PERNYATAAN POLITIK RAPAT KERJA NASIONAL 2007 PERSATUAN TUNANETRA INDONESIA
Dengan Nama dan Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, Kami segenap keluarga besar tunanetra Indonesia yang hadir dalam Rakernas Pertuni yang berlangsung dari tanggal 8-12 Januari 2007, di Wisma Tanah Air, Jakarta, ## dengan ini menyampaikan pernyataan politik sebagai berikut :
I. Pernyataan dan Rekomendasi Umum
1. Bahwa setiap orang mempunyai hak dan kedudukan yang sama untuk bebas dari perlakuan tidak adil dan segala bentuk diskriminasi dengan dasar dan alasan apapun. Oleh karena itu, negara dan seluruh komponen bangsa berkewajiban untuk melindungi hak fundamental dimaksud melalui hukum nasional serta setiap orang harus menghormati dan melaksanakan rangkaian eksistensi hak itu dengan penuh rasa tanggung jawab .
2. Beratnya beban kehidupan yang dapat diakibatkan oleh kebutaan seyogianya tidak lagi ditambah dengan sikap stereotipe, prejudis, dan diskriminasi dari pihak lain. Oleh karena itu, ketunanetraan tidak dapat menjadi penyebab dibatasi, dikurangi, dipersulit atau hilangnya hak bagi penyandangnya untuk berekspresi dan berperan secara optimal dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan berbangsa, bernegara maupun bermasyarakat.
3. Penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak tunanetra sebagaimana tersebut di atas telah dijamin dalam sejumlah instrumen hukum internasional antara lain : Piagam PBB tentang Deklarasi Universal hak azasi manusia tahun 1948, perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Covenant on economi, social, and cultural rights) dan perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (Covenant on Political and Civil rights) tahun 1966, Deklarasi tentang Hak-hak Anak, Konvensi ILO, UNESCO, UNICEF, dan WHO, Resolusi Dewan Sosial dan Ekonomi PBB Nomor 1921 (LVIII) tentang Pencegahan dan Rehabilitasi Kecacatan . Resolusi PBB Nomor 37/52 Tahun 1981 tentang Program Aksi Tahun penyandang cacat Internasional, Rekomendasi Konferensi Stockholm tahun 1987 tentang dasar-dasar filsafati hak penyandang cacat, Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua tahun 1990, Resolusi PBB
NO 48/96 Tahun 1993, tentang Standar
Ketentuan mengenai Kesamaan Kesempatan Bagi Para Penyandang Cacat, Pernyataan Salamanca tahun 1994, Biwako Millenium - Un Escap Resolution 58/4 tahun 2002 , Deklarasi Sapporo (Sidang Umum Disabled Peoples International 2002) , Dekade penyandang cacat Asia Fasific II
kurun waktu 2003-2012 dan Konferensi Sigtuna
Stockholm Swedia tahun 2002 tentang The Bill of Electoral Right for Citizen with
Disabilities (Piagam Hak Pilih bagi warga negara penyandang cacat), serta Resolusi PBB tanggal 13 Desember 2006 tentang International Convention on The Rights of Person With Disabilities. Instrumen penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak tunanetra dan penyandang cacat pada umumnya dalam skala nasional tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain : Pasal 27, Pasal 28 , Pasal 31 dan Pasal 34 UUD 1945 Hasil Amandemen, Tap MPR No XVII/1998, UU Nomor 39 tahun 1999 Tentang hak azasi manusia ( LN Tahun 1999 Nomor 165 tertanggal 23 September 1999), UU Nomor 4 tahun 1997 Tentang Penyandang cacat (LN Tahun 1997 Nomor 9 tanggal 28 Februari 1997). PP Nomor 43 tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat (LN Tahun 1998 No. 70 tanggal 21 Maret 1998).
4. Bahwa segala bentuk sikap, tindakan dan perilaku siapa pun yang mencoba atau secara nyata telah melakukan upaya yang mengakibatkan tunanetra dipersulit, dibatasi, dikurangi dan dihilangkan hak fundamentalnya, maka secara Sosioyuridis hal tersebut tidak lain adalah sikap, tindakan dan perilaku yang melecehkan, merendahkan dan mendiskreditkan harkat dan martabat tunanetra yang merupakan bagian dari bentuk pelanggaran hak azasi manusia. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat 6 UU Nomor 39 tahun 1999 yang berbunyi: “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak atau karena kelalaian secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undangundang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”
5. Bahwa setiap badan publik atau yang dipersamakan dengan itu dalam membuat regulasi, kebijakan atau sistem dan mekanisme pelayanan operasional, maka substansi yang tertuang dalam regulasi, kebijakan atau sistem dan mekanisme pelayanan operasional tersebut senantiasa terikat dan tunduk kepada aturan seperti yang disebutkan pada butir 3 di atas sebagai bagian dari keseluruhan tata hukum dan keadilan di Indonesia.
6. Oleh karena peraturan perundang-undangan telah mengakui adanya hak khusus atau pelayanan lebih bagi tunanetra dan penyandang cacat pada umumnya, terutama dalam bentuk penyediaan aksesibilitas, maka.setiap penyelenggara negara dan kemasyarakatan seharusnya melakukan prakarsa secara optimal, kongkrit dan sungguh-sungguh untuk menyediakan aksesibilitas fisik dan non fisik pada penyelenggaraan bangunan gedung atau sarana umum lainnya demi memungkinkan tunanetra dapat memperoleh kemudahan dan terhindar dari kesulitan baik karena faktor kebutaan atau karena faktor lain.
7. Menghimbau kepada elemen bangsa mulai dari jajaran Eksekutif, Legislatif, dan Judikatif serta warga masyarakat pada umumnya agar secara proaktif menciptakan iklim yang kondusif bagi upaya penyaluran potensi tunanetra tanpa persyaratan yang nyata-nyata mempersulit, menghambat atau menghilangkan hak tunanetra demi terwujudnya keadilan dan kemanfaatan penyelenggaraan negara dan kemasyarakatan yang sebesar-besarnya kepada tunanetra serta penyandang cacat pada umumnya.
8. Untuk menumbuhkan semangat partisipasi publik terhadap proses penyelenggaraan negara sebagaimana
yang
terkandung
dalam
prinsip
good
governance,
maka
setiap
pembuatan/penyusunan regulasi, kebijakan atau sistem/mekanisme penyelenggraan negara atau kemasyarakatan seyogianya melibatkan unsur tunanetra dan/atau penyandang cacat lainnya yang memiliki potensi dan kualifikasi sebagai pelaku aktif mulai dari tahap perencanaan dan pengorganisasian maupun pada tahap pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi.
II. Pernyataan dan Rekomendasi Khusus 1. Dalam rangka menindaklanjuti Resolusi PBB tanggal 13 Desember 2006 tentang Konvensi Internasional Hak Penyandang Cacat (International Convention on the Rights of Persons with Disabilities), pemerintah RI dihimbau
agar
meratifikasinya
sesegera
mungkin
dan
mengimplementasikannya secara konsekuen dan konsisten.
2. Mengingat materi Konvensi Internasional Hak Penyandang Cacat tersebut mencakup keharusan pemerintah negara-negara anggota PBB untuk meniadakan segala peraturan perundang-undangan, kebijakan atau sistem dan mekanisme pelayanan yang mengandung unsur diskriminasi maka Pemerintah RI perlu segera melakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan tentang angkutan darat, laut dan udara serta pertanggungan asuransi kecelakaan,
perkawinan,
kesehatan,
ketenagakerjaan
/
kepegawaian,
pendidikan, politik dll termasuk UU No. 4/1997 tentang penyandang cacat maupun PP NO 43/1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat dengan melahirkan peraturan perundang-undangan baru yang dapat merespon problematika dan kebutuhan tunanetra dan penyandang cacat pada umumnya di masa kini.
3. Sementara dilakukan upaya perubahan terhadap UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat beserta peraturan pelaksanaannya, pemerintah dihimbau agar segera menindaklanjuti peraturan perundang-undangan tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah, terutama PP tentang bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20 dan 22. Demikian pula halnya, menteri terkait dihimbau agar mengeluarkan peraturan/keputusan menteri yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 43/1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.
4. Setiap perbuatan pidana berupa kejahatan yang diatur dalam Hukum Pidana Umum atau khusus yang mendudukkan penyandang cacat sebagai korban, maka pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut seyogyanya menjatuhkan hukuman sepertiga lebih berat dari ancaman hukuman pokok yang ditentukan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan.
5. Setiap orang tunanetra dan penyandang cacat pada umumnya berhak untuk berekspresi
dan
berperan
secara
optimal
dalam
segala
kegiatan
penyelenggaraan politik tanpa diskriminasi atau persyaratan yang dapat mengurangi, membatasi, menghambat, mempersulit atau menghilangkan haknya. Hak politik dimaksud meliputi: a.
Hak untuk menyalurkan aspirasi politiknya baik tertulis maupun lisan
b.
Hak untuk memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum
c.
Hak untuk berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum dengan segala; tahapan dan/atau bagian penyelenggaraannya ;
d.
Hak untuk dipilih dan diangkat sebagai pejabat dalam bidang politik.
6. Setiap upaya penyediaan aksesibilitas, khususnya pengadaan panduan pencoblosan (template), penataan TPS yang aksesibel bagi pemilih penyandang cacat sesuai dengan standar universal penyelenggaraan Pemilu harus dipandang sebagai bagian yang sama kedudukannya dengan pengadaan logistik penyelenggaraan Pemilu pada umumnya sehingga setiap kebijakan penyelenggara Pemilu atau peraturan perundang-undangan mengenai sistem politik dan Pemilu yang tidak mencantumkan hal tersebut secara eksplisit, maka hal tersebut harus dipandang sebagai tindakan pelanggaran HAM. Dengan demikian substansi keberadaan aksesibilitas dimaksud harus dianggap sebagai sesuatu yang ikut berlaku dan ditaati oleh setiap otoritas sekalipun tidak tercantum secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan.
7. Setiap upaya pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi harus mencakup penyediaan aksesibilitasnya bagi pengguna tunanetra dan penyandang
cacat
pada
umumnya
sebagai
salah
satu
pemangku
kepentingannya.
8. Menghimbau agar setiap Badan/ Lembaga Penyelenggara Negara dan Kemasyarakatan segera mewujudkan kewajibannya untuk menyediakan aksesibilitas fisik maupun nonfisik agar orang tunanetra dan penyandang cacat pada umumnya dapat melakukan kegiatan kehidupannya sehari-hari secara lebih mandiri.
9. Setiap tindakan badan usaha jasa, antara lain jasa perbankan dan penerbangan, yang tidak memberi kesempatan atau memberlakukan syarat tambahan bagi tunanetra atau penyandang cacat pada umumnya untuk dapat menggunakan haknya sebagai pengguna jasa tersebut, merupakan bentuk tindakan pelecehan dan pelanggaran HAM dan haruslah dianggap tidak sah karena bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen maupun prinsip Good Corporate Governance.
10. Menolak setiap upaya yang cenderung mengidentikkan ketunanetraan dengan pengertian tidak sehat jasmani atau ketidakmampuan, sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai dasar bagi otoritas kerja untuk menolak calon tenaga kerja/pegawai yang tunanetra atau penyandang cacat pada umumnya dalam proses rekruitmen.
11. Setiap Penyelenggara Negara dan Kemasyarakatan yang memiliki otoritas dalam hubungan kedinasan/ pekerjaan tidak boleh melakukan tindakan administratif yang bersifat penghukuman, berupa pemberhentian, demosi, mutasi dan lain-lain, termasuk peniadaan hak untuk promosi, hanya karena alasan ketunanetraan atau kecacatan.
12. Setiap Badan/ Lembaga Penyelenggara Negara atau Kemasyarakatan, dihimbau segera mewujudkan kewajibannya untuk memperkerjakan sekurangkurangnya 1 (satu) orang tunanetra atau penyandang cacat lainnya untuk setiap 100 orang karyawan yang sedang atau akan ada, atau kurang dari seratus untuk badan/ Lembaga Penyelenggaraan Negara atau Kemasyarakatan yang menggunakan teknologi tinggi.
13. Setiap orang tunanetra atau Penyandang cacat pada umumnya mempunyai kesamaan kesempatan untuk memperoleh pelayanan dan menjadi bagian dari penyelenggara pendidikan pada setiap satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
14. Penyelenggara pendidikan berkewajiban menyelenggarakan pendidikan inklusif yang benar-benar memenuhi kebutuhan khusus setiap peserta didik tunanetra dan penyandang cacat pada umumnya. Kelas khusus, sekolah khusus atau bentuk-bentuk lain pemisahan anak penyandang cacat dari lingkungan regulernya hanya dilakukan jika hakikat atau tingkat kecacatannya sedemikian rupa sehingga pendidikan di kelas reguler dengan menggunakan alat-alat bantu khusus atau layanan khusus tidak dapat dilaksanakan secara memuaskan.
15. Sementara system pendidikan inklusif belum dapat dilaksanakan secara semestinya, maka SLB bagi tunanetra (khususnya pada tingkat sekolah menengah)
seyogyanya
dibenarkan
untuk
menggunakan
kurikulum
pendidikan umum yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus peserta didik tunanetra.
16. Untuk
meningkatkan
peran
organisasi
penyandang
cacat
dalam
memberdayakan dan mempercepat upaya peningkatan kesejahteraan tunanetra dan penyandang cacat pada umumnya, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran khusus sebesar 0,001 dari APBN maupun APBD.
Dikeluarkan di Jakarta pada Hari Kamis tanggal 11 Januari 2007
Atas Nama Penyelenggara dan Peserta Rakernas Pertuni Tahun 2007
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Tunanetra Indonesia
Drs. Didi Tarsidi, M.Pd.
Usup Supendi
Ketua umum
Sekertaris Jenderal
Updated January 2007