Bunga Rampai TEKNOLOGI TEKNOL OGI PEMBENIHAN DDAN AN PEMBIBIT PEMBIBITAN AN JABON PUTIH ((Neolamarckia Neolamarck rckiaia ccadamba adamba (Ro (Roxb.) xb.) BBosser) osser)
Editor: Nina Mindawati Irdika Mansur Pujo Setio
Editor: Nina Mindawati, Irdika Mansur dan Pujo Setio
FORDA PRESS, 2015
BUNGA RAMPAI TEKNOLOGI PEMBENIHAN DAN PEMBIBITAN JABON PUTIH (Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser)
Editor: Nina Mindawati, Irdika Mansur, dan Pujo Setio Desain Sampul dan Tata Letak: FORDA PRESS Copyright © 2015 FORDA PRESS dan BPTPTH Cetakan Pertama, Desember 2015 xii + 160 halaman; 148 x 210 mm ISBN: 978-602-6961-00-6 Diterbitkan oleh: FORDA PRESS Anggota IKAPI No. 257/JB/2014 Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16610 Telp./Fax. +62 251 7520093 Email:
[email protected] Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh: BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN Jl. Pakuan, Ciheuleut PO Box 105 Bogor, Jawa Barat 16144 Telp. +62 251 8327768 Email:
[email protected]
Perpustakaan Nasional RI., Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih (Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser) / Editor: N. Mindawati, I. Mansur, P. Setio -- Bogor : Forda Press, 2015. xii, 160 hlm. ; 21 cm. ISBN: 978-602-6961-00-6 1. Jabon Putih, Pembenihan, Pembibitan. III. Setio, P. IV. Forda Press
I. Mindawati, N.
II. Mansur, I. 634.9
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
KATA PENGANTAR
M
inat berbagai kalangan masyarakat untuk menanam pohon mulai meningkat sejalan dengan meningkatkan harga kayu. Kondisi ini dipicu oleh semakin berkurangnya pasokan kayu dari hutan alam yang menjadi tumpuan berbagai industri kayu di Indonesia. Jenis yang cepat tumbuh yang memiliki nilai ekonomi menjadi pilihan investasi yang menarik dan diharapkan. Selain sebagai sumber ekonomi, juga mampu memperbaiki kondisi lingkungan yang saat ini mengalami degradasi cukup berat sebagai akibat kebakaran lahan dan hutan, pembalakan liar, dan penebangan berlebihan oleh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan. Salah satu jenis cepat tumbuh yang memiliki ekonomi tinggi dan banyak diminati masyarakat untuk ditanam ialah jabon putih (Neolamarckia cadamba, sinonim Anthocephalus cadamba). Kayu jabon dapat digunakan untuk berbagai produk, seperti konstruksi ringan, lantai, pulp dan kertas, langit-langit, kotak, peti, mainan, ukiran, korek api, sumpit, dan pensil. Sekarang ini, beberapa perusahaan di Pulau Jawa telah menggunakan kayu dari jenis ini untuk produksi kayu lapis. Beberapa studi pun menyatakan bahwa jabon dapat digunakan juga sebagai bahan obat-obatan. Mengingat minat masyarakat yang tinggi dan nilai ekonomi jabon yang cukup baik, serta berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.707/Menhut-II/2013 tentang Penetapan Jenis Tanaman Hutan yang Benihnya Wajib Diambil dari Sumber Benih Bersertifikat, jenis ini menjadi salah satu prioritas yang mensyaratkan kegiatan penanaman wajib menggunakan benih dari sumber benih bersertifikat.
KATA PENGANTAR | iii
Selain itu, untuk meningkatkan keberhasilan penyediaan bibit, tentunya teknologi penanganan benih dan bibit sangat diperlukan. Rangkaian teknologi penanganan benih dan bibit, mulai dari sumber benih, produksi benih, pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, perkecambahan, penyapihan, pemeliharaan bibit hingga bibit siap tanam sangat diperlukan dalam kegiatan pengadaan bibit. Penerapan teknologi pembenihan dan pembibitan yang memadai tentunya akan meningkatkan keberhasilan pengadaan bibit yang akan berdampak pada meningkatnya keberhasilan rehabilitasi lahan dan pembangunan hutan, serta memperbaiki produktivitas dan kualitas lingkungan. Penyusunan buku bunga rampai ini diyakini sangat bermanfaat dan mampu memberikan pedoman bagi berbagai stakeholders yang berminat mengembangkan jabon putih. Ucapan terima kasih disampaikan kepada para penulis serta pihak lain yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, dalam penyusunan buku bunga rampai ini. Semoga buku bunga rampai ini mampu memberikan wawasan, keterampilan, dan motivasi bagi para pelaku pembenihan dan pembibitan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas bibit yang dihasilkannya, terutama untuk jenis jabon.
Kepala Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan,
Ir. Suhariyanto, M.M. NIP. 19580425 198703 1 002 iv | KATA PENGANTAR
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR …………..…………………………. iii DAFTAR ISI ………………………...……………………… v DAFTAR TABEL …………………………………………... vii DAFTAR GAMBAR ……………………………………….. viii I. PENDAHULUAN ………………………………….. 1 II. JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT (Dede J. Sudrajat) ……………….. 5 A. Pendahuluan …………..…………………………. 5 B. Jabon Putih Sebagai Jenis Populer …………...….. 6 8 C. Pentingnya Jabon Putih ………………….………. D. Sekilas Tentang Pohon dan Kayu Jabon Putih …… 10 E. Pemanfaatan Kayu Jabon Putih ………………..…. 13 F. Permasalahan Budi Daya Jabon Putih …………… 14 III.
IV.
KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, KERAGAMAN GENETIS, DAN POTENSI SUMBER BENIH JABON PUTIH (Dede J. Sudrajat) A. Pendahuluan ………………………………..……. B. Sebaran Alami dan Karakteristik Tempat Tumbuh C. Hubungan Karakteristik Tempat Tumbuh dengan Pertumbuhan ……..……………………….……… D. Kemampuan Adaptasi Jabon Putih terhadap Cekaman Lingkungan (Kekeringan dan Genangan Air …………………………………….…..……… E. Keragaman Genetis Jabon Putih ……….....……… F. Pengembangan Sumber Benih ………...….……… BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH (Agus Astho Pramono dan Evayusvita Rustam) ………..….. A. Pendahuluan …………………………….…….….. B. Morfologi Bunga dan Buah Jabon ……………...... C. Periode Perkembangan Bunga dan Buah ………... D. Musim Buah ……………………………..………..
19 19 20 28 30 40 50 61 61 63 66 70
DAFTAR ISI | v
V.
PENYIAPAN BENIH BERKUALITAS (Eliya Suita dan Naning Yuniarti) ………………………………… A. Pendahuluan ……………………..……………….. B. Pengumpulan Buah ………..……….…………...… C. Ekstraksi Benih ……………..……………………. D. Sortasi Benih ……………………..……………….
73 73 73 75 76
VI.
PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH (Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi) …………….. A. Pendahuluan ………………………..…………….. B. Perkecambahan ………………………..…………. C. Pembibitan …………………………………..……. D. Standardisasi Mutu Benih dan Bibit Jabon Putih ....
81 81 82 90 97
VII. KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN BENIH (Nurhasybi dan Naning Yuniarti) ……………………. A. Pendahuluan ………………….…………..………. B. Karakteristik Benih Jabon Putih ……………..…… C. Teknik Penyimpanan Benih Jabon Putih …….…...
107 107 108 112
VIII. HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH (Yulianti dan Tati Suharti) …....……. A. Pendahuluan ……………………..……………….. B. Identifikasi dan Gejala Serangan Hama dan Penyakit .…………………………………..……… C. Teknik Pengendalian Hama dan Penyakit Benih dan Bibit …………………………………….……. IX.
X.
APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAMAN JABON PUTIH (M. Zanzibar dan Danu) ……………. A. Pendahuluan ……………………………..……….. B. Prakondisi Benih Sebelum Iradiasi ………….….. C. Metode Iradiasi Sinar Gamma, Perkecambahan, dan Pembibitan ………………………………..…. D. Pengaruh Iradiasi terhadap Kecambah dan Bibit …. E. Penggunaan Klon untuk Perbanyakan Massal Vegetatif …………………………………….……
119 119 121 127
137 137 138 139 141 146
PENUTUP ……………………………………………. 157
vi | DAFTAR ISI
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
DAFTAR TABEL Hal. Tabel 3.1. Tabel 3.2. Tabel 3.3. Tabel 3.4. Tabel 3.5. Tabel 3.6. Tabel 4.1. Tabel 6.1. Tabel 7.1. Tabel 7.2. Tabel 8.1. Tabel 9.1. Tabel 9.2. Tabel 9.3.
Karakteristik geoklimat dan hasil analisis tanah (kedalaman 0–20 cm) pada 11 populasi jabon putih (Sudrajat et al., 2014) ................................ Satuan kesuburan tanah 11 populasi jabon putih (Sudrajat, 2015).................................................. Evaluasi indeks sensitivitas (rangkai sensitivitas) 12 provenansi jabon putih terhadap cekaman kekeringan dan genangan air. .............. Evaluasi indeks toleransi (rangking toleransi) 12 provenansi jabon putih terhadap cekaman kekeringan dan genangan ................................... Keragaman, koefisien keragaman populasi dan lingkungan, serta heritabilitas karakter benih dan bibit jabon putih .......................................... Keragaman genetis di dalam populasi famili jabon berdasarkan APLF .................................... Karakteristik morfologi dan periode perkembangan bunga dan buah jabon putih. ...... Nilai rerata daya kecambah benih jabon putih berdasarkan taraf pengusangan. ......................... Sifat Benih Ortodoks.......................................... Sifat Benih Rekalsitran ...................................... Kandungan hara makro N, P, dan K, serta pH media bibit jabon putih ...................................... Jumlah kecambah jabon putih pada berbagai dosis iradiasi ...................................................... Nilai peubah bibit jabon putih akibat perlakuan iradiasi sinar gamma pada benih ........................ Komposisi beberapa media kultur jaringan yang digunakan untuk perbanyakan tanaman .............
25 27 36 37 42 48 69 86 110 111 133 141 142 149
DAFTAR TABEL | vii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Penampilan jabon putih (A), jabon merah (B) dan jabon kuning/gempol (C) .......................... Gambar 2.2. Agroforestry tanaman jabon putih dengan beberapa tanaman pertanian di BKPH Pare (KPH Kediri, Jawa Timur): (A) persiapan lahan di bawah tegakan jabon putih, (B) tumpangsari tanaman jabon putih dengan tomat, (C) tumpangsari tanaman jabon putih dengan nenas, (D) tumpangsari tanaman jabon putih dengan jagung dan nenas ........................ Gambar 2.3. Perkembangan arsitektur bentuk tajuk (Rouxs model) jabon putih umur satu hingga empat tahun (Shukla & Ramakrishnan, 1986) (A) dan penampilan pohon dewasa (B) .................. Gambar 2.4. Pemanfaatan kayu jabon putih: kayu pertukangan (A), furniture (B), pulp dan kertas (C), dan kayu lapis (D) .......................... Gambar 3.1. Populasi jabon putih di hutan sekunder di sepanjang sempadan Sungai Kapuas, Kalimantan Tengah .......................................... Gambar 3.2. Hubungan antara umur pohon dengan rerata diameter (A) dan rerata tinggi (B) tanaman jabon putih (Krisnawati et al., 2011)................ Gambar 3.3. Persamaan indeks tapak diameter setinggi dada (A) dan tinggi total jabon putih (B) (Haneda et al., 2012)........................................ Gambar 3.4. Tanaman jabon yang rentan roboh pada tanah dengan kedalaman air (water table) dangkal.... Gambar 3.5. Tanaman jabon putih yang baru ditanam sebagian besar rentan terhadap kekeringan ......
viii | DAFTAR GAMBAR
Hal. 7
10
11 14 22 28 29 31 32
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Gambar 3.6. Keragaman bibit jabon pada perlakuan kontrol (A), cekaman genangan air (B), cekaman kekeringan dengan kapasitas lapang air media 50% (C), dan kapasitas lapang air media 25% (D) ................................................................... Gambar 3.7. Biplot pengelompokan adaptasi populasi jabon berdasarkan parameter pertumbuhan bibit dengan menggunakan analisis PCA (Principal Componen Analysis/Analisis Komponen Utama)........................................... Gambar 3.8. Pengelompokan populasi jabon berdasarkan analisis komponen utama (A) dan analisis klaster (B) menurut morfofisiologi benih dan bibit.................................................................. Gambar 3.9. Contoh cetak AFLP untuk jabon putih ............. Gambar 3.10. Pola kekerabatan genetis antara famili jabon dari empat populasi dengan metode UPGMA .. Gambar 4.1. Bunga majemuk jabon putih ............................ Gambar 4.2. Bunga tunggal dan struktur bunga jabon putih. Gambar 4.3. Buah semu majemuk jabon putih ..................... Gambar 4.4. Buah majemuk (A), buah tungal (B), dan ruang yang berisi benih (C).............................. Gambar 4.5. Tahapan perkembangan bunga dan buah ......... Gambar 4.6. Tahap perkembangan benih di dalam buah ...... Gambar 5.1. Buah jabon putih yang sudah masak ................ Gambar 5.2. Ukuran saringan untuk benih jabon putih ........ Gambar 5.3. Proses sortasi (A) dan hasil sortasi (B) ............ Gambar 5.4. Benih jabon putih (A) dan benih jabon putih dilihat dengan mikroskop (B) .......................... Gambar 6.1. Bak kecambah ukuran 15x20 cm ..................... Gambar 6.2. Persiapan media tabur ...................................... Gambar 6.3. Cara penaburan benih jabon putih.................... Gambar 6.4. Cara penutupan plastik transparan di atas bak kecambah ......................................................... Gambar 6.5. Pengamatan perkecambahan jabon putih .........
33
38
44 47 49 63 64 65 66 67 68 75 77 78 79 85 87 88 88 88
DAFTAR GAMBAR | ix
Gambar 6.6. Kecambah normal jabon putih ......................... Gambar 6.7. Perkecambahan di media pasir : arang sekam (1:1) ................................................................. Gambar 6.8. Polycup (A) dan bibit jabon dengan polycup (B).................................................................... Gambar 6.9. Semai yang telah disapih ................................. Gambar 6.10. Rak tempat pemeliharaan bibit ........................ Gambar 6.11. Bibit jabon siap tanam (A) dan kekompakan media dan perakaran pada bibit jabon siap tanam (B) ......................................................... Gambar 6.12. Korelasi antara tinggi bibit jabon putih di persemaian dan indeks kekokohan dengan tinggi bibit di lapangan (tinggi uji lapangan) ... Gambar 6.13. Korelasi antara indeks kekokohan dengan persen hidup bibit, dan berat basah akar dengan tinggi bibit jabon putih di lapangan (tinggi uji lapangan) ......................................... Gambar 8.1. Cendawan terbawa benih: cendawan Fusarium sp (A), cendawan Aspergillus sp (B), dan cendawan Rhizopus sp (C) ................. Gambar 8.2. Hama ulat daun pada tanaman jabon putih umur enam bulan: Attacus atlas (A) dan ulat tanduk (B dan C) .............................................. Gambar 8.3. Hama serangga dari Ordo Hemiptera (A dan B) pada tanaman jabon putih umur enam bulan di lapangan ............................................. Gambar 8.4. Gejala serangan hama kepik pada tanaman jabon putih umur enam bulan (A dan B) .......... Gambar 8.5. Gejala serangan ulat keket tanaman jabon putih umur enam bulan (A) dan serangga pengisap seperti semut menyebabkan daun mengering (B) .................................................. Gambar 8.6. Perbedaan pertumbuhan bibit jabon pada berbagai perlakuan ........................................... Gambar 8.7. Perbedaan pertumbuhan bibit jabon putih umur enam bulan pada berbagai perlakuan ...... x | DAFTAR GAMBAR
89 89 91 92 93 96 100
100 122 123 123 125
125 132 132
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Gambar 9.1. Pengemasan benih praradiasi ........................... Gambar 9.2. Gamma chamber 4000 A tipe Irpasena ............ Gambar 9.3. Pertumbuhan bibit jabon putih pada berbagai dosis iradiasi. Kontrol dan 10 Gy (A), kontrol dan 15 Gy (B), kontrol dan 20 Gy (C), kontrol dan 40 Gy (D), kontrol dan 80 Gy (E), kontrol dan 100 Gy (F) ................................................. Gambar 9.4. Bentuk pertumbuhan bibit dari benih teriradiasi (0–100 Gy) yang berbentuk sigmoid dan sistem perakaran bibit jabon putih pada umur dua bulan di persemaian. [pertumbuhan yang tinggi dan bentuk perakaran yang kokoh dan kompak diperoleh pada dosis 10–20 Gy] ...................................... Gambar 9.5. Penampilan stomata permukaan daun atas dan bawah jabon putih akibat perlakuan iradiasi sinar gamma..................................................... Gambar 9.6. Perbanyakan kultur jaringan jabon: perbanyakan tunas (A), pembentukan akar (B dan C), aklimatisasi bibit jabon (D) ................. Gambar 9.7. Pertumbuhan stek jabon: bahan stek (A), rumah perakaran stek (B), stek umur dua bulan setelah tanam (C), dan kondisi perakaran (D) ...................................................
139 140
143
144 145 148
153
DAFTAR GAMBAR | xi
PENDAHULUAN
K
apasitas industri pengolahan kayu nasional pada tahun 2013 mencapai 70 juta m 3 per tahun yang terdiri dari 38,8 juta m3 kapasitas industri tunggal dan 31,2 juta m3 kapasitas industri terintegrasi. Realisasi penggunaan bahan baku pada tahun 2013 mencapai 60,4 juta m3 per tahun yang berasal dari kawasan hutan tanaman industri dan hutan alam sebesar 23,2 juta m3 (38,4%), sedangkan sebagian besar sisanya berasal dari Perum Perhutani, hutan rakyat, ijin lain yang sah, perkebunan dan impor kayu bulat (Ditjen Bina Usaha Kehutanan, 2014). Data tersebut menunjukan adanya kekurangan bahan baku untuk memenuhi kapasitas industri terpasang dan bukan tidak mungkin bila produksi kayu bulat dalam negeri menurun maka volume impor berpotensi semakin tinggi. Untuk meningkatkan produksi kayu, penerapan silvikultur intensif dengan penggunaan bibit unggul, manipulasi tapak, dan pengendalian hama dan penyakit sangat mutlak dilakukan. Selain itu, pemilihan jenis-jenis baru untuk diintroduksikan ke dalam sistem budi daya masih sangat terbuka lebar mengingat Indonesia mempunyai pilihan jenis yang sangat banyak. Jenis-jenis potensial tersebut dapat menjadi alternatif untuk mensubstitusi beberapa jenis eksotik atau jenis-jenis lokal yang telah didomestikasi lebih dahulu yang pada saat ini mendapat ancaman hama dan penyakit yang serius, seperti sengon dan akasia. Pengembangan jenis-jenis alternatif juga dapat meningkatkan keberhasilan program penanaman dan PENDAHULUAN | 1
rehabilitasi lahan karena tersedia pilihan jenis yang memiliki kesesuaian dengan tipe tapak yang menjadi objek kegiatan penanaman dan rehabilitasi lahan. Jabon putih (Neolamarkcia cadamba [Roxb.] Bosser, sinonim Anthocephalus cadamba [Roxb.] Miq., Anthocephalus chinensis Lamk.; famili Rubiaceae) merupakan salah satu jenis potensial asli Indonesia yang cepat tumbuh dan multiguna. Jabon putih dapat digunakan untuk kayu lapis, konstruksi, pulp, papan serat, papan partikel (Soerianegara & Lemmens, 1993; Kartawinata, 1994) dan bahan obat-obatan seperti penghilang rasa sakit, radang, penurun demam (Modal et al., 2009), antimikroba (Acharyya et al., 2011) dan antibakteri (Mishra & Siddique, 2011). Menurut Wong (1989), jabon putih pertama kali dibudidayakan di Indonesia pada tahun 1933. Pada saat ini, jabon putih sudah banyak ditanam dalam skala besar di beberapa daerah, seperti Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah, serta penanaman juga dalam skala kecil dalam bentuk hutan rakyat terutama di Jawa dan Kalimantan Selatan (Nair & Sumardi, 2000; Kallio et al., 2011; Krisnawati et al., 2011; Irawan & Purwanto, 2014). Intensitas budi daya jabon putih yang meningkat memerlukan dukungan penyediaan benih dan bibit yang bermutu. Penggunaan benih bermutu, baik secara genetis, fisis dan fisiologis merupakan salah satu jaminan untuk meningkatkan keberhasilan pembangunan hutan, selain tentunya perlu kesesuaian lahan, teknik silvikultur yang tepat, dan rekayasa sosial yang memadai. Benih merupakan jasad hidup yang membawa sifat-sifat yang akan ditampilkan dalam bentuk pertumbuhan tanaman sewaktu ditumbuhkan pada kondisi yang optimal. Untuk mendapatkan benih bermutu diperlukan pemilihan karakterkarakter yang baik yang diharapkan dapat dilakukan melalui 2 | PENDAHULUAN
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
serangkaian kegiatan pemuliaan. Selanjutnya, hasil ini dimanifestasikan dalam bentuk sumber benih, kemudian benih-benih dari sumber benih tersebut perlu penanganan yang optimal untuk menjaga kualitas fisis dan fisiologisnya. Serangkaian teknik penanganan benih dan bibit diperlukan mulai dari pengumpulan benih hingga pembibitan untuk mendapatkan mutu benih dan bibit yang baik. Pada saat ini, informasi yang menyeluruh mengenai pembenihan dan pembibitan jabon putih masih terbatas. Minimnya informasi yang memadai mengenai teknologi pembenihan dan pembibitan jabon putih menyebabkan rendahnya kualitas benih dan bibit. Bahkan, banyak penyedia benih yang tidak bisa membedakan benih dan kotoran sehingga kemurnian benih sangat rendah dan daya kecambah per berat benihnya pun sangat rendah. Begitu pula dengan teknik ekstraksi yang sering kali menurunkan daya berkecambah benih karena terlalu lama direndam; atau teknik pengeringan yang belum sempurna sehingga daya simpannya rendah; atau pengeringan yang berlebihan di bawah sinar matahari yang berakibat menurunnya daya berkecambah benih. Begitu pula halnya dengan pembibitan terutama dalam proses penaburan hingga semai siap sapih yang memerlukan waktu cukup lama dan teknik penyapihan yang sering mengalami kegagalan dalam pembuatan bibit. Beberapa buku tentang jabon putih telah banyak ditulis, namun masih belum menyampaikan data-data hasil penelitian yang akurat tentang tempat tumbuh, pembenihan, dan pembibitan. Beberapa informasi karakteristik dan penanganan benih masih belum disampaikan secara tepat, seperti habitat alami dan daya adaptasinya, cara seleksi dengan penyaringan, karakter benih, pengeringan dan daya simpannya, hingga cara penaburan dan pembibitannya. Dengan demikian, review hasil-hasil penelitian pembenihan PENDAHULUAN | 3
dan pembibitan dalam bentuk bunga rampai untuk jenis jabon putih akan membantu menyediakan referensi yang ideal untuk mengatasi permasalahan pembenihan dan pembibitan di lapangan. Bunga rampai ini terdiri dari sepuluh bab yang memuat beberapa data dan informasi umum hingga khusus untuk pembenihan dan pembibitan. Bab I memuat pendahuluan yang merupakan gambaran umum jabon putih, khususnya permasalahan dalam pengadaan benih dan bibit berkualitas. Bab II menjelaskan jabon putih dalam hubungannya dengan nama daerah, karakteristik morfologi, pola pertumbuhan, kegunaan, dan permasalahan dalam budi dayanya. Bab III mendeskripsikan sebaran tumbuh, keragaman genetis, dan daya adaptasi jabon putih terhadap cekaman, khususnya kekeringan dan genangan, serta potensi sumber pengembangan sumber benih. Bab IV mengulas biologi reproduksi antara lain morfologi bunga, morfologi buah, periode perkembangan bunga dan buah, dan musim buah. Bab V menyampaikan bagaimana penyiapan benih berkualitas, sedangkan Bab VI menerangkan bagaimana perkecambahan, pembibitan dan standar mutu benih dan bibitnya. Bab VII menjelaskan karakteristik benih dan cara penyimpanannya. Bab VIII memuat hasil-hasil penelitian untuk aspek hama dan penyakit pada benih dan bibit jabon putih. Selanjutnya, Bab IX memberikan gambaran mengenai aplikasi sinar gamma untuk meningkatkan produktivitas tanaman jabon putih. Pada bab ini juga disampaikan bagaimana teknik perbanyakan jabon putih secara vegetatif mulai dari kultur jaringan hingga stek sebagai pendukung untuk perbanyakan klon-klon jabon putih yang unggul. Selanjutnya, buku ini ditutup dengan Bab X yang mengulas kembali pentingnya penggunaan teknologi pembenihan dan pembibitan jabon putih untuk menghasilkan kualitas bibit yang baik dan produktivitas pertumbuhannya. 4 | PENDAHULUAN
JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT Dede J. Sudrajat A. Pendahuluan
I
ndonesia merupakan negara megadiversity yang memiliki berbagai jenis flora dan fauna. Sebagian besar jenis-jenis flora dan fauna tersebut masih belum dimanfaatkan secara optimal. Namun, sebagian tumbuhan hutan berkayu telah lama dieksploitasi dari hutan-hutan alam Indonesia dan hingga saat ini keberadaan jenis-jenis kayu yang bernilai ekonomi tinggi, seperti ulin, merbau, eboni, ramin, dan meranti sudah mulai sulit diperoleh. Untuk mengatasi kekurangan bahan baku kayu dan sekaligus melindungi kawasan hutan alam dari kerusakan yang lebih parah, pembangunan hutan tanaman dengan jenis-jenis cepat tumbuh harus terus ditingkatkan. Awalnya, pembangunan hutan tanaman lebih cenderung memilih jenis-jenis yang sebagian besar materi genetisnya didatangkan dari luar negeri, seperti Acacia spp., Eucalyptus spp., dan Gmelina arborea. Namun, jenis-jenis tersebut setelah ditanam dalam skala besar mulai memperlihatkan permasalahan, seperti rentan terhadap serangan hama dan penyakit, berdampak negatif terhadap lingkungan, dan cenderung bersifat invasif. Upaya untuk mencari jenis lokal yang unggul agar mampu memasok industri perkayuan terus dilakukan dengan JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT | 5
menguji beberapa jenis potensial untuk didomestikasi lebih lanjut. Upaya tersebut memacu pergeseran paradigma dalam pemilihan jenis-jenis untuk ditanam, baik di hutan tanaman industri maupun hutan rakyat, yang mana jenis-jenis lokal mulai menjadi pilihan dengan intensitas penanaman yang mulai meningkat. Salah satu jenis yang banyak diminati masyarakat untuk ditanam ialah jabon putih (Neolamarckia cadamba). Jenis ini menjadi jenis yang populer dan penting karena cepat tumbuh, memiliki banyak manfaat, dan mudah dibudidayakan sehingga banyak diminati untuk ditanam, baik dalam skala kecil maupun skala besar. B. Jabon Putih Sebagai Jenis Populer Jabon putih dikenal dengan nama ilmiah Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser, dan mempunyai beberapa sinonim, seperti Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq., Anthocephalus chinensis (Lamk.), Anthocephalus indicus var. glabrescens, Nuclea cadamba Roxb., Neonauclea megaphylla S.More, Samama cadamba (Roxb.) Kuntze dan Sarcocephalus cadamba (Roxb.) Kutz (www.theplantlist. org). Jenis ini termasuk dalam famili Rubiaceae. Nama jabon putih sendiri dimaksudkan untuk membedakan dengan jenis jabon lainnya yang memiliki penampilan hampir sama, yaitu jabon merah atau samama (Neolamarckia macrophylla [Roxb.] Bosser, sinonim Anthocephalus macrophyllus [Roxb.] Havil, Nuclea macrophylla Roxb.). Selain itu, terdapat jenis lain dari famili Rubiaceae yang penampilannya hampir sama, yaitu gempol atau longida atau sebagian orang menyebutnya jabon kuning (Nauclea orientalis [L.] L) (Gambar 2.1). Ketiga jenis dari famili yang sama ini mulai mendapatkan perhatian untuk dibudidayakan, namun jabon putih lebih dulu populer daripada kedua jenis tersebut. 6 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
A
B
C
Gambar 2.1. Penampilan jabon putih (A), jabon merah (B), dan jabon kuning/gempol (C)
Jabon putih merupakan salah satu jenis potensial asli Indonesia yang cepat tumbuh dan multiguna. Di Indonesia, jenis ini dikenal dengan beberapa nama lokal, seperti galupai, galupai bengkal, harapean, johan, kalampain, kelampai, kelempi, kiuna, lampaian, pelapaian, selapaian, serebunaik (Sumatera); jabon, jabun, hanja, kelampeyan, kelampaian (Jawa); ilan, kelampayan, taloh, tawa telan, tuak, tuneh, tuwak (Kalimantan); bance, pute, loeraa, pontua, suge manai, sugi manai, pekaung, toa (Sulawesi); gumpayan, kelapan, mugawe, sencari (Nusa Tenggara); aparabire, masarambi (Papua) (Martawijaya et al., 1989). Nama lokal di negara lain di antaranya ialah bangkal, kaatoan bangkal (Brunei); mau-lettan-she, maukadon, yemau (Birma); thkoow (Kamboja); kadam, cadamba, common burr-flower tree (Inggris); koo-somz, sako (Laos); kelempayan, laran, selimpoh (Malaysia); labula (Papua Nugini); kaatoan bangkal (Filipina); krathum, krathum-bok, taku (Thailand) (Soerianegara & Lemmen, 1993). JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT | 7
Menurut Wong (1989), jabon putih pertama kali dibudidayakan di Indonesia pada tahun 1933. Pada saat ini, jabon putih sudah banyak ditanam dalam skala besar di beberapa daerah seperti Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah dan juga dalam skala kecil dalam bentuk hutan rakyat terutama di Jawa dan Kalimantan Selatan (Nair & Sumardi, 2000; Kallio et al., 2011; Krisnawati et al., 2011; Irawan & Purwanto, 2014). Jenis ini semakin populer dengan maraknya kegiatan seminar, pelatihan budi daya, dan penerbitan buku-buku khusus mengenai budi daya dan peluang bisnis tanaman jabon (Mulyana, 2010; Mansur & Tuheteru, 2010; Kallio et al., 2011; Krisnawati et al., 2011). C. Pentingnya Jabon Putih Jabon putih sebagai jenis multiguna dan potensial banyak diminati masyarakat. Hal ini karena pertumbuhannya yang cepat, kemampuan beradaptasi yang baik, dan nilai ekonomi yang tinggi. Selain sebagai penghasil kayu, pohon jabon juga dapat berfungsi sebagai peneduh dan hiasan di tepian jalan dan desa-desa, serta pelindung bagi tanaman lain pada sistem wanatani. Jabon juga digunakan untuk program reboisasi, penghijauan, rehabilitasi lahan kritis, dan reklamasi lahan karena kemampuan beradaptasi yang cukup baik pada berbagai tipe tapak (Mansur & Tuheteru, 2010). Penanaman jabon juga dapat memperbaiki sifat-sifat fisika dan kimia tanah di bawah tegakan karena serasah cabang, ranting, dan daun-daun yang lebar dan besar mampu meningkatkan kandungan karbon organik tanah, kapasitas tukar kation, dan nutrisi tanaman (Orwa et al., 2009). Bagian-bagian tanaman jabon putih, seperti daun, akar dan kulit batang, dilaporkan mempunyai khasiat farmakologi (Joker, 2000; Patel & Kumar, 2008; Acharyya et al., 2010). 8 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Secara ethnomedik, jabon putih digunakan untuk mengobati demam, anemia, keluhan buang air kecil, tekanan darah tinggi, penyakit kulit, lepra, disentri, dan untuk memperbaiki sperma (Chandel et al., 2011). Di India, bagian-bagian tanaman jabon putih telah diteliti untuk berbagai manfaat dan bahan obat-obatan, seperti penghilang rasa sakit, radang, penurun demam (Modal et al., 2009), antimikroba (Acharyya et al., 2011), dan antibakteri (Mishra & Siddique, 2011). Ekstrak dari daun jabon dapat berfungsi sebagai obat kumur (Soerianegara & Lemmens, 1993) dan daun segarnya dapat digunakan sebagai pakan ternak atau kadang-kadang digunakan sebagai piring dan serbet alami. Buah jabon dapat dijadikan bahan antibakteri (Mishra & Siddique, 2011). Kulit kayu yang kering digunakan sebagai bahan tonik dan obat untuk menurunkan demam. Bagian akarnya dapat dijadikan bahan antimikroba, pewarna kuning dari kulit akar berfungsi sebagai tanin (Soerianegara & Lemmens, 1993). Jabon putih dapat dipanen pada umur 5 tahun dengan diameter dapat mencapai 30-40 cm (Mansur & Tuheteru, 2010). Selain itu, jenis ini mudah tumbuh dan relatif lebih tahan serangan penyakit dibandingkan dengan jenis cepat tumbuh lainnya yang direkomendasikan untuk hutan tanaman dan hutan rakyat, seperti sengon (Paraserianthes falcataria) dan gmelina (Gmelina arborea) (Irawan & Purwanto, 2014). Jabon putih menjadi jenis yang penting sebagai penghasil kayu ketika produksi kayu dari hutan alam semakin menurun. Jabon putih mempunyai pengaruh naungan yang kecil dan tidak berpengaruh alelopatik terhadap tanaman pertanian sehingga jenis ini cocok untuk tujuan agroforestry. Selain itu, laju dekomposisi serasah jabon putih sangat cepat sehingga lebih sesuai untuk sistem agroforestry (Bijalwan et al., 2014). Di India, jabon putih dijadikan jenis yang JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT | 9
potensial sebagai tanaman hutan pada sistem agroforesty, sedangkan di Indonesia, uji coba sistem agroforestry jabon putih dengan beberapa jenis tanaman pertanian juga telah dilakukan, seperti di BKPH Pare (KPH Kediri, Jawa Timur).
A
B
C
D
Gambar 2.2. Agroforesty tanaman jabon putih dengan beberapa tanaman pertanian di BKPH Pare (KPH Kediri, Jawa Timur): (A) persiapan lahan di bawah tegakan jabon putih, (B) tumpangsari tanaman jabon putih dengan tomat, (C) tumpangsari tanaman jabon putih dengan nenas, (D) tumpangsari tanaman jabon putih dengan jagung dan nenas
D. Sekilas Tentang Pohon dan Kayu Jabon Putih Jabon putih termasuk pohon berukuran besar dengan batang lurus dan silindris, serta memiliki tajuk tinggi seperti payung dengan sistem percabangan yang khas mendatar (Gambar 2.3) (Shukla & Ramakrishnan, 1986). Tinggi pohon dapat 10 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
mencapai 45 m dengan diameter batang 100–160 cm dan kadang-kadang berbanir hingga ketinggian 2 m. Kulit pohon muda berwarna abu-abu dan mulus, sedangkan kulit pohon tua bertekstur kasar dan sedikit beralur. Daun menempel pada batang utama, berwarna hijau mengilap, berpasangan, dan berbentuk oval-lonjong (berukuran 15–50 cm x 8–25 cm). Daun pada pohon muda yang diberi pupuk umumnya lebih lebar dengan posisi lebih rendah di bagian pangkal dan meruncing di bagian puncak.
A
B
Gambar 2.3. Perkembangan arsitektur bentuk tajuk (Rouxs model) jabon putih umur satu hingga empat tahun (Shukla & Ramakrishnan, 1986) (A), dan penampilan pohon dewasa (B)
Jabon putih termasuk jenis kayu daun lebar yang lunak (ringan). Kayu teras berwarna putih kekuningan sampai JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT | 11
kuning terang; tidak dapat dibedakan dengan jelas warnanya dari kayu gubal (Martawijaya et al., 1989). Tekstur kayu agak halus hingga agak kasar, berserat lurus, kurang mengilat dan tidak berbau. Kerapatan kayunya berkisar 0,55 g/cm3 pada kadar air kering udara 15%. Nilai modulus of elasticity (MOE) dan modulus of rupture (MOR) kayu jabon ialah 42.850 dan 124, dan dapat dikelompokkan ke dalam kelas kuat IV dan kelas awet III–V (Abdurachman & Hadjib, 2009). Perlakuan resin (phenol formaldehyde, melamine formaldehyde, dan urea formaldehyde) pada kayu jabon dapat meningkatkan kekuatan (MOR), stiffness (MOE), dan ketahanan terhadap rayap (Odontotermis spp.) (Deka et al., 2002). Kayu jabon putih juga memiliki keteguhan tarik dan retak yang cukup baik, sedangkan kekuatan sobek dan bilangan kappa-nya kurang baik. Namun demikian, kekuatan sobek dan bilangan kappa tersebut dapat diperbaiki melalui pengolahan kayu jabon putih dengan meningkatkan kondisi pemasakannya (Aprianis & Junaedi, 2009). Pada skala industri, jabon putih banyak digunakan untuk industri kayu lapis, khususnya untuk bagian tengah kayu lapis (core). Beberapa industri telah menggunakan kayu jabon putih sebagai pengganti sengon yang saat ini mengalami penurunan produksi sebagai akibat serangan boktor dan karak puru yang cukup parah terutama di sentrasentra tanaman sengon, seperti di Kediri (Jawa Timur). Namun demikian, terdapat beberapa kelemahan jabon putih dibandingkan dengan sengon, khususnya untuk industri kayu lapis, yang mana kayu jabon putih lebih cepat terserang jamur blue stain dan memiliki emisi perekat yang tinggi. Selain itu, terdapat mata kayu yang memengaruhi kualitas veneer sehingga menambah volume pekerjaan untuk menambah bekas mata kayu sebelum dijadikan produk kayu lapis. 12 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
E. Pemanfaatan Kayu Jabon Putih Kayu jabon putih mudah dikerjakan, baik dengan tangan maupun mesin, mudah dipotong dan diketam, serta menghasilkan permukaan kayu yang halus. Kayunya juga mudah dipaku, dibor, dan dilem. Namun demikian, kayu jabon putih dinilai tidak tahan lama. Hasil uji kayu di Indonesia menunjukan bahwa rata-rata kayu jabon putih dapat tahan kurang dari 1,5 tahun jika dibiarkan di atas tanah. Kayu jabon putih termasuk mudah dikeringkan dengan sedikit atau tanpa cacat. Untuk mencegah jamur (noda) biru pada permukaan kayu, kayu harus segera diolah setelah pemanenan atau harus diberi perlakuan seperti pengeringan dalam waktu 48 jam atau direndam dalam air (Soerianegara & Lemmens, 1993). Kayu jabon putih dapat digunakan untuk bahan baku kayu lapis, konstruksi ringan, lantai, pulp dan kertas, langit-langit, kotak, peti, mainan, ukiran, korek api, sumpit dan pensil (Soerianegara & Lemmens, 1993). Kayu jabon putih juga dapat dipakai untuk bahan pembuatan sampan dan perkakas rumah sederhana jika dikeringkan dengan benar. Kayunya juga dapat digunakan untuk lapisan inti atau lapisan permukaan veneer (kayu lapis) dan cocok pula untuk bahan papan partikel, papan semen dan papan blok. Pulp kadangkadang dicampur dengan jenis kayu lain [umumnya kayu yang berserat panjang]. Penambahan anthraquinone and 2methylanthraquinone pada kraft pulping juga dapat meningkatkan fiber yang dihasilkan (0.5–2.7% on chips) dan memperbaiki delignifikasi (lignin vs. carbohydrate removal). Peningkatan hasil pulp yang disebabkan oleh penambahan anthraquinone and 2-methylanthraquinone lebih nyata pada dosis basa aktif rendah (Biswas et al., 2011). JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT | 13
A
B
C
D
Gambar 2.4. Pemanfaatan kayu jabon putih: kayu pertukangan (A), furniture (B), pulp dan kertas (C), dan kayu lapis (D)
F. Pemasalahan Budi Daya Jabon Putih Menurut Sunthornhao dan Hoamuangkaew (2010) yang meneliti kelayakan investasi jabon putih di Thailand, budi daya jabon belum menjadi bisnis yang viable karena kurang upaya pengembangan industri yang menghasilkan produk akhir yang mampu menciptakan pasar bagi kayu jabon putih. 14 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Kondisi tersebut serupa dengan di Indonesia yang mana budi daya perlu dukungan industri yang mampu menciptakan pasar. Permasalahan budi daya jabon putih antara lain praktik budi daya jabon putih masih sangat bervariasi dan belum mengindahkan penerapan silvikultur yang tepat, seperti jarak tanam yang terlalu rapat dan pemupukan (Krisnawati et al., 2011). Selain itu, keterbatasan pengetahuan dan keterampilan dalam perbanyakan tanaman, seperti penanganan benih (ekstraksi, pengeringan, dan penyimpanan) dan pembibitan (penaburan benih, penyapihan, dan pemeliharaan bibit) masih menjadi kendala dalam budi daya jabon putih (Irawan & Purwanto, 2014). Daftar Pustaka Abdurachman & Hadjib, N. 2009. Mutu beberapa jenis kayu tanaman untuk bahan bangunan berdasarkan sifat mekanisnya. Prosiding PPI Standardisasi 2009Jakarta, 19 November 2009. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Acharyya, S., Rathore, D.S., Kumar, H.K.S. & Panda, N. 2011. Screening of Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq. root for antimicrobial and anthelmintic activities. Int. J. Res. Pharmaceut. Biomed. Sci., 2(1): 297–300. Acharyya, S., Dash, G.K, Modal, S. & Dash, S.K. 2010. Studies on glucose lowering efficacy of the Anthocephallus cadamba (Roxb.) Miq. root. Int. J. Pharm. Biosci., 81: 137–142. Aprianis, Y. & Junaedi A. 2009. Jabon (Anthocephalus cadamba Miq) sebagai bahan baku pulp. Mitra Hutan Tanaman, 4(1): 1–8.
JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT | 15
Bijalwan, A., Manmohan, J. R., Dobriyal & Bhartiya, J. K. 2014. A potential fast growing tree for agroforestry and carbon sequestration in India: Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.. American Journal of Agriculture and Forestry, 2(6): 296–301. doi: 10.11648/j.ajaf.20140206.21 Biswas, D., Misbahuddin, M., Roy, U., Francis, R.C. & Bose, S.K. 2011. Effect of additives on fiber yield improvement for kraft pulping of kadam (Anthocephalus chinensis). Bioresource Tech., 102: 1284–1288. Chandel, M., Kaur, S. & Kumar, S. 2011. Studies on the genoprotective/antioxidant potential of methanol extract of Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq. J. Med. Plants Res., 5(19): 4764–4770. Deka, M., Saikia, C.N. & Baruah, K.K. 2002. Studies on thermal degradation and termite resistant properties of chemically modified wood. Bioresource Tech., 84: 151–157. Irawan, U.S. & Purwanto, E. 2014. White jabon (Anthocephalus cadamba) and red jabon (Anthocephalus macrophyllus) for community land rehabilitation: Improving local provagation efforts. Agricul. Sci., 2(3): 36–45. Joker, D. 2000. Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser (Anthocephalus chinensis (Lam.) A. Rich. Ex Walp.). Seed Leaflet No. 17, Danida Forest Seed Center. Denmark. Kallio, M.H., Krisnawati, H., Rohadi, D. & Kanninen, M. 2011. Mahogany and kadam planting farmers in South Kalimantan: The link between silvicultural activity and stand quality. Small-scale Forestry, 10: 115–132. 16 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Krisnawati, H., Kallio, M. & Kanninen, M. 2011. Anthocephalus cadamba Miq.: ekologi, silvikultur dan produktivitas. Bogor (ID): Center for International Forestry Research, Bogor. Mansur, I. & Tuheteru, D. 2010. Kayu jabon. Penebar Swadaya. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A. & Kadir, K. 1989. Atlas kayu Indonesia jilid II. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. Mishra, R.P. & Siddique, L. 2011. Antibacterial properties of Anthocephalus cadamba fruits. Asian J. Plant Sci. Res., 1(2): 1–7. Mondal, S., Dash, G.K. & Acharyya, S. 2009. Analgesic, anti-inflammatory and antipyretic studies of Neolamarckia cadamba barks. J. Pharm. Res., 2(6): 1133–1136. Mulyana, D., Asmarahman, C. & Fahmi, I. 2011. Panduan lengkap bisnis dan bertanam kayu jabon. Agro Media Pustaka. Jakarta. Nair, K.S.S. & Sumardi. 2000. Insect pests and diseases of major plantation species. In Nair KSS, editor. Insect pests and diseases in Indonesian forests: an assessment of the major treats, research efforts and literature. Bogor (ID): Center for International Forestry Research. Orwa, C., Mutua, A., Kindt, R., Jamnadass, R. & Anthony, S. 2009. Agroforestry tree database: a tree reference and selection guide version 4.0. http://www.worldagroforestry.org /treedb2/AFTPDFS /Anthocephalus_cadamba. pdf. diakses 12 Juli 2011. JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT | 17
Patel, D. & Kumar, V. 2008. Pharmacognostical studies of Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser leaf. Int. J. Green Pharm., 2: 26–27. Shukla, R.P. & Ramakrishnan, P.S. 1986. Architecture and growth strategies of tropical trees in relation to successional status. J. Ecol., 74: 33–46. Soerianegara, I. & Lemmens, R.H.M.J. 1993. Plant resources of South-East Asia 5(1): Timber trees: major commercial timbers. Wageningen (NL): Pudoc Scientific Publishers. Sunthornhao, P. & Hoamuangkaew, W. 2010. Marketing potential of mai taku (Anthocephalus chinensis) and investment feasibility of forest plantations. Kasetsart J. (Soc. Sci.), 31: 445–457. Wong, K.M. 1989. Rubiaceae. In: Ng FSP, Editor. Tree flora of Malaya: A manual for foresters. FRIM and Ministry of Primary Industries, Malaysia. 4: 381–382.
18 | Dede J. Sudrajat
KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, KERAGAMAN GENETIS, DAN POTENSI SUMBER BENIH JABON PUTIH Dede J. Sudrajat A. Pendahuluan
K
eberhasilan budi daya suatu jenis tanaman hutan sangat tergantung dari kesesuaian jenis dengan tapak atau tempat tumbuhnya, teknik silvikultur yang tepat [termasuk di dalamnya pengendalian hama dan penyakit], ketersediaan benih yang bermutu, dan tata kelola sosial lainnya yang berhubungan dengan kelembagaan dan pemasaran pasca panen. Tapak atau tempat tumbuh merupakan informasi penting yang sangat diperlukan pada awal kegiatan penanaman. Informasi kondisi tapak pada habitat alami suatu jenis dapat menjadi acuan untuk menentukan tempat tumbuh yang sesuai untuk suatu jenis tanaman hutan. Dengan demikian, produktivitas yang tinggi bisa dicapai jika kondisi tapak sesuai dengan jenis yang dikembangkan, penggunaan bibit unggul hasil kegiatan pemuliaan, dan penerapan teknik silvikutur yang tepat. Program pemuliaan merupakan kegiatan penting untuk menyediakan benih bermutu dalam rangka mendukung budi daya atau domestikasi jabon putih yang produktif dan memberikan manfaat yang berkelanjutan. Keberhasilan program pemuliaan memerlukan informasi keragaman dan struktur genetis pada sebaran alami jenis target (Zobel & KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 19
Talbert, 1984; Loveless & Hamrick, 1984; Bawa & Krugman, 1990; Johnson et al., 2001). Pengembangan penanda genetika dapat berdasarkan morfologi, biokimia, dan DNA, serta hal ini telah membangkitkan banyak kajian keragaman genetika secara luas pada jenis-jenis tanaman hutan (Glaubitz & Moran, 2000; White et al., 2007). Informasi keragaman dan struktur genetis populasi sangat diperlukan untuk pengumpulan materi genetis pada populasi-populasi terpilih untuk pembangunan populasi pemuliaan (Johnson et al., 2001; White et al., 2007). Program pemuliaan jabon putih tidak hanya diperlukan untuk tapak-tapak yang optimal tetapi juga untuk mengembangkan populasi atau pohon-pohon yang cocok untuk tapak-tapak marginal. Kompetisi penggunaan lahan yang terus meningkat dan menurunnya kualitas lahan di beberapa lokasi telah memaksa operasional kehutanan bergeser dari lahan produktif ke lahan marginal. Secara umum, pembahasan dalam bab ini mengupas tentang sebaran alami dan karakteristik tempat tumbuh jabon putih, keragaman genetis berdasarkan morfologi dan penanda AFLP, daya adaptasi jabon terhadap cekaman lingkungan, dan potensi pengembangan sumber benih jabon putih. Informasi ini diharapkan mampu memberikan acuan untuk memilih tempat tumbuh yang sesuai dan informasi awal bagi program pemuliaan dalam rangka menyediakan benih-benih bermutu untuk kegiatan penanaman. B. Sebaran Alami dan Karakteristik Tempat Tumbuh Jabon putih merupakan jenis pohon tropis yang berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara,termasuk Indonesia. Jabon putih tumbuh secara alami di India, Myanmar, Thailand, 20 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Laos, Kamboja, Cina Bagian Selatan,Vietnam, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, dan Australia bagian Utara. Jabon putih merupakan jenis tanaman yang disukai tidak hanya di habitat alami, tetapi juga di luar habitat alaminya dan telah diintroduksikan di Kosta Rika, Puerto Riko, Afrika Selatan, Suriname, Taiwan, Venezuela dan negara-negara subtropis dan tropis lainnya (Lamprecht, 1989; Orwa et al., 2009). Jabon putih telah ditanam di Indonesia dalam skala besar sejak tahun 1933 (Wong, 1989; Slik, 2006). Jenis ini juga telah dibudidayakan di Jawa (terutama di Jawa Barat dan Jawa Timur), Kalimantan (terutama di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur), Sumatera (hampir tersebar di seluruh provinsi), Sulawesi (hampir tersebar di seluruh provinsi), Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) dan Papua (Irian Jaya) (Martawijaya et al., 1989). Jabon putih merupakan tanaman pionir yang dapat tumbuh baik pada tanah-tanah aluvial yang lembab dan umumnya dijumpai di hutan sekunder atau terdegradasi (heavy disturbed forest) di sepanjang bantaran sungai dan daerah transisi antara daerah berawa, daerah yang tergenang air secara permanen ataupun secara periodik (Phillips et al., 2002; Sudrajat, 2015b). Jenis ini dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, terutama pada tanah-tanah yang subur dan beraerasi baik (Soerianegara & Lemmens, 1993). Jabon putih dapat dikategorikan sebagai jenis tanaman yang tumbuh pada tahapan awal suksesi (early-successional tree species) (Shukla & Ramakrishnan, 1986). Cahaya merupakan faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan jabon putih sehingga jenis ini tidak mampu tumbuh optimal pada kondisi ternaungi. Pada habitat alaminya, suhu maksimum untuk pertumbuhan jabon berkisar 32–42°C dan suhu minimum berkisar 3–15,5°C. KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 21
Jabon putih tidak toleran terhadap cuaca dingin. Curah hujan rerata tahunan di habitat alaminya berkisar 1.500– 5.000 mm. Jabon putih dapat pula tumbuh pada daerah kering dengan curah hujan tahunan sedikitnya 200 mm (misalnya di bagian tengah Sulawesi Selatan). Jenis ini tumbuh baik pada ketinggian 300–800 m di atas permukaan laut (dpl). Di daerah khatulistiwa, jenis ini tumbuh pada ketinggian 0–1.000 m dpl (Martawijaya et al., 1989).
Gambar 3.1. Populasi jabon putih di hutan sekunder di sepanjang sempadan Sungai Kapuas, Kalimantan Tengah
Menurut Sudrajat et al. (2014) yang melakukan penelitian pada 11 populasi alami jabon putih, kondisi tempat tumbuh jabon putih cukup beragam (Tabel 3.1). Kondisi tapak 11 populasi jabon putih yang tersebar di Sumatera, Jawa, Nusa 22 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Kambangan, Kalimantan, Sumbawa dan Sulawesi sangat beragam dan umumnya berada pada daerah-daerah dengan ketinggian tempat di bawah 200 m dpl, kecuali populasi di Garut, Rimbo Panti, dan Pomalaa yang masing-masing berada pada ketinggian tempat 628, 294, dan 210 m dpl. Curah hujan rerata tahunan berkisar 1.500-3.500 mm dengan tipe iklim berdasarkan Schmidt dan Fergusson berada pada tipe A (sangat basah) hingga E (agak kering). Dilihat dari tingkat kesuburannya, tapak pada populasi-populasi yang diamati cukup beragam; sebagian besar pH tanah dikategorikan sangat rendah dan rendah, kecuali untuk populasi Nusa Kambangan yang berada pada pH sedang. Kandungan C organik berada pada kondisi rendah hingga sangat tinggi; N total berada pada tingkatan rendah hingga tinggi; nisbah C/N berada pada tingkatan rendah hingga tinggi; P tersedia berada pada kondisi rendah hingga sangat tinggi; K berkisar rendah hingga sedang; Ca berkisar sangat rendah hingga sangat tinggi; dan Mg berada pada kondisi rendah hingga sangat tinggi. Unsur-unsur tersebut merupakan unsur makro yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Unsur N merupakan penyusun semua protein, klorofil di dalam koenzim, dan asam-asam nukleat. Unsur P berperan dalam transfer energi sebagai bagian dari adenosin tripospat, beberapa penyusun protein, koenzim, asam nukleat, dan substrat metabolisme. Unsur K meskipun penting tetapi hanya sedikit peranannya sebagai penyusun komponen tanaman; fungsi utamanya ialah untuk pengaturan mekanisme, seperti fotosintesis, translokasi karbohidrat, sintesa protein, dan lain-lain (Soepardi, 1983). Kapasitas tukar kation (KTK) di habitat alami 11 populasi jabon putih tersebut dikategorikan rendah hingga sangat tinggi dan kejenuhan basa sangat tinggi (Pusat Penelitian Tanah, 1983). KTK ialah kemampuan koloid tanah mengikat dan mempertukarkan kation-kation yang KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 23
umumnya berkorelasi positif dengan kandungan bahan organik dan liat (Tisdale et al., 1985). Dilihat dari teksturnya, sebagian besar tapak mempunyai kelas tekstur liat, kemudian pasir berlempung, liat berdebu, dan lempung liat berpasir. Analisis berdasarkan kunci status kesuburan tanah (Pusat Penelitian Tanah 1983) yang kombinasikan lima parameter (kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, kadar K, kadar P, dan C-organik tanah) menunjukan bahwa status kesuburan tanahnya juga cukup beragam, yaitu dari tingkat kesuburan tanah rendah hingga tinggi (Tabel 3.2). Secara umum, jabon putih dapat tumbuh pada kondisi tanah asam dengan tingkat kesuburan rendah hingga tinggi (Tabel 3.2). Keragaman tapak ini memberi indikasi bahwa jabon memiliki kisaran lingkungan tumbuh dan daya adaptasi yang cukup luas. Teori evolusi menduga bahwa jenis dengan sebaran tumbuh luas akan memiliki tingkat keragaman yang luas, termasuk dalam hubungannya dengan keragaman benih dan bibit antarpopulasi.
24 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 25
26 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 27
C. Hubungan Karakteristik Tempat Tumbuh dengan Pertumbuhan Kemampuan untuk memprediksi potensi pertumbuhan dan hasil tanaman jabon sangat diperlukan untuk perencanaan hutan tanaman. Beberapa sumber pustaka menyatakan bahwa jabon putih tumbuh dengan cepat (Soerianegara & Lemmen, 1993; Orwa et al., 2009). Hubungan antara rerata diameter dan umur, dan rerata tinggi dan umur tanaman jabon dideskripsikan oleh Krisnawati et al. (2011) (Gambar 3.2). 35
Rerata DBH (cm)
50
V IV III
40
II I
20
(cm)
30
0
IV III
25
II I
20 15 10
10
V
(B)
30
(m)
(A)
Rerata tinggi total (m)
60
5 0
5
15
20
Umur (tahun)
25
30
0
0
5
10
15
20
Umur (tahun)
Keterangan: Titik-titik: rerata hasil pengukuran; Garis: nilai yang diambil dari tabel hasil tegakan sementara; Angka romawi: menunjukan kelas kualitas tempat tumbuh (semakin besar nilainya, semakin bagus kualitas tempat tumbuh)
Gambar 3.2. Hubungan antara umur pohon dengan rerata diameter (A) dan rerata tinggi (B) tanaman jabon putih (Krisnawati et al., 2011)
28 | Dede J. Sudrajat
25
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Pertumbuhan diameter jabon putih meningkat cukup cepat 8–18 cm hingga tegakan berumur 5 tahun. Pertumbuhan mulai lambat setelah tegakan berumur 10 tahun dan pertumbuhan diameter mulai konstan setelah umur 15 tahun. Rerata tinggi pohon dalam tegakan mencapai 19,6 m untuk tegakan muda kurang dari 10 tahun dan setelah 10 tahun rerata tinggi berkisar 17,3–30 m. Variasi yang cukup besar dari diameter dan tinggi ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kualitas tempat tumbuh dan kualitas manajemen silvikultur yang diterapkan. Tegakan jabon putih berumur hingga 5 tahun memiliki riap diameter rerata sebesar 1,2– 11,6 cm per tahun dan riap tinggi rerata sebesar 0,8–7,9 m per tahun. Secara umum, riap diameter turun sekitar 2 cm per tahun dan riap tinggi sekitar 3 m per tahun hingga umur 10 tahun. Setelah itu, pertumbuhan jabon turun secara signifikan (Krisnawati et al., 2011). A
B
Gambar 3.3. Persamaan indeks tapak diameter setinggi dada (A) dan tinggi total jabon putih (B) (Haneda et al., 2012)
Sementara itu, Haneda et al. (2012) telah menghitung persamaan pertumbuhan untuk diameter setinggi dada yang dibuat dengan menggunakan model regresi Chapman dengan KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 29
menggunakan indeks tapak (Gambar 3.3). Berdasarkan kelas indeks tapak, pertumbuhan jabon putih di Jawa dapat diklasifikasikan sebagai baik, menengah, dan jelek. D. Kemampuan Adaptasi Jabon Putih terhadap Cekaman Lingkungan (Kekeringan dan Genangan Air) Secara umum, jabon putih memerlukan tanah yang lembab, berdrainase baik, dan subur (input yang tinggi terhadap air dan hara). Beberapa studi menunjukan bahwa jenis ini kurang cocok untuk rehabilitasi lahan kritis (Voukko & Otsamo, 1996), tidak mampu tumbuh optimal pada tanah dengan kandungan air rendah (Soetrisno, 1996), atau kedalaman air tanah yang dangkal (Mansur & Surahman, 2011). Namun, terdapat pula laporan yang menunjukan bahwa ada populasi atau provenansi yang mampu tumbuh pada kondisi marginal di beberapa lokasi, seperti lahan kering atau tergenang air (Martawijaya et al., 1989; Soerianegara & Lemmens, 1993). Informasi tentang respons suatu populasi atau provenansi terhadap cekaman kekeringan dan genangan air ini dapat dijadikan dasar dalam penyusunan pedoman transfer benih (Wang et al., 1998), pemilihan provenansi potensial untuk tapak-tapak yang spesifik, dan juga sebagai salah satu strategi adaptasi terhadap perubahan iklim (Rehfeldt et al., 2006; Millar et al., 2007).
30 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Gambar 3.4. Tanaman jabon yang rentan roboh pada tanah dengan kedalaman air (water table) dangkal
Pada tingkat bibit, kerentanan jabon putih terhadap cekaman lingkungan sangat tinggi. Kekeringan merupakan salah satu cekaman yang banyak mengakibatkan kegagalan penanaman (Gambar 3.5). Respon terhadap kekeringan dan genangan air juga dipengaruhi oleh asal populasi atau provenansi. Dari 12 populasi yang diuji, provenansi Kampar memiliki tinggi bibit, diameter pangkal akar, luas daun, luas daun spesifik, kadar air relatif, akar adventif, dan lentisel tertinggi pada perlakuan genangan air. Akar adventif dan lentisel hanya muncul pada perlakuan genangan air. Formasi lentisel dan akar adventif merupakan salah satu tipe adaptasi morfologi tanaman hutan toleran terhadap tapak-tapak tergenang air (Yamamoto et al., 1995). Formasi lentisel pada bagian batang berkayu tanaman yang tergenang air memfasilitasi transpor oksigen ke akar karena lentisel merupakan suatu jalur angkutan yang mana gas-gas, KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 31
terutama oksigen dapat berdifusi melalui sel-sel kulit batang (Konzlowski, 1997). Akar adventif sangat penting untuk tanaman di bawah kondisi hypoxia (sedikit oksigen) atau anoxia (tidak ada oksigen) pada akar untuk memperoleh karena akar adventif dapat langsung memperoleh oksigen dari lingkungan sekitarnya dan secara internal mengangkut oksigen melalui aerenkim. Selanjutnya, kemampuan untuk menghasilkan akar adventif umumnya berasosiasi dengan meningkatnya toleransi terhadap genangan (Steffens et al., 2006).
Gambar 3.5. Tanaman jabon putih yang baru ditanam sebagian besar rentan terhadap kekeringan
32 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
A
B
C
D SRP SKR SOK JGS JNK JAP KKT KBL CPG CPK NBH PKK SRP SKR SOK JGS JNK JAP KKT KBL CPG CPK NBH PKK
Keterangan: SRP = Rimbopanti-Sumatera Barat, SKR = Kampar-Riau, SOK = Ogan Komering Ilir-Sumatera Selatan, JGS = Garut Selatan-Jawa Barat, JNK = Nusa Kambangan-Jawa Tengah, JAP = Alaspurwo-Jawa Timur, KKT = KapuasKalimantan Tengah, KBL = Batulicin-Kalimantan Selatan, CPG = GowaSulawesi Selatan, CPK = Pomalaa-Sulawesi Tenggara, NBH = Batuhijau-Nusa Tenggara Barat, PKK = Kuala Kencana-Papua.
Gambar 3.6. Keragaman bibit jabon pada perlakuan kontrol (A), cekaman genangan air (B), cekaman kekeringan dengan kapasitas lapang air media 50% (C), dan kapasitas lapang air media 25% (D)
KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 33
Pada kondisi cekaman kekeringan selama empat bulan, bibit jabon putih asal provenansi Gowa mempunyai tinggi bibit, diameter pangkal akar, berat kering total, luas daun spesifik, kadar air relatif, ketebalan daun, panjang akar, dan kandungan prolina tertinggi (Sudrajat et al., 2015a). Pada kondisi cekaman kekeringan, genetis resisten menghasilkan luas daun, kadar air relatif, dan kandungan prolina lebih tinggi (Sanches-Diaz et al., 2008; Possen et al., 2011). Secara umum, luas daun spesifik dan kadar air relatif yang lebih tinggi menghasilkan laju pertumbuhan yang relatif lebih tinggi (Wright & Westoby 1999; Possen et al., 2011). Akumulasi prolina di bawah kondisi cekaman pada banyak jenis tanaman berhubungan dengan toleransi cekaman dan konsentrasi prolina dan secara umum ditemukan lebih tinggi pada tanaman yang toleran terhadap cekaman daripada tanaman yang sensitif terhadap cekaman (Anjum et al., 2011a). Pada cekaman kekeringan, bibit jabon putih umumnya tidak mampu menghasilkan dan mengakumulasi lebih banyak prolina yang menyebabkan rendahnya daya adaptasi terhadap cekaman kekeringan. Bibit jabon putih lebih toleran terhadap cekaman genangan air daripada cekaman kekeringan yang dapat diamati dari karakter morfologi, fisiologi, dan anatomi, serta tidak ada bibit yang mati pada perlakuan genangan air (Sudrajat et al., 2015a). Daya adaptasi bibit jabon putih terhadap genangan air diduga berhubungan dengan habitat alami yang umumnya tersebar pada tapak-tapak yang dalam, lembab, dan daerah endapan di sepanjang sempadan sungai (Soerianegara & Lemmens 1993; Kartawinata, 1994). Sebaliknya, kondisi umum habitat alami tersebut juga berdampak pada adaptasi bibit yang kurang mampu beradaptasi terhadap cekaman kekeringan.
34 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Indeks sesitivitas cekaman (ISC) merupakan faktor yang cocok untuk mengidentifikasi genetis-genetis yang toleran terhadap cekaman (Yarnia et al., 2011), sedangkan indeks toleransi cekaman (ITC) dapat digunakan untuk mengidentifikasi genetis-genetis yang menghasilkan pertumbuhan dan berat kering terbaik pada kondisi optimal ataupun kondisi cekaman (Fernandes, 1992). Berdasarkan ISC dan ITC (Tabel 3.3 dan 3.4); pada cekaman genangan air, bibit jabon putih yang berasal dari provenansi Kampar memiliki daya adaptasi terbaik (Sudrajat et al., 2015a). Provenansi Kampar memberikan nilai ISC terendah dan nilai ITC tertinggi untuk tinggi dan berat kering total bibit. Nilai ISC yang lebih rendah dan nilai ITC yang lebih tinggi menunjukan adaptasi yang lebih baik dari suatu genetis (Olaoye et al., 2009). Pada perlakuan cekaman kekeringan, nilai ISC terendah untuk tinggi dan berat kering total bibit diperlihatkan oleh provenansi Gowa. Sebaliknya, nilai ITC provenansi Gowa memberikan nilai tertinggi yang mengindikasikan pertumbuhannya lebih baik pada kondisi cekaman kekeringan (KL50% dan KL25%). Pola sebaran adaptasi provenansi berdasarkan karakter pertumbuhan; seperti tinggi, diameter pangkal akar, berat kering pucuk, berat kering akar, berat kering total, akar adventif, lentisel, luas daun, dan jumlah daun; disajikan pada Gambar 3.7. Provenansi yang memiliki karakteristik pertumbuhan baik berada pada kuadran IV pada setiap perlakuan.
KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 35
36 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 37
Kuadran III
Kuadran IV
Kuadran I
Kuadran II
Keterangan: KL = kapasitas lapang, PC = komponen utama (principal component), SRP = Rimbopanti-Sumatera Barat, SKR = Kampar-Riau, SOK = Ogan Komering Ilir-Sumatera Selatan, JGS = Garut Selatan-Jawa Barat, JNK = Nusa Kambangan-Jawa Tengah, JAP = Alaspurwo-Jawa Timur, KKT = KapuasKalimantan Tengah, KBL = Batulicin-Kalimantan Selatan, CPG = GowaSulawesi Selatan, CPK = Pomalaa-Sulawesi Tenggara, NBH = Batuhijau-Nusa Tenggara Barat, PKK = Kuala Kencana-Papua.
Gambar 3.7. Biplot pengelompokan adaptasi populasi jabon berdasarkan parameter pertumbuhan bibit dengan menggunakan analisis PCA (Principal Component Analysis/Analisis Komponen Utama)
38 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Pola sebaran adaptasi provenansi terhadap cekaman berdasarkan analisis biplot PCA terhadap karakteristik morfologi bibit mempunyai kecenderungan yang sama dengan hasil analisis ISC dan ITC. Pada kondisi normal; provenansi Pomalaa, Batu Hijau, Rimbo Panti, dan Gowa membentuk satu kelompok di kuadran IV yang menunjukan pertumbuhan terbaik. Namun pada kondisi cekaman genangan; provenansi Kampar, Gowa, OKI, dan Kuala Kencana berada pada satu kelompok dengan pertumbuhan lebih baik. Sementara itu, kelompok dengan pertumbuhan yang lebih baik pada kondisi kekeringan (KL50% dan KL25%) ialah provenansi Gowa, Pomalaa, Kampar, dan Batu Hijau (Sudrajat et al., 2015a). Respons bibit jabon dalam menghadapi cekaman air dilakukan melalui mekanisme avoidance yang dicapai dengan perubahan morfologi dan juga melalui mekanisme tolerance yang dilakukan dengan fisiologi jaringan dan sel tertentu, biokimia, dan akumulasi protein tertentu. Berdasarkan beberapa indikator morfofisiologi, indeks toleransi, dan pengelompokan PCA; provenansi Kampar, Gowa, OKI, dan Kuala Kencana memberikan indikasi sebagai provenansi yang mampu beradaptasi baik terhadap cekaman genangan air sehingga dapat menjadi pedoman transfer benih untuk daerah-daerah yang potensial tergenang atau mengalami banjir. Pada cekaman kekeringan, secara umum jabon tidak mampu beradaptasi baik. Namun, beberapa provenansi ( seperti Gowa, Pomalaa, Rimbo Panti, dan Batu Hijau) relatif mampu tumbuh lebih baik dibandingkan dengan provenansi lainnya (Sudrajat et al., 2015a).
KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 39
E. Keragaman Genetis Jabon Putih Intensitas budi daya jabon yang meningkat memerlukan dukungan program pemuliaan untuk mendapatkan benih unggul sehingga program budi dayanya dapat memberikan produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan. Untuk meningkatkan efektivitas pembangunan populasi pemuliaan, informasi keragaman populasi dan struktur genetis pada sebaran alami jenis target sangat diperlukan (Zobel & Talbert, 1984; Bawa & Krugman, 1990; Johnson et al., 2001; Ayele et al., 2011) sehingga materi genetis yang dikumpulkan mampu mewakili keragaman yang terdapat pada sebaran alaminya (Johnson et al., 2001; White et al., 2007). Jabon secara alami tersebar luas di hutan hujan dataran rendah di Asia yang menyebar dari India, Nepal, Burma, Sri Langka, Malaysia hingga Indonesia dan Filipina, serta New Guinea (Lamprecht, 1989; Orwa et al., 2009). Di Indonesia, jabon tersebar hampir di seluruh pulau, seperti Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua (Krisnawati et al., 2011). Teori evolusi menduga bahwa jenis dengan sebaran luas akan memiliki tingkat keragaman genetik yang luas. Penelitian ini telah dilakukan untuk menjawab apakah distribusi geografis dan kisaran tipe tapak yang luas berasosiasi dengan keragaman morfofisologi benih dan bibit jabon. Hasil analisis keragaman berdasarkan morfofisiologi benih dan bibit jabon putih dari 11 populasi menunjukan bahwa keragaman genetik beragam dari nilai tertinggi 2.858,637 (kerapatan stomata) hingga nilai terendah 0,009 (klorofil B). Koefisien keragaman fenotipe (KKF) dan koefisien keragaman genetik (KKG) memberikan nilai tertinggi pada karakter tinggi bibit (masing-masing 76,40 dan 76,33), sedangkan koefisien keragaman lingkungan (KKL) tertinggi dihasilkan oleh berat kering akar (29,36). 40 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Nilai KKF dan KKG terendah ditunjukkan oleh rerata waktu berkecambah (masing-masing 1,87 and 1,56) dan nilai terendah untuk KKL adalah berat 1.000 butir benih (0,64) (Tabel 3.5). Keragaman genetis dan koefisien keragaman genetis untuk semua karakter buah, benih, dan bibit jabon ditemukan lebih tinggi daripada koefisien keragaman lingkungan. Besaran keragaman galat relatif lebih rendah daripada keragaman genetis untuk semua karakter, sedangkan koefisien keragaman fenotipe dan genetis sangat dekat satu dengan yang lainnya untuk semua karakter. Begitu pula dengan heritabilitas yang berada pada kisaran 52% sampai 99% (Sudrajat et al., 2015b). Analisis komponen utama dengan menggunakan karakteristik morfofisiologi benih dan bibit menghasilkan enam komponen yang memiliki nilai eigen di atas 1 dengan nilai kumulatif varian 93,47%. Komponen utama pertama dan kedua menghasilkan masing-masing 39,94% dan 21,95% keragaman dari jumlah karakter yang ada. Komponen pertama terdiri dari diameter pangkal akar, tinggi bibit, panjang daun, lebar daun, klorofil A, indeks kekokohan, berat kering batang, berat kering total, kerapatan stomata, klorofil B, berat kering akar, diameter buah, dan berat buah. Komponen tersebut merupakan indentitas dari karakter-karakter bibit dan morfologi buah. Komponen kedua terdiri dari indeks vigor, panjang hipokotil, panjang benih, kecepatan berkecambah, panjang radikel, dan daya berkecambah yang dinamai sebagai kemampuan fisiologi benih (Sudrajat et al., 2015a). Grafik biplot sebaran populasi berdasarkan komponen utama pertama dan kedua disajikan pada Gambar 3.8 (A). Grafik tersebut mempunyai pola yang hampir sama dengan hasil analisis klaster (Gambar 3.8 [B]).
KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 41
42 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 43
jjkk
BLB KBL KTB KKT
Grup 1
PGC CPG PKC CPK
Grup 1 Grup 2
KRS SKR OKS SOK
Grup 3
APJ JAP
JGS GSJ
Grup 3
JNK NKJ
(A)
NBH BHS SRP RPS
Grup 4
(B)
Gambar 3.8. Pengelompokan populasi jabon berdasarkan analisis komponen utama (A) dan analisis klasterKkk (B) menurut morfofisiologi benih dan bibit
Pendugaan heritabilitas (He) ini berguna sebagai indikator awal kemungkinan untuk seleksi satu atau lebih karakter (Namkoong et al., 1966). Nilai heritabilitas yang tinggi berpasangan dengan kemajuan genetis yang tinggi dihasilkan oleh karakter berat buah, tinggi bibit, diameter pangkar akar, indeks kekokohan, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun. Nilai ini menunjukan bahwa karakterkarakter tersebut mempunyai nilai genetis yang tinggi dengan jumlah komponen genetis aditif yang dapat diturunkan lebih tinggi. Johnson et al., (1995) melaporkan bahwa nilai heritabilitas yang tinggi dan diikuti dengan kemajuan genetis yang tinggi cukup memadai dan akurat untuk pemilihan populasi terbaik. Sebaliknya, nilai heritabilitas yang tinggi yang berpasangan dengan kemajuan genetis rendah (seperti yang ditunjukkan diameter buah, berat 1.000 butir benih, daya dan kecepatan berkecambah) 44 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
memberikan indikasi bahwa karakter-karakter tersebut mempunyai lebih banyak komponen genetis nonaditif daripada komponen aditifnya sehingga karakter tersebut tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi yang baik (Rawat & Bakshi, 2011). Biplot populasi jabon berdasarkan analisis komponen utama dan analisis klaster hirarki karakter morfofisiologi benih dan bibit (Gambar 3.8) mempunyai pola yang hampir sama dan menghasilkan kecenderungan klasifikasi genetis 11 populasi jabon dalam empat kelompok (klaster). Kelompok I terdiri atas dua populasi (Kapuas dan Batu Licin), kelompok II memiliki dua anggota populasi (Gowa dan Pomalaa), kelompok III memiliki jumlah populasi terbesar, yaitu enam populasi (Kampar, OKI, Garut, Alas Purwo, Nusa Kambangan, dan Batu Hijau). Sementara itu, kelompok IV hanya memiliki satu populasi (Rimbo Panti). Sebagian besar pengelompokan jarak populasi secara geografis ke dalam satu group menunjukan bahwa populasi yang jaraknya berdekatan secara genetis memiliki kekerabatan yang lebih dekat, kecuali untuk populasi Rimbo Panti yang terisolasi dari populasi lainnya yang berasal dari satu pulau yang sama (Sumatera). Perusakan dan degradasi hutan yang sangat intensif pada wilayah tersebut menyebabkan populasi yang tersisa terisolasi dan mengalami penghanyutan genetis dan inbreeding yang menghasilkan keragaman genetis antarpopulasi yang tinggi. Beberapa penelitian keragaman genetis untuk jenis jabon putih juga dilakukan dengan menggunakan penanda molekuler. Mardiningsih (2002) menggunakan allozyme untuk menganalisis keragaman genetis populasi jabon di Kalimantan Timur, sedangkan Phui et al. (2008) dan Seng et al. (2010) menggunakan simple sequence repeats pada populasi jabon di Serawak. Mardiningsih (2002) KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 45
melaporkan bahwa keragaman dalam populasi jabon cukup besar, sedangkan Phui et al. (2008) dan Seng et al. (2010) mengemukakan bahwa antarpopulasi jabon di Serawak terdapat hubungan yang kuat. Sudrajat et al. (2015b) menggunakan AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphisms) untuk menganalisis keragaman genetis jabon putih dari empat pulau berbeda: Sumatera (populasi Kampar), Nusa Kambangan, Kalimantan (populasi Kapuas Tengah), dan Sulawesi (populasi Pomalaa). Hasilnya menunjukan bahwa jumlah lokus polimorfis (JLP) berkisar antara 135 (populasi Kampar) hingga 242 (populasi Kapuas) dengan persentase lokus polimorfis 46,71% (populasi Kampar) hingga 83,74% (populasi Kapuas) (Tabel 3.5). Nilai heterozigositas (He) berkisar 0,1489 (populasi Kampar) hingga 0,3339 (populasi Kapuas). Indeks Shannon terendah dihasilkan oleh populasi Kampar (0,2278), sedangkan indeks Shannon terbesar Secara ditunjukkan oleh populasi Kapuas (0,4894). keseluruhan, rerata nilai heterozigositas dan indeks Shannon masing-masing ialah 0,2788 dan 0,4347, sedangkan jumlah alel per lokus dan jumlah alel efektif per lokus ialah 1,9723 dan 1,4475. Keragaman dalam populasi jabon pada penelitian ini cukup tinggi. Rerata nilai He jabon dari 4 populasi yang diuji (He = 0,2788) lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis tropis lainnya, seperti Tonna chinensis di Jawa (Hidayat 2011), Shorea leprosula dan Shorea parvifolia (Cao et al., 2011) dan jenis-jenis lainnya pada Tabel 3.7, kecuali pada Azadiracta indica (Singh et al., 1999). Keragaman genetis jabon putih juga lebih tinggi (indeks Shannon berkisar 0,2278–0,4894) bila dibandingkan dengan hasil penelitian Tiong et al. (2010) pada enam populasi jabon di Serawak dengan indeks Shannon berkisar 0,154–0,235 dan Seng et al. 46 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
(2010) pada uji keturunan jabon yang melibatkan 247 famili dengan rerata indeks Shannon 0,296. Keragaman genetis dalam populasi yang relatif tinggi ini menunjukan bahwa populasi jabon tersebut masih memiliki ukuran populasi yang cukup memadai untuk melakukan perkawinan silang sehingga keragamannya masih terpelihara. Kapuas KK
Kampar KR
Nusa Kambangan NK
2 3 4 6 14 24 1 4 6 7 9 10 11 12 13 14 2 7 11 12 13 15
Pomalaa PM
17 22 23 24 6 7 8 10 21
Gambar 3.9. Contoh cetak AFLP untuk jabon putih
KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 47
Tabel 3.6. Keragaman genetis di dalam populasi famili jabon berdasarkan APLF Populasi
n
JLP
Kapuas Kampar Nusa Kambangan Pomalaa Rerata Total SD
6 10 10
242 135 156
PLP (%) 83,74 46,71 53,98
5 7,75 31
176 177 281
60,90 61,33 97,23
Na
Ne
He
I
1,8374 1,4671 1,5398
1,5846 1,2478 1,3287
0,3339 0,1489 0,1940
0,4894 0,2278 0,2904
1,6090 1,6133 1,9723 0,1643
1,3774 1,3846 1,4475 0,3058
0,2270 0,2756 0,2788 0,1465
0,3394 0,3367 0,4347 0,1871
Keterangan: n = ukuran sampel, JLP = jumlah lokus polimorfis, PLP = persen lokus polimorfis, Na = jumlah alel yang teramati (Kimura & Crow, 1964), Ne = jumlah alel efektif (Kimura & Crow, 1964), He = heterosigositas (Nei’s (1973) gene diversity), I = indeks Shannon (Lewontin, 1972), SD = standar deviasi dari nilai total.
Keragaman genetis antarpopulasi diukur dengan jarak genetis antarpopulasi, differensiasi genetis (Gst) dan analisis klaster. Kisaran jarak genetis Nei’s paling kecil terjadi antara populasi Nusa Kambangan dan Kampar (0,0284), sedangkan jarak terbesar ditemukan antara populasi Pomalaa dan Kapuas (0,1946) (Tabel 3.6). Jarak genetis tidak berkorelasi nyata dengan jarak geografis (Gambar 3.10). Populasi Kampar dan Nusa Kambangan membentuk satu klaster pada jarak genetis kurang dari 5%. Kemiripan terjadi juga antarpasangan individu dari populasi yang berbeda yang dapat dilihat pada dendrogram kekerabatan genetis antarfamili pada Gambar 3.9, namun sebagian besar individu-individu tersebut mempunyai jarak genetis yang cukup lebar (>10%). Berdasarkan analisis AFLP, tingkat differensiasi populasi jabon pada penelitian ini juga menunjukan nilai yang cukup tinggi (Gst = 0,2707) jika dibandingkan dengan tingkat 48 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
diferensiasi populasi jabon di Serawak, Malaysia (Gst = 0,2013) (Tiong et al., 2010). Apabila dibandingkan dengan jenis-jenis lainnya yang dianalisis dengan AFLP, keragaman antarpopulasi jabon dalam penelitian ini relatif lebih tinggi, seperti pada Shorea leprosula di Indonesia dengan Gst = 0,25 (Cao et al., 2006), dan Hibiscus tiliaceus di Cina Selatan dengan Gst = 0,152 (Tang et al., 2003). Hasil ini sepertinya bertolak belakang dengan harapan rendahnya keragaman genetis antarpopulasi untuk jenis-jenis tanaman hutan yang mempunyai umur panjang dan kawin silang (Loveless & Hambrick 1984). Jarak antarpulau yang cukup jauh dengan hambatan alam yang besar menyebabkan aliran gen antarpopulasi yang diamati relatif rendah (Nm = 1,3473). Laju aliran gen jabon pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan jenis lainnya, seperti Shorea leprosula (Nm = 1,54) (Cao et al., 2006). Populasi Kapuas population Kapuas
Populasi Kampar population Kampar
Populasi
Nusa Kambangan Nusa population
Kambangan
Populasi Pomalaa population Kampar
KKT3KK3 KKT6KK6 PM7 CPK7 KK14 KKT14 KK24 KKT24 KKT4KK4 JNK15 KK2 SKR2 KR13 SKR13 KR6 SKR6 KR10 SKR10 KR11 SKR11 KR14 SKR14 KR4 SKR4KR7 SKR7 KR9 SKR9 NK7 JNK7 NK13 JNK13 NK17 JNK17 NK11 JNK11 JNK2NK7 KR12 SKR12 NK12 JNK12 NK23 JNK23 SKR1KR1 NK22 JNK22 NK24 JNK24 CPK21 PM21 CPK8 PM8 CPK6 PM6 CPK10 NK15 CPK15 PM10
Gambar 3.10. Pola kekerabatan genetis antara famili jabon dari empat populasi dengan metode UPGMA hhjjj
KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 49
F. Pengembangan Sumber Benih Sumber benih jabon putih yang sudah dimuliakan hingga saat ini belum tersedia. Sementara itu, kegiatan penanaman saat ini menggunakan benih yang berasal dari sumber benih hasil penunjukan berupa hutan alam atau hutan tanaman dengan kelas Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT). Kelas sumber benih tersebut merupakan kelas terendah dalam klasifikasi sumber benih yang berlaku di Indonesia. Inisiasi pengembangan sumber benih yang dimuliakan telah dilakukan dengan membangun uji keturunan, seperti pembangunan uji keturunan jabon putih di Wonogiri, Jawa Tengah oleh Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta (Setyadi et al., 2013). Selain itu, populasi pemuliaan jabon putih juga dibangun di dua lokasi: Parungpanjang (Bogor) dan Limbangan (Garut) dalam bentuk uji provenansi-keturunan dengan melibatkan 105 famili dari 12 provenansi (Rimbo Panti, Kampar, Ogan Komering Ilir, Garut Selatan, Nusa Kambangan, Alas Purwo, Kapuas, Batu Licin, Gowa, Pomalaa, Batu Hijau, dan Kuala Kencana) (Sudrajat, 2015a). Pertumbuhan awal tinggi dan diameter jabon uji provenansiketurunan umur satu tahun di Parungpanjang dan Limbangan menunjukan perbedaan nyata antarprovenansi dan antarfamili di dalam provenansi. Tingkat keragaman genetis jabon ditemukan lebih tinggi antarprovenansi daripada antarfamili di dalam provenansi yang memberikan indikasi kemungkinan untuk menggunakan provenansiprovenansi yang berpenampilan lebih baik sebagai sumber benih untuk kegiatan pembangunan hutan tanaman. Heritabilitas famili menunjukan lebih tinggi daripada heritabilitas individu sehingga kemajuan genetis yang lebih tinggi akan diperoleh dari seleksi famili daripada seleksi 50 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
masa. Bagaimana pun juga, heritabilitas yang relatif rendah pada semua parameter di kedua tapak memberikan indikasi bahwa kemungkinan perolehan genetis melalui seleksi menghasilkan perolehan yang rendah. Oleh sebab itu, seleksi sebaiknya dilakukan hingga heritabilitas mencapai nilai yang tinggi dan lebih stabil yang umumnya untuk jenis cepat tumbuh dicapai pada umur 2–3 tahun. Kombinasi seleksi famili dan seleksi individu di dalam famili akan lebih efektif untuk meningkatkan pertumbuhan jenis ini (Sudrajat et al., 2015c). Melalui seleksi yang direncanakan tahun ke-3, ke-4, dan ke-5; uji keturunan tersebut akan dikonversi menjadi kebun benih semai. Daftar Pustaka Anjum, S., Xie, X., Wang, L., Saleem, M., Man, C. & Lei, W. 2011. Morphological, physiological and biochemical responses of plants to drought stress. African J. Agric. Res., 6(9): 2026–2032. Ayele, T.B., Gailing, G. & Finkeldey, R. 2011. Assessment and integration of genetic, morphological and demographic variation in Hagenia abyssinica (Bruce) J.F. Gmel. to guide its conservation. J. Nat. Conserv., 19: 8–17. Bawa, K.S. & Krugman, S.L. 1990. Reproductive biology and genetics of tropical trees in relation to conservation and management. In: Gomez-Pampa A, Whitmore TC, Hadley M, editors. Rain forest regeneration and management. The Parthenon Publishing Group. pp. 119–136. Budiman, B., Sudrajat, D.J., Lee, D.K. & Kim, S.Y. 2015. Effect of initial morphology on field performance in KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 51
white jabon seedlings at Bogor, Indonesia. For. Sci. Tech., 11(4): 206–211. doi:10.1080/21580103.2015. 1007897. Cao,C.P., Finkeldey, R., Siregar, I.Z., Siregar, U.J. & Dailing, O. 2006. Genetic diversity within and among populations of Shorea leprosula Miq. and Shorea pevifolia Dyer (Dipterocarpaceae) in Indonesia detected by AFLPs. Tree Gen. Genom., 2(4): 225–239. Fernandez, G.C.J. 1992. Effective selection criteria for assessing plant stress tolerance. In: Proceedings of the international symposium on adaptation of vegetable and other food crops in temperature and water stress. Taiwan. pp. 257–270. Glaubitz, J.C. & Moran, G.F. 2000. Genetic tools: the use of biochemical and molecular markers. In: Young A, Boshier D, and Boyle T, editors. Forest conservation genetics, principles and practice. CSIRO Publishing and CABI Publishing. pp. 39–62. Haneda, N.F., Wilarso, S., Tiryana, T., Seo, J.W. & Susanty, S.C. 2012. Inventarisasi praktek silvikultur, pertumbuhan dan hama jabon di hutan rakyat. Laporan Penelitian Tahun 2012. SEAMEO-BIOTROP Bogor. Hidayat, Y. 2011. Variasi genetik populasi pohon surian (Toona chinensis Roem) di Pulau Jawa (Disertasi). Bandung (ID): Program Pascasarjana Universitas Pajajaran. Bandung. Johnson, H.W., Robinson, H.F. & Comstock, R.F. 1955. Estimates of genetic and environmental variability in Soyabean. Agron. J., 47: 14–318. Johnson, R., Clair, B.S. & Lipow, S. 2001. Genetic conservation in applied tree breeding programs. In: Thielges BA, Sastrapraja SD, Rimbawanto A., editors. 52 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Proceeding of International Conference on In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial Tropical Trees. Yogyakarta. Kartawinata, K. 1994. The use of secondary forest species in rehabilitation of degraded forest lands. J Trop. For. Scie., 7(1): 76–86. Kimura, M. & Crow, J. 1964. The number of alleles that can be maintained in a finite population. Genetics, 49: 725–738. Kozlowski, T.T. 1997. Responses of woody plants to flooding and salinity. Tree Physio. Monogr., 1: 1–28. Krisnawati, H., Kallio, M. & Kanninen, M. 2011. Anthocephalus cadamba Miq.: ekologi, silvikultur dan produktivitas. Bogor (ID): Center for International Forestry Research, Bogor. Lamprecht, H. 1989. Silviculture in the tropics; Tropical forest ecosystems and their tree species – Possibilities and methods for their long-term utilization. Eschbor (DE): Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ). Lewontin, R.C. 1972. The apportionment of human diversity. Evol. Biol., 6: 381–398. Loveless, M.D. & Hamrick, J.L. 1984. Ecological determinants of genetic structure in plant populations. Ann. Rev. Ecol. Systematics, 15: 65–95. Mansur, I. & Surahman. 2011. Respon tanaman jabon (Anthocephalus cadamba) terhadap pemupukan lanjutan (NPK). J. Silvik. Trop., 3(1): 71–77. Mardiningsih, O. 2002. Teknik kultur in vitro dan variasi genetik jabon (Anthocephalus cadamba Roxb.) KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 53
Skripsi. Bogor (ID): Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A. & Kadir, K. 1989. Atlas kayu Indonesia jilid II. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. Millar, C.I., Stephenson, N.L. & Stephens, S.L. 2007. Climate change and forests of the future: managing in the face of uncertainty. Ecological Applications, 17: 2145–2151. Namkoong, G., Synder, E.B. & Stonecypher, R.W. 1966. Heratibility and gain concepts for evaluating breeding system such as seedling orchards. Silvae Genetica, 15: 76–84. Nei, M. 1973. Analysis of gene diversity in subdivided population. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 70: 3321– 3323. Olaoye, G., Menkir, A., Ajala, S.O. & Jacob, S. 2009. Evaluation of local maize (Zea mays L.) varieties from Burkina Faso as source of tolerance to drought. J. Applic. Biosci., 17: 887–898. Orwa, C., Mutua, A., Kindt, R., Jamnadass, R. & Anthony, S. 2009. Agroforestry tree database: a tree reference and selection guide version 4.0. http://www.worldagroforestry.org/treedb2/AFTPDFS/ Anthocephalus cadamba. pdf. diakses 12 Juli 2011. Phillips, P.D., Yasman, I., Brash, T.E. & van Gardingen, P.R. 2002. Grouping tree species for analysis of forest data in Kalimantan (Indonesian Borneo). For. Ecol. Manag., 157: 205–216.
54 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Phui, S.L., Ho, W.S. & Julaihi, A. 2008. Microsatellite markers for Neolamarkia cadamba (Roxb.) Bosser (Kelampayan): preliminary result. Proceedings of the 1st Research Symposium on Biotechnology: Curent Atate of Knowledge and Future Directions. Department of Moleculer Biology, Faculty of Resource Science and Technology, University Malayasia Serawak. Possen, B.J.H.M., Oksanen, E., Rousi, M., Ruhanen, H., Ahonen, V., Tervahauta, A., Heinonen, J., Heiskanen, J., Kärenlampi, S. & Vapaavuori, E. 2011. Adaptability of birch (Betula pendula Roth) and aspen (Populus tremula L.) genotypes to different soil moisture conditions. For. Ecol. Manag., 262: 1387– 1399. PPT (Pusat Penelitian Tanah). 1983. Jenis dan Macam Tanah di Indonesia untuk Keperluan Survai dan Pemetaan Tanah Daerah Transmigrasi. Bogor (ID): Pusat Penelitian Tanah Bogor. Rawat, K. & Bakshi, M. 2011. Provenance variation in cone, seed and seedling characteristics in natural populations of Pinus wallichiana A.B. Jacks (Blue Pine) in India. Annals For. Res., 54(1): 39–55. Rehfeldt, G.E., Crookston, N.L., Warwell, M.V. & Evans, J.S. 2006. Empirical analyses of plant–climate relationships for western United States. International Journal of Plant Science, 167: 1123–1150. Sanches-Diaz, M., Tapia, C. & Antolin, M.C. 2008. Abscisic acid and drought response of canarian laurel forest tree species growing under controlled conditions. Environ. Experim. Bot., 64: 155–161.
KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 55
Seng, H.W., Siong, L.K., Bakar, E.A., Julin, F.B., Asyawandie, M.K.M. & Loi, P.S. 2010. Genetic diversity of kalampayan using dominant DNA markers based on inter-simple sequence repeats (ISSR) in Serawak. Partnership Programme Serawak Forestry Corporation and University Malayasia Serawak. Serawak. Setyadi, T., Nirsatmanto, A. & Sunarti, S. 2013. Genetic variation on early growth of jabon (Antocephalus spp.) observed in fisrt generation seedling seed orchard. International Conference of Indonesia Forestry Researchers, Bogor. Shukla, R.P. & Ramakrishnan, P.S. 1986. Architecture and growth strategies of tropical trees in relation to successional status. Journal of Ecology, 74: 33–46. Singh, A., Negi, M.S., Rajagopal, J., Bhatia, S., Tomar, U.K., Srivastava, P.S. & Lakshmikumaran. 1999. Assessment of genetic diversity in Azadirachta indica using AFLP markers. Theorit. Appl. Gen., 99: 272– 279. Slik, J.W.F. 2006 Trees of Sungai Wain. National Herbarium Nederland, Leiden University Branch, Leiden, Belanda. Soepardi, G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Bogor (ID): IPB Press. Soerianegara, I. & Lemmens, R.H.M.J. 1993. Plant resources of South-East Asia 5(1): Timber trees: major commercial timbers. Wageningen (NL): Pudoc Scientific Publishers. Soetrisno, K. 1996. Pengaruh kandungan air tanah terhadap pertumbuhan anakan jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Frontir, 18: 99–109. 56 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Steffens, B., Wang, J. & Sauter, M. 2006. Interactions between ethylene, giberellin and abscisic acid regulate emergence and growth rate of adventitious roots in deep water rice. Planta, 233: 604–612. Sudrajat, D.J. 2015a. Genetic variation of fruit, seed and seedling characteristics among 11 populations of White jabon in Indonesia. For. Sci. Tech., DOI: 10.1080/21580103.2015.1007896. p. 1–7. Sudrajat, D.J. 2015b. Keragaman populasi, uji provenansi dan adaptasi jabon (Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser). Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sudrajat, D.J., Siregar, I.Z., Khumaida, N., Siregar, U.J. & Mansur, I. 2015a. Adaptability of white jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) seedling from 12 populations to drought and waterlogging. Agrivita J. Agric. Sci., 37(2): 130–143. Sudrajat, D.J., Siregar, I.Z., Khumaida, N., Siregar, U.J. & Mansur, I. 2015b. Genetic diversity of white jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) based on AFLP markers. Asia Pasific J. Mol. Biol. Biotech., 2(3): 224– 231. Sudrajat, D.J., Siregar, I.Z., Khumaida, N., Siregar, U.J. & Mansur, I. 2015c. Genetic Parameters on Early Growth of Anthocephalus cadamba Miq. in Provenance-Progeny Test in West Java, Indonesia. Biotropia. Inpress. Sudrajat, D.J., Yulianti, Siregar, I.Z., Khumaida, N., Siregar, U.J. & Mansur, I. 2014. Karakteristik tapak, benih dan bibit jabon putih (Anthocephalus cadamba Miq.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 11(1): 31–44. KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 57
Tang, T., Zhong, Y., Jian, S. & Shi, S. 2003. Genetic diversity of Hibiscus tiliaceus (Malvaceae) in China assessed by AFLP markers. Annals Bot., 92: 409–414. Tiong, S.Y., Chew, S.F., Ho, W.S. & Julaihi, A. 2010. Genetic diversity of kelampayan (Neoklamarkia cadamba) in Serawak using ISSR markers. Proceeding of the 3rd Biotechnology Colloquium 2010. How far have we gone? Departement of Molecular Biology, Faculty of Resource Science and Technology. Universiti Malaysia Serawak. Tisdale, S.L., Nelson, W.L. & Beaton, J.D. 1985. Soil fertility and fertilizer. 4th Edition. New York (US): Macmillan. Vuokko, R. & Otsamo, A. 1996. Species and provenance selection for plantation forestry on grassland. In Reforestation: metting the future industrial wood demand. Proceedungs of a workshop held in Jakarta, 30 April-1 May 1996. Ministry of Forestry of Indonesia and Enso Forest Development Oy Ltd. Jakarta. Wang, J.R., Hawkins, C.D.B. & Letchford, T. 1998. Photosynthesis, water and nitrogen use efficiencies of four paper birch (Betula papyrifera) populations grown under different soil moisture and nutrient regimes. For. Ecol. Manag., 112: 233–244. White, T.L., Adams, W.T. & Neale, D.B. 2007. Forest genetics. CAB International. Wallingford Oxfordshire (UK): CABI Publishing. Wright, I.J. & Westoby, M. 1999. Differences in seedling growth behaviour among species: trait correlations across species, and trait shifts along nutrient compared to rainfall gradients. Journal of Ecology, 87: 85–97. 58 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Yamamoto, F., Sakata, T. & Terazawa, K. 1995. Physiological, morphological and anatomical responses of Fraxinus mandshurica seedlings to flooding. Tree Physiol., 15: 713–19. Yarnia, M., Arabifard, N., Khoei & Zandi, P. 2011. Evaluation of drought tolerance indices among some winter rapeseed cultivars. African J. Biotech., 10(53): 10914–10922. Zobel, B. & Talbert, J. 1984. Aplied forest tree improvement. Illinois (US): Waveland Press Inc.
KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 59
BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH Agus Astho Pramono dan Evayusvita Rustam A. Pendahuluan
S
alah satu tahap dalam upaya pembangunan hutan tanaman ialah ketersediaan pasokan benih dan bibit yang berkualitas. Hal ini berkaitan erat dengan teknik memproduksi benih dan bibit yang berkualitas. Banyak permasalahan yang ditemui dalam opersional di lapangan untuk mendapatkan benih dalam kualitas dan kuantitas yang mencukupi. Beberapa permasalahan telah menyebabkan produksi benih yang rendah antara lain keterbatasan pohon induk, ketidak teraturan musim buah, ketidakpahaman karakter bunga dan benih, serta rendahnya penguasaan teknik pengunduhan benih. Rendahnya produksi benih juga disebabkan oleh kendala-kendala ekologis dan/atau kendala biologis. Menurut Owen (1995), produksi benih yang rendah disebabkan oleh kendala biologis, antara lain (1) lemahnya inisiasi bunga, (2) pembungaan yang tidak serempak, (3) gugurnya bunga, (4) gugurnya bakal biji, (5) gugurnya embrio, dan (6) kegagalan benih atau buah untuk berkembang menjadi masak atau ketidakmampuan pengunduh untuk menentukan saat buah masak. Upaya untuk memecahkan permasalahan-permasalahan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yang semuanya harus dimulai dengan pemahaman tentang biologi reproduksinya. BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH | 61
Oleh karena itu, upaya meningkatkan produksi benih perlu disertai dengan mengenal dan memahami biologi reproduksi yang meliputi fenologi pembungaan. Fenologi pembungaan atau proses pembungaan memiliki tahapan penting yang semuanya harus berhasil dilangsungkan untuk memperoleh hasil akhir, yaitu biji (Ashari, 1998). Tahapan dalam pembungaan berupa induksi bunga (evokasi), inisiasi bunga, perkembangan kuncup bunga menuju anthesis, anthsesis, penyerbukan dan pembuahan, serta perkembangan buah muda menuju kemasakan buah dan biji (Elisa, 2004). Mengetahui saat pohon menghasilkan buah yang masak secara fisiologis merupakan hal yang penting. Mmenurut Copeland (1976), benih yang masak memiliki kondisi fisis dan fisiologis yang telah berkembang sempurna untuk bisa mengekspresikan secara maksimum vigornya. Benih ini pada umumnya juga lebih tahan untuk disimpan. Sebaliknya, keterlambatan mengunduh juga dapat berakibat buruk. Memanen setelah buahnya benar-benar masak kadang benar namun tidak selalu demikian, karena masak fisiologis benih dapat dicapai sebelum masak morfologis. Menunda panen demikian sama artinya dengan menyimpan benih di pohon yang bersuhu tinggi dan lembab. Pada suatu tegakan sumber benih, kadang menentukan saat pengunduhan yang tepat tidak mudah dilakukan karena buah masak seringkali tidak bisa dilihat secara visual dari bawah pohon atau petugas pengunduh tidak dapat memantau kondisi pembuahan pada suatu sumber benih secara rutin setiap saat [terutama jika lokasinya relatif jauh]. Dengan demikian, upaya mendapatkan teknik memprediksi musim buah berdasarkan fenologi pohon sangat diperlukan. Dalam hal ini, periode buah masak dapat diprediksi berdasarkan pemahaman yang baik tentang tata waktu perkembangan bunga dan buah. Pemahaman tentang karakteristik morfologi dalam 62 | Agus Astho Pramono dan Evayusvita Rustam
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
perkembangan bunga dan buah, serta jangka waktu yang diperlukan untuk perubahan dari satu tahap ke tahap yang lain akan sangat membantu dalam memprediksi kapan saat pengunduhan buah yang tepat. B. Morfologi Bunga dan Buah Jabon 1. Morfologi Bunga Jabon Bunga jabon (Gambar 4.1) merupakan bunga majemuk tak berbatas (inflorescentia racemosa) yang tersusun dalam satu rangkaian bunga yang berbentuk bulat disebut bongkol (capitullum). Kumpulan bunga tersusun pada dasar bunga yang berbentuk bulat. Malai bunga muncul dari ujung setiap anak cabang (terminal). Satu bongkol bunga majemuk menghasilkan 4.080 hingga 7.200 bunga tunggal.
Gambar 4.1. Bunga majemuk jabon putih
Berdasarkan kelengkapannya, bunga jabon disebut bunga lengkap karena setiap bagian dari bunga berada dalam satu BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH | 63
kuntum bunga. Kelopak bunga berwarna putih berjumlah 5 helai dan saling berlekatan, panjang sekitar 1,13–1,55 mm dan diameter sekitar 0,53 mm. Mahkota bunga gamopetal, yaitu petal menyatu pada pangkalnya dan membentuk seperti cawan dengan panjang petal 3,0–3,6 mm, diameter ujung mahkota sekitar 0,8 mm, berwarna kuning dengan jumlah 5 helai mahkota. pistillum
stamen petal sepal
Gambar 4.2. Bunga tunggal dan struktur bunga jabon putih
Berdasarkan kelengkapan jenis kelamin, bunga jabon merupakan bunga banci (hermaphroditus) yang mana benang sari (stamen) dan putik (pistillum) berada dalam satu bunga (Gambar 4.2). Benang sari berjumlah sama dengan jumlah kelopak dan mahkota, yaitu 5 helai dengan tangkai pendek atau melekat pada tabung mahkota sehingga posisi kepala sari tenggelam di dalam mahkota; panjang benang sari sekitar 0,44 mm. Putik berjumlah satu, berwarna putih, dan putik memanjang keluar pada saat bunga mekar. Panjang tangkai putik sekitar 3,73–4,47 mm dengan kepala 64 | Agus Astho Pramono dan Evayusvita Rustam
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
putih sepanjang 0,077–0,86 mm. Posisi kepala putik menjuntai keluar dari mahkota bunga. Putik dan kepala putik yang menjuntai keluar panjangnya sekitar 1,37–1,69 mm. Putik (alat kelamin betina) dengan tangkai yang langsing memanjang keluar dari kelopak dengan posisi yang berada jauh di atas tangkai sari dan mengindikasikan bahwa penyerbukan jabon memerlukan bantuan serangga yang harus mengunjungi bunga untuk menyentuh kepala sari yang menempel di bagian dalam mahkota bunga. 2. Morfologi Buah Jabon Buah merupakan buah semu majemuk tersusun dari kumpulan buah tunggal, berbentuk bulat dan lunak, dengan bagian atas terdiri atas empat struktur berongga atau padat. Dalam satu buah terdapat 3.280–5.792 buah tunggal.
Gambar 4.3. Buah semu majemuk jabon putih BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH | 65
Buah jabon berbentuk kapsul berdaging yang berkelompok rapat bersama untuk membentuk daging buah. Ukuran buah bervariasi. Hasil pengamatan terhadap tegakan jabon yang berada di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, menghasilkan buah yang berukuran panjang 28,3–53,5 cm dan lebar 27,5–51,1 cm, dengan berat sekitar 13,7–70,4 gr. Satu buah memiliki empat ruangan yang berisi kumpulan benih. Selaput yang menyelubungi benih memiliki kulit yang keras. Satu buah semu majemuk jabon menghasilkan benih murni seberat 0,042–0,067 gr atau berisi sekitar 4.000–14.500 butir benih. Benih jabon berwarna coklat yang bentuknya tidak teratur atau kadang berbentuk trigonal dengan ukuran sekitar 0,54–0,68 x 0,38–0,47 mm.
A
B
C
Gambar 4.4. Buah majemuk (A), buah tunggal (B), dan ruang yang berisi benih (C)
C. Periode Perkembangan Bunga dan Buah Perkembangan bunga dimulai dari munculnya kuncup bakal bunga yang terdapat pada bagian ujung dari anak cabang hingga bunga layu. Kemudian, proses dilanjutkan dengan 66 | Agus Astho Pramono dan Evayusvita Rustam
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
perkembangan buah. Tahapan perkembangan bunga dan buah dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Tunas generatif bakal bunga
Buah masak
Kuncup hijau
Kuncup kuning
Bunga mekar
Buah hijau
Bakal buah
Bunga layu
Gambar 4.5. Tahapan perkembangan bunga dan buah
Buah mencapai masak fisiologis ketika sudah berwarna kuning. Pada kondisi masak fisiologis, benih jabon berwarna coklat gelap. Gambar perkembangan benih jabon dari muda hingga masak ialah sebagai berikut:
BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH | 67
Benih dalam perkembangan ukuran, volume ovarium kecil, benih pucat transparan. Benih seperti ini dijumpai pada bakal buah atau buah kecil berwarna kuning kehijauan.
Benih berukuran besar, luna,k dan berwarna pucat. Ditemukan pada buah berwarna hijau.
Benih berukuram maksimal, keras berwarna coklat tua. Dijumpai pada buah berwarna kuning.
Gambar 4.6. Tahap perkembangan benih di dalam buah
68 | Agus Astho Pramono dan Evayusvita Rustam
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Tabel 4.1. Karakteristik morfologi dan periode perkembangan bunga dan buah jabon putih. No. Tahap 1.
Tunas generatif
2.
Kuncup hijau
3.
Kuncup kuning
4.
Bunga mekar
5.
Bunga layu
6.
Bakal buah / buah kecil kuning kehijauan
Uraian
Periode
Tunas bunga berbentuk seperti kerucut yang diselubungi sepasang seludang (sphata) bunga. Seludang bunga terlepas seiring bertambah besarnya bakal bunga. Kuncup bunga berwara hijau tersusun pada permukaan dasar bunga yang berbentuk bonggol dan susunan sangat rapat. Kuncup kemudian bertambah panjang dan mengalami perubahan warna. Pada tahap ini, mahkota bunga memiliki pertambahan ukuran panjang dan perubahan warna dari hijau menjadi kuning. Jarak antarbunga yang menempel di bonggol merenggang. Ciri bunga telah mekar ialah keluarnya putik dari kuncup bunga yang berwarna kuning. Putik memiliki ukuran yang sangat panjang sehingga pada saat mahkota membuka putik akan langsung keluar. Sementara itu, benang sari akan tetap berada di dalam mahkota bunga. Semua bagian-bagian penyusun bunga layu. Layunya bunga dimulai dari mahkota bunga yang berubah warna menjadi coklat dan selanjutnya diikuti oleh benang sari, putik, dan terakhir bagian bunga yang layu akan rontok dan menyisakan kelopak bunga yang menyelubungi bakal buah. Setelah bunga layu, bakal buah akan terbentuk. Pada tahap ini, bakal buah berwarna kuning kehijauan, kedudukan dari kumpulan biji berada di bagian bawah dari buah.
4–5 minggu
BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH | 69
No. Tahap 7.
Buah muda hijau
8.
Buah masak
Uraian Pada fase ini terjadi perkembangan pada kumpulan biji yang terkandung di dalamnya. Hal ini terlihat bahwa rongga antarbuah semakin memadat dan penuh, yang mana terjadi pertambahan panjang buah akibat perkembangan benih. Buah berwarna kuning kecoklatan pada buah menandakan buah telah masak. Benih yang terkandung dalam satu buah mengalami perubahan warna dari warna pucat menjadi warna coklat tua.
Periode 4–4,5 bulan.
D. Musim Buah Pohon jabon mulai menghasilkan buah dan benih setelah berumur lima tahun. Pohon mulai belajar berbunga pada umur empat tahun. Pembungaan umumnya dimulai pada bulan April–Agustus, kadang Maret–November, dan buah masak pada bula Juni–Agustus (Martawijaya et al., 1989). Menurut Bijalwan et al. (2014), pohon jabon mulai berbunga dan berbuah umur 6–7 tahun. Pada tegakan jabon di Kecamatan Rumpin Bogor, beberapa pohon diketahui memiliki periode buah masak dua kali setahun. Setelah pohon berbunga kemudian berkembang menjadi buah masak, dan setelah buah gugur langsung diikuti dengan munculnya bunga baru sehingga selisih antara buah pertama ke buah kedua ialah sekitar lima bulan. Bunga muncul di bulan November–Desember dan buah masak pada bulan April–Mei. Kadang setelah buah gugur, pohon jabon berbunga lagi dan buah masak kedua terjadi pada bulan Oktober–November. Pengumpulan benih buah dapat dilakukan dari buah yang berjatuhan. Buah kadang menjadi makanan kelelawar sehingga buah kadang harus diperoleh 70 | Agus Astho Pramono dan Evayusvita Rustam
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
bukan di bawah pohon bersangkutan, tetapi berada di tempat kelelawar memakan buah jabon. Daftar Pustaka Ashari, S. 1998. Pengantar Biologi reproduksi Tanaman. Rineka Cipta, Jakarta. Bijalwan, A, Dobriyal, M.J.R. & Bhartiya, J. K. 2014. A potential fast growing tree for Agroforestry and Carbon Sequestration in India: Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq. American Journal of Agriculture and Forestry, 2(6): 296–301. Elisa. 2004. Biologi Reproduksi Tanaman Buah-Buahan Komersial. Bayu Media Malang, Jawa Timur May, R.M., Lawton, J.H. & Stork, N.E. 1995. Extinction Rates. Oxfort University Press. pp. 1–24. Moncur, M.W., Rasmussen, G.F. & Hasan, O. 1994. Effect of Paclobutrazol on Flower Bud Production in Eucalyptus nitens Espalier Seed Orchards. Canadian Journal of Forest, 24: 46–49 Yuniarti, N., Zanzibar, M. & Pramono, A.A. 2013. Pendugaan vigor daya simpan benih antar jenis tanaman hutan berdasarkan karakteristik fisik, fisiologis dan kandungan biokimia. Dalam: Optimalisasi Peran Silvikultur untuk Menjawab Tantangan Kehutanan Masa Depa. Prosiding Seminar nasional Silvikultur I & Pertemuan Ilmiah Tahunan Masyarakat Silvikultur Indonesia Makasar, 29–30 Agustus 2013. pp 396–401. Nerd, A., Irijimovich, V. & Mizrahi, Y. 1998. Phenology, breeding system and fruit development of argan BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH | 71
(Argania spinosa, Sapotaceae) cultivated in Israel. Economic Botany, 52(2): 161–167. Owens, J.N. 1993. Biological Constraints to Seed Production in Tropical Forest Trees. In Proceedings International Symposium on Genetic Conservation and Production of Tropical Forest Tree Seed. Drysdale, R.M., John, S.E.T & Yapa, A.C. (eds). ASEANCANADA Forest Tree Seed Centre. Muak-Lek, Saraburi, Thailand. pp 40–51. Owens, J.N. 1995. Constraints to Seed Production: Temperate and Tropical Forest Trees. Tree Physiology 15. Heron Publishing. Canada. pp. 477–484. Pramono, A.A., Rustam, E., Ismiati, I. & Royani, H. 2012. Fenologi Jenis Nyawai (Ficus variegata), Suren (Toona sinensis), dan Kayu Bawang (Dysoxylum mollisimum). Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Bogor Pramono, A.A. 2014. Aspek Ekologi dan Silvikultur dalam Pengelolaan Sumber Benih dengan Pola Agroforestri: Kasus pada Surian (Toona sinensis (A. Juss) M. Roem) di Kabupaten Sumedang. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertaian Bogor. Pramono, A.A., Syamsuwida, D., Aminah, A., Royani, H., Muharam, A. & Abay. 2010. Teknik Peningkatan Produksi Benih Tanaman Hutan Penghasil Kayu Pertukangan Jenis Jelutung Rawa (Dyera lowii), Gelam (Melaleuca leucadendron) dan Suren (Toona sinensis). Laporan Hasil Penelitian. Sumber Dana Dipa Bptp Bogor Tahun 2010. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Tidak diterbitkan. 72 | Agus Astho Pramono dan Evayusvita Rustam
PENYIAPAN BENIH BERKUALITAS Eliya Suita dan Naning Yuniarti A. Pendahuluan
P
enyiapan benih berkualitas merupakan kegiatan teknologi perbenihan untuk menghasilkan benih bermutu fisis-fisiologis tinggi sebagai bahan tanaman yang berkualitas. Sumber benih berperan dalam menghasilkan mutu genetis yang baik. Dengan demikian, tingkatan sumber benih yang tinggi dan dipadu dengan penanganan benih yang baik, akan menghasilkan benih bermutu fisis-fisiologis dan genetis yang tinggi untuk meningkatkan produktivitas hutan tanaman. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan benih berkualitas diperlukan tahapan kegiatan meliputi pengumpulan buah yang sudah masak fisiologis, ekstraksi benih (proses pengeluaran benih dari buah), dan sortasi benih. B. Pengumpulan Buah Pengumpulan buah dilakukan pada areal sumber benih. Apabila sumber benih untuk suatu jenis belum tersedia, beberapa lokasi lain dapat dipertimbangkan, seperti (a) hutan lindung, (b) hutan rakyat, dan (c) hutan tanaman milik perusahaan BUMN/swasta. Pengumpulan buah dapat dilakukan dengan cara pengumpulan buah dari lantai hutan dan dari atas pohon. Buah dikumpulkan dari minimal 10 PENYIAPAN BENIH BERKUALITAS | 73
pohon induk untuk keperluan skala kecil dan minimal 25 pohon induk untuk keperluan skala besar. Pengumpulan buah dilakukan hanya pada pohon-pohon yang memiliki fenotip dan pertumbuhan baik, serta tidak tumbuh terisolir. Beberapa peralatan yang diperlukan dalam kegiatan pengumpulan buah, antara lain wadah benih (seperti karung goni, kantong kain katun, dan kantong plastik); penanda pohon atau pita berwarna, dan clipper besar; peralatan memanjat pohon; pemetik buah (seperti tongkat panjang atau galah berkait); pemotong ranting; teropong binocular untuk mengamati tajuk pohon dan perkembangan buah; kapak, gergaji, dan pisau; peralatan mengukur pohon; penampung buah/benih di bawah pohon (seperti terpal atau plastik), dan peralatan lainnya untuk berbagai keperluan (tali, label, spidol, buku, kaca pembesar, peta, kompas, altimeter dan kamera). Pengumpulan buah harus dilakukan pada saat sebagian besar pohon yang berada pada sumber benih berbuah. Semakin besar persentase pohon yang berbuah akan memengaruhi mutu benih secara genetis dan efisiensi biaya. Cara pengumpulan buah yang dipilih dipengaruhi oleh karakteristik benih, sebaran pohon induk, tegakan, dan kondisi lokasi. Pengumpulan buah jabon putih dilakukan dengan cara memanjat dan memetiknya dan/atau dengan cara mengumpulkan yang sudah jatuh. Buah jabon putih yang diunduh yaitu buah yang sudah tua/masak yang ditandai dengan kulit buah berwarna kuning atau coklat muda dan daging buah sudah lunak (Mansur & Taheteru, 2011). Buah yang dikumpulkan sebaiknya berukuran besar dan jika dibelah, akan terlihat ruang-ruang yang penuh biji. 74 | Eliya Suita dan Naning Yuniarti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Gambar 5.1. Buah jabon putih yang sudah masak
C. Ekstraksi Benih Ekstraksi benih jabon putih dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu ekstraksi kering dan basah. Menurut Mansur dan Taheteru (2011), apabila benih jabon putih diekstraksi cara kering akan menghasilkan kemurnian benih kurang dari 50% karena tercampur dengan serbuk dan daging buah. Sebaliknya, cara ekstraksi basah dapat menghasilkan kemurnian 100%. 1. Ekstraksi Kering Ekstraksi kering dilakukan dengan cara buah jabon putih dicacah hingga berukuran kecil dan tipis agar mudah kering, lalu dijemur selama ±2 hari. Cacahan buah yang sudah kering ditumbuk halus, kemudian disaring dengan menggunakan saringan santan (Mansur & Taheteru, 2011). PENYIAPAN BENIH BERKUALITAS | 75
2. Ekstraksi Basah Menurut Bogidarmanti et al. (2013), ekstraksi basah buah jabon dilakukan dengan menaruh buah jabon putih dalam karung dan memeramnya hingga daging buah lunak (±1 minggu). Selama pemeraman, penyiraman dilakukan setiap hari. Kemudian, buah jabon akan mengalami pecah-pecah dan dilanjutkan dengan perendaman dalam bak yang berisi air. Buah diremas-remas hingga hancur. Mengingat buah jabon berlendir, benih disaring lebih kurang tiga kali dengan pergantian air dan diendapkan. Kemudian, hasil tersebut disaring dengan kain blacu, diperas, dan dikeringanginkan selama 3–4 hari. Sementara itu, Mansur dan Taheteru (2011) menyebutkan bahwa cara ekstraksi basah buah jabon yaitu buah direndam dalam air semalam atau hingga buah lunak, kemudian buah diremas-remas hinga halus. Setelah itu, bahan disaring dengan saringan santan ukuran lubang 1–2 mm untuk memisahkan benih dan daging buah. Daging buah dibuang, sedangkan butiran yang lolos diendapkan. Kemudian, endapan disaring dengan kain blacu/sifon, diperas, dan dicuci beberapa kali hingga air bilasan bersih atau lendirnya hilang. Setelah itu, benih dikeringanginkan. D. Sortasi Benih Menurut Zanzibar (2008), sortasi ialah salah satu cara untuk meningkatkan viabilitas benih. Sortasi benih merupakan pengelompokan benih berdasarkan ukuran tertentu dan memisahkan benih dari kotoran lainnya. Sortasi secara umum bertujuan menentukan klasifikasi komoditas berdasarkan mutu sejenis yang terdapat dalam komoditas itu sendiri (Anugrahandy et al., 2013). Tujuan sortasi secara khusus ialah meningkatkan dan menjaga kemurnian benih (Bramasto, 2008). Sortasi benih dapat didasarkan pada sifat76 | Eliya Suita dan Naning Yuniarti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
sifat morfologi atau fisiologi benih, misalnya dimensi (kecil, sedang, dan besar) atau berat benih (Suita, 2010; Suita, 2013; Yuniarti et al., 2013). Sortasi benih meliputi kegiatan pemilahan fraksi berdasarkan karakteristik fisik (kadar air, bentuk ukuran berat, jenis, tekstur, warna, benda asing/kotoran), kimia (komposisi bahan, bau, dan rasa ketengikan), dan kondisi biologisnya (jenis dan kerusakan oleh serangga, jumlah mikroba, dan daya tumbuh khusus untuk benih). Sortasi dilakukan dengan cara penyaringan, pengukuran, dan penimbangan untuk memisahkan ukuran benih berdasarkan kelas ukuran tertentu. Cara penyaringan dengan ayakan (mes) akan efektif untuk benih-benih yang berukuran kecil dan untuk benih-benih yang berbentuk relatif bulat.
Gambar 5.2. Ukuran saringan untuk benih jabon putih
Sortasi benih jabon menggunakan saringan/ayakan (mes) berukuran 0,25 mm dan 0,3 mm. Benih besar ialah benih yang tertahan pada mes ukuran 0,3 mm, benih sedang ialah PENYIAPAN BENIH BERKUALITAS | 77
yang tertahan pada mes ukuran 0,25 mm, dan benih kecil ialah yang lolos dari mes 0,25. Benih hasil sortasi yang dikecambahkan sesuai ukuran benih masing-masing ±0,1 g, menghasilkan daya berkecambah benih untuk ukuran besar (>0,3 mm) 727 kecambah, ukuran sedang (0,25–0,3mm) 518 kecambah dan ukuran kecil (<0,25mm) 54 kecambah, sedangkan benih kontrol (sebelum sortasi) menghasilkan kecambah sebanyak 430 kecambah.
A
B
Gambar 5.3. Proses sortasi (A) dan hasil sortasi (B)
Menurut Duladi (2013), jumlah benih jabon putih per kg ialah 21.739.000–26.182.000 benih dengan berat satu butir benih jabon ialah 0,000038–0,000046 g. Sementara itu, menurut Bogidarmanti et al. (2013), jumlah benih jabon putih per kg ialah 26.667.667–28.888.889 butir atau berat satu juta butir biji kering udara ialah sekitar 38–56 g. Terdapat variasi antarpopulasi dalam ukuran buah dan benih tanaman jabon putih. Berat buah jabon putih berkisar antara 28,15–111,25 g. Panjang benih jabon putih berkisar antara 562,8–635,6 µm dan diameter benih antara 395,9–471,0 µm.
78 | Eliya Suita dan Naning Yuniarti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
A
B
Gambar 5.4. Benih jabon putih (A) dan benih jabon putih dilihat dengan mikroskop (B)
Daftar Pustaka Anugrahandy, A., Argo, B.D. & Susilo, B. 2013. Perancangan Alat Sortasi Otomatis Buah Apel Manalagi (Malus sylvestris Mill) Menggunakan Mikrokontroler AVR ATMega 16. Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem, 1(1): 1–9. Bogidarmanti, R., Mindawati, N. & Bramasto, Y. 2013. Manual Budidaya Jabon Putih. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Direktorat Bina Perbenihan Tanaman Hutan. Bramasto, Y. 2008. Teknik Penanganan Benih Tanaman Hutan Hasil Panen. Mitra Hutan Tanaman, 3(3): 131– 140. PENYIAPAN BENIH BERKUALITAS | 79
Duladi. 2013. Panduan Lengkap Pembibitan Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq). IPB Press. Mansur, I. & Tuheteru, F.D. 2011. Kayu Jabon. Penebar Swadaya. Suita, E. 2010. Seleksi dan Pendugaan Umur Simpan benih Tanaman Hutan Penghasil Kayu Energi Jenis Weru (Albizia procera) dan Pilang (Acacia leucophloea). Prosiding Workshop Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman. Tanggal 1 Desember 2010. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Hal : 323– 325. Suita, E. 2013. Pengaruh Sortasi Benih Terhadap Viabilitas dan Pertumbuhan Bibit Akor (Acacia auriculiformis). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan, 1(2): 83–91. Yuniarti, N., Megawati & Leksono, B. 2013. Pengaruh Metode Ekstraksi dan Ukuran Benih Terhadap Mutu Fisik-Fisiologis Benih Acacia crassicarpa. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 10(3): 129–137. Zanzibar, M. 2008. Metode Sortasi dengan Perendaman Dalam H2O dan Hubungan Antara Daya Berkecambah dan Nilai Konduktivitas Pada Benih Tusam (Pinus merkusii Jungh Et De Vriese). Jurnal Standardisasi, 10(2): 86–92.
80 | Eliya Suita dan Naning Yuniarti
PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi A. Pendahuluan
S
alah satu faktor yang menentukan keberhasilan penanaman jabon putih ialah tersedianya benih dan bibit berkualitas dalam jumlah yang cukup dan tepat waktu. Guna mendapatkan benih dan bibit berkualitas tersebut, teknik perkecambahan dan pembibitan yang tepat sangat diperlukan agar standar mutu benih dan bibit berkualitas tercapai. Perkecambahan benih merupakan salah satu indikator yang berkaitan dengan kualitas benih (Rohandi & Widyani, 2009). Tujuan pengujian perkecambahan (daya berkecambah) yaitu mendeteksi parameter viabilitas potensial benih dalam kondisi optimum (Sutopo, 2010). Selain pengujian daya berkecambah, teknik pembibitan juga harus dilakukan secara benar agar bibit yang dihasilkan berkualitas. Untuk menghasilkan bibit yang berkualitas dapat dilakukan melalui pembibitan secara generatif dengan media yang kaya bahan organik dan mempunyai unsur hara yang diperlukan tanaman (Durahim, 2001). Hal ini karena media tumbuh di persemaian menjadi penting sebagai tempat PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 81
tanaman menyerap unsur hara selama tanaman belum siap untuk di tanam di lapangan (Kurniaty et al., 2006). Pada beberapa jenis tanaman hutan, naungan diperlukan untuk mengurangi penguapan (transpirasi) dan mempertahankan kelembaban di persemaian sebagai suatu upaya manipulasi terhadap masuknya sinar matahari yang diterima oleh tanaman (Kurniaty et al., 2010). Dalam sertifikasi mutu benih dan bibit, perangkat berupa standar metode pengujian dan standar mutu benih dan bibit sangat diperlukan. Kebutuhan standar mutu benih dan bibit dalam rangka pengawasan mutu benih dan bibit yang beredar dinyatakan dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.01/Menhut-II/2009 pada pasal 47 yang menyatakan bahwa “Setiap benih atau bibit yang beredar harus jelas kualitasnya yang dibuktikan dengan: sertifikat mutu untuk benih atau bibit yang berasal dari sumber benih bersertifikat; atau surat keterangan pengujian untuk benih dan/atau bibit yang tidak berasal dari sumber benih bersertifikat”. Beberapa alasan penting ditetapkannya standar mutu benih dan bibit, antara lain (1) untuk perencanaan pengadaan bibit di persemaian, (2) mutu fisik dan fisiologis dapat menggambarkan mutu genetisnya, dan (3) perlindungan terhadap pengguna benih. B. Perkecambahan Secara morfologis, perkecambahan benih ialah perubahan bentuk dari embrio menjadi kecambah. Secara fisiologis, perkecambahan benih ialah dimulainya kembali proses metabolisme dan pertumbuhan struktur penting embrio yang tadinya tertunda ditandai dengan munculnya struktur tersebut menembus kulit benih. Secara biokimiawi, perkecambahan merupakan rangkaian perubahan lintasan82 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
lintasan oksidatif dan biosintesis. Secara teknologi benih, perkecambahan yaitu muncul dan berkembangnya struktur penting dari embrio, serta menunjukan kemampuan untuk berkembang menjadi tanaman normal dan diharapkan berproduksi normal pada kondisi lingkungan yang optimum (Widajati et al., 2012). Tahapan proses metabolisme perkecambahan dari benih hingga tumbuh menjadi kecambah normal, yaitu imbibisi, reaktivasi, inisiasi pertumbuhan embrio, retaknya kulit benih, munculnya akar menembus kulit benih, dan munculnya kecambah hingga kecambah normal. Faktorfaktor yang memengaruhi perkecambahan benih ialah faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor genetis, tingkat kemasakan benih, dan umur benih. Faktor eksternal (lingkungan perkecambahan) terdiri atas air, suhu, cahaya, gas, dan media perkecambahan (Widajati et al., 2012). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam teknik perkecambahan benih jabon putih, yaitu (1) densitas/ kerapatan benih, (2) sterilisasi media tabur benih, dan (3) media perkecambahan dan penaburan benih. 1. Densitas/Kerapatan Benih Pengujian densitas/kerapatan benih dapat memberikan informasi mengenai tingkat keberhasilan perkecambahan untuk mendukung pengadaan bibit dalam program penanaman. Penggunaan benih secara efektif untuk penaburan pada wadah bibit di persemaian dapat ditingkatkan dengan menggunakan daya berkecambah untuk menentukan tingkat penaburan. Pengujian densitas umumnya dapat dilakukan dengan mengatur jumlah benih di penanaman, populasi tanaman, PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 83
atau pengaturan jarak tanam. Densitas benih dapat dilakukan antara lain dengan cara mengatur jumlah benih per cm 2 atau bobot benih per cm2 di bak kecambah atau bedeng tabur sebelum kecambah atau semai dipindahkan ke persemaian. Pengujian densitas benih dapat dilakukan pada bak tabur berukuran 15 x 20 cm atau ukuran yang lain dengan jumlah benih yang ditabur disesuaikan dengan ukuran benih. Pengujian daya tumbuh kecambah di bedeng tabur merupakan pengujian benih dalam kondisi suboptimum yang bertujuan memprediksi kemampuan tumbuh benih pada kondisi yang mendekati kondisi sebenarnya di lapangan, serta dengan pengamatan pada hitungan awal dan akhir (Kartika, 1994). Penentuan kerapatan benih jabon putih berdasarkan data hasil pengamatan pada tahap pengusangan (0, 48, 96, 144, dan 192 jam). Apabila data daya berkecambah benih dari masing-masing tahap pengusangan sudah diperoleh, informasi kerapatan benih yang akan digunakan dapat diketahui. Penentuan kerapatan benih dihitung berdasarkan kelipatan nisbah kecambah yang tumbuh normal setiap lot (N) terhadap kontrol. Kerapatan benih jabon putih menggunakan benih seberat 0,1 gram benih dengan ukuran bak kecambah 300 cm2 sehingga kerapatan benih (d) awal atau d0 = 0,1 gram benih/300 cm2 (Kartika, 1994).
84 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Gambar 6.1. Bak kecambah ukuran 15x20 cm
Kerapatan benih setelah pengusangan dalam penelitian ini ialah (Kartika, 1994): d1 =
N0 d0 N1
d3 =
N0 d0 N3
d2 =
N0 d0 N2
d4 =
N0 d0 N4
Hasil nilai rerata daya berkecambah benih jabon putih berdasarkan taraf pengusangan dan densitas benih jabon putih setelah mengalami pengusangan dicantumkan pada Tabel 6.1 (Yuniarti et al., 2013).
PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 85
Tabel 6.1. Nilai rerata daya berkecambah benih jabon putih berdasarkan taraf pengusangan. Perlakuan Pengusangan P0 (0 Jam/kontrol) P1 (48 Jam) P2 (96 Jam) P3 (144 Jam) P4 (192 Jam)
Daya Berkecambah/ 0,1 gram benih 1.140 826 873 961 980
Densitas benih 0,1000 gram benih/300 cm2 0,1972 gram benih/300 cm2 0,2581 gram benih/300 cm2 0,1279 gram benih/300 cm2 0,1161 gram benih/300 cm2
2. Teknik Perkecambahan a. Sterilisasi media tabur Media tabur harus disterilisasi terlebih dahulu sebelum dilakukan penaburan benih. Tujuan dari sterilisasi media ialah menghilangkan mikroorganisme, seperti cendawan dan bakteri yang terdapat pada media tabur. Sterilisasi media dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu (1) media disangrai selama 2 jam, (2) media diuap air panas dengan menggunakan drum selama 1–1,5 jam, dan (3) media direbus dengan menggunakan drum selama 1–1,5 jam. b. Media perkecambahan dan penaburan benih Kamil (1982) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan substrat/media perkecambahan ialah bahan atau material di mana biji ditempatkan untuk pengujian perkecambahan. Persyaratan media yang baik untuk perkecambahan ialah ringan, tidak mahal, mempunyai komposisi yang seragam, mudah didapat, mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi, mengandung hara, porous, mampu menyimpan air, serta bebas hama dan penyakit. 86 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Benih jabon putih mempunyai ukuran yang sangat kecil sehingga memerlukan struktur media yang halus. Untuk mendapatkan struktur media yang halus dilakukan pengayakan media seperti pada Gambar 6.2.
Gambar 6.2. Persiapan media tabur
Sebelum penaburan benih dilakukan, media tabur disiram hingga jenuh dan disemprot dengan fungisida untuk mencegah timbulnya jamur penyebab busuk kecambah (Surip & Sumaryana, 2012). Benih jabon putih tidak memerlukan perlakuan pendahuluan sebelum ditabur. Untuk penaburan, benih dicampur dulu dengan pasir halus dengan perbandingan benih dan pasir halus yaitu 1:10/v:v (Gambar 6.3). Setelah dilakukan penaburan, bak kecambah ditutup dengan plastik transparan (Gambar 6.4) Hal ini dimaksudkan agar kelembaban di dalam bak kecambah bisa terjaga. Setelah benih tumbuh menjadi kecambah normal, tutup plastik dibuka agar cahaya dan udara luar bisa masuk karena diperlukan untuk pertumbuhan kecambah.
PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 87
Gambar 6.3. Cara penaburan benih jabon putih
Gambar 6.4. Cara penutupan plastik transparan di atas bak kecambah
Gambar 6.5. Pengamatan perkecambahan jabon putih 88 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Daya berkecambah benih memberikan informasi kepada pemakai benih terhadap kemampuan benih tumbuh normal menjadi tanaman yang berproduksi wajar dalam keadaan biofisik lapangan yang serba optimum (Sutopo, 2010). Benih jabon putih tumbuh menjadi kecambah normal pada hari ke 10 sejak penaburan. Pengamatan daya berkecambah (DB) diawali pada hari ke 10 sejak penaburan dan diakhiri pada ke 40 hari (Gambar 6.5). Kriteria kecambah normal benih jabon yaitu telah muncul sepasang daun (Gambar 6.6).
Gambar 6.6. Kecambah normal jabon putih
Gambar 6.7. Perkecambahan di media pasir : arang sekam (1:1) PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 89
Hasil pengamatan daya berkecambah menunjukan bahwa ada beberapa media perkecambahan yang cocok untuk benih jabon, yaitu (1) campuran media pasir : tanah : cocopeat dengan perbandingan volume 1:1:1 menghasilkan DB: 912 kecambah/0,1 g, (2) campuran media pasir : tanah : cocopeat : kompos (1:1:1:1) menghasilkan DB: 871 kecambah/0,1 g, (3) campuran media pasir : arang sekam (1:1) menghasilkan DB: 902 kecambah/0,1 g, dan (4) campuran media tanah : pasir (1:1) menghasilkan DB: 727 kecambah/0,1 g. C. Pembibitan 1. Pembuatan Media Sapih a. Media Media sapih harus memenuhi syarat murah, mudah didapat, ringan, mengandung hara, dan porous. Sebelum digunakan, media harus disterilkan terlebih dahulu dengan cara diuap air panas atau direbus dengan menggunakan drum. Dalam pembibitan jabon putih, media yang sesuai untuk pertumbuhan bibit hinga umur lima bulan ialah media kompos organik yang dapat menghasilkan tinggi 27,7 cm, diameter 2,23 mm, persen hidup 86%, berat kering 4,86 g, dan IMB 0,65 (Pramono et al., 2011). b. Wadah bibit Umumnya wadah bibit menggunakan kantung plastik yang berlubang di bagian bawah dan pinggirnya (polybag). Ukuran wadah tergantung bibit yang akan dibuat, mulai ukuran kecil (4 x 10 cm) yang biasa disebut sosis hingga ukuran 30 x 40 cm. Bibit jabon bisa menggunakan ukuran sosis. Selain polybag, polycup dapat juga digunakan. Wadah 90 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
ini dapat digunakan berulang, namun harganya lebih mahal dari polybag (Gambar 6.8)
A
B
Gambar 6.8. Polycup (A) dan bibit jabon dengan polycup (B)
c. Naungan Fungsi naungan pada bibit sewaktu kecil (Prastowo et al., 2006): 1) Mengatur sinar matahari yang masuk ke pembibitan (30– 60%). 2) Menciptakan iklim mikro yang ideal bagi pertumbuhan awal bibit. 3) Menghindarkan bibit dari sengatan matahari langsung yang dapat membakar daun-daun muda. 4) Menurunkan suhu tanah di siang hari, memelihara kelembaban tanah dan mengurangi derasnya curahan air hujan 5) Naungan dapat dibuat dari plastik, paranet atau dari pelepah daun. 6) Naungan yang cocok untuk bibit jabon putih yaitu yang memiliki kerapatan 50%. PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 91
2. Penyapihan Semai jabon yang disapih ialah semai yang telah memiliki minimal empat pasang daun atau sekitar 21–30 hari setelah penaburan. Penyapihan dilakukan pada pagi hari sekitar jam 7.00–10.00 atau sore jam 15.00–17.00. Sebelum disapih, media semai disiram sampai lembab untuk memudahkan pencabutan semai. Pencabutan dilakukan dengan hati-hati supaya akar tidak patah. Pinset atau batang yang lancip seperti pensil digunakan untuk membantu mencongkel semai. Semai ditanam dalam polybag atau polycup yang medianya telah dilubangi, kemudian media sekitar semai dipadatkan. Media disiram menggunakan sprayer. Polybag/polycup tersebut diletakkan di tempat yang teduh. Setelah segar, polybag/polycup disusun di dalam rak pembibitan dengan naungan 50% (Gambar 6.9).
Gambar 6.9. Semai yang telah disapih (Foto: Eva, 2015)
92 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
3. Tempat Pemeliharaan Bibit Bibit jabon yang telah disapih ke dalam polybag atau polycup sebaiknya dipelihara di atas rak pembibitan. Hal ini dapat mencegah kelebihan air siraman atau air hujan karena dengan menggunakan rak, air tersebut langsung jatuh sehingga bibit dapat terhindar dari serangan jamur akibat kelembaban yang tinggi. Selain itu, manfaat lain menggunakan rak ialah pertumbuhan akar tunggang akan terhambat dan akar lateral akan bertambah sehingga bibit menjadi kokoh (Gambar 6.10).
Gambar 6.10. Rak tempat pemeliharaan bibit (Foto: Rina, 2015)
PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 93
4. Pemeliharaan Bibit Pemeliharaan bibit jabon di persemaian terdiri atas: a. Penyiraman Penyiraman dilakukan sehari dua kali, yaitu pagi sekitar jam 6.00–8.00 dan sore jam 16.00–18.00 dengan menggunakan gembor b. Penyiangan Penyiangan ialah menghilangkan rumput atau tumbuhan liar yang tumbuh bersama semai c. Pemupukan Pemupukan dilakukan pada umur satu bulan setelah penyapihan dengan menggunakan pupuk NPK dosis 2 g per bibit, dan diulang pada umur dua bulan. d. Pewiwilan Pewiwilan dilakukan setelah tinggi bibit minimal 20 cm dengan membuang daun-daun tua, kering, busuk, atau berpenyakit, dan menyisakan tiga pasang daun teratas. e. Pemotongan akar Pemotongan akar rutin dilakukan agar akar tidak keluar dari polybag [jika menggunakan polybag]. Pemotongan terakhir minimal 1–2 minggu sebelum bibit didistribusikan. f. Penjarangan Jarak antarbibit perlu dijarangkan jika antarbibit sudah saling bersinggungan atau daunnya saling menutupi.
94 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
g. Penyulaman Penyulaman dilakukan jika ada bibit yang mati atau hampir seluruh bagian tanaman terserang hama atau penyakit. h. Pemberantasan hama dan penyakit Hama yang biasa menyerang bibit di persemaian antara lain ulat penggulung daun, kutu putih, dan ulat perisai. Pengendalian hama menggunakan insektisida berbahan aktif permetrin dan BPMC atau insektisida hayati berbahan aktif Bacillus thuringiensis, insektisida sistemik yang mengandung senyawa organophospor. Contoh insektisida antara lain Supracide 25 WP, Decis 2,5 EC, atau Reagent 50 SC dengan konsentrasi 2 cc/l air. Penyakit yang menyerang bibit di persemaian umumnya disebabkan oleh Rhizoctonia sp, Phytophthora sp, Fusarium sp, dan Phytium sp. Bibit yang terserang penyakit segera dipisahkan dari bibit yang sehat, kemudian seluruh bibit disemprot dengan Antracol 70 WP atau Dithane M-45 80 WP dengan konsentrasi 2 cc/l atau 2 g/l air. Penyemprotan diulang seminggu sekali. 5. Aklimatisasi Sebelum dipindahkan ke lapangan, bibit jabon perlu diadaptasi selama 3–4 minggu untuk menyesuaikan dengan kondisi di lapangan. Caranya yaitu dengan membuka naungan secara bertahap dari 50%, 30%, hingga terbuka, kemudian mengurangi penyiraman dan menjarangkan jarak antarbibit.
PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 95
6. Seleksi Bibit Seleksi bertujuan memilih bibit yang baik dan memenuhi syarat untuk ditanam di lapangan. Bibit jabon umur lima bulan telah siap dipindahkan ke lapangan. Ciri bibit yang baik, yaitu: a. Batang kokoh dan berkayu dengan warna kecoklatan. b. Batang tunggal, tumbuh tegak, proporsi antara diameter dan tinggi tampak seimbang. c. Pucuk sehat, daun segar dan tidak terserang hama atau penyakit. d. Media porus dan akarnya kuat mengikat media. Apabila bibit dicabut dari polybag/polycup, media dan akar akan membentuk gumpalan yang utuh (kompak) (Gambar 6.11).
A
B
Gambar 6.11. Bibit jabon siap tanam (A) dan kekompakan media dan perakaran pada bibit jabon siap tanam (B) (Foto: Rina, 2009) 96 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
7. Pengiriman Bibit Bibit dapat dikirim dengan dua cara, yaitu berupa cabutan/stump (tanpa polybag) atau dengan polybag. a. Bibit dalam bentuk cabutan dikirim dengan memberikan bahan pelembab pada akarnya (seperti cocopeat basah), kemudian dibungkus dengan pelepah pisang dan diikat. b. Bibit yang dikirim dengan polybag: media dalam polybag dikeluarkan setengahnya, kemudian diisi cocopeat basah. Bibit diletakkan di tempat yang teduh. Setelah satu minggu, bibit disusun dalam peti berventilasi dan siap untuk dikirim. c. Apabila pengiriman bibit lewat darat, media dalam polybag tidak perlu dikurangi. D. Standardisasi Mutu Benih dan Bibit Jabon Putih Bibit ialah tumbuhan muda hasil pengembangbiakan secara generatif atau secara vegetatif. Mutu bibit merupakan ekspresi yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan bibit beradaptasi dan tumbuh setelah penanaman (Mattson, 1996; Wilson & Jacobs, 2005). Mutu bibit juga didefinisikan sebagai sesuatu yang sesuai dengan tujuan (fitness for purpose) yang mencerminkan berbagai parameter yang menentukan bibit dapat beradaptasi dan tumbuh setelah ditanam di lapangan (Mattson, 1996; Wilson & Jacobs, 2005). Kriteria mutu bibit sangat terkait dengan jenis dan lingkungan tempat tumbuhnya (ekologi) sehingga tidak dapat diadopsi secara langsung dari berbagai jenis yang berbeda atau dari berbagai wilayah lain. Pengertian yang mendasar dalam memformulasikan suatu standar mutu bibit ialah mutu bibit bukan merupakan parameter yang kaku tetapi suatu yang dinamis dan merefleksikan semua aspek PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 97
dari lingkungan tempat tumbuh, perubahan musim, dan variasi perlakuan tanaman (Hawkins, 1996). Mutu bibit yang ditujukan untuk penanaman pada tapaktapak berbeda akan berbeda kriterianya, tetapi secara umum bibit-bibit tersebut harus mempunyai sistem perakaran yang baik dengan banyak akar baru yang tumbuh cepat (Wilson & Jacobs, 2005). Pada areal tertentu yang lingkungannya agak ekstrem (seperti daerah banjir, kering, kadar garam tinggi, dan tapak yang miskin hara) hanya bibit yang mampu berkembang baik yang mempunyai kesempatan untuk tumbu. Sebagai contoh; pada daerah kering, bibit dengan sistem perakaran dalam akan lebih mampu tumbuh dengan baik; sedangkan pada daerah bergulma, bibit dengan ukuran yang lebih besar akan tumbuh lebih baik karena memerlukan kemampuan bersaing pada tahap awal pertumbuhan. Menurut Haase (2006), kriteria mutu bibit yang banyak digunakan, yaitu deskripsi tipe stok bibit di persemaian, karakteristik morfologi, dan kondisi fisiologis. Stok bibit digambarkan oleh umur, lokasi persemaian, dan pertumbuhan bibit. Karakteristik morfologi bibit merupakan atribut yang ditentukan secara visual, seperti tinggi, diameter, masa akar, dan rasio pucuk akar. Sementara itu, kondisi fisiologis bibit merupakan suatu kondisi awal dan hasil proses fisiologi pada bibit, yaitu ketahanan terhadap stres, keseimbangan nutrisi, kemampuan menumbuhkan tunas dan akar baru, dan kondisi-kondisi fisiologis lainnya. Pengukuran mutu morfologi bibit umumnya digunakan untuk bibit jenis-jenis kayu keras. Parameter seperti tinggi, diameter pangkal batang, volume akar, dan jumlah akar lateral telah digunakan cukup sukses (Thompson & Schultz, 1995; Jacobs & Seifert, 2004). Namun demikian, efektivitasnya sangat tergantung pada kondisi fisiologi bibit 98 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
dan lingkungan penanaman. Bibit yang berukuran besar tidak selalu menjadi bibit bermutu tinggi. Beberapa penelitian menunjukan bahwa uji morfologi bibit memberikan hasil yang tidak konsisten yang disebabkan oleh perbedaan dalam praktik pengelolaan persemaian, jenis, dan kondisi lingkungan penanaman (Wakeley, 1954). Pengukuran aktivitas fisiologi bibit dapat memberikan hasil pendugaan mutu bibit yang lebih akurat (Ritchie, 1984). Uji fisiologi telah dipratikkan pada jenis-jenis konifer di beberapa lokasi persemaian secara operasional oleh USDA Forest Service dan memberikan hasil yang lebih nyata. Pengujian mutu fisiologi bibit dapat dilakukan dengan beberapa uji, seperti potensi pertumbuhan akar, dormansi pucuk, stres terhadap seluruh bagian tanaman, hara/nutrisi tanaman, dan kapasitas fotosintesis. Uji fisiologi meskipun lebih mencerminkan kemampuan bibit tumbuh setelah penanaman, uji ini relatif membutuhkan waktu dalam pengukurannya (Rietveld & Tinus, 1987). Penentuan standar mutu bibit di beberapa negara didasarkan pada uji mutu bibit, baik morfologi maupun fisiologi, yang dihubungkan dengan keberhasilan bibit setelah ditanam di lapangan (Jacobs et al., 2005). Beberapa penelitian menyatakan bahwa parameter morfologi yang mempunyai korelasi positif dengan daya adaptasi dan pertumbuhan bibit di lapangan ialah diameter batang (South & Mitchell, 1999). Diameter berkorelasi baik dengan ukuran dan perkembangan akar (Rose et al., 1997). Hasil penelitian lain menyatakan diameter atau tinggi bibit yang lebih kecil mempunyai daya adaptasi dan pertumbuhan yang lebih baik, khususnya pada kondisi tapak spesifik, seperti pegunungan atau lokasi-lokasi spesifik lainnya (Jurasek et al., 2009).
PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 99
Secara umum, korelasi antara beberapa parameter yang diukur untuk melihat hubungan antara morfologi bibit jabon putih di persemaian dengan di lapangan masih rendah (Gambar 6.12 dan 6.13).
Gambar 6.12. Korelasi antara tinggi bibit jabon putih di persemaian dan indeks kekokohan dengan tinggi bibit di lapangan (tinggi uji lapangan)
Gambar 6.13. Korelasi antara indeks kekokohan dengan persen hidup bibit, dan berat basah akar dengan tinggi bibit jabon putih di lapangan (tinggi uji lapangan)
100 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Bibit jabon putih memiliki ciri khas batang yang lunak sehingga persyaratan persentase batang berkayu minimal 50% tidak dapat dipenuhi. Kondisi ekologi tempat tumbuhnya yang relatif berair dengan lapisan tanah sedimentasi menyebabkan kondisi batang tanaman seperti ini cukup ideal untuk beradaptasi dan mengalami pertumbuhan selanjutnya. Menurut Budiman et al. (2015), kriteria morfologi bibit jabon putih yang dapat beradaptasi pada kondisi lapangan dari uji penanaman di Parung Panjang (Bogor), yaitu tinggi bibit 20–30 cm, diameter lebih dari 4,5 mm, kekokohan batang di bawah 6 dan berat kering total 3 gram. Kriteria bibit jabon putih siap tanam minimal berukuran diameter mendekati 5,25 mm, tinggi lebih dari 40 cm, jumlah daun minimal 6 helai, dan umur bibit sekitar 4–5 bulan. Kriteria tersebut dapat ditetapkan sebagai suatu standar mutu bibit siap tanam. Daftar Pustaka Budiman, B., Sudrajat, D.J., Lee, D.K. & Kim, Y.S. 2015. Effecet of initial morphology on field performance in white jabon seeedlings at Bogor, Indonesia. Forest Science and Technology, 11(4): 206–211. Dey, D.C. & Parker, W.C. 1997. Morphological Indicators of Stock Quality and Yield Performance of Red Oak (Quercus rubra L.) Seedlings Underplanted in a Central Ontario Shelterwood. New Forests, 14: 145– 156. Durahim & Hendromono. 2001. Kemungkinan Penggunaan Limbah Organik Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi Sebagai Campuran Top Soil Untuk Mikoriza PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 101
Pertumbuhan Bibit Mahoni (Swietenia macrophylla King). Buletin Penelitian Hutan, 628: 13–26. Haase, D.L. 2008. Understanding Forest Seedling Quality: Measurements and Interpretation. Tree Planters’ Notes USDA Forest Service, 52(2): 24–30. Hawkins, B. J. 1996. Planting Stock Quality Assessment. In Yapa, A.C. (ed.). Proc Intl. Symp. Recent Advances in Tropical Tree Seed Technol. and Planting Stock Production. ASEAN Forest Tree Seed Centre, Muaklek, Saraburi, Thailand. Kamil. 1982. Teknologi Benih I. Penerbit Angkasa, Bandung. Kartika, E. 1994. Penentuan Kriteria Vigor Bibit serta Pengaruh Tingkat Devigorasi dan Densitas Benih terhadap Keberhasilan Persemaian Paraserianthes falcataria (L.) dan Acacia mangium Wild. Skripsi. Kurniaty, R., Budiman, B. & Suartana, M. 2006. Teknik Pembibitan Tanaman Hutan Secara Generatif. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Bogor. Kurniaty, R., Damayanti, R.U., Budiman, B. & Sumarna. 2010. Teknik Pembibitan Tanaman Hutan Secara Generatif. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Jacobs, D.F. & Seifert, J.R. 2004. Re-evaluating the Significant on the Fisrt Order Lateral Root Grading Criterion for Hardwood Seedlings. In Proceeding of the Fourteenth Central Hardwood Foreast Conference. 16-19 March 2004. USDA Forest Service. pp. 382–388.
102 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Jacobs, D.F., Garnider, E.S., Salifu, K.F., Overton, R.P., Hernandes, G., Corbin, M.E., Wightman, K.E. & Selig, M.F. 2005. Seedling Quality Standards for Bottomland Hardwood Afforestation in the Lower Mississippi River Alluvial Valley: Preliminary Results. USDA Forest Service Proceedings RMRS-P35. pp. 9–16. Jurasek, A., Leugner, J. & Martincova, J. 2009. Effect of Initial Height of Seedlings on the Growth of Planting Material of Norway Spruce (Picea abies (L.) Karst.) in Mountain Conditions. Journal of Forest Science, 55(3): 112–118. Mattson, A. 1996. Predicting Field Performance Using Seedling Quality Assessment. New Forests, 13: 223– 248. Nurhasybi, Widyani, N., Royani, H. & Hadi, A. 2013. Standar mutu bibit siap tanam jenis jabon putih (Anthocephalus cadamba) dan bambang lanang (Magnolia champaca). BPTPTH. Bogor. (tidak diterbitkan) Pramono, A., Kurniaty, R. & Siregar, N. 2011. Teknik Perbanyakan Tanaman Secara Generatif dan Vegetatif jenis Mahang (Macaranga hypoleuca), skubung (M. gigantea), benuang bini (O. sumatrana) dan jabon (A. cadamba). Laporan Hasil Penelitian, Balai Penetian Teknologi Perbenihan Bogor. Prastowo, N.H., Roshetko, J.M, Maurung, G.E.S., Nugraha, E., Tukan, J.M. & Harum, F. 2006. Teknik Pembibitan dan Perbanyakan Vegetatif Tanaman Buah. World Agroforestry Centre (IGRAF) & Winrock International. Bogor. Indonesia. pp. 100.
PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 103
Rietveld, W.J. & Tinus, R.W. 1987. Alternative Methods to Evaluate Root Growth Potential and Measure Root Growth. The Intermountain Forest Nursery Association Meeting, Oklahoma, August 10–14, 1987. Ritchie, G.A. 1984. Root Growth Potential; Principles, Procedurs and Predictive Ability. In Proceedings Evaluation Seedling Quality; Principles, Procedures and Predictive Abilities of Mayor Test (Duryea, M.L., Ed.). Oregon State University. Forest Research Laboratory. pp. 93–105. Rohandi, A. & Widyani, N. 2009. Komposisi Vigor Kecambah Tusam Pada Beberapa Tingkat Devigorasi Dan Kerapatan Benih. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 6(5): 261–271. Rose, R., Haase, D.L., Kroiher, F. & Sabin, T. 1997. Root Volume and Growth of Ponderosa Pine and Douglasfir Seedlings. A Summary of eigth growing seasons. Western Journal of Applied Forestry, 12: 69–73. Semerci, A. 2005. Fifth Year Performance of Morphologically Graded Cedrus libani Seedlings in the Central Anatolia Region of Turkey. Turkey Jurnal Agricultural and Forestry, 29: 483–491. South, D.B. & Mitchell, R.J. 1999. Determining the Optimum Slash Pine Seedling Size for Use with Four Levels of Vegetation Management on a Flatwoods Site in Georgia, USA. Canadian Journal of Forest Research, 29(7): 1039–1046. South, D.B., Mexal, J.G. & Van Buijtenen. J.P. 1989. The Relationship between Seedling Diameter and Planting and Long Term Growth of Loblolly Pine Seedlings in East Texas. In Proc. 10th North Am. Forest Biology 104 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Workshop, August, 1989. University of British Columbia, Vancouver, B.C., Canada. pp: 192–199. Sudrajat, D.J., Syamsuwida, D., Nurhasybi & Budiman, B. 2009. Kajian Standar Mutu Bibit Tanaman Hutan. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Surip & Sumaryana. Teknik Pembuatan Bibit Jabon Putih (Anthocepalus cadamba) sebagai Materi Pembangunan Kebun Benih Semai Uji Keturunan Generasi Pertama (F-1). Info Pemuliaan Tanaman Hutan, 10(1). Sutopo, L. 2010. Teknologi Benih. Edisi Revisi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Thompson, J.R. & Schultz, R.C. 1995. Root System Morphology of Quercus rubra L. Planting Stock and 3-year Field Performance in Iowa. New Forest, 9: 225–236. Wakeley, P.C. 1954. Planting the Southern Pines. Agriculture Monograf No. 18. USDA Forest Service. Washinton D.C. pp: 233. Widajati, E., Murniati, E., Palupi., E., Kartika, T., Suhartanto, M.R. & Qadir, A. 2012. Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. IPB Press. Bogor. Wilson, B.C. & Jacobs, D.F. 2005. Quality Assessment of Hardwood Seedings. Hardwood Tree Improvement and Regeneration Center, Purdue University. Indiana. Yuniarti, N., Nurhasybi, Suharti,T., Haryadi, D. & Royani, H. 2013. Penentuan karakteristik dan densitas benih jabon putih (Anthocephalus cadamba (Roxb) Miq.) dan bambang lanang (Michelia champaca Linn.). Laporan Hasil Penelitian, BPTP Bogor. PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 105
KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN BENIH Nurhasybi dan Naning Yuniarti A. Pendahuluan
P
ermasalahan yang sering timbul dalam pengadaan benih tanaman hutan ialah viabilitas dan vigor benih yang rendah, terutama jika disimpan dalam waktu yang cukup lama. Keadaan ini sangat memengaruhi keberhasilan penanaman di lapangan. Teknik penyimpanan dari masing-masing benih berbeda antara benih yang satu dengan lainnya, tergantung dari karakteristik/watak benih. Oleh sebab itu, karakteristik/watak benih harus diketahui untuk berhasilnya penyimpanan benih. Berdasarkan potensi fisiologisnya, karakteristik benih dikelompokkan menjadi tiga kelompok: benih ortodoks, intermediate, dan rekalsitran. Benih ortodoks ialah benih yang dapat dikeringkan hingga kadar air rendah (2,5%) dan dapat disimpan dalam waktu lama pada suhu dan kelembaban yang rendah tanpa menyebabkan penurunan viabilitas benih yang berarti (Chin & Krisnaphillay, 1989). Benih rekalsitran ialah benih yang cepat rusak (viabilitas menurun) jika diturunkan kadar airnya (12–31%) dan tidak tahan disimpan pada suhu dan kelembaban rendah (Roberts, 1973). Selain itu, benih rekalsitran ketika jatuh mengandung kadar air tinggi sehingga sedikit/tidak mengalami kering KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN BENIH | 107
masak pada pohon induk (Berjak et al., 1990). Sensitivitas terhadap pengeringan untuk benih rekalsitran berbeda untuk setiap jenis, bahkan dalam famili atau genus yang sama. Sementara itu, benih intermediate ialah benih yang dapat dikeringkan hingga kadar air agak rendah tapi tidak tahan terhadap temperatur rendah (Ellis et al., 1990). Benih ortodoks mempunyai sifat toleran terhadap pengeringan dan suhu rendah, kadar air penyimpanan 5–7%, dan suhu ruang simpannya 0–20oC (Schmidt, 2000). Benih ortodoks pada umumnya memiliki kandungan karbohidrat yang paling tinggi dibandingkan dengan protein dan lemak. Justice & Bass (2002) menyatakan bahwa benih yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi relatif memiliki daya simpan yang tinggi. Karbohidrat merupakan cadangan makanan bagi benih untuk bertahan hidup sehingga benih dapat bertahan hidup selama disimpan dan tumbuh menjadi kecambah. Sementara itu, benih rekalsitran pada umumnya memiliki kandungan lemak yang tinggi. Menurut Sudjindro (1994) & Suzanna (1999), benih yang mempunyai kandungan lemak tinggi akan cepat rusak selama penyimpanan. Kandungan asam lemak yang tinggi di dalam benih juga merupakan indikasi terjadinya proses respirasi yang tinggi sehingga menyebabkan benih kehilangan energi untuk perkecambahan. Selama penyimpanan, benih yang mengandung banyak lemak lebih cepat rusak dibandingkan dengan benih yang banyak mengandung pati atau protein (Sudjindro, 1994). B. Karakteristik Benih Jabon Putih Penentuan karakteristik benih jabon putih didasarkan pada perlakuan tingkat pengeringan dan daya simpan benih. Pada pengeringan 0 jam (kontrol), nilai kadar air awal benih jabon 108 | Nurhasybi dan Naning Yuniarti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
putih yang dihasilkan yaitu sebesar 9,15% dengan daya berkecambah 1.140 kecambah/0,1 g, kecepatan berkecambah 60,46 kecambah/hari, kadar protein 13,4%, lemak 19,9%, dan karbohidrat 46,7%. Nilai kadar air mengalami penurunan pada pengeringan selama 24 jam (8,59%) dan terus menurun hingga pengeringan 48 jam (8,11%). Pada pengeringan 48 jam hingga 72 jam (7,94%), kadar air relatif stabil dan tidak memberikan nilai kadar air yang berbeda nyata. Pada pengeringan 72 jam, daya berkecambah yang dihasilkan yaitu 953 kecambah/0,1 g, kecepatan berkecambah 42,65 kecambah/hari, kadar protein 14,4%, lemak 21%, dan karbohidrat 44,1%. Penurunan kadar air benih hingga ke pengeringan 72 jam menyebabkan penurunan daya berkecambah yang nyata. Diduga, kadar air benih kritis jabon putih mendekati 7,94–8,11% (Yuniarti, et.al, 2013). Penurunan kadar air benih juga berpengaruh nyata terhadap daya simpan benih jabon putih. Perlakuan yang dapat menghasilkan viabilitas benih lebih tinggi, yaitu menggunakan tingkat pengeringan selama 72 jam (KA=7,08%) yang disimpan di kulkas (suhu 1–4oC dan kelembaban 50%). Dilihat dari kandungan biokimia (protein, lemak, karbohidrat), terlihat bahwa benih jabon putih memiliki kadar karbohidrat yang paling tinggi (46,7%) dibandingkan dengan kadar protein (13,4%) dan lemak (19,9%). Setelah penyimpanan, terjadi penurunan nilai kadar protein dan peningkatan kadar lemak dan karbohidrat. Benih jabon putih memiliki kandungan karbohidrat yang paling tinggi dibandingkan dengan protein dan lemak (Yuniarti et al., 2013). Justice & Bass (2002) menyatakan bahwa benih yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi relatif memiliki daya simpan yang tinggi. Karbohidrat merupakan cadangan makanan bagi benih untuk bertahan KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN BENIH | 109
hidup sehingga benih dapat bertahan hidup selama disimpan dan tumbuh menjadi kecambah. Menurut Yuniarti et al. (2013), karakteristik benih jabon putih termasuk ke dalam benih ortodoks yang mempunyai kadar air awal 9,15% dan kadar air kritis 7,94–8,11%. Benih ortodoks dapat dikeringkan hingga kadar air rendah dan dapat disimpan dalam waktu lama pada suhu dan kelembaban yang rendah tanpa menyebabkan penurunan viabilitas benih yang berarti (Chin & Krisnaphillay, 1989). Benih ortodoks dapat disimpan untuk periode yang relatif lama pada suhu rendah dengan kadar air benih <10% (Bonner, 1990). Benih ortodoks mempunyai sifat toleran terhadap pengeringan dan suhu rendah, kadar air penyimpanan 5–7%, dengan suhu ruang simpannya 0–20oC (Schmidt, 2000). Tabel 7.1. Sifat Benih Ortodoks Sifat
Deskripsi
Keadaan alami
Dominan di lingkungan arid dan semiarid, serta pionir di iklim basah; juga banyak dijumpai di iklim sedang dan dataran tinggi tropis.
Famili dan genus
Myrtaceae, Leguminosae, Pinaceae, Casuarinaceae, Dipterocarpaceae *).
Kadar air benih dan suhu penyimpanan
Toleran terhadap pengeringan dan suhu rendah, kadar air penyimpanan 5–7%, dengan suhu 0– 20oC, sedangkan untuk cryo-preservasi kadar air 2– 4% dan suhu -150C hingga -20oC.
Potensi waktu penyimpanan
Pada kondisi optimal, beberapa tahun untuk kebanyakan jenis hingga puluhan tahun untuk jenis lainnya.
Karakteristik benih
Kecil hingga medium, seringkali dengan kulit biji keras.
110 | Nurhasybi dan Naning Yuniarti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih Sifat
Deskripsi
Karakteristik kemasakan
Penambahan berat kering berhenti sebelum masak. Kadar air turun hingga 6–10% saat masak dengan variasi kecil di antara individu benih
Dormansi
Dormansi sering terjadi
Metabolisme saat masak
Tidak aktif
Kategori karakteristik lain pada benih ortodoks
Dapat dikeringkan pada kadar air rendah tetapi peka suhu rendah (disebut intermediate seperti Swietenia macrophylla). Beberapa jenis pohon tidak dapat mempertahankan viabilitas di bawah kadar air minimum tertentu disebut suborthodoks, seperti Agathis australis dan Agathis macrophylla
Sumber: Schmidt, 2000 Catatan: Beberapa jenis Dipterocarpus sp. (Dipterocarpus alatus, Dipterocarpus intricatus, Dipterocarpus tuberculatus).
Tabel 7.1. Sifat Benih Rekalsitran Sifat
Deskripsi
Keadaan alami
Iklim panas dan lembab (hutan klimaks tropika basah dan mangrove), iklim sedang, dan beberapa jenis ditemukan di daerah kering.
Famili dan genus
Dipterocarpaceae, Rhizophoraceae, Meliaceae, Artocarpus, Durio, Araucaria, Triplochiton, Agathis, Syzgium, Quercus.
Kadar air benih dan suhu penyimpanan
Tidak toleran terhadap pengeringan dan suhu rendah, kecuali beberapa jenis rekalsitran iklim sedang. Tingkat toleransi tergantung jenis, biasanya kadar air penyimpanan 20–35% dengan suhu 12–15oC (beberapa jenis lain pada suhu 15–20oC.) KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN BENIH | 111
Sifat
Deskripsi
Potensi waktu penyimpanan
Beberapa hari untuk rekalsitran ekstrim sampai beberapa bulan untuk yang lebih toleran. Beberapa jenis Dipterocarpus dapat disimpan bertahun-tahun pada kadar air rendah (10–12%) dan temperatur di bawah titik beku (-20oC hingga -30oC).
Karakteristik benih
Umumnya, ukuran benih medium hingga besar, dan berat.
Karakteristik kemasakan
Penambahan berat kering terjadi hingga buah/benih jatuh, Kadar air pada saat masak 30–70% dengan variasi besar di antara individu benih.
Dormansi
Tidak terdapat dormansi atau dormansi lemah. Kemasakan dan perkecambahan terjadi dalam waktu singkat.
Metabolisme saat masak
Aktif.
Sumber: Schmidt, 2000
C. Teknik Penyimpanan Benih Jabon Putih Pernyimpanan benih merupakan upaya mempertahankan viabilitas benih, sejak dari pengumpulan benih, distribusi benih hingga ke persemaian, dan penanaman benih secara langsung di lapangan. Viabilitas benih diharapkan dapat dipertahankan, tetapi tidak dapat ditingkatkan karena daya berkecambahnya menurun sejalan dengan waktu penyimpanan (Byrd, 1983). Beberapa pertimbangan dalam kaitannya dengan penyimpanan benih: 1) musim panen buah tidak sejalan dengan musim penanaman, 2) jenis-jenis pohon tertentu tidak selalu berbuah setiap tahun, 3) benih harus diangkut ke tempat pemrosesan benih yang jauh, dan 112 | Nurhasybi dan Naning Yuniarti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
4) benih jenis tertentu memerlukan proses pemasakan lebih dahulu (after ripening) agar daya berkecambahnya optimal. Penyimpanan hanya dilakukan pada benih dengan daya berkecambah awal lebih dari 50% karena di bawah nilai ini mengindikasikan bahwa benih telah mengalami kerusakan permanen (Schmidt, 2000). Penyimpanan menggunakan rak kayu/besi merupakan cara untuk mencegah benih bersentuhan dengan lantai yang rawan terhadap serangan jamur karena meningkatnya kelembaban di dalam kemasan. Beberapa faktor yang memengaruhi ketahanan benih dalam penyimpanan, antara lain 1) genetik, 2) kemasakan buah, 3) waktu pemanenan, 4) kerusakan mekanis selama pengolahan, 5) penurunan fisiologi selama proses pemanenan dan pengangkutan, 6) serangan jamur dan/atau serangga, dan 7) viabilitas awal benih. Beberapa jenis tanaman hutan, seperti jati dan gmelina, benihnya memerlukan pemeraman atau pemasakan buatan selama 15–30 hari agar benih yang dihasilkan mempunyai potensi tumbuh maksimum. Cara pemeraman benih jati menggunakan wadah porous (seperti kain blacu atau karung goni) yang diletakkan dalam ruang suhu kamar dan benih, sedangkan benih gmelina menggunakan wadah agak porous (seperti kantong plastik tipis tebal 0,07–0,1 mm) yang diletakkan dalam ruang ber-AC. Untuk penyimpanan jangka panjang (lebih dari 1 tahun) digunakan wadah yang impermeabel terhadap uap air dan gas (kaleng aluminium atau timah, plastik tebal 0,1–0,25 mm, drum, dan sebagainya), sedangkan untuk jangka pendek (1–12 bulan) dapat digunakan wadah yang bersifat permeabel terhadap uap air dan gas (kain katun, kantong kertas, kertas karton, dan sebagainya). Kondisi wadah dalam keadaan kedap untuk membatasi benih berespirasi. KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN BENIH | 113
Benih ditempatkan dalam wadah secara penuh dan padat yang hanya sedikit sekali menyisakan ruang udara di antara benih. Ruang simpan yang dapat digunakan, antara lain 1) ruang kamar (suhu 25–30oC, kelembaban nisbi 70–80%), 2) ruang simpan kering sejuk/AC (suhu 18–20oC, kelembaban nisbi 50–60%), 3) ruang simpan kering dingin/drycold storage (suhu 4–8oC, kelembaban nisbi 40–50%), dan 4) ruang simpan dingin (suhu -10– -15oC, kelembaban nisbi 40– 50%). Ruang simpan yang digunakan juga harus dalam keadaan gelap untuk membatasi metabolisme benih. Penyimpanan jangka pendek menggunakan ruang kamar atau ruang simpan kering sejuk/AC, sedangkan penyimpanan jangka panjang menggunakan ruang simpan kering dingin atau ruang simpan dingin. Penelitian penyimpanan benih sangat bermanfaat untuk mempertahankan viabilitas benih sebelum digunakan dalam perbanyakan tanaman untuk penanaman. Beberapa hasil penelitian berhasil mempertahankan viabilitas cukup lama, walaupun masih belum mencapai hal yang ideal jika dibandingkan dengan penelitian di luar negeri. Hal ini karena keterbatasan sarana dan prasarana penyimpanan benih, seperti penyimpanan benih mahoni (S. macrophylla) sebagai benih intermediate. Benih jenis ini memiliki kadar air setelah pengeringan 3–5% jika disimpan di ruang ber-AC (suhu 18–20°C, kelembaban 50–60%), dan dengan menggunakan wadah kedap (kantong plastik tebal dalam kaleng logam) selama satu tahun menghasilkan daya berkecambah mencapai 70–80%. Namun di Thailand, benih mahoni dapat disimpan selama dua tahun dalam kantong plastik pada temperatur 10° C (Pukittayacamee et al., 1995). Sebaliknya, penelitian penyimpanan tidak terlalu penting dilakukan untuk benih ortodoks, seperti jenis-jenis Acacia 114 | Nurhasybi dan Naning Yuniarti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
sp, P. falcataria, dan Eucalyptus sp yang dapat disimpan sangat lama (5–20 tahun) (Wang et al., 1993). Benih jabon putih dapat disimpan selama sembilan bulan menggunakan wadah simpan kantong plastik dalam refrigerator (suhu 7–10C, kelembaban relatif 40–50%) dengan rerata jumlah kecambah 1.234,50 kecambah/0,1 g pada rerata kadar air benih 7,78% (Nurhasybi et al., 2003). Benih jabon putih masih memiliki jumlah kecambah 314 kecambah/0,1 g setelah disimpan 18 bulan (Nurhasybi, 1997). Daftar Pustaka Berjak, P, Farrant, J., Mycock, D.J. & Pammenter, N.W. 1990. Recalcitrant (homiohydrous) Seeds: The Enigma of Their Desiccation Sensitivy. Seed Sci. & Tech., 18: 297–310. Bonner, F.T. 1990. Storage of Seeds: Potential and Limitations for Germplasm Conservation. Forest Ecology and Management, 35: 35–43. Byrd,
H.W. 1993. Pedoman teknologi benih. Pembimbing Massa. Jakarta. (terjemahan).
PT.
Chin, H.F. & Krishnapillay, G. 1989. Seed Moisture: Recalcitrant vs Orthodox Seeds. In Seed Moisture (eds. Stanwood & Mc. Donald), pp 15–22. Crop Science and Technology, 1: 427–452. Ellis, R.H., Hong, T.D. & Roberts, E.H. 1990. An Intermediate Category of Seed Storage Behaviour I. Coffee. Journal of Experimental Botany, 41: 1167– 1174.
KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN BENIH | 115
Justice, O.L & Bass, L.N. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih (Terjemahan). PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Nurhasybi, Muharam, A. & Ismed. 2003. Daya Simpan Benih Jabon (Anthocephalus cadamba) pada Berbagai Ruang dan Wadah Simpan. Buletin Teknologi Perbenihan, 10(2). Nurhasybi. 1997. Teknik Penyimpanan Benih Jabon (Anthocephalus cadamba). LUC No. 227. Balai Teknologi Perbenihan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Pukittayacamee, P., Saelim, S. & Bhodthipuks, J. 1995. Seed Storage of Swietenia macrophylla. ASEAN Forest Tree Seed Centre Project. Muak-lek Saraburi. Thailand. Roberts, E.H. 1973. Predicting the Viability of Seeds. Seed Science and Technology, 1: 499–514. Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis (Terjemahan). Kerjasama Direktorat Jenderal RLPS dan IFSP. PT. Gramedia. Jakarta. 530 hal. (terjemahan). Suzana, E. 1999. Pengaruh penurunan kadar air dan penyimpanan terhadap perubahan fisiologis dan biokimia benih karet (Hevea brasilliensis). Tesis, Program Pasca sarjana. IPB-Bogor. Unpublished. Sudjindro. 1994. Indikasi kemunduran viabilitas oleh dampak guncangan pada benih kenaf (Hibiscus cannabinus L.). Disertasi Program Pasca Sarjana. IPB. Yuniarti, N., Nurhasybi, Suharti, T., Haryadi, D., & Royani, H. 2013. Penentuan karakteristik dan densitas benih 116 | Nurhasybi dan Naning Yuniarti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
jabon putih (anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) dan bambang lanang (michelia champaca Linn.). Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor. Wang, B.S.P., Charest, P.J. & Downie, B. 1993. Ex situ storage of seeds, pollen and in vitro cultures of perennial woody plant species. FAO. Rome, Italy.
KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN BENIH | 117
HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH Yulianti dan Tati Suharti A. Pendahuluan
P
roduktivitas dan kualitas hutan tanaman dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satu faktor yang cukup berperan ialah penggunaan benih. Penggunaan benih bermutu mutlak adanya, yaitu bermutu fisis, fisiologis dan genetis yang tinggi, serta bebas dari hama dan penyakit. Benih dan bibit tidak menutup kemungkinan untuk terserang hama atau penyakit. Sebagai struktur perbanyakan tanaman, benih dan bibit mempunyai hubungan sangat erat dengan perkembangan dan penyebaran hama dan penyakit. Benih sebagai bahan yang memiliki nutrisi tinggi, seperti karbohidrat, protein, dan lemak merupakan sumber pakan menarik bagi sejumlah organisme sehingga kemungkinan untuk diserang hama atau patogen sangatlah besar. Serangan dapat dimulai dari proses pembungaan hingga pembuahan, pada saat penanganan, atau pada saat benih disimpan. Menurut Schmidt (2000), organisme luar yang dapat menyebabkan kerusakan benih dapat digolongkan sebagai hama dan penyakit. Jenis hama yang umum menyerang benih dan bibit tanaman hutan ialah jenis serangga. Sementara itu, penyakit pada benih dan bibit tanaman hutan dapat disebabkan oleh cendawan, bakteri, atau virus. Hama HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 119
dan penyakit harus dikendalikan selama proses penanganan benih, baik pada saat setelah panen maupun pada saat penyimpanan. Hal ini untuk mencegah kerusakan yang lebih parah pada benih yang sudah terinfeksi dan untuk mencegah penyebarannya terhadap benih-benih yang lain. Adanya serangan hama atau penyakit pada benih akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas semai ataupun bibit hingga pertumbuhan tanaman di lapangan. Organisme patogen, seperti cendawan, bakteri dan virus dapat menurunkan nilai ekonomis dari suatu kelompok benih (Schmidt, 2000). Kerugian akibat penyakit atau patogen yang terbawa benih tersebut sering terjadi di lapangan dan di tempat penyimpanan. Kerugian tersebut dapat terjadi secara langsung pada tanaman yang berasal dari benih yang bersangkutan atau dapat terjadi dalam jangka panjang setelah patogen mampu bertahan pada habitatnya di tanah, sisa tanaman, dan tumbuhan gulma. Permasalahan yang sering muncul dalam program penanaman ialah serangan penyakit (patogen) yang seringkali terjadi pada waktu mengecambahkan benih di bedeng tabur sehingga dapat menyebabkan bibit mati. Hadi (1996) menyatakan bahwa cendawan dapat merusak benih dan mengakibatkan penurunan/hilangnya viabilitas atau menyebabkan penurunan ketahanan benih. Beberapa jenis cendawan dapat berada dalam keadaan dorman pada permukaan atau di dalam jaringan benih. Cendawan tersebut kemudian dapat berkembang pada kecambah yang lain, bibit, atau tanaman yang telah dewasa. Patogen inilah yang disebut patogen terbawa benih. Identifikasi hama dan penyakit benih dan bibit penting dilakukan karena akan berkaitan dengan strategi 120 | Yulianti dan Tati Suharti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
pengelolaannya. Selain itu, apabila diketahui adanya hama atau penyakit yang menyerang, dapat diduga sejauh mana pengaruh yang ditimbulkan pada kualitas benih, bibit, hingga tanaman di lapangan, serta produktivitas dari tegakan untuk jangka panjang. Tanaman jabon merupakan salah satu tanaman yang saat ini banyak dikembangkan oleh masyarakat ataupun pengelola hutan tanaman industri. Untuk mendukung keberhasilan pengembangannya, informasi kesehatan benih dan bibit jabon mutlak diperlukan, terutama tentang jenis hama dan penyakit yang umumnya menyerang benih dan bibit jabon putih, serta bagaimana pola penyerangan dan gejala yang ditimbulkan oleh serangan tersebut. Oleh karena itu, proses monitoring kesehatan pada tingkat benih dan bibit mutlak dilakukan sehingga dapat ditentukan teknik pengendalian yang tepat, yaitu melalui pengendalian secara fisik, kimia, ataupun biologi. B. Identifikasi dan Gejala Serangan Hama dan Penyakit Secara umum, jenis cendawan yang terbawa benih jabon putih, yaitu Aspergillus sp dan Fusarium sp. Bentuk morfologi cendawan dapat dilihat pada Gambar 8.1. Kedua jenis cendawan tersebut sangat umum ditemukan pada benih-benih tanaman hutan. Cendawan Fusarium sp dapat menyebabkan penyakit lodoh pada semai ataupun bibit jabon. Benih jabon mempunyai ukuran yang cukup kecil sehingga tergolong ke dalam kelompok benih halus dengan kulit benih keras. Selain itu, benih jabon tercampur dengan kotorannya (chaff) yang mempunyai ukuran hampir sama dengan benih, namun lebih lunak sehingga lebih mudah terjadinya pembusukan. Kemungkinan besar, cendawan HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 121
hidup pada bagian ini dan menulari benih setelah benih berkecambah. Oleh karena itu, pemisahan antara benih dan kotorannya perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan terkena hama ataupun penyakit.
A
B
C
Gambar 8.1. Cendawan terbawa benih: cendawan Fusarium sp (A), cendawan Aspergillus sp (B), dan cendawan Rhizopus sp (C)
Cendawan yang ditemukan setelah benih disimpan selain Aspergillus sp dan Fusarium sp ialah Rhizopus sp. Adanya ketiga cendawan tersebut dapat menurunkan viabilitas benih jabon. Hal ini terbukti dari persentase infeksi setiap jenis cendawan tersebut yang bertambah seiring dengan lamanya penyimpanan, yaitu pada kondisi benih yang tidak diberi perlakuan apapun. Kondisi kadar air benih sangat memengaruhi tumbuhnya cendawan. Pada kadar air benih jabon putih sekitar 6–8%, jumlah benih yang terinfeksi cukup rendah, yaitu sekitar 1–6% (Suharti et al., 2012). Sementara itu, serangga hama tidak ditemukan pada benih jabon putih. Namun, serangan hama pemakan daun dari ordo Lepidoptera (Gambar 8.2 [A,B, dan C]) ataupun serangga penusuk penghisap dari ordo Hemiptera (Gambar 8.3 [A dan B]) ditemukan pada tingkat bibit dan tanaman muda di lapangan. Hama yang berasal dari kedua ordo ini, semuanya menyerang bagian daun, menyebabkan daun menggulung 122 | Yulianti dan Tati Suharti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
dan tersisa tulang daun, yang berakibat pada gangguan proses fotosintesis sehingga asupan bahan makanan bagi pertumbuhan menjadi berkurang.
A
B
C
Gambar 8.2. Hama ulat daun pada tanaman jabon putih umur enam bulan: Attacus atlas (A) dan ulat tanduk (B dan C)
A
B
Gambar 8.3. Hama serangga dari Ordo Hemiptera (A dan B) pada tanaman jabon putih umur enam bulan di lapangan
Selain hama ulat, serangga yang mengisap cairan ditemukan pula sehingga membuat daun mengering dan pertumbuhan terganggu karena fotosintesis tidak dapat berlangsung HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 123
sempurna. Bentuk serangga yang menyerang tanaman jabon umur enam bulan dapat dilihat pada Gambar 8.3 (A) dan 8.4. Serangga penusuk penghisap yang menjadi hama pada tanaman jabon muda tersebut termasuk dalam famili Reduviidae (Gambar 8.3 [A dan B]). Adapun ulat pemakan daun ialah kemungkinan termasuk dalam kelompok ulat keket (Attacus atlas) yang termasuk dalam famili Saturniidae (Gambar 8.2[A]) dan ulat tanduk (Gambar 8.2 [B dan C]) yang termasuk dalam famili Sphingidae. Ulat keket ini juga dapat memakan daun dari jenis tanaman gempol (Nauclea orientalis), sirsak (Annona muricata L.), dan alpukat (Persea americana Mill.) Keberadaan hama benih dapat menimbulkan kerugian, seperti benih berlubang, keropos, atau hancur menjadi butiran kecil/tepung sehingga memudahkan serangan patogen. Kerugian serangan hama dan penyakit antara lain menurunnya persentase perkecambahan dan kualitas benih (Sutopo, 2002). Kerusakan pada kulit benih tidak saja berpengaruh secara langsung pada viabilitas, tetapi dapat mengganggu daya simpan, terutama dalam kasus patogen masih aktif selama penyimpanan (Schmidt, 2000). Demikian pula serangan hama pada bibit maupun tanaman muda dapat menimbulkan kerusakan, terutama pada bagian daun, yang menyebabkan proses fotosintesis terganggu sehingga tanaman tidak dapat tumbuh optimal. Pada awalnya, gejala serangan ialah serangga ataupun ulat memakan bagian daun dan akan menyisakan tulang daun. Bentuk gejala serangan hama walang sangit dan ulat pada tanaman jabon muda dapat dilihat pada Gambar 8.4 (A dan B) dan Gambar 8.5 (A dan B).
124 | Yulianti dan Tati Suharti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
A
B
Gambar 8.4. Gejala serangan hama kepik pada tanaman jabon putih umur enam bulan (A dan B)
A
B
Gambar 8.5. Gejala serangan ulat keket tanaman jabon putih umur enam bulan (A) dan serangga pengisap seperti semut menyebabkan daun mengering (B)
Mikroorganisme yang ditemukan pada benih tanaman hutan didominasi cendawan. Cendawan perusak benih dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu cendawan yang berasal dan terbawa dari lapangan (field fungi) dan cendawan yang berkembang di penyimpanan (storage fungi). Field fungi umumnya menyerang biji atau benih selama masih di lapangan dan menginfeksi benih yang sudah masak atau HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 125
sesudah dipanen. Cendawan dapat berupa patogen atau saprofit, salah satunya ialah jamur Fusarium sp. Cendawan ini dapat bertahan pada benih dalam kondisi dingin atau kering. Cendawan Fusarium sp dapat mengakibatkan warna benih berubah, perkecambahan benih terhambat, dan dapat menyebabkan penyakit di persemaian atau pada tanaman dewasa di lapangan. Selama biji atau benih dalam penyimpanan, aktivitas cendawan tersebut terhenti (istirahat) karena syarat untuk pertumbuhannya tidak terpenuhi. Storage fungi ialah sekelompok cendawan yang berkembang selama benih berada dalam penyimpanan dan dapat tumbuh tanpa adanya air bebas, serta pada media dengan tekanan osmotik tinggi. Cendawan yang termasuk storage fungi, yaitu Aspergillus sp dan Penicillium sp. Menurut Semangun (2000), Aspergillus sp sangat saprofitik sehingga dapat memperlemah benih ketika ditanam. Benih yang terinfeksi Aspergillus sp dapat menjadi rentan terhadap serangan patogen di dalam tanah sehingga kematian bibit bisa disebabkan oleh patogen dalam tanah tersebut. Aspergillus sp, Penicillium sp, dan Fusarium sp dapat menyebabkan penyakit moulding (bubuk) yang dapat menyerang hampir semua jenis tanaman kehutanan. Pada tingkat lanjut, serangan ini dapat menyebabkan kematian benih (Darma, 1992 dalam Zanzibar, 2000). Infeksi pada akar kecambah pinus oleh cendawan Aspergillus sp dan Penicillium sp. dapat menyebabkan kematian atau menghambat pertumbuhan semai (Rees et al., 1986 dalam Schmidt, 2000). Penyakit lodoh umumnya terjadi pada bibit di persemaian. Penyakit ini disebabkan oleh berbagai cendawan penghuni tanah seperti Phytium sp, Rhizoctonia sp, Fusarium sp, Lasiodiplodia sp, Phytophthora sp, dan Cylindrocladium sp (Anggraeni et al., 2006).
126 | Yulianti dan Tati Suharti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
C. Teknik Pengendalian Hama dan Penyakit Benih dan Bibit Teknik pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan pendekatan sistem pengendalian hama dan penyakit secara terpadu yang efektif dan efisien, yaitu menggabungkan teknik pengendalian secara fisik, kimia, dan biologi. Teknik pengendalian secara fisik, antara lain menggunakan media tabur dan media bibit yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan mengurangi serangan hama dan penyakit, seperti sekam dan kompos. Teknik pengendalian secara kimia menggunakan pestisida dan insektisida buatan. Teknik pengendalian secara biologi menggunakan pestisida biologi, seperti ekstrak cengkeh (Syzygium aromaticum), laos atau lengkuas (Alpinia galangal), jahe (Zingiber officinale), kencur (Kaempferia galanga L.), dan penggunaan agen antagonis seperti cendawan Trichoderma sp. Penjelasan masing-masing teknik yang digunakan (fisik, kimia, dan biologi) untuk pengendalian hama dan penyakit diuraikan di bawah ini. 1. Teknik Pengendalian Secara Fisik Penggunaan sekam dan kompos sebagai media bibit merupakan salah satu cara pengendalian secara fisik. Sekam dapat memberikan tambahan unsur hara bagi tanaman. Sekam tersebut mengandung bahan silikat yang cukup tinggi, kalium dioksida, magnesium oksida, fosfat oksida, sulfat oksida, dan karbon (Badan Pengendali Bimas, 1983 dalam Wilis, 2010). Menurut Ritonga (1991) dalam Wilis (2010), pengaruh silikat terhadap tanaman yaitu dapat memperbaiki daya tumbuh, meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit, memperlancar penyerapan hara, dan dapat juga membantu penghematan HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 127
pemakaian air pada tanaman. Selain penggunaan sekam dan kompos sebagai media bibit, pengendalian secara fisik juga dapat dilakukan dengan menghilangkan bagian tanaman yang diserang, atau apabila serangan sudah sangat parah, pemusnahan dilakukan pada tanaman yang sudah terserang berat. 2. Teknik Pengendalian Secara Kimia Pengendalian secara kimia dilakukan dengan menggunakan pestisida ataupun insektisida kimia. Penggunaan cara ini dirasakan cukup efektif dan efisien, namun tidak ramah lingkungan. Akibat penggunaan bahan kimia yang terus menerus dikhawatirkan dapat menghilangkan predator alami dari hama tersebut. Teknik pengendalian kimia yaitu menggunakan pestisida kimia, seperti imidakloprid, karbofuran, benomil 50%, dan mancozeb 80%. 3. Teknik Pengendalian Secara Biologi Pengendalian hama penyakit menggunakan pestisida maupun insektisida alami dan dimaksudkan untuk menghambat, bahkan mematikan organisme yang menganggu ataupun merusak tanaman. Sifat dari pestisida maupun insektisida ialah racun yang dapat menghambat pertumbuhan ataupun perkembangan pertumbuhan dari organisme pengganggu tanaman. Bahan yang digunakan dapat berasal dari bahan alami, yaitu dari tanaman ataupun mikroorganisme seperti cendawan Trichoderma sp yang bersifat antagonis sehingga kelompok ini termasuk ke dalam pengendalian secara biologi. Beberapa jenis tanaman sudah digunakan sebagai bahan pestisida ataupun insektisida ramah lingkungan karena mempunyai kandungan biokimia 128 | Yulianti dan Tati Suharti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
yang mampu menekan perkembangbiakan organisme pengganggu tanaman. Jenis-jenis tersebut antara lain: a. Cengkeh (Syzygium aromaticum) Berbagai produk dihasilkan dari tanaman cengkeh ini, salah satunya minyak cengkeh. Komponen utama dalam minyak cengkeh ialah senyawa eugenol, eugenol asetat, dan caryophylene dengan kandungan total mencapai 70–80%. Komponen lain yang terdapat dalam minyak cengkeh, antara lain methyl n-hepthyl alcohol, benzyl alcohol, methyl salicylate, dan methyl n-amyl carbinl. Sementara itu, serasah daun cengkeh masih mengandung eugenol sekitar 60–65% (Agusta, 2000 dalam Agustinus, 2009). Selain mematikan cendawan, berdasarkan hasil penelitian di Balittro (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat), minyak cengkeh dan eugenol yang terdapat pada serasah daun cengkeh dapat menekan, bahkan mematikan pertumbuhan koloni bakteri dan nematoda. Oleh karena itu, produk cengkeh dapat digunakan sebagai fungisida, bakterisida, nematisida, dan insektisida (Agustinus, 2009). b. Laos/Lengkuas (Alpinia galangal) Menurut Kusnaedi (1999), penggunaan fungisida nabati dengan empon-empon yang mengandung minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan cendawan dan bakteri. Senyawa kimia yang terdapat pada lengkuas antara lain minyak atsiri, minyak terbang, eugenol, seskuiterpen, pinen, metilsinamat, cineol, kamfer, camphor, galangin, galangol, cadinine, hidrateshexahydor-cadalene dan kristal kuning (Thomas, 1992; Muhlisah, 1999). Riyanti (1996) dalam Riyanto (2009) menyatakan bahwa ekstrak lengkuas mengandung terpenoid, alkaloid dan fenol yang dapat bersifat bakterisida dan fungisida. Selanjutnya, penelitian Areekul et al. (1987) dalam Sukhirun et al., (2009) menunjukan bahwa cineol HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 129
mempunyai sifat insektisida yang dapat mengendalikan berbagai jenis hama. c. Jahe (Zingiber officinale) Tanaman jahe diduga dapat berperan sebagai pestisida nabati karena rimpang tanaman jahe mengandung 2–3% minyak atsiri (Mursito, 2003 dalam Mujim, 2010). Minyak atsiri dalam jahe terdiri atas n-nonylaldehide, dcamphene, daphellandrene, metyl heptenone, cineol,d-borneol, geraniol, linalool, acetates, caprylate, citral, chavicol, dan zingiberene (Setiawati et al., 2008). d. Kencur (Kaempferia galanga L) Kandungan kimia yang terdapat di dalam rimpang kencur ialah minyak atsiri, flavonoid, saponin, methyl-pmethoxycinnamate, methyl-cinnamate, carvone, eucalyptol, dan pentadecane yang berperan sebagai fungisida (Gholib, 2009 dalam Monika, 2014). Minyak atsiri mengandung seskuiterpenoid yang dapat bekerja sebagai fungisida dan insektisida (Robinson, 1995 dalam Monika, 2014). Kencur dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati dengan cara bagian rimpang ditumbuk atau dibuat tepung dan diaplikasikan dengan konsentrasi 3–5% (Direktorat Jenderal Perkebunan, 1994). e. Cendawan antagonis Trichoderma sp. Trichoderma sp ialah salah satu jamur tanah yang bersifat antagonis terhadap patogen tular tanah. Bahkan, jamur ini telah dilaporkan pula mampu menginduksi ketahanan tanaman terhadap berbagai penyakit dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Harman, 2000 dalam Nurbailis et al., 2012). Keberhasilan penggunaan Trichoderma sp untuk pengendalian penyakit tanaman; baik di rumah kaca, pada pembibitan maupun di lapangan; telah 130 | Yulianti dan Tati Suharti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
banyak dilaporkan (Howell,1987; Harman, 2000; Nurbailis et al., 2008 dalam Nurbailis et al., 2012). Beberapa jenis bahan yang telah terbukti mampu mengaktivasi pertumbuhan Trichoderma sp ialah jerami padi, campuran dedak dengan serbuk gergaji, dan campuran sekam padi dengan sekam gandum (Sinaga, 1989; Sivan et al., 1984; Ernariza, 1984 dalam Nurbailis et al., 2012). Trichoderma sp dapat menghambat pertumbuhan beberapa jamur penyebab penyakit pada tanaman, antara lain Rigidiforus lignosus, Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsi. Selain kemampuan sebagai pengendali hayati, Trichoderma harzianum memberikan pengaruh positif terhadap perakaran tanaman, pertumbuhan tanaman, dan hasil produksi tanaman. Sifat ini menandakan bahwa Trichoderma harzianum juga berperan sebagai plant growth enhancer. Pada tahun 1988, penelitian aplikasi Trichoderma harzianum ternyata dapat meningkatkan 150–250% pertumbuhan tanaman (Nurbailis et al., 2012). Pada bibit jabon, penambahan Trichoderma sp pada media tanah:sekam:kompos (1:1:1) menghasilkan biomassa dan nilai Indeks Mutu Bibit (IMB) yang paling tinggi pada bibit hingga umur tiga bulan. Perbedaan pertumbuhan bibit jabon yang diberi Trichoderma sp dengan kontrol dapat dilihat pada Gambar 8.6 (A dan B). Pertumbuhan bibit (Gambar 8.6 [A]) dan perakaran (Gambar 8.6 [B]) terlihat lebih baik sehingga diharapkan bibit yang akan ditanam mempunyai vigor yang tinggi dan mampu tumbuh dengan baik di lapangan. Pertumbuhan bibit jabon umur enam bulan dengan pemberian Trichoderma sp. pada campuran media tanah: sekam:kompos (1:1:1/v:v:v) menghasilkan perbedaan pertumbuhan tinggi ±10 cm dibandingkan dengan media tanah:sekam:kompos (1:1:1/v:v:v) tanpa Trichoderma sp. HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 131
(Gambar 8.7). Selain itu, Trichoderma sp dapat meningkatkan pH dan unsur hara, seperti N, P, dan K dalam media bibit (Tabel 1) sehingga pertumbuhan bibit dapat optimal. B
A
Kontrol/ Tanah
Tanah+ kompos+ sekam
Tanah+kompos+ sekam+ Trichoderma sp
Kontrol/ Tanah
Tanah+ kompos+ sekam
Tanah+kompos+ sekam+ Trichoderma sp
Gambar 8.6. Perbedaan pertumbuhan bibit jabon pada berbagai perlakuan
Kontrol/ Tanah
Tanah+kompos + sekam
Tanah+kompos+ sekam+ Trichoderma sp
Gambar 8.7. Perbedaan pertumbuhan bibit jabon putih umur enam bulan pada berbagai perlakuan 132 | Yulianti dan Tati Suharti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Tabel 8.1. Kandungan hara makro N, P, dan K, serta pH media bibit jabon putih Perlakuan Parameter pengujian
Satuan
pH
Tanah
Tanah: kompos:sekam (1:1:1)
5,6
5,9
Tanah: kompos:sekam (1:1:1) ditambah Trichoderma sp. 6,5
N
%
0,17
0,37
60,43
P
ppm
7,4
35,14
120,47
K
Cmol/kg
2,11
4,64
5,97
Pengendalian terhadap serangan cendawan ataupun serangga pada benih juga harus dilakukan pada saat benih disimpan. Kelompok cendawan yang menyerang benih jabon putih pada saat disimpan ialah Rhizopus sp, Penicillium sp, dan Aspergillus sp. Teknik pengendalian hama dan penyakit benih pada saat disimpan dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain untuk pencegahan di ruang simpan, yaitu menjaga kondisi kebersihan ruang simpan, kebersihan benih, dan kadar air benih. Untuk mendapatkan benih jabon murni cukup sulit karena benih tercampur dengan serbuk atau chaff yang merupakan bagian dari buah jabon sehingga chaff ini dapat menjadi media tumbuh cendawan ataupun makanan bagi serangga. Selain itu, kadar air benih jabon sebelum disimpan harus diturunkan terlebih dahulu menjadi sekitar 6–8%. Teknik pengendalian yang cukup efektif untuk menghambat pertumbuhan cendawan pada benih jabon pada saat disimpan ialah pemberian campuran bubuk jahe, laos, kencur, dan benomil 50%. Perlakuan ini mampu menurunkan persentase infeksi Aspergillus sp dan meningkatkan viabilitas benih jabon putih setelah tiga bulan disimpan. HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 133
Daftar Pustaka Agustinus, I.M.D. 2009. Pencegahan Penyakit Layu Fusarium pada Tanaman Pisang dengan Memanfaatkan Serasah Daun Cengkeh di Banjar Badingkayu Desa Pengeragoan Kecamatan Petutatan Kabupaten Jembrana. www.teknologi.kompasiana. com. Anggraeni, I., Intari, S.E. & Darwiati, W. 2006. Hama dan Penyakit Hutan Tanaman. Badan penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Asikin, S. 2011. Flora Rawa Sebagai Pengendali Hama dan Penyakit Tanaman. Prosiding Seminar Nasional Persatuan Entomologi Indonesia. Universitas Padjadjaran. Barnett, H.L & Hunter, B.B. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Fourth Edition. The American Phytopathological Society. Borror, D.J., Triplehorn, C.A. & Johnson, N.F. 1989. An Introduction to The Study of Insect. Sixth Edition. Harcourt Brace College Publishers. Florida. The United States of America. Booth, R.G. , Cox, M.L. & Madge, R.B. 1990. Coleoptera. CAB international. Cambridge. Australia. Direktorat Jenderal Perkebunan. 1994. Pedoman Pengenalan Pestisida Botani. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan. Deptan. Jakarta. Monika, M. 2014. Uji Aktivitas Ekstrak Kencur Terhadap Pengendalian Pertumbuhan Fusarium oxysporum dan Implementasinya dalam Pembuatan Flipbook. Artikel Penelitian. Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Fmipa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura, Pontianak. 134 | Yulianti dan Tati Suharti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Muhlisah, F. 2010. Temu-temuan dan Empon-Empon: Budidaya dan Manfaatnya. Kanisius.Yogyakarta. Hadi, S. 2001. Patologi Hutan: Perkembangannya di Indonesia. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Mujim, S. 2010. Pengaruh Ekstrak Rimpang Jahe (Zingiber officinale Rosc) terhadap Pertumbuhan Phytium sp. Penyebab Penyakit Rebah Kecambah Mentimun Secara In Vitro. Jurnal HPT Tropika, 10(1): 59–63. Nurbailis, Trizelia, Reflin & Rahma, H. 2012. Pemanfaatan Jerami Padi sebagai Medium Perbanyakan Trichiderma harzianum dan Aplikasinya pada Tanaman. Octriana, L. & Noflindawati. 2010. Efektifitas Agen Hayati dalam menekan Penyakit Rebah Semai pada Benih Pepaya. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Sumatera Barat. Riyanto. 2009. Potensi Lengkuas (Languas galangal L.), Beluntas (Plucheaindica L.), dan Sirsak (Annonamuricata L.) sebagai Insektisida Nabati Kumbang Kacang Hijau Callosobruchus chinensis L. (Coleoptera: Bruchidae). http://eprints.unsri.ac.id/ 1135/1/Potensi_Lengkuas,_beluntas,_dan_sirsak_seba gai_insekti_nabati_kumbang_kacang_Hijau__Jurnal_. pdf. Diunduh tanggal 10 Januari 2012. Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Subtropis. Danida Forest Seed Centre. Setiawati, W., Murtiningsih, R., Gunani, N. & Rubiati, T. 2008. Tumbuhan Bahan Pestisida Nabati. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang.
HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 135
Suharti, T., Yulianti & Yuniarti, N. 2012. Teknik Pengendalian Hama dan Penyakit Benih dan Bibit Tanaman Hutan Jenis Jabon Putih (Anthocepalus cadamba Miq.), Jabon Merah (Anthocepalus macrophyllus Roxb.) dan Bambang Lanang (Michelia campaka L.). Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor. Sukhirun, N., Bullangpoti, V. & Pluempanupat, W. 2009. The Insecticidal Studies from Alpinia galangal and Cleome viscose Extract as Alternative Control Tool to Bactrocera dorsalis (Hendel). KKU Science Journal, 37. Faculty of Science. Kasetsart University. Bangkok. Thailand. Thomas, A.N.S. Tanaman Obat Tradisional 2. Kanisius. Yogyakarta. Tindaon, H. 2008. Pengaruh Jamur Antagonis Trichoderma harzianum dan Pupuk Organik untuk Mengendalikan Patogen Tular Tanah Sclerotium rolfsii sacc. pada Tanaman kedelai (Glycine max L.) di Rumah kaca. Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Wiwin S., Murtiningsih, R., Gunaeni, N. & Rubiati, T. 2008. Tumbuhan Bahan pestisida Nabati dan cara Pembuatannya untuk Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Balai penelitian Tanaman Sayuran. Jawa Barat.
136 | Yulianti dan Tati Suharti
APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAMAN JABON PUTIH M. Zanzibar dan Danu A. Pendahuluan
I
nduksi mutasi dapat terjadi secara alamiah atau melalui teknik kimia/fisik. Mutasi spontan (alamiah) tidak mampu memberikan keragaman genetis secara cepat dan akurat sehingga metode mutasi yang dipercepat merupakan hal yang sangat penting dilakukan dalam upaya perbaikan dan peningkatan produktivitas tanaman (Ahloowalia & Maluszynsky, 2001). Iradiasi sinar gamma merupakan teknik induksi mutasi secara fisik dan merupakan suatu proses ionik sebagai salah satu metode modifikasi fisik polisakarida alami (Hai et al., 2003; Rombo et al., 2004; Relleve et al., 2005). Dalam hubungannya dengan perbaikan mutu benih dan bibit, iradiasi sinar gamma telah banyak diaplikasikan untuk peningkatan viabilitas dan vigor (Piri et al., 2011; Iglesias-Andreu et al., 2012). Penerapan mutasi induksi dengan sinar gamma di Indonesia dimulai pada tahun 1967 setelah berdirinya instalasi sinar 60 Co di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Pasar Jum’at, Jakarta. Program pemuliaan mutasi secara intensif dimulai tahun 1972 dengan bantuan teknik dari International Atomic Energy Agency (IAEA) yang berpusat di Wina. Prioritas APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 137
kegiatan diarahkan pada perbaikanvarietas padi, yakni umur genjah, tahan terhadap serangan patogen dan kekeringan, serta kualitas biji disenangi konsumen. Kegiatan dilanjutkan pada tanaman palawija, perkebunan, dan hortikultura (Soedjono, 2003); sedangkan aplikasi pada jenis tanaman hutan masih sangat terbatas. Iradiasi selain dapat meningkatkan keragaman populasi dasar, pada tahap awal dapat digunakan pula sebagai perlakuan praperkecambahan untuk mendapatkan bibit cepat tumbuh dan lebih tahan terhadap serangan hama/penyakit. Oleh karena itu, penggunaan iradiasi sinar gamma pada jenis jabon putih bertujuan memberbaiki perkecambahan benih dan pertumbuhan, serta untuk mendapatkan varietas mutan/klon unggul jabon putih. B. Prakondisi Benih Sebelum Iradiasi Benih jabon yang akan diiradiasi merupakan benih yang telah dibersihkan dari kotoran (bekas daging/kulit buah, ranting, dan daun) melalui penggunaan saringan (420 mikrometer); kelompok benih yang tertahan pada ukuran tersebut umumnya terdiri atas benih murni. Tingkat kadar air kelompok benih sebelum iradiasi harus dibuat seragam, yaitu berkisar 8–10% dengan cara mengangin-anginkannya selama tiga hari pada suhu kamar (suhu 27oC, kelembaban relatif <80%). Radiosensitivitas dipengaruhi kondisi fisik (bentuk morfologi) dan biologis benih yang dapat berupa genetis dan faktor lingkungan (oksigen, kadar air, dan suhu). Semakin banyak kadar oksigen dan molekul air berada dalam materi, semakin banyak pula radikal bebas yang terbentuk sehingga menjadi semakin sensitif (IAEA, 2009). Pengemasan benih jabon putih pra radiasi dapat dilihat pada Gambar 9.1. 138 | M. Zanzibar dan Danu
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Gambar 9.1. Pengemasan benih praradiasi
C. Metode Iradiasi Sinar Gamma, Perkecambahan, dan Pembibitan Wadah benih dapat menggunakan kantong kertas, plastik atau dalam botol kaca. Menurut Soedjono (2003), dosis iradiasi untuk mendapatkan mutan tergantung pada jenis tanaman, fase tumbuh, ukuran, kekerasan, dan bahan yang dimutasi. Dosis iradiasi diukur dalam satuan Gray (Gy); 1 Gy sama dengan 0,10 krad, yakni 1 J energi per kilogram iradiasi yang dihasilkan (Anonimous, 1997). Dosis iradiasi dibagi tiga, yaitu tinggi (>10 k Gy), sedang (1−10 k Gy), dan rendah (<1 k Gy). Perlakuan dosis tinggi akan mematikan bahan yang dimutasi atau mengakibatkan sterilitas. Pada umumnya, dosis yang rendah dapat mempertahankan daya hidup atau tunas, dapat memperpanjang waktu kemasakan pada buah-buahan dan sayuran, serta meningkatkan kadar pati, protein, dan kadar minyak pada biji jagung, kacang, dan bunga matahari. APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 139
Percobaan pendahuluan pada benih jabon putih hanya tahan diiradiasi pada dosis lebih rendah dari 100 Gy (dosis sedang). Pada dosis yang lebih besar 100 Gy, meskipun mampu berkecambah, benih tidak dapat hidup hingga tingkat bibit (mati). Iradiasi tersebut menggunakan mesin iradiasi gamma chamber 4000 A tipe Irpasena (Gambar 9.2).
Gambar 9.2. Gamma chamber 4000 A tipe Irpasena
Benih teriradiasi selanjutnya dikecambahkan pada media campuran pasir : tanah : arang sekam (1 : 1 : 1) (v/v). Bak kecambah ditutupi plastik transparan hingga benih tumbuh mencapai 0,1–0,3 cm. Penyiraman dilakukan dua kali sehari dengan sprayer halus. Kecambah normal yang telah berumur 40 hari disapih di polybag yang telah berisi media campuran tanah, pasir dan kompos (1 : 1 : 1) (v/v) dan menggunakan naungan dengan intensitas 60%. 140 | M. Zanzibar dan Danu
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
D. Pengaruh Iradiasi terhadap Kecambah dan Bibit Perlakuan iradiasi akan meningkatkan perolehan jumlah kecambah, yang mana pada dosis 10 Gy menghasilkan jumlah kecambah tertinggi. Semakin tinggi dosis iradiasi, semakin sedikit jumlah kecambah; meskipun hingga dosis 100 Gy, jumlah kecambah masih lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok benih tanpa iradiasi. Selain peningkatan jumlah kecambah, iradiasi juga mempercepat laju pertumbuhan sehingga kecambah dapat lebih dan mudah disapih. Tabel 9.1. Jumlah kecambah jabon putih pada berbagai dosis iradiasi Dosis Iradiasi (Gy) 0 5 10 15 20 40 80 100
Jumlah Kecambah/0,05 gram 146 504,5 515,5 394,5 413 225,5 266,5 210
Penyapihan kecambah dari benih-benih halus seperti jabon putih yang selama ini menjadi kendala dapat teratasi dengan menggunakan cara ini. Respons iradiasi bervariasi antartanaman, tergantung dari morfologi dan fisiologi tanaman, jenis, umur, ukuran dan komposisi genom, dosis irradiasi, tipe iradiasi, dan sebagainya. Pengaruh stimulasi sinar gamma terhadap perkecambahan mungkin disebabkan oleh aktivasi sintesa RNA atau sintesa protein yang terjadi selama tahap awal perkecambahan setelah benih diiradiasi (Kuzin et APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 141
al., 1975; Kuzin et al., 1976; Abdel-Hady et al., 2008). Perubahan biokimia memengaruhi proses metabolisma sel yang pada tingkat tertentu dapat menguraikan bahan kimia penghambat perkecambahan (Busby, 2008) dan meningkatkan pembelahan sel sehingga tidak hanya berpengaruh terhadap perkecambahan tetapi juga terhadap pertumbuhan bibit (Piri et al., 2011). Pada tahap bibit, pengaruh iradiasi sinar gamma memberikan respons yang sangat beragam pada daya hidup, tinggi, diameter, kerapatan stomata, dan jumlah daun (Tabel 9.2). Tabel 9.2. Nilai peubah bibit jabon putih akibat perlakuan iradiasi sinar gamma pada benih Daya Hidup (%)
Tinggi (cm)
Diameter (mm)
0
100
29,02
5
85,33
34,12
10
100
15
Dosis Iradiasi
Kerapatan Stomata/mm
Luas Daun (mm)
Daun atas
Daun Bawah
3,08
42,5
106,16
456,33
3,71
11,66
68,66
271,67
46,08
4,27
46,75
143,66
616,33
65
51,22
5,75
32,66
76,66
475,67
20
35
32,86
5,13
6,16
50,83
400,33
40
100
14,23
3,19
51
74,66
474
80
26,66
8,17
2,98
13,33
68,16
209,33
100
78,33
16,92
2,03
0
10,16
298,33
Tanggap pertumbuhan bibit jabon merah dari benih yang diiradiasi tergantung dari dosis iradiasi. Tinggi bibit meningkat tajam pada dosis iradiasi 15 Gy, kemudian terus 142 | M. Zanzibar dan Danu
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
menurun hingga dosis 80 Gy. Perlakuan iradiasi benih dosis 15 Gy akan meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter (umur dua bulan) masing-masing sebesar 176,49% dan 187,29%. Penggunaan dosis 10−20 Gy umumnya menghasilkan bibit dengan pertumbuhan yang seragam dan lebih besar (superior), sedangkan dosis lebih besar dari 40 Gy mulai menghambat pertumbuhan (kerdil). Rentang dosis 10–20 Gy dapat digunakan sebagai perlakuan benih (seed treatment) dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 9.3. Peningkatan pertumbuhan tersebut dibandingkan dengan bibit dari benih tanpa iradiasi terlihat sangat dramatis. Kondisi ini perlu mendapat penekanan karena peningkatan pertumbuhan tersebut ialah pertambahan pertumbuhan yang sangat besar yang mungkin sukar dicapai dengan perlakuan penanganan benih maupun pemuliaan konvensional. A
B
C
D
E
F
Gambar 9.3. Pertumbuhan bibit jabon putih pada berbagai dosis iradiasi. Kontrol dan 10 Gy (A), kontrol dan 15 Gy (B), kontrol dan 20 Gy (C), kontrol dan 40 Gy (D), kontrol dan 80 Gy (E), kontrol dan 100 Gy (F) APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 143
Gambar 9.4. Bentuk pertumbuhan bibit dari benih teriradiasi (0– 100 Gy) yang berbentuk sigmoid dan sistem perakaran bibit jabon putih pada umur dua bulan di persemaian [pertumbuhan yang tinggi dan bentuk perakaran yang kokoh dan kompak diperoleh pada dosis 10–20 Gy]
Luas daun, kerapatan stomata permukaan daun atas dan bawah tertinggi dicapai pada iradiasi benih dosis 10 Gy (kerapatan stomata per helai, atas 28813, 43, bawah 88541, 97), sedangkan terendah pada dosis 100 Gy (kerapatan stomata per helai, atas 0.00, bawah 6261, 91). Iradiasi secara nyata memengaruhi kerapatan jumlah stomata, 144 | M. Zanzibar dan Danu
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
khususnya pada permukaan daun bawah; dosis iradiasi lebih besar dari 10 Gy cenderung terus menurun. Sebagaimana peubah lainnya, luas dan kerapatan stomata pada tingkat tertentu, yaitu dosis yang lebih merespons perlakuan iradiasi cenderung membuat daun lebih kecil, serta susunan dan jumlah stomata yang tidak beraturan. Kedua peubah ini kemungkinan juga dapat dijadikan indikasi bahwa perlakuan iradiasi sinar gamma terhadap jabon putih telah mengakibatkan mutasi (Gambar 9.4 dan Gambar 9.5). Dosis iradiasi (Gy)
Stomata daun atas
Stomata daun bawah
0
5
10
20
40
80
Gambar 9.5. Penampilan stomata permukaan daun atas dan bawah jabon putih akibat perlakuan iradiasi sinar gamma. APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 145
Fan et al. (2003) memberikan indikasi bahwa radikel bebas yang dibangkitkan dalam tanaman yang disebabkan iradiasi sinar gamma akan bertindak sebagai sinyal stres dan merangsang respons stres dalam tanaman. Kondisi ini menghasilkan peningkatan sintesa asam polifenol yang mempunyai kegunaan antioksidatif. Sjodin (1962) melaporkan bahwa bahan dan energi yang diperlukan selama pertumbuhan awal tersedia dalam benih sehingga dosis iradiasi rendah mungkin meningkatkan aktivasi enzim dan membangkitkan embrio muda. Hal ini menghasilkan stimulasi terhadap laju pembelahan sel dan meningkatkan tidak hanya proses perkecambahan, tetapi juga pertumbuhan vegetatif. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan tanaman sering dijadikan ukuran respons terhadap dosis radiasi. Beberapa penelitian melaporkan penggunaan irradiasi dosis rendah, seperti pada padi, memberikan pengaruh positif terhadap perakaran dan pertumbuhannya. Radiasi gamma dosis rendah (10–30 Gy) merangsang kemunculan persentase tunas kentang (Solanum tuberosum), sedangkan pada 40–50 Gy menunjukan bahwa tinggi dan panjang akar secara signifikan terhambat, dan pada dosis tinggi (60 Gy) menunjukan tidak ada tunas yang muncul (Cheng et al., 2010). E. Penggunaan Klon untuk Perbanyakan Massal Vegetatif Peningkatan produktivitas tanaman menggunakan metode iradiasi sinar gamma (mutation breeding) melalui pengembangan klon-klon unggul membutuhkan metode perbanyakan massal secara vegetatif. Perbanyakan tanaman secara vegetatif dapat mengunakan teknik perbanyakan secara mikro dan makro. Perbanyakan tanaman jabon secara mikro umumnya digunakan teknik kultur jaringan melalui 146 | M. Zanzibar dan Danu
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
perbanyakan tunas dan organogenesis. Perbanyakan secara makro umumnya menggunakan teknik stek pucuk. 1. Perbanyakan Tanaman dengan Metode Kultur Jaringan Beberapa faktor penting yang memengaruhi keberhasilan metode kultur jaringan, yaitu: a. Eksplant Bahan tanaman yang digunakan ialah seluruh bagian tanaman yang masih muda dan mampu untuk mengadakan proses pertumbuhan, yaitu bagian tanaman yang masih meristematik (sel-selnya mudah melakukan pembelahan) dan sehat. b. Media Media yang digunakan dalam propagasi klonal ialah media buatan. Media tersebut mengadung zat-zat yang sama dengan yang terkandung dalam tanah. Media dasar umumnya menggunakan media Murashige dan Skoog (1962) (Tabel 9.3). c. Zat pengatur tumbuh Pertumbuhan dari suatu tumbuhan terdapat empat proses: 1) pembelahan sel, 2) pembesaran sel, 3) perpanjangan sel, dan 4) diferensiasi sel. Untuk pembesaran sel, pembesaran sel dan perpanjangan sel dibutuhkan nutrisi terutama HNO 3, zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin, serta karbohidrat. Zat pengatur tumbuh berfungsi sebagai pengatur dan pendorong proses-proses pertumbuhan. Konsentrasi zat pengatur tumbuh dapat memengaruhi proses pertumbuhan dan hasil pertumbuhan, misalnya menjadi kalus, tunas, akar, atau APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 147
hanya terjadi perpanjangan saja. Berdasarkan hasil penelitian Kartikasari (2013), penggunaan media MS + 1.10-1 mg/L 2,4 D + 3.10-1 mg/L kinetin mampu menginduksi tunas dalam waktu dua hari dan rerata tinggi tunas yang optimal sebesar 1,28 cm. Selanjutnya, tunas diakarkan pada media dasar Murashige and Skoog (1962) ditambah ZPT IBA 0,25 µM dan NAA 0,27 µM; setelah 7– 10 hari, subkultur tunas akar berakar (Huang et al., 2014) (Gambar 9.6). Kemudian, aklimatisasi setelah berumur 4–5 minggu dan setelah tumbuh menjadi bibit berukuran tinggi sekitar 10–20 cm dapat ditanam di lapangan. Pada umur 7 bulan dapat mencapai tinggi 2,31 m dan diameter batang 47 mm. Proses perbanyakan secara kultur jaringan jenis jabon putih dapat dilihat pada Gambar 9.6.
Gambar 9.6. Perbanyakan kultur jaringan jabon: perbanyakan tunas (A), pembentukan akar (B dan C), aklimatisasi bibit jabon (D) 148 | M. Zanzibar dan Danu
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
Tabel 9.3. Komposisi beberapa media kultur jaringan yang digunakan untuk perbanyakan tanaman Bahan (mg/l) NH4NO3 KNO3 CaCl2.2H20 Ca(NO3)2.4H2O Ca (NO3) NH4H2PO4 MgSO4.7H2O KH2PO4 (NH4)2SO4 NaH2PO4.H2O KI H3BO3 MnSO4.4H2O MnSO4.H20 ZnSO4.7H2O Zn versinate Na2MoO4.2H2O CuSO4.4H20 CoCl2.6H20 Na2Fe EDTA Na2EDTA FeSO4.7H2O Sukrosa (g/l) Inositol (mg/l) Nicotinic acid Pyridoxin-HCl Thiamine-HCl Folic acid Biotin Glisin
Murashige and Skoog (1962) 1.650 1.900 440 370 170 0,83 6,2 22,3 8,6 0,25 0,025 0,025 37,3 27,8 30 100 0,5 0,5 0,1 2,0
Medium Gamborg Nitsch et al. (1972) (1968) 720 2.500 950 150 166 250 185 68 134 150 0,75 3,0 10 25 10 2,0 10 0,25 0,25 0,025 0,025 0,025 37,5 37,3 27,8 20 20 100 100 1,0 5,0 1,0 0,5 10,0 0,5 0,5 0,05 2,0
Schenk and Hilderbrandt (1972) 2.500 200 300 400 1,0 5,0 10 1,0 0,1 0,2 0,1 20 15 30 1.000 5,0 0,5 5,0 -
Sumber: Noerhadi (1989), Pierik (1987)
APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 149
2. Perbanyakan Tanaman dengan Stek Untuk mempercepat dan mengurangi biaya penyediaan bibit klon-klon unggul dapat menggunakan teknik perbanyakan vegetatif secara stek. Bibit hasil kultur jaringan diaklimatisasi kemudian dibangun kebun pangkas permanen ataupun kebun pangkas bergulir [tergantung jenis tanaman]. Faktor-faktor yang memengaruhi perbanyakan tanaman dengan stek, yaitu: a. Bahan stek Asal bahan stek berpengaruh terhadap kemampuan berakar stek dan pertumbuhan biakannya. Bahan stek yang masih muda (juvenil) secara fisiologis memiliki kemampuan berakar yang lebih baik daripada biakan stek yang telah tua. Hartman et al. (1997) menyatakan bahwa bahan tanaman yang berasal dari bagian tanaman dekat dengan akar lebih juvenil dari pada bahan tanaman yang berada pada tajuk yang lebih tinggi. Bahan stek pucuk jabon dipilih pucuk yang berumur muda secara fisiologis ataupun kronologis yaitu berumur maksimal satu tahun. Ukuran diameter 0,5–1 cm, panjang 10–15 cm, memiliki 2–3 ruas (nodul), memiliki 2 daun (untuk mengurangi penguapan, daun dipotong 2/3 bagian). Bagian bawah batang dipotong miring dengan sudut 40o agar permukaan batang lebih luas dan memudahkan dalam penanaman. Bahan stek sebelum dan sesudah pemotongan diletakkan di dalam wadah berisi air agar bahan stek tidak layu. Tanaman jabon termasuk tanaman yang cepat mengalami penuaan secara fisiologis sehingga dalam penyediaan bahan stek dalam jumlah besar dapat digunakan kebun pangkas bergulir, yaitu bibit jabon berumur 5–6 bulan diambil pucuknya sebagai bahan stek, kemudian potongan bawah atau sisa potongan dipelihara sebagai bahan tanaman atau 150 | M. Zanzibar dan Danu
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
tunas lagi sebagai sumber bahan stek. Sementara itu, stek yang sudah berakar kemudian disapih di persemaian setelah cukup umur sebelum ditanam di lapangan; pucuknya dapat dipotong dulu sebagai bahan stek selanjutnya. b. Media Media perakaran stek dapat menggunakan pasir atau media padat lainnya. Media perakaran stek jabon dapat menggunakan media steril campuran sekam padi dan cocopeat (1:2, v/v). Sterilisasi media dapat dilakukan dengan dikukus, dijemur sinar matahari, atau fumigasi menggunakan fungisida. Wadah media dapat menggunakan polybag ukuran 10 x 10 cm atau polytube atau potray ukuran 9 x 9 cm (45 pot setiap tray). Kemudian diletakkan di ruang pertumbuhan stek. c. Kondisi lingkungan ruang tumbuh stek Keberhasilan pembibitan secara vegetatif salah satunya ditentukan oleh kondisi lingkungan/iklim mikro tempat pengakaran stek. Perbanyakan tanaman jabon dapat menggunakan rumah perakaran stek sistem KOFFCO. Sistem ini memiliki suhu <30oC , kelembaban >95%, dan intensitas cahaya 5.000–20.000 lux (Shakai et al., 1995). Dalam sistem ini, bahan stek ditanam di polypot kemudian dimasukkan ke dalam sungkup plastik transparan dan di bawahnya diberi batu-batu kerikil. Hal ini dimaksudkan untuk menstabilkan kelembaban ataupun suhu di dalam sungkup. d. Zat pengatur tumbuh Untuk menstimulir pertumbuhan akar dan tunas, bagian pangkasl stek diberi zat pengatur tumbuh dari kelompok auxin (IBA, IAA, NAA) dan yang banyak digunakan untuk pembuatan stek atau cangkok [dikenal dengan nama dagang APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 151
Rootone-F ataupun Atonik], sedangkan dari kelompok sitokinin terutama kinetin, adenin, zeatin. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) untuk memperbanyak stek jabon dapat mengunakan IBA 1.500 ppm dengan cara perendaman selama 10 menit. Danu et al. (2014) melaporkan penelitian terhadap bahan stek pucuk jabon merah yang dipotong dengan ukuran minimal dua ruas daun (tiga nodul), kemudian diberi zat pengatur tumbuh IBA 1.500 ppm, ditanam pada media pasir, dan ditempatkan di rumah kaca yang dilengkapi dengan sistem pendingin (KOFFCO System). Pada umur empat minggu setelah tanam dapat menghasilkan stek berakar 97,33%, panjang akar 31,74 cm, dan panjang tunas 5,94 cm. Penambahan zat pengatur IBA hingga 1.500 ppm dapat menghasilkan jumlah akar stek dengan nilai rerata 72 helai. Sementara itu, hasil penelitian Putra et al. (2014) menunjukan bahwa setek pucuk jabon yang diberi Rootone-F dengan konsentrasi 200 ppm memiliki memiliki persentase hidup 96%, panjang tunas 20,47 cm, panjang akar 19,60 cm, dan jumlah daun 6,18 helai. Perbanyakan tanaman jabon putih melalui stek pucuk dengan memerhatikan faktor-faktor di atas telah menghasilkan bibit jabon yang berkualitas yang dapat dilhat pada Gambar 9.7.
152 | M. Zanzibar dan Danu
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
5 cm
A
B
5 cm
C
D
Gambar 9.7. Pertumbuhan stek jabon: bahan stek (A), rumah perakaran stek (B), stek umur dua bulan setelah tanam (C), dan kondisi perakaran (D)
Daftar Pustaka Abdel-Hady, M.S., Okasha, E.M., Soliman, S.S.A. & Tallat, M. 2008. Effect of gamma radiation and gibberellic acid on germination and alkaloid production in Atropa belladonna L. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 2: 401–405. Ahlowalia, B.S. & Maluszynski, M. 2001. Induced mutation-A new paradigm in plant breeding. Euphytica, 118: 167–173.
APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 153
Busby, B. 2008. Radiation and Radioactivity. Physics.isu.edu/ radinf.htm.6 April 2008. [2 November 2008]. Fan, X., Toivonen, P.M.A., Rajkowski, K.T. & Sokorai, K.J.B. 2003. Warm water treatment in combination with modified atmosphere packaging reduces undesirable effects of irradiation on the quality of fresh-cut iceberg lettuce. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 51: 1231–1236. Hai, L., Diep, T.B., Nagasawa, N., Yoshii, F. & Kume, T. 2003. Radiation depolymerization of chitosan to prepare oligomers. Nucl. Instrum. Methods Phys. Res. B, 208: 466–470. Hartmann, H.T., Kester, D.E. & Davies, Jr.F.T. 1997. Plant Propagation, Principles and Practices. Fifth edition. Prentice-Hall Inc. New Jersey Huang H., Li, J., OuYang, K., Zhao, X., Li, P., Liao, B. & Chen, X. 2014. Direct adventitious shoot organogenesis and plant regeneration from cotyledon explants in Neolamarckia cadamba. Plant Biotechnology, 31: 115–121. Iglesias-Andreu, L.G., Octavio-Aguilar, P. & Bello-Bello, J. 2012. Current importance and potential use of low doses of gamma radiation in forest species. In Gamma radiation (Adrovic, F., Ed.) .InTech Europe. Rijeka, Croatia. p. 265-280. Kartikasari, P., Hidayat, M.T. & Ratnasari, E. 2013. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh 2,4-D (2,4Dichlorophenoxyacetic acid) dan Kinetin (6Furfurylaminopurine) untuk Pertumbuhan Tunas EksplanPucuk Tanaman Jabon (Anthocephalus 154 | M. Zanzibar dan Danu
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
cadamba Miq. ex Roxb.) secara In Vitro. LenteraBio, 2(1): 75–80. Kuzin, A.M., Vagabova, M.E. & Revin, A.F. 1976. Molecular mechanisms of the stimulating action of ionizing radiation on seeds. 2. ctivation of protein and high molecular RNA synthesis. Radiobiologiya, 16: 259–261. Kuzin, A.M., Vagabova, M.E. & Prinak-Mirolyubov, V.N. 1975. Molecular mechanisms of the stimulating effect of ionizing radiation on seed. Activation of RNA synthesis. Radiobiologiya, 15: 747–750. Murashige, T. & Skoog, F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue culture. Physiol Plant. 15: 473–497. Noerhadi, E., Bartholomeus, H. & Danu. 1989. Prospek Pembiakan Vegetatif Jenis-Jenis HTI dengan Kultur Jaringan. Prosiding. Diskusi Hasil Penelitian Silvikultur Jenis Kayu Hutan Tanaman Industri. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. 217–231. Piri, I., Babayan, M.A., Tavassoli & Javaheri, M. 2011. The use of gamma irradiation in agriculture. African Journal of Microbiology Research, 5(32): 5806–5811. Putra, F., Indriyanto & Riniarti, M. 2014. Keberhasilan hidup stek pucuk jabon (Anthocephalus cadamba) dengan pemberian beberapa konsentrasi Rootone-F. Jurnal Sylva Lestari, 2(2): 33–40. Relleve, L., Nagasawa, N., Luan, L.Q., Yagi, T., Aranilla, C. & Abad, L. 2005. Degradation of carrageenan by radiation. Polymer Degradation and Stability, 87: 403–410.
APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 155
Rombo, G.O., Taylor, J.R.N. & Minnaar, A. 2004. Irradiation of maize and bean flours: Effects on starch physicochemical properties. J. Sci. Food Agric., 84: 350–356. Shakai, C., Yamamoto, Y., Hendromono, Prameswari, D. & Subiakto, A. 1995. Sistem Pendingin Dengan Pengkabutan Pada Pembiakan Vegetatif Dipterocarpaceae. Buletin Penelitian Hutan, No. 588. Bogor Sjodin, J. 1962. Some observations in X1 and X2 of Vicia faba L. after treatment with different mutagens. Hereditas, 48: 565–573. Soedjono, S. 2003. Aplikasi Mutasi Induksi dan Variasi Somaklonal dalam Pemuliaan Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian, 22(2): 70–78.
156 | M. Zanzibar dan Danu
PENUTUP
J
abon putih [Neolamarkcia cadamba (Roxb.) Bosser, sinonim Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq., Anthocephalus chinensis (Lamk.), famili Rubiaceae)] merupakan salah satu jenis potensial asli Indonesia yang cepat tumbuh dan multiguna. Pengembangan jenis ini membutuhkan dukungan informasi dan IPTEK, khususnya tentang pembenihan dan pembibitan jabon putih untuk menghasilkan benih dan bibit berkualitas yang dapat dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat. Review hasilhasil penelitian pembenihan dan pembibitan dalam bentuk bunga rampai untuk jenis jabon putih ini akan membantu menyediakan referensi yang ideal untuk mengatasi permasalahan pembenihan dan pembibitan di lapangan. Beberapa informasi karakteristik dan penanganan benih yang telah disampaikan, antara lain cara seleksi dengan penyaringan, karakter benih, pengeringan dan daya simpannya, serta cara penaburan dan pembibitannya. Pengendalian hama penyakit, pemanfaatan sinar gamma sebagai seed treatment dan teknik perbanyakan vegetatif sebagai pendukungnya untuk peningkatan produktivitas. Jabon putih menjadi jenis yang penting sebagai penghasil kayu ketika produksi kayu dari hutan alam semakin turun sehingga dikenal sebagai jenis alternatif. Keunggulan lain dari jenis ini ialah mempunyai sebaran tempat tumbuh yang cukup beragam, walaupun rentan pada kondisi kekeringan. Untuk pengembangan jenis jabon diperlukan populasi yang cukup beragam sehingga informasi mengenai keragaman PENUTUP | 157
genetis pada populasi jabon penting untuk diketahui. Secara umum, keragaman genetis dalam populasi yang relatif tinggi pada populasi jabon menunjukan bahwa populasi jabon tersebut masih memiliki ukuran yang cukup memadai untuk melakukan perkawinan silang sehingga keragamannya masih terpelihara, serta sangat mendukung pembangunan sumber benihnya. Kualitas genetis apabila tidak diimbangi dengan teknologi produksi buah dan teknologi penanganan benih yang tepat, dapat menurunkan kualitas benih secara keseluruhan. Penentuan saat panen merupakan langkah awal mendapatkan benih yang bermutu. Selanjutnya, penanganan benih yang dimulai dengan ekstraksi dan sortasi menjadi sangat penting untuk benih jabon putih yang berukuran halus. Benih jabon seperti pada benih-benih tanaman kehutanan lainnya cukup rentan terserang hama dan penyakit. Oleh karena itu, penurunan kadar air benih jabon penting diperhatikan. Demikian pula dengan teknik persemaian dan pembibitan, hal yang sangat penting untuk diperhatikan, yaitu saat penyapihan yang tepat dan standar bibit siap tanam. Peningkatan produktivitas bibit jabon dapat dilakukan menggunakan teknologi irradiasi. Penggunaan irradiasi sinar gamma pada benih jabon mampu meningkatkan perkecambahan dan pertumbuhan bibit yang lebih cepat sehingga teknik ini dapat dijadikan sebagai seed treatment. Selain itu, klon-klon unggul yang mempunyai produktivitas tinggi dapat pula diperoleh. Produksi klon unggul hanya bisa dilakukan melalui teknik perbanyakan vegetatif, antara lain stek dan kultur jaringan. Uraian mengenai teknologi pembenihan dan pembibitan yang telah disusun dalam bentuk bunga rampai ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi 158 | PENUTUP
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih
dalam memperkaya khasanah pengetahuan tentang jabon putih.
PENUTUP | 159
Diterbitkan oleh:
FORDA PRESS Anggota IKAPI No. 257/JB/2014 Jalan Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat Telp./Fax. +62251 7520093 E-mail:
[email protected] Penerbitan dan Pencetakan dibiayai oleh:
BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN Jalan Pakuan, Ciheuleut, PO Box 105 Bogor 16144 Telp./Fax. +62 251 8327768 E-mail:
[email protected]