ABSTRAK Hasriani Darwin, G2O114003. “Nilai- Nilai Pendidikan Karakter dalam Cerita Rakyat Tolaki”. Tesis. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra, Pascasarjana Universitas Halu Oleo, Kendari. Pembimbing I :Dr. H.Sahlan, M.Pd, Pembimbing II: Dr. Aris Badara, M.Hum. Penelitian ini membahas tentang nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat pada cerita rakyat Tolaki. Cerita rakyat sebagai salah satu sastra lisan memiliki banyak nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, khususnya nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat diterapkan pada pendidikan karakter anak di sekolah dan hubungannya dengan kehidupan masyarakat Tolaki. Penelitian ini termasuk dalam penelitian lapangan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki diantaranya nilai Ketuhanan, nilai kejujuran, nilai kerja keras, nilai kesabaran, nilai kemandirian, nilai rasa ingin tahu, nilai keberanian, nilai cinta damai, nilai peduli sesama, nilai tanggung jawab, dan nilai rasa hormat. Selain itu juga terdapat hubungan yang erat antara nilai-nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Tolaki dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Tolaki dan juga nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran dalam mendidik anak di sekolah. Kata Kunci: Nilai, Pendidikan karakter, cerita rakyat, Masyarakat Tolaki
v
v
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERITA RAKYAT TOLAKI
HASRIANI DARWIN PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HALU OLEO JALAN H. ABDULLAH SILONDAE KENDARI - INDONESIA ABSTRAK Penelitian ini membahas tentang nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat pada cerita rakyat Tolaki. Cerita rakyat sebagai salah satu sastra lisan memiliki banyak nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, khususnya nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat diterapkan pada pendidikan karakter anak di sekolah dan hubungannya dengan kehidupan masyarakat Tolaki. Penelitian ini termasuk dalam penelitian lapangan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki diantaranya nilai Ketuhanan, nilai kejujuran, nilai nilai kerja keras, nilai kesabaran, nilai kemandirian, nilai rasa ingin tahu, nilai keberanian, nilai cinta damai, nilai peduli sesama, nilai tanggung jawab, dan nilai rasa hormat. Selain itu juga terdapat hubungan yang erat antara nilai-nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Tolaki dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Tolaki dan juga nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran dalam mendidik anak di sekolah. Kata Kunci: Nilai, Pendidikan karakter, cerita rakyat, Masyarakat Tolaki PENDAHULUAN Keanekaragaman suku yang mendiami daerah-daerah di pelosok Nusantara melahirkan keanekaragaman budaya yang berbeda-beda, termasuk di Indonesia. Berbagai macam budaya tersebut lahir dari kreatifitas mencipta masyarakat nusantara sejak zaman dahulu sampai sekarang. Keanekaragaman budaya tersebut memperlihatkan kekayaan tanpa batas. Sebelum manusia mengenal tulisan, manusia berinteraksi dan berkomunikasi menggunakan bahasa lisan. Bahasa lisan inilah yang dipakai di seluruh aspek kehidupan manusia untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan yang sudah ada dari generasi ke generasi. Salah satu bentuk kebudayaan adalah karya sastra. Membicarakan karya sastra secara keseluruhan tidak terlepas dari persoalan sastra daerah berupa sastra lisan. Sastra lisan yang menjadi warisan kebudayaan daerah secara turun-temurun memiliki nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan untuk pelestarian karya sastra. Dalam keadaan masyarakat yang tengah membangun, seperti halnya masyarakat Indonesia sekarang ini, banyak bentuk kebudayaan lama termasuk sastra lisan, bukan mustahil akan terabaikan di tengah-tengah kesibukan pembangunan dan pembaharuan yang sedang meningkat. Hal yang demikian mengakibatkan banyaknya perubahan yang terjadi pada masyarakat, misalnya adanya kemajuan dalam bidang teknologi, seperti internet dan televisi dapat mempengaruhi eisistensi sastra lisan di seluruh Indonesia. Oleh karena itu,
v
dikhawatirkan lama kelamaan sastra lisan akan hilang atau berbagai unsurnya yang asli tidak muncul lagi. Hal ini dapat dilihat dalam kejadian-kejadian kekerasan, perkelahian masal, perang antar kubu terjadi mulai dari masyarakat antar kampung sampai pada peserta didik antar sekolah bahkan mahasiswa. Kejadian semacam itu memperlihatkan kondisi suatu bangsa yang seolah kehilangan jati diri dalam kehidupan. Kondisi itu juga memperlihatkan juga kualitas manusia dinegeri ini yang seolah kurang terdidik. Dengan demikian, perlu adanya pendidikan yang mengarah pada pengenalan jati diri sebagian dari bangsa yang memiliki kekayaan nilai budaya yang luhur sehingga mewujud dalam karakter setiap warganya. Seperti yang di ungkapkan oleh Hidayat (2012: 2), salah satu solusi untuk menanggulangi kemerosotan moral di antarannya melalui pendidikan karakter. Diantaranya dengan menggali kekayaan luhur budaya bangsa dalam khasanah sastra Indonesia. Pada masyarakat yang masih memiliki tradisi bercerita, karya sastra biasanya sebagai sarana pendidikan untuk membimbing anak agar berperilaku baik. Menurut pengalaman peneliti, pada malam hari orang tua biasanya bercerita sambil meninabobokan anaknya. Mereka bercerita tentang peristiwa yang kejadiannya pernah terjadi di lingkungan atau cerita-cerita rakyat yang telah tertuliskan dalam sebuah buku. Cerita itu biasanya tentang seorang maupun tentang suatu tempat. Namun, kejadian tersebut terjadi jauh sebelum zaman sekarang. Cerita-cerita tersebut biasanya sarat dengan keunggulan lokal atau kebudayaan tertentu. Suku Tolaki yang tinggal di Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu suku bangsa di indonesia yang masih menganut cerita rakyat sebagai pedoman hidup dalam menentukan pandangan hidupnya. Tarimana (1993: hal 51-52) mengungkapkan bahwa bagi suku Tolaki pandangan hidup yang tercermin dalam cerita rakyatnya dimaknai oleh masyarakatnya sebagai medium dalam membina hubungan kerjasama di lingkungan keluarga, sosial, pemerintahan, aktivitas, kepercayaan, serta aktivitas pekerjaan. Pandangan hidup suku Tolaki tersebut meskipun masih terdapat yang tetap, namun karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan peradaban maka dengan sendirinya pandangan hidup mereka mulai mengalami pergeseran, bahkan lambat laun akan mengalami transformasi. Pergeseran tersebut disebabkan munculnya fakta-fakta sosial yang mengalami transformasi pada seluruh tingkatan nilai. Selah satu penyebab terjadinya pergeseran pada nilai-nilai budaya yang menjadi pandanga hidup masyarakat Tolaki, selain disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah para remaja sekarang ini yang sudah sangat sulit untuk dikendalikan baik pola pikir mereka maupun perilaku mereka di masyarakat, sehingga menjadi sebuah kebiasaan dan membentuk manusia Tolaki yang tidak seperti masyarakat Tolaki pada masa lampu yang menjujung tinggi nilai-nilai kebudayaan sehingga cara pandang dan perilaku seperti yang diharapkan pada manusia Tolaki. Selain itu, generasi muda saat ini yang terlalu terlena oleh kemajuan teknologi yang globalisasi sehingga melupakan jati diri sebagai manusia tolaki
v
yang bermartabat, menujunjung tinggi nilai-nilai budaya dan menghargai kearifan lokal yang terdapat di Tolaki. Pertimbangan dalam memilih cerita rakyat Tolaki sebagai objek material penelitian, selain yang berhubungan dengan keasliaanya yang masih terjaga, selain itu juga di perkaya dengan latar eksotis masyarakat suku Tolaki yang masih lugu dan murni. Penggambaran tokoh-tokoh, karakter dalam cerita dideskripsikan pula ciri khas daerah suku Tolaki secara indah dengan mementingkan suasana kekerabatan. Penelitian mengenai cerita rakyat Tolaki akan di analisis dengan menggunakan teori sosiologi sastra Alan Swingewood dalam bukunya Sociology of Literature. Swingewood (1972: 6) memberikan konsep mengenai sastra dan sosiologi, yaitu pendekatan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, lembaga kemasyarakatan, dan proses-proses sosial. Sastra terkait dengan manusia dalam dunia kemasyarakatan, adaptasinya dengan dunia masyarakat, dan keinginan melakukan perubahan tentang masyarakat. Dengan penggunaan teori ini, peneliti mendeskripsikan cerita rakyat masyarakat Tolaki untuk menemukan nilai-nilai pendidikan karakter di dalamnya yang berkaitan dengan nilai-nilai yang diterapkan kepada peserta didik di sekolah. Pemilihan teori ini di pilih sebab cerita rakyat merupakan jenis karya sastra dan produk dari masyarakat, berbicara tentang fenomena dalam masyarakat, dinikmati masyarakat, dan dsiplin ilmu yang mempelajari persoalan-persoalan kemasyarakatan yamg bisa dijadikan salah satu acuan dalam mendidik peserta didik dengan menggunakan nilainilai pendidikan karakter yang ada didalamnya. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji cerita rakyat Tolaki dengan judul Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Cerita Rakyat Tolaki Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: (1) Nilai-nilai pendidikan karakter apa sajakah yang terkandung dalam cerita rakyat Tolaki (2) Bagaimanakah keterkaitan antara nilai-nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Tolaki dengan kehidupan masyarakat Tolaki (3) Bagaimana implikasi nilai-nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Tolaki dalam pembelajaran di sekolah. Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : (1) Untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam cerita rakyat Tolaki (2) Untuk mengetahui keterkaitan nilai-nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Tolaki dengan kehidupan masyarakat Tolaki. (3) Untuk mengetahui implikasi nilai-nilai pendidikan karakter cerita rakyat Tolaki dalam pembelajaran di sekolah METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat deskriptif, yaitu bentuk penelitian yang dilakukan dengan cara peneliti turun langsung dilapangan untuk mendapatkan data yang valid mengenai cerita rakyat Tolaki. Dengan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lisan. Metode pengumpulan data merupakan cara kerja terkait dengan apa yang harus diperbuat dan bagaimana berbuat dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Sehubungan dengan itu, maka teknik yang digunakan dalam penngumpulan data terdiri atas: 1) Rekaman, 2) observasi, 3) wawancara.
v
Teknik analisis data dalam penelitian ini yakni peneliti menganalisis data dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra, yaitu data yang terkumpul dari rekaman, observasi dan wawancara selanjutnya di transkrip dengan menyalin data lisan ke data tulis dengan menggunakan huruf latin. Hasil penelitian ini disajikan dengan menggunakan teknik informal. Secara informal, hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk narasi karena nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya memiliki makna teks bersifat verbal dan memiliki struktur naratif dengan mengikuti kaidah penulisan ilmiah. HASIL PENELITIAN Nilai Pendidikan Karakter Cerita Rakyat Tolaki Nilai Ketuhanan Nilai Ketuhanan adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Para guru harus mampu mengerahkan anak didiknya menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mampu melaksanakan perintahNya dan mampu pula menjauhkan segala laranganNya. Orang yang bertakwa mengetahui dengan jelas bahwa dirinya hanya hamba Tuhan yang harus bertanggung jawab dengan apa yang telah dilakukannya di dunia. Masyarakat tolaki pada zaman dahulu percaya dengan adanya dunia lain selain dunia yang mereka tinggali dimana dalam dunia mereka hidup makhluk lain yang saling berdampingan. Masyarakat tolaki juga mempercayai ada yang mengatur kehidupan di dunia ini. Hal ini dapat dilihat pada kutipan sebagai beriku: “Lakonoto Langgai Moriana mongoni-ngoni ine Ombuno o wuta ano powe‟i baraka ano me‟amboki pinopohoro kero dunggu mombopaho. Laa‟iroto‟ona mosalei ano tudu usa-usa lelea mano laa‟iro‟ika mosalei” (Untung, 2009:66) “Langgai Moriana memperhatikan lingkungan tempat pembabatan lalu ia berdoa bermohon kepada penghuni hutan semoga diberikan berkat supaya jika sampai mereka bercocok tanam dapat tumbuh subur dan berhasil yang diharapkan.” Pada kutipan di atas, jelaslah bagaimana tokoh Langgai Moriana berdoa memohon pada sang pencipta agar diberikan berkah dalam pekerjaan yang dilakukannya. Langgai Moriana menyadari seberapa besarpun usaha yang dilakukan, jika Tuhan belum menghendakinya maka semua usaha tersebut belumlah dapat dinikmati hasilnya. Nilai inilah yang sangat diperlukan oleh manusia sekarang ini, dimana kita berusaha tetapi tetap berserah diri pada yang kuasa agar usaha yang dilakukan menjadi berkah. Karena sekarang ini banyak orang yang hanya tahu berdoa tetapi tidak mau berusaha, dan bila doa yang dipanjatkan belum terkabulkan, mereka menganggap Tuhan tidaklah adil dalam memberikan rezeki. Nilai Kejujuran Selain nilai ketuhanan, dalam cerita rakyat Tolaki juga terdapat nilai kejujuran. Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya v
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan. Kejujuran saat ini merupakan hal yang langka. Para guru harus mampu memberikan cobtoh yang baik kepada peserta didik untuk mampu berlaku jujur. Ketika sikap jujur diajarkan disekolah-sekolah kita, maka peserta didik tak akan berani berbohong karena telah terbiasa jujur. Kebiasaan jujur ini harus menjadi fokus utama dalam pendidikan di sekolah. Sebab kejujuran telah menjadi barang langka di negeri ini.timbulnya korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah akibat dari karakter jujur yang kurang terpelihara dengan baik. Sikap jujur dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut: “mano lala‟ieto i Wasande nopehapu, ki‟oki no‟ari medulu‟ako langgai, anotekoni mendia, ieika no‟ari mo‟inu iwoi ine tawa ndoho, laha‟ano lako me‟onaha, mano ta nionggi parasaea‟i” (Tarimana, 1993: 345) “tetapi Wasande selalu menyangkali bahwa ia tidak pernah berkumpul dengan seorang lelaki, sehingga ia hamil, hanya karena ia pernah minum air di daun ketika mengambil daun pandan, namun tak ada yang percaya akan dia.” Dalam kutipan di atas jelaslah bagaimana tokoh Wasande berkata jujur menjelaskan kronologi kejadian yang sebenarnya akan tetapi tidak satu orang pun yang percaya bahkan saudaranya yang pada akhirnya membuat Wasande melakukan pengambilan sumpah. Akan tetapi, tetap tidak ada yang percaya. Hal seperti ini sama dengan yang terjadi zaman sekarang ini terlebih lagi seseorang yang berprofesi seorang guru. Seorang anak apa lagi yang sangat nakal sudah pasti tidak akan diberikan perhatian lebih dan hal tersebut akan membuat kita memberikan penilaian pada anak dengan berat sebelah. Sebagai seorang guru, bila melihat pertengkaran antara kedua anak yang salah satunya nakal, maka hal yang harus dilakukan adalah mendengarkan dengan baik penjelasan dari keduanya dan bukannya mengabaikan pembelaan dari si anak nakal karena bisa jadi si anak yang nakal memberikan pembelaan yang sebenarnya. Apabila kita salah dalam membuat keputusan, hal itu bisa membuat anak-anak kedepannya tidak akan mempercayai orang yang lebih dewasa lagi untuk menyelesaikan masalah mereka. Didalam masyarakat tolaki juga memahami bahwa orang yang memilki sifat jujur sama halnya dengan orang kaya. „Toono mendulo menggena ronga toona nggawasa‟ yang berarti „orang yang jujur itu sewarisan dengan orang kaya‟. Petuah tersebut memberikan gambaran bahwa masyarakat tolaki sangat menjunjung tinggi nilai kejujuran. Orang yang memilki sifat jujur sama halnya dengan orang kaya. Orang tolaki selalu menerapkan sebuah falsafah hidup bahwa kalau tidak mempunyai modal berupa harta benda, maka kejujuranlah yang harus menjadi modal utama manusia dalam melakoni hidup. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, kejujuran adalah sesuatu yang harus diajarkan dengan sangat baik terhadap peserta didik, sebab hal itu adalah sesuatu yang mutlak harus dimiliki seseorang termasuk pemimpin dan peserta didik merupakan pemimpin di masa yang akan datang yang menjadi penentu sukses dengan tidaknya sebuah daerah yang dipimpinnya. Hal ini mudah sekali dibayangkan, sebab bagaimana mungkin sebuah masyarakat tetap bersatu, memlihara kesatuan dan integritasnya dalam masyaraka sosial, bila pemimpinnya dan warganya tidak jujur. Kehidupan bermasyarakat dan
v
kerjasama yang dibangun tidak akan berjalan dengan baik dan stabil tanpa didasari sikap kejujuran Nilai Kerja Keras Kerja keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Kerja keras adalah totalitas kepribadian diri seseorang serta cara mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan makna terhadap sesuatu yang mendorong dirinya untuk bertindak lebih optimal. Sebagai seorang guru, kita harus melatih peserta didik agar mampu bekerja keras. Bukan hanya mampu bekerja keras, tetapi juga bekerja cerdas, ikhlas, dan tuntas. Dengan begitu, kerja keras yang dilakukannya akan bernilai ibadah di mata Tuhan dan hasilnya dapa dinikmati karena mengerjakannya dengan tuntas dan tidak setengasetengah. Untuk mencapai suatu keberhasilan, kerja keras adalah syarat yang utama. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai suatu keberhasilan, sesorang haruslah pantang menyerah dan harus selalu berusaha. Nilai kerja keras juga terdapat pada cerita Langgai Moriana seperti yang terdapat pada kutipan berikut: “Laa‟ito mo‟ia Langgai Moriana, Inano ronga Haino (Toliti Ana Eno). Ano te‟eni Langgai Moriana dunggu‟ito tembono Ina to‟onggo monda‟u ino o wula, wula mbosalei‟ato.” (Untung, 2009:66) “Pada suatu saat Langgai Moriana berkata pada ibunya, bahwa telah tiba musimnya kita akan membuka hutan tempat perladangan/perkebunan padi ladang. Sudah tepat waktunya pada bulan ini akan dimulai pembersihan dan pembabatan hutan untuk ladang padi.” Kutipan tersebut menggambarkan bagaimana seseorang yang tekun dan giat dalam bekerja. Tokoh Langgai Moriana menggambarkan sosok sejati dari manusia masyrakat tolaki yang giat dalam bekerja dilihat dari kutipan saat Langgai Moriana memberitahu ibunya bahwa sudah waktunya mereka untuk membuka hutan yang akan dijadikan sebagai ladang/kebun. Tidaknya hanya tekun dalam bekrja, dalam keadaan seperti apapun Langgai Moriana tetap melakukan pekerjaannya. Hal ini juga tidak terlepas dari petuah masyarakat tolaki berikut: “keto mesida ronga keto mokora meusaha atoika mosua odale meambo” artinya “hanya dengan kerajinan yang berkesinambungan, dan usaha yang tak jemu-jemu barulah hasil akan diperoleh atau dicapai” Petuah di atas memberi pelajaran bahwa untuk mencapai keberhasilan seseorang harus tekun dan bekerja keras. Nilai Kesabaran Sabar adalah menahan diri untuk tidak tergoncang, jatuh dan rapuh sampai stres saat/ketika menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Sabar adalah sikap menahan diri untuk tidak mengeluh karena derita yang terpendam apalagi sampai memiliki keyakinan untuk membalas perbuatan orang lain dengan perbuatan yang sama pula. (balas dendam). Kesabaran adalah salah satu sifat yang ditemukan dalam cerita rakyat “O Hada ronga Kolopua”. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut: “Lakonoto o Hada paho‟i pundino i tundu mbolu arino paho‟i lako le‟esu. Masa‟akono timba kumikii‟i pundino laa‟ito petumbu, lakonoto
v
kumukuti‟ike tumbuno ano kaa‟i. Kolopua ie petawa‟ito pundi katinano . lakonoto hae o Hada lako o ruo o wingi, nolako timba‟ito hae kumikii‟i pundino, lakonoto kumukuti‟i ano kaa‟i. Kolopua laa‟ito nggo lua pundino.” (Untung, 2009:29) “selesai tanam bibit pisang burungnya, Kera p[ergi. Setiap kali datang Kera melihat tanaman pisangnya, walapun pisangnya telah tumbuh, ia selalu memetik daun mudanya, lalu ia makan. Begitu terus Kera selalu memetik pucuk daun pisangnya yang sementara tumbuh, lalu dimakannya, akhirnya pisangnya mati. Tetapi pohon pisang kura-kura semakin tumbuh subur dan telah berbuah.” Kutipan di atas digambarkan bagaimana sifat manusia dianalogikan dengan hewan. Dalam kutipan din atas digambarkan dengan jelas bagaimana kesabaran yang dimiliki oleh kura-kura yang merawat pisangnya sampai tumbuh dan berbuah. Berbeda dengan kera yang memiliki sifat tidak sabar, dimana selalu memetik daun muda pisangnya dan memakannya menyebabkan pisang tersebut menjadi mati. Kura-kura yang memiliki keterbatasan dan kekurangan, sadar dengan kekurangannya yang mebuatnya lebuh sabar dalam menghadapi segala sesuatu yang terjadi padanya. Seperti manusia saat mereka menyadari ada banyaknya kekuranagn dalam diri mereka, yang dilakukan adalah berusaha sebaik mungkin agar kekurangan tersebut menjadi kekuatan dengan kesabaran. Dengan tubuhnya yang pendek dan sangat sulit menahan bahakan mengangkat pohon pisangnya, yang dilakukannya adalah bersabar, sembari merawat pohon pisangnya karena tubuh kecilnya tidak mampu menggapai daun pisangnya, sehingga yang dilakukannya hanya bersabar. Sedangkan kera yang merasa memiliki banyak kelebihan menjadi besar kepala. Merasa mampu berlari, mengangkat sesuatu, melompat dari dahan ke dahan membuatnya tidak sabar menunggu. Seperti manusia bila mereka merasa lebih, yang ada dalam pikiran mereka hanyalah kesombongan dan tinggi hati. Nilai kesabaran inilah yang menjadi pedoman hidup sebagian masyarakat tolaki dalam kehidupannya. Hal ini tertuang dalam sebuah petuah “penao sabara keika modapa oambo” yang artinya “berhati sabarlah karena orang sabar akan mendapat kebaikan”. Kesabaran adalah salah satu kunci dalam mendapat kebaikan. Sabar bukanlah menyerah kepada keadaa, tapi sabar adalah bertahan didalam getirnya perjuangan hidup. Nilai Kemandirian Mandiri adalah segala sesuatu yang dilakukan tanpa bantuan dari orang lain. Anak yang terbiasa mandiri biasanya akan jauh lebih berhasil dalam hidupnya dibandingkan dengan anak yang kurang mandiri. Mandiri bukan hanya mampu berdiri di atas kakinya sendiri, tetapi juga mampu membawa dirinya untuk tidak bergantung penuh kepada orang lain. Kemandirian harus ditanamkan kepada peserta didik kita bila ingin anak menjadi mandiri. Berikut adalah salah satu kutipan dari cerita Langgai Moriana “sabutuno, mombekahako mo‟oru-oru‟ito lakonoto pewangu mere‟u ano peo—peohawa‟i inepino ano‟amba hae kumikii‟i Kowoe laa‟ika tatade‟ano,
v
lakono pelonggo momburi o‟api ano ponahu sinele ronga ti‟olu no‟onggo hae lako mosalei mendua.” (Untung, 2009:69) “pagi-pagi sekali ia bangun dari tempat tidurnya dan membasuh wajahnya sambil mengingat akan mimpinya waktu tidur serta memperhatikan dan mengamati siput besar ternyata tetap ada dan terus berdiri pergi di dapur pasang api untuk menanak nasi bubur dan telur karena ia akan pergi membabat lagi” Dari kutipan di atas, digambarkan bagaimana kemandirian dari tokoh Langgai Morian yang ditinggalkan oleh adik dan Ibunya yang biasanya makanan selalu disiapkan oleh sang Ibu, dan ke ladang dibantu oleh sang adik sekarang dilakukannya sendiri. Proses hidup yang dijalani Langgai Moriana membuatnya menjadi lebih kuat menghadapi kerasnya kehidupan. Hanya orang yang mandirilah yang mampu tampil dikancah pergaulan dan sukses dalam kehidupan yang dijalaninya dengan posisi terhormat. Nilai Rasa Ingin Tahu Rasa ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang dilakukan untuk selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengarnya. Anak yang memiliki rasa ingin tahu pada pelajaran akan menjdai anak yang cerdas dan kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungannya. Anak dengan sikap seperti ini haruslah didukung. Pada zaman sekarang ini anak dengan tingkat rasa ingin tahu yang tinggi sangatlah sulit ditemukan, kalaupun ada guru dan orang dewasa terkadang cenderung menghindar dan tidak mau menjawab pertanyaan para peserta didik ini. Rasa ingin tahu harus ditanamkan dan dibiasakan kepada peserta didik bila ingin anak menjadi cerdas dan berpikir kritis. Sikap rasa ingin tahu, dapat dilihat pada kutipan cerita Onggabo berikut ini: “la‟ito lako mapali Onggabo anopodea‟i bara tanoniondo tono i Konawe. Lakonoto leu mesoreako i kua i wowa sambara anoputuha rumurui a Nggonawe‟eha tumaka no‟onggo pe‟eka i kita i Konawe lako paresai wonua nggiro‟o keno mena no‟oputo tono.” (Tarimana, 1993: 342) “ketika Onggabo berkelana, didengarnya kabar bahwa manusia telah punah di Konawe. Datanglah ia berlabu di muara Sampara, lalu turun dan kemudian mengikuti sungai Konawe‟eha hendak datang di Konawe memeriksa negeri itu jika benar bahwa manusia telah punah.” Kutipan di atas menggambarkan tokoh Onggabo yang memiliki rasa ingin tahu yang dalam terhadap manusia di Konawe yang didengarnya telah punah. Karena tak ingin hanya mendengar kabar burung saja, Onggabo datang langsung ke Konawe untuk melihat langsung benar tidaknya kabar tersebut. Sikap rasa ingin tahu yang seperti ini sudah hampir tidak ada lagi di zaman sekarang, kalaupun ada, hanya sebagian kecil saja. Anak-anak sekarang terbiasa mendengar info dari media masa sehingga tidak ada keinginan untuk mencari dan menemukannya sendiri kebenaran dari info tersebut. Media masa terkadang digunakan untuk menyebarkan kebohongan dan banyak anak-anak sekarang yang percaya dengan kebohongan tersebut. Dan sikap seperti inilah yang harus
v
dihapuskan dari kebiasaan anak-anak sekarang, tidak hanya anak-anak tetapi masyarakat pada umumnya. Nilai Keberanian Seseorang yang andal lahir dari kekuatan keberanian terdalam dari dirinya yang telah secara sempurna mampu menaklukkan semua rasa takut untuk selamanya. Sikap berani merupakan senjata yang paling hebat dan paling sakti dibanding dengan senjata lainnya. Keberanian bukan berarti asal maju tanpa berhitung resiko, tapi keberanian itu adalah semua perilaku strategis yang telah terhitung secara akurat sebelum melangkah ketindakan lebih jauh. Keberanian tidak sama dengan nekat atau asal maju, yang tanpa memahami dan mengetahui segala hal secara sempurna. Sikap berani harus dipupuk pada peserta didik, bukan untuk melawan guru atau tawuran tetapi berani mengeluarkan pendapat, berani mengakui kesalahan pada guru dan teman-teman saat melakukan kesalahan dan berani membela teman yang tidak bersalah, bukan dengan membalas menggunakan otot tetapi menggunakan otak yang mencirikan diri sebagai seorang peserta didik. Berikut adalah kutipan dari cerita Onggabo yang memiliki sikap berani: “monggotolu bara i Latuanda nopowawoke odahu me‟etu-etu iepo anopokope-pete‟i” (Tarimana, 1993: 341) “dikatakan bahwa Latuanda tiga kali membawa anjing beratus-ratus untuk umpannya barulah ia dapat membunuhnya.” Kutipan di atas menggambarkan tokoh Latuanda dengan menggunakan otak (strategi) mampu melumpuhkan/membunuh raksasa yang memangsa manusia. Sikap pemberani Latuanda ini dilakukannya untuk melindungi orang-orang yang disayanginya agar tidak menjadi korban dari raksasa pemakan manusia. Sikap berani itu harus ada dasarnya, harus ada manfaatnya dan tujuannya dan rencana serta strategi yang matang. Keberanian harus didasarkan pada keberanian dan kesucian perilaku. Bila tidak, keberanian yang ditunjukkan hanyalah keberanian buat. Berani karena benar, dan takut karena salah. Berani mengorbankan nyawa untuk mempertahankan kebenaran. Maka, dalam masyarakat tolaki seseorang selalu diberi petuah dari orang tuanya bahwa “keu tekono au baraniki tumanggu‟i” artinya “jikalau kau dalam kebenaran, maka engkau harus berani memperjuangkannya”. Nilai Cinta Damai Cinta damai merupakan sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Cinta damai adalah sikap yang dimiliki seseorang yang tak ingin mencari keributan dan apabila masalah bisa diselesaikan dengan baik maka hal itulah yang akan dicari jalan keluarnya dibandingkan harus adu otot. Sikap cinta damai harus dimiliki setiap peserta didik agar tidak ada lagi tawuran yang terjadi di luar sekolah antara anak sekolah yang satu dengan yang lain. Sikap cinta damai dapat kita lihat pada kutipan cerita Onggabo berikut: “tekokoni i Latuanda lakonoka mesukahako ano ene rumabu‟i karadano rongga padeno. Ano ina‟u amo‟arahi‟i nggo meheto, mano tano langgi itono
v
Onggabo momiu-miu. Tende‟itoka i Latuanda ano mokonga-ngano lakonoto metotono.” (Tarimana, 1993: 343) “terperanjat Latuanda lalu ia mundur ke belakang dan mencabut tombaknya, mengambil parangnya. Lalu ia berlagak hendak memotong dan menombak. Tapi Onggabo tidak bereaksi apa-apa. akhirnya, Latuanda menjadi lelah sendiri dan ia diam.” Kutipan di atas menunjukkan bagaimana sikap Onggabo yang tenang menghadapi Latuanda yang salah paham dengan kedatangannya. Meskipun Latuandan mencabut tombak dan parangnya untuk memotong dan menombak Onggabo, Onggabo tetap tenang menghadapinya tanpa mengambil juga senjatanya untuk bertarung. Yang pada akhirnya, Latuanda menjdai lelah sendiri dan mengalah. Sikap cinta damai seperti ini haruslah dipupuk terlebih pada peserta didik yang memiliki darah yang masih panas, yang ingin bertarung meskipun pertarungan yang sia-sia. Peserta didik sekarang ini yang mudah terprovokasi sehingga sangat mudah pecah pertengkaran antara peserta didik yang satu dengan yang lain, untuk itu diharapkan diterapkannya sikap ini di sekolah. Nilai Peduli Sesama Sikap peduli sesama merupakan sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Adapun sikap peduli sesama dapat dilihat pada kutipan cerita Oheo berikut ini: “lamoto ula umi‟ia anawai, waipode momahe,” note‟eni i Oheo. Leundo atombule i laikanggu. Nikâto osawu aupebanggo-banggo” (Tarimana, 1993: 332) “janganlah engkau menangis, hai Anawai, gadis rupawan,” kata Oheo. Marilah kita pulang dirumahku. Inilah sarung agar engkau bersarungkan. Kutipan di atas menggambarkan sikap manusia yang tolong menolong, dan menutupi rasa malu orang lain agar tak dilihat dan bahkan ditertawakan meskipun antara keduanya baru pertama kali bertemu. Sikap peduli sesama juga dapat ditunjukkan pada cerita rakyat Onggabo yaitu pada kutipan sebagai berikut: “lako‟ito kumî‟i o‟aso ana nggombo, la mepa‟usuki‟ako obenggi. No‟alêto ona i Latuanda nggiro anadalo ano piara‟i hende ana dowono.” (Tarimana, 1993: 342) “didapatilah seorang bayi berada di dalam sebuah tempayan. Latuanda kemudian mengambil bayi itu lalu dipeliharanya seperti anaknya sendiri.” Pada beberapa kutipan di atas, digambarkan dengan jelas bagaimana sikap tokoh Latuanda yang peduli dengan bayi yang ditemukannya. Lalu diambil dan dipelihara seperti anaknya sendiri. Nilai Tanggung Jawab Tanggung jawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungannya, negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Pada nilai tanggung jawab ini, para guru harus mampu mengajak para peserta didiknya untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab. Mampu
v
mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya dan berani menanggung segala resiko dari apa yang telah diperbuatnya. Rasa tanggung jawab ini harus ada dalam diri para peserta didik kita. adapun kutipannya sebagai berikut “oh ananggu, Keno i wulelenggu, Umuhuto, Ponggâto, Lala umuhuto, Mongga nggondombara, Auto mo‟ia, Akuto lako, Aupo‟ia ronga ama, Akutolako kei anamotuo, Mbule i lahuene, Ikita iwawo sangia, (Tarimana, 1993: 334) “hai anakku, gerangan kembangku, meneteklah, makanlah, meneteklah secukupnya, makan terakhir, kau sudah akan tinggal, aku sudah akan pergi, kau tinggal bersama ayah, aku akan pergi keorang tua, pulang ke langit, diatas kayangan,” Pada kutipan di atas, jelaslah bagaimana sikap tanggung jawab seorang Ibu meskipun harus meninggalkan sanng anak. Sebelum pergi, Anawai Angguluri melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai bentuk tanggung jawab dengan memberikan hak anaknya untuk makan (ASI) dan meminta izin kepada anaknya meskipun sang anak belum tahu apa-apa. Dilihat dari kutipan di atas, jelaslah bahwa kita manusia harus memiliki sikap tanggung jawab terlebih lagi sikap ini harus dimiliki oleh para peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Karena pada zaman sekarang ini, banyak orang menyerukan akan bertanggung jawab tetapi triba masanya untuk menuai tanggung jawab tersebut, mereka berpura-pura tidak tahu apa-apa dan melarikan diri dari tanggung jawab. Orang-orang yang seperti ini harus dihindarkan dari peserta didik agar mereka tidak mengambilnya sebagai cerminan dan contoh dari perilaku mereka kedepannya. Nilai Rasa Hormat Rasa hormat adalah sikap dan perilaku menghargai orang lain. Salah satu contoh dari karakter saling menghargai sesama adalah menghargai pendapat orang lain. Sikap rasa hormat perlu dilestarikan yangn merupakan salah satu cerminan dari budaya bangsa. Berikut ini adalah kutipan cerita rakyat Onggabo yang menggambarkan sikap rasa hormat. “tekokoni i Latuanda lakonoka mesukahako ano ene rumabu‟i karadano rongga padeno. Ano ina‟u amo‟arahi‟i nggo meheto, mano tano langgi itono Onggabo momiu-miu. Tende‟itoka i Latuanda ano mokonga-ngano lakonoto metotono. Lako noto eneumale kalono anopombe. Sarake Onggabo, mesukoke keno imbe ariano, ohawo otuono.” (Tarimana, 1993: 343) “terperanjat Latuanda lalu ia mundur ke belakang dan mencabut tombaknya, mengambil parangnya. Lalu ia berlagak hendak memotong dan menombak.
v
Tapi Onggabo tidak bereaksi apa-apa. akhirnya, Latuanda menjadi lelah sendiri dan ia diam. Lalu ia pergi mengambil kalonya, lalu ia menyambut Onggabo secara adat , bertanya dari mana gerangan dan apa perlunya.” Dari kutipan di atas jelaslah bagaimana sikap rasa hormat tokoh Latuanda kepada tamunya, Onggabo. Meski awalnya memiliki prasangka buruk terhadap tamunya, Latuanda tetap menyambut Onggabo dengan baik secara adat. Pada masyarakat Tolaki, penyambutan pada tamu khususnya tamu penting selalu dilakukan dengan cara adat yaitu dengan membawa kalo yang di dalmnya terdapat pinang untuk makan sirih dan rokok untuk merekok sebagai simbol penghargaan tertinggi tuan rumah kepada tamunya. Sikap rasa hormat seperti ini harus dijadikan contoh kepada peserta didik karena mengingat kembali interaksi sosial yang terjadi zaman sekarang ini, dimana hampir tidak ada rasa hormat yang ditunjukan oleh anak-anak, baik kepada teman sebayanya maupun kepada orang yang lebih tua seperti kakak, bahkan ayah, ibu dan guru di sekolah. Hubungan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Cerita Rakyat Tolaki dengan Kehidupan Masyarakat Tolaki Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat Tolaki memiliki hubungan yang sangat erat kaintannya dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Tolaki. Diantaranya yaitu nilai Ketuhanan, seperti yang terdapat dapat cerita rakyat Langgai Moriana, dimana Tokoh Langgai Moriana meminta izin kepada penghuni hutan dan meminta agar diberkahi dalam pembukaan ladangnya. Hal ini juga terjadi pada masyarakat Tolaki. Dimana sebelum meraka membuka lahan untuk dijadikan ladang atau perkebunan, meraka melakukan upacara terlebih dahulu untuk memohon kepada Tuhan agar apa yang mereka lakukan diberkati dengan cara tanaman yang ditanam tumbuh subur dan menghasilkan buah serta tidak ada binatang yang mengganggu tanaman mereka. Selain itu juga nilai kejujuran, dimana masyarakat Tolaki memiliki pemahaman bahwa orang yang memiliki sifat jujur sama halnya dengan orang kaya, seperti yang terdapat dalam petuah suku Tolaki toono mendulo menggena ronga toono nggawasa „orang yang jujur itu sewarisan dengan orang kaya‟. Dengan petuah ini, masyakata Tolaki dalam melakukan apapun berusaha untuk selalu jujur terhadap apapun yang mereka lakukan karena percaya bahwa orang yang jujur itu sama dengan orang yang kaya. Juga terdapat dalam nilai kerja keras, dimana terdapat petuah yang diyakini oleh masyarakat Tolaki yaitu keto mesida ronga keto mokora meusaha atoika mosua odele meambo yang artinya hanya dengan kerajinan yang berkesinambungan dan usaha yang tak jemu-jemu barulah hasil dapat diperoleh atau dicapai. Masyarakat Tolaki percaya dengan petuah ini bahwa hanya otang yang bekerja keras saja yang dapat sukses menggapai apa yang mereka inginkan. Nilai kesabaran juga sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Tolaki. Hal ini seperti yang terdapat dalam petuah suku Tolaki penao sabara keika modapa oambo yang artinya berhati sabarlah karena orang sabar akan mendapat kebaikan. Masyarakat Tolaki mengamalkan petuah ini dalam kehidupan sehari-hari mereka sehingga yang terjalin adalah hubungan harmonis
v
antara yang satu denngan yang lain karena tidak ada niat untuk menyakiti dan yang ada adalah saling tolong menolong. Dari beberapa nilai di atas, jelaslah bahwa nilai-nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Tolaki sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Tolaki. Implikasi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Cerita Rakyat Tolaki dalam Pembelajaran Anak Di Sekolah Nilai-nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Tolaki memiliki implikasi yang signoifikan dalam proses pembelajaran yang diterapkan di sekolah. Diantaranya adalah nilai pendidikan karakter Ketuhanan dalam cerita rakyat, dimana selain berusaha dengan bekerja, juga harus dibarengi dengan berdoa kepada Tuhan agar apa yang dilakukan dapat manuai hasil sesuai dengan apa yang kita inginkan. Pada pendidikan karakter anak di sekolah, peserta didik juga diberikan pelajaran tentang ketuhanan. Yaitu dengan cara sebelum belajar berdoa terlebih dahulu agar materi yang akan diajarakan dapat dimengerti dan dipahami. Selain nilai pendidikan karakter ketuhanan, juga terdapat nilai kejujuran yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki. Dimana pada pendidikan karakter anak di sekolah, peserta didik dianjurkan untuk selalu bersikap jujur di setiap proses belajar mengajar. Yaitu dengan cara tidak boleh menyontek pada saat ulangan dan percaya dengan kemampuan diri sendiri setiap menjawab pertanyaan dari guru. Ada juga, nilai pendidikan karakter kemandirian yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki, dimana pada pendidikan karakter anak di sekolah, peserta didik dianjurkan unntuk selalu bersikap mandiri. Yaitu dalam mengerjakan tugas individu, peserta didik harus mengerjakannya sendiri agar dapat diketahui sejauh mana kemampuan para peserta didik dalam memahami pembelajaran. Selain itu, juga mereka diajarkan untuk mandiri dalam mencari informasi dan referensi yang berkaitan dengan materi pembelajaran yang diberikan oleh guru agar mereka tidak selalu bergantung pada pengetahuan yang diberikan oleh guru saja. Dan semua nilai-nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat memiliki hubungan yang relevan dengan pendidikan karakter yang diterapkan di dalam sekolah kepada peserta didik. Untuk itu, sangat baik bila, cerita rakyat Tolaki dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran sastra di sekolah, agar peserta didik lebih memahami lagi bahwa dalam cerita rakyat Tolaki memiliki nilai-nilai pendidikan yang sangat bermanfaat dan dapat dijadikan pelajaran bagi mereka. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat dalam bab sebelumnya, maka peneliti menyimpulkan sebagai beriku Nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki Langgai Moriana, Oheo, Pasa‟eno, Onggabo, dan O Hada Ronga Kolopua yaitu nilai pendidikan karakter Ketuhanan, nilai kejujuran, nilai kerja keras, nilai kesabaran, nilai kemandirian, nilai rasa ingin tahu, nilai keberanian, nilai cinta damai, nilai peduli sesama, nilai tanggung jawab, dan nilai rasa hormat. Selain itu
v
juga terdapat hubungan yang erat antara nilai-nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Tolaki dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Tolaki dan juga implikasi nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki dalam pembelajaran di sekolah. DAFTAR PUSTAKA Alwi Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depatemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka Danangdjaja, James. 1994. Folklor Indonesia (Ilmu Gosip, Dongeng, dan lainlain). Jakarta : Graffiti. Danangdjaja, James. 2007. Folklore Indonesia. Jakarta: Pustaka Uama Grafiti. Djamaris, Edwar. 1993. Menggali Khasanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka. Djamaris, Edward. 1993. Menggali khasanah Sastra.: Melayu Klasik: Balai Pustaka Utama Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra. Yogjakarta: Media Pressindo. Jalaluddin. 2001. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT raja Grafindo Persada. Gafar, Zainal Abidin. 1990. Struktur Sastra Lisan Serawi. Jakarta: Depdikbud Gunawan, Heri. 2014. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta Hutomo, S. S. (1991). Mutiara yang Terlupakan. Pengantar Study Sastra Lisan. Surabaya: HISKI. Ikram, Achadiaty. 1997. Pendar Pelangi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Koendjaraningrat. 2002.Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan Malonda, Alimin. 2011. “Nilai Pendidikan dan Nilai Moral pada Falia dalam Masyarakat Muna Kecamatan Parigi”. Skripsi. Kendari: Universitas Haluoleo. Moeliono, Anton. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Hiski. Nurgiantoro, Burhan. 2005. Sastra anak (Pengantar Pemahaman Dunia Anak) Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Peursen, V. (1988). Strategi Kebudayaan. Yogjakarta: Kanisius. Pudentia MPSS. (2008). Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: ATL. Pradotokusumo, Paartini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Rini. 2004. Pola Asuh Orang Tua Dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Anak Balita. Bandung: Skripsi PLS UPI Rosidi, Ajip. 1995. Sastra dan Budaya ”Kedaerahan dalam Keindonesiaan”. Jakarta: Pustaka Jaya.
v
Rusyana, Yus. 1996. Tuturan dalam Tradisi Indonesia.
Lisan. Jakarta: Yayasan Obor
Sauri, S., dkk. 2010. Filsafat Pendidikan Agama. Bandung: CV Arfino Raya. Sarmadan. 2011. “Makna Tuturan dalam Upacara Adat Katoba pada Masyarakat Muna”. Skripsi. Kendari; FKIP Universitas Haluoleo. Sujiono. 2009. Konsep Dasar Pendidik Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks Sukatman. 2009. Butir-butir Tradisi Lisan Indonesia. Jogjakarta: LaksBang PRESSindo. Setiadi, elly.M. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya dasar. Jakarta: Kencana. Sudjiman, Panuti. 1998. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Syamsul. 2008. Dimensi kebudayaan dalam Sastra. WWW.Geogle.Com. Diakses pada Tanggal 1 Februari 2016. Syah, Muhibin. 1995. Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada Tarimana, Abdurauf. 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta. Jembatan Tilaar HAR. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedeagogik, Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Gresindo. Untung. 2009. Cerita Rakyat Tolaki. Surabaya: Bintang Surabaya. Yusuf, Syamsu. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Wellek, Rene dan Austin Wereen. 1989. Teori Kesustraan. Jakarta: Gramedia. Zulfahnur, Dkk. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
v