PERKIRAAN KEHILANGAN PANGAN(FOOD LOSS DAN FOOD WASTE) KOMODITAS BERAS DI INDONESIA
RISKA AMELIA MULYO
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perkiraan Kehilangan Pangan(Food Loss dan Food Waste)Komoditas Beras di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Riska Amelia Mulyo NIM I14120008
i
ABSTRAK RISKA AMELIA MULYO. Perkiraan Kehilangan Pangan (Food Loss dan Food Waste) Komoditas Beras di Indonesia. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk memperkirakan besarnya food loss dan food waste komoditas beras di Indonesia. Desain penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berkaitan dengan food loss dan food waste komoditas beras di Indonesia dengan menggunakan formula tertentu. Pengolahan data dilakukan di Bogor, Jawa Barat, pada bulan Februari – April 2016.Food loss komoditas beras yang diperkirakan besarnya pada penelitian ini meliputi tahapantahapan pemanenan, perontokan, pengeringan, dan tahapan penggilingan serta tahapan distribusi.Food waste komoditas beras meliputi food waste yang terdapat pada tingkat rumah tangga, restoran, dan rumah sakit di Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah sebesar 23.92% atau hampir ¼ beras yang diproduksi di Indonesia loss dan waste. Hal tersebut menyebabkan kerugian ekonomi senilai 86.6 triliun rupiah dan kehilangan zat gizi berupa energi sebesar 395 kkal/kap/hari dan protein sebesar 7.46 gram/kap/hari protein, serta kerugian di bidang lingkungan berupa pemborosan sumber daya alam seperti air dan udara. Kata kunci
: Beras, food loss, food waste, Indonesia.
ABSTRACT RISKA AMELIA MULYO.Estimated Food Loss and Food Waste of Rice Commodity in Indonesia. Supervised by DRAJAT MARTIANTO. The purpose of this study was to estimate the amount of food loss and food waste of rice commodity in Indonesia. The study was conducted by processing secondary data relating to food loss and food waste of rice commodity in Indonesia by using a specific formula. Data was processing in Bogor, West Java on February to April 2016. Food loss of rice commodity that is estimated in the study include the stages of harvesting, post-harvest, and distribution stages, include stages of harvesting, threshing, drying and milling stages. Food waste of rice commodity include food waste contained at the household level, restaurants and hospitals in Indonesia. The results of this study amounted that 23.92% or ¼of rice produced in Indonesia loss and waste . This causes economic losses 86.6 trillion rupiah and loss of nutrients in the form of an energy of 395 kcal / cap / day and protein at 7.46 g / cap / day of protein , as well as losses in the field of the environment in the form of waste of natural resources such as water and air. Keywords : Food loss, food waste, Indonesia, rice.
ii
iii
PERKIRAAN KEHILANGA PANGAN(FOOD LOSS DAN FOOD WASTE)KOMODITAS BERAS DI INDONESIA
RISKA AMELIA MULYO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
iv
v
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam juga penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Tema yang dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan FebruariApril 2016 adalahfood loss dan food waste, dengan judul Perkiraan Kehilangan Pangan(Food Loss dan Food Waste) Komoditas Beras di Indonesia. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si selaku dosen pembimbing akademik dan juga dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan masukan, bimbingan, dan arahan kepada penulis. Penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen penguji serta seluruh pangajar dan staff Departemen Gizi Masyarakat. Penghargaan tertinggi penulis berikan kepada Slamet Mulyono (Ayah), Sri Narti (Ibu), Tarisah (Ibu), Vera Indriaswari (Adik) serta keluarga besar atas segala doa dan kasih sayangnya. Terimakasih kepada Beasiswa Bidikmisi yang sudah mendukung perkuliahan. Terima kasih penulis sampaikan kepada sahabat seperjuangan di Gizi Masyarakat angkatan 49 (Nurul Maulida, Mardita Setia, Rethy Amiarso, Nina Dwinova, Dwi Astuti, dan Laila Nailul Muna atau Lanaya dan yang lainnya), keluarga FORSIA (Forum Syiar Islam Fakultas Ekologi Manusia) Kabinet El-Fatih (Gerry, Eka, Elsa, Salma, Ika, Laila, Rina, Ilmi, Icha dan yang lainnya), terima kasih kepada kakak-kakak dan adik-adik yang beberapa kali direpotkan atas penelitian ini, terima kasih kepada keluarga Ikatan Mahasiswa Pemalang Bogor (Elva, Kiki, Tania, Dea, Ukhti, Nita, Novi dan yang lainnya) yang senantiasa memberi dukungan, terima kasih kepada keluarga Mahasiswa Berprestasi IPB 2016 yang sudah memberikan semangat untuk segera lulus dan memberikan dukungan untuk terus mengenalkan Indonesia pada dunia. Terima kasih kepada Besta dan Ika sahabat yang tidak pernah lelah mendoakan dan memberi semangat. Terima kasih juga kepada ibu dan bapak Ika yang sudah mendukung dan membantu banyak hal selama perkuliahan, serta tidak lupa terimakasih kepada my partner atas kado terindah untuk kelulusan.
Bogor, Juni 2016
Riska Amelia Mulyo
vii
viii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat KERANGKA PEMIKIRAN METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Produksi Beras di Indonesia Food Loss Komoditas Beras di Indonesia Food Waste Komoditas Beras di Indonesia Total Food Loss dan Food Waste Komoditas Beras di Indonesia SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA
ix ix 1 1 3 3 3 4 7 7 7 7 15 15 18 33 39 41 43
ix
DAFTAR TABEL 1Jenis dan bentuk data yang digunakan dalam penelitian 7 2 Program peningkatan produksi padi di Indonesia 16 3 Produksi gabah kering giling (GKG) di Indonesia tahun 2010-2014 16 4 Jumlah penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan berasnya berdasarkan hasil produksi beras tahun 2010-2014 di Indonesia 17 5 Impor beras di Indonesia tahun 2001-2010 17 6 Perkiraan kehilangan beras pada saat pemanenan 20 7 Perkiraan kehilangan energi dan protein pada tahap pemanenan 22 8 Perkiraan kehilangan beras pada saat perontokan 23 9 Perkiraan kehilangan energi dan protein pada tahap perontokan 25 10 Perkiraan kehilangan beras pada saat pengeringan 26 11 Perkiraan kehilangan energi dan protein pada tahap pengeringan 28 12 Perkiraan kehilangan beras pada saat penggilingan 29 13 Perkiraan kehilangan energi dan protein pada tahapan penggilingan 31 14 Perkiraan kehilangan beras pada saat distribusi 32 15 Perkiraan kehilangan energi dan protein pada tahapan distribusi 33 16 Food waste beras pada rumah tangga di Indonesia 34 17 Perkiraan waste beras pada Rumah sakit di Indonesia 38 18 Perkiraan kehilangan energi dan protein kehilangan beras pada tingkat rumah sakit di Indonesia 38
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran 6 2 Skema definisi food loss FAO (2011) modifikasi 19 3 Kehilangan padi pada saat pemanenan di beberapa negara berkembang (Sumber : AGRA (2013) dan Purwanto (2005)) 21 4 Kehilangan padi pada saat perontokan di beberapa negara berkembang (Sumber : Hodges et al.( 2011) dan Purwanto (2005)) 24 5 Kehilangan padi pada saat pengeringan di beberapa negara berkembang (Sumber : Rembold et al. (2011) dan Purwanto (2005)) 27 6 Kehilangan padi pada saat pengeringan di beberapa negara berkembang (Sumber : World Bank 2011) 30
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi.Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tercantum dalam UU No. 18 tahun 2012 tentang pangan.Pangan sering diidentikan dengan beras di Indonesia karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia.Beras merupakan makanan pokok bagi lebih dari 95% penduduk Indonesia (Sugiyono et al 2006).Beras juga merupakan sumber utama pemenuhan gizi. Selain di Indonesia, beberapa negara di Asia seperti India, Sri Lanka, dan Indonesia juga menggunakan beras sebagai makanan pokoknya(Malik dan Singh 2010). Pentingnya beras di Indonesia harus diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan beras untuk seluruh penduduk Indonesia. Ketersediaan beras yang cukup merupakan representasi dari ketahanan pangan di Indonesia. Menurut UU No 18 tahun 2012 ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.Surraya (2010) ketahanan pangan adalah keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap terhadap kecukupan pangan, aman, dan bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat. Salah satu subsistem dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan (Baliwati 2004). Faktor ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya (Prabowo 2010). Ketahanan pangan juga sering dikaitkan dengan ketersediaan beras yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah sangat memperhatikan kebijakan terkait beras karena ketersediaan beras akan menentukan ketahanan pangan secara umum di Indonesia. Beberapa kebijakan pemerintah terkait dengan beras yang sudah dilakukan antara lain Bimbingan Massal pada tahun 1965, Bimbingan Massal Gotong Royong pada tahun 1969, dan Proyek Ketahanan Pangan pada tahun 2000 (Pratiwi 2008). Upaya yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan ketersediaan beras terfokus pada aspek peningkatan produksi.Indonesia telah berhasil meningkatkan produksi, sejak tahun 2008 produksi Gabah Kering Giling (GKG) di Indonesia terus meningkat.Produksi tahun 2014 sebanyak 70.83 juta ton gabah kering giling (GKG) (BPS 2015). Peningkatan produksi tidak mempengaruhi impor beras yang ada di Indonesia (Prabowo 2010). Hal ini sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukan bahwa terjadi peningkatan jumlah impor beras dari tahun 2013 ke 2014 yaitu sebesar 472 664.70 ton pada tahun 2013 menjadi 844 163.70 ton pada tahun 2014. Hal ini disebabkan karena beberapa hal antara lain karena besarnya kehilangan beras dari hasil produksi dan belum baiknya akses masyarakat baik akses fisik misalnya infrastruktur yang
2
belum memadai dan akses ekonomi misalnya pendapatan dan rendahnya daya beli (FAO 2011). Distribusi pangan dalam hal ini beras yang belum merata menyebabkan masih tingginya permasalahan gizi yang diindikasikan dengan kurangnya asupan dalam satuan kalori, hal ini dibuktikan dengan masih tingginya angka kurang gizi dan gizi buruk yang terdapat di Indonesia. Angka kurang gizi yang diindikasikan dengan kurangnya konsumsi pangan dalam satuan kalori di Indonesia masih cukup tinggi. FAO (2013) menyatakan bahwa angka kurang gizi di dunia masih didominasi oleh negara-negara di Asia termasuk Indonesia salah satunya.Fakta ini menunjukkan bahwa peningkatan produksi tidak menjamin terpenuhinya hak atas pangan di Indonesia. Oleh karena itu, peningkatan ketersediaan seharusnya tidak hanya fokus oleh peningkatan produksi akan tetapi dapat dilakukan dengan cara lain yaitu dengan menurunkan kehilangan pada tahap produksi dan distribusi (food loss) dan kehilangan pangan pada tahap konsumsi (food waste). FAO (2014) telah menggencarkan gerakan untuk mendukung peningkatan ketersediaan pangan selain dari segi peningkatan produksi yaitu dengan menurunkan besarnya bahan pangan yang mengalami kehilangan sepanjang rantai produksi dan distribusi (food loss) serta serta menurunkan kehilangan pangan pada rantai konsumsi (food waste).Food loss dan food waste merupakan salah satu permasalahan di bidang pangan dan gizi di berbagai negara (BCFN 2012). Menurut MGI (2011) pada tahun 2050 diprediksi negara-negara berkembang akan mengalami lonjakan penduduk yang berakibat pada tingginya permintaan pangan dengan kenaikan lebih dari 60%. Hal ini berarti dunia harus menyediakan pangan sesuai dengan permintaan tersebut.Ketidakmampuan untuk menyediakan pangan, tidak selalu berasal karena tingkat produksi yang rendah.Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya tingkat kehilangan pangan.Menurut FAO (2011) 33.33% atau setara dengan 1.3 triliun ton pangan yang diproduksi dunia hilang setiap tahunnya. Salah satu kehilangan yang penting adalah kehilangan beras yang merupakan komoditas penting bagi sebagian besar negara terutama di Asia.Kehilangan beras dapat terjadi pada tahapan produksi dan distribusi, biasanya meliputi kehilangan pascapanen maupun kehilangan pada tingkat konsumsi baik konsumsi pada tingkat rumah tangga maupun instansi tertentu seperti hotel, rumah sakit, dan instansi lainnya.Kehilangan pascapanen dapat terjadi pada berbagai rantai seperti pemanenan, perontokan padi, pengeringan, penyimpanan, maupun pengangkutan (ADM Institute for the Prevention of Postharvest Loss 2012). Menurut FAO (2011) di Asia tingkat kehilangan padi pada saat pascapanen yang tertinggi terjadi pada tahap penyimpanan dan penggilingan yaitu sebesar 3.74% dan 4.78% dari total produksi.Sementara itu sebesar 20% pangan jenis padi-padian di Asia khususnya Asia Selatan mengalami kehilangan pada tahap konsumsi.Menurut Iswari (2012) jumlah kehilangan padi pada saat pemanenan di Indonesia tergolong cukup tinggi yaitu sebesar 9.52%.Selain itu rata-rata waste makanan di institusi seperti rumah sakit cukup tinggi.Menurut Nida (2011) ratarata waste makanan pasien di rumah sakit >25%.Menurut Zetyra (2013) tingkat kehilangan beras pada rumah tangga pendapatan menengah sebesar 9.4 gram/kapita/hari. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Indonesia harus merespon rekomendasi FAO untuk mengurangi food loss dan food waste dalam rangka memenuhi
3
kebutuhan pangan dan gizi penduduk. Informasi mengenai besarnya food loss dan food waste khususnya dalam hal ini adalah komoditas beras sebagai komoditas perspektif ketahanan pangan Indonesia diperlukan untuk terlibat dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Sejauh ini belum tersedia informasi mengenai besarnya food loss dan food waste komoditas beras di Indonesia secara menyeluruh dari tingkat pascapanen hingga konsumsi. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai estimasi besarnya food loss dan food wastekomoditas beras di Indonesia.
Perumusan Masalah Pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan berdasarkan uraian diatas adalah : 1. Berapa besar food loss pada saat pemanenan, perontokan, pengeringan, penggilingan, dan distribusi beras di Indonesia ? 2. Berapa besar total food loss dan food wastekomoditas beras di Indonesia ? 3. Berapa besar food waste komoditas beras pada rumah tangga, restoran, dan rumah sakit di Indonesia? 4. Berapa kehilangan energi dan protein per kapita per tahunpada food loss dan food waste komoditas beras di Indonesia?
Tujuan Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan besarnya food loss dan food wastekomoditas beras di Indonesia. Tujuan Khusus 1. Memperkirakan besar food loss komoditas beras pada masing-masing tahapan meliputi pada saat pemanenan, perontokan, pengeringan, penggilingan, dan distribusi beras di Indonesia. 2. Memperkirakan besar food waste pada rumah tangga, restoran, dan rumah sakit di Indonesia. 3. Memperkirakan kehilangan energi dan protein per kapita pada food loss dan food waste komoditas beras di Indonesia.
Manfaat Manfaat bagi Peneliti Melalui penelitian ini penulis dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya selama masa perkuliahan. Selain itu penulis juga mendapatkan pengetahuan tambahan mengenai sisa makanan di Indonesia yang jumlahnya tidak sedikit dan dampaknya juga tidak ringan, hal ini merupakan sarana edukasi bagi penulis untuk tidak lagi menyisakan makanan ketika makan.
4
Manfaat bagi Institusi Penelitian ini bermanfaat bagi institusi salah satunya yaitu untuk peningkatan IPTEKS, dapat memberikan informasi tentang food loss dan food waste komoditas beras di Indonesia, baik dari aspek pangan maupun aspek gizi. Informasi ini kemudian dapat digunakan sebagai bahan edukasi pangan dan gizi. Manfaat bagi Masyarakat Masyarakat dapat mengambil manfaat dari penelitian ini berupa sebagai media untuk mendapatkan informasi food loss dan food waste komoditas beras yang ada di Indonesia dan dapat dijadikan sebagai sarana edukasi diri untuk tidak menyisakan nasi ketika makan kembali. Manfaat bagi Pemerintah Penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah, antara lain memberikan informasi berupa hilangnya pangan serta dampak negatifnya khususnya komoditas beras sebagai pangan perspektif di Indonesia sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan terkait kehilangan beras ini untuk meningkatkan ketersediaan beras yang memiliki dampak positif dibidang pangan dan gizi di Indonesia.
KERANGKA PEMIKIRAN Peningkatan jumlah penduduk di abad ke-21 sudah tidak dapat dihindari, meningkatnya populasi penduduk dunia akan memerlukan peningkatkan sumber daya, baik sumber daya air, tanah, udara dan khususnya sumber daya pangan. Penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 9.1 milyar pada tahun 2050 (Hodges et al 2010). Peningkatan jumlah penduduk tersebut memerlukan peningkatan produksi pangan hingga 70% (FAO 2009). Peningkatan kebutuhan pangan sangat perlu untuk diperhatikan khususnya komoditas pangan perspektif atau pangan yang digunakan sebagai makanan pokok. Negara-negara dengan tingkat produksi pangan yang tinggi umumnya berasal dari negara berkembang dengan teknologi pascapanen yang belum maju. Hal tersebut akan meningkatkan terjadinya kehilangan pangan pada saat proses pascapanen (FAO 2011). Indonesia sebagai negara berkembang yang juga merupakan salah satu supplier beras terbesar di Asia Tenggara juga mengalami permasalahan yang sama. Tingkat produksi yang tinggi di Indonesia yaitu mencapai 70.8 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) yang setara dengan 44.42 juta ton beras pada tahun 2014, belum memenuhi kebutuhan beras 252.2 juta penduduk Indonesia pada tahun 2014. Hal ini dibuktikan masih tingginya impor beras pada tahun tersebut yaitu sebesar 844.2 ribu ton (BPS 2015). Belum terpenuhinya kebutuhan beras murni dari produksi dalam negeri disebabkan oleh berbagai faktor antara lain karena kehilangan pascapanen dan distribusi (food loss) dan kehilangan beras pada saat konsumsi (food waste). FAO (2011) menyebutkan bahwa 33.33% pangan yang di produksi dunia hilang atau tercecer. Selama ini peningkatan
5
ketersediaan beras di Indonesia fokus pada peningkatan produksi dan melakukan impor. Kehilangan pada tahapan pascapanen dapat meliputi kehilangan pada saat pemanenan, perontokan, pengeringan, pengemasan, dan penggilingan (Iswari 2012) akan tetapi karena keterbatasan studi pendukung yang diteliti dalam studi ini adalah tahapan pemanenan, perontokan, pengeringan, dan penggilingan. Menurut Purwanto (2005) kehilangan beras pada saat pascapanen cukup tinggi yaitu mencapai 20.5% meliputi empat tahapan yang diteliti yaitu pemanenan, perontokan, pengeringan, dan penggilingan. Selain itu kehilangan yang terjadi dapat terjadi pada saat distribusi baik pada tahapan pengangkutan gabah maupun pengangkutan beras (Nugraha et al. 2007), akan tetapi dalam studi ini yang menjadi unit analisis adalah distribusi atau pengangkutan dalam bentuk beras. Beras hasil proses penggilingan akan didistribusikan ke berbagai tempat misalnya perusahaan besar, perusahaan kecil, pasar induk, pasar tradisional, atau langsung ke konsumen. Pengangkutan yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah pengangkutan hingga ke penampungan belum sampai pada konsumen. Kehilangan beras pada saat distribusi mencapai 1.5% (Bulog 1980). Kehilangan beras juga dapat terjadi pada tahap konsumsi (food waste). Kehilangan beras pada saat konsumsi dapat terjadi pada berbagai tingkatan meliputi institusi pemerintahan, non pemerintahan, maupun rumah tangga (FAO 2014). Salah satu kehilangan pada saat konsumsi yang cukup besar terjadi pada rumah sakit, rumah tangga, restoran, dan hotel (BCFN 2012). Akan tetapi dalam studi ini tidak dihitung kehilangan beras pada tingkatan hotel karena keterbatasan studi pendukung. Kehilangan beras di rumah sakit disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kondisi pasien yang tidak memungkinkan menghabiskan makanan, nafsu makan pasien yang menurun serta adanya gangguan lain seperti gangguan menelan, kehilangan beras di rumah sakit mencapai lebih dari 20% (Nida 2011). Kehilangan pada tingkat rumah tangga di Indonesia sebesar 9.4 g/kap/hari (Zetyra 2013), hal tersebut salah satunya dikarenakan terburu-buru pada saat sarapan sehingga tidak menghabiskan sarapannya. Kehilangan pada tingkat restoran mencapai 1.5 kg/kap/tahun, hal tersebut dikarenakan pemorsian yang terlalu banyak dari kebutuhan umum masyarakat Indonesia (Anriyani 2013). Kehilangan pangan baik pada tahapan produksi dan distribusi (food loss) maupun kehilangan pada saat konsumsi (food waste) menimbulkan berbagai permasalahan diberbagai bidang termasuk pangan dan gizi (menurunnya kualitas konsumsi dan peningkatan kasus giI kurang dan gizi buruk), kerugian ekonomi, dan juga kerugian dibidang lingkungan (pencemaran dan pemborosan sumber daya air, udara, hutan dan lain-lain) (BCFN 2012). Berikut merupakan bagan kerangka pemikiran penelitian ini.
6
Peningkatan penduduk
Peningkatan sumber daya
Non-Pangan
Pangan
Bukan pangan pokok: Sayuran, buah, minyak dll.
Produksi dan impor
Penurunan food loss dan food waste
Pangan pokok : Beras
1. 2. 3. 4.
Food loss
Pemanenan Perontokan Pengeringan Penggilingan
Pengemasan
Distribusi
Food waste
Hotel, Sekolah, Asrama
Penampung : Pasar induk Pasar tradisional dan lain-lain.
Konsumen
1. Rumah tangga 2. Rumah sakit 3. Restoran
Dampak negatif
Pangan dan gizi : penurunan mutu pangan dan peningkatan gizi kurang
Keterangan : : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti
Lingkungan : Pemborosan sumber daya air dan pencemaran
Ekonomi : Kerugian ekonomi Gambar 1Kerangka pemikiran
7
METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berkaitan dengan food loss danfood waste komoditas beras di Indonesia.Food loss yang diteliti meliputi tahap pemanenan, perontokan, pengeringan, penggilingan, dan distribusi, food waste yang diteliti meliputi food waste pada tingkatan rumah tangga, rumah sakit, dan restoran. Pengolahan data dilakukan di Bogor, Jawa Barat pada bulan Februari – April 2016.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berhubungan dengan food loss dan food waste komoditas beras di Indonesia. Berikut merupakan rincian data yang digunakan dalam penelitian ini. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1Jenis dan bentuk data yang digunakan dalam penelitian Bentuk data Jenis data Sumber Produksi GKG Indonesia tahun 2010-2014 Sekunder BPS Impor beras Indonesia tahun 2010-2014 Sekunder BPS Jumlah pengunjung restoran Indonesia 2010-2014 Sekunder BPS Jumlah penduduk Indonesia 2010-2014 Sekunder BPS
Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah menggunakan Microsoft Excel 2007 for windows.Data diolah dengan metode perkiraan masing-masing sumber data untuk memperoleh data perkiraan keseluruhan di Indonesia yang direpresentasikan pada tahapan dan tingkatan terjadinya food loss dan food waste. Berikut merupakan formula untuk perhitungan estimasi food loss dan food waste komoditas beras di Indonesia. PerkiraanLoss pada Tahapan Pemanenan Setelah data sekunder diperoleh yaitu meliputi data produksi Gabah Kering Giling (GKG) di Indonesia dan data faktor koreksi kehilangan pada saat pemanenan menurut Purwanto (2005), makaperkiraan kehilangan Gabah Kering Panen (GKP) pada saat pemanenan dapat dihitung menggunakan formula berikut. Kemudian akan dikalikan dengan faktor konversi sebesar 62.74% (faktor konversi GKG menjadi beras) sehingga didapatkan estimasi kehilangan beras pada saat pemanenan. LP =[Prodx X 100] X Fp 86.02
8
Keterangan : LP : Kehilangan beras pada saat pemanenan (Juta ton GKP) Prodx : Produksi GKG tahun-x (Juta ton) Fp : Faktor koreksi kehilangan pada saat pemanenan (9.52 %) 100/86.02 : Faktor konversi GKG ke GKP Setelah didapatkan data kehilangan pada tahapan pemanenan dalam bentuk beras dalam satuan juta ton kemudian hasil tersebut dijadikan dalam bentuk gram/kapita/hari dengan menggunakan formulas berikut. KBP (g/kap/hari) = LP/JP/365 Keterangan : KBP : Kehilangan beras pada saat pemanenan (g/kap/hari) LP : Kehilangan beras pada saat pemanenan (Juta ton GKP) JP : Jumlah penduduk (Juta jiwa) Setelah didapatkan kehilangan beras dalam satuan gram/kapita/hari kemudian dilakukan perhitungan kehilangan energi dan protein per kapita dari kehilangan pada saat pemanenan. Berikut merupakan formula kehilangan energi dan protein per kapita. KEPA (kkal/kap/hari) = BDD/100 x KBP/100 x Eb Keterangan : KEPA BDD KBP Eb
: Kehilangan energi pada saat pemanenan (kkal/kap/hari) : Berat yang dapat dimakan (Edible portion) : Kehilangan pada saat pemanenan (g/kap/hari) : Kandungan energi beras (Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan 2012) KPP (g/kap/hari) = BDD/100 x KBP/100 x Pb
Keterangan : KPP BDD KBP Pb
: Kehilangan protein pada saat pemanenan (gram/kap/hari) : Berat yang dapat dimakan (Edible portion) : Kehilangan pada saat pemanenan (g/kap/hari) : Kandungan protein beras (Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan 2012)
Perkiraan Loss pada Tahapan Perontokan Setelah data sekunder diperoleh yaitu meliputi data produksi Gabah Kering Giling (GKG) di Indonesia dan data faktor koreksi kehilangan pada saat perontokan mengacu pada Purwanto (2005), maka perkiraan kehilangan Gabah Kering Panen (GKP) pada saat perontokan dapat dihitung menggunakan formula berikut. Kemudian akan dikalikan dengan faktor konversi sebesar 62.74% (untuk mengubah GKG menjadi beras) sehingga didapatkan perkiraan kehilangan beras pada saat perontokan. LR = =[Prodx X 100] X Fr 86.02
9
Keterangan : LR : Kehilangan beras pada saat perontokan (Juta ton GKP) Prodx : Produksi GKG tahun-x (Juta ton) Fr : Faktor koreksi kehilangan pada saat perontokan(4.78%) 100/86.02 : faktor konversi GKG ke GKP Setelah didapatkan data kehilangan pada tahapan perontokan dalam bentuk beras dalam satuan juta ton kemudian hasil tersebut dijadikan dalam bentuk gram/kapita/hari dengan menggunakan formulas berikut. KBR (g/kap/hari) = LR/JP/365 Keterangan : KBR : Kehilangan beras pada saat perontokan (g/kap/hari) LR : Kehilangan beras pada saat perontokan (Juta ton GKP) JP : Jumlah penduduk (Juta jiwa) Setelah didapatkan kehilangan beras dalam satuan gram/kapita/hari kemudian dilakukan perhitungan kehilangan energi dan protein per kapita dari kehilangan pada saat perontokan. Berikut merupakan formula kehilangan energi dan protein per kapita. KER (kkal/kap/hari) = BDD/100 x KBR/100 x Eb Keterangan : KER BDD KBR Eb
: Kehilangan energi pada saat perontokan (kkal/kap/hari) : Berat yang dapat dimakan (Edible portion) : Kehilangan pada saat perontokan (g/kap/hari) : Kandungan energi beras (Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan 2012) KPR (g/kap/hari) = BDD/100 x KBR/100 x Pb
Keterangan : KPR BDD KBR Pb
: Kehilangan protein pada saat perontokan (gram/kap/hari) : Berat yang dapat dimakan (Edible portion) : Kehilangan pada saat perontokan (g/kap/hari) : Kandungan protein beras (Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan 2012)
Perkiraan Loss pada Tahapan Pengeringan Setelah data sekunder diperoleh yaitu meliputi data produksi Gabah Kering Giling (GKG) di Indonesia dan data faktor koreksi kehilangan pada saat pengeringan mengacu pada Purwanto (2005), maka, perkiraan kehilangan Gabah Kering Panen (GKP) pada saat pengeringan dapat dihitung menggunakan formula berikut. Kemudian akan dikalikan dengan faktor konversi sebesar 62.74% (faktor konversi untuk mengubah GKG menjadi beras), sehingga didapatkan estimasi kehilangan beras pada saat pengeringan. LK = =[ Prodx X 100] X FK 86.02
10
Keterangan : LK : Kehilangan beras pada saat pengeringan (Juta ton GKP) Prodx : Produksi GKG tahun-x (Juta ton) Fk : Faktor koreksi kehilangan pada saat pengeringan (2.13%) 100/86.02 : faktor konversi GKG ke GKP Setelah didapatkan data kehilangan pada tahapan pengeringan dalam bentuk beras dalam satuan juta ton kemudian hasil tersebut dijadikan dalam bentuk gram/kapita/hari dengan menggunakan formulas berikut. KBK (g/kap/hari) = LK/JP/365 Keterangan : KBK : Kehilangan beras pada saat pengeringan (g/kap/hari) LK : Kehilangan beras pada saat pengeringan (Juta ton GKP) JP : Jumlah penduduk (Juta jiwa) Setelah didapatkan kehilangan beras dalam satuan gram/kapita/hari kemudian dilakukan perhitungan kehilangan energi dan protein per kapita dari kehilangan pada saat pengeringan. Berikut merupakan formula kehilangan energi dan protein per kapita. KEK (kkal/kap/hari) = BDD/100 x KBK/100 x Eb Keterangan : KEK BDD KBK Eb
: Kehilangan energi pada saat pengeringan (kkal/kap/hari) : Berat yang dapat dimakan (Edible portion) : Kehilangan pada saat pemanenan (g/kap/hari) : Kandungan energi beras (Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan 2012) KPK (g/kap/hari) = BDD/100 x KBK/100 x Pb
Keterangan : KPK BDD KBK Pb
: Kehilangan protein pada saat pengeringan (gram/kap/hari) : Berat yang dapat dimakan (Edible portion) : Kehilangan pada saat pengeringan (g/kap/hari) : Kandungan protein beras (Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan 2012)
Perkiraan Loss pada Tahapan Penggilingan Gabah Setelah data sekunder diperoleh yaitu meliputi data produksi Gabah Kering Giling (GKG) di Indonesia dan data faktor koreksi kehilangan pada saat penggilingan mengacu pada Purwanto (2005), maka perkiraan kehilangan Gabah Kering Giling (GKG) pada saat penggilingan dapat dihitung menggunakan formula berikut. Kemudian akan dikalikan dengan faktor konversi sebesar 62.74% (untuk mengubah GKG menjadi beras) sehingga didapatkan estimasi kehilangan beras pada saat penggilingan. LG = Prodx X Fg
11
Keterangan : LG : Kehilangan beras pada saat penggilingan gabah (Juta ton GKG) Prodx : Produksi GKG tahun-x (Juta ton) Fg : Faktor koreksi kehilangan pada saat penggilingan gabah (2.19 %) Setelah didapatkan data kehilangan pada tahapan penggilingan dalam bentuk beras dalam satuan juta ton kemudian hasil tersebut dijadikan dalam bentuk gram/kapita/hari dengan menggunakan formulas berikut. KBG (g/kap/hari) = LG/JP/365 Keterangan : KBK : Kehilangan beras pada saat pengeringan (g/kap/hari) LG : Kehilangan beras pada saat penggilingan (Juta ton GKP) JP : Jumlah penduduk (Juta jiwa) Setelah didapatkan kehilangan beras dalam satuan gram/kapita/hari kemudian dilakukan perhitungan kehilangan energi dan protein per kapita dari kehilangan pada saat penggilingan. Berikut merupakan formula kehilangan energi dan protein per kapita. KEG (kkal/kap/hari) = BDD/100 x KBG/100 x Eb Keterangan : KEG BDD KBG Eb
: Kehilangan energi pada saat pengggilingan (kkal/kap/hari) : Berat yang dapat dimakan (Edible portion) : Kehilangan pada saat penggilingan (g/kap/hari) : Kandungan energi beras (Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan 2012) KPG (g/kap/hari) = BDD/100 x KBG/100 x Pb
Keterangan : KPG BDD KBG Pb
: Kehilangan protein pada saat penggilingan (gram/kap/hari) : Berat yang dapat dimakan (Edible portion) : Kehilangan pada saat penggilingan (g/kap/hari) : Kandungan protein beras (Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan 2012)
Perkiraan Loss pada Tahapan Distribusi Beras Setelah nilai kehilangan pada saat penggilingan gabah didapatkan, maka selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap kehilangan beras pada saat distribusi beras dengan menggunakan formula berikut. Faktor koreksi yang digunakan mengacu pada Bulog (1980). LD =[ [(Prodx X 64.74%) + I] X Fk
Keterangan : LD : Kehilangan beras pada saat distribusi beras (Juta ton beras)
12
Prodx : Produksi GKG tahun-x (Juta ton) 62.74% : Faktor konversi GKG menjadi beras I : Impor beras tahun-x (Juta ton beras) Fk : Faktor koreski kehilangan pada saat distribusi beras (1.5%) Setelah didapatkan data kehilangan pada tahapan distribusi dalam bentuk beras dalam satuan juta ton kemudian hasil tersebut dijadikan dalam bentuk gram/kapita/hari dengan menggunakan formulas berikut. KBD (g/kap/hari) = LD/JP/365 Keterangan : KBD : Kehilangan beras pada saat distribusi (g/kap/hari) LD : Kehilangan beras pada saat distribusi beras (Juta ton beras) JP : Jumlah penduduk (Juta jiwa) Setelah didapatkan kehilangan beras dalam satuan gram/kapita/hari kemudian dilakukan perhitungan kehilangan energi dan protein per kapita dari kehilangan pada saat distribusi. Berikut merupakan formula kehilangan energi dan protein per kapita. KED (kkal/kap/hari) = BDD/100 x KBD/100 x Eb Keterangan : KED BDD KBD Eb
: Kehilangan energi pada saat distribusi (kkal/kap/hari) : Berat yang dapat dimakan (Edible portion) : Kehilangan pada saat distribusi (g/kap/hari) : Kandungan energi beras (Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan 2012) KPD (g/kap/hari) = BDD/100 x KBD/100 x Pb
Keterangan : KPD BDD KBD Pb
: Kehilangan protein pada saat distribusi (gram/kap/hari) : Berat yang dapat dimakan (Edible portion) : Kehilangan pada saat distribusi (g/kap/hari) : Kandungan protein beras (Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan 2012)
Perkiraan Total Loss Komoditas Beras di Indonesia Setelah nilai kehilangan pada saat distribusi beras didapatkan, maka selanjutnya dilakukan perhitungan total perkiraanfood loss komoditas beras di Indonesia dengan formula sebagai berikut : Total = LPa+LRa+LKa+LGa+LD Keterangan : LPa : Kehilangan beras pada saat pemanenan (Juta ton beras) LRa : Kehilangan beras pada saat perontokan (Juta ton beras) LKa : Kehilangan beras pada saat pengeringan (Juta ton beras)
13
LGa LD
: Kehilangan beras pada saat penggilingan (Juta ton beras) : Kehilangan beras pada saat distribusi beras (Juta ton beras) Setelah didapatkan data total kehilangani dalam bentuk beras dalam satuan juta ton kemudian hasil tersebut dijadikan dalam bentuk gram/kapita/hari dengan menggunakan formulas berikut. KBT (g/kap/hari) = Total/JP/365 Keterangan : KBT : Total kehilangan beras (g/kap/hari) JP : Jumlah penduduk (Juta jiwa) Setelah didapatkan kehilangan beras dalam satuan gram/kapita/hari kemudian dilakukan perhitungan kehilangan energi dan protein per kapita dari total kehilangan. Berikut merupakan formula kehilangan energi dan protein per kapita. KET (kkal/kap/hari) = BDD/100 x KBT/100 x Eb Keterangan : KET BDD KBT Eb
: Kehilangan energi total (kkal/kap/hari) : Berat yang dapat dimakan (Edible portion) : Total kehilangan beras (g/kap/hari) : Kandungan energi beras (Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan 2012) KPT (g/kap/hari) = BDD/100 x KBT/100 x Pb
Keterangan : KPT BDD KBT Pb
: Kehilangan protein total (gram/kap/hari) : Berat yang dapat dimakan (Edible portion) : Total kehilangan beras (g/kap/hari) : Kandungan protein beras (Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan 2012)
Perkiraan Food Waste Beras pada Saat Konsumsi di Rumah Tangga Setelah data sekunder yang dibutuhkan untuk menghitung perkiraanfood waste pada tahap konsumsi diperoleh maka dilakukan perhitungan dengan menggunakan formula berikut : WRT = Kehilangan (g/kap/hari) XJumlah penduduk Keterangan : WRT : Food waste komoditas beras pada tahapan konsumsi di rumah Tangga (Ribu Ton) Kehilangan yang digunakan pada formula diatas mengacu pada Zetyra (2013).
14
PerkiraanFood Waste Beras pada Saat Konsumsi di Restoran Setelah data sekunder yang dibutuhkan untuk menghitung perkiraanfood waste pada tahap konsumsi diperoleh maka dilakukan perhitungan dengan menggunakan formula berikut : WR = Kehilangan (g/kap/hari) X Rata-rata pengunjung di Indonesia Keterangan : WR : Food waste komoditas beras pada tahapan konsumsi di Restoran (Ribu Ton) Kehilangan yang digunakan pada formula diatasmengacu pada Anryani (2013). Sedangkan rata-rata pengunjung restoran di Indonesia datanya didapatkan dari studi yang dilakukan oleh Qraved.com. PerkiraanFood Waste Beras pada Saat Konsumsi di Rumah Sakit Setelah data sekunder yang dibutuhkan untuk menghitung perkiraanfood waste pada tahap konsumsi diperoleh, maka dilakukan perhitungan dengan menggunakan formula berikut : WRS = Bed Occupancy Ratio X kehilangan (%) X total beras Keterangan : WRS : Food waste komoditas beras pada tahapan konsumsi di umah Sakit (Ribu ton) Kehilangan yang digunakan pada formula diatas mengacu pada beberapa studi pendukung terkait dengan food waste pada tingkat rumah sakit antara lain meliputi Renaningtyas (2004), Fadilah (2013), Rachmawati et al. (2012), Sulaeman (2000), dan Aula (2011). Studi yang digunakan sebagai rujukan merupakan studi tersebut karena beberapa alasan yaitu karena studi tersebut mengambil sampel pada rumah sakit kelas B untuk kelas non VIP dan VVIP.
Definisi Operasional Food loss adalah kehilangan pangan yang terjadi mulai dari proses pemanenan, perontokan, pengeringan, penggilingan dan distribusi. Food waste adalah kehilangan pangan yang terjadi pada saat tahapan konsumsi. Beras adalah gabah yang bagian kulitnya sudah dibuang dan siap untuk dijadikan nasi untuk konsumsi oleh konsumen. Gabah Kering Giling adalah gabah setelah dilakukannya prosespengeringan. Gabah Kering Panen adalah gabah pada tahapan pemanenan, perontokan, dan pengeringan, gabah sebelum dilakukannya proses pengeringan. Pemanenan adalah kegiatan bertujuan untuk memisahkan padi dari pohonnya dengan menggunakan sabit. Prontokan adalah tahapan pascapanen yang bertujuan untuk melepaskan gabah dari malainyadengan menggunakan ani-ani. Pengeringan adalah proses penurunan kadar air gabah sampai mencapai nilai tertentu sehingga siap untuk diolah/digiling atau aman untuk disimpan
15
dalamwaktu yang lama baik dilakukan dengan menggunakan mesin pengering atau dijemur. Penggilingan adalah proses merubah gabah menjadi beras dengan alat penggiling beras. Distribusiadalah proses pengangkutan beras dari produsen dampai tempat penampungan. Konsumsi adalah tahapan dimana seseorang memakan makanan yang telah disiapkan dan disajikan. Rumah tangga adalah pranata sosial terkecil yang idealnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak dapat kurang dari itu atau lebih di Indonesia. Restoran adalah jenis usaha jasa pangan yang bertempat disebagian atau seluruh bangunan permanen yang menjual dan menyajikan makanan dan minuman untuk umum di Indonesia. Rumah sakit adalah institusi perawatan kesehatan professional terakreditasi Bdan kelas III yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya di Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Produksi Beras di Indonesia Beras adalah gabah yang bagian kulitnya sudah dibuang dengan cara digiling dan disosoh menggunakan alat pengupas dan penggiling serta alat penyosoh (Astawan 2004). Beras dipilih menjadi pangan pokok karena sumber daya alam lingkungan mendukung penyediaannya dalam jumlah yang cukup, mudah dan cepat pengolahannya, memberi kenikmatan pada saat menyantap, dan aman dari segi kesehatan. Pola makanan pokok beras di Indonesia merupakan yang paling dominan. Hal ini karena dibandingkan dengan makanan pokok yang lain, beras lebih mudah diolah dan disiapkan (Haryadi 2008). Beras merupakan komoditas strategis dalam perekonomian nasional. Usaha tani memberikan banyak kesempatan kerja bagi 21 juta rumah tangga tani di Indonesia. Sekitar 30% pengeluaran rumah tangga di alokasikan ke beras (Suryana 2003). Indonesia sebagai negara agraris dengan rasio impor yang cukup tinggi, saat ini terus berupaya memenuhi kebutuhan beras. Upaya yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan ketersediaan pangan seringkali terfokus pada aspek peningkatan produksi. Indonesia telah berhasil meningkatkan produksi, sejak tahun 2008 produksi Gabah Kering Giling (GKG) di Indonesia terus meningkat. Penyediaan beras, dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau menjadi prioritas dalam pembangunan nasional. Hal ini karena beras merupakan makanan pokok bagi lebih dari 95% penduduk Indonesia. Permasalahan yang terjadi akibat tidak cukupnya beras dalam memenuhi kebutuhan penduduk dapat menjadi masalah nasional bagi Indonesia (Sugiyono et al. 2006). Selama kurun waktu 1995-2000 produksi padi cenderung fluktuatif produksi padi yang fluktuatif tersebut menunjukkan bahwa upaya peningkatan produksi beras yang dilakukan
16
belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Selama ini Indonesia telah menerapkan banyak kebijakan mengenai produksi beras. Antara lain sebagai berikut. Tabel 2Program peningkatan produksi padi di Indonesia Program Tahun Hard Soft Evaluasi Technology Technology Padi sentra 1959 Varietas Si Komando Tidak berhasil Gadis, Dara, operasi karena kurang Jelita,dan gerakan partisipasi Bengawan makmur petani Bimbingan 1965 Varietas Si Perbaikan Varietas masal Gadis, Dara, kelembagaan unggul meluas Jelita,dan dan kredit Bengawan Bimas 1969 Penggunaan Pungutan Muncul gotong varietas PB5 kelembagaan Kopersi Unit royong dan PB8 modal swasta Desa (KUD) (IRRI) Proyek 2000 Varietas Bantuan dana Kurang ketahanan Cibodas dan langsung berhasil, petani pangan Membramo sulit dimonitor Program 2007 Bantuan benih, Pengendalian Berhasil peningkatan pupuk OPT, meningkatkan beras bersubsidi, manajemen produksi 2.6 nasional pupuk organik, pascapanen, juta ton dan perbaikan dan irigasi kelembagaan Sumber : Pratiwi (2008)
Melalui berbagai kebijakan tersebut produksi padi terus meningkat puncaknya pada tahun 1984 saat Indonesia berhasil melakukan swasembada beras, akan tetapi keadaan tersebut tidak bertahan lama dan produksi kembali mengalami keadaan yang fluktuatif setiap tahunnya. Hal tersebut salah satunya dikarenakan produktivitas tanaman yang masih rendah dan semakin menurunnya luas lahan baik pertanian maupun non pertanian di Indonesia khususnya di pulau Jawa sebagai salah satu pulau yang merupakan sentra pertanian di Indonesia (Hessie 2009). Berikut merupakan gambaran produksi padi Indonesia 2010-2014. Tabel 3Produksi gabah kering giling (GKG) di Indonesia tahun 2010-2014 Tahun Jumlah (Juta ton) 2010 66.4 2011 67.3 2012 69.1 2013 71.3 2014 70.8 Sumber : BPS (2015)
Hasil produksi tersebut dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk Indonesia. Berdasarkan Pola Pangan Harapan, konsumsi beras
17
yang dianjurkan adalah 300 gram per hari maka, berikut merupakan perhitungan hasil produksi dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara umum. Jumlah penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan berasnya berdasarkan hasil produksi terdapat pada tabel berikut. Tabel
4Jumlah penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan berasnya berdasarkanhasil produksi beras tahun 2010-2014 di Indonesia Tahun Produksi Setara Jumlah Jumlah penduduk yang GKG Beras penduduk dapat dipenuhi (Juta ton)* (Juta Ton) (Juta Jiwa)* kebutuhan konsumsi berasnya (Juta Jiwa) 41.66 2010 66.4 238.5 380.45 42.22 2011 67.3 242.0 385.57 43.35 2012 69.1 245.4 395.89 44.73 2013 71.3 248.8 408.49 44.42 2014 70.8 252.2 405.66
Sumber : BPS
Hasil tersebut didapatkan dengan membagi ketersediaan dari produksi sebelum terjadinya kehilangan dengan anjuran PPH sebesar 300 dikalikan setahun. Berdasarkan tabel diatas produksi padi yang dihasilkan Indonesia sudah lebih untuk memenuhi kebutuhan penduduk pada tahun tersebut yang jumlahnya 237.64 juta jiwa (BPS 2010) serta lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk pada tahun lainnya yaitu dari tahun 2011-2014 karena nilainya melebihi kebutuhan. Meskipun produksi beras terus meningkat akan tetapi hal ini tidak diimbangi dengan penguatan ketahanan pangan yang ada. Tingginya rasio impor merupakan salah satu indikator bahwa ketahanan pangan dalam negeri belum dapat terlaksana secara baik. Indonesia merupakan salah satu negara dengan impor beras yang besar di dunia. Produksi yang tinggi di dalam negeri belum memenuhi kebutuhan sehingga pemerintah melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Berikut merupakan jumlah impor beras Indonesia dalam kurun waktu 2010-2014. Tabel 5Impor beras di Indonesia tahun 2001-2010 Tahun Jumlah (Juta ton) 2010 2011 2012 2013 2014
0.6876 0.2750 0.1810 0.4727 0.8442
Sumber : BPS (2015)
Nilai impor di Indonesia cenderung fluktuatif hal ini menunjukkan ketidakstabilan produksi dalam negeri. Kebijakan impor menguntungkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk terutama penduduk dengan keadaan perekonomian menengah ke bawah,akan tetapi dalam jangka panjang, apabila hal ini terus terjadi dapat berakibat pada semakin melemahnya ketahanan pangan nasional. Belum terpenuhinya kebutuhan konsumsi beras penduduk dengan nilai
18
produksi yang surplus disebabkan oleh beberapa faktor baik faktor akses maupun faktor lainnya. Faktor akses misalnya karena akses fisik terganggu seperti adanya bencana alam maupun akses ekonomi yag terganggu yaitu rendahnya daya beli. Akses merupakan salah satu subsistem ketahanan pangan sehingga terganggunya akses pangan pada suatu negara akan mengganggu sistem ketahanan pangan di negara tersebut (Weingarter 2004). Hal tersebut yang mengindikasikan belum tercapainya ketahanan pangan di Indonesia. Selain karena faktor akses, terdapat faktor lain yang menyebabkan tingginya produksi beras di Indonesia belum dapat mencukupi kebutuhan penduduknya yaitu terjadinya kehilangan pangan di beberapa rantai produksi, distribusi maupun konsumsi. Tingginya produksi yang tidak menyebabkan suatu negara terbebas dari masalah pangan dan gizi. Beberapa negara di Asia Tenggara bahkan mengalami kesulitan untuk memenuhi permintaan beras peduduknya dengan kondisi produksi pangan yang surplus. Penanganan pascapanen merupakan salah satu penyebab tingginya angka kehilangan beras. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di berbagai negara, baik negara berkembang maupun negara maju. Masalah yang terjadi dapat berupa tercecer, tidak terontok maupun terbawa bersama jerami (Herawati 2008). Faktor penyebab kehilangan di masing-masing negara tidak sama, hal ini karena pada masing-masing negara memiliki agroekosistem yang berbeda, misalnya di Indonesia terdapat berbagai macam agroekosistem seperti sawah dengan irigasi, tadah hujan, atau pasang surut (Nugraha et al. 2007). Tingginya angka kehilangan pascapanen berdampak langsung pada ketersediaan dan kemampuan negara untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk.Saat ini berbagai negara di dunia mengalami permasalahan penanganan pascapanen dan distribusi pangan, keadaan tersebut menyebabkan berbagai permasalahan antara lain tidak meratanya distribusi pasokan pangan sehingga terjadi kekurangan pangan di daerah dengan akses yang buruk. Penanganan pascapanen juga menyebabkan permasalahan, misalnya akibat penanganan yang kurang tepat atau teknologi pascapanen yang kurang memadai sehingga persentase kehilangan meningkat, hal ini berdampak pada menurunnya angka produksi akhir pangan yang terdapat dalam wilayah tersebut (FAO 2014).
Food Loss Komoditas Berasdi Indonesia Food loss adalah hilangnya sejumlah pangan pada tahapan produksi dan distribusi sebelum pada tahapan konsumsi (Lipinski et al. 2013). Hilangnya pangan pada rantai produksi baik mulai tahapan sebelum panen, setelah panen, peyimpanan, pengemasan dan distribusi disebut sebagai food loss (FAO 2011). Studi ini membahas mengenai kehilangan pangan yaitu komoditas beras sebagai komoditas pangan yang penting di Indonesia pada tahap panen, pascapanen dan distribusi. Food loss merupakan permasalahan global yang tidak hanya terjadi di negara berkembang atau negara terbelakang saja akan tetapi juga masih terjadi pada negara-negara maju meski kuantitasnya tidak sebesar di negara berkembang. Hal ini dikarenakan mayoritas negara dengan produksi pangan yang tinggi adalah
19
negara berkembang yang tidak diimbangi dengan modernnya teknologi produksi pangan itu sendiri (HLPE 2014). FAO (2011) menyatakan bahwa tingginya food loss dinegara berkembang selain disebabkan oleh rendahnya ketersediaan teknologi produksi yang memadai juga disebabkan oleh sumber daya manusia yang kurang mumpuni untuk beradaptasi dengan teknologi yang tersedia, jadi walaupun sudah disediakan para petani tradisional lebih memilih menggunakan konsep konvensional dalam bertani.Berikut merupakan skema yang menjelaskan definii dari food loss komoditas beras. Total produksi Gabah Kering Giling (GKG)
Direncanakan untuk non konsumsi manusia
Direncanakan untuk konsumsi manusia
Dapat dimakan
Tidak dapat dimakan
Kehilangan saat pemanenan
Tersedia saat pemanenan
Kehilangan pascapanen Total food loss
Kehilangan saat distribusi
Tersedia setelah pascapanen Tersedia saat distribusi
Gambar 2Skema definisi food loss FAO (2011) modifikasi Food loss dapat terjadi pada berbagai tahapan termasuk pada saat pemanenan, pascapanen, dan distribusi, food loss tersebut sulit dihindari karena berbagai faktor. Kehilangan pasa saat pemanenan biasanya terjadi karena waktu pemanenan yang terlalu cepat atau penggunaan sabit dalam pemanenan (Setyana et al. 2007), selain itu kehilangan pascapanen dapat terjadi pada tahapan perontokan, pengeringan, penggilingan, penyosohan, dan pengemasan (Iswari 2012). Berikut merupakan kehilangan beras pada tahapan pemanenan dan pascapanen serta distribusi komoditas beras di Indonesia. Tahap Pemanenan Pemanenan adalah kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan gabah dari lapangan pada tingkat kematangan optimal, mencegah kerusakan dan kehilangan
20
hasil seminimal mungkin. Pemanenan padi tidak akan menguntungkan dan memuaskan selain karena mutunya akan menurun juga akan meningkatkan terjadinya kehilangan yang besar pada saat pemanenan jika prosesnya dilakukan dengan cara yang kurang benar dan pada umur panen yang tidak tepat (Setyono 2010). Proses pemanenan merupakan rangkaian masalah yang luas dan kompleks yang tidak hanya ditentukan oleh masalah teknis tetapi juga masalah sosial dan ekonomi. Pengelolaan yang tepat dapat menekan tingginya angka kehilangan beras yang ada di Indonesia.Menurut Sularjo (2014) kehilangan pemanenan dan pascapanen komodias beras mencapai 11-13%. Purwanto (2005) menyebutkan bahwa kehilangan beras di indonesia mulai dari tahapan pemanenan, perontokan, pengeringan dan penggilingan mencapai 20.5%. Berikut merupakan perkiraan kehilangan beras pada tahapan pemanenan setara beras di Indonesia tahun 20102014. Tabel 6Perkiraan kehilangan beras pada saat pemanenan Tahun
Produksi GKG (Juta Ton)*
2010 66.4 2011 67.3 2012 69.1 2013 71.3 2014 70.8 *Sumber : BPS (2015)
Jumlah kehilangan GKG (Juta Ton) 6.32 6.39 6.58 6.78 6.74
Jumlah kehilangan beras (Juta ton) 3.97 4.01 4.13 4.26 4.23
Jumlah penduduk (Juta jiwa)* 238.5 242.0 245.4 248.8 252.2
Kehilangan beras Per tahun Per hari (Kg/kap/thn) (g/kap/hari) 16.64 16.56 16.82 17.12 16.77
45.60 45.39 46.10 46.91 45.95
Perkiraan kehilangan beras di Indonesia pada tahapan pemanenan pada tahun 2010 hingga 2014 cukup tinggi (Tabel 6). Kehilangan tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar 17.12 kg/kap/tahun atau setara dengan 4.26 juta ton beras yang hilang. Hal tersebut dikarenakan jumlah produksi yang tinggi dibanding tahun sebelumnya, tingginya produksi yang tidak diimbangi dengan peningkatan teknologi panen dan pascapanen menyebabkan tingginya tingkat kehilangan pangan (BCFN 2012). Kehilangan tersebut mencapai 9.52% dari total produksi beras di Indonesia pada tahun tersebut. Jumlah tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan beras masyarakat Indonesia hingga 38.9 juta jiwa penduduk selama setahun jika kebutuhannya mengacu pada anjuran konsumsi Pola Pangan Harapan (PPH) yaitu sebesar 300 gram beras dalam sehari. Hal tersebut berarti kehilangan beras yang terjadi pada tahapan pemanenan di Indonesia sebenarnya dapat digunakan untuk memenuhi 15.64% dari total jumlah penduduk pada tahun tersebut. Tingginya kehilangan pada tahap pemanenan disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah penanganan pemanenan yang tidak baik. Penanganan pemanenan yang baik akan berdampak positif terhadap kualitas beras. Oleh karena itu, penanganan pemanenan perlu mengikuti kaidah yang benar (Setyono et al. 2001), dengan demikian, beras yang dihasilkan memiliki mutu fisik dan mutu gizi yang baik sehingga mempunyai daya saing yang tinggi (Setyono et al. 2007). FAO (2011) menyatakan, kehilangan pada saat proses panen dan pascapanen lebih besar di negara-negara berkembang dibanding dengan negara maju, termasuk Indonesia. Hal tersebut dikarenakan masih rendahnya penggunaan
21
terknologi yang mengakibatkan masih rendahnya efisiensi dan efektivitas proses pemanenan. Kehilangan beras pada tahap pemanenan yang mencapai 9.5% dari total produksi beras di Indonesia, tidak hanya dialami oleh Indonesia beberapa negara berkembang dengan karakteristik yang hampir sama dengan Indonesia seperti India misalnya juga tidak terlepas dari permasalahan kehilangan pada saat pemanenan, bahkan beberapa negara memiliki tingkat kehilangan yang lebih tinggi dari Indonesia. Berikut merupakan kehilangan padi pada saat pemanenan di beberapa negara. Kehilangan saat pemanenan (%) 11.3 9.5
7.7
1.5
Indonesia
India
Thailand
Malaysia
2.1
Filipina
Gambar 3Kehilangan padi pada saat pemanenan di beberapa negara berkembang(Sumber : AGRA (2013) dan Purwanto (2005)) Salah satu penanganan pada saat pemanenan yang menyebabkan tingginya kehilangan pada saat pemanenan tersebut adalah karena cara panen yang masih menggunakan sabit yang mayoritas masih diterapkan di Indonesia. Pemanenan dengan menggunakan mesin akan meminimalisasi terjadinya kehilangan pada saat pemanenan (Setyonoet al. 2007). Beberapa negara memiliki tingkat kehilangan yang lebih rendah atau lebih tinggi disebabkan oleh berbagai faktor. Selain permasalahan tingkat adaptasi teknologi pemanenan juga disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia dalam hal ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam tahapan pemanenan atau petani. Malaysia dan Filipina memiliki persentase kehilangan yang lebih rendah dari Indonesia disebabkan karena teknologi yang digunakan sudah lebih baik, hal ini semakin menegaskan bahwa penggunaan teknologi dapat menekan angka kehilangan saat pemanenan (Setyono et al. 2007). Adanya kehilangan pada saat pemanenan tidak hanya dilihat dari adanya kehilangan dari segi kuantitas beras yang hilang saja, akan tetapi juga dilihat dari kerugian di berbagai bidang meliputi bidang pangan dan gizi, ekonomi, bahkan lingkungan. Melalui sudut pandang pangan dan gizi kehilangan beras yang terjadi berarti kehilangan energi dan protein dalam jumlah tertentu yang seharusnya dapat disalurkan ke pihak yang membutuhkan sehingga hal tersebut dapat menajdi salah satu upaya penanggulangan masalah kesehatan akibat rendahnya konsumsi makanan seperti masalah gizi kurang dan gizi buruk (FAO 2011). Hal yang
22
menarik adalah angka gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia memiliki prevalensi yang cukup tinggi, pada tahun 2013 mencapai 19% (Riskesdas 2013) yang memiliki nilai lebih tinggi dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), padahal produksi pangan Indonesia khususnya beras sebagai makanan pokok tinggi, Indonesia merupakan salah satu negara dengan surplus beras tertinggi di Asia Tenggara (World Bank 2011). Menurut FAO (2011) kehilangan pangan dalam berbagai rantai pangan termasuk di dalamnya pada saat pemanenan merupakan salah satu yang menyebabkan rendahnya intake yang berakibat pada tingginya angka gizi kurang dan gizi buruk. Hal tersebut karena pada pangan yang hilang dalam hal ini beras telah menyebabkan hilangnya energi dan protein dalam jumlah yang tidak sedikit. Berikut merupakan besarnya energi dan protein yang hilang akibat kehilangan pada saat pemanenan. No 1 2 3 4 5
Tabel 7Perkiraan kehilangan energi dan protein pada tahap pemanenan Tahun Kehilangan beras Kehilangan energi Kehilangan protein (gram/kap/hari) (kkal/kap/hari) (gram/kap/hari) 2010 45.60 164 3.10 2011 45.39 163 3.08 2012 46.10 165 3.13 2013 46.91 168 3.18 2014 46.95 165 3.12
Perkiraan kehilangan energi dan protein akibat kehilangan beras pada saat pemanenan cukup tinggi (Tabel 7). Besarnya kehilangan energi rata-rata mencapai 165 kkal/kap/hari jumlah tersebut bukan jumlah yang sedikit. Jika dibandingkan dengan angka kecukupan energi (AKE) sebesar 2150 kkal per hari (WNPG 2012), maka jumlah tersebut meliputi 7.7% dari anjuran konsumsi yang ditetapkan, yang perlu diperhatikan adalah anjuran 2150 kkal per hari tidak hanya berasal dari sumber padi-padian atau beras saja, sehingga dapat disimpulkan bahwa 7.7% merupakan angka yang cukup tinggi. Kehilangan protein yang terjadi rata-rata mencapai 3.12 gram hal ini mencakup 5.5% dari angka kecukupan protein (AKP) sebesar 57 gram.Kehilangan protein perlu mendapatkan perhatian karena protein merupakan zat pembangun yang esensial bagi manusia serta jumlahnya menjadi sangat esensial bagi yang masih mengalami pertumbuhan misalnya anak-anak (Al matsier 2010). Kehilangan beras pada tahapan pemanenan juga menyebabkan terjadinya kerugian dibidang ekonomi. Kehilangan pangan yang terjadi menyebabkan kerugian ekonomi tidak hanya dilihat dari kuantitas pangan yang hilang saja akan tetapi juga dilihat dari kerugian penggunaan sumber daya dalam proses menghasilkan pangan tersebut, misalnya kerugian ekonomi akibat penggunaan bibit dan pupuk selama proses penanaman (BCFN 2012). Apabila dilihat hanya dari kerugian beras yang hilang akibat proses pemanenan saja dikalikan dengan harga beras maka kerugian ekonomi akibat kehilangan beras pada saat pemanenan mencapai rata-rata sebesar 45.8 triliun rupiah. Tahap Perontokan Perontokan merupakan tahapan pascapanen padi setelah pemotongan atau memanen (Gbabo et al. 2013). Tujuan tahapan ini adalah melepaskan bulir-bulir
23
gabah dari malainya. Perontokan adalah proses melepaskan butiran gabah dari malai padi yang dapat dilakukan melalui proses mekanis yaitu dengan proses menyisir atau membanting malai padi pada benda yang lebih keras ataupun alat perontok tertentu, pada beberapa kasus, tidak semua petani langsung melakukan perontokan padinya setelah melakukan pemotongan (Nugraha 2012). Proses perontokan padi menjadi penting untuk diperhatikan untuk mengurangi banyaknya kehilangan pada saat proses perontokan. Berikut merupakan jumlah kehilangan yang terjadi pada saat perontokan setara dengan beras di Indonesia. Tabel 8Perkiraan kehilangan beras pada saat perontokan Tahun
Produksi GKG (Juta Ton)*
2010 66.4 2011 67.3 2012 69.1 2013 71.3 2014 70.8 *Sumber : BPS (2015)
Jumlah kehilangan GKG (Juta Ton) 3.17 3.22 3.29 3.41 3.37
Jumlah kehilangan beras (Juta ton) 1.99 2.02 2.07 2.14 2.12
Jumlah penduduk (Juta jiwa)* 238.5 242.0 245.4 248.8 252.2
Kehilangan beras Per tahun Per hari (Kg/kap/thn) (g/kap/hari) 8.34 8.34 8.43 8.60 8.40
22.86 22.87 23.11 23.57 23.03
Perkiraan kehilangan beras pada tahap perontokan pada tahun 2010 hingga 2014 di Indonesiacukup tinggi hampir setiap tahunnya mencapai 2 juta ton beras, kehilangan tertinggi terjadi pada tahun 2013 sebesar 2.14 juta ton kehilangan tersebut meliputi 4.78% dari total produksi beras Indonesia pada tahun tersebut, Nugraha et al. (2007) yang menyatakan bahwa kehilangan beras di Indonesia pada saat perontokan sebesar 4.42%. Apabila dibandingkan dengan anjuran konsumsi berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 300 gram/orang/hari, maka jumlah tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan beras sebesar 19.5 juta penduduk Indonesia selama setahun atau sebesar 7.9% total penduduk Indonesia pada tahun tersebut.Hal tersebut karena pada tahun tersebut produksi beras di Indonesia paling tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Menurut HLPE (2012) peningkatan produksi di negara berkembang yang tidak diimbangi dengan peningkatan penanganan panen dan pacapanen justru akan menyebabkan semakin tingginya kehilangan yang terjadi. Tingginya kehilangan beras pada saat perontokan menunjukkan bahwa tingkat adaptasi petani Indonesia terhadap mesin perontok yang sudah banyak digunakan diberbagai negara khususnya negara maju di dunia masih rendah (Setyono et al 2007). Rendahnya tingkat adaptasi tersebut dikarenakan petani Indonesia masih banyak bertahan dengan sistem pertanian konvensional. Besarnya kehilangan pada saat perontokan disebabkan oleh berbagai faktor.Penyebab utama kehilangan hasil pada perontokan padi adalah perilaku petani yang bekerja kurang hati-hati, cara penggebotan dan frekuensi pembalikan padi, kecepatan silinder perontok dan besarnya alat plastik yang digunakan pada saat merontok (Nugraha 2012). Beberapa negara berkembang juga memiliki permasalahan yang sama dengan Indonesia, yaitu adanya kehilangan pangan dalam hal ini adalah beras pada tahapan pascapanen, khususnya tahapan perontokan. Beberapa negara mungkin lebih tinggi atau lebih rendah persentase kehilangannya ditentukan oleh tingkat adaptasi para petani terhadap mesin perontok dan juga mekanisme
24
penanganan sebelum padi dirontokan. Berikut merupakan data tingkat kehilangan pada saat perontokanpadi dibeberapa negara. Kehilangan padi pada saat perontokan (%)
10.0
4.8 4.0 2.2
Indonesia
India
Srilanka
Filipina
Gambar 4Kehilangan padi pada saat perontokan di beberapa negara berkembang(Sumber : Hodges et al.( 2011) dan Purwanto (2005)) Perbedaan persentase kehilangan pada saat perontokan padi pada masingmasing negara disebabkan oleh cara perontokan yang dilakukan pada negara tersebut secara umum.Cara-cara perontokan yang telah umum dikerjakan, yaitu dengan cara diinjak-injak (diiles), dibanting, dipukul/ditumbuk, dengan cara menggunakan alat perontok yang digerakkan dengan kaki, dan dengan menggunakan alat perontok mekanis (thresher).Faktor sosial budaya dan ketersediaan tenaga kerja panen juga berpengaruh(Setyono et al. 2007). Perontokan yang dilakukan dengancara banting/gebot memberikan potensi kehilangan yang lebih besar. Hal ini disebabkan kurang hati-hatinya tenaga pemanendalam melakukan perontokan maupun penggunaan alas perontokan yang relatif sempit, sehingga banyak gabah yang terlempar keluar alas yang digunakan. Proses perontokan padi yang tidak maksimal dapat menyebabkan masih banyaknya gabah yang tertinggal pada jerami sehingga meningkatkan kehilangan pada tahapan tersebut (Setyono et al. 2007). Adanya kehilangan pada saat pemanenan tidak hanya dilihat dari adanya kehilangan dari segi kuantitas beras yang hilang, akan tetapi juga dilihat dari kerugian di berbagai bidang meliputi bidang pangan dan gizi, ekonomi, dan juga lingkungan. Melalui sudut pandang pangan dan gizi kehilangan beras yang terjadi berarti kehilangan energi dan protein serta zat gizi lainnya yang terdapat dalam beras dalam jumlah tertentu yang seharusnya dapat disalurkan ke pihak yang membutuhkan sehingga hal tersebut dapat menajdi salah satu alternatif penanggulangan masalah kesehatan akibat rendahnya konsumsi makanan seperti masalah gizi kurang dan gizi buruk (Lipinski et al. 2013). Menurut FAO (2011) kehilangan pangan dalam berbagai rantai pangan termasuk di dalamnya pada saat perontokan merupakan salah satu yang menyebabkan rendahnya konsumsi beras yang berakibat pada tingginya angka
25
gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia yang selama ini prevalensinya masih cukup tinggi (Riskesdas 2012). Hal tersebut karena pada pangan yang hilang dalam hal ini beras telah menyebabkan hilangnya energi dan protein dalam jumlah yang tidak sedikit. Berikut merupakan besarnya energi dan protein yang hilang akibat kehilangan pada saat pemanenan serta besarnya kehilangan jika dibandingan dengan anjuran Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 300 gram beras sehari. No 1 2 3 4 5
Tabel 9Perkiraan kehilangan energi dan protein pada tahap perontokan Tahun Kehilangan beras Kehilangan energi Kehilangan protein (gram/kap/hari) (kkal/kap/hari) (gram/kap/hari) 2010 22.86 82 1.54 2011 22.87 82 1.55 2012 23.11 83 1.58 2013 23.57 84 1.60 2014 23.03 82 1.57
Perkiraan kehilangan energi dan protein akibat kehilangan beras pada saat perontokan cukup tinggi (Tabel 9). Besarnya kehilangan energi rata-rata mencapai 82 kkal/kap/hari. Jika dibandingkan dengan angka kecukupan energi (AKE) sebesar 2150 kkal per hari, maka jumlah tersebut meliputi 7.7% dari angka kecukupan energi (AKE), yang perlu diperhatikan adalah anjuran 2150 kkal per hari tidak hanya berasal dari sumber padi-padian atau beras saja, sehingga dapat disimpulkan bahwa 7.7% merupakan angka yang cukup tinggi. Kehilangan protein yang terjadi rata-rata mencapai 1.57 gram hal ini mencakup 2.7% dari angka kecukupan protein (AKP) sehari sebesar 57 gram (WNPG 2012).Kehilangan protein perlu mendapatkan perhatian karena protein dibutuhkan bagi tubuh untuk berbagai keperluan metabolisme yang penting bagi tubuh (Hurst 2008). Kehilangan beras pada tahapan perontokan juga menyebabkan terjadinya kerugian dibidang ekonomi. Kehilangan pangan yang terjadi menyebabkan kerugian ekonomi tidak hanya dilihat dari kuantitas pangan yang hilang saja akan tetapi juga dilihat dari kerugian penggunaan sumber daya dalam proses menghasilkan pangan tersebut, misalnya kerugian ekonomi akibat penggunaan bibit dan pupuk selama proses penanaman (BCFN 2012). Kehilangan dari air yang digunakan juga harus diperhatikan mengingat semakin berkurangnya kuantitas air tanah layak pakai yang terdapat di bumi (BCFN 2012). Apabila dilihat hanya dari kerugian beras yang hilang akibat proses perontokan saja dibandingkan dengan harga beras) maka kerugian ekonomi akibat kehilangan beras pada saat pemanenan mencapai rata-rata sebesar 22.9 triliun rupiah dalam setahun. Tahap Pengeringan Pengeringan adalah salah satu tahapan pascapanen pada penanganan padi yaitu proses pengurangan kadar air pada gabah, penundaan proses pengeringan meningkatkan besarnya kehilangan (Babamiri et al. 2013). Pengurangan kehilangan pada saat pegeringan sangat penting karena tahap ini adalah tahapan sebelum gabah dilakukan penggilingan dan menjadi beras yang siap didistribusikan ke konsumen. Pengurangan kehilangan pada saat pegeringan
26
sangat penting karena tahap ini adalah tahapan sebelum gabah dilakukan penggilingan dan menjadi beras yang siap didistribusikan ke konsumen.Tujuan pengeringan yaitu untuk mendapatkan gabah kering yang tahan untuk disimpan dan memenuhi persyaratan kualitasgabah yang akan dipasarkan, yaitu dengan cara mengurangi air pada bahan (gabah) sampai kadar air yang dikehandaki. Berikut merupakan kehilangan pada tahapan pengeringan setara beras di Indonesia. Kadar air maksimum pada gabah yang dikehandaki BULOG dalam pembeliannya (BULOG, Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Pangan Dalam Negeri 1978/1979) adalah 14%.Sehingga proses pengeringan sebisa mungkin harus mencapai standar tersebut. Proses pengeringan harus segera dilakukan karena kadar air yang tinggi dapat merusak padi yang dikarenakan tumbuhnya mikroba dan meningkatkan kehilangan padi. Berikut merupakan kehilangan padi setara beras selama proses pengeringan. Tabel 10Perkiraan kehilangan beras pada saat pengeringan Tahun
Produksi GKG (Juta Ton)*
2010 66.4 2011 67.3 2012 69.1 2013 71.3 2014 70.8 *Sumber : BPS (2015)
Jumlah kehilangan GKG (Juta Ton) 1.21 1.22 1.26 1.31 1.29
Jumlah kehilangan beras (Juta ton) 0.76 0.77 0.79 0.82 0.81
Jumlah penduduk (Juta jiwa)* 238.5 242.0 245.4 248.8 252.2
Kehilangan beras Per tahun Per hari (Kg/kap/thn) (g/kap/hari) 3.18 3.18 3.21 3.29 3.21
8.73 8.71 8.82 9.02 8.79
Perkiraan kehilangan beras pada tahap pengeringan pada tahun 2010 hingga 2014 di Indonesia cukup besar hampir setiap tahunnya mencapai lebih dari 0.8 gram/kap/hari. Hal tersebut berarti selama tahun 2010-2014 hampir setiap tahunnya kehilangan mencapai lebih dari 0.7 juta ton beras atau setara dengan 2.13% dari total produksi beras di Indonesia, BPS (1996) yang menyatakan bahwa kehilangan beras di Indonesia pada saat pengeringan sebesar 2.10%. Jumlah tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan beras penduduk Indonesia untuk jumlah tertentu. Misalnya pada tahun 2013 pada saat kehilangan beras ketika proses pengeringan paling tinggi diantara tahun yang lain yaitu mencapai 0.82 juta ton.Jumlah tersebut dapat memenuhi kebutuhan beras penduduk Indonesia sebesar 7.5 juta penduduk Indonesia jika kebutuhan beras per hari mengacu pada anjuran Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 300 gram dalam sehari, yang artinya kehilangan pada saat pengeringan tersebut dapat digunakan untuk memenuhi sekitar 3% dari total jumlah penduduk Indonesia yang pada saat itu berjumlah 248.8 juta jiwa. Hal ini merupakan bukti bahwa penanganan pascapanen yang benar dan tepat dapat menjamin ketahanan pangan suatu bangsa. FA0 (2013) menyatakan bahwa masalah gizi kurang maupun gizi buruk di dunia dapat diatasi dengan memantapkan rantai pangan yang ada, dengan rantai pangan yang mantap ketahanan pangan akan tercapai hal ini akan berdampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap kasus gizi kurang dan gizi buruk di dunia. Tingginya tingkat kehilangan pada saat pengeringan disebabkan oleh berbagai faktor. Parfit et al. (2010) menyatakan bahwa kehilangan yang terjadi pada saat pengeringan tidak hanya persoalan jumlah akan tetapi juga menyangkut pada kualitas mutu dari beras yang akan dihasilkan. Cara pengeringan yang
27
manual menyebabkan kehilangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan mesin, hal ini banyak terjadi di negara-negara yang belum maju atau negara berkembang. Negara berkembang termasuk Indonesia sudah terbiasa melakukan pengeringan dengan cara-cara konvensional seperti dengan cara menjemur, hal ini juga merupakan salah satu fakror yang menyebabkan terjadinya kehilangan beras pada saat proses pengeringan. Jumlah kehilangan beras pada saat pengeringan yang mencapai sekitar 2.13% dari total produksi beras Indonesia membuktikan bahwa Indonesia memerlukan peningkatan perhatian pada tahapanan ini. Akan tetapi sebagai negara berkembang, permasalahan ini tidak hanya dialami oleh Indonesia beberapa negara dengan karakteristik yang sama dengan Indonesia dan juga merupakan negara berkembang mengalami permasalahan yang sama. Tingkat kehilangan pada saat pengeringan masih tetap terjadi meski beberapa negara telah menerapkan teknologi pascapanen yang lebih mumpuni dari sebelumnya. Berikut merupakan diagram kehilangan padi pada saat pengeringan dibeberapa negara. Kehilangan pada saat pengeringan (%) 2.3 2.1
Indonesia
Banglades
1.0
1.0
Sri Lanka
Filipina
Gambar 5Kehilangan padi pada saat pengeringan di beberapa negaraberkembang (Sumber : Rembold et al. (2011) dan Purwanto (2005)) Beberapa negara di Asia memiliki tingkat kehilangan sebesar 1-2% (Rembold et al. 2011). Tingkat keshilangan beberapa negara dengankarakteristik yang sama memiliki perbedaan karena penggunaan teknologi pengeringan atau cara pengeringan yag berbeda-beda. Negara-negara dengan sistem pertanian yang maju akan memiliki kehilangan yang lebih rendah dibandingkan dengan negara yang belum maju khususnya secara teknologi pascapanen.Kiaya (2014) menyatakan bahwa mayoritas petani di Afrika menggunakan cara tradisional untuk mengeringkan hasil panen padi dan hal ini meningkatkan kehilangan yang terjadi pada saat pengeringan. Terdapat dua cara pengeringan yang lazim digunakan oleh petani Indonesia yaitu pengeringan dengan cara penjemuran langsung menggunakan sinar matahari dan pengeringan dengan menggunakan alat pengering buatan (artificial dryer). Pengeringan dengan sinar matahari (penjemuran) harus memperhatikan intensitas
28
sinar, suhu pengeringan yang selalu berubah, ketebalan penjemuran dan frekuensi pembalikan (Nugraha 2012). Besarnya kehilangan pada saat pengeringan disebabkan oleh berbagai faktor antara lain penundaan pengeringan, cara pengeringan, dan penanganan pada saat pengeringan. Kehilangan beras yang terjadi pada saat pengeringan tidak hanya menyebabkan kerugian secara kuantitas saja atau hanya kehilangan dari besarnya jumlah beras yang hilang selama proses pengeringan, akan tetapi juga menyebabkan kerugian lain, meliputi kerugian dalam berbagai bidang seperti bidang ekonomi, pangan dan gizi, dan kerugian dalam bidang lingkungan. Secara ekonomi, kerugian akibat kehilangan pada proses pengeringan dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, antara lain kerugian ekonomi yang dilihat mulai dari proses pengeringan seperti kerugian dari sumber daya yang sudah digunakan dan kerugian dari besarnya beras yang hilang. Bedasarkan besarnya beras yang hilang selama pengeringan nilainya mencapai dari 8.9 triliun rupiah. Kehilangan pangan yang terjadi di daerah berkembang seringkali nilainya setara dengan pendapatan perkapita dari negara-negara terbelakang di Afrika (WRAP 2010). No 1 2 3 4 5
Tabel 11Perkiraan kehilangan energi dan protein pada tahap pengeringan Tahun Kehilangan beras Kehilangan energi Kehilangan protein (gram/kap/hari) (kkal/kap/hari) (gram/kap/hari) 2010 8.73 31 0.59 2011 8.71 31 0.59 2012 8.82 32 0.60 2013 9.02 32 0.61 2014 8.79 33 0.60
Berdasarkan Tabel 11, perkiraan kehilanganberas pada saat proses pengeringan memiliki nilai lebih dari 8 gram/kap/hari setiap tahunnya (20102014). Kehilangan tersebut memiliki kontribusi terhadap anjuran Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar lebih dari 2% setiap tahunnya. Besarnya kehilangan tersebut juga menyebabkan hilangnya energi dan protein dari beras yang hilang. Berdasarkan tabel 11, kehilangan energi akibat kehilangan beras selama pengeringan mencapai lebih dari 30 kkal/kap/hari atau dalam kisaran 31-33 kkal/kap/hari. Kehilangan energi tersebut jika dibandingkan dengan angka kecukupan energi (AKE) menurut WNPG (2012) yaitu sebesar 2150 kkal setiap harinya maka kehilangannya mencapai 1.4%, yang perlu diperhatikan adalah nilai 2150 adalah nilai anjuran untuk keseluruhan makanan yang dikonsumsi bukan anjuran untuk beras jadi, nilai 1.4% tetap merupakan sebuah hasil yang perlu mendapatkan perhatian untuk menjamin ketahanan pangan di Indonesia. Kehilangan pangan yang besar dapat menjadi salah satu penyebab tidak tahan pangannya suatu negara (HLPE 2012). Kehilangan protein yang terjadi lebih dari 0.5% dalam kisaran waktu 20102014. Hal tersebut jika dibandungkan dengan angka kecukupan protein (AKP) sebesar 57 gram menurut WNPG (2012) maka kehilangannya mencapai 0.89%. Nilai tersebut tidak hanya untuk konsumsi beras sehari saja tetapi gunakan untuk semua makanan yang dikonsumsi pada hari tersebut, oleh karena itu nilai 0.89% merupakan nilai yang harus tetap diperhatikan. Kehilangan energi dan protein dalam jumlah yang cukup besar merupakan indikator ketidakstabilan rantai
29
pangan yang digambarkan dengan kehilangan pangan dalam rantai-rantai tertentu, keadaan tersebut dapat mengganggu sistem perpanganan dalam suatu negara yang akan berdapak pada tidak tahan pangannya suatu bangsa (HLPE 2012). Tahap Penggilingan Proses pengilingan adalah proses pengupasan gabah untuk menghasilkan beras.Terdapat dua tipe alat penggilingan padi yang digunakan oleh petani di Indonesia yaitu : tipe penggilingan padi 1 phase (single pass) dan tipe penggilingan padi 2 phase (double pass). Penggilingan 1 phase yaitu proses pemecah kulit dan penyosoh menyatu dan keluar sudah menjadi beras putih. Sedangkan pada penggilingan 2 phase, dipisahkan antara proses pemecah kulit dan proses penyosohan, sehingga merupakan dua tahap proses kegiatan, dari dua cara penggilingan ini akan menghasilkan beras dengan kualitas yang berbeda (Nugraha 2012). Kehilangan masih sulit dihindari pada tahap penggilingan. Berikut merupakan kehilangan beras pada saat proses penggilingan di Indonesia. Tabel 12Perkiraan kehilangan beras pada saat penggilingan Tahun
Produksi GKG (Juta Ton)*
2010 66.4 2011 67.3 2012 69.1 2013 71.3 2014 70.8 *Sumber : BPS (2015)
Jumlah kehilangan GKG (Juta Ton) 1.45 1.47 1.51 1.56 1.54
Jumlah kehilangan beras (Juta ton) 0.91 0.92 0.95 0.98 0.97
Jumlah penduduk (Juta jiwa)* 238.5 242.0 245.4 248.8 252.2
Kehilangan beras Per tahun Per hari (kg/kap/thn) (g/kap/hari) 3.81 3.80 3.87 3.93 3.84
10.45 10.41 10.60 10.79 10.54
Perkiraan kehilangan beras pada tahap penggilingan pada tahun 2010 hingga 2014 di Indonesia mencapai lebih dari 0.9 juta ton setiap tahunnyahal tersebut meliputi 2.19% dari total produksi beras di Indonesia. Nugraha et al. (2007) yang menyatakan bahwa kehilangan beras di Indonesia pada saat pengeringan sebesar 2.24%. Hal tersebut berarti hasil yang didapatkan masih sesuai dengan penelitian sebelumnya. Hasil yang didapatkan setara dengan lebih dari 10.5 gram/kap/hari atau sebesar lebih dari 3.8 kg/kap/tahun. Jumlah tersebut seharusnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan beras penduduk Indonesia. Jika mengacu pada anjuran dari Pola Pangan Harapan (PPH) yang menyatakan bahwa kebutuhan beras per orang per hari sebesar 300 gram maka jumlah beras yang terbuang pada saat penggilingan dapat memenuhi sebagian penduduk di Indonesia. Misalnya pada tahun 2013 dengan jumlah kehilangan yang lebih besar dibanding dengan tahun yang lain yaitu sebesar 0.98 juta ton, kehilangan tersebut dapat memenuhi sebesar 8.9 juta jiwa penduduk Indonesia yang meliputi 3.6% dari total penduduk Indonesia pada tahun itu yakni sebesar 248.8 juta jiwa. Kehilangan yang terjadi pada saat penggilingan disebabkan oleh berbagai faktor antara lain disebabkan oleh penyetelan blower penghisap, penghembus sekam dan bekatul.Penyetelan yang tidak tepat dapat menyebabkan banyak gabah yang terlempar ikut ke dalam sekam atau beras yang terbawa ke dalam dedak.Hal ini menyebabkan rendemen giling rendah. Beberapa negara yang memiliki tingkat adaptasi teknologi pascapanen termasuk di dalamnya merupakan teknologi penggilingan memiliki tingkat
30
kehilangan dengan kuantitas yang hampir serupa. Hal tersebut karena hampir semua negara berkembang memiliki penyebab yang sama terkait kehilangan pada saat penggilingan yaitu permasalahan teknologi dan sikap dari sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya. Kehilangan pada tahapan penggilingan pada tiap negara juga berbeda umumnya negara maju memiliki tingkat kehilangan pada saat pascapanen yang lebih kecil dibandingkan dengan negara berkembang (FAO 2013). Berikut merupakan data kehilangan pada tahap penggilingan di beberapa negara berkembang di dunia. Kehilangan saat penggilingan (%) 3.8
3.1
2.2 2.0
Indonesia
Sri Lanka
Bangladesh
Filipina
Gambar 6Kehilangan padi pada saat pengeringan di beberapa negaraberkembang (Sumber : World Bank 2011) Perbedaan persentase kehilangan pada saat penggilingan padi pada masingmasing negara disebabkan oleh cara penggilingan dan penanganan saat penggilingan yang dilakukan pada negara tersebut secara mayoritas. Negaranegara dengan sistem pertanian yang maju akan memiliki kehilangan yang lebih rendah dibandingkan dengan negara yang belum maju khususnya secara teknologi pascapanen. Kehilangan yang besar pada saat penggilingan akan menyebabkan penurunan produksi beras. Hal ini dapat menyebabkan berbagai akibat salah satunya adalah tidak terpenuhinya hak atas pangan yang telah dijamin dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang pangan, selain itu kurangnya produksi beras menyebabkan terganggunya sistem ketahanan suatu negara yang menggunakan beras sebagai bahan pangan pokoknya (Weingarter 2004). Pengurangan kehilangan pada saat penggilingan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan meningkatkan teknologi penggilingan (Nugraha 2012). Kehilangan pangan yang terjadi pada saat penggilingan menyebabkan berbagai dampak negatif. BCFN (2012) Kehilangan pangan yang terjadi dapat menyebabkan berbagai dampak negatif diberbagai lini meliputi ekonomi,sosial, pangan dan gizi, serta lingkungan. Secara ekonomi kehilangan pangan yang terjadi dalam hal ini adalah kehilangan pangan pada tahapan penggilingan padi
31
menyebabkan kerugian ekonomi, yaitu sejumlah rupiah yang hilang akibat kehilangan pangan ini. Tahapan penggilingan menyebabkan kehilangan mencapai lebih dari 0.90 juta ton beras selama setahun hal ini yang menyebabkan kerugian ekonomi jika ditinjau dari harga beras saat ini maka kerugiaanya mencapai kurang lebih 9.99 triliun rupiah. Selain itu kehilangan beras yang terjadi dari segi pangan dan gizi memiliki makna kehilangan sejumlah zat gizi yang terdapat didalam beras tersebut. Khususnya energi dan protein yang sangat esensial bagi kelangsungan hidup. Berikut merupakan kehilangan energi dan protein akibat kehilangan pangan pada saat penggilingan. Tabel 13Perkiraan kehilangan energi dan protein pada tahapan penggilingan No Tahun Kehilangan beras Kehilangan energi Kehilangan protein (gram/kap/hari) (kkal/kap/hari) (gram/kap/hari) 1 2010 10.45 38 0.71 2 2011 10.41 37 0.70 3 2012 10.60 38 0.72 4 2013 10.79 39 0.73 5 2014 10.54 38 0.72 Berdasarkan Tabel 13, perkiraan kehilangan beras pada saat proses penggilingan memiliki nilai lebih dari 10 gram/kap/hari setiap tahunnya (20102014). Kehilangan tersebut memiliki kontribusi terhadap anjuran Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar lebih dari 3% setiap tahunnya. Besarnya kehilangan tersebut juga menyebabkan hilangnya energi dan protein dari beras yang hilang. Berdasarkan tabel 13, kehilangan energi akibat kehilangan beras selama penggilingan mencapai kisaran 37-39 kkal/kap/hari. Kehilangan energi tersebut jika dibandingkan dengan angka kecukupan energi (AKE) menurut WNPG (2012) yaitu sebesar 2150 kkal setiap harinya maka kehilangannya mencapai 1.7-1.8%, yang perlu diperhatikan adalah nilai 2150 adalah nilai anjuran untuk keseluruhan makanan yang dikonsumsi bukan anjuran untuk beras jadi, nilai tersebut tetap merupakan sebuah hasil yang perlu mendapatkan perhatian untuk menjamin ketahanan pangan di Indonesia. Kehilangan pangan yang besar dapat menjadi salah satu penyebab tidak tahan pangannya suatu negara (HLPE 2012). Kehilangan protein yang terjadi mencapai sekitar kurang lebih 0.70-0.73 gram/kapita/hari dalam kisaran waktu 2010-2014. Hal tersebut jika dibandungkan dengan angka kecukupan protein (AKP) sebesar 57 gram menurut WNPG (2012) maka kehilangannya mencapai 1.2-1.3 %. Nilai tersebut tidak hanya untuk konsumsi beras sehari saja tetapi gunakan untuk semua makanan yang dikonsumsi pada hari tersebut, oleh karena itu nilai tersebut merupakan nilai yang harus tetap diperhatikan. Kehilangan energi dan protein dalam jumlah yang cukup besar merupakan indikator ketidakstabilan rantai pangan yang digambarkan dengan kehilangan pangan dalam rantai-rantai tertentu, keadaan tersebut dapat mengganggu sistem perpanganan dalam suatu negara yang akan berdampak pada tidak tahan pangannya suatu bangsa (HLPE 2012).
Tahap Distribusi
32
Distribusi beras adalah proses pengangkutan beras dari distributor hingga sampai ke konsumen, akan tetapi yang dimaksud distribusi dalam penelitian ini adalah distribusi beras dari tahapan setelah penggilingan beras hingga ke tempa penampungan sebelum sampai kepada konsumen. Proses pengangkutan beras baik dari distributor setelah penggilingan ke pasar, pedagang besar, pedagang kecil, ataupun tempat penampungan sebagai perantara dari produsen ke konsumen lainnya menyebabkan terjadinya kehilangan beras. Kehilangan pada rantai distribusi menyebabkan berbagai kerugian salah satunya adalah kehilangan dalam bentuk kuantitas beras, Giz (2014) dalam laporannya menyebutkan bahwa di Nigeria sebesar 2.56% beras hilang (loss) pada saat distribusi atau setara dengan 6.8 juta ton dari total produksi Nigeria. Berikut merupakan kehilangan beras pada tahap distribusi di Indonesia. Tabel 14Perkiraan kehilangan beras pada saat distribusi Tahun
Produksi GKG (Juta Ton)*
2010 66.4 2011 67.3 2012 69.1 2013 71.3 2014 70.8 *Sumber : BPS (2015)
Jumlah kehilangan GKG (Juta Ton) 0.83 0.83 0.84 0.89 0.89
Jumlah kehilangan beras (Juta ton) 1.31 0.90 0.83 1.14 1.51
Jumlah penduduk (Juta jiwa)* 238.5 242.0 245.4 248.8 252.2
Kehilangan beras Per tahun Per hari (kg/kap/thn) (g/kap/hari) 5.50 3.75 3.39 4.59 5.99
15.08 10.28 9.28 12.59 16.41
Perkiraan kehilangan beras pada tahap distribusi pada tahun 2010 hingga 2014 di Indonesiamencapai lebih dari 0.8 juta ton setiap tahunnya. Tahun 2014 merupakan tahun dengan nilai kehilangan yang terbesar dibanding dengan tahun lainnya dikarenakan pada tahun ini jumlah produksi beras Indonesia tinggi dan nilai impor yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lainnya. Kehilangan pada tahun tersebut mencapai 16.41 gram/kapita/hari hal ini jika mengacu pada anjuran dari Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 300 gram kehilangan tersebut memenuhi sebesar 5.47%. Jumlah kehilangan beras yang terjadi pada saat distribusi setara dengan 1.51 juta ton beras pada tahun 2014 hal tersebut meliputi 3.34%dari total produksi beras di Indonesia pada tahun tersebut. Kehilangan pada Kehilangan pada saat distribusi biasanya terjadi karena tercecer di jalan menuju lokasi pemasaran atau tercecer pada saat pengangkutan dari penyimpanan ke alat transportasi yang digunakan untuk distribusi (Kiaya 2014). Kehilangan beras selama rantai pemanenan, pascapanen, dan distribusi merupakan permasalahan umum yang terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Beberapa negara berkembang lain pun memiliki permasalahan yang sama yaitu hilangnya sejumlah pangan pada rantai pangan sebelum konsumsi. Kehilangan pangan yang terjadi diberbagai rantai pangan termasuk pada rantai distribusi menyebabkan berbagai dampak diberbagai bidang. Salah satunya adalah kerugian dari sudut pandang pangan dan gizi. Kejadian gizi kurang dan gizi buruk yang ada di dunia termasuk di Indonesia mengindikasikan bahwa telah terjadi kekurangan pangan. Fakta yang telah disebutkan pada tabel 14 mengindikasikan bahwa bukan hanya kekurangan pangan yang menjadi permasalahan tetapi masalah akses pangan. Adanya kehilangan pangan pada tahapan distribusi menunjukkan adanya permasalahan akses. Akses merupakan salah satu subsistem ketahanan pangan (Baliwati 2004), terganggunya akses
33
pangan dapat menyebabkan dampak yang signifikan bagi ketahanan pangan suatu negara yang berdampak pada meningkatnya permasalahan-permasalahan gizi terkait konsumsi pangan seperti gizi kurang dan gizi buruk (FAO 2011). Kehilangan beras, dalamhal ini pada tahapan distribusi seperti yang disajikan pada tabel 14 menyebabkan adanya kerugian berupa hilangnya sejumlah energi, protein, lemak dan zat gizi lainnya. Hal ini yang menurut Lipinski et al. (2012) merupakan dampak food loss di bidang pangan dan gizi. Selain itu adanya kehilangan sejumlah zat gizi juga merupakan dampak di bidang sosial karena adanya kesenjangan. Ketika sejumlah beras terbuang karena sistem distribusi yang belum mantap sejumlah jiwa orang di suatu wilayah lain tidak dapat mengakses pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar atau pokonya (BCFN 2012).Berikut merupakan kehilangan energi dan protein akibat kehilangan beras pada tahapan distribusi. No 1 2 3 4 5
Tabel 15Perkiraan kehilangan energi dan protein pada tahapan distribusi Tahun Kehilangan beras Kehilangan energi Kehilangan protein (gram/kap/hari) (kkal/kap/hari) (gram/kap/hari) 2010 15.08 54 1.02 2011 10.28 37 0.69 2012 9.28 33 0.63 2013 12.59 45 0.85 2014 16.41 59 1.11
Tabel 15 menunjukkan bahwa akibat dari kehilangan beras pada tahapan distribusi salah satunya adalah adanya kehilangan energi dan protein. Perkiraan kehilangan energi akibat dari kehilangan pada tahapan distribusi pada tahun 20102014 mencapai 59 kkal/kap/hari yang paling tinggi yaitu pada tahu 2014. Kehilangan tersebut jika dibandingan dengan angka kecukupan energi (AKE) dari WNPG (2012) sebesar 2150 kkal meliputi 2.7%, anjuran konsumsi tersebut tidak hanya berasal dari beras akan tetapi anjuran untuk semua makanan yang dimakan selama sehari sehingga 2.7% untuk beras saja merupakan nilai yang harus diperhatikan. Kehilangan protein akibat proses distribusi beras mencapai 1.11 gram/kapita/hari. Berdasarkan angka kecukupan protein (AKP) yaitu sebesar 57 gram protein maka nilai tersebut meliputi 1.9% dari rekomendasi. Selain dampak negatif dibidang pangan dan gizi, kehilangan pangan juga menyebabkan dampak negatif dibidang lain yaitu bidang ekonomi dan bidang sosial. Secara ekonomi kehilangan beras pada tahapan distribusi menyebabkan kehilangan sejumlah rupiah. Tahapan distribusi menyebabkan kehilangan paling besar sebesar 1.51 juta ton, hal ini menyebabkan kehilangan sebesar 16.77 triliun rupiah.
Food Waste Komoditas Berasdi Indonesia Food waste adalah setiap makanan dengan kualitas baik yang dapat dikonsumsi manusia tetapi karena alasan tertentu tidak dikonsumsi dan tidak dimanfaatkan(Linpinski et al. 2013). Bond et al. (2013) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan food waste adalah setiap produk makanan yang dapat dimakan dan ditujukan untuk konsumsi manusia tetapidibuang,hilang, rusakataudikonsumsi
34
olehhewan, dantidak termasukbagian yangtermakanatau merupakan bagian yang tidak diinginkandari bahan makanan . Tidak ada definisi yang pasti mengenai food waste, definisi yang timbul adalah berdasarkan pola pikir atau perspektif masing-masing (BCFN 2012). Marthinsen et al.(2012)mendefinisikan food waste sebagai limbah organik yangberasal darimakanan. Limbah tersebut dibagi menjadi dua yaitu limbah yang dihindari dan yang tidak dihindari. Limbah makanan yangdihindari,dimakandi beberapa titiksebelum pembuangan(misalnya sepotong roti) limbah makananyangdihindaridarisektor perhotelandapat dibagidalam limbahdaridapurdan limbahdaripengunjung. Sisa makanantidak dapat dihindariadalahsisa makanantidakdimakandari tahap awal hingga akhir. Sedangkan FAO (2011) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan food waste adalah setiap makanan yang seharusnya dikonsumsi manusia akan tetapi tidak dikonsumsi dan dibuang karena beberapa alasan. FAO (2011) menyebutkan bahwa penyebab timbulnya food wasteadalah multifaktor. Negara dengan pendapatan perkapita sedang hingga tinggi juga memiliki potensi yang sama besar dalam menimbulkan food waste di negaranya yaitu dengan membuang makanan meskipun sebenarnya makanan tersebut masih layak konsumsi. Menurut BFCN (2012) terdapat beberapa faktor penyebab timbulnya food waste antara lain karena membeli berlebihan, menyiapkan porsi makan yang berlebihan, kesulitan dalam pemahaman label dan kesalahan yang terjadi pada saat penyimpanan. Stuart (2009) menyebutkan bahwa fasilitas penyimpanan bahan makanan yang tidak baik memicu timbulnya food waste. Kehilangan pangan pada tahap konsumsi dapat terjadi pada berbagai tempat baik rumah tangga, instansi pelayanan publik seperti hotel, rumah sakit dan kantor pemerintahan maupun restoran dan katering (Lipinski et al. 2012), akan tetapi kehilangan pada hotel tidak diteliti karena adanya keterbatasan studi pendukung. Rumah Tangga Rumah tangga merupakan salah satu yang berkontribusi terhadap adanya food waste di dunia. Gooch dan Felfel (2014) menyatakan bahwa food waste yang dihasilkan di Kanada paling besar berasal dari rumah tangga yaitu sebesar 47%. Tahun 2009 dilaporkan bahwa total nilai food waste pada tingkat rumah tangga di Australia mencapai AU $5 milyar/tahun atau setara dengan AU $250/orang/tahun (Baker et al.2009). Food waste pada tingkat rumah tangga merupakan hasil hubungan yang kompleks dari proses perencanaan, pembelian, penyimpanan, penyiapan, dan konsumsi makanan (Quested et al. 2011). Bakeret al. (2009) menyebutkan bahwa food waste terjadi di semua tingkatan pendapatan rumah tangga, akan tetapi semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka level food waste yang dihasilkan semakin banyak. Waste beras yang terjadi pada tingkat rumah tangga merupakan hal yang penting untuk dibahas mengingat beras sebagai makanan pokok mayoritas penduduk Indonesia dan sekaligus merupakan komoditas perspektif ketahanan pangan Indonesia. Berikut merupakan waste komoditas beras pada tingkat rumah tangga di Indonesia. Tabel 16Food waste beras pada rumah tangga di Indonesia
35
No
1 2 3 4 5
Tahun
Kehilangan (gram/kap/hari) 2010 2011 2012 2013 2014
9.4 9.4 9.4 9.4 9.4
Jumlah penduduk (Juta)* 238.5 242.0 245.4 248.8 252.2
Kehilangan (Ribu ton) 818.3 830.3 841.9 853.6 865.3
*Sumber : BPS (2015)
Waste beras pada tingkat rumah tangga di Indonesia pada tahun 2010-2014 tidak memiliki perbedaan yang cukup tinggi, yaitu rata-rata lebih dari 800 ribu ton dalam setahun. Kehilangan tersebut dapat dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan beras untuk sejumlah penduduk di Indonesia. Jika mengacu pada anjuran Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 300 gram sehari maka jumlah kehilangan beras, misalnya pada tahun 2014 sebesar 865.3 ribu ton atau 9.4 gram/kap/hari, jumlah tersebut meliputi 3.1% dari anjuran PPH. Selain itu kerugian ekonomi akibat dari kehilangan beras (food waste) di rumah tangga ini cukup tinggi yaitu mencapai 9.6 triliun rupiah. Menurut WRAP (2010) kerugian ekonomi akibat food waste semua komoditas pangan di Inggris mencapai £950 juta. Waste pada tingkat rumah tangga disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab utamanya belum diketahui akan tetapi terdapat beberapa penyebab yang meningkatkan adanya waste pada tingkat rumah tangga. Beberapa diantaranya adalah karena faktor perilaku. Waste ini terjadi baik pada waktu makan pagi, siang, maupun malam. Terjadi waste pada waktu makan pagi biasanya karena terburu-buru untuk berangkat ke kantor atau sekolah sehingga tidak sempat dan ada yang menyatakan tidak terbiasa makan banyak di pagi hari, waste pada makan siang dan malam biasanya terjadi karena terdapat anggota keluarga yang memilih makan di luar rumah (Zetyra 2013). Selain itu, belum terbiasanya merencanakan pembelajaan bahan pangan, tempat penyimpanan yang tidak benar dan perilaku makan yang belum baik merupakan faktor yang meningkatkan adanya food waste pada tingkat rumah tangga (WRAP 2010). Rata-rata jumlah food waste di Austria mencapai 153gram/kapita/minggu. Sedangkan di Finlandia mencapai 442 gram/kapita/minggu (BCFN 2012). Menurut Williams dan Walton (2011) di Swedia mencapai 548 gram/kapita/minggu dan di Inggris mencapai 199 gram/kapita/minggu. Estimasi food waste komoditas beras di Indonesia mencapai 9.4 gram/kap/hari (Zetyra 2013). Hal tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga merupakan salah satu pranata yang menimbulkan food waste dan perlu untuk mendapatkan perhatian lebih. Jorissen et al. (2015)menyatakan bahwa strategi penjualan yang banyak beredar di masyarakat seperti beli satu dapat satu, diskon, dan strategi lainnya dapat memicu terjadinya food wastepada tingkat rumah tangga, karena masyarakat akan membeli bahan pangan lebih besar dari yang mereka butuhkan. Melakukan pendataan barang yang akan dibeli sebelum belanja dapat meminimalisasi terjadinya food waste pada tingkat rumah tangga (Williams dan Walton 2011).Perilaku dan penghormatan terhadap makanan oleh seseorang juga
36
berpengaruh terhadap adanya food waste di tingkat rumah tangga (Gjerris dan Gaiani 2013). Selain beberapa faktor tersebut juga terdapat faktor lainnya. BCFN (2012) melaporkan bahwa komposisi dalam sebuah keluarga mempengaruhi banyaknya food waste yang terdapat dalam keluarga tersebut. Keluarga yang memiliki komposisi satu anak akan lebih sedikit food wastenya dibandingkan dengan keluarga dengan beberapa anak, komposisi usia dalam keluarga juga berpengaruh, semakin banyak anggota dengan usia lanjut maka waste akan semakin besar, selain itu, pendapatan keluarga juga berpengaruh terhadap besar kecilnyafood waste yang terdapat dalam suatu rumah tangga (Jorrisen et al. 2015). WRAP (2010) melaporkan bahwa keluarga dengan pendapatan yang rendah menyebabkan food waste yang lebih rendah dibandingkan dengan keluarga dengan pendapatan menengah atau tinggi. Selain itu salah satu kerugian akibat food waste juga menyebabkan hilangnya sejumlah zat gizi tertentu. Meliputi energi dan protein maupun zat gizi lainnya. Food waste komoditas beras pada tingkat rumah tangga di Indonesia menyebabkan kehilangan energi sebesar 33.84 kkal/kap/hari serta menyebabkan terjadinya kehilangan protein sebesar 0.64 gram/kap/hari. Jika dibandingkan dengan angka kecukupan energi (AKE) sebesar 2150 kkal per orang per hari, maka kehilangan energi tersebut meliputi 1.57%, akan tetapi perlu diketahui bahwa nilai 2150 tidak total berasal dari beras sehingga nilai 1.57% merupakan jumlah yang tidak sedikit. Kehilangan protein mencapai 0.64 gram/kap/hari, jika dibandingkan dengan angka kecukupan protein (AKP) sebesar 57 gram/kap/hari maka hal tersebut meliputi 1.12%. Hal tersebut memiliki makna bahwa menyisakan makanan pada tingkat rumah tangga misalnya saat makan pagi, siang maupun malam, memiliki makna yang berarti, yaitu kehilangan sejumlah energi dan protein maupun zat gizi lainnya. Kehilangan sejumlah rupian tertentu serta bentuk kerugian lainnya. Restoran Food waste beras dapat terjadi juga di restoran sebagai salah satu tempat makan yang banyak digemari penduduk Indonesia. Anriyani (2013) menyebutkan bahwa food waste nasi yang dihasilkan oleh restoran atau rumah makan jumlahnya ditentukan oleh berbagai faktor termasuk jenis dari restoran tersebut. Anriyani (2013) menyebutkan bahwa waste nasi yang dihasilkan oleh restoran Sunda lebih besar daripada restoran Padang yaitu sebesar 1.5 kg/kap/tahun pada restoran Sunda dan 0.5 kg/kap/tahun pada restoran Padang. Berikut merupakan waste beras pada restoran di Indonesia. Food waste merupakan masalah pada restoran, WRAP (2008) menyebutkan bahwa adanya food waste pada restoran menyebabkan banyak kerugian yaitu mencapai £682 juta. Selain itu adanya food waste di restoran implikasinya pada berbagai sektor. WRAP (2008) menyebutkan implikasi adanya food waste pada tingkat restoran di UK antara lain kerugian sebesar £0.92 per porsi. Penelitian Qraved.com menyebutkan bahwa pada tahun 2013 telah dilakukan kunjungan ke restoran oleh sebanyak 380 juta kali di Indonesia. Hal ini berarti perkiraan waste nasi setara beras yang terjadi mencapai 0.52 ribu ton dalam tahun tersebut. Hal ini memiliki makna bahwa dalam setahun waste nasi setara beras pada tingkat restoran di Indonesia mencapai 0.52 ribu ton. Apabila
37
mengacu pada anjuran Pola Pangan Harapan yang menganjurkan konsumsi beras sehari 300 gram, maka, jumlah tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan 4749 jiwa penduduk Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa waste nasi yang terjadi pada tingkat restoran jika dapat dicegah jumlahnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan beras penduduk Indonesia sebesar 0.002% dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2013 adalah 248.8 juta jiwa. Banyaknya waste pada tingkat restoran menimbulkan berbagai macam kerugian di berbagai bidang, pada bidang pangan dan gizi waste tersebut berdampak pada hilangnya sejumlah energi, protein, maupun zat gizi lain yang terdapat dalam pangan yang hilang tersebut, dalam hal ini adalah beras. Jumlah kehilangan sebesar 0.52 ribu ton menyebabkan hilangnya 4.9 kkal/kap/hari energi dan 0.09 gram/kap/hari protein. Apabila mengacu pada AKE dan AKP berdasarkan WNPG (2012) yaitu sebesar 2150 kkal energi dan 57 gram protein, maka kehilangan tersebut meliputi 0.23% dari AKE dan 0.16% dari AKP. Artinya dalam setahun kerugian di bidang pangan dan gizi akibat food waste komoditas beras pada tingkat restoran sejumlah nilai tersebut. Selain pada bidang pangan dan gizi, food waste ini juga menyebabkan adanya kerugian di bidang ekonomi, hilangnya sejumlah nasi di restoran menyebabkan hilangnya sejumlah rupiah. Mengacu pada harga beras yang ada maka kerugian yang ditimbulkan food waste komoditas beras di restoran di Indonesia mencapai 5.7 milyar rupiah dalam setahun. Hal ini menunjukkan kerugian food waste pada bidang sosial yaitu adanya ketimpangan dimana masih ada penduduk yang tidak memiliki penghasilan dan tidak memiliki akses pangan yang baik terhadap makanan sementara disisi lain terjadi pemborosan pangan (BCFN 2012). Terdapat berbagai penyebab terjadinya food waste pada tingkat restoran. Anriyani (2013) dalam penelitiannya menyebutkan perbedaan penyajian porsi nasi pada masing-masing jenis restoran meningkatkan terjadinya waste.Menurut Stenhuiset al. (2009), bahwa semakin besar porsi, semakin tinggi pula intake makanan. Sehingga apabila yang disajikan banyak maka akan meningkatkan konsumsi, sehingga kemungkinan konsumen dalam menyisakan makanannya lebih besar.Upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan nilai waste nasi yang merupakan gambaran waste beras antara lain dengan menggunakan sistem pelayanan restoran yaitu dengan cara mengambil nasi sesuai dengan porsinya (Sundt et al. 2012). Rumah Sakit Rumah sakit merupakan salah satu institusi dengan limbah makanan terbesar. Hal ini karena mayoritas orang yang berada di rumah sakit adalah orang yang sakit dengan nafsu makan yang rendah sehingga menyisakan apa yang telah disediakan rumah sakit tersebut.William dan Walton (2011) menyatakan bahwa sisa makanan hasil studi dari beberapa rumah sakit di Inggris sebesar 6-65%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lumbantoruan (2012) di salah satu rumah sakit di Depok, Jawa Barat, food waste yang terdapat di rumah sakit cukup tinggi yaitu sebesar 21.4%. Berikut merupakan besarnya waste nasi setara dengan beras pada rumah sakit di Indonesia.
38
Tahun
2010 2011 2012 2013 2014
Tabel 17Perkiraanwaste beras pada Rumah sakit di Indonesia Bed Occupancy Kehilangan Jumlah Kehilangan Ratio (%) beras/orang (Ribu ton) (BOR)* (g) 12412 27.40 275 0.34 14097 37.75 275 0.53 25439 43.86 275 1.12 36705 14.78 275 0.54 33860 18.00 275 0.61
*Sumber : BPS
Berdasarkan tabel 17 kehilangan nasi setara beras pada tingkat rumah sakit di Indonesia selama 2010-2014 paling tinggi mencapai 1.12 ribu ton dalam setahun. Jumlah tersebut menyebabkan berbagai dampak negatif. Dampak tersebut meliputi berbagai bidang meliputi bidang pangan dan gizi, ekonomi, lingkungan maupun bidang lainnya, pada bidang pangan dan gizi hilangnya sejumlah beras tersebut menyebabkan hilangnya zat gizi yang terdapat pada beras tersebut. Berikut merupakan kehilangan energi dan protein akibat waste komoditas beras di rumah sakit. Tabel 18Perkiraan kehilangan energi dan protein kehilangan beras pada tingkatrumah sakit di Indonesia No Tahun Kehilangan Kehilangan energi Kehilangan protein beras (kkal/kap/hari) (gram/kap/hari) (Ribu ton) 1 2010 0.34 0.74 0.01 2 2011 0.53 1.02 0.02 3 2012 1.12 1.09 0.02 4 2013 0.54 0.39 0.01 5 2014 0.61 0.49 0.09 Tabel 18 menunjukkan bahwa pada tingkat rumah sakit kehilangan energi yang terjadi yang tertinggi mencapai 1.09 kkal/kap/hari, sedangkan kerugian protein yang tertinggi mencpai 0.09 gram/kap/hari. Hal tersebut merupakan suatu kerugian mengingat sebenarnya kehilangan tersebut dapat digunakan untuk mendukung kebutuhan gizi pasien. Selain kerugian berupa kehilangan energi dan protein serta zat gizi lainnya. Waste beras yang terjadi di rumah sakit juga menyebabkan kerugian ekonomi mengacu pada harga beras pada saat ini untuk beras curah atau non premium kerugian ekonomi yang terjadi mencapai 12.44 milyar rupiah. Food waste di rumah sakit dipengaruhi beberapa hal, antara lain alasan klinis seperti hilangnya nafsu makan, disfagia, dan nyeri. Alasan lain yang menyebabkan tingginya food waste di rumah sakit adalah terkait dengan menu yang disajikan rumah sakit seperti terlalu banyak, kurang variatif, tampilan kurang menarik, dan kualitas menu yang kurang baik (William dan Walton 2011). Walton dan William (2011) menyatakan bahwa untuk mengurangi food waste di rumah sakit dapat dilakukan dengan mendesain ruang makan khusus pasien yang masih mampu untuk makan bersama dengan pasien lain di ruangan tersebut, hal tersebut
39
telah diterapkan disalah satu rumah sakit di Inggris dan menunjukkan hasil yang cukup baik dalam menurunkan food waste di rumah sakit tersebut.
Total Food Loss dan Food Waste Komoditas Berasdi Indonesia Food loss dan food waste merupakan isu pangan yang harus segera diperhatikan (FAO 2011). Food loss dan food waste memiliki berbagai dampak negatif yang merupakan salah satu permasalahan global pada saat ini. Hal ini karena food loss dan food waste menimbulkan berbagai dampak negatif di berbagai bidang kehidupan. BCFN (2012) merumuskan beberapa dampak negatif yang dapat ditimbulkan olehfood loss danfood waste.Dampak tersebut meliputi bidang ekonomi, lingkungan, dan sosial. FAO (2014) juga menyebutkan bahwa food loss dan food waste memiliki beberapa dampak negatif baik dalam bidang lingkungan, ekonomi, maupun pangan dan gizi, pada bidang pangan dan gizi, adanya food waste antara lain terkait dengan ketahanan pangan dan status gizi. Food waste dapat menyebabkan secara kualitatif makanan yang dimakan oleh manusia tidak baik dan berpotensi untuk menurunkan status gizi. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan food loss komoditas beras di Indonesia totalnya mencapai 21.96% dari total produksi beras di Indonesia. Hal ini berarti sebesar 21.96% dari total produksi beras di Indonesia hilang dijalan atau hilang pada tahapan panen dan pascapanen serta distribusi. Kehilangan tersebut senilai dengan 9.07 juta ton. Sedangkan food waste komoditas beras di Indonesia mencapai 1.96% dari total produksi beras di Indonesia dengan nilai 866.1 ribu ton beras. Jumlah ini meliputi food waste pada tingkat rumah tangga, rumah sakit dan restoran. Food waste dapat terjadi pada berbagai sektor (WRAP 2010), akan tetapi pada studi ini hanya meliputi tiga sektor tersebut karena keterbatasan studi. Sehingga berdasarkan data tersebut maka total food loss dan food waste di Indonesia mencapai 23.92% dari total produksi beras di Indonesia atau hampir ¼ dari total produksi beras di Indonesia loss dan waste, hal tersebut senilai dengan 9.93 juta ton dalam setahun. Tahapan yang dapat menyebabkan food loss yang diteliti pada studi ini adalah tahapan panen, perontokan, pengeringan, penggilingan dan distribusi. Berdasarkan semua tahapan tersebut, tahapan pemanenan adalah tahapan dengan jumlah food loss yang paling tinggi, hal ini mengindikasikan masih rendahnya penanganan pemanenan di Indonesia atau belum majunya teknologi pemanenan yang ada. Food waste yang di teliti pada studi ini adalah food waste pada tingkat rumah tangga, rumah sakit, dan restoran, berdasarkan tiga tingkatan tersebut, tingkatan yang paling tinggi menghasilkan food waste adalah pada tingkat rumah tangga. Hal ini sesuai dengan penelitian WRAP (2008) bahw arumah tangga merupakan kontributor food waste yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Adanya food loss dan food waste mengakibatkan timbulnya berbagai macam dampak negatif meliputi berbagai bidang atau lini. BCFN (2012) menyebutkan bahwa adanya food loss dan food waste menyebbkan berbagai dampak negatif meliputi bidang pangan dan gizi, ekonomi, sosial, dan lingkungan.
40
Dampak di Bidang Pangan dan Gizi Pangan dan gizi merupakan isu yang tidak dapat dipisahkan. Permasalahan gizi yang diakibatkan oleh pangan masih menjadi permasalahan yang diperhatikan di dunia. Masalah gizi buruk dan gizi kurang misalnya. Masalah gizi buruk dan gizi kurang muncul akibat kurangnya konsumsi makanan sesuai dengan kebutuhan. Adanya food loss dan food waste menyebabkan hilangnya sejumlah zat gizi tertentu dalam hal ini zat gizi yang terdapat pada beras. Sejumlah zat gizi yang penting bagi manusia akan ikut hilang akibat food lossdan food waste dan hal tersebut merupakan dampak food loss dan food waste dibidang pangan dan gizi (BCFN 2012). Berdasarkan hasil yang menyebutkan bahwa sebesar ¼ beras dari total produksi di Indonesia loss dan waste menyebabkan terjadinya kehilangan zat gizi dari kehilangan tersebut. Jumlah kehilangannya rata-rata mencapai 395 kkal/kap/hari. Hal ini berarti senilai dengan 18.3% dari angka kebutuhan energi penduduk Indonesia yang mengacu pada 2150 kkal (WNPG 2012). Selain itu, kehilangan pangan juga menyebabkan terjadinya kehilangan zat gizi lain misalnya protein, berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, kehilangan protein akibat food loss dan food waste komoditas beras di Indonesia mencapai 7.46 gram/kap/hari. Hal ini memiliki makna bahwa hilangnya pangan tersebut menyebabkan hilangnya sejumlah gram protein yang meliputi 13.1% dari angka kecukupan protein (AKP) yang bernilai 57 gram (WNPG 2012). Dampak di Bidang Ekonomi Food loss dan food waste juga menyebabkan dampak di bidang ekonomi. Adanya food loss dan food waste selain menyebabkan kehilangan atau kerugian sejumlah nilai mata uang tertentu juga adanya kerugian lain yaitu kerugian ekonomi akibat sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan pangan tersebut, misalnya air, bibit, pupuk, transportasi dan lain sebagainya (FAO 2014). Dampak negatif pada bidang ekonomi meliputi harga atau nilai dari makanan yang terbuang, nilai negatif dari produksi eksternalitis, dan opportunity cost dari persawahan. Rata-rata satu dari empat rumah tangga di Amerika Serikat menghabiskan US $ 1600/tahun yang dapat digunakan untuk memberi makan sebuah keluarga di negara berkembang dengan jumlah sekitar US $ 4.4/hari.Kerugian ekonomi akibat food loss dan food waste di beberapa negara merupakan permasalahan yang sangat serius. FAO (2011) menyebutkan bahwa kerugian akibat food loss dan food waste mencapai US$ 1.3 triliun. Rumah tangga Amerika menyebabkan kerugian ekonomi sebesar US$ 125 milyar setiap tahunnya (BCFN 2012). Food loss dan food waste yang terjadi di Indonesia juga menyebabkan terjadinya kerugian di bidang ekonomi. Berdasarkan perkiraan food loss dan food waste komoditas beras di Indonesia maka kerugian yang diakibatkan mencapai 86.6 triliun rupiah. Jumlah yang tidak sedikit dan bisa dialokasikan untuk kepentingan negara yang lain. Dampak di Bidang Lingkungan Food waste juga memiliki dampak yang serius pada bidang lingkungan, antara lain kontribusinya dalam membentuk emisi gas rumah kaca, mencemari sumber air bersih, degradasi tanah, dan konsumsi energi, di Itali buah dan sayur
41
terbuang secara percuma yang nilainya setara dengan 73 juta meter kubik air atau sama dengan 36.5 milyar botol air yang berukuran 2 liter (BCFN 2012). Hall et al. (2009) dalam penelitianya menyebutkan bahwa food waste merupakan salah satu pemicu dari adanya fenomena pemakaian air bersih dan bahan bakar fosil yang berlebihan. Hal ini dikaitkan dengan dampak negatif food waste yang membentuk gas metana dan gas lainnya sehingga food waste juga disebutkan sebagai salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim yang sekarang sedang berlangsung.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Food loss dan food waste merupakan permasalahan yang menjadi isu penting di dunia. Mengetahui besarnyafood loss dan food waste khususnya untuk komoditas pangan yang strategis atau pangan yang dijadikan sebagai bahan makanan pokok di suatu negara penting untuk dilakukan untuk pertimbangan langkah yang akan dilakukan terkait dengan permasalahan, dalam hal ini adalah komoditas beras di Indonesia. Sebesar 23.92% atau hampir ¼ beras dari total produksi beras di indonesia loss dan waste. Keadaan tersebut menyebabkan berbagai macam kerugian atau dampak negatif di berbagai bidang, pada bidang pangan dan gizi menyebabkan hilangnya sejumlah energi dan protein tertentu yaitu mencapai 379 kkal/kap/hari energi dan 8.87 gram/kapita/hari protein. Food loss dalam hal ini meliputi kehilangan pada saat pemanenan yaitu sebesar lebih dari 4 juta ton per tahun, pada saat perontokan mencapai lebih dari 2 juta ton, pada saat pengeringan mencapai lebih dari 0.7 juta ton, pada saat penggilingan lebih dari 0.9 juta ton, dan pada tahapan distribusi lebih dari 0.8 juta ton. Food waste dalam hal ini meliputi pada tingkat rumah tangga yaitu lebih dari 800 juta ton, pada tingkat restoran mencapai 0.52 ribu ton, dan pada tingkat rumah sakit mencapai lebih dari 0.3 ribu ton.
Saran Tingginya food loss dan food waste komoditas beras di Indonesia menyebabkan tingginya kerugian dari berbagai bidang seperti kerugian ekonomi yang diindikasikan dengan hilangnya sejumlah rupiah kemudian kerugian dibidang lingkungan seperti pencemaran akibat food waste dan di bidang pangan dan gizi yaitu menyebabkan terjadinya kesenjangan akses pangan di Indonesia serta terbuangnya sejumlah nilai gizi.Hal ini mengindikasikan Indonesia perlu untuk melakukan sesuatu untuk menangani permasalahan ini baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat. Masyarakat dapat berkontribusi dengan merubah perilaku makan sesuai dengan porsi.Pemerintah dapat berperan dengan membuat kebijakan terkait hal ini
42
selain itu pemerintah juga perlu untuk fokus dalam meningkatkan teknologi pascapanen serta keahlian petani dalam menangani hasil panen sehingga loss beras dapat diminimalisasi. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan besarnya food loss dan food wastepada komoditas lain pada area yang lebih spesifik seperti katering atau hotel, untuk mendukung setiap kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah serta sebagai bahan pertimbangan masyarakat untuk mulai merubah perilaku untuk mengurangi food loss dan food waste di Indonesia yang akan memberikan kontribusi untuk mengurangi food loss dan food waste di Indonesia dan kemudian berdampak pada kuatnya ketahanan pangan di Indonesia.
43
DAFTAR PUSTAKA ADM Institute for the Prevention of Postharvest Loss. 2012. Mapping the Production Systemand the Supply Chain and Study the Crop Losses of Black Gram. Illinois(IT):ADM Institute for the Prevention of Postharvest Loss. [AGRA] Alliance for a Green Revolution in Africa. 2013. Establishing the Status of Post-Harvest Losses and Storage for Major Staple Crops in Eleven African Countries (Phase I). Nairobi(KE): AGRA. Anriyani D. 2013. Estimasi sisa nasi konsumen di beberapa jenis rumah makan di kota Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Aula LE. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya sisa makanan pada pasien rawat inap Di Rumah Sakit Haji Jakarta. [Skripsi]. Jakarta(ID): Program Studi Kesehatan Masyarakat, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah. Babamiri NS, Ardeh FA. Effect of drying temperature and final grain moisture content on the hulling and head rice yield effiency of some common rough variety. International Journal of Agricultural and Crop Sciences 6(9): 529533. Baker,David, Fear, Josh, Denniss, Richard. 2009. What a Waste: an Analysis of Household Expenditure on Food. Canberra(AU): The Australia Institute. Baliwati YF. 2004. Pegantar Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Swadaya. [BCFN] Barilla Center for Food and Nutrtition. 2012. Food Waste : Causes, Impact, and Proposals. Roma (IT): BCFN. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1996.Survei Susut Pascapanen Padi Musim Tanam. Jakarta(ID): BPS. ______________________. 1996. Survei susut pascapanen MT 1994/95 dan MT 1995. Bogor(ID): Kerjasama BPS, Ditjen Tanaman Pangan, Badan Pengendali Bimas, Bulog-bapenas, IPB, dan Badan Litbang Pertanian. ______________________. 2008. Laporan Hasil Survei Susut Panen dan Pasca Panen Padi Tahun 2005-2007. Jakarta(ID): BPS. ______________________. 2011. Impor Beras Menurut Negara Asal Utama, 2000-2014. Jakarta(ID): BPS. ______________________. 2011. Kajian Konsumsi dan Cadangan Beras Nasional. Jakarta(ID): BPS. _______________________. 2013. Survey Sosial Ekonomi Nasional 2009-2013. Jakarta(ID): BPS. _______________________. 2015. Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai Angka Ramalan I Tahun 2015. Jakarta(ID): BPS. ________________________. 2015. Statistik Indonesia Tahun 2015. Jakarta(ID): BPS. ________________________. 2015. Statistik Restoran atau Rumah Makan Tahun 2015. Jakarta(ID): BPS.
44
BULOG. 1980. Penanganan pascapanen padi. Di dalam: Sulardjo, editor. Magistra No. 88 Th. XXVI Juni 2014 ISSN 0215-9511. Djamaluddin M. 2005. Analisis zat gizi dan biaya sisa makanan pada pasien dengan makanan biasa.Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 1(3): 108-112. Fadilah O. 2013. Gambaran sisa makanan, kontribusi zat gizi, dan biaya makan pasien rawat inap di RSUD Salatiga.[Skripsi]. Surakarta(ID): Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta. [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nation. 2011. Global Food Losses and Food Waste-Extent, Causes and Prevention. Roma(IT): UN FAO. _____________________________________________________. 2013.The State of Food Insecurity in the World. Roma (IT): FAO. ___________________________________________________. 2014. Global Initiative of Food Losses and Waste Reduction. Roma (IT): FAO. Giz. 2014. Post-Harvest Losses of Rice in Nigeria and Their Ecological Footprint. Berlin (DE) : Federal Ministry for Economic Cooperation and Development. Gooch MV, Felfel A. 2014. The Cost Canada’s Annual Food Waste. Oakville(Ca): VCM International. Hodges RB, Budzy JC, Bennett B. 2011. Postharvest losses and waste in developed andless developed countries: opportunities to improveresource use. Journal of Agricultural Science. 1(149): 37-45 doi:10.1017/S0021859610000936. [HLPE] High Level Panel of Expert. 2014. Food Losses and Waste in the Contex of Food Sunstainable System. Roma (IT) : HLPE. Iswari K. 2012. Kesiapan teknologi panen dan pascapanen padi dalam menekan kehilangan hasil dan meningkatkan mutu beras.Jurnal Litbang Pertanian 31(2): 58-67. Kiaya V. 2014. Post-Harvest Losses and Strategies to Reduce Them. Washington DC (US) : ACF International. Lipinski B, Hanson C, Lomax B, Kitiloja L, Waite R, Tim Researchinger. 2013. Installment 2 of “Working Paper, Creating of Sustainable Food Future”. Washington DC (US): World Resources Institute. Lumbantoruan BD. 2012. Hubungan penampilan makanan dan faktor lainnya dengan sisa makanan biasa pasien kelas 3 Seruni RS Puri Cinere Depok bulan April-Mei 2012.[Skripsi]. Depok(ID): Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Malik D, Singh D. 2010. Dynamics of production, processing and export of wheat in India. Journal of Food Security 1(1) : 1-11. [MGI] McKinsey Global Institute. 2011. Resource Revolution: Meeting the World’s EnergyMaterials, Food, and Water Needs. Washington DC(US) : MGI.
45
Nida K. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sisa makanan pasien rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum.[Skripsi]. Banjarbaru (ID): Program Studi Gizi, STIKES Husada Borneo Banjarbaru. Nugraha S, Thahir R, Sudaryono. 2007. Keragaan kehilangan hasil paska panen padi pada 3(tiga) agroekosistem. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian. 3: 43-49. Nugraha S. 2012. Inovasi teknologi pascapanen untuk mengurangi susut hasil dan mempertahankan mutu gabah/beras di tingkat petani.Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian. 8(1): 49-61 Pemerintah Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Prabowo R. 2010. Kebijakan Pemerintah dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan di Indonesia Jakarta (ID): Mediagro. Purwanto. 2005. Kehilangan pascapanen padi kita masih tinggi. [Internet].[Diunduh pada 9 Januari 2016].Tersedia pada http://io.ppijepang.org. Quested TE, Marsh E, Stunell D, Parry AD. Food and drink waste from households in the UK. Nutrition Bull. 36:460–7. Rembold F, Hodges R, Benard M, Knipschild H, Leo O. 2011. The African Postharvest Losses InformationSystem (APHLIS).Luxemburg(EU): JRC Scientific and Technical Report. Renaningtyas D. 2004. Pengaruh penggunaan modifikasi standar resep lauk nabati tempe terhadap daya terima dan persepsi pasien rawat inap. Jurnal Gizi Klinik Indonesia.1(1). Riyadi.2002. Pengembangan Wilayah Teori dan konsep Dasar, dalam Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah Kajian Konsep dan Pengembangan. Jakarta(ID): Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Rachmawati et al.. 2012. Pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap terjadinya sisa makanan pasien rawat inap di Rumah Sakit Bayangkhara Palembang tahun 2013. [Skripsi].Palembang(ID): Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya. Setyono A, Sutrisno, Nugraha S. 2001. Pengujian pemanenan padi sistem kelompok dengan memanfaatkan kelompok jasa pemanen dan jasa perontok.Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 2(2):51-57. Setyono A, Sutrisno S, Nugraha, Jumali. 2007. Application of Group Harvesting Technique for Rice Farming Second Edition. Sukamandi(ID): IndonesianCenter for Rice Research. ________________________________.2001.Uji coba kelompok jasa pemanen dan jasa perontok. Laporan Akhir Tahun 2000. Sukamandi(ID): Balai Penelitian Tanaman Padi. Sundt P, Marthinsen J, Kaysen O, Kirkevaag K. 2012. Prevention of food waste in restaurants, hotels, canteens and catering.TemaNord.Vol 53. Surayya T. 2010. Food supply chain management: challenges and strategies. Journal of Food Security 1(1) : 12-23.
46
Williams P, Walton K. 2011. Plate waste in hospitals and strategies for change.European e-Journal of Clinical Nutrition and Metabolism. 6(6): 235-241. World Bank. 2011. Missing Food: The Case of Postharvest Grain Losses in SubSaharan Africa.Washington DC(US): World Bank. WRAP. 2009. The Food we Waste. London (UK) : WRAP Zetyra EI. 2013. Estimasi kehilangan beras (sisa dan tercecer) pada rumah tangga kelompok ekonomi menengah di kota Bogor.[Skripsi]. Bogor(ID): Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Pemalang pada tanggal 30 November 1993 dari ayah Slamet Mulyono dan ibu Sri Narti.Penulis adalah putri pertama dari 2 bersaudara. Pada tahun 2012 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Comal dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Undangan di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama perkuliahan penulis menjadi asisten praktikum Ekonomi Pangan dan Gizi, Perencanaan Pangan dan Gizi, serta Pendidikan Agama Islam. Penulis juga aktif sebagai staff divisi Kemuslimahan FORSIA IPB, Staff Divisi Fundrising dan Marketing LDK Al-Hurriyyah, Sekretaris Indonesia Youth Educate and Social, Divisi Redaksi Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia, Tentor Sosiologi Umum di Tutorial Bidikmisi, dan Tentor Biologi di Tutor Sebaya IPB. Bulan Juni-Agustus 2015 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di Desa Cibitung Wetan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Penulis juga pernah menjalankan Praktek Kerja Lapang (PKL) Gizi Klinik dan Manajemen Sumberdaya Pelayanan Makanan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan November-Desember 2015. Selain itu, selama 2 tahun penulis merupakan pengajar di Spectrum Bimbel Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam beberapa kepanitiaan di IPB antaral lain kepanitiaan Nutrition Fair 2015, Gebyar Indonesia Berkarya 2013, Santunan 1000 anak Yatim dan Dhuafa 2014, Bina Desa BEM FEMA 2013, MPKMB Angkatan 50, FORSIA Islamic Festival, IPB Islamic Festival, PIMNAS 29, Seminar Dakwah Online dan Socioenterpreneur 2015, Muslimah in Ation 2015, dan Kajian Muslimah 2016 dan lain-lain. Penulis juga aktif mengikuti lomba karya tulis ilmiah tingkat mahasiswa. Beberapa prestasi yang diraih oleh penulis adalah penerima hibah DIKTI PKM Gagasan Tertulis 2015, Juara 1 Lomba Esai Nasional Biology Scientific Competition di Universitas Muhammadiyah Malang, Juara 1 Agricultural Food Competition Universitas di Jenderal Soedirman, Juara 2 Lomba Esai Nasional Gebyar Mahasiswa Eksakta di Universitas Lampung, Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional di Universitas Diponegoro, Juara 3 Lomba Design Tempat Sampah Ramah Lingkungan di Institut Pertanian Bogor, tulisan di muat di Majalah Komunitas IPB, tulisan di muat di Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia, dan penulis merupakan mahasiswa berprestasi 1 Departemen Gizi Masyarakat 2016, Mahasiswa Berprestasi 2 Fakultas Ekologi Manusia 2016 dan Finalis Mahasiswa Berprestasi IPB 2016.