Perlu waktu bagi anak – anak itu untuk menjadi bagian dari kegelapan sebelum pohon – pohon terlihat lebih jelas. Sebelum semak – semak tinggi terlihat lebih jelas. Sebelum batang pohon terlihat seperti batang pohon. Dan daun – daun terlihat seperti daun, bukan bayang – bayang yang aneh seperti ancaman. Sebelum sebuah gubug sangat kecil
terlihat oleh mata Julia.
Gubug yang dulu dipakai para penebang liar untuk melepas lelah. Dulu sekali. Gubug yang kemudian dipakai anak – anak untuk menunggu berakhirnya malam. Julia yang banyak berfikir, menimbang kemungkinan tersesat dan tak menemukan jalan keluar seandainya mereka nekat meneruskan perjalanan
di
tengah malam itu. Lagipula ancaman dari Bang Jito sudah jauh tertinggal di belakang. Bang Jito dan Coki pastinya
masih tertidur pulas,
belum menyadari
kaburnya anak – anak. Mereka memanfaatkan daun – daun kering yang dikumpulkan angin di dalam gubug itu untuk menghindarkan tubuh dari tanah lembab. Enam anak kehangatan.
berdesak – desakan menghimpun
" Saiful, antar aku pipis, ya?" kata Julia. Saiful yang telah menemukan kehangatan di antara anak – anak lain enggan melepaskan kehangatan itu.
" Kamu pipis saja di sini." Di dalam gubug
maksudnya. " Lagipula di sini gelap. Tak akan ada yang bisa melihatmu." Julia masih malu." Saya malu," katanya. " Ayo, aku antar," kata Ramona yang merasa kasihan.
Anak itu tampil ke depan untuk menjadi
pahlawan. Tiba – tiba ia juga ingin pipis. " Di mana?" " Di sana. Dibalik sebuah pohon." Bersama Ramona, Julia merasa tak ada satu pun ancaman yang berani mendekat. " Jangan ngintip, ya." " Tidak. Aku akan berada di samping pohon, dan kamu berada dibaliknya. Ya kan?" " Ya. Betul. Kamu betul."
2
Julia dan Ramona baru saja menyelesaikan pipisnya ketika melihat cahaya berkedip – kedip mendekati gubug. Mereka menunggu. Tiba – tiba jeritan Sokib terdengar. Menyusul jeritan anak – anak yang lain. Mereka memanggil – manggil Ramona. Saiful memanggil Julia. Seandainya malam itu hari biasa, maka Ramona dengan naluri pelindung terhadap adik – adiknya tak perlu menunggu waktu untuk menghampiri suara jeritan itu. Tapi malam itu ia bersama Julia yang memegangi erat lengannya sehingga mengurungkan niatnya menolong adik – adiknya. Bersama Ramona, keberanian Julia benar – benar bisa dibangun hingga melahirkan cara berfikir yang positif sebelum bertindak. Empat anak memang perlu pertolongan. Tapi Julia yakin tak mungkin melakukan pertolongan. Lagi pula gerakan tubuh Ramona segera tertahan oleh cahaya yang tiba – tiba menubruk wajahnya. Ramona menundukkan kepala untuk menghindari cahaya. Cahaya itu mengejar, diiringi suara gedebag – gedebug langkah sepasang kaki yang tergesa – gesa ke arah mereka. 3
Maka larilah Ramona dengan menyeret lengan Julia, secepat – cepatnya. Dipicu oleh ketakutan, kaki dua anak tersebut seolah mempunyai mata. Kegelapan bukan halangan untuk berlari secepat anak rusa yang dikejar serigala. Batang – batang pohon, ketika hendak tertabrak, seolah mengeluarkan jeritan
peringatan
sehingga membelokkan langkah kaki Ramona dan Julia. Cahaya masih mengejar. Dan suara gedebug – gedebug masih terdengar di belakang. Cahaya senter berkelebatan di sela – sela batang pohon mencari sasaran. " Jangan lari, kalian!" itu suara Bang Jito. Suara pemilik senter dan langkah gedebag – gedebug. Pemilik senyum palsu dengan kumis tebal di bibirnya. Bang Jito tak perlu menunggu waktu hingga pagi untuk mengetahui kamar di dalam rumah telah kosong. Bersama Coki ia juga tak perlu waktu lama untuk
menemukan
kembali
mereka
meninggalkan kamar di dalam rumah.
4
yang
telah
Gelap malam bukan rintangan bagi mereka untuk menghafalkan setiap sudut di hutan itu. Malang menimpa empat anak di dalam gubug yang telah merasa aman dari jangkauan Bang Jito dan Coki. Terbuai oleh kehangatan yang ditawarkan gubug kecil di dalam hutan itu membuat mereka
abai
terhadap bahaya yang sewaktu – waktu bisa datang. Kapan saja. Waspadalah dengan gelap malam. Hati – hatilah dengan malam. Ia mengancam. Ia menikam. Empat
anak
bagai
lalat
–
lalat
yang
terperangkap jaring. Mereka berharap bisa keluar namun gagal. Pemilik jaring telah datang dan melakukan
penangkapan.
Dua
ekor
lalat
lebih
beruntung karena berada di luar jaring. Tapi ancaman sesungguhnya masih berada di belakang. Masih ada langkah gedebag – gedebug dan cahaya senter yang sibuk. Bang Jito masih mengejar dan berteriak, " Jangan lari!"
5
Dua lalat
lari tunggang – langgang menjauh dari
ancaman. Arah sudah bukan hal yang penting untuk diperhatikan. Asal lari saja. Maka ketika sebuah lubang yang
diciptakan
alam
dengan
bantuan
hujan
menghentikan lari mereka, itu memang sebuah resiko yang harus diterima. Dua lalat yang ketakutan menemukan diri mereka terperosok ke dalam lubang dan tak mampu bangun lagi. Sayap seekor lalat terluka dan mengeluarkan darah. Ia tak mungkin terbang lebih jauh. Oleh luka itu Ramona
tidak mengerang dan
hanya diam. Masih ada suara berisik di atasnya yang memaksanya menahan nafas dan rasa sakit. Suara kaki yang menginjak ranting dan daun - daun kering. Suara Bang Jito, " Di mana kalian, anak – anak manis? Ayo keluarlah!" Julia berdoa, Ya Tuhan jadikan kami rerumputan yang menipu mata. Jadikan kami daun kering. Jadikan kami tanah berwarna coklat. Jadikan kami… Suara di atas menjauh. Cahaya menjauh.
6
Julia memberanikan diri menggerakkan tangan, pelan dan menyentuh lengan Ramona yang basah. Kental. Seekor lalat terluka. " Ram, kau terluka?" Julia berbisik dengan sekarung kekuatirannya. " Ada ranting kering berdiri di kegelapan dan aku menabraknya," kata Ramona. Julia meraba basah itu lebih jauh. Ia menemukan daging pada lengan Ramona yang koyak. " Luka ini harus segera dibalut. Agar darah yang mengalir dapat dihentikan." Di sekolah Julia belajar melakukan pengobatan pada seseorang yang terluka. Dengan perban biasanya ia melakukan pembalutan. Tapi di hutan ini mustahil bagi Julia mendapatkan kain putih nan bersih itu. Maka dirobeklah baju putih miliknya untuk membalut luka Ramona. Gigi – gigi kecil Julia menjadi gunting. " Dengan begini, darahmu akan berhenti dan segera mengering," kata Julia dengan berbisik.
7
Ia kuatir hutan akan mendengar suaranya lalu menyampaikannya pada Bang Jito. Ramona jatuh cinta pada kata – kata Julia dan kepandaiannya membungkus luka. " Dari mana kamu belajar ini, Julia? Di sekolah juga?" anak itu bertanya. " Iya, di sekolah kami belajar banyak hal," jawab Julia. Ramona semakin senang mendengarnya. Ia melupakan sakit pada lengannya. " Misalnya apa lagi?" Julia berfikir. Seandainya Saiful di sampingnya. Saiful tak ada saat ia memerlukan bantuan. Konsentrasi Julia pecah membayangkan sesuatu yang mengerikan bakal menimpa sahabatnya itu. " Ram, apa yang akan terjadi dengan Saiful dan adik – adikmu?" Julia bertanya,
mengalihkan
pembicaraan. " Bang Jito telah menangkap mereka." Dua anak yang tersisa itu kini
didatangi
kecemasan. " Kita harus kembali ke rumah itu," Ramona berkata.
8
" Tapi kita tak mungkin merebut mereka dari Bang Jito dan Coki. Mereka besar dan kuat, sedang kita anak kecil." Ramona tak bisa menyangkal ucapan Julia barusan. Setelah itu ia tak punya persediaan kata untuk disampaikan, karenanya ia hanya menyandarkan tubuh pada dinding tanah lembab. Ia mulai berfikir tentang Johan. Seandainya Johan bisa datang dan membebaskan adik – adiknya. Sanggupkah Johan menyusuri jejaknya hingga ke hutan jati ? Ramona teringat tentang malam yang tak sepi meskipun terminal sudah sangat sepi saat Johan di sisi. Ia ingat suara sumbang Johan yang membeli kesepian di terminal. Ia teringat gitar butut Johan yang tak pernah dilepaskan meskipun ia sedang tidur. Ramona berharap Johan sekarang sedang mencarinya. Mereka masih punya tugas yang belum selesai. Tugas dari mamak, menemui ayah Ramona di penjara.
9