gambar 5.1). Sebaliknya untuk parameter diameter pangkal akar, sebagian besar provenansi menunjukkan nilai terbesar pada perlakuan GA, seperti provenansi Rimbo Panti, Kampar, OKI, Nusa Kambangan, Alas Purwo, Kapuas, Batu Licin, Gowa dan Batu Hijau. Berat kering pucuk, berat kering akar dan berat kering total umumnya menurun pada kondisi cekaman baik kekeringan maupun genangan air. Pada kontrol, provenansi Kuala Kencana mempunyai tinggi bibit (30.0 cm) dan diameter pangkar akar (4.2 mm) terbesar. Berat kering total tertinggi dihasilkan provenansi Kampar (14.6 g) dan Batu Hijau (14.6 g). Pada perlakuan GA, provenansi Kampar menunjukkan tinggi bibit tertinggi (23.2 cm), diameter pangkal akar (4.5 mm) dan berat kering total (13.5 g). Provenansi Kampar juga mempunyai jumlah akar adventif (21.3) dan lentisel (53.0) daripada provenansi lainnya. Pada cekaman KL50%, provenansi Gowa mempunyai tinggi bibit (9.6 cm) dan diameter pangkal akar (2.2 mm) terbesar. Kecenderungan yang sama pada perlakuan KL25%, provenansi Gowa mempunyai tinggi bibit (7.9 cm) dan diameter pangkal akar bibit (1.2 mm). Untuk karakter berat kering total pada kondisi cekaman kekeringan, provenansi Batu Hijau menghasilkan berat kering total tertinggi (4.4 g), sedangkan pada perlakuan KL25%, provenansi Gowa mempunyai berat kering total tertinggi (3.7 g). Provenansi Kapuas mempunyai pertumbuhan tinggi bibit dan diameter bibit terendah pada semua perlakuan, sedangkan provenansi Batu Licin mempunyai berat kering total terendah pada karakter parameter berat kering total pada semua perlakuan (Tabel 5.2).
58
Tabel 5.2 Tinggi, diameter pangkal akar, akumulasi berat kering, nisbah akar-pucuk, panjang akar, dan jumlah daun bibit jabon di bawah kondisi control, cekaman genangan air dan kekeringan Provenansi Rimbo Panti
Kampar
OKI
Garut Selatan
Nusa Kambangan
Alas Purwo
Kapuas
Batu Licin
Gowa
Pomalaa
Batu Hijau
Kualakencana
Uji F : Perlakuan Provenansi Interaksi
Perlakuan Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25%
TB (cm) 26.1 a-d 18.2 h-i 9.3 j-n 4.6 o-r 27.7 ab 23.2 d-g 5.5 m-r 4.7 n-r 29.5 ab 19.4 g-i 6.9 m-r 3.4 p-r 19.4 g-i 12.3 j 5.8 l-r 2.9 qr 24.5 c-f 20.5 f-i 9.1 j-o 3.8 p-r 22.8 d-g 9.9 j-l 5.1 m-r 2.9 qr 10.6 jk 7.6 k-q 3.1 qr 2.6 r 9.6 j-m 7.1 k-r 3.3 p-r 2.6 r 25.7 a-e 21.7 e-i 9.6 j-n 7.9 k-p 21.8 e-i 17.8 i 6.8 k-r 4.5 o-r 20.8 f-i 19.7 g-i 5.2 m-r 4.6 o-r 30.0 a 22.2 d-h 7.8 k-p 5.2 m-r 476.55** 26.48** 5.15**
DPA (mm) 2.7 e-g 3.4 b-f 1.2 i-l 0.8 l 3.1 c-h 4.5 a 1.4 i-l 0.9 kl 3.6 a-e 3.7 a-e 1.3 i-l 1.2 i-h 3.6 a-e 2.9 d-h 1.0 kl 0.8 l 3.7 a-e 4.1 a-c 1.4 i-l 1.0 kl 2.8 e-h 3.9 a-d 1.1 j-l 0.6 l 2.2 g-j 3.7 a-e 1.0 kl 0.7 l 2.1 h-k 3.3 b-g 0.8 l 0.7 l 4.0 a-d 4.7 a 2.2 g-j 1.2 i-l 3.8 a-e 3.6 a-e 1.6 i-l 1.0 kl 3.7 a-e 4.0 a-d 1.2 i-l 1.1 j-l 4.5 a 4.2 ab 1.0 kl 0.9 kl 192.76** 4.37** 3.36**
BKP (g) 8.0 a-c 7.1 b-d 1.3 h-j 1.1 h-j 9.1 a 8.5 ab 1.5 h-j 1.2 h-j 8.2 ab 8.1 a-c 1.9 g-j 0.7 ij 8.7 ab 6.2 d-f 2.0 g-j 1.1 h-j 5.5 ef 4.8 f 1.4 h-j 1.3 h-j 5.6 e-f 3.2 g 1.3 h-j 1.0 h-j 2.7 gh 2.3 hi 1.2 ij 0.6 j 2.6 gh 2.0 g-j 0.7 ij 0.4 j 8.3 ab 7.6 a-d 2.0 g-j 1.6 g-j 7.9 a-d 7.5 a-d 1.7 g-j 1.2 h-j 8.7 ab 7.5 a-d 1.7 g-j 1.2 h-j 9.1 a 6.7 c-e 1.5 h-j 1.1 h-j
BKA (g) 5.8 a 3.8 d-g 2.3 h-l 1.9 j-n 5.5 ab 5.0 a-d 2.4 h-l 1.7 i-o 5.6 ab 4.7 a-e 1.8 i-o 0.9 l-o 5.7 a 4.3 b-f 2.2 i-m 1.8 i-o 3.8 d-g 3.2 f-i 2.0 i-n 1.6 i-o 3.9 c-g 1.6 i-o 1.6 i-o 1.5 j-o 1.8 i-o 1.3 j-o 0.7 m-o 0.6 n-o 1.7 i-o 1.2 k-o 0.6 n-o 0.4 o 5.4 ab 5.0 a-d 2.5 h-k 2.0 i-n 6.1 a 5.8 a 2.0 i-n 1.9 i-n 5.8 a 4.7 a-e 2.6 g-j 1.8 i-o 5.3 a-c 3.6 e-h 1.7 i-o 1.4 j-o
303.60** 113.30** 21.34** 16.76** 4.84** 2.6 *
Nisbah A:K 0.63 k-o 0.54 o 1.69 a 1.63 a-d 0.63 l-o 0.59 m-o 1.59 a-e 1.42 a-g 0.69 k-o 0.58 m-o 0.96 g-o 1.32 a-g 0.65 l-o 0.68 k-o 1.12 c-m 1.65 ab 0.69 k-o 0.64 l-o 1.43 a-g 1.35 a-g 0.71 k-o 0.52 o 1.10 d-m 1.51 a-f 0.68 k-o 0.56 no 1.10 e-n 1.01 f-o 0.65 l-o 0.63 l-o 0.89 h-o 0.98 f-o 0.67 l-o 0.67 l-o 1.26 a-g 1.26 a-g 0.79 i-o 0.73 j-o 1.24 a-g 1.64 a-c 0.67 l-o 0.65 l-o 1.56 a-e 1.45 a-g 0.58 l-o 0.55 o 1.14 b-l 1.21 b-l 10.23** 0.76ns 1.57 *
BKT (g) 13.8 a 11.0 b-e 3.6 g-k 3.1 g-k 14.6 a 13.5 ab 3.9 g-j 3.0 g-k 13.9 a 13.0 a-c 3.8 g-j 1.7 h-k 14.5 a 10.5 c-f 4.2 g-i 3.0 g-k 9.3 ef 8.0 f 3.4 g-k 3.0 g-k 9.5 ef 4.9 g 2.9 g-k 2.6 g-k 4.4 gh 3.6 g-k 1.4 i-k 1.1 jk 4.2 g-i 3.2 g-k 1.4 i-k 0.8 k 13.7 ab 12.9 a-d 4.5 gh 3.7 g-k 14.0 a 13.3 ab 3.7 g-k 3.0 g-k 14.6 a 12.2 a-d 4.4 gh 3.0 g-k 14.4 a 12.1 d-f 3.2 g-k 2.5 g-k 260.82** 23.96** 4.19**
PA (cm) 51.8 45.6 48.2 26.0 51.9 41.7 48.6 35.1 53.5 33.0 50.4 31.7 62.0 38.0 40.0 37.8 48.6 25.9 41.0 29.8 36.9 22.6 21.9 28.7 37.2 29.7 27.2 13.0 42.6 26.8 17.7 15.0 47.7 34.3 40.8 41.9 55.3 38.0 53.9 33.3 53.0 45.5 54.9 39.0 48.6 27.7 29.1 26.6
JD (helai) 5.8 b-f 4.9 c-j 3.9 h-p 2.6 o-q 4.9 c-j 4.4 f-m 4.6 e-k 2.9 m-q 4.7 d-k 6.9 ab 3.8 h-p 2.9 m-q 4.3 f-m 3.6 h-q 3.0 l-q 2.6 o-q 4.4 f-m 5.1 c-h 3.4 j-q 3.0 l-q 4.0 g-o 5.0 c-i 4.1 g-n 2.9 m-q 5.0 c-i 5.5 c-g 3.5 i-q 2.7 n-q 6.0 b-e 6.0 b-e 3.5 i-q 2.5 o-q 5.8 b-d 8.0 a 4.5 e-l 2.8 n-q 6.7 ab 6.2 bc 3.2 k-q 2.7 n-q 6.1 b-d 6.7 ab 3.6 i-q 2.3 q 4.5 e-l 6.9 ab 2.8 n-q 2.4 pq
20.85** 116.85** 6.61** 4.68** 0.88ns 3.18**
Keterangan: TB=tinggi bibit, DPA=diameter pangkal akar, BKP=berat kering pucuk, BKA=berat kering akar, nisbah R:S=nisbah akar-pucuk, BKT=berat kering total, PA=panjang akar, JD=jumlah daun. Huruf-huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama memberikan indikasi berbeda nyata antar perlakuan pada P ≤ 0.05. GA = genangan air, KL50% = kapasitas lapang air media 50% dan KL25% = kapasitas lapang air media 25%.
59
Nisbah akar pucuk terbesar ditunjukkan oleh perlakuan cekaman kekeringan (KL25% and KL50%), sedangkan nisbah akar pucuk terkecil dihasilkan oleh perlakuan GA. Panjang akar tidak dipengaruhi oleh interaksi perlakuan cekaman dan provenans, tetapi panjang akar antar perlakuan (sebagai faktor tunggal) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dan hasil yang sama juga pada faktor tunggal provenansi. Panjang akar lebih pendek pada kondisi cekaman KL25% dan lebih panjang pada perlakuan kontrol. Akar adventif dan lentisel hanya muncul pada perlakuan GA. Provenansi Kampar mempunyai jumlah akar adventif (21.3) dan lentisel (53.0) terbanyak (Gambar 5.2).
SRP SKR SOK JGS JNK JAP KKT KBL CPG CPK NBH PKK
SRP SKR SOK JGS JNK JAP KKT KBL CPG CPK NBH PKK
Gambar 5.1 Keragaman bibit jabon pada perlakuan kontrol (a), cekaman genangan air (b), cekaman kekeringan dengan kapasitas lapang air media 50% dan kapasitas lapang air media 25%
70
25
60
Jumlah lentisel
30
20 15 10
50 40 30
Provenansi
PKK
CPK NBH
0 KKT KBL CPG
0
JNK JAP
10
SOK JGS
5
SRP SKR
20
SRP SKR SOK JGS JNK JAP KKT KBL CPG CPK NBH PKK
Jumlah akar adventif
60
Provenansi
Gambar 5.2 Jumlah akar adventif dan lentisel untuk setiap provenansi pada perlakuan genangan air (keterangan provenansi lihat Tabel 5.1) Pada perlakuan kontrol dan genangan air, tidak ada bibit yang mati, sedangkan pada perlakuan KL50%, satu bibit dari provenansi Batu Licin dan 3 bibit dari provenansi Kapuas diamati telah mati pada akhir penelitian. Pada perlakuan KL25%, bibit yang mati meningkat yang terjadi pada 6 bibit dari provenansi Kapuas, 3 bibit dari provenansi Batu Licin dan Rimbo Panti serta satu bibit dari provenansi Garut, Alas Purwo, dan Kuala Kencana.
5.3.1.2
Luas daun, kadar air relatif daun dan karakteristik anatomi daun
Pada akhir penelitian, setelah perlakuan selama 120 hari, interaksi pengaruh perlakuan dan provenansi memberikan nilai yang nyata untuk jumlah daun, luas daun, luas daun spesifik, kadar air relatif, tebal daun, tebal epidermis atas, tebal palisade parenkim, tebal spongy parenkim, dan tebal epidermis bawah (P<0.01). Pada karakter jumlah daun, beberapa provenansi seperti OKI, Nusa Kambangan, Alas Purwo, Kapuas, Gowa, Batu Hijau dan Kuala Kencana mempunyai jumlah daun terbanyak pada perlakuan GA. Untuk luas daun, pada semua provenansi menunjukkan daun terluas dihasilkan perlakuan kontrol, dan daun terkecil dihasilkan perlakuan KL25%. Luas daun spesifik dan kadar air relatif berbeda nyata pada interaksi perlakuan dan provenansi, nilai tertinggi terjadi pada perlakuan GA dan terendah pada perlakuan KL25%. Pada perlakuan genangan, provenansi Kampar mempunyai luas daun spesifik (327.44 cm²/g) dan kadar air relati (85.7%) tertinggi, sedangkan pada perlakuan KL25%, provenansi Gowa mempunyai luas daun spesifik (182.98 cm²/g) dan kadar air relati (67.7%) tertinggi (Tabel 5.3).
61
Tabel 5.3 Luas daun, luas daun spesifik, kadar air relatif dan karakteristik anatomi daun bibit jabon pada kondisi control, cekaman genangan air dan kekeringan Provenansi Rimbo Panti
Kampar
OKI
Garut Selatan
Nusa Kambangan
Alas Purwo
Kapuas
Batu Licin
Gowa
Pomalaa
Batu Hijau
Kualakencana
Uji F : Perlakuan Provenansi Interaksi
Perlakuan Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25%
LD (cm2) 114.68 d-f 85.29 g-k 62.61 l-q 44.11 q-s 146.11 ab 120.43 c-e 94.02 f-i 50.23 o-s 151.63 ab 91.88 g-j 70.85 j-o 29.18 st 159.90 a 99.83 f-g 75.22 i-m 43.75 q-s 136.75 bc 98.04 f-h 83.28 h-l 45.17 p-s 105.93 ef 73.21 i-n 48.58 p-s 35.16 r-t 88.67 g-j 52.95 n-r 54.82 m-r 32.71 r-t 82.07 h-l 46.79 p-s 40.52 q-s 17.01 t 144.70 ab 105.59 e-g 88.12 g-j 43.04 q-s 131.28 b-d 99.47 f-g 73.05 i-n 41.85 q-s 124.22 c-e 93.63 f-i 78.71 h-l 47.35 p-s 138.46 bc 90.73 g-j 66.03 k-p 47.75 p-s 374.59** 25.24** 2.33**
LDS (cm2/g) 190.39 j-p 305.32 a-d 160.45 m-q 144.49 pq 212.05 g-n 327.44 a 180.35 k-q 163.80 l-q 195.64 i-p 265.00 c-g 171.74 k-q 159.44 m-q 188.75 j-q 321.86 ab 179.96 k-q 130.13 q 197.58 h-p 295.39 a-e 177.63 k-q 149.85 o-q 185.10 j-q 295.39 a-e 166.01 l-q 158.15 n-q 197.33 h-p 276.28 a-f 159.89 m-q 130.13 q 204.51 h-o 251.74 d-i 159.20 m-q 140.88 pq 185.10 j-q 312.80 a-c 197.70 h-p 182.98 j-q 220.78 f-l 230.39 f-k 202.17 h-o 148.18 o-q 175.56 k-q 267.27 b-g 161.37 l-q 147.93 o-q 219.17 g-l 286.78 a-e 159.89 m-q 168.25 l-q
KAR (%) 74.5 a-m 84.6 a-c 65.9 k-q 59.1 p-t 83.6 a-d 85.7 a 68.0 h-q 56.1 q-s 80.2 a-h 82.3 a-e 68.0 i-q 62.8 m-s 76.6 a-l 82.2 a-e 66.5 j-q 61.7 n-s 77.7 a-k 78.2 a-j 69.7 f-p 64.8 i-r 74.7 a-m 80.3 a-g 68.7 g-o 56.6 q-t 72.6 c-o 75.1 a-m 61.2 o-s 48.1 t 78.8 a-i 79.1 a-i 66.9 i-q 49.4 t 82.3 a-e 85.5 ab 72.0 d-o 67.7 i-q 81.0 a-f 83.2 a-e 71.1 e-p 67.7 i-q 73.8 b-n 77.6 a-k 71.4 d-o 53.8 r-t 73.3 b-o 84.6 a-c 72.0 d-o 52.2 st
115.19 ** 85.72 ** 2.22 * 3.65 ** 2.25 * 2.41 *
TD (µm) 116.7 s-u 150.5 i-o 176.1 bc 149.9 j-o 140.5 n-q 160.4 e-l 183.5 ab 153.2 h-n 128.6 q-s 139.8 o-q 165.5 c-h 141.5 n-p 103.1 v 167.6 c-g 193.9 a 125.0 r-t 117.7 s-u 148.8 k-o 156.7 g-m 144.7 m-o 113.7 t-v 165.6 c-h 155.6 g-m 160.8 e-l 123.9 r-u 181.4 b 120.8 r-u 155.2 g-m 111.4 u-v 175.8 b-d 128.9 p-s 128.3 q-s 151.1 i-o 160.7 e-l 176.5 bc 172.5 b-e 123.1 r-u 162.9 d-j 161.0 e-l 140.0 n-q 147.8 l-o 170.9 b-f 161.6 e-k 163.8 c-i 131.3 p-r 158.5 f-l 165.7 c-h 154.7 g-m
TEA (µm) 11.3 j-m 15.5 c-j 19.7 a-c 15.0 c-j 18.1 a-f 16.1 b-i 17.8 a-g 16.7 a-i 14.2 e-l 16.3 b-i 19.8 a-c 17.6 a-h 9.2 m 16.8 a-i 20.3 ab 14.4 d-k 12.3 i-m 17.5 a-h 16.4 b-i 13.6 g-l 10.2 lm 16.0 b-i 18.5 a-e 16.8 a-i 14.0 f-l 20.3 ab 11.4 j-m 13.3 h-l 10.4 k-m 17.5 a-h 14.6 d-k 17.1 a-i 09.0 m 15.5 c-j 17.4 a-h 18.0 a-f 15.9 b-i 16.2 b-i 18.1 a-f 14.2 e-f 15.1 d-j 14.0 f-l 17.4 a-h 18.6 a-e 14.0 f-l 20.9 a 14.6 d-k 18.9 a-d
TPP (µm) 32.8 st 47.3 d-k 55.0 b-d 46.5 e-l 38.3 l-s 50.4 b-h 63.3 a 38.5 l-s 38.1 m-s 47.2 d-k 39.5 k-s 44.7 g-n 34.6 q-s 52.6 b-f 57.6 ab 35.4 p-s 39.9 k-s 44.5 h-o 40.2 k-s 36.8 n-s 39.8 k-s 50.1 b-i 43.4 h-p 42.2 i-q 44.4 h-o 53.2 b-f 27.0 tu 38.1 m-s 25.2 tu 53.6 b-d 38.5 l-s 22.5 u 43.3 h-p 47.5 d-k 53.3 b-f 41.2 j-r 33.9 r-t 52.4 b-g 54.2 b-d 33.3 r-t 32.8 st 55.5 bc 42.1 i-q 45.4 f-m 36.4 o-s 49.1 c-i 45.4 f-m 40.8 k-s
TSP (µm) 62.7 m-o 74.6 e-m 90.8 a-d 76.8 d-m 69.8 i-n 79.3 b-l 89.6 a-e 84.7 b-i 66.2 k-o 64.4 l-o 93.3 ab 72.4 g-m 51.4 o 84.6 b-i 102.4 a 63.2 m-o 55.8 no 76.3 d-m 89.2 a-f 82.6 b-i 55.o no 85.2 b-i 83.6 b-i 86.9 a-h 55.7 no 94.3 ab 71.2 i-m 90.4 a-d 66.6 j-o 92.8 a-c 64.4 l-o 76.7 d-m 90.5 a-d 84.5 b-i 92.8 a-c 102.4 a 62.4 m-o 81.8 b-j 73.8 f-m 77.1 c-m 87.7 a-g 91.2 a-d 91.3 a-d 88.5 a-f 71.6 h-m 76.9 d-m 91.9 a-d 80.2 b-k
TEB (µm) 9.7 f-j 13.1 a-f 10.5 dj 11.6 a-i 14.1 a-d 14.5 a-c 12.7 a-g 13.2 a-f 9.9 e-j 11.9 a-i 12.5 a-g 9.9 e-j 7.7 j 13.5 a-f 13.5 a-f 11.9 a-i 9.2 g-j 10.5 d-j 10.7 c-j 11.6 a-i 8.7 h-j 14.1 a-d 10.1 e-j 14.7 ab 9.8 f-j 13.5 a-f 11.1 b-j 13.2 a-f 9.2 g-j 11.3 b-j 11.3 b-j 12.0 a-h 8.1 ij 13.2 a-f 12.9 a-g 10.8 c-j 10.7 c-j 12.4 a-h 11.2 b-j 15.3 a 12.1 a-h 10.1 e-j 10.7 c-j 11.3 b-j 9.2 g-j 11.5 b-j 13.7 a-e 14.7 a-b
222.35 ** 18.01 ** 14.77 **
30.61 ** 2.11 * 4.13 **
89.48 ** 7.96 ** 8.43 **
44.96 ** 7.07 ** 4.89 **
15.30 ** 2.40 * 1.90 *
Keterangan: LD= luas daun, LDS=luas daun spesifik, KAR=kadar air relatif, TD=tebal daun, TEA=tebal epidermis atas, TPP=tebal palisade parenchyma, TSP=tebal spongy parenchymas, TEB=tebal epidermis bawah. Huruf-huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama memberikan indikasi berbeda nyata antar perlakuan pada P ≤ 0.05. Lihat Tabel 5.2 untuk keterangan perlakuan.
62
Anatomi daun bibit jabon dipengaruhi secara nyata oleh faktor cekaman kekeringan dan genangan air. Sel-sel daun ditemukan lebih kecil pada epidermis bagian bawah dibandingkan epidermis bagian atas pada setiap perlakuan. Cekaman air berbeda mempengaruhi ketebalan epidermis atas, epidermis bawah, jaringan palisade dan jaringan spongi. Ketebalan daun mempunyai kecenderungan makin meningkat sebagai respon terhadap cekaman air, mulai dari perlakuan kontrol, genangan air (GA), kekeringan sedang (KL50%) dan kekeringan parah (KL25%). Pada perlakuan kekeringan, provenansi Gowa mempunyai daun lebih tebal (172.5 µm), sedangkan provenansi Garut mempunyai daun lebih tipis (125.0 µm) (Tabel 5.3). 5.3.1.3 Kerapatan stomata, kandungan pigmen dan prolina Interaksi perlakuan cekaman dan provenansi berpengaruh nyata terhadap kerapatan stomata dan jumlah stomata terbuka yang menurun sejalan dengan berkurangnya kadar air tanah (Tabel 5.4). Sebagian besar provenansi mempunyai kerapatan stomata dan jumlah stomata terbuka terbanyak pada perlakuan genangan air (GA), sedangkan kerapatan stomata dan jumlah stomata terbuka terendah diperlihatkan oleh perlakuan KL25%. Provenansi Kapuas relatif mempunyai kerapatan stomata dan jumlah stomata terbuka paling banyak, terutama pada kondisi cekaman kekeringan, sedangkan provenansi Gowa mempunyai kerapatan stomata dan jumlah stomata paling sedikit pada kondisi cekaman kekeringan (KL25%). Untuk kandungan klorofil, analisis ragam menunjukkan interaksi nyata antara provenans dengan perlakuan cekaman, kecuali untuk total klorofil. Konsentrasi klorofil A dan klorofil B berbeda antar provenansi. Provenansi Nusa Kambangan mempunyai konsentrasi klorofil lebih banyak pada semua perlakuan dibandingkan kosentrasinya pada provenansi lain. Peningkatan cekaman, baik kekeringan maupun genangan air, mengurangi kandungan klorofil A dan klorofil B secara nyata. Untuk anthosianin, cekaman sebagian besar provenansi tidak mempengaruhi kandungan anthosianin secara nyata. Sementara, kandungan karoten dan prolina cenderung meningkat baik pada cekaman kekeringan maupun genangan air. Pada perlakuan genangan (GA), kandungan prolina lebih tinggi dibandingkan kandungannya pada perlakuan lain (Gambar 5.3 dan 5.4). Sebagian besar provenansi pada perlakuan genangan (GA) tidak berbeda nyata dalam kandungan prolinanya, kecuali provenansi Rimbo Panti, OKI, Garut dan Nusa Kambangan yang mempunyai kandungan prolina relatif lebih rendah. Pada perlakuan kekeringan, kandungan prolina cenderung menurun sedikit dari cekaman kekeringan sedang (KL50%) ke cekaman kekeringan berat (KL50%), kecuali pada provenansi Rimbo Panti, Garut, Alas Purwo, Gowa, Batu Hijau dan Kuala Kencana yang cenderung meningkat (Tabel 5.4).
63
Tabel 5.4 Kerapatan stomata, kandungan klorofil, karoten dan prolina bibit jabon pada kondisi control, cekaman genangan air dan kekeringan Provenansi
Treatment
Rimbo Panti
Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol GA KL50% KL25%
Kampar
OKI
Garut Selatan
Nusa Kambangan
Alas Purwo
Kapuas
Batu Licin
Gowa
Pomalaa
Batu Hijau
Kualakencana
Uji F : Perlakuan Provenansi Interaksi
KS (#/mm2) 467.09 g-o 579.19 a-e 520.59 b-i 403.40 m-q 470.49 g-o 518.05 b-j 480.68 f-j 408.49 l-q 421.23 i-q 417.84 j-q 388.18 o-q 417.84 j-q 518.05 b-j 577.49 a-f 469.64 g-o 495.12 d-n 473.89 g-o 574.95 a-f 469.64 g-o 461.15 g-p 421.23 i-q 656.48 a 480.68 e-o 365.18 o-q 517.20 b-j 585.14 a-d 412.74 k-q 469.64 g-o 433.97 i-q 489.17 d-o 406.80 l-q 396.60 m-q 517.20 b-j 597.88 a-c 577.49 a-f 496.82 d-m 439.07 h-q 605.52 ab 479.83 f-o 436.73 k-q 509.56 b-j 540.13 b-g 395.76 n-q 352.44 q 505.31 c-k 536.73 b-h 512.10 b-k 469.64 g-o
ST (#/mm2) 126.54 c-h 193.63 a-c 70.49 f-i 47.56 hi 73.04 e-i 186.84 a-c 72.19 e-i 29.73 i 91.72 d-i 149.47 b-e 71.34 e-i 45.86 hi 129.94 c-f 183.44 a-c 57.75 g-i 45.86 hi 182.59 a-c 182.59 a-c 61.15 g-i 27.18 i 85.78 d-i 227.60 a 38.22 i 33.97 i 151.17 b-d 124.84 c-h 58.60 g-i 30.57 i 56.90 g-i 140.98 b-f 50.11 g-i 28.87 i 72.19 e-i 207.22 ab 63.70 f-i 56.90 g-i 56.05 g-i 140.13 b-f 48.41 hi 38.22 i 75.59 d-i 215.71 ab 56.05 g-i 45.86 hi 88.32 d-i 142.68 b-f 73.89 d-i 65.39 f-i
34.92 ** 6.89 ** 3.14 **
79.32 ** 1.35 ns 1.53 *
KloA (mg/g) 1.32 bc 0.64 m-r 0.83 h-n 0.53 r 1.16 b-f 0.81 h-o 0.55 p-r 0.52 r 1.34 b 0.89 g-l 0.85 h-m 0.68 k-r 1.09 c-g 0.78 i-q 0.73 j-r 0.66 l-r 1.61 a 1.17 b-f 0.99 e-i 0.71 j-r 1.24 b-d 0.67 l-r 0.73 j-r 0.52 r 1.27 bc 0.59 n-r 0.89 g-l 0.57 o-r 1.15 b-f 1.03 d-h 0.94 f-j 0.62 m-r 1.20 b-e 0.68 k-r 0.81 h-o 0.65 m-r 1.39 b 0.95 f-j 0.85 h-m 0.69 k-r 1.29 bc 0.91 g-l 0.92 g-k 0.66 l-r 1.38 b 0.72 j-r 0.79 h-p 0.52 r
KloB (mg/g) 0.55 bc 0.32 h-p 0.33 g-p 0.26 k-p 0.49 b-e 0.34 g-p 0.38 d-m 0.22 op 0.53 bc 0.29 i-p 0.34 f-p 0.21 p 0.45 b-h 0.33 g-p 0.31 i-p 0.26 l-p 0.73 a 0.46 b-g 0.39 d-k 0.31 i-p 0.51 b-d 0.26 k-p 0.30 i-p 0.23 op 0.54 bc 0.26 l-p 0.43 b-i 0.24 n-p 0.48 b-f 0.43 c-j 0.39 d-k 0.25 m-p 0.56 b 0.30 i-p 0.32 h-p 0.28 k-p 0.54 bc 0.39 d-k 0.35 f-o 0.28 k-p 0.54 bc 0.37 e-n 0.36 e-n 0.27 k-p 0.51 b-d 0.31 i-p 0.34 g-p 0.29 j-p
TKlo (mg/g) 1.87 0.96 1.16 0.79 1.66 1.15 0.76 0.74 1.87 1.28 1.21 1.04 1.53 1.11 1.05 0.92 2.33 1.63 1.39 0.80 1.76 0.94 1.03 0.74 1.81 0.85 1.31 0.81 1.63 1.46 1.33 0.88 1.76 0.97 1.13 0.93 1.92 1.35 1.20 0.97 1.83 1.28 1.28 0.93 1.74 1.02 1.12 0.84
Kar. (mg/g) 0.29 d-k 0.22 kl 0.28 e-l 0.41 bc 0.28 e-l 0.19 l 0.24 h-l 0.36 c-f 0.34 c-h 0.34 c-h 0.28 e-l 0.42 bc 0.28 e-l 0.27 f-l 0.24 h-l 0.37 c-f 0.28 e-l 0.41 bc 0.27 f-l 0.53 a 0.25 h-l 0.20 k-l 0.27 f-l 0.40 bc 0.27 f-l 0.23 i-l 0.32 c-j 0.46 ab 0.24 h-l 0.35 c-g 0.32 c-j 0.38 b-d 0.27 f-l 0.25 h-l 0.24 h-l 0.39 b-d 0.37 b-e 0.22 kl 0.28 e-l 0.41 bc 0.33 c-i 0.26 g-l 0.32 c-j 0.40 bc 0.33 c-i 0.28 e-l 0.26 g-l 0.39 b-d
187.87** 104.90** 4.14** 162.27** 7.76** 4.36** 0.82ns 5.70** 1.83 * 2.35 * 0.77ns 2.80 *
Antho. (µmol/g) 0.25 a-c 0.23 a-c 0.28 a-c 0.26 a-c 0.25 a-c 0.27 a-c 0.29 a-c 0.33 a-c 0.20 a-c 0.26 a-c 0.31 a-c 0.24 a-c 0.28 a-c 0.14 c 0.35 a-c 0.27 a-c 0.19 a-c 0.33 a-c 0.36 a-c 0.23 a-c 0.25 a-c 0.27 a-c 0.42 a 0.26 a-c 0.24 a-c 0.24 a-c 0.35 a-c 0.29 a-c 0.17 bc 0.37 a-c 0.29 a-c 0.29 a-c 0.27 a-c 0.39 ab 0.35 a-c 0.32 a-c 0.23 a-c 0.39 ab 0.36 a-c 0.42 a 0.27 a-c 0.14 c 0.30 a-c 0.41 ab 0.20 a-c 0.25 a-c 0.25 a-c 0.31 a-c
Prolina (µg/g FM) 0.023 k-n 0.108 b 0.045 e-l 0.051 e-i 0.027 h-n 0.142 a 0.060 d-f 0.041 e-m 0.024 j-n 0.109 b 0.055 ef 0.026 i-n 0.020 l-n 0.051 l-i 0.022 k-n 0.025 i-n 0.015 n 0.107 b 0.053 e-g 0.047 e-k 0.053 e-h 0.133 b 0.028 g-n 0.080 c-d 0.025 i-n 0.137 a 0.014 n 0.016 mn 0.051 e-i 0.142 a 0.024 j-n 0.012 n 0.027 h-n 0.150 a 0.090 bc 0.093 bc 0.062 de 0.145 a 0.097 bc 0.090 bc 0.053 e-h 0.149 a 0.036 e-n 0.087 bc 0.048 e-k 0.158 a 0.035 f-n 0.049 e-j
60.79 ** 356.86** 5.63 ** 24.70** 2.06 * 6.79**
Keterangan: KS=kerapatan stomata, ST=jumlah stomata terbuka, KloA= klorofil A, KloB= klorofil B, TKlo=total klorofil, Kar=karoten, Antho = anthosianin, Pro=prolina. Huruf-huruf yang berbeda di belakang angka pada kolom yang sama memberikan indikasi berbeda nyata antar perlakuan pada P ≤ 0.05. Lihat Tabel 5.2 untuk keterangan perlakuan.
64
Pengujian prolina
Kontrol
GA KL50% KL25% Penampilan bibit
Stomata
Kontrol
GA
KL50%
KL25%
Kontrol GA KL50% KL25% Kontrol WL KL50% KL25%
Gambar 5.3 Penampilan bibit, kerapatan stomata dan pola perwarnaan pengujian prolina pada 4 perlakuan ketersediaan air
5.3.1.4 Indeks sensitivitas cekaman dan indeks toleransi cekaman Pada perlakuan genangan air, indeks sensitivitas cekaman (ISC) untuk tinggi bibit, diameter pangkat akar dan berat kering total memperlihatkan bahwa provenansi Kampar/Gowa, Kapuas dan Kampar mempunyai nilai terendah. Nilai ISC terendah pada perlakuan KL50% ditunjukkan oleh provenansi Gowa (untuk tinggi bibit), Kapuas (untuk diameter pangkal akar) dan Gowa (untuk berat kering total), sedangkan pada perlakuan KL25%, ISC terendah untuk tinggi bibit, diameter pangkal akar dan berat kering total diberikan oleh provenansi Gowa, Batuhiajau dan Gowa/Nusa Kambangan, secara berurutan (Tabel 5.5). Provenansi dengan nilai ISC rendah diprediksi lebih toleran terhadap cekaman. Sebaliknya untuk ITC, provenansi dengan nilai ITC tinggi mempunyai daya adaptasi yang lebih baik terhadap cekaman. Nilai ITC tertinggi pada perlakuan GA dihasilkan oleh provenansi Kampar (untuk tinggi dan berat kering total) dan provenansi Kuala Kencana (untuk diameter pangkal akar). Pada perlakuan cekaman KL50% dan KL25%, provenansi Gowa memiliki nilai ITC tertinggi di dua parameter, yaitu tinggi bibit dan berat kering total (Tabel 5.6).
65 Parameter bibit TB DPA BKP BKA BKT PA
JD
LD LDS
Persentase penurunan terhadap kontrol (%)
60 20 -20 -60 -100
Persentase penurunan terhadap kontrol (%)
KAR TD
KS
Parameter bibit ST KloA KloB Tklo Kar Pro
280 240 200 160 120 80 40 0 -40 -80
GA
KL50%
KL25%
Keterangan: TB = tinggi bibit, RPA = diameter pangkal akar, BKP = berat kering pucuk, BKA = berat kering akar, BKT = berat kering total, PA= panjang akar, JD = jumlad daun, LD = luas daun, LDS = luas daun spesifik, KAR = kadar air relatif, TD = tebal daun, KS = kerapatan stomata, ST = jumlah stomata terbuka, KloA = klorofil A, KloB = klorofil B, TKlo = total klorofil, Kar = karoten, Pro = prolina. Nilai positif berate terjadi peningkatan nilai parameter
Gambar 5.4. Penurunan nilai parameter kondisi cekaman (%) terhadap kontrol Tabel 5.5 Evaluasi indek sensitivitas (rangking sensitivitas) 12 provenansi jabon terhadap cekaman kekeringan dan genangan air . Provenansi
GA TB DPA 1.19 (5) 0.94 (8) 0.61 (11) 0.79 (10) 1.34 (3) 1.15 (5) 1.42 (2) 1.40 (2) 0.62 (10) 1.03 (6)
TB 1.05 (6) 0.24 (12) 0.44 (8) 2.19 (1) 0.27 (11)
Perlakuan KL50% TB DPA 0.91 (10) 1.41 (2) 1.14 (1) 1.40 (3) 1.08 (3) 1.41 (2) 0.99 (7) 1.40 (3) 0.89 (11) 1.39 (4)
TB 1.03 (4) 1.04 (3) 0.98 (6) 1.10 (2) 0.94 (6)
TB 1.01 (4) 1.02 (3) 1.09 (1) 1.04 (2) 1.04 (2)
KL25% DPA TB 1.01 (5) 1.00 (3) 1.04 (3) 1.00 (3) 0.98 (7) 1.01 (2) 1.00 (6) 1.00 (3) 0.96 (8) 0.90 (6)
Rimbo Panti Kampar OKI Garut Nusa Kambangan Alas Purwo 1.10 (2) 1.40 (3) 0.94 (6) 1.07 (2) 1.10 (1) 1.00 (3) 2.30 (1) 0.82 (9) 2.10 (3) Kapuas 1.12 (6) 0.69 (12) 2.13 (2) 1.00 (6) 1.34 (7) 0.89 (9) 0.93 (7) 1.05 (2) 0.96 (5) Batu Licin 1.00 (7) 0.71 (11) 1.60 (4) 0.93 (9) 1.35 (6) 0.90 (8) 0.89 (8) 1.03 (4) 0.98 (4) Gowa 0.61 (11) 0.99 (7) 0.36 (9) 0.89 (11) 1.35 (6) 0.88 (10) 0.85 (9) 0.98 (7) 0.90 (6) Pomalaa 0.67 (9) 1.24 (3) 0.31 (10) 0.97 (8) 1.37 (5) 0.92 (7) 0.97 (5) 0.98 (7) 1.00 (3) Batu Hijau 1.22 (4) 2.69 (1) 1.13 (5) 1.07 (4) 1.39 (4) 1.02 (5) 0.96 (6) 0.94 (9) 1.00 (3) Kuala Kencana 0.98 (8) 1.23 (4) 1.04 (7) 1.05 (5) 1.43 (1) 1.11 (1) 1.02 (3) 1.04 (3) 1.05 (1) Keterangan: TB = tinggi bibit, DPA = diameter pangkal akar, BKT = berat kering total. Rangking yang lebih rendah menunjukkan lebih sensitif terhadap cekaman.
66
Tabel 5.6 Evaluasi indek toleransi (rangking toleransi) 12 provenansi jabon terhadap cekaman kekeringan dan genangan air Provenansi TB 0.95 (6) 1.29 (1) 1.14 (3) 0.48 (9) 1.01 (5)
GA DPA 0.82 (10) 1.29 (5) 1.21 (7) 0.95 (9) 1.38 (4)
BKT 1.03 (6) 1.32 (1) 1.23 (4) 1.04 (7) 0.51 (9)
TB 0.48 (2) 0.30 (6) 0.41 (5) 0.23 (8) 0.44 (4)
Perlakuan KL50%0 DPA BKT 0.27 (8) 0.34 (6) 0.42 (2) 0.38 (4) 0.29 (6) 0.36 (5) 0.23 (9) 0.42 (3) 0.37 (4) 0.22 (8)
Rimbo Panti Kampar OKI Garut Nusa Kambangan Alas Purwo 0.43 (10) 0.99 (8) 0.32 (10) 0.23 (8) 0.28 (7) Kapuas 0.16 (11) 0.76 (11) 0.11 (11) 0.07 (10) 0.23 (9) Batu Licin 0.14 (12) 0.61 (12) 0.09 (12) 0.06 (11) 0.18 (10) Gowa 1.12 (4) 1.71 (2) 1.27 (3) 0.49 (1) 0.66 (1) Pomalaa 0.77 (8) 1.23 (6) 1.30 (2) 0.29 (7) 0.39 (3) Batu Hijau 0.82 (7) 1.37 (3) 1.22 (5) 0.22 (9) 0.32 (5) Kuala 1.25 (2) 1.74 (1) 1.00 (8) Kencana 0.47 (3) 0.29 (6) Keterangan: TB = tinggi bibit, DPA = diameter pangkal akar, BKT = rendah menunjukkan lebih toleran terhadap cekaman.
0.20 (9) 0.04 (10) 0.04 (10) 0.55 (1) 0.34 (6) 0.44 (2)
TB 0.24 (4) 0.26 (3) 0.20 (5) 0.11 (9) 0.19 (7)
KL25% DPA 0.17 (8) 0.27 (4) 0.28 (3) 0.19 (7) 0.28 (3)
BKT 0.29 (3) 0.29 (3) 0.16 (7) 0.30 (2) 0.19 (5)
0.13 (8) 0.05 (10) 0.05 (10) 0.41 (1) 0.20 (5) 0.19 (6)
0.15 (9) 0.17 (8) 0.15 (9) 0.35 (1) 0.23 (6) 0.29 (2)
0.17 (6) 0.03 (8) 0.02 (9) 0.45 (1) 0.30 (2) 0.30 (2)
0.32 (7) 0.31 (2) 0.26 (5) 0.25 (4) berat kering total. Rangking yang lebih
5.3.1.5 Pola keragaman daya adaptasi provenansi Pola sebaran adaptasi provenansi berdasarkan karakter pertumbuhan seperti tinggi, diameter pangkal akar, berat kering pucuk, berat kering akar, berat kering total, akar adventif, lentisel, luas daun dan jumlah daun disajikan pada Gambar 5.5. Provenansi yang memiliki karakteristik pertumbuhan baik berada pada kuadran I pada setiap perlakuan.
2.5 2 1.5 1 0.5 0 -0.5 -1 -1.5 -2 -2.5
Kontrol CPK NBH SRP CPG
KBL
SKR JGS SOK JNK PKK JAP
KKT
PC-2 (15.74%)
PC-2 (16.53%)
67
PC-1 (72.64%)
Kekeringan KL-50%
JAP
0.5
-0.5
CPG
SKR SRP SOK
KBL KKT
CPK NBH JNK
PKK
-1.5
JGS
-2.5
JNK CPG JAP
PKK SOK NBH JGS
KKT
CPK
SRP
KBL
Kekeringan KL-25%
2.5 1.5 PC-2 (14.72%)
PC-2 (15.72%)
1.5
SKR
-2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 PC-1 (62.69%)
-2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5
2.5
Cekaman genangan air
2.5 2 1.5 1 0.5 0 -0.5 -1 -1.5 -2 -2.5
SOK
0.5
JAP
NBH SKR
CPG CPK
KKT
-0.5
KBL
-1.5
SRP
JGS PKK
JNK
-2.5 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5
-2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5
PC-1 (64.76%)
PC-1 (64.45%)
Gambar 5.5 Biplot pengelompokkan adaptasi populasi jabon berdasarkan parameter pertumbuhan bibit dengan menggunakan analisis PCA 5.3.2 Pembahasan 5.3.2.1 Respon morfofisiologi provenansi jabon Perbedaan nyata ditemukan antar perlakuan kontrol, cekaman genangan air (GA), cekaman kapasitas lapang 50% (KL50%) dan kapasitas lapang 25% (KL25%) dalam hal laju pertumbuhan, akumulasi dan alokasi berat kering. Perlakuan cekaman menghasilkan penurunan pertumbuhan yang nyata pada parameter tinggi bibit, diameter pangkal akar, berat kering dan luas daun di bawah perlakuan cekaman kekeringan. Hasil yang sama dilaporkan juga pada beberapa penelitian sebelumnya pada jenis Eucalyptus sp. (Gindaba et al. 2005), poplar (Yang dan Miao 2010) dan Khaya senegalensis (Ky-Dembele et al. 2010). Respon yang sama juga terjadi pada
68
perlakuan cekaman genangan air. Pertumbuhan tinggi dan akumulasi berat kering bibit jabon yang tergenang air mengalami penurunan dibandingkan dengan kontrol. Kondisi sebaliknya terjadi pada pertumbuhan awal diameter pangkal bibit yang justru mengalami peningkatan pada kondisi genangan air (Gambar 5.4). Menurut Kozlowski (1997), genangan air sering mempengaruhi xilem dan floem. Pada bibit Pinus halepensis, P. densiflora dan Cryptomeria japonica, tanah-tanah yang tergenang air dapat meningkatkan pertumbuhan diameter batang sebagai hasil dari meningkatnya ketebalan kulit dan hipertropi yang kemudian menyebabkan pertambahan ukuran xilem. Peningkatan ketebalan kulit berhubungan dengan proliferasi sel-sel parenkim floem dan jumlah ruang antar sel yang membesar dalam jaringan floem (Yamamoto dan Kozlowski 1987). Alokasi berat kering menunjukkan kecenderungan yang sama seperti akumulasi berat kering. Suplai air yang meningkat menyebabkan penurunan nisbah akar pucuk pada sebagian besar provenansi jabon. Nisbah akar pucuk pada perlakuan genangan air lebih rendah daripada perlakuan lainnya (kontrol dan kekeringan). Hasil yang sama dilaporkan Lu (2011) pada jenis Carex lasiocarpa dan C. limosa yang mengalami penurunan nisbah akar pucuk secara nyata pada kondisi genangan. Penurunan nisbah akar pucuk disebabkan oleh kondisi oksigen yang rendah pada tanah-tanah tergenang air yang berpengaruh besar terhadap pertumbuhan akar daripada pertumbuhan bagian atas tanaman (Yamamoto et al., 1995; Kozlowski, 1997). Akar primer semua bibit jabon pada perlakuan genangan air menjadi hitam, beberapa di antaranya tidak tumbuh lagi atau mengalami kematian. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan Kozlowski (1997) bahwa genangan air akan meningkatkan kematian akar, berpengaruh terhadap percabangan dan formasi akar, dan berpengaruh terhadap pertumbuhan akar yang ada. Sebaliknya pada perlakuan kekeringan (KL50% dan KL25%), nisbah akar pucuk meningkat secara nyata. Akumulasi berat kering bagian atas tanaman (batang dan daun) tidak mampu tumbuh normal. Kekurangan air mengurangi jumlah daun per tanaman dan ukuran individu daun, dan umur daun dengan penurunan potensi air yang dimiliki tanah. Umumnya, ketika ketersediaan air terbatas, nisbah akar pucuk tanaman meningkat sebab akar kurang sensitif dibandingkan dengan pucuk terhadap penghambat pertumbuhan berupa potensial air yang rendah (Wu dan Cosgrove 2000; Li et al. 2011). Selama cekaman, total luas daun per tanaman menurun secara nyata. Luas daun sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan tinggi dan diameter pangkal batang semua provenansi. Pengurangan luas daun di bawah cekaman air diduga berhubungan dengan penurunan pembesaran sel (Shao et al. 2008) dan merupakan penyebab penting berkurangnya pertumbuhan melalui pengurangan laju fotosintesis (Rucker et al. 1995). Sebaliknya pada tebal daun bibit jabon, baik pada cekaman kekeringan maupun genangan air, mempunyai daun yang lebih tebal daripada bibit yang tumbuh pada kondisi kontrol. Menurut Herrera et al. (2009), umumnya tanaman yang tergenang mempunyai ketebalan daun yang lebih tipis daripada tanaman yang tidak tergenang, namun pada beberapa jenis seperti Campsiandra laurifolia mempunyai daun yang lebih tebal. Ketebalan ini lebih disebabkan oleh ukuran ketebalan jaringan palisade dan spongi parenkim yang menggambarkan plastisitas yang tinggi terhadap respon lingkungan tergenang (Herrera et al. 2009). Pada cekaman kekeringan, ada
69
kecenderungan perubahan ketebalan daun dari perlakuan KL50% ke KL25%, ketebalan daun bibit jabon sedikit berkurang. Ukuran sel mesofil yang berkurang merupakan respon struktur utama terhadap peningkatan cekaman kekeringan. Pengurangan ukuran sel pada daun terjadi sebagai hasil turginitas yang diperlukan untuk pengembangan sel. Kondisi ini ditunjukkan dengan lebih rendahnya kadar air relatif (KAR) daun pada perlakuan KL25%. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan Li et al. (2011) yang menyatakan tingkat kekeringan yang meningkat dapat menurunkan ketebalan daun. Pengurangan ukuran sel diintepretasikan sebagai mekanisme toleran daun jabon untuk memelihara turginitas jaringan selama cekaman. Dalam hubungannya dengan status air, luas daun spesifik (LDS) bibit jabon meningkat pada kondisi cekaman genangan air, namun menurun pada cekaman kekeringan. Hasil ini sama dengan yang dilaporkan Li (1999) pada bibit Eucalyptus microtheca dan Possen et al. (2011) pada bibit Betula pendula. Hasil yang berlawanan terjadi pada penelitian Susiluoto dan Berninger (2007), LDS secara nyata lebih besar pada bibit-bibit tercekam dan meningkat sejalan dengan derajat cekaman. Sama halnya dengan LDS, kadar air relatif (KAR) bibit jabon meningkat pada kondisi cekaman genangan air, namun menurun pada kondisi kekeringan. KAR merupakan suatu ukuran status air tanaman, yang merefleksikan aktivitas metabolisme jaringan dan digunakan sebagai indeks yang sangat berarti untuk toleransi terhadap kekeringan. KAR berhubungan dengan pengambilan air oleh akar yang sejalan dengan kehilangan air akibat transpirasi (Anjum et al. 2011a). Mekanisme pengendalian kehilangan air melalui stomata (transpirasi) nampaknya menjadi proses yang efisien untuk memelihara turgor daun di bawah cekaman kekeringan. Kerapatan stomata bibit jabon cenderung meningkat pada perlakuan cekaman genangan air dan pada beberapa provenansi meningkat pada cekaman kekeringan sedang (KL50%), kemudin menurun pada perlakuan cekaman kekeringan berat (KL25%). Kecenderungan tersebut juga dilaporkan Amini et al. (2013) pada jenis Lens culinaris di Iran. Penelitian ini juga memberikan kecenderungan yang sama untuk jumlah stomata terbuka yang cenderung meningkat pada cekaman genangan air dan menurun pada cekaman kekeringan. Menurut Sciutti dan Morini (1995) dalam hubungannya dengan kelembaban udara, peningkatan kelembaban akan meningkatkan kerapatan stomata. Stomata yang lebih banyak dapat mengambil lebih banyak CO2 dan mentranspirasikan lebih banyak air, namun ada kecenderungan sebagian besar stomata tidak berfungsi pada kondisi kelembaban air tinggi (Arve et al. 2011). Di lain pihak, penutunan stomata selama cekaman kekeringan merupakan mekanisme utama tanaman untuk mengurangi kehilangan air melalui daun. Pengendalian kehilangan air oleh stomata diidentifikasi sebagai respon awal tanaman terhadap kekeringan (Cornic dan Massacci 1996). Selain responnya terhadap kelembaban udara yang rendah, stomata yang menutup merupakan respon terhadap penurunan turgor dan potensial air daun (Maroco et al. 1997). Menurut Davies dan Zang (1999), respon stomata lebih dekat hubungannya dengan kadar air tanah daripada status air daun dan berhubungan dengan asam absisik (ABA), sebagai signal kimia yang diproduksi oleh akar-akar yang mengalami kekeringan. Di bawah kondisi cekaman kekeringan, akar menginduksi suatu signal ke pucuk melalui xilem yang
70
menyebabkan perubahan fisiologi dan menentukan tingkat adaptasi terhadap cekaman. ABA mengatur pengiriman signal dari bagian akar ke pucuk. Signal dari akar ke pucuk pada kondisi cekaman yang meningkat melalui arus transpirasi menghasilkan penutunan stomata yang merupakan adaptasi penting terhadap suplai air yang terbatas. Karakteristik akar, khususnya panjang akar, sangat penting bagi suatu tanaman untuk mempunyai pertumbuhan bagian pucuk yang baik dengan mengeksplor air yang tersedia di tanah. Panjang akar bibit jabon tidak berbeda nyata antar perlakuan cekaman meskipun cenderung menurun pada kondisi cekaman air. Sementara itu, jumlah akar adventif dan lentisel hanya dapat diamati pada bibit jabon yang tergenang air. Produksi akar adventif pada sistem perakaran bibit atau pada bagian batang yang terendam air digambarkan sebagai mekanisme adaftif terhadap genangan air (Kozlowski dan Pallardy, 2002; Glenz et al. 2006). Adaptasi morfologi akar terhadap genangan ini meningkatkan pengambilan O 2 oleh jaringan dan mendorong pengangkutannya ke dalam sistem perakaran (Glens et al. 2006). Perubahan kandungan klorofil, karoten dan anthosianin telah banyak digunakan untuk mengevalusi pengaruh cekaman lingkungan terhadap pertumbuhan tanaman, dan studi terdahulu membuktikan bahwa kandungan klorofil biasanya menurun di bawah cekaman kekeringan dan genangan air yang disebabkan oleh kerusakan kloroflas, foto-oksidasi pigmen dan degradasi klorofil sehinga proses sintesis menjadi lebih lambat (Singh dan Reddy 2011; Xiaoling et al. 2011; Anjum et al. 2011b; Amini et al. 2013; Sayyari et al. 2013). Pada penelitian ini, cekaman kekeringan dan genangan air menghasilkan penurunan dalam kandungan klorofil A, klorofil B, dan total klorofil per unit daun segar bibit jabon, sedangkan kandungan anthosianin pada sebagian besar populasi tidak berbeda nyata. Di lain pihak, kandungan karoten cenderung meningkat di bawah cekaman kekeringan dan genangan air. Hasil yang sama dilaporkan oleh Najla et al. (2012) pada Petroselinum crispum yang menunjukkan terjadinya peningkatan karoten sejalan dengan meningkatnya cekaman. Karoten mempunyai fungsi penting dalam fotosintesis dan fotoproteksi. Selain peran strukturalnya, karoten juga dikenal berperan dalam aktivitas antioksidan, penghambatan peroksidasi lipid dan stabilisasi membran. Cekaman kekeringan dan genangan air menginduksi peningkatan kandungan prolina daun bibit jabon. Peningkatan prolina pada tanaman yang mangalami cekaman kekeringan dan genangan juga dilaporkan pada jenis Calotropis procera dan Suaeda aegyptiaca (Ibrahim 2013). Peningkatan prolina pada cekaman genangan diduga berhubungan dengan formasi aerenkima yang meningkatkan akumulasi prolina sebagai mekanisme adaptasi terhadap cekaman genangan (He at al. 2013). Pada cekaman kekeringan, banyak peneliti yang melaporkan hubungan nyata kandungan prolina dengan kekurangan air (Rao et al. 2008; Cordeiro et al. 2009; Singh dan Reddy 2011; Ibrahim 2013). Prolina mempunyai peranan penting dalam stabilisasi protein dan membran seluler tanaman dalam sel-sel yang mengandung tingkat osmotik tinggi, dan memainkan peran perlindungan relatif tinggi terhadap tanaman yang mengalami cekaman abiotik (Fedina et al. 2002; Farooq et al. 2009). Menurut Ajum et al. (2011b), kandungan prolina meningkat sejalan dengan peningkatan cekaman kekeringan hingga mencapai puncaknya, dan kemudian
71
kandungan prolina menurun di bawah kondisi cekaman berat. Hal ini terjadi pula pada penelitian ini, kandungan prolina cenderung menurun dari perlakuan cekaman kekeringan KL50% ke KL25%. 5.3.2.2 Perbandingan antar provenansi Penelitian ini memperlihatkan bahwa bibit jabon lebih toleran terhadap cekaman genangan air daripada cekaman kekeringan yang dapat diamati dari karakter morfologi, fisiologi, dan anatomi, serta tidak ada bibit yang mati pada perlakuan genangan air. Status pertumbuhan dan rata-rata persen hidup di bawah cekaman kekeringan dan genangan air dapat dianggap sebagai salah satu indeks penting dalam toleransi tanaman (Mommer et al. 2006). Daya adaptasi bibit jabon terhadap genangan air diduga berhubungan dengan habitat alaminya yang umumnya tersebar pada tapak-tapak yang dalam, lembab dan daerah endapan di sepanjang sempadan sungai (Soerianegara dan Lemmens 1993; Kartawinata, 1994), dan sebaliknya, kondisi umum habitat alami tersebut juga berdampak pada adaptasi bibit yang kurang mampu beradaptasi terhadap cekaman kekeringan. Pada penelitian ini, provenansi Kampar memiliki tinggi bibit, diameter pangkal akar, luas daun, luas daun spesifik, kadar air relatif, akar adventif dan lentisel tertinggi pada perlakuan genangan air. Akar adventif dan lentisel hanya muncul pada perlakuan genangan air. Formasi lentisel dan akar adventif merupakan salah satu tipe adaptasi morfologi tanaman hutan toleran terhadap tapak-tapak tergenang air (Yamamoto et al. 1995). Formasi lentisel pada bagian batang berkayu tanaman yang tergenang air memfasilitasi transport oksigen ke akar karena lentisel merupakan suatu jalur angkutan, dimana gas-gas, terutama oksigen yang dapat berdifusi melalui sel-sel kulit batang (Konzlowski 1997). Akar adventif sangat penting untuk tanaman di bawah kondisi hypoxia (sedikit oksigen) atau anoxia (tidak ada oksigen) pada akar untuk memperoleh oksigen sebab akar adventif dapat langsung memperoleh oksigen dari lingkungan sekitarnya dan secara internal mengangkut oksigen melalui aerenkim. Selanjutnya, kemampuan untuk menghasilkan akar adventif umumnya berasosiasi dengan meningkatnya toleransi terhadap genangan (Steffens et al. 2006). Pada kondisi cekaman kekeringan, provenansi Gowa mempunyai tinggi bibit, diameter pangkal akar, berat kering total, luas daun spesifik, kadar air relatif, ketebalan daun, panjang akar dan kandungan prolina tertinggi. Pada kondisi cekaman kekeringan, genetik resisten menghasilkan luas daun, kadar air relatif dan kandungan prolina lebih tinggi (Sanches-Diaz et al. 2008; Possen et al. 2011). Secara umum, luas daun spesifik dan kadar air relatif yang lebih tinggi menghasilkan laju pertumbuhan yang relatif lebih tinggi (Wright dan Westoby 1999; Possen et al. 2011). Akumulasi prolina di bawah kondisi cekaman pada banyak jenis tanaman berhubungan dengan toleransi cekaman dan konsentrasi prolina secara umum ditemukan lebih tinggi pada tanaman yang toleran terhadap cekaman daripada tanaman yang sensitif terhadap cekaman (Anjum et al. 2011a). Pada cekaman kekeringan, bibit jabon umumnya tidak mampu menghasilkan dan mengakumulasi lebih banyak prolina yang menyebabkan rendahnya daya adaptasinya terhadap cekaman kekeringan.
72
Berdasarkan indeks sesitivitas cekaman (ISC) dan indeks toleransi cekaman (ITC), pada cekaman genangan air, provenansi Kampar memiliki daya adaptasi terbaik. Provenansi Kampar memberikan nilai ISC terendah dan nilai ITC tertinggi untuk tinggi dan berat kering total bibit. Nilai ISC yang lebih rendah dan nilai ITC yang lebih tinggi menunjukkan adaptasi yang lebih baik dari suatu genetik (Olaoye et al. 2009). ISC merupakan faktor yang cocok untuk mengidentifikasi genetik-genetik yang toleran terhadap cekaman (Yarnia al 2011), sedangkan ITC dapat digunakan untuk mengidentifikasi genetik-genetik yang menghasilkan pertumbuhan dan berat kering terbaik pada kondisi optimal maupun kondisi cekaman (Fernandes 1992). Pada perlakuan cekaman kekeringan, meskipun nilai ISC lebih rendah diperlihatkan oleh provenansi Gowa yang memiliki nilai ISC terendah untuk tinggi dan berat kering total bibit. Dilihat dari nilai ITC provenansi Gowa memberikan nilai yang tertinggi yang member indikasi pertumbuhannya lebih baik pada kondisi cekaman kekeringan (KL50% dan KL25%). Pola sebaran adaptasi provenansi terhadap cekaman berdasarkan analisis biplot PCA terhadap karakteristik morfologi bibit mempunyai kecenderungan yang sama dengan hasil analisis ISC dan ITC. Pada kondisi normal, provenansi Pomalaa, Batu Hijau, Rimbo Panti dan Gowa membentuk satu kelompok di kuadran IV yang menunjukkan pertumbuhan terbaik, namun pada kondisi cekaman genangan, provenansi Kampar, Gowa, OKI dan Kuala Kencana berada pada satu kelompok dengan pertumbuhan lebih baik. Sementara pada kondisi kekeringan (KL50% dan KL25%) kelompok dengan pertumbuhan yang lebih baik adalah provenansi Gowa, Pomalaa, Kampar dan Batu Hijau.
5.4 Simpulan Daya adaptasi dan pertumbuhan provenansi jabon pada tingkat bibit dipengaruhi oleh ketersediaan air. Adaptasi dan respon bibit terhadap cekaman genangan air lebih baik dibandingkan adaptasi dan responnya terhadap kekeringan. Bibit jabon dalam menghadapi cekaman air dilakukan melalui mekanisme avoidance yang dicapai melalui perubahan morfologi dan juga melalui mekanisme tolerance yang dilakukan dengan fisiologi jaringan dan sel tertentu, biokimia, dan akumulasi protein tertentu. Dari beberapa indikator morfofisiologi, indeks toleransi dan pengelompokan PCA, provenansi Kampar, Gowa, OKI dan Kuala Kencana memberi indikasi sebagai provenansi yang mampu beradaptasi baik terhadap cekaman genangan air sehingga dapat menjadi pedoman transfer benih untuk daerah-daerah yang potensial tergenang atau mengalami banjir. Pada cekaman kekeringan, secara umum jabon tidak mampu beradaptasi baik, namun beberapa provenansi seperti Gowa, Pomalaa, Rimbo Panti dan Batu Hijau relatif mampu tumbuh lebih baik dibandingkan provenansi lainnya.
73
6 PEMBAHASAN UMUM Jabon tumbuh secara alami pada sebaran kondisi tapak yang luas, dari yang beriklim sangat basah (tipe iklim A) hingga agak kering (tipe iklim E) berdasarkan klasifikasi Schmidth dan Fergusson. Sebagain besar populasi jabon yang diamati, tumbuh secara alami pada ketinggian di bawah 200 m dpl, namun beberapa populasi ditemui juga pada ketinggian 210, 294 dan 628 m dpl. pH tanah juga bervariasi dari sangat masam hingga sedang dengan tekstur yang didominasi pasir (pasir berlempung) hingga liat. Dilihat dari tingkat kesuburannya yang dianalisis berdasarkan kunci status kesuburan tanah (Pusat Penelitian Tanah 1983) yang kombinasikan 5 parameter, yaitu kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, kadar K, kadar P dan C-organik tanah, menghasilkan status kesuburan tanahnya juga cukup beragam, dari tingkat kesuburan tanah rendah hingga tinggi (Tabel 6.1). Keragaman tipe iklim dan tapak ini memberi indikasi bahwa jabon memiliki kisaran lingkungan tumbuh yang luas yang diduga berpengaruh terhadap keragaman genetik pada tingkat morfofisiologi maupun molekuler. Tabel 6.1 Status kesuburan tanah pada 11 populasi jabon (PPT, 1983) Parameter SRP SKR SOK JGS - Kapasitas tukar R S S S kation (cmol/kg) - Kejenuhan basa T T T T (%) - C organik (%) R R S S - P tersedia (ppm) R R R R - K (cmol/kg) T R T T Status kesuburan R R S S Keterangan: R = rendah, S = sedang, T = tinggi
Populasi JNK T
JAP T
KKT KBL CPG CPK NBH S T T R R
T
T
R
T
T
T
T
T R T T
T S T T
T R T S
T R T T
S T T T
T R T S
R T T S
Karakteristik morfofisiologi buah, benih dan bibit menunjukkan perbedaan yang nyata antar populasi yang memberi indikasi adanya keragaman yang disebabkan perbedaan lokasi, pohon dalam suatu lokasi dan antar buah atau benih di dalam pohon tersebut yang dikontrol secara bersamaan oleh faktor genetik dan lingkungan seperti iklim, tanah, posisi dalam tajuk dan kerapatannya (Lester 1969). Koefisien keragaman genetik untuk semua parameter buah, benih dan bibit jabon ditemukan lebih tinggi daripada koefisien keragaman lingkungan. Besaran keragaman galat relatif lebih rendah daripada keragaman genetik untuk semua karakter, sedangkan koefisien keragaman fenotipe dan genetik sangat dekat satu dengan yang lainnya untuk semua karakter. Begitu pula dengan heritabilitas yang berada pada kisaran 5299%. Hal ini memberi indikasi bahwa komponen genetik (populasi) berkontribusi sangat besar terhadap total keragaman untuk karakter-karakter tersebut atau sebagian besar keragaman yang diamati untuk karakter-karakter tersebut lebih dikendalikan
74
faktor genetik. Analisis keragaman berdasarkan morfologi bibit dan penanda AFLP juga menunjukkan adanya keragaman dalam dan antar populasi jabon yang cukup tinggi, bila dibandingkan dengan nilai-nilai parameter genetik penelitian sebelumnya pada jenis yang sama (Tiong et al. 2010; Seng et al. 2010) atau jenis-jenis tropis lainnya (Tang et al. 2003; Cao et al. 2006; Hidayat 2011). Dilihat dari pola keragaman provenansi (Gambar 2.3), konsep provenansi dapat digunakan dalam menjelaskan pengelompokan populasi dalam studi ini. Grup 1 (Kapuas dan Batu Licin), grup 2 (Gowa dan Pomalaa) dan grup 4 (Rimbo Panti) diduga merupakan provenansi yang asli (true provenance) seperti yang dikelompokan berdasarkan asal geografisnya. Sementara, grup 3 mungkin berisi campuran dari beberapa provenansi, yang memberi indikasi keberadaan populasi tersebut telah tercampur sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan reforestasi di pulau Jawa, Sumatera dan Sumbawa. Pada tingkat famili yang dianalisis pada 4 populasi yang mewakili pulau Sumatera (populasi Kampar), Jawa (populasi Nusa Kambangan), Kalimantan (populasi Kapuas) dan Sulawesi (populasi Pomalaa), beberapa aksesi/famili juga dideteksi mempunyai kedekatan secara genetik yang terjadi terutama antara populasi Kampar (Sumatera) dengan populasi Nusa Kambangan (Jawa) seperti yang terjadi pada famili Nusa Kambangan-15 dengan Kampar-2. Hasil ini memberi implikasi pada penggunaan aksesi/famili tersebut dalam kegiatan konservasi maupun pembangunan populasi pemuliaan untuk mendukung ketersediaan sumber benih berkualitas. Namun secara umum, antar populasi jabon tersebut memiliki keragaman yang cukup tinggi sehingga kegiatan konservasi dapat dilakukan dengan mengelola dan mempertahankan setiap populasi secara terpisah sebab populasi-populasi tersebut mempunyai karakter genetik yang unik. Konservasi harus dilakukan baik secara in situ maupun ex situ. Untuk mengamankan sumber daya genetik, salah satu langkah penting adalah membangun sumber benih (kebun benih) jabon dengan menggunakan famili-famili dari sebaran populasi yang luas. Disamping mengumpulkan plasma nutfah dari populasi-populasi yang memiliki tingkat keragaman tinggi, penggunaan populasi dan famili-famili yang secara genetik berbeda akan menjadi penting untuk menjamin tingkat keragaman genetik yang luas dalam populasi pemuliaan atau sumber benih dan kegiatan penanaman selanjutnya. Pada uji provenansi-keturunan, informasi kekerabatan antar famili menjadi dasar dalam penentuan desain blok dan pengacakan famili di dalam blok uji. Hasil evaluasi awal menunjukkan bahwa komponen ragam antar famili di dalam provenansi lebih rendah daripada komponen ragam antar provenansi yang memberi indikasi bahwa provenansi-provenansi tersebut terisolasi arau aliran gen (gen flow) tidak mencukupi untuk menutupi pengaruh seleksi dan/atau penghanyutan genetik (genetic drift). Adanya fragmentasi kawasan hutan sebagai akibat deforestasi telah menyebabkan terbentuknya populasi jabon yang diskrit (terpisah) dalam bentuk populasi-populasi yang terisolasi yang menyebabkan tingginya keragaman antar populasi. Nilai heritabilitas berubah dengan berubahnya tapak pada genetik yang sama. Nilai heritabilitas pertumbuhan awal jabon pada uji ini dikategorikan rendah hingga sedang. Nilai heritabilitas yang rendah pada penelitian ini diduga karena tanaman masih sangat muda sehingga sifat-sifat secara genetiknya belum terekspresikan secara
75
baik. Nilai heritabilitas yang rendah dan cenderung belum stabil memberi indikasi bahwa seleksi belum optimum untuk dilakukan. Menurut Kien et al. (2009) yang melakukan penelitian pada jenis Eucalyptus urophylla menyatakan untuk jenis cepat tumbuh, seleksi pertama dimulai pada umur tanaman 2-3 tahun karena pada umur tersebut nilai heritabilitas relatif lebih stabil. Heritabilitas famili menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan heritabilitas individu sehingga seleksi famili akan berkontribusi besar dalam peningkatan perolehan genetik. Namun nilai heritabilitas tersebut pun dikategorikan rendah yang memberi indikasi bahwa kemungkinan perolehan genetik melalui seleksi menghasilkan perolehan yang rendah dan seleksi sebaiknya dilakukan hingga heritabilitas mencapai nilai yang lebih tinggi dan lebih stabil (umunya untuk jenis cepat tumbuh dicapai pada umur 2-3 tahun). Selain itu, kombinasi seleksi famili dan seleksi individu di dalam famili akan lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan jenis ini. Nilai heritabilitas ini juga harus diinterpretasikan secara hati-hati sebab jumlah famili per provenansi yang digunakan tidak sama. Dalam suatu uji provenansi-keturunan, ragam famili dirata-ratakan terhadap provenansi-provenansi berbeda, dengan lebih memberikan informasi tentang provenansi-provenansi dengan penampilan yang lebih baik (Kien et al. 2009). Untuk ke depannya, penambahan materi genetik untuk setiap provenansi yang diuji harus dilakukan sehingga akan meningkatkan akurasi pendugaan parameter genetik. Rendahnya nilai heritabilitas, selain dipengaruhi oleh umur tanaman, juga dipengaruhi oleh jumlah unit percobaan (individu per famili) dan jumlah ulangan/blok. Makin banyak jumlah unit percobaan dan ulangan, maka nilai heritabilitasnya akan makin besar (Russel dan Libby 1986). Demplot uji ini juga di masa depan dapat dijadikan sumber benih dengan mengkoversinya menjadi kebun benih semai melalui seleksi individu dan seleksi famili untuk mendapatkan individu-individu superior dalam rangka mendukung penyediaan benih bermutu. Pada uji adaptasi bibit jabon terhadap cekaman, perbedaan nyata ditemukan antar perlakuan. Perlakuan cekaman menghasilkan penurunan pertumbuhan yang nyata pada parameter tinggi bibit, diameter pangkal akar, berat kering, dan luas daun di bawah perlakuan cekaman kekeringan. Pada kondisi cekaman genangan, diameter pangkal batang justru mengalami peningkatan dengan adanya tanah yang jenuh air. Beberapa parameter pada kondisi cekaman genangan juga mengalami peningkatan seperti jumlah daun, luas daun spesifik, kadar air relatif, tebal daun dan kandungan prolina, yang merupakan respon morfofisiologi terhadap cekaman air. Berdasarkan mekanismenya, bibit jabon dalam menghadapi cekaman air dilakukan melalui mekanisme avoidance yang dicapai melalui perubahan morfologi dan juga melalui mekanisme tolerance yang dilakukan dengan fisiologi jaringan dan sel tertentu, biokimia dan akumulasi protein tertentu. Setiap provenansi mempunyai pertumbuhan yang beragam dan menunjukkan cenderungan yang lebih adaptif terhadap genangan dan kurang adaptif terhadap kekeringan. Bahkan berdasarkan nilai ISC dan ITC pada cekaman KL25% yang secara keseluruhan nilai ICS lebih dari 1 dan nilai ITC kurang dari 0.5, menggambarkan bahwa bibit jabon sensitif atau rentan terhadap kekeringan dan juga tidak toleran terhadap kekeringan dengan kapasitas lapang 25% (Tabel 6.2). Pada
76
kondisi cekaman genangan, beberapa provenansi dapat dikatogorikan agak rentan namun lebih toleran seperti provenansi Kampar, OKI, Gowa dan Pomalaa. Dilihat dari posisi kuadran berdasarkan biplot hasil analisis PCA (Tabel 6.2), beberapa provenansi mengalami perubahan kuadran pada setiap diberi cekaman baik kekeringan maupun genangan. Tabel 6.2 Posisi provenansi jabon pada kuadran biplot hasil analisis PCA dan ratarata nilai ISC dan ITC dalam hubungannya dengan daya adaptasinya terhadap cekaman kekeringan dan genangan air Provenansi
Posisi kuadran Rata-rata ISC dan ITC Kontrol GA KL KL2 GA KL50% KL25% 50% 5% ISC ITC ISC ITC ISC ITC 1.06 0.94 1.01 0.36 1.12 0.23 Rimbo Panti I IV I IV 0.55 1.30 1.02 0.37 1.19 0.27 Kampar IV I I I 0.98 1.19 0.99 0.35 1.16 0.21 OKI IV I IV II 1.67 0.82 1.03 0.29 1.16 0.20 Garut Selatan IV IV IV IV 0.64 0.97 0.97 0.34 1.07 0.22 Nusa Kambangan III II IV IV 1.74 0.58 1.06 0.24 1.15 0.15 Alas Purwo III II II II 1.31 0.34 0.98 0.11 1.07 0.08 Kapuas III III III III 1.10 0.28 0.97 0.09 1.06 0.07 Batu Licin II III III III 0.65 1.37 0.94 0.57 1.07 0.40 Gowa I I I I 0.74 1.10 0.98 0.34 1.09 0.25 Pomalaa I IV I I 1.35 1.14 0.97 0.33 1.16 0.26 Batu Hijau I IV I I 1.08 1.33 1.04 0.36 1.20 0.23 Kuala-kencana IV I IV IV Keterangan: ISC >1 = sensitive/rentan, ISC 0.5-1 = agak sensitif, ISC<0.5 = tidak sensitif, ITC>1= toleran, ITC 0.5-1 = agak toleran, ITC<0.5 = tidak toleran.
Provenansi Gowa secara konstan mampu tumbuh baik pada kondisi kontrol atau pun cekaman kekeringan dan genangan air. Beberapa provenansi lainnya mempunyai potensi lebih adaptif terhadap genangan air seperti provenansi Kampar, OKI dan Kuala Kencana. Pada kondisi kekeringan, provenansi yang tumbuh lebih baik pada kondisi cekaman KL50% (provenansi Rimbo Panti, Kampar, Gowa, Pomalaa dan Batu Hijau) mempunyai potensi lebih baik juga pada kondisi cekaman KL25%, kecuali untuk provenansi Rimbo Panti. Secara keseluruhan provenansi yang adaptif terhadap genangan air adalah Kampar, OKI, Gowa dan Kuala Kencana, sedangkan pada kondisi kekeringan provenansi yang mampu bertahan hidup lebih baik adalah Kampar, Gowa, Pomalaa dan Batu Hijau. Uji adaptasi terhadap cekamam memberi indikasi awal adanya provenansi yang lebih adaptif terhadap cekaman genangan air dan lebih bertahan hidup pada kondisi cekaman kekeringan. Informasi ini sangat diperlukan sebagai pedoman transfer benih dan program-program penanaman jabon pada lahan-lahan marjinal. Pada kondisi cekaman genangan, provenansi Kampar, OKI, Gowa dan Kuala Kencana berada pada satu kelompok dengan pertumbuhan lebih baik. Sementara pada kondisi kekeringan, kelompok dengan pertumbuhan yang lebih baik adalah
77
provenansi Gowa, Pomalaa, Kambar dan Batu Hijau. Dengan demikian dalam sistem transfer benih antar populasi (seed transfer zone), provenansi Kampar, OKI, Gowa dan Kuala Kencana mempunyai potensi untuk tumbuh lebih baik pada daerah tergengang dan lebih potensial untuk ditransfer ke daerah-daerah tersebut, sedangkan provenansi Gowa, Pomalaa, Kampar dan Batu Hijau mempunyai potensi yang lebih baik untuk ditransfer ke daerah-daerah yang agak kering.
78
7 SIMPULAN Jabon mempunyai sebaran tempat tumbuh yang sangat luas dan kisaran kondisi tapak secara alami yang cukup beragam. Jenis ini dijumpai tumbuh baik pada ketinggian tempat 23 m dpl sampai 628 m dpl, dengan kisaran pH tanah 4.4 sampai 6.7 (sangat masam hingga netral), dan tingkat kesuburan rendah hingga tinggi. Karakteristik morfofisiologi benih dan bibit antar populasi juga sangat beragam dan sebagian besar dipengaruhi oleh faktor genetik. Nilai heritabilitas pada semua karakter menunjukkan nilai yang tinggi. Karakter berat buah, daya berkecambah, kecepatan berkecambah, tinggi dan indeks kekokohan bibit memiliki nilai heritabilitas tertinggi dan diikuti dengan nilai kemajuan genetik tinggi sehingga dapat dijadikan indikator penting untuk pemilihan populasi terbaik. Pengelompokan berdasarkan biplot komponen utama analisis PCA dan analisis klaster memberi indikasi bahwa sebagian besar provenansi yang berdekatan secara geografis, secara genetik juga lebih berdekatan, terutama populasi yang ada di Jawa dan Sumatera. Karakter-karakter morfologi bibit jabon antar populasi dan famili di dalam populasi mempunyai perbedaan yang nyata. Secara umum famili-famili dari Pomalaa memiliki pertumbuhan bibit yang tertinggi disusul dengan famili-famili dari Kampar, sebaliknya famili-famili dari Kapuas memiliki pertumbuhan bibit terendah. Tingkat keragaman genetik di dalam populasi berdasarkan morfologi bibit memiliki kecenderungan mirip dengan keragaman hasil analisis AFLP yang menunjukkan populasi Kampar memiliki keragaman yang lebih rendah dibandingkan 3 populasi lainnya. Keragaman genetik tertinggi dideteksi pada populasi Kapuas yang diikuti oleh populasi Pomalaa. Keragaman antar populasi berdasarkan tingkat differensiasi baik berdasarkan morfologi bibit maupun analisis AFLP menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Pertumbuhan awal tinggi dan diameter jabon menunjukkan perbedaan antar provenansi dan antar famili di dalam provenansi yang nyata, kecuali untuk parameter diameter pada tapak Parungpanjang. Tingkat keragaman genetik jabon ditemukan lebih tinggi antar provenansi daripada antar famili di dalam provenansi yang memberi indikasi kemungkinan untuk menggunakan provenansi-provenansi yang berpenampilan lebih baik sebagai sumber benih untuk kegiatan-kegiatan pembangunan hutan tanaman. Heritabilitas famili yang diduga lebih tinggi daripada heritabilitas individu sehingga kemajua genetik yang lebih tinggi akan diperoleh dari seleksi famili daripada seleksi masa. Bagaimana pun juga, heritabilitas yang relatif rendah pada semua parameter di kedua tapak memberi indikasi bahwa kemungkinan perolehan genetik melalui seleksi menghasilkan perolehan yang rendah dan seleksi sebaiknya dilakukan hingga heritabilitas mencapai nilai yang tinggi dan lebih stabil. Kombinasi seleksi famili dan seleksi individu di dalam famili akan lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan jenis ini. Daya adaptasi dan pertumbuhan provenansi jabon pada tingkat bibit dipengaruhi oleh ketersediaan air. Respon bibit jabon terhadap cekaman kekeringan dan genangan air beragam antar provenansi. Respon bibit adaptif terhadap cekaman
79
genangan air lebih baik dibandingkan respon adaptif bibit terhadap kekeringan. Bibit jabon dalam menghadapi cekaman air dilakukan melalui mekanisme avoidance yang dicapai melalui perubahan morfologi dan juga melalui mekanisme tolerance yang dilakukan dengan fisiologi jaringan dan sel tertentu, biokimia, dan akumulasi protein tertentu. Dari beberapa indikator morfologi, fisiologi, indeks sensitivitas, indeks toleransi dan pengelompokan berdasarkan PCA, provenansi Kampar, OKI, Gowa dan Kuala Kencana memberi indikasi sebagai provenansi yang mampu beradaptasi baik terhadap cekaman genangan air. Pada cekaman kekeringan, secara umum jabon tidak mampu beradaptasi, namun beberapa provenansi seperti Gowa, Pomalaa, Batu Hijau dan Kampar mempunyai performa relatif lebih baik dibandingkan provenansi lainnya. Informasi ini sangat diperlukan sebagai pedoman transfer benih dan programprogram penanaman jabon pada lahan-lahan marjinal yang disebabkan oleh kekeringan atau genangan air.
80
DAFTAR PUSTAKA Acharyya S, Rathore DS, Kumar HKS, Panda N. 2011. Screening of Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq. root for antimicrobial and anthelmintic activities. International Journal of Research in Pharmaceutical and Biomedical Sciences 2(1):297-300. Amini R, Alami-Milani M, Mohammadinasab AD. 2013. Physiological response of lentil (Lens culinaris Medick.) to water limitation affected by wheat straw mulch application. International Journal of Agronomy and Plant Production 4(10):2548-2553. Anjum S, Xie X, Wang L, Saleem M, Man C, Lei W. 2011a. Morphological, physiological and biochemical responses of plants to drought stress. African Journal of Agriculture Research 6(9):2026-2032. Anjum S, Wang LC, Farooq M, Hussain M, Xue LL, Zou CM. 2011b. Brassinolide application improves the drought tolerance in maize through modulation of enzymatic antioxidants and leaf gas exchange. Journal of Agronomy and Crop Science 197(3):177-185. Arve LE, Torre S, Olsen JE, Tanino KK. 2011. Stomatal responses to drought stress and air humidity. In Shanker A, Venkateswarlu B, editors. Abiotic stress in plant- Mechanisms and adaptations. Agricultural and Biological Science. Intech Open Science. Diakses tanggal 20 Desember 2014. Ayele TB, Gailing G, Finkeldey R. 2011. Assessment and integration of genetic, morphological and demographic variation in Hagenia abyssinica (Bruce) J.F. Gmel. to guide its conservation. Journal for Nature Conservation 19:8-17. Baliuckas V, Ekberg I, Eriksson G, Norell L. 1999. Genetic variation among and within provenances of four Swedish hardwood species assessed in a nursery trial. Silvae Genetica 48(1): 17–25. Barret SC, Kohn JR. 1991. Genetic and evolutionary consequences of small population size in plants: implications for conservation. In: Falk DA, Holsinger KE, editors. Genetic and Conservation of Rare Plants. Oxford University Press. Oxford. pp. 3-30. Bates LS, Waldren RP, Teare ID. 1973. Rapid determination of free proline for water stress studies. Plant and Soil 39:205-207. Bawa KS, Krugman SL. 1990. Reproductive biology and genetics of tropical trees in relation to conservation and management. In: Gomez-Pampa A, Whitmore TC, Hadley M, editors. Rain forest regeneration and management. The Parthenon Publishing Group. pp. 119-136. Bhattacharya AK, Lakhari AK, Basu RN. 1991. Improvement of germinability of Eucalyptus sp. by pre germination treatments. Indian Journal of Forests 117:661-663. Bischoff A, Steinger T, Muller-Scharer H. 2008. The importance of plant provenance and genotypic diversity of seed material used for ecological restoration. Restoration Ecology. pp. 1-11.
81
Bonin A, Ehrich D, Manel S. 2007. Statistical analysis of amplified fragment polymorphism data: a toolbox for molecular ecologists and evolutionists. Molecular Ecology 16:3737-3758. Bonner FT. 1987. Importance of seed size in germination and seedling growth. Southern Forest Experiment Station. USDA. New Orleans, Louisiana. Bonner FT, Fozzo JA, Elam WW, Land SBJr. 1994. Tree seed technology training course. Instructors Manual. Southern Forest Experiment Station. US Department Agriculture. Borralho NMG. 2001. The purpose of breeding is breeding for a purpose. In: Proceeding of the IUFRO International Symposium on Developing the Eucalypt of the Future. INFOR, Valdivia, Chile. Bower AD, Aitken SN. 2008. Ecological genetics and seed transfer guidelines for Pinus albicaulis (Pinacea). American Journal of Botany 95:66-76. Campbell RK, Radiske JH. 1965. Genetic variation of photosyntesis efficiency and dry-matter accumulation in seedling Douglas-fir. Genetics pp. 65-72. Cao CP, Finkeldey R, Siregar IZ, Siregar UJ, Dailing O. 2006. Genetic diversity within and among populations of Shorea leprosula Miq. and Shorea pevifolia Dyer (Dipterocarpaceae) in Indonesia detected by AFLPs. Tree Genetics and Genomes 2(4):225-239. Cavers S, Navarro C, Lowe AJ. 2003. Chloroplast DNA phylogeography reveals colonization history of neotropical tree, Cedrela odorata L. in Mesoamerica. Molucular Ecology 12:1451-1460. Cordeiro YEM, Pinheiro HA, dos Santos Filho BG, Correa SS, e Silva JRR. DiasFilho MB. 2009. Physiological and morphological responses of young mahogany (Swietenia macrophylla King) plants to drought. Forest Ecology and Management 258:1449-1455. Cornic C, Massacci A. 1996. Leaf photosynthesis under drought stress. In: Baker NR, editor. Photosynthesis and Environment. Kluwer Acad. Publs. 347–366. Cotterill PP, Dean CA. 1990. Succesfull tree breeding with index selection. CSIRO Division of Forestry and Forest Product, Australia. Danquah JA, Appiah M, Ari P. 2011. Leaf morphometric variation in two species of African Mahoganies: Khaya ivorensis and Khaya anthotheca (Meliaceae). European Journal of Scientific Research. pp. 325-338. Davies W, Zhang JJ. 1999. Root sygnals and the regulation of growth and development of plant in drying soil. Annual Review of Plant Physiology and Plant Molecular Biology 42:55-76. Devagiri GM. 1997. Evaluation of seed source variation in seed and seedling traits in Dalbergia sissoo Roxb. Ph.D. Thesis). Dehra Dun (IN): Forest Research Institute, Deemed University Dehra Dun. [DBUK] Ditjen Bina Usaha Kehutanan. 2014. Statistik kehutanan tahun 2013. Jakarta (ID): Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Dlamini CS. 2010. Provenance and family variation in germination and early seedling growth in Sclerocarya birrea sub-species Caffra. Journal of Horticulture and Forestry 2(9):229-235.
82
Dunisch O, Erbreich M, Eilers T. 2003. Water balance and water potentials of a monoculture and an enrichement plantation of Carapa guianensis Aubl. In the Central Amazon. Forest Ecology and Management 172:355-367. Dunlap JR, Barnett JP. 1984. Influence of seed size germination and early development of loblly pine (Pinus taeda L.) germinants. Canadian Journal of Forest Research 13:40-44. Dwiyanti FG, Harada K, Siregar IZ, Kamiya K. 2014. Population genetics of the critically endangered species Dipterocarpus littoralis Blume (Dipterocarpaceae) endemic in Nusakambangan island, Indonesia. Biotropia 21(1):1-12. Edmond JB, Drapala WJ. 1985. The effects of temperature, sand and soil, and acetone on germination of okra seed. Proceeding of the American Society for Horticultural Science 71:428-434. Falconer DS. 1981. Introduction to quantitative genetic, 2 nd Edition. New York (US): Longman Inc. Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to quantitative genetics, 4th Edition. New York (US): Longman Inc. Farooq M, Wahid A, Kobayashi N, Fujita D, Basra SMA. 2009. Plant drought stress: effects, mechanisms and management. Agronomy for Sustainable Development 29:185-212. Fedina IS, Georgieva K, Grigorova I. 2002. Light-dark changes in proline content of barley leaves under salt stress. Instrumental Plant Physiology 45(1):59-63. Fernandes AAR. 2008. Eksplorasi data peubah ganda. Malang (ID): Universitas Brawijaya. Fernandez GCJ. 1992. Effective selection criteria for assessing plant stress tolerance. In: Proceedings of the international symposium on adaptation of vegetable and other food crops in temperature and water stress. Taiwan. pp. 257-270. Finkeldey F, Hattemer HH. 2007. Tropical forest genetics. Berlin (DE): SpringerVerlag, Heidelberg. 315 p. Finkeldey F. 2005. Conservation and sustainable utilization of plant genetic resources in South East Asia. ASEAN-EU University Network Programme. Fischer RA, Maurer R. 1978. Drought resistance in spring wheat cultivars: I. Grain yield responses. Australian Journal of Agriculture Research 29:897-912. Gao S, Wang J, Zhang Z, Dong G, Guo J. 2012. Seed production, mass, germinability and subsequent seedling growth responses to parental warming environment in Leymus chinensis. Crop and Pasture Science 63(1):87-94. Gairola KC, Nautiyal AR, Sharma G, Dwivedi AK. 2011. Variability in seed characteristics of Jatropha curcas Linn. from hill region of Uttarakhand. Bulletin of Environment, Pharmacology & Life Sciences. 1(1):64 – 69. Gapare WJ, Gwaze DP, Musokonyi C. 2003. Genetic parameter estimated for growth and stem straightness in a breeding seedling orchard of Eucalyptus grandis. Journal of Tropical Forest Science 15:613-625. Gera M, Gera N, Ginwal HS. 2000. Seed trait variations in Dalbergia sissoo Roxb. Seed Science and Technology 28:467-475.
83
Ghildiyal SK, Sharma CM, Gairola S. 2009. Additive genetic variation in seedling growth and biomass of fourteen Pinus roxburghii provenances from Garhwal Himalaya. Indian Journal of Science and Technology 2(1):37-45. Gindaba J, Rozanov A, Negash L. 2005. Photosynthetic gas exchange, growth and biomass allocation of two Eucalyptus and three indigenous tree species of Ethiopia under moisture deficit. Forest Ecology and Management 205(1– 3):127–138. Glaubitz JC, Moran GF. 2000. Genetic tools: the use of biochemical and molecular markers. In: Young A, Boshier D, and Boyle T, editors. Forest conservation genetics, principles and practice. CSIRO Publishing and CABI Publishing. pp. 39-62. Glenz C, Schlaepfer R, Iorgulescu I, Kienast F. 2006. Flooding tolerance of Central European tree and shrub species. Forest Ecology and Management 235:1-13. Gulcu S, Celik S. 2009. Genetic variation in Pinus brutia Ten. seed stands and seed orchards for growth, stem form and crown characteristics. African Journal of Biotechnology 8 (18):4387-4394. Hamrick JL, Loveless MD. 1989. The genetic structure of tropical tree populations: associations with reproductive biology. In: Bock JH, Linhart YB, editors. The Evolutionary Biology of Plants. Westview Press, Boulder, CO. pp. 129-146 Hamrick JL, Mary Jo WG, Susan LS. 1992. Factors influing levels of genetic diversity in woody plant species. In: Adams WT, Strauss SH, Copes DL and Griffin AR, editors. Population genetics of forest trees. Kluwer Academic Publishers. Harper JL, Lovell PH, Moore KG. 1970. The shapes and sizes of seeds. Annual Review of Ecology and Systematics 11:327-356. Hashimoto K, Kurinobu S, Suhendi H. 1996. Establishment of seed sources of tropical tree species in Indonesia. In: Dieters MJ, Matheson AC, Nikles DG, Harwood CE, and Walker SM, editors. Tree improvement for sustainable tropical forestry. Proceedings of QFRI-IUFRO Conference, Caloundra, Queensland, Australia. pp 370-371. He Y, Zhang J, Ma H, Tu Y, Chen J, Chen F, Xu H, Song Z, Cai D, Xue X. 2012. Aerenchyma formation and increased accumulation of free proline in roots of xerophytic Aloe vera L. cultured in nutrient solutions. Journal of Medicinal Plants Research Vol. 6(2):243-252. Herrera A, Escala M, Rengifo E. 2009. Leaf anatomy changes related to physiological adaptations to flooding in Amazonian tree species. Brazilian Society of Plant Physiology 21(4): 301-308. Hidayat Y. 2011. Variasi genetik populasi pohon surian (Toona chinensis Roem) di Pulau Jawa (Disertasi). Bandung (ID): Program Pascasarjana Universitas Pajajaran. Bandung. Hollingsworth PM, Dawson IK, Goodall-Copestake WP, Richardson JE, Webber JC, Montes CS, Pennington RT. 2005. Do farmers reduce genetic diversity when they domesticate tropical trees? A case study from Amazonia. Molecular Ecology 14:497-501.
84
Ibrahim AH. 2013. Tolerance and avoidance responses to salinity and water stresses in Calotropis procera and Suaeda aegyptiaca. Turkish Journal of Agriculture and Forestry 37: 352-360 [ISTA] International Seed Testing Association. 2010. International rules for seed testing Edition 2010. Bassersdorf (CH): The International Seed Testing Association. Irawan US, Purwanto E. 2014. White jabon (Anthocephalus cadamba) and red jabon (Anthocephalus macrophyllus) for community land rehabilitation: Improving local provagation efforts. Agricultural Science 2(3):36-45. Isik K, Kleinschmidt J. 2005. Similarities and effectiveness of test environment in selecting and deploying desirable genetiks. Theory and Application Genetics 110:311-322. Jaleel CA, Manivannan P, Wahid A, Farooq M, Somasundaram R, Panneerselvam R. 2009. Drought stress in plants: a review on morphological characteristics and pigments composition. International Journal of Agriculture and Biology 11:100-105. Jayasankar S, Babu LC, Sudhakar K, Unnithan VKG. 1999. Provenance variation in seed and germination characteristics of teak (Tectona grandis L.F.). Seed Science and Technology 27:131-139. Jiang IB, Pharis RP, Darcik BP, Yeh FC. 1989. Early screening and short-term testtheir use in tree improvement. Proceeding of the Twenty-second Meeting of The Canadian Tree Improvement Association. Admonton, Arberta, Canada. Johnson HW, Robinson HF, Comstock RF. 1955. Estimates of genetic and environmental variability in Soyabean. Agronomy Journal 47:14-318. Johnson R, Clair BS, Lipow S. 2001. Genetic conservation in applied tree breeding programs. In: Thielges BA, Sastrapraja SD, Rimbawanto A., editors. Proceeding of International Conference on In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial Tropical Trees. Yogyakarta. Kallio MH, Krisnawati H, Rohadi D, Kanninen M. 2011. Mahogany and kadam planting farmers in South Kalimantan: The link between silvicultural activity and stand quality. Small-scale Forestry 10:115-132. Kandya AK. 1978. Relationship among seed weight and various growth factors in Pinus ocarpa Schiede seedlings. Indian Journal of Forests 104:561-567. Kartawinata K. 1994. The use of secondary forest species in rehabilitation of degraded forest lands. Journal of Tropical Forest Science 7(1):76-86. Kettle CJ, Ennos RA, Jaffre T, Gardner M, Hollingsworth MP. 2008. Cryptic genetic bottlenecks during restoration of an endangered tropical conifer. Biological Conservation 141:1953-1961. Khalik MAK. 1974. Genetics of cone morphology in white spruce (Picea glauca). Canadian Journal Botany 52:15-21. Kien ND, Jansson G, Harwood C, Thinh HH. 2009. Genetic control of growth and form in Eucalyptus urophylla in Northern Vietnam. Journal of Tropical . For. Sci. 21(1):50-65. Kimura M, Crow J. 1964. The number of alleles that can be maintained in a finite population. Genetics 49:725-738.
85
Kotaba T, Uemuki N. 2004. High tempetures during the grain-filling period do not reduce the potential grain dry matter increase of rice. Agronomy Journal. 96:406-414. Kozlowski TT, Pallardy SG. 2002. Acclimation and adaptive responses of woody plants to environmental stresses. The Botanical Review 68:270-334. Kozlowski TT. 1997. Responses of woody plants to flooding and salinity. Tree Physiology Monograph 1:1-28. Krisnawati H, Kallio M, Kanninen M. 2011. Anthocephalus cadamba Miq.: ekologi, silvikultur dan produktivitas. Bogor (ID): Center for International Forestry Research, Bogor. Ky-Dembele C, Bayala J, Savadogo P, Tigabu M, Odén PC, Boussim IJ. 2010. Comparison of growth responses of Khaya senegalensis seedlings and stecklings to four irrigation regimes. Silva Fennica. 44(5):787-798. Lai PS, Ho WS, Pang SL. 2013. Development, characteristics and cross-species transferability of expressed sequence tag-simple sequence repeat (EST-SSR) markers derived from kelampayan tree transcriptome. Biotechnology 12(6):225235. Lamprecht H. 1989. Silviculture in the tropics; Tropical forest ecosystems and their tree species – Possibilities and methods for their long-term utilization. Eschbor (DE): Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ). [LPT] Lembaga Penelitian Tanah. 1979. Penuntun analisa fisika tanah. Bogor (ID): Lembaga Penelitian Tanah Bogor. Lemes MR, Gribel R, Proctor J, Grattapaglia D. 2003. Population genetic structure of mahogany (Swietenia macrophylla King, Meliaceae) across the Brazilian Amazon, based on variation at microsatellite loci: implications for conservation. Molecular Ecology 12:2875–2883. Lester DT. 1969. Variation in cone morphology of balsam fir (Abies balsamea). Rhodora 70(781):83-94. Lewontin RC. 1972. The apportionment of human diversity. Evolution Biology 6:381-398. Li C. 1999. Carbon isotope composition, water use efficiency and biomass productivity of Eucalyptus microtheca populations under different water supplies. Plant and Soil 214:165-171. Li FL, Bao WK, Wu N. 2011. Morphological, anatomical and physiological responses of Campylotropis polyantha (Franch.) Schindl. seedlings to progressive water stress. Scientia Horticulturae 127:436-443. Lichtenthaler HK. 1987. Chlorophylls and carotenoids: pigments of photosynthetic biomembranes. Methods Enzymology 148:350-382. Loveless MD, Hamrick JL. 1984. Ecological determinants of genetic structure in plant populations. Annual Review of Ecology and Systematics 15:65-95. Lu W. 2011. Growth and morphological responses to water level variations in two Carex species from Sanjiang Plain, China. African Journal of Agriculture Research 6(1):28-34.
86
Lukkarinen AJ, Ruotsalainen S, Nikkanen T, Peltola H. 2009. The growth rhythm and height growth of seedlings of Siberian (Larix sibirica Ledeb.) and Dahurian (Larix gmelinii Rupr.) larch provenances in greenhouse conditions. Silva Fennica 43(1):5-20. Luo JX, Zhang XL, Gu WC. 2009. Biogeographic differences in cone, needle and seed morphology among natural Picea asperata populations in Western China. Forestry Study in China 7(2):1–6. Maguire JD. 1962. Speed of germination - aid in selection and evaluation for seedling emergence and vigor. Crop Science 2:176-177. Maheshwari P, Konar RN. 1971. Pinus Botanical Monograph No. 7. New Delhi (IN): CSIR. pp. 1-130. Mamo N, Mihretu M, Fekadu M, Tigabu M, Teketay D. 2006. Variation in seed and germination characteristics among Juniperus procera populations in Ethiopia. Forest Ecology and Management 225: 320-327. Mansur I, Surahman. 2011. Respon tanaman jabon (Anthocephalus cadamba) terhadap pemupukan lanjutan (NPK). Jurnal Silvikultur Tropika 3(1):71-77. Mardiningsih O. 2002. Teknik kultur in vitro dan variasi genetik jabon (Anthocephalus cadamba Roxb.) (Skripsi). Bogor (ID): Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Maroco JP, Pereira JS, Chaves MM. 1997. Stomatal responses of leaf-to-air vapour pressure deficit in Sahelian species. Australian Journal of Plant Physiology 24:381–387. Marshall PE, Kozlowski TT. 1976. Compositional changes in cotyledons of woody Angiosperms. Canadian Journal Botany 54:2473-2477. Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas kayu Indonesia jilid II. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. Millar CI, Stephenson NL, Stephens SL. 2007. Climate change and forests of the future: managing in the face of uncertainty. Ecological Applications 17:21452151. Mishra RP, Siddique L. 2011. Antibacterial properties of Anthocephalus cadamba fruits. Asian Journal of Plant Science and Research 1(2):1-7. Mommer M, Lenssen JPM, Huber H, Visser EJW, Kroon HD. 2006. Ecophysiological determinants of plants performance under flooding: a comparative study of seven plant families. Journal of Ecology 94(6):1117-1129. Mondal S, Dash GK, Acharyya S. 2009. Analgesic, anti-inflammatory and antipyretic studies of Neolamarckia cadamba barks. Journal of Pharmacy Research. 2(6):1133-1136. Mughal AH, Thapliyal RC. 2012. Provenance variation in cone and seed characteristics of Cedrus deodara (D.DON) G.DON in Jammu and Kashmir. Forestry Study in China 14(3):193-199. Mukherjee S. 2005. Studies on provenance variation in cone, seed and seedling characteristics of Pinus roxburghii Sarg. (Ph.D. Thesis). Dehra Dun (IN): Forest Research Institute, Deemed University Dehra Dun.
87
Nair KSS, Sumardi. 2000. Insect pests and diseases of major plantation species. In Nair KSS, editor. Insect pests and diseases in Indonesian forests: an assessment of the major treats, research efforts and literature. Bogor (ID): Center for International Forestry Research. Najla S, Sanoubar R, Murshed R. 2012. Morphological and biochemical changes in two parsley varieties upon water stress. Physiology and Molecular Biology of Plants 18(2):133-139. Namkoong G, Synder EB, Stonecypher RW. 1966. Heratibility and gain concepts for evaluating breeding system such as seedling orchards. Silvae Genetica 15:7684. Nebgen RJ, Lowe WJ. 1982. Inheritance of growth, branch angle, and specific gravity in three American sycamore populations. Silvae Genetica 31(2-3):8689. Nei M. 1973. Analysis of gene diversity in subdivided population. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 70:3321-3323. Nei M. 1978. Estimation of average heterozygosity and genetic distance from a small number of individuals. Genetics 89:583-590. O‟neill G, Adam TW, Aitken SN. 2001. Quantitative genetics of spring and fall cold hardiness in seedling from two Oregon populations of coastal douglas-fir. Forest Ecology and Management. 149:305-318. Ohsawa T, Ide Y. 2007. Global patterns of genetic variation in plant species along vertical and horizontal gradients in mountains. Global Ecology and Biogeography 17:152–163. Olaoye G, Menkir A, Ajala SO, Jacob S. 2009. Evaluation of local maize (Zea mays L.) varieties from Burkina Faso as source of tolerance to drought. Journal of Application Bioscience 17: 887- 898 Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Anthony S. 2009. Agroforestry tree database: a tree reference and selection guide version 4.0. http://www.worldagroforestry.org/treedb2/AFTPDFS/Anthocephalus_cadamba. pdf. diakses 12 Juli 2011. Osario LF, White TL, Huber DA. 2001. Age trends of heritability and genotype by environment interaction for growth traits and wood density from clonal traits of Eucalyptus grandis Hill ex Maiden. Silvae Genetica 50:30-37. Pakniyat H, Powell W, Baird E, Handley LL, Robinson D, Scrimgeour CM, Nevo E, Hackett CA, Caligari PDS, Forster BP. 1997. AFLP variation in wild barley (Hordeum spontaneum C. Koch) with reference to salt tolerance and associated ecogeography. Genome 40:332-341. Pastorino MJ, Ghirardi S, Grosfeld J, Gallo LA, Puntieri JG. 2010. Genetic variation in architectural seedling traits of Patagonian cypress natural populations from the extremes of a precipitation range. Annal Forest Science 67(508):1-10. Pathak PS, Debroy R, Rai P. 1984. Autecology of Leucaena leucocephala (Lam) de Wit. seed polymorphism and germination. Tropical Ecology 15(1,2):1-10. Pharis RP, Yeh FC, Dancik BP. 1991. Superior growth potential in trees: What is its basic, and can it be tested for at an early age? Canadian Journal of Forest Research 21:368-374.
88
Phillips PD, Yasman I, Brash TE, van Gardingen PR. 2002. Grouping tree species for analysis of forest data in Kalimantan (Indonesian Borneo). Forest Ecology and Management 157:205–216. Phui SL, Ho WS, Julaihi A. 2008. Microsatellite markers for Neolamarkia cadamba (Roxb.) Bosser (Kelampayan): preliminary result. Proceedings of the 1 st Research Symposium on Biotechnology: Curent Atate of Knowledge and Future Directions. Department of Moleculer Biology, Faculty of Resource Science and Technology, University Malayasia Serawak. Possen BJHM, Oksanen E, Rousi M, Ruhanen H, Ahonen V, Tervahauta A, Heinonen J, Heiskanen J, Kärenlampi S, Vapaavuori E. 2011. Adaptability of birch (Betula pendula Roth) and aspen (Populus tremula L.) genotypes to different soil moisture conditions. Forest Ecology and Management 262:13871399. [PPT] Pusat Penelitian Tanah. 1983. Jenis dan Macam Tanah di Indonesia untuk Keperluan Survai dan Pemetaan Tanah Daerah Transmigrasi. Bogor (ID): Pusat Penelitian Tanah Bogor. Rao PB, Kaur A, Tewari A. 2008. Drought resistance in seedlings of five important tree species in Tarai region of Uttarakhand. Tropical Ecology 49(1):43-52. Rawat K, Bakshi M. 2011. Provenance variation in cone, seed and seedling characteristics in natural populations of Pinus wallichiana A.B. Jacks (Blue Pine) in India. Annals of Forest Research 54(1):39-55. Rehfeldt GE, Crookston NL, Warwell MV, Evans JS. 2006. Empirical analyses of plant–climate relationships for western United States. International Journal of Plant Science 167:1123-1150. Rohlf FJ. 1998. NTSYS-pc version 2.0. Numerical taxonomy and multivariate analysis system. New York (US): Exeter Software. Roy MS, Thapliyal RC, Phartyal SS. 2004. Seed source variation in cone, seed and seedling characteristics across the natural distribution of Himalayan low level pine (Pinus roxburghii sarg). Silvae Genetica 53(3):116-122. Rucker KS, Kevin CK, Holbrook CC, Hook JE. 1995. Identification of peanut genotypes with improved drought avoidance traits. Peanut Science 22 :14-18. Russell JH, Libby WJ. 1986. Clonal testing efficiency: The trade off between clone tested and ramet per clone. Canadian Journal of Forestry Research 16(5):925930. Russell JR, Fuller JD, Macaulay M, Hatz BG, Jahoor A, Powell W, Waugh R. 1997. Direct comparison of levels of genetic variation among barley accessions detected by RFLPs, AFLPs, SSRs and RAPDs. Theoritical and Application Genetics 95:714-722. Sabarnurdin MS. 2000. Prespektif pengembangan hutan rakyat dari sisi budidaya hutan. Seminar Nasional Status Silvikultur; Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. 1 – 2 Desember 1999. Wanagama. Yogyakarta. Sagwal WS. 1984. Studies on seed production from individual cones of chir pine (Pinus roxburghii Sarg.). Indian Journal of Forests 7(1):4-6.
89
Salazar R. 1989. Genetic variation of 16 provenances of Acacia mangium at nursery level on Turrialba. Costa Rica. Commonwealth Forest Review 68(4):263-272. Sanches-Diaz M, Tapia C, Antolin MC. 2008. Abscisic acid and drought response of canarian laurel forest tree species growing under controlled conditions. Environmenmt and Experimental Botany 64:155-161. Sanchez AC, De Smedt S, Haqa N, Samson R. 2011. Variation in baobab seedling morphology and its implications for selecting superior planting material. Scientia Horticulturae 130:109-117. Sayyari M, Ghavami M, Ghanbari F, Kordi S. 2013. Assessment of salicylic acid impacts on growth rate and some physiological parameters of lettuce plants under drought stress conditions. International Journal of Agriculture and Crop Science 5(17):1951-1957. Sciutti R, Morini S. 1995. Water-loss and photosynthesis of plum plantlets is influenced by relative-humidity during rooting in-vitro. Journal of Horticulture Science 70:221-228 Sebbenn AM, Pontinha AAS, Kageyama PY. 2003. Genetic variation in provenanceprogeny test of Araucaria angustifolia (Bert.) O. Ktze. in Sao Paulo, Brazil. Silvae Genetica 52:5-6. Seghal RN, Chauchan SK, Khosla PK. 1994. Variation in cone, seed and nursery characters in high resin yielding trees selected in Himachal Pradesh. Indian Journal of Forests 17:105-111. Seng HW, Siong LK, Bakar EA, Julin FB, Asyawandie MKM, Loi PS. 2010. Genetic diversity of kalampayan using dominant DNA markers based on inter-simple sequence repeats (ISSR) in Serawak. Partnership Programme Serawak Forestry Corporation and University Malayasia Serawak. Serawak. Setyadi T, Nirsatmanto A, Sunarti S. 2013. Genetic variation on early growth of jabon (Antocephalus spp.) observed in fisrt generation seedling seed orchard. International Conference of Indonesia Forestry Researchers, Bogor. Shao HB, Chu LY, Jaleel CA, Zhao CX. 2008. Water-deficit stress-induced anatomical changes in higher plants. C. R. Biologies 331:215-225. Shukla RP, Ramakrishnan PS. 1986. Architecture and growth strategies of tropical trees in relation to successional status. Journal of Ecology 74:33-46. Sims DA, Gamon JA. 2002. Relationships between leaf pigment content and spectral reflectance across a wide range of species, leaf structures and developmental stages. Remote sensing of environment 81:337-354. Singh A, Negi MS, Rajagopal J, Bhatia S, Tomar UK, Srivastava PS, Lakshmikumaran. 1999. Assessment of genetic diversity in Azadirachta indica using AFLP markers. Theoritical Applied Genetic 99:272-279. Singh O. 1998. Seed maturity indices in Silver fir (Abies pindrow Spach.). Indian Journal of Forests 124(3):243-246. Singh SK, Reddy KR. 2011. Regulation of photosynthesis, fluorescence, stomatal conductance and water-use efficiency of cowpea (Vigna unguiculata [L.] Walp.) under drought. Journal of Photochemistry and Photobiology B: Biology 105:40-50.
90
Sivakumar V, Parthiban KT, Singh BG, Gnanambal VS, Anandalakshmi R, Geetha S. 2002. Variability in drupe characters and their relationship on seed germination in teak (Tectona grandis L.F.). Silvae Genetica 51:232-237. Sneizko RA, Stewart HTL. 1989. Range wide provenance variation in growth and nutrition of Acacia albida seedlings propagated in Zimbabwe. Forest Ecology and Management 27(3-4):179-197. Soepardi G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Bogor(ID): IPB Press. Soerianegara I, Lemmens RHMJ. 1993. Plant resources of South-East Asia 5(1): Timber trees: major commercial timbers. Wageningen (NL): Pudoc Scientific Publishers. Soeseno OH: Genetic variation and improvement of Pinus merkusii Jungh et de Vriese. PhD Thesis. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University. 1988. Soetrisno K. 1996. Pengaruh kandungan air tanah terhadap pertumbuhan anakan jabon (Anthocephalus cadamba Miq). Frontir 18: 99-109 Spitze K. 1993. Population structure in Daphnia obtuse: quantitative genetic and allozyme variation. Genetics 135:367-374. Steffens B, Wang J, Sauter M. 2006. Interactions between ethylene, giberellin and abscisic acid regulate emergence and growth rate of adventitious roots in deep water rice. Planta 233:604-612. Steenis CGGJ. 2006. Flora pegunungan Jawa. Bogor (ID): Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Stephan BR. 1974. Geographical variation in Pinus strobus on the basis of preliminary results of field trials in lower saxony. Silvae Genetica 23(6):214220. Sudrajat DJ, Megawati. 2010. Keragaman morfologi dan respon pra perlakuan perkecambahan benih sawo kecik (Manilkara kauki (L.) Dubard). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 6(3):135-144. Suganda H, Rachman A, Sutono S. 2006. Petunjuk Pengambilan Contoh Tanah. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. pp. 25-34. Susiluoto S, Berninger F. 2007. Interactions between morphological and physiological drought responses in Eucalyptus microtheca. Silva Fennica 41(2):21–233. Takuathung CN, Pipatwattanakul D, Bhumibhamon S. 2012. Provenance variation in seed morphometric traits and growth performance of Senna siamea (Lam.) Erwin et Barneby at Lad Krating plantation, Chachoengsao Province, Thailand. Kasetsart Journal (Nat. Sci.) 46:394-407. Tang T, Zhong Y, Jian S, Shi S. 2003. Genetic diversity of Hibiscus tiliaceus (Malvaceae) in China assessed by AFLP markers. Annals of Botany 92:409414. Tchin BL, Ho WS, Pang SL, Ismail J. 2012. Associations genetics of the cinnamyl alcohol dehydrogenase (CAD) and 4-hydroxylase (C4H) genes with basic wood density in Neolamarckia cadamba. Biotechnology 11(6):307-317.
91
Tim Sintesis Kebijakan Departemen Pertanian. 2008. Dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian, serta strategi antisipasi dan teknologi adaptasi. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2):138-140. Tiong SY, Chew SF, Ho WS, Julaihi A. 2010. Genetic diversity of kelampayan (Neoklamarkia cadamba) in Serawak using ISSR markers. Proceeding of the 3 rd Biotechnology Colloquium 2010. How far have we gone? Departement of Molecular Biology, Faculty of Resource Science and Technology. Universiti Malaysia Serawak. Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD. 1985. Soil fertility and fertilizer. 4th Edition. New York (US): Macmillan. Toruan-Mathius N, Lalu Z, Soedarsono, Aswidinnoor H. 2002. Keragaman genetik klon-klon karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) yang resisten dan rentan terhadap Corynespora casiicola berdasarkan penanda RAPD dan AFLP. Menara Perkebunan 70(2):35-49. Via S, Lande R. 1987. Genotype-emvironment interaction and the evolution of plasticity. Evolution 39:505-522. Vos P, Hogers R, Bleeker M, Reijans M, Van de Lee T, Hornes M, Frijters A, Pot J, Peleman J, Kuiper M, Zabeau M. 1995. AFLP: a new technique for DNA fingerprinting. Nucleic Acids Reseach 23:4407-4414. Vuokko R, Otsamo A. 1996. Species and provenance selection for plantation forestry on grassland. In Reforestation: metting the future industrial wood demand. Proceedungs of a workshop held in Jakarta, 30 April-1 May 1996. Ministry of Forestry of Indonesia and Enso Forest Development Oy Ltd. Jakarta. Wang JR, Hawkins CDB, Letchford T. 1998. Photosynthesis, water and nitrogen use efficiencies of four paper birch (Betula papyrifera) populations grown under different soil moisture and nutrient regimes. Forest Ecology and Management 112:233-244. Weng YH, Tosh KJ, Park YS, Fullarton MS. 2006. Age-related trends in genetic parameters for jack pine and their implications for early selection. Silvae Genetica 56(5):242-252. White TL, Adams WT, Neale DB. 2007. Forest genetics. CAB International. Wallingford Oxfordshire (UK): CABI Publishing. Whitemore TC. 1998. Potensial impact of climate change on tropical rain forest seedlings and forest regeneration. Climate Change 39:429-438. Wong KM. 1989. Rubiaceae. In: Ng FSP, Editor. Tree flora of Malaya: A manual for foresters. FRIM and Ministry of Primary Industries, Malaysia. 4:381-382 Wright IJ, Westoby M. 1999. Differences in seedling growth behaviour among species: trait correlations across species, and trait shifts along nutrient compared to rainfall gradients. Journal of Ecology 87: 85-97. Wu Y, Cosgrove DJ. 2000. Adaptation of roots to low water potentials by changes in cell wall extensibility and cell wall proteins. Journal of Experimental Botany 51:1543-1553.
92
Xiaoling L, Ning L, Jin Y, Fuzhou Y, Faju Y, Fangqing C. 2011. Morphological and photosynthetic responses of riparian plant Distylium chinense seedlings to simulated Autumn and Winter flooding in Three Gorges Reservoir Region of the Yangtze River, China. Acta Ecologi Sinnica 31:31-39. Yamamoto F, Kozlowski TT. 1987. Effect of flooding, tilting of stems, and ethrel application on growth, stem anatomy, and ethylene production of Pinus densiflora seedlings. Journal of Experimental Botany 38:293-310. Yamamoto F, Sakata T, Terazawa K. 1995. Physiological, morphological and anatomical responses of Fraxinus mandshurica seedlings to flooding. Tree Physiology 15:713-19. Yang F, Miao LF. 2010. Adaptive responses to progressive drought stress in two poplar species originating from different altitudes. Silva Fennica 44(1):23-37. Yarnia M, Arabifard N, Khoei, Zandi P. 2011. Evaluation of drought tolerance indices among some winter rapeseed cultivars. African Journal of Biotechnology 10(53):10914-10922. Yousaf A, Atta BM, Akhter J, Monneveux P, Lattef Z. 2008. Genetic variability, association and diversity studies in wheat (Triticum aestivum L.) germplasm. Pakistan Journal of Botany 40(5):2087-2097. Zar J. 1996. Biostatistical Analysis. New Jersey (US): Prentice-Hall Inc. 662p. Zheng YI, Sun WB, Zhou Y, Coombs D. 2009. Variation in seed and seedling traits among natural populations of Trigonobalanus doichangesis (A. Camus) Forman (Fagaceae), a rare and endangered plant in Southwest China. New Forests 37:285-294. Zheng YO, Ennos R, Wang HR. 1994. Provenance variation and genetic parameters in a trial of Pinus caribaea Morrelet var. bahamensis and Golf. Forest Genetics 1(3):165-174. Zobel B, Talbert J. 1984. Aplied forest tree improvement. Illinois (US): Waveland Press Inc.
93
Lampiran 1. Daftar famili yang digunakan dalam pembangunan uji provenansiketurunan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Kode SRP-1 SRP-2 SKR-1 SKR-2 SKR-3 SKR-4 SKR-5 SKR-6 SKR-7 SKR-8 SKR-9 SKR-10 SKR-11 SKR-12 SKR-13 SKR-14 SOK-1 SOK-2 SOK-3 SOK-4 SOK-5 SOK-6 SOK-12 SOK-13 SOK-14 SOK-15 SOK-18 JGS-4 JGS-7 JGS-8 JGS-11 JGS-16 JGS-17 JGS-24 JGSJ-25 JNK-1 JNK-3 JNK-4 JNK-7 JNK-10 JNK-11 JNK-18 JAP-1 JAP-2 JAP-4 JAP-6 JAP-7 JAP-11 JAP-12 JAP-13 JAP-14 JAP-17 JAP-19
Asal benih C.A. Rimbo Panti, Sumatera Barat C.A. Rimbo Panti, Sumatera Barat Kampar, Riau Kampar, Riau Kampar, Riau Kampar, Riau Kampar, Riau Kampar, Riau Kampar, Riau Kampar, Riau Kampar, Riau Kampar, Riau Kampar, Riau Kampar, Riau Kampar, Riau Kampar, Riau Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan Garut-Jawa Barat Garut-Jawa Barat Garut-Jawa Barat Garut-Jawa Barat Garut-Jawa Barat Garut-Jawa Barat Garut-Jawa Barat Garut-Jawa Barat C.A. Nusa Kambangan C.A. Nusa Kambangan C.A. Nusa Kambangan C.A. Nusa Kambangan C.A. Nusa Kambangan C.A. Nusa Kambangan C.A. Nusa Kambangan T.N. Alas purwo, Jawa Timur T.N. Alas purwo, Jawa Timur T.N. Alas purwo, Jawa Timur T.N. Alas purwo, Jawa Timur T.N. Alas purwo, Jawa Timur T.N. Alas purwo, Jawa Timur T.N. Alas purwo, Jawa Timur T.N. Alas purwo, Jawa Timur T.N. Alas purwo, Jawa Timur T.N. Alas purwo, Jawa Timur T.N. Alas purwo, Jawa Timur
No. 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105
Kode KKT-1 KKT-2 KKT5 KKT-6 KBL-3 KBL-5 CPG-1 CPG-2 CPG-3 CPG-4 CPG-6 CPG-7 CPG-8 CPG-9 CPG-10 CPG-11 CPG-12 CPG-13 CPG-14 CPG-15 CPG-16 CPK-1 CPK-2 CPK-3 CPK-4 CPK-5 CPK-6 CPK-7 CPK-8 CPK-9 CPK-10 CPK-11 CPK-12 CPK-13 CPK-14 CPK-16 CPK-17 CPK-19 CPK-20 CPK-21 CPK-22 CPK-23 CPK-24 NBH-1 NBH-2 NBH-3 NBH-4 NBH-6 NBH-8 NBH-9 NBH-10 PKK-1
Asal benih Kapuas Tengah, Kalimantan Tengah Kapuas Tengah, Kalimantan Tengah Kapuas Tengah, Kalimantan Tengah Kapuas Tengah, Kalimantan Tengah Batu Licin, Kalimantan Selatan Batu Licin, Kalimantan Selatan Gowa, Sulawesi Selatan Gowa, Sulawesi Selatan Gowa, Sulawesi Selatan Gowa, Sulawesi Selatan Gowa, Sulawesi Selatan Gowa, Sulawesi Selatan Gowa, Sulawesi Selatan Gowa, Sulawesi Selatan Gowa, Sulawesi Selatan Gowa, Sulawesi Selatan Gowa, Sulawesi Selatan Gowa, Sulawesi Selatan Gowa, Sulawesi Selatan Gowa, Sulawesi Selatan Gowa, Sulawesi Selatan Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Pomalaa, Sulawesi Tenggara Batu Hijau, Sumbawa Batu Hijau, Sumbawa Batu Hijau, Sumbawa Batu Hijau, Sumbawa Batu Hijau, Sumbawa Batu Hijau, Sumbawa Batu Hijau, Sumbawa Batu Hijau, Sumbawa Kuala Kencana, Timika, Papua
94
Lampiran 2. Peta tanaman uji provenansi-keturunan di Limbangan Garut (blok II tidak diikutkan dalam analisis data karena tanaman mengalami kerusakan akibat kebakaran)
PETA TANAMAN UJI KETURUNAN JABON PUTIH DI LIMBANGAN, KABUPATEN GARUT
Blok III BLOK III
BLOK IV Blok IV
Blok I
SAWAH
3 90 29 21 78 61 43 59
3 90 29 21 78 61 43 59
3 90 29 21 78 61 43 59
3 90 29 21 78 61 43
69 100 75 53 71 10 46 79 32
69 100 75 53 71 10 46 79 32
69 100 75 53 71 10 46 79 32
69 100 75 53 71 10 46 79 32
5 48 85 66 42 38 99 87 72 7 60 45
5 48 85 66 42 38 99 87 72 7 60 45
5 48 85 66 42 38 99 87 72 7 60 45
BLOK I
5 48 85 66 42 38 99 87 72 7 60 45
76 16 83 34 80 50 93 14 68 47 18 57 73 15
76 16 83 34 80 50 93 14 68 47 18 57 73 15
76 16 83 34 80 50 93 14 68 47 18 57 73 15
76 16 83 34 80 50 93 14 68 47 18 57 73 15
11 20 82 77 63 8 64 9 2 27 37 94 22 35 58 103 41
11 20 82 77 63 8 64 9 2 27 37 94 22 35 58 103 41
11 20 82 77 63 8 64 9 2 27 37 94 22 35 58 103 41
11 20 82 77 63 8 64 9 2 27 37 94 22 35 58 103 41
98 30 6 52 55 74 40 13 91 92 36 102 95 88 96 25 1 51 65
98 30 6 52 55 74 40 13 91 92 36 102 95 88 96 25 1 51 65
98 30 6 52 55 74 40 13 91 92 36 102 95 88 96 25 1 51 65
98 30 6 52 55 74 40 13 91 92 36 102 95 88 96 25 1 51 65
105 76 26 70 19 56 4 101 84 24 18 32 39 104 49 67 28 81 86 54 23
105 76 26 70 19 56 4 101 84 24 18 32 39 104 49 67 28 81 86 54 23
105 76 26 70 19 56 4 101 84 24 18 32 39 104 49 67 28 81 86 54 23
105 76 26 70 19 56 4 101 84 24 18 32 39 104 49 67 28 81 86 54 23
101 89 44 31 12 97 27 61 68 32 46 40 30 8 41 54 85 52 13 36 5 56 100 99
101 89 44 31 12 97 27 61 68 32 46 40 30 8 41 54 85 52 13 36 5 56 100 99
101 89 44 31 12 97 27 61 68 32 46 40 30 8 41 54 85 52 13 36 5 56 100 99
101 89 44 31 12 97 27 61 68 32 46 40 30 8 41 54 85 52 13 36 5 56 100 99
70 98 71 77 96 89 47 72 38 14 63 74 9 67 26 80 37 15 75 86 81 72 28 60 105
70 98 71 77 96 89 47 72 38 14 63 74 9 67 26 80 37 15 75 86 81 72 28 60 105
70 98 71 77 96 89 47 72 38 14 63 74 9 67 26 80 37 15 75 86 81 72 28 60 105
70 98 71 77 96 89 47 72 38 14 63 74 9 67 26 80 37 15 75 86 81 72 28 60 105
Blok II
BLOK II 93 4 24 3 50 23 7 48 58 12 91 90 5 87 59 97 11 17 79 6 33 83 66 35 48
93 4 24 3 50 23 7 48 58 12 91 90 5 87 59 97 11 17 79 6 33 83 66 35 48
93 4 24 3 50 23 7 48 58 12 91 90 5 87 59 97 11 17 79 6 33 83 66 35 48
93 4 24 3 50 23 7 48 58 12 91 90 5 87 59 97 11 17 79 6 33 83 66 35 48
45 69 29 43 20 1 88 18 76 89 44 102 39 19 92 104 31 16 22
45 69 29 43 20 1 88 18 76 89 44 102 39 19 92 104 31 16 22
45 69 29 43 20 1 88 18 76 89 44 102 39 19 92 104 31 16 22
45 69 29 43 20 1 88 18 76 89 44 102 39 19 92 104 31 16 22
BLOK V
Blok V SAWAH
15 15 15 15 34 34 34 34 22 22 22 22 54 54 54 54 68 68 68 68 12 12 12 12 15 15 15 15 70 70 70 70
Blok VI BLOK VI
8 8 8 8 32 32 32 32 21 21 21 21 72 72 72 72 5 5 5 5 73 73 73 73 92 92 92 92 22 22 22 22 24 24 24 24 38 38 38 38
30 30 30 30 56 56 56 56 103 103 103 103 12 12 12 12 24 24 24 24 17 17 17 17 35 35 35 35 103 103 103 103 80 80 80 80 8 8 8 8 41 41 41 41 86 86 86 86
86 86 86 86 27 27 27 27 17 17 17 17 41 41 41 41 102 102 102 102 4 4 4 4 45 45 45 45 72 72 72 72 96 96 96 96 44 44 44 44 66 66 66 66 28 28 28 28 8 8 8 8
13 13 13 13 55 55 55 55 104 104 104 104 70 70 70 70 19 19 19 19 25 25 25 25 40 40 40 40 83 83 83 83 69 69 69 69 13 13 13 13 75 75 75 75 53 53 53 53 2 2 2 2 40 40 40 40
3 3 3 3 33 33 33 33 2 2 2 2 85 85 85 85 74 74 74 74 84 84 84 84 69 69 69 69 22 22 22 22 85 85 85 85 32 32 32 32 105 105 105 105 51 51 51 51 24 24 24 24 63 63 63 63
78 78 78 78 83 83 83 83 100 100 100 100 47 47 47 47 95 95 95 95 20 20 20 20 30 30 30 30 13 13 13 13 100 100 100 100 30 30 30 30 1 1 1 1 94 94 94 94 14 14 14 14 97 97 97 97
89 89 89 89 7 7 7 7 5 5 5 5 97 97 97 97 11 11 11 11 67 67 67 67 91 91 91 91 9 9 9 9 64 64 64 64 43 43 43 43 95 95 95 95 67 67 67 67 76 76 76 76 39 39 39 39
80 80 80 80 25 25 25 25 79 79 79 79 69 69 69 69 75 75 75 75 7 7 7 7 34 34 34 34 57 57 57 57 29 29 29 29 80 80 80 80 16 16 16 16 1 1 1 1 96 96 96 96 23 23 23 23
96 96 96 96 62 62 62 62 9 9 9 9 50 50 50 50 40 40 40 40 55 55 55 55 36 36 36 36 41 41 41 41 25 25 25 25 83 83 83 83 84 84 84 84 99 99 99 99 91 91 91 91 36 36 36 36
76 76 76 76 99 99 99 99 77 77 77 77 43 43 43 43 35 35 35 35 65 65 65 65 85 85 85 85 44 44 44 44 102 102 102 102 74 74 74 74 48 48 48 48 58 58 58 58 19 19 19 19 10 10 10 10
RENCANA JALAN DESA
99 99 99 99 10 10 10 10 58 58 58 58 16 16 16 16 70 70 70 70 87 87 87 87 89 89 89 89 59 59 59 59 20 20 20 20 9 9 9 9 45 45 45 45 93 93 93 93 46 46 46 46
53 53 53 53 49 49 49 49 36 36 36 36 59 59 59 59 37 37 37 37 95 95 95 95 32 32 32 32 50 50 50 50 56 56 56 56 101 101 101 101 29 29 29 29 55 55 55 55 80 80 80 80 103 103 103 103
2 2 2 2 98 98 98 98 87 87 87 87 44 44 44 44 26 26 26 26 80 80 80 80 43 43 43 43 57 57 57 57 34 34 34 34 10 10 10 10 65 65 65 65 16 16 16 16 50 50 50 50 73 73 73 73
63 63 63 63 48 48 48 48 4 4 4 4 90 90 90 90 100 100 100 100 1 1 1 1 23 23 23 23 58 58 58 58 89 89 89 89 87 87 87 87 4 4 4 4 29 29 29 29 17 17 17 17 84 84 84 84
39 39 39 39 101 101 101 101 28 28 28 28 52 52 52 52 50 50 50 50 98 98 98 98 28 28 28 28 35 35 35 35 73 73 73 73 6 6 6 6 43 43 43 43 61 61 61 61 41 41 41 41 30 30 30 30
21 21 21 21 44 44 44 44 1 1 1 1 42 42 42 42 39 39 39 39 58 58 58 58 94 94 94 94 81 81 81 81 52 52 52 52 61 61 61 61 35 35 35 35 12 12 12 12 104 104 104 104 7 7 7 7
72 72 72 72 68 68 68 68 57 57 57 57 105 105 105 105 77 77 77 77 15 15 15 15 31 31 31 31 14 14 14 14 76 76 76 76 4 4 4 4 20 20 20 20 101 101 101 101 82 82 82 82 6 6 6 6
103 103 103 103 82 82 82 82 60 60 60 60 37 37 37 37 60 60 60 60 24 24 24 24 64 64 64 64 91 91 91 91 55 55 55 55 79 79 79 79 52 52 52 52 83 83 83 83 68 68 68 68 56 56 56 56
51 51 51 51 94 94 94 94 63 63 63 63 51 51 51 51 33 33 33 33 61 61 61 61 42 42 42 42 28 28 28 28 51 51 51 51 54 54 54 54 98 98 98 98 15 15 15 15 27 27 27 27 105 105 105 105
64 64 64 64 66 66 66 66 26 26 26 26 34 34 34 34 10 10 10 10 102 102 102 102 47 47 47 47 53 53 53 53 39 39 39 39 71 71 71 71 92 92 92 92 72 72 72 72 47 47 47 47 64 64 64 64
53 53 53 53 23 23 23 23 88 88 88 88 38 38 38 38 79 79 79 79 90 90 90 90 82 82 82 82 42 42 42 42 7 7 7 7 88 88 88 88 66 66 66 66 44 44 44 44 48 48 48 48 95 95 95 95
94 94 94 94 78 78 78 78 20 20 20 20 53 53 53 53 6 6 6 6 71 71 71 71 56 56 56 56 104 104 104 104 33 33 33 33 45 45 45 45 90 90 90 90 74 74 74 74 83 83 83 83 21 21 21 21
famili tambahan sisa dari blok II
SAWAH 39 39 39 39 6 6 6 6 78 78 78 78 15 15 15 15 62 62 62 62 17 17 17 17 47 47 47 47 36 36 36 36 71 71 71 71 4 4 4 4 57 57 57 57 26 26 26 26
91 91 91 91 29 29 29 29 93 93 93 93 59 59 59 59 8 8 8 8 68 68 68 68 92 92 92 92 65 65 65 65 22 22 22 22 11 11 11 11 70 70 70 70 87 87 87 87
22 22 22 22 18 18 18 18 96 96 96 96 52 52 52 52 74 74 74 74 84 84 84 84 40 40 40 40 2 2 2 2 31 31 31 31 49 49 49 49 88 88 88 88 77 77 77 77
93 93 93 93 46 46 46 46 63 63 63 63 88 88 88 88 4 4 4 4 105 105 105 105 31 31 31 31 23 23 23 23 75 75 75 75 9 9 9 9 25 25 25 25 63 63 63 63
81 81 81 81 64 64 64 64 12 12 12 12 2 2 2 2 45 45 45 45 72 72 72 72 93 93 93 93 77 77 77 77 18 18 18 18 59 59 59 59 54 54 54 54
73 73 73 73 92 92 92 92 53 53 53 53 27 27 27 27 76 76 76 76 60 60 60 60 62 62 62 62 18 18 18 18 78 78 78 78 89 89 89 89 100 100 100 100
65 65 65 65 84 84 84 84 81 81 81 81 38 38 38 38 97 97 97 97 67 67 67 67 5 5 5 5 90 90 90 90 5 5 5 5 32 32 32 32 37 37 37 37
71 71 71 71 14 14 14 14 75 75 75 75 105 105 105 105 99 99 99 99 19 19 19 19 97 97 97 97 99 99 99 99 32 32 32 32 79 79 79 79 3 3 3 3
67 67 67 67 86 86 86 86 46 46 46 46 29 29 29 29 86 86 86 86 26 26 26 26 37 37 37 37 69 69 69 69 13 13 13 13
31 31 31 31 51 51 51 51 16 16 16 16 14 14 14 14 78 78 78 78 49 49 49 49 82 82 82 82 38 38 38 38 85 85 85 85
61 61 61 61 18 18 18 18 48 48 48 48 104 104 104 104 46 46 46 46 98 98 98 98 21 21 21 21 42 42 42 42 81 81 81 81
101 101 101 101 19 19 19 19 66 66 66 66 11 11 11 11 27 27 27 27 3 3 3 3 60 60 60 60
95 BLOK I
BLOK II
BLOK III
Lampiran 3. Peta tanaman uji provenansi-keturunan di Parungpanjang, Bogor B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
B B B B B B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 10 B 11 B 12 B 13 B 14 B 15 B 16 B 17 B 18 19 20
B L O K III
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 75 65 29 88 79 34 8 87 4 11 75 65 29 88 79 34 8 87 4 2 29 3 88 4 579 634 78 887 9 4 11 175 65 B11 B75 B65 B29 B 88 B79 B34 B8 B87 B 4 B74 1130 75 66 65 44 29 61 8853 79 76 34 93 899 8740 B74 1130 75 66 65 44 29 61 8853 79 76 34 93 899 8740 B74 1130 75 66 65 44 29 61 8853 79 76 34 93 899 8740 B74 1130 75 66 65 44 29 61 8853 79 76 34 93 899 8740 B 7420 30 105 59 66 26 44 96 6121 53 98 76 42 93 73 9977 B 7420 30 105 59 66 26 44 96 6121 53 98 76 42 93 73 9977 B 74 30 66 44 61 53 76 93 105 20 59 26 96 21 98 42 73 9977 B 74 30 66 44 61 53 76 93 105 20 59 26 96 21 98 42 73 9977 B3 105 89 20 49 596 26 90 9631 21 19 98 84 42 104 7350 B3 105 89 20 49 596 26 90 9631 21 19 98 84 42 104 7350 B3 105 89 20 49 596 26 90 9631 21 19 98 84 42 104 7350 B3 105 89 20 49 596 26 90 9631 21 19 98 84 42 104 7350 B82 3 5 89 16 49 95 652 9083 31 12 19 91 84 10 104 38 B82 3 5 89 16 49 95 652 9083 31 12 19 91 84 10 104 38 B82 3 5 89 49 6 90 31 19 84 104 16 95 52 83 12 91 10 38 B82 3 5 89 49 6 90 31 19 84 104 16 95 52 83 12 91 10 38 BB 82B 5B 16B 95 B 52B 83B 12 B 91B 10B B 82 5 16 95 52 83 12 91 10 B 82 5 16 95 52 83 12 91 10 B1 822 53 164 955 526 837 128 919 1010 BB BB BB BB BB BB BB BB BB B B
22 4 49 20 30 36 41 26 93 22 4 49 20 30 36 41 26 93 2 20 3 30 4 536 641 26 7 893 22 1 4 49 B B93 22 B4 B49 B20 B 30 B36 B41 26 97 2256 485 49 21 20 13 3098 36 78 41 71 26 43 97 2256 485 49 21 20 13 3098 36 78 41 71 26 43 97 2256 485 49 21 20 13 3098 36 78 41 71 26 43 B 97 2256 485 49 21 20 13 3098 36 78 41 71 26 43 L 81 9735 56 85 21 13 98 78 71 25 82 80 100 61 37 59 O 81 9735 56 85 21 13 98 78 71 25 82 80 100 61 37 59 K 81 9735 56 25 85 82 21 80 13 10098 61 78 37 71 59 97 56 81 35 25 85 82 21 80 13 10098 61 78 37 71 59 III 5 8117 35 40 25 60 82 67 8034100 44 61 65 371 5 8117 35 40 25 60 82 67 8034100 44 61 65 371 5 8117 35 40 25 60 82 67 8034100 44 61 65 371 5 8117 35 40 25 60 82 67 8034100 44 61 65 371 5 17 40 60 67 34 44 86 68 96 87 9 7 83 63 65 23 5 17 40 60 67 34 44 86 68 96 87 9 7 83 63 65 23 5 17 40 60 67 34 44 65 86 68 96 87 9 7 83 63 23 5 17 40 60 67 34 44 65 86 68 96 87 9 7 83 63 23 B 86B 68B 96B 87 B 9B 7B 83 B 63B 86 68 96 87 9 7 83 63 86 68 96 87 9 7 83 63 86 68 96 87 9 7 83 63 B B B B B B B B
11
12
13
14
15
BLOK 43 I63 14 24 7 43 63 14 24 7 B 24 14 68 14 68 14 68 14 68 2 27 2 27 2 27 2 27 67 81 67 81 67 81 67 81 60 85 60 85 60 85 60 85 32 B 32 32 32 14 BB
17
18
19
20
21
1
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
48 48 6 48 B 48 38 1 38 1 38 1 38 1 32 51 32 51 32 51 32 51 77 46 77 46 77 46 77 46 20 14 20 14 20 14 20 14 7B 7 7 77 BB
64 11 73 88 18 48 12 72 44 64 11 73 88 18 48 12 72 44 1 44 2 72 B3 B64 B11 B73 B88 B18 48 B 12 B 72 B 44 B 91 48 41 12 79 72 75 376 6412 11 38 73 105 88 14 18 57 15 91 48 41 12 79 72 75 376 6412 11 38 73 105 88 14 18 57 15 91 48 41 12 79 72 75 376 6412 11 38 73 105 88 14 18 57 15 91 48 41 12 79 72 75 376 6412 11 38 73 105 88 14 18 57 15 99 75 76 12 38 105 14 57 15 41 69 52 2 94 58 16 54 83 8 82 99 75 76 12 38 105 14 57 15 41 69 52 2 94 58 16 54 83 8 82 99 57 15 41 69 7552 762 12 94 38 58 105 16 14 54 83 8 82 99 57 15 41 69 7552 762 12 94 38 58 105 16 14 54 83 8 82 84 54 93 83 13 8 102 6972 5245 289 94 62 58 51 16 19 22 84 54 93 83 13 8 102 6972 5245 289 94 62 58 51 16 19 22 84 54 93 83 13 8 102 6972 5245 289 94 62 58 51 16 19 22 84 54 93 83 13 8 102 6972 5245 289 94 62 58 51 16 19 22 68 102 72 45 89 62 51 19 22 93 32 53 27 46 29 79 24 38 88 68 102 72 45 89 62 51 19 22 93 32 53 27 46 29 79 24 38 88 68 102 19 38 22 88 93 32 7253 45 27 89 46 62 29 51 79 24 68 102 19 38 22 88 93 32 7253 45 27 89 46 62 29 51 79 24 95B 8 B 32B 53B 27B 46B 29 B 79 B 24 B 38 B 95 8 32 53 27 46 29 79 24 38 95 8 32 53 27 46 29 79 24 38 95 8 32 53 27 46 29 79 24 38 B B B B B B B B B B
30 1 30 1 3 41 30 B B1 30 44 59 30 77 44 59 30 77 44 59 30 77 44 59 30 77 79 59 105 43 79 59 105 43 79 59 105 43 79 59 105 43 82 32 105 71 82 32 105 71 82 32 105 71 82 32 105 71 13 32 61 29 13 32 61 29 13 61 32 29 13 61 32 29 88 B 61 B 88 61 88 61 88 61 B B
70 70 5 70 B 70 1 96 1 96 1 96 1 96 77 25 77 25 77 25 77 25 43 16 43 16 43 16 43 16 71 76 71 76 71 76 71 76 29 B 29 29 29 B
55 100 34 52 104 97 53 55 100 34 52 104 BLOK 97 53V 6 7 834 52 9 104 10 97 11 53 12 55 100 B 100 B B34 52 B 104 B 97 B 53 B 55 70 97 87 55 54 100 10 34 94 52 14 104 51 39 70 97 87 55 54 100 10 34 94 52 14 104 51 39 70 97 87 55 54 100 10 34 94 52 14 104 51 39 70 97 87 55 54 100 10 34 94 52 14 104 51 39 96 87 54 10 94 14 51 48 99 101 6 89 28 84 96 87 54 10 94 14 51 48 99 101 6 89 28 84 96 51 48 87 99 54 101 10 6 94 89 14 28 84 96 51 48 87 99 54 101 10 6 94 89 14 28 84 25 48 28 102 50 99 65 101 86 64 89 92 42 25 48 28 102 50 99 65 101 86 64 89 92 42 25 48 28 102 50 99 65 101 86 64 89 92 42 25 48 28 102 50 99 65 101 86 64 89 92 42 16 102 50 65 86 4 20 9 63 35 67 98 92 7 16 102 50 65 86 4 20 9 63 35 67 98 92 7 16 102 50 65 86 4 92 20 9 63 35 67 98 7 16 102 50 65 86 4 92 20 9 63 35 67 98 7 76 B 20B 9B 63 B 35 B 67 B 98 B 76 20 9 63 35 67 98 Blok V 76 20 9 63 35 67 98 76 20 9 63 35 67 98 B B B B B B B
B7 24 47 24 47 24 47 24 47 68 37 68 37 68 37 68 37 27 36 27 36 27 36 27 36 81 18 81 18 81 18 81 18 85B 85 85 8515 BB
1564 1611 17 20 12 21 73 18 88 19 18 48
14
15
16
II 63 37 73 88 76 12 9 BLOK 66 26 76 12 9 66 26 63 37 73 88 Blok II37 812 99 66 10 11 12 13 14 15 26 63 73 88 B76 B12 B9 66 B 26 B 63 B 37 B B73 88 B 48 9 66 26 63 40 76 18 12 8 65 97 55 52 37 19 73 36 48 9 66 26 63 40 76 18 12 8 65 97 55 52 37 19 73 36 48 9 66 26 63 40 76 18 12 8 65 97 55 52 37 19 73 36 48 9 66 26 63 40 76 18 12 8 65 97 55 52 37 19 73 36 156 40 8 65 97 55 75 18 21 42 95 62 2 52 100 19 25 156 40 8 65 97 55 75 18 21 42 95 62 2 52 100 19 25 156 40 18 8 65 97 55 52 19 75 21 42 95 62 2 100 25 156 40 18 8 65 97 55 52 19 75 21 42 95 62 2 100 25 51 95 62 64 56 30 75 89 21 41 42 44 61 39 213 100 68 51 95 62 64 56 30 75 89 21 41 42 44 61 39 213 100 68 51 95 62 64 56 30 75 89 21 41 42 44 61 39 213 100 68 51 95 62 64 56 30 75 89 21 41 42 44 61 39 213 100 68 46 44 102 61 39 101 64 87 30 67 89 80 41 5 93 15 13 11 46 44 102 61 39 101 64 87 30 67 89 80 41 5 93 15 13 11 46 64 30 89 41 44 61 39 13 101 87 67 80 5 93 102 15 11 46 64 30 89 41 44 61 39 13 101 87 67 80 5 93 102 15 11 14B 101 B 87 B 67 B 80 B B5 93 B 102 B 15 B 14 101 87 67 80 5 93 102 15 14 101 87 BLOK 67 80 V 5 93 102 15 148 101 5 93 9 87 10 67 11 80 12 13 14 102 15 15 16 BB BB BB BB BB BB BB BB B B
38 38 5 38 B 38 23 32 23 32 23 32 23 32 43 77 43 77 43 77 43 77 53 20 53 20 53 20 53 20 81 7 81 7 81 7 81 7 85 B 85 85 85 6 BB
1533 1645 17 18 19 20 83 21 15 101 51 94
101 70 42 10 91 3 101 70 BLOK 42 IV 10 91 3 B 91 10 99 10 99 10 99 10 99 55 84 55 84 55 84 55 84 47 6 47 6 47 6 47 6 92 95 92 95 92 95 92 95 66 B 66 66 66 B
3
47 23 47 23 3 4 47 23 B 23 B 47 3 47 104 43 3 47 104 43 3 47 104 43 3 47 104 43 82 61 104 53 82 61 104 53 82 104 61 53 82 104 61 53 58 29 61 81 58 29 61 81 58 29 61 81 58 29 61 81 27 50 29 85 27 50 29 85 27 29 50 85 27 29 50 85 60 B 50 B 60 50 60 50 604 505 BB BB
9101 1070 1142 12 13 143 10 91
B101 B70 B42 B10 9339 101 90 70 104 42 55 9339 101 90 70 104 42 55 9339 101 90 70 104 42 55 9339 101 90 70 104 42 55 4328 3915 9033 104 47 4328 3915 9033 104 47 4328 3915 9033 104 47 4328 3915 9033 104 47 5974 2831 1577 33 92 5974 2831 1577 33 92 5974 2831 1577 33 92 5974 2831 1577 33 92 150 74 31 77 103 24 66 150 74 31 77 103 24 66 150 74 103 3124 77 66 150 74 103 3124 77 66 23B 50B 103B 24B 23 50 103 24 23 Blok 50 103IV 24 23 50 103 24 B B B B
2
33 45 15 101 51 94 83 72 3 33 45 15 101 51 94 83 72 3 1 3 2 72 B33 B45 B15 101 B B51 94 B 83 B 72 B 3B 755 33 94 54 83 82 72 100 45 57 15 72 101 28 51 78 74 755 33 94 54 83 82 72 100 45 57 15 72 101 28 51 78 74 755 33 94 54 83 82 72 100 45 57 15 72 101 28 51 78 74 755 33 94 54 83 82 72 100 45 57 15 72 101 28 51 78 74 4770 5522 100 78 51 74 58 54 64 57 49 721 28 62 69 4770 5522 100 78 51 74 58 54 64 57 49 721 28 62 69 4770 5522 100 57 72 28 78 74 54 64 49 1 62 69 51 58 4770 5522 100 57 72 28 78 74 54 64 49 1 62 69 51 58 3717 7071 22 1 84 62 24 69 27 51 35 64 56 49 41 97 3717 7071 22 1 84 62 24 69 27 51 35 64 56 49 41 97 3717 7071 22 1 84 62 24 69 27 51 35 64 56 49 41 97 3717 7071 22 1 84 62 24 69 27 51 35 64 56 49 41 97 36 84 60 24 103 1739 71 86 35 25 56 80 41 23 97 4 90 36 84 60 24 103 1739 71 86 35 25 56 80 41 23 97 4 90 36 17 71 35 56 41 97 84 24 103 39 86 25 80 23 4 90 60 36 17 71 35 56 41 97 84 24 103 39 86 25 80 23 4 90 60 18B 103B 39B 86B 25B 80 B 23 B B4 90 B 18 103 39 86 25 80 23 4 90 18 103 39 86 25 80 23 4 90 1816 103 17 39 18 86 19 25 20 80 21 23 1 4 2 90 3 B B BB BB BB BB B B BB BB B B
Blok I
1043 1163 12 13 147 14 24
B43 B63 B14 446 4392 632 446 4392 632 446 4392 632 446 4392 632 4058 46 102 92 67 4058 46 102 92 67 4058 46 92 102 67 4058 46 92 102 67 7769 5854 102 60 7769 5854 102 60 7769 5854 102 60 7769 5854 102 60 509 6913 54 32 509 6913 54 32 509 6913 54 32 509 6913 54 32 38B 9 B 13B 38 9 13 38BLOK9 IV 13 3811 9 12 1313 B B B B BB
16
776
17 17 13 17 B 17 53 45 53 45 53 45 53 45 39 33 39 33 39 33 39 33 84 57 84 57 84 57 84 57 42 64 42 64 42 64 42 64 7B 7 7 7 B
17
17 17 16 17 B 17 88 57 88 57 88 57 88 57 36 98 36 98 36 98 36 98 25 10 25 10 25 10 25 10 68 71 68 71 68 71 68 71 11 B 11 11 11 17 B B
18
19
20
94 94 17 94 B 94 17 99 17 99 17 99 17 99 57 91 57 91 57 91 57 91 98 31 98 31 98 31 98 31 10 92 10 92 10 92 10 92 71 B 71 71 71 18 BB
B B B 6 96 103 6 96 103 19 103 20 618 96 B 6B 96B 103 94 286 79 96 16 94 286 79 96 16 94 286 79 96 16 94 286 79 96 16 99 78 16 105 28 34 99 78 16 105 28 34 99 16 28 34 78 105 99 16 28 34 78 105 91 22 34 35 78 59 91 22 34 35 78 59 91 22 34 35 78 59 91 22 34 35 78 59 31 33 59 49 22 86 31 33 59 49 22 86 31 59 22 86 33 49 31 59 22 86 33 49 B92 B86 33 B 92 86 33 92 86 33 92 20 86 33 19 21 BB BB BB
47 31 23 66 19 46 47 31 23 66 19 46 15 23 16 66 17 19 18 46 19 31 B47 31 B 23 B 66 B 19B 46B 17 66 95 19 36 47 56 31 85 23 5 73 17 66 95 19 36 47 56 31 85 23 5 73 17 66 95 19 36 47 56 31 85 23 5 73 17 66 95 19 36 47 56 31 85 23 5 73 45 36 56 85 5 73 90 2 68 80 58 49 45 36 56 85 5 73 90 2 68 80 58 49 45 85 585 49 73 90 36 2 56 68 80 45 85 585 49 73 90 36 2 56 68 80 33 2 18 68 62 80 91 58 68 90 40 90 33 2 18 68 62 80 91 58 68 90 40 90 33 2 18 68 62 80 91 58 68 90 40 90 33 2 18 68 62 80 91 58 68 90 40 90 57 68 40 90 18 62 78 60 103 75 26 37 57 68 40 90 18 62 78 60 103 75 26 37 57 40 75 90 26 18 37 62 78 68 60 103 57 40 75 90 26 18 37 62 78 68 60 103 64B 78 B 60 B 103 B B75 B26 64 78 60 103 75 26 64 78 60 103 75 26 64 78 60 103 75 26 B B B B B B 14 47
21
74 74 20 74 B 74 46 21 46 21 46 21 46 21 95 11 95 11 95 11 95 11 49 27 49 27 49 27 49 27 91 3 91 3 91 3 91 3 37 B 37 37 37 B
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
B B B B B B B B B B B B B B B 15 12 24 83 19 47 71 82 88 43 35 BLOK 45 III 48 81 100 15 12 24 83 19 47 71 82 88 43 35 45 48 81 100 Blok III 21 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 81 13 100 14 15 12 24 83 19 47 71 82 88 43 35 45 48 B 12B 24B 83B 19B 47B 71B 82B 88B 43B 35 B 45 B 48 B 81B 100 B 15 103 15 62 12 57 24 383 59 19 65 47 92 71 72 82 90 88 10 43 35 81 97 55 63 45 4 4248105 103 15 62 12 57 24 383 59 19 65 47 92 71 72 82 90 88 10 43 35 81 97 55 63 45 4 4248105 103 15 62 12 57 24 383 59 19 65 47 92 71 72 82 90 88 10 43 35 81 97 55 63 45 4 4248105 103 15 62 12 57 24 383 59 19 65 47 92 71 72 82 90 88 10 43 35 81 97 55 63 45 4 4248105 79 97 27 55 98 62 33 57 963 759 25 65 75 92 58 72 101 90 10 63 14 95 42 8 99 74 66 79 97 27 55 98 62 33 57 963 759 25 65 75 92 58 72 101 90 10 63 14 95 42 8 99 74 66 79 97 55 62 57 3 59 65 92 72 90 10 63 4 42 8 99 27 98 33 96 7 25 75 58 101 74 66 1 95 79 97 55 62 57 3 59 65 92 72 90 10 63 4 42 8 99 27 98 33 96 7 25 75 58 101 74 66 1 95 105 99 13 27 298 91 33 596 937 925 89 75 16 58 101 74 4466103 1 32 308 17 102 54 105 99 13 27 298 91 33 596 937 925 89 75 16 58 101 74 4466103 1 32 308 17 102 54 105 99 13 27 298 91 33 596 937 925 89 75 16 58 101 74 4466103 1 32 308 17 102 54 105 99 13 27 298 91 33 596 937 925 89 75 16 58 101 74 4466103 1 32 308 17 102 54 35 85 32 41 30 55 17 61 13 872 73 91 115 50 93 409 49 89 16 44 21 36 102 28 5254 37 35 85 32 41 30 55 17 61 13 872 73 91 115 50 93 409 49 89 16 44 21 36 102 28 5254 37 35 85 32 41 30 55 17 61 13 872 73 91 115 50 93 409 49 89 16 44 21 36 102 28 5254 37 35 32 30 17 13 2 91 5 93 9 89 16 102 54 44 21 85 41 55 61 87 73 11 50 40 49 36 28 52 37 49 36 B28 B52 B B21 B85 B41 B55 B61 B87 B73 B11 B50 40 B 49 B B 49 21 85 41 55 61 87 73 11 50 40 49 36 28 52 49 21 85 41 55 61 87 73 11 50 40 49 36 28 52 49 21 85 41 55 61 87 73 11 50 40 49 36 28 52 BB B B B B B B B B B B B B B B B B 21 B
BB 74 B 74 B 74 B 74 B 21 B 21 B 21 B 21 B 11 B 11 B 11 B 11 B 27 B 27 B 27 B 27 B B3 3 3 3 B
B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B
16
17
18
19
20
21
B B B B B B 26 34 29 22 60 84 26 34 29 22 60 84 15 3416 2917 2218 6019 84 20 26 26B 34B 29B 22B 60B 84B 1002326673418297822 14 60 79 1002326673418297822 14 60 79 1002326673418297822 14 60 79 1002326673418297822 14 60 79 1056479 62369676818 80 78 51 1056479 62369676818 80 78 51 105 79 23 67 18 78 51 64 6 69 68 80 105 79 23 67 18 78 51 64 6 69 68 80 95 38513964466 8669 31 68 76 95 38513964466 8669 31 68 76 95 38513964466 8669 31 68 76 95 38513964466 8669 31 68 76 1032076533894397746104 86 70 1032076533894397746104 86 70 103 76 38 39 46 86 70 20 53 94 77 104 103 76 38 39 46 86 70 20 53 94 77 104 B37 B70 B20 B53 B94 B77 37 70 20 53 94 77 37 70 20 53 94 77 37 70 20 53 94 77 B B B B B B
21
B 84 84 84 B 84 L 14 O 14 K 14 14 IV 80 80 80 80 31 31 31 31 104 104 104 104 B
B L O K IV
96
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 13 Desember 1974 sebagai anak ketiga dari pasangan Bapak Tahya Suryana dan Ibu Alm. Watmi Suhaemi. Pendidikan dasar ditempuh di SD Negeri Pangluyu, Situraja, Sumedang dan dilanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama di SMP Negeri 2 Situraja (sekarang SMP Negeri 1 Cisitu), lulus pada tahun 1990. Setelah itu penulis melanjutkan ke jenjang sekolalah menengah atas di SMA Negeri 1 Situraja, lulus tahun 1993. Pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun 2008. Penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi pascasarjana pada Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Kota (MPWK), Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui beasiswa Bappenas pada tahun 2004 dan lulus sebagai lulusan terbaik MPWK ITB pada wisuda September 2005. Pada tahun 2010 melalui beasiswa dari Kementerian Kehutanan, penulis memperoleh kesempatan melanjutkan kembali studi pada Program Doktor di Mayor Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis bekerja sebagai staf peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan di Bogor sejak tahun 1999. Jabatan penulis sekarang adalah peneliti madya bidang silvikultur. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan ilmiah seperti penulisan jurnal, seminar, workshop, gelar teknologi, pembimbingan mahasiswa, perumusan SNI perbenihan tanaman hutan, tenaga ahli/nara sumber perbenihan, dan ketua kelompok kerja penyusunan metode standar pengujian dan standar mutu benih dan bibit tanaman hutan Direktorat Bina Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan. Selain itu penulis juga terlibat sebagai instruktur dalam berbagai pelatihan perbenihan di Pusdiklat Kehutanan dan beberapa Balai Perbenihan Tanaman Hutan.