PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
REVITALISASI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERITA RAKYAT KI AGENG KUTU SURYA NGALAM DAN RADEN BATORO KATONG Edy Suprayitno STKIP PGRI Ponorogo
[email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita rakyat Ki Ageng Kutu Surya Ngalam dan Ra den Bathoro Katong. Nilai-nilai tersebut tersemai di setiap alur cerita. Baik itu dalam bentuk sikap dan perilaku tokoh-tokohnya, maupun perkataannya Desain penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif kualitatif, sedangkan teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra. Hasil pennelitiaan ini terdapat tujuh nilai pendidikan karakter. Antara lain (1) religius, (2) jujur, (3) kerja keras, (4) semangat kebangsaan, (5) menghargai, (6) cinta damai, dan (7) tanggung jawab. Kata kunci: nilai, pendidikan karakter, cerita rakyat
Pendahuluan Dalam pasal I UU Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 menyatakan bahwa salah satu di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Hal ini dapat diartikan bahwa tujuan pendidikan tidak hanya menjadikan manusia yang cerdas secara logika, tapi juga memiliki kepribadian dan karakter yang baik. Hal ini seperti yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan merupakan upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect), dan tubuh anak (Labbiri dan Majid, 2011:1). Sehingga dapat menjadi pribadi yang mampu membawa negara pada kemajuan yang beradab. Dewasa ini gejolak kehidupan dan permasalahan sosial begitu marak terjadi. Dimulai permasalahan sosial di akar rumput (rakyat bawah) seperti etika pergaulan bebas kalangan anak muda, narkoba, tawuran, dan sebagainya. Sampai di kalangan pejabat pemerintahan seperti banyaknya pemangku kebijakan yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena melakukan tindak korupsi. Seperti kasus yang belum lama ini terjadi yakni tertangkapnya Kepala Kejaksaan Negeri dan Bupati Pamekasan yang harus berurusan
dengan komisi anti rasuah karena terbelit suap kasus anggaran dana desa. Berbicara masalah moral, Lickona (2013:20) mengemukakan ada sepuluh indikasi moral anak kurang baik yang perlu diperbaiki dan mendapatkan perhatian lebih agar berubah menjadi lebih baik. Sepuluh indikasi tersebut, yaitu kekerasan dan tindakan anarkis, pencurian, tindakan curang, pengabaian terhadap aturan yang berlaku, tawuran antarsiswa, penggunaan bahasa yang tidak baik, kematangan seksual yang terlalu dini dan penyimpangannya, dan sikap perusakan diri. Sepuluh indikasi tersebut dalam kehidupan modern begitu kuat dirasakan. Setiap hari kita dapat menemukan berbagai kasus tersebut di media elektronik maupun media cetak. Ironinya, sikap menyimpang justru menjadi trend di kalangan para public figure. Lihat banyaknya kasus pejabat yang terkena kasus asusila, selain itu juga kasus artis yang tertangkap karena menggunakan narkoba. Melihat realita di atas, menurut pemikiran penulis ada beberapa permasalahan yang melandasinya, antara lain: (a) lemahnya karakter kita, (b) rusaknya sendi-sendi kehidupan sosial, (c) lemahnya hukuman bagi pelaku kejahatan sosial, (d) dan lain-lain. Dari beberapa dasar di atas, lemahnya karakter kita sebagai manusia yang beradab yang tahu salah dan benar merupakan sosok yang vital. Sebab
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
apabila runtuhnya karakter dan kepribadian seseorang maka keruntuhan dan jati diri bangsa menunggu di depan. Maka dari itu penguatan karakter bangsa merupakan hal mutlak yang harus dilakukan demi kemajuan bangsa. Untuk itu, Presiden Joko Widodo menerapkan program yang dinamakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Program Penguatan Pendidikan Krakter sendiri didasari oleh UU Sisdiknas, Nawacita, RPJMN 20152019, Amanat Presiden, dan Kebijakan Kemendikbud. Program PPK ini pada hakikatnya akan melebur dan terintegrasi di setiap Kegiatan Belajar Mengajar di sekolah. Jadi tidak hanya dibebankan pada mata pelajaran PKN atau Pendidikan Agama, tetapi semua mata pelajaran bertanggung jawab menguatkan karakter peserta didik. Koesoema (2007:80) memandang karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri, karakteristik, atau sifat khas diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan bawaan sejak lahir. Lebih lanjut, Lickona (1991:51) mendefinisikan karakter sebagai “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” elanjutnya, Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior”. Karakter seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, takni karakter seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature). Sedangkan, pendidikan karakter pada hakikatnya disiplin yang berkembang dengan usaha yang disengaja untuk mengoptimalkan siswa berperilaku sessuai norma yang berlaku. Pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan
baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Winataputra, 2010:8). Dari dua kutipan pendapat di atas, ruang lingkup pendidikan karakter cenderung berkaitan dengan moral dan etika manusia. Sedikit berbeda dengan ungkapan yang ada di Kementerian Pendidikan Nasional pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif. Definisi pendidikan karakter yang di atas lebih luas dan detail. Pendidikan karakter ruang lingkupnya tidak hanya pada sikap dan etika individu saja, tetapi juga semua aspek yang ada dalam diri manusia. Definisi di atas diperkuat oleh Samani (2012:45) yang mengatakan bahwa pendidikan karakter merupakan proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Karakter tidak dapat dibentuk dalam waktu yang singkat. Pembentukan karakter seseorang membutuhkan waktu yang lama dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Karakter yang melekat pada bangsa Indonesia akhirakhir ini bukan begitu saja terjadi secara tiba-tiba, tetapi sudah melalui proses yang panjang (Marzuki, dan Hapsari, 2015: 143). Maka dari itu, membentuk karakter seseorang memerlukan sebuah perencanaan matang dan proses yang lama. Sebenarnya kebijakan pengembangan karakter yang diambil oleh pemerintah dapat dikatakan sedikit terlambat. Hal ini ditandai dengan kesadaran pemerintah yang tidak tidak segera mengembangkan kebijakan yang pro dengan pengembangan karakter
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
(Zamroni, 2011: 172). Padahal peran pemerintah dalam penguatan dan pembentukan karakter sangat penting. Yakni melalui pembuatan undangundang dan peraturan yang menjamin semakin koh dan tegaknya karakter bangsa. Sebab, dewasa ini tekanan kehidupan global semakin menguat. Apabila tidak ada pondasi karakter yang kokoh dikhawatirkan rusaknya sendisendi kehidupan. Muslich (2013:15) mengatakan bahwa “pendidikan karakter harus ditanamkan sejak dini dalam pendidikan formal, mulai dari tingkat TK, SD, SMP, SMA, sampai perguruan ting-gi”. Salah satu upaya untuk mewujudkan pendidikan karakter tersebut dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, yaitu dalam pembelajaran sastra. Dengan pengahayatan nilai-nilai dalam karya sastra, maka hakikatnya seorang guru mengajarkan pendidikan karakter pada anak. Permasalahannya, saat ini tidak banyak guru yang mampu membedah sebuah karya sastra kemudian diajarkan dengan baik pada peserta didiknya. Di sisi lain, menurut Youpika dan Zuchdi (2016:50) karya sastra yang dijadikan bahan pembelajaran bukanlah sastra-sastra yang sifatnya modern, namun juga sastra-sastra yang bersifat kedaerahan (lokal) atau sastra daerah. Salah satunya adalah sastra lisan yang berupa cerita rakyat. Sebab karya sastra yang berupa cerita rakyat dapat membentuk karakter yang bersifat kedaerahan. Salah satu karya sastra yang dapat dijadikan bahan pembelajara karakter adalah cerita rakyat Ki Ageng Kutu Surya Ngalam dan Raden Bathoro Katong. Cerita rakyat yang telah mendarah daging di masyarakat Ponorogo tersebut kaya akan nilai-nilai pendidikan karakter. Nilai-nilai pendidikan karakter tersebut tersemai dalam sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh tokoh-tokohnya. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Metode kualitatif deskriptif dipilih dengan mendasarkan pada kesesuaian objek penelitiannya. Objek penelitiannya berupa dokumen atau teks cerita rakyat yang berjudul Ki Ageng Kutu Surya Ngalam dan Raden Bathoro Katong. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan yang sifatsifat suatu individu, keadaan atau gejala dari kelompok yang dapat diamati (Moleong 2007: 6). Pengumpulan data pada sebuah kegiatan penelitian harus dilakukan secara sistemik. Hal ini difungsikan supaya data penelitian yang didapatkan sesuai dan lengkap. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah (1) teknik baca, (2) simak dan (3) catat. Pengertian teknik baca, pada hakikatnya mengarah pada kegiatan membaca teks yang menjadi objek penelitian secara komprehensif. Kemudian penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data. Setelah itu melakukan pencatatan terhadap kutipan dalam teks yang sesuai dengan indikator dalam penelitian. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis) dengan cara membaca, memahami, dan mencermati secara intens cerita rakyat yang berjudul Ki Ageng Kutu Surya Ngalam dan Raden Bathoro Katong sebagai sumber datanya. Oleh karena itu, analisis ini akan cerita rakyat yang berjudul Ki Ageng Kutu Surya Ngalam dan Raden Bathoro Katong untuk menemukan nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya. Langkah-langkah analisis isi ini mencakup tahapan (1) mengumpulkan data, (2) mereduksi data, (3) pemaparan data, (4) pengkodean data, (5) menginterpretasi data, dan (6) menarik kesimpulan yang mengarah pada makna yang berkaitan dengan fokus penelitian. Pada akhirnya, penafsiran yang telah disimpulkan itu dideskripsikan sebagai hasil penelitian.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Pembahasan Religius Religius merupakan pengahayatan dan pengaplikasian nilainilai yang ada dalam agama atau kepercayaan. Dengan mengimplementasikan nilai-nilai dalam agama atau kepercayaan, maka dapat menjadikan orang tersebut memiliki budi pekerti yang luhur. Maka orang yang memiliki religiusitas yang baik senantiasa memiliki sikap dan perilaku luhur. Dalam cerita rakyat Ki Ageng Kutu Surya Ngalam dan Raden Batoro Katong terdapat nilai religiusitas yang tinggi. Walaupun kedua tokoh yang merupakan tonggak sejarah Kabupaten Ponorogo tersebut memiliki kepercayaan dan keyakinan berbeda, tapi masing-masing memiliki religiusitas yang tinggi. Hal ini tercermin dalam kutipan berikut ini: Ki Ageng Kutu Surya Ngalam tidak hanya menjadi demang saja, tetapi juga menjadi guru ilmu sejati bagi masyarakat dan pemimpin para warok. Di Suru Kubeng ini Ki Ageng Kutu sering bertapa dan melatih prajuritnya. Tiap malam diajarkan berbagai ilmu. Kaum muda diajarinya berbagai mantra ilmu kanuragan, dengan harapan mereka menjadi pemuda sehat, kebal senjata, dan mampu membela diri. Sehingga para pemuda itu dapat melindungi rakyat yang lemah. Kutipan di atas, memaparkan sosok Ki Ageng Kutu Surya Ngalam yang hakikatnya seorang demang, tapi juga seorang guru sejati yang memiliki nilai religiusitas yang tinggi. Dia senantiasa mengajarkan laku kehidupan bagi para warok. Selain itu dia juga mengayomi dan menyejahterakan rakyatnya. Sehingga, rakyat di kademangan Wengker begitu menghormati dan menjunjung tinggi Ki Ageng Kutu Surya Ngalam. Maka ketika Raden Batoro Katong dapat mengalahkan Ki Ageng Kutu Surya Ngalam, Raden Bathoro Katong
memperistri anaknya yang bernama Niken Gandini, sedangkan adiknya yang bernama Suro Menggolo dan Suro Handoko diberi jabatan khusus. Hal ini bertujuan untuk menghindari kemarahan rakyat Wengker yang bergitu menghormati sosok Ki Ageng Kutu Suryangalam. Konon pada hari itu pasukan Ki Ageng Kutu Suryangalam menyerang Raden Bathoro Katong. Waktu itu, Raden Bathoro Katong dan prajuritnya sedang melaksanakan ibadah sholat Jumat, sehingga tidak sedikit korban dari pihak Raden Bathoro Katong. Akan tetapi, Raden Bathoro Katong dapat mengatasi serangan Ki Ageng Kutu Suryangalam dengan bantuan Selo Aji dan Kyai Ageng Mirah. Raden Bathoro Katong merupakan sosok yang religius. Hal itu terlihat di sela-sela perang melawan Ki Ageng Kutu Suryangalam, Raden Bathoro Katong beserta pasukan senantiasa menjalankan perintah Tuhan yakni melaksanakan sholat Jumat. Senantiasa menjalankan perintah agama dalam setiap kondisi merupakan ssalah satu bentuk sikap religiusitas yang tinggi. Dengan mengamalkan ajaranajaran dalam agama, maka seseorang akan senantiasa mengingat keberadaan Tuhannya dalam setiap langkah kehidupan. Ibadah sholat Jumat yang dilakukan oleh Raden Bathoro Katong tersebut ternyata diketahui oleh Ki Ageng Kutu Suryangalam. Akhirnya mereka menyerang pasukan Raden Bathoro Katong. Karena tidak siap maka pasukan Raden Bathoro Katong banyak yang gugur. Dengan semangat yang pantang menyerah dan kesaktian yang dimiliki oleh Raaden Bathoro Katong dan para pasukan, serangan tersebut dapat dipatahkan. Jujur Nilai pendidikan karakter yang lain adalah jujur. Jujur merupakan sikap untuk senantiasa berterus terang dan berbicara apa adanya tanpa ditutupi pada orang lain. jujur bisa lawan kata dari
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
bohong. Dalam kehidupan modern ini menanamkan sikap jujur sangat penting. Terlebih di tengah degradasi moral yang menghantam kehidupan sosial masyarakat kita. Banyak pejabat pemerintahan yang sering tidak jujur dalam menjalankan roda pemerintahan. Berbagai dana yang seharusnya dialokasikan untuk kemaslahatan rakyat tapi dipotong dan masuk ke saku pribadi dan kelompoknya. Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh oknum pejabat seperti ini akhirnya membawa kesengsaraan bagi rakyat banyak. Sehingga, berlaku jujur merupakan sesuatu yang mutlak dimiliki oleh para pejabat. Nilai kejujuran juga tercermin dalam cerita Ki Ageng Kutu Suryangalam dan Raden Batoro Katong. Sosok Ki Ageng Kutu Surya Ngalam yang dalam pandangan umum diasosiasikan sosok yang antagonis, tapi memiliki sikap jujur dalam kehidupannya. Hal ini tercermin dalam kutipan di bawah ini: Di Suru Kubeng, Ki Ageng Kutu Suryangalam selain mengajarkan ilmu olah kanoragan juga nilai-nilai kehidupan sosial bagi para muridnya. Nilai-nilai itu antara lain, sikap andap asor, tenggang rasa, menghormati, kejujuran, dan saling tolong-menolong. Hal ini bertujuan agar para muridnya nanti dapat menjadi sosok warok yang linuwih (mempunyai kelebihan) dan memiliki sikap-sikap terpuji dalam kehidupan sosial. Sehingga kehidupan rakyat Wengker senantiasa aman dan tenteram. Terlepas dari citra antagonis yang disematkan masyarakat umum terhadap sosok Ki Ageng Kutu Surya Ngalam, beliau pada hakikatnya sosok yang baik. Ki Ageng Kutu Surya Ngalam senantiasa menjadi pelindung bagi rakyat di Kademangan Wengker. Selain itu dia juga merupakan guru sejati dan kehidupan para warok. Para warok diajarkan nilai-nilai kehidupan dan etika sosial salah satunya adalah kejujuran. Masyarakat Jawa senantiasa
mengajarkan nilai kejujuran dalam kehidupan. Sebab dengan jujur, orang lain akan menaruh kepercayaan. Kerja Keras Setiap manusia pasti menginginkan kehidupan yang enak dan berkecukupan. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, maka harus mau bekerja keras sesuai dengan bidangnya. Apabila seorang petani, maka harus telaten menggarap sawah agar dapat panen. Apabila seorang pedagang maka harus jeli dan pandai mengolah barang daganganya. Apabila sebuah pekerjaan dilakukan dengan sungguh-sungguh maka dapat membuahkan hasil. Sehingga kerja keras mutlak diperlukan dalam kehidupan. Untuk menuju hidup yang cukup, harus dibarengi dengan kerja keras. Pada waktu Bathoro Katong dan rombongan babad alas untuk membuka lahan baru sebagai tempat tinggal banyak sekali penduduk yang terkena penyakit. Hal ini dikarenakan daerah Ponorogo terkenal angker dan wingit. Akan tetapi, dalam perjalanannya, Raden Bathoro Katong beserta rombongan dapat mengatasinya. Sikap yang ditunjukkan oleh Raden Raden Bathoro Katong dan prajuritnya tersebut merupakan wujud senantiasa bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Hal ini dibuktikan ketika melakukan pembukaan lahan untuk pemukiman banyak mengalami gangguan. Salah satunya gangguan dari makhluk halus penunggu hutan tersebut. Tetapi dengan kesungguhan gangguan tersebut dapat diselesaikan. Raden Bathoro Katong tidak peduli dengan gangguan yang datang, yang dipikirkan adalah membuka hutan untuk pemukiman dan pusat pemerintahan. Hal ini menandakan dalam diri Raden Bathoro Katong tersimpan etos kerja keras untuk mendapatkan yang diinginkan. Dalam konteks kehidupan masyarakat Jawa sikap kerja keras senantiasa diajarkan. Hal itu terlihat ketika para orang tua senantiasa mengajak anaknya pergi ke sawah. Hal
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
ini bertujuan untuk mengajarkan anak tentang perjuangan hidup dan kerja keras. Dengan harapan kelak ketika sudah dewasa mereka sudah terbiasa untuk bekerja keras. Semangat Kebangsaan Sebagai seorang rakyat dari sebuah negara harus memiliki rasa cinta tanah air dan semangat kebangsaan yang tinggi. Sebab dengan rasa cinta tanah air dan semangat kebangsaan tersebut, maka sebuah negara dapat berkembang ke arah yang lebih baik. Ironinya, di era kehidupan modern ini semangat kebangsaan di negeri ini mulai memudar. Hal ini ditandai dengan berbagai fakta antara lain: (a) banyak rakyat yang lebih menyukai produk luar dari pada produk lokal, (b) memandang semua hal yang berasal dari luar negeri lebih baik dari pada dalam negeri, (c) banyaknya orang-orang yang memiliki kepandaian lebih memilih menjadi warga negara asing dari pada menjadi warga negara Indonesia, (d) banyaknya praktek korupsi yang mengoyak sendisendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini tentunya akan berdampak negatif apabila terjadi pembiaran. Maka menanamkan kembali nilai-nilai cinta tanah air dan semangat kebangsaan sejak dini menjadi prioritas pendidikan. Melalui empat pilar yaitu NKRI, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhineka Tunggal Ika, rasa cinta tanah air dan semangat kebangsaan harus ditanamkan. Sehingga ke depannya negara ini dapat dipegang dan dikendalikan oleh orang-orang yang memiliki rasa cinta tanah air dan semangat kebangsaan yang tinggi. Dalam cerita rakyat Ki Ageng Kutu Surya Ngalam dan Raden Bathoro Katong terdapat nilai-nilai semangat kebangsaan yang ditunjukkan. Semangat kebangsaan yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut harusnya menjadi pijakan dan sarana dalam dunia pendidikan. Dengan cara memahami nilai-nilai tersebut kemudian dihayati bersama, terakhir diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai tercermin dalam kutipan di bawah ini: Di Kademangan Kutu, Ki Ageng Kutu Surya Ngalam membuat sebuah kesenian yang bertujuan untuk menyindir Prabu Brawijaya V. Kesenian itu konon diberi nama Reog. Kesenian tersebut berupa kepala singa yang diibaratkan sebagai Prabu Brawijaya V yang ditunggangi oleh merak yang diibaratkan sebagai permaisurinya. Sikap yang ditunjukkan oleh Ki Ageng Kutu Surya Ngalam tersebut pada hakikatnya merupakan bentuk rasa cinta tanah air yang begitu dalam. Ki Ageng Kutu Surya Ngalam melihat kebijakan yang dikeluarkan oleh Prabu Brawijaya V pada hakikatnya banyak yang diatur oleh permaisurinya. Salah satu kebijakan tersebut adalah membiarkan Raden Patah yang beragama Islam membuka lahan untuk pemukiman di daerah Demak Bintoro. Ki Ageng Kutu Surya Ngalam berpandangan apabila hal ini dibiarkan akan menjadi ancaman serius bagi Kerajaan Majapahit. Selain itu juga akan menjadi ancaman bagi keberadaan agama leluhur yang dianut oleh rakyat Majapahit. Munculnya sebuah kerajaan di dalam kerajaan pada hakikatnya adalah sebuah wujud pemberontakan yang merongrong eksistensi sebuah kerajaan. Hal itulah yang menjadi dasar Ki Ageng Kutu Surya Ngalam membuat sebuah sindiran berupa kesenian Reog untuk Prabu Majapahit. Seorang raja dari sebuah kerajaan besar harusnya mampu membuat kebijakan yang adil dan bijaksana. Sehingga, dapat menjaga keberlangsungan sebuah kerajaan. Akan tetapi kebijakan yang diambil oleh Prabu Brawijaya V justru sering dipengaruhi oleh istrinya. Semangat kebangsaan yang ditunjukkan oleh Ki Ageng Kutu Surya Ngalam memang bukan semangat kebangsaan dalam bentuk prestasi untuk negerinya, melainkan berupa kritikan. Maka dari itu, semangat kebangsaan pada hakikatnya tidak hanya sebuah
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
prestasi, tapi juga kritikan dan masukan pada pemangku kebijakan apabila arah kebijakan tidak pada jalur yang tepat. Semangat inilah yang harusnya dijadikan inspirasi oleh masyarakat di kehidupan modern ini. Kebijakan yang diambil oleh penguasa tidak boleh membuat rakyat sengsara. Menghargai Dewasa ini rasa menghargai khususnya menghargai orang lain menjadi persoalan sendiri. Berbagai kasus yang berhubungan dengan SARA yang dewasa ini mengemuka. Rasa menghargai perbedaan mulai tergerus. Oleh sebab itu, rasa menghargai sesama harus kembali ditanamkan pada generasi muda. Melalui dunia pendidikan formal dan keluarga rasa menghargai antar sesama kembali ditanamkan. Sebab apabila sebuah negara masyarakatnya tidak memiliki rasa menghargai maka yang terjadi akan muncul gesekangesekan yang akan bermuara pada perpecahan. Menghargai orang lain pada hakikatnya sudah diajarkan oleh para leluhur. Negara ini dibangun di atas perbedaan baik itu agama, suku, ras, dan lain-lain. Tokoh bangsa dahulu juga memiliki perbedaan, tidak didominasi oleh salah satu kaum. Maka apa yang ditunjukka oleh para leluhur dan tokoh bangsa dahulu seyogyanya harus dijaga dan dihayati oleh generasi penerus. Dalam cerita rakyat Ki Ageng Kutu Surya Ngalam dan Raden Bathoro Katong terdapat nilai-nilai saling menghargai antar sesama. Hal ini ditunjukkan dalam sikap-sikap Raden Bathoro Katong yang mengangkat anak musuhnya menjadi pejabat di kadipaten. Setelah Ki Ageng Kutu Surya Ngalam dikalahkan oleh Raden Bathoro Katong, ketiga anaknya diajak ke kadipaten. Anak pertama yang bernama Niken Sulastri atau Niken Gandini dijadikan permaisuri. Anak kedua dan ketiga yang bernama Warok Suromenggolo dan Warok Suro Handoko dijadikan demang dan membantu memerintah Kadipaten Ponorogo.
Sikap yang ditunjukkan oleh Raden Bathoro Katong pada hakikatnya merupakan wujud rasa menghargai antar sesama. Walaupun anak-anak Ki Ageng Kutu Surya Ngalam bukan beragama Islam, tapi tetap diberi jabatan khusus untuk membantu mengatur pemerintahan. Sebab Raden Bathoro Katong berpandangan bahwa kemakmuran sebuah negeri bukan dipengaruhi oleh agama atau ras tertentu, tapi kualitas para pemangku kebijakan. Raden Bathoro Katong memandang Suromenggolo dan Surohandoko memiliki kualitas mumpuni untuk membantu jalannya pemerintahan. Cinta Damai Berbagai kasus konflik di masyarakat yang disebabkan oleh SARA banyak terjadi. Terakhir, pembakaran masjid di Tolikara karena agama menjadi salah satu kekerasan di antara sesama warga negara. Kekerasan seperti ini berpotensi muncul kembali apabila tidak ada pencegahan. Pencegahan yang dilakukan adalah menanamkan rasa cinta damai kepada generasi bangsa mulai sejak dini. Anak-anak harus dikenalkan tentang perbedaan. Perbedaan bukan harus dihindari tapi dipahami bersama. Selain itu, memberlakukan hukum yang tegas bagi pelaku tindak kejatahan. Sehingga, dengan pemberlakukan hokum yang tegas diharapkan membuat pelaku jera. Tokoh-tokoh bangsa dahulu senantiasa menjaga cinta damai dalam menjalankan roda pemerintahan. Setiap perbedaan tidak lagi dipahami sesuatu yang bermasalah, justru menjadi sebuah anugerah Tuhan. Dari cerita Ki Ageng Kutu Surya Ngalam dan Raden Bathoro Katong terdapat sikap-sikap yang menunjukkan rasa cinta damai. Hal ini terlihat ketika Raden Bathoro Katong mengirim utusan guna membicarakan kebijakan Kadipaten Ponorogo. Tiba-tiba datang utusan dari Kadipaten Ponorogo. Mereka adalah Patih Seloaji, Kyai Ageng Mirah, dan para santri yang berjumlah kurang lebih 10 orang. Ketangan mereka membuat terkejut Ki
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Ageng Kutu Surya Ngalam. Patih Seloaji menyampaikan maksud kedatangannya sebagai utusan Adipati Ponorogo. Dia memohon kedatangan Ki Ageng Kutu Surya Ngalam untuk datang ke Ponorogo. Ki Ageng Kutu Surya Ngalam diajak bermusyawarah menata ketenetraman bersama-sama. Raden Bathoro Katong memandang bahwa sebuah masalah tidak perlu diselesaikan dengan jalan kekerasan. Perbedaan yang ada di anatara Raden Bathoro Katong dan Ki Ageng Kutu Surya Ngalam diselesaikan dengan musyawarah. Maka dari itu mengundang Ki Ageng Kutu Surya Ngalam untuk membicarakan pemerintahan secara bersama-sama. Hal ini dilakukan untuk menghindari pertempuran yang justru dapat merugikan rakyat.Pemikiran seperti ini yang harusnya dipahami dan dihayati saat ini. Sehingga kehidupan yang selaras dan harmonis dapat tercipta. Tanggung Jawab Rasa tanggung jawab dalam kehidupan harus senantiasa dimiliki oleh manusia. Kehidupan akan menjadi selaras dan seimbang apabila manusia memahami dan menghayati rasa tanggung jawab. Tidak hanya tanggung jawab terhadap sebuah pekerjaan tapi juga tanggung jawab sosial, individu, lingkungan, dan sebagainya. Ironinya di kehidupan modern ini, banyak manusia yang kehilangan rasa tanggung jawab. Suatu contoh, munculnya kasus pelaku korupsi yang melarikan diri ke luar negeri. Hal ini menunjukkan mereka tidak berani menerima konsekuensi sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap kesalahan yang dilakukan. Setelah Ki Ageng Kutu Surya Ngalam dikalahkan oleh Raden Bathoro Katong, ketiga anaknya diajak ke kadipaten. Anak pertama yang bernama Niken Sulastri atau Niken Gandini dijadikan permaisuri. Anak kedua dan ketiga yang bernama Warok Suromenggolo dan Warok Suro Handoko dijadikan demang dan membantu memerintah Kadipaten Ponorogo.
Sikap yang ditunjukkan oleh Raden Bathoro Katong merupakan wujud tanggung jawabnya terhadap kebijakan yang diambil. Kebijakan yang diambil berdampak pada kematian Ki Ageng Kutu Surya Ngalam. Maka sebagai wujud tanggung jawabnya, dia menjadikan anak perempuan Ki Ageng Kutu Surya Ngalam sebagai permaisuri, sedangkan anak-anak yang lain dijadikan pejabat di Kadipaten Ponorogo. Kesimpulan Cerita rakyat Ki Ageng Kutu Surya Ngalam dan Raden Bathoro Katong pada hakikatnya terdapat nilainilai pendidikan karakter. Di antarnya (1) religius, (2) jujur, (3) kerja keras, (4) semangat kebangsaan, (5) menghargai, (6) cinta damai, dan (7) tanggung jawab. Nilai-nilai itu tercermin dalam sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh Ki Ageng Kutu Surya Ngalam dan Raden Bathoro Katong. DAFTAR PUSTAKA Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Cet. I. Labbiri dan Majid, 2011. Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal. Makasar: P3i Press Makasar Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respectand esponsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam Books. Lickona, Thomas. 2013. Education for Character: Mendidik untuk Membentuk Karakter (Terjemahan Juma Abdu Wamaungo). New York: Catherine Gafell.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Marzuki dan Hapsari, L. 2015, Pembentukan Karakter Siswa melalui Kegiatan Kepramukaan di MAN 1 Yogyakarta, Jurnal Pendidikan Karakter, Vol. 5 No.2:142-155 Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya Offset. Muslich, Masnur. 2013. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidi-mensional. Jakarta: PT Bumi Aksara. Samani, Muchlas., Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Youpika, F, dan Zuchdi, D, 2016, Nilai Pendidikan Karakter Cerita Rakyat Suku Pasemah Bengkulu dan Relevansinya sebagai Materi Pembelajaran Sastra, Jurnal Pendidikan Karakter, Vol. V No. 1: 48-58 Zamroni. 2011. “Strategi dan Model Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah” dalam Darmiyati Zuchdi dkk.(ed.). Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.