II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Agroforestri Agroforestri adalah nama kolektif untuk sistem dan teknologi pemanfaatan lahan dimana tumbuhan berkayu/perennial (pohon, semak belukar, palma, bambu dan sebagainya) secara sengaja digunakan pada unit pengelolaan yang sama dengan tanaman pertanian dan/atau hewan-hewan, dalam beberapa bentuk susunan ruang dan urutan waktu. Dalam sistem agroforestri terdapat interaksi ekologis dan ekonomi antara komponen-komponen yang berbeda (Lundgren dan Raintree dalam Lahjie, 2000). Sistem agroforestri merupakan kombinasi berbagai jenis pohon dengan tanaman semusim. Sistem agroforestri telah dilaksanakan sejak dahulu kala oleh petani di berbagai daerah, dengan berbagai macam iklim, jenis tanah dan sistem pengelolaannya. Jenis tanaman yang diusahakan sangat bervariasi, misalnya buahbuahan, kayu bangunan, kayu bakar, pakan, getah, umbi dan biji-bijian. Pengelolaan sistem agroforestri berbeda-beda antar petani. Tindakan pemupukan, pengolahan tanah, penyiangan, pemangkasan dan pemberantasan hama serta penyakit dan
sangat
budaya.
perbedaan
bergantung
Adanya
kuantitas
kepada
perbedaan dan
kualitas
ketersediaan pengelolaan produksi
modal, tersebut
tenaga
kerja
mengakibatkan
agroforestri,
walaupun
sistem agroforestri yang diusahakan mungkin mempunyai komponen yang sama (Noordwijk dan Lusiana dalam Hairiah dkk, 2002). Salah
satu
bentuk
perwujudan
agroforestri,
agroforest
karet
pengelolaannya hanya memerlukan modal dan biaya pemeliharaan yang rendah.
Universitas Sumatera Utara
Keuntungannya tidak hanya dari segi modal dan biaya, tetapi juga dari segi konservasi lingkungan dan keragaman hayati serta mempunyai nilai positif terhadap perbaikan kondisi hidrologi pada daerah aliran sungai. Kelemahan dari kebun karet adalah produktivitasnya rendah sehingga menjadi hambatan untuk pengembangan di masa depan, karena petani akan lebih memilih jenis tanaman atau usaha yang lebih menguntungkan (Joshi dkk, 2001). B. Jenis Agroforestri Pola agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua kategori utama, yakni sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Kedua tipe ini berasal dari dua konsepsi yang berbeda dan membutuhkan pendekatan yang berbeda pula (Foresta dkk, 2000). B. 1 Sistem Agroforestri Sederhana Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu
atau lebih tanaman
semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar (Hairiah dkk, 2002). Foresta dkk (2000), menyatakan bahwa sistem agroforestri sederhana adalah perpaduan-perpaduan konvensional yang terdiri atas sejumlah kecil unsur, menggambarkan apa yang kini dikenal dengan sebagai skema agroforestri klasik. Dari sudut penelitian dan persepsi berbagai lembaga yang menangani agroforestri, tampaknya sistem agroforestri sederhana menjadi perhatian utama. Biasanya perhatian terhadap perpaduan tanaman itu menyempit menjadi satu unsur pohon
Universitas Sumatera Utara
yang memiliki peran penting (seperti kelapa, karet, cengkeh, jati dan lain-lain) atau memiliki peran ekologi (seperti dadap dan petai cina) dan sebuah unsur tanaman musiman (misalnya padi, jagung, sayur mayur, rerumputan), dan atau jenis tanaman lain seperti pisang, kopi, kakao dan sebagainya yang juga memiliki nilai ekonomi. B. 2 Sistem Agroforestri Kompleks Sistem agroforestri kompleks atau singkatnya agroforest, adalah sistemsistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman, dan atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam primer atau sekunder. Sistem agroforestri kompleks bukanlah hutan-hutan yang ditata lambat laun melalui transformasi ekosistem secara alami, melainkan merupakan kebun-kebun yang ditanam melalui proses perladangan.
Kebun-kebun
agroforest
dibangun
pada
lahan-lahan
yang
sebelumnya dibabati kemudian ditanami dan diperkaya. Dalam kondisi terbatasnya lahan karena ledakan jumlah penduduk dan perluasan konsesi penebangan hutan dan transmigrasi serta hutan tanaman industri, lahan yang masih tersisa kebanyakan sudah berupa agroforest (Foresta dkk, 2000). B. 2. 1 Agroforest Karet (Kebun Karet Campuran) Kebun karet campuran secara ekologi bisa dianggap sebagai hutan sekunder berbasis karet. Kebun karet campuran umumnya bertahan hingga 40 tahun atau lebih, sebelum dibuka dan ditanam kembali. Sedang pertumbuhan kembali hutan sekunder dalam siklus perladangan berputar jarang melebihi 20 tahun. Jangka waktu ini memberikan lebih banyak kesempatan kepada spesies
Universitas Sumatera Utara
non-pionir asal hutan primer untuk berkembang. Di lahan-lahan agroforest karet tua yang ditinggalkan dan tidak ditanami kembali terjadi perkembangan struktur ke arah hutan tua, jumlah pohon karet semakin lama semakin berkurang. (Foresta dkk, 2000). Wanatani karet dicirikan dengan beragamnya struktur umur dan kelimpahan spesies tanaman yang tumbuh bersamaan dengan pohon karet (Beukema, 2001 dalam Joshi dkk, 2001). Struktur umur yang beragam tersebut disebabkan bukan hanya oleh alami, namun juga oleh penanaman anakan karet secara aktif dengan sisipan. Pada tingkat plot, kekayaan spesies tanaman mencapai sekitar setengah dari hutan alam, besarnya nilai kekayaan spesies dalam tingkatan yang sama telah dilaporkan pula untuk jenis burung dan mamalia (Joshi dkk, 2001). Agroforest
dapat
menjadi
contoh
sistem
pertanian
dimana
keanekaragaman hayati memberikan manfaat ekonomi secara langsung. Dalam kasus Agroforest Karet, sejak lama keanekaragaman hayati memberikan dua fungsi ekonomi yaitu menambah penghasilan petani dalam bentuk uang tunai atau pangan
untuk
konsumsi
sendiri,
sehingga
petani
mampu
mengurangi
ketergantungan terhadap karet dan manfaat yang kedua memungkinkan petani memperluas lahan yang ditanami dengan modal dan tenaga kerja minimal (Foresta dkk, 2000). Selain menghasilkan karet, agroforest karet juga menghasilkan buahbuahan, sayuran, tanaman obat, kayu pertukangan (yang semakin sulit diperoleh di daerah yang hutannya telah musnah) dan kayu bakar. Rumah tangga pedesaan tergantung pada kayu bakar, dan kebutuhan setiap harinya cukup besar. Dalam
Universitas Sumatera Utara
konteks ini, agroforest yang menjadi sumber pasokan kayu bakar yang berlimpah dan tetap, bagi petani dapat lebih bermanfaat dibanding perkebunan monokultur (Foresta dkk, 2000). Jika dibandingkan dengan perkebunan monokultur, dan sistem tata guna lahan lainnya, wanatani berbasis karet, seperti kebun karet rakyat, adalah kurang produktif dan saat ini kurang menguntungkan serta sedang menghadapi tantangan dari berbagai pilihan usaha tani. Karena tidak tersedianya insentif, petani bahkan sering memilih sistem usaha yang memberikan jasa lingkungan yang rendah yang berdampak negatif bagi pemangku kepentingan (stakeholders) luar yang sering atau bahkan jauh dari batas desa, kabupaten, propinsi dan nasional (Joshi dkk, 2001). C. Aneka Praktek Agroforest di Indonesia Di dataran tinggi Minangkabau (Sumatera Barat), hutan primer terdesak ke lereng-lereng puncak gunung. Areal khusus ini dilindungi dengan ketat oleh masyarakat setempat. Sejak lama orang Minang sudah mengenal cara bersawah, sementara cara peladangan berputar dapat dikatakan tidak ada lagi. Di daerah Maninjau kebun campuran meliputi dari 50 sampai dengan 80 persen tanah garapan, dan menjadi sebuah sabuk penyangga yang tak terputus antara desa dan persawahan dengan hutan alam yang masih dilindungi di bagian atas lereng. Berbagai tanaman, seperti kulit manis, pala, kopi, durian dan buah-buahan yang lain serta pohon kayu bermanfaat, mendominasi agroforest di sini. Seperti di Pesisir Krui, tanaman utama dipadukan dengan berbagai tanaman lain, baik liar maupun rawatan, berupa aneka buah dan kayu, bambu dan berbagai jenis palem.
Universitas Sumatera Utara
Kebun campuran di sini memberikan penghasilan yang besar yang berasal dari penjualan rempah-rempah, kopi dan durian. Sebagaimana halnya di Pesisir Krui, agroforest di Maninjau juga memasok bahan pangan pelengkap serta berbagai bahan lain, terutama produksi kayu untuk pertukangan. Agroforest ’parak’ di Maninjau mewujudkan sintesis fungsional antara pertanian dan kehutanan (Foresta dkk, 2000). Kebun pekarangan di Jawa memadukan tanaman bermanfaat asal hutan dengan tanaman khas pertanian. Semakin banyak campur tangan manusia membuat kebun itu menjadi semakin artifisial (sistem buatan yang tidak alami). Kekhasan vegetasi
hutan seringkali masih bisa ditemukan, misalnya dapat
dijumpai berbagai jenis tumbuhan bawah seperti berbagai macam pakis (fern), atau epiphyte (misalnya anggrek liar). Kekayaaan jenisnya bervariasi, beberapa pekarangan yang tidak terlalu banyak campur tangan pemiliknya memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi, yang dapat mencapai lebih dari 50 jenis tanaman pada lahan seluas 400 m². Bila diperhatikan dari struktur kanopi tajuknya, kebun-kebun itu memiliki lapisan/strata tajuk bertingkat (multi strata) mirip dengan yang dijumpai di hutan. Kemiripan dengan kanopi hutan ini menyebabkan estimasi luasan hutan berdasarkan foto udara menjadi kurang dapat dipercaya (Hairiah dkk, 2002). Kebun-kebun agroforest juga ditemukan di daerah-daerah lain di Indonesia. Di wilayah Batak, Sumatera Utara terdapat agroforest berbasis kemenyan. Hampir dimana-mana baik di Sumatera maupun di Kalimantan terdapat agroforest yang didominasi durian, seperti di wilayah Dayak, Kalimantan Barat. Di kawasan Kerinci Seblat, Jambi terdapat agroforest berbasis kayu manis,
Universitas Sumatera Utara
dan di dataran rendah bagian timur Sumatera terdapat agroforest berbasis karet yang dipadukan dengan berbagai ratusan pohon lain yang mencakup luas sekitar dua juta hektar. Di Kalimantan Barat, agroforest terbentang di antara ladang dan hutan alam, yakni sistem ’tembawang’ yang memadukan pohon tengkawang (Shorea spp) dengan pohon-pohon buah dan kayu. Di Kalimantan Timur, ada juga sistem ’lembo’ yakni agroforest buah-buahan, serta hamparan luas agroforest berbasis rotan yang tengah terancam oleh kehadiran proyek-proyek perkebunan kelapa sawit dan HTI. Di Pulau Lombok dan Sulawesi Utara ditemukan agroforest yang didominasi oleh pohon aren yang menghasilkan gula merah. Di Pulau Seram dan Maluku terdapat agroforest yang memadukan pohon kenari dan buah-buahan lain dengan pala dan cengkeh (Foresta dkk, 2000). D. Interaksi Pohon-Tanah-Tanaman Semusim Menanam pohon secara tumpang sari dengan tanaman semusim, pada satu tempat dan waktu yang bersamaan maupun bergiliran (sistem bera), merupakan pola dasar sistem agroforestri. Pada sistem agroforestri terjadi interaksi yaitu adanya proses yang saling mempengaruhi dari komponen-komponen penyusun agroforestri. Interaksi tersebut bisa positif (komplimentasi) atau negatif (kompetisi). Oleh karena itu, dalam memilih jenis pohon yang menjadi komponen agroforestri harus didasarkan pada sifat dan bentuk pohon yang berpengaruh terhadap tanaman semusim, apakah merugikan atau menguntungkan (Hairiah dan Noordwijk, 2007).
Universitas Sumatera Utara
D. 1 Proses Terjadinya Interaksi Dalam sistem pertanian campuran, kompetisi antar tanaman yang ditanam berdampingan pada satu lahan yang sama sering terjadi, bila ketersediaan sumber kehidupan tanaman berada dalam jumlah terbatas. Kompetisi ini biasanya diwujudkan dalam bentuk hambatan pertumbuhan tanaman lain. Hambatan dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Hambatan secara langsung misalnya melalui efek allelopathy, tetapi hambatan secara langsung ini jarang terjadi di lapangan. Hambatan tidak langsung dapat melalui berkurangnya intensistas cahaya karena naungan pohon, atau menepisnya ketersediaan hara dan air karena dekatnya perakaran dua jenis tanaman yang berdampingan. Tanaman kadang-kadang mempengaruhi tanaman lain melalui ’partai ketiga’ yaitu bila tanaman tersebut dapat menjadi inang bagi hama atau penyakit bagi tanaman lainnya. Walaupun pada kenyataannya di lapangan banyak juga tanaman yang ditanam secara terpisah pertumbuhannya justru kurang bagus bila dibandingkan dengan ditanam bersama dalam satu petak yang sama (misalnya penanaman pohon dadap pada kebun kopi, dadap disini selain berfungsi sebagai penambat N juga sebagai penaung) (Hairiah dkk, 2002). D. 2 Faktor Penyebab Interaksi Secara umum interaksi yang bersifat negatif menurut Hairiah dkk (2002), dapat terjadi karena : 1. Populasi Maksimum Konsep daya dukung akan merupakan konsep yang juga penting untuk diketahui oleh ahli ekologi. Konsep ini menggambarkan tentang jumlah
Universitas Sumatera Utara
maksimum dari suatu spesies di suatu area, baik sebagai sistem monokultur, atau campuran. Suatu spesies mungkin saja dapat tumbuh melimpah pada suatu lahan. Apabila dua spesies tumbuh bersama pada lahan tersebut, maka salah satu spesies lebih kompetitif daripada yang lain. Hal ini kemungkinan mengakibatkan spesies kedua akan mengalami kepunahan. Di dalam usaha pertanian, terutama tanaman pokok yang diharapkan tumbuh lebih baik. 2. Keterbatasan Faktor Pertumbuhan Salah satu syarat terjadinya kompetisi adalah keterbatasan faktor pertumbuhan (air, unsur hara dan cahaya). Pertumbuhan tanaman mengalami kemunduran jika terjadi penurunan ketersediaan satu atau lebih faktor. Kekurangan hara di suatu lahan mungkin saja terjadi karena kesuburan alami memang rendah, atau karena besarnya proses kehilangan unsur hara pada lahan tersebut, misalnya karena penguapan dan pencucian. Kekurangan air dapat terjadi karena daya menyimpan air rendah, distribusi curah hujan tidak merata, atau proses kehilangan air (aliran permukaan) yang cukup besar. Pengetahuan akan ketersediaan faktor pertumbuhan (air, cahaya dan unsur hara) dan pengetahuan akan kebutuhan tanaman ini sangat diperlukan dalam proses agroforestri.
Universitas Sumatera Utara
D. 3 Jenis Interaksi Pohon-Tanah-Tanaman Semusim Menurur Hairiah dkk (2002), pada prinsipnya ada tiga macam interaksi di dalam sistem agroforestri, yaitu : a. Interaksi positif (complimentarity = saling menguntungkan) : bila peningkatan produksi satu jenis tanaman diikuti oleh peningkatan produksi lainnya. b. Interaksi netral : bila kedua tanaman tidak saling mempengaruhi, peningkatan produksi produksi tanaman semusim tidak mempengaruhi produksi pohon atau peningkatan produksi pohon tidak mempengaruhi produksi tanaman semusim. c. Interaksi negatif (kompetisi/persaingan = saling mempengaruhi) : bila peningkatan produksi satu jenis tanaman diikuti oleh penurunan produksi tanaman lainnya, ada kemungkinan pula terjadi penurunan produksi keduanya. D. 4 Kondisi Tajuk (Crown Form) dan Kompetisi Cahaya (Ruang Tajuk/Crown Position) Secara fisiologis cahaya mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruh cahaya pada metabolisme secara langsung melalui fotosintesis, serta secara tidak langsung melalui pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Proses perkembangan yang dikendalikan oleh cahaya ditemui pada semua tahap pertumbuhan dan perkecambahan biji sampai pertumbuhan plumula hingga respon tropik dari batang dan orientasi daun, dan akhirnya pada induksi bunga (Dwidjoseputro, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Selain terjadi ketergantungan, di dalam hutan akan terjadi pula persaingan antar anggota-anggota yang hidup saling berdekatan, misalnya persaingan dalam perebutan unsur-unsur hara, air, sinar matahari ataupun tempat tumbuh. Persaingan ini tidak hanya terjadi pada tumbuhan saja, tetapi juga pada binatang. Hutan merupakan suatu ekosistem natural yang telah mencapai keseimbangan klimaks dan merupakan komunitas tetumbuhan paling besar yang mampu pulih kembali dari perubahan-perubahan yang dideritanya, sejauh tidak melampaui batas-batas yang dapat ditoleransi (Arief, 2001). Pada umumnya masyarakat hutan mengadakan suatu persaingan antar beberapa akan
jenis
pohon,
mendominasi
dimana
kehidupan
pohon di
hutan
yang
kuat
tersebut.
pertumbuhannya Pada
umumnya,
pohon-pohon besar dan tinggilah yang akan memenangkan persaingan tersebut. Misalnya di hutan hujan (rain forest) akan berkembang jenisjenis Shorea (meranti) yang menghasilkan dari jenis tumbuhan hutan (Soerianegara dkk, 1967 dalam Lahjie, 2000). Pohon-pohon pada tajuk atas terbuka terhadap cahaya matahari yang kuat suhu yang tinggi, dan angin cukup besar. Lebih banyak jenis yang menyesuaikan diri untuk hidup di dalam tajuk utama daripada mencapai lapisan yang menjulang tinggi (Whitmore, 1984 dalam Mackinnon, 2000). Klasifikasi pohon atau tajuk di Amerika Serikat mempunyai lima kelas meskipun definisi antar kelas kurang tajam sehingga cenderung menimbulkan kelas-kelas lain pada zona transisi (kodominan rendah atau intermediate tinggi) untuk beberapa maksud. Klasifikasi pohon dan tajuk menurut Kraft dalam Daniel, Helms dan Baker (1986), kelima kelas adalah tersebut, sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Pohon dominan (D). Tajuk pohon dominan tumbuh meninggi agak di atas tingkat kanopi yang umum sehingga terbuka terhadap cahaya penuh dari atas dan sedikit banyak dari samping. Kadang-kadang pada tegakan seumur tetapi jauh lebih sering pada tegakan yang tidak seumur atau tegakan tipe cadangan pohon dominan yang paling besar, karena tidak ada persaingan dari samping dengan kodominan, tumbuh menjadi kasar, bercabang besar dan banyak, dan tajuk meluas sehingga disebut pohon serigala dan merupakan anggota tegakan yang tidak diinginkan. 2. Pohon kodominan (C). Pohon ini tidak setinggi pohon dominan. Tajuknya menerima cahaya dari atas, tetapi pohon ini terkepung dari samping oleh pohon dominan sampai tingkat tertentu. Pohon-pohon itu seperti pohon dominan dan bersama-sama pohon dominan menyusun kanopi utama tegakan. 3. Pohon intermediate (I). Tajuknya menempati posisi yang lebih rendah dan mengalami kompetisi dari samping yang tajam dari kedua kelas tajuk terdahulu, walaupun pohon ini menerima sedikit cahaya langsung dari atas melalui lubang-lubang kanopi. 4. Pohon tertekan (S). Pohon-pohon ini merupakan anggota komunitas hutan yang tertekan yang tidak menerima cahaya dari atas. Eksistensinya diperoleh dari sifat baik cahaya yang yang diterima melalui kanopi atau cahaya yang diterima melalui beberapa lubang yang kebetulan terbuka. Pohon-pohon ini biasanya lemah dan tumbuh lambat. 5. Pohon mati
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Stratifikasi Tajuk Pohon (Sumber : USDA, 2006)
Metode persaingan tajuk dikembangkan untuk memberikan data jumlah ruang tumbuh maksimal yang dapat digunakan oleh pohon dan data keperluan pohon minimal untuk mempertahankan tempatnya dalam tegakan. Pohon yang tumbuh terbuka (Open Grown) harus digunakan untuk mengumpulkan data proyeksi luas tajuk vertikal dengan diameter pohon. Hal ini demikian karena hanya dengan pohon yang tumbuh terbuka hubungan luas tajuk dengan setiap diameter setinggi dada tidak dipengaruhi oleh persaingan. Luas tajuk ditemukan berhubungan erat dengan diameter setinggi dada, dan hubungan itu hampir konstan pada suatu jenis tanpa memandang tempat tumbuh dan umur. Terdapat perbedaan yang sangat nyata dalam hubungan diameter tajuk dengan diameter setinggi dada antara Picea dan jenis daun lebar, perbedaan nyata antara Carya dan Quercus rubra tetapi tidak ada perbedaan nyata antara Quercus. Dengan demikian suatu pohon dengan ruang tak terbatas tidak dapat menempati lebih daripada luas maksimal tertentu yang sebanding dengan diameter setinggi dadanya (Daniel, Helms dan Baker, 1986).
Universitas Sumatera Utara
E. Syarat Tumbuh Botani Karet (Hevea brasiliensis Muell) Dalam kerajaan tanaman atau sistem klasifikasi, kedudukan tanaman karet menurut Setiawan dan Andoko (2005), sebagai berikut : Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Dycotyledonae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Hevea
Spesies
: Hevea brasiliensis Muell Tanaman karet (H. brasiliensis Muell) merupakan pohon yang tumbuh
tinggi dan berbatang cukup besar. Pohon dewasa dapat mencapai tinggi antara 1530 m. Perakarannya cukup kuat. Akar tunggangnya dalam, dengan akar cabang yang kokoh. Pohonnya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Batangnya mengeluarkan getah yang sering di sebut lateks. Lateks inilah yang nantinya menjadi bahan baku karet. Daun karet berwarna hijau. Daun ini ditopang oleh tangkai daun utama antara 3-20 cm, sedangkan tangkai anak daunnya antar 3-10 cm. Pada setiap helai daun karet biasanya terdapat tiga helai daun. Pada ujung anak daun terdapat kelenjar. Pada musim kemarau daun karet rontok yang didahului dengan perubahan warna daun menjadi kuning atau merah (Setiawan, 2000). Karet termasuk tanaman dataran rendah, yatu bisa tumbuh baik di dataran dengan ketinggian 0-400 mdpl. Di ketinggian tersebut, suhu harian 25-30º C. Jika dalam jangka waktu yang cukup panjang suhu rata-rata kurang dari 20º C, tempat
Universitas Sumatera Utara
tersebut tidak cocok untuk budidaya karet. Suhu yang lebih dari 30º C juga mengakibatkan karet tidak bisa tumbuh dengan baik. Meskipun membutuhkan tempat yang hangat, karet juga memerlukan kelembaban yang cukup. Karenanya, wilayah dengan curah hujan yang tinggi (2.000-2.500 mm/tahun) sangat disukai tanaman ini. Lebih bagus lagi jika curah hujan tersebut merata sepanjang tahun. Sebagai tanaman tropis, karet juga membutuhkan sinar matahari sepanjang hari, minimum 5-7 jam/hari (Setiawan dan Andoko, 2005). F. Syarat Tumbuh Botani Durian (Durio zibethinus Murray) Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman durian menurut Rukmana (1996), diklasifikasikan sebagai berikut : Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Malvales
Famili
: Bombaceae
Genus
: Durio
Spesies
: Durio zibethinus Murray Deskripsi pohon durian berukuran besar dan berakar papan, tumbuhnya
bersesuian dengan model arsitektur Roux, tingginya mencapai 40 m, kulit kayunya berwarna coklat merah tua, mengelupas secara acak, kayu terasnya merah tua. Daun-daunnya berseling, berbentuk jorong sampai lanset, berukuran {10-15(-17} cm x {3-4,5(-12,5)} cm, menjangat, berpangkal lancip atau tumpul, berujung lancip melandai; permukaan bagian atas berbulu, berkilap, menjala rapat-rapat;
Universitas Sumatera Utara
permukaan bagian bawah tertutup rapat oleh sisik yang berwarna perak tua keemasan, dengan lapisan bulu bintang dibawahnya. Perbungaannya berada di cabang tua, tersusun atas 3-10 kuntum bunga, dalam bentuk tukal atau malai rata, panjangnya mencapai 15 cm; tangkai perbungaan 5-7 cm panjangnya, kuncup bunganya berbentuk bulat sampai bulat telur, berdiameter 2 cm, kelopak tambahan (epicalyx) terpecah menjadi 2-3 cuping yang berbentuk bulat sampai bulat telur berwarna keputih-putihan atau putih kehijau-hijauan, daun kelopaknya berbentuk tabung, panjangnya 3 cm, dengan 5-6 buah gigi bersegi tiga; daun mahkotanya 5 helai, berbentuk sudip; panjangnya kira-kira 2 x panjang daun kelopak, di pangkalnya menyempit menjadi cakar yang kurang tegas bentuknya; benang sarinya banyak, bersatu menjadi 5 berkas yang terpisah; tangkai putiknya berbulu, kepala putiknya membentuk bongkol. Buahnya berbentuk kapsul yang bulat, bulat telur atau lonjong, berukuran panjang mencapai 25 cm, diameternya 20 cm, berwarna hijau sampai kecoklatan, tertutup oleh duri-duri yang berbentuk piramid lebar, tajam, panjangnya sampai 1 cm; belahan umumnya 5, tebal dan berserat. Bijinya berukuran panjang sampai 4 cm, terbungkus sama sekali oleh arilus yang putih atau kekuning-kuningan, lembut dan sangat manis rasanya (Prosea, 1997). Durian sangat baik ditanam di daerah yang berketinggian antara 400-600 mdpl. Meskipun demikian, patokan ini tidak terlalu ketat. Di dataran rendah dan daerah yang berketinggian 1.000 mdpl durian masih bisa berbuah dengan baik walaupun buahnya tidak selebat tanaman pada ketinggian yang tepat. Tanah yang paling cocok untuk penanaman durian yaitu tanah yang subur, gembur dan tidak bercadas. Kedalaman air tanah yang dinginkan durian antara 1-2 m. Derajat
Universitas Sumatera Utara
kemasaman tanah sebaiknya berada pada kisaran 6-7. Tanaman durian lebih menyukai daerah yang lembap dengan curah hujan merata sepanjang tahun. Curah hujan rata-ratanya minimum 100 mm/bulan dengan bulan basah minimum sembilan bulan. Musim kemarau yang melebihi tiga bulan dapat berakibat jelek terhadap pertumbuhan bunga atau buahnya. Bahkan, dalam keadaan parah bunga atau buahnya bisa berguguran (Setiawan, 2000). G. Pengetahuan Lokal Menurut Sunaryo dan Joshi (2003), pengetahuan merupakan kapasitas manusia untuk memahami dan menginterpretasikan, baik hasil pengamatan maupun pengalaman, sehingga bisa digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Pengetahuan merupakan keluaran dari proses pembelajaran, penjelasan berdasarkan persepsi, sebagai pelaku utama pengelola sumberdaya lokal yang didalamnya tercakup pula pemahaman dan interpretasi yang masuk akal, namun pengetahuan bukanlah kebenaran yang bersifat mutlak. Selanjutnya masih menurut Sunaryo dan Joshi (2003), mendefinisikan pengetahuan
lokal merupakan
pengetahuan yang dimiliki petani oleh
sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu dalam jangka waktu yang lama, tanpa memandang masyarakat petani tersebut penduduk asli atau tidak. Jenis pengetahuan petani tentang dinamakan
Pengetahuan
cara bertani berdasarkan prinsip ekologi
Ekologi Lokal (Local
Ecological
Knowledge).
Pengetahuan Ekologi Lokal merupakan pengetahuan masyarakat yang sudah
Universitas Sumatera Utara
selaras baik dengan budaya asli maupun lingkungan dan praktek budaya dimana pengetahuan itu terbentuk. Johnson (1992) dalam Sunaryo dan Joshi (2003), mendefinisikan pengetahuan lokal merupakan sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Banyak pengetahuan lokal yang diterapkan oleh petani yang berasal dari pengalaman bertani mereka maupun para pendahulunya. Melalui aktivitas penelitian dan pengembangan secara informal, para petani manghasilkan pengetahuan baru yang pada gilirannya bisa digunakan untuk menghasilkan teknologi-teknologi baru. Praktek agroforestri sudah dilaksanakan petani berabadabad
lamanya,
namun
agroforestri
sebagai
ilmu
relatif baru. Karenanya pemahaman ilmiah tentang seperti
pengetahuan
masih
agroekosistem kompleks
praktek agroforestri tradisional ini masih lemah. Akan tetapi sudah
disadari bahwa petani dan masyarakat lokal yang mengelola berbagai macam agroekosistem telah banyak belajar dan menghasilkan pengetahuan yang kompleks,
canggih dan tepat
guna untuk
kondisi pertanian
setempat
(Sinclair dan Walker, 1998 dalam Sunaryo dan Joshi, 2003).
Universitas Sumatera Utara