Prospek Pengembangan Jabon untuk Mendukung Pengembangan Hutan Tanaman1 Dr Ir Irdika Mansur, M.For.Sc.2,3 2
SEAMEO BIOTROP Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology, Jl. Raya Tajur Km 6, Bogor. E-mail:
[email protected] 3
Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Jawa Barat. E-mail:
[email protected] Pendahuluan Bangsa Indonesia dikarunia Tuhan dengan hutan alam yang demikian luas dengan keanekaragaman hayati flora dan faunanya yang demikian tinggi, termasuk jenis pohon-pohon yang tumbuh di dalamnya. Sejak lama hutan alam menjadi sumber utama pasokan kayu untuk keperluan domistik, industri, maupun impor. Kecepatan kehilangan jenis-jenis pohon kehutanan Indonesia melebihi kecepatan para peneliti memahami kharakteristik jenis-jenis pohon kehutanan sebagai modal pengetahuan untuk melakukan konservasi maupun budidayanya. Dari sekian banyak jenis pohon kehutanan asli Indonesia, baru sebagian kecil saja yang telah dibudidayakan untuk tujuan komersial, diantaranya adalah sengon (Falcataria moluccana), jabon (Anthocephalus cadamba). Sengon telah dibudayakan secara besar-besaran sejak tahun 1980-an, sedangkan jabon baru dikenal dan beberapa tahun terakhir. Beberapa jenis pohon lain baik jenis lokal maupun eksotik juga telah dibudidayakan dalam skala lebih kecil oleh masyarakat atau sekala besar untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), antara lain kayu afrika (Maesopsis eminii), jati putih (Gmelina arborea), mindi (Melia azedarach), jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia macrophylla), sono keling (Dalbergia speciosa), akasia (Acacia auriculiformis, Acacia mangium, dan Acacia cracicarpa), suren (Toona sureni), suren leuweung (Azadirachta excelsa), dll.
Minat masyarakat untuk melakukan investasi dengan
menanam pohon semakin tinggi. Namun demikian masih banyak informasi silvikultur (teknik 1
Makalah disampaikan dalam Seminar dan Pameran Hasil-‐hasil Penelitian dengan Tema “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi, dan Rehabilitasi Hutan”, diselenggarakan oleh BPK Manado bekerjasama dengan BPK Manokwari, BP DAS Tondano, ITTO, SEAMEO BIOTROP, Burung Indonesia, dan Harian Manado Pos. Manado, 23 Oktober 2013.
budidaya) dari pohon-pohon kehutanan tersebut yang diketahui oleh masyarakat luas, sehingga masyarakat harus mengeluarkan dana yang lebih besar dari seharusnya. Jabon (Anthocephalus cadamba) merupakan jenis pohon pionir asli Indonesia yang memiliki penyebaran alami yang luas dari Aceh sampai Papua. Jenis pohon ini banyak dijumpai di tempat-tempat terbuka bekas tebangan, atau di kanan-kiri jalan logging. Jabon juga banyak dijumpai di lahan-lahan bekas tambang khususnya di Kalimantan, tumbuh alami di tempattempat terbuka maupun di sela-sela Acacia mangium yang telah ditanam terlebih dahulu sebagai upaya reklamasi lahan bekas tambang. Jabon barangkali satu-satunya pohon cepat tumbuh komersial yang penyebarannya merata secara alami di seluruh Indonesia, dan juga dikenal secara Internasional. Namun di Indonesia, meskipun penelitian telah dilakukan sejak lama, namun dikenal oleh masyarakat dan mulai ditanam secara intensif baru 2-3 tahun terakhir. Jabon memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis-jenis pohon kehutanan cepat tumbuh lainnya yang saat ini telah dikenal masyarakat luas, antara lain: 1) jenis pohon asli Indonesia dengan penyebaran (asli maupun tanaman) yang luas, 2) mudah diperbanyak, karena benih telah tersedia di pasaran, dan jabon juga dapat diperbanyak secara vegetatif melalui stek, sambungan, cangkok, maupun kultur jaringan, 3) budidayanya (produksi bibit, penanaman, dan pemeliharaan) mudah, informasi teknik budidaya telah tersedia (buku maupun internet), 4) kayunya dapat digunakan untuk berbagai keperluan dari yang sederhana (papan cor, kotak telur dan sayur, palet) sampai untuk membuat meubel maupun bahan-bahan industri (kayu lapis, moulding, dan kertas), dan 5) jika diakses melalui situs-situs diinternet, seringkali jabon dikenal sebagai tanaman obat, yaitu dari ekstrak dari buah, akar, dan kulit batang, sebagai contoh situs HerbalCureindia (dapat diakses di http://www.herbalcureindia. com
Sekilas Teknik Budidaya Jabon Sejak peluang investasi jabon diselenggarakan oleh Himpunan Profesi Mahasiswa Tree Grower Community di Bogor pada tahun 2008 yang lalu, jabon bertambah populer. Beberapa buku dan informasi tentang jabon diinternet banyak tersedia. Pembibitan jabon juga tumbuh di manamana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang berminat menanam jabon. Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku dan kharakteristik pohon jabon semakin dipahami.
Dengan
demikian dapat diketahui teknik budidaya, mulai dari pengunduhan buah, ekstraksi benih, pengecambahan, pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan yang tepat. Buah jabon dipanen antara bulan Mei sampai Juli, lalu benih dapat diekstrak dengan cara kering maupun basah. Ekstraksi benih dengan cara kering dilakukan dengan mencacah buah tipis-tipis kemudian dijemur 1-2 hari sampai kering. Penjemuran terlalu lama dapat menurunkan viabilitas benih yang dihasilkan. Setelah itu serpihan buah yang sudah kering lalu ditumbuk halus dan disaring dengan saringan kopi. Benih akan lolos bersama serbuk yang halus. Dalam ekstraksi benih dengan cara basah, buah jabon direndam semalam lalu dihancurkan. Selanjutnya buah yang hancur dalam air disaring untuk memisahkan daging buah dengan benih.
Untuk memisahkan benih dari air dapat digunakan kain sifon.
Dengan menyaring
menggunakan kain sifon, air akan lolos sedangkan benih akan tertahan. Benih bersama kain sifon dikering udarakan. Benih hasil ekstraksi sebaiknya tidak disimpan lama. Meskipun dalam literatur dinyatakan bahwa benih jabon dapat disimpan sampai satu tahun, namun pada kenyataannya setelah penyimpanan 2-3 bulan, baik pada suhu kamar maupun di lemari pendingin, daya kecambah benih jabon akan turun. Pengecambahan benih jabon dapat dilakukan dengan berbagai cara, tetapi kunci utama adalah kelembaban dan suhu (teduh). Pengecambahan sebaiknya dilakukan di bawah sungkup yang dapat menjaga kelembaban sepanjang waktu. menurunkan suhu.
Di atas sungkup dipasang paranet untuk
Banyak macam media yang dapat digunakan untuk mengecambahkan
benih jabon, mulai dari tanah, pasir, campuran tanah dan pasir (1:1), campuran pasir dengan arang sekam (5:1). Yang terpenting dalam penyiapan media perkecambahan adalah perlunya sterilisasi media dengan cara disangrai. Hal ini diperlukan mengingat kecambah jabon sangat rentan dengan serangan penyakit lodoh. Serangan penyakit lodoh dapat mematikan kecambah jabon dan menyebar dengan cepat.
Dalam menabur benih jabon, disarankan mencampur
dengan media dengan perbandingan 1:20-30 (benih : media). Kecambah yang terlalu rapat dapat menyebabkan pertumbuhan yang lambat, sehingga memperlambat waktu penyapihan. Kecambah yang telah berdaun dengan ukuran kuku jari dapat disapih ke polybag. Bibit siap ditanam di lapangan setelah mencapai tinggi 30 cm. Selama di persemaian, secara berkala perlu melakukan seleksi bibit berdasar ukuran. Bibit yang berukuran kecil dikumpulkan dengan bibit yang berukuran kecil, dan yang besar dengan yang besar. Dengan demikian tidak terjadi persaingan cahaya dan tidak ada bibit yang mati karena ternaungi bibit yang lain.
Seringkali masyarakat menanyakan berapa jarak tanam yang sebaiknya digunakan dalam penanaman jabon. Jabon merupakan pohon yang secara alami memiliki kemampuan tumbuh lurus ke atas dengan cabang-cabang ke samping yang kecil, dan batang berbentuk silindris. Oleh karena itu, jabon tidak harus ditanam secara rapat untuk mendapatkan batang yang lurus. Dari pengalaman penulis menanam jabon, jarak tanam paling sempit yang dapat dilakukan untuk jabon adalah 3 x 3 m. Jarak tanam yang lebih sempit menyebabkan pohon jabon tumbuh tinggi dengan cepat tetapi berbatang kurus. Penggunaan pupuk dalam penanaman jabon sangat tergantung kepada tujuan penanaman. Jika penanaman dilakukan untuk tujuan investasi, semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk pupuk dan kegiatan pemeliharaan, maka pohon akan cepat besar dan cepat dapat dipanen. Tetapi jika pupuk yang diberikan terbatas, maka pohon jabon akan tumbuh lebih lambat dan waktu panen pun lebih lambat. Kegiatan pemeliharaan yang diperlukan untuk jabon, karena pertumbuhannya yang demikian cepat maka penyiangan gulma hanya diperlukan satu tahun pertama saja. Hasil pengukuran pohon jabon yang ditanam di kebun penulis di Bogor, pada kondisi tanah yang baik pohon jabon dapat tumbuh mencapai tinggi 12 m dengan diameter 21.5 cm pada umur 1,5 tahun. Pemeliharaan selanjutnya adalah penjarangan jika cabang-cabang pohon jabon sudah saling bersentuhan lebih dari 50%. Membiarkan pohon bersaing untuk mendapatkan cahaya akan mengakibatkan pohon-pohon tersebut tumbuh kurus tinggi. Seringkali masyarakat merasa sayang untuk melakukan penjarangan karena terlalu sayang kepada pohon-pohonnya. Setelah pohon jabon ditebang/dipanen, maka tunggak/tunggul pohon tersebut akan kembali bertunas.
Jika tunas-tunas tersebut dipelihara maka mereka akan tumbuh menjadi pohon
kembali dan siap untuk dipanen dengan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan penanaman kembali dengan bibit. Budidaya pohon dengan teknik terubusan bukanlah teknik baru, tetapi belum banyak yang mengetahui. Teknik terubusan dilakukan dengan cara memelihara tunas-tunas yang tumbuh dari tunggak/tunggul kayu yang telah ditebang agar tumbuh menjadi batang pohon yang baru. Masyarakat di desa-desa tanpa sengaja melakukan hal ini, yaitu dengan membiarkan tunastunas yang tumbuh dari tunggak menjadi pohon-pohon baru. Dalam budidaya pohon, teknik terubusan dengan sengaja dilakukan untuk menekan biaya penanaman. Dengan memelihara terubusan, maka tidak diperlukan lagi untuk melakukan penanaman bibit baru.
Dengan
demikian biaya penanaman (harga bibit, biaya angkutan bibit, pengolahan lahan, pembuatan lubang tanam, penanaman) dapat ditiadakan. Teknik terubusan pada awalnya diterapkan untuk produksi kayu bakar, dimana jenis-jenis pohon penghasil kayu bakar, seperti lamtoro, kaliandra, dan di beberapa tempat juga ekaliptus ditebang untuk kayu bakar, kemudian terubusannya dipelihara untuk ditebang pada periode berikutnya. Dalam produksi kayu bakar, tidak diperlukan ukuran batang kayu yang besar. Oleh karena itu dengan cara terubusan ini, dapat dihasilkan kayu bakar dengan rotasi yang relatif pendek. Tunas-tunas yang tumbuh dari tunggak bekas tebangan biasanya tumbuh lebih dari satu, sehingga pada periode panen berikutnya volume yang dihasilkan akan bertambang. Dengan berjalannya waktu, di kebun-kebun rakyat teknik ini juga dilakukan tanpa sengaja pada pohon-pohon besar yang batangnya ditebang untuk tujuan pertukangan, seperti jati. Pemilik pohon jati yang tumbuh di kebun-kebun, setelah pohon ditebang kemudian dibiarkan saja terubusannya/tunasnya tumbuh menjadi pohon tanpa campur tangan pemilik pohon. Tanpa pengelolaan, terubusan tidak memberikan hasil yang maksimum karena tidak ada penjarangan. Tunas yang tumbuh lebih dari satu pada tunggul bekas tebangan akan bersaing satu sama lain sehingga pertumbuhannya akan lebih lambat dibandingkan dengan terubusan yang dikelola dan dijarangi sehingga hanya meninggalkan satu terubusan atau tunas yang terbaik untuk dipelihara menjadi pohon. Terubusan diperkirakan akan memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan bibit yang ditanam dari awal, karena memiliki struktur perakaran yang lebih luas dan lebih kokoh. Dengan demikian terubusan dari tunggak akan memperoleh pasokan air dan unsur hara yang lebih banyak dibandingkan dengan bibit yang baru ditanam. Jacob (1981) dalam Evans (1992) melaporkan bahwa terubusan Eucalyptus yang ditebang pada rotasi 5 tahunan di Kenya, hasil terubusan adalah dua kali lipat dibandingkan dengan hasil tegakan awalnya yang ditanam dari bibit. Tidak semua pohon setelah ditebang akan menghasilkan terubusan. Hal ini dipengaruhi jenis, umur, dan barangkali juga genetik dari individu pohon. Sengon, jabon, jati, mindi, sono keling, kayu afrika, gmelina, suren leuweung adalah beberapa contoh jenis pohon yang mampu menghasilkan terubusan setelah ditebang. Bahkan di Jawa Barat, sengon, suren leuweung, dan kayu afrika telah dikelola dengan teknik terubusan secara intensif. Di Kabupaten Konawe,
Sulawesi Tenggara, jati rakyat juga dikelola dengan teknik terubusan.
Di Kebumen, Jawa
Tengah, sono keling yang tumbuh di kebun-kebun rakyat juga dikelola dengan teknik terubusan. Jabon memang belum banyak dilaporkan mengenai teknik budidaya dengan terubusan. Namun, penulis telah melaksanakan praktek tersebut di kebun milik penulis. Seperti disampaikan di atas bahwa sengon dan jabon dapat dibudidayakan dengan teknik terubusan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan (Evans, 1992) adalah waktu penebangan, teknik penebangan, tinggi tunggak, penjarangan terubusan, penyulaman, dan pemeliharaan terubusan.
Waktu penebangan.
Untuk mendapatkan terubusan yang maksimal, penebangan pohon
sebaiknya dilakukan pada musim hujan. Penebangan pada musim kemarau akan beresiko menyebabkan tunggak cepat mengalami kekeringan/dehidrasi sehingga terubusan gagal tumbuh.
Penebangan disarankan dilakukan pada akhir musim hujan, dimana tanah masih
basah sementara cadangan karbohidrat, sebagai cadangan energi untuk pertumbuhan terubusan, tinggi. Teknik penebangan.
Penebangan dengan cara meneres (mematikan pohon dengan cara
memutus kambium, sehingga pohon mati berdiri, seperti pada jati), tidak direkomendasikan. Penebangan dengan menggunakan gergaji lebih baik dibandingkan dengan menggunakan kapak. Tinggi tunggak. Penebangan rata tanah untuk mendapat hasil kayu yang maksimum akan menghambat munculnya terubusan, sedangkan menyisakan tunggak terlalu tinggi, selain mengurangi hasil kayu, juga akan menyebabkan terubusan yang dihasilkan rawan tumbang/patah karena angin.
Tinggi tunggak yang di sarankan adalah 30-50 cm dari
permukaan tanah. Penjarangan Terubusan. Dari satu tunggak biasanya akan muncul lebih dari satu terubusan. Jika dibiarkan, maka akan diperoleh terubusan yang kurus tinggi dengan diameter kecil. Oleh karena itu perlu dilakukan penjarangan.
Masyarakat di Karangpawitan, Kabupaten Garut,
membiarkan terubusan sengon tumbuh sampai berumur 1 tahun, kemudian mencangkok beberapa terubusan yang baik, meninggalkan satu terubusan terbaik tidak terganggu, dan memotong terubusan yang pertumbuhannya tertinggal. Setelah cangkokan berakar, cangkokan dipotong dan ditanam di tempat lain. Membiarkan terubusan tumbuh bersama-sama selama
satu tahun akan menghasilkan terubusan dengan batang-batang yang lurus karena terubusan akan bersaing tumbuh tinggi untuk mendapatkan sinar matahari. Penyulaman.
Setelah ditebang, tidak semua pohon di dalam satu tegakan akan tumbuh
kembali dengan menghasilkan terubusan. Sebagian pohon akan mati setelah ditebang. Oleh karena itu untuk mendapatkan jumlah pohon per hektar yang tetap perlu dilakukan penyulaman. Penyulaman dapat dilakukan segera setelah penebangan dengan menggunakan bibit, atau menggunakan cangkokan terubusan (poin e).
Mengingat terubusan yang berumur 1 tahun
dapat mencapai tinggi 2-3 m, maka perlu diberi penyangga untuk penanamannya agar tidak mudah roboh. Pemeliharaan terubusan. Pada awal pertumbuhan sampai pangkal terubusan menjadi lebih kuat memegang tunggak, terubusan rawan terhadap gangguan angin yang kencang atau gesekan oleh hewan ternak.
Disamping itu, tunggak akan membusuk sehingga pegangan
terubusan menjadi kurang kuat. Oleh karena itu, agar terubusan tetap tumbuh dengan baik, jika diperlukan terubusan dapat diberi penyangga agar tidak roboh. Jumlah rotasi. Semakin tua umur pohon maka akan semakin berkurang kemampuan untuk mengasilkan terubusan, dan kecepatan tumbuh dari terubusan yang dihasilkan akan berkurang. Oleh karena itu pembangunan hutan dengan terubusan ini tidak dapat dilakukan terus-menerus pada batang yang sama. Terubusan dilakukan sampai rotasi ke 3 atau ke empat, kemudian tunggak dibongkar dan ditanami lagi dengan menggunakan bibit. Jabon Putih vs Jabon Merah Saat ini telah dikenal di masyarakat adanya jabon putih (A. cadamba) dan jabon merah (Anthocephalus macropyllus).
Secara fisik kedua jenis jabon ini dapat dibedakan dengan
mudah, karena jabon putih daunnya memiliki tangkai daun, daunnya berwarna hijau, licin dan mengkilat tidak berbulu, kulit batang kayu berwarna hijau kelabu waktu muda menjadi kelabu saat berumur lebih dari 4 tahun, kayunya berwarna putih. Seperti disampaikan di atas bahwa penyebarannya sangat luas dari Aceh sampai Papua. Jabon merah daunnya tidak bertangkai tetapi langsung duduk ke ranting, daunnya berwarna hijau kadang ada semburan merah, kasar dan berbulu. Batang berwarna hijau coklat pada waktu muda dan menjadi coklat tua-hitam setelah dewasa. Kayunya berwarna merah. Dari kerapatan kayunya, jabon merah lebih tinggi dibandingkan jabon putih.
Sebagai informasi awal, kecepatan tumbuh jabon merah lebih
lambat dibandingkan dengan jabon putih, tetapi dari segi gangguan hama jabon merah tidak banyak mengalami gangguan oleh hama.
Penanaman Jabon Untuk Investasi (Hutan Tanaman) Kerusakan hutan alam akibat pengelolaan yang kurang tepat dan berkurangnya luasan hutan akan menyebabkan menurunkan produksi kayu dari hutan alam. Hal ini dapat dilihat dari data statistik kehutanan yang dapat diakses melalui website Kementerian Kehutanan RI (www.dephut.go.id) dimana produksi kayu bulat pada tahun 1991/1992 tercatat 28.267.000 m3 turun hingga hanya 4.610.000 m3 saja pada tahun 2008. Kayu bulat berasal dari pohon-pohon komersial di hutan alam yang berdiameter diatas 50 cm. Tahun 2010 dengan menurunkan batas bawah ukuran diameter pohon yang boleh ditebang di hutan alam ke 40 cm maka produksi dapat dinaikkan ke 9.100.000 m3.(Kepmenhut No. SK.651/Menhut-II/2009). Jumlah ini tentu saja masih jauh dibawah kapasitas produksi industri kayu yang telah terlanjur dibangun dan kebutuhan domistik.
Jumlah HPH juga berkurang, dimana pada tahun 1989/1990
sebanyak 557 unit, pada tahun 2001 turun menjadi 351 unit, dan pada tahun 2008 berkurang menjadi 308 unit. Dibalik keterpurukan hutan alam, terdapat peluang yang cerah untuk investasi melalui budidaya pohon kehutanan. Harga kayu akan terus naik karena kelangkaan maupun inflasi, termasuk kayu rakyat. Kayu rakyat adalah kayu yang dihasilkan dari hutan-hutan rakyat (ditanam di luar kawasan hutan milik negara). Sebagai ilustrasi, harga kayu sengon dengan rata-rata tinggi 17 m dan diameter
30-40 cm di Banjar tahun 1997 Rp 125.000 per m3 (sumber:
http://sengonbuto.com/jutawan-karena-sengon/ diunduh tanggal 27 Juli 2010), tetapi pada tahun 2008 (sepuluh tahun kemudian) harga kayu sengon dengan rata-rata tinggi 16-20 cm dengan diameter minimum 25 cm di Tasikmalaya sudah mencapai Rp 450.000-650.000 per m3 (sumber: http://kelompok-tani.com/diunduh tanggal 27 Juli 2010).
Hal ini sangat menarik
karena dengan biaya investasi dan harga kayu dihitung pada nilai tahun yang sama, keuntungan sudah sangat tinggi, minimum 400% ditambah dengan kenaikan harga pada tahun ke 5 atau 10 maka keuntungan akan lebih berlipat ganda. Minat masyarakat untuk menanam pohon sebagai bagian dari investasi jangka panjang selama 10 tahun terakhir meningkat. Hal ini tidak terlepas dari gencarnya promosi keuntungan yang akan diperoleh dengan menanam pohon jenis tertentu, mulai jati berbagai macam jati unggu,
sengon, jati putih, dan sekarang adalah jabon. Namun sangat disayangkan, para pengusaha bibit kehutanan banyak yang mengambil keuntungan dari ketidaktahuan masyarakat tentang kharakteristik dan teknik budidaya pohon kehutanan, sehingga ada yang mengalami kegagalan atau harus melakukan investasi yang jauh lebih mahal dari yang seharusnya. Seperti disampaikan di atas bahwa jabon memilki banyak keunggulan untuk dijadikan sebagai pohon investasi. Pasar kayu jabon saat ini telah terbuka, beberapa industri kayu lapis yang selama ini mengolah kayu sengon bersedia menerima kayu jabon. Kayu jabon juga dapat diolah menjadi kayu gergajian secara umum untuk berbagai keperluan. Animo masyarakat untuk menanam jabon mulai terlihat 2-3 tahun terakhir meningkat. Di kawasan Jonggol, Jawa Barat blok-blok tanaman jabon rakyat terlihat di kanan kiri jalan. Pohon jabon ditanam murni maupun tumpangsari dengan tanaman pertanian, seperti nanas dan lengkuas. Pada saat tajuk pohon jabon mulai menutup, tanaman-tanaman yang tahan naungan seperti lengkuas, kunyit, kapulaga, garut dll. dapat ditanam sebagai tanaman tumpangsari. Investasi hutan rakyat tidak harus punya lahan, tetapi harus punya kemauan dan keyakinan akan berhasil. Jika tidak memiliki lahan sendiri, maka investasi dapat dilakukan dengan kerjasama dengan para pemilik lahan (petani, tuan tanah, pesantren, yayasan dll.). Bentuk kerjasama dan bagi hasil sangat bervariasi, mulai dari investor hanya menyediakan bibit sedangkan pemilik lahan melakukan penanaman dan perawatan, hingga investor menyediakan semua kebutuhan. Tentu saja hal ini akan berpengaruh kepada proporsi bagi hasil antara investor dengan pemilik lahan. Pemilik lahan yang luas tetapi tidak memiliki modal yang cukup, maka dapat bekerjasama dengan petani penggarap. Petani penggarap diijinkan menanaman tanaman pertanian di lahan tersebut, tetapi dengan syarat harus menanam dan merawat pohon milik pemilik lahan. Dalam kondisi seperti ini bisa saja sebagai insentif, pemilik lahan memberikan bagian 10-20% hasil penjualan kayu kepada penggarap lahan. Beli-tanam-jual yaitu teknik investasi hutan rakyat yang tidak perlu menunggu panen pohonnya. Investor membeli tanah kemudian menanami dengan jabon, dipelihara dengan baik, setelah tanaman berumur 1 tahun kemudian dijual berikut tanahnya kepada pihak lain yang berminat. Jika investasi dilakukan dengan membeli tanah, maka perlu diperhitungkan hal-hal sebagai berikut: pertama, aksesibilitas harus tinggi karena untuk mengangkut bibit dan bahan-bahan
untuk penanaman, serta untuk mengangkut kayu yang dihasilkan dikemudian hari. Aksesibitas yang rendah akan menyebabkan kayu akan dihargai murah karena pembeli harus menanggung biaya eksploitasi lebih tinggi. Kedua, ketinggian dari muka laut sesuai dengan jenis yang akan ditanam (untuk jabon dan sengon sebaiknya kurang dari 500 m dpl).
Ketiga, sebaiknya
jaraknya tidak jauh dari industri pengolahan kayu untuk mengurangi biaya angkut. Biaya angkut ke industri yang tinggi juga menyebabkan harga kayu di kebun turun. Keempat, tanahnya relatif datar dan subur terlihat dari penampilan tanaman-tanaman yang tumbuh di tempat tersebut. Kelima, tidak ada sejarah pernah terjadi wabah hama dan penyakit untuk jenis pohon yang akan ditanam di tempat tersebut. Keenam, tidak jauh dari sumber air. Ketujuh, dekat dengan tenaga kerja. Penanaman Jabon Untuk Hutan Tanaman Rakyat Hutan tanaman rakyat merupakan usaha pemerintah untuk meningkatkan produktivitas kawasan hutan produksi dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan secara langsung. Masyarakat diharapkan membentuk kelompok dengan anggota 20 orang, dimana setiap anggota akan diberikan pinjaman konsesi lahan seluas 15 Ha dan pinjaman modal sebesar Rp 8 juta per Ha yang dikembalikan pada tahun kesembilan.
Beberapa persyaratan memang
harus dipenuhi untuk dapat mengajukan permohonan areal hutan tanaman rakyat. Hal ini dapat dikonsultasikan dengan Dinas Kehutanan setempat. Program hutan tanaman rakyat mestinya akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk merubah ekonomi keluarga. Jika 20 orang dalam kelompok bergotong royong untuk pemebrsihan lahan dan membuat sendiri pembibitan, maka biaya pembangunan hutan akan dapat dihemat. Penanaman dilakukan sendiri oleh anggota keluarga, maka hampir dipastikan tidak ada biaya yang keluar untuk membangun hutan tanaman rakyat. Pohon jabon merah maupun putih tumbuh baik di Sulawesi Utara, sehingga benih dapat dikumpulkan langsung dari bawah pohon-pohon jabon yang berkualitas baik.
Setiap buah jabon berisi ribuan benih,
sehingga untuk menanam jabon 15 Ha dengan jarak tanam 3 x 3 m (dibulatkan 1000 bibit/Ha) maka hanya diperlukan beberapa buah saja. Untuk menekan biaya pembelian kompos, maka kompos dapat dibuat sendiri dari daun dan serasah hasil pembersihan lahan.
Dengan
kerjasama seperti di atas ditambah dengan bimbingan dinas/instansi terkait, maka dengan biaya minimum akan dapat dihasilkan hutan jabon yang bagus dan produktif.
Jika ditanam dengan jarak 3x3 m, dengan perawatan yang baik maka pada umur 3 tahun pohon jabon telah mencapai diameter 25-30 cm. Pada umur 3 tahun ini 40% atau 400 pohon sudah dapat ditebang untuk dijual kayunya.
Setelah itu pada umur 5 tahun dapat ditebang lagi
sebanyak 200 pohon dengan diameter kurang lebih 35-40 cm. Akhirnya sisa pohon yang 400 lagi diperkirakan akan berdiameter 45-50 cm (2-2.5 m3 kayu per pohon) untuk dipanen pada umur 8-9 tahun dengan harga yang tinggi karena diameter yang besar. Dengan perhitungan seperti di atas, satu Ha hutan tanaman rakyat dapat menghasilkan pendapatan Rp 500 juta – 1 M dalam 8-9 tahun. Produk tambahan yang akan dihasilkan sebelum pohon dipanen, rantingrantingnya dapat dipanen untuk produksi jamur kuping (harga jamur kuping kering di Bogor Rp 75.000/kg), dan bunganya dapat disuling untuk minyak wangi.
Dengan demikian, dengan
bimbingan yang tepat, petani/pengusaha hutan rakyat akan bertambah sejahtera karena memiliki pendapatan jangka pendek dari jamur dan bunga, serta pendapatan jangka menengah dari hasil penjualan kayu penjarangan, dan jangka panjang dari panen akhir pohon jabon. Tips Budidaya Pohon Jabon Untuk mendapatkan daya hidup dan pertumbuhan yang diharapkan, beberapa hal perlu diperhatikan dalam penanaman pohon jabon, yaitu: 1) tidak boleh di lahan bekas sawah atau sawah yang dikeringkan, atau lahan yang secara periodic tergenang. Pertumbuhan satu tahun pertama tampak tidak ada masalah, bahkan tanaman kelihatan subur, namun menginjak umur 1.5 tahun, tanaman akan meranggas dimana cabang-cabang bagian bawah akan rontok dan cabang berdaun hanya terkumpul di dekat pucuk. 2) demikian juga untuk lahan-lahan yang ekstrim kering. 3) ketinggian tempat dari muka laut sebaiknya kurang dari 500 dpl, 4) tidak ternaungi, dan 5) jarak tanam jangan lebih rapat dari 3 x 3 m. Kondisi-kondisi tersebut tidak mematikan tanaman jabon, tetapi secara signifikan akan menurunkan pertumbuhannya. Penutup Jabon merupakan jenis pohon pionir cepat tumbuh dan komersial yang memiliki penyebaran (alami maupun ditanam) luas di Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Jenis pohon ini selain sangat berpotensi untuk dijadikan pilihan investasi secara umum, juga merupakan jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan tanaman rakyat. Kayu jabon telah dikenal baik secara nasional maupun internasional. Dengan demikian pemasaran kayu jabon semakin lama semakin terbuka. Pengembangan jabon di Indonesia perlu dilakukan secara lebih intensif karena dapat memberikan pendapatan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dalam waktu yang sama meningkatkan produktivitas hutan dan menjaga pasokan bahan baku industri.