PERSEPSI DAN PARTISIPASI WANITA TANI DALAM KEGIATAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN (OPP) P2KP
NADIA ZABILA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Persepsi dan Partisipasi Wanita Tani dalam Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan (OPP) P2KP adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2013 Nadia Zabila NIM I34090077
ABSTRAK NADIA ZABILA. Persepsi dan Partisipasi Wanita Tani dalam Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan (OPP) P2KP. Dibimbing oleh NURMALA K. PANDJAITAN. Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat strategis dan penting. Sementara, masih banyak rumah tangga yang belum mampu mewujudkan ketersediaan pangan dalam hal mutu dan tingkat gizinya. Pemerintah mengupayakan masalah tersebut melalui Program Percepatan Penganekaragaman Pangan (P2KP) kepada kelompok wanita untuk mengoptimalkan lahan pekarangannya menjadi sumber pangan keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara intensitas komunikasi penyuluh P2KP dengan persepsi wanita tani terhadap kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan (OPP) dan hubungan persepsi tersebut dengan tingkat partisipasinya. Hasil penelitian adalah wanita tani mempersepsikan bahwa metode dan penyuluh P2KP hanya membuat responden tertarik dan termotivasi. Penyuluh dianggap tidak mengetahui kebutuhan dan permasalahan KWT yang sebenarnya. Materi diberikan cukup baik namun kegiatan ini belum sesuai dengan kebutuhan. Partisipasi wanita tani dalam kegiatan OPP memiliki tingkatan yang rendah. Terdapat hubungan antara intensitas komunikasi penyuluh P2KP dengan persepsi wanita tani terhadap kegiatan ini. Namun, hanya dalam aspek tujuan utama dan manfaat dalam kegiatan OPP. Sementara, tidak ditemukan hubungan antara persepsi tersebut dengan partisipasi dalam kegiatan ini. Kata Kunci: ketahanan pangan, intensitas komunikasi dan penyuluh. ABSTRACT NADIA ZABILA. Perception and Participation of Women Farmers in the Activities of Optimizing Courtyard Utilization (OPP) P2KP. Supervised by NURMALA K. PANDJAITAN. Food security is very strategic and important. Meanwhile, many households are still unable to realize the food availability in terms of its quality and nutrition level. The government has attempted to address this issue through Food Variety Acceleration Program (P2KP) by empowering groups of women to optimize their courtyards as a source of household food. This study aimed to analyze the relationship between the intensity of P2KP extension agent communication with the perception of women farmers on the activities of Optimizing Courtyard Utilization (OPP) and the relationship between the perception and the participation level. The result showed the women farmers perceived that the method and the P2KP extension agent only made the respondents interested and motivated. The extension agent were considered being unaware of the real needs and problems facing KWT. The material given was quite good despite its irrelevance to the needs. The participation of women farmers in OPP activities was relatively low. There was a correlation between the intensity of P2KP extension agent communication and the perception of women farmers in this activity. However, the correlation was evident only in the aspects of the main objective and the benefits of OPP. No correlation was found between the perception and the participation level in the activity. Keywords: food security, intensity of communication and extension agent.
PERSEPSI DAN PARTISIPASI WANITA TANI DALAM KEGIATAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN (OPP) P2KP
NADIA ZABILA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Persepsi dan Partisipasi Wanita Tani dalam Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan (OPP) P2KP Nama : Nadia Zabila NIM : I34090077
Disetujui oleh
Dr Nurmala K Pandjaitan, MS. DEA Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus: ________________
Judul Skripsi: Persepsi dan Partisipasi Wanita Tani dalam Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan (OPP) P2KP : Nadia Zabila Nama : 134090077 NIM
Disetujui oleh
Dr Nurmala K Pandjaitan, MS. DEA
Pembimbing
27 N
2D13
Tanggal Lulus: _ _ _ _ _ __
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah mengenai “Persepsi dan Partisipasi Petani dalam Penyuluhan”, dengan judul “Persepsi dan Partisipasi Wanita Tani dalam Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan (OPP) P2KP”. Penulis menyadari skripsi ini dapat diselesaikan karena adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. Kedua orang tua, Ayahanda Djamal Abdul Latief dan Ibunda Nina Aminah. Kepada suami yaitu Andromeda Mercury Putra, S.IP. Kedua kakak tersayang yaitu Rama Abdilah, A.Md dan Astrid Meidiyanti, A.Md serta kepada adik Nathasya Lathifah. Terimakasih selalu memberikan kasih sayang, doa, motivasi, dukungan dan semangat yang tak terbatas kepada penulis. 2. Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS. DEA. atas kesediaan waktu dan kesabarannya dalam membimbing dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Aida V. S. Hubeis selaku dosen penguji utama dan Heru Purwandaru SP. MSi. selaku dosen penguji kedua. Selanjutnya kepada Ir. Hadiyanto, MSi. selaku dosen uji petik skripsi. Terimakasih atas segala masukan-masukan yang turut menyempurnakan skripsi ini. 4. Rekan-rekan satu bimbingan Dini Dwiyanti dan Ajeng Intan Purnamasari. 5. Pihak BKP5K dan BP4K Kabupaten Bogor serta BP3K Kecamatan Cibungbulang yang telah memberikan pengarahan dan dukungan selama penulis di lokasi penelitian. 6. Pemerintah dan anggota Kelompok Wanita Tani di Desa Situ Udik dan Cibatok Satu yang turut berkontribusi dalam memberikan informasi kepada penulis. 7. Kepada sahabat seperjuangan, Novia Darwis, M. Septiadi, Faiza Libby Shabira Lubis, Arif Rachman, Tiara Pridatika, Jabbar Saputra, Indra Setiyadi, seluruh teman-teman KPM 46 dan rekan-rekan atau pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Penulis menyadari karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk menambah pemahaman mengenai persepsi dan partisipasi terhadap penyuluhan di perdesaan.
Bogor, November 2013 Nadia Zabila
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang
VII IX XI XI 1 1
Masalah Penelitian
2
Tujuan Penelitian
2
Kegunaan Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA Program Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Penyuluhan Pertanian
3 3 5
Persepsi
10
Partisipasi
13
Kerangka Pemikiran
14
Hipotesis
15
Definisi Operasional
16
PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian
19 19
Lokasi dan Waktu
19
Teknik Pemilihan Responden dan Informan
19
Pengumpulan Data
19
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
20
GAMBARAN UMUM KECAMATAN CIBUNGBULANG Desa Cibatok Satu
21 21
Desa Situ Udik Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor
24 Pekarangan
di
Kecamatan
KARAKTERISTIK RESPONDEN Karakteristik Individu Kedua Kelompok Wanita Tani
27 31 31
Intensitas Komunikasi Penyuluh Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan
32
Ikhtisar
34
PERSEPSI TERHADAP KEGIATAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN 35
viii
Persepsi Wanita Tani terhadap Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan 35 Ikhtisar
44
PARTISIPASI DALAM KEGIATAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN 45 Partisipasi Wanita Tani dalam Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan 45 Ikhtisar
50
HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DENGAN PENYULUH P2KP DAN PERSEPSI WANITA TANI DENGAN KEGIATAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN 51 Ikhtisar 54 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI WANITA TANI DAN PARTISIPASI DALAM KEGIATAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN 55 Ikhtisar 58 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
59 59 59 61 63 75
ix
DAFTAR TABEL 1. Mata pencaharian pokok warga Desa Cibatok Satu Kabupaten Bogor Tahun 2010 .......................................................................................................... 22 2. Jumlah dan presentase produksi komoditas tanaman pangan Desa Cibatok Satu Kabupaten BogorTahun 2010 .................................................................... 22 3. Mata pencaharian pokok warga Desa Situ Udik Kabupaten Bogor Tahun 2012...................................................................................................................... 24 4. Daftar pengurus dan anggota Kelompok Wanita Tani Teratai Desa Situ Udik Tahun 2012................................................................................................. 26 5. Contoh materi yang digunakan berdasarkan hasil musyawarah antara penyuluh dan wanita KWT Teratai Situ Udik Tahun 2012 .............................. 29 6. Jumlah dan presentase responden berdasarkan karakteristik individu ............ 31 7. Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat kehadiran dalam penyuluhan OPP .................................................................................................. 32 8. Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat interaksi dengan penyuluh OPP ...................................................................................................... 33 9. Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi penyuluh dalam kegiatan OPP ........................................................................... 33 10. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap tujuan utama kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan ..................................... 35 11. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap tujuan lainnya dari optimalisasi pemanfaatan pekarangan .......................................... 36 12. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap jenis manfaat optimalisasi pemanfaatan pekarangan ................................................. 36 13. Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian jenis manfaat kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan ................................................ 36 14. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap metode SL-P2KP .............................................................................................................. 37 15. Jumlah dan presentase responden berdasarkan metode yang digunakan dalam SL-P2KP ................................................................................................... 39 16. Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian persepsi terhadap metode SL-P2KP ................................................................................................. 39 17. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap materi kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan yang diberikan ...................... 40 18. Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian persepsi terhadap materi optimalisasi pemanfaatan pekarangan.................................................... 40 19. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap penyuluh P2KP .................................................................................................................... 41 20. Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian persepsi terhadap penyuluh P2KP .................................................................................................... 41 21. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap jenis kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan ................................................ 42 22. Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian persepsi terhadap jenis kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan ....................................... 43 23. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap pelaksanaan pasca SL-P2KP .............................................................................. 43
x
24. Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian persepsi terhadap pelaksanaan pasca SL-P2KP .............................................................................. 44 25. Jumlah dan presentase responden berdasarkan luas lahan yang digunakan dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan ..................................... 45 26. Jumlah dan presentase responden berdasarkan tahapan pelaksanaan optimalisasi pemanfaatan pekarangan ............................................................... 46 27. Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian tahapan pelaksanaan optimalisasi pemanfaatan pekarangan .......................................... 47 28. Jumlah dan presentase responden berdasarkan keaktifan dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan ............................................................... 47 29. Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian keaktifan dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan ................................................ 49 30. Jumlah dan presentase responden berdasarkan partisipasi dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan ............................................................... 49 31. Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi tujuan utama .......................................... 51 32. Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi tujuan lainnya ........................................ 51 33. Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi manfaat .................................................. 52 34. Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi metode SL-P2KP .................................. 52 35. Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi materi ..................................................... 53 36. Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi penyuluh P2KP ..................................... 53 37. Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi jenis kegiatan ......................................... 54 38. Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi pasca pelaksanaan P2KP ...................... 54 39. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap tujuan utama dan partisipasinya .................................................................................... 55 40. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap tujuan lainnya dan partisipasinya .................................................................................. 55 41. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap manfaat dan partisipasinya................................................................................................ 56 42. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap metode SL-P2KP dan partisipasinya............................................................................... 56 43. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap materi dan partisipasinya................................................................................................ 57 44. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap penyuluh P2KP dan partisipasinya ..................................................................................... 57 45. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap jenis kegiatan dan partisipasinya ................................................................................ 57 46. Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap pasca pelaksanaan P2KP dan partisipasinya ............................................................... 58
xi
DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka pemikiran bentuk persepsi dan tingkat partisipasi wanita tani dalam kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan P2KP............................................................................................................ 15 2. Perbandingan jumlah produksi komoditas tanaman pangan Desa Situ Udik Kecamatan Cibungbulang Tahun 2012............................................... 25 3. Keadaan lahan pekarangan (a) anggota KWT Nusa Jati dan (b) anggota KWT Teratai................................................................................................ 45
DAFTAR LAMPIRAN 1. Peta Desa Cibatok Satu dan Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat Tahun 2013..................... ............ 2. Jadwal pelaksanaan penelitian Tahun 2013.................................... .......... 3. Kerangka Populasi....................................................................................... 4. Kuesioner..................................................................................................... 5. Foto dokumentasi penelitian........................................................................
63 64 65 66 73
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia membutuhkan waktu dua dasarwarsa masa peralihan uji coba sebelum bisa memulai suatu program pembangunan berencana jangka panjangnya sejak tahun 1969, yang diawali dengan suatu crash-programme selama tiga tahun. Pembangunan yang dipimpin oleh pemerintah pada dasarnya mengikuti kapitalis. Aspek kapitalis justru membuat resah masyarakat yang dimana sebagian besar program yang diberikan pemerintah bersifat top-down dan belum tentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Rahardjo 2006). Pembangunan yang diberikan pemerintah akan berhasil jika sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat, begitu juga tindakan pemerintah dalam menanggapi krisis pangan. Menurut Sibuea (2012), pemerintah harus melakukan berbagai upaya untuk menghadapi ancaman krisis pangan global. Masyarakat patut didorong untuk mengurangi ketergantungan konsumsi pada beras yang harganya kian mahal. Masyarakat Indonesia yang tingkat konsumsi berasnya sangat tinggi, sekitar 139 kilogram per kapita per tahun, amat rentan terkena dampak krisis pangan. Perkiraan para pengamat ketahanan pangan menunjukkan produksi Gabah Kering Giling (GKG) cenderung menurun dalam waktu 10 tahun belakangan ini. Pemerintah harus dapat mendorong (bukan memaksa) masyarakat untuk meragamkan pola konsumsi makan sebagai bentuk penguatan ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat strategis dan penting. Saat ini ketahanan pangan belum dicapai pada seluruh rumah tangga walaupun pada tingkat nasional hasilnya telah lebih baik. Masih banyak rumah tangga yang belum mampu mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup, terutama dalam hal mutu dan tingkat gizinya. Dalam hal ini keanekaragaman pangan menjadi salah satu pilar utama dalam ketahanan pangan (FKPP 2003). Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dijelaskan bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan. Untuk merealisasikan ketahanan pangan tersebut, pemerintah bertugas melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Pelaksanaan gerakan Percepatan Penganekragaman Konsumsi Pangan (P2KP) merupakan implementasi dari Peraturan Presiden RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragam Konsumsi Pangan berbasis sumber daya lokal, yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2009, dan Peraturan Gubernur Nomor 60 Tahun 2011 (BKP 2012). Pada Peraturan Bupati Bogor Nomor 26 Tahun 2011 tentang Pedoman Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal, pada pasal 2 mengenai maksud dibuatnya pedoman program P2KP adalah memaksimalkan pelaksanaan perwujudan ketahanan pangan dan peningkatan diversifikasi pangan yang merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah daerah bersama masyarakat di Kabupaten Bogor. Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Bogor yang kelompok wanita taninya mendapatkan program P2KP. Salah satu kegiatannya adalah Optimalisasi
2 Pemanfaatan Pekarangan (OPP). Kegiatan atau pemberdayaan kelompok wanita bertujuan mengembangkan pola pikir ibu rumah tangga tentang komposisi menu makanan yang beragam, seimbang dan aman melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan pemanfaatan pangan lokal. Dengan demikian partisipasi wanita tani dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan ini menjadi salah satu penentu keberhasilan program P2KP. Menurut Lalenoh (1994) dalam penelitiannya mengenai kegiatan pelayanan rehabilitas sosial pemukiman kumuh di kotamadya Bandung ditemukan bahwa persepsi masyarakat di pemukiman kumuh terhadap kegiatan tersebut memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat partisipasi dalam kegiatannya. Responden yang memiliki persepsi yang positif cenderung memiliki partisipasi yang tinggi, dimana keterlibatan responden dalam beberapa tahap kegiatan fisik ditemukan sangat aktif. Penelitian mengenai persepsi wanita tani terhadap kegiatan OPP, dengan demikian menjadi bagian yang penting dipelajari untuk dapat memahami sejauhmana partisipasi mereka. Selain itu, dengan adanya SL-P2KP sebagai bentuk penyuluhan kegiatan OPP ingin diketahui sejauhmana pengaruhnya terhadap persepsi wanita tani yang mengikuti kegiatan. Lebih lanjut, ingin diketahui apakah ada hubungan antara persepsi terhadap kegiatan OPP dengan tingkat partisipasi wanita tani pada kegiatan tersebut. Masalah Penelitian Masalah yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan antara intensitas komunikasi penyuluh P2KP dan persepsi wanita tani terhadap kegiatan OPP dalam program P2KP? 2. Bagaimana hubungan antara persepsi wanita tani tentang kegiatan OPP dengan tingkat partisipasi mereka dalam kegiatan OPP tersebut? Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji persepsi dan partisipasi wanita tani dalam kegiatan Gerakan P2KP. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis hubungan antara intensitas komunikasi penyuluh P2KP dan persepsi wanita tani terhadap kegiatan OPP dalam program P2KP. 2. Menganalisis hubungan antara persepsi wanita tani tentang kegiatan OPP dengan tingkat partisipasi mereka dalam kegiatan OPP tersebut. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Melalui penelitian ini dapat diperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai hubungan antara persepsi dengan perilaku petani khususnya menyangkut program penyuluhan pertanian di perdesaan. 2. Menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penentuan strategi dan kebijakan mengenai pembuatan program pembangunan pertanian berikutnya. 3. Dapat dijadikan bahan masukan dan motivasi bagi pihak yang berkepentingan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan penyuluhan pertanian.
3
TINJAUAN PUSTAKA Program Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Pelaksanaan P2KP merupakan implementasi dari Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi pangan Berbasis Sumberdaya Lokal yang ditindaklanjuti melalui Peraturan Menteri pertanian No. 43 Tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal (BKP 2012). Implementasi gerakan P2KP dilaksanakan dalam berbagai bentuk kegiatan, seperti: 1. Pemberdayaan kelompok wanita melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan pengembangan usaha rumah tangga pangan lokal berbasis tepung-tepungan. 2. Pengembangan pangan lokal melalui kegiatan pra-pangkin dan kerjasama dengan Perguruan Tinggi dalam pengembangan teknologi pengolahan pangan lokal. 3. Sosialisasi dan promosi penganekaragaman konsumsi pangan, serta 4. Pengembangan Rumah Pangan Lestari (RPL) Pada Kawasan P2KP 1 yang merupakan pengembangan dari kegiatan P2KP pada tingkat kawasan. Kegiatan P2KP juga diharapkan dapat mendorong peran serta dunia usaha melalui Corporate Social Responsibility (CSR)/Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Pemberdayaan kelompok wanita dalam P2KP direalisasikan dengan dua kegiatan yaitu optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan pengembangan usaha rumah tangga pengolahan pangan lokal berbasis tepung-tepungan. Tujuan kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan (OPP) adalah: a. Mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan. b. Meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan kelompok wanita untuk memanfaatkan bahan pangan yang ada di pekarangan untuk diolah sebagai menu sehari-hari. Sasaran pada kegiatan OPP adalah kelompok wanita yang telah memiliki kelembagaan yang aktif dengan pendekatan pemilihan berdasarkan tempat tinggal dengan jumlah minimal 10 rumah tangga. Lokasi yang dipilih bagi penerima manfaat tahun 2012 adalah wilayah dalam satu tempat tinggal, minimal memiliki satu lahan pekarangan utama yang dijadikan sebagai demplot pekarangan berdasarkan potensi desa penerima manfaat. Seleksi lokasi dilaksanakan oleh aparat pemerintahan kabupaten atau kota yang menangani ketahanan pangan berkoordinasi dengan aparat pemerintahan provinsi. Penetapan kelompok penerima manfaat ditetapkan dengan SK Kepala pemerintahan provinsi atau kabupaten. Pada kegiatan OPP dilaksanakan dengan menggunakan sebuah metode yaitu Sekolah Lapang (SL). Metode SL ini menggunakan pendekatan praktek 1
Pengembangan Rumah Pangan Lestari (RPL) Pada Kawasan P2KP adalah kawasan yang terdiri atas beberapa desa dalam satu kabupaten/kota yang di setiap rumah tangganya mengembangkan pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan dan gizi keluarga dan juga tambahan pendapatan keluarga yang mengacu pada model rumah pangan lestari.
4 langsung yang dinamakan Self Learning dalam mengembangkan pekarangan mulai dari aspek budidaya hingga pengolahan hasil pekarangan (from farm to table) dengan tetap memperhatikan kebutuhan gizi keluarga sehari-hari dan kelestarian lingkungan. Sekolah Lapangan (SL) P2KP2 dilaksanakan dalam rangka Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan dan dikembangkan atas dasar pemikiran, bahwa Sistem Pelatihan tersebut harus mampu mengubah sasaran dari sikap “ketergantungan” (dependent) kearah “kemandirian” (independent) dan sikap “saling ketergantungan” (interdependent) kearah kerja dalam kelompok (team work); dari sikap kerja berdasarkan kebiasaan atau pemberian/petunjuk ke arah sikap kerja rasional; dari sekedar bisa bekerja atau terampil ke arah bekerja profesional (ahli). Sedangkan proses berlatih dirancang agar sasaran pelatihan dapat berlatih dengan cara mengalami, menemukan dan memecahkan masalahnya sendiri pada situasi nyata di tempat kerjanya. Melalui SL materi pelatihan dapat diterima secara utuh dan cepat oleh sasaran. Didalam proses berlatih melatih dengan model SL, metode yang paling tepat adalah berlatih yang didasarkan oleh pengalaman atau dikenal sebagai Experriental Learning Cycle (ELC). Tujuan umum penyelenggaraan pelatihan Sekolah Lapangan adalah meningkatkan kompetensi kerja dan perilaku sasaran pelatihan, serta untuk mempercepat proses alih teknologi dari sumber/perekayasa teknologi sampai ke kelompok wanita. Tujuan khusus penyelenggaraan Sekolah Lapangan P2KP adalah: a. Membudayakan pemanfaatan pekarangan dalam mendukung penganekaragaman konsumsi pangan di kalangan masyarakat. b. Mempercepat penerapan pengetahuan tentang penganekaragaman konsumsi pangan, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran dalam mengelola pekarangan. c. Meningkatkan motivasi dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan melalui pemanfaatan pekarangan. SL-P2KP berfungsi sebagai pusat pembelajaran bagi kelompok wanita, sekaligus sebagai media pengambilan keputusan tukar menukar informasi dan pengalaman lapangan, pembinaan manajemen kelompok serta sebagai percontohan bagi kawasan lainnya. SL-P2KP dimaksudkan untuk peningkatan kemampuan peserta P2KP yang dapat dilakukan melalui kegiatan berlatih melatih di demplot/areal percontohan kelompok yang dijadikan sebagai Laboratorium Lapangan (LL). Kegiatan berlatih melatih ini difokuskan pada aktivitas meningkatkan perilaku, ketrampilan dan sikap melalui aktivitas menemukenali, mengungkapkan pengalaman dan penarikan kesimpulan terkait dengan P2KP. Peserta SL-P2KP wajib mengikuti setiap tahap kegiatan pemanfaatan pekarangan dan mengaplikasikan sesuai dengan spesifikasi lokasi masing-masing mulai dari pengolahan tanah, budidaya, penanganan panen dan pasca panen, sampai pengelolahan pangan untuk konsumsi. Pada setiap tahapan pelaksanaan, anggota kelompok diharapkan melakukan serangkaian kegiatan yang sudah
2
Sekolah Lapangan (SL) P2KP adalah suatu tempat pendidikan non formal bagi masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam pengembangan pemanfaatan pekarangan dalam rangka penganekaragaman konsumsi pangan sesuai dengan sumberdaya lokal.
5 direncanakan dan dijadwalkan, baik di demplot maupun di pekarangan masingmasing anggota kelompok. Pelaksanaan SL dilakukan melalui pendampingan penyuluh pendamping P2KP Desa dengan menggunakan alat bantu berupa KIT (alat peraga/modul dll) P2KP atau media sosial lainnya. Pendampingan kegiatan OPP dilakukan oleh penyuluh pertanian yang memiliki peranan, yaitu: 1. Sebagai pemandu yang paham terhadap materi, permasalahan dan kebutuhan yang ada di lapangan. 2. Sebagai dinamisator proses SL-P2KP sehingga menimbulkan ketertarikan dan lebih menghidupkan kegiatan kelompok. 3. Motivator yang kaya akan pengalaman dalam budidaya dan dapat membantu membangun kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan pekarangan dalam rangka percepatan penganekaragaman konsumsi pangan. 4. Sebagai konsultan bagi anggota kelompok SL-P2KP untuk mempermudah menentukan langkah-langkah selanjutnya setelah kegiatan P2KP. Jenis-jenis kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan OPP terdiri dari identifikasi potensi desa dan permasalahannya, menyusun Rencana Kegiatan dan Kebutuhan Anggaran (RKKA) Kelompok, pengembangan pemanfaatan pekarangan, dan sosialisasi mengenai konsumsi pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman. Pertemuan rutin dilaksanakan sesuai dengan jadwal kegiatan yang telah disepakati bersama dengan kelompok wanita. Pertemuan dilaksanakan minimal sepuluh kali dalam setahun, apabila terdapat dana dukungan dari APBD provinsi maupun kabupaten/kota maka dapat dilaksanakan lebih dari sepuluh kali dalam setahun. Penyuluhan Pertanian Pada dasarnya pengertian penyuluhan sangatlah banyak didefinisikan oleh beberapa ahli. Menurut Setiana (2004), Penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu sosial yang mempelajari sistem dan proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan harapan. Dalam Wiriaatmadja (1973) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian adalah suatu sistim pendidikan di luar sekolahan untuk keluarga-keluarga tani di pedesaan, dimana mereka belajar sambil berbuat untuk menjadi mau, tahu, dan bisa menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapinya secara baik, menguntungkan dan memuaskan. Kartasapoetra (1987), penyuluhan pertanian adalah usaha mengubah perilaku petani dan keluarganya agar mereka mengetahui, menyadari, mempunyai kemampuan, dan kemauan serta tanggung jawab untuk memecahkan masalahnya sendiri dalam rangka kegiatan usaha tani dan kehidupannya. Menurut Sastraatmadja (1993), penyuluhan pertanian didefinisikan sebagai pendidikan nonformal yang ditujukan kepada petani dan keluarganya dengan tujuan jangka pendek untuk mengubah perilaku termasuk sikap, tindakan dan pengetahuan kearah yang lebih baik, serta tujuan jangka panjang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Suriatna (1987) berpendapat bahwa semula kegiatan pendidikan penyuluhan pertama mencakup bidang konsultasi dan demonstrasi pertanian. Kemudian lebih
6 dikembangkan sebagai sumber informasi. Berkembangnya teknologi dalam bidang pertanian dan semakin kompleksnya masalah yang dihadapi masyarakat pertanian, menuntut untuk lebih diperluas lagi cakupan kegiatan penyuluhan pertanian. Berdasarkan uraian para ahli diatas, penyuluhan dapat didefinisikan sebagai sebuah pendidikan nonformal yang diberikan kepada masyarakat khususnya dalam hal ini adalah petani dan keluarganya, dengan upaya menambah kapasitas diri petani dalam mengelola usaha tani menuju kemandirian dan kesejahteraan. Tujuan akhir pembangunan pertanian yang sedang diselenggarakan sekarang ini ialah peningkatan kesejahteraan petani khususnya dan kesejahteraan rakyat pada umumnya Mosher (1978). Berbagai upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat perdesaan melalui penyuluhan telah dilakukan, manfaat yang seharusnya dirasakan oleh petani dari penyuluhan adalah merasakan perubahan perilaku baik pengetahuan, ketrampilan maupun sikap kearah yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga produktivitas dan kualitas usaha yang dicapai mengalami peningkatan dalam hal pertanian. Namun, yang menjadi permasalahan saat ini penyuluhan tidak sepenuhnya dirasakan manfaat oleh petani. Kualitas penyuluh dapat menentukan keberhasilan dari penyuluhan yang diberikan. Tugas utama dari penyuluh adalah sebagai pemimpin yang dapat menggerakan petani untuk lebih termotivasi dalam pengembangan kualitas maupun kuantitas pertanian, sebagai penasehat yang baik dan mampu memediasikan antar kepentingan pemerintah yang juga melihat akan kepentingan sasaran penyuluhan. Menurut Setiana (2004), titik berat proses penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku adalah penyuluhan yang berkesinambungan. Dalam proses perubahan perilaku dituntut agar sasaran berubah tidak semata-mata karena adanya perubahan penambahan pengetahuannya saja, namun diharapkan juga adanya perubahan pada ketrampilan sekaligus sikap mental yang menjurus kepada tindakan atau kerja yang lebih baik, produktif dan menguntungkan. Proses perubahan perilaku akan menyangkut aspek kapasitas diri yang terdiri dari pengetahuan ketrampilan dan sikap mental sehingga mereka tahu, mau dan mampu melaksanakan perubahan-perubahan dalam usahataninya demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan, dan perbaikan kesejahteraan keluarga yang ingin dicapai melalui pembangunan pertanian. Setiana (2004) pun kembaliberpendapat, penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku tidak mudah, hal ini menuntut suatu persiapan yang panjang dan pengetahuan yang memadai bagi penyuluh meupun sasarannya. Penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku, selain membutuhkan waktu relatif lama, juga membutuhkan perencanaan yang matang, terarah dan berkesinambungan (Setiana 2004). Penyuluhan pertanian adalah aktivitas pendidikan di luar sekolah yang mengandung sifat-sifat khusus, dan sifat khusus tersebut yaitu sebagai berikut (Mosher 1978): a. Berhubungan dengan masalah petani di perdesaan dan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan pada waktu tertentu dan berkaitan erat dengan mata pencaharian. b. Menggunakan cara atau metode atau teknik pendidikan khusus yang disesuaikan dengan sifat, perilaku, dan kepentingan petani.
7 c. Keberhasilan pelaksanaannya memerlukan bantuan berbagai aktivitas yang langsung maupun yang tidak langsung menunjang pendidikan d. Pelaksanaannya dalam suasana kooperatif dan toleransi, musyawarah untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Setiana (2004) mengungkapkan, petani di perdesaaan perlu mendapatkan pendidikan berupa pendidikan non formal dengan cara yang sederhana, mudah, menarik dan gamblang sehingga dapat dipahami dan dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Kartasapoetra (1987) mengatakan bahwa pendekatan untuk memperlancar keberhasilan penyuluhan memerlukan waktu, kesabaran dan ketekunan. Walaupun penyuluh biasanya hanya mempunyai waktu yang terbatas. Adapun cara mempercepat proses keberhasilan tersebut melalui pembentukan Kontak Tani para anggotanya yang terdiri dari para petani yang telah terpengaruh atau telah menerapkan suatu pengetahuan baru (teknologi baru). Selanjutnya setiap anggota Kontak Tani tersebut diharapkan oleh penyuluh akan mempengaruhi sejumlah petani lainnya, dan petani lainnya melanjutkan mempengaruhi petani berikutnya. Hal ini dapat dikatakan sebagai “sistem penyuluhan berantai”. Dengan demikian diperlukannya komunikasi dalam kegiatan penyuluhan, dimana penyuluh ialah meneruskan (menyampaikan) pikirannya kepada para petani dalam rangka mempengaruhi para petani dengan maksud dan harapannya. Intensitas Komunikasi dalam Penyuluhan Sastraatmadja (1993) mengungkapkan bahwa komunikasi adalah sarana kehidupan yang cukup penting bagi manusia dimana pun manusia berada, kehadiran komunikasi mutlak dibutuhkan. Begitu pula dalam kegiatan penyuluhan pertanian ini. Kartasapoetra (1987) pun berpendapat bahwa komunikasi sendiri mempunyai arti proses transisi atau penerusan faktor-faktor, kepercayaan, sikap, reaksi emosi atau lain-lain pengetahuan di antara individu dengan individu dalam masyarakat. Intensitas komunikasi mempengaruhi kualitas penyuluhan petani untuk melakukan interaksi agar dapat memahami materi penyuluhan atau inovasi yang ada lebih dalam lagi. Adanya umpan balik atau feed back yang merupakan respon, diharapkan terjadi dalam kegiatan penyuluhan. Intensitas komunikasi akan menentukan efektifitas pesan yang disampaikan penyuluh kepada petani. Suriatna (1987) menambahkan bahwa proses pendidikan pada petani itu terjadi karena adanya komunikasi yang berjalan dua arah yaitu antara penyuluh sebagai sumber dan keluarga tani sebagai sasaran atau sebaliknya. Dalam proses komunikasi, saluran merupakan salah satu unsurnya. Dalam kegiatan penyuluhan, saluran yang dimaksud ialah metode penyuluhan. Dengan demikian metode penyuluhan pertanian dapat diartikan sebagai cara penyampaian materi penyuluhan melalui media komunikasi oleh penyuluh kepada petani beserta keluarganya. Metode penyuluhan penting adanya, agar petani beserta keluarganya bisa dan membiasakan diri menggunakan teknologi baru. Ternyata intensitas komunikasi antara penyuluh dan petani dipengaruhi oleh fasilitas pendukung, yaitu: prasarana transportasi, listrik, pasar, dan kemudahan mengakses lokasi sasaran. Merujuk pada hasil penelitian Sugiyanto (1996) yang membandingkan intensitas kunjungan penyuluh di desa yang belum maju dengan desa yang maju. Frekuensi kunjungan penyuluh ke desa maju lebih banyak
8 dibandingkan desa belum maju. Frekuensi kunjungan penyuluh ke desa maju yang lebih banyak mencapai 4-5 kali per bulan, sedangkan kunjungan ke desa belum maju mencapai 2-3 kali per bulan. Adopsi Inovasi dalam Penyuluhan Berbicara tentang penyuluhan tidak terlepas dari bagaimana agar sasaran penyuluhan dapat mengerti, memahami, tertarik dan mengikuti apa yang disuluhkan dengan baik dan atas kesadarannya sendiri berusaha untuk menerapkan ide-ide baru tersebut dalam kehidupan usaha taninya. Mardikanto (1993) menyatakan bahwa pesan-pesan pembangunan yang disuluhkan pada masyarakat sasaran harus mampu mendorong atau mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang memiliki sifat pembaharuan, yang sering disebutnya dengan istilah innovativeness. Karena dalam proses adopsi dalam penyuluhan selalu dikaitkan dengan istilah inovasi. Inovasi oleh Rogers Shoemakers dalam Setiana (2004) diartikan sebagai ide-ide baru, praktik-praktik baru atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Selanjutnya Mardikanto (1993) menjelaskan inovasi dapat diartikan lebih luas lagi, dimana inovasi tidak terbatas pada benda, barang atau produk tertentu saja, namun dapat pula mencakup ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku, atau bahkan gerak-gerakan yang mengarahkan pada proses perubahan dalam segala bentuk masyarakat. Menurut Setiana (2004) adopsi dalam proses penyuluhan sering kali diartikan sebagai suatu proses mentalitas pada diri seseorang atau individu, dari mulai seseorang tersebut menerima ide-ide baru sampai memutuskan menerima atau menolak ide-ide tersebut. Menurut Suriatna (1987) proses adopsi merupakan proses mentalitas yang bertahap mulai dari kesadaran (awareness), minat (interest), menilai (evaluation), mencoba (trial) dan akhirnya menerapkan (adoption). Tahapan dalam proses adopsi terjadi tanpa berurutan, artinya proses adopsi inovasi terjadi demikian cepatnya seakan-akan melompat pada kondisi mengerti atau sadar langsung pada menerapkan tanpa melalui pertimbangan yang matang. Sebaliknya, ada pula tahapan yang berhenti pada keadaan berminat saja tanpa kelanjutan pada tahap berikutnya yaitu mencoba dan menilai sehingga menerapkan. Menurut Wiriaatmadja (1973), indikasi yang dapat dilihat pada diri seseorang pada setiap tahapan proses adopsi adalah sebagai berikut: 1. Tahap sadar, pada tahap ini seseorang sudah mengetahui sesuatu yang baru karena hasil dari berkomunikasi dengan pihak lain. 2. Tahap minat, pada tahap ini seseorang mulai ingin mengetahui lebih banyak tentang hal-hal baru yang sudah diketahuinya dengan jalan mencari keterangan atau informasi yang lebih terperinci. 3. Tahap menilai, pada tahap ini seseorang mulai menilai atau menimbangnimbang serta menghubungkan dengan keadaan atau kemampuan diri, misalnya kesanggupan serta risiko yang akan ditanggung, baik dari segi sosial maupun ekonomis. 4. Yang lebih luas dengan berbagai pertimbangan yang matang.
9 5. Tahapan mencoba, pada tahapan ini seseorang mulai menerapkan atau mencoba dalam skala kecil sebagai upaya mencoba untuk meyakinkan apakah dapat dilanjutkan. 6. Tahapan penerapan atau adopsi, pada tahap ini seseorang sudah yakin akan hal baru dan mulai melaksanakan dalam skala besar. Ciri belajar dalam penyuluhan tidak semata-mata dalam rangka meningkatkan pengetahuan seseorang atau peserta belajar, tetapi lebih daripada itu, tujuan belajar dalam penyuluhan mempunyai ciri terjadinya perubahan perilaku yang mengarah pada tindakan. Perubahan perilaku yang mengarah pada tindakan hanya akan tercapai apabila mampu merubah pengetahuan, ketrampilan dan sekaligus sikap ke arah yang lebih baik (Setiana 2004). Menurut Mardikanto (1993) ada beberapa ciri belajar yang dapat digunakan sebagai patokan dalam proses belajar: 1. Proses belajar adalah proses aktif, artinya setiap individu yang terlibat di dalamnya harus melakukan aktivitas. Aktivitas disini dapat berupa aktivitas fisik, otak maupun aktivitas mental dan emosi seseorang. Makin banyak aktivitas yang dapat ditumbuhkan dalam diri seseorang yang sedang melakukan proses belajar makan akan makin memberikan hasil belajar yang baik. 2. Belajar adalah proses yang harus dialami sendiri oleh peserta belajar sebagai individu yang memiliki kemauan belajar. Dengan kata lain, belajar tidak dapat diwakili orang lain karena setiap individu yang belajar harus menerima atau mengalami sendiri stimulus-stimulus yang diajarkan dan memberikan respons atas stimulus/rangsangan yang diterimanya. 3. Belajar merupakan proses yang hasilnya sangat dipengaruhi oleh kemampuan belajar dari peserta belajar. Karena kemampuan belajar setiap individu tidak sama, baik disebabkan faktor genetis, jenis kelamin, usia, intelegensia, bakat maupun lingkungan, maka dalam melakukan proses belajar harus dikelompokkan dalam beberapa cara agar lebih efektif. 4. Proses belajar dipengaruhi pengalaman, artinya pengalaman yang dimiliki seseorang sangat mempengaruhi semangat orang tersebut dalam belajar. Pengalaman seseorang akan memberikan kontribusi terhadap minat dan harapannya untuk belajar lebih banyak. 5. Proses belajar juga akan lebih efektif jika seseorang belajar menggunakan atau mengaktifkan seluruh inderanya, yaitu penglihatan, pendengaran, gerakan tangan, kaki, perasaan pikiran, bahkan emosinya. 6. Proses belajar dipengaruhi kebutuhan yang benar-benar dirasakan oleh sasaran. Kebutuhan yang dirasakan akan mempengaruhi hasil belajar peserta belajar, karena itu pemahaman terhadap kebutuhan sasaran harus diperhatikan dalam setiap kegiatan penyuluhan. 7. Proses belajar didorong atau dihambat oleh hasil belajar yan pernah diraih. Dalam kegiatan penyuluhan, apabila hasil yang diperoleh dari proses belajar yang dialami menghasilkan kegagalan, kerugian atau kekecewaan, maka akan sulit untuk mengembalikan kepercayaan sasaran didik agar mau mengikuti penyuluhan berikutnya. 8. Proses belajar pada umumnya tergantung pada kondisi lingkungan yang nyaman bagi sasaran didik. Bagi sebagian besar sasaran didik yang ada di pedesaan, belajar dengan lingkungan yang sesuai dengan habitat mereka akan
10 jauh lebih baik dan efektif dibandingkan di lingkungan yang berbeda dengan kehidupan sehari-hari mereka. Penyesuaian terhadap lingkungan yang asing akan mengurangi hasil belajar yang dicapai. Dengan demikian, ciri belajar menjadi hal yang penting sebagai patokan untuk mengamati bagaimana proses belajar dalam penyuluhan berlangsung. Persepsi Pada hakikatnya, arti dari persepsi cukup beragam didefinisikan oleh para ahli, persepsi dapat dikatakan sebagai suatu proses pemahaman individu terhadap stimuli sebagai proses pernafsiran atau pandangan terhadap suatu pesan (informasi) yang dimulai dengan proses penginderaan, penyaringan stimulus (atensi), interpretasi (pemberian makna) terhadap informasi yang diterima. Thoha (2001) persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukan suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. van den Ban dan Hawkins (1998) mengartikan persepsi sebagai proses menerima informasi atau stimuli dari lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis. Selain itu, menurut Riswandi (2009) persepsi adalah sebuah inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian balik (decoding). Persepsi mencakup penginderaan (sensasi) melalui alat-alat/panca indra (mata, telinga, hidung, kulit, dan lidah), atensi, dan interpretasi. Mulyana (2010) mengartikan, persepsi merupakan suatu proses mengorganisasikan informasi yang tersedia, menempatkan rincian yang kita ketahui dalam suatu skema organisasional tertentu yang memungkinkan kita memperoleh suatu makna lebih umum. Menurut Walgito (1990), persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap suatu stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan aktivitas yang intergrated dalam diri individu. Karena persepsi merupakan aktivitas yang intergrated, maka seluruh pribadi, seluruh apa yang ada dalam diri individu ikut aktif berperan dalam persepsi itu. Menurut Nord dalam Susiatik (1998), persepsi merupakan proses pemberian arti (kognisi) terhadap lingkungan oleh individu. Setiap individu akan memiliki pemahaman sendiri terhadap setiap stimulus yang datang. Sehingga, individu yang berbeda akan melihat suatu stimulus yang sama, namun cara setiap individu akan berbeda. Persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk mencari informasi adalah indera, sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi (Sarwono 1999). Menurut Baron dan Byrne (2003) persepsi adalah suatu proses memilih, mengorganisir dan menginterpretasi informasi yang dikumpulkan oleh pengertian individu dengan maksud untuk memahami dunia sekitar. Zanden dalam Yuritsa (2011) menjelaskan bahwa persepsi adalah dimana seseorang mengumpulkan dan menginterpretasikan informasi. Persepsi menjadi media penghubung antara individu dengan lingkungan sekitar individu tersebut.
11 Tanpa adanya persepsi maka kehidupan bermasyarakat tidak akan terlaksana. Dalam hal ini, persepsi menghasilkan pengetahuan baru. Mulyana (2010) mengungkapkan bahwa persepsi manusia terbagi menjadi dua yaitu persepsi terhadap objek (lingkungan fisik) dan persepsi terhadap manusia. Persepsi individu terhadap objek atau kejadian dan reaksinya terhadap hal-hal tersebut, terjadi berdasarkan pengalaman masa lalunya yang serupa. Latar belakang pengalaman, budaya, dan suasana psikologis yang berbeda pun dapat menjadi faktor persepsi individu itu berbeda satu dengan yang lainnya. Pada sumber yang sama, dikatakan bahwa proses persepsi yang bersifat dugaan , dapat terjadi karena individu menafsirkan suatu objek atau keadaan dengan makna yang lebih lengkap dari suatu sudut pandang mana pun. Dugaan diperlukan untuk membuat kesimpulan berdasarkan informasi yang tidak lengkap jika hanya menafsirkan melalui penginderaan saja. van den Ban dan Hawkins (1998) menyebutkan prinsip umum dari persepsi individu, yang terdiri dari: 1. Relatifitas Persepsi individu bersifat relatif, dimana suatu objek tidak dapat diperkirakan dengan tepat. 2. Selektivitas Persepsi individu sangat selektif. Panca indra menerima stimuli dari sekeliling dengan melihat objek, mendengar suara, mencium bau, dan sebagainya. Karena kapasitas memproses informasi terbatas, tidak semua stimuli dapat ditangkap, tergantung pada faktor fisik dan psikologis seseorang. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, seorang komunikator hanya akan mengarahkan pesannya kebagian-bagian yang perlu, atau melakukan pengulangan dan mengurangi informasi yang tidak diperlukan. Pengalaman masa lampau juga mempengaruhi pilihan terhadap persepsi. 3. Organisasi Persepsi kita terorganisir. Individu cenderung untuk menyusun pengalamannya dalam bentuk yang memberi arti, dengan mengubah yang berserakan dan menyajikannya dalam bentuk yang bermakna, antara lain berupa gambar dan latar (belakang). Dalam sekejap panca indra melakukan seleksi dan sosok yang menarik mungkin akan menciptakan suatu pesan. Ciri lain dari organisasi persepsi disebut dengan istilah “closure” (penutupan), artinya kecenderungan menutupi atau melengkapi sesuatu yang belum sempurna. 4. Arah Melalui pengamatan, individu dapat memilih dan mengatur serta menafsirkan pesan. Penataan adalah sangat penting bagi pembuat pesan untuk mengurang tafsiran yang diberikan oleh stimulus. 5. Perbedaan kognitif Persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktor-faktor kepribadian, seperti toleransi terhadap ambiguitas (kemenduaan), tingkat keterbukaan atau ketertutupan pikiran, sikap otoriter, dan sebagainya.
12 Dengan demikian, persepsi individu memiliki sifat relatifitas, selektifitas, terorganisir, memiliki arah dan perbedaan kognitif sehingga setiap individu memiliiki pandangan dan penafsiran yang berbeda satu sama lainnya. Persepsi masyarakat tentang pembangunan pada dasarnya mengalami proses perubahan namun perubahan tersebut sangat ditentukan oleh faktor heriditas (pembawaan) dan faktor lingkungan. Berdasarkan prinsip umum, persepsi individu bersifat selektif, menurut Mulyana (2010) atensi individu merupakan faktor utama yang menentukan selektifitas atas rangsangan tersebut. Atensi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal terdiri dari empat faktor. Pertama, faktor biologis seperti lapar dan haus. Kedua, faktor fisiologis seperti tinggi, pendek, gemuk, kurus, sehat, sakit, lelah, penglihatan atau pendengaran kurang sempurna, cacat tubuh, dan sebagainya. Ketiga, faktor sosialbudaya seperti gender, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, peranan, status sosial, pengalaman masa lalu, dan kebiasaan. Terakhir, faktor psikologis seperti kemauan, keinginan, motivasi, pengharapan, kemarahan, dan kesedihan. Selanjutnya, faktor eksternal yang mempengaruhi atensi terdiri dari gerakan yang mencolok, intensitas, kontras, suatu kebaruan, dan peruangan objek. Hubungan Persepsi dan Perilaku Asngari dalam Lalenoh (1994) mengungkapkan, persepsi individu terhadap lingkungan merupakan faktor yang penting, karena ini adalah hal yang berlanjut dalam menentukan tindakan individu tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Rakhmat (2005), sudah jelas perilaku individu dalam komunikasi interpersonal amat bergantung pada persepsi interpersonal. Baron dan Byrne (2003) mengungkapkan dalam berbagai hasil penelitian yang ada didapatkan ketika individu melakukan sebuah tindakan dalam suatu situasi, maka secara kuat tindakan itu dipengaruhi oleh pikiran individu mengenai situasi tersebut. Selain itu, seringkali individu bertindak bukan karena sifatnya seperti itu namun karena dipengaruhi faktor-faktor eksternal yang membuat individu itu tidak memiliki pilihan lain. Faktor eksternal yang pertama, perilaku yang dilakukan individu dipengaruhi oleh karakter individu lain, dapat berupa perilaku yang dikerjakan individu lain, penampilan menarik individu lain, atau latar belakang yang dimiliki oleh individu lainnya. Kedua, reaksi individu dalam suatu situasi sangat tergantung dengan ingatan dan pemahaman individu tersebut di masa lalu dan kesimpulan yang dimiliki. Ketiga, perilaku dipengaruhi oleh lingkungan fisik, hasil-hasil penelitian lingkungan fisik ini akan mempengaruhi perasaan, pikiran dan perilaku individu. Keempat, selanjutnya perilaku dipengaruhi oleh faktor budaya seperti norma-norma sosial, keanggotaan dalam berbagai kelompok dan perubahan nilai-nilai sosial. Terakhir, perilaku dipengaruhi oleh faktor biologis melalui proses evolusi (variasi individu, bawaan dan seleksi) yang menimbulkan banyak asumsi yang merangsang minat individu terhadap perilaku dan pemikiran di lingkungannya. Menurut Rakhmat dalam Puspasari (2010), perilaku seseorang merupakan tindakan yang dipengaruhi oleh persepsi, sehingga persepsi bukan saja suatu proses pemahaman tentang tindakan individu tetapi juga memahami motif tindakannya. Dalam penelitian Sugiyanto (1996) dalam hubungannya dengan keterlibatan pada kegiatan pembangunan, persepsi yang negatif menimbulkan tingkat partisipasi yang rendah. Persepsi akan positif apabila sesuai dengan
13 kebutuhannya, sebaliknya persepsi akan negatif bila bertentangan dengan kebutuhan individu tersebut. Seperti halnya penelitian yang dihasilkan oleh Juarsyah (2007) dimana ditemukan bahwa tindakan atau partisipasi yang terjadi sebagian besar dilandasi oleh persepsi dan hasil persepsi dengan partisipasi memiliki hubungan yang signifikan diantaranya. Begitu juga menurut Susiatik (1998), tinggi rendahnya tingkat persepsi seseorang atau kelompok orang secara kolektif (komunitas masyarakat) terhadap pelaksanaan suatu kegiatan akan mendasari atau mempengaruhi tingkat peran serta mereka dalam kegiatan. Tingkat persepsi dan tingkat partisipasi petani peserta Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDHT) di desa Mojorebo sangat berhubungan. Hal tersebut terjadi karena tingkat persepsi petani peserta PMDHT yang termasuk kategori tinggi atau positif memiliki keterlibatan yang juga cukup tinggi terhadap kegiatan PMDHT tersebut. Partisipasi Dalam memahami makna partisipasi, terdapat beragam definisi partisipasi yang dapat diartikan. Salah satunya yang didefinisikan oleh Uphoff et al. (1979) yang menyebutkan bahwa partisipasi menunjukkan keterlibatan sejumlah besar orang dalam situasi atau tindakan yang meningkatkan kesejahteraan mereka, misalnya, pendapatan mereka, keamanan, atau harga diri. Krisdiyatmiko dalam Astuti (2011) menyebutkan secara substansif, partisipasi mencakup tiga hal. Pertama, hak dan ruang yang dimiliki individu untuk bersuara (voice) dengan menyampaikan pendapatnya. Kedua, akses individu yang mempunyai kesempatan untuk mempengaruhi pembuatan peraturan/kebijakan. Terakhir, kontrol yakni pengawasan terhadap proses, pengelolaan kebijakan dan keuangan. Daniel et al. (2006) dijelaskan bahwa partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat untuk terlibat langsung dalam setiap tahapan proses pembangunan mulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), sampai kepada monitoring dan evaluasi (controlling) selanjutnya disingkat dengan POAC. Slamet dalam Juarsyah (2007) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, memanfaatkan dan menikmati hasil dari pembangunan. Adisasmita (2006) mengungkapkan, masyarakat diharapkan untuk berperan serta lebih aktif, produktif, lebih diberdayakan partisipasinya dan kontribusinya dalam penyusunan program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat, sehingga masyarakat dapat memberi penilaian yang konstruktif, ikhlas menyerahkan sebagian lahannya, dan bersedia mengumpulkan dana untuk melaksanakan pembangunan di desa. Astuti (2011) menjelaskan, partisipasi akan muncul ketika masyarakat mulai sadar akan masalah yang dihadapi dan mampu mengidentifikasi kebutuhan mereka. Kesadaran yang muncul dari diri sendiri itulah yang nantinya mendorong kepedulian masyarakat bisa terpenuhi oleh upaya dan semangat mereka sendiri dan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait. Menurut Santoso dalam Yulianto (1993) partisipasi dapat dibedakan menjadi lima bentuk, yaitu:
14 a. Partisipasi buah pikiran Kemampuan untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam mencapai mufakat melalui musyawarah dalam mengawasi perencanaan dan penyelenggaraan kegiatan. b. Partisipasi ketrampilan Kemampuan seseorang untuk mengerahkan ketrampilannya dalam memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam dan nilai sosial dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. c. Partisipasi tenaga Kemampuan seseorang untuk menyumbangkan tenaga khususnya tenaga kasar yang bersifat hastawi (manual) bagi kegiatan-kegiatan seperti: gotong royong, kerja bakti dan sebagainya. d. Partisipasi harta benda Kemampuan seseorang untuk memberikan/ menyumbangkan harta benda terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat untuk mengurangi beban hidup bersama dan sesamanya. e. Partisipasi uang Kemampuan seseorang untuk memberikan swadaya gotong royong berupa uang/dana dalam pelaksanaan sesuatu kegiatan. Sastropoetro dalam Juarsyah (2007) mengemukakan bahwa faktor yang turut menentukan partisipasi adalah komunikasi, perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang menumbuhkan kesadaran, kesadaran yang didasarkan pertimbangan, antusiasme yang menimbulkan spontanitas, dan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama. Dengan demikian, partisipasi dapat didefinisikan sebagai bentuk kegiatan dimana keikutsertaan individu atau sejumlah orang untuk terlibat langsung dalam setiap proses tahapan pembangunan yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, sampai pada monitoring dan evaluasi. Hal tersebut merupakan sebuah tindakan untuk meningkatkan kesejahteraannya serta dapat dilihat dari bentuk partisipasinya seperti partisipasi buah pikiran, ketrampilan, tenaga, harta benda atau pun uang. Kerangka Pemikiran Gerakan P2KP merupakan salah satu program pemerintah yang telah disediakan untuk masyarakat menanggapi keadaan ketahanan pangan Indonesia. Pada gerakan P2KP terdapat kegiatan pemberdayaan wanita melalui Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan (OPP) yang dilakukan dengan bentuk penyuluhan SLP2KP. Secara spesifik sasaran kegiatan ini diberikan kepada kelompok wanita yang aktif mengikuti suatu kelembagaan dengan minimal anggota 10 peserta. Sasaran program P2KP di Kecamatan Cibungbulang adalah dua Kelompok Wanita Tani. Keberhasilan program dapat dilihat dari tingkat partisipasi wanita tani turut serta dalam kegiatan. Keikutsertaan ini terdiri dari lahan pekarangan yang diberikan, tahapan pelaksanaan yang diikuti dan keaktifan wanita tani dalam kegiatan OPP. Seperti yang dijelaskan Rakhmat dalam Puspasari (2010), bahwa perilaku seseorang merupakan tindakan yang dipengaruhi oleh persepsi, sehingga persepsi bukan saja suatu proses pemahaman tentang tindakan individu tetapi juga
15 memahami motif tindakannya. Oleh karena itu, untuk memahami tindakannya perlu diamati juga persepsi wanita tani terhadap kegiatan OPP. Persepsi terhadap kegiatan OPP ini terdiri dari persepsi terhadap tujuan OPP, manfaat OPP, metode SL-P2KP, materi OPP, penyuluh P2KP, jenis kegiatan OPP dan pasca pelaksanaan P2KP. Dalam penelitian Sugiyanto (1996) dalam hubungannya dengan keterlibatan pada kegiatan pembangunan, persepsi yang negatif menimbulkan tingkat partisipasi yang rendah. Persepsi akan positif apabila sesuai dengan kebutuhannya, sebaliknya persepsi akan negatif bila bertentangan dengan kebutuhan individu tersebut. Maka, kaitannya persepsi dengan partisipasi, diduga terdapat hubungan antara persepsi wanita tani terhadap kegiatan OPP dengan partisipasinya. Selanjutnya, pada kegiatan OPP ini dilakukan dengan metode SL-P2KP. Metode yang diberikan menimbulkan adanya intensitas komunikasi antara penyuluh dengan wanita tani. Intensitas komunikasi mempengaruhi kualitas penyuluhan wanita tani untuk melakukan interaksi agar dapat memahami materi penyuluhan atau inovasi yang ada lebih dalam lagi, sehingga diduga terdapat hubungan antara intensitas komunikasi penyuluh P2KP dengan persepsi terhadap kegiatan OPP. Intensitas komunikasi penyuluh P2KP dilihat dari tingkat kehadiran responden dan tingkat interaksi responden dengan penyuluh.
Karakteristik Individu
Intensitas Komunikasi Penyuluh P2KP
Keterangan:
Bentuk Persepsi Individu terhadap Kegiatan OPP
Tingkat Partisipasi Individu dalam Kegiatan OPP
Hubungan Keterkaitan Diuraikan secara deskriptif
Gambar 1 Kerangka pemikiran bentuk persepsi dan tingkat partisipasi wanita tani dalam kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan P2KP Persepsi dan tingkat partisipasi yang dihasilkan tidak luput dari keterkaitannya dengan karakteristik individu. Karakteristik individu ini guna untuk mengetahui penerima program ini adalah wanita tani yang memiliki umur, tingkat pendidikan, luas penguasaan lahan pekarangan dan pendapatan yang tergolong kedalam kategori tertentu. Pada penelitian ini karakteristik tersebut akan dijelaskan secara deskriptif karena hanya sebagai mengetahui latar belakang dari penerima program ini saja. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran, disusun hipotesis sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara intensitas komunikasi penyuluh P2KP dan persepsi wanita tani terhadap kegiatan OPP dalam program P2KP.
16 2. Terdapat hubungan antara persepsi tentang kegiatan OPP dan partisipasi mereka dalam kegiatan OPP tersebut. Definisi Operasional Definisi operasional untuk masing-masing variabel sebagai berikut: 1. Karakteristik Individu a. Umur merupakan usia yang dihitung sejak lahir hingga penelitian dilakukan, dinyatakan dalam satuan tahun. Hal tersebut dibedakan menjadi (berdasarkan batas usia pensiun Tahun 2012): ≥ 56 tahun = Kode 2 < 56 tahun = Kode 1 b. Tingkat pendidikan merupakan jenjang tertinggi sekolah terakhir yang pernah ditempuh saat penelitian dilakukan. Jenjang pendidikan dibedakan menjadi: SMA ke atas = Kode 2 SMP ke bawah = Kode 1 c. Tingkat pendapatan merupakan jumlah total penerimaan individu setiap satu bulan yang bersumber dari hasil kerja di bidang usahatani maupun luar usahatani dalam satu dapur rumah tangga, yang dinyatakan dalam rupiah saat penelitian dilaksanakan. Pendapatan tersebut dibedakan menjadi (sesuai UMK Kabupaten Bogor Tahun 2012 yaitu Rp 1.269.320,00.-): ≥ Rp1.269.320/bulan = Kode 2 < Rp1.269.320/bulan = Kode 1 d. Luas penguasaan lahan pekarangan merupakan jumlah luas lahan yang dikuasai individu yang berada disekitar rumah atau ditempat lain (lahan boleh berpagar dan boleh tidak berpagar) dan tempat tumbuh berbagai jenis tanaman dan tempat memelihara berbagai jenis ternak dan ikan dalam satuan m² pada saat penelitian berlangsung. Luas penguasaan lahan pekarangan tersebut dibedakan menjadi (sesuai standar luas lahan pekarangan dalam kegiatan OPP): ≥ 36 m² = Kode 2 < 36 m² = Kode 1 2. Intensitas komunikasi penyuluh P2KP a. Tingkat kehadiran peserta dalam penyuluhan OPP merupakan frekuensi atau jumlah kedatangan individu pada kegiatan OPP dalam setahun. Tingkat kehadiran tersebut dapat dibedakan menjadi: Tinggi (6-10 kali) = Skor 2 Rendah (0-5 kali) = Skor 1 b. Tingkat Interaksi dengan penyuluh P2KP merupakan frekuensi dan substansi yang dibicarakan dalam percakapan antara individu dengan penyuluh setempat dalam kegiatan individu dan kelompok OPP. Berikut masing-masing skor jawabannya: Sering (Skor 3) Jarang (Skor 2) Tidak Pernah (Skor 1) Skor dari tujuh pertanyaan dijumlah dan dibedakan menjadi:
17 Tinggi (jumlah skor 17-21) = Skor 3 Sedang (jumlah skor 12-16) = Skor 2 Rendah (jumlah skor 7-11) = Skor 1 Keseluruhan skor dari delapan pertanyaan di jumlah dan dibedakan menjadi: Intensitas Komunikasi Tinggi (jumlah skor 4-5) = Kode 2 Intensitas Komunikasi Rendah (jumlah skor 2-3) = Kode 1 3. Bentuk persepsi terhadap kegiatan OPP a. Tujuan OPP merupakan pandangan individu dalam melihat arahan yang akan dicapai diadakannya kegiatan OPP, dengan menjawab pilihan yang paling tepat. Selanjutnya jawaban tersebut dibedakan menjadi: a) Tujuan Utama Responden yang menjawab tujuan sebagai sumber pangan keluarga (jawaban tepat) = Kode 2 Responden yang menjawab tujuan agar bermanfaat dan indah (jawaban kurang tepat) = Kode 1 b) Tujuan Lainnya Responden yang menjawab tujuan lainnya yaitu meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan (jawaban tepat) = Kode 2 Responden yang menjawab tujuan lainnya hanya meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan saja serta hanya meningkatkan ketrampilan dan kemampuan saja (jawaban kurang tepat) =Kode 1 b. Manfaat OPP merupakan pandangan individu dalam merasakan hasil dari kegiatan OPP secara keseluruhan, dengan menjawab pilihan yang boleh dipilih lebih dari satu dari lima pernyataan. Jawaban tersebut dapat dibedakan menjadi: Banyak (memilih 5 manfaat) = Kode 3 Cukup Banyak (memilih 4 manfaat) = Kode 2 Sedikit (memilih 3 manfaat) = Kode 1 c. Metode penyuluhan merupakan pandangan individu dalam melihat metode yang dilakukan penyuluh dalam menyampaikan penyuluhan kegiatan OPP, dengan masing-masing jawaban Setuju, Kurang Setuju dan Tidak Setuju dari enam pertanyaan. Jawaban tersebut dapat dibedakan menjadi: Baik (jumlah setuju > 3) = Kode 2 Tidak Baik (jumlah setuju ≤ 3) = Kode 1 d. Materi OPP merupakan pandangan individu melihat dan merasakan bahan bahasan mengenai pemanfaatan pekarangan yang diberikan oleh penyuluh, dengan masing-masing jawaban memilih pernyataan positif atau pernyataan negatif yang disediakan. Jawaban tersebut dapat dibedakan menjadi: Bagus (lima pernyataan positif) = Kode 2 Cukup Bagus (empat pernyataan positif) = Kode 1 e. Penyuluh P2KP merupakan pandangan individu dalam menilai kontribusi dan sosok penyuluh dalam kegiatan OPP, dengan jawaban Setuju, Kurang Setuju dan Tidak Setuju dari lima pertanyaan. Jawaban tersebut dapat dibedakan menjadi: Kompeten (jumlah setuju ≥ 3) = Kode 2
18 Tidak Kompeten (jumlah setuju < 3) = Kode 1 f. Kegiatan-kegiatan dalam OPP merupakan pandangan individu dalam menilai tahapan pelaksanaan dan aktivitas dalam OPP, dengan menjawab pilihan yang boleh dipilih lebih dari satu dari empat kegiatan. Jawaban tersebut dapat dibedakan menjadi: Empat Kegiatan = Kode 2 1-3 Kegiatan = Kode 1 g. Pelaksanaan pasca Sekolah Lapang P2KP kegiatan OPP merupakan pandangan individu yang dirasakan setelah kegiatan OPP ini berlangsung, dengan jawaban Sering, Kadang-kadang dan Tidak Pernah dari lima pertanyaan. Jawaban dibedakan menjadi: Ada Lanjutan (jumlah sering > 2) = Kode 2 Tidak Ada Lanjutan (jumlah sering ≤ 2) = Kode 1 4. Tingkat partisipasi dalam kegiatan OPP Terdiri dari tiga pertanyaan, dengan masing-masing skor jawaban: 1. Lahan pekarangan yang digunakan a. Lebih dari sebagian (Skor 2) b. Sebagian (Skor 1) 2. Tahapan pelaksanaan yang diikuti, dengan memilih pilihan boleh lebih dari satu jawaban dan hasil akhir dijumlah. a. Pengolahan tanah=2 b. Budidaya=2 c. Penanganan panen dan pasca panen=2 d. Pengolahan pangan untuk konsumsi=2 Nilai jawaban setiap pernyataan dijumlah, dan dapat dibedakan menjadi: Lebih dari separuh pelaksanaan (total nilai 5-8) = Skor 2 Separuh Pelaksanaan (total nilai 0-4) = Skor 1 3. Tabel keaktifan individu dalam kegiatan OPP terdiri dari 16 pertanyaan yang memiliki masing-masing skor jawaban: Sering (Skor 3) Kadang-kadang (Skor 2) Tidak pernah (Skor 1) Skor dari seluruhnya dijumlah dan dapat dibedakan menjadi: Aktif (jumlah skor 38-48) = Skor 3 Cukup aktif (jumlah skor 27-37) = Skor 2 Tidak Aktif (jumlah skor 16-26) = Skor 1 Keseluruhan skor dari 18 pertanyaan di jumlah dan dibedakan menjadi: Partisipasi tinggi (jumlah skor 6-7) = Kode 2 Partisipasi rendah (jumlah skor 3-5) = Kode 1
PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif yang diperkaya dengan data kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan pengumpulan data primer yang didapat secara langsung di lapangan pada responden. Sementara data kualitatif diperoleh melalui wawancara dan observasi langsung. Hal tersebut dilakukan guna memperdalam analisa pada data kuantitatif. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ditetapkan secara sengaja, dengan pertimbangan bahwa di Kecamatan tersebut terdapat kelompok wanita yang telah mendapatkan program P2KP dari BP4K Kabupaten Bogor. Pada kecamatan ini kelompok tersebut adalah Kelompok Wanita Tani (KWT) Nusa Jati yang berada di Desa Cibatok Satu dan KWT Teratai di Desa Situ Udik. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-November Tahun 2013 dengan pengambilan data lapangan di bulan Juli Tahun 2013. Teknik Pemilihan Responden Responden dipilih secara sensus dengan jumlah 50 wanita tani yang mengikuti kegiatan OPP, yang terdiri dari 27 wanita tani pada KWT Nusa Jati dan 23 wanita tani pada KWT Teratai. Teknik sensus merupakan teknik yang data informasinya dikumpulkan dari seluruh populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun 1989). Selain responden, data tambahan diperoleh melalui informan yaitu pihak-pihak yang mengetahui banyak tentang kegiatan OPP program P2KP: Kepala BP3K Cibungbulang, Staff BKP5K Kabupaten Bogor, penyuluh P2KP, Kepala Desa dan aparatnya, ketua wanita tani dan responden yang bersedia diwawancarai. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer diperoleh dari hasil pengisian kuesioner oleh responden dan diperkaya dari data kualitatif yang berhubungan dengan KWT dan P2KP. Pada pengisian kuesioner, penulis membantu dalam membacakan pertanyaan-pertanyaan yang ada pada kuesioner. Data kualitatif atau hasil wawancara yang didapatkan, ditulis dalam catatan kecil berupa kutipan langsung dan catatan penting mengenai program P2KP. Sementara data sekunder, didapatkan dari pihak BP3K Kecamatan Cibungbulang yaitu dari kepala BP3K dan dua penyuluh P2KP. Data tersebut berupa data mengenai penyuluh P2KP, arsip-arsip kegiatan penyuluhan P2KP dan keadaan P2KP di Kecamatan Cibungbulang. Oleh karena pada pihak BP3K tidak tersedia buku pedoman mengenai P2KP, pencarian data tersebut didapatkan dari pihak BKP5K Kabupaten Bogor. Data sekunder seperti gambaran umum
20
Kecamatan dan potensi desa, di dapatkan dari Kantor Kecamatan dan Kantor Desa yang bersangkutan. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data primer yang telah diperoleh, selanjutnya diolah menggunakan Microsoft Excel dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang. Penyajian tabel frekuensi ditampilkan untuk melihat jumlah dan presentase pada variabel karakteristik individu, intensitas komunikasi, persepsi dan juga partisipasi responden dalam kegiatan OPP. Tabel tabulasi silang ditampilkan untuk melihat hubungan antar variabel, seperti hubungan antara intensitas komunikasi penyuluh P2KP dengan persepsi wanita tani dan hubungan antara persepsi tersebut dengan partisipasinya. Pada data kualitatif, disajikan dalam bentuk kutipan langsung. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa satu variabel (tabel frekuensi) dan analisa dua variabel (tabulasi silang). Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan (Singarimbun 1989). Selanjutnya hasil analisa diinterpretasikan untuk mencari makna dan kesimpulan akhir mengenai penelitian ini.
21
GAMBARAN UMUM KECAMATAN CIBUNGBULANG Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Secara administratif, wilayah ini berbatasan dengan empat kecamatan, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rumpin, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Ciampea, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pamijahan dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Leuwiliang. Kecamatan Cibungbulang memiliki luas wilayah 3 266,158 hektar dengan ketinggian dari permukaan laut 350 m, dengan suhu maksimum 31ºC dan suhu minimum 15ºC serta curah hujan rata-rata antara 2000-3000 mm. Kecamatan ini dapat ditempuh selama 44 menit dengan jarak 23 km dari kota Bogor dengan menggunakan kendaraan beroda empat. Untuk mencapai Kantor Kecamatan pun tidak sulit karena berada dipinggir jalan utama yaitu Jalan Raya Cinangneng dengan bantuan transportasi umum. Selain itu, menuju daerah ini pun kontur jalan utama sudah beraspal dan pembangunan di lingkungan Kecamatan Cibungbulang telah berkembang pesat. Sepanjang jalan menuju Kantor Kecamatan disuguhkan dengan pemandangan dominasi oleh pemukiman warga dan sarana prasarana pendidikan. Hanya sedikit pemandangan lahan pertanian, karena lahan pertanian Kecamatan Cibungbulang lebih banyak berada jauh dari jalan utama. Jumlah penduduk Cibungbulang ini sebanyak 125 413 orang, dengan 64 100 orang laki-laki dan 61 313 orang perempuan. Jumlah Desa pada Kecamatan Cibungbulang adalah 15 Desa dengan 45 dusun, 122 RW dan 411 RT. Pada daerah ini, hanya dua Desa yang memiliki Kelompok Wanita Tani. Desa tersebut adalah Desa Cibatok Satu dan Desa Situ Udik. Desa Cibatok Satu Profil Umum Secara administratif, Desa Cibatok Satu merupakan salah satu wilayah yang berada di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa Cibatok Satu berada di pinggir Jalan Kapten Basuki Cibereum, berjarak 2 km dari Kecamatan Cibungbulang, 32 km dari Kabupaten Bogor. Daerah ini memiliki curah hujan sebesar 236 mm. Luas lahan daerah Desa Cibatok Satu sebesar 174,4 hektar yang terdiri dari pemukiman, persawahan, lahan kuburan, perkantoran dan luas prasarana umum lainnya. Batas wilayahnya dibatasi oleh jalan raya Provinsi di sebelah utara, sebelah selatan dibatasi dengan Desa Cibatok Dua, sebelah timur dibatasi sungai Ciaruteun dan di sebelah barat dibatasi sungai Cibungbulang. Selain itu, wilayah pemukiman Desa Cibatok Satu memiliki 9 RW dan 28 RT. Jumlah Penduduk Desa Cibatok Satu sampai akhir bulan 31 Desember Tahun 2011 sebanyak 8 030 orang dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2 000 KK. Jumlah laki-laki di Desa ini sebanyak 4 060 orang (50.6%) dan jumlah perempuan sebanyak 3 970 orang (49.4%). Mata pencaharian Desa ini didominasi oleh mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Hal ini dapat dilihat secara keseluruhan lahan di Desa ini lebih banyak digunakan sebagai lahan persawahan sebesar 124 hektar (71.1%) dari luas lahan desa. Selain itu hasil pertanian Desa Cibatok Satu memiliki kualitas terbaik di Kabupaten Bogor. Lahan-lahan
22
pertanian yang terlihat pada daerah ini ditanami oleh tanaman padi, singkong, jagung, ubi jalar dan lain-lain. Tabel 1 Mata pencaharian pokok warga Desa Cibatok Satu Kabupaten Bogor Tahun 2010 Laki-laki (orang) Perempuan (orang) Mata Pencaharian n % n % Petani 800 50.0 300 32.6 PNS 335 20.9 150 16.3 Peternak 25 1.6 15 1.6 Pensiunan 25 1.6 0 0.0 Wiraswasta 314 19.6 215 23.4 Swasta 101 6.3 240 26.1 Total 1600 100.0 920 100.0 Sumber: Profil Desa Cibatok Satu 2010 (diolah)
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di desa ini bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini terlihat dari besarnya jumlah penduduk sebagai petani laki-laki (50%) dan petani perempuan (32.6%) lebih banyak daripada penduduk yang bekerja sebagai non-pertanian. Mata pencaharian sebagai petani ini terdiri dari petani pemilik lahan maupun sebagai buruh tani. Kondisi Tanaman Pangan Desa Cibatok Satu memiliki jumlah keluarga petani sebanyak 1 003 keluarga, yaitu 980 keluarga (97.7%) memiliki tanah pertanian dan 23 keluarga (2.3%) tidak memiliki tanah pertanian. Sementara, enam keluarga (0.6%) memiliki lahan sebesar satu sampai lima hektar dan selebihnya (99.4%) memilki lahan kurang dari satu hektar. Berikut luas lahan tanaman pangan menurut komoditas di Desa tersebut: Tabel 2 Jumlah dan presentase produksi komoditas tanaman pangan Desa Cibatok Satu Kabupaten BogorTahun 2010 Jumlah Produksi Tanaman Pangan (Ton) Jenis Tanaman Pangan n % Jagung 40,5 3.4 Padi sawah 960,0 81.2 Umbi-umbian 105,6 8.9 Sayur mayur 76,8 6.5 Total 1182,9 100.0 Sumber: Profil Desa Cibatok Satu 2010 (diolah)
Tabel 2 memperlihatkan bahwa jumlah produksi komoditas tanaman pangan Desa Cibatok Satu tertinggi adalah tanaman pangan padi yaitu 960 ton (81.2%). Hal ini dapat diibandingkan dengan hasil produksi pada umbi-umbian yang mencapai 105,6 ton (8.9%) dan sayur-mayur mencapai 76,8 ton (6.5%). Sementara pada tanaman pangan jagung berada diurutan terendah yaitu dengan produksi sebesar 40,5 ton (3.4%). Beraneka ragam potensi hasil tanaman pangan di Desa Cibatok Satu ini, terjadi dikarenakan tanah Desa dikenal subur dan
23
didukung adanya antusias masyarakat yang masih mau menanam tanaman selain padi untuk menambah pendapatan dan konsumsi keluarga. Kondisi Kelompok Wanita Tani Pada Desa Cibatok Satu terdapat satu Kelompok Wanita Tani yang bernama KWT Nusa Jati. KWT dibentuk pada Tahun 2005 oleh pemerintahan Desa Cibatok Satu dengan jumlah anggota sebanyak 25 wanita dan empat wanita anggota tambahan yang memiliki keinginan untuk membantu dalam kegiatan kelompok tersebut tetapi tidak mau terikat menjadi anggota tetap. Awal mula, pemilihan ketua Kelompok Wanita Tani ini berdasarkan kepercayaan ketua RT dalam pembentukan organisasi kelompok ini. Utama dibentuknya KWT adalah sebagai mediasi pemerintah menyalurkan program-program pertanian kepada ibu rumah tangga, khususnya wanita tani. KWT Nusa Jati memiliki susunan organisasi namun hanya ketua, bendahara dan sekretaris, dapat dikatakan struktur jabatan atau pengurus dalam kelompok ini kurang lengkap. Pencatatan administrasi kelompok ini tergolong kurang baik, melihat tidak tersedianya catatan mengenai kegiatan yang telah dilakukan kelompok. Hubungan antar anggota di dalam kelompok ini memiliki ikatan kekeluargaan dan sangat menjunjung tinggi rasa silaturahmi. Ketika ada salah satu anggota ada yang kesusahan atau terkena musibah, anggota lain akan berusaha untuk membantu. “...kalau masalah deket atau nggak sesama anggota mah deket banget neng, misal ada yang kesusahan pasti anggota yang lain langsung bantu. Udah kayak keluarga sendiri neng...” (On, ketua KWT Nusa Jati di Desa Cibatok Satu) Pertemuan penyuluhan ataupun kegiatan-kegiatan KWT terbiasa dilaksanakan di Balai Desa, dengan pertimbangan Balai Desa merupakan tempat yang paling strategis untuk wanita tani melakukan pertemuan. Cara yang digunakan oleh ketua untuk mengumpulkan anggota adalah dengan media telekomunikasi dan mulut ke mulut. “...tapi ya itu neng, kalau ada pertemuan penyuluhanpenyuluhan biasanya paling ibu yang sms-in anggota yang lain biar dateng ke balai desa, alhamdulillah ada aja yang mau dateng. Gak tentu jumlahnya berapa, tapi ibu hafal siapa aja yang suka ikut...” (On, ketua KWT Nusa Jati di Desa Cibatok Satu) Kegiatan sehari-hari anggota KWT Nusa Jati didominasi oleh ibu rumah tangga yang memiliki tingkatan umur pensiunan yang waktunya lebih banyak dilakukan di rumah. Pada kegiatan P2KP KWT khususnya OPP ini mendapatkan bantuan dana, materi hingga sarana prasarana yang disiapkan oleh penyuluh setempat. Demplot pada kegiatan kelompok KWT ini menggunakan lahan ketua kelompok yang diurus oleh anggota KWT dan untuk lahan kebun bibit menggunakan lahan yang telah disiapkan oleh Kantor Desa setempat yang diurus oleh anggota KWT dan petugas dari Kantor Desa. Keadaan luas lahan pekarangan
24
yang dimiliki responden KWT Nusa Jati lebih sempit dibandingkan KWT Teratai. Pemukiman responden KWT Nusa Jati antara satu rumah dan rumah lain berhimpitan dan akses untuk masuk kedalam pemukiman sangat kecil, hanya dapat dimasuki kendaraan bermotor saja. Hubungan anggota dengan penyuluh tidak dekat, dimana kebanyakan anggota merasa penyuluh kurang berbaur dengan yang lainnya dan kurang membuat anggota merasa nyaman apabila membuka pembicaraan lebih dulu. Ada pun dari anggotanya sendiri tidak memberanikan diri dan tidak percaya diri untuk memulai pembicaraan. Desa Situ Udik Profil Umum Secara administratif, Desa Situ Udik pun merupakan salah satu wilayah yang berada di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini cukup mudah ditemukan, namun akses menuju Kantor Desa dan pemukiman sedikit jauh dari jalan utama dengan jarak 5 km dari Kecamatan Cibungbulang dan 40 km dari Kabupaten Bogor. Desa Situ Udik berada pada ketinggian 460 m dari permukaan laut dengan curah hujan sebesar 236-238 mm. Luas lahan daerah Desa Situ Udik sebesar 370 hektar yang terdiri dari pemukiman, persawahan, lahan kuburan, perkantoran dan luas prasarana umum lainnya. Secara keseluruhan lahan di Desa ini didominasi oleh lahan persawahan sebesar 200 hektar (54.1%) dari luas lahan Desa. Batas wilayahnya dibatasi Desa Situ Ilir Kecamatan Cibungbulang di sebelah utara, sebelah selatan dibatasi dengan Desa Pasarean Kecamatan Pamijahan, sebelah timur dibatasi desa Cimayang dan Desa Gn. Menyan Kecamatan Pamijahan, perbatasan terakhir sebelah barat dibatasi Desa Karacak dan Desa Karya Sari Kecamatan Leuwiliang. Selain itu, wilayah pemukiman Desa Situ Udik memiliki 12 RW dan 43 RT. Jumlah Penduduk Desa Situ Udik sebanyak 14 500 orang dengan jumlah laki-laki 7 350 orang (50.7%) dan perempuan sebanyak 7.150 orang (49.3%). Mata pencaharian Desa ini pun beragam jenisnya, berikut matapencaharian pokok warga Desa Situ Udik. Tabel 3 Mata pencaharian pokok warga Desa Situ Udik Kabupaten Bogor Tahun 2012 Laki-laki (orang) Perempuan (orang) Mata Pencaharian n % n % Petani 2481 46.5 1676 55.5 PNS 348 6.5 221 7.3 Peternak 17 0.3 0 0.0 Pensiunan 12 0.2 6 0.2 Wiraswasta 2473 46.4 1061 35.1 Swasta 5 0.1 58 1.9 Total 5336 100.0 3022 100.0 Sumber: Profil Desa Situ Udik 2012 (diolah)
Pada Tabel 3 menjelaskan bahwa mayoritas penduduk di desa ini bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini terlihat dari besarnya jumlah penduduk sebagai petani laki-laki (46.5%) dan petani perempuan (55.5%) lebih banyak
25
daripada penduduk yang bekerja sebagai non-pertanian. Seperti Desa Cibatok Satu, petani di Situ Udik pun adalah petani pemilik lahan dan buruh tani. Hal ini membuktikan di daerah Situ Udik pun pertaniannya mendominasi, walaupun cukup banyak juga masyarakat laki-laki (46.4%) dan masyarakat perempuan (35.5%) yang memilih sebagai wiraswasta untuk menambah pendapatan. Wiraswasta yang dimaksud seperti menjadi pengrajin sepatu olahraga, pengrajin timah, pengrajin sendal, pengrajin anyaman, penjual rempeyek keliling, penjual sendal keliling, membuka warung makanan, bahkan ada yang menjadi pembuat roti. Kondisi Tanaman Pangan 250 200
200 150
150
100
100 50
3 0 Padi Sawah
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Jagung
Sumber: Profil Desa Situ Udik 2012 (diolah)
Gambar 2 Perbandingan jumlah produksi komoditas tanaman pangan Desa Situ Udik Kabupaten Bogor Tahun 2012 Dari Gambar 2 menunjukan bahwa komoditas tanaman pangan di Desa Situ Udik lebih banyak memproduksi padi, hal ini dikarenakan jumlah luas lahan yang digunakan untuk area persawahan lebih banyak dibandingkan dengan luas lahan untuk perkebunan. Untuk komoditas tanaman pangan seperti padi sawah, produksinya mencapai lebih dari 200 ton (44%). Pada umbi-umbian, dimana ubi kayu rata-rata mencapai 150 ton (33%) dan ubi jalar rata-rata mencapai 100 ton (22%). Pada tanaman jagung diproduksi sebanyak tiga ton (1%). Di Desa Situ Udik terdapat lima kelompok tani yaitu Mitra Tani, Bina Sejahtera, Tanai Barokah, Rukun Setia, Sugih Mukti yang tersebar di setiap RW. Dengan adanya kelompok tani ini dapat membantu para petani baik dalam ilmu pengetahuan tata cara bertani maupun dalam meningkatkan ekonomi. Hasil pertanian khususnya padi, masyarakat dapat menjualnya ke tengkulak dan banyak pula yang mengkonsumsi untuk keperluan keluarga petani itu sendiri. Dengan lahan pertanian yang begitu luas disertai tanah yang subur, pasokan air yang ada membuat hasil panen padi berlimpah. Namun tidak sedikit masalah yang dihadapi oleh para petani di Desa Situ Udik, diantaranya masalah kelangkaan pupuk organik, hama, kekeringan, dan faktor lainnya. Khususnya hama yang semakin banyak variasinya membuat masalah bagi para petani, sehingga panen yang diharapkan dapat tidak maksimal. Bentuk tanaman yang tidak baik, daun padi yang menguning akan mempengaruhi
26
hasil panen. Selain itu, musim dan cuaca menjadi faktor selanjutnya. Dikala musim kemarau pasokan air lebih sedikit sehingga aliran air ke sawah-sawah berkurang. Tanaman padi banyak yang roboh diterpa angin sehingga banyak petani yang gagal panen. Kondisi Kelompok Wanita Tani Pada Desa Situ Udik pun terdapat satu Kelompok Wanita Tani yang mendapatkan program OPP. Kelompok ini bernama KWT Teratai yang dibentuk pada Tahun 2001, atas inisiasi kebutuhan masyarakat. KWT Teratai merupakan bagian dari PKK Desa dan disetujui pembentukannya oleh Kepala Desa Situ Udik dengan jumlah awal mula 40 anggota, dan kini menjadi 25 anggota. Anggota semakin tahun semakin berkurang karena beberapa angota lama sudah tiada dan anggota pada tahun 2012 tersebut didominasi oleh wanita penerus yang tergolong dalam usia dibawah pensiunan atau dapat dikatakan masih muda. Awal mula, pemilihan ketua Kelompok Wanita Tani ini berdasarkan kepercayaan warga terutama ibu rumah tangga sekitar. Kepercayaan timbul dilihat dari pengalaman bertani beliau bersama suaminya (ketua salah satu Kelompok Tani Desa Situ Udik bernama Mitra Tani) yang sangat berpengalaman. Mereka dikenal sebagai tokoh masyarakat dan dihormati di Desa Situ Udik. Sama seperti halnya KWT yang lainnya, dibentuknya KWT ini adalah sebagai mediasi pemerintah menyalurkan program-program pertanian kepada ibu rumah tangga khususnya wanita tani. KWT Teratai memiliki susunan organisasi yang lengkap dan pencatatan administrasi kelompok ini cukup baik. Hal itu dikatakan karena pada kelompok ini memiliki susunan organisasi yang lengkap, menyediakan daftar tamu, dan laporan mengenai kegiatan kelompok yang dibantu oleh penyuluh setempat. Tabel 4 Daftar pengurus dan anggota Kelompok Wanita Tani Teratai Desa Situ Udik Tahun 2012 No Nama Alamat Jabatan 1 Nng Kp. Al Barokah Ketua 2 Yyt Kp. Al Barokah Sekrtaris 3 Ecm Kp. Al Barokah Bendahara 4 Eng Kp. Al Barokah Sie. Usaha 5 Irh Kp. Al Barokah Sie. Pertanian 6 Ers Kp. Al Barokah Sie. Perikanan 7 As Kp. Al Barokah Sie. Peternakan 8 Cch Kp. Al Barokah Sie. Keterampilan Sumber: Proposal P2KP Desa Situ Udik 2012 (diolah)
Tabel 4, nampak bahwa pada kelompok ini memiliki struktur keanggotaan yang lengkap dengan jabatan-jabatan pengurus yang cukup jelas. Hubungan antara anggota kelompok dalam ikatan kekeluargaan, namun karena kesibukan masing-masing anggota yang bekerja sebagai guru, penjual rempeyek keliling, penjual sendal keliling, penjual makanan dan lainnya. Sementara, beberapa dari anggota memiliki kebiasaan “akan ikut apabila diajak”, sehingga perlu usaha yang lebih untuk ketua kelompok mengumpulkan seluruh anggota ketika ada pertemuan.
27
“...ya itulah neng anggota disini mah kalau mau kumpul harus di hayu-hayu, kalau ada bibit gratis baru pada banyak yang kumpul. Beberapa juga ada yang sibuk karena kerja. Makanya sekarang jadi makin dikit anggotanya yang bener-bener mau ikut, tapi kalau ada kegiatan lomba paling kompak kita...” (Nng, ketua KWT Teratai di Desa Situ Udik) Pada kegiatan P2KP KWT khususnya OPP, KWT Teratai pun mendapatkan bantuan dana, materi hingga sarana prasarana yang disiapkan oleh penyuluh setempat. Demplot pada kegiatan kelompok OPP di Desa ini menggunakan lahan sekretaris kelompok yang diurus oleh anggota KWT dan untuk lahan kebun bibit menggunakan lahan ketua kelompok yang juga diurus oleh anggota KWT. Koleksi tanaman yang dimiliki ketua wanita tani seperti tanaman-tanaman obat, buah strawberry dan lainnya dibuat menjadi beberapa bibit dan disiapkan cukup banyak untuk anggota yang berminat untuk memelihara dan merawatnya. Dengan demikian, wanita tani yang mendapatkan bibit ataupun tidak dari penyuluh jika berniat ingin menambah jenis tanaman yang akan ditanam maka dapat meminta langsung kepada ketua KWT ini mendapatkan prestasi yang cukup tinggi di Kabupaten Bogor, karena KWT Teratai Desa Situ Udik menjadi salah satu perwakilan Kabupaten Bogor untuk mengikuti lomba KWT se-Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan informasi dari penyuluh desa tersebut, KWT Desa Situ Udik berbeda dengan KWT yang lainnya. “...iya dek KWT Teratai Desa Situ Udik kompak anggotanya kalau ada kegiatan lomba, maaf kata kebanyakan KWT yang lain ikutan kegiatan karena ada dananya aja dari pemerintah, kalau KWT Teratai ikutan kegiatan ya karena mereka pengen melakukan yang terbaik sebisa mereka...” (Wwk, petugas penyuluh lapangan Desa Situ Udik) Hubungan antara anggota dengan penyuluh pada kelompok ini pun tidak begitu dekat, dimana kebanyakan anggota merasa penyuluh kurang membangun komunikasi personal dengan anggota yang lain, dan berkomunikasi seperlunya dan dianggap lebih banyak melakukan komunikasi dengan ketua wanita tani dan beberapa anggota saja. Ada pun dari anggotanya sendiri tidak memberanikan diri dan tidak percaya diri untuk memulai berkomunikasi dengan penyuluh. Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor Kelompok wanita yang menjadi sasaran kegiatan OPP Kecamatan Cibungbulang adalah KWT Nusa Jati Desa Cibatok Satu dan KWT Teratai Desa Situ Udik. Kegiatan OPP dilakukan selama satu tahun yaitu pada Tahun 2012. Optimalisasi pemanfaatan pekarangan adalah sebagai tempat wanita tani menerapkan pembelajaran yang didapat dari kegiatan kelompok. Peserta P2KP diberikan bibit di awal penyuluhan dengan harapannya seluruh anggota dapat menerimanya. Namun, pada kenyataannya bibit yang diberikan, jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah anggota. Bibit yang dibagikan pertama kali pada kegiatan
28
ini adalah cabai, tomat dan kacang tanah. Kegiatan OPP terdiri dari dua aktifitas, diantaranya kegiatan individu dan kegiatan kelompok. Pada kegiatan individu yaitu menerapkan optimalisasi pemanfaatan pekarangan tidak semua responden menggunakan lahan pekarangannya untuk berpartisipasi. Pada kegiatan kelompok, terutama dalam pengembangan demplot dan pembuatan kebun bibit tidak dirasakan oleh seluruh anggota KWT. Perawatan demplot kelompok dan kebun bibit pun hanya dilakukan oleh beberapa orang saja. Anggota KWT yang lain hanya sebagai penerima bibit dan mengikuti kegiatan sesuai undangan yang diberikan oleh ketua kelompok. “...iya neng saya mah ikut-ikutan aja, lumayan dapet bibit. Gak tau saya neng kalau ada kebun bibit. Saya taunya ada demplot aja punya ketua...” (Ju, 60thn, anggota KWT Nusa Jati) Kegiatan ini didampingi oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dari BP3K Kecamatan Cibungbulang (Satu PPL satu Desa). Berdasarkan informasi yang didapat dari kepala BP3K Kecamatan Cibungbulang, keadaan administrasi dalam menerima program penyuluhan tidak sebaik dahulu. Pada program P2KP surat pengutusan kerja yang diberikan dari BKP5K Kabupaten Bogor tidak sampai kepada kepala BP3K, akan tetapi secara langsung diberikan kepada PPL yang sudah diutus dari BP3K untuk mengikuti rapat mengenai program tersebut. “...saya sudah bekerja 30 tahun di dunia penyuluhan ini mba, sistem penyuluhan sekarang tidak sebaik dulu. Untuk program P2KP saja saya sebagai kepala BP3K tidak diberikan pegangan buku Pedoman P2KP. Seharusnya setidaknya BP3K memiliki buku pedoman tersebut dan penyuluh mempunyai pegangan buku itu...” (At,kepala BP3K Kecamatan Cibungbulang) PPL dalam kegiatannya memberikan informasi kepada wanita tani hanya berbekal pada bahan materi dan catatan masing-masing PPL dari hasil pertemuan BKP5K di Kabupaten Bogor. Namun dalam keadaan yang demikian, kegiatan P2KP khususnya optimaslisasi pemanfaatan pekarangan dapat dilaksanakan cukup baik di Kecamatan Cibungbulang. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu penyuluh P2KP di Kecamatan Cibungbulang, optimalisasi pemanfaatan pekarangan terdiri dari beberapa teknis pelatihan kegiatan di Kecamatan Cibungbulang yaitu: 1. Pemberdayaan kelompok wanita: kegiatan pemberian materi dan informasi P2KP kepada wanita tani. 2. Optimalisasi pemanfaatan pekarangan: kegiatan menggunakan lahan kosong di depan atau di samping rumah dengan sebaik mungkin. Penggunaan lahan dapat dilakukan dengan menanam tanaman sayuran, tanaman obat, buahbuahan, atau memelihara hewan ternak. 3. Pengembangan demplot kelompok: kegiatan membuat, merawat, dan menanam bibit di lahan percontohan kelompok (lahan temu lapangan, tempat belajar, dan tempat praktik pemanfaatan pekarangan yang disusun dan diaplikasikan bersama oleh kelompok). 4. Pembuatan kebun bibit: membuat area atau kebun milik kelompok yang dijadikan sebagai tempat pembibitan bagi kelompok. Kegiatan pembibitan
29
dimaksudkan untuk penyulaman atau penanaman kembali demplot kelompok maupun pekarangan milik anggota dan masyarakat Desa. Untuk memulai kegiatan OPP, diperlukannya pembuatan proposal dan Rencana Kegiatan dan Kebutuhan Anggaran (RKKA) kelompok. Di Kecamatan Cibugbulang, hanya KWT Teratai yang membuat kedua hal tersebut dengan di dampingi PPL. Selain itu PPL berkewajiban untuk mengajak wanita tani berperan serta dalam memilih materi dan kegiatan yang sesuai. Tabel 5 Contoh materi yang digunakan berdasarkan hasil musyawarah antara penyuluh dan wanita KWT Teratai Situ Udik Tahun 2012 Pertemuan keI
II
III IV V VI VII VIII
Materi - Pembukaan dan pengenalan tentang kegiatan SL-P2KP - Pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan dan gizi keluarga - Menyusun menu beragam, bergizi seimbang dan aman bagi keluarga - Konsep pekarangan terpadu (lima fungsi pekarangan) - Penanganan panen dan pasca panen umbi - Aneka olahan dan kreasi umbi untuk menu keluarga - Penanganan panen dan pasca panen sayuran - Keamanan pangan segar Kebutuhan dan pemenuhan gizi anak Penanganan panen dan pasca panen ternak (ikan/unggas) untuk menu keluarga Manajemen hasil pekarangan Mengolah hasil panen tanaman dan ternak
Sumber: Buku Realisasi Kegiatan KWT Teratai (2012)
Berdasarkan Tabel 5, memperlihatkan bahwa setiap pertemuan terdiri dari satu atau dua materi yang diberikan oleh penyuluh lapangan disetiap pertemuan penyuluhan. Penyuluhan dilakukan setiap sebulan sekali, namun menurut hasil wawancara ada juga pertemuan yang dilakukan dua kali pertemuan dalam sebulan. Menurut BKP (2012) total pertemuan dalam setahun idealnya minimal sepuluh kali. Pada kenyataannya, Penyuluhan P2KP di Kecamatan Cibungbulang khususnya di KWT Teratai Desa Situ Udik hanya dilakukan delapan kali dalam setahun. Sedangkan di KWT Nusa Jati Desa Cibatok Satu tidak tersedia catatan jumlah pertemuan penyuluhan P2KP dalam setahun. Pada wawancara dengan responden, materi yang diberikan di KWT Nusa Jati dirasa sama dengan materi yang diberikan dalam penyuluhan P2KP di KWT Teratai. Namun, responden merasa tidak yakin karena sudah lupa materi apa saja yang telah diberikan. Penyuluh KWT Nusa Jati pun meyakinkan materi yang diberikan di KWT Nusa Jati tidak jauh berbeda dengan materi yang diberikan di KWT Teratai.
30
31
KARAKTERISTIK RESPONDEN Karakteristik Individu Kedua Kelompok Wanita Tani Karakteristik sasaran kegiatan P2KP terutama dalam kegiatan OPP, dilakukan pemerintah dengan pendekatan pemilihan berdasarkan dasa wisma atau tempat tinggal berdekatan dengan jumlah anggota minimal 10 rumah tangga. Sehingga dapat dikatakan pemerintah memberikan program ini kepada kelompok aktif wanita di Desa yang memiliki potensi pertanian. Pada Kecamatan Cibungbulang, Kelompok Wanita Tani (KWT) yang mendapatkan program kegiatan ini adalah KWT Nusa Jati (Desa Cbatok Satu) dan KWT Teratai (Desa Situ Udik. Responden yang diwawancarai dan mengisi kuesioner berjumlah 50 anggota, dimana anggota tersebut mengikuti program P2KP khususnya kegiatan OPP. Karakteristik wanita tani yang diamati terdiri dari umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan luas penguasaan lahan pekarangan. Tabel 6 Jumlah dan presentase responden berdasarkan karakteristik individu Jumlah Karakteristik No. Kategori individu n % Total (%) 1 Umur ≥ 56 tahun 26 52 100 < 56 tahun 24 48 2 Tingkat pendidikan SMA ke atas 7 14 100 SMP ke bawah 43 86 3 Tingkat pendapatan ≥ Rp1 269 320 28 56 100 < Rp1 269 320 22 44 4 Luas penguasaan ≥ 36 m² 21 42 100 lahan pekarangan < 36 m² 29 58 Tabel 6 menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden memiliki umur 56 tahun atau lebih (52%). Responden yang berumur demikian, umumnya memiliki potensi waktu luang yang lebih banyak di rumah. Apabila ada kesempatan keluar, sangat jarang untuk berpergian ke daerah yang terlalu jauh dari rumahnya. Kegiatan yang dilakukan menjadi ibu rumah tangga dan mengikuti perkumpulan ibu-ibu, diantaranya seperti pengajian di dekat rumahnya. Berikut ungkapan salah satu responden: “...suami saya sudah gak ada neng, ya sehari-hari paling di rumah sama anak dan cucu. Paling kegiatan ikut pengajian sama kegiatan ibu-ibu disini neng..” (End, 60thn, Anggota KWT Nusa Jati) Responden yang berumur dibawah 56 tahun cenderung memiliki potensi waktu luang yang sedikit karena dihabiskan di luar rumah dengan bekerja. Seperti yang diutarakan responden di bawah ini: “...saya sehari-hari jadi guru di SD sini, ikutan kegiatan agak jarang di kelompok, da atuh saya selain jadi guru ngurus rumah tangga juga sama anak dek...” (Cch, 39thn, anggota KWT Teratai)
32
“...sekarang mah anggota banyaknya yang muda-muda neng, temen-temen seumuran ibu banyaknya udah pada gak ada, makanya suka susah kalau mau kumpul-kumpul kalau lengkap teh, banyaknya yang kerja cari nafkah, kan kalau saya mah paling di rumah atau ke sawah...” (Nng, 63thn, anggota KWT Teratai) Maka, sebetulnya lebih banyak responden yang dapat aktif dalam kegiatan OPP. Namun kenyataannya tidak demikian, yang aktif mengurus atau mempraktekan OPP di pekarangannya hanya sedikit. Kelihatannya mereka memang kurang inisiatif, baru mau aktif bila diajak oleh pengurus. Sebagian besar responden tergolong pada tingkat pendidikan SMP ke bawah (86%). Responden yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah umumnya adalah tingkat pendidikan tamatan SD, hanya sedikit responden yang menginjak pendidikan di SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi. Selanjutnya, pendapatan anggota tergolong memiliki lebih dari Rp1 269 320 (56%) yaitu pendapatan yang lebih dari nilai UMK Kabupaten Bogor. Kebanyakan dari responden yang pendapatannya lebih dari UMK, yaitu responden yang memiliki pekerjaan dibidang non-pertanian. Pekerjaan nonpertanian itu antara lain seperti menjadi guru, penjual sendal keliling, pemilik warung nasi, penjual makanan, dan lain-lain. Responden yang memiliki pendapatan kurang dari UMK, sebagian besar adalah responden yang mendapatkan pendapatannya sangat minim. Sebagai contoh salah satu dari responden yang memiliki umur masa pensiun yaitu lebih dari 56 tahun, hanya mendapatkan pendapatan per bulan dari anak-anaknya yang sudah berkeluarga karena suaminya sudah tiada dan responden tidak membuka usaha mandiri. Luas penguasaan lahan pekarangan yang dimiliki oleh sebagian besar responden adalah luas lahan kurang dari 36 m² (58%). Apabila melihat ukuran tersebut, artinya responden memiliki luas lahan pekarangan yang kurang dari ukuran standar lahan pekarangan yang dimiliki dalam kegiatan OPP (36 m²). Namun, ukuran lahan pekarangan ini bukanlah patokan yang mutlak dalam mengikuti kegiatan OPP. Intensitas Komunikasi Penyuluh Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Intensitas komunikasi penyuluh Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan (OPP) merupakan hasil dari tingkat kehadiran wanita tani dalam penyuluhan OPP dan juga interaksi mereka mengenai substansi percakapan antara wanita tani dengan penyuluh P2KP. Tabel 7 Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat kehadiran dalam penyuluhan OPP Jumlah Tingkat Kehadiran n % Tinggi 10 20 Rendah 40 80 Total 50 100
33
Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat kehadiran yang rendah (80%) dengan 0-5 kali kehadiran dalam kegiatan penyuluhan OPP selama setahun. Padahal dalam program P2KP ini, idealnya kelompok wanita dapat mengikuti pertemuan atau sosialisasi OPP minimal sepuluh kali dalam setahun (BKP 2012). Keberadaan mereka dalam rangkaian kegiatan awal sampai selesai hanya dilakukan oleh beberapa responden saja. Responden yang lainnya tidak mengikuti kegiatan OPP karena kesibukannya dalam menambah pendapatan dengan bekerja. “...saya jarang hadir neng, paling pertama-tama aja. Soalnya saya tiap hari harus keliling neng jualan rempeyek, paling sesekali aja ikut kumpul...” (Ww, 25 thn, anggota KWT Teratai) Tabel 8 Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat interaksi dengan penyuluh OPP Jumlah Tingkat Interaksi n % Tinggi 4 8 Sedang 17 34 Rendah 29 58 Total 50 100 Pada Tabel 8, nampak bahwa lebih dari separuh responden memiliki tingkat interaksi rendah (58%). Hanya sedikit responden yang tingkat interaksinya tinggi (8%) dengan penyuluh. Hanya beberapa responden yang memiliki kepercayaan diri untuk memulai bertanya kepada penyuluh tentang kegiatan OPP ini. Lebih dari separuh responden merasa pekarangan OPP-nya tidak pernah dikunjungi dan tidak adanya diskusi mengenai pemecahan masalah ketika ada kesulitan dalam kegiatan OPP. Selain itu, interaksi rendah terjadi disebabkan minimnya kedekatan responden dengan penyuluh, terutama pada responden KWT Nusa Jati. Salah satu responden KWT Nusa Jati berpendapat, bahwa pribadi penyuluh P2KP tidak membuat nyaman seperti penyuluh sebelumnya. Salah satu responden dari KWT Teratai pun ada yang merasa bahwa dirinya tidak sedekat ketua wanita tani dengan penyuluh P2KP di daerahnya, karena memang tidak ada keberanian diri untuk memulai percakapan dengan penyuluh. “...sama pak ASP mah gak deket neng, kalo ada pertemuan saya tinggal dateng aja, duduk sama dengerin penyuluh...” (Asw, 45 thn, anggota KWT Nusa Jati) Tabel 9 Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas penyuluh dalam kegiatan OPP Jumlah Intensitas Komunikasi n Tinggi 8 Rendah 42
komunikasi
% 16 84
34
Berdasarkan tingkat kehadiran responden dalam penyuluhan OPP dan tingkat interaksinya dengan penyuluh OPP, pada Tabel 9 dapat digambarkan bahwa sebagian besar dari responden memiliki intensitas komunikasi penyuluh dalam kegiatan OPP yang rendah (84%). Hal ini terjadi karena sebagian besar responden memiliki kesibukan dengan bekerja dan adanya ketidakdekatan responden dengan penyuluh P2KP. Seperti yang dikatakan Mardikanto (1993) proses belajar seharusnya dialami sendiri oleh peserta belajar sebagai individu yang memiliki kemauan belajar. Dengan kata lain, belajar tidak dapat diwakili orang lain karena setiap individu yang belajar harus menerima atau mengalami sendiri stimulus-stimulus yang diajarkan dan memberikan respons atas stimulus/rangsangan yang diterimanya. Maka, dengan hadir dan berusaha berinteraksi dengan penyuluh membuktikan seberapa besar kemauan individu untuk belajar. Hal ini tidak terlihat pada responden dalam kegiatan OPP. Ikhtisar Karakteristik responden dalam penelitian ini, didapatkan bahwa sebagian besar responden memiliki umur 56 tahun atau lebih. Hal ini dapat dikatakan responden penerima program OPP ini kebanyakan adalah responden yang lanjut usia. Responden yang memiliki umur yang demikian, umumnya memiliki potensi waktu luang yang lebih banyak di rumah. Dapat dikatakan seharusnya program ini dapat diikuti setidaknya oleh separuh lebih dari responden. Namun kenyataannya tidak demikian, yang aktif mengurus atau mempraktekan OPP di pekarangannya hanya sedikit. Kelihatannya mereka memang kurang inisiatif, baru mau aktif bila diajak oleh pengurus.Tingkat pendidikan responden yang dimiliki adalah rendah yaitu SMP ke bawah dan tingkat pendapatan yang berada di atas nilai UMK Kabupaten Bogor. Sebagian besar responden memiliki luas penguasaan lahan pekarangan yang sempit yaitu dibawah ukuran standar dari lahan pekarangan dalam kegiatan OPP. Namun, ukuran lahan pekarangan ini tidak menjadi patokan yang mutlak. Intensitas komunikasi penyuluh OPP responden menunjukkan intensitas komunikasi yang rendah. Hal ini disebabkan kurangnya waktu yang dimiliki oleh responden untuk berkomunikasi dengan penyuluh. Hal ini terjadi karena sebagian responden memiliki umur 56 tahun yang masih mempunyai kesibukan bekerja di luar rumah. Disamping itu, responden menganggap penyuluh P2KP kurang mampu membangun keakraban, bersifat seperlunya dan cenderung hanya berkomunikasi dengan ketua wanita tani atau responden tertentu. Ada pula sebagian responden yang memang tidak berani untuk memulai berkomunikasi.
35
PERSEPSI TERHADAP KEGIATAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN Persepsi Wanita Tani terhadap Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Persepsi terrhadap kegiatan Gerakan P2KP adalah suatu proses penafsiran atau pandangan wanita tani terhadap kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan P2KP. Persepsi yang diamati terdiri dari tujuh variabel, yaitu persepsi terhadap tujuan, manfaat, metode, materi, penyuluh P2KP, kegiatan-kegiatan OPP, dan pelaksanaan pasca P2KP. Hal ini akan diamati pada kedua Kelompok Wanita Tani di Kecamatan Cibungbulang, KWT Nusa Jati (Desa Cibatok Satu) dan KWT Teratai (Desa Situ Udik). Persepsi terhadap Tujuan Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Berdasarkan Tabel 10, nampak bahwa lebih dari sebagian responden mempersepsikan tujuan utama kegiatan OPP ini adalah mengoptimalkan pekarangan agar bermanfaat (54%). Hal ini dapat dikatakan responden hanya menganggap kegiatan OPP ini dilakukan agar pekarangan yang dimiliki dapat bermanfaat saja, padahal sangat perlu untuk responden mengetahui tujuan utama dari kegiatan ini adalah agar pekarangan dioptimalkan menjadi sumber pangan keluarga. Hanya kurang dari separuh responden (40%) yang mempersepsikan tujuan utama ini sesuai dengan pedoman P2KP yaitu mengoptimalkan pekarangan sebagai sumber pangan (BKP 2012). Tabel 10 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap tujuan utama kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan Jumlah Tujuan Utama n % Mengoptimalkan agar bermanfaat 27 54 Mengoptimalkan agar indah 3 6 Mengoptimalkan sebagai sumber pangan keluarga 20 40 Total 50 100 Tujuan lainnya dari Tabel 11, ditampilkan bahwa kurang dari separuh responden (32%) yang mempersepsikan kegiatan OPP ini dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan (BKP 2012). Ternyata lebih dari separuh responden yang lainnya (68%) justru mempersepsikan tujuan ini hanya meningkatkan sebagian dari kapasitas diri responden saja, dengan mempersepsikan bahwa kegiatan OPP hanya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan atau hanya meningkatkan keterampilan dan kemampuan saja. Padahal dalam kegiatan OPP ini, dalam metode SL-P2KP diharapkan responden tidak hanya mendapatkan peningkatan pengetahuan saja tetapi dapat meningkatkan juga dari segi perilaku, keterampilan, kemampuan dan sikap melalui aktivitas OPP ini.
36
Tabel 11 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap tujuan lainnya dari optimalisasi pemanfaatan pekarangan Jumlah Tujuan Lainnya n % Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan 23 46 Meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan 16 32 Meningkatkan keterampilan dan kemampuan 11 22 Total 50 100 Persepsi terhadap Manfaat Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Pada Tabel 12, nampak bahwa seluruh responden mempersepsikan manfaat yang didapatkan dari kegiatan OPP ini adalah pekarangan menjadi sumber pangan keluarga (100%) dan masyarakat lain (di luar peserta OPP) ikut merasakannya juga (100%). Namun seperti yang telah dijabarkan mengenai persepsi responden terhadap tujuan lainnya, kegiatan ini tidak dipersepsikan meningkat seluruh kapasitas pribadi responden. Masih sedikit responden menilai kegiatan ini dapat menambah keterampilannya (32%). Cukup banyak yang menilai manfaat dari OPP dapat menambah pengetahuan dalam mengelola bahan pangan (44%) dan separuh dari responden yang menilai kegiatan ini menjadikan kemampuannya bertambah (52%). Tabel 12 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap jenis manfaat optimalisasi pemanfaatan pekarangan Jumlah Manfaat Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan n % Pekarangan menjadi sumber pangan keluarga 50 100 Pengetahuan bertambah dalam mengelola bahan pangan 22 44 Keterampilan bertambah dalam mengelola bahan pangan 16 32 Kemampuan bertambah dalam mengelola bahan pangan 26 52 Masyarakat lain (di luar peserta OPP) ikut merasakan 50 100 manfaat Maka dari hasil tersebut, pada Tabel 13 menunjukkan bahwa sebagian besar responden menilai manfaat kegiatan OPP itu sedikit yaitu memilih hanya tiga manfaat saja. Ternyata, manfaat kegiatan OPP belum sepenuhnya dirasakan oleh responden. Hanya sedikit responden (16%) yang mempersepsikan kegiatan OPP lebih dari tiga manfaat. Tabel 13 Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian jenis manfaat kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan Penilaian Manfaat Optimalisasi Jumlah Pemanfaatan Pekarangan n % Banyak 5 10 Cukup 3 6 Sedikit 42 84 Total 50 100
37
Hal ini sesuai dengan hasil persepsi responden terhadap tujuan, dimana kegiatan OPP ini hanya sekedar kegiatan yang mereka persepsikan dapat membuat pekarangannya menjadi bermanfaat dan menambah dari sebagian kapasitas pribadinya saja. Belum banyak responden mempersepsikan manfaat yang di dapatkan menambah pengetahun, keterampilan dan kemampuan. Sebagaimana pendapat Setiana (2004), titik berat proses penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku adalah penyuluhan yang berkesinambungan. Dalam proses perubahan perilaku dituntut agar sasaran berubah tidak semata-mata karena adanya perubahan penambahan pengetahuannya saja, namun diharapkan juga adanya perubahan pada ketrampilan sekaligus sikap mental yang menjurus kepada tindakan atau kerja yang lebih baik, produktif dan menguntungkan. Oleh karena itu dalam pembentukkan mengubah perilaku wanita tani menjadi lebih baik dengan menggunakan metode SL-P2KP, sangat penting adanya untuk dirasakan manfaat kegiatan OPP yaitu tidak hanya perubahan pengetahuan saja. Keterampilan dan kemampuan dari wanita tani pun harus dirasakan manfaatnya agar tujuan pencapaian dari P2KP dapat berhasil. Persepsi terhadap Metode SL-P2KP Tabel 14 terlihat bahwa metode SL-P2KP yang digunakan menimbulkan ketertarikan (94%), dapat mendorong responden untuk diterapkan (66%) dan mempermudah dalam menentukan langkah selanjutnya (62%). Seperti halnya yang diungkapkan oleh Mardikanto (1993) bahwa pesan-pesan pembangunan yang disuluhkan pada masyarakat sasaran harus mampu mendorong atau mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang memiliki sifat pembaharuan. Selain itu, Setiana (2004) mengungkapkan, petani di perdesaaan perlu mendapatkan pendidikan berupa pendidikan non formal dengan cara yang sederhana, mudah, menarik dan gamblang sehingga dapat dipahami dan dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Tabel 14 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap metode SL-P2KP Jumlah Kurang Tidak Metode SL-P2KP Setuju Total Setuju Setuju n % n % n % n % Kegiatan berbagi pengalaman 20 40 0 0 30 60 50 100 Menimbulkan ketertarikan 47 94 3 6 0 0 50 100 Mendorong untuk diterapkan 33 66 15 30 2 4 50 100 Mempermudah dalam 31 62 19 38 0 0 50 100 menentukan langkah selanjutnya Menimbulkan pemahaman 20 40 29 58 1 2 50 100 Fasilitas yang diberikan cukup 20 40 27 54 3 6 50 100 memadai Namun, ternyata metode ini tidak dilihat responden sebagai metode yang memiliki kegiatan berbagi pengalaman (60%). Padahal dalam SL-P2KP mencakup kegiatan berbagi pengalaman (BKP 2012). Menurut Mardikanto (1993)
38
dalam proses belajar pengalaman berpengaruh, artinya pengalaman yang dimiliki seseorang sangat mempengaruhi semangat orang tersebut dalam belajar. Menurut Dahama dan Bhatnagar dalam Setiana (2004), juga disebutkan bahwa pengalaman seseorang akan memberikan kontribusi terhadap minat dan harapannya untuk belajar lebih banyak. Dapat dikatakan jika kegiatan terdapat berbagi pengalaman antar anggota, maka akan mempengaruhi semangat, minat dan harapan anggota dalam mengikuti kegiatan OPP ini. Sebagian besar responden merasa dirinya dalam kegiatan ini tidak begitu aktif berinteraksi dengan penyuluh sehingga mempersepsikan yang berbagi pengalaman dengan penyuluh hanya ketua KWT dan anggota yang memiliki keinginan tahu saja. “...gak ada berbagi pengalaman dek setahu saya. Saya mah dateng aja, nerima elmu yang dikasih sama penyuluh. Yang aktif ngobrol paling ketua sama penyuluh...” (Mmn, 50 thn, anggota KWT Nusa Jati) Cukup banyak responden yang masih belum sepenuhnya melihat metode SL-P2KP menimbulkan pemahaman akan materi yang disampaikan (58%). Demikian juga dalam hal fasilitas, sebagian dari responden menilai bahwa fasilitas belum sepenuhnya memadai (54%). Persepsi ini disebabkan, responden yang tidak mendapatkan bibit atau polybag adalah responden yang tidak hadir dalam pembagian awal dari ketua wanita tani. Bibit dan polybag diberikan penyuluh di awal mula pertemuan dan diserahkan seluruhnya kepada ketua wanita tani untuk dibagikan. Bibit pertama yang diberikan adalah bibit kacang tanah, tomat dan cabai. Jumlah masing-masing bibit tidak sesuai dengan jumlah anggota wanita tani. Satu anggota hanya mendapat satu atau dua bibit tanaman yang berbeda. Belum lagi masih ada anggota yang tidak dapat menikmati bibit tersebut karena tidak hadir saat pembagian dan tidak ada inisiatif meminta pada ketua wanita. Hal ini membuat responden tersebut tidak mendapatkan jatah bibitnya. Jenis bibit berkembang atas inisiatif ketua wanita tani. Fasilitas lain seperti pupuk tidak diberikan dari penyuluh karena responden sudah memiliki pupuk kelompok yang dibuat sendiri atau pupuk yang memang dibelikan ketua wanita tani untuk dipergunakan bersama-sama oleh anggota. Fasilitas selanjutnya adalah alat pertanian. Alat pertanian pun tidak diberikan oleh penyuluh karena sudah dimiliki oleh responden, kalau pun yang tidak memiliki akan dipinjamkan atau menggunakannya secara bergantian. Metode dalam penyuluhan akan baik jika dilakukan tidak hanya menimbulkan ketertarikan, mendorong untuk diterapkan dan mempermudah dalam menentukan langkah selanjutnya saja. Berbagi pengalaman menjadi salah satu bagian dari penyuluhan yang efektif, agar wanita tani lainnya termotivasi mengikuti kegiatan selanjutnya. Metode yang digunakan dapat dipilih dengan cara yang menyenangkan, penyampaian sederhana, mudah dilakukan, membuat tertarik dan gamblang sehingga dapat dipahami oleh wanita tani. Peran fasilitas agar tercapai tujuan dari program, disediakan dengan baik dan pastikan seluruh wanita tani mendapatkan fasilitas itu. Oleh sebab itu, dalam kegiatan OPP ini dalam metode SL-P2KP di Kecamatan Cibungbulang pada kedua KWT belum dapat dikatakan berhasil, karena belum adanya berbagi pengalaman, belum menimbulkan pemahaman dan fasilitas belum cukup memadai.
39
Tabel 15 Jumlah dan presentase responden berdasarkan metode yang digunakan dalam SL-P2KP Jumlah Metode yang Digunakan dalam SLKurang Tidak Total Setuju P2KP Setuju Setuju % n % n % n % n Kegiatan dilakukan tidak hanya di 22 44 10 20 18 36 50 100 kelas Adanya pembuatan demplot 22 44 28 56 0 0 50 100 kelompok Berdasarkan Tabel 15, dapat diketahui hampir separuh responden mempersepsikan kegiatan ini dilakukan lebih banyak di dalam kelas (36%), karena beberapa pertemuan lebih sering berada di aula kantor desa atau pun di rumah ketua wanita tani dibandingkan turun langsung atau praktik di lapangan (demplot atau kebun bibit). Separuh dari responden mempersepsikan bahwa kurang setuju dalam kegiatan OPP terdapat pembuatan demplot kelompok (56%). Hasil lapangan menunjukkan bahwa kegiatan membuat demplot tidak dirasakan oleh seluruh anggota KWT karena kesibukannya yang memiliki pekerjaan. Alasan utama anggota untuk mengikuti kegiatan ini adalah karena mendapatkan bibit gratis yang dirasa menguntungkan. Tabel 16 Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian persepsi terhadap metode SL-P2KP Penilaian Metode SL-P2KP Baik Tidak Baik Total
Jumlah n 21 29 50
% 42 58 100
Melihat jumlah dan presentase pada Tabel 16, ternyata metode kegiatan OPP dipersepsikan tidak baik (58%) oleh lebih dari sebagian responden. Hal tersebut disebabkan kurangnya fasilitas yang diberikan dan kurangnya pemahaman responden mengenai materi yang disampaikan. Kurangnya fasilitas contohnya adalah beberapa anggota tidak mendapatkan bibit jika tidak hadir dalam pembagian dan tidak ada inisiatif untuk meminta. Pemahaman kurang dimengerti karena responden lebih mengerti jika materi disampaikan dengan bersamaan praktik lapang. “...maklum neng anggota disini mah sukanya praktek sama dapet bibit. Kalau dikasih teori namanya juga ibu-ibu neng paham gak paham. Kadang kalo ditanya lagi materi kemaren tahu sih neng tapi gak bisa nyebutinnya...”(Ers,45 thn, anggota KWT Teratai) Persepsi terhadap Materi Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Tabel 17 menunjukkan bahwa seluruh responden mempersepsikan materi OPP yang diberikan itu menarik, mudah penerapan, murah biaya dan perlu
40
dikembangkan (100%). Murah biaya yang dimaksudkan, seluruh kegiatan OPP memiliki anggaran yang sudah disiapkan dari pemerintah. Sehingga tidak ada tanggungan biaya yang harus dikeluarkan oleh responden. Beberapa anggota merasa kegiatan ini tidak sesuai kebutuhan mereka karena memiliki harapan lain. Salah satunya yaitu ingin diadakannya pembinaan dan pelatihan kepada petani generasi muda untuk menjadi penerus. Responden merasa kegiatan yang serupa mengenai pangan sudah pernah didapatkan dari program sebelumnya. “...ibu mah pengennya ada kegiatan pembinaan tani untuk generasi baru neng, belum ada disini mah, biar ada yang ngelanjutin nantinya. Kalau nanem sama ngolah tenem-taneman dari dulu juga suka dikasih materinya. Ibu mah udah bosen neng...” (Nng, ketua KWT Teratai) Tabel 17 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap materi kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan yang diberikan Jumlah Materi Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan n % Menarik 50 100 Mudah penerapan 50 100 Murah biaya 50 100 Sesuai kebutuhan 42 84 Perlu dikembangkan 50 100 Tabel 18, nampak sebagian besar responden menilai materi OPP yang disampaikan sudah bagus (84%) dengan memilih lima pernyataan positif mengenai penilaian materi. Responden yang lainnya mempersepsikan materi OPP ini tidak sesuai dengan kebutuhannya. Mardikanto (1993) mengungkapkan, dalam proses belajar dipengaruhi kebutuhan yang benar-benar dirasakan oleh sasaran. Kebutuhan yang dirasakan akan mempengaruhi hasil belajar peserta belajar, karena itu pemahaman terhadap kebutuhan sasaran harus diperhatikan dalam setiap kegiatan penyuluhan. Tabel 18 Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian persepsi terhadap materi optimalisasi pemanfaatan pekarangan Penilaian Materi Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Bagus Cukup Bagus Total
Jumlah n 42 8 50
% 84 16 100
Persepsi terhadap Penyuluh P2KP Melihat Tabel 19, dapat dilihat bahwa lebih dari sebagian besar responden mempersepsikan penyuluh P2KP adalah sosok yang menguasai materi (74%) dan membangun kesadaran (70%) saja. Penyuluh dianggap tidak mengetahui permasalahan KWT (86%). Demikian juga, responden menganggap penyuluh tidak mengetahui kebutuhan KWT (90%). Responden pun mempersepsikan
41
penyuluh tidak dapat menghidupkan kelompok (60%). Seperti yang diungkapkan Mosher (1978) penyuluhan pertanian memiliki sifat-sifat khusus, dalam memberikan penyuluhan sebaiknya diberikan sesuai dengan kepentingan, kebutuhan pada waktu tertentu dan berkaitan erat dengan mata pencaharian sasaran dalam menanggapi permasalah petani di perdesaan. Tabel 19 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap penyuluh P2KP Jumlah Kurang Tidak Total Penyuluh P2KP Setuju Setuju Setuju n % n % n % n % 50 100 Menguasai materi 37 74 11 22 2 4 Mengetahui permasalahan 4 8 3 6 43 86 50 100 Mengetahui kebutuhan 4 8 1 2 45 90 50 100 Menghidupkan kelompok 1 2 9 38 30 60 50 100 Membangun kesadaran 35 70 2 4 13 26 50 100 Berdasarkan hasil persepsi terhadap penyuluh P2KP dikaitkan dengan hasil persepsi terhadap materi OPP sebelumnya yaitu masih ada responden mempersepsikan bahwa kegiatan pemanfaatan pekarangan ini tidak sesuai kebutuhan. Ternyata hal tersebut terjadi dikarenakan responden merasa penyuluh P2KP tidak mengetahui kebutuhan KWT dan dianggap tidak mengetahui permasalahan KWT. Tabel 20 Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian persepsi terhadap penyuluh P2KP Jumlah Penilaian Penyuluh P2KP n % Kompeten 2 4 Tidak Kompeten 48 96 Total 50 100 Berdasarkan Tabel 20, dapat dikatakan responden mempersepsikan sosok penyuluh tidak kompeten dengan menjawab setuju kurang dari tiga dari lima pernyataan mengenai gambaran sosok positif penyuluh (96%), karena dalam hasil yang sudah dijelaskan penyuluh hanya dianggap sebagai sosok yang menguasai materi dan mampu memberikan kesadaran agar mengikuti kegiatan OPP. Maka penyuluh P2KP diharapkan dapat lebih terjun ke masyarakat untuk dapat melihat kebutuhan dan permasalahan KWT agar tercapai tujuan dan manfaat yang ingin disampaikan kepada responden. Mosher (1978) menyatakan bahwa kualitas penyuluh dapat menentukan keberhasilan dari penyuluhan yang diberikan. Tugas utama dari penyuluh adalah sebagai pemimpin yang dapat menggerakan petani untuk lebih termotivasi dalam pengembangan kualitas maupun kuantitas pertanian, sebagai penasehat yang baik dan mampu memediasikan antar kepentingan pemerintah yang juga melihat akan kepentingan sasaran penyuluhan.
42
Persepsi terhadap Kegiatan-kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Tabel 21 menjelaskan, seluruh responden mempersepsikan kegiatan yang pernah dilaksanakan dalam kegiatan OPP terdiri dari pemanfaatan pekarangan, memanfaatkan bahan pangan menjadi menu keluarga dan pengembangan demplot kelompok (100%). Namun hanya sedikit responden yang mempersepsikan adanya kegiatan kebun bibit (28%). Tabel 21 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap jenis kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan Jenis Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Pemanfaatan pekarangan Memanfaatkan bahan pangan menjadi menu keluarga Pengembangan demplot kelompok Pembuatan kebun bibit
Jumlah n 50 50 50 14
% 100 100 100 28
Pada hasil lapang diketahui bahwa persepsi tidak adanya kegiatan pembuatan kebun bibit disebabkan lahan untuk kebun bibit KWT Nusa Jati sudah disediakan oleh pemerintah di Desa Cibatok Satu, hanya sedikit responden yang mengetahui keberadaan kebun bibit tersebut. Belum lagi jarak menuju tempat itu yang jauh dari pemukiman anggota, sehingga segala kegiatan mengenai P2KP hanya dilakukan di demplot kelompok. Bibit yang digunakan anggota berasal dari demplot kelompok. Berbeda lagi pada KWT Teratai, sesuai informasi dari penyuluh kebun bibit sesungguhnya dipegang oleh lahan ketua wanita tani. Namun, yang diketahui ketua KWT dan anggotanya lahan ketua tersebut merupakan demplot kelompok karena aktifitas kegiatan kelompok dilakukan disana. Dengan demikian, ketua KWT dan anggota merasa segala kegiatan demplot dan kebun bibit didapatkan dalam satu lahan yaitu lahan pekarangan ketua KWT. “...sebenernya lahan ibu ketua KWT Teratai itu lahan kebun bibit dek, awal-awal kita sepakat itu kebun bibit. Lahan demplotnya di lahan ibu bendahara, tapi makin kesini lahan bu ketua lebih sering dijadiin praktek lapang. Makanya mereka kalo ditanya demplot atau kebun bibit pasti jawabannya lahan ibu ketua...” (Wwk, penyuluh KWT Teratai) Jenis kegiatan OPP terdiri dari empat kegiatan yaitu, pemanfaatan pekarangan, memanfaatkan bahan pangan pekarangan menjadi menu keluarga, pengembangan demplot kelompok, dan pembuatan kebun bibit. Berdasarkan Tabel 22, menunjukkan bahwa lebih dari sebagian responden mempersepsikan kegiatan OPP hanya terdiri dari 1-3 kegiatan (72%) saja yang pernah dilaksanakan. Hanya sebagian kecil dari wanita tani yang mempersepsikan bahwa kegiatan OPP ini dilaksanakan dengan empat kegiatan (28%). Seperti yang telah dijelaskan pada Tabel 21, kegiatan pembuatan kebun bibit tidak diikuti oleh banyak responden.
43
Tabel 22 Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian persepsi terhadap jenis kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan Penilaian Jenis Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Jumlah Pekarangan n % 4 Kegiatan 14 28 1-3 Kegiatan 36 72 Total 50 100 Persepsi terhadap Pelaksanaan Pasca SL-P2KP Bentuk persepsi wanita tani terhadap pelaksanaan pasca SL-P2KP (Tabel 23), dilihat bahwa lebih dari sebagian responden mempersepsikan bahwa pasca pelaksanaan SL-P2KP penyuluh masih adanya perhatian (74%) dan tetap memotivasi (70%). Hampir seluruh responden mempersepsikan bahwa penyuluh tidak memberikan kesempatan untuk bertanya (86%), tidak diberi kesempatan meminta bantuan (90%) dan tidak memberikan informasi tambahan (60%) kepada responden. Data lapangan menunjukkan, hal tersebut terjadi disebabkan responden ingin lebih mandiri dan tidak tergantung dengan penyuluh. Namun, tetap saja dapat dikatakan penyuluh kurang melakukan tahap selanjutnya untuk meninjau kembali kegiatan P2KP sudah berjalan sejauhmana. Tabel 23 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap pelaksanaan pasca SL-P2KP Jumlah KadangTidak Pelaksanaan Pasca SL-P2KP Sering Total kadang Pernah % n % n % n % n Masih ada perhatian PPL 37 74 11 22 2 4 50 100 Masih dapat bertanya 4 8 3 6 43 86 50 100 Masih bisa meminta bantuan 4 8 1 2 45 90 50 100 PPL memberi informasi tambahan 1 2 19 38 30 60 50 100 PPL tetap memotivasi 35 70 2 4 13 26 50 100 Hasil wawancara dengan salah satu responden di KWT Nusa Jati, disampaikan bahwa penyuluh P2KP dari tahap pelaksanaan penyuluh hanya datang sesekali untuk mendamping KWT. Apalagi setelah kegiatan ini dijalankan, komunikasi antara anggota dan penyuluh semakin tidak ada. Begitu juga yang disampaikan salah satu responden di KWT Teratai yang dimana selesai dari kegiatan OPP komunikasi antara anggota dan penyuluh semakin tidak ada. Namun, masih ada juga responden yang merasa selesainya kegiatan ini, silaturahmi dan kedekatan diusahakan tetap dijaga walaupun dari anggota KWT Teratai justru memiliki niat untuk berusaha mandiri dan tidak bergantung pada penyuluh. Pada pelaksanaan pasca SL-P2KP (Tabel 24), responden mempersepsikan bahwa kegiatan OPP dalam pelaksanaan pasca SL-P2KP lebih banyak menganggap kegiatan ini tidak ada lanjutan kembali dari penyuluh (96%). Hal ini dapat dilihat dari penjelasan sebelumnya bahwa setelah kegiatan SL-P2KP ini selesai, penyuluh hanya memerankan perannya untuk tetap memberikan perhatian
44
dan tetap memotivasi responden. Selain itu, wanita tani berusaha untuk mandiri dan tidak tergantung dengan penyuluh P2KP sehingga komunikasi antara penyuluh dan responden semakin berkurang. Tabel 24 Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian persepsi terhadap pelaksanaan pasca SL-P2KP Jumlah Penilaian Pelaksanaan Pasca SL-P2KP n % Ada Lanjutan 2 4 Tidak Ada Lanjutan 48 96 Total 50 100 Ikhtisar Hasil penelitian menunjukkan, kebanyakan responden mempersepsikan tujuan kegiatan OPP hanyalah upaya menjadikan pekarangan menjadi bermanfaat serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan saja. Hanya sedikit manfaat yang dirasakan oleh responden. Metode SL-P2KP dipersepsikan oleh responden tidak baik, karena tidak adanya kegiatan berbagi pengalaman, metode ini tidak menimbulkan pemahaman, dan fasilitas yang diberikan kurang memadai. Penyuluh dianggap tidak kompeten karena tidak mengetahui kebutuhan dan permasalahan responden. Responden mempersepsikan kegiatan OPP hanya terdiri dari 1-3 kegiatan saja, karena tidak semua responden mengetahui adanya kegiatan pembuatan kebun bibit. Pada pasca pelaksanaan kegiatan ini, responden menilai bahwa tidak adanya pemantauan kembali, penyuluh hanya memerankan perannya untuk tetap memberikan perhatian dan tetap memotivasi responden. Responden berusaha untuk mandiri dan tidak tergantung pada penyuluh P2KP sehingga komunikasi antara penyuluh dan responden semakin berkurang. Namun dilain pihak, responden menilai bahwa materi OPP ini bagus, dimana materi tersebut dianggap menarik, mudah penerapan, murah biaya dan perlu dikembangkan.
45
PARTISIPASI DALAM KEGIATAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN Partisipasi Wanita Tani dalam Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Partisipasi dalam kegiatan Gerakan P2KP merupakan keikutsertaan individu atau sejumlah orang untuk terlibat langsung dalam setiap proses tahapan pembangunan dalam hal ini kegiatan OPP. Hal tersebut merupakan sebuah tindakan untuk meningkatkan kesejahteraannya serta dapat dilihat dari bentuk partisipasinya seperti partisipasi buah pikiran, keterampilan, tenaga, harta benda atau pun uang. Pada partisipasi peserta OPP diminta untuk memilih beberapa pilihan yang paling mewakili keadaan yang dirasakan dalam mengikuti kegiatan OPP ini. Partisipasi yang dihasilkan didapat dari kumulatif hasil skor partisipasi yang diberikan dan dapat dikategorikan menjadi kategori tingkat partisipasi rendah dan tinggi. Tabel 25 Jumlah dan presentase responden berdasarkan luas lahan yang digunakan dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan Lahan yang Digunakan Lebih dari Sebagian Sebagian Total
Jumlah n 22 78 50
% 44 56 100
Tabel 25 memperlihatkan bahwa separuh dari responden menggunakan sebagian lahan pekarangannya (56%) untuk mengikuti kegiatan OPP. Cukup banyak responden lainnya yang memberikan lebih dari sebagian lahan (44%) pekarangannya untuk kegiatan ini. Responden yang memberikan hanya sebagian lahannya untuk kegiatan OPP, salah satu alasannya adalah lahan pekarangan separuhnya lagi digunakan untuk tanaman bunga atau sengaja dikosongkan untuk digunakan dengan fungsi lain seperti menaruh kursi tamu (luar). Responden yang memberikan lahan pekarangannya lebih dari sebagian untuk kegiatan OPP, kebanyakan adalah responden yang memang memiliki luas lahan pekarangan yang sempit yaitu sekitar dua sampai sepuluh meter persegi saja yang dimiliki.
(a)
(b)
Gambar 3 Keadaan lahan pekarangan (a) anggota KWT Nusa Jati dan (b) anggota KWT Teratai
46
Gambar 3, nampak bahwa keadaan lahan pekarangan anggota, pada Gambar (a) lahan pekarangan KWT Nusa Jati begitu sempit dengan jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya berdekatan. Luas lahan pekarangan responden paling kecil adalah sekitar dua meter persegi. Gambar ini menunjukkan bahwa salah satu responden saat penelitian berlangsung, sedang menanam bibit kacang disamping halaman rumahnya dengan cara ditanam ditanah. Berbeda pada Gambar (b) KWT Teratai, keadaan lahan pekarangan cukup luas dengan jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya. Salah satu responden ini menanam bibit cabai dan tomat di polybag yang berisikan tanah. Apabila diamati kembali tanaman tomat yang dihasilkannya pun berbuah. Tanaman pekarangan yang ditanam oleh responden pada umumnya terdiri dari cabai, tomat, terong, kacang tanah, singkong, belimbing, kangkung, bayam, cesin, jahe, kencur, strawberry, dan temu kunci. Tanaman strawberry di KWT Teratai sempat dibawa ke sebuah pameran dan menjadi tanaman ciri khas dari KWT ini. Ketika penelitian berlangsung, nampak bahwa tidak semua responden masih merawat tanaman OPP-nya. Beberapa responden merasa malas memulainya kembali ketika tanamannya dirusak oleh tangan jahil anak kecil yang sedang bermain atau di rusak oleh hewan ternak. Belum lagi ada responden yang tanamannya rusak karena terpaan angin, sehingga enggan melanjutkan kembali merawat tanaman OPP-nya. Ada pun responden yang merasa lebih menyukai menanam tanaman hias dibandingkan tanaman OPP. Kalau memang ada responden yang masih menanam tanaman pangan, hanya ada beberapa pot kecil saja. Pot-pot kecil tersebut lebih ditanami tanaman yang mudah perawatannya dan bermanfaat sebagai bumbu dapur, seperti bibit cabe dan tomat. “...tanaman paling yang gampil aja neng kayak cabe, tomat sama kacang tanah di tanem di depan rumah..” (Ttn, anggota KWT Nusa Jati). “...punten neng tanaman ibu udah gak ada sekarang mah, da dicabut-cabutin sama anak-anak kecil. Jadi sekarang kalo butuh paling minta ke bu haji.” (Mrn, anggota KWT Teratai) Tabel 26 Jumlah dan presentase responden berdasarkan tahapan pelaksanaan optimalisasi pemanfaatan pekarangan Jumlah Tahapan Pelaksanaan n % Pengolahan tanah 39 78 Budidaya 50 100 Penanganan panen dan pasca panen 9 18 Pengolahan pangan untuk konsumsi 29 58 Berdasarkan tahapan pelaksanaan OPP pada Tabel 26, dilihat bahwa seluruh responden mengikuti kegiatan Budidaya (100%) dan lebih dari sebagian responden mengikuti kegiatan pengolahan tanah (78%). Namun, pada kegiatan penanganan panen dan pasca panen hanya sedikit responden yang mengikuti.
47
“...sebelum adanya P2KP kalau penanganan panen dan pasca panen kita mah udah ahli neng, malahan penyuluh yang banyak belajar dari kita...” (Nng, ketua KWT Teratai) “...kalau pengolahan pangan untuk konsumsi sebelum pak ASP juga udah di ajar neng, malahan lebih lengkap dan banyak prakteknya, kalau sama pak ASP mah gak pernah praktek neng...” (On, ketua KWT Nusa Jati) Tabel 27 Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian tahapan pelaksanaan optimalisasi pemanfaatan pekarangan Jumlah Penilaian Tahapan Pelaksanaan n % Lebih dari Separuh 8 16 Separuh 42 84 Total 50 100 Berdasarkan Tabel 27, nampak bahwa sebagian besar responden mengikuti separuh dari pelaksanaan (84%) yaitu hanya satu dan dua kegiatan OPP. Hanya sedikit responden yang mengikuti lebih separuh (16%) atau dapat dikatakan mengikuti tiga sampai empat tahapan pelaksanaan dari kegiatan OPP. Tabel 28 Jumlah dan presentase responden berdasarkan keaktifan dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan No.
Keaktifan dalam Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan
1.
Kehadiran
2.
Memberi ide
3.
6.
Mengajari orang lain Menyumbang tenaga Menyumbang harta benda Menyumbang dana
7. 8. 9. 10.
Memelihara tanaman Mengkonsumsi dari pekarangan Mengolah kembali Menjual kembali
4. 5.
Demplot Kebun Bibit Demplot Kebun Bibit Demplot Kebun Bibit Demplot Kebun Bibit Demplot Kebun Bibit Demplot Kebun Bibit
S n 8 6 1 0 1 0 21 4 7 5 3 0 19 19 3 4
% 16 12 2 0 2 0 42 8 14 10 6 0 38 38 6 8
Jumlah K n % 19 38 11 22 5 10 9 18 9 18 13 26 2 4 12 24 17 34 9 18 6 12 5 10 13 26 15 30 18 36 12 24
T n 23 33 44 41 40 37 27 34 26 36 41 45 18 16 29 34
% 46 66 88 82 80 74 54 68 52 72 82 90 36 32 58 68
Ket: S = Sering; K =Kadang-kadang; T = Tidak pernah
Keaktifan responden dalam kegiatan OPP (Tabel 28), menunjukkan bahwa umumnya responden tidak hadir dalam kegiatan kelompok yaitu kegiatan demplot (46%) dan kegiatan kebun bibit (66%). Hal tersebut dikarenakan banyak
48
responden yang bekerja sehingga kesempatan untuk menghadiri kegiatan hanya sedikit. Selain itu, beberapa responden memiliki sifat menunggu diajak responden yang lainnya untuk ikut mengahadiri kegiatan OPP. “...saya cuma dua kali klo gak salah ikutan gabung program ini, yang pertama pas ibu haji bagi-bagi bibit yang satu lagi pas ada penyuluhan tentang makanan yang ragam dan seimbang. Saya kerja soalnya dek, dateng karena gak enak aja sama bu haji udah diundang...” (As, Guru SD, anggota KWT Teratai) Sebagian besar responden cenderung tidak pernah atau jarang untuk memberi ide dan mengajarkan orang lain pada kegiatan kelompok. Pada menyumbang tenaga cukup banyak dilakukan oleh responden dalam kegiatan demplot (42%) dan hanya sedikit pada kegiatan kebun bibit (8%). Selanjutnya, Beberapa responden bersedia menyumbangkan harta bendanya seperti peralatan pertaniannya, atau bahkan lahannya untuk dijadikan demplot maupun kebun bibit. “... boro ngasih ide neng, kalo disuruh nanya aja ibu mah malu. Dateng mah dateng weh, kerja ikut kerja kalo di demplot, sesenengan aja neng bareng ibu-ibu yang lain...” (Ucm, anggota KWT Teratai) Pada kegiatan menyumbang dana lebih banyak responden yang tidak pernah melakukannya karena dana telah disiapkan dari pemerintah yang dibagikan penyuluh kepada ketua KWT. Namun, masih ada beberapa responden yang mau menyumbangkan dananya untuk kegiatan ini. “... ya paling banyak pengeluarannya dari dana yang dikasih neng, kebetulan saya diamanahkan untuk memegang dana kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan. Selanjutnya dikasih bibit sama polybag udah sama penyuluh...” (Mmd, 58thn, 27 Juli 2013) Kegiatan individu yang dilakukan responden terdiri dari memelihara tanaman, mengkonsumsi dari hasil pekarangan, mengolah kembali hasil pekarangan dan menjual kembali hasil pekarangan yang dimiliki. Kurang dari separuh responden cukup sering dalam memelihara tanamannya (38%). Begitu juga dalam mengkonsumsi pekarangan sendiri hanya kurang dari separuh responden (38%) yang melakukannya. Selanjutnya dalam mengolah kembali hasil tanaman (58%) dan menjual kembali (68%) lebih banyak responden tidak melakukannya. Pada Tabel 29, dapat dilihat bahwa lebih dari sebagian responden tidak aktif (78%) dalam kegiatan OPP. Hanya sedikit responden yang aktif (10%) dalam kegiatan tersebut. Keaktifan yang dimiliki responden cenderung termotivasi karena mendapat keuntungan dari kegiatan ini saja seperti bibit dan polybag gratis, juga kegiatan ini tidak memberatkan responden mengenai biaya. Dengan demikian keaktifan responden yang didapatkan, mempengaruhi nilai partisipasi keseluruhan.
49
Tabel 29 Jumlah dan presentase responden berdasarkan penilaian keaktifan dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan Jumlah Penilaian Keaktifan n % Aktif 5 10 Cukup AKtif 6 12 Tidak AKtif 39 78 Total 50 100 Hasil Tabel 30, memperlihatkan bahwa hampir seluruh responden memiliki tingkat partisipasi rendah (92%), yang disebabkan lahan pekarangan yang diberikan dalam kegiatan ini adalah sebagian lahan pekarangannya saja karena separuhnya lagi digunakan dengan fungsi yang lain seperti sebagai parkiran, digunakan untuk menanam tanaman bunga, dan lainnya. Pada tahapan pelaksanaan, yang diikuti oleh responden hanya pada kegiatan budidaya saja, karena kebanyakan responden tidak mengikuti seluruh pelaksanaan yang ada dan tidak hadir dalam beberapa tahapan pelaksanaan karena kesibukannya atau memang tidak ada inisiatif untuk hadir. Tabel 30 Jumlah dan presentase responden berdasarkan partisipasi dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan Jumlah Partisipasi n % Tinggi 4 8 Rendah 46 92 Total 50 100 “...saya mah gak tau ada pengolahan tanah, penanganan pasca panen, gitu-gitu neng. Asaan saya pas ikut diajarin buat menu, sama itu dikenalin ikan itu banyak proteinnya, yang gitu aja. Saya mah ikut kalo ada temen yang nyamper aja. Kalo gak ada ya saya gak akan dateng neng, malu kalo sendirian...” (En, anggota KWT Nusa Jati) Keaktifan responden dalam kegiatan lebih banyak yang tidak aktif dalam kegiatan-kegiatan kelompok maupun kegiatan individu. Hal ini disebabkan, beberapa responden mengikuti kegiatan ini karena merasa tertarik akan keuntungan yang mereka dapatkan saja seperti bibit dan polybag gratis. “...kalo ibu kumpul-kumpul sesekali aja, dateng kalo diajak aja sama ibu haji atau tetangga. Anggota disini sih kompak kok tapi kompaknyamau yang gratisan kayak ibu gitu, suka kalau dapet bibit pas ibu haji bagi-bagi, malahan saya suka minta...” (Lls, anggota KWT Teratai) Selain itu, kegiatan ini sudah ada anggaran dananya, sehingga tidak membebankan responden yang mengikutinya. Dapat dihitung jari responden yang benar-benar mengikuti dan turut serta dalam kegiatan OPP dari awal hingga akhir.
50
Padahal, seharusnya responden pada kegiatan ini dapat memberikan kontribusinya lebih banyak lagi walaupun sebagian kecil responden sudah memberikan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut. Seperti yang dikatakan Adisasmita (2006), seharusnya masyarakat diharapkan untuk berperan serta lebih aktif, produktif, lebih diberdayakan partisipasinya dan kontribusinya sehingga masyarakat dapat memberi penilaian yang konstruktf, ikhlas menyerahkan sebagian lahannya, dan bersedia mengumpulkan dana untuk melaksanakan pembangunan di desa. Maka dari itu, dapat dikatakan kegiatan ini belum mampu membuat responden banyak melakukan aktivitas dalam proses pelaksanaannya. Seperti ungkapan Mardikanto (1993) Proses belajar adalah proses aktif, artinya setiap individu yang terlibat di dalamnya harus melakukan aktivitas. Aktivitas disini dapat berupa aktivitas fisik, otak maupun aktivitas mental dan emosi seseorang. Makin banyak aktivitas yang dapat ditumbuhkan dalam diri seseorang yang sedang melakukan proses belajar makan akan makin memberikan hasil belajar yang baik. Ikhtisar Partisipasi responden dalam kegiatan OPP memiliki tingkatan yang rendah. Lahan pekarangan yang digunakan dalam kegiatan ini kurang dari 36 m² (tidak sesuai dengan yang diharapkan dari kegiatan OPP). Seluruh responden hanya mengikuti pada tahapan pelaksanaan budidaya saja dan kebanyakan responden tidak hadir dalam beberapa tahapan pelaksanaan karena kesibukannya atau memang tidak ada inisiatif untuk hadir. Selain itu, sebagian besar responden merasa ada beberapa kegiatan OPP sudah pernah diberikan di program sebelumnya, sehingga enggan untuk mengikutinya kembali. Tanaman pekarangan OPP yang ditanam antara lain cabai, tomat, terong, kacang tanah, singkong, belimbing, kangkung, bayam, cesin, terong, tomat, cabe, jahe, kencur, strawberry, dan temu kunci. Hasil produksi tanaman pangan secara umum dapat memenuhi kebutuhan wanita tani. Namun untuk menjualnya ke pasar, produksi yang didapatkan belum mencukupi. Keaktifan responden dalam kegiatan ini didapatkan tergolong rendah, beberapa responden mengikuti kegiatan ini hanya untuk mendapatkan bibit dan polybag gratis.
51
HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DENGAN PENYULUH P2KP DAN PERSEPSI WANITA TANI DENGAN KEGIATAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN Terdapat satu variabel intensitas komunikasi penyuluh P2KP dan tujuh variabel bentuk persepsi (tujuan OPP, manfaat OPP, metode SL-P2KP, materi OPP, penyuluh P2KP, kegiatan-kegiatan OPP, pelaksanaan pasca SL-P2KP) yang dianalisis hubungannya dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows dengan model deskriptif statistik yaitu tabulasi silang. Hubungan Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP dan Persepsi terhadap Tujuan Utama Tabel 31 Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi tujuan utama Persepsi terhadap Tujuan Utama Bermanfaat atau Indah Sebagai Sumber Pangan Total
Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP Rendah Tinggi Total n % n % n % 27 64.3 3 37.5 30 60.0 15 35.7 5 62.5 20 40.0 42 100.0 8 100.0 50 100.0
Tabel 31, nampak bahwa reponden yang memiliki intensitas komunikasi yang rendah mempersepsikan tujuan utama OPP adalah membuat pekarangan menjadi bermanfaat dan indah (64.3%). Responden yang memiliki intensitas komunikasi yang tinggi mempersepsikan tujuan utama ini sesuai dengan pedoman P2KP yaitu sebagai sumber pangan keluarga (62.5%). Oleh sebab itu dapat dikatakan semakin tinggi intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP maka semakin sesuai responden mempersepsikan tujuan utama sebagai sumber pangan keluarga. Hubungan Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP dan Persepsi terhadap Tujuan Lainnya Tabel 32 Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi tujuan lainnya Persepsi terhadap Tujuan Lainnya* PK/KK PKK Total
Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP Rendah Tinggi Total n % n % n % 30 71.4 4 50.0 34 68.0 12 28.6 4 50.0 16 32.0 42 100.0 8 100.0 50 100.0
*) Ket: PK/KK (Pengetahuan & Ketrampilan/Ketrampilan & Kemampuan); PKK (Pengetahuan, Ketrampilan & Kemampuan)
52
Pada Tabel 32, dapat dilihat bahwa tidak terdapat hubungan antara intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi responden terhadap tujuan lainnya. Pada responden yang intensitas komunikasi yang rendah mempersepsikan tujuan lainnya ini hanya mampu meningkat sebagian kapasitas diri saja dengan memilih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan/keterampilan dan kemampuan saja (71.4%). Namun, pada intensitas komunikasi yang tinggi tidak memiliki perbedaan bagi responden untuk mempersepsikan tujuan lainnya dengan sesuai maupun tidak (50%). Jawaban sesuai yang dimaksudkan adalah dapat meningkatkan ketiganya yaitu pengetahuan, keterampilan dan kemampuan. Oleh karena itu, intensitas komunikasi dengan Penyuluh P2KP tidak memiliki hubungan dengan persepsi terhadap tujuan lainnya. Hubungan Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP dan Persepsi terhadap Manfaat Tabel 33 Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi manfaat
Persepsi terhadap Manfaat Sedikit Cukup Banyak Banyak Total
Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP Rendah Tinggi Total n % n % n % 39 92.9 3 37.5 42 84.0 2 4.8 1 12.5 3 6.0 1 2.4 4 50.0 5 10.0 42 100.0 8 100.0 50 100.0
Hasil pada Tabel 33, menyajikan terdapat hubungan antara intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi terhadap tujuan. Responden yang memiliki intensitas rendah cenderung mempersepsikan sedikit manfaat pada kegiatan ini (92.9%). Responden yang memiliki intensitas komunikasi yang tinggi pun mempersepsikan manfaat kegiatan ini sedikit (37.5%), namun ada juga yang mempersepsikan cukup banyak manfaat (12.5%) bahkan mempersepsikan banyak manfaat (50.0%). Oleh karena itu, semakin tinggi intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP maka semakin banyak manfaat yang dirasakan oleh responden. Hubungan Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP dan Persepsi terhadap Metode SL-P2KP Tabel 34 Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi metode SL-P2KP Persepsi terhadap Metode SLP2KP Tidak Baik Baik Total
Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP Rendah Tinggi Total n % n % n % 25 59.5 4 50.0 29 58.0 17 40.5 4 50.0 21 42.0 42 100.0 8 100.0 50 100.0
53
Mengamati Tabel 34, menunjukkan responden yang memiliki intensitas komunikasi yang rendah mempersepsikan metode SL-P2KP ini tidak baik (59.5%). Begitu juga pada separuh responden yang memiliki intensitas yang tinggi mempersepsikan metode SL-P2KP ini tidak baik (50.0%) dan separuh lagi baik (50.0%), sehingga antara intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi terhadap metode SL-P2KP pun tidak memiliki hubungan. Hubungan Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP dan Persepsi terhadap Materi Tabel 35 Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi materi
Persepsi terhadap Materi Tidak Bagus Bagus Total
Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP Rendah Tinggi Total n % n % n % 7 16.7 1 12.5 8 16.0 35 83.3 7 87.5 42 84.0 42 100.0 8 100.0 50 100.0
Menanggapi hasil Tabel 35, responden yang memiliki intensitas komunikasi yang rendah mempersepsikan materi OPP ini bagus (83.3%), begitu juga responden yang memiliki intensitas komunikasi yang tinggi mempersepsikan materi ini bagus (87.5%). Oleh sebab itu, kedua variabel tersebut tidak memiliki hubungan. Hubungan Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP dan Persepsi terhadap Penyuluh P2KP Tabel 36 Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi penyuluh P2KP Persepsi terhadap Penyuluh P2KP Tidak Kompeten Kompeten Total
Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP Rendah Tinggi Total n % n % n % 41 97.6 7 87.5 48 96.0 1 2.4 1 12.5 2 4.0 42 100.0 8 100.0 50 100.0
Tabel 36, dilihat bahwa responden yang memiliki intensitas komunikasi yang rendah memepersepsikan penyuluh P2KP itu tidak kompeten (97.6%). Begitu juga responden yang memiliki intensitas komunikasi yang tinggi mempersepsikan penyuluh P2KP itu tidak kompeten. Oleh karena itu dapat dikatakan tinggi rendahnya intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP yang dimiliki responden tidak mempengaruhi responden untuk mempersepsikan penyuluh P2KP. Hubungan Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP dan Persepsi terhadap Jenis Kegiatan
54
Tabel 37 Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi jenis kegiatan Persepsi terhadap Jenis Kegiatan 1-3 kegiatan 4 Kegiatan Total
Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP Rendah Tinggi Total n % n % n % 32 76.2 4 50.0 36 72.0 10 23.8 4 50.0 14 28.0 42 100.0 8 100.0 50 100.0
Hasil Tabel 37, dapat dikatakan bahwa responden yang tingkat intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP-nya rendah mempersepsikan jenis kegiatan hanya satu sampai tiga kegiatan saja (76.2%). Pada responden yang intensitas komunikasinya yang tinggi separuhnya mempersepsikan jenis kegiatan hanya satu sampai dan tiga kegiatan juga (50.0%). Dapat dikatakan kedua variabel ini tidak memiliki hubungan. Hubungan Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP dan Persepsi terhadap Pasca Pelaksanaan P2KP Tabel 38 Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi pasca pelaksanaan P2KP Persepsi terhadap Pasca Pelaksanaan P2KP Tidak ada Lanjutan Ada Lanjutan Total
Intensitas Komunikasi dengan Penyuluh P2KP Rendah Tinggi Total n % n % n % 41 97.5 7 87.5 48 96.0 1 2.4 1 12.5 2 4.0 42 100.0 8 100.0 50 100.0
Berdasarkan Tabel 38, nampak bahwa responden yang memiliki intensitas komunikasi yang rendah dan tinggi mempersepsikan bahwa kegiatan ini tidak ada lanjutan (97.5% dan 87.5%), sehingga kedua variabel tersebut tidak memiliki hubungan. Hal ini ditunjukkan bahwa tingginya intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP saja cenderung memepersepsikan pasca pelaksanaan P2KP ini tidak ada lanjutan. Ikhtisar Berdasarkan hasil analisis tabulasi silang, nampak bahwa hubungan antara intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP dan persepsi wanita tani dalam kegiatan OPP kurang terlihat jelas. Baik responden yang intensitas komunikasinya tinggi maupun rendah dengan penyuluh P2KP cenderung memiliki persepsi yang sama yaitu kurang sesuai dengan kegiatan yang sebenarnya dalam OPP. Kecuali, untuk hubungan antara intensitas komunikasi dengan persepsi wanita tani terhadap tujuan utama dan manfaat kegiatan OPP, dimana semakin tinggi intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP maka semakin sesuai wanita tani mempersepsikan tujuan utama dan manfaat tentang kegiatan OPP.
55
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI WANITA TANI DAN PARTISIPASI DALAM KEGIATAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN Terdapat tujuh variabel bentuk persepsi (tujuan OPP, manfaat OPP, metode SL-P2KP, materi OPP, peranan penyuluh, kegiatan-kegiatan OPP, pelaksanaan pasca SL-P2KP) dan satu variabel partisipasi yang dianalisis hubungannya dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows dengan model deskriptif statistik yaitu tabulasi silang. Hubungan Persepsi terhadap Tujuan Utama dan Partisipasi dalam Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Tabel 39 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap tujuan utama dan partisipasinya
Partisipasi n 28 2 30
Rendah Tinggi Jumlah
Persepsi terhadap Tujuan Utama* BI SP Total % n % n % 93.3 18 90.0 46 92.0 6.7 2 10.0 4 8.0 100.0 20 100.0 50 100.0
*) Ket: BI (Bermanfaat atau Indah); SP (Sebagai sumber pangan)
Mengamati Tabel 39, menunjukkan tidak ada hubungan antara persepsi terhadap tujuan utama dengan tingkat partisipasinya. Responden yang memiliki persepsi yang sesuai dengan tujuan utama pada pedoman P2KP maupun tidak sama-sama memiliki tingkat partisipasi yang rendah (93.3% dan 90.0%). Oleh karena itu kedua variabel tidak memiliki hubungan. Hubungan Persepsi terhadap Tujuan Lainnya dan Partisipasi dalam Kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Tabel 40 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap tujuan lainnya dan partisipasinya
Partisipasi Rendah Tinggi Jumlah
Persepsi terhadap Tujuan Lainnya* PK/KK PKK Total n % n % n % 31 91.2 15 93.8 46 92.0 3 8.8 1 6.2 4 8.0 34 100.0 16 100.0 50 100.0
*) Ket: PK/KK (Pengetahuan & Ketrampilan/Ketrampilan & Kemampuan); PKK (Pengetahuan, Ketrampilan & Kemampuan)
Selanjutnya, berdasarkan Tabel 40 menunjukkan bahwa pada responden yang memiliki persepsi yang tidak sesuai yaitu mempersepsikan kegiatan ini hanya meningkatkan sebagian kapasitas pribadi saja memiliki partisipasi yang
56
rendah (91.2%). Begitu juga pada responden yang mempersepsikan tujuan lainnya ini meningkatkan ketiga kapasitas diri, mereka memiliki partisipasi yang rendah juga (93.8%). Oleh sebab itu, dapat dikatakan kedua variabel tersebut tidak memiliki hubungan. Hubungan Persepsi terhadap Manfaat dan Partisipasi dalam Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Tabel 41 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap manfaat dan partisipasinya
Partisipasi Rendah Tinggi Jumlah
Persepsi terhadap Manfaat Sedikit Cukup Banyak n % n % n % 40 95.2 3 100.0 3 60.0 2 4.8 0 0.0 2 40.0 42 100.0 3 100.0 5 100.0
n 46 4 50
Total % 92.0 8.0 100.0
Pada Tabel 41, nampak responden yang mempersepsikan sedikit manfaat, cukup manfaat dan banyak manfaat adalah responden yang memiliki partisipasi yang rendah (95.2%, 100.0%, dan 60.0%). Maka dapat dikatakan, responden yang mempersepsikan sedikit maupun banyak manfaat tidak mempengaruhi tingkat partisipasinya, sehingga kedua variabel dinyatakan tidak memiliki hubungan. Hubungan Persepsi terhadap Metode SL-P2KP dan Partisipasi dalam Optimalisasi pemanfaatan Pekarangan Tabel 42 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap metode SL-P2KP dan partisipasinya
Partisipasi Rendah Tinggi Jumlah
Persepsi terhadap Metode SL-P2KP Tidak Baik Baik Total n % n % n % 28 96.6 18 85.7 46 92.0 1 3.4 3 14.3 4 8.0 29 100.0 21 100.0 50 100.0
Tabel 42, dilihat bahwa persepsi responden yang mempersepsikan tidak baik terhadap metode SL-P2KP memiliki partisipasi yang rendah. responden yang mempersepsikan baik pun memiliki tingkat partisipasi yang rendah. oleh karena itu tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. Hubungan Persepsi terhadap Materi dan Partisipasi dalam Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Hasil pengamatan Tabel 43, pada responden yang mempersepsikan tidak bagus dan bagusnya materi OPP adalah responden yang memiliki partisipasi yang rendah (100.0% dan 90.5%). Oleh sebab itu dapat dikatakan variabel persepsi
57
terhadap materi tidak mempengaruhi tingkat partisipasinya, sehingga kedua variabel tersebut tidak memiliki hubungan. Tabel 43 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap materi dan partisipasinya Partisipasi Rendah Tinggi Jumlah
Persepsi terhadap Materi Tidak Bagus Bagus Total n % n % n % 8 100.0 38 90.5 46 92.0 0 0.0 4 9.5 4 8.0 8 100.0 42 100.0 50 100.0
Hubungan Persepsi terhadap Penyuluh P2KP dan Partisipasi dalam Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Tabel 44 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap penyuluh P2KP dan partisipasinya
Partisipasi Rendah Tinggi Jumlah
Persepsi terhadap Penyuluh P2KP Tidak Kompeten Kompeten Total n % n % n % 44 91.7 2 100.0 46 92.0 4 8.3 0 0.0 4 8.0 48 100.0 2 100.0 50 100.0
Pada Tabel 44, nampak bahwa responden yang mempersepsikan penyuluh P2KP tidak kompeten adalah responden yang partisipasinya rendah (91.7%). begitu juga pada responden yang mempersepsikan penyuluh P2KP itu kompeten, yang memiliki tingkat partisipasi rendah (100.0%). Dengan demikian tidak terdapat hubungan antara variabel persepsi terhadap penyuluh P2KP dengan tingkat partisipasinya. Hubungan Persepsi terhadap Jenis Kegiatan dan Partisipasi dalam Optimalisasi Peanfaatan Pekarangan Tabel 45 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap jenis kegiatan dan partisipasinya Persepsi terhadap Jenis Kegiatan Partisipasi 1-3 Kegiatan 4 Kegiatan Total n % n % n % Rendah 34 94.4 12 85.7 46 92.0 Tinggi 2 5.6 2 14.3 4 8.0 Jumlah 48 100.0 14 100.0 50 100.0 Tabel 45, menunjukkan bahwa responden yang mempersepsikan kegiatan OPP hanya satu sampai tiga kegiatan adalah responden yang partisipasinya rendah (94.4%). Responden yang mempersepsikan jenis kegiatan OPP ada empat
58
kegiatan pun memiliki partisipasi yang rendah (85.7%), sehingga dapat dikatakan kedua variabel tersebut tidak memiliki hubungan. Hubungan Persepsi terhadap Pasca Pelaksanaan P2KP dan Partisipasi dalam Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Tabel 46 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi terhadap pasca pelaksanaan P2KP dan partisipasinya Persepsi terhadap Pasca Pelaksanaan P2KP Partisipasi Tidak Ada Lanjutan Ada Lanjutan Total n % n % n % Rendah 45 93.3 1 50.0 46 92.0 Tinggi 3 6.7 1 50.0 4 8.0 Jumlah 48 100.0 2 100.0 50 100.0 Tabel 46, dapat dilihat bahwa responden yang mempersepsikan pasca pelaksanaan P2KP ini tidak ada lanjutan adalah responden yang memiliki partisipasi yang rendah (93.8%). Begitu juga separuh responden yang mempersepsikan pasca pelaksanaan ada lanjutannya menunjukkan partisipasi yang rendah (50.0%). Separuh yang lainnya memiliki partisipasi yang tinggi (50.0%). Dengan demikian, tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. Ikhtisar Hasil analisis tabulasi silang, nampak bahwa hubungan antara persepsi wanita tani dalam kegiatan OPP dan partisipasinya tidak terdapat hubungan. Baik wanita tani yang mempersepsikan sesuai atau pun tidak sesuai cenderung memiliki partisipasi yang sama yaitu pada tingkatan rendah. Tingkat partisipasi dalam kegiatan OPP lebih dipengaruhi oleh waktu yang dimiliki dan inisiatif dari responden.
59
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan dari tujuan penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Intensitas komunikasi wanita tani dengan penyuluh P2KP umumnya rendah, karena sebagian besar responden memiliki kesibukan dengan bekerja dan minimnya kedekatan antara responden dengan penyuluh P2KP. Hubungan yang tidak dekat tersebut terjadi, karena kebanyakan responden merasa penyuluh kurang membangun komunikasi personal dengan responden yang lain, dan berkomunikasi seperlunya dan dianggap lebih banyak melakukan komunikasi dengan ketua wanita tani dan beberapa responden saja. Sementara itu, ada pula beberapa responden yang tidak memberanikan diri untuk memulai berkomunikasi dengan penyuluh P2KP. Intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP tidak berhubungan dengan persepsi responden terhadap kegiatan OPP. Baik responden yang intensitas komunikasinya tinggi maupun rendah dengan penyuluh P2KP cenderung memiliki persepsi yang sama yaitu kurang sesuai dengan kegiatan yang sebenarnya dalam OPP. Kecuali, untuk hubungan antara intensitas komunikasi dengan persepsi wanita tani terhadap tujuan utama dan manfaat kegiatan OPP, dimana semakin tinggi intensitas komunikasi dengan penyuluh P2KP maka semakin sesuai wanita tani mempersepsikan tujuan utama dan manfaat tentang kegiatan OPP. 2. Partisipasi responden dalam kegiatan OPP memiliki tingkatan yang rendah. Lahan pekarangan yang diberikan dalam kegiatan ini hanya sebagian lahan saja, dan seluruh responden hanya mengikuti pada tahapan pelaksanaan budidaya. Keaktifan responden dalam kegiatan ini tergolong rendah, beberapa responden mengikuti kegiatan ini hanya untuk mendapatkan bibit dan polybag gratis. Tidak ada hubungan antara persepsi wanita tani dengan partisipasinya. Mereka yang mempersepsikan kegiatan OPP sesuai dengan kegiatan sesungguhnya dari OPP ternyata tidak menunjukkan perbedaan dari tingkat partisipasinya. Tingkat partisipasi dalam kegiatan OPP lebih dipengaruhi oleh waktu yang dimiliki dan niat dari responden. Minimnya keikutsertaan responden disebabkan oleh kesibukannya bekerja atau memang tidak ada inisiatif untuk mengikuti. Saran Berdasarkan dari hasil penelitian ini, saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: 1. Program-program yang diadakan oleh pemerintah, sebaiknya lebih disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat sasaran. 2. Penyuluh diharapkan lebih menambah kompetensi dalam berkomunikasi dengan masyarakat, agar mampu menjalin keakraban yang lebih baik dengan masyarakat. 3. Diperlukan penelitian lebih lanjut di wilayah-wilayah lain yang memang membutuhkan program ini, sehingga dapat melihat secara lebih baik tentang keberhasilan dari program P2KP ini.
60
61
DAFTAR PUSTAKA Adisasmita R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Astuti YP. 2011. Partisipasi Peserta dalam Program Pengelolaan Sampah Organik di Komunitas Kumuh Perkotaan Bantaran Sungai Ciliwung. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [BKP] Badan Ketahanan Pangan, Kementrian Pertanian RI. 2012. Pedoman Pelaksanaan: Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Tahun 2012. Jakarta (ID): Badan Ketahanan Pangan. Baron RA, Byrne D. 2003. Psikologi Sosial. Edisi Ke-10. Jilid 1. Jakarta (ID): Erlangga. Daniel M, Darmawati, Nieldalina. 2006. PRA Participatory Rural Appraisal: Pendekatan Efektif Mendukung Penerapan Penyuluhan Partisipatif dalam Upaya Percepatan Pembangunan Pertanian. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara. [FKPP] Forum Kerja Penganekaragaman Pangan. 2003. Penganekaragaman Pangan: Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah. Hariyadi P, Krisnamurti B, Winarno FG, editor. Jakarta (ID): Forum Kerja Penganekaragaman Pangan. Juarsyah R. 2007. Persepsi dan Partisipasi Peternak tentang Program Perguliran Ternak Domba: Kasus Kelompok Tani Mandiri, Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kartasapoetra AG. 1987. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Lalenoh T. 1994. Hubungan Persepsi Penghuni Pemukiman Kumuh tentang Pelayanan Rehabilitasi Sosial Pemukiman Kumuh dengan Partisipasi Mereka dalam Kegiatan Pelayanan Rehabilitasi Sosial Pemukian Kumuh di Kotamadya Bandung. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta (ID): Sebelas Maret University Press. Mulyana D. 2010. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung (ID): PT. Remaja Rosdakarya. Mosher AT. 1978. Menggerakan dan Membangun Pertanian. Jakarta (ID): C.V. Yasaguna. Puspasari S. 2010. Persepsi dan Partisipasi Peladang Berpindah dalam Kegiatan Pengembangan Tanaman Kehidupan Model HTI Terpadu di Kalimantan Barat. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahardjo MD. 2006. Menuju Indonesia Sejahtera: Upaya Konkret Pengentasan Kemiskinan. Jakarta (ID): Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia. Rakhmat J. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung (ID): PT. Remaja Rosdakarya. Riswandi. 2009. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Sastraatmadja E. 1993. Penyuluhan Pertanian. Bandung (ID): Penerbit Alumni.
62
Sibuea P. 2012 Sept 05. Beras Analog: Solusi untuk Krisis Pangan. Media Indonesia. [Internet]. [dikutip 28 November 2013]. Dapat diunduh dari: http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=12844&coid=2&caid=3 0 Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): LP3ES. Sarwono SW. 1999. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta (ID): Balai Pustaka. Setiana L. 2004. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bogor (ID): Ghalia Indonesia anggota IKAPI. Sugiyanto. 1996. Persepsi Masyarakat tentang Penyuluhan Pembangunan dalam Pembangunan Masyarakat Pedesaan. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suriatna S. 1987. Metode Penyuluhan Pertanian. Jakarta (ID): Medyatama Sarana Perkasa. Susiatik T. 1998. Persepsi dan Partisipasi Masyarkat terhadap Kegiatan Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDHT) di Desa Mojorebo Kecamatan Wirosari Kabupaten Dati II Grobogan Jawa Tengah. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Thoha M. 2001. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta (ID): PT Raja Grafiindo Persada. Uphoff, Cohen, Goldsmith. 1979. Feasibility and application of rural development participation: A state-of-the-art paper. New York (US): Cornell University. van den Ban AW, Hawkins HS. 1998. Penyuluhan Pertanian. Herdiasti AD, penerjemah. Yogyakarta (ID): Kanisius. Yulianto. 1993. Motivasi dan Partisipasi Anggota Pengurus Organisasi Wanita: Studi Kasus pada Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) tingkat I Provinsi Lampung. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yuritsa DCA. 2011. Persepsi Remaja terhadap Unsur Kekerasan dalam Sinetron di Televisi: Studi Kasus Remaja Karang Taruna “ANTASARI” di Komplek Perumahan Taman Cimanggu, Kelurahan Kedung Waringin, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Walgito B. 1990. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi. Wiriaatmadja S. 1973. Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. Jakarta (ID): C.V. Yasaguna.
63
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Desa Cibatok Satu dan Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat Tahun 2013
64
Lampiran 2 Jadwal pelaksanaan penelitian Tahun 2013 Kegiatan Penyusunan Proposal Skripsi Kolokium Perbaikan Proposal Pengambilan Data Lapang Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Sidang Skripsi Perbaikan Skripsi
Feb 3
Maret 4 1 2
3
Juli 4 1 2
3
November 4 1 2
3
Ket. 4
65
Lampiran 3 Kerangka Populasi Kelompok Wanita Tani Nusa Jati Desa Cibatok Satu No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama On Mms Mmn Mmd End Ent Om Ot Am At
No. 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nama Eng En Hdn Nns Dwg Ju Asp Asw Ish Kky
No. 21 22 23 24 25 26 27
Nama Nni Er Iyd Iys Ttn Ndh Nh
Kelompok Wanita Tani Teratai Desa Situ Udik No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Nng Ei Vih Ww Et Ers Is Hsn Ucm Irh
No. 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nama Mrm Yyt Cch Enn Enc Srn Yat Enr Lis As
No. Nama 21 Ngk 22 Mrn 23 Oh
66
Lampiran 4 Kuesioner
Nomor Responden Tanggal Survei Tanggal entri data KUESIONER PERSEPSI DAN PARTISIPASI WANITA TANI DALAM KEGIATAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN (OPP) P2KP Peneliti bernama Nadia Zabila, merupakan mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Saat ini peneliti sedang melakukan penelitian terkait persepsi dan partisipasi wanita tani dalam Kegiatan Optiimalisasi Pemanfaatan Pekarangan (OPP) P2KP. Penelitian ini merupakan syarat bagi peneliti untuk mendapatkan gelar sarjana (S1). Peneliti berharap Ibu menjawab kuesioner ini dengan lengkap dan jujur. Perlu diperhatikan bahwa dalam pengisian kuesioner ini, tidak ada jawaban yang benar atau salah. Apapun jawabannya akan menjadi data berharga bagi kelancaran penelitian ini. Identitas dan jawaban dijamin kerahasiaannya dan semata-mata hanya akan digunakan untuk kepentingan penulisan skripsi. Atas waktu dan kesediaan Ibu dalam pengisian kuesioner ini, saya ucapkan terima kasih.
IDENTITAS RESPONDEN Nama
………………………………. :
Umur
……………….. : tahun
Alamat
................................................................................... : ................................................................................... No: …….. RT: …….. RW: …...... Kelurahan: ……………………….. Kecamatan: ………………………
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
67
Petunjuk pengisian: Berilah tanda [ X ] pada pilihan yang benar/sesuai ATAU isi jawaban pada bagian yang disediakan: Karakteristik Wanita Tani No. Pertanyaan Tingkat Pendidikan 1. Tingkat pendidikan yang ibu capai terakhir? Tingkat Pendapatan 2. Berapa total pendapatan dalam satu rumah tangga ibu per bulan? Luas Penguasaan Lahan Pekarangan 3. Berapa luas lahan pekarangan yang ibu kuasai?
Jawaban (1) SMP ke bawah (2) SMA ke atas (1) < Rp 1.600.000 (2) ≥ Rp 1.600.000 (1) < 118 m² (2) ≥ 118 m²
Intensitas Komunikasi dalam Penyuluhan OPP No. Pertanyaan Tingkat Kehadiran dalam SL-P2KP 1. Berapa kali ibu hadir dalam kegiatan OPP? Tingkat Interaksi dengan Penyuluh 2. Seberapa sering ibu bertanya mengenai kegiatan OPP ini kepada penyuluh? 3.
Apakah penyuluh mendampingi kelompok dalam kegiatan P2KP?
4.
Apakah penyuluh memotivasi kelompok dalam kegiatan P2KP?
5.
Apakah penyuluh mengunjungi demplot kelompok?
6.
Apakah penyuluh mengunjungi pekarangan anggota kelompok?
7.
Apakah penyuluh memberikan pemecahan masalah ketika ada kesulitan dalam kegiatan OPP? Apakah penyuluh membantu mencari ide untuk pengembangan kegiatan OPP?
8.
Jawaban
(1) 0-5 kali (2) 6-10 kali (1) Tidak pernah (2) Jarang (3) Sering (1) Tidak pernah (2) Jarang (3) Sering (1) Tidak pernah (2) Jarang (3) Sering (1) Tidak pernah (2) Jarang (3) Sering (1) Tidak pernah (2) Jarang (3) Sering (1) Tidak pernah (2) Jarang (3) Sering (1) Tidak pernah (2) Jarang (3) Sering
68
Persepsi terhadap Kegiatan OPP Petunjuk pengisian: Berilah tanda [ X ] pada pilihan yang paling tepat di bagian yang telah disediakan untuk menilai persepsi! Tujuan OPP 1. Menurut saya tujuan OPP adalah... a. Mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan agar bermanfaat b. Mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan menjadi indah c. Mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan keluarga 2. Selain tujuan yang telah disampaikan pada nomor satu diatas, tujuan OPP selanjutnya adalah... a. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan kelompok wanita untuk memanfaatkan bahan pangan yang ada di pekarangan untuk diolah sebagai menu sehari-hari b. Meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan kelompok wanita untuk memanfaatkan bahan pangan yang ada di pekarangan untuk diolah sebagai menu sehari-hari c. Meningkatkan ketrampilan, dan kemampuan kelompok wanita untuk memanfaatkan bahan pangan yang ada di pekarangan untuk diolah sebagai menu sehari-hari Manfaat OPP Menurut saya, manfaat kegiatan OPP adalah.... (pilihan boleh lebih dari satu) a. Pekarangan saya menjadi sumber pangan keluarga b. Pengetahuan saya bertambah dalam mengelola bahan pangan c. Ketrampilan saya bertambah dalam mengelola bahan pangan d. Kemampuan saya bertambah dalam mengelola pekarangan saya e. Masyarakat lain (diluar peserta OPP) ikut merasakan manfaatnya Metode Penyuluhan atau Sekolah Lapang P2KP 1. Kegiatan SL-P2KP ada kegiatan berbagi pengalaman antara penyuluh dan peserta. [ ] Setuju [ ] Kurang Setuju [ ] Tidak Setuju Alasan: .................................................................... 2. Kegiatan SL-P2KP menimbulkan ketertarikan ibu untuk menerapkannya di rumah. [ ] Setuju [ ] Kurang Setuju [ ] Tidak Setuju Alasan: .................................................................... 3. Kegiatan SL-P2KP penyuluh mendorong ibu untuk memanfaatkan pekarangan. [ ] Setuju [ ] Kurang Setuju [ ] Tidak Setuju Alasan: .................................................................... 4. Kegiatan SL-P2KP penyuluh mempermudah ibu dan anggota lainnya dalam menentukan langkah-langkah selanjutnya dalam pemanfaaatan pekarangan. [ ] Setuju [ ] Kurang Setuju [ ] Tidak Setuju Alasan: .................................................................... 5. Cara mengajar penyuluh menimbulkan pemahaman ibu terhadap materi sehingga dapat memecahkan masalah mengenai kegiatan pemanfaatan pekarangan. [ ] Setuju [ ] Kurang Setuju [ ] Tidak Setuju Alasan: .................................................................... 6. Fasilitas yang diberikan dalam Sekolah Lapang sudah cukup baik menurut ibu. [ ] Kurang Setuju [ ] Tidak Setuju [ ] Setuju
69
Pertanyaan Kualitatif 7. Apakah hal dibawah ini sudah cukup diberikan oleh penyuluh kepada ibu? a. Bibit [ ] Ya [ ] Tidak b. Alat pertanian [ ] Ya [ ] Tidak c. Pupuk [ ] Ya [ ] Tidak d. Polybag [ ] Ya [ ] Tidak 8. Kegiatan SL-P2KP penyuluhan dilakukan tidak hanya dilakukan dalam ruangan kelas. [ ] Setuju [ ] Kurang Setuju [ ] Tidak Setuju Alasan: .................................................................... 9. Kegiatan SL-P2KP dilakukan pembuatan demplot kelompok. [ ] Setuju [ ] Kurang Setuju [ ] Tidak Setuju Alasan: .................................................................... Materi OPP Materi yang diberikan dalam kegiatan OPP: a. [ ] Menarik [ ] Tidak menarik b. [ ] Mudah penerapannya [ ] Sulit penerapannya c. [ ] Murah biaya [ ] Mahal biaya d. [ ] Sesuai kebutuhan [ ] Tidak sesuai kebutuhan e. [ ] Perlu dikembangkan [ ] Tidak perlu dikembangkan Penyuluh P2KP 1. PPL terlihat menguasai materinya. [ ] Setuju [ ] Kurang Setuju [ ] Tidak Setuju Alasan: .................................................................... 2. PPL mengetahui permasalahan-permasalahan di KWT dalam kegiatan OPP. [ ] Setuju [ ] Kurang Setuju [ ] Tidak Setuju Alasan: .................................................................... 3. PPL mengetahui kebutuhan-kebutuhan kelompok dalam kegiatan OPP. [ ] Setuju [ ] Kurang Setuju [ ] Tidak Setuju Alasan: .................................................................... 4. PPL menyampaikan materi kegiatan OPP dengan menghidupkan kelompok (yang tadinya pasif menjadi aktif). [ ] Setuju [ ] Kurang Setuju [ ] Tidak Setuju Alasan: .................................................................... 5. PPL mampu membangun kesadaran masyarakat tentang pemanfaatan pekarangan untuk penganekaragaman bahan pangan. [ ] Setuju [ ] Kurang Setuju [ ] Tidak Setuju Alasan: .................................................................... Kegiatan-kegiatan OPP Jenis-jenis kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan OPP di SL-P2KP (Pilihan boleh lebih dari satu): a. Pemanfaatan pekarangan b. Memanfaatkan bahan pangan pekarangan menjadi menu keluarga c. Pengembangan demplot kelompok d. Pembuatan Kebun Bibit
70
Pelaksanaan Pasca SL-P2KP Pasca SL-P2KP dilaksanakan: 1. Apakah masih ada perhatian dari penyuluh terhadap kelompok? [ ] Sering [ ] Kadang-kadang [ ] Tidak Pernah Alasan: ......................................................................................... 2. Apakah kelompok masih dapat bertanya? [ ] Sering [ ] Kadang-kadang [ ] Tidak Pernah Alasan: ......................................................................................... 3. Apakah kelompok masih bisa meminta bantuan (bibit, sarana produksi lainnya)? [ ] Sering [ ] Kadang-kadang [ ] Tidak Pernah Alasan: ........................................................................................ 4. Apakah penyuluh memberikan informasi tambahan? [ ] Sering [ ] Kadang-kadang [ ] Tidak Pernah Alasan: .................................................................................. 5. Apakah penyuluh tetap memotivasi kelompok dalam meneruskan kegiatan OPP? [ ] Sering [ ] Kadang-kadang [ ] Tidak Pernah Alasan: ..................................................................................
71
Partisipasi dalam Kegiatan OPP Petunjuk pengisian: Berilah tanda [ X ] pada pilihan yang paling tepat di bagian yang telah disediakan untuk menilai partisipasi! 1. Seberapa besar pekarangan yang ibu manfaatkan untuk mempraktekan segala yang telah diajarkan dalam kegiatan OPP? (1) Sebagian (2) Lebih dari sebagian Sebutkan tanaman apa saja: ........................................................................................... 2. Dalam pelaksanaan OPP di SL-P2KP, tahapan-tahapan pelaksanaan apa saja yang ibu ikuti? (Pilihan boleh lebih dari satu) a. Pengolahan tanah b. Budidaya c. Penanganan panen dan pasca panen d. Pengolahan pangan untuk konsumsi No. 1. 2.
3.
4. 5.
6.
7. 8. 9. 10.
Pernyataan Apakah ibu hadir dalam kegiatan Pengembangan Demplot kelompok? Pembuatan Kebun Bibit Apakah ibu ikut memberikan ide Pengembangan Demplot dalam kegiatan kelompok? Pembuatan Kebun Bibit Apakah ibu mengajari orang lain Pengembangan Demplot dengan keahlian ibu atau pengetahuan ibu dalam kegiatan Pembuatan Kebun Bibit kelompok? Pengembangan Demplot Apakah ibu turut bekerja dalam kegiatan kelompok? Pembuatan Kebun Bibit Apakah ibu turut Pengembangan Demplot menyumbangkan peralatan atau Pembuatan Kebun Bibit lahan dalam kegiatan kelompok? Apakah ibu turut Pengembangan Demplot menyumbangkan dana atau uang pribadi ibu dalam kegiatan Pembuatan Kebun Bibit kelompok? Apakah ibu memelihara tanaman yang diberikan penyuluh atau anggota KWT lain? Apakah ibu mengkonsumsi bahan pangan dari pekarangan ibu? Apakah ibu mengolah kembali hasil bahan pangan dari pekarangan ibu menjadi aneka kreasi menu keluarga? Apakah ibu menjual kembali hasil bahan pangan atau olahannya dari pekarangan ibu?
TERIMAKASIH ATAS KERJASAMANYA
S
K
TP
72
Panduan Wawancara Mendalam Kepada Informan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Bagaimana pelaksanaan P2KP yang telah dijalankan menurut Bapak/Ibu? Apakah Program P2KP sudah tepat sasaran? Apa tujuan dan capaian P2KP menurut Bapak/Ibu? Apakah program P2KP ini sesuai dengan kebutuhan peserta OPP? Apakah program P2KP menguntungkan bagi peserta OPP? Apakah PPL dengan peserta memiliki kesepakatan jadwal pertemuan kegiatan OPP? Apakah peserta OPP mau melanjutkan kembali kegiatan ini? Apakah peserta OPP akan memperluas lahan untuk mendukung kegiatan ini? Apakah peserta OPP diajarkan cara menyusun makanan? Sebutkan! Apakah peserta OPP diajarkan masak dengan bahan yang berasal dari pekarangan? Bagaimana caranya? Menurut Bapak/Ibu siapa yang biasa mengurus demplot kelompok dan kebun bibit? Apakah Bapak/Ibu tergolong yang suka membeli bibit? Atau menunggu diberi? Apakah Bapak/Ibu membuat identifikasi potensi dan permasalahannya? Apakah Bapak/Ibu membantu kelompok dalam penyusunan RKKA? Hambatan apa saja yang dirasakan sehingga tidak ikut serta dalam P2KP? Menurut Bapak/Ibu setuju atau tidak program yang diberikan oleh pemerintah? Alasannya? Menurut Bapak/Ibu sudah berhasilkah program P2KP ini? Jelaskan alasannya?
17. 18. Saran dan kritik mengenai program P2KP ini?
73
Lampiran 5 Foto Dokumentasi Penelitian
Demplot Kelompok KWT Teratai
Kedekatan Anggota dengan Penyuluh
Wawancara dengan Anggota Nusa Jati
Lahan Pekarangan Anggota Nusa Jati
Tanaman OPP Anggota KWT Teratai
Lahan Pekarangan Anggota Teratai
Tanaman Tomat OPP yang Berbuah
Penanaman Kacang Tanah Nusa Jati
74
Demplot Kelompok KWT Nusa Jati
Wawancara dengan Anggota Teratai
Perkumpulan Rutin KWT Teratai
Lahan Pekarangan Anggota Nusa Jati
75
RIWAYAT HIDUP
Nadia Zabila adalah putri dari pasangan Djamal Abdul Latief dan Nina Aminah, dilahirkan di Bogor pada tanggal 29 November 1990. Pendidikan formal yang pernah dijalani oleh anak kedua dari tiga bersaudara ini adalah SMA Negeri 2 Bogor, pada Tahun 2006-2009. Pada Tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada Tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis memiliki pengalaman dalam lingkup akademik sebagai asisten dosen mata kuliah Dasar-dasar Komunikasi selama satu semester. Selain itu, di luar bidang akademik, penulis menjadi Bendahara Umum Himpunan Mahasiswa SKPM yaitu Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) selama dua kali kepengurusan periode 2011 dan 2012. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan acara-acara Himasiera maupun acara fakultas seperti Index 2011 yang dimana pada masa itu ditunjuk secara kondisional untuk menjadi ketua divisi sponsorship pengganti. Di luar lingkup IPB sendiri, penulis aktif sejak duduk dibangku SMP hingga tingkat tiga di IPB untuk mengikuti kegiatan yang positif seperti turut menambah kapasitas diri dan wawasan dengan mengikuti sanggar tari, pelatihan modeling sekaligus kepribadian, olah vokal di Purwacaraka dan mengisi waktu kosong bahkan libur panjang dengan mencari pekerjaan sambilan atau magang.