KAJIAN DOSIS PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD “X” TAHUN 2011 MAKALAH
Oleh: WAY SA’ ANI K 100 060 170
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2013
KAJIAN DOSIS PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD “X” TAHUN 2011 STUDY OF DOSE AT TYPHOID FEVER IN PATIENTS OF REGIONAL HOSPITAL “X” ALONG THE YEAR OF 2011 Way Sa’ Ani*, Arif Rahman Hakim**, dan Tanti Azizah Sujono* *Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta **Fakultas Farmasi Universitas Gadjahmada Yogyakarta ABSTRAK
Ketidaktepatan dosis merupakan permasalahan dengan angka kemunculan signifikan pada telaah terhadap beberapa studi baik di Indonesia maupun di luar negeri. Pemberian obat di bawah dosis terapi dapat menyebabkan terapi kurang optimal sedangkan pemberian dosis berlebih memacu toksisitas dan resiko mortalitas. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi oleh bakteri Salmonella typhi yang menyerang bagian usus halus. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi munculnya ketidaktepatan dosis pada pengobatan demam tifoid pasien rawat inap RSUD “X” tahun 2011. Penelitian ini berjenis noneksperimental dengan rancangan analisis deskriptif non-analitik. Subyek penelitian adalah seluruh pasien yang terdiagnosa demam tifoid tanpa penyakit infeksi lain di instalasi rawat inap RSUD “X” tahun 2011. Analisis data melalui catatan rekam medik pasien kemudian perhitungan dosisnya dibandingkan dengan dosis standar dari Drug Information Handbook 18th Edition. Didapat 49 data rekam medik pasien terdiagnosis demam tifoid. Sebanyak 4 pasien (8,16%) dinyatakan mendapat obat tepat dosis dan 45 sisanya (91,84%) tidak tepat dosis. Obat-obat yang paling banyak diresepkan dalam dosis kurang adalah parasetamol, ranitidin, metilprednisolon & Vitamin B Kompleks. Obat yang paling banyak mengalami dosis lebih adalah seftriakson. Kata kunci
: kajian dosis, analisis, demam tifoid ABSTRACT
Inappropiate dose is a problem with a significantly great number found by some studies conducted in Indonesia and abroad as well. Administration of drugs under therapeutic doses will lead to suboptimal therapy while the dose too high may cause toxicity and mortality risks. Typhoid fever is caused by Salmonella typhi, a Gram negative bacterium 1
resides in gastrointestinal tract. This research is conducted to identify the emergence of inappropiate dose, takes place in Hospital “X” with all the typhoid fever diagnosed inpatients along the year of 2011 as the samples. This research was a non-experimental study using patient’s medical records to analyze by descriptive method. Medical records were collected from all inpatients who didn’t suffer from any other infections which were then compared versus the standard dosage listed in Drug Information Handbook 18th Edition. As a result, 49 medical records from all inpatients along the year was obtained. Four patients (8,16%) were stated to get appropiate dose during their medication while the rest 45 (91,84%) were not appropriate ones. The drugs which were most prescribed in less doses were paracetamol, ranitidine, methylprednisolone and Vitamin B Complex. Ceftriaxone is the most drug which prescribed in high dosage. Keywords
: study of dose, analysis, typhoid fever
PENDAHULUAN Saat pasien menjalani suatu pengobatan, sebagian besar akan memperoleh hasil terapi yang tepat dengan sembuhnya penyakit. Namun tidak sedikit yang gagal dalam menjalani terapi, sehingga mengakibatkan biaya pengobatan semakin mahal bahkan hingga berujung pada kematian. Berbagai perubahan yang tidak diinginkan dalam terapi tersebut disebut sebagai Drug Related Problems ( Ernst and Grizzle, 2001). Ketidaktepatan dosis merupakan bagian dari polifarmasi yang perlu mendapat perhatian khusus dari farmasis. Pemberian obat dengan dosis kurang dapat memicu suboptimal therapy dan berujung pada tidak efektifnya terapi sehingga memperlama penyembuhan (Halczli & Woolley, 2013). Dosis berlebih erat korelasinya dengan toksisitas maupun meningkatnya resiko mortalitas seperti contohnya kasus overdosis olanzapin pada 29 pasien di Kanada yang mendapat pengobatan dengan dosis di atas standar sehingga mengalami reaksis efek samping yang serius serta beberapa di antaranya mati mendadak (Chue & Singer, 2003). Penelitian oleh Lesar (2002) melaporkan bahwa kesalahan peresepan berupa formulasi dosis sering terjadi di rumah sakit. Studi yang diselenggarakan selama 60 bulan di sebuah pusat kesehatan di Albany, New York memperoleh hasil sebanyak 1.115 kali terjadi ketidaktepatan dosis pada peresepan. Lebih detail lagi, jumlah ketidaktepatan dosis meningkat setiap tahun sepanjang 5 tahun penelitian. Ketidaktepatan dosis lebih terjadi sebesar 61% dan sisanya 39% adalah dosis kurang. Pasien rawat inap beresiko mengalami pemberian obat secara tidak tepat dosis (Lesar, 2002). 2
Kategori dosis menempati urutan kedua dari kategori DRPs berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Minnesota Pharmaceutical Care Project selama 3 tahun terhadap 9.399 pasien. Diketahui jumlah DRPs yang terjadi sebanyak 5.544 kasus, dengan hasil antara lain sebanyak 23% memerlukan terapi obat tambahan, 15% pasien menerima obat yang salah, 8% disebabkan oleh tidak adanya indikasi medis yang valid, 6% diantaranya berkaitan dengan dosis yang terlalu tinggi dan dosis yang terlalu rendah sebesar 16%. Penyebab umum lainnya adalah Adverse Drug Reaction (Cipolle et al., 1998). Penelitian mengenai DRPs di Indonesia juga menunjukkan angka yang signifikan. Analisis terhadap DRPs di Yogyakarta pada resep dokter dari total sebanyak 42 resep, didapat hasil sebanyak 19,05% diantaranya adalah DRPs kategori multiple drug, kategori obat salah sebesar 2,38%, dan kategori ketidaktepatan dosis sebesar 78,57% (Pagiling et al, 2005). World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% di antaranya merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya mencapai angka 15-25 kali lebih besar daripada laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1,5 juta kasus per tahun. Dilaporkan, usia penderita di Indonesia adalah kisaran 3-19 tahun pada 91% kasus (WHO, 2003). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi munculnya ketidaktepatan dosis pengobatan penyakit demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD “X” periode tahun 2011. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian non-eksperimental atau observasional dengan rancangan analisis secara deskriptif non-analitik. Alat dan Bahan Alat-alat yang dipakai untuk penelusuran dan pengambilan data adalah lembar pengumpul data yang meliputi identitas pasien, jenis obat yang diterima selama rawat inap dan pustaka acuan standar pengobatan penyakit demam tifoid dari Keputusan Menteri Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
364/Menkes/SK/V/2006
Pengendalian Demam Tifoid dan Drug Information Handbook 18
tentang th
Pedoman
Edition 2010 serta
3
Pediatric Dosage Handbook 17th Edition 2010 untuk mengetahui dosis obat-obat terapi simptomatik. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar rekam medis pasien demam tifoid rawat inap di RSUD “X” tahun 2011. Sampel Sampel yang digunakan adalah seluruh pasien rawat inap yang terdiagnosis menderita demam tifoid di RSUD “X” tahun 2011 yang memenuhi kriteria inklusi, diantaranya: a. Pasien dengan diagnosis demam tifoid yang dirawat inap di RSUD “X” tahun 2011. b. Demam tifoid tanpa disertai infeksi yang lain. c. Data lengkap dan memuat data-data pasien seperti nomor rekam medik, usia pasien, jenis kelamin, berat badan, gejala, diagnosis, serta data laboratorium dan pengobatan yang diberikan termasuk dosis obat, macam obat, aturan pakai obat, cara pakai, dan lama pemberian. Analisa Data Langkah-langkah analisa terhadap data yang didapat meliputi: a. Karakteristik pasien yang meliputi nomor rekam medis, usia, jenis kelamin, jenis obat yang diberikan, karakteristik tersebut diolah menjadi bentuk data tabel persentase. b. Analisis dosis berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid, Drug Information Handbook 18th Edition 2010 & Pediatric Dosage Handbook 17th Edition 2010. Hasil penelitian dibuat dalam bentuk % ketidaktepatan dosis, yaitu:
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pasien Dari data Bagian Rekam Medik Rawat Inap RSUD “X” tahun 2011 diperoleh total 61 pasien demam tifoid. Berdasarkan kriteria inklusi, didapat 49 data rekam medik pasien tanpa penyakit infeksi lain. Kelompok terbanyak yang terserang demam tifoid adalah dewasa (18-65 th) sebesar 41 pasien (83,67%). Terdapat satu pasien dari kelompok bayi (1 bln-2 th) & geriatri (> 65 th).
4
Tabel 1. Pengelompokan Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD “X” Tahun 2011 Berdasarkan Usia & Jenis Kelamin Usia (th) Laki-laki Perempuan Jumlah Presentase (%) Neonatus (0-1 bln) Bayi (1 bln – 2 th) Anak (2 – 12 th) Remaja (12 – 18 th) Dewasa (18 – 65 th) Geriatri (> 65 th) Jumlah Presentase (%)
0 1 3 1 16 1 22 44,90
0 0 0 2 24 1 27 55,10
0 1 3 3 40 2 49 100
0 2,04 6,12 6,12 81,63 4,08 100
Pasien demam tifoid perempuan relatif lebih banyak dengan jumlah 27 pasien (55,10%) dibandingkan dengan pasien laki-laki sebanyak 22 pasien (44,90%). Tabel 2 memperlihatkan doagnosa penyakit seluruh pasien demam tifoid. Tabel 2. Pengelompokan Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD “X” Tahun 2011 Berdasarkan Diagnosa Penyakit No. Diagnosa Jumlah Kasus 1. 2. 3. 4. 5.
Demam Tifoid Demam Tifoid + Anemia Demam Tifoid + Hipertrigliserida Demam Tifoid + Hipertensi + Diabetes Melitus Demam Tifoid + Gastritis
34 2 2 1 2
6.
Demam Tifoid + Hipoalbuminemia + Diabetes Melitus + Peningkatan Enzim Transaminase
1
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Demam Tifoid + Hipokalemi + Hipertensi Demam Tifoid + Peningkatan Enzim Transaminase + Dislipidemia Demam Tifoid + Neurodermatitis + Pre Diabetes Melitus + Hiperurikemia Demam Tifoid + Diabetes Melitus Demam Tifoid + Hiperglikemia + Peningkatan Enzim Transaminase Demam Tifoid + Gastritis + Peningkatan Enzim Transaminase + Dislipidemia Demam Tifoid + Hipertensi + Dislipidemia Total
1 1 1 1 1 1 1 49
Demam serta mual muntah merupakan gejala yang mendominasi. Keluhan lain yang dialami pasien adalah gejala mual muntah yang disertai kram perut atau kembung dan nyeri di bagian abdomen, pusing, dan diare. Gejala yang dialami antar pasien bervariasi seperti tercantum di Tabel 3. Tabel 3. Gejala yang Dialami Para Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum “X” Tahun 2011 No. Gejala Jumlah Kasus Presentase (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Demam Mual + muntah Hepatosplenomegali Badan lemas Pusing Nyeri abdomen Diare Nafsu makan berkurang Lidah kotor Pilek Ruam Batuk Poliuria Delirius
49 30 10 9 9 7 5 3 3 2 1 1 1 1
100 61,22 20,41 18,37 18,37 14,29 10,20 6,12 6,12 4,08 2,04 2,04 2,04 2,04
5
Tabel di bawah ini memperlihatkan lama inap pasien, yakni berapa lama pasien dirawat sejak masuk hingga keluar dari rumah sakit serta keadaan pulang pasien. Tabel 4. Lama Inap & Keadaan Pulang Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum “X” Tahun 2011 Lama Inap (hr) Keadaan Pulang Jumlah Presentase (%) <7 7-14 >14 Mulai Sembuh 30 6 1 37 75,51 Sembuh 5 3 8 16,33 Atas Permintaan Sendiri 2 1 3 6,12 Meninggal 1 1 2,04 Jumlah 38 10 1 49 100 Presentase (%) 79,59 20,41 2,04 100
Pengobatan terhadap 49 pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD X” tahun 2011 dapat dikatakan berhasil dengan jumlah presentase pasien pulang dalam keadaan mulai sembuh dan sudah sembuh sebesar 91,84%. Sisanya, 3 orang pasien pulang atas permintaan sendiri belum dalam keadaan sembuh diasumsikan tetap mendapatkan pengobatan karena mendapat obat untuk dibawa pulang sedangkan 1 orang pasien meninggal dunia dikarenakan komplikasi penyakit penyertanya. Obat-obat yang Diresepkan Dari total 49 pasien yang menjalani rawat inap didapat total 54 antibiotik yang diresepkan. Dua jenis antibiotik yang terbanyak diresepkan adalah seftriakson dengan jumlah 22 peresepan dan siprofloksasin sebesar 11 peresepan. Antibiotik lini pertama menurut standar pengobatan yang diacu dalam analisis penelitian ini yakni Keputusan Menteri Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
364/Menkes/SK/V/2006
tentang
Pedoman
Pengendalian Demam Tifoid adalah kloramfenikol, ampisilin / amoksisilin dan kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol. Temuan yang didapat justru kebanyakan antibiotik yang diresepkan merupakan antibiotik lini kedua (seftriakson & golongan quinolon). Ini berkaitan dengan makin resistennya bakteri penyebab tifoid sehingga obat-obat lini pertama kurang poten. Obat untuk mengatasi demam tifoid yang bakterinya sudah mengalami resistensi adalah siprofloksasin & seftriakson (Zaki & Karande, 2011). Musnelina dkk. (2004) pada penelitiannya tahun 2001-2002 membandingkan pemakaian seftriakson dengan kloramfenikol dalam pengobatan demam tifoid pada anak, didapat hasil seftriakson lebih baik dalam hal efektivitas, farmakoekonomi serta waktu yang dibutuhkan obat untuk mencapai kesembuhan pasien. Sefalosporin golongan III lain yang diresepkan dalam penelitian ini adalah sefotaksim dan seftazidim masing-masing 3 peresepan. Golongan quinolon juga merupakan antibiotik lini kedua untuk menangani demam tifoid. Didapat 2 jenis quinolon yakni siprofloksasin dan levofloksasin dengan frekuensi peresepan 11 dan 3. Obat-obat lini pertama seperti kloramfenikol, amoksisilin serta ampisilin diberikan total berjumlah 6 peresepan. 6
Penggantian cairan merupakan tindakan utama dalam menangani diare yang muncul sebagai salah satu gejala tifoid. Sebanyak 44 dari 49 pasien menerima Rehydrating Therapy. Tabel 5. Obat-obat yang Diresepkan Pada Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum “X” Tahun 2011 No.
Kelas Terapi
1.
Antibiotik
2. 3.
Rehydrating Therapy Analgesik – Antipiretik
4.
Antiulkus
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Multivitamin Antiemetik Antasid Antiansietas Suplemen Analgesik Kortikosteroid Lipid-Regulating Agent Antidiare Antidiabetik Antihistamin Antianemia Anti hipertensi Laksatif Profilaksis Gout Mukolitik Antispasmodik Dekongestan Diuretik
Nama Generik Obat Siprofloksasin, Levofloksasin, Kloramfenikol, Amoksisilin, Ampisilin, Seftriakson, Sefotaksim, Seftazidim, Sefoperazon, Sefprozil, Sulbaktam & Metronidazol Glukosa, Elektrolit Metampiron, Parasetamol, Metamizole Omeprazol, Pantoprazol, Ranitidin, Simetidin, Simetikon & Sukralfat Vitamin B Kompleks, Vitamin A, C & D Metoklopramid & Ondansetron Dimetil poliksiloksan, Dimetikon & Magaldrat Alprazolam & Diazepam Curcuma ekstrak & Echinacea ekstrak Morfin Sulfat & Tramadol Deksametason & Metil Prednisolon Fenofibrat & Simvastatin Attapulgit Aktif Glikuidon, Metformin & Insulin Rekombinan Feksofenadin, Setirizin & Triprolidin HCl Asam Folat Captopril & Irbesartan Fenolftaleina & Zinc sulfat Alopurinol Endoestin & Asetil Sisteina Hiosin H-Butil Bromida Pseudoefedrin HCl Hidroklortiazid
Jumlah Peresepan 54 44 44 35 28 22 17 11 11 10 9 5 4 4 3 3 3 2 2 2 1 1 1
Analgesik dan antipiretik yang terbanyak diresepkan kepada pasien adalah parasetamol dan metampiron. Analgesik dari golongan opioid (tramadol & morfin sulfat) diresepkan dalam jumlah kecil kepada pasien dengan tingkat nyeri yang relatif lebih berat. Obat selanjutnya yang termasuk banyak diresepkan dalam terapi simptomatik adalah antiulkus untuk mengatasi gejala nyeri abdomen. Antiulkus yang diresepkan antara lain dari golongan proton pump inhibitor seperti omeprazol & pantoprazol, H-2 receptor antagonist yakni simetidin & rantidin serta golongan khelat/ kompleks yakni sukralfat. Antiulkus diresepkan kepada 35 pasien. Multivitamin diresepkan kepada 28 orang pasien. Multivitamin yang paling banyak diresepkan adalah kompleks vitamin B. Defisiensi vitamin terjadi ketika pasien mengalami infeksi, selain itu ketika pasien sakit kebutuhan gizi oleh tubuh meningkat sedangkan konsumsi makanan oleh pasien dirasa belum mencukupi terlebih lagi dengan gejala mual muntah yang bisa jadi menyebabkan nafsu makannya berkurang. Disitulah peran multivitamin dalam memulihkan kondisi fisik pasien.
7
Antiemetik sering digunakan untuk mengatasi penyakit-penyakit gastroenteritis karena gejala mual muntah. Antiemetik yang diresepkan dalam penelitian ini adalah ondansetron dan domperidon. Antiemetik diresepkan sebanyak 22 kali. Kajian Ketidaktepatan Dosis Penentuan dosis terhadap obat-obat yang dianalisis memakai acuan yang bersumber dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid untuk antibiotik serta Drug Information Handbook 18th Edition 2010 & Pediatric Dosage Handbook 17th Edition 2010 untuk perhitungan obat-obat non antibiotik. Perhitungan dosis mempertimbangkan kondisi ginjal untuk pasien yang mengalami kerusakan ginjal menurut nilai Creatinine Clearance (Cr Cl) masing-masing. Dosis suatu obat sangat berperan penting karena menentukan obat tersebut akan menimbulkan efek optimal atau tidak menimbulkan efek sama sekali. Apabila dalam perhitungan dosis pemakaian lebih besar atau kurang dari dosis standar dikategorikan ke dalam kejadian ketidaktepatan dosis. Dosis kurang dari rentang terapi yang telah ditetapkan menyebabkan terapi obat kurang optimal karena kadar obat berada di bawah kadar minimum obat untuk dapat menimbulkan efek terapi sehingga dapat memperlama prosees penyembuhan pasien dan berujung pada biaya pengobatan yang meningkat. Dosis berlebih memacu meningkatnya efek samping obat dan ini erat kaitannya dengan efek toksik. Berdasarkan hasil penelusuran terhadap total 49 data rekam medik yang diperoleh kemudian dianalisis, sebesar 4 pasien (8,16%) yang menerima obat secara tepat dosis. Sisanya sebanyak 45 pasien (91,84%) mengalami ketidaktepatan dosis pada salah satu item obat atau beberapa dari total pengobatan yang didapat. Pasien yang menerima obat dalam dosis tepat adalah pasien dengan nomor rekam medik 9, 19, 28 & 31. Analisis meliputi jenis obat, rute pemberian, serta dosis pemberian kemudian dibandingkan dengan dosis menurut literatur untuk memperoleh hasil berupa pengobatan tepat dosis, dosis kurang atau dosis lebih. Obat-obat yang paling banyak diresepkan dalam dosis kurang adalah parasetamol, ranitidin, metilprednisolon & Vitamin B Kompleks. Obat yang paling banyak mengalami dosis lebih adalah seftriakson. 1. Dosis Kurang Sebanyak 27 kali peresepan parasetamol pada pasien dewasa merupakan DRPs dosis kurang dalam hal frekuensinya. Menurut literatur, dosis untuk dewasa adalah 325-650 mg 46x sehari atau 1.000 mg 3-4x sehari (Lacy et al., 2010). 8
Ranitidin mengalami DRPs tidak tepat dosis frekuensi kurang. Sebanyak 26 pasien dewasa menerima ranitidin dengan dosis 50 mg 2x1 padahal menurut literatur, ranitidin secara intravena untuk mengatasi ulkus seharusnya diberikan dengan dosis 50 mg 3-4x sehari. Obat selanjutnya yang mengalami DRPs dosis kurang adalah metilprednisolon kepada 6 pasien dewasa dimana literatur menyebutkan pemberian metilprednisolon sebagai imunosupresan secara intravena 10-40 mg 4-6x sehari namun pasien diberi 20 mg 1x sehari. Dosis sefotaksim untuk pasien anak menurut literatur adalah 100 mg/kg BB/hr. Sefotaksim diresepkan dalam besaran kurang kepada pediatrik (no kasus 2&12), pada kasus 2 pasien dengan BB 35 kg diberi 1,5 g sehari sedangkan menurut literatur 3,5-7 g sehari dan pada kasus 12 pasien dengan BB 13 kg diberi 1 g seharusnya sebesar 1,3-2,6 g sehari. Tabel 6. Dosis Kurang Pada Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD “X” Tahun 2011 No.
Jenis Obat
Keterangan DRPs
Frekuensi
Dosis Pemberian
Dosis Menurut Literatur 325-650 mg 4-6 x 1
1.
Parasetamol
Frekuensi <
27
500 mg 3 x 1
2.
Ranitidin
Frekuensi <
26
50 mg 2 x 1
50 mg 3-4 x 1
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Metilprednisolon Vitamin B Kompleks Sefotaksim Metampiron Simetidin Siprofloksasin Kloramfenikol Alopurinol Tramadol Ondansetron Curcuma Endoestin Amoksisilin Sukralfat Gemfibrozil Ampisilin Sukralfat Insulin Rekombinan Methioson
Frekuensi < Frekuensi < Besaran < Frekuensi < Besaran & frekuensi < Besaran < Besaran & durasi < Besaran < Besaran & frekuensi < Besaran < Frekuensi < Frekuensi < Besaran < Frekuensi < Besaran & frekuensi < Frekuensi < Besaran < Besaran < Besaran <
6 5 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
20 mg 1 x 1 1 x 1 tablet 333 mg 3 x 1, 3 hari 500 mg 2 x 1 100 mg 2 x 1 200 mg 2 x 1, 7 hari 500 mg 4 x 1, 4 hari 100 mg 1 x 1 37,5 mg 2 x 1 2 mg 3 x 1 2 x 1 tablet 175 mg 2 x 1 500 mg 3 x 1, 5 hr 1g3x1 300 mg 1x1 750 mg 3x1, 2 hr 500 mg 4x1 8 IU 3x1 3 x 1 tablet
10-40 mg 4-6 x 1 3 x 1 tablet 1,3 - 2,6 g/hari 0,5 - 4 g/hari 3-4x1 175 - 350 mg 4 x 1 500 mg 2 x1, 7 hari 2,4-4,8 g/hr 10-14 hr 200 mg 1 x 1 50-100 mg 4-6 x 1 5,25 mg 3 x 1 3 x 1 tablet 175 mg 3 x 1 3-4 g/hr 14 hr 1g4x1 600 mg 2x1 2-3 g/hr 4x1 1 gr 4x1 30 IU 3x1 3 x 2-3 tablet
2. Dosis Lebih Pemberian dosis yang berlebihan dapat menyebabkan terganggunya keberhasilan terapi atau kemungkian bisa menimbulkan reaksi toksik. Penggunaan yang berlebihan dari semestinya ini dapat juga menyebabkan alergi atau efek samping yang berlebihan, mungkin sampai keracunan sehingga berbahaya bagi pasien (Joenoes, 2004). Terlebih pada pemberian antibiotik, dikhawatirkan akan terjadi resistensi. Nomor kasus 7 adalah pemberian besaran & frekuensi fenolftaleina berlebih dimana menurut literatur sebesar 55-110 mg 1x1 tapi diberikan 165 mg 3x1. Seftriakson mengalami durasi berlebih sebanyak 5 kali peresepan pada 5 pasien dewasa. Dosis menurut literatur adalah 2-4 g/hr selama 3-5hr namun pasien diberikan selama 9
lebih dari 5 hari. Pasien dengan nomor kasus 10 & 32 diberi seftriakson dengan besaran 1 g 1x1 selama masing-masing 7 dan 8 hari. Pasien bernomor kasus 15, 45 & 47 mendapat seftriakson 2 g 1x1 masing-masing 9, 8 dan 11 hari. Pasien pediatrik bernomor kasus 11 menerima seftriakson dengan besaran berlebih. Menurut literatur yang juga mempertimbangkan BB pasien dalam perhitungan dosisnya, seharusnya ia mendapat seftriakson sebesar 640 mg/hr selama 3-5 hr namun pemberian untuknya adalah 300 mg 3x1 hr. Pada pasien ini pemberian deksametason sebagai imunosupresan juga mengalami dosis lebih, dengan besaran pemberian 2 mg 3x1 padahal seharusnya 0,64-2,4 mg/hr. Pasien dengan no. kasus 15 yang menderita kerusakan ginjal taraf moderat (nilai Cr Cl 17,02) mengalami dosis lebih pada pemberian metoklopramid dan simvastatin. Metoklopramid yang seharusnya hanya diberikan sebesar 5-7,5 mg maksimal 4x sehari diberikan sebesar 10 mg 2x1. Simvastatin diberikan 100 mg 1x1 sedangkan menurut perhitungan dari literatur seharusnya ia menerima 40 mg 1x1 (Lacy et al., 2010). Pasien dengan nomor rekam medik 23, 33 & 49 mendapat asam folat dengan dosis berlebih. Sediaan asam folat yang diberikan mengandung 400 mg dengan dosis harian menurut acuan 400-1000 mg namun pasien diberikan sebanyak 3 x sehari. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Tabel 7. Dosis Lebih Pada Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum “X” Tahun 2011 Jenis Obat Keterangan DRPs Frekuensi Dosis Pemberian Dosis Menurut Literatur Seftriakson Siprofloksasin Asam Folat Deksametason Metamizole Metoklopramid Simvastatin Siprofloksasin Setirizin Fenolftaleina Seftriakson Siprofloksasin
Durasi > Besaran > Frekuensi > Besaran > Besaran > Besaran > Besaran > Besaran & frekuensi > Frekuensi > Besaran & frekuensi > Besaran > Besaran & frekuensi >
5 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 g 2 x 1, 8 hari 500 mg 2 x 1 400 mg 3 x 1 2 mg 3 x 1 333 mg 3 x 1 10 mg 2 x 1 100 mg 1 x 1 2g3x1 10 mg 2x1 165 mg 3 x 1 300 mg 3 x 1, 3 hari 2g3x1
2-4 g/hr 3-5 hr 200-400mg 2x1 400 – 1000 mg/hari 0,64 -2,4 mg/hari 2-3x1 90-740 mg/hari 5-7,5 mg max. 4 x 1 40 mg 1 x 1 200-400mg 2x1 5-10 mg 1x1 55-110 mg 1 x 1 640 mg / hari 3-5 hari 200-400mg 2 x 1
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD “X” di Surakarta sepanjang tahun 2011 yang menjadi obyek penelitian ini total berjumlah 49 orang. Analisis perhitungan dosis obat menghasilkan kesimpulan: 1. Total sebanyak 49 rekam medik pasien teranalisis perhitungan dosisnya. Sebanyak 4 pasien (8,16%) dinyatakan mendapat tepat dosis dan 45 sisanya (91,84%) tidak tepat dosis.
10
2. Obat-obat yang paling banyak diresepkan dalam dosis kurang adalah parasetamol, ranitidin, metilprednisolon & Vitamin B Kompleks. Obat terbanyak yang mengalami diresepkan dalam dosis lebih adalah seftriakson. Saran Hal-hal yang perlu dicermati bagi peneliti selanjutnya yang berminat mengambil topik serupa adalah perlunya penelitian bersifat prospektif sehingga dapat mengidentifikasi lebih jauh akibat DRPs kategori ketidaktepatan dosis melalui parameter seperti sejauh mana efektivitas obat berupa perbaikan gejala apakah pasien sudah membaik, mengikuti perkembangan pasien dari hari ke hari dengan memperhatikan detail data-data laboratoriumnya serta efek samping serta reaksi toksik yang kemungkinan muncul. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2003, Background Document : the Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever by World Health Organization, (online), (www.who.int-/vaccinesdocuments/), diakses pada 4 Desember 2011. Chue, P. & Singer, P., 2003, J Psychiatry Neurosci., A Review of Olanzapine-Associated Toxicity and Fatality in Overdose, (online), (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC165790/), diakses pada 25 Juni 2013. Cipolle, R.J, Strand, L.M., & Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice, hal. : 75, 82-83, 90-95, 101-105, Mc-Graw Hill Company, New York. Ernst, F. R., & Grizzle, A. J., 2001, J. Am Pharm Assoc (Wash), Drug-Related Morbidity and Mortality: Updating the Cost-of-Illness Model, (online), (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11297331.viewarticle/406716), diakses pada 4 Desember 2011. Halczli, A. & Woolley, A. B.,2013, a Review : Medication Underdosing and Underprescribing : Important Issues That May Contribute to Polypharmacy and Poor Outcomes, (online), (http://formularyjournal.modernmedicine.com/formulary.journal/news/medicationunderdosing-and-underprescribing-important-issues-may-contribute-polypharmacy), diakses pada 25 Juni 2013. Joenoes, N. Z., 2004, Ars Prescribendi Resep yang Rasional Edisi II, Airlangga University Press, Surabaya. Lacy, C. F., Amstrong, L. L., et al., 2010, Drug Information Handbook 18th Edition, LexiComp, New York.
11
Lesar, T. S., 2002, J. Gen Intern Med, Prescribing Errors Involving Medication Dosage Forms, (online), (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12213138), diakses pada 23 Juni 2013. Musnelina, L., Afdhal, A. F., Gani, A., & Andayani, P., 2004, Analisis Efektivitas Biaya Pengobatan Demam Tifoid Anak Menggunakan Kloramfenikol dan Seftriakson di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta tahun 2001-2002, jurnal dalam Makara Kesehatan, Volume 8 Nomor 2, Desember 2004. Pagiling, J. R., Perwitasari, D. A., & Supadmi, W., 2005, Analisis Drug Related Problems pada Resep Dokter Spesialis Penyakit Dalam di Apotek X Yogyakarta Periode JuliDesember 2005, Media Farmasi : Jurnal Ilmu Farmasi, Volume 5 Nomor 2, Februari 2006. Zaki, S. A., & Karande, S., 2011, J Infect Dev Ctries., Multidrug-Resistant Typhoid Fever : a Review, (online), (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21628808), diakses pada 16 Desember 2011.
12