2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Mangrove Mangrove merupakan sekelompok tumbuhan yang berbeda satu sama lainnya, tetapi mempunyai persamaan yaitu kemampuan beradaptasi dan fisiologi terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut (Soeroyo, 1992). Sedangkan menurut Macnae (1968) dalam Setyawan NDWD³PDQJURYH´PHUXSDNDQ perpaduan bahasa Portugis mangue (tumbuhan laut) dan bahasa Inggris grove (belukar), yakni belukar yang tumbuh di tepi laut dengan siklus hidup seperti diilustasikan pada Gambar 1. Mangrove terdiri dari 12 genus dan mencapai 60 spesies untuk tanaman berbunga (angiosperms). Diantaranya, genus yang dominan adalah Rhizopora, Avicennia, dan Brugiuera. Mangrove memiliki ciriciri sebagai berikut: (1) Memiliki toleransi terhadap garam dan tumbuh di daerah terbatas yaitu pada daerah pasang surut (2) Memiliki akar yang terpapar udara dan akar di dalam substrat yang terjalin dan terhampar secara luas pada substrat berlumpur yang membentuk suatu rangkaian akar yang sulit dilalui. (3) Mangrove mempunyai adaptasi fisiologi khusus untuk mencegah garam masuk ke dalam jaringannya, atau mensekresikan garam yang masuk ke dalam tubuhnya (4) Banyak tumbuhan mangrove bersifat viviparous, yang memproduksi biji yang dibuahi di pohon. Tumbuhan muda jatuh dari pohon ke air, kemudian mengapung, dan disebarkan oleh aliran air (Lalli and Parsons, 1997).
4
5
Biji berkecambah di pohon Tanaman muda jatuh ke air
Pertumbuhan Penyebaran air Rata-rata tinggi air terendah
Gambar 1. Ilustrasi hidup tumbuhan mangrove viviparous (Lalli and Parsons, 1997) Kebanyakan mangrove tumbuh di tempat terlindung, terjadi antara ratarata permukaan laut terendah dan rata-rata air pasang penuh dalam garis pasang surut, muara dan di beberapa terumbu karang mati (Soeroyo, 1992). Secara ekologi, sebuah komunitas mangrove bisa dibagi menjadi 3 kelompok yaitu, (1) hutan diatas air, (2) pada daerah pasang surut, dan (3) terendam di bawah daerah pasang surut. Menurut Bengen (2001) dalam Setyawan (2008), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut beberapa tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia : (1) Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
6
(2) Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. (3) Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. (4) Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Ekosistem mangrove di Indonesia umumnya terpencar-pencar dalam kelompok kecil, sebagian besar terletak di Irian (Papua). Mangrove di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Irian sudah berubah akibat kegiatan pembangunan, sedangkan di Maluku dan Nusa Tenggarra relative masih alami. Di Indonesia mangrove tumbuh pada berbagai substrat seperti lumpur, pasir, terumbu karang dan kadang-kadang pada batuan, namun paling baik tumbuh pada pantai berlumpur yang terlindung dari gelombang laut dan masukan dari sungai (Setyawan, 2008). Mangrove juga berada di wilayah dengan radiasi matahari maksimum dan kombinasi dengan kandungan nutrien yang tinggi, sehingga menghasilkan tingkat produktivitas primer kotor yang tinggi. Respirasi tumbuhan bervariasi dan mungkin berhubungan dengan tingkat stress oleh salinitas. Komunitas mangrove di dunia memberikan kontribusi produktivitas antara 350 sampai 500 g C m-2 yr -1 produksi netto/bersih ke perairan pesisir (Lalli and Parsons, 1997).
2.2 Peranan Ekosistem Mangrove Sebagai suatu ekosistem, mangrove mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis ekosistem mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan
7
(feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro (Rochana, 2007). Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Mangrove dari aspek ekologis juga membentuk penghalang yang melawan angin dan erosi di beberapa daerah yang sering terjadi badai. Pada beberapa wilayah, mangrove memfasilitasi konversi antara daerah pasang surut dan daerah semi-terestrial dengan cara menangkap dan mengakumulasi sedimen. Sistem perakaran mangrove juga menyediakan wilayah pembesaran untuk beberapa spesies ikan, udang, juvenil lobster, dan kepiting ( Lalli and Parsons, 1997). Mangrove mencegah erosi pantai, dan bertindak sebagai penghalang angin typhoons, cyclones, hurricanes, dan tsunami, membantu meminimalisir kerusakan yang terjadi pada barang-barang dan kelangsungan kehidupan manusia (Environmental Justice Foundation, 2009). Mangrove memiliki beberapa fungsi ekonomis yang bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya secara langsung. Mangrove berguna sebagai hutan produksi yang digunakan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan industri dan ekspor ( UUPK, 1967 dalam Soeroyo, 1992). Bagian pohon dari tumbuhan mangrove secara tradisional dapat digunakan sebagai kayu bakar dan arang. Kayu mangrove juga digunakan untuk konstruksi perahu dan rumah. Daunnya juga dapat digunakan untuk makanan ternak yaitu sapi dan kambing. Selain itu beberapa daun spesies mangrove tertentu digunakan untuk pembungkus rokok (Lalli and Parsons, 1997). Selain sebagai hutan produksi, lindung, dan konservasi sumber daya alam, hutan mangrove
8
mempunyai kepentingan lain, antara lain untuk daerah pemukiman, industri, areal pertanian, dan areal pertambakan (Soeroyo, 1992). Contoh peranan sosial ekonomis mangrove, baik langsung maupun tidak langsung yaitu, sebagai bahan baku chip, Tanin, obat-obatan, daerah pertambakan, dan pariwisata (Anwar dan Gunawan, 2008). Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi objek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Karakteristik hutannnya yang berada di wilayah peralihan memiliki keunikan dalam beberapa hal mnejadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Peran ekologis dan ekonomis mangrove dapat divisualisasikan pada Gambar 2. Habitat untuk burung, lebah, kera, dan hewan liar lainnya Bakteri pengurai dan herbivora Detritus Wilayah penyemaian
Perlindungan dari badai,
Moluska
gelombang, dan erosi
Juvenil
Perangkap sedimen dan
akuakultur
stabilisator wilayah pantai pengurai
Keuntungan bagi manusia: x Air bersih x Ikan, kerang, moluska, dll x Obat x Tannin x Kayu x Madu x Pelindung pantai x Alcohol x Data penelitian x Pendidikan x Pariwisata
Mendukung rantai makanan yang jauh dari Karnivora kecil
wilayah mangrove Perikanan komersial
dan nonkomersial Karnivora besar
Gambar 2. Peranan ekologis dan ekonomis mangrove (Berjak et al,1977 dalam Melana et al, 2000) 2.3 Gangguan Kelestarian Ekosistem Mangrove Secara umum gangguan terhadap kelestarian hutan mangrove dipengaruhi oleh aktivitas manusia, menurut Simbolon (1990) dalam Soeroyo (1992) dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu:
9
(1) Perubahan hutan mangrove dan penebangan liar yang bertujuan untuk usaha perikanan/pertambakan, perkebunan, dan pemukiman. (2) Pelanggaran dalam pelaksanaan pengusahaan hutan mangrove terutama terhadap jalur hijau, pohon inti, dan penanaman serta pemeliharaan yang belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. (3) Sedimentasi yang terjadi di beberapa tempat di muara sungai yang menyebabkan permukaan tanah lebih tinggi sehingga mengurangi pengaruh pasang surut air laut serat mengurangi kadar garam dalam tanah.
2.4 Hutan Mangrove di Belitung Timur Berdasarkan hasil survei pemetaan mangrove Indonesia yang dilakukan BAKOSURTANAL tahun 2009 diketahui luas tutupan mangrove di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar 64.567,396 ha. Luasan tersebut merupakan total dari area hutan mangrove yang tersebar pada 7 (tujuh) Kabupaten/Kota sebagaimana tertera pada Tabel berikut: Tabel 1.Luas Mangrove pada 7 (tujuh) Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung No. 1 2 3 4 5 6 7 Total
Kabupaten/ Kota Bangka Bangka Barat Bangka Selatan Bangka Tengah Belitung Belitung Timur Pangkalpinang
Luas (ha) 15.136,384 18.235,911 9.597,286 4.652,077 9.075,936 7.398,932 470,870 64.567,396
Sumber : BAKOSURTANAL, 2009 Berdasarkan data hasil survei BPDAS Musi tahun 2006 luas mangrove di Provinsi Bangka Belitung adalah 273.692,81 ha. Dari kegiatan inventarisasi dan identifikasi mangrove yang dilakukan BPDAS Musi ini, secara keseluruhan ditemukan 7 (tujuh) spesies, sebagai berikut :
10
(1). Pohon Bakau; Spesies Rhizophora apiculata; Family Rhizopohoraceae (2). Pohon Api-api Hitam; Spesies Avicenia marina; Family Aviceniaceae (3). Pohon Api-api Putih; Spesies Avicenia alba; Family Aviceniaceae (4). Pohon Tumu/ Siji; Spesies Bruguiera gymnorhiza; Family Rhizopohoraceae (5). Pohon Nyireh Bunga; Spesies Xylocarpus granatum; Family Meliaceae (6). Pohon Buta-buta; Spesies Excoecaria agallocha; Family Euphorbiaceae (7). Pohon Perepat; Spesies Sonneratia alba; Family Sonneratiaceae Berdasarkan hasil analisis vegetasi pohon penyusun mangrove di land system Kajapah (KJP) yang merupakan interpretasi dari citra Landsat menunjukkan sebaran mangrove yang cukup merata, di Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Bangka Belitung. Di Provinsi Bangka Belitung, mencakup daerah Kabupaten Belitung dan Belitung Timur masing ±masing seluas: 29.047 ha (7,23 %) dan 16.164 ha (4.02 %), dilihat dari aspek kekritisan mangrovenya land system ini dikategorikan menjadi tiga tingkat kekritisan yaitu tidak rusak seluas 176.535 ha ( 48,8% dari luas land system KJP), rusak sedang 57.219 ha ( 15,8%) dan rusak berat 127.801 ha ( 35,4%) (BPDAS, 2006). Pada daerah Belitung Timur, hutan mangrove sebagaian besar tumbuh disepanjang pinggir sungai Manggar. Pada daerah dekat kota Manggar sudah tidak ditumbuhi oleh hutan mangrove karena sudah menjadi pelabuhan perikanan, jalan, dan bangunan pantai.
2.4.1. Manfaat Mangrove di Belitung Timur Manfaat mangrove di Belitung terdiri dari manfaat ekologis dan ekonomis. Manfaat ekologis dari keberadaan mangrove yaitu: (1) pelindung garis dari abrasi, (2) mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, (3) mencegeah intrusi air
11
laut ke daratan, dan (4) tempat memijah berbagai biota laut (Lalli and Parsons, 1997), sebagai penagatur iklim mikro (Santoso dan Arifin, 1998 dalam Rochana, 2007). Fungsi ekonomis mangrove di Belitung Timur lebih ke bagian tubuh tumbuhannya yaitu, daun, buah, dan batang. Daun mangrove nipah digunakan untuk pembuatan atap daun, buah nipah dapat dikonsumsi secara langsung, dan batang dari beberapa jenis mangrove dapat digunakan oleh masyarakat setempat untuk kayu bakar. Selain itu pohon mangrove yang berukuran besar dapat digunakan untuk membuat perahu.
2.4.2 Kerusakan Mangrove di Belitung Timur Kerusakan hutan mangrove di Belitung Timur disebabkan sebagian besar karena adanya alih fungsi dari kawasan mangrove yang dikonversi untuk kawasan pemukiman, pertanian lahan kering, sawah, tambak,maupun untuk peruntukkan lainnya ( Departemen Kehutanan, 2007). Kerusakan yang terjadi pada hutan mangrove ini tidak diimbangi dengan upaya restorasi dari pemerintah dan tidak menjadi perhatian khusus oleh masyarakat. Penebangan pohon mangrove secara liar juga sudah mengurangi sedikit banyak luas hutan mangrove. Adanya pembangunan jalan di sepanjang pesisir pantai Belitung Timur juga mempengaruhi luas penutupan hutan mangrove. Secara ekologi pembuangan sampah sembarangan pada ekosistem mangrove di dekat sungai Manggar juga dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup mangrove beserta biota asosiasinya. Namun ini dapat berkurang jika diimbangi dengan upaya restorasi dan pelesatarian hutan mangrove oleh pemerintah Belitung Timur salah satunya dengan penetapan daerah perlindungan laut dan pesisir.
12
2.5 Metode Observasi Permukaan Bumi dengan Remote Sensing Remote sensing adalah ilmu dan seni pengumpulan informasi dengan menggunakan alat perekaman yang secara fisik tidak bersentuhan langsung dengan obyek dalam pengamatan (Yang, 2009). Remote Sensing atau penginderaan jauh adalah sebuah proses observasi, pengukuran, dan perekaman obyek atau peristiwa dari jarak tertentu. Istilah ini diciptakan pada awal 1960 ±an ketika data dikirim oleh sensor pesawat udara yang mulai menggunakan kamera fotografi untuk aplikasi yang luas bidang pada komunitas keilmuan dan manajemen sumberdaya. Teknik-teknik pengamatan yang terdapat dalam metode remote sensing sangat bervariasi. Walaupun demikian, teknik ±teknik ini pada umumnya dapat dipisahkan berdasarkan tipe flatform yang digunakannya: satelit, pesawat terbang, atau lainnya Autonomous Underwater Vehicles (AUV), balon terbang, layang-layang, dan sebagainya). Peralatan remote sensing mengukur radiasi elektromagnetik yang diemisikan atau dipantulkan oleh sebuah obyek dan mentransmisikan data secara langsung untuk dianalisis atau disimpan untuk transmisi data selanjutnya (U.S Congress, 1993). Setiap satelit remote sensing membawa sensor tertentu sesuai dengan keperluan dan karakteristik objek yang dideteksi. Sensor melakukan penyapuan pada permukaan bumi dibawah satelit atau pesawat udara dan bergerak kedepan sehingga dihasilkan suatu gambar kenampakan muka bumi dalam bentuk citra. Gambar 3 menunjukkan ilustrasi pergerakan penyapuan permukaan bumi oleh sensor satelit. Data gambar dua dimensi bisa dikoleksi dari dua tipe sensor gambar, yaitu nadir looking atau side looking (Reddy, 2008).
13
Gelombang elektromagnetik
Jalur subsatelit Titik nadir
Gambar 3. Ilustrasi sistem penyapuan oleh sensor satelit (Reddy, 2008) Sensor satelit mendeteksi pantulan energi dari porsi inframerah dan sinar tampak pada spektrum. Intensitas dan jangkauan luas dari energi inimemberikan kenampakan mengenai atmosfer yang rendah dan permukaan bumi. Radar dari satelit dan pesawat udara membangkitkan radiasi gelombang mikro yang dipantulkan oleh permukaan. Pemantulan dari gelombang mikro ini digunakan oleh peneliti untuk mempelajari ciri-ciri daratan dan mengobservasi mengenai luas penutupan salju/es (U.S Congress, 1993). Ilustrasi sistem deteksi oleh sensor seperti pada Gambar 4. Inframerah Inframerah
Radar gelombang mikro
termal
gelombang Inframerah Sinar
pendek
dekat
tampak
Pantulan radiasi gelombang mikro
Awan
Suhu dan Topografi
Lautan dan
meteorologi Bentuk permukaan
pertanian
perikanan
(darat, air, es, salju) Sumberdaya
Sumberdaya
perairan
mineral
Tata guna lahan
kehutanan
\ Sumber: Reddy, 2008 Gambar 4. Sistem sensor dan spektrum elektromagnetik yang digunakan pada perekaman data satelit dan pesawat udara
14
Remote sensing dan hubungannya dengan teknologi geospasial dapat membantu meningkatkan pemahaman mengenai ekosistem pesisir dengan beberapa cara, meskipun potensi kebenarannya sering ditantang oleh kompleksitas pada lingkungan pantai. Remote sensing dan hubungan teknologi geospasial menyediakan 5 keuntungan dalam studi pesisir (Reddy,2008), yaitu: (1) Mampu menghasilkan foto atau gambar yang mencakup area yang sangat luas, sehingga dapat dilakukan identifikasi terhadap objek, pola, dan interaksi manusia dengan daratan. (2) Remote sensing menyediakan pengukuran tambahan untuk studi mengenai pesisir dengan mengukur energi panjang gelombang yang diluar rentang penglihatan manusia. (3) Remote sensing menyediakan data deret waktu yang dapat digunakan untuk mengetahui suatu fenomena atau proses yang terjadi dalam kurun waktu tertentu dari data historis. (4) Remote sensing dapat membantu membuat koneksi pada level dan skala analisis yang berseberangan pada studi pesisir. (5) Remote sensing diintegrasikan dengan teknologi geospasial yang relevan seperti sistem informasi geografis, pemodelan dan analisis spasial yang tidak mengabaikan sistem kerja untuk monitoring lingkungan pesisir. Sejak tahun 1960- an, datangnya komputer, Sistem Informasi Geografis (SIG), dan peralatan baru untuk koleksi data, seperti satelit, sudah memberikan kemampuan pengumpulan, penyimpanan, dan manipulasi data dengan cara- cara yang berbeda. Lingkungan pesisir sebagai obyek dalam pendeteksian sensor satelit, mungkin memiliki paling banyak keunikan di dunia. Integrasi antara
15
remote sensing dan SIG secara luas sudah digunakan dalam penelitian mengenai pesisir. Bagaimanapun juga, meskipun SIG baik dalam integrasi, manajemen dan analisis data, ini bukan merupakan sumberdata maupun metode primer pengumpulan data. Remote Sensing merupakan sumber koleksi data utama dan menjadi sumber data (raw data) (Green dan King 2003). Beberapa contoh satelit remote sensing dari optik ke termal dan gelombang mikro, serta misi satelit, seperti, Terra-MODIS, Envisat-MERIS, Landsat-TM/ETM+, ALOS-SAR, Envisat-SAR, Radar Altimeters, dan lainnya variasi data ini akan memperluas masa depan yang sudah dekat dengan banyak misi lainnya yang direncanakan oleh agensi antariksa yang berbeda-beda (Chuvieco et. al, 2010).
2.5.1 Spesifikasi Satelit Landsat Secara umum dalam pendeteksian obyek di permukaan bumi diperlukan persyaratan tertentu untuk memperoleh informasi dan kenampakan obyek secara jelas sesuai dengan kebutuhan yang djabarkan pada Tabel 2. Tabel 2. Persyaratan Remote Sensing untuk deteksi obyek lautan terbuka, estuari, dan daratan Permukaan Bumi Persyaratan Parameter Lautan Terbuka Estuari Daratan Resolusi Spasial 1-10 km 20-200 m 1-30 m Cakupan Wilayah 2000 × 2000 km 200 × 200 km 200 × 200 km Frekuensi Cakupan 1-6 hari 0.5-6 jam 0.5-5 tahun Rentang Dinamis sempit luas luas Resolusi Radiometrik 10-12 bit 10-12 bit 8-10 bit Resolusi Spasial multispektral hiperspektral multispektral/hiperspektral
(Sumber :Yang, 2009) Peluncuran satelit Landsat pertama oleh National and Space Administration (NASA) pada tanggal 23 Juni 1972. Earth Resource Technology Satellite atau yang sekarang dikenal dengan Landsat merupakan program satelit tak berawak pertama yang didesain khusus untuk menghasilkan data mengenai
16
bumi dalam resolusi tingkat medium dan data multispektral. Satelit ini mempunyai orbit berbentuk sirkular (melingkar) dan sun-synchronous pada sudut inklinasi 990 (Gao, 2009). Menurut Yang (2009), data resolusi medium dari sistem Landsat dan SPOT menyediakan informasi lokal atau regional tetapi data ini tidak cocok untuk investigasi skala global karena penutupan awan dan perbedaan pada sudut serta data ini terpotong- potong dalam bentuk scene pada ukuran tertentu sehingga sulit diterapkan untuk area permukaan bumi secara keseluruhan. Spesifikasi satelit Landsat dari Landsat 1 sampai 7 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Spesifikasi Satelit Landsat
Sumber: Yang, 2009 NASA memperkenalkan program Landsat pada akhir 1960 ±an pada program penelitian eksperimental untuk menguji kemampuan perolehan multispektral, permukaan bumi pada skala resolusi menengah. Sejak itu sistem Landsat sudah terlibat dalam penyediaan data 30 meter resolusi daratan secara rutin di muka bumi. Berbagai pengguna seperti agen lokal, pusat, dan level pemerintahan, akademik, dan industri menggunakan data Landsat (U.S Congress,
17
1993). Pada penelitian ini akan digunakan data citra dari satelit Landsat TM 5 dan ETM+ 7 pada tahun akuisisi 1989, 1994, dan 2010.
2.5.2 Klasifikasi Citra Satelit/Digital Klasifikasi Citra satelit/ digital merupakan suatu proses penyusunan, pengurutan, dan pengelompokan semua piksel ke dalam beberapa kelas berdasarkan kriteria suatu obyek. Dalam pengklasifikasian citra digital secara umum dikenal 2 (dua) metode yaitu: (1) Klasifikasi Tidak Terbimbing (Unsupervised). Pada klasifikasi ini, program aplikasi mencari kelompok ± kelompok spektral piksel yang bersifat alamiah, kemudian program juga akan menandai piksel sesuai dengan hasil definisi penggunanya. (2) Klasifikasi Terbimbing (Supervised). Proses klasifikasi ini dilakukan dengan asumsi bahwa data citra digital yang bersangkutan terdiri dari beberapa band citra yang mencakup area yang sama. Pada klasifikasi ini, sebagian identitas atau tipe dari penutupan lahan sudah diketahui sebelumnya (Prahasta, 2008).
2.5.3 Indeks Vegetasi Perolehan informasi mengenai kerapatan biomassa atau vegetasi seringkali menjadi tujuan studi dan investigasi terhadap penutupan lahan (land cover). Dari beberapa wacana mengenai konsep indeks vegetasi, yang paling popular digunakan adalah Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) (Prahasta, 2008) Berdasarkan penelitian Faizal dan Amran (2005), NDVI merupakan algoritma indeks vegetasi yang cocok untuk mengamati vegetasi mangrove jenis
18
Rhizophora dengan nilai R=0,94. Nilai indeks vegetasi ini merupakan perbandingan digital kanal 4 dan 3. Nilai rasio digital untuk mangrove haruslah tinggi mengingat kanal 4 merupakan kanal inframerah (pantulan tinggi) sedangkan kanal 3 adalah kanal merah (penyerapan tinggi).
2.5.4 Analisis Perubahan dan Beda Waktu Untuk analisis perubahan seringkali dilakukan perbandingan secara langsung antara citra- citra digital yang direkam pada waktu yang berbeda yang disebut time ±series analysis. Berbeda dengan analisis perubahan, analisis beda waktu terfokus pada pengamatan perubahan-perubahan terhadap citra-citra digital beda-waktu (lebih dari 2) itu sendiri (Prahasta, 2008). Banyak tipe metode untuk mendeteksi perubahan pada data citra multispektral. Menurut Kandare (2010), metode ini dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kategori yaitu: (1) Image substraction method (metode substraksi citra). Metode ini umumnya dihubungkan pada basis nilai keabuan. Nilai keabuan dari gambar hasil substraksi menunjukkan perbedaan pada hubungan pikel antara dua buah citra (2) Image ratio method ( metode rasio citra). Pada metode ini dilakukan perhitungan rasio hubungan piksel setiap band dari dua citra pada periode yang berbeda setelah registrasi citra. (3) Change detection after classification method (metode deteksi perubahan setelah klasifikasi citra). Setiap gambar pada citra multitemporal diklasifikasi secara teripsah dan setelah itu dibandingkan gambar hasilnya.
19
Sedangkan menurut Prahasta (2008) teknik-teknik yang dimaksud adalah: (1) Image differencing. Menggunakan hasil pengurangan nilai digital menjadi nilai piksel milik citra terbaru (2) Image rationing. Sama dengan metode Image Ratio Method Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi dari metode Image substraction method, Image ratio method, dan Change detection after classification method yang terdapat pada modul Software Idrisi Andes 15 (Clark Labs/Clark University).
2.5.5 Aplikasi Remote Sensing untuk Mangrove Lingkungan pesisir terdiri dari sebuah habitat alami yang sangat luas seperti bukit pasir, pulau penghalang, daerah pasang surut, hutan mangrove, terumbu karang, dan vegetasi akuatik tergenang yang menyediakan makanan,tempat peristirahatan, tempat pemijahan untuk spesies darat dan laut. Teknologi dan ilmu remote sensing yang meliputi sensor satelit dan pesawat udara dalam akuisi data sudah memberikan cara yang praktis dalam melakukan monitoring dan memahami dinamika lingkungan pesisir. Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang berada di wilayah pesisir yang menjadi perhatian khusus karena manfaatnya. Saat ini, aplikasi remote sensing dalam monitoring mangrove sudah banyak dilakukan. Banyak sekali data satelit yang tersedia yang dapat digunakan untuk mengkaji ekosistem mangrove,terutama untuk pemetaan dan klasifikasi mangrove. Remote sensing aktif dapat memetakan struktur kanopi dari hutan mangrove yaitu melalui 3D modeling pada data Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) (Simard et al, 2010).
20
Aplikasi remote sensing untuk manajemen hutan mangrove berasal dari 3 (tiga) kategori yang digunakan untuk 3 (tiga) tujuan tertentu yaitu, (1) inventariasi sumberdaya, (2) deteksi perubahan, (3) seleksi dan inventarisasi tempat budidaya (Green et al, 2000 dalam Vaiphasa, 2006). Penginderaan jauh vegetasi mangrove didasarkan atas dua sifat penting yaitu, mangrove mempunyai zat hijau daun (klorofil) dan mangrove tumbuh di pesisir. Dua hal ini akan menjadi pertimbangan penting di dalam mendeteksi mangrove melalui satelit. Banyak sekali sensor satelit yang saat ini dapat digunakan untuk mendeteksi mangrove karena mempunyai kanal sinar merah dan kanal sinar inframerah (Susilo, 2006). Meskipun remote sensing sudah digunakan pada banyak peta tipe penutupan lahan di bumi,tetapi ini masih belum digunakan secara luas untuk memetakan mangrove karena keterbatasan spektral dan resolusi spasial pada gambar konvensional. Dengan gambar konvensional, maka penggunaan lebih ditujukan untuk membedakan mangrove dan bukan mangrove, tanpa memandang jenis mangrove. Beberapa studi yang telah ada mengenai analisi perubahan wilayah pesisir menggunakan data penginderaan jauh sebagai berikut: (1) Dewi (2005) menggunakan data Landsat Tehmatic Mapper (TM) 5 dan Landsat Enhanced Thematic Mapper (ETM+) 7 untuk mengevaluasi perubahan wilayah pesisir Kabupaten Rembang Barat. Penelitian ini dilakukan tanpa pengecekan akurasi hasil klasifikasi citra. (2) Satapathy, et.al (2007) yang mengaplikasikan penggunaan data penginderaan jauh Indian Remote Sensing (IRS) untuk kuantifikasi degradasi hutan mangrove dan manajemen wilayah pesisir di estuari
21
Godavari, Pantai Timur India. Penelitian ini dilakukan tanpa pengecekan akurasi hasil klasifikasi citra. (3) James, et.al (2007) menggunakan data penginderaan jauh yaitu data citra Landsat TM 5 dan ETM+ 7 untuk menduga perubahan dan perluasan ekosistem Mangrove di Delta Nigeria dengan rata-rata hasil pendugaan akurasi dari citra hasil klasifikasi adalah 91, 37%.