PERSPEKTIF PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PANGAN DI PROPINSI JAMBI: SUATU MODEL KAJIAN STRATEGI INDUSTRIALISASI PERTANIAN MELALUI DUKUNGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI
SAHRIAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
ABSTRAK SAHRIAL. Perspektif Pembangunan Agroindustri Pangan di Propinsi Jambi : Suatu Model Kajian Strategi Industrialisasi Pertanian Melalui Dukungan Kawasan Sentra Produksi. Dibimbing oleh H. MUSA HUBEIS sebagai Ketua Komisi, serta H.R.M. AMAN WIRAKARTAKUSUMAH dan H. ADIL BASUKI AHZA sebagai Anggota Komisi. Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis strategi industrialisasi pertanian berbasis sistem dengan dukungan kawasan sentra produksi di Propinsi Jambi. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama dilakukan analisis struktural dengan menggunakan survei pakar berdasarkan metode Matrice d’Impacts Croisés - Multiplication Appliquee à un Classement (MIC-MAC). Dari hasil analisis berhasil diidentifikasi 44 parameter yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan agroindustri pangan, dimana 6 parameter (karakteristik usaha, jaringan usaha, teknologi, infrastuktur, penyelenggaraan pemerintahan, dan sosial ekonomi) merupakan parameter eksplikatif. Pada tahap kedua dilakukan analisis prospektif dengan menggunakan skenario eksploratif berdasarkan metode Systèmes et Matrices d’Impacts Croisés (SMIC). Hasil dari analisis prospektif mengindikasikan agroindustri pangan memiliki keunggulan kompetitif untuk memenangkan persaingan di pasar global. Selanjutnya, pada tahap ketiga, dilakukan sintesis strategi pembangunan agroindustri pangan berbasis sistem. Strategi ini disintesis dalam bentuk skenario normatif berdasarkan metode SMIC. Skenario normatif memuat strategi yang diperlukan agar pembangunan agroindustri pangan dapat berkembang sampai tahap innovation-driven pada waktu yang ditentukan. Skenario terdiri dari dua bagian, yaitu : (1) skenario pembangunan sub-sistem usahatani yang disintesis berdasarkan 4 peubah kunci keberhasilan pembangunan sub-sistem usahatani yang terdiri dari pewilayahan sentra produksi, infrastruktur wilayah, mutu kebijakan pembangunan dan mutu penyelengara pemerintahan, serta (2) skenario pembangunan sub-sistem usaha pengolahan yang disintesis berdasarkan 4 peubah kunci keberhasilan pembangunan sub-sistem usaha pengolahan yang terdiri dari status technoware, status humanware, kerjasama teknologi dan jaringan kemitraan. Kata-kata kunci : agroindustri pangan, perspektif, prospektif dan strategi.
ABSTRACT SAHRIAL. The Perspective of Food Agroindustrial Development in Jambi Province: A Model Study of the Strategy for Agroindustrial Development through Agriculture Zone Supports. Under the direction of H. MUSA HUBEIS as leader, H.R.M. AMAN WIRAKARTAKUSUMAH and H. ADIL BASUKI AHZA as members. The objective of this study was to synthesize the strategy for food agroindustrial development through agriculture zone supports in Jambi Province. This study was conducted in three steps, i.e. structural analysis, prospects analysis, and strategy synthesis. Structural analysis was carried out based on expert survey using Matrice d’Impacts Croisés - Multiplication Appliquee à un Classement (MIC-MAC) method. The results of structural analysis indicated 44 parameters affected the prospects of food agroindustrial development with 6 explicative parameters, namely: characteristic of business, business networking, and technology as well as quality of governance, infrastructure, economic and social condition. The second step, prospects analysis was carried out based on explorative scenario using Systèmes et Matrices d’Impacts Croisés (SMIC) method. The result of prospects analysis forecasted that in the era of free trade, the development of food agroindustrial is in innovation driven stage. In this stage, the prospects of food agroindustry to win on global competition would be high. The results of structural analysis and prospect analysis were then synthesized to the strategy for food agroindustrial development based on normative scenario using SMIC method. The normative scenario contents the strategic scenarios for developing food agroindustry into innovation driven stage. The strategic scenarios consist of the scenario of on-farm agribusiness development and the scenario of down-stream agribusiness development. The scenario of on-farm agribusiness development was synthesis based on 4 key variables, namely: agriculture zone, infrastructure, quality of development policy, and quality of governance. The scenario of downstream agribusiness development was synthesis based on 4 key variables, namely: status of technoware, status of humanware, technology networking, and business networking. Keywords: food agroindustry, perspective, prospective and strategy
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul : Perspektif Pembangunan Agroindustri Pangan di Propinsi Jambi : Suatu Model Kajian Strategi Industrialisasi Pertanian Melalui Dukungan Kawasan Sentra Produksi adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri di Pembimbing yang terdiri dari : 1. Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing., DEA 2. Prof. Dr. Ir. H.R.M. Aman Wirakartakusumah, M.Sc. 3. Dr. Ir. H. Adil Basuki Ahza, MS
bawah arahan Komisi (Ketua) (Anggota) (Anggota)
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Disertasi ini belum pernah digunakan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Bogor, Juni 2005
Sahrial 995191/IPN
PERSPEKTIF PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PANGAN DI PROPINSI JAMBI: SUATU MODEL KAJIAN STRATEGI INDUSTRIALISASI PERTANIAN MELALUI DUKUNGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI
SAHRIAL Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Disertasi : Perspektif Pembangunan Agroindustri Pangan di Propinsi Jambi: Suatu Model Kajian Strategi Industrialisasi Pertanian Melalui Dukungan Kawasan Sentra Produksi Nama
: Sahrial
NRP
: 995191
Program Studi : Ilmu Pangan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing., DEA Ketua
Prof.Dr.Ir.H.R.M.AmanWirakartakusumah, M.Sc. Anggota
Dr.Ir.H. Adil Basuki Ahza, MS Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS
Prof. Dr.Ir. Hj. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian : 18 Maret 2005
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Riau pada tanggal 3 Nopember 1966 sebagai anak kelima dari lima bersaudara pasangan H. Abdul Hafids Sulaiman (almarhum) dan Hj. Sudartini Darmosoewito (almarhumah). Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, lulus tahun 1991. Pada tahun 1996, penulis diterima di Program Studi Teknologi Pascapanen pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Program Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 1999. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) dilanjutkan dengan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun beasiswa pendidikan doktor diperoleh dari Proyek DUE Universitas Jambi. Penulis bekerja pada Fakultas Pertanian Universitas Jambi sejak tahun 1992. Menikah dengan Wiwit Rezeki dan dikaruniai satu orang putri bernama Pravijanti Sari Nastiti (almarhumah).
PRAKATA Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi dengan judul “Perspektif Pembangunan Agroindustri Pangan di Propinsi Jambi: Suatu Model Kajian Strategi Industrialisasi Pertanian Melalui Dukungan Kawasan Sentra Produksi”.
Disertasi ini disusun dalam
rangka memenuhi tugas akhir pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Komisi Pembimbing, yaitu: Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing., DEA, Prof. Dr. Ir. H.R.M. Aman Wirakartakusumah, M.Sc. dan Dr. Ir. H. Adil Basuki Ahza, MS atas bimbingan yang diberikan sejak perencanaan penelitian sampai pada penyusunan disertasi ini. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada para responden yang telah menyediakan waktu untuk memberikan informasi, data dan bahan, serta diskusi-diskusi untuk kepentingan penyusunan disertasi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Akhir kata, penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi pihakpihak yang memerlukannya. Bogor, Juni 2005 Penulis
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL .....................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xiv
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
Latar Belakang ......................................................................................
1
Tujuan Penelitian ..................................................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
8
Kawasan Sentra Produksi ......................................................................
8
Strategi Industrialisasi Pertanian di Indonesia ........................................
12
Peran Agroindustri Pangan dalam Pembangunan KSP ...........................
29
Peran Agroindustri Pangan dalam Pembangunan Ekonomi di Propinsi Jambi ....................................................................................................
33
Landasan Teori .......................................................................................................
38
Hasil Penelitian Terdahulu ....................................................................
56
METODE PENELITIAN .........................................................................
58
Kerangka Berpikir .................................................................................
58
Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................
61
Tatalaksana Penelitian ........................................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................
61 74
Analisis Situasional ..........................................................................................
74
Diagnosis Agroindustri Pangan Komoditas Pertanian Unggulan di Propinsi Jambi .................................................................................................
109
Analisis Struktural ...........................................................................................
121
Analisis Prospektif ...........................................................................................
130
Strategi Pembangunan Agroindustri Pangan ...............................................
149
Strategi Pembangunan Agroindustri Pangan pada Tingkat Perusahaan ..
160
Pembahasan ......................................................................................................
167
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 186 Kesimpulan ........................................................................................... 186
Saran ...................................................................................................... 187 Rekomendasi ......................................................................................... 187 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 189 LAMPIRAN .............................................................................................. 206
DAFTAR TABEL No.
Teks
Halaman
1. Distribusi PDB Indonesia berdasarkan sektor pada tahun 1991-2002 ....
18
2. Distribusi PDB Indonesia pada tahun 1997-2002 ..................................
19
3. Distribusi PDB Sektor Pertanian pada tahun 1997 - 2002 .....................
19
4. Distribusi PDB Sektor Industri pada tahun 1997 - 2002 .......................
20
5. Klasifikasi agroindustri berdasarkan derajat pengolahan bahan baku ....
29
6. Distribusi persentase PDRB Propinsi Jambi pada tahun 1969-2001 ........
35
7. Distribusi persentase PDRB Propinsi Jambi menurut sektor industri pada tahun 1997-2001 ...................................................................................
35
8. Ciri peramalan dengan metode kuantitatif dan metode kualitatif ...........
41
9. Tingkat pengenalan dan kepuasan terhadap peramalan dengan metode kuantitatif dan kualitatif ......................................................................
41
10. Tahapan penelitian, aktivitas dan metode yang digunakan ....................
59
11. Indikator daya tarik agroindustri pangan ...............................................
67
12. Indikator kekuatan bisnis perusahaan agroindustri pangan .....................
68
13. Tahapan proses analisis struktural menurut metode MIC-MAC ............
69
14. Pembagian wilayah pengembangan KSP Makro di Propinsi Jambi .......
75
15. Luas dan proporsi kemiringan lahan wilayah pengembangan KSP ........
77
16. Ketinggian tempat wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi .......
78
17. Jenis tanah pada wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi ..........
78
18. Tipe iklim pada wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi ...........
79
19. Zonasi agroekologi wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi .....
80
20. Kesesuaian agroekologi wilayah pengembangan komoditas pertanian ...
82
21. Jenis tanaman potensial, wilayah pengembangan dan produktivitas pada tahun 1998-2002 ..................................................................................
83
22. Indeks LQ pendapatan komoditas pertanian yang menjadi basis ekonomi
dan wilayah pengembangan KSP Makro di Propinsi Jambi ..................
23. Indeks LQ tenaga kerja komoditas pertanian yang menjadi basis ekonomi
85
dan wilayah pengembangan KSP Makro di Propinsi Jambi ..................
85
24. Hasil analisis daya saing komoditas pertanian unggulan dan wilayah pengembangan KSP Makro di propinsi Jambi .......................................
86
25. KSP komoditas pertanian unggulan di propinsi Jambi ..........................
87
No.
Teks
Halaman
26. Perkembangan jumlah perusahaan industri dan penyerapan tenaga kerja sektor industri di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ........................ 102 27. Koefisien korelasi-jenjang Spearman antara produksi kelapa dengan kapasitas produksi industri CCO .......................................................... 106 28. Koefisien korelasi-jenjang Spearman antara industri CCO dengan industri minyak goreng kelapa .............................................................. 106 29. Koefisien korelasi-jenjang Spearman antara produksi kelapa sawit dengan kapasitas produksi industri CPO dan PKO.................................. 108 30. Koefisien korelasi-jenjang Spearman antara industri CPO dengan industri minyak goreng kelapa sawit ..................................................... 108 31. Pertumbuhan pasar ekspor produk agroindustri kelapa dan kelapa sawit
111
32. Pertumbuhan pasar domestik produk agroindustri kelapa dan kelapa sawit .................................................................................................... 112 33. Volume dan pangsa ekspor CCO, CPO dan PKO Indonesia pada tahun 2002 ..................................................................................................... 113 34. Prakiraan volume dan pangsa ekspor CCO, CPO dan PKO Indonesia pada tahun 2007 ................................................................................... 113 35. Pertumbuhan pangsa pasar produk agroindustri kelapa dan kelapa sawit
114
36. Perkembangan mutu produk agroindustri kelapa dan kelapa sawit ........ 115 37. Perkembangan produk turunan agroindustri kelapa dan kelapa sawit .... 115 38. Perkembangan teknologi proses agroindustri kelapa dan kelapa sawit .. 116 39. Perkembangan daya tarik agroindustri kelapa dan kelapa sawit ............ 117 40. Posisi bersaing perusahaan industri CCO di Propinsi Jambi .................. 118 41. Posisi bersaing perusahaan industri CPO di Propinsi Jambi .................. 119 42. Daftar parameter sistem pembangunan agroindustri pangan .................. 122 43. Karakteristik parameter sistem ............................................................. 124 44. Parameter masukan sistem pembangunan pangan .................................. 125 45. Parameter pengendali sistem pembangunan agroindustri pangan ........... 126 46. Parameter luaran sistem pembangunan agroindustri pangan .................. 127 47. Daftar kejadian hipotetis ...................................................................... 131 48. Tahap evolusi karakteristik usahatani kelapa dan kelapa sawit .............. 132 49. Tahap evolusi karakteristik perusahaan pengolahan .............................. 134 50. Tahap evolusi kemitraan agroindustri kelapa dan kelapa sawit ............. 135 51. Tahap evolusi kerjasama teknologi ....................................................... 136
No.
Teks
Halaman
52. Tahap evolusi status technoware ........................................................... 137 53. Tahap evolusi status humanware ........................................................... 138 54. Tahap evolusi pewilayahan sentra produksi .......................................... 140 55. Tahap evolusi penyelenggaraan pemerintahan ....................................... 141 56. Tahap evolusi sosial ekonomi masyarakat ............................................ 142 57. Peluang bersyarat proses evolusi sistem pembangunan agroindustri pangan ................................................................................................. 146 58. Daftar peubah kunci keberhasilan pembangunan agroindustri pangan beserta kriteria pengukuran/penilaian ................................................... 151 59. Tahap perkembangan usahatani kelapa ................................................. 153 60. Skenario perkembangan usahatani kelapa ............................................. 154 61. Tahap perkembangan perusahaan pengolahan kelapa ........................... 155 62. Skenario perkembangan perusahaan pengolahan kelapa ......................... 156 63. Tahap perkembangan usahatani kelapa sawit ........................................ 157 64. Tahap perkembangan perusahaan pengolahan kelapa sawit .................. 159 65. Posisi strategis dan spesifik agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa kelapa sawit di Propinsi Jambi ............................................................. 160 66. Ragam strategi penyehatan usaha .......................................................... 161 67. Ragam strategi memperpanjang usaha ................................................... 162 68. Ragam strategi mengundurkan diri ........................................................ 162 69. Ragam strategi divestasi ........................................................................ 163 70. Ragam strategi mengejar posisi bersaing ............................................... 163 71. Ragam strategi mempertahankan posisi bersaing ................................... 164 72. Ragam strategi menemukan ceruk pasar ................................................ 165 73. Ragam strategi eksploitasi ceruk pasar .................................................. 166 74. Perkembangan pasar ekspor CCO dunia ............................................... 170 75. Perbandingan luas areal dan produksi kelapa, produksi dan ekspor CCO antara Indonesia, Filipina dan India pada tahun 2000 ............................ 171 76. Kandungan asam lemak beberapa jenis minyak nabati .......................... 172 77. Estimasi kapasitas produksi dunia untuk kokokimia dasar .................... 174 78. Luas areal perkebunan dan kapasita PKS berdasarkan pola pengembangan perkebunan di Propinsi Jambi pada tahun 2002 ................................ 181
DAFTAR GAMBAR No.
Teks
Halaman
1. Keterkaitan antar sub-sistem dalam sistem agribisnis .............................
23
2. Proses industrialisasi pertanian dengan pendekatan sistem agribisnis di tingkat pedesaan .....................................................................................
28
3. Proses pembangunan agroindustri berkelanjutan ....................................
30
4. Jalur perubahan ......................................................................................
39
5. Keterkaitan antar metode berdasarkan tahapan penelitian .......................
43
6. Teknik diagnosis menurut Metode PRECOM .........................................
45
7. Bagan Motor-Respons menurut Metode MIC-MAC ...............................
48
8. Tahapan kerja metode MIC-MAC ..........................................................
50
9. Metode penyusunan skenario .................................................................
53
10. Kerangka berpikir konseptual penelitian ................................................
58
11. Diagram alir operasional penelitian ........................................................
60
12. Proses sintesis skenario eksploratif ........................................................
71
13. Proses sintesis skenario normatif ...........................................................
72
14. Peta pembagian wilayah pengembangan KSP Makro di Propinsi Jambi .
75
15. Topografi wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi .....................
76
16. Ketinggian tempat wilayah pengembagan KSP di Propinsi Jambi ..........
77
17. Penyebaran iklim di wilayah pengembangan KSP .................................
79
18. Peta KSP komoditas pertanian unggulan ................................................
87
19. Distribusi persentase sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 .........................................................
88
20. Laju pertumbuhan sektor pertanian propinsi Jambi pada tahun 1998-2002
89
21. Jumlah dan pesentase penyerapan tenaga kerja di sub-sektor perkebunan
di propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ................................................
89
22. Peta KSP karet di Propinsi Jambi ..........................................................
91
23. Perkembangan jumlah tanaman karet pada tahap awal budidaya di sentra produksi karet Propinsi Jambi pada tahun 1907-1912 ............................
91
24. Perkembangan luas areal tanaman karet di sentra produksi karet Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 25. Laju pertumbuhan luas areal tanaman karet di sentra produksi karet Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 .........................................................
92 92
No.
Teks
Halaman
26. Perkembangan produksi karet di sentra produksi karet Propinsi Jambi tahun 1998-2002 ..................................................................................
92
27. Laju pertumbuhan produksi karet di sentra produksi karet Propinsi
Jambi pada tahun 1998-2002
93
28. Perkembangan luas areal perkebunan karet berdasarkan pola pengusahaan di propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ..........................................
93
29. Peta KSP kelapa di Propinsi Jambi .......................................................
94
30. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa di sentra produksi Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 94 31. Perkembangan produksi kelapa di sentra produksi kelapa Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ..........................................................................
95
32. Laju pertumbuhan luas areal perkebunan kelapa di sentra produksi kelapa Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 .......................................
95
33. Laju pertumbuhan produksi kelapa di sentra produksi kelapa Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 96 34. Laju pertumbuhan luas areal dan produksi kelapa di Indonesia pada tahun 1998-2002 96 35. Peta KSP kelapa sawit di Propinsi Jambi ..............................................
97
36. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di Propinsi Jambi berdasarkan pola pengembangannya pada tahun 1998-2002 ...............
97
37. Perkembangan produksi perkebunan kelapa sawit di Propinsi Jambi berdasarkan pola pengembangannya pada tahun 1998-2002 .................
98
38. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di sentra produksi Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ..................................................
98
39. Perkembangan produksi kelapa sawit di kawasan sentra produksi Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ............................................................
98
40. Peta KSP kayu manis di Propinsi Jambi ..............................................
99
41. Perkembangan luas areal perkebunan kayu manis pada kawasan sentra produksi Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 .................................... 100 42. Perkembangan produksi kayu manis dari kawasan sentra produksi Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 .................................................. 100 43. Perkembangan industri dan penyerapan tenaga kerja industri di Propinsi Jambi pada tahun 1988-2002 ................................................................. 101 44. Kontribusi sektor industri terhadap PDRB Propinsi Jambi pada tahun 1993-2002 ............................................................................................. 102 45. Perkembangan jumlah perusahaan industri berdasarkan kelompok industri di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 .................................. 103
No.
Teks
Halaman
46. Perkembangan jumlah perusahaan sub-sektor industri makanan dan minuman di propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ................................ 104 47. Perkembangan jumlah perusahaan golongan agroindustri pangan skala besar/sedang di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 .......................... 105 48. Perkembangan jumlah perusahaan industri CCO, CPO dan PKO di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ................................................... 105 49. Pasar ekspor CCO, CPO dan PKO pada tahun 1993-2002 .................... 111 50. Pasar domestik CCO, CPO dan PKO pada tahun 1993-2002 ................ 112 51. Matrik McKinsey-Ansoff posisi strategis perusahaan agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit di Propinsi Jambi ................................... 120 52. Diagram motor-respon sistem pembangunan agroindustri pangan ......... 123 53. Model struktural pengendalian sistem pembangunan agroindustri pangan .................................................................................................. 126 54. Diagram masukan-luaran sistem pembangunan agroindustri pangan ...... 129 55. Tahap evolusi karakteristik usahatani ................................................... 133 56. Tahap evolusi karakteristik perusahaan pengolahan................................ 134 57. Tahap evolusi jaringan kemitraan .......................................................... 135 58. Tahap evolusi kerjasama teknologi ........................................................ 136 59. Tahap evolusi status technoware ........................................................... 137 60. Tahap evolusi status humanware ........................................................... 138 61. Tahap evolusi infrastruktur wilayah ...................................................... 139 62. Tahap evolusi penyelenggaraan pemerintahan ....................................... 141 63. Tahap evolusi keadaan sosial ekonomi .................................................. 142 64. Model struktural kejadian hipotetis ........................................................ 144 65. Jalur pertama evolusi karakteristik usahatani ......................................... 147 66. Jalur kedua evolusi karakteristik perusahaan pengolahan ....................... 148 67. Jalur ketiga evolusi karakteristik perusahaan pengolahan ...................... 148 68. Model struktural skenario pembangunan agroindustri pangan ................ 152 69. Model struktural pengendalian sistem pembangunan agroindustri kelapa sawit .................................................................................................... 158 70. Perkembangan harga CCO dan PKO pada tahun 2002 .......................... 173 71. Perkembangan produksi CCO dan PKO tahun 1993-2002 ................... 173
No.
Teks
Halaman
72. Perkembangan produksi TBS dan kapasitas produksi PKS di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ................................................................ 182 73. Tipologi aliansi strategis ...................................................................... 183 74. Pembagian tipologi teknologi berdasarkan teknologi produk dan teknologi proses .......................................................................................... 184
DAFTAR LAMPIRAN No.
Teks
Halaman
1. Daftar responden penelitian .................................................................. 207 2. Kuesioner penelitian ............................................................................. 208 3. Kondisi agroekologi wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi ..... 318 4. Luas dan jenis tanah pada wilayah pengembangan KSP Propinsi Jambi
321
5. Zona agroekologi wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi ......... 324 6. Kesesuaian zona agroekologi untuk komoditas pertanian potensial pada wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi .................................... 327 7. Potensi lahan ......................................................................................... 343 8. Analisis basis ekonomi ......................................................................... 357 9. Matriks analisis kebijakan (PAM) ........................................................ 361 10. Matriks hubungan kontekstual antar parameter sistem .......................... 365 11. Indikator tahap evolusi parameter sistem agroindustri pangan ................ 366 12. Hubungan kontekstual antar kejadian hipotetis ..................................... 367 13. Ragam strategi pada tingkat perusahaan ............................................... 368 14. Hasil analisis AHP ragam strategi perusahaan pengolahan kelapa ......... 369 15. Hasil analisis AHP ragam strategi perusahaan pengolahan kelapa sawit
371
16. Produk turunan kokokimia dasar dan industri penggunanya .................. 373
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG
Pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang terbukti tangguh bertahan dalam badai krisis perekonomian yang melanda Indonesia. Pada saat pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi hingga –13,13% pada tahun 1998, sub-sektor tanaman pangan, perkebunan dan perikanan mampu bertahan pada pertumbuhan positif, walaupun pada tingkat pertumbuhan yang relatif rendah, yaitu masing-masing 2,03%, 0,05% dan 1,92%. Bahkan di puncak krisis, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB meningkat dari 16,09% pada tahun 1997 menjadi 18,08% pada tahun 1998 (BPS, 2000a). Pada periode yang sama terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja dari 40,7% pada tahun 1997 menjadi 45,0% pada tahun 1998 (BPS, 2000b) atau setara dengan penciptaan sekitar 5 juta kesempatan kerja baru di sektor pertanian (Dillon, 2004). Kenyataan ini mendorong pelaku dan pengambil kebijakan di bidang ekonomi mengkaji kembali posisi sektor pertanian dalam strategi pembangunan ekonomi di Indonesia. Salah satu hasil kajian tersebut berupa upaya untuk mendorong percepatan produksi komoditas pertanian unggulan dengan pendekatan pewilayahan komoditas pada kawasan andalan melalui Program Pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP). Pengembangan KSP, selain bertujuan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi dalam jangka pendek dan menengah melalui peningkatan jumlah produksi pertanian, dalam jangka panjang ditujukan untuk percepatan pertumbuhan dan perkembangan daerah melalui pemaduan aspek-aspek fungsional, spasial, waktu dan finansial dalam pembangunan daerah yang berdasarkan pada pewilayahan komoditas pertanian unggulan (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999a) dengan menggunakan pendekatan dan strategi pemanfaatan skala ekonomi (economic of scale) dan ruang lingkup ekonomi (economic of scope) untuk meningkatkan produktivitas usahatani (on-farm agribusiness) (Saragih, 1999a).
Pengembangan kawasan sentra produksi yang terencana dan terorganisasi secara baik merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor pertanian dengan menggunakan pendekatan sistem agribisnis. Agribisnis adalah suatu sistem yang terdiri dari empat sub-sistem yang saling terkait erat, yaitu sub-sistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), sub-sistem usahatani atau pertanian primer (onfarm agribusiness), sub-sistem agroindustri (down-stream agribusiness) dan subsistem penunjang (supporting institution) (Badan Agribisnis, 1995). Menurut Prabowo (1995), produk pertanian primer memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang kuat, tetapi sebaliknya memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) yang lemah. Hal ini berarti, upaya pengembangan KSP yang semata-mata ditujukan untuk peningkatan produktivitas usahatani primer (on-farm) hanya akan membawa dampak positif pada kegiatan penyediaan sarana produksi seperti bibit unggul, pupuk dan pestisida (agro-kimia), serta alat dan mesin pertanian (agro-otomotif) yang dihasilkan oleh industri besar padat modal dan teknologi (up-stream agribusiness) yang umumnya berada di luar wilayah KSP; sebaliknya kurang memberikan dampak positif bagi pengembangan subsistem agroindustri (down-stream agribusiness), khususnya yang berada di dalam wilayah KSP. Di sisi lain, dari hasil kajian Kuncoro (1996) diperoleh kesimpulan, bahwa agroindustri, terutama industri pengolahan hasil pertanian, memiliki kaitan (backward linkage) yang erat dengan sub-sektor penyedia input-nya, khususnya dengan sub-sistem usaha tani primer. Dengan demikian, pembangunan agroindustri pada KSP akan mampu memacu perkembangan sub-sistem pertanian primer dan karena pertanian primer memiliki keterkaitan yang erat dengan sub-sistem agribisnis hulu, maka baik secara langsung maupun tidak langsung, pembangunan agroindustri yang dikaitkan dengan pengembangan KSP akan memacu pertumbuhan dan perkembangan keseluruhan sistem agribisnis pada wilayah KSP tersebut. Lebih jauh dinyatakan oleh Saragih (1999a dan 2004), bahwa pembangunan keseluruhan komponen pada sistem agribisnis secara integratif dan simultan dapat menjadi penggerak utama (prime mover) bagi upaya peningkatan pendapatan riil petani dan masyarakat, penciptaan kesempatan kerja dan berusaha, serta pertumbuhan dan perkembangan wilayah secara menyeluruh dan sustainable.
Dengan pendekatan sistem yang integratif dan simultan, agribisnis diharapkan dapat menjadi lokomotif pembangunan nasional (agribusiness-lead development strategy) dengan agroindustri sebagai inti (Rasahan dan Wibowo, 1997) atau sebagai motor penggerak utama (Pambudy, 1998; Didu, 2000a; Husodo, 2004). Strategi ini menekankan perlunya menjadikan agroindustri sebagai leading sector pembangunan ekonomi, karena agroindustri mampu berperan seba-gai penyeimbang dalam proses transformasi ekonomi (Saragih, 1995; Erwidodo, 1996; Tajima, 2000), khususnya dalam penyediaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha (Suyata, 1998; Tajima, 2000), penurunan angka kemiskinan (Polman, 2000) dan stabilisasi pertumbuhan ekonomi (Tajima, 2000). Di samping itu, dari aspek pembangunan sosial budaya, agroindustri diketahui mampu berperan dalam dinamisasi kelembagaan lokal, pengembangan dan peningkatan kemandirian sumber daya manusia serta menumbuhkan jiwa kewirausahaan, sikap keterbukaan dan sikap inovatif (Simatupang, 1995; Hallberg, 2000). Pembangunan agroindustri juga berperan sebagai wahana dalam proses difusi dan transformasi teknologi (Suradisastra, 1996; Suyata, 1998; Gaikwad, 1998; Polman, 2000; Hallberg, 2000). Dalam konteks kewilayahan, pembangunan agroindustri dipandang dapat berperan sebagai motor penggerak pembangunan wilayah. Hal ini karena agroindustri memiliki keterkaitan (backward and forward linkages) yang tinggi dengan sektor-sektor ekonomi lainnya (Suradisastra, 1996; Gaikwad, 1998). Pembangunan agroindustri juga berperan dalam menumbuhkembangkan ekonomi kerakyatan melalui penyediaan lapangan kerja (labor intensity) dan kesempatan berusaha (job creation) (Suyata, 1998; Gaikwad, 1998; Hallberg, 2000). Akan tetapi, di samping memiliki banyak keunggulan, fakta empirik juga menunjukkan bahwa tidak sedikit perusahaan agroindustri yang mengalami kegagalan, baik disebabkan oleh kesalahan manajemen, kekurangan bahan baku, atau kegagalan dalam pemasaran (APO dalam Soekartawi, 2000). Kegagalan tersebut tidak mengenal skala usaha, yaitu dapat terjadi pada perusahaan besar, menengah, ataupun kecil, baik yang menggunakan bahan baku hasil pertanian tertentu/spesifik ataupun tidak (Soekartawi, 2000; Darmawan dan Masroh, 2004). Di masa mendatang, tantangan yang dihadapi dalam pembangunan agroindustri akan se-
makin berat, dengan semakin meningkatnya intensitas persaingan sebagai akibat dari globalisasi dan liberalisasi perdagangan, pergeseran struktur industri dan pasar, serta perubahan faktor-faktor permintaan seiring dengan perkembangan teknologi (technology progress) dan perubahan sistem kemasyarakatan (society system) (Putsis, 1999; Weyerbrock and Xia, 2000). Dalam lingkungan bisnis, perubahan tingkat persaingan terjadi dengan cepat dan bersifat tidak teratur (turbulent and chaostic) (Pettigrew and Whipp, 1991). Fenomena ini menuntut kemampuan perusahaan untuk dapat melakukan pembenahan kondisi internalnya agar mampu merespons dengan cepat setiap perubahan yang terjadi. Pada tataran agroindustri, peningkatan intensitas persaingan menuntut perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan agroindustri harus mampu menciptakan keunggulan kompetitif (competitive advantage) melalui transformasi factor-driven. Pertumbuhan agroindustri tidak boleh hanya mengandalkan keunggulan komparatif (comparative advantage) dari sumber daya alam (natural resources) dan tenaga kerja kurang terdidik (unskilled labour), tetapi harus mampu menciptakan keunggulan kompetitif melalui dorongan investasi (investment-driven) dan kemudian berlanjut pada dorongan inovasi (inovation-driven) (Hadi dan Noviandi, 1999). Transformasi factor-driven ini akan menggeser posisi produk agroindustri dari produk yang bersifat unskilled labour and natural resources intensive menjadi produk yang skilled labour and capital intensive dan selanjutnya menempati posisi sebagai produk yang skilled labour and knowledge intensive (Saragih, 1999b dan 2004). Akan tetapi, sebagai suatu proses perubahan dalam konteks pembangunan wilayah yang berkelanjutan (sustainable regional development), transformasi factor-driven harus berlangsung secara bertahap (gradually) melalui proses penyesuaian dengan struktur ekonomi, tenaga kerja dan sosial budaya (Widiati, dkk, 1999).
Ketidakharmonisan sistem transformasi faktor-faktor struktural sering
didakwa sebagai penyebab terjadinya pemiskinan, eksploitasi sumber daya alam (Erwidodo, 1996) dan dehumanisasi sektor pertanian (Fakih, 1999), sehingga melahirkan sikap apatis terhadap proses industrialisasi pertanian. Pembangunan agroindustri, khususnya agroindustri pangan, diharapkan dapat berperan sebagai salah satu unsur yang mampu menjaga keharmonisan pentahapan proses transfor-
masi factor-driven. Hal ini karena teknologi yang digunakan dalam agroindustri pangan memiliki spektrum tingkat perkembangan yang luas (Ahza dan Wirakartakusumah, 1997), sehingga dapat dikembangkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan endowment, pengetahuan dan teknologi setempat. Agar proses penyesuaian factor driven dalam pembangunan agroindustri pangan dapat berlangsung secara harmonis, integratif dan simultan serta sesuai dengan sasaran yang diinginkan, diperlukan adanya suatu perencanaan strategis. Perencanaan tersebut harus bersifat efektif, dalam arti dapat dilaksanakan, menyeluruh dan utuh (holistic) serta berorietasi pada pencapaian tujuan (cybernetic) (Pettigrew dan Whipp, 1991; Eriyatno, 1999). Di samping itu, agar perencanaan strategis yang dibuat dapat merespons dan sejalan dengan arah perubahan yang akan terjadi di masa depan (Mintzberg, 1979; Argyris, 1985), maka penyusunan perencanaan strategis harus mempertimbangkan konsep situasi masa depan (Ackoff, 1991; Park and Seaton, 1996). Eksplorasi konsepsi situasi masa depan secara sistematis dapat dilakukan dengan menggunakan teknik analisis prospektif (Hubeis, 2000). Teknik ini terdiri dari tahapan analisis struktural dan sintesis skenario eksploratif untuk peramalan. Analisis struktural merupakan dasar untuk menentukan parameter kunci (key factors), yaitu parameter yang berperan sebagai penentu kecenderungan perubahan atau trend factors. Selanjutnya parameter penentu tersebut disintesis ke dalam suatu skenario eksploratif untuk diprediksi kecenderungan perubahannya dengan menggunakan teori peluang (probabilistic theory).
Interpretasi terhadap hasil
peramalan kecenderungan perubahan memberikan gambaran rinci dan utuh (holistic) tentang proses evolusi sistem sekaligus membentuk mental map of the future atau perspektif masa depan dari sistem yang dikaji (Widodo, 2000). Penelitian ini bermaksud mengeksplorasi perspektif masa depan pembangunan agroindustri pangan di Propinsi Jambi dan menggunakannya sebagai kerangka kerja dalam mengkaji strategi industrialisasi pertanian dengan menggunakan pendekatan pewilayahan komoditas unggulan pada kawasan sentra produksi. Penentuan propinsi sebagai batasan pengkajian didasarkan pada pertimbangan bahwa penerapan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi sebagian besar wewenang kepada pemerintahan kabupaten/kota telah berimplikasi pada semakin
luasnya pusat-pusat pembuatan kebijakan dengan cakupan wilayah sasaran yang semakin sempit.
Hal ini selain memberikan dampak positif, karena proses
pembuatan kebijakan menjadi lebih dekat dengan masyarakat sasarannya, juga mengandung potensi konflik, sehingga dibutuhkan peran pemerintahan propinsi untuk koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan program pembangunan yang dibuat oleh masing-masing kabupaten/kota agar tidak menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya. Di bidang pertanian, peran pemerintah propinsi dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan regional diwujudkan dalam bentuk kewenangan pengaturan kawasan pertanian terpadu (Anonim, 2000). Pemilihan Propinsi Jambi sebagai kasus didasarkan pada dua alasan utama. Pertama, sektor pertanian masih merupakan penggerak utama pembangunan di Propinsi Jambi. Pada tahun 2000 sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap PDRB Propinsi Jambi, yaitu sebesar 31,68%. Akan tetapi, dominasi sektor pertanian ini tidak diikuti oleh sub-sektor industri hasil pertanian. Pada tahun yang sama, sumbangan sub-sektor industri hasil pertanian terhadap PDRB hanya sebesar 3,89% (BPS Propinsi Jambi, 2002). Hal ini mengindikasikan pembangunan pertanian di Propinsi Jambi masih bersifat sektoral, terfokus pada usahatani primer dan belum terintegrasi dengan industri hasil pertanian (agro industri). Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya stagnasi dalam pertumbuhan pertanian di Propinsi Jambi, sebagaimana dinyatakan oleh Saragih (2004), bahwa stagnasi pertanian akan terjadi jika pembangunan pertanian hanya berkisar pada usahatani primer (on farm). Pertimbangan kedua didasarkan pada kenyataan tidak adanya prioritas dalam pengembangan KSP di Propinsi Jambi. Hal ini diindikasikan oleh luasnya cakupan tipe KSP yang dikembangkan. Pengembangan KSP di Propinsi Jambi mencakup keseluruhan tipe KSP yang ada, yaitu KSP Mikro Pertanian Dataran Tinggi, KSP Mikro Pertanian Dataran Rendah, KSP Mikro Perikanan Darat, KSP Mikro Perikanan Tambak, dan KSP Mikro Perikanan Laut (Bappeda, 1999). Keseluruhan tipe KSP ini mencakup tiga basis ekologi yang berbeda, yaitu ekologi lahan kering, ekologi sawah dan ekologi pantai (Suryana dan Mardiyanto, 1998). Tidak adanya prioritas karena terlalu luasnya spektrum dan tipe KSP yang dibangun dapat mempersulit penyusunan rencana strategis (renstra), khususnya
strategi untuk meningkatkan daya saing produk pertanian melalui transformasi keunggulan spesifik (distinctive competence) kawasan menjadi keunggulan kompetetif (competitive advantage) produk pertanian yang dihasilkan, karena tanpa adanya prioritas akan terjadi trade offs antara sasaran dari masing-masing tipe KSP yang dibangun. Tidak adanya prioritas dan belum terintegrasinya pembangunan usahatani primer dengan pembangunan agroindustri dalam bentuk agribisnis terpadu merupakan permasalahan utama dalam pengembangan KSP di Propinsi Jambi. Hal ini dapat berimplikasi pada keberhasilan pembangunan pertanian yang diupayakan melalui pengembangan KSP. Oleh karena itu, agar pembangunan pertanian dapat berhasil diperlukan adanya pemilihan prioritas dan strategi yang dapat mengintegrasikan pembangunan sub-sistem usahatani dengan sub-sistem agroindustri dalam suatu sistem pembangunan agribisnis yang terpadu.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mensintesis strategi pembangunan agroindustri pangan di Propinsi Jambi dengan pendekatan pewilayahan komoditas pertanian unggulan pada kawasan sentra produksi berdasarkan konsep situasi masa depan. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk : (1) menganalisis struktur sistem pembangunan agroindustri pangan, (2) menganalisis prospek pembangunan agroindustri pangan, dan (3) mensintesis strategi pembangunan agroindustri pangan.
TINJAUAN PUSTAKA KAWASAN SENTRA PRODUKSI Pengertian dan Batasan Kawasan Sentra Produksi Sentra produksi memiliki pengertian yang berbeda dengan sentra industri. Demikian pula halnya dengan kawasan sentra produksi (KSP) memiliki batasan pengertian yang berbeda dengan kawasan sentra industri (KSI) ataupun kawasan industri (KI). Sentra produksi adalah suatu kawasan budidaya pertanian yang memiliki potensi dan prospektif untuk dikembangkan lebih lanjut (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999b). Sedangkan sentra industri adalah kumpulan atau tempat terkonsentrasinya unit usaha industri kecil yang sejenis. Sentra ini terdiri dari sentra industri kecil logam, sentra industri kecil pangan, sentra industri kecil kimia dan bahan bangunan, sentra industri kecil sandang dan kulit, serta sentra industri kecil kerajinan umum (Suhardi, 1992a). KSI dibedakan dengan KI berdasarkan peruntukannya. KSI merupakan wilayah untuk pembinaan industri kecil yang sejenis. KSI terdiri dari sentrasentra industri kecil. KI (Industrial Estate atau Industrial Park) adalah suatu wilayah zonasi untuk kegiatan industri besar dan menengah yang dibangun di atas tanah yang luas dan dilengkapi dengan infrastruktur dan utilitas.
Zonasi KI
ditentukan berdasarkan topografi, lokasi serta aksesibiltas terhadap pasar dan sarana transportasi (Roestanto, 2000 dan 2004). Berbeda dengan KSI dan KI yang merupakan kawasan industri, KSP adalah kawasan produksi yang diperuntukkan bagi kegiatan budidaya pertanian. Secara konsepsional, KSP dapat diberi batasan dalam pengertian mikro ataupun makro. Dalam pengertian mikro, KSP adalah suatu kesatuan spasial kawasan yang memiliki fisik lahan, agroklimat, infrastruktur dan kelembagaan yang memungkinkan bagi pengembangan ekonomi produktif berbasis pertanian. Sedangkan dalam pengertian makro, KSP adalah suatu kesatuan fungsional kawasan yang merupakan batas pasar yang memiliki kemungkinan dijangkau secara ekonomi bagi komoditas yang dihasilkan dalam KSP Mikro (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999b).
Luas kawasan KSP Makro ditentukan oleh ongkos produksi, biaya distribusi dan perkembangan agroindustri pada kawasan tersebut. Semakin efisien ongkos produksi pada kawasan KSP Mikro, maka akan semakin luas KSP Makronya. Demikian pula dengan semakin baiknya aksesibilitas suatu KSP Mikro, maka akan semakin luas jangkauan KSP Makro-nya. Berdasarkan perkembangan agroindustrinya, luas KSP Makro ditentukan oleh derajat pengolahan produk yang dihasilkannya, apakah dalam bentuk bahan baku industri atau barang siap konsumsi. Dalam hal ini, kriteria KSP Mikro ditentukan oleh batas kawasan, potensi produksi, ketersediaan sarana dan prasarana, SDM, teknologi, keterkaitan antar sektor dan antar kawasan, perkembangan teknologi, permodalan dan kelembagaan (Bappeda, 1999). Dalam garis besarnya, tipe KSP Mikro dibedakan atas KSP Mikro Pertanian Dataran Tinggi, KSP Mikro Pertanian Dataran Rendah, KSP Mikro Pertanian Tertentu, KSP Mikro Perikanan Laut Lepas, KSP Mikro Perikanan Tambak dan KSP Mikro Perikanan Darat (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999b). Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Pengembangan KSP merupakan suatu bentuk program perencanaan ruang untuk sektor strategis yang diharapkan dapat mendorong percepatan produksi pertanian dengan perkembangan wilayah (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999b). Pengembangan KSP termasuk dalam konsep pengembangan wilayah baru, dimana ide pengembangannya didasarkan pada potensi yang telah ada (existed), baik untuk KSP skala mikro maupun makro (Bappeda, 1999). Pengembangan KSP, selain bertujuan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi dalam jangka pendek dan menengah melalui peningkatan jumlah produksi pertanian, dalam jangka panjang ditujukan untuk percepatan pertumbuhan dan perkembangan daerah melalui pemaduan aspek-aspek fungsional, spasial, waktu dan finansial dalam pembangunan daerah yang berdasarkan pada pewilayahan komoditas pertanian unggulan (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999a) yang menggunakan pendekatan dan strategi pemanfaatan skala ekonomi dan skop ekonomi untuk meningkatan produktivitas kegiatan usaha tani (Saragih, 1999a). Menurut Hallberg (2000), skala ekonomi tergantung pada basis teknologi produksi yang digunakan. Sedangkan basis teknologi produksi menentukan ting-
kat produksi yang paling efisien. Dengan demikian, dalam kegiatan usaha tani, skala ekonomi menentukan ukuran luasan usaha yang paling efisien (Suryana dan Mardiyanto, 1998). Permasalahan efisiensi dan produktivitas usaha tani di Indonesia umumnya berhubungan dengan ukuran luasan usaha dan ragam produk yang dihasilkan (Rachmat, 1996; Saragih, 2000). Dalam hal ini, pengembangan KSP dimaksudkan untuk mencapai ukuran (economic of scale) usaha tani yang paling efisien dengan cara memadukan beragam jenis kegiatan (economic of scope) dalam satu kawasan sentra produksi. Upaya ini dilakukan secara holistic melalui penerapan sistem agribisnis. Dalam hal ini, penerapan sistem agribisnis bertujuan untuk mereduksi kemungkinan munculnya konflik kepentingan antar pelaku dalam pengembangan KSP. Menurut Suryana dan Mardiyanto (1998), secara fungsional masyarakat pelaku agribisnis terdiri atas lima golongan, yaitu pemerintah, masyarakat tani dan pedesaan, masyarakat bisnis dan dunia usaha, masyarakat profesi serta masyarakat ilmiah. Masing-masing golongan memiliki otoritas dan kepentingan yang dapat mempengaruhi keberlangsungan sistem yang dibangun. Oleh karena itu, diperlukan upaya sinkronisasi dan koordinasi untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada. Dalam kerangka pengembangan KSP, upaya tersebut dilakukan secara holistic melalui pemaduan aspek fungsional dan spasial. Pemaduan aspek fungsional bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai kegiatan dan program secara fungsional. Pemaduan fungsional memiliki lima karakteristik utama (Simatupang, 1995a), yaitu : 1. Kelengkapan fungsional. Tersedianya seluruh fungsi agribisnis yang diperlukan untuk menghasilkan, mengolah, dan memasarkan produk pertanian hingga ke konsumen akhir. 2. Kesatuan tindak. Seluruh komponen sistem agribisnis melaksanakan fungsinya secara harmonis dalam satu kesatuan tindak. 3. Ikatan institusional. Hubungan di antara komponen dalam sistem agribisnis terjalin langsung melalui ikatan institusional (non-pasar). 4. Kesatuan hidup. Kelangsungan hidup dan perkembangan setiap komponen sistem agribisnis saling tergantung satu sama lain.
5. Koperatif.
Setiap komponen sistem agribisnis saling membantu untuk ke-
pentingan bersama. Selain itu, KSP diharapkan mampu menjadi pedoman keterpaduan spasial yang mengaitkan antara kegiatan produksi dengan pusat pengolahan dan pemasaran melalui pengadaan prasarana dan perencanaan berbagai kegiatan atau fasilitas yang saling menunjang dalam suatu lokasi (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999a). Menurut Hazell dan Roell (1983), keterkaitan produk akan lebih tinggi bila sektor-sektor yang saling berhubungan berada dalam satu lokasi atau pada lokasi yang saling berdekatan. Hal ini terjadi karena jika lokasi berdekatan maka ongkos transportasi akan dapat dihemat dan aktivitas produksi antar sektor dapat diharmoniskan (Djojodipuro, 1992 dan Sitorus, 1997). Pendekatan keterpaduan spasial ini sejalan dengan strategi district level industrialization yang menghendaki dibangunnya industri pengolahan pada setiap wilayah produksi, sesuai dengan resources endowment yang dimiliki oleh wilayah tersebut (Arief, 1998).
Pengembangan KSP di Propinsi Jambi KSP di Propinsi Jambi dibagi dalam tiga wilayah, yaitu Kawasan Barat, Kawasan Tengah dan Kawasan Timur. Secara administratif, Kawasan Barat terdiri dari Kabupaten Kerinci, Merangin dan Sarolangun. Kawasan Tengah terdiri dari Kabupaten Bungo, Tebo, Batanghari, Muaro Jambi dan Kota Jambi. Kawasan Timur terdiri dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. Masing-masing wilayah KSP memiliki karakteristik fisik lahan, agroklimat, infrastruktur, kelembagaan dan permasalahan tersendiri. Kawasan Barat (khususnya Kabupaten Kerinci) adalah dataran tinggi dan berbukit-bukit, serta merupakan wilayah penyangga (buffer zone) dari Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Dalam hal ini, hanya sebagian kecil wilayah Kawasan Barat (khususnya di Kabupaten Merangin dan Sarolangun) yang merupakan dataran rendah. Sebaliknya, Kawasan Tengah dan Kawasan Timur memiliki topografi yang tergolong sebagai wilayah dataran rendah. Sebagian wilayah Kawasan Timur (khususnya di Kabupaten Tanjab Barat dan Tanjab Timur) merupakan daerah pesisir dengan panjang garis pantai 41,75 km yang setara dengan luas penangkapan
ikan sekitar 925.000 ha dan mengandung potensi produksi perikanan laut sebesar 114.036 ton/tahun (Bappeda, 1999; Nurdin, 2000). Permasalah yang dihadapi dalam pengembangan komoditas unggulan pada KSP di propinsi Jambi secara umum mencakup keseluruhan sub-sistem agribisnis. Pada sub-sistem agribisnis hulu, permasalahan terutama berkenaan dengan kurang atau tidak tersedianya saprotan dan bibit/benih dengan mutu yang baik. Pada subsistem usaha tani, permasalahan terutama berkenaan dengan teknik budidaya yang diterapkan umumnya masih tradisional. Sedangkan permasalahan pada sub-sistem agroindustri terutama berkenaan dengan masih kurangnya ketersediaan unit usaha pengolahan hasil atau penanganan pascapanen. Untuk beberapa komoditas yang sudah memiliki unit usaha pengolahan, permasalahan yang ada umumnya berkenaan dengan skala usaha dan tingkat teknologi pengolahan yang digunakan relatif masih sederhana. Adapun permasalahan pada sub-sistem penunjang dalam garis besarnya berhubungan dengan terbatasnya pasar bagi komoditas yang dikembangkan, belum optimalnya fungsi kelompok tani, rendahnya kemampuan SDM yang ada, serta terbatasnya modal (Bappeda, 1999).
SRATEGI INDUSTRIALISASI PERTANIAN DI INDONESIA Tinjauan Teoritis Strategi Industrialisasi dan Pembangunan Pembangunan mengandung pengertian pertumbuhan dan perkembangan. Dalam pengertian pertumbuhan, inti dari tujuan pembangunan adalah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Pangestu dan Aswicahyono, 1997) yang secara kuantitatif diukur melalui pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Adapun dalam pengertian perkembangan, pembangunan merupakan suatu proses transformasi struktural yang terencana dan terorganisasi. Transformasi dalam pembangunan mencakup perubahan komposisi sektor produktif dari basis ekonomi yang semula pertanian menjadi industri yang sejalan dengan proses transformasi sosial, budaya dan politik (Kuswartojo, dkk, 2000). Penyusunan kebijakan pembangunan di negara berkembang seperti Indonesia sering dihadapkan pada permasalahan pemilihan sektor pembangunan yang
akan dijadikan fokus atau prioritas pembangunan (Kasryno, dkk, 1998). Pandangan pertama menganggap sektor industri yang harus dijadikan fokus pembangunan, karenanya kebijakan investasi harus diprioritaskan pada sektor industri. Sebaliknya, pandangan lainnya berpendapat bahwa sektor pertanian yang harus menjadi fokus pembangunan, karena pertanian merupakan sektor yang paling mampu menyerap tenaga kerja. Pandangan bahwa sektor industri yang sepatutnya dijadikan fokus pembangunan dan prioritas investasi didasarkan pada paradigma keseimbangan umum (general equilibrium) dalam proses pembangunan (Aziz, 1997). Keseimbangan tersebut merupakan hasil interaksi antar sektor pembangunan melalui keterkaitan produk (Nazara, 1997). Produk yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkages) yang tinggi memiliki kemampuan mendorong investasi baru pada sektor-sektor input (sektor pemasok bahan baku), sedangkan keterkaitan ke depan (forward linkages) mendorong investasi baru pada sektor output (sektor pengguna hasil produksi). Menurut Yotopoulus and Nugent dalam Kasryno, dkk. (1998) kaitan ke belakang bersifat kausal, sedangkan kaitan ke depan bersifat permisif, sehingga sektor yang memiliki indeks kaitan ke belakang yang tinggi memiliki kemampuan mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi daripada sektor yang memiliki kaitan ke depan yang tinggi. Dengan demikian, berdasarkan indeks keterkaitan produk, prioritas pertama pembangunan dan investasi harus difokuskan pada sektor yang memiliki indeks kaitan ke belakang dan ke depan yang tinggi. Prioritas kedua untuk sektor yang memiliki indeks kaitan ke belakang tinggi, tetapi indeks kaitan ke depan rendah. Prioritas ketiga adalah sektor yang memiliki indeks kaitan ke belakang rendah, tetapi indeks kaitan ke depannya tinggi. Sedangkan prioritas terakhir adalah sektor yang kedua indeks keterkaitannya rendah. Hasil identifikasi indeks keterkaitan melalui hubungan input-ouput menunjukkan bahwa sektor industri memiliki indeks keterkaitan ke belakang dan ke depan yang tinggi. Hal ini berarti sektor industri merupakan sektor pemimpin (the leading sector) atau sektor kunci (the key sector); oleh karenanya harus dijadikan sebagai fokus pembangunan dan prioritas investasi. Sebaliknya, sektor pertanian memiliki indeks kaitan ke depan tinggi, tetapi indeks kaitan ke belakang rendah
(Prabowo, 1995). Oleh karenanya, sektor pertanian tidak sesuai untuk dijadikan sebagai sektor pemimpin dalam pembangunan. Pandangan ini banyak dianut oleh negara-negara yang sedang membangun, termasuk Indonesia. Tantangan fundamental terhadap paradigma keterkaitan produk yang menyimpulkan bahwa sektor pertanian tidak dapat dijadikan sebagai sektor pemimpin pembangunan muncul sejak pertengahan tahun 1970-an (Kasryno, dkk, 1998). Berbagai penelitian yang memperhitungkan keterkaitan konsumsi dan tenaga kerja terhadap permintaan produk industri menghasilkan kesimpulan bahwa sektor pertanian dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja dan permintaan konsumsi. Kesimpulan ini melahirkan perspektif keterkaitan berspektrum luas yang meletakkan titik berat program pembangunan pada sektor pertanian (Simatupang, 1998). Telaah mengenai peran sektor pertanian dalam transformasi pembangunan menyimpulkan bahwa sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan di negara-negara berkembang (APO, 2000). Adapun peran sektor pertanian dalam pembangunan menurut Kuznet (Jhingan, 2002) adalah : 1. Kontribusi produk. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan baku bagi industri dan bahan pangan bagi pekerja di sektor industri. 2. Kontribusi pasar. Rumah tangga di sektor pertanian adalah pasar utama untuk output yang dihasilkan oleh sektor industri. 3. Kontribusi devisa.
Sektor pertanian berperan sebagai penyumbang devisa
melalui hasil ekspor produk-produk pertanian. Adelman (1984) menjabarkan gagasan untuk menitikberatkan program pembangunan pada sektor pertanian dalam bentuk strategi industrialisasi berdasarkan permintaan pertanian (Agricultural-Demand-Led Industrialization Strategy). Strategi ADLI didasarkan atas lima preposisi (Arief, 1998), yaitu: 1. Strategi Export-led growth dalam situasi ekonomi internasional yang ada dan akan terjadi tidak dapat diharapkan berhasil banyak dalam memecahkan masalah pembangunan. Proses pembangunan hendaklah tidak digantungkan atas ekspor yang di luar kontrol ekonomi nasional. Permintaan efektif di dalam negeri dan bukan permintaan efektif di luar negeri yang harus menjadi penentu arah dan dinamika pembangunan.
2. Permintaan efektif di dalam negeri dikembangkan melalui pembangunan sektor pertanian sebagai sektor utama dalam proses pembangunan, sehingga sektor ini menjadi penyedia pasar efektif untuk produk-produk sektor industri. 3. Proses pembangunan yang didasarkan atas teknologi padat karya dengan sektor pertanian sebagai primadona tidak akan menyebabkan terjadinya konflik antara tujuan-tujuan pembangunan (pertumbuhan output, perluasan kesempatan kerja, dan pemerataan pendapatan). 4. Alokasi sumber daya sebagian besar hendaklah ditujukan untuk pengembangan sektor pertanian dan peningkatan produktivitas penduduk di sektor pertanian. 5. Strategi ADLI secara implisit mengandung perubahan komposisi output. Dengan strategi ADLI sebagian besar output terdiri dari barang-barang kebutuhan massa (wage-goods). Strategi ADLI memfokuskan pembangunan pada sektor pertanian dan agroindustri berdasarkan adanya keterkaitan konsumsi yang tinggi antara sektor pertanian dan sektor industri, dengan tetap mempertimbangkan adanya keterkaitan produk antar sektor pembangunan (Kasryno, dkk, 1998). Keterkaitan konsumsi tercipta karena nilai tambah yang diperoleh dari sektor pertanian digunakan untuk membeli produk dari sektor industri dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Keterkaitan produk adalah keterkaitan yang
terjadi melalui penggunaan produk suatu industri sebagai bahan baku bagi industri lainnya. Penerapan strategi industrialisasi di negara berkembang pada umumnya dimulai dengan industri substitusi impor (import-substitution industrialization strategy). Strategi ini berorientasi pada penciptaan output untuk memenuhi pasar di dalam negeri, karena pasar luar negeri sudah dikuasai oleh negara-negara maju, sehingga tidak dapat diandalkan sebagai penggerak pembangunan (Prebisch dalam Dasril, 1993).
Pelaksanaan strategi industrialisasi substitusi impor
didasarkan pada pemikiran bahwa pengembangan industri substitusi impor akan membuahkan hasil yang cepat dan dapat menimbulkan penghematan devisa (Arief, 1998). Strategi industrialisasi substitusi impor dianut oleh negara-negara Amerika Latin (Brazil, Mexico, Peru, Argentina dan Chili),
Asia Selatan (India dan
Pakistan), Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina), Afrika (Kenya dan Zaire), dan lain-lain. Sedangkan bagi negara-negara yang memiliki pasar dalam negeri yang kecil seperti Korea Selatan, Taiwan dan Singapura terpaksa memulai proses industrialisasi melalui strategi industrialisasi berorientasi ekspor (export-led industrialization strategy) (Arief, 1998). Adapun pendapat mengenai alternatif strategi industrialisasi di Indonesia dikemukakan antara lain oleh Saragih (1995) dan Alam (1996). Saragih (1995) mengajukan tiga jalur pengembangan industri di Indonesia. Ketiga jalur tersebut tercakup di dalam empat alternatif strategi pengembangan industri sebagaimana dikemukakan Alam (1996), yaitu: 1. Strategi industri berspektrum luas (Broad-based industry), yaitu strategi pengembangan industri yang diarahkan pada pemanfaatan sumber daya alam dan manusia secara maksimal dengan tidak terlalu tergantung pada banyak modal. 2. Strategi industri teknologi tinggi (Hi-tech industry), yaitu stategi pengembangan industri yang memanfaatkan akselerasi perkembangan teknologi, seperti industri pesawat terbang. 3. Strategi industri promosi ekspor (Export-led industry), yaitu strategi pengembangan industri melalui peningkatan ekspor dan persaingan internasional. 4. Strategi entreport, yaitu strategi pengembangan industri jasa pelayanan komersial, seperti pariwisata dan telekomunikasi sebagaimana yang dikembangkan oleh Singapura dan Hongkong. Keempat strategi industri sebagaimana dikemukakan oleh Alam (1996) tersebut bersifat mutually exclusive, sehingga hanya memilih salah satu strategi untuk diterapkan adalah tidak mungkin. Akan tetapi, karena tujuan penyusunan strategi industrialisasi adalah untuk memberikan arah bagi pengembangan industri dan terlalu banyaknya strategi dapat mempersulit perencanaan kebijakan karena adanya trade offs antara sasaran dari masing-masing strategi (Pangestu dan Aswicahyono, 1997), maka pemilihan salah satu alternatif strategi yang dominan perlu dilakukan, dengan tidak meninggalkan alternatif strategi pendukung.
Tinjauan Empiris Strategi Industrialisasi di Indonesia Pendekatan kebijakan industrialisasi dalam berbagai tahap pembangunan Indonesia dipengaruhi oleh keadaan sejarah dan politik, ideologi dan pola pemikiran pengambil keputusan, serta keadaan ekonomi, terutama perubahan keadaan eksternal (Pangestu, 1996). Pendekatan strategi industrialisasi substitusi impor yang didasarkan pada kebijakan proteksi, subsidi, dan lisensi sudah dimulai sejak zaman Belanda untuk mencegah membajirnya barang-barang impor dari Jepang pada awal tahun 1930-an. Pada masa kemerdekaan, sistem proteksi, subsidi, dan lisensi ini terus berkembang, tetapi sektor industri tidak mengalami perkembangan yang berarti. Sampai pertengahan tahun 1960-an, sumbangan sektor industri pada PDB kurang dari 10% (Wie, 1996). Perkembangan pesat industrialisasi dimulai sejak awal Orde Baru. Pangestu (1996) membagi tahapan industrialisasi masa Orde Baru ke dalam empat periode. Pertama, periode stabilisasi dan rehabilitasi (1966-1973). Dalam periode ini dilakukan pemulihan stabilitas makroekonomi, deregulasi perdagangan dan sistem devisa dan pemberian insentif terhadap PMA dan PMDN. Kebijakan ini menghasilkan pertumbuhan sektor industri yang relatif tinggi (9,6% per tahun). Pada periode kedua atau periode boom minyak (1973-1981), pertumbuhan sektor industri mencapai 14,2% per tahun. Pertumbuhan yang tinggi ini dipacu oleh kombinasi kebijakan substitusi impor dan investasi serta peningkatan kepemilikan oleh pemerintah yang dibiayai dari penghasilan minyak. Argumentasi peningkatan peran pemerintah dalam sektor industri didasarkan pada pertimbangan strategis (industri semen, pupuk dan besi baja), teknologi (pesawat terbang) dan peningkatan nilai tambah (pengilangan minyak, LNG dan petrokimia). Periode ketiga merupakan periode kebijakan industrialisasi yang ambivalen (1982-1985).
Penurunan harga minyak mentah menyebabkan pemerintah
terpaksa melakukan pengurangan proyek-proyek industri berat dan padat modal. Di sisi lain terjadi peningkatan sistem tata niaga impor, penggunaan sistem nontarif, lisensi impor, dan peningkatan penggunaan komponen dalam negeri. Dalam periode ini, pertumbuhan sektor industri berjalan lambat dan alot. Pertumbuhan hanya mencapai angka 2,1% per tahun pada tahun 1981-1983, tetapi naik menjadi 16,3% pada tahun 1984, dan turun kembali menjadi 5,4% pada tahun 1985 dan
3,2% pada tahun 1986. Penurunan ini disebabkan oleh rendahnya permintaan dalam negeri, karena terjadinya penurunan harga minyak (Wie, 1996). Perubahan arah kebijakan industrialisasi di Indonesia terjadi pada periode keempat (1986-1991). Periode ini diawali dengan terjadinya penurunan harga minyak mentah yang tajam pada tahun 1986, sehingga pemerintah terpaksa melakukan strategi peningkatan efisiensi serta peningkatan persaingan dan orientasi ekspor dengan menggunakan instrumen kebijakan devaluasi, pelonggaran persyaratan investasi, perbaikan prosedur impor dan ekspor, dan penurunan hambatan nontarif untuk memperbaiki iklim investasi dan menggalakkan ekspor non-migas. Upaya ini berhasil meningkatkan pertumbuhan sektor industri menjadi 11% per tahun dan mengantarkan Indonesia menuju negara semi industri, yang ditandai dengan terjadinya perubahan struktur produksi pada tahun 1991 dan pencapaian pangsa kontribusi sektor industri yang mendekati angka 20%.
Peningkatan
pangsa kontribusi sektor industri terhadap PDB terus berlangsung dan mencapai puncaknya pada tahun 1997, walaupun kemudian terjadi sedikit penurunan pada tahun 1998 akibat krisis moneter (Tabel 1). Tabel 1. Distribusi PDB Indonesia berdasarkan sektor pada tahun 1991-2002 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Listrik, Air dan Gas Konstruksi Perdagangan, Hotel & Rest. Pengangkutan dan Kom. Perbankan & Lembaga Keu Sewa Rumah Pemerintahan dan Hankam Jasa-Jasa Lain
1991 18,43 15,68 19,95 0,68 6,02 15,89 5,57 4,49 2,53 7,35 3,40
1997 16,09 8,85 26,79 1,25 7,44 15,86 6,14 8,66 8,92
1998 18,08 12,59 25,00 1,18 6,46 15,35 5,43 7,31 8,59
1999 19,61 10.00 25,99 1,22 6,15 15,99 5,02 6,48 9,54
2000 17,23 13,86 24,90 1,31 6,05 15,74 4,93 6,36 9,63
2001 16,99 13,23 24,98 1,46 5,88 16,16 5,23 6,31 9,75
2002 17,47 11,91 24,98 1,81 5,74 16,08 6,05 6,56 9,38
Sumber : BPS, 2003. Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak Juli 1997 dan diikuti oleh
krisis perekonomian, menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi sampai titik terendah pada tahun 1998. Pada tahun tersebut laju pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi sebesar -13,13% yang disebabkan oleh pertumbuhan negatif pada hampir semua sektor perekonomian; kecuali beberapa sub-sektor di sektor pertanian yang tetap mengalami pertumbuhan positif (BPS, 2000a). Keadaan ini
menyebabkan penurunan sumbangan sektor sekunder (industri) dan sektor tersier (jasa) terhadap PDB, tetapi sebaliknya terjadi peningkatan sumbangan sektor primer (pertanian) terhadap PDB pada tahun 1998-1999, walaupun kembali turun pada tahun-tahun berikutnya (Tabel 2). Tabel 2. Distribusi PDB Indonesia pada tahun 1997-2002 Sektor I. Primer (Pertanian) II. Sekunder (Industri) III. Tersier (Jasa-Jasa)
1997 16,09 26,79 39,58
1998 18,06 24,48 37,07
1999 19,61 25,99 37,03
2000 2001 2002 17,23 16,99 17,47 24,90 24,98 25,01 36,66 37,45 38,07 Sumber : BPS, 2003.
Peningkatan sumbangan sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 19981999 terjadi pada sub-sektor tanaman pangan, perkebunan dan perikanan (Tabel 3). Sedangkan pada sektor industri, walaupun terjadi penurunan sumbangannya terhadap PDB, tetapi sumbangan sub-sektor makanan, minuman dan tembakau (ISIC 31) justru mengalami peningkatan (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa pertanian dan industri berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor dan sub sektor ekonomi yang dapat bertahan dan bahkan dapat tetap tumbuh positif pada saat sektor-sektor ekonomi lainnya mengalami konstraksi negatif. Tabel 3.
Distribusi PDB Sektor Pertanian pada tahun 1997 – 2002
Sektor/Sub-sektor 1997 1998 1999 2000 2001 2002 16,09 18,06 19,61 17,23 16,99 17,47 Pertanian - Tanaman Bahan Makanan 8,31 9,10 10,57 8,91 8,70 8,77 - Tanaman Perkebunan 2,62 3,36 3,27 2,67 2,59 2,60 - Peternakan 1,86 1,77 2,16 2,14 2,10 2,16 - Kehutanan 1,56 1,71 1,26 1,18 1,08 1,05 - Perikanan 1,73 2,12 2,39 2,33 2,53 2,90 Sumber : BPS, 2003. Tabel 4. Distribusi PDB Sektor Industri pada tahun 1997 – 2002 Sektor Industri Pengolahan A. Industri Migas B. Industri Tanpa Migas - Makanan, Minuman, Tembakau (ISIC 31)
1997 26,79 2,49 24,30 11,08
1998 24,48 2,94 21,55 12,14
1999 25,99 3,19 22,80 13,90
2000 24,90 4,29 20,61 11,31
2001 24,98 3,87 21,10 11,24
2002 25,01 3,52 21,49 11,32
Sumber : BPS, 2003.
Di sisi lain, hasil kajian yang dilakukan oleh Arief (1998) menunjukkan bahwa proses industrialisasi berdasarkan strategi industrialisasi substitusi impor dan promosi ekspor walau telah berhasil menyebabkan terjadinya transformasi struktur produksi, tetapi tidak diikuti dengan transformasi ekonomi yang seimbang.
Ketidakseimbangan ini disebabkan karena tidak terintegrasinya proses
industrilisasi dengan sektor pertanian (Arief, 1998). Data pada tahun 1999 memperlihatkan walau sektor industri memberi sumbangan 25,99% terhadap PDB, tetapi jumlah tenaga kerja yang mampu diserap hanya 17,8%. Sebaliknya pada tahun yang sama, sektor pertanian mampu menyerap 43,6% tenaga kerja, walaupun sumbangannya terhadap PDB hanya mencapai 19,61% (BPS, 2000b). Proses industrilisasi haruslah dilaksanakan atas dasar adanya keterkaitan yang luas dan kokoh dengan sektor-sektor ekonomi di dalam negeri (backward and forward linkages industrialization) (Crawford, 1991; Arief, 1998). Dengan demikian, proses industrialisasi di Indonesia semestinya berbasis pada sektor pertanian. Pemikiran ini mendorong pengambil kebijakan untuk merancang program ekonomi yang berbasis pada sektor pertanian dan sub-sektor agroindustri. Sesungguhnya prioritas pembangunan sektor industri di Indonesia pada awalnya terkait erat dengan sektor-sektor ekonomi di dalam negeri, khususnya dengan sektor pertanian. Hal ini dapat dilihat dari urutan prioritas pembangunan industri selama Repelita I - III. Selama Repelita I (1969/70 - 1973/74) prioritas pembangunan diberikan pada pembangunan industri yang mendukung sektor pertanian. Selama Repelita II (1974/75 - 1978/79) prioritas diberikan pada industri pengolahan sumber daya alam untuk menghasilkan bahan baku; dan pada Repelita III (1979/80 - 1983/84) industri yang didirikan adalah industri pengolahan bahan baku untuk menghasilkan produk industri manufaktur. Akan tetapi, setelah dicapainya swasembada pangan pada tahun 1984, arah pembangunan industri Indonesia mulai bergeser sebagaimana dapat dilihat dari kebijakan pembangunan industri pada Repelita IV (1984/85 - 1988/89) yang memprioritaskan pembangunan industri barang modal. Koreksi terhadap konsep dan arah pembangunan industri di Indonesia tercermin dari prioritas industrialisasi pada Repelita VI (1994/95 - 1998/99) dengan dimasukkannya upaya mengembangkan industri kecil dan pedesaan, serta penye-
barannya ke daerah sebagai prioritas tambahan pembangunan industri (Pangestu dan Aswicahyono, 1997). Namun sebagaimana dikatakan oleh Wie (1996), pola pembangunan industri di Indonesia tidak selalu sejalan dengan kebijakan resmi dan kadangkala kebijakan resmi pembangunan industri tidak jelas, sehingga memberi peluang munculnya berbagai tafsiran dalam menentukan prioritas. Strategi Industrialisasi Pertanian dengan Pendekatan Sistem Agribisnis Pengertian Industrialisasi Pertanian dan Sistem Agribisnis Pemikiran tentang pembangunan ekonomi berbasis pertanian (agricultural led development strategy) telah diperdebatkan sejak masa awal perencanaan pembangunan nasional. Pemikiran ini didasarkan pada argumen tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dikaitkan dengan produktivitas tenaga kerja. Pada tahap awal, pembangunan industri harus terkait erat (backward and forward linkages) dengan sektor pertanian (Crawford, 1991). Keterkaitan ini akan menjadi amat kuat apabila sektor industri mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi (Byerlee dalam Kuncoro, 1996). Kaitan yang paling sesuai diperoleh melalui pembangunan industri hasil pertanian atau agroindustri (Kuncoro, 1996). Pembangunan agroindustri serta penggunaan peralatan mekanis (mekanisasi) dalam sektor pertanian sering dijadikan sebagai ciri dimulainya proses industrialisasi pertanian. Pandangan ini membatasi pengertian industrialisasi pertanian hanya sebagai proses transformasi struktur produksi pertanian (Dasril, 1993) dan struktur ketenagakerjaan (Prabowo, 1995). Pengertian yang lebih luas diberikan oleh Simatupang (1995a) yang mendefinisikan industrialisasi pertanian sebagai suatu proses transformasi struktur agribisnis dari pola dispersal menjadi pola industrial. Proses transformasi tersebut dilakukan melalui konsolidasi usaha tani yang disertai dengan koordinasi seluruh mata rantai agribisnis dalam satu alur produksi melalui mekanisme non-pasar (Council on Food, Agricultural and Resources Economics, 1994). Definisi ini memberikan pengertian peran pendekatan agribisnis dalam proses industrialisasi pertanian sebagai gabungan antara konsep sistem dan konsep bisnis (Nishimura, 1999). Sebagai konsep sistem, agribisnis adalah suatu kesatuan sistem yang terdiri dari empat sub-sistem yang saling terkait erat, yaitu sub-sistem agribisnis
hulu, sub-sistem usahatani atau pertanian primer, sub-sistem agribisnis hilir atau agroindustri dan sub-sistem penunjang. Sub-sistem agribisnis hulu adalah kegiatan ekonomi yang menyediakan sarana/input produksi seperti bibit unggul, alat dan mesin pertanian (agro-otomotif), serta pupuk dan pestisida (agro-kimia) bagi kegiatan pertanian primer. Sub-sistem usahatani atau pertanian primer adalah kegiatan ekonomi yang menghasilkan komoditas atau produk pertanian primer melalui pemanfaatan sarana produksi yang dihasilkan oleh sub-sistem agribisnis hulu. Sub-sistem agribisnis hilir atau agroindustri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas atau produk pertanian primer menjadi produk olahan. Termasuk dalam sub-sistem ini adalah kegiatan-kegiatan pascapanen, distribusi dan perdagangan produk pertanian primer. Adapun sub-sistem penunjang adalah kegiatan ekonomi yang menyediakan jasa atau layanan yang diperlukan untuk memperlancar pengembangan agribisnis. Termasuk dalam sub-sistem ini adalah lembaga keuangan/perbankan, infrastruktur (fisik dan normatif), informasi dan penyuluhan, penelitian dan pengembangan, serta kebijakan pemerintah (Badan Agribisnis, 1995; Saragih, 1999a). Hubungan dan keterkaitan antar keempat subsistem agribisnis dapat dilihat pada Gambar 1. Sebagai konsep bisnis, agribisnis merupakan suatu aktivitas bisnis yang bertujuan untuk memperoleh nilai tambah yang maksimal dan sustainable dengan cara menghasilkan barang atau jasa yang sesuai dengan keinginan pasar (Suryana dan Mardiyanto, 1998). Sebagai suatu aktivitas bisnis, agribisnis mempunyai beberapa implikasi bisnis (Syukur, 1996), yaitu :
1. Iklim usaha. Agribisnis memerlukan persyaratan dasar (iklim investasi dan berusaha) untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar. 2. Pasar. Pertumbuhan dan perkembangan agribisnis ditentukan oleh mekanisme pasar. Hal ini berarti produk agribisnis harus berorientasi pada pasar. 3. Persaingan. Persaingan dalam agribisnis tidak dapat dihindari, tetapi harus dihadapi. 4. Perubahan. Perubahan akan selalu terjadi, sehingga tindakan antisipasi terhadap perubahan (preferensi konsumen, kompetitor dan teknologi) harus terusmenerus dilakukan.
Sebagai gabungan konsep sistem dan bisnis, agribisnis adalah suatu sistem yang diperlukan untuk menyelaraskan (interfacing and matching) berbagai strategi dan kepentingan dari masing-masing unsur masyarakat agribisnis melalui konsolidasi dan koordinasi seluruh fungsi-fungsi agribisnis dengan menggunakan mekanisme non-pasar. Konsolidasi dan koordinasi tersebut dilakukan melalui pola integrasi vertikal ataupun pola koordinasi vertikal. Dengan pola integrasi vertikal, seluruh fungsi agribisnis dilaksanakan oleh satu perusahaan atau oleh beberapa perusahaan yang tergabung dalam satu holding company. Sedangkan dengan pola koordinasi vertikal, fungsi-fungsi agribisnis dilakukan oleh beberapa badan usaha yang kepemilikan dan manajemennya terpisah, tetapi strategi usaha dan implementasinya terkoordinasi secara harmonis (Simatupang, 1995a). Mengingat kondisi struktur perekonomian Indonesia yang masih memberatkan sektor pertanian dan sektor pertanian yang masih didominasi oleh petani kecil, maka Simatupang (1995a) menyarankan agar pola koordinasi vertikal dijadikan sebagai prioritas dalam industrialisasi pertanian. Adapun pola integrasi vertikal, walaupun sesuai untuk tujuan pertumbuhan yang tinggi dan perolehan devisa, namun kurang efektif untuk tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja dan pemerataan pendapatan. Pola koordinasi vertikal pada prinsipnya adalah penciptaan kaitan langsung di luar pasar (extra-market direct linkages) dimana hubungan antara fungsifungsi agribisnis yang saling melengkapi diciptakan melalui hubungan langsung yang terjadi di luar sistem pasar (Wie, 1992). Pola ini merupakan salah satu cara yang ideal untuk pengembangan sistem agribisnis. Akan tetapi sebagaimana diingatkan oleh Simatupang (1995a), pengembangan agribisnis dengan pola apapun tidak akan berhasil jika dilakukan melalui kebijakan pemerintah yang bersifat memaksa. Konsolidasi dan koordinasi fungsi-fungsi agribisnis haruslah berkembang sendiri sesuai dengan prinsip-prinsip keterkaitan dan kemitraan yang mengandung asas saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan (Suhardi, 1992b) antar seluruh unsur masyarakat yang terkait dalam sistem agribisnis. Pembentukan pola koordinasi vertikal dengan prinsip kemitraan harus sesuai dengan tahap kematangan sistem agribisnis (business maturity), mengacu pada sistem budaya setempat (indigenous culture) dan dirancang secara demokratis
melalui musyawarah antar unsur masyarakat agribisnis yang terlibat. Untuk itu, perlu diidentifikasi beberapa aspek penting yang mempengaruhi keberhasilan pembentukan kemitraan dalam agribisnis (Syukur, 1996), yaitu : 1. Aspek bisnis untuk menjamin kelayakan kemitraan secara ekonomis. 2. Aspek sosial untuk menjamin manfaat kemitraan bagi masyarakat. 3. Aspek partisipasi pelaku untuk menjamin keberlanjutan kemitraan. 4. Aspek teknologi untuk menjamin kelayakan teknis. 5. Aspek informasi untuk menjamin efektifitas perencanaan dan pengendalian. Peran Industri Pertanian dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Industrialisasi pertanian dengan pendekatan sistem agribisnis dapat dijadikan strategi rekonsiliasi untuk menurunkan ketegangan dan kontradiksi dalam menentukan fokus pembangunan antara pertanian dengan industri, antara pedesaan dengan perkotaan atau antara pertumbuhan dengan pemerataan (Uphoff, 1999). Strategi ini menggunakan pendekatan pembangunan yang seimbang (balanced development) melalui diversifikasi ekonomi (penyediaan lapangan kerja dan penciptaan lapangan usaha) di pedesaan untuk mencegah urbanisasi dan menjamin stabilitas pertumbuhan ekonomi (Tajima, 2000) dengan menggunakan prinsipprinsip keseimbangan regional (regional balance), diversifikasi dan keterkaitan (diversification and linkage) serta efisiensi dan pertumbuhan (efficiency and growth) (Uphoff, 1999). Prinsip pembangunan Uphoff (1999) tersebut mengisyaratkan perlunya menyesuaikan pembangunan dengan endowment sumber daya (resources endowment), teknologi (technological endowment), kelembagaan (institutional endowment) dan budaya (cultural endowment) yang ada (Kuswartojo, dkk, 2000). Prinsip ini sejalan dengan strategi district level industrialization yang menghendaki dibangunnya industri pengolahan yang sesuai dengan endowment yang ada pada suatu wilayah (Arief, 1998). Dalam hal ini, wilayah dibagi ke dalam lima tingkatan (spatial hierarchy), yaitu : 1. Wilayah desa sebagai tingkat yang paling rendah, 2. Wilayah kecamatan sebagai pusat pemberi jasa (service centers), 3. Wilayah kabupaten/kota sebagai kawasan pertumbuhan (growth points), 4. Wilayah propinsi sebagai pusat pertumbuhan (growth centers),
5. Wilayah regional atau nasional sebagai kutub pertumbuhan (growth poles). Sehubungan dengan pembagian tingkat wilayah tersebut, beberapa ahli di antaranya Rachmat (1996), Kasryno, dkk. (1998), Tajima (2000), dan Polman (2000) berpendapat bahwa industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri) akan lebih efektif jika dikembangkan dalam skala kecil di wilayah pedesaan. Beberapa konsep strategi yang mendukung pengembangan agroindustri skala kecil di pedesaan di antaranya adalah : 1. Agricultural-Demand-Led Industrialization Strategy (Adelman, 1984) Strategi ini menekankan titik berat pembangunan di sektor pertanian. Pertumbuhan sektor pertanian akan menciptakan permintaan efektif di dalam negeri. Karena sektor pertanian berada di wilayah pedesaan, maka pembangunan industri akan berhasil jika diarahkan untuk memenuhi permintaan sektor pertanian dan pedesaan. 2. Agriculture-Led Development Strategy (Saragih, 1995; Simatupang, 1998) Strategi ini menekankan titik berat pembangunan berdasarkan potensi pasar dalam negeri dengan cara memanfaatkan potensi jumlah penduduk Indonesia yang besar dan peningkatan daya beli masyarakat melalui peningkatan produktivitas, perluasan kesempatan kerja, perbaikan nilai tukar dan tingkat upah, serta melalui pengembangan industri yang terkait erat dengan sektor pertanian dan pedesaan. 3. Agroindustry Propelled Rural Development (Simatupang, 1998) Strategi ini berdasarkan pada pemikiran bahwa sumber daya yang ada di pedesaan lebih sesuai digunakan untuk menunjang produksi pertanian. Pembangunan agroindustri berupa kegiatan pengolahan hasil pertanian akan mendorong pembangunan pertanian dan pedesaan. 4. Sustainable Agriculture and Rural Development (Wirakartakusumah, 2000) Strategi ini menekankan sasaran pembangunan pada upaya revitalisasi daerah pedesaan melalui pembangunan agribisnis dan agroindustri untuk penuntasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan, peningkatan ekspor, ketahan pangan dan kelestarian lingkungan hidup. 5. Integrated Rural Development (Perkins, et al., 2001)
Strategi ini didasarkan pada asumsi bahwa industri tidak akan tumbuh dengan lancar bila pertumbuhan pertanian dan pedesaan mengalami stagnasi; kalaupun bisa tumbuh, pertumbuhan industri tersebut cenderung menciptakan berbagai ketimpangan internal dalam perekonomian. Secara empiris, peran industrialisasi pertanian terhadap pembangunan pertanian dan pedesaan dapat dilihat dari pengalaman India dalam menerapkan program yang mengintegrasikan pembangunan pertanian dan pedesaan (integrated agricultural and rural development) melalui pembangunan agroindustri di pedesaan. Program tersebut telah dapat memberikan hasil yang memuaskan, berupa : (a) kenaikan pendapatan petani, (b) penciptaan lapangan kerja baru, (c) membuka lapangan usaha baru, (d) mendorong tumbuhnya kegiatan sosial dan kemasyarakatan, dan (e) membuka wawasan masyarakat pedesaan terhadap teknologi dan sistem manajemen industri (Gaikwad, 1989). Adapun dasar pertimbangan untuk pengembangan agroindustri di pedesaan adalah untuk : (a) meningkatkan produktivitas pertanian, (b) meningkatkan pendapatan petani, (c) menciptakan lapangan kerja di luar sektor pertanian, (d) merangsang tumbuhnya lembaga ekonomi di pedesaan, (e) menjadi motor penggerak pembangunan pedesaan dan wilayah, serta (f) menumbuhkan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) masyarakat setempat (Alagh, 1989). Pengalaman empiris beberapa negara berkembang di kawasan Asia dan Pasifik menunjukkan bahwa pembangunan agroindustri di pedesaan yang diikuti oleh proses difusi teknologi dapat meningkatkan akses petani terhadap teknologi produksi. Keadaan ini akan mengkatalis laju produksi pertanian (Polman, 2000) dan meningkatkan produktivitas pertanian. Di samping itu, peningkatan laju produksi pertanian juga terjadi karena peningkatan permintaan bahan baku (backward linkage) sebagai akibat berdirinya agroindustri (demand effect) (Saptari, 1993; Polman, 2000). Peningkatan permintaan ini sekaligus akan menggeser kurva permintaan dan menyebabkan terjadinya peningkatan harga sebagai akibat dari terjadinya demand excess (Gittinger, 1986; Gasperz, 2000). Peningkatan harga produk pertanian akan meningkatkan pendapatan petani.
Pembangunan agroindustri di pedesaan dapat menyerap tenaga kerja yang ada di pedesaan. Hal ini dimungkinkan karena agroindustri pada umumnya tidak memerlukan kualifikasi keahlian tenaga kerja yang tinggi (Saragih, 2000). Di samping itu, pembangunan agroindustri di pedesaan juga dapat menciptakan lapangan kerja turunan sebagai akibat dari meningkatnya permintaan bahan baku produk pertanian (Erwidodo, 1996). Di samping itu, hasil penelitian Syafa’at, dkk (1999) menunjukkan, bahwa faktor-faktor yang mendorong penduduk pedesaan melakukan migrasi ke wilayah perkotaan (urbanisasi) adalah karena kelangkaan kesempatan kerja di pedesaan. Dengan demikian, peningkatan ketersediaan lapangan kerja dan lahirnya lapangan usaha baru di pedesaan sebagai akibat dibangunnya agroindustri dapat mencegah terjadinya urbanisasi. Hal ini berarti proses industrialisasi pertanian di pedesaan dapat berperan dalam mengurangi tekanan terhadap pembangunan di wilayah perkotaan.
Peran lain industrialisasi pertanian terhadap pembangunan sektor
perkotaan dapat dilihat dari fungsinya sebagai penyedia bahan baku untuk industri di perkotaan, di samping sebagai penyedia bahan pangan bagi pekerja di sektor perkotaan (Saragih, 1995). Peran industrialisasi terhadap pembangunan pertanian dan pedesaan dapat dimulai dari pembangunan agroindustri (agroindustrial development) di pedesaan (Gambar 2). Pembangunan tersebut akan memacu pembangunan wilayah pedesaan (rural development) dan sekaligus mendukung proses industrialisasi (industrial development) pada tingkat wilayah yang lebih tinggi (sektor perkotaan). Di samping itu, pembangunan agroindustri di pedesaan juga akan menarik pertumbuhan sektor pertanian (agricultural development) melalui hubungan langsung (backward linkage) atau melalui pembangunan pedesaan dengan pendekatan agribisnis (agribusiness development) (Garcia and Manalili, 1997).
PERAN AGROINDUSTRI PANGAN DALAM PEMBANGUNAN KSP Pengertian dan Batasan Agroindustri Pangan Agroindustri adalah suatu sub-sistem dari sistem agribisnis.
Menurut
Hicks (1995), agroindustri adalah industri yang menciptakan nilai tambah (value added) melalui pengolahan produk pertanian, baik untuk bahan pangan maupun non-pangan. Pengolahan tersebut meliputi transformasi, konversi dan perlakuan melalui perubahan fisik atau kimia, penyimpanan, pengemasan dan distribusi (Austin, 1992; Brown, 1994). Agroindustri pangan adalah bagian dari agroindustri yang khusus mengolahan produk-produk pertanian yang diperuntukan sebagai bahan pangan. Menurut Wirakartakusumah (1998), kegiatan agroindustri pangan lebih terfokus pada kegiatan-kegiatan pascapanen, pengolahan, distribusi dan perdagangan produk-produk pertanian pangan. Berdasarkan derajat pengolahan bahan baku, Austin (1992) mengklasifikasikan agroindustri ke dalam empat kelompok (Tabel 5). Dalam hal ini, semakin tinggi derajat pengolahan, maka semakin besar kebutuhan akan investasi modal, tingkat teknologi dan kemampuan manajemen. Tabel 5. Klasifikasi agroindustri berdasarkan derajat pengolahan bahan baku
Derajat Pengolahan I
II
Pembersihan, Pengkelasan, Penyimpanan
Pemisahan, Penyosohan, Pemotongan, Pencampuran
III Pemasakan, Pemanasan, Pengalengan, Pengeringan, Pembekuan
Contoh Produk Serealia, Daging olahan, Daging, Ikan, Sosis, Bumbu masak, Buah kaleng, Tepung Minyak, Gula Sumber: Austin, 1992. Buah segar, Sayuran segar, Telur
IV Perubahan kandungan kimia (Texturization)
Makanan instant, Makanan bayi, Susu formula
Posisi Agroindustri Pangan dalam Pengembangan KSP
Pengembangan KSP dalam jangka panjang ditujukan untuk percepatan pertumbuhan dan perkembangan daerah berdasarkan pada pewilayahan komoditas pertanian unggulan (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999a). Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan perencanaan dan organisasi pengelolaan yang efektif, menyeluruh dan utuh serta berorietasi pada pencapaian tujuan yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem agribisnis. Menurut Saragih (1999a), pengembangan KSP harus dilakukan dalam kerangka dan cara pandang agribisnis sebagai suatu sistem yang utuh dan simultan. Dengan pendekatan sistem agribisnis, pengembangan KSP untuk komoditas pertanian unggulan tidak lagi dapat dipandang hanya sebagai pembangunan sektor pertanian (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan) saja, karena sektor pertanian hanya merupakan salah satu sub-sistem dari sistem agribisnis. Oleh karena itu, pengembangan KSP komoditas pertanian unggulan harus dilakukan dalam kerangka pembangunan sistem agribisnis secara utuh. Pembangunan wilayah KSP dengan pendekatan sistem agribisnis merupakan prasyarat bagi pembangunan agroindustri pangan. Pembangunan agroindustri pangan tidak mungkin berjalan efektif tanpa adanya dukungan infrastruktur dan sistem agribisnis yang efektif (Isarangkura, 1995; Garcia and Manalili, 1997). Sebaliknya, pembangunan agroindustri pangan dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan wilayah melalui keterkaitan agroindustri dengan sektor pertanian dalam kesatuan sistem agribisnis (Gambar 3).
Gambar 3. Proses pembangunan agroindustri berkelanjutan (Adaptasi dari Garcia and Manalili, 1997)
Pembangunan agroindustri pangan dapat merangsang pertumbuhan sektor pertanian melalui penciptaan permintaan terhadap produk pertanian dan peningkatan produktivitas pertanian. Pembangunan agroindustri pangan juga memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi pada wilayah pengembangan KSP melalui penciptaan nilai tambah dan penyediaan lapangan kerja di luar sektor pertanian (Saptari, 1993). Arti strategis pembangunan agroindustri pangan pada KSP berhubungan dengan karakteristik teknologi pangan yang memiliki spektrum yang luas, mulai dari teknologi sederhana yang bersifat padat karya (labor intensive) sampai pada teknologi canggih yang bersifat pada modal (capital intensive). Menurut Ahza dan Wirakartakusumah (1997), agroindustri pangan merupakan industri yang paling mudah dibangun dan berkembang di hampir semua tingkat kemajuan daerah dan lapisan masyarakat, di daerah miskin sampai daerah metropolitan atau megapolitan, di negara maju maupun di negara berkembang. Sehubungan dengan hal itu, pembangunan agroindustri pangan pada KSP dapat dimulai dari penggunaan teknologi sederhana (indigenous technology) yang bersifat padat karya dan akomodatif terhadap keberagaman mutu sumber daya manusia yang ada, sehingga mampu memecahkan masalah pengangguran dan memperluas kesempatan berusaha pada wilayah pengembangan KSP (Azis, 1993 dan Saragih, 1999b). Pemikiran ini didasarkan pada kenyataan, bahwa lebih dari 99% dari total unit usaha agroindustri pangan adalah usaha kecil (Tsauri, 1998; Darmawan dan Masroh, 2004) yang menyerap sekitar 3,68 juta tenaga kerja (Suprijadi, 1997) dan 61,0% angkatan kerja yang ada memiliki kualifikasi pendidikan SD atau lebih rendah (BPS, 2000c). Selain itu, arti strategis pembangunan agroindustri pangan pada KSP berhubungan dengan kemampuannya menggunakan sumber daya lokal yang ada (Saragih, 1999b). Lebih dari 80% agroindustri pangan memiliki keterkaitan yang erat dengan pertanian primer (Ahza dan Wirakartakusumah, 1997), sehingga manfaat pembangunannya dapat langsung dirasakan oleh masyarakat setempat. Di sisi lain, pembangunan agroindustri pangan yang berbasis pada keragaman sumber daya bahan pangan akan mampu mewujudkan ketahanan pangan yang kukuh,
karena memiliki ragam konsumsi yang didukung oleh ragam produk, dan secara otomatis berdistribusi dalam ruang dan waktu (Saragih, 1999b). Secara ringkas, pembangunan agroindustri memberikan banyak keuntungan, di antaranya : (1) memberikan nilai tambah, (2) meningkatkan pendapatan petani, (3) menjadikan produk lebih awet atau memperpanjang masa pemasaran, (4) menyelamatkan dan memanfaatkan hasil panen, (5) memberikan keunggulan untuk bersaing, dan (6) memperluas lapangan kerja (Azis, 1993; Arifin, 2004), serta menciptakan lapangan usaha baru dan pendapatan asli daerah (PAD) ataupun sumber devisa negara (Suyata, 1998), serta berorientasi teknologi (Didu, 2000b). Dalam lingkup makro, pembangunan agroindustri pangan dipandang sebagai langkah industrialisasi pertanian yang paling strategis (Rachmat, 1996), karena dapat menjadi penyeimbang dalam proses transformasi ekonomi (Saragih, 1995) dan berperan dalam pengembangan dan peningkatan kemandirian sumber daya manusia (Simatupang, 1995a) di pedesaan. Dalam jangka panjang, pembangunan agroindustri pangan tidak dapat hanya mengandalkan keunggulan komparatif dari sumber daya alam (natural resources) dan tenaga kerja kurang terdidik (unskilled labour), tetapi harus mampu membangun keunggulan kompetitif melalui transformasi factor-driven dari agroindustri pangan yang bertumpu pada kelimpahan sumber daya alam ke agroindustri pangan yang didorong oleh investasi (investment-driven) dan kemudian berlanjut pada dorongan inovasi (inovation-driven). Transformasi ini akan menggeser produk agroindustri pangan dari produk yang bersifat unskilled labour and natural resources intensive menjadi produk yang skilled labour and capital intensive dan selanjutnya menjadi produk yang skilled labour and knowledge intensive (Saragih, 1999b dan 2004; Widiati, dkk, 1999). Proses transformasi factor-driven tersebut harus berlangsung secara bertahap untuk menghindari terjadinya transformasi struktur ekonomi yang tidak seimbang, karena adanya kesenjangan dalam transformasi struktur tenaga kerja. Ketidakseimbangan ini sering didakwa sebagai penyebab terjadinya proses pemiskinan, eksploitasi sumber daya alam (Erwidodo, 1996) dan dehumanisasi pada sektor pertanian (Fakih, 1999). Pembangunan agroindustri pangan diharapkan dapat menjaga pentahapan proses transformasi faktor-driven tersebut. Hal ini
dimungkinkan karena teknologi yang digunakan dalam agroindustri pangan memiliki spektrum tingkat perkembangan yang luas, sehingga agroindustri pangan dapat dikembangkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan endowment, pengetahuan dan teknologi setempat (indigenous technology and knowledge). Uraian di atas menunjukkan posisi agroindustri pangan dalam pengembangan KSP, disamping berfungsi untuk mendorong percepatan pertumbuhan dan perkembangan wilayah, juga untuk menjaga agar proses transformasi struktural (produksi, tenaga kerja dan ekonomi) dan kultural (sosial dan budaya) yang mengiringi proses industrialisasi pertanian dapat berlangsung secara bertahap dan berkelanjutan (sustainable).
PERAN AGROINDUSTRI PANGAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI DI PROPINSI JAMBI Visi, Misi dan Arah Kebijakan Pembangunan Ekonomi Propinsi Jambi Visi pembangunan ekonomi Propinsi Jambi berbasis pada upaya mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan. Visi ini menggambarkan komitmen pemerintah untuk mengembangkan ekonomi daerah dengan mengutamakan kekuatan ekonomi rakyat yang sesuai dengan potensi daerah. Visi ekonomi kerakyatan diwujudkan dalam serangkaian misi untuk menciptakan ekonomi wilayah yang kuat melalui sinergi antar pelaku ekonomi (Pemprop Jambi, 2001). Visi ekonomi kerakyatan dalam pembangunan di Propinsi Jambi digali dari nilai-nilai budaya lokal yang tercermin dari seloko adat masyarakat Jambi. Nilai-nilai ini berfungsi sebagai semangat atau jiwa dalam pelaksanaan aktivitas pembangunan. Nilai-nilai budaya yang melandasi visi ekonomi kerakyatan di antaranya adalah kemakmuran, optimalisasi, profesionalisme dan kemitraan (Pemprop. Jambi, 2001). Kemakmuran mengandung makna bahwa segenap proses pembangunan harus bermuara pada peningkatan kemakmuran seluruh rakyat. Proses tersebut dilakukan dengan cara mendayagunakan seluruh potensi sumber daya seoptimal mungkin untuk mencapai tujuan bersama (optimal) dan didukung
oleh pelaku pembangunan yang sesuai dengan keahliannya (profesionalisme) dan dilaksanakan dalam semangat kebersamaan yang dilandasi asas kemitraan. Arah kebijakan pembangunan ekonomi regional Propinsi Jambi masih mengandalkan imbas pertumbuhan (spill over effect) dari kegiatan ekonomi Singapura-Batam-Johor (SIBAJO) sebagai pusat pemasaran kawasan segi tiga pertumbuhan Indonesia, Malaysia and Singapore - Growth Triangle (IMS-GT). Posisi geografis Propinsi Jambi yang berhadapan langsung dengan pusat pemasaran IMS-GT tersebut diharapkan menjadi salah satu keunggulan komparatif (comparative advantage) Propinsi Jambi dibandingkan dengan beberapa wilayah propinsi lainnya di Sumatera (Pemprop. Jambi, 2001). Strategi dan Kebijakan Pembangunan Agroindustri di Propinsi Jambi Perekonomian Propinsi Jambi masih didominasi oleh sektor primer (Bappeda, 2000a). Hal ini terlihat distribusi persentase PDRB Propinsi Jambi yang masih didominasi oleh sektor pertanian (Tabel 6) dan persentase tenaga kerja pada sektor pertanian mencapai 68,4% (BPS Propinsi Jambi, 2002). Sektor sekunder dan tersier, sudah berkembang, tetapi masih memiliki kaitan yang erat dengan sektor primer, karena sebagian besar (Tabel 7) dari industri yang ada di Propinsi Jambi adalah industri pengolahan hasil pertanian dan kehutanan (ISIC 31, 33, 34 dan 35). Hal ini menunjukkan secara faktual peran sektor pertanian sebagai penggerak (prime mover) pembangunan ekonomi di Propinsi Jambi.
Sejalan
dengan hal itu, arah kebijakan pembangunan sektor pertanian Propinsi Jambi dalam jangka menengah (2001-2005) ditujukan pada upaya untuk : 1. Meningkatkan pemanfaatan sumber daya pertanian secara optimal dengan mengembangkan komoditi unggulan dan meningkatkan nilai tambah produk. 2. Mendorong pertumbuhan sentra-sentra produksi. 3. Meningkatkan mutu SDM pedesaan. 4. Mengembangkan terminal agribisnis dan kelembagaan pertanian di pedesaan. 5. Meningkatkan daya saing pertanian melalui penerapan IPTEK.
Tabel 6. Distribusi persentase PDRB Propinsi Jambi pada tahun 1969-2001
Sektor
1969 Pertanian 55,46 Industri 14,80 Perdagangan. 11,92 Pengangkutan 4,76 Lainnyaa 13,06 Total 100,0 0 Sumber: BPS Propinsi Jambi, 2002. a
1979 54,20 8,40 13,06 5,39 18,95 100,0 0
1989 35,43 17,37 19,33 7,62 20,25 100,0 0
1999 27,68 17,82 17,51 10,51 26,48 100,0 0
2000 28,00 17,19 17,05 10,30 27,46 100,0 0
2001 27,42 17,31 17,06 10,28 27,93 100,0 0
Sektor-Sektor Pertambangan dan Galian, Listrik dan Air, Bangunan, Keuangan dan Jasa.
Tabel 7. Distribusi persentase PDRB Propinsi Jambi menurut Sektor Industri pada tahun1997-2001 Sub-sektor
1997
1998
1999
2000
2001
Industri Pengolahan 17,35 14,77 17,82 17,19 17,31 A. Industri Migas 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 B. Industri Tanpa Migas 17,35 14,77 17,82 17,19 17,31 1. Makanan, minuman dan tembakau 2,52 3,44 3,00 2,91 3,12 2. Barang kayu dan hasil hutan 12,25 9,34 12,89 12,38 12,28 3. Kertas 1,14 0,83 0,71 0,70 0,70 4. Barang dari karet 0,79 0,27 0,25 0,25 0,27 5. Lainnya 0,65 0,89 0,97 0,95 0,94
Sumber: BPS Propinsi Jambi, 2002.
Pembangunan industri di Propinsi Jambi dilakukan secara bertahap dan terpadu melalui peningkatan keterkaitannya dengan pertanian guna meningkatkan nilai tambah dan memperkokoh struktur ekonomi daerah (Bappeda, 2000a). Arah kebijakan pembangunan sektor industri dalam jangka menengah ditujukan pada upaya untuk mengembangkan struktur industri yang harmonis mulai yang bertumpu pada potensi daerah, berorientasi pasar, bernilai tambah dan bersih lingkungan serta mendorong daya saing industri kecil dan menengah (Pemprop. Jambi, 2001). Dalam jangka pendek, kebijakan pembangunan industri ditekankan pada upaya penyelamatan dan pemulihan perekonomian melalui Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah (PIKM). Program PIKM bertujuan untuk meningkatkan kemampuan IKM dalam aspek SDM, aksesibilitas pasar, modal dan kemitraan. Terhadap industri kecil makanan olahan, program PIKM diarahkan pada upaya mengembangkan komoditas baru yang sesuai dengan selera pasar dan bahan baku yang tersedia serta mengembangkan pasar lokal dan regional (Nurdin, 2000).
Peran Agroindustri Pangan dalam Pembangunan Ekonomi di Propinsi Jambi Pembangunan ekonomi memiliki empat dimensi pokok, yaitu pertumbuh-an, pengurangan kemiskinan, transformasi struktur ekonomi dan kesinambungan pembangunan (Saragih dan Krisnamurthi, 1996). Dari keempat dimensi tersebut, peran agroindustri pangan dalam pembangunan ekonomi di Propinsi Jambi dapat dilihat dari sumbangannya terhadap PDRB, pendalaman struktur ekonomi, serta penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2001, agroindustri pangan (ISIC 31) memberikan sumbangan sebesar 3,12% terhadap PDRB Propinsi Jambi (Tabel 7). Jika dikaji lebih dalam sumbangan tersebut mencakup 18,0% dari total sumbangan sektor industri terhadap PDRB.
Adapun sumbangan terbesar sektor industri
berasal dari sub-sektor industri pengolahan kayu dan hasil hutan (ISIC 33) yang pada tahun 2001 memberi sumbangan terhadap PDRB 12,28% atau 70,94% dari total sumbangan sektor industri. Dominasi sub-sektor industri pengolahan kayu dan hasil hutan terhadap sektor industri merupakan salah satu isu kontraversial dalam perhitungan PDB dan PDRB (Rodenburg, et al., 1995). Perhitungan PDB/PDRB yang memasukkan sub-sektor industri pengolahan kayu dan hasil hutan mengandung paradoks dan menyebabkan biasnya hasil perhitungan. Hal ini karena peningkatan sumbangan sub-sektor industri pengolahan kayu dan hasil hutan berarti meningkatnya eksploitasi hutan yang berakibat pada peningkatan tingkat kerusakan lingkungan. Di sisi lain, peningkatan eksploitasi hutan menyebabkan berkurangnya ketersediaan sumber daya hutan. Hal ini mengandung pengertian apabila sektor industri masih bertumpu pada sub-sektor industri pengolahan kayu dan hasil hutan yang bersifat ekstraktif, maka suatu saat akan terjadi stagnasi dan penurunan drastis sumbangan dan laju pertumbuhan sektor industri yang disebabkan oleh semakin langkanya potensi sumber daya hutan (Bappeda, 2000a). Koreksi terhadap sumbangan sub-sektor industri pengolahan kayu dan hasil hutan terhadap PDRB akan menaikkan sumbangan sub-sektor agroindustri pangan dari 18,0% menjadi 62,0% terhadap total sumbangan sektor industri terhadap PDRB Propinsi Jambi. Hal ini dapat diartikan bahwa agroindustri pangan menempati posisi strategis dalam pembangunan ekonomi di Propinsi Jambi.
Di sisi lain, pembangunan agroindustri pangan dapat membantu memperkokoh dan memperdalam struktur ekonomi daerah Jambi, karena pembangunan agroindustri pangan memungkinkan terjalinnya keterkaitan yang kuat antara sektor industri dengan sektor pertanian yang merupakan basis ekonomi rakyat Jambi. Hasil sementara dari kajian terhadap agroindustri pangan yang berkembang menunjukkan adanya keterkaitan antara agroindustri pangan dengan pertanian primer yang diindikasikan berdasarkan penggunaan bahan baku.
Agroindustri pangan
yang berkembang di Propinsi Jambi adalah agroindustri yang menggunakan bahan baku hasil pertanian setempat. Agroindustri pangan skala mikro umumnya berupa industri rumah tangga yang mengolah bahan baku hasil pertanian tanaman pangan menjadi produk makanan. Demikian pula halnya dengan agroindustri pangan skala kecil yang berkembang umumnya adalah industri yang mengolah bahan baku hasil pertanian tanaman pangan dan perikanan, seperti industri keripik singkong, sale pisang, dodol nenas dan kerupuk ikan. Agroindustri pangan skala menengah dan besar yang ada di Propinsi Jambi adalah agroindustri yang mengolah hasil perkebunan, seperti industri pengolahan kelapa dan kelapa sawit. Dari aspek ketenagakerjaan, pembangunan agroindustri pangan memungkinkan peningkatan penyerapan tenaga kerja dan perluasan kesempatan berusaha di luar sektor pertanian. Mengingat 68,4% rumah tangga di Propinsi Jambi bekerja di sektor pertanian (BPS Propinsi Jambi, 2002), serta lebih dari 75% angkatan kerja di Propinsi Jambi yang berpendidikan tamat sekolah dasar atau kurang (Pemprop. Jambi, 2001), maka diperlukan perhatian yang lebih besar untuk membangun lapangan usaha yang mampu menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi keahlian relatif rendah. Berdasarkan tingkat perkembangannya, agroindustri pangan merupakan salah satu lapangan usaha yang tidak terlalu memerlukan kualifikasi keahlian tenaga kerja tinggi (Ahza dan Wirakartakusumah, 1997; Saragih, 2000). Dengan demikian, pembangunan agroindustri pangan memungkinkan peningkatan penyerapan tenaga kerja dan perluasan kesempatan berusaha di luar sektor pertanian.
LANDASAN TEORI
Konsep dan Metode Peramalan Masa Depan Masa depan bersifat tidak pasti (Hanke, et al., 2003). Kemampuan manusia tidak dapat memprediksikan masa depan dengan pasti (Spedding, 1991). Akan tetapi, kenyataan tersebut tidak dengan sendirinya menghilangkan tanggung jawab manusia untuk memikirkan keadaan masa depan secara ilmiah (Park dan Seaton, 1996) berdasarkan situasi masa kini dan kejadian masa lalu (Hubeis, 1991a). Dalam proses pembuatan kebijakan strategis, kemampuan untuk meramal keadaan masa depan dibutuhkan agar arah kebijakan yang dibuat dapat merespon perubahan-perubahan yang akan terjadi di masa depan (Park dan Seaton, 1996). Perencanaan program untuk masa depan, tanpa memasukkan konsep situasi masa depan, dapat memunculkan persoalan baru yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan.
Paradoks tentang perencanaan masa depan menggambarkan bahwa
kebijakan yang dibuat berdasarkan situasi yang ada sekarang dapat mempengaruhi keadaan di masa depan, tetapi pengaruhnya seringkali tidak sesuai dengan apa yang sudah direncanakan (Ackoff, 1991). Oleh karena itu, dalam penyusunan perencanaan strategis diperlukan kerangka pikir yang dapat membayangkan konsep situasi masa depan yang akan terjadi sebagai akibat dari perubahan berdasarkan situasi masa kini (Morisson, et al., 1983; Park dan Seaton, 1996; Aminullah, 2004). Kerangka pikir ini membutuhkan kemampuan visioner, imajinasi dan kreatifitas untuk dapat membayangkan arah dan jalur-jalur perubahan di masa depan, baik perubahan yang diharapkan maupun tidak diharapkan, sehingga dapat direncanakan tujuan strategis (jangka pendek dan jangka panjang) yang dapat merespons perubahan-perubahan tersebut. Ilustrasi grafis peran peramalan dan visi perubahan di masa mendatang dalam penyusunan rencana strategis dapat dilihat pada Gambar 4.
Perubahan
Jalur perubahan yang diharapkan
Tujuan Panjang
Jangka
Tujuan Jangka Pendek Jalur perubahan yang tidak diharapkan Waktu Gambar 4. Jalur perubahan (Adaptasi Park dan Seaton, 1996) Dalam garis besarnya terdapat dua kelompok metode yang dapat digunakan untuk memprediksi keadaan masa depan, yaitu: (1) metode kuantitatif yang bersifat obyektif, dan (2) metode kualitatif/penilaian (judgmental) yang bersifat subyektif (Hubeis, 1991a; Makridakis and Wheelwright 1994; Sugiarto dan Harijono, 2000; Hanke, et al., 2003). Peramalan dengan menggunakan metode kuantitatif bertumpu pada data obyektif, sehingga sering dianggap dapat memberikan hasil peramalan yang lebih akurat dibandingkan dengan metode kualitatif yang berbasis pada data subyektif yang berasal dari pendapat pribadi (judgment) responden pakar (Makridakis and Wheelwright, 1994; Hanke, et al., 2003). Akan tetapi pada kondisi ekstrim dimana tidak tersedia ataupun hanya sedikit data historis yang relevan untuk membantu proses peramalan dengan metode kuantitatif, metode kualitatif/penilaian dapat dipertimbangkan untuk digunakan dalam proses peramalan (Hanke, et al., 2003). Di samping masalah ketersediaan data, kelemahan metode kuantitatif dibandingkan dengan metode kualitatif bersumber dari asumsi yang digunakan dalam prosedur peramalan. Pada metode kuantitatif, prosedur peramalan didasarkan pada asumsi adanya kesamaan pola hubungan yang mempengaruhi kejadian di masa lalu dengan kejadian di masa depan, sehingga situasi di masa depan dapat
diprediksi melalui ekstrapolasi data historis berdasarkan pola perubahan yang diidentifikasi dari kejadian di masa lalu. Asumsi ini mengabaikan pergeseran substantif yang terjadi akibat adanya perubahan teknologi; suatu asumsi yang pada perkembangan akhir-akhir ini dianggap salah (Hanke, et al., 2003). Adapun pada metode kualitatif, prosedur peramalan didasarkan pada asumsi pola hubungan yang bersifat dinamis dengan struktur hubungan yang bersifat mobil (Hubeis, 1991a), sehingga situasi di masa depan tidak dapat diprediksi melalui ekstrapolasi data historis berdasarkan pola perubahan yang terjadi di masa lalu. Pada metode kualitatif, prediksi masa depan didasarkan pada kondisi aktual saat sekarang (Hubeis, 1991a). Perbedaan asumsi yang digunakan dalam peramalan dengan metode kuantitatif dibandingkan dengan peramalan dengan metode kualitatif bersumber dari perbendaan cara pandang terhadap masa depan. Pada metode kuantitatif, masa depan dipandang sebagai suatu kejadian yang bersifat khas dan pasti. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa hubungan antar peubah yang membentuk situasi masa depan memiliki pola dan struktur yang sama dengan masa lalu, sehingga masa depan dapat diramalkan dengan cara ekstrapolasi data historis berdasarkan kejadian masa lalu. Sedangkan pada metode kualitatif, masa depan dipandang sebagai suatu kejadian yang bersifat majemuk dan tidak pasti (Heydinger dan Zentner, 1983; Hubeis, 1991a). Pandangan ini didasarkan pada anggapan pola hubungan antar peubah yang membentuk suatu kejadian bersifat dinamik dengan struktur hubungan yang bersifat mobil, sehingga situasi di masa depan tidak dapat diprediksi hanya melalui ekstrapolasi data historis berdasarkan pola perubahan yang terjadi di masa lalu (Hubeis, 1991a). Perbedaan cara pandang terhadap masa depan pada kedua metode peramalan tersebut berpengaruh pada sikap terhadap masa depan. Dengan memandang masa depan sebagai suatu kejadian yang bersifat khas dan pasti, maka keadaan yang akan terjadi di masa depan harus dapat diterima apa adanya. Untuk itu harus dikembangkan kemampuan agar dapat beradaptasi dengan keadaan yang diramalkan akan terjadi di masa depan. Sebaliknya, dengan memandang masa depan sebagai suatu kejadian yang bersifat majemuk (memiliki lebih dari satu kemungkinan), maka apa yang akan terjadi di masa depan bersifat tidak pasti.
Untuk itu, apa yang akan terjadi di masa depan harus dihadapi secara aktif dan kreatif (Hubeis, 1991a).
Rincian perbedaan ciri antara peramalan kuantitatif
dengan peramalan kualitatif dapat dilihat pada Tabel 8. Adapun perbandingan perbedaan tingkat pengenalan dan kepuasan terhadap kedua kelompok metode peramalan tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 8. Ciri peramalan dengan metode kuantitatif dan metode kualitatif Parameter
Metode Kuantitatif
Metode Kualitatif
Peubah
Bersifat kuantitatif, obyektif Bersifat kualitatif dan kuantidan diketahui tatif, diketahui dan tidak diketahui Hubungan Bersifat statis dan mempunyai Bersifat dinamis dan mempustruktur permanen nyai struktur mobil Metode Berupa model tetap dan kuan- Berupa model peluang dan titatif kualitatif Fungsi Menjelaskan masa depan dari Menjelaskan masa depan dari hal yang telah berlalu kondisi aktual saat ini Cara Pandang terha- Masa depan bersifat khas dan Masa depan bersifat dap Masa Depan pasti majemuk dan tidak pasti Sikap terhadap Masa Beradaptasi untuk menjelang Kreatif dalam menghadapi Depan masa depan (Bersifat pasif) masa depan (Bersifat aktif)
Sumber: Hubeis, 1991a
Tabel 9. Tingkat pengenalan dan kepuasan terhadap peramalan dengan metode kuantitatif dan metode kualitatif
Metode Metode Kuantitatif - Regresi Analisis Trend - Simulasi Analisis Daur Hidup Metode Kualitatif Survei Pakar
Tingkat Pengenalan (%) Sangat Sedikit Tidak Dikenal Dikenal Dikenal
Tingkat Kepuasan (%)
Puas
Netral
Tidak Puas
85 72
7 8
8 20
67 58
19 28
14 15
55 48
22 11
23 41
54 40
18 20
28 40
81
6
13
54
24
22
Sumber: Makridakis dan Wheelwright, 1994
Dalam penelitian ini, peramalan masa depan dilakukan dengan mengguna-kan pendekatan kualitatif berdasarkan survei pakar (expert survey).
Penggunaan
pendekatan kualitatif ini didasarkan pada asumsi ketidakpastian masa depan dimana pola hubungan antar parameter yang membentuk situasi masa depan bersifat dinamis dengan struktur hubungan yang bersifat mobil. Asumsi ketidakpastian ini memandang masa depan sebagai suatu kejadian yang bersifat majemuk (Hubeis, 1991a) dan tidak stabil (Sugiarto dan Harijono, 2000; Hanke, et al., 2003). Berbagai kemungkinkan dapat terjadi di masa depan. Peramalan kemajemukan masa depan secara sistematis dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan skenario (Hubeis, 1991a; Sugiarto dan Harijono, 2000; Hanke, et al., 2003). Skenario didefinisikan sebagai wawasan yang konsis-ten tentang apa yang akan terjadi di masa depan (Sugiarto dan Harijono, 2000). Skenario menggambarkan proses suksesi hipotetis dari kejadian-kejadian di masa depan (Heydinger dan Zentner, 1983) sebagai akibat dari keputusan yang diambil pada saat sekarang (Park dan Seaton, 1996). Berdasarkan sifatnya skenario terdiri dari dua tipe. Tipe pertama, skenario eksploratif adalah skenario yang digunakan untuk meramal kemajemukan masa depan yang terkait dengan kecenderungan kejadian yang akan muncul. Sedangkan tipe kedua adalah skenario normatif, yaitu skenario yang dibuat berdasarkan kejadian yang direncanakan pada masa kini untuk membentuk suatu situasi spesifik di masa depan (Hubeis, 2000). Skenario biasanya normatif menggambarkan harapan yang diinginkan terjadi di masa depan. Dalam penelitian ini, skenario eksploratif digunakan untuk meramal prospek pembangunan agroindustri pangan dalam jangka waktu 5 - 20 tahun yang akan datang. Adapun skenario normatif digunakan untuk mensintesis strategi dan program pembangunan agroindustri pangan agar agroindustri pangan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan harapan pada saat yang telah direncanakan. Sintesis skenario dilakukan dengan menggunakan metode Systèmes et Matrices d’Impacts Croisés (SMIC) (Hubeis, 2000) berdasarkan parameter kunci yang diperoleh dari analisis struktural dengan menggunakan metode Pré-Commercialisation (PRECOM) (Hubeis, 1997 dan 1998) dan metode Matrice d’Impacts Croisés - Multiplication Appliquee à un Classement (MIC-MAC) (Hubeis, 1991a). Gambar 5 memperlihatkan keterkaitan metode PRECOM, MIC-MAC dan SMIC
yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada tahapan penelitian yang dilakukan yang terdiri dari : (1) Analisis struktur sistem, (2) Analisis prospektif, dan (3) Sintesis strategi pembangunan agroindustri pangan.
Gambar 5. Keterkaitan antar metode berdasarkan tahapan penelitian
Analisis Struktur Sistem Analisis struktur sistem pembangunan agroindustri pangan dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem. Pendekatan sistem (system approach) merupakan penerapan metode ilmiah untuk pemecahan masalah (Amirin, 1996) atau untuk pengkajian permasalahan yang memerlukan telaah berbagai hubungan yang relevan dan komplementer (Brocklesby and Cummings, 1995). Pendekatan ini bersifat ilmiah dan terpercaya, rasional dan/atau intuitif, serta dapat digunakan untuk pengkajian permasalahan yang bersifat kompleks, dinamis dan probalistik dengan menggunakan pola pikir cybernetic, holistic dan effectiveness (Brocklesby and Cummings, 1995; Eriyatno, 1999). Menurut Eriyatno (1999), pendekatan sistem selalu mengutamakan pengkajian tentang struktur sistem. Struktur sistem mengandung pengertian keseluruhan sistem (wholism) (Amirin, 1996), tidak sekedar kumpulan dari unsur-unsur pembentuk sistem, tetapi mencakup hubungan antara masing-masing unsur sistem terhadap totalitas sistem (relation to the whole) dan sifat hubungan antara unsurunsur yang terkait (relation of an entity toward orther entities) (Simatupang, 1995b; Eriyatno, 1999). Dalam penelitian ini, analisis sistem dilakukan untuk menganalisis struktur sistem pembangunan agroindustri pangan dengan menggu-
nakan metode PRECOM (Hubeis, 1997 dan 1998) dan metode MIC-MAC (Hubeis, 1991a). Pré-Commercialisation Metode Pré-Commmercialisation (PRECOM) atau refleksi pemasaran digunakan untuk mendiagnosis agroindustri pangan pada level perusahaan. Metode ini merupakan teknik pendekatan diagnosis yang komprehensif, terpadu dan dinamis untuk menganalisis struktur mikro perusahaan dengan menggunakan pendekatan produk dalam konteks industrialisasi (Hubeis, 1997). Metode PRECOM memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan permasalahan sekaligus memberikan pemecahan masalah berdasarkan data yang dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk kuantitatif dan kualitatif (Hubeis, 1998). Metode PRECOM bersifat modular, dapat digunakan secara mandiri untuk menstrukturisasi gagasan dari hal yang dikaji berdasarkan aspek teknik, ekonomi dan strategik (Gambar 6). Metode PRECOM dapat juga digunakan sebagai salah satu bagian dari metode terpadu bersama metode MIC-MAC dan Delphi-Regnier (Hubeis, 1997 dan 1998). Metode PRECOM menggunakan pendekatan refleksi pemasaran yang bertumpu pada faktor-faktor mikroekonomi, produksi, pemasaran, makroekonomi, sosiodemografi, serta infrastruktur dan teknik industri. Dalam penggunaannya, metode PRECOM didukung oleh perangkat analisis sistemik seperti analisis fungsional, analisis proses dan analisis strategi. Spesifikasi dari masing-masing perangkat analisis tersebut (Hubeis, 1997 dan 1998) adalah sebagai berikut: 1. Analisis Fungsional Analisis ini berfungsi untuk mengidentifikasi karakter produk dari suatu sistem produksi dan lingkungan yang teridentifikasi. Hasil analisis dinyatakan dalam pengertian definisi komersial produk, identifikasi fisik produk dan posisi horisontal produk. Hasil analisis ini mengarah pada pengertian bauran produkpasar. 2. Analisis Proses Analisis ini berfungsi untuk mengidentifikasi kegiatan dan pelaku dari suatu sistem teknik produksi.
Hasil analisis dinyatakan dalam pengertian
proses utama dan proses tambahan, serta posisi vertikal produk. Hasil analisis ini mengarah pada pengertian operasi dan transaksi produk.
Gambar 6. Teknik diagnosis menurut Metode PRECOM (Hubeis, 1997) Keterangan:
menunjukkan konsep sub-sistem PRECOM
3. Analisis Strategi Analisis ini menjelaskan diagnosis internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman), serta posisi citra produk dari hasil analisis fungsional dan proses (posisi horisontal dan posisi vertikal produk) untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan yang memungkinkan, misalnya peningkatan nilai tambah produk melalui penguasaan teknologi produksi dan
pengendalian mutu produk, mempertahankan atau memperbesar penguasaan pasar melalui kemitraan bisnis yang saling menguntungkan. Hasil diagnosis dengan menggunakan perangkat analisis PRECOM dapat digunakan untuk mengidentifikasi: (1) kategori industri (sektor formal atau informal; kapasitas bisnis marjinal atau profesional; tahap pengenalan, pertumbuhan atau perkembangan), (2) karakteristik industri (kepemilikan dan pengelolaan, modal, tenaga kerja, lingkungan, fleksibelitas, pengambilan keputusan, kedekatan dengan konsumen, dan lain-lain), (3) permasalahan yang dihadapi (modal, manajerial, teknologi, lokasi dan relokasi), (4) skema bantuan yang diperlukan (pelatihan, teknologi, permodalan, pemasaran, dan lain-lain), dan (5) pola kemitraan yang akan dikembangkan (waralaba, patungan, kerjasama operasional, dan lainlain). Adapun proses diagnosis dengan menggunakan metode PRECOM terdiri dari tahapan sebagai berikut: (1) Pengumpulan data dan informasi, (2) Analisis data dan informasi, (3) Interpretasi hasil analisis, dan (4) Penarikan kesimpulan (Hubeis, 1998). Matrice d’Impacts Croisés - Multiplication Appliquee à un Classement Metode Matrice d’Impacts Croisés-Multiplication Appliquee à un Classement (MIC-MAC) digunakan untuk mendefinisikan batasan sistem dan menentukan parameter kunci melalui analisis struktural dari sistem yang dipelajari. MIC-MAC pada dasarnya adalah matriks struktural sebab akibat. Matriks ini digunakan untuk menganalisis hubungan antar parameter pada sistem yang dikaji dan sekaligus merinci posisi parameter serta menyusunnya ke dalam bentuk hirarki parameter (Hubeis, 1991a). Analisis parameter sistem dapat dilakukan berdasarkan klasifikasi langsung ataupun tidak langsung. Berdasarkan klasifikasi langsung, hubungan antar parameter diperoleh secara langsung dari hasil identifikasi berdasarkan pendapat pakar (expert survey). Sedangkan berdasarkan klasifikasi tidak langsung, hubungan antar parameter diperoleh dari hasil operasi penggandaan matriks terhadap dirinya sendiri. Matriks
struktural
MIC-MAC
disusun
menggambar-kan hubungan antar parameter sistem.
dari
unsur-unsur
yang
Jika dari suatu sistem
teridentifikasi n parameter, maka dapat dibentuk suatu matriks bujur sangkar M1 n xn
M1 n x n =
a11
a12
a13
...
a1n
a21
a22
a23
...
a2n
a31
a32
a33
...
a3n
...
...
...
...
...
an1
an2
an3
...
ann
yang terdiri dari n baris dan n lajur dimana aij adalah unsur matriks pada baris ke-i dan lajur ke-j. Unsur matriks ini menunjukkan hubungan antar parameter sistem. Unsur a23 menunjukkan hubungan antara parameter 2 dengan parameter 3. Pada matriks bujur sangkar M1 n x n terdapat n2 unsur yang berarti ada n2 hubungan antar parameter sistem. Penggandaan matriks bujur sangkar M1 n x n dengan dirinya sendiri menghasilkan matriks M2
M2 n x n =
a11 a12
a13
...
a1n
a11 a12
a13
...
a1n
a21 a22
a23
...
a2n
a21 a22
a23
...
a2n
a31 a32
a33
...
a3n
a31 a32
a33
...
a3n
...
...
...
...
...
...
...
...
an1 an2
an3
...
ann
an1 an2
an3
...
ann
M2 n x n
=
...
...
atau M1 n x n
x
M1 n x n
Selanjutnya penggandaan matriks bujur sangkar M2 n x n dengan dirinya sendiri menghasilkan matriks M3 M3 n x n
= =
M2 n x n x M2 n x n (M1 n x n x M1 n x n) x (M1 n x n x M1 n x n)
M4 n x n
=
Seterusnya M3 n x n x M3 n x n
Mt n x n
=
M(t - 1) n x n
atau x
M(t - 1) n x n
Proses penggandaan matriks selesai jika tercapai kestabilan matriks yang ditunjukkan oleh konsistensi unsur-unsur matriks dimana posisi unsur-unsur
matriks pada penggandaan ke-t sama dengan posisi pada penggandaan ke-(t-1). Pada saat kestabilan matriks dicapai dapat diidentifikasi pola hubungan antar parameter matriks berdasarkan klasifikasi tidak langsung. Identifikasi hubungan antar parameter secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan data kategorik dengan skala biner (0 dan 1) atau skala berjenjang (0 - 5). Data kategori 0 menunjukkan tidak ada hubungan, sedangkan kategori 1 pada skala biner menunjukkan ada hubungan. Adapun pada skala berjenjang, data kategori 1 sampai 5 menunjukkan intensitas hubungan (dari sangat lemah, 1 sampai sangat kuat, 5). Untuk unsur-unsur matriks aij yang memiliki indeks yang sama (i = j) yang terletak pada diagonal utama diberi nilai 1. Unsur-unsur ini menunjukkan hubungan antar parameter yang sama. Klasifikasi parameter dilakukan berdasarkan kategori motor (driven power) dan respons (dependence). Parameter xk dikategorikan motor jika
Σakj > ΣΣaij/n untuk i, j = 1, 2, 3, ..., n dan dikategorikan respons jika
Σaik > ΣΣaij/n untuk i, j = 1, 2, 3, ..., n Dengan menggunakan kategori motor-respons tersebut dapat dibangun Bagan Motor-Respons menurut ranking parameter berdasarkan derajat motor dan respons yang dimilikinya (Gambar 7). Bagan ini menjelaskan kedudukan sejumlah parameter pada sistem yang dikaji (Hubeis, 1991a).
Gambar 7. Bagan Motor - Respons menurut Metode MIC-MAC
Parameter yang memiliki derajat kurang motor dan kurang respons dikelompokkan sebagai parameter bebas (Sektor 1). Parameter-parameter ini menyusun kecenderungan ketidakterkaitan atau memiliki hubungan yang lemah terhadap sistem. Adapun parameter yang kurang motor dan sangat respons dikelompokkan sebagai parameter hasil (Sektor 2). Parameter-parameter ini tidak dapat secara langsung menjelaskan pengaruhnya terhadap sistem, tetapi seringkali berperan sebagai pelaku utama di dalam sistem. Parameter ini seringkali dapat dijelaskan oleh parameter pada Sektor 3 dan parameter pada Sektor 4 (Hubeis, 1991a). Parameter yang sangat motor dan sangat respons dikelompokkan sebagai parameter labil (Sektor 3). Parameter-parameter ini merupakan suatu obyek yang menarik, karena memberikan pengaruh ketidakstabilan terhadap sistem. Seluruh aktivitas parameter labil akan mempengaruhi parameter-parameter pada sektor lainnya dan sekaligus memberikan umpan balik terhadap parameter labil itu sendiri. Adapun parameter yang sangat motor dan kurang respons dikelompokkan sebagai parameter eksplikatif (Sektor 4). Parameter ini bersifat menerangkan dan tetap berada di dalam sistem. Parameter eksplikatif juga mempunyai kemungkinan untuk mengukur aktivitas langsung dari pelaku sistem sebagai suatu beda intensitas hubungan (Hubeis, 1991a). Selanjutnya dengan menggunakan metode MIC-MAC, hirarki parameter dapat diklasifikasikan atas klasifikasi langsung dan tidak langsung. Klasifikasi langsung menggambarkan hubungan hirarki secara langsung antara suatu parameter terhadap parameter lainnya, tanpa memperhatikan pengaruh tidak langsung di antara parameter-parameter tersebut.
Sedangkan klasifikasi tidak langsung
menggambarkan hubungan hirarki yang terbentuk secara tidak langsung (MICMAC) dimana hubungan hirarki suatu parameter terhadap parameter lainnya didasarkan pada pengaruh lintas dan umpan balik (Hubeis, 1991a) melalui perantaraan suatu parameter lainnya yang bersifat transitif. Menurut Eriyatno (1999), kemampuan metode MIC-MAC dalam analisis struktural untuk hubungan tidak langsung ini menjadikannya lebih populer dibandingkan dengan metode Interpretative Structural Modelling (ISM) yang memiliki kemampuan terbatas hanya pada analisis struktural untuk hubungan langsung.
Pembandingan hirarki parameter berdasarkan klasifikasi langsung dan tidak langsung memberikan kajian yang menarik tentang evolusi sistem. Pengkajian ini dapat menunjukkan kecenderungan pergeseran hirarki parameter karena pengaruh parameter lainnya. Menurut Godet dalam Hubeis (1991a) sekitar 10 20% parameter akan mengalami pergeseran posisi atau mempunyai hirarki klasifikasi tidak langsung yang berbeda dari klasifikasi langsungnya. Tahapan lengkap proses analisis dengan menggunakan metode MIC-MAC dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Tahap kerja metode MIC-MAC (Hubeis, 1991a) Menurut Hubeis (1991a), walaupun diklasifikasikan sebagai metode subyektif kualitatif, metode MIC-MAC mempunyai banyak keutamaan, di antaranya adalah: 1. Mampu menjawab kebutuhan menerangkan untuk menentukan parameter kunci atau indikator pengamatan. 2. Mampu menjawab kebutuhan hipotesis untuk menjamin kesahihan model peramalan berdasarkan skenario proses evolusi hipotetis.
3. Mampu menjawab kebutuhan kuantitatif untuk peramalan dengan pendekatan skenario berdasarkan data kuantitatif yang ada. 4. Mampu memberikan kontribusi terhadap obyek strategis dan taktis. 5. Mampu membuat interaksi pengamatan antara teknologi dan kebutuhankebutuhan lain yang diperlukan. Adapun keterbatasan metode MIC-MAC (Hubeis, 1991a) di antaranya berhubungan dengan: 1. Daftar parameter. Metode MIC-MAC membutuhkan daftar parameter yang panjang, dapat mencapai puluhan atau ratusan parameter. 2. Tipologi hubungan.
Pada dasarnya metode MIC-MAC membutuhkan tidak
hanya satu tipologi hubungan. Hubungan tersebut dapat bersifat hubungan bersyarat, sebab akibat, teknik, proses, kelembagaan, sosial atau psikologi. 3. Tidak netral. Metode MIC-MAC bersifat tidak netral dan tergantung pada pilihan subyek. 4. Waktu penerapan. Penerapan metode MIC-MAC membutuhkan waktu yang lama. 5. Kemampuan imajinasi. Penerapan metode MIC-MAC membutuhkan kelompok ahli yang memiliki kemampuan imajinasi untuk membayangkan situasi masa depan.
Analisis Prospektif Dalam penelitian ini, analisis prospek pembangunan agroindustri pangan dilakukan dengan menggunakan pendekatan skenario melalui tahapan penyusunan parameter kunci yang diperoleh dari analisis struktur sistem dan kemudian menyusunnya ke dalam bentuk skenario eksploratif. Pembuatan skenario eksploratif untuk peramalan dilakukan dengan menggunakan metode Systèmes et Matrices d’Impacts Croisés (SMIC). Systèmes et Matrices d’Impacts Croisés
Metode Systèmes et Matrices d’Impacts Croisés (SMIC) dikembangkan oleh J.C. Duperrin dan M. Godet dan pertama kali digunakan pada tahun 1972 oleh CEA di Perancis untuk peramalan jauh ke muka melalui pengujian
kemungkinan-kemungkinan kejadian yang akan terjadi selama proses evolusi sistem dengan menggunakan beberapa alternatif skenario (Hubeis, 2000). Dari Perancis metode ini berkembang ke Amerika Serikat, Kanada dan Swiss. Di Amerika Serikat telah digunakan untuk peramalan jauh ke muka oleh beberapa lembaga penelitian seperti: Stanford Research Institute, Center for Future Research, Applied Futures, Boston Consulting Group, World Future Society, Hudson Institute, Business Intelligence Program dan Predicast. Di Kanada oleh Polytechnic Institute of Montreal. Sedangkan di Swiss oleh Institut Battelle di Geneva (Hubeis, 1991a). Pembuatan skenario dengan metode SMIC tidak terbatas hanya untuk peramalan, tetapi juga untuk mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi selama proses evolusi belangsung. Hal ini karena obyek suatu skenario tidak hanya berupa formulasi peramalan, tetapi juga berupa indikator rincian kejadian secara holistik yang mampu memberikan gambaran jalannya proses evolusi dari suatu sistem yang dikaji. Dengan demikian, analisis evolusi suatu sistem berdasarkan suatu skenario dapat memberikan pilihan yang tepat terhadap suatu situasi dan sekaligus memberikan gambaran riel terhadap pilihan tersebut (Hubeis, 2000). Untuk menyusun suatu skenario yang baik (Gambar 9) dibutuhkan ke-mampuan visioner, imajinasi dan kreatifitas. Di samping itu, dibutuhkan kemam-puan dasar (Hubeis, 2000) berupa: (1) pengetahuan tentang situasi kontemporer, (2) teori tentang strukturisasi dari suatu situasi yang akan disusun dan dievolusi, (3) keinginan menganalisis kejadian-kejadian yang pasti dari suatu profil khusus. Teknik peramalan secara sistematis dengan menggunakan skenario eksploratif didasarkan pada peluang (pi) dari kejadian (Ei) selama proses evolusi sistem berlangsung. Jika p(E1) menyatakan peluang bebas terjadinya kejadian E1 dan p(E1| E2) menyatakan peluang bersyarat terjadinya kejadian E1 sebagai akibat dari terjadinya kejadian E2, maka antara peluang bebas p(E1) dengan peluang bersyarat p(E1| E2) dapat membentuk tiga macam hubungan (rules of interaction), yaitu: Tarik dari
Penelitian dan Diskusi
Teori
Daya
Nilai yang
Teori Prospektif dan
Perspektif
Kondisi Dikembangkan
Sistem
Informasi tentang Kondisi Sistem tentang depan
Nilai-
Data yang Mendukung Evaluasi Kebijakan
Definisi
dan Kecenderungan
Masa
Penyusunan Skenario - Eksploratif - Normatif Kejadian Sesuai Hasil Skenario dengan Metode yang Tersedia Penyajian Sinopsis Skenario dan Gambaran ke Depan Gambar 9. Metode penyusunan skenario (Hubeis, 2000) 1) p(E1) = p(E1| E2) Hubungan ini menunjukkan kejadian E1 tidak dipengaruhi oleh kejadian E2 atau kedua kejadian tersebut saling bebas. Dalam konteks evolusi sistem, hubungan ini menunjukkan bahwa kedua kejadian tersebut berada pada jalur perubahan yang berbeda. Implikasi dari hubungan ini terhadap program pembangunan memberikan indikasi bahwa keberhasilan pelaksanaan suatu program bukan merupakan prasyarat bagi pelaksanaan program lainnya. Hal ini menunjukkan tidak adanya keterkaitan (linkage) antar kedua program tersebut. 2) p(E1) < p(E1| E2) Hubungan ini menunjukkan bahwa terjadinya kejadian E1 distimulasi oleh kejadian E2 atau kedua kejadian tersebut bersinergi dan berada pada jalur perubahan yang sama. Dalam kegiatan perencanaan program hubungan ini mengindikasikan perlunya menentukan skala prioritas dalam pelaksanaan program. 3) p(E1) > p(E1| E2)
Hubungan ini menunjukkan bahwa walaupun kejadian E1 dan E2 berada pada jalur perubahan yang sama, akan tetapi kejadian E2 menghambat terjadinya kejadian E1. Dalam perencanaan program, hubungan ini memberikan indikasi adanya potensi konflik atas pelaksanaan dua program yang berbeda. Untuk tujuan peramalan, dilakukan sintesis sejumlah kejadian yang bersifat hipotetis berdasarkan parameter kunci (trend factors) yang diperoleh dari hasil analisis struktural. Interaksi (rules of interaction) antar masing kejadian hipotetis diindikasikan oleh bentuk hubungan antara peluang kejadian bebas dengan peluang kejadian bersyarat pada masing-masing kejadian hipotetis. Pola interaksi ini membentuk sebuah skenario eksploratif yang memberikan gambaran arah, jalur perubahan dan proses suksesi yang terjadi pada masing-masing kejadian hipotetis tersebut. Interpretasi terhadap proses suksesi yang terjadi pada masing-masing skenario eksploratif memberikan gambaran rinci dan utuh (holistic) tentang proses evolusi sistem sekaligus membentuk mental map of the future atau perspektif masa depan dari sistem yang dikaji (Hubeis, 2000; Widodo, 2000). Tahapan proses pembuatan skenario eksploratif (Hubeis, 2000) adalah sebagai berikut: 1. Pembuatan kejadian hipotetis berdasarkan parameter kunci yang dihasilkan dari analisis struktur sistem. 2. Pembuatan peluang bebas untuk masing-masing kejadian hipotetis. 3. Pembuatan peluang bersyarat untuk masing-masing kejadian hipotetis. 4. Pembuatan angket untuk mengetahui pendapat pakar mengenai peluang kejadian bebas dan bersyarat pada masing-masing kejadian hipotetis. 5. Penyajian hasil berupa skenario eksploratif. Jumlah skenario yang dihasilkan sebanyak 2n dimana n adalah jumlah kejadian hipotesis. 6. Interpretasi hasil (Pembentukan mental map of the future berdasarkan skenario eksploratif).
Sintesis Strategi Pembangunan Agroindustri Pangan Sintesis strategi pembangunan agroindustri pangan menggunakan pendekatan kualitatif untuk menghasilkan model deskriptif pembangunan agroindustri pangan. Model ini memberikan gambaran deskripsi tahapan dan prioritas pembangunan agroindustri pangan. Pemilihan alternatif strategi menggunakan proses hirarki analitik (AHP) (Saaty, 1993) dengan enam jenjang hirarki, yaitu: tujuan utama, faktor pendorong, pelaku, tujuan pelaku, kebijakan dan strategi. Model Deskriptif Permodelan deskriptif merupakan salah satu bentuk alat analisis kebijakan (policy research) yang digunakan untuk perencaaan strategis atau penyusunan rencana jangka panjang. Model ini menyajikan informasi yang relevan sebagai pedoman untuk penetapan kebijakan (Eriyatno, 1999).
Dalam penelitian ini
permodelan dilakukan dengan menggunakan metode SMIC untuk mensintesis skenario normatif pembangunan agroindustri pangan. Skenario normatif pada hakekatnya adalah rencana jangka panjang yang disintesis berdasarkan harapan (visi dan misi) yang ingin dicapai pada masa depan dengan mempertimbangkan prospek pembangunan dan sumber daya yang tersedia. Prospek pembangunan agroindustri pangan diperoleh dari hasil analisis prospektif dengan menggunakan skenario eksploratif. Gambaran prospektif ini menjadi kerangka untuk mensintesis skenario normatif. Selanjutnya skenario normatif yang dihasilkan digunakan untuk menyusun rencana strategis dan program pembangunan. Pemilihan alternatif strategi dan program pembangunan dilakukan dengan menggunakan metode AHP. Analytical Hierarchy Process Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Saaty (1993). Metode ini digunakan untuk pengambilan keputusan pada permasalahanpermasalahan yang tidak terstruktur dilakukan dengan cara membuat model abstraksi struktur sistem dalam bentuk hirarki, sehingga fungsi hirarki antar kom-
ponen dan dampaknya pada sistem secara keseluruhan dapat dipelajari. Hirarki disusun berurutan, dimulai dari puncak (tujuan utama, ultimate objective), turun ke sub-tujuan (sub-objective), kemudian ke faktor-faktor pendorong (forces), dilanjutkan dengan pelaku (actors). Dari pelaku hirarki turun ke tujuan pelaku, kemudian ke kebijakan, dan akhirnya ke strategi yang dibutuhkan bagi pencapaian tujuan.
Tahapan penting dalam analisis menggunakan AHP adalah penilaian
dengan menggunakan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison) terhadap unsur-unsur dalam suatu tingkatan hirarki (Saaty, 1993). Keuntungan penggunaan AHP (Fewidarto, 1997) di antaranya adalah: a. Penyajian sistem secara hirarki dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana perubahan-perubahan prioritas pada tingkat atas dapat mempengaruhi prioritas unsur-unsur di bawahnya. b. Hirarki memberikan informasi yang lengkap mengenai struktur dan fungsi suatu sistem dan gambaran tentang pelaku-pelaku dan tujuan-tujuan pada level yang lebih tinggi. Unsur-unsur kendala yang lebih baik disajikan pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu untuk menjamin bahwa unsur-unsur tersebut diperhatikan. c. Sistem disusun berdasarkan hirarki dan bersifat alamiah, karena dibangun dengan cara konstruksi modul dan dilanjutkan dengan merakit modul-modul tersebut. Cara ini lebih efisien daripada langsung sekaligus merakit modulmodul tersebut. d. Hirarki lebih stabil dan fleksibel. Dalam hal ini, kestabilan hirarki berarti bahwa perubahan-perubahan kecil mempunyai efek yang lebih kecil, dan fleksibel diartikan bahwa penambahan unsur untuk mendapatkan struktur hirarki yang lebih baik tidak mempengaruhi kinerja sistem.
HASIL PENELITIAN TERDAHULU Beberapa penelitian terdahulu telah banyak mengkaji permasalahan pembangunan agroindustri dengan menggunakan pendekatan pewilayahan komoditas pertanian unggulan, baik untuk komoditas pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, perikanan ataupun peternakan. Di antaranya, Heriyanto (1995) untuk komoditas tanaman pangan, Adiyatna (1995) dan Surjati-Herman (2002) untuk komoditas hortikultura, Baka (2001) dan Mahfud (2004) untuk komoditas perkebunan, Mulyadi (2001) untuk komoditas hasil hutan, Amanto (1999) dan Agustedi (2001) untuk komoditas perikanan serta Setyono (1995) untuk komoditas peternakan. Pengkajian pembangunan agroindustri untuk komoditas kelapa dan kelapa sawit dilakukan oleh Gunawan, dkk. (1995), Buana, dkk. (1995), Suprihatini (1995), Kemala (1988), Buana (2000), Didu (2000b), Zulkifli (2000), Basdabella (2001) dan Hasbi (2001). Untuk wilayah Propinsi Jambi, pengkajian pembangunan agroindustri kelapa dan kelapa sawit dilakukan oleh Riduwan (2000), Arfan (2001), Santi (2002) dan Syahrasaddin, dkk. (2002). Dari hasil-hasil penelitian tersebut telah diidentifikasi parameter yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan agroindustri, seperti: teknik dan manajemen produksi (Sarinah, 1999; Nurkhalik, 1999; Hasbi, 2001), karakteristik perusahaan pengolahan (Damanik, 1995; Sarono, 1997; Agustedi, 2001), produk agroindustri (Simanjuntak, 1992; Mulyadi, 2001), bahan baku (Adrizal, 1995; Damanik, 1995; Adiyatna, 1995; Arfan, 2001; Santi, 2002), SDM (Kustanto, 1999; Lena, 2000), permodalan (Didu, 2000b), kelembagaan dan kemitraan (Muflikhati, 1996; Nurkhalik, 1999; Surjati-Herman, 2002), sistem tataniaga (Setyono, 1995; Didu, 2000b), kebijakan pemerintah dan jaminan keamanan usaha (Pakasi, 1998; Didu, 2000b; Riduwan, 2000), infrastuktur (Setyono, 1995; Didu, 2000b; Lena, 2000) dan liberalisasi perdagangan (Dasril, 1993; Zulkifli, 2000). Adapun prioritas pembangunan agroindustri yang utama adalah membangun
agroindustri baru, kemudian mengembangkan agroindustri yang ada, dan terakhir menata sistem kelembagaan. Walaupun telah banyak penelitian yang mengkaji permasalahan pembangunan agroindustri di Indonesia, akan tetapi sejauh ini hanya sedikit penelitian yang mengkaji permasalah tersebut dalam perspektif masa depan; di antaranya Kemala (1988) yang mengkaji pola pertanian, industri dan perdagangan kelapa dan kelapa sawit, serta Hubeis (1991b) yang melakukan formulasi strategi pembangunan agroindustri minyak atsiri dengan menggunakan metode PRECOM, MICMAC dan DELPHI-REGNIER. Sedangkan di Perancis, formulasi strategi dengan menggunakan perspektif masa depan sudah dilakukan untuk perencanaan pembangunan industri fast food (Guirkinger, 1986), industri aeronautika (Jannic, 1987), dan perencanaan pembangunan wilayah (Boly, 1987). Sedangkan di Amerika, metode yang sama digunakan untuk perencanaan sistem pendidikan (Morrison, et al., 1983) dan peramalan inflasi (Bidarkota, 2001). Di Inggris digunakan untuk prediksi nilai tukar mata uang (Brooks, 2001) dan di Chile digunakan untuk peramalan pertumbuhan PDB (Chumacero, 2001).
METODE PENELITIAN KERANGKA BERPIKIR Kerangka berpikir konseptual untuk penelitian ini (Gambar 10) didasarkan pada penerapan pendekatan sistem (system approach) untuk mensintesis skenario normatif pembangunan agroindustri pangan. Skenario normatif pada hakekatnya adalah rencana jangka panjang (planifikasi) yang disintesis berdasarkan harapan (visi dan misi pembangunan) yang ingin dicapai pada masa depan dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada (analisis situasional). Skenario normatif merupakan kerangka kerja (framework) untuk penyusunan kebijakan dan program pembangunan yang bersifat visioner berdasarkan perspektif masa depan.
Gambar 10. Kerangka berpikir konseptual penelitian
Perspektif masa depan dari pembangunan agroindustri pangan diperoleh dengan menggunakan teknik analisis prospektif berdasarkan skenario eksploratif.
Skenario eksploratif adalah skenario yang dibuat untuk menguji keragaman dan kecenderungan (trend) masa depan yang terkait dengan arah dan jalur perubahan dari faktor-faktor struktural. Identifikasi faktor-faktor struktural yang menentukan kecenderungan perubahan masa depan dilakukan melalui analisis struktural. Tahapan proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 11. Tahapan proses ini dalam garis besarnya terdiri dari: 1) Analisis struktur sistem, 2) Analisis prospektif, dan 3) Sintesis strategi. Aktivitas penelitian dan metode yang digunakan untuk setiap tahapan penelitian disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Tahapan penelitian, aktivitas dan metode yang digunakan
Tahap Penelitian Analisis Struktur Sistem Analisis Prospektif Sintesis Strategi
Aktivitas - Analisis Situasional
- Analisis perkembangan kawasan - Diagnosis agroindustri pangan - Analisis Struktural - Analisis Prospektif - Sintesis kejadian hipotetis - Sintesis skenario eksploratif - Sintesis Skenario Normatif - Pemilihan Strategi dan Program
Metode PRECOM
dan MIC-MAC SMIC
AHP
Analisis struktur sistem dilakukan dengan menggunakan metode PRECOM dan MIC-MAC. Metode PRECOM digunakan untuk mendiagnosis agroindustri pangan. Diagnosis agroindustri pangan bertujuan untuk mengetahui posisi strategis perusahaan berdasarkan konsep produk, konsep teknik dan konsep ekonomi. Ketiga konsep tersebut diperlukan untuk mensintesis strategi pembangunan agroindustri pangan pada tingkat perusahaan. Adapun metode MIC-MAC digunakan untuk menganalisis secara struktural parameter global sistem agroindustri pangan dan bertujuan untuk mengidentifikasi parameter yang menjadi faktor penentu kecenderungan perubahan di masa depan.
Gambar 11. Diagram alir operasional penelitian
Pembuatan skenario dilakukan dengan menggunakan metode SMIC. Skenario eksploratif disusun berdasarkan parameter eksplikatif yang diperoleh dari hasil analisis struktural. Skenario ini digunakan untuk peramalan prospek pembangunan agroindustri pangan. Adapun skenario normatif disintesis berdasarkan visi dan misi pembangunan yang ingin dicapai dengan mempertimbangkan hasil analisis prospektif dan kendala sumber daya yang tersedia. Skenario ini memuat arah strategi dan program pembangunan yang diperlukan untuk pencapaian sasaran pembangunan. Pemilihan alternatif strategi dilakukan dengan menggunakan metode AHP.
WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari 2002 sampai dengan Desember 2003. Observasi lapang dilakukan pada kawasan sentra produksi di Propinsi Jambi. Diagnosis untuk analisis struktur internal dilakukan terhadap perusahaan agroindustri kelapa dan kelapa sawit yang terdapat di Propinsi Jambi. Survei pakar untuk analisis struktural dan prospektif dilakukan terhadap pakar-pakar terpilih yang berada di Jambi, Jakarta dan Bogor.
TATALAKSANA PENELITIAN Pengumpulan Data dan Informasi Data yang diperlukan berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara observasi lapang, wawancara (interview) dan survei pakar (expert survey). Observasi untuk diagnosis pada level perusahaan dilakukan terhadap agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit yang ada di Propinsi Jambi. Wawancara dilakukan dengan bantuan kuesioner terhadap pelaku (aktor) terpilih berdasarkan purposive sampling dan survei pakar dilakukan dengan sejumlah pakar (Teoritis, Perantara dan Praktisi). Daftar responden pakar dan perusahaan yang diobservasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Analisis Data Analisis data penelitian dilakukan dengan menggunakan metode PréCommercialisation (PRECOM) (Hubeis, 1997 dan 1998), Matrice d’Impacts Croisés - Multiplication Appliquee à un Classement (MIC-MAC) (Hubeis, 1991a), Systèmes et Matrices d’Impacts Croisés (SMIC) (Hubeis, 2000), dan Analytical Hierarchy Process (AHP) (Saaty, 1993).
Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: (1) Analisis Struktur Sistem Pembangunan Agroindustri Pangan, (2) Analisis Prospektif Pembangunan Agroindustri Pangan, dan (3) Sintesis Strategi Pembangunan Agroindustri Pangan. Tahap pertama, Analisis Struktur Sistem terdiri dari tahapan: (a) Analisis situasional dan (b) Analisis struktural. Tahap kedua, Analisis Prospektif dilakukan melalui tahapan sintesis dan peramalan (a) kejadian hipotetis dan (b) skenario eksploratif. Tahap ketiga, Sintesis Strategi terdiri tahapan: (a) Sintesis skenario normatif untuk strategi pembangunan agroindustri pangan dan (b) Sintesis dan pemilihan strategi untuk level perusahaan agroindustri. Tahap 1 : Analisis Struktur Sistem Pembangunan Agroindustri Pangan Analisis Situasional 1) Karakteristik Kawasan Sentra Produksi Pengkajian karakteristik KSP dilakukan berdasarkan indikator karakteristik fisik sumberdaya alam dan lingkungan (P4W-IPB, 2001) yang meliputi: topografi, ketinggian tempat, jenis tanah dan iklim. Keempat karakteristik fisik ini diharapkan dapat menggambarkan kondisi agroekologi kawasan (Sosiawan, 1997), sehingga dapat dirakit zona agroekologi guna menentukan komoditas pertanian yang potensial untuk dikembangkan pada masing-masing KSP. Pengkajian dilakukan dalam dua tahap kegiatan, yaitu: i.
Pengumpulan (kompilasi) data dan peta sumber daya alam di Propinsi Jambi yang meliputi: a. Peta Zona Agroekologi (ZAE) Provinsi Jambi skala 1 : 250.000 dari Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IPPTP) Jambi yang terdiri dari Lembar 0813, 0814, 0913, 0914, 1013 dan 1014. b. Peta Alternatif Komoditas Berdasarkan Zona Agroekologi Propinsi Jambi skala 1 : 500.000 dari Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IPPTP) Jambi.
c. Peta Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) Propinsi Jambi skala 1 : 350.000 dari Dinas Perkebunan Propinsi Jambi. d. Data sumber daya lahan dari masing-masing kabupaten/kota di Propinsi Jambi. ii. Verifikasi lapangan untuk pengecekan kesesuaian antara karakteristik agroekologi dengan komoditas pertanian yang dikembangkan pada suatu KSP. 2) Wilayah Pengembangan Komoditas Pertanian Unggulan
Pewilayahan komoditas pertanian unggulan pada KSP didasarkan pada kondi-si yang telah ada (existed) dan perkembangannya selama lima tahun (1998-2002). Pewilayahan dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: i. Pententuan Komoditas Pertanian Potensial
Penentuan komoditas pertanian potensial pada masing-masing KSP didasarkan pada kesesuaian (match) antara karakteristik ZAE kawasan sentra produksi dengan persyaratan tumbuh tanaman. Tingkat kesesuaian ditentukan dengan menggunakan parameter kelas kesesuaian lahan dan indeks produktivitas (Samijan, dkk, 1999). Kelas kesesuaian lahan dilakukan dengan menggunakan Kriteria Kesesu-aian Lahan untuk Komoditas Pertanian (Versi 3) yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Djaenudin, dkk, 2000). Kesesu-aian lahan diklasifikasikan ke dalam 4 kelas, yaitu: •
Kelas S1 (Sangat Sesuai). Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti untuk penggunaan secara berkelanjutan. Faktor pembatas yang ada bersifat minor, sehingga tidak akan mereduksi produktivitas lahan secara nyata.
•
Kelas S2 (Cukup Sesuai). Lahan mempunyai faktor pembatas yang berpengaruh terhadap produktivitas, akan tetapi faktor pembatas tersebut masih dapat diatasi oleh petani secara mandiri melalui penambahan input (seperti pemupukan).
•
Kelas S3 (Sesuai Marginal). Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat dan berpengaruh terhadap produktivitas. Petani tidak mampu
secara mandiri mengatasi faktor pembatas tersebut, karena diperlukan modal yang besar untuk mengatasi faktor pembatas tersebut. Untuk itu diperlukan bantuan atau campur tangan pemerintah atau pihak swasta untuk mengatasi faktor pembatas tersebut. •
Kelas N (Tidak Sesuai). Lahan mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan sulit diatasi.
Indeks produktivitas ditentukan berdasarkan tingkat produktivitas (Pv) wilayah dibandingkan dengan tingkat produktivitas nasional.
Suatu
komoditas dinyatakan potensial pada suatu wilayah jika mempunyai tingkat produktivitas lebih besar daripada tingkat produktivitas nasional (Indek Produktivitas > 1). Adapun produktivitas dihitung dengan menggunakan rumus (Tambunan, 2003) sebagai berikut: Y Pv = LP dimana: Pv = produktivitas (ton/ha) Y = produksi (ton) LP = luas panen (ha) ii. Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan Penentuan komoditas pertanian unggulan pada masing-masing KSP berdasarkan daya saing komoditas pertanian yang menjadi basis ekonomi wilayah pengembangan KSP. Daya saing komoditas pertanian unggulan ditentukan dengan menggunakan matriks PAM (Policy Analysis Matrix) dengan indikator biaya sumberdaya domestik (Domestic Resources Cost atau DRC) dan rasio manfaat/biaya (Benefit Cost Ratio atau B/C Ratio) (Pearson, et al., 2004). Suatu komoditas memiliki keunggulan komparatif jika nilai DRC lebih kecil dari satu (DRC < 1) dan memiliki keunggulan kompetitif jika nilai rasio B/C besar dari satu (B/C > 1).
Penentuan komoditas pertanian yang menjadi basis ekonomi wilayah menggunakan model basis ekonomi (economic base model) dengan parameter indeks LQ (location quotien) pendapatan dan tenaga kerja. Suatu komoditas dapat menjadi basis ekonomi pada suatu wilayah jika nilai LQ pendapatan atau tenaga kerja komoditas tersebut lebih besar dari satu (LQ > 1) (Budiharsono, 2001; Tarigan, 2004). Biaya sumber daya domestik (DRC) dihitung dengan menggunakan rumus (Budiharsono, 2001) sebagai berikut:
Σ fs Vs DRC = U-m-r dimana: fs = jumlah total faktor produksi domestik s yang digunakan Vs = harga bayangan (shadow price) tiap satuan faktor-faktor produksi primer (dalam Rp) U = nilai total output pada nilai harga pasar dunia (dalam US $) m = nilai total input antara yang diimpor (dalam US $) r = nilai total penerimaan pemilik faktor-faktor produksi luar negeri (dalam US $) Rasio manfaat/biaya (B/C Ratio) dihitung dengan menggunakan rumus: t=n
Σ t=1
Bt (1 + i)t
t=n
/Σ
t=1
dimana: Bt = manfaat yang diperoleh setiap tahun Ct = biaya yang dikeluarkan setiap tahun n = jumlah tahun t
= 1, 2, 3, ..., n
i
= tingkat suku bunga
Ct (1 + i)t
Indeks LQ (location quotien) pendapatan dan tenaga kerja dihitung de-ngan menggunakan rumus: vi / vt LQi = Vi / Vt dimana: vi = pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat wilayah vt = pendapatan (tenaga kerja) total wilayah Vi = pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat nasional Vt = pendapatan (tenaga kerja) total nasional
iii. Penentuan Sentra Produksi untuk Komoditas Pertanian Unggulan Dari hasil analisis pada tahap sebelumnya diketahui komoditas pertanian unggulan di Propinsi Jambi terdiri dari empat jenis tanaman perkebunan, yaitu: karet, kelapa, kelapa sawit dan kayu manis. Penentuan sentra produksi dari keempat jenis komoditas pertanian unggulan tersebut didasarkan pada potensi produksi dan kesesuaian persyaratan tumbuh masingmasing komoditas dengan kondisi agroekologi (Djaenudin, dkk, 2000) KSP Mikro dimana komoditas unggulan tersebut akan dikembangkan.
3) Perkembangan Agroindustri Pangan Komoditas Pertanian Unggulan Pengkajian perkembangan agroindustri pangan di Propinsi Jambi didasarkan pada perkembangan jumlah dan jenis perusahaan yang tergolong dalam agro-industri pangan komoditas pertanian unggulan selama lima tahun (1998-2002). Keterkaitan perkembangan agroindustri pangan (dalam hal ini agro-industri kelapa dan agroindustri kelapa sawit) dengan perkembangan usaha-tani komoditas pertanian unggulan (dalam hal ini usahatani kelapa dan usaha-tani kelapa sawit) dikaji dengan menggunakan uji korelasi-jenjang Spearman. Nilai
korelasi Spearman (rs) dihitung dengan menggunakan rumus (Daniel, 1989) sebagai berikut: 6 Σ di2
rs = 1 N(n2 – 1)
dengan
n
6 Σ di = Σ [R(Xi) – R(Yi)]2 2
dimana: = koefisien korelasi peringkat Spearman rs R(Xi) = peringkat Xi dari data pengamatan (Xi,Yi) R(Yi) = peringkat Yi dari data pengamatan (Xi,Yi) n = jumlah pengamatan 4) Diagnosis Agroindustri Pangan Diagnosis agroindustri pangan bertujuan untuk memperoleh gambaran posisi strategis perusahaan agroindustri pangan di Propinsi Jambi pada saat sekarang dan prakiraan posisi strategis perusahaan tersebut pada masa mendatang melalui analisis portofolio dengan menggunakan matriks McKinsey-Ansoff. Penyusunan matriks McKinsey-Ansoff dilakukan dalam tiga tahap (Pearce and Robinson, 1996; Muhammad, 2002; Supratikno, dkk, 2003), yaitu: i.
Analisis Perkembangan Agroindustri Pangan Analisis perkembangan agroindustri pangan digunakan untuk mengetahui perkembangan daya tarik agroindustri pangan pada saat sekarang dan prakiraan daya tarik agroindustri pangan pada masa mendatang. Analisis menggunakan lima indikator daya tarik agroindustri pangan yang disintesis berdasarkan konsep PRECOM (Hubeis, 1997 dan 1998). Kriteria pengukuran/penilaian berdasarkan kelima indikator daya tarik industri tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 11. Indikator daya tarik agroindustri pangan Konsep PRECOM Konsep Ekonomi
Indikator Daya Tarik
Kriteria Pengukuran/Penilaian Rendah Sedang Tinggi
Pertumbuhan Negatif atau Berada antara Pasar ku-rang dari 2,5 – 7,5% per 2,5% per tahun tahun
Lebih besar dari 7,5% per tahun
Pangsa Pasar Konsep Produk
Perkembang -an Produk
Produk Turunan Konsep Teknik
ii.
Teknologi Proses
Kurang dari 5% Produk belum terdiferensiasi
Berada antara 5 - 25% Diferensiasi produk tidak berdasarkan segmentasi pasar Komponen Komponen komplemen substitusi dalam produk dalam produk turunan turunan Teknologi Teknologi stanstan-dar. dar, tetapi ada Tidak ter-dapat perbedaan peperbeda-an rangkat atau perangkat proses yang di(technoware) gunakan oleh dan proses an- perusahaan datar perusahaan lam industri dalam industri yang sama yang sama.
Lebih besar dari 25% Produk terdiferensiasi sesuai dengan segmen pasar Komponen utama dalam produk turunan Terdapat keragaman perangkat dan proses yang digunakan oleh perusahaan dalam industri yang sama
Diagnosis Posisi Persaingan Perusahaan Agroindustri Pangan Diagnosis posisi persaingan perusahaan agroindustri pangan menggunakan lima indikator kekuatan bisnis perusahaan yang terdiri dari: pesaing, pelanggan, tenaga kerja, pemasok dan teknologi. Kelima indikator merupakan turunan dari lima faktor kekuatan industri Porter (Porter Five Forces) yang terdiri dari: pesaing, pendatang baru, produk substitusi serta pemasok dan pembeli. Parameter pengukuran/penilaian berupa: posisi terhadap pesaing, posisi terhadap pelanggan, pola kerja, posisi terhadap pemasok dan kinerja technoware dengan menggunakan 5 skala pengukuran/penilaian dari sangat lemah (1) sampai sangat kuat (5). Rincian kriteria pengukuran/penilaian untuk masing-masing indikator posisi persaingan perusahaan agroindustri pangan adalah sebagai berikut: Tabel 12. Indikator kekuatan bisnis perusahaan agroindustri pangan Indikator Pesaing
Parameter Kriteria Pengukuran/Penilaian Posisi 5 : Pemimpin (Leading) terhadap 4 : Penantang (Challenge) pesaing 3 : Mapan (Prospective)
2 : Stabil (Follower) 1 : Spekulatif (Venturing) Pelanggan Posisi 5 : Monopoli terhadap 4 : Integratif pelanggan 3 : Kontrak bisnis 2 : Kontak bisnis 1 : Informal dan Dispersal Tenaga Pola kerja 5 : Unggul (Leading) Kerja 4 : Stabil (Stabilize) 3 : Menciptakan pola (Creating) 2 : Mencari pola (Striving) 1 : Tidak ada pola kerja Pemasok Posisi 5 : Monopsoni terhadap 4 : Integratif pemasok 3 : Kontrak bisnis 2 : Kontak bisnis 1 : Informal dan Dispersal Teknologi Kinerja 5 : Setara pesaing internasional technoware 4 : Terbaik di Indonesia 3 : Di atas rataan nasional 2 : Setara rataan nasional 1 : Di bawah rataan nasional iii. Sintesis Posisi Strategis Perusahaan Agroindustri Pangan Posisi strategis perusahaan agroindustri pangan disintesis dalam bentuk Matriks McKinsey-Ansoff berdasarkan hasil analisis daya saing perusahaan pada sumbu vertikal dan daya tarik agroindustri pangan pada sumbu horizontal. Matriks ini menggambarkan posisi strategis perusahaan agroindustri pangan di Propinsi Jambi pada saat sekarang dan prakiraannya pada masa mendatang. Analisis Struktural Analisis struktural dilakukan dengan menggunakan metode MIC-MAC untuk menganalisis secara struktural parameter global sistem agroindustri pangan. Proses analisis struktural menurut metode MIC-MAC (Hubeis, 1991a) adalah sebagai berikut :
Tabel 13. Tahapan proses analisis struktural menurut metode MIC-MAC Masukan Daftar parameter
Matriks struktural Kelompok parameter yang telah dirangking
Kegiatan Identifikasi parameter
Luaran Daftar parameter internal dan eksternal Matriks sebab-akibat
Pengisian matriks struktural melalui survei pakar Identifikasi parameter berda- Klasifikasi langsung sarkan derajat motor-respons Pembuatan bagan motorrespons Penggandaan matriks Pembandingan klasifikasi langsung dan tidak langsung
Klasifikasi parameter dalam 4 sektor Klasifikasi tidak langsung Grafik posisi parameter
Pelaksanaan analisis struktural dilakukan dalam tiga tahap, terdiri dari : 1) Identifikasi paramater sistem, 2) Identifikasi hubungan kontekstual antar parameter sistem, dan 3) Klasifikasi parameter sistem. 1) Identifikasi Parameter Sistem Identifikasi parameter sistem menggunakan perangkat pembangkit (generating tool) berupa survei pakar (expert survey) melalui wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap pakar lintas disiplin. Tahap ini menghasilkan daftar parameter sistem (brainwriting) yang memuat daftar (exhausted list) 250 parameter sistem pembangunan agroindustri pangan. Selanjutnya dilakukan reduksi parameter sistem berdasarkan prinsip eliminasi parameter yang kurang relevan dan agregasi parameter yang sejenis dengan bantuan pakar (expert) dan kuesioner penelitian yang memuat daftar 250 parameter yang akan direduksi (Lampiran 2, Bagian a). 2) Identifikasi Hubungan Kontekstual Parameter Sistem Identifikasi hubungan kontekstual antar parameter sistem menggunakan notasi biner untuk mengetahui adanya pengaruh suatu parameter terhadap parameter lainnya. Identifikasi dilakukan secara berpasangan oleh pakar terhadap kuesioner yang memuat daftar parameter sistem (Lampiran 2, Bagian b).
3) Klasifikasi Parameter Sistem Klasifikasi parameter sistem didasarkan pada tingkat motor (driver power) dan respon (dependence) dari masing-masing parameter sistem. Tingkat motor menunjukkan kekuatan pengaruh suatu parameter terhadap parameter lainnya. Sebaliknya, tingkat respon menunjukkan derajat pengaruh yang diterima oleh suatu parameter sebagai respon terhadap parameter lainnya. Hasil klasifikasi parameter sistem disintesis ke dalam bentuk bagan motor-respon yang menggambarkan kedudukan masing-masing parameter berdasarkan tingkat motor dan respon. Tahap 2 : Analisis Prospektif Analisis prospek pembangunan agroindustri pangan dilakukan dengan menggunakan skenario eksploratif berdasarkan parameter kunci yang dihasilkan dari analisis struktural. Skenario ini memberikan gambaran prospek pembangunan agroindustri pangan berdasarkan perspektif situasi masa depan.
Tahapan
proses pembuatan skenario eksploratif dapat dilihat pada Gambar 12. Proses ini terdiri dari lima tahap (Hubeis, 2000), yaitu: 1. Pembuatan hipotesis dari kejadian hipotetis berdasarkan parameter kunci yang dihasilkan dari analisis struktur sistem. 2. Pembuatan peluang sederhana dan peluang bersyarat untuk masing-masing kejadian hipotetis. 3. Pembuatan kuesioner untuk mengetahui pendapat pakar mengenai peluang kejadian untuk masing-masing kejadian hipotetis. 4. Analisis pendapat pakar dengan menggunakan kuesioner penelitian (Lampiran 2, Bagian c). 5. Interpretasi hasil analisis dan penyajian hasil.
Gambar 12. Proses sintesis skenario eksploratif. Tahap 3 : Sintesis Strategi 1) Strategi pada Tingkat Perusahaan Strategi pada tingkat perusahaan dipilih dari ragam strategi generik (Muhammad, 2002; Supratikno, dkk, 2003) dengan mempertimbangkan posisi strategis perusahaan yang diperoleh dari tahap diagnosis agroindustri pangan. Pemilihan ragam strategi didasarkan pada matriks seleksi strategi (Pearce dan Robinson, 1996) dengan menggunakan teknik proses hirarki analitik (AHP) (Saaty, 1993). 2) Strategi Pembangunan Agroindustri Pangan Strategi pembangunan agroindustri pangan disintesis dalam bentuk skenario normatif. Skenario ini pada hakekatnya adalah perencanaan jangka panjang (planifikasi) yang disintesis berdasarkan visi yang ingin dicapai pada masa depan dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada dan kecenderungan perubahan yang akan terjadi. Proses sintesis skenario normatif terdiri dari lima tahap (Gambar 13), yaitu: 1. Penetapan visi pembangunan agroindustri pangan. 2. Identifikasi parameter kunci berdasarkan hasil peramalan skenario eksploratif. 3. Analisis kecenderungan perubahan faktor-faktor eksternal. 4. Sintesis skenario normatif. 5. Analisis implikasi skenario terhadap strategi dan program pembangunan agroindustri pangan.
Gambar 13. Proses sintesis skenario normatif. 3) Pemilihan Strategi Pembangunan Agroindustri Pangan Pemilihan strategi pembangunan agroindustri pangan menggunakan teknik proses hirarki analitik (AHP). Tahapan proses pemilihan strategi dan program menurut metode AHP (Saaty, 1993) adalah sebagai berikut :
i.
Pendefinisian masalah berupa pemilihan strategi pembangunan agroindustri pangan.
ii. Pembuatan struktur hirarki. Penjenjangan struktur hirarki dibagi menjadi enam sub-model, yaitu: (1) Tujuan utama, (2) Faktor pendorong, (3) Pelaku, (4) Tujuan pelaku, (5) Kebijakan, dan (6) Strategi. iii. Penyusunan matriks banding berpasangan. iv. Pengumpulan pertimbangan untuk perbandingan berpasangan.
Pertim-
bangan untuk perbandingan dilakukan melalui survei pakar dengan menggunakan kesioner penelitian (Lampiran 2, Bagian d). Perbandingan dilakukan dengan skala 1 - 9. Hasil perbandingan disusun dalam satu matriks yang dinamakan matriks perbandingan. v.
Melengkapi matriks perbandingan.
Matriks perbandingan dilengkapi
dengan cara memasukkan nilai 1 pada diagonal utama, dan memberi nilai kebalikan di bawah diagonal utama matriks. vi. Pengulangan pelaksanaan langkah c, d, dan e pada semua tingkat hirarki.
vii. Pemilihan prioritas. Pemilihan prioritas dilakukan dengan cara menjumlahkan semua nilai prioritas terbobot dengan nilai prioritas pada tingkat hirarki di bawahnya. viii. Evaluasi konsistensi untuk seluruh hirarki. Langkah ini dilakukan untuk menjamin konsistensi penilaian dengan cara membandingkan hasil penilaian prioritas dengan indeks konsistensi acak.
HASIL DAN PEMBAHASAN ANALISIS SITUASIONAL Keadaan Umum Kawasan Sentra Produksi di Propinsi Jambi KSP komoditas pertanian di Propinsi Jambi dibagi dalam tiga wilayah pengembangan, yaitu Wilayah Timur, Wilayah Tengah, dan Wilayah Barat (Bappeda, 2000b). Pembagian wilayah pengembangan tersebut didasarkan pada karakteristik agroekologi wilayah. Kawasan pengembangan Wilayah Timur didominasi oleh karakteristik agroekologi pesisir dan lahan basah. Kawasan pengembangan Wilayah Tengah merupakan daerah dataran rendah yang didominasi oleh karakteristik agroekologi daerah aliran sungai (DAS) Batanghari. Kawasan pengembangan Wilayah Barat merupakan daerah dataran tinggi. Wilayah ini merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dengan karakteristik agroekologi lahan kering (Bappeda, 2000b). Masing-masing wilayah pengembangan terdiri dari dua KSP Makro. Wilayah Timur terdiri dari KSP Makro A dan KSP Makro B. Wilayah Tengah terdiri dari KSP Makro C dan KSP Makro D. Wilayah Barat terdiri dari KSP Makro E dan KSP Makro F (Bappeda, 2000b). Secara konseptual, KSP Makro menggambarkan suatu kesatuan fungsional kawasan yang merupakan batas pasar yang secara ekonomis dapat dijangkau oleh komoditas pertanian yang dihasilkan oleh sentrasentra produksi (KSP Mikro) yang terdapat di kawasan tersebut (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999b). Hal ini berarti batas wilayah KSP Makro meng-gambarkan aksesibilitas kawasan.
Semakin baik aksesibilitas suatu kawasan, maka akan
semakin jauh jangkauan wilayah pemasaran komoditas pertanian yang dihasilkan oleh kawasan tersebut. Hal ini digambarkan dengan semakin luasnya wilayah KSP Makro.
Gambar 14 dan Tabel 14 menyajikan pembagian wilayah
pengembangan KSP Makro di Propinsi Jambi.
Gambar 14. Peta pembagian wilayah pengembangan KSP Makro di Propinsi Jambi Tabel 14. Pembagian wilayah pengembangan KSP Makro di Propinsi Jambi Wilayah Pengembangan Wilayah Timur
Wilayah Tengah
Wilayah Barat
KSP Makro
Cakupan Wilayah
Pusat Pemasaran*)
A
Kab. Tanjab Barat
Kuala Tungkal
B
Kab. Tanjab Timur
Muara Sabak
C
- Kota Jambi - Kab. Batanghari - Kab. Ma. Jambi
Pasar Jambi
D
- Kab. Bungo - Kab. Tebo
Muara Bungo
E
- Kab. Merangin - Kab. Sarolangun
Bangko
F
Kab. Kerinci
Sungai Penuh
Sumber : Bappeda, 2000b. *)Hasil analisis
Orientasi Pasar Eksternal*) - Jakarta - Pekanbaru - Singapura - Jakarta - Singapura - Padang - Palembang - Pekanbaru - Jakarta - Singapura - Padang - Palembang - Jakarta - Padang - Palembang - Jakarta - Padang - Jakarta
Karakteristik Agroekologi Wilayah Pengembangan KSP Karakterisasi agroekologi wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi dilakukan berdasarkan parameter topografi, ketinggian tempat, jenis tanah dan iklim dari masing-masing wilayah pengembangan. Topografi Masing-masing wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi memiliki dominasi topografi yang khas. Wilayah Timur merupakan daerah dataran rendah yang landai. Wilayah Tengah merupakan daerah perbukitan dengan kelas kemi-ringan lahan dari landai sampai agak curam.
Wilayah Barat merupakan daerah
perbukitan dan pergunungan dengan kelas kemiringan lahan dari agak curam sampai sangat curam (Gambar 15). Luas dan proporsi tingkat kemiringan lahan masing-masing wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi disajikan pada Tabel 15.
Gambar 15. Topografi wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi
Tabel 15. Luas dan proporsi kemiringan lahan wilayah pengembangan KSP Tingkat Kemiringan Lahan
Wilayah Pengembangan KSP
Wilayah Timur Luas (ha) %
Landai (0-2%) Agak Curam (2-15%) Curam (15-40%) Sangat Curam (>40%)
1.052.700 20.000 12.000 10.150
Luas Wilayah
1.094.850
Wilayah Tengah Luas (ha) %
96,2 1,8 1,1 0,9
928.703 811.192 294.203 141.075
100,0 2.175.173
Sumber : Hasil perhitungan pada Lampiran 3.
42,7 37,3 13,5 6,5
Wilayah Barat Luas (ha) % 122.962 558.191 431.369 701.409
6,8 30,8 3,8 38,6
100,0 1.813.931
100,0
Ketinggian Tempat Ketinggian tempat masing-masing wilayah pengembangan KSP di Pro-pinsi Jambi memiliki karakteristik yang khas. Wilayah Timur merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian 0 sampai 10 m di atas permukaan laut (dpl). Wilayah Tengah didominasi oleh daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 10 sampai 100 m dpl. Sedangkan Wilayah Barat merupakan daerah dataran tinggi (Gambar 16). Lebih dari 50% Wilayah Barat berada di ketinggian di atas 500 m dpl (Tabel 16).
Gambar 16. Ketinggian tempat wilayah pengembangan KSP
Tabel 16. Ketinggian tempat wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi
Wilayah Pengembangan KSP
Ketinggian Tempat 0 - 10 10 - 100 100 - 500 500 – 1.000 > 1.000
Wilayah Timur Luas (ha) %
m dpl m dpl m dpl m dpl m dpl
Luas Wilayah
1.052.700 20.000 22.150 0 0
96,2 1,8 2,0 0,0 0,0
1.094.850 100,0
Wilayah Tengah Luas (ha) % 182.170 1.448.179 452.465 67.859 24.500
8,4 66,6 20,8 3,1 1,1
2.175.173 100,0
Sumber : Hasil perhitungan pada Lampiran 3.
Wilayah Barat Luas (ha) % 0 644.657 169.804 475.664 523.806
0,0 35,5 9,4 26,2 28,9
1.813.931 100,0
Jenis Tanah Sebagian besar tanah di wilayah pengembangan KSP Propinsi Jambi ter-golong jenis podsolik merah kuning (PMK). Jenis ini tersebar di seluruh wilayah, terutama di Wilayah Tengah, lebih dari 64% kawasan ini memiliki jenis tanah PMK. Jenis tanah ini memiliki tekstur liat, sehingga relatif kurang subur diban-dingkan dengan jenis tanah lainnya. Adapun jenis tanah yang relatif lebih subur terdapat di Wilayah Barat.
Tabel 17 menyajikan luas dan proporsi jenis tanah pada
masing-masing wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi. Tabel 17. Jenis tanah pada wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi
Jenis Tanah PMK Organosol Aluvial Andosol Latosol Lainnya Luas Wilayah
Wilayah Pengembangan KSP
Wilayah Timur Luas (ha) % 362.170 311.618 146.600 0 0 274.462
33,1 28,5 13,4 0,0 0,0 25,0
1.094.850 100,0
Wilayah Tengah Luas (ha) % 1.398.162 1.300 148.275 15.600 416.698 195.138
64,3 0,1 6,8 0,7 19,2 8,9
2.175.173 100,0
Sumber : Hasil perhitungan pada Lampiran 4.
Wilayah Barat Luas (ha) % 468.890 251.202 348.252 428.835 297.246 19.506
25,9 13,9 19,2 23,6 16,4 1,0
1.813.931 100,0
Iklim Secara umum hampir seluruh wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi beriklim tipe A. Hanya sebagian kecil wilayah, yaitu Kecamatan Tebo Tengah dan Sumay di Wilayah Tengah serta Kecamatan Sitinjau Laut di Wilayah Barat merupakan
kawasan beriklim tipe B (Gambar 17). Tabel 18 menyajikan luas dan proporsi tipe iklim pada ketiga wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi.
Gambar 17. Penyebaran iklim di wilayah pengembangan KSP Tabel 18. Tipe iklim pada wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi
Tipe Iklim
Wilayah Pengembangan KSP
Wilayah Timur Luas (ha) %
Wilayah Tengah Luas (ha) %
Tipe A Tipe B
1.094.850 100,0 0 0,0
1.939.373 235.800
Luas Wilayah
1.094.850 100,0
2.175.173 100,0
Sumber : Hasil perhitungan pada Lampiran 3.
89,2 10,8
Wilayah Barat Luas (ha) % 1.807.006 6.925
99,6 0,4
1.813.931 100,0
Zona Agroekologi Zona agroekologi dirakit berdasarkan pada kondisi agroekologi wilayah dengan menggunakan parameter topografi, ketinggian tempat, dan iklim suatu kawasan. Zona I sampai IV menggambarkan topografi kawasan. Zona I untuk kawasan dengan kelas kemiringan lahan sangat curam (lebih dari 40%); zona II untuk kawasan dengan kelas kemiringan lahan curam (15 - 40%); zona III untuk kawasan dengan kelas kemiringan lahan agak curam (2 - 15%) dan zona IV untuk kawasan yang landai dengan kemiringan lahan 0 - 2%. Sedangkan sub-zona a dan b menggambarkan ketinggian tempat kawasan. Sub-zona a untuk kawasan yang
berada pada ketinggian di bawah 700 m dpl.
Sebaliknya sub-zona b untuk
kawasan yang berada pada ketinggian di atas 700 m dpl. Adapun sub-zona x dan y menggambarkan iklim kawasan. Sub-zona x untuk kawasan yang tidak memiliki bulan kering. Sedangkan sub-zona y untuk kawasan yang memiliki bulan kering 3 sampai 6 bulan per tahun (Busyra, dkk, 2000). Tabel 19 menyajikan proporsi zona agroekologi pada ketiga wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi. Zona I mendominasi Wilayah Barat (38,6%), hanya sebagian kecil berada di Wilayah Tengah (6,5%) dan kurang dari 1% di Wilayah Timur. Zona I berupa perbukitan dan pegunungan dengan lereng dominan lebih dari 40%. Karena memiliki lereng yang curam, zona ini tidak diperuntukan sebagai kawasan budi-daya melainkan sebagai kawasan lindung. Zona II tersebar di Wilayah Barat (24,1%) dan Wilayah Tengah (22,0%), hanya sebagian kecil (1,1%) di Wilayah Timur. Zona ini merupakan daerah perbukitan dengan lereng dominan 16 sampai 40%. Menurut Busyra, dkk. (2000), zona ini mempunyai tingkat kesuburan tanah yang rendah serta hanya sesuai untuk budidaya tanaman tahunan (perkebunan dan buah-buahan). Tabel 19. Zonasi agroekologi wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi
Zona Agroekologi
Wilayah Pengembangan KSP
Wilayah Timur Luas (ha) %
Zona Iax Zona Ibx Zona Iby Zona Iiax Zona Iibx Zona Iiby Zona IIIax Zona IIIay Zona IIIbx Zona Ivax Zona Ivay Zona Ivbx
10.150 0 0 12.000 0 0 20.000 0 0 1.052.700 0 0
0,9 0,0 0,0 1,1 0,0 0,0 1,8 0,0 0,0 96,2 0,0 0,0
Luas Wilayah
1.094.850 100,0
Wilayah Tengah Luas (ha) % 120.775 0 20.300 236.713 0 23.090 350.692 341.300 0 1.071.103 11.200 0
5,6 0,0 0,9 10,9 0,0 11,1 16,1 15,7 0,0 49,2 0,5 0,0
2.175.173 100,0
Wilayah Barat Luas (ha) % 303.348 396.635 0 279.996 157.789 0 479.274 0 56.100 117.794 0 17.185
16,7 21,9 0,0 15,4 8,7 0,0 26,4 0,0 3,1 6,5 0,0 1,0
1.813.931 100,0
Sumber : Hasil perhitungan pada Lampiran 5. Zona III mendominasi Wilayah Barat (29,5%) dan Wilayah Tengah (31,8%), hanya sebagian kecil (1,8%) di Wilayah Timur. Zona ini berupa daerah perbukitan dan dataran dengan kemiringan lahan 8 - 15%.
Zona ini mempunyai tingkat
kesuburan tanah yang rendah dan hanya sesuai untuk budidaya tanaman tahunan (perkebunan dan buah-buahan) serta palawija. Zona IV mendominasi Wilayah Timur (96,2%), hampir separuh (49,7%) Wilayah Tengah dan hanya sebagian kecil (7,5%) di Wilayah Barat. Zona ini berupa daerah dataran dengan lereng dominan kurang dari 8%. Zona ini merupa-kan kawasan budidaya pertanian, baik untuk pertanian lahan kering maupun pertanian lahan basah. Wilayah Pengembangan Komoditas Pertanian Unggulan Pewilayahan komoditas pertanian unggulan pada kawasan sentra produksi di Propinsi Jambi dilakukan secara berjenjang berdasarkan pada kondisi yang telah ada (existed) dan perkembangannya selama lima tahun (1998-2002). Pewilayahan dimulai dengan penentuan komoditas pertanian potensial pada masingmasing wilayah pengembangan, dilanjutkan dengan penentuan komoditas pertanian unggulan, dan diakhiri dengan penentuan sentra produksi (KSP Mikro) untuk pengembangan komoditas pertanian unggulan. Wilayah Pengembangan Komoditas Pertanian Potensial Penentuan komoditas pertanian potensial pada masing-masing wilayah pengembangan didasarkan pada kesesuaian persyaratan tumbuh suatu komoditas dengan kondisi agroekologis wilayah (Samijan, dkk, 1999). Dari hasil pemadanan komoditas dengan kondisi wilayah (Lampiran 6), diketahui bahwa jenis tanaman padi dan palawija sesuai untuk dikembangkan pada semua wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi (Tabel 20). Demikian pula halnya dengan tanaman hortikultura buah-buahan sesuai untuk dikembangkan pada semua wilayah pengembangan, kecuali untuk tanaman mangga dan nenas hanya sesuai di Wilayah Tengah. Sedangkan jenis tanaman hortikultura sayuran hanya sesuai di Wilayah Barat dan di sebagian kecil Wilayah Tengah. Untuk komoditas perkebunan, hampir semua jenis tanaman perkebunan sesuai untuk dikembangkan di Wilayah Barat. Sedangkan pada Wilayah Timur hanya sesuai untuk pengembangan tanaman kelapa, kelapa sawit, kopi, kakao dan karet. Rincian jenis komoditas pertanian yang sesuai untuk dikembangkan pada masing-
masing wilayah pengembangan kawasan sentra produksi di Propinsi Jambi dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Kesesuaian agroekologi wilayah pengembangan komoditas pertanian Komoditas Pertanian
Jenis Komoditas dan Wilayah Pengembangan Wilayah Timur
Wilayah Tengah
Wilayah Barat
- Padi - Jagung - Ubi Jalar - Ubi Kayu - Kacang Tanah - Kacang Kedelai
- Padi - Jagung - Ubi Jalar - Ubi Kayu - Kacang Tanah - Kacang Kedelai - Bawang Merah - Bawang Daun
C. Hortikultura Buah-Buahan
- Alpokat - Duku - Durian - Jambu - Jeruk - Pepaya - Pisang - Rambutan - Salak - Sawo
D. Perkebunan
- Kelapa - Kelapa Sawit - Kopi - Kakao - Karet
- Alpokat - Duku - Durian - Jambu - Jeruk - Mangga - Nenas - Pepaya - Pisang - Rambutan - Salak - Sawo - Kelapa - Kelapa Sawit - Kopi - Kakao - Karet - Kayu Manis
- Padi - Jagung - Ubi Jalar - Ubi Kayu - Kacang Tanah - Kacang Kedelai - Bawang Merah - Bawang Daun - Kentang - Kubis - Petsai - Wortel - Alpokat - Duku - Durian - Jambu - Jeruk - Pepaya - Pisang - Rambutan - Salak - Sawo
A. Padi dan Palawija
B. Hortikultura Sayuran
Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 6.
- Kelapa - Kelapa Sawit - Kopi - Kakao - Karet - Kayu Manis - Kemiri - Kapulaga - Lada - Teh - Vanili
Berdasarkan pada kondisi yang telah ada dan perkembangannya selama lima tahun (1998-2002) diketahui hanya tanaman perkebunan yang potensial untuk dikembangkan di seluruh wilayah pengembangan KSP yang ada di Pro-pinsi
Jambi (Lampiran 7). Jenis tanaman perkebunan potensial tersebut beserta wilayah pengembangan dan tingkat produktivitasnya selama lima tahun (1998-2002) disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Jenis tanaman potensial, wilayah pengembangan dan produktivitas pada tahun 1998-2002 Wilayah KSP Kabupate Komoditas Produktivitas (kwintal/ha) Pengembang Makr Pertania 1998 n 1998 2000 2001 2002 n an o
Wilayah Timur
A
B
Wilayah Tengah
C
Tanjab Barat
Tanjab Timur
Batanghari
Muaro Jambi
D
Bungo Tebo
Wilayah Barat
E
Merangin
Karet
6,84 14,6 9 27,4 9
6,84 14,7 1 23,2 2
8,24 14,5 5 36,2 0
8,21 14,2 3 29,3 0
8,34 14,2 3 27,9 2
6,84 14,6 9 27,4 9
6,84 14,7 1 23,2 2
6,88 14,9 1 25,3 3
9,50 14,8 7 19,4 2
8,69 14,8 7 19,4 3
6,85 10,1 2 19,8 7
8,84
7,28
7,28
9,96 25,8 2
8,41 10,0 7 28,4 5
9,95 30,8 9
9,95 31,1 6
6,85 10,1 2 19,8 7 5,64
8,84
7,99
6,71
6,74
9,96 25,8 2 5,55
9,76 31,7 8 5,97
9,80 32,9 1 6,11
9,80 32,7 4 6,25
K Sawit
5,00 7,65 7,50 19,5 7 7,50 19,5 7
5,00 7,65 6,92 23,2 6 6,92 23,2 6
5,00 7,65 6,56 29,8 0 7,32 21,4 9
5,00 7,65 6,90 31,2 7 7,92 21,6 2
5,00 7,65 6,94 31,9 6 7,54 18,5 0
Karet Ky.
7,18 7,86
7,18 7,68
6,80 9,18
6,81 9,28
6,88 9,28
Kelapa K. Sawit Karet Kelapa K. Sawit Karet Kelapa K. Sawit Karet Kelapa K. Sawit Kopi Kapulag a Lada Karet K. Sawit Karet
Manis Kelapa K. Sawit Sarolangun Karet
F
Kerinci
K Sawit Kemiri Karet Ky. Manis Teh
Vanili Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 7
4,87 23,1 7 7,18 23,1 7 6,07 5,78 16,3 3 20,9 3 37,9 3
4,86 23,2 8 7,18 23,2 8 6,43 5,75 20,2 4 21,2 9 11,7 2
5,44 29,4 7 7,55 31,9 0 7,50 6,22 19,9 0 21,2 9
5,38 32,9 8 7,58 30,7 2 8,50 6,09 24,3 4 24,5 5
5,38 36,3 3 7,54 25,7 1 7,50 6,26 22,9 2 20,9 0
8,57
2,50
3,45
Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan Komoditas pertanian unggulan pada masing-masing KSP Makro ditentu-kan berdasarkan pada daya saing dari komoditas pertanian yang menjadi basis ekonomi di wilayah pengembangan KSP Makro. Daya saing komoditas unggulan ditentukan berdasarkan hasil analisis ekonomi dengan menggunakan indikator biaya sumberdaya domestik (Domestic Resources Cost atau DRC) dan hasil analisis finansial dengan menggunakan indikator rasio manfaat/biaya (Benefit Cost Ratio atau B/C Ratio). Suatu komoditas memiliki keunggulan komparatif, jika nilai DRC lebih kecil dari satu (DRC < 1) dan memiliki keunggulan kompetitif jika nilai rasio B/C lebih besar dari satu (B/C > 1) (Budiharsono, 2001; Tarigan, 2004; Pearson, et al., 2004). Penentuan komoditas pertanian yang menjadi basis ekonomi menggunakan model basis ekonomi (economic base model) dengan parameter indeks LQ (Location Quotien) pendapatan dan tenaga kerja. Indeks LQ menyatakan perbandingan pangsa relatif pendapatan atau tenaga kerja suatu sektor pada suatu wilayah dibandingkan dengan pangsa relatif pada wilayah yang lebih luas (Budiharsono, 2001; Tarigan, 2004). Dalam hal ini, perbandingan pangsa relatif pendapatan atau tenaga kerja pada wilayah KSP Makro dibandingkan dengan pangsa relatif
propinsi. Suatu komoditas pertanian dapat menjadi basis ekonomi pada suatu wilayah jika nilai LQ pendapatan atau tenaga kerja komoditas tersebut lebih besar dari satu (LQ > 1). Dari hasil analisis basis ekonomi (Lampiran 8) diketahui tidak semua komoditas pertanian potensial merupakan basis ekonomi bagi wilayah pengembangannya. Dari 10 komoditas pertanian potensial (Tabel 21) hanya 4 komoditas yang merupakan basis ekonomi bagi wilayah pengembangannya, yaitu karet, kelapa, kelapa sawit, dan kayu manis. Sedangkan keenam komoditas lainnya (kopi, kapulaga, kemiri, lada, teh, dan vanili) walaupun potensial, tetapi bukan merupakan basis ekonomi bagi wilayah pengembangannya. Indeks LQ keempat jenis komoditas yang menjadi basis ekonomi tersebut beserta wilayah pengembangannya dapat dilihat pada Tabel 22 dan 23. Tabel 22. Indeks LQ pendapatan komoditas pertanian yang menjadi basis ekonomi dan wilayah pengembangan KSP Makro di Propinsi Jambi Indeks LQ Pendapatan KSP Komoditas Wilayah Kabupaten Makro Pertanian 1998 1999 2000 2001 2002
Timur
A
Tanjab Barat Kelapa 25,97 Sawit 10,06 B Tanjab Timur Kelapa 19,08 Tengah C Batanghari Karet 37,26 Sawit 14,50 Muaro Sawit 17,45 D Bungo Karet 37,55 Tebo Karet 88,40 Barat E Merangin Karet 39,74 Sawit 17,19 Kayu Manis 61,69 Sarolangun Karet 54,52 F Kerinci Kayu 558,3 Manis 5 Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 8, Bagian a.
23,87 23,85 22,24 20,81 11,32 15,15 15,43 13,91 18,26 42,31 16,68 21,60 39,16 90,46 44,37 15,93
16,49 48,93 33,64 34,00 36,97 94,50 46,23 34,55
16,19 45,54 35,07 41,85 37,59 90,64 41,80 22,97
15,74 40,46 31,17 40,20 37,19 80,69 41,94 24,80
66,59 49,03 41,73 40,82 61,77 60,09 57,35 59,69 684,4 513,8 532,1 490,5 8 9 8 2
Tabel 23. Indeks LQ tenaga kerja komoditas pertanian yang menjadi basis ekonomi dan wilayah pengembangan KSP Makro di Propinsi Jambi Indeks LQ Tenaga Kerja KSP Kabupaten/ Komoditas Makro Kota Pertanian Wilayah 1998 1999 2000 2001 2002
Timur
A B
Tanjab Barat Kelapa Sawit Tanjab Kelapa
3,08 1,80 2,98
3,54 1,95 2,98
3,76 1,65 3,13
2,79 1,60 3,22
3,22 1,75 3,48
Tengah
C
Timur Batanghari
Karet 2,00 Sawit 2,08 Muaro Sawit 2,53 D Bungo Karet 1,77 Tebo Karet 2,15 Barat E Merangin Karet 2,01 Sawit 2,66 Kayu Manis 1,81 Sarolangun Karet 2,36 F Kerinci Kayu Manis 4,56 Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 8, Bagian b.
2,13 2,25 2,74 1,64 2,00 1,74 2,43
1,94 2,24 2,83 1,56 1,99 1,95 2,25
2,01 1,74 2,23 1,77 2,04 1,90 2,19
2,06 2,11 2,34 1,81 2,23 1,96 1,57
1,65 2,05
1,75 2,56
1,71 2,38
1,73 1,90
4,81
4,88
4,91
4,99
Dari hasil analisis daya saing dengan menggunakan matriks analisis kebijakan (Policy Analysis Matrix atau PAM) (Tabel 24) diketahui keempat jenis komoditas pertanian yang menjadi basis ekonomi bagi wilayah pengembangannya (Tabel 22 dan 23) merupakan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif (DRC < 1) dan kompetitif (Rasio B/C > 1), sehingga keempat jenis komoditas pertanian tersebut dapat dijadikan sebagai komoditas pertanian unggulan wilayah. Tabel 24. Hasil analisis daya saing komoditas pertanian unggulan dan wilayah pengembangan KSP Makro di Propinsi Jambi KSP Komoditas DR B/ Wilayah Kabupaten Keunggulan Pertanian Makro C C
Timur
A
B Tengah
Tanjab Barat
C
Tanjab Timur Batanghari
D
Muaro Jambi Bungo Tebo
Barat
E
Merangin
Kelapa K. Sawit Kelapa Karet K. Sawit K. Sawit Karet Karet Karet K. Sawit
0,1 3 0,4 2 0,1 3 0,4 0 0,4 2 0,4 2 0,4 0 0,4 0 0,4 0 0,4
1,5 7 1,3 0 1,5 7 1,7 4 1,3 0 1,3 0 1,7 4 1,7 4 1,7 4 1,3
Komparatif dan Kompetitif Komparatif dan Kompetitif Komparatif dan Kompetitif Komparatif dan Kompetitif Komparatif dan Kompetitif Komparatif dan Kompetitif Komparatif dan Kompetitif Komparatif dan Kompetitif Komparatif dan Kompetitif Komparatif dan
2 0,2 Ky. Manis 4 Sarolangun 0,4 Karet 0 F Kerinci Ky 0,2 Manis 4 Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 9.
0 1,8 0 1,7 4 1,8 0
Kompetitif Komparatif dan Kompetitif Komparatif dan Kompetitif Komparatif dan Kompetitif
Kawasan Sentra Pengembangan Komoditas Pertanian Unggulan Pengembangan komoditas pertanian unggulan dilakukan dalam suatu KSP Mikro. Secara konsepsional, KSP Mikro merupakan suatu kesatuan spasial kawasan yang memiliki kondisi agroekologi yang memungkinkan untuk pengembangan ekonomi produktif berbasis komoditas pertanian unggulan (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999b). Oleh karenanya, penentuan kawasan sentra produksi untuk pengembangan komoditas pertanian unggulan dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan kesesuaian agroekologi, potensi produksi dan basis ekonomi kawasan. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan parameter kesesuaian agroekologi (Lampiran 6), potensi produksi (Lampiran 7) dan basis ekonomi kawasan (Lampiran 8) diperoleh sentra produksi andalan untuk komoditas pertanian unggulan di Propinsi Jambi sebagai dapat dilihat pada Tabel 25 dan Gambar 18.
Wilayah
Timur
Tabel 25. KSP komoditas pertanian unggulan di Propinsi Jambi KSP Komoditas Makr Kabupaten Sentra Produksi Pertanian o
A
B
Tanjab Barat Kelapa Kelapa Sawit Tanjab Kelapa Timur
Tungkal Ilir, Pengabuan, Betara Tungkal Ulu Muara Sabak, Mendahara, Dendang, Nipah Panjang,
Tengah
C
D
Barat
E
Batanghari
Karet
Muaro Jambi
Kelapa Sawit Kelapa Sawit
Bungo
Karet
Tebo
Karet
Merangin
Karet Kelapa Sawit
Rantau Rasau, Sadu Muara Tembesi, Batin XXIV, Muara Bulian, Pemayung, Muaro Sebo Ulu Mersam, Batin XXIV, Pemayung, Muaro Sebo Ulu Mestong, Sekerna, Muaro Sebo, Kumpeh Ulu Pelepat, Rantau Pandan, Tanah Sepenggal, Tanah Tumbuh, Jujuha, Muara Bungo Tebo Ilir, Tebo Tengah, Sumay, Tebo Ulu, VII Koto, Rimbo Bujang Muara Siau, Bangko, Sungai Manau, Tabir, Tabir Ulu
Pamenang, Bangko, Tabir Jangkat, Muara Siau, Bangko, Kayu Manis Sungai Manau, Tabir Batang Asai, Sungai Limun, Sarolangun Karet Pelawan Singkut, Sarolangun, Pauh, Mandiangin F Kerinci Kayu Manis Gunung Raya, Batang Merangin, Danau Kerinci, Keliling Danau, Air Hangat, Air Hangat Timur, Gunung Kerinci, Kayu Aro Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 6, 7 dan 8.
Gambar 18. Peta KSP komoditas pertanian unggulan
Perkembangan KSP Komoditas Pertanian Unggulan Dari hasil analisis diketahui komoditas pertanian unggulan di Propinsi Jambi terdiri dari karet, kelapa, kelapa sawit dan kayu manis. Keempat jenis komoditas ini tergolong sebagai tanaman perkebunan. Menurut Budiharjo (2001), komoditas perkebunan sudah menjadi komoditas unggulan masyarakat Jambi sejak awal abad XX.
Bahkan akar historis pertumbuhan dan perkembangan
perekonomian daerah Jambi berakar pada komoditas perkebunan yang memiliki peran sentral pada dinamika kehidupan sosial ekonomi masyarakat Jambi sejak abad XIX. Tinjauan terhadap peran perkebunan dalam pertumbuhan dan perkembangan perekonomian daerah dapat dilihat dari kontribusinya dalam pembentukan produk domestik regional bruto (PDRB) dan penyerapan tenaga kerja. Sejak tahun 2000, sub-sektor perkebunan merupakan penyumbang terbesar dari sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB Propinsi Jambi, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 19 yang memberikan gambaran perkembangan kontribusi subsektor perkebunan terhadap pembentukan PDRB Propinsi Jambi dibandingkan keempat sub-sektor pertanian lainnya.
Persentase (%)
15 12 9 6 3 0 1998 Pangan Kehutanan
1999
2000 Perkebunan Perikanan
2001
2002
Peternakan
Gambar 19. Distribusi persentase sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002
Dibandingkan dengan sub-sektor lainnya di dalam sektor pertanian, perkebunan merupakan sub-sektor yang memiliki laju pertumbuhan tertinggi. Bahkan pada saat puncak krisis ekonomi pada tahun 1998, dimana sub-sektor tanaman pangan, peternakan dan kehutanan tumbuh negatif, sub-sektor perkebunan bersama-sama sub-sektor perikanan mampu tumbuh positif dengan laju pertumbuhan
Laju Pertumbuhan (%)
masing-masing 7,14 dan 6,45% (Gambar 20). 30 20 10 0 -10 -20 -30 -40 1998
1999
Pangan Kehutanan
2000
2001
Perkebunan Perikanan
2002
Peternakan
490.000
50,00
480.000
45,00
470.000
40,00
460.000
35,00
450.000
30,00
440.000 430.000
25,00 1998
1999
Jumlah Tenaga Kerja
2000
2001
Persentase Tenaga Kerja (%)
Jumlah Tenaga Kerja (Orang)
Gambar 20. Laju pertumbuhan sektor pertanian Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002
2002
Persentase Tenaga Kerja
Gambar 21. Jumlah dan pesentase penyerapan tenaga kerja di sub-sektor perkebunan di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002
Dari aspek penyerapan tenaga kerja, peran sub-sektor perkebunan di Propinsi Jambi ditinjau dari keterlibatan rumah tangga pertanian dalam budidaya tanaman perkebunan. Dalam kurun waktu lima tahun (1998-2002), diketahui lebih dari 450.000 kepala keluarga rumah tangga pertanian di Propinsi Jambi bekerja di sub-sektor perkebunan. Gambar 21 memperlihatkan perkembangan jumlah kepala keluarga yang berkerja di sub-sektor perkebunan dan persentase penyerapan tenaga kerja di sub-sektor perkebunan di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002. Perkembangan Sentra Produksi Karet
Diperkirakan tanaman karet pertama kali dibudidayakan oleh rakyat di daerah Jambi pada tahun 1904 (Budihardjo, 2001).
Sejak awal tanaman ini sudah
dibudidayakan di sentra-sentra produksi karet yang ada sekarang yang meliputi: Kabupaten Batanghari, Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Merangin, dan Kabupaten Sarolangun (Gambar 22). Perkembangan jumlah tanaman karet di kelima kabupaten sentra produksi tersebut pada tahap awal dibudidayakan diperlihatkan pada Gambar 23. Adapun perkembangan luas areal dan produksi serta laju pertumbuhan luas areal dan produksi pada sentra produksi karet di kelima kabupaten tersebut dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (1998-2002) diperlihatkan pada Gambar 24 - 27. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (1998-2002) luas areal pertanaman karet di Propinsi Jambi relatif statis dengan laju pertumbuhan luas rata-rata 0,45% per tahun, bahkan beberapa sentra produksi karet mengalami laju pertumbuhan negatif sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 23 dan 24. Hal yang sama terjadi pada perkembangan produksi karet, dalam kurun waktu 1998 2002 pertumbuhan produksi karet relatif statis dengan laju pertumbuhan produksi sebesar 1,33% per tahun. Di beberapa sentra produksi, pertumbuhan produksi karet bahkan terjadi dengan laju pertumbuhan negatif sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 25 dan 26.
Jumlahan Tanaman (Pohon)
Gambar 22. Peta KSP karet di Propinsi Jambi
250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 0 1907
1908
1909
1910
Batanghari
Bungo
Tebo
Merangin
1911
1912
Sarolangun
Gambar 23. Perkembangan jumlah tanaman karet pada tahap awal budidaya di sentra produksi karet Propinsi Jambi pada tahun 1907-1912 Berdasarkan pola pengusahaannya, sebagian besar (97,71%) areal perkebunan karet di Propinsi Jambi merupakan perkebunan rakyat, hanya 0,94% yang merupakan perkebunan negara dan 1,35% perkebunan swasta. Gambar 27 mempelihatkan perbandingan luas areal dari ketiga pola pengusahaan perkebunan karet tersebut.
140.000
Luas Areal (ha)
120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 0 1998
Batanghari
1999
Bungo
Tebo
2000
2001
2002
Merangin
Sarolangun
Luar Sentra
Gambar 24. Perkembangan luas areal tanaman karet di sentra produksi karet Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 Laju Pertumbuhan Luas (%)
15,00 10,00 5,00 0,00 -5,00
-10,00
-15,00 1998
1999
Batanghari Merangin
2000
2001
Bungo Sarolangun
2002
Tebo Luar Sentra
Gambar 25. Laju pertumbuhan luas areal tanaman karet di sentra produksi karet Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 60.000
Produksi (ton)
50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 0 1998 Batanghari
1999 Bungo
Tebo
2000 Merangin
2001 Sarolangun
2002 Luar Sentra
Gambar 26. Perkembangan produksi karet di sentra produksi karet Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002
Laju Pertumbuhan Produksi (%)
30,00 20,00 10,00 0,00 -10,00 -20,00 -30,00 1998
1999
Batanghari Merangin
2000
2001
Bungo Sarolangun
2002
Tebo Luar Sentra
Luas Areal (ha)
Gambar 27. Laju pertumbuhan produksi karet di sentra produksi karet Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002
565.000 560.000 555.000 550.000 545.000 540.000 535.000 530.000 525.000 520.000 1998
Perkebunan Rakyat
1999
2000
Perkebunan Negara
2001
2002
Perkebunan Swasta
Gambar 28. Perkembangan luas areal perkebunan karet berdasarkan pola pengusahaan di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 Perkembangan Sentra Produksi Kelapa
Perkembangan sentra produksi kelapa di kawasan pantai timur Propinsi Jambi sudah dimulai pada abad XIX. Menurut Budihardjo (2001), pada tahun 1934 lebih dari 75% perkebunan kelapa di daerah Jambi berada pada kawasan pantai timur yang mencakup wilayah dari Kuala Tungkal (Kabupaten Tanjung Jabung Barat) sampai Muara Sabak (Kabupaten Tanjung Jabung Timur). Pemusatan sentra produksi kelapa di kawasan pantai timur terus berlanjut hingga saat ini dimana lebih dari 90% luas areal perkebunan kelapa berada di sentra produksi Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur (Gambar 29). Pada
Gambar 30 dan 31 diperlihatkan perkembangan luas areal dan produksi perkebunan kelapa di kedua kawasan sentra produksi tersebut pada tahun 1998-2002.
Gambar 29. Peta KSP kelapa di Propinsi Jambi
70.000
Luas Areal (ha)
60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 0 1998
Tanjab Barat
1999
2000
Tanjab Timur
2001
2002
Luar Sentra
Gambar 30. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa di sentra produksi Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002
70.000
Produksi (Ton)
60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 0 1998
1999
Tanjab Barat
2000
Tanjab Timur
2001
2002
Luar Sentra
Gambar 31. Perkembangan produksi kelapa di sentra produksi kelapa Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 Pada Gambar 30 dan 31 dapat dilihat perkebunan kelapa di Propinsi Jambi terkonsentrasi di dua wilayah KSP, yaitu di KSP Makro A (Kabupaten Tanjung Jabung Barat) dan KSP Makro B (Kabupaten Tanjung Jabung Timur). Gambar 32 dan 33 juga memperlihatkan perkembangan luas areal dan produksi perkebunan kelapa di kedua KSP tersebut cenderung stagnan. Dalam kurun waktu lima tahun (1998-2002) laju pertumbuhan luas areal perkebunan kelapa rata-rata sebesar 0,41% per tahun (Gambar 32), sedangkan laju pertumbuhan produksi rata-rata untuk KSP Makro A dan B masing-masing sebesar 0,12 dan 0,98% per tahun (Gambar 33). Sementara dalam periode waktu yang sama laju pertumbuhan luas areal dan produksi perkebunan kelapa di Indonesia rata-rata sebesar 0,18 dan
Pertumbuhan Luas Areal (%)
3,27% per tahun (Gambar 34).
6,00 4,00 2,00 0,00 -2,00 -4,00 -6,00 -8,00 1998
Tanjab Barat
1999
2000
Tanjab Timur
2001
2002
Luar Sentra
Gambar 32. Laju pertumbuhan luas areal perkebunan kelapa di sentra produksi kelapa Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002
Laju Pertumbuhan Produksi (%)
6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00 -2,00 1998
1999
Tanjab Barat
2000
2001
Tanjab Timur
2002 Luar Sentra
Laju Pertumbuhan (%)
Gambar 33. Laju pertumbuhan produksi kelapa di sentra produksi kelapa Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 8 7 6 5 4 3 2 1 0 -1 -2 1998
1999
Luas Areal
2000 Tahun
2001
2002
Produksi
Gambar 34. Laju pertumbuhan luas areal dan produksi kelapa di Indonesia pada tahun 1998-2002 Perkembangan Sentra Produksi Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan komoditas pertanian unggulan yang baru mulai dikembangkan secara besar-besaran pada hampir semua wilayah kabupaten di Propinsi Jambi pada dasawarsa 1990 (BKPMD Prop. Jambi, 2000). Dewasa ini, hampir semua kabupaten (kecuali Kabupaten Kerinci) dikembangkan perkebunan kelapa sawit melalui berbagai pola pengembangan, baik dalam bentuk perkebunan besar swasta (PBS), perkebunan besar negara (PBN), perkebunan rakyat plasma ataupun dalam bentuk swadaya murni oleh petani perkebunan.
Gambar 35
memperlihatkan kawasan sentra produksi kelapa sawit di Propinsi Jambi. Adapun perkembangan luas areal dan produksi perkebunan kelapa sawit di Propinsi Jambi berdasarkan pola pengembangannya dapat dilihat pada Gambar 36 dan 37.
Gambar 35. Peta KSP kelapa sawit di Propinsi Jambi
350.000 Luas Areal (ha)
300.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 0 1998 Swadaya
1999 Plasma
2000 PBN
2001
2002
PBS
Gambar 36. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di Propinsi Jambi berdasarkan pola pengembangannya pada tahun 1998-2002 Perkembangan luas areal dan produksi perkebunan kelapa sawit pada sentra-sentra produksi kelapa sawit dibandingkan dengan perkembangan luas areal dan produksi perkebunan kelapa sawit di luar sentra produksi di Propinsi Jambi dalam kurun waktu lima tahun (1998-2002) dapat dilihat pada Gambar 38 dan 39.
700.000
Produksi (ton)
600.000 500.000 400.000 300.000 200.000 100.000 0 1998
1999
Swadaya
2000
Plasma
2001
PBN
2002
PBS
Luas Areal (ha)
Gambar 37. Perkembangan produksi perkebunan kelapa sawit di Propinsi Jambi berdasarkan pola pengembangannya pada tahun 1998-2002 100.000 90.000 80.000 70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 0 1998
Tanjab Barat
1999
Batanghari
2000
Muaro Jambi
2001
Merangin
2002
Luar Sentra
Gambar 38. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di sentra produksi Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 200.000
Produksi (ton)
160.000 120.000 80.000 40.000 0 1998
Tanjab Barat
1999
Batanghari
2000
Muaro Jambi
2001
Merangin
2002
Luar Sentra
Gambar 39. Perkembangan produksi kelapa sawit di kawasan sentra produksi Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002
Perkembangan Sentra Produksi Kayu Manis Kawasan sentra produksi (KSP) kayu manis unggulan di Propinsi Jambi terkonsentrasi di Kabupaten Kerinci (Gambar 40). Dari 11 kecamatan yang ada di Kabupaten Kerinci, 8 kecamatan merupakan kawasan sentra produksi kayu manis unggulan. Lebih dari 75% luas areal perkebunan kayu manis di Propinsi Jambi berada di Kabupaten Kerinci dan lebih dari 85% produksi kayu manis berasal dari Kabupaten Kerinci. Adapun perbandingan luas areal kayu manis pada sentra produksi dibandingkan dengan luas areal di luar sentra produksi dapat dilihat pada Gambar 41. Sedangkan perbandingan produksi kayu manis yang berasal dari sentra produksi dengan dari luar sentra produksi dapat dilihat pada Gambar 42.
Gambar 40. Peta KSP kayu manis di Propinsi Jambi
Luas Areal (ha)
60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 0 1998
1999
Sentra Produksi
2000
2001
2002
Luar Sentra
Gambar 41. Perkembangan luas areal perkebunan kayu manis di kawasan sentra produksi Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002
30.000 Produksi (ton)
25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0 1998
1999
Sentra Produksi
2000
2001
2002
Luar Sentra
Gambar 42. Perkembangan produksi kayu manis dari kawasan sentra produksi Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002
Keadaan Umum Agroindustri Pangan di Propinsi Jambi Perkembangan Sektor Industri di Propinsi Jambi
Sampai dengan tahun 2002 di Propinsi Jambi terdapat 6.937 perusahaan industri yang menyerap 58.019 orang tenaga kerja (BPS Prop. Jambi, 2004). Perkembangan jumlah perusahaan industri dan penyerapan tenaga kerja sektor industri di Propinsi Jambi dalam kurun waktu 15 tahun terakhir (1988-2002) dapat dilihat pada Gambar 43.
70.000 60.000
8.000
50.000
6.000
40.000
4.000
30.000 20.000
2.000
Tenaga Kerja
Jumlah Perusahaan
10.000
10.000
0
0 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 OO O1 O2 Jumlah Perusahaan (Unit)
Tenaga Kerja (Orang)
Gambar 43. Perkembangan industri dan penyerapan tenaga kerja industri di Propinsi Jambi pada tahun 1988-2002 Dari Gambar 43 dapat dilihat puncak pertumbuhan jumlah perusahaan industri tercapai pada tahun 1997 dimana terdapat sebanyak 9.100 perusahaan industri yang mempekerjakan 57.420 orang tenaga kerja. Pada tahun 1998 jumlah perusahaan industri turun menjadi 6.869 perusahaan, karena sebanyak 2.231 perusahaan kolap akibat krisis ekonomi yang mulai terjadi pada tahun 1997. Penurunan jumlah perusahaan pada tahun 1998 menyebabkan penurunan penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 1998, tenaga kerja yang bekerja di sektor industri turun menjadi 52.766 orang, berkurang sebanyak 4.654 orang dibandingkan dengan keadaan sebelum krisis ekonomi tahun 1997. Baru pada tahun 2002 jumlah penyerapan tenaga kerja sektor industri kembali ke keadaan seperti sebelum krisis ekonomi tahun 1997. Dampak dari krisis ekonomi yang mulai terjadi pada tahun 1997 terhadap sektor industri di Propinsi Jambi juga dapat dilihat dari penurunan kontribusi sektor industri terhadap PDRB Propinsi Jambi pada tahun 1998. Dari tahun 1993 sampai 1997 terjadi peningkatan yang tajam persentase kontribusi sektor industri terhadap PDRB, dari 15,97% pada tahun 1993 menjadi 18,91% pada tahun 1997. Akan tetapi pada tahun 1998, akibat krisis ekonomi, kontribusi sektor industri terhadap PDRB turun menjadi 18,12% dan mencapai titik terendah pada tahun 2001 sebesar 17,16% (Gambar 44).
19,50 19,00 18,50 18,00 17,50 17,00 16,50 16,00 15,50 15,00 14,50
600.000 500.000 400.000 300.000 200.000 100.000 0 93
94
95
96
97
98
Nilai Tambah Sektor Industri
99
OO
O1
Persentase (%)
Nilai Tambah (Rp Juta)
700.000
O2
Persentase terhadap PDRB
Gambar 44. Kontribusi sektor industri terhadap PDRB Propinsi Jambi pada tahun 1993-2002 Struktur Industri di Propinsi Jambi
Berdasarkan skala usaha, sebagian besar (lebih dari 98%) perusahaan industri yang ada di Propinsi Jambi tergolong dalam industri skala kecil, hanya sebagian kecil (kurang dari 2%) yang tergolong dalam industri skala besar/sedang. Akan tetapi dalam penyerapan tenaga kerja, industri skala kecil menyerap kurang dari 50% tenaga kerja sektor industri, sedangkan industri besar/sedang menyerap lebih dari 50% tenaga kerja sektor industri. Tabel 26 memperlihatkan perkembangan jumlah perusahaan industri dan penyerapan tenaga kerja sektor industri berdasarkan skala usaha di Propinsi Jambi dalam kurun waktu lima tahun (19982002). Tabel 26. Perkembangan jumlah perusahaan industri dan penyerapan tenaga kerja sektor industri di Propinsi Jambi (1998-2002)
ahun 1998 1999 2000 2001 2002
T
Jumlah Perusahaan Industri Besar/Sedang Kecil Jumlah Persen Jumlah Persen (Unit) (%) (Unit) (%) 128 145 127 128 130
1,86 1,95 1,99 1,94 1,87
6.741 7.284 6.252 6.479 6.807
Sumber : BPS Prop. Jambi, 2004.
98,14 98,05 98,01 98,06 98,13
Penyerapan Tenaga Kerja Besar/Sedang Kecil Jumlah Persen Jumlah Persen (Orang) (%) (Orang) (%) 32.391 34.115 33.035 28.892 31.255
61,39 64,58 63,94 52,28 53,87
20.375 18.712 18.631 26.367 26.764
38,61 35,42 36,06 47,72 46,13
Berdasarkan kode klasifikasi industri, perusahaan industri skala besar/ sedang yang ada di Propinsi Jambi dapat diklasifikasikan ke dalam 9 sub-sektor industri, yaitu industri makanan dan minuman (ISIC 15), industri pakaian jadi (ISIC 18), industri pengolahan kayu (ISIC 20), industri kertas (ISIC 21), industri kimia (ISIC 24), industri karet (ISIC 25), industri barang galian (ISIC 26), industri alat angkutan (ISIC 35), dan industri funitur (ISIC 36). Sub-sektor industri pengolahan kayu (ISIC 20) mendominasi perkembangan sektor industri di Propinsi Jambi. Lebih dari 55% dari jumlah total perusahaan industri termasuk dalam sub-sektor industri pengolahan kayu, diikuti oleh subsektor industri makanan dan minuman (ISIC 15) sebesar lebih dari 20%. Adapun ketujuh sub-sektor industri lainnya (ISIC 18, 21, 24, 25, 26, 35, dan 36) masingmasing kurang dari 5% dari jumlah industri besar/sedang yang terdapat di Propinsi Jambi (Gambar 45).
Jumlah Perusahaan
100 80 60 40 20 0 15
17 1998
20
21 24 25 Kode Sub-Sektor Industri
1999
2000
2001
26
35
36
2002
Gambar 45. Perkembangan jumlah perusahaan industri berdasarkan kelompok industri di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 Perkembangan Agroindustri Pangan
Perkembangan sub-sektor industri makanan dan minuman (ISIC 15) di Propinsi Jambi didominasi oleh golongan industri pengolahan dan pengawetan hasil pertanian (agroindustri pangan) (ISIC 151). Pada tahun 2002, dari sejumlah 35 perusahaan industri makanan dan minuman yang ada di Propinsi Jambi, sebanyak 29 perusahaan (82,86%) termasuk dalam golongan agroindustri pangan.
Adapun golongan industri makanan lainnya (ISIC 154) dan golongan industri minuman (ISIC 155) masing-masing sebanyak 3 perusahaan atau 8,57% dari jumlah keseluruhan industri makanan dan minuman yang ada di Propinsi Jambi pada tahun 2002. Perkembangan sub-sektor industri makanan dan minuman di Propinsi Jambi dalam kurun waktu lima tahun (1998-2002) dirinci berdasarkan golongan industri dapat dilihat pada Gambar 46. 35 Jumlah Perusahaan
30 25 20 15 10 5 0 1998
Agroindustri Pangan
1999
2000
Industri Pangan Lainnya
2001
2002
Industri Minuman
Gambar 46. Perkembangan jumlah perusahaan sub-sektor industri makanan dan minuman di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 Perincian lebih lanjut golongan agroindustri pangan skala besar/sedang yang ada di Propinsi Jambi ke dalam sub-golongan industri memperlihatkan bahwa agroindustri pangan skala besar/sedang di Propinsi Jambi terdiri dari industri: minyak kasar (crude oil) (ISIC 15141), minyak goreng dari minyak kelapa (ISIC 15143) dan minyak goreng dari minyak kelapa sawit (ISIC 15144). Perkembangan jumlah perusahaan dari ketiga sub-golongan industri tersebut dalam kurun waktu lima tahun (1998-2002) dapat dilihat pada Gambar 47. Industri minyak kasar (ISIC 15141) yang berkembang di Propinsi Jambi terdiri dari industri: minyak kelapa (crude coconut oil, CCO), minyak kelapa sawit (crude palm oil, CPO) dan minyak inti sawit (palm kernel oil, PKO). Perusahaan industri PKO baru berdiri pada tahun 2001 dan sampai akhir tahun 2002 belum berproduksi. Perkembangan jumlah perusahaan dari ketiga jenis industri minyak kasar ini dalam kurun waktu lima tahun (1998-2002) dapat dilihat pada Gambar 48.
Jumlah Perusahaan
30 25 20 15 10 5 0 Minyak Kasar (15141) 1998
Minyak Kelapa (15143) 1999
2000
2001
Minyak Sawit (15144) 2002
Gambar 47. Perkembangan jumlah perusahaan golongan agroindustri pangan skala besar/sedang di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 16
Jumlah Perusahaan
14 12 10 8 6 4 2 0 CCO
CPO 1998
1999
2000
PKO 2001
2002
Gambar 48. Perkembangan jumlah perusahaan industri pengolahan CCO, CPO, dan PKO di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002
Crude Coconut Oil (CCO) merupakan produk olahan primer dari kelapa. Sedangkan Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO) merupakan produk olahan primer dari kelapa sawit. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa agroindustri pangan yang berkembang di Propinsi Jambi adalah agroindustri minyak nabati kasar (crude vegetable oil) (ISIC 15141) yang menggunakan bahan baku dari perkebunan kelapa dan kelapa sawit. Kedua komoditas perkebunan ini merupakan komoditas pertanian unggulan di Propinsi Jambi (Tabel 25).
Keterkaitan Perkembangan Agroindustri Pangan dengan Komoditas Pertanian Unggulan
Agroindustri Kelapa Berdasarkan hasil analisis keterkaitan dengan menggunakan uji korelasijenjang Spearman (Daniel, 1989) diketahui terdapat korelasi antara produksi kelapa dengan kapasitas produksi industri minyak kelapa (CCO) pada suatu kawasan sentra produksi. Peningkatan produksi kelapa pada suatu KSP berkorelasi positif dengan peningkatan kapasitas produksi industri CCO pada kawasan tersebut, tetapi tidak berkorelasi dengan kapasitas produksi industri CCO di luar KSP. Sebaliknya, peningkatan produksi kelapa di luar KSP tidak berkorelasi dengan peningkatan kapasitas produksi industri CCO, baik di dalam ataupun di luar KSP (Tabel 27). Tabel 27. Koefisien korelasi-jenjang Spearman antara produksi kelapa dengan kapasitas produksi industri CCO Kawasan Sentra Produksi (KSP) Produksi Dalam KSP Kelapa Luar KSP Sumber: Hasil analisis *)sangat nyata
Kapasitas Produksi IndustriCCO Dalam KSP Luar KSP 0,9000*) -0,5000 0.7000 -0,3000
Tabel 28. Koefisien korelasi-jenjang Spearman antara industri CCO dengan industri minyak goreng kelapa Kawasan Sentra Produksi (KSP) Kapasitas Dalam KSP Produksi Industri Luar KSP CCO Sumber: Hasil analisis
Kapasitas Produksi Industri Minyak Goreng Kelapa Dalam KSP Luar KSP 0,5000
0,5000
0,5000
0,5000
Korelasi antara produksi kelapa dengan kapasitas produksi industri CCO pada suatu KSP mengindikasikan adanya keterkaitan ke belakang (backward
linkage) antara industri CCO dengan sub-sektor perkebunan kelapa (Tabel 27). Sebaliknya, dari Tabel 28 diketahui kapasitas produksi CCO tidak berkorelasi dengan kapasitas produksi industri minyak goreng kelapa, baik di dalam KSP ataupun di luar KSP. Hal ini mengindikasikan rendahnya keterkaitan ke depan
(forward linkage) industri CCO terhadap industri minyak goreng. Dari hasil analisis tataniaga komoditi CCO diketahui kurang dari 40% produksi CCO yang diserap oleh industri minyak goreng kelapa, hampir 20% diperdagangkan di pasar regional, dan lebih dari 40% diekspor.
Rendahnya
persentase CCO yang diolah menjadi minyak goreng kelapa mengindikasikan rendahnya keterkaitan ke depan antara industri CCO dengan industri minyak goreng kelapa di Propinsi Jambi.
Agroindustri Kelapa Sawit Dari hasil analisis dengan menggunakan uji korelasi-jenjang Spearman diketahui terdapat korelasi antara perkembangan produksi kelapa sawit dengan perkembangan kapasitas produksi industri CPO pada suatu kawasan sentra produksi. Peningkatan produksi kelapa sawit di dalam suatu KSP berkorelasi positif dengan peningkatan kapasitas produksi industri CPO di dalam dan di luar kawasan tersebut. Sedangkan peningkatan produksi kelapa sawit di luar KSP hanya berkorelasi dengan peningkatan kapasitas produksi industri CPO yang terdapat di dalam KSP. Adapun korelasi antara peningkatan produksi kelapa sawit di dalam suatu KSP dengan peningkatan kapasitas produksi industri PKO di dalam ataupun di luar kawasan belum dapat dianalisis, karena belum tersediannya data produksi PKO (Tabel 29). Korelasi antara produksi kelapa sawit dengan kapasitas produksi industri CPO mengindikasikan adanya keterkaitan ke belakang (backward linkage) antara industri CPO dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit. Dari hasil analisis (Tabel 29) diketahui keterkaitan tersebut terjadi pada industri CPO yang terdapat di dalam kawasan sentra produksi. Sebaliknya, korelasi antara kapasitas produksi industri CPO dengan kapasitas produksi industri minyak goreng kelapa sawit
hanya terjadi pada industri yang terdapat di luar KSP (Tabel 30). Hal ini mengindikasikan rendahnya kaitan ke dapan (forward lingkage) industri CPO yang ada di Propinsi Jambi. Tabel 29. Koefisien korelasi-jenjang Spearman antara produksi kelapa sawit dengan kapasitas produksi industri CPO dan PKO Kawasan Sentra Produksi (KSP) Produksi Kelapa Sawit
Kapasitas Produksi Industri CPO Industri PKO Dalam KSP Luar KSP Dalam KSP Luar KSP
Dalam KSP
0,9750**)
0,9000**)
t.a.d.
t.a.d.
Luar KSP
0,8000*)
0,5000
t.a.d.
t.a.d.
Sumber: Hasil analisis Keterangan : **) = sangat nyata, *) = nyata t.a.d. = tidak ada data Tabel 30. Koefisien korelasi-jenjang Spearman antara industri CPO dengan industri minyak goreng kelapa sawit Kawasan Sentra Produksi (KSP) Kapasitas Dalam KSP Produksi Luar KSP Industri CPO Sumber: Hasil analisis *)nyata
Kapasitas Produksi Industri Minyak Goreng Kelapa Sawit Dalam KSP Luar KSP 0,5500
0,6750
0,6000
0,8500*)
Dari hasil analisis tataniaga CPO di Propinsi Jambi diketahui lebih dari 95% produksi CPO diekspor. Adapun yang diperdagangkan secara lokal kurang dari 5% dari total produksi CPO. Rendahnya persentase CPO yang diserap di dalam perdagangan lokal ini mengindikasikan rendahnya keterkaitan ke depan antara industri CPO dengan industri minyak goreng kelapa sawit di Propinsi Jambi.
DIAGNOSIS AGROINDUSTRI PANGAN KOMODITAS PERTANIAN UNGGULAN DI PROPINSI JAMBI Diagnosis agroindustri pangan komoditas pertanian unggulan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran posisi strategis agroindustri pangan komoditas pertanian unggulan yang ada di Propinsi Jambi pada saat sekarang dan prakiraan perkembangannya dalam jangka waktu 5 tahun yang akan datang. Berdasarkan hasil analisis situasional diketahui agroindustri pangan komoditas pertanian unggulan yang berkembang di Propinsi Jambi adalah agroindustri minyak nabati kasar (crude vegetable oil, ISIC 15141) yang terdiri dari agroindustri kelapa dengan produk berupa minyak kelapa kasar (crude coconut oil, CCO) dan agroindustri kelapa sawit dengan produk berupa minyak kelapa sawit kasar (crude
palm oil, CPO) dan minyak inti sawit (palm karnel oil, PKO). Penempatan posisi strategis agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit dilakukan pada level perusahaan berdasarkan hasil analisis portofolio dengan menggunakan matriks McKinsey-Ansoff. Matriks ini merupakan pengembangan dari matriks daya tarik industri (the industry attractiveness – business
strength matrix) GE-McKinsey dan matriks posisi menyebar (dispersed positioning) Ansoff. Matriks ini digunakan untuk menggambarkan posisi strategis perusahaan pada saat sekarang dan prakiraan perkembangannya pada masa mendatang. Di samping itu, matriks ini juga digunakan untuk mensintesis alternatif strategi pada level perusahaan (Pearce and Robinson, 1996; Muhammad, 2002; Supratikno, dkk, 2003). Penyusunan matriks posisi strategis perusahaan agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit dilakukan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama dilakukan analisis perkembangan agroindustri. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan daya tarik agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit pada saat sekarang dan prakiraan perkembangannya dalam jangka waktu 5 tahun yang akan datang. Pada tahap kedua dilakukan diagnosis posisi persaingan perusahaan yang tergolong dalam agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit yang ada di Propinsi Jambi. Adapun pada tahap ketiga dilakukan sintesis posisi strategis
perusahaan agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit berdasarkan hasil analisis daya tarik agroindustri dan diagnosis posisi persaingan perusahaan.
Perkembangan Agroindustri Pangan Pendeskripsian perkembangan daya tarik agroindustri pangan menggunakan pendekatan refleksi pasar (pre-commercialization, Metode PRECOM) berdasarkan konsep produk, konsep teknik dan konsep ekonomi yang dikembangkan oleh Hubeis (1997 dan 1998) dengan indikator pertumbuhan pasar dan pangsa pasar (konsep ekonomi), perkembangan mutu dan jajaran/variasi produk turunan (konsep produk) serta perkembangan teknologi proses (konsep teknik).
Pertumbuhan Pasar Agroindustri Pangan Daya tarik agroindustri pangan berdasarkan indikator pertumbuhan pasar dianalisis dengan menggunakan data pertumbuhan pasar ekspor dan pertumbuhan pasar domestik produk agroindustri kelapa (CPO) dan produk agroindustri kelapa sawit (CPO dan PKO). Pertumbuhan pasar ekspor dihitung dari data keseimbangan penawaran dan permintaan minyak nabati dunia. Pada tahun 2002, pasar ekspor CCO, CPO dan PKO masing-masing sebesar 1.732.500 ton, 10.544.900 ton dan 1.579.300 ton atau masing-masing tumbuh sebesar 1,4%, 8,8% dan 7,7% dibandingkan dengan pasar ekspor pada tahun 2001 (Ditjen Perkebunan, 2004a dan 2004b). Dengan demikian, berdasarkan indikator pertumbuhan pasar ekspor, daya tarik agroindustri kelapa (CCO) berada pada posisi sedang. Adapun daya tarik agroindustri kelapa sawit (CPO dan PKO) berada pada posisi tinggi (Tabel 31). Prediksi pertumbuhan pasar ekspor CCO, CPO dan PKO dalam kurun waktu 5 tahun mendatang didasarkan pada ekstrapolasi data pasar ekspor ketiga komoditi tersebut selama 10 tahun terakhir. Berdasarkan data tahun 1993-2002 (Gambar 49), diketahui pasar ekspor CCO berfluktuasi dengan pertumbuhan ratarata sebesar 1,6% per tahun (Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2004a). Pada tahun yang sama pertumbuhan pasar ekspor CPO sebesar 10,7% per tahun, sedangkan pertumbuhan pasar ekspor PKO sebesar 7,4% per tahun (Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2004b).
Ekstrapolasi data pertumbuhan pasar ekspor CCO, CPO dan PKO untuk 5 tahun mendatang menghasilkan angka pertumbuhan pasar ekspor CCO pada tahun 2007 sebesar 1,4% per tahun. Pada tahun yang sama pertumbuhan pasar ekspor CPO sebesar 4,8% per tahun dan pertumbuhan pasar ekspor PKO sebesar 4,5% per tahun. Dengan demikian, berdasarkan indikator pertumbuhan pasar ekspor, daya tarik agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit dalam kurun waktu 5 tahun mendatang tergolong sedang (Tabel 31).
Pasar Ekspor (.000 Ton)
20.000 16.000 12.000 8.000 4.000 0 1993
1994
1995
1996
1997
CCO
1998
1999
2000
CPO
2001
2002
PKO
Gambar 49. Pasar ekspor CCO, CPO dan PKO pada tahun 1993 - 2002 Tabel 31. Pertumbuhan pasar ekspor produk agroindustri kelapa dan kelapa sawit
Golongan/Jenis Industri
Pertumbuhan Pasar Ekspor Pada Saat Sekarang 5 Tahun Mendatang Nilai Daya Tarik Nilai Daya Tarik
Agroindustri Kelapa CCO 1,4% Agroindustri Kelapa Sawit CPO 8,8% PKO 7,7% Sumber : Hasil analisis
Rendah
1,3%
Rendah
Tinggi Tinggi
4,8% 4,5%
Sedang Sedang
Berdasarkan indikator pertumbuhan pasar domestik, daya tarik agroindustri kelapa tergolong rendah, sebaliknya daya tarik agroindustri kelapa sawit berada pada posisi sedang sampai tinggi (Tabel 32). Hal ini diindikasikan oleh pertumbuhan pasar domestik pada tahun 2002 dimana pasar domestik produk CCO mengalami konstraksi sebesar –1,4% (Ditjen Perkebunan, 2004a), sebaliknya
pasar domestik produk CPO tumbuh sebesar 5,4% dan pasar domestik PKO tumbuh sebesar 8,2% (Ditjen Perkebunan, 2004b). Prediksi pertumbuhan pasar domestik CCO, CPO dan PKO untuk 5 tahun mendatang menggunakan data perkembangan pasar domestik 10 tahun terakhir (1993-2002) sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 50 (Ditjen Perkebunan, 2004a dan 2004b). Hasil prediksi mengindikasikan berdasarkan pertumbuhan pasar domestik, daya tarik agroindustri kelapa dalam kurun waktu 5 tahun mendatang berada pada posisi rendah. Pada waktu yang sama, daya tarik agroindustri kelapa sawit berada pada posisi sedang (Tabel 32). Hal ini dapat dilihat dari prediksi pertumbuhan pasar domestik CCO dlam kurun waktu 5 tahun mendatang yang mengalami konstraksi sebesar –4,5%, sedangkan pasar domestik produk CPO dan PKO masing-masing tumbuh sebesar 3,5% dan 5,2%.
Pasar Domestik (.000 Ton)
3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 0 1993
1994
1995
1996
1997
CCO
1998
CPO
1999
2000
2001
2002
PKO
Gambar 50. Pasar domestik CCO, CPO dan PKO pada tahun 1993 – 2002 Tabel 32. Pertumbuhan pasar domestik produk agroindustri kelapa dan kelapa sawit
Golongan/Jenis Industri
Pertumbuhan Pasar Domestik Pada Saat Sekarang 5 Tahun Mendatang Nilai Daya Tarik Nilai Daya Tarik
Agroindustri Kelapa CCO -1,4% Agroindustri Kelapa Sawit CPO 5,4% PKO 8,2% Sumber : Hasil analisis
Rendah
-4,5%
Rendah
Sedang Tinggi
3,5% 5,2%
Sedang Sedang
Pangsa Pasar Penilaian daya tarik agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit berdasarkan pangsa pasar ditinjau dari perkembangan pasar ekspor produk CCO, CPO dan PKO Indonesia dalam perdagangan dunia. Volume dan pangsa ekspor CCO, CPO dan PKO Indonesia dalam perdagangan dunia pada tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Volume dan pangsa ekspor CCO, CPO dan PKO Indonesia pada tahun 2002
Komoditi
Ekspor Volume (ton) Pangsa (%)
CCO 476.300 27,5% CPO 6.379.500 32,6% PKO 738.400 46,8% a b Sumber : Ditjen Perkebunan, 2004 dan 2004 Prediksi pangsa ekspor CCO, CPO dan PKO untuk jangka waktu 5 tahun mendatang didasarkan pada prediksi volume ekspor Indonesia dan perkembangan pasar ekspor dengan menggunakan data keseimbangan penawaran dan permintaan dunia terhadap CCO, CPO dan PKO dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (19932002). Prediksi volume dan pangsa ekspor CCO, CPO dan PKO Indonesia dalam perdagangan dunia pada kurun waktu 5 tahun mendatang dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Prakiraan volume dan pangsa ekspor CCO, CPO dan PKO Indonesia pada tahun 2007
Komoditi
Ekspor Volume (ton) Pangsa (%)
CCO 722.000 CPO 11.870.000 PKO 1.020.000 Sumber : Hasil analisis
38,3% 39,6% 49,2%
Dari data ekspor CCO, CPO dan PKO pada tahun 2002 (Tabel 33) dan prediksi pertumbuhannya pada kurun waktu 5 tahun kemudian (Tabel 34), dapat
diperkirakan agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit di Indonesia akan memiliki daya tarik yang tinggi sampai jangka waktu 5 tahun mendatang. Hal ini diindikasikan oleh pangsa ekspor untuk ketiga komoditi agroindustri tersebut pada saat sekarang dan prakiraannya pada masa mendatang berada pada kisaran angka yang tinggi, yaitu di atas 25% (Tabel 35). Tabel 35. Pertumbuhan pangsa pasar produk agroindustri kelapa dan kelapa sawit
Jenis Industri
Pangsa Pasar Pada Saat Sekarang 5 Tahun Mendatang Nilai Daya Tarik Nilai Daya Tarik
Agroindustri Kelapa CCO 27,5% Agroindustri Kelapa Sawit CPO 32,6% PKO 46,8% Sumber : Hasil analisis
Tinggi
38,3%
Tinggi
Tinggi Tinggi
39,6% 49,2%
Tinggi Tinggi
Perkembangan Produk Agroindustri Pangan Penilaian daya tarik agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit berdasarkan konsep produk dilakukan dengan menggunakan pendekatan refleksi pasar (pre-commercialization) dengan parameter posisi horizontal dan posisi vertikal (Hubeis, 1997 dan 1998) produk CCO, CPO dan PKO. Penilaian posisi horizontal didasarkan pada perkembangan mutu produk. Sedangkan posisi vertikal dinilai dari kedudukan CCO, CPO dan PKO di dalam produk turunannya. Dari hasil diagnosis agroindustri kelapa dengan menggunakan parameter perkembangan produk CCO, diketahui daya tarik agroindustri kelapa berada pada posisi tinggi yang diindikasikan dari adanya segmentasi pasar berdasarkan diferensiasi produk CCO. Posisi ini akan terus bertahan dalam jangka waktu 5 tahun mendatang. Hal yang sama diperoleh dari hasil diagnosis agroindustri kelapa sawit dengan menggunakan parameter perkembangan produk CPO, diketahui daya saing agroindustri kelapa sawit pada saat sekarang dan 5 tahun ke depan berada pada posisi tinggi. Sebaliknya dari hasil diagnosis agroindustri kelapa sawit dengan menggunakan parameter perkembangan produk PKO, diketahui daya saing
agroindustri kelapa sawit pada saat sekarang berada pada posisi sedang dan akan meningkat menjadi tinggi dalam jangka waktu 5 tahun mendatang (Tabel 36). Tabel 36. Perkembangan mutu produk agroindustri kelapa dan kelapa sawit
Jenis Industri Agroindustri Kelapa CCO
Perkembangan Mutu Produk Pada Saat Sekarang 5 Tahun Mendatang Nilai Daya Tarik Nilai Daya Tarik 3
Tinggi
3
Tinggi
Agroindustri Kelapa Sawit CPO 3 PKO 2 Sumber : Hasil analisis
Tinggi Sedang
3 3
Tinggi Tinggi
Dari hasil diagnosis agroindustri kelapa dengan menggunakan parameter perkembangan produk turunan CCO, diketahui daya tarik agroindustri kelapa berada pada posisi tinggi yang diindikasikan dari adanya produk hilir yang menggunakan CCO sebagai bahan baku utama. Diperkirakan produk hilir CCO akan terus berkembang sampai jangka waktu 5 tahun mendatang. Hasil yang sama diperoleh dari hasil diagnosis agroindustri kelapa sawit dengan menggunakan parameter perkembangan produk turunan CPO, diketahui daya saing agroindustri kelapa sawit pada saat sekarang dan 5 tahun ke depan berada pada posisi tinggi. Sedangkan dari hasil diagnosis dengan menggunakan parameter perkembangan produk turunan PKO, diketahui daya saing agroindustri kelapa sawit pada saat sekarang berada pada posisi rendah dan akan berkembang menjadi tinggi dalam jangka waktu 5 tahun mendatang (Tabel 37). Tabel 37. Perkembangan produk turunan agroindustri kelapa dan kelapa sawit
Jenis Industri Agroindustri Kelapa CCO
Perkembangan Produk Turunan Pada Saat Sekarang 5 Tahun Mendatang Nilai Daya Tarik Nilai Daya Tarik 3
Tinggi
3
Tinggi
Agroindustri Kelapa Sawit CPO 3 PKO 1 Sumber : Hasil analisis
Tinggi Rendah
3 3
Tinggi Tinggi
Perkembangan Teknologi Proses Penilaian daya tarik agroindustri pangan berdasarkan indikator perkembangan teknologi proses dilakukan dengan menggunakan parameter perkembangan perangkat teknologi (technoware) dan metode proses produksi yang digunakan oleh perusahaan yang tergolong dalam agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit. Dari hasil diagnosis terhadap agroindustri kelapa, diketahui daya tarik agroindustri kelapa berada pada posisi sedang. Diperkirakan posisi ini akan tetap bertahan dalam jangka waktu 5 tahun mendatang (Tabel 38). Dari hasil diagnosis terhadap agroindustri kelapa sawit berdasarkan perkembangan teknologi proses produksi CPO, diketahui daya tarik agroindustri kelapa sawit berada pada posisi tinggi. Diperkirakan posisi ini akan terus bertahan sampai jangka waktu 5 tahun mendatang. Adapun dari hasil diagnosis berdasarkan perkembangan teknologi proses produksi PKO, diketahui daya tarik agroindustri kelapa sawit berada pada posisi sedang. Posisi daya tarik ini akan berkembang menjadi tinggi dalam kurun waktu 5 tahun mendatang (Tabel 38). Tabel 38. Perkembangan teknologi proses agroindustri kelapa dan kelapa sawit
Jenis Industri Agroindustri Kelapa CCO
Perkembangan Teknologi Proses Pada Saat Sekarang 5 Tahun Mendatang Nilai Daya Tarik Nilai Daya Tarik 2
Sedang
2
Sedang
Agroindustri Kelapa Sawit CPO 3 PKO 2 Sumber : Hasil analisis
Tinggi Sedang
3 3
Tinggi Tinggi
Perkembangan Daya Tarik Agroindustri Pangan Pendeskripsian perkembangan agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit mengggunakan ukuran daya tarik industri pada saat sekarang dan pra-
kiraan perkembangannya 5 tahun mendatang. Penilaian dilakukan dengan cara memberi pembobotan terhadap indikator daya tarik industri yang digunakan (Tabel 39) Tabel 39. Perkembangan daya tarik agroindustri kelapa dan kelapa sawit Indikator Daya Tarik
Daya Tarik Agroindustri Pangan Bobot Sekarang Mendatang CCO CPO PKO CCO CPO PKO
1. Pertumbuhan Pasar - Pasar Ekspor 0,250 1 3 3 1 2 2 - Pasar Domestik 0,150 1 2 3 1 2 3 2. Pangsa Pasar 0,250 3 3 3 3 3 3 3. Perkembangan Produk 0,100 3 3 2 3 3 3 4. Perkembangan Produk Turunan 0,150 3 3 1 3 3 3 5. Perkembangan Teknologi 0,100 2 3 2 2 3 3 Jumlah Rataan Tertimbang 2,100 2,850 2,500 2,100 2,600 2,750 Sumber : Hasil Analisis Keterangan : 1 = Rendah, 2 = Sedang, 3 = Tinggi
Dari hasil analisis daya tarik agroindustri kelapa dengan menggunakan parameter perkembangan daya tarik produk CCO diketahui posisi daya tarik agroindustri kelapa berada pada posisi sedang. Posisi daya tarik ini akan bertahan sampai jangka waktu 5 tahun mendatang. Adapun dari hasil analisis daya tarik agroindustri kelapa sawit dengan menggunakan parameter perkembangan daya tarik produk CPO diketahui posisi daya tarik agroindustri kelapa sawit akan mengalami penurunan dalam jangka waktu 5 tahun mendatang. Penurunan daya tarik ini disebabkan oleh penurunan laju pertumbuhan pasar ekspor CPO dari posisi tinggi ke posisi sedang. Sebaliknya dari hasil analisis daya tarik agroindustri kelapa sawit dengan menggunakan parameter perkembangan daya tarik produk PKO diketahui posisi daya tarik agroindustri kelapa sawit akan mengalami peningkatan dalam jangka waktu 5 tahun mendatang. Peningkatan in terutama disebabkan oleh adanya perkembangan mutu produk PKO dan produk turunannya dalam jangka waktu 5 tahun mendatang (Tabel 39).
Posisi Persaingan Perusahaan Agroindustri Pangan Pendeskripsian posisi persaingan perusahaan agroindustri pangan dilakukan pada tataran lingkungan operasional perusahaan. Pendeskripsian didasarkan pada
hasil penilaian kekuatan bisnis (business strengths) perusahaan yang termasuk dalam golongan agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit yang terdapat di Propinsi Jambi.
Penilaian menggunakan lima indikator posisi persaingan
perusahaan yang terdiri dari: pesaing, pelanggan, tenaga kerja, pemasok dan teknologi. Kelima indikator ini merupakan turunan dari lima faktor kekuatan industri Porter (Porter Five Forces) yang terdiri dari: pesaing, pendatang baru dan produk substitusi serta pemasok dan pembeli (Pearce and Robinson, 1996).
Posisi Persaingan Perusahaan Agroindustri Kelapa Pada tahun 2002 di Propinsi Jambi terdapat 8 perusahaan skala sedang yang termasuk dalam golongan industri CCO. Dari hasil diagnosis terhadap lima perusahaan contoh (Tabel 40) diketahui kelima perusahaan tersebut berada pada posisi lemah sampai mendekati sedang dalam persaingan antar perusahaan dalam golongan industri CCO. Satu perusahaan hampir mencapai posisi sedang (skor 2,900) yang diindikasikan dengan kemampuan perusahaan meningkatkan marjin laba dengan cara meningkatkan volume penjualan melalui kontak bisnis formal dengan perusahaan industri minyak goreng kelapa. Perusahaan ini juga menjalin kontak bisnis formal dengan pemasok kopra yang berada di dalam kawasan sentra produksi kopra. Di samping itu, perusahaan juga sudah melakukan standarisasi pola kerja, walaupun belum menerapkan sistem manajemen mutu. Satu-satunya indikator yang menyebabkan perusahaan ini belum mampu mencapai posisi sedang adalah karena tingkat kecanggihan peralatan pengolahan yang dimiliki masih bersifat manual, setara dengan rata-rata tingkat kecanggihan peralatan pengolahan CCO yang digunakan oleh umumnya industri CCO. Tabel 40. Posisi bersaing perusahaan industri CCO di Propinsi Jambi
Indikator 1. Pesaing 2. Pelanggan 3. Tenaga Kerja 4. Pemasok 5. Teknologi
Bobot 0,150 0,450 0,050 0,250 0,100
Skor Posisi Persaingan Perusahaan 1 2 3 4 5 2 3 3 3 2
3 3 3 3 2
1 2 2 1 1
2 2 2 2 2
2 2 2 2 2
Jumlah Rata-Rata Tertimbang Sumber : Hasil analisis
1,000
2,750
2,900
1,500
2,000
2,000
Keterangan: 1 = Sangat Lemah, 2 = Lemah, 3 = Sedang, 4 = Kuat, 5 = Sangat Kuat
Posisi Persaingan Perusahaan Agroindustri Kelapa Sawit Sampai dengan akhir tahun 2002 di Propinsi Jambi terdapat 12 perusahaan industri pengolahan CPO yang mengelola 15 pabrik kelapa sawit (PKS) dan satu perusahaan industri pengolahan PKO yang baru berada pada tahap praoperasi. Dari hasil diagnosis terhadap lima PKS contoh (Tabel 41) diketahui kelima PKS tersebut berada pada posisi sedang sampai mendekati kuat dalam persaingan antar perusahaan yang termasuk dalam golongan industri CPO. Pencapaian posisi yang relatif baik pada kelima PKS contoh bersumber dari kemampuan perusahaan menciptakan jaringan kemitraan yang bersifat integratif dengan perkebunan sebagai pemasok tandan buah segar (TBS) yang merupakan bahan baku bagi PKS melalui pembangunan perkebunan dengan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat), PIR Trans (PIR Transmigrasi), dan KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota). Dua dari lima PKS contoh juga terintegrasi secara vertikal dengan industri hilir dalam satu holding company. Di samping itu, kedua PKS ini juga sudah menerapkan sistem mutu dalam proses produksi. Tabel 41. Posisi bersaing perusahaan industri CPO di Propinsi Jambi
Indikator 1. Pesaing 2. Pelanggan 3. Tenaga Kerja 4. Pemasok 5. Teknologi
Jumlah Rataan Tertimbang Sumber: Hasil analisis
Bobot 0,150 0,450 0,050 0,250 0,100 1,000
Skor Posisi Persaingan Perusahaan 1 2 3 4 5 3 4 4 4 2
3 4 4 4 2
2 3 3 4 2
3 3 3 4 2
3 3 3 4 2
3,650
3,650
3,000
3,150
3,150
Keterangan: 1 = Sangat Lemah, 2 = Lemah, 3 = Sedang, 4 = Kuat, 5 = Sangat Kuat
Sebagaimana halnya dengan perusahaan industri CCO, satu-satunya indikator posisi persaingan PKS yang belum mampu mencapai posisi sedang adalah indikator teknologi. Akan tetapi tidak seperti perusahaan industri CCO yang ma-
sih menggunakan peralatan pengolahan yang bersifat manual, perusahaan PKS sudah menggunakan peralatan pengolahan special purposes yang bersifat otomatis.
Adapun posisi indikator teknologi berada pada skor 2 (lemah), karena
perangkat peralatan pengolahan yang digunakan oleh PKS di Propinsi Jambi setara dengan rata-rata peralatan yang digunakan oleh PKS secara nasional.
Posisi Strategis Perusahaan Agroindustri Pangan Posisi strategis menggambarkan posisi persaingan perusahaan di dalam lingkungan industri yang digelutinya. Posisi strategis perusahaan yang tergolong dalam agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit di Propinsi Jambi digambarkan dalam matrik McKinsey-Ansoff sebagaimana dapat dapat dilihat pada Gambar 51. Matrik ini mengelompokkan perusahaan ke dalam sembilan sel. Tiga sel berada di atas garis diagonal, tiga sel pada garis diagonal, dan tiga sel berikutnya berada di bawah garis diagonal.
Gambar 51. Matriks McKinsey-Ansoff posisi strategis perusahaan agroindustri kelapa dan kelapa sawit di Propinsi Jambi Dari Gambar 51. dapat dilihat perusahaan agroindustri kelapa di Propinsi Jambi menempati posisi sel selektif yang berada pada garis diagonal dan sel divestasi yang berada di bawah garis diagonal. Bagi perusahaan yang berada pada posisi selektif tersedia dua pilihan strategi spesifik, yaitu menyehatkan atau memperpanjang usaha. Sedangkan pilihan strategi spesifik bagi perusahaan yang berada pada sel divestasi adalah mengundurkan diri atau divestasi. Adapun bagi agro-
industri kelapa sawit yang menempati posisi sel pertumbuhan selektif, pilihan strategi yang dapat dikembangkan adalah mengejar atau mempertahankan posisi bersaing serta menemukan atau mengeksploitasi ceruk pasar (Pearce and Robinson, 1996; Muhammad, 2002; Supratikno, dkk, 2003).
ANALISIS STRUKTURAL Analisis struktural dilakukan untuk mengidentifikasi parameter sistem dan hubungan antar parameter yang membentuk struktur sistem agroindustri pangan, dalam hal ini sistem pembangunan agroindustri minyak nabati kasar (crude
vegetable oil, ISIC 15141) di Propinsi Jambi. Analisis struktural dilakukan dalam tiga tahap, mencakup: 1) identifikasi paramater sistem, 2) identifikasi hubungan kontekstual antar parameter sistem, dan 3) klasifikasi parameter sistem.
Identifikasi Parameter Sistem Identifikasi parameter sistem diawali dengan pembangkitan parameter dengan menggunakan perangkat pembangkit (generating tool) berupa survei pakar
(expert survey) melalui wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap pakar lintas disiplin. Tahap ini menghasilkan daftar parameter sistem (brainwriting) yang memuat daftar lengkap (exhausted list) 250 parameter sistem pembangunan agroindustri pangan. Selanjutnya, dilakukan reduksi jumlah parameter sistem. Reduksi didasarkan pada prinsip eliminasi parameter yang kurang relevan dan agregasi parameter yang sejenis. Tahap ini menghasilkan daftar 44 parameter sistem hasil reduksi dari 250 parameter yang telah diidentifikasi pada tahap sebelumnya. Daftar 44 parameter sistem tersebut dapat dilihat pada Tabel 39. Adapun rincian komponen dari masing-masing parameter sistem dapat dilihat pada Lampiran 2, Bagian b.
Identifikasi Hubungan Kontekstual Identifikasi hubungan kontekstual antar parameter sistem menggunakan notasi biner untuk mengetahui adanya pengaruh suatu parameter terhadap parameter lainnya. Identifikasi dilakukan secara berpasangan (pairwise comparison). Notasi 1 diberikan jika suatu parameter berpengaruh terhadap parameter pasangannya. Sebaliknya notasi 0 diberikan jika suatu parameter tidak berpengaruh
terhadap parameter pasangannya. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 10. Tabel 42. Daftar parameter sistem pembangunan agroindustri pangan
Kode P01 P02 P03 P04 P05 P06 P07 P08 P09 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 P19 P20 P21 P22 P23 P24 P25 P26 P27 P28 P29 P30 P31 P32 P33 P34 P35 P36 P37 P38 P39 P40 P41 P42 P43
Parameter Sarana dan Prasarana Pertanian Teknik dan Manajemen Usahatani Lahan Pertanian Produk Pertanian Karakteristik Usahatani Petani dan Buruh Tani Investasi dan Pertumbuhan Usahatani Teknik dan Manajemen Produksi Karakteristik Perusahaan Pengolahan Produk Agroindustri Investasi dan Pertumbuhan Perusahaan Pengolahan Kualitas Tenaga Kerja Skim dan Akses Kredit Pelanggan Kelembagaan dan Kemitraan Pesaing Kebijakan Fiskal dan Moneter Kebijakan Industri dan Perdagangan Kebijakan Agraria Kebijakan Perburuhan Penyelenggaraan Otonomi Daerah Stabilitas Politik dan Kepastian Hukum Tren Pertumbuhan Ekonomi Global Fundamental Ekonomi Nasional Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Ketersediaan dan Formasi Lapangan Kerja Iklim Investasi Psikososio Masyarakat Sosial Ekonomi Masyarakat Perkembangan Teknologi Implementasi Sistem Perdagangan Bebas Lingkungan Hidup HAM dan Demokratisasi Daya Saing Daerah Demografi Keadaan Geofisik Wilayah Struktur Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Infrastruktur dan Tata Ruang Wilayah Pendapatan Daerah Kerjasama Regional Perdagangan Produk Agroindustri Ekspor Produk Agroindustri Pola Pengembangan Perkebunan
P44
Perkembangan Kawasan Sentra Produksi
Sumber : Hasil identifikasi
Klasifikasi Parameter Sistem Klasifikasi parameter sistem didasarkan pada tingkat motor (driver power) dan respon (dependence) dari masing-masing parameter sistem. Tingkat motor menunjukkan kekuatan pengaruh suatu parameter terhadap parameter lainnya. Sebaliknya, tingkat respon menunjukkan derajat pengaruh yang diterima oleh suatu parameter sebagai respon terhadap parameter lainnya. Berdasarkan tingkat motor dan respon, parameter sistem dapat diklasifikasikan ke dalam empat sektor. Karakteristik parameter pada keempat sektor tersebut disajikan pada Tabel 43. Adapun hasil pengklasifikasian parameter sistem pembangunan agroindustri pangan di Propinsi Jambi dalam bentuk diagram motor-respon dapat dilihat pada Gambar 52. M o t o r
44 Sektor 4 42 31 40 36 38 19 36 18 34 21 32 30 28 03 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2
01 38
Sektor 3
43
05 04 09 15 17 16 29
07
12 30 10 32 44 08
11 14 02
34 06
35
13
27
24
37
22 25
23 20 26
Sektor 1
0 2
4 6
28
39
Sektor 2
8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 Respon
Gambar 52. Diagram motor-respon sistem pembangunan agroindustri pangan
Tabel 43. Karakteristik parameter sistem
Karakteristik
Sektor 1
Sektor 2
Sektor 3
Sektor 4
Tingkat Motor
Lemah
Lemah
Kuat
Kuat
Tingkat Respon
Lemah
Kuat
Kuat
Lemah
Keterkaitan dengan
Lemah (dapat Luaran
Penghubung
Masukan
Sistem
diabaikan)
(output)
(linkage)
(input)
Stabil
Stabil
Labil
Stabil
Parameter
Parameter
Parameter
Parameter
Bebas
Terikat
Penghubung
Eksplikatif
Hubungan dengan Parameter Lain Klasifikasi Parameter
Parameter yang menjadi faktor penentu (key factors) kinerja sistem adalah parameter eksplikatif yang terletak di Sektor 4. Parameter ini merupakan parameter masukan sistem. Adapun parameter yang dapat dijadikan sebagai pengendali sistem adalah parameter penghubung (Sektor 3). Sedangkan parameter yang menjadi luaran sistem adalah parameter terikat (Sektor 2). Kedudukan ketiga kategori parameter ini dalam diagram kotak gelap sistem pembangunan agroindustri pangan di Propinsi Jambi dapat dilihat pada Gambar 54. Parameter Eksplikatif (Masukan) Dari hasil pengklasifikasian parameter sistem (Gambar 52) diketahui terdapat 15 parameter eksplikatif. Akan tetapi dalam konteks pembangunan agroindustri pangan di Propinsi Jambi, terdapat 5 parameter yang bersifat eksogen dan 10 parameter endogen (Tabel 44). Kelima parameter eksogen tersebut adalah P03 (Lahan Pertanian) dan P36 (Keadaan Geofisik Wilayah) yang bersumber dari faktor lingkungan fisik yang bersifat given; P31 (Implementasi Sistem Perdagangan Bebas) yang bersumber dari faktor lingkungan global; serta P17 (Kebijakan Fiskal dan Moneter) dan P18 (Kebijakan Industri dan Perdagangan) yang bersumber dari faktor lingkungan politik dan ekonomi nasional.
Kesepuluh parameter endogen yang merupakan parameter masukan bagi pembangunan agroindustri pangan di Propinsi Jambi terdiri dari P01 (Sarana dan Prasarana Pertanian), P05 (Karakteristik Usahatani), P09 (Karakteristik Perusa-haan Pengolahan), P12 (Kualitas Tenaga Kerja), P15 (Kelembagaan dan Kemi-traan), P19 (Kebijakan Agraria), P21 (Penyelenggaraan Otonomi Daerah), P29 (Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat), P30 (Perkembangan Teknologi) dan P38 (Infrastruktur dan Tata Ruang Wilayah). Grouping kesepuluh parameter endogen tersebut menghasilkan 6 tema parameter. Tiga tema bersifat mikro, yaitu Karakteristik Usaha, Jaringan Usaha, dan Status Teknologi. Tiga tema berikutnya bersifat makro, yaitu: Infrastruktur, Kualitas Pemerintahan, dan Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat. Keenam tema parameter eksplikatif ini sejalan dengan Teori Arthur Mosher tentang Getting
Agricultural Moving dan pendapat Sondakh (2003) tentang pembangunan agroindustri pada era globalisasi dan desentralisasi. Teori Mosher mengajukan prasyarat untuk keberhasilan pembangunan pertanian yang terdiri dari: teknologi, kredit, pasar, transportasi, penyuluhan dan land-reform (Sajogjo, 1997). Sondakh (2003) menyatakan, bahwa determinan utama yang menentukan arah, proses dan intensitas perkembangan agroindustri dalam era globalisasi dan desentralisasi adalah: teknologi, pasar, skala ekonomi, networking, akses permodalan dan kualitas pemerintahan. Tabel 44. Parameter masukan sistem pembangunan agroindustri pangan
Kode
Parameter Masukan
A. Parameter Eksogen P03 P17 P18 P31 P36
Lahan Pertanian Kebijakan Fiskal dan Moneter Kebijakan Industri dan Perdagangan Implementasi Sistem Perdagangan Bebas Keadaan Geofisik Wilayah
B. Parameter Endogen P01 P05 P09 P12
Sarana dan Prasarana Pertanian Karakteristik Usahatani Karakteristik Perusahaan Pengolahan Kualitas Tenaga Kerja
P15 Kelembagaan dan Kemitraan P19 Kebijakan Agraria P21 Penyelenggaraan Otonomi Daerah P29 Sosial Ekonomi Masyarakat P30 Perkembangan Teknologi P38 Infrastruktur dan Tata Ruang Wilayah Sumber : Hasil analisis pada Gambar 52. Parameter Pengendali (Linkage) Parameter yang menjadi pengendali sistem adalah parameter penghubung
(linkage) yang terdapat di Sektor 3. Dari hasil analisis (Gambar 52) diketahui terdapat 7 parameter penghubung yang dapat dijadikan sebagai parameter pengendali sistem pembangunan agroindustri pangan (Tabel 45) dengan model struktur pengendalian sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 53. Tabel 45. Parameter pengendali sistem pembangunan agroindustri pangan
Kode
Parameter Pengendali
P04 Produk Pertanian P07 Investasi dan Pertumbuhan Usahatani P10 Produk Agroindustri P16 Pesaing P32 Lingkungan Hidup P43 Pola Pengembangan Perkebunan P44 Perkembangan Kawasan Sentra Produksi Sumber : Hasil analisis pada Gambar 52.
P10 Produk Agroindustri
P16
Pesaing
P04 Produk Pertanian P44 Perkembangan Kawasan
P07 Investasi/Pertumbuhan Usahatani P43
P32 Lingkungan Hidup
Pola Pengembangan Perkebunan
Gambar 53. Model struktural pengendalian sistem pembangunan agroindustri pangan Tujuan pengendalian sistem adalah untuk menghasilkan produk agroindustri berdaya saing tinggi yang memperhatikan perkembangan pesaing melalui pengendalian kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi produk pertanian yang menjadi bahan baku agroindustri pangan. Upaya ini dilakukan dengan cara me-ngendalikan investasi dan pertumbuhan usahatani melalui pengendalian pola pengembangan perkebunan dengan memperhatikan perkembangan kawasan sentra produksi dan kelestarian lingkungan. Parameter Luaran Dari hasil analisis (Gambar 52) diketahui terdapat 15 parameter luaran sistem pembangunan agroindustri pangan. Kelima belas parameter luaran tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat tingkat luaran, yaitu usahatani, industri pengolahan, wilayah dan nasional. Dalam konteks pembangunan agroindustri pangan di Propinsi Jambi, luaran sistem dibatasi sampai pada tingkat wilayah. Dengan demikian tersisa 10 parameter luaran sistem pembangunan agroindustri pangan di Propinsi Jambi yang terdiri dari masing-masing 2 parameter luaran pada tingkat usahatani dan industri pengolahan, serta 6 parameter luaran pada tingkat wilayah (Tabel 46). Tabel 46. Parameter luaran sistem pembangunan agroindustri pangan
Kode
Parameter Luaran
A. Tingkat Usahatani P02 Teknik dan Manajemen Usahatani P06 Petani dan Buruh Tani B. Tingkat Industri Pengolahan P11 Investasi dan Pertumbuhan Perusahaan Pengolahan P14 Pelanggan C. Tingkat Wilayah
P26 P28 P34 P35 P37 P39 Sumber :
Ketersediaan dan Formasi Lapangan Kerja Psikososio Masyarakat Daya Saing Daerah Demografi Struktur Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pendapatan Daerah Hasil analisis pada Gambar 52. Struktur Sistem
Struktur sistem pembangunan agroindustri pangan dibangun berdasarkan hasil identifikasi dan klasifikasi parameter sistem.
Struktur sistem dibangun
dalam bentuk diagram masukan-luaran (Gambar 54). Luaran sistem pada tingkat usahatani berupa penerapan good agriculture practices (GAP) dalam kegiatan usahatani, peningkatan keterampilan dan produktivitas petani dan buruh tani. Pada tingkar industri pengolahan, luaran sistem berupa peningkatan investasi dan pertumbuhan perusahaan pengolahan untuk meraih loyalitas pelanggan. Adapun luaran sistem pada tingkat wilayah berupa: ketersediaan lapangan kerja, transformasi psikososiodemografi, peningkatan daya saing wilayah serta perkembangan perekonomian wilayah. Untuk mendapatkan luaran yang dikehendaki tersebut dibutuhkan masukan mikro berupa karakteristik usaha, jaringan usaha, serta status teknologi dan masukan makro berupa infrastruktur wilayah serta dukungan penyelenggara pemerintahan dan masyarakat.
Masukan sistem mikro dikendalikan melalui
manajemen pengendalian pola pengembangan perkebunan dengan memperhatikan investasi dan pertumbuhan usahatani, perkembangan kawasan, dan kelestarian lingkungan hidup, serta posisi strategis produk pertanian, produk agroindustri dan pesaing.
Melalui manajemen pengendalian pola pengembangan perkebunan
diharapkan usahatani perkebunan dan perusahaan pengolahan dapat berproduksi secara efisien dan berkelanjutan dengan menggunakan strategi pemanfaatan
economic of scale dan economic of scope, jaringan kemitraan yang integratif, sinergis, strategis dan inovatif, serta kerjasama teknologi dan pemanfaatan teknologi.
LINGKUNGAN 1. Stabilitas politik dan kepastian hukum 2. Pertumbuhan ekonomi global 3. Kebijakan negara tujuan ekspor
MASUKAN TIDAK TERKENDALI
LUARAN DIKEHENDAKI A. Tingkat Usahatani
1. Kebijakan Fiskal dan Moneter
1. Teknik Manajemen Usahatani 2. Petani dan Buruh Tani
2. Kebijakan Industri dan
B. Tingkat Industri Pengolahan
Perdagangan
1. Investasi & Pertumbuhan 2. Pelanggan
3. Implementasi Sistem Perdagangan
C. Tingkat Wilayah
Bebas
1. Lapangan Kerja 2. Psikososiodemografi 3. Daya Saing Wilayah 4. Perekonomian Wilayah
4. Keadaan Geofisik Wilayah
SISTEM PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI MINYAK NABATI
MASUKAN TERKENDALI A.. Masukan Mikro
LUARAN TIDAK DIKEHENDAKI Tidak tercapainya luaran yang-
1. Karakteristik Usaha
dikehendaki, baik pada tingkat
2. Jaringan Usaha
usahatani, industri pengolahan
3. Status Teknologi
ataupun pada tingkat wilayah
B. Masukan Makro 1. Infrastruktur Wilayah 2. Penyelenggaraan Pemerintahan 3. Sosial Ekonomi Masyarakat
PARAMETER PENGENDALIAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pola Pengembangan Perkebunan Investasi/Pertumbuhan Usahatani Perkembangan Kawasan Kelestarian Lingkungan Hidup Produk Pertanian Produk Agroindustri Pesaing
MANAJEMEN PENGENDALIAN
Gambar 54. Diagram masukan-luaran sistem
ANALISIS PROSPEKTIF Kejadian Hipotetis Analisis prospektif dilakukan untuk mengetahui prospek agroindustri pangan di Propinsi Jambi. Analisis didasarkan pada peramalan jalur perubahan yang dilalui oleh masing-masing parameter peramal dalam proses evolusi sistem dalam kurun waktu 5 - 20 tahun yang akan datang. Sebagai parameter peramal digunakan parameter eksplikatif (parameter pada Sektor 4) yang diperoleh dari hasil analisis struktural yang terdiri dari: Karakteristik Usaha, Jaringan Usaha, Status Teknologi, Infrastruktur, Penyelenggara Pemerintahan, dan Sosial Ekonomi Masyarakat. Proses peramalan dimulai dengan mensintesis dua kejadian (event, E) hipotetis untuk masing-masing parameter peramal. Dengan demikian, dari 6 parameter eksplikatif dapat disintesis 12 kejadian hipotetis. Agar dapat memberikan gambaran proses evolusi sistem agroindustri pangan pada masa 5 - 20 tahun mendatang, kedua belas kejadian hipotetis tersebut disintesis dalam bentuk kejadian yang paling diharapkan dapat dicapai dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. Kedua belas kejadian hipotetis tersebut dapat dilihat pada Tabel 47. Selanjutnya dilakukan peramalan peluang (probability, p) terjadinya kejadian bebas/tunggal dari masing-masing kejadian hipotetis. Prediksi peluang kejadian digunakan untuk memperoleh gambaran (mental map) jalur perubahan yang dilalui oleh masing-masing parameter peramal secara tunggal/bebas selama proses evolusi sistem berlangsung.
Peramalan peluang kejadian hipotetis
menggunakan indikator tahap evolusi parameter sistem (Lampiran 11). Hasil prediksi dalam bentuk gambaran secara grafis dari proses evolusi dari masingmasing parameter peramal secara tunggal/bebas dalam kurun waktu 5 - 20 tahun yang akan datang dapat dilihat pada Gambar 55 - 63.
Tabel 47. Daftar kejadian hipotetis Parameter
Peramal
Kejadian Hipotetis
E01: Karakteristik Usahatani Tidak ada lagi usahatani yang bersifat subsisten, tetapi sudah berkembang menjadi usahatani komersial yang modern, berskala besar, efisien, Karakteristik inovatif dan berkelanjutan. Usaha E02: Karakteristik Perusahaan Pengolahan Perusahaan pengolahan sudah mencapai skala dan lingkup ekonomi yang memungkinkan pertumbuhan mutu produk dan pasar yang stabil dan berkelanjutan, serta responsif terhadap perubahan. E03: Jaringan Kemitraan Keterkaitan dan kemitraan dalam sistem agroindustri yang didasarkan pada asas saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan sudah berhasil menjalin integrasi sinergis, strategis dan Jaringan berkelanjutan. Usaha E04: Kerjasama Teknologi Sudah terjalin kerjasama teknologi dalam pengembangan created factor dan proses produksi yang memungkinkan terciptanya produk inovatif unggulan. E05: Status Technoware Perusahaan pengolahan sudah memanfaatkan teknologi tinggi (computerized and integrated technology) untuk menghasilkan produk inovatif Status unggulan berdaya saing tinggi. Teknologi E06: Status Humanware SDM perusahaan pengolahan sudah mampu berinovasi untuk menciptakan produk inovatif unggulan berdaya saing tinggi. E07: Infrastruktur Wilayah Infrastruktur dasar dan utilitas industri, serta infrastruktur sistem informasi sudah berkembang sesuai dengan kebutuhan pembangunan agroInfrastruktur industri. dan E08: Pewilayahan Sentra Produksi Tata Ruang Pewilayahan komoditas unggulan dalam bentuk kawasan sentra produksi sudah sesuai dengan kondisi agroekologi wilayah, serta telah mencapai skala dan lingkup ekonomi yang memungkinkan untuk memproduksi komoditas unggulan secara efisien dan berkelanjutan. E09: Kualitas Kebijakan Penyeleng- Pemerintah sudah dapat menciptakan kebijakan dan program yang sesuai garaan dengan kebutuhan pembangunan agroindustri. Pemerintahan E10: Kualitas Penyelenggara Pemerintahan Daerah Penyelenggara pemerintahan sudah mampu berfungsi sebagai fasilitator dan katalisator pembangunan agroindustri. E11: Pendidikan Masyarakat Tingkat pendidikan masyarakat sudah berada pada kualifikasi unggul Kondisi dan mampu menghasilkan SDM terdidik dan terlatih, serta produktif, Sosial inovatif dan intuitif sesuai dengan kebutuhan pembangunan agroindustri. Ekonomi E12: Preferensi, Pilihan dan Loyalitas Konsumen Masyarakat Preferensi, pilihan dan loyalitas konsumen didasarkan pada nilai lebih (kualitas prima) dari produk.
Karakteristik Usaha Karakteristik Usahatani Dari hasil peramalan proses evolusi usahatani (Tabel 48) diketahui perkembangan usahatani kelapa tertinggal 10 tahun dibandingkan dengan perkembangan usahatani kelapa sawit. Dalam kurun waktu sampai dengan 10 tahun mendatang, usahatani kelapa belum mampu berproduksi secara efisien. Sedangkan dalam kurun waktu yang sama, usahatani kelapa sawit sudah berkembangan menjadi perkebunan modern dan efisien. Tabel 48. Tahapan evolusi karakteristik usahatani kelapa dan kelapa sawit
Periode (Tahun) 5 10 15 20
Karakteristik Usahatani Kelapa Skala ekonomi, tetapi belum efisien Skala ekonomi, tetapi belum efisien
Kelapa Sawit Skala ekonomi dan efisien
Skala ekonomi, modern dan efisien Skala ekonomi, modern, efisien Skala ekonomi dan efisien dan inovatif Skala ekonomi, modern dan Skala ekonomi, modern, efisien, efisien inovatif dan berkelanjutan Sumber: Data hasil penelitian.
Upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi usahatani kelapa dengan menggunakan pendekatan dan strategi pemanfaatan skala ekonomi (economic of
scale) dan lingkup ekonomi (economic of scope) melalui investasi (investmentdriven) diprediksi baru akan tercapai dalam kurun waktu 15 tahun yang akan datang.
Sebelumnya, dalam periode waktu 5 - 10 tahun yang akan datang,
peningkatan produktivitas usahatani kelapa masih bersumber dari faktor-faktor
endowment (factors-driven). Dibutuhkan waktu lebih dari 20 tahun agar usahatani kelapa dapat menjadi perkebunan modern yang inovatif (innovation-driven). Adapun pada usahatani kelapa sawit, skala dan lingkup ekonomi yang sudah dicapai melalui investasi memungkinkan usahatani kelapa sawit tumbuh menjadi
perkebunan modern yang berproduksi secara efisien, inovatif dan berkelanjutan dalam kurun waktu 15 – 20 tahun yang akan datang (Gambar 55).
Gambar 55. Tahapan evolusi karakteristik usahatani
Karakteristik Perusahaan Pengolahan Tahapan proses evolusi yang dilalui oleh perusahaan pengolahan (Gambar 56) memiliki pola yang sama dengan proses evolusi di tingkat usahatani (Gambar 55).
Pada agroindustri kelapa, sebagaimana halnya dengan usahatani kelapa,
dalam kurun waktu 5 – 10 tahun mendatang, pertumbuhan perusahaan pengolahan kelapa masih bersumber dari faktor-faktor endowment. Jaringan pemasaran masih dalam bentuk kontak informal ataupun sub-kontrak, baru pada periode 15 – 20 tahun akan datang, perusahaan pengolahan kelapa tumbuh atas dorongan investasi, dan diprediksi dalam kurun waktu 20 tahun yang akan datang, perusahaan pengolahan kelapa baru mampu tumbuh stabil (Tabel 49). Pada agroindustri kelapa sawit, skala dan lingkup ekonomi yang sudah dicapai melalui investasi pada saat sekarang memungkinkan bagi perusahaan pengolahan kelapa sawit untuk tumbuh stabil dan mampu beradaptasi terhadap perubahan faktor-faktor eksternal dalam kurun waktu 15 tahun mendatang dan mencapai puncak pertumbuhan dalam kurun waktu 20 tahun yang akan datang (Tabel 49 dan Gambar 56).
Tabel 49. Tahapan evolusi karakteristik perusahaan pengolahan
Periode
Karakteristik Perusahaan Pengolahan
(Tahun) 5 10 15 20
Agroindustri Kelapa Sub-kontrak dari perusahaan besar Memiliki jaringan kerjasama pemasaran Memiliki saluran pemasaran sendiri Produk dan pasar tumbuh stabil
Agroindustri Kelapa Sawit Memiliki saluran pemasaran Produk dan pasar tumbuh stabil Tumbuh stabil dan responsif terhadap pasar Tumbuh stabil dan responsif terhadap pasar
Sumber : Data hasil penelitian.
Gambar 56. Tahapan evolusi karakteristik perusahaan pengolahan
Jaringan Usaha Kemitraan Usaha Jaringan kemitraan usaha pada agroindustri kelapa dalam periode 5 tahun mendatang baru berada pada tahap kontak bisnis yang bersifat informal dan menjadi formal dalam bentuk sub-kontrak pada periode 10 tahun mendatang. Bentuk kemitraan yang integratif baru mulai dirintis dalam periode waktu 15 tahun
mendatang dalam bentuk integrasi vertikal antara usahatani dengan perusahaan pengolahan. Dalam hal ini, usahatani masih bersifat sub-ordinasi dari perusahaan pengolahan. Bentuk integrasi ini akan menjadi kemitraan yang sinergis pada periode waktu 20 tahun yang akan datang (Tabel 50 dan Gambar 57). Tabel 50. Tahapan evolusi kemitraan agroindustri kelapa dan kelapa sawit
Periode (Tahun) 5 10 15 20
Jaringan Kemitraan Agroindustri Kelapa Kontak bisnis informal Kontrak bisnis (sub-kontrak) Sub-ordinatif Integratif dan sinergis
Agroindustri Kelapa Sawit Sub-ordinatif Integratis dan sinergis Integratif, sinergis, dan strategis Integratif, sinergis, strategis, dan berkelanjutan
Sumber : Data primer hasil penelitian.
Gambar 57. Tahapan evolusi jaringan kemitraan. Pada agroindustri kelapa sawit, integrasi horizontal antar usahatani dan integrasi vertikal antara usahatani dengan perusahaan pengolahan ataupun integrasi horizontal di dalam industri pengolahan yang dilakukan atas dasar prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan untuk mencapai skala dan lingkup ekonomi akan mencapai tahap integrasi strategis yang sinergis dan inovatif dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. Sementara itu, dalam
periode 5 tahun mendatang, kemitraan usaha baru pada tahap integrasi yang bersifat sub-ordinatif dan berkembang menjadi integrasi sinergis pada tahun ke-10.
Kerjasama Teknologi Proses evolusi jaringan kerjasama teknologi pada agroindustri kelapa tertinggal lebih dari 5 tahun dibandingkan dengan proses evolusi pada agroindustri kelapa sawit (Tabel 51 dan Gambar 58). Pada agroindustri kelapa, jaringan kerjasama teknologi dimulai dengan kontrak pembelian teknologi dilanjutkan dengan adaptasi, akuisisi dan modifikasi teknologi. Sedangkan pada agroindustri kelapa sawit, kerjasama teknologi berkembang dari pembelian lisensi, adaptasi, akuisisi teknologi melalui investasi menjadi kerjasama dalam inovasi untuk memodifikasi teknologi dan pengembangan created factor guna meningkatkan produktivitas dan efisiensi proses produksi. Tabel 51. Tahapan evolusi kerjasama teknologi
Periode (Tahun)
Kerjasama Teknologi Agroindustri Kelapa
5 Kontrak 10 Lisensi teknologi 15 Akuisisi teknologi 20 Modifikasi teknologi Sumber: Data hasil penelitian.
Agroindustri Kelapa Sawit Lisensi/adaptasi teknologi Akuisisi teknologi Modifikasi teknologi Pengembangan created factors
Gambar 58. Tahapan evolusi kerjasama teknologi.
Status Teknologi Status Technoware Perkembangan status fasilitas pengolahan (technoware) pada agroindustri kelapa tertinggal 10 tahun dibelakang fasilitas pengolahan yang digunakan pada agroindustri kelapa sawit (Tabel 52 dan Gambar 59). Pada agroindustri kelapa sawit, rekayasa proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan pengolahan untuk menciptakan produk unggulan berdaya saing tinggi (world class) secara efisien dengan menggunakan fasilitas pengolahan yang computerized dan terintegrasi dapat terwujud dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. Pada saat itu, agroindustri kelapa baru pada tahap penggunaan fasilitas yang bersifat otomatis. Tabel 52. Tahapan evolusi status technoware
Periode (Tahun)
Status Technoware Agroindustri Kelapa
5 Fasilitas mekanik 10 Fasilitas bersifat umum 15 Fasilitas bersifat khusus 20 Fasilitas bersifat otomatis Sumber : Data hasil penelitian.
Agroindustri Kelapa Sawit Fasilitas bersifat khusus Fasilitas bersifat otomatis Fasilitas computerized Fasilitas sudah terintegrasi
Gambar 59. Tahapan evolusi status technoware
Status Humanware Perkembangan kemampuan SDM (humanware) agroindustri kelapa lebih lambat 5 tahun dibandingkan dengan perkembangan SDM agroindustri kelapa sawit.
Pada agroindustri kelapa sawit, kemampuan SDM untuk melakukan
rekayasa produk dan proses produksi guna menciptakan produk inovatif unggulan berdaya saing tinggi (world class) secara efisien diprediksi dapat diwujudkan dalam kurun waktu 15 - 20 tahun mendatang (Tabel 53 dan Gambar 60). Hal ini dimungkinkan karena dalam kurun waktu 5 - 10 tahun yang akan datang, penanaman modal (investasi) pada agroindustri kelapa sawit memungkinkan perkembangan kemampuan SDM agroindustri kelapa sawit berkembang lebih cepat daripada kemampuan SDM agroindustri kelapa. Tabel 53. Tahapan evolusi status humanware
Periode (Tahun)
Status Humanware Agroindustri Kelapa
5 Kemampuan merawat 10 Kemampuan memperbaiki 15 Kemampuan memodifikasi 20 Kemampuan mengembangkan Sumber : Data primer hasil penelitian.
Agroindustri Kelapa Sawit Kemampuan memperbaiki Kemampuan memodifikasi Kemampuan mengembangkan Kemampuan berinovasi
Gambar 60. Tahapan evolusi status humanware
Infrastruktur dan Tata Ruang Wilayah Infrastruktur Wilayah Sampai dengan 5 tahun mendatang, pemerintah baru dapat membangun infrastruktur dasar seperti sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi. Adapun utilitas industri dan infrastruktur sistem informasi baru tersedia dalam kurun waktu 10 - 15 tahun yang akan datang. Pembangunan infrastruktur wilayah akan terus berkembang mengikuti kebutuhan pembangunan agroindustri dan akan mencapai taraf sophisticated setelah lebih dari 20 tahun yang akan datang (Gambar 61).
Gambar 61. Tahapan evolusi infrastruktur wilayah.
Pewilayahan Sentra Produksi Dari hasil analisis (Tabel 54 dan Gambar 61) diketahui, pewilayahan sentra produksi kelapa lebih dulu berkembang daripada sentra produksi kelapa sawit, akan tetapi laju pertumbuhan sentra produksi kelapa sawit lebih tinggi daripada pertumbuhan sentra produksi kelapa, sehingga sentra produksi kelapa sawit lebih dulu mencapai tahap pertumbuhan alami yang berkelanjutan. Pada tahun ke-20 sentra produksi kelapa sawit sudah berkembang sesuai dengan kondisi agroekologi wilayah serta telah mencapai skala dan lingkup ekonomi yang
memungkinkan untuk memproduksi komoditas unggulan secara efisien dan berkelanjutan, pada saat tersebut sentra produksi kelapa masih bertahan pada tahap pertumbuhan alamiah. Tabel 54. Tahapan evolusi pewilayahan sentra produksi
Periode
Pewilayahan Sentra Produksi
(Tahun) 5 10 15 20
Kelapa
Kelapa Sawit
Wilayah berkembang, tetapi masih ada potensi konflik Wilayah berkembang, tetapi masih ada potensi konflik Wilayah berkembang alamiah
Pewilayahan sesuai agroekologi, tetapi masih ada konflik Wilayah berkembang, tetapi masih ada potensi konflik Wilayah berkembang alamiah Wilayah berkembang alamiah Wilayah berkembang alamiah dan berkelanjutan Sumber : Data hasil penelitian.
Penyelenggaraan Pemerintahan Mutu Kebijakan Pemerintah Harmonisasi kebijakan pemerintah dengan kebutuhan pembangunan agroindustri diprediksi akan tercapai dalam kurun waktu 15 tahun yang akan datang, didahului oleh pencapaian batas minimum (threshold) tingkat kesesuaian kebijakan pemerintah dengan kebutuhan pembangunan agroindustri dalam kurun waktu 10 tahun mendatang. Sebelumnya, dalam kurun waktu sampai 5 tahun mendatang, masih terdapat kebijakan pemerintah yang berbenturan dengan kebutuhan pembangunan agroindustri (Tabel 55 dan Gambar 62).
Penyelenggara Pemerintahan Fungsi penyelenggara pemerintahan sebagai fasilitator dan katalisator pembangunan agroindustri sudah dapat terwujud dalam kurun waktu 15 tahun mendatang. Sementara itu, dalam kurun waktu 5 - 10 tahun mendatang, fungsi penyelenggara pemerintahan sudah beralih dari perannya sebagai penguasa menjadi regulator dan provider bagi pembangunan agroindustri pangan (Tabel 55 dan Gambar 62).
Tabel 55. Tahapan evolusi penyelenggaraan pemerintahan
Periode (Tahun)
Penyelenggaraan Pemerintahan Kebijakan
Kebijakan kadang masih berben5 turan dengan kebutuhan agroindustri Kebijakan berada pada batas kesesuaian minimum dengan kebu10 tuhan agroindustri. Harmonisasi kebijakan dengan 15 kebutuhan agroindustri Kebijakan sudah sempurna, se20 suai dengan kebutuhan agroindustri Sumber : Data hasil penelitian
Penyelenggara Penyelenggara pemerintahan berperan sebagai pengatur (regulator) pembangunan agroindustri Penyelenggara pemerintahan sudah berperan sebagai penyedia (provider) sarana/prasarana Penyelenggara pemerintahan berperan sebagai fasilisator Penyelenggara pemerintahan berperan sebagai katalisator pembangunan agroindustri
Gambar 62. Tahapan evolusi penyelenggaraan pemerintahan.
Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Mutu Sumber Daya Manusia Tingkat pendidikan masyarakat baru dapat menghasilkan tenaga kerja berkualifikasi unggul (kualifikasi tenaga kerja untuk pembangunan agroindustri)
dalam periode waktu 20 tahun yang akan datang. Sementara itu, dalam periode waktu 5 - 10 tahun ke depan, kualifikasi tenaga kerja masih dalam taraf unskilled
labors. Hasil investasi di bidang pendidikan terhadap kualitas tenaga kerja baru dapat dirasakan dalam kurun waktu 15 tahun yang akan datang (Tabel 56). Tabel 56. Tahapan evolusi sosial ekonomi masyarakat
Periode (Tahun)
Sosial Ekonomi Masyarakat Kualitas SDM
5
Kurang terdidik dan kurang terlatih
10
Terdidik, tetapi kurang terlatih
15
Terdidik dan terlatih
Terdidik, terlatih, produktif, dan inovatif Sumber : Data hasil penelitian. 20
Preferensi Konsumen Selektif berdasarkan harga produk Selektif berdasarkan atribut mutu produk Mengutamakan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan Menuntut tingkat kepuasan yang tinggi
Gambar 63. Tahapan evolusi keadaan sosial ekonomi.
Preferensi Konsumen Dari hasil analisis (Gambar 63), diketahui pergeseran preferensi konsumen terjadi dengan cepat dalam periode waktu 10 - 15 tahun mendatang. Dalam kurun
waktu tersebut terjadi pergeseran preferensi dari sikap selektif terhadap harga menjadi selektif terhadap mutu produk. Pergeseran preferensi ini diharapkan dapat mendorong agroindustri pangan melakukan inovasi produk dan proses pro-duksi
agar
dapat
dihasilkan
produk
unggulan
sesuai
dengan
perkembangan prefe-rensi konsumen. Menurut Saragih (1997), kemampuan menghasilkan produk yang sesuai dengan preferensi konsumen merupakan keharusan (necessary of conditi-on) bagi pengembangan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Harga produk yang murah baru dapat menjadi keunggulan kompetitif hanya jika produk tersebut memiliki atribut mutu yang sesuai dengan preferensi konsumen (Sharples dan Milham, 1990; Cook dan Bredahl, 1991; Hafsah, 2000; Sumardjo, dkk, 2004).
Skenario Eksploratif Model Struktural Kejadian Hipotetis Skenario eksploratif disintesis berdasarkan hubungan kontekstual antar pasangan kejadian hipotetis. Identifikasi hubungan kontekstual dilakukan oleh suatu panel pakar dengan menggunakan skala biner untuk menunjukkan adanya hubungan prasyarat suatu kejadian terhadap kejadian pasangannya. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 12. Dari hasil identifikasi hubungan kontekstual diperoleh dua model struktural kejadian hipotetis (Gambar 64). Model pertama terdiri dari lima kejadian hipotetis yang membentuk struktur berjenjang (hierarchy). Struktur ini terdiri dari empat level, dimana pada level pertama adalah Penyelenggara Pemerintahan (E10), diikuti oleh Infrastruktur Wilayah (E07) dan Kualitas Kebijakan (E09) pada Level-2, Pewilayahan Sentral Produksi (Level-3) dan Karakteristik Usahatani pada level keempat (Gambar 64, Bagian a). Pada model kedua terdapat tujuh kejadian hipotetis yang membentuk struktur berjenjang yang terdiri dari empat level. Level pertama ditempati oleh Jaringan Kemitraan (E03) dan Penyelenggara Pemerintahan (E10), diikuti oleh Pendidikan Masyarakat (E11) dan Kerjasama Teknologi (E04) pada Level-2, Status Technoware (E05) dan Humanware (E06)
pada level-3, dan Karakteristik Perusahaan Pengolahan (E02) pada Level-4 (Gambar 64, Bagian b). Model struktural (Gambar 64) dipergunakan sebagai skenario eksploratif untuk peramalan prospek agroindustri pangan. Pada model pertama (Gambar 64, Bagian a) dapat dilihat keberhasilan pembangunan agroindustri pangan dapat diprediksi dari kemampuan sistem membangun usahatani komersial yang modern, berskala besar, efisien, inovatif, dan berkelanjutan (Level-4) melalui pewilayahan komoditas unggulan dalam bentuk kawasan sentra produksi yang sesuai dengan kondisi agroekologi wilayah (Level-3) yang didukung oleh infrastruktur wilayah dan suprastruktur kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan agroindustri pangan (Level-2). Semuanya ini membutuhkan adanya penyelenggara pemerintahan yang dapat berperan sebagai fasilitator dan katalisator bagi pembangunan agroindustri pangan (Level-1). E01
E02
Karakteristik
Level-4
Karakteristik
Usahatani
Perusahaan
E08 Pewilayahan
Level-3
Sentra Produksi
E05
E06
Status
Status
Technoware
Humanware
E07
E09
Level
E11
E04
Infrastruktur
Kualitas
2
Pendidikan
Kerjasama
Wilayah
Kebijakan
Masyarakat
Teknologi
E10 Penyelenggara Pemerintahan
(a)
Level-1
E10
E03
Penyelenggara
Jaringan
Pemerintahan
Kemitraan
(b)
Gambar 64. Model struktural kejadian hipotetis
Pada model kedua (Gambar 64, Bagian b), peran penyelenggara pemerintahan sebagai fasilitator dan katalisator bagi pembangunan agroindustri pangan juga menempati jenjang pertama (Level-1) pada struktur kejadian hipotetis. Dalam hal ini, pemerintah berperan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sehingga dapat dihasilkan SDM yang terdidik, terlatih, produktif, inovatif, dan intuitif sesuai dengan kebutuhan pembangunan agroindustri pangan (Level-2), sehingga perusahaan pengolahan dapat memanfaatkan teknologi tinggi (compu-
terized and integrated technology) dan SDM yang inovatif (Level-3) untuk menghasilkan produk inovatif dengan kualitas prima (Level-4). Selain melalui jalur pendidikan, pemanfaatan teknologi (technoware) dan SDM (humanware) yang inovatif (Level-3) dapat diperoleh dari kerjasama teknologi (Level-2) melalui jaringan kerjasama kemitraan yang bersifat sinergis, strategis, dan berkelanjutan (Level-1).
Jalur Evolusi Sistem Model pertama struktur kejadian hipotetis (Gambar 64, Bagian a) memetakan dua jalur proses evolusi sistem pembangunan agroindustri pangan, yaitu : Jalur 1a : E10 → E07 → E08 → E01 Jalur 1b : E10 → E09 → E08 → E01 Adapun model kedua struktur kejadian hipotetis (Gambar 64, Bagian b) memetakan empat jalur proses evolusi sistem pembangunan agroindustri pangan, yaitu : Jalur 2a : E10 → E11 → E05 → E02 Jalur 2b : E10 → E11 → E06 → E02 Jalur 3a : E03 → E04 → E05 → E02 Jalur 3b : E03 → E04 → E06 → E02 Keenam jalur proses evolusi di atas beserta elemen proses dan peluang kejadian bersyaratnya dapat dilihat pada Tabel 57. Sedangkan secara grafis, keenam jalur proses evolusi sistem tersebut diperlihatkan pada Gambar 65-67. Pada Gambar 65 dapat dilihat dalam jangka waktu 20 tahun yang akan datang, usahatani kelapa ataupun usahatani kelapa sawit sudah berkembang
menjadi usahatani modern, efisien, dan inovatif. Hal ini dapat terwujud karena penyelenggara pemerintahan sudah mampu membangun infrastruktur wilayah sekaligus menciptakan kebijakan yang dapat mendorong pertumbuhan kawasan sentra produksi.
Sebaliknya, dalam jangka waktu yang sama, penyelenggara
pemerintahan belum mampu menciptakan sistem pendidikan yang dapat menghasil perangkat teknologi (technoware) dan sumberdaya manusia (humanware) unggulan, sehingga perusahaan pengolahan kelapa dan kelapa sawit walaupun dapat berkembang, akan tetapi kecepatan perkembangannya tidak dapat mencapai taraf pertumbuhan yang stabil (Gambar 66). Tabel 57. Peluang bersyarat proses evolusi sistem pembangunan agroindustri pangan
Jalur Evolusi
Peluang Kejadian Bersyarat (%) Elemen Proses Evolusi
Jalur 1a Penyelenggara Pemerintahan Infrastruktur Wilayah Pewilayahan Sentra Produksi Karakteristik Usahatani Jalur 1b Penyelenggara Pemerintahan Kualitas Kebijakan Pewilayahan Sentra Produksi Karakteristik Usahatani Jalur 2a Penyelenggara Pemerintahan Pendidikan Masyarakat Status Technoware Karakteristik Perusahaan Jalur 2b Penyelenggara Pemerintahan Pendidikan Masyarakat Status Humanware
Kelapa
Kelapa Sawit
5
10
15
20
5
10
15
20
50
65
79
93
50
65
79
93
45
59
71
84
43
56
67
80
45 44
59 58
71 69
84 82
41
53
64
76
42
55
66
78
50
65
79
93
50
65
79
93
49
63
77
91
44
57
69
82
49 45
63 58
77 71
91 84
42
54
66
78
43
55
68
80
50
65
79
93
50
65
79
93
40
52
63
74
36
47
57
67
40 37
52 48
63 58
74 68
34
44
54
64
35
45
55
65
50
65
79
93
50
65
79
93
40
52
63
74
38
49
60
71
40 38
52 49
63 60
74 71
Karakteristik Perusahaan Jalur 3a Jaringan Kemitraan Kerjasama Teknologi Status Technoware Karakteristik Perusahaan Jalur 3b Jaringan Kemitraan Kerjasama Teknologi Status Humanware Karakteristik Perusahaan Sumber : Data primer hasil penelitian.
36
47
57
67
74
57
70
81
84
61
72
56
68
78
82
41
60
70
54
67
77
80
24
39
57
67
51
63
73
76
27
43
63
74
57
70
81
84
26
42
61
72
56
68
78
82
25
40
58
69
53
65
75
78
23
37
54
63
50
62
71
74
35
46
56
65
27
43
63
26
42
26
Pada Gambar 65 dapat dilihat upaya penyelenggara pemerintahan membangun infrastruktur wilayah sekaligus menciptakan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan sentra produksi dapat mempercepat perkembangan usahatani kelapa menjadi usahatani modern, efisien, dan inovatif. Akan tetapi, upaya tersebut tidak mampu mempercepat perkembangan usahatani kelapa sawit, karena secara alamiah usahatani kelapa sawit memiliki potensi untuk berkembang lebih cepat daripada perkembangan infra dan suprastruktur wilayah.
Gambar 65. Jalur pertama evolusi karakteristik usahatani
Sebagaimana halnya dengan sub-sistem usahatani, perkembangan perusa-haan pengolahan kelapa sawit secara alamiah lebih cepat daripada perusahaan pe-ngolahan kelapa. Upaya pemerintah mendorong perkembangan agroindustri de-ngan cara meningkatkan status perangkat teknologi dan SDM melalui jalur pendi-dikan sampai dengan jangka waktu 20 tahun mendatang belum mampu mendo-rong perkembangan agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit ke taraf in-novation-driven, walaupun secara alamiah, agroindustri kelapa sawit memiliki po-tensi untuk berkembang ke taraf innovation-driven dalam kurun waktu 20 tahun mendatang (Gambar 66). Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Yudhoyono (2004) yang menyimpulkan bahwa jalur pendidikan kurang efektif untuk diguna-kan sebagai pendorong pertumbuhan di sektor pertanian. Adapun upaya untuk mendorong pertumbuhan agroindustri melalui pe-manfaatan perangkat teknologi dan SDM unggulan melalui jalur kerjasama tekno-logi hanya mampu memacu pertumbuhan perusahaan pengolahan kelapa sawit, te-tapi belum mampu memacu pertumbuhan perusahaan pengolahan kelapa, sehing-ga dalam jangka waktu 20 tahun yang akan datang, perkembangan agroindustri kelapa sawit sudah berada pada tahap innovation-driven, sedangkan agroindustri kelapa masih berada pada tahap investment-driven (Gambar 67).
Gambar 66. Jalur kedua evolusi karakteristik perusahaan pengolahan
Gambar 67. Jalur ketiga evolusi karakteristik perusahaan pengolahan
STRATEGI PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PANGAN Skenario Normatif Pembangunan Agroindustri Pangan Visi Pembangunan Agroindustri Pangan Strategi pembangunan agroindustri pangan (agroindustri minyak nabati di Propinsi Jambi) disintesis dalam bentuk skenario normatif. Skenario normatif pada hakekatnya adalah rencana jangka panjang (planifikasi) yang disintesis berdasarkan harapan (visi pembangunan agroindustri pangan) yang ingin dicapai pada masa mendatang dengan mempertimbangkan sumber daya yang tersedia (analisis situasional dan struktural) dalam perspektif masa depan (analisis prospektif). Dalam hal ini, visi pembangunan agroindustri pangan adalah terwujudnya agroindustri pangan yang berdaya saing global, desentralistik dan berkelanjutan. Agroindustri pangan yang berdaya saing global memiliki ciri berorientasi pasar, serta mengandalkan produktivitas dan nilai tambah melalui pemanfaatan modal (investment-driven) dan teknologi (innovation-driven); tidak hanya mengandalkan kelimpahan faktor endowment seperti sumber daya alam dan tenaga kerja tidak terdidik (factor-driven). Agroindustri pangan yang desentralistik dimaksudkan sebagai agroindustri pangan berbasis pada pemanfaatan dan peningkatan daya saing komoditas pertanian unggulan yang menjadi basis ekonomi suatu wilayah (local specific products). Dalam hal ini komoditas unggulan dalam suatu wilayah KSP. Agar pembangunan agroindustri pangan yang berdaya saing global dan desentralistik tersebut dapat berkelanjutan (sustainable), maka pembangunan agroindustri pangan harus berorientasi pada kepentingan jangka panjang dengan cara menggunakan teknologi ramah lingkungan dan mengupayakan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Di samping itu, agar memiliki daya saing global berkelanjutan, agroindustri pangan yang dibangun harus memiliki kemampuan merespons perubahan pasar dengan cepat dan efisien, serta secara terusmenerus melakukan inovasi teknologi.
Faktor Pendukung Pembangunan Agroindustri Pangan Dari hasil analisis struktural diketahui terdapat enam faktor kunci (key fac-
tors) penentu keberhasilan pembangunan agroindustri pangan. Keenam faktor tersebut terdiri dari: karakteristik usaha, jaringan usaha dan status teknologi yang merupakan faktor-faktor mikro, serta infrastruktur, penyelenggaraan pemerintahan dan sosial ekonomi masyarakat yang merupakan faktor-faktor makro. Dari hasil analisis prospektif dengan menggunakan skenario ekploratif diketahui bahwa keberhasilan pembangunan agroindustri pangan berdaya saing, desentralistik dan berkelanjutan tergantung pada : (1) kemampuan sistem membangun usahatani komersial yang modern, berskala besar, efisien, inovatif dan berkelanjutan; (2) kemampuan sistem membangun perusahaan pengolahan yang memiliki lingkup dan skala ekonomi yang memungkinkan pertumbuhan produk dan pasar yang stabil dan berkelanjutan, serta responsif terhadap perubahan. Pembangunan usahatani komersial modern, berskala besar, efisien, inovatif dan berkelanjutan dilakukan melalui (1) pewilayahan komoditas unggulan dalam bentuk KSP yang sesuai dengan kondisi agroekologi wilayah dan (2) didukung oleh infrastruktur wilayah, (3) suprastruktur kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan agroindustri pangan dan (4) adanya penyelenggara pemerintahan yang dapat berperan sebagai fasilitator dan katalisator pembangunan agroindustri pangan (Gambar 64, Bagian a). Pembangunan perusahaan pengolahan dengan lingkup dan skala ekonomi yang memungkinkan untuk menghasilkan produk inovatif dengan kualitas prima dan berdaya saing global dilakukan melalui pemanfaatan (1) perangkat teknologi dan (2) SDM inovatif yang diperoleh melalui (3) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan atau (4) kerjasama teknologi (Gambar 64, Bagian b). Akan tetapi, dari hasil analisis prospektif (Gambar 66) diketahui bahwa upaya mendorong perkembangan agroindustri pangan dengan cara meningkatkan status perangkat teknologi dan SDM melalui jalur pendidikan sampai dengan jangka waktu 20 tahun mendatang belum berhasil mendorong perkembangan agroindustri pangan sampai ke taraf innovation-driven. Hanya melalui kerjasama teknologi upaya peningkat-
an status perangkat teknologi dan SDM untuk mencapai tahap unggul (innovation-
driven) dapat terwujud. Dengan demikian dapat disimpulkan terdapat delapan peubah yang menjadi kunci keberhasilan pembangunan agroindustri pangan. Empat peubah berpengaruh secara langsung terhadap keberhasilan pembangunan sub-sistem usahatani dan empat perubah berikutnya berpengaruh secara langsung terhadap keberhasilan pembangunan sub-sistem agroindustri. Rincian kedelapan peubah kunci tersebut beserta kriteria pengukuran/penilaian keberhasilannya dalam pembangunan agroindustri pangan dapat dilihat pada Tabel 58. Tabel 58. Daftar peubah kunci keberhasilan pembangunan agroindustri pangan beserta kriteria pengukuran/penilaian Peubah
Kriteria Pengukuran/Penilaian Keberhasilan
Pembangunan
Kemampuan sistem membangun usahatani komersial yang
Sub-Sistem Usahatani
modern berskala besar, efisien, inovatif dan berkelanjutan(sustainable).
1. Pewilayahan Sentra Produksi
Keberhasilan pewilayahan komoditas pertanian unggulan dalam bentuk kawasan sentra produksi yang sesuai dengan kondisi agroekologi kawasan serta memiliki skala dan lingkup ekonomi yang memungkinkan untuk memproduksi komoditas unggulan secara efisien dan berkelanjutan.
2. Infrastruktur
Ketersediaan infrastruktur fisik wilayah dan infrastruktur
Wilayah
pertanian yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan pertanian berkelanjutan.
3. Kualitas Kebijakan Pembangunan 4. Kualitas Penyelenggara Pemerintahan
Kesesuaian kebijakan dan program pembangunan dengan kebutuhan pembangunan pertanian berkelanjutan. Keberhasilan transformasi fungsi penyelenggara pemerintahan serta kualitas pelayanan publik.
Pembangunan Sub-
Kemampuan sistem membangun perusahaan pengolahan
Sistem Agroindustri
yang memiliki lingkup dan skala ekonomi yang memungkinkan pertumbuhan produk dan pasar yang stabil dan berkelanjutan serta responsif terhadap perubahan.
1. Status Technoware
Status technoware yang digunakan oleh perusahaan pengolahan sudah sampai pada taraf teknologi tinggi (com-
puterized and integrated technology). 2. Status Humanware
Status SDM yang bekerja pada perusahaan pengolahan sudah memiliki kemampuan berinovasi untuk menciptakan produk unggulan yang berdaya saing tinggi.
3. Kerjasama
Jalinan kerjasama teknologi antar perusahaan pengolahan
Teknologi
sudah sampai pada taraf pengembangan created factors untuk menghasilkan produk inovatif unggulan.
4. Jaringan Kemitraan
Kemitraan usaha sudah terjalin secara sinergis, strategis dan berkelanjutan atas dasar prinsip saling membutuhkan, memperkuat dan menguntungkan.
Skenario Normatif Skenario normatif pembangunan agroindustri pangan disintesis berdasarkan tahapan perkembangan peubah kunci pembangunan agroindustri pangan yang dibagi dalam tiga tahap perkembangan, yaitu Factor-Driven, Investment-Driven dan Innovation-Driven. Model struktural skenario normatif pembangunan agroindustri pangan dibagi dalam dua model pembangunan, yaitu : (a) model struktural pembangunan sub-sistem usahatani dan (b) model struktural pembangunan perusahaan pengolahan (Gambar 68).
Pembangunan
Pembangunan
Sub-Sistem
Perusahaan
Usahatani
Pengolahan
Perkembangan
Perkembangan
Perkembangan
Kawasan
Status
Status
Sentra Produksi
Technoware
Humanware
Perkembangan
Perkembangan
Intensitas
Infrastruktur
Kualitas
Kerjasama
Wilayah
Kebijakan
Teknologi
Kualitas
Intensitas
Penyelenggara
Jaringan
Pemerintahan
Kemitraan
(a) Pembangunan sub-sistem usahatani
b) Pembangunan perusahaan pengolahan
Gambar 68. Model struktural skenario pembangunan agroindustri pangan
Skenario Pembangunan Agroindustri Kelapa Strategi Pembangunan Usahatani Kelapa Strategi pembangunan usahatani kelapa dimaksudkan untuk menjadikan perkebunan kelapa sebagai usahatani komersial modern, berskala besar, efisien, inovatif dan berkelanjutan. Upaya ini tergantung pada: (1) perkembangan KSP kelapa, (2) perkembangan infrastruktur wilayah, (3) kebijakan pemerintah dalam pembangunan sub-sistem usahatani kelapa dan (4) kualitas penyelenggara pemerintahan. Pembangunan usahatani kelapa tidak akan berhasil jika penyelenggara pemerintahan: (1) tidak memahami permasalahan dan (2) tidak memiliki visi pembangunan usahatani kelapa. Permasalahan utama dalam pembangunan usahatani kelapa pada KSP kelapa di Propinsi Jambi saat ini adalah tidak efisiennya usahatani kelapa sebagai akibat dari menurunnya tingkat produktivitas kelapa. Penurunan produktivitas kelapa adalah akibat dari tidak dilakukannya perawatan dan peremajaan tanaman kelapa yang sudah tua sebagai akibat dari penurunan nilai tukar (term of trade) komoditas kelapa, sehingga usahatani kelapa menjadi tidak menarik. Diprediksi keadaan ini masih akan berlangsung dalam waktu 5 sampai 10 tahun yang akan datang.
Upaya untuk meningkatkan daya tarik usahatani kelapa dapat dilakukan dengan cara : (1) membangun infrastruktur guna meningkatkan akses pasar bagi komoditas kelapa; (2) membuat kebijakan yang berpihak pada usahatani kelapa, seperti penghapusan retribusi terhadap komoditas kelapa dan pemberian kredit untuk perawatan dan peremajaan tanaman kelapa. Dari hasil analisis prospektif, diketahui kedua faktor ini (infrastruktur dan kualitas kebijakan) merupakan faktor kritis dalam pembangunan sistem usahatani kelapa (Tabel 59) Agar perkembangan usahatani kelapa dapat mencapai tahap innovation-
driven dalam kurun waktu 20 tahun mendatang, maka perlu dilakukan strategi periodesasi tahapan pembangunan sistem usahatani kelapa berikut : Tabel 59. Tahap perkembangan usahatani kelapa Parameter Perkembangan
Tahap Perkembangan (Tahun) 5
10
Factor-
Factor-
Investment-
Investment-
Driven
Driven
Driven
Driven
Investment-
Investment-
Innovation-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Factor-
Investment-
Investment-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Factor-
Investment-
Investment-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Penyelenggara
Investment-
Investment-
Innovation-
Innovation-
Pemerintahan
Driven
Driven
Driven
Driven
Karakteristik Usahatani Perkembangan KSP Infrastruktur Wilayah Kualitas Kebijakan
15
20
Sumber : Hasil analisis pada Gambar 55, 61 dan 62. Periode Pertama (0 – 10 tahun) Pada periode pertama pembangunan usahatani kelapa, dalam kurun waktu sampai 10 tahun mendatang, penyelenggara pemerintahan harus mampu : (1) membangun infrastruktur dasar guna meningkatkan akses pasar bagi komoditas kelapa yang diproduksi pada suatu KSP; (2) menghapus kebijakan yang berbenturan dengan pembangunan usahatani kelapa; dan (3) menciptakan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan usahatani kelapa. Ketiga upaya ini diharapkan dapat menggeser tahap perkembangan infrastruktur wilayah dan kualitas
kebijakan dari factor-driven ke investmen-driven, sehingga pada tahun ke-10, perkembangan usahatani kelapa sudah berada pada tahap investment-driven (Tabel 60). Tabel 60. Skenario perkembangan usahatani kelapa Parameter
Tahap Perkembangan (Tahun)
Perkembangan
10
15
20
Factor-
Investment-
Investment-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Investment-
Investment-
Innovation-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Investment-
Investment-
Innovation-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Investment-
Investment-
Innovation-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Penyelenggara
Investment-
Investment-
Innovation-
Innovation-
Pemerintahan
Driven
Driven
Driven
Driven
Karakteristik Usahatani Perkembangan KSP Infrastruktur Wilayah Kualitas Kebijakan
5
Sumber : Hasil analisis
Periode Kedua (10 – 20 tahun) Pada periode kedua pembangunan sistem usahatani kelapa, dalam kurun 10 sampai 20 tahun mendatang, investasi pemerintah diprioritaskan pada pengembangan riset untuk menghasilkan teknologi aplikatif bagi pembangunan usahatani kelapa. Di samping itu, penyelenggara pemerintahan harus mampu menciptakan kebijakan yang harmonis sesuai dengan kebutuhan pembangunan usahatani kelapa, sehingga dalam kurun waktu 20 tahun mendatang perkembangan usahatani kelapa sudah sampai pada tahap innovation-driven (Tabel 60).
Strategi Pembangunan Perusahaan Pengolahan Kelapa Strategi pembangunan perusahaan pengolahan kelapa bertujuan agar perusahaan pengolahan memiliki lingkup dan skala ekonomi yang memungkinkan untuk menghasilkan produk inovatif dengan kualitas prima dan berdaya saing global melalui pemanfaatan : (1) perangkat teknologi (technoware) dan (2) SDM
(humanware) inovatif yang dihasilkan dari (3) jaringan kemitraan dan (4) kerjasama teknologi. Dari hasil analisis tahap perkembangan perusahaan pengolahan kelapa (Tabel 61), diketahui bahwa faktor kritis dalam pembangunan perusahaan pengolahan kelapa adalah status technoware dan jaringan kemitraan. Dengan demikian, upaya pengembangan perusahaan pengolahan kelapa dapat difokuskan pada peningkatan status technoware dan jaringan kemitraan. Tabel 61. Tahap perkembangan perusahaan pengolahan kelapa Parameter Perkembangan Karakteristik Perusahaan Status Technoware Status Humanware Kerjasama Teknologi Jaringan Kemitraan
Tahap Perkembangan (Tahun) 5
10
15
20
Factor-
Factor-
Investment-
Investment-
Driven
Driven
Driven
Driven
Factor-
Factor-
Investment-
Investment-
Driven
Driven
Driven
Driven
Factor-
Investment-
Investment-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Factor-
Investment-
Investment-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Factor-
Factor-
Investment-
Investment-
Driven
Driven
Driven
Driven
Sumber : Hasil analisis pada Gambar 56 – 60. Pada tahap pertama pembangunan perusahaan pengolahan kelapa, yaitu dalam periode waktu sampai dengan 10 tahun mendatang, harus dilakukan upaya : 1) Peningkatan status technoware pada perusahaan pengolahan kelapa melalui kerjasama teknologi. Pada tahap ini, kerjasama teknologi setidaknya sudah
sampai pada tahap adaptasi ataupun akuisisi teknologi untuk menghasilkan perangkat pengolahan yang bersifat otomatis untuk penggunaan khusus. 2) Peningkatan intensitas integrasi ke belakang perusahaan pengolahan dengan usahatani kelapa. Pada tahap ini setidaknya pembangunan perusahaan pengolahan sudah terintegrasi dengan pembangunan sistem usahatani, walaupun dengan pola integrasi yang masih bersifat sub-ordinatif ataupun hanya melalui koordinasi vertikal. Kedua upaya ini diharapkan dapat menggeser perkembangan status technoware dan intensitas kemitraan dari factor-driven ke investmen-driven, sehingga pada tahun ke-10, perkembangan perusahaan pengolahan sudah berada pada tahap
investment-driven (Tabel 62). Tabel 62. Skenario perkembangan perusahaan pengolahan kelapa Parameter Perkembangan Karakteristik Perusahaan Status Technoware Status Humanware Kerjasama Teknologi Jaringan Kemitraan
Tahap Perkembangan (Tahun) 5
10
15
20
Factor-
Investment-
Investment-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Factor-
Investment-
Investment-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Factor-
Investment-
Investment-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Factor-
Investment-
Investment-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Factor-
Investment-
Investment-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Sumber : Hasil analisis
Upaya yang harus dilakukan pada periode kedua pembangunan perusahaan pengolahan kelapa, yaitu dalam kurun waktu 10 - 20 tahun mendatang, adalah melanjutkan upaya yang telah dilakukan pada periode pertama, yaitu : 1) Peningkatan status technoware pada perusahaan pengolahan kelapa melalui kerjasama teknologi. Pada tahap ini, kerjasama teknologi sudah harus sampai
pada tahap modifikasi teknologi untuk menghasilkan created factors dengan menggunakan perangkat teknologi canggih (computerized and integrative
technology). 2) Peningkatan intensitas integrasi ke belakang perusahaan pengolahan dengan usahatani kelapa. Pada tahap ini, intensitas integrasi sudah harus sampai pada bentuk integrasi vertikal yang sinergis, inovatif dan berkelanjutan. Kedua upaya ini diharapkan dapat menggeser perkembangan status technoware dan intensitas kemitraan dari investmen-driven ke innovation-driven, sehingga pada tahun ke-20, perkembangan perusahaan pengolahan sudah berada pada tahap
innovation-driven (Tabel 62). Skenario Pembangunan Agroindustri Kelapa Sawit Strategi Pembangunan Usahatani Kelapa Sawit Sebagaimana halnya dengan pembangunan usahatani kelapa, strategi pembangunan sistem usahatani kelapa sawit dimaksudkan untuk menjadikan perkebunan kelapa sawit sebagai usahatani komersial modern, berskala besar, efisien, inovatif dan berkelanjutan.
Dari hasil analisis prospektif (Tabel 63),
diketahui secara alamiah, usahatani kelapa sawit di Propinsi Jambi memiliki potensi untuk berkembang lebih cepat daripada perkembangan faktor-faktor pendukungnya, sehingga strategi pembangunan usahatani kelapa sawit hanya perlu diarahkan pada upaya menyelaraskan pertumbuhan usahatani kelapa sawit dengan perkembangan perusahaan pengolahan kelapa sawit. Tabel 63. Tahap perkembangan usahatani kelapa sawit Parameter Perkembangan Karakteristik Usahatani Perkembangan KSP Infrastruktur Wilayah
Tahap Perkembangan (Tahun) 5
10
15
20
Investment-
Investment-
Innovation-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Investment-
Investment-
Innovation-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Factor-
Investment-
Investment-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Factor-
Investment-
Investment-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Penyelenggara
Investment-
Investment-
Innovation-
Innovation-
Pemerintahan
Driven
Driven
Driven
Driven
Kualitas Kebijakan
Sumber: Hasil analisis pada Gambar 55, 61 dan 62 Penyelarasan pertumbuhan usahatani kelapa sawit dengan perkembangan perusahaan pengolahan dilakukan dengan menggunakan sistem pengendali pembangunan agroindustri kelapa sawit. Model struktural pengendalian sistem pembangunan agroindustri kelapa sawit tersebut dapat dilihat pada Gambar 69. Tujuan pengendalian sistem pembangunan agroindustri kelapa sawit adalah untuk mengendalikan investasi dan pertumbuhan usahatani kelapa sawit melalui pola pengembangan perkebunan dengan mempertimbangkan : (1) perkembangan KSP, (2) kelestarian lingkungan hidup, (3) kuantitas, kualitas dan kontinuitas produksi kelapa sawit, serta (4) posisi persaingan produk agroindustri kelapa sawit. Produk Agroindustri
Pesaing
Produksi Kelapa Sawit Perkembangan Kawasan
Investasi/Pertumbuhan Usahatani Kelapa Sawit
Lingkungan Hidup
Pola Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Gambar 69. Model struktural pengendalian sistem pembangunan agroindustri kelapa sawit
Strategi Pembangunan Perusahaan Pengolahan Kelapa Sawit
Sebagaimana halnya dengan pembangunan perusahaan pengolahan kelapa, strategi pembangunan perusahaan pengolahan kelapa sawit bertujuan agar perusahaan memiliki lingkup dan skala ekonomi yang memungkinkan untuk menghasilkan produk inovatif dengan kualitas prima dan berdaya saing global melalui pemanfaatan : (1) perangkat teknologi (technoware) dan (2) SDM (humanware) inovatif, (3) kerjasama teknologi dan (4) jaringan kemitraan. Dari hasil analisis tahap perkembangan perusahaan pengolahan kelapa sawit (Tabel 64), diketahui perkembangan perusahaan pengolahan kelapa sawit seiring dengan perkembangan faktor-faktor pendukungnya. Dalam kurun waktu 5 - 10 tahun yang akan datang, perkembangan perusahaan pengolahan kelapa sawit bersama-sama dengan faktor-faktor pendukungnya telah berada pada tahap
investment-driven. Hal ini memungkin bagi perusahaan pengolahan dan faktorfaktor pendukungnya berkembang ke tahap innovation-driven dalam kurun waktu 15 - 20 tahun yang akan datang. Prediksi ini didukung dengan hasil analisis prospektif dengan menggunakan skenario eksploratif yang memperlihatkan perkembangan perusahaan pengolahan kelapa sawit akan sampai pada tahap innovation-
driven dalam kurun waktu 20 tahun yang akan datang.
Tabel 64. Tahap perkembangan perusahaan pengolahan kelapa sawit Parameter Perkembangan Karakteristik Perusahaan Status Technoware Status Humanware Kerjasama Teknologi Jaringan Kemitraan
Tahap Perkembangan (Tahun) 5
10
15
20
Investment-
Investment-
Innovation-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Investment-
Investment-
Innovation-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Investment-
Investment-
Innovation-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Investment-
Investment-
Innovation-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Investment-
Investment-
Innovation-
Innovation-
Driven
Driven
Driven
Driven
Sumber: Hasil analisis pada Gambar 56 – 60.
Perkembangan usahatani kelapa sawit dan perusahaan pengolahan kelapa sawit akan mencapai tahap innovation-driven dalam kurun waktu 15 – 20 tahun yang akan datang. Hal ini mengindikasikan agroindustri kelapa sawit akan tumbuh menjadi agroindustri unggulan yang memiliki daya saing global dalam kurun waktu 15 – 20 tahun yang akan datang. Hasil ini sesuai dengan laporan Oil World (2002) yang memprediksi Indonesia akan menjadi produsen CPO terbesar di dunia pada tahun 2005, dan pada tahun 2020 Indonesia akan menguasai hampir 50% produksi CPO dunia. Dukungan pemerintahan untuk mendorong perkembangan agroindustri kelapa sawit ini adalah melalui investasi pada pengembangan riset yang menghasilkan teknologi yang dapat diadopsi menjadi sumber pertumbuhan usahatani dan pengolahan hasil agar pembangunan agroindustri kelapa sawit dapat segera memasuki tahap innovation-driven.
STRATEGI PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PANGAN PADA TINGKAT PERUSAHAAN Sintesis strategi pada tingkat perusahaan didasarkan pada posisi strategis perusahaan. Posisi strategis perusahaan menggambarkan posisi bersaing perusahaan berdasarkan daya tarik industri dimana perusahaan tersebut beroperasi. Dari hasil analisis, diketahui posisi strategis perusahaan dalam kelompok agroindustri kelapa di Propinsi Jambi berada pada sel selektif dan divestasi. Adapun posisi strategis perusahaan dalam kelompok agroindustri kelapa sawit di Propinsi Jambi berada pada sel pertumbuhan selektif sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 51. Berdasarkan pada posisi strategis perusahaan dapat ditentukan posisi spesifik yang sesuai dengan tahap pertumbuhan perusahaan. Tabel 65 menyajikan posisi spesifik untuk masing-masing sel pertumbuhan perusahaan agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit di Propinsi Jambi. Adapun ragam strategi untuk masing-masing posisi spesifik perusahaan dapat dilihat pada Lampiran 13. Tabel 65. Posisi strategis dan spesifik agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit di Propinsi Jambi
Jenis Industri Agroindustri
Posisi Strategis Selektif
Kelapa
Posisi Spesifik - Menyehatkan Usaha - Memperpanjang Usaha
Divestasi
- Mengundurkan Diri - Divestasi
Agroindustri
Pertumbuhan Selektif
Kelapa Sawit
- Mengejar Posisi Bersaing - Mempertahankan Posisi Bersaing - Menemukan Ceruk Pasar - Mengeksploitasi Ceruk Pasar
Sumber : Hasil analisis pada Gambar 51.
Strategi Pembangunan Perusahaan Agroindustri Kelapa Perkembangan perusahaan dalam kelompok agroindustri kelapa di Propinsi Jambi berada dalam dua posisi strategis. Pada posisi selektif terdapat perusahaan yang berada pada posisi spesifik untuk penyehatan usaha dan perpanjangan usaha. Adapun pada posisi divestasi terdapat perusahaan yang sedang berada pada posisi spesifik untuk mengundurkan diri dan divestasi. Ragam strategi untuk masing-masing posisi spesifik perusahaan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 13. Adapun penentuan prioritas strategi untuk masing-masing posisi spesifik perusahaan menggunakan metode AHP (Saaty, 1993) dengan enam jenjang hirarki, yaitu posisi spesifik perusahaan, faktor pendukung, pelaku, tujuan pelaku, kebijakan dan strategi (Lampiran 14). Strategi Penyehatan Usaha Strategi penyehatan usaha (turnaround strategy) diperlukan oleh perusahaan yang memiliki posisi bersaing yang lemah dan pertumbuhan pasar yang lambat (Pearce and Robinson, 1996) yang disebabkan oleh ketidakmampuan perusahaan memenuhi kebutuhan pelanggan dengan produk yang dihasilkannya. Dalam hal ini, perusahaan tidak mampu menghasilkan minyak kelapa kasar (CCO) yang kompetitif baik dari segi harga ataupun kualitas. Oleh karena itu diperlukan strategi untuk penyehatan usaha. Terdapat tiga pilihan ragam strategi yang dapat dikembangkan pada perusahaan yang berada pada posisi spesifik untuk penyehatan usaha. Ketiga pilihan ragam strategi tersebut adalah rasionalisasi produksi, rasionalisasi pasar dan efisiensi. Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 14, Bagian a) diketahui bobot prioritas ketiga ragam strategi ini relatif sama dengan urutan prioritas rasionalisasi produksi, diikuti dengan efisiensi dan rasionalisasi pasar (Tabel 66).
Tabel 66. Ragam strategi penyehatan usaha
Ragam Strategi
Bobot
Prioritas
Rasionalisasi Produksi
0.3480
1
Efisiensi
0.3315
2
Rasionalisasi Pasar
0.3205
3
Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 14, Bagian a. Strategi Perpanjangan Usaha Untuk perusahaan agroindustri kelapa yang berada pada posisi spesifik untuk memperpanjang usaha tersedia empat pilihan ragam strategi, yaitu integrasi ke belakang, rasionalisasi produksi, rasionalisasi pasar dan efisiensi. Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 14, Bagian b) diketahui prioritas ragam strategi yang dapat dikembangkan oleh perusahaan yang berada pada posisi ini adalah strategi integrasi ke belakang (backward integration) diikuti dengan strategi efisiensi (Tabel 67). Menurut Pearce and Robinson (1996), ragam strategi integrasi ke belakang diperlukan oleh perusahaan guna mengatasi kelemahan yang dimiliki untuk mengejar pertumbuhan eksternal. Pada agroindustri kelapa di Propinsi Jambi, strategi integrasi ke belakang dapat diterapkan melalui kontrak bisnis formal antara perusahaan dengan petani perkebunan kelapa. Tabel 67. Ragam strategi memperpanjang usaha
Ragam Strategi
Bobot
Prioritas
Integrasi ke Belakang
0.3800
1
Efisiensi
0.2545
2
Rasionalisasi Pasar
0.2105
3
Rasionalisasi Produksi
0.1550
4
Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 14, Bagian b.
Strategi Mengundurkan Diri dan Divestasi Strategi mengundurkan diri atau divestasi termasuk dalam strategi penciutan usaha (retrenchment) (Supratikno, dkk, 2003). Kedua strategi ini sesuai digunakan untuk mengatasi kelemahan pada perusahaan yang memiliki posisi bersaing yang lemah dan berada pada pasar yang tumbuh lambat (Pearce and Robinson, 1996). Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 14, Bagian c dan d) diketahui prioritas ragam strategi yang dapat dikembangkan oleh perusahaan yang berada pada posisi spesifik mengundurkan diri sama dengan prioritas ragam strategi bagi perusahaan yang akan divestasi, yaitu rasionalisasi produksi (Tabel 68 dan 69). Tabel 68. Ragam strategi mengundurkan diri
Ragam Strategi
Bobot
Prioritas
Rasionalisasi Produksi
0.6100
1
Rasionalisasi Pasar
0.3900
2
Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 14, Bagian c. Tabel 69. Ragam strategi divestasi
Ragam Strategi
Bobot
Prioritas
Rasionalisasi Produksi
0.4200
1
Rasionalisasi Pasar
0.3290
2
Bertahan
0.2510
3
Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 14, Bagian d.
Strategi Pembangunan Perusahaan Agroindustri Kelapa Sawit Perkembangan perusahaan dalam kelompok agroindustri kelapa sawit berada pada sel pertumbuhan selektif. Pada sel tersebut terdapat perusahaan yang sedang mengejar atau mempertahankan posisi bersaing serta mencari atau mengeks-
ploitasi ceruk pasar yang dikuasainya. Ragam strategi untuk masing-masing posisi spesifik perusahaan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 13. Adapun penentuan prioritas strategi untuk masing-masing posisi spesifik perusahaan menggunakan metode AHP (Saaty, 1993) dengan enam jenjang hirarki, yaitu posisi spesifik perusahaan, faktor pendukung, pelaku, tujuan pelaku, kebijakan dan strategi (Lampiran 15). Strategi Mengejar Posisi Bersaing Untuk perusahaan agroindustri kelapa sawit yang berada pada tahap mengejar posisi bersaing (positioning) tersedia tiga ragam strategi, yaitu utilisasi kapasitas produksi, pengembangan pasar baru dan efisiensi. Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 15, Bagian a) diketahui prioritas strategi yang dapat dikembangkan oleh perusahaan yang berada pada tahap ini adalah utilisasi kapasitas produksi, diikuti dengan strategi pengembangan pasar baru dan efisiensi (Tabel 70). Tabel 70. Ragam strategi mengejar posisi bersaing
Ragam Strategi
Bobot
Prioritas
Utilisasi Kapasitas Produksi
0.4420
1
Pengembangan Pasar Baru
0.3745
2
Efesiensi
0.1835
3
Sumber: Hasil analisis pada Lampiran 15, Bagian a. Hasil analisis menunjukkan ragam strategi utilitas kapasitas produksi lebih diprioritaskan daripada ragam strategi pengembangan pasar baru bagi perusahaan yang berada pada tahap mengejar posisi bersaing. Hasil analisis ini sesuai dengan diagnosis terhadap perusahaan pengolahan kelapa sawit yang ada di Propinsi Jambi yang menunjukkan rata-rata tingkat utilitas perusahaan baru mencapai 68.20% (Disbun Prop. Jambi, 2003a), sehingga upaya perusahaan untuk mengejar posisi bersaing dapat dilakukan melalui strategi peningkatan utilitas, diikuti dengan strategi pengembangan pasar baru.
Strategi Mempertahankan Posisi Bersaing Untuk perusahaan agroindustri kelapa sawit yang berada pada tahap mempertahankan posisi bersaing tersedia dua pilihan strategi, yaitu integrasi ke belakang atau efisiensi. Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 15, bagian b) diketahui prioritas strategi yang dapat dikembangkan oleh perusahaan yang berada pada tahap ini adalah strategi strategi integrasi ke belakang (backward integration) diikuti dengan strategi efisiensi (Tabel 71). Tabel 71. Ragam strategi mempertahankan posisi bersaing
Ragam Strategi
Bobot
Prioritas
Integrasi ke Belakang
0.6175
1
Efisiensi
0.3825
2
Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 15, Bagian b. Menurut Pearce and Robinson (1996), integrasi vertikal ke belakang adalah ragam strategi yang sesuai untuk dikembangkan pada perusahaan yang memiliki posisi bersaing yang kuat, terutama pada pasar yang tumbuh dengan cepat. Ragam strategi integrasi ke belakang dibutuhkan untuk meningkatkan posisi bersaing perusahaan melalui peningkatan efisiensi ekonomi sebagai dampak dari adanya kombinasi operasi, koordinasi dan pengendalian internal, ekonomi informasi, penghematan biaya transaksi dan stabilitas hubungan dalam rantai produksi. Pada agroindustri kelapa sawit, sebagian besar integrasi ke belakang sudah terjalin sebelum perusahaan berproduksi melalui berbagai pola pembangunan perkebunan. Akan tetapi, karena efek efisiensi ekonomi dari integrasi ke belakang baru dapat dirasakan jika skala ekonomi kedua unit usaha yang berintegrasi mencapai mini-
mum economic of scale (Muhammad, 2002), maka penekanan integrasi ke belakang pada agroindustri kelapa sawit dititikberatkan pada kemampuan perusahaan untuk menyeimbangkan skala ekonomi pada berbagai tahapan produksi.
Strategi Menemukan Ceruk Pasar Untuk perusahaan agroindustri kelapa sawit yang sedang berada pada tahap mencari ceruk pasar tersedia tiga ragam strategi, yaitu integrasi ke depan, rasionalisasi produksi dan pengembangan pasar.
Berdasarkan hasil analisis
(Lampiran 15, Bagian c) diketahui prioritas strategi yang dapat dikembangkan oleh perusahaan yang berada pada tahap ini adalah strategi rasionalisasi produksi, diikuti dengan strategi integrasi ke depan (forward integration) (Tabel 72). Tabel 72. Ragam strategi menemukan ceruk pasar
Ragam Strategi
Bobot
Prioritas
Rasionalisasi Produksi
0.4740
1
Integrasi ke Depan
0.3790
2
Pengembangan Pasar
0.1470
3
Sumber: Hasil analisis pada Lampiran 15, Bagian c. Ragam strategi rasionalisasi produksi termasuk dalam kelompok strategi intensif yang diperuntukkan bagi perusahaan yang berada pada posisi mempertahankan unit usahanya (Supratikno, dkk, 2003). Ragam strategi ini sesuai bagi perusahaan yang berada pada posisi untuk mengatasi kelemahan yang dimilikinya (Pearce and Robinson, 1996) melalui upaya menemukan ceruk pasar bagi produk yang dihasilkannya. Untuk itu, perusahaan harus mampu merasionalisasi produksi mengikuti dinamika dari pasar sasaran yang akan dimasukinya.
Strategi Eksploitasi Ceruk Pasar Untuk perusahaan agroindustri kelapa sawit yang sedang berada pada tahap mengeksploitasi ceruk pasar yang sudah dikuasainya tersedia empat pilihan ragam strategi, yaitu: utilisasi kapasitas produksi, efisiensi, pengembangan produk dan pengembangan pasar. Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 15, bagian d) diketahui prioritas strategi yang dapat dikembangkan oleh perusahaan yang berada pada tahap ini adalah strategi utilisasi kapasitas produksi, diikuti dengan strategi efisiensi (Tabel 73). Tabel 73. Ragam strategi eksploitasi ceruk pasar
Ragam Strategi
Bobot
Prioritas
Utilisasi Kapasitas Produksi
0.3645
1
Efisiensi
0.3330
2
Pengembangan Produk
0.2055
3
Pengembangan Pasar
0.0970
4
Sumber: Hasil analisis pada Lampiran 15, Bagian d. Menurut Pearce and Robinson (1996), ragam strategi utilisasi kapasitas produksi sangat sesuai untuk diterapkan pada perusahaan yang sedang berupaya memaksimalkan kekuatan melalui peningkatan pertumbuhan internal. Dalam hal ini melalui upaya mengeksploitasi ceruk pasar yang sudah dikuasainya dengan jalan meningkatkan utilitas kapasitas produksi.
PEMBAHASAN Perkembangan Agroindustri Pangan Komoditas Pertanian Unggulan
di Propinsi Jambi
Dari hasil analisis situasional diketahui komoditas pertanian unggulan di Propinsi Jambi terdiri dari karet, kelapa, kelapa sawit dan kayu manis. Hasil ini agak berbeda dengan komoditas unggulan yang ditetapkan oleh Dinas Perkebunan Propinsi Jambi yang menempatkan komoditas kopi sebagai komoditas unggulan kelima setelah karet, kelapa, kelapa sawit dan kayu manis (Disbun Propinsi Jambi, 2003b). Tidak dimasukkannya komoditas kopi sebagai komoditas unggulan dalam penelitian ini didasarkan pada hasil analisis basis ekonomi. Dari hasil analisis (Lampiran 8) diketahui di Propinsi Jambi tidak terdapat KSP yang pertumbuhan ekonominya berbasiskan komoditas kopi. Menurut Budiharjo (2001), komoditas perkebunan sudah menjadi komoditas unggulan masyarakat Jambi sejak awal abad XX. Bahkan akar historis pertumbuhan dan perkembangan perekonomian daerah Jambi berakar pada komoditas perkebunan yang memiliki peran sentral pada dinamika kehidupan sosial ekonomi masyarakat Jambi sejak abad XIX. Panjangnya akar sejarah pembangunan perkebunan di Propinsi Jambi ini dapat menjelaskan mengapa keempat jenis komoditas perkebunan unggulan tersebut berkembang pada KSP yang memiliki kondisi agroekologi yang sesuai sekaligus menjadikannya sebagai basis ekonomi bagi KSP dimana komoditas unggulan tersebut dikembangkan. Perkembangan usahatani komoditas unggulan pada suatu KSP tidak selalu diikuti dengan pertumbuhan industri pengolahan (agroindustri) pada kawasan tersebut. Untuk komoditas karet, pertumbuhan agroindustri pengolahan justru terjadi di luar KSP karet. Adapun untuk komoditas kayu manis, sampai saat ini di Propinsi Jambi belum berkembang agroindustri pengolahan kayu manis. Hanya agroindustri kelapa yang tumbuh bersama-sama dengan usahatani kelapa di dalam suatu KSP. Dengan menggunakan kofisien korelasi-jenjang Spearman diketahui bahwa produksi kelapa pada suatu KSP berkorelasi dengan kapasitas produksi perusahaan pengolahan kelapa di dalam KSP tersebut. Hal ini mengindikasikan pada suatu KSP kelapa terdapat keterkaitan produksi antara usahatani dengan usaha
pengolahan. Hasil analisis ini sesuai dengan teori lokasi industri pertanian (agroindustri) yang dikemukakan oleh Isard (Djojodipuro, 1992) yang menyatakan pemilihan lokasi industri pertanian tergantung pada dua faktor utama, yaitu harga tanah dan biaya transportasi. Berdasarkan pertimbangan harga tanah dan biaya transportasi tersebut, maka lokasi industri pertanian umumnya berada pada atau di sekitar sentra produksi pertanian. Pada sistem agribisnis kelapa sawit, keterkaitan produksi tidak hanya terjadi antara usahatani kelapa sawit dengan perusahaan pengolahan kelapa sawit yang berada pada KSP yang sama. Keterkaitan ini terjadi juga antara usahatani yang berada pada suatu KSP dengan perusahaan pengolahan yang berada di luar KSP. Juga terdapatan keterkaitan produksi antara usahatani yang berada di luar KSP dengan perusahaan pengolahan yang berada di dalam KSP. Perbedaan pola keterkaitan pada sistem agribisnis kelapa dibandingkan dengan sistem agribisnis kelapa sawit dapat dijelaskan berdasarkan tahap perkembangan dan cakupan wilayah pengembangan KSP kedua komoditas unggulan tersebut. KSP kelapa di Propinsi Jambi sudah berkembang sejak tahun 1934 (Budihardjo, 2001) pada wilayah yang terbatas, yaitu hanya di Kabupaten Tanjung Jabung Barat (KSP Makro A) dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (KSP Makro B). Sedang KSP kelapa sawit baru mulai berkembang pada tahun 1990-an di hampir semua kabupaten yang ada di Propinsi Jambi (BKPMD Propinsi Jambi, 2000). Berdasarkan tahap perkembangannya, KSP kelapa sudah berada pada tahap kedewasaan yang diindikasikan dengan rendahnya tingkat pertumbuhan produksi kelapa, yaitu kurang dari 1% per tahun. Sedangkan perkembangan KSP kelapa sawit masih berada pada tahap pertumbuhan dengan tingkat pertumbuhan produksi lebih dari 20% per tahun (Disbun Propinsi Jambi, 2003a). Perbedaan tahap perkembangan dan cakupan wilayah pengembangan KSP kelapa dengan kelapa sawit berpengaruh terhadap perkembangan agroindustri pengolahan kedua komoditas unggulan tersebut. Pada sistem agribisnis kelapa, perkembangan sudah sampai pada tahap kedewasaan; pada tahap ini sebagian perusahaan pengolahan sudah terseleksi, hanya perusahaan yang memiliki keunggulan bersaing yang dapat bertahan. Dengan menggunakan teori lokasi agroindustri Isard (Djojodipuro, 1992), dapat diduga perusahaan yang berada pada
KSP memiliki keunggulan biaya (cost leadership) dibandingkan dengan perusahan yang berada di luar KSP. Hal ini menjelaskan adanya keterkaitan produksi antara usahatani kelapa dengan usaha pengolahan kelapa pada suatu KSP. Demikian pula halnya pada sistem agribisnis kelapa sawit, terdapat keterkaitan produksi antara usahatani kelapa sawit dengan usaha pengolahan kelapa sawit; hanya saja karena perkembangan sistem agribisnis kelapa sawit masih berada pada tahap pertumbuhan dan karena perkembangan usahatani kelapa sawit tidak terbatas hanya di dalam KSP, maka keterkaitan produksi pada sistem agribisnis kelapa sawit juga terjadi antara usahatani yang berada di luar KSP dengan usaha pengolahan yang berada di dalam KSP; juga antara usahatani kelapa sawit yang berada pada suatu KSP dengan perusahaan pengolahan kelapa sawit yang berada di luar KSP. Dari hasil analisis situasional diketahui agroindustri pangan yang berkembang di Propinsi Jambi adalah agroindustri minyak nabati kasar (crude vegetable
oil, ISIC 15141) yang terdiri dari agroindustri kelapa dengan produk berupa minyak kelapa kasar (crude coconut oil, CCO) dan agroindustri kelapa sawit dengan produk berupa minyak kelapa sawit kasar (crude palm oil, CPO). Berdasarkan pada derajat pengolahannya, kedua produk agroindustri minyak nabati tersebut merupakan produk antara (intermediate products) yang masih memerlukan pengolahan lebih lanjut. Akan tetapi, di Propinsi Jambi sampai saat ini yang baru berkembang hanyalah industri pengolahan (downstream industry) bagi produk kelapa, yaitu industri minyak goreng kelapa yang menyerap hampir 40% produksi CCO. Sedangkan industri hilir bagi produk kelapa sawit belum berkembang di Propinsi Jambi, sehingga sebagian besar (lebih dari 95%) produk CPO Propinsi Jambi masih diekspor. Pengkajian pengembangan industri hilir kelapa sawit di Propinsi Jambi telah dilakukan oleh BKPMD dan Balitbangda Propinsi Jambi. Hasil pengkajian kedua lembaga ini menyimpulkan, baik dari aspek teknis maupun ekonomi, industri hilir kelapa sawit berupa industri minyak goreng kelapa sawit dan margarin layak diusahakan di Propinsi Jambi (BKPMD Propinsi Jambi, 2000; Balitbangda Propinsi Jambi, 2002). Akan tetapi, sampai sekarang belum ada investor yang menanamkan investasinya pada kedua jenis industri hilir kelapa sawit tersebut.
Kendala utama pengembangan industri hilir kelapa sawit di Propinsi Jambi berhubungan dengan ketersediaan bahan baku. Walaupun produksi CPO di Propinsi Jambi pada tahun 2002 mencapai 660.320 ton (Disbun Propinsi Jambi, 2003a) dan pada tahun-tahun mendatang akan terus meningkat. Akan tetapi, karena sebagian besar produksi CPO tersebut dihasilkan oleh perusahaan kelapa sawit (PKS) yang merupakan anak usaha dari perusahaan yang berada di luar Propinsi Jambi, maka sebagian besar produk CPO yang dihasilkan tidak diperdagangkan di Propinsi Jambi, tetapi diekspor atau dibawa ke luar wilayah Jambi (Riduwan, 2000). Akibatnya tidak ada jaminan ketersediaan bahan baku bagi industri hilir kelapa sawit yang akan dibangun di Propinsi Jambi. Dari hasil diagnosis diketahui agroindustri kelapa sawit memiliki daya tarik yang tinggi, sedangkan daya tarik agroindustri kelapa berada pada posisi sedang (Gambar 51). Terdapat tiga indikator yang menunjukkan posisi daya tarik agroindustri kelapa tidak sebaik agroindustri kelapa sawit, yaitu: (1) pertumbuhan pasar domestik produk CCO, (2) pertumbuhan pasar ekspor produk CCO, dan (3) perkembangan teknologi yang digunakan dalam agroindustri kelapa lebih rendah daripada perkembangan teknologi pada agroindustri kelapa sawit (Tabel 39). Dari hasil diagnosis diketahui pertumbuhan pasar domestik produk agroindustri kelapa mengalami kontraksi hingga –1,4% pada tahun 2002 dan akan terus menurun hingga mencapai –4,5% dalam jangka waktu 5 tahun mendatang (Tabel 32). Adapun pasar ekspor produk CCO mengalami pertumbuhan yang relatif rendah, yaitu 1,4% pada tahun 2002 dan akan turun menjadi 1,3% dalam kurun waktu 5 tahun mendatang sebagai akibat dari penurunan pangsa ekspor CCO dalam perdagangan minyak nabati dunia (Tabel 74) Tabel 74. Perkembangan pasar ekspor CCO dunia Dekade
Perdagangan CCO Dunia Volume (ton) Pangsa (%)
1960-1969 448.000 1970-1979 955.000 1980-1989 1.321.000 1990-1999 1.533.000 2001 2.079.000 Sumber : Oil World, 2002.
11.77 12.63 6.33 6.39 5.99
Kajian lebih dalam terhadap perkembangan perdagangan minyak nabati dunia memperlihatkan, walaupun dalam empat dasawarsa terakhir (1960-2000) terjadi penurunan pangsa ekspor CCO, namun secara absolut dalam periode waktu tersebut terjadi peningkatan volume ekspor CCO dalam perdagangan minyak na-bati dunia (Tabel 74). Hal ini mengindikasikan masih terbukanya peluang bagi upaya pengembangan agroindustri kelapa di Indonesia melalui peningkatan pro-duksi CCO untuk memenuhi kebutuhan CCO dunia (outward
looking oriented). Indonesia berpeluang untuk menjadi produsen dan pengekpor CCO terbe-sar di dunia, mengingat Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia dengan tingkat produksi kelapa pada tahun 2000 sebesar 3.023.900 ton setara ko-pra, lebih tinggi daripada produksi kelapa di Filipina dan India yang merupakan pesaing utama Indonesia dalam perdagangan CCO dunia. Tabel 75 memperlihat-kan data perbandingan luas areal dan produksi perkebunan, serta produksi dan volume ekspor CCO antara Indonesia, Filipina dan India. Dari data tersebut dapat diketahui, walaupun Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia, akan tetapi hanya sekitar 45% dari produksi kelapa tersebut yang diolah menjadi CCO. Sedangkan di Filipina, lebih dari 85% produksi kelapa diolah menjadi CCO.
Hal ini berimplikasi pada volume
ekspor CCO. Pada tahun 2000 Indonesia hanya mampu mengekspor 734.557 ton CCO, setara dengan 40% produksi kelapa nasio-nal, sedangkan Filipina mampu mengekspor 1.036.922 ton CCO atau setara de-ngan 67.5% produksi kelapa Filipina. Hal ini mengisyaratkan terbukanya peluang untuk merebut pasang ekspor Filipina bagi produk CCO Indonesia, sehingga pem-bangunan agroindustri kelapa harus diarahkan pada upaya meningkatkan produksi CCO untuk memenuhi kebutuhan CCO dunia (export oriented).
Tabel 75. Perbandingan luas areal dan produksi kelapa, produksi dan ekspor CCO antara Indonesia, Filipina dan India pada tahun 2000 Parameter
Indonesia
Filipina
Luas areal perkebunan (ha) Produksi kelapa (ton)
3.684.000 3.023.900
4.090.000 2.544.000
India
Dunia
1.768.000 12.725.000 1.750.000 10.630.014
Produksi CCO (ton)1) Ekspor CCO (ton) 1)
Ditjenbun, 2004a.
837.500 1.352.600 396.000 734.557 1.036.922 1.535 Sumber : Taufikkurahman, 2003.
3.284.300 2.200.457
Peluang ekspor bagi produk CCO masih tetap tinggi, karena permintaan pasar dunia bagi produk CCO masih besar sebagai akibat dari berkembangnya teknologi yang menyebabkan produk CCO tidak hanya digunakan sebagai bahan baku untuk produk pangan (oleopangan), tetapi berkembang menjadi bahan baku untuk produk oleokimia (oleochemical) (Wulan, 2001; Taufikkurahman, 2003). Menurut Libanan (2000), sebagai bahan baku produk oleokimia, CCO memiliki keunggulan dan ceruk pasar yang khas, karena CCO memiliki kandungan asam lemak rantai pendek dan menengah (short and medium fatty acids) dalam komposisi yang spesifik. Hampir 65% kandungan asam lemak CCO tergolong sebagai asam lemak rantai pendek dan menengah (Tabel 76). Tabel 76. Kandungan asam lemak beberapa jenis minyak nabati Jenis Asam Lemak
Kaprilat (C8) Kaprat (C10) Laurat (C12) Miristat (C14) Palmitat (C16) Stearat (C18) Palmitoleat (C16:1) Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2) -Linoleat (C18:3)
CCO
Kandungan Asam Lemak (%) PKO CPO Kedelai Zaitun
Matahari
8 7 49 18 8 2 -
4 4 50 16 8 2 -
1 45 5 -
11 4 -
14 2 1
7 5 -
6 2 -
14 2 -
39 9 -
23 53 8
71 10 1
19 68 1
Sumber : Foale, 2003.
Menurut Punchihewa (2000), penurunan pangsa ekspor CCO dalam empat dekade terakhir (1960-2000) adalah akibat tekanan dari pertumbuhan pangsa ekspor produk substitusi CCO, baik yang berasal dari sumber alami (minyak nabati dan lemak hewan) ataupun yang berasal dari produk sintetik (petrokimia). Akan tetapi, seiring dengan menguatnya kesadaran terhadap kelestarian lingkungan hidup, peningkatan pendidikan dan pengetahuan kesehatan serta perubahan gaya hidup yang berdampak pada pergeseran preferensi konsumen ke produk yang ra-
mah lingkungan, biodegradable dan renewable menyebabkan terjadinya pergeseran trend permintaan konsumen dari produk petrokimia ke produk oleokimia (Jenvanitpanjakul dan Siribangkeadpol, 2001), sehingga dalam perdagangan dunia di masa mendatang, oleokimia dan produk turunannya dapat mengungguli produk petrokimia dan turunannya. Dengan demikian tekanan terhadap pangsa ekspor CCO di masa mendatang hanya berasal dari sesama produk minyak nabati. Berdasarkan pada komposisi kandungan asam lemak (intrinsic quality), di-ketahui hanya PKO yang secara signifikan dapat mensubstitusi CCO (Tabel 76). Dengan demikian pesaing utama CCO dalam perdagangan minyak nabati adalah PKO (Libanan, 2000), baik sebagai sumber oleopangan atau oleokimia. Walaupun sampai tahun 2002, harga PKO di pasar dunia (CIF Rotterdam) masih lebih tinggi daripada harga CCO (Gambar 70), akan tetapi karena memiliki pertumbuhan pro-duksi lebih tinggi daripada CCO (Gambar 71), maka terdapat peluang untuk me-nekan biaya produksi PKO, sehingga di masa mendatang harga PKO di pasar du-nia dapat bersaing dengan harga CCO. Hal ini mengindikasikan terbatasnya pelu-ang (opportunity) untuk memanfaatkan harga sebagai keunggulan bersaing (cost leadership strategy) dalam
Harga (US$/ton)
perdagangan CCO.
700 600 500 400 300 200 100 0 Jan
Feb
Mar Apr
Mei
CCO
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov Des
PKO
Gambar 70. Perkembangan harga CCO dan PKO tahun 2002
Produksi (.000 Ton)
4.000 3.500 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 0 93
94
95
96
97
98
99
CCO Dunia CCO Indonesia
OO
O1
O2
PKO Dunia PKO Indonesia
Gambar 71. Perkembangan produksi CCO dan PKO tahun 1993-2002 Keunggulan bersaing bagi produk CCO harus digali dari dari keunggulan spesifik (distintinctive competence) yang bersumber dari karakteristik intrinsik
(intrinsic quality) yang dimiliki CCO. Menurut Foale (2003), karakteristik mutu intrinsik CCO mencakup tiga faktor utama yang berhubungan dengan : (1) karakteristik komponen asam lemak utama CCO berupa asam lemak rantai pendek dan menengah (short and medium fatty acids) dalam komposisi yang spesifik, (2) karakteristik metabolisme CCO yang sangat sesuai bagi tubuh manusia, serta (3) karakteristik produk turunan kokokimia (cocochemical). Kokokimia adalah nama lain yang diberikan untuk produk oleokimia yang berasal dari CCO. Menurut Libanan (2000) dan Taufikkurahman (2003), kokokimia memiliki produk turunan yang tidak terbatas. Dari lima jenis produk kokokimia dasar (fatty
acid, fatty acid methyl ester, fatty alcohol, fatty amine dan glycerine) dapat diproduksi beraneka ragam produk turunan untuk bahan baku kosmetika, farmasetikal/ nautrasetikal dan tribologi (Libanan, 2000; Taufikkurahman, 2003). Pada Lampiran 16 disajikan produk turunan dari kokokimia dasar serta industri yang menggunakannya. Adapun estimasi kapasitas produksi dunia untuk kokokimia dasar serta produsen utamanya dapat dilihat pada Tabel 77.
Tabel 77. Estimasi kapasitas produksi dunia untuk kokokimia dasar Kokokimia Dasar
Fatty Acids
Produsen Utama Amerika Utara Eropa Barat ASEAN Lainnya
Kapasitas Produksi (Ton) 1.000.000 900.000 1.500.000 400.000
Fatty Alcohol
Glycerine
Amerika Utara Eropa Barat ASEAN Lainnya
Sumber : Libanan, 2000.
635.000 650.000 400.000 315.000 1.100.000
Pada tataran perusahaan, dari diagnosis perkembangan agroindustri kelapa diketahui bahwa posisi persaingan perusahaan CCO di Propinsi Jambi berada pada posisi lemah sampai sedang dengan rentang skor posisi persaingan 1,500 2,900. Dengan rentang posisi persaingan lemah sampai sedang tersebut, menempatkan perusahaan CCO pada sel selektif dan divestasi dalam matriks posisi strategis McKinsey-Ansoff (Gambar 51). Implikasi dari hasil diagnosis posisi persaingan ini adalah keperluan untuk mensintesis strategi penyelamatan usaha bagi perusahaan CCO. Menurut Pearce and Robinson (1996), strategi penyelamatan usaha diperlukan oleh perusahaan yang memiliki posisi bersaing yang lemah dan pertumbuhan pasar yang lambat. Dari hasil diagnosis agroindustri kelapa diketahui lemahnya posisi persaingan perusahaan CCO di Propinsi Jambi terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat kecanggihan peralatan pengolahan (technoware) yang digunakan (Tabel 40). Adapun lambatnya pertumbuhan pasar bagi produk CCO, menurut Punchihewa (2000) adalah akibat dari adanya kampanye negatif terhadap produk CCO dalam perdagangan minyak nabati dunia.
Strategi penyelamatan usaha yang dapat dikembangan bagi perusahaan CCO yang ada di Propinsi Jambi terdiri dari: ragam strategi penyehatan usaha, ragam strategi perpanjangan usaha, ragam strategi mengundurkan diri dan ragam strategi divestasi. Adapun prioritas ragam strategi yang harus dikembangkan ragam strategi: penyehatan usaha (Tabel 66), mengundurkan diri (Tabel 68) dan divestasi (Tabel 69) serta integrasi ke
belakang untuk perusahaan yang mengem-bangkan ragam strategi memperpanjang usaha (Tabel 67). Prioritas strategi rasionalisasi produksi dan integrasi ke belakang sesuai bagi perusahaan yang sedang berupaya mengatasi kelemahan yang dimilikinya (Pearce and Robinson, 1996). Prioritas strategi rasionalisasi produksi diperuntukkan bagi perusahaan yang berada pada posisi mempertahankan unit usahanya (Supratikno, dkk, 2003). Adapun ragam strategi integrasi ke belakang diperuntukkan bagi perusahaan yang berupaya mengatasi kelemahan dengan cara mengejar pertumbuhan eksternal (Pearce and Robinson, 1996).
Prospeks dan Strategi Pembangunan Agroindustri Pangan
Dari hasil analisis struktural diketahui terdapat 44 parameter yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan agroindustri pangan di Propinsi Jambi yang terdiri dari 6 parameter eksplikatif, 7 parameter pengendali dan 8 parameter luaran. Parameter eksplikatif adalah parameter pendorong yang menjadi penentu (key factors) keberhasilan pembangunan agroindustri pangan. Keenam parameter eksplikatif tersebut terdiri dari tiga parameter mikro, yaitu: karakteristik usaha, jaringan usaha dan status teknologi, serta tiga parameter makro, yaitu: infrastruktur dan tata ruang, penyelenggaraan pemerintahan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Dari hasil analisis prospektif dengan menggunakan kejadian hipotetis diprediksi keenam parameter ekplikatif tersebut berpeluang menjadi faktor pendorong pembangunan agroindustri pangan di Propinsi Jambi. Dengan menggunakan skenario normatif diketahui keberhasilan pemba-ngunan agroindustri pangan dapat dideteksi dengan menggunakan dua kriteria, yaitu : (1) kemampuan sistem membangun usahatani komersial yang modern, berskala besar, efisien, inovatif dan berkelanjutan, serta (2) kemampuan sistem mem-bangun perusahaan pengolahan yang memiliki lingkup dan skala ekonomi yang memungkinkan pertumbuhan produk dan pasar yang stabil dan berkelanjutan, serta responsif terhadap perubahan.
Terdapat delapan peubah yang menjadi kunci keberhasilan pembangunan agroindustri pangan. Empat peubah secara langsung berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan sub-sistem usahatani, yaitu : (1) pewilayahan sentra produksi, (2) infrastruktur wilayah, (3) mutu kebijakan pembangunan, dan (4) mutu penyelenggara pemerintahan. Empat peubah berikutnya berpengaruh secara langsung terhadap keberhasilan pembangunan perusahaan pengolahan, yaitu : (1) status technoware, (2) status humanware, (3) kerjasama teknologi, dan (4) jaringan kemitraan. Keempat peubah kunci bagi keberhasilan pembangunan sub-sistem usahatani merupakan peubah makro yang berasal dari lingkungan eksternal sistem pembangunan agroindustri pangan. Sebaliknya, keempat peubah kunci keberhasilan pembangunan sub-sistem usaha pengolahan merupakan peubah mikro yang berasal dari lingkungan internal sistem pembangunan agroindustri pangan. Temuan ini sejalan dengan pendapat beberapa pakar tentang faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian (agribisnis) yang menyatakan keberhasilan pembangunan sistem agribisnis, di samping dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat mikro, juga tergantung pada faktor eksternal yang bersifat makro (Reijntjes, et al., 1999; Arifin, 2001 dan 2004; Tambunan, 2003; Saragih, 2004). Pada tataran perusahaan, Champy and Nohria (1996) menyatakan faktor penentu yang menjadi pemicu perubahan di masa depan yang harus diantisipasi oleh perusahaan adalah kemampuan teknologi dan respons pemerintah yang terhadap proses globalisasi. Dari hasil analisis diketahui peran teknologi (faktor mikro) lebih diperlukan dalam pembangunan sub-sistem agroindustri. Sedangkan peran pemerintah (faktor makro) lebih diperlukan dalam pembangunan sub-sistem usahatani. Dari hasil analisis dengan menggunakan skenario normatif diketahui tahapan kritis dalam pembangunan sub-sistem usahatani di Propinsi Jambi berasal dari peubah infrastruktur dan kualitas kebijakan. Hasil analisis ini sejalan dengan temuan Abdullah, dkk (2002) yang menempatkan pembangunan infrastruktur di Propinsi Jambi berada pada urutan 24 dari 26 propinsi yang dikaji. Untuk kualitas kebijakan, walaupun Propinsi Jambi menempati urutan ke 3 dari 26 propinsi yang dikaji; akan tetapi, kualitas kebijakan yang baik tersebut baru berada pada tataran
propinsi, belum sampai pada tataran kabupaten yang lebih dekat dan bersentuhan langsung dengan pembangunan sub-sistem usahatani. Tingginya intensitas persaingan antar kabupaten untuk memperoleh sumber pendapatan daerah diduga merupakan penyebab rendahnya kualitas kebijakan pemerintah kabupaten. Hasil kajian Rachmad (2002) menemukan sebanyak 44 atau hampir 30% dari 147 peraturan daerah (perda) dari 9 kabupaten di Propinsi Jambi berpotensi menghambat perkembangan usaha. Perda tersebut umumnya memuat peraturan pajak dan retribusi daerah, termasuk pajak dan retribusi terhadap produk pertanian primer. Hal ini tentunya menjadi disinsentif bagi pembangunan sub-sistem usahatani, karena sebagaimana hasil temuan Riyanto (2003), pungutan pajak dan restribusi daerah umumnya menjadi bribery cost yang membebani dunia usaha, termasuk usahatani. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan masih diperlukannya campur tangan pemerintah dalam pembangunan sub-sistem usahatani. Hanya saja, campur tangan tersebut harus dilakukan secara selektif, spesifik dan proporsional agar tidak terjadi state failure akibat terlalu banyaknya campur tangan pemerintah dalam pembangunan sub-sistem usahatani (Gunawan, dkk., 1995; Rustiani, dkk., 1997; Arifin, 2004). Di samping itu, seiring dengan perubahan sistem politik dan perdagangan dunia (globalisasi dan liberalisasi perdagangan) diperlukan perubahan orientasi peran pemerintah dari penguasa dan pengelola tunggal proses pembangunan agroindustri (Chotim, 1996) menjadi fasilitator dan katalisator pembangunan, khususnya untuk pembangunan sub-sistem usahatani. Peran ini dapat diwujudkan dalam bentuk penciptaan strategi dan kebijakan yang memiliki taraf kesesuaian yang tinggi (harmonis) dengan kebutuhan pembangunan sub-sistem usahatani. Dari hasil analisis prospektif diketahui harmonisasi kebijakan pemerintah dengan kebutuhan pembangunan agroindustri pangan akan tercapai dalam kurun waktu 15 tahun mendatang, didahului oleh pencapaian batas minimum (threshold) tingkat kesesuaian kebijakan pemerintah dengan kebutuhan pembangunan agroindustri dalam kurun waktu 10 tahun mendatang. Dalam kurun waktu sampai 5 tahun mendatang, masih terdapat kebijakan pemerintah yang berbenturan dengan kebutuhan pembangunan agroindustri. Hal ini sejalan dengan hasil prediksi tahapan transformasi peran dan fungsi penyelenggara pemerintahan. Diprediksi fungsi
penyelenggara pemerintahan sebagai fasilitator dan katalisator pembangunan agroindustri pangan baru dapat terwujud dalam kurun waktu 15 tahun mendatang (Gambar 62). Implikasi strategis dari temuan-temuan di atas bagi pembangunan agroindustri pangan adalah perlunya memfokuskan kebijakan dan program pembangunan pada upaya membangun usahatani komersial yang modern, berskala besar, efisien, inovatif dan berkelanjutan melalui penciptaan kebijakan dan program yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan agroindustri pangan. Kebijakan ini dapat dilakukan melalui pengaturan tata ruang untuk pewilayahan komoditas pertanian unggulan yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan kawasan sentra produksi (KSP) untuk komoditas pertanian unggulan. Pembangunan KSP komoditas pertanian unggulan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. KSP dibangun pada wilayah yang memiliki karakteristik agroekologis yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman, b. KSP dibangun sebagai satu kesatuan spasial dengan luasan wilayah yang memenuhi kriteria minimum economic of scale dan memadukan kegiatan usahatani dengan pengolahan dan pemasaran (economic of scope) pada satu lokasi, c. KSP dibangun sebagai satu kesatuan institusional yang mengkonsolidasikan sub-sistem usahatani sehingga mencapai skala yang efisien dan sekaligus mengintegrasikannya dengan sub-sistem agroindustri melalui mekanisme nonpasar (ikatan institusional), d. KSP dibangun sebagai satu kesatuan fungsional untuk menghasilkan, mengolah, dan memasarkan produk agroindustri, e. KSP dilengkapi dengan infrastruktur fisik, sarana dan prasarana pertanian. Dari hasil analisis dengan menggunakan skenario eksploratif diketahui, usahatani kelapa sawit memiliki kemampuan berevolusi lebih baik daripada usahatani kelapa. Pertumbuhan usahatani kelapa sawit lebih cepat daripada usahatani kelapa (Gambar 55). Hal ini mengisyaratkan adanya perbedaan prioritas dan kebutuhan dalam pembangunan usahatani kelapa dengan usahatani kelapa sawit. Menurut Pakpahan (2003) terdapat perbedaan perlakuan pemerintah terhadap kedua subsistem usahatani tersebut. Salah satunya pemerintah tidak melakukan intervensi terhadap pengembangan usahatani kelapa sebagaimana dilakukan pada
usahatani kelapa sawit. Padahal, tidak seperti pada usahatani kelapa sawit yang masih memerlukan perluasan areal perkebunan, pada usahatani kelapa areal perkebunan rakyat sudah tersedia dan tinggal dimanfaatkan. Oleh karena itu, strategi dasar dari pembangunan usahatani kelapa adalah bagaimana memanfaatkan perkebunan kelapa rakyat yang sudah ada, sehingga kebijakan pembangunan usahatani kelapa perlu diarahkan pada upaya: (1) pemberdayaan usahatani kelapa yang telah ada, dan (2) membangun keterkaitan antara usahatani kelapa dengan usaha pengolahan kelapa. Kedua arah kebijakan ini dapat dilakukan secara simultan melalui strategi pembangunan kawasan sentra produksi (KSP) kelapa. Untuk itu, pembangunan KSP kelapa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. KSP kelapa dibangun pada wilayah yang memiliki karakteristik agroekologis yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman kelapa. Di Propinsi Jambi, sentra andalan untuk pembangunan KSP kelapa terletak di kecamatan: Tungkal Ilir (Kabupaten Tanjung Jabung Barat), serta Mendahara dan Dendang (Kabupaten Tanjung Jabung Timur). Adapun sentra potensial sebagai prioritas kedua untuk pembangunan KSP kelapa terletak di kecamatan: Tungkal Ulu, Pengabuan dan Batara (Tanjung Jabung Barat), Muara Sabak, Nipah Panjang, Rantau Rasau dan Sadu (Tanjung Jabung Timur), Pelepat, Rantau Pandan, Tanah Sepenggal, Tanah Tumbuh, Jujuhan dan Mu-ara Bungo (Bungo), Tebo Ilir, Tebo Tengah, Sumay, Tebo Ulu, VII Koto dan Rimbo Bujang (Tebo), Muara Siau, Pamenang, Bangko, Sungai Manau, Tabir dan Tabir Ulu (Merangin), Batang Asai, Muara Limun, Pelawan Singkut, Pauh, Sarolangun dan Mandiangin (Sarolangun). b. KSP kelapa dibangun sebagai satu kesatuan spasial dengan luasan wilayah yang dapat memenuhi kriteria minimum economic of scale bagi keberadaan satu unit usaha pengolahan kelapa terpadu (economic of scope). Dari analisis dan perhitungan yang dilakukan oleh Nogoseno (2003) diketahui luas areal untuk satu wilayah KSP kelapa adalah 8.000 ha. c. KSP kelapa dibangun sebagai satu kesatuan institusional yang mengkonsolidasikan sub-sistem usahatani kelapa dalam satu manajemen dan mengintegrasikannya dengan sub-sistem usaha pengolahan kelapa terpadu. Pola konsolidasi horizontal dan integrasi vertikal ini dapat mengikuti model pembangunan agri-
bisnis perkelapaan yang dikembangkan di Sulawesi Utara dimana petani kelapa melalui koperasi (konsolidasi horizontal) berpatungan dengan mitra usaha membangun unit usaha pengolahan kelapa terpadu (integrasi vertikal). Dalam hal ini, peran mitra usaha ditekankan pada jaminan pasar, manajemen dan teknologi (Soekarto, 1997; Soetrisno, 2002; Nogoseno, 2003). d. KSP kelapa dibangun sebagai satu kesatuan fungsional untuk menghasilkan produk ekspor yang berdaya saing dan bernilai tinggi, seperti: minyak kelapa (CCO), kelapa parut (desiccated coconut), santan kelapa (coconut milk cream dan coconut milk powder), arang tempurung (coconut shell charcoal), karbon aktif (activated carbon) dan serat sabut (coconut fiber). Pada tahap selanjutnya, CCO dipasarkan dalam bentuk produk kokokimia dan turunannya (fatty
acid, fatty acid methyl esther, fatty alcohol, fatty amine dan glycerine). e. KSP kelapa dilengkapi dengan infrastruktur fisik, sarana dan prasarana pertanian, serta utilitas industri. Berbeda dengan arah kebijakan pembangunan usahatani kelapa, pembangunan usahatani kelapa sawit perlu diarahkan pada upaya menyelaraskan pertumbuhan usahatani kelapa sawit dengan perkembangan usaha pengolahan. Upaya menyelaraskan pertumbuhan usahatani kelapa sawit dengan perkembangan usaha pengolahan dilakukan melalui pengaturan pola pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan mempertimbangkan: (1) perkembangan KSP, (2) kelestarian lingkungan hidup, (3) kuantitas, kualitas dan kontinuitas produksi kelapa sawit, serta (4) posisi persaingan produk agroindustri kelapa sawit. Di Propinsi Jambi, pengembangan usahatani kelapa sawit dilakukan melalui pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan swadaya masyarakat. Luas areal dan kapasitas produksi PKS dari masing-masing pola pembangunan tersebut pada tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 78. Tabel 78. Luas areal perkebunan dan kapasitas PKS berdasarkan pola pengembangan perkebunan di Propinsi Jambi pada tahun 2002
Pola Pengembangan
Luas Areal
Perkebunan
(ha)
Kapasitas
Daya
PKS
Tampung
(ton/jam)
(%)
1. Perusahaan Inti Rakyat (PIR) a. PIR-Perkebunan b. PIR-Transmigrasi c. PIR-KKPA 2. Swadaya 3. Perkebunan Besar Swasta Jumlah Sumber: Disbun Prop. Jambi, 2003b.
36.984,55 85.944,67 74.537,57 20.216,00 84.468,88 302.151,67
120 140 350 45 60 715
64,89 32,58 93,91 44,52 14,21 47,33
Data pada Tabel 78 memperlihatkan perusahaan pengolahan kelapa sawit (PKS) yang ada di Propinsi Jambi hanya mampu menampung sekitar 47% dari total produksi kelapa sawit (TBS) yang ada. Kurang memadainya kapasitas produksi perusahaan pengolahan kelapa sawit (PKS) di Propinsi Jambi mulai terjadi
3.500 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 0
800 600 400 200
Kapasitas PKS
Produksi TBS
sejak tahun 2000 (Gambar 72).
0 1998
1999
2000
Produksi TBS (.000 Ton)
2001
2002
Kapasitas PKS (Ton/Jam)
Gambar 72. Perkembangan produksi TBS dan kapasitas produksi PKS di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 Berbeda dengan pembangunan sub-sistem usahatani yang membutuhkan dukungan dan campur tangan pemerintah, pembangunan usaha pengolahan justru sering gagal akibat terlalu banyaknya campur tangan pemerintah (very highly re-
gulated) (Arifin, 2004). Berdasarkan skenario normatif diketahui terdapat empat peubah yang berpengaruh secara langsung terhadap keberhasilan pembangunan usaha pengolahan, yaitu: (1) status technoware, (2) status humanware, (3) kerjasama teknologi, dan (4) jaringan kemitraan. Dari hasil analisis tahap perkembangan agroindustri kelapa sawit (Tabel 64), diketahui perusahaan pengolahan kelapa sawit berkembang seiring dengan
perkembangan peubah pendukungnya. Dalam kurun waktu 5 - 10 tahun yang akan datang, perkembangan perusahaan pengolahan kelapa sawit bersama-sama dengan peubah pendukungnya telah berada pada tahap investment-driven. Hal ini memungkinkan bagi perusahaan pengolahan dan peubah pendukungnya berkembang ke tahap innovation-driven dalam kurun waktu 15 - 20 tahun yang akan datang. Prediksi ini didukung dengan hasil analisis prospektif dengan menggunakan skenario eksploratif yang memperlihatkan perkembangan perusahaan pengolahan kelapa sawit akan sampai pada tahap innovation-driven dalam kurun waktu 20 tahun yang akan datang. Hasil ini sesuai dengan laporan Oil World (2002) yang memprediksi Indonesia akan menjadi produsen CPO terbesar di dunia pada tahun 2005, dan pada tahun 2020 Indonesia akan menguasai hampir 50% produksi CPO dunia. Sebaliknya, dari hasil analisis tahap perkembangan agroindustri kelapa (Tabel 61) diketahui perkembangan perusahaan pengolahan kelapa tertinggal 10 tahun dari perkembangan perusahaan pengolahan kelapa sawit. Sampai jangka waktu 20 tahun mendatang, perusahaan pengolahan kelapa baru berada pada tahap
investment-driven. Berdasarkan skenario normatif diketahui peubah kritis dalam pembangunan perusahaan pengolahan kelapa adalah status technoware dan jaringan kemitraan. Dengan demikian, upaya pengembangan perusahaan pengolahan kelapa dapat difokuskan pada peningkatan status technoware dan jaringan kemitraan. Kedua upaya ini dapat dilakukan secara simultan melalui kerjasama teknologi. Menurut Yoshino dan Rangan (1995), kerjasama teknologi merupakan salah satu bentuk kemitraan atau aliansi strategis yang dapat dilakukan melalui pola tradisional ataupun non-tradisional. Dalam pola tradisional, kerjasama teknologi dilakukan melalui kontrak pembelian, waralaba, linsensi ataupun lisensi silang. Sedangkan dalam pola non-tradisional, kerjasama teknologi dapat berupa kerjasama penelitian dan pengembangan produk, bahan baku, proses produksi, pemasaran dan distribusi ataupun penetapan standar. Kerjasama teknologi merupakan tipologi aliansi yang bersifat koopetitif. Pada tipologi ini, intensitas interaksi yang tinggi tidak menyebabkan terjadinya konflik (Gambar 73).
Gambar 73. Tipologi aliansi strategis (Adaptasi dari Yoshino dan Rangan, 1995) Berdasarkan skenario normatif diketahui dalam jangka waktu sampai 10 tahun mendatang, kerjasama teknologi sudah sampai pada tahap adaptasi atau pemanfaatan teknologi; serta mencapai tahap modifikasi teknologi untuk menghasilkan created factors dalam jangka waktu 10 – 20 tahun mendatang. Pada tahap adaptasi atau pemantapan teknologi, kerjasama teknologi ditekankan pada riset perbaikan proses produksi untuk menekan biaya produksi. Sedangkan pada tahap modifikasi teknologi, kerjasama teknologi ditekankan pada riset pengembangan teknologi proses untuk perbaikan produk dan pengembangan produk baru. Proses evolusi status technoware ini sejalan dengan model tahapan pengembangan teknologi yang dikemukan oleh Chaudhuri (1990) yang meliputi tahapan akuisisi teknologi, adaptasi teknologi, pemanfaatan teknologi, dan pengembangan teknologi. Percepatan pengembangan status technoware agroindustri kelapa dapat dilakukan melalui proses terobosan teknologi (breakthrough) dari teknologi ren-dah ke teknologi mutakhir, tanpa melalui tahapan teknologi standar ataupun teknologi transisi (Gambar 74).
Terobosan ini dimungkinkan dengan cara
mencipta-kan produk agroindustri kelapa yang memiliki nilai tambah (value
added) tinggi melalui peningkatan nilai tambah kandungan teknologi (technology content added) dengan menggunakan teknologi mutakhir, seperti penggunaan teknologi proses dan pengemasan aseptik (technology-driven)
untuk produk virgin coconut oil (VCO) yang memiliki harga jual tinggi
(market-driven). Upaya ini dapat me-ningkatkan harga jual VCO menjadi Rp 15.000 – Rp 21.000 per liter (Rindengan dan Novarianto, 2004) atau meningkat 300-400% dari harga jual CCO.
Gambar 74. Tipologi teknologi berdasarkan teknologi produk dan teknologi proses (Adaptasi dari Hubeis, 2003) Dari hasil analisis dengan menggunakan skenario eksploratif diketahui perkembangan agroindustri kelapa sawit akan mencapai tahap innovation-driven dalam kurun waktu 15 – 20 tahun yang akan datang (Gambar 65 dan 67). Hal ini mengindikasikan agroindustri kelapa sawit mampu tumbuh menjadi agroindustri unggulan berdaya saing global dalam kurun waktu 15 – 20 tahun yang akan datang. Hal ini dimungkinkan karena pada saat sekarang pertumbuhan agroindustri kelapa sawit sudah berada pada tahap investment-driven. Menurut Saragih (2004), untuk agroindustri yang sudah berada pada tahap
investment-driven, dukungan yang dapat diberikan oleh pemerintah agar agroindustri tersebut tumbuh ke tahap innovation-driven adalah dalam bentuk investasi di bidang riset. Sejalan dengan hal itu, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi telah menjadikan riset pengembangan industri hilir kelapa sawit sebagai prioritas utama riset dan teknologi. Riset ini difokuskan pada pengembangan 3 jenis produk oleokimia turunan, yaitu : (1) pengembangan teknologi dan produk oleokimia bahan baku industri kosmetika dan personal care; (2) pengembangan tekno-
logi dan produk tribologi; (3) pengembangan teknologi dan produk oleokimia bahan baku farmasetikal/nutrasetikal (KMRT, 2004). Riset pengembangan industri hilir kelapa sawit ini memiliki arti strategis bagi pembangunan agroindustri kelapa sawit, karena melalui hasil riset ini (technology driven) dapat dikembangkan pasar (market-driven) bagi produk agroindustri kelapa sawit.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Struktur sistem pembangunan agroindustri pangan di Propinsi Jambi terdiri dari 44 parameter. Sebanyak 6 parameter merupakan parameter eksplikatif, yaitu Karakteristik Usaha, Jaringan Usaha, Status Teknologi, Infrastruktur dan Tata Ruang, Penyelenggaraan Pemerintahan dan Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat. Hasil prediksi mengindikasikan keenam parameter eksplikatif tersebut berpeluang menjadi faktor pendorong keberhasilan pembangunan agroindustri pangan di Propinsi Jambi. 2. Prospek pembangunan agroindustri pangan dapat diprediksi melalui kemampuan sistem membangun sub-sistem usahatani dan usaha pengolahan. Diprediksi dalam 20 tahun mendatang, sub-sistem usahatani akan mampu berkembang menjadi usahatani komersial yang modern, berskala besar, efisien, inovatif dan berkelanjutan melalui pembangunan kawasan sentra produksi komoditas pertanian unggulan. Sebaliknya, tidak semua perusahaan pengolahan dapat tumbuh stabil dan bekelanjutan. Hanya perusahaan pengolahan kelapa sawit yang memiliki kemampuan untuk tumbuh berkelanjutan, karena mampu mencapai skala dan lingkup ekonomi, serta memiliki kemampuan merespon perubahan. 3. Sintesis strategi pembangunan agroindustri pangan didasarkan pada 8 peubah yang menjadi kunci keberhasilan pembangunan agroindustri pangan. Empat peubah (pewilayahan sentra produksi, infrastruktur wilayah, mutu kebijakan pembangunan dan mutu penyelenggara pemerintahan) merupakan peubah yang secara langsung berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan usahatani. Sedangkan empat peubah berikutnya (status technoware, status
humanware, kerjasama teknologi dan jaringan kemitraan) merupakan peubah yang secara langsung berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan perusahaan pengolahan.
SARAN Untuk meningkatkan efisiensi dalam pengolahan dan analisis data disarankan untuk menerjemahkan metode yang dikembangkan dalam penelitian ini ke bentuk aplikasi komputer yang dapat mengantisipasi dinamika perubahan data dan informasi sekaligus memudahkan pengambilan keputusan. Aplikasi komputer tersebut diharapkan dapat mengintegrasikan tahapan proses penelitian dengan menggunakan metode MIC-MAC dan SMIC.
REKOMENDASI Untuk mendorong pembangunan agroindustri pangan di Propinsi Jambi agar menjadi agroindustri unggulan diperlukan langkah strategis berikut : 2. Pembangunan Sub-Sistem Usahatani (Pertanian Primer) Kebijakan pembangunan sub-sistem usahatani diarahkan pada upaya membangun usahatani komersial modern, berskala besar, efisien, inovatif dan berkelanjutan melalui pembangunan KSP komoditas pertanian unggulan. a. KSP Kelapa Kebijakan pembangunan KSP kelapa diarahkan pada upaya untuk : (1) memberdayakan usahatani kelapa yang telah ada, dan (2) membangun keterkaitan antara usahatani kelapa dengan usaha pengolahan kelapa. Pembangunan KSP kelapa harus memenuhi persyaratan berikut : i. KSP kelapa dibangun pada wilayah yang memiliki karakteristik agroekologis yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman kelapa. ii. KSP kelapa dibangun sebagai satu kesatuan spasial dengan luasan wilayah yang memenuhi kriteria minimum economic of scale dan memadukan kegiatan usahatani dengan pengolahan dan pemasaran (econo-
mic of scope) pada satu lokasi. iii. KSP kelapa dibangun sebagai satu kesatuan institusional yang mengkonsolidasikan usahatani kelapa, sehingga mencapai skala efisien dan sekaligus mengintegrasikannya dengan usaha pengolahan melalui mekanisme non-pasar (ikatan institusional).
iv. KSP dibangun sebagai satu kesatuan fungsional untuk menghasilkan dan mengolah produk usahatani kelapa, serta memasarkannya dalam bentuk produk agroindustri berdaya saing dan bernilai tinggi. v. KSP dilengkapi dengan infrastruktur, sarana dan prasarana pertanian, serta utilitas industri. b. KSP Kelapa Sawit Kebijakan pembangunan KSP kelapa sawit diarahkan pada upaya menyelaraskan pertumbuhan usahatani kelapa sawit dengan perkembangan usaha pengolahan melalui pengaturan pola pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan mempertimbangkan : (i) perkembangan KSP, (ii) kelestarian lingkungan hidup, (iii) kuantitas, mutu dan kontinuitas produksi kelapa sawit, serta (iv) posisi persaingan produk agroindustri kelapa sawit. 3. Pembangunan Sub-Sistem Usaha Pengolahan (Agroindustri) Kebijakan pembangunan sub-sistem usaha pengolahan diarahkan pada upaya membangun perusahaan pengolahan yang memiliki lingkup dan skala ekonomi yang memungkinkan pertumbuhan produk dan pasar yang stabil dan berkelanjutan, serta responsif terhadap perubahan, terutama terhadap perubahan teknologi dan preferensi konsumen. a. Perusahaan Pengolahan Kelapa Kebijakan pembangunan perusahaan pengolahan kelapa diarahkan pada upaya meningkatkan status technoware perusahaan melalui kemitraan dan kerjasama teknologi dengan tahapan berikut : i. Pada tahap pemantapan teknologi, kerjasama ditekankan pada penelitian perbaikan proses produksi untuk menekan biaya produksi. ii. Pada tahap modifikasi teknologi, kerjasama ditekankan pada penelitian pengembangan teknologi proses untuk perbaikan produk dan pe-ngembangan produk baru. b. Perusahaan Pengolahan Kelapa Sawit Kebijakan pembangunan perusahaan pengolahan kelapa sawit diarahkan pada upaya mengembangkan pasar bagi produk agroindustri kelapa sawit
(market-driven) melalui riset pengembangan industri hilir kelapa sawit (technology-driven).
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, P., A.S. Alisjahbana, N. Effendi dan Boediono. 2002. Daya Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta. Ackoff, R.L. 1991. Beyond Prediction and Preparation. J. Management Studies, 20(1):59-69. Adelman, I. 1984. Beyond Export-Led Growth. World Development Report, Vol. 12(9): 937-949. Adiyatna, H. 1995. Rancang Bangun Sistem Penunjang Keputusan Pengembangan Produk Unggulan Agroindustri Komoditi Hortikultura BuahBuahan Olah-an (Studi Kasus di Jawa Barat). Tesis pada
Program Studi
Teknologi In-dustri Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Adrizal. 1995. Sistem Penunjang Keputusan untuk Investasi Agroindustri. Tesis pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Agustedi. 2001. Rekayasa Model Perencanaan dan Pembinaan Agroindustri Hasil Laut Orientasi Ekspor dengan Pendekatan Wilayah. Disertasi pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ahza, A.B. dan H.R.M.A. Wirakartakusumah. 1997. Potensi dan Kendala Pengembangan Sumber Daya Manusia untuk Menunjang Industri Pangan yang Memiliki Daya Saing. Dalam Prosiding Seminar Teknologi Pangan, Denpasar, 16-17 Juli 1997. Alagh, Y.K. 1989. Farm-Industry Linkages. In U.K. Srivastava and S. Vathsala (eds.). Agro-Processing: Strategy for Acceleration and Exports. Oxford and IBH Publishing Co. Pvt. Ltd., New Delhi, India. Alam, D. 1996. Perencanaan Pembangunan Industri dan Perdagangan. Prisma, Tahun XXV( No. Khusus): 93 - 103. Amanto, B.S. 1999. Kajian Wilayah Pengembangan Agroindustri Perikanan Rakyat di Daerah Maluku. Tesis pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Aminullah, E. 2004. Berpikir Sistemik untuk Pembuatan Kebijakan Publik, Bisnis, dan Ekonomi. Penerbit PPM, Jakarta. Amirin, T.M. 1996. Teori Sistem. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Anonim. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54. Arfan, M. 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Agroindustri Minyak Kelapa di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Skripsi pada Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi. Arifin, B. 2001. Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia: Telaah Struktur, Kasus, dan Alternatif Strategi. Penerbit Erlangga, Jakarta. ----------. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Argyris. 1985. Strategy Change and Defensive Routines. Pitman., Marshfield, USA. APO. 2000. Promotion of Rural-Based Small Industries in Asia and the Pacifik. Asian Productivity Organization (APO), Tokyo, Japan. Arief, S. 1998. Dari Prestasi Pembangunan sampai Ekonomi Politik: Kumpulan Karangan. UI-Press, Jakarta. Austin, J.E. 1992.
Agroindustrial Project Analysis Critical Design
Factors. Johns Hopkins University Press, Baltimore, US. Azis, M. A. 1993. Kebijakan Operasional Mempercepat Pengembangan Agroindustri Hortikultura, Khususnya Buah-Buahan Tropis. Dalam M.A. Azis (ed.). Agroindustri Buah-Buahan Tropis. Bangkit, Jakarta. Aziz, I. J. 1997. Pengantar. Dalam S. Nazara. Analisis Input Output. Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta. Badan Agribisnis. 1995. Sistem, Strategi dan Program Pengembangan Agribisnis. Badan Agribisnis, Departemen Pertanian, Jakarta. Baka, L.R. 2001. Rekayasa Sistem Pengembangan Agroindustri Perkebunan Rakyat dengan Pendekatan Wilayah. Disertasi pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Balitbangda Propinsi Jambi. 2002. Kajian Pengembangan Industri Hilir CPO di Propinsi Jambi. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Jambi. Bappeda. 1999. Rencana Tindak (Action Plan) Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Propinsi Jambi. Badan Perencana Pembangunan Daerah Propinsi Jambi. ----------. 2000a. Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jambi: Peninjauan Kembali dan Penyempurnaan. Badan Perencana Pembangunan Daerah Propinsi Jambi. ----------. 2000b. Kawasan Sentra Produksi Propinsi Jambi. Badan Perencana Pembangunan Daerah Propinsi Jambi. Basdabella, S. 2001. Pengembangan Sistem Agroindustri Kelapa Sawit dengan Pola Perusahaan Agroindustri Rakyat. Disertasi pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bidarkota, P.V. 2001. Alternative Regime Switching Model for Forecasting Inflation. J. Forecasting, Vol. 20(1):21-35. BKPMD Prop. Jambi. 2000. Profil Proyek Investasi Pengolahan Kelapa Sawit di Propinsi Jambi. Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Propinsi Jambi. Boly, V. 1987. Elaboration de Scenario à 10 ans par les Methodes MIC-MAC et SMIC. Application à Une Initiative de Developpement Local. These Doctorat de I’ I.N.P.L., U.F.R. GSI, France. BPS. 2000a. Statistik Indonesia 1999. Badan Pusat Statistik, Jakarta. -----. 2000b. Survei Angkatan Kerja Nasional 1999. Badan Pusat Statistik, Jakarta. -----. 2000c. Laporan Perekonomian Indonesia 1999. Badan Pusat Statistik, Jakarta -----. 2003. Statistik Indonesia 2002. Badan Pusat Statistik, Jakarta. BPS Propinsi Jambi. 2002. Jambi dalam Angka 2001. Badan Pusat Statistik dan Badan Perencana Pembangunan Daerah Propinsi Jambi.
-------------------------. 2004. Jambi dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik dan Badan Perencana Pembangunan Daerah Propinsi Jambi. Brocklesby, J. and S. Cummings. 1995. Combining hard, soft and critical methodologies in system research: The cultural constraints. System Research, Vol. 12(3): 239-318. Brooks, C. 2001. A Double-threshold GARCH Model for the Frech Franc/ Deutschmark exchange rate. J. Forecasting, Vol. 20(2):135-143. Brown, J.G. 1994.
Agroindustrial Investment and Operations. World
Bank, Washington D.C., US. Buana, L. 2000. Evaluasi Perkembangan Penerimaan Minyak Sawit Melalui Harga Bayangannya. J. Penelitian Kelapa Sawit, Vol. 8(1):69-79. ------------, A.M. Razali, dan H.J. Zainodin. 1995. Identifikasi Perubahan Harga CPO Melalui Komponen Acaknya. J. Penelitian Kelapa Sawit, Vol. 3(3): 235-244. Budihardjo. 2001. Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jambi : Studi pada Masa Kolonial. Philosophy Press, Yogyakarta. Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pradnya Paramita, Jakarta. Busyra,
N.
Izhar,
Mugiyanto,
Lindawati
dan
Suharyon.
2000.
Karakterisasi Zona Agroekologi (ZAE): Pedoman Pengembangan Pertanian di Propinsi Jambi. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Champy, J. and N. Nohria. 1996. Fast Forward : The Best Ideas on Managing Business Change. Harvard Business School Press, Boston, USA.
Chaudhuri, S. 1990. Stages of Technology Development: A Managerial Pers-pektif. Conference on Management of Technology, Miami, Florida, USA. Chotim, E.E. 1996. Disharmoni Inti-Plasma dalam Pola PIR. Akatiga, Bandung. Chumacero, R.A. 2001. Empirical Analysis of Systematic Errors in Chilean GDP Forecasts. J. Forecasting, Vol. 20(1):37-45. Cook, M.L. and M.E. Bredahl. 1991. Agribusiness Competitiveness in the 1990’s. American Journal of Agricultural Economic, Vol. 73(5):1472-1473. Council on Food, Agricultural and Resource Economics. 1994. Agricultural in-dustrialization: What roles for government policy?
J. of
Agricultural Eco-nomics 76(5): 1232. Crawford, R. 1991. In the Era of Human Capital: The Emergence of Talent, Intelligence and Knowledge as the Worldwide Economic Force and What It Means to Managers and Investors. Harper, New York, USA. Damanik, S. 1995. Keragaan Ekonomi Agroindustri Akar Wangi di Kabupaten Garut: Suatu Pendekatan Analisis Efisiensi. Tesis Program Studi Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Daniel, W. W. 1989. Statistik Nonparametrik Terapan. Gramedia, Jakarta. Darmawan, T dan A.H. Masroh. 2004. Pentingnya Nilai Tambah Produk Pangan. Dalam Pertanian Mandiri: Pandangan Strategis Para Pakar untuk Kemajuan Pertanian Indonesia. Penebar Swadaya, Jakarta. Dasril. 1993. Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Produksi Pertanian dalam Industrialisasi di Indonesia. Disertasi pada Program Studi Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Didu, M. S. 2000a. Mencari Format Baru Agroindustri dalam Milenium III. Agrimedia, Vol. 6(1):11-15 ---------------. 2000b. Rancang Bangun Sistem Penunjang Keputusan Pengembangan Agroindustri Kelapa Sawit untuk Perekonomian Daerah. Disertasi
pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dillon, H.S. 2004. Pertanian Membangun Bangsa. Dalam Pertanian Mandiri : Pandangan Strategis Para Pakar untuk Kemajuan Pertanian Indonesia. Penebar Swadaya, Jakarta. Disbun Propinsi Jambi. 2003a. Statistik Perkebunan Propinsi Jambi Tahun 2002. Dinas Perkebunan Propinsi Jambi. -----------------------------. 2003b. Laporan Tahunan Dinas Perkebunan Propinsi Jam-bi Tahun 2002. Dinas Perkebunan Propinsi Jambi. Ditjenbun. 2004a. Statistik Perkebunan Indonesia 2000-2002: Kelapa. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. ------------. 2004b. Statistik Perkebunan Indonesia 2000-2002: Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. Djaenudin, D., Marwan, H. Subayo, A. Mulyani dan N. Suharta. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Djojodipuro, M. 1992. Teori Lokasi. LP-FE UI, Jakarta. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press, Bogor. Erwidodo. 1996. Transformasi Struktural dan Industrialisasi Pertanian di Indonesia. Dalam Erwidodo, M. Rachmat dan M. Syukur (eds.). Peluang dan Tantangan Agribisnis Perkebunan, Peternakan dan Perikanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Fakih, M. 1999. Pengantar Edisi Indonesia Pertanian Masa Depan. Dalam Reijntjes, Haverkort dan Waters-Bayer. Pertanian Masa Depan: Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah (Terjemahan). Kanisius, Yogyakarta. Fewidarto, P.D. 1997. Proses Hirarki Analitik. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Foale, M. 2003. The Coconut Odyssey: The Bounteous Possibilities of the Tree of Life. Australian Centre for International Agricultural Research, Canbera, Australian.
Gaikwad, V.R. 1989. Application of Science and Technology for Integrated Agricultural and Rural Development. In U.K. Srivastava and S. Vathsala (eds.). 1989. Agro-Processing: Strategy for Acceleration and Exports. Oxford and IBH Publishing Co. Pvt. Ltd., New Delhi, India. Garcia, P.G. and N. M. Manalili. 1997. Agroindustrial Research and Development in Renewed Focus. AgroIndustry Bulletin, Vol. 2(2):1-7. Gaspersz, V. 2000. Ekonomi Manajerial: Pembuatan Keputusan Bisnis. Grame-dia, Jakarta. Gittinger, J. P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian (Terjemahan). UI-Press, Jakarta. Guirkinger, N. 1986. Fast Food et Prospective : Application de l’Analyse Structurelle au Système Fast Food. Mémoire de DEA – U.F.R. GSI, I.N.P.L., France. Gumbira-Sa’id, E., Rachmayanti dan M.Z. Muttaqin. 2001. Manajemen Teknologi Agribisnis : Kunci Menuju Daya Saing Global Produk Agribisnis. Ghalia Indonesia, Jakarta. Gunawan, R., J. Thamrin, dan M. Grijns. 1995. Dilema Petani Plasma: Pengalaman PIR-Bun Jawa Barat. Akatiga, Bandung. Hadi, A.R. dan N. Noviandi. 1999. Paradigma Baru Pengembangan Wilayah Dalam Alkadri, dkk (eds.). Manajemen Teknologi untuk Pengembangan Wilayah: Konsep Dasar dan Implikasi Kebijakan. BPP Teknologi, Jakarta. Hafsah, M.J. 2000. Kemitraan Usaha: Konsepsi dan Strategi. Pustaka Sinar Ha-rapan, Jakarta. Hallberg, K. 2000. A Market-Oriented Strategy for Small and Medium Scale Enterprises. Discussion Paper International Finance Corporation (IFC) No. 40. The World Bank, Washington, USA. Hanani, N., J.T. Ibrahim dan M. Purnomo. 2003. Strategi Pembangunan Pertanian : Sebuah Pemikiran Baru. Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta. Hanke, J.E., D.W. Wichern, and A.G. Reitsch. 2001. Business Forecasting. Prentice-Hall, Inc., New Jersey, USA.
Hasbi. 2001. Rekayasa Sistem Kemitraan Usaha Pola Mini Agroindustri Kelapa Sawit. Disertasi pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hazell, P.B.R. and A. Roell. 1983. Rural Growth Linkages Household Expen-diture Patterns in Malaysia and Nigeria. International Food Policy Research Institute, Research Report No. 4, Washington, USA. Heriyanto. 1995. Peluang dan Kendala Pengembangan Agribisnis Ubi Jalar dalam Upaya Peningkatan Daya Saing Komoditas. Disertasi pada Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung. Heydinger, R.B. and R.D. Zentner. 1983. Multiple Scenario Analysis: Introducing Uncertainty into Planning Process. New Direction for Institutional Research, Vol. 39:51-68. Hicks, P.A. 1995. An Overview of Issues and Strategies in the Development of Food Processing Industries in Asia and the Pacific. In APO. Growth of the Food Processing Industry in Asia and the Pacific. Asian Productivity Orga-nization, Tokyo, Japan. MIC-MAC : Analisis Peramal Parameter Sistem. Hubeis, M. 1991a. Laboratorium Rakayasa Proses Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. -------------. 1991b. Formulation d’Une Stratégie du Développement Industriel des Huiles Essentielles Indonésiennes A 5 Ans. Application de la Méthode PRECOM, de la Méthode MIC-MAC et de la Méthode DELPHIREGNIER. Thèse Doctorat de l’I.N.P.L., U.F.R. GSI., France. -------------. 1997. Menuju Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi Melalui Pemberdayaan Manajemen Industri. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 1 Nopember 1997. -------------. 1998. Metode PRECOM: Teknik Identifikasi dan Deskripsi Industri Kecil. Makalah disampaikan di LMFEUI Salemba, Jakarta, 27 April 1998. -------------. 2000. Teknik Analisis Prospektif Produk Industri Pangan. Bahan Kuliah Program Doktor, Sub-Program Studi Manajemen Industri Pangan, Program Studi Ilmu Pangan, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. -------------. 2003. Pola Diseminasi Teknologi untuk UKM dalam Pengembangan Agrobisnis. Makalah Disampaikan pada Seminar Sehari Alih Teknologi
dalam Pengembangan UKM dan Agrobisnis di Kantor Menkop dan UKM, Jakarta, 26 Mei 2003. Husodo, S.Y. 2004. Modernisasi Pertanian: Suatu Kebutuhan yang Mendesak. Dalam Pertanian Mandiri: Pandangan Strategis Para Pakar untuk Kemajuan Pertanian Indonesia. Penebar Swadaya, Jakarta. Isarangkura, R. 1995. Interaction Between Food Processing Industry and Agriculture. In APO. Growth of the Food Processing Industry in Asia and the Pacific. Asian Productivity Organization, Tokyo, Japan. Jannic, H. 1987. Aéronautique: un marché très convoite. L’Expansion, No. 6. Jenvanitpanjakul, P. and P. Siribangkeadpol. 2001. Thailand’s Biodiesel from Coconut Oil: Its Economic and Environment Impact. In Health and Wealth from the Tree of Life. Asian and Pacific Coconut Community, Jakarta. Jhingan, M.L. 2002. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan (Terjemahan). RajaGrafindo Persada, Jakarta. Kasryno, F., A. Suryana dan P. Simatupang. 1998. Kebijaksanaan Peningkatan Produktivitas dan Pertumbuhan Agroindustri Pedesaan. Dalam A. Suryana, dkk (eds.). Analisis Kebijaksanaan: Pembangunan Agribisnis di Pedesaan dan Analisis Dampak Krisis. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Monograph Series No. 18. Kemala, S. 1988. Pola Pertanian, Industri, Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit. Disertasi pada Program Studi Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. KMNRT. 2004. Rencana Induk Kegiatan RUSNA Industri Hilir Kelapa Sawit. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Jakarta. Kuncoro, M. 1996. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Agroindustri Indonesia: Suatu Catatan Empiris. Kelola Vol. IV(11): 64-92. Kustanto, H. 1999. Sistem Pengembangan Agroindustri Komoditas Unggulan pada Kawasan Andalan : Studi Kasus di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Tesis pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kuswartojo, T., S. M. Lubis, T. Mumpuni, A. Firman dan H. Kushardanto. 2000. Memberlanjutkan Pembangunan: Upaya Mencapai Kehidupan yang Makin Berkualitas. Sektor Agenda 21, UNDP, Jakarta.
Lena, W. 2000. Kajian Pengembangan Agroindustri Jambu Mete Skala Kecil di Kabupaten Ngada Nusa Tenggara Timur. Tesis pada Program Studi Tek-nologi Industri Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Libanan, A. 2000. Coconut Product Diversification and Processing: Cocochemicals. In R.N. Arancon, Jr. (ed.). Sustainable Coconut Industry in the 21th Century. Asian and Pacific Coconut Community, Jakarta. Mahfud, H. 2004. Permodelan Sistem Pembangunan Agroindustri Minyak Atsiri dengan Pendekatan Klaster. Disertasi pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Makridakis, S. Dan S.C. Wheelwright. 1994. Metode-Metode Peramalan untuk Manajemen (Terjemahan). Binarupa Aksara, Jakarta. Mintzberg, H. 1979. The Structure of Organizations. Prentice Hall, New York, USA. Morrison, J.L., W.L. Renfro, and W.I. Boucher. 1983. Applying Methods and Techniques of Futures Research. Jossey-Bass Inc., San Francisco, US. Muflikhati, I. 1996. Keterkaitan Sektor dalam Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja di Propinsi Jawa Barat. Tesis pada Program Studi Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Muhammad, S. 2002. Manajemen Strategik: Konsep dan Kasus. Unit Penerbit dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, Yogyakarta. Mulyadi, D. 2001. Model Strategi Terpadu Pengembangan Agroindustri Rotan. Disertasi pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nazara, S. 1997. Analisis Input Output. Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta. Nishimura, H. 1999. An Overview on Agribusiness in Southeast Asia. Tokyo University of Agriculture, Tokyo, Japan. Nogoseno. 2003. Reinventing Agribisnis Perkelapaan Pola Sulawesi Utara. Dalam H.T. Luntungan (eds.). Prosiding Seminar Hari Perkelapaan Keempat Tahun 2002. Pusat penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Nurdin, Z. 2000. Laporan Gubernur KDH Tingkat I Jambi pada Sidang Pleno Khusus DPRD Propinsi Dati I Jambi, 6 Januari 2000.
Nurkhalik,
A.
1999.
Analisis
Agribisnis
Jagung
dan
Strategi
Pengembangannya di Indonesia. Tesis pada Program Studi Ekonomi Pertanian, Program Pasca-sarjana, Institut Pertanian Bogor. Oil World.
2002.
Oild World 2012 Up to Date.
ISTA, Hamburg,
Germany. P4W-IPB. 2001. Studi Perumusan Indikator Perkembangan Kawasan Sentra Produksi. Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB, Bogor. Pakasi, C.B.D. 1998. Ekonomi Rumah Tangga dan Pengembangan Industri Kecil Alkohol Nira Aren di Kabupaten Minahasa. Tesis pada Program Studi Ekonomi Pertanian, Program Pasacasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pakpahan, A. 2003. Reinventing Agribisnis Perkelapaan Nasional. Dalam H.T. Luntungan (eds.). Prosiding Seminar Hari Perkelapaan Keempat Tahun 2002. Pusat penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Pambudy, N. 1998. Sektor pertanian sebagai penyelamat. Kompas, Vol. 34, No. 326: 9. Pangestu, M. 1996. Pengantar. Dalam Thee Kian Wie. Industrialisasi di Indonesia : Beberapa Kajian. LP3ES, Jakarta. --------------- dan H. Aswicahyono. 1997. Industrialisasi, Keunggulan Bersaing dan Era Perdagangan Bebas. Dalam M. Pangestu, dkk (eds.). Transformasi Industri Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas. Centre for Strategic and International Studies, Jakarta. Park, J. and R. A. F. Seaton. 1996. Integrative Research and Sustainable Agriculture. Agricultural Systems, Vol. 50: 81-100. Pearce, J.A. and Robinson, R.B. 1996. Strategic Management: Formulation, Implementation and Control. Richard D. Irwin Inc., New York, USA.
Pearson, S., C. Gotsch and S. Bahri. 2004. Applications of the Policy Analysis Matrix in Indonesian Agriculture. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Pemprop. Jambi. 2001. Garis-Garis Besar Pembangunan Daerah Jambi Tahun 2001 - 2005. Pemerintah Propinsi Jambi.
Perkins, D.H., D.R. Snodgrass, M. Gillis, and M. Roemer. 2001. Economic of Development. W.W. Norton Co., London, UK. Pettigrew, A. and R. Whipp. 1991. Managing Change for Competitive Succes. Blackwell Publ., London, UK. Polman, W. 2000. Policies and Institutional Infrastructure in the Promotion of Rural-Based Small-Scale Industries. In APO. Promotion of Rural-Based Small Industries in Asia and the Pasific. APO, Tokyo, Japan. Prabowo, D. 1995. Diversifikasi Pedesaan. Center for Policy and Implementation Studies, Jakarta. Punchihewa, P.G. 2000. The Current Status of the Coconut Indutry. In R.N. Arancon, Jr. (ed.). Sustainable Coconut Industry in the 21th Century. Asian and Pacific Coconut Community, Jakarta. Putsis, W.P. 1999. Empirical Analysis of Competitive Interaction in Food Product Categories. Agribusiness, Vol. 15(3):295-311. Rachmat, M. 1996. Struktur dan Kinerja Agroindustri di Indonesia: Analisa Perubahan Tahun 1974-1993. Dalam Erwidodo, dkk (eds.). Peluang dan Tantangan Agribisnis Perkebunan, Peternakan dan Perikanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Rasahan, C.A. dan R. Wibowo. 1997. Pemantapan Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian yang Mendukung Meningkatnya Kemandirian dan Daya Saing Pertanian. Dalam A. Suryana, dkk (eds.). Membangun Kemandirian dan Daya Saing Pertanian Nasional dalam Menghadapi Era Industrialisasi dan Perdagangan Bebas. Prosiding Konferensi Nasional XII Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta. Reijntjes, C., B. Haverkort, dan A. Waters-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan: Pengantar Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah (Terjemahan). Kanisius, Yogyakarta. Riduwan. 2000. Implementasi Kebijakan Pengembangan Agroindustri Pengolahan Kelapa Sawit di Propinsi Jambi. Tesis pada Program Studi Administrasi Publik, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Rindengan, B. dan H. Novarianto. 2004. Virgin Coconut Oil: Pembuatan dan Pemanfaatan Minyak Kelapa Murni. Penebar Swadaya, Jakarta. Riyanto. 2003. Analisis Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan Pembangunan Wilayah di Indonesia.
Tesis pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Pedesaan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rodenburg, E., D. Tunstal and F. Bolhuis. 1995. Environmental Indicators for Global Cooperation. The World Bank, Washington, U.S.A. Roestanto, W.D. 2000. Kawasan Industri di Indonesia. Widya, Vol. XII(108): 311. --------------------. 2004. Kawasan Industri Indonesia: Sebuah Konsep Perencanaan dan Aplikasinya. Pustaka Wira Usaha Muda, Bogor. Rustiani, F., H. Sjaifudian, dan R. Gunawan. 1997. Mengenal Usaha Pertanian Kontrak. Akatiga, Bandung. Saaty, T.L. 1993. Proses Hierarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks (Terjemahan). Pustaka Binaman Presindo, Jakarta. Sajogjo. 1997. Kata Pengantar. Dalam F. Rustiani, H. Sjaifudian dan R. Gunawan. Usaha Pertanian Kontrak. Akatiga, Bandung. Samijan, T.R. Prastuti, S. Basuki dan B. Hartoyo. 1999. Penentuan Pengembangan Komoditas Potensial Berdasarkan Zone Agroekologi. Dalam Prosiding Pemberdayaan Potensi Regional melalui Pendekatan Zone Agroekologi Menunjang Program Gema Prima. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Santi, K. 2002. Analisis Permintaan Kopra oleh Industri Pengolahan Minyak Kelapa di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Skripsi pada Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi. Saptari, A. M. 1993. Sistem Monitoring dan Pengendalian Penggunaan Model dalam Investasi dan Perdagangan Agroindustri: Makalah Pembanding. Dalam M. A. Aziz (ed.). Permodalan Agroindustri: Prospek Pengembangan pada PJPT II. Penerbit Bangkit, Jakarta. Saragih, B. 1995. Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Ekonomi Nasional Menghadapi Abad ke-21. Orasi Ilmiah Guru Besar Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 21 Desember 1995. ---------- dan B. Krisnamurthi. 1996. Agribisnis dan Transformasi Struktur Ekonomi Pedesaan. Dalam Perhepi. Pertanian dan Pedesaan Indonesia dalam Transisi: Refleksi dan Prospektif. Prosiding Seminar Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Jakarta.
----------. 1997. Tantangan dan Strategi Pengembangan Agribisnis Indonesia. Jurnal Agribisnis, Vol. I(1 & 2):16-20. ----------. 1999a. Pengembangan Kawasan Sentra Produksi dalam Kerangka Pembangunan Sektor Agribisnis Indonesia. Makalah pada Pelatihan Pemantapan Pengelolaan Pengembangan Kawasan Sentra Produksi. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri. Jakarta, 14-15 Juli 1999. ----------. 1999b. Membangun Kembali Ekonomi Indonesia Melalui Agrobisnis. Kompas, Vol. 35(1999): 4-5. ----------. 2000. Agribisnis sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia dalam Era Milenium Baru. Agrimedia, Vol. 6(1): 4-7. ----------. 2004. Membangun Pertanian Perspektif Agribisnis. Dalam Pertanian Mandiri : Pandangan Strategis Para Pakar untuk Kemajuan Pertanian Indonesia. Penebar Swadaya, Jakarta. Sarinah. 1999. Kajian Pengembangan Industri Pengolahan Hasil Perikanan Laut di Sulawesi Tenggara. Tesis pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sarono. 1997. Kajian Perencanaan Pengembangan Agroindustri Pola PIR-Trans Mandiri di Daerah Lampung. Tesis pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertania Bogor. Setyono, D.J. 1995. Analisis Struktur dan Perencanaan Tata Ruang Usaha Ternak Sapi Potong di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tesis pada Program Studi Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sharples, J. and N. Milham. 1990. Long-run Competitiveness of Australian Agriculture. Foreign Agricultural Economic Report No. 243. Economic Research Service, U.S. Departement of Agriculture, Washington D.C., US. Simanjuntak, S.B. 1992. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia. Disertasi pada Program Studi Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Simatupang, P. 1995a. Industrialisasi Pertanian sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor, 27 September 1995. -----------------. 1998. Akselerasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Melalui Strategi Keterkaitan Berspektrum Luas. Dalam A. Suryana, dkk.
Dinami-ka Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Simatupang, T.M. 1995b. Teori Sistem : Suatu Perspektif Teknik Industri. Andi Offset, Yogyakarta. Sitorus, P. 1997. Teori Lokasi Industri. Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta. Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soekarto, S.T. 1997. Industri Pertanian Terpadu : Konsep dan Aplikasinya. Jurnal Agribisnis, Vol. I(1 & 2):21-28. Soetrisno, L. 2002.
Paradigma Baru Pembangunan Pertanian : Sebuah
Tinjauan Sosiologis. Kanasius, Yogyakarta. Sondakh, L.W. 2003. Globalisasi dan Desentralisasi: Perspektif Ekonomi Lokal. LP FE Universitas Indonesia, Jakarata. Sosiawan, H. 1997. Metodologi Penyusunan Peta Zona Agroekologi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Spedding, C. R. W. 1991. Thinking About the Future. J. RASE, Vol. 152: 31-35. Sugiarto dan Harijono. 2000. Peramalan Bisnis. Gramedia, Jakarta. Suhardi, T. 1992a. Kemitraan dan Keterkaitan Antara Usaha Besar dan Usaha Kecil dalam Industri Pengolahan. Dalam Thee Kian Wie (ed.). Dialog Kemitraan dan Keterkaitan Usaha Besar dan Kecil dalam Sektor Industri Pengolahan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. ---------. 1992b. Evaluasi Pelaksanaan Program Keterkaitan Sistem Bapak Angkat Mitra Usaha. Dalam T. K. Wie (ed.). Dialog Kemitraan dan Keterkaitan Usaha Besar dan Kecil dalam Sektor Industri Pengolahan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sumardjo, J. Sulaksana dan W.A. Darmono. 2004. Teori dan Praktik Kemitraan Agribisnis. Penebar Swadaya, Jakarta.
Supratikno, H., A.W. Widjaja, Sugiarto dan D. Durianto. 2003. Advanced Strategic Management: Back to Basic Approach. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suprihatini, R. 1995. Pengujian Konsep Minyak Goreng Merah. J. Pengkajian Agribisnis Perkebunan, Vol. 1(2):25-35. Suprijadi, A. 1997. Pengembangan Agroindustri Pangan. Pra-Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, Jakarta, 10 Juli 1997. Suradisastra, K. 1996. Dampak Industrialisasi Pedesaan terhadap Perkembangan Masyarakat Pedesaan. Dalam Perhepi. Pertanian dan Pedesaan Indonesia dalam Transisi : Refleksi dan Prospektif. Perhimpunan Ekonomi Pertanian, Jakarta. Surjati-Herman, A. 2002. Model Aliansi Strategis Agroindustri Sayuran Bernilai Ekonomi Tinggi. Disertasi pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suryana, A. dan S. Mardiyanto. 1998. Operasionalisasi Konsep Agribisnis. Dalam A. Suryana, dkk. Dinamika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Balitbang Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Suseno, S.H. dan A. Mulyono. 1997. Pengembangan Agribisnis di Khalayak Peta-ni dan Agribisnis Berorientasi Pedesaan Merupakan Masalah yang Rawan dalam Menyongsong Era Globalisasi. Dalam A. Suryana, dkk. (eds.). Membangun Kemandirian dan Daya Saing Pertanian Nasional dalam Menghadapi Era Industrialisasi dan Perdagangan Bebas. Prosiding Konfe-rensi Nasional XII Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta. Suyata. 1998. Konsep dan Strategi Pengembangan Agroindustri. Dalam Tsauri (ed.). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998. LIPI, Jakarta. Syafa’at, N., S. H. Susilowati dan D. Hidayat. 1999. Analisis faktor pendorong migrasi angkatan kerja di pedesaan. JAE, Vol. 17(2): 80-97. Syahrasaddin, A. Rahman, dan G. Husen. 2002. Kajian Pengembangan Industri Hilir CPO di Propinsi Jambi. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Jambi. Syukur, M. 1996. Kemitraan Usaha sebagai Strategi Pemasaran. Dalam Erwidodo, dkk (eds.). Peluang dan Tantangan Agribisnis Perkebunan, Peternakan dan Perikanan. Balitbang Pertanian, Jakarta.
Tajima, T. 2000. Foreword. In Promotion of Rural-Based Small Industries in Asia and Pacific. APO, Tokyo, Japan. Tambunan, T.T.H. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa Isu Penting. Ghalia Indonesia, Jakarta. Tarigan, R. 2004. Ekonomi regional: Teori dan Aplikasi. Bumi Aksara, Jakarta. Taufikkurahman, L. 2003. Prospects of Global Market for Coconut Products, and Future Strategies. Dalam H.T. Luntungan (eds.). Prosiding Seminar Hari Perkelapaan Keempat Tahun 2002. Pusat penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Tim Pembina Pusat P-KSP. 1999a. TOR Diseminasi Pengembangan Kawasan Sentra Produksi. Tim Pembina Pusat Pengembangan Kawasan Sentra Produksi, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri, Jakarta. -----------------------------------. 1999b. Konsep Kebijakan Pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP). Tim Pembina Pusat Pengembangan Kawasan Sentra Produksi, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Tsauri, H. S. (ed.). 1998. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998. LIPI, Jakarta. Uphoff, N. 1999. Rural Development Strategy for Indonesian Recovery: Reconciling Contradictions and Tensions. In P. Simatupang, et al. (eds.). Indonesia’s Economic Crisis: Effect on Agriculture and Policy Responses. Center for International Economic Studies, University of Adelaide, Adelaide, Australia. Weyerbrock, S. and T. Xia. 2000. Technical trade barriers in US/Europe agricultural trade. Agribusiness, Vol 16(2):235-251. Widiati, A., D.S. Riyadi dan D.M. Arlianto. 1999. Teknologi dan Keunggulan Daya Saing Wilayah. Dalam Alkadri, dkk (eds.). Manajemen Teknologi untuk Pengembangan Wilayah: Konsep Dasar dan Implikasi Kebijakan. BPP Teknologi, Jakarta. Widodo, M.T. 2000. Prencanaan Skenario: Sebagai Alat Penetapan Strategi pada Turbulensi Lingkungan Eksternal. J. Bisnis dan Ekonomi, Vol. IV(1):5178. Wie, T.K. 1992. Kemitraan dan Keterkaitan antara Usaha Besar dan Usaha Kecil dan Menengah dalam Sektor Industri Pengolahan. Dalam Thee Kian Wie (ed.). Dialog Kemitraan dan Keterkaitan Usaha Besar dan Kecil dalam Sektor Industri Pengolahan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
----------. 1996. Industrialisasi di Indonesia: Beberapa Kajian. PT Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta. Wirakartakusumah, M.A. 1998. Agroindustri Pangan: Industri Strategis Unggulan. Dalam H. S. Tsauri (ed.). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998. LIPI, Jakarta. --------------------------------. 2000. Meningkatkan Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Menuju Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pusat. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Meningkatkan Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Menuju Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pusat, BEM IPB, Bogor, 1 - 3 Mei 2000. Wulan, I.S. 2001. Peluang Pasar Minyak dan Tepung Kelapa (Desiccated Coconut) Indonesia di Pasar Dunia. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Vol. 7(3):8-10. Yoshino, M.Y. and V.S. Rangan. 1995. Strategic Alliances : An Enterpreneurial Approach to Globalization. Harvard Business School Press, Boston, USA. Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya untuk Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi pada Program Studi Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zulkifli. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri Kelapa Sawit Indonesia dan Perdagangan Minyak Sawit Dunia. Disertasi pada Program Studi Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1. Daftar responden penelitian
Responden Teoritis
Responden Perantara
• Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Jambi, Kampus Unja Mendalo Darat, Jambi 36361
• BAPPEDA Propinsi Jambi, Jl. A. Yani No. 2, Telp. 0741-63494, 62507, Telanaipura, Jambi 36122
• PS Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi, Kampus Unja Mendalo Darat, Jambi 36361 • PS Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi, Kampus Unja Mendalo Darat, Jambi 36361 • Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian, Universitas Jambi, Kampus Unja Mendalo Darat, Jambi 36361 • Pusat Penelitian dan Pembinaan Pengusaha Kecil dan Koperasi, Lembaga Penelitian, Universitas
• BALITBANGDA Prop. Jambi, Jl. R.M. Nur Atmadibrata No. 5, Telp. 0741-64844, 63461, Telanipura, Jambi 36122 • BAPEMPRODA Prop. Jambi, Jl. R.M. Nur Atmadibrata No. 8, Telanipura, Jambi 36122 • BBIHP, Deperindag, Jl. Ir. H. Juanda No. 5-9, Telp. 0251324068, 323339, Bogor • Direktorat Teknologi Agroindustri, BPP Teknologi, Jl. M. Husni Thamrin No. 8, Jakarta 10340
Responden Praktisi Agroindustri Agroindustri Kelapa Kelapa Sawit • PT Bintang Sejahtera Permai, Desa Teluk Majelis, Muara Sabak, Tanjung Jabung Timur 36561, Telp. 074221627 • PT Pelita Sari Prima Jadi, Desa Mendahara Hilir, Muara Sabak, Tanjung Jabung Timur 36564, Telp. 074221705 • CV Sumber Harapan, Jl. Harapan, Tungkal Ilir, Tanjung Jabung Barat • CV Sumber Waras, Sungai Beram Itam Kecil, Tungkal Hlilir, Tanjung Jabung Barat, Telp. 074221493 • PD Kurnia Tunggal, Desa Talang Duku, Maro Sebo, Muaro Jambi 36381
• PT Inti Indo SawitSubur, Jl. H. Adam Malik No. 22, Kota Baru, Jambi 36138, Telp. 074123169, 21531 • PTPN VI, Kebun Pinang Tinggi, Mestong, Muaro Jambi, Telp. 074140811 • PT Sari Aditya Loka, Jl. Pulo Ayang Raya Kav. I, Pulo Gadung, Jakarta Timur 13930, Telp. 0214616550 • PT Jamika Raya, Desa Pulau Kerakap, Tanah Tumbuh, Bungo 37255, Telp. 0745583075 • PT Kresna Duta Agroindo, Desa Jelatang, Pamenang, Merangin 37357
Jambi, Kampus Unja Mendalo Darat, Jambi 36361
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian Bagian a. Identifikasi Parameter Sistem
KUESIONER PENELITIAN PERSPEKTIF PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PANGAN DI PROPINSI JAMBI: SUATU MODEL KAJIAN STRATEGI INDUSTRIALISASI PERTANIAN MELALUI DUKUNGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI Tahapan Penelitian:
IDENTIFIKASI PARAMETER SISTEM
Oleh SAHRIAL IPN 995191
PROGRAM STUDI ILMU PANGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR PENGANTAR Penelitian dengan judul “Perspektif Pembangunan Agroindustri Pangan di Propinsi Jambi: Suatu Model Kajian Strategi Industrialisasi Pertanian Melalui Dukungan Kawasan Sentra Produksi” ini bertujuan untuk mensintesis strategi pem-
bangunan agroindustri pangan dengan pendekatan pewilayahan komoditas pertanian unggulan pada kawasan sentra produksi. Kajian strategi pembangunan agroindustri pangan dilakukan berdasarkan kerangka kerja (frame work) perspektif masa depan. Eksplorasi konsepsi situasi masa depan pembangunan agroindustri pangan dilakukan dengan menggunakan teknik analisis prospektif. Teknik ini menggunakan Metode MIC-MAC untuk menganalisis struktur sistem pembangunan agroindustri pangan, mengidentifikasi parameter sistem dan mengklasifikasikannya ke dalam beberapa kategori parameter untuk mendapatkan parameter kunci (key fac-
tor). Selanjutnya dengan menggunakan Metode SMIC, parameter kunci tersebut disintesis ke dalam bentuk skenario eksploratif untuk memperoleh gambaran perspektif masa depan pembangunan agroindustri pangan. Kuesioner ini merupakan bagian pertama dari kuesioner MIC-MAC yang bertujuan untuk mengidentifikasi parameter sistem pembangunan agroindustri pangan. Identifikasi didasarkan pada penilaian Bapak/Ibu/Sdr terhadap ada atau tidaknya pengaruh dari 250 parameter yang dimuat di dalam kuesioner ini terhadap keberhasilan pembangunan agroindustri pangan. Untuk itu dimohon kesediaan Bapak/Ibu/Sdr untuk mengidentifikasi pengaruh dari masing-masing parameter tersebut. Guna membantu Bapak/Ibu/Sdr, kuesioner ini dibagi dalam 3 bagian, yaitu:
•
Bagian
•
Bagian II : memuat Petunjuk Pengisian Kuesioner
•
Bagian III : memuat Daftar Pertanyaan
I : memuat Daftar Parameter Sistem
Kuesioner ini digunakan sebagai bahan penelitian. Oleh karena itu, kerahasiaan jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr berikan dijamin sepenuhnya oleh peneliti. Terima kasih.
BAGIAN I DAFTAR PARAMETER SISTEM Keberhasilan pembangunan agroindustri pangan pada kawasan sentra produksi (KSP) dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup Sub-Sistem Pertanian Primer (Usahatani) dan Sub-Sistem Agroindustri. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari Lingkungan Operasional, Lingkungan Industri dan Lingkungan Eksternal. Rincian faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
I.
Faktor Internal A. Sub-Sistem Usahatani 1. Sarana dan Prasarana Pertanian 2. Teknologi Pertanian 3. Manajemen Usahatani 4. Lahan Pertanian 5. Biaya Investasi dan Pemeliharaan/Perawatan B. Sub-Sistem Agroindustri 1. Teknologi Proses 2. Manajemen Produksi 3. Karakteristik Perusahaan Pengolahan 4. Biaya Investasi dan Operasional
II. Faktor Eksternal A. Lingkungan Operasional 1. Tenaga Kerja 2. Konsumen 3. Kreditor 4. Pesaing (Competitor) 5. Lembaga Pendukung
Halaman 1 dari 13
B. Lingkungan Industri 1. Pemain baru (New Entrance) 2. Pemasok (Supplier) 3. Pelanggan (Customer) 4. Produk Substitusi C. Lingkungan Eksternal 1. Lingkungan Politik 2. Lingkungan Ekonomi 3. Lingkungan Sosial 4. Teknologi 5. Isu-Isu Global
Halaman 2 dari 13
BAGIAN II PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER 1. Pada Bagian III kuesioner ini disajikan daftar 250 parameter yang dianggap berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan agroindustri pangan. 2. Bapak/Ibu/Sdr diminta untuk mengidentifikasi pengaruh dari masing-masing parameter tersebut terhadap keberhasilan pembangunan agroindustri pangan. 3. Identifikasi pengaruh dari masing-masing parameter menggunakan data kategorik (1 – 3) dengan penjelasan sebagai berikut: Skala 3 : menunjukkan ada pengaruh Skala 2 : menunjukkan sikap netral (ada keraguan antara ada pengaruh dengan tidak ada pengaruh) Skala 1 : menunjukkan tidak ada pengaruh TM
: tidak memberikan penilaian
4. Contoh pengisian:
B. Sub-Sistem Agroindustri No.
Paramater
3
Penilaian 2 1 TM
1. Manajemen Produksi Implementasi Sistem Mutu (GMP, ISO, HACCP) P042 Produktivitas/Efisiensi Pabrik P041
√ √
Penjelasan:
√
: - Penilaian yang diberikan menunjukkan bahwa parameter P041 berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan agroindustri pangan. - Responden tidak memberikan penilaian untuk parameter P042.
Halaman 3 dari 13
BAGIAN III DAFTAR PERTANYAAN I. Faktor Internal A. Sub-Sistem Usahatani No.
Paramater
3
Penilaian 2 1 TM
1. Sarana dan Prasarana Pertanian P001 P002 P003 P004 P005 P006 P007
Ketersediaan Bibit Unggul Ketersediaan Pupuk Ketersediaan Pestisida Ketersediaan Peralatan Pengolahan Tanah Ketersediaan Peralatan Budidaya Ketersediaan Peralatan Panen/Pascapanen Ketersediaan Sarana Pengairan dan Irigasi
2. Teknologi Pertanian P008 P009 P010 P011
Kemampuan Peralatan Pengolahan Tanah Kemampuan Peralatan Budidaya Kemampuan Peralatan Panen/Pascapanen Transfer Teknologi Budidaya
3. Manajemen Usahatani P012 P013 P014 P015 P016 P017 P018 P019 P020 P021
Penerapan Good Agriculture Practices Penggunaan Bibit Unggul Penggunaan Pupuk Penggunaan Pestisida Penggunaan Peralatan Pengolahan Tanah Penggunaan Peralatan Budidaya Penggunaan Peralatan Panen/Pascapanen Umur Tanaman Peremajaan Tanaman Kerjasama/Kemitraan Usahatani
4. Lahan Pertanian P022 Tingkat Kesuburan Lahan Pertanian P023 Kesesuaian Agroekologi dengan Komoditas Pertanian yang Dibudidayakan
5. Produk Pertanian P024 Kualitas Produk Pertanian P025 Kontinuitas Produksi Produk Pertanian P026 Kuantitas Prtoduk Pertanian
Halaman 4 dari 13
No.
Paramater
3
Penilaian 2 1 TM
3
Penilaian 2 1 TM
6. Karakteristik Usahatani P027 P028 P029 P030
Status Kepemilikan Lahan Perkebunan Skala Usaha Perkebunan Lokasi Perkebunan Produktivitas Perkebunan
7. Petani dan Buruh Tani P031 P032 P033 P034
Produktivitas Petani Pengetahuan/Skill Petani Produktivitas Buruh Tani Pengetahuan/Skill Buruh Tani
8. Petani dan Buruh Tani P035 P036 P037 P038 P039
Biaya Investasi Perkebunan Biaya Pemeliharaan/Perawatan Kebun Profitabilitas Usahatani Sustainabilitas Perkebunan Pertumbuhan Usahatani Perkebunan
B. Sub-Sistem Agroindustri No.
Paramater 1. Manajemen Produksi
P040 Kapasitas Produksi P041 Implementasi Sistem Mutu (GMP, ISO, HACCP) P042 Produktivitas/Efisiensi Pabrik
2. Teknologi Proses P043 Status dan Kemampuan Teknologi Proses
3. Karakteristik Perusahaan Pengolahan P044 Status Kepemilikan Perusahaan P045 Lokasi Pabrik P046 Kemampuan Adaptasi/Evolusi Perusahaan
4. Produk Agroindustri P047 P048 P049 P050
Kualitas Produk Volume Produksi Kontinuitas Produksi Citra Produk Agroindustri
Halaman 5 dari 13
No.
Paramater
3
Penilaian 2 1 TM
P051 Daya Saing Produk Agroindustri P052 Diversifikasi Produk P053 Diversifikasi Produk
5. Investasi dan Pertumbuhan Usahatani P054 P055 P056 P057 P058
Biaya Investasi Pabrik Biaya Operasional Pabrik Profitabilitas Pabrik Sustainabilitas Pabrik Pertumbuhan Perusahaan Pengolahan
6. Sarana Utilitas P059 Ketersediaan Sarana Utilitas Industri
II. Faktor Internal A. Lingkungan Operasional No.
Paramater
3
Penilaian 2 1 TM
1. Tenaga kerja P060 Pengetahuan/Skill Buruh Pabrik P061 Produktivitas Buruh Pabrik P062 Ketersediaan Tenaga Kerja Ahli (Profesional)
2. Kreditor P063 P064 P065 P066
Skim Kredit Perbankan Akses Kredit bagi Petani Ketersediaan Modal Kerja dan Investasi Prosedur Perbankan
3. Pelanggan P067 P068 P069 P070 P071 P072 P073 P074 P075 P076
Kapasitas Produksi Industri Hilir Produktivitas/Efisiensi Industri Hilir Lokasi Industri Hilir Biaya Investasi Industri Hilir Biaya Operasional Industri Hilir Profitabilitas Industri Hilir Sustainabilitas Industri Hilir Pertumbuhan Industri Hilir Kualitas Produk Industri Hilir Volume Produksi Industri Hilir
Halaman 6 dari 13
No. P077 P078 P079 P080
Paramater
3
Penilaian 2 1 TM
3
Penilaian 2 1 TM
Kontinuitas Produksi Industri Hilir Citra Produk Industri Hilir Daya Saing Produk Industri Hilir Diversifikasi Produk Industri Hilir
4. Lembaga Pedukung P081 Keberadaan Kelompok Tani P082 Keberadaan Asosiasi Pengusaha/Produsen P083 Keberadaan Lembaga Perlindungan Konsumen P084 Keberadaan Serikat Buruh P085 Keberadaan Lembaga Penelitian P086 Kerjasama Penelitian dan Teknologi Antar Perusahaan
5. Pesaing P087 Daya Saing Investasi Kawasan Regional P088 Daya Saing Investasi di Negara Tetangga
B. Lingkungan Industri No.
Paramater 1. Pemasok
P089 Intensitas Integrasi Perkebunan dengan Pabrik Pengolahan
2. Pelanggan P090 Intensitas Integrasi Pabrik Pengolahan dengan Industri Hilir P091 Loyalitas Pelanggan Domestik P092 Loyalitas Pelanggan Global
3. Pemain Baru P093 Investasi Domestik (PMDN) P094 Investasi Asing (PMA) P095 Struktur Agroindustri Pangan
4. Produk Substitusi P096 Mutu Produk Substitusi P097 CitraProduk Substitusi P098 Daya Saing Produk Substitusi
Halaman 7 dari 13
No.
Paramater
3
Penilaian 2 1 TM
3
Penilaian 2 1 TM
P099 Mutu Produk Komplementer P100 CitraProduk Komplementer P101 Daya Saing Produk Komplementer
C. Lingkungan Eksternal 1. Lingkungan Politik No.
Paramater a. Kebijakan Pembangunan
P102 Kebijakan Pembangunan Nasional P103 Program Pembangunan Nasional
b. Kebijakan Ekonomi Politik i. Kebijakan Fiskal dan Moneter P104 Alokasi Dana Perimbangan P105 Pendapatan Negara P106 Penerimaan Pajak P107 Kebijakan Fiskal P108 Subsidi dan Insentif dari Pemerintah P109 Kebijakan Perpajakan P110 Pajak/Retribusi Produk Pertanian P111 Pajak/Retribusi Produk Agroindustri P112 Suku Bunga Bank P113 Kurs Rupiah P114 Devisa ii. Kebijakan Industri dan Perdagangan P115 Perlindungan Investasi/Keamanan Usaha P116 Iklim Investasi dan Usaha P117 Perlindungan HaKI (TRIP' s) P118 Prosedur Perizinan Usaha P119 Liberalisasi Perdagangan P120 Kebijakan Perdagangan P121 Sistem Perdagangan/Tataniaga P122 Kebijakan Ekspor-Impor P123 Promosi Ekspor P124 Standardisasi dan Sertifikasi Produk P125 Kebijakan Harga Produk Pertanian P126 Kebijakan Harga Produk Agroindustri P127 UMP Sektor Primer P128 UMP Sektor Sekunder Halaman 8 dari 13
No.
Paramater
3
Penilaian 2 1 TM
a. Kebijakan Politik dan Keamanan P129 Land Reform P130 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Kewenangan P131 Kerjasama Antar Daerah Otonom dan Antar Sektor P132 Stabilitas Polkam & Kepastian Hukum P133 Konflik Sosial dan Kerusuhan P134 Kerjasama Regional dan Global
2. Lingkungan Ekonomi, Sosial, Teknologi dan Isu-Isu Global No.
Paramater
3
Penilaian 2 1 TM
a. Lingkungan Ekonomi P135 Tren Perubahan dan Pertumbuhan Ekonomi Regional dan Global P136 Fundamental Ekonomi Nasional P137 Struktur Ekonomi Nasional P138 Pertumbuhan Ekonomi Nasional P139 Pendapatan Petani Plasma P140 Pendapatan Masyarakat P141 Daya Beli dan Konsumsi Masyarakat P142 Tabungan Masyarakat
b. Lingkungan Sosial P143 P144 P145 P146 P147 P148 P149 P150
Kesejahteraan Masyarakat Tingkat Pendidikan Masyarakat Kondisi dan Perubahan Psikososio Spirit dan Motivasi Kerja Penduduk Fleksibilitas dan Adaptabilitas Masyarakat Perubahan Demografi dan Pemukiman Pengangguran Tenaga Kerja/Penduduk Usia Produktif
c. Teknologi P151 P152 P153 P154 P155
Status Perkembangan Humanware Status Perkembangan Technoware Status Perkembangan Infoware Status Perkembangan Organoware Indigeneous Knowledge & Technology
Halaman 9 dari 13
No. P156 P157 P158 P159
Paramater
3
Penilaian 2 1 TM
3
Penilaian 2 1 TM
Ketersediaan Dana Fasilitas R & D Perkembangan R & D Teknologi Land Clearing Status Teknologi Pengolahan Limbah
d. Lingkungan Hidup P160 Sistem Konversi Lahan Perkebunan P161 Perambahan Hutan dan Konversi Tanaman Perkebunan P162 Kelestarian Lingkungan Hidup P163 Kesepakatan Global untuk Pengelolaan Lingkungan Hidup
e. Isu Global P164 P165 P166 P167
Perlindungan HAM Perlindungan Buruh serta Demokratisasi Demokratisasi Implementasi Sistem Perdagangan Bebas
3. Perdagangan No.
Paramater a. Tataniaga
P168 Saluran dan Jaringan Pemasaran Produk Pertanian P169 Saluran dan Jaringan Pemasaran Produk Agroindustri P170 Saluran dan Jaringan Pemasaran Produk Industri Hilir P171 Penyeludupan P172 Biaya Perdagangan
b. Perdagangan Produk Pertanian P173 P174 P175 P176 P177 P178 P179 P180
Harga Produk Pertanian Permintaan Produk Pertanian Penawaran Produk Pertanian Harga Domestik Produk Pertanian Harga Ekspor Produk Pertanian Permintaan Domestik Produk Pertanian Permintaan Ekspor Produk Pertanian Ekspor Produk Pertanian
Halaman 10 dari 13
No.
Paramater
3
Penilaian 2 1 TM
c. Perdagangan Produk Agroindustri P181 P182 P183 P184 P185 P186 P187 P188
Harga Produk Agroindustri Permintaan Produk Agroindustri Penawaran Produk Agroindustri Harga Domestik Produk Agroindustri Harga Ekspor Produk Agroindustri Permintaan Domestik Produk Agroindustri Permintaan Ekspor Produk Agroindustri Ekspor Produk Agroindustri
d. Perdagangan Industri Hilir P189 P190 P191 P192 P193 P194 P195 P196
Harga Produk Industri Hilir Permintaan Produk Industri Hilir Penawaran Produk Industri Hilir Harga Domestik Produk Industri Hilir Harga Ekspor Produk Industri Hilir Permintaan Domestik Produk Industri Hilir Permintaan Ekspor Produk Industri Hilir Ekspor Produk Industri Hilir
e. Perdagangan Produk Substitusi P197 P198 P199 P200 P201 P202 P203 P204
Harga Produk Substitusi Permintaan Produk Substitusi Penawaran Produk Substitusi Harga Domestik Produk Substitusi Harga Ekspor Produk Substitusi Permintaan Domestik Produk Substitusi Permintaan Ekspor Produk Substitusi Ekspor Produk Substitusi
f. Perdagangan Produk Komplementer P205 P206 P207 P208 P209 P210
Harga Produk Komplementer Permintaan Produk Komplementer Penawaran Produk Komplementer Harga Domestik Produk Komplementer Harga Ekspor Produk Komplementer Permintaan Domestik Produk Komplementer P211 Permintaan Ekspor Produk Komplementer P212 Ekspor Produk Komplementer
Halaman 11 dari 13
3. Pembangunan Wilayah No.
Paramater
3
Penilaian 2 1 TM
a. Kondisi Umum Wilayah i. Kondisi Fisik Wilayah P213 Kondisi Geofisik (SDA) Wilayah P214 Kondisi Agroekologi (AEZ) P215 Luas Wilayah P216 Posisi Geografis Wilayah ii. Infrastruktur Wilayah P217 Kebijakan dan Program Pembangunan Daerah (Propeda) P218 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) P219 Transformasi Spatial P220 Jaringan Jalan P221 Saluran Pembuangan Air (Drainase) P222 Instalasi Penyediaan Air Bersih P223 Jaringan Listrik P224 Jaringan Telekomunikasi iii. Perekonomian Wilayah P225 Kebijakan Pembangunan Ekonomi P226 Struktur Perekonomian Wilayah P227 Pertumbuhan Perekonomian Wilayah P228 Investasi Sektor Primer P229 Investasi Sektor Sekunder P230 Pertumbuhan Sektor Primer P231 Pertumbuhan Sektor Sekunder P232 Pertumbuhan Sektor Tersier P233 Pendapatan Daerah P234 Pajak/Retribusi Daerah iv. Kondisi Kependudukan P135 Kondisi Kependudukan (SDM) Wilayah v. Daya Saing Daerah P136 Daya Saing Daerah P137 Kualitas Pelayanan Birokrasi P138 Prediktibalitas dan Konsistensi Kebijakan dan Peraturan Daerah P139 Korupsi, Suap dan Pungutan Tidak Resmi P140 Penyelanggaraan Pemerintahan Daerah Halaman 12 dari 13
No.
Paramater
3
Penilaian 2 1 TM
b. Pembangunan Agroindustri P141 P142 P143 P144 P145 P146
Pewilayahan Kawasan Budidaya (RTRW) Pola Pengembangan Perkebunan Luas Peruntukan Wilayah Perkebunan Luas Areal Perkebunan Harga Lahan Perkebunan Perkembangan Kawasan Sentra Produksi
c. Lapangan Kerja P147 P148 P149 P150
Lapangan Kerja Sektor Primer Lapangan Kerja Sektor Sekunder Lapangan Kerja Sektor Tersier Formasi Lapangan Kerja Terima kasih
Halaman 13 dari 13
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian Bagian b. Identifikasi Hubungan Kontekstual
KUESIONER PENELITIAN PERSPEKTIF PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PANGAN DI PROPINSI JAMBI: SUATU MODEL KAJIAN STRATEGI INDUSTRIALISASI PERTANIAN MELALUI DUKUNGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI Tahapan Penelitian:
IDENTIFIKASI HUBUNGAN KONTEKSTUAL
Oleh SAHRIAL IPN 995191
PROGRAM STUDI ILMU PANGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR PENGANTAR Penelitian dengan judul “Perspektif Pembangunan Agroindustri Pangan di Propinsi Jambi: Suatu Model Kajian Strategi Industrialisasi Pertanian Melalui Du-
kungan Kawasan Sentra Produksi” ini bertujuan untuk mensintesis strategi pembangunan agroindustri pangan dengan pendekatan pewilayahan komoditas pertanian unggulan pada kawasan sentra produksi. Kajian strategi pembangunan agroindustri pangan dilakukan berdasarkan kerangka kerja (frame work) perspektif masa depan. Eksplorasi konsepsi situasi masa depan pembangunan agroindustri pangan dilakukan dengan menggunakan teknik analisis prospektif. Teknik ini menggunakan Metode MIC-MAC untuk menganalisis struktur sistem pembangunan agroindustri pangan, mengidentifikasi parameter sistem dan mengklasifikasikannya ke dalam beberapa kategori parameter untuk mendapatkan parameter kunci (key fac-
tor). Selanjutnya dengan menggunakan Metode SMIC, parameter kunci tersebut disintesis ke dalam bentuk skenario eksploratif untuk memperoleh gambaran perspektif masa depan pembangunan agroindustri pangan. Kuesioner ini merupakan bagian kedua dari kuesioner MIC-MAC yang bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan kontekstual antar parameter sistem. Identifikasi hubungan kontekstual dilakukan secara berpasangan (pairwise com-
parison) berdasarkan pada penilaian Bapak/Ibu/Sdr terhadap ada atau tidaknya pengaruh dari suatu parameter terhadap parameter pasangannya. Untuk itu dimohon kesediaan Bapak/Ibu/Sdr untuk mengidentifikasi hubungan kontekstual dari 44 parameter yang disediakan dalam kuesioner ini. Guna membantu Bapak/Ibu/Sdr, kuesioner ini dibagi dalam 3 bagian, yaitu:
•
Bagian
•
Bagian II : memuat Petunjuk Pengisian Kuesioner
•
Bagian III : memuat Daftar Pertanyaan
I : memuat Daftar Parameter Sistem
Kuesioner ini digunakan sebagai bahan penelitian. Oleh karena itu, kerahasiaan jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr berikan dijamin sepenuhnya oleh peneliti. Terima kasih.
BAGIAN I DAFTAR PARAMETER SISTEM
A. Parameter Internal Parameter
Komponen Parameter
Sub-Sistem Pertanian Primer (Usahatani) P01 Sarana dan Prasarana Pertanian
- Ketersediaan sarana produksi pertanian, seperti: - Pupuk, pestisida, herbisida - Bibit atau benih bermutu - Peralatan/mesin pertanian - Ketersediaan infrastruktur pertanian, seperti: - Sarana pengairan dan irigasi - Kios saprotan, pasar dan sarana pemasaran - Keberadaan lembaga pendukung: - Koperasi dan lembaga pemasaran - Kelompok tani dan penyuluh pertanian P02 Teknik dan Manajemen - Penerapan Good Agriculture Practices: Usahatani - Penggunaan bibit unggul, pupuk, pestisida - Penggunaan peralatan/mesin pertanian - Perawatan dan peremajaan tanaman - Transfer teknologi budidaya pertanian: - Status/kemampuan peralatan/mesin pertanian - Kerjasama dan kemitraan dalam usahatani P03 Lahan Pertanian - Tingkat kesuburan lahan pertanian - Kesesuaian agroekologi dengan komoditas yang ditanam P04 Produk Pertanian - Kualitas produk pertanian - Kontinuitas produksi - Kuantitas produksi P05 Karakteristik Usahatani - Status kepemilikan lahan - Skala usaha (Luas lahan) - Produktivitas - Lokasi usahatani P06 Petani dan Buruh Tani - Pengetahuan/skill petani - Produktivitas petani - Pengetahuan/skill buruh tani - Produktivitas buruh tani P07 Investasi dan Pertum- - Biaya investasi, pemeliharaan dan perawatan buhan Usahatani - Profitabilitas dan sustainabilitas usahatani - Pertumbuhan usahatani
Halaman 2 dari 50
Parameter
Komponen Parameter
Sub-Sistem Agroindustri P08 Teknik dan Manajemen - Kapasitas produksi Produksi - Status dan kemampuan teknologi proses - Implementasi Sistem Mutu - Produktivitas/efisiensi perusahaan pengolahan P09 Karakteristik Perusa- Status kepemilikan haan Pengolahan - Lokasi - Kemampuan beradaptasi/berevolusi P10 Produk Agroindustri - Kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi - Citra dan daya saing produk - Inovasi dan diversifikasi produk P11 Investasi dan Pertum- - Biaya investasi dan operasional buhan Perusahaan - Profitabilitas dan sustainabilitas usaha - Pertumbuhan usaha
B. Parameter Eksternal Parameter Lingkungan Operasional P12 Kualitas Tenaga Kerja P13 Skim dan Akses Kredit P14 Karakteristik Pelanggan Produk Agroindustri
P15 Kelembagaan dan Kemitraan
P16 Karakteristik Pesaing
Komponen Parameter - Pengetahuan, skill dan produktivitas karyawan - Ketersediaan tenaga ahli (profesional) - Skim kredit - Akses dan prosedur perbankan - Ketersediaan modal investasi dan modal kerja - Loyalitas pelanggan - Karakteristik pelanggan: - Kapasitas produksi, produktivitas/efisiensi - Biaya investasi dan operasional - Profitabilitas, sustainabilitas dan pertumbuhan usaha - Karakteristik produk pelanggan: - Kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi - Citra dan daya saing produk - Inovasi dan diversifikasi produk - Keberadaan asosiasi pengusaha/produsen - Keberadaan lembaga perlindungan konsumen - Keberadaan lembaga perlindungan buruh - Keberadaan lembaga penelitian - Kerjasama penelitian dan teknologi antar perusahaan - Karakteristik industri pesaing
Halaman 3 dari 50
Parameter
Komponen Parameter
Lingkungan Politik P17 Kebijakan Fiskal dan Moneter
P18 Kebijakan Industri dan Perdagangan
P19 Kebijakan Agraria P20 Kebijakan Perburuhan P21 Penyelenggaraan Otonomi Daerah P22 Stabilitas Politik dan Kepastian Hukum
Lingkungan Ekonomi P23 Tren dan Pertumbuhan Ekonomi Dunia P24 Fundamental Ekonomi Nasional P25 Struktur Pertumbuhan Ekonomi Nasional P26 Ketersediaan dan Formasi Lapangan Kerja P27 Iklim Investasi
- Kebijakan perpajakan - Pajak/retribusi produk pertanian/agroindustri - Pajak ekspor produk pertanian/agroindustri - Insentif pajak untuk agroindustri - Kebijakan fiskal - Alokasi dana perimbangan - Subsidi untuk pertanian/agroindustri - Kebijakan moneter - Kurs dan suku bunga - Perlindungan investasi dan keamanan usaha - Perlindungan Haki (TRIP’s) - Prosedur perizinan usaha - Standardisasi dan sertifikasi produk - Kebijakan perdagangan - Liberalisasi perdagangan - Kebijakan harga produk pertanian/agroindustri - Kebijakan Agraria - Land Reform - Kebijakan Perburuhan - Kebijakan Upah - Otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan - Kerjasama antar daerah otonom - Stabilitas politik - Kepastian hukum - Konflik sosial dan kerusuhan - Tren pertumbuhan ekonomi regional/global - Pertumbuhan ekonomi regional/global - Fundamental ekonomi nasional - Struktur perekonomian nasional - Pertumbuhan ekonomi nasional - Ketersediaan lapangan kerja - Formasi lapangan kerja - Daya tarik investasi - Pertumbuhan investasi
Lingkungan Sosial P28 Psikososio Masyarakat - Tingkat pendidikan masayarakat - Kesejahteraan masyarakat - Spirit dan motivasi - Fleksibilitas dan daya adaptasi P29 Sosial Ekonomi - Pendapatan dan daya beli masyarakat Masyarakat - Tabungan masyarakat
Halaman 4 dari 50 Parameter
Komponen Parameter
Teknologi P30 Perkembangan Teknologi
Isu Global P31 Implementasi Sistem Perdagangan Bebas P32 Lingkungan Hidup
P33 HAM dan Demokratisasi
Pembangunan Wilayah P34 Daya Saing Daerah P35 Demografi P36 Keadaan Geofisik Wilayah P37 Struktur Pertumbuhan Ekonomi Wilayah P38 Infrastruktur dan Tata Ruang Wilayah P39 Pendapatan Daerah P40 Kerjasama Regional
- Status dan perkembangan komponen teknologi - Perkembangan R & D - Implementasi sistem perdagangan bebas - Perlindungan Haki (TRIP’s) - Standardisasi dan sertifikasi produk - Perambahan dan konversi hutan - Sistem konversi lahan perkebunan - Kesepakatan pengelolaan lingkungan hidup global - Perlindungan HAM dan buruh - Demokratisasi - Penyelenggaraan pemerintahan daerah - Kualitas pelayanan birokrasi - Prediktibilitas dan konsistensi kebijakan - Perubahan demografi dan pola pemukiman - Tenaga kerja dan penduduk usia produktif - Kondisi geofisik dan agroekologi wilayah - Luas dan posisi geografis wilayah - Kebijakan pembangunan ekonomi wilayah - Struktur perekonomian wilayah - Pertumbuhan ekonomi wilayah - Infrastruktur wilayah - Perencanaan tata ruang wilayah - Pajak daerah - Retribusi daerah - Kerjasama regional
Perdangangan dan Ekspor Produk Agroindustri P41 Perdagangan Produk - Saluran dan jaringan pemasaran produk agroAgroindustri industri P42 Ekspor Produk - Volume ekspor produk agroindustri Agroindustri Pengembangan Kawasan Sentra Produksi P43 Pola Pengembangan - Pola pengembangan perkebunan Perkebunan P44 Perkembangan KSP - Perkembangan kawasan sentra produksi
Halaman 5 dari 50
BAGIAN II PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER 1. Pada Bagian III kuesioner ini disajikan daftar 44 parameter yang dianggap berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan agroindustri pangan. 2. Bapak/Ibu/Sdr diminta untuk mengidentifikasi hubungan kontekstual dari masing-masing parameter tersebut terhadap parameter pasangannya. 3. Identifikasi hubungan kontekstual antar parameter diukur dari ada tidaknya pengaruh suatu parameter terhadap parameter pasangannya dengan menggunakan notasi biner 1 atau 0. Notasi 1 : menunjukkan suatu parameter berpengaruh terhadap parameter pasangannya Notasi 0 : menunjukkan suatu parameter tidak berpengaruh terhadap parameter pasangannya TM
: tidak memberikan penilaian
TB
: tidak bersedia memberikan penilaian
4. Contoh pengisian:
Parameter yang Diidentifikasi
1
Penilaian 0 TM
TB
Pengaruh parameter P01 Sarana dan Prasarana Pertanian terhadap parameter-parameter berikut ini : P02 Teknik dan Manajemen Usahatani P03 Lahan Pertanian P04 Produk Pertanian
√
√
√
Penjelasan:
√
: - Penilaian yang diberikan menunjukkan bahwa parameter P01 Sarana dan Prasarana Pertanian berpengaruh terhadap parameter P02 Teknik dan Manajemen Usahatani, tetapi tidak berpengaruh. terhadap parameter P03 Lahan Pertanian - Responden tidak memberikan penilaian untuk parameter P04.
Halaman 6 dari 50
BAGIAN III DAFTAR PERTANYAAN Parameter yang Diidentifikasi Pengaruh parameter P01 Sarana dan Prasarana Pertanian terhadap parameter-parameter berikut ini : P02 Teknik dan Manajemen Usahatani P03 Lahan Pertanian P04 Produk Pertanian P05 Karakteristik Usahatani P06 Petani dan Buruh Tani P07 Investasi dan Pertumbuhan Usahatani P08 Teknik dan Manajemen Produksi P09 Karakteristik Perusahaan Pengolahan P10 Produk Agroindustri P11 Investasi dan Pertumbuhan Perusahaan P12 Kualitas Tenaga Kerja P13 Skim dan Akses Kredit P14 Karakteristik Pelanggan Produk Agroindustri P15 Kelembagaan dan Kemitraan P16 Karakteristik Pesaing P17 Kebijakan Fiskal dan Moneter P18 Kebijakan Industri dan Perdagangan P19 Kebijakan Agraria P20 Kebijakan Perburuhan P21 Penyelenggaraan Otonomi Daerah P22 Stabilitas Politik dan Kepastian Hukum P23 Tren Pertumbuhan Ekonomi Global P24 Fundamental Ekonomi Nasional P25 Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional P26 Ketersediaan dan Formasi Lapangan Kerja P27 Iklim Investasi P28 Psikososio Masyarakat P29 Sosial Ekonomi Masyarakat P30 Perkembangan Teknologi P31 Implementasi Sistem Perdagangan Bebas P32 Lingkungan Hidup P33 HAM dan Demokratisasi P34 Daya Saing Daerah P35 Demografi P36 Keadaan Geofisik Wilayah P37 Struktur Pertumbuhan Ekonomi Wilayah P38 Infrastruktur dan Tata Ruang Wilayah P39 Pendapatan Daerah P40 Kerjasama Regional P41 Perdagangan Produk Agroindustri P42 Ekspor Produk Agroindustri
1
Penilaian 0 TM
TB
P43 Pola Pengembangan Perkebunan P44 Perkembangan Kawasan Sentra Produksi
Parameter yang Diidentifikasi Pengaruh parameter P02 Teknik dan Manajemen Usahatani terhadap parameter-parameter berikut ini : P01 Sarana dan Prasarana Pertanian P03 Lahan Pertanian P04 Produk Pertanian P05 Karakteristik Usahatani P06 Petani dan Buruh Tani P07 Investasi dan Pertumbuhan Usahatani P08 Teknik dan Manajemen Produksi P09 Karakteristik Perusahaan Pengolahan P10 Produk Agroindustri P11 Investasi dan Pertumbuhan Perusahaan P12 Kualitas Tenaga Kerja P13 Skim dan Akses Kredit P14 Karakteristik Pelanggan Produk Agroindustri P15 Kelembagaan dan Kemitraan P16 Karakteristik Pesaing P17 Kebijakan Fiskal dan Moneter P18 Kebijakan Industri dan Perdagangan P19 Kebijakan Agraria P20 Kebijakan Perburuhan P21 Penyelenggaraan Otonomi Daerah P22 Stabilitas Politik dan Kepastian Hukum P23 Tren Pertumbuhan Ekonomi Global P24 Fundamental Ekonomi Nasional P25 Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional P26 Ketersediaan dan Formasi Lapangan Kerja P27 Iklim Investasi P28 Psikososio Masyarakat P29 Sosial Ekonomi Masyarakat P30 Perkembangan Teknologi P31 Implementasi Sistem Perdagangan Bebas P32 Lingkungan Hidup P33 HAM dan Demokratisasi P34 Daya Saing Daerah P35 Demografi P36 Keadaan Geofisik Wilayah P37 Struktur Pertumbuhan Ekonomi Wilayah P38 Infrastruktur dan Tata Ruang Wilayah P39 Pendapatan Daerah P40 Kerjasama Regional P41 Perdagangan Produk Agroindustri P42 Ekspor Produk Agroindustri P43 Pola Pengembangan Perkebunan P44 Perkembangan Kawasan Sentra Produksi
1
Penilaian 0 TM
TB
Keterangan : 1 = memiliki pengaruh
0 = tidak memiliki pengaruh
TM = tidak memberikan penilaian
TB = tidak bersedia memberikan
penilaian
Halaman 8 dari 50 Parameter yang Diidentifikasi Pengaruh parameter P03 Lahan Pertanian terhadap parameter-parameter berikut ini : P01 Sarana dan Prasarana Pertanian P02 Teknik dan Manajemen Usahatani P04 Produk Pertanian P05 Karakteristik Usahatani P06 Petani dan Buruh Tani P07 Investasi dan Pertumbuhan Usahatani P08 Teknik dan Manajemen Produksi P09 Karakteristik Perusahaan Pengolahan P10 Produk Agroindustri P11 Investasi dan Pertumbuhan Perusahaan P12 Kualitas Tenaga Kerja P13 Skim dan Akses Kredit P14 Karakteristik Pelanggan Produk Agroindustri P15 Kelembagaan dan Kemitraan P16 Karakteristik Pesaing P17 Kebijakan Fiskal dan Moneter P18 Kebijakan Industri dan Perdagangan P19 Kebijakan Agraria P20 Kebijakan Perburuhan P21 Penyelenggaraan Otonomi Daerah P22 Stabilitas Politik dan Kepastian Hukum P23 Tren Pertumbuhan Ekonomi Global P24 Fundamental Ekonomi Nasional P25 Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional P26 Ketersediaan dan Formasi Lapangan Kerja P27 Iklim Investasi P28 Psikososio Masyarakat P29 Sosial Ekonomi Masyarakat P30 Perkembangan Teknologi P31 Implementasi Sistem Perdagangan Bebas P32 Lingkungan Hidup P33 HAM dan Demokratisasi P34 Daya Saing Daerah P35 Demografi P36 Keadaan Geofisik Wilayah P37 Struktur Pertumbuhan Ekonomi Wilayah P38 Infrastruktur dan Tata Ruang Wilayah P39 Pendapatan Daerah P40 Kerjasama Regional P41 Perdagangan Produk Agroindustri
1
Penilaian 0 TM
TB
P42 Ekspor Produk Agroindustri P43 Pola Pengembangan Perkebunan P44 Perkembangan Kawasan Sentra Produksi Keterangan : 1 = memiliki pengaruh TM = tidak memberikan penilaian
0 = tidak memiliki pengaruh
TB = tidak bersedia memberikan
penilaian
Halaman 9 dari 50 Parameter yang Diidentifikasi Pengaruh parameter P04 Produk Pertanian terhadap parameter-parameter berikut ini : P01 Sarana dan Prasarana Pertanian P02 Teknik dan Manajemen Usahatani P03 Lahan Pertanian P05 Karakteristik Usahatani P06 Petani dan Buruh Tani P07 Investasi dan Pertumbuhan Usahatani P08 Teknik dan Manajemen Produksi P09 Karakteristik Perusahaan Pengolahan P10 Produk Agroindustri P11 Investasi dan Pertumbuhan Perusahaan P12 Kualitas Tenaga Kerja P13 Skim dan Akses Kredit P14 Karakteristik Pelanggan Produk Agroindustri P15 Kelembagaan dan Kemitraan P16 Karakteristik Pesaing P17 Kebijakan Fiskal dan Moneter P18 Kebijakan Industri dan Perdagangan P19 Kebijakan Agraria P20 Kebijakan Perburuhan P21 Penyelenggaraan Otonomi Daerah P22 Stabilitas Politik dan Kepastian Hukum P23 Tren Pertumbuhan Ekonomi Global P24 Fundamental Ekonomi Nasional P25 Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional P26 Ketersediaan dan Formasi Lapangan Kerja P27 Iklim Investasi P28 Psikososio Masyarakat P29 Sosial Ekonomi Masyarakat P30 Perkembangan Teknologi P31 Implementasi Sistem Perdagangan Bebas P32 Lingkungan Hidup P33 HAM dan Demokratisasi P34 Daya Saing Daerah P35 Demografi
1
Penilaian 0 TM
TB
P36 Keadaan Geofisik Wilayah P37 Struktur Pertumbuhan Ekonomi Wilayah P38 Infrastruktur dan Tata Ruang Wilayah P39 Pendapatan Daerah P40 Kerjasama Regional P41 Perdagangan Produk Agroindustri P42 Ekspor Produk Agroindustri P43 Pola Pengembangan Perkebunan P44 Perkembangan Kawasan Sentra Produksi Keterangan : 1 = memiliki pengaruh TM = tidak memberikan penilaian
0 = tidak memiliki pengaruh
TB = tidak bersedia memberikan
penilaian
Halaman 10 dari 50
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian Bagian c. Identifikasi Peluang Kejadian Bebas/Tunggal
KUESIONER PENELITIAN PERSPEKTIF PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PANGAN DI PROPINSI JAMBI: SUATU MODEL KAJIAN STRATEGI INDUSTRIALISASI PERTANIAN MELALUI DUKUNGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI Kuesioner SMIC:
PELUANG KEJADIAN TUNGGAL/BEBAS
Oleh SAHRIAL
IPN 995191
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR PENGANTAR Penelitian dengan judul “Perspektif Pembangunan Agroindustri Pangan di Propinsi Jambi: Suatu Model Kajian Strategi Industrialisasi Pertanian Melalui Dukungan Kawasan Sentra Produksi” ini bertujuan untuk mensintesis strategi pembangunan agroindustri pangan dengan pendekatan pewilayahan komoditas pertanian unggulan pada kawasan sentra produksi. Kajian strategi pembangunan agroindustri pangan dilakukan berdasarkan kerangka kerja (frame work) perspektif masa depan. Eksplorasi konsepsi situasi masa depan pembangunan agroindustri pangan dilakukan dengan menggunakan teknik analisis prospektif. Teknik ini menggunakan Metode MIC-MAC untuk menganalisis struktur sistem pembangunan agroindustri pangan, mengidentifikasi parameter sistem dan mengklasifikasikannya ke dalam beberapa kategori parameter untuk mendapatkan parameter kunci (key fac-
tor). Selanjutnya dengan menggunakan Metode SMIC, parameter kunci tersebut disintesis ke dalam bentuk skenario eksploratif untuk memperoleh gambaran perspektif masa depan pembangunan agroindustri pangan. Kuesioner ini merupakan bagian pertama dari kuesioner SMIC yang bertujuan untuk mengkaji peluang (probabity, p) kejadian tunggal/bebas dari 12 premis kejadian (event, E) hasil sintesis dari 6 parameter kunci (key factors). Untuk
itu dimohon kesediaan Bapak/Ibu/Sdr untuk mengidentifikasi peluang (p) dari masing-masing premis kejadian (E) tersebut. Kuesioner ini terdiri dari 2 bagian, yaitu:
•
Bagian I (Parameter Kunci) memuat daftar 6 parameter yang digunakan.
•
Bagian II (Peluang Kejadian Tunggal/Bebas) memuat daftar 12 premis kejadian (E) yang akan Bapak/Ibu/Sdr tentukan peluang (p) terjadinya. Kuesioner ini digunakan sebagai bahan penelitian. Oleh karena itu, kera-
hasiaan jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr berikan dijamin sepenuhnya oleh peneliti. Terima kasih.
BAGIAN I PARAMETER KUNCI Dari hasil analisis dengan menggunakan Metode Matrice d’Impacts
Crois s-Multiplication Appliquee
un Classement (MIC-MAC) diperoleh 6
parameter kunci (key factors) yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan agroindustri pangan yang berbasiskan komoditas pertanian unggulan pada kawasan sentra produksi pertanian dalam perspektif waktu 5 – 20 tahun mendatang. Keenam parameter tersebut adalah: 1. Karakteristik Usaha 2. Jaringan Usaha 3. Status Teknologi 4. Infrastruktur dan Tata Ruang Wilayah 5. Penyelenggara Pemerintahan 6. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Dari keenam parameter kunci tersebut, menurut Bapak/Ibu/Sdr adakah parameter yang tidak tepat untuk dijadikan sebagai parameter kunci? Ada, yaitu parameter: .................................................................................... .................................................................................... ....................................................................................
.................................................................................... Tidak ada. Di samping keenam parameter kunci tersebut, menurut Bapak/Ibu/Sdr masih adakah parameter lain yang dapat dijadikan sebagai parameter kunci? Masih ada, yaitu parameter: ........................................................................ ........................................................................ ........................................................................ ........................................................................ ........................................................................ ........................................................................ ........................................................................ Tidak ada.
Halaman 1 dari 7
BAGIAN II PELUANG KEJADIAN BEBAS/TUNGGAL A. Parameter Karakteristik Usaha Dengan menggunakan tema “Karakteristik Usaha” dalam konteks pembangunan agroindustri pangan yang berbasiskan komoditas pertanian unggulan pada kawasan sentra produksi, bagaimana pendapat Bapak/Ibu/Sdr tentang peluang (p) terjadinya kejadian-kejadian (E) hipotetis di bawah ini dalam perspektif waktu 5 – 20 tahun mendatang? Beri tanda akar √ pada sel warna peluang kejadian p(E) yang dipilih. 0,0 – 0,2 : kemungkinan tidak terjadi sangat besar (0,0 ≤ p(E) < 0,2) 0,2 – 0,4 : kemungkinan tidak terjadi cukup besar (0,2 ≤ p(E) ≤ 0,4) 0,4 – 0,6 : kemungkinan tidak terjadi atau terjadi sama besar (0,4 < p(E) < 0,6) 0,6 – 0,8 : kemungkinan terjadi cukup besar (0,6 ≤ p(E) ≤ 0,8) 0,8 – 1,0 : kemungkinan terjadi sangat besar (0,8 ≤ p(E) < 1,0)
No.
Kejadian Hipotetis (E) Tidak ada lagi usahatani yang bersifat sub-
Peluang Kejadian, p(E) 0,0-0,2 0,2-0,4 0,4-0,6 0,6-0,8 0,8-1,0 5 tahun
mendatang
E01 sisten, tetapi sudah berkembang menjadi usahatani komersial yang modern, berskala besar, efisien, inovatif dan sustainable.
1 0 tahun
mendatang
1 5 tahun
mendatang
2 0 tahun
mendatang
Komentar: ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ...................................................................................................................................
E02
Perusahaan pengolahan hasil pertanian sudah mencapai skala dan lingkup ekonomi yang memungkinkan pertumbuhan mutu produk dan pasar yang stabil dan berkelanjutan, serta responsif terhadap perubahan.
5 tahun
mendatang
1 0 tahun
mendatang
1 5 tahun
mendatang
2 0 tahun
mendatang
Komentar: ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ...................................................................................................................................
Halaman 2 dari 7 B. Parameter Jaringan Usaha Dengan menggunakan tema “Jaringan Usaha” dalam konteks pembangunan agroindustri pangan yang berbasiskan komoditas pertanian unggulan pada kawasan sentra produksi, bagaimana pendapat Bapak/Ibu/Sdr tentang peluang (p) terjadinya kejadian-kejadian (E) hipotetis di bawah ini dalam perspektif waktu 5 – 20 tahun mendatang?
No.
Kejadian Hipotetis (E)
Keterkaitan dan kemitraan antar pelaku E03 pembangunan agroindustri sudah terjalin secara sinergis, strategis dan berkelanjutan berdasarkan pada asas saling membutuhkan, memperkuat dan menguntungkan.
Peluang Kejadian, p(E) 0,0-0,2 0,2-0,4 0,4-0,6 0,6-0,8 0,8-1,0 5 tahun
mendatang
1 0 tahun
mendatang
1 5 tahun
mendatang
2 0 tahun
mendatang
Komentar: ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... 5 tahun mendatang Sudah terjalin kerjasama teknologi dalam E04 pengembangan created factor dan proses 1 0 tahun mendatang produksi yang memungkinkan terciptanya produk inovatif unggulan. 1 5 tahun mendatang
2 0 tahun
mendatang
Komentar: ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ...................................................................................................................................
Halaman 3 dari 7 C. Parameter Status Teknologi Dengan menggunakan tema “Status Teknologi” dalam konteks pembangunan agroindustri pangan yang berbasiskan komoditas pertanian unggulan pada kawasan sentra produksi, bagaimana pendapat Bapak/Ibu/Sdr tentang peluang (p) terjadinya kejadian-kejadian (E) hipotetis di bawah ini dalam perspektif waktu 5 – 20 tahun mendatang?
No.
Kejadian Hipotetis (E)
Perusahaan pengolahan sudah memanfaatE05 kan teknologi tinggi (computerized and integrated technology) untuk menghasilkan produk inovatif unggulan berdaya saing tinggi.
Peluang Kejadian, p(E) 0,0-0,2 0,2-0,4 0,4-0,6 0,6-0,8 0,8-1,0 5 tahun
mendatang
1 0 tahun
mendatang
1 5 tahun
mendatang
2 0 tahun
mendatang
Komentar: ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... 5 tahun mendatang SDM perusahaan pengolahan sudah mamE06 pu berinovasi untuk menciptakan produk 1 0 tahun mendatang inovatif unggulan berdaya saing tinggi. 1 5 tahun
mendatang
2 0 tahun
mendatang
Komentar: ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ...................................................................................................................................
Halaman 4 dari 7 D. Parameter Infrastruktur dan Tata Ruang Dengan menggunakan tema “Infrastruktur dan Tata Ruang” dalam konteks pembangunan agroindustri pangan yang berbasiskan komoditas pertanian unggulan pada kawasan sentra produksi, bagaimana pendapat Bapak/Ibu/Sdr tentang peluang (p) terjadinya kejadian-kejadian (E) hipotetis di bawah ini dalam perspektif waktu 5 – 20 tahun mendatang?
No.
Kejadian Hipotetis (E)
Infrastruktur dasar, infrastruktur pertanian E07 dan utilitas industri serta infrastruktur sistem informasi sudah berkembang sesuai dengan kebutuhan pembangunan agroindustri.
Peluang Kejadian, p(E) 0,0-0,2 0,2-0,4 0,4-0,6 0,6-0,8 0,8-1,0 5 tahun
mendatang
1 0 tahun
mendatang
1 5 tahun
mendatang
2 0 tahun
mendatang
Komentar: ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... 5 tahun mendatang Pewilayahan komoditas pertanian unggulE08 an pada KSP sudah sesuai dengan kondisi 1 0 tahun mendatang agroekologi wilayah, serta telah mencapai skala dan lingkup ekonomi yang memung1 5 tahun mendatang
kinkan untuk memproduksi komoditas 2 0 tahun mendatang unggulan secara efisien dan berkelanjutan. Komentar: ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ...................................................................................................................................
Halaman 5 dari 7
E. Parameter Penyelenggaraan Pemerintahan Dengan menggunakan tema “Penyelenggaraan Pemerintahan” dalam konteks pembangunan agroindustri pangan yang berbasiskan komoditas pertanian unggulan pada kawasan sentra produksi, bagaimana pendapat Bapak/Ibu/Sdr tentang peluang (p) terjadinya kejadian-kejadian (E) hipotetis di bawah ini dalam perspektif waktu 5 – 20 tahun mendatang?
No.
Kejadian Hipotetis (E)
E09 Pemerintah sudah dapat menciptakan kebijakan dan program pembangunan yang harmonis, sesuai dengan kebutuhan pembangunan agroindustri.
Peluang Kejadian, p(E) 0,0-0,2 0,2-0,4 0,4-0,6 0,6-0,8 0,8-1,0 5 tahun
mendatang
1 0 tahun
mendatang
1 5 tahun
mendatang
2 0 tahun
mendatang
Komentar: ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... 5 tahun mendatang Penyelenggara pemerintahan sudah mamE10 pu berfungsi sebagai fasilitator dan katali1 0 tahun
mendatang
sator pembangunan agroindustri.
1 5 tahun
mendatang
2 0 tahun
mendatang
Komentar: ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ...................................................................................................................................
Halaman 6 dari 7 F. Parameter Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Dengan menggunakan tema “Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat” dalam konteks pembangunan agroindustri pangan yang berbasiskan komoditas pertanian unggulan pada kawasan sentra produksi, bagaimana pendapat Bapak/Ibu/Sdr tentang peluang (p) terjadinya kejadian-kejadian (E) hipotetis di bawah ini dalam perspektif waktu 5 – 20 tahun mendatang?
No.
Kejadian Hipotetis (E)
Tingkat pendidikan masyarakat sudah berE11 ada pada kualifikasi unggul dan mampu menghasilkan SDM terdidik, terlatih, produktif, inovatif dan intuitif sesuai dengan kebutuhan pembangunan agroindustri.
Peluang Kejadian, p(E) 0,0-0,2 0,2-0,4 0,4-0,6 0,6-0,8 0,8-1,0 5 tahun
mendatang
1 0 tahun
mendatang
1 5 tahun
mendatang
2 0 tahun
mendatang
Komentar: ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ...................................................................................................................................
E12
Preferensi, pilihan dan loyalitas konsumen didasarkan pada nilai lebih (kualitas prima) dari produk.
5 tahun
mendatang
1 0 tahun
mendatang
1 5 tahun
mendatang
2 0 tahun
mendatang
Komentar: ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ................................................................................................................................... ...................................................................................................................................
Terima kasih.
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian Bagian d. Kuesioner Pemelihanan Strategi
KUESIONER PENELITIAN PERSPEKTIF PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PANGAN DI PROPINSI JAMBI: SUATU MODEL KAJIAN STRATEGI INDUSTRIALISASI PERTANIAN MELALUI DUKUNGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI Kuesioner AHP:
PEMILIHAN STRATEGI PEMBANGUNAN PADA LEVEL PERUSAHAAN
Oleh SAHRIAL IPN 995191
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENGANTAR Penelitian dengan judul “Perspektif Pembangunan Agroindustri Pangan di Propinsi Jambi: Suatu Model Kajian Strategi Industrialisasi Pertanian Melalui Dukungan Kawasan Sentra Produksi” ini bertujuan untuk mensintesis strategi pembangunan agroindustri pangan dengan pendekatan pewilayahan komoditas pertanian unggulan pada kawasan sentra produksi. Kajian strategi pembangunan agroindustri pangan dilakukan berdasarkan kerangka kerja (frame work) perspektif masa depan. Eksplorasi konsepsi situasi masa depan pembangunan agroindustri pangan dilakukan dengan menggunakan teknik analisis prospektif. Teknik ini menggunakan Metode MIC-MAC untuk menganalisis struktur sistem serta Metode SMIC untuk memprediksi masa depan pembangunan agroindustri pangan. Pada level perusahaan digunakan Metode PRECOM untuk mendiagnosis posisi strategis perusahan yang tergolong dalam agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit. Kuesioner ini merupakan kuesioner Analytical Hierarchy Process (AHP) yang digunakan untuk menentukan prioritas strategi pembangunan berdasarkan posisi strategis perusahaan. Untuk itu dimohon kesediaan Bapak/Ibu/Sdr untuk mengisi kuesioner ini. Kuesioner ini digunakan sebagai bahan penelitian. Oleh karena itu, kerahasiaan jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr berikan dijamin sepenuhnya oleh peneliti. Terima kasih.
BAGIAN I STRATEGI PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI KELAPA PENGANTAR Dari hasil diagnosis dengan menggunakan Metode PRECOM diketahui perusahaan agroindustri kelapa yang ada di Propinsi Jambi berada pada posisi Selektif dan Divestasi. Konsekuensi posisi spesifik dan ragam strategi yang harus dikembangkan oleh perusahaan yang berada pada posisi strategis tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Posisi strategis, posisi spesifik dan ragam strategi perusahaan agroindustri kelapa
Posisi Strategis Selektif
Divestasi
Posisi Spesifik
Ragam Strategi
Menyehatkan Usaha
- Rasionalisasi Produksi - Rasionalisasi Pasar - Efisiensi
Memperpanjang Usaha
- Integrasi ke Belakang - Rasionalisasi Produksi - Rasionalisasi Pasar - Efisiensi
Mengundurkan Diri
- Rasionalisasi Produksi - Rasionalisasi Pasar
Divestasi
- Rasionalisasi Produksi - Rasionalisasi Pasar - Bertahan
Pemilihan prioritas ragam strategi yang harus dikembangkan oleh masingmasing perusahaan agroindustri kelapa berdasarkan posisi spesifiknya dilakukan dengan menggunakan proses hirarki analitik (Analytical Hierarchy Process, AHP) dengan 6 jenjang hirarki, yaitu: (1) Posisi Spesifik Perusahaan, (2) Faktor Pendukung, (3) Pelaku Usaha, (4) Tujuan Pelaku, (5) Tujuan Program Pembangunan, dan
Halaman 1 dari 33
(6) Ragam Strategi.
Faktor Pendukung Dari hasil analisis struktur sistem dengan menggunakan Metode MICMAC diketahui faktor pendukung keberhasilan pembangunan agroindustri kelapa terdiri dari: (1) Karakteristik Usaha, (2) Jaringan Usaha, (3) Status Teknologi, (4) Infrastruktur Wilayah, (5) Tata Pemerintahan, dan (6) Sosial Ekonomi Masyarakat Penilaian perbandingan tingkat kepentingan keenam faktor pendukung tersebut menggunakan skala penilaian tingkat kepentingan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Skala penilaian tingkat kepentingan
Intensitas Kepentingan 1 3 5
7 9 2, 4, 6, 8
Definisi
Keterangan
Tingkat kepentingan sama Salah satu lebih penting dibandingkan dengan yang lainnya Salah satu mempunyai tingkat kepentingan yang esensial
Keduanya memberikan konstribusi yang sama terhadap sistem. Salah satu lebih penting, tetapi kelebihan tersebut kurang meyakinkan atau tidak signifikan. Terdapat bukti yang nyata dan kriteria yang logis yang menyatakan bahwa salah satu elemen memang lebih penting daripada yang lainnya. Salah satu lebih penting daripada yang lainnya dapat dibuktikan secara meyakinkan. Salah satu secara tegas memiliki kepentingan yang lebih tinggi.
Salah satu mempunyai tingkat kepentingan yang lebih menonjol Salah satu mempunyai tingkat kepentingan yang absolut Nilai di antara kedua pertimbangan di atas
Dibutuhkan kesepakatan untuk menentukan tingkat kepentingan.
Dengan menggunakan skala penilaian tingkat kepentingan (Tabel 2) dimohon kesediaan Bapak/Ibu/Sdr memberikan penilaian tingkat kepentingan keenam faktor pendukung keberhasilan pembangunan agroindustri kelapa berdasarkan empat posisi spesifik perusahaan sebagai berikut: (1) Menyehatkan Usaha, (2) Memperpanjang Usaha, (3) Mengundurkan Diri, dan
(4) Divestasi.
Halaman 2 dari 33
(1) Menyehatkan Usaha
Perbandingan dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan masing-masing faktor dalam upaya menyehatkan usaha perusahaan agroindustri kelapa: Perbandingan
Karakter Usaha
Karakteristik
Jaringan Usaha
Teknologi
Infrastruktur
Pemerintahan
Sosial Ekonomi
1
Jaringan
1
Teknologi
1
Infrastruktur
1
Pemerintahan
1
Sosek
1
(2) Memperpanjang Usaha Perbandingan dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan masing-masing faktor dalam upaya memperpanjang usaha perusahaan agroindustri kelapa: Perbandingan
Karakter Usaha
Karakteristik
Jaringan Usaha
Teknologi
Infrastruktur
Pemerintahan
Sosial Ekonomi
1 1
Jaringan Teknologi
1
Infrastruktur
1
Pemerintahan
1 1
Sosek
(3) Mengundurkan Diri Perbandingan dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan masing-masing faktor dalam upaya perusahaan agroindustri kelapa untuk mengundurkan diri dari bisnis: Perbandingan Karakteristik Jaringan Teknologi Infrastruktur Pemerintahan
Karakter Usaha
Jaringan Usaha
Teknologi
Infrastruktur
Pemerintahan
1 1 1 1 1
Sosial Ekonomi
1
Sosek
Halaman 3 dari 33
(4) Divestasi
Perbandingan dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan masing-masing faktor dalam upaya perusahaan agroindustri kelapa untuk divestasi: Perbandingan
Karakter Usaha
Karakteristik
Jaringan Usaha
Teknologi
Infrastruktur
Pemerintahan
Sosial Ekonomi
1
Jaringan
1
Teknologi
1
Infrastruktur
1
Pemerintahan
1
Sosek
1
Pelaku Pelaku yang berkepentingan (stakeholder) terhadap keberhasilan pembangunan agroindustri kelapa terdiri dari: (1) Pemerintah Daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota), (2) Petani Kelapa, (3) Pelaku Usaha Pengolahan Kelapa, (4) Karyawan Pabrik dan Buruh Tani, dan (5) Masyarakat Luas. Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing pelaku mengacu pada faktor pendukung keberhasilan pembangunan agroindustri kelapa. (1) Karakteristik Usaha Perbandingan tingkat kepentingan masing-masing pelaku berdasarkan karakteristik perusahaan agroindustri kelapa: Perbandingan Pemerintah Daerah Petani Pengusaha Karyawan/Buruh Masyarakat Luas
Pemerintah Daerah
Petani
Pengusaha
Karyawan/ Masyarakat Luas Buruh
1 1 1 1 1
Halaman 4 dari 33 (2) Jaringan Usaha Perbandingan tingkat kepentingan masing-masing pelaku berdasarkan jaringan kerjasama/kemitraan perusahaan agroindustri kelapa: Perbandingan
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Petani
Pengusaha
Karyawan/ Masyarakat Buruh Luas
1
Petani
1
Pengusaha
1 1
Karyawan/Buruh Masyarakat Luas
1
(3) Status Teknologi Perbandingan tingkat kepentingan masing-masing pelaku berdasarkan perkembangan status teknologi yang digunakan oleh perusahaan agroindustri kelapa: Perbandingan
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Petani
Pengusaha
Karyawan/ Masyarakat Luas Buruh
1
Petani
1
Pengusaha
1
Karyawan/Buruh
1
Masyarakat Luas
1
(4) Infrastruktur Wilayah Perbandingan tingkat kepentingan masing-masing pelaku berdasarkan perkembangan infrastruktur wilayah dan pewilayahan komoditas kelapa: Perbandingan Pemerintah Daerah Petani Pengusaha Karyawan/Buruh Masyarakat Luas
Pemerintah Daerah
Petani
Pengusaha
Karyawan/ Masyarakat Buruh Luas
1 1 1 1 1
Halaman 5 dari 33
(5) Tata Pemerintahan
Perbandingan tingkat kepentingan masing-masing pelaku berdasarkan perkembangan kualitas penyelenggaraan pemerintahan: Perbandingan Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah
Petani
Pengusaha
Karyawan/ Masyarakat Buruh Luas
1
Petani
1
Pengusaha
1 1
Karyawan/Buruh Masyarakat Luas
1
(6) Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Perbandingan tingkat kepentingan masing-masing pelaku berdasarkan keadaan sosial ekonomi masyarakat: Perbandingan Pemerintah Daerah Petani Pengusaha Karyawan/Buruh Masyarakat Luas
Pemerintah Daerah
Petani
Pengusaha
Karyawan/ Masyarakat Buruh Luas
1 1 1 1 1
Tujuan Pelaku Dari hasil analisis struktural dengan menggunakan Metode MIC-MAC diketahui tujuan pembangunan agroindustri kelapa terdiri dari: (1) Perbaikan Teknologi dan Manajemen Usahatani Kelapa, (2) Peningkatan Produktivitas Petani dan Buruh Tani, (3) Pertumbuhan Usaha Pengolahan Kelapa, (4) Meraih Loyalitas Pelanggan, (5) Menyediakan Lapangan Kerja, (6) Transformasi Psikososio dan Demografi Masyarakat, (7) Transformasi Struktur Perekonomian, (8) Peningkatan Daya Saing Wilayah, (9) Pertumbuhan Ekonomi, dan (10) Peningkatan Pendapatan Daerah. Penilaian perbandingan didasarkan pada tingkat kepentingan dari ma-
sing-masing pelaku terhadap kesepuluh tujuan pelaku dalam pembangunan agroindustri kelapa tersebut.
Halaman 6 dari 33
Tujuan Program Pembangunan
Dari hasil analisis struktural diketahui tujuan program pembangunan agroindustri kelapa terdiri dari: (1) Pertumbuhan Usahatani, (2) Perkembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP), (3) Kelestarian Lingkungan Hidup, (4) Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, dan (5) Peningkatan Daya Saing Produk Agroindustri. Penilaian didasarkan pada perbandingan tingkat kepentingan dari tujuan pelaku terhadap tujuan program pembangunan agroindustri kelapa. (1) Perbaikan Teknologi dan Manajemen Usahatani Kelapa Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya perbaikan teknologi dan manajemen usahatani kelapa: Perbandingan Pertumbuhan Usahatani Kelapa Perkembangan KSP Kelapa Kelestarian Lingkungan Hidup Daya Saing Produk Pertanian Daya Saing Produk Agroindustri
Usahatani Kelapa
KSP Kelapa
Kelestarian LH
Produk Pertanian
Agroindustri
1 1 1 1 1
(2) Peningkatan Produktivitas Petani dan Buruh Tani Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya peningkatan produktivitas petani dan buruh tani: Perbandingan Pertumbuhan Usahatani Kelapa Perkembangan KSP Kelapa Kelestarian Lingkungan Hidup
Usahatani Kelapa
KSP Kelapa
Kelestarian LH
1 1 1
Produk Pertanian
Agroindustri
Daya Saing Produk Pertanian Daya Saing Produk Agroindustri
1 1
Halaman 12 dari 33
(3) Pertumbuhan Usaha Pengolahan Kelapa
Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya untuk meningkatkan pertumbuhan usaha pengolahan kelapa: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
Perkembangan KSP
KSP Kelapa
Kelestarian Produk LH Pertanian
Agroindustri
1
Kelestarian Lingkungan
1
Daya Saing Pertanian
1
Daya Saing Agroindustri
1
(4) Meraih Loyalitas Pelanggan Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya untuk meraih loyalitas pelanggan: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
Perkembangan KSP
KSP Kelapa
Kelestarian Produk LH Pertanian
Agroindustri
1
Kelestarian Lingkungan
1
Daya Saing Pertanian
1
Daya Saing Agroindustri
1
(5) Menyediakan Lapangan Kerja Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya penyediaan lapangan kerja: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
Perkembangan KSP Kelestarian Lingkungan
KSP Kelapa
Kelestarian Produk LH Pertanian
1 1
Agroindustri
1
Daya Saing Pertanian Daya Saing Agroindustri
1
Halaman 13 dari 33
(6) Transformasi Psikososiodemografi Masyarakat
Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya mempercepat proses transformasi psikososiodemografi masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
Perkembangan KSP
KSP Kelapa
Kelestarian Produk LH Pertanian
Agroindustri
1
Kelestarian Lingkungan
1
Daya Saing Pertanian
1
Daya Saing Agroindustri
1
(7) Transformasi Struktur Perekonomian Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya mempercepat proses transformasi struktur perekonomian wilayah: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
Perkembangan KSP
KSP Kelapa
Kelestarian Produk LH Pertanian
Agroindustri
1 1
Kelestarian Lingkungan Daya Saing Pertanian
1
Daya Saing Agroindustri
1
(8) Peningkatan Daya Saing Wilayah Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya meningkatkan daya saing wilayah: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
Perkembangan KSP
KSP Kelapa
1
Kelestarian Produk LH Pertanian
Agroindustri
1
Kelestarian Lingkungan Daya Saing Pertanian
1 1
Daya Saing Agroindustri
Halaman 14 dari 33
(9) Pertumbuhan Ekonomi
Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya mempercepat pertumbuhan perekonomian wilayah: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
Perkembangan KSP
KSP Kelapa
Kelestarian Produk LH Pertanian
Agroindustri
1
Kelestarian Lingkungan
1
Daya Saing Pertanian
1
Daya Saing Agroindustri
1
(10) Peningkatan Pendapatan Daerah Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
Perkembangan KSP Kelestarian Lingkungan Daya Saing Pertanian Daya Saing Agroindustri
KSP Kelapa
Kelestarian Produk LH Pertanian
Agroindustri
1 1 1 1
Ragam Strategi Ragam strategi disintesis berdasarkan posisi spesifik perusahaan. Dari hasil diagnosis perkembangan agroindustri kelapa diketahui terdapat empat posisi spesifik perusahaan agroindustri kelapa di Propinsi Jambi, yaitu: (1) Menyehatkan Usaha, (2) Memperpanjang Usaha, (3) Mengundurkan Diri, dan (4) Divestasi.
Penentuan prioritas strategi yang harus dikembangkan oleh perusahaan didasarkan pada posisi spesifik masing-masing perusahaan.
Halaman 15 dari 33 (1) Ragam Strategi Menyehatkan Usaha Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing ragam strategi didasarkan pada tujuan strategis perusahaan untuk menyehatkan usaha:
Perbandingan
Rasionalisasi Rasionalisasi Produksi Pasar
Rasionalisasi Produksi Rasionalisasi Pasar Efisiensi
Efisiensi
1 1 1
(2) Ragam Strategi Memperpanjang Usaha Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing ragam strategi didasarkan pada tujuan strategis perusahaan untuk memperpanjang usaha: Perbandingan Integrasi ke Belakang
Integrasi ke Rasionalisasi Rasionalisasi Belakang Produksi Pasar
Efisiensi
1
Rasionalisasi Produksi
1
Rasionalisasi Pasar
1
Efisiensi
1
(3) Ragam Strategi Bertahan Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing ragam strategi didasarkan pada tujuan strategis perusahaan untuk bertahan:
Perbandingan
Rasionalisasi Produksi
Rasionalisasi Produksi Rasionalisasi Pasar
1
(4) Ragam Strategi Divestasi
Rasionalisasi Pasar 1
Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing ragam strategi didasarkan pada tujuan strategis perusahaan untuk divestasi:
Perbandingan
Rasionalisasi Rasionalisasi Produksi Pasar
Rasionalisasi Produksi Rasionalisasi Pasar Bertahan
Bertahan
1 1 1 Halaman 16 dari 33
BAGIAN II STRATEGI PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI KELAPA SAWIT PENGANTAR
Dari hasil diagnosis dengan menggunakan Metode PRECOM diketahui perusahaan agroindustri kelapa sawit yang ada di Propinsi Jambi berada pada posisi Pertumbuhan Selektif. Konsekuensi posisi spesifik dan ragam strategi yang harus dikembangkan oleh perusahaan yang berada pada posisi strategis tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini: Tabel 3. Posisi strategis, posisi spesifik dan ragam strategi perusahaan agroindustri kelapa sawit
Posisi Strategis Pertumbuhan Selektif
Posisi Spesifik
Ragam Strategi
Mengejar Posisi Bersaing - Utilisasi Kapasitas Produksi - Pengembangan Pasar Baru - Efisiensi Mempertahankan Posisi - Integrasi ke Belakang Bersaing - Efisiensi Menemukan Ceruk Pasar
- Integrasi ke Depan - Rasionalisasi Produksi - Pengembangan Pasar
Mengeksploitasi Ceruk Pasar
- Utilisasi Kapasitas Produksi - Efisiensi - Pengembangan Produk - Pengembangan Pasar
Pemilihan prioritas ragam strategi yang harus dikembangkan oleh masingmasing perusahaan agroindustri kelapa berdasarkan posisi spesifiknya dilakukan dengan menggunakan proses hirarki analitik (Analytical Hierarchy Process, AHP) dengan 6 jenjang hirarki, yaitu: (1) Posisi Spesifik Perusahaan, (2) Faktor Pendukung, (3) Pelaku Usaha, (4) Tujuan Pelaku, (5) Tujuan Program Pembangunan, dan (6) Ragam Strategi.
Halaman 17 dari 33 Faktor Pendukung Dari hasil analisis struktur sistem dengan menggunakan Metode MICMAC diketahui faktor pendukung keberhasilan pembangunan agroindustri kelapa sawit terdiri dari: (1) Karakteristik Usaha, (2) Jaringan Usaha, (3) Status Teknologi, (4) Infrastruktur Wilayah, (5) Tata Pemerintahan, dan (6) Sosial Ekonomi Masyarakat. Penilaian perbandingan tingkat kepentingan terhadap keenam faktor pendukung tersebut didasarkan pada posisi spesifik perusahaan. (1) Mengejar Posisi Bersaing Perbandingan dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan masing-masing faktor dalam upaya perusahaan untuk mengejar posisi bersaing: Perbandingan Karakteristik
Karakter Usaha
Jaringan Usaha
Status Teknologi
Infrastruktur
Pemerintahan
Sosial Ekonomi
1
Jaringan
1
Teknologi
1
Infrastruktur
1
Pemerintahan
1
Sosek
1
(2) Mempertahankan Posisi Bersaing Perbandingan dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan masing-masing faktor dalam upaya perusahaan untuk mempertahankan posisi bersaing: Perbandingan
Karakter Usaha
Jaringan Usaha
Status Teknologi
Infrastruktur
Pemerintahan
Sosial Ekonomi
Karakteristik
1
Jaringan
1 1
Teknologi
1
Infrastruktur Pemerintahan
1 1
Sosek
Halaman 18 dari 33 (3) Menemukan Ceruk Pasar Perbandingan dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan masing-masing faktor dalam upaya perusahaan untuk menemukan ceruk pasar: Perbandingan Karakteristik
Karakter Usaha
Jaringan Usaha
Status Teknologi
Infrastruktur
Pemerintahan
Sosial Ekonomi
1
Jaringan
1
Teknologi
1
Infrastruktur
1
Pemerintahan
1
Sosek
1
(4) Mengeksploitasi Ceruk Pasar Perbandingan dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan masing-masing faktor dalam upaya perusahaan untuk mengeksploitasi ceruk pasar: Perbandingan Karakteristik Jaringan Teknologi Infrastruktur Pemerintahan Sosek
Pelaku
Karakter Usaha
Jaringan Usaha
Status Teknologi
Infrastruktur
Pemerintahan
Sosial Ekonomi
1 1 1 1 1 1
Pelaku yang berkepentingan (stakeholder) terhadap keberhasilan pembangunan agroindustri kelapa sawit terdiri dari: (1) Pemerintah Daerah (Propinsi/ Kabupaten/Kota), (2) Petani Kelapa, (3) Pelaku Usaha Perkebunan Kelapa Sawit, (4) Pelaku Usaha Pengolahan Kelapa Sawit, (5) Karyawan Pabrik dan Buruh Tani, dan (6) Masyarakat Luas. Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing pelaku mengacu pada faktor pendukung keberhasilan pembangunan agroindustri kelapa sawit.
Halaman 19 dari 33
(1) Karakteristik Usaha
Perbandingan tingkat kepentingan masing-masing pelaku berdasarkan karakteristik perusahaan agroindustri sawit: Perbandingan
Pemda
Pemerintah
Petani
Pengusaha Pengusaha Karyawan/ Masyarakat Perkebunan Industri Buruh Luas
1
Petani
1
Perkebunan
1
Perusahaan
1
Karyawan
1
Masyarakat
1
(2) Jaringan Usaha Perbandingan tingkat kepentingan masing-masing pelaku berdasarkan jaringan kerjasama/kemitraan perusahaan agroindustri kelapa sawit: Perbandingan
Pemda
Pemerintah Petani Perkebunan Perusahaan Karyawan Masyarakat
(3) Status Teknologi
Petani
Pengusaha Pengusaha Karyawan/ Masyarakat Perkebunan Industri Buruh Luas
1 1 1 1 1 1
Perbandingan tingkat kepentingan masing-masing pelaku berdasarkan perkembangan status teknologi yang digunakan oleh perusahaan agroindustri kelapa sawit: Perbandingan Pemerintah
Pemda
Petani
Pengusaha Pengusaha Karyawan/ Masyarakat Perkebunan Industri Buruh Luas
1 1
Petani Perkebunan
1 1
Perusahaan Karyawan
1
Masyarakat
1
Halaman 20 dari 33
(4) Infrastruktur Wilayah
Perbandingan tingkat kepentingan masing-masing pelaku berdasarkan perkembangan infrastruktur wilayah dan pewilayahan komoditas kelapa sawit: Perbandingan Pemerintah
Pemda
Petani
Pengusaha Pengusaha Karyawan/ Masyarakat Perkebunan Industri Buruh Luas
1
Petani
1
Perkebunan
1
Perusahaan
1
Karyawan
1
Masyarakat
1
(5) Tata Pemerintahan Perbandingan tingkat kepentingan masing-masing pelaku berdasarkan perkembangan kualitas penyelenggaraan pemerintahan: Perbandingan Pemerintah Petani Perkebunan Perusahaan Karyawan Masyarakat
Pemda
Petani
Pengusaha Pengusaha Karyawan/ Masyarakat Perkebunan Industri Buruh Luas
1 1 1 1 1 1
(6) Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Perbandingan tingkat kepentingan masing-masing pelaku berdasarkan keadaan sosial ekonomi masyarakat: Perbandingan Pemerintah Petani Perkebunan Perusahaan Karyawan Masyarakat
Tujuan Pelaku
Pemda
Petani
Pengusaha Pengusaha Karyawan/ Masyarakat Perkebunan Industri Buruh Luas
1 1 1 1 1 1
Halaman 21 dari 33
Dari hasil analisis struktural diketahui tujuan pembangunan agroindustri kelapa sawit terdiri dari: (1) Perbaikan Teknologi dan Manajemen Usahatani Kelapa Sawit, (2) Peningkatan Produktivitas Petani dan Buruh Tani, (3) Pertumbuhan Usaha Pengolahan Kelapa Sawit, (4) Meraih Loyalitas Pelanggan, (5) Menyediakan Lapangan Kerja, (6) Transformasi Psikososio dan Demografi Masyarakat, (7) Transformasi Struktur Perekonomian, (8) Peningkatan Daya Saing Wilayah, (9) Pertumbuhan Ekonomi, dan (10) Peningkatan Pendapatan Daerah. Penilaian perbandingan didasarkan pada tingkat kepentingan dari masing-masing pelaku terhadap kesepuluh tujuan pelaku dalam pembangunan agroindustri kelapa sawit tersebut.
Halaman 22 dari 33
Tujuan Program Pembangunan
Dari hasil analisis struktural diketahui tujuan program pembangunan agroindustri kelapa sawit terdiri dari: (1) Pertumbuhan Usahatani, (2) Perkembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP), (3) Kelestarian Lingkungan Hidup, (4) Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, dan (5) Peningkatan Daya Saing Produk Agroindustri. Penilaian didasarkan pada perbandingan tingkat kepentingan dari tujuan pelaku terhadap tujuan program pembangunan agroindustri kelapa sawit. (1) Perbaikan Teknologi dan Manajemen Usahatani Kelapa Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya perbaikan teknologi dan manajemen usahatani kelapa sawit: Perbandingan Pertumbuhan Usahatani Kelapa Perkembangan KSP Kelapa Kelestarian Lingkungan Hidup Daya Saing Produk Pertanian Daya Saing Produk Agroindustri
Usahatani Kelapa
KSP Kelapa
Kelestarian LH
Produk Pertanian
Agroindustri
1 1 1 1 1
(2) Peningkatan Produktivitas Petani dan Buruh Tani Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya peningkatan produktivitas petani dan buruh tani: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani Kelapa Perkembangan KSP Kelapa Kelestarian Lingkungan Hidup Daya Saing Produk Pertanian Daya Saing Produk Agroindustri
KSP Kelapa
Kelestarian LH
Produk Pertanian
Agroindustri
1 1 1 1 1
Halaman 29 dari 33
(3) Pertumbuhan Usaha Pengolahan Kelapa
Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya untuk meningkatkan pertumbuhan usaha pengolahan kelapa sawit: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
KSP Kelapa
Kelestarian Produk LH Pertanian
Agroindustri
1
Perkembangan KSP Kelestarian Lingkungan
1
Daya Saing Pertanian
1 1
Daya Saing Agroindustri
(4) Meraih Loyalitas Pelanggan Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya untuk meraih loyalitas pelanggan: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
Perkembangan KSP Kelestarian Lingkungan Daya Saing Pertanian Daya Saing Agroindustri
KSP Kelapa
Kelestarian Produk LH Pertanian
Agroindustri
1 1 1 1
(5) Menyediakan Lapangan Kerja Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya penyediaan lapangan kerja: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
Perkembangan KSP
KSP Kelapa
Kelestarian Produk LH Pertanian
Agroindustri
1
Kelestarian Lingkungan
1
Daya Saing Pertanian
1
Daya Saing Agroindustri
1
Halaman 30 dari 33
(6) Transformasi Psikososiodemografi Masyarakat
Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya mempercepat proses transformasi psikososiodemografi masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
Perkembangan KSP
KSP Kelapa
Kelestarian Produk LH Pertanian
Agroindustri
1
Kelestarian Lingkungan
1
Daya Saing Pertanian
1 1
Daya Saing Agroindustri
(7) Transformasi Struktur Perekonomian Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya mempercepat proses transformasi struktur perekonomian wilayah: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
Perkembangan KSP Kelestarian Lingkungan Daya Saing Pertanian Daya Saing Agroindustri
KSP Kelapa
Kelestarian Produk LH Pertanian
Agroindustri
1 1 1 1
(8) Peningkatan Daya Saing Wilayah Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya meningkatkan daya saing wilayah: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
Perkembangan KSP
KSP Kelapa
Kelestarian Produk LH Pertanian
Agroindustri
1
Kelestarian Lingkungan
1
Daya Saing Pertanian
1
Daya Saing Agroindustri
1
Halaman 31 dari 33
(9) Pertumbuhan Ekonomi
Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya mempercepat pertumbuhan perekonomian wilayah: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
Perkembangan KSP
KSP Kelapa
Kelestarian Produk LH Pertanian
Agroindustri
1
Kelestarian Lingkungan
1
Daya Saing Pertanian
1 1
Daya Saing Agroindustri
(10) Peningkatan Pendapatan Daerah Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing tujuan program berdasarkan tujuan pelaku dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah: Perbandingan
Usahatani Kelapa
Pertumbuhan Usahatani
1
Perkembangan KSP Kelestarian Lingkungan Daya Saing Pertanian Daya Saing Agroindustri
KSP Kelapa
Kelestarian Produk LH Pertanian
Agroindustri
1 1 1 1
Ragam Strategi Ragam strategi disintesis berdasarkan posisi spesifik perusahaan. Dari hasil diagnosis perkembangan agroindustri kelapa sawit diketahui terdapat empat posisi spesifik perusahaan agroindustri kelapa sawit di Propinsi Jambi, yaitu: (1) Mengejar Posisi Bersaing, (2) Mempertahankan Posisi Bersaing, (3) Menemukan Ceruk Pasar, dan (4) Mengeksploitasi Ceruk Pasar. Penentuan prioritas strategi yang harus dikembangkan oleh perusahaan didasarkan pada posisi spesifik masing-masing perusahaan.
Halaman 32 dari 33
(1) Ragam Strategi Mengejar Posisi Bersaing
Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing ragam strategi didasarkan pada tujuan perusahaan untuk mengejar posisi bersaing: Perbandingan
Utilisasi Kapasitas
Utilisasi Kapasitas Produksi
1
Pengembangan Pasar
Pengembangan Pasar Baru
Efisiensi
1
Efisiensi
1
(2) Ragam Strategi Mempertahankan Posisi Bersaing Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing ragam strategi didasarkan pada tujuan perusahaan untuk mempertahankan posisi bersaing: Perbandingan Integrasi ke Belakang
Integrasi ke Belakang
Efisiensi
1
Efisiensi
1
(3) Ragam Strategi Menemukan Ceruk Pasar Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing ragam strategi didasarkan pada tujuan perusahaan untuk menemukan ceruk pasar: Perbandingan
Integrasi ke Depan
Rasionalisasi Produksi
Pengembangan Pasar
Integrasi ke Depan
1
Rasionalisasi Produksi
1
Pengembangan Pasar
1
(4) Ragam Strategi Mengeksploitasi Ceruk Pasar Penilaian perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing ragam strategi didasarkan pada tujuan perusahaan untuk mengeksploitasi ceruk pasar: Perbandingan Utilisasi Kapasitas Produksi Efisiensi Pengembangan Produk Pengembangan Pasar
Integrasi ke Rasionalisasi Rasionalisasi Belakang Produksi Pasar
Efisiensi
1 1 1 1
Halaman 33 dari 33
(1) Pemerintah Daerah Penilaian didasarkan pada perbandingan tingkat kepentingan pemerintah daerah (propinsi, kabupaten atau kota) terhadap tujuan pembangunan agroindutri kelapa berikut ini: Perbandingan Teknik & Manajemen Produktivitas Petani Pertumbuhan Usaha Loyalitas Pelanggan Lapangan Kerja Psikosiodemografi Masyarakat Daya Saing Wilayah Transformasi Struktur Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Daerah
Teknik & Produktivitas Pertumbuhan Manajemen Petani Usaha
Loyalitas Pelanggan
Lapangan Kerja
Psikososiodemografi
Daya Saing Wilayah
Struktur Ekonomi
Pertumbuhan Pendapatan Ekonomi Daerah
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Halaman 7 dari 33
(2) Petani Penilaian didasarkan pada perbandingan tingkat kepentingan petani terhadap tujuan pembangunan agroindutri kelapa berikut ini: Perbandingan Teknik & Manajemen Produktivitas Petani Pertumbuhan Usaha Loyalitas Pelanggan Lapangan Kerja Psikosiodemografi Masyarakat Daya Saing Wilayah Transformasi Struktur Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Daerah
Teknik & Produktivitas Pertumbuhan Manajemen Petani Usaha
Loyalitas Pelanggan
Lapangan Kerja
Psikososiodemografi
Daya Saing Wilayah
Struktur Ekonomi
Pertumbuhan Pendapatan Ekonomi Daerah
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Halaman 8 dari 33
(3) Pengusaha Industri Pengolahan Kelapa Penilaian didasarkan pada perbandingan tingkat kepentingan pengusaha pengolahan kelapa terhadap tujuan pembangunan agroindutri kelapa berikut ini: Perbandingan Teknik & Manajemen Produktivitas Petani Pertumbuhan Usaha Loyalitas Pelanggan Lapangan Kerja Psikosiodemografi Masyarakat Daya Saing Wilayah Transformasi Struktur Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Daerah
Teknik & Produktivitas Pertumbuhan Manajemen Petani Usaha
Loyalitas Pelanggan
Lapangan Kerja
Psikososiodemografi
Daya Saing Wilayah
Struktur Ekonomi
Pertumbuhan Pendapatan Ekonomi Daerah
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Halaman 9 dari 33
(4) Karyawan Perusahaan Pengolahan dan Buruh Tani Penilaian didasarkan pada perbandingan tingkat kepentingan karyawan perusahaan pengolahan kelapa dan buruh tani perkebunan kelapa terhadap tujuan pembangunan agroindutri kelapa berikut ini: Perbandingan Teknik & Manajemen Produktivitas Petani Pertumbuhan Usaha Loyalitas Pelanggan Lapangan Kerja Psikosiodemografi Masyarakat Daya Saing Wilayah Transformasi Struktur Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Daerah
Teknik & Produktivitas Pertumbuhan Manajemen Petani Usaha
Loyalitas Pelanggan
Lapangan Kerja
Psikososiodemografi
Daya Saing Wilayah
Struktur Ekonomi
Pertumbuhan Pendapatan Ekonomi Daerah
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Halaman 10 dari 33
(5) Masyarakat Luas Penilaian didasarkan pada perbandingan tingkat kepentingan masyarakat luas terhadap tujuan pembangunan agroindutri kelapa berikut ini: Perbandingan Teknik & Manajemen Produktivitas Petani Pertumbuhan Usaha Loyalitas Pelanggan Lapangan Kerja Psikosiodemografi Masyarakat Daya Saing Wilayah Transformasi Struktur Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Daerah
Teknik & Produktivitas Pertumbuhan Manajemen Petani Usaha
Loyalitas Pelanggan
Lapangan Kerja
Psikososiodemografi
Daya Saing Wilayah
Struktur Ekonomi
Pertumbuhan Pendapatan Ekonomi Daerah
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Halaman 11 dari 33
(1) Pemerintah Daerah Penilaian didasarkan pada perbandingan tingkat kepentingan pemerintah daerah (propinsi, kabupaten atau kota) terhadap tujuan pembangunan agroindutri kelapa sawit berikut ini: Perbandingan Teknik & Manajemen Produktivitas Petani Pertumbuhan Usaha Loyalitas Pelanggan Lapangan Kerja Psikosiodemografi Masyarakat Daya Saing Wilayah Transformasi Struktur Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Daerah
Teknik & Produktivitas Pertumbuhan Manajemen Petani Usaha
Loyalitas Pelanggan
Lapangan Kerja
Psikososiodemografi
Daya Saing Wilayah
Struktur Ekonomi
Pertumbuhan Pendapatan Ekonomi Daerah
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Halaman 23 dari 33
(2) Petani Penilaian didasarkan pada perbandingan tingkat kepentingan petani terhadap tujuan pembangunan agroindutri kelapa sawit berikut ini: Perbandingan Teknik & Manajemen Produktivitas Petani Pertumbuhan Usaha Loyalitas Pelanggan Lapangan Kerja Psikosiodemografi Masyarakat Daya Saing Wilayah Transformasi Struktur Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Daerah
Teknik & Produktivitas Pertumbuhan Manajemen Petani Usaha
Loyalitas Pelanggan
Lapangan Kerja
Psikososiodemografi
Daya Saing Wilayah
Struktur Ekonomi
Pertumbuhan Pendapatan Ekonomi Daerah
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Halaman 24 dari 33
(3) Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit Penilaian didasarkan pada perbandingan tingkat kepentingan pengusaha perkebunan kelapa sawit terhadap tujuan pembangunan agroindutri kelapa sawit berikut ini: Perbandingan Teknik & Manajemen Produktivitas Petani Pertumbuhan Usaha Loyalitas Pelanggan Lapangan Kerja Psikosiodemografi Masyarakat Daya Saing Wilayah Transformasi Struktur Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Daerah
Teknik & Produktivitas Pertumbuhan Manajemen Petani Usaha
Loyalitas Pelanggan
Lapangan Kerja
Psikososiodemografi
Daya Saing Wilayah
Struktur Ekonomi
Pertumbuhan Pendapatan Ekonomi Daerah
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Halaman 25 dari 33
(4) Pengusaha Industri Pengolahan Kelapa Sawit Penilaian didasarkan pada perbandingan tingkat kepentingan pengusaha industri pengolahan kelapa sawit terhadap tujuan pembangunan agroindutri kelapa sawit berikut ini: Perbandingan Teknik & Manajemen Produktivitas Petani Pertumbuhan Usaha Loyalitas Pelanggan Lapangan Kerja Psikosiodemografi Masyarakat Daya Saing Wilayah Transformasi Struktur Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Daerah
Teknik & Produktivitas Pertumbuhan Manajemen Petani Usaha
Loyalitas Pelanggan
Lapangan Kerja
Psikososiodemografi
Daya Saing Wilayah
Struktur Ekonomi
Pertumbuhan Pendapatan Ekonomi Daerah
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Halaman 26 dari 33
(5) Karyawan Perusahaan Pengolahan dan Buruh Tani Penilaian didasarkan pada perbandingan tingkat kepentingan karyawan perusahaan pengolahan kelapa sawit dan buruh tani perkebunan kelapa sawit terhadap tujuan pembangunan agroindutri kelapa sawit berikut ini: Perbandingan Teknik & Manajemen Produktivitas Petani Pertumbuhan Usaha Loyalitas Pelanggan Lapangan Kerja Psikosiodemografi Masyarakat Daya Saing Wilayah Transformasi Struktur Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Daerah
Teknik & Produktivitas Pertumbuhan Manajemen Petani Usaha
Loyalitas Pelanggan
Lapangan Kerja
Psikososiodemografi
Daya Saing Wilayah
Struktur Ekonomi
Pertumbuhan Pendapatan Ekonomi Daerah
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Halaman 27 dari 33
(6) Masyarakat Luas Penilaian didasarkan pada perbandingan tingkat kepentingan masyarakat luas terhadap tujuan pembangunan agroindutri kelapa sawit berikut ini: Perbandingan Teknik & Manajemen Produktivitas Petani Pertumbuhan Usaha Loyalitas Pelanggan Lapangan Kerja Psikosiodemografi Masyarakat Daya Saing Wilayah Transformasi Struktur Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Daerah
Teknik & Produktivitas Pertumbuhan Manajemen Petani Usaha
Loyalitas Pelanggan
Lapangan Kerja
Psikososiodemografi
Daya Saing Wilayah
Struktur Ekonomi
Pertumbuhan Pendapatan Ekonomi Daerah
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Halaman 28 dari 33
KSP
M a k r o
Wilay ah
Timur
A
B
Tengah
C
Kabupaten/
Kecamatan
Lampiran 3. Kondisi agroekologi wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi Luas Ketinggian (m dpl) Kemiringan
I k l i m
Wilayah
0-10
10-100
100-500
> 1000
0-2
2-15
Lahan (%) 15-40 >40
Lainn ya
500-1000
Kab. Tanjab Barat - Tungkal Ulu - Merlung*) - Tungkal Ilir - Pengabuan - Betara
550.350 317.800
A
75.290 0
38.810 200
236.875 118.225
147.500 147.500
51.875 51.875
211.280 37.800
142.500 83.430
177.500 177.500
19.070 19.070
0 0
25.290 119.780 87.480
A A A
25.290 20.000 30.000
0 18.610 20.000
0 81.170 37.480
0 0 0
0 0 0
23.480 100.000 50.000
1.810 19.780 37.480
0 0 0
0 0 0
0 0 0
Kab. Tanjab Timur - Muara Sabak - Mendahara - Dendang - Nipah Panjang - Rantau Rasau - Sadu
544.500 44.170 166.640 78.500 23.450 49.620 182.120
A A A A A A
544.500 44.170 166.640 78.500 23.450 49.620 182.120
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
544.500 44.170 166.640 78.500 23.450 49.620 182.120
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
Luas Wilayah Timur
1.094.850
619.790
38.810
236.875
147.500
51.875
755.780
142.500
177.500
19.070
0
Kab. Batanghari - Mersam - Muara Tembesi - Batin XXIV - Muara Bulian - Pemayung - Maro Sebo Ulu
518.035 70.510 34.242 80.151 120.069 98.750 114.313
A A A A A A
0 0 0 0 0 0 0
461.834 51.775 30.775 79.200 120.069 92.790 87.225
39.478 5.125 3.467 951 0 5.960 23.975
16.723 13.610 0 0 0 0 3.113
0 0 0 0 0 0 0
277.530 21.775 17.540 50.200 50.000 60.790 77.225
129.830 25.125 13.420 20.000 35.000 16.500 19.785
99.540 23.610 3.282 9.951 35.069 21.460 6.168
11.135 0 0 0 0 0 11.135
0 0 0 0 0 0 0
Kab. Muaro Jambi - Jambi Luar Kota - Mestong
524.600 37.315 107.885
A A
0 0 0
516.715 37.315 100.000
7.885 0 7.885
0 0 0
0 0 0
238.000 0 0
169.400 30.000 40.000
117.200 7.315 67.885
0 0 0
0 0 0
- Sekernan - Maro Sebo - Kumpeh - Kumpeh Ulu
KSP
Wilayah
Kabupaten/
78.200 44.200 209.500 47.500
0 0 0 0
Luas
Makro Kecamatan Wilayah
D
A A A A
Iklim
Kota Jambi - Kotabaru - Jambi Selatan - Jelutung - Pasar Jambi - Telanaipura - Danau Teluk - Pelayangan - Jambi Timur
20.538 7.778 3.407 792 402 3.039 1.570 1.529 2.021
A A A A A A
Kab. Bungo - Pelepat - Rantau Pandan - Tanah Sepenggal - Tanah Tumbuh - Jujuhan - Muara Bungo
465.900 145.600 82.000 18.100
Kab. Tebo - Tebo Ilir - Tebo Tengah - Sumay - Tebo Ulu - VII Koto - Rimbo Bujang
78.200 44.200 209.500 47.500
0 0 0 0
0 0 0 0
Lanjutan Lampiran 3.
0-10
Ketinggian (m dpl) 10- 100- 500100 500 1000
14.569 6.300 2.759 642 100 2.462 298 290 1.718
70.000 20.000 120.500 27.500
> 1000
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
A A A
0 185.060 223.540 0 86.800 41.200 0 12.800 63.500 0 11.700 6.400
32.800 10.400 4.000 0
132.800 47.600 39.800
A A A
0 0 0
98.040 14.000 400
646.100 133.300 109.000 126.800 72.600 112.700 91.700
A B B A A A
182.170 264.032 181.562 76.826 43.594 11.474 57.419 36.450 6.975 10.800 43.763 63.463 18.900 36.825 16.875 9.225 22.275 81.200 9.000 81.125 1.575
A
5.969 1.478 648 150 302 577 1.272 1.239 303
0 0 0 0
760 33.600 39.400
8.200 22.200 59.000 10.000
0 2.000 30.000 10.000
0 0 0 0
0 0 0 0
Kemiringan Lahan (%) 0-2 2-15 15>40 Lainnya 40 17.443 6.611 2.896 674 328 2.583 1.335 1.299 1.717
3.095 1.167 511 118 74 456 235 230 304
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
24.500 7.200 1.700 0
28.800 172.600 170.300 4.400 54.800 26.400 0 23.600 40.800 5.600 5.200 7.300
94.200 60.000 17.600 0
0 0 0 0
18.400 0 0
15.600 0 0
4.000 2.400 12.400
18.336 1.406 8.156 8.774 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
30.400 33.600 25.000
81.800 11.600 2.400
16.600 0 0
0 0 0
66.400 456.800 35.600 64.000 5.200 90.200 4.400 80.800 8.000 57.000 0 92.300 13.200 72.500
80.000 30.000 10.400 16.400 7.600 9.600 6.000
42.900 3.700 3.200 25.200 0 10.800 0
0 0 0 0 0 0 0
Barat
Wilayah
Luas Wilayah Tengah
2.175.173
E
Kab. Merangin - Jangkat - Muara Siau - Pamenang
767.890 176.630 151.694 66.432
KSP
Kabupaten/
A A A
Wilayah
- Bangko - Sungai Manau - Tabir - Tabir Ulu
69.746 123.156 86.152 94.080
Kab. Sarolangun - Batang Asai - Muara Limun - Pelawan Singkut - Sarolangun - Pauh - Mandiangin
626.041
Kab. Kerinci - Gunung Raya - Batang Merangin - Danau Kerinci - Keliling Danau - Sitinjau Laut - Sungai Penuh - Hamparan Rawang
67.859
0 173.616 125.664 296.547 0 0 0 38.967 0 1.577 16.250 117.968 0 56.832 9.600 0
Lanjutan Lampiran 3.
24.500 628.173 931.725 467.040 148.235 172.063 137.663 15.899 0
18.578 214.028 198.994 336.290 0 2.150 35.728 138.752 0 13.706 48.854 89.134 1.500 64.932 0 0
0 0 0 0 0
Iklim 0-10
Ketinggian (m dpl) 10100- 500100 500 1000
> 1000
0-2
A A A A
30.800 0 76.307 8.100
38.946 0 6.544 112.912 9.845 0 44.479 26.700
0 3.700 0 14.801
680 2.139 14.259 0
1.426 78.900 2.410 25.668
0 0 0 0
0 471.041
37.054 106.871
10.625
80.054 283.738 127.730 134.519
0
Luas
Makro Kecamatan
F
188.139 1.442.210 452.465
0 0 0 0
Kemiringan Lahan (%) 2-15 15>40 Lainnya 40 50.528 19.161 61.823 1.728
17.112 22.956 7.660 66.684
85.752 111.935 58.920
A A A
0 0 0
0 60.287 58.120
15.296 4.608 800
59.831 47.040 0
10.625 0 0
0 1.575 17.606
0 42.933 41.314
15.230 19.982 0
70.522 47.445 0
0 0 0
81.700 158.646 129.088
A A A
0 76.900 0 154.646 0 121.088
4.800 4.000 8.000
0 0 0
0 0 0
30.382 22.076 8.415
40.084 93.793 65.614
11.234 34.225 47.059
0 8.552 8.000
0 0 0
420.000 74.385 56.510
A A
0 0 0
0 0 0
6.636 1.990 4.646
72.246 22.945 21.562
341.118 49.450 30.302
18.520 425 0
60.425 104.645 230.600 19.140 21.210 33.580 16.830 18.420 21.260
5.810 30 0
29.730 30.320 6.925 35.475 3.325
A A B A A
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
4.310 4.490 4.740 2.689 3.325
25.420 25.830 2.185 32.786 0
695 715 2.900 1.630 1.770
2.840 2.490 130 1.050 115
9.210 9.470 885 2.810 650
14.890 15.510 2.860 29.985 790
2.095 2.135 150 0 0
- Air Hangat - Air Hangat Timur - Gunung Kerinci - Kayu Aro Luas Wilayah Barat
5.155 35.100
A A
0 0
0 0
0 0
2.150 2.010
3.005 33.090
1.215 1.170
0 3.435
1.115 5.590
2.825 24.905
0 0
94.020
A
0
0
0
4.025
89.995
695
6.670
21.165
65.355
135
49.055 1.813.931
A
0 0 0 0 0 644.657 169.804 475.664
49.055 7.305 7.725 14.120 18.640 523.806 117.152 558.191 431.369 701.409
1.265 5.810
5.083.954 807.929 2.125.677 859.144 691.023 600.181 1.501.1051.632.416 1.075.909 868.714 Luas Wilayah Propinsi *)Data masih bergabung dengan kecamatan induk. Sumber: - Daerah dalam Angka Tahun 2000, Statistik Pertanian Tahun 2000 dan Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tahun 2000 dari 10 kabupaten/kota di Propinsi Jambi. - Peta Zona Agroekologi (skala 1:250.000) Lembar Nomor 0813, 0814, 0913, 0914, 1013 dan 1014 yang diterbitkan oleh Puslitnak (1990) dan IP2TP Jambi (1997). - Soeharno, dkk (1997), Busyra, dkk (2000) dan Suharyono, dkk (2000).
Wilaya h
Timur
Kabupaten/
Luas
Makr o
Kecamatan
Wilayah (ha)
Podsolik
Kab. Tanjab Barat - Tungkal Ulu - Merlung*) - Tungkal Ilir - Pengabuan - Betara
550.350 317.800
331.873 275.450
127.687 20.000
44.320 12.000
0 0
0 0
34.650 8.150
25.290 119.780 87.480
0 34.680 21.743
1.920 40.100 65.667
7.250 25.000 70
0 0 0
0 0 0
Kab. Tanjab Timur - Muara Sabak - Mendahara - Dendang - Nipah Panjang - Rantau Rasau - Sadu
544.500 44.170 166.640 78.500 23.450 49.620 182.120
52.040 2.790 38.750 10.500 0 0 0
196.900 14.400 60.250 28.000 6.500 27.000 60.750
102.350 14.000 12.000 2.500 8.400 12.600 52.850
0 0 0 0 0 0 0
1.094.850
383.913
324.587
146.670
518.035
427.870
0
90.165
B
Luas Wilayah Timur Tengah
Lampiran 4. Luas dan jenis tanah pada wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi Jenis Tanah (ha)
KSP
A
C
Kab. Batanghari
5.810
Organos Aluvia ol l
Andoso Latoso Gley H l l
Hidro m
Rawang
Lainnya
0 0
9.620 0
2.200 2.200
6.500 20.000 0
0 0 0
9.620 0 0
0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
168.870 11.910 50.840 23.600 5.000 9.000 68.520
14.920 0 0 13.900 0 1.020 0
4.620 1.070 0 0 3.550 0 0
4.800 0 4.800 0 0 0 0
0
0
203.520
14.920
14.240
7.000
0
0
0
0
0
0
- Mersam - Muara Tembesi - Batin XXIV - Muara Bulian - Pemayung - Maro Sebo Ulu
70.510 34.242 80.151 120.069 98.750 114.313
57.885 23.602 69.126 108.554 69.135 99.568
0 0 0 0 0 0
12.625 10.640 11.025 11.515 29.615 14.745
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
Kab. Muaro Jambi - Jambi Luar Kota - Mestong - Sekernan - Maro Sebo - Kumpeh - Kumpeh Ulu
524.600 37.315 107.885 78.200 44.200 209.500 47.500
492.995 n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a.
0 0 0 0 0 0 0
31.605 n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a.
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
Lanjutan Lampiran 4. Wilaya h
KSP
Kabupaten/
Luas
Makro
Kecamatan
Wilayah (ha)
Kota Jambi - Kotabaru - Jambi Selatan - Jelutung - Pasar Jambi - Telanaipura - Danau Teluk - Pelayangan - Jambi Timur D
Kab. Bungo - Pelepat - Rantau Pandan - Tanah Sepenggal - Tanah Tumbuh
Jenis Tanah (ha)
Podsol Organos Aluvia ik ol l
Andoso Latoso l l
Gley H
Hidro m
Rawan Lainnya g
20.538 7.778 3.407 792 402 3.039 1.570 1.529 2.021
15.052 5.391 3.407 792 402 3.039 0 0 2.021
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
1.678 1.678 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
3.808 709 0 0 0 0 1.570 1.529 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
465.900 145.600 82.000 18.100 132.800
66.200 48.400 2.600 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
15.600 800 0 0 14.800
384.100 96.400 79.400 18.100 118.000
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
- Jujuhan - Muara Bungo
47.600 39.800
0 15.200
0 0
0 0
0 0
47.600 24.600
0 0
0 0
0 0
0 0
Kab. Tebo - Tebo Ilir - Tebo Tengah - Sumay - Tebo Ulu - VII Koto - Rimbo Bujang
646.100 133.300 109.000 126.800 72.600 112.700 91.700
412.852 125.425 89.594 122.188 43.245 32.400 0
1.300 0 169 0 0 0 1.131
24.750 7.875 15.300 1.575 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
207.198 0 3.937 3.037 29.355 80.300 90.569
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
1.300
146.520
15.600
592.976
0
3.808
0
0
160.286 89.601 9.879 1.985
177.709 20.095 41.541 13.695
79.993 13.100 27.210 2.793
81.011 39.900 12.845 8.439
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
Luas Wilayah Tengah Barat
E
Kab. Merangin - Jangkat - Muara Siau - Pamenang
2.175.173 1.414.969 767.890 176.630 151.694 66.432
268.891 13.934 60.219 39.556
Lanjutan Lampiran 4. Wilayah
KSP Makro
F
Kabupaten/ Kecamatan
Luas Wilayah (ha)
Jenis Tanah (ha)
Podsol Organos Aluvia Andosol Latoso ik ol l l
Gley H
Hidro m
Rawan Lainnya g
- Bangko - Sungai Manau - Tabir - Tabir Ulu
69.746 123.156 86.152 94.080
50.150 65.783 20.549 18.700
5.156 8.593 25.972 19.100
11.270 32.120 23.914 35.110
2.390 11.100 13.200 10.200
780 5.560 2.517 10.970
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
Kab. Sarolangun - Batang Asai - Muara Limun - Pelawan Singkut - Sarolangun - Pauh - Mandiangin
626.041 85.752 111.935 58.920 81.700 158.646 129.088
171.238 9.111 30.869 30.311 20.876 40.081 39.990
90.916 11.120 24.910 5.012 9.814 20.900 19.160
159.343 42.190 20.976 12.111 30.211 30.890 22.965
73.087 9.451 15.190 2.530 10.097 18.819 17.000
127.531 13.680 19.900 5.320 10.702 47.956 29.973
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
3.926 200 90 3.636 0 0 0
Kab. Kerinci - Gunung Raya
420.000 74.385
41.736 15.775
0 0
11.200 0
275.755 49.900
91.309 8.710
0 0
0 0
0 0
0 0
- Batang Merangin - Danau Kerinci - Keliling Danau - Sitinjau Laut - Sungai Penuh - Hamparan Rawang - Air Hangat - Air Hangat Timur - Gunung Kerinci - Kayu Aro Luas Wilayah Barat
56.510 29.730 30.320 6.925 35.475 3.325 5.155 35.100 94.020 49.055
0 0 17.716 0 2.215 0 120 5.910 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1.240 1.310 2.728 1.620 1.790 1.540 972 0 0
29.820 28.490 6.075 4.197 6.490 1.535 1.960 28.218 72.650 46.420
26.690 0 5.219 0 25.150 0 1.535 0 21.370 2.635
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1.813.931
481.865
251.202
348.252
428.835
299.851
0
0
0
3.926
Luas Propinsi Jambi 5.083.954 2.280.747 577.089 641.442 444.435 892.827 203.520 18.728 14.240 10.926 Keterangan: *) = Data masih bergabung dengan kecamatan induk, n.a. = Rincian data tidak tersedia. Sumber: - Daerah dalam Angka Tahun 2000, Statistik Pertanian Tahun 2000 dan Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tahun 2000 dari 10 kabupaten/kota di Propinsi Jambi. - Peta Zona Agroekologi (skala 1:250.000) Lembar Nomor 0813, 0814, 0913, 0914, 1013 dan 1014 yang diterbitkan oleh Puslitnak (1990) dan IP2TP Jambi (1997). - Soeharno, dkk (1997), Busyra, dkk (2000) dan Suharyono, dkk (2000). Lampiran 5. Zona agroekologi wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi
Wilayah Timur
KSP
Makro A
B
Kabupaten/
Luas
Kecamatan
Wilayah
Zona Agroekologi (ha)
Iax
Ibx
Iby
IIax
IIbx
IIby
IIIax
IIIbx
IVax
IVay
IVbx
Kab. Tanjab Barat - Tungkal Ulu - Merlung*) - Tungkal Ilir - Pengabuan - Betara
550.350 317.800
0 0
19.070 19.070
0 0
144.695 144.695
32.805 32.805
0 0
142.500 83.430
0 0
211.280 37.800
0 0
0 0
25.290 119.780 87.480
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
1.810 19.780 37.480
0 0 0
23.480 100.000 50.000
0 0 0
0 0 0
Kab. Tanjab Timur - Muara Sabak - Mendahara - Dendang - Nipah Panjang - Rantau Rasau - Sadu
544.500
0
0
0
0
0
0
0
0
544.500
0
0
44.170 166.640 78.500 23.450 49.620 182.120
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
44.170 166.640 78.500 23.450 49.620 182.120
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
1.094.850
0
19.070
0
144.695
32.805
0
142.500
0
755.780
0
0
Kab. Batanghari - Mersam - Muara Tembesi - Batin XXIV - Muara Bulian - Pemayung - Maro Sebo Ulu
518.035 70.510 34.242 80.151 120.069 98.750 114.313
8.022 0 0 0 0 0 8.022
3.113 0 0 0 0 0 3.113
0 0 0 0 0 0 0
85.930 10.000 3.282 9.951 35.069 21.460 6.168
13.610 13.610 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
129.830 25.125 13.467 20.000 35.000 16.500 19.785
0 0 0 0 0 0 0
277.530 21.775 17.540 50.200 50.000 60.790 77.225
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
Kab. Muaro Jambi - Jambi Luar Kota - Mestong - Sekernan - Maro Sebo - Kumpeh - Kumpeh Ulu
524.600 37.315 107.885 78.200 44.200 209.500 47.500
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
117.200 7.315 67.885 0 2.000 30.000 10.000
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
139.400 10.000 30.000 8.200 22.200 59.000 10.000
0 0 0 0 0 0 0
268.000 20.000 10.000 70.000 20.000 120.500 27.500
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
Luas Wilayah Timur Tengah
C
Lanjutan Lampiran 5. Wilayah
KSP
Makro
Kabupaten/
Luas
Kecamatan
Wilayah
Kota Jambi - Kotabaru - Jambi Selatan - Jelutung - Pasar Jambi - Telanaipura - Danau Teluk - Pelayangan - Jambi Timur D
Kab. Bungo - Pelepat - Rantau Pandan - Tanah Sepenggal
Iax
Ibx
Iby
IIax
IIbx
IIby
IIIax
IIIbx
Zona Agroekologi (ha) IVax
IVay
IVbx
20.538 7.778 3.407 792 402 3.039 1.570 1.529 2.021
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
3.095 1.167 511 118 74 456 235 230 304
0 0 0 0 0 0 0 0 0
17.443 6.611 2.896 674 328 2.583 1.335 1.299 1.717
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
465.900 145.600 82.000 18.100
56.700 40.800 15.900 0
17.200 7.200 1.700 0
20.300 12.000 0 0
147.210 23.760 40.800 7.300
0 0 0 0
23.090 2.640 0 0
169.000 54.800 20.000 5.200
0 0 0 0
32.400 4.400 3.600 5.600
0 0 0 0
0 0 0 0
- Tanah Tumbuh - Jujuhan - Muara Bungo
132.800 47.600 39.800
0 0 0
8.300 0 0
8.300 0 0
61.350 11.600 2.400
0 0 0
20.450 0 0
30.400 33.600 25.000
0 0 0
4.000 2.400 12.400
0 0 0
0 0 0
Kab. Tebo - Tebo Ilir - Tebo Tengah - Sumay - Tebo Ulu - VII Koto - Rimbo Bujang
646.100 133.300 109.000 126.800 72.600 112.700 91.700
41.494 2.294 3.200 25.200 0 10.800 0
1.406 1.406 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
68.200 30.000 5.000 10.000 7.600 9.600 6.000
0 0 0 0 0 0 0
11.800 5.400 6.400 0 0 0 0
379.800 64.000 90.200 80.800 0 72.300 72.500
0 0 0 0 0 0 0
75.200 35.600 0 0 6.400 20.000 13.200
11.200 0 5.200 4.400 1.600 0 0
0 0 0 0 0 0 0
2.175.173
106.216
21.719
20.300 418.540
13.610
34.890
878.125
0
670.573
11.200
0
767.890 176.630 151.694 66.432
168.754 24.688 53.480 0
167.536 114.064 35.654 0
53.864 22.538 14.656 0
0 0 0 0
211.878 0 13.706 64.932
2.150 2.150 0 0
18.578 0 0 1.500
0 0 0 0
0 0 0 0
Iax
Ibx
Luas Wilayah Tengah Barat
E
Lanjutan Lampiran 5. Wilayah
KSP
Makro
F
Kab. Merangin - Jangkat - Muara Siau - Pamenang
Kabupaten/
Luas
Kecamatan
Wilayah
0 0 0 0
Iby
145.130 13.190 34.198 0
IIax
IIbx
IIby
IIIax
IIIbx
Zona Agroekologi (ha) IVax
IVay
IVbx
- Bangko - Sungai Manau - Tabir - Tabir Ulu
69.746 123.156 86.152 94.080
1.426 75.200 2.410 11.550
0 3.700 0 14.118
0 0 0 0
17.112 22.956 7.660 50.014
0 0 0 16.670
0 0 0 0
50.528 19.161 61.823 1.728
0 0 0 0
680 2.139 14.259 0
0 0 0 0
0 0 0 0
Kab. Sarolangun - Batang Asai - Muara Limun - Pelawan Singkut - Sarolangun - Pauh - Mandiangin
626.041 85.752 111.935 58.920 81.700 158.646 129.088
123.894 59.897 47.445 0 0 8.552 8.000
10.625 10.625 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
127.730 15.230 19.982 0 11.234 34.225 47.059
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
283.737 0 42.933 41.313 40.084 93.793 65.614
0 0 0 0 0 0 0
80.055 0 1.575 17.607 30.382 22.076 8.415
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
Kab. Kerinci - Gunung Raya
420.000 74.385
2.126 0
228.474 33.580
0 0
0 0
104.645 21.210
0 0
4.490 1.990
55.935 17.150
0 0
0 0
18.520 425
- Batang Merangin - Danau Kerinci - Keliling Danau - Sitinjau Laut - Sungai Penuh - Hamparan Rawang - Air Hangat - Air Hangat Timur - Gunung Kerinci - Kayu Aro
56.510 29.730 30.320 6.925 35.475 3.325
2.126 0 0 0 0 0
19.134 14.890 15.510 2.860 29.985 790
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
18.420 9.210 9.470 885 2.810 650
0 0 0 0 0 0
2.500 0 0 0 0 0
14.330 2.840 2.490 130 1.050 115
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 695 715 2.900 1.630 1.770
5.155 35.100 94.020 49.055
0 0 0 0
2.825 24.905 65.355 18.640
0 0 0 0
0 0 0 0
1.115 5.590 21.165 14.120
0 0 0 0
0 0 0 0
0 3.435 6.670 7.725
0 0 0 0
0 0 0 0
1.215 1.170 695 7.305
1.813.931
294.774
406.635
0
272.860
158.509
0
500.105
58.085
98.633
0
18.520
5.083.954 400.990 447.424 20.300 836.095 204.924 34.890 1.520.730 58.085 1.524.986 11.200 *)Data masih bergabung dengan kecamatan induk. Sumber: - Daerah dalam Angka Tahun 2000, Statistik Pertanian Tahun 2000 dan Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tahun 2000 dari 10 kabupaten/kota di Propinsi Jambi. - Peta Zona Agroekologi (skala 1:250.000) Lembar Nomor 0813, 0814, 0913, 0914, 1013 dan 1014 yang diterbitkan oleh Puslitnak (1990) dan IP2TP Jambi (1997).
18.520
- Soeharno, dkk (1997), Busyra, dkk (2000) dan Suharyono, dkk (2000). Lampiran 6. Kesesuaian zona agroekologi untuk komoditas pertanian potensial pada wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi a. Tanaman Pangan Wilayah
Timur
KSP
Makro
A
B
Kabupaten/ Kecamatan
Pi
Pt
Pl
Pg
Jg
Serealia So Gd Tl
Umbi-Umbian Uj Uk Il Bc
Kd
Kr
Kacang-Kacangan Kp Kt Kg Kh
Kab. Tanjab Barat - Tungkal Ulu - Merlung*) - Tungkal Ilir - Pengabuan - Betara
N
N
N
S2
S2
S2
N
S1
S3
S2
S1
S2
S2
N
N
S3
S2
S3
S1 S1 S1
S1 S1 S1
S2 S2 S2
N S2 S3
S3 S2 S2
N S2 N
N N N
S1 S1 S1
S3 S3 S3
S2 S2 S2
S1 S1 S1
N N N
S2 S2 S2
N N N
N N N
S3 S3 S3
S2 S2 S2
S2 S2 S2
Kab. Tanjab Timur - Muara Sabak - Mendahara
S1 S1
S1 S1
S2 S2
S2 S2
S2 S2
S2 S2
N N
S1 S1
S3 S3
S2 S2
S1 S1
N N
S2 S2
N N
N N
S3 S3
S2 S2
S2 S2
Tengah
C
- Dendang - Nipah Panjang - Rantau Rasau - Sadu
S1 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1
S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2
N N N N
S1 S1 S1 S1
S3 S3 S3 S3
S2 S2 S2 S2
S1 S1 S1 S1
N N N N
S2 S2 S2 S2
N N N N
N N N N
S3 S3 S3 S3
S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2
Kab. Batanghari - Mersam - Muara Tembesi - Batin XXIV - Muara Bulian - Pemayung - Maro Sebo Ulu
S2 S2 S2 S2 S2 S2
N N N N N N
S2 S2 S1 S2 S1 S2
S1 S1 S1 S1 S1 S1
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2 S2 S2
N N N N N N
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S1 S2 S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S1 N N N N S1
S1 S1 S1 S1 S1 S1
N N N N N N
N N N N N S2
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S3 S3 S3 S3 S3 S3
Kab. Muaro Jambi - Jambi Luar Kota - Mestong
S2 S2
N N
S1 S1
S1 S1
S2 S2
S2 S2
N N
S2 S2
S2 S2
S2 S2
S2 S2
N N
S1 S1
N N
N N
S2 S2
S2 S2
S3 S3
Pi
Pt
Pl
Pg
Jg
Serealia So Gd Tl
Umbi-Umbian Uj Uk Il Bc Kd
Kr
Kacang-Kacangan Kp Kt Kg Kh
- Sekernan - Maro Sebo - Kumpeh - Kumpeh Ulu
S2 S2 S2 S2
S2 N S2 N
S1 S2 S1 S1
S1 S1 S1 S1
S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2
N N N N
S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2
N N N N
S1 S1 S1 S1
N N N N
N N N N
S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2
S3 S3 S3 S3
Kota Jambi - Kotabaru - Jambi Selatan - Jelutung - Pasar Jambi
S3 S3 N N
S3 S2 N N
S1 S2 N N
S1 S1 N N
S2 S2 S2 N
S2 S2 N N
N N N N
S1 S1 N N
S3 S3 S3 N
S2 S2 S2 N
S1 S1 S1 N
N N N N
S2 S2 N N
N N N N
N N N N
S2 S2 S2 N
S2 S2 N N
S3 S3 N N
Lanjutan Lampiran 6. Wilayah
KSP
Makro
Kabupaten/ Kecamatan
D
- Telanaipura - Danau Teluk - Pelayangan - Jambi Timur
S3 S3 S3 S3
S3 S3 S3 S3
S2 S1 S1 S2
S1 S2 S2 S1
S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2
N N N N
S1 S1 S1 S1
S3 S3 S3 S3
S2 S2 S2 S2
S1 S1 S1 S1
N N N N
S2 S2 S2 S2
N N N N
N N N N
S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2
S3 S3 S3 S3
Kab. Bungo - Pelepat - Rantau Pandan - Tanah Sepenggal - Tanah Tumbuh - Jujuhan - Muara Bungo
S2 S2 S2 S2 S2 S2
N N N N N N
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S1 S1 S1 S1 S1 S1
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2 S2 S2
N N N N N N
S1 S1 S1 S1 S1 S1
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S1 S1 S1 S1 S1 S1
S1 S1 N S1 N N
S1 S1 S1 S1 S1 S1
S2 S2 N S2 N N
N N N N N N
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S3 S3 S3 S3 S3 S3
Kab. Tebo - Tebo Ilir - Tebo Tengah - Sumay - Tebo Ulu
S1 N N S3
S3 N N N
S1 S3 S3 S2
S1 N N S1
S2 S3 S3 S2
S2 S2 S2 S2
N S3 S3 S3
S1 N N S1
S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2
S1 N N S1
S1 N N N
S1 S3 S3 S1
S2 N N N
S2 S1 S1 S1
S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2
S3 S3 S3 S3
Pi
Pt
Pl
Pg
Jg
Serealia So Gd Tl
Umbi-Umbian Uj Uk Il Bc
Kd
Kr
Kacang-Kacangan Kp Kt Kg Kh
- Tebo Ulu - VII Koto - Rimbo Bujang
S3 S1 S1
N S3 S3
S2 S1 S1
S1 S1 S1
S2 S2 S2
S2 S2 S2
S3 N N
S1 S1 S1
S2 S2 S2
S2 S2 S2
S1 S1 S1
N N N
S1 S1 S1
N N N
S1 N S2
S2 S2 S2
S2 S2 S2
S3 S3 S3
Kab. Merangin - Jangkat - Muara Siau - Pamenang - Bangko
N N S2 S2
N N S3 S3
N N S2 S2
N N S1 S1
N S2 S2 S2
N N S2 S2
N N N N
S1 S1 S1 S1
S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2
S1 S1 S1 S1
S1 S2 N N
S3 S3 S1 S1
S2 S2 N N
N N N N
N S1 S1 S1
N S2 S2 S2
N S3 S3 S3
Lanjutan Lampiran 6. Wilayah
Barat
KSP
Makro
E
Kabupaten/ Kecamatan
F
- Sungai Manau - Tabir - Tabir Ulu
S2 S1 N
S3 S2 N
S2 S1 N
S1 S1 N
S2 S2 S3
S2 S2 N
N N N
S1 S1 S1
S2 S2 S2
S2 S2 S2
S1 S1 S1
S1 N S2
S1 S3 S3
S2 N S2
N N N
S1 S1 S1
S2 S2 S2
S3 S3 S3
Kab. Sarolangun - Batang Asai - Muara Limun - Pelawan Singkut - Sarolangun - Pauh - Mandiangin
S3 S3 S1 S2 S1 S3
N S3 S3 S3 S2 S3
N S2 S2 S2 S1 S2
N S1 S1 S1 S1 S1
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2 S2 S2
N N N N N N
S1 S1 S1 S1 S1 S1
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S1 S1 S1 S1 S1 S1
N S1 N N N N
S3 S1 S1 S1 S1 S1
N S2 N N N N
N N N N N N
S1 S1 S1 S1 S1 S1
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S3 S3 S3 S3 S3 S3
Kab. Kerinci - Gunung Raya - Batang Merangin - Danau Kerinci - Keliling Danau - Sitinjau Laut - Sungai Penuh
S1 N S1 S1 S1 S1
S3 N S3 S2 S2 S2
S2 N S3 S2 S3 S3
N N S1 N S1 N
S2 S2 S1 N S1 N
N N S1 N S1 N
N N N N S2 N
S1 S1 S1 S1 N S1
S1 S1 S1 S1 S1 S1
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2 N S2
S2 S2 S1 S2 N S2
S3 S3 S3 S3 S3 S2
S1 S1 S1 S1 N S1
N N N N N N
S1 S1 N N N N
S3 S3 N N N N
S3 S3 N N N N
Pi
Pt
Pl
Pg
Jg
So
Gd
Tl
Uj
Uk
Il
Bc
Kd
Kr
Kp
Kt
Kg
Kh
S1 S1 S1 S1 S1
S2 S2 S2 S2 S2
S3 S2 S2 S2 S2
N N N S1 S1
N N N S1 S1
N N N S1 S1
N N N N N
S1 S1 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1 S1
S2 S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2 S2
S2 N S2 S1 S1
S3 S3 S3 S3 S3
S1 N S1 S1 S1
N N N N N
N N N N N
N N N N N
N N N N N
Lanjutan Lampiran 6. Wilayah
KSP
Makro
Kabupaten/ Kecamatan - Hamparan Rawang - Air Hangat - Air Hangat Timur - Gunung Kerinci - Kayu Aro
Serealia
Keterangan: *)Data masih bergabung dengan kecamatan induk (Kecamatan Tungkal Ulu).
Umbi-Umbian
Kacang-Kacangan
Pi: Padi sawah irigasi, Pt: Padi sawah tadak hujan, Pl: Padi sawah rawa lebak, Pg: Padi ladang/gogo, Jg: Jagung, So: Sorgum, Gd: Gandum. Tl: Talas, Uj: Ubi jalar, Uk: Ubi kayu, Ii: Iles-iles. Bc: Buncis, Kd: Kedelai, Kr: Kacang kapri, Kp: Kajang panjang, Kt: kacang tanah, Kg: Kacang tunggak, Kh: Kacang hijau.
Sumber: Hasil analisis berdasarkan data ZAE (Lampiran 1, 2 dan 3) menggunakan Kriteria Kesesuaian Lahan, Puslitnak (2000).
Lanjutan Lampiran 6. b. Hortikultura Sayuran Wilaya KSP h Makr o Timur
A
B
Tengah
C
Sayuran
Kabupaten/ Kecamatan
- Tungkal Ulu - Merlung*) - Tungkal Ilir - Pengabuan - Betara
Aa
Kab. Batanghari
Bd Bm Bp
Kab. Tanjab Barat
Kab. Tanjab Timur
- Muara Sabak - Mendahara - Dendang - Nipah Panjang - Rantau Rasau - Sadu
Ba
Bo
Ca
Ka
Ku Le
Umbi-Umbian
Pa
Pe
Pi
Sa
Ti
Te
Bi
Ke
Lo
Wo
N
S3
N
N
N
N
S3
N
N
N
N
S2
N
N
S3
S2
N
N
N
N
N N N
S3 S3 S3
N N N
N N N
N N N
N N N
S3 S3 S3
N N N
N N N
N N N
N N N
S2 S2 S2
N N N
N N N
S3 S3 S3
S2 S2 S2
N N N
N N N
N N N
N N N
N N N N N N
S3 S3 S3 S3 S3 S3
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
S3 S3 S3 S3 S3 S3
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
S2 S2 S2 S2 S2 S2
N N N N N N
N N N N N N
S3 S3 S3 S3 S3 S3
S2 S2 S2 S2 S2 S2
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
- Mersam - Muara Tembesi - Batin XXIV - Muara Bulian - Pemayung - Maro Sebo Ulu - Jaluko - Mestong
N N N N N N
S3 S3 S3 S3 S3 S3
N N N N N N
Kab. Muaro Jambi
N N
S3 S3
N N
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
S3 S3 S3 S3 S3 S3
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
S2 S2 S2 S2 S2 S2
N N N N N N
N N N N N N
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2 S2 S2
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
N N
N N
N N
S3 S3
N N
N N
N N
N N
S2 S2
N N
N N
S2 S2
S2 S2
N N
N N
N N
N N
Lanjutan Lampiran 6. Wilaya KSP h Makr o
Kabupaten/ Kecamatan
Sayuran
Aa Ba
Bd Bm Bp Bo
Ca Ka Ku Le
Pa
Pe
Pi
Sa
Ti
Te
Bi
- Sekernan - Maro Sebo - Kumpeh - Kumpeh Ulu
N N N N
S3 S3 S3 S3
N N N N
N N N N
N N N N
N N N N
S3 S3 S3 S3
N N N N
N N N N
N N N N
N N N N
S2 S2 S2 S2
N N N N
N N N N
S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2
N N N N
Kota Jambi - Kotabaru - Jambi Selatan - Jelutung - Pasar Jambi - Telanaipura - Danau Teluk - Pelayangan - Jambi Timur
N N N N N N N N
S3 S3 S3 N S3 S3 S3 S3
N N N N N N N N
N N N N N N N N
N N N N N N N N
N N N N N N N N
S3 S3 S3 N S3 S3 S3 S3
N N N N N N N N
N N N N N N N N
N N N N N N N N
N N N N N N N N
S2 S2 S2 N S2 S2 S2 S2
N N N N N N N N
N N N N N N N N
S2 S2 S2 N S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 N S2 S2 S2 S2
N N N N N N N N
Umbi-Umbian Ke Lo
Wo
N N N N
N N N N
N N N N N N N N
N N N N N N N N N N N N
N N N N N N N N
D
Kab. Bungo - Pelepat - Rantau Pandan - T. Sepenggal - Tanah Tumbuh - Jujuhan - Muara Bungo
N N N N N N
S3 S3 S3 S3 S3 S3
N N N S2 N N
N N N S3 N N
N N N N N N
N N N N N N
S3 S3 S3 S3 S3 S3
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
S2 S2 S2 S2 S2 S2
N N N N N N
N N N N N N
S2 S2 S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2 S2 S2
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
Kab. Tebo - Tebo Ilir - Tebo Tengah - Sumay - Tebo Ulu - VII Koto
N N N N N
S3 N N S3 S3
S2 S2 S2 S2 N
S3 S3 S3 S3 N
N N N N N
N N N N N
S3 N N S3 S3
N N N N N
N N N N N
N N N N N
N N N N N
S2 N N S2 S2
N N N N N
N N N N N
S2 N N S2 S2
S2 S2 S2 S2 S2
N N N N N
N N N N N
N N N N N
N N N N N
Aa Ba Bd Bm Bp Bo Ca Ka Ku Le
Pa
Pe
Pi
Sa
- Rimbo Bujang
N
S3
S2
S3
N
N
S3
N
N
N
N
S2
N
Kab. Merangin - Jangkat - Muara Siau - Pamenang - Bangko
S2 N N N
N S3 S3 S3
N N N N
N N N N
N N N N
N N N N
N S3 S3 S3
S2 N N N
S3 N N N
S2 N N N
N N N N
- Sungai Manau - Tabir - Tabir Ulu
N N N
S3 S3 S3
N N N
N N N
N N N
N N N
S3 S3 S3
N N N
N N N
N N N
N N N
Lanjutan Lampiran 6. Wilayah
Barat
KSP Makro
E
Kabupaten/ Kecamatan
Kab. Sarolangun
Sayuran
Umbi-Umbian
Ti
Te Bi
N
S2
S2
N
N
N
N
N S2 S2 S2
S2 S2 N N N N N N
N S2 S2 S2
N S2 S2 S2
S2 N N N
S3 S3 N N
S2 N N N
S3 S3 N N
S2 S2 S2
N N N
S2 S2 S2
S2 S2 S2
N N N
N N N
N N N
N N N
N N N
Ke Lo Wo
F
- Batang Asai - Muara Limun - P. Singkut - Sarolangun - Pauh - Mandiangin
N N N N N N
N S3 S3 S3 S3 S3
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
N S3 S3 S3 S3 S3
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
N S2 S2 S2 S2 S2
N N N N N N
N N N N N N
N S2 S2 S2 S2 S2
S2 S2 S2 S2 S2 S2
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
N N N N N N
Kab. Kerinci - Gunung Raya - B. Merangin - Danau Kerinci - Keliling Danau - Sitinjau Laut - Sungai Penuh - H. Rawang - Air Hangat
S1 S1 S1 S1 S3 S1 S1 S1
S2 S2 N N N N N N
N N N N N N N N
N N N N N N N N
N N N N N N N N
N N N N N N N N
S2 S2 S2 S2 S3 S2 S2 S2
S1 S1 S1 S1 S3 S1 S1 S1
S2 S2 S2 S2 S3 S2 S2 S2
S1 S1 S1 S1 S3 S1 S1 S1
S2 S2 N N N N N N
S1 S1 N N N N N N
S1 S1 S1 S1 S3 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1 S3 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1 S3 S1 S1 S1
S1 S1 N N N N N N
S1 S1 S1 S1 S3 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1 S3 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1 S3 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1 S3 S1 S1 S1
Aa Ba Bd Bm Bp Bo Ca Ka Ku Le
Pa
Pe
Pi
Sa
S1 S1 S1
N N N
N N N
S1 S1 S1 S1 S1 S1
Lanjutan Lampiran 6. Wilayah
KSP Makro
Kabupaten/ Kecamatan - A.H. Timur - Gunung Kerinci - Kayu Aro
N N N
N N N
N N N
N N N
N N N
S2 S2 S2
S1 S1 S1
S2 S2 S2
S1 S1 S1
Sayuran Ti
Te Bi
S1 S1 S1
N N N
S1 S1 S1
Umbi-Umbian
Ke Lo Wo S1 S1 S1
Keterangan: *)Data masih bergabung dengan kecamatan induk (Kecamatan Tungkal Ulu). Aa: Asparagus, Ba: bayam, Bd: Bawang Daun, Bm: Bawang merah, Bp: Bawang putih, Bo: Brokolai: Ca: Cabe, Ka: Kailan, Ku: Kubis, Le: Lecture, Pa: Paprika, Pe: Pare, Pi: Petsai, Sa: Sawi, Ti: Timun, Te: Terung. Bi: Biet, Ke: Kentang, Lo: Lobak, Wo: Wortel
S1 S1 S1
Sumber: Hasil analisis berdasarkan data ZAE (Lampiran 1, 2 dan 3) menggunakan Kriteria Kesesuaian Lahan, Puslitnak (2000).
S1 S1 S1
Lanjutan Lampiran 6. c. Hortikultura Buah-Buahan Wilayah
KSP Makro
Timur
A
Kabupaten/ Kecamatan
Kab. Tanjab Barat - Tungkal Ulu - Merlung*) - Tungkal Ilir - Pengabuan - Betara
B
Kab. Tanjab Timur - Muara Sabak - Mendahara - Dendang
Buah-Buahan
Ad Ap Be Bl Ca Cp Dk Dr Jb Jr Kl M M M Nk Ns Pp Ps Rb Sa Se Si Sr St Sw a e g
S 2
N S 2
S 3
N S 2
S 2
S 2
S 2
S 2
S 2
S 3
S 3
S 3
S 2
S 3
S 3
S 2
S 1
S 2
S 3
S 2
S 2
S 2
S 2
S 2 S 2 S 2
N S 2 N S 2 N S 2
S 3 S 3 S 3
N S 2 N S 2 N S 2
S 3 S 3 S 3
S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
N S 3 N S 3 N S 3
S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2
S 3 S 3 S 3
S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S
N N S 3 N N S 3 N N S
N N N S 3 N N N S 3 N N N S
S 2 S 2 S
S 2 S 2 S
S 2 S 2 S
N S 3 N S 3 N S
N S 2 N S 2 N S
S 3 S 3 S
S 3 S 3 S
S 2 S 2 S
N S 3 N S 3 N S
S 3 S 3 S
S 2 S 2 S
S 3 S 3 S
S 3 S 3 S
S 3 S 3 S
2 S 2 S 2 S 3
3 N N S 3 N N S 3 N N S 3
3 N N N S 3 N N N S 3 N N N N
2 S 2 S 2 S 2
2 S 3 S 2 S 3
2 S 3 S 2 S 3
3 N S 3 N S 3 N S 3
2 N S 2 N S 2 N S 3
3 S 3 S 3 S 3
3 S 3 S 3 S 3
2 S 2 S 2 S 2
3 N S 3 N S 3 N S 3
3 S 3 S 3 S 3
2 S 2 S 2 S 2
3 S 3 S 3 S 3
3 S 3 S 3 S 3
3 S 3 S 3 N
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
N S 2 N S 2 N S 2 N S 2 N S 2 N S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
N S 1 N S 1 N S 1 N S 1 N S 1 N S 1
S 2 S 2 S 2 S 2 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 1
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 2 S 2 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
Kab. Muaro Jambi - Jambi Luar Kota S 1 - Mestong S 1
N S 2 N S 2
S 2 S 2
N S 1 N S 1
S 1 S 2
S 1 S 2
S 1 S 1
S 2 S 2
S 2 S 2
S 2 S 2
S 2 S 2
S 2 S 2
S 1 S 1
S 2 S 2
S 2 S 2
S 1 S 1
S 1 S 1
S 2 S 1
S 2 S 2
S 2 S 2
S 2 S 2
S 2 S 2
S 2 S 2
- Nipah Panjang - Rantau Rasau - Sadu Tenga h
C
Kab. Batanghari - Mersam - Muara Tembesi - Batin XXIV - Muara Bulian - Pemayung - Maro Sebo Ulu
- Sekernan Lanjutan Lampiran 6. Wilayah
KSP Makro
Kabupaten/ Kecamatan
- Maro Sebo - Kumpeh - Kumpeh Ulu Kota Jambi - Kotabaru - Jambi Selatan - Jelutung - Pasar Jambi - Telanaipura - Danau Teluk - Pelayangan
S 1
N S 2
S 2
N S 2
S 2
S 2
S 1
S 2
S 2
S 2
S 2
S 3
S 1
S 2
S 2
S 1
S 2
S 2
S 2
S 2
S 2
S 2
S 2
Buah-Buahan
Ad Ap Be Bl Ca Cp Dk Dr Jb Jr Kl M M M Nk Ns Pp Ps Rb Sa Se Si Sr St Sw a e g S 1 S 1 S 1
N S 2 N S 2 N S 2
S 2 S 3 S 3
N S 1 N S 1 N S 1
S 2 S 2 S 1
S 2 S 2 S 1
S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
S 2 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2
S 1 S 2 S 1
S 2 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2
S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2
S 2 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2
N S 2 N S 2 N S 2 N N N S 2 N S 2 N S 2
S 3 S 3 S 3 N S 3 S 3 S 3
S 3 S 3 S 3 N S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2
S 3 S 3 S 3 N S 3 S 3 S 3
S 3 S 3 S 3 N S 3 S 3 S 3
S 3 S 3 S 3 N S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2
S 3 S 3 S 3 N S 3 S 3 S 3
S 3 S 3 S 3 N S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2
S 3 S 3 S 3 N S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2
- Jambi Timur D
Kab. Bungo - Pelepat - Rantau Pandan - Tanah Sepenggal - Tanah Tumbuh - Jujuhan - Muara Bungo Kab. Tebo - Tebo Ilir - Tebo Tengah - Sumay - Tebo Ulu - VII Koto - Rimbo Bujang
S 2
N S 2
S 3
S 3
S 2
S 2
S 2
S 2
S 2
S 2
S 3
S 3
S 3
S 2
S 3
S 3
S 2
S 2
S 2
S 3
S 2
S 2
S 2
S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S S 1 2 N S 2 N S 2 S S 1 2 N S 2 N S 2
S 3 S 3 S 3 S 3 S 3 S 3
S 3 S 3 S 3 S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 3 S 3 S 3 S 3 S 3 S 3
S 3 S 3 S 3 S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 3 S 3 S 3 S 3 S 3 S 3
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 3 S 3 S 3 S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S
N S 2 S S 1 3 S S 1 3 N S 2 N S 2 N S
S 3 S 3 S 3 S 3 S 3 S
S 3 S 3 S 3 S 3 S 3 S
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S
S 1 S 2 S 2 S 1 S 1 S
S 1 S 2 S 2 S 1 S 1 S
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S
S 2 S 2 S 2 S 2 N
S 3 S 3 S 3 S 3 S 3 S
S S 3 2 N S 2 N S 2 S S 3 2 S S 3 2 S S
S S 3 3 N S 3 N S 3 S S 3 3 S S 3 3 S S
S 1 S 3 S 3 S 1 S 1 S
S 1 S 2 S 2 S 1 S 1 S
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S
S 3 S 3 S 3 S 3 S 3 S
S 2 S 3 S 3 S 2 S 2 S
S 2 S 3 S 3 S 2 S 2 S
S 2 S 3 S 3 S 2 S 2 S
S 2 S 3 S 3 S 2 S 2 S
S
2
2
3
3
2
1
1
2
1
2
2
3
3
2
3
3
1
1
2
3
2
2
2
2
Lanjutan Lampiran 6. Wilayah
KSP Makro
Barat
E
Kabupaten/ Kecamatan
Kab. Merangin - Jangkat
Buah-Buahan
Ad Ap Be Bl Ca Cp Dk Dr Jb Jr Kl M M M Nk Ns Pp Ps Rb Sa Se Si Sr St Sw a e g S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
N S 2 N S 2 N S 2 N S 2 N S 2 N S 2 N S 2
N S 3 N S 3 S S 3 3 S S 3 3 S S 3 3 S S 3 3 N S 3
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
N S 1 N S 1 S S 2 1 S S 2 1 S S 2 1 S S 2 1 N S 1
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 3 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
N S 2 N S 2 S S 3 3 S S 3 2 S S 3 2 S S 3 2 N S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
N N N S 1 N S S S 2 1 1 S S S S 3 2 1 2 S S S S 3 2 1 1 S S S S 3 2 1 1 S S S S 3 2 1 1 N S S S 2 1 1
N N S 3 S N S 2 2 S S S 2 3 2 S S S 2 3 2 S S S 2 3 2 S S S 2 3 2 S N S 2 2
S 3 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 3 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
Kab. Sarolangun - Batang Asai S 2 - Muara Limun S 2
N S 2 N S 2
N S 3 S S 3 3
S 2 S 2
S 1 S 1
S 1 S 1
N S 1 S S 2 1
S 2 S 2
S 3 S 2
N S 2 S S 3 2
S 2 S 2
N S 2 S S 3 2
S 2 S 2
S 3 S 2
S 3 S 2
S 2 S 2
- Muara Siau - Pamenang - Bangko - Sungai Manau - Tabir - Tabir Ulu
S 2 S 1
S 1 S 1
N S 3 S S 3 2
- Pelawan Singkut S 2 - Sarolangun S 2 - Pauh S 2 - Mandiangin S 2 F
Kab. Kerinci - Gunung Raya - Batang Merangin - Danau Kerinci - Keliling Danau - Sitinjau Laut - Sungai Penuh - Hamparan Rawang - Air Hangat - Air Hangat Timur
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
N S 2 N S 2 N S 2 N S 2
S 3 S 3 S 3 S 3
S 3 S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2 S 2
S 1 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2 S 2
S 1 S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2
S 3 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2
S 3 S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2 S 2
S 1 S 1 S 1 S 1
S 2 S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 S 2
N S N S 1 2 N S N S 1 2 N N N N
S 2 S 2 N
S 2 S 2 N
S 2 S 2 N
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S N S 2 1 S N S 2 1 N N N
S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
N S 1 N S 1 N N
S 2 S 2 N
S 3 S 3 N
S N S 1 1 S N S 1 1 N N N
S 1 S 1 N
S 1 S 1 N
S 1 S 1 S 1 S 1 S 3 S 1 S 1 S 1 S 1
N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
S 3 S 3 S 3 S 3
N N N N N N N N N N N N N N N N N N
S 3 S 3 S 3 S 3
N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
Lanjutan Lampiran 6. Wilayah
KSP Makro
Kabupaten/ Kecamatan
Buah-Buahan
Ad Ap Be Bl Ca Cp Dk Dr Jb Jr Kl M a - Gunung Kerinci S N N N N N N N S S S N 1 1 1 1 - Kayu Aro S N N N N N N N S S S N 1 1 1 1
M M Nk Ns Pp Ps Rb Sa Se Si Sr St Sw e g N N S N N N N N N N N N S 2 1 N N S N N N N N N N N N S 2 1
Keterangan: *)Data masih bergabung dengan kecamatan induk (Kecamatan Tungkal Ulu). Ad: Adpokat, Ap: Apel, Be: Belimbing, Bl: Blewah, Ca: Carica, Cp: Cempedak, Dk: Duku, Dr: Durian, Jb: Jambu biji, Jr: Jeruk, Kl: Klengkeng, Ma: Mangga, Me: Melon, Mg: Manggis, Nk: Nangka, Ns: Nenas, Pp: Pepaya, Ps: Pisang, Sa: Salak, Se: Semangka, Si: Sirsak, Sr: Srikaya, St: Strawberi, Sw: Sawo
Sumber: Hasil analisis berdasarkan data ZAE (Lampiran 1, 2 dan 3) menggunakan Kriteria Kesesuaian Lahan, Puslitnak (2000). Lanjutan Lampiran 6. d. Tanaman Perkebunan Wilayah
KSP Makro
Timur
A
Kabupaten/ Kecamatan
Kab. Tanjab Barat - Tungkal Ulu - Merlung*)
Tanaman Industri
Tanaman Rempah
J Ka K K Kr Kl Ks K K Kt M Tb Th Tk A Ce Ja Jr Kg Km Ke Ld Pl Sw Wi m p k n b e w
N S 3
N N S 1
S 2
S 2
N N S 3
S 2
N N N S 3
S 2
S 2
S 3
S 3
N N S 2
S 2
S 3
N
- Tungkal Ilir - Pengabuan - Betara B
Kab. Tanjab Timur - Muara Sabak - Mendahara - Dendang - Nipah Panjang - Rantau Rasau - Sadu
Tengah
C
N N N N S 2 N S N N S 3 2 N S N N S 3 2
S 1 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
N N N N N S 2 N S N N N S 3 1 N N N N N S 1 N N N N N S 2 N N N N N S 2 N N N N N S 2
S 2 S 2 S 2 N
Kab. Batanghari - Mersam N S 3 - Muara Tembesi N S 3 - Batin XXIV N S 3
N N S 1 N N S 1 N N S 1
S 2 S 2 S 2
N N S 3 N N S 3 N N S 3
N N N S 3 N N N S 3 N N N S 3
N S 2 N S 2 N S 2
S 3 S 3 S 3
S 3 S 3 S 3
N N N N S 3 N N N N S 3 N N N N S 3
N
N N N N N N N S 3 N N S S N N N S 3 2 3 N N N N N N N S 3 N N N N N N N S 3 N N N N N N N N S 3 N N N N N N N N S 3
N S 2 N S 2 N S 2 N S 2 N S 2 N S 2
N S 3 N S 3 N S 3 N S 3 N S 3 N S 3
N N N N S 3 N N S N S 3 3 N N S N S 3 3 N N N N S 3 N N N N S 3 N N N N S 3
N
S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2
S N S 3 2 N N S 2 N N S 2
S S S 3 3 2 N N S 2 N N S 2
S 2 S 2 S 2
S 1 S 1 S 1
N S3 N S 3 N N N S 3 N N N S 3
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2
N N
N N N N N
N N N
- Muara Bulian - Pemayung - Maro Sebo Ulu
N S 3 N S 3 N S 3
N N S 1 N N S 1 N N S 1
Kab. Muaro Jambi - Jambi Luar Kota N S N N S 3 1 - Mestong N S N N S 3 1 - Sekernan N N N N S 2 Lanjutan Lampiran 6. Wilayah
KSP Makro
Kabupaten/ Kecamatan
- Maro Sebo - Kumpeh - Kumpeh Ulu Kota Jambi
S 2 S 2 S 2
S 1 S 1 S 1
N N S 2 N N S 2 S N S 3 2
S 1 S 1 S 1
N N
N S 3 N N N S 3 N S3 N S 3
S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
N N S 2 N N S 2 N N S 2
S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2
S 1 S 1 S 1
N N S 2 N N S 2 N N S 3
S 1 S 1 S 2
N N N S 3 N N N S 3 N N N S 3
S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2
S 3 S 3 S 3
S 1 S 1 S 1
N N S 2 N N S 2 N N S 2
S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2
Tanaman Industri
N N N
N N N
Tanaman Rempah
J Ka K K Kr Kl Ks K K Kt M Tb Th Tk A Ce Ja Jr Kg Km Ke Ld Pl Sw Wi m p k n b e w N S 3 N S 3 N S 3
N N S 1 N N S 2 N N S 1
S 2 S 2 S 2
S 1 S 1 S 1
N N S 2 N N S 2 N N S 2
S 1 S 2 S 1
N N N S 3 N N N S 3 N N N S 3
S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2
S 3 S 3 S 3
S 1 S 1 S 1
N N S 2 N N S 2 N N S 2
S 3 S 3 S 3
S 2 S 2 S 2
N N N
- Kotabaru - Jambi Selatan - Jelutung - Pasar Jambi - Telanaipura - Danau Teluk - Pelayangan - Jambi Timur D
Kab. Bungo - Pelepat - Rantau Pandan - Tanah Sepenggal - Tanah Tumbuh - Jujuhan - Muara Bungo
N S 3 N S 3 N S 3 N N N S 3 N S 3 N S 3 N S 3
N N S 2 N N S 2 N N S 2 N N N N N S 2 N N S 2 N N S 2 N N S 2
S 1 S 1 S 1 N S 1 S 2 S 2 S 1
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2 S 2
N N S 2 N N S 2 N N S 2 N N N N N S 2 N N S 2 N N S 2 N N S 2
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2 S 2
N N N S 3 N N N S 3 N N N S 3 N N N N N N N S 3 N N N S 3 N N N S 3 N N N S 3
S 1 S 1 S 1 N S 1 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1 N S 1 S 1 S 1 S 1
S 3 S 3 S 3 N S 3 S 3 S 3 S 3
S 1 S 1 S 1 N S 1 S 1 S 1 S 1
N N S 2 N N S 2 N N S 2 N N N N N S 2 N N S 2 N N S 2 N N S 2
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2 S 2
S 2 S 2 S 2 N S 2 S 2 S 2 S 2
N S 2 N S 2 N S 2 N S 2 N S 2 N S
N N S 1 N N S 1 N N S 1 N N S 1 N N S 1 N N S
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S
N S S 3 1 N N S 1 N N S 1 N S S 3 1 N N S 1 N N S
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S
N N N S 3 N N N S 3 N N N S 3 N N N S 3 N N N S 3 N N N S
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S
S 3 S 3 S 3 S 3 S 3 S
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S
N S S 2 1 N N S 1 N N S 1 N S S 2 1 N N S 1 N N S
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S
N N N N N N N N
N N N N N N
2 Kab. Tebo - Tebo Ilir - Tebo Tengah - Sumay - Tebo Ulu - VII Koto - Rimbo Bujang
S 3 S 3 S 3 S 3 N S 3
S 2 S 3 S 3 S 2 S 2 S 2
S 3 S 3 S 3 S 3 N
S 2 S 2 S 2 S 2 N
S 3
S 2
1
1
1
1
1
S 1 S 3 S 3 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 1 S 3 S 3 S 1 S 1 S 1
N N S 1 N S S 3 3 N S S 3 3 N N S 1 N N S 1 N N S 1
S 1 S 3 S 3 S 1 S 1 S 1
3 S 2 S 1 S 1 S 1 N S 3
N S 3 N S 3 N S 3 N S 3 N S 3 N N
1
1
3
1
S S 3 1 N S 2 N S 2 S S 3 1 S S 3 1 S S 3 1
S 1 S 3 S 3 S 1 S 1 S 1
S 3 S 3 S 3 S 3 S 3 S 3
S 1 S 2 S 2 S 1 S 1 S 1
N S 2 N S 2 N S 2 N S 2 N N N S 2
1
1
1
S 1 S 2 S 2 S 1 S 1 S 1
S 1 S 2 S 2 S 1 S 1 S 1
S 1 S 2 S 2 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1 S 1 N S 1
Lanjutan Lampiran 6. Wilayah
KSP Makro
Barat
E
Kabupaten/ Kecamatan
Kab. Merangin - Jangkat - Muara Siau - Pamenang
Tanaman Industri
Tanaman Rempah
J Ka K K Kr Kl Ks K K Kt M Tb Th Tk A Ce Ja Jr Kg Km Ke Ld Pl Sw Wi m p k n b e w N N N N N N N S 3 N S N N S S S S 2 1 1 1 3 N S N N S S S N 2 2 1 1
S 3 S 3 N
N N N S N S 3 3 S S N S N S 1 1 3 3 S S N N N S 2 2 3
S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1
S 3 S 3 S 3
S 1 S 1 S 1
S N S 2 1 S N S 2 1 N N S 1
S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2
N N N
- Bangko
N S 2 N S 2 N S 2 N S 2
N N S 1 N N S 1 N N S 1 N N S 1
S 1 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1 S 1
N N S 1 N N S 1 N N S 1 S S S 3 3 1
S 1 S 1 S 1 S 1
N N N S 3 N N N S 3 N N N S 3 N S N S 3 3
S 1 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1 S 1
S 3 S 3 S 3 S 3
S 1 S 1 S 1 S 1
N N S 1 N N S 1 N N S 1 S N S 1 1
S 1 S 1 S 1 S 1
S 2 S 2 S 2 S 2
Kab. Sarolangun - Batang Asai N S 2 - Muara Limun N S 2 - Pelawan Singkut N S 2 - Sarolangun N S 2 - Pauh N S 2 - Mandiangin N S 2
N N S 1 N N S 1 N N S 1 N N S 1 N N S 1 N N S 1
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
N N S 1 N N S 1 N N S 2 N N S 1 N N S 1 N N S 1
S 1 S 1 S 2 S 1 S 1 S 1
N N N S 3 N N N S 3 N N N S 3 N N N S 3 N N N S 3 N N N S 3
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 2 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 3 S 3 S 3 S 3 S 3 S 3
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
N N S 1 N N S 1 N N S 1 N N S 1 N N S 1 N N S 1
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
N S N N S 3 2 N S N N S 3 2 N N N N N
S 2 S 2 N
S 2 S 2 N
S 2 S 2 S
S N S 2 2 S N S 2 2 N N S
S 1 S 1 S
S 3 S 3 N
S 3 S 3 S
N S 1 N S 1 N S
- Sungai Manau - Tabir - Tabir Ulu
F
Kab. Kerinci - Gunung Raya - Batang Merangin - Danau Kerinci
S 1 S 1 S
S 2 S 2 N
N S 3 N S 3 N S
N S 3 N S 3 N N
N N N N
N N N N N N
S N N 2 S N N 2 N N N
- Keliling Danau
N N N N N N N
- Sitinjau Laut
N N N N N N N
- Sungai Penuh
N N N N N N N
- Hamparan Rawang - Air Hangat
N N N N N N N
- Air Hangat Timur
N N N N N N N N N N N N N N
2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2 S 2
1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1 S 1
N N N N N N N N N N N N N N N N N N
2 S 2 S 3 S 2 S 2 S 2 S 2
N N N N N N
3 S 3 S 3 S 3 S 3 S 3 S 3
1 S 1 S 2 S 1 S 1 S 1 S 1
N N N N N N
3 S 3 S 3 S 3 S 3 S 3 S 3
N N N N N N
1 S 1 S 2 S 1 S 1 S 1 S 1
N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
Lanjutan Lampiran 6. Wilayah
KSP Makro
Kabupaten/ Kecamatan
- Gunung Kerinci - Kayu Aro
Tanaman Industri
Tanaman Rempah
J Ka K K Kr Kl Ks K K Kt M Tb Th Tk A Ce Ja Jr Kg Km Ke Ld Pl Sw Wi m p k n b e w N N N N N N N S S N N N S N S S N S N S N N N N N 2 1 1 3 1 3 1 N N N N N N N S2 S1 N N N S N S S N S N S N N N N N 1 3 1 3 1
Keterangan: *)Data masih bergabung dengan kecamatan induk (Kecamatan Tungkal Ulu). Jm: Jambu mete, Ka: Kakao, Kp: Kapas, Kk: Kapok, Kr: Karet, Kl: Kelapa, Ks: Kelapa sawit, Kn: Kina, Kb: Kopi arabika, Kt: Kopi robusta, Me: Melinjo, Tb: Tebu, Th: The, Tk: Tembakau. Aw: Akar wangi, Ce: Cengkeh, Ja: Jahe, Jr: Jarak, Kg: Kapulaga, Km: Kayu manis, Ld: Lada, Pl: Pala, Sw: Serei wangi, Wi: Wijen.
Sumber: Hasil analisis berdasarkan data ZAE (Lampiran 1, 2 dan 3) menggunakan Kriteria Kesesuaian Lahan, Puslitnak (2000). Lampiran 7. Potensi lahan Wilayah
KSP Kabupaten/ Makro Kota
A. Tanaman Pangan Timur A Tanjung Jabung Barat
Tengah
B
Tanjung Jabung Timur
C
Kota Jambi
Batanghari
Komoditas Pertanian
1998
Padi Sawah Padi Ladang Ubi Jalar Ubi Kayu Jagung Kacang Tanah Kc. Kedelai Padi Sawah Padi Ladang Ubi Jalar Ubi Kayu Jagung Kacang Tanah Kc. Kedelai Padi Sawah Padi Ladang Ubi Jalar Ubi Kayu Jagung Kacang Tanah Kc. Kedelai Padi Sawah Padi Ladang Ubi Jalar Ubi Kayu
32,47 18,96 80,37 104,57 15,13 10,29 11,74 32,47 18,96 80,37 104,57 15,13 10,29 11,74 27,85 86,19 105,67 15,66 10,56 27,53 20,49 86,14 103,38
Produktivitas (kwintal/ha) 1999 2000 2001 33,35 20,08 81,67 106,38 14,77 8,79 10,71 33,35 20,08 81,67 106,38 14,77 8,79 10,71 29,02 81,58 103,32 14,25 9,77 30,30 21,40 85,64 106,16
28,69 18,89 80,00 104,57 18,67 9,74 9,80 29,57 18,88 81,17 104,59 21,96 9,46 11,08 27,14 80,12 104,93 15,90 9,20 35,07 18,29 82,29 105,58
31,22 18,35 82,76 107,89 21,82 10,83 9,08 32,75 18,81 83,03 109,39 21,92 10,55 11,15 33,27 83,04 108,73 15,91 10,71 35,74 18,16 83,11 108,57
2002
1998
32,05 34,00 73,89 100,81 21,00 10,54 10,40 31,91 18,99 70,25 97,45 21,82 9,95 11,12 35,05 23,33 87,84 109,90 19,04 12,17 35,88 25,53 82,33 110,99
0,73 0,86 0,84 0,86 0,57 0,97 0,98 0,73 0,86 0,84 0,86 0,57 0,97 0,98 0,63 0,90 0,87 0,59 0,99 0,62 0,93 0,90 0,85
Indeks Produktivitas 1999 2000 2001 2002 0,75 0,88 0,84 0,87 0,55 0,83 0,89 0,75 0,88 0,84 0,87 0,55 0,83 0,89 0,65 0,84 0,85 0,54 0,93 0,68 0,94 0,88 0,87
0,62 0,83 0,85 0,84 0,68 0,90 0,79 0,64 0,82 0,86 0,84 0,79 0,88 0,90 0,59 0,85 0,84 0,58 0,85 0,76 0,80 0,88 0,84
0,68 0,77 0,85 0,84 0,77 1,00 0,75 0,71 0,79 0,86 0,85 0,77 0,97 0,92 0,72 0,86 0,84 0,56 0,99 0,78 0,76 0,86 0,84
0,69 1,39 0,72 0,76 0,69 0,95 0,87 0,68 0,78 0,68 0,74 0,71 0,89 0,93 0,75 0,96 0,85 0,83 0,62 1,09 0,77 1,05 0,80 0,84
Keterangan
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Jagung Kacang Tanah Kc. Kedelai
15,82 9,61 8,58
16,24 9,77 9,87
19,02 9,39 8,00
19,40 10,55 10,00
20,09 10,48 -
0,60 0,90 0,72
0,61 0,93 0,82
0,69 0,87 0,65
0,68 0,97 0,82
0,66 0,94 -
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Lanjutan Lampiran 7. Wilayah
KSP Kabupaten/ Makro Kota
D
Barat
E
Komoditas Pertanian
Produktivitas (kwintal/ha) 1999 2000 2001 2002 30,30 27,32 30,36 31,50 21,40 18,71 19,34 13,07 85,64 84,58 83,07 82,54 106,16 106,34 109,28 113,03 16,24 20,83 22,63 41,50 9,77 9,55 10,60 10,00 9,87 8,63 9,62 -
1998 0,62 0,93 0,90 0,85 0,60 0,90 0,72
Indeks Produktivitas 1999 2000 2001 0,68 0,59 0,66 0,94 0,82 0,81 0,88 0,90 0,86 0,87 0,85 0,85 0,61 0,75 0,80 0,93 0,89 0,98 0,82 0,70 0,79
Muaro Jambi
Padi Sawah Padi Ladang Ubi Jalar Ubi Kayu Jagung Kacang Tanah Kc. Kedelai
1998 27,53 20,49 86,14 103,38 15,82 9,61 8,58
Bungo
Padi Sawah Padi Ladang Ubi Jalar Ubi Kayu Jagung Kacang Tanah Kc. Kedelai
33,38 19,95 86,81 99,82 16,19 11,39 8,47
32,96 19,33 84,54 107,67 16,20 10,29 9,29
34,44 19,92 82,67 107,95 23,58 11,33 8,35
36,32 21,29 82,98 109,77 23,24 10,62 10,14
37,16 19,16 70,25 134,68 23,47 9,95 10,49
0,75 0,91 0,90 0,82 0,61 1,07 0,71
0,74 0,85 0,87 0,88 0,61 0,98 0,77
0,74 0,87 0,88 0,86 0,85 1,05 0,68
Tebo
Padi Sawah Padi Ladang Ubi Jalar Ubi Kayu Jagung Kacang Tanah Kc. Kedelai
33,38 19,95 86,81 99,82 16,19 11,39 8,47
32,96 19,33 84,54 107,67 16,20 10,29 9,29
35,49 22,40 81,76 106,80 20,92 9,67 7,51
33,55 18,52 82,95 108,92 20,89 10,55 8,20
33,80 16,28 110,00 111,47 20,99 9,62 10,83
0,75 0,91 0,90 0,82 0,61 1,07 0,71
0,74 0,85 0,87 0,88 0,61 0,98 0,77
Merangin
Padi Sawah Padi Ladang Ubi Jalar
31,05 20,33 79,86
22,46 21,32 83,71
30,68 22,47 82,07
32,15 23,20 83,24
32,31 22,82 87,03
0,70 0,93 0,83
0,50 0,94 0,86
Keterangan 2002 0,68 0,54 0,80 0,86 1,36 0,90 -
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
0,79 0,90 0,86 0,85 0,82 0,98 0,83
0,80 0,78 0,68 1,02 0,77 0,89 0,88
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
0,77 0,98 0,87 0,85 0,76 0,90 0,61
0,73 0,78 0,86 0,84 0,73 0,97 0,67
0,73 0,67 1,07 0,84 0,69 0,86 0,91
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
0,66 0,98 0,87
0,70 0,98 0,86
0,69 0,93 0,84
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Ubi Kayu Jagung Kacang Tanah Kc. Kedelai
108,95 18,19 10,84 9,93
105,52 17,50 10,64 11,14
106,94 18,89 11,59 11,89
109,81 19,58 10,48 14,47
102,37 13,11 10,09 10,08
0,89 0,69 1,02 0,83
0,86 0,66 1,01 0,93
0,86 0,68 1,08 0,96
0,85 0,69 0,97 1,19
0,78 0,43 0,91 0,84
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Lanjutan Lampiran 7. Wilayah
KSP Kabupaten/ Makro Kota
Komoditas Pertanian
Produktivitas (kwintal/ha) 1999 2000 2001 2002 22,36 31,82 34,02 34,25 21,32 26,20 23,88 23,99 83,71 80,88 83,31 93,01 105,52 105,77 109,58 106,11 17,50 20,20 20,05 30,16 10,64 9,57 10,59 10,58 11,14 8,97 8,97 10,00 42,50 46,62 48,14 48,73 19,74 20,99 20,39 24,11 81,02 80,44 83,22 86,56 104,95 105,24 109,03 114,20 13,65 17,19 17,63 19,84 9,94 9,64 10,40 10,62 8,65 9,64 10,67 13,33
Padi Sawah Padi Ladang Ubi Jalar Ubi Kayu Jagung Kacang Tanah Kc. Kedelai Padi Sawah Padi Ladang Ubi Jalar Ubi Kayu Jagung Kacang Tanah Kc. Kedelai
1998 31,05 20,33 79,86 108,95 18,19 10,84 9,93 40,68 20,82 80,68 106,19 16,26 10,51 9,36
Propinsi Jambi
Padi Sawah Padi Ladang Ubi Jalar Ubi Kayu Jagung Kacang Tanah Kc. Kedelai
33,44 20,03 82,75 104,55 16,53 10,51 10,08
34,01 20,54 83,63 106,28 16,12 9,83 10,38
33,80 22,07 82,22 106,44 19,91 10,22 9,84
36,09 21,97 83,15 109,43 20,88 10,54 10,87
36,23 21,85 84,00 113,25 23,18 10,24 10,90
Indonesia
Padi Sawah Padi Ladang
44,37 21,95
44,65 22,80
46,34 22,89
45,97 23,74
46,59 24,42
Sarolangun
F
Kerinci
1998 0,70 0,93 0,83 0,89 0,69 1,02 0,83 0,92 0,95 0,84 0,87 0,62 0,99 0,79 0,75 0,91 0,86 0,86 0,63 0,99 0,85
Indeks Produktivitas 1999 2000 2001 0,50 0,69 0,74 0,94 1,14 1,01 0,86 0,86 0,86 0,86 0,85 0,85 0,66 0,73 0,70 1,01 0,89 0,98 0,93 0,73 0,74 0,95 1,01 1,05 0,87 0,92 0,86 0,84 0,86 0,86 0,86 0,84 0,85 0,51 0,62 0,62 0,94 0,90 0,96 0,72 0,78 0,88 0,76 0,90 0,86 0,87 0,61 0,93 0,86
0,73 0,96 0,87 0,85 0,72 0,95 0,80
0,79 0,93 0,86 0,85 0,73 0,97 0,89
Keterangan 2002 0,74 0,98 0,90 0,80 0,99 0,95 0,84 1,05 0,99 0,84 0,87 0,65 0,95 1,12
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
0,78 0,89 0,82 0,86 0,76 0,92 0,91
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Ubi Jalar Ubi Kayu Jagung Kacang Tanah Kc. Kedelai
96,00 122,00 26,43 10,63 11,92
Komoditas Pertanian
1998
Sawi Sawi Sawi Sawi Bawang Merah Bawang Daun Kentang Kubis Sawi Wortel Bawang Merah Bawang Daun Kentang Kubis Sawi Wortel Bawang Merah Bawang Daun Kentang Kubis Sawi Wortel
36,10 30,00 15,00 23,60 121,07 124,67 35,38 39,25 23,75 141,34 150,50 38,45 38,60 23,69 140,60 146,42 37,01 -
97,00 122,00 26,63 10,55 12,01
94,00 125,00 27,65 10,77 12,34
97,00 129,00 28,45 10,84 12,18
103,00 132,00 30,53 11,14 11,95
Lanjutan Lampiran 7. Wilayah
KSP Kabupaten/ Makro Kota
B. Hortikultura Sayuran Timur A Tanjab Barat B Tanjab Timur Tengah C Kota Jambi D Bungo Barat E Merangin
F
Propinsi Jambi
Kerinci
Produktivitas (kwintal/ha) 1999 2000 2001 38,02 15,65 24,18 123,59 121,79 36,75 65,00 41,31 24,25 144,34 147,03 40,00 68,89 38,65 24,23 141,50 145,00 38,24 68,18
59,29 62,43 24,72 20,19 97,48 85,80 60,00 66,05 20,20 113,87 103,52 65,45 70,00 53,31 20,19 112,24 101,85 62,36 70,00
65 45,24 68,83 64,76 36,25 23,68 99,18 82,91 66,67 69,50 23,43 122,04 106,09 67,81 80,00 60,00 23,51 119,63 103,79 64,59 80,00
2002
1998
46,67 68,11 34,00 77,30 26,48 158,42 148,26 30,86 78,22 35,71 133,00 151,32 48,00 71,33 78,07 31,92 137,69 151,16 44,48 71,33
0,41 0,34 0,19 0,31 0,84 0,61 0,40 0,49 0,31 0,98 0,73 0,44 0,00 0,48 0,31 0,98 0,71 0,42 -
Indeks Produktivitas 1999 2000 2001 2002 0,40 0,17 0,27 0,84 0,55 0,38 0,41 0,46 0,28 0,98 0,66 0,42 0,43 0,43 0,28 0,96 0,65 0,40 0,43
0,61 0,64 0,28 0,23 0,63 0,39 0,62 0,74 0,23 0,74 0,47 0,67 0,45 0,60 0,23 0,73 0,46 0,64 0,45
0,68 0,47 0,72 0,67 0,35 0,29 0,67 0,41 0,69 0,66 0,29 0,82 0,52 0,71 0,49 0,57 0,29 0,81 0,51 0,67 0,49
0,50 0,72 0,36 0,89 0,32 1,06 0,71 0,33 0,90 0,44 0,89 0,72 0,51 0,46 0,90 0,39 0,92 0,72 0,47 0,46
Keterangan
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Indonesia
Bawang Merah Bawang Daun Kentang Kubis Sawi Wortel
80,00 76,00 144,00 206,00 88,00 146,00
90,00 88,00 147,00 222,00 96,00 159,00
89,00 87,00 154,00 222,00 97,00 154,00
105,00 82,00 148,00 204,00 96,00 163,00
87,00 82,00 149,00 209,00 94,00 155,00
Lanjutan Lampiran 7. Wilaya KSP Kabupaten/ Kota h Makro
Komoditas Pertanian
1998
Produktivitas (kwintal/ha) 1999 2000 2001
2002
Indeks Produktivitas 1998 1999 2000 2001 2002
Keterangan
C. Hortikultura Buah-Buahan Timur
A
Tanjung Jabung Barat
Alpukat Duku Durian Jambu Jeruk Mangga Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo
30,00 24,00 32,38 27,74 34,80 40,86 57,60 38,91 24,86 14,59
40,00 25,00 33,89 29,18 35,84 43,05 98,33 58,58 34,26 26,88 15,04
52,00 28,71 30,56 32,06 34,42 51,38 118,39 38,02 38,53 26,88 100,00 14,83
80,00 28,07 30,88 37,58 35,28 45,66 146,00 52,64 40,07 24,72 70,00 15,88
152,50 33,00 38,00 138,00 140,00 42,73 335,33 233,33 153,75 24,72 120,00 15,63
0,60 0,20 0,45 0,92 0,35 0,29 0,29 0,26 0,83 0,52
0,67 0,21 0,47 0,97 0,36 0,31 0,66 0,29 0,23 0,90 0,54
0,74 0,24 0,42 1,07 0,34 0,37 0,68 0,19 0,26 0,77 1,82 0,53
1,07 0,23 0,43 1,25 0,35 0,33 0,73 0,26 0,27 0,66 1,17 0,57
1,91 0,28 0,53 4,60 1,40 0,31 1,34 1,17 1,03 0,62 1,85 0,56
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
B
Tanjung Jabung Timur
Alpukat Duku Durian Jambu Jeruk Mangga
30,00 24,00 32,38 27,74 34,80 40,86
40,00 25,00 33,89 29,18 35,84 43,05
52,00 28,71 30,56 32,06 34,42 51,38
80,00 28,07 30,79 36,21 35,71 43,33
140,13 35,40 33,88 125,89 121,44 40,16
0,60 0,20 0,45 0,92 0,35 0,29
0,67 0,21 0,47 0,97 0,36 0,31
0,74 0,24 0,42 1,07 0,34 0,37
1,07 0,23 0,43 1,21 0,36 0,31
1,75 0,30 0,47 4,20 1,21 0,29
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Tengah
C
Kota Jambi
Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo
57,60 38,91 24,86 14,59
98,33 58,58 34,26 26,88 15,04
118,39 38,02 38,53 26,88 100,00 14,83
144,06 51,06 40,05 24,72 70,00 16,04
300,01 309,88 100,10 24,72 125,00 10,00
0,29 0,26 0,83 0,52
0,66 0,29 0,23 0,90 0,54
0,68 0,19 0,26 0,77 1,82 0,53
0,72 0,26 0,27 0,66 1,17 0,57
1,20 1,55 0,67 0,62 1,92 0,36
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Alpukat Duku
30,00 20,00
40,00 20,00
50,00 20,00
45,00 40,00
180,00 30,00
0,60 0,17
0,67 0,17
0,71 0,17
0,60 0,33
2,25 0,25
Tidak Potensial Tidak Potensial
Lanjutan Lampiran 7. Wilayah
KSP Kabupaten/ Makro Kota
Batanghari
Komoditas Pertanian Durian Jambu Jeruk Mangga Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo
1998 20,00 27,33 38,00 41,67 96,67 56,20 38,79 22,86 14,38
Alpukat Duku Durian Jambu Jeruk Mangga Nenas Pepaya
28,33 31,27 33,82 27,61 34,27 38,38 110,97 57,12
Produktivitas (kwintal/ha) 1999 2000 2001 21,11 20,00 31,76 29,23 32,22 42,07 38,70 37,06 37,27 44,09 52,67 45,00 93,33 113,33 165,79 57,17 37,16 56,40 41,03 46,14 39,52 24,72 24,72 24,72 14,71 14,29 14,67 36,43 32,13 35,44 29,07 35,29 41,60 136,20 58,07
46,88 36,97 31,96 32,00 33,89 49,83 164,66 37,68
43,33 37,96 34,02 36,98 36,96 46,21 157,00 52,38
2002 35,00 120,00 119,75 45,00 322,00 429,81 173,35 24,72 54,39
1998 0,28 0,91 0,38 0,30 0,81 0,28 0,26 0,76 0,51
130,00 35,31 36,83 128,86 120,71 42,75 464,67 481,67
0,57 0,26 0,47 0,92 0,34 0,27 0,92 0,29
Indeks Produktivitas 1999 2000 2001 0,29 0,28 0,44 0,97 1,07 1,40 0,39 0,37 0,37 0,31 0,38 0,32 0,62 0,65 0,83 0,29 0,19 0,28 0,27 0,31 0,26 0,82 0,71 0,66 0,53 0,51 0,52 0,61 0,27 0,49 0,97 0,35 0,30 0,91 0,29
0,67 0,31 0,44 1,07 0,34 0,36 0,94 0,19
0,58 0,32 0,47 1,23 0,37 0,33 0,79 0,26
Keterangan 2002 0,49 4,00 1,20 0,32 1,29 2,15 1,16 0,62 1,94
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
1,63 0,29 0,51 4,30 1,21 0,31 1,86 2,41
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Muaro Jambi
Pisang Rambutan Salak Sawo
38,42 20,48 14,19
40,68 22,17 14,65
45,75 22,17 14,36
40,14 24,72 65,00 15,51
115,60 24,72 150,00 21,46
0,26 0,68 0,51
0,27 0,74 0,52
0,31 0,63 0,51
0,27 0,66 1,08 0,55
0,77 0,62 2,31 0,77
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Alpukat Duku Durian Jambu Jeruk Mangga
28,33 31,27 33,82 27,61 34,27 38,38
36,43 32,13 35,44 29,07 35,29 41,60
46,88 36,97 31,96 32,00 33,89 49,83
43,33 34,21 35,49 36,89 37,13 45,43
238,00 33,87 38,18 130,00 159,37 49,25
0,57 0,26 0,47 0,92 0,34 0,27
0,61 0,27 0,49 0,97 0,35 0,30
0,67 0,31 0,44 1,07 0,34 0,36
0,58 0,29 0,49 1,23 0,37 0,32
2,98 0,28 0,53 4,33 1,59 0,35
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
2002 439,94 543,75 161,89 24,72 16,67
1998 0,92 0,29 0,26 0,68 0,51
Indeks Produktivitas 1999 2000 2001 0,91 0,94 0,84 0,29 0,19 0,30 0,27 0,31 0,27 0,74 0,63 0,66 0,52 0,51 0,57
180,00 37,40 34,09 146,72 141,44 50,17 327,78 237,16 327,75 23,51
0,51 0,19 0,43 0,94 0,32 0,28 1,18 0,28 0,26 0,72
Lanjutan Lampiran 7. Wilayah
KSP Kabupaten/ Makro Kota
D
Bungo
Komoditas Pertanian Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo
1998 110,97 57,12 38,42 20,48 14,19
Alpukat Duku Durian Jambu Jeruk Mangga Nenas Pepaya Pisang Rambutan
25,71 23,34 31,26 28,09 32,08 39,67 141,53 55,82 38,60 21,73
Produktivitas (kwintal/ha) 1999 2000 2001 136,20 164,66 168,29 58,07 37,68 59,44 40,68 45,75 40,09 22,17 22,17 24,72 56,67 14,65 14,36 16,06 33,53 23,99 32,76 29,50 33,09 41,82 135,98 56,80 40,89 23,51
43,60 27,60 29,55 32,53 31,80 50,00 164,37 36,90 45,99 23,51
89,10 28,78 32,12 30,73 35,93 46,41 156,13 52,07 40,26 23,51
0,56 0,20 0,46 0,98 0,33 0,30 0,91 0,28 0,27 0,78
0,62 0,23 0,41 1,08 0,32 0,36 0,94 0,18 0,31 0,67
1,19 0,24 0,45 1,02 0,36 0,33 0,78 0,26 0,27 0,63
Keterangan 2002 1,76 2,72 1,08 0,62 0,60
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
2,25 0,31 0,47 4,89 1,41 0,36 1,31 1,19 2,19 0,59
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Tebo
Salak Sawo
100,00 14,29
100,00 14,72
100,00 14,43
62,67 15,99
120,00 8,95
2,22 0,51
2,00 0,53
1,82 0,52
1,04 0,57
1,85 0,32
Tidak Potensial Tidak Potensial
Alpukat Duku Durian Jambu Jeruk Mangga Nenas Pepaya Pisang Rambutan
25,71 23,34 31,26 28,09 32,08 39,67 141,53 55,82 38,60 21,73
33,53 23,99 32,76 29,50 33,09 41,82 135,98 56,80 40,89 23,51
43,60 27,60 29,55 32,53 31,80 50,00 164,37 36,90 45,99 23,51
89,10 28,78 33,55 34,52 36,32 47,57 148,18 52,09 39,94 18,71
216,67 35,11 36,83 145,00 109,83 42,70 322,50 260,00 162,80 18,71
0,51 0,19 0,43 0,94 0,32 0,28 1,18 0,28 0,26 0,72
0,56 0,20 0,46 0,98 0,33 0,30 0,91 0,28 0,27 0,78
0,62 0,23 0,41 1,08 0,32 0,36 0,94 0,18 0,31 0,67
1,19 0,24 0,47 1,15 0,36 0,34 0,74 0,26 0,27 0,50
2,71 0,29 0,51 4,83 1,10 0,31 1,29 1,30 1,09 0,47
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Lanjutan Lampiran 7. Wilayah
Barat
KSP Kabupaten/ Makro Kota
E
Merangin
Komoditas Pertanian Salak Sawo
1998 100,00 14,29
Alpukat Duku Durian Jambu Jeruk Mangga Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo
27,46 27,92 33,53 28,14 32,05 40,70 109,29 56,55 39,80 17,29 90,00 14,03
Produktivitas (kwintal/ha) 1999 2000 2001 100,00 100,00 60,00 14,72 14,43 17,35 36,19 28,68 35,15 29,64 33,06 42,92 105,00 57,54 42,18 18,71 90,00 14,36
47,36 32,98 31,70 32,60 31,57 51,42 125,56 37,38 47,45 18,71 90,00 13,98
35,78 35,05 33,40 34,72 36,33 45,65 166,11 52,12 40,88 22,17 65,00 15,91
2002 60,00 15,86
1998 2,22 0,51
158,76 35,06 39,45 134,25 105,45 45,60 366,00 545,79 112,00 22,17 60,00 16,36
0,55 0,23 0,47 0,94 0,32 0,29 0,91 0,28 0,27 0,58 2,00 0,50
Indeks Produktivitas 1999 2000 2001 2002 2,00 1,82 1,00 0,92 0,53 0,52 0,62 0,57 0,60 0,24 0,49 0,99 0,33 0,31 0,70 0,29 0,28 0,62 1,80 0,51
0,68 0,27 0,44 1,09 0,32 0,37 0,72 0,19 0,32 0,53 1,64 0,50
0,48 0,29 0,46 1,16 0,36 0,33 0,83 0,26 0,27 0,59 1,08 0,57
1,98 0,29 0,55 4,48 1,05 0,33 1,46 2,73 0,75 0,55 0,92 0,58
Keterangan Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
F
Sarolangun
Alpukat Duku Durian Jambu Jeruk Mangga Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo
Kerinci
Alpukat Duku
27,46 27,92 33,53 28,14 32,05 40,70 109,29 56,55 39,80 17,29 90,00 14,03
36,19 28,68 35,15 29,64 33,06 42,92 105,00 57,54 42,18 18,71 90,00 14,36
47,36 32,98 31,70 32,60 31,57 51,42 125,56 37,38 47,45 18,71 90,00 13,98
134,34 31,79 32,97 40,82 37,63 47,45 167,14 51,19 42,64 26,58 60,00 15,29
189,02 33,94 38,31 148,51 130,15 42,64 250,00 290,00 100,00 26,88 50,00 12,73
0,55 0,23 0,47 0,94 0,32 0,29 0,91 0,28 0,27 0,58 2,00 0,50
0,60 0,24 0,49 0,99 0,33 0,31 0,70 0,29 0,28 0,62 1,80 0,51
0,68 0,27 0,44 1,09 0,32 0,37 0,72 0,19 0,32 0,53 1,64 0,50
1,79 0,26 0,46 1,36 0,38 0,34 0,84 0,26 0,28 0,71 1,00 0,55
2,36 0,28 0,53 4,95 1,30 0,30 1,00 1,45 0,67 0,67 0,77 0,45
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
25,14 27,50
33,14 28,33
43,49 31,67
99,07 26,67
103,92 36,92
0,50 0,23
0,55 0,24
0,62 0,26
1,32 0,22
1,30 0,31
Tidak Potensial Tidak Potensial
Lanjutan Lampiran 7. Wilayah
KSP Makro
Kabupaten/ Kota
Komoditas Pertanian Durian Jambu Jeruk Mangga Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo
Propinsi Jambi
Alpukat Duku Durian
1998 35,59 29,54 35,76 35,50 114,00 56,21 38,40 25,98 17,50 26,17 27,24 32,97
Produktivitas (kwintal/ha) 1999 2000 2001 37,26 33,58 33,71 31,00 34,24 42,88 36,81 35,42 40,13 37,19 44,39 44,17 108,89 131,25 168,13 57,18 37,15 53,61 40,74 45,82 40,31 28,07 28,07 28,07 16,67 15,45 17,06 34,48 27,60 34,06
45,07 31,61 30,67
146,27 27,72 33,19
2002 35,21 142,45 102,43 46,67 385,00 321,58 112,00 28,07 32,82
1998 0,49 0,98 0,36 0,25 0,95 0,28 0,26 0,87 0,63
125,23 34,88 37,16
0,52 0,23 0,46
Indeks Produktivitas 1999 2000 2001 0,52 0,47 0,47 1,03 1,14 1,43 0,37 0,35 0,40 0,27 0,32 0,32 0,73 0,75 0,84 0,29 0,19 0,27 0,27 0,31 0,27 0,94 0,80 0,75 0,60 0,55 0,61 0,57 0,23 0,47
0,64 0,26 0,43
1,95 0,23 0,46
Keterangan 2002 0,49 4,75 1,02 0,33 1,54 1,61 0,75 0,70 1,17
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
1,57 0,29 0,52
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Jambu Jeruk Mangga Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo
28,13 33,57 39,54 112,23 56,23 38,83 21,73 95,00 14,29
29,60 35,24 42,10 135,24 57,38 39,22 23,06 95,00 14,71
32,57 33,56 50,35 162,92 37,21 44,17 29,14 96,18 14,41
37,16 37,24 46,01 166,12 52,64 40,35 29,55 62,00 16,17
135,00 121,35 44,43 355,70 407,49 138,04 44,03 41,72 32,21
0,94 0,34 0,28 0,94 0,28 0,26 0,72 2,11 0,51
0,99 0,35 0,30 0,90 0,29 0,26 0,77 1,90 0,53
1,09 0,34 0,36 0,93 0,19 0,29 0,83 1,75 0,51
1,24 0,37 0,33 0,83 0,26 0,27 0,79 1,03 0,58
4,50 1,21 0,32 1,42 2,04 0,92 1,10 0,64 1,15
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Lanjutan Lampiran 7. Wilayah
KSP Kabupaten/ Makro Kota
Komoditas Pertanian
1998
Produktivitas (kwintal/ha) 1999 2000 2001
2002
Indeks Produktivitas 1998 1999 2000 2001 2002
1,67 8,34 14,23 27,92 3,42 4,00
0,34 1,45 1,90 1,42 0,72 0,32
Keterangan
D. Perkebunan Timur
A
Tanjung Jabung Barat
Kakao Karet Kayu Manis Kelapa Dalam Kelapa Hibrida Kelapa Sawit Kemiri Kopi Kapulaga Lada
2,52 6,84 14,69 27,49 3,16 1,57
2,52 6,84 14,71 23,22 3,16 1,67
2,28 8,24 14,55 36,20 2,26 2,00
1,67 8,21 14,23 29,30 3,86 3,00
0,48 1,66 1,81 1,33 0,68 0,37
0,44 1,97 1,77 2,01 0,51 0,44
0,32 1,87 1,69 1,61 0,88 0,72
0,32 1,88 1,65 1,51 0,78 0,98
Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Teh Vanili
Tengah
B
Tanjung Jabung Timur
Kakao Karet Kayu Manis Kelapa Dalam Kelapa Hibrida Kelapa Sawit Kemiri Kopi Kapulaga Lada Teh Vanili
C
Kota Jambi
Kakao Karet
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Tidak Potensial Tidak Potensial
2,52 6,84 14,69 27,49 3,16 1,57 -
2,52 6,84 14,71 3,90 23,22 3,16 1,67 -
3,52 6,88 14,91 1,13 25,33 3,24 1,54 -
3,59 9,50 14,87 3,56 19,42 3,31 1,92 -
3,59 8,69 14,87 3,56 19,43 3,31 1,67 -
0,34 1,45 1,90 1,42 0,72 0,32 -
0,48 1,66 1,81 0,48 1,33 0,68 0,37 -
0,68 1,65 1,81 0,14 1,40 0,73 0,34 -
0,69 2,17 1,76 0,42 1,07 0,75 0,46 -
0,69 1,96 1,72 0,41 1,05 0,75 0,41 -
Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
-
-
-
-
-
Tidak Potensial Tidak Potensial
-
-
-
-
-
Lanjutan Lampiran 7. Wilayah
KSP Makro
Kabupaten/ Kota
Komoditas Pertanian Kayu Manis Kelapa Dalam Kelapa Hibrida Kelapa Sawit Kemiri Kopi Kapulaga Lada Teh Vanili
1998 -
Produktivitas (kwintal/ha) 1999 2000 2001 -
2002 -
Indeks Produktivitas 1998 1999 2000 2001 2002 -
Keterangan Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Batanghari
Muaro Jambi
Kakao Karet Kayu Manis Kelapa Dalam Kelapa Hibrida Kelapa Sawit Kemiri Kopi Kapulaga Lada Teh Vanili
6,81 6,85 10,12 7,35 19,87 5,64 -
6,94 8,84 9,96 7,35 25,82 5,55 -
6,77 8,41 10,07 7,14 28,45 5,36 -
7,58 7,28 9,95 7,14 30,89 5,46 -
6,36 7,28 9,95 7,14 31,16 5,46 -
0,93 1,45 1,31 0,95 1,03 1,28 -
1,32 2,14 1,22 0,90 1,48 1,19 -
1,31 2,01 1,22 0,87 1,58 1,21 -
1,45 1,66 1,18 0,85 1,70 1,24 -
1,22 1,64 1,15 0,83 1,68 1,24 -
Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
-
-
-
Kakao Karet Kayu Manis Kelapa Dalam Kelapa Hibrida Kelapa Sawit
6,81 6,85 10,12 7,35 19,87
6,94 8,84 9,96 7,35 25,82
7,04 7,99 9,76 7,45 31,78
6,67 6,71 9,80 7,45 32,91
6,67 6,74 9,80 7,45 32,74
0,93 1,45 1,31 0,95 1,03
1,32 2,14 1,22 0,90 1,48
1,37 1,91 1,18 0,90 1,76
1,28 1,53 1,16 0,88 1,81
1,28 1,52 1,14 0,86 1,76
Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Potensial
Lanjutan Lampiran 7. Wilayah
KSP Makro
Kabupaten/ Kota
Komoditas Pertanian Kemiri Kopi Kapulaga Lada Teh Vanili
D
Bungo
Kakao
Produktivitas (kwintal/ha) 1998 1999 2000 2001 5,64 5,55 5,97 6,11 5,00 5,00 5,00 5,00 7,65 7,65 7,65 7,65 3,05
2,21
1,00
4,00
2002 6,25 5,00 7,65 -
1998 1,28 1,85 1,55 -
5,00
0,42
Indeks Produktivitas 1999 2000 2001 1,19 1,35 1,39 1,72 1,61 1,43 1,71 1,67 1,83 0,42
0,19
0,77
Keterangan 2002 1,42 5,00 1,87 -
Tidak Potensial Potensial Potensial Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
0,96
Tidak Potensial
Tebo
Karet Kayu Manis Kelapa Dalam Kelapa Hibrida Kelapa Sawit Kemiri Kopi Kapulaga Lada Teh Vanili
7,50 3,67 8,16 3,84 19,57 4,16 2,00 -
6,92 4,24 8,16 3,77 23,26 3,94 1,56 -
6,56 4,57 8,21 2,98 29,80 3,95 1,00 -
6,90 3,64 8,14 1,89 31,27 3,96 1,67 -
6,94 3,64 8,14 1,83 31,96 3,96 1,67 -
1,59 1,05 1,06 0,50 1,01 0,94 0,40 -
1,68 1,37 1,00 0,46 1,33 0,85 0,35 -
1,57 1,12 1,00 0,36 1,65 0,89 0,22 -
1,58 0,80 0,97 0,22 1,72 0,90 0,40 -
1,56 0,78 0,94 0,21 1,72 0,90 0,41 -
Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Kakao Karet Kayu Manis Kelapa Dalam Kelapa Hibrida Kelapa Sawit Kemiri Kopi Kapulaga Lada
3,05 7,50 3,67 8,16 3,84 19,57 4,16 2,00
2,21 6,92 4,24 8,16 3,77 23,26 3,94 1,56
2,22 7,32 3,69 8,06 3,84 21,49 3,90 1,17
2,31 7,92 3,69 7,93 3,89 21,62 5,02 1,67
2,21 7,54 3,69 7,93 3,89 18,50 3,99 1,67
0,42 1,59 1,05 1,06 0,50 1,01 0,94 0,40
0,42 1,68 1,37 1,00 0,46 1,33 0,85 0,35
0,43 1,75 0,91 0,98 0,47 1,19 0,88 0,25
0,44 1,81 0,81 0,94 0,46 1,19 1,14 0,40
0,42 1,70 0,79 0,92 0,45 1,00 0,91 0,41
Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Lanjutan Lampiran 7. Wilayah
KSP Makro
Kabupaten/ Kota
Komoditas Pertanian Teh Vanili
Barat
E
Merangin
Kakao Karet Kayu Manis
1998 7,18 7,86
Produktivitas (kwintal/ha) 1999 2000 2001 7,18 7,68
6,80 9,18
6,81 9,28
2002 6,88 9,28
Keterangan
Indeks Produktivitas 1998 1999 2000 2001 2002 -
Tidak Potensial Tidak Potensial
0,98 1,67
Tidak Potensial Potensial Potensial
1,36 1,86
1,32 2,20
1,30 2,12
1,32 2,09
F
Kelapa Dalam Kelapa Hibrida Kelapa Sawit Kemiri Kopi Kapulaga Lada Teh Vanili
4,87 5,28 23,17 6,07 3,30 2,04 -
4,86 4,94 23,28 6,43 3,43 2,00 -
5,44 3,22 29,47 6,00 2,09 2,50 -
5,38 3,91 32,98 6,13 2,61 0,65 -
5,38 3,94 36,33 6,13 2,67 0,90 -
1,39 0,68 3,00 0,31 0,87 0,46 -
1,57 0,61 2,86 0,37 1,23 0,43 -
1,34 0,39 3,58 0,33 0,58 0,56 -
1,18 0,46 3,91 0,34 0,72 0,15 -
1,16 0,46 4,21 0,33 0,71 0,21 -
Potensial Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Sarolangun
Kakao Karet Kayu Manis Kelapa Dalam Kelapa Hibrida Kelapa Sawit Kemiri Kopi Kapulaga Lada Teh Vanili
1,25 7,18 7,86 4,87 5,28 23,17 6,07 3,30 2,04 -
1,24 7,18 7,68 4,86 4,94 23,28 6,43 3,43 2,00 -
1,26 7,55 3,02 5,10 3,11 31,90 7,50 2,16 2,50 -
3,63 7,58 3,02 4,70 6,98 30,72 8,50 2,34 2,03 -
3,61 7,54 3,02 4,70 6,98 25,71 7,50 2,52 1,67 -
0,17 1,52 2,25 0,63 0,68 1,20 1,60 0,75 0,41 -
0,24 1,74 2,48 0,60 0,61 1,33 2,30 0,74 0,45 -
0,24 1,81 0,74 0,62 0,38 1,77 2,09 0,49 0,54 -
0,70 1,73 0,66 0,56 0,83 1,69 2,33 0,53 0,49 -
0,69 1,70 0,65 0,54 0,81 1,39 2,00 0,57 0,41 -
Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Potensial Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Kerinci
Kakao Karet
5,78
5,75
6,22
6,09
6,26
1,22
1,39
1,49
1,39
1,41
Tidak Potensial Potensial
Lanjutan Lampiran 7. Wilayah
KSP Makro
Kabupaten/ Kota
Komoditas Pertanian Kayu Manis Kelapa Dalam Kelapa Hibrida Kelapa Sawit
Produktivitas (kwintal/ha) 1998 1999 2000 2001 16,33 20,24 19,90 24,34 1,54 1,77 1,61 1,92 -
2002 22,92 1,92 -
Indeks Produktivitas 1998 1999 2000 2001 2002 4,67 6,53 4,89 5,35 4,93 0,20 0,22 0,20 0,23 0,22 -
Keterangan Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial
Propinsi Jambi
Kemiri Kopi Kapulaga Lada Teh Vanili
1,60 1,98 3,00 1,17 20,93 37,93
2,36 1,99 2,76 1,20 21,29 11,72
0,52 1,97 3,14 3,33 21,29 8,57
2,70 2,26 2,00 1,67 24,55 2,50
2,64 0,42 0,85 2,46 0,45 0,43 2,09 1,11 0,95 1,83 0,24 0,27 20,90 1,97 2,08 3,45 33,57 10,10
0,14 0,44 1,01 0,73 2,06 6,59
0,74 0,51 0,57 0,40 2,26 1,26
0,70 0,56 0,54 0,45 1,92 1,74
Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Potensial Potensial
Kakao Karet Kayu Manis Kelapa Dalam Kelapa Hibrida Kelapa Sawit Kemiri Kopi Kapulaga Lada Teh Vanili
2,33 7,20 15,07 14,13 4,80 21,52 3,36 2,93 3,12 3,24 20,93 33,28
2,29 7,39 18,12 14,15 4,21 24,21 3,56 2,88 3,14 3,03 21,29 11,72
2,33 7,42 18,29 14,16 2,11 30,02 1,33 2,66 3,44 3,38 21,29 8,57
3,64 7,34 22,26 13,95 3,97 30,68 3,16 2,98 3,80 2,19 24,55 2,50
3,59 0,32 0,43 7,27 1,53 1,79 21,04 4,31 5,85 13,95 1,83 1,74 3,97 0,62 0,52 30,25 1,11 1,39 3,22 0,88 1,28 3,01 0,66 0,62 3,34 0,63 0,70 2,28 1,20 1,04 20,90 1,97 2,08 3,45 29,45 10,10
0,45 1,78 4,49 1,72 0,26 1,66 0,37 0,60 0,75 1,09 2,06 6,59
0,70 1,68 4,89 1,65 0,47 1,69 0,87 0,68 0,91 0,63 2,26 1,26
0,69 1,64 4,52 1,62 0,46 1,63 0,86 0,69 0,81 0,58 1,92 1,74
Tidak Potensial Potensial Potensial Potensial Tidak Potensial Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Tidak Potensial Potensial Potensial
Lampiran 8. Analisis basis ekonomi a. LQ Tenaga Kerja Wilaya KSP Kabupaten/ Kota h Makro Timur
A
Tanjab Barat
Komoditas Pertanian
1998
Tenaga Kerja (KK) 1999 2000 2001
2002
Indeks LQ Tenaga Kerja 1998 1999 2000 2001 2002
Karet Kelapa Dalam Kelapa Sawit
5.309 25.065 10.559
5.435 26.679 10.559
4.653 24.232 10.836
0,32 3,08 1,80
4.653 29.341 10.823
4.653 24.232 10.847
0,34 3,54 1,95
0,28 3,76 1,65
0,28 2,79 1,60
0,28 3,22 1,75
Keterangan Non Basis Basis Basis
Tengah
B
Tanjab Timur
Karet Kelapa Dalam Kelapa Sawit
2.376 21.729 0
2.182 20.115 0
2.800 22.562 0
1.848 25.309 438
1.848 22.589 438
0,16 2,98 0,00
0,15 2,98 0,00
0,18 3,13 0,00
0,12 3,22 0,07
0,13 3,48 0,08
Non Basis Basis Non Basis
C
Batanghari
Karet Kelapa Dalam Kelapa Sawit Karet Kelapa Dalam Kelapa Sawit Kopi Kapulaga Lada
29.570 2.422 10.693 15.410 3.849 16.025 610 27 90
29.570 2.422 10.693 15.410 3.849 16.025 610 27 90
29.398 2.350 13.536 17.121 3.921 21.025 610 27 90
31.093 2.704 10.845 15.261 3.921 16.848 610 27 90
31.122 2.350 11.818 15.363 3.921 16.376 610 27 90
2,00 0,34 2,08 0,85 0,44 2,53 0,23 0,70 1,12
2,13 0,37 2,25 0,90 0,47 2,74 0,25 0,71 1,22
1,94 0,33 2,24 0,92 0,44 2,83 0,26 0,81 1,26
2,01 0,34 1,74 0,81 0,41 2,23 0,21 0,70 1,27
2,06 0,35 2,11 0,81 0,46 2,34 0,20 0,68 1,24
Basis Non Basis Basis Non Basis Non Basis Basis Non Basis Non Basis Basis
Karet Kelapa Sawit Karet Kelapa Sawit
28.429 3.908 35.357 4.974
28.070 3.895 34.912 4.959
27.173 2.433 34.595 9.379
31.053 6.491 36.698 7.553
30.897 9.607 39.551 6.658
1,77 0,70 2,15 0,87
1,64 0,67 2,00 0,83
1,56 0,35 1,99 1,35
1,77 0,92 2,04 1,04
1,81 1,52 2,23 1,01
Basis Non Basis Basis Non Basis
Karet Kelapa Kelapa Sawit Kayu Manis
37.616 14.500 17.337 7.630
36.257 14.500 17.337 7.630
39.041 14.502 17.955 7.630
39.001 14.142 18.138 7.630
39.421 14.142 11.671 7.704
2,01 1,60 2,66 1,81
1,74 1,46 2,43 1,65
1,95 1,53 2,25 1,75
1,90 1,34 2,19 1,71
1,96 1,56 1,57 1,73
Basis Basis Basis Basis
1998
Tenaga Kerja (KK) 1999 2000 2001
2002
1998
31.215 0
30.086 913
27.039 884
2,36 0,00
Muaro Jambi
D
Bungo Tebo
Barat
E
Merangin
Lanjutan Lampiran 8. Wilayah
KSP Kabupaten/ Makro Kota Sarolangun
Komoditas Pertanian Karet Kelapa Sawit
35.917 885
34.517 885
Indeks LQ Tenaga Kerja 1999 2000 2001 2002 2,05 0,18
2,56 0,16
2,38 0,15
1,90 0,17
Keterangan Basis Non Basis
Kemiri F
Kerinci
Propinsi Jambi
187
187
175
175
175
0,66
0,57
0,53
0,53
0,53
Non Basis
Karet Kayu Manis Teh Vanili
288 24.246 0 4.175
302 24.228 0 4.175
209 24.810 0 3.687
267 25.149 0 2.820
219 25.212 0 2.652
0,01 4,56 0,00 6,60
0,01 4,81 0,00 7,00
0,01 4,88 0,00 7,50
0,01 4,91 0,00 8,77
0,01 4,99 0,00 8,35
Non Basis Basis Non Basis Basis
Karet Kelapa Kelapa Sawit Kopi Kapulaga Kemiri Kayu Manis Lada Teh Vanili
182.524 88.088 63.468 26.364 385 3.945 41.019 803 0 4.879,0
185.570 88.563 63.496 26.937 414 4.153 41.188 803 0 4.879,0
190.907 90.675 76.036 24.432 341 4.462 41.536 734 0 4.012,0
194.391 100.081 78.276 30.139 400 4.385 42.186 730 0 2.652,0
190.113 85.646 70.331 30.139 400 4.385 42.186 730 0 2.652,0
Lanjutan Lampiran 8. b. LQ Pendapatan Wilayah
KSP Kabupaten/ Makro Kota
Komoditas Pertanian
1998
Pendapatan (Juta Rupiah) 1999 2000 2001
2002
Indeks LQ Pendapatan) 1998 1999 2000 2001 2002
Keterangan
Timur
Tengah
A
Tanjab Barat
Karet Kelapa Dalam Kelapa Sawit
28.307 54.579 23.995
28.340 54.664 30.542
32.648 54.539 43.832
31.553 55.021 49.896
31.613 6,80 7,69 9,02 7,72 7,30 55.021 25,97 23,87 23,85 22,24 20,81 49.100 10,06 11,32 15,15 15,43 13,91
Basis Basis Basis
B
Tanjab Timur
Karet Kelapa Dalam Kelapa Sawit
5.160 44.447 809
5.168 44.517 1.030
6.388 44.642 1.900
5.788 44.694 1.457
5.293 1,12 1,32 1,49 1,27 1,14 44.694 19,08 18,26 16,49 16,19 15,74 1.458 0,31 0,36 0,55 0,40 0,38
Basis Basis Non Basis
C
Batanghari
Karet Kelapa Dalam Kelapa Sawit Karet Kelapa Dalam Kelapa Sawit Kopi Kapulaga Lada
90.797 362 20.237 47.477 213 24.793 66 4 0
99.189 356 28.640 51.867 210 35.088 66 4 29
107.079 355 58.867 60.945 211 59.392 65 4 26
99.271 361 60.447 49.372 212 81.299 66 4 26
99.271 361 62.359 49.495 212 81.883 68 4 0
Karet Kelapa Sawit Karet Kelapa Sawit
91.409 8.047 150.846 4.218
85.020 16.967 140.300 8.894
79.454 15.667 145.072 16.718
Karet
101.122
101.174
332 25.062 3.523
331 26.610 3.550
Muaro Jambi
D
Bungo Tebo
Barat
E
Merangin
Kelapa Kelapa Sawit Kayu Manis
Lanjutan Lampiran 8.
37,26 0,29 14,50 19,14 0,17 17,45 0,08 0,25 0,00
42,31 0,24 16,68 23,39 0,15 21,60 0,08 0,23 0,39
48,93 0,26 33,64 27,89 0,15 34,00 0,07 0,20 0,35
45,54 0,27 35,07 20,10 0,14 41,85 0,06 0,16 0,35
40,46 0,24 31,17 19,81 0,14 40,20 0,07 0,15 0,00
Basis Non Basis Basis Basis Non Basis Basis Non Basis Non Basis Non Basis
90.606 31.225 147.371 15.576
91.179 37,55 39,16 36,97 37,59 44.763 5,77 10,67 9,12 16,38 138.659 88,40 90,46 94,50 90,64 15.749 4,31 7,83 13,62 12,12
37,19 22,40 80,69 11,24
Basis Basis
103.401
105.340
107.496 39,74 44,37 46,23 41,80 41,94
Basis
337 61.771 3.493
337 45.771 3.530
337 0,26 0,23 0,24 0,22 0,22 51.822 17,19 15,93 34,55 22,97 24,80 3.533 61,69 66,59 49,03 41,73 40,82
Basis
Basis
Basis Non Basis Basis
Wilaya KSP Kabupaten/ Kota h Makro Sarolangun
Komoditas Pertanian Karet
Propinsi Jambi
1998
Indeks LQ Pendapatan Keterangan 1999 2000 2001 2002
0,08
Basi s Basi s Non Basi s
358 64.468 25.000 1.000
224 0,12 0,13 0,13 0,10 0,06 60.790 558,4 684,5 513,9 532,2 490,5 25.000 42,30 42,72 43,10 38,83 38,73 1.000 1,49 0,47 2,02 0,51 0,35
Non Basis Basis Basis Non Basis
653.371 103.978 324.745 16.083 4 3 68.100 26 25.000 1.000
654.176 18,38 21,29 21,73 19,65 19,34 103.978 5,92 5,61 5,45 5,17 5,04 330.160 6,01 7,39 11,26 12,35 11,97 16.639 1,43 1,36 1,14 1,16 1,20 4 0,99 0,86 0,79 0,84 0,77 3 0,05 0,12 0,03 0,09 0,10 64.425 63,58 80,90 58,77 61,01 56,42 0 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 25.000 4,47 4,71 4,60 4,21 4,20 1.000 0,14 0,08 0,22 0,05 0,05
Basis Basis Basis Basis Non Basis Non Basis Basis Non Basis Basis Non Basis
118.821
116.735
123.713
11.671
12.392
11.975
39.075
23.164
9,35
8,80
7,71 22,91 12,95
4
5
3
3
3
0,13
0,27
0,09
Karet Kayu Manis Teh Vanili
423 45.663 25.000 2.000
410 52.230 25.000 1.000
431 52.450 25.000 3.000
Karet Kelapa Kelapa Sawit Kopi Kapulaga Kemiri Kayu Manis Lada Teh Vanili
634.302 103.127 118.829 15.771 4 4 49.245 0 25.000 2.000
630.289 103.299 160.161 15.369 4 5 55.993 29 25.000 1.000
652.153 103.302 270.120 15.318 4 3 56.155 26 25.000 3.000
Kemiri Kerinci
2002
118.760
Kelapa Sawit
F
Pendapatan (Juta Rupiah) 1999 2000 2001
1998
130.944 54,52 61,77 60,09 57,35 59,69
0,09