Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA RAKYAT TOLAKI OHEO DAN ONGGABO Eram Putra Pratama1
[email protected] Marwati, S.Pd., M.Hum.2
[email protected]
Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengkaji dan melestarikan sastra daerah masyarakkat Tolaki, khususnya cerita rakyat. Masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah nilai pendidikan apa sajakah yang terkandung dalam cerita rakyat Tolaki Oheo dan Onggabo? Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai pendidikan yang terkandung dalam cerita rakyat Tolaki Oheo dan Onggabo. Metode dalam penelitian ini deskriptif kualitatif, dengan teknik baca dan catat. Data dalam penelitian ini adalah bahasa lisan yang berupa cerita rakyat Tolaki Oheo dan Onggabo. Sumber data dalam penelitian ini adalah bahan bacaan yang relevan berupa cerita rakyat Oheo dan Onggabo. Data penelitian ini dianalisis menggunakan pendekatan analisis nilai. Sesuai hasil penelitian, nilai pendidikan yang terkandung dalam cerita rakyat Tolaki Oheo yaitu nilai pendidikan adat/tradsi, sosial, budi pekerti, keindahan dan kepahlawanan. Sedangkan dalam cerita rakyat Tolaki Onggabo juga mengandung nilai pendidikan adat/tradsi, sosial, budi pekerti, keindahan dan kepahlawanan. Kata kunci : Nilai Pendidikan Cerita Rakyat PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa, juga memiliki keanekaragaman bahasa daerah, dan dalam setiap bahasa daerah terdapat sastra daerah yang diciptakan oleh masyarakat pendukungnya. Sastra daerah di Indonesia sangat luas dan beragam. Setiap kelompok etnis, suku bangsa, masing-masing memiliki sastra daerah. Karya sastra merupakan pencerminan, gambaran, atau refleksi kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra pengarang berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang mereka rasakan atau mereka alami. Karya sastra merupakan untaian perasaan dan realitas sosial (semua aspek kehidupan manusia) yang telah tersusun baik dan indah dalam bentuk konkret.
Cerita rakyat dapat kita temukan di masyarakat pendukungnya yang benar-benar mengetahuinya. Dalam masyarakat Tolaki terdapat banyak cerita rakyat yang dapat kita temukan diantaranya kisah Oheo, kisah Onggabo, kisah kali konawe’eha ronga laasolo, kisah haluoleo serta masih banyak cerita rakyat yang dapat kita temukan, yang kesemuanya masing-masing memiliki nilai-nilai tertentu yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat Tolaki.
1 2
Mahasiswa Pend. Bahasa & Sastra Indonesia Dosen Pend. Bahasa & Sastra Indonesia
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
Kenyataan di atas merupakan suatu gambaran bahwa karya sastra Tolaki itu masih perlu dikaji terus dan ditingkatkan terutama pada cerita rakyat. Mengingat kapasitas cerita rakyat di tengah masyarakat merupakan sesuatu hal yang masih menjadi perhatian oleh sebagian kelompok masyarakat mulai dari sudut pandang nilai-nilai tradisi hingga aspek-aspek lain, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti salah satu cerita rakyat yang bersumber dari masyarakat Tolaki yang berjudul Oheo dan Onggabo. Cerita rakyat ini telah lama berkembang terhadap sebagian masyarakat suku Tolaki, hal ini dapat ditandai dengan adanya nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat, khususnya nilai pendidikan yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki. Sejalan dengan hal itu, cerita rakyat Tolaki sebagai bagian kesusastraan daerah mendapat perhatian, penggalian, dan pendokumentasian. Dengan penggalian inilah, pada akhirnya cerita rakyat dapat diperkenalkan dan dicintai. Salah satunya nilai pendidikan daerah Tolaki yang masih dapat ditelusuri dan diketahui dari masyarakat saat ini adalah cerita rakyat. Cerita rakyat suku Tolaki yang berjudul Oheo dan Onggabo merupakan cerita asli dari masyarakat Tolaki. Cerita rakyat asal Suku Tolaki ini merupakan cerita yang mengisahkan perjuangan. Cerita Oheo mengisahkan tentang seorang pemuda yang menikahi seorang putri Bidadari yang cantik dengan penuh penjuangan dan syarat-syarat baginda Raja untuk Oheo. Sedangkan, cerita Onggabo mengisahkan tentang penduduk Negeri Konawe yang menjadi punah akibat biawak besar dan kerbau berkepala dua yang mengabiskan penduduk Negeri Konawe tersebut. Alasan penulis memilih nilai pendidikan dalam cerita rakyat Oheo dan Onggabo. Karena, cerita ini sangat dikenal dan digemari oleh masyarakat. Hingga penulis tertarik untuk meneliti cerita rakyat Oheo dan Onggabo, khususnya nilai pendidikan yang terkandung didalamnya. Untuk itu penelitian ini penulis ingin mengkaji cerita rakyat daerah Tolaki dengan judul “Nilai Pendidikan Yang Terkandung dalam Cerita Rakyat Tolaki Oheo dan Onggabo” dengan mengungkapkan nilai pendidikan yang terdapat dalam cerita Oheo dan Onggabo. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah dalam penelitian ini adalah “Nilai pendidikan apa sajakah yang terkandung dalam cerita rakyat Tolaki Oheo dan Onggabo?” Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai pendidikan yang terkandung dalam cerita rakyat Tolaki Oheo dan Onggabo. KAJIAN PUSTAKA Pengertian Sastra Banyak ahli yang mendefenisikan pengertian sastra berdasarkan sudut pandang mereka masingmasing. Namun inti pendefinisiannya tidak keluar dari konsep sastra itu sendiri, sebab pada hakekatnya, segala bentuk karya sastra baik yang berbentuk lisan maupun tulisan diciptakan yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup manusia. Kata Sastra dalam perkembangannya berasal dari bahasa Sanskerta. Kemudian, kata sastra dipakai dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) dengan makna “karangan”. Kata sastra itu membawa makna aslinya seperti itu ketika kata sastra masuk ke dalam wilayah bahasa Indonesia. Untuk mengatakan suatu karangan atau tulisan yang indah, bagus, baik, dipakailah tambahan su di depannya sehingga menjadi susastra yang berarti “karangan yang indah” atau “tulisan yang baik”. Untuk menunjukkan benda kumpulan tulisan yang indah atau karangan yang indah itu ditambahkanlah konfik ke-an sehingga terbentuklah kata kesusastraan. Jadi, kesusastraan adalah kumpulan karangan atau tulisan yang indah, yang baik, yang bagus (Tasai, 2003:1). Sastra bukan hanya hasil ide salah seorang pengarang, tetapi juga mungkin berasal dari masyarakat, yang diangkat oleh seorang pengarang berkat ketajaman penghayatannya. Sastra juga memegang peranan aktif untuk jangka waktu yang lama sehingga dapat dijadikan petunjuk dan pedoman bagi orang banyak. Begitu kuat pengaruhnya pada masyarakat, maka di samping memberikan pikiran,
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
juga membentuk norma, baik pada orang sezamannya maupun untuk mereka yang kelak menyusul Robson (dalam Esten, 1993:5). Karya sastra merupakan bagian dari seni yang mampu menimbulkan rasa senang, nikmat, terharu, menarik perhatian, dan menyegarkan perasaan penikmatnya. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembacanya. Pembaca dapat dengan bebas melarutkan diri bersama karya itu dan mendapatkan kepuasan dari karya tersebut. Oleh karna itu, karya sastra hendaknya nilai sosial yang terkandung di dalamnya. Melalui bahasa dalam karya sastra pembaca pun terdorong untuk menjiwai nilai sosial yang ada di dalamnya. Pengertian Cerita Rakyat Pentingnya mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat, karena cerita rakyat itu memiliki fungsi kultural. Lahirnya suatu cerita rakyat bukan semata-mata di dorong oleh keinginan penutur untuk menghibur masyarakatnya melainkan dengan penuh kesabaran ia ingin menyampaikan nilai-nilai luhur kepada generasi penerusnya. Cerita rakyat adalah golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Disebut cerita rakyat karena cerita ini hidup di kalangan rakyat dan hampir semua lapisan masyarakat mengenal cerita itu. Cerita rakyat milik masyarakat bukan milik seseorang. Cerita rakyat adalah cerita prosa rakyat, yang menurut William R. Bascom (dalam Yulisma dkk, 1997:4), dibagi dalam tiga tiga golongan besar, yaitu (1) mite, (2) legende, dan (3) dongeng. Sedangkan, Liaw Yock Fang (dalam Sunardjo dkk, 2000:1) membagi cerita rakyat atas empat jenis, yaitu (1) cerita asal-usul, (2) cerita binatang, (3) cerita jenaka, dan (4) cerita pelipur lara. Cerita rakyat adalah suatu cerita yang pada dasarnya disampaikan oleh seseorang pada orang lain melalui penuturan lisan. Tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa dalam cerita dianggap pernah terjadi pada masa lalu atau merupakan hasil rekaan semata karena terdorong oleh rasa keinginannya menyampaikan pesan atau amanat melalui cerita itu (Esten, 1993:5). Dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat adalah cerita yang berkembang secara turun menurun dikalangan masyarakat dan bagian dari foklor lisan yang folklor yang memang murni.
Ciri-ciri Cerita Rakyat Ciri-ciri cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspesi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya. Cerita rakyat diwariskan secara turuntemurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam masyarakat tertentu. Adapun ciri-ciri cerita rakyat menurut Barnet (dalam Rahmawati dkk, 2007:14-15) adalah sebagai berikut: a. penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan; b. bersifat tradisional yakni hidup dalam suatu kebudayaan dalam waktu tidak kurang dari dua generasi; c. bersifat lisan, sehingga terwujud dalam berbagai versi; d. bersifat anonim, yakni nama penciptanya tidak diketahui sehingga menjadi milik dalam masyarakat; e. mempunyai fungsi tertentu dalam masyarakatnya; f. bersifat pralogis, yakni mempunyai logika tersendiri yang tidak sesuai dengan logika umum; g. pada umumnya bersifat sederhana dan seadanya.
Fungsi Cerita Rakyat Setiap cerita rakyat memiliki fungsi dan tujuan yang hendak disampaikan kepada masyarakatnya. Fungsi dan tujuan dapat berbeda-beda sesuai dengan pandangan masyarakat, alam dan lingkungannya. Atmazaki (dalam Rahmawati, dkk 2007:17) Dalam penelitian sastra lisan Tolaki dikemukakan ada 4 fungsi cerita rakyat lisan Tolaki khususnya dan cerita rakyat lisan pada umumnya, yakni sebagai berikut :
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
1. Cerita dapat mencerminkan angan-angan kelompok. Peristiwa yang diungkap dalam cerita ini sulit terjadi dalam kenyataan hidup sehari-hari. Jadi, hanyalah merupakan proyeksi angan-angan atau impian rakyat jelata terutama gadis-gadis atau perjaka yang miskin. 2. Cerita rakyat yang digunakan sebagai pengesahan penguatan suatu adat kebiasaan kelompok pranata-pranata yang merupakan lembaga kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. 3. Cerita rakyat dapat berfungsi sebagai pendidikan budi pekerti kepada anak-anak atau tuntunan dalam hidup ini. 4. Cerita rakyat berfungsi sebagai alat pengendali sosial (sosial control) atau sebagai alat pengawasan, agar norma-norma masyarakat dapat dipatuhi.
Jenis-jenis Cerita Rakyat Selain cara penentuan diatas dalam buku penelitian folklor Indonesia (ilmu gossip, dongeng dan lain-lain) telah dikemukakan pembagian dongeng sebagai berikut : menurut William R. Bascom (dalam Dharmojo dkk, 1998;5) cerita rakyat dibagi dalam tiga golongan besar yaitu : (1) mitos (mite), (2) legenda (legend) dan (3) dongeng (falkto). 1. Mitos (mite), adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi setelah dianggap suci oleh empunya. Mite ditokohkan oleh dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya terjadi di dunia lain atau bukan di dunia yang seperti kita kenal sekarang ini dan terjadi di masa lampau. 2. Legenda, adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Berbeda dengan mite, legenda ditokohi oleh manusia walaupun adakalanya sifat-sifat luar biasa dan seringkali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya di dunia yang kita kenal dan waktu terjadinya belum terlalu lama. 3. Dongeng adalah prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng juga tidak terkait waktu maupun tempat.
Unsur-unsur Cerita Rakyat Cerita rakyat Oheo dan Onggabo pada masyarakat Tolaki didalamnya terdapat unsur-unsur intrinsik pembangun karya sastra secara umum. Cerita ini akan diananlisis unsur strukturnya yang meliputi, tema, amanat, penokohan dll. Karena dianggap penting untuk menganalisis nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam cerita tersebut. Unsur-unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dengan menganalisis nilai-nilai pendidikan karena mempunyai hubungan yang erat, sehingga dapat membentuk kesatuan makna dalam cerita. Folklor Folklor sering diidentikkan dengan tradisi dan kesenian yang berkembang pada zaman sejarah dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Di dalam masyarakat Indonesia, setiap daerah, kelompok, etnis, suku, bangsa, golongan agama masing-masing telah mengembangkan folklornya sendirisendiri sehingga di Indonesia terdapat aneka ragam folklor. Istilah folklor merupakan pengindonesiaan dari bahasa Inggris. Kata tersebut merupakan bentuk majemuk yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore. Menurut Dundes (dalam Amir, 2013:163) kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan khusus sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Dengan demikian folk merupakan kolektif yang memiliki tradisi dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain, berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang telah mereka akui sebagai milik bersama. Selain itu, yang paling penting adalah bahwa mereka memiliki kesadaran akan identitas kelompok mereka sendiri.
Ciri-Ciri Folklor Brunvand dan Calvalho (dalam Amir 2013) merumuskan ciri-ciri folklor sebagai berikut: Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi selanjutnya. 2. Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. 3. Berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan penyebarannya secara lisan sehingga folklor mudah mengalami perubahan. Akan tetapi, bentuk dasarnya tetap bertahan. 4. Bersifat anonim, artinya pembuatnya sudah tidak diketahui lagi orangnya. 5. Biasanya mempunyai bentuk berpola. Kata-kata pembukanya misalnya. Menurut sahibil hikayat (menurut yang empunya cerita) atau dalam bahasa Jawa misalnya dimulai dengan kalimat anuju sawijing dina (pada suatu hari). 6. Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat misalnya berguna sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan cerminan keinginan terpendam. 7. Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan. 8. Menjadi milik bersama (colective) dari masyarakat tertentu. 9. Pada umumnya bersifat lugu atau polos sehingga seringkali kelihatannya kasar atau terlalu sopan. Hal itu disebabkan banyak folklor merupakan proyeksi (cerminan) emosi manusia yang jujur.
Fungsi Folklor Adapun fungsi folklor menurut Ibid (dalam Amir, 2013:168) yaitu sebagai berikut: 1. Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif. 2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. 3. Sebagai alat pendidik anak. 4. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Pengertian Nilai Pendidikan Pengertian Nilai Kandungan nilai suatu karya sastra adalah unsur esensial dari karya itu secara keseluruhan. Pengungkapan nilai-nilai yang terdapat dalam suatu karya sastra, bukan saja akan memberikan pemahaman tentang latar belakang sosial budaya, tetapi juga mengandung gagasan-gagasan dalam menanggapi situasi-situasi yang terjadi dalam suatu komunitas suatu masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Nilai sebagai kualitas yang independen akan memiliki ketetapan yaitu tidak berubah terjadi pada objek yang dikenai nilai. Persahabatan sebagai nilai (positif/baik) tidak akan berubah esensinya manakala ada penghianatan antara dua bersahabat. Artinya nilai adalah suatu ketetapan yang bagaimana keadaan di sekitarnya berlangsung. Nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik atau yang buruk. Secara umum karya sastra menungkapkan macam-macam pelakunya dalam kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat tersebut diungkapkan dengan penggambaran nilai-nilai kehidupan terhadap perilaku manusia dalam karya sastra. Olehnya itu, sebuah karya sastra selain sebagai pengungkapan estetika, di sisi lain juga berusaha mencerminkan nilai-nilai yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Pengertian Pendidikan Pendidikan secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “Paedogogike”, yang terdiri atas kata “Pais” yang berarti Anak” dan kata “Ago” yang berarti “Aku membimbing”. paedogogike berarti aku membimbing anak. Pendidikan merupakan sistem yang terdiri dari berbagai satuan atau unit yang telah menyatu dalam satu kata “pendidikan” (Musfiqon, 2012:24). Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra (Siswanto, 2008:168). Dengan pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
Macam-macam Nilai Pendidikan Nilai Pendidikan Adat / Tradisi Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Selain itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas. Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap, Wujud itu disebut adat tata kelakuan. Adat ini berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Suatu contoh dari adat yang memiliki nilai sosial budaya yang tinggi adalah gotongroyong. Konsepsi bahwa hal itu bernilai tinggi ialah apabila manusia itu suka bekerja sama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar. Nilai Pendidikan Sosial Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat/ kepentingan umum. Nilai pendidikan sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Nilai pendidikan sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial. Nilai Pendidikan Budi Pekerti Nilai pendidikan budi pekerti adalah hakikat manusia sebagai makhluk etis, yaitu mahkluk yang dapat mengerti dan menyadari norma-norma kesusilaann dan mampu berbuat sesuai dengan norma yang disadarinya. Nilai pendidikan budi pekerti berkaitan dengan sikap dan perilaku yang mencangkup kesabaran, kasih sayang, pengorbanan, kepedulian, pengabdian serta tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang dikerjakan. Nilai Pendidikan Keindahan Nilai pendidikan keindahan adalah hakekat sebagai makhluk estetis, mahkluk yang dapat merasakan dan menciptakan keindahan. Tiap manusia yang normal sejak kecil mempunyai dorongan kearah keindahan. Nilai Pendidikan Kepahlawanan Pahlawan adalah orang yang rela berkorban demi kepentingan dan kebaikan manusia bersama. Sebagai contoh, para tentara yang mati-matian bertempur di medan peperangan dan rela gugur demi kemerdekaan bangsa, hingga kemerdekaan itu dapat diraih kegigihan mereka dalam melawan sengatansengatan peluru yang menembus kulit daging mereka. Nilai kepahlawanan berdasarkan contoh tersebut dapat dilihat dari sikap kegigihan para tentara yang bertempur hingga memperoleh kemenangan. Sikap para tentara dilandasi oleh nilai kepahlawanan dari dalam dirinya, sehingga rela berkorban demi kemerdekaan bangsa. Pendekatan Analisis Nilai Penelitian sastra pada hakikatnya adalah penelitian tentang dunia pemikiran (Zaidan, 2002:1). Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalahmasalah yang memuat nilai-nilai. Pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada moral. METODE DAN TEKNIK PENELITIAN Metode dan Jenis Penelitian Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, karena tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan nilai pendidikan dalam cerita rakyat Oheo dan Onggabo. Di samping itu, deskriptif kualitatif yaitu pengamatan atau penyajian data berdasarkan kenyataan-kenyataan secara objektif sesuai dengan data yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki (Oheo dan Onggabo), tanpa
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
menggunakan angka-angka statistik. Penggunaan metode kualitatif tersebut dilakukan karena data yang dihasilkan adalah data deskriptif berupa tuturan-tuturan oleh informan. Penelitian merupakan suatu kegiatan sistematis untuk memecahkan masalah dengan dukungan data sebagai landasan dalam mengambil kesimpulan (Jabrohim, 2012:1). Jenis Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan. Dikatakan penelitian kepustakaan karena data penelitian ini diperoleh dari bahan bacaan yang relevan berupa cerita rakyat maupun buku penunjang lainnya yang mencangkup dalam masalah penelitian. Data dan Sumber Data Data dalam penelitian ini adalah cerita rakyat Tolaki “Oheo dan Onggabo. Adapun, sumber data dalam penelitian ini adalah buku yang berjudul (Prosa Dalam Sastra Tolaki), penerbit (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), penulis (Nasruddin dan Hasruddin), tahun (1998), dan hal (Oheo 39-47 dan Onggabo 61-63). Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa teknik baca dan catat, yaitu data diperoleh dari hasil membaca dan mencatat informan yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini terkait nilai pendidikan dalam cerita rakyat Tolaki Oheo dan Onggabo. Teknik Analisis Data Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis nilai pendidikan dalam penelitian ini adalah pendekatan analisis nilai. Analisis nilai memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Cerita Rakyat Tolaki Oheo dan Onggabo Oheo Cerita Oheo berkisah tentang seorang pemuda yang menikah dengan seorang bidadari. Di mana Oheo berniat membuka perkebunan tebu, namun tanamannya selalu dimakan oleh burung nuri. Pada suatu waktu, Oheo berjalan-jalan ke sungai. Di sana ia melihat tujuh orang putri dari atas ke kayangan yang akan turun mandi. Ia kemudian mengambil salah satu dari pakaian terbang kepunyaan si bungsu dan menyelipkannya pada lubang kasau bambu. Setelah selesai mandi, para putri kayangan mengambil pakaian mereka, lalu menggunakannya dan terus terbang ke kayangan. Si bungsu tidak menemukan sarung Ngguluri-nya, ia kemudian menanyakan kepada Oheo, barangkali Oheo menyembunyikannya. Pada awalnya Oheo menyangkal, namun akhirnnya ia bersedia mengembalikan sarung Ngguluri tersebut dengan syarat putri bungsu bersedia menjadi istrinya. Anawai ngguluri bersedia menjadi istri Oheo setelah mengajukan pula syarat untuk disetujui Oheo. Ia bersedia membersihkan kotoran anak mereka setiap kali anak tersebut membuang kotoran. Tidak lama mereka hidup sebagai suami istri, Anawai pun melahirkan seorang bayi. Bilamana bayi itu buang air, Oheo lah yang membersihkan kotoran bayi itu, sejak lahir sampai bayi itu pandai berjalan. Pada suatu waktu, Oheo lalai menjalankan perjanjian tersebut. Ia sedang sibuk membuat atap di bawah kolong rumah. Anawai berkali-kali memanggil Oheo untuk menceboki anaknya yang sedang buang air besar. Namun, Oheo tidak menghiraukannya. Ia pun tidak takut dengan ancaman yang dikatakan oleh istrinya. Akhirnya Anawailah yang menceboki anaknya dengan mata berlinang-linang. Hatinya sangat sedih mengenang janji Oheo sebelum kawin.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
Sementara ia berdiri di dekat jendela, tiba-tiba terlihat olehnya sebuah ujung kasau bambu yang tersumbat rapat-rapat. Dicabutnya sumbat kasau bambu tersebut dan terlihatlah olehnya sarung Ngguluri, ia memanggil suaminya dan memberitahukan bahwa ia akan segera pulang ke kayangan. Setelah Anawai memeluk dan menciumi anaknya, ia meletakkan anak tersebut dan melompat bertengger di atas dinding lalu terbang membumbung tinggi ke angkasa. Oheo masuk ke rumah menggedong anaknya yang sedang menangis. Oheo hanya bisa bersedih memikirkan anaknya yang hanya terus-menerus menangis. Oheo berjalan berkeliling sambil menggendong anaknya untuk bertanya bertanya semua jenis benda, jenis-jenis pohon, kalau ada yang bersedia mengatarkannya ke kayangan. Ia menemukan Uewai sedang melingkar bertumpuk-tumpuk menggunung. Pohon Uewai sanggup mengantarkan Oheo sampai ke kayangan asal Oheo membuatkan dahulu cincin setiap lembar daun Uewai. Uewai pun tumbuh terusmenerus mengangkasa siang dan malam. Ia pun berhasil mengantarkan Oheo ke pekarangan rumah tempat menumbuk pada kepala Dewa di kayangan. Sementara itu, putri-putri kepada dewa berjalan-jalan di dalam istana, mereka melihat ada orang yang sedang duduk di atas lesung sambil memangku anaknya. Mereka menyampaikan hal itu kepada ayah mereka. Baginda memerintahkan untuk memperhatikan asal orang tersebut, namun putri-putri itu tidak satu pun yang mengenalnya. Baginda lalu menyuruh Anawai untuk pergi melihat orang tersebut. Baginda curiga orang tersebut adalah Oheo bersama anaknya. Baginda memberi syarat bahwa Oheo bisa langsung ke istana jika ia bisa menyelesaikan persyaratan dari baginda. Oheo pun menjalani beberapa syarat-syarat yang diberikan oleh baginda. Tugas yang selalu diberikan Oheo oleh baginda sangat mudah, karena selalu dibantu para hewan yang ada di sekeliling Oheo. Sampai ujian terberat yang diterima Oheo adalah ia harus mencari kelambu tempat tidur istrinya dan kelambu tersebut berjumlah tujuh buah sama dan warnanya pun sama. Pada suatu pada, baginda menyuruh Oheo untuk pergi merotan dan mengambil ijuk. Rotan itu harus dianyam menjadi keranjang dan ijuk harus dipital menjadi tali. Selesai melaksanakan tugasnya, Oheo pun naik ke istana. Baginda memerintahkan bersiap-siap, sebab Oheo dan istrinya harus segera meninggalkan kayangan. Karena orang dunia tengah tidak boleh tinggal di kayangan. Keesokan harinya baginda memerintahkan Oheo, istri, dan anaknya masuk ke dalam keranjang. Anawai teringat akan pisaunya yang tertinggal, lalu diselipkan pada pinggangnya. Pada pertengahan perjalanan mereka, Anawai berkata bahwa mereka akan disusuli oleh batu besar. Anawai memberikan pisaunya kepada Oheo dan mulai memotong pengikat keranjang itu. Setelah ia melihat tanah selebar telapak tangan, lalu mereka melompat dan tiba ditanah. Tibalah batu besar menimpa keranjang dan hampir saja mereka tertimpa oleh batu besar itu. Setelah itu, Oheo dan istrinya kembali berladang jagung dan woto. Mereka pun kemudian memanggil teman-temannya untuk membantu menanam padi.
Onggabo Cerita Onggabo berkisah tentang penduduk Konawe yang mati akibat korban dari biawak besar. Suatu ketika terjadilah perang dua sanghyang yaitu Onggabo dan Ndamasoleo. Perang itu berlangsung selama tujuh bulan di atas perahu, di jagat raya. Dan yang membuat habis penduduk itu adalah kebuasan seekor biawak besar yang sering keluar dari persebunyianya dan mengamuk di Auti, tidak jauh dari padang Unaaha. Di Hunibato, suatu tempat yang tidak jauh dari Unaaha, ada dua orang Tamalaki bersaudara, yaitu Latuanda dan Labuani. Suatu ketika suara hiruk pikuk dari Unaaha hilang dari pendengaran mereka. Hal ini mengundang perhatian mereka untuk mengadakan penyelidikan. Dari hasil penyelidikan, ternyata semua manusia yang ada di Unaaha telah mati. Akan tetapi seorang anak perempuan, yang baru pandai merangkak mereka temukan di sebuah rumah besar. Mereka membawa pulang anak itu ke Hunibato. Di sanalah anak itu mereka pelihara dan dibesarkan hingga menjelang remaja. Anak itu menjadi seorang gadis cantik dan diberi nama Kambuka Sio Ropo. Gugurnya Ndamosoleo membuat Onggabo turun ke bumi. Ia datang melihat kemungkinan masih ada manusia yang hidup dari sisa perangnya. Ia tidak memperoleh petunjuk adanya manusia di setiap hulu sungai. Sementara di muara sungai Sampara, terdamparlah potongan jelaga yang hanyut bersama arus kali Konawe’eha. Setelah barang itu diangkatnya terlihatlah setuas rambut yang sedang terlilit. Rambut itu
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
adalah rambut Kambuka Sio Ropo. Ketika ia turun mandi dan menguraikan rambutnya, ujung rambutnya terletik pada ujung jelaga. Demikianlah kisahnya Onggabo berhasil menemukan tempat persembunyian Latuanda dan Labuani di Hunibato. Setibanya di sana, ia langsung mengatakan kepada Latuanda dan Labuani bahwa mereka memelihara seorang gadis yang cantik dan rupawan. Dan akhirnya Onggabo berhasil memperistri putri cantik yang bernama Kambuka Sio Ropo itu, tetapi dengan syarat yaitu Onggabo harus mampu mengubah dirinya menjadi manusia biasa dan mampu membunuh biawak besar. Onggabo menombak biawak besar itu di tempat persembunyiannya di sebuah gua di Auti, biawak itu berhasil melarikan. Dalam mengikuti jejaknya, Onggabo berhasil menemukan tombaknya di dekat pohon beringin karena tersangkut. Tempat demi tempat biawak besar itu di laluinya. Merasa bahwa dirinya akan mati, biawak itu memasuli anak sungai Lahambuti dan menyusuri arah ke hulu. Dari dulu sampai sekarang, air kali Lahambuti menuju nuara tidak pernah jernih. Akhirnya, tibalah ia di suatu tempat dan di sanalah biawak itu mati. Nilai Pendidikan Dalam Cerita Rakyat Oheo Nilai pendidikan merupakan segala sesuatu yang baik dan berguna bagi kehidupan manusia yang diperoleh melalui proses pengubahan sikap dan tata laku dalam upaya mendewasakan diri manusia melalui pengajaran. Nilai-nilai pendidikan yang tersirat dalam berbagai hal dapat mengembangkan masyarakat dengan berbagai dimensinya dan nilai-nilai tersebut mutlak dihayati dan diresapi manusia, sebab ia mengarah pada kebaikan dalam berfikir dan bertindak sehingga dapat memajukan budi pekerti serta pikiran/intelegensinya. Banyak nilai pendidikan yang terkandung dalam cerita rakyat Oheo. Nilai-nilai tersebut dapat menjadikan contoh yang bermanfaat bagi pembacanya. Adapun nilai-nilai tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Nilai Pendidikan Adat/Tradisi Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap, Wujud itu disebut adat tata kelakuan. Adat ini berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Suatu contoh dari adat yang memiliki nilai sosial budaya yang tinggi adalah gotongroyong. Konsepsi bahwa hal itu bernilai tinggi ialah apabila manusia itu suka bekerja sama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar. Nilai pendidikan adat atau tradisi dalam cerita rakyat terkandung dalam cerita yang disampaikan melalui kebiasaan yang berlaku sesuai pada kebudayaan sebenarnya dari daerah asal cerita yang dikisahkan dan digambarkan oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Berikut ini nilai pendidikan adat/tradisi yang terdapat pada cerita rakyat Oheo adalah sebagai berikut: Lakonoto ona i Oheo ronga walino monda’u. Sa arino humunu, lakonoto mombahokee le’esu o gandu ano o woto, iepo ona aropotasu mombaho o pae ronga banggona-banggona hakono. Mulailah Oheo dan istrinya membuka ladang. Setelah selesai dibakar, lalu ditanami jagung dan woto. Sesudah itu, mereka memanggil teman-teman untuk membantu menanam padi. Pada kutipan tersebut menggambarkan, Oheo bersama istrinya membuka kembali ladang perkebunan mereka untuk ditanami jagung dan woto (biji-bijian) yang selama ini sempat tertunda. Oheo juga memanggil teman-temannya untuk membantu mereka menanam padi. Yang mana tradisi saling tolong-menolong masih kita jumpai disekitar kita. Sifat inilah yang harus kita tanamkan pada diri kita dan orang lain. Laa’ito aso otembo anolako i Oheo panasa, anoleu monduu’oato i tado laika. Laa’ito mondu’u o ato anotewuta anaro i laika. Pada suatu waktu, Oheo pergi meramu daun rumbia untuk dibuatnya atap. Sementara dia sibuk membuat atap di bawah kolong rumah, anak mereka buang air besar.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
Kutipan tersebut menggambarkan Oheo yang sedang pergi mengambil daun rumbia/daun sagu untuk membuat atap. Dan ketika sedang membuat atap, tiba-tiba anak mereka buang air besar di depan rumah. Daun rumbia/daun sagu masih dapat kita jumpai di sebuah desa-desa, daun tersebut selalu digunakan untuk membuat atap rumah tempat tinggal. Te’enio Oheo, Ehe’akuku mbulekeeko’o mano nggo rumapuko.” Te’eni Ananwaingguluri, “Maa bali-opo, asala aubuakeekonaki iee sarungganggu, ronga atolaalaa ponaa o dandi, keto dunggu merapu, atoponaa o ana ki’oki iee kekupowohiki o tai onggo inggo’o iee.” Oheo berkata, “Saya bersedia mengembalikannya, tetapi engkau akan saya peristrikan“. Anawaingguruli berkata, “Baiklah, saya terima asalkan engkau bersedia mengembalikan sarungga-nggurluriku. Dan juga kita harus membuat suatu perjanjian. Kalau kita kawin dan mempunyai anak, saya tidak akan mencuci kotoran anak kita itu. Pada kutipan tersebut menggambarkan sebuah perjanjian antara Oheo dan putri Anawaingguluri, Oheo bersedia mengembalikan pakaian terbang/sayap Anawaingguluri. Asalkan Anawaingguluri harus menikah dan menjadi istri Oheo. Lalu, Anawaingguluri menerimanya. Tetapi, jika suatu saat nanti mereka mempunyai anak, Oheolah yang harus membersihkan kotoran anak itu. Dan, Oheo pun bersedia menerima persyaratan yang diberikan Anawaingguluri. Nilai pendidikan adat/tradisi pada cerita rakyat Oheo, masih sering kita jumpai atau temukan dikalangan masyarakat sekitar kita. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Beberapa kutipan tersebut menunjukan sifat tradisi yang harus kita ketahui dan ditanamakan pada diri kita, guna bermanfaat untuk orang lain.
Nilai Pendidikan Sosial Nilai pendidikan sosial adalah segala sesuatu yang dianggap baik dan buruk dalam lingkungan masyarakat yang menjadi pedoman sebagai contoh perilaku yang baik diharapkan oleh masyarakat. Nilai pendidikan sosial merupakan cerminan kehidupan masyarakat yang akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya. Pendidikan sosial bertujuan untuk mengajarkan manusia dalam menjalin hubungan yang baik antar sesamanya agar tercipta kedamaian dalam kehidupan. Adapun nilai pendidikan sosial kemasyarakatan yang terdapat dalam cerita rakyat Oheo yakni sebagai berikut: Lakonoto ona i Oheo monda’u. Sa arino humunu, lakonoto mombahokee le’esu o gandu ano o woto, iepo ona aropotasu mombaho o pae. Sesudah tiba kembali, mulialah mereka membuka ladang. Setelah selasai dibakar, lalu ditanami jagung dan woto. Sesudah itu, mereka memanggil teman-teman untuk membatu menanam padi. Kutipan tersebut menggambarkan nilai pendidikan sosial kerja sama. Hal tersebut terlihat adanya kerja sama antara Oheo dan istrinya, beserta teman-temannya, untuk membuka kembali ladang yang telah lama tidak diolah lagi. Walaupun Oheo terkadang dengan sifatnya yang tidak patut dicontoh, tetapi dia sadar akan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Laa’ito lako tekura, anoene tumambelio uewai, laa tundawu melukapi mombeotundunggare-osu. Lakonoto i Oheo sumuko’i uewai te’eni, “Inowono kuri euwai, ki’oki u’ehe de’ela pe’eka wawo’aku i wawo Sangia?” Tumotaha’itokaa euwai, “Te’eheto ona, mano aupoowaikona le’esu o sisi, koa-koano tawanggu. Sambil bersedih hati, ia berjalan terus entah ke mana dan pada akhirnya, ia menemukan Ue-Wai sedang melingkar bertumpuk-tumpuk menggunung. Ia bertanya kepada Ue-Wai itu, katanya,
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
“Hai, Ue-Wai, bersediakah engkau mengantarkan saya ke kayangan?” Ue-Wai menjawab, “Saya bersedia mengatarkanmu, tetapi buatkan dahulu cincin di setiap lembar daunku.” Kutipan tersebut menggambarkan kepedulian Ue-Wai terhadap Oheo. Hal tersebut terlihat pada toko Oheo yang berusaha mencari pertolongan kepada jenis benda yang ada di sekelilingnya, sehingga dia bertemu dengan Ue-Wai sejenis tali yang melingkar bertumpuk di pohon. Walaupun hanya kumpulan tali, tetapi begitu berarti akan makna dan perbuatannya. Hal ini sangat berguna dalam kehidupan bermasyarakat, karena dengan adanya sifat tolong-menolong akan memperkuat hubungan sosial dalam masyarakat. Berdasarkan pernyataan tersebut terlihat jelas bahwa manusia memang tidak dapat segala persoalan sendiri, tanpa adanya bantuan dari orang lain. Dengan adanya sikap yang saling ketergantungan dan saling membutuhkan, inilah yang memperkuat hubungan nilai sosial dalam bermasyarakat.
Nilai Pendidikan Budi Pekerti Nilai pendidikan budi pekerti berkaitan dengan sikap dan perilaku yang mencangkup kesabaran, kasih sayang, pengorbanan, kepedulian, pengabdian serta tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang dikerjakan. Nilai pendidikan budi pekerti adalah hakikat manusia sebagai makhluk etis, yaitu mahkluk yang dapat mengerti dan menyadari norma-norma kesusilaann dan mampu berbuat sesuai dengan norma yang disadarinya. Adapun tujuan dalam nilai pendidikan budi pekerti adalah memimpin agar setia mengerjakan segala sesuatu yang baik dan meninggalkan yang buruk atas kemauan sendiri dalam segala hal dan setiap waktu, serta bertujuan agar anak dapat membedakan antara baik dan tidak baik, sopan dan tidak sopan, sifat terpji dan tercela, dan sebagainya. Nilai pendidikan budi pekerti dalam cerita rakyat Oheo dapat dilihat dalam kutipan berikut: Lakoroto’ona mo’ia anoasowingito, anodunggu ipitu, dunggu mowula’ako, anopondau’aku anomendia ona Anawaingguluri. Dunggu motu’o tiano ano pe’ana kenondee tewuta anaro i Oheo mowohiki, laa meo’o dunggu laa mereu-rehu, kemondee tewuta anaro Oheoki nde kumabusa’i. Mulailah mereka memasuki hidup baru sebagai suami-istri. Tidak lama kemudian, istrinya itu mulai mengidam dan pada akhirnya, dia melahirkan seorang bayi. Bilamana bayi itu buang air besar, Oheolah yang membersihkan kotoran bayi itu. Sejak lahir sampai bayi itu pandai berjalan, Oheo tidak pernah lalai menjalankan tugasnya. Kutipan tersebut menggambarkan nilai pendidikan budi pekerti berupa tanggung jawab. Yang mana sikap tanggung jawab Oheo terhadap perjanjian yang dibuat bersama istrinya. Bilamana anak mereka buang iar besar, Oheolah yang selalu membersihkan kotoran bayi itu. Sejak lahir dan sampai anak mereka pandai berjalan. Oheo tidak pernah lalai menjalankan tugasnya. Dalam hal ini nilai budi pekerti perlu ditananamkan pada diri kita dan orang lain. “Tema’ito ona anamu moro-mororo auleu mereu-rehu i pu’undawanggu, aupekopu mope-mopee, auronga pesusu moro-mororo. Keu podea’i dedendesa monggo’aso autekoniki pewola. Ano dedendesa i komonggoruopo ona auamba pewola”. Lakonoto i Oheo alee tumema’i anano moromororo, anoi-anu pe’ula i pu’undawano uewai, mekopu mope-mopee anopesusu moro-mororo. “Gendonglah anakmu erat-erat dan duduklah pada tangkai daunku. Berpeganglah kuat-kuat dan tutup matamu rapat-rapat. Jika engkau mendengar bunyi pertama, jangan sekali-kali engkau membuka matamu.” Setelah ia mendengar perkataan Ue-Wai itu, ia menggendong anaknya eraterat dan duduk sambil berpegang teguh pada daun dan tangkai daun, seraya menutup matanya rapat-rapat. Pada kutipan tersebut menggambarkan nilai pendidikan budi pekerti yang berupa pengorbanan dan kasih sayang seorang tokoh Oheo terhadap anaknya dalam mengahadapi permasalahan yang terjadi
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
dalam kehidupan rumah tangganya akibat kesalahannya sendiri. Itu dibuktikan dengan sikap Oheo yang ingin bertemu istrinya melalui pengorbanan yang dilakukan Oheo, akan mengingat anaknya yang masih kecil. Nilai budi pekerti tersebut perlu dipahami dan dicontoh, bahwa arti pengorbanan dan kasih sayang itu sangat penting untuk diaplikasikan. Maa tekuru-sawatuu’ito ona i Oheo. Notekurunggeto ona anano tanionggi nggo umuhu’ano. Lakonotokaa ale merumbanggee o nohu. Anopereu-rehu tesolo iwoimatano., umi’iahioto ona anano laa meopusaki ui’ia nomoko’iwomatano ona. Tambu’ito ona omeha niowaino, kumolokolo’itokaa ona anano mombeohawa keno humbe nggo rukuano no’onggo laku tumondari’i walino. Alangkah sedihnya memikirkan anaknya itu. Entah siapa lagi yang akan menyusukannya. Dia duduk termenung sambil meratapi anaknya yang sedang menangis minta disusukan. Sudah tidak ada lagi pekerjaan lain yang dapat dikerjakannya, selain menggendong dan membujuk anaknya yang sedang menangis terus-menerus itu. Pada kutipan tersebut menggambarkan nilai pendidikan budi pekerti berupa kesabaran dan sikap pasrah Oheo dalam mengurus anaknya ketika istrinya telah kembali ke kayangan, Oheo hanya bisa sabar dan termenung sambil meratapi nasib anaknya yang sedang yang sedang menangis. Tidak ada lagi pekerjaan lain yang dapat dikerjakan selain menggendong anaknya. Setelah ditinggalkan istrinya, barulah ia menyadari bertapa menyesalnya perbuatan yang telah di lakukan Oheo, dan butuh perjuangan untuk dapat menyusul istrinya ke kayangan. Selain itu, nilai pendidikan budi pekerti akan menjadi motivasi bagi orang lain untuk menjunjung tinggi nilai kesabaran, kasih sayang, pengorbanan serta tanggung jawab terhadap orang, dan senantiasa akan selalu diberi kemudahan dalam menjalani cobaan yang diberikan.
Nilai Pendidikan Keindahan Nilai pendidikan keindahan adalah hakekat sebagai makhluk estetis, mahkluk yang dapat merasakan dan menciptakan keindahan. Tiap manusia yang normal sejak kecil mempunyai dorongan kearah keindahan. Adapun nilai pendidikan keindahan dalam cerita rakyat Oheo terdapat dalam kutipan berikut: Laa’ito mo’ia anotekokoni modea’iro mbemoharo i Oheo pewangusako nolaa monduturu ano’ina’u petuha butu sala i aauhua meoponoo sumombo’iro ralaa mbebaho. Notoa’iroto rolaa mbebaho ropembitu Anawai Sangia ari bunggu lahuene, Notoa’iropo laa mbetala sarunggangguluri i pamba iwoi. Pada suatu waktu, tiba-tiba ia mendengar suara keributan di sungai. Ia bangun pembaringannya. Lalu turun dari rumah dan berjalan perlahan-lahan menuju sungai. Tampaklah olehnya tujuh orang putri dari atas kayangan yang akan turun mandi. Selain mereka itu, ia juga melihat jejeran sarungga-ngguluri, sejenis topeng/pakaian terbang, di pinggir sungai itu. Pada kutipan tersebut menggambarkan nilai keindahan yang terdapat dalam cerita rakyat Oheo yakni sosok tujuh orang putri cantik dari kayangan yang sedang turun mandi. Oheo segera menghampiri mereka dengan cara merangkak secara diam-diam, terlihatlah olehnya ketujuh putri tersebut sedang mandi dan berjejeran pakaian terbang mereka dipinggir sungai. Sesungguhnya segala suatu yang ada di dunia ini hanyalah ciptaan sang pencipta, dari yang cantik, tampan, dan jelek. Kita pun harus mensyukuri itu semua.
Nilai Pendidikan Kepahlawanan Pahlawan adalah sosok orang biasa yang tidak egois dan berbuat sesuatu yang luar biasa, memiliki tindakan atau perbuatan (pengorbanan) untuk orang lain dan adanya penghormatan sebagai
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
imbalan atas pengorbanannya. Sikap pahlawan berarti kemampuan untuk bersikap rela berkorban. Nilai pendidikan kepahlawanan dalam cerita rakyat Oheo terdapat pada kutipan berikut: Te’enitokaa hae sangia mbu’u, “Keetotekoni lau-lau pe’eka i laika’aha. Nggitaka’i aso lepa o wine, aipetuha alee sumolonggee i tonganbada, anoruru’i umulambedua’i i aalep; maa te’asowuku iamo nonio tetambino.” Laa’ito hae i Oheo tekura, anoleu o sina sumuko’i keno o hapo laa tinekura’akono. Lakonoto i Oheo sumaru’ikee, ieto tinena rumuru mbendua’i o wine sinolongokono i tonga-mbada, maa te’asowuku iamo nonio tetambino. Te’eni’itokaa o sina, “He, hanubunaki, ina’undo petarambu’u poruru akumbule le’esu umale’iro banggonanggu.” Maa mbeako tanotembimbiro o mata, pendebua’irotokaa asobanggona o sina lau-lau leu tekono pondu’i o wine. Maa hpri telaa motu’o o leo tanohori. Morina’itokaa o wine romberuru’i. lakonoto i Oheo ona mewolosokee i laika’aha nggiro’o wine niruruno. Baginda berkata, “Jangan sekali-kali, ia langsung naik ke dalam istana. Itu ada satu bakul benih padi, kalian turun dan tuangkan di padang rumput. Suruh ia memungutnya dan memasukannya kembali ke dalam bakul itu. Sebutir pun tidak ada boleh yang terbuang.” Sementara Oheo berputus asa, datanglah seekor burung pipit menanyakan kesusahannya itu, dia bercerita bahwa baginda menyuruhnya memungut kembali benih padi yang dituangkan di padang rumput, sebutir pun tak boleh ada yang terbuang. Berkata burung pipit itu, “He, hal itu mudah saja. Mulailah pungut! Saya kembali dulu memanggil kawan-kawanku.” Hanya sekejap mata, muncullah sekawan burung pipit dan mereka langsung mencotok benih padi itu. Ketika matahari sedang naik, mereka telah selesai memungut kembali benih itu. Lalu Oheo kembali menyodorkan benih padi yang telah ia pungut itu ke istana. Pada kutipan tersebut digambarkan bahwa seekor burung pipit mampu membantu Oheo untuk mengatasi permasalahan yang diberikan baginda untuk Oheo yaitu berupa syarat memungut kembali benih padi yang dihambur di padang rumput. Padahal Oheo sudah berputus asa dan tak sanggup lagi untuk mengikuti syarat tersebut. Sifat yang ditunjukkan burung pipit itu haruslah dicontoh. Biarpun hanya seekor burung pipit, tetapi ia mampu membantu Oheo yang sedang kesusahan. Sifat burung pipit merupakan salah satu sifat kepahlawanan yang sebenarnya manusia harus miliki, dan mengajarkan juga bagaimana menolong orang yang sedang kesusahan. Zaman sekarang telah jarang kita temui seseorang yang berjiwa pahlawan. Salah satu penyebabnya yakni kurangnya kesadaran yang dimiliki oleh seseorang untuk mengutamakan kebaikan bersama. Meningkatkan ilmu dan kemampuan serta harta yang dimiliki seseorang, membuatnya terasa lebih mulia dan berharga dibandingkan dengan yang lain, sehingga jarang untuk mengorbankan diri mereka demi kebaikan bersama. Hal tersebut sudah semestinya kita hindari. Sewaktu-waktu kita semestinya berupaya untuk mengorbankan sesuatu dalam hidup kita demi kepentingan orang lain apalagi kepentingan bersama. Orang berjiwa pahlawan tentunya memiliki rasa toleransi yang tinggi. Seseorang yang rela berkorban dan peka terhadap kepentingan orang lain maka ia akan mulia, baik disisi Tuhan maupun di mata sesamanya. Kemuliaan yang kita dapatkan dari kerelaan yang kita korbankan kepada orang lain, itulah yang lebih berharga dibandingkan dengan apapun di dunia. Seperti halnya pada cerita Oheo, seekor burung pipit rela membantu Oheo yang sedang kesusahan. Nilai Pendidikan Dalam Cerita Rakyat Onggabo Nilai Pendidikan Adat/Tradisi Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Selain itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas. Nilai pendidikan adat atau tradisi dalam cerita rakyat terkandung dalam cerita yang disampaikan melalui kebiasaan yang berlaku sesuai pada kebudayaan sebenarnya dari daerah asal cerita yang
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
dikisahkan dan digambarkan oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Berikut ini adalah nilai pendidikan adat/tradisi yang terpadat pada cerita rakyat Oheo sebagai berikut: Tonggoiso, Tolaki romboia mbetobulako oaso lelenga ikita i Unaaha. Laa motuounggehero tinomoke’i i Pue. Orang-orang Tolaki dahulu hidup dalam suatu kelompok besar di suatu padang alang-alang luas, yaitu padang Unaaha. Pemimpin kelompok mereka dijuluki Pue. Pada kutipan tersebut menggambarkan nilai tradisi pada masyarakat tolaki yang hidup dalam suatu kelompok dan sampai saat ini juga pemimpin mereka biasa dijuluki pue/nenek yang artinya orang yang lebih tua dan mempunyai banyak pengalaman. Lakonoto meronga-ronga i Latuanda, Onggabo moawo kasoy luri aro lako karadai Uti Owose. Lakonoto poia hende inono nitamokei i Ale Uti. Bersama-sama Latuanda, Onggabo berhasil menombak biawak besar itu di tempat persembunyiannya di sebuah gua di Auti, yang kini tempat itu di namakan Auti. Pada kutipan tersebut nilai pendidikan adat/tradisi yakni kerja sama antara Onggabo dan Latuanda yang berhasil menombak seekor biawak besar dari tempat persembunyiannya. Karena sampai saat ini juga masih kita temukan adanya sifat yang berupa kerja sama. Dapat kita ambil sebuah pelajaran dengan adanya kerja sama semua permasalahan yang ada pasti ada jalan keluarnya dan penyelsaiannya. Perlu diterapkan juga pada diri kita maupun orang lain.
Nilai Pendidikan Sosial Nilai pendidikan sosial merupakan hubungan antara individu yang satu dengan yang lainnya baik dari jenis yang sama maupun berbeda. Pendidikan sosial kemasyarakatan bertujuan untuk mengajarkan manusia dalam menjalin hubungan yang baik antar sesamanya agar tercipta kedamaian dalam kehidupan. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu embutuhkan bantuan orang lain dalm memenuhi kebutuhan sehari-hari. Nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam cerita rakyat Onggabo yakni sebagai berikut: Lalaieto ano dunggu I hunibaoto sumuai laa’aro moia i Latuanda ronga i Labuani. Lau-launo Onggabo teeni manasa laa komiu monaa waipode ndewali-wali, kuonggo umalei. Teenio Kambuka Sio Ropo, “eheakuki mano au bolio teatademu ronga au pepateiki uti owose laa’laa nde umopui toono I kiro i Unaaha. Demikianlah kisahnya hingga Onggabo berhasil menemukan tempat persembunyian Latuanda dan Labuani di Hunibato. Setibanya di sana, ia langsung mengatakan kepada Latuanda dan Labuani bahwa mereka memelihara seorang gadis yang cantik dan rupawan. Sekalipun berbagai alasan dikemukakan oleh Latuanda dan Labuani, akhirnya Onggabo berhasil juga memperistri putri cantik yang bernama Kambuka Sio Ropo itu, tetapi dengan syarat. Yang harus dipenuhi Onggabo ialah ia harus mampu mengubah dirinya menjadi manusia biasa dan mampu membunuh biawak besar yang ada di Auti yang telah banyak melahap manusia di Unaaha. Pada kutipan tersebut menggambarkan bahwa Onggabo berhasil menemukan tempat tinggal Latuanda dan Labuani, dan ternyata mereka memelihara seorang gadis cantik yang rupawan yaitu Kambuka Sio Ropo. Akhirnya Onggabo meminta Kambuka Sio Ropo untuk menjadikan istrinya. Tetapi dengan syarat, Onggabo harus mampu mengubah dirinya menjadi manusia biasa dan harus mampu juga membunuh biawak besar yang berada di Auti, karena telah banyak memakan manusia yang ada di Unaaha. Onggabo pun memenuhi syarat yang diberikan putri itu. Mateno Ndamasoleo tuduno Onggabo ilowuta. Metarambuu ari i Laalindu ano pambai otahi uminu-inui iwoi mbera-mbera lua itahi, uoonggo tumotoarisaokee kena laambo tuduno toono iuluno, timba iwasambara kioki nopombenasa.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
Gugurnya Ndamasoleo membuat Onggabo turun ke bumi. Ia datang untuk melihat kemungkinan masih adanya manusia yang hidup dari sisa-sisa perangnya. Mulai dari sebelah utara wilayah Konawe yaitu di sungai La Liuda sampai ke muara Sampara, muara sungai Konawe’eha, dengan cara meneguk airnya, dia tidak memperoleh petunjuk adanya manusia di setiap hulu sungai. Pada kutipan tersebut menggambarkan nilai pendidikan sosial Onggabo yang peduli pada masyarakat yang tinggal di Unaaha. Sehingga ia turun ke bumi untuk melihat kemungkinan masih ada manusia yang hidup dari sisa perangnya. Ia menyusuri sepanjang sungai Konawe’eha untuk mencari petunjuk tentang adanya manusia. Nilai sosial yang terdapat dalam kutipan tersebut mencerminkan sikap peduli, kita seharusnya menggunakan akal dan pikiran yang Tuhan telah anugerahkan untuk kita agar dapat bersikap manusiawi dalam memecahkan segala persoalan yang kita hadapi. Nilai pendidikan sosial pada kutipan tersebut kita dapat mengambil sebuah pelajaran bahwa sikap Onggabo yang begitu semangat dalam melakukan sesuatu. Sehingga ia pun juga mendapatkan istri yang cantik rupawan dan membentuk sebuah keluarga.
Nilai Pendidikan Budi Pekerti Nilai pendidikan budi pekerti adalah hakikat manusia sebagai makhluk etis, yaitu mahkluk yang dapat mengerti dan menyadari norma-norma kesusilaann dan mampu berbuat sesuai dengan norma yang disadarinya. Nilai pendidikan budi pekerti berkaitan dengan sikap dan perilaku yang mencangkup kesabaran, kasih sayang, pengorbanan, kepedulian, pengabdian serta tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang dikerjakan. Adapun nilai pendidikan budi pekerti yang terdapat dalam kutipan berikut adalah sebagai berikut: Tuoombato taalaa oaso anadalo iyepo anolaa rumorangga laa umuhu ine wata mate. Lakoroto laulau tekono sumirui iepo aro pendeenggee noommore. Lakoroto wawei aro mbule ilaikaro i Hunibato, aro oana meamboi, dunggu mombewaiwaipode kaduito tewalino ronga meuda wuuno. Rotamoekeeto Kambuka Sio Ropo. Akan tetapi seorang anak perempuan, yang baru pandai merangkak, mereka temukan di sebuah rumah besar. Anak itu sedang menyusu pada bangkai seorang ibu yang tidak di ketahui namanya. Anak itu mereka bawa pulang ke Hunibato. Di sanalah anak itu mereka pelihara dan besarkan hingga menjelang remaja. Anak tersebut ternyata menjadi seorang gadis cantik lagi rupawan dengan rambut yang lembut dan cukup panjang sehingga di beri nama Kambuka Sio Ropo. Pada kutipan tersebut menggambarkan Nilai pendidikan budi pekerti berupa kepedulian dan kasih sayang yang ditunjukkan Latuanda dan Labuani. Di mana mereka menemukan seorang anak perempuan yang masih tersisa akibat dari sebuah peperangan dan wabah yang melanda negeri mereka. Mereka menemukan anak itu sedang menyusui pada bangkai seorang ibu yang tidak diketahui. Sehingga mereka membawa pulang anak itu ke tempat mereka yaitu di Hunibato. Di sanalah mereka perlihara dan besarkan, hingga menjadi seorang gadis cantik dengan rambut yang lembut dan cukup panjang, sehingga anak itu di beri nama Kambuka Sio Ropo. Nilai pendidikan budi pekerti berupa kepedulian dan kasih sayang yang ditunjukkan Latuanda dan Labuani pada kutipan tersebut menunjukkan nilai yang harus di miliki seseorang. Kutipan tersebut mengajarkan kita untuk selalu peduli dan menjaga dengan penuh kasih sayang pemberian dari sang pencipta. Karena, sesuatu pemberian itu pasti akan membawa sebuah berkah tersendiri.
Nilai Pendidikan Keindahan Nilai pendidikan keindahan adalah hakekat sebagai makhluk estetis, mahkluk yang dapat merasakan dan menciptakan keindahan. Tiap manusia yang normal sejak kecil mempunyai dorongan kearah keindahan. Adapun nilai pendidikan keindahan pada cerita rakyat Onggabo adalah sebagai berikut:
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
Lakoroto wawei aro mbule ilaikaro, aro oana meamboi, dunggu mombewaiwaipode kaduito tewalino ronga meuda wuuno. Rotamoekeeto Kambuka Sio Ropo. Di sanalah anak itu mereka pelihara dan besarkan hingga menjelang remaja. Anak tersebut ternyata menjadi seorang gadis cantik lagi rupawan dengan rambut yang lembut dan cukup panjang sehingga di beri nama Kambuka Sio Ropo. Pada kutipan tersebut menggambarkan nilai keindahan yang diberikan sang pencipta dan harus kita syukuri, yakni seorang anak gadis yang begitu cantik dan rupawan, dengan rambut yang lembut dan panjang. Begitu indahnya pemberian sang pencipta yang ada pada diri kita, entah itu berupa kecantikan dan ketampanan seseorang yang senantiasa harus selalu kita syukuri dan jalani dengan penuh kesabaran.
Nilai Pendidikan Kepahlawanan Pahlawan merupakan sosok yang peduli terhadap kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri. Pendidikan kepahlawanan bertujuan untuk mendidik seseorang agar bisa berjiwa patriot dan suka menolong antar sesama. Nilai pendidikan kepahlawan dalam cerita rakyat Onggabo dapat dilihat pada kutipan berikut: Lakonoto Onggabo moawo kasoy luri aro lako ronga i Latuanda. Batu i Ale Uti. Sabuturo leu mbone iwowani kumapo laa’anoto moia Uti owose, saa pohongo-hongono Onggabo, tebuai tokaa Uti Owose rumorangga butuiro, lau-lau nggomeranggomii i Latuanda. Lau-launo Onggabo ale rumodoikee kasai luri ilotu ndotopaauo. Lakonoto molasu butu ilosoano oleo. Ari amba lako mekukui, ieto laa’aro tealo rumurui kasai ine wata nggapu terumba wuohu tealoano mesambeako ano tekai dunggu terobu. Lako-lakonoikaa ano telalo mehayo i Konawe’eha, nopepotalambeako noombo-ombongio Konawe’eha. Nopenasai keto mate, lakonoto membuleako ano pewiso I wawono aale rinomoako Alehembuti iyeto rongano butu iwawono ano taa mo’onggo moiyoano. Lalaieto ano merambi iuluno Alahambuti. Bersama-sama Latuanda, Onggabo berhasil menombak biawak besar itu di tempat persembunyiannya di sebuah gua di Auti, yang kini tempat itu di namakan Auti. Biawak besar itu keluar dari melarikan diri dari tempat persembunyiannya menuju arah sebelah timur. Dalam mengikuti jejaknya, Onggabo menemukan tombaknya di dekat sebatang pohon beringin yang dilintasinya karena tersangkut pada pohon itu. Tempat itu sekarang dinamakan Sabeani. Biawak besar itu menceburkan badannya dikali Konawe’eha dan mengapung di atas permukaan air yang membentang dari pinggir yang satu ke pinggir yang lain. Tempat itu sekarang dinamakan Honggoa. Merasa bahwa bahwa dirinya akan mati, biawak itu memasuki anak sungai Lahambuti dan menyusuri arah ke hulu. Dari hulu sampai sekarang, air kali Lahambuti menuju muara tidak pernah jernih. Akhirnya, tibalah ia di suatu tempat dan di sanalah biawak itu mati. Pada kutipan tersebut menggambarkan nilai kepahlawanan Onggabo yang berhasil membunuh biawak besar itu. Onggabo benar-benar mengikuti syarat yang diberikan putri Kambuka Sio Ropo yaitu salah-satunya dapat membunuh biawak besar tersebut, dengan cara menombaknya yang ada di tempat persembunyiannya sebuah gua di Auti. Tetapi, biawak besar itu sempat melarikan diri dari tempat persembunyiannya menuju arah sebelah timur. Onggabo terus mengikuti jejaknya dan menemukan tombaknya di dekat pohon beringin yang dilewati biawak besar itu karena tersangkut di pohon. Lalu biawak besar itu menceburkan badannya di sungai Konawe’eha dan mengapung di atas permukaan air. Merasa bahwa dirinya itu akan mati, biawak itu memasuki anak sungai Lahambuti dan menyusuri arah hulu. Tibalah di suatu tempat dan di sanalah biawak raksasa itu itu mati. Nilai pendidikan kepahlawanan yang di tunjukkan pada kutipan tersebut, yakni sikap Onggabo merupakan sosok yang berjiwa kepahlawanan dan tanggung jawab dengan apa yang telah di ucapkan. Ia membuktikan bahwa dirinya berani dalam melakukan sesuatu yang di dukung dengan rasa kepercayaan. Inilah sifat yang harus dimiliki oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari yang benilai positif.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
PENUTUP Kesimpulan Dalam masyarakat Tolaki di kenal cerita Oheo dan Onggabo, kedua cerita rakyat tersebut tidak terlepas dari nilai-nilai pendidikan. Cerita rakyat di samping sebagai hiburan, juga merupakan alat pendidik dan sarana pengungkapan isi hati. Tanggung jawab sebagai penikmat sekaligus pewaris adalah bagaimana menempatkan karya sastra itu sebagai salah satu yang perlu diwariskan dan dipahami serta dapat dinikmati. Adapun nilai pendidikan yang terkandung dalam cerita rakyat Oheo dan Onggabo pada masyarakat Tolaki dapat disimpulkan sebagai berikut: Dalam cerita rakyat Oheo terdapat, (a) Nilai pendidikan adat/tradisi, (b) Nilai pendidikan sosial, (c) Nilai pendidikan budi pekerti, (d) Nilai pendidikan keindahan, (e) Nilai pendidikan kepahlawanan. Sedangkan pada cerita rakyat Onggabo terdapat, (a) Nilai pendidikan adat/tradisi, (b) Nilai pendidikan sosial, (c) Nilai pendidikan budi pekerti, (d) Nilai pendidikan keindahan, (e) Nilai pendidikan kepahlawanan. Saran Penelitian ini mengkaji tentang Nilai pendidikan yang terkandung dalam cerita rakyat Tolaki Oheo dan Onggabo. Namun, masih banyak yang perlu dikaji dan diteliti lebih mendalam lagi tentang cerita rakyat pada masyarakat Tolaki. Oleh karena itu, penulis menyarankan kepada calon peneliti agar mengkaji aspek lain yang terdapat dalam cerita rakyat pada masyarakat Tolaki sebagai tindak lanjut penelitian sebelumnya. Selain itu, penulis mengharapkan agar cerita rakyat di daerah dapat di terapkan di setiap jenjang pendidikan untuk dijadikan mata pelajaran. Hal ini perlu dilaksanakan agar dapat mencegah kepunahan dari cerita rakyat daerah tersebut.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta. Andi. Dharmojo, dkk. 1998. Sastra Lisan Ekagi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Esten, Mursal. 1993. Struktur Sastra Lisan Kerinci. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jabrohim. 2012. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Musfiqon. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Rahmanto B, dkk. 1999. Sastra Lisan Pemahaman dan Interpretasi (Pilihan Karangan dalam Basis 1987-1995). Jakarta: Mega Media Abadi. Rahmawati, dkk. 2007. Sastra Lisan Tolaki. Kendari: Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara. Rahmawati, dkk. 2010. Inventarisasi Sastra Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Sikki, Muhammad, dkk. 1982. Struktur Sastra Lisan Tolaki. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sikki, Muhammad, dkk. 1996. Struktur Sastra Lisan Bugis.Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Siswanto, wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. Sunardjo, Nikmah, dkk. 2000. Struktur Karya dan Nilai Budaya. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Soyokmukti, Nurani. 2013. Teori-Teori Pendidikan. Jogjakarta: Ar-ruzz Media. Tasai, S. Amran. 2003. Bahan Penyuluhan : Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Yulisma, dkk. 1997. Struktur Sastra Lisan Daerah Jambi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Zaidan, Abdul Rozak. 2002. Pedoman Penelitian Sastra Daerah. Jakarta: Pusat Bahasa.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016 / ISSN 1979-8296