PERKAWINAN ADAT ORANG TOLAKI DAN PERUBAHAN TRADITIONAL MARRIGE OF TOLAKI AND ITS CHANGE Joni Lisungan Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166 Pos-el:
[email protected] Diterima: 7 Februari 2014; Direvisi: 2 April 2014; Disetujui: 12 Mei 2014 ABSTRACT Culture initially always dynamic at all ages itself. It is causes that there is no culture of tribes that are not face VXFKDFKDQJHGD\E\GD\7KHZULWLQJZKLFKLVGHVFULEHGSULPDULO\DVDUHVXOWRI¿HOGUHVHDUFKE\PHDQVRI recounting the fase of customary wedding in the Tolaki people and its change. The data which is described here obtained by in-depth interview and observation method. The result of research shows that the change was occurred in the process of Tolaki’s customary wedding. The change itself was occurred primarily in the application execution time and stages and also the customary objects. This change is motivated by considerations of time HI¿FLHQF\, FRVWHI¿FLHQF\, and the scarcity of objects used in marriage. The impact of the changes is the time it takes for a marriage becomes shorter and the costs can be minimized. Keywords: change, customary wedding, Tolaki people ABSTRAK Kebudayaan selalu dinamis sesuai dengan jamannya. Hal ini menyebabkan bahwa tidak ada satupun kebudayaan suku-bangsa di muka bumi yang tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Tulisan yang disajikan di sini merupakan hasil penelitian lapangan yang bertujuan mengungkapkan tahapan adat perkawinan pada orang Tolaki dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Informasi yang disajikan diperoleh melalui metode wawancara mendalam (depth interview) dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa telah terjadi perubahan dalam proses perkawinan pada orang Tolaki. Perubahan yang terjadi terutama mengenai penerapan waktu pelaksanaan dan tahapannya dan juga pada benda-benda adatnya. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh SHUWLPEDQJDQH¿VLHQVLZDNWXH¿VLHQVLELD\DGDQNHODQJNDDQEHQGDEHQGD\DQJGLSDNDLGDODPSHUNDZLQDQ Dampak dari perubahan yang terjadi adalah waktu yang dibutuhkan untuk sebuah perkawinan menjadi semakin singkat serta biaya yang harus dikeluarkan dapat diminimalisir. Kata kunci: Perubahan, Adat Perkawinan, Orang Tolaki
PENDAHULUAN Semua kebudayaan pada suatu waktu akan berubah karena bermacam-macam sebab. Penyebabnya, misalnya karena perubahan lingkungan, yang menuntut pula perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Penyebab lainnya dapat pula karena kontak dengan suku bangsa lain yang menyebabkan diterimanya gagasan asing dan kemudian menyebabkan perubahan dalam nilai-nilai dan tata kelakuan (Haviland, 1993:253). Demikian pula dengan sistem perkawinan. Sebagai bagian dari suatu kebudayaan, maka sistem perkawinan akan selalu
mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Orang Tolaki yang mendiami daratan Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan ras mongoloid yang berasal dari Yunan (perbatasan Cina Vietnam) lalu berpindah ke Selatan melalui Kamboja menyeberang laut Cina Selatan ke Philipina memasuki Sulawesi Utara. Saat memasuki daratan Sulawesi Tenggara, mereka masuk melalui muara sungai Lasolo dan Konaweeha yang dinamakan daerah Andolaki, Rahambuu, yang sekarang berada dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Konawe Utara. Pada perkembangan selanjutnya, ras Mongoloid yang bermukim di daerah Andolaki ini kemudian 145
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 145—156 bercampur dengan ras Proto-Melayu (zaman proto-sejarah) yang kemudian dikenal sebagai etnis Tolaki dan Moronene. Proses percampuran/ asimilasi ras Mongoloid dan Proto-Melayu ini diperkirakan terjadi sekitar 10.000-2.000 tahun SM (Tarimana, 1989:27; Alim,1999:19; Tamburaka,2004:34). Orang Tolaki memiliki banyak segi hukum adat yang mengatur dan menata kehidupan sosial mereka. Salah satunya adalah sistem hukum adat yang mengatur masalah perkawinan (Koodoh, dkk, 2011:43). Dalam hukum adat perkawinan Orang Tolaki ini, terdapat beberapa tahap yang harus dilalui. Proses tahap demi tahap itu, dalam pengurusannya selalu melibatkan juru bicara atau dapat dikatakan sebagai juru runding yang oleh orang Tolaki disebut sebagai tolea atau pabitara, serta kerabat, baik kerabat jauh maupun kerabat dekat dari keluarga pihak laki-laki-laki maupun keluarga pihak perempuan (Al Azhur, 1996:5). Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman, sistem adat perkawinan pada orang Tolaki juga tidak luput dari terjadinya perubahan. Oleh karena itu, tulisan ini akan berfokus pada masalah bagaimana tahap-tahap dalam sistem adat perkawinan orang Tolaki dan perubahan yang terjadi dalam sistem adat perkawinan itu, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan, serta dampak dari perubahan yang terjadi. Dengan berfokus pada masalah-masalah itu, maka tulisan ini diharapkan akan dapat menggambarkan secara ringkas proses perkawinan orang Tolaki, perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses perkawinan itu, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan, dan dampak perubahan yang dirasakan oleh masyarakat orang Tolaki. Perkawinan merupakan suatu dasar yang utama dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu perkawinan merupa kan suatu hal yang membenarkan hubungan badan antara lawan jenisnya. Perkawinan juga merupakan suatu hukum dalam kehidupan masyarakat (Pasaribu, 2010:1). Banyak ahli yang telah mengemukakan GH¿QLVLWHQWDQJSHUNDZLQDQ6DODKVDWXQ\DDGDODK Koentjaraningrat (1980:90) yang mengatakan bahwa: “Dipandang dari sudut kebudayaan manusia, maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya. Karena menurut pengertian 146
masyarakat, perkawinan menyebabkan seorang lakilaki tidak boleh melakukan hubungan seks dengan sembarangan wanita lain, tetapi hanya dengan satu atau beberapa tertentu dalam masyarakat, yaitu wanita yang sudah disahkan sebagai istrinya”. Sedangkan menurut Undang-undang Perkawinan 1R 7DKXQ PHQGH¿QLVLNDQ SHUNDZLQDQ sebagai: sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Apa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat merupakan hal umum yang berlaku pada budaya perkawinan orang Timur. Artinya bahwa suatu proses perkawinan sesungguhnya haruslah mengikuti ketentuan (budaya) atau normanorma yang berlaku di masyarakat, sehingga masyarakatlah yang sesungguhnya melegitimasi atau memberi pengakuan akan suatu perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena itu, (Suparlan, 1987:109) mengatakan “perkawinan merupakan hubungan antara laki-laki dengan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan dan berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku. Suatu perkawinan mewujudkan adanya keluarga dan memberikan keabsahan atas status kelahiran anak-anak mereka. Perkawinan tidak hanya mewujudkan adanya hubungan seksual saja, tetapi juga melibatkan hubungan-hubungan antara kerabat dari masing-masing pasangan tersebut. Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa tidak ada satu pun kebudayaan yang tidak mengalami perubahan atau tidak ada satu pun kebudayaan yang statis. Perubahan kebudayaan dapat diartikan sebagai setiap perubahan, penambahan atau pengurangan ideide, objek-objek budaya atau teknik-teknik dan pelaksanaan-pelaksanaan yang berhubungan GHQJDQNHJLDWDQDWDXSXQDNWL¿WDVGDULNHEXGD\DDQ (Manan, 1997:74). Tetapi, dalam membahas masalah perubahan kebudayaan, sangat perlu untuk membedakan antara perubahan budaya dan perubahan sosial walaupun pada dasarnya perubahan sosial dan kebudayaan tidak dapat berdiri sendiri. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain (Simanjuntak, 2002:171). Soekanto dalam Martono (2012:56)
Perkawinan Adat Orang Tolaki... Joni Lisungan
melihat bahwa perubahan sosial dan perubahan kebudayaan hanya dapat dibedakan dengan membedakan secara tegas pengertian antara masyarakat dengan kebudayaan. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan sosial meliputi perubahan dalam perbedaan usia, tingkat kelahiran, penurunan rasa kekurangan antaranggota masyarakat dan lain-lain sebagai akibat terjadinya arus urbanisasi dan modernisasi. Dalam hal ini, perubahan kebudayaan jauh lebih luas dari pada perubahan sosial. Perubahan budaya menyangkut banyak aspek dalam kehidupan seperti kesenian, ilmu pegetahuan, teknologi, aturan-aturan hidup EHURUJDQLVDVL ¿OVDIDW GDQ ODLQQ\D 3HUXEDKDQ sosial dan perubahan budaya yang terjadi dalam masyarakat saling berkaitan seperti dua sisi mata uang, karena tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan tidak ada kebudayaan tanpa dukungan masyarakat yang menghidupkan kebudayaan. Meskipun berbeda, tetapi perubahan perubahan sosial dan perubahan kebudayaan memiliki persamaan pula yakni keduanya berhubungan dengan masalah penerimaan caracara baru atau suatu perubahan terhadap caracara hidup manusia dalam memenuhi berbagai kebutuhannya. Dalam hal ini, kebudayaan PHQFDNXSVHJHQDSFDUDEHU¿NLUGDQEHUWLQJNDK laku yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolis dan bukan muncul karena warisan biologi (Soekanto, dalam Martono, 2012:59). Firth dalam Taneko (1990:37) melihat bahwa penggerak utama terjadinya perubahan dalam suatu masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal seperti perubahan yang terjadi pada adat perkawinan orang Pakpak Kelasen yang diakibatkan oleh faktor-faktor seperti geografis, migrasi orang Batak Toba, amalgamasi atau perkawinan campuran, dan karena kedatangan misionaris (Pasaribu, 2010:42). Demikian pula perubahan pembayaran belis dalam adat perkawinan masyarakat Rote Ba`a. Belis yang merupakan mas kawin memiliki hakikat berupa material (benda). Tetapi dibalik itu, belis juga mempunyai hakikat immaterial yang menyiratkan fungsi dan simbol. Mas kawin atau belis pada masyarakat Rote Ba`a
berupa hewan ternak, kerbau, babi, domba dan tanah pertanian. Pada saat ini, belis telah telah mengalami perubahan yang mana perubahan itu disesuaikan dengan perkembangan waktu dan kemampuan masyarakat. Jika dahulu belis dibayar dengan memakai hewan ternak seperti kerbau, babi, domba dan juga tanah pertanian, maka pada zaman sekarang masyarakat setempat menggunakan uang untuk membayar belis. Perubahan bentuk belis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, pertama faktor sosial dan budaya, seperti: kelangkaan jumlah populasi hewan, adanya penduduk pendatang, masuknya agama Kristen Protestan, meningkatnya pendidikan serta pertambahan jumlah penduduk Rote Ba`a. Kedua adalah faktor sosial ekonomi dan peranan lembaga pemerintah daerah setempat, yaitu penyeragaman jumlah belis yang disesuaikan dengan kemampuan masyarakat, peran serta lembaga pemerintah dan tokoh adat setempat dalam menentukan dan mengganti bahan belis dengan menggunakan uang (Dade, 2012:7). Soekanto (1990:324) menyatakan bahwa perubahan dapat disebabkan oleh lingkungan manusia, pengaruh kebudayaan lain dan karena adanya kontak budaya antar budaya. Kemudian yang oleh Suparto (1986:83) dikatakan sebagai faktor yang berasal dari dalam masyarakat sendiri, yang ditimbulkan oleh discovery dan invention, dan faktor yang dapat datang dari luar masyarakat melalui difusi, akulturasi, dan asimilasi. Discovery terjadi apabila seseorang atau beberapa individu dalam masyarakat menemukan suatu unsur kebudayaan baru, dan hal itu merupakan penambahan pada pengetahuan manusia. Sedangkan invention terjadi jika penemuan unsur budaya baru (discovery) telah diterima oleh masyarakat dan menerapkan dalam kehidupan mereka. Difusi kebudayaan adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu kepada individu yang lain dalam tingkat individu, dan dari satu masyarakat kepada masyarakat yang lain dalam tingkat masyarakat. Dalam difusi ini terkandung adanya dua proses, yakni: (1) proses penyebaran unsur-unsur budaya kepada individu atau masyarakat yang mana penyebaran ini bisa melalui berbagai cara, seperti melalui perdagangan, peperangan, penaklukan, dan 147
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 145—156 perkawinan campuran; (2) proses penerimaan kebudayaan yang terjadi jika masyarakat merasa bahwa unsur kebudayaan yang baru itu memiliki manfaat bagi kehidupannya serta mudah mengintregasikannya dalam kebudayaan mereka yang sudah ada. Akulturasi terjadi apabila terjadi pertemuan dua kebudayaan yakni kebudayaan lokal dan kebudayaan asing. Akulturasi terjadi manakala unsur kebudayaan asing itu kemudian lambat laun diterima dan diolah terhisap masuk ke dalam kebudayaan lokal tanpa menghilangkan kepribadian dari kebudayaan lokal itu sendiri. Asimilasi terjadi apabila dua jenis kebudayaan yang berbeda bertemu dan bergaul secara intensif sehingga masing-masing kebudayaan itu terpengaruh dan kemudian berubah sifat khasnya, menyatu, dengan kemungikanan menjadi kebudayaan campuran atau menjadi kebudayaan yang sama sekali baru. Suparlan (1987:139) melihat bahwa terjadinya perubahan pada masyarakat ditunjang oleh beberapa faktor yakni a). seringnya terjadi kontak dengan masyarakat luar, b). unsurunsur baru yang datang tidak bertentangan dengan kepercayaan masyarakat setempat, c). struktur sosial masyarakat setempat tidak bersifat otoriter, d). ide-ide baru yang datang sudah ada unsur persamaan dengan kebudayaan lokal, dan e). unsur-unsur baru itu dapat dibuktikan kegunaannya oleh masyarakat. Referensi atau tulisan mengenai orang Tolaki belumlah banyak yang terpublikasikan. Kebanyakan hanya dapat ditemui dalam bentukbantuk tulisan akademik berupa skripsi, tesis, atau disertasi yang belum dapat dibaca oleh kalangan umum. Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan akan dapat memberi sedikit informasi mengenai orang Tolaki terutama sistem perkawinannya dan perubahan-perubahan yang telah terjadi di dalam sistem perkawinan itu. METODE Data yang dituangkan dalam tulisan ini merupakan hasil penelitian yang data-datanya diperoleh melalui wawancara mendalam (depth interview) dengan para informan yang dianggap mampu menjawab permasalahan 148
penelitian yang ada serta melalui observasi yang bertujuan untuk melihat secara langsung topik yang diangkat dalam penelitian. Seperti yang diungkapkan Qudsy dalam Denzin dan Lincoln (eds) (2011:xix), bahwa salah satu metode yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif DGDODK SHQJDPELODQ GDWD HWQRJUD¿V 0HWRGH ini memfokuskan diri pada penggalian tekstur dan alur pengalaman-pengalaman selektif dari informan melalui proses interaksi peneliti dengan subjek yang ditelitinya dengan teknik wawancara mendalam secara bebas. Informan dipilih secara purposive yaitu memilih informan berdasarkan kebutuhan penelitian seperti yang diungkapkan oleh Spradley, (1997:61) bahwa informan yang dipilih sebaiknya adalah mereka yang memiliki keterlibatan langsung dengan topik yang diteliti. Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh adat, tokoh agama, dan anggota masyarakat yang dianggap kompeten untuk menjawab masalah penelitian yang diangkat sebagai topik penelitian. PEMBAHASAN Orang Tolaki yang menjadikan perkawinan sebagai sarana untuk memperoleh keturunan dan sebagai penerus keluarga. Akan tetapi, pernikahan pada orang Tolaki yang disebut dengan merapu memiliki implikasi lain. Secara harfiah, kata merapu merupakan penggabungan atas dua kata yakni me- yang merupakan kata kerja memiliki arti membuat atau melakukan, dan kata rapu yang berarti rumpun. Jika kedua kata tersebut di atas digabungkan maka merapu bermakna sebagai membuat atau menyatukan rumpun. Kata merapu bagi orang Tolaki, pada akhirnya bermakna sebagai membuat rumpun yang baru. Jika ditelusuri lebih jauh maka makna merapu bagi orang Tolaki adalah memperluas rumpun keluarga (momboko mberapu), mendekatkan kembali hubungan pertalian keluarga atau darah (momboko merambi peohai’a) dan terutama penyatuan dua rumpun keluarga yang akan membentuk keluarga luas (extended family) dalam arti bahwa keluarga laki-laki dan keluarga perempuan telah disatukan melalui perkawinan Bagi orang Tolaki, jika seorang laki-laki atau seorang perempuan ingin menikah, maka
Perkawinan Adat Orang Tolaki... Joni Lisungan
harus memenuhi kriteria umum yang berlaku di masyarakat yakni: 1. seorang laki-laki dapat menikah jika dia sudah mampu mengangkat hulu parangnya. Ini memiliki makna bahwa laki-laki sudah mampu untuk menghidupi atau mencari nafkah untuk kebutuhan keluarganya. 2. seorang perempuan dapat menikah jika dia sudah haid/menstruasi. Ini memiliki makna bahwa perempuan tersebut sudah dapat bertanggungjawab sebagai ibu rumah tangga atau dengan kata lain sudah dapat mendampingi suaminya dalam berbagai aktivitas. Selain itu secara biologis, perempuan yang telah menstruasi dipahami sudah dapat mengandung/hamil. Jadi filosofi perkawinan bagi orang Tolaki, perkawinan tidak ditentukan oleh umur seseorang (Koodoh, dkk, 2011:44). Tahapan Perkawinan Pada Orang Tolaki Orang Tolaki mengenal adanya dua bentuk perkawinan yakni perkawinan normal atau perkawinan ideal dan perkawinan yang tidak normal (Koodoh, dkk, 2011:45). Tetapi dalam tulisan ini hanya difokuskan pada perkawinan normal atau perkawinan ideal. Adapun tahapan perkawinan yang harus dilalui oleh seseorang jika ingin melakukan perkawinan adalah sebagai berikut: Tahap Pertama: Morake-rakepi/Monggolupe 6HFDUDKDU¿DKPHQXUXWLQIRUPDQmorakerakepi berarti bersenda gurau. Sedangkan monggolupe berarti melupakan. Dalam tahapan perkawinan, morake-rakepi merupakan kunjungan keluarga seorang laki-laki kepada keluarga seorang perempuan untuk menjajaki kemungkinan perjodohan. Kunjungan seperti ini biasanya dilakukan hanya oleh 3 atau 4 orang anggota keluarga. Rombongan kecil ini dipimpin oleh seseorang yang dianggap memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dalam artian mampu menyampaikan suatu maksud dengan halus atau dengan memakai kata kiasan. Dialah yang nantinya menjadi juru bicara rombongan ini. Setelah mereka berada di rumah yang dituju, maka kepala rombongan akan mombowuleako yakni menyuguhkan siri pinang kepada tuan
rumah. Sebenarnya dalam keadaan biasa, penyuguhan siri pinang haruslah dilakukan oleh tuan rumah sebagai tanda kekeluargaan dalam menyambut tamu. Tetapi, jika dalam hal ini yang menyuguhkan siri pinang adalah tamu, maka tuan rumah akan langsung mengerti bahwa kedatangan tamu ini membawa maksud-maksud tertentu khususnya maksud perjodohan. Hal ini terutama jika tuan rumah memang memiliki anak perempuan yang belum menikah. Setelah tamu menyuguhkan siri pinang, maka selanjutnya juru bicara mereka (tamu) akan mulai menyampaikan maksud kedatangan mereka. Penyampaian maksud ini dilakukan dengan memakai kata-kata atau bahasa kiasan. Yang paling umum dan sering dikatakan adalah: “kami meminta maaf atas kedatangan kami yang mungkin tiba-tiba karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Sebenarnya maksud kami bertamu di sini adalah karena kami sedang berjalan-jalan untuk mencari tempat bagi kami untuk membuka sebuah lahan perkebunan yang baru”. Jika hal ini telah disampaikan, maka tuan rumah akan menjawab pula dengan bahasa kiasan seperti: “jika memang maksud kedatangan kalian bertamu ke rumah kami adalah untuk mencari lahan baru untuk dijadikan sebagai lahan perkebunan, maka kami terlebih dahulu meminta maaf dan memohon kepada kalian agar kalian pulanglah dahulu dan nanti kami akan coba mencarikan lahan baru untuk tempat kalian membuka kebun.” Jawaban tuan rumah seperti tersebut di atas, merupakan jawaban yang sudah sepantasnya dan ini menandakan bahwa rombongan tamu sudah dapat meninggalkan tempat tersebut. Sebelum meninggalkan rumah orang tua perempuan, rombongan pihak laki-laki akan meninggalkan sebuah benda (orang Tolaki menyebutnya aso mata atau satu buah benda yang dapat berupa satu sarung) yang seakan-akan benda yang ditinggalkan itu lupa untuk dibawa pulang (monggolupe). Masa penantian jawaban dari orang tua perempuan adalah 4 hari sampai dengan maksimal 14 hari atau 2 minggu. Dari hasil wawancara dengan informan, bahwa untuk memberikan jawaban kepada orang tua pihak laki-laki, baik itu pernyataan menerima maupun pernyataan penolakan, maka terdapat dua cara. Pertama, orang tua perempuan dapat mengutus seseorang kepada 149
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 145—156 orang tua laki-laki untuk memberikan jawaban. Jawabannya dapat berupa pernyataan persetujuan bahwa urusan selanjutnya sudah dapat dilaksanakan atau dapat pula berupa pernyataan penolakan. Tetapi jika orang tua perempuan tidak mengirim utusan untuk memberikan kepastian kepada orang tua laki-laki, maka ini dianggap bahwa orang tua perempuan telah setuju agar urusan perjodohan ini dilanjutkan ke tahap berikutnya. Cara yang kedua, jika orang tua perempuan setuju dengan maksud keluarga laki-laki, maka benda yang ditinggalkan oleh pihak laki-laki tidak dikembalikan lagi. Dengan tidak mengembalikan benda yang dilupa itu, maka pihak laki-laki sudah mengerti bahwa maksud kunjungan mereka beberapa waktu yang lalu telah mendapat tanggapan positif dan mereka dapat melanjutkan ke tahap berikutnya. Tetapi jika pihak orang tua perempuan bermaksud menolak keinginan pihak keluarga laki-laki, maka benda yang dilupa itu harus dikembalikan kepada pihak laki-laki. Ketentuan pengembalian benda itu adalah dengan melipatgandakan. Jadi, jika yang ditinggalkan/ dilupa oleh pihak laki-laki adalah satu sarung, maka pada saat orang tua perempuan mengembalikannya haruslah menjadi dua buah sarung. Tahap Kedua: Monduutudu atau Pelamaran Penjajakan Monduutudu atau pelamaran penjajakan dimulai dengan persetujuan antara pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan mengenai waktu yang tepat untuk pelaksanaan acara ini. Jika kesepakatan waktu telah dicapai, maka pihak keluarga laki-laki mengirim utusan. Utusan ini adalah: Tolea yang berperan sebagai juru bicara yang disertai dengan kerabat lainnya. Di pihak perempuan, dalam pertemuan ini, diwakili oleh seorang pabitara yang berperan sebagai juru bicara pihak perempuan dan didampingi oleh kerabat dekat keluarga perempuan. Menurut informan, seorang tokoh adat, inti dari tahap ini adalah penjajakan untuk mengetahui apabila di rumah tersebut terdapat seorang anak gadis dan belum dimiliki oleh seseorang atau belum terikat dengan seseorang. Ini untuk menjajaki kemungkinan bagi pihak laki-laki untuk meminang gadis yang ada di dalam rumah tersebut. Dalam tahap ini, terutama dalam 150
pembicaraan antara juru bicara pihak laki-laki dan juru bicara pihak perempuan, dipergunakan kalo sara. Kalo sara adalah “sebuah benda yang berbentuk lingkaran yang terbuat dari tiga utas rotan yang kemudian dililit ke arah kiri berlawanan dengan arah jarum jam. Ujung lilitannya kemudian disimpul atau diikat, di mana dua ujung dari rotan tersebut tersembunyi dalam simpulnya, sedangkan ujung rotan yang satunya dibiarkan mencuat keluar” (hasil wawancara). Kalo sara ini diletakkan dalam sebuah wadah persegi yang disebut dengan siwole (talam dari anyaman sejenis daun pandan) yang dilapisi dengan kain putih. Kalo sara ini selalu diletakkan di tengah, yakni di antara juru bicara pihak keluarga laki-laki dan juru bicara pihak keluarga perempuan. Jika jawaban dari pihak keluarga perempuan adalah membenarkan akan adanya anak gadis mereka yang belum memiliki ikatan dengan orang lain, maka hal ini berarti bahwa pertemuan atau tahap ini telah selesai. Walaupun telah terdapat kemungkinan untuk melanjutkan ke tahap berikutnya, tetapi jawabannya tidak diberikan pada saat itu. Keluarga pihak laki-laki harus kembali ke rumah dan menunggu berita selanjutnya dari pihak perempuan sekurang-kurangnya 4 (empat) hari atau paling lama 14 hari setelah acara monduutudu itu. Berita yang ditunggu adalah berita mengenai diterima tidaknya lamaran pihak laki-laki. Jika lamaran itu hendak ditolak, maka pihak keluarga perempuan mengutus seorang tolea ke rumah keluarga pihak laki-laki, melalui peletakan adat, untuk memberitahukan bahwa lamaran mereka ditolak. Dalam hal penolakan lamaran, maka pada saat tolea memberitahukan penolakan lamaran, sara mbonduutudu yakni aso mata (satu lembar kain sarung) dari pihak keluarga laki-laki, wajib/harus dikembalikan oleh pihak keluarga perempuan dengan ketentuan dilipatgandakan menjadi dua lembar kain sarung. Tetapi jika lamaran mereka diterima, maka pihak keluarga laki-laki dapat melanjutkan ke tahap selanjutnya yakni mowawo niwule (peminangan resmi). Tahap Ketiga: Mowawo Niwule atau Peminangan Resmi Sebelum memasuki tahap ketiga dalam proses adat perkawinan orang Tolaki, maka
Perkawinan Adat Orang Tolaki... Joni Lisungan
terlebih dahulu pihak keluarga laki-laki mengutus seseorang yang dipercaya untuk menemui orang tua perempuan. Ini dilakukan untuk mencari kesepakatan waktu yang tepat guna proses selanjutnya. Jika pihak keluarga perempuan telah memberikan ketetapan waktu untuk peminangan, maka tahap selanjutnya adalah tahap mowawo niwule. Tahap ini merupakan tahap pelamaran secara resmi dan bisa juga disebut acara mesarapu (bertunangan). Pada tahap ini, kedua belah pihak, dalam pembicaraan, tetap diwakili oleh juru bicara yakni dari pihak laki-laki adalah tolea dan juru bicara pihak keluarga perempuan adalah pabitara. Dalam tahap ini pula, harus hadir beberapa unsur dalam masyarakat yakni unsur pemerintah yakni kepala desa atau lurah, puutubo (ketua adat), para tua-tua adat setempat, dan kerabat dari kedua belah pihak. Tahap peminangan resmi ini memiliki pula beberapa tahapan. Dalam setiap tahapan, yakni tahapan pertama sampai pada tahapan ketiga ini, terdapat syarat yakni tolea (juru bicara pihak laki-laki) harus menyerahkan amplop berisi uang. Inti dari tahapan pertama sampai tahapan ketiga merupakan permohonan izin kepada pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dalam wilayah administrasi pemerintahan, permohonan izin kepada ketua adat atau para orang tua-tua sebagai orang yang dipercaya mengetahui dengan baik setiap tahapan dalam adat perkawinan, dan permohonan izin kepada orang tua yang anaknya akan dipinang dan kepada para kerabat orang tua perempuan baik dari pihak bapak maupun pihak ibu. Semua ini dimaksudkan agar seluruh rangkaian proses peminangan dapat berlangsung dengan aman. Adapun mowawo niwule atau peminangan resmi ini dituturkan oleh informan berlangsung sebagai berikut: Tahapan pertama adalah yang disebut dengan sara papalalo ine ulu sala/ sara mbeparamesi (adat memohon izin untuk dimulainya acara kepada pemerintah). Dalam tahap pertama ini, melalui tolea, diserahkan amplop berisi uang kepada pemerintah sebesar Rp. 50.000,- di mana di dalamnya termasuk untuk kas desa/kelurahan. Tahapan kedua adalah sara momberahi lako ine ulu sara (adat memohon restu atau petunjuk mengenai tahapan
dan tata cara pelaksanaan adat) kepada puutobu atau toono motuo, yang juga diserahkan amplop berisi uang sebesar Rp. 50.000,-. Tahapan ketiga adalah sara mombependeehi ine mbu ana yakni mempertanyakan kepada orang tua dari pihak perempuan melalui pabitara apakah seluruh keluarga mereka atau undangan telah hadir di tempat itu. Pada tahapan ini, juga diserahkan ampolop berisi uang sebesar Rp. 50.000,- kepada pabitara. Tahapan keempat dan merupakan inti dari tahap peminangan resmi ini adalah mondongo niwule atau mowawo niwule yakni peminangan secara resmi dari keluarga pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Kata-kata pinangan disampaikan oleh tolea sebagai juru bicara pihak keluarga laki-laki. Pada tahap mowawo niwule ini, diserahkanlah benda-benda yang merupakan seserahan wajib dari keluarga pihak laki-laki kepada pihak perempuan melalui perantaraan tolea dan pabitara. Benda-benda adat itu berupa : 1). 40 lembar daun sirih, 40 buah pinang muda, 4 leta tembakau, dan kapur sirih/gambir secukupnya yang semuanya disatukan dan dibungkus dengan pelepah pinang, 2). 1 lembar kain sarung, dan 3). O’eno (seuntai kalung). Selain benda-benda yang diserahkan seperti tersebut di atas, diserahkan pula : 2 biji kelapa bertunas (kaluku peburu) 2 botol minyak tanah 2 botol minyak kelapa/goreng beras putih yang dimasukkan dalam satu wadah anyaman yang disebut dengan balase garam secukupnya yang dimasukkan dalam suatu wadah tertentu, dan ikan asin yang juga dimasukkan dalam suatu wadah tertentu pula. Jika semua benda-benda di atas telah diserahkan, maka selanjutnya adalah tahapan musyawarah atau pinesambepeako. Dalam tahapan ini, dimusyawarahkanlah seserahan adat dan biaya pesta yang nantinya akan diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan dalam tahap terakhir proses adat perkawinan orang Tolaki yang disebut dengan tahap mowindahako. Seserahan adat yang dimusyawarahkan terdiri dari 151
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 145—156 4 bagian yakni: Puuno osara (pokok adat) terdiri dari 4 macam benda yakni : 1 pis kain kaci, 1 ekor kerbau, 1 buah gumbang/ guci atau 1 lingkar (seuntai) kalung, dan 1 buah gong. Tawa Sara terdiri dari delapan mata atau enam belas mata (mata = satu jenis benda) yakni delapan atau enam belas lembar kain sarung dan mas kawin sebesar delapan puluh ribu rupiah dan atau delapan puluh delapan ribu rupiah. Sara Peana (adat pengasuhan anak) terdiri dari lima jenis, yakni raneranembaa (perawatan ibu) terdiri atas satu helai kain sarung, wadah tempat memandikan bayi (bokumbebaho’a), tematema (sarung penimang anak) terdiri dari 1 helai kain panjang, sandusandu (gayung/ timba untuk mandi) 1 buah, dan like-like mata (alat penerangan atau lampu) serta siku hulo (alat untuk membuang sisa-sisa pembakaran pada lampu) Popolo yakni uang sebesar Rp. 80.000 atau Rp. 88.000. Jika semua benda di atas yang nantinya akan diserahkan pada tahap terakhir proses perkawinan telah disepakati, maka selanjutnya dimusyawarahkanlah besarnya biaya pesta yang akan ditanggung oleh pihak keluarga laki-laki. Biaya pesta biasanya dihitung untuk 3 hal berupa uang tunai, kerbau atau sapi, dan beras. Besarnya jumlah biaya pesta yang dihitung dengan uang tunai, sapi, dan beras, tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak. Dalam musyawarah mengenai biaya pesta ini, biasanya terjadi tawar menawar antara kedua belah pihak dan dianggap selesai jika kedua belah pihak itu telah sepakat. Jika biaya pesta telah disepakati, maka tahap terakhir dari rangkaian peminangan resmi ini adalah penyerahan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan melalui tolea dan pabitara seperangkat pombesawuki yang terdiri dari : satu setel pakaian lengkap (dalam dan luar) untuk perempuan sepasang alas kaki perempuan satu set alat rias/kosmetik 152
Semua benda-benda tersebut di atas dimasukkan dalam sebuah koper. Pombesawuki ini merupakan tanda pengikat atau tanda bahwa perempuan dan laki-laki telah ditunangankan. Dengan diserahkannya pombesawuki, maka berakhirlah rangkaian acara dalam tahap peminangan resmi ini. Tahap Keempat: Mowindahako Tahap terakhir dalam rangkaian adat perkawinan orang Tolaki adalah mowindahako. Dalam tahap ini, acaranya sama dengan acara pada tahap ketiga tersebut di atas termasuk jumlah uang yang diserahkan yang dimasukan di dalam amplop. Tahapannya yakni: Tahapan pertama adalah yang disebut dengan sara papalalo ine ulu sala/sara mbeparamesi (adat memohon izin untuk dimulainya acara kepada pemerintah). Tahapan kedua adalah sara momberahi lako ine ulu sara (adat memohon restu atau petunjuk mengenai tahapan dan tata cara pelaksanaan adat) kepada puutobu atau toono motuo. Tahapan ketiga adalah sara mombependeehi ine mbu ana yakni mempertanyakan kepada orang tua dari pihak perempuan melalui pabitara apakah seluruh keluarga mereka atau undangan telah hadir di tempat itu. Tahapan keempat dan merupakan tahapan terakhir adalah tahap mowindahako. Tahap keempat yang disebut dengan sara mowindahako merupakan rangkaian dari prosesi adat untuk menyerahkan seserahan adat. Seserahan adat yang diserahkan dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan adalah yang telah disepakati dalam musyawarah pinesambepeako pada tahap ke tiga tersebut di atas. Jika semua seserahan telah diserahkan, melalui dialog antara tolea dan pabitara, maka acara terakhir adalah acara mohue osara atau menutup seluruh prosesi rangkaian adat perkawinan pada orang Tolaki. Dalam mohue osara ini, tolea dan pabitara saling memberi minum satu sama lain. Tetapi sebelum mereka berdua saling memberi minum, maka keduanya saling berbalas lagu. Lagu yang mereka nyanyikan biasanya berisi tentang ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa oleh karena semua proses dalam tahapan perkawinan telah dilalui dengan sukses. Setelah berbalas lagu, barulah kemudian mereka saling memberi minum. Minumannya
Perkawinan Adat Orang Tolaki... Joni Lisungan
adalah minuman tradisional yang disebut dengan pongasi. Pongasi merupakan minuman yang diperoleh melalui fermentasi antara beras dengan ragi. Setelah tolea dan pabitara saling memberi minum pongasi yang merupakan rangkaian dari mohue osara, maka berakhir pulalah seluruh rangkaian perkawinan menurut adat orang Tolaki. Makna Benda-Benda Adat Seserahan dalam Perkawinan Setiap benda dalam berbagai aktivitas adat selalu memiliki arti dan makna tertentu bagi masyarakat. Demikian pula pada orang Tolaki, benda-benda yang menjadi seserahan dalam sebuah perkawinan memiliki makna tersendiri bagi mereka. Adapun makna benda-benda seserahan dalam adat perkawinan orang Tolaki dituturkan oleh informan sebagai berikut: Puuno osara yang terdiri atas 1 pis kain kaci/kasa, 1 buah gong, 1 buah gumbang/guci, dan 1 ekor kerbau, merupakan simbol dari adanya kematian (pada orang Tolaki, jika ada seseorang yang meninggal maka didepan rumah duka akan dipasang bendera putih sehingga setiap orang yang melihat bendera itu akan langsung mengerti bahwa di rumah tersebut ada yang meninggal) dan kain kaci/kasa itu dimaksudkan sebagai pembungkus bagi orang yang meninggal. Gong merupakan sarana komunikasi yang efektif melalui suara yang dapat menjangkau orang banyak sekaligus. Gong yang dipukul dengan pukulan atau irama tertentu dapat memberi pesan pada yang mendengarnya bahwa ada seseorang yang telah meninggal dunia. Sehingga pada zaman dahulu jika ada anggota keluarga yang meninggal, maka tidak perlu mengirim utusan untuk membawa kabar duka kepada setiap orang, tetapi dapat dilakukan dengan hanya memukul gong saja. Gumbang atau guci merupakan wadah untuk menampung air. Dalam kaitannya dengan kain kasa dan gong, maka gumbang/guci merupakan wadah penampungan air yang akan dipergunakan untuk memandikan jasad atau jenazah dari orang yang meninggal. Sedangkan kerbau sebagai salah satu hewan yang dagingnya dapat dikonsumsi oleh manusia, dimaksudkan sebagai lauk/makanan untuk menjamu sanak keluarga yang datang melayat di rumah duka.
Keempat benda yang disebutkan di atas sebagai pokok adat dalam adat perkawinan orang Tolaki, memiliki maksud untuk selalu mengingatkan manusia akan betapa dekatnya manusia dengan kematian sehingga manusia selama masa hidupnya harus mengisinya dengan hal-hal yang berguna terutama berguna bagi orang banyak. Tawa sara yang terdiri dari delapan atau enam belas kain sarung diperuntukkan bagi tante-tante dari pihak keluarga perempuan yakni tante dari calon pengantin wanita. Kain sarung disini memiliki makna mengingatkan kepada calon pengantin wanita bahwa semasa kecilnya dia telah diasuh oleh orang-orang yang berada disekelilingnya. Ini menunjukkan bahwa pengasuhan seorang anak juga menjadi tanggungjawab dari seluruh keluarga dekat dan betapa pentingnya arti dari sebuah keluarga besar. Sara peana yang ditujukan bagi ibu calon pengantin perempuan memiliki makna betapa besar dan pentingnya arti seorang ibu dalam mengasuh dan membesarkan seorang anak. Perubahan dalam Adat Perkawinan Orang Tolaki Semua kebudayaan pada suatu waktu akan berubah karena bermacam-macam sebab. Demikian pula dengan sistem perkawinan. Sebagai bagian dari suatu kebudayaan, maka sistem perkawinan akan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan dalam adat perkawinan juga dialami oleh orang Tolaki yang mendiami daerah daratan Provinsi Sulawesi Tenggara. Berikut ini adalah beberapa aspek dalam adat perkawinan orang Tolaki yang telah mengalami perubahan. a. Perubahan Mengenai Waktu Pelaksanaan Tahapan Adat Perkawinan Seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya dalam tulisan ini, bahwa dalam adat perkawinan orang Tolaki terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui. Tahapan itu adalah dimulai dari morake-rakepi, monduutudu, mowawo niwule, dan mowindahako. Dalam melalui tahap-tahap ini, dibutuhkan waktu yang tidak singkat. Selain karena adanya ketentuan adat mengenai waktu, misalnya waktu menunggu antara 4 hari sampai 14 hari, juga untuk persiapan memasuki tahapan-
153
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 145—156 tahapan membutuhkan waktu. Terlebih waktu antara tahap ketiga menuju pada tahap keempat. Untuk menuju pada tahap keempat (mowindahako), dibutuhkan waktu yang agak panjang, bahkan ada yang membutuhkan waktu sampai 1 tahun atau lebih karena harus mempersiapkan berbagai benda adat yang nantinya akan menjadi seserahan dan juga untuk mempersiapkan biaya pesta. Sehingga, normalnya jika mengikuti tahap-tahap adat ini akan membutuhkan waktu antara 4 sampai 6 bulan. Saat ini, waktu untuk pelaksanaan tahapan adat perkawinan telah mengalami perubahan. Jika sebelumnya dibutuhkan waktu hingga beberapa bulan atau sampai dalam hitungan tahun, maka saat ini semua tahapan dalam adat perkawinan orang Tolaki dapat dilaksanakan dalam satu kali saja atau dalam 1 hari saja. Ini disebut dengan morumbandole. Pelaksanaan morumbandole ini biasanya dilakukan sebelum acara resepsi. Jika resepsi perkawinannya dilaksanakan pada sore atau malam hari, maka adat perkawinannya dilaksanakan pada pagi hari. Atau jika pelaksanaan adat perkawinannya dilakukan pada sore hari, kemudian dilanjutkan dengan acara resepsi pernikahan pada malam harinya. Adat Morumbandole tetap melaksanakan tahap-tahap dalam adat perkawinan. Hanya pelaksanaannya dilakukan pada satu hari saja. Setiap tahap akan dilaksanakan dengan memberi jeda waktu beberapa menit antara tahap satu dengan tahap berikutnya. b. Perubahan Mengenai Benda-benda Adat (Seserahan) Telah dijelaskan pada bagian lain di atas, bahwa ada banyak benda-benda yang menjadi seserahan dalam adat perkawinan orang Tolaki. Secara garis besar, ada 4 bagian yang menjadi adat seserahan yakni Puuno osara, Tawa Sara, Sara Peana, dan Popolo. Tetapi yang terpenting di sini adalah Puuno osara yang disebut juga pokok adat. Keempat benda sebagai pokok adat memiliki makna bagi orang Tolaki dan mungkin saja ada setelah masuknya agama Islam di daratan Sulawesi Tenggara. Saat ini benda adat sebagai pokok adat pada orang Tolaki telah mengalami perubahan. Gong tidak tampak ada lagi dalam setiap perkawinan. Sebagai gantinya, gong dalam perkawinan sudah dinilai atau digantikan 154
dengan uang tunai dan disebut sebagai gong adat. Besarnya uang tunai sebagai pengganti gong dibeberapa tempat tidaklah sama. Tetapi secara umum, gong dapat diganti dengan uang tunai antara Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 1.000.000. Demikian pula dengan gumbang dan kerbau, saat ini telah diganti dengan sejumlah uang tunai. Perubahan yang terjadi pada pokok adat di mana gong, gumbang/guci, dan kerbau telah diganti dengan uang tunai bukanlah tanpa alasan. Yang menjadi alasan utama adalah bahwa gong, gumbang/guci, dan kerbau sudah menjadi barang yang langka pada orang Tolaki. Ketiganya sudah sangat sulit didapatkan, sehingga menjadi sulit pula untuk menjadikannya sebagai seserahan pada perkawinan karena perkawinan dapat dikatakan terjadi hampir setiap saat. Selain itu orang Tolaki bukanlah pengrajin yang dapat membuat gong atau membuat guci. Selain perubahan yang terjadi pada benda yang menjadi pokok adat, pada bagian akhir dari tahap perkawinan juga mengalami perubahan. Sebagai penutup dalam tahap mowindahako adalah mohue osara yang kemudian diikuti dengan acara di mana juru bicara (tolea dan pabicara) kedua belah pihak saling memberi minum pongasi sebagai minuman tradisional khas orang Tolaki. Saat ini acara saling memberi minum pongasi hampir tidak pernah dilaksanakan lagi. Hal ini disebabkan karena minuman pongasi yang merupakan hasil fermentasi beras dan ragi dapat membuat orang mabuk atau pusing. Pongasi ini kemudian diganti dengan air minum atau air putih. F a k t o r- F a k t o r Ya n g M e m p e n g a r u h i Perubahan (¿VLHQVL:DNWX Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa pelaksanaan perkawinan pada orang Tolaki melalui beberapa tahapan. Dari satu tahap ke tahap lainnya yang harus dilalui itu memiliki rentang waktu pelaksanaan sampai pada hitungan tahun. Oleh karena itu, morumbandole sangat efisien dalam hal waktu. Hal ini mengingat berbagai kesibukan terutama kesibukan kedua calon pengantin. Ini biasanya dipengaruhi oleh faktor pekerjaan dari masing-masing calon pengantin. Jika calon pengantin pria berasal dari
Perkawinan Adat Orang Tolaki... Joni Lisungan
provinsi yang berlainan dengan calon pengantin perempuan, maka pelaksanaan morumbandole akan sangat menghemat waktu (¿VLHQVL%LD\D Secara rasional, dari sisi ekonomi, semakin banyak tahap yang dilaksanakan dengan adanya tenggang waktu, maka semakin banyak pula biaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraannya. Hal ini disebabkan karena setiap tahapan dilaksanakan dengan mengumpulkan sanak famili atau kerabat terutama ditahap kedua dan ketiga. Dengan melaksanakannya satu kali saja yang dirangkaikan dengan acara resepsi, ini akan memangkas biayabiaya yang seharusnya dikeluarkan dibeberapa tahap sebelumnya. Misalnya jika kedua keluarga calon pengantin bertempat tinggal dengan jarak berjauhan, maka biaya perjalanan rombongan yang harus ditanggung oleh pihak keluarga laki-laki tidak perlu lagi dikeluarkan. Selain itu, H¿VLHQVLELD\DGDULSLKDNNHOXDUJDODNLODNLMXJD terjadi dalam pelaksanaan tahapan perkawinan. Karena biaya setiap tahapan dalam perkawinan dibebankan kepada keluarga pihak laki-laki. Dengan demikian, tahapan pelaksanaan yang dilakukan sekali saja, yakni morumbandole, akan banyak memangkas biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak keluarga laki-laki. 3. Semakin Berkurangnya Benda-Benda Adat (Seserahan) Semakin berkurangnya benda-benda adat yang menjadi seserahan juga turut mempengaruhi terjadinya perubahan dalam sistem adat perkawinan orang Tolaki, khususnya perubahan dalam benda pokok adat atau puuno osara. Pada orang Tolaki, gong (tawa-tawa), gumbang (obenggi), dan kerbau (kiniku) saat ini telah menjadi barang yang langka karena orang Tolaki tidaklah memproduksi gong dan gumbang dan juga sudah sangat jarang ditemukan ada keluarga yang memelihara kerbau. Jika hendak membeli kerbau, harganya sangat mahal jika dibandingkan dengan sapi. Untuk alasan itulah sehingga baik gong, gumbang, dan kerbau kemudian tidak lagi pernah terlihat sebagai sesuatu yang ada di dalam adat perkawinan orang Tolaki. Ketiganya kemudian digantikan dengan gong adat, gumbang adat, dan kerbau adat. Maksud dari penambahan kata “adat” itu
adalah karena ketiganya bukan lagi merupakan sesuatu yang dihadirkan dan berwujud, tetapi kehadirannya digantikan dalam bentuk uang. Besarnya uang pengganti untuk gong, gumbang, dan kerbau bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lain atau dari satu kampung ke kampung yang lainnya. Tetapi besarannya berkisar antara Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 1.000.000 Dampak Perubahan Adat Perkawinan Pada Orang Perubahan yang terjadi dalam sistem adat perkawinan orang Tolaki menurut informan dalam penelitian ini merupakan hal yang sangat menguntungkan bagi mereka. Bagi mereka, H¿VLHQVL ELD\D GDQ ZDNWX PHUXSDNDQ KDO \DQJ harus dilaksanakan. Hal ini karena tingkat kehidupan masyarakat yang beragam. Bagi mereka yang tergolong mampu, perubahan ini tidaklah terlalu berpengaruh. Tetapi bagi mereka yang tingkat kehidupannya sedangsedang saja (apalagi bagi mereka yang kondisi kehidupannya pas-pasan) maka perubahan ini terasa sangat menguntungkan. Oleh karena itu, dampak perubahan yang terjadi dalam sistem adat perkawinan ini merupakan hal yang positif yang tidak dipertentangkan di masyarakat orang Tolaki. PENUTUP Perkawinan bagi manusia dan juga bagi suku-suku bangsa yang ada di muka bumi ini dapat dikatakan memiliki tujuan yang sama. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh keturunan sebagai penerus keluarga. Hal ini berlaku pula bagi orang Tolaki di Provinsi Sulawesi Tenggara. Tetapi sebelum sampai pada tujuan utama dari sebuah perkawinan, maka dibutuhkan sebuah proses yang terkadang membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya. Bagi orang Tolaki, proses itu merupakan tahapan yang harus dilalui tahap demi tahap sebelum sampai pada tahapan akhir yang dapat mempersatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang disebut dengan perkawinan. Sehubungan dengan yang dikemukakan di atas, misalnya oleh Suparlan (1987:109) yang mengatakan bahwa sebuah perkawinan tidak hanya mewujudkan adanya hubungan seksual saja, tetapi juga melibatkan hubungan-hubungan antara kerabat dari masing-masing pasangan 155
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 145—156 tersebut, maka dalam urusan perkawinan dan dalam pelaksanaan tahapan perkawinan, hal itu berlaku pula pada orang Tolaki. Ini terlihat dalam tahapan dalam adat perkawinan mereka di mana keterlibatan keluarga besar sangat jelas terlihat. Kerabat dalam perkawinan orang Tolaki diberi tempat khusus dan ini terlihat pada saat sara mombependeehi ine mbu ana yakni mempertanyakan kepada orang tua dari pihak perempuan melalui pabitara apakah seluruh keluarga mereka atau undangan telah hadir di tempat itu. Demikian juga dengan pemberian penghargaan kepada tante-tante dari calon pengantin perempuan dalam pemberian tawano osara. Demikian juga dengan keterlibatan pemerintah, di mana pemerintah diberi tempat dan penghargaan tersendiri dalam proses perkawinan. Ini terlihat dari adanya sara papalalo ine ulu sala/ sara mbeparamesi atau adat memohon izin untuk dimulainya acara kepada pemerintah. Pemerintah di anggap sebagai satu kesatuan dengan keluargakeluarga yang berada diwilayah pemerintahannya. Perubahan yang terjadi, yang salah satunya menurut Suparlan (1987:139) yang melihat bahwa terjadinya perubahan pada masyarakat ditunjang oleh beberapa faktor yang salah satunya dikatakan bahwa unsur-unsur baru itu dapat dibuktikan kegunaannya oleh masyarakat. Perubahan yang terjadi dalam sistem adat perkawinan orang Tolaki yang dipengaruhi oleh faktor efisiensi waktu GDQ H¿VLHQVL ELD\D GLUDVDNDQ ROHK PDV\DUDNDW sebagai hal yang menguntungkan bagi mereka. Artinya bahwa perubahan yang terjadi itu dapat dibuktikan kegunaannya oleh masyarakat orang Tolaki sehingga tidak menimbulkan pertentangan. DAFTAR PUSTAKA Al Azhur, Arsamid. 1996. Adat Perkawinan Orang Tolaki. Makalah, tidak diterbitkan. Alim, Abdul. 1999. “Peranan Sulemandara dalam Kerajaan Konawe Pada Masa Pemerintahan Mokole Tebawo (1602–1608)”. (Skripsi tidak terbit). Kendari: FKIP Unhalu. Dade, Tenabolo, Yacobus. 2012. “Dinamika Belis Dalam Adat Perkawinan Masyarakat Rote Ba`a di Kelurahan Mokdale Kecamatan Lobalain Kabupaten Rote Ndao”, dalam Humanis, Volume I. No. 1. November 2012,
156
ojs.unud.ac.id, diakses tanggal 13 Agustus 2013. Denzin, K, Norman, dan Yvonna S. Lincoln. 2011. Handbook of Qualitative Research (edisi ketiga), (penerjemah: Daryanto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Havilland, William A. 1993. Antropologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koodoh, E, Erens; Abdul Alim, Bachruddin. 2011. Hukum Adat Orang Tolaki, Kerjasama dengan Kantor Penelitian dan Pengembangan Kab. Konawe. Yogyakarta: Teras. Manan, Imran. 1989. Perubahan Sosial Budaya, Modernisasi dan Pembangunan. Jakarta: P2LPPK. Martono, Nanang. 2012. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Moderen, Posmoderen, dan Postkolonial. Jakarta: 5DMD*UD¿QGR3HUVDGD Pasaribu, Paskah, J. 2010. “Perubahan Adat Perkawinan pada Masyarakat Pakpak Kelasen,(Studi Deskriptif di Desa Si Onom Hudon Toruan Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan)”. (Skripsi tidak terbit). Medan: Universitas Sumatera Utara. Simanjuntak, Antonius. 2002. .RQÀLN6WDWXVGDQ Kekuasaan Orang Batak Toba. Yogyakarta: Jendela. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar-DNDUWD37*UD¿QGR Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Suparlan, Parsudi. 1987. Perubahan Sosial dalam Masyarakat. Jakarta: Depdiknas. Suparto. 1986. Sosiologi dan Antropologi. Bandung: Armico. Taneko, Soleman B. 1990. Struktur dan Proses Sosial Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta: Rajawali Press. Tamburaka, Rustam, E, dkk. 2004. Sejarah Sulawesi Tenggara, 40 Tahun Sultra Membangun. Kendari: Unhalu Press. Tarimana, Abdurrauf. 1989. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.