MAKNA SIMBOLIK KALOSARA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL ORANG TOLAKI SYMBOLIC MEANING OF KALOSARA IN SOCIAL LIFE OF TOLAKI SOCIETY Nur Alam Saleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166 Pos-el:
[email protected]. Handphone: 081377122424 Diterima: 9 Januari 2015; Direvisi: 22 Maret 2015; Disetujui: 27 Mei 2015 ABSTRACT This article is a research result conducted in the Subdistrict of Unaaha, Konawe Regency, Southeast Sulawesi Province. This article aims to describe and to express the meaning of kalosara as a cultural symbol of Tolaki society. The method used is a descriptive qualitative. The techniques of data collection are observation, interviews with the relevant parties as primary data, and literature as secondary data after reviewing some literatures. The results shows that the presence of kalosara (made from rattan circularly twisted three) is a cultural object that can govern the social life in society since the era of Konawe Kingdom in Kendari and Mekongga Kingdom in .RODND1RZDGD\VNDORVDUDLVVWLOOIXQFWLRQHGLQUHVROYLQJDGLVSXWHVRFLDOFRQÀLFWVWKDWRFFXULQWKHPLGGOHRI the society through a mosehe ceremony. Therefore, kalosara is a meaningful symbol of strengthening integration and solidarity of Tolaki society. Keywords: kalosara, Tolaki society, integration and solidarity of society. ABSTRAK Artikel ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Unaaha, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulaawesi Tenggara. Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengungkapkan makna kalosara sebagai simbol budaya masyarakat Tolaki. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data adalah observasi, wawancara dengan pihak-pihak terkait sebagai data primer, dan studi pustaka sebagai data sekunder setelah mengkaji beberapa literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan kalosara (terbuat dari bahan rotan berbentuk lingkaran terpilin tiga) merupakan benda budaya yang dapat mengatur tata kehidupan bermasyarakat sejak zaman Kerajaan Konawe di Kendari dan zaman Kerajaan Mekongga di Kolaka. Sampai sekarang, kalosaraPDVLKGLIXQJVLNDQGDODPPHQ\HOHVDLNDQNRQÀLNVRVLDO\DQJWHUMDGLGLWHQJDKWHQJDK masyarakat melalui sebuah upacara mosehe. Dengan demkian, kalosara merupakan simbol penguatan integrasi dan solidaritas masyarakat Tolaki. Kata kunci: kalosara, masyarakat Tolaki, integrasi dan solidaritas masyarakat.
PENDAHULUAN Penduduk Indonesia seperti dalam kenyataannya terdiri dari berbagai ragam suku bangsa, adat istiadat, agama dan sistem kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Menurut Geerzt (1981:iii) bahwa ada sekitar 300 suku bangsa dan kurang lebih 250 bahasa daerah (lokal), yang turut memperkaya khasanah kebudayaan di nusantara ini, di mana setiap suku bangsa memiliki identitas kebudayaan yang dikembangkan sesuai dengan keadaan dan lingkungannya masing-masing.
Keanekaragaman kebudayaan inilah merupakan ramuan yang turut menunjang kebudayaan nasional, dan sekaligus merupakan suatu kekayaan bangsa yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Kekayaan bangsa ini mencakup wujud-wujud kebudayaan yang di dukung oleh masyarakatnya. Setiap suku bangsa memiliki nilai-nilai budaya yang khas, yang membedakan jati diri mereka dari suku bangsa yang lainnya. Perbedaanperbedaan ini akan nyata dalam gagasan-gagasan dan hasil-hasil karya yang akhirnya dituangkan 99
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 99—112 lewat interaksi antar individu, antar kelompok maupun terhadap alam raya di sekitarnya. Dalam pengertian lain, suatu kebudayaan sering pula digunakan pada pembicaraan yang lebih terarah, yakni seperangkat nilai-nilai, gagasan dan pandangan hidup yang menjadi acuan atau pedoman bertingkah laku masyarakat pendukungya. Sementara itu yang dimaksudkan dengan nilai budaya, berdasarkan rumusan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional (1998:35) adalah mencakup seluruh konsep abstrak tentang apa yang diharapkan atau dapat diharapkan, apa yang baik atau dianggap baik oleh masyarakat pendukungnya. Sedangkan menurut pandangan Gazalba (1978:94) menyatakan bahwa soal nilai bukan soal benar atau salah, melainkan soal disenangi atau tidak. Dalam studi dan kajian sosial budaya, nilai budaya dipandang sebagai suatu konsep ideal yang harus diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan melalui proses sosialisasi (Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1998:35). Proses sosialisasi nilai-nilai budaya secara teoritis dapat berlangsung dengan berbagai macam cara. Salah satu cara ialah dengan jalan mempelajarinya kebudayaan tersebut. Menurut Parsudi Suparlan dalam Manyambeang (1984:2) bahwa ada tiga macam cara mempelajari kebudayaan sehingga dapat diterima sebagai kebudayaan, yaitu (1) melalui pengalaman-pengalaman dan hidup dalam lingkungannya sehingga dari pengalaman itu, manusia dapat memilih sesuatu tindakan yang setepat-tepatnya sesuai dengan lingkungan yang dihadapi dan keinginan yang akan dicapai. (2) Melalui pengalaman dalam kehidupan sosial, dan (3) Melalui petunjuk-petunjuk simbolis atau melalui komunikasi simbolik. Salah satu diantara ketiga cara tersebut di atas, maka seseorang manusia akan banyak mengetahui dan memahami simbol-simbol budayanya. Simbol-simbol ini dapat berupa ucapan-ucapan, gerakan, tanda-tanda atau bendabenda buatan yang mempunyai pengertian tertentu sesuai dengan arti simbol dalam masyarakat pendukungnya. Karena itu, para ilmuwan telah sejak lama baik di bidang kebahasaan maupun antropologi, termasuk etnografer menyadari 100
betapa pentingnya analisis, tentang makna simbolik untuk mengungkapkan suatu makna budaya dalam kehidupan manusia. Pengertian makna dalam pemakaian sehari-hari biasanya disejajarkan dengan berbagai istilah, antara lain; arti, gagasan, konsep, pernyataan, pesan, LQIRUPDVLPDNVXG¿UDVDWLVLGDQSLNLUDQ S u d i k a n d a l a m S a l a m ( 2 0 11 : 1 6 ) mengemukakan bahwa symbol sebagai sarana untuk menyimpan dan mengungkapkan maknamakna, apakah berupa gagasan-gagasan (ideas), sikap-sikap (attitudes), pertimbanganpertimbangan (judgments), hasrat-hasrat (longings), atau kepercayaan-kepercayaan (religius). Berdasarkan pengertian tersebut di atas, sehingga dapatlah disejajarkan begitu saja dengan kata makna, karena memang keberadaannya tidak pernah dikenali secara cermat dan dipilih secara tepat. Namun dari sekian banyak pendapat, maka hanya kata artilah yang paling dekat pengertiannya dengan makna (Aminuddin, 1988:50). Ditinjau dari sudut antropologi bahwa makna itu melibatkan simbol dan rujukan yang disebut makna refrensial. Makna refrensial ini tidak terlalu jauh mengarahkan kepada makna suatu kebudayaan. Makna refrensial baru akan menggores permukaan makna yang disandikan dalam simbol-simbol yang digunakan masyarakat (Spradley, 1997:122). Meskipun makna refrensial tersebut belum memadai untuk mengungkapkan maknamakna budaya dalam kehidupan masyarakat manusia, namun para antropolog termasuk etnografer menggunakan makna konotatif dalam mengungkapkan kebudayaan setiap masyarakat manusia. Spradley (1997:123) merumuskan bahwa makna konotatif meliputi VHPXDVLJQL¿NDQVLVXJHVWLIGDULVLPERO\DQJOHELK daripada arti refrensial. Demikian pula pengertian yang menyangkut konsep simbol, di mana dinyatakan bahwa simbol adalah segala objek benda, manusia, tindakan, ucapan, gerak tubuh, peristiwa, yang mempunyai pengertian dan yang pengertiannya dapat didefinisikan oleh kebudayaannya (Suparlan, 1981:6). Sebaliknya Spradley (1997:121) mengkonsepsikan bahwa semua makna diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Sedangkan
Makna Simbolik Kalosara ... Nur Alam Saleh
simbol itu sendiri adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjukkan pada sesuatu baik berupa kata-kata maupun cara berpakaian, ekspresi wajah dan gerakan tangan. Sementara itu pengertian tentang konsep nilai budaya, sebagaimana yang diungkapkan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional secara teknis operasional mendefenisikan seperti berikut ini; Nilai budaya mengandung pengertian tentang apa yang diharapkan dan atau dapat diharapkan, apa yang baik atau dianggap baik (1998:35) Senada dengan pernyataan tersebut di atas, Gazalba (1978:93-94) menegaskan bahwa soal nilai bukan soal benar atau salah, melainkan soal disenangi atau Alisyahbana (1977:10) mengkonsepsikan adanya enam unsur nilai-nilai yang terdapat dalam setiap kebudayaan, yaitu nilai ilmu, nilai ekonomi, nilai agama, nilai seni, nilai kuasa dan nilai solidaritas. Pada masyarakat suku bangsa Tolaki yang mendiami wilayah jazirah Provinsi Sulawesi Tenggara, dimana mendiami beberapa wilayah Kota Kendari, Konawe, Konawe Utara dan Selatan sampai di Kolaka sebagaimana dikemukakan Agustina (2012:70) terdapat sebuah symbol yang dikenal dengan nama kalosara. Lingkup berlakunya perangkat kalosara ini meliputi keseluruhan bekas wilayah Kerajaan Konawe dan bekas wilayah Kerajaan Mekongga. Dalam berbagai aspek kehidupan, masyarakat memahami dan menggunakan istilah kalosara, sebagai simbol adat istiadatnya, yang maknanya mencerminkan sistem nilai sosial budaya, norma/sistem hukum dengan aturan khusus yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari mereka. Bahkan sampai saat ini keberadaan kalo masih ditempatkan sebagai suatu yang sakral (Idaman, 2012:2). Kalosara yang terbuat dari rotan kecil dan dipilin sebanyak tiga kali, sehingga menyerupai bentuk gelang (bundar) atau sirkel itu, dapat merupakan kalimat dalam berkomunikasi kepada seseorang atau sekelompok orang, serta sebagai unsur kebudayaan yang dapat memenuhi dan memuaskan lebih dari satu kebutuhan orang Tolaki. Di samping sebagai simbol pusat yang juga berfungsi sebagai pengintegrasian sistemsistem simbol yang ada, juga adalah simbol dari azas hubungan timbal balik langsung maupun
tidak langsung, diantara individu yang satu dengan yang lainnya dan di antara kelompokkelompok dalam kehidupan sosial orang Tolaki. Mengacu pada sejumlah konsep tersebut di atas, maka fokus dengan masalah penulisan artikel mempertanyakan apa makna simbolik dan bagaimana eksistensi kalosara dewasa ini, dalam kehidupan masyarakat Suku Bangsa Tolaki di Kabupaten Konawe dan Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara. METODE Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis makna simbolis kalosara dalam dalam kehidupan masyarakat Tolaki di Kota Kendari dan Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi tenggara. Menurut Moleong (2007:385), rancangan penelitian diartikan sebagai usaha merencanakan dan menentukan segala kemungkinan dan perlengkapan yang diperlukan dalam suatu penelitian kualitatif. Berpegang dari paparan di atas, maka penelitian ini dirancang sebagai penelitian kualitatif. Metode deskriptif dipergunakan untuk mendapatkan suatu gambaran yang menyeluruh dan mendalam mengenahi pokok bahasan. Dalam hal ini, bahwa penelitian tidak hanya membuat diskriptif mentah atas keadaan yang tampak, tetapi juga menampilkan analisis. Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, berdasarkan pelaksanaannya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni (1) penelitian lapangan (wawancara, observasi, dan pendokumentasian) dan (2) studi pustaka. Studi lapangan dipergunakan untuk mencari data-data yang ada di lapangan agar mendapatkan data yang akurat dan sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan tersebut. Data lapangan yang penulis lakukan adalah sebagai berikut: (1) Observasi atau Pengamatan; (2) Wawancara; (3) Dokumentasi. Analisis data mentah yang berhasil GLNXPSXONDQ SHUWDPDWDPD GLNRGL¿NDVL VHVXDL dengan permasalahan yang akan dijawab. Data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dokumentasi, maupun studi pustaka akan saling dikonfrontasikan, yang dimaksudkan sebagai triangulasi. 101
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 99—112 PEMBAHASAN Sejarah dan Deskripsi Kalosara Kalosara sebagai benda yang dianggap bertuah bagi oang Tolaki, berasal dari dua kata yakni kalo dan sara \DQJVHFDUDKDU¿DKPDVLQJ masing mempunyai arti tersendiri. Kalo dapat berarti suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, atau dapat juga berarti pertemuan-pertemuan maupun suatu kegiatan bersama dimana para pelakunya membentuk lingkaran (Tarimana, 1993:20). Oleh Suud (2006:2) menilai bahwa keberadaan kalosara, sering juga disebut sebagai osara atau sara wonua yang artinya hukum negeri. Sejak kapankah benda kalosara yang dijadikan sebagai simbol budaya di kalangan suku bangsa Tolaki, baik yang berdiam di Konawe maupun di Mekongga, menurut Suud (2006:6) bahwa orang pertama sebagai pencipta atau penemu atribut kalo adalah Puteri Wekoila yang juga dikenal sebagai peletak dasar terbentuknya Kerajaan Konawe yang diperkirakan pada abad ke 11 atau Tahun 1150 M. Sebelum terbentuknya Kerajaan Konawe tersebut, dengan raja pertamanya adalah Wekoila, seorang puteri yang konon berasal dari selatan, telah berdiri tiga buah kerajaan kecil masingmasing Kerajaan Wawolesea di Toreo, Kerajaan Besulutu di Beselutu, dan Kerajaan Padangguni di Abuki. Ketiga kerajaan tersebut sama sekali belum memiliki konsep atau sistem pemerintahan yang teratur. Raja-raja pada saat itu memerintah dengan cara otokrasi, belum menggunakan aparat pembantu raja, sehingga roda pemerintahannya praktis tidak berjalan dengan baik. Demikian pula raja-rajanya belum memahami apa yang harus dikerjakan, kepada siapa yang seharusnya bertanggung jawab, sehingga seakan-akan terjadi suatu kefakuman dalam pemerintahan. Berdasarkan dengan hal tersebut, maka Wekoila yang juga dikenal dengan nama Wetenriabeng berhasrat untuk menyatukan ketiga kerajaan kecil itu dan menggabungkan menjadi sebuah kerajaan yang disebut Kerajaan Konawe. Konsep dan tawaran untuk menyatukan ketiga kerajaan kecil itu walaupun diterima dengan baik oleh Kerajaan Wawolesea dan Padangguni, 102
namun salah satu kerajaan di antaranya yakni Kerajaan Besulutu menolak untuk bergabung dan masih berkeinginan untuk berdiri sendiri. Pembangkangan Kerajaan Besulutu untuk menyatu dengan kedua kerajaan lainnya itu atas tawaran Wekoila disertai dengan sumpah serapah. Pada saat itulah benda regalia berupa gelang kaki diajukan sebagai penawaran kepada Raja Besulutu. Karena pada mulanya orang Tolaki dalam urusan apa saja baik perkawinan maupun sengketa dan sebagainya, hanya menggunakan gelang kaki sebagai kalonya (hasil wawancara dengan Arsyamid). Karena benda tersebut ditolak lalu dibuatkan benda lain dari rotan kecil, dengan membuat lingkaran sebesar bahu kemudian dipilin tiga dimana kedua ujungnya dipusatkan pada satu simpul, yang diletakkan di atas nyiru dan dialasi dengan bahan yang terbuat dari kulit kayu berwarna putih bernama kinawo mowila. Setelah ditawarkan benda tersebut maka pada saat itu Raja Besilutu siap bergabung. Karena Raja Besilutu telah terlanjur mengucapkan sumpah serapah maka dilakukanlah upacara mosehe dengan membuat sesajen besar dengan tumbal seekor kerbau putih. Ada kepercayaan orang Tolaki bahwa dengan meneteskan setetes darah dari seekor kerbau putih sampai ke tanah dan meresap sampai ke lapisan tanah terbawah, maka tetesan darah tersebut dapat menghindari terjadinya malapetaka atau bencana yang bakal menimpa sehubungan dengan sumpah serapah yang telah terlanjur diucapkan oleh Raja Besilutu. Semenjak upacara mosehe dilakukan dengan tumbal seekor kerbau putih itu, maka semua persoalan yang pernah terjadi dianggap telah selesai. Ketiga kerajaan kecil itu akhirnya bergabung menjadi satu kerajaan bernama Kerajaan Konawe yang berpusat di Unaaha dengan Wekoila sebagai raja pertama bergelar mokole. Kehadiran Raja Wekoila dalam memegang tampuk kepemimpinan Kerajaan. Konawe yang juga dianggap sebagai Mokole pertama di Kerajaan Konawe. Hal tersebut sekaligus pertanda awal terbentuknya sistem pemerintahan yang mulai teratur dengan baik. Pada saat itu Wekoila sudah mulai menunjuk seorang “Wati” atau pembantu raja dan pejabat-pejabat yang bergelar
Makna Simbolik Kalosara ... Nur Alam Saleh
Toonomotu’o atau pemimpin masyarakat, yang dibantu oleh pejabat-pejabat adat disebut Tolea Pabi Tara (urusan perapuaa, urusan adat), Posudo (urusan pertempuran/peperangan sekaligus sebagai panglima perang). Masyarakat pada saat itu telah GLNODVL¿NDVLNDQNHGDODPWLJDWLQJNDWDQPDVLQJ masing untuk golongan tingkat atas disebut anakia atau bangsawan, golongan menengah disebut Toononggapa yang merupakan orang kebanyakan, dan golongan tingkat bawah disebut O’ata atau buak (Arsyamid, 2006:12). Untuk mengatur tata kehidupan masyarakat pada saat itu, telah disertai pula dengan seperangkat benda (regalia) yang disebut dengan nama kalosara. Pandangan dalam masyarakat Tolaki di Konawe terhadap keberadaan kalosara tersebut, terungkap dalam suatu motto filosofis yang berbunyi sebagai berikut; Inae Konosara Ieta Pinesara, Ina Lia sara Ieto Pinekasara, Artinya; Barang siapa yang mentaati/menjunjung tinggi hukum (adat) akan diperlakukan dengan baik/adil, barang siapa yang melanggar hukum (adat) akan diberi ganjaran atau hukuman. Penggunaan kalosara sebagai simbol budaya dalam masyarakat Tolaki yang berdiam di daratan Mekongga (Kabupaten Kolaka sekarang), diperkirakan telah berlangsung sejak kehadiran Kerajaan Mekongga. Pada zaman itu kalosara masih berupa ikatan rotan sederhana yang hanya berlaku secara perorangan sebagai tanda kepemilikan sesuatu barang. Status kepemilikan itu dapat berupa tanaman maupun hewan peliharaan serta kepemilikan lainnya. Kepemilikan suatu barang apa saja, manakala telah diberi tanda ikatan rotan yang disebut kinalo, terutama yang diletakkan pada batang pohon tanaman atau pada leher maupun hidung binatang peliharaan, maka barang-barang ataupun ternak/hewan tersebut merupakan pertanda kepemilikan, sehingga tidak boleh lagi diganggu atau dapat diambil oleh orang lain. Kendati demikian adanya pada suatu ketika telah terjadi suatu kasus, dimana ada seorang anggota masyarakat atau penduduk wonua (negeri) datang menghadap kepada sang raja. Orang tersebut mengadukan halnya bahwa barang miliknya telah diberi tanda kinalo telah diambil oleh orang
yang tak dikenalnya. Mendengar pengaduan orang itu, maka sang raja lalu memerintahkan dan memberitahukan kepada seluruh penduduk wanua (negeri) bahwa tanda ikatan rotan pada setiap barang apa saja, merupakan suatu tanda hak kepemilikan seseorang warga masyarakat yang tidak boleh diganggu lagi. Semenjak peristiwa itu lalu sang raja kembali mengundang seluruh aparatnya, yang terdiri atas Mokole, Puutobu/Toonomotuo, tokoh adat dan masyarakatnya untuk bermusyawarah membicarakan dan sekaligus menetapkan/ memutuskan bahwa kalosara, adalah aturan adat istiadat yang diperlakukan bagi seluruh warga Wanua Mekongga dan dijadikan sebagai simbol atau lambang yang sangat disakralkan, dalam mengatur tata hidup pergaulan, kerukunan, kepemilikan dan perdamaian yang bersendikan norma-norma hukum adat. Jenis Bahan Kalo dan Kegunaannya Sebagaimana benda yang berbentuk lingkaran, kalo tidak saja terbuat dari bahan rotan melainkan dapat juga terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, dan sebaginya (Tarimana dalam +D¿G Keberadaan kalosara sendiri yang terbuat dari bahan rotan itu, dalam pemanfaatannya digunakan untuk sejumlah kegiatan. Seperti misalnya upacara perkawinan adat, pelantikan raja-raja, penyambutan tamu agung, upacara perdamaian suatu konflik, sebagai alat untuk menyampaikan suatu pendapat, dan undangan pesta keluarga. Kalosara ini terdiri atas tiga bagian, yakni kalo berupa lilitan tiga rotan yang melingkar, kain putih sebagai pengalas, dan yang berupa anyaman terbuat daun palem berbentuk segi empat. Ketiganya harus menyatu dalam sebuah tatanan dengan susunan paling bawah berupa siwoleuwa sebagai pengalas, kemudian kain putih di atasnya, dan baru kemudian diletakkan kalo di atasnya. Berdasarkan bahan pembuatan dan tempat penggunaannya,maka selain kalosara sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya juga dapat dibedakan dalam beberapa jenis, seperti kalo tusa i tonga yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat
103
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 99—112 tiang tengah rumah, kalo holunga, yaitu kalo yang dipakai untuk mengikat hulu parang, senjata, dan alat-alat produksi lainnya, kalo o wongge yaitu kalo sebagai pengikat aneka ragam wadah, kalo ohotai, o taho, kalo ohopi yaitu macam-macam kalo yang digunakan untuk menangkap ayam hutan dan aneka ragam burung, kalo o oho yaitu kalo yang digunakan untuk menangkap kerbau liar, kuda dan anuang, kalo selekeri yaitu kalo yang digunakan sebagai cincin hidung kerbau. Kalo yang terbuat dari emas, yang disebut kalo eno-eno, yaitu kalo yang digunakan sebagai alat upacara sesaji, alat tebusan sebagai pelanggaran janji untuk melangsungkan upacara peminangan gadis dalam rangkaian perkawinan, sebagai salah satu dari mas kawin, dan dipakai sebagai kalungperhiasan bagi wanita. Kalo yang terbuat dari besi, yang disebut juga kalo kalelawu, yaitu kalo yang digunakan sebagai cincin hidung kerbau, seperti halnya dengan kalo selekeri. Kalo yang terbuat dari perak disebut kalo sambiala, kalo bolusu, dan kalo o lengge yakni kalo yag digunakan sebagai perhiasan dada, pergelangan tangan dan kaki. Kalo yang terbuat dari benang disebut kalo kale-kale, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat pergelangan tangan dan kaki bayi; kalo ula-ula, yaitu kalo yang digunakan sebagai alat berita atau pengkabaran tentang adanya orang meninggal. Kalo yang terbuat dari kain putih disebut Kalo lowani, yaitu kalo yang dipakai di kepala sebagai tanda berkabung. Sedang kalo yang tebuat dari kain biasa disebut kalo usu-usu, yaitu kalo yang dipakai di kepala sebagai pengikat atau penutup kepala bagai oarang tua. Kalo yang terbuat dari akar atau kulit kayu disebut kalo pebo, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat pinggang bagi orang dewasa. Ada juga kalo kalepasi, yaitu kalo terbuat dari akar bahar yang digunakan sebagai perhiasn orang dewasa. Dan kalo parahi atau kalo mbotiso, yaitu kalo yang digunakan sebagai tanda atau patok pemilikan tanah hutan untuk selanjutnya diolah menjadi sebuah ladang atau kintal. Adapun kalo yang terbuat dari daun pandan disebut kalo kalunggalu, yaitu kalo yang dipakai sebagai pengikat kepala bagi gadis remaja. Serta kalo 104
yang terbuat dari bambu disebut kalo kinalo, yaitu kalo yang digunakan sebagai penjaga kintal dan tanaman yang ada di dalamnya. Dan ada juga kalo yang terbuat dari kulit kerbau disebut kalo parado, yaitu kalo yang digunakan untuk menangkap kerbau liar. Secara umum, kalo meliputi osara (adatistiadat), khususnya sara Owoseno Tolaki atau sara mbu’uno tolaki, yaitu adat pokok yang merupakan sumber dari segala adat-istiadat yang berlaku dalam segala aspek kehidupan suku tolaki. sebagai adat pokok, kalo dapat digolongkan ke dalam beberapa bagian yaitu: sara wonua, yaitu adat pokok dalam pemerintahan, sara mbedulu, yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya, sara mbe’ombu, yakni adat pokok dalam aktifits agama atau kepercayaan, sara mandarahia, yaitu adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan, sara monda’u, mombopaho, mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti, yaitu adat pokok dalam berladang, berkebun, berternak, berburu dan menagkap ikan dan sara mberapu, yaitu adat perkawinan yang mengatur dan menetapkan tatacara melamar, memilih jodoh atau segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan dalam berumah tangga. Makna Simbolik dari Kalosara Kalosara adalah sebuah benda yang dipakai dan dipergunakan oleh orang-orang Tolaki dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila ditinjau dari bahan utama yang dipakai dalam pembuatan sebuah alat kalosara adalah rotan. Rotan sangat berarti dalam kehidupan manusia, karena merupakan tumbuhan yang bermanfaat. Selain untuk pembuatan benda yang satu ini, rotan juga dapat dijadikan wadah sehari-hari, seperti misalnya pembuatan keranjang, tikar rotan dan perabot rumah tangga lainnya. Rotan itu tidak mudah patah ataupun putus, sehingga dapat dibentuk menurut kehendak kita. Dengan demikian digunakannya rotan sebagai bahan kalosara mempunyai arti perlambang atau mempunyai makna simbolik. Hal ini dapat memperingatkan seseorang dalam hidupnya agar selalu bermanfaat dan berguna, baik untuk
Makna Simbolik Kalosara ... Nur Alam Saleh
kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kepentingan orang banyak/umum. Manusia harus hidup rukun dan bekerjasama dengan orang lain, saling tolong menolong sehingga dapat terjalin suatu persekutuan hidup yang damai dan tenteram serta dapat terhindar dari perselisihan. Demikian pula makna simbolik yang terdapat dalam lingkaran rotan yang dipilin tiga, dimana kedua ujungnya dipertemukan pada satu simpul dan ada yang panjang dan ada yang pendek. Ketiga rangkaian pilinan rotan tersebut masing-masing dapat melambangkan mulai dari sebuah keluarga batih atau inti yang merupakan satu kelompok masyarakat terkecil sampai kepada tingkat pemerintahan dan kenegaraan (kerajaan). Dalam sebuah keluarga inti misalnya, terdiri atas tiga unsur yakni masing-masing seorang ayah, ibu dan anak-anaknya. Ketiga unsur tersebut disimbolkan atas dasar ketiga pilinan rotan yang dipertemukan pada satu simpulnya. Sementara keluarga batih atau inti yang mengatur kehidupan rumah tangganya sendiri dapat dilambangkan dengan wadah atau siwole yang merupakan wadah dari kalosara tersebut. Selain dalam tiga unsur keluarga inti yang telah disebutkan, makna simbolik kalosara juga dapat melambangkan masing-masing unsur-unsur keluarga luas, kerabat kindred, dan kelompok kerabat ambileneal luas. Ketiga unsur-unsur dari keluarga yang dimaksudkan itu adalah antara para paman dengan isterinya, para bibi dengan suaminya, dan para kemenakan derajat satu. Demikian pula tiga unsur yang terdapat dari kindred itu, masingmasing adalah semua saudara sepupu derajat pertama bersama dengan isteri atau suaminya, semua saudara sepupu derajat kedua bersama isteri atau suaminya, semua saudara sepupu derajat ketiga bersama isteri atau suaminya. Termasuk pula dalam hal ini anak-anak yang dilahirkannya. Sedangkan pada kelompok kerabat ambileneal luas yang dilukiskan dalam makna simbolik kalosara ini, dilambangkan kedalam kesatuan dan persatuan seluruh warga orang Tolaki yang berasal dari satu nenek moyang, adat dalam kehidupan kerabat ambilineal, dan pola dari suatu wilayah distrik atau kecamatan sebagai tempat pemukiman semua warga kelompok kerabat ambilineal luas asal dari satu nenek moyang.
Dalam sistem kepemimpinan tradisional yang meliputi unsur-unsur pimpinan kelompok sosial kecil, adat dalam kehidupan dan wadah lingkungan kecil tempat tinggal warganya, mempunyai makna simbolik menurut kalosara tersebut. Unsur-unsur pimpinan yang dimaksudkan itu terdiri atas tiga, yakni tonoomotuo sebagai pimpinan atau ketua kelompok, tamalaki sebagai kepala pertahanan dan keamanan, dan mbu’akoi sebagai dukun kelompok. Demikian pula pada sistem kepemimpinan di tingkat desa mempunyai unsur-unsur yang terdiri atas; tonoonotuo sebagai kepala desa, Pabitara sebagai hakim adat, dan o sudo sebagai wakil kepala desa. Sedangkan di tingkat kecamatan terdiri atas putobu sebagai kepala wilayah kecamatan, pabitara sebagai hakim adat di tingkat kecamatan, dan posudo sebagai aparat pembantu kepala wilayah kecamatan. Demikian pula pada masa kerajaan di zaman silam, di mana terdapat dua buah kerajaan yakni Konawe dan Mekongga. Kedua kerajaan tersebut masing-masing mempunyai pimpinan yang terdiri atas; Mokole (Konawe) atau Bokeo (Mekongga) sebagai pimpinan yang tertinggi di suatu kerajaan atau raja, Sulemandara sebagai perdana menteri, dan Tutuwi Motaha adalah aparat pertahanan di kerajaan tersebut. Ketiga komponen tersebut merupakan simbol kalosara, di mana dalam setiap pilinnya yang terlilit tiga itu, masing-masing melambangkan satu unsur pimpinan. Makna simbolik kalosara yang dipilin tiga itu dengan mempertemukan pada dua simpul, juga melambangkan adanya unsur pemerintahan, unsur agama dan unsur adat. Ketiga unsur-unsur tersebut tersalut menjadi satu dalam simbol kalosara. Ketiga komponen yang terdiri unsur pemerintahan, agama dan adat itu saling dukung mendukung dalam upaya menciptakan tingkat kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Dalam setiap menyuguhkan atau menampilkan kalosara ini dalam berbagai kegiatan, baik yang sifatnya upacara maupun tidak dilengkapi dengan wadah dan kain putih bersih. Wadah yang biasanya terbuat dari anyaman daun pandan atau lainnya itu disebut siwole. Baik wadah maupun kain putih tersebut juga mempunyai makna simbolik tersendiri. Misalnya sebuah keluarga inti yang berada dalam sebuah rumah tangga 105
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 99—112 bersama dengan adatnya, masing-masing dapat dilambangkan sebuah kalosara yang diletakkan di atas sebuah wadah siwole yang dilapisi dengan kain putih. Pada kehidupan keluarga yang lebih luas lagi, di mana terdapat adat dalam kehidupan keluarga dan komonitas serta hubungan antar unsur-unsurnya yang saling terkait secara timbal balik. Kalau ketiga unsur keluarga luas itu, dilambangkan dengan ketiga pilinan rotan pada kalosara, maka untuk adat dalam kehidupan dan pola komoniti keluarga dilambangkan dengan wadah atau siwole dengan kain putihnya. Demikian juga dalam kindred dilambangkan kain putih dan pola desa pemukiman kindred disimbolkan wadah atau siwole. Mulai dari tingkat sosial terkecil sampai dengan sistem pemerintahan, kedua perlengkapan kalosara itu masih mempunyai makna simbolik. Siwole atau wadah itu mempunyai makna simbolik sebagai tempat tinggal warganya pada kelompok lingkungan terkecil, termasuk pula kain putih sebagai lambang adat dalam kehidupan bermasyarakat. Di tingkat desa maupun kelurahan di mana selain kalosara sebagai simbol dari unsur-unsur perangkat desa/ kelurahan, maka adat dalam kehidupan desa dan desa sebagai sebuah pemukiman dilambangkan dengan kain putih dan siwole. Demikian juga halnya dengan pada tingkat kecamatan sampai dengan kerajaan bahkan dalam bentuk sistem pemerintahan dan ketatanegaraan seperti sekarang ini. Wadah atau siwole adalah perlambang dari sebuah tempat tinggal atau pemukiman baik warga desa/kelurahan, kecamatan, kerajaan dan seterusnya. Sedangkan kain putih bersih merupakan lambang dari adat dalam kehidupan yang sedang berlangsung pada suatu pemukiman di mana mereka itu berada. Menurut Tarimana (1993:210) dijadikannya wadah (siwole) dan kain putih yang merupakan kelengkapan dari benda kalosara, sebagai benda yang juga mempunyai makna simbolik di dalamnya, karena berdasarkan hasil penelitiannya bahwa kain putih itu identik dengan kesucian dan keadilan, dan pada tingkat berikutnya dianalogikan segala hal yang suci dan adil yang dilakukan oleh manusia berdasarkan ajaran adat. Sedangkan 106
siwole disimbolkan sebagai wadah, mulai dari wadah tingkat desa, kecamatan, kerajaan dan seterusnya, maka yang dimaksudkannya adalah wadah anyaman tempat kalosara yang identik dengan wilayah pemukiman penduduk. Terlepas dari kedua perlengkapan kedua alat tersebut di atas, kalosara juga sangat sarat dengan makna simbolik dalam setiap kegiatankegiatan upacara terutama pada upacara daur hidup seseorang. Karena upacara daur hidup itu merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Adapun jenis upacara yang dikenal di kalangan orang Tolaki, diantaranya adalah upacara mesosambakai yakni upacara penyambutan kelahiran bayi pertama, upacara mepokui yakni pemotongan rambut, manggilo yakni upacara sunatan, mepakawi atau medulu yakni upacara perkawinan, dan upacara kematian yang disebut mateha. Pada saat penyelenggaraan upacara mesosambakai berlangsung, maka kehadiran keluarga yang berasal dari satu turunan nenek moyang sedapat mungkin diundang untuk dapat menghadirinya. Salah satu peristiwa yang dianggap cukup penting dalam upacara kelahiran ini, adalah pemasangan kale-kale ketika bayi telah lahir. Kale-kale ini adalah ikatan pada pada kedua pergelangan tangan dan kakinya. Kale-kale yang merupakan gelang ikatan-ikatan tersebut identik dengan kalo dalam versi yang lain. Pemakaian alat tersebut dimaksudkan agar si bayi tidak diganggu oleh makhluk halus dan jenis-jenis gangguan lainnya. Karena menurut anggapan bahwa pada keempat ujung anggota badan si bayi merupakan jalur bagi masuknya gangguan makhluk halus. Berdasarkan pemakaian kale-kale yang diidentikkan dengan kalosara itu, sehingga dianggap mempunyai makna simbolik dalam kehidupan orang-orang Tolaki. Pemakaian kalekale serupa juga digunakan pada upacara potong rambut yang disebut mepokui. Perbedaan hanya terletak pada bahan ikatan, di mana pada upacara mesosambakai menggunakan bahan benang berwarna putih sedangkan pada upacara mepokui menggunakan bahan logam putih. Makna simbolik kalosara juga terekspresi pada upacara manggilo atau sunatan. Anak yang menjalani upacara ini dipasangkan kepadanya
Makna Simbolik Kalosara ... Nur Alam Saleh
sebuah ikatan di pinggangnya. Ikatan tersebut bernama pebo, yakni suatu ikatan kalo yang dililitkan pada pinggang. Adapun bahan ikatan pinggang ini terbuat dari sejenis kulit kayu atau dari sejenis akar pohon yang keras. Ikat pinggang tersebut terus menerus dipakai sampai akhir hayat dari seseorang. Penggunaan ikatan kalo ini pada pinggang seseorang Tolaki adalah dimaksudkan agar hubungan erat antara tubuh dan jiwa senantiasa terperlihara. Menurut pandangan orang-orang Tolaki bahwa demi untuk kelangsungan kehidupan yang manusiawi maka kondisi tersebut perlu dipertahankan. Karena tanpa kondisi seperti itu maka sulit bagi seseorang untuk mampu mengatasi masalahmasalah yang timbul dalam hidupnya. Kondisi ini adalah hubungan yang bersifat timbal balik antara unsur-unsur tubuh dengan unsur-unsur jiwa manusia, yang menggambarkan hubungan yang serasi, seimbang dan selaras. Manakala terjadi kepincangan di antara keduanya akan PHQLPEXONDQ JHMDOD NHODLQDQ ¿VLN GDQ PHQWDO Demikian gambaran dari hubungan yang erat antara unsur tubuh dan jiwa manusia, yang dapat dilambangkan dengan kalosara dalam versinya sebagai pebo. Pada upacara perkawinan yang disebut mepakawi atau medulu, di mana dalam proses penyelenggaraannya didahulu dengan sejumlah tahap-tahap. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa secara ideal dan normatif proses penyelenggaraan suatu perkawinan dilakukan sebanyak lima tahap, yaitu; tahap metiro (meninjau calon isteri), mondutudu (pelamaran jajagan), meloso’ako (pelamaran sesungguhnya), mondongo niwule (meminang) dan mowindahako (upacara akad nikah). Namun seiring dengan perkembangan zaman mengalami penyederhanaan menjadi tiga tahap, masing-masing tahap monduutudu, mondongo niwule, dan mowindahako. Dalam setiap tahap penyelenggaraan perkawinan itu, senantiasa menghadirkan kalosara. Keberadaan kalosara sangat begitu penting pada setiap tahap upacara. Tanpa kehadiran kalosara disetiap upacara dalam rangkaian perkawinan dipandang tidak sah, sehingga tidak ada upacara perkawinan tanpa kalosara. Adapun kalosara yang digunakan
dalam urusan perkawinan disebut kalosara mbendulu (kalo adat perkawinan). Maksud penggunaan kalosara dalam sebuah perkawinan orang Tolaki adalah untuk mempererat hubungan kekeluargaan di kalangan keluarga luas, dan juga untuk mengikat hubungan dengan kelompok kerabat. Seperti halnya dengan upacara daur hidup lainnya, upacara kematian pada orang-orang Tolaki tidak luput dari penggunaan kalosara. Menurut orang Tolaki bahwa kematian yang dianggap wajar adalah dikarenakan penyakit. Kendati pun tidak meutup kemungkinan kematian itu disebabkan oleh beberapa penyebab lainnya. Khusus bagi penyakit yang disebabkan oleh makhlus halus dengan memanfaatkan jasa dukun dengan cara pengobatan mowea. Mowea ini dimaksudkan untuk memisahkan dan mengeluarkan penyakit yang ada dalam tubuh penderita dan dikembalikan kepada yang membuat penyebab penyakit tersebut. Cara pengobatannya dengan menggunakan kalo yang disebut o eno atau kalung emas, dilengkapi dengan kain sarung, wadah anyaman dan hulo taru atau lilin. Melalui perantaraan kalo ini sang dukun memanggil makhluk halus penyebab penyakit sembari mengucapkan mantera-mantera, yang mengharapkan agar makhluk halus yang bersangkutan dapat berdamai dengan si sakit. Karena pada dasarnya penyakit yang ditimbulkan oleh makhluk halus adalah akibat dari ulah si sakit atau keluarganya yang mengganggu ketentramannya atau karena hubungan antara manusia dengan dunia gaib tidak harmonis adanya. Mengamati sistem pengobatan tersebut memperlihatkan betapa pentingnya arti dan makna sebuah kalo dalam sebuah penyembuhan. Meskipun demikian keberhasilan suatu penyembuhan orang sakit tidaklah selalu berada di pihak sang dukun, melainkan tuhan jualah yang paling menentukan mati hidupnya seseorang. Apabila kematian telah datang baik dikarenakan penyakit atau penyebab lainnya, maka biasanya dilakukan penyembelihan seekor kerbau yang disebut kotumbenao, yakni korban pemutus nyawa; pemisah antara tubuh dan roh. Sementara yang lainnya membunyikan gong sebagai tanda pengiring roh menghadap kepada 107
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 99—112 tuhannya yang disebut tumotabua. Untuk memberi tahu kerabat yang jauh dan terutama mereka yang dituakan serta para sesepuh di desa, maka diutuslah beberapa orang untuk mengantarkan kalo yaitu kalo ula-ula dan kalo lowani. Kalo ulaula adalah kalo asal terbuat dari gulungan benang putih yang dibentuk seperti orang-orangan, dimana digunakan untuk perkabaran tentang adanya orang meninggal, sedangkan kalo lowani yakni kalo asal dari sobekan kain putih dipakai sebagai tanda berkabung. Orang yang datang melayat/berkabung di tempat orang kematian itu, sebagian besar mengenakan kalo lowani. Makna simbolik yang terkandung dari kedua kalo tersebut masing-masing menggambarkan bahwa penggunaan kalo ula-ula atau kowea adalah anggota kerabat yang meninggal itu datang kepada kerabatnya untuk pamit mendahului menghadap Tuhan dan sekaligus mengharapkan kiranya kerabatnya yang masih hidup itu, sudi untuk ikut mengurus keluarga yang ditinggalkan. Sedang makna simbolik dari penggunaan kalo lowani adalah kerabat merasa kehilangan seorang anggota kerabat yang sangat banyak menentukan dalam pembinaan keluarga dan kerabat secara keseluruhan. Penggunaan kalosara pada upacaraupacara resmi dalam urusan pemerintahan, misalnya pelantikan raja di zaman lampau atau penobatan ketua-ketua adat dan upacara-upacara penyambutan adat para pejabat pemerintah yang disebut kalosara wonua. Makna simbolik dari penggunaan kalosara tersebut adalah bahwa rakyat sangat mengharapkan bimbingan dan perlindungan dari pimpinannya dan sebaliknya pemerintah mengharapkan dukungan serta bantuan dari rakyatnya. Disamping itu penggunaan kalosara pada kegiatan upacara-upacara tersebut di atas, dimaksudkan untuk mempererat tali hubungan antara pemerintah dan rakyat. Makna simbolik lainnya juga terdapat pada pertemuan kedua simpul kalosara, dimana menunjukkan satu simpul berukuran panjang dan simpul lainnya berukuran pendek. Simpul yang berukuran tinggi itu di arahkan kepada orang yang dibawakan atau ditujukan kalosara, menandakan orang tersebut mendapatkan penghargaan tinggi dan diharapkan pula dapat memberi petunjuk. Sedang simpul 108
yang berukuran pendek menandakan bahwa orang yang membawakan kalosara siap untuk menerima petunjuk atau bimbingan. Selain sarat dengan muatan makna simbolik sebagaimana telah dikemukakan di atas, kalosara juga merupakan alat komunikasi dan sebagai bahasa lambang kepada pihak-pihak tertentu. Komunikasi secara timbal balik secara perorangan, keluarga dengan keluarga, golongan dengan golongan dalam konteks kehidupan sosial. Demikian pula dalam berkomunikasi dengan unsur-unsur alam dan lingkungan sekitarnya. Sebagai salah satu contoh kasus yang pernah terjadi suatu perseteruan antara PT. Telkom dengan masyarakat setempat, ketika petugas Telkom sedang memasang jaringan kabel yang melintasi halaman rumah penduduk. Karena terjadi salah pengertian oleh kedua belah pihak sehingga Q\DULVEHQWURNDGX¿VLN3HWXJDV7HONRPPHUDVD benar karena diperintahkan oleh atasannya dalam memberikan pelayanan jasa terhadap masyarakat yang membutuhkannya. Sementara salah seorang warga masyarakat yang ranting pohonnya dipangkas sedikit merasa tersinggung. Untuk menyelesaikan persengketaan tersebut seorang Pabitara melemparkan kalosara pada lokasi permasalahan. Akhirnya permasalahn tersebut diselesaikan secara adat. (Hasil wawancara dengan Abdul Latief Parate). Kasus serupa juga pernah dialami langsung oleh Arsyamid seorang informan, ketika itu ia sedang menunggangi seekor kuda dan memasuki sebuah perladangan/perkebunan sagu. Pada saat itu ada dua orang sedang saling berburu dengan parang terhunus. “saya tidak mengetahui persis dari keduanya, siapa yang memburu dan siapa yang diburu” kata budayawan Tolaki tersebut kepada penulis. Melihat terjadi ketegangan diantara keduanya, lalu saya masuk kerumpun sagu dan secara spontan melempar topi yang kebetulan bentuknya bundar itu, kehadapan orang yang bertikai tersebut, sembari mengatakan “itu adalah kalo ayo berhenti”. Melihat topi yang diidentikkan sebagai kalo itu, lalu keduanya yang masing-masing dengan parang telah terhunus kembali rujuk dan saling bersalaman. Kasus lainnya lagi yang dapat diselesaikan dengan berkat adanya kalosara, yaitu ketika
Makna Simbolik Kalosara ... Nur Alam Saleh
terjadi kasus sengketa tanah di Kecamatan Unaaha Kabupaten Kendari pada tahun 1994 GLPDQDWHUMDGLNRQÀLNDQWDUDZDUJD'HVD3XRVX (Komunitas Tolaki) dengan warga transmigran yang difasailitasi oleh Bupati H. Razak Porosi, +D¿G Mencermati contoh kasus tersebut di atas, maka keberadaan kalosara dalam kehidupan masyarakat orang Tolaki sangat penting artinya, tidak hanya untuk keperluan pada upacaraupacara baik yang berkaitan dengan lingkaran hidup maupun yang berkaitan dengan gejala alam, melainkan untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Eksistensi Fungsi Kalosara Meskipun kalosara terbilang usianya seumur dengan kehadiran Kerajaan Konawe di Kendari dan Mekongga di Kolaka, namun sebagai suatu hasil produk nenek moyang mereka, sampai saat ini masih tetap dipergunakan dan dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya. Bahkan berdasarkan hasil penelitian Tarimana beberapa tahun lalu, menunjukkan bahwa ada sekitar 86% dari 384 orang responden, yang menilai kalosara itu masih sangat berperanan sebagai lambang integrasi dan solidaritas masyarakat Tolaki (1993:211). Kalaupun terjadi adanya perubahan kalosara WHUVHEXWPDNDWLGDNODKWHUODOXVLJQL¿NDQWHUXWDPD dalam penggunaannya. Adapun aspek-aspek yang telah dianggap berubah adalah masalah bentuk ukurannya. Dimana kalau dahulu ditemukan sampai lima bentuk kalosara dengan berbagai ukuran, namun sekarang ini sisa menjadi dua atau tiga bentuk ukuran, yang masing-masing terdiri atas ukuran sebesar kepala dan ukuran selebar bahu orang dewasa. Demikian pula dalam penggunaannya telah mengalami sedikit perubahan terutama dalam tahap-tahap prosesi sebuah pelamaran pada suatu perkawinan. Kalau dahulu proses suatu penyelenggaraan perkawinan lima tahap, masingmasing tahap metiro, mondutudu, meloso’ako, mondongo niwule, dan tahap mowindahako, maka sekarang ini sudah disederhanakan menjadi tiga tahap, yakni monduutudu, mondongo niwule, dan mowindahako.
Peranan lainnya dari aspek penggunaan kalosara yang sampai sekarang ini tetap berlangsung atau dilakukan, diantaranya adalah dalam penyelenggaraan upacara ritual sepeti mosehe wanua yang biasanya diselenggarakan sekali dalam setahun. Disamping itu juga digunakan dalam upacara pergantian tahun pertanian dan juga sebagai penjaga tanaman jangka panjang, dan yang tak kalah pentingnya adalah sebagai alat perdamaian, apabila terjadi pertentangan sosial dalam suatu kelompok masyarakat ataupun yang lebih luas. Untuk mendamaikan sejumlah pertentangan yang terjadi di tengah-tengah kelompok masyarakat, dimana disebabkan oleh berbagai persoalan masing-masing mempunyai nama tersendiri. Misalnya untuk mempersatukan antara golongan bangsawan dengan golongan bawah pada zaman lampau, maka kalosara yang digunakan disebut kalosara mu’utabu. Kalosara mbu’utabu ini dipakai untuk menghadap kepada puutobu yang bertindak sebagai kepala wilayah, agar dapat turun tangan untuk memulihkan persoalan kedua golongan tersebut. Demikian pula untuk mempersatukan atau mendamaikan antara pihak pemerintah dengan rakyatnya. Untuk itu menggunakan kalosara mokole (raja), agar turun tangan memulihkan perselisihan tersebut. Kalosara ini juga digunakan dalam mendamaikan dua belah pihak keluarga yang sedang bertikai, karena terjadi suatu perkawinan di luar ketentuan adat dengan cara kawin lari. Maka untuk mempersatukan kedua belah pihak dengan menggunakan kalosara sokei. Hal ini dimaksudkan untuk membentengi diri dari pihak keluarga yang membawa lari anak gadis. Sedang kalosara mekondora berperan untuk menyelamatkan hidup seseorang yang berselisih, karena kedua orang itu saling mengancam untuk membunuh lawannya. Dengan kehadiran kalosara tersebut sehingga terhindarlah pertentangan maupun perselisihan dan akhirnya dapat mempersatukan serta berdamai dua pihak yang bertikai itu. Sebagai pihak ketiga atau penengah yang dianggap dapat menyelesaikan setiap silang sengketa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat itu, maka di daerah Kabupaten Kendari khususnya dan masyarakat Tolaki pada 109
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 99—112 umumnya telah terbentuk perangkat kelembagaan adat, masing-masing untuk tingkat desa dan kelurahan pejabatnya disebut Toonomotuo dengan membawahi dua orang perangkatnya, yakni Tolea sebagai duta atau perwakilan dan Pabitara sebagai juru bicara. Sedangkan ditingkat kecamatan pejabatnya disebut Puutobu. Kedua perangkat kelembagaan adat baik yang ada di tingkat desa/kelurahan maupun kecamatan ini, yang bertugas dalam menyelesaikan semua persoalan dan permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, untuk menjadi seorang Toonomotuo ataupun Puutobu beserta perangkat adatnya harus memiliki persyaratan tertentu, diantaranya adalah lakilaki yang sudah dewasa, memiliki kharisma dan wibawa dimata masyarakatnya, memiliki mental terpuji, memiliki wawasan yang cukup luas terutama tentang adat istiadat, mempunyai tutur bahasa yang baik, dan lain sebagainya serta telah dikukuhkan atau dinobatkan. Disamping itu untuk zaman sekarang ini para perangkat kelembagaan adat telah pula diberikan uang jasa atau honor dalam menjalankan tugasnya . Biasanya dalam menjalankan tugasnya ini, Toonomotuo dimintai kesediannya untuk memberikan bantuan kepada yang mengalami permasalahan akan menanganinya dengan sepenuh hati dan menyelesaikan dengan kekeluargaan. Terutama dalam hal prosesi penyelenggaraan perkawinan secara adat maupun di luar ketentuan adat, maka perangkat adat yang terdiri atas Tolea dan Pabitara turut mengambil peran. Tolea sebagai wakil atau duta dari pihak laki-laki, sedangkan Pabitara adalah wakil juru bicara dari pihak perempuan. Pada prosesi penyelenggaraan perkawinan secara adat, biasanya dapat berjalan secara mulus tanpa hambatan setelah melalui suatu musyawarah. Beda halnya dengan pengurusan atau penyelesaian urusan perkawinan yang didahului dengan pelanggaran atau diluar ketentuan adat, maka selain kalosara tetap dihadirkan juga sejumlah perlengkapan/ kelengkapan dan membayar denda berupa seekor kerbau dan sebagainya. Dalam persoalan-persoalan tertentu yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, baik yang bersifat individu atau keluarga maupun kelompok 110
yang lebih luas dan menjurus kepada perbuatan hukum pidana atau perdata, biasanya perangkat adar bekerjasama dengan pihak yang berkompoten dalam hal ini pihak kepolisian. Apabila suatu permasalahan tidak dapat diselesaikan secara kelembagaan adat yang tersedia, maka persoalan tersebut diserahkan kepada pihak yang terkait. Dengan demikian lembaga adat menyelesaikan perdamaian antara pihak keluarga atau kelompok yang bertikai secara adat, sementara pihak kepolisian atau pemerintah menyelesaikan proses hukumnya. Bagi orang Tolaki yang sedang berperkara atau bermasalah kepada siapa saja, dan telah dibawakan kalosara kepadanya lalu ia tidak menerimanya, maka orang tersebut dianggap mate sara artinya mati adat. Sehingga orang yang demikian itu kepadanya tidak akan dibawakan lagi adat. Kemudian segala bentuk urusan kekeluargaannya yang menyangkut soal adat istiadat, tidak perlu lagi diselesaikan melalui hukum adat. Sehingga itulah sebabnya sering terdengar ungkapan dari orang tua bahwa barang siapa yang tidak mentaati kalosara, maka ia akan menjadi bere-bere olutu ruru mbenao, yang artinya tersisih dari pergaulan masyarakat umum. Apabila telah terjadi hal yang demikian itu maka orang tersisih tadi disebut mbrito, yaitu manusia yang tidak punya harga diri lagi. PENUTUP. Diperkirakan penggunaan kalosara sebagai benda budaya yang dapat mengatur tata kehidupan dalam bermasyarakat, telah berlangsung sejak zaman Kerajaan Konawe di Kendari dan zaman Kerajaan Mekongga di Kolaka. Di zaman Kerajaan Konawe pemakaian kalosara “dipopulerkan” oleh Mokole Wekoila yang konon berasal dari daerah Selatan yang juga dikenal dengan nama Wetenri Abeng. Ketika me”nakhodai” kerajaan itu, sistem pemerintahannya telah mulai teratur dengan baik. Demikian pula untuk mengatur tata kehidupan masyarakatnya pada saat itu, telah dipergunakan benda regalia yang disebut kalosara. Keberadaan kalosara ini terungkap dalam suatu motto ¿ORVR¿VQ\D\DQJEHUEXQ\L³Inae konosara ieta pinesara, Ina liasara ieto pinekasara”. Artinya; barang siapa yang mentaati menjunjung tinggi
Makna Simbolik Kalosara ... Nur Alam Saleh
hukum (adat) akan diperlakukan dengan baik/ adil, barang siapa yang melanggar hukum (adat) akan diberikan ganjaran atau hukum. Penggunaan kalosara hampir meliputi seluruh aspek kehidupan orang Tolaki, mulai dari sebuah keluarga sebagai unit terkecil kelompok masyarakat sampai kepada sistem pemerintahan atau kerajaan di masa silam. Kalosara dapat dipakai pada setiap upacara berlangsung, baik upacara daur hidup maupun upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam. Tanpa kehadiran sebuah kalosara pada upacara-upacara tersebut, maka dianggap belum sah adanya. Demikian pula penggunaan kalosara di luar upacara-upacara, dapat dipakai sebagai alat pendamai ketika terjadi pertikaian antara perorangan, keluarga, kelompok atau antara masyarakat dengan pemerintah. Sebagai alat perkabaran atau undangan, baik karena ditimpa kedukaan (meninggal dunia) atau sebagai undangan dalam sebuah perkawinan. Sebagai alat penyambutan tamu-tamu kehormatan atau penting lainnya. Kalosara mengandung makna simbolik dan sarat dengan nilai-nilai budaya di dalamnya. Rotan yang menjadi bahan dasar dalam pembuatan kalosara merupakan tumbuhan yang sangat bermanfaat dan berarti dalam kehidupan manusia. Keberadaan rotan dapat dijadikan peralatan untuk kebutuhan sehari-hari, misalnya untuk perabot rumah tangga. Rotan mempunyai ketahanan yang cukup lama dan tidak mudah patah serta gampang dibentuk. Bahkan rotan yang tumbuh dalam hutan itu, airnya dapat diminum sebagai pengobat dahaga. Demikianlah sehingga rotan ini dipandang mempunyai arti dan perlambang bagi manusia. Dimana dapat memperingatkan seseorang dalam hidupnya agar selalu bermanfaat dan berguna, baik untuk kepentingan dirinya maupun orang banyak/umum. Manusia harus hidup rukun dan bekerjasama dengan orang lain, saling tolong menolong sehingga dapat terjalin suatu persekutuan hidup yang damai dan tenteram serta dapat terhindar dari perselisihan. Demikian pula makna simbolik dalam lingkaran rotan yang terpilin atau terlilit sebanyak tiga kali melambangkan keluarga batih atau inti dan pemerintahan (negara). Keluarga inti dilambangkan dengan ketiga pilinan rotan masing-
masing ayah, ibu dan anak-anaknya sedang dalam sistem kenegaraan/pemerintahan masing-masing unsur pemerintah, agama dan adat di mana ketiga unsur tersebut dilambangkan juga dengan tiga pilinan rotan kalosara. Eksistensi fungsi kalosara dewasa ini masih tetap diketahui dan dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya, terutama dalam hal prosesi penyelenggaraan sistem perkawinan adat Tolaki. Demikian pula terhadap upacara-upacara lainnya seperti Mosehe Wanua, yakni upacara yang biasanya diselenggarakan sekali setahun atau apabila daerah itu tertimpa suatu musibah. Kalosara sampai sekarang ini masih tetap GLJXQDNDQ GDODP PHQ\HOHVDLNDQ VXDWX NRQÀLN atau sengketa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, dijadikan sebagai alat kebesaran ketika menjemput tamu-tamu terhormat yang datang berkunjung ke daerah itu dan sebagainya. Kalosara yang merupakan produk budaya para leluhur orang Tolaki banyak menyimpan nilai-nilai positif di dalamnya, sehingga perlu kembali dikaji secara lebih mendalam lagi, sehingga dapat dimanfaatkan bagi pembangunan di segala bidang. Sementara nilai-nilai yang dianggap bermuatan negatif secara bertahap dapat dikurangi atau dihilangkan. Tentunya untuk semua itu maka diharapkan semua pihak dapat berperan serta, mulai dari tokoh masyarakat, guru dan pemerintah untuk mengambil bagian dalam mengembangkan dan membina kebudayaan yang ada termasuk kalosara itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA Agustina, Tira. 2012. Pelaksanaan Penjatuhan Sanksi Adat Peohala Terhadap Pelanggaran Hukum Adat Kesusilaan Tolaki di Kota Kendari. Jakarta: Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana Sistem Peradilan Pidana Aminuddin. 1988. Semantik, Pengantar Studi Makna. Bandung: Sinar Baru. Alisyahbana, S. Takdir. 1977. Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia, dilihat dari jurusan Nilai-Nilai. Jakarta: Idayu Press. Arsamid. 2006. Hukum Adat Perkawinan Tolaki. Kendari: LP3SKT - LATKOM.
111
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 99—112 Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. 1998. Kebijaksanaan Teknis Operasional Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional. Jakarta: Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Gazalba, Sidi. 1978. Azas Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Geertz, Hildred. 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta: Diterbitkan untuk yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dan FISUI. +D¿G$QZDU .RQÀLN 6DUD GL :LOD\DK Pertambangan (Kausu Sulawesi Tenggara), Makalah Disajikan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta. Badan Pekerja Kongres Kebudayan Indonesia Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. +D¿G$QZDUKalosara Sebagai Instrumen Utama Dalam Kehidupan Sosial Budaya Suku Tolaki di Sulawesi Tenggara, http:// anwarhapid.blogspot. com/2013/01/ kalosara-sebagai-instrumen-utama-dalam. html. (Online). Diakses pada tanggal 23 Maret 2015. Idaman. 2012. Kalosara Sebagai Medium Resolusi Konflik Pertanahan pada Masyarakat
112
Tolaki di Kabaupaten Kendari Konawe Sulawesi Tenggara. http://idamanalwi. multiply/journal. (Online). Diakses pada tanggal 23 Maret 2015. Manyambeang, Abd Kadir, dkk, 1984. Upacara Tradisional Dalam Kaitannya Dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Provinsi Sulawesi Selatan. Ujungpandang; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Moleong, Lexi, J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung; Remaja Rosdakarya. Salam, Abdul, 2011. “Makna Simbolik Balli’ Na Gandrang Dalam Proses Perkawinan Masyarakat Bulukumba Di Kabupaten Bulukumba”. (Tesis). Kendari: Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Haluoleo. Spradley, James P. 1997. Metode Enografi. Jakarta: PT. Tiara Wacana. Suud, Muslimin. 2006. Hukum Adat Tolaki (Osara). Unaaha: Lembaga Pusat Pengkajian dan Pengembangan Sejarah dan Kebudayaan Tolaki (LP3SKT). Tarimana, Abdurrauf. 1993. Kebudayaan Tolaki. 6HUL (WQRJUD¿ ,QGRQHVLD -DNDUWD %DODL Pustaka.