Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
Laporan Tim Studi Jender di BENGKULU Oleh : Andy Ahmad Zaelany, Ratna Laelasari, Achmad Fatony, Elly Fardiana Latief
PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM KEGIATAN P2KP DI KOTA BENGKULU A.1. Kasus Kelurahan Kampung Bali, kecamatan Teluk Segara 1. Apa hambatan-hambatan utama dan peluang yang ada yang mempengaruhi pemberdayaan ekonomi, politik dan sosial perempuan dalam proses pembuatan keputusan. Dari penelitian di dua lokasi tersebut, ada beberapa hal yang dapat menjelaskan diantaranya: Di dua lokasi, akses relawan perempuan dalam P2KP tampaknya terbatas pada orang-orang tertentu, yaitu yang mempunyai hubungan baik dan dekat dengan tokoh masyarakat yang ada ataupun yang aktif dalam kegiatan kemasyarakatan sebelumnya. Di Kampung Bali, memang banyak kegiatan sosial untuk perempuan seperti kesenian rebana, ketrampilan, Koperasi Wanita, PKK, Posyandu, Pengajian, Taman Pendidikan Quran. Keaktifan ini mempermudah akses perempuan untuk aktif di P2KP. Di sisi lain karena ketika kegiatan sosial dan ada undangan dari kelurahan memang surat ditujukan kepada ibu-ibu. Hal ini disebabkan perempuan mempunyai banyak waktu, ada kemauan dan kepedulian terhadap kegiatan social. Untuk perempuan yang sudah berkeluarga tidak masalah ketika mereka sudah menyelesaikan urusan rumah tangganya (double burden), sedangkan untuk yang belum menikah dan masih usia sekolah kebanyakan tidak diperbolehkan orang tuanya untuk aktif di kegiatan social. Di Kelurahan Kebun Gran, akses perempuan menjadi relawan karena kedekatan dengan tokoh masyarakat dan keaktifan di kegiatan kemasyarakatan. Ada juga relawan yang mengikuti P2KP hanya saat tahap pencairan dana (BLM), tidak mengikuti dari awal tahapan P2KP dan mereka beranggapan menjadi penerima manfaat (anggota KSM) adalah menjadi relawan P2KP karena membantu pencairan dana ke kelompok, mengkoordinir, mengumpulkan uang yang mana menjadi tanggung jawab ketua dan bendahara KSM ekonomi. Relawan perempuan yang mengikuti pelatihan tidak selalu aktif dalam kegiatan P2KP. Bahkan sebagian besar relawan yang telibat P2KP kemudian tidak mengetahui adanya pelatihan untuk relawan. Hal ini memperjelas adanya fluktuasi posisi relawan. Ketika awal kebanyakan relawan yang ada karena keaktifan di kegiatan social dan kedekatan relawan dengan tokoh masyarakat. Sedangkan relawan berikutnya
1
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
karena menjadi penerima manfaat (anggota KSM ekonomi). Relawan perempuan yang berstatus menikah lebih banyak dari pada yang belum menikah. Bagi yang menikah dan mempunyai anak yang sudah besar tidak masalah menjadi aktif di kegiatan P2KP, sementara untuk relawan yang berstatus belum menikah fluktuasi karena waktu kegiatan yang bersamaan dengan jam kerja mereka, di luar jam kerja mereka akan meluangkan waktu untuk kegiatan P2KP. Untuk perempuan berstatus menikah dan belum menikah (life cycle) nampaknya terjadi fluktuasi ketika kegiatan P2KP bersamaan dengan waktu bekerja mereka. Mereka tidak memahami peran relawan, tugas dan tujuan program P2KP secara keseluruhan. Yang dipahami adalah membantu kegiatan atas nama P2KP saja, yaitu pencairan dana ke kelompok yang mana harus diinventarisir, diorganisir, dan itulah peran relawan yang mereka pahami. Soal akses ini menjadi target program yang dipahami Faskel sebagai beban pekerjaan. Hal ini memberi dampak kemudian ketika membuka akses P2KP kepada masyarakat. Karena tuntutan target program P2KP, membuat faskel mengambil target sebagai tujuan kerja, sehingga aspek pemberdayaan terdistorsi. Fluktuasi relawan perempuan, diantaranya dikarenakan tidak terlibatmya relawan pada tahap tertentu karena memang tidak diaktifkan oleh tokoh masyarakat. Seperti karena tidak diundang atau pindah rumah ke RT lain.
-
-
Hambatan dalam pemberdayaan ekonomi, politik dan sosial bagi perempuan relawan, gakin, KSM, BKM dan Faskel diantaranya: Persepsi pemberdayaan menurut stakeholder P2KP (BKM, UPK) membatasi akses menjadi penerima KSM ekonomi yaitu lebih diutamakan untuk orang-2 yang jujur, dan mampu mengembalikan pinjaman, sehingga gakin yang benar-benar membutuhkan malah tidak menerima BLM. Alasan pengurus BKM (sekretaris) dan UPK membatasi penerima manfaat ekonomi adalah target Program P2KP dan RR (Return Rate) yang ditetapkan (80%) untuk mendapat BLM lagi. Memang mereka menyadari bahwa gakin yang seharusnya menerima BLM akhirnya tidak menerima bantuan/pinjaman, tetapi mereka lebih mendahulukan keberlanjutan pemberian BLM, dan tidak mau direpotkan dengan kerja menagih bayaran karena yang diberi BLM tidak mampu membayar/macet. Ini berlaku di kedua kelurahan Kampung Bali dan Kebun Gran. Hal ini menutup akses perempuan miskin yang membutuhkan BLM. Hambatan mengajak warga miskin aktif dalam kegiatan P2KP karena kesibukan perempuan dalam bekerja mencari tambahan penghasilan keluarga atau karena ibu-ibu sibuk mengerjakan pekerjaan domestic. Hal ini menyebabkan orang yang aktif biasanya itu itu saja, kadang terhambat karena 2
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
-
-
gakin malu karena belum terbiasa dengan kegiatan kemasyarakatan, atau gakin tidak tahu bagaimana mengikuti kegiatan dalam masyarakat. Hal ini terlihat di Kelurahan Kampung Bali, sedangkan untuk Kelurahan Kebun Gran warga miskin yang layak menerima bantuan nampaknya tidak mengetahui adanya Program P2KP. Hal ini mempertegas adanya pembatasan dalam sosialisasi Progam P2KP. Mereka yang miskin tetapi belum memiliki rumah atau tanah sendiri tidak dapat diberikan BLM. Alasan BKM dan UPK tidak memberikan BLM kepada mereka karena takut macet, tidak mampu membayar atau berpindah tempat tinggal. Karena mengejar target dan ketergesaan waktu membuat persiapan PJM tidak sempurna, tidak ada foto-foto dalam proses pemberian bantuan (sebelum, proses, sesudah pembangunan fisik). Kekurangan dalam pelaporan akhirnya dibebankan kepada faskel. Seterotipe peran gender. Perempuan masih beranggapan, tugas laki-laki adalah pemimpin sedangkan perempuan membantu tugas suami. Ketika suami menjadi pemimpin di lingkungannya (Ketua RT) maka tugasnya juga untuk membantu tugas suami sebagai Ketua RT seperti aktif dalam kegiatan social karena menjadi istri Ketua RT.
Proses pengambilan keputusan dalam BKM masih didominasi laki-laki. Yang aktif hadir dalam rapat dan pertemuan didominasi oleh perempuan tetapi dalam pengambilan keputusan tetap di tangan laki-laki. Meskipun perempuan ada menjadi anggota BKM, tetapi posisinya masih pinggiran. Peluang bagi perempuan diberikan tetapi tidak spesifik menyuarakan kepentingan perempuan. Perempuan hampir tidak menyadari apa sebenaranya kebutuhan mereka sebagai perempuan. Pemikiran mereka terbawa arus besar yang maskulin. Mereka sangat menghargai keberadaan tokoh masyarakat laki-laki dan didahulukan untuk dapat mengambil keputusan. Bagi mereka, laki-laki pantas menjadi pemimpin, meskipun jika perempuan dipilih menjadi pemimpin mereka juga akan berusaha dan bisa. Bahkan laki-laki mengatakan kalau diminta perempuan tidak berani, tetapi kalau ditunjuk dalam keterpaksaan maka perempuan mampu menjadi pemimpin. Perempuan merasa ada hambatan internal seperti tidak percaya diri, merasa kurang mampu, kurang wawasan, laki-laki dianggap lebih pantas. Hal ini hampir sama terjadi di kedua kelurahan. Usulan untuk meningkatkan partisipasi perempuan diantaranya: Di Kelurahan Kampung Bali lebih sering mengadakan pertemuan-pertemuan, yang mana perempuan merasa terakomodir untuk dapat belajar dan berkembang. Seperti berani berbicara, tambah wawasan, berani tampil di depan umum. Diberikan pelatihan kepribadian, kepemimpinan, ketrampilan termasuk merias diri untuk 3
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
lebih percaya diri. Selain itu spesifik program P2KP mereka usul agar proposal disederhanakan karena yang diajak adalah gakin/warga yang sebagai besar rendah tingkat pendidikannya. Perlu diadakan pelatihan pembukuan, penyusunan pelaporan yang lebih lama karena belum paham. Dibutuhkan juga pelatihan manajemen untuk usaha mandiri , seperti pengolahan ubi yang bervariasi. Untuk menambah wawasan diharapkan ada studi banding ke daerah lain. 2.
Apa peran elit-perempuan dalam kerelawanan lokal, dan sejauh mana keterlibatan mereka mempengaruhi perempuan miskin sebagai penerima BLM? Di Kampung Bali, relawan perempuan yang mengikuti proses/tahapan P2KP sejak awal adalah Ketua RT, istri Ketua PKK Kecamatan (suaminya sekretaris Kecamatan). Sebagai anggota BKM peran Ibu Nuraini, dan para pengurus BKM yaitu Sekretaris BKM, UPK dan UPS bekerja sama untuk mengajak aktif perempuan dalam kegiatan P2KP. Sebagai elit perempuan, Ibu Nuraini memang aktif di berbagai kegiatan social bahkan dia menjadi Ketua Panitia Pemilihan Suara (PPS) Pemilu 2009 nanti. Sebagai tokoh masyarakat, Ibu Nuraini banyak dikenal dan disegani warga Kelurahan Kampung Bali. Dia juga mempunyai hubungan yang baik dengan Pak Lurah. Ibu Nuraini adalah relawan yang aktif dari awal Program P2KP dan terpilih menjadi anggota BKM. Sebagian relawan yang ikut kemudian kebanyakan tidak mengetahui Program P2KP secara keseluruhan. Hanya membantu ketika kegiatan dilaksanakan. Kegiatan yang diikuti relawan perempuan diantaranya menyediakan konsumsi saat pembuatan jalan (fisik) atau menghadiri rapat. Anggota BKM perempuan di Kampung Bali hanya 2 orang perempuan dari 9 orang anggota BKM. Perempuan anggota BKM adalah guru SD yang berpendidikan S-2 (Universitas Negeri Jakarta), dan mantan istri sekcam atau Ketua PKK Kecamatan. Perempuan menjadi relawan merasa senang karena dapat ikut andil dalam kegiatan pembangunan desanya. Menambah wawasan dan pengalaman bermasyarakat. Hubungan relawan dengan stakeholder P2KP, lebih sering berhubungan langsung dengan koordinator dan anggota BKM atau pengurus BKM (Unit Pelaksana). Para perempuan yang aktif ini selalu berjalan ke warga untuk mensosialisasikan adanya BLM. Mereka hati-hati dan berorientasi pada keberlanjutan program P2KP dalam menentukan penerima BLM (anggota KSM). Dalam berhubungan dengan warga, BKM dan Pengurus BKM bekerja sama dengan faskel. Peran faskel perempuan sangat membantu pendekatan hubungan dengan warga miskin. Relawan perempuan di Kampung Bali
4
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
kebanyakan adalah perempuan berstatus menikah dan ibu rumah tangga. Untuk perempuan lajang jarang sekali karena usia sekolah, yang tidak diijinkan orang tua untuk aktif di kegiatan social. Perempuan yang menjadi relawan yang disebut elit perempuan adalah yang aktif di kegiatan social di desanya. Mereka dalam P2KP terpilih menjadi anggota BKM, seperti Ibu Nuraini dan Ibu Hasanah di Kampung Bali. Untuk Kebun Gran, relawan ibu rumah tangga dan perempuan lajang seimbang. Mereka merasa senang dapat terlibat dalam kegiatan pembangunan desanya. Bagi ibu rumah tangga, kegiatan dapat mereka ikuti kalau urusan domestic sudah selesai, baik untuk hadir pertemuan, membantu pembangunan jalan, menyediakan konsumsi atau menjadi pengurus KSM, BKM dan UP.
Profil Ibu Nuraini adalah janda dari suami yang menjabat jadi Sekretaris Kecamatan. Karena Camatnya perempuan, maka Ibu Nuraini menjadi Ketua PKK Kecamatan waktu itu. Dia bercerita pengalamannya berorganisasi membawanya aktif di organisasi sampai ke negeri Singapura saat itu. Anaknya 3 orang sudah besar semua. Karena jiwa sosialnya tinggi, dan sudah terbiasa mengikuti organisasi (PKK) maka sudah biasa bagi Ibu Nuraini dalam berorganisasi dan berhubungan dengan masyarakat banyak. Selain sikapnya yang supel, terbuka, dekat dengan banyak orang, Ibu Nuraini juga dikenal banyak orang. Kegiatan Bu Nuraini banyak untuk kegiatan social di kelurahannya. Ketika bertemu beliau sedang sakit kepala, tetapi masih saja jalan mengurus Taman Pengajian Quran yang akan memwisuda muridmuridnya –mau foto copy buku raport iqro. Ibu Nuraini terpilih jadi anggota BKM di Kampung Bali karena sudah dikenal banyak warga karena keaktifannya di Posyandu, Kader PKK, Koperasi Wanita, Majelis Taklim, Rebana dan kegiatan social lain. Usianya yang sudah tua (sekitar 50 tahun) tidak menghalangi keaktifannya berorganisasi. Selalu memotivasi orang/perempuan untuk aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Menjadi relawan menghadapi masyarakat sering mendapat pertanyaanpertanyaan yang tidak bisa dijawab, tuntutan pada program P2KP yang mana tidak dapat dipenuhi seperti ketika warga menanyakan kenapa saya tidak diberi pinjaman (BLM) –ketika itu UPK dan BKM di Kampung Bali memutuskan untuk tidak memberikan BLT pada warga miskin yang dinilai tidak mampu membayar dan mempunyai tarck record tidak baik/macet mengembalikan pinjaman lain. Upaya yang dilakukan untuk mengaktifkan perempuan dalam program adalah melalui perempuan yang aktif dan yang mempunyai hubungan dekat dengan 5
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
mereka. Ibu-ibu yang aktif ini seringkali hanya menawarkan adanya BLM ke warga sehingga membuat warga tertarik dan mau ikut meminjam dan membuat kelompoknya. Peran perempuan yang aktif mengurusi BLM ini ketika ia menjadi pengurus UPK, sekretaris BKM dan anggota BKM. Pengalaman menjadi Sekretaris BKM (Profil Ibu Ita Kampung Bali).
Dia terlihat pintar, dalam berbicara dan menganalisis persoalan di kelompoknya. Ibu Ita adalah lulusan D3 Perbankan. Dari kecil sudah terbiasa hidupnya diajarkan untuk disiplin dan mandiri. Ketika SD dia sudah pisah dengan orang tuanya, hiduo di Kota Bengkulu untuk sekolah bersama saudara-saudaranya yang lain. Tiap minggu ditengok ayahnya. Punya pengalaman bekerja di Proyek lain di Bengkulu berkaitan dengan latar belakang ilmu ekonomi yang dimilikinya. Bergabung menjadi sekretaris BKM juga awalnya ketika diajak Ibu Nuraini untuk membantu mengurus, mengelola BLM dari P2KP. Ibu Ita yang masih usia setengah baya (35an tahun) saat itu mengaku tidak aktif di kegiatan social dibilang tidak gaul. Tapi karena diminta Ibu Nuraini untuk membantu untuk warga masyarakat sendiri juga, maka Ibu Ita bersedia membantu dan menjadi Sekretaris BKM. Dia melihat bahwa pekerjaannya untuk warga di sekitarnya, meski tidak ada gaji. Dia menjadi sekretaris BKM mempunyai wewenang mengatur pengalokasian dana untuk KSM Lingkungan, Sosial atau Ekonomi bersama BKM. Dengan latar belakang ekonomi yang dimilikinya tidak sulit mengatur dan melakukan pencatatan keuangan BKM. Baginya yang penting adlaah menjaga keberlangsungan program (BLM), sehingga target dan tuntutan Program P2KP lebih penting ketimbang memikirkan siapa yang menerima BLM. Orang yang jujur, mampu lebih dipilih ketimbang miskin dan pantas dibantu tetapi tidak bias bayar. Karena selain akan menghambat pemberian BLM berikutnya juga akanmenambah pekerjaannya menjadi sekretaris BKM dan juga UPK untuk menagih angsuran yang macet. Maka lebih baik untuk orang yang jujur dan bisa bayar saja jadi ukuran memberikan BLM. Baginya proposal dan pembukuan terlalu rumit untuk orang awam ekonomi. Ia usul untuk lebih disederhanakan, dan untuk penerima bantuan pembangunan fisik harus lebih spesifik siapa yang berhak menerima, karena masalah ini menjadi kendala antara warga dan sensitive sehingga potensi menimbulkan konflik. Di Kebun Gran, Ibu Netty sebagai salah satu perempuan anggota BKM terlihat aktif di berbagai kegiatan social. Dia ibu rumah tangga biasa. Ayahnya adalah Ketua RT yang dikenal oleh warga Kebun Gran. Ibu menggerakkan warga terutama perempuan untuk aktif dengan menjelaskan adanya BKM yang dapat membantu usaha mereka. Selain itu ia memilih siapa yang berhak mendapat pinjaman secara hati-hati. Prioritasnya adalah orang yang punya usaha dan 6
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
mampu membayar cicilannya. Meskipun ada orang yang lebih pantas mendapat pinjaman, tetapi karena dia tinggal di rumah yang menyewa maka dia tidak berani member pinjaman (BLM). Baginya penerima yang berkelompok diupayakan saling kenal antar anggota KSM meskipun tidak satu RT. Baginya orang-orang yang sudah dikenal baik lebih diprioritaskan untuk diberi BLM dengan alasan keberlanjutan BLM. Tetapi hal ini menjadi masalah di masyarakat yaitu ketika warga terpilih yang mendapat pinjaman, dan tanggung renteng dalam menanggung cicilan. BKM berubah fungsi menjadi Bank pinjam yaitu bank yang memberikan pinjaman (tidak tabungan) yang mana menseleksi siapa saja yang pantas menerima BLM. Tanggung renteng masih dipahami secara bagian terpisah dari pemberdayaan dan sangat ekonomis, oleh karena itu warga miskin mengusulkan pinjaman untuk perorangan saja tidak berkelompok. Selain itu karena ingin mendapat BLM berikutnya, maka warmis menutup tunggakan kelompok dengan meminjam ke tempat lain sehingga prestasi pembayaran KSM lancar. 3. Sejauh mana fasilitator perempuan dalam P2KP?
perempuan
mempengaruhi
partisipasi
Akses untuk menjadi faskel terbuka untuk yang memenuhi persyaratan administrasi. Saat melamar menjadi faskel banyak yang perempuan meskipun yang diterima banyak laki-laki. Yang menjadi faskel ekonomi banyak perempuan, sedangkan faskel lingkungan banyak laki-laki. Faskel ekonomi banyak berhubungan dengan warga karena mengurus pemberian dan pengembalian BLM. Faskel (laki-laki) di kedua kelurahan, kebanyakan tidak sensitive gender. Mereka memahami kepentingan warga adalah sama. Pembagian peran laki-laki dan perempuan memang tergantung kemampuan. Tidak menjadi masalah perempuan menjadi pemimpin di masyarakat asal dia mampu. Tidak sensitive terhadap persoalan dan kebutuhan perempuan dari faskel lakilaki di 2 kelurahan ini membuat tidak adanya dampingan yang membuat warga memahami arti kebutuhan perempuan. Meskipun untuk faskel lama sudah mendapatkan pelatihan dengan materi isu gender sedangkan faskel lain yang baru belum mendapat pelatihan apapun, tetapi belum terlihat adanya perspektif perempuan dalam implementasinya. Latar belakang faskel yang beragam dan pengalaman kerja yang terbatas mempengaruhi pola piker dan strategi faskel memahami dan mengartikan pentingnya partisipasi perempuan. Hampir semua faskel yang baru berkecimpung di pemberdayaan masyarakat merasa berat menjadi faskel pada 3 bulan pertama kerja. Tetapi ketika lewat 3 bulan akan menjadi terbiasa dan menikmati peran menjadi faskel. Jam kerja yang fleksibel membuat mereka enggan untuk bekerja di belakang meja. 7
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
-
-
-
-
-
-
-
-
Hambatan, peluang dan cara atasinya, diantaranya: Fluktuasi faskel membuat kerja tim yang sudah solid menjadi kurang. Hal ini disebabkan karena kompensasi kerja di P2KP dinilai rendah dibandingkan Program lain seperti NUSP, PISEW. Lalu kontrak kerja yang relatif singkat membuat faskel lebih leluasa berpindah ke tempat kerja lain. Untuk bandingan Program PISEW kontrak kerja 3 tahun. Di P2KP tergantung masuknya jika dari awal maka 1 tahun jika pengganti maka tergantung yang digantikan/meneruskan kontrak kerja bisa < 1 tahun). Kerja faskel tidak dilindungi asuransi pekerja. Usul untuk mendapatkan Asuransi/Jamsostek. Seringnya perubahan dalam peraturan/form isian. Hal ini membuat tidak dipercaya oleh masyarakat. Hal ini diatasi dengan mengajak warga mengobrol hal lain dulu kemudian dijelaskan bahwa ada tambahan peraturan, bukan perubahan. Dengan demikian warga menerima perubahan-2 itu. Rumitnya proposal lingkungan terutama, membuat sulit dikerjakan oleh warga yang tidak mempunyai latar belakang teknik. Biasanya faskel akan ikut membantu bahkan membuat proposal itu. Faskel merasa bekerja di bawah tekanan dua arah dari atas (target Program P2KP) dari bawah ( masyarakat). Hal ini membuat berat kerja faskel, maka faskel memilih kejar taget program. Mereka menyadari pemberdayaan masyarakat tidaklah gampang dan membuthkan waktu yang lama, tetapi target dari program lebih diutamakan untuk keberlangsungan program. Untuk atasi itu faskel berimprovisasi misal saat sosialisasi maka undangan dibatasi untuk wakil per RT saja tidak semua warga. Biasanya key person/tokoh masyarakat yang diundang sebagai focus program, begitu menurut mereka. Faskel terbebani target administrasi program, seperti mengisi logbook, laporan mingguan tentang kemajuan infrastruktur/tingkat pencairan, daily activity untuk laporan bulanan. Sehingga faskel merasa berat dan tidak ada waktu untuk membina hubungan dan pendampingan di masyarakat. Rasio faskel dan kelurahan dampingan terlalu besar. Diusulkan 1 tim faskel (5 orang) bertanggungjawab untuk 6 kelurahan saja (sekarang 1 tim untuk 9 kelurahan). Hambatan bagi faskel perempuan menurut faskel laki-laki diantaranya: jika suami cemburuan, kerja tim terganggu, jika mempunyai anak maka faskel permepuan mengundurkan diri. Upaya faskel laki mengajak perempuan dalam Program P2KP Waktu undangan menjadi perhatian, karena perempuan akan datang kalau sudah selesai urusan domestik. Misal di atas jam 10.00 perempuan rata-rata bisa hadir (ibu rumah tangga) untuk perempuan yang bekerja ketika hari libur. 8
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
-
-
Potensi perempuan untuk aktif, peduli dan mau belajar. Mereka lebih senang mengundang ibu-ibu karena akan hadir jika bapak-bapak malas datang. Untuk pekerjaan pembukuan (UPK) maka yang perempuan lebih rajin, aktif dan lebih mau belajar/pahami ketimbang UPK laki-laki yang malas dan tidak rapi pencatatannya meskipun dihubungi terlebih dahulu. Faskel yang mempunyai peran inti dalam memberdayakan masyarakat mengambil langkah pintas /improvisasi ketika mendapat tekanan dari atas maupun bawah. Dari atas adalah target program dan dari bawah adalah tuntutan masyarakat. Salah satu cara mengatasinya, faskel membatasi dalam sosialisasi misalnya. Tugas mensosialisasikan Program P2KP dimaknai secara formal, disampaikan dalam forum kepada masyarakat. Ketika kegiatan tersebut terlaksana tanpa memperhatikan esensi dari pemberdayaan yang mementingkan partisipasi proaktif masyarakat, maka tugas itu sudah gugur. (Kebun Gran)
4. Strategi apa yg diperlukan untuk mendorong capacity building agar sesuai dgn aktivitas capacity building yang ada. Ketika seorang Faskel baru masuk segera dia memperoleh coaching-coaching dari TA dan sejumlah pelatihan yang sudah reguler dari P2KP. Kelemahannya ada 2 : 1) tidak ada sertifikat, sehingga tidak jelas perbedaan antara faskel baru dan yang sudah lama, 2) seorang faskel baru bisa langsung ikut pelatihan tingkat utama tanpa melalui tingkat dasar dan madya ketika dia masuk bertepatan adanya pelatihan tersebut. Berbagai pelatihan tersebut tidak ada yang spesifik khusus tentang jender, bahkan pelatihan tentang peningkatan partisipasi perempuan dalam program P2KP. Oleh sebab itu masalah partisipasi perempuan ini tidak pernah secara khusus menjadi perhatian faskel dalam pendampingan di daerah binaan karena tiadanya konsep maupun strategi yang jelas dari P2KP. Implikasi yang terlihat jelas adalah faskel selalu mengartikan tentang jender ini dalam kaitan dengan jumlah perempuan yang hadir dalam kegiatan P2KP yang akibatnya cenderung muncul sikap mobilisasi perempuan. Implikasi lain adalah masalah kegiatan pro perempuan dalam program P2KP cenderung dilihat secara stereotip oleh faskel maupun aparat P2KP yang lebih atas, misalnya kegiatan menjahit, memasak, dll. Hal ini tampak sekali dari penyusunan PJM Pro nangkis yang dibimbing oleh faskel. Kegiatan stereotip perempuan dan laki-laki tersusun secara normatif, misal infrastruktur untuk kaum pria dan membuat kue untuk perempuan. Adapun tentang fluktuasi faskel sebenarnya lebih banyak terjadi pada faskel pria. Saat sekarang ini jumlah faskel laki-laki dan perempuan seimbang karena tingginya fluktuasi pada faskel pria. Penyebab fluktuasi adalah : 1) menjadi caleg, 2) diterima menjadi PNS atau pekerjaan lain, 3)pindah ke program pemberdayaan lain seperti Recoverry, NUSS dan PSEW, 4)tidak betah kerja ala P2KP, biasanya 3 bulan pertama adalah masa krisis yang terberat.
9
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
Problem utamanya adalah sistem kontrak yang singkat, bandingkan dengan NUSS yang 3 tahun sistem kontraknya. Di Kelurahan Kampung Bali perempuan lebih mendominasi kegiatan P2KP. Kemampuan dan keberanian bicara kaum perempuan cukup memadai. Perempuan ada juga yang menjabat sebagai ketua RT. Namun ketua BKM nya juga seorang pria, namun aktivitas perempuan dalam pembuatan keputusan maupun kegiatan P2KP memadai. Budaya Bengkulu yang “low patriarchy” mendorong kaum perempuan untuk tampil. Sesungguhnya akar permasalahan dari lemahnya tenaga pendorong untuk peningkatan capacity building adalah rendahnya anggaran yang tersedia. Problem anggaran ini berdampak pada 1) buruknya pelaksanaan dan jenis pelatihan yang diterima oleh faskel, askot/korkot, 2)rendahnya kinerja faskel dan tingginya fluktuasi di kalangan faskel yang menjadi ujung tombak program P2KP Buruknya sistem anggaran yang tersedia terlihat dari honor faskel maupun BOP untuk faskel yang sering terlambat. Pada saat studi ini dilakukan faskel sudah tidak terima honor selama dua bulan. Kedua, BOP yang diberikan untuk faskel berubah-ubah dan trendnya cenderung turun dalam beberapa bulan terakhir. Sifat mobilisasi sebagaimana yang diutarakan di atas sangat terlihat pada siklus awal P2KP. Relawan dan KSM yang menjadi informan dalam studi ini menunjukkan gejala mobilisasi tersebut, dan sebagian besar dari mereka adalah perempuan. Pengetahuan mereka tentang P2KP sangat minimal. Oleh sebab itu harapan bahwa program P2KP akan dirasakan manfaatnya bagi kaum perempuan menjadi semakin kabur dengan kecenderungan mobilisasi tersebut. 5. Strategi mana yg dapat mengatasi kurang responsifnya perempuan sbg bagian dari budaya proyek pada semua level? Budaya proyek yang melingkupi program P2KP menyebabkan cirinya yang allocative dan topdown approach, sehingga sangat sulit untuk dilakukannya inovasi atau terobosan untuk tujuan tertentu. Seperti misalnya masalah partisipasi perempuan ini yang ada pada tiap siklus P2KP, akan tetapi karena budaya proyek tersebut sangat sulit untuk mencari terobosan di luar frame P2KP yang sudah ditentukan. Adanya sistem target, kesibukan administrasi dan master schedule (tiap kegiatan ada tenggat waktunya) sehingga justru menyulitkan upaya pemberdayaan. Orang Bengkulu bilang : “arangnya habis, nasinya belum matang”. Sampai saat ini sebagaimana diutarakan pihak KMW, Korkot/Askot maupun faskel bahwa belum ada konsep, strategi maupun rincian program untuk masalah partisipasi perempuan. Sejauh pengetahuan mereka hanyalah kuota 30% yang jelas-jelas terkait dengan partisipasi perempuan. Itu pun penjabarannya membingungkan mereka. Kuota tersebut umumnya dipakai hanya pada saat awal siklus P2KP. Mulai pembentukan BKM dan selanjutnya sistem kuota tersebut umumnya tidak diindahkan. Tidak ada sistem pelatihan yang khusus tentang jender, bahkan tentang partisipasi perempuan. Salah satu poster P2KP yang dipajang di kantor KMW 10
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
juga menunjukkan tentang pentingnya peranan wanita dalam pengentasan kemiskinan. Begitu juga ketika kami diskusikan dengan faskel, korkot askot, maupun KMW, tidak ada terbetik dalam pikiran mereka terobosan macam apa yang seharusnya dikembangkan untuk meningkatkan peranan wanita. Strategi yang harus dilakukan sebagaimana saran berbagai pihak, mulai dari relawan, BKM, Faskel, Korkot hingga KMW adalah mengupayakan pelatihanpelatihan yang berkaitan dengan 1) keadministrasian : memimpin rapat, berdiskusi, surat menyurat, penyusunan proposal dll, 2) teknis, seperti penyusunan keuangan, pembuatan bestek bangunan, RAB, dll, 3) pelatihan untuk usaha produksi yang bisa diterapkan dan hasilnya bisa dipasarkan segera. Pelatihan untuk usaha produksi ini seyogyanya dilengkapi alat produksi dan modal yang bisa diambil dari dana BLM. 6. Perubahan apa saja yg diperlukan dlm desain program: staffing, training, dan program yg terkait dgn isu jender? a) Yang mendesak diperlukan adalah kuota terbatas untuk perempuan masuk dalam tim PJM Pronangkis, sehingga perempuan dapat mengungkapkan pikiran dan kebutuhan felt need yang pro perempuan. Sehingga programprogram yang akan dijalankan juga diwarnai oleh kebutuhan perempuan. Selain itu perlu adanya kuota terbatas untuk perempuan menjadi anggota BKM, faskel ascot/korkot maupun KMW. b) Selain itu, penyusunan program P2KP yang menampung agenda partisipasi perempuan, baik konsep, strategi maupun implementasinya seyogyanya segera menjadi perhatian pengurus P2KP untuk disusun dan disosialisasikan ke daerah-daerah. Tentunya hal ini harus dimulai dengan menyusun terlebih dahulu konsep dan strategi jender yang jelas dan bias diimplementasikan c) Perlu diusulkan agar ada kegiatan-kegiatan khusus untuk perempuan.
A.2. Kasus Kelurahan Kebun Geran, Kecamatan Ratu Samban, Kota Bengkulu, Propinsi Bengkulu. 1. Apa hambatan-hambatan utama dan peluang yang ada yang mempengaruhi pemberdayaan ekonomi, politik dan sosial perempuan dalam proses pembuatan keputusan? Gambaran umum terkait hambatan dan peluang dalam pemberdayaan ekonomi, sosial, dan politik perempuan, khususnya dalam proses pembuatan keputusan di Keluarahan Kebun Geran adalah sama dengan di kelurahan Dulomo Selatan dan Pohe (Gorontalo), Kelurahan Patingaloang dan Kepulauan Kodingareng (Makasar) ataupun Kelurahan Kampung Bali di Bengkulu. Artinya, secara kuantitatif kebijakan di P2KP (PAD) membuka peluang yang sangat besar bagi perempuan untuk terlibat dalam semua siklus kegiatan. Akan tetapi masih bersifat mobilisasi bukan berangkat dari kesadaran kritis tentang pentingnya pemberdayaan perempuan secara kualitatif dalam rangka memenuhi kebutuhan praktis dan strategis sebagai media pengentasan kemiskinan. Realitas seperti itu terbentuk dengan adanya tarik menarik antara
11
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
kebijakan umum P2KP terkait pemberdayaan perempuan yang bersifat kuantitatif, kualitas staf dan masyarakat dalam memahami subtansi visi dan misi P2KP, berikut model sosialisasi yang masih terjebak dalam kegiatan formalitas seperti pertemuan karena diundang. Hal itu bisa terlihat dalam pola interaksi antara KMW, Korkot, Faskel, BKM, dan KSM maupun pemerintah setempat yang belum bersinergi secara efektif, padahal mereka memiliki program yang sama yakni program yang pro poor dan pro perempuan. Keberadaan faskel yang sering berganti dan belum berpengalaman dan tidak memiliki perspektif gender dalam memfasilitasi pemberdayaan pada umumnya dan khususnya pemberdayaan perempuan memberi kontribusi tersendiri bagi langgengnya potret muram perempuan dalam proses maupun duduk sebagai pengambil kebijakan di tingkat lokal.
1.
2.
3. 4.
5.
Berbagai pihak menyadari bahwa program pemberdayaan yang ada belum dipahami sebagai program yang pro poor, apalagi pro perempuan. Hal itu terlihat dalam semua PJM Pronangkis baik di Gorontalo, Makasar, maupun Bengkulu yang belum mampu memotret kebutuhan local perempuan yang sebenarnya. Hal senadapun diungkap oleh korkot maupun staf KMW. Secara khusus adalah pemikiran staf KMW terkait dengan pemberdayaan perempuan dalam program P2KP berikut solusi alternative ke depan, yaitu sebagai berikut: Inovasi kebijakan di tingkat KMW mengalami hambatan struktural karena tidak ada ruang khusus yang memungkinkan untuk berinovasi secara institusional terkait dengan peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan di P2KP. Hal itu terkait erat dengan instrumen yang tidak jelas dan mengalami distorsi dalam proyek P2KP. Prinsip dasar keterlibatan perempuan dalam keputusan adalah agar terjadi perubahan dan kebutuhan perempuan mampu diakomodir dan keberadaan perempuan dalam struktur representatif bukan hanya dari aspek kuantitatif, tetapi secara kualitatif. Meskipun demikian, terlihat adanya konsisten dalam ketidakkonsistenan yang menyebabkan kebutuhan khusus perempuan menjadi tidak kelihatan baik dari mulai maping maupun identifikasi persoalan yang khas perempuan maupun laki-laki. Hak tersebut diperparah dengan tiadanya kontrol subtantif dari atas (KMP). Fakta yang mendukung ke arah tersebut adalah tidak terbacanya persoalan khas yang terkait dengan perempuan dan lingkungan hidup. Padahal di Bengkulu dijumpai para perempuan pemulung batubara yang terlempar terbawa arus laut dari tempat penggaliannya.Selain itupun traficking tidak menjadi sorotan, padahal Bengkulu potensial dalam hal tersebut . Fasiltator kurang jeli dalam melihat persoalan khas perempuan dan hal itupun terbebani oleh beban administratif kurang lebih 70%. Maping yang tidak memunculkan kebutuhan khas perempuan, sehingga dalam pronangkispun tidak nyata serta dipersulit dengan tidak adanya aturan khusus yang mewajibkan bahwa dalam pronangkis sebaiknya ada program penguatan khusus perempuan untuk membangun kesadaran kritis. PUG terkesan sebatas ditempelkan dalam desain program, mengalami distrosi dan sulit diinovasi, serta seolah ”kran ijtihad sudah tertutup.”
12
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
6.
”Inovasi subversif ” dilakukan untuk membangun kesadaran kritis melalui jejaring dan rekrutmen aktivis perempuan. 7. MDG’s terkait pemberdayaan perempuan merupakan tantangan tersendiri dalam proyek P2KP dan hal itu secara kuantitatif diakomodir dalam kebijakan umum dalam bentuk kuota 30%. Akan tetapi paradigma pemikiran yang mendasari terbentuknya kebijakan tersebut masih dipertanyakan karena sangat sulit untuk menghadirkan inovasi regulasi institusional di level KMW karena aturan main ”given” dari atas dan instrumen kurang jelas. Dengan demikian diharapkan inovasi institusional dalam bentuk: a) instrument terkait pemberdayaan perempuan diperjelas bukan hanya secara kuantitatif, tetapi secara kualitatif juga, misalnya dalam bentuk laporan kualitatif.b) ada kontrol program dari atas dengan pendekatan yang pro poor dan pro perempuan yang bertolak dari instrument program perempuan dan gender serta dipertegas dengan adanya indikator pengorganisasian perempuan.
1. 2. 3.
4. 5.
Sementara itu, pandangan korkot tidak jauh berbeda dengan KMW, yakni sebagai berikut: Partisipasi perempuan baru bersifat mobilisasi dengan dikeluarkannya kebijakan kuota 30% bagi keterlibatan perempuan. Kebutuhan perempuan tidak muncul dalam hasil pemetaan dan tidak tertuang dalam pronangkis Salah satu strategi untuk meningkatkan partisipasi perempuan adalah dengan cara memberi ruang khusus ataupun masuk para ”ruang khusus” perempuan seperti PKK, pengajian, arisan dll dan ada pengawalan langsung atas aspirasi para perempuan melalui ruang khusus tersebut secara berkesinambungan sampai menjadi bagian dari kebutuhan rill perempuan yang tertuang dalam PJM pronangkis. Strategi lain yang harus ditempuh adalah adanya pelatihan sensitivitas gender termasuk tentang gender budgeting bagi seluruh stakesholder dan membangun kesadaran masyarakat yang pro poor dan pro perempuan. Sinergisitas dengan para pengemban kepentingan baik dengan pemda maupun organisasi lain yang memiliki program yang sama dalam hal peningkatan partisipasi perempuan.
2. Apa saja peran “perempuan elit” sebagai relawati sosial lokal dalam mempengaruhi partisipasi perempuan miskin? Peran ”Perempuan elit” dalam mempengaruhi partisipasi perempuan miskin cenderung menggunakan pendekatan ekonomi. Maksudnya, perempuan miskin diajak terlibat dalam kegiatan P2KP agar mendapat dana pinjaman bergulir untuk menambah modal usaha. Realitas tersebut terlihat di semua tempat baik di Gorontalo, Makasar, maupun Bengkulu. Hal tersebut diperkuat dengan para pendapat perempuan miskin sebagai penerima manfaat dana bergulir yang tertuang dalam alasan mereka terlibat dalam kegiatan P2KP. Selain itu, para perempuan elit cukup besar pengaruhnya dalam menentukan 13
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
siapa yang bisa dapat dana bergulir di samping kelompoknya sendiri ataupun siapa saja mereka yang akan mendapat dana bantuan untuk rehab rumah. Relawati yang terlibat di kampung Bali berharap bahwa indikator keluarga miskin yang layak rumahnya diperbaiki agar lebih jelas sehingga mengeliminasi kesecemburuan sosial dari masyarakat. 3.
Sejauh mana fasilitator perempuan mempengaruhi partisipasi perempuan dalam P2KP? Faskel perempuan cukup berpengaruh dalam mempengaruhi partisipasi perempuan. Hal itu terlihat di semua tempat penelitian baik di Gorontalo, Makasar, maupun Bengkulu, secara khusus dalam hal berkomunikasi. Sebagian besar relawati, KSM, amupun Gakin perempuan merasa lebih nyaman dan lebih terbuka untuk berbicara dengan faskel perempuan dibandingkan dengan faskel pria. Jalinan komunikasi yang tanpa ”sekat” tanpa cukup signifikan dalam mempengaruhi partisipasi perempuan dalam P2KP. Meskipun demikian para faskel perempuan memiliki kendala tersendiri, jika dia baru menjadi faskel dan langsung terjun ke masyarakat dengan tanpa pengalaman dan tanpa pelatihan terlebih dahulu. Kondisi semacam itu menghadirkan hambatan psikologis tersendiri seperti hadirnya rasa takut, takut salah bicara, tidak percaya diri dll. Hambatan lain yang dirasakan para faskel perempuan adalah masalah karakter masayarakat dan kapasitas UPK yang beragam bahkan sulit untuk menerima perubahan administrasi. Hal itu terkait erat dengan SOP, juklak, dan juknis yang sering berubah serta sangat telatnya kedatangan buku-buku petunjuk dari pusat serta aturan P2KP yang terkesan kaku untuk bersinergis dengan pihak lain dalam menjalankan program kerja. Di Bengkulu terungkap bahwa faskel perempuan lebih suka tidak mengambil cuti melahirkan dan lebih suka mengambil cuti sakit karena gajinya dipotong atau hanya menerima gaji pokok saja. Selain itu telatnya pembayaran gaji membuat kerja kurang bersemangat serta mereka sendiripun belum memahami subtansi program secara umum apalagi terkait dengan persoalan fasilitasi sensitivitas gender dalam tataran konsep apalagi dalam menerjemahkan hal tersebut dalam bentuk praktis maupun strategis gender. Dengan demikian, mereka merasa butuh agar diadakan pelatihan sensitivitas gender termasuk gender budgeting serta staffing faskel yang berimbang antara faskel ekonomi, teknik, maupun sosial. 4. Strategi apa yang diperlukan untuk mendorong capacity building agar sesuai dengan aktivitas capacity building yang ada. Tidak ditemukan adanya pelatihan yang dirancang secara khusus terkait isu perempuan, baik di tingkat BKM, Faskel bahkan KSM. Hal ini tidak saja terjadi di Bengkulu tetapi juga di Gorontalo dan Makassar, dan tentunya akan ditemukan di lokasi-lokasi lain karena memang dalam desain P2KP tidak mencantumkan program khusus untuk perempuan. Program kegiatan 14
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
perempuan masih bersifat dititipkan dalam setiap siklus P2KP melalui model quota. Untuk model quota ini semua lokasi yang telah dikunjungi termasuk di Bengkulu persentase kehadiran perempuan telah melebihi quota yang ditetapkan. Meski pun demikian, telah disadari oleh para pelaku P2KP baik ditingkat BKM, Faskel Korkot/askot mau pun KWM bahwa tingginya partisipasi perempuan dalam daftar kehadiran terutama dalam siklus awal P2KP hingga pemilihan anggota BKM, masih lebih berupa “mobilisasi” daripada partisipasi dalam arti yang sebenarnya. Meski pun baru pada tingkat mobilisasi, dapat diamati bahwa kesadaran bermasyarakat dan bertukar pendapat dengan anggota masyarakat lain dalam forum P2KP merupakan proses pembelajaran yang positif bagi kaum perempuan perkotaan, yang dalam klasifikasi kota desa sebenarnya masih bercirikan “urban fringe” atau dalam sosiologi dikenal sebagai istilah “rurban” gabungan antara karakterisitk rural dan urban, terutama dalam menemukenali permasalahan yang mereka hadapi dan caracara memecahkan masalah kemiskinan secara bersama (dalam semangat gotong royong dalam aktifitas kerelawanan sosial). Faskel sendiri secara khusus tidak mendapatkan pelatihan mengenai isu jender (gender meanstreaming dll), sehingga kegiatan yang paling mungkin dilakukan adalah secara informal melakukan “need assessment” terhadap kegiatan yang diinginkan perempuan di lokasi kerja faskel yang direalisir dalam bentuk kegiatan pelatihan melalui KSM Sosial. Pelatihan yang awalnya cukup berhasil adalah pembuatan emping melinjo oleh KSM yang anggotanya para ibu-ibu. Emping melinjo yang ditumbuk sangat tipis ini merupakan salah satu keripik yang dijual di toko-toko sebagai “oleh-oleh khas” Bengkulu. Pelatihan pembuatan emping melinjo ini kemudian dilanjutkan dengan pembentukan KSM ekonomi berupa kelompok usaha bersama (KUBE) membuat emping. Untuk beberapa waktu berjalan lancar tetapi saat tim jender ke lokasi, kegiatan itu tidak berjalan lagi karena harga bahan bakunya (melinjo sangat mahal) menurut ukuran KSM tersebut. Persoalan sebenarnya adalah karena pemasarannya tidak jelas dalam arti tidak memiliki pasar tetap, dengan kata lain pemasaran masih bersifat captive market. Meski pun ada 1 ibu yang masih melanjutkan usahanya sendiri karena mampu memasarkan di toko-toko. Masalah pemasaran menjadi hambatan besar bagi KSM yang baru memulai usahanya, hal yang perlu digarap dalam merancang pelatihan dan pembentukan KSM KUBE. Secara umum berbagai pelatihan ditingkat KSM melalui kegiatan KSM social yang telah dilaksanakan seringkali tidak termanfaatkan karena terbentur oleh masalah modal dan pemasaran. Apabila dua masalah ini dapat dikelola dan ditangani, maka pemberdayaan perempuan yang terkait dengan peningkatan pendapatan perempuan dan keluarganya akan dapat dicapai. Faskel sendiri telah banyak dikenal oleh masyarakat, kalau pun terdapat Relawan atau anggota KSM yang tidak mengenal Faskelnya, itu disebabkan karena pergantian Faskel di beberapa lokasi cukup sering frekuensinya. 15
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
Pergantian Faskel disebabkan karena: a). rotasi rutin b). diberhentikan karena kinerjanya/moralitasnya tidak bagus c). mengundurkan diri karena berbagai sebab (pindah rumah, mendapat pekerjaan lain dll). Selain itu, kurang memasyarakatnya P2KP (terutama urusan pinjaman—KSM ekonomi) yang mencuat dalam SSI (semi struktur interview) dengan KSM disebabkan karena pada saat siklus awal masyarakat yang diundang tidak banyak yang datang. Sehingga masih banyak anggota masyarakat yang tidak mengetahui P2KP. Banyak anggota KSM yang tidak tahu siapa nama anggota lainnya dalam 1 kelompok KSM, bahkan tidak tahu nama koordinator KSM nya. Mereka hanya tahu tiap kurun waktu tertentu, yang bervariasi (rata-rata membayar tiap bulan selama 10 bulan), anggota KSM tersebut mengembalikan cicilan pinjaman langsung kepada UPK. Bagi yang mengembalikan melalui koordinator KSM, maka anggota tahu siapa nama koordinatornya. Tidak tahunya anggota terhadap nama-nama anggota KSM ekonomi lain dalam satu kelompok KSM disebabkan karena beberapa alasan: 1). KSM dibentuk hanya untuk tujuan mendapatkan pinjaman 2). Usaha ekonomi anggota KSM merupakan usaha yang bersifat masing-masing. Ketidakpedulian terhadap anggota KSM lainnya ini disebabkan karena motivasi anggota KSM ekonomi ikut dalam P2KP adalah masalah pinjaman. Hal ini sebenarnya tidak mengejutkan karena sasaran utama yang boleh meminjam dana P2KP melalui KSM ekonomi adalah mereka yang sudah memiliki usaha ekonomi, yang mayoritas bukan tergolong warga miskin yang menjadi sasaran P2KP. Rentetan realitas ini sebagai konsekwensi dari tuntutan RR (rate of return) yang ditentukan P2KP sebesar 80% dan apabila tidak dapat mencapai angka RR itu maka KSM ekonomi akan dihapuskan dan dipindahkan ke KSM Lingkungan (prosentase 70% KSM Lingkungan, KSM Ekonomi 20%, dan KSM sosial 10%). Meski pun tidak jelas ketentuan ini berasal dari mana, tetapi realitasnya dengan ketentuan ini, BKM dan Faskel sangat hati-hati dalam mimilih dan menyetujui usulan KSM ekonomi. Quota, target dan ancaman akan dihentikannya BLM untuk KSM ekonomi untuk dialihkan ke KSM Lingkungan merupakan menu sehari-hari yang harus dipenuhi oleh pelaku P2KP ditingkat BKM dan Faskel berusaha menghindari terealisasinya ancaman tersebut. Sehingga langkah-langkah inovatif, misalnya, dengan lebih banyak mendorong dan memfasilitasi terciptanya KSM baru yang dikelola sebagai usaha bersama yang diawali pemberian pelatihan dan pemberian modal sesuai usaha baru yang telah dikuasi dari hasil pelatihan tersebut, menjadi tidak tergarap secara optimal. Sekali lagi, KSM ekonomi lebih diarahkan pada pemberian dana pinjaman kepada kepada mereka yang telah lama memiliki usaha mapan Penanganan terhadap Relawan biasa nampak tidak dilakukan oleh warga setempat terutama ditingkat RT. Awal terbentuknya relawan lebih sebagai tuntutan kewajiban dan belum sampai pada penggalian SDM local yang dimanfaatkan secara kontinyu. Relawan praktis bubar setelah terbentuknya BKM. Relawan sendiri mempertanyakan kejelasan posisi dan kedudukannya dalam P2KP. Mereka dibentuk (melalui penunjukan) berdasarkan sifat 16
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
kesukarelaan warga untuk berpartisipasi dalam siklus awal P2KP. Relawan juga dibentuk/dengan penunjukan ketika KSM lingkungan mengadakan kegiatan (pembangunan jalan setapak, pembangunan saluran air dll), baik sebagai “pemborong” pekerjaan atau pun sebagai tenaga sukarela untuk menyumbangkan tenaganya tanpa imbalan uang. Setelah semua kegiatan itu selesai, maka relawan praktis tidak dihubungi dan hilang begitu saja. Meski pun ada beberapa relawan yang dikirim RT nya untuk mengikuti pemilihan dan terpilih sebagai anggota BKM, namun masih banyak relawan lain yang dilupakan begitu saja oleh RT nya sendiri mau pun oleh BKM (tidak pernah diundang dalam kegiatan apa pun meskipun mereka masih bersedia menjadi sukarelawan). Tidak heran kalau kemudian ada kecurigaan di kalangan relawan bahwa setiap kegiatan yang ada uangnya, mereka tidak diundang. Meski pun sebenarnya kegiatan yang dilakukan tersebut tidak ada uaang yang diberikan untuk tenaga sukarela baru yang ditunjuk mendadak. Relawan sebenarnya bukan hanya tenaga sukarela yang berasal dari penunjukan mau pun yang melalui tawaran spontan dalam rapat sosialisasi ditingkat RT pada siklus awal P2KP. Pengurus BKM (Relawan BKM) pun merupakan tenaga sukarela yang tidak menerima uang jasa apa pun. Perbedaan relawan biasa dengan relawan BKM cukup menonjol. Relawan biasa umumnya ibu-ibu rumah tangga dari keluarga yang berasal dari status social ekonomi biasa, beberapa memang masih single dan usia muda, dengan tingkat pendidikan SD hingga SMU sederajad. Mereka menjadi relawan atas dasar tawaran spontan di tingkat RT, sedangkan relawan BKM umumnya lakilaki (meski pun ada anggota BKM perempuan) yang dipilih melalui pemilihan langsung dalam acara pemilihan anggota BKM di tingkat Kelurahan dengan tingkat social ekonomi yang relative lebih baik dari relawan biasa, setidaknya mereka yang duduk di kepengurusan BKM umumnya mereka golongan orang yang ditokohkan warganya. Meski pun factor ketokohan ini dinilai seringkali menjadi penghambat dalam merealisir program. Koordinator BKM yang diserahkan kepada tokoh muda (caleg DPRD yang gagal) meski pun suara terbanyak dalam pemilihan diperoleh oleh koordinator lama, tidak dapat menjalankan fungsinya (tim jender tidak pernah bertemu dengan koordinator BKM Karena tidak pernah hadir dalam beberapa kali pertemuan dengan pengurus BKM di Dulongo selatan, Gorontalo). Sehingga tugas-tugas BKM di Sulomo Selatan, Gorontalo, dikerjakan oleh peraih suara terbanyak dalam pemilihan (mantan Koordinator BKM, yang menjabat juga sebagai ketua RW, Ketua LPM, Ketua Polmas dll). Respon pemkot terhadap program P2KP/PNPM cukup positif, meski pun masih lebih banyak terbatas pada masalah administrasi (urusan data SIM dan tanda tangan memerlukan persetujuan pemkot). Kerjasama untuk melakukan kegiatan bersama (pelatihan tenaga kerja misalnya) dengan dinas-dinas terkait telah dicoba tetapi tidak sampai pada tahap realisasi program karena dinas meminta sharing dana 50%: 50% yang tidak dapat dipenuhi P2KP karena terbatasnya dana yang tersedia.
17
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
Aparat Kelurahan respon aparat kelurahan cukup bervariatif. Untuk Bengkulu, Lurah cukup memahami keberadaan P2KP, meski pun aparat kelurahannya menolak untuk mengisi identitas dirinya dengan alasan tidak tahu menahu tentang P2KP, meski pun sudah dijelaskan untuk mengisi apa adanya tentang pemahaman dan ketidakterlibatannya dalam P2KP dan mengisi form identitas sebagai aparat kelurahan. Strategi lain yang menjadi rencana BKM, Faskel, Korkot dan KMW dalam kesempatan interview atau pun FGD adalah untuk dapat lebih memfokuskan pada isu-isu perempuan terutama dalam langkah konkrit memfasilitasi pelatihan perempuan dan sekaligus menyediakan akses modal untuk merealisir hasil pelatihan tersebut. Sehingga pelatihan yang dijalankan atau pun yang akan dilaksanakan dalam program mendatang tidak selesai begitu saja setelah pelatihan karena terbentur masalah modal (tidak adanya alat untuk mempraktekkan hasil pelatihan). Sehingga ada pemikiran untuk merancang pelatihan khusus untuk kaum perempuan yang kemudian memberi akses lanjutan untuk merealisir ketrampillan yang diperoleh dari hasil pelatihan tersebut, baik berupa modal (melalui KSM ekonomi) atau pun dengan memberikan alat produksi (mesin jahit, alat pembuat kue dll) sesuai dengan jenis pelatihan yang diberikan. Penetapan jenis pelatihan akan dilakukan dalam identifikasi kebutuhan dalam menyusun PJM Pronangkis dengan melibatkan kaum perempuan. Dengan strategi ini, maka PJM pronangkis akan lebih mencerminkan felt-need kaum perempuan khususnya yang menyangkut jenis kegiatan yang diinginkan warga setempat. Beberapa pelatihan yang telah dilakukan tidak berkelanjutan karena meski pun yang dilatih telah mampu membuat produk, tetapi karena terhambat modal dan peralatan, hasil pelatihan tidak dapat dimanfaatkan untuk menambah pendapatan keluarganya. 5. Strategi mana yg dapat mengatasi kurang responsifnya perempuan sbg bagian dari budaya proyek pada semua level? Strategi untuk memperbaiki tingkat responsive perempuan dalam proyek P2KP /PNPM, diberinya ruang untuk improvisasi program kegiatan terutama yang terkait langsung dengan perempaun yaitu dengan menciptakan program khusus untuk kaum perempuan dan yang dikelola oleh perempaun. Sehingga kaum perempuan bertindak sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek kegiatan yang diciptakan oleh, dan untuk perempuan. Program lain yang terkait dengan penyadaran eksistensi perempuan juga menjadi wacana yang menarik: pemahaman mengenai human trafficking, isu KDRT yang keduanya menempatkan perempuan sebagai korban yang dirugikan, untuk dijadikan bahan pemberdayaan perempuan. Penyadaran akan eksistensi perempuan dan penyadaran terhadap ancaman latent terhadap berbagai perkembangan negative yang meminta korban kaum perempuan kiranya perlu mendapat tempat dalam P2KP, sehingga kaum perempuan tidak terjebak oleh isu 18
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
pemberdayaan yang sebenarnya diperdaya oleh karena ketidaktahuan mereka. Isu-isu itu antara lain yang sempat diangkat dalam SSI dengan KMW. Dengan proses penyadaran ini maka partisipasi perempuan tidak hanya terbatas pada pemenuhan quota kehadiran yang cenderung bersifat mobilisasi, tetapi partisipasi perempuan yang lebih bermakna dan berkualitas dalam upaya pemberdayaan perempuan dalam arti yang sesungguhnya. Ruang inovasi program kegiatan cenderung tidak terpikirkan karena terkungkung oleh target dan master schedule yang ketat yang masih lebih bersifat pemenuhan kebutuhan target administrative dan bukan capaian substansial. 6. Perubahan apa saja yg diperlukan dlm desain program: staffing, training, dan program yg terkait dengan isu jender? Perlu adanya kuota terbatas untuk perempuan untuk dapat menjadi anggota BKM dan terutama untuk tim PJM Pronangkis, sebagai wadah ditingkat bawah. Dengan kuota terbatas tersebut maka yang menjadi anggota BKM dapat disesuaikan dengan melihat kualifikasi dan kemampuan perempuan. Dengan penunjukan keterwakilan terbatas ini, diharapkan perempuan mampu mengekspresikan kebutuhannya untuk dijadikan kegiatan real bagi perempuan. Karena pemaksaan kuota dalam tiap level P2KP bisa menjadi boomerang apabila tidak memperhatikan kualifikasi dan kemampuan personilnya, atau setidaknya pemaksaan quota hanya akan melahirkan partisipasi semu. Pada tingkat faskel, sejauh ini tidak ditemukan adanya masalah yang terkait dengan perbedaan faskel perempuan dan laki-laki. Baik dalam jumlah mau pun kualitasnya. Karena system rekrutmen faskel didasarkan pada kualifikasi calon faskel tanpa membedakan jenis kelaminnya. Hubungan antara Faskel perempuan dengan Faskel laki-laki merupakan hubungan reciprocal yang bersifat mutualisme . Apa yang menjadi kekurangan laki-laki dilengkapi oleh Faskel perempuan, begitu pula sebaliknya. Semangat dan kinerja faskep perempuan, menurut faskel laki-laki dan Korkot/Askot sangat tinggi. Persoalan cuti hamil memang diberikan tetapi apabila cutihamil itu diambil, maka faskel hanya mendapatkan gaji pokok. Dengan ketentuan seperti itu, meski pun ada faskel yang melahirkan anaknya maka dia cenderung memilih cepat bekerja kembali. Barangkali perlu dipikirkan agar Faskel yang mengambil cuti melahirkan tetap mendapat gaji penuh (tidak hanya gaji pokok) sebagai penghargaan terhadap kinerja perempuan dan perlindungan hak-hak nya dengan penuh. Pelatihan pemahaman materi gender mainstreaming, dan analisis jender untuk pelaku Progarm P2KP belum pernah diadakan. Materi tersebut diniloai perlu oleh para pelaku P2KP di lokasi penelitian. Materi itu dianggap perlu juga diberikan kepada aparat pemkot agar memiliki pemahaman yang kurang 19
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
lebih sama terhadap pentingya partisipasi perempuan. Kurang pahamnya aparat pemkot dinilai dapat menghambat laju kerjasama dengan dinas-dinas terkait yang menangani masalah pengentasan kemiskinan. Penentuan persentrase dalam tridaya dinilai tidak cocok diterapkan disemua lokasi. Karena ada kelurahan yang fasilitas infrastrukturnya sudah memadai, tetapi pemanfaatan dana bergulir lebih dibutuhkan warga (hanya 20%) juga KSM social (hanya 10%) dibandingkan dengan dana untuk KSM Lingkungan yang persentasenya paling besar (70%). Usual open menu dalam memberikan persentase tridaya ini merupakan usulan pelaku P2KP di lokasi penelitian karena tuntutan masyarakat terhadap layanan KSM ekonomi mau pun KSM social sangat besar. Terbangunnya infrastruktur di kelurahan tidak saja dari dana P2KP (yang relative kecil) tetapi yang menonjol dari dana NUSSP yang memang memberikan dananya untuk pembangunan fisik.
B. Kejadian / hambatan tak terduga B.1. Kasus kelurahan Kampung Bali, Kec.Teluk Segara, Bengkulu Kepala keluarga atau laki-laki dewasa sulit ditemui pada pagi/siang hari karena pekerjaan mereka sebagian besar adalah buruh. Mereka hanya mudah ditemui sore hari/malam hari, itupun dalam keadaan lelah. Akibatnya untuk wawancara SSI keluarga miskin kami harus berulangkali memasuki rumah untuk memperoleh sepasang laki-laki dan perempuan yang berusia di atas 17 tahun ke atas. B.2. Kasus kelurahan, Kebun Gran, Kec. Ratu Samban, Bengkulu Aparat kelurahan (kecuali Lurahnya) tidak bersedia mengisi data identitas diri dan pengalaman dalam melaksanakan program penanggulangan kemiskinan, dengan alasan mereka sama sekali tidak tahu menahu mengenai P2KP. Beberapa anggota KSM dalam kesempatan SSi dengan KSM menyampaikan protesnya karena merasa tidak diberi informasi mengenai adanya pinjaman dana bergulir P2KP. Masalh tersebut setelah dikonfirmasikan kepada Faskel dan anggota KSM lainnya mengatakan bahwa ketika tahap awal sosialisasi memang banyak yang tidak hadir meskipun mereka diundang. Setelah dijelaskan, maka warga KSM yang protes tersebut (warga RT 9 tetapi ikut sebagai anggota KSM di RT 10, mengantikan anggota KSM yang “diberhentikan’ karena menunggak membayar cicilan). C. Komentar lain C.1. untuk kel.Kampung Bali, Kecamatan Teluk Segara Kami menemui sejumlah keluarga miskin dengan KK adalah perempuan, sehingga kami putuskan untuk melakukan wawancara SSI dengan mereka. Kami temukan juga beberapa keluarga mendiami rumah sewaan yang tidak layak huni, dan mereka tidak tersentuh oleh program P2KP, dengan alasan bukan rumah sendiri.
20
Kajian Gender Laporan lapangan-3: Bengkulu
C.2.untuk Kel. Kebun Gran, Kecamatan Ratu Samban, Bengkulu. “Pemecatan anggota KSM” oleh coordinator KSM dan menggantikannya kepada orang lain terjadi tidak saja di Bengkulu tetapi juga di Makassar. Penyebabnya adalah anggota yang dipecat tersebut karena menunggak bayar cicilan. Sehingga tunggakannya dibayarkan oleh calon penggantinya dan penunggak mengembalikan uang cicilan kepada penggantinya dikemudian hari. Apa yang disebutkan sebagai “tanggung renteng” tidak dapat dilaksanakan oleh anggotanya karena mereka merasa meminjam atas namanya sendiri dan untuk usahanya sendiri (bukan usaha kelompok). Kelompok KSM hanya dibentuk untuk tujuan memenuhi syarat dalam memperoleh pinjaman P2KP. Penggantian anggotaq KSM dengan cara tersebut jelas bertentangan dengan pemberdayaan yang dicanangkan. Tetapi langkah itu pun tidak dapat disalahkan karena tuntutan RR 80% dan ancaman sanksi yang akan diberikan BKM bagi KSM yang kelompoknya menunggak (meski pun hanya 1 anggota yang menunggak) tidak akan dapat mengajukan pinjaman lagi.
21