“FOOD WILL WIN THE WAR – DON’T WASTE IT!” : KAMPANYE FOOD CONSERVATION DI AMERIKA SERIKAT 1917 – 1920 Tri Astrini Megaputri Janis, Yuda Benharry Tangkilisan Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Kampus UI Depok Jawa Barat 16424 Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini menjelaskan tentang kampanye Food Conservation 1917 – 1920. Tujuan kampanye ini adalah untuk menjamin ketersediaan pangan Amerika Serikat dan Sekutu dalam Perang Dunia I. Melalui kampanye Food Conservation, pemerintah bekerja sama dengan masyarakat untuk meningkatkan produksi pangan dan mengurangi konsumsi atas komoditas yang dibutuhkan untuk ekspor. Dalam menulis skripsi ini digunakan metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa kampanye Food Conservation mengubah kebiasaan kuliner masyarakat Amerika, selain berhasil menjamin ketersediaan pangan Amerika Serikat.
“Food Will Win the War – Don’t Waste It!” : Food Conservation Campaign in the United States 1917 – 1920 Abstract This thesis examines an effort to secure the United States and its allies food supply during the First World War, through a campaign called Food Conservation 1917 – 1920. Throughout this campaign, the United States government cooperated with its people to increase food production and to reduce food consumption, of which were essential for export. This thesis was written based on historical methods: heuristic, criticism, interpretation, and history writing. To be concluded, the Food Conservation campaign changed American culinary habits, aside from its achievement in securing the U.S. and its allies food supply. Keywords: American culinary habits, American eating habits, Food Conservation, United States Food Administration
Pendahuluan Selama tahun 1914 hingga 1918, berlangsung Perang Dunia I di Eropa. Pada tahun 1917, Amerika Serikat bergabung ke dalam perang dan bertempur bersama Blok Sekutu. Dalam keadaan perang, ketersediaan pangan menjadi salah satu hal yang penting untuk diperhatikan oleh setiap negara. Pemerintah Amerika bertanggung jawab atas kebutuhan kuliner tentaranya yang pergi berperang di Eropa. Di samping itu, pemerintah Amerika juga harus memenuhi kebutuhan kuliner penduduknya sekaligus dengan penduduk sekutunya. Agar kewajiban tersebut dapat terpenuhi, maka
pemerintah Amerika perlu mengelola pangannya; salah satunya dapat dilakukan dengan mengubah kebiasaan kuliner penduduknya. Amerika Serikat mewarisi kebudayaan Inggris, termasuk di antaranya adalah kuliner, yang dibawa dalam ekspedisinya (Levenstein, 2003:3). Para penjelajah Inggris tiba di Amerika membawa kebiasaan kuliner mereka seperti kebiasaan mengonsumsi roti, daging, dan kue-kue manis. Dalam perkembangannya, setelah merdeka dari Inggris, orang Amerika tetap meneruskan kebiasaan kuliner tersebut, namun mereka cenderung mengkonsumi makanan dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini selain disebabkan karena iklim di Amerika yang semi-tropis memungkinkan
Food Will..., Tri Astrini Megaputri J, FIB UI, 2013
tumbuhnya berbagai jenis tanaman dalam jumlah yang relatif banyak, juga terjadi karena makanan memiliki nilai sosial tersendiri dalam masyarakat (Eden, 2010:3). Secara umum, gandum putih (wheat) dan daging merah memiliki nilai sosial yang tinggi sehingga banyak dikonsumsi oleh masyarakat Amerika. Sementara itu, sayuran yang dikonsumsi kurang bervariasi, yaitu kubis, kacangkacangan, lobak, dan bawang. Tren mengonsumsi salad telah berkembang pada akhir abad ke-19, akan tetapi terbatas pada kelompok sosial atas Amerika. Secara garis besar, sayuran hanya sedikit dikonsumsi masyarakat Amerika. Selain itu, buahbuahan juga baru dikonsumsi setelah diolah menjadi kue-kue manis (Levenstein, 2003:5). Dalam memilih jenis kuliner yang akan dinikmati, ada faktor lain selain nilai sosial yang dimiliki oleh suatu makanan, yaitu selera konsumen. Secara umum, masyarakat Amerika menggemari makanan manis. Oleh karena itu, makanan mereka didominasi oleh rasa manis. Selain hidangan penutup yang manis, saus yang digunakan untuk melumuri daging juga dibuat manis. Mereka juga mengawetkan sayuran dengan gula .
Masyarakat Amerika dapat dikatakan telah mengembangkan kebiasaan kuliner yang tidak sehat; baik secara ekonomi maupun dari kandungan nutrisinya. Kelompok kelas sosial atas sering mengadakan perjamuan makan malam, terutama di restoran-restoran. Makanan yang disajikan selalu melebihi jumlah pesertanya, sehingga tidak dihabiskan. Landasan mengonsumsi makanan dalam jumlah yang besar terletak pada ukuran kesehatan saat itu, ketika tubuh gemuk melambangkan kesuburan. Selain itu, kuantitas dan kualitas makanan yang disajikan menunjukkan kemampuan ekonomi seseorang. Jenis masakan yang populer di kalangan elite Amerika saat itu adalah makanan-makanan Prancis, yang terbuat dari bahan-bahan yang mahal. Kemudian, kelompok kelas menengah juga gemar mengadakan perjamuan makan malam, hanya saja makanan yang dihidangkan lebih sederhana dan jumlahnya lebih sedikit. Sementara itu, kelompok kelas pekerja mengonsumsi makanan yang tidak terlalu bervariasi dan berkualitas rendah. Akan tetapi, tidak ada bukti bahwa mereka kekurangan makanan (Levenstein, 2003:25). Kebiasaan kuliner orang Amerika, baik kelas sosial atas maupun kelas pekerja, memberikan dampak yang buruk terhadap kesehatan mereka. Gangguan pencernaan dan kekurangan vitamin merupakan masalah kesehatan yang utama bagi orang Amerika abad ke-19. Mereka tidak mengenal pengelompokkan makanan berdasarkan nutrisinya, seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral, dan air. Selain itu, mereka juga tidak mengerti bahwa setiap kandungan makanan memiliki manfaat yang berbeda bagi tubuh (Levenstein, 2003:46).
Pada pertengahan tahun 1880-an, mulai muncul penelitian nutrisi makanan yang dilakukan oleh Wilbur Atwater. Ia mengatakan bahwa orang Amerika telah mengembangkan kebiasaan kuliner yang boros dan tidak sehat. Atwater didukung oleh beberapa ilmuwan lain, seperti Atkinson, Mary Hinman Abel, dan Ellen H. Richards, untuk mengubah kebiasaan kuliner kelompok kelas pekerja. Sebagai solusinya, mereka menerapkan konsep Volksküchen (Dapur Rakyat) dari Jerman yang menyediakan makanan bernutrisi baik dengan harga yang murah yang ditujukan bagi masyarakat kelas pekerja. Konsep ini diadopsi oleh Mary Hinman Abel ketika ia sedang bertugas di Jerman. Namun, penerapan konsep Volksküchen disesuaikan dengan kondisi orang Amerika yang menyukai kebebasan untuk memilih makanannya, dan makanan-makanan tersebut harus dinikmati keluarga-keluarga di rumah. Para ilmuwan memperkenalkan konsep Dapur Rakyat ini kepada masyarakat umum dengan nama New England Kitchen (NEK). NEK hanya menerima take out (makanan untuk dibawa) dan juga memberikan jasa pesan antar agar makanannya dapat dinikmati oleh seluruh anggota sebuah keluarga. Selain menyediakan makanan, NEK juga memberikan pelajaran memasak makanan yang sehat untuk masyarakat. Kegiatan masak-memasak di dapur ini menggunakan Aladdin Oven yang diciptakan oleh Atkinson (Levenstein, 2003:49). Pada awalnya, NEK mendapat respon yang baik dari publik, terutama pihak rumah sakit. Selain itu, NEK juga mengirim makanan ke kafetaria sekolah-sekolah. Akan tetapi, pesan NEK tidak berhasil mencapai sasaran utamanya, yaitu kelompok kelas pekeja. Atkinson gagal menerapkan sistem pengiriman makanan ke rumahrumah dan tempat kerja dengan biaya yang rendah, sehingga mengecewakan kelas pekerja. Aladdin Oven yang digunakan untuk memasak di NEK, harganya terlalu mahal untuk kelas pekerja, selain itu juga sering mengalami gangguan teknis. Ironisnya, makanan yang dimasak di NEK ternyata tidak sehat apabila dibandingkan dengan ukuran kesehatan masa kini. Ketika itu vitamin belum ditemukan, sehingga para ahli nutrisi belum mengetahui pentingnya kandungan nutrisi dalam sayuran dan buah-buahan bagi kesehatan. Oleh karena itu, sayuran dan buah-buahan tidak banyak disertakan dalam masakan. Jika ada, wayuran hijau sengaja direbus lebih lama agar mudah dicerna, akan tetapi ini justru menghilangkan nutrisinya. Setelah gagal menerapkan NEK kepada kelas pekerja, Atkinson dan kawan-kawan mengubah sasaran mereka menjadi kelas menengah. Mereka berharap bahwa kelas menengah dapat memberikan contoh yang baik kepada kelas pekerja. Kali ini para ahli nutrisi berusaha untuk menjadikan Home Economics sebagai pelajaran wajib di
Food Will..., Tri Astrini Megaputri J, FIB UI, 2013
sekolah-sekolah. Home Economics mengajarkan bahwa komponen yang terdapat dalam setiap makanan berbeda-beda, dan setiap komponen memiliki fungsi yang berbeda pula. Pada tahun 1897, Home Economics telah diajarkan di beberapa sekolah negeri di Amerika . Umumnya, kelas sosial menengah adalah agen perubahan dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena kelas sosial menengah lebih makmur dibandingkan dengan kelas sosial di bawahnya. Di satu sisi, mereka tidak seperti kelas sosial di atasnya, yang memiliki banyak pilihan dalam hidup. Dalam konteks makanan, kelas sosial atas cenderung memilih makanan-makanan yang enak dan dalam jumlah yang besar, untuk menunjukkan status mereka yang lebih tinggi, tanpa mementingkan dampaknya terhadap kesehatan. Sementara itu, kelas sosial menengah harus mempertimbangkan biaya yang harus dikeluarkan apabila mengalami gangguan kesehatan akibat kebiasaan kulinernya. Sehingga, gagasan tentang kebiasaan kuliner yang sehat lebih mudah disebarkan melalui kelas sosial menengah. Pada tahun 1916, Amerika Serikat dilanda krisis pangan akibat gagal panen. Yang menjadi pusat perhatian pemerintah adalah ketersediaan gandum putih yang sangat terbatas, padahal ketika itu Amerika harus memenuhi permintaan ekspor dari negara-negara di Eropa yang sedang berperang. Pada bulan April 1917, Amerika Serikat bergabung dalam Blok Sekutu bersama Inggris dan Prancis dalam menghadapi Jerman. Akhirnya pemerintah Amerika Serikat merancang sebuah undang-undang yang memberi kuasa terhadap kontrol persediaan pangan kepada pemerintah. Undang-undang tersebut disahkan pada bulan Agustus 1917, dengan nama Food and Fuel Control. Dengan Undang-Undang Food and Fuel Control, maka sebuah badan baru untuk menangani masalah pangan diresmikan, yaitu United States Food Administration (USFA) yang dikepalai oleh Herbert Hoover. Orang Amerika terbiasa dengan pola konsumsi makanan yang boros. Apabila kebiasaan ini tidak diubah, Amerika Serikat tidak akan bertahan menghadapi krisis pangan yang diikuti Perang Dunia I. Oleh karena itu, USFA menjalankan serangkaian kampanye yang dinamakan Food Conservation (Konservasi Pangan). Kampanye ini mengajak masyarakat untuk membatasi konsumsi pangan mereka, seperti mengurangi konsumsi gandum putih, daging, gula, dan mentega. Strategi utamanya adalah mempromosikan “Hari tanpa Gandum Putih dan Daging” (Wheatless and Meatless Days), dengan menggunakan konsep substitusi pangan oleh Atwater. Apabila masyarakat dapat mengganti sumber karbohidrat, protein, dan lemak, maka mereka dapat membantu pemerintah Amerika memberi makan penduduknya di kampung halaman,
maupun yang sedang berperang, selain itu juga dapat memberi makan para sekutunya. Selain mengurangi konsumsi keempat produk tersebut, USFA juga mengajak masyarakat melakukan konservasi dengan cara membeli pangan secukupnya. Masyarakat juga diajarkan untuk mengisi perut mereka dengan sayuran dan buah-buahan, yang tidak ikut diekspor karena mudah rusak. Sehingga, antara tahun 1917 hingga 1918, masyarakat Amerika Serikat melakukan gerakan menanam sayuran dan buah-buah di halaman rumah mereka masing-masing, maupun di taman kota.
Kampanye Food Conservation disebarkan melalui media cetak, dan berhasil menarik perhatian masyarakat terutama para ibu rumah tangga (Veit, 2007:170). Para ahli home economics direkrut USFA untuk menciptakan resep dan menu yang mendukung konsep substitusi pangan. Selain itu, mereka juga menerbitkan buku pelajaran untuk sekolah-sekolah kelas atas, yang menjelaskan pentingnya nutrisi yang terkandung dalam sayuran dan buah-buahan. Kampanye Food Conservation yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan pangan, secara umum juga berdampak pada perubahan kebiasaan kuliner orang Amerika. Mereka makan dengan porsi yang lebih kecil, makan lebih banyak sayuran dan buah-buahan, minum lebih banyak susu (Levenstein, 2003;141), dan menyantap makanan yang lebih sederhana.
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode sejarah. Metode ini terdiri dari empat tahapan yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi (Gottschalk, 2008:42). Tahap pertama yang dilakukan setelah menentukan topik adalah heuristik, yaitu menemukan dan menghimpun sumber-sumber di berbagai dokumen, yang berhubungan dengan kampanye Food Conservation, keadaan masyarakat Amerika Serikat termasuk kebudayaan mereka terkait masalah makanan dan kesehatan, situasi Amerika Serikat selama Perang Dunia I dan ketika memasuki era the Roaring Twenties pada tahun 1920. Berdasarkan bentuk penyajiannya, sumber-sumber sejarah terdiri atas arsip, buku, majalah, jurnal, surat kabar, dan dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer yang digunakan dalam menyusun skripsi ini sebagaian besar berasal dari situs yang memuat arsip-arsip pemerintahan Amerika Serikat, National Archives (www.archives.gov) dan situs Library of Congress (http://chroniclingamerica.loc.gov/), yang menyediakan surat-surat kabar Amerika Serikat dari tahun 1836-1922. Yang tergolong sumber primer dalam surat kabar adalah berita-berita yang dimuat di dalamnya. Selanjutnya penulis juga menemukan undang-undang yang mendasari
Food Will..., Tri Astrini Megaputri J, FIB UI, 2013
kampanye Food Conservation di situs Constitution Society (www.constitution.org). Sementara itu, sumber sekunder yang penulis gunakan dalam menyusun skripsi ini merupakan buku-buku koleksi pribadi penulis dan artikel-artikel yang ditemukan dari internet. Tahap kedua adalah kritik, yaitu penilaian terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Tujuan utama dari kritik sumber adalah menyeleksi data sehingga ditemukan fakta. Kritik sumber dibedakan menjadi kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern menguji keakuratan sumber, sementara kritik intern menilai kredibilitas data dalam sumber. Maka, pada tahap ini pula dilakukan perbandingan atas dokumen-dokumen yang didapatkan, untuk melihat apabila terdapat informasi yang berbeda antara satu dokumen dengan dokumen lainnya. Di samping itu, juga dilakukan penilaian terhadap sumber-sumber sejaman yang ditemukan, contohnya adalah surat kabar. Walaupun surat kabar yang digunakan untuk penulisan skripsi berasal dari periode yang diteliti, tidak seluruh bagian dapat digolongkan ke dalam sumber primer. Berita-berita yang dimuat dalam surat kabar termasuk dalam kategori sumber primer.
Tahap ketiga adalah interpretasi, yaitu analisis terhadap informasi dari sumber-sumber yang telah dikritik di tahap sebelumya. Dalam tahap interprestasi tersebut, informasi dianalisis dengan bantuan ilmu sosial. Penggunaan ilmu sosial bertujuan untuk membantu memahami perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Amerika Serikat sebagai dampak diadakannya kampanye Food Conservation. Selayaknya, interpretasi dilakukan dengan menilai fakta yang telah ditemukan, dari berbagai sudut pandang sehingga dapat dipertahankan obyektivitasnya. Tahap yang terakhir yaitu historiografi. Dalam tahap ini, disusun rangkaian data-data menjadi sebuah peristiwa secara kronologis dan obyektif. Dalam tahap ini, penulisan sejarah dilakukan dengan gaya bahasa yang naratif. Sementara itu, pengembangan tulisan dilakukan secara kronologis. Kemudian, untuk menjelaskan kebiasaan kuliner masyarakat Amerika, digunakan pendekatan diakronis. Dengan pendekatan diakronis, dapat diperlihatkan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat Amerika Serikat dari waktu ke waktu, khususnya dalam hal kebiasaan kuliner. Penulisan ditarik dari masa kolonial untuk menjelaskan akar dari kebiasaan kuliner masyarakat Amerika, selain itu juga untuk menunjukkan kecenderungan pola yang ada dalam kebiasaan kuliner masyarakat Amerika. Maka, penulisan pada bab kedua diawali dengan pembahasan mengenai kebiasaan kuliner para pendatang di Koloni Virginia dan di Koloni New England untuk memperlihatkan asal dari kebiasaan kuliner masyarakat Amerika yang berlimpah, beragam, dan memiliki nilai tersendiri.
Kebiasaan Kuliner Masyarakat Amerika: Sebuah Warisan dari Inggris Kebudayaan Inggris telah mengakar dalam kehidupan Amerika Serikat, salah satunya terlihat dalam kebiasaan makan mereka. Hal ini antara lain disebabkan karena orang Amerika, sebagian besar terdiri dari imigran-imigran Inggris. Mereka berhasil mendirikan sebuah koloni di Amerika Utara, kemudian memperluas wilayahnya dengan menaklukan koloni-koloni milik negara-negara Eropa lainnya. Pada tahun 1607, sebanyak 144 orang dari Virginia Company of London dikirim ke Amerika Utara untuk mencari sumber daya alam (Eden, 2010:50). Mereka membawa beberapa perbekalan makanan serta benih tanaman dari Inggris. Akan tetapi, perbekalan tersebut tidak cukup untuk bertahan hidup selama beberapa bulan di kapal, sehingga sebagian dari mereka mati kelaparan. Pada tahun yang sama, mereka yang tersisa, tiba di Jamestown, Virginia dan mendirikan koloni pertama Inggris di Amerika Utara. Pada masa ini, para pendatang di Jamestown mengalami kelangkaan pangan, yang tidak jarang menyebabkan kematian. Orang Inggris percaya bahwa kesehatan sangat ditentukan oleh kualitas makanan. Mereka menentukan kualitas makanannya berdasarkan cara memperolehnya dan kesegarannya. Misalnya, ikan yang ditangkap dari sungai, dianggap lebih sehat daripada ikan yang ditangkap di air yang berlumpur. Selain itu, daging yang telah diawetkan, dengan pengasinan misalnya, dianggap tidak sehat dibandingkan dengan daging yang baru dipotong. Akan tetapi, tidak semua orang tinggal di lingkungan yang menunjang untuk mendapatkan makanan-makanan yang tergolong berkualitas tersebut. Hal ini menyebabkan, orang-orang yang dapat hidup sehat adalah orang-orang kaya. Oleh karena itu pula, jenis makanan tersebut dianggap memiliki nilai sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat Inggris. Hal inilah yang tertanam dalam pikiran para pendatang di Jamestown, sehingga mereka menolak untuk mengonsumsi makanan asli Amerika seperti tomat, kentang, dan jagung. Menurut mereka, makanan-makanan tersebut adalah makanan liar yang dikonsumsi oleh orang Indian. Para pendatang Inggris di Jamestown menganggap orang Indian tidak beradab. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi oleh orang-orang Indian, yaitu makanan-makanan yang kualitasnya tidak terjamin. Sehingga, kelangkaan makanan yang dimaksud oleh para pendatang di Jamestown adalah kelangkaan makanan Inggris. Akan tetapi, secara perlahan makananmakanan tersebut mulai diterima oleh para pendatang. Para pendatang ketika itu tidak punya
Food Will..., Tri Astrini Megaputri J, FIB UI, 2013
pilihan selain menanam dan mengonsumsi jagung, karena gandum tidak bisa tumbuh subur di tanah Amerika. Sementara itu, makanan-makanan asli Amerika lain seperti tomat dan kentang mulai diterima oleh para pendatang setelah makananmakanan tersebut diakui (diterima) oleh Inggris, kemudian diimpor kembali oleh koloni (Root, 1976:10). Dalam perkembangannya, koloni mengimpor lebih banyak tanaman dan benih-benih tanaman Inggris, termasuk pohon apel (Root, 1976:61-65). Pada bulan November 1620, tiba kelompok pendatang Inggris lainnya di Plymouth, Massachusetts. Kedatangan mereka di Amerika didorong oleh keinginan untuk mencari kebebasan agama. Maka, dibangunlah koloni kedua Inggris di Amerika. Kelompok ini dipimpin oleh William Bradford, seorang pemimpin kelompok separatis agama di Inggris, dikenal juga sebagai kelompok Puritan. Sama seperti penduduk koloni Jamestown, kelompok Puritan juga mengalami kesulitan makanan pada awal kedatangan. Akan tetapi, para pendatang di Plymouth cenderung lebih mudah menerima jagung, dan setiap makanan yang mereka dapatkan dibagian merata kepada setiap orang. Bahkan, mereka menyantap hasil buruan dan panen bersama dengan orang-orang Indian. Peristiwa tersebut kini dikenal dengan Perayaan Thanksgiving. Mereka percaya bahwa ketika menghadapi kesulitan, mereka pasti akan mendapatkan imbalan spiritualnya pada suatu hari nanti. Kemudian, mereka juga menjalankan pesan Alkitab dalam kehidupan mereka, yaitu “manusia tidak hanya hidup dari roti, namun juga dari setiap perkataan Tuhan”. Walaupun demikian, selain dari jenis makanan yang dapat dikonsumsi, para pendatang Plymouth tetap menghadapi masalah. Mereka merasa jumlah makanan yang dikonsumsi tidak sebanding dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Sebelumnya, telah dijelaskan bahwa orang Inggris menentukan kesehatan berdasarkan kualitas makanan, akan tetapi mereka merasa kuantitas makanan juga penting. Mereka melihat tubuh sebagai mesin yang memerlukan bahan bakar yang cukup untuk dapat beraktivitas. Seseorang dikatakan sehat apabila dapat melakukan aktivitasnya, sementara itu para pendatang Plymouth merasa mereka tidak dapat menjalankan aktivitasnya, sehingga mereka membutuhkan lebih banyak makanan. Secara garis besar, para pendatang di Jamestown dan Plymouth sama-sama membawa dan meneruskan kebiasaan makan di Inggris. Walaupun jenis tanaman yang tumbuh di Amerika berbeda dengan di Inggris, para pendatang Plymouth tetap memasak makanan Inggris dengan substitusi tanaman-tanaman baru. Misalnya roti, mereka membuatnya dengan campuran tepung
gandum putih dan tepung jagung. Warna rotinya lebih gelap dibanding roti yang terbuat dari gandum putih saja. Namun, ketika terjadi wabah penyakit gandum pada tahun 1660-an, para pendatang mengganti wheat dengan gandum hitam (rye) (Fischer, 1989:74). Warna rotinya lebih gelap dibandingkan campuran gandum putih (wheat) dan tepung jagung (cornmeal), dan rasanya agak asam. Bagi koloni Jamestown, makanan yang dikonsumsi mencerminkan tingkat sosial seseorang. Para pendatang Jamestown salah satunya terdiri dari kelompok bangsawan yang memiliki kebiasaan makannya sendiri. Mereka suka mengkonsumi daging merah, terutama daging sapi. Biasanya daging sapi disajikan dalam hidangan daging panggang. Jenis masakan lain yang populer di kalangan bangsawan adalah berbagai jenis daging yang dimasak dengan metode fricassee, yaitu daging dipotong bagian atasnya, kemudian ditumis, dibumbui dengan rempahrempah, kemudian dihidangkan bersama saus. Sementara itu, kelompok masyarakat yang miskin biasanya mengkonsumi bubur jagung, daging asap, dan ayam goreng (Fischer, 1989:349-354).
Kebiasaan Kuliner yang Tidak Sehat Pada 4 Juli 1776, koloni-koloni Inggris di Amerika menandatangani Declaration of Independence sebagai pernyataan kemerdekaan mereka dari Inggris, dan mendirikan sebuah negara baru, yaitu United States of America. Kemerdekaan Amerika secara politis baru diakui oleh Inggris pada tahun 1783 melalui Treaty of Paris. Walaupun telah merdeka, orang-orang Amerika tetap mempertahankan kebiasaan makan yang dibawa oleh para pendatang Inggris pada periode sebelumnya. Namun, dibandingkan dengan para pendahulunya, orang-orang Amerika makan lebih banyak. Hal ini disebabkan oleh keadaan geografis yang didukung oleh perkembangan teknologi dan industri, memungkinkan tumbuhnya berbagai tanaman dalam jumlah yang banyak. Perkembangan teknologi dan industri berdampak pada kemajuan ekonomi, yang semakin menarik arus migrasi dari negara-negara lainnya. Dengan demikian terbentuklah sistem organisasi yang kompleks dalam masyarakat Amerika yang multikultural. Secara umum, masyarakat Amerika dikelompokkan ke dalam tiga kelas sosial, yaitu kelas atas, kelas menengah, dan kelas pekerja. Kelas sosial atas terdiri dari para pemegang modal atau pemilik tanah, perkebunan, perusahaan. Dalam hal konsumsi makanan, seseorang dari kelas sosial atas memiliki kesempatan untuk menikmati berbagai jenis makanan dalam jumlah yang lebih banyak. Mereka sering mengadakan pesta atau perkumpulan sosial yang diadakan di restoran Prancis, seperti Delmonico’s di New York, begitu pula di rumah
Food Will..., Tri Astrini Megaputri J, FIB UI, 2013
seorang anggota kelas sosial atas. Hidangan Prancis yang disajikan sudah disesuaikan dengan gaya Amerika, yaitu dihidangkan dalam porsi yang lebih besar, namun tetap dengan keistimewaan Prancis yang menyajikan makanan dengan susunan 1 yang rapi, à la Russe . Akan tetapi, makanan-makanan yang dihidangkan dalam setiap pesta tidak pernah dihabiskan. Dalam sebuah negara yang memiliki pangan yang berlimpah, konsumsi makanan untuk menunjukkan status sosial yang tinggi, tidak hanya dilakukan dengan makan dalam jumlah yang besar. Makanan-makanan harus dimasak dan dihidangkan dengan rumit sehingga harganya mahal dan hanya bisa dibeli oleh orang-orang kaya. Makanan Prancis sangat memenuhi kriteria tersebut. Bahanbahan yang digunakan untuk memasak makanan Prancis tidak asing bagi masyarakat Amerika, akan tetapi metode memasak, metode penyajian, dan penggunaan istilah Prancis, menyebabkan makanan Prancis diistimewakan oleh kelas sosial atas Amerika (Levenstein, 2007:13-14). Di bawah kelas atas terdapat kelas menengah. Kelompok kelas menengah terdiri dari para pengrajin, pedagang, manajer pabrik (Roth, 2011), dokter, pengacara, guru, dsb. Kebiasaan kuliner kelas menengah adalah bentuk yang lebih sederhana dari kelas sosial atas. Mereka juga sering mengadakan pesta makan malam di rumah dengan hidangan yang dibuat dengan metode yang rumit. Namun, apabila mereka tidak bisa memasak dengan metode tersebut, maka mereka akan menghidangkan masakan-masakan yang terbuat dari bahan-bahan yang mahal, seperti fillet daging sapi. Mereka menyajikan makanan Anglo-Amerika (asimilasi antara masakan Inggris dengan Amerika), yaitu daging panggang, kerang-kerangan, dan saus kental, dan sesekali makanan Prancis. Selanjutnya, di bawah kelas sosial menengah terdapat kelas pekerja. Mereka adalah orang-orang yang bekerja di pabrik atau perkebunan, semi-terampil maupun tidak terampil. Kelompok ini diwakili oleh para budak kulit hitam, serta beberapa kelompok petani miskin keturunan Irlandia, Yahudi, Italia, dll. Makanan yang mereka konsumsi ditentukan oleh tempat tinggal, sehingga antara satu wilayah dengan wilayah lainnya mengonsumsi makanan yang berbeda. Pada dasarnya, kelompok kelas pekerja anglo-saxon dan kulit hitam yang tinggal di selatan mengonsumsi lebih banyak daging babi dan roti jagung dibandingkan dengan yang tinggal di utara dan wilayah tengah Amerika Serikat, yang mengonsumsi lebih banyak daging sapi dan kentang.
1
Gaya penyajian ini mengikuti gaya Rusia, yaitu dengan cara menghidangkan makanan secara berurutan: hidangan pembuka – hidangan utama – hidangan penutup
Walaupun, kelas pekerja tidak semakmur kelas sosial di atasnya, tidak ada catatan bahwa mereka kekurangan makanan. Apabila kelas sosial di atasnya makan dalam jumlah yang banyak bertujuan untuk menunjukkan bahwa mereka mampu, kelas pekerja makan dalam jumlah yang banyak karena kegiatan fisik yang berat dalam pekerjaan mereka sehari-hari (McIntosh, 1995: 102).
Usaha Memperbaiki Kebiasaan Kuliner Masyarakat Amerika Secara umum, orang Amerika pada abad ke-19 tidak memiliki pengetahuan tentang komponen-komponen yang terdapat dalam makanan, yang sebenarnya berdampak pada kesehatan. Para ahli nutrisi ingin memperbaiki keadaan ini, mereka adalah Edward Atkinson, Wilbur Atwater, dan Ellen Richards. Sejak tahun 1880-an, Atwater telah meneliti tentang makanan Amerika dan kebiasaan kuliner orang Amerika. Berdasarkan penelitian tersebut, ia menyimpulkan bahwa kebiasaan tersebut berdampak buruk bagi kesehatan dan ekonomi (Atwater, 1888a:437-446). Orang Amerika menganggap bahwa makanan sehat adalah makanan yang harganya mahal. Oleh karena itu, mereka berusaha untuk membeli tepung dengan kualitas terbaik dan potongan daging terbaik, padahal di dalam makanan dengan kualitas yang lebih rendah mengandung nutrisi yang sama, bahkan dengan harga yang lebih murah. Ketiga ahli nutrisi ingin mempromosikan makanan sehat dan ekonomis, maka mereka membuka sebuah dapur umum yang bernama New England Kitchen (NEK). Sasaran pertama mereka adalah kelompok kelas pekerja. Melalui NEK, para ahli nutrisi memperkenalkan metode slow cooking, yaitu memasak dengan api kecil dan dalam durasi yang lebih panjang. Manfaatnya adalah bumbu lebih meresap, kemudian daging menjadi lebih empuk, sehingga lebih mudah dicerna, dan bahan bakar yang digunakan juga lebih hemat. Sehingga untuk metode slow cooking, diperlukan kompor yang dapat menyimpan panas. Oleh karena itu, Atkinson menciptakan kompor baru bernama Aladdin Oven, yang terbuat dari bahan kayu atau papan serat yang dilapisi timah, dengan sebuah lubang di bagian bawah yang berfungsi untuk meletakkan lampu kerosin Akan tetapi usaha mempromosikan kebiasaan kuliner yang sehat kepada kelompok kelas pekerja gagal. Hal ini disebabkan karena makanan yang dijual tidak sesuai dengan kebiasaan kuliner para pekerja yang terdiri dari beragam latar budaya. Kemudian, untuk memasak dengan metode slow cooking diperlukan Aladdin Oven, yang harganya terlalu mahal bagi para pekerja. Di samping itu, makanan yang dijual ternyata tidak mengandung nutrisi yang seimbang, sehingga
Food Will..., Tri Astrini Megaputri J, FIB UI, 2013
penyakit kekurangan gizi atau vitamin, seperti beriberi, rakitis, dan lain-lain., akan menjadi masalah bagi masyarakat Amerika Serikat (Levenstein, 2007:57). Akhirnya, para ahli nutrisi mencoba untuk mengubah kebiasaan makan kelas sosial menengah, dengan harapan bahwa kelas sosial di bawahnya akan mengikutinya. Para ahli nutrisi memasukkan home economics ke dalam pelajaran wajib di sekolah-sekolah. Dalam home economics diajarkan segala sesuatu tentang rumah tangga, seperti cara memilih makanan, cara memasak dan menyajikan makanan dengan benar, makanan untuk orang sakit, cara menata rumah dengan baik, dan cara mengelola keuangan rumah tangga. Memasuki abad ke-20, ilmu nutrisi semakin berkembang. Pada periode sebelumnya, cara menyembuhkan penyakit tertentu, dilakukan dengan mengurangi asupan makanan atau tidak mengonsumsi satu jenis makanan. Akan tetapi, belum ada dasar ilmiah yang kuat untuk mengeliminasi jenis makanan tertentu. Anggapan ini segera berubah ketika para ilmuwan menemukan vitamin. Percobaan pertama dilakukan pada tahun 1908 oleh para ilmuwan Universitas Yale kepada tikus. Dari hasil percobaan tersebut, mereka melihat bahwa penyakit juga dapat timbul akibat ketiadaan atau kekurangan satu jenis elemen makanan. Pada tahun 1911, seorang ilmuwan Polandia, Casimir Funk, menemukan vitamin B, kemudian pada tahun 1912, ia menemukan vitamin A. Menurut penelitiannya, kekurangan vitamin B berdampak pada munculnya penyakit beri-beri, dan kekurangan vitamin A menyebabkan gangguan penglihatan (Levenstein, 2007:148).
Keadaan Pangan dan Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Dunia I Perang Dunia I, disebut juga sebagai Great War, adalah perang antara beberapa kekuatan di Eropa yang melibatkan seluruh wilayah Eropa. Akibatnya, Eropa terbagi ke dalam dua kekuatan. Pertama, Blok Sentral terdiri atas Jerman, Austria-Hungaria, Turki, dan Bulgaria. Di sisi yang berlawanan terdapat Blok Sekutu, terdiri atas Prancis, Inggris, dan Rusia. Dalam situasi perang, ketersediaan pangan adalah salah satu faktor yang menentukan kemenangan sebuah pihak. Strategi pemblokiran jalur distribusi pangan dapat digunakan sebagai senjata untuk menghancurkan lawan, sehingga terjadi wabah kelaparan. Strategi ini saling digunakan oleh Blok Sentral maupun Blok Sekutu, sehingga selama perang berlangsung, situasi pangan di Eropa mengalami defisit. Akibatnya, Eropa harus bergantung pada impor pangan dari negara-negara lain. Pada tahun 1913, tercatat bahwa Amerika Serikat menghasilkan gandum sebanyak
2
751.101.000 gantang (bushels) , kemudian meningkat menjadi 897.487.000 gantang pada tahun 1914, dan mencapai puncaknya pada tahun 1915, yaitu sebanyak 1.008.637.000 gantang; produksi terbesar yang pernah dihasilkan oleh negara ini (Eldred, 1918:2). Produksi yang besar ini didukung oleh mekanisasi pertanian yang telah berkembang sejak tahun 1850-an. Dengan ketersediaan pangan yang begitu banyak, maka Amerika mampu menyokong persediaan pangan Eropa. Ketergantungan negara-negara Eropa terhadap Amerika Serikat semakin diperkuat dengan terhalangnya jalur pengiriman pangan dari sumbersumber pangan yang dekat seperti Romania dan Bulgaria akibat kegiatan perang. Kemudian, Rusia sebagai negara penghasil gandum, mengalami Revolusi Bolshevik di negaranya pada tahun 1917. Sebenarnya, sebelum terjadi revolusi, Rusia merupakan penghasil gandum terbesar. Pada tahun 1913, tercatat bahwa negara ini menghasilkan 1.027.000.000 gantang gandum putih.
Selain itu, ada kebijakan pembatasan jumlah angkutan dalam satu kapal, sehingga membatasi jumlah pengiriman pangan dari sumbersumber penghasil pangan yang lebih jauh, seperti Argentina, India, dan Australia (Eldred,1918:3). Akibatnya, Eropa harus mengimpor pangan dari wilayah yang lebih dekat, yaitu daratan Amerika. Pada permulaan Perang Dunia I, Amerika Serikat merupakan negara netral. Negara ini hanya berperan sebagai pemasok kebutuhan perang, termasuk pangan bagi Eropa. Ketika itu, Amerika hanya menjual senjata ke Inggris dan Prancis, namun Jerman memprotes kegiatan tersebut. Sebenarnya, Amerika Serikat juga bebas untuk berdagang dengan Jerman, namun blokir yang dilakukan oleh Inggris tidak memungkinkan itu terjadi. Akhirnya pada tahun 1915, Jerman mengeluarkan kebijakan untuk menyerang seluruh kapal yang membawa muatan ke negara-negara Blok Sekutu. Pada tahun yang sama, Jerman menyerang kapal Lusitania milik Inggris yang terdiri dari 128 orang Amerika. Peristiwa tersebut menimbulkan opini di antara massa Amerika yang pro-Blok Sekutu agar Amerika Serikat melakukan intervensi dalam perang. Memasuki musim panas tahun 1916, terjadi wabah penyakit gandum (Puccinia graminis) di Amerika Utara, menyebabkan penurunan produksi hingga sepertiga bagian dari produksi tahun sebelumnya; tercatat produksi gandum putih pada tahun tersebut sebesar 634.572.000 gantang. Sebenarnya, pada bulan Juli 1916, masih terdapat sisa produksi dari tahun 1915 sebanyak 174.000.000 gantang, dan apabila dijumlahkan dengan hasil produksi pada tahun ini, Amerika dapat mengekspor 209.438.796 gantang gandum putih ke Eropa. Akan tetapi, kegiatan ekspor-impor 2
1 gantang = 0,027 ton
Food Will..., Tri Astrini Megaputri J, FIB UI, 2013
tersebut menyebabkan Amerika Serikat tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri karena besarnya jumlah pangan yang diekspor. Ketika itu, kegiatan produksi dan distribusi pangan tidak dikendalikan langsung oleh pemerintah, melainkan oleh para spekulan. Para perwakilan dari negaranegara lain membeli pangan dari spekulan dalam kuantitas yang besar, menyebabkan persediaan untuk dalam negeri Amerika Serikat menipis. Akibatnya, harga pangan meningkat diikuti oleh harga bahan-bahan pokok. Kenaikan harga tersebut menyebabkan protes dan demonstrasi besarbesaran di Amerika Serikat, yang mayoritas diikuti oleh para ibu rumah tangga. Pada bulan Februari 1917, terjadi demonstrasi dari para wanita menuntut penurunan harga pangan di depan kantor walikota New York. Mereka juga melakukan aksi perusakan gerobak-gerobak pedagang. Sementara itu, pertikaian antara Amerika Serikat dan Jerman kembali terjadi. Pada bulan Maret 1917, Jerman menenggelamkan tiga kapal dagang Amerika. Peristiwa tersebut semakin menggeser netralitas Amerika Serikat dalam Perang Dunia I. Akhirnya, pada 6 April 1917, Amerika Serikat bergabung dalam Blok Sekutu, bersama Inggris dan Prancis dalam menghadapi Jerman. Sejak saat itu, Amerika Serikat melihat bahwa situasi pangan negaranya harus segera diperbaiki. Hal ini disebabkan karena Amerika tidak lagi hanya mengirim pasokan pangan kepada Eropa, terutama Inggris dan Prancis, akan tetapi juga untuk penduduknya yang pergi berperang maupun yang berada di dalam negeri. Maka, sesaat setelah perang diumumkan, pemerintah meminta Herbert Hoover, Ketua Komisi Bantuan untuk Belgia, untuk pulang ke tanah air. Pemerintah melihat bahwa pengalaman Herbert Hoover dalam menangani masalah pangan di Belgia akan berguna bagi penanganan masalah pangan di Amerika Serikat. Setelah pertemuan Herbert Hoover dengan Presiden Woodrow Wilson, pada 19 Mei 1917, akhirnya presiden menyatakan akan membentuk sebuah undang-undang untuk mengatur pangan. Beberapa strategi akan dijalankan agar keadaan pangan dapat terkendali, yaitu stimulasi produksi pangan, penghentian pemborosan makanan di rumah tangga dan tempat-tempat makan publik, dan pendidikan bagi masyarakat umum serta penjual makanan mengenai substitusi untuk gandum putih, daging merah (daging sapi, daging babi), dan gula.
Pertama, peningkatan produksi pangan dilakukan dengan bantuan Departement of Agriculture. Berdasarkan Undang-Undang No.52, 10 Agustus 1917, pemerintah akan memberikan subsidi kepada para petani untuk segala keperluan produksi dan setiap produsen akan diawasi oleh pemerintah. Selain meningkatan produksi, akan dijalankan suatu pengelolaan pangan untuk mencegah pemborosan dan konsumsi-konsumsi yang tidak perlu, kemudian pemerintah akan
menjaring seluruh wanita Amerika dan memastikan agar mereka menjalankan program-program yang dijalankan untuk mengelola pangan, yaitu mengurangi konsumsi dan melakukan substitusi pangan atas komoditas yang diproritaskan untuk kebutuhan ekspor; gandum putih, daging merah, mentega, dan gula. Lalu, pemerintah juga akan melindungi masyarakat dari harga bahan pokok yang tinggi, dengan cara mengambil alih distribusi seluruh produksi pangan, melarang penumpukan pangan di gudang oleh para tengkulak (hoarding), dan menghilangkan kegiatan spekulasi (Mullendore, 1941:51). Dalam perkembangannya, masyarakat juga dihimbau untuk menanam sayuran dan buahbuahan di kebun rumahnya dan di tanah-tanah kosong yang terdapat di lingkungan mereka; dikenal dengan istilah Kebun Perang (War Gardens) atau Kebun Kebebasan (Liberty Gardens). Upaya-upaya untuk mengelola pangan tersebut berada di bawah suatu kampanye yang bernama Food Conservation. Menurut Herbert Hoover, keberhasilan kebijakan Food Conservation bergantung pada semangat sukarela masyarakat Amerika Serikat. Presiden Woodrow Wilson menyetujui pendapat Herbert Hoover dan menurutnya program sukarela ini harus segera dijalankan, tanpa harus menunggu pengesahan undang-undang yang sedang direncanakan tersebut. Maka, Herbert Hoover segera menjalankan mandat presiden tersebut dengan mulai mengorganisasi kegiatan Food Conservation. Di sisi lain, ia juga harus menginformasikan kepada seluruh pengusaha pangan (makanan) tentang program-program yang akan dijalankan oleh USFA, agar mereka mengikuti program-program tersebut.
Kampanye Food Conservation Pada tanggal 10 Agustus 1917, UndangUndang No.53, 10 Agustus 1957 (Undang-Undang Food and Fuel Control) disetujui oleh presiden. Berdasarkan undang-undang tersebut, maka pemerintah Amerika Serikat bertanggung jawab atas peningkatan produksi, pelestarian persediaan, serta memegang kendali atas produksi dan distribusi pangan dan bahan bakar. Dengan disahkannya undang-undang tersebut, maka presiden juga mengesahkan sebuah lembaga pemerintahan yang bernama United States Food Administration (USFA), kemudian menunjuk Herbert Hoover sebagai ketua lembaga tersebut. Sebenarnya, USFA telah bergerak secara tidak resmi sejak bulan Mei 1917. Pembentukan USFA secara tidak resmi ini didorong oleh situasi pangan dan ekonomi yang semakin kritis dan harus segera diatasi. Tugas dari USFA adalah menjamin ketersediaan pangan untuk negara induk dan negara-negara Sekutu. Pada awalnya, USFA harus
Food Will..., Tri Astrini Megaputri J, FIB UI, 2013
berhadapan dengan masalah permintaan pangan dari negara-negara netral dan negara-negara yang berperang. Apabila hal tersebut tidak diawasi, maka besar kemungkinannya bahwa Amerika Serikat akan mengalami kelangkaan pangan oleh karena jumlah permintaan pangan yang besar. Di sisi lain, USFA juga berhadapan dengan masalah kenaikan harga pangan secara drastis yang disebabkan oleh beberapa situasi yang terjadi menjelang keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Dunia I. Oleh karena itu, Herbert Hoover menyatakan beberapa program untuk mengatasi persoalan pangan yang akan dilakukannya, salah satunya adalah memberi arahan kepada masyarakat tentang pelestarian pangan yang ada dan cara menghematnya. Langkah ini dilakukan dengan melancarkan serangkaian kampanye yang dikenal dengan istilah Food Conservation. USFA memahami pentingnya slogan untuk mempermudah mengingat suatu pesan. Slogan “Food Will Win the War – don’t waste it!” (Makanan Akan Memenangkan Perang – jangan dibuang-buang!) mewarnai media cetak Amerika Serikat, termasuk di antaranya adalah surat kabar, poster, buku-buku, majalah, pamflet, dan lainlain. Kampanye Food Conservation juga dikenal dengan istilah Hooverizing oleh masyarakat Amerika.
Sementara itu, untuk mengatasi masalah spekulasi, pemerintah telah memiliki hak atas pengendalian harga-harga pangan. Setiap hari, pemerintah mengeluarkan buletin harga-harga pangan melalui surat kabar. Dengan demikian, para distributor pangan hanya diperbolehkan menjual barang dagangannya sesuai harga yang telah ditetapkan oleh USFA. Kebijakan tersebut tidak berlaku bagi para petani, peternak, dan peladang, serta para distributor yang laba kotor per tahunnya tidak melebihi $100,000. Perihal kontrol harga tersebut, diatur dalam Undang-Undang Food and Fuel Control pasal 5, dan berakibat pencabutan ijin berdagang apabila melanggar peraturan tersebut. Pada dasarnya, kampanye Food Conservation adalah ajakan kepada masyarakat untuk melestarikan pangan dengan cara menghemat penggunaan pangan yang akan diekspor dan mengganti mereka dengan bahan-bahan yang lain. Oleh karena bersifat ajakan, maka setiap orang yang menjalankan kampanye ini melakukannya dengan sukarela. Untuk mengajak masyarakat, maka perlu adanya sosialisasi mengenai situasi pangan saat itu, dan penjelasan bahwa negara membutuhkan jasa mereka. Pangan yang harus dilestarikan dan dihemat penggunaannya menurut USFA terutama adalah jenisjenis pangan yang diekspor ke Eropa, yaitu gandum putih, daging merah, mentega (lemak hewani), dan gula. Agar hal tersebut dapat dilaksanakan, maka USFA bekerja sama dengan para ahli gizi untuk mengajarkan masyarakat tentang substitusi sumber protein, lemak, dan karbohidrat. Misalnya, kandungan
protein yang ditemukan dalam daging, juga dapat diperoleh dari kacang-kacangan; kandungan lemak yang terkandung dalam minyak dan mentega, dapat diganti dengan minyak sayur atau margarin (lemak nabati); kandungan karbohidrat yang biasa diperoleh dari roti gandum putih, dapat diganti dengan roti yang terbuat dari jenis gandum lain. Selain itu, mereka juga akan diajarkan untuk mengenyangkan diri dengan mengonsumsi sayur dan buah-buahan, yang tidak dapat diekspor ke Eropa. USFA terdiri atas 48 departemen, namun yang berhubungan langsung dengan kampanye Food Conservation adalah Departemen Pendidikan (Education Division), Departemen Konservasi Rumah (Home Conservation Division), dan Departemen Pers Bahasa Asing (Vernacular Press Division). Departemen Pendidikan dikepalai oleh Ben S. Allen, seorang jurnalis dan kerabat dekat Herbert Hoover. Tugas dari departemen ini adalah mengubah kebiasaan kuliner masyarakat Amerika dengan cara mempromosikan kampanye Food Conservation melalui media massa. Secara umum, Departemen Pendidikan memasok materi-materi yang berhubungan dengan pangan untuk pers. Departemen ini sendiri terbagi atas beberapa bagian, di antaranya adalah Bagian Periklanan (Advertising Section), Bagian Jurnal dan Halaman Wanita (Women’s Journal and Woman’s Page Section), Bagian Sekolah dan Perguruan Tinggi (School and Collegiate Section), Bagian Perpustakaan (Library Section), Bagian Gambar Bergerak, Suara, dan Rekaman Video (Motion Picture, Sound, and Video Records Section), dan lainnnya, sehingga pesan USFA dapat sampai ke seluruh lapisan masyarakat.
Bagian Periklanan bertugas untuk menyertakan tentang program-program USFA, termasuk kampanye Food Conservation di kolom iklan surat-surat kabar dan majalah-majalah. Selain itu, bagian ini juga bertanggung jawab untuk pemasangan poster dan pamflet di gedung-gedung, pemasangan iklan di papan, pemasangan iklan di kendaraan umum. Selanjutnya, Bagian Periklanan juga mendorong perusahaan makanan untuk ikut mempromosikan konservasi, daripada mengiklankan makanan-makanan yang ingin dilestarikan oleh USFA (Mullendore, 1941:89). Kemudian, Bagian Jurnal dan Halaman Wanita bertugas untuk memberikan materi-materi tentang cara wanita dapat ikut serta dalam membela negaranya. Oleh karena itu, dalam majalah-majalah pada periode ini diwarnai oleh resep-resep masakan serta contoh menu yang sesuai dengan kaidah Food Conservation. Dalam majalah Good Housekeeping bulan Desember 1917, terdapat sebuah artikel berjudul “Wanted: Recruits for an Army of Kitchen Soldiers!” yang mengajak wanita Amerika menjadi tentara dapur (kitchen army), dengan cara menjalankan Food Conservation di rumah masingmasing. Di dalam majalah ini juga terdapat resep-
Food Will..., Tri Astrini Megaputri J, FIB UI, 2013
resep masakan dan contoh menu makanan (sarapan – makan siang – makan malam), yang sesuai dengan kaidah-kaidah Food Conservation. Sebelumnya, di dalam harian The New York Times, USFA mengumumkan kartu perjanjian (pledge cards) kepada para ibu rumah tangga; sebuah komitmen dari para ibu rumah tangga untuk menjalankan Food Conservation sesuai dengan anjuran USFA. Wanita pertama yang menandatangani kartu ini adalah Edith Wilson, istri Presiden Woodrow Wilson, pada tanggal 30 Juni 1917. Setiap wanita yang menandatangani kartu perjanjian diberikan kartu rumah (home card), yaitu kartu anggota USFA yang harus digantung di dapur mereka. Dalam menyebarkan kampanye ini, USFA bekerjasama dengan Women’s Committee of the Council of National Defense.
Pada bulan Oktober 1917, USFA telah berkembang menjadi organisasi nasional yang memiliki kantornya di setiap negara bagian. Sekali lagi, mereka mengajak masyarakat untuk bergabung menjadi anggota, terutama para ibu rumah tangga. Mereka kembali mempublikasikan kartu rumah, namun dengan ketentuan tambahan. Jika sebelumnya mereka hanya meminta agar masyarakat meniadakan menu makanan yang terbuat dari gandum putih dan daging merah dalam frekuensi satu kali dalam sehari, kini mereka juga meminta agar masyarakat tidak menghidangkan samasekali masakan yang terbuat dari gandum putih dan daging merah dalam frekuensi satu hari seminggu. Kampanye ini dikenal dengan “Hari tanpa Gandum Putih dan Daging Merah” (Meatless and Wheatless Days). Pada musim kemarau 1917, USFA mendirikan Bagian Sekolah dan Perguruan Tinggi yang dikepalai oleh Olin Templin. Bagian ini bertugas untuk mengatur dan mengembangkan seluruh kegiatan institusi pendidikan. Para pelajar diberikan selebaran tentang cara melakukan konservasi. Selain itu, mereka didorong untuk mengajak anggota keluarga yang lain agar turut menjalankan kampanye Food Conservation. Pada bulan Juli 1918, USFA mengeluarkan buku berjudul Food Saving and Sharing, yang berisi pelajaran tata cara melakukan Food Conservation. Buku ini diberikan secara gratis kepada guru-guru yang memesannya (Mullendore, 1941:93). Pada tahun 1918, seorang ilmuwan Amerika berama Elmer McCollum menyatakan bahwa vitamin A dapat diperoleh dari susu, dan vitamin B dapat diperoleh dari sereal gandum, sayuran, dan buah-buahan. Maka, dalam bukubuku pelajaran Home Economics, manfaat sayuran, buah-buahan, dan susu mulai ditekankan. Untuk unit institusi pendidikan tinggi, diterbitkan buku yang berjudul Ten Lessons in Food Conservation. Buku ini adalah buku pelajaran untuk sekolahsekolah musim panas. Di dalam buku dijelaskan cara menghemat pangan, yaitu dengan cara tidak
membuang-buang makanan, membeli produk lokal, mengonsumsi lebih banyak sayur dan buah-buahan, dan lebih banyak minum susu, dan melestarikan komoditas yang harus diekspor. Kemudian juga terdapat buku Food Guide for War Service at Home yang berisi tentang masalah pangan dunia dan cara masyarakat Amerika dapat mengatasinya, yaitu dengan substitusi pangan. USFA juga memanfaatkan perpustakaan sebagai sarana yang efektif untuk menyebarkan materi-materi tentang konservasi. Oleh karena itu, USFA juga membentuk sebuah Bagian Perpustakaan, yang memiliki ketuanya di masingmasing negara bagian. USFA menyebarkan lebih dari 1.500.000 selebaran yang dibagikan kepada seluruh pengunjung, 600.000 poster yang ditempelkan di seluruh perpustakaan di Amerika, dan banyak foto yang dipajang di seluruh perpustakaan agar dapat dilihat oleh para pengunjungnya (Mullendore, 1941:99). Selain itu, USFA juga bekerjasama dengan tempat-tempat makan publik. USFA membagikan kartu perjanjian kepada hotel-hotel dan restoran-restoran di seluruh Amerika Serikat. Berdasarkan perjanjian tersebut, setiap hotel dan restoran harus mengikuti instruksi dan aturan USFA. Setelah menandatangani perjanjian, mereka diberikan emblem USFA yang dipajang di menumenu makanan, untuk membuktikan bahwa mereka telah bekerja sama dengan USFA. Pada tanggal 9 Oktober 1917, sejumlah hotel di New York telah menjalankan meatless days, dan pada bulan Desember, seluruh hotel dan restoran di Amerika Serikat telah menjalankan meatless and wheatless days (Mullendore, 1941:96). Selain dalam bentuk tulisan dan gambar, kampanye USFA juga dilancarkan melalui film. Tugas ini dilakukan oleh Bagian Gambar Bergerak, Suara, dan Rekaman Video. Pada jeda antara satu film dengan film lain di bioskop, terdapat salinderasalindera tentang Food Conservation. Kemudian juga terdapat sebuah film pendek yang mengilustrasikan metode-metode konservasi dan alasan mengapa masyarakat harus melakukannya. Film ini dibintangi oleh artis-artis terkenal pada masa itu, seperti Douglas Fairbanks, Mary Pickford, Billie Burke, and Marguerite Clark. Selain Departemen Pendidikan, terdapat Departemen Konservasi Rumah yang berada di bawah bimbingan para ahli gizi dan ilmuwan Home Economics. Tujuan dari divisi ini adalah mendidik keluarga-keluarga tentang cara mengelola makanan agar efisien dan ekonomis, serta mendidik ibu rumah tangga tentang substitusi pangan. Divisi ini berkaitan erat dengan Seksi Sekolah dan Universitas dalam hal mengembangkan materimateri pelajaran Home Economics tentang konservasi untuk sekolah-sekolah. Sebuah dapur khusus didirikan untuk keperluan uji coba resep makanan yang bahan-
Food Will..., Tri Astrini Megaputri J, FIB UI, 2013
bahannya telah disubstitusi. Setelah lolos uji coba, resep-resep tersebut dikirimkan ke setiap kepala Departemen Konservasi Rumah di setiap negara bagian (Mullendore, 1941:101). Selajutnya, resepresep didistribusikan dalam bentuk buku-buku, seperti Food Will Win The War and How To Cook Them, The Day’s Food In War and Peace, Everyday Foods In War Time, dan lain-lain. Selain dalam buku-buku, resep yang dikembangkan oleh para ilmuwan Home Economics juga ditulis dalam bentuk pamflet yang dikirimkan ke organisasiorganisasi wanita, kemudian dalam segmen khusus dalam majalah dan surat kabar (Levenstein, 2003:139). Departemen Pers Bahasa Asing didirikan pada bulan September 1917. Tugas dari departemen ini adalah menyebarkan materi-materi USFA termasuk Food Conservation kepada kelompok kelas pekerja yang tidak berbahasa Inggris. Oleh karena itu, materi-materi USFA dicetak dalam bahasa-bahasa asli mereka, yaitu bahasa Itali, Ibrani, dan lain-lain. Selain itu juga terdapat divisi yang khusus memperhatikan kelompok kulit hitam.
Pro dan Kontra Conservation
Kampanye
Food
Food Conservation mendapat tanggapan yang berbeda-beda dari setiap lapisan masyarakat. Secara umum, masyarakat kelas sosial atas dan kelas menengah mau menjalankan konservasi sesuai dengan anjuran-anjuran USFA. Hal ini dimungkinkan oleh karena adanya gerakan progresif yang tengah berkembang di antara masyarakat Amerika sejak akhir abad ke-19. Sejak tahun 1890, mata pencaharian masyarakat Amerika Serikat semakin bergeser dari sektor agraria menjadi sektor industri. Hal ini menyebabkan pertumbuhan wilayah perkotaan, seperti peningkatan sarana ekonomi, infrastruktur, dan rekreasi. Pertumbuhan perkotaan pun menjadi faktor penarik urbanisasi para kelompok kelas pekerja yang sebelumnya bekerja di sektor pertanian menjadi sektor industri. Akan tetapi, para kelompok kelas pekerja hanya mendapat upah yang sangat rendah. Akibatnya, mereka tidak memiliki akses ke saranasarana kesehatan dan rekreasi, dan penghidupan yang layak sehingga pemukiman kumuh meningkat. Di sisi lain, kelompok kelas atas masih menerapkan gaya hidup yang boros.
Menurut orang Amerika, khususnya kelompok kelas menengah, industrialisme telah membawa Amerika ke gaya hidup yang tidak baik. Argumen tersebut diperkuat, antara lain dengan peningkatan jumlah alkoholisme dalam kelompok kelas pekerja dan perilaku yang boros, termasuk makanan, dalam masyarakat Amerika. Sehingga, pada awal abad ke-20, lahir suatu gerakan yang disebut gerakan Progresif. Gerakan ini dipelopori oleh kelompok kelas menengah (Davis, 1984:251)
dan kelas atas, khususnya kaum-kaum terpelajar, untuk mengingatkan masyarakat akan nilai-nilai hidup yang baik. Kampanye Food Conservation yang dilancarkan oleh USFA dilihat sebagai kesempatan untuk menerapkan gaya hidup yang sederhana dan disiplin oleh kelompok kelas sosial atas dan kelas menengah (Veit, 2013b:14), khususnya wanita. Mereka biasanya tergabung dalam organisasiorganisasi kewanitaan, sehingga kampanye Food Conservation dapat disebarkan oleh organisasi mereka masing-masing. Setiap organisasi memiliki tempat khusus untuk berkumpul. Misalnya, National League for Woman’s Service di Germantown, Pennsylvania, melakukan seluruh kegiatannya di sebuah rumah besar di Chelten Avenue. Di sana, para anggotanya belajar memasak dengan aturan Food Conservation, termasuk prinsip-prinsip memasak dengan ekonomis, cara membudidayakan sayuran dan buah-buahan, dan cara mengawetkan makanan. Dukungan terhadap kampanye Food Conservation tidak hanya berasal dari masyarakat sebagai konsumen, namun juga didukung oleh para produsen dan distributor pangan. Para petani menanggapi kebijakan pemerintah tentang peningkatan produksi dengan antusias. Dengan kenaikan harga jual komoditas pertanian, khususnya gandum, para petani menjadi semangat untuk meningkatkan produksi mereka. Selain itu, karena harga gandum meningkat, maka harga komoditas pertanian lainnya ikut meningkat. Akibatnya, para petani segera memperluas lahan dan membeli peralatan produksi, seperti traktor. Mengenai kenaikan harga jual gandum dan periode berlakunya diatur dalam Undang-Undang Food and Fuel Control pasal 14, bahwa terhitung tahun 1918 hingga 1919 harga gandum No.1 Northern Spring atau yang setara, akan dijual dengan harga tidak kurang dari $2 per ikat di pasaran. Selain itu, dukungan juga diperoleh dari hotel-hotel, restoran, dan tempat-tempat makan publik lainnya. Biasanya, mereka menggunakan 250.000.000 3 pon gandum putih, lebih dari 300.000.000 pon daging, dan lebih dari 56.000.000 pon gula per bulan. Namun, setelah ada kampanye “hari tanpa daging”, sebuah hotel di Kota New York mengurangi penggunaan daging hingga 2.000 pon, dan pada kampanye “hari tanpa gandum putih”, hotel tersebut 4 dapat menyimpan lima barel tepung gandum putih. Sebuah rantai restoran di Kota New York juga berhasil menghemat tujuh ton daging dan 8.000 roti. Perlu ditekankan bahwa penghematan terhadap komoditaskomoditas tersebut bersifat sukarela. Walaupun begitu, ada faktor lain yang memengaruhi pembelian gandum dan gula oleh hotel dan restoran, begitupula oleh para konsumen 3 4
1 pon = 0,5 kilogram 1 barel = 160 kilogram
Food Will..., Tri Astrini Megaputri J, FIB UI, 2013
individual, yaitu kebijakan kenaikan harga gandum dan komoditas pertanian lainnya seperti gula, yang diatur dalam Undang-Undang Food and Fuel Control (Mullendore, 1941:97). Sementara itu, bagi kelompok kelas pekerja, anjuran USFA untuk menghemat pangan dan substitusi justru memberatkan mereka. Selama ini, apabila dibandingkan dengan kelas atas dan kelas menengah, para kelas pekerja telah berhemat dalam mengonsumsi makanan, karena pendapatan mereka yang rendah. Biasanya mereka mengonsumsi menu makanan yang sama dalam satu hari dan makan sesuai dengan kebutuhan, tidak seperti kelas-kelas sosial di atasnya. Jadi, anjuran untuk lebih ekonomis dalam mengatur kebiasaan kuliner, tidak sesuai bagi kelas pekerja. Begitu pula dengan anjuran untuk mengonsumsi telur, daging unggas, dan ikan, hal ini justru memberatkan para buruh karena harganya mahal. Selain itu, mereka juga kesulitan mendapatkan susu, sayuran, buah-buahan, dan daging yang berkualitas (Veit, 2007a:176). Sebelumnya, USFA juga telah mencoba untuk menarik simpati para kelas pekerja yang terdiri dari berbagai latar budaya, melalui Departemen Pers Bahasa Asing. Akan tetapi usaha ini gagal karena tidak ada dana yang cukup untuk mempekerjakan penerjemah untuk mengubah materi-materi USFA ke dalam bahasa lokal para pekerja (Counihan, 2002:82). Di sisi lain, kegagalan USFA dalam menarik simpati kelompok kelas pekerja juga disebabkan oleh ketidakcocokan materi, khususnya untuk kelompok pekerja Yahudi. USFA kurang memperhatikan tradisi kosher mereka, sehingga materi kampanye Food Conservation diterjemahkan begitu saja tanpa penyesuaian. Padahal di dalam kaidah-kaidahnya terdapat anjuran untuk mengonsumsi hidangan laut, termasuk hewan-hewang bercangkang. Hal tersebut sangat melanggar tradisi kosher Yahudi yang melarang mereka untuk mengkonsumi hewan bercangkang. Selain itu, juga terdapat anjuran untuk mengurangi konsumsi daging kambing dan babi, yang pada dasarnya tidak pernah dikonsumsi oleh orang Yahudi (Levenstein, 2007:143). Kampanye Food Conservation juga gagal menarik simpati kelompok pendukung Gerakan Anti-Alkohol (Temperance Movement). Sejak sebelum USFA berdiri sebagai badan yang resmi, yaitu pada bulan Juni 1917, Herbert Hoover telah mendapatkan surat-surat yang berisi protes dari perwakilan kelompok Gerakan Anti-Alkohol. Mereka berpendapat bahwa tidak ada gunanya meminta masyarakat untuk melestarikan gandum apabila pabrik alkohol masih dilegalkan (Veit, 2007a:177).
Akhir dari Perang Dunia I Negara-negara yang tergabung dalam Blok Sentral, satu-persatu mulai menandatangani gencatan senjata; dimulai dari Bulgaria pada 30 September 1918, diikuti Turki pada 30 Oktober 1918, dan Austria-Hungaria pada tanggal 3 November 1918. Sementara itu, Kaisar Wilhelm II turun tahta pada tanggal 9 November 1918, dan sebuah Republik Jerman didirikan. Kemudian, pada tanggal 11 November 1918, sebuah gencatan senjata antara Sekutu dengan Jerman ditandatangani di Prancis, menjadi akhir dari Perang Dunia I. Dengan berakhirnya perang, maka terjadi penyesuaian terhadap peraturan-peraturan dari USFA. Dalam sebuah iklan roti di harian Tulsa Daily World edisi 17 November 1918, disebutkan bahwa USFA telah membatalkan pembatasan penggunaan gandum putih untuk keperluan produksi, sehingga perusahaan makanan Middle West Baking Co. segera meningkatkan penggunaan wheat untuk memproduksi roti-rotinya. Di dalam iklan dijelaskan bahwa krisis gandum putih yang terjadi selama perang disebabkan oleh terganggunya jalur distribusi akibat perang, bukan karena turunnya produksi gandum putih. Di dalam harian The Colville Examiner, edisi 21 November 1918, diumumkan beberapa ketentuan baru dari USFA yaitu pembebasan terhadap substitusi pangan dan penjualan gula untuk tempat-tempat makan umum. Dalam harian Monroe City Democrat, edisi 29 November 1918, terdapat pernyataan dari perwakilan Divisi USFA di Missouri yang mengumumkan bahwa USFA akan tetap berjalan hingga perjanjian perdamaian diratifikasi oleh presiden. Sementara itu, masyarakat diharapkan agar tetap menerapkan kebiasaan kuliner yang tidak boros, dan kepada para produsen daging babi untuk meningkatkan produksi mereka. Usaha konservasi tersebut masih diperlukan karena setelah perang berakhir, Amerika masih berkewajiban untuk memenuhi permintaan pangan dari negara-negara sekutunya dan memberikan bantuan pangan kepada negara-negara netral di Eropa.
Herbert Hoover sendiri berkata bahwa Amerika Serikat masih harus mengirim sekitar 20 miliyar ton bantuan pangan kepada Eropa untuk mencegah kelaparan, yang akan memicu pergolakan sosial dan dapat mengancam perdamaian di wilayah tersebut. Ia ingin mengirim bantuan pangan tidak hanya kepada Sekutu, akan tetapi juga kepada negara-negara yang sebelumnya telah diduduki Jerman, seperti Belgia, Serbia, Bohemia, Romania, Armenia, dan Yunani. Selain itu, ia juga ingin membantu Rusia yang sedang mengalami Revolusi Bolshevik. Ia menjelaskan bahwa revolusi ini dapat terjadi akibat wabah kelaparan. Hal yang sama dapat terjadi di negara-
Food Will..., Tri Astrini Megaputri J, FIB UI, 2013
negara lain di Eropa, yaitu berkembangnya komunisme, sehingga hal ini harus dicegah. Di satu sisi, USFA juga akan membantu pangan Jerman. Setelah penandatangan gencatan senjata, sekretaris luar negeri Jerman memperingatkan bahwa kelaparan di negaranya dapat menimbulkan kerusuhan dan anarki, yang akan memperburuk kondisi Jerman yang kalah perang. Presiden Woodrow Wilson mendukung permintaan tersebut dengan meyakinkan Konggres bahwa apabila Jerman dilanda wabah kelaparan, tidak akan mampu membayar pampasan perang kepada Sekutu. Oleh karena besarnya jumlah bantuan pangan yang masih harus diberikan oleh Amerika, Herbert Hoover meminta masyarakat Amerika untuk tetap menjalankan konservasi walaupun perang telah berakhir, dengan ketentuan yang lebih longgar karena distribusi gandum putih sudah tidak terganggu (Weiss, 2008:231-232). Akan tetapi, tidak lama kemudian kegiatan konservasi dihentikan pada bulan Desember 1918. Sementara itu, USFA dibubarkan pada 21 Agustus 1920 melalui Instruksi Presiden No.3320 (EO 3320).
Perubahan Kebiasaan Kuliner Ketika perang berlangsung, penduduk pria pergi bertempur di Eropa dan menyebabkan para wanita mendapat peluang untuk memasuki lahan pekerjaan yang belum pernah mereka geluti sebelumnya. Masuknya wanita ke dalam dunia kerja menjadi suatu pola yang terus berkembang setelah perang berakhir. Hal ini menyebabkan perubahan terhadap kebiasaan para wanita dalam menyiapkan makanan di rumah. Sebelum perang terjadi, di rumahrumah kelompok kelas sosial atas dan kelas menengah terdapat banyak pelayan. Para ibu rumah tangga menyiapkan makanan dengan bantuan para pelayan tersebut. Makanan yang disajikan dalam jumlah yang banyak dan bervariasi. Akan tetapi, setelah perang usai, para pelayan banyak yang bekerja menjadi pegawai di pusat perbelanjaan sebagai pramuniaga, atau sebagai juru ketik, sekretaris, dan operator telepon. Oleh karena itu, para ibu rumah tangga harus melakukan pekerjaan-pekerjaan rutin seperti berbelanja, memasak, merapikan rumah, secara mandiri. Sementara itu, memasuki tahun 1920-an, semakin banyak jumlah penduduk wanita yang menjadi angkatan kerja. Hal ini menyebabkan para ibu rumah tangga menjadi tidak memiliki banyak waktu untuk menyiapkan makanan dengan metodemetode yang rumit seperti yang dilakukan pada periode sebelumnya, misalnya disajikan dengan gaya à la Russe dan makanan-makanan yang memerlukan waktu lama untuk memasaknya. Oleh karena itu, selama tahun 1920-an, orang Amerika mengonsumsi makanan yang lebih sederhana.
Perubahan ini paling terlihat pada menu sarapan dan makan siang. Apabila dibandingkan dengan kebiasaan kuliner orang Amerika pada periode sebelum perang dunia, makanan-makanan yang dihidangkan kini porsinya lebih sedikit dan lebih banyak dikombinasikan dengan sayur dan buah-buahan. Sebelum perang dunia, orang Amerika mengonsumsi roti-rotian dalam jumlah yang banyak, kentang, daging steak, sosis, dan ham pada saat sarapan. Kemudian, makan siang dan makan malam juga memiliki pola yang sama, ditambah dengan hidangan penutup yang manis. Akan tetapi, pada tahun 1920-an, mereka menghidangkan makanan yang lebih sederhana pada waktu sarapan, seperti jus jeruk, sereal, telur, dan roti panggang. Makan siang juga mengalami penyederhanaan, misalnya roti lapis, sup atau salad. Kemudian, makan malam biasanya terdiri dari daging, kentang, satu atau dua jenis sayuran, dan hidangan penutup. Secara garis besar, orang Amerika pada periode ini lebih memperhatikan kesehatan, sehingga mereka mengonsumsi daging, lemak, dan karbohidrat dari gandum putih dalam jumlah yang lebih sedikit daripada periode sebelumnya, dan mereka lebih banyak mengonsumsi sayur dan buah-buahan (Drowne, 2004:123). Perubahan kebiasaan kuliner masyarakat Amerika tersebut, selain diakibatkan karena efisiensi waktu, juga dapat terjadi berkat usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah dan para ahli nutrisi, terutama pada saat Perang Dunia I melalui kampanye Food Conservation. Dari kampanye-kampanye Food Conservation, masyarakat diperkenalkan tentang substitusi pangan, seperti mengganti sumber protein, dari daging merah menjadi daging ayam, ikan, dan sayuran yang kaya protein seperti kacang-kacangan. Kemudian, mengganti sumber karbohidrat, dari gandum putih menjadi kentang dan jenis padi-padian lainnya. Selanjutnya, masyarakat juga dianjurkan untuk mengganti penggunaan mentega menjadi margarin, dan minum susu secara rutin, sebagai pemenuhan kebutuhan lemak. Mereka juga diajarkan untuk mengisi perut dengan sayur dan buah-buahan, komoditas yang tidak dapat diekspor ke Eropa. Di satu sisi, masuknya wanita ke dalam dunia kerja memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan tempat-tempat makan publik, seperti restoran. Ketika mereka sibuk bekerja dan tidak sempat menyiapkan makanan sendiri, maka pilihan mereka adalah makan siang di luar rumah. Kantin menjadi populer ditemukan di lantai dasar perkantoran. Biasanya kantin menyajikan makananmakanan yang cepat dibuat, seperti roti lapis panggang (grilled sandwich) dengan isi potongan daging murah, chili, roti isi daging, dan salad. Kemudian, terdapat diners yang populer di kalangan kelas pekerja. Sebuah diner biasanya buka 24 jam sehari, dan biasanya menyajikan roti lapis,
Food Will..., Tri Astrini Megaputri J, FIB UI, 2013
hamburger, chili, irisan daging babi (bacon) dan telur, wafel, dan pancake (Drowne, 2004:130). Pada tahun 1921, berdiri sebuah restoran hamburger cepat saji bernama White Castle di Wichita, Kansas. Sebenarnya, hamburger dianggap makanan murahan karena dibuat dari daging sapi berkualitas rendah, akan tetapi White Castle mempromosikan hamburgernya dengan klaim bahwa hamburger mereka terbuat dari daging sapi pilihan yang diantar ke restoran dua kali sehari. Mereka juga menjamin kebersihan dari proses memasak dengan cara memasak hamburger di depan para pelanggannya (Drowne, 2004:134). Secara umum, kampanye Food Conservation tidak berhasil mengubah kebiasaan kuliner kelompok kelas pekerja. Walaupun demikian, makanan Italia menjadi populer di kalangan masyarakat kelas-kelas di atasnya. Hal ini disebabkan karena makanan Italia memiliki banyak variasi yang tidak menggunakan daging, atau hanya sedikit digunakan, selain itu juga mudah untuk dibuat di rumah. Sejak tahun 1918, resep masakan Italia menjadi salah satu yang dipromosikan oleh majalah-majalah wanita Amerika. Majalah Good Housekeeping, misalnya, mempublikasikan resep Ravioli dan Spaghetti. Oleh karena promosi-promosi yang dilakukan oleh USFA pada saat perang, makanan Italia semakin digemari oleh masyarakat Amerika, dan menjadi makanan pendatang pertama yang diterima secara nasional (Levenstein, 2007:146). Sejalan dengan kampanye USFA, para ahli nutrisi juga mempromosikan tentang kesehatan. Dengan bekerja sama dengan USFA, mereka menyebarluaskan pesan-pesannya dalam buku-buku pelajaran dan iklan-iklan dalam media massa. Sejak penemuan vitamin pada tahun 1911, para ahli nutrisi semakin mengerti manfaat sayuran dan buah-buahan, serta susu dalam kehidupan sehari-hari. Maka, mereka mulai memperbanyak penggunaan bahan-bahan tersebut dalam anjuran menu makanan sehari-hari. Usaha ini meningkatkan kesadaran akan kesehatan di dalam masyarakat Amerika, sehingga mereka lebih banyak mengonsumsi sumber-sumber vitamin A dan B. Sejak ditemukannya vitamin A, dan dipromosikan oleh USFA melalui kampanye Food Conservation, konsumsi susu dan produk susu semakin meningkat dan mencapai hingga 800 pon per kapita pada tahun 1925. Peningkatan konsumsi susu juga diikuti dengan peningkatan konsumsi sereal untuk sarapan. Sejak tahun 1870, telah berkembang industri pengolahan padi-padian menjadi sereal, yang kemudian dipopularkan dalam kampanye Food Conservation. Perusahaan sereal seperti Kellogg’s Corn Flakes semakin banyak dikonsumsi oleh masyarakat Amerika pada saat perang, karena memenuhi aturan subtisusi gandum putih, dan masih populer di dalam masyarakat setelah perang usai. Perusahaan sereal lain, Post’s
Grape-Nuts juga digemari oleh masyarakat. Mereka mempromosikan produknya dengan mencantumkan kandungan nutrisi yang penting, seperti zat besi, kalsium, fosfor, dan mineral lain yang penting bagi tubuh, pada kemasannya. Jika dalam masyarakat Amerika sebelum Perang Dunia I, tubuh gemuk adalah tubuh yang dianggap ideal, terutama bagi wanita karena menunjukkan kesuburan. Pada saat perang berlangsung, para ahli nutrisi mengambil kesempatan untuk mempopulerkan tubuh langsing sebagai tubuh yang ideal dalam masyarakat Amerika Serikat. Mereka mengisi kolom-kolom iklan dan jurnal-jurnal USFA dengan pesan bahwa mengurangi porsi makan akan berdampak baik bagi kesehatan, serta memberikan tubuh yang lebih menarik (Veit, 2007:178). Dalam jurnal pertanian USFA terdapat pernyataan, “Thousands die every year from over eating – don’t dig your grave with your teeth,” (Setiap tahun, ribuan [orang] meninggal akibat terlalu banyak makan – jangan menggali kuburmu dengan gigimu sendiri). Akibatnya, pada tahun 1920-an berkembang tren tubuh langsing di dalam masyarakat Amerika, khususnya dalam lingkungan wanita. Di saat yang hampir bersamaan, para ilmuwan dan ahli nutrisi telah memahami tentang kalori dan hubungan antara obesitas dengan penyakit kegemukan, seperti diabetes. Tata cara diet dan produk-produk penurun berat badan mulai membanjiri pasar Amerika. Diet menjadi gaya hidup wanita remaja dan dewasa, sehingga pada periode ini majalah-majalah wanita dan surat kabar mempublikasikan resep-resep masakan yang mendukung kebiasaan kuliner yang sehat, dengan perhitungan kalori, dan dapat menurunkan berat badan. Diet untuk kecantikan juga menjadi populer di kalangan wanita Amerika. Tren yang berkembang saat itu adalah wanita yang bertubuh kurus, tanpa lekukan tubuh, dianggap wanita yang cantik. (Drowne, 2004:127).
Kesimpulan Ketersediaan pangan adalah faktor penentu kemenangan perang. Dalam Perang Dunia I, Amerika Serikat bertanggung jawab atas pengiriman pangan untuk penduduk dan tentara Sekutu, serta penduduk di dalam negeri dan tentara Amerika yang ikut berperang di Eropa. Agar kewajiban tersebut dapat terpenuhi, pemerintah Amerika perlu mengelola pangan, yang salah satunya dapat dilakukan dengan mengubah kebiasaan kuliner penduduknya. Hal mendasar yang perlu diubah dari kebiasaan kuliner masyarakat Amerika, yaitu tentang pola berpikir mengenai kesehatan. Mereka percaya bahwa tubuh yang gemuk adalah indikator dari tubuh yang sehat, sehingga makan dalam jumlah yang banyak sangat dianjurkan. Kemudian,
Food Will..., Tri Astrini Megaputri J, FIB UI, 2013
potongan daging atau bahan masakan lain yang lebih mahal juga dinilai lebih sehat dibandingkan bahan-bahan yang harganya lebih murah. Di samping itu, mereka juga tidak suka mengonsumsi sayuran dan buah-buahan. Pola berpikir ini berkembang di masyarakat Amerika tanpa adanya suatu landasan yang ilmiah. Memasuki Perang Dunia I, pada tahun 1914, Amerika merupakan salah satu negara pengekspor kebutuhan perang bagi negara-negara Eropa, termasuk pangan. Akan tetapi, tugas Amerika semakin berat dengan terganggunya jalur distribusi pangan dari negara-negara lain ke Eropa, ditambah dengan musibah gagal panen gandum pada tahun 1916. Akibatnya, harga kebutuhan pokok di Amerika meningkat tajam. Selanjutnya, pada tanggal 6 April 1917, Amerika bergabung ke dalam Blok Sekutu. Langkah pertama pemerintah adalah mengatasi persoalan pangan dan menargetkan stabilitas harga. Dengan demikian, Presiden Woodrow Wilson meresmikan sebuah badan administrasi pangan darurat bernama United States Food Administration
(USFA), pada tanggal 10 Agustus 1917 melalui Undang-Undang Food and Fuel Control. Sasaran dari badan ini adalah mengutamakan ekspor beberapa pangan yang vital dalam perang, yaitu daging merah, tepung putih (terbuat dari gandum putih), mentega, dan gula kepada Sekutu dan tentara Amerika Serikat yang berperang di Eropa. Presiden Woodrow Wilson menunjuk Herbert Hoover, untuk memimpin badan tersebut. Melalui USFA, Herbert Hoover harus dapat mengekspor sebanyak-banyaknya bantuan pangan kepada negara-negara Sekutu, sementara itu juga harus dapat memastikan bahwa masyarakat Amerika Serikat tidak kekurangan makanan. Agar sasaran USFA dapat tercapai, maka badan ini menyelenggarakan suatu kampanye yang dinamakan Food Conservation. Berdasarkan kampanye ini, maka masyarakat diminta untuk melakukan substitusi terhadap bahan-bahan makanan yang diutamakan untuk ekspor dan mengurangi konsumsi bahan-bahan tersebut. Kemudian, dalam kampanye ini juga dipromosikan pentingnya mengonsumsi sayuran dan buahbuahan, serta susu, terutama karena vitamin A dan B baru ditemukan. Dengan kata lain, masyarakat harus mengubah kebiasaan makan mereka. Dengan dukungan dari masyarakat, kampanye Food Conservation akhirnya berhasil memenangkan perang. Selain dapat mencapai sasaran USFA untuk mengamankan pangan, kampanye ini ternyata juga berhasil mempromosikan ilmu nutrisi kepada masyarakat Amerika. Oleh karena itu, setelah kampanye Food Conservation berakhir, pola kuliner masyarakat menjadi lebih sederhana dan lebih seimbang kandungan nutrisinya.
Daftar Acuan Buku Drowne, Kathlene Morgan & Patrick Luber, 2004. The Nineteen Twenties. [e-book]. Diakses di:
[diakses 2 Mei 2013] Eden, Trudy, 2010. The Early American Table: Food and Society in the New World. DeKalb: Northern Illinois University Press Fischer, David Hackett, 1989. Albion's Seed: Four British Folkways in America New York. New York: Oxford University Press Gottschalk, Louis, 2008. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press Levenstein, Harvey A., 2003. Revolution at the Table: The Transformation of the American Diet, Los Angeles: University of California Press McIntosh, Elaine N., 1995. American Food Habits in Historical Perspective. Westport: Praeger Mullendore, William C., 1941. History of the United States Food Administration. Stanford University Press: Stanford University Root, Waverley & Richard de Rochemont, 1976. Eating in America. New York: William Morrow Surat Kabar Anon, 1917. Mrs.Wilson’s Food Pledge: Conservation Card in White House Window – Hoover Advances Plan. The New York Times, [online] 1 Juli. Diakses di [diakses 19 April 2013]
Jurnal Veit, Helen Zoe, 2007. We Were a Soft People: American Asceticism & World War I Food Conservation, The Journal of Food, Culture & Society Undang-Undang The Secretary of State, 1919. Food, fuel, etc. Conservation, The Statutes At Large of the United States of America from April 1917 to March 1919, [online] Diakses di <www.constitution.org> [diakses 20 Maret 2013]
Food Will..., Tri Astrini Megaputri J, FIB UI, 2013