Prosiding SEMINAR HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN PALEMBANG Bandar Lampung, 11 Agustus 2015 Editor: Nina Mindawati Yulianti Bramasto Agus Astho Mamat Rahmat Dede Jajat Sudrajat
Hak Cipta oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak, mikrofilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti berikut: Untuk sitiran seluruh buku, ditulis: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (2015). Prosiding Seminar Bersama Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang "Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan", 11 Agustus 2015. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Badan Litbang dan Inovasi. Bogor. Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis: Nama Penulis dalam Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (2015). Prosiding Seminar Bersama Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang "Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan", 11 Agustus 2015. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Badan Litbang dan Inovasi. Bogor. Halaman ...........
ISBN: 978-602-98588-4-6
Prosiding ini diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alamat: Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor PO BOX 331 Telp (0251) 631238, 631507 Fax (0251) 7520005 E-mail:
[email protected]
Dicetak dengan Pembiayaan dari DIPA Balai Penelitian Kehutanan Palembang TA. 2015
ISBN: 978-602-98588-4-6
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan Bandar Lampung, 11 Agustus 2015
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN 2015
KATA PENGANTAR
Keberhasilan institusi Litbang ditentukan oleh tingkat produktivitasnya dalam menghasilkan IPTEK serta tingkat pemanfaatan IPTEK yang telah dihasilkannya oleh masyarakat. Karena itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menaruh harapan besar kepada Badan Litbang dan Inovasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI LHK) agar mampu mencapai derajat keberhasilan tersebut. BLI LHK diharapkan mampu menjadi penyedia landasan ilmiah bagi berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh KLHK dan menjadi pilar utama dalam memberikan solusi yang tepat atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan. Sebagai upaya untuk menggapai harapan Menteri LHK di muka, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang telah menyelenggarakan Seminar Bersama Hasil Litbang di Bandar Lampung pada tanggal 11 Agustus 2015. Seminar tersebut juga didukung oleh Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan, Pemerintah Daerah dan UPT KLHK wilayah Provinsi Lampung. Seminar yang mengusung tema “Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan” tersebut dimaksudkan untuk menjembatani proses transfer IPTEK antara BLI KLHK dengan pengguna. Kehadiran penyuluh dan berbagai mitra dapat menjadi indikator terjalinnya hubungan baik antara BLI KLHK dengan mitra. Kehadiran mereka diharapkan dapat menjadi jembatan emas yang dapat menghubungkan BLI KLHK dengan masyarakat sebagai pengguna utama hasil litbang. Pada seminar tersebut juga diberikan kesempatan bagi semua peserta untuk berdiskusi, saling berbagi pengetahuan dan pengalaman serta bersama-sama membahas beragam tantangan dan permasalahan yang dapat menghambat program peningkatan produktivitas hutan dan lahan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan solusi terhadap permasalahan yang ada, serta untuk menjaring input balik (feedback) tentang aspek dan topik riset yang dibutuhkan pada masa mendatang. Prosiding ini disusun sebagai outcome dari pelaksanaan seminar tersebut. Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangsihnya sehingga acara tersebut terselenggara dengan sukses. Tak lupa, ucapan terima kasih juga dihaturkan kepada semua pihak yang telah meluangkan waktunya untuk mengumpulkan bahan, menyunting dan memproses pencetakkan sehingga prosiding ini dapat tersaji di hadapan pembaca.
Palembang,
Desember 2015
Kepala Pusat Litbang Hutan dto Ir. Djohan Utama Perbatasari, MM. NIP. 196012301988011001 iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................................. DAFTAR ISI .......................................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................. SAMBUTAN ......................................................................................................................... RUMUSAN ...........................................................................................................................
iii v ix xi xv
A. ASPEK PERBENIHAN 1. Prospek dan Aplikasi Teknologi Iradiasi Sinar Gamma untuk Perbaikan Mutu Benih dan Bibit Tanaman Hutan Muhammad Zanzibar ..................................................................................................
1
2.
Teknologi Penanganan Benih dan Bibit untuk Memenuhi Standar Benih dan Bibit Bersertifikat Dede J. Sudrajat, Nurhasybi dan Yulianti Bramasto ...................................................
15
3. Studi Awal Teknologi Benih Jenis-Jenis Mahang (Macaranga sp.) sebagai Jenis Alternatif Penghasil Kayu Pulp Nurhasybi dan Tati Suharti ...........................................................................................
27
4.
Peran Perbenihan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan Penghasil Energi dan Obat-Obatan di Provinsi Lampung Kurniawati P. Putri, Dida Syamsuwida, Rina Kurniaty, Eliya Suita dan Dharmawati FD .....................................................................................................
39
Pengaruh Pengusangan terhadap Viabilitas Benih Akor (Acacia auriculiformis) dan Kaliandra (Calliandra calothyrsus) Tati Suharti dan Eliya Suitai..........................................................................................
57
Informasi Awal Indentifikasi Cendawan Karat Puru Terbawa Benih Sengon: Pengaruhnya terhadap Perkecambahan Yulianti Bramasto, Danu dan Muhammad Zanzibar ....................................................
63
Fenologi Perkembangan Bunga dan Buah Nyamplung (Callophylum inophylum) Evayusvita Rustam, Dida Syamsuwida dan Aam Aminah ............................................
71
Peningkatan Daya dan Kecepatan Berkecambah Benih Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dengan Sortasi Benih Eliya Suita .....................................................................................................................
79
Periodisasi Pembungaan dan Pembuahan Ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb) Aam Aminah dan Tati Rostiwati...................................................................................
89
10. Pembiakan Vegetatif Kayu Bawang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) dengan Cangkok sebagai Strategi Teknik Antara Mengatasi Kelangkaan Benih Imam Muslimin, Nanang Herdiana dan Kusdi .............................................................
97
5.
6.
7. 8.
9.
11. Variasi Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Bambang Lanang (Michelia champaca L.) Umur 1 Tahun Agus Sofyan, Abdul Hakim Lukman, Imam Muslimin dan Kusdi .................................. v
107
B. ASPEK SILVIKULTUR 1. Aplikasi Teknik Silvikultur dan Penggunaan Benih Unggul dari Sumber Benih untuk Meningkatkan Produktifitas Tanaman Tembesu (Fagraea fragrans Roxb) di Hutan Rakyat Imam Muslimin, Agus Sofyan dan Abdul Hakim Lukman ............................................ 2.
115
Pengenalan Program Simulasi Perencanaan Usaha pada Kesatuan Pengelolaan Agus Sumadi dan Hengki Siahaan ...............................................................................
127
Pengaruh Bahan Setek Terhadap Pertumbuhan Setek Jabon (Anthocepalus cadamba) Nurmawati Siregar .......................................................................................................
139
Penggunaan Serbuk Sabut Kelapa dan Arang Sekam Padi dalam Pembibitan Bambang Lanang (Michelia champaca L.) Danu dan Rina Kurniaty ...............................................................................................
145
Pengaruh Teknik Pengemasan terhadap Kualitas Bibit Meranti Bapa (Shorea selanica (Dc.) Blume) untuk Transportasi Naning Yuniarti ............................................................................................................
153
Pengaruh Pupuk Daun pada Pertumbuhan Bibit Sungkai di Persemaian Sahwalita ...................................................................................................................
161
Tembesu (Fagraea fragrans Roxb): Jenis Alternatif untuk Bahan Baku Kayu Dharmawati F. Djam’an ...............................................................................................
171
Pertumbuhan Bibit Jabon Putih (Anthocephalus cadamba) Umur 5 Bulan pada Beberapa Macam Media dan Naungan Agus Astho Pramono dan Rina Kurniaty ......................................................................
177
Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat Melalui Penerapan Teknik Budidaya Intensif pada Beberapa Jenis Tanaman Hutan Unggulan Yulianti Bramasto, M. Zanzibar, Danu, Dida Syamsuwida dan Nurhasybi ..................
185
10. Peran BPDAS dalam Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat Muswir Ayub dan Idi Bantara ......................................................................................
199
C. ASPEK SOSIAL, EKONOMI DAN KEBIJAKAN 1. Efektivitas Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan Produksi dan Hutan Lindung: Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai Solusi? Bramasto Nugroho.......................................................................................................
207
3.
4.
5.
6. 7. 8.
9.
2.
3.
4.
Kajian Sosial, Ekonomi dan Kebijakan dalam Budidaya Kayu Pertukangan Lokal: Pembelajaran dari Masyarakat Di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu Nur Arifatul Ulya .........................................................................................................
217
Kajian Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Hutan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman, Provinsi Lampung Ari Nurlia, Edwin Martin dan Bondan Winarno ...........................................................
229
Pengetahuan Lokal Masyarakat Suku Daya dan Suku Saling, Sumatera Selatan dalam Pengobatan Penyakit Degeneratif dan Metabolik Berbasis Tumbuhan Efendi Agus Waluyo, Asmaliyah dan Suryanto ............................................................
237
vi
5.
Antara Diskursus dan Kepentingan: Merancang Model Konseptual Pengelolaan Lanskap Hutan di Daerah Dataran Tinggi Edwin Martin dan Ari Nurlia.........................................................................................
245
Ketidaksetaraan Posisi Tawar dan Informasi Asimetris dalam Pemasaran Gaharu serta Alternatif Solusinya: Studi Kasus di Kabupaten Musi Rawas Mamat Rahmat, Ari Nurlia dan Agus Sofyan ...............................................................
253
Konsumsi Kayu sebagai Sumber Energi Rumah Tangga dengan Pendekatan Kebutuhan Kalori Manusia (Studi Kasus di Desa Seronggo Kecamatan Kikim Timur) Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari .......................................................................
261
Budidaya Jabon di Sumatera Selatan: Optimalisasi Lahan Milik dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Sri Lestari, Bondan Winarno, Bambang Tejo Premono dan Nur Arifatul Ulya.............
269
Biomassa sebagai Penyedia Subsidi Energi Bagi Masyarakat Sri Lestari, Bambang Tejo Premono, Hengki Siahaan dan Andika Imanullah .............
275
10. Pengelolaan Dana Bergulir oleh Pusat P2H untuk Pembiayaan Usaha Kehutanan Agustinus Untoro Wisnu ...............................................................................................
281
D. ASPEK PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI 1. Potensi Tanaman Berenuk (Crescentia cujete, (L.)) sebagai Bahan Pestisida Nabati Etik Erna Wati Hadi dan Asmaliyah .............................................................................
289
6.
7.
8.
9.
2.
Perkembangan Serangan Penyakit Bercak Daun pada Tanaman Jabon (Antocephalus cadamba) di Provinsi Sumatera Selatan Asmaliyah dan Etik Ernawati Hadi ...............................................................................
295
Pengaruh Jarak Tanam dan Curah Hujan terhadap Perkembangan Serangan Hama pada Tegakan Kayu Bawang (Studi Kasus di KHDTK Kemampo) Sri Utami dan Agus Kurniawan ...................................................................................
303
Aliran dan Erosi Permukan pada Hutan Rakyat Kayu Bawang di Kabupaten Bengkulu Selatan Adi Kunarso dan Tubagus Angga Anugrah Syabana ....................................................
311
LAMPIRAN ...........................................................................................................................
321
3.
4.
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Susunan Acara Seminar.................................................................................................
321
2. Susunan Panitia Seminar ...............................................................................................
323
3. Daftar Peserta Seminar .................................................................................................
325
4. Notulensi Seminar .........................................................................................................
331
ix
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN INOVASI PADA PEMBUKAAN SEMINAR BERSAMA HASIL PENELITIAN BPTPTH DAN BPK PALEMBANG “TEKNOLOGI PERBENIHAN, SILVIKULTUR DAN KELEMBAGAAN DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN DAN LAHAN” BANDAR LAMPUNG, 11 AGUSTUS 2015 Bismillahirrahmanirrahim, Yang saya hormati: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Gubernur Provinsi Lampung atau yang mewakili, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Kepala Badan Koordinasi Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Provinsi Lampung, Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Lampung Kepala Badan Penelitian Daerah Provinsi Lampung Kepala Pusat Pembiayaan Pembangunan Kehutanan, Setjen KLHK dan Kepala Pusat Litbang Lingkup Balitbang dan Inovasi KLHK, 7. Para Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota dan Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota Lingkup Provinsi Lampung, 8. Para kepala UPT lingkup KLHK di Provinsi Lampung dan Kepala UPT Balitbang dan Inovasi 9. Para Peneliti lingkup Balitbang dan Inovasi dan dari Perguruan Tinggi 10. Para Kepala KPH, penyuluh dan petugas lapangan, dan praktisi Hadirin Sekalian yang berbahagia, Assalamu’alaikum. Wr. Wb., Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua Marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan nikmat dan rahmatNya sehingga kita dapat berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat wal’afiat untuk menghadiri acara Seminar Hasil-Hasil Litbang dari Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang pada pagi hari ini. Hadirin yang saya hormati, Pertama, selaku Kepala Badan saya ingin menegaskan, bahwa Badan Litbang dan Inovasi KLHK, menganggap penting dan menjadikan prioritas, segala upaya untuk menyampaikan atau mendiseminasikan hasil-hasil penelitian kepada masyarakat. Presiden Republik Indonesia sudah menggariskan dalam Nawa cita, bahwa negara harus hadir di tengah-tengah rakyat. Atas dasar itulah, Badan Litbang dan Inovasi berkomitmen dan secara serius berupaya menyampaikan hasil-hasil penelitian kepada masyarakat, sebagaimana acara pada hari ini. Ukuran keberhasilan institusi Litbang, adalah keberadaan kami, serta ditentukan oleh penggunaan IPTEK oleh masyarakat. Di samping itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menaruh harapan besar kepada Badan Litbang dan Inovasi untuk dapat menjadi penyedia landasan ilmiah bagi berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh KLHK dan menjadi pilar utama dalam memberikan solusi yang tepat atas permasalahan-permasalahan yang ditemui dalam pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan.
xi
Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Gubernur Provinsi Lampung yang telah memperkenankan berlangsungnya acara Seminar Bersama ini di Provinsi Lampung. Secara khusus saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran para undangan semua. Kehadiran Bapak dan Ibu merupakan bentuk apresiasi yang sangat berarti bagi kami, dan menunjukkan komitmen bersama kita untuk bersama-sama menggunakan hasil IPTEK dalam penyelesaian masalah-masalah di lapangan. Sinergi yang bagus juga ditunjukkan dengan adanya penyelenggaraan Seminar Bersama antara Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor dan BPK Palembang yang didukung oleh Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan, Pemerintah Daerah dan UPT KLHK wilayah Provinsi Lampung. Kehadiran para penyuluh dan mitra lapangan pada seminar ini merupakan jembatan emas antara IPTEK hasil litbang dengan masyarakat. Dengan demikian, hasil-hasil litbang dapat langsung diterapkan dan terasa manfaatnya oleh masyarakat, yang pada akhirnya diharapkan akan mampu memberikan sumbangan pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan menjaga kelestarian lingkungan. Di sisi lain saya berharap para pelaksana lapangan juga bisa memberikan input balik (feedback) tentang kebutuhan riset dan inovasi sehingga akan memberikan manfaat bagi para peneliti dan topik penelitian mendatang. Hadirin yang berbahagia, Salah satu isu strategis dalam pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah masalah rendahnya produktivitas hutan dan lahan. Permasalahan ini secara mikro dapat berdampak pada kurang optimalnya pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Lebih jauh, hal ini dapat berdampak pula terhadap menurunnya kontribusi sektor ini terhadap pendapatan ekonomi regional maupun nasional. Karena pentingnya isu tersebut, Kementerian LHK telah mengagendakan “Peningkatan Produktivitas Hutan” sebagai salah satu Kebijakan dalam Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini. Dalam rangka Peningkatan Produktifitas Hutan, kita dihadapkan pada persoalan lahan yang semakin terbatas, sehingga kita harus mengelola hutan dan lahan kita dengan tepat dan efisien. Kita juga mencatat adanya defisit produksi hasil hutan terhadap kebutuhan domestik. Kayu misalnya, terdapat defisit 10 juta m3 kekurangan bahan baku yang harus kita penuhi untuk untuk industri kita. Dengan demikian, pemilihan tema seminar pada hari ini yaitu: “Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan”, adalah tema yang sangat tepat. Semoga IPTEK yang nanti dipaparkan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan produktivitas hutan dan lahan, khususnya di Sumatera Bagian Selatan. Hadirin yang saya hormati, Dalam konteks produktivitas, maka sesungguhnya kita berbicara tentang satu rangkaian aspek secara holistik dari hulu ke hilir. Banyak hal harus ditingkatkan dan bottleneck yang harus diselesaikan untuk mendapatkan peningkatan produktivitas. Hal-hal yang harus ditangani mulai lahan, benih, budidaya, pengolahan, pasar, sistem pengelolaan, pembiayaan dan bahkan sistem sosial. Sebuah kompleksitas yang perlu diurai dan diberikan input solusi. Kalangan ilmiah baik civitas akademika dan litbang khususnya, perlu memberikan dukungan dan rekomendasi kebijakan yang dapat menjadi solusi.
xii
Upaya peningkatan produktivitas hutan juga tidak akan terwujud jika penguasaan IPTEK tidak didukung oleh tata kelola hutan dan lahan yang efisien. Dalam RPJM 2014-2019 pola pengelolaan pada tingkat tapak dalam bentuk KPH menjadi tumpuan pembangunan kehutanan ke depan. Hal ini juga mengingatkan kita semua bahwa operasionalisasi KPH yang diawali dengan perencanaan yang cermat dana kurat menjadi kunci penting dan harus terus kita dorong. Di samping dukungan terhadap operasionalisasi KPH, keterlibatan masyarakat sebagai mitra usaha dalam bentuk Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Adat dan Hutan Rakyat (HR) semakin diperlukan guna meningkatkan produktivitas hutan dan lahan. Upaya peningkatan keterlibatan masyarakat ini membutuhkan skema pembiayaan yang efisien dan realistis, struktur kelembagaan yang kuat, serta dukungan pendampingan dan kebijakan yang pro rakyat oleh instansi pemerintah terkait. Hadirin yang saya hormati, Dalam mendukung program ketahanan pangan, KLHK memiliki program-program antara lain penyediaan lahan 1 Jt Ha untuk mendukung pembangunan sawah baru, pemanfaatan Areal Hutan di bawah tegakan hutan seluas 250.000 ha, terbangunnya urban farming melalui pemanfaatan kompos di 100 kota, pembukaan akses lahan hutan untuk rakyat (Hkm, HTR, HD, Hutan Adat) dan pengembangan Ekowisata 12,7 juta ha. Program dan kegiatan tersebut, harus dapat terlaksana dengan baik. Agar program tersebut dapat berhasil dengan baik, dan tentu saja dengan produktivitas yang tinggi maka dukungan IPTEK dan kebijakan sangat dibutuhkan untuk menyukseskannya. Badan Litbang dan Inovasi sepenuhnya menyadari bahwa aspek kajian mengenai peningkatan produktivitas hutan ini belum sepenuhnya terjawab oleh kami. Lembaga-lembaga lain yang memiliki tupoksi riset mungkin juga sudah menemukan solusi yang lebih tepat yang didasarkan atas kajian ilmiah mendalam. Oleh karena itu inisiasi mengundang narasumber dari Institut Pertanian Bogor pada kesempatan ini merupakan upaya yang tepat. Dengan kerjasama antar lembaga seperti ini diharapkan dapat memberikan informasi yang menyeluruh. Hadirin yang saya hormati, Tantangan KLHK tidak hanya upaya peningkatan produktivitas hutan dan lahan. Secara nasional kita menghadapi berbagai kendala dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan, perambahan hutan, illegal logging, kebakaran hutan, penambangan liar, degradasi dan deforestasi hutan dan lahan, serta konflik lahan, disamping potensi kekayaan sumberdaya alam yang melimpah yang perlu dioptimalkan pemanfaatannya. Kami menyadari bahwa sinergi dalam melaksanakan penelitian sangatlah penting untuk mendapatkan pendekatan yang komprehensif dan efisien. Oleh karena itu sesuai amanat UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kami sudah meminta kepada seluruh UPT lingkup Badan Litbang dan Inovasi, untuk menjalin komunikasi dan sinergi dengan Badan Penelitian Daerah di dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan. Hadirin, peserta seminar yang berbahagia, Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan, akhir kata saya ucapkan selamat melaksanakan Seminar Hasil Litbang Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan. Saya berharap melalui seminar ini terjadi proses pembelajaran dan pertukaran informasi yang produktif peneliti dengan pengguna. Kolaborasi seperti ini tidak terhenti sampai dengan seminar saja tetapi bisa dilanjutkan kepada kerjasama xiii
yang lebih operasional baik dengan dinas, perguruan tinggi, praktisi dan lain-lain. Sekian, terima kasih. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. KEPALA BADAN LITBANG DAN INOVASI (DR. Henry Bastaman, MES)
xiv
RUMUSAN SEMINAR BERSAMA BPTPTH dan BPK Palembang Bekerjasama dengan BPDAS Way Seputih-Way Sekampung, Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan Dan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Dengan Tema: Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan (Bandar Lampung, 11 Agustus 2015) Mengacu pada sambutan Gubernur Lampung dan pemaparan keynote speaker dari Kepala Badan Litbang dan Inovasi serta pemaparan 9 (sembilan) makalah dan diskusi yang berkembang selama seminar, maka disusun rumusan sebagai berikut: 1. Pemerintah Provinsi Lampung terus berupaya melakukan perbaikan hutan melalui kegiatan rehabilitasi dan pengelolaan kawasan hutan sehingga hutan dapat berfungsi sebagai pengatur tata air, pencegah bencana banjir dan kekeringan, sumber plasma nutfah serta penyangga kehidupan pada umumnya. Sehingga upaya ini telah dapat meningkatkan tutupan lahan, dan mampu menurunkan tingkat kerusakan hutan hingga 53,90% sampai tahun 2014. 2. Program pembangunan daerah Provinsi Lampung ke depan adalah mengembangkan wilayah bagian barat dari Lampung untuk industri perikanan, pelabuhan dan wisata, hal tersebut sangat perlu dukungan sektor kehutanan khususnya untuk konservasi fauna dan flora seperti anggrek, badak dan tutupan lahan. Selain itu dukungan infrastruktur yang memadai sangat diperlukan. Sehingga perlu ditindaklanjuti dengan kerjasama antara Badan Litbang dan Inovasi dengan Pemda Provinsi Lampung. 3. Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki peran yang sangat vital dan strategis. Dalam era pemerintahan Kabinet Kerja ini, Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi menjadi penyedia landasan ilmiah bagi berbagai kebijakan yang akan dikeluarkan oleh KLHK, sekaligus sebagai pilar utama dalam memberikan solusi yang tepat atas permasalahan yang ditemui dalam pembangungan lingkungan hidup dan kehutanan. 4. Salah satu isu strategis yang menjadi prioritas dalam program KLHK adalah masalah rendahnya produktivitas hutan yang berdampak terhadap menurunnya kontribusi sektor ini terhadap pendapatan ekonomi regional maupun nasional. Oleh karena itu Badan Litbang dan Inovasi, diharapkan dapat berkontribusi dalam penyediaan IPTEK yang tepat guna bagi masyarakat khususnya untuk meningkatkan produktivitas hutan dan lahan 5. Menurunnya produktivitas hutan tidak hanya persoalan teknis semata, seperti kesesuaian jenis dengan tempat tumbuh, bibit unggul, teknik silvikultur, namun perlu memperhatikan persoalan-persoalan yang lebih kompleks seperti sosial, politik, kelembagaan, regulasi dan ketiadaan organisasi pengelola di tingkat tapak. 6. Pengelola kawasan di tingkat tapak dapat diperankan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Selain KPH telah menjadi arus utama dalam pembangunan kehutanan nasional, kehadirannya juga diperlukan untuk mengefektifkan pengelolaan sumberdaya milik bersama (common-pool resources) berupa hutan yang dikuasai oleh Negara (state/public forest). Sehingga dalam operasionalisasinya diperlukan penguatan legalitas, legitimasi dan kemandiriannya baik pada aspek kawasan, kelembagaan, program/kegiatan,dana, SDM dan faktor-faktor pemungkin untuk operasionalisasi KPH secara efektif dan efisien. xv
7. Efektifitas kelembagaan dalam kerangka peningkatan produktivitas hutan dapat menerapkan program panca usaha kehutanan yang meliputi: adanya kepastian hak, tersedianya pasar, harga yang menarik, infrastruktur yang mendukung dan hilangnya biaya transaksi. 8. Pusat pembiayaan pembangunan hutan dalam memberikan penyaluran dana bagi pembangunan hutan menggunakan pola pengelolaan dana bergulir, yang bukan berupa dana hibah atau dana proyek. Ada 3 model pembiayaan yang akan digunakan oleh Pusat P2H adalah bentuk pinjaman, bagi hasil dan pola syariah. 9. Dukungan Litbang diperlukan dalam penyaluran pembiayaan pembangunan hutan, yaitu dalam bentuk aspek tehnik, dalam hal ini adalah bibit dan teknik silvikultur, yang merupakan hasil penelitian yang dapat dikembangkan di HR, HTR dan HTI. Hasil penelitian yang dapat diaplikasikan dalam skala usaha akan mendapat dukungan dari BLU. 10. Informasi yang lengkap tentang mekanisme penyaluran dana pembiayaan pembangunan hutan sangat dibutuhkan. Sebagai penghubung dapat memanfaatkan sarjana lulusan baru atau dimungkinkan dari lembaga lain seperti Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM). 11. Perkembangan hutan rakyat di Lampung tidak terlepas dari peran BPDAS HL dalam menyediakan berbagai bibit yang diperlukan. Usaha meningkatkan mutu benih dan bibit terus dilakukan. Rekayasa alat untuk mendapatkan bibit berkualitas, terus dikembangkan diantaranya pengembangan alat Media Semai Cetak (MSC), namun perlu ada kajian lebih lanjut untuk mengetahui efisiensi dan efektivitasnya di lapangan. Ketersediaan benih dan bibit berkualitas untuk kebutuhan penanaman sangat diperlukan khususnya oleh masyarakat Lampung, sehingga diharapkan Badan Litbang dan Inovasi dapat berkontribusi dalam penyediaan benih dan bibit tersebut. 12. Beberapa hasil penelitian untuk mendukung Peningkatan Produktifitas Hutan dapat disebutkan diantaranya: a. Telah tersedianya teknologi perbenihan yang tepat untuk mendukung pengembangan usaha kehutanan berbasis bioenergi untuk jenis kaliandra, lamtoro, weru, pilang, akor, turi, malapari dan nyamplung serta biofarmaka diantaranya kilemo (Litsea cubeba) dan pulai (Alstonia scholaris). Dalam hubungannya dengan perbaikan mutu benih dan bibit, iradiasi sinar gamma dapat diaplikasikan untuk meningkatkan viabilitas dan vigor benih serta meningkatkan keragaman genetik dalam rangka pemuliaan. Perlakuan radiasi sinar gamma pada benih tanaman hutan dengan dosis rendah mampu memperbaiki perkecambahan benih dan pertumbuhan bibit seperti pada jenis jati, suren, jabon putih, tembesu, bambang lanang, kayu bawang dan jenis-jenis tanaman hutan lainnya. b. Standar mutu benih dan bibit merupakan perangkat pengendali yang berupa nilai parameter mutu benih dan bibit yang menjadi acuan bagi hasil pengujian. Efisiensi pengendalian ini harus didukung dengan perbaikan sistem produksi dan penanganan benih dan bibit. c. Dalam rangka memudahkan perencanaan pengusahaan KPH serta memproyeksikan hasil usaha, maka telah disusun tool/program komputer yang simpel, mudah dan aplikatif yang dapat memproyeksikan rencana usaha yang akan dikembangkan oleh KPH. Program ini diharapkan dapat membantu pengelola KPH dalam mengambil keputusan dalam pengembangan usaha yang akan dijalankan. d. Program simulasi dibangun dengan memasukan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh KPH meliputi biaya infrastruktur, biaya operasional dan biaya pembangunan usaha xvi
budidaya meliputi pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Dengan model simulasi ini dapat memberikan gambaran hasil yang akan diperoleh berdasarkan data-data hasil penelitian serta perhitungan kelayakan usahanya. e. Tembesu merupakan salah satu jenis andalan di daerah Sumsel dan sekitarnya, mempunyai potensi untuk dikembangkan, namun minimnya usaha pengembangan tembesu dalam bentuk pembangunan hutan tanaman secara khusus mempunyai kendala utama dengan “kualitas” dan produktifitas tanaman yang rendah. Kondisi semacam ini membutuhkan dukungan informasi, paket teknologi budidaya tanaman tembesu serta materi (benih unggul) tanaman yang secara langsung dapat meningkatkan produktivitas tanaman secara optimal f. Hasil penelitian sosial, ekonomi dan kebijakan dalam kaitannya dengan pengembangan kayu pertukangan lokal di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu menunjukkan bahwa budidaya kayu pertukangan lokal menjadi bagian dan berkaitan erat dengan bentang lahan DAS dan budaya masyarakat. g. Kayu pertukangan lokal yang mempunyai kaitan erat dengan keseharian masyarakat mempunyai prospek ekonomi untuk dikembangkan karena layak secara financial. Pasarnya telah tersedia dan tidak membutuhkan lahan luas untuk penanamannya. Kayu pertukangan lokal dengan daur menengah bisa disupply dari kebun masyarakat atau hutan rakyat dengan pola agroforestry. Pengarusutamaan pelibatan masyarakat dalam penyediaan bahan baku kayu pertukangan lokal merupakan sebuah keniscayaan, dengan tidak mengesampingkan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari, jangka menengah dan jangka panjang. Tim Perumus: 1. Dr. Ir. Yulianti Bramasto, M.Si. 2. Ir. Danu, M.Si. 3. Bambang Tejo Premono, S.Hut, M.Si. 4. Ir. Cyprianus Nugroho, S.P., M.Sc.
xvii
ASPEK PERBENIHAN
Aspek Perbenihan
PROSPEK DAN APLIKASI TEKNOLOGI IRADIASI SINAR GAMMA UNTUK PERBAIKAN MUTU BENIH DAN BIBIT TANAMAN HUTAN Muhammad Zanzibar Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK Induksi mutasi (mutation breeding) melalui iradiasi sinar gamma (radiasi pengion) merupakan metoda penting untuk mendapatkan variabilitas genetik yang tidak ada di alam atau yang tidak tersedia untuk pemulia. Tujuan tulisan ini adalah mempelajari manfaat penggunaan iradiasi sinar gamma dalam meningkatkan produktivitas tanaman. Setiap jenis/benih tanaman yang mengalami paparan iradiasi memiliki radiosensivitas yang berbeda, sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik/biologis benih. Sebagian besar penelitian yang telah dilakukan dirancang untuk mengevaluasi respon biologis iradiasi dosis tinggi dalam mendapatkan varietas/klon sesuai dengan tujuan pemuliaan, sedangkan pada dosis rendah bermanfaat untuk merangsang proses fisiologis (radio stimulation) yang umumnya berpengaruh pada tahap awal perkecambahan atau pertumbuhan tanaman. Penelitian penggunaan iradiasi sinar gamma pada jenis-jenis tanaman hutan di Indonesia masih sangat terbatas. Kata kunci: kehutanan, pemuliaan tanaman, radiasi pengion, variabilitas genetik
I. PENDAHULUAN Iradiasi adalah suatu proses ionik sebagai salah satu metode modifikasi fisik polisakarida alami (Hai et al., 2003; Rombo et al., 2004; Relleve et al., 2005). Proses ini juga sangat berguna dalam memecahkan berbagai permasalahan pertanian, seperti penanganan pasca panen (menekan perkecambahan dan kontaminasi), eradikasi dan pengendalian hama dan penyakit, pengurangi penyakit yang terbawa bahan makanan, dan pemuliaan varietas tanaman unggul dan tahan penyakit (Andress et al., 1994; Emovon, 1996). Dalam hubungannya dengan perbaikan mutu benih dan bibit, iradiasi sinar gamma telah banyak diaplikasikan untuk viabilitas dan vigor benih (Piri et al., 2011; Iglesias-Andreu et al., 2012) dan meningkatkan keragaman genetik dalam rangka pemuliaan untuk mendapatkan varietas unggul pada banyak jenis tanaman (de Mico et al., 2011; Santosa et al., 2014), terutama jenis-jenis tanaman pertanian. Penggunakan Iradiasi seperti sinar X, Gamma, dan neutrons serta mutagen kimiawi untuk menginduksi variasi pada tanaman telah banyak dilakukan. Induksi mutasi telah digunakan untuk peningkatan variasi tanaman penting seperti gandum, padi, barley, kapas, kacang tanah, dan kacang-kacangan lainnya yang diperbanyak melalui biji (Ahlowalia dan Maluszynski, 2001). Menurut data FAO/IAEA hingga tahun 2009, sekitar 3100 mutan dari 190 jenis telah dibudidayakan. Jumlah varietas mutan terbesar dihasilkan negara-negara Asia (1858 mutan, terutama di India, Jepang dan China), diikuti Eropa (899 mutan), Amerika Utara (202 mutan), Afrika (62 mutan), Amerika Latin (48 mutan) dan Kawasan Australia/Pasifik (10 mutan) (Poster and Shu, 2012). Di Indonesia, pemuliaan mutasi telah diaplikasikan pada berberapa jenis tanaman, seperti padi (Sobrizal, 2007; Ishak, 2012, sorghum (Surya dan Soeranto, 2006), kedelai (Soeranto dan Sihono, 2010), pisang (Indrayanti et al., 2011), tanaman hias seperti mawar dan krisan (Hutami et al., 2006; Handayati, 2013). Untuk jenis tanaman kehutanan, khususnya jenis-jenis tropik Indonesia, teknologi ini belum banyak dikembangkan. 1
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Induksi mutasi menggunakan iradiasi menghasilkan mutan paling banyak (sekitar 75%) bila dibandingkan menggunakan perlakuan lainnya seperti mutagen kimia. Sinar gamma merupakan gelombang elektromagnetik pendek dengan energi tinggi berinteraksi dengan atom-atom atau molekul untuk memproduksi radikal bebas dalam sel. Radikal bebas tersebut akan menginduksi mutasi dalam tanaman sebab radikal tersebut akan menghasilkan kerusakan sel atau pengaruh penting dalam komponen sel tanaman (Kovacs dan Keresztes, 2002). Keuntungan menggunaan sinar gamma adalah dosis yang digunakan lebih akurat dan penetrasi penyinaran ke dalam sel bersifat homogen. Tidak seperti pemuliaan konvensional yang melibatkan kombinasi gen-gen yang ada pada tetuanya (di alam), iradiasi sinar gamma menyebabkan kombinasi gen-gen baru dengan frekuensi mutasi tinggi. Mutasi digunakan untuk memperbaiki banyak karakter yang bermanfaat yang mempengaruhi ukuran tanaman, waktu berbunga dan kemasakan buah, warna buah, ketahanan terhadap penyakit dan karakterkarakter lainnya. Karakter-karakter agronomi penting yang berhasil dimuliakan dengan mutasi pada beberapa jenis tanaman di antaranya adalah tanaman tahan penyakit, buah-buahan tanpa biji, tanaman buah-buahan yang lebih pendek dan genjah (IAEA, 2009). Sebagian besar penelitian penggunaan iradiasi sinar gamma dirancang untuk mengevaluasi respons biologi terhadap dosis radiasi tinggi, dan penelitian yang relatif terbatas juga telah dilakukan dengan menggunakan iradiasi pada dosis rendah untuk menstimulasi proses fisiologi (radio stimulation) tanaman melalui eksitasi, atau stimulasi dengan dosis rendah, atau dikenal dengan istilah hormesis (Luckey,1998). Pengaruh yang menguntungkan dari hormesis telah banyak dilakukan pada jenis-jenis tanaman pertanian (Luckey, 2003; Piri et al., 2011), namun informasi penggunaan teknologi tersebut dalam bidang kehutanan masih terbatas (Iglesias-Andreu et al., 2012). Meskipun masih sedikit informasi mengenai fenomena hormosis ini, Vaiserman (2010) memberi indikasi adanya kemungkinan hubungan antar hormosis dengan pengaruh epigenetik (perubahan yang diturunkan pada fungsi genom, yang terjadi tanpa perubahan susunan urutan DNA) sebagai suatu respons adaptif. Efigenetik bersifat sementara dan individu yang termutasi dapat kembali normal. Tulisan ini akan memberikan tinjauan penggunaan iradiasi sinar gamma jenis-jenis tanaman, khususnya untuk memberbaiki perkecambahan benih dan pertumbuhan, serta potensinya untuk mendapatkan variaetas mutan unggul pada beberapa jenis tanaman hutan. II. PENGARUH IRADIASI TERHADAP PERKECAMBAHAN DAN PERTUMBUHAN Ketika radiasi ionisasi diserap ke dalam material biologis, radiasi tersebut akan beraksi secara langsung terhadap target sel kritis atau secara tidak langsung melalui pembangkitan metabolit yang dapat memodifikasi komponen-komponen sel penting. Penggunaan irasiasi sinar gamma dengan berbagai dosis dalam hubungannya dengan perkecambahan benih telah dicoba pada berbagai tanaman (Tabel 1). Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa dosis yang digunakan dan pengaruhnya terhadap perkecambahan benih berbeda-beda untuk tiap jenis dan genotipe. Namun secara umum, dosis iradiasi yang lebih tinggi cenderung menghambat perkecambahan.
2
Aspek Perbenihan
Tabel 1. Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma pada beberapa jenis tanaman pertanian Jenis Sorghum vulgare (L) Salix nigra Marsh. Allium cepa L. Triticum aestivum L.
Sesamum indicum L.
Dosis sinar gamma 1-10 kR 0,1-100 kR 10, 20, 40, 80, dan 100 kR 10, 20, 30, dan 40 kR
Triticum durum
200, 400, 600 dan 800 Gy 2, 4, 8, dan 16 Gy 10, 20 Gy
Lactuca sativa
5, 30 Gy
Terminalia arjuna
25 Gy
Capsicum annuum L.
Pengaruh Pengurangan rata-rata tinggi bibit Dosis rendah meningkatkan kecepatan pertumbuhan Persentase bibit abnormal meningkat dengan meningfkatnya dosis iradiasi Benih teriradiasi menunjukkan lebih superior dibandingkan kontrol untuk beberapa karakter Pengaruh mutagenik oleh penyusunan kembali kromosom intergenomik Dosis rendah merangsang pertumbuhan dan resitensi cekaman Meningkatkan daya dan kecepatan berkecambah Merangsang parameter pertumbuhan (perkecambahan, panjang akar dan hipokotil) Meningkatkan daya berkecambahan, indeks vigor, laju rata-rata pertumbuhan
Pustaka Iqbal (1980) Gehring (1985) Amjad dan Akbar (2003) Singh dan Balyan (2009) Kumar dan Singh (2010) Kim et al. (2005) Melki dan Marouani (2009) Marcu et al. (2012) Akshatha et al. (2013)
Peningkatan atau penurunan persentase perkecambahan sebagai akibat dari perlakuan sinar gamma pada beberapa jenis tanaman telah banyak diteliti. Chan dan Lam (2002) melaporkan juga bahwa iradiasi benih pepaya dosis 10 Gy meningkatkan persentase perkecambahan menjadi 50% dari kontrol 30%. Sementara itu, Habba (1989) melaporkan bahwa peningkatan dosis iradiasi hingga 100 Gy, secara gradual meningkatkan perkecambahan benih, namun kemudian perkecambahan benih menurun sejalan dengan meningkatnya dosis iradiasi. Hasil tersebut juga sama dengan yang ditemukan Hell and Silveira (1974), Marcu et al. (2012) dan yang menyatakan bahwa iradiasi dosis tinggi dapat mengurangi perkecambahan benih. Fenomena ini dikenal dengan istilah pengaruh hormesis yang didefinisikan Luckey (2003) sebagai stimulasi dengan dosis rendah iradiasi ionisasi dan penghambatan pada dosis yang tinggi. Dosis rendah didefinisikan sebagai suatu dosis di antara tingkat radiasi lingkungan dan ambang batasnya yang menandai batas antara pengaruh biopositif dan bionegatif. Respon iradiasi ionisasi bervariasi antar tanaman, tergantung dari morfologi dan fisiologi tanaman, jenis, umur, ukuran dan komposisi genom, dosis irradiasi, tipe iradiasi, dan sebagainya. Pengaruh stimulasi sinar gamma terhadap perkecambahan mungkin disebabkan oleh aktivasi sintesa RNA atau sintesa protein, yang terjadi selama tahap awal perkecambahan setelah benih diradiasi (Kuzin et al., 1975; Kuzin et al., 1976; Abdel-Hady et al., 2008). Hipotesa lainnya menyatakan adanya percepatan pembelahan sel (Zaka et al., 2004) atau stimulasi langsung/tidak langsung gen-gen yang responsif terhadap auksin (Kovalchuk et al., 2007). Perubahan biokimia mempengaruhi proses metabolisma sel yang pada tingkat tertentu dapat menguraikan bahan kimia penghambat perkecambahan dan meningkatkan pembelahan sel sehingga tidak hanya berpengaruh terhadap perkecambahan tetapi juga terhadap pertumbuhan bibit (Piri et al., 2011). Fan et al. (2003) memberi indikasi bahwa radikal bebas yang dibangkitkan dalam tanaman yang disebabkan iradiasi sinar gamma akan bertindak sebagai sinyal stres dan merangsang respon stres dalam tanaman, yang menghasilkan peningkatan sintesa asam polifenol yang notabenenya mempunyai kegunaan antioksidatif. Sjodin (1962) melaporkan bahwa bahan dan energi yang diperlukan selama pertumbuhan awal 3
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
tersedia dalam benih, sehingga dosis iradiasi rendah mungkin meningkatkan aktivasi enzim dan membangkitkan embrio muda, yang menghasilkan stimulasi terhadap laju pembelahan sel dan meningkatkan tidak hanya proses perkecambahan, tetapi juga pertumbuhan vegetatif. Selain terhadap perkecambahan, pengaruh iradiasi sinar gamma pun telah dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator respon tanaman berbeda. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan tanaman sering dijadikan ukuran respon terhadap dosis radiasi berbeda. Beberapa penelitian melaporkan penggunaan irradiasi dosis rendah, seperti pada padi yang memberikan pengaruh positif terhadap perakaran dan pertumbuhannya. Radiasi gamma dosis rendah (10-30 Gy) merangsang kemunculan persentase tunas kentang (Solanum tuberosum), sedangkan pada 40-50 Gy, tinggi dan panjang akar secara signifikan terhambat, dan pada dosis tingi (60 Gy) tidak ada tunas yang muncul. Kuzin (1997) menyimpulkan bahwa penyinaran jaringan tanaman dengan radiasi atomik dosis rendah akan menginduksi radiasi sekunder yang merangsang pembelahan sel-sel dan mendisain radiasi ini sebagai radiasi biogenik sekunder yang mengaktifkan reseptor membran sel. Radiasi ini membawa informasi yang diterima reseptor membran dan informasi tersebut diperlukan untuk memfungsikan dan mengembangkan sel-sel organisme hidup. Sementara, radiasi benih dengan sinar gamma dosis tinggi mengganggu sintesa protein, keseimbangan hormon, pertukaran gas, pertukaran air dan aktivitas enzim (Hameed et al., 2008), yang memicu gangguan terhadap morfologi dan fisiologi tanaman dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman. III. PENGGUNAAN IRADIASI SINAR GAMMA DOSIS RENDAH PADA BENIH TANAMAN HUTAN Pada jenis-jenis tanaman hutan, perlakuan radiasi sinar gamma pada dosis rendah mampu memperbaiki perkecambahan benih dan pertumbuhan bibit (Iglesias-Andreu et al., 2012; Akshatha et al., 2013). Selain itu, radiasi sinar gamma juga mampu menunda pembusukan buah (WHO, 1988), mengurangi populasi bakteri, jamur, serangga dan pathogen lainnya (Gruner et al., 1992) sehingga potensial diaplikasikan untuk meningkatkan daya simpan benih. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pegaruh iradiasi terhadap perbaikan mutu benih dan bibit seperti pada jenis jati, suren, jabon putih, tembesu, bambang lanang, kayu bawang dan jenis-jenis tanaman hutan lainnya (Tabel 2). Tabel 2. Penerapan dosis rasiasi sinar gamma pada beberapa jenis tanaman hutan Jenis
Suren (Toona sinensis)
Dosis sinar gamma 10, 20, 30, 40, dan 50 kR 5, 20 Gy
Tembesu (Fagraea fragrans)
5 dan 10 Gy
Jabon putih (Anthocephalus cadamba) Jabon merah (Anthocephalus macrophylus) Bambang lanang (Magnolia champaca)
15 dan 20 Gy 10 – 30 Gy
Jati (Tectona grandis)
10 Gy
Pengaruh
Pustaka
Memperbaiki laju perkecambahan benih
Bhargava dan Khalatkar (1987)
Meningkatkan perkecambahan benih dan pertumbuhan bibit Meningkatkan daya berkecambah dan daya simpan benih Meningkatkan perkecambahan benih dan pertumbuhan bibit Meningkatkan perkecambahan benih dan pertumbuhan bibit Meningkatkan perkecambahan benih (daya dan indeks berkecambah) dan meningkatkan daya simpan benih
Zanzibar et al. (2008) Zanzibar dan Sudrajat (2015) Zanzibar et al. (2008) Zanzibar et al. (2008) Zanzibar dan Sudrajat (2015)
4
Aspek Perbenihan
Pada benih bambang lanang, perlakuan iradiasi pada dosis 10 Gy (LD50 = 30-35 Gy) menghasilkan peningkatan perkecambahan (indeks perkecambahan dan nilai perkecambahan) (Gambar 1b-c). Namun, pada dosis yang lebih tinggi cenderung mengalami penurunan. Benih yang diiradiasi yang disimpan selama 3 bulan juga memberikan perkecambahan yang lebih baik dibanding kontrol hingga dosis 20 Gy, dan kemudian menurun pada dosis yang lebih tinggi. Pada dosis 10 Gy juga memberikan rata-rata bertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan dosis lainnya (Gambar 1d). Penggunaan dosis 2,5 Gy sampai 120 Gy pada benih tembesu yang disimpan selama 2 bulan mampu meningkatkan jumlah kecambah, sedangkan penggunaan dosis 240 Gy mengalami penurunan jumlah kecambah (Gambar 2). Pada perlakuan benih iradiasi tanpa penyimpanan, jumlah kecambah yang muncul sebagian besar tidak berbeda nyata dengan benih tanpa iradiasi (kontrol). Pada perlakuan iradiasi benih tanpa penyimpanan, dosis 5 Gy memberikan jumlah kecambah terbanyak (303 kecambah per 0.1 gram), sedangkan pada perlakuan iradiasi benih dengan penyimpanan selama 2 bulan, dosis 10 Gy menghasilkan jumlah kecambah terbanyak (346 kecambah per 0.1 gram).
Germination percentage (%)
70
(a)
60
(b)
50 40
LD50
30 20
10 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Gamma irradiation (Gy)
1
(c)
(d)
Gambar 1. Lethal dosis (a), indek perkecambahan benih (b), nilai berkecambah benih yang disimpan 3 bulan (c), dan penampilan bibit umur 6 bulan pada dosis iradiasi sinar gamma 0,5 dan 10 Gy (d)
5
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
(a)
(c)
(b)
Gambar 2. Jumlah kecambah benih tembesu pada berbagai dosis iradiasi sinar gamma (a); Pertumbuhan kecambah pada umur 40 hari setelah tabur: dosis 10 Gy (b) dan dosis 240 Gy(c)
Benih tembesu yang telah diiradiasi mengalami perubahan komposisi biokimia, seperti energi total, kadar abu, lemak total, protein dan karbohidrat total (Tabel 3). Semakin tinggi dosis iradiasi yang diberikan maka benih tembesu akan mengalami peningkatan kadar protein dan penurunan kadar karbohidrat total serta energi total, terutama pada dosis 240 Gy. Kadar karbohidrat dan energi total yang lebih rendah membuat proses perkecambahan menjadi terhambat dan banyak kecambah abnormal yang tumbuh. Tabel 3. Komposisi biokimia benih tembesu akibat perlakuan iradiasi dengan sinar gamma Parameter
0 Gy
20 Gy
60 Gy
240 Gy
362.67 1.76
356.28 1.83
359.61 1.78
260.18 1.87
Lemak total (%)
1.11
0
0.73
0.70
Protein (%)
14.55
15.6
15.74
15.97
Karbohidrat total (%)
73.62
73.47
72.52
72.50
Energi total (kkal/100 g) Kadar abu (%)
Umumnya pada jenis-jenis tanaman hutan, dosis iradiasi rendah mampu memperbaiki perkecambahan benih. Beberapa penelitian lainnya juga melaporkan kecenderungan yang sama, yaitu terjadi perbaikan perkecambahan benih pada perlakuan sinar gamma dosis rendah dan cenderung menurun pada dosis yang tinggi, seperti pada Pinus sylvestris (Sokolov et al., 1998), Tectona grandis (Bhargava and Khalatkar, 2004), Cicer arietinum (Khan et al., 2005; 6
Aspek Perbenihan
Toker et al., 2005), Triticum aestivum (Singh dan Balyan, 2010), dan Terminalia arjuna (Akshatha et al., 2013). Iradiasi sinar gamma dalam dosis yang tinggi umumnya menghasilkan pengaruh inhibitor terhadap perkecambahan (Kumari dan Singh, 1996), menurunnya kadar auksin atau kerusakan kromoson (Sparrow and Woodwell 1962), sedangkan radiasi dengan dosis rendah umumnya menghasilkan pengaruh stimulasi terhadap perkecambahan melalui peningkatan aktivitas enzim, perbaikan sel-sel respirasi, dan meningkatkan produksi struktur reproduksi (Luckey, 1998). IV. POTENSI IRADIASI SINAR GAMMA UNTUK PEMULIAAN MUTASI TANAMAN HUTAN Metode pemulian pada prinsipnya dapat diklasifikasikan ke dalam 3 sistem, yaitu pemuliaan rekombinasi, pemuliaan mutasi, dan pemuliaan transgenik. Setiap sistem mempunyai cara yang unik untuk mendapatkan keragaman dan menseleksi individu target (Tabel 4). Pada pemuliaan mutasi, pembangkitan alel-alel termutasi baru merupakan dasar dan karakter yang unik. Genetik dibalik pemuliaan mutasi meliputi perbedaan dalam sensitivitas genotipe berbeda dan jaringan tanaman terhadap mutagen berbeda, yang sering diukur dengan “lethal doses”; genetik yang terbentuk setelah perlakuan mutagenik berpengaruh terhadap alel-alel dan segregasi pada generassi berikutnya (Shu, 2013). Mutasi merupakan salah satu teknik yang telah dikembangkan secara luas sebagai upaya untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman untuk mendapatkan sifat baru sebagai sarana untuk perbaikan genetik tanaman, terutama pada tanaman yang selalu diperbanyak secara vegetatif sehingga keragaman genetiknya rendah atau untuk mendapatkan karakter baru dimana sifat tersebut tidak dijumpai pada gene poll yang ada. Kerugian dari pemuliaan mutasi adalah terbatasnya kemampuan untuk membangkitkan alel-alel dominan yang mungkin diharapkan, dan juga kurang efektif dibandingkan perkawinan silang untuk suatu sifat-sifat kombinasi multi alel, seperti toleran terhadap cekaman lingkungan. Frekwensi mutasi yang rendah juga memerlukan populasi yang besar untuk menyeleksi mutan-mutan yang diharapkan (Shu, 2013). Tabel 4. Perbedaan tiga sistem pemuliaan tanaman berdasarkan beberapa tolok ukur pemuliaan
Sumber variasi genetik
Pemuliaan konvensional/ rekombinan Rekombinasi alel-alel gen dari tetuanya
Transmisi, ekspresi dan sifat penurunan Sifat aksi gen
Tidak ada transmisi, berhubungan dengan segregasi alel-alel berkerabat Dominan, alel-alel yang resesif
Generasi pemuliaan
Sekitar 10 generasi
Pemuliaan mutasi
Pemuliaan transgenik
Alel-alel baru dibuat secara acak dari endogenous gen Menginduksi mutasi untuk seleksi diploid dan haploid Sebagian besar alel-alel resesif 2-3 generasi
Memasukan gen baru atau memodikasi endogenous gen Ekspresi transgenik
Sebagian besar alel dominan Sekitar 3 generasi
Mutasi buatan untuk tujuan pemuliaan tanaman dapat dilakukan dengan memberikan mutagen. Mutagen yang dapat digunakan untuk mendapatkan mutan ada dua golongan yaitu mutagen fisik (sinar x, sinar gamma dan sinar ultra violet) dan mutagen kimia (Ethyl Methan Sulfonat, Diethyl sulfat, Ethyl Amin dan kolkisin). Perubahan yang ditimbulkan karena pemberian mutagen baik fisik maupun kimia dapat terjadi pada tingkat genom, kromosom, dan DNA. Mutasi dibedakan menjadi mutasi kecil (mutasi gen) dan mutasi besar (mutasi 7
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
kromosom). Mutasi kecil adalah perubahan yang terjadi pada susunan molekul gen (DNA), sedangkan lokus gennya tetap, sedangkan mutasi besar adalah perubahan yang terjadi pada struktur dan susunan kromosom. Mutasi gen disebut juga mutasi titik. Mutasi ini terjadi karena perubahan urutan basa pada DNA atau dapat dikatakan sebagai perubahan nukleotida pada DNA. Mutasi Kromosom terjadi pada kromosom yang merupakan struktur didalam sel berupa deret panjang molekul yang terdiri dari satu molekul DNA yang menghubungkan gen sebagai kelompok satu rangkaian. Kromosom memiliki dua lengan, yang panjangnya kadangkala sama dan kadangkala tidak sama, lengan-lengan itu bergabung pada sentromer (lokasi menempelnya benang spindel selama pembelahan mitosis dan meiosis). Pengaruh bahan mutagen, khususnya radiasi, yang paling banyak terjadi pada kromosom tanaman adalah pecahnya benang kromosom (chromosome breakage atau chromosome aberration). Mutasi kromosom meliputi perubahan jumlah kromosom dan perubahan struktur kromosom mutasi pada tingkat kromosom disebut aberasi. Menurut Van Harten (1998), keberhasilan program induksi mutasi sangat bergantung padamateri tanaman yang mendapat perlakuan mutagen. Qosim (2006) dalam penelitiannya terhadap kalus nodular manggis, menyebutkan bahwa induksi radiasi sinar gamma menghasilkan keragaman genetik dengan menggunakan teknik RAPD dengan keragaman genetik antara 60-91%. Sementara Harahap (2005) dalam penelitian dengan menggunakan biji manggis hasil iradiasi sinar gamma yang ditanan secara in vitro, didapat keragaman genetik yang diperoleh sebesar 62-100%. Sobir dan Poerwanto (2007) menyatakan berdasarkan analisis RAPD pada bibit manggis hasil iradiasisinar gamma menggunakan lima primer acak, terbukti keragaman genetik tanaman hasil iradiasi lebih besar (62%) dibandingkan variabilitas aksesi manggis di Jawa (27%). Dalampenelitian ini, keragaman genetik yang diperolehdari hasil iradiasi sinar gamma sebesar 77-95%, meningkat sebesar 5% dibandingkan kontrol. Untuk jenis-jenis tanaman kehutanan, pemuliaan mutasi sangat potensial, terutama untuk membangkitkan keragaman baru pada jenis-jenis yang keragaman di alamnya relatif sempit atau untuk mendapatkan karakter-karakter tanaman yang lebih adaptif terhadap perubahan lingkungan dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Pada tingkat bibit, peningkatan tinggi bibit hasil iradiasi sinar gamma untuk jenis bambang lanang mampu mencapai 77% pada dosis 80 Gy (Zanzibar dan Sudrajat, 2015), sementara pada jenis suren, peningkatannya mencapai 600% dibandingkan dengan kontrol (Zanzibar dan Witjaksono, 2011) (Gambar 3).
(a)
(b)
(c)
Gambar 3. Pertumbuhan bibit suren umur 6 bulan yang berasal dari benih yang diperlakukan dengan penuan dan iradiasi. Bibit dari benih dengan perlakuan penuaan selama 2 hari - iradiasi 5Gy (a), penuaan 0 hari - tanpa iradiasi (b) dan penuaan 0 hari-iradiasi 5Gy (c)
Penggunaan iradiasi sinar gamma untuk pemuliaan mutasi tanaman hutan telah dilakukan pada jenis jati malabar pada tingkat kalus (invitro) dosis 2.5 – 30 Gy. Perlakuan 8
Aspek Perbenihan
mampu meningkatkan keragaman populasi dasar serta diperolehnya klon yang produktivitasnya lebih tinggi melalui seleksi yang ketat, baik pada tingkat bibit maupun pertumbuhan tanaman melalui uji multi lokasi. Pertumbuhan hingga umur 8 tahun di Muna (jarak tanam 4 x 4 m2) diperoleh rata-rata diameter dan tinggi, masing-masing 32 cm dan 19 meter (lokal Muna, diameter = 16 cm dan tinggi 13.6 meter) (Gambar 4).
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4. Penampilan tegakan jati lokal Muna umur 5 dan 8 tahun (a dan c) dan jati hasil pemuliaan mutasi pada umur yang sama (b dan d) di Muna
V. KESIMPULAN Dosis iradiasi sinar gamma dengan dosis rendah dapat dijadikan sebagai perlakuan benih (seed treatment) yang mampu memperbaiki perkecambahan dan pertumbuhan bibit beberapa jenis tanaman hutan. Bagaimana pun, untuk mencapai hasil tersebut sangat penting untuk menseting ambang batas hormetik suatu jenis yang juga tergantung dari tipe jaringan yang diiradiasi dan jumlah kelembaban di dalam jaringan. Radiasi hormesis memberikan kemampuan kepada benih untuk memperbaiki metabolismenya dan meningkatkan viabilitas serta vigor benih dan bibit. Selain itu, iradiasi juga mampu menciptakan keragaman baru yang sangat penting untuk proses seleksi (pemuliaan mutasi) terhadap individu-individu tanaman dengan karakter-karakter yang diinginkan yang mampu meningkatkan produktivitas hutan. DAFTAR PUSTAKA Abdel-Hady, M.S., Okasha, E.M., Soliman, S.S.A., and Tallat, M. 2008. Effect of gamma radiation and gibberellic acid on germination and alkaloid production in Atropa belladonna L. Australian Journal of Basic and Applied Sciences 2:401-405.
9
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Ahlowalia, B.S. and M. Maluszynski. 2001. Induced mutation-A new paradigm in plant breeding. Euphytica 118:167-173. Akshatha, Chandrashekar, K.R., Somashekarappa, H.M., and Souframanien, J. 2013. Effect of gamma irradiation on germination, growth, and biochemical parameters of Terminalia arjunaRoxb. Radiat Prot Environ 36:38-44. Amjad, M. and Akbar, A. 2003. Effect of post-irradiation storage on the radiation-induced damage in onion seeds. Asian Journal of Plant Science 2(9):702-707. Andress, E.L., Delaplane, K.S., and Schuler, G.A. 1994. Food Irradiation. Fact sheet HE 8467 (Institute of Food and Agricultural Sciences University of Florida, USA). Bhargava, Y. and Khalatkar, A. 2004. Improve performance of Tectona grandisseeds with gamma irradiation. Acta Hortic.215:51-54. Chan, Y.K. and Lam, P.F. 2002. Irradiation-induced mutations in papaya with special emphasis on papaya ringspot resistance and delayed fruit ripening. Working Material – Improvement of tropical and subtropical fruit trees through induced mutations and biotechnology. IAEA, Vienna, Austria. pp 35 – 45. De Micco, V., C. Arena. D. Pignalosa, and M. Durante. 2011. Effects of sparsely and densely ionizing radiation on plants. Radiat. Environ. Biophys. 50:1-19. Emovon, E.U. 1996. Keynote Address: Symposium Irradiation for National Development (Shelda Science and Technology Complex, SHESTCO, Abuja, Nigeria). pp. 156-164. Fan, X., Toivonen, P.M.A., Rajkowski, K.T., and Sokorai, K.J.B. 2003. Warm water treatment in combination with modified atmosphere packaging reduces undesirable effects of irradiation on the quality of fresh-cut iceberg lettuce. Journal of Agricultural and Food Chemistry 51:1231–1236. Gehring, R. 1985. The effect of gamma radiation on Salix nigra Marsh. Cuttings. Arkansas Academy of Science Proceedings, 39:40-43. Gruner, M.M., Horvatic, D., Kujundzic, and Magdalenic, B. 1992. Effect of gamma irradiation on the lipid components of soy protein products. Nahrung, 36: 443-450. Habba, I.E. 1989. Physiological effect of gamma rays on growth and productivity of Hyoscyamus muticus L. and Atropa belladonna L. Ph.D. Thesis, Fac. Agric. Cairo Univ., Cairo, Egypt. 65-73. Hai, L., Diep, T.B., Nagasawa, N., Yoshii, F., andKume, T. 2003. Radiation depolymerization of chitosan to prepare oligomers. Nucl. Instrum. Methods Phys. Res. B, 208: 466–470. Hameed, A., Shah, T.M., Atta, M.B., Haq, M.A., and Sayed, H. 2008. Gamma irradiation effects on seed germination and growth, protein content, peroxidase and protease activity, lipid peroxidation in desi and kabuli chickpea. Pakistan Journal of Botany 40:1033–1041. Handayati, W. 2013. Perkembangan pemuliaan mutasi tanaman hias di Indonesia. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 9 (1): 67- 80. Harahap, F. 2005. Induksi variasi genetik tanaman manggis (Garcinia mangostana) dengan radiasi sinar gamma. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hell, K.G., and Silveira, M. 1974. Imbibition and germination of gamma irradiation Phaseolus vulgaris seeds. Field Crop Abst., 38(6): 300. Hutami, S., Mariska, I., dan Yati Supriati. 2006. Peningkatan keragaman genetik tanaman melalui keragaman somaklonal. Jurnal AgroBiogen 2(2):81-88. 10
Aspek Perbenihan
IAEA. 2009. Induced Mutation in Tropical Fruit Trees. IAEA-TECDOC-1615. Plant Breeding and Genetics Section. International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria. p161. Iglesias-Andreu, L.G., Octavio-Aguilar, P. and Bello-Bello, J. 2012. Current importance and potential use of low doses of gamma radiation in forest species. In Gamma radiation (Adrovic, F., Ed.).InTech Europe. Rijeka, Croatia. p. 265-280. Indrayanti, R., N.A. Mattjik, A. Setiawan, Sudarsono. 2011. Radiosensitivity of banana cv. Ampyang and potential application of gamma irradiation for variant induction. J. Agron. Indonesia 39:112-118. Iqbal, J. 1980. Effects of acute gamma irradiation, developmental stages and cultivar differences on growth and yiel of wheat and sorghum plants. Environmental and Experimental Botany, 20(3):219-231. Ishak. 2012. Agronomic traits, heritability and G x E interaction of upland rice (Oryza sativa L.) mutant lines. J. Agron. Indonesia 40:105-111. Khan M.R., Qureshi, A.S., Syed, A.H. and Ibrahim, M. 2005. Genetic variability induced by gamma irradiation and its modulation with gibberellic acid in M2 generation of Chickpea (Cicer arietinum L.). Pakistan J. Bot.37(2):285-292. Kim, J.; Chung, B.; Kim, J. and Wi, S. 2005). Effects of in planta gamma-irradiation on growth, photosynthesis, and antioxidative capacity of red pepper (Capsicum annuum L.) plants. Journal of Plant Biology, 48(1): 47-56. Kovacs E, and Keresztes A. 2002. Effect of gamma and UV-B/C radiation on plant cell. Micron, 33:199-210. Kovalchuk, I., Molinier, J., Yao, Y., Arkhipov, A., andKovalchuk, O. 2007. Transcriptome analysis reveals fundamental differences in plant response to acute and chronic exposure to ionizing radiation. Mutation Research 624:101–113. Kumar, G. and Singh, Y. 2010. Induced intergenomic chromosomal rearrangements in Sesamum indicum L. CYTOLOGIA, 75 (2):157-162. Kumari, R. and Singh, Y. 1996. Effect of gamma rays and EMS on seed germination and plant survival ofPisum sativum L., andLens culinaris.Med. Neo Botanica, 4(1): 25-29. Kuzin, A.M., Vagabova, M.E., and Revin, A.F. 1976. Molecular mechanisms of the stimulating action of ionizing radiation on seeds. 2. Activation of protein and high molecular RNA synthesis. Radiobiologiya, 16: 259-261. Kuzin, A.M., Vagabova, M.E., and Prinak-Mirolyubov, V.N. 1975. Molecular mechanisms of the stimulating effect of ionizing radiation on seed. Activation of RNA synthesis. Radiobiologiya., 15: 747-750. Kuzin, A.M. 1997. Natural atomic radiation and pehnomenon of life. Bulletin of Experimental Biology and Medicine 123:313–315. Luckey, T. 2003. Radiation hormesis overview. RSO Magazine 4:19–36. Luckey, T. 1998. Radiation hormesis: Biopositive effect of radiation. Radiation Science and Health.CRC press. Boca Raton, FLO, USA. Marcu, D., Cristea, V., and L. Daraban. 2012. Dose-dependent effects of gamma radiation on lettuce (Lactuca sativa var. capitata) seedlings. International Journal of Radiation Biology, 1–5. Melki, M., and Morouani, A. 2009. Effects of gamma rays irradiation on seed germination and growth of hard wheat. Environ Chem Lett. 8:307-310. 11
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Piri, I., Babayan, M., Tavassoli, A. and Javaheri, M. 2011. The use of gamma irradiation in agriculture. African Journal of Microbiology Research 5(32): 5806-5811. Poster, B.P., and Shu, Q.Y. 2012. Plant Mutagenesis in Crop Improvement: Basic Terms and Applications. In Plant Mutation Breeding and Biotechnology (Shu, Q.Y., Poster, B.P. and Nakagawa, Eds.). Joint FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria. Qosim, W.A. 2006. studi Irradiasi Sinar Gamma Pada Kultur Kalus Nodular Manggis Untuk Meningkatkan Keragaman Genetik Dan Morfologi Regeneran. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Relleve, L., Nagasawa, N., Luan, L.Q., Yagi, T., Aranilla, C.,and Abad, L. 2005. Degradation of carrageenan by radiation. Polymer Degradation and Stability, 87: 403–410. Rombo, G.O., Taylor, J.R.N., and Minnaar, A. 2004. Irradiation of maize and bean flours: Effects on starch physicochemical properties. J. Sci. Food Agric., 84: 350–356. Santosa, E., Pramono, S., Mine Y., and N. Sugiyama. 2014. Gamma Irradiation on Growth and Development of Amorphophallus muelleri Blume. J. Agron. Indonesia 42 (2) : 118-123. Shu, Q.Y. 2013. Plant Mutation Breeding. Joint FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria. Singh, N. K. and Balyan H. S. 2009 Induced mutations in bread wheat (Triticum aestivum L.) CV. ”Kharchia 65” for reduced plant height and improve grain quality traits. Advances in Biological Research, 3(5-6):215-221. Sjodin, J. 1962. Some observations in X1 and X2 of Vicia faba L. after treatment with different mutagens. Hereditas 48:565–573. Sjodin J. 1962. Some observations in X1 and X2 of Vicia faba L. after treatment with different mutagens. Hereditas 48:565–573. Sobir dan Poerwanto, R. 2007. Mangosteen genetic and improvement. Intl J Pl Breed 1(2): 105111. Sobrizal. 2007. Rice mutation on candidate of restorer mutant lines. J. Agron. Indonesia 35:7580. Soeranto, H. dan Sihono. 2010. Sorghum breeding for improved drought tolerance using induced mutation with gamma irradiation. J. Agron. Indonesia 38:95-99. Sokolov, M., Isayenkov, S. and Sorochynskyi, B. 1998. Low-dose irradiation can modify viability characteritics of common pine (Pinus sylvestris) seeds. Tsitologiya Genetika, 32(4):65-71. Sparrow, A. and Woodwell, G. (1962). Prediction of the sensitivity of plants to chronic gammairradiation. Radiation Botany, 2(1): 9-12. Surya, M.I. dan Soeranto R. (2006). Pengaruh Irradiasi Sinar Gamma terhadap Pertumbuhan Sorgum manis (Sorghum bicolor L.). Risalah Seminar Ilmiah Aplikasi lsotop dan Radiasi, Pp206-215. Toker C., B. Uzen, H. Canci and F.O. Ceylan. 2005. Effects of gamma irradiation on the shoot length of Cicer seeds.Radiation Physics and Chemistry.73:365-367. Vaiserman, A. (2010). Hormesis, adaptive epigenetic reorganization, and implications for human health and longevity. Dose Response, 8(1):16–21. Van Harten, A.M. 1998. Mutation Breeding. Theory and Practical Aplication. Press Syndicate of the Univ. of Cambridge. UK. WHO (World Health Organization). 1988. Food irradiation: A technique for preserving and improving the safety of food (WHO Publication in Collaboration with FAO). pp. 144-149. 12
Aspek Perbenihan
Zaka, R., Chenal, C., andMisset, M.T. 2004. Effect of low doses of short-term gamma irradiation on growth and development through two generation of Pisum sativum. Science of the Total Environment 320:121–129. Zanzibar, M dan Witjaksono. 2011. Pengaruh Penuaan dan Iradiasi Benih dengan Sinar Gamma (60C) Terhadap Pertumbuhan Bibit Suren (Toona sureni Blume Merr). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 8 (2):89-95. Zanzibar, M. and Sudrajat, D.J. 2015. Effect of Gamma Irradiation on Seed Germination, Storage, and Seedling Growth of Magnolia champaca (L.) Baill. ex Pierre. Belum dipublikasikan. Zanzibar, M., Sudrajat, D.J., Putra, P.G., dan Supardi, E. 2008. Teknik Invigorasi Benih Tanaman Hutan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor.
13
Aspek Perbenihan
TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT UNTUK MEMENUHI STANDAR BENIH DAN BIBIT BERSERTIFIKAT Dede J. Sudrajat, Nurhasybi dan Yulianti Bramasto Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK Sertifikasi mutu benih dan bibit merupakan suatu sistem pengendalian mutu benih dan bibit yang bertujuan untuk melindungi produsen/pengada, pengedar dan pengguna benih dan bibit. Sertifikasi mutu benih dan bibit di Indonesia dijalankan dengan menggunakan beberapa standar pengujian dan standar mutu yang merupakan perangkat/metode uji dan persyaratan lulus uji. Secara operasional, standar pengujian dan mutu benih dan bibit ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan). Standar uji dan mutu benih dan bibit untuk beberapa jenis tanaman hutan juga telah menjadi SNI, dan telah menjadi acuan khususnya bagi laboratorium-laboratorium yang telah terakredisasi KAN. Tentunya, teknologi yang tepat sangat diperlukan untuk memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dalam standar mutu benih dan bibit. Untuk sebagian jenis, SNI penanganan benih tanaman hutan dapat dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan mutu benih dan bibit dan memenuhi ketentuan dalam standar mutu benih dan bibit. Kata kunci: benih, bibit, penanganan, sertifikasi, standar
I. PENDAHULUAN Kegiatan eksploitasi yang berlebihan, kebakaran hutan, dan perambahan hutan telah mengakibatkan semakin terdegradasinya kawasan hutan. Laju degradasi hutan tersebut belum mampu diimbangi dengan regenerasi alami maupun rehabilitasi melalui kegiatan penanaman. Hal ini berdampak pada makin luasnya lahan kritis. Menurut data Depertemen Kehutanan (2014) diperkirakan hingga tahun 2011 luas lahan kritis mencapai ±27,29 juta hektar. Luasan tersebut terdiri dari 5,27 juta ha lahan sangat kritis dan 22,02 juta lahan kritis. Luas lahan kritis ini sebenarnya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2005 yang mencapai ±30,19 juta hektar. Hal ini menunjukkan bahwa upaya rehabilitasi lahan kritis tersebut terus dilakukan meskipun hasilnya belum optimal. Kegiatan rehabilitasi dan reboisasi lahan tersebut memerlukan dukungan ketersediaan benih dan bibit yang bermutu. Mutu benih didefinisikan sebagai ukuran karakter-karakter atau atribut-atribut yang akan menentukan performa benih ketika ditabur atau disimpan. Definisi tersebut mempunyai multi konsep yang menekankan pada attribut fisik, fisiologi, genetik, fatologi dan entomologi yang mempengaruhi performa kelompok benih. Dengan kata lain, mutu benih diartikan sebagai derajat dimana mana benih tersebut bisa hidup, aktif bermetabolisme dan memiliki enzimenzim yang mampu mengkatalis reaksi-reaksi metabolime yang diperlukan untuk perkecambahan dan pertumbuhan semai. Mutu benih juga bisa dicerminkan dari penampilan fisik benih (kadar air, kemurnian dan berat benih) dan fisiologis (daya berkecambah) yang dijadikan parameter utama pengujian benih dalam rangka sertifikasi mutu benih di Indonesia (Sudrajat dan Nurhasybi, 2009). Benih-benih yang bermutu baik secara fisik dan fisiologis akan mampu tumbuh menjadi bibit yang bermutu. Mutu bibit merupakan ekspresi yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan bibit untuk beradaptasi dan tumbuh setelah penanaman. Kriteria mutu bibit sangat terkait dengan jenis dan lingkungan tempat tumbuhnya (ekologi), sehingga tidak dapat diadopsi secara 15
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
langsung dari berbagai jenis yang berbeda atau dari berbagai wilayah yang lain. Bibit bermutu merupakan bibit yang mampu beradaptasi dan tumbuh baik ketika ditanam pada suatu tapak yang sesuai dengan karakteristik jenisnya (Mattson, 1996; Wilson dan Jacobs, 2005). Makin banyaknya permintaan bibit tanaman hutan untuk kegiatan penanaman perlu didukung standar mutu bibit (nursery stock standard) sebagai perangkat pengendalian mutu bibit yang beredar (ANLA, 2004; Jacobs et al., 2005). Di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya, pengendalian mutu benih dan bibit dilakukan melalui sistem sertifikasi mutu yang diatur dalam bentuk peraturan yang dikeluarkan pemerintah (Van der Meer, 2002; Van Gastel et al., 2002; Louwaars, 2005). Sertifikasi mutu benih dan bibit tersebut memerlukan perangkat berupa standar uji dan standar mutu benih dan bibit (Tripp, 1997; Louwaars, 2005) yang secara operasional diatur dalam bentuk Surat Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (sekarang Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung) dan Standar Nasional Indonesia. Untuk memenuhi kriteria parameter yang ditetapkan dalam standar, tentunya teknologi penanganan benih dan bibit yang standar sesuai dengan jenisnya sangat diperlukan (Cicero, 1998; Sudrajat, 2010). Tulisan ini memberikan informasi standar mutu benih dan bibit, serta teknologi penanganannya untuk memenuhi kriteria dalam standar mutu benih dan bibit tersebut. II. SISTEM SERTIFIKASI SEBAGAI SISTEM PENGENDALIAN MUTU BENIH DAN BIBIT A. Sistem Sertifkasi Mutu Benih Berdasarkan ISTA Skema sertifikasi benih ISTA bertujuan untuk mengatur pemberian sertifikat ISTA hasil penguji benih. Sertifikat hanya diberikan oleh laboratorium yang menjadi anggota ISTA dan telah diakreditasi sesuai dengan peraturan ISTA. Sertifikat ISTA terdiri dari 2 kategori (ISTA, 2011), yaitu: 1) Sertifikat benih internasional warna oranye diterbitkan ketika pengambilan contoh dari kelompok benih dan pengujian contoh dilaksanakan di bawah tanggung jawab suatu laboratorium yang terakreditasi atau ketika pengambilan contoh dari kelompok benih dan pengujian contoh dilaksanakan di bawah tanggung jawab laboratorium terakreditasi yang berbeda. Apabila pengambilan contoh dan pengujian contoh masing-masing dilakukan oleh laboratorium terakreaditasi yang berbeda, maka harus dinyatakan dalam sertifikat. 2) Sertifikat benih internasional warna biru diterbitkan ketika pengambilan contoh dari kelompok benih tidak berada di bawah tanggung jawab suatu laboratorium yang terakreditasi. Laboratorium yang terakreditasi hanya bertanggung jawab pada pengujian contoh yang dikirimkan. Laboratorium tersebut tidak bertanggung jawab dalam kaitan dengan contoh benih dan dengan kelompok benih darimana contoh tersebut berasal. Sertifikat internasional biru menekankan pada laporan hasil pengujian terbatas pada contoh yang diuji sesuai dengan waktu penerimaan contoh. B. Sistem Sertifikasi Mutu Benih Berdasarkan OECD Salah satu sistem pengendalian mutu yang telah lazim digunakan di banyak negara selama puluhan tahun adalah sertifikat benih berdasarkan skema OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) yang didukung oleh pengujian mutu benih berbasis ISTA Rules (ISTA, 1985). Sejak diterapkannya sistem sertifikat benih, volume perdagangan benih secara internasional mengalami peningkatan. Di negara-negara Eropa, keberhasilan sertifikat memacu komersialisasi benih rumput, serta mendorong pengembangan sertifikat pada benih-benih sereal dan tanaman lain. Skema sertifikasi OECD telah diterapkan di semua 16
Aspek Perbenihan
negara anggota OECD ditambah Yugoslavia, Cyprus, Israel, New Zealand, Polandia dan Afrika Selatan. Sertifikat benih juga telah diakui memainkan peranan penting dalam meningkatkan produktifitas pertanian Amerika (Weimortz, 1985). Sistem serifikasi benih OECD menggunakan beberapa klasifikasi sebagai berikut: 1) Materi berasal dari sumber teridentifikasi (source identified materials): Persyaratan yang diperlukan meliputi: a) wilayah dari provenan dimana materi dikumpulkan dan asal usul dari materi (indigenous atau non indigenous) ditentukan dan didaftar oleh institusi yang berwenang, dan b) benih dikumpulkan, diproses dan disimpan, dan tanaman ditumbuhkan dibawah pengawasan institusi yang berwenang. Label benih berwarna kuning. 2) Materi terseleksi (selected materials): memiliki persyaratan yang sama seperti di atas, dan berasal dari materi dasar yang memenuhi persyaratan tertentu, disetujui dan diregister oleh institusi yang berwenang. Penekanan persyaratan khususnya untuk kriteria seleksi, keseragaman, kualitas, isolasi dan asal usul. Label benih berwarna hijau. 3) Materi dari kebun benih yang belum teruji (materials from untested seed orchards): materi berasal dari benih yang diproduksi dari kebun benih yang uji keturunannya belum selesai dilakukan. Label benih berwarna pink. 4) Materi teruji (tested materials): materi berasal dari benih yang diproduksi dari kebun benih yang teruji dari hasil uji keturunan yang telah dilakukan. Label benih berwarna biru. C. Sistem Sertifikasi Mutu Benih di Indonesia Sertifikasi mutu benih telah diatur dalam beberapa peraturan perudang-undangan, seperti: (1) Undang Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, (2) Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman, (3) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P01/Menhut-II/2009 tentang Sistem Perbenihan Tanaman Hutan. Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Menteri tersebut menunjukkan betapa pentingnya perbenihan dalam mewujudkan pertanian, kehutanan dan perkebunan yang maju, efisien, dan tangguh. Ketentuan tentang pengujian mutu diatur dalam pasal 33 dari PP Nomor 44 tahun 1995, sebagai berikut: Untuk memenuhi standar mutu yang ditetapkan, produksi benih bina harus melalui sertifikasi yang meliputi: a. Pemeriksaan terhadap: 1. kebenaran benih sumber atau pohon induk; 2. petanaman dan pertanaman; 3. isolasi tanaman agar tidak terjadi persilangan liar; 4. alat panen dan pengolahan benih; 5. tercampurnya benih. b. Pengujian laboratorium untuk menguji mutu benih yang meliputi mutu genetis, fisiologis dan fisik. c. Pengawasan pemasangan label. Ketentuan tentang sistem sertifikasi untuk benih-benih tanaman hutan diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P01/Menhut-II/2009 pasal 47 yang menyatakan bahwa “Setiap benih atau bibit yang beredar harus jelas kualitasnya yang dibuktikan dengan: sertifikat mutu untuk benih atau bibit yang berasal dari sumber benih bersertifikat; atau surat keterangan pengujian untuk benih dan/atau bibit yang tidak berasal dari sumber benih bersertifikat”. Berdasarkan pasal 48, Sertifikat mutu benih dan bibit diterbitkan oleh Dinas Kabupaten/Kota, Dinas Provinsi, atau Balai, dimana pada pasal 50 dinyatakan bahwa Dinas Kabupaten/Kota dan Dinas Provinsi yang melaksanakan sertifikasi harus memenuhi kriteria dan standar pelaksana sertifikasi yang selanjutnya diatur dalam Lampiran 10 Peraturan Menteri 17
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
tersebut. Lebih lanjut pada pasal 51, dinyatakan bahwa Dinas Kabupaten/Kota melakukan sertifikasi terhadap mutu benih dan/atau bibit yang diproduksi di wilayahnya. Dinas Provinsi melakukan sertifikasi di wilayah Kabupaten/Kota terhadap Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 atau tidak memilih urusan perbenihan tanaman hutan. Balai melakukan sertifikasi di wilayah Provinsi terhadap Provinsi dan Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 atau Kabupaten/Kota tidak memiliki urusan perbenihan tanaman hutan. Hasil pengujian tersebut dikategorikan dalam dua jenis, yaitu Sertifikat Mutu Benih dan Sertifikasi Mutu Bibit. Sertifikat ini diterbitkan apabila benihnya berasal dari sumber benih bersertifikat, dan Surat Keterangan Hasil Pengujian diterbitkan apabila benihnya tidak jelas asal usulnya. III. STANDAR PENGUJIAN DAN STANDAR MUTU BENIH DAN BIBIT A. Standar Pengujian dan Mutu Benih Metode pengujian yang digunakan harus merupakan metode standar yang dipublikasikan secara nasional, regional, maupun internasional. Internasional Seed Testing Association (ISTA) Rules merupakan acuan internasional dalam pengujian benih. Secara umum, ketentuan ISTA masih didominasi oleh jenis-jenis tanaman pertanian dan hotikultura, sedangkan jenis-jenis tanaman hutan khususnya jenis tropis masih sangat terbatas (ISTA, 2013). Padahal peredaran benih tanaman hutan khususnya di Indonesia telah mulai berkembang dan memerlukan pengaturan dan jaminan mutu baik bagi pada pengada, pengedar maupun pengguna. Kondisi tersebut harus dapat diatasi dengan melakukan modifikasi terhadap ketentuan ISTA dengan memasukkan data-data hasil penelitian dan pengujian benih yang memadai untuk dijadikan dasar bagi penyusunan metode pengujian benih di Indonesia. Penyusunan standar metode pengujian dan standar mutu benih telah dilakukan dari mulai tahun 1990-an, namun hingga tahun 2009, jenis yang distandarkan masih sangat terbatas. Pada tahun 2009, Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan bekerjasama dengan Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH) Bogor dan melibatkan seluruh Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) membentuk Kelompoik Kerja Pembuatan Standar Mutu Benih dan Bibit. Hingga tahun 2014, sekitar 80 jenis tanaman hutan telah dibuatkan standar pengujian mutu fisik dan fisiologis dan standar mutu benihnya. Kegiatan Kelompok Kerja tersebut meliputi pengumpulan data hasil sertifikasi mutu benih (2003-2014), eksplorasi benih jenis-jenis yang belum pernah atau belum banyak diuji, tukar menukar benih antar BPTH, pengujian mutu benih, pengumpulan data hasil sertifikasi dan hasil uji, pengolahan data, penyusunan dan pembahasan standar pengujian dan mutu benih. Pada tahun 2014, melalui Pusat Standardisasi dan Lingkungan Hidup dan Badan Standardisasi Nasional, standar mutu benih tersebut telah ditetapkan menjadi Standar Nasional Indonesia, yaitu SNI 7627:2014, Mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan (Lampiran 1). B. Standar Pengujian dan Mutu Bibit Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009 menjadi acuan BPTH dan lembaga sertifikasi lainnya yang ditunjuk dalam kegiatan sertifikasi mutu bibit tanaman hutan. Persyaratan mutu bibit dalam standar tersebut di bagi menjadi syarat umum dan syarat khusus, yaitu: 1. Syarat umum meliputi: a. bibit berbatang tunggal dan lurus b. bibit sehat: terbebas dari serangan hama penyakit dan warna daun normal (tidak menunjukkan kekurangan nutrisi dan tidak mati pucuk)
18
Aspek Perbenihan
c. batang bibit berkayu, diukur dari pangkal batang sampai dengan setinggi 50% dari tinggi bibit. 2. Syarat khusus meliputi: a. tinggi bibit, yang diukur mulai dari pangkal batang sampai pada titik tumbuh teratas b. diameter batang bibit, yang diukur pada pangkal batang c. kekompakan media, yang ditetapkan dengan cara mengangkat satu persatu dari beberapa jumlah contoh bibit d. kekompakan media dibedakan ada 4 yaitu utuh, retak, patah, lepas e. jumlah daun sesuai dengan jenisnya sedangkan untuk jenis tanaman yang berdaun banyak seperti Pinus sp., Paraserianthes sp., parameter yang digunakan adalah Live Crown Ratio (LCR) f. LCR adalah nilai perbandingan tinggi tajuk dan tinggi bibit dalam persen g. umur sesuai dengan jenisnya. Hingga tahun 2009, standar pengujian dan mutu bibit tanaman hutan berdasarkan Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009,baru mencantumkan standar mutu bibit untuk 13 jenis tanaman hutan. Begitu juga dengan SNI mutu bibit yang baru memuat 7 jenis (BSN, 2005). Namun bersamaan dengan kegiatan penyusunan standar mutu benih yang dimulai tahun 2009, hingga tahun 2014, standar mutu bibit telah disusun untuk 76 jenis tanaman hutan (Lampiran 2). Standar tersebut didasarkan pada parameter morfologi bibit siap tanam yang diperoleh dari beberapa kegiatan, yaitu: 1). data hasil sertifikasi mutu bibit (2003-2014), 3). pengujian mutu bibit di BPTH, Badan Litbang dan Inovasi, Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Perguruan Tinggi, dan 3). hasil uji lapang penanaman berdasarkan klasifikasi morfologi bibit (masih terbatas pada beberapa jenis tanaman hutan). Standar ini disusun dengan mempertimbangkan kondisi bibit siap tanam yang beredar di tingkat pengada, pengedar dan pengguna sehingga standar ini terjangkau oleh pengada/pengedar benih, mampu menjamin mutu bibit yang diterima pengguna, dan akhirnya mampu meningkatkan mutu bibit yang beredar. IV. TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT UNTUK MEMENUHI STANDAR YANG BERLAKU A. Teknologi Penanganan Benih 1. Pengumpulan buah Pengumpulan buah dilakukan pada areal sumber benih dengan cara perontokan, pemetikan dan pengumpulan buah di lantai hutan dengan mempertimbangkan kondisi pembuahan dan indikator kemasakan. Apabila sumber benih untuk suatu jenis belum tersedia, beberapa lokasi lain dapat dipertimbangkan seperti hutan alam, hutan rakyat dan hutan tanaman lainnya yang dikumpulkan dari minimal 25 pohon induk tidak berkerabat. Pengumpulan buah harus dilakukan pada saat puncak musim buah. Indikator kemasakan buah dapat diketahui dengan melihat perubahan warna kulit buah, bau, kelunakan buah, berat jenis, kadar air benih dan jatuhnya buah secara alami. Pengumpulan buah dapat dilakukan dengan perontokan, pemetikan buah, dan pengumpulan buah di lantai hutan. Perontokan buah dilakukan untuk kebanyakan buah atau biji yang berukuran besar dan buah yang mudah rontok serta waktu panen yang singkat. Pemetikan buah dapat dilakukan secara langsung dan menggunakan alat bantu pada pohon yang buahnya tidak terjangkau. Cara ini diaplikasikan pada tipe buah kering pecah (indihischent) seperti buah kapsul (misalnya: eucalyptus, benuang, puspa), buah polong (misalnya: sengon, jelutung, pulai) dan kerucut 19
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
(misalnya: agathis, pinus). Pemetikan pada pohon yang tinggi dilakukan dengan cara pemanjatan. Pengumpulan buah di lantai hutan digunakan untuk buah/benih yang jatuh di bawah pohon dan tidak mudah dimakan pemangsa, tidak mudah tersebar/terbang, tidak cepat berkecambah dan tidak cepat rusak serta berukuran besar. Sebelum pengumpulan buah terlebih dahulu lantai hutan dibersihkan dan dibentangkan alas berupa jaring/terpal sebagai penampung. Pengumpulan dilakukan segera setelah buah jatuh dan sebelum buah terbuka, rusak atau berkecambah (Schmidt, 2002). Penyimpanan sementara dilakukan jika pengumpulan buah berjangka waktu panjang serta lokasi pengunduhan yang cukup jauh dari tempat penanganan. Kegiatan yang dilakukan di lokasi penyimpanan sementara adalah pengurangan campuran selain buah/benih, pengendalian kemunduran (deteriorasi) misalnya: memisahkan buah yang telah berjamur, buah yang telah terfermentasi dan yang telah berkecambah. Lingkungan tempat penyimpanan sementara harus memiliki sirkulasi udara yang baik, terjaga dari organisme pengganggu, terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung (di bawah naungan/atap). Pengangkutan buah jenis rekalsitran, harus segera dilakukan setelah pengumpulan buah. Wadah angkut buah selama pengangkutan menggunakan wadah yang berpori (misalnya: karung goni atau keranjang). Setiap wadah angkut buah diberi label yang tidak mudah rusak dan berisi informasi: jenis tanaman, kelas dan lokasi sumber benih (letak geografi dan administrasi), jumlah pohon induk (identitas pohon induk jika ada), jumlah/berat buah, tanggal pengunduhan, dan nama pengunduh. 2. Penanganan benih Penanganan benih dilakukan untuk memperoleh benih bersih dan murni dengan kualitas fisik fisiologis yang baik. Benih yang belum mencapai tingkat kemasakan sempurna (kulit buah yang belum matang) diperlukan pemasakan buatan (pemeraman/curing) (seperti pinus). Benih yang telah masak namun embrionya belum berkembang perlu dilakukan pemasakan lanjutan (after ripening) hingga embrio matang sempurna (seperti mahoni, kesambi, jati). Benih yang tidak memerlukan pemeraman dan pemasakan lanjutan dapat langsung diekstraksi. a. Ekstraksi benih Ekstraksi benih dapat dilakukan dengan metode ekstraksi kering dan ekstraksi basah. Ekstraksi kering dilakukan pada buah yang tidak berdaging, berbentuk polong atau kerucut/bersisik dengan cara manual atau semi mekanis. Ekstraksi kering dilakukan dengan cara: 1). penjemuran pada lantai jemur atau menggunakan alas jemur (terpal), 2). penjemuran di bawah sinar matahari selama 1 – 3 hari, atau dapat menggunakan alat pengering benih (seed dryer) pada suhu 35-38°C selama 12-24 jam, 3). penjemuran/ pemanasan dihentikan ketika buah telah merekah, dan benih mudah untuk dikeluarkan dari buah. Ekstraksi basah dilakukan pada buah berdaging dengan cara manual atau semi mekanis. Ekstraksi basah dilakukan dengan cara: 1). perendaman buah dalam bak berisi air hingga daging buah melunak atau benih mudah dikeluarkan dari buah, 2). kulit buah dikelupas dan kulit benih dibersihkan dari daging buah dengan menggunakan pasir halus atau bahan lainnya pada air yang mengalir, 3). pengeringan permukaan kulit benih dikeringanginkan dalam ruang kamar atau dijemur. b. Pembersihan, seleksi dan sortasi benih Pembersihan benih hasil ekstraksi kering dilakukan dengan cara: ditampi, disaring, direndam-dijemur atau menggunakan penghembus angin (blower). Pembersihan benih hasil ekstraksi basah dilakukan pencucian dengan air. Seleksi benih dilakukan untuk memisahkan 20
Aspek Perbenihan
c.
d.
e.
f.
benih berisi dari benih kosong, kotoran dan benih jenis lain. Sortasi benih dilakukan berdasarkan ukuran benih (berat dan dimensi). Seleksi dan sortasi dapat menggunakan seed gravity table (SGT), saringan dengan ukuran tertentu, teknik pengapungan/perendaman dan blower. Pengeringan benih Pengeringan benih hanya ditujukan untuk benih intermediate dan benih ortodoks.Pengeringan benih intermediate dikeringanginkan pada suhu kamar sampai mencapai kadar air aman untuk penyimpanan (8-12%). Pengeringan benih ortodoks dilakukan secara mekanis atau dijemur sampai mencapai kadar air aman untuk penyimpanan (4-8%). Selama proses pengeringan, sebelum benih mencapai kondisi kadar air aman untuk penyimpanan harus diletakkan pada suhu kamar dengan aerasi/pertukaran udara yang cukup. Pengemasan Wadah pengemasan benih untuk benih rekalsitran menggunakan wadah berpori hingga semi permeabel terhadap uap air dan gas seperti kantong plastik tipis dengan ketebalan 0,1 0,25 mm, karung goni, karung katun, kotak kayu, dan keranjang. Untuk benih intermediate dan ortodoks dapat menggunakan wadah kedap terhadap uap air dan gas seperti kaleng aluminium atau timah, plastik tebal, drum, botol kaca, dan jerigen. Selain itu, bahan pencampur juga digunakan untuk penyimpanan dan pengiriman benih rekalsitran. Bahan pencampur digunakan untuk menjaga kelembaban agar kadar air benih tetap terjaga/tidak terjadi penurunan, mengurangi kerusakan benih, meredam panas serta mengendalikan hama dan penyakit. Bahan pencampur seperti serbuk kayu, serbuk arang, dan serbuk sabut kelapa harus lembab dengan kadar air yang sama dengan kadar air benihnya. Perbandingan volume bahan pencampur dengan benih adalah 2 : 1. Penyimpanan Benih Penyimpanan benih hanya dapat dilakukan pada benih intermediate dan ortodoks, sedangkan benih rekalsitran hanya dapat disimpan sementara (maksimal 4 minggu). Wadah simpan yang digunakam umumnya sama dengan wadah untuk pengemasan pada bagian 4. Ruang simpan benih intermediate dan ruang simpan sementara benih rekalsitran dapat menggunakan ruang simpan suhu kamar dan ruang simpan kering sejuk/air conditioning. Untuk benih-benih ortodoks, ruang simpan benih dapat menggunakan (Schmitd, 2002): - Ruang simpan suhu kamar (suhu 25- 30oC, kelembaban nisbi 70 - 80%). - Ruang simpan kering sejuk/air conditioning (suhu 18-20oC, kelembaban nisbi 70%). - Ruang simpan lembab dingin/cold storage (suhu 4-8oC, kelembaban nisbi 50-60%). - Ruang simpan kering dingin/drycold storage (suhu 4-8oC, kelembaban nisbi 40-50%). - Ruang simpan lemari pendingin/refrigerator (suhu 4-6oC, kelembaban nisbi 40-50%). Untuk benih yang disimpan harus disertai label yang berisi informasi mengenai: jenis tanaman, kelas dan lokasi sumber benih (letak geografi dan administrasi), jumlah pohon induk (identitas pohon induk jika ada), nomor kelompok benih, waktu panen, waktu simpan, waktu pengujian, kadar air, daya berkecambah, dan berat benih. Pengendalian hama dan penyakit Pengendalian hama dan penyakit benih dimulai sejak pengumpulan buah, yaitu pengumpulan buah dilakukan di awal musim panen, pengumpulan buah dari lantai hutan harus menggunakan alas serta menyeleksi kondisi buah serta memisahkan benih dari benih rusak dan kotoran. Pengendalian hama dan penyakit pada saat penyimpanan dilakukan dengan mempertahankan kadar air aman benih dan fumigasi serta pemeriksaan kesehatan benih secara berkala. Fumigasi dilakukan secara berkala minimal 6 bulan sekali pada wadah 21
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
dan ruang simpan. Sterilisasi benih dilakukan sebelum perkecambahan menggunakan antara lain: natrium hipoklorit 1%, ethanol 70% dan pestisida nabati dengan lama perendaman berkisar 5 - 10 menit. B. Teknologi Penanganan Bibit 1. Penaburan benih Benih yang memiliki dormansi diperlukan perlakuan pendahuluan. Benih ditaburkan pada media yang steril, berpori, mengikat air misalnya tanah, pasir, gambut halus, zeolit, serbuk sabut kelapa. Bak tabur untuk benih kecil yang berukuran halus (seperti jabon, ekaliptus, benuang, kayu putih) ditutup plastik transparan hingga keluar sepasang daun. Benih-benih yang berkarakter rekalsitran seperti mimba, kayu bawang, shorea, sebaiknya langsung ditanam di bedeng atau bak penaburan. Kelembaban media perlu dijaga agar tidak terlalu tinggi sehingga bibit aman dari serangan jamur patogen. Untuk itu pastikan bahwa lingkungan media perkecambahan memiliki aerasi yang baik dan pastikan untuk menyiram dengan intensitas yang berlebihan dan secara rutin dilakukan penyemprotan dengan fungisida. 2. Penyapihan Penyapihan dilakukan ketika semai telah memiliki minimal sepasang daun atau tinggi semai telah mencapai 3-5 cm. Penyapihan dilakukan pada kondisi teduh misal pada saat pagi atau sore hari sehingga bibit tidak layu karena panas matahari. Media tabur dibasahi terlebih dahulu. Ambil bibit dengan cara memasukkan ranting kecil ke media di bawah akar bibit kemudian mencungkil media pelan-pelan hingga bibit terangkat. Hindari memegang bibit pada batangnya tetapi peganglah kotiledon atau daunnya. Usahakan akar tertanam lurus dan tidak rusak. Kesalahan umum saat penyapihan yang harus dihindari adalah lubang terlalu dalam (bibit tertanam setengah terkubur), atau lubang terlalu dangkal sehingga tanaman akan mudah mengalami kekeringan, akar tersingkap, atau akar menjadi bengkok. Bibit yang disapih dengan tidak tepat maka sistem perakaran akan terganggu yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang kurang baik, terutama ketika tumbuh di lapangan. 3. Penyiraman Media didalam polibag/wadah yang telah ditumbuhi bibit harus betul-betul tersiram secara menyeluruh, pastikan air membasahi media sampai ke bagian dasarnya. Jadi tujuan penyiraman adalah membasahi media bukan untuk sekedar membasahi daun. Kekuatan semprotan air tidak terlampau keras yang menyebabkan erosi atau kehilangan permukaan media. Penyiraman dilakukan dua kali sehari terutama selama musim panas. Untuk bibit muda dari jenis tertentu yang berukuran kecil, penyiraman dengan menggunakan alat siram yang menghasilkan semprotan air yang halus. Pemberian air yang terlalu banyak dapat merusak tanaman seperti halnya kekurangan air, karena air yang menggenang menyebabkan air memenuhi pori-pori udara yang ada di dalam media dan menyebabkan media memadat sehingga akar tidak bisa bernapas. Penyiraman berlebihan juga mengakibatkan bibit tumbuh cepat namun lemah dan memacu penyebaran jamur dan bakteri patogen. 4. Wiwil dan penyiangan Wiwil atau membuang daun-daun tua, kering, busuk, atau berpenyakit, dilakukan ketika bibit mencapai ketinggian atau umur tertentu misal pada jati ketika bibit berketinggian ±20 cm. Wiwil berfungsi untuk memperbaiki sirkulasi udara, mencegah berkembang dan menularnya hama penyakit. Penyiangan atau pembersihaan gulmaharus rutin dilakukan. Pembersihan gulma sangat penting ketika bibit masih pada awal pertumbuhan, karena gulma biasanya lebih
22
Aspek Perbenihan
kuat dan tumbuh lebih cepat daripada bibit dan menjadi kompetitor bibit dalam memperoleh air, hara dan ruang tumbuh. 5. Pemangkasan akar dan penjarangan bibit Pemangkasan akar adalah pemotongan akar untuk mengendalikan pengembangan sistem akar di luar pot semai. Pemangkasan akar secara rutin perlu dilakukan karena ketika bibit telah mencapai ukuran tertentu akarnya akan tumbuh menjadi lebih panjang dari ukuran pot semai dan menembus ke dalam tanah. Untuk pelaksanaan pemangkasan akar, bibit disiram terlebih dulu, kemudian potong setiap akar yang tumbuh menembus ke dalam. Pemangkasan hendaknya dilakukan pada pagi atau sore hari atau pada saat hari berawan. Untuk menghindari kelayuan bibit, siram kembali bibit setelah pemangkasan. Pertumbuhan akar di bawah semai juga dapat dihambat dengan meletakkan bibit pada rak, lembaran plastik atau lantai semen. Seiring dengan pertumbuhan bibit maka daun dan tunas muda akan menjadi berdesak-desakan sehingga sebagian bibit tidak cukup menerima sinar matahari yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Sebelum hal ini terjadi, bibit-bibit yang berada di bedeng semai harus dijarangkan. Jarak tidak hanya membantu bibit untuk menerima sinar matahari yang cukup, tetapi juga memudahkan pemantauan bibit yang terserang hama dan penyakit. 6. Pencegahan dan pengendalian hama penyakit Pada tingkat bibit, tanaman lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit (biotik) dan juga kerusakan karena kondisi cuaca (abiotik), sehingga perlu diantisipasi sedini mungkin. Hama yang sering merusak bibit adalah serangga (belalang, ngengat, semut) dan ulat, sedangkan penyakit di antaranya adalah jamur, bakteri, virus dan cacing. Insektisida sistemik atau nabati dapat digunakan untuk mengendalikan serangan hama. Penyakit yang menyerang bibit antara lain adalah rebah semai (dumping off), embun tepung (powdery mildew), bercak daun (leaf spot), layu (wilt), dan mati pucuk (die back). Sterilisasi media, air penyiraman yang bersih, penaburan yang tidak terlalu padat, pemberian fungisida secara teratur 2 atau 4 minggu sekali, pengaturan intensitas cahaya, dan menjaga kelembaban media tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah dapat menghindari serangan jamur seperti lodoh (Departemen Kehutanan, 2004). 7. Pemupukan Pemupukan dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan bibit secara optimal. Sebelum dilakukan pemupukan, perlu adanya analisis kesuburan media. Pemupukan dilakukan secara tepat dan tidak berlebihan. Dosis pupuk yang berlebihan akan menyebabkan pertumbuhan tidak seimbang (terlalu cepat namun bibit mudah patah, mudah layu, dan rasio pucuk akar tidak seimbang), pertumbuhan tanaman terganggu karena pupuk yang berlebihan akan bersifat toksik dan juga mengganggu pertumbuhan mikroorganisme dalam media yang bermanfaat seperti mikoriza. Pupuk yang paling umum adalah NPK. Pupuk dapat dilarutkan dalam air dengan mencampurkan satu sendok pupuk dalam 10 liter air dapat diterapkan untuk penyiraman. Pemberian pupuk sintetik/kimiawi mungkin tidak diperlukan jika media persemaian telah berisi nutrisi yang mencukupi untuk mendukung pertumbuhan bibit, seperti telah mengandung campuran kompos atau pupuk kandang yang memadai untuk pertumbuhan bibit. 8. Seleksi dan aklimatisasi (hardening off) Seleksi bibit bertujuan untuk menyortir bibit yang menunjukkan gejala terserang hama atau penyakit, memiliki pertumbuhan yang tertekan, memiliki batang utama bercabang, bengkok, mati atau patah, sehingga bibit siap tanam memiliki penampilan yang relatif seragam. Bibit siap tanam dipisahkan dan dikelompok dan sebelum didistribusikan ke lapangan, terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi (Sudrajat et al., 2010). 23
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Aklimatisasi bertujuan untuk mempersiapkan bibit agar dapat beradaptasi pada kondisi lapangan penanaman. Aklimatisasi dilakukan dengan cara meningkatkan cahaya yang diterima oleh bibit, peningkatan jarak antar bibit dan mengurangi penyiraman (hardening off). Pada saat hardening off, bibit masih berada di bawah naungan namun intensitas cahaya ditingkatkan dengan membuka sebagian shading net sehingga cahaya yang diterima bibit meningkat. Dalam kondisi demikian, bibit mengalami proses pengayuan (lignifikasi) sehingga lebih kuat. Untuk jenis-jenis toleran yang pertumbuhannya lebih baik bila berada di bawah naungan, bibit yang dipindahkan langsung ke areal persemaian terbuka kemungkinan pertumbuhannya kurang optimal, dengan demikian naungan ringan masih diperlukan. Aklimatisasi bibit dilakukan secara bertahap dengan mengurangi naungan dan frekuensi penyiraman. Aklimatisasi dilakukan 2 - 3 minggu sebelum waktu tanam. V. KENDALA APLIKASI STANDAR MUTU BENIH DAN BIBIT Hingga saat ini belum seluruh stakeholder yang berkaitan dengan kegiatan perbenihan menggunakan standar mutu benih dan bibit yang telah disusun (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Terdapat beberapa kendala yang cukup sering ditemui dalam penerapan standar mutu ini, di antaranya karena masih terbatasnya lembaga sertifikasi serta SDM dan sarana prasarana yang belum memadai. Keberadaan lembaga penguji sebaiknya ada di setiap kabupaten atau setidaknya pada tingkat provinsi, sehingga mudah dijangkau oleh produsen/pengada benih yang akan mengujikan sampelnya. Hal ini terutama menjadi kendala apabila contoh benih yang akan diuji adalah kelompok benih rekalsitran. Selain itu adanya kebutuhan lapangan yang belum terakomodir di dalam standar mutu yang telah disusun. Sebagai contoh saat ini standar mutu bibit siap tanam yang telah disusun adalah bibit yang akan ditanam pada hutan tanaman yaitu bibit yang berukuran 30-50 cm, akan tetapi banyak produsen/pengada menyadiakan bibit untuk kebutuhan lain, misalnya untuk hutan kota yang ukuran bibit yang dibutuhkan lebih dari 1 m. Oleh karena itu untuk mengakomodir kebutuhan tersebut perlu adanya perbaikan terhadap standar mutu benih ataupun bibit, atau menyusun standard khusus untuk bibit yang diperuntukan hutan kota yang umumnya telah berukuran besar. VI. PENUTUP Standar mutu benih dan bibit merupakan perangkat pengendali yang berupa nilai parameter mutu benih dan bibit yang menjadi acuan bagi hasil pengujian. Efisiensi pengendalian ini harus didukung dengan perbaikan sistem produksi dan penanganan benih dan bibit. Konsekuensinya serangkaian teknologi penanganan benih dan bibit dan prosedur administrasi (dokumentasi benih dan bibit) harus diadopsi dan tidak ada kompromi dalam penerapannya sehingga tujuan pengendalian tersebut dapat tercapai. Selain itu, upaya lain untuk mendukung sistem pengendalian mutu ini dapat ditempuh dengan meningkatkan sistem manajemen mutu internal pada tingkat produser/pengada benih dan bibit. DAFTAR PUSTAKA ANLA (American Nursery & Landscape Association). 2004. American Standard for Nursery Stock. American Nursery & Landscape Association, Washington, USA. BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2005. Mutu Bibit (Mangium, Ampupu, Gmelina, Sengon, Tusam, Meranti, dan Tengkawang). Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. 13p. 24
Aspek Perbenihan
BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2014. SNI 7627:2014, Mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2014. SNI 7627:2014, Mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Cicero, S.M. 1998. Establishment of qeed quality control program. Sci. Agric., Piracicaba, 55(Número Especial). p.34-38. Departemen Kehutanan. 2004. Teknik pembibitan dan konservasi tanah. Buku I. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2014. Statistik kehutanan Indonesia 2013. Departemen Kehutanan. Jakarta ISTA (International Seed Testing Association). 1985. International Rules for Seed Testing. Switzerland. ISTA (International Seed Testing Association). 2011. International Rules for Seed Testing. Switzerland. ISTA (International Seed Testing Association). 2013. International Rules for Seed Testing. Switzerland. Jacobs, D.F., E.S. Garnider, K.F. Salifu, R.P. Overton, G. Hernandes, M.E. Corbin, K.E. Wightman, and M.F. Selig. 2005. Seedling quality standards for bottomland hardwood qfforestation in the lower Mississippi River Aluvial Valley: Preliminary results. USDA Forest Service Proceedings RMRS-P-35. pp. 9-16. Louwaars, N. 2005. Biases and bottlenecks, time to reform the south’s and inherited seed laws? Seedling July 2005. University of Wegeningen. pp 4-9. Mattson, A. 1996. Predicting Field Performance Using Seedling Quality Assessment. New Forests. 13:223-248. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.06/V-Set/2009 tentang Pedoman Pengujian Mutu Fisik-Fisiologis Benih Tanaman Hutan. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.05/V-Set/2009 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mutu Bibit Tanaman Hutan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan. Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1995 tentang Perbenihan tanaman Schmidt, L. 2002. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis. Terjemahan. Kerjasama Direktorat Jenderal Rehabiltasi Lahan dan Perhutanan Sosial dengan Indonesia Forest Seed Project. Jakarta. Sudrajat, D.J. 2010. Kajian standar mutu fisik dan fisiologi benih tanaman hutan. Info Benih Vol. 14 No. 2, Desember 2010, hal. 81-87. Sudrajat, D.J. dan Nurhasybi, 2009. Penentuan standar mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan.Info Benih No. 13 (1):147-158. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Sudrajat, D.J., Kurniaty, R., Syamsuwida, D., Nurhasybi, dan Budiman, B. 2010. Kajian standardisasi mutu bibit tanaman hutan di Indonesia. Seri Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan 2010, ISBN 978-979-3539-20-1. Tripp, R. 1997. New seeds and old laws. Intermediate Technology Publications. London. Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. 25
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Van der Meer, C. 2002. Challenges and limitations of the market. Jurnal of New Seeds. 4(1/2): 65-75. Van Gastel, T.J.G., B.R. Gregg, and E.A. Asiedu. 2002. Seed quality control in developing countries. Jurnal of New Seeds. 4(1/2): 65-75. Weimortz, E.D., 1985. An international view of seed certification. In: M.B. Mcdonald, Jr and W.D Pardee (eds.). The Role of seed Certification in the Seed Industry. CSSA Special Publication No.10:25-28. CSSA Inc., Wisconsin, USA. Wilson, B.C. and D.F. Jacobs. 2005. Quality assessment of hardwood seedings. Hardwood Tree Improvement and Regeneration Center, Purdue University. Indiana.
26
Aspek Perbenihan
STUDI AWAL TEKNOLOGI BENIH JENIS-JENIS MAHANG (Macaranga sp.) SEBAGAI JENIS ALTERNATIF PENGHASIL KAYU PULP Nurhasybi dan Tati Suharti Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK Pembangunan hutan tanaman memerlukan input jenis-jenis baru termasuk untuk jenis-jenis yang kayunya dapat dipergunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Jenis-jenis yang sudah lama dipergunakan untuk bahan baku pulp diantaranya Acacia sp. memiliki keterbatasan akibat serangan hama dan penyakit, dan menurunnya kualitas lahan untuk penanaman. Jenis seperti mahang (Macaranga sp.) merupakan jenis alternatif yang potensial untuk dikembangkan.Pengadaan benih bermutu baik memerlukan teknologi penanganan benih yang tepat untuk mendukung program penanaman.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan anatomi benih, kriteria masak buah mahang secara fisiologi, teknik pengujian mutu benih, kadar air benih kritis, dan hama dan penyakit yang terbawa benih. Buah mahang masak fisiologi ditandai oleh warna kulit buah hijau hingga hijau kecoklatan dan kulit benih berwarna hitam dan keras. Pemanenan buah harus dilakukan tepat waktu agar benih tidak terlepas dari buahnya dan tersebar. Benih mahang dibungkus oleh lapisan luar (eksodermis) yang tipis dan lebih mudah terkelupas, sedangkan bagian dalam (endodermis) memiliki lapisan yang keras yang melindungi struktur bagian dalam benih. Struktur benih mahang memperlihatkan posisi titik tumbuh yang memiliki radikal dan plumula, dikelilingi oleh kotiledon sebagai cadangan makanan, tetapi secara morfologi dari luar tidak terlihat secara pasti posisi titik tumbuh berada, sehingga dalam penaburan benih ke media tabur dapat dilakukan dengan arah penempatan posisi benih yang bebas. Benih mahang memiliki karakter semi rekalsitran dengan kadar air awal lebih dari 20% dengan kadar air kritis bervariasi 9-12% dan daya berkecambah 30-40%. Benih jenis ini memiliki kulit yang keras sehingga dapat mempertahankan kadar air dan viabilitasnya dengan baik. Benih mahang terbungkus dalam buah yang mempunyai 4 bagian (lokus). Tipe kecambah mahang adalah epigeal sehingga dalam penaburannya posisi benih harus dekat dengan permukaan media tabur. Pengukuran kadar air benih dapat dilakukan dengan metoda oven temperatur tetap pada temperatur 103+2°C selama 16, 18, 20, 22, 24 jam dan 130°C selama 1, 2, 3, 4 jam. Cendawan yang banyak ditemukan pada benih mahang adalah Aspergillus sp., Penicillium sp. dan Rhizopus sp. yang merupakan cendawan gudang. Sedangkan cendawan Fusarium, Botryodiplodia, Curvularia, Cylindrocladium dan Pythium yang merupakan cendawan lapang ditemukan dalam jumlah kecil. Kata kunci: hutan tanaman, jenis alternatif, mahang, penanganan benih, pulp I. PENDAHULUAN
Pembangunan hutan tanaman yang dicirikan oleh kepentingan ekonomi dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia terhadap kayu untuk memenuhi berbagai keperluan terus meningkat, tidak terkecuali kebutuhan terhadap kayu serat. Kebutuhan kayu yang sangat besar untuk industri padat modal dengan jumlah pembiayaan triyulan atau ribuan milyard rupiah diinvestasikan untuk membangun hutan tanaman kayu serat serta industrinya untuk memproduksi pulp. Menurut Pasaribu dan Tampubolon (2007) dalam Mindawati (2009), sebagian besar (mencapai 90%) bahan baku pulp dan kertas berasal dari kayu yang memiliki keuntungan karena rendemen yang dihasilkan tinggi, kandungan lignin relatif rendah dan kekuatan pulp dan kertas yang dihasilkan tinggi. Jenis tanaman hutan yang banyak ditanam untuk memproduksi bahan baku pulp dan kertas adalah jenis-jenis Acacia sp., terutama Acacia mangium dan Acacia crassicarpa. Kedua 27
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
jenis Acacia ini ditanam secara monokultur dalam luasan lahan yang sangat besar dengan jumlah kumulatif mencapai jutaan hektar. Kelemahan dari penanaman sistem monokultur mulai terlihat dengan ditemukannya serangan penyakit jamur akar yang banyak menyerang tanaman A. mangium dan mengakibatkan kematian, seringnya terjadi kebakaran, dan menurunnya produktivitas akibat menurunnya kualitas lahan penanaman, sehingga diperlukan alternatif jenis tanaman hutan lain yang mampu memproduksi bahan baku pulp dan kertas. Mahang (Macarangasp.) merupakan jenis-jenis tanaman hutan yang dapat dikembangkan untuk memproduksi bahan baku pulp dan kertas. Mahang tumbuh tersebar di Malaysia dan Indonesia (terutama di Kalimantan dan Sumatera).Macarangasp. termasuk famili Euphorbiaceae. Pohonnya berukuran besar dengan tinggi sampai 40 m dan diameter sampai 85 cm. Batangnya bulat, halus dan berwarna abu-abu kotor, kadang-kadang berbanir meskipun tidak begitu nyata. Jenis ini dapat tumbuh pada ketinggian kurang lebih 1000 m dpl dan merupakan jenis pohon pionir di hutan primer (Rahmanto, 2000).Penyebarannya mulai dari semenanjung Thailand dan Malaysia, Sumatera, Borneo dan Sulawesi (Sosef et al., 1998). Menurut Heyne (1987), jenis ini terdapat di Sumatera Selatan yaitu terdapat di hutan-hutan sekunder dan di dataran rendah. Macarangasp. merupakan jenis pionir yang mudah tumbuh pada hutan sekunder dan lahan terbuka.Jenis ini beradaptasi pada kondisi ekologi yang beragam dan memiliki adaptasi tinggi untuk tumbuh pada lahan hutan yang terbuka (Davies dan Ashton, 1999). Menurut Heyne (1987) dan Rahmanto (2000), kayunya tidak awet akan tetapi mudah dikerjakan sehingga tanaman ini dapat digunakan untuk kelom-kelom kayu, sarung pisau, gagang pacul, konstruksi sementara dan secara khusus pada bagian rumah yang tidak kontak dengan tanah dan juga baik untuk dibuat papan, kotak, alat-alat pelampung, peti kemas, korek api, dan kayu bakar. Perluasan penanaman jenis mahang memerlukan penelitian penanganan benihnya setelah dipanen sesuai dengan karakteristik benihnya. Beberapa faktor yang perlu diketahui antara lain meliputi kriteria masak fisiologis buah, pengujian mutu benih, kadar air benih kritis, dan inventarisasi hama dan penyakit benih serta pencegahannya. II. METODOLOGI A. Lokasi Penelitian Pengumpulan benih mahang dilaksanakan di Kuok, Riau.Pengujian mutu benih dilaksanakan di laboratorium Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH) di Bogor. B. Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah benih jenis-jenis mahang (Macarangasp.) yang meliputi benih mahang besar (Macaranga gigantea) dan mahang kecil (Macaranga hypoleuca), alkohol, media perkecambahan, benomil,dan aquades.Alat yang digunakan terdiri dari oven, bak kecambah, sprayer, gelas piala, petridish, oven, sprayer, saringan, kaliper,thermohygrometer, lux meter, mikroskop, laminar air flow dan autoclave. C. Prosedur 1. Penentuan tingkat kemasakan benih meliputi: (a) pengamatan struktur anatomi buah dan biji/benih,(b) kadar air benih,dan (c) perkecambahan. Pengamatan struktur dilakukan dengan membelah benih searah longitudinal dan melihat perkembangan struktur buah dan benih (kotiledon/endosperm, radikal, plumula). Benih dari berbagai tingkat kemasakan yang dicirikan oleh warna buah sebagai indikator yang mudah diaplikasikan di lapangan diukur 28
Aspek Perbenihan
kadar air benihnya menggunakan metoda oven temperatur tetap (103+2°C) selama + 17 jam (ISTA, 2006), dan diuji daya berkecambahnya. 2. Pengujian mutu benih pada buah yang telah masak secara fisiologi, meliputi: (a) analisa kemurnian, (b) volume benih, (c) penentuan metoda pengukuran kadar air, (d) penentuan berat 1000 butir, dan (e) penentuan metoda uji viabilitas benih. Analisa kemurnian dilakukan sebanyak 3 ulangan @ 25 gram. Benih yang telah melalui analisa kemurnian dimasukkan ke dalam gelas ukur untuk mengetahui volume dan jumlah benihnya. Penentuan metoda pengukuran kadar air dilakukan dengan metoda oven temperatur tetap sebanyak 3 ulangan @ 5 gram pada temperatur 103+2°C selama 16, 18, 20, 22, 24 jam dan 130°C selama 1, 2, 3, 4 jam (ISTA, 2006). 3. Penentuan kadar air benih kritis: (a) pengeringan pada berbagai tahapan, dan (b) penyimpanan pada tingkat kadar air tertentu. Benih dikeringkan dengan cara dianginanginkan di ruang kamar selama 0, 1, 2, 3, 4, 5 hari dan diukur kadar airnya sebanyak 3 ulangan @5 gram pada setiap tahap pengeringan dengan metoda oven dan diuji perkecambahannya sebanyak 4 ulangan @50 butir menggunakan media campuran pasir + tanah (1 : 1 v/v) di rumah kaca. 4. Identifikasi hama dan penyakit benih: (a) pengujian kadar air, (b) pengujian perkecambahan, (c) identifikasi serangga dan pathogen pada benih, (d) pengendalian hama benih, (e) pengendalian penyakit benih. Prosedur yang dilaksanakan meliputi: a. Kegiatan identifikasi serangga dan patogen pada benih untuk mengidentifikasi serangga internal, benih yang berasal dari lapangan disimpan di dalam wadah tertutup. Apabila ditemukan serangga, selanjutnya serangga tersebut dimasukkan ke dalam larutan alkohol 70%. Sampel yang digunakan yaitu sebanyak 1000 benih untuk masing-masing lokasi. Serangga yang diperoleh diidentifikasi menggunakan mikroskop stereo dengan cara membandingkan morfologi serangga yang ditemukan dengan buku kunci identifikasi Coleoptera (Booth et al., 1990) dan buku identifikasi serangga (Borror et al., 1989). Untuk mengidentifikasi cendawan terbawa benih, benih sebanyak 400 butir (4 ulangan @ 100 butir)dari masing-masing sampel didisinfeksidengan menggunakan larutan sodium hipoklorit 1% selama 5 menit. Benih kemudian diletakkan pada media kertas merang lembab sebanyak 3 lembar. Cawan petri yang berisi benih diinkubasi selama 7 hari dengan kondisi penyinaran 12 jam terang dan 12 jam secara bergantian. Pada hari ke-8 cendawan diidentifikasi dengan membandingkan bentuk, pertumbuhan, warna dan mikroskopisnya dengan buku kunci determinasi cendawan imperfect (Barnet and Hunted, 1998). Kemudian diamati jenis hama dan penyakit, serta persentase infeksinya. Respon yang diamati adalah daya berkecambah benih, jenis cendawan, dan persentase serangan/infeksi. b. Teknik pengendalian penyakit benih Teknik pengendalian penyakit benih menggunakan beberapa perlakuan yaitu: (1) benih diberi benomil kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik tertutup dan disimpan di lemari es, (2) benih diberi kunyit bubuk, kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik tertutup dan disimpan di lemari es, (3) benih dimasukkan ke dalam wadah plastik tertutup dan disimpan di lemari es, dan (4) benih dimasukkan ke dalam wadah plastik tertutup dan disimpan di ruang kamar. Sedangkan periode simpannya menggunakan waktu 0, 1, 2 dan 3 bulan. Respon yang diamati adalah jenis cendawan pada benih, persentase infeksinya, daya berkecambah dan kadar air benih.
29
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
D. Analisa Data Rancangan penelitian menggunakan: (1) metoda Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan (2) RAL pola faktorial sesuai faktor dan interaksi yang terjadi dalam penelitian. Analisis data dilakukan untuk melihat faktor yang berperan terhadap mutu benih dalam penanganan dengan program SPSS. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Jenis mahang menyebar pada kondisi lahan hutan primer yang memiliki celah (gap) yang terbuka akibat proses alami atau gangguan anthropogenik (kegiatan manusia). Jenis pionir seperti juga mahang merupakan jenis yang memerlukan cahaya untuk tumbuh dan berkembang. Kondisi tanah bervariasi seperti ditunjukkan pada tanah yang dianalisa mengandung C (carbon) yang rendah - sedang yaitu 1-3%, kandungan N rendah (0,1-0,2 Kjeldahl, kapasitas tukar kation (KTK) rendah (5-8) dan pH agak masam (5-7). Kandungan unsur makro seperti Ca sedang (4-10), Mg sedang (1-3), K rendah (0,1-0,3) dan Na rendah (0,07-0,20). Kondisi tanah tidak tergolong subur karena kandungan makronya relatif rendah – sedang, dan unsur-unsur lain juga bervariasi mendekati kesamaan. Benih mahang terbungkus dalam buah yang mempunyai 4 bagian (lokus). Benih dibungkus oleh dua lapisan luar (eksodermis) yang tipis dan lebih mudah terkelupas, sedangkan bagian dalam (endodermis) memiliki lapisan yang keras yang melindungi struktur bagian dalam benih.
Gambar 1. Buah dan bagian benih mahang yang terbungkus kulit bagian luar
Keterangan gambar: kotiledon endodermis eksodermis
Titik tumbuh (radikal dan plumba) Gambar 2. Struktur benih mahang yang memperlihatkan titik tumbuh (radikal dan plumula)
30
Aspek Perbenihan
Struktur benih mahang memperlihatkan posisi titik tumbuh yang memiliki radikal dan plumula, dikelilingi oleh kotiledon sebagai cadangan makanan, tetapi secara morfologi dari luar tidak terlihat secara pasti posisi titik tumbuh berada. Kondisi ini menyebabkan dalam penaburan dapat dilakukan dengan arah penempatan yang bebas. Ciri khusus seperti ini mungkin banyak ditemukan pada benih berukuran kecil, tetapi berbeda pada beberapa benih legume dimana posisi titik tumbuh pada morfologi benih lebih terlihat.
Gambar 3. Perkembangan pertumbuhan struktur benih mahang hingga membentuk kecambah
Tipe kecambah mahang (Gambar 3) memperlihatkan bagian kotiledon terangkat ke atas permukaan media yang disebut epigeal. Pertumbuhan struktur benih seperti ini menunjukkan apabila benih ditabur tidak boleh terlalu dalam di media, tetapi cukup benih ditutup selapis tipis media 2 – 3 mm agar energi benih untuk tumbuh menjadi kecambah tidak terhambat oleh lapisan media yang dapat menyebabkan benih lambat berkecambah, tumbuh tidak normal dan mengalami kematian karena kehabisan energi untuk tumbuh. Ukuran buah mahang besar atau skubung (Macaranga gigantea) bervariasi ditunjukkan oleh ukuran panjang 5,29-7,91 cm dan diameter lonjong bervariasi 7,11-9,64 cm. Berat 1.000 butir mahang besar = 15,148 gram dan kadar air 11,6%, sedangkan berat 1000 butir mahang kecil (Macaranga hypoleuca) = 7,402 gram dan kadar air 9,4%. Komposisi kandungan biokimia benih skubung rata-rata untuk kadar karbohidrat sebesar 7,10%, kadar lemak 13,75% dan protein sebesar 8,91%. Sebaran data kadar air menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata dari berbagai metoda pengukuran kadar air (Tabel 1), sehingga semua metoda pengukuran dapat dipergunakan. Tabel 1. Nilai F-hitung berbagai perlakuan untuk parameter kadar air benih mahang Antar kelompok Dalam kelompok Total
Jumlah kuadrat 2,795 7,00 9,79
Rata-rata kuadrat 0,349 0,389
Nilai F-hit 0,90 ns
Keterangan: ns = tidak berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata (99%) * = berpengaruh nyata (95%)
Penentuan metoda pengukuran kadar air dilakukan dengan metoda oven temperatur tetap pada temperatur 103 + 2°C selama 16, 18, 20, 22, 24 jam dan 130°C selama 1, 2, 3, 4 jam (ISTA, 2006). Hasil pengukuran kadar air menunjukkan data tidak tersebar normal dimana
31
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
signifikansi 0,140 lebih besar dari taraf kepercayaan 0,05dan jika dilihat sebaran data bervariasi 24,38-25,54%. Tabel 2. Sidik ragam kadar air dan daya berkecambah benih mahang selama penyimpanan Kadar air Daya berkecambah
Jumlah kuadrat 171,404 2123,61
Rata-rata kuadrat 34,281 424,72
Nilai F-hit 71,354 ** 1,484 ns
Keterangan: ns = tidak berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata (99%) * = berpengaruh nyata (95%)
Perlakuan penyimpanan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap parameter kadar air (signifikansi <0,05) sedangkan terhadap parameter daya berkecambah tidak menunjukkan pengaruh yang nyata (signifikansi >0,05). Untuk melihat seberapa jauh penurunan kadar air dan pengaruhnya terhadap daya berkecambah, benih mahang di keringanginkan dalam ruang kamar (Tabel 3). Tabel 3. Besarnya kadar air dan daya berkecambah mahang setelah pengeringan Lama benih Besarnya kadar air (%) Daya berkecambah (%) dikeringanginkan 0 hari 18,60 a 48,30 1 hari 13,45 b 60,00 2 hari 11,45 c 43,30 3 hari 11,21 c 26,67 4 hari 9,74 d 31,67 5 hari 9,55 d 41,67 Fluktuasi kadar air mempengaruhi besarnya daya berkecambah, sehingga disini terlihat peranan kadar air yang lebih dominan dalam mempengaruhi mutu benih yang dicerminkan oleh besarnya nilai daya berkecambah Kadar air benih kritis benih mahang bervariasi diantara 11,45% dan 13,45% ketika daya berkecambah diatas 50%, karena benih dengan daya berkecambah dibawah 50% telah mengalami kerusakan fisiologi yag tidak dapat diperbaiki (Schmidt, 2002). Idenfikasi hama dan penyakit yang terbawa benih menunjukkan terdapatnya beberapa jenis cendawan/jamur pada benih mahang. Jenis cendawan yang terbawa benih mahang kecil (M. hypoleuca) sebelum disimpan terdapat 3 genus yaitu Fusariumsp.,Aspergillus sp., dan Botryodiplodia theobromae sedangkan pada benih yang disimpan terdapat 4 genus yaitu Fusariumsp., Aspergillus sp., Botryodiplodia theobromae dan Rhizopussp (Tabel 4).Keberadaan cendawan tersebut dapat menyebabkan viabilitas benih menjadi rendah. Sebelum disimpan, cendawan yang menginfeksi benih sebanyak 3 jenis antara lainFusariumsp. (22%), Aspergillussp. (27%) dan Botryodiplodiasp. (3%). Pada penyimpanan benih mahang kecil umur 1 sampai 3 bulan persentase infeksi Fusariumsp. menurun sedangkan jenis Aspergillus sp. meningkat.Pada umur simpan 3 bulan terdapat cendawan Rhizopussp. Cendawan Fusariumsp. merupakan cendawan lapang sedangkan cendawan Aspergillussp. dan Rhizopussp. merupakan cendawan gudang. Pada umur simpan 3 bulan benih yang disimpan di kulkas, persentase infeksi cendawan lebih sedikit dibanding benih yang disimpan di kamar terutama untuk jenis Aspergillussp. Suhu dan kelembaban kulkas dapat menghambat perkembangan cendawan. 32
Aspek Perbenihan
Tabel 4. Persentase Infeksi Cendawan pada Benih Mahang Kecil pada Berbagai Perlakuan dan Umur Simpan Jenis cendawan Fusarium sp. Aspergillus sp. Botryodiplodia Rhizopus sp.
Persentase infeksi cendawan (%) Sebelum 1 bulan 2 bulan 3 bulan disimpan A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4 22 74 27 19 3
8 36 78 11 1 14 17 30
5 10 77 1 1 1 3 22 55 56 96 1 5 4
Keterangan: A1: kulkas A2 : benomil A3: kunyit A4: kamar
Pada perlakuan benih mahang kecil dengan menggunakan fungisida benomil ditemukan persentase infeksi cendawan paling sedikit. Persentase infeksi cendawan pada benih yang diberi ekstrak kunyit relatif lebih sedikit dibanding benih yang disimpan di kulkas dan di kamar. Persentase infeksi cendawan pada benih yang disimpan di kamar paling tinggi.Terlihat bahwa perlakuan benih yang dapat mengurangi persentase infeksi cendawan yaitu benih diberi fungisida benomil atau ekstrak kunyit dan disimpan dalam kulkas. Benih yang diberi ekstrak kunyit dapat mengurangi persentase infeksi cendawan.Kunyit mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yang disebut kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, desmetoksikumin dan bisdesmetoksikurkumin dan zat-zat manfaat lainnya. Kandungan utama kunyit adalah kurkumin dan minyak atsiri, yang terdiri dari flavonoid, terpenoid dan fenolik (Rasdianaet al., 2014) yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit. Jenis cendawan yang terbawa benih mahang besar (M. gigantea) sebelum disimpan terdapat 3 genus yaitu Fusariumsp., Aspergillussp., dan Penicilliumsp. sedangkan pada benih yang disimpan terdapat 8 genus yaitu Fusariumsp., Aspergillussp., Botryodiplodia theobromae, Penicilliumsp., Curvulariasp., Pythiumsp. dan Cylindrocladiumsp. Tabel 5. Persentase Infeksi Cendawan pada Benih Mahang Besar pada BerbagaiPerlakuan dan Umur Simpan Jenis cendawan Fusarium sp. Aspergillus sp. Penicillium sp. Cylindrocladium sp. Curvularia sp. Pythium sp. Botryodiplodia Rhizopus sp.
Sebelum disimpan A1 64 51 21 11 12 5
Persentase infeksi cendawan (%) 1 bulan 2 bulan 3 bulan A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4 19 13 81 10 28 6 15 5 1 3 30 45 36 70 32 29 80 2 6 4 4 9 2 1 1
1 1
1
1 1
Keterangan : A1: kulkas A2 : benomil A3: kunyit A4: kamar
33
2 17 27 17
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Sebelum disimpan, cendawan yang menginfeksi benih sebanyak 3 jenis yaitu Fusarium sp. (64%), Aspergillussp. (21%) dan Penicillium sp. (12%). Pada penyimpanan benih mahang besar sampai umur 1 sampai 3 bulan persentase infeksi Fusariumsp. menurun sedangkan jenis Aspergillus sp. meningkat. Pada umur simpan 3 bulan terdapat cendawanRhizopussp. yang merupakan cendawan gudang. Pada umur simpan 3 bulan benih yang disimpan di kulkas, persentase infeksi cendawan lebih sedikit dibanding benih yang disimpan di kamar terutama untuk jenis Aspergillussp. B. Pembahasan Kadar air benih mahang sebelum pengeringan 18,60% mencerminkan kadar air yang cukup tinggi, sehingga dapat digolongkan sebagai benih semi rekalsitran. Tetapi ini merupakan kadar air benih mahang yang telah mengalami penurunan, karena pada pengukuran terhadap buah mahang kecil (M. hypoleuca) yang segar diperoleh kadar air buah sebesar 63,0% sedangkan kadar air benih mahang kecil 43,4%. Penurunan kadarair benih setelah pengeringan 1-5 hari hingga mencapai 9-13% menunjukkan besar daya berkecambah bervariasi 30-50%. Menurut Schmidt (2002) benih mahang dengan daya berkecambah awal kurang dari 50%, sebaiknya tidak dilakukan penyimpanan karena kondisi benih sudah mengalami kerusakan yang permanen. Benih mahang jika diperlukan untuk penyimpanan memerlukan kadar air yang lebih tinggi dan kondisi benih yang segar sehingga fluktuasi kadar air tidak mempengaruhi daya berkecambah. Penentuan masak fisiologi sangat penting untuk mahang ketika warna kulit buah masih hijau dan kulit benih sudah berwarna hitam dan keras, maka kondisi ini merupakan salah satu indikator kemasakan, karena jika kulit buah berubah menjadi coklat, benih mudah lepas dari buah (seed dispersal). Benih mahang yang dikumpulkan juga memperlihatkan kadar air yang beragam, seperti dari buah mahang yang berwarna hijau tanpa ekstraksi basah (38,70%), buah yang telah merekah tanpa ekstraksi basah (23,80%) dan buah yang merekah dengan ekstraksi basah (10,65%).Ini menunjukkan benih mahang memiliki kadar air benih bervariasi minimal di atas 20%, sehingga dapat dikategorikan sebagai benih semi rekalsitran. Hasil penelitian menunjukkan pengukuran kadar air benih mahang dapat dilakukan dengan metoda oven temperatur tetap pada suhu 103 + 2°C selama 16, 18, 20, 22, 24 jam dan 130°C selama 1, 2, 3, 4 jam (ISTA, 2006). Kadar air benih mahang bervariasi 24,38-25,54%. Nilai kadar air benih menumpuk pada data sebaran sehingga tidak terlihat adanya variasi. Apakah ini membuktikan bahwa kandungan air benih mahang mudah menguap memerlukan penelitian lebih lanjut. Hasil identifikasi hama dan penyakit menunjukkan Fusariumsp. dan Aspergillus sp. banyak ditemukan pada benih mahang kecil (Macaranga hypoleuca), sedangkan Botryoplodia dan Rhizopus sp. ditemukan dalam jumlah kecil setelah penyimpanan 2-3 bulan (1% dan 5%). Penyimpanan di ruang kamar menunjukkan persentase infeksi yang terbesar dari Fusarium sp. pada periode simpan 1-2 bulan (77% dan 78%), sedangkan Aspergillussp. pada penyimpanan 13 bulan ditemukan persentase paling tinggi setelah disimpan di kamar (19% dan 30%), kemudian pada penyimpanan 3 bulan persentase paling tinggi ditemukan pada penyimpanan di kamar (96%). Persentase infeksi cendawan pada benih mahang besar (Macaranga gigantea) didominasi oleh Fusarium sp., Aspergillussp., Penicilliumsp. dan Rhizopussp. dengan persentase tertinggi ditemukan pada penyimpanan di ruang kamar selama 1 bulan untuk Fusariumsp. (81%), dan penyimpanan 2-3 bulan untuk Aspergillus sp (70% dan 80%). Penicillium sp. ditemukan dalam jumlah kecil pada periode simpan 1-3 bulan (6% dan 9%), sedangkan Rhizopus sp. pada penyimpanan 3 bulan (17% dan 27%). Cendawan atau jamur yang ditemukan pada benih 34
Aspek Perbenihan
terentang didominasi oleh Aspergillus sp.(96%), kemudian Penicillium sp.(12%) dan Fusarium sp.(2%). Cendawan yang ditemukan pada benih mahang adalah Aspergillus sp., Penicillium sp. dan Rhizopus sp. yang merupakan cendawan gudang.Cendawan tersebut dapat merusak benih, menyebabkan warna benih menjadi berubah, busuk yang pada akhirnya dapat menurunkan viabilitas benih.Semakin lama disimpan persentase infeksi ketiga jenis cendawan tersebut semakin banyak.Rhizopus sp. merupakan gudang yang dapat merusak benih sehingga dapat menurunkan viabilitas benih.Selain itu cendawan ini dapat menyebabkan busuk buah.Cendawan Penicillium sp. merupakan genus yang bersifat saprofitik dan dapat bermanfaat dalam bidang farmasi karena mampu menghasilkan antibiotik penisilin, tetapi cendawan ini juga dapat menyerbu inang yang hidup lalu tumbuh dengan subur sebagai parasit dan menimbulkan penyakit pada tumbuhan, hewan dan manusia (Sastrahidayat dan Rocdjatun, 1992).Cendawan Aspergillus sp. mempunyai banyak inang (polifag) dan mempunyai daya adaptasi yang luas (kosmopolitan). Menurut Semangun (2000), Aspergillus sp. sangat saprofitik sehingga dapat memperlemah benih ketika ditanam. Benih yang terinfeksi Aspergillus sp. dapat menjadi rentan terhadap serangan patogen didalam tanah sehingga kematian bibit bisa disebabkan oleh patogen dalam tanah tersebut.Menurut Bonner et al. (1994) dalam Schmidt (2002) Aspergillus sp. adalah genus cendawan yang umum dijumpai pada benih yang disimpan dan aktif pada kelembaban rendah sedangkan Penicillium sp. lebih banyak dijumpai di daerah temperate daripada di daerah tropis dan aktif pada kelembaban 85-95%. Infeksi cendawan terhadap benih mahang kecil dan besar meningkat setelah benih disimpan, ini menunjukkan menurunnya viabilitas benih selama disimpan merupakan kombinasi dari kondisi fisiologi benih yang mengalami kerusakan dan gangguan dari infeksi cendawan.Secara umum serangan cendawan terjadi ketika ruangan lembab dan panas. Penyimpanan terhadap benih mahang dengan kondisikadar air tinggi (di atas 20%) akan memiliki resiko terhadap bahaya serangan hama dan penyakit, terutama apabila disimpan di ruang kamar dibandingkan dengan di ruang AC yang lebih dingin dan tidak terlalu lembab. Cendawan dapat berupa patogen atau saprofit salah satunya adalah cendawan Fusarium sp. Cendawan ini dapat bertahan pada benih dalam kondisi dingin atau kering.Cendawan Fusarium sp. dapat mengakibatkan warna benih berubah, perkecambahan benih terhambat, dan dapat menyebabkan penyakit dipersemaian atau pada tanaman dewasa di lapangan.Selama biji atau benih dalam penyimpanan, aktivitas cendawan tersebut terhenti (istirahat) karena syarat untuk pertumbuhannya tidak terpenuhi.Cendawan Fusarium sp. merupakan salah satu jenis cendawan terbawa benih yang menyebabkan kematian pada kecambah.Cendawan ini selain bersifat polifag dan kosmopolitan juga dapat membentuk struktur bertahan yaitu membentuk klamidospora (spora yang berdinding tebal). Beberapa spesies Fusarium sp. menghasilkan toksin asam fusaric dan vasinfuscarin yang berperan dalam peracunan jaringan pembuluh, sehingga tampak gejala layu pada tanaman.Fusarium sp. merupakan salah satu jenis cendawan yang menyebabkan penyakit semai pada biji yang sedang berkecambah, sehingga kecambah membusuk dan tidak dapat muncul ke permukaan tanah.Cendawan ini dapat menyerang pangkal batang dan akar semai atau tanaman yang masih sangat muda, menyebabkan bagian batang dan akar membusuk dan tanaman rebah.Penyakit ini juga dapat timbul pada biji yang belum muncul dari permukaan tanah.Pemencaran patogen ini terjadi karena terbawa dari dalam tanah atau bahan organik (Semangun, 2000).Fusarium sp. merupakan salah satu jenis jamur yang menyebabkan penyakit semai pada biji yang sedang berkecambah, sehingga kecambah membusuk dan tidak dapat muncul ke permukaan tanah.Jamur ini dapat menyerang pangkal batang dan akar semai atau 35
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
tanaman yang masih sangat muda, menyebabkan bagian batang dan akar membusuk dan tanaman rebah.Penyakit ini juga dapat timbul pada biji yang belum muncul dari permukaan tanah.Pemencaran patogen ini terjadi karena terbawa dari dalam tanah atau bahan organik (Semangun, 2000). Selain itu juga ditemukan cendawan Botryodiplodia, Curvularia, Cylindrocladium dan Pythium dalam jumlah kecil. Fusarium, Botryodiplodia, Curvularia, Cylindrocladium dan Pythium merupakan cendawan lapangan. Semakin lama disimpan persentase infeksi cendawan lapang semakin menurun. Tetapi beberapa jenis cendawan dorman sehingga dapat terbawa sampai tanaman dewasa. Dalam jangka waktu panjang cendawan di lapang dapat bertahan pada sisa tanaman dan gulma. Cendawan Cylindrocladium dapat menyebabkan penyakit rebah kecambah. Selain itu cendawan ini dapat menyebabkan penyakit pada daun. Botryodiplodia, merupakan cendawan yang dapat menyebabkan bercak daun. Bercak daun dimulai dari ujung daun. Becak-becak kecil dan transparan dan mudah dilihat dengan penembusan sinar matahari. Bagian tengah dari bercak menjadi kelabu atau coklat gelap dengan banyak titik hitam yang merupakan tubuh buah (piknidia) dari jamur tersebut. Pythium sp. bersifat polifag terutama menyerang inang yang masih muda (semai) sehingga menyebabkan penyakit rebah kecambah. Pythiumsp.adalah patogen tumbuhan yang menjadi penyebab penyakit busuk akar pada tumbuhan. Serangan Pythium sp. selalu dimulai dari ujung akar (akar pokok dan akar lateral). Serangan selalu dimulai dari bagian tanaman di dalam tanah. Serangan Pythium sp. menyebabkan tanaman menjadi layu dan kulit akar busuk basah. Disamping itu, daun atau tunas-tunas dapat terjangkit dengan gejala busuk coklat. Curvularia sp. menyebabkan penyakit bercak daun. Mula-mula patogen ini menyerang daun yang belum membuka atau dua daun yang termuda yang sudah membuka. Gejala pertama adanya becak bulat kecil, berwarna kuning tembus cahaya, yang dapat dilihat pada kedua sisi permukaan daun. Bercak kecil menjadi membesar tetapi tetap bulat dan warnanya sedikit demi sedikit berubah jadi coklat muda. Pusat becak-becak jadi mengendap. Bagian bercak menjadi coklat tua dikelilingi halo berwarna jingga kekuningan. Dengan infeksi berat daun paling tua akan mengering, menjadi keriting rapuh, namun becak tetap berwarna coklat tua. Penyakit ini dapat menghambat pertumbuhan bibit tetapi tidak mematikan bibit. Fusarium sp. dan Aspergillus sp. merupakan dua cendawan yang banyak ditemukan pada benih mahang. Bagaimana pengaruhnya terhadap benih secara jelas diperlukan penelitian yang detail dengan teknik inokulasi untuk membuktikan pengaruhnya secara khusus dan tidak terkontaminasi oleh cendawan-cendawan lain. Tindakan pencegahan infeksi cendawan terhadap benih dilakukan dengan memberi fungisida benomil atau ekstrak kunyit dan disimpan dalam kulkas.Perlakuan ini dibuktikan mampu menekan infeksi cendawan terhadap benih mahang. Benomil dapat menghambat perkembangan cendawan karena senyawa ini merupakan senyawa kimia yang bersifat sistemik untuk preventif dan kuratif sehingga dapat mematikan cendawan baik yang berada pada kulit benih maupun bagian dalam benih (Amini and sidovich, 2010). Mekanisme kerja fungisida sistemik yaitu netralisasi enzim dan toksin yang terkait dalam invasi dan kolonisasi cendawan; akumulasi selektif fungisida karena permeabilitas dinding sel cendawan menjadi lebih besar; terjadinya kerusakan membran semipermeabel dan struktur infeksi; penghambatan sistem enzim cendawan sehingga mengganggu terbentuknya tabung kecambah, apresorium dan haustorium; terjadinya chelat dan presipitasi zat kimia; terjadinya antimetabolisme; mempengaruhi sintesa asam nukleat dan protein (Triharso, 2004).
36
Aspek Perbenihan
Mekanisme interaksi senyawa terpen yang terkandung dalam kunyit dengan mikroba diduga melibatkan perusakan membran sel mikroba oleh senyawa lipofilik (Arif, 2009 dalam Darmawan dan Anggraeni, 2012). IV. KESIMPULAN Buah mahang masak fisiologi ditandai oleh warna kulit buah hijau hingga hijau kecoklatan dan kulit benih berwarna hitam dan keras. Pemanenan yang terlambat dilakukan menyebabkan benih terlepas dari buahnya dan tersebar. Benih mahang terbungkus dalam buah yang mempunyai 4 bagian (lokus). Benih dibungkus oleh dua lapisan luar (eksodermis) yang tipis dan lebih mudah terkelupas, sedangkan bagian dalam (endodermis) memiliki lapisan yang keras yang melindungi struktur bagian dalam benih. Struktur benih mahang memperlihatkan posisi titik tumbuh yang memiliki radikal dan plumula, dikelilingi oleh kotiledon sebagai cadangan makanan, tetapi secara morfologi dari luar tidak terlihat secara pasti posisi titik tumbuh berada. Kondisi ini menyebabkan dalam penaburan dapat dilakukan dengan arah penempatan yang bebas. Benih mahang memiliki karakter semi rekalsitran dengan kadar air awal lebih dari 20% dengan kadar air kritis bervariasi 9-12% dan daya berkecambah 30-40%. Benih jenis ini memiliki kulit yang keras sehingga dapat mempertahankan kadar air dan viabilitasnya dengan baik. Tipe kecambah mahang adalah epigeal sehingga dalam penaburannya posisi benih harus dekat dengan permukaan media tabor. Pengukuran kadar air benih dapat dilakukan dengan metoda oven temperatur tetap pada temperatur 103+2°C selama 16, 18, 20, 22, 24 jam dan 130°C selama 1, 2, 3, 4 jam. Cendawan yang banyak ditemukan pada benih mahang adalah Aspergillus sp., Penicillium sp. dan Rhizopus sp. yang merupakan cendawan gudang. Sedangkan cendawan Fusarium, Botryodiplodia, Curvularia, Cylindrocladium dan Pythium yang merupakan cendawan lapang ditemukan dalam jumlah kecil. Pemberian fungisida benomil atau ekstrak kunyit dan menyimpan benih dalam kulkas, mampu menekan infeksi cendawan terhadap benih mahang. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim penyunting khususnya Dr. Ir. Yulianti Bramasto, M.Si, atas koreksi dan semua saran perbaikan untuk tulisan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk penelitian dan pengembangan selanjutnya, dan aplikasi budidaya kayu jenisjenis mahang di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Amini, J., D.F. Sidovich. 2010. The Effects of Fungicides on Fusarium oxysporum S.sp. Lycopersici Associated with Fusarium Wilt of Tomato. Journal of Plant Ptotection Research Vol. 50, No. 2: 172 – 178. Barnett, H.L and B.B. Hunter. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Fourth Edition.The American Phytopathological Society. Borror, D.J., C.A. Triplehorn and N.F. Johnson. 1989. An introduction to the study of insect. Sixth edition.Harcourth Brace College Publishers. Florida. USA.
37
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Darmawan, U. W. dan I. Anggraeni. 2012. Pengaruh Ekstrak Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val), Lengkuas (Languas galangal L.) dan Kencur (Kaempfreia galangal L.) terhadap Pythium sp. secara In-vitro. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 9 (3): 135-140. Davies, S.J. and P.S. Ashton. 1999. Phenology and fecundity in 11 sympatric pioneer species of Macaranga (Euphorbiaceae) in Borneo. American Journal of Botany 86 (12): 1786 – 1795. http://www.bkp-pangkalpinang.deptan.go.id Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II.Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. (terjemahan). ISTA. 2006. International Rules for Seed Testing: Rules 2006. International Seed Testing Association (ISTA). Zurich, Switzerland. Mindawati, N. 2009. Sintesa UKP 2. Silvikultur hutan tanaman penghasil kayu pulp.Jakarta, 29 – 30 Oktober 2009. (tidak diterbitkan). Rahmanto, G.H. 2000.Laporan Tahunan penelitian sifat, kegunaan dan penyempurnaan sifat kayu. Balai Penelitian Kehutanan Samarinda. Samarinda. (tidak diterbitkan). Rasdiana, Hasanuddin Ishak, Maming. Ekstrak Kuyit Putih (Curcuma petiolata roxb.) dan KunyitKuning (Curcuma longa) terhadap Mortalits Larva Anopheles sp. Laporan Penelitian. Program Studi kesehatan Masyarakat. Universitas Hasanudin. Schmidt,L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis.Kerjasama Danida Forest Seed Centre dan Indonesia Forest Seed Project.Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Jakarta. (terjemahan) Sastrahidayat, Ika Rocdjatun., 1992.”Ilmu Penyakit Tumbuhan”Fakultas Pertanian” Universitas Brawijaya.usana offset. Surabaya. Hlm 65-66 Semangun, H.2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Soesef, M.S.M, Hong, L.T., Prawirohatmodjo, S. 1998. Plant resources of South – East Asia 5 (3): Timber trees: lesser known timbers. Prosea. Bogor, Indonesia. Triharso.2004. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press.
38
Aspek Perbenihan
PERAN PERBENIHAN DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN PENGHASIL ENERGI DAN OBAT-OBATAN DI PROVINSI LAMPUNG Kurniawati P. Putri, Dida Syamsuwida, Rina Kurniaty, Eliya Suita dan Dharmawati FD Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK Komoditas hasil hutan bukan kayu memegang peranan sangat strategis untuk ketahanan energi, sumber bahan baku obat-obatan bahkan sumber pemasukan negara. Potensi arang kayu dari hutan di wilayah Provinsi Lampung tahun 2006 mencapai 30.347 ton, sedangkan potensi tumbuhan penghasil obat adalah sebanyak 122 jenis yang berasal dari family Arecaceae, Graminea, Malvaceae, Piperaceae dan Zingiberaceae. Pengembangan sumber daya hutan berbasis energi dan obat di Provinsi Lampung terkendala oleh tidak ada jaminan kesinambungan bahan baku, karena masih mengandalkan tegakan alam. Pengembangan komoditas energi dan obat perlu didukung budidaya yang tepat dan salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah teknologi perbenihan. Ketepatan waktu pengunduhan, teknik penanganan benih yang sesuai dengan karakter masing-masing benih serta pembibitan yang tepat dan berasal dari sumber benih yang berkualitas akan meningkatkan perolehan hasil baik terhadap perkecambahan, pembibitan maupun kualitas tegakan. Teknik perbenihan untuk beberapa jenis tanaman potensial penghasil energi dan obat telah dihasilkan oleh Balai Penelitian Teknologi Perbenihan, yang selanjutnya diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan dan peningkatan produktivitas hutan tanaman dan hutan rakyat berbasis energi dan obat khususnya yang ada di Provinsi Lampung. Kata kunci: energi, hasil hutan bukan kayu, hutan rakyat, obat-obatan, perbenihan
I. PENDAHULUAN Dewasa ini terdapat kecenderungan perubahan paradigma peran dan manfaat hutan yaitu hutan tidak hanya sebagai penghasil kayu tetapi juga bukan kayu.Perubahan itulah yang selanjutnya mempengaruhi pola pemanfaatan sumber daya hutan.Saat ini kebijakan pemerintah diantaranya di Provinsi Lampung adalah peningkatan hasil hutan bukan kayudemi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.Hasil hutan bukan kayu potensial di Provinsi Lampung adalah arang kayu disamping damar mata kucing, gaharu dan rotan. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Lampung mencatat produksi arang kayu dari hutan di wilayah Provinsi Lampung pada tahun 2006 mencapai 30.347 ton. Arang kayu merupakan bahan bakar berbasis biomassa yang sangat berarti dalam mengatasi permasalahan krisis energi nasional di masa mendatang. Selain sumber bahan bakar biomassa, hutan juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku energi nabati lainnya yaitu biodiesel. Sasaran pemanfaatan bahan bakar nabati periode 2015-2019 adalah produksi biodiesel sebesar 4,3–10 Juta KL (RPJMN 2015-2019, 2015). Pemanfaatan jenis-jenis tanaman hutan sebagai bahan bakar campuran bahan bakar minyak dalam biodiesel merupakan salah satu bentuk diversifikasi energi untuk mencegah terjadinya ketergantungan impor energi serta meningkatkan ketahanan energi nasional.Kondisi tersebut disebabkan keterbatasan sumber daya energi fosil yang bersifat tidak dapat diperbaharui (unrenewable). Beberapa jenis tanaman hutan potensial sebagai bahan baku biomassa dan biodiesel antara lain kaliandra, lamtoro, weru, pilang, akor, turi, malapari dan nyamplung. Hutan alam tropika Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman hayati tumbuhan obat. Dewasa ini demand biofarmaka lokal cukup meningkat pesat yang disebabkan semakin 39
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
berkembangnya industri obat-obatan, jamu dan kosmetika. Kondisi tersebut merupakan peluang bagi Indonesia untuk ikut berperan karena cukup banyak jenis tanaman hutan yang berpotensi sebagai sumber bahan baku untuk biofarmaka. Zuhud (2008) melaporkan bahwa sampai tahun 2001 terdapat sedikitnya 2.039 spesies tumbuhan obat yang berasal dari berbagai tipe ekosistem hutan tropika di Indonesia. Di Provinsi Lampung sedikitnya terdapat 122 jenis tumbuhan obat yang digunakan masyarakat secara tradisional yang berasal dari famili Arecaceae, Graminea, Malvaceae, Piperaceae dan Zingiberaceae (Utami dan Asmaliyah, 2010). Jenis tanaman hutan potensial dan berpeluang untuk dikembangkan secara ekspor diantaranya adalah kilemo (Litsea cubeba).Tanaman obat potensial lainnya adalah pulai (Alstonia scholaris) yang saat ini sudah tergolong langka khususnya yang berada di kawasan hutan Dipterocarpaceae di daerah Krui Lampung Barat (Wardah, 2005). Komoditas hasil hutan bukan kayu memegang peranan sangat strategis untuk ketahanan energi, sumber bahan baku obat-obatan bahkan sumber pemasukan negara. Namun sampai saat ini pemanfaatan sumber daya hutan berbasis energi dan obat dirasakan masih belum dapat berkembang secara optimal. Keadaan tersebut disebabkan pemanenan yang dilakukan masih mengandalkan tegakan alam, sehingga tidak ada kesinambungan bahan baku. Langkah yang paling strategis adalah perencanaan pembangunan hutan tanaman atau hutan rakyat berbasis energi dan obat.Keberhasilan program tersebut tentunya harus didukung ketersediaan benih bermutu. Benih bermutu merupakan hasil dari serangkaian proses kegiatan mulai dari pengunduhan, penangaan benih dan pembibitan yang tepat dan berasal dari sumber benih yang berkualitas. Teknik penanganan benih yang tepat akan meningkatkan perolehan hasil baik terhadap perkecambahan, pembibitan maupun kualitas tegakan. Dalam rangka mendukung terwujudnya pembangunan hutan tanaman dan hutan rakyat sebagai sumber bahan baku energi dan obat dengan produktivitas tinggi, maka disusun makalah yang berisikan informasi hasil-hasil penelitian perbenihan beberapa jenis tanaman hutan penghasil energi yaitu akor (Acacia auriculiformis), kaliandra (Calliandra calothyrsus), lamtoro (Leucaena leucocephala), pilang (Acacia leucophloea), turi (Sesbania grandiflora),weru (Albizia procera), malapari (Pongamia pinnata), nyamplung (Callophylum inophyllum) dan penghasil obat yaitu pulai (Alstonia scholaris), kilemo (Litsea cubeba) dan kemenyan (Styrax benzoin). II. POTENSI JENIS -JENIS TANAMAN PENGHASIL ENERGI DAN OBAT Banyak jenis tanaman hutan yang dapat dimanfaatkan untuk sumber bahan kayu energi biomassa. Tingkat keberhasilan pengembangan sumber energi biomassa sangat ditentukan oleh ketepatan pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan tempat tumbuh dan karakteristik pohon itu sendiri.Kondisi tempat tumbuh yang perlu dipertimbangkan adalah ketinggian tempat tumbuh, jenis tanah dan iklim, sedangkan karakterisik pohon yang penting untuk diperhatikan adalah sifat pertumbuhan dan rotasi tebang, riap, sistem regenerasi dan nilai kalor (Rostiwati et al., 2006). Berdasarkan pertimbangan sifat pertumbuhan yang cepat, riap yang tinggi, dapat tumbuh dengan baik pada kondisi marjinal, menghasilkan terubusan yang banyak, nilai kalor tinggi serta tidak mengeluarkan asap atau gas beracun, maka Ditjen Listrik dan Energi Baru telah merekomendasikan 70 jenis tanamanan hutan yang potensial untuk sumber energi biomassa (Rostiwati et al., 2006). Beberapa jenis tanaman hutan tersebut diantaranya adalah akor (A. auriculiformis), pilang (A. leucophloea), weru (A. procera), kaliandra (C.callothyrsus),
40
Aspek Perbenihan
Turi (S. grandiflora) danlamtoro (L.leucocephala).Kondisi tempat tumbuh dan karakteristik pohon dari keenam jenis tanaman tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik enam jenis tanaman hutan penghasil kayu energi biomassa Jenis tanaman
Ketinggian tempat (m dpl) 1)
Curah hujan (mm/th) 1)
Riap (m3/h a/th )
Densitas (BJ) 1)
Nilai kalor (cal/g) 2)
Sifat arang: Produksi Nilai kalor Energi (cal/g) (GJ/ha/th)
1)
Akor (A. auriculiformis) Pilang (A. leucophloea)
1)
1.300-1.700
17.0
0,70
4.907
7.322 3)
235,6
1.600-2.400 1.000-3.000
20.5
0,70
5.218
7.262 3)
258,3
0-500
Weru (A. procera)
0-1.700
1.000-4.500
25.0
0,67
4.870
7.382 3)
301,5
Kaliandra (C. callothyrsus)
0-1.000
1.300-1.550
32,0
0,67
4.617
7.510 4)
385,9
0-700
300-1.000
15.0
0.46
4.610
7.4714)
124,2
0-1.700
0-3.500
21.0
0,82
4.464
7.271 4)
310,0
Turi (S. grandiflora) Lamtorogung (L. leucocephala)
Sumber: 1) Dirjen Listrik dan Energi Baru (1991); 2) Alrasyid (1981); 3) Hartoyo (1976); Syachri (1982)
Kaliandra dan lamtoro merupakan jenis tumbuhan potensial untuk bahan bakar dengan daya trubusan dan nilai kalornya yang tinggi.Jenis tanaman hutan tersebut juga banyak digunakan untuk kegiatan rehabilitasi dan reboisasi karena kemampuannya untuk dapat tumbuh di tempat-tempat kritis dan marjinal. Alternatif lainnya adalah pohon turi dengan nilai kalor (4.610 cal/g) yang relatif lebih tinggi dibanding lamtoro (4.464 cal/g), namun kemampuan trubusnya yang rendah. Berdasarkan nilai kalor yang dihasilkannya, akor, pilang dan weru cukup potensial sebagai sumber bahan energi untuk tujuan komersial.Hal ini didasarkan bahwa nilai kalor yang dikehendaki untuk tujuan komersial adalah lebih dari 4.500 cal/g (Hendarti et al., 2014). Secara umum kisaran nilai kalor dari keenam jenis tanaman tersebut 4.464 cal/g–5.218 cal/g. Untuk meningkatkan nilai komersialnya, kayu bakar dirubah dalam bentuk arang kayu dengan nilai kalor yang dihasilkan berkisar 7.271 cal/g-7.510 cal/g. Arang kayu adalah residu yang sebagian besar komponennya adalah karbon karena terjadi penguraian kayu akibat perlakuan panas (Rostiwati et al., 2006). Kebutuhan solar dalam negeri pada tahun 2011 tercatat sebesar 21,2 juta kilo liter, sedangkan produksi solar domestik hanya mencapai 18,34 juta kilo liter (Ika, 2012). Data tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan energi nasional jenis solar hanya sebagian saja yang dapat terpenuhi oleh produksi solar dalam negeri, sedangkan selebihnya masih tergantung pada pasokan solar dari luar negeri (import). Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka salah satu kebijakan ekonomi pemerintah saat ini (Peraturan Menteri ESDM No 25 tahun 2013) adalah pengurangan import bahan bakar minyak (BBM) jenis solar diantaranya dengan peningkatan pemanfaatan biodiesel dalam solar (FAME) dari semula 2,5% menjadi 10% untuk transportasi dan industry, serta 20% untuk pembangkit listrik (Kompas, 2013). Sumber bahan baku untuk energi nabati dewasa ini masih didominasi produk pertanian seperti singkong, tebu dan sawit. Pemanfaatan sumber bahan baku energi nabati yang bersumber dari pertanian umumnya bersaing dengan konsumsi sehari-hari, sehingga dikhawatirkan apabila terjadi krisis pangan maka secara langsung akan berdampak terhadap sumber bahan baku energi nabati (sustainability). Potensi hutan non kayu sebagai sumber 41
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
biodiesel perlu dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku biodiesel yang bersifat terbarukan dan tidak digunakan sebagai konsumsi pangan. Bahan baku alternatif energi berbasis bahan bakar nabati/biofuel diantaranya adalah nyamplung (C. inophyllum) dan malapari (P. pinnata). Kondisi tempat tumbuh dan karakteristik pohon kedua jenis tanaman tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik jenis tanaman hutan penghasil bioenergi Jenis tanaman
Ketinggian tempat (m dpl)
Curah hujan (mm/th)
Musim kering (bulan)
Rendemen minyak (%)
Malapari (P. pinnata)
0-200
500-2500
2-6
27 - 40
Nyamplung (C. inophyllum)
0-200
1000-3000
4-5
30 - 74
Biji P. pinnata dapat menghasilkan minyak yang dapat digunakan sebagai pelumas dan bahan baku bio-diesel serta bahan pembuatan sabun (Mukta dan Sreevalli, 2010). Selain potensinya sebagai sumber bahan bakar nabati, jenis tanaman ini juga penyedia sumber energi lain yaitu kayunya sebagai bahan bakar yang memiliki kalor bakar kayu sebesar 19,2 MJ/kg (Soerawidjaja, 2007a; Soerawidjaja, 2007b). Malapari tumbuh secara alami di dataran rendah pada tanah berkapur dan batu karang di pantai, sepanjang tepi hutan bakau, sepanjang aliran dan sungai pasang surut (Heyne, 1987). Pertumbuhan yang paling bagus dijumpai pada tanah liat berpasir, tetapi akan tumbuh juga pada tanah berpasir dan tanah liat yang bergumpalgumpal. Sangat toleran pada kondisi masin dan alkalinitas.Cukup toleran terhadap naungan, setidaknya ketika muda. Nyamplung (C. inophyllum L.) dapat digunakan sebagai bahan substitusi minyak tanah (biokerosene) dan substitusi minyak solar (biodiesel) dengan memanfaatkan bijinya (Sopamena, 2007). Keunggulan nyamplung lainnya antara lain mampu tumbuh dan tersebar merata secara alami di Indonesia; relatif mudah dibudidayakan dan cocok di daerah iklim kering; permudaan alami banyak dan berbuah sepanjang tahun; hampir seluruh bagian tanaman nyamplung berdayaguna dan menghasilkan bermacam produk yang memiliki nilai ekonomi (Departemen Kehutanan, 2008). Saat ini tanaman nyamplung sudah mulai dibudidayakan di Indonesia sebagai tanaman wind breaker yang ditanam di daerah marginal di tepi pantai atau lahan-lahan kritis lainnya. Hutan juga berperan sebagai sumber bahan baku obat-obatan (biofarmaka) dan atsiri. Kilemo (Litsea cubeba)merupakan salah satu jenis tanaman hutan penghasil bahan baku obat dan minyak atsiri potensial.Kilemo dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik (aromaterapi), sabun, minyak wangi, pembersih kulit, obat jerawat, serta memiliki unsur karsinostatic (zat anti kanker).Buah kilemo mengandung sitral (70 – 85%), sedangkan pada kulit batang dan daunnya terkandung saponin, plafonoid dan tanin (Lin, 1983).Kilemo tumbuh di dataran tinggi dengan ketinggian diatas 700 m dpl. Pulai merupakan salah satu jenis pohon yang tersebar di seluruh Indonesia.Bagianbagian dari pohon ini dapat digunakan mulai getah hingga kayunya.Kulit batang, daun dan bunga dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Kayunya dapat dimanfaatkan untuk bahan baku barang, kerajinan, pensil, papan tulis, lemari, dan lain-lain (Pratiwi, 1999). Kulitnya telah lama dikenal sebagai obat tradisional untuk anti hipertensi. Menurut Dalimartha (2001), kulit kayu pulai berfungsi sebagai obat penyakit desentri,malaria peluruh dahak, peluruh haid, stomakik, antipiretik, pereda kejang, menurunkan gula darah (hipoglikemik), tonik dan antiseptic. Selain itu getah pulai mengandung alkaloid. 42
Aspek Perbenihan
III. PERBENIHAN A. Periode pembungaan-pembuahan
Pembungaan dan pembuahan tumbuhan berkaitan dengan suatu proses perubahan struktur atau organ reproduksi dalam satu periode waktu tertentu yang dikenal dengan fenologi. Fenologi adalah ilmu tentang periode fase-fase yang terjadi secara alami pada tumbuhan. Berlangsungnya fase-fase tersebut baik fase vegetatif maupun generatif sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, seperti lamanya penyinaran, suhu dan kelembaban udara (Fewless, 2006). Fenologi pembungaan suatu jenis tumbuhan adalah salah satu karakter penting dalam siklus hidup tumbuhan karena pada fase itu terjadi proses awal bagi suatu tumbuhan untuk berkembang biak. Suatu tumbuhan akan memiliki perilaku yang berbeda-beda pada pola pembungaan dan pembuahannya, akan tetapi pada umumnya diawali dengan pemunculan kuncup bunga dan diakhiri dengan pematangan buah (Tabla dan Vargas, 2004). Sensitifitas fenologi terhadap perubahan lingkungan adalah merupakan indikator yang sangat baik untuk melihat penampilan tumbuhan, khususnya dalam kondisi iklim panas (Cleland et al., 2012). Pola pembungaan pada jenis tanaman tropis sangat kuat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yang menyebabkan tanaman sangat sensitif terhadap perubahan iklim sekecil apapun. Hal ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung pengaruh penyinaran matahari pada tanaman tropis akan merangsang pembentukan bunga. Secara tidak langsung perubahan iklim yang kecil misalnya akan mempengaruhi perilaku polinator, sehingga penyerbukan terganggu dan akibatnya pembentukan buah atau biji berkurang yang menyebabkan produksi benih menurun. Periode pembungaan dan pembuahan untuk setiap jenis berbeda. Misalnya, Akor memunculkan tunas generatif pada bulan Februari dan mekar pada bulan Maret-April, akhirnya menjadi buah muda, dewasa dan masak pada bulan Mei-Juli/Agustus (Syamsuwida et al., 2011). Sehingga diketahui bahwa siklus perkembangan pembungaan hingga pembuahan akor tejadi selama 6-7 bulan yang diamati pada satu tegakan di Desa Sawangan dan Jingkang (Banyumas Barat). Sementara itu kaliandra, lamtoro dan turi memiliki periode pembungaan-pembuahan yang lebih pendek yaitu berkisar antara 3-4 bulan.Rangkuman periode pembungaan dan pembuahan beberapa jenis tanaman kayu penghasil energi dan obat-obatan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Periode pembungaan dan pembuahan beberapa jenis tanaman hutan penghasil energi dan obat-obatan No 1 2
3
4 5
Jenis Akor (Acacia auriculiformis) Kaliandra (Calliandra calothyrsus) Lamtoro (Leuccaena leucocephala) Turi (Sesbania grandiflora) Weru/kihiang (Albizia procera)
Periode musim
Waktu musim
Pembungaan 1-2 bulan
Pembuahan 4-5 bulan
1 bulan
Lokasi
2-3 bulan
Pembungaan FebruariMaret/April April
Pembuahan Mei/JuliAgustus Mei/JuniJuli/Agustus
1 bulan
3-4 bulan
April
Mei/JuniJuli/Agustus
Bogor
1 bulan
2-3 bulan
April
Bogor
2 bulan
6-7 bulan
Februari-April
Mei/JuniJuli/Agustus SeptemberOktober
43
Banyumas Barat Bogor, Cianjur
Majalengka, Sumedang
Prosiding Seminar Hasil Penelitian No
Jenis
Periode musim
6
Pilang (Acacia leucophloea)
7
Kemenyan (Styrax benzoin) Nyamplung (Callophylum inophyllum) Malapari (Pongamia pinnata) Kilemo (Litsea cubeba)
8
9
10
11
Ganitri (Elaeocarpus ganitrus)
Waktu musim
Lokasi
Pembungaan 1 bulan
Pembuahan 4-5 bulan
Pembungaan April/Mei
Pembuahan AgustusSeptember
2 bulan
7-8 bulan
Juni/JuliAgustus
FebruariMaret
1 bulan
3-5 bulan
April
Juli-Agustus
2 bulan
6-7 bulan
Maret/AprilMei
OktoberNopember
1 bulan
2-3 bulan
April-Juni
1 bulan
2-3 bulan
2 bulan
7 bulan
FebruariMaret OktoberNopember Juni-Juli
JanuariFebruari Juli/AgustusNopember/ Desember
Taman Nasional Bali Barat Aek NauliSumatera Utara PurworejoJawa Tengah BatukarasCiamis Aek Nauli (Sumut) Ciwidey (Jabar) CisaruaBogor
Tahapan awal dari satu rangkaian perkembangan pembungaan-pembuahan adalah inisiasi bunga. Akan tetapi, proses ini hanya dapat dilihat secara mikroskopis dengan mengidentifikasi adanya perubahan jaringan dari meristem vegetatif menjadi apikal reproduktif (primordia bunga) pada organ tunas (Owens & Blake 1985). Inisiasi bunga weru terjadi lebih dari 2 bulan yang teramati mulai bulan Januari. Sedangkan pada kaliandra, inisiasi terjadi sepanjang tahun yang diindikasikan dari munculnya bunga sepanjang tahun. Walaupun lamtoro dan turi belum teridentifikasi, namun dapat diduga inisiasi juga terjadi sepanjang tahun. B. Keberhasilan reproduksi Potensi keberhasilan proses pembentukan bunga menjadi buah dinilai dari besarnya nilai keberhasilan reproduksi. Penilaian besaran Keberhasilan Reproduksi (KR) diperoleh dari hasil pengukuran parameter reproduksi yaitu jumlah bunga per malai, jumlah buah per malai, jumlah ovul per bunga, jumlah biji per buah, fruit set (Bg/bh) dan seed set (Bj/Ov). Tabel 3. Hasil pengukuran parameter reproduksi beberapa jenis tanaman penghasil biomassa dan bioenergi Jenis
∑ bunga/ malai
∑ buah/ malai
∑ ovul/ bunga
∑ biji/ buah
Fruit set (Bh/bg)
Seed set (Bj/Ov)
KR
Weru
41,8±15,8
16,4±6,2
12,62±0,6
10,82±0,7
0,40±0,08
0,85±0,02
0,35±0,09
Pilang
279,1±80,1
109,6±63,8
12,37±0,9
6,09±0,3
0,40±0,1
0,43±0,02
0,19±0,06
Akor
85,4±29,04
5,1±1,75
31,12±9,9
4,9±1,93
0,06±0,02
0,16±0,06
0,01±0,005
98,6±42,8
19,8±10,6
5,64±0,6
8,04±0,8
0,21±0,08
0,72±0,08
0,16±0,06
Kaliandra
Kemenyan Malapari
B
16,34±5,02
1,90±0,98
1,38±0,27
1±0,00
0,13±0,04
0,75±0,13
0,09±0,04
T
17,14±4,85
1,52±0,78
1,325±0,2
1±0,00
0,10±0,06
0,77±0,13
0,08±0,05
B
54,6± 1,72
33,1± 7,97
-
-
0,63± 0,25
-
-
T
54,41± 2,45
36,01± 5,85
-
-
0,66±0,23
-
-
44
Aspek Perbenihan Jenis
∑ bunga/ malai
Nyamplung
∑ buah/ malai
∑ ovul/ bunga
∑ biji/ buah
Fruit set (Bh/bg)
Seed set (Bj/Ov)
KR
B
7,1±0,43
2,58±0,2
1±0,00
1±0,00
0,36 ± 0,02
1,0 ± 0,0
0,36 ± 0,02
T
7,28±0,41
2,7±0,21
1±0,00
1±0,00
0,38 ± 0,02
1,0 ± 0,0
0,38 ± 0,02
Catatan: B: Barat, T: Timur
Keberhasilan reproduksi merupakan parameter untuk mengetahui potensi reproduksi yang dimiliki tanaman. Dengan mengalikan nilai jumlah bunga yang menjadi buah (fruit set) dan jumlah ovul yang menjadi biji (seed set) dapat diketahui nilai KR (Wiens et al., 1987). Weru memiliki nilai fruit set dan seed set yang relatif tinggi yaitu masing-masing 0,40±0,08 dan 0,85±0,02sehingga menghasilkan nilai KR yang relatif tinggi pula yaitu 0,35±0,09 atau antara 26% - 44% (Tabel 3). Sementara itu nilai terendah dimiliki oleh jenis akor. Ratio pembentukan buah menjadi bunga rata-rata 4% - 8% dan pembentukan ovul menjadi biji rata-rata 10% - 22% dan keberhasilan reproduksi (KR) rata-rata 0,5 – 1,5% (Tabel 3). Dengan demikian, proporsi ovul yang berhasil dibuahi dan berkembang menjadi biji yang viabel bagi tanaman weru adalah rata-rata adalah sebesar 35% dan bagi tanaman akor rata-rata 1%. Nilai KR pilang, kaliandra dan kemenyan masing-masing berkisar antara 13-23%, 10-22% dan 8-9% atau rata-rata 19%, 16% dan 8,5%. Sementara untuk jenis malapari keberhasilan reproduksi belum terdeteksi. Namun demikian, pembentukan bunga menjadi buah (fruit set) cukup tinggi yaitu masing-masing untuk dahan bagian barat dan timur mencapai 63% dan 66%. C. Potensi produksi buah/benih
Benih/buah untuk program pembangunan hutan tanaman atau hutan rakyat penghasil hasil hutan bukan kayu dituntut ketersediaannya dalam jumlah dan kualitas yang memadai secara terus menerus, terutama yang memanfaatkan buah sebagai bahan baku produksinya seperti malapari, nyamplung dan kilemo. Informasi potensi produkai buah/benih merupakan salah satu data dasar untuk mengetahui berapa besar produksi buah yang dapat dihasilkan guna kebutuhan perbanyakan tanaman maupun untuk kebutuhan penyediaan bahan baku dalam proses produksi yang berkelanjutan. Potensi produksi buah/biji beberapa jenis tanaman hutan penghasil energi dan obat-obatandisajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Potensi produksi buah/biji jenis tanaman hutan penghasil energi dan obat Jenis
Jumlah benih/kg (butir)
Akor (A. auriculiformis)
55.556 - 76.923 1)
-
80,7 gr ~ 575 butir 2)
Pilang (A. leucophloea)
43.346 2)
-
1716,2 gr 2)
Weru (A. procera)
32.258 -38.462 1)
19,2 kg - 50 kg 2)
-
Kaliandra (C. callothyrsus) Turi (S. grandiflora)
17.857 -22.727 1)
166,7 gr 2)
-
17.241 -30.303 1)
6,8 buah 2)
231,45 butir 2)
Lamtoro (L. leucocephala) Malapari (P. pinnata)
16.667 -20.000 1)
409,08 buah 2)
-
493-663 2)
-
0,10 – 5,52 kg
286 - 357
-
40-150 kg 4)
Nyamplung (C.
45
Potensi produksi/pohon buah/pohon Benih/pohon
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Jenis
Jumlah benih/kg (butir)
Potensi produksi/pohon buah/pohon Benih/pohon
inophyllum) Kilemo (L.cubeba) Pulai (A.Scholaris) Kemenyan (S. benzoin) Sumber:
1)
9.445 5) 1)
312,500 - 833,333
417
-625
1)
0,25-9,8 kg 5)
-
-
-
2,8 kg
-
BSN (2014 a); 2) Syamsuwida et al. (2011); 4) Dephut (2008); 5) Putri et al. (2011)
Potensi produksi benih/buah suatu jenis tanaman pada satu tegakan akan bervariasi tergantung faktor ketersediaan hara dan luas kanopi (tajuk) yang erat hubungannya dengan fisiologis kemampuan daun dalam menghasilkan energi untuk mendukung produksi buah (Nambiar dan Brown, 1997). Untuk itu pengukuran potensi produksi benih/buah perlu dikaitkan dengan kondisi geografis, umur dan penampilan pertumbuhan pohon (Schmidt 2000). Sebagai contoh potensi produksi buah kilemo dari Aek Nauli cenderung meningkat dengan bertambahnya ukuran diameter batang pohon. Produksi benih kilemo dari pohon berdiameter 4cm-14,7 cm berkisar 0,12 kg-2,4 kg, sedangkan dari pohon berdiameter 14,8 cm25,3 cm berkisar 0,25-9,8 kg (Putri et al.,2011). Selain itu berat benih kilemo yang dihasilkan tegakan yang tumbuh pada ketinggian di atas 700 m dpl seperti di lokasi Aek Na Uli Sumatera Utara adalah 0,106 gram/butir, yang sangat berbeda dengan yang diproduksi dari tegakan di dataran rendah sebagaimana Sri-Ngernyuang et al (2007) melaporkan bahwa rata-rata berat benih kilemo yang berasal dari hutan tropikal dataran rendah di Thailand adalah 0,080 gram. Umur tegakan juga mempengaruhi produktivitas. Produksi biji malapari yang dihasilkan dari tegakan umur 20 tahun yang terdapat di Desa Batu Karas, Pangandaran, Jawa Barat berkisar 0,10 – 5,52 kg/pohon, sedangkan Soerawidjaya (2005) menyebutkan bahwa produksi biji dalam satu pohon malapari dihasilkan 9 – 90 kg biji. Potensi produksi buah/benih dari beberapa jenis tanaman hutan dapat ditingkatkan dengan teknik silvikultur antara lain dengan pengaturan jarak tanam atau pemupukan. Pengaturan jarak tanam dapat memaksimalkan ukuran volume tajuk dan lebar tajuk, karena umumnya keduanya berkorelasi positif dengan produksi buah.Selain dengan teknik silvikultur, upaya memaksimalkan potensi produksi benih juga dapat melalui kegiatan pemuliaan pohon (Tree improvement). Sebagaimana pada tanaman akor, yangmana dihasilkan tanaman akor dengan kandungan atau proporsi proporsi kayu teras meningkat sebanyak 3 kali lipat pada umur 3,5 tahun. Kayu keras merupakan bagian kayu yang erat kaitannya dengan kualitas energi yang dihasilkan (Susanto et al., 2008). Teknik pemulian lainnya adalah seperti yang telah dilakukan pada tanaman malaparidi Australia yang sudah menggunakan benih hasil pemuliaan yaitu benih genetik unggul dengan berat biji 2,5 gram/butir dan kandungan minyak sebesar 60% (Milletia plantations, 2010). Hal ini disebabkan ukuran berat biji sangat tergantung pada cadangan makanan yang bersifat diturunkan (genetik), disamping juga dipengaruhi oleh ketersediaan hara pada saat proses pembentukan benih serta faktor lingkungan (Johnsen et al., 1989). Namun demikian, panen buah yang besar bukan jaminan untuk mendapatkan kualitas benih yang besar pula.Hal ini disebabkan buah yang berat dan besar tidak selalu mempunyai biji yang berat dan besar, bahkan juga tidak selalu menghasilkan rendemen minyak dan sifat fisikokimia yang lebih baik seperti yang sudah dibuktikan pada jenis nyamplung (Leksono dan Putri, 2013). Bahkan kemungkinan dapat berbanding terbalik bila tidak hati-hati dalam melakukan seleksi provenan/ras lahan untuk mendapatkan rendemen dan sifat fisiko-kimia minyak terbaik. 46
Aspek Perbenihan D. Penanganan benih
Penanganan benih merupakan salah satu kegiatan penting dalam penyediaan bahan tanaman bermutu yang dimulai dari buah dan benih diterima sampai benih tersebut siap untuk ditanam. Penanganan benih yang tidak dilakukan dengan benar akan menurunkan mutu fisik dan fisiologis benih yang pada akhirnya akan berdampak berkurangnya jumlah tanaman yang dapat diperbanyak melalui benih. Penanganan benih berapa jenis tanaman penghasil kayu energi dan obat disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Penanganan benih penghasil kayu energi dan obat-obatan berdasarkan SNI 5006.12:2014 Jenis
Akor (A. auriculiformis) Pilang * (A. leucophloea) Weru (A. procera) Kaliandra (C. callothyrsus)
Indikator kemasakan buah Buah/polong berwarna coklat kulit buah berwarna hijau kecolatan Buah/polong berwarna coklat tua Buah/polong berwarna coklat
Ekstraksi benih
Pengemasakan dan penyimpanan benih
Perlakuan pendahuluan
Jemur selama 34 hari sampai merekah Jemur sampai merekah
- Wadah kedap - Di ruang AC atau DCS - Wadah kedap - Di ruang AC atau DCS - Wadah kedap - Di ruang AC atau refrigator - Wadah kedap - Di ruang refrigator
Rendam air panas (90°C) sampai dingin 24 jam direndam dengan H2SO4 selama 20 menit Rendam air panas (90°C) sampai dingin 24 jam Rendam air panas (90°C) sampai dingin 24 jam Rendam air panas (90°C) sampai dingin 24 jam Rendam air panas (90°C) sampai dingin 24 jam Rendam air selama 24 jam
Jemur selama 34 hari sampai merekah Jemur selama 34 hari sampai merekah Jemur selama 34 hari sampai merekah Jemur sampai merekah
Turi (S. grandiflora)
Buah/polong berwarna coklat
Lamtorogung (L. leucocephala)
Buah/polong berwarna coklat
Malapari ** (P. pinnata)
Buah/polong berwarna hijau kekuningan sampai coklat Kulit buah berwarna kuning hingga merah
Buah dibelah secara manual
Pulai (A.Scholaris)
Buah/polong berwarna hijau kecoklatan sampai coklat
Kemenyan (S. benzoin)
Kulit buah berwarna coklat
Jemur 1-2 hari atau dengan seed drier pada suhu 38 - 42°C selama 20 jam Buah dibelah secara manual
Nyamplung (C. inophyllum)
Buah direndam ± 2 hari lalu cuci dengan air mengalir
- Wadah kedap - Di ruang AC atau DCS - Wadah kedap - Di ruang kamar atau AC - Wadah plastik dengan media arang sekam - Di ruang kamar - Wadah kedap - Di ruang AC
- Wadah kedap - Di ruang DCS atau refrigator
- Wadah kedap - Di ruang AC dan refrigator
Kulit benih diretak-kan dengan cara menekan benih dgn kayu ringan hingga kulit benih pecah Tanpa perlakuan
Rendam jemur selama 3 hari sampai kulit benih retak
Sumber: BSN (2014 a); *Suita dan Bustomi (2014); **Suita et al. (2014)
Ketepatan waktu pengunduhan merupakan awal diperolehnya benih berkualitas. Warna buah merupakan indikasi tingkat kemasakan benih yang sangat mudah dilakukan sehingga sering dijadikan sebagai dasar untuk waktu pengunduhan. Kemasakan buah untuk jenis tanaman yang termasuk anggota family Leguminosae yang umumnya berbentuk polong, (weru, 47
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
pilang, kaliandra, akor, turi dan lamtoro) ditandai dengan polong (buah) berwarna coklat.Sedangkan untuk jenis kilemo, buah masak ditandai dengan kulit buah berwarna hitam kemerahan, dan untuk jenis nyamplung buah kulit buah berwarna kuning hingga merah. Buah masak hasil pengunduhan selanjutnya diekstraksi baik dengancara ekstaksi kering atau ekstaksi basah. Ekstraksi biji adalah pengeluaran biji dari buah/polongnya. Ekstraksi diperlukan karena biasanya benih tidak dipanen secara langsung. Buah yang berbentuk polong seperti umumnya jenis-jenis leguminosae diekstraksi kering dengan cara menjemur di bawah sinar matahari selama 3-4 hari hingga polong merekah. Bila penyimpanan sementara harus dilakukan, seperti misalnya menunggu transportasi, maka kerusakan terhadap benih harus diupayakan sekecil mungkin dengan menjaga buah tetap kering dan dingin. Ini dapat dilakukan dengan menempatkan buah yang sudah dikemas di bawah naungan yang berventilasi baik.Periode pengumpulan dan ekstraksi harus sesingkat mungkin dan infeksi dari lingkungan sekeliling harus dihindarkan. Perlakuan pendahuluan adalah istilah yang digunakan untuk proses atau kondisi yang diberikan untuk mematahkan dormansi benih (mempercepat perkecambahan benih). Perlakuan yang diberikan tergantung jenis dormansi. Jenis-jenis legumonsae memiliki dormansi fisik dengan kulit benihnya yang keras, sehingga perlakuan pendahuluan adalah dengan perendaman dalam air selama 24 jam. Sedangkan perlakuan pendahuluan untuk benih kilemo dengan caradirendam dalam larutan Asam giberelin (GA 3) konsentrasi 200 ppm selama 48 jam. Teknik ini berhasil meningkatkan persentase perkecambahan sebesar 81% dan mulai berkecambah pada hari ke-21. Sementara perendaman benih dalam air selama 24 jam hanya mampu menghasilkan persen berkecambah sebesar 25,7% dan benih baru mulai berkecambah pada hari ke-38 (Ali dan Rostiwati, 2011). Kemenyan dengan cara rendam jemur secara bergantian selama 3 hari hingga kulit benih retak. Kandungan air pada buah dan benih merupakan faktor penentu untuk viabilitas benih. Benih yang baru diekstraksi masih mengandung kadar air yang cukup tinggi sehingga tidak baik untuk disimpan. Sebelum disimpan benih harus dikeringkan. Pada kenyataannya tidak semua benih dapat dikeringkan. Ada benih yang dapat dikeringkan sampai kadar air rendah (kurang dari 10%) sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Benih seperti ini disebut benih ortodoks. Sebelum diproses atau disimpan benih ortodok harus dikeringkan sampai dengan kadar airnya mencukupi. Benih ortodoks yang dikeringkan akan bersifat dorman (tidur), dan akan berkecambah bila diberi kondisi yang baik untuk berkecambah. Sebaliknya ada benih yang tidak dapat dikeringkan dan sehingga tidak bisa disimpan lama (kadar air awal benih 2050%) dan tidak dapat disimpan pada suhu rendah, sehingga tidak mampu disimpan lama (Bonner et al., 1994).Adapun benih intermediate hanya memerlukan pengeringan kulit. Untuk lebih jelasnya sifat fisik dan fisiologis benih disajikan pada Tabel 6.
48
Aspek Perbenihan
Tabel 6. Mutu fisik dan fisiologis jenis-jenis benih penghasil kayu energi dan obat berdasarkan SNI 7627:2014 Jenis
KA (%)
Akor (A. auriculiformis)
Berat 1000 butir benih (g) 13-18
≤7
Daya Berkecambah (%) ≥ 80
Pilang (A. leucophloea)*
18-27
≤ 10
≤ 50
Weru (A. procera)
26-31
≤ 10
≥ 80
Kaliandra (C. callothyrsus)
44-56
≤ 10
≥ 90
Turi (S. grandiflora)
33-58
6-7
≥ 85
Lamtorogung (L. leucocephala)
50-60
≤9
≥ 70
Malapari (P. pinnata)**
1.507-2.027
57-63
100
Nyamplung (C. inophyllum)
2.800-3.500
20-40
≥ 70
Kilemo (L. cubeba)***
21-28
13-15
≤ 81
Pulai (A.Scholaris)
1,2-3,2
≤ 12
≥ 80
1.600-2.400
25-50
≥ 80
Kemenyan (S. benzoin)
Sumber: BSN (2014 b); * Suita et al (2012); **Suita et al (2014); ***Ali dan Rostiwati (2011) E. Pembibitan
Tingkat keberhasilan penanaman di lapangan sangat ditentukan oleh penggunaan bibit berkualitas.Keberadaan bibit berkualitas tersebut tentunya tidak terlepas dari teknik pembibitannya yang tepat.Teknik pembibitan beberapa jenis tanaman penghasil kayu energi dan obat secara rinci tersaji pada Tabel 7. Kualitas bibit antara lain dipengaruhi secara langsung oleh kondisi media tempat tumbuhnya. Media tumbuh dipersemaian sangat berperan dalam pemenuhan berbagai keperluan kebutuhan hidup bibit antara lain tempat berjangkarnya akar, penyedia air dan unsur hara, penyedia oksigen bagi berlangsungnya proses fisiologi akar serta kehidupan dan aktivitas mikroba tanah. Saat ini penggunaan top soil sebagai media pembibitan semakin berkurang yang disebabkan beberapa kelemahan antara lain mudah memadat, mengandung sedikit bahan organik sehingga aerasi tanah kurang baik, serta yang terpenting adalah kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat pengambilan lapisan top soil. Bahan-bahan organik seperti serbuk sabut kelapa, arang sekam padi, serbuk gergaji dan gambut dapat dimanfaatkan sebagai media pengganti atau media campuran top soil. Bahan-bahan organik tersebut terbukti mampu menghasilkan bibit berkualitas, misalnya arang sekam padi yang dapat digunakan sebagai media tambahan top soil pada media sapih kilemo. Persentase hidup bibit kilemo yang dihasilkannya sebesar 93% dengan pertumbuhan tinggi dan diameter masing-masing mencapai 12,5 cm dan 1,35 cm (Tabel 7). Campuran dari beberapa bahan organik sebagai media tumbuh pengganti top soil di persemaian juga terbukti cukup efektif, yangmana masing-masing bahan organic dapat saling melengkapi satu sama lain. Seperti contohnya adalah campuran kompos dan arangsekampadi yang cukup potensial sebagai media pembibitan jenis pilang (Tabel 7). Selain bahan organik, media pengganti top soil yang juga dapat digunakan adalah lapisan tanah sub soil. Penggunaan sub soil sebagai media tumbuh diketahui cukup baik khususnya untuk jenis tanaman akor, kaliandra, malapari dan kemenyan dengan persentase keberhasilan hidup yang relatif tinggi (Tabel 7). Namun media tanah tersebut umumnya miskin 49
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
hara, sehingga membutuhkan mikoriza, rhizobium atau pupuk untuk membantu meningkatkan pertumbuhan bibit di persemaian. Mikoriza sangat berperan dalam meningkatkan kemampuan penyerapan unsur hara P oleh tanaman disamping peran penting lainnya yaitu meningkatkan ketahanan bibit terhadap kekeringan dan ketahanan dari serangan patogen akar.Peningkatan serapan unsur hara P sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan bibit dipersemaian karena unsur hara tersebut berperan penting dalam pembelahan sel terutama pada perkembangan jaringan meristem, yang selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman (Ulfa, 2010). Inokulasi fungi mikoriza 2,5 g pada bibit kilemo terbukti cukup efektif meningkatkan serapan unsur P sebesar 102,14% dibanding control. Untuk lebih meningkatkan hasil tanaman melalui peningkatan serapan P, dapat juga dilakukan kombinasi antara inokulasi cendawan mikoriza dan pemberian pupuk NPK (Setiawati et al., 2000). Seperti contohnya pemberian mikoriza 5 gram dan NPK 0,5 gram pada bibit kaliandra secara bersamaan menghasilkan nilai kolonisasi akar (84.96%)(Syamsuwida et al., 2014). Tabel 7. Teknik pembibitan jenis tanaman penghasil kayu energi dan obat Jenis Akor (A.auliculiformis) Pilang (A.leucophloea) Weru (A. procera) Kaliandra (C. callothyrsus) Malapari (P. pinnata) Kilemo (L. cubeba) Kemenyan (S. benzoin)
Media tanah sub soil kompos + arang sekam padi kompos + arang sekam padi
Rhizobium (ml)
Mikoriza (g) 2,5
-
NPK (g)
Pertumbuhan Persen Tinggi Diameter hidup (%) (cm) (mm)
-
92,59
7,5
0,79
-
-
-
96,67
11,7
1,84
-
-
-
94,89
16,7
1,23
tanah sub soil
2
2
-
94,20
32,0
2,68
tanah sub soil
-
5
-
77,28
17,0
3,30
tanah + arang sekam padi (3 : 1)
-
-
-
93,00
12,5
1,35
tanah sub soil
-
5
0,5
90,00
13,0
2,05
Selain kombinasi mikoriza dan pupuk NPK, upaya meningkatkan kualitas bibit juga dapat dilakukan dengan mengkombinasikan bakteri rhizobium dan cendawan mikoriza seperti yang telah dilakukan pada bibit kaliandra. Perlakuan kombinasi Rhizobium dan mikoriza pada bibit kaliandra menghasilkan pertumbuhan tercepat dengan rata-rata tinggi 32,0 cm dan diameter 2,68 cm (Tabel 7). Bakteri rhizobium pada bibit berperan untuk mengikat nitrogen di udara melalui bintil (nodul) akar yang dibentuknya.Hal ini disebabkan kekurangan unsur hara terutama unsur hara N dalam media pembibitan menjadi salah satu faktor pembatas pertumbuhan bibit di persemaian.Namun demikian perlu diketahui strain Rhizobium yang paling tepat agar dihasilkan bintil akar yang lebih efektif dalam mengikat nitrogen (Narendra, 2010). Teknik pembibitan jenis-jenis tanaman hutan sangat mempertimbangkan kondisi naungan yang dibutuhkan.Naungan tersebut diperlukan untuk mengurangi penguapan (transpirasi) tanaman dan mempertahankan kelembaban di persemaian sehingga tanaman 50
Aspek Perbenihan
dapat terus tumbuh. Hal tersebut erat kaitannya dengan proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan.Untuk beberapa jenis tanaman hutan seperti kilemo, weru dan kemenyan memerlukan naungan dengan intensintas naungan 25%. Namun untuk beberapa jenis tanaman seperti jenis ganitri, akor, pilang dan malapari justru tidak membutuhkan naungan selama di persemaian. F. Perbanyakan vegetatif stek
Perbanyakan vegetatif merupakan solusi perbanyakan untuk jenis tanaman hutan yang benihnya tidak dapat disimpan karena berwatak rekalsitran. Teknik perbanyakan ini juga sangat bermanfaat dalam rangka perbanyakan klon-klonunggul antara lain klon penghasil sumber kalor yang tinggi atau klon yang memiliki produktivitas minyak tinggi dengan kualitas maksimal. Selain itu hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan di tempat di mana produksi benih terbatas, dengan memanfaatkan tunas-tunas yang masih umur muda yang memiliki kandungan auksin maksimal sebagai bahan stek pucuk. Pembentukan akar pada stek (akar adventif) merupakan proses yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain latar belakang genetik, fisiologi dan perkembangan pohon induk serta hormon dan metabolisme tanaman (Geiss et al., 2009). Untuk itu salah satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah pemilihan bahan stek. Bahan stek terbaik adalah dari bagian tanaman yang bersifat juvenil. Tunas juvenildibangun oleh jaringan-jaringan muda, sehingga sangat mudah untuk merangsang keluarnya akar. Untuk meningkatkan keberhasilan perbanyakan stek dari tunas pohon dewasa dapat dilakukan rejuvenasi. Kegiatan rejuvenasi atau permudaan tersebut bertujuan untuk mendapatkan bahan vegetatif yang secara fisiologis bersifat juvenil/muda serta memiliki kemampuan berakar yang baik, misalnya dengan cara memotong cabang atau pembengkokan batang atau pembengkokan batang pada kebun pangkasan. Beberapa jenis tanaman membutuhkan tambahan zat pengatur tumbuh sebagai hormon tambahan untuk meningkatkan kualitas perakaran stek. Namun banyak pula jenis-jenis tanaman hutan yang tidak memerlukan tambahan zat pengatur tumbuh. Untuk meningkatkan keberhasilan penyetekan, penting memperhatikan media perakaran stek dan kondisi lingkungan. Media perakaran stek yang dapat digunakan antara lain pasir atau media campuran kokopit dan sekam padi (2:1/v/v) maupun media campuran kokopit dan arang sekam padi (2:1; v/v). Kondisi ruang perakaran stek terbaik adalah pada suhu udara < 300C dan kelembaban udara > 90%.Beberapa teknik perbanyakan vegetatif stek disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Teknik perbanyakan vegetative jenis tanaman penghasil kayu energi dan obat Jenis Akor (A. auriculiformis) Pilang (A. leucophloea) Weru (A. procera) Kaliandra (C. callothyrsus) Malapari (P. pinnata) Kilemo
Persen berakar (%)
Pertumbuhan Jumlah akar (helai)
IBA 250 ppm
≥ 90
5,98
-
IBA 200 ppm
46,66
6,46
5,3
IBA 200 ppm
11, 66
5,10
8,2
-
88,76
5,00
3,0
IBA 500 ppm
96,05
4,26
9,5
IBA 1000
52,78
18,00
-
Zat pengatur tumbuh
51
Panjang akar (cm)
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Jenis (L. cubeba) Kemenyan (S. benzoin)
Zat pengatur tumbuh
Persen berakar (%)
Pertumbuhan Jumlah akar (helai)
83,54
14,7
Panjang akar (cm)
ppm -
-
IV. PROSPEK DAN PENGEMBANGAN
Kebutuhan energi dan harga bahan bakar fosil yang terus meningkat dari waktu ke waktu mendorong masyarakat dan banyak industri untuk mulai mencari bahan bakar nabati sebagai alternatif sumber energi yang bersifat renewable. Pengembangan bahan bakar nabati (bioenergi) dari hutan cukup besar mengingat kemudahan jenis-jenis tanaman sumber bioenergi untuk tumbuh pada lahan-lahan yang kurang subur, tidak membutuhkan pemeliharaan yang banyak serta tahan terhadap hama dan penyakit. Peluang investasi bioenergi dari hutan cukup terbuka khususnya untuk arang kayu dan wood pellet. Arang dan wood pellet merupakan hasil konversi biomassa sebagai suatu pilihan bijak pemanfaatan energi yang efektif dan efisien serta bersifat ramah lingkungan. Kebutuhan wood pellet di Eropa sampai tahun 2013 mencapai 15 juta ton.Demikian juga dengan peluang investasi dibidang biofarmaka yang juga masih terbuka lebar. Peluang pasar internasional akan produk kilemo cukup menjanjikan, mengingat masih sedikitnya eksportir kilemo sedangkan kebutuhan pasar internasional cukup tinggi (500 ton per tahun). Selanjutnya diperlukan kebijakan pemerintah yang komprehensif dan terintegrasi dengan sektor terkait guna merangsang iklim investasi pengembangan usaha berbaisis energi dan obat yang kondusif dan kompetitif. Pengembangan usaha kehutanan tersebut juga sebaiknya harus dirancang sedemikian rupa sehingga berefek positif terhadap pembangunan sosial ekonomi masyarakat dan di pihak lain juga tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. V. PENUTUP
Teknologi perbenihan yang tepat merupakan tahapan proses kegiatan penting untuk mendukung pengembangan usaha kehutanan berbasis bioenergi dan biofarmaka. Pemilihan jenis tanaman sebagai sumber bahan baku energi dan obat selain pertimbangan potensi, kesesuaian tempat tumbuh dan produktivitas, juga harus mempertimbangkan aspek sosial ekonomi masyarakat serta aspek konservasi dan deforestasi yang merupakan upaya perbaikan hutan dan lingkungan regional. Diharapkan bioenergi dari hutan dapat menggantikan sebagian keberadaan batu bara, minyak tanah dan solar yang selama ini digunakan. Demikian juga biofarmaka dari hutan yang diharapkan dapat menjadi salah satu sumber devisa negara potensial. DAFTAR PUSTAKA Ali, C dan T. Rostiwati. 2011. Pengaruh hormon pertumbuhan dan senyawa nitrogen serta waktu perendaman terhadap perkecambahan benih lemo. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian. Teknologi Perbenihan Untuk Meningkatkan Produktivitas Hutan Rakyat Di Provinsi Jawa Tengah. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor. Badan Litbang Kehutanan. Kementerian Kehutanan.
52
Aspek Perbenihan
Alrasyid, H. 1981. Some fuelwood tree species characteristic in Indonesia. Balai Penelitian Hutan. BSN. 2014 a. Tanaman Kehutanan - Bagian 12: Penanganan benih generative tanaman hutan. SNI 5006.12:2014 BSN. 2014 b. Mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan. SNI 7627:2014 Cleland, EE, JM Allen, TM Crimmins, JA Dunne, S Pau, SE Travers, ES Zavaleta and EM Wolkovich. 2012. Phenological tracking enables positive species responsesto climate change. Ecology 93(8):1765–1771. Dalimartha. 2001. Atlas tumbuhan obat Indonesia. Dirjen Listrik dan Energi Baru. 1991. Pemilihan jenis pohon energi. Dirjen Listrik dan Energi Baru. Depatemen Pertambangan dan Energi. Fewless, G. 2006. Phenology. http://www.uwgb.edu/biodiversity/phenology/index.htm. (Diakses 26 Juni 2006). Geiss, G., L. Gutierrez dan C. Bellini. 2009. Adventitious Root Formation: New Insights and Perspectives. Annu. Plant Rev. 37 : 127–156. Hartoyo. 1976. Rendemen dan sifat arang beberapa jenis kayu Indonesia. Laporan nomor 62. Lembaga Penelitian Hasil Hutan.; Hendarti, R.L., S.H. Nurrohmah, S. Susilawati dan S Budi. 2014. Budidaya acacia uriculiformis (Acacia auriculiformis) untuk kayu energi. IPB Press. Bogor. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Serbaguna III. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Jakarta. Ika. 2012. Produksi Biodiesel Indonesia kurang 820 ribu kilo liter. Website http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=4654. Diakses tanggal 7 Desember 2013. Johnsen, O., J. Dietrichson, dan G. Skaret. 1989. Phenotypic changes in progenies of northern clones of Picea abies (L.) Karst. grown in a southern seed orchard. III. Climate changes and growth in a progeny trial. Scand. J. For. Res. 4: 343-350. Kompas. 2013. Kompas. 2013. Bahan Bakar Nabati: Wajib Pakai Produksi Biodiesel Dalam Negeri. Terbit Sabtu, 31 Agustus 2013. Leksono, B dan K.P.Putri. 2013. Variasi ukuran buah-biji dan sifat fisiko-kimia minyak nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) dari enam populasi di Jawa. Prosiding Seminar Nasional : Peranan hasil litbang hasil hutan bukan kayu dalam mendukung pembangunan kehutanan, Mataram 12 September 2012. Puslit Peningkatan Produktivitas Hutan, Litbang Kehutanan. Hal 322-335 Lin, T.S. 1983. Variation in content and composition of essential oil from Litsea cubeba collected in different months. Bulletin of the Taiwan Forestry Research Institute No. 398. 9 pp. Millettia Plantations. 2010. Millettia pinnata: the sustainable biofuel crop of the future. http://www.millettiaplantations.com. Diakses pada tanggal 27 November 2012. Mukta, N. dan Y. Sreevalli. 2010. Propagation Techniques, Evaluation and Improvement of The Biodiesel Plant Pongamia pinnata (L) Pierre – A Review. Industrial Crops and Product 31: 1 – 12. Nambiar, E.K.S dan A.G. Brown. 1997. Management of soil nutrient and water in Tropical Plantation Forest. ACIAR and CIFOR Published. CSIRO Canberra. Australia. 53
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Narendra, B.H. 2010. Pengaruh mikoriza dan rhizobium terhadap pertumbuhan bibit kaliandra (Calliandra calothyrsus Meissn). Prosiding seminar nasional : Kontribusi litbang dalam peningkatan produktivitas dan kelestarian hutan, Bogor 29 November 2010. Badan Litbang Kehutanan. Hal 261 – 266. Owens JN and Blake MD. 1985. Forest Tree Seed Production. A review of literature and recommendation for the future research. Canadian Forestry Service. Inf. Ref. PI-X-53, 161 p. Pratiwi. 1999. Karakteristik lahan habitat pulai gading (Alstonia scholaris R.Br.) di Hutan Tanaman, Sumatera Selatan. Buletin Penelitian Hutan 618 : 13-30. Pusat Pengelolaan Ekorgion Sumatera Kementerian Lingkungan Hidup. 2014. Status Kualitas Lingkungan Provinsi Lampung. Data dan Informasi Lingkungan Hidup Sumatera.http://ppesumatera.menlh.go.id. Putri, KP., N. Siregar, M. Sanusi dan Abay. 2011. Kuantifikasi Produksi Buah Tanaman Hutan Jenis Ganitri (Elaecarpus ganitrusi) dan Kilemo (Litsea cubeba). [Laporan Hasil Penelitian]. Balai PenelitianTeknologi Perbenihan. Badan Litbang Kehutanan, Bogor. [Indonesia]. Rostiwati T., Y. Heryati, S. Bustomi. 2006. Review hasil Litbang kayu energi dan turunannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor Schmidt L. 2000. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis. Departemen Kehutanan dan Indonesia Forest Seed Project. Jakarta. Setiawati, MR. B.N. Fitriatin, dan P. Suryatman. 2000. Pengaruh Mikoriza danPupuk Fosfatterhadap Drajat Infeksi Mikoriza dan KomponenPertumbuhan Tanaman Kedelai.Proseding Seminar Nasional Mikoriza I.Bogor. Soerawidjaja, T.H. 2007a. Mabai atau Malapari atau Kranji (Pongamia pinnata). Pusat Penelitian Energi Berkelanjutan (Center for Research on Sustainable Energi). Institut Teknologi Bandung. Bandung. Tidak dipublikasikan. Soerawidjaja, T. H. 2007b. An Overview on Biofuels: The 3rd MRPTNI – CUPT Conference, Chiang Mai, Thailand, 15 December 2007 Sopamena, C.H.A. 2007. Hitaullo (Calophyllum inophyllum L.): Sumber Energi Bahan Bakar Nabati (BBN) dan Tanaman Konservasi. ISBN 978-979-15684-0-19 789791. BAPINDO. Bandung. Sri-Ngernyuang K, Kanzaki M, Itoh A. 2007. Seed production and dispersal of four Lauraceae species in a tropical lower montane forest, Northern Thailand. Mj. Int. J. Sci. Tech 01: 73-87. Suita, E., T. Suharti, D. Haryadi dan Abay. 2012. Pengujian Mutu Fisik, Fisiologis Dan Pendugaan Umur Simpan Benih Jenis Weru (Albizia ProceraBenth) Dan Pilang (Acacia Leucophloea). Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan) Suita, E. dan S. Bustomi. 2014. Teknik Peningkatan Daya Dan Kecepatan Berkecambah Benih Pilang. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 45-52 Suita, E., D. Syamsuwida, Suherman, A.H. Setiawan. 2014. Pengujian Mutu Fisik, Fisiologis Dan Penyimpanan Benih Jenis Malapari (Pongamia Pinnata Merril) Dan Turi (Sesbania Grandiflora). Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan)
54
Aspek Perbenihan
Susanto, M., T.A Prayitno dan Y. Fujisawa. 2008. Wood genetic variation of Acacia auriculifomis at Wonogiri Trial in Indonesia. Journal of Forestry Research Vol 5 (2):125-134. Syachri, N.T. 1982. Beberapa sifat kayu dan limbah pertanian sebagai sumber energy. Laporan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan 1982 (161):17 – 22. Syamsuwida, D., A. Aminah dan A. Muharam. 2011. Fenologi dan Potensi Produksi Benih Tanaman Penghasil Kayu Energi Jenis Weru (Albizia procera), pilang (Acacia leucophloea), akor (Acacia auriculiformis) dan kaliandra (Caliandra callothyrsus). Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor. Tidak diterbitkan. Syamsuwida, D.R. Kurniaty, K.P.Putri dan E. Suita. 2014. Kaliandra ( Calliandra callothyrsus) as a timber for energy: In a point of view of seeds and seedlings procurement. Journal Energy Procedia 47 (2014 : 62-70). Tabla, V.P and C.F Vargas. 2004. Phenology and phenotypic natural selection on the flowering time of a deceit-pollinated tropical orchid, Myrmecophila christinae. Annals of Botany, 94(2): 243-250.http://aob.oxfordjournals.org Utami, S. dan Asmaliyah. 2010. Potensi pemanfaatan tumbuhan obat di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Tekno Hutan Tanaman Vol. 3 (2): 1-29. Wardah. 2005. Keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan hutan Krui, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung Barat. J.Tek.Ling. P3TL-BPPT 6(3): 477-484. Wiens D, Calvin CL, Wilson CA, Davern CI, Frank D, Seavey SR. 1987. Reproductive success, spontaneous embryo abortion and genetic load in flowering plants, Oecologia 71:501509 Zuhud EAM. 2008. Potensi hutan tropika Indonesia sebagai penyangga bahan obat alam untuk kesehatan bangsa. http://www.academia.edu/5650004.
55
Aspek Perbenihan
PENGARUH PENGUSANGAN TERHADAP VIABILITAS BENIH AKOR (Acacia auriculiformis) DAN KALIANDRA (Calliandra calothyrsus) Tati Suharti dan Eliya Suita Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK Pengusangan merupakan salah satu perlakuan terhadap benih yang dapat menyebabkan kemunduran kualitas benih karena lingkungan. Untuk mengetahui proses alami penurunan kualitas benih kaliandra dan akor maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh pengusangan terhadap viabilitas benihnya. Pengusangan dilakukan dengan cara menempatkan benih dalam bak yang telah diisi air sebanyak 150 ml, kemudian dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 40°C selama jangka waktu tertentu sesuai dengan taraf pengusangan yang diberikan. Perlakuan pengusangan untuk masing-masing jenis benih yang akan diuji antara lain: Jenis Kaliandra: (a) kontrol (tanpa perlakuan), (b). benih diusangkan selama 24 jam, (c). 48 jam, (d) 72 jam, (e) 96 jam, (f) 120 jam, (g) 144 jam, (h) 168 jam, (i)192 jam, (j) 216 jam (k) 240 jam. Jenis Akor: (a) kontrol (tanpa perlakuan), (b). benih diusangkan selama 48 jam, (c). 96 jam, (d) 144 jam, (e) 192 jam, (f) 240 jam, (g) 288 jam, (h) 336 jam. Pengusangan benih kaliandra yang di usangkan selama 240 jam masih menghasilkan daya berkecambah cukup tinggi yang tidak berbeda nyata sebelum di usangkan yaitu dengan daya berkecambah 89,50% dan begitu juga dengan benih akor yang di usangkan selama 336 jam dengan daya berkecambah 51,33%. Kata kunci: akor, daya berkecambah, kaliandra, pengusangan
I. PENDAHULUAN Penurunan kualitas benih merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari. Proses kemunduran benih terjadi secara simultan dan merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan hingga benih menjadi tidak viabel. Empat proses awal yang terjadi pada saat benih mulai mengalami kemunduran sejak benih mulai dipanen adalah kerusakan akibat radikal bebas, hilangnya integritas membrane, hilangnya aktivitas enzim dan aktivitas sel. Proses ini akan mengakibatkan berlangsungnya proses-proses selanjutnya, sehingga benih menjadi tidak viabel lagi (Bewley dan Black, 1985). Penurunan kualitas benih dapat diperlambat melalui penyimpanan yang tepat. Salah satu cara untuk mengetahui percepatan penurunan kualitas benih adalah melalui pengusangan dipercepat (accelerated ageing) (Zanzibar, 2007). Pengusangan dipercepat adalah pengujian dengan menggunakan kondisi yang diperburuk berupa panas, oksigen, sinar matahari, getaran, dan lain-lain, untuk mempercepat proses penuaan benih. Pengusangan merupakan salah satu perlakuan terhadap benih yang dapat menyebabkan kemunduran kualitas benih karena lingkungan, yaitu dengan temperatur yang tinggi (40-50°C) dan kelembaban yang tinggi (>90%). Perlakuan ini merupakan pendekatan untuk mendapatkan benih dengan kondisi yang sama dengan benih yang sudah mengalami periode penyimpanan tertentu (Zanzibar, 2003). Hal ini digunakan untuk menentukan efek jangka panjang dari tingkat stres yang diharapkan dalam waktu yang lebih pendek. Metode pengusangan cepat juga digunakan untuk pendugaan daya simpan kedelai (Maesaroh et al., 2012), pengujian vigor daya simpan padi (Cutrisni et al., 2011) dan deteksi dini mutu dan ketahanan simpan benih jagung hibrida (Koes dan Arief, 2010). Beberapa hasil penelitian pengusangan jenis jati selama 9 hari menghasilkan daya berkecambah dan potensial tumbuh maksimum tertinggi (43,359% dan 44,253%) (Prasodjo dan Wiguna, 2002). Menurut Ekowahyuni et al. (2013), metode pengujian vigor daya simpan khususnya benih cabai dapat 57
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
dihasilkan dengan metode pengusangan cepat, hasil penelitian yang terbaik yaitu metode pengusangan cepat methanol 20% pada 0, 2, 4, 6 dan 8 jam. Menurut Wafiroh et al. (2010) metode pengusangan cepat terkontrol juga dapat untuk menguji vigor lot benih wijen di laboratorium. Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Akor (Acacia auriculiformis) merupakan jenis penghasil kayu energi. Akor merupakan bahan untuk kayu bakar dan kayunya juga baik untuk membuat kertas, perabot dan peralatan. Species ini dapat tumbuh pada lahan marjinal, pada lahan bekas tambang dengan pH 3 hingga pantai berpasir dengan pH 8-9, lahan tergenang, lahan alang-alang sehingga sangat cocok untuk rehabilitasi lahan kritis (Joker, 2001). Kaliandra dikenal sebagai tanaman serbaguna karena manfaatnya untuk penghijauan, pencegah erosi, sumber kayu bakar, peternakan lebah madu dan makanan ternak (Tangendjaja et al., 1992). Untuk mengetahui penurunan kualitas benih kaliandra dan akor maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh pengusangan terhadap viabilitas benihnya. II. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian Benih kaliandra berasal dari Mega Mendung, Cipayung, Bogor, sedangkan akor berasal dari Riau. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan yaitu benih kaliandra (Gambar 1.) dan akor (Gambar 2.) yang sudah masak fisiologi yang ditandai dengan warna buah hijau- kecoklatan dan sebagian buah sudah merekah, media kertas merang sedangkan alat yang digunakan yaitu oven, inkubator, germinator, timbangan analitik, petridish, label, kantong plastik, dan lain-lain.
Gambar 1. Benih kaliandra
Gambar 2. Benih akor
C. Prosedur (1) Ekstraksi Benih yang sudah diunduh kemudian diekstraksi untuk mengeluarkan benih dari buahnya. Ekstraksi dilakukan dengan cara penjemuran buah sampai merekah dan untuk mengeluarkan benih dari kulit buah dilakukan dengan cara benih dimasukkan ke dalam karung kemudian dipukul-pukul atau diinjak-injak, kemudian benih dipisahkan dari kulit buahnya secara manual. (2) Perlakuan Pengusangan Perlakuan pengusangan dilakukan untuk menduga viabilitas benih selama penyimpanan. Pengusangan dilakukan dengan cara menempatkan benih dalam bak yang telah diisi air sebanyak 150 ml, kemudian dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 40°C selama jangka waktu tertentu sesuai dengan taraf pengusangan yang diberikan. Perlakuan pengusangan untuk masing-masing jenis benih yang akan diuji antara lain: Jenis Kaliandra: (a) kontrol (tanpa perlakuan), (b). benih diusangkan selama 24 jam, (c). 48 jam, (d) 72 jam, (e) 96 jam, (f) 120 jam, 58
Aspek Perbenihan
(g) 144 jam, (h) 168 jam, (i)192 jam, (j) 216 jam (k) 240 jam. Jenis Akor: (a) kontrol (tanpa perlakuan), (b). benih diusangkan selama 48 jam, (c). 96 jam, (d) 144 jam, (e) 192 jam, (f) 240 jam, (g) 288 jam, (h) 336 jam.
Gambar 3. Inkubator Pada setiap periode pengusangan diuji kadar air dan perkecambahannya. Untuk penaburan masing-masing perlakuan terdiri dari 50 benih dengan 4 ulangan (kaliandra) dan 100 benih dengan 4 ulangan (akor). Benih hasil pengusangan dikecambahkan di cawan petri dengan media kertas merang. Pengamatan dilakukan setiap 2 hari, dengan menghitung kecambah normal. Penentuan kadar air dengan metode oven suhu 103±2°C selama 17±1 jam. D. Analisis data Data dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Uji jarak Duncan digunakan untuk membandingkan nilai rata-rata tahap pengusangan (Steel and Torrie, 1980). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis ragam pengaruh pengusangan jenis kaliandra terhadap peubah kadar air dan daya berkecambah (Tabel 1). Tabel 1. Analisa Keragaman Kadar Air dan Daya Berkecambah pada Pengusangan Kaliandra Jenis Kaliandra
Parameter Kadar Air
Daya Berkecambah
Sumber Keragaman Ukuran Sisa Total Ukuran Sisa Total
Derajat Bebas 11 24 35 11 36 47
Jumlah Kuadrat 46,43 32,72 79,14 2368,92 1719,00 4087,92
Kuadrat Tengah 4,22 1,36
F hitung
215,36 47,75
4,51*
3,10*
Keterangan * = nyata pada tingkat kepercayaan 95%
Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa hasil analisa keragaman untuk parameter kadar air dan daya berkecambah memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan, untuk itu dilanjutkan dengan uji lanjut. Benih kaliandra yang diusangkan sampai 240 jam masih mempunyai daya berkecambah yang tidak berbeda nyata dengan kontrol, tetapi ada ketidakstabilan pada pengusangan 96 jam dan 192 jam, ini dimungkinkan karena ketidakhomogennya pengambilan sampel benih. Sedangkan untuk kadar airnya berfluktuasi dengan nilai kadar air awal 5,56%, kemudian menaik dan dapat mencapai 9,77%. Adanya kondisi turun naiknya kadar air benih selama pengusangan kemungkinan disebabkan/dipengaruhi kondisi suhu kelembaban yang ada di ruang inkubator. Walaupun kadar air berfluktuasi tetapi tidak terlalu berpengaruh terhadap daya berkecambah dimana daya berkecambah tetap tinggi. 59
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tabel 2. Hasil Uji Lanjut Rata-Rata Kadar Air dan Daya Berkecambah Benih Kaliandra Hasil Pengusangan Jenis Kaliandra (Mega Mendung)
Pengusangan (jam) Kontrol
5,56 d
Daya Berkecambah (%) 95,00a
24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264
7,94abc 8,90abc 7,22 bcd 7,26 bcd 8,69abc 6,67 cd 8,48abc 9,11ab 7,23 bcd 9,77a 7,39 bcd
89,50ab 85,50ab 89,00ab 83,00 b 93,00ab 90,00ab 91,00ab 71,50 c 85,50ab 89,50ab 73,00 c
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kadar Air (%)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan pada tingkat kepercayaan 95%
Dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa hasil analisa keragaman untuk parameter kadar air dan daya berkecambah memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan, untuk itu dilanjutkan dengan uji lanjut. Tabel 3. Analisa Keragaman Kadar Air dan Daya Berkecambah pada Pengusangan Akor Jenis Akor
Parameter Kadar Air
Daya Berkecambah
Sumber Keragaman Ukuran Sisa Total Ukuran Sisa Total
Derajat Bebas 7 15 22 7 16 23
Jumlah Kuadrat 857,75 155,23 1012,98 2039,83 1432,00 3471,83
Kuadrat Tengah 122,54 10,35
F hitung 11,84*
291,41 89,50
Keterangan * = nyata pada tingkat kepercayaan 95%
Tabel 4. Hasil Uji Lanjut Rata-Rata Kadar Air Dan Daya Berkecambah Benih Akor Hasil Pengusangan Pengusangan Daya Berkecambah Kadar Air (%) (jam) (%) Akor (Riau) Kontrol 6,56 e 63,33a 1 48 19,04 bc 66,00a 2 96 21,02 b 60,67ab 3 144 18,91 bc 38,00 c 4 192 23,28ab 44,67 bc 5 240 28,58a 60,67ab 6 288 13,93 cd 50,67abc 7 336 12,28 de 51,33abc Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan pada tingkat kepercayaan 95% Jenis
60
3,26*
Aspek Perbenihan
Pengusangan jenis akor, walaupun sudah diusangkan selama 336 jam tetapi daya berkecambahnya masih belum berbeda nyata dengan kontrol, tetapi ada penurunan pada pengusangan 144 jam kemudian menaik lagi pada periode berikutnya. Sedangkan untuk kadar airnya terus meningkat, puncaknya pada pengusangan 240 jam yang mencapai 28,58%. Walaupun kadar air meningkat tetapi belum mempengaruhi daya berkecambahnya. Jenis akor dan kaliandra merupakan jenis yang mempunyai kulit benih yang keras sehingga apabila akan dilakukan penaburan harus diberi perlakuan terlebih dahulu. Dengan pengusangan selama 240 jam (kaliandra) dan 336 jam (akor), jenis ini masih dapat mempertahankan daya berkecambahnya, kemungkinan karena perlindungan dari kulit benih yang keras sehingga dengan kondisi yang ekstrim benih bisa bertahan. Sesuai dengan penelitian jenis Albizia procera (Suita, 2013) yang sudah diusangkan selama 880 jam, masih mempunyai daya berkecambah 69% dan Acacia mangium (Zanzibar, 2003), yang sudah diusangkan selama 480 jam, masih mempunyai daya berkecambah 74%. karena kemungkinan benih mempunyai kulit benih yang keras dan impermeable sehingga kondisi lingkungan yang ekstrim selama proses pengusangan tidak memberikan pengaruh yang besar terutama penyerapan air ke dalam sel. Dengan demikian apabila kadar air benih dipertahankan dengan kondisi ruang simpan yang terkendali maka benih kaliandra dan akor dapat mempertahankan daya berkecambahnya dalam waktu yang cukup lama. IV. KESIMPULAN Kualitas benih kaliandra yang diusangkan selama 240 jam belum mengalami penurunan, masih menghasilkan daya berkecambah cukup tinggi yang tidak berbeda nyata sebelum di usangkan yaitu dengan daya berkecambah 89,50%, begitu juga dengan benih akor yang sudah diusangkan selama 336 jam dengan daya berkecambah 51,33%. DAFTAR PUSTAKA Bewley, J.D and M. Black. 1985. Physiology and Biochemistry of Seed. Vol I. Springer Verlag. New York Cutrisni, F. C. Suwarno, dan Suwarno. 2011. Pengujian Vigor Daya Simpan Dengan Metode Pengusangan Cepat Fisik Dan Vigor Kekuatan Tumbuh Pada Benih Padi. Karya Tulis Institut Pertanian Bogor. Abstract Pdf. Ekowahyuni, L.P., S. H. Sutjahjo, S. Sujiprihati, M. R. Suhartanto, dan M. Syukur. 2013. Evaluasi Vigor Daya Simpan Benih Pada Berbagai Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.) Dengan Metode Pengusangan Cepat. Volume 1 Nomor 1. E-Journal WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan. Joker. 2001. Acacia auriculiformis Cunn. ex Benth. Informasi Singkat Benih. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Koes, F. Dan R. Arief. 2010. Deteksi Dini Mutu Dan Ketahanan Simpan Benih Jagung Hibrida F1 Bima 5 Melalui Uji Pengusangan Cepat (Aat). Prosiding Pekan Serealia Nasional. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maesaroh, S, Y.Wahyu E.K., dan E. Widajati. 2012. Pendugaan Daya Simpan Galur-Galur Kedelai (Glycine Max (L.) Merr.) Hasil Iradiasi Sinar Gamma Dengan Metode Pengusangan Cepat. Karya Tulis Institut Pertanian Bogor. Abstract Pdf.
61
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Prasodjo, HN. dan G. Wiguna. 2002. Penggunaan metode pengusangan cepat untuk memperbaiki perkecambahan benih jati (Tectona grandis L.f). Buletin Vol. IV (01). Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Principles and procedures of statistic. McGraw-Hill, Inc. Suita, E. 2013. Pengaruh pengusangan terhadap viabilitas benih weru (Acacia procera Benth.). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan. Vol 1(1). Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanamn Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan Tangendjaja, B., E. Wina, T. Ibrahim dan B. Palmer. 1992. Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan pemenfaatannya. Balai Penelitian Ternak dan The Australian Centre for International Agricultural Research. Wafiroh, S., E. Murniati dan A. Qadir. 2010. Pengujian Vigor Benih Menggunakan Metode Pengusangan Cepat Terkontrol Dan Korelasinya Terhadap Daya Tumbuh Dan Vigor Bibit Wijen. Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Zanzibar, M. 2003. Kemunduran Viabilitas Beberapa Benih Pohon Hutan Akibat Pengaruh Perlakuan Pengusangan. Buletin Teknologi Perbenihan Vol. 10 (1). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Zanzibar, M. 2007. Pengaruh Perlakuan Pengusangan dengan Uap Etanol Terhadap Penurunan Kulitas Fisiologis Benih Akor, Merbau dan Mindi. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 4 (2). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.
62
Aspek Perbenihan
INFORMASI AWAL INDENTIFIKASI CENDAWAN KARAT PURU TERBAWA BENIH SENGON: PENGARUHNYA TERHADAP PERKECAMBAHAN Yulianti Bramasto, Danu dan Muhammad Zanzibar Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK Produktivitas hutan tanaman sengon (Albizia falcataria L. Forsbeg) di Pulau Jawa, saat ini terus menurun karena adanya serangan berbagai hama dan penyakit. Salah satu penyakit yang cukup mendesak untuk segera dilakukan pengendalian adalah penyakit karat puru. Penyakit karat puru dapat menyerang berbagai bagian tanaman sengon diantaranya adalah polong yang selanjutnya berpengaruh terhadap benih. Hasil pengamatan awal pada benih sengon yang berasal dari berbagai lokasi yang sudah terserang karat puru, yaitu Garut (Jawa Barat), Boyolali (Jawa Tengah), Kediri (Jawa Timur ), sedangkan benih asal Papua, tegakannya masih bebas karat puru. Hasil pengamatan menunjukkan polong yang berasal dari Garut sudah terserang karat puru, demikian pula dengan benihnya. Daya berkecambah (DB) dan kecepatan berkecambah (KCT) benih yang berasal dari Papua mempunyai nilai tertinggi yaitu 84,5% dan 0,11% per et mal dibandingkan ketiga asal benih lainnya. Hal ini diduga karena benih asal Papua belum terserang karat puru sehingga mempunyai viabilitas benih tertinggi. Viabilitas benih (DB dan KCT) terendah adalah yang berasal dari Boyolali, nilai DB dan KCT masing-masing adalah 39,5% dan 0,037% per et mal. Oleh karena itu upaya pengendalian pada tingkat benih mutlak dilakukan, selain melalui teknik penanganan benih juga perlu adanya pengawasan terhadap peredaran benih sengon. Kata kunci: Albizia falcataria, Jawa, karat tumor, Papua, polong
I. PENDAHULUAN Tanaman sengon merupakan jenis andalan hutan rakyat, khususnya di Pulau Jawa, namun saat ini kondisi tegakan sengon di Jawa, mulai dari daerah Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur sebagian besar sudah terserang penyakit karat tumor/puru. Menurut Anggraeni (2008) serangan karat puru pada sengon mulai diketahui pada tahun 1996 di daerah Maluku, selanjutnya mulai tahun 2003 sudah ditemukan dibeberapa tempat di Jawa, dan serangan karat puru terus meluas hingga hampir seluruh tegakan sengon di Jawa. Upaya mendapatkan klon sengon toleran terhadap karat puru telah dilakukan oleh Baskorowati (2014) dan Setiadi et al. (2014) melalui pembangunan Kebun Benih Uji Keturunan dan pembangunan plot uji resistensi sengon terhadap karat puru. Adapun Anggraeni melakukan penelitian teknik pengendalian secara fisik maupun kimiawi. Penelitian yang sedang dilakukan oleh Lelana (2014) adalah mengkoleksi cendawan antagonis (endofit) yang dapat dijadikan pengendali hayati. Di duga penyebaran penyakit karat puru pada tanaman sengon terjadi melalui benih (seed borne pathogen). Mikroorganisme lainnya yang penyebarannya terbawa benih yakni cendawan, bakteri, virus dan nematode. Cendawan merupakan patogen yang sering menginfeksi benih baik pada saat di lapangan maupun di penyimpanan. Patogen benih dapat terbawa bibit lebih lanjut dapat menginfeksi tanaman setelah berada di lapangan (Lazreg et al., 2014). Patogen terbawa benih menyebabkan benih busuk, nekrosis dan mengurangi viabilitas benih dan vigor bibit (Naqvi et al., 2013). Kerugian yang disebabkan oleh patogen yang terbawa benih antara lain menurunnya kualitas dan kuantitas benih. Pathogen terbawa benih dapat terjadi didalam benih atau dipermukaan benih. Mekanisme pathogen terdapat dalam benih terjadi pada saat proses penyerbukan, yaitu 63
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
terbawa atau menempel pada pollinator. Pada saat pollinator menyerbuki bunga betina, maka spora atau benang miselia yang menempel pada pollinator akan mengkotaminasi serbuk sari (polen) dan akhirnya masuk dalam tabung ovarium (Ovary) dan jaringannya tetap hidup hingga terbentuknya embrio. Adapun cendawan yang terdapat dipermukaan luar benih, kemungkinan karena benih terkontaminasi cendawan yang terbawa angin, atau pada saat pengunduhan benih jatuh ke tanah, dan tanah sudah terkontaminasi oleh cendawan. Kemudian benih yang mengandung cendawan karat puru didistribusikan ke daerah lain. Tujuan dari penelitian ini adalah mengindentifikasi cendawan karat puru pada benih serta mengetahui pengaruhnya terhadap perkecambahan benih sengon. II. METODOLOGI Bahan yang digunakan adalah benih sengon, yang berasal dari Garut Jawa Barat, Boyolali Jawa Tengah, Kediri Jawa Timur dan Papua. Alat-alat yang digunakan antara lain media agar, petridish, media perkecambahan, bak kecambah, label, mistar, oven, germinator, timbangan analitik, kamera, mikroskop, plastic, shading net dan laminar air flow. Penelitian identifikasi cendawan serta perkecambahan benih dilakukan di Laboratorium, rumah kaca dan persemaian BPTPTH Bogor. Pengunduhan buah sengon dilakukan pada pohon sengon yang telah berbuah masak secara fisiologis. Pengunduhan buah dilakukan dengan cara memanjat pohon, buah sengon (polong) dipetik menggunakan galah berkait atau pisau/sabit. Ujung galah diberi karung kecil atau kantong jaring sehingga bila polong dipetik dapat langsung masuk ke dalam karung atau jaring. Polong-polong yang terlihat sudah terinfeksi oleh cendawan karat puru selanjutnya dipisahkan dan diisolasi untuk diidentifikasi dibawah mikroskop. Cendawan karat puru dibiakan pada media agar, yaitu dengan meletakkan bagian polong yang sudah terinfeksi karat puru pada media agar. Cawan petri yang berisi bagian polong/benih yang mengandung cendawan selanjutnya diinkubasi selama 7 hari dengan kondisi penyinaran 12 jam terang dan 12 jam gelap secara bergantian. Pada hari ke-8 cendawan diidentifikasi dengan membandingkan bentuk, pertumbuhan, warna dan mikroskopisnya. Adapun benih hasil ekstraksi selanjutnya dikecambahkan pada bak kecambah dengan menggunakan media campuran pasir dan tanah (v/v : 1/1), media perkecambahan sebelum dipergunakan, disterilkan terlebih dahulu dengan cara di steam (kukus) selama ± 3 jam. Jumlah benih yang dikecambahkan dari setiap lokasi adalah 100 butir dan diulang 4 kali. Pengamatan perkecambahan dengan menghitung daya berkecambah dan kecepatan berkecambah. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Identifikasi Hasil pengumpulan benih dari berbagai lokasi sentra tanaman sengon di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, menunjukkan bahwa sebagaian besar tegakan sengon sudah terserang karat puru. Secara umum bagian tanaman yang diserang adalah batang, cabang dan daun (Gambar 1).
64
Aspek Perbenihan
Gambar 1. Posisi serangan karat puru pada bagian batang dan cabang tanaman sengon di Kediri
Serangan karat puru menyerang pada semua tingkat umur tanaman, mulai dari bibit, tanaman muda hingga tanaman tua. Hasil pengamatan pada tingkat polong juga menunjukkan adanya serangan karat puru pada tingkat ini. Karakteristik karat puru adalah merupakan cendawan obligat, yaitu cendawan ini hanya akan bertahan hidup dan tumbuh pada jaringan tanaman yang masih hidup (Wiyastuti et al. 2013; Lelana, 2015). Serangan karat puru juga terjadi pada bagian polong, bentuk polong yang terserang karat puru dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Serangan karat puru pada polong sengon asal Garut
Cendawan karat puru yang menyerang bagian polong tersebut selanjutnya diisolasi dan didentifikasi dibawah mikroskop, hasil identifikasi menunjukkan bahwa bentuk morfologi cendawan tersebut mempunyai ciri-ciri yang sama dengan yang telah dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Hasil pengamatan bentuk cendawan karat puru pada polong dapat dilihat pada Gambar 3.
A
B
C
Gambar 3. Bentuk cendawan karat puru pada fase teliospora yang diisolasi dari bagian polong (A dan B) serta benih (C ) sengon
Penyebab penyakit karat puru pada tanaman sengon adalah cendawan Uromycladium tepperianum (Sace.) McAlp atau jamur karat (Anggraeni, 2008; Rahayu et al., 2010). Jamur hanya membentuk satu macam spora yang dinamakan teliospora. Hasil pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan teliospora berbentuk bulat, mempunyai struktur yang berjalur dan 65
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
bergerigi (Gambar 3), ukuran rata-rata panjang dan lebar masing-masing adalah panjang berkisar 20-29 µm dan lebar 18-26 µm. Namun Rahayu et al. (2010) melaporkan ukuran spora berkisar antara lebar 13-20 µm dan panjang 17-28 µm, sedangkan hasil penelitian Sumeru D. (2013) menyatakan bahwa panjang dan lebar spora masing-masing adalah 20-28 μm dan 15-25 μm. Hal ini menunjukkan adanya variasi ukuran dari teliopsora. Teliospora akan berkecambah dan menghasilkan basidiospore, dan bentuk basidiospore inilah yang melakukan penetrasi langsung pada bagian-bagian tanaman, selanjutnya menembus epidermis dan berkembang pada jaringan inang dibawahnya (Rahayu et al., 2010; Widyastuti et al., 2013; Sumeru, 2013). Berdasarkan penjelasan tentang proses infeksi jamur karat puru, maka keberadaan karat puru pada bagian polong, akan secara langsung menyerang bagian benih, sehingga benih yang dihasilkan dari polong yang sudah terinfeksi karat puru menghasilkan benih yang sudah terinfeksi pula oleh karat puru. Penularan karat puru pada bagian polong dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya terbawanya spora oleh angin atau serangga (Triyogo dan Widayatuti, 2012). Serangga yang berasosiasi dengan karat puru menurut Triyogo dan Widayatuti (2012) terdiri dari 5 (lima) ordo yaitu Hemiptera, Diptera, Hymenoptera, Coleoptera dan Lepidoptera. Benih atau bagian benih yang terserang pathogen banyak ditemukan pada benih tanaman pangan seperti pada gandum (Majumder et al., 2013), demikian pula pada beberapa benih tanaman hutan (Yulianti dan Suharti, 2007; Suharti et al., 2014; Suharti dan Yulianti, 2014). Dampak serangan pathogen pada benih dapat menurunkan viabilitas benih. B. Viabilitas benih sengon Dalam penelitian ini dilakukan pula pengujian viabilitas terhadap benih sengon yang berasal dari berbagai lokasi. Pengamatan dilakukan terhadap daya kecambah benih (DB) dan kecepatan berkecambah (KCT), kedua respon ini merupakan informasi awal untuk mengetahui mutu fisiologis benih. Hasil pengamatan daya berkecambah dan kecepatan berkecambah dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Gambar 4. Daya berkecambah benih dari tiga lokasi asal benih
Sengon yang tumbuh di Papua sampai saat ini masih belum terserang karat puru, sehingga terlihat benih sengon yang berasal dari Papua mempunyai rata-rata daya berkecambah paling tinggi (Gambar 4). Demikian pula dengan kecepatan berkecambah benih asal Papua mempunyai nilai rata-rata tertinggi (Gambar 5), hal ini berarti benih sengon asal Papua mempunyai vigor yang lebih tinggi dibanding benih asal lainnya.
66
Aspek Perbenihan
Gambar 5. Kecepatan berkecambah (KCT) benih sengon dari tiga lokasi asal benih
Waktu berkecambah benih, untuk benih asal Kediri dan Papua mulai berkecambah normal pada hari ke lima dan enam setelah tabur, sedangkan benih asal Garut dan Boyolali mulai berkecambah normal pada hari ke delapan setelah tabur. Terlihat benih asal Garut dan Boyolali lebih lambat berkecambah, dan mempunyai daya berkecambah dan kecepatan yang rendah. Gambar 6 menunjukkan perbedaan waktu dan jumlah kecambah yang tumbuh dari setiap asal benih.
Gambar 6. Jumlah kecambah normal pada setiap hari pengamatan
Benih asal Papua mulai berkecambah pada hari ke 6 setelah tabur dan mencapai puncaknya pada hari ke 8 setelah tabur, sedangkan benih asal Kediri mulai berkecambah pada hari ke 5 dan mencapai puncaknya pada hari ke 7. Benih asal Garut dan Boyolali mempunyai jumlah kecambah rendah dan mulai berkecambah pada hari ke 7 dan mencapai puncaknya pada hari ke 11. Berdasarkan Gambar 6 tersebut terlihat benih asal Papua lebih vigor, lebih cepat berkecambah dengan jumlah kecambah normal tertinggi dibanding tiga lokasi lainnya. Hal ini juga terlihat dari total kecambah normal yang tumbuh sampai akhir pengamatan (Gambar 4), DB benih asal Papua mempunyai nilai tertinggi (84,25%). Hampir seluruh tegakan sengon yang berada di Pulau Jawa sudah terserang karat puru, demikan pula dengan tegakan di Kediri dan Boyolali, kemungkinan polong yang sudah terserang karat puru, menginfeksi pula benihnya, sehingga berpengaruh terhadap perkecambahan. Namun hal ini perlu pengamatan lebih lanjut pada tingkat bibit, apakah akan mempengaruhi pertumbuhan bibit serta kemunculan karat puru pada bibit. Terbawanya karat puru pada benih sengon, merupakan salah satu penyebab semakin cepatnya penyebaran serangan karat puru, khususnya di Pulau Jawa, sebagai sentra tanaman 67
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
sengon rakyat. Upaya pengendalian karat puru sudah banyak dilakukan, namun hingga saat ini pengendalian pada tingkat benih belum pernah dilakukan, karena pengendalian lebih difokuskan pada tanaman muda maupun tua dilapangan. Melihat gejala yang sudah disampaikan diatas terlihat benih dapat menjadi salah satu penyebab tersebarnya karat puru, oleh karena itu pengendalian ditingkat benih mutlak dilakukan. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain dengan melalukan sterilisasi benih sebelum disemai, yaitu benih dicuci atau disterilkan dengan klorox. Metoda lain yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan vigor benih, yaitu melalui metoda primming. Bila serangan karat muncul pada tingkat bibit, maka bibit yang terkena serangan karat puru segera disingkirkan dan dimusnahkan agar tidak tumbuh dan menyebar ke tanaman lainnya. Pada tingkat regulasi dapat didekati dengan mengawasi peredaran atau lalu lintas benih. Hingga saat ini peredaran benih tanaman hutan belum sepenuhnya terawasi dengan baik, sehingga upaya untuk mengatur peredaran benih harus segera dilakukan. Tanaman sengon di beberapa tempat di luar Jawa, belum mengalami serangan karat puru, oleh karena itu perlu adanya pengaturan peredaran benih sengon yang berasal dari Pulau Jawa, untuk sementara sebaiknya benih sengon yang berasal dari Pulau Jawa tidak diedarkan di luar Jawa. IV. KESIMPULAN Penyebaran penyakit karat puru pada tanaman sengon dapat terbawa pada polong maupun benih, sehingga berpengaruh terhadap viabilitas benih. Selain itu benih dan polong yang terserang karat puru dapat berfungsi sebagai vector penyebaran karat ke wilayah lain. Oleh karena itu upaya pengendalian pada tingkat benih mutlak dilakukan, selain melalui teknik penanganan benih juga perlu adanya pengawasan terhadap sistem peredaran benih sengon. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Ir. Joakim Sagala, Kepala Balai BPTH MalukuPapua atas bantuan benih sengon asal Papua, serta kepada Sdri Dina Agustina, Sdr. Dwi Haryadi, Sdr. Emuy Supardi, Sdr. Ateng Rahmat, Sdri Anggun, Sdri Suherman dan Sdr Agus Hadi serta seluruh pihak yang telah membantu penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, I. 2008. Pengendalian Penyakit Karat Tumor (Gall Rust) Pada Sengon (Paraserianthes Falcataria) Di RPH Pandantoyo, BKPH Pare, KPH Kediri. Makalah Workshop Penanggulangan Serangan Karat Puru pada Tanaman Sengon 19 Nop 2008. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Baskorowati, L. 2014. Seleksi Genetik Sengon (Falcataria moluccana) Toleran Karat Tumor. Leaflet. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Lazreg, L. Belabid, J. Sanchez, E. Gallego dan B. Bayaa. 2014. Pathogenicity of Fusarium spp. Associated with Diseases of Aleppo-pine Seedling in Algerian Forest Nurseries. Journal of Forest Science 60 (3): 115 – 120. Lelana, N.E. 2014. Pengembangan Fungi Endofit sebagai agen pengendali hayati pada tanaman Jabon, Sengon dan benuang bini. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014. Pusat Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
68
Aspek Perbenihan
Lelana, N.E. 2015. Penanganan Penyakit Karat Puru pada Sengon. Makalah disampaikan pada Workshop Pengelolaan Hama & Penyakit Tanaman Sengon. Kediri 25-26 Agustus 2015. Tidak diterbitkan. Majumder D, Thangaswamy Rajesh, E. G. Suting, Ajit Debbarma. 2013. Detection of seed borne pathogens in wheat: recent trends. Aus. Journal of Crop Science. 7 (4): 500-507. Naqvi, S. D. Y., T. Shiden, W. Merhawi dan S. Mehret. 2013. Identification of Seed-borne Fungi on Farmer Saved Sorghum (Sorghum bicolor L.) Pearl Millet (Pennisetum glaucum L.) and Groundnut (Arachis hypogaea L.) Seeds. Agricultural Science Research Journals 3 (4): 107 – 114. Rahayu, S. Susee Lee, Nor aini ab Shukor. 2010. Uromycladium tepperianum, the gall rust fungus from Falcataria moluccana in Malaysia and Indonesia. Mycoscience 51(2):149153. DOI: 10.1007/s10267-009-0022-2 Setiadi D, Liliana Baskorowati, dan Mudji Susanto. 2014. Pertumbuhan Sengon Solomon Dan Responnya Terhadap Penyakit Karat Tumor Di Bondowoso, Jawa Timur. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. Vol. 8 No. 2: 121-136 Suharti, Yulianti Bramasto, Naning Yuniarti, 2014. Pengaruh Teknik Pengendalian Penyakit Benih Jabon Merah (Anthocephalus Macrophyllus) Selama Penyimpanan Terhadap Viabilitas Benih Dan Persentase Infeksi Cendawan. Prosiding Seminar Nasional Fitopatologi, Padang. Sumbar. Suharti Dan Yulianti Bramasto, 2014. Pengaruh Teknik Pengendalian Penyakit Benih Tembesu (Fagraea Fragrans) Selama Penyimpanan Terhadap Viabilitas Benih Dan Persentase Infeksi Cendawan. prosiding Seminar Nasional Silvikultur ke-2, tgl 28 Agustus 2014). Sumeru, DR. 2013. Karakteristik morfologi dan patogenesitas jamur penyebab penyakit karat tumor pada sengon gunung (Paraserianthes lophantha). Skripsi. Program Studi Budidaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada. Triyogo dan Widyastuti. 2012. Peran Serangga sebagai vector penyakit karat puru pada sengon (Albizia falcataria L. Fosberg). J. Agron. Indonesia 40 (1): 77-82. Widyastuti SM, Harjono, Zulchan Andika Surya. 2013. Initial Infection of Falcataria moluccana leaves and Acacia manium Phyllodes by Uromycladium tepperianum Fungi in Laboratory Trial. Jurnal Manejemen Hutan (JMHT) Vol.XIX, (3): 187-193. Yulianti, B. dan T. Suharti. 2007. Pengaruh Hama dan Penyakit Pada Benih Tanaman Hutan Serta Pengaruhnya Terhadap Viabilitas dan Vigor Bibit Di Persemaian. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang Teknologi Perbenihan. Bogor.
69
Aspek Perbenihan
FENOLOGI PERKEMBANGAN BUNGA DAN BUAH NYAMPLUNG (Callophylum inophylum) Evayusvita Rustam, Dida Syamsuwida dan Aam Aminah Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan ABSTRAK Tujuan penelitian adalah mempelajari fenologi perkembangan bunga dan buah nyamplung yang meliputi stuktur dan inisiasi bunga serta siklus perkembangan pembungaan dan pembuahan. Penelitian dilakukan di Batukaras-Ciamis (Jawa Barat) mulai bulan Februari sampai Oktober 2013. Kegiatan meliputi pemilihan dan penentuan pohon yang diamati, pengamatan jaringan tunas bunga serta pengamatan tahap pembungaan dan pembuahan. Metode yang digunakan adalah pengamatan langsung terhadap bentuk dan struktur penyusun bunga. Metode inisiasi bunga dilakukan dengan teknik sayatan mikro (microcutting). Perkembangan bunga dan buah diamati secara visual terhadap tahaptahap perkembangan mulai dari tunas generatif, kuncup bunga, bunga mekar, bakal buah hingga buah tua. Berdasarkan hasil pengamatan dapat di deskripsikan bahwa bunga nyamplung merupakan bunga majemuk yang tersusun dalam untaian seperti malai. Berdasarkan kelangkapan yang dimiliki, bunga nyamplung merupakan bunga lengkap dengan organ kelamin ganda (hermaprodit). Inisiasi bunga nyamplung terdeteksi pada bulan Mei, namun diduga sudah terjadi sejak bulan April hingga bulan Oktober 2013 Siklus reproduksi nyamplung terjadi antara 130-175 hari atau 4-6 bulan mulai dari tunas generatif pada bulan April sampai buah masak siap panen bulan Juli-Agustus 2013. Kata kunci: bunga, buah, nyamplung, organ reproduksi, struktur
I. PENDAHULUAN Nyamplung (Calophyllum inophylum) adalah jenis tanaman hutan yang akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian pemerhati energi karena berpotensi tinggi sebagai sumber bioenergi terbarukan (Hayes et al., 2007; Bustomi et al., 2009). Pemanfaatan nyamplung dari segi teknis sebagai biofuel sudah dapat diatasi, akan tetapi pembatas utama dari pengembangan bioenergi nyamplung adalah bahan baku berupa biji. Sampai saat ini pemenuhan biji nyamplung masih dikumpulkan dari tegakan alami yang banyak tumbuh sepanjang pantai sebagai windbreak. Upaya di sektor budidaya nyamplung telah dilakukan dengan penanaman di beberapa lokasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten dan Sulawesi Selatan berkaitan dengan program DME (Desa Mandiri Energi) berbasis nyamplung (Leksono et al., 2014). Namun sampai saat ini produksi buah masih jauh dari target yang diharapkan. Keberhasilan usaha peningkatan produktivitas benih berhubungan erat dengan pengetahuan mengenai biologi reproduksi. Pembungaan, penyerbukan dan pembentukan buah sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (fithohormon, genetis) dan eksternal (kondisi lingkungan), karenanya pengetahuan mengenai faktor-faktor tersebut serta pengaruhnya terhadap tiap tahap perkembangan organ reproduksi harus diketahui. Di bidang kehutanan, semua penelitian tentang ekologi reproduksi mengarah pada hasil akhir berupa peningkatan kuantitas dan kualitas biji, baik dari sisi genetis maupun fisiologis (Suginingsih dan Daryono, 2006). Fenomena alam yang terjadi pada siklus hidup tanaman seperti gugurnya daun, pembungaan dan pembuahan biasanya bervariasi menurut kondisi lingkungannya, terutama jika spesies tersebut dapat hidup di kisaran tipe iklim dan edafik yang luas (Bawa dan Hadley 1990, Owens et al., 1991). Keberhasilan proses reproduksi suatu tanaman bergantung pada kemampuannya melampaui tahapan-tahapan perkembangan yang dimulai dengan inisiasi 71
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
kuncup bunga dan berakhir dengan kematangan buah dan biji. Kegagalan pada salah satu tahapan perkembangan ini dapat berakibat pada turunnya produktivitas biji sebagai hasil akhirnya (Owens et al., 1991). Oleh karena itu informasi tentang pembungaan dan pembuahan, melalui studi fenologi pembungaan, sangat diperlukan. Pemahaman tentang fenologi pembungaan dan pembuahan akan meningkatkan kualitas dan kualitas benih melalui prediksi waktu pemanenan dan produksi benih yang tepat. Proses pembungaan mengandung sejumlah tahap penting, yang semuanya harus berhasil dilalui untuk memperoleh hasil akhir yaitu biji, dan masing-masing tahap tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal yang berbeda. Beberapa faktor eksternal diantaranya faktor iklim yang mempengaruhi pembungaan dan pembuahan adalah suhu, kelembaban, intensitas cahaya dan curah hujan (Haferkamp, 1988). Setiap bunga memiliki potensi untuk berkembang menjadi buah dan benih, tetapi hasil pengamatan menunjukkan bahwa meskipun pembungaan merupakan prasyarat untuk pembuahan, namun pembungaan yang banyak terkadang menghasilkan produksi benih yang rendah. Pada kenyataannya hanya sebagian dari bunga yang berkembang menjadi buah dan benih yang baik walaupun pada musim benih yang baik. Hal ini terutama tampak jelas pada jenis-jenis Angiosperma dengan bunga yang kecil dan buah yang besar (Schmidt, 2000). Tujuan penelitian ini adalah mempelajari fenologi perkembangan bunga dan buah nyamplung yang meliputi stuktur dan inisiasi bunga serta siklus perkembangan pembungaan dan pembuahan. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah pohon, bunga dan buah nyamplung, aquades, alkohol 96%, Formalin dan asam cuka. Alat-alat yang digunakan adalah preparat, mikroskop, silet, timbangan analitis, oven, pinset dan kaliper, kamera, alat ukur, tangga pengamatan, kantong plastik, label. B. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Batukaras-Ciamis (Jawa Barat) pada bulan Februari hingga Oktober 2013. Kegiatan meliputi pemilihan dan penentuan pohon yang diamati serta pengamatan pembungaan dan pembuahan. Sebanyak sepuluh pohon nyamplung yang tersebar sepanjang pantai dipilih sebagai bahan pengamatan. Pengamatan jaringan tunas bunga dilakukan di Laboratorium Mikroteknik (Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB). Kondisi geografis lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kondisi lingkungan pengamatan fenologi pembungaan nyamplung Lokasi
Lahan desa
Lokasi administrasi Dusun Sanghiang Kalang Desa Batukaras Kecamatan pemerintahan Cijulang Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat Garis bujur 108o30’00” BT Garis lintang 07o43’55” LS Struktur tanah Pasir Ketinggian tempat (m dpl) 1,87 m Tipe iklim A Suhu 33oC Kelembaban 86 % Sumber: Dinas kabupaten Ciamis , 2010 dan Sembiring 1996
72
Aspek Perbenihan
C. Metodologi 1. Pengamatan struktur morfologi bunga dan buah Pengamatan stuktur bunga dilakukan terhadap bentuk bunga, bentuk dan jumlah penyusun struktur bunga. 2. Pengamatan inisiasi pembungaan a. Bakal tunas bunga diperoleh dari 5 pohon dan masing-masing pohon diambil 3 sampel bakal tunas bunga. Pengambilan tunas dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Jumlah sampel keseluruhan sebanyak 15 sampel untuk setiap kali pengambilan. Sampel bakal tunas yang diperoleh difiksasi dalam botol berisi larutan FAA sebanyak 10 ml. b. Selanjutnya dilakukan sayatan secara mikroskopis terhadap bakal tunas bunga dengan menggunakan mikrotome, dibuat preparat dan diamati dibawah mikroskop. Apabila hasil pengamatan menunjukkan adanya bentuk jaringan tunas reproduktif, maka dapat diketahui kapan terjadi inisiasi bunga. 3. Pengamatan Siklus Perkembangan Bunga dan Buah (Owens, 1991) Pengamatan dilakukan secara visual langsung di lapangan terhadap sepuluh pohon dengan memberi tanda pada cabang produktif (mengalami pembungaan). Tahap-tahap yang diamati mulai dari terjadinya tunas bunga, bunga mekar (anthesis) hingga bunga layu. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap perkembangan buah, pengamatan perkembangan dimulai dari bakal buah, buah muda dan buah masak. Selain waktu juga dicatat perubahan ukuran, warna, bentuk bunga, perubahan ukuran, warna dan bentuk buah/biji. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Struktur Bunga Nyamplung Bunga nyamplung tersusun secara majemuk yang berbentuk malai, dalam satu malai terdiri dari beberapa bunga tunggal. Berdasarkan kelengkapan pada bunga tunggal, bunga nyamplung memiliki stuktur bunga yang lengkap terdiri dari perhiasan dan kelamin bunga. Perhiasan bunga terdiri dari kelopak dan mahkota bunga sedangkan kelamin terdiri dari putik dan benang sari (Gambar 1). Mahkota (petal)
Benang sari (stamen) Putik (pistilum)
kelopak (Sepal) Tangkai bunga
Gambar 1. Struktur morfologi bunga nyamplung
Kelopak bunga berada pada bagian paling luar dari kuncup bunga, pada umumnya kelopak memiliki fungsi sebagai pelindung bagian bunga yang masih calon. Kelopak bunga akan bertahan sampai bunga siap untuk mekar. Kelopak memiliki warna yang hampir sama dengan mahkota bunga yaitu berwarna putih. Mahkota bunga berbentuk bulat berjumlah 5 (lima) helai dan saling lepas. 73
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Ekspresi yang ditunjukkan dari kelamin bunga menunjukkan bunga nyamplung merupakan bunga lengkap yaitu bunga yang memiliki dua organ kelamin dalam satu bunga (hermaprodit). Putik merupakan organ kelamin betina dan benang sari merupakan organ kelamin jantan. Putik berjumlah satu dan benang sari mengelilingi putik. Benang sari berukuran sedikit lebih panjang dibandingkan putik dengan kepala sari berwarna kuning. Ukuran benang sari yang panjang dan jumlah yang banyak pada satu bunga memungkinkan terjadinya penyerbukan sendiri pada setiap bunga. 2. Inisiasi Bunga Nyamplung Perkembangan pembungaan diawali dari adanya inisiasi bunga. Proses inisiasi bunga hanya dapat dilihat secara mikroskopis melalui penyayatan jaringan tunas menggunakan mikrotome. Inisiasi bunga nyamplung diamati di plot penelitian Batukaras-Ciamis dan sampel tunas diambil selama tiga bulan berturut-turut mulai dari bulan Mei hingga Juli. Pada sampel yang diambil pada bulan Mei sudah terdeteksi adanya inisiasi bunga dengan terbentuknya primordia bunga setelah terjadinya primordia daun (Gambar 2). Sehingga pada perkembangan selanjutnya akan terlihat kuncup bakal malai bunga berada pada ketiak daun (aksilaris). pd pb
Gambar 2. Irisan longitudinal tunas generatif nyamplung memperlihatkan primodia bunga (pb) dan primodia daun (pd)
Pada jenis nyamplung inisiasi bunga terdeteksi pada bulan Mei hingga Juli. Akan tetapi, diamati dari siklus perkembangan pembungaan dapat diduga inisiasi berlangsung pada periode yang cukup panjang. Dugaan ini didasarkan pada pengamatan bulan April yang sudah terlihat adanya kuncup bakal malai bunga hingga bulan Oktober. Siklus reproduksi nyamplung berlangsung relatif pendek yaitu 4-6 bulan dan umumnya jenis tropis tidak memiliki dormansi tunas yang dipengaruhi kondisi iklim musiman (Owens and Blake, 1985). Dengan demikian, kemungkinan besar periode pembungaan dan pembuahan nyamplung berlangsung lebih dari satu kali dalam setahun, karena pada kesempatan pengamatan nyamplung bulan Oktober 2013, di plot penelitian di Batukaras masih ditemukan kondisi pembungaan (umumnya bunga mekar), walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak. Hal ini mengindikasikan masih terjadinya proses inisiasi hingga bulan Oktober. 3. Siklus Perkembangan Pembungaan dan Pembuahan Nyamplung Perkembangan bunga dimulai dari munculnya kuncup generatif pada bulan April, dan dalam perkembangannya pada bulan yang sama membentuk malai sampai bagian penyusun dari bunga layu pada bulan Mei dan selanjutnya memasuki tahap perkembangan buah MeiJuli/Agustus. Siklus perkembangan bunga dan buah diilustrasikan pada Gambar 3.
74
Aspek Perbenihan
Tunas generatif
Buah tua
Perkembangan malai
Bakal malai
Buah muda
Pembesaran ovarium
Bunga mekar
Bunga layu
Gambar 3. Siklus Perkembangan Bunga dan Buah Nyamplung
Tunas generatif muncul selama 2-7 hari, kemudian tunas generatif berkembang menjadi bakal malai. Perkembangan bakal malai seiring dengan perkembangan kuncup bunga dimana pada setiap ujung dari bakal tangkai bunga terdapat tonjolan bulat. Selama perkembangannya bakal malai mengalami perubahan panjang dan warna dari warna kuning sampai berwarna putih. Kuncup berada pada bagian ujung dari tangkai bunga, berbentuk bulat dan berwarna putih, bunga kuncup berlangsung antara 16-34 hari, selama bunga kuncup terjadi perubahan ukuran dari bunga itu sendiri, perubahan ukuran bunga menandakan terjadinya perkembangan bagian-bagian penyusun bunga yang ada di dalam kuncup bunga. Setelah itu bunga mekar dengan didahului membukanya mahkota bunga. Bunga mekar hampir serempak dalam satu malai (biasanya perlu waktu 2-5 hari agar seluruhnya mekar) mulai dari bagian pangkal menuju ke bagian ujung dan bertahan selama 3-6 hari. Mekarnya bunga menandakan kesiapan dari bunga untuk melakukan proses reproduksi. Benang sari bertahan selama kurang lebih 7-10 hari, selama itu proses penyerbukan terjadi. Setelah penyerbukan terjadi, benang sari akan layu dan gugur diikuti oleh bagian bunga yang lain. Bagian dasar bunga terlihat adanya pembesaran ovarium yang menandakan telah terjadi penyerbukan dan ovul telah terbuahi selanjutnya berkembang menjadi bakal dari buah nyamplung. Sementara bunga yang tidak berhasil dalam proses penyerbukannya akan gugur bersama tangkai bunga. Sumber polen (serbuk sari) yang membuahi kepala putik (stigma) dapat berasal dari bunga yang sama atau dari bunga lain dari pohon yang sama atau dapat pula berasal dari bunga pohon yang berbeda. Dalam studi ini tidak dilakukan pengamatan terhadap proses penyerbukannya itu sendiri. Buah melewati beberapa fase perkembangan yaitu bakal buah, buah muda dan buah masak. Bakal buah berkembang setelah berlangsungnya proses penyerbukan yang ditandai oleh semakin membesarnya ovarium. Bakal buah berwarna kuning dengan tangkai putik masih menempel pada bagian atas dari bakal buah. Selama perkembangan bakal buah terjadi perubahan ukuran dan perubahan warna dari kuning sampai hijau menandakan buah muda. Saat buah muda tidak lagi terjadi pertambahan ukuran dimensi buah akan tetapi pada tahap buah muda terjadi pematangan bagian-bagian buah sehingga perubahan terlihat pada pertambahan berat dari buah. Setelah perkembangan buah muda terhenti memasuki tahapan buah tua/masak secara visual terlihat kulit buah berwarna kuning kecoklatan dengan bintik hitam. Waktu yang dibutuhkan selama perkembangan bunga menjadi buah siap panen pada tanaman nyamplung terjadi selama kurang lebih 4-6 bulan. 75
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Waktu terjadinya setiap tahap perkembangan berbeda untuk setiap lokasi dimana tanaman tumbuh. Menurut Gibblin (2005) variasi geografis dalam ketahanan pembungaan dimediasi melalui perbedaan spesifik gender pada respon yang kondisional terhadap kesesuaian kecepatan pertumbuhan. Selain itu masa pembungaan akan lebih panjang ketika kesesuaian kecepatan pertumbuhan lebih rendah dan pengeluaran energi dalam pemeliharaan pembungaan (floral maintenance costs) juga sedikit. Ketahanan bunga mekar dalam periode waktu tertentu dipengaruhi oleh jumlah bunga dalam satu malai) Bunga mekar dalam malai yang sebelumnya sebagian tunas bunganya dibuang memperlihatkan ketahanan mekar (antesis) yang lebih lama dibanding kontrol (tanpa pembuangan tunas bunga) (Abdala-Roberts et al., 2007). Dengan demikian ada kemungkinan dalam satu populasi dari jenis yang sama, terdapat perbedaan ketahanan pembungaan yang dipengaruhi oleh jumlah individu bunga dalam malai serta proses penyerbukan yang terjadi. Saat antesis, bunga siap melakukan penyerbukan. Penyerbukan akan terjadi apabila stigma sudah reseptif, polen masak, agen pembantu penyerbuk tersedia serta faktor internal maupun eksternal lainnya mendukung (Griffin & Sedgley 1989, Amots et al., 2005). Apabila terjadi penyerbukan, maka bagian petal (mahkota bunga) akan gugur (jatuh) dan bagian bawah pistil (ovarium) terlihat membesar berwarna hijau. Sebaliknya, apabila tidak terjadi penyerbukan maka bunga secara keseluruhan akan gugur. Gugurnya bunga dapat juga terjadi karena terpaan angin kencang atau hujan lebat. Sehingga kegagalan dalam pembentukan bunga menjadi buah dapat disebabkan oleh faktor biologis, fisiologis dan mekanis. Selama periode reproduksi, kemungkinan kegagalan hidup dapat terjadi pada setiap tahap perkembangan mulai dari pembungaan hingga pembuahan dan perkecambahan. Kegagalan pada setiap tahap tersebut mempunyai risiko yang sama terhadap kualitas dan kuantita produksi benih yang dihasilkan, dengan demikian perlu manajemen yang baik pada setiap peristiwa perkembangan tanaman. IV. KESIMPULAN Bunga nyamplung merupakan bunga majemuk yang tersusun dalam untaian seperti malai. Berdasarkan kelengkapan yang dimiliki, bunga nyamplung merupakan bunga lengkap dengan organ kelamin ganda (hermaprodit). Inisiasi bunga nyamplung terdeteksi pada bulan Mei dan diduga sudah terjadi sejak bulan April hingga bulan Oktober. Siklus reproduksi nyamplung terjadi antara 130-175 hari atau 4-6 bulan mulai dari tunas generatif pada bulan April sampai buah masak siap panen bulan Juli-Agustus. DAFTAR PUSTAKA Abdala-Roberts L, Parra-Tabla V, Navarro J. 2007. Is Floral Longevity Influenced by Reproductive Costs and Pollination Success in Cohniella ascendens (Orchidaceae)? Ann Bot, 100(6): 1367–1371. Amots D, Kevan PG, Brian CH. 2005 Practical Pollination Biology. Enviroquest, Ltd, ISBN 978-09680123-0-7. Bawa, KS dan Hadley, M. 1990. Reproductive Ecology of Tropical Forest Plant. UNESCO. Paris, France. Bustomi S, T Rostiwati, Sudradjat, AS Kosasih, I Anggraeni, B Leksono, S Irawanti, R Kurniaty, D Syamsuwida, R Effendi, Mahfudz, D Hendra. 2009. Nyamplung (Calophyllum inophyllum 76
Aspek Perbenihan
L): Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Ed revisi. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Gibblin DE. 2005. Variation in floral longevity between populations of Campanula Rotundifolia (Campanulaceae) in response to fitness accrual rate manipulation. American Journal of Botany 92(10):1714–1722. Griffin dan Sedgley. 1989. Sexual Reproduction of Tree Crops. Academic Press. Sydney. Haferkamp, M. 1988. Environmental factors affecting plant productivity. In Achieveing Efficient Use of Rangeland Resources. Fort Keogh Research Symposium. Miles City. RS White & RE Short (eds). Montana Agr.Exp.Sta, Bozeman. 132 p. Hayes, D. J., Ballentine, R., & Mazurek, J. (2007). The promise of biofuels: A home-grown approach to breaking America’s Oil Addiction (Policy Report March 2007). Progressive Policy Institute. Leksono, B, Hendrati, R.L, Windyarini, E, Hasnah, T. 2014. Variation in Biofuel Potential of Twelve Calophyllum Inophyllum Populations in Indonesia. Indonesian Journal of Forestry Research Vol. 1 (2): 127 – 138. Owens, J.N and M.D Blake. 1985. Forest Tree Seed Production. A review of literature and recommendations for future research. Can. For.Serv.Inf. Rep.PI-X-53, 161 p. Owens, JN. 1991. Flowering and Seed Ontogeny, Technical Publication No. 5, ASEAN-Canada Forest Tree Seed Centre Project, Muak-Lek Saraburi, Thailand. Owens JN, P. Sornsathaporhkul and S. Tangmitchareon. 1991. Studying Flowering and Seed Ontogeny in Tropical Forest Trees. ASEAN-Canada Forest Tree Seed Centre Project. Thailand. Schmidt L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. Jakarta. Suginingsih, Daryono P. 2006. Variasi pembungaan dan pembuahan Pulai (Alstonia scholaris) dari berbagai tempat tumbuh dan pengaruhnya terhadap kualitas fisik dan fisiologis benih. Laporan Penelitian. Laboratorium Teknologi.
77
Aspek Perbenihan
PENINGKATAN DAYA DAN KECEPATAN BERKECAMBAH BENIH KALIANDRA (Calliandra calothyrsus) DENGAN SORTASI BENIH Eliya Suita Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK Untuk memilih benih-benih bermutu fisiologis tinggi salah satunya dengan cara seleksi/sortasi benih. Ukuran benih pada jenis-jenis tertentu berkorelasi dengan viabilitas dan vigor benih, dimana benih yang besar cenderung mempunyai vigor yang lebih baik.Untuk tersedianya benih bermutu jenis kaliandra, maka diperlukan suatu kegiatan meningkatkan daya dan kecepatan perkecambahan benih dengan klasifikasi benih. Seleksi/sortasi benih dilakukan menggunakan alat Seed Gravity Table (SGT). Berdasarkan alat SGT, dikelompokkan ke dalam empat kelas ukuran benih yaitu: kelompok benih 1 (KB1), kelompok benih 2 (KB2), kelompok benih 3 (KB3), dan kelompok benih 4 (KB4). Kadar air benih kaliandra terendah terdapat pada benih asal Tabek Patah dengan kadar air 5,74% dengan berat 1000 butir 45,35 g, sedangkan kadar air tertinggi terdapat pada benih asal Mega Mendung degan kadar air 8,87% dengan berat 1000 butir 53,17 g. Persentase berat benih terbanyak umumnya pada kriteria kelompok benih 1 (KB1) kemudian ukuran kelompok benih 3 (KB3), dengan nilai di atas 40% dan yang terkecil terdapat pada kriteria kelompok benih 2 (1-3%). Daya berkecambah benih dan pertumbuhan tinggi bibit kaliandra umumnya memperlihatkan bahwa yang lebih baik terdapat pada kriteria kelompok benih 1 (KB1) sedangkan nilai yang terkecil terdapat pada kriteri kelompok benih 4 (KB4). Kata kunci: daya kecambah, kecepatan berkecambah, kaliandra, sortasi
I. PENDAHULUAN Keberhasilan penanaman, tidak terlepas dari penyediaan benih bermutu. Untuk mendapatkan benih bermutu diperlukan penangan benih yang baik. Penanganan benih merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam rangka penyediaan bahan tanaman yang berkualitas, karena sebaik apapun sumber benih apabila penanganan benih tidak dilakukan dengan benar, maka akan menurunkan mutu fisik dan fisiologis benih. Penanganan benih dimulai dari pengumpulan buah yang dilakukan pada saat sebagian besar pohon yang berada pada sumber benih berbuah dan sudah masak fisiologis, kemudian dilakukan ekstraksi untuk memisahkan benih dari bagian buah lainnya (kulit, daging, tangkai, sayap). Seleksi dan sortasi dilakukan untuk memisahkan benih-benih dari kotoran dan pengelompokan benih sesuai berat dan ukurannya. Penyimpanan benih sebaiknya dilakukan terhadap benih dengan daya berkecambah awal yang tinggi. Untuk memilih benih-benih bermutu fisiologis tinggi salah satunya dengan cara seleksi/sortasi benih. Menurut Schmidt (2000), ukuran benih terkadang berkorelasi dengan viabilitas dan vigor benih, dimana benih yang berat cenderung mempunyai vigor yang lebih baik. Sorensen dan Campbell (1993), menyatakan ukuran benih dalam bentuk berat dan ukuran dimensi yang lebih besar lebih banyak dipilih karena umumnya berhubungan dengan kecepatan berkecambah dan perkembangan semai yang lebih baik, tetapi ini akan membuang benih berukuran lebih kecil yang mungkin mempunyai genetik lebih baik (Schmidt, 2000). Beberapa hasil penelitian mengenai seleksi/sortasi benih antara lain: benih akor yang diseleksi dengan alat Seed Gravity Table menghasilkan benih berukuran besar (KB1) yang mempunyai daya berkecambah 62%, sedang (KB2) 55% dan kecil (KB3) 41%. (Suita, 2013), begitu juga dengan jenis weru yang diseleksi dengan alat yang sama menunjukkan bahwa benih yang lebih 79
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
besar mempunyai daya berkecambah yang lebih tinggi (Suita et al., 2013) dan untuk jenis Styrax benzoin dengan ukuran besar, sedang, dan kecil masing-masing memiliki daya berkecambah 55,33%, 38,67% dan 28% (Suita dan Kartiana, 2006). Adanya dugaan bahwa benih berukuran besar memberikan keuntungan fisiologis karena persediaan cadangan makanan yang lebih mencukupi untuk perkecambahan benih perlu diteliti untuk jenis-jenis tanaman hutan. Diharapkan adanya klasifikasi ukuran benih ini akan memperbaiki kualitas fisiologis lot benih yang dapat menjamin perkecambahan dan pertumbuhan bibit lebih baik. Dengan demikian upaya tersebut akan meningkatkan keberhasilan persemaian dalam rangka menyediakan bibit bermutu untuk kegiatan penanaman. Kaliandra (Calliandra calothyrsus) merupakan jenis penghasil kayu energi. Kaliandra dikenal sebagai tanaman serbaguna karena manfaatnya untuk penghijauan, pencegah erosi, sumber kayu bakar, peternakan lebah madu dan makanan ternak (Tangendjaja et al., 1992). Benih kaliandra memiliki variasi berat/ukuran yang umumnya berpengaruh terhadap mutu benih dan vigor bibit, walaupun tidak selalu pengaruh tersebut terlihat secara signifikan. Untuk tersedianya benih bermutu jenis kaliandra, maka diperlukan suatu kegiatan meningkatkan daya dan kecepatan perkecambahan benih dengan sortasi benih. II. METODOLOGI D. Lokasi dan Waktu Penelitian
Benih kaliandra berasal dari Tabek Patah dan Sei Ungkang,Batusangkar (Sumbar), Ciamis (Jawa Barat) dan Mega Mendung (Jawa Barat).Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan Kebun Percobaan Nagrak Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor. Bahan yang digunakan adalah jenis Kaliandra (Calliandra calothyrsus), dengan, media perkecambahan (pasir dan tanah (1 : 1) (v/v)) dan media pembibitan (tanah + arang sekam) (1:1) (v/v)). Peralatan yang digunakan meliputi bak kecambah, oven, germinator, timbangan analitik, seed gravity table, polybag dan lain-lain. E. Metodologi 1. Ekstraksi Benih jenis kaliandra (Calliandra calothyrsus) diunduh pada saat masak fisiologi yang ditandai dengan warna buah hijau-kecoklatan dan sebagian buah sudah merekah. Benih yang sudah diunduh kemudian diekstraksi untuk mengeluarkan benih dari buahnya. Ekstraksi dilakukan dengan cara buah dijemur sampai merekah, dan untuk mengeluarkan benih dari kulit buah dengan cara benih dimasukkan ke dalam karung kemudian dipukul-pukul atau diinjak-injak, kemudian benih dipisahkan dari kulit buahnya secara manual. 2. Pengujian kadar air benih Penentuan kadar air menggunakan metode oven temperatur rendah 103 ± 2°C selama 24 jam. Kandungan air yang hilang ini mencerminkan kadar air benih (Sudrajat etal., 2007). Kadar air dinyatakan dalam persen berat dan dihitung dalam 1 desimal terdekat (ISTA, 2010) dengan rumus sebagai berikut: Kadar air = (M2-M3) x 100% (M2-M1) dimana: M1 : berat wadah dan penutup dalam gram M2 : berat wadah, penutup, dan benih sebelum pengeringan M3 : berat wadah, penutup, dan benih sesudah pengeringan
Pengujian kadar air menggunakan 3 ulangan @5 gram benih. 80
Aspek Perbenihan
3. Penentuan berat 1000 butir benih Benih dihitung secara acak 100 butir dengan ulangan 8 kali.Timbang setiap ulangan dalam gram. Berat 1000 butir adalah rata-rata berat 100 benih dikalikan 10 (ISTA, 2010). 4. Seleksi benih menggunakan seed gravity table (SGT)
Gambar 1. Alat Seed Gravity Table
Pengaturan alat sebagai berikut: a. Kemiringan = horizontal -1° dan vertikal 0°; skala hembusan = 5,5 getaran/detik; curah umpan = 150 mm/detik; kecepatan getaran = 350 mm/detik. b. Benih yang digunakan lebih kurang sebanyak 500 gr, kemudian dimasukkan ke dalam alat Seed Gravity Table yang sudah di atur seperti pengaturan di atas. c. Benih hasil seleksi, berdasarkan alat SGT, dikelompokkan ke dalam empat kelas ukuran benih yaitu: kelompok benih 1 (KB1), kelompok benih 2 (KB2), kelompok benih 3 (KB3), dan kelompok benih 4 (KB4). Tiap-tiap kelompok benih ditimbang dan dihitung persentase masing-masing kelompok benih. 4. Perkecambahan Benih Benih yang sudah diklasifikasikan sesuai ukuran benih, masing- masing ditabur/ dikecambahkan pada bak kecambah dengan media pasir dan tanah (1:1).Pengamatan terhadap perkecambahan dilakukan setiap 2 hari dengan mencatat jumlah kecambah normal yang tumbuh. Kriteria kecambah normal adalah telah munculnya sepasang daun dan bebas dari serangan hama/penyakit.Pengamatan diakhiri setelah 10 hari berturut-turut tidak terdapat lagi pertumbuhan kecambah normal. Hasil dari kecambah normal dipindahkan ke polybag dengan media tanah + arang sekam (1:1), dengan jumlah ulangan 4, dan setiap ulangan 10 bibit. 5. Parameter yang diukur/diamati terdiri dari: a. Kadar Air. b. Berat 1000 butir. c. Variasi berat/ukuran benih (persentase setiap kelas ukuran/berat benih). d. Perkecambahan benih (daya berkecambah dan kecepatan berkecambah). Daya berkecambah ditentukan dengan jumlah benih yang sudah berkecambah normal. Menurut Sadjad (1999), daya berkecambah menjabarkan parameter viabilitas potensial dan rumus daya berkecambah (DB) adalah: DB = ∑ KN X 100% N ∑KN = jumlah benih yang menjadi kecambah normal sampai hari ke-60 N = jumlah benih yang ditabur Kecepatan berkecambah yang dihitung adalah benih yang berkecambah dari hari pengamatan ke-1 sampai dengan hari terakhir. Dengan penghitungan kecambah normal pada setiap pengamatan dibagi dengan etmal (1 etmal = 24 jam). Menurut Sadjad et al. (1999) dan (Widajati, 2013), kecepatan berkecambah menjabarkan parameter vigor dan rumus kecepatan berkecambah sebagai berikut: 81
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 𝑛
KN i Wi
Kct = 𝑖=1
Dimana: i = hari pengamatan; KNi = kecambah normal pada hari ke-i (%); Wi= Waktu (etmal) pada hari ke-i. e. Pertumbuhan bibit (tinggi dan diameter) hasil seleksi, yang diukur setiap periode satu bulan selama tiga bulan. 7. Analisis data Data hasil seleksi dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Uji jarak Duncan digunakan untuk membandingkan nilai rata-rata antar-kelas ukuran benih (Steel and Torrie, 1980). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar air benih kaliandra cukup rendah yaitu di bawah 9%. Secara fisiologis benih terbagi dalam 2 kategori yaitu benih ortodok yang toleran terhadap penurunan kadar air (kurang dari 10%) dan viabilitasnya dapat dipertahankan selama penyimpanan pada suhu rendah, yang lainnya adalah benih rekalsitran yang tidak tahan terhadap pengeringan (kadar air awal benih 20-50%) dan tidak dapat disimpan pada suhu rendah, sehingga tidak mampu disimpan lama (Bonner, etal., 1994). Dengan demikian benih kaliandra dapat dikategorikan sebagai benih ortodok. Berat 1.000 butir benih kaliandra berkisar 45,35 gr - 53,17 gr dan jumlah benih perkilogram berkisar 18.808 butir-22.051 butir (Tabel 1.) Tabel 1. Kadar air, berat 1.000 butir benih dan jumlah benih/ kg jenis kaliandra Jenis
Asal Benih
Kaliandra
Tabek Patah
5,74
45,35
22.051
Sei Ungkang
5,89
48,60
20.576
Mega mendung
8,87
53,17
18.808
Ciamis
8,12
50,11
19.956
KA (%)
Berat 1000 butir (gr)
Jumlah Benih/kg (butir)
Kadar air benih akan mempengaruhi berat 1000 butir benih dan jumlah benih per kilogram. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa benih kaliandra yang mempunyai kadar air yang tinggi (Mega Mendung) 8,87% mempunyai berat 1000 butir yang tertinggi (53,17 gr), tetapi sebaliknya menghasilkan jumlah benih per kg paling sedikit (18.808 butir). Kadar air yang terendah adalah yang berasal dari Tabek Patah (5,74%) mempunyai berat 1.000 butir benih terendah (45,35 gr) tetapi mempunyai jumlah benih terbanyak 22.051 butir. A. Persentase berat benih pada masing-masing kelompok berat (KB) Benih yang di seleksi dengan alat Seed Gravity Table, untuk jenis kaliandra yang berasal dari Mega Mendung, Tabek Patah dan Sei Ungkang pada Kelompok Benih 1 (KB1) mempunyai presentase jumlah benih yang terbanyak (47,64%, 47,39% dan 41,99%) diikuti Kelompok Benih 3 (KB3) dengan persentase jumlah benih sebanyak 41,88%, 41,91% dan 40,71%, benih kaliandra yang berasal dari Ciamis terbanyak pada Kelompok Benih 3 (KB3) dengan persentase jumlah benih 45,48%. Ini menunjukkan bahwa benih yang berasal dari Mega Mendung, Tabek Patah dan Sei Ungkang mempunyai ukuran benih rata-rata berukuran besar/berat, sedangkan untuk benih yang berasal dari Ciamis rata-rata berukuran sedang, ini sama dengan jenis weru (Suita et al., 2013) yang berasal dari Carita, Majalengka dan Sumedang yang diseleksi dengan alat Seed Gravity Table menunjukkan bahwa benih yang terbanyak presentasenya adalah Kelompok 82
Aspek Perbenihan
Benih 3 (KB3). Sedangkan Kelompok Benih 2 (KB2) dari ke empat lokasi relatif mempunyai persentase sedikit yaitu di bawah 8,41%. Persentase Benih (%) 47,64
Persentase Benih (%) 47,39
41,88 8,55
1,93 KB1
KB2
KB3
41,91
KB4
KB1
KB2
Mega mendung
41,99 KB1
KB2
KB3
KB4
Tabek Patah
Persentase benih (%) 3,29
8,27
2,44
Persentase Benih (%)
40,71
14,01
23,4
8,41
45,48
20,22
KB3
KB4
KB1
KB2
KB3
KB4
Sei Ungkang
Ciamis
Gambar 1. Persentase berat benih
B. Hasil analisa keragaman berat 1.000 butir, daya berkecambah, pertumbuhan tinggi dan diameter bibit kaliandra hasil seleksi Tabel 3. Analisa keragaman berat 1000 butir, Daya Berkecambah, pertumbuhan tinggi dan diameter bibit kaliandra hasil seleksi Seed Gravity Table Asal Benih Mega Mendung
Tabek Patah
Sumber Keragaman Berat 1.000 Ukuran Butir Sisa Total Daya Ukuran Berkecambah Sisa Total Tinggi Bibit Ukuran Sisa Total Diameter Ukuran Bibit Sisa Total Berat 1.000 Ukuran Butir Sisa Total Daya Ukuran Berkecambah Sisa Total Tinggi Bibit Ukuran Sisa Total Diameter Ukuran
Derajat Bebas 2 21 23 3 9 12 3 12 15 3 12 15 3 23 26 4 14 18 3 12 15 3
83
Jumlah Kuadrat 12,24 0,20 12,44 596,92 1000,00 1596,92 66,95 42,64 109,58 0,45 1,13 1,58 2,50 0,15 2,65 1367,49 551,67 1919,16 8,80 14,56 23,36 0,03
Kuadrat Tengah 6,12 0,01
F hitung 649,23**
198,97 111,11
1,79ns
22,32 3,55
6,28*
0,15 0,09
1,61ns
0,83 0,01
124,35**
341,87 39,41
8,68*
2,93 1,21
2,42ns
0,01
0,16ns
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Asal Benih
Sumber Derajat Keragaman Bebas Bibit Sisa 12 Total 15 Sei Berat 1.000 Ukuran 3 Ungkang Butir Sisa 23 Total 26 Daya Ukuran 3 Berkecambah Sisa 11 Total 14 Tinggi Bibit Ukuran 3 Sisa 12 Total 15 Diameter Ukuran 3 Bibit Sisa 12 Total 15 Ciamis Berat 1.000 Ukuran 3 Butir Sisa 28 Total 31 Daya Ukuran 4 Berkecambah Sisa 13 Total 17 Tinggi Bibit Ukuran 3 Sisa 12 Total 15 Diameter Ukuran 3 Bibit Sisa 12 Total 15 Keterangan: * = nyata pada tingkat kepercayaan 95%
Jumlah Kuadrat 0,73 0,76 4,72 0,32 5,04 555,67 457,67 1013,33 6,63 59,04 65,67 0,11 1,02 1,13 2,82 0,08 2,90 3861,11 1412,00 5273,11 106,09 223,58 329,67 1,66 0,88 2,54
Kuadrat Tengah 0,06
F hitung
1,57 0,01
112,52**
185,22 41,61
4,45*
2,21 4,92
0,45ns
0,04 0,09
0,45ns
0,94 0,00
348,50**
965,28 108,62
8,89*
35,36 18,63
1,90ns
0,55 0,07
7,60*
Hasil analisa keragaman berat 1.000 butir, daya berkecambah, pertumbuhan tinggi dan diameter hasil seleksi menunjukkan bahwa berat 1.000 butir benih semua lokasi berbeda secara signifikan, daya berkecambah juga berbeda kecuali yang berasal dari Mega Mendung, sedangkan untuk pertumbuhan tinggi bibit umumnya tidak berpengaruh kecuali yang berasal dari Mega Mendung, begitu juga dengan pertumbuhan diameter, yang berpengaruh hanya yang berasal dari Ciamis. C. Hasil uji lanjut rata-rata berat 1.000 butir benih, daya berkecambah benih, pertumbuhan tinggi dan diameter bibit kaliandra hasil seleksi Seed Gravity Table Tabel 4. Rata-rata berat 1.000 butir benih, Kadar Air dan Daya Berkecambah Benih, partumbuhan tinggi dan diameter bibit kaliandra dan akor hasil seleksi Seed Gravity Table Jenis Kaliandra
Asal Benih Mega Mendung
Tabek Patah
Kriteria KB1 KB2 KB3 KB4 KB1
Berat 1000 butir (gr) 5,79a 5,02 b 4,05 c 4,85a
84
Daya Berkecamba h (DB) 84,50 75,00 83,50 68,00 96,67a
Tinggi Bibit (cm) 19,16a 14,69 b 15,49 b 13,77 b 18,60a
Diameter Bibit (mm) 2,27 1,87 2,05 1,85 2,31
Aspek Perbenihan
Jenis
Asal Benih
Sei Ungkang
Ciamis
KB2 KB3 KB4
Berat 1000 butir (gr) 4,55 b 4,52 b 4,07 c
Daya Berkecamba h (DB) 80,50 bc 83,50 b 73,00 c
17,28ab 18,21ab 16,72 b
2,41 2,37 2,41
KB1 KB2 KB3 KB4 KB1 KB2 KB3 KB4
5,11a 4,88 b 4,70 c 4,05 d 5,26a 5,03 b 5,01 b 4,45 c
83,00a 83,33a 76,00ab 68,50 b 67,00a 66,00a 58,50ab 44,50 b
19,8 18,67 17,05 17,23 29,21 28,63 22,67 26,18
2,44 2,21 2,27 2,27 2,50 b 2,60ab 2,03 c 2,93a
Kriteria
Tinggi Bibit (cm)
Diameter Bibit (mm)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan pada tingkat kepercayaan 95%
Berat 1.000 butir benih kaliandra, yang diseleksi dengan alat Seed Gravity Table, menghasilkan berat 1.000 butir yang tertinggi terdapat pada kriteria KB1 kemudian diikuti dengan KB2, KB3, dan KB4. Ini menunjukkan bahwa ukuran benih yang terdapat pada KB1 lebih besar kemudian diikuti KB2, KB3, dan KB4, sehingga kita dapat membuat tingkatan ukuran berat benih menjadi 4. Untuk jumlah 1000 butir benih apabila benih diseleksi dengan alat Seed Gravity Table, berat benih akan menurun dengan bertambah tinggi kriteria kelompok benih dan jumlah benih akan berbanding terbalik dengan berat benih, dengan bertambah besar ukuran benih maka jumlah benih perkilogramnya akan lebih sedikit. Jadi apabila benih diseleksi dengan alat Seed Gravity Table ini maka kita dapat memperkirakan jumlah benih per kg dengan ukuran benih dan kriteria yang kita inginkan. Sesuai dengan penelitian Zanzibar (1993), mengatakan bahwa, secara umum perlakuan pengklasifikasian kelompok berat benih dengan menggunakan alat Seed Gravity Table cukup efektif untuk jenis sengon. Pengujian daya berkecambah untuk ke empat lokasi asal benih memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata antar kriteria kelompok benih kecuali benih yang berasal dari Mega Mendung.Benih yang berukuran besar umunya mempunyai daya berkecambah yang tinggi karena benih yang berukuran besar diperkirakan mempunyai cadangan makanan yang lebih banyak dibandingkan benih yang berukuran kecil.sesuai dengan jenis akor (Suitaet al., 2013), weru (Suita et al., 2013) yang diseleksi dengan alat seed Gravity Table menunjukkan bahwa benih yang berukuran besar mempunyai daya berkecambah yang lebih tinggi. Begitu juga dengan pertumbuhan tinggi bibit juga dipengaruhi oleh ukuran benih dimana benih yang lebih besar (KB1 dan KB2) pertumbuhan bibitnya cenderung lebih cepat yang terdapat pada benih yang berasal dari Mega Mendung dan Tabek Patah, walaupun benih yang berasal dari Sei Ungkang dan Ciamis tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata tetapi dari nilai pertumbuhan tinggi terlihat lebih tinggi pada kriteria KB1 dan KB1. Ini menunjukkan bahwa umumnya benih yang lebih berat mempunyai pertumbuhan yang lebih baik karena hal ini disebabkan kecepatan berkecambah pada ukuran yang lebih berat dan lebih tinggi dibandingkan dengan benih ringan, sehingga energi pertumbuhan ini masih berlangsung hingga pertumbuhan tinggi bibit. Dengan demikian, benih berukuran lebih berat memiliki potensi yang lebih besar untuk mendukung perkembangan bibit siap tanam, dengan parameter tinggi sebagai salah satu kriteria morfologi 85
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
bibit, selain diameter, penampakan daun, batang dan bentuk tunas, bentuk dan volume akar, dan potensi pertumbuhan akar (Hawkins, 1996). IV. KESIMPULAN Daya berkecambah benih dan pertumbuhan tinggi bibit kaliandra hasil seleksi dengan Seed Gravity table umumnya memperlihatkan bahwa yang lebih baik terdapat pada kriteria kelompok benih 1 (KB1), 2 (KB2), 3 (KB3), sedangkan nilai yang terkecil terdapat pada kriteria kelompok benih 4 (KB4). Dengan demikian untuk mendapatkan benih kaliandra yang bermutu tinggi sebaiknya menggunakan benih kaliandra dengan kriteria KB1, KB2 dan KB3, ini juga didukung dengan persentase berat benih terbanyak umumnya terdapat pada kriteria kelompok benih 1 (KB1) dan kelompok benih 3 (KB3), dengan nilai di atas 40%. DAFTAR PUSTAKA Bonner, F.T., Vozzo, J.A., Elam, W.W., and S.B. Land. 1994. Instructor’s manual; Tree seed technology training course. United Stated Departement of Agriculture. New Orleans. Louisiana. Hawkins, B.J. 1996. Planting stock quality assessment. In Yapa, A.C., ed. 1996. Proc. Intl. Symp. Recent advances in tropical tree seed technol. and Planting stock production. ASEAN Forest Tree Seed Centre, Muaklek, Saraburi, Thailand. ISTA. 2010. International rules for seed testing. The International Seed Testing Association. Bassersdorf. Switzerland. Sadjad, S., E. Muniarti, dan S. Ilyas. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih Komparatif ke Simulatif. Jakarta: PT. Grasindo. Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Subtropis. Terjemahan. Kerjasama Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial dengan Indonesia Forest Seed Project. PT. Gramedia Jakarta. Sorensen, F.C. and Campbell, R.K. 1993. Seed Weight-Seedling Size Correlation in Coastal Douglas Fir: Genetic and Enviromental Component. Canadian Jurnal of Forest Research. 23(2): 275-285. Steel, R.G.D. and Torrie, J.H. 1980.Principles and procedures of statistic. McGraw-Hill, Inc. Sudrajat, D.J, Megawati, E.R. Kartianan, N. Nurochim. 2007. Standarisasi Pengujian Mutu Fisik dan Fisiologis Benih Tanaman Hutan (Schleichera oleosa dan Styrax benzoin). LHP. No. 478. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Suita, E. 2013.Pengaruh sortasi benih terhadap viabilitas dan pertumbuhan bibit akor (Acacia auriculiformis). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan. Vol 1 (2). Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanamn Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Suita, E. dan E.R. Kartiana, 2006. Pengaruh Ukuran Benih dan Penurunan Kadar Air Terhadap Perkecambahan Benih Kemenyan (Styrax benzoin Dryand). Prosiding seminar hasil-hasil penelitian. Balai Litbang Teknologi Perbenihan. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Suita, E., Nurhasybi dan Darwo. 2013. Respon Perkecambahan dan pertumbuhan bibit weru (Albizia procera Benth) berdasarkan hasil seleksi benih. Jurnal penelitian hutan 86
Aspek Perbenihan
tanaman.Vol 10 (4). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Suita, E. dan E.R. Kartiana, 2006. Pengaruh Ukuran Benih dan Penurunan Kadar Air Terhadap Perkecambahan Benih Kemenyan (Styrax benzoin Dryand). Prosiding seminar hasil-hasil penelitian. Balai Litbang Teknologi Perbenihan. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Tangendjaja, B., E. Wina, T. Ibrahim dan B. Palmer. 1992. Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan pemenfaatannya. Balai Penelitian Ternak dan The Australian Centre for International Agricultural Research. Widajati, E. 2013. Metode Pengujian Benih (Dasar Ilmu dan Teknologi Benih). IPB Press. Zanzibar, M. 1993. Penentuan Mutu Fisik dan Fisiologik Benih Sengon (Paraserianthes falcataria Fosberg) dengan Menggunakan Alat Seed Gravity Table. Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Perbenihan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.
87
Aspek Perbenihan
PERIODISASI PEMBUNGAAN DAN PEMBUAHAN GANITRI (Elaeocarpus ganitrus Roxb) Aam Aminah dan Tati Rostiwati Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK Fenologi adalah ilmu yang mempelajari proses periodisisasi suatu jenis tanaman, di antaranya siklus pembungaan sampai perkembangan buah. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari periode berbunga dan berbuah jenis ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb) sehingga dapat diketahui ketepatan waktu pengunduhan buah masak fisiologis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi dengan menggunakan pohon model sejumlah 3 (tiga) pohon dengan 10 (sepuluh) contoh cabang utama untuk setiap pohon model. Pengamatan dilakukan terhadap: 1. karakteristik proses pembungaan dengan 3 (tiga) tahapan utama pembungaan yaitu (1) tahap munculnya bakal bunga; (2) tahap menjadi tunas bunga; dan (3) tahap bunga mulai mekar (anthesis); 2. karakteristik pembentukkan buah dengan 3 (tiga) tahapan utama pembuahan yaitu (1) tahap munculnya bakal buah; (2) tahap bakal buah menjadi buah muda dan (3) tahap buah muda menjadi buah masak fisiologis. Penelitian dilakukan di Desa Donosari, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah dan Desa Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengamatan dilakukan setiap 1 (satu) minggu sekali. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembungaan dicirikan oleh terjadinya perubahan warna dan membukanya kelopak bunga yaitu dari kelopak bunga berwarna putih kehijauan bercampur merah muda sampai berwarna merah dan dari mulai kelopak bunga kuncup sampai kelopak bunga tersebut lepas (menandakan mulai terjadinya tahap pembentukkan buah karena terlihat adanya bakal buah). Seluruh proses perkembangan bunga tersebut terjadi selama 3 bulan 1 minggu. Proses pembentukkan buah dicirikan oleh berkembangnya warna dan membesarnya buah yaitu dari bakal buah berwarna hijau sampai buah muda berwarna hijau kebiruan dengan diameter kurang dari 2 cm, kemudian berkembang menjadi buah masak fisiologis dengan warna buah biru tua keunguan berdiameter ±2 cm. Seluruh proses perkembangan buah tersebut terjadi selama 3 bulan 2 minggu. Kata kunci: buah, bunga, fenologi, ganitri, periodisasi
I. PENDAHULUAN Keberhasilan usaha peningkatan produktivitas benih berhubungan erat dengan pengetahuan mengenai biologi reproduksi. Pembungaan, penyerbukan dan pembentukan buah sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (fitohormon, genetis) dan eksternal (kondisi lingkungan), karenanya pengetahuan mengenai faktor-faktor tersebut serta pengaruhnya terhadap tiap tahap perkembangan organ reproduksi harus diketahui. Di bidang kehutanan, semua penelitian tentang ekologi reproduksi mengarah pada hasil akhir berupa peningkatan kuantitas dan kualitas biji, baik dari sisi genetis maupun fisiologis (Bawa dan Hadley, 1990 dalam Suginingsih dan Daryono, 2006). Ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb, famili Elaecarpaceae) sebagai salah satu pohon hutan yang diambil buahnya sangat membutuhkan hasil akhir berupa biji yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang baik untuk memperoleh nilai ekonomi yang tinggi. Jenis varietas lokal umur produksi perdana 4 tahun dengan batang setinggi 10 - 15 m pada umur 6 - 7 tahun, sedangkan varietas super umur produksi perdana 2 tahun dengan batang setinggi 4 m pada umur 4 tahun. Pola pembungaan tanaman tropis sangatlah kompleks, hal tersebut terkait dengan perubahan iklim yang mempengaruhi sensitivitas terhadap proses reproduksi tanaman (Schmidt, 2000). Selanjutnya disebutkan pula walaupun setiap bunga memiliki potensi untuk 89
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
berkembang menjadi bakal buah, namun kenyataannya proses akhirnya buah-buah yang dihasilkan sedikit sekali manghasilkan biji. Seperti hasil penelitian Aminah dan Syamsuwida (2010) bahwa keberhasilan bunga menjadi bakal buah jenis suren (Toona sureni Merr.) hanya 9,86% dan buah muda menjadi buah tua hanya sebesar 65,88%. Artinya tidak semua bunga berhasil menjadi bakal buah demikian juga tidak semua bakal buah menjadi buah/biji masak fisiologis. Aminah et al. (2007) juga melaporkan karakteristik tandan bunga (inflorescence) rasamala yang dicirikan dengan tangkai bunga jantannya berjumlah 6 - 14 tangkai sedangkan tangkai bunga betinanya tunggal berbentuk bulat atau agak bulat. Pengamatan lainnya pada jenis Mindi (Melia azedarach) menunjukkan bahwa jenis ini memiliki tipe bunga majemuk (yang dikenal dengan tipe panicle) dengan malai bunga berada pada ujung ranting dengan posisi tegak, siklus perkembangan pembungaan dan pembuahan mindi terjadi selama 6 - 7 bulan (Syamsuwida dan Aminah, 2010). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terkait proses pembungaan dan pembuahan suatu jenis tanaman tersebut di atas, maka penelitian terhadap keberhasilan proses reproduksi jenis ganitri sebagai produk yang diperdagangkan oleh masyarakat sangat diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi periode berbunga sampai berbuah jenis ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb) sehingga dapat diketahui waktu pengunduhan buah masak fisiologis yang tepat. Hasil penelitian diharapkan akan diperoleh waktu pengunduhan buah yang tepat dan informasi dasar untuk metode kuantifikasi buah ganitri. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilakukan di dua (2) Desa yaitu Desa Donosari, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah dan Desa Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Karakteristik habitat tegakan ganitri tersebut tertera pada Tabel 1. Penelitian dilakukan mulai bulan Januari 2010 sampai dengan bulan Desember 2010. Tabel 1. Karakteristik tempat tumbuh tanaman ganitri No. 1 2 3 4
Karakteristik tempat tumbuh
Lokasi penelitian Desa Donosari Desa Cisarua
Ketinggian (m dpl) Curah hujan (mm/bln) Suhu udara (0C) Kelembaban (%)
135 100 31 – 32 70
1000 150-200 34,6 – 36,8 85
B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan adalah pohon model ganitri dengan karakteristik pohon model seperti tertera pada Tabel 2. Alat-alat yang digunakan adalah peralatan laboratorium (preparat, mikroskop, silet, timbangan analitis, oven, pinset dan kaliper) dan peralatan lapangan (kamera, meteran, tangga pengamatan, kantong plastik, label dan termohigrometer).
90
Aspek Perbenihan
Tabel 2. Karakteristik pohon model ganitri di Desa Donosari, Jawa Tengah dan Desa Cisarua, Jawa Barat Pohon Model 1. 2. 3.
Tinggi Total (m) Donosari 5 5 5
Cisarua 6 7 6
Tinggi Bebas Cabang (cm) Donosari Cisarua 86 100 75 110 66 90
Diameter Batang (cm) Donosari Cisarua 14,01 16,20 15,29 17,52 13,69 15,23
C. Metode Penelitian 1. Pemilihan pohon model Penelitian dimulai dengan penandaan pohon-pohon ganitri di lokasi penelitian, dengan cara dipilih 3 (tiga) buah pohon model yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini. Dari masing-masing pohon model tersebut kemudian dipilih 10 (sepuluh) cabang utama. Dahan utama adalah dahan yang terendah berdiameter 13 - 17 cm dengan asumsi bahwa dahandahan dengan diameter besar merupakan dahan tua yang telah beberapa kali menghasilkan buah serta dapat tersedia seluruh tahapan proses berbunga sampai berbuah. Masing-masing pohon model dan dahan utama diberi nomor sesuai dengan urutannya. Pengamatan dilakukan setiap minggu untuk melihat perkembangan bunga dan buahnya. 2. Pengamatan terhadap tahap-tahap perkembangan bunga Tahap-tahap yang diamati mulai dari saat terlihatnya tanda bakal bunga, terjadinya tunas bunga, bunga mekar (anthesis) hingga bunga layu. Selain itu diamati pula perubahan warna dan bentuk bunga di setiap perkembangannya. 3. Pengamatan terhadap tahap-tahap perkembangan bunga menjadi buah Pengamatan perkembangan buah merupakan kelanjutan dari pengamatan perkembangan bunga. Tahap-tahap yang diamati mulai dari waktu terlihatnya tanda bakal buah, terjadinya buah muda, buah muda dan buah masak. Selain pencatatan waktu setiap perkembangan buah juga diamati perubahan ukuran dan warna buah. D. Analisis Data Perubahan pada setiap tahap perkembangan bunga dan buah jenis ganitri dianalisis secara deskriptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Pembungaan a. Karakteristik bunga ganitri Terdapat 6 (enam) ciri warna dan bentuk bunga ganitri yaitu: 1) Bunga ganitri merupakan bunga majemuk dengan posisi malai berada di ketiak daun 2) Kelopak bunga berbentuk bulat telur memanjang, runcing, berwarna hijau pucat atau kemerahan tampak dari luar seperti berambut 3) Mahkota bunga berbentuk lonceng berwarna kuning atau putih kehijauan atau putih kehijauan, ke atas tidak melebar, panjang ± 1,3 cm 4) Panjang tangkai bunga ± 0,5 cm 5) Tonjolan dasar bunga berambut kasar 6) Kepala putik berukuran > 1 cm (tidak melebar)
91
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
1,3 cm
0,5 cm Tonjolan dasar bunga
Mahkota bunga ganitri
Gambar 1. Karakteristik bunga ganitri b. Periodisasi pembungaan
Terbentuknya bakal bunga terlihat dari mulai dari munculnya tunas generative seperti tertera pada Gambar 2. Tahapan dari bunga kuncup menjadi bunga mekar (berwarna putih dan pangkalnya berwarna merah muda) berlangsung selama 1 - 2 bulan (Gambar 3). Bunga-bunga tersebut sebagian ada yang rontok, proses kerontokan bunga diawali dengan bunga layu di pohon selama 1 minggu, setelah itu bunga tersebut gugur. Sementara bunga yang tidak rontok akan berhasil berkembang ke tahapan bakal buah (Gambar 4). Bakal buah dicirikan dengan bentuk buah berukuran > 1 cm. Berdasarkan tahapan perkembangan tersebut, maka periodisasai pembungaan berlangsung selama 3 bulan 1 minggu.
Gambar 2. Tunas generatif yang berkembang menjadi bakal bunga dan akhirnya menjadi bunga kuncup
Gambar 3. Bunga mekar
2. Periodisasi pembuahan a. Karakteristik buah ganitri Adapun karakteristik buah ganitri adalah: 1) Bakal buah bentuk telur, berambut rapat
92
Aspek Perbenihan
2) Buah muda berbentuk bulat dengan permukaan licin berwarna hijau gelap berukuran < 2 cm. 3) Buah tua berbentuk bulat dengan warna hijau kebiruan berdiameter ± 2 cm. 4) Buah masak fisiologis berbentuk bulat dengan warna biru keunguan.
C
A
B Gambar 4. Pembentukkan buah ganitri (A. bakal buah; B. Buah muda; C. Buah masak fisiologis)
b. Periodisasi pembuahan Bakal buah berbentuk telur berukuran < 1 cm dengan sisa-sisa rambut (Gambar 3) akan terus berkembang menjadi buah muda berbentuk bulat berwarna hijau gelap berukuran > 2 cm. Perkembangan dari bakal buah menjadi buah muda berlangsung + selama 2 bulan 2 minggu. Selanjutnya buah muda berkembang menjadi buah tua berbentuk bulat dengan warna hijau kebiruan berdiameter ± 2 cm berlangsung selama + 1 bulan. Berdasarkan tahapan tersebut, maka periodisasi pembuahan ganitri berlangsung selama 3 bulan 2 minggu. 3. Jumlah bunga dan buah ganitri Setiap pohon ganitri mempunyai produksi bunga dan buah yang berbeda-beda. Begitupun dengan pohon ganitri yang ada di Desa Donosari dan Desa Cisarua. Data jumlah bunga dan buah ganitri di Desa Donosari lebih banyak bila dibandingkan dengan Desa Cisarua, hal ini terjadi karena faktor lingkungan seperti ketinggian tempat, curah hujan, suhu dan kelembaban yang berbeda antara kedua desa tersebut. Seperti dikemukakan Borchert (1983), bahwa dalam proses pembungaan termasuk permulaan munculnya tunas bunga, bunga terbuka, dan keteguhan bunga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Jumlah bunga dan buah ganitri pada pohon yang diamati tersaji dalam Tabel 3. Tabel 3. Jumlah bunga dan buah ganitri di Desa Donosari dan Desa Cisarua Lokasi Cisarua Donosari
Jumlah malai/dahan
Jumlah bunga kuncup/malai
Jumlah bunga mekar/malai
Jumlah buah muda/malai
Jumlah buah tua/malai
82 – 126 76 – 314
23 - 39 21 - 30
23 - 37 19 - 25
1 - 13 3 - 12
1-9 9 - 21
Selanjutnya Gambar 5 memperlihatkan proses perkembangan bakal bunga sampai menjadi buah masak fisiogis jenis ganitri yang terjadi secara alami.
93
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Bakal bunga
Bunga kuncup
Bunga mekar
1 bulan
1 -1,5 bulan
1 minggu Buah muda
Buah masak 1 bulan
2 minggu Buah kecil
2 bulan
Bakal buah 2 minggu
Gambar 5. Periodisitas perkembangan bunga sampai menjadi buah masak fisiologis jenis ganitri
B. Pembahasan Pembungaan pada umumnya berlangsung menjelang musim kemarau yang ditandai dengan menguningnya daun, kemudian daun rontok di musim kemarau. Pada musim penghujan yang diawali dengan muncul tunas generatif yang akan berubah menjadi bakal bunga. Proses tersebut berlangsung selama 1 - 1,5 bulan, sedangkan bunga kuncup akan berkembang menjadi bunga mekar selama 1 - 2 bulan. Bunga yang mekar sebagian ada yang rontok yang diawali dengan bunga layu di pohon selama 1 minggu. Bunga tersebut kemudian gugur ke tanah. Bunga yang mekar dan tidak rontok akan berkembang menjadi buah muda. Hal ini dapat berlangsung selama 2 minggu - 1 bulan. Proses pembuahan merupakan kelanjutan dari proses pembungaan. Perkembangan tahapan pembuahan dimulai dari bakal buah sampai buah masak fisiologis. Buah muda terus tumbuh menjadi buah setengah tua selama 1 - 2 bulan. Kemudian buah setengah tua menjadi buah tua/masak selama 1 bulan. Periodisasi pembungaan dan pembuahan ganitri di esa Donosari dan esa Cisarua tidak jauh berbeda. Apabila melihat dari parameter iklim yang diamati (suhu dan kelembaban udara dan curah hujan), maka parameter tersebut belum dapat mengindikasikan sebagai faktor yang berdampak pada pembentukan bunga tanaman. Jones (1994) menyatakan bahwa beberapa faktor lingkungan yang memberikan pengaruh terhadap inisiasi malai bunga adalah panjangnya hari siang (fotoperiode) melalui kondisi internal tanaman seperti suplai karbohidrat. Perbedaan ekosistem dalam waktu pembungaan musiman pada populasi alam telah dilaporkan dalam berbagai percobaan di perkebunan (Langlet, 1971; Heslop-Horison, 1964), secara umum dapat dikatakan bahwa populasi tumbuhan di daerah dataran tinggi berbunga lebih cepat dari populasi di daerah dataran rendah. Banyak faktor lingkungan yang dapat berinteraksi untuk menentukan munculnya bunga. Dalam beberapa tumbuhan, tunas-tunas akan menjadi bunga sebagai akibat rangkaian lingkungan yang dapat terjadi dalam beberapa bulan (Lang, 1965). Faktor lingkungan fisik yang diketahui sebagai penyebab permulaan munculnya pembungaan yaitu: lamanya waktu penyinaran, temperatur dan kelembaban. Kebanyakan spesies tumbuhan semak berkayu di daerah beriklim sedang, musim pembungaannya dipengaruhi oleh temperatur (Leith, 1974). Tomlison and Zimerman (1978) menyatakan bahwa dalam hutan daerah tropika, dengan banyaknya hujan masa berbunga menjadi mundur dari masa pembungaannya, hal tersebut diperkuat oleh Borchert (1983) bahwa penurunan kandungan air dari organ reproduksi dapat merangsang masa berbunga dari beberapa jenis pohon di daerah tropika.
94
Aspek Perbenihan
IV. KESIMPULAN Periode dari bunga kuncup sampai bunga mekar dan periode dari munculnya buah muda sampai buah masak fisiologis masing-masing berlangsung selama 2 bulan. Kondisi tempat tumbuh di 2 (dua) desa tidak menunjukkan perbedaan terhadap periode berbunga dan berbuah jenis ganitri. DAFTAR PUSTAKA Aminah, A., D. Syamsuwida., M. Suhartana. dan A. Muharam. 2007. Perkembangan pembentukan bunga dan buah rasamala. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol. 4, No.3: 143 – 150. Aminah, A., dan D. Syamsuwida. 2010. Tahapan perkembangan pembentukan bunga dan buah suren (Toona sureni MERR.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. vol. 7, No. 3: 113 – 119. Borchert, R. 1983. Phenology and control of flowering in tropical trees. Biotropica, Vol 15 No. 2: 81-89. Heslop-Harrison, J. 1964. Sex expression in flowering plants. In: Brookhaven Symposia in Biology 16. 109-125. http:// staff.blog.ui.ac.id /taqyudin /index.php /2009 /01 /10 /info-penting-ganitri-elaeocarpussphaericus /, senin 18-01-2010. Jones, H.G. 1994. Plants and microclimate. Edisi ke-2. Cambridge University Press, Malta, Australia. Langlet, O. 1971. Two hundred years of genecology. Taxon 20: 653–722 Leith, H. 1974. Phenology and seasonality modelling. Springer-Verlag, New York, New York, USA. Putrayasa, I. N. 1995. Pola perkembangan bunga dari beberapa jenis mangrove di Kawasan Hutan Pemogan Denpasar Selatan Bali. Skripsi. Fakultas MIPA. Jurusan Biologi Universitas Udayana. Bali. Tomlison. and Zimerman. 1978. Tropical trees as living systems. Cambridge university press. New York. Schmidt, L. 2000. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. Jakarta. Suginingsih. dan P. Daryono. 2006. Variasi pembungaan dan pembuahan pulai (Alstonia scholaris) dari berbagai tempat tumbuh dan pengaruhnya terhadap kualitas fisik dan fisiologis benih. Laporan Hasil Penelitian. Laboratorium Teknologi Perbenihan, Jurusan Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Syamsuwida, D. dan A. Aminah. 2010. Morfologi dan siklus perkembangan pembungaanpembuahan mindi (Melia azedarach L.). Dalam. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian 20 Oktober 2010 Bandung: 228 - 237.
95
Aspek Perbenihan
PEMBIAKAN VEGETATIF KAYU BAWANG (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) DENGAN CANGKOK SEBAGAI STRATEGI TEKNIK ANTARA MENGATASI KELANGKAAN BENIH Imam Muslimin, Nanang Herdiana dan Kusdi Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Kayu bawang (Azadirachta excelsa) merupakan salah satu tanaman unggulan daerah propinsi Bengkulu sebagai bahan baku kayu pertukangan dengan tingkat pertumbuhan tanaman yang cepat, sehingga dalam waktu singkat jenis tanaman ini bisa berkembang dengan pesat. Namun, saat ini produksi buah dan benih kayu bawang sangat minim karena hanya beberapa pohon saja yang mengalami pembuahan. Pembiakan vegetatif merupakan salah satu alternatif untuk penyediaan bibit. Teknik pembiakan vegetatif dari cabang atau batang tanaman kayu bawang tua dapat menggunakan cangkok dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Pencangkokan hanya berfungsi sebagai teknik “antara” untuk menghasilkan materi dasar perbanyakan yang selanjutnya akan digunakan sebagai bahan perkembangbiakan vegetatif dengan stek. Kata kunci: kayu bawang, produksi bibit, vegetatif, cangkok, materi dasar
I. PENDAHULUAN Pembangunan hutan tanaman kayu bawang (Azadirachta excelsa) di Propinsi Bengkulu mulai berkembang dengan pesat. Jenis ini merupakan jenis andalan lokal setempat, banyak diminati masyarakat karena tingkat pertumbuhan dan perkembangannya yang cepat sebagai penyedia bahan baku kayu pertukangan. Data dan informasi menyebutkan bahwa produktivitas hutan rakyat kayu bawang pada pola monokultur adalah 22,03 m 3/ha/tahun dan pada pola agroforestri mempunyai rerata produktivitas sebesar 13,70 m 3/ha/tahun (Siahaan dan Sumadi, 2013). Tidaklah mengherankan bilamana pada awalnya jenis ini hanya berkembang di wilayah Kabupaten Bengkulu Utara dan Tengah, sekarang sudah mulai menyebar ke Kabupaten lainnya seperti: Mukomuko, Rejang Lebong, Seluma, Kepahyang sampai ke Kabupaten Bengkulu Selatan (Nurlia dan Waluyo, 2013). Pengembangan kayu bawang mempunyai beberapa kendala baik secara Internal maupun eksternal. Salah satu faktor eksternal yang dominan mempengaruhi perkembangan dan penyebaran kayu bawang adalah adanya keterbatasan bibit hasil dari pembiakan generatif. Hal ini disebabkan oleh adanya periodisitas kayu bawang yang tidak kontinyu untuk berbunga dan berbuah yang dimungkinkan terjadi sebagai akibat adanya perubahan iklim, dimana musim panas dan musim penghujan tidak mempunyai periodisitas/ batas yang jelas. Kondisi semacam ini telah dimulai sejak tahun 2010 (Nurlia dan Waluyo, 2013). Hal ini mengakibatkan program kerja bidang kehutanan dan program-program lain yang berkaitan dengan kayu bawang menjadi terkendala karena tidak tersedianya materi bibit kayu bawang. Permasalahan utama pada kayu bawang untuk memproduksi benih sebagai bahan/ materi utama dalam pembuatan bibit, harus segera diatasi dan ditemukan teknik produksi bibit yang tidak mengandalkan pada produksi benih sebagai unsur utama, sehingga minat masyarakat yang secara sadar sudah mau mengembangkan jenis ini menjadi tidak surut. Salah satu strategi yang mungkin untuk bisa dikembangkan dalam penyediaan bibit kayu bawang adalah melalui teknik pembiakan tanaman secara vegetatif. Teknik pembiakan vegetatif kayu bawang dengan memanfaatkan materi dari anakan alam (widling) mempunyai tingkat 97
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
keberhasilan yang tinggi (Utami et al., 2012). Namun, teknik pembiakan vegetatif ini tetap masih mengandalkan materi dasar utama dari anakan alam (widling) yang merupakan hasil dari pembiakan secara generatif, dalam artian teknik ini masih tetap membutuhkan produksi buah. Sampai dengan saat ini belum terdapat data dan informasi mengenai teknik pembiakan vegetatif untuk tanaman kayu bawang yang keseluruhan proses pembiakannya menggunakan/memanfaatkan materi secara vegetatif atau memanfaatkan materi tanaman tua yang sudah ada untuk dikembangkan secara vegetatif. Oleh karena itu, makalah ini memaparkan pengalaman dalam kegiatan pembiakan vegetatif tanaman kayu bawang dengan teknik cangkok yang sangat berperanan dalam salah satu proses penyediaan bibit kayu bawang yang berkualitas dan berlimpah. II. KAYU BAWANG (Azadirachta excelsa) Kayu bawang (Azadirachta excelsa) termasuk famili Meliaceae, mempunyai persamaan nama dengan Azadirachta integrifolia Merr., Azedarach excelsa (Jack) Kuntze, Melia excelsa Jack, Trichilia excelsa (Jack) Spreng. Kayu bawang mempunyai hubungan yang dekat dengan neem (Azadirachta indica A. Juss), namun distribusinya lebih ke daerah barat dan tumbuh pada daerah kering. Distribusi yang tumpang tindih diantara kedua jenis tanaman tersebut dimungkinkan menghasilkan hybrid (Joker, 2000). Kayu bawang merupakan salah satu jenis unggulan setempat Provinsi Bengkulu dan dikenal dengan nama kayu pahit. Batang berbentuk bulat lurus dengan tinggi pohon dapat mencapai 30-40 m dan diameter 100-120 cm. Kulit batang berwarna abu-abu sampai coklat muda dengan tekstur agak licin. Daunnya majemuk tunggal, berbentuk elips, ujungnya meruncing dengan tulang daun menyirip. Kayu bawang mampu tumbuh di berbagai jenis tanah dan relatif tidak membutuhkan persyaratan tumbuh yang spesifik. Secara topografis umumnya tumbuh pada ketinggian sampai dengan 700 mdpl dengan curah hujan 3.500-5.000 mm/th (Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, 2003). Tanaman ini mampu bertahan pada tanah yang cenderung masam, tumbuh relatif cepat, bebas cabang tinggi, relatif tahan terhadap serangan hama dan penyakit serta memiliki tekstur kayu yang baik. Tajuk pohon ringan dengan diameter yang sempit dan persentase tajuk yang rendah (<30%) (Apriyanto, 2003), sehingga secara sosial kemasyarakatan jenis ini sangat cocok untuk digunakan dalam pola agroforestri. Kayu bawang memiliki serat yang halus sehingga mudah diolah dengan berat jenis sekitar 0,56; termasuk kelas awet dan kelas kuat IV (Bina Program Kehutanan, 1983 dalam Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, 2003). Masyarakat di Provinsi Bengkulu biasanya menggunakan kayu ini sebagai bahan baku pembuatan perlengkapan alat rumah tangga seperti lemari, meja, kursi, tempat tidur sampai kontruksi bangunan misalnya kusen, dinding dan sebagainya.
c. a. b. Gambar 1. Tanaman kayu bawang (a), penampilan bunga, buah dan biji (b), produk mebel dari kayu bawang (c). (Foto I. Muslimin dan B. Winarno)
98
Aspek Perbenihan
Perbanyakan tanaman kayu bawang yang umum dilakukan oleh masyarakat sampai dengan saat ini adalah menggunakan biji. Biji kayu bawang berada dalam buah yang berbentuk bulat telur, berisi satu biji, panjang 2,5-3,2 cm, berwarna hijau pada saat muda dan kuning ketika masak. Biji mempunyai panjang 20-25 mm, lebar 10-12 mm dan terdapat sekitar 500 biji/kg (Joker, 2000). Periodisitas pembungaan dan pembuahan kayu bawang mempunyai variasi yang cukup tinggi. Kayu bawang di Thailand Utara mengalami daun rontok pada JanuariPebruari, diikuti perkembangan daun baru dan berbunga mulai dari Pebruari-Maret. Buah masak diantara Juni-Juli pada garis lintang yang rendah, sedangkan di Malaysia pada ketinggian tempat yang tinggi buah masak lebih cepat diantara Mei-Juni (Joker, 2000). Kayu bawang di Jawa Barat berbuah pada musim hujan, di Darmaga dan Pasirawi berbunga pada OktoberNopember dan berbuah masak pada Desember-Januari, di Carita berbuah pada OktoberNovember, sedangkan di Pasirhantap berbuah pada September-Oktober (Buharman et al., 2011). Tanaman kayu bawang yang berada di Kabupaten Rejang Lebong (Bengkulu) dan berbatasan dengan Kabupaten Musi Rawas (Sumsel) berbuah pada bulan Juli-Agustus, sedangkan yang berada di Kabupaten Banyuasin (KHDTK Kemampo) berbuah pada bulan Desember-Januari (Muslimin et al., 2014). III. PEMBIAKAN VEGETATIF TANAMAN Perbanyakan vegetatif adalah perbanyakan atau perkembangbiakan tanaman yang diperoleh dari organ vegetatif tanaman seperti batang, tunas pucuk (Subiakto, 2009), ranting, akar, umbi dan daun untuk menghasilkan tanaman baru yang sama dengan induknya (Jaenicke dan Beniest, 2002; Herbert dan Jervis, 1997). Dalam bidang kehutanan, pembiakan vegetatif mempunyai banyak kegunaan (Zobel dan Talbert, 1984), yaitu: 1. Preservasi genotipe-genotipe unggul dalam bank klon atau arsip klonal 2. Perbanyakan genotipe-genotipe unggul yang diinginkan untuk kegunaan khusus seperti di kebun benih atau pemurnian. 3. Penilaian dari genotipe-genotipe dan interaksinya dengan lingkungan melalui uji klonal. 4. Memperoleh keuntungan genetik maksimum apabila digunakan untuk peremajaan dalam program pelaksanaan penanaman. Beberapa kegunaan dan nilai penting perbanyakan tanaman dengan cara vegetatif adalah (Herbert dan Jervis, 1997): 1. Untuk mengatasi ketidak mampuan dalam memproduksi benih dalam skala besar. Beberapa jenis tanaman kehutanan tidak dapat memproduksi benih dalam jumlah yang besar secara serentak atau terkadang memproduksi benih yang tidak viable. Selain itu juga terdapat kendala jenis tanaman kehutanan yang sifatnya rekalsitran sehingga tidak dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama dan membutuhkan waktu segera untuk penanganan benih setelah diunduh. 2. Untuk mengatasi ketidakmampuan tanaman dalam memproduksi jenis yang identik ketika menggunakan biji. Banyak tanaman mempunyai tipologi penyerbukan terbuka dan terjadi penyerbukan silang sehingga mempunyai variasi genetik dari kedua induknya. Kejadian semacam ini dianggap kurang menguntungkan pada beberapa jenis tanaman. Misalnya pada tanaman Colorado blue spruce, pada penyerbukan terbuka menghasilkan biji dengan beragam warna dari hijau sampai biru, sedangkan warna yang diminati adalah biru. Pada persemaian dilakukan seleksi dan hanya yang berwarna biru dikembangkan secara vegetatif untuk menghasilkan keturunan yang juga berwarna biru.
99
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
3. Untuk mengabadikan suatu bentuk tertentu dari tanaman. Misalnya pada beberapa pohon pinus tertentu, ketika diperbanyak secara vegetatif dari materi cabang lateral maka akan mempertahankan sifat arah pertumbuhan secara horizontal (samping), berbeda dengan perbanyakan vegetatif yang dilakukan pada ranting yang tumbuh vertikal akan menghasilkan pertumbuhan yang normal tegak ke atas. 4. Untuk mempercepat peningkatan jumlah tanaman 5. Untuk mengembangkan kekebalan terhadap hama, beberapa tanaman yang mempunyai kekebalan terhadap serangan hama dan penyakit dimungkinkan akan mengalami penurunan kekebalan bilamana dikembangkan secara generatif, sehingga diperlukan pengembangan secara vegetatif untuk tetap dapat mempertahankan sifat kekebalan tersebut. 6. Untuk mengizinkan pertumbuhan habitat tertentu. Pembiakan vegetatif merupakan salah satu aspek teknik perkembangbiakan tanaman yang digunakan dalam program pemuliaan pohon dalam rangka untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Individu-individu pohon yang bergentik unggul hasil dari beberapa tahapan seleksi dalam pemuliaan pohon dapat dikebangkan secara vegetatif untuk memperoleh produktivitas yang tinggi (Pudjiono, 2008; Hardiyanto, 2004). Pada kegiatan pemuliaan tingkat lanjut, pengembangan klon menjadi sangat penting untuk dilakukan karena perhutanan klon (clonal forestry) yang dibangun menggunakan klon terpilih akan menghasilkan keseragaman sifat-sifat yang diinginkan (Baskorowati, 2012). IV. TEKNIK CANGKOK (AIR LAYERING) PADA KAYU BAWANG Pembiakan vegetatif merupakan salah satu strategi teknik perbanyakan tanaman yang sangat memungkinkan untuk dilakukan pada jenis tanaman kayu bawang sebagai salah satu strategi untuk memenuhi kebutuhan penyediaan bibit yang selama ini terkendala oleh minimnya produksi benih. Strategi pembiakan vegetatif pada tanaman kayu bawang dapat dilakukan melalui dua cara yaitu: a. Pembiakan vegetatif dengan “duplikasi” dari materi generatif Pembiakan vegetative dengan stek dilakukan pada bibit hasil dari perbanyakan secara generatif (Utami et al., 2012) baik menggunakan bibit dari anakan alam (widling) ataupun bibit hasil dari persemaian, dengan tingkat keberhasilan yang sangat tinggi. Teknik ini menggunakan bagian dari pucuk bibit yang ada (stek pucuk). Bibit yang telah dipotong bagian pucuknya dapat bertunas kembali dan pertunasan ini dapat digunakan kembali sebagai bahan stek. Namun, teknik ini tetap masih membutuhkan bibit hasil dari perbanyakan generatif, di lain pihak beberapa tahun terakhir ini tanaman kayu bawang sangat jarang yang menghasilkan biji. b. Pembiakan vegetatif dari materi tanaman tua Bilamana tidak terdapat materi generatif atau bibit hasil generatif sebagai bahan pembiakan vegetatif, maka pembiakan vegetatif dapat dilakukan langsung dengan menggunakan materi dari bagian tanaman (pohon) yang telah ada. Hasil perbanyakan vegetatif dari pohon tua ini pada tahap awal hanya digunakan sebagai penyedia materi dasar, yang selanjutnya bisa dikembangkan sebagai materi perbanyakan. Utami et al., (2012) mengemukakan bahwa perbanyakan vegetatif melalui stek dengan menggunakan materi dari tanaman tua mempunyai tingkat keberhasilan yang sangat rendah karena tingkat juvenilisasi tanaman yang rendah, sehingga diperlukan teknik perbanyakan vegetatif lainnya yang mempunyai tingkat keberhasilan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan stek.
100
Aspek Perbenihan
Salah satu teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif yang dapat dilakukan untuk meng-”copy” tanaman kayu bawang yang sudah tua adalah melalui pembiakan tanaman dengan cangkok. Perbanyakan vegetatif dengan mencangkok adalah teknik perbanyakan vegetatif dengan cara pelukaan atau pengeratan cabang pohon induk dan dibungkus dengan media tanam untuk merangsang terbentuknya akar (Prastowo et al., 2006). Kegiatan pembuatan cangkok pada tanaman kayu bawang tua pada dasarnya mempunyai teknik yang sama dengan kegiatan pembuatan cangkok pada tanaman kehutanan lainnya ataupun pada tanaman buah-buahan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembuatan cangkok adalah: a) cangkok dilakukan pada cabang atau batang yang tumbuh ke atas (ortotroph) dengan diameter cabang + 3 cm, b) kulit batang di kelupas sepanjang + 5 cm dan dikerok untuk menghilangkan kambium, c) bagian batang yang terbuka kulitnya, kemudian diberi hormon tumbuh sistem pasta, d) kemudian diberi media berupa tanah topsoil secukupnya dan ditutup dengan plastik yang pada bagian ujungnya (atas dan bawah) di ikat, e) untuk memudahkan air masuk ke dalam media, maka pada plastik pembungkus diberi beberapa lubang.
b a c Gambar 2. Kegiatan pembuatan cangkok kayu bawang (a); perakaran cangkok yang muncul pada umur 2 bulan setelah cangkok (b); penanaman cangkok pada polybag besar di persemaian sebagai materi dasar (c) (Foto Imam Muslimin)
Kegiatan pembuatan cangkok pada tanaman kayu bawang di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo pada umur 3 tahun mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi yaitu sekitar 90% pada umur cangkokan 2,5 bulan (Muslimin et al., 2014). Tingkat keberhasilan yang tinggi pada kegiatan pencangkokan batang kayu bawang tersebut merupakan satu hal yang sangat positif dan mengindikasikan bahwa jenis kayu bawang termasuk jenis yang responsif terhadap kegiatan pencangkokan. Beberapa kegiatan pencangkokan pada tanaman kehutanan juga dilaporkan oleh beberapa peneliti lainnya (Tabel 1.) yang menunjukkan tingkat keberhasilan yang memuaskan. Tabel 1. Kegiatan cangkok pada beberapa tanaman kehutanan No 1 1. 2. 3.
Jenis Tanaman 2 Eusideroxylon zwageri (Ulin) Dyera spp. (Jelutung) Ficus spp Terminalia amazonia Vismia macrophylla Guatteria diospyroides
Teknik Cangkok 3 pada cabang tua (Ø 12,5 cm), aplikasi IBA+NAA 1000-2000 ppm.
101
Persentase berakar 4 77,8% setelah 8-9 bulan pencangkokan 63,33% setelah 3-9 bulan pencangkokan 100% setelah 14 minggu
Sumber 5 Siregar dan Djam’an (2007)
Granzow (1999)
Prosiding Seminar Hasil Penelitian No 1
4.
Jenis Tanaman 2 Hyeronima alchorneoides Isertia haenkeana Pentaclethra macroloba Pinus densiflora
5.
Hymenaea (Kobaril)
Courbaril
6.
Uapaca kirkiana
7.
Inga feuillei
8.
a. Heritiera fomes
9.
b. Intsia bijuga c. Excoecaria agallocha Dysoxylum malabaricum
10.
Cinnamomum verumykesu (Syn. C. Zeylanicum Blume)
11.
Pinus gerardiana Wall
12.
Ficus krishnae dan Ficus auriculata Syzygium cumini Anacardium occidentale L.
13. 14.
Teknik Cangkok 3
pada tanaman tua (15 tahun) dan muda (8 tahun)
Tanpa aplikasi hormon (a), IAA 1000 ppm (b), IAA 2000 ppm (c), IAA 3000 ppm (d), IBA 1000 ppm (e) dan 2000 ppm (f) pada cabang tanaman tua, IBA 5000 ppm Aplikasi IBA 0,3% (a) dan kontrol (b) a. IBA 1000mg/l+NAA 1000mg/l, b. IBA 2000mg/ L c. IBA 2000mg/L pada tanaman umur 1015 tahun, aplikasi IBA 1000 ppm menggunakan media Sphagnum, aplikasi IBA 2000ppm aplikasi 0,75% IBA +10%captan+10% sucrose-talc atau 1% IBA+10% sucrose-talc Aplikasi IBA 500 ppm Aplikasi IBA 10.000 ppm Aplikasi kontrol (a), IBA 500ppm (b), 1000ppm (c), 1500 ppm (d), dan 2000 ppm (e)
Persentase berakar 4
Sumber 5
9 bulan setelah pencangkokan, 37,5-41,7% berakar pada tanaman tua dan 60% berakar pada tanaman muda 20% berakar pada (a), 40% pada (b) dan (c), 60% pada (d), 100% pada (e) dan (f).
Kawai (1997)
82,5% berakar
Mwangingo dan Lulandala (2011). Brennan dan Mudge (1997) Eganathan et al., (2000)
97% pada (a) dan 76% pada (b) setelah tiga minggu a. sebesar 41%
Thirunavoukkarasu et al., (2004)
b. sebesar 46% c. sebesar 48% 90% berakar
Hussain, 2013
90-1000% berakar
Verma, 2013
43,33%
Thakur, 2011
memberikan persentase berakar yang terbaik 66,70% berakar 49,74%; 59,97%; 58,87%; 54,09%; 51,59% berturutan pada perlakuan (a), (b), (c), (d), dan (e). Perakaran pada hari ke 31,77; 20,61; 22,77; 24,28 dan 27,38 berturutan pada perlakuan (a), (b), (c), (d) dan (e).
Tomar dan Singh (2011) Gowda, 2011 Modi, 2012
Deteksi dini tingkat keberhasilan pembuatan cangkok bisa ditengarai dari adanya perakaran yang bisa terlihat dengan jelas pada media cangkok. Perakaran mulai muncul pada minggu ke-4 dan dalam jumlah yang banyak dan kompak pada minggu ke 8-12. Bilamana perakaran sudah banyak dan kompak, maka cangkokan dapat dipanen dengan memotong tepat di bagian bawah media perakaran cangkok. Pemapanan cangkok dapat dilakukan langsung di lapangan atau di tanam terlebih dahulu di persemaian dengan menggunakan polybag yang besar.
102
Aspek Perbenihan
Tingkat keberhasilan pembuatan cangkok sangat bergantung pada beberapa hal yaitu: 1. Waktu mencangkok Chauhan et al. (2008) mengemukakan bahwa salah satu kelemahan dari mencangkok adalah sangat tergantung dari musim dan berhubungan erat dengan kelembaban yang tinggi, curah hujan dan suhu panas. Waktu yang terbaik (efektif dan efisien) untuk melakukan kegiatan pencangkokan adalah pada saat musim penghujan karena pada saat penghujan cukup banyak tersedia air hujan yang berfungsi untuk menjaga kelembaban media cangkok. 2. Pemilihan materi batang/cabang Materi cabang/batang yang relatif besar akan cepat memunculkan akar karena mempunyai cukup cadangan makanan di dalamnya, namun pemilihan batang/cabang yang terlalu besar akan menyusahkan dalam pekerjaan pemanenan dan pemapanan di persemaian. 3. Penggunaan media Media harus steril, mempunyai porositas yang cukup, mampu mengikat air dalam waktu yang relatif lama, mempunyai kandungan bahan organik yang cukup untuk pertumbuhan pada saat perakaran mulai terbentuk. 4. Keterampilan pekerja Masing-masing pekerja mempunyai keterampilan yang berbeda-beda dalam menunjang keberhasilan pembuatan cangkok, beberapa hal yang seringkali lalai dilakukan oleh pekerja yang menyebabkan ketidakberhasilan pembuatan cangkok adalah: a) pengerokan/pembersihan kambium kurang bersih, sehingga kulit batang/cabang segera pulih kembali, b) penggunaan pisau untuk memotong kulit batang/cabang yang kurang tajam, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan pada tempat terbentuknya perakaran, c) pembungkusan media dan pengikatan media yang kurang bagus, sehingga media tidak kompak dan mudah hancur/pecah bilamana terkena hujan dengan intensitas yang tinggi. Kegiatan pembuatan cangkok pada tanaman kayu bawang secara spesifik bukanlah dijadikan sebagai materi perbanyakan massal ataupun materi untuk tanaman baru. Kegiatan pencangkokan dimaksudkan untuk meng”copy” genetik induk yang mempunyai sifat-sifat unggul dan dijadikan sebagai materi dasar. Dalam kasus seperti ini, Zobel dan Talbert (1984) mengistilahkan bahwa cangkok merupakan teknik “antara” untuk menghasilkan perakaran sebagai pembentuk materi dasar. Materi dasar hasil cangkokan nantinya dikembangkan secara lanjut di persemaian dalam bentuk kebun perbanyakan, dimana penyusun kebun perbanyakan hanya ditujukan untuk memproduksi tunas-tunas juvenil yang digunakan sebagai bahan perbanyakan vegetatif dengan stek (Utami et al., 2012) atau teknik perbanyakan makro dan mikro lainnya. V. PENUTUP Pembiakan vegetatif pada tanaman kayu bawang merupakan salah satu solusi untuk mengatasi keterbatasan produksi benih dalam rangka pemenuhan kebutuhan bibit. Pembiakan vegetatif pada cabang/batang tanaman kayu bawang tua dapat dilakukan dengan sistem cangkok dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Kegiatan cangkok ini hanya dilakukan untuk tujuan meng“copy” genetik induk sebagai penyedia materi dasar perbanyakan untuk kegiatan berikutnya. Bilamana materi dasar sudah terbentuk, maka sebagai langkah tindak lanjut adalah dilakukannya teknik perbanyakan massal dengan pembiakan vegetatif stek pucuk.
103
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
DAFTAR PUSTAKA Apriyanto, E. 2003. Pertumbuhan Kayu Bawang (Protium javanicum Burm.f) pada Tegakan Monokultur Kayu Bawang di Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 5, No.2 tahun 2003. Diakses di http://www. Bdpunib.org/jipi/artikeljipi /2003/64.PDF pada tanggal 13 Agustus 2007. Baskorowati, L. 2012. Pengembangan Klon dan Hibridisasi. Status Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH). Kementerian Kehutanan. Yogyakarta. Brennan, E. B., and K.W. Mudge. 1997. Vegetative propagation of Inga feuillei from shoot cuttings and air layering. New forests 15:37-51, 1998. Kluwer Academic Publishers. Netherlands. Buharman, D. F. Djam’an, N. Widyani, S. Sudradjat. 2011. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia Jilid II “Sentang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs)”. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Badan Litbang Kementerian Kehutanan. Bogor. Chauhan, V. S., V. P. Ahlawat and M. S. Joon. 2008. Studies on Air Layering in Litchi (CV, Early Large Red). Agric. Sci. Digest, 28 (3): 186-188, 2008. Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu. 2003. Budidaya Tanaman Kayu Bawang. Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu. Bengkulu. Eganathan, P., C.S. Rao, A. Anand. 2000. Vegetative Propagation of three mangrove tree species by cuttings and air layering. Wetlands Ecology and Management 8: 281-286, 2000. Kluwer Academic Publishers. Netherlands. Gowda, V. N., V. Kumar, P.V.K. Reddy. 2011. Studies on vegetative propagation in jamun (Syzygium cumini). Acta Horticulturae 2011 No. 890 pp. 107-110. Granzow, I. 1999. Air-Layering Shows Promise in Propagating Tropical Trees (Nicaragua). Ecological Restoration 17:1 & 2 Spring/ Summer. Hardiyanto, E. B. 2004. Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium “Silvikultur dan Pemuliaan Acacia mangium”. Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. PT. Musi Hutan Persada. Herbert H. Jervis. 1997. The Beneficial Apects of Cloning: A View From The Plant World. Jurimetrics, Vol. 38, No. 1 (Fall 1997), pp. 97-102. Hussain, A., A.G. Pandurangan, R. Remya. 2013. Clonal propagation through stem cuttings and air layering in Dysoxylum malabaricum Bedd. Ex Hiern. An endemic and rare tree species of the Western Ghats. Indian Journal of Forestry 2013 Vol. 36 No. 2 pp. 187-190. Jaenicke, H., J. Beniest. 2002. Vegetative Tree Propagation in Agroforestry. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Nairobi, Kenya. Joker, D. 2000. Seed Leaflet: Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs. Danida Forest Seed Centre. Denmark. Kawai, M. 1997. Artificial ectomycorrhiza formation on roots of air-layered Pinus densiflora saplings by inoculation with Lyophyllum shimeji. Mycologia, 89(2), 1997, pp. 228-232. Modi, D. J., B. K. Patel, H.S. Bhadauria, L. R. Varma and V. R. Garasiya. 2012. Effect of different level of indole butyric on air layering of cashewnut (Anacardium occidentale L.) cv. Vengurla-6, Asian J. Hort., 7(2): 626-627. 104
Aspek Perbenihan
Muslimin, I., N. Herdiana, K. Mulyadi. 2014. Laporan Hasil Penelitian “Pembangunan Sumber Benih Jenis Kayu Bawang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs). Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Kementerian Kehutanan. Tidak dipublikasikan. Mwangingo, P.P., L. L. Lulandala. 2011. Air Layering and its potential in propagating Uapaca kirkiana: a fruit tree from the miombo woodland, Tanzania. Southern Forests: A Journal of Forest Science. 2011, Vol. 73 Issue 2, p67-71. 5p. Nurlia, A., dan E. A. Waluyo. 2013. Faktor-faktor Pembatas Yang Mempengaruhi Pengembangan Hutan Rakyat Kayu Bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) di Provinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Hasil Penelitian “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan”. Palembang, 2 Oktober 2013. Kementerian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Prastowo, N. H., J. M. Roshetko, G. E. S. Maurung, E. Nugraha, J. M. Tukan, F. Harum. 2006. Teknik Pembibitan dan Perbanyakan Vegetatif Tanaman Buah. World Agroforestry Centre (ICRAF) & Winrock International. Bogor. Indonesia. Pudjiono, S. 2008. Penerapan Perbanyakan Tanaman Secara vegetatif Pada Pemuliaan Pohon. Makalah Gelar Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan di Pekanbaru Riau Tanggal 21 Agustus 2008. Balai Besar Penelitian Biotekhnologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Rahman, E., M. L. Hutagalung, Y. T. Surbakti. 2012. Makalah Dasar-dasar Agronomi “Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif”. Program Studi Agribisnis. Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Tidak dipublikasikan. Siahaan, H., dan A. Sumadi. 2013. Pertumbuhan dan Produktivitas Agroforestri Kayu Bawang di Propinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Hasil Penelitian “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan”. Palembang, 2 Oktober 2013. Kementerian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Siregar, N., D. F. Djam’an. 2007. Teknik Perbanyakan Vegetatif Untuk Memproduksi Bibit Beberapa Jenis Tanaman Hutan. Prosiding Seminar “Teknologi Perbenihan untuk Meningkatkan Produktivitas Hutan Tanaman Rakyat di Sumatera Barat”. Departemen Kehutanan. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor. Subiakto, A. 2009. Aplikasi KOFFCO Untuk Produksi Stek Jenis Pohon Indigenous. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Thakur, K. S., G. S. Shamet, A. D. Mundhe. 2011. Propagation of Neoza pine (Pinus gerardiana Wall) through cuttings and air-layering. Indian Journal of Forestry 2011. Vol. 34 No. 3 pp. 257-262. Thirunavoukkarasu, M. Brahmam & N. K. Dhal. 2004. Vegetative Propagation Of Hymenaea Courbaril by Air Layering. Journal of Tropical Forest Science 16(2):268-270 (2004). Tomar, A. dan V. R. R. Singh. 2011. Effect of air layering time (season) with the aid of Indole Butyric Acid in Ficus krishnae and Ficus auriculata. Indian Forester 2011 Vol. 137 No. 12 pp 1363-1365. Utami, S., A. P. Yuna., T. R. Saepuloh. 2012. Budidaya Jenis Kayu Bawang Aspek Manipulasi Lingkungan. Laporan Hasil Penelitian. Kementerian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan. 105
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Verma, P.L., N. Das, V. Kumar, R. Kumar. 2013. Effect of Sphagnum spp. As substrate media on rooting response of Cinnamomum verumykesu (Syn. C. Zeylanicum Blume) through air layering. Journal of Non-Timber Forest Products 2013 Vol. 20 No. 3 pp 179-182. Zobel dan Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley & Sons Inc. Canada.
106
Aspek Perbenihan
VARIASI GENETIK PERTUMBUHAN UJI KETURUNAN BAMBANG LANANG (Michelia champaca L.) UMUR 1 TAHUN Agus Sofyan, Abdul Hakim Lukman, Imam Muslimin dan Kusdi Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui variasi genetik, heritabilitas serta perolehan genetik harapan pertumbuhan tinggi dan diameter pohon bambang lanang (Michelia champaca L). Penelitian dilakukan pada uji keturunan half-sib M. champaca umur 1 tahun di Kabupaten Empat Lawang-Sumatera Selatan, menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), 40 famili, 4 replikasi, 4 tanaman setiap plot (treeplot). Variabel yang diukur adalah diameter pangkal batang dan tinggi pohon. Terdapat variasi genetik pertumbuhan tinggi dan diameter antar famili dengan nilai persentase komponen varians berturut-turut sebesar 1,19% dan 2,69%. Nilai heritabilitas individu (h 2i) dan famili (h2f) sebesar 0,05 dan 0,07 untuk tinggi serta 0,11 dan 0,15 untuk diameter. Kata kunci: Michelia champaca, half sib, uji keturunan, variasi genetik, heritabilitas I. PENDAHULUAN
Bambang lanang (Michelia champaca L.) merupakan salah satu jenis tanaman lokal potensial untuk penghasil kayu pertukangan yang menjadi unggulan di Propinsi Sumatera Selatan. Pada awalnya jenis ini dikembangkan dan diminati oleh masyarakat di Kabupaten Empat Lawang. Melalui upaya kemandirian masyarakat, bambang lanang telah menyebar ke berbagai daerah di Sumatera Bagian Selatan seperti Lahat, Kota Pagaralam, Ogan Komiring Ulu, Musi Rawas, Muara Enim, Kota Lubuk Linggau, dan bahkan sampai ke Bengkulu dan Lampung (Martin et al., 2010). Jenis ini berkembang dengan pesat karena memiliki beberapa keunggulan yaitu batang bebas cabang cukup tinggi, lurus, ranting mudah gugur (pruning alami tinggi) dan tajuk yang tidak lebar sehingga cocok sebagai penyusun pola tanam campur. Riap diameter tanaman bambang dapat mencapai 3 cm per tahun (Sofyan et al., 2010) dengan produktivitas sekitar 17m3/ha/tahun (Lukman, 2012). Budidaya tanaman bambang lanang pada saat ini masih dilakukan secara tradisional dengan praktek-praktek silvikultur yang sederhana. Kegiatan pemeliharaan seperti penyiangan gulma, pemupukan dan pemangkasan serta perlindungan terhadap hama dan penyakit belum dianggap sebagai komponen penting dalam budidayanya, begitu pula dengan penggunaan bahan atau materi tanaman seperti benih maupun bibit yang masih terkesan ‘seadanya’. Peran penerapan praktek silvikultur yang baik dan tepat serta penggunaan materi tanaman sangat menentukan dalam mencapai tujuan penanaman. Pembangunan hutan tanaman (hutan rakyat maupun hutan tanaman rakyat) membutuhkan investasi yang cukup besar serta waktu yang relatif lama, karenanya harus diarahkan pada pembangunan hutan tanaman yang produktif. Peningkatan produktivitas harus di dukung dengan teknologi budidaya yang tepat serta penggunaan benih serta bibit yang bergenetik unggul. Pada saat ini, sumber benih tanaman kehutanan khususnya jenis-jenis lokal komersial belum cukup tersedia, sehingga ketersediaan benih maupun bibit yang unggul secara genetik belum dapat dipenuhi. Upaya penyediaan benih bergenetik unggul dapat dilakukan dengan membangun sumber benih yang didasarkan pada kaidah-kaidah dalam program pemuliaan tanaman. 107
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas jenis bambang lanang, Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang pada tahun 2011 telah membangun sumber benih dalam bentuk uji keturunan half sib yang berlokasi di Kabupaten Empat Lawang. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi variasi genetik pertumbuhan antar famili serta besarnya nilai heritabilitas dan perolehan genetik harapan. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2012 pada tanaman uji keturunan bambang lanang (Michelia champaca L.) di Kabupaten Empat Lawang-Sumatera Selatan. Lokasi tanaman uji berada pada ketinggian 250 m dpl, rerata suhu harian 28-30oC, curah hujan rerata 20003000mm/ tahun, topografi datar dengan jenis tanah Podsolik Merah Kuning (PMK). Tanaman uji keturunan bambang lanang dibangun menggunakan materi pohon induk hasil dari seleksi massa berdasarkan kriteria pertumbuhan yang bagus (diameter dan tinggi), batang relatif lurus serta tidak terserang hama dan penyakit. Uji keturunan dibangun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), 40 famili, 4 tanaman setiap plot (treeplot), 4 replikasi dan jarak tanam 3x3 m. Pohon induk bambang lanang di dapatkan dari beberapa populasi yang terdapat di Kabupaten Empat Lawang yaitu populasi Lintang Kanan, Muara pinang, Pendopo, Tebing Tinggi, Ulu Musi dan Talang Padang. B. Metode Penelitian Pengukuran dilakukan terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman. Tinggi tanaman diukur dengan galah ukur dari permukaan tanah sampai titik apikal tanaman, sedangkan diameter batang diukur dengan kaliper pada pangkal batang +10cm dari permukaan tanah. Model matematis yang digunakan adalah: Yij = µ + Ri + Fj + RFij+Eij Keterangan: Yij = pengamatan pada replikasi ke-i, famili ke-j µ = rerata umum Ri = replikasi ke-i Fj = efek famili ke-j RFij = efek interaksi pada replikasi ke-i dan famili ke-j Eij = random galat pada pengamatan ke-ij Besarnya pengaruh faktor genetik terhadap penampilan suatu pohon (fenotipe) ditaksir dari besarnya nilai heritabilitas. Heritabilitas individu (h 2i) dan famili (h2f) produksi getah dihitung dengan rumus (Zobel dan Talbert, 1984): σ2f 4 σ2f 2 2 hf = hi = σ2f + (σ2e/ nr) + (σ2fr/r) σ2f + σ2 e + σ2fr Keterangan: h2f : heritabilitas famili h2i : heritabilitas individu σ2f : komponen varians famili σ2fr : komponen varians interaksi famili replikasi σ2e : komponen varians galat r : rerata harmonik jumlah replikasi n : rerata harmonik jumlah pohon tiap plot 108
Aspek Perbenihan
Korelasi genetik antar sifat (pertumbuhan tinggi dengan diameter) dihitung dengan rumus (Zobel dan Talbert, 1984): σf (xy) rG = Dimana, σf (xy) = 0,5 (σ2f (x+y) – σ2f (x) – σ2f(y)) 2 2 √( σ f(x) . σ f(y)) Keterangan : rG : korelasi genetik σf (xy) : komponen kovarians untuk sifat x dan y σ2f (x) : komponen varians untuk sifat x σ2f (y) : komponen varians untuk sifat y σ2f (x+y) : komponen varians untuk sifat x dan y Korelasi fenotipik dihitung dengan rumus (Hardiyanto, 2008): σp (xy) rp = σp(x) . σ p(y) Keterangan: rp : korelasi fenotipik σp (xy) : komponen kovarians fenotipik untuk sifat x dan y σp (x) : komponen kovarians fenotipik untuk sifat x σp (y) : komponen kovarians untuk sifat y σp (xy) : dapat dipisahkan menjadi σ Aditif (xy); σ NonAditif (xy) dan σE (xy) III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Tanaman Tanaman uji keturunan bambang lanang umur 1 (satu) tahun mempunyai rerata pertumbuhan tinggi sebesar 1,15+0,36 m dan pertumbuhan diameter sebesar 1,63+0,50 cm. Pertumbuhan tanaman uji keturunan bambang lanang ini mempunyai nilai yang tidak berbeda jauh dengan beberapa pertumbuhan tanaman bambang lanang di beberapa tempat di Sumatera. Lukman et al. (2012) mengemukakan bahwa pertumbuhan bambang lanang di Kabupaten Lahat-Sumsel pada umur 9 bulan mempunyai pertumbuhan tinggi sebesar 1,08+0,32 m dan pertumbuhan diameter sebesar 1,74+0,57 cm. Siahaan et al. (2007). mengemukakan pertumbuhan bambang lanang pada umur satu tahun mempunyai rerata tinggi 0,86 m dan diameter 0,96 cm. Tanaman bambang lanang di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Benakat-Sumsel pada umur 6 bulan mempunyai tinggi sebesar 0,75 m dan diameter sebesar 1,12 cm, sedangkan pada umur 18 bulan mempunyai tinggi sebesar 2,22 m dan diameter sebesar 2,81 cm (Herdiana, 2009). B. Variasi Genetik Untuk mengetahui besarnya variasi genetik, maka dilakukan analisis varians dan penghitungan besaran taksiran komponen varians. Sebelum dianalisis, data pertumbuhan tanaman (tinggi dan diameter) ditransformasi dalam bentuk akar kuadrat dengan pertimbangan adanya data yang tidak terdistribusi normal dan nilai rerata plot yang kurang lebih sama (mendekati) nilai variansnya (Hardiyanto, 2008). Hasil analisis varians terhadap pertumbuhan tanaman (Tabel 1) menunjukkan bahwa sumber variasi replikasi memberikan pengaruh yang tidak nyata pada semua variabel pertumbuhan, sementara sumber variasi interaksi replikasi dengan famili (replikasi*famili) menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata pada semua variabel. Interaksi tersebut 109
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
menyebabkan famili-famili yang mempunyai pertumbuhan terbaik pada satu replikasi tidak selalu sama baiknya pada replikasi yang lain. Tabel 1. Analisis varians pertumbuhan tanaman uji keturunan bambang lanang (M. champaca) di Kabupaten Empat Lawang umur 1 tahun Sumber variasi
Kuadrat rerata untuk pertumbuhan Tinggi Diameter Ns Replikasi 0.032 0.012Ns Famili 0.044** 0.056** Rep.*Fam 0.044** 0.051** Galat 0.024 0.027 Ns Keterangan: ** Berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 1%, berbeda tidak nyata
Sebagaimana hasil interaksi antara replikasi dengan famili, sumber variasi famili juga menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata pada pertumbuhan tinggi dan diameter. Hasil ini memberikan gambaran adanya variasi genetik antar famili-famili yang diuji. Adanya variasi genetik tersebut telah memberikan peluang untuk melakukan seleksi antar famili guna memperoleh peningkatan genetik pada pengembangan generasi berikutnya. Seberapa besar variasi genetik antar famili dapat diketahui dari besaran nilai taksiran komponen varians dan nilai persentase atau proporsi masing-masing komponen (Tabel 2). Nilai proporsi komponen varians famili (σ2f) yang menggambarkan pengaruh atau peran faktor genetik terhadap pertumbuhan tanaman, nampak masih relatif sangat rendah yaitu masing-masing sebesar 1,19% untuk pertumbuhan tinggi dan 2,69% untuk pertumbuhan diameter. Hasil ini memberikan bukti bahwa pertumbuhan tanaman bambang lanang pada umur satu tahun masih sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Tabel 2. Taksiran komponen varians (tkv) pertumbuhan tanaman uji keturunan bambang lanang (M. champaca) di Kabupaten Empat Lawang umur 1 tahun Sumber variasi
Tinggi Tkv
Replikasi 0 Famili 0,0003904 Rep.*Fam 0,0065122 Galat 0,0258200 Total 0,0327226 Keterangan tkv: taksiran komponen varians
Diameter % 0 1,19 19,90 78,91 100
Tkv 0 0,0010536 0,0093807 0,00287100 0,0391443
% 0 2,69 23,96 73,34 100
C. Taksiran Nilai Heritabilitas
Heritabilitas merupakan parameter yang menggambarkan seberapa besar sifat-sifat induk diwariskan kepada keturunannya. Heritabilitas individu (h2i) untuk pertumbuhan tinggi sebesar 0,05 dan untuk pertumbuhan diameter sebesar 0,11 (Tabel 3). Menurut Cotteril dan Dean (1990), taksiran nilai heritabilitas individu sebesar 0,05 untuk pertumbuhan tinggi berada pada level rendah, sementara untuk pertumbuhan diameter sebesar 0,11 berada pada level sedang. Sebagaimana perolehan nilai heritabilitas individu, perolehan taksiran nilai heribilitas famili (h2f) juga berada pada level rendah (Hardiyanto dalam Leksono, 1994), yaitu masingmasing sebesar 0,07 untuk pertumbuhan tinggi dan 0,15 untuk pertumbuhan diameter (Tabel 3). Perolehan taksiran nilai heritabilitas individu pada level sedang menunjukkan bahwa faktor genetik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan diameter dan perolehan genetik akan efektif bilamana seleksi dilakukan secara individual (seleksi massa) (Wright, 1976). 110
Aspek Perbenihan
Tabel 3. Taksiran heritabilitas individu (h 2i) dan famili (h2f) pertumbuhan tanaman uji keturunan bambang lanang (M. champaca) di Kabupaten Empat Lawang umur 1 tahun Karakter Tinggi Diameter
Heritabilitas 2
Individu (h i) 0,05 0,11
Famili (h2f) 0,07 0,15
D. Korelasi Genetik dan Fenotipik
Koefisien korelasi genetik dan korelasi fenotipik (Tabel 4) mempunyai nilai yang berbeda, hal ini mengindikasikan bahwa korelasi fenotipik yang ada tidak sepenuhnya merupakan ekspresi dari faktor genetik, dimana faktor lingkungan dan interaksi antara faktor lingkungan dan genetik lebih banyak pengaruhnya terhadap penampilan fenotipik tanaman yang sekaligus akan berpengaruh terhadap nilai korelasi fenotipik. Tabel 4. Korelasi genetik (rG) dan fenotipik tanaman uji keturunan bambang lanang umur satu tahun di Kabupaten Empat Lawang Korelasi Tinggi-Diameter Genetik Fenotipik
Koefisien Korelasi 1,23 0,78
Korelasi genetik antara tinggi dan diameter (Tabel 4) sebesar 1,23 yang berarti berada di luar nilai yang semestinya (1 atau -1) (over estimate). Nilai korelasi genetik yang over estimate juga terjadi pada beberapa penelitian lainnya (Lin dan Zsuffa, 1993; Harding et al., 1991; Sofyan et al., 2011). Korelasi genetik dengan nilai over estimate ini biasanya disebabkan oleh karena rendahnya nilai heritabilitas (Lin dan Zsuffa, 1993, Sofyan et al., 2011), dimana dalam penelitian ini nilai heritabilitas untuk pertumbuhan tinggi berada dalam kategori yang sangat rendah (Tabel 3) baik pada heritabilitas individu (0,05) maupun heritabilitas famili (0,07). IV. KESIMPULAN Beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Terdapat variasi genetik pertumbuhan tinggi dan diameter antar famili dengan nilai persentase taksiran komponen varians (tkv) berturut-turut sebesar 1,19% dan 2,69%. 2. Taksiran nilai heritabilitas individu (h 2i) sebesar 0,05; 0,11 dan heritabilitas famili (h 2f) sebesar 0,07; 0,15 berturut-turut untuk tinggi dan diameter. DAFTAR PUSTAKA Cotteril, P.P. dan C.A. Dean. 1990. Succesful Tree Breeding with Index Selection. CSIRO Division of Forestry and Forest Product. Australia. Harding, K. J., P. J. Kanowski dan R. R. Woolaston. 1991. Preliminary genetic parameter estimates for some wood quality traits of Pinus caribaea var. hondurensis in Queensland, Australia. Silva Genetica 40: 152-156 (1991). Hardiyanto, E. B. 2008. Diktat Mata Kuliah Pemuliaan Pohon Lanjut. Program Pasca Sarjana. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tidak dipublikasikan Herdiana, N. 2009. Pertumbuhan Awal Tanaman Kayu Bawang dan Bambang Lanang Di KHDTK Benakat, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil Hasil Penelitian “”Mengenal Teknik 111
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Budidaya Jenis-jenis Pohon Lokal Sumsel dan Upaya Pengembangannya”. Palembang, 11 Desember 2008. Departemen Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor. Leksono, B. 1994. Variasi Genetik Produksi Getah Pinus merkusii Jungh et de Vriese. Tesis Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Lin, J. Z. dan L. Zsuffa. 1993. Quantitative Genetic Parameters for Seven Characters in a Clonal Test of Salix eriocephala, II. Genetic and Environmental Correlations and Efficiency of Indirect Selection. Silvae Genetica 42, 2-3 (1993). Lukman, A. H. 2012. Status Budidaya Bambang Lanang Dalam Pengusahaan Kayu Rakyat Di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian “Peluang dan Tantangan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat” di Palembang, 23 Oktober 2012. Departemen Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Lukman, A. H., A. P. Yunita dan Kusdi. 2012. Laporan Hasil Penelitian: Budidaya Jenis Bambang Lanang. Balai Penelitiann Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan. Martin, E., B. T. Premono, A. P. Yunita, A. Nurlia, A. B. Hidayat. 2010. Budidaya Jenis Bambang Lanang Aspek Status Pembudidayaan Bambang Lanang di Masyarakat. Laporan HAsil Penelitian. BAlai Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan. Siahaan, H., N. Herdiana, N. Sagala, J. Muara dan T. R. Saepuloh. 2007. Teknik Silvikultur Bambang Lanang. Prosiding Seminar “Peran IPTEK dalam mendukung pembangunan hutan tanaman dan kesejahteraan masyarakat”. Kayuagung-OKI, 7 Desember 2006. Departemen Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor. Sofyan, A., E. Martin, A. H. Lukman, A. W. Nugroho. 2010. Status Riset dan Rencana Penelitian Jenis-Jenis Prioritas Kayu Pertukangan di Sumatera. Prosiding seminar bersama BPK Aek Nauli, BPK Palembang dan BPHPS Kuok, tanggal 4-5 November 2010 di Pekanbaru. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Sofyan, A., M. Na’iem, S. Indrioko. 2011. Perolehan Genetik Pada Uji Klon Jati (Tectona grandis L. F) Umur 3 Tahun di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol. 8 No. 3 Juli 2011, 179-186. Wright, J. W. 1976. Introduction to Forest Genetics. Academic Press. New York. Zobel, B.J. dan J. T. Talbert. 1984. Appplied Forest Tree Improvement. John Willey and Sons. Inc. New York.
112
ASPEK SILVIKULTUR
Aspek Silvikultur
APLIKASI TEKNIK SILVIKULTUR DAN PENGGUNAAN BENIH UNGGUL DARI SUMBER BENIH UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS TANAMAN TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb) DI HUTAN RAKYAT Imam Muslimin, Agus Sofyan dan Abdul Hakim Lukman Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Tembesu (Fagraea fragrans Roxb) merupakan tanaman unggulan Wilayah Sumatera Selatan yang populer dan bernilai ekonomi sebagai penghasil kayu pertukangan. Upaya pengembangan budidaya tembesu mempunyai kendala pertumbuhan yang lambat, banyak percabangan serta bentuk batang yang kurang baik. Saat ini, riap diameter tembesu di hutan rakyat sebesar 1,5cm/tahun dan tinggi 1,4m/tahun. Budidaya tembesu dapat dianggap kompetitif dengan tanaman lainnya bilamana mempunyai riap diameter 2,5cm/tahun. Aplikasi teknik silvikultur mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemangkasan dan penjarangan tanaman mampu meningkatkan produktifitas diameter yang bervariasi antara 4,27%-30,77%. Penggunaan benih dari pohon induk penyusun tanaman uji keturunan mempunyai peningkatan produktifitas diameter sebesar 80%, sedangkan penggunaan materi klon dari 40 pohon terbaik tanaman uji keturunan mempunyai peningkatan produktifitas sebesar 200%. Penggabungan teknik silvikultur, penggunaan benih dari pohon induk dan perhutanan klon diyakini dapat membentuk tanaman tembesu budidaya yang kompetitif dan produktifitas tanaman yang tinggi. Kata kunci: tembesu, produktifitas, kompetitif, silvikultur, uji keturunan
I. PENDAHULUAN Tembesu (Fagraea fragrans Roxb) merupakan salah satu jenis tanaman yang popular di wilayah Sumatera Selatan sebagai bahan baku kayu pertukangan dengan kelas awet I dan kelas kuat I-II. (Lemmens et al., 1995; Martawijaya et al., 2005). Selain itu, bagi masyarakat Sumatera Selatan (Palembang), kayu tembesu merupakan bahan baku utama untuk pembuatan kerajinan ukiran khas Palembang yang sangat popular dan bernilai sosial ekonomi yang tinggi. Tingginya nilai ekonomi kayu tembesu ini secara langsung tidak di imbangi dengan pengembangan budidaya tanaman tembesu yang intensif. Tanaman tembesu tumbuh alami dan liar di lahan perkebunan masyarakat sampai periode siap panen. Umumnya pengelolaan tanaman tembesu di masyarakat masih dilakukan secara “asalan” dan tidak ada perlakuan khusus untuk memacu atau meningkatkan produktifitas. Tembesu yang terdapat di lahan masyarakat mempunyai produktifitas yang rendah, percabangan dan mata kayu yang banyak, bentuk batang yang jelek (bengkok), nilai sortimen kayu yang rendah serta secara tidak langsung akan mengurangi nilai jual kayu (Sofyan et al., 2013a). Minimnya usaha pengembangan tembesu dalam bentuk pembangunan hutan tanaman secara khusus mempunyai kendala utama dengan “kualitas” dan produktifitas tanaman yang masih rendah. Kondisi semacam ini membutuhkan dukungan informasi paket teknologi budidaya tanaman tembesu serta materi (benih unggul) agar dapat meningkatkan produktifitas tanaman secara optimal. Makalah ini menyajikan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan aspek pengelolaan tanaman tembesu sebagai salah satu strategi dan upaya untuk meningkatkan produktifitas dan “menggairahkan” kembali budidaya tanaman tembesu.
115
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
II. MENGENAL TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb) Tembesu termasuk dalam famili Loganiaceae (CABI, 2014) dan terkenal dengan nama ki badak (Sunda), kayu tammusu dan tembesu (Sumatera), ambinaton dan tembesu (Kalimantan); tembesu hutan, tembesu padang dan tembesu tembaga (Peninsular Malaysia); urung, dolo (Tagbanua), susulin (Tagalog Philipina); kayu anan, ahnyim (Burma Myanmar); tatraou (Cambodia); kankrao dan trai (Thailand dan Vietnam) (Lemmens et al., 1995; Martawijaya et al., 2005). Di Indonesia, tembesu tumbuh dan tersebar mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat, Maluku sampai Irian Jaya. Tanaman ini merupakan tanaman pionir pada lahan bekas terbakar, lahan alang-alang ataupun hutan sekunder yang lembab, iklim basah sampai agak kering dan tumbuh baik pada ketinggian 0-500 m dari permukaan laut (Martawijaya et al., 2005). Tembesu tumbuh hijau sepanjang tahun (evergreen), diameternya dapat mencapai 150 cm dan tingginya 40 m dengan tinggi bebas cabang mencapai 25 m (Lemmens et al., 1995; Martawijaya et al., 2005). Tembesu memiliki batang yang bergelombang lemah tanpa banir dengan kulit berwarna coklat sampai hitam, tebal dan keras serta mempunyai alur dangkal sampai dalam (Sofyan et al., 2013a). Tembesu dapat dikenali dengan mudah dari bentuk tajuknya yang kerucut (cone), daun berbentuk lanset hingga bulat telur-lonjong (panjang 4 -15 cm dan lebar 1,5–6 cm) (Lemmens et al., 1995). Bunga berwarna putih, bunga tunggal, tabung, mahkota berbentuk corong (panjang 0,7-2,3 cm) dan berbau harum yang sekaligus digunakan sebagai identitas penanda nama ilmiahnya yaitu fragrans. Buah tembesu berbentuk bulat (diameter 0,5–1 cm), buah muda berwarna hijau atau kuning dan berwarna merah atau orange saat masak. Buah tembesu berbentuk buni, berdaging dan berisi biji dengan ukuran yang kecil (diameter < 1 mm). Dalam satu kilogram terdapat 6.600 butir buah (Martawijaya et al., 2005) dan dalam satu kilogram biji terdapat sekitar 5 juta biji (Lemmens et al., 1995). III. POTENSI, HAMBATAN DAN TANTANGAN BUDIDAYA TEMBESU Dalam rangka mengembangkan usaha budidaya tanaman tembesu, dalam pelaksanaannya akan ditemui berbagai macam kendala. Oleh karena itu, langkah awal yang harus di tempuh adalah mengidentifikasi potensi dan permasalahan yang ada. Permasalahan yang muncul secara timbal balik merupakan tantangan yang harus di temukan pemecahannya untuk memperoleh nilai produksi yang maksimal. Beberapa nilai potensi dari pengembangan tanaman tembesu adalah sebagai berikut: 1. Tembesu merupakan tanaman asli Indonesia yang tersebar dari Indonesia bagian barat sampai Indonesia bagian timur, sebagai tanaman pionir, mempunyai persebaran yang luas. 2. Penyebaran tanaman yang luas dimungkinkan memiliki nilai variasi genetik dan pola adaptasi yang lebar (Zobel dan Talbert, 1984) 3. Tanaman tembesu mempunyai nilai sosio historis dengan masyarakat Sumatera Selatan. Sudah sejak lama kayu tembesu digunakan sebagai komponen utama penyusun rumah panggung beserta perabotannya yang sekaligus menambah “prestise” bahwa pemakai kayu tembesu termasuk sebagai orang kaya/terpandang (Sahwalita, 2014). 4. Kayu tembesu sangat disukai karena mempunyai kelas awet I dan kelas kuat II-I (Martawijaya et al., 2005) yang sebenarnya setara dengan kualitas kayu Jati serta mudah dalam pengerjaan pada industri kerajinan ukiran karena kandungan silika kayu hanya sekitar 0,3%. Selain itu, kayu tembesu tidak mudah pecah dan melengkung walaupun hanya dilakukan pengeringan alami (Sahwalita, 2014). 116
Aspek Silvikultur
5. Periode pembungaan dan pembuahan tembesu kontinyu setiap tahunnya, jumlah buah dan benih berlimpah. Benih berukuran kecil dan bersifat ortodoks sehingga sangat efektif dan efisien untuk proses penyimpanan. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan benih tembesu akan tersedia dalam skala produksi massal. Selain itu, teknik pembiakan tembesu dapat secara generatif dan vegetatif (stek) dengan tingkat keberhasilan yang tinggi (Sofyan dan Muslimin, 2006) 6. Kayu tembesu mempunyai harga yang cukup tinggi, harga di tingkat desa di Kabupaten OKU Timur (Sumsel) berkisar antara Rp. 3.000.000-4.000.000/m3 dalam bentuk kayu olahan berdimensi 8/12 cm dan 5/10 cm (Martin dan Premono, 2014). Sedangkan harga kayu tembesu di tingkat pengrajin ukiran kayu tembesu di kota Palembang berkisar antara Rp. 6.000.000-6.500.000 (Kemas Anwar, komunikasi pribadi). Selain potensi pengembangan untuk budidaya tembesu, terdapat beberapa hambatan dalam budidaya tembesu, antara lain: 1. Tembesu yang dikembangkan masyarakat merupakan tembesu “liar” yang tumbuh alami di kebun-kebun masyarakat. Aspek pengelolaan tembesu masih sangat sederhana (belum ada input tehnologi), sehingga tanaman tembesu mempunyai banyak percabangan, bentuk batang jelek dan bengkok, sortimen kayu rendah (Sofyan et al., 2013a) 2. Tanaman tembesu yang tumbuh di hutan rakyat cenderung lambat. Sumadi dan Saepuloh (2011) mengemukakan bahwa tanaman tembesu pada hutan rakyat pola campuran berumur 2 tahun memiliki rerata diameter 3,41 cm (riap tahunan/MAI 1,71 cm/tahun), umur 3 tahun memiliki rerata diameter 5,47 cm (MAI 1,82 cm/tahun), umur 18 tahun memiliki diameter setinggi dada 24,15 cm (MAI 1,34 cm/tahun), sedangkan tembesu umur 20 tahun mempunyai diameter 26,6 cm (MAI 1,3 cm/tahun) dan tinggi 21,1m (MAI 1,1 m/tahun), rerata volume per pohon sebesar 0,39 m3 dengan kerapatan 438 pohon/ha dengan total volume sebesar 170,2 m3 atau riap volume sebesar 8,51 m3/ha/tahun. Sofyan et al., (2013b) mengemukakan bahwa tembesu umur 6 tahun mempunyai MAI diameter 1,67 cm dan MAI tinggi 1,7 m. Berdasarkan data dan informasi di atas, dapat kita simpulkan bahwasanya rerata MAI diameter tembesu adalah 1,5 cm/tahun dan rerata MAI tinggi sebesar 1,4 m/tahun. 3. Karena pertumbuhannya yang lambat dan panen yang lama, maka masyarakat membudidayakan tembesu hanya sebagai “tanaman sampingan” untuk tabungan kayu yang umumnya di gunakan sebagai bahan bangunan rumah. Secara intensif, masyarakat lebih mengutamakan lahannya untuk budidaya tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit yang dianggap lebih bernilai ekonomi (Martin dan Premono, 2014). Hambatan atau permasalahan dalam usaha pengembangan budidaya tembesu sebenarnya merupakan tantangan yang harus dihadapi. Beberapa peluang dan tantangan dalam pengembangan budidaya tanaman tembesu adalah sebagai berikut: 1. Kebutuhan kayu tembesu pada tingkat pengrajin ukiran khas Palembang di Kota Palembang sangat tinggi. Permintaan total kebutuhan kayu tembesu adalah sebesar 3.120 m3/tahun yang dihitung dari 30 unit workshop (Martin dan Premono, 2014). Kebutuhan kayu untuk kegiatan workshop ini adalah sangat besar dan tidak akan bisa dipenuhi bilamana produksi kayu tembesu masih berasal dari kebun-kebun masyarakat dan lahan hutan sekunder yang umumnya tumbuh secara alami. Bahkan pada beberapa workshop, kebutuhan kayu tembesu untuk bahan ukiran diperoleh dari sisa-sisa bongkaran rumah tinggal jaman dulu yang memang umumnya sebagian besar menggunakan kayu tembesu (Kemas Anwar, komunikasi pribadi 2014).
117
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
2. Lebih lanjut Martin dan Premono (2014) memberikan simulasi perbandingan nilai output finansial antara hutan tanaman tembesu dan kebun kelapa sawit dengan peubah MAI diameter tembesu (Tabel 1). Berdasarkan simulasi tersebut nampak bahwa budidaya tanaman tembesu dapat dikatakan sebanding dengan pengusahaan kelapa sawit bilamana pertumbuhan diameter tanaman tembesu lebih dari 2,5 cm/ tahun. Tabel 1. Hasil simulasi perbandingan nilai output finansial antara hutan tanaman tembesu dan kebun kelapa sawit dengan peubah MAI diameter tembesu MAI diameter (cm/tahun) 1,00 1,25 1,50 2,00 2,50 3,00
Alokasi lahan untuk hasil lestari (hektar) 1.103,47 882,78 735,65 551,73 441,39 367,82
Output finansial/tahun (Rp.) 5.304.000.000 5.304.000.000 5.304.000.000 5.304.000.000 5.304.000.000 5.304.000.000
Output finansial/tahun jika lahan dialokasikan bagi kelapa sawit (Rp.) 13.241.691.264 10.593.353.011 8.827.794.176 6.620.845.632 5.296.676.505 4.413.897.088
Martin dan Premono (2014)
IV. APLIKASI TEKNIK SILVIKULTUR DALAM PENINGKATAN PRODUKTIFITAS TEMBESU Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan produktifitas tanaman tembesu adalah melalui serangkaian kegiatan silvikultur. Silvikultur adalah ilmu dan seni untuk merawat hutan dengan penerapan pengetahuan prinsip-prinsip silvika, merupakan teori dan praktek untuk mengendalikan struktur, komposisi dan pertumbuhan tanaman hutan (Daniel et al., 1992). Kegiatan silvikultur dimulai dari tingkat perbenihan, pembibitan di persemaian, model dan teknik penanaman, pemeliharan tanaman, pengendalian hama dan penyakit tanaman sampai pada kegiatan pemanenan pada daur optimal pertumbuhan tanaman. Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Badan Litbang dan Inovasi pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan serangkaian kegiatan penelitian berhubungan dengan aplikasi teknik silvikultur untuk meningkatkan produktifitas tanaman tembesu. Kegiatan penelitian pada tingkat persemaian dilakukan dengan pemupukan urea dan pemberian intensitas naungan. Aplikasi terbaik pada pemupukan 400 mg/bibit dengan intensitas naungan 55% menghasilkan persentase peningkatan biomassa tanaman sebesar 34,64% bila dibandingkan dengan kontrol, sedangkan jika diberikan intensitas naungan 65% dan pemupukan 600 mg/bibit menghasilkan persentase peningkatan biomassa tanaman sebesar 80,83% (Martin dan Sofyan, 2001). Tanaman tembesu mempunyai sifat intoleran artinya dalam pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan sinar cahaya penuh atau pertumbuhannya akan lambat bilamana berada di bawah naungan. Sifat intoleran ini sangat menguntungkan untuk pembangunan hutan tanaman pada lahan kritis yang umumnya sedikit atau bahkan tidak ada vegetasi penutup sama sekali. Disamping itu, pengelolaan tanaman lebih mudah karena tidak ada persyaratan khusus dalam pertumbuhannya. Atas dasar sifat intoleran ini, maka model persiapan lahan untuk tanaman tembesu adalah secara terbuka dengan tebas total (Lukman dan Sofyan, 2014). Penanaman tembesu dapat dilakukan secara monokultur (tembesu saja) ataupun dalam pola tanam campur (Lukman dan Sofyan, 2014). Prinsip utama dalam pola tanam adalah pengaturan jarak tanam dan meminimalkan persaingan unsur hara. Jarak tanam awal antar tanaman dalam pola monokultur di buat lebih rapat untuk memacu pertumbuhan meninggi dan 118
Aspek Silvikultur
membentuk batang bebas cabang yang tinggi, kemudian secara bertahap dilakukan pengurangan jumlah tanaman (penjarangan) untuk meningkatkan pertumbuhan diameter tanaman. Jarak tanam awal yang disarankan digunakan dalam penanaman tembesu adalah 2,5x1 m atau 3x2 m (Lemmens et al., 1995 dan Lukman et al., 2010). Pertumbuhan tanaman tembesu pada jarak tanam 3x1 m (3333 pohon/ha) pada umur 4 tahun mempunyai diameter 7,68 cm dan tinggi 7,16 m, sedangkan pada jarak tanam 3x2 (1666 pohon/ha) mempunyai diameter 9,12 cm dan tinggi 6,6 m (Sofyan et al., 2011). Pola tanam tembesu secara campuran dapat dilakukan secara langsung bercampur dengan pola baris atau penanaman tembesu pada border line (garis tepi) lahan yang sekaligus bermanfaat sebagai batas kepemilikan lahan. Dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman tembesu, Sumadi dan Siahaan (2014) telah membuat pola hubungan antara pertumbuhan tinggi dan diameter dengan umur tanaman (Gambar 1 dan Gambar 2). Secara garis besar, pola hubungan antara tinggi dan diameter tembesu relatif cepat di tahun-tahun awal (umur muda) dan semakin menurun dengan semakin bertambahnya umur tanaman. Riap pertumbuhan diameter tanaman maksimum adalah pada umur 5 tahun, sedangkan pada tinggi tanaman pada umur 2 tahun. Data dan informasi ini memberikan gambaran bahwa pada saat umur muda tembesu cenderung aktif untuk tumbuh dan berkembang, sehingga diperlukan daya dukung input perlakuan (campur tangan) manusia dalam menyediakan kondisi yang kondusif dan optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga nantinya diperoleh produktifitas tanaman tembesu yang terbaik. Aplikasi teknik silvikultur pada saat penanaman adalah aplikasi pupuk dasar dengan pupuk kandang yang telah terdekomposisi sempurna. Pupuk kandang sangat bermanfaat untuk membantu menetralkan pH tanah, menetralkan racun dari logam berat dalam tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan porositas tanah, meningkatkan ketersediaan hara serta menstabilkan suhu tanah. Aplikasi pupuk kandang (kotoran ayam) dosis 1 kg/lubang tanam pada saat awal penanaman mampu memberikan peningkatan diameter tanaman sebesar 20,83% bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa pemberian pupuk kandang) (Lukman et al., 2005). Pada tingkat lanjut, pemupukan diberikan secara bertahap selama 2 kali dalam setahun pada awal dan akhir musim penghujan. Pemberian pupuk lanjutan dengan Sp 36 dosis 100 g/tanaman sampai dengan umur 3 tahun mampu memberikan peningkatan tinggi sebesar 5,41% dan peningkatan diameter sebesar 29,41% (Junaidah et al., 2010). Berdasarkan data dan informasi ini dapat disimpulkan bahwa pemberian pupuk baik pupuk dasar maupun pupuk lanjutan mempunyai pengaruh yang banyak terhadap pertumbuhan diameter tanaman bila dibandingkan dengan pertumbuhan tinggi tanaman.
Gambar 1. Grafik riap tahunan berjalan (MAI) diameter tembesu di hutan rakyat (Sumadi dan Siahaan, 2014)
119
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Gambar 2. Grafik riap tahunan berjalan (MAI) tinggi tembesu di hutan rakyat (Sumadi dan Siahaan, 2014)
Pemeliharaan yang intensif memegang peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman tembesu. Tanaman tembesu yang dipelihara secara intensif di KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus) Benakat dengan penyiangan gulma dan aplikasi herbisida minimal dua kali setahun mempunyai persentase peningkatan pertumbuhan diameter batang sebesar 30,77% pada umur 3 tahun dan sebesar 23,95% pada umur 6 tahun lebih baik bila dibandingkan dengan tembesu masyarakat yang pemeliharaannya kurang intensif, namun efektifitas pemeliharaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan tinggi tanaman tembesu (Sofyan et al., 2013b). Tanaman tembesu mempunyai banyak percabangan aktif dan mempunyai sifat meluruhkan cabang sendiri secara alami (self pruning) yang sangat rendah, sehingga diperlukan kegiatan pemeliharaan dengan pemangkasan cabang (manual pruning). Pemangkasan cabang tembesu ditujukan untuk mengurangi jumlah cabang aktif sampai pada ketinggian tajuk tertentu untuk memperoleh batang bebas cabang yang tinggi dan sekaligus membentuk bentuk batang tembesu yang lebih baik (lurus). Pemangkasan cabang yang dilakukan saat umur 14 bulan dengan tinggi tajuk sisa 50% dari tinggi total, memberikan peningkatan pertumbuhan tinggi 3,09% dan pertumbuhan diameter 23,71% lebih baik bila dibandingkan dengan kontrol pada saat pengamatan 20 bulan setelah pangkas (Lukman et al., 2010). Sedangkan pemangkasan ke dua yang dilakukan pada saat umur 36 bulan (3 tahun) dengan tinggi tajuk sisa 40-50% dari tinggi total memberikan peningkatan pertumbuhan tinggi 8,99% dan diameter 25,85% lebih baik bila dibandingkan dengan kontrol pada saat pengamatan 36 bulan setelah pangkas (Sofyan et al., 2013b). Kegiatan pemeliharaan lain yang dilaksanakan pada tanaman tembesu di lapangan adalah kegiatan penjarangan tanaman. Penjarangan adalah tindakan pengurangan jumlah batang (pohon) per satuan luas yang ditujukan untuk mengatur ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi persaingan antar pohon dan meningkatkan kesehatan pohon dalam tegakan (Kosasih, 2002). Lemmens et al., (1995) mengemukakan bahwa penjarangan pada tanaman yang tumbuh lambat pertama kali dilakukan pada saat tanaman umur 5-10 tahun. Uji coba penjarangan pada tanaman tembesu dilakukan oleh Sofyan et al., (2013a) pada umur 4 tahun dengan jarak tanam awal 3x2m menggunakan sistem baris dan untu walang (berseling). Pengamatan pada umur 6 tahun (2 tahun setelah penjarangan) memberikan hasil adanya persentase peningkatan pertumbuhan diameter 5,64% pada pola untu walang dan 4,27% pada pola baris lebih baik bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa penjarangan). Namun, efektifitas penjarangan hanya memberikan pengaruh yang signifikan pada pertumbuhan diameter. Dapat disimpulkan bahwa pembukaan ruang tumbuh yang lebih lebar pada tanaman tembesu 120
Aspek Silvikultur
membuat tanaman tembesu tumbuh dan berkembang secara optimal karena persaingan pemanfaatan faktor-faktor pertumbuhan seperti unsur hara dan cahaya dapat diminimalisir. V. PEMBANGUNAN SUMBER BENIH SEBAGAI DAYA DUKUNG PENYEDIAAN BENIH UNGGUL TEMBESU Peningkatan produktifitas tanaman dapat ditingkatkan dengan memadukan tiga komponen yaitu penggunaan benih unggul, aplikasi teknik silvikultur dan perlindungan tanaman. Aplikasi teknik silvikultur telah di bahas pada bab sebelumnya. Produktifitas tanaman dapat ditingkatkan lebih lanjut melalui aplikasi program penggunaan benih unggul. Benih unggul mempunyai pengertian benih yang mempunyai keunggulan baik dari segi kuantitas maupun kualitas genetik. Benih unggul mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sumber benih. Sumber benih merupakan suatu lahan sebagai tempat pengumpulan benih dan telah memenuhi standart dan kriteria sebagai sumber benih sesuai dengan tingkatan (klasifikasi/kelas) sumber benih. Saat ini, sumber benih untuk jenis tanaman tembesu baru ada pada kelas Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) di desa Mengulak Karang Panjang, Kecamatan Madang Suku II, Kabupaten Ogan Koering Ulu Timur, Propinsi Sumatera Selatan dengan luas 0,7 Ha sesuai dengan nomor sertifikat sumber benih 113/BPTH.Sum-2/SSB/2010 (Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera, 2012). Dalam klasifikasi sumber benih, sumber benih dalam kelas TBT merupakan sumber benih pada level (kelas) terendah, dimana sumber benih ini di tunjuk dari tegakan yang sudah ada untuk dikelola dan dimanfaatkan sebagai sumber produksi benih. Dalam peraturan menteri kehutanan Republik Indonesia (Permenhut) nomor: P.72/Menhut-II/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01/ Menhut-II/2009 Tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan dikemukakan bahwa persyaratan minimal dari sumber benih kelas TBT ini adalah minimal terdapat 25 pohon yang mengelompok dan ada kemungkinan belum diketahui asal-usul dan kualitas genetik pohon penyusunnya (pohon induknya), sehingga benih yang dihasilkan belum dapat dipastikan keunggulan kualitasnya secara genetik. Pembangunan sumber benih tembesu dengan kualitas genetik unggul bisa diwujudkan dalam bentuk KBS (Kebun Benih Semai) yang dibangun melalui konversi dari tanaman uji keturunan (progeny test trial). Upaya pembangunan sumber benih ini telah di mulai dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang sejak tahun 2008 dengan pengumpulan materi genetik benih dari pohon induk terpilih yang ada di Kabupaten Muara Enim, Ogan Ilir (OI), Ogan Komiring Ulu (OKU) Timur dan Palembang. Pemapanan tanaman uji keturunan tembesu baru dilaksanakan pada tahun 2013 di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo Kabupaten Banyuasin-Sumatera Selatan (Sofyan et al., 2014). Evaluasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman uji keturunan pada umur 1,7 tahun menunjukkan bahwa antar family yang diuji (55 family) terdapat variasi genetik untuk variabel tinggi dan diameter. Adanya variasi ini menunjukkan bahwa terdapat kesempatan yang lebar untuk memperoleh peningkatan produktifitas melalui kegiatan seleksi (pemelihan pohon induk superior). Pertumbuhan tanaman uji keturunan pada umur 1,7 tahun mempunyai rerata tinggi 2,61+0,60 m dengan riap sebesar 1,5 m/tahun dan rerata pertumbuhan diameter sebesar 4,7+1,3 cm dengan riap sebesar 2,7 cm/tahun. Pertumbuhan tanaman tembesu pada plot uji keturunan mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dengan peningkatan pertumbuhan riap diameter sebesar 80% dan riap tinggi sebesar 7,14% dibandingkan dengan tanaman tembesu masyarakat yang mempunyai rerata riap pertumbuhan diameter sebesar 1,5 cm/tahun dan tinggi 1,4 m/tahun. Hal ini terjadi karena benih yang digunakan untuk pertanaman uji 121
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
keturunan berasal dari pohon induk terpilih yang mempunyai penampilan superior, sedangkan tanaman tembesu di hutan rakyat umumnya berasal dari regenerasi alami yang belum diketahui dengan pasti asal-usul dan kualitas benihnya. Untuk mengetahui kuat lemahnya suatu variabel yang dipengaruhi oleh faktor genetik maka dapat dilakukan penghitungan nilai heritabilitas. Semakin tinggi (mendekati 1) nilai heritabilitas maka variabel tersebut lebih banyak di kontrol oleh faktor genetik. Estimasi nilai heritabilitas individu (h2i) untuk tinggi sebesar 0,34 (tinggi) dan untuk diameter sebesar 0,24 (sedang), sedangkan nilai heritabilitas famili (h2f) untuk pertumbuhan tinggi sebesar 0,56 (sedang) dan untuk diameter sebesar 0,47 (sedang). Nilai heritabilitas yang berada dalam kategori sedang-tinggi tersebut mengindikasikan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman tembesu dikontrol kuat oleh faktor genetik, sehingga peningkatan produktifitas akan ditingkatkan maksimal dengan melakukan seleksi tanaman secara individu. Parameter genetik lain yang bisa dihitung dari plot tanaman uji keturunan adalah nilai perolehan genetik harapan. Perolehan genetik diartikan sebagai nilai harapan peningkatan produktifitas tanaman nantinya bilamana dilakukan seleksi (pengurangan family). Semakin kecil nilai intensitas seleksi dan semakin kecil jumlah family yang tersisa, maka peningkatan produktifitas diharapkan semakin besar, dan sebaliknya. Hasil simulasi seleksi sebesar 25% (tersisa 14 family terbaik dari total 55 family) maka peningkatan diameter akan didapatkan sebesar 5,13% dan peningkatan tinggi sebesar 5,9%. Sedangkan jika dilakukan seleksi sebesar 50% (tersisa 27 family terbaik dari total 55 family) maka peningkatan diameter akan sebesar 3,22% dan peningkatan tinggi sebesar 3,72%. Persentase peningkatan produktifitas ini merupakan peningkatan harapan terhadap nilai rerata umum tinggi dan diameter tanaman dari total tanaman uji keturunan. Peningkatan produktifitas yang sesungguhnya (realized genetic gain) dapat diperoleh jika dalam suatu lahan yang sama diujikan antara tanaman hasil seleksi 14 dan 27 family dengan tanaman hasil dari benih asalan atau dari sumber benih level bawah (TBT, TBTs, APB). Pertumbuhan dan nilai parameter genetik pada tanaman uji keturunan tembesu di atas merupakan evaluasi awal karena baru berumur 1,7 tahun sehingga masih perlu pemantauan pengukuran pertumbuhan secara periodik seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Namun demikian, hasil evaluasi awal ini memberikan gambaran bahwa program pemuliaan pohon melalui pemapanan tanaman uji keturunan yang nantinya dapat dikonversi menjadi sumber benih mempunyai andil dalam peningkatan produktifitas tanaman. Sumber benih ini baru bisa dimanfaatkan pada periode umur 5-6 tahun pada saat tanaman tembesu mulai berbuah (Martawijaya et al., 2005). Penggunaan benih unggul tembesu baru bisa dilakukan 3-4 tahun yang akan datang, sehingga diperlukan alternatif sumber benih pengganti sambil menunggu sumber benih KBS ini berbuah. Strategi alternatif pendekatan yang dapat dilakukan untuk penggunaan “benih bermutu” adalah melalui penerapan Low Input Tree Improvement yaitu berupa penerapan prinsip-prinsip dasar pemuliaan dalam pemilihan sumber benih/pohon benih yaitu: a. Benih diambil dari suatu lahan yang terdapat beberapa pohon tembesu yang tumbuh secara berkelompok. b. Pohon tembesu yang tumbuh sendiri (soliter) tetap dapat menghasilkan buah, tetapi berdampak pada terjadinya depresi akibat dari adanya perkawinan sendiri (inbreeding). Keller dan Waller (2002) mengemukakan bahwa inbreeding dapat menyebabkan depresi dalam bentuk penurunan set benih, perkecambahan, daya hidup kecambah dan penurunan ketahanan terhadap stress.
122
Aspek Silvikultur
c. Secara spesifik benih diambil dari beberapa pohon induk yang mempunyai penampilan superior yang dapat diketahui melalui ukuran tinggi, diameter, batang bebas cabang, dan bentuk batang yang lebih baik bila dibandingkan dengan rerata keseluruhan pohon yang ada. d. Sebagian besar pohon penyusun suatu lahan berbunga dan berbuah serempak dan bisa berpeluang untuk saling melakukan penyerbukan. Peningkatan produktifitas lebih lanjut dapat ditingkatkan dengan penggunaan materi klon hasil perbanyakan vegetatif untuk pertanaman massal. Penggunaan klon dalam pembangunan hutan tanaman (perhutanan klon) sudah banyak dilakukan seperti pada beberapa jenis Eucalyptus (Duncan et al., 2000; Bentzer, 1993; Ohba, 1993; Zsuffa et al., 1993). Salah satu tujuan perhutanan klon adalah perolehan peningkatan produktifitas yang cepat karena potensi genetik anak/klon yang identik (sama) dengan induknya (White et al., 2007). Simulasi sederhana berhubungan dengan peningkatan produktifitas tanaman tembesu bilamana menggunakan perhutanan klon dapat dilakukan pada tanaman uji keturunan tembesu. Tanaman uji keturunan tembesu mempunyai total data tanaman sebanyak 1.023 tanaman. Rangking 40 individu terbaik (seleksi 3,91%) mempunyai rerata pertumbuhan tinggi sebesar 3,26 m (riap 1,92 m/tahun) dan rerata pertumbuhan diameter sebesar 7,8 cm (riap 4,59 cm/tahun). Apabila potensi genetik tanaman klon adalah sama dengan induknya, dan perhutanan klon menggunakan materi dari 40 klon terbaik, maka terjadi peningkatan produktifitas tinggi tanaman sebesar 28% dan diameter tanaman sebesar 66,67%. Sedangkan jika di bandingkan dengan tanaman tembesu yang terdapat di kebun masyarakat maka terjadi peningkatan produktifitas diameter tanaman sebesar 200% dan peningkatan produktifitas tinggi tanaman sebesar 37,14% dengan asumsi riap tanaman hutan rakyat sebesar 1,5 cm/tahun untuk diameter dan 1,4 m/tahun untuk tinggi. Pembangunan perhutanan klon pada tanaman tembesu mempunyai potensi yang sangat strategis untuk dikembangkan dengan beberapa dukungan potensi yang ada yaitu: 1). Tanaman tembesu mempunyai produksi pertunasan (sprouting ability) yang sangat tinggi, 2). Pertunasan tumbuh secara alamiah pada bagian batang yang terkena cahaya matahari langsung, batang bekas kebakaran ataupun pada batang yang di potong, 3). Pembiakan vegetatif stek batang dengan teknologi sungkup sederhana dan aplikasi Zat Pengatur Tumbuh yang mempunyai kandungan bahan aktif 1 Naphathalene acetamide: 0,067%, 2 Methyl – 1 – Naphthalene acetic acid: 0,033%, 2 Methyl – 1 – Naphathalene acetamide: 0,013%, Indole – 3 – Butyricacid: 0,057%, Thiram: 4%, Inert Ingredient: 95,33%; yang banyak tersedia di pasaran sudah mampu memberikan persentase hidup tanaman yang tinggi yaitu 89,17% (Sofyan dan Muslimin, 2006). VI. PENUTUP Budidaya tanaman tembesu dalam bentuk hutan tanaman mempunyai peluang yang sangat besar untuk dikembangkan. Kompetisi dalam budidaya tanaman tembesu secara ekonomis menguntungkan dibandingkan usaha budidaya tanaman perkebunan lainnya apabila mempunyai riap diameter 2,5 cm/tahun. teknik silvikultur tembesu mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemupukan, pemangkasan, penjarangan, penggunaan sumber benih dan penggunaan materi klonal ternyata mampu meningkatkan produktifitas tanaman tembesu secara signifikan. Keterpaduan keseluruhan teknik silvikultur dan penggunaan benih unggul dari sumber benih dalam peningkatan produktifitas pembangunan hutan tanaman tembesu diyakinkan dapat menghasilkan tanaman tembesu yang mempunyai produktifitas tinggi dan dapat bersaing dengan usaha budidaya tanaman lainnya. 123
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
DAFTAR PUSTAKA Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera. 2012. Buku Informasi Sumber Benih Tanaman Hutan Wiyaha Regional Sumatera. Kementerian Kehutanan. Direktorat Jenderal Bina PDAS dan Perhutanan Sosial. Tidak dipublikasikan. Bentzer, E.G. 1993. Strategies for clonal forestry with Norway spruce. In: Ahuja, M.R. and Libby, W.J. (eds.) Clonal Forestry II: Conservation and Application. Springer-Verlag. New York, NY, pp. 120-138. CABI. 2014. Full Datasheet: Fagraea fragrans. http://www.cabi.org.ezproxy.ugm.ac.id/ fc/datasheet/23866. Di akses tanggal 10 Nopember 2014. Daniel T. W, J.A. Helms dan F.S. Baker. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Duncan, E.A., F. van-Deventer, J. E. Kietzka, R. C. Lindley and N. P. Denison. 2000. The applied subtropical Eucalyptus clonal programme in Mondi forests, Zululand coastal region. In: Proceedings of the International Union of Forest Research Organizations (IUFRO) Working Party, Forest Genetics for the NextMillinnium. Durban, South Africa, pp. 95-97. Junaidah, A. H. Lukman, D. Prakosa dan Nasrun. 2010. Teknik Silvikultur Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.). Laporan Hasil Penelitian 2009. BPK Palembang. Tidak dipublikasikan. Keller, L.F., dan D.M. Waller. 2002. Inbreeding effects in wild populations. Trend in ecologi and Evolution 17: 230 – 241. Kosasih, A.S. 2002. Petunjuk Teknis Pemeliharaan dan Perlindungan pada introduksi Jenis Pohon Hutan. Info Hutan No. 151. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara, W. C. Wong. 1995. Plant Resources of South-East Asia 5. (2) Timber trees: Minor commercial timber. PROSEA. Bogor Indonesia. Lukman, A. H., A. Sofyan. 2014. Budidaya Tanaman Tembesu. Bunga Rampai: Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. Forda Press. Bogor. Lukman, A.H., A. Sofyan, Junaedah dan R. Effendi. 2010. Pengaruh Pemangkasan terhadap Petumbuhan Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) pada Dua Jarak Tanam Berbeda. Prosiding Seminar Nasional. Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktifitas dan Kelestarian Hutan. Bogor, 29 November 2010. Pusat Litbang Peningkatan Produktifitas Hutan. Bogor. Lukman, A.H., A. Sofyan, Kusdi dan T.R. Saepuloh. 2005. Laporan Teknologi Silvikultur Tanaman Jenis-Jenis Prioritas. Laporan Proyek Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Kawasan Barat Indonesia Tahun Anggaran 2004. Palembang. Tidak dipublikasikan. Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y. I. Mandang, S. A. Prawira, K. Kadir. 2005. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Martin, E., B. T. Premono. 2014. Upaya komoditisasi Tembesu Dalam Perspektif Sosial Budidaya Petani dan Pasar. Bunga Rampai: Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. Forda Press. Bogor. Martin, E., dan A. Sofyan. 2001. Perangsangan pertumbuhan tembesu (Fagraea fragrans) dengan pengaturan intensitas naungan dan pemupukan di persemaian. Prosiding Ekspose hasil-hasil Penelitian. Palembang, 12 November 2001. Balai Teknologi Reboisasi Palembang. 124
Aspek Silvikultur
Ohba, K. 1993. Clonal forestry with sugi (Cryptomeria japonica). In: Ahuja, M.R. and Libby, WJ.(eds.) Clonal Forestry II: Conservation and Application. Springer-Verlag, New York, NY, pp. 66-90. Sahwalita. 2014. Sifat Dasar dan Pemanfaatan Kayu Tembesu. Bunga Rampai: Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. Forda Press. Bogor. Sofyan, A., A. H. Lukman, Nasrun. 2011. Teknik Budidaya Tembesu. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2011. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak di publikasikan. Sofyan, A., A.H. Lukman dan N. Sagala. 2013a. Laporan Hasil Penelitian Teknik Silvikultur Jenis Tembesu. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan. Sofyan, A., A.H. Lukman, Junaidah dan N. Sagala. 2013b. Peningkatan Riap Pertumbuhan Tanaman Tembesu Melelui Beberapa Perlakuan Silvikultur. Prosiding ‘Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan.Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang 2 Oktober 2013. Kementerian Kehutanan. Pusat Penelitian Peningkatan Produktifitas Hutan. Bogor. Sofyan, A., I. Muslimin, S. Islam. 2014. Laporan Hasil Penelitian “Pembangunan Sumber Benih Tembesu”. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Kementerian Kehutanan. Tidak dipublikasikan. Sofyan, A., I. Muslimin. 2006. Pengaruh Asal Bahan dan Media Stek Terhadap Pertumbuhan Stek Batang Tembesu (Fagraea fragrans Roxb). Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian “Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan”. Palembang, 20 September 2006. Balai Litbang Hutan Tanaman Palembang. Departemen Kehutanan. Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor. Sumadi, A., dan T.R. Saepuloh. 2011. Pertumbuhan tembesu pada pola campuran dengan karet di hutan rakyat. Prosiding Seminar Introduksi Tanaman Penghasil Kayu pertukangan di Lahan Masyarakat melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran. Musi Rawas, 13 Juli 2011. Puslitang Peningkatan Produktifitas Hutan, Bogor. Sumadi, A., H. Siahaan. 2014. Potensi dan Pertumbuhan Tembesu Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat. Bunga Rampai: Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. Forda Press. Bogor. White, T. L., W. T. Adams, D. B. Neale. 2007. Forest Genetics. CABI Publishing. London UK. Zobel, B.J. dan J. T. Talbert. 1984. Appplied Forest Tree Improvement. John Willey and Sons. Inc. New York. Zsuffa, L., L. S. Forsse, H. Weisgerber and R. B. Hall. 1993. Strategies for clonal forestry with poplars, aspens, and willows. In: Ahuja, M.R. and Libby, W.J. (eds.) Clonal Forestry II: Conservation and Application. Springer-Verlag, New York, NY, pp. 91-119.
125
Aspek Silvikultur
PENGENALAN PROGRAM SIMULASI PERENCANAAN USAHA PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) Agus Sumadi dan Hengki Siahaan Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Salah satu tugas KPH adalah mengelola kawasan hutan. Pengelolaan kawasan hutan membutuhkan perencanaan dan proyeksi usaha yang akan dikembangkannya. Balai Penelitian Kehutanan Palembang telah melakukan penelitian terhadap jenis-jenis pohon yang memiliki potensi ekonomi untuk dikembangkan menjadi unit usaha KPH. Untuk memudahkan perencanaan usaha KPH disusunlah suatu pemodelan sistem dinamis dengan menggunakan perangkat komputer berupa program stella. Program ini dapat digunakan untuk mensimulasikan berbagai unit usaha yang akan dikembangkan oleh KPH dengan mudah dan simpel. Tulisan ini bertujuan memberikan gambaran bentuk program simulasi perencanaan usaha KPH bagi pengelola KPH. Program yang terbentuk dapat memproyeksikan kebutuhan biaya dan pendapatan yang akan diperoleh oleh KPH dalam merencanakan usahanya. Kata kunci: KPH, unit usaha, perencanaan, simulasi
I. PENDAHULUAN Organisasi KPH memiliki tugas dan fungsi menyelenggarakan pengelolaan hutan berupa tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan di wilayah tertentu. Dalam rangka menyusun rencana pengelolaan hutan KPH wajib menyusun Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHPJP), rencana pengelolaan hutan jangka pendek dan rencana bisnis. Dalam menyusun rencana bisnis KPH dapat memanfaatkan wilayah hutan untuk mengembangkan unit usahanya. Unit usaha KPH dapat berupa pembangunan hutan dengan jenis-jenis yang memiliki nilai ekonomi. Balai Penelitian Kehutanan Palembang telah melakukan penelitian terhadap jenis-jenis pohon yang memiliki potensi ekonomi untuk dikembangkan dalam unit usaha KPH. Dalam rangka memudahkan perencanaan pengusahaan KPH serta memproyeksikan hasil usaha dari pemanfaatan lahan maka kami mencoba menyusun tool/program komputer yang simpel, mudah dan aplikatif yang dapat digunakan untuk memproyeksikan rencana usaha yang akan dikembangkan oleh KPH. Program ini diharapkan dapat membantu pengelola KPH dalam mengambil keputusan untuk memilih pola pengembangan usaha yang akan dijalankan. II.
PEMODELAN SISTEM
Model adalah abstaksi dari sebuah sistem, sedangkan sistem merupakan sesuatu yang terdapat pada dunia nyata, sehingga pemodelan adalah kegiatan membawa sebuah dunia nyata kedalam dunia tak nyata tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya (Purnomo, 2005). Menurut Manestsch dan Park (1979) dalam Eriyatno (1999) sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Sistem tersusun dari subsistem-subsistem. Menurut Eriyatno (1999) subsistem merupakan suatu unsur atau komponen fungsional dari suatu sistem, yang berperan dalam pengoperasian sistem tersebut.
127
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Analisis sistem adalah aplikasi yang bersifat paling langsung dari metode ilmiah untuk suatu masalah yang mencakup sistem yang kompleks. Analisis sistem merupakan kesatuan dari teori-teori dan teknik untuk mempelajari, menggambarkan, dan membuat prediksi tentang sesuatu yang kompleks yang besarnya dicirikan dengan penggunaan prosedur-prosedur matematis dan statistik serta penggunaan komputer (Grant et al., 1997). Lebih lanjut Grant et al. (1997) mengemukakan analisis sistem merupakan pendekatan filosofis sekaligus kumpulan teknik termasuk simulasi. Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja yang sistematis (Hartrisari, 2007). Analisis sistem menekankan pendekatan holistik pada pemecahan masalah dan penggunaan model matematis untuk mengidentifikasi dan mensimulasikan karakter-karakter dalam sistem yang kompleks. Simulasi menurut Patten (1971) dalam Grant et al. (1997) adalah suatu proses penggunaan model untuk meniru atau mengambarkan secara bertahap perilaku sistem yang dipelajari. Model simulasi terbentuk dari susunan operasi matematik dan logika yang bersamasama mewakili struktur keadaan dan perilaku perubahan keadaan dari ruang lingkup sistem. Simulasi merupakan suatu teknik meniru operasi-operasi atau proses- proses yang terjadi dalam suatu sistem dengan bantuan perangkat komputer dan dilandasi oleh beberapa asumsi tertentu sehingga sistem tersebut bisa dipelajari secara ilmiah (Law and Kelton, 1991). Pemodelan sistem dinamik lebih dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman umum sistem yang diamati serta lebih berorientasi pada proses daria pada hasil pemodelan (Widodo L., 2005). Model dinamik memerlukan diagram yang menggambarkan saling keterkaitan antar variabel yang merupakan komunikasi sifat dasar model. Terdapat beberapa simbol standar yang digunakan untuk diagram alir model dinamik (Sushil, 1993), adalah sebagai berikut: Simbol yang pertama yaitu level. Level adalah suatu besaran (quantity) yang berakumulasi terhadap waktu. Level menyatakan kondisi sistem pada setiap saat. Level ditunjukkan dengan simbol segi empat, seperti terlihat pada Gambar 1. Kepala panah menunjukkan arah aliran ke dan dari level. LEVEL Gambar 1. Simbol level
Simbol berikutnya adalah rate. Rate merupakan suatu aktivitas, atau pergerakan (movement), atau aliran yang berkontribusi terhadap perubahan per satuan waktu dalam suatu level dan juga menunjukkan aliran yang dikendalikan dan input informasi (hanya informasi yang berperan penting ke dalam fungsi keputusan atau persamaan rate) yang menentukan aliran rate. Rate berfungsi sebagai katup dalam saluran aliran seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Simbol Rate
Simbol ketiga yaitu auxilliary. Auxilliary merupakan konsep yang membagi-bagi fungsi keputusan dan berfungsi menyederhanakan hubungan informasi antara variabel level dan variabel rate. Variabel auxiliary terlihat pada Gambar 3.
128
Aspek Silvikultur
Gambar 3. Simbol auxilliary
Simbol keempat adalah constant. Constant digambarkan dengan simbol dengan suatu titik awal informasi, seperti terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Simbol constant
Terakhir, simbol source/sink (sumber/endapan). Sumber/endapan menyatakan sesuatu diluar sistem yang sifatnya tidak terbatas/tidak pernah habis, bila tujuan/asal aliran tidak mempengaruhi sistem, maka aliran dapat digambarkan menuju suatu endapan dari suatu sumber seperti terlihat pada Gambar 5. Sumber
Endapan
Gambar 5. simbol source/Sink
Program simulasi tersebut dibangun dengan menggunakan program Stella. Komponen yang dibutuhkan untuk menyusun simulasi tersebut adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh KPH setiap tahunnya baik meliputi biaya tetap maupun biaya variabel. Biaya tetap diantaranya terdiri dari biaya bangunan, infrastruktur, kendaraan, gaji dan biaya operasional KPH. Adapun biaya variabel meliputi biaya pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Dalam model simulasi juga memberikan prediksi hasil yang akan diperoleh berdasarkan datadata hasil penelitian serta perhitungan kelayakan usahanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Walukow (2012) mengatakan bahwa model dinamik dapat meramalkan kemungkinan yang akan terjadi dan untuk menjadi dasar pengambilan kebijakan yang diinginkan dan layak serta model dinamik juga bermanfaat memecahkan sistem yang kompleks, terpadu dan holistik untuk mencapai tujuan. III. STRUKTUR DIAGRAM ALIR MODEL Model simulasi perencanaan usaha KPH terdiri dari budidaya berbagai jenis tanaman yang salah satunya berupa budidaya jenis bambang lanang. Struktur diagram alir model simulasi budidaya bambang lanang ditunjukkan pada Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8.
129
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Sub Model Luasan Usaha Bambang
L peremajaan bambang
L Bambang 2 thn
L Bambang 1 thn
Peremajaan Jabon
Noname 46
L Bambang 3 thn
Noname 47
L Bambang 4 thn
Noname 48
Noname 50
Noname 49
L Bambang 7 thn
L Bambang 6 thn
L Bambang 5 thn
L Bambang 8 thn
Noname 51
Noname 52
L Tanam bambang L Bambang 14 thn
L Bambang 15 thn
Noname 59
Luas tanam bambang
Noname 58
Tebang 14
Tebang 15
L Bambang 12 thn
L Bambang 13 thn
Noname 57
Tebang 12 th
Tebang 13 th
Daur 15 Daur 14
Noname 55
Noname 56
Noname 53 L Bambang 9 thn
L Bambang 10 thn
L Bambang 11 thn
Noname 54
Tebang 10 th
Tebang 11 thn
Daur 12
Daur 13
Daur 11 Daur 10
Tebang 13 th
Tebang 14
Luas B thn 1 Luas B thn 2
Tebang 15 L peremajaan bambang
Tebang 12 th
Luas B thn 3 Luas B thn 10 Luas B thn 4
Tebang 11 thn
Tebang 10 th
Luas B thn 9
Luas tanam bambang Luas B thn 5
Luas B thn 8 Luas B thn 7
Luas B thn 6
Gambar 6. Struktur diagram alir sub model luasan usaha bambang lanang Sub Model Potensi
L Bambang 1 thn
L Bambang 3 thn
L Bambang 2 thn
L Bambang 5 thn
L Bambang 4 thn
Potensi B thn 1
Potensi B thn 5
Potensi B thn 2 Vol 1 thn
Potensi B thn 3 Vol 2 thn
L Bambang 15 thn
L Bambang 6 thn
L Bambang 14 thn
Potensi B thn 6
Potensi B thn 7
Potensi B thn 4 Vol 5 thn
Vol 4 thn
Vol 3 thn
L Bambang 13 thn
L Bambang 7 thn
L Bambang 12 thn
Vol 9 thn
Vol 8 thn
L Bambang 10 thn
L Bambang 11 thn
Potensi B thn 9
Potensi B thn 8
Vol 7 thn
Vol 6 thn
L Bambang 9 thn
L Bambang 8 thn
Tebang 11 thn
Tebang 10 th
Potensi B thn 10
Tebang 12 th Potensi B thn 11
Vol Teb 11 thn
Vol Teb 10 thn Vol Teb 12 thn Potensi B thn 15 Potensi B thn 14
Potensi B thn 13
Potensi B thn 12
Potensi B thn 11
Potensi B thn 10
Vol 10 thn
Vol 15 thn
Vol 13 thn
Vol 14 thn
Vol 12 thn
Potensi B thn 12
Tebang 14 Tebang 13 th
Potensi B thn 14 Tebang 15
Vol 11 thn Vol Teb 14 thn
Potensi B thn 15
Potensi B thn 13 Vol Teb 13 thn Vol 1 thn Vol 2 thn
Vol 15 thn
Vol Teb 15 thn
Vol 3 thn
Vol 14 thn
Vol 4 thn
Vol Teb 11 thn Vol Teb 12 thn
Vol Teb 10 thn Vol 13 thn
Vol 5 thn Vol Teb Bambang Potensi v olume total
Vol Teb 13 thn
Vol Teb 15 thn
Vol 12 thn
Vol 6 thn
Vol 11 thn
Vol 8 thn
Vol Teb 14 thn
Vol 7 thn
Vol 9 thn
Vol 10 thn
Gambar 7. Diagram alir sub model potensi bambang lanang Sub Model Finansial Bambang L Bambang 1 thn L Bambang 4 thn
L Bambang 2 thn
Pelihar B 4 th
Biay a tebang
Pelihar B 1 th Pelihar B 2 th L Bambang 3 thn
Biay a budiday a Bambang Biay a total bambang
Biay a B umur 4 thn
Biay a B umur 1 thn L Bambang 5 thn
Biay a B umur 2 thn
Faktor Ekploitasi Pelihar B 5 th keuntungan bamabng
Biay a B umur 3 thn
Borong tebang log
Vol Teb Bambang Biay a B umur 5 thn
Pelihar B 3 th Biay a B 1 sd 5 thn
Harga log bambang Biay a tebang Peremaajn Bambang Pendapatan Bambang Biay a B 1 sd 5 thn
Biay a Buka lahan dan tanam B Buka lahan dan Tanam Bambang
Peremajaan Jabon
Biay a Peremajaan Bambang Biay a Peremajaan Bambang
L Tanam bambang Kerapatan Awal
Kerapatan Awal
Biay a budiday a Bambang
Harga bibit Bambang Biay a Buka lahan dan tanam B
Biay a Bibit B Peremajaan
Biay a Bibit B Peremajaan
Biay a Bibit B Tanam Biay a Bibit B Tanam
Gambar 8. Diagram alir sub model finansial bambang lanang
IV. GAMBARAN DAN TAMPILAN PROGRAM Pada bagian ini akan digambarkan tampilan menu-menu yang ada dalam program simulasi perencanaan usaha KPH yang meliputi menu utama, menu unit usaha karet, menu unit 130
Aspek Silvikultur
usaha gaharu, menu unit usaha bambang lanang, menu unit usaha kayu bawang, menu unit usaha jabon, menu biaya KPH, menu biaya dan pendapatan KPH serta menu analisis finansial KPH. Bentuk tampilan progran pada tiap menunya akan diuraikan sebagi berikut. 1. Menu Utama Tampilan program ini terdapat delapan menu meliputi menu unit usaha karet, unit usaha gaharu, unit usaha bambang, unit usaha kayu bawang, unit usaha jabon, biaya KPH, proyeksi biaya dan pendapatan KPH dan menu analisis finansial KPH (Gambar 9).
Gambar 9. Menu utama program simulasi perencanaan usaha KPH
2. Menu Unit Usaha Karet Menu ini berisi input data biaya budidaya karet mulai dari harga bibit, biaya pembukaan lahan dan tanam, biaya pemeliharaan, biaya peremajaan, harga karet kering, biaya tebang, dan harga log kayu karet. Pada menu ini terdapat target luasan penanaman karet tiap tahunnya serta besarnya bagi hasil karet bagi masyarakat (Gambar 10). Unit usaha karet sangat cocok dikembangkan pada wilayah yang dekat masyarakat dengan pola kemitraan/bagi hasil dalam rangka mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Gambar 10. Menu unit usaha budidaya karet
Pada menu unit usaha karet memberikan informasi produksi karet kering dan informasi biaya serta pendapatan usaha karet yang akan diperoleh oleh KPH sesuai dengan input yang 131
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
dimasukkan pada menu sebelumnya (Gambar 11). Pada menu ini juga memberikan informasi besarnya bagi hasil pengusahaan karet kepada masyarakat sekitar hutan serta informasi jumlah KK yang dapat terlibat dalam pengelolaan unit usaha karet ini (Gambar 12).
Gambar 11. Menu proyeksi produksi usaha karet kering
Gambar 12. Menu proyeksi biaya dan pendapatan unit usaha karet
3. Menu Unit Usaha Gaharu Menu ini berisi input data tentang komponen budidaya gaharu yang meliputi harga bibit gaharu, biaya buka lahan dan tanam, biaya pemeliharan, biaya inokulasi, biaya tebang dan carving, biaya peremajaan, harga gubal, harga kemedangan, hasil gubal dan kemedangan pada umur tertentu, prosentase keberhasilan inokulasi serta target luasan penanaman gaharu sesuai dengan kemampuan KPH tiap tahunnya (Gambar 13). Pada menu ini juga terdapat pilihan rencana umur pemanenan gubal gaharu yang akan dilakukan.
132
Aspek Silvikultur
Gambar 13. Menu unit usaha budidaya gaharu
Pada menu unit usaha gaharu memberikan informasi produksi gubal dan kemedangan sesuai input data yang dilakukan pada menu ini. Gambaran produksi gubal dan kemedangan seperti pada Gambar 14.
Gambar 14. Menu proyeksi produksi hasil usaha gaharu
Menu unit usaha gaharu juga memberikan informasi pekembangan biaya dan pendapatan dari unit usaha ini tiap tahunnya. Proyeksi biaya dan pendapatan usaha gaharu sesuai dengan input data yang ada pada menu Gambar 15.
Gambar 15. Menu proyeksi biaya dan pendapatan unit usaha gaharu
133
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
4. Menu Usaha Bambang Lanang Bambang lanang merupakan jenis lokal Sumatera Selatan dan telah banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Pada menu ini berisi input data berkaitan dengan budidaya bambang lanang dari penanaman sampai dengan pemanenan. Pada menu ini terdapat pilihan daur bambang yang dapat diterapkan dalam budidaya bambang lanang (Gambar 16).
Gambar 16. Menu unit usaha budidaya kayu bambang lanang
Pada menu Gambar 17 terdapat informasi karakteristik lahan yang dapat diisi sesuai dengan kondisi lahan yang akan dikembangkan jenis ini. Menu ini memberikan informasi potensi dan volume tebang serta biaya dan pendapatan hasil budidaya bambang sesuai dengan input yang dimasukkan pada menu ini (Gambar 18).
Gambar 17. Menu informasi karakteristik lahan dan potensi produksi
Gambar 18. Menu proyeksi biaya dan pendapatan usaha bambang
134
Aspek Silvikultur
5. Menu Usaha Kayu Bawang Kayu bawang merupakan jenis lokal yang ada di wilayah Bengkulu dan telah dikembangkan secara luas oleh masyarakat. Pada menu ini berisi input data dalam budidaya jenis kayu bawang serta pemilihan daur tebang (Gambar 19).
Gambar 19. Menu unit usaha kayu bawang
Pada menu selanjutnya (Gambar 20) memberikan informasi perkembangan potensi dan volume tebang serta informasi biaya dan pendapatan dari unit usaha jenis kayu bawang sesuai dengan input dimasukkan pada menu ini.
Gambar 20. Menu proyeksi produksi, biaya dan pendapatan usaha kayu bawang
135
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
6. Menu Unit Usaha Jabon Menu unit usaha jabon (Gambar 21) berisi tentang input yang berkaitan dengan budidaya jabon dari pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan sampai dengan pemanenan serta pemilihan daur tebang.
Gambar 21. Menu unit usaha jabon
Menu unit usaha jabon dapat memberikan informasi potensi kayu hasil budidaya jabon yang akan dikembangkan oleh KPH serta informasi volume kayu yang dapat dipanen sesuai dengan input data pada menu ini. Pada menu ini juga memberikan informasi biaya dan pendapatan dari unit usaha Jabon (Gambar 22).
Gambar 22. Menu proyeksi produksi, biaya dan pendapatan usaha jabon
136
Aspek Silvikultur
7. Menu biaya KPH Menu ini berisi informasi biaya KPH diluar biaya budiaya pohon pada menu-menu sebelumnya. Biaya yang dimaksud meliputi biaya operasional kantor, biaya pembangunan infrastruktur, biaya pengadaan kendaraan serta biaya gaji (Gambar 23).
Gambar 23. Menu biaya KPH
8. Menu Biaya dan Pendapatan KPH Menu ini berisi informasi biaya dan pendapatan KPH sesuai yang di inputkan pada menu-menu sebelumnya baik pada menu unit usaha dan menu biaya KPH (Gambar 24).
Gambar 24. Menu proyeksi biaya dan pendapatan KPH
9. Menu Analisis Finansial KPH Menu Gambar 25 memberikan informasi analisis finansial KPH berdasarkan unit usaha yang akan dikembangkan serta biaya yang dikeluarkan KPH. Pada menu ini suku bunga untuk mendiskonto biaya dan pendapatan KPH dapat dilakukan perubahan dengan memasukkan input nilai suku bunga pada menu ini.
137
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Gambar 25. Menu analisis finansial usaha KPH
KESIMPULAN Program simulasi perencanaan usaha ini merupakan program komputer yang dapat digunakan oleh pengelola KPH dalam merencanakan jenis usaha di wilayah kerjanya. Program ini dapat diaplikasikan dalam memproyeksikan biaya yang dibutuhkan dan pendapatan yang akan diterima oleh KPH. Pada kesempatan kali ini kami menyajikan simulasi usaha budidaya 5 jenis tanaman. DAFTAR PUSTAKA Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem Maningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor. Grant, E., K. P. Ellen and S. L. Sandra 1997. Ecology and Natural Resource Management, System Analysis and Simulation. John Willley & Son, Inc. Toronto. Hartrisari, 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem Untuk Industri Dan Lingkungan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Law, A.M. andW.D. Kelton. 1991. Simulation Modeling and Analysis. 2nd ed. New York: McGraw- Hill. Purnomo, 2005. Teori Sistem Kompleks, Pemodelan dan Simulasi Untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan. Institiut Pertanian Bogor. Sushil.1993. System Dynamics: A Practical Approach for Managerial Problems. New Delhi: Willey Eastern Ltd. Walukow, A. F. 2012. Analisis Kebijakan Penurunan Luas Hutan di Daerah Aliran Sungai Sentani Berwawasan Lingkungan. Jurnal Manusia dan Lingkungan Hidup. Vol. 19, No.1, Maret. 2012: 74- 84. Widodo L. 2005. Kecenderungan Reklamasi Wilayah Pantai dengan Pendekatan Model Dinamik. Jurnal Tek. Lingkungan. P3TL-BPPT.6.(1) : 330-338.
138
Aspek Silvikultur
PENGARUH BAHAN SETEK TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK JABON (Anthocepalus cadamba) Nurmawati Siregar Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK Jabon (Anthocepalus cadamba) merupakan salah satu jenis penghasil energi terbarukan yang mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dalam kegiatan pembangunan hutan tanaman. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan untuk pengembangan jenis-jenis ini adalah ketersediaan bibit bermutu. Bibit bermutu dapat diperoleh dari perbanyakan generatif (biji) dan vegetatif (setek). Penerapan perbanyakan vegetatif dengan cara setek dalam kegiatan produksi bibit dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan bibit yang memiliki sifat genetik yang sama dengan tanaman induknya. Teknik perbanyakan vegetatif dengan cara setek adalah teknik yang tidak memerlukan alat khusus, dengan cara yang sederhana dapat diproduksi bibit bermutu dalam jumlah yang cukup dan tepat waktu serta tidak tergantung musim. Bahan setek merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan setek, oleh karena itu dilakukan penelitian terhadap pengaruh bahan setek terhadap pertumbuhan setek jabon. Bahan setek yang digunakan terdiri dari setek pucuk (tanpa daun) dan setek pucuk (mempunyai daun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tunas setek mulai tumbuh sekitar 2 - 3 minggu setelah tanam dan akar mulai tumbuh sekitar 3 - 4 minggu setelah tanam. Persen tumbuh setek pucuk sekitar 90,5% dan setek batang sekitar 83,2% pada umur 3 bulan setelah tanam. Kata kunci: jabon, setek
I. PENDAHULUAN A. Jabon (Anthocepalus cadamba) Jabon penyebaran terdapat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa tenggara dan Papua. Umumnya tumbuh pada tanah alluvial di pinggir sungai dan di daerah peralihan antara tanah rawa dan tanah kering yang kadang-kadang digenangi air. Selain itu juga tumbuh dengan baik pada tanah liat, tanah lempung, podsolik coklat, tanah tuf halus atau tanah lempung berbatu yang tidak sarang. Jenis ini memerlukan iklim basah hingga kemarau kering dengan tipe curah hujan A dan D, mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 1.000 m dari permukaan laut (Martawijaya et al., 1989) B. Habitus Jabon adalah jenis pohon yang memerlukan cahaya (light-demander), tanaman pioner yang cepat tumbuh dan umumnya terdapat pada hutan sekunder. Bentuk tajuk seperti payung dengan sistem percabangan melingkar. Batang lurus dan silindris, berwarna kelabu-coklat sampai coklat, sedikit beralur dangkal. Kayunya berwarna putih krem sampai sawo kemerahmerahan, mudah diolah, lunak dan ringan. Bunga jingga berukuran kecil, berkelopak rapat, berbentuk bulat. Buahnya merupakan buah majemuk berbentuk bulat dan lunak, mengandung biji yang sangat halus Jabon berbuah setahun sekali. Musim berbungan pada bulan Januari-Maret dan buah masak pada bulan Maret-April dengan jumlah buah per kg 33 buah dan jumlah kecambah sebesar 314 kecambah per 0,1 gram atau sekita 900 000-2 700 000 seeds/kg. Biji bisa tahan simpan sampai 18 bulan (Soerianegara dan Lemmens, 1994). 139
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
C. Prospek Jabon Jabon mempunyai nilai kalor sebesar 4.731 cal/g (Rostiawati et al., 2006), oleh karena itu jenis ini mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai sumber alternatif penghasil energi terbarukan. Jabon termasuk jenis serbaguna karena kayu dan non kayunya (kulit batang, daun dan bunga) mempunyai beberapa manfaat. Kayunya biasanya untuk dibuat furniture kayu lapis, korek api, alas sepatu, peti, dan bahan kertas. Disamping itu, jabon juga termasuk tanaman obat karena ekstrak kulit batang dan daun sebagai antioxidant, antimikroba, nematicida, diare, tonik, obat kumur, obat kusta, kulit dan mata. (Martawijaya et al., 1989). Kayu jabon berwarna putih krem sampai sawo kemerah-merahan, mudah diolah, lunak dan ringan. Tekstur kayu agak halus sampai agak kasar, arah serat lurus, kadang-kadang agak berpadu serta permukaan licin atau agak licin dan agak mengkilap (Soerianegara dan Lemmens, 1994), oleh karena itu jabon mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Salah faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan tanaman jenis jabon adalah pengadaan bibit. Pengadaan bibit dapat dilakukan secara generatif (biji) dan vegetatif (setek, cangkok dan okulasi). Namun pengadaan bibit secara generatif dengan biji relatif mudah dilakukan, akan tetapi kelemahan cara ini relatif mempunyai kelemahan karena tegakan yang dihasilkan relatif tidak seragam, oleh karena itu untuk mendapatkan tegakan yang relatif seragam, maka pengadaan bibit secara vegetatif dengan setek merupakan salah satu alternatif. II. PERBANYAKAN VEGETATIF DENGAN CARA SETEK Perbanyakan vegetatif adalah teknik perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti tunas, batang, akar dan kultur jaringan serta transgenik tanpa melalui perkawinan. Perbanyakan vegetatif dengan cara setek adalah teknik perbanyakan yang tidak memerlukan alat khusus, dengan cara yang sederhana dapat diproduksi bibit bermutu dalam jumlah yang cukup dan tepat waktu (Hartmann et al., 2007). Beberapa keuntungan bibit hasil perbanyakan vegetatif antara lain: 1). apabila diperbanyak secara generatif maka potensi genetik hanya diturunkan sebagian kepada keturunannya, sedang dengan perbanyakan vegetatif akan diturunkan seluruhnya kepada keturunannya sehingga sama dengan tanaman induknya, 2) Hutan tanaman yang dibangun dengan bibit hasil perbanyakan vegetatif akan memberikan tegakan yang lebih seragam dan 3) Pengadaan bibit dapat dilakukan setiap saat sesuai dengan kebutuhan dan tidak tergantung musim berbuah (Hartmann et al., 2007). Perbanyakan vegetatif bukan merupakan suatu metode dalam pemuliaan, akan tetapi salah satu cara untuk memperbanyak genotipe yang ada, sehingga bibit yang dihasilkan akan unggul apabila materi/bahan tanaman yang diperbanyak mempunyai kualitas genetik yang unggul. Keunggulan teknik perbanyakan vegetatif dengan setek ini dapat dikembangkan untuk pembangunan hutan klonal (clonal forest), yang memiliki produktivitas tinggi. Sebagai contoh adalah keberhasilan pengembangan hutan clonal Eucalyptus urophylla di Brasil, dihasilkan dari penggunakan teknik vegetatif yang dikombinasikan dengan teknik persilangan terbukti mampu menghasilkan hutan klonal berkualitas tinggi sehingga tegakan yang semula memiliki riap 36 m3/ha/th dapat ditingkatkan menjadi 64 m3/ha/th (Zobel, 1983). Pertumbuhan setek dipengaruhi oleh interaksi faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik meliputi kandungan cadangan makanan dalam jaringan setek, umur tanaman (pohon induk), hormon endogen dalam jaringan setek, tingkat juvenilitas dan bahan tanaman (stock plant). Faktor lingkungan terutama suhu, kelembaban dan intensitas cahaya (Malstede 140
Aspek Silvikultur
dan Haber, 1976; Rochiman dan Harjadi, 1973, David at al., 1988 dan Hartmann et al., 2007). Fluktuasi suhu, kelembaban dan intensitas cahaya antara siang dan malam dapat dikendalikan dengan menggunakan Rumah Tumbuh. III. TEKNIK PERBANYAKAN VEGETATIF DENGAN CARA SETEK Penelitian perbanyakan vegetatif dengan cara setek jabon sudah dilakukan di Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor (BPTPTH). Bahan setek jabon yang digunakan adalah setek batang (tanpa daun) dan setek pucuk (mempunyai daun) A. Rumah Tumbuh Untuk mengurangi intensitas cahaya dan suhu yang terlalu tinggi dan meningkatkan kelembaban udara, diperlukan Rumah Tumbuh yaitu tempat yang dirancang khusus untu pertumbuhan setek (Danu, Pramono dan Siregar, 2006). Rumah tumbuh berfungsi menjaga fluktuasi suhu, kelembaban dan intensitas cahaya antara pagi, siang dan malam hari serta melindungi setek dari terpaan hujan dan angin. Rumah Tumbuh yang digunakan adalah Model Pengabutan. Model Pengabutan terdiri dari rumah kaca yang dilengkapi dengan alat pengabutan, rak tempat poly tube serta menggunakan sungkup plastik (Gambar 1).
Gambar 1. Rumah Tumbuh
B. Media Media yang digunakan adalah campuran serbuk kelapa (cocopeat) dan sekam padi dengan perbandingan 2 : 1 (v/v). Sebelum dicampur sekam padi terlebih dulu diserilkan, kemudian media tersebut dimasukkan ke dalam poly tube ukuran 4,5 cm X 4,5 cm X 12 cm. Poly tube tersebut dimasukkan dalam sungkup plastik putih, selanjutnya sungkup tersebut ditempatkan di dalam Rumah Tumbuh, selanjutnya media tesebut disiram dengan air sampai jenuh. C. Tahapan Pembuatan Setek Jabon 1. Bahan Setek Kriteria bahan setek jabon terutama adalah: a. Diameter batang tunas sekitar 0,5 cm. b. Kulit batang berwarna hijau tua kecoklatan Tunas jabon umur 6 bulan dipangkas dengan gunting setek dan dipilih tunas yang relatif seragam tinggi dan diameternya, kemudian ditempatkan ke dalam ember/wadah berisi air (Gambar 2).
141
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Gambar 2. Tunas jabon umur 6 bulan
2. Pembuatan setek Pembuatan setek dilakukan ditempat teduh. Tunas dipotong untuk dijadikan setek pucuk dan batang. Setek pucuk diambil dari pucuk, setek batang diambil dari bagian tengah dan pangkal dari tunas Tunas dipotong-potong menjadi setek dengan ukuran panjang tangkai setek sekitar 5 -7 cm. Bagian bawah dari tangkai setek dipotong miring 450. Setek-setek tersebut ditempatkan dalam wadah/ember berisi air. 3. Penanaman Setek Pada media dibuat lubang tanam dengan tongkat kecil dari kayu dengan diameter lebih besar dari diameter tangkai setek. Setek ditanam pada lubang tanam dengan kedalaman sepertiga sampai setengah dari tangkai setek, kemudian ditutup dengan media (Gambar 3), disiram dengan air, selanjutnya sungkup ditutup.
Gambar 3. Penanaman setek batang (kiri) dan setek pucuk (kanan)
4. Pemeliharaan a. Pemeliharaan Pemeliharaan terdiri dari penyiraman, penyiangan dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari. Penyiangan dilakukan terhadap gulma yang tumbuh pada potray dan di sekitar bedengan, dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang tumbuh, dilakukan seminggu sekali. Apabila terdapat serangan hama dan penyakit dilakukan pengendalian sesuai dengan jenis hama dan penyakit serta intensitas serangan yang terjadi. b. Aktimatisasi Aktimatisasi dilakukan dengan membuka sungkup secara bertahap: minggu pertama sungkup dibuka selama 2 jam dari jam 8 00-1000 kemudian sungkup ditutup kembali. 142
Aspek Silvikultur
Minggu kedua dibuka selama 4 jam dari jam 800-1200 kemudian sungkup ditutup kembali. Minggu ke tiga sungkup dibuka selama 6 jam dari jam 8 00-1400 kemudian sungkup ditutup kembali. Minggu ke empat sungkup dibuka tanpa ditutup kembali. 5. Pertumbuhan Setek Jabon Tunas setek jabon mulai tumbuh sekitar 2 - 3 minggu setelah tanam Akar mulai tumbuh sekitar 3 - 4 minggu setelah tanam. Persen tumbuh setek pucuk mencapai 90,5% dan persen tumbuh setek batang sekitar 83,2% pada umur 3 bulan setelah tanam 6. Penyapihan Setek Penyapihan bibit asal setek ke polibag dilakukan 2-3 bulan setelah akar dan tunas tumbuh. Bibit tersebut ditempat di persemaian dan dilakukan pemeliharaan sampai bibit dengan bibit siap ditanam di lapangan. IV. PENUTUP Jabon dapat diperbanyak secara vegetatif, bahan setek terdiri dari setek batang dan setek pucuk. Tunas setek mulai tumbuh sekitar 2 - 3 minggu setelah tanam dan akar mulai tumbuh sekitar 3 - 4 minggu setelah tanam. Persen tumbuh setek pucuk sekitar 90,5% dan setek batang sekitar 83,2% pada umur 3 bulan setelah tanam. DAFTAR PUSTAKA Danu, A.A. Pramono, N. Siregar, 2006. Atlas Benih Jilid VI. Perbanyakan Vegetatif Beberapa Jenis Tanaman Hutan. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Davis, T.D, B.E. Haissig and N.Sankhla. 1988. Adventitious Root Formation Cuttings. Dioscorides Press. Oregon. Hanum, I.H. and L.J.G. van der Maesen. Plant Resources of South East Asia. No 11. Auxiliary Plants. PROSEA. Bogor Hartmann, H.T., D.E. Kester and F.T. Davies, R.L. Geneve. 1997. Plant Propagation: Principles and Practices. Edisi VI. Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey Mahlstede, J.P and E.S. Haber. 1976. Plant Propagation. John Wiley and Sons Inc. New York. 413 p. Rochiman, K dan Harjadi.SS. 1973. Pembiakan Vegetatif. Departemen Agronomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rostiwati, T, Y. Haryati dan S. Bustomi. 2006. Review Hasil Litgbang Kayu Energi dan turunannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutan. Martawijaya, A. I. Kartasujana, Y.I. Mandang, SA. Prawira dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Volume II. Departemen Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Soerianegara, I dan R.H.M.J. Lemmens. 1994. Plant Resources of South East Asia. No 5 (1). Timber Tress: Major commercial Timbers. Bogor. Zobel, B. 1983. Vegetatif Propagation in Eucalyptus. 19 th Meeting of The Canadian Tree Improvement Association, August 22-26,1983. Toronto, Ontario.
143
Aspek Silvikultur
PENGGUNAAN SERBUK SABUT KELAPA DAN ARANG SEKAM PADI DALAM PEMBIBITAN BAMBANG LANANG (Michelia champaca L.) Danu dan Rina Kurniaty Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK Kebutuhan bahan baku kayu dari tahun ke tahun semakin meningkat sementara produksi kayu semakin menurun. Tanaman bambang lanang (Michelia champaca L.) merupakan jenis alternatif prioritas dalam pembangunan hutan tanaman penghasil kayu. Untuk menghasilkan tegakan yang baik diperlukan bibit yang bermutu. Media yang kaya dengan bahan organik dan unsur hara merupakan salah satu yang diperlukan tanaman untuk menghasilkan bibit yang bermutu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas bahan pencampur serbuk sabut kelapa dan arang sekam padi dalam pembibitan tanaman bambang lanang. Benih bambang lanang dikumpulkan dari Lahat, Sumatera Selatan. Media yang digunakan adalah tanah top soil, tanah sub soil, tanah sub soil ditambah bahan pencampur serbuk sabut kelapa dan arang sekam padi dengan intensitas naungan 55%. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan acak kelompok terdiri dari 3 ulangan masing- masing 50 bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media tanah subsoil ditambah serbuk sabut kelapa sebanyak 30% dan arang sekam padi sebanyak 10% dapat menghasilkan persen batang berkayu tertinggi yaitu sebesar 46,28%. Kata kunci: media, bibit, bambang lanang
I. PENDAHULUAN Kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan kayu dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan, di pihak lain pasokan bahan baku dari hutan alam produksi semakin menurun, sehingga akibatnya terjadi kekurangan bahan baku terutama untuk industri pengolahan kayu. Oleh karena itu perlu dilakukan pembangunan dan pengembangan hutan tanaman penghasil kayu pertukangan. Tanaman bambang lanang (Michelia champaca L.) merupakan jenis alternatif prioritas dalam pembangunan hutan tanaman penghasil kayu pertukangan (Effendi, 2009). Bambang lanang termasuk family Sapotaceae merupakan salah satu jenis pohon andalan lokal di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Jenis ini tergolong tanaman cepat tumbuh, kayunya kuat, lurus, awet, dan mudah dikerjakan, sehingga sejak lama sudah digunakan sebagai bahan bangunan oleh masyarakat setempat (Siahaan dan Saepuloh, 2007). Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan hutan tanaman jenis ini adalah tersedianya bibit bermutu dalam jumlah yang cukup dan tepat waktu. Untuk menghasilkan bibit yang bermutu diantaranya diperlukan media yang kaya dengan bahan organik dan mempunyai unsur hara yang diperlukan tanaman serta naungan (Durahim dan Hendromono, 2001; Siahaan et al., 2006). Umumnya media yang digunakan untuk pembibitan di persemain berasal dari top soil. Namun pengambilan top soil dalam jumlah besar dapat berdampak negatif bagi ekosistem di areal tersebut (Hendromono dan Durahim, 2004). Untuk itu dibutuhkan bahan campuran media alternatif yang baik. Serbuk sabut kelapa (cocopeat) dan arang sekam padi (biocharcoal) dapat digunakan sebagai bahan pencampur media persemaian. Biocharcoal berfungsi sebagai pembenah tanah dan manager nutrisi yang baik (Lehmann et al., 2006). Pemberian arang sekam pada media tumbuh akan menguntungkan karena dapat memperbaiki sifat tanah di antaranya adalah mengefektifkan pemupukan karena selain memperbaiki sifat fisik tanah 145
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
(porositas dan aerasi), arang sekam juga berfungsi sebagai pengikat hara (ketika kelebihan hara) yang dapat digunakan tanaman ketika kekurangan hara, hara dilepas secara perlahan sesuai kebutuhan tanaman/slow release (Komarayati et al., 2003). Serbuk sabut kelapa memiliki pH 5,7 -6,5 dan kapasitas tukar kation yang tinggi serta memiliki daya simpan air yang tinggi, sehingga subtrat ini dapat digunakan sebagai bahan pencampur media tanah (Mason, 2003). Berdasarkan informasi di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang penggunaan bahan pencampur media untuk pembibitan tanaman bambang lanang yang efektif dan ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan serbuk sabut kelapa dan arang sekam padi sebagai bahan pencampur media pembibitan tanaman bambang lanang. II. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di persemaian Stasiun Penelitian Nagrak, Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Juli 2012 sampai bulan Pebruari 2013. B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian terdiri dari buah bambang lanang yang telah masak fisiologis dikumpulkan dari Lahat, Sumatera Selatan. Pengunduhan buah yang telah masak fisiologis dilakukan dengan cara memanjat pohon pada bulan Maret 2012. Media sapih yang yang digunakan yaitu: tanah top soil, tanah sub soil, serbuk sabut kelapa, dan arang sekam padi. Alat penelitian yang digunakan antara lain persemaian dalam bentuk rak yang diberi naungan paranet intensitas 55%, oven Memmert type UNB 400, timbangan analitik tipe GR 200, kaliper dan penggaris. C. Prosedur Penelitian - Buah bambang lanang yang sudah terkumpul diekstrasi dengan cara buah dikeringanginkan, setelah buah merekah selanjutnya benih dan kulit buah dipisahkan. Untuk membersihkan kulit benih dilakukan dengan cara digosok. - Perkecambahan dilakukan dengan cara menabur benih pada bak kecambah yang berisi media campuran pasir dan tanah (1:1, v/v). Setelah memiliki sepasang daun, kemudian disapih pada media pembibitan sesuai perlakuan (M) dengan intensitas naungan 55%. Perlakuan media yang digunakan adalah: M1 = Tanah top soil (kontrol) M2 = Tanah subsoil M3 = Tanah sub soil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) (v/v) M4 = Tanah sub soil + 10% arang sekam padi (v/v) M5 = Tanah subsoil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) +10% arang sekam padi(v/v) Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok dengan ulangan sebanyak 3 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 50 bibit. Pengamatan dan respon yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Pertumbuhan tinggi dan diameter bibit. Pengukuran dilakukan pada awal pembibitan (1 minggu setelah sapih) dan akhir pengamatan (5 bulan setelah sapih). b. Berat kering (Biomassa), Top-Root ratio (TR ratio) dan Indeks Mutu Bibit. Pengukuran dilakukan pada akhir pengamatan yaitu dengan cara mengambil 3 (tiga) bibit dari masing-masing perlakuan kemudian dicuci bersih, selanjutnya diukur panjang batang masing-masing bibit dari pangkal batang sampai pucuk dan panjang akar. Data ini 146
Aspek Silvikultur
digunakan untuk menghitung TR ratio yaitu perbandingan antara panjang batang atas dengan panjang akar. Masing-masing batang dan akar tersebut kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 103±3oC selama 24 jam. Biomassa merupakan jumlah berat kering akar dan berat kering batang. Penghitungan indeks mutu bibit menggunakan cara Dickson (1960) dalam Hendromono (1994) dengan rumus: Indek Mutu Bibit =
bobot kering batang g + bobot kering akar (g) tinggi bibit (cm) bobot kering batang (g) + diamater bibit (mm) bobot kering akar (g)
Perhitungan indek mutu bibit menggunakan skor antara 1-10. Skor tertinggi menunjukkan IMB terbaik. c. Persen bibit berkayu dihitung berdasarkan rumus: Persen bibit berkayu =
tinggi bibit yang sudah berkayu tinggi total bibit
x 100%
D. Analisis Data Data hasil pengamatan kemudian dianalisis berdasarkan analisis ragam. Apabila hasil analisis uji-F menunjukkan perbedaan diantara perlakuan yang diujikan, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa komposisi media berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi, diameter, persen bibit berkayu, top root rasio (TR rasio), dan biomassa bibit bambang lanang umur 5 bulan pada taraf uji 1%, namun tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, panjang akar dan indek mutu bibit (IMB). Tabel 1. Rekapitulasi F-hitung pengaruh komposisi media terhadap pertumbuhan tinggi, diamater, persen bibit berkayu, TR rasio dan biomassa bibit bambang lanang umur 5 bulan Sumber Keragaman Media
Pertumbuhan bibit bambang lanang Diameter
Jumlah daun
Persen berkayu
Panjang akar
TR ratio
IMB
Biomassa
122.05** 27.38**
1.60tn
13.78**
0.08tn
8.31**
1.88tn
32.33**
Tinggi
Keterangan: tn = tidak nyata pada taraf uji 0,05 * = nyata pada taraf uji 0,05 ** = sangat nyata taraf uji 0,01
Hasil Uji beda menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi, diameter, TR rasio dan biomassa bibit tertinggi dihasilkan oleh media tanah top soil (M1). Bahan tambahan serbuk sabut kelapa dan arang sekam padi sebagai pencampur media sub soil belum mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter, TR rasio maupun biomassa bibit. Namun mampu meningkatkan persen bibit berkayu bambang lanang (M5) (Tabel 2). Sebagaimana dapat diamati pada Tabel 2, media top soil (M1) menghasilkan respon terhadap pertumbuhan tinggi, diameter, TR ratio dan biomassa bibit tertinggi diikuti oleh media sub soil (M2), sedangkan persen bibit berkayu teringgi dihasilkan oleh media campuran tanah subsoil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) +10% arang sekam padi(v/v) (M5), kemudian diikuti oleh media campuran tanah sub soil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) (v/v) (M3). 147
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tabel 2. Hasil uji beda pengaruh komposisi media terhadap pertumbuhan tinggi, diamater, persen bibit berkayu, TR rasio dan biomassa bibit bambang lanang umur 5 bulan Media
Tinggi (cm)
Diameter (mm)
Persen berkayu (%)
TR rasio
Biomasa (gram)
M1
44.86a
5.19a
22.03c
1.98a
3.17a
M2
34.95b
4.75b
23.34c
1.41b
2.34b
M3
21.19d
3.96c
34.24b
0.99bc
1.32c
M4
31.30c
4.44b
25.22c
1.27b
2.00b
M5
16.04e
3.31d
46.28a
0.61c
0.99c
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. Tanah top soil (M1), Tanah subsoil (M2), Tanah sub soil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) (v/v) (M3), Tanah sub soil + 10% arang sekam padi (v/v) (M4), Tanah subsoil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) +10% arang sekam padi(v/v) (M5)
Pertumbuhan bibit ini sangat dipengaruhi oleh kandungan hara media (Tabel 3). Media M5 memiliki KTK tertinggi diikuti media M3, namun media ini kurang subur karena memiliki C/N ratio yang masih tinggi dan kandungan karbon yang tinggi. Semua media memiliki keasaman yang relative sama yaitu antara pH 5,6 – 6,5. Nilai pH tanah ini cukup baik untuk pertumbuhan tanaman. Tabel 3. Kandungan hara media pembibitan bambang lanang Media
pH
KTK (cmol/kg)
M1
6,1
18,170
1,69
0,173
9,77
4,40
agak masam
sedang
Rendah
rendah
rendah
sangat rendah
M2
6,5
18,266
1,22
0,133
9,23
3,07
agak masam
sedang
Rendah
rendah
rendah
sangat rendah
M3
5,9
24,663
3,94
0,237
16,63
7,10
agak masam
tinggi
Tinggi
sedang
tinggi
sangat rendah
M4
5,6
18,143
1,26
0,150
9,07
2,67
agak masam
sedang
Rendah
rendah
rendah
sangat rendah
6,3
30,150
0,280
20,07
8,40
agak masam
tinggi
sedang
tinggi
sangat rendah
M5
C (%)
5,20 sangat tinggi
N (%)
C/N ratio
P (ppm)
Keterangan: Tanah top soil (M1), Tanah subsoil (M2), Tanah sub soil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) (v/v) (M3), Tanah sub soil + 10% arang sekam padi (v/v) (M4), Tanah subsoil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) +10% arang sekam padi(v/v) (M5)
Penambahan bahan pencampur serbuk sabut kelapa dan arang sekam padi dapat menurunkan kandungan hara bibit bambang lanang. Berdasarkan uji beda yang dilakukan (Tabel 4), kandungan hara tertinggi terdapat pada bibit yang tumbuh pada media M1 (tanah top soil), sedangkan penambahan bahan pencampur serbuk sabut kelapa dan arang sekam padi dalam media sub soil menghasilkan kandungan hara bibit bambang lanang yang rendah. Kandungan hara terendah terdapat dalam bibit yng tumbuh dalam media tanah sub soil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) +10% arang sekam padi(v/v) (M5). 148
Aspek Silvikultur
Tabel 4. Kandungan hara bibit bambang lanang pada umur 5 bulan Media
N-total (mg)
P-total (mg)
K-total (mg)
Ca-total (mg)
Mg-total (mg)
M1
34,707 a
6,953 a
145,773 a
33,197 a
13,670 a
M2
28,837 b
3,917 b
110,350 b
21,977 b
10,127 b
M3
14,307 cd
2,243 b
61,867 c
12,417 cd
5,037 c
M4
22,690 bc
3,740 b
97,897 b
17,957 bc
7,800 b
M5
9,627 d
1,977 b
45,247 c
10,900 d
4,137 c
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. Tanah top soil (M1), Tanah subsoil (M2), Tanah sub soil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) (v/v) (M3), Tanah sub soil + 10% arang sekam padi (v/v) (M4), Tanah subsoil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) +10% arang sekam padi(v/v) (M5)
B. Pembahasan Beberapa unsur hara yang mempunyai peranan penting dalam proses pertumbuhan tanaman antara lain bahan organik (Karbon dan Nitrogen), Fosfor (P2O5) dan Kalium (K2O). Adanya bahan organik dalam tanah dapat meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK), merangsang pembentukan struktur tanah dan menyimpan air lebih banyak sehingga tanah selalu dalam keadaan lembab dan lebih subur. Dalam penelitian ini media tanah top soil memberikan respon tertinggi pada hampir semua parameter yang diuji (Tabel 2) kecuali persen bibit berkayu. Hal ini menunjukkan bahwa media top soil yang digunakan memiliki kondisi fisik maupun kimia yang optimal bagi pertumbuhan bibit bambang lanang (Tabel 3). Namun apabila teknik ini dikembangkan akan merusak lingkungan karena penggunaan top soil secara terus menerus dan dalam jumlah yang besar akan merusak kondisi lingkungan di sekitar tempat pengambilan tanah. Oleh karena itu media pembibitan dapat menggunakan campuran tanah sub soil dan pupuk organik sehingga lebih ramah lingkungan (Hendromono dan Durahim, 2004), namun penambahan bahan organik serbuk sabut kelapa dan arang sekam padi pada media sub soil belum efektif menghasilkan pertumbuhan bibit bambang lanang. Media sub soil (M2) dapat menghasilkan pertumbuhan tinggi dan diameter bibit lebih baik dibandingkan dengan media sub soil yang dicampur dengan bahan organik serbuk sabut kelapa (M3), maupun arang sekam padi (M4). Hal ini disebabkan karena bahan organik yang digunakan sebagai campuran media yakni serbuk sabut kelapa masih relatif segar sehingga masih membutuhkan proses pelapukan. Media M3 memliki C/N yang tinggi yaitu sebesa 16,63. Hal ini menunjukkan bahwa media tersebut belum matang. Namun demikian penambahan serbuk sabut kelapa dan arang sekam pada media sub soil (M5) dapat menghasilkan persen berkayu bibit lebih tertinggi yaitu sebesar 46,28% (Tabel 2). Persen berkayu merupakan salah satu parameter yang bisa dijadikan tolok ukur bahwa bibit sudah siap dipindah ke lapangan karena persen berkayu menunjukkan kemampuan bibit dalam pembentukan kayu pada batang. Semakin tinggi persen berkayu semakin siap bibit dipindah ke lapangan. Hasil analisis yang dilakukan pada semua media yang digunakan (Tabel 3) menunjukkan M2 memiliki pH 6,5 (agak masam), KTK 18,2 cmol/kg (sedang), C 1,22% (rendah), N 0,13% (rendah), C/N 9,2 (rendah) dan P 3,07% (sangat rendah). Sedangkan media M5 memiliki pH 6,3
149
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
(agak masam), KTK 30,15 cmol/kg (tinggi), C 5,20% (sangat tinggi), N 0,28 % (rendah), C/N 20,07 (tinggi) dan P 8,40% (sangat rendah). Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir. Peningkatan KTK menambah kemampuan tanah untuk menyerap dan menyediakan unsur-unsur hara dalam bentuk jerapan koloid yang komplek, sehingga terhindar dari pencucian (Hardjowogeno, 2003; Soewandita, 2008). Dalam penelitian ini media M5 memiliki nilai KTK tertinggi (30,15) (Tabel 3) dibanding dengan media lainnya sehingga media ini memiliki kemampuan menahan unsur hara yang tinggi. Namun hara tersebut belum dapat diserap bibit secara optimal karena media M5 ini termasuk yang belum matang bila dilihat dari nilai C/N rasio yang masih tinggi (20,07) (Tabel 3). Tanaman bambang lanang pada media campuran tanah dan bahan organik (M5) memiliki kemampuan menyerap unsur hara lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh pada media top soil (M1) (Tabel 4). Dengan demikian agar penggunaan media M5 lebih efektif, maka bahan pencampur ini perlu dikomposkan dulu sebelum digunakan sebagai bahan pencampur media pembibitan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Media tanah subsoil ditambah bahan pencampur serbuk sabut kelapa sebanyak 30% dan arang sekam padi sebanyak 10% dapat digunakan sebagai media pembibitan tanaman bambang lanang. Media ini dapat menghasilkan persen bibit berkayu tertinggi pada umur 5 bulan yaitu sebesar 46,28%. Untuk meningkatkan efektivitas penggunaan bahan pencampur media ini, perlu dilakukan pelapukan dan pengkomposan terlebih dahulu. DAFTAR PUSTAKA Durahim dan Hendromono.2001.Kemungkinan Penggunaan Limbah Organik Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi Sebagai Campuran Top Soil Untuk Media Pertumbuhan Bibit Mahoni (Swietenia macrophylla King).Buletin Penelitian Hutan no.628.Hal.13-26. Effendi, R. 2009. Rencana Pengenelitian Integratif Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan. Puslitbang Hutan Tanaman badan Litbang kehutatan, depertemen Kehutanan. Hardjowogeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Edisi Baru. Akademika Pressindo. Jakarta. Hendromono. 1994. Pengaruh Media Organik dan Tanah Mineral Terhadap Mutu Bibit Pterygota alata Roxb. Buletin Penelitian Hutan no.617 : 55-64. ______ dan Durahim. 2004. Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi Sebagai Medium Pertumbuhan Bibit Mahoni Afrika (Khaya anthoteca C.DC). Buletin Penelitian Hutan no 644. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam.Bogor. Komarayati S, Pari G dan Gusmailina. 2003. Pengembangan Penngunaan Arang untuk Rehabilitasi Lahan dalam Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 4:1. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Lehmann J., J. Gaunt and M. Rondon. 2006. Bio-char sequestration in terrestrial ecosystems – A Review. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 11: 403–427
150
Aspek Silvikultur
Mason, J. 2003. Sustainable Agriculture. Second edition. Lndlinks Press. Collingwood Vic. Autralia. PP. 205., Siahaan, H., N. Herdiana dan T.R. Saepuloh. 2006. Teknologi Penanganan Benih. Laporan Hasil Penelitian Balai Litbang Hutan Tanaman Palembang (Tidak dipublikasikan). _______ dan T.R. Saepuloh. 2007. Teknik Silvikultur Kayu Bawang. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor. Soewandita, H. 2008. Studi Kesuburan Tanah dan Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Tanaman Perkebunan di Kabupaten Bengkalis. Jurnal Sain dan Teknologi Vol 10 No. 2:128-133.
151
Aspek Silvikultur
PENGARUH TEKNIK PENGEMASAN TERHADAP KUALITAS BIBIT MERANTI BAPA (Shorea selanica (DC.) Blume) UNTUK TRANSPORTASI Naning Yuniarti Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK Meranti bapa (Shorea selanica) adalah jenis tanaman yang sangat potensial untuk dikembangkan karena kayunya sangat baik untuk kayu konstruksi, panil kayu, bahan mebel dan perabot rumahtangga. Dalam pengadaan bibit untuk kegiatan penanaman di lapangan diperlukan suatu teknik pengangkutan dari lokasi pembibitan menuju ke lokasi penanaman. Bibit akan mengalami proses penyimpanan selama transportasi berlangsung. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh teknik pengemasan terhadap kualitas bibit untuk transportasi. Bibit meranti bapa yang digunakan berasal dari Hutan Penelitian Haurbentes, Jawa Barat. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap, dengan perlakuan: (1) akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab dimasukkan dalam kotak kayu, (2) akar bibit diberi serbuk gergaji lembab dimasukkan dalam kotak plastik, (3) bibit dibungkus dengan kertas merang lembab dimasukkan dalam ice box, dan (4) akar bibit dicelupkan dalam larutan Aquasorb dimasukkan dalam kotak kayu. Transportasi yang digunakan yaitu: pesawat udara, bis, dan paket kiriman titipan kilat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) teknik pengemasan berpengaruh nyata terhadap kualitas bibit, yaitu persen hidup dan tinggi bibit meranti bapa, dan (2) teknik pengemasan yang terbaik untuk bibit meranti bapa pada transportasi pesawat udara, bis, dan paket kiriman (Tiki) adalah perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu. Kata kunci: bibit, Shorea selanica, teknik pengemasan, transportasi, kualitas bibit
I. PENDAHULUAN Meranti bapa (Shorea selanica) adalah salah satu jenis tanaman yang sangat potensial untuk dikembangkan. Manfaat yang bisa diperoleh yaitu kayunya untuk kayu konstruksi, panil kayu untuk dinding, loteng, sekat ruangan, bahan mebel dan perabot rumahtangga, mainan, peti mati, balok, kasau, kusen pintu-pintu dan jendela, papan lantai, geladak jembatan, serta untuk membuat perahu (Heyne, 1987). Untuk menunjang keberhasilan penanaman jenis ini diperlukan teknologi pembibitan secara tepat. Dalam pengadaan bibit untuk kegiatan penanaman di lapangan diperlukan suatu kegiatan pengangkutan atau transportasi dari lokasi pembibitan menuju ke lokasi penanaman di lapangan. Jadi bibit akan mengalami proses penyimpanan selama transportasi berlangsung. Lama transportasi dan teknik pengemasan akan berpengaruh terhadap kualitas bibit. Kualitas bibit merupakan suatu gambaran kesiapan bibit untuk dapat tumbuh dan beradaptasi di lapangan. Kualitas bibit secara praktis dapat dinilai dari kualitas fisiknya antara lain dengan menggunakna parameter persen hidup, tinggi, diameter, nisbah pucuk akar, dan indeks mutu bibit. Untuk mengatasi permasalahan pengadaan bibit selama transportasi diperlukan teknik pengemasan bibit yang dapat mempertahankan kualitas bibit sebelum digunakan dalam kegiatan penanaman. Informasi mengenai teknik pengemasan bibit belum banyak diketahui, sehingga masih diperlukan penelitian tentang teknik pengemasan bibit yang diharapkan dapat mempertahankan kualitas bibit selama proses transportasi. 153
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh teknik pengemasan terhadap kualitas bibit meranti bapa (Shorea selanica) untuk transportasi yang digunakan. II. METODOLOGI A. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH Bogor) dan di persemaian BPTH Bali dan Nusa Tenggara, yang dimulai pada bulan Maret sampai dengan Juni 2009. Sedangkan lokasi pengumpulan buah meranti bapa di Hutan Penelitian Haurbentes, Jawa Barat. B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit meranti bapa (Shorea selanica), oven, serbuk sabut kelapa, kotak kayu, serbuk gergaji, larutan Aquasorb, kotak plastik, kertas merang, ice box, polybag, bak kecambah, pasir, tanah, kaliper, dan label. C. Metode 1. Rancangan percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) didekati dengan rancangan acak lengkap dengan perlakuan sebagai berikut: a1 : Akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu a2 : Akar bibit diberi serbuk gergaji lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak plastik a3 : Bibit dibungkus dengan kertas merang lembab kemudian dimasukkan ke dalam ice box a4 : Akar bibit dicelupkan ke dalam larutan Aquasorb kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu Untuk pengemasan bibit masing-masing perlakuan ada 3 ulangan, dimana masingmasing ulangan terdiri dari 25 bibit. Respon pengamatan yang diukur pada penelitian ini adalah lamanya perjalanan dari masing-masing transportasi (pesawat, bus, paket kiriman Tiki), persen hidup, tinggi, diameter batang, nisbah pucuk akar, dan Indeks Mutu Bibit (IMB). 2. Tahapan Kerja Bibit dikemas kedalam wadah pengemasan sesuai dengan rancangan percobaan. Setelah selesai, bibit dikirim ke BPTH Bali dan Nusa Tenggara dengan menggunakan alat transportasi pesawat udara, bis, dan paket kiriman. Setelah sampai ke lokasi pengiriman, kemudian bibit dari masing-masing perlakuan ditanam ke polibag. Lama pengamatan penelitian yaitu 3 bulan. Setiap bulan sekali dilakukan pengamatan dan pengukuran mengenai persen hidup, tinggi dan diameter bibit selama 3 bulan. Pada akhir pengamatan (bulan ke 3) dilakukan pengujian dan pengukuran persen hidup, tinggi, diameter batang, nisbah pucuk akar, dan Indeks Mutu Bibit (IMB). 3. Analisa Data Data-data hasil penelitian diolah secara statistik dengan menggunakan rancangan sesuai dengan rancangan penelitian untuk mendapatkan analisa sidik ragam (Anova). Apabila berpengaruh nyata maka untuk mengetahui lebih lanjut diadakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
154
Aspek Silvikultur
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Persen Hidup Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap persen hidup dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap persen hidup dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) Sumber Keragaman
Derajat bebas Pesawat udara
Kuadrat Tengah Bus
Paket Kiriman
Perlakuan
3
8,333
55,556*
120,221*
Sisa
8
3,412
5,213
10,556
Total
11
Keterangan: * = Berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95%
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik pengemasan dengan menggunakan bus dan paket kiriman berpengaruh nyata terhadap persen hidup bibit meranti bapa. Hal ini berarti terdapat satu atau beberapa perlakuan yang menunjukkan nilai persen hidup berbeda satu sama lain (Tabel 2). Sedangkan teknik pengemasan dengan menggunakan pesawat udara tidak berbeda nyata. Jadi semua perlakuan teknik pengemasan memberikan pengaruh yang sama terhadap persen hidup bibit meranti bapa. Tabel 2. Rata-rata persen hidup bibit meranti bapa berdasarkan perlakuan pengaruh teknik pengemasan No. 1. 2. 3. 4.
Perlakuan Serbuk sabut kelapa + kotak kayu Serbuk gergaji + kotak palstik Kertas merang + ice box Aquasorb + kotak kayu
Pesawat udara 100 97 100 100
Persen Hidup (%) Bus Paket Kiriman 83 a 67 a 80 a 63 b 73 c 60 c 77 b 63 b
2. Tinggi Bibit Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap tinggi bibit dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap tinggi bibit dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) Sumber Keragaman
Derajat bebas
Kuadrat Tengah Pesawat udara
Perlakuan Sisa Total
3 8 11
20,689* 1,415
Bus 10,130* 1,430
Paket Kiriman 10,763* 1,245
Keterangan: * = Berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95%
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik pengemasan dengan menggunakan pesawat udara, bus dan paket kiriman berpengaruh nyata
155
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
terhadap tinggi bibit meranti bapa. Hal ini berarti terdapat satu atau beberapa perlakuan yang menunjukkan nilai tinggi bibit berbeda satu sama lain (Tabel 4). Tabel 4. Rata-rata tinggi bibit meranti bapa berdasarkan perlakuan pengaruh teknik pengemasan No. 1. 2. 3. 4.
Perlakuan Serbuk sabut kelapa + kotak kayu Serbuk gergaji + kotak palstik Kertas merang + ice box Aquasorb + kotak kayu
Pesawat udara 14,30 b 12,36 ab 12,23 a 12,83 ab
Tinggi bibit (cm) Bus Paket Kiriman 14,2 c 14,60 c 13,4 b 13,56 bc 12,3 a 11,06 a 12,9 ab 13,16 b
3. Diameter Bibit Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap diameter bibit dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap diameter bibit dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) Sumber Keragaman
Derajat bebas
Perlakuan Sisa Total
3 8 11
Pesawat udara
Kuadrat Tengah Bus
Paket Kiriman
0,006 0,004
0,009 0,008
0,001 0,009
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik pengemasan dengan menggunakan pesawat udara, bus dan paket kiriman tidak berpengaruh nyata terhadap diameter bibit meranti bapa. Hal ini berarti bahwa semua perlakuan wadah pengemasan memberikan pengaruh yang sama terhadap diameter bibit. Adapun nilai rata-rata diameter bibit meranti bapa dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata diameter bibit meranti bapa berdasarkan perlakuan pengaruh teknik pengemasan No. 1. 2. 3. 4.
Perlakuan Serbuk sabut kelapa + kotak kayu Serbuk gergaji + kotak palstik Kertas merang + ice box Aquasorb + kotak kayu
Pesawat udara 2,27 2,20 2,14 2,19
Diameter bibit (mm) Bus Paket Kiriman 2,23 2,23 2,20 2,20 2,17 2,17 2,20 2,20
4. Indeks Mutu Bibit (IMB) Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap indeks mutu bibit dari tiap jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman), disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap indeks mutu bibit dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) Sumber Keragaman Perlakuan Sisa Total
Derajat bebas 3 8 11
Pesawat udara 0,0003 0,0003
Kuadrat Tengah Bus 0,0013 0,0006
Paket Kiriman 0,0003 0,0004
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik pengemasan dengan menggunakan pesawat udara, bus dan paket kiriman tidak berpengaruh nyata terhadap indeks mutu bibit meranti bapa. Hal ini berarti bahwa semua perlakuan wadah 156
Aspek Silvikultur
pengemasan memberikan pengaruh yang sama terhadap indeks mutu bibit. Adapun nilai ratarata indeks mutu bibit meranti bapa dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Rata-rata indeks mutu bibit meranti bapa berdasarkan perlakuan pengaruh teknik pengemasan No. 1. 2. 3. 4.
Perlakuan Serbuk sabut kelapa + kotak kayu Serbuk gergaji + kotak palstik Kertas merang + ice box Aquasorb + kotak kayu
Pesawat udara 0,0510 0,0435 0,0348 0,0401
Indeks Mutu Bibit Bus Paket Kiriman 0,0805 0,0639 0,0523 0,0575 0,0505 0,0472 0,0525 0,0502
5. Nisbah Pucuk Akar (NPA) Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap nisbah pucuk akar dari tiap jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap nisbah pucuk akar dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) Sumber Keragaman
Derajat bebas
Kuadrat Tengah Pesawat udara
Bus
Paket Kiriman
Perlakuan
3
2,12
0,758
0,611
Sisa
8
1,788
0,453
0,499
Total
11
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik pengemasan dengan menggunakan pesawat udara, bus dan paket kiriman tidak berpengaruh nyata terhadap nisbah pucuk akar bibit meranti bapa. Hal ini berarti bahwa semua perlakuan wadah pengemasan memberikan pengaruh yang sama terhadap nisbah pucuk akar. Adapun nilai rata-rata nisbah pucuk akar bibit meranti bapa dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Rata-rata nisbah pucuk akar bibit meranti bapa berdasarkan perlakuan pengaruh teknik pengemasan No. 1. 2. 3. 4.
Perlakuan Serbuk sabut kelapa + kotak kayu Serbuk gergaji + kotak palstik Kertas merang + ice box Aquasorb + kotak kayu
Pesawat udara 2,9103 2,7392 2,6798 2,7580
Nisbah Pucuk Akar Bus Paket Kiriman 2,3794 2,6158 2,1089 2,1989 1,6582 1,9145 1,6594 1,9679
B. Pembahasan Kualitas bibit merupakan suatu gambaran kesiapan bibit untuk dapat tumbuh dan beradaptasi di lapangan. Kualitas bibit secara praktis dapat dinilai dari kualitas fisiknya antara lain dengan menggunakna parameter persen hidup, tinggi, diameter, nisbah pucuk akar dan indeks mutu bibit. Dilihat dari nilai persen hidup bibit meranti bapa pada pesawat udara, bis, dan paket kiriman (Tiki) diketahui bahwa perlakuan yang dapat menghasilkan nilai persen hidup paling tinggi yaitu perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu. 157
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Untuk tinggi bibit meranti bapa, pada pesawat udara, bis, dan paket kiriman (Tiki) diketahui bahwa perlakuan yang dapat menghasilkan nilai tinggi semai/bibit yang tertinggi yaitu perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak. Diameter, nisbah pucuk akar, dan indeks mutu bibit tidak menunjukkan perbedaan yang nyata untuk semua perlakuan saat transportasi. Sehingga 4 macam teknik perlakuan pengemasan yaitu (1) akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu, (2) akar bibit diberi serbuk gergaji lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak plastik, (3) bibit dibungkus dengan kertas merang lembab kemudian dimasukkan ke dalam ice box, dan (4) akar bibit dicelupkan ke dalam larutan Aquasorb kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu, dapat meningkatkan diamater, nisbah pucuk akar dan indeks mutu bibit. Dilihat dari nilai rata-rata diameter, maka perlakuan yang dapat menghasilkan nilai diameter batang bibit yang paling besar yaitu perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu. Dari nilai nisbah pucuk akar (NPA) terlihat bahwa perlakuan yang dapat menghasilkan nilai NPA tertinggi yaitu perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu. Nisbah pucuk akar dari pertumbuhan ujung dan pertumbuhan akar merupakan perbandingan antara bagian pucuk dengan bagian akar bibit. Gardner et al. (1991) menyebutkan nisbah pucuk akar dapat menggambarkan salah satu tipe toleransi terhadap kekeringan serta berhubungan dengan keseimbangan bibit dalam menyerap unsur hara dan air pada bagian akar dan proses fotosintesa pada bagian pucuk. Walaupun nisbah pucuk akar dikendalikan secara genetik, rasio ini juga sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang kuat. Lakitan (2004) menjelaskan bahwa untuk daerah tropis bibit siap tanam akan lebih cocok apabila memiliki nisbah pucuk akar yang kecil. Hal ini berhubungan dengan proses absorbsi unsur hara dan transpirasi yang dilakukan oleh tanaman yang proses transpirasinya sebagian besar dilakukan oleh stomata (80-90%). Nisbah pucuk akar merupakan faktor terpenting dalam pertumbuhan bibit karena mencerminkan perbandingan antara proses transpirasi dan luasan fotosintesis dari bibit dengan kemampuan penuerapan air dan mineral (Setyaningsih et al., 2000). Selain itu, jika dilihat dari rata-rata nilai indeks mutu bibit (IMB), pada pesawat udara, bis, dan paket kiriman (Tiki) diketahui bahwa perlakuan yang dapat menghasilkan nilai IMB paling tinggi yaitu perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu. Indeks mutu bibit merupakan salah satu indikator siap tidaknya bibit dipindah ke lapangan. Hendromono dan Durahim (2004) mengemukakan bahwa bibit yang memiliki nilai IMB minimal 0,09 akan memiliki daya tahan hidup yang tinggi apabila dipindah ke lapangan. Berdasarkan nilai persen hidup, tinggi, diameter, nisbah pucuk akar, dan indeks Mutu Bibit, pada pesawat udara, bis, dan paket kiriman (Tiki) diketahui bahwa perlakuan yang terbaik untuk pengemasan semai/bibit meranti bapa adalah perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu dapat bertahan dengan baik selama 72 jam. Penggunaan serbuk sabut kelapa yang diberikan pada akar pada waktu pengemasan bibit bertujuan untuk menjaga kelembaban yang diperlukan oleh bibit selama proses transportasi agar terhindar dari kekeringan yang bisa mengakibatkan kematian pada bibit. Menurut Schmidt (2000) sebaiknya hindari pengeringan selama proses pengangkutan. Agar terhindar dari pengeringan dapat dilakukan dengan menyimpannya dalam bahan lembab seperti serbuk kayu atau menempatkan bahan basah pada bagian atas wadah.
158
Aspek Silvikultur
IV. KESIMPULAN Teknik pengemasan berpengaruh nyata terhadap kualitas bibit, yaitu persen hidup dan tinggi bibit meranti bapa. Teknik pengemasan yang terbaik untuk bibit meranti bapa pada transportasi pesawat udara, bis, dan paket kiriman (Tiki) adalah perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu. DAFTAR PUSTAKA Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchell. 1991. Physiology of Crop Plants (Fisiologi Tanaman Budidaya, alih bahasa oleh Susilo, H). Universitas Indonesia Press. Jakarta. 428p. Hendromono dan Durahim. 2004. Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi Sebagai Medium Pertumbuhan Bibit Mahoni Afrika (Khaya anthoteca). Buletin Penelitian Hutan No. 644. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 3. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta. Hal. 14221423. Lakitan, B. 2004. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Setyaningsih, L., Y. Munawar dan M. Turjaman. 2000. Efektivitas Cendawan Mikoriza Arbusula dan pupuk NPK terhadap pertumbuhan Bitti. Prosiding Seminar Nasional I. Bogor. Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial - Indonesia Forest Seed Project. PT. Gramedia. Jakarta.
159
Aspek Silvikultur
PENGARUH PUPUK DAUN PADA PERTUMBUHAN BIBIT SUNGKAI DI PERSEMAIAN Sahwalita Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Pengembangan hutan tanaman sungkai (Peronema canescen Jack.) memerlukan dukungan bibit yang berkualitas. Bibit berkualitas akan menentukan keberhasilan tanaman di lapangan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan bibit secara massal pada setiap musim tanam diperlukan penanganan khusus di persemaian. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memacu pertumbuhan bibit adalah melalui pemupukan. Teknik pemupukan yang efektif dilakukan pada persemaian skala besar adalah melalui daun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi dan frekuensi pemberian pupuk daun terhadap pertumbuhan bibit sungkai di persemaian. Racangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan Pola Faktorial diulang 3 kali. Perlakuan yang diuji meliputi 5 taraf konsentrasi pupuk daun (0, 2, 4, 6 dan 8 gram/liter) dan 2 taraf frekuensi pemupukan (1 dan 2 minggu sekali). Parameter yang diamati adalah persentase hidup, pertumbuhan tinggi dan diameter serta indeks kualitas semai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk daun 8 gram/liter dan frekuensi pemupukan 2 minggu sekali (K4F2) memberikan kesiapan dipindahkan kelapangan yang terbaik dengan nilai indeks kualitas semai mencapai 0,61. Kata kunci: frekuensi, konsentrasi, pertumbuhan, pupuk daun, sungkai
I. PENDAHULUAN Sungkai (Peronema canescens Jack.) merupakan salah satu jenis pohon potensial sebagai penghasil kayu pertukangan. Jenis ini telah dikembangkan dalam jumlah terbatas baik oleh masyarakat di Hutan Rakyat (HR) melalui pola tanam campuran dan pengusaha melalui Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan pola monokultur. Sampai saat ini, produktivitas sungkai masih rendah karena pengelolaannya belum menerapkan praktek silvikultur secara optimal dan belum menggunakan bibit unggul (Sahwalita et al., 2011). Hutan tanaman khusus penghasil kayu pertukangan belum banyak diusahakan, sehingga dibutuhkan upaya pengembangannya dengan tujuan memenuhi kebutuhan kayu dan menyelamatkan hutan alam yang tersisa. Di beberapa daerah dilakukan program penanaman jenis sungkai seperti di Jambi, Sumatera Selatan, Riau telah dibangun HTI sungkai dan HR pola campuran melalui program nasional maupun pemerintah daerah (Sahwalita et al., 2010). Kayu sungkai dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain: konstruksi, mebel dan vener indah. Kayu ini memiliki berat jenis 0,63 dengan kelas kuat I-II dan kelas awet III, kayu berwarna kuning atau krem. Selain itu, kayu sungkai dapat mengering dengan mudah tanpa cacat yang berarti, dapat diserut, dibentuk dan dibubut dengan hasil sedang serta dapat dibor dan diamplas dengan hasil baik (Martawijaya et al., 2005). Kayu sungkai memiliki tekstur yang indah mirip jati, sehingga makin banyak diminati. Penanaman jenis ini perlu didukung oleh ketersediaan bibit berkualitas dalam jumlah yang cukup pada setiap musim tanam. Pemacuan pertumbuhan bibit sungkai di persemaian dapat dilakukan dengan pemeliharaan dan penambahan unsur har melalui pemupukan. Pemberian pupuk tidak hanya ditujukan agar periode pemeliharaan bibit di persemaian menjadi lebih singkat, tetapi juga agar kualitas bibit yang dihasilkan menjadi lebih baik dan seragam. Salah satu teknik pemupukan yang cukup efektif untuk dilakukan pada persemaian 161
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
skala luas adalah melalui penyemprotan dengan pupuk daun. Pengujian pupuk daun di persemaian memberikan hasil yang cukup menjanjikan, seperti dilakukan oleh Junaidah (2003) terhadap bibit meranti kuning (Shorea parvifolia) yang menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk daun Mamigro Super N dan Gandasil D pada konsentrasi 1,5 gram/liter mampu meningkatkan pertambahan diameter dan jumlah daun secara nyata. Penelitian pemberian pupuk daun NPK.Mg sampai dengan konsentrasi 3 gram/liter yang diberikan setiap 1 minggu sekali mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit belangeran (Shorea balangeran) asal cabutan alam yang mencapai 3 kali lipat dibandingkan kontrol (Herdiana et al., 2008). Aplikasi pupuk daun pada bibit jelutung rawa yang dengan konsentrasi 3 gr/liter dengan frekuensi penyemprotan 1 minggu sekali memberikan pertumbuhan terbaik (Herdiana et al., 2009). Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan pengujian untuk mengetahui respon pertumbuhan bibit sungkai terhadap aplikasi pupuk daun. Perlakuan yang diuji adalah konsentrasi pupuk daun dan frekuensi pemberian pupuk. Diharapkan bibit dapat tumbuh dengan baik dalam waktu singkat. II. BAHAN DAN METODE a. Tempat penelitian
Penelitian dilakukan di Persemaian dan Laboratorium Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang. b. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah stek sungkai yang berasal dari KHDTK Kemampo, media tanam top soil podsolik merah kuning (hasil analisis media selengkapnya disajikan pada Lampiran 1), pupuk daun (mengandung unsur makro N 11%, P2O5 8%, K2O 6% dan unsur mikro besi, boron, kobalt, mangan, molibdenum, seng dan tembaga), polybag ukuran 15 x 20cm, hand sprayer, timbangan analitik, kamera, oven, label kertas, label plastik, amplop kertas, spidol, kaliper, mistar ukur dan alat tulis. c. Metode Penelitian Stek sungkai dipotong sepanjang 2 nodus (15-20 cm), selanjutnya bagian bawah dipotong miring 450 dengan tujuan memperluas tempat tumbuhnya akar. Selanjutnya stek direndam dalam cair hormon pertumbuhan selama 15 menit. Stek ditanam di dalam polybag berisi media sapih berupa top soil. Bibit selanjutnya ditempatkan di persemaian yang disungkup plastik putih selama 1 bulan. Bibit diseleksi kembali supaya benar-benar seragam dan selanjutnya diatur berdasarkan perlakuan yang akan diujikan. Rancangan percobaan yang digunakan pada pengujian ini adalah Rancangan Acak Kelompok dengan Pola Faktorial perlakuan 5 x 2 yang diulang 3 kali. Jumlah satuan pengamatan pada masing-masing ulangan adalah 10 bibit, sehingga jumlah total satuan pengamatannya sebanyak 300 batang bibit. Perlakuan yang diuji adalah konsentrasi pupuk daun dan frekuensi pemupukan. Tingkatan masing-masing faktor perlakuan yang diujikan sebagai berikut: a. Faktor K (Konsentrasi pupuk daun) yang terdiri dari: K0 = 0 gram/liter air K1 = 2 gram/liter air K2 = 4 gram/liter air K3 = 6 gram/liter air K4 = 8 gram/liter air b. Faktor F (Frekuensi penyemprotan pupuk daun) yang terdiri dari: F1 = 1 minggu sekali 162
Aspek Silvikultur
F2 = 2 minggu sekali Penyemprotan dilakukan pada seluruh permukaan daun dengan jumlah semprotan yang seragam, yaitu dua puluh lima kali semprotan untuk masing-masing satuan pengamatan. Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi: persentase hidup, tinggi, diameter dan indeks kualitas semai (IKS) pada umur 4 bulan. Nilai IKS diperoleh dari rumus di bawah ini (Puryono dan Setyono, 1996 dalam Herdiana et al., 2008). IKS
Berat Kering Total ( Kekokohan Nisbah Pucuk Akar )
Berat Kering Total Berat Kering Pucuk Berat Kering Akar Kekokohan
Nisbah Pucuk Akar
Tinggi Diameter
Berat Kering Pucuk Berat Kering Akar
Untuk mengetahui respon pertumbuhan bibit sungkai terhadap perlakuan yang diuji, dilakukan analisis keragaman terhadap parameter perlakuan yang diamati. Sedangkan untuk mengetahui perlakuan-perlakuan yang saling berpengaruh satu dengan yang lainnya pada suatu parameter tertentu, dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan. III. Hasil Dan Pembahasan a. Hasil Hasil analisis sidik ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa semua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap semua parameter pertumbuhan, kecuali pada konsentrasi terhadap indeks kualitas semai. Hasil uji lanjut konsentrasi pupuk yang berpengaruh nyata terhadap indeks kualitas semai tersaji pada Tabel 2. Sedangkan rekapitulasi parameter pengukuran pada masing-masing perlakuan konsentrasi dan frekuensi pemupukan selengkapnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 1. Analisis keragaman pertumbuhan tinggi dan diameter, indeks kualitas semai dan persentase hidup bibit sungkai (Peronema canescen Jack.) Tinggi Sumber Keragaman
Blok Konsentrasi Frekuensi Konsentrasi*Frekuensi Galat
Kuadrat Tengah 27,894 3,740 1,946 10,720 8,497
Diameter Fhit 3,28ns 0,44ns ns 0,23 1,26ns
Kuadrat Tengah 0,776 0,183 0,099 0,049 0,125
Keterangan: ns = tidak nyata ** = sangat nyata
163
Fhit 6,21** 1,46ns ns 0,79 0,39ns
Indek Kualitas Semai Kuadrat Tengah 0,007 0,090 0,014 0,011 0,019
Fhitg 0,41ns 4,86** ns 0,80 0,60ns
Persentase Hidup Kuadrat Tengah
Fhit
83,333 71,666 30,000 71,666 75,926
1,10ns 0,94ns ns 0,40 0,94ns
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tabel 2. Uji Duncan pengaruh konsentrasi pupuk terhadap indeks kualitas semai bibit sungkai (Peronema canescen Jack.) Konsetrasi Pupuk K0 K1 K2 K3 K4
Indeks Kualitas Semai 0,363 bc 0,483 ba 0,280 c 0,405 bc 0,603 a
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkanberbeda tidak nyata pada taraf kepercayaan 5%
Tabel 3. Pengaruh perlakuan konsentrasi pupuk daun dan frekuensi pemupukan terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter, indeks kualitas semai dan persen hidup bibit sungkai (Peronema canescen Jack.) Perlakuan K0F1 K1F1 K2F1 K3F1 K4F1 K0F2 K1F2 K2F2 K3F2
K4F2
Tinggi 7.62 7.78 10.84 8.16 9.70 7.91 9.24 7.60 6.70
Diameter 2.02 2.23 2.55 2.05 2.27 2.27 2.08 2.28 2.65
IKS 0.36 0.44 0.30 0.32 0.60 0.36 0.51 0.28 0.49
Persen Hidup 93.33 96.67 100.00 90.00 93.33 93.33 96.67 90.00 93.33
Total 103.33 107.12 113.69 100.53 105.90 103.87 108.50 100.16 103.17
6.50
1.86
0.61
100.00
108.97
b. Pembahasan
Setiap tanaman memerlukan unsur hara dalam jumlah yang berbeda, sesuai kebutuhan tanaman dan kondisi tanah tempat tumbuhnya. Pupuk daun merupakan pupuk majemuk yang diberikan secara bertahap, sehingga haranya secara perlahan dan terus-menerus dapat diserap tanaman yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Penambahan unsur hara disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan kondisi tanah tempat tumbuhnya. Hal tersebut perlu dikaji lebih awal sehingga tidak menimbulkan pemborosan bahkan menyebabkan kematian. Marsono dan Sigit (2005), bahwa pemupukan ditentukan tiga komponen yaitu pupuk, tanah dan tanaman. Ketiga komponen tersebut saling terkait antara satu dengan yang lain, berapa ketersediaan unsur hara pada media dan berapa banyak tanaman memerlukan unsur hara, maka dapat ditentukan konsentrasi pupuk yang akan diberikan. Lakitan (1993), jumlah kebutuhan unsur hara dikaitkan dengan kebutuhan tumbuhan agar dapat tumbuh dengan baik dan jika unsur hara kurang tersedia, maka pertumbuhan tanaman akan terhambat. Hasil analisis keragaman (Tabel 1) menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata terhadap indek kualitas semai adalah konsentrasi pupuk, sedangkan parameter lain menunjukkan pengaruh tidak nyata. Hasil analisis media bibit yang digunakan (Lampiran 1) menunjukkan bahwa kandungan unsur haranya cukup rendah (terutama unsur N dan K yang hanya 0,14% dan 0,30%), sementara kandungan unsur N dan K pada pupuk daun yang digunakan cukup tinggi sekitar 11% dan 6%. Pengaturan konsentrasi dan frekuensi aplikasi pupuk daun yang diujikan cukup signifikan dalam penyediaan unsur N dan K yang dibutuhkan oleh tanaman dengan nilai tertinggi pada perlakuan kosentrasi 4 gram/liter dengan frekuensi pemupukan 1 minggu sekali (K2F1) dapat dilihat pada Gambar 1. 164
Aspek Silvikultur
Gambar 1. Grafik pertumbuhan tinggi bibit sungkai di persemaian
Unsur N yang diserap tanaman dalam bentuk NO 3- NH4+ berperan dalam pembentukan klorofil yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap fotosintat yang dapat dihasilkan. Laju fotosintesis lebih tinggi pada tumbuhan yang sedang berkembang dibandingkan tumbuhan dewasa, hal ini disebabkan tumbuhan tersebut memerlukan lebih banyak energi dan makanan untuk tumbuh. Proses fotosintesis terutama terjadi pada organ daun. Menurut Anonim (2009a), hasil fotosintesis berupa fotosintat dikirim ke jaringan-jaringan yang terdekat dan membutuhkan, seperti bagian pucuk untuk membentuk tunas dan selanjutnya berkembang menjadi daun dan batang. Pada perlakuan K2F1 pertumbuhan pucuk lebih cepat dengan daun yang lebar dan nodus batang yang panjang. Pertumbuhan tinggi yang maksimal ini selain dipengaruhi faktor unsur N, juga didukung oleh ketersedian unsur-unsur mikro lain seperti B, Cu, Fe, Mn, Mo, Zn. Nilai pertumbuhan diameter tertinggi pada perlakuan konsentrasi pupuk 6 gr/liter dengan frekuensi pemupukan 2 minggu sekali (K3F2) dan perlakuan konsentrasi pupuk 4 gr/liter dengan frekuensi pemupukan 1 minggu sekali (K2F1) yaitu 2,65 mm dan 2,55 mm, seperti pada Gambar 2. Zobel & Talbert (1984) menyatakan pertumbuhan diameter tanaman lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama jarak tanam. Kontrol faktor lingkungan terutama jarak tanam yang rapat sangat mempengaruhi efektifitas penetrasi cahaya matahari, dimana komponen cahaya matahari sangat berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan epidermis dan korteks tanaman sebagai dasar pembentukan diameter tanaman. Dalam penelitian ini kondisi jarak tanam (jarak antar polybag) adalah sama dan masing-masing tanaman sangat kecil memberikan efek negatif pada tanaman yang lainnya, sehingga pertumbuhan diameter tanaman dalam semua kondisi adalah sama.
Gambar 2. Grafik pertumbuhan diameter bibit sungkai di persemaian
165
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Respon pertumbuhan diameter yang cenderung fluktuatif, peningkatan konsentrasi pupuk daun cenderung menambah pertumbuhan diameter tetapi menurun pada perlakuan konsentrasi 8 gr/liter dengan frekuensi pemupukan 2 minggu sekali (K4F2). Kandungan unsur P dan K pada pupuk daun yang digunakan cukup besar yaitu sebesar 8% dan 6%, sementara kandungan kedua unsur tersebut pada media tanam adalah 4,95% dan 0,30% (Lampiran 1). Unsur P diserap oleh tanaman dalam bentuk H2PO4-, HPO4- dan unsur K dalam bentuk K+. Fungsi unsur P merangsang pertumbuhan akar terutama pada tanaman muda, mempercepat pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman dewasa dan sebagai pembentuk protein, sedangkan unsur K membantu pembentukan protein dan karbohidrat, memperkuat batang dan meningkatkan daya tahan terhadap kekeringan dan penyakit (Anonim, 2009b). Selain itu, unsur K juga berperan penting dalam aktivitas pembelahan sel dan perkembangan jaringan meristematik tanaman yang berakibat dalam pembesaran batang. Dengan penambahan unsur P dan K yang diperoleh dari pupuk daun yang diberikan akan membantu dalam proses perkembangan diameter batang tanaman. Indeks kualitas semai merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan kelayakan suatu bibit untuk siap tanam di lapangan. Dalam penentuan besaran ini melibatkan beberapa peubah yang terkait dengan pertumbuan tanaman, yaitu berat kering total, kekokohan bibit yang merupakan perbandingan tinggi dan diameter bibit serta nisbah pucuk akar. Nilai indeks kualitas semai dipengaruhi oleh keseimbangan pertumbuhan tanaman, baik secara vertikal maupun horisontal. Besarnya nilai indeks kualitas yang ditentukan lebih besar dari 0,09, sedangkan jika nilainya kurang 0,09 termasuk kurang baik dan biasanya sulit tumbuh di lapangan. Hal tersebut menunjukkan indeks kualitas semai pada semua perlakuan masih diatas batas bawah nilai indeks kualitas semai yang baik, berarti tanpa pemberian pupuk sekalipun telah mampu memberikan indeks kualitas bibit sungkai yang baik. Hal tersebut dikarenakan nilai indeks kualitas semai hanya mencerminkan penampakan fisik tanaman yang proposional. Sementara secara umum bibit sungkai mempunyai penampakan fisik yang kokoh dan proposional, sehingga layak untuk ditanmam di lapangan. Pada Gambar 3 terlihat nilai yang fluktuatif dengan nilai tertinggi pada perlakuan konsentrasi 8 gr/liter dengan frekuensi pemupukan 2 minggu sekali (K4F2) dan perlakuan konsentrasi 8 gr/liter dengan frekuensi pemupukan 1 minggu sekali (K4F1) dengan nilai 0,6 dan 0,61.
Gambar 3. Grafik indek kualitas bibit sungkai di persemaian
Persentase hidup bibit sungkai pada pengujian ini termasuk tinggi berkisar 90-100% menunjukkan bahwa semua perlakuan dan kondisi lingkungan mendukung bibit untuk dapat hidup. Selain itu ketersediaan unsur-unsur mikro yang dibutuhkan tanaman cukup tersedia dalam komponen unsur hara pupuk tersebut seperti unsur mikro besi, boron, kobalt, mangan, molibdenum, seng dan tembaga. Persentase hidup yang tinggi juga didukung kondisi
166
Aspek Silvikultur
lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, seperti cahaya matahari, air dan udara serta tidak ada gangguan hama dan penyakit yang potensial.
Gambar 4. Grafik persentase hidup bibit sungkai di persemaian
Berdasarkan Gambar 4 terlihat persentase hidup tertinggi pada perlakuan kosentrasi 4 gram/liter dengan frekuensi pemupukan 1 minggu sekali (K2F1) dan perlakuan kosentrasi 8 gram/liter dengan frekuensi pemupukan 2 minggu sekali (K4F2) yaitu 100%. Walaupun demikian semua perlakuan memenuhi persyaratan berdasarkan persen hidup tanaman. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kualitas bibit sungkai dilihat dari fisik yang kokoh dan proporsional yang paling siap untuk dipindahkan kelapangan adalah konsentrasi pupuk 8 gr/liter dengan frekuensi 1 minggu sekali (K4F1) dan 2 minggu sekali (K4F2). Disarankan untuk menerapkan (K4F2) sebagai upaya penghematan pemakaian pupuk dan tenaga kerja. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009a. Fotosintesis. Website : wikipedia. Diakses pada tanggal 20 Maret 2009. Anonim. 2009b. Khasiat Unsur Hara Bagi Tanaman. Website: http://pusri.wordpress. com. Diakses tanggal 20 Maret 2009. Herdiana, N. A. H. Lukman, K. Mulyadi dan T. Suhendar. 2008. Pengaruh konsentrasi dan frekuensi aplikasi pupuk daun terhadap pertumbuhan bibit Meranti Belangeran asal cabutan alam di persemaian. Jurnal Hutan Tanaman Vo. 5 No. 3, Agustus 2008, Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor. Herdiana, N. Sahwalita, H. Siahaan dan M. Suparman. 2009. Aplikasi pupuk daun pada bibit jelutung rawa di persemaian. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak diterbitkan. Junaidah, 2003. Respon Pertumbuhan Semai Meranti Kuning (Shorea multiflora Sym.). terhadap Pemberian Pupuk Daun Gandasil D dan Mamigro Super N di Shade House Banjarbaru. Skripsi Fakultas Kehutanan Unlam. Banjarmasin (tidak diterbitkan). Lakitan, Benyamin. 1993. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Grafindo Persada. Jakarta. Marsono dan Sigit, P. 2005. Pupuk Akar. Jenis dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. Martawijaya. A, Kartasujana.I, Mangang. Y.I, Kadir K dan Prawira.S.A. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Indonesia. (Cetakan Ketiga). 167
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Sahwalita, A,H. Lukman, A, Sofyan dan S. Utami. 2011. Peningkatan produktivitas lahan melalui penanaman pola campuran. Prosiding seminar hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang dengan tema Introduksi tanaman penghasil kayu pertukangan di lahan masyarakat melalui pembangunan hutan tanaman pola campuran. Musi Rawas, 13 Juli 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Sahwalita, Muslimin Imam dan Muara Joni. 2010. Budidaya Jenis Sungkai (Peronema canescen Jack.). Laporan Hasil Penelitaian Tahun 2010. Tidak dipublikasikan. Zobel dan Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons Inc. Canada.
168
Aspek Silvikultur
Lampiran 1. Hasil analisis media bibit yang digunakan No.
Karakteristik
Nilai
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Harkat
pH H2O 4,07 SM pH KCl 3,71 SM C-Organik % 1,83 R N-Total, % 0,14 R P-Bray, ppm 4,95 SR K, me/100 g 0,30 S Na, me/100 g 0,22 R Ca, me/100 g 0,58 SR Mg, me/100 g 0,13 SR KTK (CEC), me/100 g 15,23 R Al-dd me/100 g 1,64 H-dd me/100 g 0,36 Tekstur: Lempung - Pasir, % 49,46 - Debu , % 32,98 - Liat , % 17,56 Catatan : Dianalisis oleh Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas Keterangan : SM = Sangat Masam, SR = Sangat Rendah, R = Rendah, S = Sedang (Hardjowigeno, 2005)
169
Aspek Silvikultur
TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb): JENIS ALTERNATIF UNTUK BAHAN BAKU KAYU Dharmawati F. Djam’an Penenliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan ABSTRAK Tembesu (Fagraea fragrans) merupakan salah satu jenis yang sangat popular di wilayah Sumatera, khususnya Sumatera Bagian Selatan, untuk kebutuhan industri ukiran dan mebeler di kota Palembang mencapai sebesar 3.120 m³ per tahun. Dengan diketahui produksi dan penanganan benih serta pembibitan, jenis ini dapat dikembangkan dan diperluas penanamannya. Tembesu cukup tinggi daya adaptasi terhadap tempat tumbuh seperti di tanah kering, tanah tergenang maupun tanah pasang surut. Jenis ini termasuk katagori daur menengah (10-30) tahun. Dengan berat 1000 butirnya 0.17 gr dan dalam satu buah berisi ± 30 benih, maka rata-rata jumlah buah tiap kilonya mencapai 6.600 butir,. Benih disemai dalam bak kecambah yang ditutup rapat dengan plastik, setelah 7-8 minggu (berdaun 2) dapat disapih ke polibag dan disimpan dalam bedeng yang ditutup (sungkup), setelah berumur 2-3 bulan sungkup dapat dibuka. Bibit siap tanam di lapangan setelah berumur (6-10) bulan dengan tinggi (30-40) cm. Pola tanam (silvikultur ) walang meningkatkan rata-rata riap sebesar 2.01 cm/tahun. Kata kunci: tembesu, produksi, penanganan, pembibitan
I. PENDAHULUAN Kapasitas industri pengolahan kayu nasional pada tahun 2013 mencapai 70 juta m 3 per tahun, yang terdiri dari 38.8 juta m3 kapasitas industri tunggal dan 31.2 juta m 3 kapasitas industri terintegrasi. Realisasi penggunaan bahan baku pada tahun 2013 mencapai 60.4 juta m 3 per tahun yang berasal dari kawasan hutan tanaman industri dan hutan alam sebesar 23.2 juta m3 (38.4%) dan sebagian besar sisanya berasal dari Perum Perhutani, hutan rakyat, ijin lain yang sah, perkebunan dan impor kayu bulat (Ditjen Bina Usaha Kehutanan 2014). Dengan adanya kekurangan pasokan maka Badan Litbang kehutanan telah menetukan jenis-jenis alternatif prioritas seperti tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) yang merupakan salah satu jenis dari 7 jenis alternatif prioritas lainnya dan berpotensi dalam pembangunan hutan tanaman penghasil kayu (Mindawati et al., 2014). Tanaman ini merupakan salah satu jenis yang sangat popular di wilayah Sumatera, khususnya Sumatera Bagian Selatan. Permintaan kayu tembesu untuk kebutuhan industri ukiran dan mebeler di kota Palembang dalam beberapa tahun terakhir mencapai sebesar 3. 120 m3 per tahun. Kayunya termasuk dalam kelas awet I, kelas kuat I – II (Martawijaya et al., 2005), sifat kayu mudah dikerjakan dengan tekstur halus (Lemmens et al., 1995). Kayu tembesu dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti industri mebel, ukiran dan konstruksi berat dan termasuk kedalam daur menengah (10-30) tahun. Di wilayah Sumatera Bagian Selatan, masyarakat yang menggunakan produk berbahan baku kayu tembesu, umumnya identik dengan kelompok masyarakat menengah ke atas. Untuk memenuhuhi kebutuhan kayu ukiran lokal sumatera selatan, perlu adanya perluasan penanaman dan diperlukannya benih dan bibit berkualitas, oleh karena itu dalam makalah ini akan disampaikan informasi mengenai karakter tanaman, kesesuaian tempat tumbuh, potensi produksi buah, penanganan benih, cara pembibitan dan penanaman di lapangan agar produktivitas kayunya meningkat.
171
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
II. KARAKTER TANAMAN Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) termasuk kedalam family Loganiaceae dan tersebar mulai dari Bengal-India, Myanmar, Andaman Island, Indo-China, Filipina, Thailand, Panninsular Malaysia, Singapur, Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Yapen Island di Papua. Pohon ini termasuk pohon yang menghijau sepanjang tahun, dengan tinggi mencapai 40 m, tinggi bebas cabang 25 m dan diameter batang dapat mencapai 150 cm, tajuk berbentuk kerucut (Gambar 1a.) (Lemmens et al., 1995 dan Martawijaya et al., 2005). Daun tembesu berbentuk lanset sampai bulat telur dengan ukuran panjang (4 -15 ) cm dan lebarnya (1.5 - 6) cm (Gambar 1b). Bunga berwarna putih gading, dengan mahkota berbentuk terompet, tunggal dan tersusun membentuk malai dan mencapai ± 35 kuntum bunga tiap malai, panjang bunga berkisar 0,7 – 2,3 cm dengan harum yang khas.
a. Pohon Tembesu
b. Daun
c. Bunga
Gambar 1. Karakter Botani Pohon
Buah tembesu muda berwarna hijau dan berubah menjadi merah-jingga pada saat buah dapat dipanen (Gambar 2a), termasuk buah buni (berry) dengan ukuran diameter 0,5 – 1 cm, berdaging dengan benih menyebar membentuk lingkaran di dalam buah (Gambar 2b), benih berukuran ± 1 mm (Gambar 2c).
a. Buah Masak
b. Letak Benih
c. Benih
Gambar 2. Karakter Buah dan Benih
III. KESESUAIAN TEMPAT TUMBUH Tembesu tumbuh secara alami pada lokasi yang sangat bervariasi seperti di Sumatera Selatan ditemukan di daerah kering (Kemampo), daerah pasang surut (Ogan komering Ilir/OKI), terendam (Ogan Ilir/OI) dan di Jawa Barat merupakan daerah kering (Bandung) dan Banten (Carita). Dengan sifat lingkungan yang cukup nyata perbedaan fisiknya maka tanaman ini dapat dikatagorikan sebagai tanaman yang sangat mudah beradaptasi (adaptable). Hal ini memungkinkan tembesu untuk ditanam secara luas.
172
Aspek Silvikultur
Tabel 1. Data Umum Kondisi iklim tempat tumbuh tegakan tembesu Tempat tumbuh
Iklim dan biofisik tapak/lahan
Kondis lingkungan
Kemampo
Ogan Komering Ilir Ogan Ilir
Bandung
Carita
Ketinggian (m dpl)
10-30
10-40
0-15
770-1350
100
Curah hujan (mm/th)
1800-2000
> 2500
2600-3500
2500-4500
3950
Temperatur (0C)
22-33
21-36
23-33
18-24
23-32
Kelembaban (%)
60-90
60-90
69-98
70-90
77-85
Kondisi lahan
Kering/rawa
Rawa/tergenang
Kering/tergenang
Kering Kering Bramasto et al., 2014
IV. POTENSI PRODUKSI BUAH DAN PEMANENAN Tanaman ini mempunyai rotasi masa berbunga dan berbuah yang pendek (± 3 bulan) dengan kapasitas produksi buah per pohon adalah ± 14.578 buah/pohon. Pemanenan dapat dilakukan pada bulan Februari, Juni dan Nopember dan masa panen raya adalah bulan November. Berat 1000 butir yaitu 0.17 gr, dalam satu buah dapat berisi ± 30 benih. dan jumlah ratarata buah sebanyak 6.600 butir/kg. Buah masak ditandai dengan perubahan warna kulit dari hijau menjadi merah susunan buahberrybulat dengan diameter ± 1cm (Gambar 2a) yang berisi benih yang tersebar melingkar dalam daging buah, benih berukuran ± 1 mm (Gambar 2b dan Gambar 2c). Pemanenan dilakukan dengan cara memotong ranting-ranting yang berisi buah masak dengan galah berkait, kemudian buahnya dipipil sehingga lepas dari tangkai buah.Untuk meningkatkan produksi buah dapat digunakan zat boron, setelah 10 bulan pemupukan dengan zat boron,dosis 200 gram/pohon dapat mempercepat pembungaan,dibandingkan dengan kontrol maupun dosis lainnya.
Persentase pohon yg berbunga (%)
Keberhasilan berbunga 40 30 20 10 0
20
0g
26,7
26,7
50 g
100 g
33,3 20,0
150 g
200 g
Dosis Boron gr/pohon
Gambar 3. Grafik Persentase Pohon Berbunga pada Tiap Perlakuan pada Bulan Januari 2015
Zat boron bertugas sebagai transportasi karbohidrat dalam tubuh tanaman, boron bisa membentuk ester dengan sukrosa sehingga sukrosa yang merupakan bentuk gula terlarut dalam tubuh tanaman lebih mudah diangkut dari tempat fotosintesis ke tempat pengisian buah. Lain halnya dengan tanaman-tanaman yang berada di taman Kota Kayu Agung, Kab. OKI, walaupun masih berumur 8 tahun dan di Kab. Ogan Ilir yang tumbuh alami dapat berbuah lebat karena tumbuh dengan ruang penerimaan cahaya yang luas (Djam’an, 2014).
173
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
V.
PENANGANAN BENIH DAN PRODUKSI BIBIT
Untuk pembuatan bibit diperlukan benih dan dapat dihasilkan melalui proses: A. Ekstraksi Ekstraksi basah untuk mendapatkan benih yang berukuran ± 1 mm, yaitu dengan cara meremas-remas buah di atas saringan sambil dialiri air. Kemudian benih di simpan di atas kertas saring dan untuk pengeringannya, benih dikering anginkan. B. Perkecambahan dan Pembibitan a. Perkecambahan Pada proses perkecambahan diperlukan: i. Perlakuan pendahuluan (Zanzibar, et al 2010), yaitu dengan cara: ● Imbibisi dengan H2O2 5% selama 24 jam. Daya berkecambah meningkat lebih dari 2 kali lipat (1.300.000 menadi 2.780.000 kecambah) ● Iradiasi dengan sinar gama pada dosis 30 Gy dengan kadar air (8-10)%, meningkatkan volume bibit lebih dari 4.5 kali ( dari 533.1 m³ menjadi 2.391,44 mm³) ii. Media Media perkecambahan dapat menggunakan campuran pasir halus dan tanah (5:1/ v:v) yang telah di streril, sebagai wadah perkecambahan digunakan bak kecambah. iii. Penaburan Benih ditabur dalam bak kecambah dengan media yang sudah disiram air terlebih dahulu hingga jenuh. Kemudian ditutup dengan plastik transparan untuk menjaga kelembaban. iv. Penyapihan Penyapihan dilakukan 7-8 minggu setelah penaburan dan berdaun 2 (dua). b. Persemaian dan Pembibitan Pada tahapan persemaian dan pembibitan diperlukan: i. Media Pada pembibitan digunakan campuran tanah topsoil, pasir dan kompos serbuk gergaji (3:1:5/v:v:v) atau campuran sabut kelapa dan cocopeat (3:1/v:v), disiram sampai jenuh ii. Bedeng Bibit yang baru disapih ditanam dalam polibag dan disimpan dalam bedeng dengan sungkup (plastik transparan), ditutup rapat untuk mencegah penguapan. iii. Penyiraman Penyiraman dilakukan apabila diperlukan dengan menggunakan sprayer berlubang halus untuk mencegah kerusakan pada calon bibit. iv. Sungkup dapat dibuka setelah 2-3 bulan setelah penyapihan v. Bibit siap tanam di lapangan setelah berumur (6-10) bulan dengan tinggi (30-40) cm vi. Selama di persemaian, dapat dipupuk dengan 0,25 gr NPK atau 0,4 gr urea untuk setiap bibit/polibag (Martin dan Sofyan. 2001).
a
b
Gambar 4. kecambah (a); semai siap sapih (b); bibit (c)
174
c
Aspek Silvikultur
VI. POLA PENANAMAN DAN PENINGKATAN RIAP Dari hasil penelitian di Balai Penelitian Kehutanan-Palembang dan Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan-Bogor, dari demplot uji penanaman jenis tembesu diperoleh teknik silvikultur walang (berselang) untuk meningkatkan produktivitas pertumbuhan Dengan praktek-praktek silvikultur yang tepat sesuai jenis, pemeliharaan yang intensif, pemangkasan cabang serta pengaturan jarak tanam (melalui penjarangan) pola baris, untuk walang menghasilkan rata-rata pertumbuhan diameter 2.06 cm pada tahun pertama dan tahun ke-2 sebesar 4.07 cm, peningkatan rata-rata riap sebesar 2.01 cm.
Gambar 5. Demplot Penanaman di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan
V. PENUTUP Informasi mengenai kesesuaian tempat tumbuh, karakter buah dan benih serta dikuasainya teknik penanganan benih dan bibit serta penerapan teknik silvikultur yang tepat untuk tembesu (Fagraea fragrans Roxb.)diharapkan dapat menjadi acuan untuk pengembangan jenis tembesu sebagai alternatif kayu pertukangan. DAFTAR PUSTAKA Bramasto, Y.,Evayusvita R., 2014 Kajian ekologi dan biologi benih dan bibit jenis Tembesu dan Sengon. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Tahun 2014, tidak diterbitkan Djam’an D.F. 2014. Laporan Perjalanan Dinas, tidak diterbitkan. Djam’an D.F. 2014. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Tahun 2014. tidak diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup, 2007. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2006. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. Lemmens, R.H.M.J., Soerianegara, I., Wong, W.C. 1995. Plant Resources of South-East Asia 5. (2) Timber trees: Minor commercial timber. PROSEA. Bogor Indonesia. Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor: Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor–Indonesia Martin, E. dan A. Sofyan. 2001. Perangsangan Pertumbuhan Tembesu (Fagraea fragrans) dengan Pengaturan Intensitas Naungan dan Pemupukan di Persemaian. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Palembang, 12 November 2001. Pp.113-121. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 175
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Mindawati, Nina., Hani S.N., Choirul A. 2014. Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. Bunga Rampai, Forda Press. Zanzibar, M., N. Yuniarti, E. Suita, Megawati, D. Haryadi, dan E. Supardi. 2010. Hasil Penelitian Teknologi Perbenihan Jenis Tembesu (Fagraea fragrans Roxb). Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Tidak Diterbitkan.
176
Aspek Silvikultur
PERTUMBUHAN BIBIT JABON PUTIH (Anthocephalus cadamba) UMUR 5 BULAN PADA BEBERAPA MACAM MEDIA DAN NAUNGAN Agus Astho Pramono dan Rina Kurniaty Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK Keberhasilan pembangunan hutan tanaman membutuhkan pasokan bibit yang konstan dengan kualitas tinggi. Media yang kaya nutrisi penting, diperlukan untuk memproduksi bibit yang berkualitas tinggi. Umumnya, media yang digunakan untuk pembibitan adalah top soil. Namun, mengambil sejumlah besar top soil secara terus menerus berdampak negatif terhadap ekosistem. Oleh karena itu, perlu untuk mendapatkan bahan lain sebagai media alternatif untuk pembibitan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan media dan intensitas cahaya yang tepat untuk pembibitan Jabon (Anthocephalsu cadamba). Penelitian ini menggunakan tanah, kompos, sekam padi dan campuran mereka sebagai perlakuan media. Perlakuan naungan terdiri dari 0% (tapa naungan), 25%, 50% dan 75%. Penelitian ini menggunakan rancangan split plot dengan naungan sebagai petak utama dan media sebagi subplot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media kompos dengan naungan 50% adalah kondisi terbaik untuk pertumbuhan bibit Jabon 5 bulan yang menghasilkan berat 4,86 g kering, tinggi 27,7 cm, diameter 2,23 mm, persentase hidup 86% dan IMB 0,65. Kata kunci: arang sekam, kompos, bibit, media, naungan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan kayu dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan, di pihak lain pasokan bahan baku dari hutan alam produksi semakin menurun, akibatnya terjadi kelangkaan bahan baku industri pengolahan kayu khususnya bahan baku pulp, oleh karena itu perlu dilakukan pengembangan hutan tanaman (Hutan Tanaman Industri dan Hutan Rakyat). Pengembangan hutan tanaman ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan kelangkaan bahan baku industri pengolahan kayu. Indonesia memiliki keanekaragaman jenis tanaman yang tinggi dan berpotensi untuk dimanfaatkan dalam pengembangan hutan tanaman. Menurut Ramayanti et al. (2009) jenisjenis pohon yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pulp antara lain adalah jabon putih, (Anthocephalus cadamba). Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan hutan tanaman adalah penggunaan bibit bermutu yang unggul secara genetik, fisik dan fisiologis, tersedia dalam jumlah yang cukup dan tepat waktu, serta memiliki kemampuan beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor: P. 11 /V-PTH/2007 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mutu Bibit Tanaman Hutan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, standar bibit bermutu untuk jenis jabon, bibit harus berdiamater > 7 mm, tinggi > 40 cm, media utuh, jumlah daun 4 pasang dan umur 2-3 bulan. Namun demikian, informasi tentang teknik pembibitan dan pemeliharaannya untuk mendapatkan bibit yang bermutu baik masih terbatas. Faktor-faktor yang berperan dalam kegiatan pembibitan perlu difahami dengan benar untuk memproduksi bibit yang bermutu. Salah satu faktor yang penting adalah media tanam. Media tumbuh di persemaian menjadi penting karena merupakan tempat tanaman menyerap unsur hara selama tanaman belum mencapai usia yang siap untuk di tanam di lapangan 177
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
(Kurniaty et al., 2006). Media yang umum digunakan untuk pembibitan di persemaian berasal dari top soil. Namun pengambilan top soil dalam skala besar dapat berdampak negatif bagi ekosistem di areal tersebut (Hendromono, 1994). Untuk mengurangi kerusakan ekosistem akibat penggunaan top soil sebagai media, maka perlu dikembangkan penggunaan bahan alternatif sebagai media pembibitan diantaranya limbah organik. Kurniaty et al. (2009) melaporkan bahwa limbah organik dapat digunakan sebagai media pertumbuhan karena: mengandung unsur hara yang diperlukan tanaman, dapat menyimpan air, poros, dapat mengikat akar sehingga perakaran kompak, mudah didapat dan murah. Namun dalam penggunaannya sebaiknya dikombinasikan dengan bahan lain. Satisijati (1991) dalam Merlina dan Rusnandi (2007) mengemukakan bahwa campuran dua macam media dapat memperbaiki kekurangan masing-masing media tersebut antara lain dalam kecepatan pelapukan dan penyediaan hara tanaman serta kemampuan mempertahankan kelembaban media. Keuntungan penggunaan bahan organik dibandingkan dengan menggunakan top soil adalah berat persatuan bibit lebih ringan sehingga ongkos pengangkutan bibit lebih murah (Duraihim dan Hendromono, 2001). Hendromono dan Durahim (2004), melaporkan bahwa kompos, sabut kelapa sawit dan sekam padi merupakan media yang sesuai untuk jenis Khaya anthoteca. Hendromono dan Durahim (2004), menyimpulkan bahwa penggunaan media campuran top soil, sekam padi dan sabut kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan bibit mahoni. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah lingkungan persemaian yang di dalamnya adalah kelembaban dan pencahayaan. Dalam hal ini peran intensitas naungan dalam persemain memegang peran penting. Naungan merupakan suatu upaya manipulasi terhadap masuknya sinar matahari yang diterima oleh tanaman. Untuk beberapa jenis tanaman hutan naungan diperlukan untuk mengurangi penguapan (transpirasi) dan mempertahankan kelembaban di persemaian sehingga tanaman dapat terus tumbuh. Tetapi untuk beberapa jenis lain pemberian naungan justru akan menghambat pertumbuhan tanaman karena terjadinya penghambatan untuk mendapatkan sinar matahari (Kurniaty et al., 2006). Pemberian naungan pada tanaman, prinsipnya adalah untuk memperbaiki keadaan lingkungan agar tanaman dapat berproduksi secara optimal. Optimasi pemberian naungan ditentukan terutama oleh respon tanaman terhadap iklim mikro yang diakibatkan oleh naungan tersebut. B. Tujuan dan Sasaran Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi media dan intensitas naungan yang sesuai untuk pembibitan jabon putih. II. METODOLOGI A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Balai PenelitianPerbenihan Tanaman Hutan yaitu di Stasiun Penelitian Nagrak. Lokasi berada di Desa Nagrak Kecamatan Sukaraja, Kebupaten Bogor, pada ketinggian 280 m dpl, dan berjenis tanah Latosol Coklat Kemerahan (Kurniaty, 2010). Iklim di lokasi penelitian termasuk pada tipe iklim A (Schmidt dan Ferguson), dengan curah hujan 20002500 mm/th, B. Bahan dan alat Benih jabon yang dipakai merupakan campuran benih yang berasal dari dua lokasi yaitu 1) tegakan di Taman Wisata Alam Rimbo Panti. Hutan ini berada di Kecamatan Panti, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. 2) Kecamatan Long ikis, Kabupaten Pasir,
178
Aspek Silvikultur
Provinsi Kalimantan Timur.Bahan untuk media adalah tanah, arang sekam, kompos, pasir, dan sabut kelapa. C. Metodologi Media tabur terdiri dari campuran pasir dan tanah dengan perbandingan 1:1. Media disterilkan dan dimasukkan pada bak tabur. Benih ditabur pada bak kecambah, kemudian setelah benih tumbuh dan kecambah telah memiliki minimal sepasang daun dilakukan penyapihan. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Petak Terbagi dengan dua faktor utama adalah naungan dan anak petaknya adalah media. Media yang diuji adalah tanah (A1), kompos (A2), tanah+kompos 3:1/v:v (A3), kompos + arang sekam padi 3:1/v:v (A4) dan sabut kelapa + arang sekam padi 3:1/v:v:v (A5). Naungan yang digunakan adalah naungan 0% (B1), naungan 25% (B2), naungan 50% (B3), naungan 75% (B4). Masingmasing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 10 kali dengan masing-masing ulangan 5 bibit. Pengamatan untuk bibit jabon putih dilakukan pada umur 5 bulan. Respon yang diamati dalam penelitian ini adalah tinggi bibit, diameter batang, berat kering bibit, dan persen hidup sampai semai berumur lima bulan. Pada akhir pengukuran dilakukan pula penghitungan nilai indeks mutu bibit. Penghitungan indeks mutu bibit menggunakan cara Dickson (1960) dalam Hendromono (1994) dengan rumus: Bobot Kering Batang (g) + Bobot kering akar (g) Indeks Mutu: Tinggi (cm) + Diameter (mm)
Bobot Kering Batang (g) Bobot Kering Akar (g)
D. Analisis Data Data hasil percobaan pada kemudian diolah secara statistik. Model matematik percobaan faktorial adalah sebagai berikut: Yijk = µ + άi + βj + (άβ) ij + εijk Dimana: Yijk = Pengamatan pada naungan ke-i, media ke-j ulangan ke k µ = Nilai tengah umum άi = Pengaruh naungan ke-i βj = Pengaruh media ke-j (άβ) ij = Interaksi naungan ke i dan media ke j εij = Pengaruh galat percobaan pada naungan ke-i dan media ke-j Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan, digunakan uji beda nyata Duncan (Duncan Multiple Range Test) terhadap nilai tengah masing-masing tolok ukur pengamatan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan hasil bahwa interaksi media dan naungan berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi, diameter dan persen hidup, serta berpengaruh nyata terhadap berat kering. Terhadap IMB interaksi media dan naungan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata secara statistik. Dari berbagai kombinasi menunjukkan bahwa naungan berperan penting tehadap pertumbuhan meninggi dan pertumbuhan diameter batang bibit jabon. Untuk beberapa jenis tanaman hutan naungan diperlukan untuk mengurangi penguapan (transpirasi) tanaman dan mempertahankan kelembaban di persemaian sehingga tanaman dapat terus tumbuh. Hasil 179
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
penelitian terhadap jabon menunjukkan bahwa pemberian naungan yang berat yaitu 75% (B4) dengan semua kombinasi media menunjukkan pertumbuhan tinggi dan diameter batang yang buruk. Pada media tanah (A1), naungan 75% menyebabkan pertumbuhan terburuk dibandingkan dengan semua perlakuan lainnya (Gambar 1). Naungan dapat berpengaruh buruk terhadap bibit untuk jenis-jenis pohon tertentu, seperti hasil penelitian Ahmed et al. (2014) pada bibit Moringa oleifera. Pada tanaman ini naungan yang berat menyebabkan penampilan bibit yang buruk, bibit tumbuh succulent dan lunak dengan akar yang kecil dan lemah.
Gambar 1. Diameter dan tinggi bibit jabon umur 5 bulan pada berbagai media dan intensitas naungan
Pencahayaan matahari penuh (B1) juga kurang menguntungkan bagi pertumbuhan jabon. Menurut Harun dan Ismail (1983) pada penelitiannya terhadap bibit Theobroma cacao, hal seperti ini dapat terjadi karena pada kondisi tidak ternaungi, kecepatan asimilasi dan ukuran daun menurun, sehingga kecepatan pertumbuhan relatif dan produksi berat kering total menurun. Paparan sinar matahari penuh terhadap tanaman dapat menjadikan tanaman mengalami cekaman seperti suhu daun yang terlampau tinggi, dan meningkatnya kehilangan air. Cekaman ini dapat memacu rentetan reaksi yang menyebabkan penyerapan nutrisi yang buruk, kecepatan fotosintesisi yang rendah dan pertumbuhan tanaman yang lambat. Pada bibit jabon perlakuan tanpa naungan (A1) tidak menunjukkan efek yang merugikan ketika kualitas media mendukung, seperti pada media kompos+ arang sekam padi 3:1 (A4), diduga pada media ini efek cekaman teratasi karena media cukup untuk memasok air dan nutrisi bagi tanaman. Pemberian naungan 20% (B2) menunjukkan kecenderungan pertumbuhan bibit yang paling konsisten pada berbagai bentuk kombinasi media, kecuali kombinasi dengan A5 (sabut kelapa + arang sekam padi, 3:1). Naungan 50% menunjukkan pertumbuhan yang baik ketika dikombinasikan dengan media kompos (A2), peggunaan media lainnya menunjukkan pertumbuhan bibit yang kurang baik. Hal seperti ini juga terjadi pada bibit M. oleifera, naungan medium (55%) menghasilkan akumulasi biomas terbaik secara signifikan (Ahmed et al., 2014). Pada M. oleifera, naungan medium atau tanpa naungan menghasilkan pucuk yang tegak dan kuat dengan akar yang berumbi dan besar. Dari hasil penelitian ini disarankan bahwa untuk menumbuhkan bibit jabon diperlukan naungan dengan tingkat medium untuk memacu pertumbuhan bibit di persemaian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media tanah (A1) dan campuran sabut kelapa + arang sekam padi (A5) pada semua intensitas naungan menunjukkan pertumbuhan meninggi dan diameter batang yang buruk (Gambar 1). Penggunaan kedua media ini juga berakibat pertumbuhan bibit jabon rentan terhadap efek buruk dari naungan yang terlalu berat atau paparan sinar matahari yang terlalu terbuka. Media A2 (kompos) menunjukkan pertumbuhan terbaik ketika ditumbuhan pada persemaian dengan naungan 50%. 180
Aspek Silvikultur
Hasil penelitian menunjukkan bahwa media kompos murni menghasilkan pertumbuhan terbaik namun penggunaan media kompos murni untuk keperluan persemaian skala besar tidaklah ekonomis. Dengan demikian diperlukan media alternatif. Dari hasil penelitian ini, selain kompos media lain yang menghasilkan bibit kerkualitas baik adalah media kompos + arang sekam. Penggunaan media ini menghasilkan pertumbihan terbaik jika ditumbuhkan pada persemaian tanpa naunga (B1). Hasil analisa media menujukkan bahwa media baik kompos + arang sekam padi (A4) dan kompos (A2) memiliki kandungan unsur C dan N sangat tinggi yaitu 22,34% dan 0,89% (A4) serta 16,45% dan 0.94% (A2) (Lampiran 1). Unsur Nitrogen (N) dan Phospor (P) merupakan unsur hara makro yang diperlukan tanaman dalam jumlah banyak. Hal ini sejalan dengan penelitian Sarwar et al. (2010) bahwa penggunaan kompos dapat meningkatkan pH, kandungan bahan organic, Ca 2+, Mg2+, K1+ dan P, Secara umum penggunaan kompos berperan meningkatkan kapasitas pasokan nutrisi dari media. Kung’u et al. (2008) juga mengungkapkan bahwa media berbasis kompos memberikan persen hidup dan tinggi bibit yang lebih baik daripada media lain (tanah dan pasir). Media berbasis kompos juga menghasilkan kekokohan bibit yang lebih baik. Menurut penelitian Sarwar et al. (2008) persentase bahan organik yang tinggi pada media berbasis kompos dapat menyediakan lingkungan yang baik seperti kelembaban dan aerasi. Campuran kompos berperan meningkatnya ketersediaan nutrisi tanaman (N, P, K, Ca and Mg) dan bahan organik pada media. Prawiranata et al. (1995) mengemukakan bahwa berat kering (BK) bibit merupakan suatu indikator untuk menentukan baik tidaknya bibit karena BK mencerminkan status nutrisi tanaman. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa perlakuan A2B1 (kompos dengan naungan 0%), A4B1 (kompos + arang sekam padi (3:1) tanpa naungan), dan A2B3 (kompos dengan naungan 50%) menghasilkan berat kering tertinggi yaitu berturut-turut 6,50 g, 5,16 g, dan 4,86 g (Gambar 2). Hasil ini menunjukkan bahwa media kompos dengan naungan 50% (A2B3) menghasilkan bibit dengan kualitas terbaik untuk pembibitan jabon yaitu memiliki tinggi 27,74 cm, diameter 2,24 mm, persen hidup 876,0%, dan ideks mutu bibit 0,66.
Gambar 2. Berat kering bibit jabon umur 5 bulan pada berbagai media dan intensitas naugan
Indeks Mutu Bibit merupakan salah satu indikator kesiapan bibit untuk dipindah ke lapangan. Hendromono dan Durahim (2004) mengemukakan bahwa bibit yang memiliki nilai IMB minimal 0.09 akan memiliki daya tahan hidup yang tinggi apabila dipindah ke lapangan. Dalam penelitian ini, nilai IMB untuk perlakuan A2B1 pada bibit jabon sebesar 0,49 (Tabel 1). Hasil ini menunjukkan bahwa bibit benuang dan jabon umur 5 bulan sudah siap dipindah ke lapangan.
181
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tabel 1. Persen hidup dan Indeks Mutu bibit jabon umur 5 bulan pada berbagai media dan intensitas naugan Perlakuan
Persen hidup (%)
IMB
A1B1 85,0 .ab 0,09 .fg A2B1 92,0 .ab 0,50 .abc A3B1 94,0 .ab 0,14 .efg A4B1 94,0 .ab 0,43 .bcd A5B1 84,0 .b 0,10 .fg A1B2 84,0 .b 0,33 .cdef A2B2 98,0 .ab 0,19 .efg A3B2 96,0 .ab 0,14 .efg A4B2 100,0 .a 0,27 .cdefg A5B2 92,0 .ab 0,23 .cdefg A1B3 86,0 .ab 0,33 .cdef A2B3 86,0 .ab 0,66 .ab A3B3 90,0 .ab 0,35 .cdef A4B3 52,0 .c 0,76 .a A5B3 90,0 .ab 0,25 .cdefg A1B4 64,0 .c 0,05 .g A2B4 84,0 .b 0,07 .g A3B4 86,0 .ab 0,04 .g A4B4 90,0 .ab 0,09 .fg A5B4 88,0 .ab 0,11 .efg Keterangan: A1 = Tanah, A2 = Kompos, A3 = Tanah+ kompos 3:1, A4 = Kompos+ arang sekam padi 3:1, A5 = Sabut kelapa+arang sekam padi 3:1, B1 = Naungan 0%, B2 = Naungan 25%, B3 = Naungan 50%, B4 = Naungan 75%.
IV. KESIMPULAN Hasil penelitian mengindikasikan bahwa intesitas cahaya dalam persemaian jabon berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit, sehingga faktor ini perlu diperhatikan dalam persemaian jabon. Kondisi tanpa naungan, atau naungan yang terlalu berat (75%) merugikan bagi pertumbuhan bibit jabon. Media kompos + naungan 50% merupakan kondisi persemaian yang terbaik untuk pembibitan jabon karena menghasilkan pertumbuhan diameter, pertumbuhan meninggi, berat kering, persentase hidup dan IMB yang tertinggi dibanding perlakuan lain. DAFTAR PUSTAKA Ahmed, LT., Essam, I., Warrag, Abdelgadir, AY. 2014. Effect of Shade on Seed Germination and Early Seedling Growth of Moringa Oleifera Lam. Journal of forest products & industries, 3(1), 20-26. Durahim dan Hendromono. 2001. Kemungkinan Penggunaan Limbah Organik Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi Sebagai Campuran Top Soil Untuk Media Pertumbuhan Bibit Mahoni (Swietenia macrophylla King). Buletin Penelitian Hutan No 628:13-26. 182
Aspek Silvikultur
Harun, RMR and Ismail, KH. 1983. The Effects of Shading Regimes on the Growth of Cocoa Seedlings (Theobroma cacao L.). Pertanika 6(3), 1-5. Hendromono.1994. Pengaruh Media Organik dan Tanah Mineral Terhadap Mutu Bibit Pterygota alata Roxb. Buletin Penelitian Hutan no.617 : 55-64. Hendromono dan Durahim. 2004. Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi Sebagai Medium Pertumbuhan Bibit Mahoni Afrika (Khaya anthoteca. C.DC). Buletin Penelitian Hutan no 644. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Kurniaty, R,Budiman, B.dan Suartana, M. 2006. Pengaruh Media dan Naungan terhadap Kualitas Bibit. Laporan hasil penelitian BPTP, Bogor. Tidak diterbitkan. Kurniaty, R, Budiman, B., Damayanti, R.U., dan Djam’an, D.F. 2009. Penggunaan Limbah Organik Sebagai Media Pertumbuhan Bibit Tanaman. Makalah Utama pada Seminar “Teknologi Perbenihan Perbenihan untuk Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat di Sumatra Barat” Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Kurniaty, R. 2010. Stasiun Penelitian Nagrak. Publikasi Khusus. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Kung’u,B.J., Kihara, J., Mugendi, D.N, and Jaenicke, Hr. 2008. Effect of small-scale farmers’ tree nursery growing medium on agroforestry tree seedlings’ quality in Mt. Kenya region. Scientific Research and Essay Vol.3 (8):359-364. Merlina, N dan Rusnandi, D. 2007. Teknik Aklimatisasi Planlet Anthurium pada Beberapa Media Tanam. Buletin Teknik Pertanian Vol 12 No 1. Balai Penelitian Tanaman Hias, Cianjur. Prawiranata, W.Harran. S.Tjondronegoro,P. 1995. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan Jilid II. Departemen Botani. Fakultas MIPA IPB. Bogor. Ramayanti, S. Suhartati, dan Aprianis, Y., 2009. Potensi Jenis Tanaman Lokal Sebagai Alternatif Bahan Baku Pulp. Gelar Teknologi Badan Litbang Kehutanan. Tahun 2009. Sarwar, G., Schmeisky, H., Hussain, N., Muhammad, S., Ibrahim, M. and Safdar, E. 2008. Improvement of Soil Physical and Chemical Properties with Compost Application in RiceWheat Cropping System. Pak. J. Bot., 40(1): 275-282. Sarwar, G., Schmeisky, H., Tahir, M.A., Iftikhar, Y., and Sabah, N.U. 2010. Application of Greencompost for Improvement in Soil Chemical Properties and Fertility Status. The Journal of Animal & Plant Sciences, 20(4): 258-260.
183
Aspek Silvikultur
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK BUDIDAYA INTENSIF PADA BEBERAPA JENIS TANAMAN HUTAN UNGGULAN Yulianti Bramasto, M. Zanzibar, Danu, Dida Syamsuwida dan Nurhasybi Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK Produktivitas hasil hutan tanaman akan meningkat sehingga dapat memenuhi target industri apabila mendapat dukungan IPTEK dalam pengelolaannya. Keberhasilan budidaya tanaman hutan ditentukan oleh teknis penanaman yang tepat, mengikuti kaidah teknik silvikultur intensif. Apabila para pelaksana lapangan mempunyai pedoman yang sama dalam membangun hutan, maka penerapan standar teknis yang didasarkan pada hasil penelitian dapat menjadi panduan dalam pelaksanaannya. Standar teknis budidaya untuk lima jenis tanaman hutan yang telah disusun meliputi jati inti, sengon, mahoni, jabon dan mangium. Kata kunci: budidaya, produktivitas, standar teknis, tanaman hutan
I. PENDAHULUAN Hutan rakyat saat ini berkembang cukup pesat, hal ini dapat dilihat dari peningkatan luas dan produksi kayu rakyat yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Inisiatif masyarakat dalam pembangunan hutan tanaman berbasis masyarakat perlu mendapat dukungan dari semua pihak. Perkembangan ini terjadi karena dorongan kebutuhan kayu yang semakin besar, karena permasalahan utama yang dihadapi sektor kehutanan sampai saat ini adalah kekurangan bahan baku untuk industri kayu. Kondisi ini menyebabkan perlunya pengelolaan hutan secara intensif agar produktivitas tegakan dapat ditingkatkan. Produktivitas hutan tanaman sampai saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku industri sesuai dengan target yang dicanangkan. Ada beberapa hal yang menyebabkan produktivitas hasil hutan tanaman belum memenuhi bahan baku target industri diantaranya adalah penerapan IPTEK dalam mengelola hutan tanaman belum maksimal. Tanaman hutan yang umumnya dikembangkan di hutan rakyat adalah jenis-jenis yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup baik, khususnya untuk jenis jati dan mahoni, dan jenisjenis cepat tumbuh (Fast growing species) seperti sengon, jabon dan mangium, sesuai dengan peruntukkan kayunya. Dukungan IPTEK dalam peningkatan produktivitas tegakan sudah mulai dilakukan khususnya pada lima jenis diatas, yaitu dari segi kualitas benih dan sistem silvikulturnya. Namun faktor lain yang penting untuk dipertimbangkan dalam budidaya tanaman hutan adalah peran masyarakat, dalam hal ini pola pengelolaan yang yang menempatkan masyarakat (petani) sebagai subyek. Oleh karena itu perpaduan antara penggunaan benih berkualitas, penerapan sistem silvikultur intensif dan pola pengelolaan hutan yang berbasis kemitraan dengan petani diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tegakan menjadi maksimal. Mensikapi hal tersebut Kementerian Kehutanan dalam hal ini Sekretariat Jenderal Kehutanan dan Badan Usaha Kehutanan mencoba memadukan dua program yaitu program kredit usaha skema Badan Layanan Umum (BLU) dengan program Hutan Tanaman Rakyat. Diharapkan dengan kedua program ini selain dapat meningkatkan produktivitas hutan juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama petani hutan.
185
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tujuan penulisan makalah ini adalah diketahuinya teknik peningkatan produktivitas hutan tanaman melalui budidaya beberapa jenis unggulan tanaman hutan berdasarkan standar teknis yang tepat. II. PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAMAN 1. Penggunaan Benih/Klon Unggul Peningkatan produktivitas tanaman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Kegiatan ekstensifikasi dilakukan melalui perluasan areal tanaman sedangkan intensifikasi adalah dengan mengoptimalkan lahan yang ada melalui penerapan teknik silvikultur intensif dan penggunaan benih unggul. Secara umum rata-rata kepemilikan luas hutan yang dikelola oleh rakyat (hutan rakyat) adalah sekitar 0,25-0,5 ha, oleh karena itu peningkatatan produktivitas hutan khususnya di hutan rakyat adalah melalui intensifikasi. Beberapa jenis tanaman yang banyak dikembangkan di hutan rakyat, diantaranya adalah jati, sengon, jabon, mahoni dan mangium. Dalam pengembangan hutan tanaman tersebut, baik di hutan rakyat maupun hutan tanaman lainnya, mutlak harus menggunakan bibit unggul, baik unggul secara genetik, fisik maupun fisologis. Benih dan bibit unggul dihasilkan dari suatu proses pemuliaan. Proses pemuliaan dapat dilakukan apabila terdapat keragaman, dengan adanya keragaman tersebut maka peluang mendapatkan klon-klon unggul menjadi lebih besar. Keragaman dapat terjadi karena proses persilangan atau dapat melalui teknik mutasi (Pasal 9 ayat 1 UU No. 12 Tahun 1992). Hal ini memungkinkan dilakukannya seleksi, untuk mendapatkan klon-klon unggul. Keunggulan suatu klon dapat dipertanggungjawabkan apabila telah melalui suatu proses pengujian lapangan. Selanjutnya Klon unggul hasil pengujian lapang dapat digandakan melalui teknik perbanyakan vegetative, salah satunya adalah dengan teknik kultur jaringan. 2. Silvikultur Intensif Penggunaan bibit unggul tanpa pengelolaan yang baik tidak akan menghasilkan produktivitas yang optimal. Penggunaan benih unggul akan memunculkan ekspresi genetik sedangkan penerapan teknik silvikultur merupakan upaya memanipulasi lingkungan agar pertumbuhan tanaman menjadi optimal. Pertumbuhan tanaman merupakan hasil interaksi antara sifat genetik yang ada pada tanaman yang didukung oleh kondisi lingkungan yang optimal. Dalam budidaya tanaman hutan, penerapan teknik silvikultur intensif mutlak diperlukan. Salah satu syarat dalam budidaya tanaman hutan adalah faktor kesesuaian tempat tumbuh (site species matching), yaitu kondisi lingkungan (ketinggian tempat tumbuh, tanah dan iklim) harus sesuai untuk tanaman tersebut. Setelah kondisi lingkungan yang sesuai selanjutnya adalah penerapan teknik silvikultur intensif dimulai dari persiapan dan pengolahan lahan, penanaman, pola tanam, pemeliharaan, pemupukan, pengendalian gulma, pengendaian hama dan penyakit, serta pengamatan dan evaluasi. Seluruh proses tersebut di atas harus dilakukan dengan tepat yaitu tepat ukuran dan tepat waktu, sehingga dalam proses silvikultur intensif, penerapan pengawasan adalah berbasis individu pohon. III. STANDAR TEKNIS BUDIDAYA JENIS UNGGULAN Keberhasilan budidaya tanaman hutan ditentukan oleh teknis penanaman yang tepat dalam hal ini adalah teknik silvikultur intensif, agar para pelaksana lapangan mempunyai pedoman yang sama dalam membangun hutan, maka penerapan standar teknis yang didasarkan pada hasil penelitian dapat menjadi panduan dalam pelaksanaan. Standar teknis 186
Aspek Silvikultur
budidaya untuk lima jenis tanaman hutan yang telah disusun meliputi jati inti, sengon, mahoni, jabon dan mangium. Teknik budidaya untuk lima jenis tersebut ini juga merupakan penyesuaian dari teknik budidaya yang telah disusun oleh Tim Badan Litbang Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (Effendi et al., 2013; Kosasih dan Danu, 2013; Bogidarmanti et al., 2013; Mindawati et al., 2013; Nurrohmah dan Kurniawati, 2013). 1. Standar teknis budidaya silvikultur intensif jenis jati inti Tabel 1. Standar Teknis Budidaya dengan Silvikultur Intensif Jenis Jati No
Kegiatan
1
Persiapan dan pengolahan lahan
2
Pengadaan bibit
3
Persiapan penanaman dan pemberian pupuk dasar dan kaptan
4
Penanaman, penyulaman, pemberian insektisida sistemik (bahan aktif carbo furan)
5
Pendangiran, pembuatan piringan dan pembersihan antara
Diskripsi Kegiatan Pemilihan lokasi yang tepat: lahan tidak tergenang, ketinggian kurang dari 700 m dpl, curah hujan 1.2503.000 mm/th, sebaiknya pada tanah berjenis regusolgrumosol, pH > 5.8 Pembersihan dari semak, akar-akar gulma dan kantong/rumah rayap. Pembongkaran tunggak, pembalikan tanah, penghancuran bongkahan tanah, dan penyingkiran batu Bibit berasal dari klon unggul yang telah dimuliakan (Tree breeding/Mutation breeding) dan sumber benih berkualitas. Bibit telah teruji memiliki daya adaptasi serta memiliki keunggulan pertumbuhan yang tinggi (berdasarkan uji multi lokasi). Jarak tanam 4 x 5 m2 (500 pohon per ha) Lubang tanam berukuran besar yaitu: 40 x 40 x 40 cm Dua minggu sebelum penanaman, setiap lubang diberi pupuk dasar sebanyak 6.0 kg kompos matang (berasal dari campuran daun-daunan dan kotoran ternak) dan kaptan 250 gram. Waktu penanaman dilaksanakan pada awal musim hujan dan frekwensi hujan sudah stabil Bibit dikeluarkan dari kantung semai secara hati-hati agar media tanam tetap utuh, kemudian bibit dimasukkan pada lubang tanam, dan ditimbun dengan tanah yang sebelumnya adalah tanah lapisan atas/humus. Selanjutnya dimasukkan tanah yang berasal dari lapisan bawah. Tanah dipadatkan dengan cara bibit dipegang pada bagian batangnya dan tanah di sekitar bibit diinjak perlahan. Pada saat penanaman ditambahkan insektisida sestemik sebanyak 20 gram pada masing-masing lubang tanam. Bila frekwensi serangan rayap tinggi pemberian insektisida sistemik sebanyak 2 kali sebulan hingga tanaman terlihat sehat. Tempatkan kantung semai pada ujung ajir, sebagai tanda bahwa bibit telah ditanam dan kantung semai tidak ikut tertanam. Penyulaman dilakukan maksimum pada umur 3 bulan sejak awal penanaman. Pada tanaman jati muda, gulma (tanaman pengganggu) seperti tumbuhan merambat, semak, atau rumput di sekitar tanaman jati perlu dibersihkan dan didangir secara rutin karena gulma merupakan saingan
187
Waktu Pelaksanaan Kegiatan Tahun -1
Tahun -1
Tahun -1
Tahun 1
Pendangiran dan pembuatan piringan: Tahun 1 sampai dengan tahun 3, 2
Prosiding Seminar Hasil Penelitian No
Kegiatan
Diskripsi Kegiatan
6
Pemupukkan
7
Pemangkasan
8
Pengendalian hama/penyakit
tanaman dalam memperoleh cahaya, air, dan unsur hara dalam tanah, dan tumbuhan yang merambat juga mengganggu pertumbuhan jati, bahkan bisa mematikan. Pembersihan gulma dan pembuatan piringan dilakukan dengan cara membalik tanah disekitar tanaman pokok seluas minimal 1.0 meter. Pembersihan antara dilakukan pada gulma yang tumbuh pada keseluruhan areal penanaman agar tanaman memperoleh cahaya yang cukup untuk pertumbuhan Pemupukan dilakukan mulai dari tanaman berumur 2 bulan hingga 3 tahun. Tahapan pemupukkan adalah sebagai berikut: Umur 2 - 4 minggu: pemberian biofertilazer untuk memacu pertumbuhan, menetralisir residu, memperbaiki struktur tanah melalui pemanfatan bakteri starter kit yang sangat membantu dalam menguraikan racun dalam tanah. Pemupukkan selanjutnya dilakukan pada umur 6, 12, 24 dan 36 bulan dengan pupuk kandang juga masing-masing 6 kg. Teknik pemberian pupuk dapat dengan cara melingkari tanaman pokok dengan jarak 0,5-1,0 m dari batang jati (melingkar selebar tajuk). Pemupukan antara (insidentil) dilakukan bila terdapat pohon-pohon yang pertumbuhannya lebih rendah 510% dari pertumbuhan rata-rata; ditambahkan 50 gram NPK per pohon (umumnya 2-3% dari total populasi). Pemangkasan (pruning) merupakan kegiatan pemangkasan cabang pohon dominan. Kegiatan bertujuan meningkatkan tinggi bebas cabang, memacu pertumbuhan batang utama dan mengurangi mata kayu. Cabang dominan dipangkas menggunakan gergaji pangkas/gunting wiwil/sabit/golok tajam pada saat awal musim hujan. Setengah bagian bawah (50%) dari tinggi total pohon dibersihkan dari cabang dan ranting. Hama/penyakit tanaman jati cepat umumnya ditemui pada umur muda (1-3 tahun). Jenis hama/penyakit yang seringkali ditemui adalah: Hama uret (Holotrichia helleri dan Lepidiota stigma) yang menyerang akar, penggerek bubuk kayu basah (Xyleborus destruens), penggerek batang (Monohammus rusticator) dan rayap pohon (Neotermes tectonae) yang menyebabkan gembol. Banyak ditemukan pada awal musim penghujan sehingga pada waktu-waktu tersebut secara berkala (seminggu sekali) dilakukan pengamatan intensif; tanaman yang terserang dapat dibedakan secara kasat mata. Pada batang yang terserang pengendalian dapat dilakukan dengan insektisida fumigan phostoxin, disuntikkan pada batang yang terserang melalui lubanglubang gerek. Dilakukan secara periodik dengan memeriksa satu per satu tanaman (seminggu sekali).
188
Waktu Pelaksanaan Kegiatan kali dalam setahun Pembersihan antara: tahun 1 sampai dengan tahun 4, 3 kali dalam setahun Kegiatan tersebut akan lebih berhasil jika tanaman jati ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian. Tahun 1 sampai dengan tahun 3, 2 kali setahun
Tahun 3 sampai dengan tahun 4
Tahun 1 sampai dengan tahun 3 rentan terhadap hama/penyakit karena jaringan tanaman masih lunak.
Aspek Silvikultur No
Kegiatan
Diskripsi Kegiatan
9
Agroforestry dan pergiliran tanaman
10
Monitoring, evaluasi dan penguatan kapasitas sosial masyarakat
Umumnya setelah dua kali penyemprotan hama sudah mati. Pengendalian hama tanah dapat dilihat pada point 4. Hal yang paling penting dilakukan adalah selalu tanaman terbebas dari gulma sehingga mengurangi kelembaban di sekitar tanaman. Untuk menambah keanekaragaman produk agar dapat diperoleh pendapatan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang sebaiknya pola yang dikembangkan adalah tumpangsari. Kegiatan pengolahan tanah dan pemupukan ketika merawat tanaman semusim berpengaruh baik terhadap pertumbuhan jati, demikian halnya terpangkasnya akar jati yang terjadi ketika pengolahan tanah. Pada tahap awal jenis-jenis palawija yang dapat ditanam adalah kacang tanah dan kedele, namun setelah tanaman jati berumur di atas 6 bulan, dapat ditanami padi gogo, jagung, talas, nilam, emponemponan (kunir, jahe, temuireng). Memastikan sejauh mana SOP yang telah dibuat dapat diimplementasikan secara mudah dan tepat di lapangan Evaluasi keberhasilan kegiatan dan monitoring pertumbuhan tanaman melalui pengukuran terhadap petak ukur permanen (PUP) secara berkala Penguatan kapasitas, kelembagaan, pengetahuan dan keterampilan petani Sosialisasi kegiatan, khususnya kontribusi terhadap masyarakat sekitar dan pembangunan pedesaan.
Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Tahun 1 sampai dengan tahun 4
Tahun 1 sampai dengan tahun 8 (panen)
2. Mahoni (Swietenia macrophylla) Tabel 2. Standar Teknis Budidaya dengan Silvikultur Intensif Jenis Mahoni No
Kegiatan
1
Persiapan lahan
2
Pengadaan bibit
3
Persiapan penanaman
4
Penanaman
Diskripsi Kegiatan Pemilihan lokasi yang tepat: lahan subur, tidak tergenang, ketinggian kurang dari 1000 m dpl, curah hujan 1.500-5.000 mm/th, sebaiknya pada tanah berjenis regusol-grumosol, pH 6,6 – 7,5. Pembersihan dari semak, akar-akar gulma dan kantong/rumah rayap. Pembongkaran tunggak, pembalikan tanah, penghancuran bongkahan tanah, dan penyingkiran batu. Pengunduhan benih berasal dari sumber benih bersertifikat sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No.SK. 707/MENHUT-II/2013 Bibit telah teruji memiliki daya adaptasi serta memiliki keunggulan pertumbuhan yang tinggi (berdasarkan uji multi lokasi). Jarak tanam 4 x 5 m2 Lubang tanam berukuran besar, yaitu: 30 x 30 x 30 cm Satu sampai dua minggu sebelum penanaman, setiap lubang diberi pupuk dasar sebanyak 5 kg. Waktu penanaman dilaksanakan pada awal musim
189
Waktu Pelaksanaan Kegiatan Tahun -1
Tahun -1
Tahun -1
Tahun 1
Prosiding Seminar Hasil Penelitian No
Kegiatan
5
Pemeliharaan
6
Pemupukkan
7
Pemangkasan
8
Pengendalian hama/penyakit
Diskripsi Kegiatan hujan dan frekwensi hujan sudah stabil. Bibit dikeluarkan dari kantung semai secara hati-hati agar media tanam tetap utuh, kemudian bibit dimasukkan pada lubang tanam, dan ditimbun dengan tanah yang sebelumnya adalah tanah lapisan atas/ humus. Selanjutnya dimasukkan tanah yang berasal dari lapisan bawah. Tanah dipadatkan dengan cara bibit dipegang pada bagian batangnya dan tanah di sekitar bibit diinjak perlahan. Pada saat penanaman ditambahkan insektisida sestemik sebanyak 20 gram pada masing-masing lubang tanam. Bila frekwensi serangan rayap tinggi pemberian insektisida sistemik sebanyak 2 kali sebulan sampai tanaman berumur 3 bulan. Tempatkan kantung semai pada ujung ajir, sebagai tanda bahwa bibit telah ditanam dan kantung semai tidak ikut tertanam. Penyulaman dilakukan maksimum pada umur 3 bulan sejak awal penanaman. Pada tanaman mahoni muda, gulma (tanaman pengganggu) seperti tumbuhan merambat, semak, atau rumput di sekitar tanaman mahoni perlu dibersihkan dan didangir secara rutin karena gulma merupakan saingan tanaman dalam memperoleh cahaya, air, dan unsur hara dalam tanah, dan tumbuhan yang merambat juga mengganggu pertumbuhan mahoni, bahkan bisa mematikan. Pembersihan gulma dan pembuatan piringan dilakukan dengan cara membalik tanah disekitar tanaman pokok seluas 0,5 - 1.0 meter. Pembersihan antara dilakukan pada gulma yang tumbuh pada keseluruhan areal penanaman agar tanaman memperoleh cahaya yang cukup untuk pertumbuhan Pemupukkan lanjutan pada umur 6, 12, 24 dan 36 bulan dengan menggunakan pupuk kandang sebanyak masing-masing 5 kg/tanaman. Pemupukan antara (insidentil) dilakukan bila terdapat pohon-pohon yang pertumbuhannya lebih rendah 5 – 10% dari pertumbuhan rata-rata; ditambahkan 50 gram NPK per pohon. Pemangkasan (pruning) merupakan kegiatan pemangkasan cabang pohon dominan. Kegiatan bertujuan meningkatkan tinggi bebas cabang, memacu pertumbuhan batang utama dan mengurangi mata kayu. Cabang dominan dipangkas menggunakan gergaji pangkas atau golok tajam pada saat awal musim hujan. Setengah bagian bawah (50%) dari tinggi total pohon dibersihkan dari cabang dan ranting. Pengendalian hama penggerek pucuk (Hypsipyla robusta) pada tanaman berumur mulai 1 tahun dengan cara penyiraman menggunakan insektisida sistemik (Dimecron, Nuvacron dan Perfektion) dengan dosis 4 ml perliter air/pohon menjelang musim hujan setiap 10 hari sekali sampai 3 kali berturut-turut.
190
Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Pendangiran dan pembuatan piringan: Tahun 1 sampai dengan tahun 3, 2 kali dalam setahun. Pada tahun pertama dan kedua dilakukan pembersihan total. Kegiatan tumpang sari dapat dilaksanakan sampai tanaman pokok berumur 4 tahun. Tahun 1 sampai dengan tahun 3
Tahun 4 dan tahun 6
Tahun 1 sampai dengan tahun 3 rentan terhadap hama penggerek pucuk. Untuk mengurangi serangan hama dan
Aspek Silvikultur No
9
Kegiatan
Diskripsi Kegiatan
Hal yang paling penting dilakukan adalah tanaman selalu terbebas dari gulma sehingga mengurangi kelembaban di sekitar tanaman. Monitoring, evaluasi Memastikan sejauh mana SOP yang telah dibuat dapat dan penguatan diimplementasikan secara mudah dan tepat di kapasitas sosial lapangan masyarakat Evaluasi keberhasilan kegiatan dan monitoring pertumbuhan tanaman melalui pengukuran terhadap petak ukur permanen (PUP) secara berkala Penguatan kapasitas, kelembagaan, pengetahuan dan keterampilan petani Sosialisasi kegiatan, khususnya kontribusi terhadap masyarakat sekitar dan pembangunan pedesaan.
Waktu Pelaksanaan Kegiatan penyakit dapat ditanam mimba pada batas blok. Tahun 1 sampai dengan panen
3. Jabon (Anthocephalus cadamba) Tabel 3. Standar Teknis Budidaya dengan Silvikultur Intensif Jenis Jabon No
Kegiatan
1
Persiapan lahan
2
Pengadaan bibit
3
Persiapan penanaman
4
Penanaman
Diskripsi Kegiatan
Waktu Pelaksanaan Kegiatan Tahun -1
Pemilihan lokasi yang tepat: lahan tidak tergenang, ketinggian kurang dari 0-1.000 m dpl terbaik dibawah ketinggian 50-300 m dpl, curah hujan diatas 2.000 mm/th, sebaiknya pada tanah berjenis podsolik coklat, aluvial yang lembab atau sepanjang sisi sungai, pH > 5.8 Pembersihan dari semak, akar-akar gulma dan kantong/rumah rayap. Pembongkaran tunggak, pembalikan tanah, penghancuran bongkahan tanah, dan penyingkiran batu Pengunduhan benih berasal dari sumber benih ber- Tahun -1 sertifikat sesuai keputusan Menteri Kehutanan No.SK. 707/MENHUT-II/2013 2 Jarak tanam 5 x 4 m Tahun -1 Lubang tanam berukuran besar, yaitu: 40 x 40 x 40 cm *hidrogel diberikan saat penanaman Dua minggu sebelum penanaman, setiap lubang dilaksanakan pada diberi pupuk dasar sebanyak 5.0 kg kompos matang akhir hujan (berasal dari campuran daun-daunan dan kotoran ternak). Hidrogel dicampur dengan air dengan konsentrasi 5 gram / liter air /tanaman* Waktu penanaman dilaksanakan pada awal musim Tahun 1 hujan dan frekwensi hujan sudah stabil. Bibit dikeluarkan dari kantung semai secara hati-hati agar media tanam tetap utuh, kemudian bibit dimasukkan pada lubang tanam, dan ditimbun dengan tanah yang sebelumnya adalah tanah lapisan atas/humus. Selanjutnya dimasukkan tanah yang berasal dari lapisan bawah. Tanah dipadatkan dengan cara bibit dipegang pada bagian batangnya dan tanah di sekitar bibit diinjak perlahan. Pada saat penanaman ditambahkan insektisida sestemik sebanyak 20 gram pada masing-masing lubang tanam. Bila frekwensi serangan rayap tinggi pemberian insektisida sistemik sebanyak 2 kali
191
Prosiding Seminar Hasil Penelitian No
Kegiatan
5
Pemeliharaan
6
Pemupukkan
9
10
Diskripsi Kegiatan sebulan hingga tanaman terlihat sehat. Tempatkan kantung semai pada ujung ajir, sebagai tanda bahwa bibit telah ditanam dan kantung semai tidak ikut tertanam. Penyulaman dilakukan maksimum pada umur 3 bulan sejak awal penanaman. Jenis hama yang menyerang jabon rayap dapat diatasi dengan furadan (3 bulan sekali @ 20 gr/pohon sampai dengan umur 1 tahun) dan ulat dapat diatasi dengan pemangkasan. Pendangiran dan pembuatan piringan dilakukan dengan cara membalik tanah disekitar tanaman pokok seluas minimal 1 meter. Pembersihan antara dilakukan pada gulma yang tumbuh pada keseluruhan areal penanaman agar tanaman memperoleh cahaya yang cukup untuk pertumbuhan.
Pemupukan dilakukan mulai dari tanaman berumur 6 bulan hingga 2 tahun. Tahapan pemupukkan adalah sebagai berikut: Umur 6, 12, 18 dan 24 bulan: pupuk yang dapat digunakan pupuk kandang sebanyak 5 kg/pohon. Pemupukan antara dilakukan bila terdapat pohonpohon yang pertumbuhannya lebih rendah 5-10% dari pertumbuhan rata-rata; ditambahkan 50 gram NPK per pohon. Teknik pemberian pupuk dapat dengan cara melingkari tanaman pokok dengan jarak 0,5-1,0 m dari batang jabon (melingkar selebar tajuk). Agroforestry dan Untuk menambah keanekaragaman produk agar dapergiliran tanaman pat diperoleh pendapatan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang sebaiknya pola yang dikembangkan adalah tumpangsari. Kegiatan pengolahan tanah dan pemupukan ketika merawat tanaman semusim berpengaruh baik terhadap pertumbuhan jabon, demikian halnya terpangkasnya akar jabon yang terjadi ketika pengolahan tanah. Pada tahap awal jenis-jenis palawija yang dapat ditanam adalah kacang tanah dan kedele, namun setelah tanaman jabon berumur di atas 12 bulan, dapat ditanami padi gogo, jagung, talas, nilam, emponemponan (kunir, jahe, temuireng). Monitoring, evaluasi Memastikan sejauh mana SOP yang telah dibuat dan penguatan dapat diimplementasikan secara mudah dan tepat di kapasitas sosial lapangan masyarakat Evaluasi keberhasilan kegiatan dan monitoring pertumbuhan tanaman melalui pengukuran terhadap petak ukur permanen (PUP) secara berkala Penguatan kapasitas, kelembagaan, pengetahuan dan keterampilan petani
192
Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Pendangiran dan pembuatan piringan: Tahun 1 sampai dengan tahun 3, 2 kali dalam setahun. Pembersihan antara: tahun 1 sampai dengan tahun 4, 2 kali dalam setahun. Kegiatan tersebut akan lebih berhasil jika tanaman jabon ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian. Tahun 1 sampai dengan tahun 2, 2 kali setahun
Tahun 1 sampai dengan tahun 4
Tahun 1 sampai dengan tahun 8 (panen)
Aspek Silvikultur No
Kegiatan
Diskripsi Kegiatan
Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Sosialisasi kegiatan, khususnya kontribusi terhadap masyarakat sekitar dan pembangunan pedesaan.
4. Sengon (Paraserianthes falcataria) Tabel 4. Standar Teknis Budidaya dengan Silvikultur Intensif Jenis Sengon No
Kegiatan
1
Persiapan lahan
2
Pengadaan benih dan bibit
3
Persiapan penanaman
4
Penanaman
5
Pemeliharaan
Diskripsi Kegiatan Pemilihan lokasi yang tepat: lahan subur, tidak tergenang, ketinggian kurang dari 300-700 m dpl, curah hujan di atas 2.000 mm/th, sebaiknya pada tanah berjenis regusol-grumosol, pH diatas 5,5. Pembersihan dari semak, akar-akar gulma dan kantong/rumah rayap. Pengadaan benih dari sumber benih bersertifikat sesuai keputusan Menteri Kehutanan No.SK. 707/MENHUT-II/2013. Menggunakan rizobium (0,025 gram/1 kg benih) pada benih sebelum penaburan. Media sapih menggunakan tanah ditambah mikoriza 2,5 gr/policup. Untuk pengendalian hama dipersemaian digunakan furadan 3 gr / policup. Jarak tanam awal 3 x 3 m2 Lubang tanam berukuran besar, yaitu: 30 x 30 x 30 cm Dua minggu sebelum penanaman, setiap lubang diberi pupuk dasar sebanyak 5.0 kg kompos matang (berasal dari campuran daun-daunan dan kotoran ternak) dan NPK 100 gram. Waktu penanaman dilaksanakan pada awal musim hujan dan frekwensi hujan sudah stabil. Bibit dikeluarkan dari kantung semai secara hati-hati agar media tanam tetap utuh, kemudian bibit dimasukkan pada lubang tanam, dan ditimbun dengan tanah yang sebelumnya adalah tanah lapisan atas/humus. Selanjutnya dimasukkan tanah yang berasal dari lapisan bawah. Tanah dipadatkan dengan cara bibit dipegang pada bagian batangnya dan tanah di sekitar bibit diinjak perlahan. Pada saat penanaman ditambahkan insektisida sestemik sebanyak 20 gram pada masing-masing lubang tanam. Bila frekwensi serangan rayap tinggi pemberian insektisida sistemik sebanyak 2 kali sebulan hingga tanaman terlihat sehat. Tempatkan kantung semai pada ujung ajir, sebagai tanda bahwa bibit telah ditanam dan kantung semai tidak ikut tertanam. Penyulaman dilakukan maksimum pada umur 3 bulan sejak awal penanaman. Jenis hama penyakit yang dominan menyerang tegakan sengon adalah: - Hama penggerek batang (Boktor/Xystrocera festiva) dan Indarbela acutistriata dapat dikendalikan dengan cara memotong atau membuang
193
Waktu Pelaksanaan Kegiatan Tahun -1
Tahun -1
Tahun -1
Tahun 1
Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan sampai dengan usia 3 tahun. Pendangiran dan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian No
Kegiatan
Diskripsi Kegiatan bagian pohon yang terserang . Hama ulat kantong dapat dikendalikan dengan menggunakan pestisida kimia berbahan aktif dimethoat 400 EC atau friponil 50 EC dengan dosis 10 ml/pohon dengan pelarut air dengan cara menyemprotkan pada bagian pohon atau daun yang terserang. - Hama uret dapat dikendalikan dengan bahan aktif diazinon 10% dosis 20 gr/pohon, atau karbofuran 3% dosis 20 gr/pohon, dengan cara menaburkan di sekitar pohon kemudian ditimbun. - Penyakit karat puru dapat dikendalikan dengan cara menyemprot atau mengoles campuran kapur + garam (10:1, w/w) atau kapur + Belerang (1:1, w/w) sampai penykitnya hilang. Pembersihan antara dilakukan pada gulma yang tumbuh pada keseluruhan areal penanaman agar tanaman memperoleh cahaya yang cukup untuk pertumbuhan. Pemupukan lanjutan dilakukan pada umur 6, 12, 18 dan 24 bulan, menggunakan Pupuk kandang Kotoran kambing dosis 3 kg / lobang . Pemupukan antara (insidentil) dilakukan bila terdapat pohon-pohon yang pertumbuhannya lebih rendah 5 – 10% dari pertumbuhan rata-rata; ditambahkan 50 gram NPK per pohon. Pemangkasan dilakukan pada umur 2 tahun dan 4 tahun. Tinggi pangkasan setengah dari tinggi pohon. Penjarangan dilakukan untuk memberikan ruang untuk petumbuhan tanaman yang optimum, sehingga penjarangan dilakukan dengan metode jalur. Penjarangan pertama pada umur 3 sebesar 25% kemudian penjarangan kedua pada umur 6 tahun sebesar 25% . -
6
Pemupukkan
7
Pemangkasan
8
Penjarangan
9
Agroforestry dan pergiliran tanaman
Untuk menambah keanekaragaman produk agar dapat diperoleh pendapatan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang sebaiknya pola yang dikembangkan adalah tumpangsari. Kegiatan pengolahan tanah dan pemupukan ketika merawat tanaman semusim berpengaruh baik terhadap pertumbuhan sengon, demikian halnya terpangkasnya akar sengon yang terjadi ketika pengolahan tanah. Pada tahap awal jenis-jenis palawija yang dapat ditanam adalah kacang tanah dan kedele, namun
194
Waktu Pelaksanaan Kegiatan pembuatan piringan: Tahun 1 sampai dengan tahun 2, 2 kali dalam setahun. Pembersihan antara: tahun 1 sampai dengan tahun 4, 3 kali dalam setahun. Kegiatan tersebut akan lebih berhasil jika tanaman sengon ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian.
Tahun 1 sampai dengan tahun 2, 2 kali setahun
Tahun 2 sampai dengan tahun 4 Penjarangan dilakukan pada umur 3 dan 6 tahun. Pada umur 3 tahun diperkirakan dapat diperoleh produksi sebesar 3,18 m3 dan pada umur 6 tahun sebesar 12,72 m3. Tegakan sisa pada umur 7 tahun sebanyak 500 pohon setara dengan 138,47 m3 . Tahun 1 sampai dengan tahun 4
Aspek Silvikultur No
10
Kegiatan
Monitoring, evaluasi dan penguatan kapasitas sosial masyarakat
Diskripsi Kegiatan
setelah tanaman sengon berumur di atas 6 bulan, dapat ditanami padi gogo, jagung, talas, nilam, empon-emponan (kunir, jahe, temuireng). Memastikan sejauh mana SOP yang telah dibuat dapat diimplementasikan secara mudah dan tepat di lapangan Evaluasi keberhasilan kegiatan dan monitoring pertumbuhan tanaman melalui pengukuran terhadap petak ukur permanen (PUP) secara berkala Penguatan kapasitas, kelembagaan, pengetahuan dan keterampilan petani Sosialisasi kegiatan, khususnya kontribusi terhadap masyarakat sekitar dan pembangunan pedesaan.
Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Tahun 1 sampai dengan tahun 8 (panen)
5. Mangium (Acacia mangium) Tabel 5. Standar Teknis Budidaya dengan Silvikultur Intensif Jenis Mangium No
Kegiatan
1
Persiapan lahan
2
Pengadaan benih dan bibit
3
Persiapan penanaman
4
Penanaman
Diskripsi Kegiatan Pemilihan lokasi yang tepat: dapat tumbuh pada lahan marginal nakan tetapi lebih baik pada lahan subur, tidak tergenang, ketinggian kurang dari 500 m dpl, curah hujan 1.500 mm/th, mampu tumbuh pada tanah podsolik, pH di atas 4,5. Pembersihan dari semak, akar-akar gulma dan kantong/rumah rayap. Pembongkaran tunggak, pembalikan tanah, penghancuran bongkahan tanah, dan penyingkiran batu. Pengunduhan benih berasal dari klon unggul atau sumber benih bersertifikat . Untuk mempercepat perkecambahan benih direndam dalam air panas dan dibiarkan dingin selama 24 jam. Jarak tanam awal 3 x 3 m2 Lubang tanam berukuran besar, yaitu: 30 x 30 x 30 cm Dua minggu sebelum penanaman, setiap lubang diberi pupuk dasar sebanyak 5.0 kg kompos matang (berasal dari campuran daun-daunan dan kotoran ternak). Waktu penanaman dilaksanakan pada awal musim hujan dan frekwensi hujan sudah stabil. Bibit dikeluarkan dari kantung semai secara hati-hati agar media tanam tetap utuh, kemudian bibit dimasukkan pada lubang tanam, dan ditimbun dengan tanah yang sebelumnya adalah tanah lapisan atas/ humus. Selanjutnya dimasukkan tanah yang berasal dari lapisan bawah. Tanah dipadatkan dengan cara bibit dipegang pada bagian batangnya dan tanah di sekitar bibit diinjak perlahan. Pada saat penanaman ditambahkan insektisida sestemik sebanyak 20 gram pada masing-masing lubang tanam. Bila frekwensi serangan rayap tinggi pemberian insektisida sistemik sebanyak 2 kali sebulan hingga tanaman terlihat sehat.
195
Waktu Pelaksanaan Kegiatan Tahun -1
Tahun -1
Tahun -1
Tahun 1
Prosiding Seminar Hasil Penelitian No
Kegiatan
Diskripsi Kegiatan Tempatkan kantung semai pada ujung ajir, sebagai tanda bahwa bibit telah ditanam dan kantung semai tidak ikut tertanam. Penyulaman dilakukan maksimum pada umur 3 bulan sejak awal penanaman. Jenis hama penyakit yang dominan menyerang tegakan Mangium adalah: - Hama ulat kantong dapat dikendalikan dengan menggunakan pestisida kimia berbahan aktif dimethoat 400 gr/l atau friponil 50 gr/l dengan dosis 10 ml/pohon dengan pelarut air dengan cara menyemprotkan pada bagian pohon atau daun yang terserang. Pembersihan antara dilakukan pada gulma yang tumbuh pada keseluruhan areal penanaman agar tanaman memperoleh cahaya yang cukup untuk pertumbuhan.
5
Pemeliharaan
6
Pemupukkan
7
Pemangkasan
8
Penjarangan
9
Agroforestry dan pergiliran tanaman
Pemupukan lanjutan dilakukan pada umur 6, 12, dan 18 bulan, menggunakan Pupuk kandang Kotoran kambing dosis 3 kg /lobang Pemangkasan dilakukan pada umur 2 tahun dan 4 tahun. Tinggi pangkasan setengah dari tinggi pohon. Penjarangan dilakukan untuk memberikan ruang untuk petumbuhan tanaman yang optimum, sehingga penjarangan dilakukan dengan metode jalur. Penjarangan pertama pada umur 3 sebesar 25%.
Untuk menambah keanekaragaman produk agar dapat diperoleh pendapatan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang sebaiknya pola yang dikembangkan adalah tumpangsari. Kegiatan pengolahan tanah dan pemupukan ketika merawat tanaman semusim berpengaruh baik terhadap pertumbuhan Mangium, demikian halnya terpangkasnya akar Mangium yang terjadi ketika pengolahan tanah. Pada tahap awal jenis-jenis palawija yang dapat ditanam adalah kacang tanah dan kedele, namun setelah tanaman Mangium berumur di atas 6 bulan,
196
Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan sampai dengan usia 1 tahun. Pendangiran dan pembuatan piringan: Tahun 1 sampai dengan tahun 2, 1 kali dalam setahun. Pembersihan antara: tahun 1 sampai dengan tahun 3, 1 kali dalam setahun. Kegiatan tumpangsari dapat dilakukan sampai dengan tanaman pokok berumur 1 tahun. Tahun 1 sampai dengan 1,5 tahun. Tahun 2 dan tahun 4
Penjarangan dilakukan pada umur 3. Pada umur 3 tahun diperkirakan dapat diperoleh produksi sebesar 26,25 m3/ha. Tegakan sisa pada umur 8 tahun sebanyak 650 pohon setara dengan 210 m3. Tahun 1
Aspek Silvikultur No
10
Kegiatan
Diskripsi Kegiatan
Monitoring, evaluasi dan penguatan kapasitas sosial masyarakat
dapat ditanami padi gogo, jagung, talas, nilam, empon-emponan (kunir, jahe, temuireng). Memastikan sejauh mana SOP yang telah dibuat dapat diimplementasikan secara mudah dan tepat di lapangan Evaluasi keberhasilan kegiatan dan monitoring pertumbuhan tanaman melalui pengukuran terhadap petak ukur permanen (PUP) secara berkala Penguatan kapasitas, kelembagaan, pengetahuan dan keterampilan petani Sosialisasi kegiatan, khususnya kontribusi terhadap masyarakat sekitar dan pembangunan pedesaan.
Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Tahun 1 sampai dengan tahun 8 (panen)
Dalam standar teknis ditekankan pada penggunaan bibit berkualitas atau berasal dari klon unggul. Klon unggul umumnya diperbanyak dengan menggunakan metode vegetatif antara lain kultur jaringan. IV. PENUTUP Penggunaan bibit unggul tanpa pengelolaan yang baik tidak akan menghasilkan produktivitas yang optimal. Budi daya tanaman hutan juga mutlak menerapkan teknik silvikultur intensif. Salah satu syarat dalam budidaya tanaman hutan adalah faktor kesesuaian tempat tumbuh (site species matching), yaitu kondisi lingkungan (ketinggian tempat tumbuh, tanah dan iklim) harus sesuai untuk tanaman tersebut. Setelah kondisi lingkungan sesuai selanjutnya adalah penerapan teknik silvikultur intensif yang dimulai dari persiapan dan pengolahan lahan, penanaman, pola tanam, pemeliharaan, pemupukan, pengendalian gulma, pengendaian hama dan penyakit, serta pengamatan dan evaluasi. Seluruh proses tersebut diatas harus dilakukan dengan tepat yaitu tepat ukuran dan tepat waktu, sehingga dalam proses silvikultur intensif, penerapan pengawasan adalah berbasis individu pohon. DAFTAR PUSTAKA Bogidarmanti R, Mindawati N. dan Yulianti. 2013. Manual Budidaya Jabon putih (Anthocephalus cadamba). Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan dengan Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat BPDAS-PS. Kementerian Kehutanan Departemen Kehutanan. 2003. Statistik kehutanan 2003. Departemen Kehutanan RI. Jakarta. Effendi R. dan Widyani N. 2013. Manual Budidaya Jati (Tectona grandis L.f.) Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan dengan Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat BPDAS-PS. Kementerian Kehutanan Kjaer, E.D., Kosa-Ard, A. And V. Suangtho. 2000. Domestication Of Teak Through Tree Improvement: Options, Possible Gains And Critical Factors. Kjaer, E.D. And G.S. Foster. The Economics Of Tree Improvement Of Teak (Tectona Grandis L.). Kosasih AS dan Danu. 2013. Manual Budidaya Jati Putih (Gmelina arborea Roxb.) Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan dengan Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat BPDAS-PS. Kementerian Kehutanan
197
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Lukito, M Dan Ahadiati Rohmatiah. 2013. Estimasi Biomassa Dan Karbon Tanaman Jati Umur 5 Tahun (Kasus Kawasan Hutan Tanaman Jati Unggul Nusantara (JUN) Desa Krowe, Kecamatan Lembeyan Kabupaten Magetan). Agri-Tek Volume 14 Nomor 1 Maret 2013 Lukmandaru G; Vendy Eko Prasetyo; Joko Sulistyo, Dan Sri Nugroho Marsoem. Sifat Pertumbuhan Kayu Jati Dari Hutan Rakyat Gunungkidul. Mindawati N dan Megawati. 2013. Manual Budidaya Mahoni (Swietenia macrophylla). Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan dengan Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat BPDAS-PS. Kementerian Kehutanan Nugroho B. 2010. Pembangunan kelembagaan pinjaman dana bergulir hutan rakyat. Jurnal Manejemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 16:118-125. Nurrohmah H dan Kurniawati PP. 2013. Manual Budidaya Sengon (Paraserianthes falcataria). Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan dengan Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat BPDAS-PS. Kementerian Kehutanan [Pusat P2H] Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan. 2010. Kerangka acuan seminar pola pengelolaan dan pembiayaan hutan rakyat. Jakarta. Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan, Badan Layanan Umum (BLU) Kehutanan.
198
Aspek Silvikultur
PERAN BPDAS DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT Muswir Ayub dan Idi Bantara Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih Sekampung Lampung
I. PENDAHULUAN Sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai Pengelolaan Daerah Sungai Way Sekapung Seputih (BPDAS WSS) Lampung dibebani tugas untuk mendukung nawa cita pemerintahan Jokowi-JK. Tugas pokok dan fungsi BPDAS sangat bersinggungan dengan masyarakat, desa, pinggiran, petani, dan juga peningkatan produktivitas hutan. Dalam paper ini pokok bahasan kami lebih difokuskan pada peran BPDAS WSS Lampung dalam mendukung program peningkatan produktivitas hutan. Karena dalam tupoksi BPDAS sangat beruhubungan erat dengan masyarakat maka topiknya lebih menukik pada hutan rakyat. Sebagaimana tersrat di dalam UU No. 41 tahun 1999, hutan rakyat termasuk di dalam kategori hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah. BPDAS diberi mandat tugas pokok dan fungsi untuk mengelola kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS). Salah satu peran BPDAS dalam hal peningkatan produktivitas lahan adalah melalui penyediaan bibit yang dibagikan secara cuma-cuma kepada masyarakat untuk ditanam pada lahan milik. Untuk mendukung program tersebut BPDAS WSS Lampung telah membangun persemaian permanen. Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang pengelolaan persemaian permanen guna mendukung peningkatan produktivitas hutan rakyat di wilayah Provinsi Lampung. II. GAMBARAN UMUM PERSEMAIAN PERMANEN Guna mendukung penyediaan bibit untuk hutan rakyat sebagaimana telah diutarakan di muka, BPDAS WSS Lampung telah membangun dua buah persemaian permanen (PP) yang berlokasi di Lampung Selatan dan Tanggamus. PP Lampung Selatan dibangun pada tahun 2011 dengan luas sekitar 2,5 ha. Lokasi PP tersebut berada di bagian selatan Provinsi Lampung dengan jarak sekitar 120 Km dari kota Bandar Lampung. Persemaian kedua adalah PP Tanggamus yang dibangun pada tahun 2011 di Kabupaten Tanggamus. Luas persemaian kedua ini sekitar 1,5 ha. Lokasi PP ini berada di bagian utara Provinsi Lampung, dengan jarak sekitar 120 Km dari pusat kota Bandar Lampung. Jumlah dan jenis bibit yang diproduksi pada kedua persemaian tersebut disesuaikan dengan permintaan masyarakat. Jumlah total bibit yang diproduksi pada tahun 2012 sebanyak 1,5 juta batang, selanjutnya pada tahun 2013 sebanyak 0,5 juta batang, tahun 2014 sebanyak 2,5 juta batang dan pada tahun 2015 diproduksi sebanyak 3,5 batang. Sehingga, jumlah total bibit yang telah diproduksi kedua PP tersebut sebanyak 8 juta batang. Proses distribusi, penanaman dan pemeliharaan bibit yang telah dibagikan kepada masyarakat tersebut dilakukan secara swadaya. Cukup dengan mengisi formulir yang telah disediakan oleh pengelola persemaian (BPDAS WSS Lampung), maka masyarakat bisa mendapatkan bibit sesuai dengan kebutuhannya. Dengan sayarat telah memenuhi beberapa butir persyaratan yang telah ditetapkan. Untuk meningkatkan minat dan motivasi masyarakat dalam menanam pohon, BPDAS WSS Lampung juga telah melakukan sosialisasi penanaman. Secara khusus, tujuan tersebut 199
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
dimaksudkan guna meyakinkan masyarakat akan pentingnya pohon sebagai tabungan dan harapan keluarga. Kegiatan sosialisasi tersebut dilakukan melalui media televisi, radio, media cetak dan bahkan dilakukan pelatihan teknis kepada Oraganisasi-organisasi Mahasiswa seProvinsi Lampung, LSM dan penyuluhan kepada pelajar dari mulai TK hingga SD. Kegiatan tersebut nampaknya telah menuai hasil. Hal itu terbukti dengan meningkatnya permintaan bibit dari tahun ke tahun. Adapun jenis-jenis bibit yang diminati masyarakat disajikan dalam Tabel 1. Nomor urut yang ditampilkan pada kolom 1 pada tabel tersebut menunjukkan urutan prioritas pada masingmasing kategori. Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 1, tampak bahwa untuk masyarakat Lampung jenis kayu sengon masih menjadi primadona untuk jenis penghasil kayu. Hal yang menarik, masyarakat Lampung juga telah melirik jenis Acacia mangium sebagai prioritas kedua untuk kategori jenis penghasil kayu. Padahal semula jenis ini lebih populer sebagai jenis kayu yang dikembangkan untuk hutan tanaman industri. Pada kategori MPTS (multipurpose trees), jenis petai dan pala masih menjadi prioritas utama yang sangat diminati masyarakat Lampung. Adapun untuk jenis bibit ndukan vegetatif, masyarakat lebih melirik jati muna dibandingkan matoa maupun durian hutan lampung sekalipun. Tabel 1. Jenis-jenis bibit pohon yang diminati masyarakat Lampung No. Urut KayuPrioritas kayuan 1 Sengon 2
Jenis Bibit pada Masing-masing Kategori MPTS Tanaman Pantai & Tanaman Lingkungan Mangrove Langka Petai Glodokan Cemara Laut Tenam Tiang Pala Trembesi Ketapang Merbau
4
Acacia mangium Cempaka/ Bambang Lanang Medang
5
Gmelina
Karet
6
Mahoni
Damar Mata Kucing Sirsak Jambu Biji
3
7 8
Indukan Vegetatif Jati Muna Matoa
Jengkol
Sawo Kecik
Rhizopora mucronanta
Ficus sp.
Klengkeng Itoh
Durian
Tanjung
Rhizopora apiculata
Asam Kandis
Durian Hutan Lampung
Ketapang Kencana
Rhizopora steliosa
III. SUMBER BENIH Benih yang unggul menjadi syarat utama untuk menghasilkan bibit yang berkualitas. Untuk itu, bibit yang diproduksi di PP Lampung Selatan mupun PP Tanggamus diupayakan diperoleh dari sumber benih yang bersrtifikat. Adapun, lima jenis kayu-kayuan (Jati, Mahoni, Sengon, Gmelina, dan Jabon Putih) diperoleh dari sumber benih bersertifikat TBT (Tegakan Benih Teridentifikasi). Sebagian besar (90%) kebutuhan benih yang diperlukan untuk mencukupi keperluan produksi bibit di kedua persemaian tersebut, BPDAS WSS Lampung memperoleh benih pengada dan pengedar benih di Lampung. Sisanya diperoleh dari dari Clandestine lokal. Selain itu, benih jabon merah didatangkan dari Sulawesi Utara, dan benih karet polong merah 200
Aspek Silvikultur
didatangkan dari Sumatera Utara. Selain menggunakan benih, perbanyakan bibit di kedua persemaian di Lampung juga benih vegetatif, khususnya untuk jenis Matoa, Jati Muna, Bambu, Klengkeng Itoh. Benih untuk jenis-jenis tersebut diperoleh dari Pengada Benih Terdaftar di Jawa. Selain dari sumber-sumber yang disebutkan di muka, di Provinsi Lampung juga terdapat beberapa Koleksi Sumber Benih Lokal Hutan Lampung. Khususnya untuk jenis-jenis yang penyebarannya terdapat di Lampung. Jenis-jenis tersebut antara lain: Mahoni, Waru Gunung, Tenam, Damar Mata Kucing, Acacia mangium, dan Jernang. IV. BELAJAR DARI PENGALAMAN MEMBUAHKAN INOVASI A. Inovasi Alat Pembuat Media Semai Cetak (MSC) Dalam memenuhi kebutuhan bibit berkualitas dalam jumlah yang cukup dan waktu yang singkat dibutuhkan teknologi yang mampu memproduksi bibit secara masal. Dari hasil pembelajaran dan pengalaman memproduksi bibit dalam jumlah banyak, kami telah mencoba memodifikasi alat untuk membuat media tanam. Alat tersebut kami namakan “Media Semai Cetak” atau kami singkat dengan nama “Alat MSC”. Untuk lebih jelasnya gambaran alat tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
(a) (b) Gambar 1. a. Alat Pembuat Media Semai Cetak (MSC), b. Cara pengoperasian MSC
Untuk menggunakan alat MSC diperlukan media khusus yang merupakan campuran antara tanah liat, serbuk sabut kelapa, arang sekam padi dan pasir halus. Media tersebut diaduk rata dan dicampur air membentuk adonan layaknya bahan batu bata. Contoh bahan media yang telah siap untuk dicetak dapat dilihat pada Gambar 2. Pada Gambar 3, kami disajikan foto bibit yang menggunakan media MSC tersusun di dalam bedeng-bedeng persemaian.
201
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Gambar 2. Media semai yang siap dicetak
Gambar 3. Bibit yang menggunakan MSC tersusun di dalam bedeng-bedeng di persemaian
B. Pemanfaatan Limbah Sebagai Pengganti Polybag Penggunaan polybag untuk menyapih bibit sebelum ditanam ke lapangan adalah hal umum dan standar dalam persemaian-persemaian standar. Namun jika pembibitan dilakukan oleh masyarakat kadangkala mendapat kendala untuk mengadakan polybag, apalagi jika diperlukan dalam jumlah besar. Sebagai lembaga pemerintah yang bertugas membantu masyarakat, pada dasarnya BPDAS bisa saja memberikan bantuan dalam bentuk pembagian polybag bagi petani. Namun, kali ini kami ingin mencoba berbagi pengalaman dan memberikan pembelajaran kepada petani agar senantiasa memanfaatkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya untuk membuat sesuatu yang berguna. Bahkan limbah sekalipun dapat diusahakan untuk menjadi barang yang bermanfaat. Sebagai salah satu teladan untuk melakukan hal tersebut, kami telah berbagi dengan petani untuk memnafaatkan gelas bekas kemasan air mineral untuk digunakan sebagai media sapih (lihat Gambar 4). Di persemaian Lampung Selatan media ini digunakan untuk media sapih bibit jenis-jenis mangrove. Selain berbagi pengalaman tersebut. BPDAS WSS Lampung juga telah mencoba berbagi pengetahuan dan keterampilan dengan petani mengenai teknik Perbanyakan Vegetatif dengan cara Okulasi pada untuk jenis Jati, Klengkeng dan Durian.
202
Aspek Silvikultur
Gambar 4. Penggunaan limbah gelas bekas kemasan air mineral sebagai media sapih bibit
V. KONSERVASI JENIS UNGGUL SEBAGAI SUMBER BIBIT Untuk menjaga kelestarian jenis-jenis lokal, BPDAS WSS Lampung telah mengembangkan Koleksi MPTS Unggul. Khususnya untuk jenis Durian Koplak, Durian Tembaga dan Klengkeng Itoh. Saat ini sudah terdapat sekitar 40 Pohon ndukan yang menjadi sumber benih untuk pembibitan jenis-jenis tersebut di Persemaian Permanen Lampung. Upaya konservasi jenis yang telah dikembangkan oleh BPDAS WSS Lampung tersebut tidak dilakukan oleh sepihak, namun bermitra dengan masyarakat dan dibangun dengan pola Hutan Kemasyarakatan (HKM). VI. PEMBAGIAN INOKULAN GRATIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN GAHARU Gaharu merupakan salah satu komoditas HHBK yang diminati oleh masyarakat. Menurut hasil pendataan BPDAS WSS Lampung, jumlah tanaman pohon penghasil gahru pada lahan milik yang sudah siap untuk disuntik (diameter pohon lebih dari 20 cm) sekitar 9.900 pohon yang tersebar di delapan kabupaten di Provinsi Lampung. Adapun, jumlah tanaman baru tersu bertambah setiap tahun dengan rata-rata penambahan sekitar 200.000 pohon per tahun. Tingginya minat masyarakat untuk mengembangkan pohon penghasil gaharu dibenturkan pada beberapa permasalahan, diantaranya adalah kesulitan dalam pemasaran dan pemanenan karena Jenis Aquilaria malacensis dan Aquilaria microcarpa yang kini telah dibudidayakan di lahan milik masih tergolong jenis yang dilindungi (masuk dalam kelompok Apendix II CITES), sehingga perdagangannya dibatasi (ada kuota). Permasalahan lainnya terkait dengan teknologi panen cabang sudah dikembangkan masih terkendala dengan peraturan penebangan dalam kawasan hutan lindung. Permasalahan ketiga mengenai pemasaran gaharu yang bersifat tertutup sehingga tidak mudah bagi petani untuk menjual hasil gaharunya. Di sisi lain, dalam hal perbanyak dan embudidayaannya reltif tidak banyak kendala. Bahkan perbanyakan gaharu secara vegetatif kini mulai dikembangkan selain perbanyakan generatif. Begitu pun dalam hal pola budidaya sudah relatif dikuasai oleh masyarakat. Dalam hal budidaya yang umumnya dikeluhkan oleh masyarakat adalah masalah pembelian serum (inokulan) pembentuk gaharu. Atas keluhan tersebut, BPDAS WSS Lampung telah manganggarkan untuk memberikan inokulan gratis kepada petani. Di samping itu, BPDAS WSS Lampung juga memberikan pendampingan kepada petani dalam hal penyuntukan gaharu dan bahkan hingga pada tahap, pemanenan dan pengolahan hasil (penyulingan). Untuk 203
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
memfasilitasi pemasaran, BPDAS WSS Lampung juga seringkali mengikutkan petani-petani tersebut dalam berbagai kegiatan pameran. Beberapa kegiatan pameran yang telah mengikutkan petani diantaranya adalah Pameran yang diselenggarakan di Manggala Wanabakti. VI. PENUTUP Demikianlah beberapa hal yang telah dilakukan oleh BPDAS WSS Lampung dalam rangka mendukung program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, khususnya dalam program peningkatan produktivitas hutan rakyat. Dalam mendukung program tersebut BPDAS WSS Lampung menyokongnya dalam bentuk penyediaan bibit berkualitas dalam jumlah yang cukup sesuai dengan minat masyarakat; mengembangkan inovasi dalam produksi bibit; melibatkan masayarakat dalam konservasi jenis-jenis MPTS unggulan setempat; pendampingan pembudidayaan dan pengolahan hasil gaharu serta memfasilitasi pemasaran produknya. DAFTAR PUSTAKA Anonim. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
204
ASPEK SOSIAL, EKONOMI DAN KELEMBAGAAN
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG: KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) SEBAGAI SOLUSI? Bramasto Nugroho Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK Pembangunan kehutanan di Indonesia dihadapkan pada rendahnya tata kelola hutan dan lahan. Ada 4 persoalan utama yang ditengarai sebagai penyebab rendahnya nilai indeks tata kelola tersebut, yaitu (UNDP 2013): 1) Lemahnya pengelolaan hutan dan lahan, 2) Open akses kawasan hutan, 3) Lemahnya penegakan hukum, dan 4) Biaya transaksi tinggi pengusahaan hutan. Kondisi demikian menyebabkan penurunan produktivitas hutan baik dalam arti kemampuan hutan untuk menghasilkan tegakan dan tanaman-tanaman lainnya sebagai penyusun ekosistem hutan (stock) maupun aliran manfaat (flow) dari hutan tersebut. Persoalan-persoalan yang menyebabkan penurunan produktivitas hutan tersebut tentu bukan merupakan persoalan teknis semata, melainkan terdapat pula persoalan-persoalan yang lebih kompleks seperti sosial, politik, kelembagaan, regulasi dan ketiadaan organisasi pengelola di tingkat tapak sebagai faktor pemungkin (enabling factors) bagi keberhasilan pendekatan teknis. Di antara banyak persoalan tersebut di atas, paper ini akan difokuskan untuk mengupas perlunya kelembagaan dan organisasi pengelola di tingkat tapak untuk mendorong peningkatan produktivitas hutan produksi dan lindung. Dalam kerangka peraturan dan perudangan yang ada, pengelola di tingkat tapak tersebut dapat diperankan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Kata kunci: kelembagaan, produktivitas hutan, tata kelola hutan dan lahan, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
I. PENDAHULUAN Pembangunan kehutanan di Indonesia dihadapkan pada rendahnya tata kelola hutan dan lahan. Penelitian UNDP (2013) menunjukkan bahwa indeks tata kelola hutan dan lahan untuk tingkat kabupaten hanya 1,98 dari nilai sempurna 5, untuk tingkat provinsi 2,36, pusat 2,71 dan rataan nasional 2,33. Ada 4 persoalan utama yang ditengarai sebagai penyebab rendahnya nilai indeks tata kelola tersebut, yaitu 1) Lemahnya pengelolaan hutan dan lahan, 2) Open akses kawasan hutan, 3) Lemahnya penegakan hukum, dan 4) Biaya transaksi tinggi pengusahaan hutan. Dari data-data statistik kehutanan maupun kajian-kajian yang telah dilakukan, ke-4 persoalan utama tersebut dapat dirunut kebenarannya. FWI (2014) melaporkan bahwa sampai dengan tahun 2013 terdapat 41 juta ha luas tutupan hutanalam yang berada di Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi dan AreaPenggunaan Lain yang belum memiliki lembaga yang bertanggung jawabsebagai pengelola di lapangan. Dari seluruh kawasan hutan Negara (130,68 juta ha) baru sekitar 12,68% (14,24 juta ha) yang telah dikukuhkan, walaupun telah ditata batas sepanjang 222.452 km (74,67%) dari proyeksi panjang tata batas 281.873 km (RKTN 2011-2030). Ketiadaan pengelola di tingkat tapak dan rendahnya kepastian kawasan yang telah dikukuhkan menyebabkan areal hutan yang dikuasai oleh Negara berisiko menjadi sumberdaya dengan akses terbuka (open access resources), akibatnya illegal logging dan deforestasi masih ditengarai tinggi di Indonesia. FWI (2014) melaporkan bahwa kehilangan tutupan hutan alam (deforestasi) di Indonesia pada periode 2009-2013 adalah sekitar 4,50 juta hektar dan laju kehilangan hutan alam Indonesia adalah sekitar 1,13 juta hektar per tahun lebih tinggi dari 207
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
laporan Badan Planologi Kehutanan (2008) untuk kurun waktu 2000-2005 yang menyebutkan konversi hutan mencapai 1,09 juta ha per tahun. Lahan kritis hingga 2013 mencapai luasan 27.294.842 ha terdiri 22.025.581 ha berkategori kritis dan 5.269.260 ha berkategori sangat kritis, sementara kemampuan pemerintah untuk merehabilitasinya sangat terbatas yaitu 119.095 ha pada tahun 2013 (Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013) yang tampaknya untuk tahun-tahun sebelumnya tidak akan berbeda siginifikan dengan realisasi tahun 2013 tersebut. Belum lagi apabila dilacak tingkat keberhasilannya menjadi pohon yang dapat berfungsi baik sebagai penyuplai kayu maupun pendukung kehidupan. Tampaknya basis spasial dan pendataan yang kontinyu terhadap hasil-hasil rehabilitasi masih perlu diperkuat. Pada pengusahaan hutan, Litbang KPK juga menengarai adanya biaya transaksi tinggi, baik pada pelaksanaan perizinan, perencanaan hutan, produksi hasil hutan, dan penataan usaha hasil hutan (Litbang KPK 2013). Tingginya biaya transaksi tersebut menyebabkan usaha di bidang kehutanan menjadi tidak atraktif. Apabila tahun 2008 masih ada 212 unit pemegang IUPHHK-HA, pada tahun 2012 jumlah tersebut tinggal 115 unit. Di antara banyak persoalan tersebut di atas, paper ini akan difokuskan untuk mengupas perlunya kelembagaan dan organisasi pengelola di tingkat tapak, karena program-program pemerintah untuk peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan lindung akan banyak mengalami hambatan apabila tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas keberhasilan implementasinya yaitu dalam hal perencanaan dan pembiayaannya, pelaksanaan programprogram, penjaminan terhadap keamanan dan kelestarian investasi, menekan dampak negatif penguasaan kawasan hutan oleh Negara yang sesuai karakteristiknya rentan menjadi open access resources, pengukuran dan pelaporan atas program, menindak lanjuti atas kelemahankelemahan implementasi program, pengelolaan biaya dan pendistribusian manfaat-manfaat di level tapak. Oleh karenanya, menghadirkan pengelola di tingkat tapak yang dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas tersebut sangat diperlukan. Dalam kerangka peraturan dan perudangan yang ada, pengelola di tingkat tapak tersebut dapat diperankan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) (UU 41/1999; PP 6/2007 jo PP 3/2008; PP 44/2004). II. PERSOALAN KELEMBAGAAN DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN Kelembagaan meliputi aturan main dan organisasi. Aturan main merujuk pada undangundang, regulasi, kebijakan, norma-norma, larangan-larangan, atau kontrak-kontrak untuk mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat, kelompok atau organisasi/lembaga. Dari penjelasan fakta statistik tersebut di atas dapat disarikan bahwa tampaknya pengelolaan hutan Negara pada umumnya menghadapi berbagai persoalan kelembagaan sebagai berikut: 1. Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dan UU 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 4 ayat 1 mengindikasikan bahwa hutan yang dikuasai oleh Negara (state/public forest) merupakan sumberdaya milik bersama (Commonpool Resources – CPRs) yang selalu dihadapkan pada dilema-dilema pemanfaatan, di mana semua orang ingin memperoleh manfaatnya, namun tidak semua orang bersedia menjaga (bertanggung jawab terhadap) kelestariannya. 2. Sebagai sumberdaya milik bersama (common-poll resources – CPRs) cenderung/berisiko menjadi sumberdaya dengan akses terbuka (open access resources) secara de facto, terlebih kelembagaan yang efektif di tingkat tapak tidak mampu dihadirkan. Tanpa kelembagaan 208
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
yang efektif akan menyebabkan sumberdaya milik bersama dimanfaatkan secara berlebihan (over exploitation) yang mengakibatkan rusaknya (tidak lestarinya) sumberdaya tersebut (Ostrom, 2008). Fenomena-fenomena perambahan hutan, illegal logging dan deforestasi terjadi karena sebab-sebab tersebut, sebagai akibat tidak terkendalinya kompetisi klaim (competing claims) para aktor. Kompetisi klaim tersebut tidak saja melibatkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, melainkan melibatkan pula para aktor yang memiliki kewenangan dalam perizinan pemanfaatan sumberdaya milik bersama tersebut. 3. Kepastian hukum atas areal hutan Negara masih lemah. Pengukuhan hutan yang menjadi pra-syarat kepastian hukum (legalitas) kawasan hutan pada kenyataannya masih dalam proses penetapan. Areal yang telah dikukuhkanpun tidak seluruhnya dihormati oleh masyarakat (legitimate) yang menyebabkan tingginya konflik-konflik tenurial di kawasan hutan Negara. 4. Investasi-investasi publik (pemerintah) tidak dapat dipastikan keberhasilannya, karena “penjaga” dari investasi tersebut tidak ada di level tapak. Investasi publik tersebut dapat meliputi pal batas, hasil rehabilitasi hutan dan lahan, dan lain sebagainya. Ketiadaan “penjaga” di level tapak akan menimbulkan pemikiran masyarakat bahwa investasi publik kehutanan tidak ada yang memilikinya. 5. Pemerintah sebagai penguasa kawasan hutan Negara pada kenyataannya tidak memiliki informasi yang komplit terhadap sumberdaya yang dikuasainya. Kepemilikan informasi justru berada pada pemegang izin. Pada situasi demikian pada dasarnya akan mendorong pemegang izin dan petugas pengawas usaha pemegang izin akan berperilaku moral hazard dalam pengelolaan hutan. Fenomena rusaknya konsesi hutan sebelum masa konsesi habis merupakan akibat dari situasi ketidaksepadanan informasi yang dimiliki antara pemegang izin dan pemerintah. Begitu pula dengan fenomena biaya transaksi tinggi pada pengusahaan hutan di Indonesia.Sesungguhnya dengan mekanisme pemberian izin bagi swasta yang ingin terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan, pemerintah memiliki kesempatan untuk mengendalikan perilaku pemegang izin.Pada kenyataannya mekanisme izin yang dikembangkan belum mampu dijadikan alat pengendali perilaku lestari bagi pemegang izin. Kondisi demikian jelas akan menurunkan produktivitas hutan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) produktivitas didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan sesuatu. Apabila dikaitkan dengan hutan memiliki arti kemampuan hutan untuk menghasilkan tegakan dan tanaman-tanaman lainnya sebagai penyusun ekosistem hutan (stock) yang pada akhirnya akan mempengaruhi aliran manfaat (flow) dari hutan tersebut. Deforestasi tinggi, luasnya lahan kritis, terbatasnya kemampuan pemerintah untuk merehabilitasi dan tidak menariknya investasi di sektor kehutanan akanmengurangi sediaan (stock) sumberdaya hutan dan akhirnya akan mengurangi kemampuannya untuk menyediakan aliran manfaat (flow). Persoalan-persoalan yang menyebabkan penurunan produktivitas hutan tersebut tentu bukan merupakan persoalan teknis semata. Oleh karenanya untuk meningkatkan produktivitas hutan yang hanya berorientasi teknis seperti ketepatan jenis dengan tempat tumbuh (soil species matching), bibit unggul, teknik silvikultur, dls akan berisiko tinggi menemui kegagalan, karena persoalan-persoalan yang lebih kompleks seperti sosial, politik, kelembagaan, regulasi dan ketiadaan organisasi pengelola di tingkat tapak juga perlu disediakan sebagai faktor pemungkin (enabling factors) bagi keberhasilan pendekatan teknis. Hal ini sejalan dengan sinyalemen Mayers et al. (2002) yang menyatakan bahwa banyak persoalan pencapaian pengelolaan hutan lestari (PHL) seringkali berakar pada masalah yang jauh dari SDH itu sendiri. Ketika faktor-faktor pemungkin bagi bekerjanya suatu kebijakan tersebut telah mampu
209
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
disediakan, maka orang akan berfikir tentang efisiensi dan peningkatan produktivitas. Pada saat itulah teknologi memiliki peran yang sangat penting. III. KPH SEBAGAI ARUS UTAMA PEMBANGUNAN KEHUTANAN INDONESIA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KPH Hingga Februari 2014, terdapat 121,68 juta ha wilayah yang telah ditetapkan menteri sebagai KPH terdiri dari 37,73 juta ha KPHK, 24,14 juta ha KPHL dan 59,81 juta ha KPHP (Direktorat WP3H, 2014) yang keseluruhan pembangunannya akan diselesaikan 2019. Dari keseluruhan wilayah yang telah ditetapkan tersebut terdapat 120 unit KPH Model dengan luasan 16,44 juta ha yang terdiri dari 3,55 juta ha (40 unit) KPHL dan 12,89 juta ha (80 unit) KPHP (Direktorat WP3H, 2014). Dengan demikian, antara 2015-2019 akan diperlukan pembangunan KPH baru seluas 105,24 juta ha. Sementara itu perkembangan untuk 120 unit KPH model dapat dijelaskan sebagai berikut: KPH model yang telah terbentuk organisasinya berjumlah 115 unit terdiri dari 102 unit berbentuk UPTD dan 13 unit berbentuk SKPD. Dari 115 unit KPH model yang telah terbentuk organisasinya, baru 94 orang yang memiliki KKPH definitif dengan jumlah pegawai (SDM) 1.100 orang. Hingga Februari 2014 terdapat 38 unit KPH yang telah memiliki RPHJP selebihnya masih dalam proses pengesahan. Dalam kaitannya dengan 9 cita-cita (Nawa Cita) pemerintahan Jokowi-JK saat ini, pembangunan KPH dapat diartikan sebagai pewujudan cita-cita pertama yaitu Negara harus hadir, cita-cita kedua yaitu pemerintah tidak absen dan cita-cita ketiga yaitu membangun dari pinggiran (daerah dan desa). Kemudian dijabarkan oleh Tim Transisi pemerintahan Jokowi-JK ke dalam “quick win reforma agrarian” yang menyebutkan bahwa untuk 3 bulan pertama akan merencanakan pembentukan KPH untuk seluruh wilayah Indonesia sebagai penjaga ekosistem hutan berbasis tapak. Selain itu dalam rangka pencegahan korupsi, KPK telah pula menyusun 5 agenda NKB-KPK untuk Provinsi yang mana agenda ke-empatnya menekankan pada operasionalisasi KPH. Bahkan di dalam Rancangan RPJMN 2015-2019 untuk bidang kehutanan, pemerintah menargetkan terbangunnya 480 KPH dan operasionalisasi 120 KPH model di seluruh Indonesia, sehingga pada 2019 ditargetkan telah terbangun 600 KPH di seluruh Indonesia. Untuk akselerasinya Bappenas telah mensepakati bahwa pembangunan kehutanan akan dilakukan pada KPH yang diistilahkan “no KPH, no budget”. Dari penjelasan tersebut di atas, tampak bahwa KPH merupakan arus utama pembangunan kehutanan di Indonesia di masa datang. Persoalannya adalah mengapa pembangunan KPH hingga kini masih lambat dan yang telah terbangun belum beroperasi sesuai yang diharapkan? IV. PERAN KPH Seluruh kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara terbagi dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yang menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota (PP 6/2007 ps 3(3)). KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari (PP No.6/2007). Istilah KPH sendiri sesungguhnya telah dikenal sejak diterbitkannya UU No 41/1999 tentang Kehutanan, kemudian ditegaskan kembali di dalam PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan mendapat dorongan kuat melalui PP No. 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Dengan ketentuan tersebut, maka pada dasarnya KPH merupakan 210
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
unit organisasi yang ditugaskan untuk mengelola kawasan hutan Negara sesuai fungsinya yaitu hutan produksi (KPHP), hutan lindung (KPHL) dan hutan konservasi (KPHK). Mengingat posisi yang cukup strategis tersebut, maka KPH perlu diberi tugas dan fungsi yang cukup luas. Tugas dan fungsi tersebut meliputi (PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008): 1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan; penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan perlindungan hutan dan konservasi alam. 2. Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk diimplementasikandi level tapak. 3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian. 4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya. 5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan. Dengan demikian kehadiran KPH di tingkat tapak secara potensial dapat diperankan sebagai berikut: 1. Kawasan hutan yang berdasarkan UU dikuasai oleh negara memerlukan lembaga dan kelembagaan pengelolaan hutan yang efektif dan merupakan wakil pemerintah di tingkat tapak untuk meminimalisir risiko bermutasinya kawasan hutan yang dikuasai oleh negara menjadi open access resources. 2. Kompetisi klaim atas sumberdaya hutan (termasuk lahan) dapat lebih diatur dengan adanya organisasi KPH di tingkat tapak. Ketika ada masyarakat yang memerlukan ruang untuk penguatan mata penchariannya dapat dicarikan solusi yang tidak bertentangan dengan regulasi yang ada baik melalui fasilitasi perolehan izin HTR, HKm dan Hutan Desa maupun melalui kemitraan (Permenhut P.39/2013) dan kerjasama bagi hasil pada wilayah tertentu (Permenhut P.47/2013). Begitu pula ketika ada pemberian izin kepada swasta, KPH dapat memberikan masukan atas rekomendasi perizinan. 3. Pengelolaan (terutama pemanfaatan SDH) yang dipercayakan kepada swasta melalui mekanisme pemberian ijin pemanfaatan hasil hutan (IUPHH) memiliki keterbatasan waktu dan apabila telah berakhir masa konsesinya kawasan tersebut menjadi tidak berpengelola. Selain itu sifat pemindahan hak (transfer of right) yang diberikan kepada pemegang ijin adalah sementara (temporary transfer of rights) seperti halnya sewa-menyewa, maka diperlukan pula pengawasan yang ketat dari pemerintah atas perilaku pemegang ijin dalam pemanfaatan hutan di tingkat tapak. 4. Dengan kehadiran KPH, maka kemampuan pemerintah untuk memperkuat kepemilikan informasi SDH di tingkat tapak dapat ditingkatkan. Dengan informasi yang kuat, maka bentuk-bentuk intervensi dapat disesuaikan dengan kondisi setempat, selain untuk melindungi dan mengamankan asset Negara berupa hutan. 5. Banyak investasi kehutanan seperti halnya pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang telah diimplementasikan di lapangan sering gagal yang dikarenakan ketiadaan pengelola atas investasi tersebut. Pelaksana proyek hanya berorientasi pada penanaman, tanpa memikirkan pemeliharaan dan pengelolaan atas pohon yang ditanam. Investasi kehutanan tidak hanya terbatas pada RHL saja melainkan juga meliputi pal batas, jalan inspeksi, program-program pengayaan dan perlindungan biodiversitas, program-program REDD+, dls. Selain menjaga dan mengelola investasi kehutanan tersebut, KPH dapat pula diperankan sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengukuran, monitoring, 211
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
evaluasi dan pelaporan serta penjamin bahwa program-program kehutanan yang diimplementasikan tidak menyebabkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat menurun. 6. Program-program pemberian akses kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam mengelola hutan dan peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan lindung seperti Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan lambat terealisasi karena ketiadaan pendamping di level pengusulan dan implementasi. Melalui pelayanan publik yang mestinya menjadi orientasi penyelenggaraan KPH, maka penguatan keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan SDH dapat dilakukan baik melalui jalinan kemitraan maupun pelibatan masyarakat dalam operasionalisasi pengelolaan hutan oleh KPH. Dalam jangka panjang kondisi demikian akan meningkatkan legitimasi pengelolaan hutan oleh KPH. 7. Dalam batas-batas kewenangannya, KPH dapat membantu operasionalisasi penyelesaian konflik tenurial di lapangan setelah pihak-pihak yang berweweng menyelesaikannya secara yuridis formal atas sengketa tersebut. Disadari bahwa konflik tenurial bukan saja persoalan teknis semata melainkan melibatkan persoalan sosial dan politik. Oleh karenanya persoalan sosial dan politik konflik perlu diselesaikan oleh lembaga lain seperti Tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (Tim IP4T) sebagaimana diatur oleh Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Kehutanan, Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perma No 70/2014, PB.3/Menhut-II/2014, 17/PRT/M/2014 dan 8/SKB/X/2014), sedangkan persoalan operasional teknis dapat diselesaikan oleh KPH. 8. Program-program peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan lindung seringkali ditetapkan melalui proses “top down” baik tentang penetapan jenis, metode dan system penanaman, maupun tata waktu pelaksanaannya akibat kurangnya informasi yang dimiliki pengambil keputusan di pusat. Dengan adanya KPH informasi-informasi tersebut dapat diperkuat, sehingga penetapan jenis, metode dan system penanaman, maupun tata waktu pelaksanaannya dapat lebih disesuaikan dengan kondisi lapangan. V. PENGUATAN KAPASITAS KPH Dari sudut pandang teori hak atas properti/kekayaan (property rights theory), pembangunan KPH dapat dimaknai sebagai penguatan kapasitas pemerintah di tingkat tapak dalam penegakan hak-hak Negara untuk menjamin kelestarian SDH bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, KPH dibangun untuk menyempurnakan klaim hak menguasai oleh Negara c.q Pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/kota sesuai kedudukannya) agar SDH terkelola secara lestari dan mendatangkan sebesar-besar kemanfaatan bagi rakyat. Ada 3 syarat yang perlu disediakan agar klaim tersebut menjadi efektif. Pertama, klaim atas sumberdaya tersebut harus memperoleh perlindungan Negara. Kedua, klaim seseorang atau kelompok harus mampu membangkitkan kewajiban bagi orang atau kelompok lain untuk menghormati klaim tersebut. Tanpa adanya penghormatan atas klaim tersebut, maka klaim akan sia-sia dan sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang diklaim tersebut tidak dapat ditegakkan secara efektif. Ketiga, klaim atas sumberdaya akan memerlukan biaya pengelolaan dan penegakan atas hak-hak (management and enforcement costs), karena pada dasarnya tidak ada klaim yang gratis. Syarat pertama merujuk pada legalitas, syarat kedua merujuk pada legitimasi dan syarat ketiga merujuk pada kemampuan pendanaan dan penyediaan sumberdaya manusia (SDM) yang memadai. Kemampuan pendanaan dan penyediaan SDM akan dapat diperoleh apabila KPH mampu menghasilkan dana sendiri untuk membiayai sebagian atau bahkan seluruh kegiatan pengelolaan KPH. Hal terakhir yang disebutkan ini merujuk pada kemandirian pengelolaan KPH. 212
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Legalitas, legitimasi dan kemandirian pengelolaan KPH tersebut perlu ada pada berbagai aspek yang mempengaruhi kelestarian pengelolaan hutan. Aspek-aspek tersebut meliputi kawasan, kelembagaan, program/kegiatan, dana dan SDM. Selain itu perlu pula disediakan faktor-faktor pemungkin untuk operasionalisasi KPH secara efektif dan efisien. Merujuk pada pemikiran tersebut, maka kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam rangka penguatan KPH dapat dirinci pada Tabel 1. Tabel 1. Dukungan Kegiatan untuk Penguatan Kapasitas KPH ASPEK KAWASAN
LEGALITAS
LEGITIMASI
• Pengukuhan kawasan • Dukungan stakeholder KPH (penunjukan, melalui penguatan Forumtata batas, pemetaan, forum Multipihak penetapan) • Identifikasi dan penyelesaian konflik tenurial • Pengakuan atas hak-hak yang ada
KEMANDIRIAN PENGELOLAAN • Clear and clean (bebas konflik, minimal konflik dapat dikelola) • Jaminan keamanan investasi publik dan privat
KELEMBAGAAN • Lobby Gubernur un- • Penguatan kapasitas resolusi • Membangun upaya untuk tuk percepatan penekonflik danpengkomunikasian mengurangi ketergantapan pejabat KKPH keberadaan KPH tungan terhadap APBN/D • Proses-proses politik • Pembangunan organisasi • Membangun kerjasama percepatan penetaphingga tingkat resort beserta dengan masyarakat, doan dan pengisian infrastrukturnya nor, stakeholders, swasta personil KPH • Penguatan kapasitas • Kejelasan posisi KPH organisasi KPH melalui terkait implementasi pendampingan pusat dan UU 23/2014 provinsi PROGRAM/ KEGIATAN
• Review RPHJP dan/ atau Business Plan menuju pengelolaan KPH lestari • Mainstreaming RPHJP KPH ke RPJM dan RenstraDishut Provinsi • Penjabaran kebijakan Nas/ Prov/ Kab/Kot
• Membangun tata kelola KPH yang transparan, akuntabel dan partisipatif (Good Forest Governance) • Pelibatan CSO • Mendorong perencanaan tahunan KPH berdasar permasalahan yang berkembang di masyarakat • Penguatan koordinasi dengan pemegang izin • Mendorong berjalannya layanan publik KPH
SDM
• Penyediaan SDM yang handal dan memberikan layanan prima kepada klien • Menjajagi kemungkinan perekrutan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) sesuai UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk KKPH • Penguatan leadership dan entrepreneurship KKPH dan personil pendukungnya
DANA
• Membangun peluang investasi dan kemitraan sesuai ketentuan-ketentuan yang ada (P.47/2013 dan P.39/2013) • Penerapan PPK-BLUD (sesuai Permendagri 61/2007) atau Perda Retribusi khususnya
213
• Penyelenggaraan pengelolaan hutan lestari (tata hutan, RPH, pemanfaatan, penggunaan, rehabilitasi, perlindungan dan konservasi). • Pemantauan dan penilaian pemegang izin. • Penguatan kapasitas untuk pemanfaatan wilayah tertentu
Prosiding Seminar Hasil Penelitian ASPEK
LEGALITAS
LEGITIMASI
KEMANDIRIAN PENGELOLAAN
Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah (sesuai UU 28/2009) • Menjalin kerjasama dengan donor dan/atau pihak-pihak terkait lainnya FAKTOR PEMUNGKIN
• Mendorong ditetapkannya kejelasan kewenangan KPH dalam satu peraturan (level nasional – jangka panjang) dan mengkompilasi kewenangan KPH yang tersebar di berbagai peraturan (level KPH – jangka pendek). • Review kebijakan dan peraturan penghambat pembangunan dan operasionalisasi KPH (izin, pasar, pemanfaatan hasil RHL, mobilisasi SDM, dls) (level nasional – jangka panjang). • Membangun kesepahaman bersama untuk kejelasan Tahubja KPH dengan pemegang izin dan Dinas Kehutanan Provinsi melalui pendekatan intensif dengan Kepala Daerah dan stakeholders lainnya
VI. TANTANGAN-TANTANGAN PEMBANGUNAN KPH Pembangunan KPH sudah dimanatkan oleh UU sejak tahun 1999, namun baru diimplementasikan secara efektif mulai 2007 setelah PP 6/2007 diterbitkan (8 Januari 2007). Dari target sekitar 600 unit KPH, hingga kini baru terbangun 120 KPH Model. Kekurangan dari target tersebut (± 480 unit) akan diselesaikan oleh Kemenhut pada tahun 2019, dengan rencana akan dibangun ± 100 unit tiap tahunnya mulai dari 2015. Walapun hingga Januari 2014 telah terbangun 120 KPH Model, tetapi belum semuanya operasional. Kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa masih terdapat berbagai persoalan dalam pembangunan dan operasionalisasi KPH. Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan KPH dan proses operasionalisasinya antara lain: 1. Lingkup kewenangan KPH. Kewenangan yang dimiliki KPH sesungguhnya sudah cukup kuat, namun kewenangan-kewenangan tersebut menyebar di berbagai peraturan yang umumnya tidak semua peraturan tersebut dibaca oleh penyelenggara KPH. Sebagai contoh, menurut PP 6/2007 Pasal 71 s/d 78 RKT pemegang izin disahkan oleh KPH apabila KPH telah terbentuk, namun hingga kini tidak satupun KPH yang berani mengesahkan RKT tersebut. Bahkan untuk melakukan pengawasan dan evaluasi pemegang izin seperti dimandatkan oleh Tupoksi KPH tidak berani untuk dijalankan. Oleh karenanya mengkompilasi seluruh kewenangan yang tersebar di berbagai peraturan dalam satu perturan menjadi strategis untuk dilakukan dalam waktu dekat ini. 2. Pemahaman stakeholders dan dukungan Pemerintah Daerah (yang menurut UU 23/2014 adalah Pemerintah Propinsi) masih belum merata. Dinamika politik lokal sangat berpengaruh terhadap konsistensi komitmen daerah. 3. Implikasi diundangkannya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dimana urusan kehutanan (termasuk di dalamnya urusan KPHP dan KPHL) merupakan urusan konkuren yang bersifat pilihan yang penyelenggaraannya dibagi antara Pempus dan Provinsi (Ps 14(1)), akan menyebabkan peran Kabupaten menjadi berkurang sementara tapak KPH berada di wilayah Kabupaten. Kurangnya peran kabupaten tersebut dikhawatirkan akan menghambat akselerasi pembangunan KPH. 4. Masih banyak KPH yang sudah memiliki SK Menhut namun belum memiliki organisasi di tingkat tapak (8 unit dari 120 unit) dan yang telah memiliki SK dan orgaisasi belum dapat beroperasi secara efektif.
214
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
5. Masih adanya hambatan regulasi terutama terkait dengan perizinan pemanfaatan hutan termasuk pemanfaatan hasil tanaman kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dan tata hubungan kerja KPH dengan pemegang izin. 6. Prospek kemandirian finansial KPH belum terlihat. Untuk mencapai kemandirian finansial, maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi potensi sumberdaya hutan yang dapat dijadikan pendapatan oleh KPH. Selanjutnya untuk mengaktualisasikan potensi tersebut menjadi pendapatan riil, KPH perlu payung hukum agar dapat menghasilkan pendapatan. Sesungguhnya telah ada beberapa peraturan yang berpotensi untuk mendukung kemandirian tersebut, seperti misalnya penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 61/2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah atau menggunakan mekanisme retribusi daerah, khususnya pada jenis retribusi jasa usaha yang mana salah satu jenis retribusi pada obyek retribusi jasa usaha adalah retribusi penjualan produksi usaha daerah (UU 28/2009 pasal 127 huruf k). 7. Kurangnya dukungan sumberdaya manusia (SDM) dan dana. Dukungan BP2SDM dengan skema “Bhakti Rimbawan” masih dikeluhkan ketepatan rekruitmennya oleh KPH. Umumnya SDM yang dikirim merupakan sarjana baru yang masih perlu ditingkatkan pemahamannya tentang KPH, sementara tuntutan di lapangan memerlukan sarjana kehutanan yang sudah berpengalaman atau paling tidak pengetahuan tentang KPHnya sudah memadai. 8. Komunikasi kebijakan KPH oleh pemerintah pusat belum menyasar pada pengambil keputusan strategis di level daerah. Komunikasi kebijakan dilakukan hanya sebatas sosialisasi kepada SKPD-SKPD terkait yang pada kenyataannya tidak memiliki power untuk memutuskan. 9. Konflik penguasaan lahan (Land tenure conflict) sebagai konsekuensi kebijakan alokasi areal yang tidak dibebani hak untuk KPH, dimana areal-areal demikian umumnya telah dikuasai oleh masyarakat yang bila dilihat dari sisi kekuatan klaim atas lahan yang ada pada Masyarakat dan Kementerian Kehutanan, umumnya masyarakat memiliki legitimasi yang kuat di lapangan namun legalitasnya lemah sedangkan Kementerian Kehutanan memiliki legalitas kuat namun legitimasinya lemah. 10. Kurangnya “leadership” dan “entrepreneurship” Kepala KPH yang umumnya berasal dari PNS. VII. KESIMPULAN DAN SARAN Peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan lindung akan banyak mengalami hambatan apabila tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas keberhasilan implementasinya yaitu dalam hal perencanaan dan pembiayaannya, pelaksanaan program-program, penjaminan terhadap keamanan dan kelestarian investasi, menekan dampak negatif penguasaan kawasan hutan oleh Negara yang sesuai karakteristiknya rentan menjadi open access resources, pengukuran dan pelaporan atas program, menindak lanjuti atas kelemahan-kelemahan implementasi, pengelolaan biaya dan pendistribusian manfaat-manfaat di level tapak. Oleh karenanya, menghadirkan pengelola di tingkat tapak yang dapat melaksanakan aktivitasaktivitas tersebut sangat diperlukan. Pengelola di tingkat tapak tersebut dapat diperankan oleh KPH. Selain KPH telah menjadi arus utama dalam pembangunan kehutanan nasional, kehadirannya juga diperlukan untuk mengefektifkan pengelolaan sumberdaya milik bersama (common-pool resources) berupa hutan yang dikuasai oleh Negara (state/public forest). Namun perlu disadari bahwa KPH 215
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
sebagai alternative yang paling mungkin dari serangkaian alternative lainnya, hingga saat ini masih mengalami kendala implementasi dan operasionalisasinya di tingkat tapak. Untuk itu diperlukan serangkaian kegiatan untuk mendukung penguatan legalitas, legitimasi dan kemandiriannya baik pada aspek kawasan, kelembagaan, program/kegiatan, dana, SDM dan faktor-faktor pemungkin untuk operasionalisasi KPH secara efektif dan efisien. DAFTAR PUSTAKA Forest Watch Indonesia (FWI). 2014. POTRET KEADAAN HUTAN INDONESIA PERIODE 20092013. Forest Watch Indonesia. Bogor. Indonesia. Kementerian Kehutanan. 2014. Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Indonesia. Litbang KPK. 2013. Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam (SDA): Studi Kasus Sektor Kehutanan. Litbang KPK. Jakarta. Indonesia. Mayers J., S. Bass and D. Macqueen. 2002. The Pyramid: A diagnostic and planning tool for good forest governance. International Institute for Environment and Development (IIED). June 2002. Ostrom E. 2008. Institutions and the Environment. Journal of Institute of Economic Affairs. (September 2008): 24-31. UNDP. 2013. Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan dan REDD+ Indonesia 2013. UNDP. Jakarta. Indonesia.
216
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
KAJIAN SOSIAL, EKONOMI DAN KEBIJAKAN DALAM BUDIDAYA KAYU PERTUKANGAN LOKAL: PEMBELAJARAN DARI MASYARAKAT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN DAN BENGKULU Nur Arifatul Ulya Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Masyarakat di hulu maupun hilir DAS di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu secara tradisional dalam kehidupan sehari-hari mempunyai interaksi dengan kayu pertukangan yang dimanfaatkan sebagai bahan bangunan rumah maupun perabot rumah tangga. Di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan Pagaralam yang terletak di wiayah hulu di Provinsi Sumatera Selatan mengenal kayu bambang lanang sebagai kayu pertukangan lokal yang tumbuh di pekarangan dan kebun masyarakat. Masyarakat di wilayah hilir di Provinsi Sumatera Selatan seperti Palembang, OKU mengenal kayu tembesu sebagai kayu pertukangan yang memiliki kualitas tinggi. Masyatrakat di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah yang termasuk wilayah DAS tengah mengenal kayu bawang sebagai kayu pertukangan lokal yang berasal dari pekarangan dan kebun masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan berbagai fakta dan data sosial, ekonomi dan kebijakan yang bersumber dari masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu dalam kaitannya dengan budidaya pohon penghasil kayu pertukangan lokal (bambang lanang, tembesu dan kayu bawang) oleh masyarakat. Kata kunci: bambang lanang, kayu bawang, pemasaran, tembesu
I. PENDAHULUAN Sumatera bagian selatan (dalam hal ini Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu) merupakan bentang lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berhulu di Bukit Barisan dan berhilir di pantai timur dan pantai barat Pulau Sumatera. Wilayah di sekitar hulu DAS mempunyai topografi bergelombang, berbukit dan bergunung dengan tingkat kesuburan tanah yang cukup tinggi. Wilayah tengah dan hilir DAS pada umumnya memiliki dataran yang luas yang merupakan wilayah budidaya yang mempunyai interaksi tinggi dengan masyarakat. Masyarakat di hulu maupun hilir secara tradisional dalam kehidupan sehari-hari mempunyai interaksi dengan kayu pertukangan. Kayu pertukangan dimanfaatkan sebagai bahan bangunan rumah maupun perabot rumah tangga. Masyarakat di wilayah hulu Provinsi Sumatera Selatan, terutama di Kabupaten Lahat, Empat Lawang dan Pagaralam pada masa lalu memperoleh kayu berkualitas (tenam, meranti dan merbau) dari hutan alam. Saat ini mereka memanfaatkan kayu dari pohon bambang lanang (Michelia champaca) yang diperoleh dari kebun atau ladang masyarakat. Masyarakat di wilayah hilir Provinsi Sumatera Selatan pada umumnya memanfaatkan kayu racuk sebagai kayu pertukangan. Sedangkan masyarakat hilir yang termasuk kelas sosial tinggi membangun rumah dari kayu tembesu (Fragraea fragrans) (Martin, 2012). Bagi masyarakat di Provinsi Bengkulu, kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) merupakan kayu pertukangan lokal yang dibudidayakan di kebun masyarakat (Anwar et al., 1999; Martin dan Galle, 2009). Perbedaan karakteristik geografis dan kependudukan mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku masyarakat dalam hubungannya dengan budidaya pohon penghasil kayu. Sehingga kebijakan, program dan pendekatan yang berkaitan dengan budidaya pohon (dalam hal ini kayu pertukangan lokal) sebaiknya mengacu pada fakta dan pemikiran yang berkembang di masyarakat (Martin, 2012). Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan berbagai fakta dan data sosial, ekonomi dan kebijakan yang bersumber dari masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu dalam 217
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
kaitannya dengan budidaya pohon penghasil kayu pertukangan lokal (bambang lanang, tembesu dan kayu bawang) oleh masyarakat. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran bagi budidaya maupun perumusan kebijakan dalam kaitannya dengan budidaya dan pengembangan pohon penghasil kayu pertukangan lokal. II. METODE PENELITIAN Kajian ini merupakan kumpulan dari berbagai hasil penelitian sosial, ekonomi dan kebijakan kayu pertukangan yang dilakukan oleh BPK Palembang mulai kurun waktu tahun 2006 sampai 2014 di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu. Jenis pohon penghasil kayu pertukangan unggulan lokal Provinsi Sumatera Selatan adalah bambang lanang dan tembesu, sedangkan jenis kayu pertukangan unggulan lokal Provinsi Bengkulu adalah kayu bawang. Datadata hasil penelitian di lapangan yang telah dianalisis dan disajikan dalam bentuk laporan hasil penelitian maupun publikasi ilmiah dipilah, dikelompokkan, dikompilasi dan dianalisis untuk menyusun kajian. III. HASIL PENELITIAN 1. Jenis kayu pertukangan prioritas di Sumatera Bagian Selatan Penelitian dan pengembangan kayu pertukangan yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tegakan dan kulitas lingkungan serta nilai ekonomi kehutanan merupakan salah satu kegiatan litbang yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang tahun 2010-2014. Dalam rangka kegiatan tersebut, pada tahun 2009 BPK Palembang menetapkan jenis-jenis kayu pertukangan lokal prioritas untuk penelitian dan pengembangan, terutama di Sumatera Bagian Selatan. Jenis bambang lanang, sungkai (Penorema canescens), kayu bawang dan tembesu dinilai sebagai empat jenis teratas yang mewakili lahan kering (tanah mineral), sementara gelam (Melaleuca cajuputi) merupakan jenis prioritas bagi lahan basah (rawa). Dari keempat jenis kayu pertukangan prioritas lahan kering, jenis yang mewakili lokalitas Sumatera bagian selatan adalah bambang lanang, kayu bawang dan tembesu (Sofyan et al., 2010). Sedangkan sungkai cenderung menyebar secara merata di Pulau Sumatera. Bambang lanang dikenal oleh masyarakat lokal dengan nama bambang, medang bambang. Bambang lanang merupakan jenis pohon penghasil kayu pertukangan yang pada awalnya hanya dikembangkan oleh orang Lintang yang tinggal di Muara Pinang, Pendopo, Ulu Musi dan Talang Padang di Kabupaten Empat Lawang, Provinsi Sumatera Selatan sejak kira-kira 100 tahun yang lalu. Kini jenis bambang lanang sudah menyebar di luar Kabupaten Empat Lawang, tepatnya di Kota Pagaralam, Kabupaten Lahat, Musi Rawas, Muara Enim, Ogan Komering Ulu (UKO), OKU Selatan, bahkan sampai di Provinsi Lampung dan Bengkulu (Martin dan Premono, 2010). Bambang lanang tumbuh cepat meskipun tanpa perawatan intensif. Batangnya lurus dengan tinggi bebas cabang pada umur 10 tahun bisa mencapai 20 meter. Masyarakat secara tradisional memanen kayu bambang lanang pada umur 15 tahun dengan hasil kayu gergajian kurang lebih 1 m3. Masyarakat menanaman bambang lanang pada lahan produktif, subur dan mudah dijangkau. Hal ini dilakukan agar bambang lanang dapat menjadi penjamin kebutuhan keluarga ketika komoditas pertanian utama di kebun masyarakat seperti kopi, kakao dan karet tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga (Martin dan Premono, 2010). Masyarakat yang memiliki lahan kopi atau kakao hanya 0,25 hektar dan pemilik lahan sempit lainnya menanam bambang lanang sebagai pagar batas kebun atau dalam posisi yang tidak terlalu mengganggu tanaman pokoknya. Bambang lanang di lahan masyarakat dipanen pada umur 15 218
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
tahun dengan hasil berupa kayu gergajian dengan hasil kayu gergajian kurang lebih 1 m 3 (Martin dan Premono, 2010). Tembesu merupakan salah satu salah satu jenis dari famili Loganiaceae yang menyebar mulai dari Bengal (India), Myanmar, Kepulauan Andaman, Indo Cina, Filipina, Thailand, Semenanjung Malaysia, Singapura, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Pulau Yapen (Lemmens et al., 1995). Tembesu tumbuh pada iklim basah sampai agak kering, dan tumbuh baik pada ketinggian 0-500 mdpl (Martawijaya et al., 2005). Bagi masyarakat di Sumatera Bagian Selatan (Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Lampung), kayu tembesu merupakan kayu yang populer. Heyne (1987) menyatakan bahwa di Sumatera Selatan, tembesu dikenal sebagai kayu unggul dengan sebutan kayu raja, yang pada masa lalu hal penebangannya diatur oleh kepala adat. Kayu tembesu dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan rumah maupun perabot. Di Sumatera Selatan, kayu tembesu digunakan sebagai bahan baku pembuatan rumah baik karena kekuatan dan keawetannya maupun karena prestise. Martawijaya et al. (2005) menyatakan bahwa kayu tembesu termasuk ke dalam kelompok kelas kuat I. Sedangkan ditinjau dari sifat awet dan tahan lama termasuk kelas awet I dan kelompok kelas awet II apabila ditinjau dari ketahanannya terhadap jamur. Tembesu sampai saat ini masih merupakan hasil regenerasi alami yang dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat di kebun. Hasil penelitian Sumadi dan Saepuloh (2011) menunjukkan bahwa di kebun masyarakat pada umur 20 tahun tembesu mempunyai volume rata-rata per pohon sebesar 0,39 m3 dan kerapatan efektif sebesar 8,51 m3/ha/tahun. Masyarakat yang secara tradisional memiliki kebun campuran tidak menganggap umur panen tembesu sebagai masalah, karena mereka memanen tembesu apabila terdapat kebutuhan untuk membangun atau memperbaiki rumah sendiri (Martin dan Premono, 2014). Kayu bawang merupakan jenis tanaman kayu pertukangan unggulan lokal yang memiliki sebaran alami di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah (Premono dan Lestari, 2013). Kayu Bawang tumbuh baik pada ketinggian 0 - 1000 m dpl, dengan curah hujan tahunan sekitar 3.500 mm dan curah hujan bulanan antara 150 - 500 mm. Umumnya tumbuh pada semak belukar dekat pemukiman. Di Bengkulu Utara hanya ditemukan di daerah yang tersentuh aktivitas manusia (bekas ladang, kebun atau tegalan) (Martin dan Galle, 2009). Anwar et al. (1999) menduga semua tanaman yang ada merupakan hasil budidaya (ditanam secara sengaja). Kayu bawang umumnya menempati strata paling atas dan merupakan pohon dominan di kebun masyarakat. Tinggi pohon mencapai 30 m dengan diameter 75 cm. Bentuk batang silindris agak lengkung. Tajuk tanaman muda berbentuk bulat lonjong, dan pohon tua tidak beraturan/melebar. Tumbuh pada jenis tanah alluvial dan podsolik merah kuning (Martin dan Galle, 2009). Premono dan Lestari (2013) menyatakan bahwa umumnya masyarakat mulai memanen kayu bawang pada umur 15 tahun dengan volume per batang 0,83 m3. 2. Perspektif sosial ekonomi masyarakat Sumatera Selatan dan Bengkulu dalam kaitannya dengan budidaya pohon penghasil kayu Masyarakat di wilayah hulu DAS pada umumnya merupakan masyarakat agraris yang bekerja sebagai petani. Masyarakat di hilir pada umumnya bekerja di sektor perdagangan dan jasa, sedangkan keterkaitan dengan sektor pertanian jauh lebih sedikit apabila dibandingkan dengan masyarakat di hulu. Li (2002) memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai bagaimana aspek ekologi dataran tinggi yang dikaitkan dengan aspek ekonomi politik dan kebudayaan memiliki perbedaan dan juga kesamaan dengan yang diuraikan oleh Hart et al. (1989) tentang kehidupan masyarakat dataran rendah. 219
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Pada masa sebelum tahun 1980-an, masyarakat di wilayah hulu masih sangat mudah memperoleh kayu berkualitas dari alam. Masyarakat Lintang di Kabupaten Empat Lawang, Provinsi Sumatera Selatan memperoleh kayu berkualitas dari pohon bambang lanang yang tumbuh secara alami di kebun atau ladang yang mereka usahakan sebagai bahan untuk membuat rumah maupun perabot (Martin, 2012). Masyarakat di hilir pada masa lalu membangun rumah dari kayu rimba campuran yang kualitasnya lebih rendah dari rumah kayu masyarakat di hulu. Hanya masyarakat dari kelas sosial tertentu yang mampu membuat rumah dari kayu berkualitas, yaitu tembesu. Bagi petani yang tinggal di wilayah hulu, budidaya pohon penghasil kayu tidak dapat dipisahkan dari upaya pemenuhan kebutuhan kayu sebagai bahan pembuatan rumah. Masyarakat Lintang di Kabupaten Empat Lawang menebang 15 sampai 25 batang pohon bambang lanang berumur 15 sampai 20 tahun yang ada di kebun mereka untuk membangun satu rumah panggung beserta perabot rumah tangga di dalamnya. Sedangkan untuk rumah berbahan utama beton (batu bata) diperlukan 3 sampai 5 batang pohon bambang lanang. Selain untuk membuat rumah dan perabot, pohon bambang lanang ditebang untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi seperti pada masa paceklik, perayaan pernikahan anak, tahun ajaran baru dan musibah (Martin, 2012). Dalam perekonomian masyarakat, pohon bambang lanang merupakan portfolio investasi diantara tanaman perkebunan lainnya, yang ditanam dengan pola agroforestry (Martin dan Premono, 2010). Masyarakat di wilayah hilir Provinsi Sumatera Selatan lebih memilih menanam pohon penghasil kayu dengan pola monokultur. Orientasi penanaman tidak pada pemenuhan kebutuhan kayu, tetapi lebih pada untung rugi dalam berusaha. Sehingga pada saat ini, tembesu yang merupakan kayu “mewah” untuk kebutuhan pembuatan rumah dan ukiran tidak dibudidayakan oleh masyarakat hilir (Martin, 2012). Kayu bawang memiliki sebaran alami di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah. yang termasuk dilayah DAS tengah dan hilir. Kayu bawang memiliki ikatan kuat dengan Suku Lembak dan Suku Rejang yang tinggal di wilayah DAS tengah di Provinsi Bengkulu. Kayu bawang dapat dinyatakan sebagai identitas budaya kedua suku tersebut, yang ditandai dengan penggunaan kayu bawang sebagai bahan pembuatan rumah panggung kuno yang masih tersisa. Kayu bawang menjadi bagian dari kebun masyarakat (Premono dan Lestari, 2013). Kayu bawang juga ditemukan di wilayah hilir Provinsi Bengkulu. Keberadaan kayu bawang di hilir erat kaitannya dengan aktivitas budidaya. Di Bengkulu Utara kayu bawang hanya ditemukan di daerah yang tersentuh aktivitas manusia (bekas ladang, kebun atau tegalan) (Martin dan Galle, 2009). Anwar et al. (1999) menduga semua tanaman yang ada merupakan hasil budidaya (ditanam secara sengaja). Perspektif sosial ekonomi masyarakat terhadap kayu pertukangan di hulu dan hilir sangat dipengaruhi oleh karakteristik geografi dan kependudukan. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh terhadap pola budidaya, penggunaan, maupun supply dan demand kayu pertukangan. 3. Kelayakan finansial budidaya kayu pertukangan lokal Penanaman pohon bambang lanang di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan sebagian Pagaralam pada umumnya dilakukan dengan pola campuran. Pohon bambang lanang dijadikan tanaman campuran pada tanaman kopi yang merupakan sumber pendapatan utama. Penanaman bambang lanang di kebun kopi dilakukan dengan pola sebagai tanaman campuran di antara tanaman kopi, sebagai tanaman pagar atau pinggir lahan dan juga tanaman sela di antara tanaman kopi, dimana jarak antar tanaman disesuaikan agar tidak mengganggu tanaman kopi. Tanaman bambang lanang di kebun kopi difungsikan sebagai tanaman masa depan yang 220
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
diharapkan dapat memberikan pendapatan maupun dipanen untuk kebutuhan kayu sendiri di masa mendatang. Sedangkan kopi menjadi sumber pendapatan tunai jangka pendek (cash crop) bagi masyarakat. Pemilihan jenis bambang lanang sebagai tanaman campuran dengan tanaman kopi pada lahan milik masyarakat telah mengalami proses pemilihan dan penentuan jenis yang dilakukan sendiri oleh masyarakat dengan pertimbangan untung dan rugi dalam proses pengambilan keputusannya. Pertimbangan tersebut meliputi teknik penanaman, sifat tanaman, umur panen, harga, ketersediaan bibit, kemudahan pemiliharaannya dan pengaruhnya terhadap tanaman kopi (Premono dan Martin, 2011). Analisis finansial budidaya pohon bambang lanang secara murni maupun campuran layak diusahakan karena nilai BCR>1 pada tingkat suku bunga 12% (Ulya et al., 2006). Hal ini diperkuat oleh Premono dan Martin (2011) yang menyatakan bahwa penanaman bambang lanang dengan pola campuran dengan tanaman kopi di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan Pagaralam layak untuk diusahakan. Hasil analisis finansial di tiga lokasi menunjukkan NPV positif, BCR di atas 1 dan IRR di atas tingkat suku bunga analisis. Kayu bawang pada umunya ditanam dengan pola tanam campuran. Pola penanaman campuran kayu bawang yang banyak ditemukan di Provinsi Bengkulu antara lain kayu bawangkaret, kayu bawang-kakao, kayu bawang-sawit dan kayu bawang-karet unggul. Hasil analisis finansial pada tingkat suku bunga 11% dan 13% menunjukkan bahwa pola-pola yang dikembangkan masyarakat layak secara finansial. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa pola penanaman tidak peka terhadap perubahan tingkat harga dan volume produksi. Agar dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak maka masyarakat di lokasi penelitian dapat mengelola sekitar 0,34-1,01 Ha dengan pola penanaman campuran kayu bawang dan tanaman tahunan. (Premono dan Lestari, 2013). Pohon tembesu tumbuh di lahan milik masyarakat yang pada umumnya mengusahakan kebun karet. Di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, masyarakat memilih pohon tembesu yang memiliki kualitas kayu yang baik dan tidak mengganggu tanaman karet untuk dipertahankan di kebun karet mereka (Premono dan Martin, 2011). Premono dan Martin (2011) menggunakan Nilai Harapan Lahan (NHL) untuk menganalisis kelayakan finansial pola penanaman campuran antara tanaman karet dengan tanaman tembesu. NHL merupakan cerminan nilai dari tanah atau lahan yang diusahakan dalam rotasi tanaman yang diusahakan. NHL dapat digunakan untuk mengintrepretasikan harga maksimum yang mungkin terjadi pada pengusahaan lahan (Straka dan Bullard, 1996). Untuk mengetahui kelayakan finansial penanaman pola campuran karet-tembesu, dilakukan dengan asumsi umur panen tanaman tembesu 30 tahun dan umur panen (sadap) tanaman karet 7 tahun berdasarkan harga, biaya dan pendapatan masyarakat pada saat penelitian. NHL tertinggi diperoleh pada pola tanam campuran karet-tembesu dengan jumlah pohon tembesu 40 batang. NHL terendah diperoleh pada lahan yang ditanami tembesu secara monokultur, meskipun dengan intensitas tegakan cukup tinggi. Hal ini diduga terjadi karena pola teratur dengan jumlah pohon lebih banyak membutuhkan biaya pembangunan lebih tinggi, sehingga meningkatkan nilai biaya yang terdiskonto (discounted cost) pada masa analisis 30 tahun. Namun demikian, pada dasarnya pelaku usaha (petani) dapat mengabaikan rendahnya nilai kini tanaman tembesu pola teratur dengan menganggap tembesu sebagai komponen nilai yang bukan untuk dinikmati sekarang, tetapi sebagai asuransi masa regenerasi (Premono dan Martin, 2011). Jenis pohon kayu pertukangan lokal yang diwakili oleh bambang lanang dan kayu bawang yang dibudidayakan di kebun dengan pola umum agroforestry layak untuk diusahakan, 221
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
bahkan pada lahan yang tidak terlalu luas. Sedangkan untuk pohon tembesu yang belum ditanam oleh masyarakat, pemeliharaan pohon tembesu pada kebun dengan pola campuran dengan karet mampu memberikan harapan pendapatan pada masa yang akan datang. 4. Pemasaran jenis kayu pertukangan lokal Pohon bambang lanang pada umur 10 tahun di Kabupaten Lahat sudah dapat dipanen dengan volume 0,5 m3 per pohon tetapi harganya lebih rendah dibanding yang berumur 15 tahun yaitu dengan harga Rp. 900.000,00 per m3. Sedangkan pada umur 15 tahun volumenya rata-rata 1 m3 per pohon dengan harga yang lebih tinggi yaitu Rp. 1.000.000,00 per m3 (Ulya et al., 2006). Harga kayu bambang di tingkat petani di Kabupaten Lahat, Empat Lawang dan Kota pagaralam berkisar antara Rp. 900.000,00 sampai dengan Rp. 1.000.000,00 per m 3. Harga kayu bambang lanang di depot kayu mencapai Rp. 2.000.000,00 sampai dengan Rp. 2.600.000,- per m3. Lebih dari 50% marjin keuntungan dinikmati oleh para pelaku industri kayu rakyat, mulai dari penggesek/pengumpul kayu, pemilik sawmill, pemilik depot, atau bahkan sampai ke pengrajin furniture. Jenis industri kayu rakyat sebagian besar berupa depot kayu (40%), pengusaha atau pengrajin furniture (20%) dengan hasil berupa meja, kursi, lemari, dan tempat tidur, penggesek/pengumpul (20%), industri penggergajian kayu atau sawmill (13%) dan depot kayu dan funiture (7%). Hampir semua pelaku industri kayu rakyat yang termasuk ke dalam kelima katergori tersebut di atas tersebar merata di tiga wilayah yang menjadi fokus kegiatan penelitian. Sedangkan industri sawmill yang hanya terdapat di Kabupaten Lahat (Lestari et al., 2012). Perkembangan harga kayu bambang pada dua titik waktu penelitian (tahun 2006 dan tahun 2012) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan, melebihi inflasi antar dua titik waktu, dengan kondisi supply kayu rakyat yang stabil. Hal ini mengindikasikan bahwa budidaya kayu bambang lanang mempunyai prospek untuk dikembangkan dan dijadikan tabungan pada saat terjadi penurunan pendapatan dari cash crop maupun tanaman perkebunan seperti karet atau kopi. Keberadaan supply kayu bambang lanang juga mampu memberikan multiplier effect berupa berkembangnya industri kayu rakyat yang dalam hal ini menikmati margin keuntungan terbesar. Petani pemilik kayu bawang menjual kayu bawang dalam bentuk tegakan/pohon berdiri secara borongan. Harga kayu bawang di masyarakat berkisar Rp. 800.000,00 sampai Rp. 900.000,00 per pohon dengan perkiraan volume sekitar 1 m3. Harga kayu bawang olahan di tingkat lokal (desa) berkisar Rp. 1.500.000,00 sampai Rp. 2.000.000,00 per m 3, tergantung ukuran kayu dan kualitas kayunya. Para tengkulak kayu/pengepul desa menjual kayunya untuk kebutuhan lokal dan ke wilayah lainnya. Ada juga tengkulak luar daerah yang datang ke desadesa untuk membeli kayu dari para pengepul di desa (Premono dan Lestari, 2012). Terdapat empat saluran pemasaran kayu bawang di Provinsi Bengkulu, yaitu: 1) Saluran 1: Petani/pemilik kayu-penebang/pemilik chainsaw-tengkulak/pengumpul kayu-konsumen; 2) Saluran 2: Petani/pemilik kayu-tengkulak/pemborong di desa-depot kayu-konsumen; 3) Saluran 3: Petani/pemilik kayu-tengkulak/pemborong di desa-depot kusen di kota-konsumen; 4) Saluran 4: Petani/pemilik kayu-tengkulak di desa-depot kayu di kota-depot kusen di kotakonsumen. Saluran pemasaran yang paling efisien adalah saluran 1 dengan nilai efisiensi sebesar 20,83%. Pemasaran kayu bawang di Provinsi Bengkulu secara umum dapat dikatakan efisien, hal ini diduga disebabkan telah berkembangnya usaha perkayuan. Hampir di setiap desa yang menjadi sumber kayu bawang telah memiliki usaha pengolahan kayu bawang skala kecil. Di samping itu, jumlah pelaku pemasaran kayu bawang cukup banyak sehingga
222
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
memudahkan petani untuk melakukan transaksi proses tawar menawar dan memperoleh informasi mengenai harga kayu bawang (Premono dan Lestari, 2012). Seperti halnya kayu bambang lanang, harga kayu bawang tergolong tinggi sehingga mempunyai prospek finansial untuk diusahakan di kebun masyarakat dengan pola agroforestry. Kayu bambang yang dipasok dari kebun masyarakat juga mampu memberikan multiplier effect berupa adanya industri skala kecil di setiap desa penghasil kayu bawang. Kayu tembesu merupakan bahan baku utama dari industri mebeul ukiran Palembang. Junaidah dan Premono (2007) menyatakan bahwa kayu tembesu dijual dengan harga Rp. 2.000.000,00 – Rp 2.500.000,00 per m3. Harga ini lebih mahal dari kayu medang dan meranti yang dijual dengan harga Rp. 1.600.000,00 – Rp. 2.000.000,00 per m3. Kayu tembesu dijual dalam bentuk balok atau batangan (tergantung dari permintaan pengrajin). Meskipun demikian, sebagian besar dijual dalam bentuk batangan untuk mempermudah proses pengerjaan. Permintaan kayu tembesu oleh industri mebel ukiran Palembang selama ini dipenuhi dari penebangan pohon tembesu yang tumbuh secara alami di areal sekitar kebun, pekarangan rumah dan hutan sekunder di Kabupaten Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir. Cara pemenuhan bahan baku seperti ini bersifat tidak lestari (Martin dan Premono, 2014). Diperlukan luasan lahan tertentu dan peningkatan produktivitas agar supply kayu tembesu bisa lestari. Kayu pertukangan lokal, selain ditampung oleh industri kecil skala lokal, juga mempunyai peluang untuk diserap oleh industri pengolahan hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi diatas 6.000 m3 per tahun. Untuk Provinsi Sumatera Selatan, terdapat 2 industri kayu lapis (kapasitas 140.000 m3 per tahun), kayu gergajian (5 industri, kapasitas 137.500 m3 per tahun), veneer (3 industri, kapasitas 110.000 m3 per tahun). LVL terdiri dari 1 industri dengan kapasitas 50.000 m3 per tahun. Industri yang bisa menyerap kayu bambang lanang dan kayu bawang di Provinsi Bengkulu adalah 1 industri veneer dengan kapasitas 40.000 m3 per tahun. Untuk skala nasional (termasuk Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu), kayu bambang lanang dan kayu bawang mempunyai peluang untuk diserap oleh industri kayu lapis (150 industri, kapasitas 12.397.315 m3 per tahun), penggergajian (278 industri, kapasitas 7.155.596 m3 per tahun), veneer (102 industri, kapasitas 3.040.295 m3 per tahun) dan industri LVL (14 industri, kapasitas 565.750 m3 per tahun) (Kementerian Kehutanan, 2013). 5. Aspek sosial dalam budidaya kayu pertukangan Pohon bambang lanang pada umumnya ditanam dengan pola agroforestry. Masyarakat di Kabupaten Empat Lawang menanam pohon bambang lanang sebagai pilihan pendapatan di masa depan. Kegagalan produksi tanaman pokok atau fluktuasi hasil panen menyebabkan masyarakat desa rentan terhadap kemiskinan. Pohon bambang lanang dapat berfungsi sebagai jaring pengaman pendapatan masyarakat ketika sumber pendapatan utama tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari atau terdapat kebutuhan yang mendesak. Aspek sosial budaya juga menjadi pertimbangan masyarakat untuk menanam bambang lanang. Kayu masih menjadi sumber bahan bangunan penting bagi masyarakat dan telah digunakan secara turun temurun sebagai bahan yang terbukti kekuatannya puluhan bahkan ratusan tahun (Winarno et al., 2012) . Pola tanam agroforestry di Kabupaten Lahat dan Empat Lawang dikembangkan oleh masyarakat yang menjadikan pertanian sebagai pekerjaan utama dan memiliki lahan sempit. Pola monokultur dikembangkan oleh masyarakat yang tidak bergantung pada pertanian sebagai pekerjaan utama dan memiliki lahan luas. Pola tanam pada agroforestry yang dikembangkan 223
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
adalah pola lorong (alley cropping), pola pohon pembatas (trees along border), pola baris (alternate row) dan pola acak (random mixer) (Waluyo dan Lestari, 2013). Hutan rakyat kayu bawang yang ada di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah merupakan hutan rakyat tradisional yang dikelola secara turun menurun dengan pengelolaan yang masih sederhana. Kegiatan cocok tanam secara mandiri dilakukan oleh sebagian besar responden setelah mereka menikah dan mulai mengusahakan kebun secara mandiri. Kayu bawang ditanam sebagai tanaman pagar, dan tanaman sela sedangkan tanaman utamanya adalah karet dan sebagian kecil kopi, kakao serta sawit. Masyarakat yang mempunyai tanaman kayu bawang di kebunnya menyatakan bahwa pada saat mereka mulai berkebun selalu menanam kayu bawang diantara tanaman perkebunan (Waluyo dan Nurlia, 2014). Praktek agroforestry yang dilakukan oleh masyarakat di Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah maupun Rejang Lebong adalah agroforestry kayu bawang dengan tanaman perkebunan seperti karet, sawit dan coklat. Petani menanan kayu bawang adalah tujuan lingkungan, ekonomi dan investasi. Tujuan lingkungan, yaitu untuk meningkatkan kesuburan tanah, karena dengan menanam kayu bawang diharapkan input pupuk berkurang dan produkstivitas tanaman meningkat. Tujuan ekonomi, yaitu harga kayu bawang yang tinggi dan ketersediaan kayu mulai sedikit. Tujuan investasi, yaitu untuk diwariskan kepada generasi penerus. Kayu bawang berukuran besar yang masih ada pada saat ini merupakan hasil penanaman orang tua mereka, sehingga mereka juga punya keinginan untuk mewariskan kepada anak cucunya (Premono dan Lestari, 2013). Seperti halnya pola tanam pohon bambang lanang, semakin banyak jumlah lahan maka semakin tinggi peluang untuk menanam kayu bawang dengan jumlah yang melebihi rata-rata. Petani yang mempunyai lahan luas, cenderung tidak mempunyai cukup waktu untuk mengelola semua lahannya secara intensif. Sehingga tanaman kayu yang tidak memerlukan pemeliharaan intensif seperti kayu bawang menjadi pilihan. Apabila petani merupakan pekerjaan utama peluang untuk menanam kayu bawang lebih sedikit karena mereka menggantungkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari pada tanaman pertanian, jadi mereka cenderung menanam tanaman pertanian atau perkebunan (Waluyo dan Nurlia, 2013). Brokensha dan Riley (1987) menunjukkan bahwa rumah tangga miskin cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman pangan atau tanaman perdagangan daripada tanaman pohon. Masyarakat menanam pohon bambang lanang dan kayu bawang dua pola umum, yaitu campuran dan monokultur. Pola campuran (agroforestry) dipilih oleh masyarakat dengan lahan terbatas dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sedangkan pola monokultur dipilih oleh masyarakat dengan lahan luas. Pilihan pola dan jenis yang ditanam didasari oleh motivasi lingkungan, ekonomi dan investasi. 6. Kebijakan dan kelembagaan budidaya kayu pertukangan lokal Masyarakat di daerah sebaran alami pohon bambang lanang memiliki persepsi yang positif terhadap budidaya bambang lanang karena terbukti manfaatnya yang berupa hasil kayu, tetapi memiliki pengetahuan yang terbatas dalam hal teknik budidaya (Winarno, Nurlia dan Martin, 2012). Kebijakan khusus terkait dengan pengembangan kayu bawang di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah belum tersedia. Padahal musim berbuah kayu bawang sudah mulai tidak teratur dan pengetahuan masyarakat khususnya mengenai pembudidayaan kayu bawang secara benar masih terbatas (Waluyo dan Nurlia, 2014). Meskipun pengetahuan tentang budidaya di daerah sebaran alami kedua jenis tersebut terdapat penangkar bibit yang mampu menyediakan bibit dalam jumlah besar. Pemerintah bisa berperan dengan memberikan fasilitasi atau pembinaan agar supply bibit yang tersedia bisa 224
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
diserap pasar antara lain melalui program-program pemerintah. Selain itu, pemerintah juga bisa melakukan peningkatan pengetahuan dan kapasitas masyarakat agar mampu berperan lebih besar dalam pemasaran kayu, sehingga bisa memangkas rantai pemasaran kayu atau meningkatkan margin keuntungan yang diterima masyarakat selaku petani. Kebijakan pemerintah yang sudah dilakukan dalam kaitannya dengan jenis kayu pertukangan lokal adalah Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) dan Program Kebun Bibit Rakyat (KBR). Pohon bambang lanang menyebar secara meluas di Provinsi Sumatera Selatan melalui Program GERHAN dan KBR. Waluyo dan Nurlia (2013) menyatakan bahwa kayu bawang mulai menyebar dari Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah ke kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Bengkulu melalui GERHAN pada tahun 2003 dan KBR pada tahun 2010. PENUTUP Penelitian sosial, ekonomi dan kebijakan dalam kaitannya dengan pengembangan kayu pertukangan lokal di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu yang sebenarnya merupakan hasil pembelajaran terhadap masyarakat menunjukkan bahwa budidaya kayu pertukangan lokal menjadi bagian dan berkaitan erat dengan bentang lahan DAS dan budaya masyarakat. Kayu pertukangan lokal yang mempunyai kaitan erat dengan keseharian masyarakat mempunyai prospek ekonomi untuk dikembangkan karena layak secara finansial, mempunyai pasar dan tidak mengharuskan lahan luas untuk penanamannya. Dengan memperhatikan pertumbuhan, penyebaran dan prospek ekonominya dapat dinyatakan bahwa kayu pertukangan lokal dengan daur menengah bisa dipenuhi dari kebun masyarakat atau hutan rakyat dengan pola agroforestry. Sedangkan untuk kayu pertukangan lokal daur panjang memerlukan teknik silvikultur untuk meningkatkan riap dan produktivitasnya sehingga perlu dibudidayakan untuk memenuhi permintaan industri. Pengarusutamaan pelibatan masyarakat dalam penyediaan bahan baku kayu pertukangan lokal adalah sebuah keniscayaan, dengan tidak mengesampingkan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari, jangka menengah dan jangka panjang. DAFTAR PUSTAKA Anwar, G., Gunsiryadi, Amrina. 1999. Prospek Pengembangan Kayu Wawang (Protium javanicum Burm F.) sebagai Komoditas Hutan Unggulan dalam Pengusahaan Hutan Rakyat di Provinsi Bengkulu (Tinjauan dari Aspek Silvikultur). Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur: Peluang dan Tantangan menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Brokensha, D., dan B.W. Riley. 1987. Privatization of Land and Tree Planting in Mbeere, Kenya. In Raintree J.B. (ed.). Land, Treestand and Tenure. ICRAF and The Land Tenure Center. Nairobi and Madison. pp. 187-192. Hart, G., A. Turton, B. White (Eds). 1989. Proses Transformasi Daerah Pedalam di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara, W.C. Wong. 1995. Plant Resources of South-East Asia 5(2) Timber Trees : Minor Commercial Timber. Prosea. Bogor. 225
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Lestari, S., Premono, B.T., dan E.A. Waluyo. 2012. Industri Kayu Rakyat Jenis Unggulan Lolal di Sumatera Selatan: Karakteristik dan Tantangan Pengembangannya. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang “Peluang dan Ttantangan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat”, Palembang, 23 Oktober 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
Li, T.M. 1990. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.a. Prawira, dan K. Kadir. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Martin, E dan F.B. Galle. 2009. Motivasi dan Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Penanam Pohon Penghasil Kayu Pertukangan: Kasus Tradisi Menanam Kayu Bawang (Disoxylum molliscimum BL) oleh Masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 6 No. 2 Juni 2009, Hal. 117 – 134. Martin, E. 2012. Budidaya Pohon Penghasil Kayu: Perspektif Sosial Ekonomi Masyarakat Sumatera Selatan. Prosiding Forum Komunikasi Multipihak “Hutan Rakyat Sebagai Solusi Penyedia Kayu Pertukangan”, Palembang, 20 Juni 2012. Pusat Litbang Peningkatan Produkstivitas Hutan. Bogor. Martin, E. dan B.T. Premono. 2010. Hutan Tanaman Kayu Pertukangan adalah Portfolio: Pelajaran dari Keswadayaan Penyebarluasan Bambang Lanang di Masyarakat. Prosiding Seminar Nasional :”Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian Hutan, Bogor, 29 November 2010. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. __________. 2014. “Upaya Komoditisasi Tembesu dalam Perspektif Sosial Budaya Petani dan Pasar” dalam Bunga Rampai Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. FORDA Press. Bogor. Premono, B,T. dan E, Martin. 2011. Nilai Ekonomi Penanaman Pohon Penghasil Kayu pada Lahan Milik. Prosiding Seminar Hasil Penelitian “Introduksi Tanaman penghasil kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran”, Musi Rawas, 13 Juli 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Premono, B.T. dan S. Lestari. 2012. Analisis Pemasaran Kayu Bawang di Provinsi Bengkulu Utara. Prosiding seminar hasil penelitian “Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat melalui Hutan Tanaman Pola Campuran”, Musi Rawas, 13 Juli 2011. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. _________. 2013. Analisis Finansial Agroforestri Kayu Bawang (Dysoxilum Mollissimum Blume) dan Kebutuhan Lahan Minimum di Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 211 – 223. Sofyan, A., E. Martin, A. H. Lukman, dan A.W. Nugroho. 2010. Status Riset dan Rencana Penelitian Jenis-jenis Prioritas Kayu pertukangan di Sumatera. Prosiding Peran Litbang Kehutanan dalam Implementasi RSPO, Pekanbaru, 4-5 November 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Straka, T. J. dan S. H. Bullard. 1996. Land Expectation Value Calculation in Timberland Valuation. Appraisal Journal Vol. 64: 399-405.
226
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Ulya, N. A., E. Martin, E. A. Waluyo dan J. P. Tampubolon. 2006. Teknologi dan Kelembagaan Social Forestry di Hutan Rakyat. Laporan Penelitian Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Barat, Palembang. Waluyo, E. A., dan S, Lestari. Karakteristik Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Lahat dan Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan”, Palembang, 2 Oktober 2013. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Waluyo, E. A., dan A. Nurlia. 2013. Agen Perubahan dalam Pengembangan Hutan Rakyat: Belajar dari Pengembangan Kayu Bawang di Wilayah Provinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan”, Palembang, 2 Oktober 2013. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. ________ . 2014. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Keputusan Petani Membudidayakan Agroforestry Kayu Bawang (Dysoxylum mossimum B.L.) di Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry-IV “Pengembangan Teknologi Agrofrorestry dan Produknya untuk Ketahanan Energi dan Kesehatan”, Banjarbaru, 26-27 Oktober 2013. FAHUTAN UNLAM PRESS. Winarno, B., A. Nurlia dan E. Martin. 2012. Realitas Pengelolaan Bambang lanang (Michelia champaca L.) oleh Masyarakat pada daerah Sebaran Alaminya di Kabupaten Empat Lawang. Prosiding Forum Komunikasi Multipihak “Hutan Rakyat Sebagai Solusi Penyedia Kayu Pertukangan”, Palembang, 20 Juni 2012. Pusat Litbang Peningkatan Produkstivitas Hutan. Bogor.
227
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
KAJIAN PENGELOLAAN KOLABORATIF KAWASAN HUTAN DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RAHMAN, PROVINSI LAMPUNG Ari Nurlia, Edwin Martin dan Bondan Winarno Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Tahura WAR merupakan kawasan pelestarian alam yang berfungsi sebagai kawasan penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman flora dan fauna serta keunikan gejala alam. Seiring perjalanannya, pengelolaan Tahura WAR telah mengalami beberapa kali perubahan kebijakan dari Hutan Kemasyarakatan (HKm), non HKm hingga Pengelolaan Kolaboratif. Perubahan kebijakan dalam pengelolaan Tahura WAR diharapkan dapat memberikan perubahan ke arah yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengelolaan kolaboratif di Tahura WAR, Propinsi Lampung. Keberhasilan dalam pengelolaan hutan secara kolaboratif di Tahura WAR berpotensi untuk dijadikan contoh bagi pengelolaan kawasan hutan di lokasi lainnya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei, data primer diperoleh dengan observasi lapang dan wawancara mendalam (indepth interview) kepada tokoh-tokoh kunci, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis sosial dan analisis deskriptif untuk menggambarkan fenomena dalam pengelolaan Tahura WAR di Propinsi Lampung. Hasil penelitian menunjukkan pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan kolaborasi di Tahura WAR adalah kelembagaan lokal yang ada dimasyarakat yaitu GKPPH dengan UPTD Tahura WAR. Komitmen dalam menjaga kepentingan dan peran setiap pemangku kepentingan diperlukan untuk menjamin keberlangsungan pengelolaan Tahura WAR menuju ke arah yang lebih baik. Pola tanam yang diterapkan masyarakat adalah pola tanam agroforestry dengan jenis tanaman yang ditanam adalah karet, kakao, MPTS dan tanaman kehutanan. Masyarakat dapat memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) untuk menjamin kesejahteraannya dan tanaman berkayu untuk menjaga kelestarian hutan. Kata kunci: Tahura WAR, pengelolaan kolaboratif, kelembagaan, pemangku kepentingan
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang harus dijaga kelestariannya karena memiliki peran penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup di dalamnya. Hutan tidak hanya bermanfaat secara ekonomi tapi juga bermanfaat secara ekologi. Berdasarkan fungsi pokoknya hutan ditetapkan sebagai hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi (Undang-undang nomor 41, 1999). Taman Hutan Raya (Tahura) adalah salah satu jenis hutan konservasi yang memiliki fungsi sebagai kawasan penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman flora dan fauna serta keunikan gejala alam (Winarno, 2004). Menurut UU No.5 Tahun 1990, Tahura adalah kawasan pelestarian alam yang dibangun untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Salah satu Taman Hutan Raya yang ada di Sumatera Bagian Selatan adalah Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman atau yang lebih dikenal Tahura WAR yang tepatnya berada di Propinsi Lampung. Tahura WAR merupakan kawasan yang dibentuk berdasarkan keputusan menteri kehutanan No.403/Kpts-II/1993 dengan luas sekitar 22.249,31 hektar. Seiring perjalanannya, Tahura WAR telah mengalami beberapa perubahan kelembagaan formal yang mempengaruhi 229
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
sistem pengelolaannya. Pengelolaan Tahura pada masa sebelum reformasi sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Hal ini menyebabkan hutan menjadi rusak, karena berbenturan dengan tuntutan pemenuhan hidup masyarakat. Kebakaran hutan, penebangan pohon dan pembukaan lahan hutan untuk pertanian dilakukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah reformasi tahun 1998, terjadi perubahan kebijakan dimana masyarakat diperbolehkan turut serta mengelola hutan melalui Hutan Kemasyarakatan (Hkm). Hal ini diwujudkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.677/Kpts-II/1998 yang mengeluarkan izin sementara pengelolaan Hutan Kemasyarakatan kepada Gabungan Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (GKPPH) di Sumber Agung, Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung (Juansyah dan Kurniadi, 2011) dan dikeluarkannya sertifikat Ijin Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan Sementara No.21/IV/PHK-2/1999 seluas 492,75 hektar dengan jangka waktu pengelolaan selama 5 (lima) tahun. Tahun 2001 kebijakan pengelolaan hutan dalam bentuk Hkm dicabut, sehingga pada tahun 2004 masyarakat tidak dapat melakukan perpanjangan izin Hkm. Pada tahun 2012 melalui Perda Propinsi Lampung Nomor 3 tahun 2012, pengelolaan Tahura WAR kembali dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar dengan sistem Pengelolaan Kolaborasi. Perubahan pengelolaan Tahura WAR dari Hutan Kemasyarakatan (HKm), non HKm dan Pengelolaan Kolaboratif diharapkan dapat memberikan perubahan ke arah yang lebih baik. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengelolaan kolaboratif di Tahura Wan Abdul Rahman, Propinsi Lampung. Keberhasilan dalam pengelolaan hutan secara kolaboratif di Tahura WAR berpotensi untuk dijadikan contoh bagi pengelolaan kawasan hutan di lokasi lainnya. II. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Tahura Wan Abdul Rahman, Propinsi Lampung. Tahura WAR merupakan salah satu Tahura yang berada di Pulau Sumatera dan dianggap telah berhasil dalam pengelolaan hutan dengan sistem pengelolaan kolaborasi bersama masyarakat. Pengambilan data dilakukan pada beberapa unit unit wilayah kerja pengelolaan kawasan Tahura di tingkat lapang (Rayon), yaitu Rayon Bandar Lampung, Gedong Tataan, dan Youth Camp. Penelitian dilakukan pada Bulan Juni – Juli 2015. Pengumpulan Data Penelitian dilakukan dengan metode survei. Data primer diperoleh melalui observasi lapang dan wawancara mendalam (indepth interview). Observasi lapang dilakukan untuk mengetahui bentuk pengelolaan hutan di masyarakat meliputi pola tanam dan pemilihan jenis tanaman. Wawancara mendalam diperlukan untuk menggali informasi sedalam mungkin mengenai fakta-fakta suatu peristiwa dan opini informan yang terlibat dalam pengelolaan Tahura WAR. Wawancara mendalam dilakukan pada tokoh-tokoh kunci dimana pemilihan informan kunci dilakukan secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Tahura WAR. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis sosial yang disajikan dalam tabulasi sederhana dan analisis deskriptif untuk menggambarkan fenomena dalam pengelolaan Tahura WAR di Propinsi Lampung.
230
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Tahura WAR ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 403/KptsII/1993 yang menetapkan Kawasan Hutan Gunung Betung Register 19 seluas sekitar 22.249,31 ha menjadi Taman Hutan Raya (Tahura). Secara geografis Tahura WAR terletak di 05 018’ sampai dengan 05029’ LS dan 105002’ sampai dengan 105014’ BT. Secara administratif Tahura WAR terletak di wilayah Kabupaten Lampung Selatan dan Kota Bandar Lampung, Propinsi Lampung. Pengelolaan Tahura WAR dilakukan dengan membagi blok pengelolaan. Luasan blokblok pengelolaan Tahura WAR adalah sebagai berikut: Tabel 1. Luasan Blok Pengelolaan Tahura WAR Blok Pengelolaan Blok Pemanfaatan/ wisata alam Blok Koleksi Blok Perlindungan Blok Lainnya: a. Blok Pendidikan dan Penelitian b. Blok social forestry Jumlah
Luas (ha) 1,073.61 841.56 13,049.01
Persentase (%) 4.83 3.78 58.65
549.76 6,735.37 22,249.31
2,47 30.27 100.00
Sumber: UPTD Tahura WAR (2015)
Di samping itu dilakukan pemberdayaan unit wilayah kerja pengelolaan kawasan Tahura di tingkat lapang (rayon). Pengelolaan Tahura WAR terdiri dari 6 (enam) rayon, yaitu (1) Youth Camp dengan luas 3.822,13 ha, (2) Way Sabu dengan luas 3.851,32 ha, (3) Padang Cermin dengan luas 4.575,01 ha, (4) Kedondong dengan luas 3.636,63 ha, (5) Gedung Tataan dengan luas 3.810,50 ha dan (6) Bandar Lampung dengan luas 2.553,71 ha. Pembagian unit wilayah kerja dilakukan dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan kawasan Tahura WAR. Pengelolaan Kolaboratif Tahura WAR Kolaborasi adalah suatu proses dimana dua stakeholder atau lebih yang berbeda kepentingan dalam satu persoalan yang sama menjajaki dan bekerja melalui perbedaanperbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan bersama (Gray, 1989). Pengelolaan kolaboratif Tahura adalah pelaksanaaan kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam kawasan Tahura guna meningkatkan efektivitas pengelolaan Tahura secara bersamaan dan bersinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama (Mayasari, 2015). Pengelolaan kolaborasi juga dikenal sebagai salah satu pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (non adversarial approach) untuk penyelesaian permasalahan dan penyelesaian konflik, sehingga dalam prakteknya kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pemangku kepentingan dalam konflik multipihak (Mukhtar dan Winara, 2011). Pengelolaan kolaborasi di Tahura WAR dilakukan atas dasar untuk menyelesaikan masalah Tahura secara bersama-sama dengan masyarakat sekitar dengan tujuan meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam. Pemangku kepentingan atau stakeholder yang turut serta dalam pengelolaan Tahura WAR dapat dilihat pada Tabel 2.
231
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tabel 2. Pemangku kepentingan di Tahura WAR No 1.
2.
3.
4.
Pemangku Kepentingan Dinas Kehutanan dan UPTD Tahura
Kepentingan Tanggung jawab
Peran Program dan kegiatan
pengelolaan pengelolaan Kelestarian hutan Penempatan dan peningkatan SDM Kesejahteraan masyarakat Pengelola sekitar hutan Pemberdayaan masyarakat Lembaga Penelitian dan Penelitian dan pendidikan Menyediakan, menyajikan Pendidikan dan memberi masukan terkait data-data yang diperlukan dalam pengelolaan hutan Lembaga Swadaya Kelestarian kawasan Penguatan kelembagaan Masyarakat Pemberdayaan Pemberdayaan masyarakat masyarakat Masyarakat (Kelompok Tanggung jawab Mendukung kegiatan Pengelola dan Pelestari pengelolaan pengelolaan Hutan) Sumber mata pencaharian Menjaga kawasan tetap lestari Kesejahteraan masyarakat
Sumber: Data primer penelitian (diolah)
Setiap pemangku kepentingan memiliki kepentingan dan perannya masing-masing dalam pengelolaan hutan. Perlunya komitmen dalam menjaga kepentingan dan peran setiap pemangku kepentingan dapat menjamin keberlangsungan pengelolaan Tahura WAR. Pada tahun 2002, kebijakan pemerintah telah membatasi turut sertanya lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam mendampingi masyarakat dan menyerahkan pengelolaan Tahura WAR pada pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan dan UPTD Tahura WAR. Hal ini menjadikan Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (KPPH) dan UPTD Tahura WAR menjadi pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan Tahura WAR. Dalam meningkatkan peran kelembagaan lokal maka dibentuklah GKPPH yang berfungsi sebagai koordinator dari KPPH yang ada disetiap desa. GKPPH memiliki aturan yang mengikat bagi setiap anggotanya dan ditetapkan secara bersama-sama dengan melibatkan pemerintah daerah. Pelanggaran dari setiap aturan yang diterapkan akan dikenakan sanksi sesuai dengan kesepakatan bersama. Adapun aturan-aturan yang disepakati adalah antara lain: a) Anggota yang melanggar dengan membuka lahan di luar blok pemanfaatan (blok lindung), penyelesaiannya akan dilakukan langsung oleh Dinas Kehutanan dan diproses secara hukum. b) Anggota yang melanggar di blok pemanfaatan, penyelesaiannya akan dilakukan melalui GKPPH dan Kepala Rayon dengan berupa teguran, surat pernyataan dan hukuman yang telah disepakati bersama. Pengelolaan kolaboratif yang dilakukan meliputi penentuan lokasi yang diperbolehkan dimanfaatkan oleh masyarakat, pendampingan dalam penentuan jenis tanaman yang akan ditanam di kawasan Tahura WAR dan pola tanam yang diterapkan oleh masyarakat. 232
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Pola Tanam dan Pemilihan Jenis Tanaman Sesuai dengan tujuannya untuk melestarikan keberadaan Tahura WAR, maka pola tanam yang diterapkan masyarakat adalah pola tanam campuran dengan sistem agroforestry. Agroforestry merupakan pola tanam dimana tanaman kehutanan ditanam bersamaan dengan tanaman musiman. Menurut Lundgreen dan Raintree (1992) dalam Rianse dan Abdi (2010), agroforestry merupakan istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu dengan tanaman pertanian dan/atau hewan dan/atau ikan yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada. Dengan telah terbentuknya kesepahaman antara masyarakat dan pemerintah, maka dalam pengelolaannya masyarakat mengkombinasikan berbagai jenis tanaman berkayu yang dapat memproduksi hasil hutan bukan kayu (HHBK). Jenis tanaman yang dipilih oleh masyarakat adalah sebagai berikut: Tabel 3. Jenis tanaman yang diusahakan masyarakat No 1.
Uraian Tanaman tajuk tinggi
Jenis Tanaman
2.
Tanaman tajuk tengah
Kopi Coklat
3.
Tanaman tajuk rendah
Pisang Vanili Lada
Cempaka Medang Karet Durian Petai Tangkil Alpukat Pala Kayu Manis Aren Kelapa MPTS lainnya
Sumber: Data primer penelitian
Pengambilan keputusan dalam memilih jenis tanaman yang akan dibudidayakan pada pengelolaan Tahura WAR selain didasarkan pada pengaruh ekonomi juga tetap memperhatikan aspek ekologi. Pendampingan dari pemerintah dilakukan untuk membangun kesepahaman pengelolaan dengan masyarakat. Aspek yang dipertimbangkan dalam pemilihan jenis tanaman selain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat juga dapat menjaga kelestarian Tahura WAR. Perubahan nyata terlihat dari penutupan lahan di Tahura WAR dari sebelum melibatkan masyarakat dalam mengelola hutan dengan setelah melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan (Gambar 1).
233
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Sumber: UPTD Tahura WAR (2015) Gambar 1. Citra landsat penutupan lahan di Tahura WAR
Pada gambar terlihat penutupan lahan pada tahun 2002 sebelum dilibatkannya masyarakat dalam pengelolaan hutan, terlihat banyak areal yang terbuka. Hal ini dikarenakan adanya pembukaan lahan oleh masyarakat untuk perladangan berpindah. Selain itu, tidak adanya pengetahuan mengenai jenis tanaman menyebabkan masyarakat memilih tanaman pertanian yang lebih cepat menghasilkan seperti sayur-sayuran dan tanaman semusim untuk di usahakan. Hal ini tidak hanya membuat kondisi hutan rusak, namun juga menimbulkan bencana bagi masyarakat dimana terjadi kekurangan air pada musim kemarau. Setelah pengelolaan dilakukan secara kolaborasi dengan masyarakat, pemerintah dan masyarakat bersama-sama membangun kesepahaman dalam membangun hutan. Dengan pemilihan jenis tanaman yang tepat, kondisi hutan perlahan-lahan kembali hijau. Selain itu, peningkatan kesejahteraan masyarakat juga dirasakan oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya rumah tangga miskin di sekitar areal Tahura WAR. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pengelolaan kolaborasi di Tahura WAR dilakukan atas dasar untuk menyelesaikan masalah Tahura secara bersama-sama dengan masyarakat sekitar dengan tujuan meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam. Pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan kolaborasi di Tahura WAR adalah kelembagaan lokal yang ada dimasyarakat yaitu GKPPH dengan UPTD Tahura WAR. Komitmen dalam menjaga kepentingan dan peran setiap pemangku kepentingan diperlukan untuk menjamin keberlangsungan pengelolaan Tahura WAR menuju ke arah yang lebih baik. Pola tanam yang diterapkan masyarakat adalah pola tanam agroforestry dengan jenis tanaman didominasi tanaman berkayu yang dapat dimanfaatkan hasil hutan bukan kayunya (HHBK). Pengambilan keputusan dalam memilih jenis tanaman yang dibudidayakan pada pengelolaan Tahura WAR selain didasarkan pada pengaruh ekonomi juga tetap memperhatikan aspek ekologi. 234
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Saran 1. Penguatan kelembagaan lokal seperti GKPPH diperlukan untuk mempertahankan dan menjalin kesepahaman antara pemerintah dengan masyarakat. 2. Perlu adanya penambahan jenis-jenis tanaman kehutanan pada lahan yang dikelola masyarakat disamping pengembangan jenis-jenis tanaman MPTS. DAFTAR PUSTAKA Gray, B. 1998. Collaborating: Finding Common Ground for Multyparty Problems. Jossey-Bass. Publishers. San Francisco. Juansyah, N dan Kurniadi. 2011. Menakar Kembali Pilihan Penyelesaian Konflik Tenurial di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman Provinsi Lampung. http:// worldagroforestry.org/ sea/ Publications/ files/ book/ BK0147-11/ BK0147-11-5.pdf. di akses pada 9 Agustus 2015. Mayasari, T. 2015. Perubahan Kelembagaan Formal dalam Pengelolaan Lahan Agroforestri di Tahura Wan Abdul Rahman. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mukhtar, S dan Winara A. 2011. Potensi Kolaborasi dalam Pengelolaan Taman Nasional Teluk Cenderawasih di Papua (Potency of Collaborative on Cendrawasih Bay Oark Management in Papua). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol 8 No.3 : 217226. Bogor. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomot 49. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 167. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta. Rianse, U. dan Abdi. 2010. Agroforestry: Solusi Sosial dan Ekonomi Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Alfabeta. Bandung. Winarno, G. D. 2004. Kajian Pengembangan Wisata di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman Propinsi Lampung. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
235
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
PENGETAHUAN LOKAL MASYARAKAT SUKU DAYA DAN SUKU SALING, SUMATERA SELATAN DALAM PENGOBATAN PENYAKIT DEGENERATIF DAN METABOLIK BERBASIS TUMBUHAN Efendi Agus Waluyo1, Asmaliyah1 dan Suryanto2 1 Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang 2 Peneliti Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam Samboja ABSTRAK Pengetahuan atau kearifan tradisional masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam khususnya tumbuhan dalam pengobatan merupakan kekayaan budaya yang perlu digali agar pengelolaan tradisional tersebut tidak punah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat khususnya suku Daya dan suku Saling Provinsi Sumatera Selatan dalam pemanfaatan tumbuhan untuk mengobati penyakit degenerative dan metabolik. Metode yang digunakan adalah metode survey dan wawancara secara langsung pada sejumlah masyarakat suku Daya dan suku Saling dengan metode snowball sampling. Dalam penelitian ini didapatkan informasi lebih kurang 55 jenis tumbuhan yang berkhasiat obat. Pengetahuan mengenai tumbuhan dan ramuan pengobatan tersebut diperoleh secara turun-temurun. Dasar pengobatan masyarakat suku Daya dan suku Saling adalah secara Islam yaitu semua selalu diawali dengan bacaan “Basmallah”. Pada umumnya tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan penyakit masih diperoleh secara liar di perkarangan, kebun karet, semak belukar dan ladang. Sebagian tumbuhan obat mulai dibudidayakan di perkarangan rumah. Jenis-jenis tumbuhan yang diinventarisir dalam penelitian ini perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas dan kandungannya dalam penyembuhan suatu penyakit. Kata kunci: kearifan lokal, Suku Saling, Suku Daya, tumbuhan obat
I. PENDAHULUAN Masyarakat Indonesia sudah cukup lama mengenal dan menggunakan tumbuhan berkhasiat obat sebagai upaya untuk mengobati penyakit sebelum adanya pengobatan modern dengan obat-obat sintetik. Pengetahuan tentang tanaman obat merupakan warisan budaya dari leluhur, berdasarkan pengalaman turun menurun. Berbagai macam penyakit dan keluhan ringan maupun berat dapat diobati dengan memanfaatkan ramuan dari tumbuh-tumbuhan tertentu yang mudah didapat di sekitar perumahan. Oleh karena itu pengetahuan tentang tanaman obat sangat penting untuk dijaga dan dikembangkan sebagai bentuk kekayaan bangsa (Kartasaputra, 1996). Etnobotani merupakan suatu alat atau cara untuk mendokumentasikan suatu pengetahuan seseorang, khususnya dalam kaitannya dengan tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat (Suryadarma, 2008). Menurut Zuhud (1991), tumbuhan obat adalah tumbuhan yang bagian-bagiannya (daun, batang, atau akar) mempunyai khasiat sebagai obat dan digunakan sebagai bahan mentah dalam pembuatan obat modern dan tradisional. Lebih lanjut diungkapkan bahwa, tumbuhan obat sebagai tumbuhan yang penggunaan utamanya adalah untuk keperluan obat-obatan dan belum dibudidayakan. Abdiyani (2008) mengungkapkan bahwa kelebihan pengobatan dengan menggunakan ramuan tumbuhan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern. Penyakit-penyakit dalam kelompok degeneratif dan metabolik adalah dua kelompok penyakit yang banyak diderita oleh manusia. Beberapa di antaranya mempunyai resiko kematian yang tinggi, seperti jantung, diabetes dan stroke. Penyakit degeneratif adalah 237
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
penyakit yang mengiringi proses penuaan dan penyakit metabolik termasuk kelompok penyakit medis yang berkaitan dengan produksi energi di dalam sel manusia. Kebanyakan penyakit metabolik adalah penyakit genetik atau penyakit keturunan, meski sebagian di antaranya disebabkan makanan, racun, infeksi, dan sebagainya. Stimulan terjangkitnya dua kelompok penyakit ini adalah gaya hidup yang kurang sehat. Pengetahuan atau kearifan tradisional masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam khususnya tumbuhan merupakan kekayaan budaya yang perlu digali agar pengelolaan tradisional tersebut tidak punah. Penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk mengkaji bentukbentuk kearifan lokal masyarakat khususnya suku Daya dan suku Saling, Provinsi Sumatera Selatan dalam pemanfaatan tumbuhan untuk mengobati penyakit degenerative dan metabolik. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei di Kecamatan Lengkiti Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dan Kecamatan Saling, Kabupaten Empat Lawang, Propinsi Sumatera Selatan. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, kamera digital, alat perekam, spritus, kantong plastik, gunting tanaman, kertas merang, kertas label, kertas mounting, benang, sprayer, kuisioner dan panduan wawancara yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu dan buku identifikasi. Responden pada penelitian ini adalah para pengobat tradisional (Battra) yang merupakan penduduk asli suku Daya dan suku Saling. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan kuisoner penelitian, yang dipersiapkan terlebih dahulu untuk menginventarisasi pengetahuan lokal dengan sasaran para battra, yang dituntun melalui panduan wawancara. Wawancara dilakukan dengan cara mencatat, dan mendokumentasikan hal-hal yang dikemukakan oleh responden yang berhubungan dengan keterangan mengenai cara pemanfaatannya, baik itu cara pengelolaannya dan takaran tiap jenis tumbuhan yang akan digunakan untuk pengobatan, bagian tumbuhan yang digunakan. Cara untuk mendapatkan informan (pengobat tradisional/Battra) dilakukan dengan menggunakan metode snowball sampling. Informan ditentukan berdasarkan keterangan dari tokoh masyarakat adat, kepala suku, kepala desa kepala kampung, dan sumber terpercaya lainnya. Data berupa tumbuhan obat, koleksi sampel tumbuhan obatnya dalam bentuk dokumentasi (foto), deskripsi morfologi dan pembuatan herbarium kering. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan analisis secara naratif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Deskripsi Etnis Suku Daya adalah suatu komunitas masyarakat yang menetap di pinggir aliran sungai Ogan di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Populasi suku Daya ini diperkirakan telah mencapai lebih dari 50.000 orang, yang tersebar di beberapa tempat di Provinsi Sumatra Selatan hingga ke wilayah Provinsi Lampung. Masyarakat suku Daya berbicara dalam bahasa Daya, yang mana bahasa ini termasuk dalam dialek bahasa Melayu, yang sering disebut juga sebagai dialek Daya. Tidak diketahui apakah orang Daya ini memiliki bahasa sendiri selain bahasa Melayu yang digunakan sekarang ini. Mengingat bahwa suku Daya ini adalah penduduk asli wilayah ini, dan tergolong ke dalam kelompok protomalayan, mereka telah ada sebelum kehadiran orang-orang Melayu di wilayah ini. Suku saling juga salah satu suku asli sumatera selatan yang berdiam di sekitar daerah aliran Sungai Saling. Daerah adat mereka yang disebut Marga Saling, berada dalam wilayah 238
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Kecamatan Saling kabupaten Empat Lawang, Provinsi Sumatera Selatan. Tidak ada catatan yang pasti tentang jumlah warga masyarakat ini. Bahasa Saling termasuk kelompok bahasa Melayu, tetapi dengan dialek dan ciri-ciri yang khas. 2. Pengetahuan lokal dan kearifan tentang pengobatan Suku Daya Penelitian mengenai pengobatan tradisional di suku Daya, dilakukan di Kecamatan Lengkiti, Kabupaten Ogan Komering Ulu. Penentuan lokasi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa di wilayah tersebut masih banyak didiami suku Daya asli, selain itu wilayahnya juga berbatasan langsung dengan hutan lindung. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak dinas kehutanan setempat dan dari pihak desa, ada beberapa pengobat tradisional, tetapi kebanyakan hanya tukang urut tulang bukan pengobatan menggunakan tumbuhan obat. Ada beberapa narasumber yang direncanakan ditemui tetapi hanya ada 2 pengobat tradisional (Battra) yang memenuhi syarat dan menggunakan tumbuhan obat di wilayah tersebut yang bisa ditemui. Data narasumber Battra disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data narasumber pengobat tradisional Suku Daya No Nama
Umur (Thn)
1
Cik Mas
63
Jenis Kelamin Perempuan
2
Tarmizi
54
Laki-laki
Alamat
Keterangan
Ds. Tanjung Lengakap Ds. Tanjung Agung
Mulai Praktek tahun 1985, banyak menanam tumbuhan obat Lebih dikenal sebagai tukang urut atau ahli tulang
Dalam kaitannya dengan masalah kesehatan, masyarakat suku Daya saat ini telah menggunakan obat-obatan sintetik (modern) karena wilayah yang menjadi tempat tinggalnya saat ini telah banyak fasilitas-fasilitas kesehatan seperti puskemas dan polindes serta tenaga kesehatan yang memadai seperti dokter, bidan, mantri, dan perawat. Seseorang dikatakan dalam keadaan sakit jika ada sesuatu yang dideritanya sehingga dia tidak dapat beraktivitas sehari-hari seperti biasanya. Seseorang yang sakit biasanya berobat ke bidan atau dokter terdekat terlebih dahulu untuk mendapatkan kesembuhan akan tetapi jika belum sembuhsembuh mereka mulai mencari pengobatan alternatif ke Battra. Orang daya menyebut obat tradisional dengan sebutan “Obat Ungga’an” atau Obat Kampung. Seorang Battra biasanya mendapat pengetahuan pengobatan berasal dari orang tuanya ataupun dari mimpi yang mereka sebut sebagai “wahyu”. Mereka biasanya mendapat wahyu dari “beliau” setelah melakukan sholat Tahajud di malam hari. Dalam melakukan pengobatan biasanya seorang Battra mengawali dengan bacaan Basmalah dan ditambah “jampi” yang berasal dari ayat-ayat Al Qur’an dan bahasa lokal. Jampi tidak bisa beliau berikan kepada sembarang orang. Obat tradisional yang digunakan adalah tumbuhan yang berasal dari hutan dan kebun di sekitar mereka. Jenis-jenis tumbuhan yang masih banyak dijumpai biasanya langsung diambil di hutan tetapi untuk jenis yang mulai sulit ditemukan, mereka mulai menanamnya di kebunnya seperti yang dilakukan oleh ibu Cik Mas, seorang Battra asli suku Daya dari Desa Tanjung Lengkayap. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat umumnya terdapat di pekarangan rumah, kebun karet dan semak belukar. Keadaan ini sesuai dengan hasil penelitian Hariyadi, (2011) bahwa jenis-jenis tumbuhan yang banyak dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat bukanlah berasal dari hutan alam, melainkan dari ekosistem yang sudah banyak mendapat sentuhan manusia (human made ecosystem), khsusunya semak belukar dan kawasan Ibu Cik Mas telah memulai praktek pengobatan mulai tahun 1985. Pengobatan yang dilakukan beliau secara umum ada 2 macam yaitu obat dari dalam yaitu yang diminum dan obat 239
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
dari luar yaitu untuk mandi yang mereka sebut “mandian”. Untuk mandian dia selalu menambahkan sedikit beras dalam air rebusan bahan obat tradisional hal ini filosofinya adalah bahwa semua urusan sakit itu pulangnya ke beras atau makan. Demikian juga dengan Pak Tarmizi, seorang Battra dari Tanjung Agung yang telah melakukan pengobatan dari 10 tahun yang lalu. Ia selalu mengawali pengobatannya dengan bacaan Basmalah. Dia mendapat ilmu pengobatan dari orang tuanya terutama ibunya yang sudah berumur 100-an tahun. Dia lebih dikenal sebagai tukang urut atau ahli tulang. Doa yang digunakan untuk segala macam penyakit sama yaitu 3 doa segala penyakit : Bismilah, Fatihah dan Sholawat Nabi. Sama halnya dengan ibu Cik Mas, Pak Tarmizi juga menggunakan tumbuhan obat yang masih ada di sekitar rumah, dan ada juga yang ditanam di pekarangan. Obat yang digunakan ada obat dalam yang diminum dan obat luar baik yang dimandikan dan dibalurkan. Biasanya dalam setiap ramuan yang digunakan, ia selalu menambahkan bagian akar dari tumbuhan tersebut. Hal ini mengandung makna bahwa membuang penyakit itu harus dari akarakarnya. Cara yang berbeda dari pengobatan beliau ini adalah dia selalu menambahkan madu dalam setiap resep obat yang diminum. Jenis-jenis tumbuhan yang banyak digunakan dalam mengobati penyakit khususnya penyakit degeneratif dan metabolik disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Penyakit degeneratif dan metabolik serta tumbuhan obat yang digunakan No
Nama Penyakit
1
Darah Tinggi, Jantung
2
Rematik/ Asam Urat
3
Diabetes
4
Sakit Kuning/ Lever
5 6
Maag, Lambung Batu Ginjal, Kencing batu
8
Ambien
Nama Tumbuhan Obat Bawang Putih (Allium sativum) Blimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) Kertau (Urana lobata L.) Kembang Darah Tinggi (Widelia biflora) Balik Angin (Mallotus paniculatus) Kula-kula Pedang (Asplenius nidus) Gajah Duduk (Crotalaria inaca L.) Cimurai Tapak Kuda (Centella asiatica L. Urban) Sambiloto (Androgaphis paniculata) Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) Perlako/Kapulaga (Amomum sp.) Manggis (Garcinia mangostana) Kayu Lampas/Tembesu (Fagraea fragrans) Gerunggang (Pertusadina eurhynca) Akar Tebas Kuing Tomat Ceper/Tomat Dusun (Lycopersicum sp.) Bambu Kuning (Bambusa sp.) Ketepeng (Senna alata/Cassia alata) Akar Batang Sipik (Tetracera sp.) Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus) Keji Beling (Strobilanthes criptus) Pinang (Areca catechu) Akar Sebakbak/Akar serbabak (Spatholobus ferrungianus) Ruk duruk/Senduduk (Melastoma malabatricum) Kayu Heling Peladang merah/Dang Radang (Coleus scutellarioides L.)
240
Bagian yang digunakan Umbi Daun Daun Bunga Daun Daun Seluruh bagian Daun Seluruh Bagian Daun Akar Umbi Kulit buat Daun Kulit Bantang Akar Buah Anakan/rebung Daun Batang Seluruh bagian Seluruh bagian Buah Batang Akar Kulit bagian dalam (kulit ari) Daun
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan No
Nama Penyakit
10
Asma/Sesak Nafas
11
Stroke
12
Jantung/Angin duduk Kolesterol Sakit Pinggang
13 14
Nama Tumbuhan Obat Kemuning (Murraya paniculata) Sirih (Piper betle) Kecubung (Datura metel) Jahe Merah (Zingiber officinale) Jeringau (Acorus calamus) Bangle (Zingiber cassumunar) Bawang Putih Wortel (Daucatus carota L.) Delima (Punica sp.) Penyambung Nyawa
Bagian yang digunakan Daun Air Batang Bunga Umbi/rimpang Umbi/rimpang Umbi/rimpang Buah Buah Buah Daun
Suku Saling Pemilihan suku Saling sebagai obyek kajian tumbuhan obat ini adalah didasarkan dari informasi bahwa di daerah Saling ini jaman dahulu masih terkenal menggunakan racun dari tumbuh-tumbuhan. Dari informasi tersebut maka diharapkan akan didapatkan pula banyak infomasi mengenai menggunaan tumbuhan untuk pengobatan. Ada beberapa Battra yang berhasil diwawancari sebagai narasumber. Tabel 3. Data narasumber pengobat tradisional suku Saling No
Nama
1 2 3 4
Nurhimah (Bu Nol) Jimat Ali Ependi Hamdani
Umur (Thn) 65 42 55 49
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Laki-Laki Laki-Laki
Alamat Ds. Taba Ds. Taba Ds. Taba Ds. Taba
Keterangan Banyak informasi tumbuhan obat Banyak pakai jampian Tahun 90-an mulai mengobati -
Pengobatan tradisional di suku Saling saat ini diposisikan sebagai pengobatan alternatif. Karena sebagian besar yang telah melakukan praktek pengobatan tradisional telah melakukan pengobatan medis terlebih dahulu. Mereka menyebutnya sebagai “Ubat Ula’an” atau obat dusun. Seseorang yang sakit biasa telah melakukan pengobatan secara medis baik ke dokter maupun bidan terdekat tetapi sudah tidak sembuh maka mereka melanjutkan dengan pengobatan tradisional. Di daerah kajian yaitu di Desa Taba Kecamatan Saling, secara umum ada 2 macam Battra, yaitu Battra yang menggunakan obat tradisional baik dari tumbuhan dan Battra yang tidak menggunakan tumbuhan sebagai obat tetapi menggunakan “terawangan” dan meditasi. Dari Battra yang menggunakan tumbuhan untuk pengobatan dapat diketahui beberapa jenis tumbuna yang bisa digunakan untuk pengobatan penyakit khususnya degeneratif dan metabolik. Jenis-jenis tumbuhan yang banyak digunakan dalam pengobatan disajikan pada Tabel 4. Battra yang menggunakan tumbuhan sebagai obat biasanya mendapat bahan tanaman dari hutan dan lingkungan sekitarnya. Sama halnya dengan suku Daya, pengobatan disini juga menggunakan obat dari dalam dan luar, demikian juga dengan doa yang digunakan. Mereka mengistilahkan doa itu sebagai “bisikan”. Bisikan yang digunakan selalu diawali dengan bacaan Basmallah, mereka yakin bahwa segala macam penyakit dan penyembuhan itu berasal dari Tuhan dan pengobatan itu hanya caranya saja. Setelah membaca basmalah diteruskan dengan bisikan yang menggunakan bahasa Saling.
241
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tabel 4. Penyakit degeneratif dan metabolik serta tumbuhan obat yang digunakan No
Nama Penyakit
1
Darah Tinggi
2
Rematik/Asam Urat
3
Nama Tumbuhan Obat
Bagian yang digunakan
Mengkudu Jeru Limau urut /Jeruk Purut Cabe Serai
Buah dan daun Pucuk daun Daun Batang
Diabetes
Kunyit
Umbi
4
Sakit Kuning/Lever
5
Maag, Lambung
6
Batu Ginjal, Kencing batu
8
Ambien
Kenidai(Bridelia tomentosa Blume) Tuba Api Kapung Jengkol (Pithecelobium lobatum) Kabau Medang Tanduk (Alsedaphne sp.) Kates (Carica papaya) Boding abang (Graptophyllatus pictum) Setati (Wedelia montana BL.) Kembang Bunga Raye (Hibiscus rosasinensis) Asam Jawa Kelapa Muda (Cocos nucifera) Nangka Akar Sembilan Lapis
Daun Daun Daun Daun Daun Daun Buah Daun Daun Daun Buah Air Pucuk Daun Akar dan pucuk
10
Asma/Sesak Nafas
11
Jantung/Angin duduk
Asam Jawa Pisang (Musa sp.) Bawang Putih (Allium sativum) Jahe Merah (Zingiber officinale)
Buah Buah Umbi Umbi
IV. KESIMPULAN Masyarakat suku Daya dan suku Saling di Sumatera Selatan memanfaatkan lebih kurang 55 jenis tumbuhan yang berkhasiat obat. Pengetahuan mengenai tumbuhan dan ramuan pengobatan tersebut diperoleh secara turun–temurun. Dasar pengobatan masyarakat suku Daya dan suku Saling adalah secara Islam yaitu semua selalu diawali dengan bacaan “Basmallah”. Pada umumnya tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan penyakit masih diperoleh secara liar di perkarangan, kebun karet, semak belukar dan ladang. Sebagian tumbuhan obat mulai dibudidayakan di perkarangan rumah. Jenis-jenis tumbuhan yang diinventarisir dalam penelitian ini perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas dan kandungannya dalam penyembuhan suatu penyakit. DAFTAR PUSTAKA Abdiyani S. 2008. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah Berkhasiat Obat di Dataran Tinggi Dieng. Jurnal Peneltian Hutan dan Konservasi Alam 6: 79-92. Hariyadi B. 2011. Obat Rajo Obat Ditawar: Tumbuhan Obat dan Pengobatan Tradisional Masyarakat Serampas – Jambi. Biospecies 4(2): 29 – 34. Kartasaputra, G..1996. Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat. CV Amalia. Jakarta, hal 25. 242
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Suryadharma, I. 2008. Diktat Kuliah Etnobotani. Jurusan Pendidikan Biologi. Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Zuhud, E.A.M, Azis S, Ghulamahdi M, Andarwulan N, Darusman LK. 2001. Dukungan teknologi pengembangan obat asli Indonesia dari segi budidaya, pelestarian dan pasca panen. Lokakarya Pengembangan Agribisnis berbasis Biofarmaka. Pemanfaatan dan Pelestarian Sumber Hayati mendukung Agribisnis Tanaman Obat.
243
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
ANTARA DISKURSUS DAN KEPENTINGAN: MERANCANG MODEL KONSEPTUAL PENGELOLAAN LANSKAP HUTAN DI DAERAH DATARAN TINGGI Edwin Martin dan Ari Nurlia Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Fenomena alih-fungsi lanskap hutan lindung di daerah dataran tinggi yang dibiarkan tanpa terkendali dapat mempercepat laju deforestasi dan deplesi kualitas lingkungan yang berakibat fatal pada kehidupan manusia dalam jangka tertentu. Ini dapat terjadi karena para pihak memiliki kepentingan dan cara pandang yang berbeda terhadap lanskap hutan. Satu pihak bermaksud menjaga kualitas lingkungan, pihak lain lebih menginginkan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ditujukan untuk mendapatkan model konseptual pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan bagi masyarakat di areal DAS/Sub DAS dalam lingkup wilayah administrasi kabupaten/kota daerah dataran tinggi, melalui pembelajaran kasus pada masyarakat di sekitar hutan lindung Bukit Jambul, Sub DAS Lematang, Kota Pagar Alam. Penelitian dilakukan melalui pendekatan sistem, dimulai dengan tahap menyusun, pemodelan sebab-akibat, pendefinisian akar masalah, penyusunan model konseptual dan diakhiri dengan perencanaan skenario. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa akar permasalahan yang menyebabkan makin rusaknya lanskap hutan ini adalah karena terjadi kesenjangan persepsi antarparapihak, baik antarkelompok masyarakat pengguna lahan maupun dengan pemerintah terhadap nilai penting eksistensi hutan. Penelitian ini berhasil menyusun model konseptual pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam berupa rangkaian aktivitas yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, melalui proses awal mengatasi akar masalah kesenjangan persepsi dan rendahnya pengetahuan usahatani berwawasan lingkungan. Pendekatan nilai penting hutan berdasarkan situasi lanskap dan dampak perubahannya dapat menjadi titik mula pengelolaan lanskap di daerah dataran tinggi. Kata kunci: lanskap hutan, dataran tinggi, pengelolaan, analisis sistem
I. PENDAHULUAN Fenomena alih-fungsi atau status kawasan hutan lindung menunjukkan bahwa pendekatan mengelola hutan melalui pembagian hutan berdasarkan fungsinya, yaitu lindung, konservasi, dan produksi terbukti tidak berhasil menahan laju deforestasi dan degradasi hutan. Parapihak, terutama aktor-aktor di daerah, memiliki beragam kepentingan dan aktivitas terhadap hutan. Beragam kepentingan dan aktivitas parapihak tidak dibatasi oleh fungsi hutan, karena pada dasarnya manfaat produksi (ekonomi), perlindungan (ekologi), dan sosial dibutuhkan oleh parapihak dalam suatu waktu dan tempat yang sama. Manajemen lanskap dikenal sebagai model pengelolaan hutan yang memandang hutan sebagai suatu kesatuan fungsi, dan pengelolaannya tidak dapat dipisahkan dari tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang beragam. Namun, hingga kini manajemen lanskap hutan belum menjadi arus utama pengelolaan lahan dan hutan Indonesia. Ketidaksesuaian antara rencana tata ruang dan penetapan/penunjukan kawasan hutan dengan tata guna faktual adalah fenomena yang umum dan mudah dijumpai, termasuk di Sub DAS Lematang Kota Pagar Alam sebagai salah satu wilayah dataran tinggi di Sumatera Selatan. Ini menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman, kontestasi diskursus, dan kepentingan di antara para pihak. Menurut teori justifikasi dari Boltanski, masing-masing aktor memiliki pembenaran atau rasionalitas ekonomi dari tindakan yang mereka ambil. Menurut Sutton 245
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
(1999), aktor yang dominan dalam “iron triangle” yaitu kelompok kepentingan (interest associations), pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat akan menikmati hasil dari hubungan ketiganya, dan berimplikasi pada penguasaan sumberdaya. Dalam konteks tata guna lahan hutan, aktor dominanlah yang akan menentukan bagaimana bentuk akhir dari tata guna lahan hutan tersebut. Penelitian ini bermaksud untuk memberikan alternatif penyelesaian isu trade off diskursus manajemen hutan dan kepentingan parapihak melalui pendekatan manajemen lanskap, lewat pembelajaran kasus areal Sub DAS Lematang sebagai hulu DAS Musi yang termasuk wilayah administrasi kota pemekaran Pagar Alam. Peningkatan peran hutan dapat dicapai apabila kepentingan satu pihak tidak menghilangkan pencapaian kepentingan pihak lain. Dalam penelitian ini, diskursus didefinisikan sebagai kumpulan gagasan, konsep, dan kategorisasi khusus yang diproduksi, dan ditransformasi ke dalam praktik-praktik tertentu dan melalui pemaknaan yang diberikan terhadap realitas sosial dan fisik (Hajer 1995 dalam Soini dan Birkeland 2014). Kepentingan adalah alasan. Alasan berhubungan dengan kebutuhan atau keinginan. II. METODE PENELITIAN Paper ini merupakan hasil penelitian dari lanjutan rangkaian penelitian pengelolaan lanskap hutan di daerah dataran tinggi. Hasil penelitian awal tentang persepsi parapihak terhadap lanskap hutan telah dipublikasikan dalam Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, Volume 10, Nomor 1, April 2013. Penelitian dilakukan di Kota Pagar Alam Sumatera Selatan, sebagai wilayah administrasi dataran tinggi yang didominasi kawasan hutan. Manajemen lanskap hutan merupakan konsep mengelola hutan secara luas. Ini tidak hanya melibatkan entitas yang bersifat biofisik (hard systems) namun juga dipengaruhi dan mempengaruhi perspektif pelaku/aktor (soft systems). Metodology sistem atau pendekatan sistem merupakan cara yang ditawarkan oleh banyak pakar untuk menjawab permasalahan yang rumit atau berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam (Martin, 2008; Purnomo, 2005; Chapman, 2004; Holwell, 2000). Kerangka kerja pemodelan dan berpikir sistem dalam penelitian ini meliputi 5 (lima) tahapan, yaitu: (1) menyusun masalah (problem structuring); (2) pemodelan sebab-akibat (casual loop modelling); (3) pendefinisian akar masalah; (4) penyusunan model konseptual; (5) perencanaan skenario. Tahapan pemodelan ini merupakan modifikasi proses Soft Systems Methodology (SSM) yang dikembangkan Checkland (Holwell, 2000). Tahap 1 sampai dengan 3 telah dilalui sebelumnya dan hasilnya dipublikasikan oleh Martin et al. (2013). Penyusunan model konseptual ini (tahap 4) dilakukan melalui forum lokakarya multipihak di Kota Pagar Alam. Model konseptual adalah persepsi parapihak tentang gambaran menyeluruh beragam aktivitas bertujuan (purposefull activity systems) yang dapat mengubah keadaan atau situasi saat ini menjadi situasi yang diinginkan. Melalui pendekatan metode ZOPP (Ziel Orentierte Project Plannung) forum lokakarya multipihak merancang perencanaan skenario (Tahap 5) yang perlu dan layak dilakukan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi akar masalah Hasil penelitian Martin et al. (2013) menyimpulkan bahwa terjadi perbedaan persepsi yang signifikan antarparapihak di Kota Pagar Alam terhadap nilai penting hutan. Parapihak utama yang telah teridentifikasi sebelumnya meliputi petani kopi, petani sawah, petani sayur 246
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
dan pemerintah daerah. Hal ini merupakan salah satu akar masalah isu kerusakan hutan. Fakta menunjukkan bahwa meskipun pemerintah daerah gencar menyuarakan diskursus pelestarian hutan, namun deforestasi tidak berhenti. Gambar 1 melukiskan keadaan tutupan lahan daerah dataran tinggi ini.
Gambar 1. Peta penutupan lahan dalam wilayah administrasi Kota Pagar Alam
Hasil penelitian yang menunjukkan perbedaan persepsi terhadap lanskap berhutan dibahas bersama kelompok masyarakat dalam forum Focus Group Discussion, untuk mengetahui penyebab terjadinya hal tersebut dan dampaknya. Diskursus konservasi hutan hanya berlaku pada kelompok pemerintah daerah. Kelompok petani, terutama petani sayur dan kopi memiliki kepentingan terhadap areal yang diharapkan berhutan oleh kelompok pemerintah. Menurut kelompok masyarakat, perbedaan persepsi dapat terjadi karena pemerintah daerah jarang sekali melakukan pembinaan usahatani yang berwawasan lingkungan. Mereka dibiarkan untuk mempraktikkan usahatani sebagaimana yang biasa mereka lakukan selama ini secara tradisional. Akibat nyata dari perbedaan persepsi tersebut adalah rendahnya dukungan masyarakat terhadap program konservasi dan rehabilitasi hutan; pohonpohon yang ditanam pemerintah tidak mereka pelihara bahkan cenderung “dimatikan”. Gambar 2 memberikan potret permasalahan pengelolaan lanskap hutan di Kota Pagar Alam secara lebih lengkap.
247
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Perekonomian masyarakat menurun
Sawah beralih fungsi
Kerusakan areal usaha tani
Potensi wisata berkurang
Pada musim kemarau debit air untuk sawah sangat kecil
Pada musim kemarau air terjun menghilang
Pada musim hujan banjir bandang mengancam
Perekonomian meningkat
Siklus air tidak normal
Hutan di sekitar sumber mata air makin rusak
Kerusakan hutan di wilayah hulu terus terjadi
Perbukitan terancam longsor dan menuju kritis
Hutan sekitar sungai berubah menjadi lahan usaha tani
Banyak wilayah berbukit dijadikan kebun sayur
Hasil dan harga kopi tidak memuaskan? Perekonomian masyarakat menurun?
Program tanam pohon PNS PEMKOT belum mengena sasaran
Pohon yang dikembangkan pemerintah untuk ditanam belum sesuai dengan keinginan petani
Masih jarang sekali program pemerintah membina usahatani berwawasan lingkungan di wilayah hulu
Terjadi kesenjangan persepsi dan sikap antara Pemkot dan Petani terhadap hutan
Gambar 2. Pohon masalah lanskap hutan di Kota Pagar Alam berdasarkan analisis isi media massa, hasil penelitian survei dan Focus Group Discussion
B. Penyusunan model konseptual Pohon masalah pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam yang telah dihasilkan melalui proses analisis isi berita media massa, survei uji hipotesis dan FGD merupakan draft model konseptual pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam. Draft model konseptual ini dibahas kembali “kebenarannya” melalui forum lokakarya multipihak yang melibatkan para pengambil keputusan institusi lingkup Pemerintah Kota Pagar Alam. Parapihak pengambil keputusan Pemerintah Kota Pagar Alam membenarkan dan menyempurnakan draft model konseptual pengelolaan lanskap (Gambar 3). Hasil diskusi menyingkapkan bahwa makin meluasnya kebun sayur ke area dataran tinggi, termasuk kawasan hutan lindung, dapat terjadi karena hasil produksi usahatani sayur berbanding lurus dengan ketinggian tempat, terutama sejak tidak menentunya keadaan musim dan tidak normalnya siklus air. Petani sayur di dataran tinggi mengandalkan kabut yang membawa embun (fog) sebagai sumber air bagi tanaman. Sementara, disadari pula bahwa masalah mendasar yang menyebabkan kesenjangan persepsi antarpihak tentang lanskap hutan adalah karena adanya perbedaan tingkat pengetahuan antarpihak. Model konseptual pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam adalah rangkaian beragam aktivitas dalam bahasa tujuan (sebagai kebalikan dari masalah). Rangkaian aktivitas ini merupakan tujuan dari program yang semestinya ditempuh pemerintah kota guna mengelola lanskap hutan dengan kegiatan yang secara jelas berusaha menyelesaikan masalah pada taraf akarnya. Tujuan akhir model konseptual ini adalah terjadinya peningkatan kesejahteraan (ekonomi) masyarakat sebagai akibat pengelolaan lingkungan (lanskap hutan) yang terencana dan terintegrasi dengan baik.
248
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Gambar 3. Pohon masalah pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam
C. Perencanaan skenario Model konseptual yang telah disepakati parapihak adalah rangkaian aktivitas bertujuan (purposeful activity system) sebagai kerangka kerja penyusunan program kerja satuan kerja (dinas/badan) lingkup pemerintah Kota Pagar Alam. Tabel 1 menampilkan tujuan, progam dan instansi yang terlibat dan model pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam. Program yang diusulkan ini merupakan perencanaan skenario pengelolaan lanskap hutan kota Pagar Alam, sebagai kegiatan utama yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Kota guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui usahatani yang berwawasan lingkungan. Penyusunan rencana skenario pengelolaan lanskap hutan ini memberi pelajaran kepada parapihak tentang pentingnya pemikiran sistem dan pengelolaan lingkungan yang bersifat integratif. Pemikiran sistem (systemic thinking) mampu mengurai akar penyebab dari isu dan masalah yang dihadapi. Selama ini, banyak program kerja disadari hanya bersifat rutinitas tanpa tujuan jelas untuk menyelesaikan masalah yang mana dan hanya bersifat parsial/sektoral. Isu kerusakan hutan ternyata tidak bisa hanya ditangani oleh sektor kehutanan saja karena dampak dan akar masalahnya dirasakan dan milik semua pihak. Hutan dalam model konseptual dan rencana skenario ini adalah kumpulan pohon-pohon yang semestinya tumbuh dan dipertahankan karena manusia di sekitarnya membutuhkan 249
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
eksistensinya. Daerah sekitar sungai, perbukitan terjal, sekitar mata air dan hulu sungai (hutan lindung) diprioritaskan sebagai area yang semestinya berhutan. Konsep ini tidak memandang pembagian hutan hanya berdasarkan kawasan hutan atau bukan, karena kawasan hutan identik dengan domain pekerjaan instansi kehutanan saja. Hutan yang berbasis kebutuhan lanskap dapat diterima parapihak sebagai sebuah kebutuhan semua manusia yang tinggal di sekitarnya, demi kemaslahatan kehidupan secara berkelanjutan. Tabel 1. Kerangka kerja model pengelolaan lanskap hutan Kota Pagaralam No. 1.
Tujuan aktivitas Menciptakan alternatif pekerjaan yang tidak berbasis lahan bagi masyarakat yang tinggal di daerah hulu
2.
3.
4.
5.
Menyamakan persepsi parapihak tentang nilai penting hutan Meningkatkan programprogram pemerintah dalam membina usahatani berwawasan lingkungan di daerah hulu
Mengembangkan tanaman/bibit yang sesuai dengan kebutuhan petani Melaksanakan program tanam pohon PNS sesuai sasaran/prioritas lokasi
Program kerja Pengembangan peternakan Diversifikasi usaha produk pangan Pengembangan budidaya jamur
Sosialisasi dan Penyuluhan nilai penting hutan Sosialisasi dan Penyuluhan Budidaya Pertanian ramah lingkungan (sesuai prinsip KTA) Pembuatan sistem terassering di daerah berbukit Pengadaan/pembuatan bibit pohon serbaguna untuk program RHL Pemetaan lokasi prioritas RHL Kota Pagar Alam Monitoring dan Evaluasi program penanaman pohon
Instansi terlibat Dinas pertanian dan hortikultura, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Peternakan, Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi. Dinas Kehutanan dan Perkebunan, BKP5K, Badan Lingkungan Hidup Dinas Pertanian dan Hortikultura, BKP5K, Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Dinas Hutbun, Bappeda.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Masalah kerusakan lanskap hutan di daerah dataran tinggi Kota Pagar Alam menimbulkan beragam dampak negatif yang dirasakan parapihak. Akar permasalahan makin rusaknya lanskap hutan ini adalah karena terjadi kesenjangan persepsi antarparapihak, baik antarkelompok masyarakat pengguna lahan maupun dengan pemerintah terhadap nilai penting eksistensi hutan. Model konseptual pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam merupakan rangkaian aktivitas yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, melalui proses awal mengatasi akar masalah kesenjangan persepsi dan rendahnya pengetahuan usahatani berwawasan lingkungan. Model ini dapat tersusun dan diterima parapihak karena dimulai dari masalah yang dirasakan banyak pihak dan didefinisikan akar masalahnya bersama parapihak. Pendekatan nilai penting hutan berdasarkan posisi lanskap dapat diandalkan untuk mengubah persepsi parapihak bahwa hutan tidak hanya domain sektor kehutanan saja tetapi dibutuhkan semua pihak. Pendekatan ini sangat cocok untuk dikembangkan di daerah-daerah 250
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
hulu DAS yang kebutuhan eksistensi hutannya relatif luas dan tidak bisa hanya dibatasi oleh pembagian wilayah berdasarkan kawasan hutan dan areal penggunaan lain (APL) saja. DAFTAR PUSTAKA Chapman J. 2004. System Failure: Why governments must learn to think differently. London: Demos. Holwell, S. 2000. Soft systems methodology: Other voices. Systemic Practice and Action Research, Vol. 13, No. 6: 773-797. Martin, E., B.T. Premono, A. Nurlia. 2013. Persepsi dan Sikap para pihak terhadap lanskap berhutan di Kota Pagaralam, DAS Musi Hulu Sumatera Selatan”. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, Vol. 10 No.1, April 2013. Martin, E. 2008. Aplikasi Metodologi Sistem Lunak Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Rawan Konflik: Kasus Hutan Penelitian Benakat, Sumatera Selatan. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Mitroff, I. dan H. Linstone. 1993. The Unbounded Mind. New York: Oxford University Press. Purnomo, H. 2005. Teori Sistem Komplek, Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Soini, K. dan Birkeland, I. 2014. Exploring the scientific discourse on cultural sustainability. Geoforum, 51: 213-223. Sutton, R. 1999. The Policy Process: An Overview. London: Overseas Development Institute.
251
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
KETIDAKSETARAAN POSISI TAWAR DAN INFORMASI ASIMETRIS DALAM PEMASARAN GAHARU SERTA ALTERNATIF SOLUSINYA: STUDI KASUS DI KABUPATEN MUSI RAWAS Mamat Rahmat, Ari Nurlia dan Agus Sofyan Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Kendala yang kerapkali ditemui dalam pemasaran komoditas wanatani adalah ketidaksetaraan posisi tawar dan adanya informasi asimetris. Penulisan paper ini dimaksudkan untuk menyajikan deskripsi pemasaran gaharu dan merumuskan solusi untuk menyelesaikan masalah yang ada. Lokasi penelitian yang dipilih adalah di Kabupaten Musi Rawas. Daerah tersebut dianggap representatif untuk kajian ini karena di wilayah tersebut banyak dijumpai tanaman gaharu pada lahan milik serta terdapat beberapa pengepul gaharu. Data yang dikoleksi meliputi identifikasi para pihak yang terlibat dalam mata rantai pemasaran serta harga gaharu. Analisis data dilakukan secara deskriftif dan usulan penyelesaian masalah dirumuskan dalam kerangka teori kontrak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketidaksetaraan antara penjual dan pembeli dalam transaksi komoditas gaharu di Kabupaten Musi Rawas memang nyata terjadi. Pembeli lebih memiliki power dibandingkan penjual baik dalam hal posisi tawar maupun akses terhadap informasi harga, sehingga dalam transaksi terjadi ketidaksetaraan posisi antara penjual dan pembeli, yaitu penjual bertindak sebagai penerima harga (price taker) dan pembeli sebagai penentu harga (price maker). Realitas tersebut dapat diminimalisir dengan cara mendisain sebuah kontrak kerjasama. Sebuah teladan kontrak kerjasama budidaya gaharu dapat dijumpai di Desa Trijaya, Kecamatan BTS Ulu/Cecar, Kabupaten Musi Rawas. Di daerah tersebut terdapat sekelompok petani penanam pohon penghasil gaharu yang telah bergabung dalam himpunan KTH (Kelompok Tani Hutan)Sinar Tani 1 dan bekerja sama dengan CV. HD Agarwood Project untuk kegiatan penyuntikkan pohon penghasil gaharu dan penjualan produk gaharu. Bentuk kontrak kerjasama yang dijalin antara kedua pihak tersebut dapat dikategorikan sebagai kontrak bagi hasil (share contract) dan tergolong sebagai kerjasama informal. Namun demikian, pola kerjasama yang telah dibentuk tersebut dapat menjadi teladan bagi para penanam pohon penghasil gaharu di daerah lain. Kata kunci: gaharu, kontrak, pemasaran, monopoli
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gaharu telah dikenal sebagai komoditi hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Wollenberg et al. 2001; Paoli et al. 2001; Mucharromah, 2011; Purnomo et al., 2011). Kementerian Kehutanan pun telah menjadikan komoditi ini sebagai produk yang potensial untuk diusahakan di Indonesia. Namun, realita yang ada menunjukkan bahwa ketersediaan pohon penghasil gaharu di hutan alam semakin menyusut seiring dengan deforestasi yang tak tertahankan dan eksploitasi yang dilakukan secara destruktif (Santoso & Turjaman, 2011; Santoso et al., 2012). Informasi mengenai harga gaharu alam yang cukup tinggi telah menjadi insentif bagi sebagian kalangan untuk mengembangkan pohon penghasil gaharu pada lahan milik. Fenomena penanaman gaharu pada lahan milik juga ditemukan di beberapa daerah di Provinsi Sumatera Selatan, antara lain di Kabupaten Banyuasin, Lahat dan Musi Rawas (Sofyan, 2010). Bahkan sejumlah masyarakat di Kecamatan Bulung Tengah Suku (BTS) Ulu Cecar, Kabupaten Musi Rawas telah menanam gaharu pada areal kebunnya sejak puluhan tahun yang lalu, sebagai tanaman sisipan diantara pohon karet. 253
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Selain faktor harga, pengembangan gaharu pada lahan milik juga ditunjang oleh penemuan inovasi teknologi penyuntikkan batang pohon penghasil gaharu (Santoso et al., 2006) dalam Santoso & Turjaman (2011) yang terbukti mampu merangsang pembentukan resin aromatik tersebut. Beberapa hasil kajian telah menunjukkan fakta bahwa aplikasi teknologi induksi (penyuntikkan) terbukti mampu mempercepat proses pembentukan gaharu (Santoso & Turjaman, 2011). Penemuan tersebut sangat potensial untuk meningkatkan produksi gaharu sehingga dapat meningkatkan output perekonomian atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK). Untuk meraih harapan tersebut, salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan gaharu adalah aspek pemasaran. Kenyataan yang kerapkali ditemui dalam pengembangan komoditas wanatani di seluruh Indonesia adalah aspek pemasaran (Tukan et al., 2004). Ketiadaan kesetaraan antarpelaku ekonomi dalam wujud posisi tawar (bargaining position) maupun informasi asimetris (information asymmetric) dapat berimplikasi terhadap transaksi yang tidak adil, yaitu salah satu atau beberapa pihak memperoleh keuntungan di atas kerugian pihak lain (Yustika, 2012). Sehingga, transaksi yang adil antara penjual dan pembeli menjadi kunci pokok keberhasilan pengembangan gaharu. Oleh karen itu perlu disusun aturan main yang dimaksudkan untuk membangun kesetaraan antarpelaku pemasaran garahu, baik dari sisi daya tawar maupun kelengkapan informasi. B. Tujuan Bertolak pada uraian latar belakang di muka, penulisan makalah ini dimaksudkan untuk menyajikan data dan informasi hasil kajian pemasaran gaharu di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Di samping itu, tulisan ini juga mengusulkan solusi alternatif yang dapat dipilih untuk membantu menyelesaikan permasalahan pemasaran gaharu. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Daerah tersebut tergolong wilayah penyebaran gaharu alam di Sumatera Selatan. Di samping itu, sebagian masyarakatnya juga telah melakukan budidaya pohon penghasil gaharu pada lahan milik. B. Pengumpulan Data Data yang dikoleksi meliputi data pelaku (mata rantai) perdagangan gaharu dan harga gaharu pada berbagai level rantai pemasaran di Kabupaten Musi Rawas. Data tersebut dikumpulkan melalui wawancara mendalam kepada responden kunci (key person) dalam pemasaran gaharu di Kabupaten Musi Rawas. Pemilihan responden dilakukan dengan cara sengaja dengan menggunakan metode snow ball sampling. Key person pertama dalam kajian ini adalah Kepala KPHP Lakitan. Selanjutnya berdasarkan informasi dari responden pertama tersebut investigasi dilakukan pada petani dan pengepul gaharu yang ada di Kabupaten Musi Rawas. C. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk memberikan gambaran kondisi pasar gaharu yang ada di kabupaten Musi Rawas. Untuk merumuskan solusi aturan main, digunakan kerangka analisis teori kontrak.
254
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Pemasaran Saat ini, budidaya pohon penghasil gaharu oleh masyarakat telah berkembang relatif pesat. Sebagai contoh, kondisi demikian dapat diamati di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Masyarakat telah mengaplikasikan berbagai teknik untuk merekayasa pohon penghasil gaharu agar dapat membentuk resin aromatik tersebut. Dari hasil wawancara dan pengamatan lapangan, terdapat tiga jenis proses perekayasaan yang dilakukan oleh masyarakat untuk merangsang pembentukan gaharu, yaitu: a). pelukaan batang, b). pembakaran batang dan c). Penyuntikan (injeksi) larutan pembentuk gaharu ke dalam batang pohon penghasil gaharu. Untuk proses injeksi, masyarakat mengenal dua jenis larutan, yakni inokulan (larutan yang mengandung cendawan Fusarium) dan inducer (bahan kimia). Namun dalam perkembangan terkini, sebagian masyarakat di Kabupaten Musi Rawas telah melakukan uji coba penyuntikan dengan menggunakan landucer yang merupakan kombinasi antara inokulan yang mengandung cendawan Fusarium dan inducer. Keberhasilan pada proses budidaya (tahap produksi) tersebut tidak serta merta diikuti dengan respon positif pada level pemasaran. Bahkan, pasar memberikan sinyal yang cenderung bersifat kontraproduktif yaitu dengan memasang harga gaharu hasil induksi pada tingkat yang tergolong jauh lebih rendah dibandingkan produk gaharu alami. Malahan, ada pedagang pengumpul gaharu di Kabupaten Musi Rawas yang tak berminat sama sekali untuk membeli gaharu hasil induksi. Hasil wawancara dengan pengepul gaharu di sekitar wilayah Musi Rawas terungkap bahwa bahwa pada saat ini mereka tidak bersedia menerima gaharu hasil injeksi/penyuntikkan karena pengepul di atas mereka tidak mau membelinya. Jikapun mau menerima, umumnya gaharu hasil penyuntikan dihargai sangat rendah, sehingga keuntungan marjin keuntungan yang mereka dapatkan sangat minim. Pedagang pengepul gaharu di wilayah Musi Rawas dan sekitarnya umumnya hanya menerima gaharu dari alam atau gaharu dari kebun karet masyarakat yang proses pembentukkan gaharunya terjadi secara alami (tanpa injeksi), baik melalui pelukaan dengan menggunakan benda tajam (pembacokan) maupun dengan cara pembakaran batang pohon penghasil gaharu. Sungguhpun gaharu yang terbentuk secara alami relatif lebih mudah dipasarkan, namun petani dihadapkan pada sistem perdagangan yang bersifat monopsoni. Petani yang bertindak sebagai penjual berperan sebagai penerima harga (price taker) dan pengepul sebagai penentu harga (price maker). Selain itu, penentuan harga gaharu pun sangat subjektif. Harga gaharu yang ditawarkan penjual akan ditentukan berdasarkan hasil penelaahan pembeli (pedagang pengepul) terhadap kualitasnya yang ditaksir berdasarkan warna, aroma dan bentuk penampakan. Standar klasifikasi kualitas gaharu menurut SNI telah tersedia sebagaimana terdapat di dalam Setyaningrum & Saparinto (2014), namun karena keragaman gradasi warna yang relatif banyak serta faktor subjektivitas penilai (pengepul) sangat berpotensi untuk menimbulkan ketidakadilan dalam proses transaksi, yaitu pengepul cenderung akan menarik keuntungan di atas beban kerugian petani (penjual). Sebagai gambaran, Tabel 1 berikut ini menyajikan variasi harga gaharu pada berbagai jenis kelas gaharu alami yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang pengepul gaharu di wilayah Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya. Berdasarkan penuturan pengepul, kualitas gaharu Super King dan Super B saat ini tak ditemukan lagi di wilayah Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya. Adapun, jenis gaharu yang masih dapat diperoleh 255
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
antara lain gaharu sepat, gaharu triplek, gaharu kemedangan dan gaharu teri. Untuk lebih jelasnya bentuk-bentuk gaharu tersebut dapat diamati pada Gambar 1. Tabel 1. Harga gaharu alami di Kabupaten Musi Rawas berdasarkan kelas kualitas No. 1. 2.
Kelas Kualitas
Super King Super B Sepat (berbentuk chip agak oval menyerupai 3. bentuk ikan sepat) 4. Triplek (berbentuk pipih) 5. Kemedangan 6. Teri (berbentuk chip ukuran kecil-kecil) Sumber: Hasil wawancara dengan responden (2015)
(a)
Harga (Rp)/ Kg 240.000.000,8.000.000,- s/d 12.000.000,6.000.000,- s/d 8.000.000,3.000.000,500.000,- s/d 700.000,300.000,-
(b)
(c) (d) Gambar 1. Jenis gaharu alami berdasarkan kelas kualitas (a) sepat, (b) triplek, (c) kemedangan dan (d) teri
Pengepul gaharu yang beroperasi di wilayah Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya (Kota Lubuk Linggau) umumnya hanya sebagai pedagang pengumpul perantara. Selanjutnya, gaharu yang dia peroleh dijual ke pedagang yang lebih besar yang berada di Jambi, Pekanbaru atau Jakarta. Negara tujuan ekspor gaharu dari ketiga kota tersebut adalah Singapura, Arab dan China. Apabila disajikan dalam bentuk diagram alir, maka jalur perdagangan gaharu dari Kabupaten Musi Rawas dan Lubuk Linggau dapat digambarkan dalam alur sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2. Berdasarkan uraian hasil investigasi seperti diutarakan di muka, tampak bahwa ketidaksetaraan dalam proses transaksi merupakan problem yang nyata dalam pemasaran gaharu. Faktor penyebabnya adalah rendahnya posisi tawar petani dan ketidaklengkapan 256
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
informasi yang diterima petani. Realita tersebut menambah bukti yang dapat menjelaskan kebenaran postulat pengaruh ketimpangan posisi daya tawar dan informasi asimetris sebagai penyebab masalah utama dalam kegiatan transaksi ekonomi (Yustika, 2012). Sebagaimana dikemukakan McConnel dan Brue (2005), informasi asimetris tersebut terjadi karena pembeli dan penjual memiliki informasi yang tidak sama tentang harga, kualitas atau aspek tentang barang atau jasa yang hendak diperjualbelikan. Pengepul di Lubuk Linggau
Pengepul di Jambi
Pengepul di Jakarta
Petani/ Pengumpul
Pengepul di Musi Rawas
Pengepul di Pekanbaru
Arab
Singapura
China
Gambar 2. Alur pemasaran gaharu di Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya
B. Solusi Melalui Kontrak Kerjasama Menindaklanjuti kondisi pemasaran gaharu yang timpang seperti diuraikan di muka, diantaranya dapat diselesaikan melalui kontrak. Kontrak umumnya dibutuhkan untuk dapat mereduksi eksistensi informasi asimetris. Kontrak juga merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk mendisain kompensasi guna mengeliminasi informasi asimetris (Yustika, 2012). Upaya mereduksi informasi asimetris melalui kontrak tersebut telah dilakukan oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Sinar Tani 1, Desa Trijaya, Kecamatan Bulang Tengah Suku (BTS) Ulu/ Cecar, Kabupaten Musi Rawas. Kemitraan yang ada berupa kerja sama antara KTH Sinar Tani 1 yang bertindak sebagai pemilik tegakan pohon penghasil gaharu dengan CV. HD Agarwood Project yang bertindak sebagai investor (penyedia inokulan/landucer). Investor bertangggung jawab untuk menyediakan landucer dan menanggung seluruh biaya operasional penyuntikkan. Adapun petani berkewajiban untuk memelihara dan menjaga tegakan yang telah diinjeksi. Berdasarkan bentuk kontrak kerjasama yang telah dibuat para pihak di Desa Trijaya, maka pola kontrak yang mereka kembangkan termasuk ke dalam kategori kontrak relasional. Kontrak jenis ini dikenal sebagai kontrak yang tidak bisa menghitung seluruh ketidakpastian di masa depan, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan di masa silam, saat ini dan ekspektasi terhadap hubungan di masa depan diantara para pelaku yang terlibat kontrak (Furubotn dan Richter, 2005). Hal tersebut juga nampak dalam butir-butir kesepakatan diantara kedua pihak yang tanpa memperhitungkan risiko pencurian kayu. Kontrak demikian juga dapat dikategorikan sebagai kontrak informal dan tanpa ikatan (non-binding). Jika mengacu kepada bentuk kontrak yang umumnya berlaku dalam sektor pertanian yang dikemukakan Cheung (1969) sebagaimana dikutip oleh Yustika (2012), maka kesepakatan antara pihak KTH Sinar Tani 1 dengan CV. HD Agarwood Project merupakan bentuk kontrak bagi hasil (share contract). Bagi hasil penjualan gaharu antara kedua belah pihak telah disepakati yaitu dengan porsi pembagian 50:50. Dari proporsi 50% bagi hasil yang diperoleh kelompok tani, 40% dibagikan kepada anggota KTH, sedangkan sisanya, 10% dialokasikan sebagai uang 257
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Kas KTH. Kedua belah pihak telah sepakat untuk menjual produk gaharu yang dihasilkan ke tempat penjualan yang menawarkan harga tertinggi, dan jika harga harga di pasaran lebih rendah maka investor bersedia untuk menampungnya dan menjual sesuai dengan saluran penjualan melalui CV. HD Agarwood Project. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di muka, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemasaran gaharu di wilayah Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya terdapat ketidaksetaraan posisi tawar (bargaining position) antara penjual dan pembeli. Selain itu juga terdapat informasi harga yang tidak seimbang (asymmetric information) antara penjual dan pembeli. Pembeli lebih memiliki power dibandingkan penjual baik dalam hal posisi tawar maupun akses terhadap informasi harga, sehingga dalam transaksi yang berlangsung penjual berposisi sebagai penerima harga (price taker) dan pembeli sebagai penentu harga (price maker). 2. Adanya kendala transaksi sebagaimana dibahas pada poin satu di muka diantaranya dapat diminimalisir dengan cara kontrak kerjasama. Sebuah teladan dalam hal ini dapat dijumpai di Desa Trijaya, Kecamatan BTS Ulu/Cecar, Kabupaten Musi Rawas. Sekelompok petani gaharu di sana telah bergabung dalam himpunan KTH Sinar Tani 1 dan bekerja sama dengan investor CV. HD Agarwood Project untuk penyuntikkan dan penjualan gaharu. Bentuk kontrak kerjasama yang dijalin antara kedua pihak tersebut adalah kontrak bagi hasil (share contract). B. Saran Bentuk kontrak kerjasama antara KTH Sinar Tani 1 dengan CV. HD Agarwood Project tersebut masih bersifat informal dan beberapa faktor belum diimplisitkan dalam butir-butir kesepakatannya, misalnya dalam hal risiko kehilangan atau pencurian kayu gaharu di kebun. Namun demikian, pola kerjasama yang telah dibentuk merupakan teladan yang dapat ditiru oleh petani gaharu di daerah lainnya untuk mereduksi asimetris informasi (asymmetric information). DAFTAR PUSTAKA Furubotn, E.G. dan R. Richter. 2005. Institutions and Economic Theory: The Contribution of The New Institutional Economics. 2nd Ed. The University Of Michigan Press. Ann Arbor. McConnell, C.R. dan S.L. Brue. 2008. Economics: Principles, Problems, and Policies. 17th Ed. McGraw-Hill. USA Mucharromah. 2011. Development of Eaglewood (Gaharu) in Bengkulu, Sumatera. Dalam Turjaman, M. Proceedings of Gaharu Workshop, “Development of Gaharu Production Technology a Forest Community Based Empowerment. R & D Centre for Forest Conservation and Rehabilitation Forestry Research and Development Agency (FORDA). Bogor. Paoli, G.D., D.R. Peart, M. Leighton dan I. Samsoedin. 2001. An Ecological Assessment of Non Timber Forest Product Gaharu Wood in Gunung Palung National Park, West Kalimantan, Indonesia, Conservation Biology, 15(6): 1721-1732. Purnomo, E., D. Wulandari, A. Andayani, A. Fitriadi, dan M. Turjaman. 2011. Nutrient And Economic Balances of Gaharu (Eaglewood) Grown in a Mix Farming System. Dalam 258
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Turjaman, M. (Ed). Proceeding of Gaharu Workshop “Bioinduction Technology for Sustainable Development and Conservation of Gaharu”. R & D Centre for Forest Conservation and Rehabilitation Forestry Research and Development Agency (FORDA), Ministry of Forestry. Indonesia. Santoso, E., D. Purwito, Pratiwi, G. Pari, M. Turjaman, B. Leksono, AYPBC Widyatmoko, R. S.B., Irianto, A. Subiakto, T. Kartonowaluyo, Rahman, A. Tampubolon, S. A. Siran. 2012. Master Plan Penelitian dan Pengembangan Gaharu Tahun 2013 – 2023. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi & Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan – Kementerian Kehutanan. Bogor. Santoso, E. & M. Turjaman. 2011. Standardization and Effectiveness of Bioinduction on Gaharu Development and Its Qualities. Dalam Turjaman, M. Proceeding of Gaharu Workshop, “Bioinduction Technology for Sustainable Development and Conservation Of Gaharu”. R & D Centre for Forest Conservation and Rehabilitation Forestry Research and Development Agency (FORDA). Bogor. Setyaningrum, H.D., dan C. Saparinto. 2014. Panduan Lengkap Gaharu. Penebar Swadaya. Jakarta. Sofyan, A., A. Sumadi, A. Kurniawan, dan A. Nurlia. 2010. Pengembangan dan Peningkatan Produktivitas Pohon Penghasil Gaharu Sebagai Bahan Obat di Sumatera. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. Laporan Hasil Penelitian. Tidak Dipublikasikan. Tukan, C.J.M., Yulianti, J.M. Roshetko, D. Darusman. 2004. Pemasaran Kayu dari Lahan Petani di Propinsi Lampung. Agrivita (2004): 131-141. Wollenberg, E.K. 2001. Incentives For Collecting Gaharu (Fungal-Infected Wood of Aquilaria thymelaeaceae) in East Kalimantan. Economic Botany 55(3): 444-456. Yustika, A.E. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori dan Kebijakan. Penerbit Erlangga. Jakarta.
259
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
KONSUMSI KAYU SEBAGAI SUMBER ENERGI RUMAH TANGGA DENGAN PENDEKATAN KEBUTUHAN KALORI MANUSIA (STUDI KASUS DI DESA SERONGGO KECAMATAN KIKIM TIMUR ) Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Hutan memberikan manfaat langsung bagi kehidupan masyarakat berupa kayu sebagai sumber energi untuk kebutuhan memasak dan proses lainnya. Kayu memegang peranan penting sebagai sumber energi bagi rumah tangga di pedesaan sehingga perlu adanya upaya penyediaan yang berkelanjutan. Langkah awal yang dapat dilakukan dengan memperkirakan kebutuhan kayu energi. Tujuan tulisan ini untuk memperkirakan kebutuhan kayu energi yang didekati dengan kebutuhan kalori manusia dalam beraktifitas sehari-hari. Hasil perhitungan yang dilakukan didapatkan hasil bahwa kebutuhan kayu sebesar 1.323,209 m3 pertahun per desa untuk jenis tanaman kayu karet dan 1.341,620 m3 pertahun per desa untuk jenis tanaman kopi dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 3 orang dan jumlah anggota keluarga yang berkerja rata-rata 2 orang. Melihat cukup besarnya konsumsi kayu energi pada rumahtangga, untuk perlu adanya strategi dari masyarakat sendiri dalam pemenuhan kebutuhan rumahtangga atas sumber energi kayu dan usaha pemerintah untuk mendorong penggunaan energi selain kayu untuk pemenuhan energi untuk memasak dan proses lain. Kata kunci: kayu energi, kebutuhan kalor, kalor, kebutuhan kayu energi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya hutan merupakan unsur penting bagi kehidupan masyarakat disekitarnya. Ada 3 peran penting hutan bagi kehidupan masyarakat pedesaan antara lain (Babulo et al., 2009): (1) mendukung konsumsi atau memenuhi kebutuhan subsisten rumah tangga, (2) menyediakan jaring pengaman disaat darurat, (3) menyediakan salah satu cara keluar dari kemiskinan. Hal ini karena hutan menyediakan manfaat langsung dan langsung yang berguna bagi kehidupan manusia. Salah produk yang dapat diambil dari hutan adalah kayu dimana kayu sebagai sumber energi. Kayu sebagai sumber energi berperan sangat penting bagi masyarakat sekitar hutan, yang umumnya memiliki penghidupan yang terbatas terutama akses terhadap sumber energi lainnya. Kayu sebagai sebagai sumber energi dimanfaatkan untuk memasak dan proses makanan lainnya. Penggunaan kayu untuk kebutuhan energi diperkirakan lebih dari 51% rumah tangga di pedesaan di Negara berkembang di Asia termasuk Indonesia (IEA, 2013). Penghidupan masyarakat merupakan suatu yang kompleks yang dipengaruhi oleh asset dan aktivitas rumahtangga. Asset tersebut meliputi alam, sosial, fisik, finansial dan manusia. Penghidupan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga pedesaan dipahami sebagai sistem pengambil keputusan, produksi dan konsumsi dari sumber daya hutan sehingga penghidupan rumahtangga dipahami sebagai sistem yang saling berkaitan. Kebutuhan kayu sebagai sumber energi pada masyarakat pedesaan akan menyesuaikan dengan ketersediaan sumber kayu yang ada, baik yang ada di alam maupun tanaman yang ditanam oleh masyarakat. Sumber kayu (ukuran dan jenis kayu bakar) dan jarak mempengaruhi pilihan penggunaan kayu energi oleh rumahtangga (Jumbe dan Angelsen, 2010). Untuk menjawab seberapa konsumsi rumahtangga terhadap kayu bakar dapat didekati dari 2 (dua) asset kunci yaitu alam (kayu bakar) dan manusia (kemampuan untuk berkerja). 261
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Menurut Chambers dan Conway (1992) bahwa penghidupan yang berkelanjutan manakala dapat mengatasi dan memulihkan dari tekanan dan guncangan, memelihara dan meningkatkan kemampuan dan aset, dengan tidak merusak sumberdaya alam yang ada. Dengan tingginya kebutuhan dan ketergantungan masyarakat akan kayu sebagai sumber energi, perlu adanya upaya untuk mengetahui seberapa besar kebutuhan dan ketersediaan kayu bakar yang ada di hutan. Kebutuhan dan keberdaaannya apakah mengancam sumber daya hutan atau tidak. B. Tujuan Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan kayu energi rumah tangga dengan pendekatan kebutuhan kalori manusia dalam beraktifitas. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Seronggo Kecamatan Kikim Timur Kabupaten Lahat, dengan pertimbangan lebih dari 50 persen rumahtangga masih menggunakan kayu sebagai sumber energi untuk memasak. Sumber kayu yang digunakan sebagai sumber energi masih cukup banyak yang berasal dari hutan dan kebun sekitar tempat tinggal. B. Kerangka Penelitian Untuk melihat hubungan antara kebutuhan kalori dan konsumsi kayu energi menggunakan model yang dikembangkan oleh Hartter dan Boston (2008) mengenai model untuk konsumsi kayu bakar dalam kebutuhan subsisten masyarakat pedesaan sebagai fungsi pemenuhan kebutuhan individu dan tingkat kebutuhan energi rumah tangga yang digambarkan pada Gambar 1. Externalitas: pasar, ekonomi, sosial, politik, lingkungan
Kebutuhan kalori manusia menentukan kebutuhan pangan
Kebutuhan energi untuk masak dan proses
Ketersediaan makanan
Konsumsi kayu bakar
Hambatan pertanian: hasil, komposisi nutrisi, ekologi
Hambatan perternakan: kebutuhan makanan, angka reproduksi
Konversi hutan alam/deforestasi
Penggunaan keberlanjutan
Hambatan manusia/fisik: aktivitas rutin,komposisi rumahtangga
Hilangnya keanekaragama n hayati dan jasa lingkungan
Pemeliharaan sosial dan jasa lingkungan
Gambar 1. Hubungan kebutuhan kalori manusia dan kebutuhan kayu
Kegiatan rutin yang dilakukan anggota keluarga yang bekerja adalah usaha tani untuk kaum laki-laki dan mengumpulkan kayu bakar untuk perempuan. Perhitungan kalor yang dibutuhkan dihitung berdasarkan seluruh anggota keluarga baik yang sudah berkerja dan belum berkerja. Untuk mengetahui kalori yang dikeluarkan setiap aktifitas yang dilakukan dengan 262
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
menggunakan perhitungan aktifitas FAO (2004) yang di setarakan dengan jumlah kalor yang dihasilkan oleh kayu yang digunakan oleh rumahtangga. Kebutuhan energi manusia akan dipengaruhi oleh kebutuhan pangan/makanan. Dalam pemenuhan kebutuhan pangan tersebut akan dibatasi oleh beberapa faktor seperti hambatan fisik, hambatan peternakan, hambatan pertanian dan eksternalitas. Besar kecilnya hambatan tersebut akan menentukan besaran pangan yang dihasilkan atau nutrisi yang akan digunakan oleh manusia. Atau besaran pendapatan yang akan dihasilkan untuk menghidupi rumahtangga. Untuk memproses pangan tersebut diperlukan energi. Energi tersebut berasal dari kayu. Untuk itu, kebutuhan pangan dapat disetarakan dengan kebutuhan kayu. Kebutuhan kayu untuk energi diperoleh dari hutan maupun sumber lainnya baik yang diperoleh secara berkelanjutan maupun konversi dan penebangan hutan yang berdampak pada penurunan keanekaragaman hayati, lingkungan dan sosial. Jadi, informasi mengenai kebutuhan kayu energi diperlukan bagi pengambil kebijakan dan masyarakat. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1. C. Pengumpulan Data Penelitian dilakukan dengan metode survei rumah tangga pengguna kayu sebagai sumber energi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan bantuan koesioner dan wawancara semi terstruktur terhadap responden. Pemilihan responden dilakukan dengan acak terhadap rumahtangga dengan jumlah responden 42 orang (5% dari total KK). Data yang dikumpulkan meliputi pekerjaan, berat badan anggota keluarga, cara dan jarak pengumpulan/pemungutan kayu energi, siapa yang mencari kayu, jenis kayu yang digunakan dan data pendukung lainnya. D. Analisis Data Berdasarkan FAO (2004) kebutuhan kalor untuk laki-laki dan perempuan tergantung dengan aktifitas yang dilakukan, untuk laki-laki antara 2500-3500 Kcal perhari dan perempuan 2300-2600 Kcal perhari baik anak maupun dewasa. Untuk menghitung kebutuhan kalor per individu dilakukan dengan melihat segala aktifitas yang dilakukan individu selama 24 jam sebagai ilustrasi energi yang dibutuhkan individu perharinya adalah sebagai berikut: Tabel 1. Iliustrasi kebutuhan energi individu dalam beraktifitas Kegiatan
Lama waktu (jam)
Tidur Pemeliharaan tubuh Jalan Makan Berkebun Santai Ngobrol Nonton tv TOTAL
7 1 1 1 7 1 2 4 24
Rasio Aktifitas Fisik (besaran energi yang diperlukan 1.0 1.2 3.0 1.4 4.4 1.2 1.2 1.64
Waktu x RAF
7.0 1.2 3.0 1.4 30.2 1.2 2.4 4.2
Rata-rata PAL mulitple 24 jam BMR 59.2
50.6/24=2.11
Keterangan: RAF (Rasio Aktifitas Fisik) adalah energi yang dikeluarkan dari suatu kegiatan per satuan waktu
263
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Desa seronggo memiliki luas sekitar 4,84 km2 (0,85%) dari total luas Kecamatan Kikim Timur dengan jumlah penduduk sebesar 849 jiwa. Kecamatan Kikim Timur memiliki luasan hutan produksi tetap sebesar 9.566,25 Ha (BPS, 2014). Sumber penghidupan masyarakat di lokasi penelitian berbasis pada lahan dengan komoditi karet, kopi dan sawit. Secara umum masyarakat Desa Seronggo memiliki pekerjaan utama sebagian besar adalah tani sebesar 88,1% dan non tani 11,9%, (Tabel 1). Jarak tempuh dalam mengumpulkan kayu rata-rata 1,25 km. Jumlah anggota keluarga rata-rata 3 dengan jumlah anggota berkerja rata-rata 2 orang. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Ketergantungan masyarakat terhadap hasil komoditi sangat besar. Menurunnya harga komoditi secara umum akan berdampak pada menurunnya ekonomi masyarakat. Kondisi ini berdampak pada berkurangnya alokasi pengeluaran masyarakat. Masyarakat berusaha mengurangi pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan untuk energi. Pengeluaran diprioritaskan kepada kebutuhan pokok dan tidak dapat disubstitusi dari barang lainnya. Untuk barang yang ada substitusinya, masyarakat akan mencari barang penggantinya seperti energi untuk memasak, dengan lebih memilih menggunakan kayu. Penggunaan atau konsumsi kayu sebagai sumber energi tidak hanya dilihat dalam sudut pandang ekonomi saja melainkan beragam dimensi termasuk merupakan suatu pilihan dan strategi individu dan rumahtangga diantara keterbatasan yang dimilikinya (Godfrey et al., 2010). Pendapatan yang hampir sama dinyatakan oleh Joon et al. (2009) bahwa pilihan penggunaan bahan bakar untuk memasak akan dipengaruhi tingkat pendapatan dan faktor sosial budaya masyarakat setempat. Kayu sebagai energi merupakan salah satu kebutuhan yang penting bagi rumahtangga dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan. Namun seringkali dianggap tidak bernilai karena jumlahnya berlimpah, mudah didapatkan dan hanya merupakan limbah kebun/hutan. Kayu energi menjadi penting apabila ketersediaan dan harga yang mahal dibandingkan sumber energi lainnya. Kayu menjadi sumber energi yang banyak digunakan oleh rumahtangga pedesaan untuk kebutuhan memasak berasal dari kebun/hutan sekitar tempat tinggal berupa bagian tanaman karet, kopi dan leban seperti ranting kering, batang kering, dan tanaman mati yang letaknya sekitar tempat tinggal. Untk mendapatkan kayu energi masyarakat tidak membeli, cukup dengan mencari sehingga akan mengurangi pengeluaran rumahtangganya. Semakin besar akses yang dimiliki wanita terhadap sumberdaya hutan maka semakin besar pengaruhnya terhadap pendapatan total rumahtangga (Adedayo et al., 2010). Masyarakat tidak memilih jenis khusus yang digunakan sebagai bahan bakar memasak. Pilihan jenis hanya ditujukan untuk kayu energi yang disimpan untuk persediaan kebutuhan yang lebih besar karena harus disimpan lama. Jenis yang digunakan untuk kebutuhan seharihari didasarkan pada sumber dan keberadaaannya yaitu mudah dicari, ukurannya tidak terlalu besar dan jaraknya dekat. Pencarian dan pengangkutan kayu menjadi pertimbangan untuk pemilihan jenis karena kegiatan tersebut dilakukan oleh perempuan/wanita dengan menggunakan keranjang, sehingga akan disesuaikan dengan kondisi fisik masing-masing. Mengumpulkan kayu dilakukan setelah pulang bekerja di kebun. Pengumpulan kayu akan disesuaikan dengan musim, apabila musim kemarau pengumpulan kayu dilakukan 2-3 hari sekali dan menjelang musim penghujan pengumpulan kayu akan lebih sering sebagai persediaan untuk musim penghujan. Untuk sekali perjalanan 264
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
mengumpulkan kayu, setiap orang memiliki kemampuan mengangkut kayu berkisar antara 2025 kilogram. Dalam melakukan aktifitas sehari-hari manusia membutuhkan kalori, yang mana untuk mencukupinya diperoleh dari asupan pangan. Dalam proses pengolahan pangan/makanan ini diperlukan sejumlah kalori untuk memasak. Kebutuhan kalori untuk memasak didapatkan dari pembakaran kayu, sehingga kalori yang dibutuhkan untuk aktifitas seimbang dengan kalori yang digunakan untuk memasak. Tabel 2. Karakteristik rumahtangga dalam pemenuhan kebutuhan kalori Uraian Pekerjaan Jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga berkerja Berat badan anggota keluarga Jarak tempuh pengumpulan kayu Lama kerja di kebun perhari Kebutuhan kayu energi rumah tangga perhari
Satuan Non tani Tani Orang
Min
Max
1
4
Rata-rata 5 (11,9%) 37 (88,1%) 2,76
Orang
1
2
1,67
Kg
8
70
39,69
Km
0,25
2,5
1,25
Jam
4
8
5,24
Kalori
4.850
13.150
8.683,54
Jenis kayu yang tersedia dalam jumlah melimpah dan digunakan oleh masyarakat sebagai kayu energi adalah kayu kopi dan kayu karet. Dari literatur, kalor yang dihasilkan dari kayu karet sebesar 4.066 kalori dan kayu kopi sebesar 3.933 kalori, yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung kebutuhan kayu per jenis tersebut. Untuk melihat besaran kebutuhan kayu untuk energi dapat didekati dengan kebutuhan kalori manusia beraktifitas. Berdasarkan perhitungan kebutuhan kalori setiap keluarga perhari dan jenis kayu yang digunakan didapat hasil untuk jenis kayu karet 1,516 m3 pertahun per keluarga dan untuk kayu kopi sebesar 1,537 m3 pertahun per keluarga. Pendekatan kebutuhan kayu untuk energi ini mungkin akan lebih rendah atau lebih tinggi dari konsumsi sebenarnya. Setidaknya akan memberikan gambaran kasar mengenai kebutuhan kayu yang harus tersedia agar tidak mengganggu hutan yang ada disekitar tempat tinggal masyarakat. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Prediksi kebutuhan kayu energi diperlukan untuk mendapatkan gambaran mengenai besaran konsumsi kayu sehingga dapat memberikan informasi mengenai ketersediaan kayu energi yang harus dicukupi dalam rangka pengelolaan sumber energi yang lestari. Beberapa literatur yang ada, mengaitkan antara konsumsi kayu untuk energi dan kelestarian hutan (Hofstad, 1977; Zulu, 2010; Cooke et al., 2008). Namun Top et al. (2004) menerangkan bahwa konsumsi kayu energi tidak menyebabkan deforestasi hutan karena konsumsi kayu energi hanya 2,3% dari peningkatan pertumbuhan biomassa pada tanaman pertahunnya. Kayu merupakan sumber energi utama namun bukan satu-satunya sumber energi pada rumah tangga di pedesaan. Untuk rumah tangga dengan tingkat ekonomi yang lebih baik, dapat beralih ke sumber energi lainnya seperti LPG (gas).
265
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tabel 3. Prediksi kebutuhan kayu energi Uraian Kalor yang dihasilkan (kalori) Kebutuhan kayu energi per hari per keluarga (kg) Kebutuhan kayu energi rumah tangga (kg/tahun) Kebutuhan lahan untuk kayu energi pertahun (m3/tahun/per keluarga) Kebutuhan lahan untuk kayu energi pertahun (m3/tahun/per desa)
Jenis kayu Keterangan Karet Kopi 4.066 3.933 Kurniawan, 2012, Vale et al, 2007 2,135 2,208 779,275
805,920
1,559
1,580
1.323,209
1.341,620
IV. KESIMPULAN Kayu menjadi kebutuhan utama rumahtangga masyarakat di pedesaan untuk pemenuhan kebutuhan energi sebagai bahan bakar memasak dan proses lainnya. Untuk menjamin keberlangsungan dan kelestarian hutan dalam rangka pemenuhan kebutuhan kayu untuk energi perlu diperkirakan kebutuhan kayu tersebut. Salah satu pendekatan kebutuhan kayu tersebut didekati dengan konsumsi kalor manusia dalam beraktifitas. Hasil perhitungan yang dilakukan didapatkan hasil bahwa kebutuhan kayu sebesar 1.323,209 m 3 pertahun per desa untuk jenis tanaman kayu karet dan 1.341,620 m3 pertahun per desa untuk jenis tanaman kopi dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 3 orang dan jumlah anggota keluarga yang berkerja rata-rata 2 orang. Hasil penelitian ini mungkin masih sangat kasar untuk menggambarkan secara nyata kebutuhan kayu energi rumahtangga di pedesaan secara keseluruhan. Melihat cukup besarnya konsumsi kayu energi pada rumahtangga, untuk perlu adanya strategi dari masyarakat sendiri dalam pemenuhan kebutuhan rumahtangga atas sumber energi kayu dan usaha pemerintah untuk mendorong penggunaan energi selain kayu untuk pemenuhan energi untuk memasak dan proses lain. DAFTAR PUSTAKA Adedayo, A. G., Oyun, M. B., & Kadeba, O. (2010). Forest Policy and Economics Access of rural women to forest resources and its impact on rural household welfare in North Central Nigeria. Forest Policy and Economics, 12(6), 439–450. doi:10.1016/j.forpol.2010.04.001 BPS. (2014). BPS Kecamatan Kikim Dalam Angka. Kabupaten Lahat. Babulo, B., Muys, B., Nega, F., Tollens, E., Nyssen, J., Deckers, J., & Mathijs, E. (2009). The economic contribution of forest resource use to rural livelihoods in Tigray, Northern Ethiopia. Forest Policy and Economics, 11(MARCH 2009), 123–131. doi:10.1016/j.forpol.2008.10.007 Chambers & Conways. 1992. Sustainable rural livelihoods: practical concepts for the 21th century. IDS discussion paper 296.
266
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Cooke, P., Köhlin, G., & Hyde, W. F. (2008). Fuelwood, forests and community management – evidence from household studies. Environment and Development Economics, 13(2003), 103–135. doi:10.1017/S1355770X0700397X Godfrey, A. J., Denis, K., Daniel, W., & Akais, O. C. (2010). Household Firewood Consumption and its Dynamics in, 841–855. Ethnobotanical Leaflets 14: 841-855. 2010. Hetter, J., & Boston, Æ. K. (2008). Consuming Fuel and Fuelling Consumption : Modelling Human Caloric Demands and Fuelwood Use, 1–15. doi:10.1007/s11842-008-9037-3 Hofstad, O. (1997). Woodland Deforestation by Charcoal Supply to Dar es Salaam. Journal of Environmental Economics and Management, 33, 17–32. doi:10.1006/jeem.1996.0975 IEA, 2013. World Energy Outlook 2013. International Energy Agency, Paris, France. Jumbe, C. B. L., & Angelsen, A. (2011). Modeling choice of fuelwood source among rural households in Malawi: A multinomial probit analysis. Energy Economics, 33, 732–738. doi:10.1016/j.eneco.2010.12.011. http://www.primusweb.com/cgi-bin/fpc/actcalc.pl Joon, V., Chandra, a., & Bhattacharya, M. (2009). Household Energy Consumption Pattern and Socio-Cultural Dimensions Associated with it: A Case Study of Rural Haryana, India. Biomass and Bioenergy, 33(11), 1509–1512. doi:10.1016/j.biombioe.2009.07.016 Zulu, L. C., & Richardson, R. B. (2013). Energy for Sustainable Development Charcoal, livelihoods , and poverty reduction : Evidence from sub-Saharan Africa. Energy for Sustainable Development, 17(2), 127–137. doi:10.1016/j.esd.2012.07.007.
267
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
BUDIDAYA JABON DI SUMATERA SELATAN: OPTIMALISASI LAHAN MILIK DALAM UPAYA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Sri Lestari, Bondan Winarno, Bambang Tejo Premono dan Nur Arifatul Ulya Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Upaya mengoptimalkan fungsi lahan milik dengan menanam tanaman kayu merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga, sehingga kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktek silvikultur dan kondisi sosial ekonomi masyarakat pengembang tanaman jabon di Provinsi Sumatera Selatan. Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi lapangan dan wawancara terhadap responden, sedangkan analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek silvikultur yang diterapkan oleh masyarakat masih sangat sederhana. Sebanyak 35% dari responden membuka lahan dengan cara tebas total, 43% menggunakan cara tebas jalur, sedangkan sisanya hanya membersihkan areal sekitar lubang tanam. Petani yang menjadi responden mendapatkan bibit jabon dengan cara membeli atau mencari anakan di bawah pohon induk. Dari seluruh responden yang ada, 88% telah menanam jabon dengan jarak tanam tertentu, sebagian dari responden melakukan kegiatan pemeliharaan dengan cara memupuk (34%), menyiangi tanaman (49%), menyemprot dengan herbisida atau pestisida (59%), memangkas ranting (19%) dan juga melakukan penjarangan (13%). Berdasarkan hasil analisis kondisi sosial ekonomi, sebagian besar masyarakat, yaitu 76% penanam jabon memiliki pekerjaan utama sebagai petani dan 54% dari mereka memiliki pendidikan setingkat SD.Tingginya animo masyarakat di Kabupaten Ogan Komering Ilir dalam menanam jabon merupakan insentif bagi upaya pemerintah untuk mengembangkan tanaman kehutanan guna meningkatkan produksi bahan baku kayu, baik secara lokal maupun nasional. Oleh karena itu dukungan berupa bantuan dan penyuluhan dari pemerintah diperlukan agar produktivitas budidaya tanaman jabon oleh masyarakat dapat lebih optimal. Kata kunci: budidaya jabon, praktek silvikultur, sosial ekonomi masyarakat
I. PENDAHULUAN Kegiatan produksi kayu pertukangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di tingkat lokal maupun nasional dapat dilakukan di lahan milik petani, baik secara campuran (agroforestri) maupun dengan cara monokultur. Salah satu jenis kayu lokal yang telah banyak dikembangkan oleh masyarakat petani kayu adalah jabon. Jenis ini diminati masyarakat karena termasuk ke dalam kelompok tanaman cepat tumbuh sehingga mempunyai daur relatif pendek (Wahyudi, 2012). Selain itu, jabon merupakan jenis pionir yang dapat tumbuh dengan baik pada lahan bekas perladangan dan semak belukar (Wahyudi, 2012), juga lahan transisi antara daerah rawa dengan frekuensi banjir berkala atau permanen (Krisnawati et al., 2011). Kegunanaan kayu jabon relatif banyak, antara lain dapat digunakan untuk veneer, kertas, furniture (seperti meja, kursi, lemari), kusen, pintu, jendela, dll (Mulyana et al., 2011) mengungkapkan bahwa jabon dapat dimanfaatkan untuk menghijaukan lingkungan, seperti penghijauan, reklamasi lahan bekas tambang, dan pohon peneduh. Di Provinsi Sumatera Selatan, jabon telah dikembangkan baik dengan swadaya masyarakat maupun melalui program bantuan pemerintah, misalnya Kebun Bibit Rakyat (KBR). Masyarakat yang menanam jabon dengan modal sendiri pada umumnya termotivasi karena telah melihat keberhasilan orang lain atau tetangga yang telah lebih dulu memanen jabon, baik dari hasil menanam sendiri maupun dari hasil tumbuhan alam. Sedangkan masyarakat yang 269
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
menanam jabon karena adanya program KBR selain tertarik pada hasil panen kayu jabon, juga karena adanya insentif dari pemerintah. Selain mendapatkan bantuan dalam menanam jabon, masyarakat juga akan memperoleh bantuan untuk menanam karet. Karena sampai saat ini tanaman karet masih menjadi pilihan utama bagi masyarakat untuk ditanam di lahan milik, sebab selain memberikan hasil getah secara rutin, karet dapat dipanen kayunya pada akhir daur tanaman. Selain lahan perkebunan, banyak masyarakat juga memiliki lahan yang sering terendam banjir saat hujan turun, sehingga pada awalnya tidak ada tanaman kayu yang dapat hidup dan hanya ditanami oleh semak belukar. Kondisi lahan ini menyebabkan pemanfaatan yang kurang optimal dan tidak produktif. Di kedua desa yang menjadi fokus kegiatan penelitian, pada awalnya pengembangan kayu jabon hanya dilakukan oleh beberapa orang. Sejak tahun 2009 menanam jabon mulai marak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat petani dengan memanfaatkan lahan yang selama ini belum termanfaatkan atau dengan mengoptimalkan fungsi lahan yang sebelumnya telah ditanami dengan tanaman buah-buahan dan atau tanaman perkebunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktek silvikultur dan kondisi sosial ekonomi masyarakat pengembang tanaman jabon di Desa Jejawi dan Desa Karang Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan April dan Juni 2014. Lokasi yang menjadi fokus kegiatan adalah Desa Jejawi dan Desa Karang Agung Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Kedua desa ini dipilih karena masyarakatnya telah banyak mengembangkan tanaman jabon, baik dengan cara monokultur maupun dengan cara agroforestri, yaitu mencampur jabon dengan tanaman buah-buahan atau perkebunan. B. Pengumpulan dan Analisis Data Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi lapangan dan wawancara terhadap responden rumah tangga yang dipilih secara sengaja (purposive). Jumlah responden yang bersedia dan dapat ditemui selama kegiatan penelitian berlangsung berjumlah 68 orang. Data sekunder diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Ogan Komering Ilir. Data yang diperoleh dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif untuk mendapatkan informasi tentang praktek silvikultur dan kondisi sosial ekonomi masyarakat pengembang tanaman jabon. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Praktek Silvikultur Penanaman Jabon oleh Masyarakat Masyarakat di lokasi penelitian, yaitu Desa Jejawi dan Desa Karang Agung mengembangkan tanaman jabon dengan dana yang berasal dari swadaya masyarakat dan sampai saat ini mereka belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah, baik berupa dana, bibit, maupun bimbingan dan penyuluhan. Pada awalnya masyarakat mengenal jabon dari tanaman alam yang tumbuh di lahan milik, pada saat diameter kayu sudah cukup besar mereka menebang dan menjualnya dengan harga yang cukup menguntungkan. Berdasarkan pengalaman ini, masyarakat mulai tertarik untuk membudidayakan jabon dengan mengambil anakan yang tumbuh secara alami di bawah pohon. Masyarakat menanam jabon di lahan-lahan milik yang pada awalnya merupakan lahan tidur dan tidak bisa ditanami dengan tanaman 270
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
perkebunan atau buahan, selain itu mereka juga menanam jabon di antara tanaman buahbuahan yang sudah tumbuh di lahan milik mereka. Kondisi awal lahan ini mempengaruhi cara masyarakat dalam penyiapan lahan, pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sebanyak 35% dari responden membuka lahan mereka dengan sistem tebas total (karena sebelumnya lahan ini ditumbuhi semak belukar), 43% membuka lahan dengan cara tebas jalur (karena semak belukar yang tumbuh tidak terlalu rapat), dan sisanya hanya membersihkan areal sekitar lubang tanam (22%), yaitu apabila masyarakat menanam jabon di antara tanaman buah-buahan.
Prosentase (%)
Praktek Silvikultur oleh Masyarakat 100 80 60 40 20 0
Masyarakat memperoleh pengetahuan tentang budidaya jabon secara autodidak atau dengan melihat dan atau bertanya dengan petani lain yang telah menanam jabon sebelumnya. Akan tetapi menurut Hartoyo (2013), cara memperoleh informasi dari petani lain dapat memberikan dampak negatif, karena apabila transfer informasi antara satu petani dengan petani lainnya tidak sesuai dengan acuan budidaya jabon yang seharusnya, dapat menyebabkan rendahnya kualitas hasil budidaya jabon. Pada umumnya masyarakat menanam jabon dengan jarak tanam tertentu (88%) dan sebagian kecil belum menerapkan jarak tanam tertantu (12%). Jarak tanam yang paling banyak diaplikasikan adalah 2x2 meter, 3x3 meter, dan 4x4 meter. Mereka menentukan jarak tanam ini hanya berdasarkan pilihan mereka, tanpa didasari oleh alasan ilmiah apa pun. Mereka yang menanam dengan jarak 2x2 meter bertujuan agar jabon yang ditanam bisa lebih banyak sehingga dapat memberikan hasil lebih tinggi, hal ini banyak dilakukan oleh masyarakat yang memiliki lahan tidak luas. Padahal jarak tanam yang terlalu rapat ini menyebabkan pertumbuhan tanaman jabon menjadi lambat karena kompetisi antar tanaman dalam memperoleh unsur hara sangat tinggi. Masyarakat yang menanam dengan jarak 4x4 meter berharap jabon yang ditanam memiliki ruang yang cukup sehingga diameter kayu lebih cepat besar, hal ini banyak dilakukan oleh masyarakat yang memiliki lahan cukup luas. Setelah melakukan kegiatan penanaman, sebagian masyarakat petani jabon akan melakukan beberapa kegiatan pemeliharaan tanaman, yaitu dengan cara memupuk, menyiangi tanaman, menyemprot dengan herbisida atau pestisida, memangkas ranting dan juga melakukan penjarangan. Dari seluruh jumlah responden, 34% dari masyarakat petani yang menjadi responden telah melakukan kegiatan pemupukan dan 66% dari mereka tidak melakukan pemupukan. Sebanyak 59% dari masyarakat petani melakukan kegiatan penyemprotan dengan menggunakan herbisida atau pestisida, sedangkan 41% tidak pernah melakukan penyemprotan. Akan tetapi pada umumnya petani hanya melakukan satu kali penyemprotan pada awal penanaman. Sebagian kecil masyarakat petani melakukan pemangkasan ranting, yaitu 19% sedangkan sisanya (81%) tidak melakukan pemangkasan. Hal ini disebabkan tanaman jabon akan mengalami prunning alami (self prunning). Untuk kegiatan penjarangan, hanya 13% dari masyarakat petani yang melakukannya, sedangkan sebagian besar dari mereka (87%) tidak melakukan penjarangan. Petani yang tidak melakukan kegiatan pemeliharaan secara intensif mengungkapkan bahwa jabon merupakan jenis tanaman yang 271
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
tidak memerlukan pemeliharaan secara rutin sehingga lebih menghemat biaya. Seperti halnya Setyaji (2011) menyatakan bahwa budidaya tanaman jabon sangat sederhana dan tidak memerlukan perawatan khusus, sehingga jenis ini cukup prospektif untuk dikembangkan pada program hutan rakyat. B. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pengembang Jabon Pekerjaan utama yang dimiliki masyarakat lokal dan tingkat pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sikap dan tingkat partisipasi mereka terhadap program kehutanan masyarakat (Kobbail, 2012). Di lokasi penelitian, masyarakat yang menanam jabon di Desa Jejawi dan Desa Karang Agung didominasi oleh mereka yang memiliki pekerjaan utama sebagai petani (76%). Selain itu ada yang berprofesi sebagai pedagang, wiraswasta, nelayan, dan guru. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat sebagian besar adalah Sekolah Dasar (54%), sedangkan sisanya adalah SMP (19%), SMA (21%) dan Perguruan Tinggi (6%). Ratarata pengeluaran per minggu responden adalah Rp. 300.000 dengan jumlah anggota keluarga rata-rata yang dimiliki sebanyak 4 orang. Dari kedua desa tersebut, masyarakat petani di Desa Jejawi telah lebih dulu mengenal dan mengembangkan kayu jabon. Bahkan usaha pembibitan jabon pun telah banyak dilakukan oleh masyarakat di desa ini guna memenuhi kebutuhan bibit baik dari dalam desa maupun luar desa. Usaha pembibitan kayu jabon ini dapat memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat penangkar bibit. Hasil penelitian tentang usaha pembibitan kayu jabon yang dilakukan oleh Sirajudin et al. (2013) menjelaskan bahwa usaha pembibitan kayu jabon merah di Desa Tangkunei Kabupaten Minahasa Selatan mampu menghasilkan nilai B/C ratio sebesar 1,86 sehingga secara finansial dikatakan layak dan dapat memberikan keuntungan. Menanam jabon diharapkan dapat memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat, karena setelah tahun ke-7 atau lebih mereka dapat memanen jabon dengan harga berkisar antara Rp. 1.100.000 sampai Rp 1.300.000 per meter kubik dalam bentuk kayu olahan. Hasil penelitian Indrajaya dan Siarudin (2013) mengungkapkan bahwa dengan menggunakan penghitungan daur finansial Fausman, kayu jabon di Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut dapat memberikan keuntungan yang maksimal apabila seluruh tegakan ditebang pada tahun ke-6. Das (2012) juga mengungkapkan bahwa masyarakat yang berpartisipasi dalam program kehutanan akan mendapatkan penghidupan yang lebih baik karena perekonomian mereka meningkat. Untuk menanam jabon, masyarakat tidak harus memiliki lahan yang luas karena jabon dapat ditanam secara campuran di antara jenis-jenis tanaman lain. Jabon juga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman pagar atau batas lahan, sehingga apabila masyarakat menanam jenis tanaman perkebunan di lahan milik mereka, seperti karet atau sawit, jabon dapat ditanam di sekeliling areal tanaman perkebunan tersebut. Mulai dari awal pengembangan tanaman jabon sampai dengan saat ini, berbagai permasalahan banyak dihadapi oleh masyarakat. Masalah utama adalah adanya masa stagnansi dari pertumbuhan jabon, dimana pada awalnya pertumbuhan jabon sangat cepat, akan tetapi setelah berumur 3 tahun tanaman jabon seperti tidak mengalami pertumbuhan. Hal ini mengakibatkan beberapa petani merasa putus asa, sehingga pada saat tanaman jabon mereka berumur 5 tahun, mereka mulai menjual tanaman jabon tersebut. Karena ukuran kayu yang masih kecil-kecil, masyarakat terpaksa menjual kayu secara borongan untuk luasan lahan tertentu, akibatnya harga yang mereka peroleh menjadi sangat rendah. Berdasarkan pengalaman tersebut, masyarakat mulai enggan untuk kembali menanam jabon di lahan miliknya. Di samping itu, seperti diungkapkan oleh Tukan et al. (2004), beberapa masalah yang dihadapi petani kayu rakyat antara lain: (1) Masih rendahnya pengetahuan petani tentang cara bertani/berkebun yang baik dan benar, meliputi cara budidaya, pemanenan dan penanganan 272
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
setelah panen kayu, (2) Hasil produksi kayu yang terbatas, sehingga tidak dapat menjual ke perusahaan menengah atau besar, (3) Umur panen kayu yang belum memasuki masa tebang, karena pada umumnya petani menjual berdasarkan kebutuhan hidup, (4) Dalam melakukan pemasaran hasil, petani tidak memiliki kelompok kerja bersama, dan (5) Akses informasi pasar yang dimiliki petani masih terbatas karena petani hanya mendapatkan informasi dari sesama petani atau pedagang yang datang ke desa. Oleh karena itu diperlukan adanya informasi pasar dan harga sampai ke tingkat petani. Ditambahkan oleh Krisnawati et al. (2011) bahwa petani kayu seringkali memiliki keterbatasan dalam tehnik dan pengetahuan untuk mengelola tanaman kayu, mulai dari pemilihan jenis, aspek silvikultur guna memproduksi hasil dengan kualitas tinggi, serta manajemen hama dan penyakit tanaman. Motivasi masyarakat yang cukup tinggi dalam mengembangkan kayu jabon merupakan insentif bagi upaya pemerintah guna mengembangkan tanaman kehutanan jenis jabon. Akan tetapi, adanya berbagai kendala yang dihadapi oleh masyarakat tersebut dapat mengurangi antusisame masyarakat. Oleh karena itu upaya-upaya untuk mendorong masyarakat agar memiliki motivasi dalam budidaya jabon dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan, bantuan dana dan atau bibit, serta bantuan teknis lainnya. IV. KESIMPULAN 1. Praktek silvikultur yang diterapkan oleh masyarakat masih sangat sederhana, mereka menanam jabon di lahan milik yang sebelumnya merupakan lahan tidur dan hanya ditumbuhi semak belukar. Sebanyak 35% dari responden membuka lahan dengan cara tebas total, 43% menggunakan cara tebas jalur, sedangkan sisanya hanya membersihkan areal sekitar lubang tanam. Petani yang menjadi responden mendapatkan bibit jabon dengan cara membeli mencari anakan di bawah pohon induk. Dari seluruh jumlah responden yang ada, 88% telah menanam jabon dengan jarak tanam tertentu, sedangkan sisanya (12%) belum menerapkan jarak tanam. Sebagian dari responden melakukan beberapa kegiatan pemeliharaan tanaman, yaitu dengan cara memupuk (34%), menyiangi tanaman (49%), menyemprot dengan herbisida atau pestisida (59%), memangkas ranting (19%) dan juga melakukan penjarangan (13%). Petani yang tidak melakukan kegiatan pemeliharaan secara intensif menyatakan bahwa jabon setelah ditanam akan tumbuh dengan sendirinya dan tidak memerlukan pemeliharaan secara rutin sehingga lebih menghemat biaya. 2. Berdasarkan hasil analisis kondisi sosial ekonomi, masyarakat penanam jabon di Kabupaten Ogan Komering Ilir didominasi oleh mereka yang memiliki pekerjaan utama sebagai petani, yaitu sebanyak 76%, sedangkan dari aspek pendidikan, responden didominasi oleh mereka yang memiliki pendidikan setingkat SD, yaitu sebanyak 54%. Pengeluaran rata-rata masyarakat per minggu adalah Rp. 300.000 dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang. Menanam jabon akan memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat, karena setelah berumur 7 tahun atau lebih mereka dapat memanen jabon dengan harga berkisar antara Rp. 1.400.000 sampai Rp 1.600.000 per meter kubik (dalam bentuk kayu olahan). 3. Tingginya animo masyarakat di Kabupaten Ogan Komering Ilir dalam menanam jabon merupakan insentif bagi upaya pemerintah untuk mengembangkan tanaman kehutanan guna meningkatkan produksi bahan baku kayu, baik secara lokal maupun nasional. Oleh karena itu dukungan berupa bantuan dan penyuluhan dari pemerintah diperlukan agar produktivitas budidaya tanaman jabon oleh masyarakat dapat lebih optimal.
273
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
DAFTAR PUSTAKA Das, N. (2012). Impact of participatory forestry program on sustainable rural livelihoods: Lessons from an Indian Province. Applied Economic Perspectives and Policy Vol. 34 No. 3 (pp. 428-453) Hartoyo, A.P.P. (2013). Teknik dan biaya budidaya jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) oleh petani kayu rakyat. Tidak dipublikasikan. Skripsi Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Indrajaya, S. & Siarudin, M. (2013). Daur finansial hutan rakyat jabon di Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 10 No. 4 (pp. 2012011). Kobbail, A.A.R. (2012). Local people attitudes towards community forestry practices: A case study of Kosti Province – Central Sudan. International Journal of Forestry Research. Vol 2012 (pp 1-7). Doi: 10.1155/2012/652693. Krisnawati, H., Kalllio, M., & Kanninen, M. (2011). Anthocephalus cadamba Miq.: Ecology, silviculture and productivity. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia. Mulyana, D., Asmarahman, C., & Fahmi, I. (2011). Panduan lengkap bisnis dan bertanam kayu Jabon. Agro Media Pustaka. Jakarta. Setyaji, T. (2011). Jabon ‘Si Jati Bongsor’ dan prospeknya untuk hutan rakyat. Informasi Teknis Vol 9 No 2 (pp. 45-54). Sirajudin, N., Walangitan,H.D., Lasut, M.T., & Sumakud, M.Y.M.A. (2013). Kajian partisipasi dan kelayakan usaha persemaian jabon merah (Anthocephalus macropyllus) (Studi kasus kelompok tani Tunas Karumama Desa Tangkunei, Minahasa Selatan. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/cocos/article/view/2387. Diakses pada tanggal 17 Juni 2014. Tukan, C.J.M., Yulianti, Roshetko, J.M., & Darusman, D. (2004). Pemasaran kayu dari lahan petani di Propinsi Lampung. Agrivita Vol. 26, No. 1 (pp. 131-141). Wahyudi. (2012). Analisis pertumbuhan dan hasil tanaman jabon (Anthocephallus cadamba). Jurnal Perennial Vol. 8, No. 1 (pp. 19-24).
274
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
BIOMASSA SEBAGAI PENYEDIA SUBSIDI ENERGI BAGI MASYARAKAT Sri Lestari, Bambang Tejo Premono, Hengki Siahaan dan Andika Imanullah Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Konsumsi energi di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya, selain disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk, juga disebabkan oleh meningkatnya laju perekonomian. Oleh karena itu, energi memegang peran penting dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan suatu negara. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji pentingnya biomassa sebagai energi terbarukan untuk sumber energi listrik. Penggunaan energi terbarukan merupakan salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi yang berasal dari fosil. Energi biomassa adalah satu bentuk sumber energi terbarukan yang memiliki potensi untuk dikembangkan dan dapat diproduksi dalam 3 (tiga) bentuk bahan bakar, yaitu cair, padat, dan gas. Sumber energi biomassa dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi pembangkit listrik, bahan bakar transportasi, pemanas rumah, dan pembakaran pada industri. Biomassa yang berasal dari tanaman, limbah perkebunan, kehutanan, pertanian dan peternakan dapat dikonversi menjadi sumber energi listrik ataupun panas. Penggunaan biomassa sebagai energi terbarukan ini dapat mengurangi dampak perubahan iklim dan pemanasan global karena memiliki emisi CO2 yang lebih rendah. Hambatan penggunaan biomassa sebagai sumber energi listrik dikarenakan beberapa hal: (1) lahan sebagai faktor produksi yang semakin terbatas, (2) kebutuhan pangan, nutrisi dan kayu yang bersaing dengan kebutuhan energi, serta (3) jenis tanaman penghasil energi dengan kualitas baik semakin terbatas. Oleh karena itu, ke depannya harus di upayakan untuk mendapatkan jenis-jenis kayu energi yang mudah dan murah dalam perbanyakannya, cepat pertumbuhannya, mudah dan murah dalam perawatannya, serta mampu menghasilkan energi yang cukup tinggi. Kata kunci: biomassa, energi, masyarakat
I. PENDAHULUAN “Siapa yang menguasai minyak, ia akan mengendalikan banyak negara dalam cengkeramannya dan siapa yang menguasai pangan, ia yang akan mengendalikan orang” (Henry Kissinger). Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa energi adalah komoditi yang unik dan dapat dikatakan sebagai komoditi dengan biaya tinggi. Energi memegang peran penting dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Dalam rangka pembangunan berkelanjutan, suatu bangsa memerlukan sumberdaya energi yang mudah dan tersedia dengan harga terjangkau, serta tidak menimbulkan dampak bagi kehidupan sosial dan lingkungan. Selama ini energi masih bergantung pada energi yang berasal dari fosil yang sifatnya tidak terbarukan dan kurang ramah lingkungan. Menurut Dincer (2000), ada 3 (tiga) alasan mengapa pembangunan berkelanjutan akan bergantung kepada eksploitasi sumber energi terbarukan dan teknologinya, yaitu (1) sumber energi terbarukan memiliki dampak lebih sedikit dibandingkan energi lainnya. Sumber energi terbarukan memiliki baragam pilihan dan bersih namun sedikit lebih mahal, (2) sumber energi terbarukan tidak dapat habis seperti energi dari fosil dan uranium, apabila digunakan dengan bijak dan efisien dapat digunakan secara berkelanjutan, (3) sumber energi terbarukan mendukung desentralisasi sistem tenaga dan menjadi solusi yang bersifat lokal karena tidak bergantung kepada jaringan nasional, sehingga lebih fleksibel dalam menjangkau wilayah yang terisolir.
275
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Konsumsi energi di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya, dengan rata-rata laju peningkatan sebesar 4,1%. Pada tahun 2003-2013, konsumsi energi final meningkat dari 117 juta TOE pada tahun 2003 menjadi 174 juta TOE pada Tahun 2013, dimana konsumsi terbesar sektor indutri (33%), rumah tangga (27%) dan transportasi (27%). Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Konsumsi energi pada setiap sektor tahun 2003-2013 (DEN, 2014)
Energi yang berasal dari fosil menjadi sumber energi yang penting, terutama untuk BBM sebesar 48%, batubara 19%, gas bumi 14%, LPG 5% dan listrik 13%. Konsumsi energi untuk sektor rumah tangga terbesar masih berasal dari energi biomassa sebesar 33 juta TOE pada Tahun 2013. Program konversi minyak tanah ke LPG menyebabkan kenaikan konsumsi LPG sejak program tersebut diluncurkan pada Tahun 2007, konsumsi LPG meningkat sebesar 13,3% pada tahun 2013 (DEN, 2014). Salah satu upaya mengurangi ketergantungan terhadap energi yang berasal dari fosil tersebut adalah dengan penggunaan energi terbarukan. Energi terbarukan merupakan energi yang berasal dari sumber alami yang tidak melibatkan konsumsi sumberdaya yang terbatas seperti minyak bumi. Energi biomassa merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Energi biomassa dapat diproduksi dalam 3 (tiga) bentuk bahan bakar yaitu cair, padat dan gas. Biomassa dapat dikonversi untuk 3 (tiga) tipe penggunaan yaitu listrik/panas, bahan bakar transportasi dan bahan baku kimia (Mc Kendry, 2002) sehingga lebih fleksibel untuk beragam penggunaan. Mengingat besarannya kebutuhan energi setiap tahunnya maka perlu adanya upaya untuk beralih dari energi berbasis fosil ke energi yang terbarukan seperti biomassa. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji pentingnya biomassa sebagai energi terbarukan yang merupakan sumber energi listrik, serta hambatan dan batasan pengembangan biomassa sebagai energi listrik. II. BIOMASSA SEBAGAI SUMBER ENERGI LISTRIK Energi biomassa adalah berbagai sumber penghasil energi yang berasal dari bukan energi fossil yang berupa bahan biologis seperti tanaman, hewan dan mikroorganisme. Sumber energi biomassa merupakan sumber energi yang heterogen dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi yang beragam mulai dari pembangkit listrik, bahan bakar transportasi, pemanas rumah, dan pembakaran pada industri. Biomassa yang dapat digunakan untuk sumber energi dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) berdasarkan tujuan/asal biomassa (Carneiro, 2012) yaitu (1) Biomassa primer yang dihasilkan dari hutan atau pertanian yang secara khusus ditujukan untuk energi, (2) biomassa sekunder yang dihasilkan dari pengolahan 276
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
biomassa primer atau limbah/residu hasil hutan atau pertanian. Sumber energy biomassa yang baik memiliki karakteristik sebagai berikut: memberikan hasil yang tinggi (hasil produksi kering per hektar tinggi), biaya pemeliharaan tanaman yang rendah/murah, kebutuhan tenaga kerja yang sedikit, kebutuhan nutrisi yang sedikit, hasil kering yang tinggi dan kemungkinan komposisi pembusukan/pencemaran yang sedikit (McKendry, 2002). Pengeluaran pemerintah selama ini banyak digunakan untuk pembiayaan yang kurang produktif seperti subsidi. Subsidi energi memberikan proporsi yang lebih besar dari total subsidi yang dikeluarkan pemerintah. Subsidi listrik sebesar Rp 60.292 M pada Tahun 2008, hampir 50% lebih kecil dibandingkan subsidi BBM pada tahun yang sama. Subsidi terhadap energi cenderung meningkat setiap tahunnya, pada Tahun 2013 subsidi BBM sebesar Rp 199,9 T (17%) dan subsidi listrik Rp 100 T (7%) dari total belanja negara. Untuk itu diperlukan upaya untuk mencari sumber energi alternatif terbarukan dalam rangka mengurangi subsidi negara. Biomassa yang berasal dari tanaman yang ditujukan untuk produksi biomassa dan limbah perkebunan, kehutanan, pertanian dan peternakan dapat dikonversi menjadi sumber energi listrik ataupun panas. Potensi biomassa mencapai 32.654 MW dengan kapasitas terpasang 1.716 MW. Untuk Pulau Sumatera potensi biomassa sebagai sumber listrik sebesar 15.588 MW (Statistik EBTKE,2014), namun yang baru dimanfaatkan sebesar 1.717 MW. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Potensi biomassa sebagai sumber listrik di Pulau Sumatera No.
Tipe
Sumberdaya
1 2 3 1. Hidro (MW) 75.000 MW 2. Panas Bumi (MW) 28.910 MW 3. Biomassa 32.654 MW 4. Surya 4.80 kWh/m3/day 5. Angin 3-6 m/s 6. Laut 49 GW***) 7. Uranium 3.000MW**) Sumber: Statistik EBTKE, 2014
Kapasitas Terpasang (MW) 4 7.573 1.344 1.717 48 1,87 0,01***) 30*)
Rasio (%) 5 = 4/3 10,1% 4,65% 5,26% 0% 0%
Produksi biomassa Indonesia untuk bahan bakar masih sangat rendah, hanya sebesar 146,7 juta ton per tahun atau setara dengan 470 GJ per tahun dan sebagian besar digunakan oleh masyarakat pedesaan dan industri kecil sebagai sumber energi untuk memasak, pemanas dan listrik (Hasan et al., 2012). Keunggulan biomassa sebagai energi terbarukan adalah dapat mengurangi dampak perubahan iklim dan pemanasan global (Field et al., 2007; Saidur, 2011). Pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar biomassa akan memberikan emisi yang rendah sehingga ramah lingkungan (Boyle, 2004 dalam Saidur et al., 2011) (Tabel 2). Namun untuk saat ini, harga energi yang berasal dari biomassa yang lebih tinggi dibandingkan energi fosil (Sims et al., 2003). Tabel 2. Emisi yang dihasilkan dari pembangkit listrik Fuel
Emission factor (g/kWh) CO2 SO2 Limbah peternakan 10 2,45 Limbah kehutanan 24 0,006 Kotoran hewan 31 1,12 Gas alam 446 0,0 Batubara 955 11,80 Sumber: Boyle (2004) dalam Saidur et al (2011)
277
NOx 3,90 0,57 2,38 0,5 4,3
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Untuk menghasilkan energi (listrik, bahan bakar dan bahan kimia), biomassa harus dikonversi melalui teknologi proses baik secara thermo chemical dan bio chemical. Konversi melalui thermo chemical ada 4 cara yaitu combustion, pyrolisis, gasification dan liquefaction. Dengan proses konversi secara bio chemical dilakukan dengan 2 proses yaitu digestion (produksi gas, percampuran metane dan karbondioksida) dan fermentasi (produksi ethanol) (Mc Kendry, 2002). Rata-rata beragam biomassa dalam keadaan kering bebas abu akan menghasilkan energi sebesar 17-21 MJ/Kg (McKendy, 2002). Tabel 3. Energi yang dihasilkan per hektar per tahun dari beberapa tanaman (IEA for NW Europe) (IEA, 1994) Bio-energy type Etanol dari biji-bijian (menggantikan bensin) Etanol dari gula bit (menggantikan bensin) Produksi RME (menggantikan diesel) Listrik dari kayu (Menggantikan pembangkit listrik)
Konteks saat ini (GJ/ha/yr) Rata-rata 2
Teknologi masa depan (GJ/ha/yr) 36
Rata-rata 30
139
17
41
110
165
Sumber: McKendry, 2002
III. HAMBATAN DAN BATASAN PENGEMBANGAN BIOMASSA SEBAGAI ENERGI LISTRIK Kebutuhan energi yang makin besar dan kepedulian terhadap lingkungan yang makin tinggi akan mendorong penggunaan energi yang ramah lingkungan dan terbarukan (green energy) dan mengurangi penggunaan energi fosil (black energy). Peran biomassa sebagai sumber energi terbarukan dimasa mendatang akan sangat penting. Menurut Sims et al. (2003), ada 3 (tiga) faktor pendorong mengapa energi biomassa berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan energi, yaitu adanya pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan perubahan teknologi. Biomassa yang berasal dari alam menjadi solusi untuk kebutuhan tersebut. Energi biomassa memiliki emisi CO2 yang lebih rendah, dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan energi fosil (Sims et al., 2003). Lebih lanjut, Gula dan Geryl (2014) mengungkapkan bahwa penggunaan lokal dari biomassa untuk tujuan sebagai pemanas merupakan solusi untuk penggunaan dana yang efektif dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Hambatan penggunaan biomassa sebagai sumber energi listrik dikarenakan lahan, ekonomi pertanian, dan pilihan jenis tanaman (Hoogwijk et al., 2005). Lahan sebagai faktor produksi makin langka dan terbatas karena beragam peruntukan. Pada bidang kehutanan, peruntukan lahan telah di kategorikan menjadi fungsi, yaitu untuk produksi, konservasi dan lindung, sehingga alokasi lahan yang ditujukan untuk biomassa akan terbatas karena bersaing dengan untuk kebutuhan konservasi dan lindung. Kebutuhan pangan dan nutrisi, serta kayu akan bersaing dengan kebutuhan energi. Kegiatan produktif ekonomi untuk menghasilkan pangan dan nutrisi serta kayu sebagai tujuan utamanya akan saling bersaing untuk dikonversi dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi, baik limbah dari kegiatan tersebut maupun hasil utamanya. Misalnya kayu yang ditanam dengan tujuan utama untuk produk kayu akan digunakan diubah untuk kebutuhan energi baik 278
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
secara langsung maupun tidak, baik dalam bentuk limbahnya maupun dalam bentuk kayu tersebut. Ke depannya, kebutuhan lahan untuk kayu energi akan bersaing dengan lahan untuk kebutuhan pangan, tempat tinggal dan usaha produktif lainnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Golos dan Kaliszewski (2015) bahwa kayu akan digunakan sebagai sumber energi hanya setelah penggunaan kayu untuk pertukangan dan usaha produktif lainnya telah tercukupi. Sedangkan di Indonesia, kebutuhan kayu untuk pertukangan dan usaha produktif lainnya terus meningkat sedangkan ketersediaan kayunya itu sendiri semakin menurun. Kayu energi pada umumnya berasal dari hutan, industri kayu, serta kayu hasil penjarangan dan pemangkasan. Oleh karena itu, menurut Stolarski et al. (2014) diperlukan jenis tanaman kayu dengan rotasi pendek, yang dapat dikembangkan pada lahan marjinal, mampu memberikan hasil panen yang besar, serta mempunyai nilai kalor yang tinggi. Perkembangan teknologi sangat diperlukan untuk mendukung upaya penggunaan energi baru terbarukan seperti energi biomassa. Untuk saat ini, pemanfaatan energi biomassa masih tergolong ekonomi biaya tinggi karena belum adanya teknologi yang tepat dan biaya investasi yang besar sehingga kurang diminati pemilik modal. Diperlukan teknologi yang dapat merubah biomassa menjadi energi yang dapat langsung digunakan tanpa harus merubah mesin. Pemerintah diharapkan dapat memberikan insentif bagi pemilik modal untuk berinvestasi di sektor energi terbarukan. Bentuk dan ukuran biomassa akan mempengaruhi transportasi. Biomassa yang berukuran besar akan mempengaruhi dalam proses pengangkutan sampai dengan pabrik sehingga akan berpengaruh terhadap biaya produksi. Untuk dapat bersaing (daya kompetitif) dengan bahan bakar fosil, biomassa harus dapat diproduksi dengan biaya produksi yang murah. IV. PENUTUP Penggunaan energi terbarukan merupakan salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi yang berasal dari fosil. Energi biomassa merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang memiliki potensi untuk dikembangkan dan dapat diproduksi dalam 3 (tiga) bentuk bahan bakar, yaitu cair, padat dan gas. Sumber energi biomassa dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi pembangkit listrik, bahan bakar transportasi, pemanas rumah, dan pembakaran pada industri. Biomassa yang berasal dari alam menjadi solusi untuk kebutuhan tersebut. Energi biomassa memiliki emisi CO2 yang lebih rendah sehingga lebih ramah lingkungan. Penggunaan energi yang berasal dari biomassa dapat memberikan beberapa keuntungan antara lain sebagai upaya konservasi sumber daya fosil, pengurangan terhadap ketergantungan bahan bakar impor, merehabiltasi lahan kritis yang tidak dimanfaatkan, dan memanfaatkan limbah hasil tebangan dan limbah lainnya. Hambatan penggunaan biomassa sebagai sumber energi listrik dikarenakan beberapa hal: (1) lahan sebagai faktor produksi yang semakin terbatas, (2) kebutuhan pangan, nutrisi dan kayu yang bersaing dengan kebutuhan energi, serta (3) jenis tanaman penghasil energi dengan nilai kalor yang tinggi semakin terbatas. Oleh karena itu, diperlukan eksplorasi jenis tanaman kayu yang mempunyai sifat rotasi yang pendek, dapat dikembangkan pada lahan marjinal, produktivitas hasil panen yang besar, serta mempunyai nilai kalor yang tinggi. DAFTAR PUSTAKA Carneiro, P., & Ferreira, P. (2012). The economic, environmental and strategic value of biomass. Renewable Energy, 44, 17–22. doi:10.1016/j.renene.2011.12.020 279
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
DEN. (2014). Outlook Energi Indonesia 2014. Jakarta Dincer, I. (2000). Renewable energy and sustainable development: a crucial review. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 4, 157–175. doi:10.1016/S1364-0321(99)00011-8. Dirjen EBTKE. (2014). Statistik EBTKE 2014. Jakarta. Field, C. B., Campbell, J. E., & Lobell, D. B. (2007). Biomass energy : the scale of the potential resource, 65–72. doi:10.1016/j.tree.2007.12.001 Golos, P., & Kaliszewski, A. (2015). Aspects of using wood biomass for energy production. Forest Research Paper, Vol 76 (1): 78-87. DOI: 10.1515/frp-2015-0009. Gula, A., & Goryl, W. (2014). Toward a more environmentally friendly use of biomass for energy purposses in Polland. Journal of Environmental Studies Vol. 23 No. 4. 1377-1380. Hasan, M. H., Mahlia, T. M. I., & Nur, H. (2012). A review on energy scenario and sustainable energy in Indonesia. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 16(4), 2316–2328. doi:10.1016/j.rser.2011.12.007. Hoogwijk, M., Faaij, A., Eickhout, B., De Vries, B., & Turkernburg, W. (2005). Potential of biomass energy out to 2100 for 4 IPCC SRES land-use scenarios. Biomass and Bioenergy, 29: 225-257. Mckendry, P. (2002). Energy production from biomass ( part 1 ): overview of biomass, 83(July 2001), 37–46. Mckendry, P. (2002). Energy production from biomass ( part 2 ): conversion technologies, 83(July 2001), 47–54. Saidur, R., Abdelaziz, E. A., Demirbas, A., Hossain, M. S., & Mekhilef, S. (2011). A review on biomass as a fuel for boilers. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 15(5), 2262– 2289. doi:10.1016/j.rser.2011.02.015 Sims, R.E.H., Rogner, H-H., & Gregory, K. (2003). Carbon emisson and mitigation cost comparisons between fossil fuel, nuclear and renewable energy resources for electricity generation. Energy Policy, 31: 1315-1326. Stolarski, M.J., Krzyzaniak, M., Szczukowski, S., Tworkowski, J., & Bieniek, A. (2014). Short rotation woody crops gown on marginal soil for biomass energy. Political Journal of Environmental Studies, Vol. 23, No. 5: 1727-1739.
280
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
PENGELOLAAN DANA BERGULIR OLEH PUSAT PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN HUTAN UNTUK PEMBIAYAAN USAHA KEHUTANAN Agustinus Untoro Wisnu Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
I. PENDAHULUAN Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H) merupakan salah satu satuan kerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berbeda dengan satuan kerja lainnya, P2H ditugaskan untuk mengelola Fasilitas Dana Bergulir (FDB) yang bersumber dari DR pada Rekening Pembangunan Hutan (RPH) untuk RHL, sebagai dukungan terhadap pembangunan hutan tanaman. Karena fungsinya ini maka Pusat P2H ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Pengelolaan dana bergulir bersifat fleksibel karena menggunakana kaidah-kaidah bisnis yang sehat, produktif dan efisien. BLU harus bekerja sesuai aturan yang berlaku. Aturan-aturan yang berkaitan dengan kegiatan dari Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H) adalah: PP no. 35 tahun 2002 tentang dana reboisasi. PP Nomor 23 tahun 2005 tentag pengelolaan keuangan badan layanan umum. Keputusan Menkeu No. 105 KMK.05/2010 tentang Penetapan Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan sebagai instansi pemerintah yang menerapkam PPK-BLU. Peraturan bersama Menkeu & Menhut No. 04/PMK.02/2012 & PB.1/Menhut-II/2014 Tentang pengelolaan DR dalam RPH. Peraturan menteri Kehutanan No. P.36/Menhut II/2012 jo P.23 /Menhut-II/2011 tentang tata cara penyaluran dan pembiayaan dana bergulir untuk kegiatan RHL. Pemenkeu No. 112/PMK.05/2015 tgl 8 Juni 2015 tentang tarif layanan BLU Pusat P2H pada Kementerian Kehutanan. II. DANA BERGULIR Selama ini, pada umumnya jika masyarakat melihat dana dari pemerintah, maka asosiasinya adalah hibah. Perlu ditekankan bahwa dana bergulir merupakan bagian dari uang negara (APBN), yang bukan merupakan hibah atau proyek. Dana bergulir adalah dana yang disalurkan, kemudian ditagih dan dikembalikan oleh debitur yang akan digulirkan kembali kepada debitur lainnya yang memerlukan. Pelengkap atau penguatan modal dari kegiatan RHL hanya diberikan atas permintaan calon debitur melalui pengajuan proposal dan hanya untuk kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan. Dalam konteksi ini yang termasuk dalam kegiatana RHL adalah upaya-upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan. Dana bergulir hanya diberikan kepada calon penerima yang dinilai layak dibiayai. Keputusan pemberian dana didasarkan pada kajian bahwa usaha yang diusulkan oleh calon debitur adalah usaha yang prospektif dan layak sacara finansial. Berdasarkan sumbernya dana reboisasi yang dikelola negara berasal dari: 1) pembayaran dari wajib bayar, yaitu HPH yang melakukan penebangan atau memanfaatkan hutan 2) Jasa giro dari dana reboisasi yang ada di rekening Menteri Keuangan, 3) pengembalian kredit, divestasi, deviden, lelang. Kas negara ini 60% dialokasikan untuk kegiatan dibawah 281
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
pengelolaan pemerintah pusat, dan 40% dialokasikan untuk daerah penghasil. Dana di pemerintah pusat ini digunakan dalam bentuk DIPA Kementerian Kehutanan, sisanya masuk ke rekening pembangunan hutan (RPH). Dana dari RPH ini yang kemudian disalurkan dalam bentuk dana bergulir, oleh Lembaga Keuangan Bank atau Non Bank. Kemudian dana disalurkan kepada BMUN atau BUMD, Koperasi atau masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani. Skema sumber dana untuk dana bergulir yang dikelola oleh BLU ditampilan pada Gambar 1. DR yang ada pada Rekening Menkeu
DR wajib bayar Pasal 7(1)
Kembalian Kredit, Diversitas, Deviden Lelang kayu sitaan (Psl 22)
Kas Negara
Jasa Giro 60% untuk pemerintah pusat (Psl 10) DIPA Kemenhut (psl 10)
40% untuk daerah penghasil RPH (psl 10)
Disalurkan dalam bentuk Dana Bergulir (psl 12 & 15) Lembaga Keuangan Bank/ L K Non Bank psl 14 (2) BLU (Pusat P2H)
BMUN/D (psl 155)
Koperasi (psl 15)
Kelompok Tani Hutan (psl 15)
Gambar 1. Skema sumber dana dan penyaluran dana bergulir sesuai PP 35/2002
III. KEGIATAN YANG DAPAT DIBIAYAI OLEH DANA BERGULIR Berdasarkan Peraturan Bersama Menkeu dan Menhut No. 04/PMK.02/2012 & PB.1/Menhut-II/2011 tentang Pengelolaan DR dalam RPH maka kegiatan yang dapat dibiayai oleh dana bergulir yang ada di P2H adalah: a. Pembangunan dan pemeliharaan tanaman, dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Rakyat (HR), Hutan Desa (HD) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm). b. Usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan tegakan hutan alam pada kawasan hutan produksi dengan teknik silvikultur intensif (SILIN), dan c. Restorasi ekosistem (RE). Dengan bergabungnya Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Lingkungan Hidup, BLU sekarang memiliki bidang baru yang ditangani yaitu Bidang Investasi Lingkungan, walaupun pada saat ini belum dapat dilaksanakan. Berkaitan dengn itu, BLU sedang melakukan persiapan agar dana bergulir juga dapat diinvestasikan untuk kegiatan-kegiatan lingkungan. Beberapa investasi lingkungan yang dapat difasilitasi atau dibiayai antara lain adalah:
282
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
1. Peralatan Pencegahan Pencemaran: Peralatan Produksi Bersih dan Peralatan Non Ozone Depleting Substance (ODS) 2. Peralatan 3 R (Reduce, Reuse, Recycle), selruh peralatan yang dapat mengurangi pemanfaatan sumber daya alam (hemat air, hemat energi) dan pengurangan limbah (daur ulang limbah plastik, logam, kertas, organik) 3. Peralatan Pengolahan limbah: 1) Instalasi pengolah air limbah, 2) Instalasi pengolah limbah udara dan 3) Instalasi pengolah limbah padat 4. Efisiensi energi, energi baru dan terbarukan, termasuk energi dari limbah (waste to energi) 5. Bahan bakar atau tambahan yang ramah lingkungan (misal pengganti bleaching agent), peralatan laboratorium lingkungan, dan sertifikasi ramah lingkungan 6. Tapak IPAL /IDUL/ Konstruksi investasi lingkungan. IV. SKEMA DANA BERGULIR Ada 3 bentuk skema dana bergulir. Yang pertama adalah dana bergulir yang disalurkan dalam bentuk pinjaman, kedua dalam bentuk bagi hasil, dan yang ketiga adalah dalam bentuk pola syariah. Untuk pola pinjaman, dana disalurkan kemudian fihak penerima fasilitas mengembalikan dana pokoknya disertai bunga. Untuk sistem bagi hasil, BLU hadir sebagai infestor kemudian memiliki mitra, kemudian bersama mintranya BLU membangun hutan tanaman, pada saat panen hasilnya dibagi. Untuk pola syariah, kurang lebih sama dengan pola bagi hasil tetapi di dalamnya ada kaidah-kaidah syariah yang harus diikuti. Sampai saat ini BLU baru bergerak di skema pinjaman, skema bagi hasil sampai saat ini belum berjalan. Berapa tarif layanannya? Tarif layanan ditetapkan dengan Permenkeu 112/PMK.05/ 2015, 8 Juni 2015. Tarif layanan BLU digambarkan dalam skema berikut ini. Tarif Layanan BLU – Pusat P2H Permenkeu 112/PMK.05/2015, 8 Juni 2015
TARIF LAYANAN PINJAMAN
BADAN USAHA
Tingkat suku bunga per tahun : BI rate + 4% (maks 10%)
TARIF LAYANAN BAGI HASIL
Masyarakat
Lembaga Perantara
BUMN, BUMD, Badan Usaha Swasta Berbadan Hukum, Koperasi Primer, Perorangan
Tingkat suku bunga per tahun : BI rate (maks 8%)
Tingkat suku bunga per tahun : 50% BI rate (maks 4%)
BLU-Pusat P2H mendapatkan bagian bagi hasil paling rendah 35% dari pendapatan bruto bagi hasil yang dibiayai
Gambar 2. Tarif layanan BLU menurut Permenkeu 112/PMK.05/2015, 8 Juni 2015
283
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Skema dan pola penyaluran fasilitas dana bergulir menurut Permenhut P.36/Menhut-II/2012 jo. P.23/Menhut-II/2014 digambarakan seperti dalam Tabel 1. Tabel 1. Skema dan pola penyaluran fasilitas dana bergulir Permenhut P.36/Menhut-II/2012 KE No
Penyaluran
1
Tanpa Lembaga perantara
2
Dengan Lembaga Perantara Pengembalian
3
Pinjaman Pelaku Usaha HTR, HR, HTI,HD,HKm, HHBK, Silin & RE Hanya diberlakukan untuk skema pinjaman Pengembalian pinjaman beserta bunganya
Skema Bagi hasil Pelaku Usaha HTR, HR, HTI,HD,HKm,H HBK, Silin & RE
Syariah Pelaku Usaha HTR, HR, HTI,HD,HKm, HHBK, Silin &RE
Keterangan
Pembayaran bagi hasil dari pendapatan
Pembayaran bagi hasil/margin
Pelaku Usaha HTR, HR, HTI,HD,HKm, HHBK, Silin & RE L- Perantara sebagai pelaksana pengguliran dana
V. MEKANISME PENGAJUAN DANA BERGULIR Pemohon dana bergulir mengajukan proposal ke BLU kemudian BLU akan memeriksa persyaratan administrasinya. Jika persyaratan terpenuhi makan akan dilakukan verifikasi lapangan. Setelah syarat administrasi dan analisis lapangan terpenuhi maka BLU membuat persetujuan. Mekanisme pengajuan dana bergulir ditampilkan dengan skema pada Gambar 3. Permohonan Dana Bergulir
BLU
Desk & Field analysis
Persetujuan Prinsip
Persetujuan Prinsip
4T
Surat Penawaran
Surat Penawaran
Putusan Dana Bergulir
Putusan Dana Bergulir
Pemohon Dana Bergulir
Ajukan proposal
Akad secara Notariat
Pemindah bukuan bertahap
Rekening Pemohon Dana Bergulir
BLU Gambar 3. Skema mekanisme pengajuan dana bergulir
Membangun hutan tidak hanya memerlukan sekali pembiayaan, dan tidak selesai hanya dalam 2 atau 3 tahun, sehingga penyaluran dana dilakukan secara bertahap, penyaluran 284
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
pertama untuk pengadaan bibit dan persiapan lahan, tahap berikutnya adalah pemeliharaan. Pemberian fasilitas dana bergulir jangka waktunya paling lama 5 tahun. Batas maksimal pemberian FDB berdasar Pasal 29 PerMenhut No P.23/Menhut-II/2014 adalah sebagai berikut: Batas maksimal pemberian FDB untuk mendukung usaha HTI, SILIN adalah 3.000 (tiga ribu) hektar dikalikan biaya kegiatan per hektar yang Batas maksimal pemberian FDB untuk mendukung usaha RE disesuaikan dengan unit usaha yang bermitra dengan pemegang izin dikalikan biaya kegiatan per hektar yang dapat difasilitasi oleh Pusat P2H. Batas maksimal pemberian FDB untuk mendukung usaha HTR dan usaha pemanfaatan HHBK adalah 300 (tiga ratus) hektar dikalikan biaya kegiatan per hektar yang dapat difasilitasi oleh Pusat P2H. Batas maksimal pemberian FDB untuk mendukung usaha HD, HKm disesuaikan dengan unit usaha dikalikan biaya kegiatan per hektar yang dapat difasilitasi oleh Pusat P2H. Batas maksimal pemberian FDB untuk mendukung usaha HR adalah 80.000 (delapan puluh ribu) pohon dikalikan biaya per pohon yang dapat difasilitasi oleh Pusat P2H. Standar biaya dalam penggunaan FDB untuk pembangunan hutan didasarkan pada Permenhut No. P.36/Menhut-II/2012. Berdasarkan Pasal 30, biaya kegiatan per hektar atau per pohon yang dapat difasilitasi oleh Pusat P2H ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Pusat P2H. Penetapan biaya kegiatan per hektar atau per pohon didasarkan pada standar teknis dan biaya satuan kegiatan yang ditetapkan Direktur Jenderal BPDAS PS. Bersadarkan Pasal 31, jika terdapat perkembangan teknologi budidaya tanaman hutan dan pengembangan jasa layanan Pusat P2H yang belum ditetapkan dalam standar teknis dan biaya satuan kegiatan, maka penetapan biaya kegiatan per hektar atau per pohon berdasarkan pertimbangan teknis penilaian proposal permohonan FDB dari Direktur Jenderal BPDAS PS. Ketika standar teknis belum ada maka penetapan biaya didasarkan pada pertimbangan teknis dari Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Suatu hasil penelitian jika akan diterapkan dalam skala usaha maka peneliti sendirilah yang mengetahui biaya yang diperlukan untuk setiap bibit yang diperoleh dari penggunaan teknologi tertentu. Selain itu, penilaian terhadap biaya satuan kegiatan yang digunakan dalam proposal permohonan FDB juga dapat ditetapkan berdasar survey harga pasar setempat oleh BLU Pusat P2H atau instansi lain yang kompeten. Harga pasar ini kemudian dapat digunakan sebagai standar biaya per ha atau per pohon. Sebagai informasi, untuk saat ini standar biaya untuk HTI adalah Rp 9,653 juta/ha, untuk HTR Rp 8,5 juta/ha, dan untuk hutan rakyat Rp 20.000/ pohon. Pengembangan hutan yang menggunakan cara biasa atau menggunakan teknologi hasil litbang memerlukan biaya yang berbeda. Pengembangan hasil penelitian diperlukan rekomendasi dari Kabadan Litbang yang menjelaskan bahwa pembangunan HR dengan teknologi tertentu memerlukan biaya tertentu. VI. PENUTUP Suatu hasil penelitian akan dapat bermanfaat untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dan hutan lestari jika hasil penelitian tersebut dikembangkan dalam skala usaha. Ketika masuk ke dalam skala usaha maka BLU berperan dalam memberikan dukungan permodalan kepada pelaku usaha. Dengan demikian peran BLU dalam peningkatan produktivitas hutan adalah memberikan fasilitas pembiayaan agar pelaku usaha dapat mengimplementasikah hasil-hasil penelitian untuk menghasilkan tegakan hutan yang berproduktifitas tinggi. 285
ASPEK PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi
POTENSI TANAMAN BERENUK (Crescentia cujete L.) SEBAGAI BAHAN PESTISIDA NABATI Etik Erna Wati Hadi dan Asmaliyah Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Penggunaan pestisida kimia telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sehingga mendorong adanya kebijakan dalam pengendalian hama, yaitu penggunaan pestisida nabati. Potensi pengembangan pestisida nabati sangat besar dilakukan di Indonesia. Penggalian potensi dilakukan dengan melakukan survey dan pendokumentasian kearifan lokal. Informasi dari masyarakat lokal dalam memanfaatkan tanaman sebagai bahan pestisida dapat dihimpun kemudian dikaji secara ilmiah. Salah satu jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah tanaman berenuk (Crescentia cujete Linn.). Berenuk memiliki potensi yang cukup banyak, secara tradisional masyarakat memanfaatkan jenis ini sebagai bahan obat, bahan pestisida serta untuk bahan kerajinan. Kajian ilmiah tentang potensi berenuk telah dilakukan di beberapa negara dan dinyatakan bahwa terdapat potensi dari bagian daun sebagai antibakteri. Dengan hasil tersebut membuka peluang untuk pengembangan penelitian lebih lanjut untuk bagian tanaman yang lain. Kata kunci: berenuk, pestisida nabati
I. PENDAHULUAN Serangan hama dan penyakit pada tumbuhan merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan, baik hutan rakyat maupun hutan tanaman. Pengendalian hama dan penyakit tanaman biasanya menggunakan pestisida kimiawi yang memiliki cara kerja yang relatif cepat dalam menekan populasi hama/penyakit, sehingga dapat mencegah kerugian secara ekonomis. Pemakaian pestisida kimiawi yang tidak tepat, berpotensi menimbukan dampak negatif, untuk menghindari dampak buruk tersebut, berdasarkan kebijakan internasioanl, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan ditingkat nasional dalam perlindungan tanaman dengan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT), yang memprioritaskan penggunaan bahan yang ramah lingkungan, salah satunya adalah penggunaan pestisida nabati. Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuh-tumbuhan dan berkhasiat mengendalikan hama pada tanaman (Soenandar et al., 2010). Pestisida nabati ini bisa berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh, dan bentuk lainnya (Syakir, 2011). Cara kerjanya antara lain: 1) Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga, misal: dengan bau yang menyengat; 2) Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot; 3) Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa; 4) Menghambat reproduksi serangga betina; 5) Racun syaraf; 6) Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga; 7) Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga; dan 8) Mengendalikan pertumbuhan jamur dan bakteri. Pestisida nabati digunakan untuk meminimalkan penggunaan pestisida sintetis, sehingga dampak terhadap kerusakan lingkungan bisa dikurangi. Kelebihan penggunaan pestisida nabati adalah cara kerjanya yang unik yaitu tidak meracuni, mudah terurai di alam dan residunya mudah hilang, sehingga tidak mencemari lingkungan serta relatif aman bagi manusia dan hewan peliharaan; penggunaannya dalam jumlah (dosis) yang kecil atau rendah; mudah diperoleh di alam, pembuatannya relatif mudah 289
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
dan secara sosial–ekonomi penggunaannya menguntungkan bagi petani kecil (Gerrits dan Van Latum, 1988; Sastrosiswojo, 2002; Lestari, 2012). Di Indonesia terdapat sekitar 2400 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai penghasil pestisida (Kardinan, 1999). Hasil inventarisasi tumbuhan penghasil pestisida nabati di Provinsi Lampung ditemukan beberapa jenis tumbuhan yang memiliki potensi sebagai penghasil pestisida nabati, salah satunya adalah berenuk/berunuk (Crescentia cujete). Berenuk/berunuk merupakan tanaman berbentuk pohon yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan tropis, namun sekarang tanaman ini sudah tersebar ke berbagai tempat, termasuk di wilayah Indonesia, jadi tanaman ini bukan asli dari Indonesia. Pohon berenuk dapat mencapai tinggi 10 meter dengan batang silindris, beralur, warna putih kehitaman; daun tersusun menyirip, berbentuk lonjong, ujung meruncing, panjang 10-15 cm, bertangkai pendek; bunga tunggal keluar dari ranting; buah tipe buni, bulat atau bulat telur; biji berbentuk kotak berwarna coklat. Berdasarkan klasifikasi, jenis ini termasuk dalam: Kingdom : Plantae Ordo : Lamiales Famili : Bignoniaceaae Genus : Crescentia Species : Crescentia cujete (L.) Berdasarkan hasil penelitian dan studi pustaka menunjukkan berenuk memiliki potensi sebagai pestisida nabati. Sampai saat ini pemanfaatannya hanya dilakukan secara tradisional dan dalam skala lokal. Tujuan penyusunan makalah ini untuk menyampaikan informasi potensi tanaman berenuk sebagai pestisida nabati. II. POTENSI BERENUK (C. cujete L.) 1. Etnobotani Etnobotani adalah cabang ilmu yang mempelajari dan mengkaji hubungan manusia dengan tumbuhan disekitarnya, termasuk didalamnya adalah bagaimana dan untuk apa tumbuhan itu dimanfaatkan dalam kehidupannya. Etnobotani biasanya bersifat lokal, hal ini dikarenakan aktivitas manusia disuatu tempat berbeda dengan tempat lain, tergantung kondisi lingkungan setempat. Hasil penelitian etnobotani di kepulauan Sumatera menunjukkan bahwa masyarakat sampai saat ini masih banyak memanfaatkan tanaman disekitarnya, antara lain sebagai bahan obat dan pestisida nabati (Asmaliyah et al., 2010). Berdasarkan penelitian tersebut, berenuk dimanfaatkan masyarakat di Kabupaten Tanggamus (Provinsi Lampung) dan Kabupaten Lebong (Provinsi Bengkulu) sebagai pembunuh hama (serangga, keong emas) dan pengusir lintah. Untuk membunuh serangga dan keong emas, masyarakat mengambil air dari buahnya (diperas), ditambah air kemudian disemprotkan pada tanaman. Sedangkan untuk mengusir lintah, caranya buah direndam dalam aliran sungai. Selain sebagai bahan pestisida nabati, berenuk juga dipercaya masyarakat memiliki khasiat sebagai obat, antara lain daunnya dimanfaatkan untuk mengobati luka baru dan obat hipertensi. Cara pemanfaatan sebagai obat luka, yaitu dengan menumbuk 10 gram daun kemudian ditempelkan pada bagian yang terluka kemudian dibungkus dengan kain bersih. Daging buah digunakan untuk mengobati sakit diare. Buah dan bijinya yang diperas dapat digunakan untuk obat diare, sakit perut, pilek, bronchitis, asma dan susah buang air kecil. Sementara itu kulit buahnya dapat dimanfaatkan untuk bahan kerajinan.
290
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi
a
b
c
d
Gambar 1. a. Buah berenuk, b. Pohon berenuk, c. Daging buah dan isi, d. Beberapa contoh pemanfaatan
2. Hasil-hasil Penelitian Beberapa penelitian dilakukan dalam menggali potensi berenuk, baik sebagai bahan obat maupun sebagai pestisida nabati, antara lain: a. Kemampuan antibakteri daun berenuk (C. cujete, L.) dapat menghambat atau membunuh bakteri E. coli dan S. aureus (Ardianti dan Kusnadi, 2014). b. Kulit batang berenuk mengandung senyawa golongan steroid dan alkaloid yang berpotensi sebagai antibakteri (Yani, 2011). c. Pemanfaatan ekstrak daun berenuk (Crescentia cujete) sebagai terapi alternatif yang termutakhir dalam bidang herbal dan efektif dalam menanggulangi permasalahan aterosklerosis pada pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) (Imaroh, 2013). d. Ekstrak berenuk (Crescentia cujete Linn.) memiliki potensi sebagai sumber obat untuk terapi penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Mahbub et al., 2011). e. Fitokimia dalam tanaman berenuk memiliki komposisi mineral yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi bagi manusia maupun hewan (Ejelonu et al., 2011). Hasil penelitiaan menunjukkan tanaman berenuk memiliki kandungan beberapa jenis bahan aktif, diantaranya yang terdapat dalam daging buah yang basah adalah alkaloid, flavonoid, saponin, glikosidaa sianogen (semacam HCN) dan fenol dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pada daging buah yang kering (Ogbuagu, 2008). Dalam daging buah yang kering memiliki kandungan tannin yang lebih banyak dibandingkan pada daging buah basah. Sedangkan dibagian kulit, batang dan akar mengandung saponin dan polifenol. Tumbuhan melindungi diri secara alami dengan menghasilkan senyawa aktif/metabolit sekunder yang merupakan senyawa hasil metabolism yang tidak memiliki fungsi secara langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan (Hartmann, 1991 dalam Sumantoro, 2012). Senyawa aktif yang dimiliki suatu jenis tumbuhan memiliki distribusi terbatas yang sering dijumpai dalam suatu jenis yang memiliki hubungan taksonomi. Berenuk memiliki potensi sebagai pengendali hama tikus, hal ini dikarenakan adanya bahan aktif alkaloid. Syakir (2011) menyebutkan bahwa kelompok tumbuhan rodentisida nabati, kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama rodentia. Tumbuhan ini terbagi jadi dua jenis, yaitu sebagai penekan kelahiran dan penekan populasi, yaitu meracuninya. Tumbuhan yang termasuk kelompok penekan kelahiran umumnya mengandung steroid. Sedangkan yang tergolong penekan populasi biasanya mengandung alkaloid. Jenis tumbuhan yang sering digunakan sebagai rodentisida nabati adalah gadung racun. Selain itu berenuk juga digunakan masyarakat untuk mengendalikan keong emas, yaitu dengan mencacah daging buahnya kemudian meletakkan dalam aliran sawah sehingga mematikan hama tersebut. Hal tersebut mungkin terjadi karena adanya kandungan glikosida sianogen (semacam HCN) yang mempunyai sifat sebagai racun. 291
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Pemanfaatan tanaman berenuk pada tanaman hutan belum dilakukan penelitian lebih lanjut, hal ini dikarenakan penelitian pestisida nabati baru pada tahap eksplorasi dan uji fitokimia. Hasil uji fitokimia digunakan sebagai dasar dalam melakukan uji toksisitas. Jika hasil uji toksisitas menunjukkan hasil positif kemudian dilanjutkan tahap uji skala rumah kaca. Kedepan diharapkan tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pestisida nabati untuk tanaman kehutanan, terutama untuk bibit dan tanaman muda. III. PENUTUP Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas yang sangat besar dan suku etnis yang sangat beragam. Kearifan lokal dalam memanfaatkan jenis tumbuh-tumbuhan disekitarnya memberikan peluang dalam menggali dan mengembangkan potensi tumbuhan sebagai bahan pestisida nabati. Kajian ilmiah serta pendokumentasian kearifan lokal perlu dilakukan secara kontinyu. Hal ini menjadi penting untuk menyelamatkan lingkungan dari gempuran bahanbahan kimia yang digunakan untuk bahan pestisida. Pemanfaatan bahan alami lebih banyak mendatangkan keuntungan bagi masyarakat juga lingkungan. Berdasarkan hasil eksplorasi dan penelitian tanaman berenuk memiliki potensi sebagai bahan pestisida nabati, sehingga perlu dilakukan tahapan-tahapan penelitian untuk mendapatkan kandungan bahan aktif serta aplikasi di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Asmaliyah, Hadi, E. E. W., Utami, S., Mulyadi, K., Yudhistira dan Sari, F. W. 2010. Pengenalan Tumbuhan Penghasil Pestisida Nabati dan Pemanfaatannya Secara Tradisional. Puslitbang Produktivitas Hutan. Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Jakarta. Ardianti, A. dan Kusnadi, J. 2014. Ekstraksi Antibakteri Dari Daun Berenuk (Crescentia cujete Linn.) Menggunakan Metode Ultrasonik. Jurnal Pangan dan Agroindustri 2 (2):28-35. Ejelonu, B.C., Lasisi, A.A., Olaremu, A.G. dan Ejelonu, O.C. 2011. The Chemical Constituents of Calabash (Crescentia cujete). African Journal of Biotechnology 10 (84):19631-19636. Gerrits R. & van Latum E.B.J. 1988. Plant Derived Pesticides in Developing Countries Possibilities & Research Needs, Netherlands Ministry of Housing Physical Planning and Environment. 101 p. Imaroh, R. 2013. Potensi Ekstrak Daun Berenuk (Crescentia cujete inn.) Sebagai Terapi Alternatif Penyakit Jantung Koroner Dengan Menurunkan Resiko Pembentukan Aterosklerosis. Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jakarta. Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. Lestari, F. 2012. Pestisida Nabati Sebagai Alternatif Pengganti Pestisida Kimia Sintetik. www.foreibanjarbaru.or.id. (Diakses 21 April 2014). Mahbub, K.R., Hoq, M.M., Ahmed, M.M., dan Sarker, A. 2011. In Vitro Antibacterial Activity of Crescentia cujete and Moringa oleifera. Bangladesh Research Publications Journal 5 (4): 337-343. Obguagu, M.N. 2008. The Nutritive and Anti-Nutritive Compositions of Calabash (Crescentia cujete) Fruit Pulp. Journal of Animal and Veterinary Advances 7 (9):1069-1072.
292
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi
Sastrosiswojo, S. 2002. Kajian Sosial Ekonomi dan Budaya Penggunaan Biopestisida di Indonesia. Makalah pada Lokakarya Keanekaragaman Hayati Untuk Perlindungan Tanaman, Yogyakarta. Soenandar, M., Aeni, M. N., dan Raharjo, A. 2010. Petunjuk Praktis Membuat Pestisida Organik. Agromedia Pustaka, Jakarta. Sumantoro, P. 2012. Serangan Hama Kutu Lilin (Pineus borneri Annand) Pada Tanaman Uji Keturunan Pinus merkusii Generasi II Umur 9 Tahun di Tampomas, Sumedang. Tesis: Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Syakir, M. 2011. Status Penelitian Pestisida Nabati Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Seminar Nasional Pestisida Nabati IV, Jakarta. Yani, A. 2011. Fraksinasi Komponen Aktif Antibakteri Ekstrak Kulit Batang Tanaman Berenuk (Crescentia cujete Linn.). Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB, Bogor.
293
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi
PERKEMBANGAN SERANGAN PENYAKIT BERCAK DAUN PADA TANAMAN JABON (Antocephalus cadamba) DI PROVINSI SUMATERA SELATAN Asmaliyah dan Etik Ernawati Hadi Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Pembangunan hutan tanaman secara monokultur rentan terhadap serangan penyakit karena keseimbangan hubungan antara patogen dan inang terganggu. Oleh karena itu perlu ada usaha pengendalian agar serangan penyakit tidak berkembang dan tidak sampai merugikan. Usaha pengendalian akan efektif apabila jenis penyakit dan patogennya diketahui. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jenis patogen yang menyerang tanaman jabon dan bagaimana perkembangannya. Metode penelitian menggunakan purposive sampling dengan teknik pengumpulan data secara sensus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa patogen yang menyebabkan penyakit bercak daun pada tanaman jabon (Antocephalus cadamba) adalah cendawan Colletotrichum sp. Perkembangan serangan Colletotrichum sp. meningkat pada bulan dengan curah hujan tinggi. Kata kunci: jabon, penyakit bercak daun, patogen, perkembangan
I. PENDAHULUAN Jabon (Antocephalus cadamba) merupakan salah satu jenis tanaman cepat tumbuh yang cukup prospektif dikembangkan di Sumatera Selatan karena selain merupakan jenis lokal juga mempunyai prospek ekonomi yang baik (Premono, 2012) dan cocok untuk berbagai penggunaan seperti pulp, venir dan kayu lapis (Efendi, 2010 dalam Duryatmo, 2010). Salah satu permasalahan yang sering dihadapi dalam pembangunan hutan secara monokultur adalah rawan terhadap serangan hama dan penyakit. Serangan suatu penyakit akan mempengaruhi proses-proses pertumbuhan dan perkembangan sehingga proses produksi tanaman tersebut akan terganggu dan dapat menyebabkan kematian. Hasil penelitian sebelumnya ditemukan tiga jenis hama yang cukup serius menyerang tanaman jabon di beberapa wilayah di Sumatera Selatan, yaitu Margaronia hilalaris, Daphnis hypothous dan kepik Cosmoleptrus sumatranus (Asmaliyah, 2014). Selain diserang oleh hama, tanaman jabon tersebut juga diserang oleh suatu penyakit yang pada waktu tertentu serangannya cukup dominan. Walaupun sampai saat ini kerusakan yang diakibatkan oleh serangan penyakit ini belum nyata mempengaruhi produktivitas tanaman, namun keberadaan penyakit ini perlu diwaspadai. Oleh karena itu perlu ada usaha pengendalian agar serangan penyakit tersebut tidak berkembang dan tidak sampai merugikan. Usaha pengendalian dilakukan baik sebelum maupun sesudah kejadian serangan penyakit. Untuk melakukan usaha pengendalian tersebut dibutuhkan penelitian dasar mengenai jenis penyakit dan patogennya dengan mempelajari gejala dan kerusakan yang ditimbulkannya, ekobiologi maupun perkembangannya. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perlu kiranya dilakukan kegiatan penyusunan informasi mengenai penyakit dan patogennya serta perkembangan penyakit pada tanaman jabon di Provinsi Sumatera Selatan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jenis patogen yang menyerang tanaman dan bagaimana perkembangannya.
295
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
II. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tahun 2012, 2013 dan 2014 pada beberapa areal penanaman jabon di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu: 1. Areal hutan rakyat di Desa Tungku Jaya, Kecamatan Sosoh Buay Rayap, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dengan luas areal sekitar 1 ha dan umur tanaman 1 (satu) tahun. Vegetasi disekitar areal tanaman jabon adalah tanaman karet. 2. Areal hutan rakyat di Desa Tanjung Pering, Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir (OI), dengan luas areal sekitar 3 ha dan umur tanaman 1 (satu) tahun. Vegetasi disekitar areal penanaman jabon adalah tanaman karet. 3. Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Sumber Bahagia Sentosa (SBB) yang terdapat di Desa Pangkalan Bulian, Kecamatan Batanghari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), dengan luas areal sekitar 1 ha dan umur tanaman 3 bulan. Kondisi lingkungan disekitar areal penanaman jabon adalah hutan bekas tebangan. 4. Areal hutan rakyat di Desa Pedamaran 1, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), dengan luas areal sekitar 6000 m2 dan umur tanaman 6 bulan. Vegetasi disekitar areal penanaman jabon adalah kelapa, gelam dan pohon-pohon buah (mangga, jambu biji). B. Prosedur Kerja 1. Pembuatan plot pengamatan dilakukan dengan teknik purposive sampling sebanyak 5 (lima) buah pada setiap lokasi tergantung luas areal penanaman yang tersebar di pojok dan tengah lokasi. Ukuran plot pengamatan pada setiap areal bervariasi, yaitu: a. Di Desa Tungku Jaya (OKU), ukuran plot seluas 15x20 m yang terdiri dari 30 tanaman b. Di Desa Tanjung Pering (OI), ukuran plot seluas 15x30 m yang terdiri dari 50 tanaman c. Di Desa Pangkalan Bulian (Muba), ukuran plot 15x30 m yang terdiri dari 30 tanaman d. Di Desa Pedamaran 1 (OKI), ukuran plot 15x10 m yang terdiri dari 15 tanaman 2. Pengumpulan data dilakukan secara sensus dengan variabel pengamatan berupa jenis penyakit dan patogennya, jumlah tanaman yang terserang dan skor tingkat kerusakan tanaman yang terserang yang digunakan untuk menghitung persentase serangan dan intensitas serangan penyakit 3. Untuk mengetahui jenis penyakit yang menyerang dilakukan identifikasi melalui buku diagnosis penyakit tanaman hutan (Anggraeni dan Lelana, 2011) dengan cara mencocokkan gejala serangan yang terdapat pada tanaman jabon di lapangan dengan yang terdapat dalam buku 4. Untuk menghitung persentase serangan penyakit (P) dilakukan dengan menggunakan rumus: P=
Jumlah tanaman yang terserang dalam suatu petak ukur Jumlah seluruh tanaman dalam suatu petak ukur
X 100 %
5. Untuk menghitung intensitas serangan secara kuantitatif diperoleh dengan menggunakan rumus (Direktorat Perlindungan Tanaman, 2000):
296
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi (ni x vj) I = X 100 % ZXN Keterangan: I : Tingkat kerusakan tanaman Ni : Jumlah daun yang terserang dengan klasifikasi tertentu Vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi N : Jumlah daun seluruhnya dalam suatu tanaman
Sedangkan untuk menghitung intensitas serangan secara kualitatif diklasifikasikan menurut pedoman Gultom (2014), yang dimodifikasi (Tabel 1). Analisa data dilakukan secara deskriptif kuantitatif. Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh penyakit Tingkat Kerusakan
Tanda kerusakan yang terlihat pada daun
Sehat Tidak ada serangan/daun sehat Ringan Luas daun terserang ≤ 10% Agak berat Luas daun yang terserang antara > 10-25 % Berat Luas daun yang terserang antara > 25-45 % Sangat berat Luas daun yang terserang antara > 45%-75 % Gagal Luas daun yang terserang di atas > 75 % Sumber (Source): Gultom (2014)
Nilai 0 1 2 3 4 5
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Identifikasi Patogen Berdasarkan hasil pengamatan di semua lokasi areal penanaman jabon terlihat adanya serangan penyakit bercak daun yang berwarna coklat merah kehitam-hitaman. Bercak awal berupa bintik-bintik bulat berwarna coklat, selanjutnya bercak berkembang dan menyatu menjadi bercak yang lebih lebar berwarna coklat merah kehitam-hitaman dengan bentuk yang tidak beraturan dengan tepi berwarna kuning. Selanjutnya bercak akan berkembang menajdi bercak berlubang. Daun yang terserang apabila disentuh akan gugur, apabila dibiarkan daun yang terserang menjadi kering dan rontok (Gambar 1). Hasil identifikasi terhadap patogen (penyebab penyakit) ini adalah cendawan Colletotrichum sp., yang masuk kedalam kelas Deuteromycetes, ordo Melancinoales dan famili Melanconiaceae (Agrios, 2005). Banyak dari Genus Colletotrichum ini merupakan patogen tanaman, tetapi hanya beberapa jenis yang mempunyai hubungan mutualisme dengan tanaman inangnya (Rodriquez and Redman, 2008). Colletotrichum mempunyai beberapa sinonim tergantung dari speciesnya, tingkat seksual dari cendawan ini sudah diketahui yaitu Glomerella yang masuk kedalam kelas Ascomycetes, ordo Diaporthales dan famili Diaporthaceae (Anggraeni dan Lelana, 2011). Serangan Colletorichum menyerang daun, buah hijau, batang dan buah matang. Serangan pada daun umumnya menyerang daun muda. Serangan ringan pada daun muda akan memperlihatkan gejala bintik-bintik nekrosis berwarna cokelat. Setelah daun berkembang, bintik nekrosis akan menjadi bercak berlubang dengan halo berwarna kuning Pada daun-daun muda yang terserang berat biasanya mudah mengalami kerontokan, tanaman meranggas sehingga banyak ranting dan dahannya yang mati (Semangun, 2008).
297
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Gambar 1. Gejala penyakit bercak daun Colletotrichum sp. pada tanaman jabon
Hasil pengamatan secara makroskopis koloni jamur Colletotrichum sp. yang diisolasi dari tanaman jeruk siam berbentuk bulat telur dengan tepi tidak rata, permukaan koloni berwarna putih dan berbentuk seperti kapas tebal, dan warna balik koloni berwarna putih dengan bercak merah kekuningan (Ningsih et al., 2012). Hasil Pengamatan secara mikroskopis jamur Colletotrichum sp. yang menyerang tanaman jabon memiliki karakter yaitu hifa bersepta tipis, konidiofor tidak berwarna, hialin, sederhana, konidia berbentuk oblong dengan ujung membulat, berwarna hialin dan mudah lepas dari konidiofor (Gambar 2). Cendawan Colletotrichum sp. merupakan patogen akar yang dapat bertahan hidup tanpa adanya tanaman inang dengan cara hidup sebagai saprofit pada jaringan mati (seresah) dengan membentuk struktur istirahat atau sebagai parasit pada gulma atau tanaman inang (Rahayu, 1999).
A
C
B
Gambar 2. A. Bentuk konidia Colletotrichum sp.; B. Konidiofor; C. Konidia berkecambah (Sumber: Anggraeni dan Lelana, 2011).
2. Persentase serangan dan Intensitas serangan Hasil pengamatan terhadap serangan penyakit bercak daun di Desa Tanjung Pering, Ogan Ilir, Kec. Indralaya Utara, Kab. Ogan Ilir, menunjukkan bahwa perkembangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. mengalami peningkatan, walaupun pada pengamatan bulan Januari 2013 persentase serangan penyakit mengalami penurunan dibandingkan pada bulan sebelumnya (November 2012) (Gambar 3). Begitu juga hasil pengamatan di Desa Tungku Jaya, Kec. Sosoh Buay Rayap, Kab. OKU menunjukkan bahwa perkembangan serangan penyakit, baik persentase serangan maupun intensitas serangan mengalami peningkatan (Gambar 3). Desa Tungku Jaya, Kec. Sosoh Buay Rayap, Kab. OKU
Desa Tanjung Pering, Kec. Indralaya Utara, Kab.OI 100
150 100 50 0
(P)
(I)
Jan-13
Nop-12
Sep-12
50 Jan-13
Nop-12
Sep-12
(P)
(I)
0 Sep-12 Jan-13
Bulan Pengamatan
Sep-12 Jan-13
Bulan Pengamatan
Gambar 3. Perkembangan serangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. di Desa Tanjung Pering dan Tungku Jaya pada tahun 2012/2013
298
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi
Hasil pengamatan di Desa Pangkalan Bulian, Kec. Batanghari Leko, Kab. Muba juga menunjukkan terjadi peningkatan serangan penyakit, kecuali pada pengamatan bulan Desember 2013 besaran persentase serangan penyakit mengalami penurunan dibandingkan pada bulan September 2013 (Gambar 4). Sebaliknya hasil pengamataan di Desa Pedamaran I, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten OKI, perkembangan serangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. mengalami penurunan, walaupun intensitas serangan penyakit pada bulan Nopember 2014 dan Desember 2014 lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya (Oktober 2014) (Gambar 5). Desa Pangkalan Bulian, Kec. Batanghari Leko, Kab. Muba 80 60 40 20 0
(P) (I) Jun-13
Sep-13
Des-13
Jun-13
Sep-13
Des-13
Bulan Pengamatan
Gambar 4. Perkembangan serangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. di Desa Pangkalan Bulian pada tahun 2013
Desa Pedamaran 1, Kec. Pedamaran, Kab. OKI
Des-14
(I)
Nop-14
Okt-14
Agust-14
(P)
Des-14
Nop-14
Okt-14
Agust-14
100 50 0
Bulan Pengamatan
Gambar 5. Perkembangan serangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. di Desa Pedamaran 1 pada tahun 2014
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa perkembangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. (khususnya intensitas serangan) yang menyerang tanaman jabon secara umum mengalami peningkatan pada bulan lembab (curah hujan 100-200 mm) dan bulan basah (curah hujan diatas 200 mm), sebaliknya pada bulan kering (curah hujan dibawah 100 mm) (Oldeman, 1975) mengalami penurunan (Lampiran 1). Diduga pada bulan lembab dan bulan basah, iklim mikro (suhu dan kelembaban nisbi) disekitar tanaman mendukung untuk sporulasi, penyebaran, perkecambahan dan penetrasi cendawan Colletotrichum sp. Sayangnya data suhu dan kelembaban disekitar tanaman tidak diukur. Widyastuti et al. (2005) mengemukakan bahwa sporulasi, pelepasan, perkecambahan dan penetrasi spora ditentukan oleh iklim mikro disekitar tanaman. Spora Colletotrichum sp. akan tumbuh baik dan berkecambah pada kondisi lembab (kelembaban nisbi ≥ 95%) dengan suhu 25-28oC. Pada kondisi lembab, bercak-bercak pada daun akan menghasilkan konidia dalam jumlah yang banyak dan konidia tersebut mudah terlepas bila ditiup angin atau bila kena percikan air hujan (Semangun, 2008). Tingginya persentase serangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. pada bulan Agustus 2014 (bulan kering dengan curah hujan dibawah 100 m) di Desa Pedamaran I, 299
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Kecamatan Pedamaran, Kabupaten OKI, diduga serangan penyakit yang ada merupakan serangan lama yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya yang termasuk bulan lembab dan bulan basah. Menurunnya persentase serangan dan rendahnya peningkatan perkembangan intensitas serangan bercak daun Colletotrichum sp. pada bulan Nopember dan Desember 2014 walaupun sudah masuk bulan lembab dan basah, diduga jumlah inokulum yang ada tidak cukup untuk menginfeksi daun dan jaringan inang yang rentan kurang tersedia karena sebagian besar daun yang terinfeksi gugur, sehingga perkembangan penyakit agak lambat, walaupun lingkungan mendukung. Widyastuti et al. (2005) menyatakan bahwa perkembangan penyakit tidak hanya ditentukan oleh jumlah inokulum yang melimpah saja dan faktor lingkungan yang menguntungkan, tetapi jumlah inokulum harus dalam jumlah yang cukup pada saat faktor lingkungan mendukung dan jaringan inang yang rentan tersedia. Faktor ini yang mempengaruhi jumlah tanaman yang terserang menurun/berkurang dan peningkatan intensitas serangan sangat rendah. Diduga serangan penyakit bercak daun yang terjadi pada bulan Nopember dan Desember 2014 sebagian besar merupakan infeksi baru. Berdasarkan klasifikasi Sugiharso (1982) dalam Mamengkey dan Senewe (2011), tingkat kerusakan tanaman akibat serangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. pada lingkungan yang menguntungkan di Provinsi Sumatera Selatan termasuk kategori serangan berat (intensitas serangan 26,14 - 40,94%), oleh karena itu keberadaannya perlu diwaspadai. Untuk menghambat atau menekan perkembangan serangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. pada tanaman jabon di lapangan dapat dilakukan: 1. Sanitasi yaitu membersihkan areal pertanaman dari sisa-sisa tanaman yang terserang, serasah dan gulma dan eradikasi yaitu membuang bagian atau tanaman yang terserang dari areal pertanaman, kemudian dibakar 2. Menggunakan benih yang sehat 3. Memanfaatkan cendawan antagonis Trichoderma sp. (Septiyani, 2013), mikroba antagonis (konsorsium) yang merupakan gabungan antara isolat bakteri subtilis Pseudomonas fluorescens dan Trichoderma harzianum dengan dosis 30 ml/liter air (Putro et al., 2014), dan Khamir yang merupakan kelompok mikroorganisme uniseluler yang memiliki kelebihan yaitu bioekologinya lebih adaptif pada kondisi kering, tahan terhadap terpaan sinar matahari yang kuat, fluktuasi cuaca yang tajam dan miskin nutrisi. (Puspitasari et al., 2014). IV. KESIMPULAN Patogen yang menyebabkan penyakit bercak daun pada tanaman jabon (A. cadamba) adalah cendawan Colletotrichum sp. Perkembangan serangan cendawan Colletotrichum sp. cenderung meningkat pada bulan lembab dan basah. Tingkat kerusakan tanaman akibat serangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. pada tanaman jabon termasuk kategori serangan berat sehingga keberadaannya perlu diwaspadai terutama pada bulan-bulan lembab dan basah. DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th eds. Elsevier Academic Press. USA. Anggraeni, I dan N.E. Lelana. 2011. Diagnosis penyakit tanaman hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Asmaliyah. 2014. Hama pada tanaman jabon (Anthocephalus cadamba) dan potensi kerusakannya. Makalah disampaikan pada Seminar Silvikultur I di Yogyakarta. 300
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi
Direktorat Perlindungan Tanaman. 2000. Pedoman pengamatan dan pelaporan tanaman pangan. Jakarta (10): Departemen Pertanian. Duryatmo, S. 2010. Jabon: Laba Segar Masa Depan. Trubus No. 488, Juli 2010. Gultom, J.A.P. 2014. Penapisan streptomyces dari rizosfer jagung untuk pengendalian penyakit bulai. Skripsi Mahasiswa Fakultas Pertanian, Program Studi Agroekoteknologi, Universitas Bengkulu. Mamengkey, G.S.J dan E. Senewe. 2011. Intensitas dan laju inveksi serangan penyakit karat daun (Uromyces phaseoli) pada tanaman kacang merah. Euginia Vol. 17 No: 13. Desember 2011. Ningsih, R. Mukarlina dan R. Linda. 2012. Isolasi Dan Identifikasi Jamur Dari Organ Bergejala Sakit Pada Tanaman Jeruk Siam (Citrus nobilis var. microcarpa). Protobiont 2012 Vol 1 (1). Oldeman. L. 1975. An agroclimate map of Java and Madura. Contributions of The Control Research Institute for Agriculture, Bogor. Indonesia. Premono, B.T. 2012. Kelayakan usaha jabon rakyat (Anthocephalus cadamba): Studi pada masyarakat di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Prosiding Forum Komunikasi Multipihak. Hutan Rakyat Sebagai Solusi Penyedia Kayu Pertukangan, Palembang, 20 Juni 2012. Puspitasari, A.E. A.L. Abadi dan L. Sulistyowati. 2014. Potensi khamir sebagai agens pengendali hayati patogen Colletotrichum sp. pada buah cabai, buncis dan stroberi. Jurnal HPT Vol.2 No.3. Putro, N.S., L.Q. Aini dan A.L. Abadi. 2014. Pengujian konsorsium mikroba antagonis untuk mengendalikan penyakit antraknose pada cabai merah besar (Capsicum annuum L.). Jurnal HPT Vol.2, No.4, 2014. Rahayu, S. 1999. Penyakit tanaman hutan di Indonesia (gejala, penyebab dan teknik pengendaliannya). Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Rodriquez, R and R. Redman. 2008. More than 400 million years of evolution and some plants still can’t make it on their own: plant stress tolerance via fungal symbiosis. Jurnal of Experimental Botany 59 (5). Semangun, H. 2008. Penyakit-penyakit tanaman perkebunan di Indonesia. Cetakan Kelima. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Septiyani, T. 2013. Sifat antagonis Trichoderma resei terhadap Colletotrichum sp. secara invitro dan sumbangannya pada pembelajaran biologi di SMA. Skripsi Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya. Tidak Dipublikasikan. Widyastuti, S.M., Sumardi dan Harjono. 2005. Patologi hutan. Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
301
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Lampiran 1. Data curah hujan dan hari hujan bulanan di Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir dan Kecamatan Sosoh Buay Rayap, Kabupaten Ogan Komering Ulu tahun 2012 Lokasi/ Desa Tanjung Pering
Tahun
Hujan
Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Juni
Juli
Agts
Sept
Okt
Nop
Des
2012/ 2013 2012/ 2013 2013
CH HH CH HH CH
183 10 96 8 332
245 12 367 8 244
281 9 208 7 236
128 9 196 8 366
178 12 176 8 221
173 6 170 7 39
34 4 54 5 217
9 2 22 2 144
30 3 16 4 411
102 6 196 10 231
399 14 324 13 451
428 18 321 16 480
Jan’1 3 357 24 229 12 -
HH 19 14 12 CH 368 131 304 HH 19 5 10 Sumber Data: Stasiun Klimatologi Kenten Palembang, BMKG Keterangan: CH = Curah Hujan (mm) HH = Hari Hujan (hari)
13 261 13
13 158 10
4 128 8
11 146 2
9 29 3
13 3 1
9 22 3
14 185 8
21 357 16
-
Tungku Jaya Pangkalan bulian Pedamaran
2014
302
Aspek Perlindungan & Konservasi
PENGARUH JARAK TANAM DAN CURAH HUJAN TERHADAP PERKEMBANGAN SERANGAN HAMA PADA TEGAKAN KAYU BAWANG (STUDI KASUS DI KHDTK KEMAMPO) Sri Utami dan Agus Kurniawan Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Kayu bawang merupakan salah satu jenis pohon andalan lokal di Provinsi Bengkulu yang mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan baik di wilayah Bengkulu maupun daerah-daerah lainnya. Di dalam budidaya jenis ini, hama merupakan salah satu permasalahan yang ditengarai bisa menghambat pertumbuhan tanaman. Jika tidak ada penanganan yang tepat maka serangan hama akan bisa mengakibatkan kematian tanaman dan penurunan produktivitas. Oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan hama dalam kegiatan budidaya, seperti pengaturan jarak tanam dan manajemen iklim mikro setempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis serangan hama dan menganalisis pengaruh tindakan silvikultur (jarak tanam) dan curah hujan terhadap perkembangan beberapa serangga hama pada tegakan kayu bawang di KHDTK Kemampo Kabupaten Banyuasin. Penelitian dilakukan pada beberapa plot tegakan kayu bawang yang berumur kurang dari 2 tahun di KHDTK Kemampo, mulai bulan Januari hingga Desember 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan dua jenis hama potensial yaitu kumbang penggerek Xystrocera globosa dan kutu kebul (Pseudococcus sp.). Secara umum serangan hama pada jarak tanam 4 x 5 m lebih rendah dibandingkan pada jarak tanam 4 x 3 m dan 3 x 3 m. Curah hujan sangat mempengaruhi perkembangan serangan hama, serangan kumbang penggerek lebih tinggi terjadi pada musim hujan, sedangkan serangan kutu kebul sebaliknya terjadi pada musim kering yang panjang. Kata kunci: curah hujan, jarak tanam, kayu bawang, Pseudococcus sp., Xystrocera globosa
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) merupakan salah satu jenis andalan lokal di Provinsi Bengkulu, yang tersebar hampir di seluruh kabupaten di Provinsi Bengkulu. Kayunya termasuk dalam kelas kuat III dan kelas awet IV dengan berat jenis 0,56 gram/cm 3 dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kayu pertukangan, terutama sebagai bahan bangunan dan meubellair (Siahaan dan Saefullah, 2007). Selain dari potensi pemanfaatannya yang cukup luas, jenis ini memiliki potensi pertumbuhan yang cukup baik. Hasil penelitian Apriyanto (2003) di Bengkulu Utara menunjukkan bahwa pertumbuhan kayu bawang yang ditanam secara monokultur dengan jarak tanam 4 x 4 m sampai umur 9 tahun memiliki riap diameter batang rata-rata per tahun 1,93 cm, riap tinggi rata-rata per tahun 2,14 m. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam budidaya jenis kayu bawang yaitu serangan serangga hama. Dampak yang ditimbulkan akibat serangan hama adalah terhambatnya pertumbuhan tanaman, penurunan kualitas kayu, penurunan produksi, dan serangan berat dapat mengakibatkan timbulnya kerugian secara ekonomi. Oleh karena itu pengetahuan mengenai jenis dan tingkat serangan hama dan penyakit mutlak diperlukan sebagai bekal dan panduan dalam tindakan pencegahan dan pengendalian yang efektif dan efisien. Keberadaan serangga hama sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor biotik maupun abiotik. Selain pengaruh dua faktor tersebut peran manusia juga memberikan 303
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberadaan dan tingkat serangan hama. Peran manusia dalam hal ini seperti tindakan dan teknik silvikultur yang dilakukan di dalam budidaya tanaman. Menurut Tarumingkeng (1991), keadaan lingkungan hidup mempengaruhi keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis makhluk hidup (biodiversitas) dan sebaliknya lingkungan. Semua jenis flora dan fauna telah berevolusi untuk menyesuaikan hidup dengan lingkungan. Kehidupan serangga hama pun sangat bergantung pada habitatnya. Oleh karena itu faktor lingkungan sangat menentukan dan berpengaruh pada perkembangan serangga hama. Tarumingkeng (1991) menambahkan bahwa lingkungan biotik merupakan bagian dari keseluruhan lingkungan yang terbentuk oleh semua fungsi makhluk hidup yang satu dan lainnya saling berinteraksi. Faktor-faktor abiotik yang penting dalam mempengaruhi kehidupan serangga adalah temperatur, cahaya, presipitas, kelembaban dan angin, serta faktor-faktor abiotik lainnya yang kurang penting yang termasuk di dalam faktor-faktor cuaca dan iklim (Suratmo, 1974). Menurut Willmer (1982) dalam Kahono et al. (2003) iklim merupakan salah faktor yang terpenting dalam kehidupan. Iklim berpengaruh langsung kepada kehidupan, pertumbuhan, reproduksi, dan kelimpahan serangga termasuk serangga hama, fenologi, dan musuh alami. Pengetahuan mengenai kondisi lingkungan dan teknik silvikultur (yang berpengaruh terhadap keberadaan serangga hama) mutlak diketahui sebagai bahan pertimbangan pengambilan kebijakan dalam manajemen hama yaitu teknik pencegahan dan pengendalian hama. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis serangan hama dan menganalisis pengaruh tindakan silvikultur (jarak tanam) dan curah hujan terhadap perkembangan beberapa serangga hama pada tegakan kayu bawang di KHDTK Kemampo Kabupaten Banyuasin. II. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Kegiatan monitoring perkembangan populasi dan serangan hama dilakukan pada plot uji silvikultur kayu bawang di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan yang dilakukan mulai bulan Januari hingga Desember 2012. KHDTK KEmampo memiliki iklim mikro sebagai berikut: suhu 28-32O C, kelembaban 70-80% dan intensitas cahaya matahari 57-60%. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan kayu bawang berbagai umur, kantong plastik 5 kg, dan pylox,. Sedangkan alat yang digunakan antara lain GPS (Global Positioning System), hand counter, kotak serangga, ice box, kamera, dan alat tulis. Plot-plot pengamatan terdiri dari pertanaman kayu bawang berumur kurang dari 2 tahun dengan tiga jarak tanam yaitu 3 x 3 m, 4 x 3 m, serta 4 x 5 m yang berlokasi di KHDTK Kemampo. C. Prosedur Kerja 1. Monitoring Hama dan Penyakit Kegiatan ini bertujuan untuk memonitor populasi dan serangan hama potensial pada tanaman kayu bawang. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengamati jenis hama dan perkembangan populasi hama (berdasarkan nilai persentase dan intensitas serangan) pada plot-plot pengamatan. 304
Aspek Perlindungan & Konservasi
Kegiatan yang dilakukan di KHDTK Kemampo juga untuk mengetahui pengaruh perlakuan silvikultur dan kondisi lingkungan terhadap besarnya serangan hama dan penyakit. Pada kegiatan ini tidak hanya dilakukan pengamatan pada beberapa hama yang sudah pernah diidentifikasi dan ditemukan, tetapi juga beberapa hama dan penyakit baru yang dinilai potensial dalam menimbulkan kerusakan tanaman kayu bawang. Identifikasi hama dilakukan dengan mengumpulkan, telur, ulat, pupa dan atau imago yang dijumpai di lapangan kemudian dilakukan identifikasi dengan mengirimkan sampel ke LIPI Bogor. 2. Penghitungan persentase serangan dan tingkat kerusakan tanaman Persentase serangan hama dan penyakit (P) dihitung dengan cara menghitung jumlah pohon yang terserang dalam suatu petak ukur, dibagi jumlah pohon yang terdapat dalam suatu petak ukur di kali 100 %. Jumlah tan aman yang terserang dalam suatu petak ukur P x 100 % Jumlah seluruh tan aman dalam suatu petak ukur Penghitungan tingkat kerusakan tanaman (I) dilakukan menurut kriteria Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994) dengan sedikit modifikasi (Tabel 1 dan Tabel 2). Adapun cara menghitung tingkat kerusakan tanaman dilakukan dengan menggunakan rumus dibawah ini. (ni x v j ) x 100 % I ZxN Di mana : I : Tingkat kerusakan tanaman ni : Jumlah pohon yang terserang dengan klasifikasi tertentu vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi N : Jumlah pohon seluruhnya dalam suatu petak contoh
Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama dan penyakit Tingkat Kerusakan
Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Daun
Nilai
Sehat
- Kerusakan daun 5 %
0
Ringan
- Kerusakan daun antara 5 % x 25 %
1
Agak berat
- Kerusakan daun antara 25 % x 50 %
2
Berat
- Kerusakan daun antara 50 % x 75 %
3
Sangat berat
- Kerusakan daun antara 75 % x 100 %
- Pohon gundul/hampir gundul Sumber: Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994)
4
Tabel 2. Klasifikasi tingkat kerusakan batang yang disebabkan oleh hama dan penyakit Tingkat KeruSakan Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Tanaman Nilai Sehat - Batang rusak 0 % 0 Ringan - Batang rusak antara 1 % - 20 % 1 Agak berat - Batang rusak antara 20,1 % - 40 % 2 Berat - Batang rusak antara 40,1 % - 60 % 3 Sangat berat - Batang rusak antara 60,1 % - 80 % 4 Gagal - Batang rusak di atas 80 % 5 - Pohon tumbang/patah/mati Sumber: Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994)
305
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Beberapa Jenis Serangga Hama yang Ditemukan Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan terhadap beberapa serangga hama yang dijumpai menyerang tegakan kayu bawang yang berumur 1,5 tahun di KHDTK Kemampo, ditemukan dua jenis hama yang potensial yaitu kumbang penggerek (Xystrocera globosa) dan kutu kebul (Pseudococcus sp.). 1. Kumbang X. globosa Kumbang penggerek tidak hanya menyerang tanaman kayu bawang yang berumur lebih dari 5 tahun tapi juga menyerang tanaman yang berumur 1,5 tahun pola monokultur pada plot uji silvikultur kayu bawang di KHDTK Kemampo. Gejala serangannya dengan membuat gerekan pada bagian batang kayu bawang (Gambar 1A). Apabila serangannya berat lubang gerekan tidak hanya pada batang utama tetapi juga pada ranting-rantingnya (Gambar 1B). Pohon yang terserang penggerek dekat dengan bekas tebangan A. mangium, karena mangium merupakan salah satu inang utama X. globosa. Walaupun tanaman mangium sudah banyak yang diteres dan ditebang akan tetapi diduga telur atau nimfanya mampu bertahan hidup sehingga ketika ada tanaman lainnya yang hidup, hama tersebut bisa pindah mengingat mobilitas kumbang tergolong tinggi.
A
B
Gambar 1. a) Gejala serangan penggerek pada batang pokok, b) Serangan kumbang penggerek pada bagian ranting kayu bawang (tanda panah)
2. Kutu kebul (Pseudococcus sp.) Serangga hama ini biasa juga disebut ‘mealybug’. Nama ‘mealybug’ berasal dari sekresi seperti makanan atau malam yang menutupi tubuh serangga hama ini (Gambar 2A). Tubuh serangga betina berbentuk bulat telur memanjang dan beruas serta memiliki tungkai-tungkai yang berkembang baik (Borror et al., 1996). Bagian yang diserang hama Pseudococcus sp. yaitu batang kayu bawang. Hama ini menyerang secara mengelompok dari batang bagian bawah hingga ke apikal tanaman (Gambar 2B). Serangan yang berat dapat mengakibatkan daun tanaman mengering dan kulit batang mengelupas dan terbentuk lubang-lubang tidak beraturan (Gambar 2C).
306
Aspek Perlindungan & Konservasi
A
B
C
Gambar 2. A) Kutu Pseudococcus sp., B) Serangan kutu pada batang, C) Gejala lanjut serangan kutu
B. Pengaruh Beberapa Faktor terhadap Tingkat Serangan Hama Secara umum serangan hama pada plot uji jarak tanam 4 x 5 m lebih sedikit dibandingkan jarak tanam 4 x 3 m dan 3 x 3 m seperti tersaji pada Tabel 3 dan 4. Pada plot tersebut hanya dijumpai hama kutu kebul pada saat tanaman berumur 20 bulan. Tingkat serangan kumbang penggerek lebih tinggi dibandingkan dengan kutu kebul. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah adanya sisa tanaman A. mangium baik yang sudah diteres atau tunggul-tunggul yang diduga masih terdapat serangga pradewasa X. globosa. Secara umum serangan kumbang penggerek ditemukan dekat dengan tanaman mangium yang sudah mati sebagaimana tersaji pada Gambar 3. Pohon yang terserang penggerek berada di sekeliling tanaman mangium. Tabel 3. Rata-rata persentase serangan hama pada tegakan kayu bawang di KHDTK Kemampo selama tiga kali pengamatan Plot
Jumlah tanaman
1 (4x3 m) 816 2 (4x5 m) 559 3 (3x3 m) 1112 Rata-rata
Kumbang penggerek (%) I II III (umur (umur (umur 22 16 bln) 20 bln) bln) 11 3,68 0,49 0 0,35 0 0,46 0,92 0 3,82 1,65 0,16
Kutu kebul (%) I II III (umur (umur (umur 16 bln) 20 bln) 22 bln) 0 0,37 0 0 3,01 0 0 2,09 0 0 1,82 0
Tabel 4. Rata-rata intensitas serangan hama pada tegakan kayu bawang di KHDTK Kemampo selama tiga kali pengamatan Plot
Jumlah tan
1 (4x3 m) 816 2 (4x5 m) 559 3 (3x3 m) 1112 Rata-rata
Kumbang penggerek (%) I II III (umur (umur (umur 22 16 bln) 20 bln) bln) 21 1,32 0,59 0 0,27 0 0,1 0,7 0 7,03 0,76 0,19
307
Kutu kebul (%) I II III (umur (umur (umur 16 bln) 20 bln) 22 bln) 0 7,5 0 0 2,25 0 0 0,31 0 0 3,35 0
Prosiding Seminar Hasil Penelitian x x
x x
x
X
x x X
x x x x
X
x
x x x
x x x
x x x x X x x x X x x x X x Gambar 3. Peta sebaran hama pada plot uji kayu bawang Keterangan gambar : x : tanaman Acacia mangium : serangan kutu kebul (Pseudococcus sp.) : serangan penggerek batang (X. globosa)
Pada tahun 2011 umur tanaman kayu bawang pada saat pengamatan antara 6 hingga 12 bulan sehingga serangan hama yang umum seperti belalang dan ulat kantong berkurang dengan sendirinya seiring bertambahnya umur tanaman. Sedangkan hama penggerek tetap dijumpai pada pengamatan tahun 2012, hal ini disebabkan karena keberadaan tanaman mangium yang terdapat di sekitar pertanaman. Tetapi persentasenya menurun sedangkan ratarata intensitasnya justru meningkat. Akan tetapi pada pengamatan ke-3 hama ini tidak dijumpai lagi karena sudah dilakukan pengendalian. Hal ini akan dibahas tersendiri pada bahasan mengenai pengendalian. Hama kutu kebul merupakan hama baru, yang muncul karena dipengaruhi faktor kelembaban dimana hama ini munculnya menjelang musim hujan. Oleh karena itu keberadaannya perlu untuk diwaspadai. Pada Gambar 4 dan Gambar 5 menyajikan data curah hujan dan hari hujan selama tahun 2012 di KHDTK Kemampo Kabupaten Banyuasin. Pada bulan Februari terjadi peningkatan curah hujan dibandingkan bulan Januari dan Maret. Kemudian pada bulan April terjadi peningkatan curah hujan juga. Selanjutnya bulan Mei hingga September terjadi musim kemarau/bulan 308
Aspek Perlindungan & Konservasi
Besarnya curah hujan bulanan (mm)
kering dimana curah hujan dan hari hujan lebih sedikit dibandingkan bulan lainnya. Pada bulan Oktober hingga Desember curah hujan cenderung lebih banyak sebagaimana tersaji pada Gambar 18. 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Waktu pengamatan Gambar 4. Rata-rata curah hujan bulanan selama tahun 2012 di KHDTK Kemampo
Pada bulan Februari dan April curah hujan lebih banyak dibandingkan dengan bulan Januari dan Maret. Hal ini memicu serangan kumbang penggerek pada bulan-bulan tersebut. Kemudian langsung dilakukan tindakan pengendalian yang mengakibatkan serangan kumbang menurun, hal ini juga seiring adanya bulan-bulan kering sekitar bulan Mei hingga September sehingga secara tidak langsung menghambat perkembangan kumbang penggerek. Sedangkan serangan kutu kebul cenderung terjadi pada musim kering yang panjang yaitu pada bulan Juni hingga September. Setelah dilakukan pengendalian serangan kutu kebul tersebut menurun bahkan pada bulan Oktober sudah tidak didapatkan lagi serangan hama tersebut pada batang kayu bawang karena hama tersebut cenderung terhambat perkembangannya pada bulan basah.
Banyaknya hari hujan (hari)
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Waktu pengamatan Gambar 5. Rata-rata hari hujan bulanan selama tahun 2012 di KHDTK Kemampo
309
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
IV. KESIMPULAN 1. Ditemukan dua jenis hama potensial yaitu kumbang penggerek Xystrocera globosa dan kutu kebul (Pseudococcus sp.). 2. Secara umum serangan hama pada jarak tanam 4 x 5 m lebih rendah dibandingkan pada jarak tanam 4 x 3 m dan 3 x 3 m. 3. Curah hujan sangat mempengaruhi perkembangan serangan hama, serangan kumbang penggerek lebih tinggi terjadi pada musim hujan, sedangkan serangan kutu kebul sebaliknya terjadi pada musim kering yang panjang. DAFTAR PUSTAKA Apriyanto E. 2003. Pertumbuhan Kayu Bawang (Protium javanicum Burm.f) pada Tegakan Monokultur Kayu Bawang di Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 5, No.2 tahun 2003. Diakses di http://www. Bdpunib.org/jipi/artikeljipi /2003/64. PDF pada tanggal 13 Agustus 2007. Borror DJ, Charles AT, Norman FJ. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta: Gajah mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insect. Djunaedah S. 1994. Pengaruh perubahan lingkungan biofisik dari hutan alam ke hutan tanaman terhadap kelimpahan keragaman famili serangga dan derajat keruskaan hama pada tegakan jenis Eucalyptus uerophylla, E. deglupta dan E. pellita [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Kahono S, Amir M, Aswari P, Ernawati, Lilik RU, Pujiastuti E, Noerdjito WA, Suwito A. 2003. Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. Bogor: JICA, Biodiversity Conservation Project. Siahaan H. dan Saefullah TR. 2007. Teknik Silvikultur Kayu Bawang. Prosiding Seminar HasilHasil Penelitian Hutan Tanaman, 21 Agustus 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Suratmo G. 1974. Hama Hutan di Indonesia (Forest Entomology). Bogor: IPB. Tarumingkeng RC. 1991. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
310
Aspek Perlindungan & Konservasi
ALIRAN DAN EROSI PERMUKAN PADA HUTAN RAKYAT KAYU BAWANG DI KABUPATEN BENGKULU SELATAN Adi Kunarso dan Tubagus Angga Anugrah Syabana Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK Tanaman kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs) sudah dikenal dan dikembangkan oleh masyarakat di hampir semua wilayah di Provinsi Bengkulu. Belakangan ini penanaman kayu bawang berkembang mulai dari wilayah hilir hingga ke hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) pada kelerengan datar hingga curam. Pengembangan kayu bawang terutama di daerah hulu DAS perlu mendapat perhatian dalam upaya pelestarian fungsi DAS, karena penggunaan lahan yang tidak memperhatikan konservasi tanah dan air akan berdampak negatif, antara lain seperti peningkatan aliran permukaan dan erosi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui besarnya laju aliran dan erosi permukaan tanah pada tanaman kayu bawang di Kabupaten Bengkulu Selatan. Pengukuran aliran dan erosi permukaan dilakukan dengan membuat plot ukur erosi seluas 22 m x 11 m pada tegakan kayu bawang dengan kelas kerengan yang berbeda (26% dan 14%). Pengamatan dan pengambilan data meliputi data curah hujan, aliran permukaan dan erosi. Hasil penelitian menunjukkan rerata curah hujan dilokasi penelitian sebesar 298,2 mm/bulan. Aliran permukaan yang terjadi sebesar 1.019,31 m3/ha pada kelerengan 26% atau setara dengan 13.603,68 m3/ha/tahun dan 516,64 m3/ha atau setara dengan 7.616,70 m3/ha/tahun pada kelerengan 14%. Erosi permukaan yang terjadi sebesar 24,05 ton/ha/tahun pada kelerengan 26% dan 14,92 ton/ha/tahun pada kelerengan 14%. Kata kunci: kayu bawang, aliran permukaan, erosi permukaan
I. PENDAHULUAN Tanaman kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs) sudah dikenal dan dikembangkan oleh masyarakat di hampir semua wilayah di Provinsi Bengkulu. Jenis ini ditanam di lahan-lahan milik masyarakat baik secara monokultur maupun dengan pola agroforestri. Disukai masyarakat karena sifatnya yang mempunyai bebas cabang yang tinggi dan self prunning. Tanaman ini termasuk jenis cepat tumbuh, tidak memerlukan persyaratan tumbuh khusus, memiliki serat yang halus sehingga mudah diolah, serta mempunyai kualitas kayu yang baik. Nuriyatin et. al. (2003) melaporkan bahwa kayu bawang memiliki kualitas kayu yang baik dengan tingkat ketahanan cukup tahan sampai tahan. Sementara Herdiana (2009) menyatakan bahwa kayu bawang dapat dipanen setelah umur 10 tahun dengan kualitas kayu yang cukup baik. Hingga saat ini hutan rakyat kayu bawang menjadi komuditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan berkontribusi terhadap pendapatan rumah tangga petani (Nurlia dan Waluyo, 2013). Penanaman tanaman kayu bawang di Provinsi Bengkulu pada awalnya terpusat di Kabupaten Bengkulu Tengah dan Utara. Seiring dengan keberhasilan penanaman di kedua daerah tersebut, maka sejak tahun 2003 kayu bawang mulai menyebar ke daerah-daerah lain seperti kabupaten Mukomuko, Seluma, Rejang Lebong, Kepahyang hingga Kabupten Bengkulu Selatan (Nurlia dan Waluyo, 2013). Artinya, kayu bawang telah berkembang mulai dari wilayah hilir hingga ke hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan kelerengan datar hingga curam. Pengembangan kayu bawang terutama di daerah hulu DAS perlu mendapat perhatian dalam upaya pelestarian fungsi DAS mengingat pengelolaan sumberdaya alam di daerah hulu akan berdampak terhadap daerah hilirnya. Usaha-usaha penggunaan lahan di bagian hulu DAS 311
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
haruslah diupayakan mengadopsi teknologi-teknologi yang mangacu pada prinsip-prinsip konservasi tanah dan air, karena penggunaan lahan yang tidak memperhatikan konservasi tanah dan air akan berdampak negatif, seperti peningkatan aliran permukaan dan erosi. Laju aliran permukaan dan erosi dipengaruhi oleh derajat keterbukaan dan cara-cara pengolahan tanahnya (Ispriyanto et al., 2001). Peningkatan laju aliran permukaan dan erosi dalam jangka panjang akan menyebabkan menurunnya kesuburan tanah dan penurunan produktifitas sumberdaya lahan. Peningkatan laju aliran permukaan dan erosi juga dapat menyebabkan peningkatan laju sedimentasi di bagian hilir yang dapat menyebabkan terjadinya pendangkalan sungai dan meningkatkan peluang terjadinya banjir di musim penghujan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui besarnya laju aliran dan erosi permukaan tanah pada tanaman kayu bawang yang dikembangkan di luar wilayah aslinya yaitu di Kabupaten Bengkulu selatan. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam upaya pengembangan hutan rakyat kayu bawang di Provinsi Bengkulu. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Agustus 2014 di areal hutan rakyat jenis kayu bawang di Kecamatan Kedurang Ilir, Kabupaten Bengkulu Selatan. Plot penelitian merupakan tegakan kayu bawang monokultur berumur 12 tahun dengan jarak tanam 3 m x 5 m. Pemeliharan yang dilakukan adalah pemeliharaan semi intensif sehingga lantai hutan tertutup oleh tumbuhan bawah dan seresah dengan penutupan sekitar 80%. Curah hujan di lokasi penelitian tergolong tinggi dengan variasi curah hujan yang cukup besa. Rata-rata curah hujan dalam 15 tahun terakhir (2000-2015) mencapai 3.108,57 mm/tahun dengan rata-rata hari hujan sebanyak 166,21 hari hujan/tahun. B. Alat dan Bahan Penelitian Peralatan yang diperlukan pada pelaksanaan penelitian ini adalah plot erosi, penakar curah hujan, kertas saring dan botol sampel air, dan timbangan analitik. Sedangkan bahan yang digunakan antara lain adalah hutan tanaman jenis kayu bawang, sampel air yang mengandung suspensi tanah tererosi, karet talang, jerigen/wadah penampung air, selang, kamera dan alat tulis. C. Metode Pengumpulan Data Pengukuran aliran dan erosi permukaan menggunakan plot ukur erosi sebanyak 2 buah pada kelas kelerengan yang berbeda (26% pada plot 1 dan 14% pada plot 2). Ukuran plot erosi yang dibangun yaitu mempunyai ukuran panjang 22 m, tinggi 20 cm dan lebar 11 meter dan dihubungkan dengan drum penampung. Plot erosi terbuat dari bahan karpet talang yang dibenamkan ke dalam tanah sedalam 20 cm. Aliran permukaan dan erosi permukaan dari plot erosi ditampung pada drum penampung melalui bak pembagi yang memiliki 6 lubang pembuangan. Fungsi dari drum penampung adalah untuk mengukur jumlah aliran permukaan dan muatan sedimen. Proses pengumpulan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Mengukur tinggi muka air di dalam drum disetiap plot b. Mengaduk air dan tanah yang berada dalam drum penampung secara merata c. Mengambil contoh air dari drum masing-masing sebanyak 500-600 ml d. Mempersiapkan kertas saring dengan mengovennya terlebih dahulu pada suhu 105 0C selama 1 jam, kemudian setelah dikeluarkan dari oven ditimbang beratnya (berat awal). 312
Aspek Perlindungan & Konservasi
e. Menyaring contoh air tersebut dengan menggunakan kertas saring yang telah dipersiapkan sebelumnya. f. Memasukkan contoh tanah yang disaring tersebut kedalam oven bersuhu 105 0C selama 24 jam atau sampai memiliki berat yang konstan. g. Setelah dikeluarkan dari oven didiamkan sesaat kemudian ditimbang dan dicatat berat (berat akhirnya). Pengamatan curah hujan dilakukan setiap hari hujan pada pukul 07.30 dengan alat penakar manual (ombrometer). Curah hujan harian selama satu tahun pada plot penelitian diperoleh dari Badan Penyuluh Pertanian dan Perkebunan dan Kehutanan (BP3K) Sulau, Kecamatan Kedurang Ilir, Kabupaten Bengkulu Selatan. D. Analisis Data 1. Aliran dan erosi permukaan selama pengamatan Volume aliran permukaan diketahui dengan menghitung volume air yang tertampung di dalam drum penampungan. Sehingga aliran permukaan yang melalui plot ukur erosi merupakan penjumlahan dari volume air yang tertampung di dalam drum penampungan dengan perkiraan volume air yang terbuang melalui bak pembuangan. Besarnya erosi diketahui dengan menghitung konsentrasi erosi tanah yang larut dalam sampel air (suspensi tanah), yang dilakukan melalui analisis laboratorium menggunakan metode filtrasi (filtration method). Konsentrasi suspensi tanah diketahui dengan rumus: C = (b - a) V Keterangan: C = Konsentrasi suspensi tanah/ erosi tanah (g/ml) V = Volume sampel suspensi tanah (ml) A = berat suspensi tanah kering + kertas saring (gr) b = berat kertas saring (gr)
Setelah mendapatkan nilai suspensi tanah, erosi dihitung menggunakan rumus: E = (Vi.Ci) + aj (Vj.Cj) + … + al (Vl.Cl) Keterangan: E = Vi, j,…, l = Ci, j,...., l = a j,...,l =
Erosi (ton) Volume pada kolektor erosi ke i,j, ...,l (m3) Konsentrasi suspensi tanah pd kolektor erosi ke i,j,...,l (g/ml) Banyaknya lubang pada bak erosi ke j,...,l dst.
2. Pendugaan aliran dan erosi tahunan Pendugaan aliran dan erosi permukaan selama setahun dilakukan dengan pendekatan rasio jumlah hari hujan selama penelitian dengan jumlah hari hujan setahun. Pendugaan menggunakan rasio jumlah hari hujan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: 𝑛
Vtpi =
(Vpij) 𝑗 =1 𝑛
Etpi =
(Epij) 𝑗 =1
𝐻𝐻𝑡 𝑥 𝑉𝑡𝑝𝑖 𝐻𝐻𝑝 𝐻𝐻𝑡 Vi = 𝑥 𝐸𝑡𝑝𝑖 𝐻𝐻𝑝 Vi =
313
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Keterangan: Vi = Volume aliran permukaan (m3/ha/tahun) dari plot ke-i Ei = Erosi tahunan (ton/ha/tahun) dari plot ke-i Vtpi = Total volume aliran permukaan selama pengamatan (m3/ha) Etpi = Total erosi permukaan selama pengamatan (ton/ha) HHt = Jumlah hari hujan selama satu tahun (hari/tahun) HHp = Jumlah hari hujan selama pengamatan (hari) Vpij = Volume aliran permukaan (m3/ha) pada plot ke-I hari hujan ke-j Epij = Volume erosi permukaan (ton/ha) pada plot ke-I hari hujan ke-j
Klasifikasi tingkat erosi permukaan berdasarkan besarnya kehilangan tanah disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Klasifikasi tingkat erosi permukaan berdasarkan besarnya kehilangan tanah Kelas
Besarnya kehilangan tanah (ton/ha/tahun) 1 < 15 2 15 – 60 3 60 – 180 4 180 – 480 5 > 480 Sumber: Kementerian kehutanan (2013)
Kriteria Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi penelitian merupakan lahan yang ditanami kayu bawang berumur 12 tahun dengan jarak tanam 3 m x 5 m, diameter batang rata-rata 25,5 cm dengan lebar tajuk 5,05 m dan memiliki vegetasi penutup tanah berupa rumput dengan tutupan sekitar 80% dari luas plot. Kondisi tajuk tanaman kayu bawang dan vegetasi penutup lahannya tidak terlalu mengalami perubahan sepanjang tahun. Tanah dilokasi penelitian termasuk dalam ordo ultisol dengan tekstur lempung berpasir dan memiliki kemiringan lereng 26% pada plot 1 yang termasuk dalam kategori curam dan 14% pada plot 2 yang termasuk dalam kategori landai. Pada plot 1 nilai permeabilitas tergolong sangat lambat yakni 0,45 cm/jam sedangkan pada plot 2 nilai permeabilitas 0,84 cm/jam termasuk dalam kategori lambat (Kunarso et al., 2013). Rerata curah hujan selama satu tahun sebesar 298,2 mm/bulan. Selama pengamatan berlangsung tercatat 95 hari hujan, namun hanya 21 kejadian hujan yang menyebabkan erosi permukaan. Berdasarkan hasil analisis aliran permukaan dan erosi permukaan mulai terjadi pada tebal curah hujan 14 mm. Sedangkan laju aliran dan erosi permukaan paling besar terjadi pada saat curah hujan sebesar 216 mm. Pada kondisi ini terjadi aliran permukaan sebesar 1.019,31 m3/ha pada plot 1 dan 516,64 m3/ha pada plot 2 (Gambar 1), serta erosi permukaan sebesar 3,32 ton/ha pada plot 1 dan 1,35 ton/ha pada plot 2 (Gambar 2).
314
Aspek Perlindungan & Konservasi
1200,00
250
1000,00
200
800,00
150
600,00 100
400,00
50
200,00 0,00
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021 Pengamatan kePlot 1
Plot 2
Curah Hujan
Gambar 1. Kejadian hujan dan aliran permukaan selama pengamatan
3,50
250
3,00
200
2,50 2,00
150
1,50
100
1,00 50
0,50 0,00
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Pengamatan kePlot 1
Plot 2
Curah Hujan
Gambar 2. Kejadian hujan dan erosi permukaan selama pengamatan
Pendugaan laju aliran dan erosi permukaan selama setahun menggunakan ratio jumlah hari hujan disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan besarnya kehilangan tanah, erosi permukaan di lokasi penelitian termasuk dalam kriteria rendah (15 - 60 ton/ha/tahun). Tabel 2. Pendugaan aliran dan erosi permukaan selama setahun Plot Plot 1 (kelerengan 26%) Plot 2 (kelerengan 14%)
Aliran permukaan (m3/ha/tahun) 13.603,68 7.616,70
Erosi permukaan (ton/ha/tahun) 24,05 14,92
Kriteria Rendah Sangat rendah
Besarnya laju aliran dan erosi permukaan dipengaruhi antara lain oleh curah hujan, kelerengan, penutupan tumbuhan bawah, intersepsi tajuk dan sifat fisik tanah. Curah hujan merupakan faktor utama yang mengendalikan proses daur hidrologi di suatu DAS (Asdak, 1995). Kemampuan air hujan sebagai penyebab terjadinya erosi adalah bersumber dari laju dan distribusi tetesan air hujan, dimana kedua indikator tersebut mempengaruhi besarnya energi kinetik air hujan. Energi kinetik air hujan yang menyebabkan terkelupasnya partikel-partikel 315
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
tanah. Pada lahan dengan vegetasi penutupnya rapat dan disertai oleh tanaman bawah, maka air hujan yang jatuh akan tertahan oleh tajuk tanaman, sehingga kecepatan jatuhnya tetesan air hujan akan berkurang. Penurunan laju tetesan air hujan mengakibatkan energi kinetik hujan dalam mengerosi tanah menjadi berkurang. Namun demikian, seiring dengan meningkatnya intensitas dan penyebaran curah hujan, yang disertai dengan keterbatasan daya infiltrasi tanah mengakibatkan terjadinya aliran permukaan. Aliran permukaan ini dapat mengikis permukaan tanah menyebabkan terjadinya erosi tanah. Semakin tinggi kelerengan semakin besar aliran dan erosi permukaan yang terjadi. Rendahnya kelerengan lahan pada plot 2 menyebabkan berkurangnya laju aliran permukaan, sehingga memberikan kesempatan air untuk meresap kedalam tanah melalui proses ilfiltrasi. Disamping faktor lereng, keberadaan tumbuhan bawah yang cukup rapat mampu menahan laju aliran permukaan sehingga air tidak langsung terbuang. Jenis tanaman bertajuk lebar dan lebat akan mengurangi aliran permukaan dan erosi dengan adanya proses intersepsi (Pratiwi, 2007). Hasil perhitungan intersepsi juga menunjukkan bahwa nilai intersepsi di plot 2 lebih besar dibanding plot 1 (27,27% dibanding 26,38%) (Kunarso et al., 2013). Kondisi ini menyebabkan jumlah air hujan yang menjadi aliran permukaan pada plot 2 lebih kecil dibanding pada plot 1. Sifat fisik tanah mendukung proses peresapan air ke dalam tanah. Permeabilitas tanah pada plot 1 lebih rendah dibanding permeabilitas pada plot 2 sehingga jumlah air yang meresap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi juga lebih kecil dibandingkan pada plot 2. Meskipun besarnya kehilangan tanah akibat aliran dan erosi permukaan termasuk kategori rendah, namun upaya konservasi tanah harus tetap dilakukan. Mengelola sumberdaya alam tanpa memperhatikan kaidah konservasi, secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap kelestarian kemampuan fungsi lingkungan (Nursa’ban, 2006). Salah satu cara sederhana yang dapat dilakukan yaitu dengan menjaga penutupan tumbuhan bawah sekitar 80%, dan tidak dibersihkan total ketika pemeliharaan tanaman. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan perhitungan perkiraan besarnya erosi, laju erosi permukaan pada areal di bawah tegakan kayu bawang umur 12 tahun termasuk dalam kriteria rendah dan sangat rendah. Tanaman kayu bawang masih memungkinkan untuk ditanam pada lahan dengan kelerengan hingga 26%, tekstur tanah lempung berpasir dan dengan tutupan tumbuhan bawah. Namun demikian perlu dilakukan upaya konservasi tanah yang baik agar laju erosi dapat diminimalkan. DAFTAR PUSTAKA Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Herdiana, N. 2009. Pertumbuhan Awal Tanaman Kayu Bawang dan Bambang Lanang di KHDTK Benakat, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Peneltian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Ispriyanto, R., Nana M.A., Hendrayanto. 2011. Aliran Permukaan dan Erosi di areal Tumpangsari Tanaman Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese. Jurnal Managemen Hutan tropika Vol. VII No. 1 Hal. 37-47. Kementerian Kehutanan. 2013. Peraturan Direktur Jendral Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor: P. 4/V-Set/2013 tentang Petunjuk Teknis 316
Aspek Perlindungan & Konservasi
Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Direktorat Jendral Bina Pengelolaan daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial. Jakarta. Kunarso, A., Tubagus A.A.S., Joni M. 2013. Kajian Tata Air Pada Hutan tanaman Jenis Kayu Bawang. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. Tidak dipublikasikan. Nuriyatin, N., E. Apriyanto, N. Satriya, Saprinurdin. 2003. Ketahanan Lima Jenis Kayu Berdasarkan Posisi Kayu di Pohon terhadap Serangan Rayap. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 5 (2): 77-82. Nurlia, A dan Efendi A.W. 2013. Faktor-Faktor Pembatas Yang Mempengaruhi Pengembangan Hutan Rakyat Kayu Bawang (Dysoxylum molissimum BL) di Provinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang. Nursa’ban, M. 2006. Pengendalian Erosi Tanah Sebagai Upaya Melestarikan Kemampuan Fungsi Lingkungan. Jurnal Geomedia Vol. 4 No. 2. Pratiwi. 2007. Laju Aliran Permukaan dan Erosi di Berbagai Hutan tanaman dan Beberapa alternatif Upaya Perbaikannya. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. IV No. 3 Hal. 267-276. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
317
LAMPIRAN
Lampiran
Lampiran 1. Susunan Acara Seminar Tgl / Jam
Pembicara/ Fasilitator
Agenda
Selasa, 11 Agustus 2015 08.00 – 08.30 Registrasi peserta seminar 08.30 - 09.30 Pembukaan Laporan Ketua Panitia Sambutan Kepala Badan Litbang dan Inovasi Sambutan Gubernur Lampung 09.30-09.45 Rehat 09.45–12.00 SESI I 09.45-10.00 Efektivitas Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan Produksi dan Hutan Lindung 10.00-10.15 Peran BLU dalam peningkatan produktivitas Hutan 10.15–10.30 Peran BPDAS dalam peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat 10.30-11.00 Diskusi 11.00-12.30 Sesi II 11.00-11.15 Teknologi Perbenihan dan Pembibitan HHBK 11.15-11.30 Penerapan Teknik Silvikultur untuk meningkatkan Produktivitas Hutan rakyat 11.30-11.45 Peningkatan produktivitas hutan dengan iradiasi 11.45-12.30 Diskusi 12.30-14.00 ISHOMA 14.00-16-00 Sesi III 14.00-14.15 Aplikasi Model Sistem dalam Penyusunan Rencana Pengelolaan KPH 14.15-14.30 Teknik peningkatan kualitas benih dan bibit untuk memenuhi standar bibit bersertifikat 14.30-14.45 Aspek Sosial Ekonomi dan Kebijakan dalam Pengembangan Hutan Rakyat 15.00-15.45 Diskusi 15.45-16.00 Pembacaan Rumusan 16.00-16.15 Penutupan 321
Moderator/ Notulis
Panitia Ketua Panitia Dr. Henry Bastaman, MES PM Panitia Akademisi IPB
Kadishut Prov. Lampung
BLU BPDAS Way Seputih Way Sekampung Lampung
Peneliti BPTPTH Bogor Peneliti BPK Palembang
Dr. Chrstine Wulandari (Dosen Kehutanan Universitas Lampung)
Peneliti BPTPTH Bogor
Peneliti BPK Palembang Peneliti BPTPTH Bogor Peneliti BPK Palembang
Tim Perumus Sekbadan Litbang
Ir. Johan Utama Perbatasari, MM (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan)
Lampiran
Lampiran 2. Susunan Panitia Seminar
1.
Pembina
: Kepala Badan Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan
2.
PenanggungJawab
: 1. Ir. Suhariyanto, M.M 2. Ir. Choirul Akhmad, M.E
(Ka. BPTPTH) (Ka. BPK Palembang)
3.
Ketua
: 1. Dr. Agus Astho P, M.Si 2. Dr. Mamat Rahmat, M.Si
(BPTPTH) (BPK Palembang)
4.
Sekretaris
: 1. Iwan Setiawan, SE 2. Anita Silalahi, SP., M.Si
(BPTPTH) (BPK Palembang)
5.
Seksi Acara dan Persidangan
: 1. Ida Saidah, S.Kom 2. Suningsih, S.Hut
(BPTPTH) (BPK Palembang)
6.
Seksi Konsumsi
: 1. Yulia Pranawati, A.Md 2. Lely Heryani
(BPTPTH) (BPK Palembang)
7.
Seksi Transportasi dan Umum
: 1. Adi Sugiharjo, SP 2. Agus Yanto, SH
(BPTPTH) (BPK Palembang)
8.
Seksi Dokumentasi
: 1. Evayusvita Rustam, S.Si 2. Andi Nopriansyah
(BPTPTH) (BPK Palembang)
9.
Seksi Pameran
: 1. Eneng Baeni S, A.Md 2. Hendra Priatna, ST
(BPTPTH) (BPK Palembang)
10.
Seksi Fieldtrip
: 1. Andreas Terapi, S.Hut 2. Sufyan Suri, SP
(BPTPTH) (BPK Palembang)
11.
Pembawa Acara
: 1. Dian Hayati 2. Endang Pujiastuti
(BPK Palembang) (BPTPTH)
12.
Pembaca Doa
: 1. Syaiful Islam
(BPK Palembang)
13.
Notulen
: 1. Anggun Musyarofah 2. Kania Agustini, S.Hut., ME
(BPTPTH) (BPK Palembang)
323
Lampiran
Lampiran 3. Daftar Peserta Seminar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Nama Lengkap Mohamad Yuriza Ibnu SM Josri T Audi Zulifikar Novi Sri Wahyuni, S.Hut Lasminin Yayah Suryana Bagus Novianto Kurniawati PP E.Kosasih Pairin Cucu Suryadi Joko Wiyono Ponijan Dudi Syamsudin Sapto Hutomo Sutopo Duwi Jalestari Nuruh Hasanah Retno Arum Andi Kristanto Rahadian Oki Suryanto Misto Untung G Untung W Drinus Arruan M. Nurdin A Sri Wahyuni Rustam Efendi Buraidi Jacky Pah Fatimah Isyanto Rama Zakaria Nopi Yuansyah Kaslan Mulyadi Hermansyah
Instansi Dishut Lampung Selatan P3H KLH Kab. Way kanan Dishut Prov. Lampung Dishut Prov. Lampung KTH Lampung Barat KWI BPK Manokwari BPTPTH KTH Lampung Barat PKS PKL BLHD IS Dishut Lampung Barat BPDAS WSS SET Bakorluh Prop. Lampung BP2K Lampung Barat BPDAS WSS BPDAS WSS BPDAS WSS BLH Lampung Tengah BLH Lampung Tengah LH Metro BPK Makassar LH Metro BPLHD BALTOK KSDA BBPBTH Yogyakarta BBPBTH Yogyakarta PKSM Lampung Utara PKSM Pringsewu Penyuluh Kehutaan, Pringsewu BPPLH, Bandar Lampung YKWS PT-TN Kawan Tani TP4K BPDAS WSS Wanacala 325
Lampiran
No 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79
Nama Lengkap
Instansi BPDAS WSS BPLH Pringsewu PT. Silvia Inhutani Humas Protokol Humas Protokol BKP3 Bandar Lampung PT. Silvia Inhutani Dishut Prov. Lampung Dishut Prov. Lampung BPKH Wil XX BPKH Wil XX Humas Pemda Humas Pemda BPKH Wil XX IAIN KPHP Muara Dua BKSDA BKSDA BPKH Wil XX KPHP Bukit Punggur KPHP Bukit Punggur BP2HP Lampung Barat BP4K TBB PK3M PK3M HUTAN KA BP4 K KPH Muara Dua PK BPUK Lampung Utara BBTNBBS BP4K BP4K P2H BP4K BP4K BPDAS WSS BP4K Dishut Prov. Lampung KPHL Kota Agung TBB
Apriadi Sri Supriatin S. Febri Fitri Surya Gafar M. Aldu Gatot Azhari Sartono Farida K Asri P Muamar Z Bayu Oktanardi Nano Rohadi Fior Mega Liberty M Agus Salim Budi Satria Indra D Tatan Rustandi Nico Y Okdonanto Jauhari Khairul A Sudarmono Tasisno BungS Hedro Drs. Sutikno, MM Dwi Maylinds Eko Sutrisno, SST Adhie M Joko Wahyo Siswadi, SP Gustami Sulastri,SP Ekadiatun, SP., MH Musdir Ayub Hidarsan Elvira Aziza Dedi Idwin Iwansyah N 326
Lampiran
No 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119
Nama Lengkap Siti Munawaroh Mardhotila Sikraid Aris Supriyadi Kijon Heri Nurcahyo, SP Warsito Zulhasry DP Asnuri HB Christine W Ardhi Mihada Bambang Utomo Made Same Iton BP Kasmuri Purbowisti Umar Mansyur Budiono Kusnadi Suhiryanto Syamsul Hudha Rikha Anyanie Surya Aswindi Muhajir Jonfu Alhudri Aditya VH Agus Wibowo Astika W Ria Melini Rustianingsih Eko Yustanto Popi Tri Astuti Suwanto Derson Elphiwika Sulaiman Israd Jamino Sunarmi W Andestina Fajar
Instansi KPH Kota Agung KPHL Batutegi BPDAS WSS PKSM Pringsewu RILOU RJF BPYR TP4K BPLHD BPLHD UNILA Dishut Prov. Lampung POLINELA POLINELA BPK Aek Nauli Humas CH3 BP4K Pesawaran BP4K Pesawaran BP4K Pesawaran Petani Binaan BP4K Pringsewu Petani Binaan BKSDA Lampung Kelompok HKM Kelompok HKM BBTNBBS BP2HP VI BP2HP VI BPPHP WIL VI Bandar Lampung BPPHP WIL VI Bandar Lampung BPPHP WIL VI Bandar Lampung BP2HP WIL VI BP2HP WIL VI BP4K Lampung Tengah Aqua Danone Forkapel KTH Lampung KTH Lampung PKSMLT Forum HKM Prov. Lampung Distana Kebun Teh Bandar Lampung Partnership Jakarta 327
Lampiran
No 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160
Nama Lengkap Amalia Prameswari Fajar Sumantri Ahmad S Sujarwo Subando Agung M M. Zaini Adam Sari Sumijar Abdul Rahman Munaldi Nurmawati S Eliya S Rina K Naning Y A Chairun A Dr. Sukismanto Aji Arinal Djunaidi Frans O Mashami M. Zanzibar Dwi Haryadi Dewi Mayasari Sylviani Sri sulawati Imam Muslimin Dodi Mustari Erdi Suroso Jajang Suparman Armen Qodar Ahmad Mashabi Doni S Gusman Hatta Poni Budiano Subakir Edison Mas Agus Foresli Agung Subekti
Instansi Kemitraan Jakarta PKSM Tanggamus PKSM Tanggamus Kelompok HKM KTH Bagi Makmur KTH HKM PKSM Tanggamus GMWT GMWT GMWT GIAP OKTAN BPTPTH BPTPTH BPTPTH BPTPTH Balitbang Balitbang Balitbang Protokol Protokol BPTPTH BPTPTH BLH Kab. Pesawaran Puspijak Bogor Puspijak Bogor BPK Palembang UPTD KDHL KPHL Pesawaran Litbang LH Unila BP4K Tulang Bawang BP2KP PS5 BARAI BP2KP PS5 BARAI Mitra Bentola BP4K-TUBA BP4K-TUBA BPLHD Kab. TBB BKSDA NATALA Distanbunhut TUBA PTPN VIII 328
Lampiran
No 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200
Nama Lengkap
Instansi BPK Palembang KPHP KPHK Rajabasa KPHK Rajabasa Dishutbun PSS Barat Kadishutbun PSS BPTPTH BPK Palembang Penangkaran KABID BLH WASDAL KABID HWT BUN BPLK Lampung Timur BPLK Lampung Timur PKSM GAPORTAN Penangkar Penangkar Penangkar Penangkar Penangkar BP2K Dishut LU HKM HKM PMK S HKM-Bukit Kota-Lampung Utara HKM BP4K Lampung BP4K TGMS BP4K TGMS Stain Metro Stain Metro BPDAS WSS PT. TBK Indomie BBTNBBS BPK Palembang BBTNBBS BBTNBBS BBTNBBS BBTNBBS
Asmaliyah Renaldi P Khairul Anwar Sri Masruroh Sapuan Puskan Efendi Danu Bastoni Hatta S Hamdani Laili Wati Sugoto Heri Maryanto Tri Yuli Amimtoro Kasmuri Sutrisno Buchsin E. Sugiri Fari Purwanto Iwan K Wiji Luluh S Wagino Edi Komar Suharnoto Zulhaidin Khairul Amri Wsuin Eko Yudianto Suhairi Agus Riyadi Billy Sapto P Hagniyo W Mamat Rahmat Ika Widiarti Aditia W Riyanto Dadan R 329
Lampiran
No 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210
Nama Lengkap
Instansi Disbunhut Pesawaran BP4K Lampung Timur BP4K BP4K BP4K Disbunhut Lampung Timur PEMDA BP4K TGMS Dishut PSS Barat Pesawaran
Zohiri Suharyono Budi Subroto SST Purwadi Darno Suwanto Iskandar Muda January Ruskan Efendi Iskandar
330
Lampiran
Lampiran 4. Notulensi Seminar SESI I No 1
Nama pemakalah Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugrogo
Nama Penanya 1. Warsito
Pertanyaan Dilihat dari kondisi hutan Lebong Damar lebih baik dari Hutan Lindung dan Taman Nasional. Karena itu disarankan hutan dikasihkan ke rakyat saja. Kenapa hutan diserang rakyat karena hutan dikelola oleh negara? Bahwa masyarakat sejahtera cukup dari dampingan penyuluh, pendanaan hasil riset.
331
Jawaban Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugrogo 1. Apa yang telah disampaikan telah di lakukan di Amerika. Hutan hanya 21% dikelola oleh pemerintah, 64% oleh rakyat dan selebihnya oleh industri. Intinya mengelola sumber daya milik bersama harus mengunakan kelembagaan yang efektif: Negara, masyarakat, swasta dll. Krn secara mandat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 seluruh air dan kekayaan alam di kuasai oleh Negara untuk kemakmuran masyarakat. 2. Tapi selama ini permasalahannya adalah Negara baru mengklaim menguasai hutan tetapi BELUM dikelola dengan baik. 3. Jadi instrumennya adalah penguasaan oleh Negara. Negara yang menguasai pengelolaan dengan baik agar tidak semua orang bisa masuk untuk mengelolah. Sehingga dihadirkan KPH untuk mengelolah setiap tapak. KPH bukan pemegang izin yang orientasinya keuntungan. Maka harus memfungsikan KPH untuk menjalanankan pelayananan publik. Ketika masyakat ingin HKM maka sama-sama untuk mewujudkan. 4. Masyarakat disediakan faktor-faktor pengelolahan hutan oleh pemerintah: - Buat harga dan pasar yang baik - Sediakan kebijakan yang menguntungkan - Selanjutnya adalah pengawasan Intinya masyarakat disediakan investasi menarik
Lampiran No
Nama pemakalah
Nama Penanya
7. Buayi, Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) Kabupaten Pring sewu
Pertanyaan
Orietansi hutan ke nilai hutan. Sebenarnya masyarakat kecenderung berlomba menanam kayu yang perlu dilakukan adalah bantuan bibit dan memberikan fasilitas yang berkaitan dengan pasca usaha tani. Untuk kawasan HKM jika dikelola dengan serius kawasan hutan akan baik sehinga keseriusan pengelolaan pun harus dimulai dari pembibitan. Kualitas bibit yang baik hanya dapat disedikan oleh badan yang memiliki kapasitas tersebut. Namun tempat pembibitan di Provinsi Lampung hanya ada dua yaitu di Lampung Utara dan Lampung Selatan. Sementara jarak pendistribusian bibit luas dan jauh. Sebaiknya setiap kabupaten disediakan unit persemaian bibit sehingga masyarakat mudah mengakses dan memperoleh bibit tanaman kehutanan
332
Jawaban 5. Dalam waktu dekat Hutan Rakyat akan tumbuh cepat seperti di wilayah Sumatera Selatan, lampung, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, NTT dan NTB. Kalaupun ada kekhawatiran masyarakat karena tidak ada kepastian lahan. Hal ini dikarenakan tanaman hutan memerlukan umur yang panjang sehingga diperlukan kepastian hak kepemilikn tanah. 6. Harus membuat bisnis kehutanan menjadi menarik bagi masyarakat baik dari fasilitas dan harga. Jika kebijakan vertikal yang memanjakan industri. Maka petani dalam bisnis kehutanan tidak akan maju. Ir. Agus Isnanto, Msc 1. Alat Media Semai Cetak (MSC) sebenarnya sudah dikirim ke seluruh Indonesia. Untuk daerah lampung sudah bisa disebarkan namun belum di limpahkan dari dirjen. 2. Media Semi Cetak (MSC) dan semai Tuan. Belum ada legalitas dari litbang untuk digunakan oleh masyarakat. Untuk menyalurkan harus mengajukan permohonan ke dirjen. Dengan syarat tenaga harus dilatih terlebih dahulu untuk menggunakan alat tersebut agar menjiwai dalam menggunakan alat tsb. 3. Semai tua dapat dibuat dengan media cocopeat setelah berumur 1-2 tahun dapat langsung ditanam. 4. Minat masyarakat Lampung untuk menanam sangat tinggi sehingga pada tahun 2016 disediakan bibit sebanyak 5 juta.
Lampiran No
Nama pemakalah
Nama Penanya
3. Fajar dari PKSM
Pertanyaan Jawaban sendirinya menanam bibit tanaman hutan. Jika alat pembibitan yaitu Media Semai Cetak (MSC) dan semai tua hanya ada di BPDAS tidak ada manfaatnya bagi masyarakat. Sehingga perlu disalurkan ke masyarakat. Minimal 1 desa memiliki satu alat tersebut agar dapat dimanfaatkan secara bergiliran oleh kelompok tani. BLU memang telah di sosialisasikan namun masyarakat masih bingung jika ingin mengajukan proposal BLU seharusnya ada konsultan di setiap desa. Harus ada kejelasan dimana lembaga yang ditunjuk untuk mengajukan BLU dan konsultasi BLU di tingkat paling bawah, sehingga masyarakat mengetahui dengan jelas bagaimana peraturanperaturannya. Pengalaman pendampingan di 8 HKM di Ir. Muswir Ayub Tanggamus menunjukkan bahwa soasialisasi 1. Bahwa masyarakat sejahtera tidak sesederhana sangat penting terkait kelembagaan sehingga dengan hanya menfaatkan riset, pearan BLU dan diharapkan agar sesuatu yang di sosialisasikan pendambingan. Gambar tersebut untuk menundapat dirasakan manfaatnya hingga ke tingkat jukkan bahwa hasil penelitian perlu sampai pada bawah. Secara admistrasi baik kelembagaan skala usaha. Karena hasil riset baru bisa dirasamaupun BLU baik dalam hal dokumntasi nakan manfaatnya jika telah diaplikasikan pada skamun di dalamnya kropos. la usaha. Sehingga peran KPH untuk mengimpleBagaimana produktifitas berjalan jika kelemmentasikan hasil-hasil riset. bagaannya keropos yang berjalan hanya ke- 2. BLU telah memiliki tenaga lapang atau tenaga tua sekretaris dan seksi-seksi. Sementara kalapang yang bertujuan untuk mendekat kepada pasitas poktan di HKM itu terdiri dari lebih masyarakat. Namun belum berjalan secara efektif 50 orang per kelompok sehingga sosialisi ini sehingga sepertinya diperlukan adanya peran jika tidak membumi tidak akan ada manfaatPKMS untuk menjadi kepanjangan tangan atau nya bagi petani. menjadi tenaga lapang BLU. karena tenaga lapang
333
Lampiran No
2
Nama pemakalah
Ir. Agus Isnanto, Msc
Nama Penanya
Nani
Pertanyaan
Bagaimana efektifitaskan kelembagaan? Skema BLU baru pada HTR, kapan untuk HKM? Dan ada tidak skema rencana umum. Menyangkut produktifitas dikawasan hutan dan lahan konservasi. Bagaimana produktivitas kawasan konservasi? Mohon ada perhatian jangan sampai masyarakat di daerah kawasan hutan konservasi hanya jadi penonton pembangunan hutan.
334
Jawaban yang sekarang diperkerjakaan BLU berasal lulusan fresh graduate berdasarkan hasil seleksi untuk di tempatkan di kabupaten sehingga masih memiliki semangat tinggi karena anak muda dari berbagai daerah dan ditempatkan di daerah baru namun hal ini memiliki kekurangan yaitu penguasaan lahan kurang sehingga sepertinya perlu PKSM untuk kepanjangan tangan BLU sehingga kekurangan-kekurangan program BLU dapat diperbaiki. Sehingga peran PKSM sebagai perpanjangan tangan BLU dalam konteks mensosialisasikan dan menangkap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. 3. BLU tidak pada dataran teknis tetapi mensupport. BU Nani, BLU lembaga keuangan yang memberikan bantuan (modal) untuk disalurkan ke masyarakat melalui beberapa skema. Skema dibangun dari standar teknis dan biaya satuan. Sehingga HKM harus jelas proses bisnis dan standar biayanya seperti apa agar kami dapat merancang skemanya. BLU mendukung unit-unit teknis untuk menjalankan pembinaan melalui penyediaan modal dari pelaku usaha. Kami masih menunggu standar teknis untuk skema HKM seperti apa.
Lampiran No 3
Nama pemakalah Ir. Muswir Ayub
Nama Penanya
Pertanyaan
Kesimpulan moderator
Jawaban Pak KAPUS (SARAN) 1. BLU menyalurkan dana kepada masyarakat, sehingga dalam event-event perlu hadir bersama adalah BLU, LITBANGAN dan Dunia Usaha. 2. Animo masyarakat untuk menanam tinggi namun muncul kendala pasar sehingga perlu difasilitasi. 1. BPDAS bisa menyiapkan 3,5 juta bibit gratis tapi biaya angkut sendiri. Pengambilan bisa dilakukan berkelompok agar biaya angkut lebih murah. 2. KPH sebaiknya ada pembibitan agar dapat melayani kebutuhan bibit masyarakat. Untuk alat belum bisa direkomendasikan ke masyarakat karena belum di uji litbang karena dikhawatirkan produktivitas tidak optimal karena akar terlipat. 3. BLU sebaikanya mendekatkan diri dengan masyarakat yang membutuhkan agar manfaat BLU dapat dirasakan masyarakat. Sehingga sebaiknya diperlukan peran PKSM sebagai tangan BLU yang telah dekat dengan masyarakat yang memerlukan aliran dana BLU.
SESI II No 1
Nama pemakalah Kurniawati P. Putri, S.Hut
Nama Penanya Khairul anwar BP2HP
Pertanyaan Faktor benih sangat menentukan kualitas tanaman. Untuk benih tanaman hutan dan tanaman obat apakah sudah ada benih yang bersertifikat? Mengingat permintaan bibit tanaman obat dan tanaman hutan semakin meningkat sehingga peluang bisnis pun meningkat. Hal ini mengakibatkan
335
Jawaban Kurniawati P. Putri, S.Hut 1. Benih bersertifikat sangat penting. Sertifikat Dapat dilakukan dengan mengajukan pengajuan benih bersertifikat pada balai yang berwenang. 2. Pak Iton, kami siap membantu dalam penangan benih kaktus sumatera. 3. Pak Guntur, Untuk mempercepat pertumbuhan kaliandra dilapang dan cepat berbunga diperlukan pengendalian faktor lingkungan
Lampiran No
Nama pemakalah
2
Imam Muslimin, S Hut., M.Sc.
Nama Penanya
Iton BPK Aeknauli
Pertanyaan Jawaban sering terjadi bibit dijual tanpa melihat Untuk mempercepat pembungaan dapat kualitasnya dan fatalnya kualitas buruk dilakukan dengan pemberian hormon ataupun benih baru diketahui setelah beberapa teknik silvikultur seperti pemupukan atau zat-zat tahun. Sehingga diperlukan sertifikasi lain yang dapat memicu percepatan benih dan bibit tanaman hutan. pembungaan. Untuk lebih jelasnya dapat Apakah tidak sebaiknya kita memberi konsultasi dengan Dr. Dida dari BPTPTH. merek pohon yang dijadikan sumber benih sehingga petani bisa mengambil benih dari pohon tersebut. Siapa yang berwenang menetapkan pohon induk? Jika telah ada pohon induk kenapa harus mengambil dari beberapa pohon. Pencampuran benih dikawatirkan menyebabkan tidak adanya keseragaman benih serta benih-benih unggul justru menjadi tercampur dengan benih dengan kualitas buruk. Menjawab kebutuhan tembesu yang Imam Muslimin, S Hut., M.Sc. tinggi, sebaiknya bapak melangkah lebih 1. Khairul Anwar, Dianjurkan menganbil benih dari jauh dengan membuat sumber benih beberapa pohon karena jika dalam satu pohon tembesu. Karena yang dilakukan bapak apalagi satu buah jika terjadi serangan penyakit sekarang merupakan tahapan pembusemua tanaman akan terserang karena masih atan sumber benih yang paling rendah, dalam satu kerabat (Kasus Jabon di Kabupaten yang paling tinggi adalah kebun pangkas. OKI). Sehinggga sebaiknya dilakukan pembu- 2. Khairul Anwar, Sertifikat sumber benih legalitas atan kebun pangkas untuk memperceada di BPTH Palembang. Jika ada masyaratakt pat memenuhi kebutuhan tembesu. ingin melakukan sertifikat benih bisa menghuApakah Lemo dan Kilemo itu sama? bungi BPTH Sumatera di Palembang. Kriterianya Sebaiknya berkolaborasi dengan akan ditentukan oleh BPTH. Jaminan sertifikasi Aeknauli guna penganagan kaktus adalah adanya jaminan kriteria benih misalnya Sumatera yang juga mengandung tingkat keberhasilan viabilitasnya ataupun biodiesel. persentase daya kecambah dll.
336
Lampiran No
3
Nama pemakalah
Ir. M. Zanzibar, MM
Nama Penanya
Guntur
Pertanyaan
Kelompok tani akan melakukan budidaya lebah madu dengan sumber media kaliandra. Bagaimana perlakuan utk kaliandra tanpa perendaman agar cepat tumbuh dan berbunga. Apakah ada jenis tanaman lain yang dapat digunakan untuk media perkembangan lebah madu. Apakah sinar gama tidak berdampak pada lingkungan dan kesehatan di masa mendatang ?
337
Jawaban 3. Untuk pak Iton, Sumber benih tembesu KBS (Kebun Benih Semai) pohon induknya dari 5 lokasi dan sekarang sudah berumur 2 tahun. Sumber benih tembesu mulai berproduksi pada umur 4-5 tahun. Sambil menunggu itu kami menseleksi pohon induk terbaik dengan merengking 40 pohon induk terbaik. Jika nilai parameter sudah stabil maka akan di rilis sebagai kebun sumber benih setelah uji clon. Ir. M . Zanzibar, MM 1. Khairul Anwar, Sertifikat benih adalah jaminan mutu benih untuk pemakai. Peraturan sertifikasi benih, bibit dan pohon benih harus segera di atur dalam undang-undang kementerian kehutanan dan lingkungan hidup. 2. Itoh, Pemberian radiasi pada sumber benih tembesu menghasilkan keragaman bibit tembesu yang tinggi. Pada saat kecamabah akan terliat kecambah yang bersifat superior dan dominan. Pemberian radiasi pada sumber benih tembesu menghasilkan clon - clon yang baik yang dapat dijadikan sumber benih atau kebun pangkas. 3. Guntur, Jadi teknologi radiasi hanya merubah kromoson dengan memberikan gen asing pada kromosom. Begitu terjadi perubahan kromoson akan terjadi beberapa kemungkinan apakah tetrapoit atau tripoit dan tidak mennghasilkan residu sebagai jawaban grenen revolusi yang tidak berdampak pada kesehatan manusia berdasarkan pernyataan WHO. 4. Kedepan saya punya anggan-anggan tanaman jati dapat ditanam pada tanah-tanah masam.
Lampiran No
Nama pemakalah Kesimpulan moderator
Nama Penanya
Pertanyaan
Jawaban Proses peningkatan produktifitas tanaman hutan harus dimulai dari penagan benih secara konvensional maupun teknologi sinar gama dan didukung dengan penaganan silvikultur yang baik.
SESI III No 1
Nama pemakalah Agus Sumadi, S.Hut
Nama Penanya Isiyanto (Yayasan Konservasi)
Pertanyaan Jawaban Untuk KPH di Lampung tidak mungkin Agus Sumadi, S.Hut ditanam tanaman berumur lama (kayu) 1. Isiyanto, Kondisi KPH Lampung yang sudah karena tidak dapat memberikan penghaditanami palawija kedepan kita buat konsep silkan yang dapat menghidupin petani. agroforestry dengan tanaman pertanian Perlu dianalisis mampukah kayu memsingkong misalnya. Sebenarnya hampir sama berikan penghasilan untuk petani? dengan kondisi di Sumatera Selatan di dominasi Karena jika dibandingakan dengan karet dan kopi. usahatani yang mereka telah lakukan 2. Ardian, budidaya dan inokulasi gaharu dapat seperti menanam jagung, singkong menghubungi bapak Agus sofyan. padi gogo dll yang bisa menghidupi mereka jika tanaman diganti dengan kayu apakah kayu ini juga bisa menghidupi mereka. Jika tidak maka tanaman kayu ini tidak bisa diterapkan di KPHP. Di Lampung 100 lebih industri kayu pertukangan di suplay hutan rakyat karena hutan produksi sudah tidak ada hasilnya sehingga faktanya masyarakat tidak disuruh pun akan menanam jika menjanjikan. Peluang bisnis kayu tembesu di Sumatera Selatan pangsa pasarnya lebih bagus karena produksinya kayu diguanakn untuk kayu ukiran dan harga unit satuan ukiran lebih mahal dibandingkan satuan kayu pertukangan namun di lapung pangsa pasar kayu ukiran
338
Lampiran No
2
Nama pemakalah
Dr. Nur Arifatul Ulya
Nama Penanya
Ardian Lampung Tengah
Pertanyaan Jawaban belum maksimal sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan bagaimana pangsa pasar kayu di lampung. Karena tidak ada manfaatnya sosiali hasil riset jika tidak dapat diaplikan di daerah lampung. Apakah dikehutanan ada pelatihan sertifikasi tanaman kehutanan? Sudah langkanya induk tanaman hutan memunculkan kemungkinan jika menjual benih tanaman hutan lebih menguntungkan dari pada menebang hutan sehingga sebaiknya dilakukan analisis ekonomi melakukan usaha penjualan benih dari pada menebang kayunya. Tanaman gaharu masih dapat dibudaDr. Nur Arifatul Ulya yakan di Provinsi Lampung. Tembesu 1. Forum ini merupakan waktu yang tepat untuk sajenis kayu langka di Lampung. Bisa minling bertukar informasi sehingga pertemuan ini data nomor telpon utuk menghubungi pat memberikan masukan pada peneliti. Dengan dan menayakan gaharu dan tembesu. adanya seminar seperti ini kami mengharapkan dapat menangkap dan menyelesaikan permasalahan serta kebutuhan masyarakat lokal karena selama ini kami hanya konsen menyelesaikan permasalahan kehutanan di daerah Sumatera Selatan dan Bengkulu. Dengan adanya forum seperti ini kami mengharapkan mendapatkan masukan sehingga hasil penelitian yang kami lakukan dimasa mendatang dapat menjawab permasalahan-permasalahan kehutanan masyarakat lokar untuk itu diperlukan adanya hubungan saling bersinergi dari seluruh pihak yang berkeprntingan. 2. Ardian, Tanaman tembesu contact person Pak Lukman.
339
Lampiran No 3.
Nama pemakalah Dr. Dede J. Sudrajat
Nama Penanya Sutrisno
Pertanyaan 2-3 tahun yang lalu gapoktan kami telah melakukan pembibitan bibit gaharu dan sengon dan telah di cek oleh BPTH Palembang guna melihat batang induk yang siap digunakan untuk pembibitan namun hingga hampir 3 tahun tidak ada tidak lanjut tentang informasi hasil sertifikasi. Sehingga mohon kejelasan sertifikasi tersebut agar penjualan bibit gaharu dan sengon yang kami lakukan tidak mengalami pembekuan dikarenakan tidak adanya surat sertifikasi sebagai jaminan mutu bibit yang kami jual padahal bibit gaharu yang kami hasilkan merupakan bibit gaharu no 1 terbaik di lampung.
Khairin PKSM
Berapakah biaya untuk sertifikasi bibit per batang? Di Lampung lahan sudah habis. Bagaimanan cara mengembangkan tanaman hutan pada hutan lindung?
Kesimpulan Moderator
Jawaban Dr. Dede J. Sudrajat 1. Isiyanto, Pelatihan penangkaran benih sampai pengawasan benih telah dilakukan oleh BPTH melalui Pusdiklat, sehingga untuk ke depannya sertifikasi dapat dilakukan oleh daerah. Untuk itu perlu dilakukan pembagian wilayah pada BPTH. 2. Isiyanto, Kajian sosial ekonomi mengenai usaha penjualan benih tanaman hutan belum kali lakukan di BPTPTH karena belum ada kepakaran peneliti mengenai kajian social ekonomi tersebut. 3. Khairin, untuk mempercepat sertifikasi sebaiknya pemohon telah memenuhi persyaratan. Dalam kasus lamanya hasil sertifikasi keluar mungkin dapat mengkorfirmasi langsung kepada balai BPTH Palembang. Untuk biaya pengajuan sertifikasi jika pada saat pengajuan sertifikasi pihak BPTH memiliki biaya seharusnya biaya pengurusan sertifikasi benih gratis namun jika BPTH dalam kondisi tidak memiliki dana sementara pihak pemohon menginginkan hasil sertifikasi dapat keluar denga cepat maka sambil menunggu dana BPTH turun pemohon sebaiknya biaya mandiri terlebih dahulu.
Kegiatan penelitian di bidang kehutanan sudah luas dan sudah sangat bayak yang dilakukan namun belum dapat seluruhnya di manfaatkan oleh masyarakat karena berbagai kendala.
340