PERSEPSI, KONSUMSI DAN KONTRIBUSI LAUK HEWANI PADA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD CIBINONG
AL YASIR NENE AMA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
1
ABSTRACT AL YASIR NENE AMA. Perception, Consumption and Contribution of Chicken, Eggs, Fish and Beef Dishes towards Patients in Cibinong Hospital. Under the guidance of SITI MADANIJAH and VERA URIPI. The purpose of this study is to assess the perception, consumption and contribution of chicken, eggs, fish and beef dishes towards hospitalized patients in Cibinong Hospital. A total of 40 qualified respondents gave their perception on the characteristics (color, aroma, flavor, texture and portion) of the four types of dishes (chicken, eggs, fish and beef) that were served at the hospital. Consumption by the respondents were used to obtain the level consumption and its contribution towards whole menu and the respondent requirements. The results showed that most of the respondents satisfied by the four types of dishes but the level of consumption was still low. The contribution of the dishes towards the whole menu and the respondent requirements were fair. The results of correlation test showed no significant relationship (P> 0.05) between the characteristics of the sample with the perception of chicken, eggs, fish and beef dishes. There was a significant relationship (P < 0.05) between the respondents perception of chicken and fish dishes with the consumption levels while there was no significant relationship (P > 0.05) between the respondents perception of eggs and beef dishes with the level of consumption. Key words: chicken, eggs, fish and beef dishes; perception; consumption; contribution
2
RINGKASAN AL YASIR NENE AMA. Persepsi, Konsumsi dan Kontribusi Lauk Hewani pada Pasien Rawat Inap di RSUD Cibinong. Di bawah bimbingan SITI MADANIJAH dan VERA URIPI. Secara umum, tujuan penelitian ini adalah mempelajari persepsi, konsumsi dan kontribusi lauk hewani pada pasien rawat inap di RSUD Cibinong. Tujuan khususnya yaitu (1) mempelajari karakteristik contoh (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jenis penyakit); (2) mempelajari persepsi contoh terhadap karakteristik lauk hewani yang disajikan; (3) mempelajari ketersediaan, konsumsi dan kontribusi energi dan protein lauk hewani; (4) menganalisis hubungan karakteristik contoh dengan persepsi contoh, serta; (5) menganalisis hubungan persepsi contoh dengan tingkat konsumsi energi dan protein lauk hewani. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yang dilaksanakan di RSUD Cibinong, Kabupaten Bogor. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September – Oktober 2011. Contoh dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap di RSUD Cibinong. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling yang memenuhi kriteria inklusi. Jumlah contoh yang telah memenuhi syarat inklusi dan digunakan dalam penelitian ini adalah 40 orang. Pengamatan persepsi contoh terhadap lauk hewani dilakukan pada siklus menu ke-1 dan ke-2 karena pada kedua siklus menu ini terdapat empat jenis lauk hewani yang berbeda (ayam, telur, ikan dan daging) Persepsi contoh terhadap lauk hewani dikelompokkan menjadi kategori tidak suka, kurang suka, suka dan sangat suka pada setiap karakteristik lauk hewani (rasa, aroma, tekstur, warna dan kesesuaian porsi). Persepsi terhadap setiap karakteristik dinilai dan hasil penjumlahannya dikategorikan lagi menjadi tidak suka, kurang suka, suka dan sangat suka. Penjumlahan dari persepsi setiap karakteristik tersebut merupakan persepsi akumulatif terhadap setiap jenis lauk hewani. Kebutuhan energi dihitung dengan cara memperkirakan kebutuhan energi contoh sesuai Angka Metabolisme Basal (AMB), faktor aktifitas dan faktor stres. Ketersediaan lauk hewani dihitung berdasarkan standar porsi yang digunakan di rumah sakit. Perkiraan kebutuhan protein sehari dihitung dari 15.0% total kebutuhan energi sehari. Konsumsi lauk hewani contoh dihitung menggunakan metode pengamatan langsung dengan melihat sisa makanan. Analisis data dilakukan secara statistik deskriptif menggunakan MS. Excel 2007 dan analisis statistik inferensia dengan program SPSS 16.0 for window yang menggunakan uji korelasi spearman untuk melihat hubungan antar variabel dan uji beda friedman test untuk melihat perbedaan persepsi contoh terhadap karakteristik lauk hewani. Hasil analisis menunjukkan jumlah pasien contoh laki-laki yaitu 29 orang lebih banyak dibanding perempuan yaitu11 orang. Contoh dengan jenis penyakit dalam lebih banyak dibandingkan dengan jenis penyakit bedah. Sebagian besar contoh memilki tingkat pendidikan yang rendah; sekitar 41.7% contoh berpendidikan SD. Contoh laki-laki memiliki jenis pekerjaan terbanyak yaitu buruh (31.0%) sedangkan perempuan lebih dari 50.0% bekerja sebagai ibu rumah tangga. Sebagian besar contoh memiliki status ekonomi menengah ke bawah karena berada di bawah garis kemiskinan Kabupaten Bogor; rata-rata pendapatan contoh yaitu < Rp.200.000/kap/bln.
3
Kegiatan penyelenggaraan makanan di RSUD Cibinong sudah baik, ditunjukkan dengan sudah dilaksanakannya semua tahapan penyelenggaraan makanan dengan baik. Pada proses perencanaan menu, pemilihan jenis dan jumlah bahan pangan hewani sangat diperhatikan. Jenis bahan pangan hewani yang digunakan yaitu daging sapi, ayam, ikan, telur ayam, nugget dan sosis. Analisis persepsi contoh terhadap karakteristik lauk hewani menunjukkan terdapat contoh yang menyatakan tidak suka terhadap warna, aroma, tekstur, dan rasa dari ayam. Demikian juga pada telur dan ikan, terdapat contoh yang menyatakan tidak suka terhadap aroma telur, tekstur ikan serta rasa dari telur dan ikan. Berbeda dengan ketiga lauk hewani lainnya, sebanyak 32.5% dan 7.5% contoh menyatakan sangat suka pada rasa dan tekstur daging. Uji friedman menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata pada karakteristik warna, aroma, tekstur, rasa dan kesesuaian porsi pada keempat jenis lauk hewani. Persepsi terhadap lauk hewani merupakan persepsi akumulatif contoh terhadap karakteristik (warna, aroma, tekstur, rasa dan kesesuaian porsi) setiap lauk hewani. Semua contoh dalam penelitian ini tidak memiliki tingkat persepsi tidak suka dan sebagian besar menyatakan suka pada keempat jenis lauk hewani yang disajikan. Hal ini menunjukkan bahwa lauk hewani yang disajikan sudah cukup diterima dengan baik oleh contoh. Hasil uji korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang nyata (P>0.05) antara karakteristik contoh (umur, jenis kelamin, jenis penyakit, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan pendapatan) dengan persepsi contoh terhadap keempat jenis lauk hewani. Ketersediaan lauk hewani yang disajikan sudah baik, namun konsumsi lauk hewani (energi dan protein) secara keseluruhan masih tergolong rendah. Tingkat konsumsi lauk hewani terhadap ketersediaan juga tergolong rendah terutama pada telur ayam. Tingkat konsumsi ini diperoleh dengan membandingkan jumlah lauk hewani (energi dan protein) yang dikonsumsi dengan lauk hewani yang disajikan. Tingkat konsumsi yang rendah pada telur ayam disebabkan oleh anggapan atau kepercayaan contoh bahwa dalam keadaan setelah operasi atau luka operasi yang belum sembuh pantang untuk mengonsumsi lauk hewani terutama telur ayam. Kontribusi yang diberikan oleh lauk hewani sudah baik; sudah melebihi 25% total ketersediaan. Kontribusi ini diperoleh dengan membandingkan jumlah lauk hewani (energi dan protein) yang disajikan dengan satu kesatuan menu makanan (energi dan protein). Kontribusi lauk hewani terhadap kebutuhan contoh diperoleh dengan membandingkan konsumsi lauk hewani (energi dan protein) dengan total kebutuhan energi dan protein contoh. Kontribusi lauk hewani terhadap kebutuhan contoh berkisar antara 3.2% sampai 5.1% untuk energi dan 5.2% sampai 10.2% untuk protein. Uji korelasi menunjukkan terdapat hubungan nyata positif (p<0.05) antara persepsi contoh terhadap lauk hewani ayam dan ikan dengan tingkat konsumsinya; tingkat persepsi yang baik diikuti juga dengan tingkat konsumsi yang baik. Tidak terdapat hubungan nyata (p>0.05) antara persepsi contoh pada lauk hewani daging dan telur dengan tingkat konsumsinya; persepsi contoh yang baik belum tentu diikuti dengan tingkat konsumsi yang baik pula dan sebaliknya. Saran yang diberikan yaitu pihak instalasi gizi rumah sakit perlu memberikan penyuluhan kepada para pasien yang masih memiliki anggapan yang salah tentang konsumsi lauk hewani pada saat sakit.
4
PERSEPSI, KONSUMSI DAN KONTRIBUSI LAUK HEWANI PADA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD CIBINONG
AL YASIR NENE AMA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
5
Judul
: Persepsi, Konsumsi dan Kontribusi Lauk Hewani pada Pasien Rawat Inap di RSUD Cibinong
Nama
: Al Yasir Nene Ama
NIM
: I14096015
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS
dr. Vera Uripi
NIP. 19491130 197603 2 001
NIP. 19511207 198803 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP: 19621218 198703 1 001
Tanggal lulus:
6
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Persepsi, Konsumsi dan Kontribusi Lauk Hewani pada Pasien Rawat Inap di RSUD Cibinong”. Tak lupa shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi teladan bagi kita semua. Terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS dan dr. Vera Uripi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan,
kritik,
dan
saran,
serta
dorongan
kepada
penulis
untuk
menyelesaikan skripsi. 2. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji skripsi atas segala masukan yang telah diberikan. 3. Ibu Maria Tambunan, SKM, M.Kes selaku Kepala Instalasi Gizi RSUD Cibinong dan seluruh staf Ahli Gizi di RSUD Cibinong yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di rumah sakit ini. 4. Ayah dan ibunda tercinta serta seluruh keluarga besar penulis yang senantiasa memberikan doa dan dukungan yang tiada terhingga selama proses pembuatan skripsi. 5. Para enumerator yaitu Meilita Kusramadhanti, Harsy Melisanda, Wiwiet Mutiah dan Mury Kuswari yang telah membantu dalam pengambilan data di rumah sakit, serta saran dan bantuannya yang telah diberikan kepada penulis. 6. Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah membalas segala kebaikan dengan pahala dan kebaikan yang lebih besar dan semoga skrispsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Bogor, Maret 2012
Al Yasir Nene Ama
7
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Juni 1988 di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, NTT. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Khaidir K Notan dan Annisa. Pendidikan Sekolah Dasar hingga SLTP ditempuh penulis di kota kelahirannya hingga tahun 2003,
kemudian
melanjutkan pendidikan SLTA di SMA BPS&K Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2006.. Penulis melanjutkan Diploma 3 pada jurusan Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun 2009. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan pernah menjabat sebagai wakil ketua BEM Diploma IPB periode 2007-2008. Pada tahun 2009 Penulis juga pernah malaksanakan magang di Hotel Kartika Chandra Jakarta selama tiga bulan dan praktek kerja lapang di RSUP Persahabatan Jakarta selama empat bulan. Setelah menjalani pendidikan D3, penulis melanjutkan pendidikan S1 pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB. Selama kuliah penulis pernah menjadi asisten dosen mata kuliah Dietetik di Diploma IPB dan di Departemen Gizi Masyarakat IPB. Selain itu penulis juga pernah menjadi staf pengajar di salah satu bimbingan belajar di Kota Bogor dan menjadi reporter di GreenTV IPB. Pada bulan Maret 2011 penulis melaksanakan Intrenship Dietetik di RSUD Cibinong. Selanjutnya pada bulan Juli – Agustus 2011 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal.
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................xii PENDAHULUAN.................................................................................................. 1 Latar Belakang ............................................................................................ 1 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4 Pelayanan Gizi Rumah Sakit ....................................................................... 4 Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit ................................................... 4 Persepsi ...................................................................................................... 5 Karakteristik Makanan yang Mempengaruhi Persepsi ................................. 7 Konsumsi Pangan ....................................................................................... 9 Pangan Hewani sebagai Sumber Protein .................................................. 11 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................. 14 METODE PENELITIAN...................................................................................... 15 Desain, Tempat dan Waktu Penelitian....................................................... 16 Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh ..................................................... 16 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ........................................................... 16 Pengolahan dan Analisis Data .................................................................. 18 Definisi Operasional .................................................................................. 21 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 23 Karakteristik Contoh .................................................................................. 23 Gambaran Umum Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit ................. 27 Persepsi Contoh terhadap Karakteristik Lauk Hewani ............................... 29 Hubungan Persepsi terhadap Lauk Hewani dengan Karakteristik ............ 34 Tingkat Konsumsi terhadap Ketersediaan Lauk Hewani ............................ 41 Kontribusi Lauk Hewani ............................................................................. 45 Hubungan Persepsi dengan Tingkat Konsumsi Lauk Hewani .................... 46 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 49 Kesimpulan ............................................................................................... 49 Saran ........................................................................................................ 50 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 51 LAMPIRAN ........................................................................................................ 55
x
DAFTAR TABEL Halaman 1 2
Kandungan asam amino esensial beberapa sumber pangan hewani…... Jenis data dan cara pengumpalan data …………………………………….
12 17
3
Faktor aktifitas dan faktor injuri/stress ………………………….………..…
19
4
Variabel penelitian dan kategorinya ……………………………..……….…
21
5
Sebaran contoh menurut umur dan jenis kelamin ……………………...…
24
6
Sebaran contoh menurut jenis penyakit dan jenis kelamin ……………….
24
7
Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin …………
25
8
Sebaran contoh menurut pekerjaan dan jenis kelamin …………………...
25
9
Sebaran contoh menurut pendapatan/kapita/bulan dan jenis kelamin …
26
10
Standar porsi lauk hewani di RSUD Cibinong ……………………………..
28
11
Sebaran contoh menurut persepsi terhadap warna lauk hewani ………..
29
12
Sebaran contoh menurut Persepsi terhadap aroma lauk hewani ………..
30
13
Sebaran contoh menurut persepsi terhadap tekstur lauk hewani ……….
31
14
Sebaran contoh menurut persepsi terhadap rasa lauk hewani …………
32
15
Sebaran contoh menurut persepsi terhadap kesesuaian porsi lauk hewani ………………………………………………………………………….
33
16
Sebaran contoh menurut umur dan persepsi terhadap lauk hewani …….
17
Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan persepsi terhadap lauk hewani…………………………………………………………………………..
35
18
Sebaran contoh menurut jenis penyakit dan persepsi terhadap lauk hewani……................................................................................................
36
19
Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan dan persepsi terhadap lauk hewani……………………………………………………………………..
38
20
Sebaran contoh menurut jenis pekerjaan dan persepsi terhadap lauk hewani ………………………………………………………………………….
39
21
Sebaran contoh menurut besar pendapatan dan persepsi terhadap lauk hewani……………………………………………………………………..
22
Ketersediaan dan konsumsi lauk hewani …………………..……………...
23
Sebaran contoh menurut tingkat konsumsi terhadap ketersediaan lauk hewani ….………………………………………………………………………
24
Kontribusi lauk hewani terhadap satu kesatuan menu ……………………
25
Kontribusi lauk hewani terhadap kebutuhan ……………………………….
26
Sebaran contoh menurut tingkat konsumsi dan persepsi terhadap lauk hewani ………………………………………………………………………….
35
41 43 43 45 46 47
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran persepsi, konsumsi dan kontribusi lauk hewani .......... 15
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Siklus Menu pasien kelas III di RUSD Cibinong ……………………….....
56
2 Kandungan energi dan protein setiap lauk hewani yang disajikan ……...…
58
3 Konsumsi lauk hewani contoh ………………………………………………....
59
4 Ketersediaan satu kesatuan menu dalam satu kali waktu makan ………....
60
5 Hasil uji korelasi spearman antara karakteristik contoh dengan persepsi terhadap lauk hewani ………………………………………………………....
61
6 Hasil uji korelasi spearman antara persepsi contoh dengan tingkat konsumsi energi dan protein lauk hewani………………………………...….
61
7 Hasil uji beda friedman persepsi contoh terhadap karakteristik keempat jenis lauk hewani………………………………………………………………...
62
8 Dokumentasi penelitian……………………………………………………….…
64
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Rumah Sakit dapat diartikan sebagai salah satu tempat pelayanan kesehatan masyarakat, termasuk di dalamnya kegiatan pemberian makanan untuk kesehatan pasien. Sama halnya dengan perawatan dan pengobatan penyakit,
pengaturan makanan juga merupakan satu kesatuan proses
penyembuhan penyakit. Pengaturan makanan di rumah sakit disebut dengan pelayanan gizi. Pelayanan gizi rumah sakit adalah serangkaian kegiatan untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien rumah sakit yang pelayanannya disesuaikan dengan keadaan pasien yaitu keadaan klinik, status gizi, dan metabolisme tubuh pasien. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan penyakit sehingga pelayanan gizi dapat menjadi salah satu faktor penunjang utama proses penyembuhan (Depkes 2006). Pemenuhan kebutuhan zat gizi tersebut dilaksanakan dalam kegiatan penyelenggaraan makanan. Penyelenggaraan makanan bagi orang sakit merupakan hal yang tidak bisa ditinggalkan dalam upaya penyembuhan penyakit. Penyelenggaraanya juga harus seiring dan sejalan dengan perawatan dan pengobatan yang diberikan. Upaya peningkatan kebutuhan energi dan zat gizi pada pasien rawat inap didukung adanya ketersediaan energi dan zat gizi dari rumah sakit melalui kegiatan penyelenggaraan makanan. Penyelenggaraan makanan rumah sakit adalah serangkaian kegiatan yang dimulai dari perencanaan menu sampai pendistribusian makanan kepada konsumen dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian diet yang tepat. Tujuan akhir dari kegiatan ini adalah tersedianya makanan yang baik dari segi kualitas dan kuantitasnya untuk konsumen atau pasien. Salah satu komponen makanan tersebut adalah lauk hewani. Lauk hewani merupakan salah satu komponen kerangka menu yang dapat divariasikan dan memberikan sumbangan zat gizi terutama protein dalam satu satuan menu yang disajikan kepada pasien. Lauk hewani memiliki harga lebih mahal dibandingkan dengan komponen menu yang lain. Berdasarkan data harga bahan pangan periode September 2011, harga daging sapi, daging ayam, telur ayam, beras dan tahu atau tempe masing-masing adalah Rp73.291/kg, Rp26.878/kg, Rp18.359/kg, Rp7.449/kg, Rp9.875/kg (Kemendag 2011). Data
2
tersebut dapat menunjukkan bahwa harga bahan pangan hewani lebih mahal dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Protein lauk hewani pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan lauk nabati. Protein pada lauk hewani disebut sebagai protein yang lengkap dan bermutu tinggi, karena mempunyai kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap serta memiliki daya cerna yang tinggi sehingga jumlah yang diserap atau yang digunakan oleh tubuh juga tinggi (Muchtadi 2010a). Rasa lauk hewani yang enak membuat lauk hewani memegang peranan penting dalam konsumsi makanan pasien. Walaupun demikian, konsumsi lauk hewani pada pasein yang dirawat di rumah sakit tidak sepenuhnya baik. Hal ini diduga karena kondisi pasien yang sakit sehingga menurunkan nafsu makan mereka termasuk nafsu untuk mengonsumsi lauk hewani. Penelitian yang dilakukan oleh Meriska dan Meriska (2004) menunjukkan bahwa tidak semua pasien dapat mengonsumsi dengan baik lauk hewani yang disajikan. Sebagian pasien yang dirawat di rumah sakit harus menjalani diet tertentu yang mungkin berbeda dengan kebiasaan makan sehari-hari di rumah, seperti jenis makanan, cara menghidangkan, tempat makan, waktu makan, suasana makan serta rasa dari makanan. Perbedaan tersebut akan menimbulkan persepsi yang berbeda terhadap makanan yang disajikan di rumah sakit (Moehyi 1992). Hal ini dapat terjadi pula pada konsumsi lauk hewani yang disajikan di rumah sakit. Persepsi pasien yang berbeda-beda pada lauk hewani yang diberikan oleh rumah sakit dapat mempengaruhi pasien dalam mengonsumsi lauk hewani tersebut. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan Munajat (2003) serta Marlina dan Meriska (2004) mengenai persepsi makanan menunjukkan bahwa persepsi pasien berpengaruh nyata terhadap tingkat konsumsi pasien pada makanan yang disajikan di rumah sakit. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui apakah persepsi pasien terhadap lauk hewani berpengaruh pada tingkat konsumsi pasien serta bagaimana kontribusinya terhadap ketersediaan satu kesatuan menu dan kontribusinya terhadap kebutuhan pasien dengan melakukan penelitian tentang persepsi, konsumsi dan kontribusi lauk hewani pada pasien rawat inap di RSUD Cibinong.
3
Tujuan Penelitian Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari persepsi, konsumsi dan kontribusi lauk hewani pada pasien rawat inap di RSUD Cibinong Bogor. Tujuan khusus 1. Mempelajari karakteristik contoh (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jenis penyakit). 2. Mempelajari persepsi contoh terhadap karakteristik lauk hewani yang disajikan. 3. Mempelajari ketersediaan dan konsumsi lauk hewani serta kebutuhan energi dan protein contoh. 4. Mempelajari kontribusi lauk hewani terhadap ketersediaan satu kesatuan menu yang disajikan dan kontribusi lauk hewani terhadap kebutuhan sehari contoh. 5. Menganalisis hubungan karakteristik contoh dengan persepsi contoh 6. Menganalisis hubungan persepsi contoh dengan tingkat konsumsi energi dan protein lauk hewani. Hipotesis 1. Terdapat hubungan positif antara karakteristik contoh (umur,
jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan keluarga) dengan persepsi contoh terhadap lauk hewani (ayam, daging, ikan dan telur) 2. Terdapat hubungan positif antara persepsi contoh terhadap lauk hewani dengan tingkat konsumsi energi dan protein lauk hewani.
4
TINJAUAN PUSTAKA Pelayanan Gizi Rumah Sakit Pelayanan gizi di rumah sakit adalah pelayanan yang disesuaikan dengan keadaan pasien dan berdasarkan pada keadaan klinis, status gizi, serta status metabolisme tubuhnya (Almatsier 2006). Tujuan umum pelayanan gizi rumah sakit adalah terciptanya sistem pelayanan gizi dengan memperhatikan berbagai aspek gizi dan penyakit. Hal tersebut dapat terlaksana melalui pemenuhan kebutuhan zat gizi pasien melalui pemberian makanan. Pelayanan gizi yang menjadi salah satu faktor utama penyembuhan, tentunya harus diperhatikan agar pemberiannya tidak melebihi kemampuan organ tubuh untuk melaksanakan fungsi metabolisme. pelayanan gizi harus selalu disesuaikan seiring dengan perubahan fungsi organ selama masa penyembuhan (Depkes 2006). Menurut Hartono (2006), tujuan pelaksanaan diet di rumah sakit yaitu: (1) meningkatkan atau mempertahankan status gizi pasien; (2) mencegah intoleransi terhadap jenis makanan tertentu serta meningkatkan atau mempertahankan daya tahan tubuh dalam menghadapi penyakit atau cidera, khususnya infeksi; (3) membantu kesembuhan pasien dari penyakit dan cidera dengan memperbaiki jaringan
yang
rusak
serta
memulihkan keadaan
homeostatis.
Menurut
Subandriyo (1993), kegiatan pelayanan gizi merupakan kegiatan yang sangat kompleks, yang melibatkan berbagai unit pelayanan kesehatan terkait, sehingga memerlukan pengelolaan secara professional. Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit Penyelenggaraan makanan rumah sakit merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dimulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian diet yang tepat. Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menyediakan makanan yang kualitasnya baik dan jumlahnya yang sesuai dengan kebutuhan serta pelayanan yang layak bagi pasien atau konsumen yang membutuhkannya (Depkes 2006). Menurut Tarwotjo (1998), penyelenggaraan makanan berkaitan dengan kemampuan menghidangkan makanan yang siap untuk dikonsumsi oleh konsumen atau pasien. Kegiatan ini saling berkaitan satu sama lain, mulai dari perencanaan sampai pendistribusian makanan ke pasien.
5
Penyelenggaraan makanan merupakan suatu sistem yang terpadu, yang dikoordinasikan secara penuh dengan memaksimalkan tenaga kerja dan mengutamakan kepuasan konsumen (Marlina 2004). Sistem penyelenggaraan makanan yang dilakukan sendiri oleh pihak rumah sakit secara penuh disebut penyelenggaraan makanan sistem swakelola. Pihak instansi atau unit pelayanan gizi
bertanggung
jawab
penuh
untuk
melaksanakan
semua
kegiatan
penyelenggaraan makanan, mulai dari perencanaan sampai pendistribusian kepada pasien atau konsumen pada penyelenggaraan makanan dengan sistem ini (Depkes 2006). Persepsi Persepsi adalah proses dimana seseorang menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi inderanya. Persepsi mempengaruhi rangsangan atau pesan apa yang diserap dan apa makna yang diberikan ketika orang mencapai kesadaran (Devito dalam Riyanto 2006). Definisi lain dikemukakan oleh Yusuf (1991), persepsi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemaknaan hasil pengamatan individu mengenai suatu objek. Definisi yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Rakhmat (2005) yang menyatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Berbagai definisi tersebut mengungkapkan bahwa persepsi adalah proses dimana suatu individu berhubungan dengan berbagai hal di luar dirinya lalu mencoba memberikan makna yang dikaitkan dengan kondisi dan keberadaan dirinya. Seseorang mempersepsikan sesuatu karena dia mampu menangkap sesuatu melalui inderanya dan memiliki berbagai kerangka rujukan yang memungkinkannya untuk menginterpretasikan, memahami dan memberikan makna terhadap sesuatu tersebut (Riyanto 2006). Menurut Rakhmat (2005), persepsi bukan hanya ditentukan oleh jenis dan bentuk stimulus, tetapi karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimulus. Karakteristik tersebut dipengaruhi oleh faktor kebutuhan dan pengalaman masa lalu. Tahapan proses persepsi Menurut Devito dalam Riyanto (2006), proses persepsi digambarkan dalam tiga tahap yang saling berkaitan satu sama lainnya. Tahapan tersebut meliputi stimulasi alat indera, pengaturan stimulasi indera dan penafsiran atau evaluasi stimulasi indera. Stimulasi indera adalah tertangkapnya stimulus atau
6
rangsangan oleh panca indera manusia. Indera manusia dirangsang sehingga dapat
merasakan
sesuatu.
Pengaturan
stimulasi
indera
merupakan
pengorganisasian stimulus yang ditangkap indera dengan menggunakan kerangka rujukan yang sudah dimiliki. Penafsiran atau evaluasi merupakan proses subyektif yang melibatkan evaluasi dari penerima. Penafsiran terhadap stimulus yang sudah diatur tidak hanya ditentukan oleh stimulus dari luar tetapi juga oleh berbagai kondisi dalam diri dan kerangka rujukan yang dimiliki orang yang mempersepsi tersebut. Pengalaman masa lalu, kebutuhan, keinginan, sistem nilai, keyakinan tentang yang seharusnya, keadaan fisik dan emosi merupakan beberapa faktor yang akan menentukan proses penafsiran dan evaluasi tersebut (Riyanto 2006), Faktor yang mempengaruhi persepsi Persepsi terhadap suatu objek bisa bervariasi antara satu orang dengan orang yang lainnya atau antara waktu dengan waktu yang lainnya. Hal ini terjadi karena banyak faktor yang menentukan proses persepsi. Menurut Riyanto (2006), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu faktor stimulus, faktor perseptor dan faktor situasi. Faktor stimulus adalah faktor yang datang dari obyek atau kejadian yang dipersepsi. Faktor stimulus ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kekuatan stimulus dan faktor-faktor penarikan yaitu faktor yang secara potensial akan ikut menentukan penerimaan stimulus oleh panca indera manusia dalam proses persepsi. Faktor yang kedua yang mempengaruhi persepsi yaitu faktor perseptor dalam persepsi. Faktor ini merupakan kumpulan faktor yang datang dari orang yang melakukan proses persepsi. Menurut Sciffman dan Kanuk dalam Kholiq (2009), setiap orang memiliki karakteristik fisik, latar belakang sosial budaya, karakter psikologis dan karakter lainnya yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan di dalam kemampuan menangkap realitas, menginterpretasikannya dan memberi makna di dalam proses persepsi. Faktor terakhir yang mempengaruhi persepsi adalah faktor situasi. Persepsi juga dipengaruhi oleh situasi atau konteks proses persepsi tersebut berlangsung. Beberapa faktor yang termasuk faktor situasi ini antara lain faktor ekologis, waktu, suasana, teknologi dan lingkungan sosial.
7
Karakteristik Makanan yang Mempengaruhi Persepsi Menurut Subandriyo (1993), hal-hal yang terdapat dalam makanan yang dapat digunakan sebagai bahan penilaian adalah warna, penampilan, aroma, rasa, dan besar porsi. Persepsi contoh terhadap makanan yang disajikan oleh rumah sakit meliputi persepsi terhadap karakteristik makanan yaitu rasa, aroma, warna, tekstur dan besar porsi. Pengukuran terhadap persepsi dilakukan dengan menggunakan
skala.
Contoh
atau
sampel
diberikan
pertanyaan
untuk
mengindikasi seberapa besar dia menyukai makanan berdasarkan kriteria. Skala pengukuran dapat dibedakan menjadi tidak suka, kurang suka, suka, dan sangat suka. Skala hedonik adalah salah satu cara untuk mengukur derajat suka atau tidak suka seseorang. Drajat kesukaan seseorang diperoleh dari pengalamannya terhadap makanan yang akan memberikan pengaruh yang kuat pada angka preferensinya (Suhardjo 1989). Rasa makanan Menurut Winarno (1997), rasa merupakan komponen flavor yang terpenting karena mempunyai pengaruh yang dominan yang lebih banyak melibatkan indera kecapan (lidah). Hal yang sama dikemukakan juga oleh Wijaya (2009), rasa memegang peranan penting dalam cita rasa makanan. Rasa ditimbulkan oleh senyawa yang larut dalam air yang berinteraksi dengan reseptor pada lidah dan indera perasa. Pertimbangan yang paling penting ketika memilih sesuatu untuk dimakan adalah rasa makanan. Rasa makanan dibagi menjadi lima macam yaitu asin, asam, manis, pahit dan gurih (Drummond dan Brefere 2004). Menurut Moehyi (1992) rasa merupakan faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan setelah penampilan makanan itu sendiri. Apabila penampilan makanan yang disajikan merangsang saraf melalui indera penglihatan sehingga mampu membangkitkan selera untuk mencicipi makanan itu, maka tahap berikutnya adalah cita rasa makanan yang ditentukan oleh rangsangan terhadap indera pengecap. Beberapa faktor yang mempengaruhi rasa makanan adalah aroma makanan, bumbu masakan, keempukan makanan, kerenyahan makanan, tingkat kematangan serta suhu dari makanan tersebut. Warna makanan Pemilihan makanan untuk dikonsumsi sangat dipengaruhi oleh warna makanan. Warna
makanan
yang
tidak
menarik
waktu
disajikan
akan
mengakibatkan selera orang yang akan mengonsumsinya menjadi hilang. Warna
8
makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan.
Warna
makanan tidak hanya membantu dalam menentukan kualitas, tetapi dapat pula memberitahukan banyak hal. Warna biasanya merupakan tanda kemasakan atau kerusakan suatu makanan (Munajat 2003). Warna makanan yang tidak menarik akan mengakibatkan selera orang yang akan memakannya menjadi hilang, walaupun makanan tersebut enak. Warna daging yang sudah berubah menjadi coklat kehitaman dan warna sayuran yang sudah berubah menjadi pucat waktu disajikan akan menjadi sangat tidak menarik dan menghilangkan selera untuk memakannya (Moehyi 1992). Kombinasi warna merupakan faktor yang mempengaruhi indera penglihatan, oleh karena itu tenaga pengolah makanan harus benar-benar mengerti adanya perbedaan warna sebelum dan sesudah diolah. Prinsip pengolahan dasar penyajian adalah sedapat mungkin mempertahankan warna alami yang ada dalam makanan (Meriska 2004). Aroma makanan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), aroma atau bau adalah apa yang dapat ditangkap oleh indera penciuman. Aroma yang disebarkan oleh makanan memiliki daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera penciuman sehingga membangkitkan selera. Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya suatu senyawa yang mudah menguap dan dapat terjadi akibat reaksi enzim atau tanpa terjadi reaksi enzim (Moehyi 1992). Aroma yang dikeluarkan makanan berbeda-beda. Perbedaan dalam cara memasak juga akan memberikan aroma yang berbeda pula. Penggunaan panas yang tinggi dalam proses pemasakan, akan menghasilkan aroma yang kuat, seperti pada makanan yang digoreng, dibakar dan dipanggang. Lain halnya dengan makanan yang direbus yang hampir tidak mengeluarkan aroma yang merangsang. Hal ini mungkin karena senyawa yang memancarkan aroma terlarut dalam air (David dan Annie 2009). Tekstur makanan Semua makanan memiliki tekstur yang berasal dari bahan makanan itu sendiri baik sebelum diolah atau sesudah diolah (Drummond dan Brefere 2004). Menurut Winarno (1997), tekstur dan konsistensi suatu makanan akan mempengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh makanan tersebut. Tekstur merupakan rasa garing, keempukan serta kekerasan makanan yang dirasakan oleh indera pengecap. Tekstur dapat mengubah rasa dan bau yang timbul
9
karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor dan kelenjar air liur. Tekstur dapat digunakan untuk menentukan kualitas makanan dengan merasakan baik dengan jari, lidah, gigi atau langitlangit (Sukarni dalam Munajat 2003). Kesesuaian porsi Tujuan pelayanan makanan dalam suatu institusi antara lain agar konsumen mendapatkan makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi baik secara
kualitas dan kuantitas. Untuk mencapai hal tersebut, setiap institusi
pelayanan makanan harus menentukan standar porsi dari setiap makanan yang disajikan. Standar porsi adalah berat berbagai macam bahan makanan untuk suatu menu yang dicantumkan dalam berat bersih dan sudah dibakukan untuk dijadikan acuan (Subandriyo, Retnaningsih dan Sukandar 1997). Pentingnya porsi makanan bukan saja berhubungan dengan penampilan makanan waktu disajikan, tetapi berkaitan dengan perencanaan dan perhitungan pemakaian bahan. Potongan daging, ayam atau ikan yang terlalu kecil atau terlalu besar akan merugikan penampilan makanan. Menurut Moehyi (1992), apabila kebiasaan makan sesuai dengan makanan yang disajikan baik susunan menu maupun besar porsi, pasien akan cenderung dapat menghabiskan makanannya, sebaliknya bila tidak sesuai akan membutuhkan waktu untuk penyesuaian. Porsi yang terlalu besar atau terlalu kecil akan mempengaruhi penampilan makanan itu sendiri sehingga berkemungkinan akan berpengaruh juga terhadap selera makan (Muchatob 1991). Konsumsi Pangan Kegiatan konsumsi adalah salah satu bagian dari sistem pangan dan gizi yang dilakukan oleh masyarakat. Konsumsi pangan yang mencukupi baik secara kuantitas dan kualitas menjadi indikator apakah seseorang memiliki status gizi baik atau buruk. Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Hardinsyah dan Briawan 1994). Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari segi aspek pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Hartono (2006) juga menambahkan, makanan yang dikonsumsi setiap hari tersusun dari unsur-unsur gizi yang diklasifikasikan sebagai zat gizi makro (karbohidrat, lemak dan protein) dan zat gizi mikro (vitamin dan mineral).
10
Penilaian konsumsi pangan Menurut Riyadi (1995), penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Secara umum ada dua kriteria untuk menentukan konsumsi pangan yaitu kalori dan konsumsi protein. Kebutuhan kalori biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok sedangkan protein dipenuhi dari konsumsi pangan hewani. Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif dihitung dengan jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi, sedangkan secara kualitatif dengan melihat kebiasaan makan, frekuensi konsumsi pangan menurut jenis pangan dan frekuensi makan (Supariasa, Bakri dan Fajar 2001). Frekuensi makan Frekuensi makan adalah berapa kali seseorang makan dalam satuan waktu tertentu. Frekuensi makan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kebiasaan makan (Sukandar 2010). Menurut Suhardjo (1989), kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan frekuensi makan seseorang, pola makanan, distribusi makanan antara anggota keluarga serta keadaan sosial dan budaya. Frekuensi makan dapat diukur dalam satuan kali per hari, kali per minggu maupun kali perbulan. Menurut Subandriyo (1993), pada umumnya frekuensi makan dalam sehari yaitu tiga sampai lima kali. Frekuensi makan tersebut terdiri dari makanan lengkap dan makanan ringan atau selingan. Makanan lengkap (full meal) biasanya diberikan tiga kali sehari, yaitu makan pagi, siang dan malam. Selingan biasanya diberikan dalam bentuk makanan ringan (snack) yang disajikan antara waktu makan pagi dan makan siang serta makan siang dan makan malam. Frekuensi makan pasien di rumah sakit pada umumnya berkisar antara tiga sampai enam kali sehari tergantung pada kelas perawatan dan jenis penyakitnya. Kelas perawatan VIP dan kelas I biasanya memiliki enam kali frekuensi makan. Beberapa rumah sakit juga menyediakan menu pilihan untuk kelas perawatan ini. Kelas perawatan II dan III biasanya memiliki empat sampai lima kali frekuensi makan dalam sehari dengan tiga kali makanan lengkap dan satu atau dua kali selingan (Yahya 1994).
11
Pangan Hewani sebagai Sumber Protein Protein adalah molekul makro yang terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida. Protein terbentuk dari unsur-unsur organik yang relatif sama dengan karbohidrat dan lemak. Susunan unsur protein yaitu karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen. Unsur nitrogen merupakan 16% dari berat protein (Almatsier 2004). Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2003), pada unsur pembentukan protein ditemukan pula unsur mineral seperti fosfor, belerang dan besi. Molekul Protein lebih kompleks dari pada karbohidrat dan lemak dalam hal berat molekul dan keanekaragaman unit-unit asam amino yang membentuknya. Menurut Muchtadi (2010a), asam amino penyusun protein dapat dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan dapat atau tidaknya disintesis oleh tubuh. Tiga kelompok tersebut antara lain asam amino esensial (valin, leusin, isoleusin, lisin, treonin, metionin, fenilalanin dan triptofan), semi esensial (glisin, arginin, serin, sistein, tirosin, dan histidin) dan non esensial (alanin, as. glutamat, as. aspartat, sistin, prolin hidroksiprolin). Fungsi protein menurut Drummond dan Brefere (2004) antara lain: (1) komponen pembangun struktur tubuh; (2) membangun selsel yang telah rusak; (3) membentuk zat-zat pengatur seperti enzim, hormon dan antibodi; (4) membantu transportasi besi, lemak, mineral dan oksigen; (5) menjaga keseimbangan cairan dan asam basa; dan (5) sebagai cadangan energi. Sumber-sumber protein diperoleh dari bahan makanan yang berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan. Protein sebagai pembentuk energi tergantung pada macam dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi. Menurut Muchtadi (2010a), pada umumnya nilai gizi protein pangan nabati lebih rendah dibandingkan dengan pangan hewani. Meskipun secara teoritis dapat disusun campuran protein nabati sehingga nilai gizinya sama dengan protein hewani. Konsumsi protein hewani memberikan beberapa keuntungan tambahan, antara lain membantu penyerapan zat besi dan dapat mencukupi kebutuhan tubuh akan vitamin dan mineral. Produk pangan hewani juga merupakan sumber vitamin dan mineral yang baik. Hasil-hasil pangan hewani yang sering dijadikan sebagai sumber protein adalah daging (sapi dan ayam), telur ayam dan ikan. Protein yang terkandung dalam pangan hewani disebut sebagai protein yang lengkap dan bermutu tinggi, karena mempunyai kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap dan
12
susunannya mendekati apa yang diperlukan oleh tubuh. Protein juga memiliki daya cerna tinggi sehingga jumlah yang dapat diserap (dapat digunakan oleh tubuh) juga tinggi (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Drummond dan Brefere (2004) bahwa protein yang terkandung di dalam pangan hewani lebih mudah diserap oleh tubuh dan mempunyai kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap. Kandungan asam amino esensial beberapa sumber pangan hewanisecara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kandungan asam amino esensial beberapa sumber pangan hewani AAE (mg/g N) Isoleusin Leusin Lisin Fenilalanin Metionin Treonin Triptofan Valin
Ikan 317 472 518 232 182 272 62 333
Telur 415 580 400 361 196 311 103 464
daging 327 512 546 257 155 276 73 347
Sumber : Muchtadi 2010a
Daging sapi Menurut Muchtadi (2010b), daging merupakan salah satu makanan yang digemari kebanyakan orang karena memiliki rasa yang enak dibanding pangan hewani lainnya. Komposisi daging terdiri dari air, protein, lemak dan mineral. Otot daging mengandung 75.0 % air dan 25.0 % protein. Daging yang cukup tua dan dipisahkan dari lemaknya mengandung kira-kira 18.0% sampai 20.0% protein. Daging sapi mempunyai aroma yang lebih netral dibandingkan dengan kambing dan daging babi, sehingga daging sapi lebih sering dikonsumi (Tarwotjo 1998). Menurut yulianti (1996), Kualitas daging ditentukan oleh struktur daging yang dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan spesies daging tersebut. Proses pemasakan pada daging akan berpengaruh pada kualitas protein. daging merupakan sumber protein, mineral (fe dan fosfor) dan vitamin (thiamin, riboflavin, dan niasin). Daging
juga merupakan satu-satunya sumber protein
yang cukup memadai karena di dalamnya mengandung asam amino utama yang dapat membangun jaringan tubuh dan otot. Daging ayam Daging ayam sangat digemari kebanyakan masyarakat karena memiliki rasa yang enak, mudah dimasak dan cepat empuk jika dibandingkan dengan unggas lainnya (Tarwotjo 1998). Daging ayam memberi sumbangan protein
13
hewani yang baik untuk memenuhi kebutuhan gizi. Keistimewaan yang daging ayam adalah kandungan lemak yang rendah dan mengadung asam lemak tidak jenuh (Deptan 2010). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Khomsan (2004) bahwa Kandungan kolesterol dan lemak jenuh pada daging ayam rendah, sehingga baik dijadikan sebagai sumber protein untuk penderita penyakit degeneratif. Menurut Priyanto (2003), beberapa keunggulan daging ayam dibanding pangan hewani yang lain yaitu: (1) daging ayam relatif murah dibanding daging lain, (2) lebih baik dari segi kesehatan karena mengandung sedikit lemak dan kaya protein, dan (3) mudah diolah menjadi produk olahan yang bernilai tinggi, mudah disimpan dan dikonsumsi. Telur ayam Telur merupakan produk pangan hewani yang berasal dari ayam. Selain dagingnya, ayam juga menyumbangkan protein yang bernilai tinggi melalui telur. Telur merupakan sumber pangan hewani yang dapat dijangkau oleh masyarakat sehingga dapat dikatakan telur sebagai sumber protein hewani yang bernilai ekonomis. Menurut Drummond dan Brefere (2004), kandungan gizi terutama protein pada telur ayam jauh lebih tinggi dibandingkan produk pangan hewani lainnya. Kuning telur terdiri atas 50 % padatan, dari jumlah ini sepertiganya adalah protein dan dua pertinga lainnya adalah lipid, sedangkan pada putih telur mengadung sekitar 12 % protein (Sediaoetama 2006). Ikan Ikan mengandung protein tinggi khususnya untuk asam amino tak jenuh, atau biasa dikenal dengan kandungan omega-3 yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia (Cullen 2001). Muchtadi (2010b) menambahkan bahwa kadar protein daging ikan segar bervariasi dari 10.0% sampai 21.0% %. Kualitas protein ikan tergolong sempurna (protein lengkap) karena mengandung semua asam-asam amino esensial dalam jumlah masing-masing yang mencukupi kebutuhan tubuh. Bagi yang memiliki alergi terhadap jenis ikan tertentu dianjurkan untuk selalu mengingatnya dan menghindari untuk mengonsumsinya (Sediaoetama 2006).
14
KERANGKA PEMIKIRAN Keberhasilan penyelenggaraan makanan berupa tersedianya makanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien baik secara kualitas maupun kuantitas. Menu yang disajikan menurut jenis dietnya didasarkan pada kesesuaian dengan jenis penyakit dan tingkat komplikasi yang diderita oleh pasien di berbagai kelas perawatan dengan memperhitungkan kebutuhan energi dan protein pasien. Adapun menu yang disajikan mengacu pada kerangka menu yang meliputi makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur, dan buah. yang disajikan pada waktu makan siang dan makan malam. Makanan yang disediakan tentunya memiliki nilai gizi yang diperlukan pasien. Lauk hewani merupakan salah satu jenis hidangan yang disediakan dan sebagai penyumbang protein terbesar dalam satu kesatuan menu. Energi dan protein yang terkandung dalam lauk hewani merupakan ketersediaan dari rumah sakit
yang menyumbang
energi dan protein yang
dibutuhkan pasien.
Ketersediaan energi dan protein lauk hewani yang disajikan akan berbeda tiap menunya tergantung jenis dan jumlah bahan yang digunakan. Lauk hewani yang disajikan memiliki karakteristik yang berbeda-beda, meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan kesesuaian porsi. Perbedaan karakteristik tersebut diduga dapat mempengaruhi persepsi pasien terhadap lauk hewani yang disajikan. Faktor lain yang diduga mempengaruhi persepsi pasien yaitu karakteristik individu (pasien) yang meliputi umur, jenis kelamin, jenis penyakit, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Persepsi pasien terhadap lauk hewani akan memberikan pengaruh terhadap konsumsi energi dan protein lauk hewani pasien. Dari konsumsi lauk hewani pasien dapat diketahui seberapa besar tingkat konsumsi energi dan protein terhadap ketersediaan lauk hewani dan seberapa besar kontribusi energi dan protein lauk hewani terhadap kebutuhan pasien dan ketersediaan menu yang disajikan. Secara singkat, kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
15
Penyelenggaraan makanan rumah sakit
makan siang
makan malam
makan pagi
Menu yang disajikan sesuai kerangka menu
M. pokok
Lauk hewani Jumlah Jenis
Ketersediaan energi & protein lauk hewani
Lauk nabati
Presepsi pasien pada karakteristik makanan: Warna Aroma Rasa Tekstur Keseuaian porsi
sayuran
buah Karakteristik pasien umur jenis kelamin pendidikan pekerjaan penghasilan jenis penyakit Faktor pendukung Kesukaan & frekuensi makan pasien
Konsumsi lauk hewani
Tingkat konsumsi lauk hewani (energi & protein) terhadap ketersediaaan lauk hewani yang disajikan rumah sakit
Kontribusi lauk hewani (energi & protein ) terhadap ketersediaan satu kesatuan menu yang disajikan dan kontribusi lauk (energi & protein) hewani terhadap kebutuhan contoh
Keterangan: : variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran persepsi, konsumsi dan kontribusi lauk hewani pasien rawat inap
16
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study karena pengumpulan variabel independen dan dependen dilakukan pada satu waktu yang tidak berkelanjutan untuk menggambarkan karakteristik sampel dan hubungan antar variabel. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Cibinong Kabupaten Bogor. Pengumpulan data dilaksanakan bulan September – Oktober 2011. Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap di RSUD Cibinong Bogor. Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil secara non probability sampel dengan teknik purposive sampling yang memenuhi kriteria inklusi (Notoatmodjo 2005). Kirteria inklusi yang digunakan antara lain: 1. pasien yang dirawat di ruang perawatan kelas III 2. pasien rawat inap dengan kunjungan baru maksimal tiga hari rawat 3. pasien berjenis kelamin pria dan wanita dengan usia 18 – 65 tahun 4. mendapat empat jenis lauk hewani (ayam, daging, ikan dan telur) untuk dikonsumsi 5. tidak memiliki pantangan dalam mengonsumsi pangan hewani 6. tidak mendapat diit rendah garam dan diet saring atau cair 7. tidak mendapat diet rendah protein yang membatasi konsumsi lauk hewani 8. menjalani pengamatan selama tiga hari 9. penderita dalam kondisi tenang dan dapat diajak bekerja sama Jumlah pasien yang dirawat di RS Cibinong pada bulan September adalah 146 orang. Pasien yang memenuhi syarat inklusi dari 146 pasien adalah 48 pasien yang kemudian diambil sebagai sampel dalam penelitian ini. Selama proses pengamatan terhadap 48 pasien, hanya 40 orang yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan kurang lengkapnya data yang diperoleh dari contoh. Pengamatan persepsi pasien terhadap lauk hewani dilakukan pada siklus menu ke-1 dan ke-2. Hal ini dikarenakan pada kedua siklus menu ini, contoh mendapat empat jenis lauk hewani yang berbeda yaitu ayam, telur, ikan dan daging
17
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan jumlah keluarga), antropometri contoh (tinggi badan dengan pendekatan tinggi lutut), persepsi contoh terhadap karakteristik makanan (warna, rasa, aroma, tekstur dan kesesuaian porsi) serta data ketersediaan dan data konsumsi lauk hewani. Data sekunder meliputi gambaran umum rumah sakit, gambaran umum instalasi gizi dan jenis penyakit. Jenis dan cara pengumpulan data secara umum dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis data dan cara pengumpalan data Data
Jenis data
Cara pengumpulan data Wawancara
Kuesioner
Alat
Karakteristik contoh Umur Jenis kelamin Tk. pendidikan Pekerjaan Besar penghasilan Besar keluarga
Primer
Antropometri (TB)
Primer
Pendekatan pengukuran tinggi lutut
Alat ukur dalam centimeter
Persepsi contoh Warna Aroma Rasa Tekstur Kesesuaian porsi
Primer
Wawancara
Kuesioner
Ketersediaan lauk hewani
Primer
Sampling (mengacu pada standar porsi)
-
Konsumsi lauk hewani
Primer
Pengamatan langsung pada konsumsi contoh
-
Gambaran umum instalasi Gizi
Sekunder
Mengacu ada arsip instalasi Gizi
-
Jenis penyakit
Sekunder
Mengacu pada buku rekam medis
Buku rekam medis
Ketersediaan lauk hewani diperoleh dari berat bahan pangan hewani (ayam, daging, ikan, telur) dan bahan tambahan lainnya yang digunakan untuk pengolahan lauk hewani. bersat bahan tersebut diperoleh dari standar porsi rumah sakit dan dengan metode sampling yaitu mengambil secara acak satu bahan pangan hewani untuk ditimbang. Hal ini dilakukan karena keterbatasan peneliti dalam menimbang semua bahan lauk hewani yang akan kepada contoh.
disajikan
18
Pengukuran konsumsi contoh dilakukan dengan melihat sisa dari lauk hewani yang dikonsumsi dengan menggunakan pendekatan ukuran rumah tangga (URT). Ukuran yang digunakan mengacu pada Spears (2007) yaitu 0 (tidak dimakan), habis ¼, habis ½, habis ¾, dan 1 (habis semua). Hal ini dikarenakan keterbatasan peneliti dalam mengumpulkan sisa konsumsi lauk hewani semua contoh dan lauk hewani yang sudah tercampur dengan bahan lain sehingga berat sisa lauk hewani tidak dapat diukur secara pasti. Pengolahan dan Analisis Data Data tentang karakteristik contoh yang meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, besar penghasilan dikelompokkan berdasarkan kriteria tertentu kemudian dianalisis secara deskriptif. Persepsi contoh terhadap lauk hewani dikelompokkan menjadi kategori tidak suka, kurang suka, suka dan sangat suka. Persepsi diukur pada karakteristik (rasa, aroma, tekstur, warna dan kesesuaian porsi) setiap lauk hewani. Persepsi terhadap setiap karakteristik tersebut selanjutnya dinilai, kemudian semua persepsi terhadap karaktersitk setiap lauk hewani dijumlahkan. Hasil penjumlahannya dikategorikan lagi menjadi tidak suka, kurang suka, suka dan sangat suka. Penjumlahan dari persepsi setiap karakteristik tersebut merupakan persepsi akumulatif terhadap setiap jenis lauk hewani (ayam, daging ikan dan telur). Kebutuhan energi dihitung dengan cara memperkirakan kebutuhan energi contoh sesuai Angka Metabolisme Basal (AMB), faktor aktifitas dan faktor stres. Angka metabolisme basal contoh diperoleh dari komponen tinggi badan dan berat badan ideal contoh, dengan pengukuran tinggi badan contoh dilakukan melalui pendekatan tinggi lutut. Menurut Arisman (2004), jika pasien tidak dapat berdiri, pengukuran tinggi badan dapat dilakukan dengan cara pengukuran tinggi lutut. Gibson (2005) membedakan penggunaan rumus tinggi lutut menjadi dua kelompok yaitu berdasarkan Caucasian (ras Asia) dan African-American (ras Afrika-Amerika). Berikut rumus perhitungan tinggi badan dengan pendekatan tinggi lutut. Tinggi badan laki-laki (ras asia) Tinggi badan perempuan (ras asia) Tinggi badan laki-laki (ras Afrika-Amerika) Tinggi badan perempuan (ras Afrika-Amerika) Keterangan : U: umur (tahun); TL: tinggi lutut (cm)
= (2.08 x TL) + 59.01 = (1.91 X TL) – (0.17 x U) + 75 = 1.37 x TL + 58.72 = 1.96 x TL + 58.72
19
Rumus pendekatan tinggi badan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan ras asia karena contoh dalam penelitian yang masuk ke dalam ras ini. Tinggi badan yang diperoleh dari pendekatan pengukuran tinggi lutut, kemudian digunakan untuk perhitungan berat badan ideal. Perhitungan berat badan ideal dilakukan dengan menggunakan standar Brocca. Berikut perhitungan berat badan ideal dengan Standar Brocca. BBI = (TB - 100) - 10% (TB – 100) Keterangan: BBI: Berat Badan Ideal (kg); TB: Tinggi Badan (cm)
Tinggi badan dan berat badan ideal yang telah diperoleh, bersama umur contoh akan digunakan dalam menghitung Angka Metabolik Basal (AMB) dengan menggunakan rumus Harris-Benedict sebagai berikut (Almatsier 2006): AMB untuk laki-laki AMB perempuan
= 66,5 + 13,7 (BBI) + 5,0 (TB) - 6,8 (U) = 655 + 9,6 (BBI) 1,7 (TB) – 4,7 (U)
Keterangan: BBI: Berat Badan Ideal (kg); TB: Tinggi Badan (cm); U: umur (tahun)
Penetapan Angka Metabolisme Basal (AMB) contoh dikalikan dengan aktivitas dan faktor injuri/stres untuk diterjemahkan menjadi kebutuhan energi sehari contoh. Faktor aktivitas dan faktor stres contoh dalam perawatan di rumah sakit dapat dilihat pada Tabel 3. Perkiraan kebutuhan protein sehari dihitung dari 15% total kebutuhan energi sehari (Almatsier 2006). Tabel 3 Faktor aktifitas dan faktor injuri/stres Jenis aktifitas Tirah baring Jenis injuri Tidak ada stress o Demam per 1 C Infeksi ringan – sedang Infeksi berat Pembedahan ringan Pembedahan abdomen/torak
Faktor 1.2 Faktor 1 – 1.2 1.13 1.2 – 1.4 1.4 – 1.5 1.1 – 1.2 1.3 – 1.5
Sumber : Hartono 2006
Data ketersediaan lauk hewani yang disajikan pada makan siang dan malam dikonversi ke dalam energi dan protein dengan menggunakan program nutrisurvey dan atau Daftar Kandungan Bahan Makanan (DKBM). Konsumsi lauk hewani yang telah dihitung dengan menggunakan pendekatan ukuran rumah tangga (URT) yaitu 0 ( tidak dimakan), habis ¼ , habis ½, habis ¾, dan 1 (habis semua), kemudian dikonversi ke dalam energi dan protein lauk hewani dengan
20
menggunakan program nutrisurvey dan atau Daftar Kandungan Bahan Makanan (DKBM). Tingkat
konsumsi
lauk
hewani
(energi
dan
protein)
terhadap
ketersediaannya dihitung dengan membandingkan jumlah energi dan protein yang dikonsumsi dengan jumlah energi dan protein dari lauk hewani yang disajikan di rumah sakit. Rumus perhitungan tingkat konsumsi dapat dilihat sebagai berikut: Tingkat konsumsi (%) =
Konsumsi lauk hewani (energi dan protein) Ketersediaan lauk hewani (energi dan protein)
X 100
Tingkat konsumsi tersebut kemudian dikategorikan menjadi tingkat konsumsi kurang (< 50%), tingkat konsumsi cukup (50% - 75%) dan tingkat konsumsi baik (>75%). Kontribusi lauk hewani terhadap ketersediaan satu menu dihitung dengan membandingkan jumlah energi dan protein lauk hewani dengan total keseluruhan energi dan protein dalam satu kesatuan menu dengan rumus perhitungan sebagai berikut: Kontribusi lauk hewani thd satu menu (%) =
ketersediaan lauk hewani (energi dan protein) Ketersediaan satu menú* (energi dan protein)
X 100
Ket: * satu menu = akumulasi dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah
Kontribusi
lauk
hewani
terhadap
kebutuhan
dihitung
dengan
membandingkan jumlah energi dan protein dari lauk hewani yang dikonsumsi dengan kebutuhan total energi dan protein contoh dengan rumus perhitungan sebagai berikut: Kontribusi lauk hewani thd kebutuhan (%) =
Konsumsi lauk hewani (energi dan protein) Kebutuhan contoh (energi dan protein)
X 100
Analisis data secara inferensia dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16.0 for window. Uji yang digunakan yaitu uji korelasi spearman dan uji friedman. Uji spearman bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variabel yaitu hubungan antara karakteristik contoh dengan persepsi contoh dan persespi contoh dengan tingkat konsumsi contoh. Uji friedman bertujuan untuk melihat perbedaan
persepsi
antara
keempat
jenis
lauk
hewani
berdasarkan
karakteristiknya (warna, aroma, rasa, tekstur dan kesesuian porsi). Variabel penelitian dan kategorinya dapat dilihat pada Tabel 4.
21
Tabel 4 Variabel penelitian dan kategorinya Variabel penelitian Umur (Tahun) (WNPG 2004)
Kategori -
19 – 29 30 – 49 50 - 64
Jenis kelamin
-
Laki-laki
Pekerjaan
-
Tidak bekerja Karayawan swasta Buruh
Tingkat pendidikan
-
Tidak sekolah SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Perguruan Tinggi
Pendapatan/kap/bulan (Rp)
-
50 – 200 ribu 400 – 600 ribu 800 – 1juta
- 200 – 400 ribu - 600 – 800 ribu - >1juta
Jenis penyakit
-
Penyakit dalam
- Bedah
Persepsi lauk hewani (warna, aroma, rasa, tekstur dan kesesuaian porsi)
-
Tidak suka Suka
Tingkat konsumsi lauk hewani contoh terhadap ketersediaan
-
< 50 % (kurang baik) >75% (baik)
- Perempuan - PNS - Wiraswasta - Lainnya : …………………
- Kurang suka - Sangat suka
- 50-75% (cukup baik)
Definisi Operasional Penyelenggaraan makanan:
serangkaian kegiatan yang dilakukan RSUD
Cibinong mulai dari perencanaan menu, pembelian, penerimaan, penyimpanan, pengolahan dan pendistribusian makanan. Makanan rumah sakit: makanan yang disediakan oleh instalasi gizi rumah sakit untuk pasien rawat inap. Kerangka menu: macam dan jenis hidangan yang disajikan dalam sekali waktu makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah). Lauk hewani : salah satu hidangan dalam kerangka menu dengan bahan utama pangan hewani (daging sapi, ayam, ikan dan telur). Persepsi pasien: reaksi dan tanggapan pasien terhadap makanan yang disajikan meliputi warna, aroma, tekstur, rasa dan besar porsi. Warna makanan: keserasian warna lauk hewani yang disajikan yang ditangkap dengan indera penglihatan. Aroma makanan:
reaksi dan tanggapan pasien terhadap lauk hewani yang
disajikan yang ditangkap dengan indera penciuman.
22
Rasa makanan: reaksi atau tanggapan pasien terhadap lauk hewani yang disajikan yang ditangkap dengan indera pengecap. Tekstur makanan: keempukan atau kekerasan makanan yang dirasakan oleh indera pengecap. Kesesuaian porsi: ukuran lauk hewani yang disajikan disesuaikan dengan menu yang lain (makanan pokok lauk nabati, sayuran, dan buah) Ketersediaan lauk hewani: jumlah energi dan protein dari lauk hewani yang disajikan dari rumah sakit. Konsumsi lauk hewani: jumlah energi dan protein lauk hewani dari rumah sakit yang dikonsumsi. Kebutuhan energi dan protein: jumlah energi dan protein yang diperlukan seseorang agar hidup sehat. Satu kesatuan menu: akumulasi berbagai jenis makanan atau menu yaitu makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah yang disajikan dalam satu kesatuan. Tingkat konsumsi lauk hewani terhadap ketersediaan: perbandingan jumlah energi
dan
protein
dari
lauk
hewani
yang
dikonsumsi
dengan
ketersediaan energi dan protein lauk hewani yang disajikan dari rumah sakit. Kontribusi lauk hewani terhadap satu kesatuan menu: perbandingan jumlah energi dan protein yang disumbangkan dari lauk hewani terhadap satu kesatuan menu lengkap dalam satu kali makan. Kontribusi lauk hewani terhadap kebutuhan: perbandingan jumlah energi dan protein yang disumbangkan lauk hewani terhadap kebutuhan contoh.
23
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Contoh Pengamatan persepsi pasien terhadap lauk hewani dilakukan pada siklus menu ke-1 dan ke-2. Hal ini dikarenakan pada kedua siklus menu ini, contoh mendapat empat jenis lauk hewani yang berbeda. Keempat jenis lauk hewani tersebut antara lain: ayam asam manis mewakili lauk hewani ayam yang disajikan pada makan siang siklus menu ke-1; semur telur mewakili lauk hewani telur ayam yang disajikan pada makan malam siklus menu ke-1; kakap bumbu acar mewakili lauk hewani ikan yang disajikan pada makan siang siklus menu ke2; serta gulai daging mewakili lauk hewani daging yang disajikan pada makan malam siklus menu ke-2. Siklus menu ke-1 dan ke-2 secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Semua pasien yang digunakan sebagai contoh dalam penelitian adalah pasien yang dirawat di ruang rawat kelas III dikarenakan pengambilan sampel hanya boleh dilakukan pada pasien kelas III dan keseragaman dalam pemberian lauk hewani di kelas perawatan ini. Pasien yang mendapat diet rendah garam, diet rendah protein dan diet saring atau cair tidak digunakan sabagai contoh dalam penelitian karena lauk hewani yang disajikan kurang memiliki rasa; menerapkan
pengurangan
konsumsi
lauk
hewani;
dan
pasien
hanya
mengonsumsi makanan cair atau saring yang diolah dengan cara diblender. Karakteristik contoh yang digunakan dalam penelitian ini meliputi umur contoh, jenis kelamin contoh, tingkat pendidikan contoh, jenis pekerjaan, jenis penyakit dan besar pendapatan. Contoh dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu 29 orang dibandingkan dengan contoh perempuan yaitu 11 orang. Umur Karakteristik umur contoh dikategorikan menjadi tiga kelompok menurut WNPG 2004 yaitu pada skala 18-29 tahun, 30-49 tahun dan 50-64 tahun. Sebaran contoh yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak (72.5%) dibandingkan contoh perempuan (27.5 %) pada ketiga kelompok umur. Secara umum, persentase contoh pada ketiga kelompok umur hampir sama yaitu 32.5% (> 30 tahun), 37.5% (30-49 tahun) dan 30 % (< 30 contoh). Hal ini menunjukkan bahwa contoh menyebar hampir secara merata pada ketiga kelompok umur baik pada laki-laki maupun perempuan. Sebaran contoh menurut umur dan jenis kelamin secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.
24
Tabel 5 Sebaran contoh menurut umur dan jenis kelamin Umur (tahun) 18 - 29 30 - 49 50 - 64 Total
Laki-laki n % 7 24.1 11 37.9 11 37.9 29 100.0
Perempuan n % 6 54.5 4 36.4 1 9.1 11 100.0
n 13 15 12 40
Total % 32.5 37.5 30 100.0
Jenis penyakit Jenis penyakit contoh dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu contoh dengan jenis penyakit dalam dan bedah. Contoh penyakit yang dikelompokkan dalam penyakit dalam antara lain: demam thypoid, hepatitis, pneumonia, TB paru, DBD, gastritis, dan stroke ringan, sedangkan
jenis penyakit yang
dikelompokkan dalam bedah yaitu kanker prostat, usus buntu, infeksi luka, tumor, hernia dan bedah orto. Sebaran contoh menurut jenis penyakit dan jenis kelamin secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran contoh menurut jenis penyakit Jenis penyakit
Laki-laki n %
Perempuan n %
n
Total %
Penyakit bedah
10
34.5
4
36.4
14
35.0
Penyakit dalam Total
19 29
65.5 100.0
7 11
63.6 100.0
26 40
65.0 100.0
Secara keseluruhan contoh dengan jenis penyakit dalam lebih banyak (65.0%) dibandingkan dengan contoh dengan jenis penyakit bedah (35.0%). Hal ini dikarenakan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit ini lebih banyak masuk ke dalam kelompok penyakit dalam dibandingkan dengan kelompok penyakit bedah sehingga pada saat pengambilan sampel contoh dengan jenis penyakit dalam tetap lebih banyak dibanding bedah. Tingkat pendidikan Pendidikan merupakan salah satu sumber daya yang penting untuk menentukan pengetahuan seseorang dalam menerima informasi yang pada akhirnya dapat menentukan tanggapan dan perilakunya (Fitriana 2011) Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal tertinggi yang dicapai oleh seseorang. Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 7. Persentase tertinggi contoh berada pada tingkat pendidikan SD/sederajat (40.0%), baik pada jenis kelamin laki-laki (37.9%) dan jenis kelamin perempuan
25
(45.5%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar contoh memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah. Menurut Suhardjo (1989) tingkat pendidikan yang tinggi akan mempermudah seseorang untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi khususnya tentang makanan yang baik untuk dikonsumsi, tetapi tingkat pendidikan yang tinggi tidak selalu diikuti dengan pengetahuan dan perubahan sikap dalam mengonsumsi makanan. Tabel 7 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin Tingkat pendidikan tidak sekolah SD/ sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat perguruan tinggi Total
Laki-laki n % 2 6.9 11 37.9 4 13.8 9 31.0 3 10.3 29 100.0
Perempuan n % 0 0.0 5 45.5 2 18.2 3 27.3 1 9.1 11 100.0
Total n 2 16 6 12 4 40
% 5.0 40.0 15.0 30.0 10.0 100.0
Pekerjaan contoh Jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang juga merupakan faktor yang paling menentukan dalam pemilihan kualitas dan kuantitas makanan karena jenis pekerjaan berhubungan erat dengan pendapatan (Suhardjo 1989). Sebaran contoh menurut jenis pekerjaan dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran contoh menurut pekerjaan jenis kelamin Jenis pekerjaan Tidak bekerja PNS Karyawan swasta Wiraswasta Buruh Lainnya Total
Laki-laki n % 0 0.0 4 13.8 7 24.1 3 10.3 9 31.0 6 20.7 29 100.0
Perempuan n % 6 54.5 0 0.0 3 27.3 2 18.2 0 0.0 0 0.0 11 100.0
Total n 6 4 10 5 9 6 40
% 15.0 10.0 25.0 12.5 22.5 15.0 100.0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase tertinggi pada contoh perempuan yaitu pada kelompok tidak bekerja (54.5%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar contoh perempuan tidak memiliki pekerjaan dan hanya menjadi ibu rumah tangga. Berbeda dengan contoh perempuan, semua contoh laki-laki memiliki pekerjaan dengan persentase tertinggi pada pekerjaan buruh (31.0%). Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki memilki tuntuan lebih besar dalam mencari nafkah sehingga harus bekerja dibandingkan dengan perempuan. Lakilaki sebagai kepala keluarga memilki tanggung jawab untuk menafkahi seluruh anggota keluarganya (Fuad 2006).
26
Pendapatan contoh Pendapatan keluarga merupakan pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga keluarga tersebut. Pendapatan juga merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi (Sukandar 2010). Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Pendapatan perbulan keluarga yang diperoleh kemudian dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah atau yang manjadi tanggungan pendapatan keluarga tersebut sehingga diperoleh pendapatan/kapita/bulan contoh. Pendapatan/kapita/bulan contoh dikelompokan menjadi enam kelompok. Tabel 9 menggambarkan sebaran contoh menurut pendapatan/kap/bln dan jenis kelamin contoh. Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa sebagain besar
contoh
perempuan
hanya
memiliki
pendapatan
di
bawah
Rp.400.000/kap/bulan sedangkan pada laki-laki menyebar sampai diatas Rp. 1 juta/kap/bulan. Hal ini menunjukkan bahwa contoh perempuan tidak terlalu berperan dalam mencari nafkah untuk menghidupi keluarga dan yang paling berperan adalah laki-laki. Salah satu tugas dari kaum laki-laki sebagai kepala keluarga adalah mencari nafkah atau penghasilan untuk menghidupi anggota keluarganya (Djoko 2000). Tabel 9 Sebaran contoh menurut pendapatan/kapita/bulan dan jenis kelamin Pendapatan/kap/bulan (Rp) 50 – 200 ribu 200 – 400 ribu 400 – 600 ribu 600 – 800 ribu 800 – 1 juta > 1 juta Total
Laki-laki n % 15 51.7 6 20.7 2 6.9 1 3.4 2 6.9 3 10.3 29 100.0
Perempuan n % 4 36.4 5 45.5 0 0.0 0 0.0 2 18.2 0 0.0 11 100.0
Total n 19 11 2 1 4 3 40
% 47.5 27.5 5.0 2.5 10.0 7.5 100.0
Tabel 9 juga menunjukkan bahwa persentase tertinggi terdapat pada kelompok pendapatan Rp.50.000 – Rp.200.000 (47.0%) dengan laki-laki sebesar 51.7% dan perempuan sebesar 36.4%. Kelompok pendapatan ini ternyata berada di bawah garis kemiskinan Kabupaten Bogor. Menurut data BPS 2009, garis kemiskinan di Kabupaten Bogor yaitu Rp.223.218/kap/bulan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar contoh berada di bawah garis kemiskinan atau dengan status ekonomi menengah ke bawah.
27
Menurut Fitri (2011), pendapatan keluarga akan menentukan alokasi pengeluaran pangan dan non pangan sehingga apabila pendapatan keluarga rendah akan menurunkan daya beli. Sebagian besar contoh yang berada di bawah garis kemiskinan ini disebabkan karena pengambilan contoh dilakukan di ruang rawat kelas III yang merupakan ruang rawat untuk pasien tidak mampu yang pembayarannya menggunakan surat keterangan tidak mampu (SKTM) atau jaminan kesehatan masyarakat (JAMKESMAS). Gambaran Umum Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit Lokasi Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong berdekatan dengan kompleks Perkantoran Pusat Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Jl. KSR Dadi Kusmayadi No. 27. Rumah sakit tersebut memiliki luas bangunan sebesar 10.719 m² di atas lahan seluas 51.789 m². Jumlah tempat tidur mencapai 233 buah. Pelayanan yang disediakan oleh RSUD Cibinong terbagi menjadi rawat jalan, rawat inap, IGD, IBS, dan penunjang. Instalasi Gizi merupakan sarana penunjang kegiatan unit pelaksana fungsional dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur RSUD Cibinong. Instalasi Gizi dibangun di atas lahan dengan ukuran kurang lebih 15 x 12 m. Instalasi tersebut memiliki empat pola pelayanan gizi antara lain asuhan gizi pasien rawat jalan, asuhan gizi pasien rawat inap, penyelenggaraan makanan, serta penelitian dan pengembangan gizi terapan. Penyelenggaraan makanan rumah sakit merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dimulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen atau pasien (Depkes 2006). Salah satu komponen makanan yang mengacu pada kerangka menu adalah lauk hewani. Kegiatan penyelenggraan di RSUD Cibinong sudah baik ditunjukkan dengan sudah dilaksanakannya semua tahapan dalam penyelenggaraan makanan dengan baik. Kegiatan penyelenggaraan makanan dimulai dengan tahap perencanaan menu. Perencanaan menu di Instalasi Gizi RSUD Cibinong dilakukan oleh tim ahli Gizi. Beberapa hal yang diperhatikan (syarat) dalam perencanaan menu adalah peraturan pemberian makanan di rumah sakit seperti alokasi anggaran dan kelas perawatan, standar resep, standar bumbu dan standar porsi (Depkes 2006). Pemilihan jenis dan jumlah bahan pangan hewani pada proses perencanaan menu sangat diperhatikan mengingat harga bahan pangan hewani yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga bahan pangan lainnya. Hal ini dilakukan karena mempertimbangkan alokasi dana yang disediakan dari rumah sakit. Jenis bahan pangan hewani yang digunakan terdiri dari empat jenis yaitu
28
daging sapi, ayam, ikan kakap dan telur ayam. Keempat jenis pangan hewani ini divariasikan kedalam berbagai jenis menu yang kemudian disusun pada siklus menu. Siklus menu yang digunakan di rumah sakit adalah siklus menu 10 hari dan ditambah menu ke-31. Susunan menu untuk kelas III dalam siklus menu 10 hari dan ditambah menu ke-31 dapat dilihat di Lampiran 1. Bahan pangan hewani yang paling banyak digunakan sebagai lauk hewani yaitu telur ayam sedangkan yang paling sedikit digunakan adalah ikan kakap. Hal ini dikarenakan harga telur ayam yang lebih murah dibandingkan dengan pangan hewani lainnya. Standar porsi untuk keempat jenis lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 10. Selain keempat jenis lauk hewani tersebut, di rumah sakit juga menggunakan nugget, sosis dan telur puyuh sebagai lauk hewani. Namun, sosis, nugget dan telur puyuh hanya digunakan untuk lauk hewani tambahan pada kelas VIP dan kelas I. Nugget juga digunakan ketika terjadi lonjakan pasien secara mendadak tanpa diketahui sebelumnya oleh pihak instalasi gizi dan hanya diberikan kepada pasien yang tidak menjalani diet khusus dari rumah sakit. Tabel 10 Standar porsi lauk hewani di RSUD Cibinong Jenis pangan hewani Ayam Telur ayam Ikan Daging sapi
Standar porsi (g) 50 55 55 55
Tahap penyelenggaraan makanan selanjutnya adalah pemesanan bahan pangan. Pemesanan ini dilakukan kepada rekanan yang sebelumnya telah memenangkan tender yang dilaksanakan oleh pihak rumah sakit. Penerimaan bahan makanan basah dilakukan setiap hari. Pemeriksaan bahan makanan dilakukan oleh petugas penerimaan berdasarkan kriteria dari segi kualitas maupun kuantitas. Bahan pangan yang digunakan untuk makan siang langsung diolah oleh tenaga pengolah, sedangkan bahan pangan yang digunakan untuk makan malam disimpan terlebih dahulu di ruang penyimpanan seperti chiller. Porses pengolahan semua masakan yang ada dalam kerangka menu dilakukan oleh tenaga pengolah yang telah ditentukan sebelumnya melalui jadwal piket. Pengolahan dilakukan sesuai dengan siklus menu yang sudah ditetapkan. Tahap terakhir dalam proses penyelenggaraan makanan adalah pendistribusian makanan. Pendistribusian yang dilaksanakan di rumah sakit ini terdiri dari dua jenis yaitu desentralisasi untuk ruang rawat kelas II, I dan VIP.
29
dan sentralisasi untuk ruang rawat kelas III. Proses pendistribusian diawali dengan proses pemorsian makanan di plato (piring saji untuk pasien) berdasarkan daftar jumlah pasien setiap ruangan dan jenis diet yang diberikan. Persepsi Contoh terhadap Karakteristik Lauk Hewani Lauk hewani yang disajikan diduga akan menimbulkan persepsi pasien terhadap lauk hewani tersebut. Persepsi merupakan proses memilih, menerima, mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi yang diterima oleh panca inderanya. Hasil interpretasi tersebut dapat berbeda-beda seseorang dengan orang lain (Rakhmat 2005). Persepsi terhadap lauk hewani digunakan untuk mendeskripsikan tingkat kesukaan terhadap lauk hewani yang disajikan. Tingkat persepsi contoh dikategorikan dari tingkat terendah sampai tertinggi yaitu tidak suka, kurang suka, suka dan sangat suka. Persepsi terhadap karakteristik lauk hewani meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan kesesuaian porsi. Terdapat empat jenis lauk hewani yang dipersepsikan oleh contoh yaitu ayam, telur ayam, ikan dan daging. Persepsi contoh terhadap warna Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan. Warna yang dihasilkan setiap lauk hewani berbeda-beda sehingga persepsi yang ditimbulkan juga berbeda. Sebaran contoh menurut persepsi terhadap warna lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran contoh menurut persepsi terhadap warna lauk hewani Tingkat persepsi Tidak suka Kurang suka Suka Sangat suka total
Ayam n 1 12 27 0 40
a
% 2.5 30.0 67.5 0.0 100.0
Warna lauk hewani b b Telur Ikan n % n % 0 0.0 0 0.0 2 5.0 6 15.0 38 95.0 34 85.0 0 0.0 0 0.0 40 100.0 40 100.0
b
Daging n % 0 0.0 1 2.5 39 97.5 0 0.0 40 100.0
Ket: huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan persepsi contoh terhadap lauk hewani
Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa sebagian besar contoh berada pada tingkat persepsi suka dengan yang paling tinggi pada daging (97.5%) dan paling rendah pada ayam (67.5%). Masih terdapat contoh yang menyatakan kurang suka (30%) bahkan tidak suka (2.5%) pada lauk hewani ayam. Alasan contoh kurang menyukai warna ayam yaitu warnanya yang terlalu coklat. Warna ayam yang terlalu coklat diduga dikarenakan proses penggorengan ayam yang terlalu lama. Lauk hewani ikan juga masih terdapat 15.0% contoh yang kurang
30
menyukai warnanya. Hal ini dikarenakan warna ikan yang terlalu pudar dan warna kuning saos yang digunakan terlalu mencolok. Warna makanan yang tidak menarik waktu disajikan akan mengakibatkan selera orang yang akan mengonsumsinya menjadi hilang (Moehy 1996). Hasil uji friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara keempat jenis lauk hewani pada persepsi contoh terhadap warna. Berdasarkan nilai chisquare perbedaan terlihat pada lauk hewani ayam dengan ketiga lauk hewani lainnya (ikan, telur, dan daging). Hal ini diduga karena warna lauk hewani ayam yang tertalu coklat sehingga contoh yang tidak menyukai warnanya. Persepsi contoh terhadap aroma Aroma yang disebarkan oleh makanan memilki daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera pencium sehingga membangkitkan selera (Munajat 2003). Setiap makanan mengeluarkan aroma yang berbeda-beda sehingga persepsi yang diberikan terhadap aroma makanan juga berbeda. Sebaran contoh menurut persepsi terhadap aroma lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 12. Sebagian besar contoh menyatakan suka pada aroma keempat lauk hewani ini dengan persentase tertinggi pada daging (97.5%) dan terendah pada ayam (52.5%). Masih terdapat 37.5% contoh yang kurang menyukai aroma ayam, bahkan 10.0% contoh menyatakan tidak suka pad lauk hewani ayam. Hal ini dikarenakan penggunaan bawang bombay pada saos yang memiliki aroma yang terlalu tajam. Menurut Almatsier (2006), penggunaan bumbu yang berbau tajam sebaiknya dihindari pada pembuatan makanan untuk pasien di rumah sakit karena selain dapat menggangu saluran pencernaan, aroma yang timbul juga bisa mengganggu selera makan pasien. Masih terdapat 22.5% contoh yang memiliki persepsi kurang suka dan 5.0% contoh bahkan menyatakan tidak suka pada aroma telur ayam. Hal ini dikarenakan bau amis dari telur masih sedikit tercium Tabel 12 Sebaran contoh menurut persepsi terhadap aroma lauk hewani Ayam
Tingkat persepsi Tidak suka Kurang suka Suka Sangat suka Total
n 4 15 21 0 40
a
% 10.0 37.5 52.5 0.0 100.0
Aroma lauk hewani a b Telur Ikan n % n % 2 5.0 0 0.0 9 22.5 2 5.0 29 72.5 38 95.0 0 0.0 0 0.0 40 100.0 40 100.0
b
Daging n % 0 0.0 1 2.5 39 97.5 0 0.0 40 100.0
Ket: huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan persepsi contoh terhadap lauk hewani
31
Hasil uji friedman menunjukkan bahwa terdapat perdedaan yang nyata antara keempat jenis lauk hewani pada persepsi contoh terhadap aroma. Berbeda dengan warna pada aroma lauk hewani. Perbedaan terlihat pada lauk hewani daging dan ikan dengan lauk hewani ayam dan telur. Hal ini diduga karena terdapat contoh yang menyatakan tidak suka pada aroma ayam yang memiliki aroma yang tajam dan telur yang masih tercium bau amis. Persepsi contoh terhadap tekstur Tekstur dari setiap hidangan lauk hewani berbeda satu sama lain sehingga persepsi dari contoh juga berbeda. Sebagian besar contoh yang menyatakan suka terhadap tekstur lauk hewani yang disajikan hanya terdapat pada lauk hewani telur, ikan dan daging. Sebagian besar contoh (65.0%) menyatakan kurang suka dan 7.5% menyatakan tidak suka pada tekstur lauk hewani ayam dengan alasan teksturnya yang sedikit keras. Alasan yang sama juga terjadi pada lauk hewani ikan, dimana sebanyak 27.5% contoh memiliki tingkat persepsi kurang suka dan 2.5% contoh memiliki tingkat persepsi tidak suka. Berbeda dengan lauk hewani ayam dan ikan, alasan contoh memilki persepsi kurang suka (77.5%) dan tidak suka (2.5%) pada lauk hewani telur adalah tekstur putih dan kuning telur yang agak lembek. Hal ini diduga dikarenakan proses pengukusan telur yang kurang sempurna. Sebaran contoh menurut persepsi terhadap tekstur lauk hewani secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran contoh menurut persepsi terhadap tekstur lauk hewani Tingkat persepsi Tidak suka Kurang suka Suka Sangat suka Total
b
Ayam n % 3 7.5 26 65.0 11 27.5 0 0.0 40 100.0
Tekstur lauk hawani a a Telur Ikan n % n % 0 0.0 1 2.5 9 22.5 11 27.5 31 77.5 28 70.0 0 0.0 0 0.0 40 100.0 40 100.0
a
Daging n % 0 0.0 3 7.5 34 85.0 3 7.5 40 100.0
Ket: huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan persepsi contoh terhadap lauk hewani
Makanan dengan tekstur dan konsistensi yang sesuai menurut kondisi atau keadaan pasien akan berpengaruh pada konsumsi makan pasien tersebut (Hartono 2006). Selanjutnya Munajat (2003) menjelaskan tekstur dan konsistensi suatu bahan makanan akan mempengaruhi citarasa yang ditimbulkan oleh bahan makanan tersebut. Perubahan tekstur dapat mengubah rasa dan bau yang timbul
32
karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor olfaktori dan kelenjar air liur. Hasil uji friedman menunjukkan bahwa terdapat perdedaan yang nyata antara tekstur keempat jenis lauk hewani. Nilai chi-square menunjukkan perbedaan persepsi hanya terdapat pada lauk hewani ayam dengan ketiga lauk hewani lainnya. Hal ini diduga karena sebagian besar contoh kurang karena teksturnya yang agak keras. Persepsi contoh terhadap rasa Sebaran contoh menurut persepsi terhadap rasa lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 14. Sebagian besar contoh juga memiliki persepsi suka terhadap rasa pada keempat jenis lauk hewani dengan persentase tertinggi yaitu pada lauk hewani ikan (77.5%) dan yang terendah pada lauk hewani ayam (50.0%). Hal ini menunjukkan bahwa, selain kurang menyukai warna, aroma dan tekstur, sebagian contoh juga kurang menyukai rasa dari lauk hewani ayam. Alasan contoh kurang suka bahkan tidak suka dengan ayam adalah rasa ayam yang agak hambar. Menurut Meriska (2004), rasa memegang peranan penting dalam cita rasa makanan karena mempunyai pengaruh yang dominan dengan melibatkan indera kecapan. Tabel 14 Sebaran contoh menurut persepsi terhadap rasa lauk hewani Tingkat Persepsi Tidak suka Kurang suka Suka Sangat suka Total
Ayam n 2 18 20 0 40
a
% 5.0 45.0 50.0 0.0 100.0
Lauk Hewani a a Telur Ikan n % n % 3 7.5 2 5.0 12 30.0 7 17.5 25 62.5 31 77.5 0 0.0 0 0.0 40 100.0 40 100.0
b
Daging n % 0 0.0 3 7.5 24 60.0 13 32.5 40 100.0
Ket: huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan persepsi contoh terhadap lauk hewani
Terdapat 17.5% contoh yang menyatakan kurang suka bahkan 5.0% contoh menyatakan tidak suka pada lauk hewani ikan. Hal ini menunjukkan bahwa selain contoh kurang menyukai tekstur ikan, contoh juga kurang menyukai rasa dari lauk hewani ini. Sebanyak 30.0% contoh juga menyatakan kurang suka bahkan 7.5% menyatakan tidak suka dengan rasa lauk hewani telur dengan alasan rasa yang agak hambar dan menyebabkan mual ketika dikonsumsi. Berbeda dengan ketiga lauk hewani lainnya, pada lauk hewani daging terdapat contoh yang menyatakan sangat suka (32.5%) dengan rasa dari lauk hewani ini. Hal ini dikarenakan rasa dari lauk hewani daging yang sudah enak. Menurut Hartono (2006), dalam keadaan sakit kondisi indera pengecap cenderung
33
terganggu sehingga pemeberian makanan harus memiliki citarasa yang menarik. Hasil uji friedman menunjukkan bahwa terdapat perdedaan yang nyata antara rasa lauk hewani daging dengan ketiga lauk hewani lainnya. Persepsi contoh terhadap kesesuaian porsi Porsi yang terlalu besar atau terlalu kecil akan mempengaruhi penampilan makanan itu sendiri sehingga berkemungkinan akan berpengaruh juga terhadap selera makan (Muchatob 1991). Porsi lauk hewani yang disajikan mengacu pada standar porsi lauk hewani yang diterapkan di rumah sakit. Sebaran contoh menurut persepsi terhadap kesesuaian porsi lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 15. Sebagian besar contoh juga menyatakan suka terhadap porsi pada keempat jenis lauk hewani yang disajikan. Hal ini menunujukan bahwa semua lauk hewani yang disajikan sudah memiliki porsi yang sesuai. Sebanyak 25.0% contoh menyatakan kurang suka pada porsi lauk hewani daging. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun contoh menyukai warna, aroma, rasa dan tekstur daging, namun contoh kurang menyukai porsi daging yang disajikan karena menurut contoh porsi daging yang disajikan kurang besar. Porsi makanan yang diberikan kepada pasien haruslah sesuai dengan kebutuhan pasien dan kemampuan pasien dalam mengonsumsi makanan sehingga pasien dapat mengonsumsi makanan dengan baik tanpa merasa makanan yang diberikan terlalu banyak atau sedikit (Almatsier 2006). Tabel 15 Sebaran contoh menurut persepsi terhadap kesesuaian porsi lauk hewani Tingkat persepsi Tidak suka Kurang suka Suka Sangat suka Total
Kesesuaian Porsi Lauk Hewani b b Telur Ikan % n % n % 0.0 0 0.0 0 0.0 10.0 1 2.5 1 2.5 87.5 39 97.5 39 97.5 2.5 0 0.0 0 0.0 100.0 40 100.0 40 100.0
Ayam n 0 4 35 1 40
a
b
Daging n % 0 0.0 10 25.0 30 75.0 0 0.0 40 100.0
Ket: huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan persepsi contoh terhadap lauk hewani
Hasil uji friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara porsi keempat jenis lauk hewani yang disajikan. Nilai statistik uji (chisquare) menunjukkan perbedaan hanya terdapat pada lauk hewani ayam dengan ketiga lauk hewani yang lain (telur, ikan dan daging). Hal ini dikarenakan terdapat contoh yang menyatakan bahwa porsi ayam yang disajikan sudah sangat sesuai.
34
Hubungan Persepsi terhadap Lauk Hewani dengan Karakteristik Persepsi yang terjadi pada suatu objek bisa bervariasi antara satu orang dengan orang yang lain, antara satu waktu dengan waktu yang lain. Menurut Riyanto (2006) ada tiga faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang yaitu: faktor stimulus, faktor perseptor dan faktor situasi. Faktor stimulus dalam penelitian ini adalah karakteristik dari keempat jenis lauk hewani yang disajikan, sedangkan faktor perseptor dalam penelitian ini adalah karakteristik dari pasien atau contoh, serta faktor situasi nya yaitu kondisi pasien atau contoh pada saat dirawat di rumah sakit. Karaktersitik contoh yang diteliti antara lain: umur contoh, jenis kelamin contoh, jenis penyakit yang diderita contoh, tingkat pendididikan, jenis pekerjaan dan besar pendapatan/kap/bulan. Berbagai karakteristik contoh tersebut kemudian dihubungkan dengan persepsi contoh terhadap hidangan lauk hewani yang disajikan. Persepsi terhadap lauk hewani merupakan persepsi akumulatif contoh terhadap karakteristik (warna, aroma, tekstur, rasa dan kesesuaian porsi) setiap lauk hewani. Semua contoh dalam penelitian ini tidak memiliki tingkat persepsi tidak suka dan sebagian besar menyatakan suka pada keempat jenis lauk hewani yang disajikan. Hal ini menunjukkan bahwa lauk hewani yang disajikan sudah cukup diterima dengan baik oleh contoh. Hubungan persepsi dengan umur contoh Umur contoh dikategorikan menjadi tiga kelompok umur menurut WNPG 2004. Berdasarkan tiga kelompok umur tersebut akan dilihat bagaimana tingkat persepsi terhadap keempat jenis lauk hewani yang disajikan (ayam, daging, ikan dan telur). Sebaran contoh menurut umur dan persepsi terhadap lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 16. Persepsi contoh pada semua kelompok umur tidak terlalu berbeda atau hampir sama satu sama lain. Masih terdapat 7.7% (pada kelompok umur 18-29 tahun) dan 8.3%
(pada kelompok umur 50-64 tahun) contoh yang memiliki
persepsi kurang suka pada lauk hewani ayam. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sebagian kecil contoh yang kurang menyukai lauk hewani ayam. Semua kelompok umur juga memiliki persepsi sangat suka pada daging dengan persentase tertinggi pada kelompok umur 50-64 tahun (41.7%) yang berarti bahwa lauk hewani daging sudah dapat diterima dengan baik oleh semua kelompok umur dibandingkan dengan ketiga lauk hewani lainnya.
35
Tabel 16 Sebaran contoh menurut umur dan persepsi terhadap lauk hewani Umur dan persepsi
Ayam
18 - 29 (tahun) Kurang suka Suka Sangat suka 30 – 49 (tahun) Kurang suka Suka Sangat suka 50 – 64 (tahun) Kurang suka Suka Sangat suka P
Jenis Lauk Hewani Telur Ikan n % n %
Daging n %
n
%
1 12 0
7.7 92.3 0.0
0 13 0
0.0 100.0 0.0
0 13 0
0.0 100.0 0.0
0 11 2
0.0 84.6 15.4
0 15 0
0.0 100.0 0.0
0 15 0
0.0 100.0 0.0
0 15 0
0.0 100.0 0.0
0 11 4
0.0 73.3 26.7
1 11 0
8.3 91.7 0.0 0.687
0 12 0
0.0 100.0 0.0 0.775
1 11 0
8.3 9.7 0.0 0.558
0 7 5
0.0 58.3 41.7 0.389
Berdasarkan uji korelasi spearman, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0.05) antara karateristik umur contoh dengan persepsi lauk hewani (ayam, ikan, telur dan daging). Hal ini menunjukkan bahwa umur contoh tidak berpengaruh terhadap persepsi contoh pada keempat jenis lauk hewani yang disajikan. Hasil uji korelasi ini sejalan dengan penelitian Marlina (2004) tentang persepsi dan tingkat konsumsi pasien diabetes mellitus yang menyatakan bahwa umur contoh tidak berpengaruh terhadap persepsi contoh terhadap makanan yang disajikan. Hubungan persepsi dengan jenis kelamin contoh Berdasarkan jenis kelamin contoh akan dilihat bagaimana tingkat persepsi terhadap keempat jenis lauk hewani yang disajikan (ayam, daging, ikan dan telur). Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan persepsi terhadap lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan persepsi terhadap lauk hewani Jenis kelamin dan persepsi Laki-laki Kurang suka Suka Sangat suka Perempuan Kurang suka Suka Sangat suka P
Ayam
Jenis Lauk Hewani Telur Ikan n % n %
n
Daging %
n
%
2 27 0
6.9 93.1 0.0
0 29 0
0.0 100.0 0.0
1 28 0
3.5 96.5 0.0
0 20 9
0.0 68.9 31.1
0 15 0
0.0 100.0 0.0
0 0.0 15 100.0 0 0.0 0.253
0 15 0
0.0 100.0 0.0 0.351
0 11 4
0.0 73.3 26.7 0.863
0.902
36
Masih terdapat 6.9% (pada ayam) dan 3.5% (pada ikan) contoh laki-laki yang memiliki persepsi kurang suka sedangkan pada perempuan tidak terdapat contoh yang memiliki tingkat persepsi kurang suka. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi contoh perempuan sedikit lebih baik dibandingkan dengan persepsi contoh laki-laki. Berdasarkan uji korelasi spearman, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0.05) antara jenis kelamin contoh dengan persepsi contoh terhadap lauk hewani (ayam, telur, ikan dan daging). Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin contoh tidak berpengaruh terhadap persepsi contoh pada keempat jenis lauk hewani yang disajikan. Penelitian yang dilakukan oleh Meriska (2004) tentang konsumsi dan persepsi pasien rawat inap terhadap makanan yang disajikan juga memperoleh hasil yang sama yaitu tidak adanya hubungan yang nyata antara jenis kelamin contoh dan persepsi contoh. Hubungan persepsi dengan jenis penyakit contoh Berbagai penyakit yang diderita contoh dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu jenis penyakit dalam dan penyakit bedah. Pengelompokan contoh berdasarkan jenis penyakit ini kemudian dihubungkan dengan persepsi contoh sehingga dapat dilihat hubungan antara dua variabel tersebut (jenis penyakit dan perspesi contoh). Sebaran contoh menurut jenis penyakit dan persepsi terhadap lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran contoh menurut jenis penyakit dan persepsi terhadap lauk hewani Jenis penyakit dan persepsi Penyakit dalam Kurang suka Suka Sangat suka Bedah Kurang suka Suka Sangat suka P
Ayam n %
Jenis lauk hewani Telur Ikan n % n %
n
2 24 0
7.7 92.3 0
1 25 0
3.9 96.2 0
1 25 0
3.9 96.2 0
0 20 6
0 76.9 23.1
4 10 0
28.6 71.4 0 0.448
2 12 0
14.3 85.7 0 0.870
0 14 0
0 100 0 0.470
0 9 5
0 64.3 35.7 0.085
Daging %
Masih ada sebagian contoh yang memiliki persepsi kurang suka pada kedua jenis kelompok penyakit. Persentase persepsi kurang suka pada jenis penyakit dalam lebih rendah yaitu 7.7% (ayam), 3.9% (telur dan ikan) dibandingkan pada jenis penyakit bedah yaitu 28.6% (ayam) dan 14.3% (telur).
37
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat persepsi pada contoh dengan jenis penyakit dalam sedikit lebih baik dibandingkan persepsi contoh dengan jenis penyakit bedah. Walaupun demikian, berdasarkan uji korelasi spearman, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0.05) antara jenis penyakit contoh dengan persepsi contoh terhadap lauk hewani (ayam, telur, ikan dan daging). Hal ini menunjukkan bahwa jenis penyakit yang diderita contoh tidak berpengaruh terhadap persepsi contoh pada keempat jenis lauk hewani yang disajikan. Hasil ini juga sesuai dengan hasil uji yang dilakukan oleh Munajat (2003) dan Meriska (2004) mengenai konsumsi dan persepsi pasien rawat inap terhadap makanan yang disajikan. Pengkajian terhadap keluhan dan riwayat penyakit yang diderita oleh pasien perlu dilakukan dalam rangka pemberian terapi gizi medis yang benar. Hal ini terkait dengan bagaimana memberikan asupan makanan yang cukup, bergizi dan dapat meningkatkan selera makan pasien, sehingga dapat meningkatkan pula penerimaan terhadap makanan yang disajikan rumah sakit (Depkes 2006). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa meskipun tidak ada hubungan antara jenis penyakit dan persepsi pasien, gejala penyakit yang dirasakan oleh pasien dapat memberikan pengaruh terhadap penerimaan makanan walaupun secara tidak langsung yaitu bermula dari rasa sakit yang dapat menurunkan nafsu makan. Hubungan persepsi dengan pendidikan contoh Tingkat pendidikan merupakan jenjang formal tertinggi yang dicapai oleh seseorang. Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan dan persepsi terhadap lauk hewani dapat dilihat Tabel 19. Sebagian contoh memiliki persepsi kurang suka pada lauk hewani ayam (16.7% pada SMP dan 8.4% pada SMA), ikan (50.0% pada kelompok tidak sekolah) dan telur (8.4% pada SMA). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian kecil contoh masih kurang menyukai lauk hewani ayam, ikan dan telur yang disajikan. Berbeda dengan hidangan ayam, ikan dan telur, pada hidangan daging tidak memiliki tingkat persepsi kurang suka, bahkan hidangan ini memiliki tingkat persepsi sangat suka pada semua tingkat pendidikan contoh. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat persepsi pada hindangan daging lebih baik diantara ketiga hidangan lainnya. Uji korelasi spearman juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0.05) antara tingkat pendidikan dengan persepsi contoh terhadap keempat jenis lauk hewani yang berarti bahwa apapun tingkat pendidikan contoh tidak mempengaruhi persepsi contoh pada keempat jenis lauk hewani yang
38
disajikan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Munajat (2003) dan Marlina (2004) tentang persepsi dan tingkat konsumsi pasien yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan contoh tidak berpengaruh terhadap persepsi contoh. Tabel 19 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan dan persepsi terhadap lauk hewani Tingkat pendidikan dan persepsi Tidak sekolah Kurang suka Suka Sangat suka SD/sederajat Kurang suka Suka Sangat suka SMP/sederajat Kurang suka Suka Sangat suka SMA/sederajat Kurang suka Suka Sangat suka Perguruan tinggi Kurang suka Suka Sangat suka P
Ayam
Jenis Lauk Hewani Telur Ikan n % n %
Daging n %
n
%
0 2 0
0.0 100.0 0.0
0 2 0
0.0 100.0 0.0
1 1 0
50.0 50.0 0.0
0 1 1
0.0 50.0 50.0
0 16 0
0.0 100.0 0.0
0 16 0
0.0 100.0 0.0
0 16 0
0.0 100.0 0.0
0 10 6
0.0 62.5 37.5
1 5 0
16.7 83.4 0.0
0 6 0
0.0 100.0 0.0
0 6 0
0.0 100.0 0.0
0 5 1
0.0 83.4 16.7
1 11 0
8.4 91.7 0.0
1 11 0
8.4 91.7 0.0
0 12 0
0.0 100.0 0.0
0 11 1
0.0 91.7 8.4
0 4 0
0.0 100.0 0.0 0.933
0 4 0
0.0 100.0 0.0 0.909
0 4 0
0.0 100.0 0.0 0.407
0 2 2
0.0 50.0 50.0 0.763
Menurut Sediaoetama (2000), tingkat pendidikan yang lebih tinggi berkaitan dengan pengetahuan gizi yang lebih tinggi pula. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan formal yang tinggi, maka semakin baik pula kemampuannya untuk menilai suatu objek yang terkait juga dengan pengalaman yang semakin bertambah. Namun, hasil penelitian tidak menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi contoh. Contoh tidak menerapkan pengetahuannya dalam memilih makanan diduga karena ada faktor lain yang lebih dominan. Faktor tersebut diantaranya kondisi fisik yang menurun, gejala penyakit yang tidak menentu serta kondisi lingkungan rumah sakit yang berbeda dengan ketika berada di rumah sehingga dapat mengurangi selera makan seseorang. Hubungan persepsi dengan jenis pekerjaan contoh Pekerjaan seseorang erat kaitannya dengan pendapatan yang diperoleh untuk memilih jenis makanan yang dikonsumsi. Oleh karena itu, diduga pekerjaan contoh dapat mempengaruhi persepsi contoh (Suhardjo 1989). Jenis
39
pekerjaan contoh dikelompokan menjadi enam kelompok yang kemudian dihubungkan dengan persepsinya. Sebaran contoh menurut jenis pekerjaan dan persepsi terhadap lauk hewani secara lengkap disajikan pada Tabel 20. Sebagian besar contoh memiliki tingkat persepsi suka pada semua jenis hidangan lauk hewani, terutama pada kelompok tidak bekerja, PNS, wiraswasta. Hal ini menunjukkan bahwa keempat jenis lauk hewani yang disajikan sudah dapat diterima dengan baik oleh contoh. Contoh yang bekerja sebagai karyawan swasta (10.0%) dan buruh (12.5%) memiliki tingkat persepsi kurang suka pada ayam serta sebanyak 16.7% (kelompok lainnya) memiliki tingkat persepsi kurang suka pada ikan. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sebagian kecil contoh yang bekerja sebagai karyawan swasta, buruh dan lainnya yang kurang menyukai lauk hewani yang disajikan yaitu ayam dan ikan. Berbeda dengan ayam dan ikan, pada lauk hewani daging, terdapat contoh yang menyatakan sangat suka disemua kelompok pekerjaan yang berarti bahwa lauk hewani sudah dapat diterima dengan baik oleh contoh dari semua kelompok pekerjaan karena memiliki rasa yang enak dan tekstur yang empuk. Tabel 20 Sebaran contoh menurut jenis pekerjaan dan persepsi terhadap lauk hewani Jenis pekerjaan dan persepsi Tidak bekerja Kurang suka Suka Sangat suka PNS Kurang suka Suka Sangat suka karyawan swasta Kurang suka Suka Sangat suka Wiraswasta Kurang suka Suka Sangat suka Buruh Kurang suka Suka Sangat suka Lainnya Kurang suka Suka Sangat suka p
Ayam
Jenis Lauk Hewani Telur Ikan n % n %
Daging n %
n
%
0 6 0
0.0 100.0 0.0
0 6 0
0.0 100.0 0.0
0 6 0
0.0 100.0 0.0
0 4 2
0.0 66.7 33.4
0 4 0
0.0 100.0 0.0
0 4 0
0.0 100.0 0.0
0 4 0
0.0 100.0 0.0
0 3 1
0.0 75.0 25.0
1 9 0
10.0 90.0 0.0
0 10 0
0.0 100.0 0.0
0 10 0
0.0 100.0 0.0
0 9 1
0.0 90.0 10.0
0 5 0
0.0 100.0 0.0
0 5 0
0.0 100.0 0.0
0 5 0
0.0 100.0 0.0
0 4 1
0.0 80.0 20.0
1 8 0
12.5 87.5 0.0
0 9 0
0.0 100.0 0.0
0 9 0
0.0 100.0 0.0
0 6 3
0.0 66.7 33.3
0 6 0
0.0 100.0 0.0 0.948
0 6 0
0.0 100.0 0.0 0.551
1 5 0
16.7 83.3 0.0 0.490
0 4 2
0.0 66.7 33.3 0.656
40
Berdasarkan uji korelasi spearman, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0.05) antara jenis pekerjaan contoh dengan persepsi contoh terhadap lauk hewani (ayam, telur, ikan dan daging). Hal ini menunjukkan bahwa apapun pekerjaan yang dijalani oleh contoh tidak berpengaruh terhadap persepsi mereka pada keempat jenis lauk hewani yang disajikan. Pekerjaan
dipengaruhi
oleh
latar
belakang
pendidikan,
latihan,
keterampilan yang dimiliki seseorang dan nilai-nilai sosial masyarakat yang salah satunya adalah gizi dan kesehatan. Oleh karena itu pekerjaan yang dijalani sacara tidak langsung berdampak pada pemilihan seseorang terhadap makanan yang dikonsumsinya (Munajat 2003). Penjelasan tersebut berbeda dengan hasil uji yang diperoleh sehingga diduga ada faktor lain yang lebih dominan mempengaruhi persepsi contoh terhadap lauk hewani seperti kondisi fisik yang menurun, gejala penyakit yang tidak menentu serta kondisi lingkungan rumah sakit yang berbeda dengan ketika berada di rumah sehingga dapat mengurangi selera makan seseorang. Hubungan persepsi dengan besar pendapatan contoh Besar pendapatan yang diperoleh dapat berdampak pada pertimbangan seseorang dalam pemilihan makanan yang akan dikonsumsi (Lindstrom 2000). Besar pendapatan dari contoh dikategorikan menjadi lima kelompok yang kemudian dihubungkan dengan persepsi contoh terhadap lauk hewani. Tabel 21 menggambarkan sebaran contoh menurut besar pendapatan dan persepsi terhadap lauk hewani. Masih terdapat sebagian kecil contoh yang memilki tingkat persepsi kurang suka pada lauk hewani ayam yaitu 9.1% (pendapatan Rp.200.000 – 400.000/kap/bln) dan 33.3% (pendapatan>Rp.1juta/kap/bln) serta pada ikan yaitu sebesar 5.3% (pendapatan Rp.50.000 – 200.000/kap/bln). Terdapat contoh yang memilki tingkat persepsi sangat suka pada lauk hewani daging yang berarti bahwa lauk hewani daging sudah dapat diterima dengan baik. Uji korelasi spearman yang dilakukan juga menunjukkan tidak terdapat hubungan yang nyata antara besar pendapatan/kapita/bulan contoh dengan persepsi contoh terhadap lauk hewani (ayam, telur, ikan dan daging). Hal ini menunjukkan bahwa berarapun besar pendapatan/kapita/bulan contoh tidak berpengaruh terhadap persepsi contoh pada keempat jenis lauk hewani yang disajikan.
41
Tabel 21 Sebaran contoh menurut besar pendapatan dan persepsi terhadap lauk hewani Pendapatan/kapita/bulan dan persepsi Rp.50.000- Rp200.000 Kurang suka Suka Sangat suka Rp.200.000-Rp.400.000 Kurang suka Suka Sangat suka Rp.400.000-Rp.600.000 Kurang suka Suka Sangat suka Rp.600.000-Rp.800.000 Kurang suka Suka Sangat suka Rp.800.000-1 juta Kurang suka Suka Sangat suka > Rp. 1 juta Kurang suka Suka Sangat suka p
Ayam
Persepsi lauk hewani Telur Ikan n % n %
Daging sapi n %
n
%
0 19 0
0.0 100.0 0.0
0 19 0
0.0 100.0 0.0
1 18 0
5.3 94.7 0.0
0 12 7
0.0 63.2 36.8
1 10 0
9.1 90.9 0.0
0 11 0
0.0 100.0 0.0
0 11 0
0.0 100.0 0.0
0 8 3
0.0 72.7 27.3
0 2 0
0.0 100.0 0.0
0 2 0
0.0 100.0 0.0
0 2 0
0.0 100.0 0.0
0 2 0
0.0 100.0 0.0
0 1 0
0.0 100.0 0.0
0 1 0
0.0 100.0 0.0
0 1 0
0.0 100.0 0.0
0 1 0
0.0 100.0 0.0
0 4 0
0.0 100.0 0.0
0 4 0
0.0 100.0 0.0
0 4 0
0.0 100.0 0.0
0 4 0
0.0 100.0 0.0
1 2 0
33.3 66.7 0.0 0.915
0 3 0
0.0 100.0 0.0 0.776
0 3 0
0.0 100.0 0.0 0.698
0 2 1
0.0 66.7 33.3 0.956
Menurut Sukandar (2010), semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik untuk dikonsumsi. Namun, hasil penelitian tidak menunjukkan adanya hubungan antara pendapatan dengan persepsi contoh. Pendapatan yang diperoleh seseorang
diduga hanya
berdampak pada pertimbangan seseorang dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi namun tidak mempengaruhi tanggapan tentang makanan tersebut. Walaupun seseorang tidak memiliki uang untuk membeli suatu makanan, bukan berarti makanan tersebut menjadi tidak disukainya. Tingkat Konsumsi terhadap Ketersediaan Lauk Hewani Komponen dalam menghitung tingkat konsumsi lauk hewani terhadap ketersediaan adalah ketersediaan lauk hewani, dan konsumsi lauk hewani contoh. Lauk hewani yang disajikan untuk pasien dalam jumlah dan jenis tertentu dari rumah sakit disebut juga ketersediaan. Ketersediaan ini untuk selanjutnya dikonsumsi oleh pasien. Perbandingan antara konsumsi dan ketersediaan diperoleh tingkat konsumsi terhadap ketersediaan.
42
Ketersediaan lauk hewani Ketersediaan lauk hewani merupakan jumlah dan jenis lauk hewani yang disajikan oleh rumah sakit kepada pasien. Lauk hewani yang disajikan kemudian dihitung kandungan energi dan proteinnya. Kandungan energi dan protein setiap lauk hewani yang disajikan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 22 menggambarkan ketersediaan keempat jenis lauk hewani. Ketersediaan energi dan protein lauk hewani yang disajikan di rumah sakit sudah baik karena tidak jauh berbeda satu sama lain, yang berkisar antara 122-139 kkal untuk energi dan 8-11 g untuk protein. Hal ini dikarenakan perencaan menu yang tepat dengan memperhitungkan kandungan energi dan protein dari setiap jenis bahan pangan hewani. Menu yang baik merupakan menu yang memiliki kandungan energi yang hampir sama antara satu menu dengan menu yang lainnya dalam satu kesatuan siklus menu. (Depkes 2006). Ketersedian energi paling tinggi pada lauk hewani ayam (139 kkal) dan yang paling rendah pada lauk hewani daging (122 kkal). Berbeda dengan energi, kandungan protein tertinggi pada lauk hewani ikan. Menurut DKBM kandungan protein pada 100 g ikan (ikan kakap) yaitu 13.75 g, lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi (11.28 g), ayam (9.10 g) dan telur ayam (7.82 g). Konsumsi lauk hewani Menurut Kartasapoetra (2006), makanan yang dikonsumsi setiap hari tersusun dari unsur-unsur gizi yang diklasifikasikan sebagai zat gizi makro (karbohidrat, lemak dan protein) dan zat gizi mikro (vitamin dan mineral). Salah satu kerangka menu yang disajikan pada contoh untuk dikonsumsi adalah lauk hewani. Lauk hewani merupakan sumber protein yang lengkap dan bermutu tinggi, karena mempunyai kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap dan susunannya mendekati apa yang diperlukan oleh tubuh. Protein juga memiliki daya cerna tinggi sehingga jumlah yang dapat diserap (dapat digunakan oleh tubuh) juga tinggi (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Konsumsi lauk hewani masing-masing contoh yang telah diterjemahkan ke dalam energi dan protein secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3. Ratarata konsumsi keempat jenis lauk hewani yang disajikan dapat dilihat juga pada Tabel 22. Konsumsi lauk hewani (energi dan protein) secara keseluruhan berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan karateristik dari setiap lauk hewani (warna, aroma, tekstur, rasa dan kesesuaian porsi) berbeda-beda. Konsumsi terendah pada lauk hewani telur ayam sedangkan konsumsi tertinggi pada lauk
43
hewani daging sapi. Menurut Marlina (2004), konsumsi makanan setiap contoh berbeda-beda tergantung dari karakteristik makanan tersebut dan kesenangan atau selera seseorang. Tabel 22 Ketersediaan dan konsumsi lauk hewani Lauk hewani Ayam Telur ayam Ikan Daging sapi
Ketersediaan lauk hewani
Konsumsi lauk hewani
Energi (kkal)
Protein (g)
Energi (kkal)
Protein (g)
139 136 112 138
9.44 8.31 11.23 10.32
76 63 78 99
5.19 3.84 7.16 7.42
Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan lauk hewani Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan lauk hewani diperoleh dari perbandingan antara konsumis lauk hewani contoh dengan ketersediaan lauk hewani yang disajikan. Tingkat konsumsi contoh dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu kurang baik dengan persentase <50%, cukup baik dengan persentase 50-75% dan kategori baik dengan persentase >75%. Sebaran contoh menurut tingkat konsumsi terhadap ketersediaan lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Sebaran contoh menurut tingkat konsumsi terhadap ketersediaan lauk hewani Lauk hewani Ayam Telur ayam Ikan Daging sapi
Kurang baik n % 15 38.0 16 40.0 9 23.0 4 10.0
Tingkat konsumsi Cukup baik n % 11 27.5 16 40.0 11 27.5 10 25.0
Total
Baik n 14 8 20 26
% 35.0 20.0 50.0 65.0
n 40 40 40 40
% 100.0 100.0 100.0 100.0
Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi energi dan protein pada keempat jenis lauk hewani berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh konsumsi energi dan protein contoh yang berbeda-beda pada setiap jenis lauk hewani. Persentase tertinggi pada tingkat konsumsi yang baik yaitu pada lauk hewani daging (65.0%). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi contoh pada lauk hewani ini relatif
tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada
keempat jenis lauk hewani, diperoleh bahwa lauk hewani daging memiliki rasa yang lebih enak dibanding dengan lauk hewani lainnya. Selain itu, lauk hewani daging juga memiliki aroma yang menggugah selera dan tekstur daging yang empuk. Daging sapi merupakan salah satu pangan hewani yang paling digemari sebagian masyarakat karena memiliki rasa yang lezat dan tekstur yang empuk.
44
Berbeda dengan daging lainnya seperti kambing, daging sapi tidak memiliki aroma yang tajam dan pengolahannya cenderung lebih gampang (Soeparno 1998). Persentase tertinggi pada tingkat konsumsi kurang baik yaitu pada lauk hewani telur ayam (40.0%). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi contoh pada lauk hewani ini relatif rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada hidangan telur, diperoleh bahwa rasa dari telur sudah enak dibandingkan dengan lauk hewani lainnya, masih tercium sedikit bau amis dari telur. Diduga bau amis ini yang membuat contoh kurang mengonsumsi telur. Selain itu, tekstur telur lembek sehingga pada saat mengonsumsinya diduga menimbulkan rasa mual pada contoh. Pengurangan bau amis telur telah dilakukan dengan cara penggunaan saos semur pada lauk hewani ini, namun aroma dan rasa saos semur yang digunakan masih belum dapat menghilangkan bau amis dari telur. Pengolahan dengan cara merebus masih meninggalkan bau amis telur yang dapat mengganggu selera seseorang dalam mengonsumsi telur sehingga pengolahan telur sebaiknya dilakukan dengan cara digoreng (Sudaryani 2006). Selain karakteristik lauk hewani yang kurang disukai oleh contoh, ada faktor lain yang mempengaruhi contoh dalam mengonsumsi lauk hewani yaitu nafsu makan contoh yang menurun akibat sakit yang diderita. Menurut Cornelia dkk (2010), pasien yang berada di rumah sakit pada umumnya terganggu selera makannya karena penyakit yang diderita dan kondisi indra pengecap atau pembaunya yang ikut terganggu. Alasan berikutnya yaitu masih adanya anggapan bahwa tidak baik mengonsumsi lauk hewani dalam kondisi sakit. Hal ini terjadi pada contoh dengan jenis penyakit bedah. Sebagian besar contoh (55.0%) yang memiliki tingkat konsumsi yang kurang masih beranggapan atau percaya bahwa dalam keadaan setelah operasi atau luka operasi yang belum sembuh, pantang untuk mengonsumsi lauk hewani terutama telur ayam karena takut luka setelah pembedahan tidak akan kering atau tidak akan sembuh. Menurut Djoko (2000), pola makan seseorang berkaitan erat dengan budaya masyarakat setempat. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Hal ini yang terjadi pada sebagian contoh dalam penelitian ini yang beranggapan salah dalam mengonsumsi lauk hewani. Salah satu faktor yang mempengaruhi bagaimana seseorang memilih dan mengonsumsi makanannya adalah kepercayaan
45
terhadap takhayul (Hartono 2006). Selanjutnya Suhardjo (2003) menambahkan, pada masyarakat desa yang masih terbelakang, pemberian makanan kepada orang sakit sering tidak diperhatikan karena pemahaman mereka yang masih kurang sehingga terkadang memiliki paradigma yang salah dalam mengonsumsi makanan, salah satunya adalah konsumsi pangan hewani. Kontribusi Lauk Hewani Kontribusi lauk hewani terhadap ketersediaan makanan dihitung dengan membandingkan jumlah energi dan protein lauk hewani yang disajikan dengan total keseluruhan energi dan protein satu kesatuan menu. Ketersediaan satu kesatuan menu dalam satu kali waktu makan dapat dilihat pada Lampiran 4. Kontribusi lauk hewani terhadap ketersediaan satu kesatuan menu secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Kontribusi lauk hewani terhadap satu kesatuan menu Lauk Hewani Ayam Telur Ikan Daging
Ketersediaan Kesatuan menu* E (kkal) P (g) 578 21.9 568 24.4 553 28.8 572 26.5
Ketersediaan lauk hewani E(kkal) P (g) 139 9.44 136 8.31 122 11.23 138 10.32
Kontribusi LH thd kesatuan menu E (%) P (%) 24.1 43.1 23.9 34.1 22.1 39.0 24.1 38.8
Keterangan: *kesatuan menu :akumulasi dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah. LH : lauk hewani, E: energi, P: Protein.
Kontribusi Lauk hewani terhadap kesatuan menu yang disajikan berkisar antara 22.1% sampai 24.1% untuk energi dan 34.1% sampai 43.1% untuk protein. Kontribusi yang diberikan oleh lauk hewani ini sudah baik karena sudah lebih dari 25.0% atau ¼ dari total ketersediaan. Lauk hewani sebaiknya memberikan sumbangan 15% - 25%
dalam kesatuan menu yang disajikan
(Moehy 1996). Menurut Kurniasih dkk (2010), anjuran penggunaan bahan pangan hewani berdasarkan AKG dan mengacu pada pedoman umum gizi seimbang adalah 12.5%-15.0% dari total semua bahan makanan dalam satu kali makan. Kontribusi tertinggi untuk energi yaitu pada lauk hewani ayam dan daging sedangkan terendah yaitu pada ikan. Kontribusi
lauk
hewani
terhadap
kebutuhan
dihitung
dengan
membandingkan lauk hewani yang dikonsumsi (energi dan protein) dengan kebutuhan total energi dan protein contoh. Kontribusi lauk hewani terhadap kebutuhan contoh dapat dilihat pada Tabel 25.
46
Tabel 25 Kontribusi lauk hewani terhadap kebutuhan contoh Lauk Hewani
Konsumsi lauk hewani
Ayam Telur Ikan Daging
E (kkal) 76 63 78 99
P (g) 5.19 3.84 7.16 7.42
Rata-rata kebutuhan contoh* E(kkal) P (g) 1989 74.59 1989 74.59 1989 74.59 1989 74.59
Kontribusi LH thd Kebutuhan contoh E (%) P (%) 3.9 7.1 3.2 5.2 4.1 10.0 5.1 10.2
Ketarangan: *rata-rata kebutuhan contoh pada saat mengonsumsi keempat jenis lauk hewani adalah sama. LH : lauk hewani, E: energi, P: Protein.
Berdasarkan Tabel 25, dapat diketahui bahwa kontribusi lauk hewani terhadap kebutuhan contoh berkisar antara 3.2% sampai 5.1% untuk energi dan 5.2% sampai 10.2% untuk protein. Persentase tertinggi kontribusi lauk hewani terhadap kebutuhan contoh adalah lauk hewani daging sedangkan yang terrendah adalah lauk hewani telur ayam. Hal ini dikarenakan konsumsi yang tinggi pada lauk hewani daging dan konsumsi yang rendah pada lauk hewani telur ayam. Hubungan Persepsi dengan Tingkat Konsumsi Lauk Hewani Persepsi contoh terhadap karakteristik lauk hewani (warna, aroma, rasa, tekstur dan kesesuain porsi) kemudian diakumulasikan menjadi satu yang disebut persepsi terhadap lauk hewani. Persepsi contoh pada lauk hewani yang disajikan kemudian dihubungkan dengan tingkat konsumsi lauk hewani terhadap ketersediaan.
Hubungan
persepsi
dan
tingkat
konsumsi
ini
akan
menggambarkan apakah persepsi contoh yang baik terhadap lauk hewani diikuti juga dengan konsumsi yang baik pula dan sebaliknya apakah persepsi contoh yang buruk terhadap lauk hewani diikuti dengan konsumsi yang buruk. Sebaran contoh menurut tingkat konsumsi dan persepsi terhadap lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 26. Contoh yang menyatakan persepsi kurang suka pada lauk hewani ayam dan ikan, semuanya (100.0%) memiliki tingkat konsumsi yang kurang baik. Contoh yang memiliki persepsi suka pada lauk hewani ayam dan ikan diikuti dengan tingkat konsumsi yang baik sebesar 36.8% pada ayam dan 51.3% pada ikan. Hal ini menunjukkan bahwa contoh yang menyatakan suka pada lauk hewani ayam dan ikan, sebagian besarnya memiliki tingkat konsumsi yang baik.
47
Tabel 26 Sebaran contoh menurut tingkat konsumsi dan persepsi terhadap lauk hewani Lauk hewani dan persepsi Ayam Kurang suka Suka Sangat suka P Telur ayam Kurang suka Suka Sangat suka P Ikan Kurang suka Suka Sangat suka P Daging sapi Kurang suka Suka Sangat suka P
Kurang baik n %
Tingkat konsumsi thd ketersediaan Cukup baik Baik n % n %
Total n
%
2 13 0
100.0 34.2 0.0
0 11 0
0.0 0 28.9 14 0.0 0 0.001
0.0 36.8 0.0
2 38 0
100.0 100.0 0.0
0 16 0
0.0 40.0 0.0
0 16 0
0.0 0 40.0 8 0.0 0 0.661
0.0 20.0 0.0
0 40 0
0.0 100.0 0.0
1 9 0
100.0 23.1 0.0
0 11 0
0.0 0 28.2 20 0.0 0 0.001
0.0 51.3 0.0
1 39 0
100.0 100.0 0.0
0 2 2
0.0 6.7 20.0
0 7 3
0.0 0 23.3 20 30.0 6 0.693
0.0 66.7 60.0
0 30 10
0.0 100.0 100.0
Berdasarkan uji statistik terlihat hubungan yang nyata (p<0.05) antara persepsi contoh pada lauk hewani ayam dan ikan dengan tingkat konsumsi contoh terhadap lauk hewani tersebut dan dengan signifikansi bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi contoh yang baik pada lauk hewani diikuti pula dengan konsumsi yang baik pula dan sebaliknya, persepsi contoh yang kurang baik diikuti pula dengan konsumsi yang kurang baik pada lauk hewani. Contoh yang menyatakan suka pada lauk hewani daging memiliki tingkat konsumsi yang baik (66.7%) dan hanya 6.7% contoh yang memiliki tingkat konsumsi yang kurang baik. Tingkat persepsi sangat suka, masih terdapat contoh yang memiliki tingkat konsumsi yang cukup baik (30.0%) bahkan tingkat konsumsi yang kurang baik (20.0%). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun contoh menyatakan sangat suka pada daging, tingkat konsumsi contoh belum tentu baik. Seluruh contoh menyatakan suka (100.0%) pada lauk hewani telur ayam. Persepsi suka pada telur ayam tidak diikuti pula dengan tingkat konsumsi contoh yang baik; terdapat 40.0% contoh yang memiliki tingkat konsumsi yang cukup baik bahkan kurang baik. Hal ini dikarenakan contoh masih memiliki anggapan yang salah tentang konsumsi lauk hewani terutama telur ayam pada saat sakit atau setelah pembedahan (operasi). Menurut Suhardjo (1989), bahan makanan
48
tertentu oleh suatu masyarakat dapat dianggap tabu untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu. Berdasarkan hasil uji statistik (spearman) dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0.05) antara persepsi terhadap lauk hewani telur dan daging dengan tingkat konsumsi contoh terhadap lauk hewani tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi contoh yang baik, belum tentu diikuti dengan tingkat konsumsi yang baik pula.
49
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Contoh adalah pasien yang dirawat di RS Cibinong yang berjumlah 40 orang dengan contoh laki-laki lebih banyak dibanding perempuan dan menyebar secara merata pada ketiga kelompok umur. Rata-rata pendidikan contoh masih tergolong rendah. Mayoritas jenis pekerjaan contoh adalah buruh dengan pendapatan yang rendah dan tergolong dalam keluarga menengah ke bawah. Persepsi contoh terhadap warna, aroma, tekstur dan rasa ayam lebih rendah dibandingkan dengan ketiga lauk hewani lainnya sedangkan persepsi contoh terhadap rasa dan tekstur daging lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga lauk hewani lainnya. Secara keseluruhan persepsi contoh terhadap keempat jenis lauk hewani sudah baik ditunjukkan dengan mayoritas contoh yang menyatakan suka pada keempat jenis lauk hewani. Ketersediaan energi dan protein lauk hewani yang disajikan sudah baik, namun konsumsi energi dan protein lauk hewani secara keseluruhan berbeda setiap individunya dan masih tergolong rendah. Tingkat konsumsi energi dan protein tertinggi pada daging dan terendah pada telur ayam. Tingkat konsumsi yang rendah pada telur ayam disebabkan oleh anggapan atau kepercayaan contoh bahwa dalam keadaan setelah operasi atau luka operasi yang belum sembuh pantang untuk mengonsumsi lauk hewani terutama telur ayam. Kontribusi lauk hewani terhadap satu kesatuan menu sudah baik; sudah lebih dari 25% atau ¼ dari total ketersediaan. Kontribusi energi dan protein lauk hewani terhadap kebutuhan juga sudah baik dan berkisar antara 3.2% sampai 5.1% untuk energi dan 5.2% sampai 10.2% untuk protein. Berdasarkan karakteristik warna, aroma, tekstur, rasa dan kesesuaian porsi, terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) antara keempat jenis lauk hewani. Tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0.05) antara karakteristik contoh dengan persepsi contoh terhadap keempat jenis lauk hewani. Terdapat hubungan yang nyata positif (p<0.05) antara persepsi contoh terhadap lauk hewani ayam dan ikan dengan tingkat konsumsinya namun tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0.05) antara persepsi contoh pada lauk hewani daging dan telur dengan tingkat konsumsinya.
50
Saran Pihak Instalasi gizi sebaiknya memberikan penyuluhan atau informasi kepada para pasien yang masih memiliki anggapan yang salah tentang konsumsi lauk hewani. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah penyampaian informasi melalui para petugas penyaji makanan. Petugas penyaji menyampaikan agar makanan yang disajikan harus dikonsumsi dengan baik terutama lauk hewani karena akan membantu proses penyembuhan. Penyampaian informasi tersebut harus didukung dengan sikap yang ramah dan penampilan petugas yang menarik atau rapih.
51
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. . 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2009. Garis kemiskinan kabupaten dan kota bogor. www.bps.co.id [28 Desember 2011]. Cornelia, Sumedi E, Nurlita H, Afif I, Ramayulis R, Iwaningsih S, Budi S dan Kresnawan T. 2010. Editor. Penuntun Konseling Gizi PERSAGI. Jakarta: Abadi. Cullen. 2001. The Food And Beverage Manager. Melbourne: Hospitality Press. David N dan Annie S. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Hartono, penerjemah. Jakarta: EGC. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2006. Buku Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Direktorat Rumah Sakit dan Swasta. [Deptan] Departemen Pertanian. 2010. Daging ayam sumber makanan bergizi. http//www.deptan.go.id/buku tentang ayam.pdf. [4 oktober 2010]. Drummond K dan Brefere L. 2004. Nutrition for Foodservice & Culinary Profesionals. Canada: Jhon Wiley & Sons Inc. Djoko W. 2000. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fitri S. 2011. Kebiasan konsumsi fast food pada siswa pada siswa yang berstaus gizi lebih di SMA Kartini Batam. IPB [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Fitriana N. 2011. Kebiasan sarapan, aktifitas fisik, dan status gizi mahasiswa mayor ilmu gizi dan mayor konservasi sumberdaya hutan dan ekowisata IPB [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Fuad H. 2006. Dimensi Budaya dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bogor: IPB Press. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment Second Edition. New York. Oxford Unyversity Press. Hartono A. 2006.Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta: EGC.
52
Hardinsyah dan Briawan D. 1994. Penilaian dan perencanaan konsumsi pangan [diktat]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kartasapoetra G dan Marsetyo H. 2003. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi dan Kesehatan dan Produktifitas Kerja) Cetakan Keempat. Jakarta: Rineka Cipta. [Kemendag] Kementrian Perdagangan. 2011. Harga kebutuhan pokok nasional. www.kemendag.go.id/harga_kebutuhan_pokok_nasional/ [23 september 2011]. Kurniasih D, hilmansyah H, Astuti MP dan Imam S. 2010. Sehat dan Bugar dengan Gizi Seimbang. Soekirman, editor. Jakarta: Gramedia. Kholiq. 2009. Persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan lumbung pangan di kabupaten Lampung Barat [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Khomsan A. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta: Grasindo. Lindstrom M. 2000. Sosioeconomic Differences in the consumption of vegetables, meats, and fruits:11.1www.ingentaconnect.com [Desember 2011]. Marlina L. 2004. Persepsi dan tingkat konsumsi pasien rawat inap diabetes mellitus terhadap makanan yang disajikan di RSPAD Gatot Subroto [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Muchtadi D. 2010a. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Bandung: Alfabeta. . 2010b. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bandung: Alfabeta. Muchatob E. 1991. Manajemen pelayanan gizi makanan kelompok [diktat]. Jakarta: Pusdisnakes. Munajat. 2003. Mempelajari hubungan antara persepsi pasein rawat inap penderita penyakit akibat hiperkolesteromia terhadap makanan dengan konsumsi energi dan zat gizi di RSUD Margono [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Meriska. 2004. Konsumsi dan persepsi pasien rawat inap terhadap makanan serta faktor-faktor yang mempengaruhi di RSUD Abdul Moelek Lampung [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Moehyi S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta: Bhratara Niaga Media. .1996. Pengaturan Makanan dan Diit untuk Penyembuhan Penyakit. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
53
Notoatmodjo S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta. Piliang W dan Djojosoebagio S. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume I. Bogor: IPB Press. Priyanto A. 2003. Usaha Pedaging Ayam. Depok: Penebar Swadaya. Rakhmat J. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Riyadi H. 1995. Prinsip dan petunjuk penilaian status gizi [diktat]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Riyanto S. 2006. Dasar – Dasar Komunikasi. Hubies A, editor. Bogor: IPB Press. Subandriyo V. 1993. Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit. Bogor: Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. V, Retnaningsih, Sukandar D. 1997. Manajeman jasa makanan dan gizi [diktat]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sudaryani S.2006. Inseminasi Buatan Ayam Buras: Meningkatkan Produksi Telur :Jakarta. Penebar swadaya. Suhardjo.1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. . 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi.Jakarta: Bumi Aksara Sukandar D. 2010. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Gizi Pangan dan sanitasi. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Supariasa N, Bakri B dan Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Sediaoetomo A. 2006. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. Seoparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Jogjakarta: Gajah Mada University Press. Spaeras M dan Gregoire M 2007. Foodservice Organization, A Managerial and System Appnoach. 6th Edition. New Jersey: Pearson, Prentice Hall. Tarwotjo S. 1998. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Jakarta: Grasindo. Wijaya H. 2009. Sensasi rasa. Majalah Food Review Indonesia, 10 Oktober, vol. IV/No 10, hlm 10-13.
54
Winarno. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. . 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yahya G. 1994. Sistem pelayanan gizi rumah sakit. Cermin dunia kedokteran No. 91. http//www. Kalbe.co.id/pdf. [5 oktober 2011]. Yulianti N. 1996. Penyelenggaraan Makanan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Yusuf Y. 1991. Psikologi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
55
LAMPIRAN
57
Lampiran 1 Siklus Menu pasien kelas III di RUSD Cibinong Waktu makan Pagi 06.00 Snack 10.00
Siang 11.00
Sore 16.00
1, 11, 21 Nasi goreng (MB) Bubur ayam (ML)
2, 12, 22 Nasi uduk (MB) Bubur ayam (ML)
Siklus menu ke3, 13, 23 Nasi kuning (MB) Bubur ayam (ML)
Cake mini
Pudding rumput laut
Pisang kukus
Cake pandan
Agar-agar coklat
Nasi (MB) /bubur (ML)
Nasi (MB) /bubur (ML)
Semur telur
Nasi (MB) /bubur (ML) Kakap bumbub acar Rolade tempe Capcay Semangka Nasi (MB) /bubur (ML) Gulai daging
Pecel telur
Nasi (MB) /bubur (ML) Semur daging Gadon tahu Sup jamur Pepaya Nasi (MB) /bubur (ML) Ayam fllet
Rolade tahu Soto ayam Melon
Frikedel tahu Sup kacang merah Semangka
Tempe bacem Sayur lodeh Semangka
Tempe bumbu bali Sup sayuran Melon
Nasi (MB) /bubur (ML) Gulai telur Tempe bumbu kecap Sayu bayam jagung Semangka Nasi (MB) /bubur (ML) Sate ayam bumbu semur Tahu bumbu tomat Sup kacang merah Pepaya
Ayam asam manis Oseng tempe Sup jagung manis Melon Nasi (MB) /bubur (ML)
Gelatin Frikedel jagung manis Sayur kari Melon Nasi (MB) /bubur (ML)
4, 14, 24 Nasi goreng (MB) Bubur ayam (ML)
5, 15, 25 Nasi uduk (MB) Bubur ayam (ML)
Ket: MB (makanan biasa), ML (makanan lunak)
56
58
Lampiran 1 (lanjutan) Waktu makan Pagi 06.00 Snack 10.00
Siang 11.00
Sore 16.00
6, 16, 26 Nasi kuning (MB) Bubur ayam (ML)
7, 17, 27 Nasi uduk (MB) Bubur ayam (ML)
Siklus menu ke8, 18, 28 9, 19, 29 Nasi goreng (MB) Nasi uduk (MB) Bubur ayam (ML) Bubur ayam (ML)
10, 20, 30 Nasi kuning (MB) Bubur ayam (ML)
31 Lontong sayur
Brownies mini
Pisang kukus
Hunkwe
Agar-agar warna
Pukis
Nagasari
Nasi (MB) /bubur (ML) Kakap asam manis Frikedel tempe Sup jamur Melon Nasi (MB) /bubur (ML) Opor ayam
Nasi (MB) /bubur (ML) Telur tersembunyi
Nasi (MB) /bubur (ML)
Nasi (MB) /bubur (ML) Steak ayam
Nasi (MB) /bubur (ML) Semur filet ayam
Nasi (MB) /bubur (ML) Frikedel daging
Sup oyong soun Capcay Semangka Nasi (MB) /bubur (ML) Gulai ayam
Tahu bumbu tomat Sop sayuran Pisang ambon Nasi (MB) /bubur (ML) Semur telur
Tim tahu Capcay melon Nasi (MB) /bubur (ML) Macaroni telur
Rolade tahu Sop sayuran Semangka Nasi (MB) /bubur (ML) Sate ayam
Tahu kecap
Kering tempe
Frikedel tempe
Tempe kecap
Sate tempe Sup oyong soun Melon Nasi (MB) /bubur (ML) Sambal goreng kentang Tahu pepes
Tumis wortel buncis Pepaya
Sup macaroni
Sup wortel jagung manis Pepaya
Sop sayuran
Sop tomat
Sup kacang merah Kering tempe
Pisang ambon
Semangka
pepaya
Semangka
Lapis daging
Ket: MB (makanan biasa), ML (makanan lunak)
57
5958
Lampiran 2 Kandungan energi dan protein setiap lauk hewani yang disajikan Lauk hewani
Ayam asam manis
Semur telur
Ikan bumbu acar
Gulai daging
Bahan makanan ayam tepung minyak gula bawang merah bawang bombay bawang putih total telur ayam kecap gula minyak bawang merah bawang putih total ikan tepung minyak gula bawang merah bawang putih total daging santan kental gula merah bawang merah minyak bawang putih total
Berat (g) 50 5 5 2.5 4 1 3 55 5 2 2.5 3 3 55 5 5 2.5 4 3 55 2.5 2.5 3 1 3
E (kkal) 63 17 44 10 2 0 3 139 99 2 8 22 1 3 136 46 17 44 10 2 3 122 107 8 9 1 9 3 138
P (g) 8.75 0.45 0.00 0.00 0.07 0.02 0.15 9.44 7.82 0.29 0.00 0.00 0.05 0.15 8.31 10.56 0.45 0.00 0.00 0.07 0.15 11.23 10.00 0.11 0.01 0.05 0.00 0.15 10.32
59 60
Lampiran 3 Konsumsi lauk hewani contoh Code contoh 001 002 004 005 007 009 010 011 012 014 015 016 017 019 022 023 024 025 026 027 028 029 030 034 042 041 043 047 048 003 006 008 013 018 020 021 031 040 044 050
K* 3/4 1/2 1/4 1/2 1/2 1/2 1/4 1 1 1 1 1/4 1 1/2 1 1/2 3/4 1/4 1/4 1/4 1/4 1/4 3/4 1/2 1/2 1/2 1/2 1/4 1/4 1/2 3/4 1/4 1 1 1/2 3/4 3/4 1/4 1/4 1/4
Ayam E (kkal) 104 70 35 70 70 70 35 139 139 139 139 35 139 70 139 70 104 35 35 35 35 35 104 70 70 70 70 35 35 70 104 35 139 139 70 104 104 35 35 35
P (g) 7.08 4.72 2.36 4.72 4.72 4.72 2.36 9.44 9.44 9.44 9.44 2.36 9.44 4.72 9.44 4.72 7.08 2.36 2.36 2.36 2.36 2.36 7.08 4.72 4.72 4.72 4.72 2.36 2.36 4.72 7.08 2.36 9.44 9.44 4.72 7.08 7.08 2.36 2.36 2.36
KONSUMSI LAUK HEWANI Telur ayam Ikan E P E P K* K* (kkal) (g) (kkal) (g) 1/2 68 4.16 3/4 92 8.42 1/2 68 4.16 3/4 92 8.42 1/4 34 2.08 3/4 92 8.42 1/2 68 4.16 1 122 11.23 3/4 102 6.23 1/2 61 5.62 1/2 68 4.16 3/4 92 8.42 1 136 8.31 1/2 61 5.62 0 0 0.00 3/4 92 8.42 1/2 68 4.16 1/4 31 2.81 1 136 8.31 1/2 61 5.62 1/2 68 4.16 1 122 11.23 1/2 68 4.16 1 122 11.23 3/4 102 6.23 1/4 31 2.81 1/4 34 2.08 1 122 11.23 1/2 68 4.16 1/4 31 2.81 1/2 68 4.16 1 122 11.23 1/2 68 4.16 1 122 11.23 3/4 102 6.23 1 122 11.23 1/4 34 2.08 1/4 31 2.81 1/4 34 2.08 1/4 31 2.81 1/4 34 2.08 1/2 61 5.62 1/4 34 2.08 1/4 31 2.81 1/2 68 4.16 1 122 11.23 1 136 8.31 1/4 31 2.81 1/2 68 4.16 1/2 61 5.62 1/2 68 4.16 1/2 61 5.62 1/4 34 2.08 1 122 11.23 1/2 68 4.16 1/4 31 2.81 1/4 34 2.08 1/4 31 2.81 1/4 34 2.08 1/2 61 5.62 3/4 102 6.23 1 122 11.23 1/2 68 4.16 3/4 92 8.42 1/4 34 2.08 1/4 31 2.81 1/4 34 2.08 1/2 61 5.62 1/4 34 2.08 1 122 11.23 1/4 34 2.08 1/2 61 5.62 1/2 68 4.16 1 122 11.23 1/4 34 2.08 1/2 61 5.62 1/4 34 2.08 1/2 61 5.62 3/4 102 6.23 1 122 11.23
Daging sapi E P K* (kkal) (g) 1 138 10.32 1 138 10.32 3/4 104 7.74 1 138 10.32 3/4 104 7.74 3/4 104 7.74 1/2 69 5.16 1 138 10.32 1 138 10.32 1 138 10.32 1 138 10.32 1 138 10.32 1 138 10.32 1 138 10.32 3/4 104 7.74 3/4 104 7.74 1/2 69 5.16 1 138 10.32 1/2 69 5.16 1/4 35 2.58 1/2 69 5.16 1/4 35 2.58 1/2 69 5.16 1/2 69 5.16 1/2 69 5.16 1/2 69 5.16 3/4 104 7.74 3/4 104 7.74 1/4 35 2.58 3/4 104 7.74 1 138 10.32 3/4 104 7.74 1/2 69 5.16 3/4 104 7.74 1 138 10.32 3/4 104 7.74 1/4 35 2.58 3/4 104 7.74 1/2 69 5.16 3/4 104 7.74
Ket: *K: konsumsi = 0 ( tidak dimakan), habis ¼ , habis ½, habis ¾, dan 1 (habis semua) E: energi, P: protein
60 61
Lampiran 4 Ketersediaan satu kesatuan menu dalam satu kali waktu makan Kerangka menu Makanan pokok Lauk hewani Lauk nabati Sayur buah
Hidangan bubur nasi ayam asam manis rolade tahu sup jagung wortel irisan buah melon Total
Makanan pokok Lauk hewani Lauk nabati Sayur buah
bubur nasi semur telur oseng tempe sop sayuran irisan buah melon Total
Makanan pokok Lauk hewani Lauk nabati Sayur buah
bubur nasi ikan bumbu acar rolade tempe capcay irisan buah semangka Total
Makanan pokok Lauk hewani Lauk nabati Sayur buah
bubur nasi gulai daging frikedel tahu sup kacang merah irisan buah semangka Total
E (kkal) 180 139 73 154 32 578 180 136 144 76 32 568 180 122 127 96 28 553 180 138 88 139 28 572
P(g) 3.4 9.44 4.87 3.50 0.7 21.90 3.4 8.31 9.66 2.29 0.7 24.36 3.4 11.23 10.78 2.68 0.7 28.78 3.4 10.32 5.26 6.96 0.7 26.64
62 61
Lampiran 5 Hasil uji korelasi spearman antara karakteristik contoh dengan persepsi terhadap lauk hewani Karakteristik contoh
Nilai uji r p r p r p r p r p r p
umur jenis kelamin jenis pekerjaan pendapatn/kap/bulan jenis penyakit tingkat pendidikan
Persepsi terhadap lauk hewani Ayam Telur ayam Ikan Daging -0.066 0.051 0.088 0.14 0.687 0.755 0.588 0.389 0.02 -0.185 0.151 -0.028 0.902 0.253 0.351 0.863 0.011 0.097 -0.112 0.073 0.948 0.551 0.49 0.656 0.017 0.046 0.063 -0.009 0.915 0.776 0.698 0.956 -0.113 -0.027 0.117 0.276 0.488 0.87 0.47 0.085 -0.014 0.019 0.135 -0.049 0.933 0.909 0.407 0.763
Ket : r: nilai atau koefisien korelasi (bernilai positif atau negatif) p: angka probabilitas/nilai hubungan (berhubungan nyata atau tidak nyata)
Lampiran 6 Hasil uji korelasi spearman antara persepsi contoh dengan tingkat konsumsi energi dan protein lauk hewani Persepsi contoh persepsi ayam persepsi telur ayam persepsi ikan persepsi daging
Nilai uji r p r p r p r p
Konsumsi lauk hewani Daging Ikan Telur ayam 0.229 0.108 .384* 0.155 0.509 0.014 -0.027 -0.122 -0.053 0.158 0.895 0.661 ** -0.16 .486 -.351* 0.325 0.001 0.027 -0.064 -0.116 -0.218 0.693 0.476 0.176
Ayam .509** 0.001 -0.223 0.167 -0.282 0.078 -0.165 0.31
Ket : r: nilai atau koefisien korelasi (bernilai positif atau negatif) p: angka probabilitas/nilai hubungan (berhubungan nyata atau tidak nyata)
62 63
Lampiran 7 Hasil uji beda (friedman test) persepsi contoh terhadap karakteristik keempat jenis lauk hewani 1. Hasil uji beda pada karakteristik warna Test Statisticsa N
40
Chi-Square
15.762
df
3
Asymp. Sig. .001 a. Friedman Test
Test Statistics warna_ayam warna_ikan warna_daging warna_telur Chi-Square
25.550
df
2
a
b
19.600
36.100
1
1
b
b
28.900 1
2. Hasil uji beda pada karakteristik aroma Test Statisticsa N
40
Chi-Square
32.236
df
3
Asymp. Sig. .000 a. Friedman Test
Test Statistics aroma_ayam aroma_telur aroma_ikan aroma_daging Chi-Square
11.150
df
2
a
a
29.450
32.400
2
1
b
b
36.100 1
63 64
3. Hasil uji beda pada karakteristik tekstur Test Statisticsa N
40
Chi-Square
43.914
df
3
Asymp. Sig.
.000
a. Friedman Test
Test Statistics tekstur_ayam tekstur_telur testur_ikan tekstur_daging Chi-Square
20.450
df
2
a
b
12.100
27.950
1
2
a
a
48.050 2
4. Hasil uji beda pada karakteristik kesesuaian porsi Test Statisticsa N
40
Chi-Square
32.032
df
3
Asymp. Sig. .000 a. Friedman Test
Test Statistics porsi_ayam porsi_telur porsi_ikan porsi_daging Chi-Square
53.150
df
2
a
b
b
b
36.100
36.100
10.000
1
1
1
5. Hasil uji beda pada karakteristik rasa Test Statisticsa N Chi-Square df Asymp. Sig.
40 13.549 3 .004
a. Friedman Test
Test Statistics rasa_ayam rasa_telur rasa_ikan rasa_daging Chi-Square
14.600
df
2
a
a
a
a
18.350
36.050
16.550
2
2
2
65 64
Lampiran 8 Dokumentasi penelitian
Lauk hewani telur ayam
Lauk hewani ikan
Lauk hewani daging
Lauk hewani ayam
Satu menu makanan dengan lauk hewani ayam
Satu menu makanan dengan lauk hewani telur ayam
Satu menu makanan dengan lauk hewani ikan
Satu menu makanan dengan lauk hewani daging