ANNYALA DALAM PERKAWINAN ADAT ORANG MAKASSAR ANNYALA IN MAKASSARESE TRADITIONAL MARRIAGE Nur Alam Saleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748, 885119 Faksimile (0411) 865166 Pos-el:
[email protected] Diterima: 19 Februari 2014; Direvisi: 25 Maret 2014; Disetujui: 12 Mei 2014 ABSTRACT Annyala is a marriage which deviates from the customary rules of Makassar and consequences to siri (selfesteem). This study aims to determine the existence of the tradition of annyala as a deviation form of rule and customary marriage of Makassar. This study applies qualitative method with the technique of observation, interviews and literature. Based on result of analysis, the marriage of annyala is caused to several factors, likes kasiratangngang (unequal degrees), had already choiced marriage by parents and so on. Although lawfully wedded by priest, tumannyala still remain the shadows of the deadly from tumasirik while they go. As customary remedies against to annyala, the man should delegate one person to the girl’s family party to discuss the relationship of the pair of tumannyala through appalak bajik. Keywords: Marriage customs, annyala, appalak bajik ABSTRAK Annyala adalah perkawinan yang menyimpang dari aturan adat orang Makassar dan berkonsekuensi siri (harga diri). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi tradisi annyala sebagai bentuk penyimpangan aturan dan adat perkawinan Makassar. Penelitian ini menerapkan metode kualitatif serta teknik pengamatan, wawancara dan pustaka. Berdasarkan hasil analisis, perkawinan annyala disebabkan beberapa faktor, misalnya kasiratangngang (derajat yang tidak setara), terlanjur sudah dijodohkan dengan pilihan orang tua, dan lain-lain. Meskipun telah dinikahkan secara resmi oleh penghulu/imam, tumannyala tetap dalam bayang-bayang intaian maut dari pihak tumasirik selama pelariannya. Sebagai upaya penyelesaian secara adat terhadap annyala, pihak pemuda mendatangkan utusan kepada pihak keluarga si gadis untuk merundingkan hubungan dari kedua tumannyala tersebut melalui appalak bajik. Kata kunci: Perkawinan adat, annyala, appalak bajik
PENDAHULUAN Kebudayaan meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan bersifat rohani, seperti agama, kesenian, ¿OVDIDW LOPX SHQJHWDKXDQ WDWD QHJDUD GDQ ODLQ sebagainya. Kebudayaan juga diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang, Manusia tidak hidup begitu saja di tengah alam, melainkan berusaha mengubah alam itu. Di dalam pengertian kebudayaan juga terdapat tradisi, yang merupakan pewarisan sebagai norma, adat istiadat dan kaidah-kaidah. Namun tradisi bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah, justru tradisi terpadu dengan berbagai perbuatan dan tindakan manusia dan diangkat
dalam keseluruhannya (Budiono, 2011:15). Salah satu unsur kebudayaan yang masih tetap dilestarikan sampai saat ini dan bahkan dijadikan sebagai warisan budaya adalah perkawinan adat. Perkawinan merupakan salah satu masa peralihan yang paling penting dalam fase kehidupan manusia, karena telah menjadi kodrat alami di mana dua insan manusia berlainan jenis antara seorang laki-laki dan perempuan saling memiliki rasa ketertarikan satu sama lainnya untuk hidup bersama. Sehingga dalam sebuah perkawinan dapat menjadi salah satu proses manusia untuk membangun hubungan dengan pasangan hidupnya masing-masing. Bahkan juga dapat dikatakan sebuah proses
61
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 61—75 perkawinan ini menjadi suatu peristiwa sangat penting karena tidak saja memiliki nilai sakral, namun merupakan cara untuk memelihara dan melestarikan keturunannya. Menurut Soewondo (dalam Tahalele 2013:1) bahwa untuk masuk pada sebuah perkawinan, maka manusia menciptakan tata tertib dan peraturan yang mengatur dan memberi sanksi terhadap tingkah laku manusia. Tata tertib tersebut telah ada sejak masyarakat sederhana yang terus dipertahankan oleh anggotanya sampai sekarang. Sebuah perkawinan merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat juga dapat merupakan urusan pribadi, tergantung kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Bagi kelompok-kelompok yang menyatakan diri sebagai kesatuan-kesatuan perkawinan para warganya (pria, wanita atau kedua-duanya) adalah sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib dan teratur. Sarana yang dapat melahirkan generasi baru yang melanjutkan garis hidup kelompoknya. Di dalam lingkungan persekutuan kerabat itu perkawinan juga selalu merupakan cara meneruskan garis keluarga tertentu yang termasuk persekutuan tersebut. Jadi merupakan urusan keluarga, urusan bapak-ibunya sebagai inti keluarga yang bersangkutan (Sudiyat, 2000:107). Meinarno, dkk (2011:157) menambahkan kekerabatan (kinship) lebih menekankan status yang berupa posisi atau kedudukan sosial dan saling berhubungan antar status sesuai dengan prinsip kebudayaan yang berlaku. Suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam membahas budaya Makassar adalah masalah siri’ yang merupakan pencernaan dan karakteristik budaya lokal Makassar. Menurut Ahimsa Putra (1988:69) bahwa pentingnya siri’ bagi seseorang merupakan sikap hidup yang tampak dalam sosialisasi masyarakat Sulawesi Selatan. Di samping siri’ ada pula yang disebut Pangngadakkang (adat) dibangun oleh banyak unsur yang saling menguatkan. Terdiri atas ada’, bicara, rapang, wari, sara. Ada’ (adat) merupakan bagian dari pangngadakkang yang mendominasi kehidupan masyarakat, karena ada’ meliputi segala keharusan tingkah laku dalam kegiatan orang-orang Makassar. Pangngadakkang memiliki esensi pada dirinya untuk menjunjung 62
tinggi martabat manusia yang sesungguhnya. Oleh karena itu ada sesuatu yang membedakan pangngadakkang dengan adat dalam arti kebiasaan. Semua itu diperteguhkan dalam suatu rangkuman yang melatar belakanginya yaitu suatu ikatan yang paling mendalam yaitu siri’. Siri’ yang dikembangkan dalam kehidupan berkeluarga masyarakat Makassar dapat dijumpai disetiap lembaga sosial masyarakat, salah satunya dalam lembaga perkawinan atau yang berhubungan dengan ade’ akkalabbineang. Unsur siri’ bisa dilihat ketika terjadi perkawinan yang dilakukan dengan melalui jalur peminangan. Orang yang membawa seorang perempuan akan terancam jiwanya atau perempuan tersebut akan berputus hubungan kekeluargaannya serta berdampak pada akibat hukum yang terjadi pada perkawinan. Hal tersebut disebabkan karena keluarga perempuan akan merasa siri’nya dilanggar oleh seseorang. Dalam kasus siri’ ini diperlukan mediasi dalam menyelesaikan perkara dengan jalan damai yang disebut dengan apala baji atau abbaji. Perkawinan orang Makassar sangat terkait erat dengan masalah siri. Oleh karena itu, bagi orang Makassar terjadinya hubungan intim antara seorang laki-laki dan perempuan tanpa didahului dengan proses peminangan dan diakhiri penyelenggaraan pesta perkawinan (akad nikah). Maka hal tersebut dianggap sebuah perbuatan yang sangat memalukan keluarga inti bersangkutan yang diistilahkan dengan appakasiri. Perkawinan semacam ini telah menyimpang dan melanggar aturan adat istiadat orang Makassar dengan istilah annyala (kawin lari). yakni di mana seorang pemuda bersama kekasih hatinya sepakat melarikan diri ke Penghulu/Imam untuk dinikahkan. Bentuk perkawinan orang Makassar dapat dilakukan melalui dua cara, yakni assuro (peminangan/pelamaran) dan annyala (kawin lari). Dalam sistem perkawinan dengan cara peminangan dianggap paling ideal dan berlaku umum pada semua lapisan masyarakat di Indonesia. Dalam proses peminangan atau pelamaran ini terdiri atas beberapa tahap, di antaranya mange assuro (meminang), appanaik lekok’ ca’di (menaikkan sirih kecil), appanaik leko’ lompo (menaikkan sirih besar), dan upacara pernikahan.
Annyala dalam Perkawinan Adat... Nur Alam Saleh
Perkawinan lainnya dengan melalui cara anyyala (kawin lari) yang tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua atau karena berbagai sebab. Annyala sendiri dapat diartikan telah berbuat salah, karena keduanya sudah dianggap menyalahi adat istiadat perkawinan dan memilih untuk kawin lari (annyala). Annyala atau silariang (kawin lari) tidak saja dikenal oleh suku bangsa Makassar, melainkan dapat pula ditemui pada beberapa suku bangsa lainnya di Indonesia. Seperti halnya di daerah Lampung dikenal dengan istilah sebambangan, Bali dengan istilah pawiwahan dan suku bangsa Sasak di Lombok dikenal dengan istilah merarik. Namun yang membedakan adalah sanksi adat yang diterapkan terhadap pelakunya. Prosesi kawin lari merarik pada suku bangsa Sasak di Lombok justru dianggap positif dan merupakan suatu kehormatan bilamana seorang pemuda dapat melakukan kawin lari (merarik). Merarik sendiri mengandung pengertian suatu peristiwa membawa lari seorang gadis oleh seorang pemuda untuk dijadikan sebagai istrinya (Ali dan Siradz, 1989:66). Sebaliknya pada orang Makassar tidak sedikit pelaku yang diistilahkan dengan tumannyala ini, baik ia laki-laki maupun perempuan berakhir hidupnya di ujung badik yang dilakukan oleh pihak keluarga yang dipermalukan yang (tumasiri). Menurut Wahid (2010:111) bahwa Anyyala dalam pandangan adat Makassar dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu; silariang, nilariang, dan erangkale. Ketiga hal tersebut dinamakan juga Annyala, karena kesemuanya dianggap bersalah dalam sebuah proses perkawinan dan semuanya mempermalukan diri dan keluarga, Sebagai konsekuensinya adalah harga diri (siri), harus ditegakkan kembali oleh tumasiri’ dengan cara membunuh tumannyala. Meskipun demikian tindakan annyala sebagai sebuah pelanggaran adat yang telah dilakukan oleh kedua pasangan pemuda dan pemudi ini dapat diselesaikan atau diakhiri dengan sebuah proses yang diistilahkan dengan a’baji atau appala’baji’ (minta damai). Perbuatan annyala atau kawin lari di kalangan orang-orang Makassar, apabila ditinjau dari segi hukum adat, memang tidak dapat dibenarkan. Demikian pula bila ditinjau dari sebabsebab terjadinya perkawinan annyala berdasarkan
ketentuan hukum Islam maupun Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Mengacu pada dialektika pemikiran tersebut di atas, dalam artikel tentang Annyala dalam Perkawinan adat orang Makassar ini, saya bermaksud untuk menjelaskan sejauhmana eksistensi annyala atau kawin lari pada masyarakat Makassar. METODE Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Gowa, tepatnya di Kelurahan Tombolo Kecamatan Sombaopu termasuk dalam wilayah yang diidentifikasi sebagai representasi dari kasus annyala dan appala’bajik’. Perlu ditegaskan disini bahwa pemilihan lokasi penelitian ditentukan oleh peneliti dari subjek penelitian secara sengaja berdasarkan atas pertimbangan di atas. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, observasi dan studi pustaka. Data-data di lapangan diperoleh dari subjek penelitian atau informan yaitu pelaku Perkawinan Adat Makassar khususnya yang pernah kawin lari kemudian datang appala a’bajik’, Imam kelurahan maupun Imam Lingkungan yang menjadi mediator dalam pelaksanaan abbajik’. Informan lain termasuk tokoh-tokoh adat dan agama, aparat pemerintah seperti Kantor Urusan Agama (KUA). Analisis dilakukan secara kualitatif. PEMBAHASAN Perkawinan Menurut Orang Makassar Sistem perkawinan pada masyarakat Sulawesi Selatan dan terlebih khusus lagi pada suku bangsa Makassar, tidak saja merupakan pertautan antara dua insan yang berlainan jenis, akan tetapi sudah merupakan pertautan antara dua keluarga besar. Menurut Abidin Farid dalam Saleh (1994:38) bahwa kalau melihat suatu upacara perkawinan adat sepertinya banyak biaya yang digunakan, sehingga biasa mendapat kritik dari orang-orang luar. Akan tetapi harus diingat bahwa sesuatu perkawinan itu, bagi orang Bugis Makassar sifatnya abadi. Sulit untuk melakukan perceraian, karena pada hakikatnya perkawinan itu bukanlah perorangan yang kawin, melainkan dua keluarga besar yang kawin. Hal senada juga 63
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 61—75 dikemukakan oleh H.Th.Chabot dalam Nurhani Sapada (1985:11) bahwa pilihan pasangan hidup bukanlah urusan pribadi, tetapi merupakan urusan keluarga dan kerabat. Apa yang digambarkan oleh H. Th. Chabot tersebut di atas, itulah yang turut melatarbelakangi sistem perkawinan terkadang menjadi rahasia bagi yang bersangkutan, terutama dari pihak wanita. Mereka tidak diberi tahu sebelumnya akan rencana perkawinan tersebut. Di sinilah menandakan bahwa peran orang tua, keluarga dan kerabat sangat dominan dalam mencarikan jodoh dan melaksanakan perkawinan putra-putrinya. Menurut Wahid (2010:15) bahwa adat istiadat yang berlaku pada orang-orang Makassar lazim disebut pangngadakkang, yang berasal dari kata ada’. Di mana banyak mengandung arti norma-norma, patokan di dalam bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu dalam mendapatkan jodoh untuk anak-anaknya, maka seorang orang tua ataupun kerabat harus lebih selektif. Diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang matang dari berbagai pihak keluarga maupun kerabat dekat lainnya. Sebab bila telah terjadi suatu perkawinan berarti dengan sendirinya terjadi pula pertautan dan keluarga besar menjadi satu. Kedua keluarga besar yang terikat oleh hubungan perkawinan ini, disebut sebagai ajjulu siri yang maksudnya “bersatu dalam mendukung kehormatan keluarga”. Ajjulu siri ini merupakan sikap ideal yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dalam kehidupan berumah tangga pada masyarakat suku Makassar. Namun sebaliknya bila terjadi keretakan bahkan sampai kepada tingkat perceraian yang tidak dielakkan lagi oleh kedua belah pihak, sehingga mengakibatkan putusnya tali perkawinan. Dengan demikian berarti pertautan antara kedua keluarga yang telah bersatu itu, turut pula mengalami keretakan. Untuk menghindari terjadinya hal yang demikian itu, maka menurut Sapada (1985:11) bahwa kedua keluarga yang telah dipadukan dalam suatu ikatan perkawinan, harus mampu membawa diri dan meleburkan diri sebagaimana dalam keluarganya sendiri. Keteledoran dan kekurangan dalam segala tindak tanduk dan bertutur kata (bahasa), tidak hanya menyangkut pribadi yang melakukannya akan tetapi orang tua dan kerabat terkait pula. 64
Bila dihubungkan dengan latar belakang kehidupan kerumahtanggaan orang suku Makassar yang disebut siri na pacce itu, sangat relevan dengan pengertian perkawinan adat. Dalam lingkungan keluarga orang Makassar, siri na pacce itu sangat diperhatikan, dihayati dan diterapkan pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan ungkapan dalam bahasa Makassarnya barang tena siri’na, paccena tosseng nia. Artinya seandainya dia tidak memiliki harga diri (siri’), maka dia masih memiliki solidaritas/kesetia kawanan (pacce’). Itulah merupakan pandangan hidup dan inti kebudayaan orang Makassar. Oleh karena itu kehidupan dalam suatu perkawinan dengan berlatar adat Makassar, maka baik sang suami maupun istri haruslah memahami dan menghayati apa yang dikatakan siri na pacce secara bersama. Agar tidak terjadi salah pengertian antara keduanya, di sinilah peranan ajjulu siri, ajjulu pacce yang merupakan ungkapan orang Makassar dalam berumah tangga perlu mendapat perhatian utama, yakni diyakini dan dihayati serta dilaksanakan bersama, terlebih khusus lagi dalam perkawinan eksogam (perkawinan keluar). Selanjutnya apabila suatu perkawinan telah berlangsung dan kehidupan berumah tangga berjalan dengan baik pula, maka ajjulu siri’ dan ajjulu pacce itu meningkat menjadi sipassiriki dan sipapaccei. Maksudnya saling menjaga harkat dan harga diri serta menjaga solidaritas bersama, saling menegakkan hukum siri na pacce bersama pula, ungkap tokoh budayawan Sulawesi Selatan itu. Dengan mengutamakan nilai-nilai julu siri dan julu pacce tersebut, sehingga seorang yang akan melangkah ke jenjang perkawinan terlebih dahulu diharuskan untuk mengetahui bagaimana membina rumah tangga. Dalam bahasa Makassarnya dikatakan nainroi palluwa pintuju, artinya “mengelilingi dapur tujuh kali”. Maksud dari ungkapan tersebut adalah bagi mereka yang akan melangsungkan suatu perkawianan harus betul-betul memikirkan segala sesuatunya, agar tidak menimbulkan penyesalan yang berkepanjangan di kemudian hari. Palluwa atau dapur di sini diibaratkan suatu perkawinan yang mempunyai berbagai macam kebutuhan dan problemanya, sehingga perlu dicermati dan dipikirkan masak-masak sampai tujuh kali
Annyala dalam Perkawinan Adat... Nur Alam Saleh
(pintuju). Ungkapan ini diperuntukkan terutama buat sang lelaki karena biasanya letak kesalahan ditimpakan kepadanya. Itulah sebabnya seorang laki-laki yang akan kawin, dianjurkan sebelumnya untuk banyak memiliki pengetahuan-pengetahuan tentang hubungan kerumah tanggaan. Bahkan bila memungkinkan sebaiknya berguru kepada orang-orang yang sukses dalam membina rumah tangganya. Sebaliknya seorang perempuan yang akan menjadi calon istri sekaligus sebagai pendamping suami setelah menikah/kawin nanti, maka selain harus memiliki pengetahuanpengetahuan seluk beluk berumah tangga juga dibekali sejumlah keterampilan. Perkawinan itu merupakan suatu jalinan pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, sebagai suatu wujud kesempurnaannya. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa seorang yang belum kawin, dianggap belum sempurna sebagai manusia. Hal ini terungkap dalam bahasa Makassarnya, tenapa na ganna se’re tau, punna tenapa nasitutu’ ulunna na salanggana. Artinya: “belum dapat dikatakan lengkap seseorang, kalau kepala dan selangkangannya belum bersambung”. Adapun maksud ungkapan tersebut, bahwa seorang yang belum kawin diibaratkan tubuhnya belum lengkap. Karena itu sepasang suami istri dipersamakan sebagai kepala dan badan (selangka) yang harus dihubungkan. Sehingga dari hubungan kedua suami istri itulah yang dianggap telah sempurna menjadi manusia. Bagi orang tua yang akan mengawinkan anaknya, selain memang merupakan kewajibannya, juga masih merupakan beban tanggung jawab sebagai orang tua. Apalagi bila anaknya seorang perempuan, maka tanggung jawab selanjutnya diserahkan semuanya kepada suaminya. Karena baik anak laki-laki maupun perempuan bila belum kawin, masih dianggap belum punya hak untuk duduk terlebih lagi untuk angkat bicara dalam suatu acara keluarga yang sifatnya penting. Menurut anggapan mereka sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa seorang anak jejaka maupun gadis sebelum kawin belum dapat dikatakan sebagai manusia sempurna. Untuk itu bagi kedua orang tua pada masyarakat suku Makassar baru merasa lega, setelah mereka mengawinkan putra
maupun putrinya. Sebab mempunyai anak yang belum kawin itu, seolah-olah masih terselubung oleh sesuatu yang harus dijaga terutama yang menyangkut kehormatan keluarga. Demikianlah sehingga seorang orang tua bila telah mengawinkan anaknya, maka dikatakanlah seperti dalam ungkapan bahasa Makassarnya nisungkemi bongonna. Artinya: dibukalah kerudungnya (selubung). Maksud ungkapan tersebut adalah bahwa kerudung atau selubung merupakan kehormatan yang selalu dijaga, hanya dengan ikatan perkawinan yang dapat membukanya. Itulah sebabnya sehingga dalam setiap melaksanakan upacara perkawinan, para orang tua maupun kerabat lainnya berupaya menyelenggarakan semeriah mungkin, sebagai rasa kegembiraan terhadap anaknya yang mengakhiri masa jejakanya atau gadisnya. Seperti telah diungkapkan pada bahagian depan bahwa suatu perkawinan selain sebagai pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya, juga untuk meneruskan keturunannya (anak) dari hasil perkawinan tersebut. Anak memang merupakan dambaan setiap rumah tangga dan sekaligus sebagai pelanjut. Karena itu dalam suatu rumah tangga orang Makassar, anak merupakan pembawa rezeki. Sebab menurut anggapan sebagian dari mereka bahwa semakin banyak anak, berarti semakin banyak pula rezekinya. Anak adalah sesuatu kekayaan yang tak ternilai harganya. Ini dapat diketahui dalam ungkapan Makassarnya yang mengatakan kalumannyangmako antu, kajaimi ana’nu. Artinya: “sudah kayalah engkau, karena sudah memiliki banyak anak”. Maksud dari ungkapan tersebut ditujukan kepada satu rumah tangga yang mempunyai banyak anak. Bahwa kehadiran anak dalam satu rumah tangga orang Makassar memiliki arti tersendiri, yakni sama dengan kekayaan karena dianggap sebagai pembawa rezeki. Demikian pula pada pembicaraan awal dua orang kerabat yang bertemu, maka yang pertama kali diperbincangkan adalah siapami kamanakanga kamma-kammanne saribattang, artinya sudah ada berapa kemenakan (maksudnya anak) sekarang ini saudara. Jadi yang pertamatama dipertanyakan adalah tentang keberadaan anak, bukan keberadaan harta benda yang telah dimiliki maupun masalah lainnya. 65
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 61—75 Sebaliknya bagi satu pasangan suami istri yang sampai pada saat dinanti-nantikan bahkan menjelang usia senja, kehadiran si buah hati belahan jantung alias anak belum juga datang (ada), maka hal ini akan menjadi problema dalam kehidupan suatu rumah tangga. Mereka yang tidak mempunyai keturunan itu dikatakan tau puppusu. Orang yang tidak bisa membuahkan anak dari hasil perkawinannya tersebut, biasanya dianggap orang “sial” kurang beruntung kendatipun memiliki pakkalumannyangngang (kekayaan harta benda). Kepada siapa kekayaan harta benda tersebut diwariskan, bila kelak ia meninggal dunia sedang tidak mempunyai pelanjut keturunannya. Biasanya bila hal ini terjadi maka seluruh harta peninggalannya diberikan kembali kepada orang tuanya atau ahli waris lainnya yang berhak. Kehadiran anak dari suatu perkawinan dalam setiap rumah tangga orang Makassar, baik ia berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan pada dasarnya adalah sama saja. Sama-sama mempunyai peranan dalam keluarga, sebagaimana ungkapan Makassar yang mengatakan bura’ne a’lembara, bainea a’jujung’. Artinya “laki-laki memikul, perempuan menjunjung”. Dalam ungkapan ini menunjukkan bahwa antara lakilaki dan perempuan mempunyai persamaan hak. Kendatipun ada persamaan hak dari kedua jenis kelamin itu, namun dalam pembagian tugas sehari-harinya terdiri atas, jama-jamang bura’ne (pekerjaan laki-laki) dan jama-jamang baine (pekerjaan wanita). Untuk jama-jamang bura’ne meliputi pekerjaan atau tugas-tugas yang berat. Seperti membajak sawah, itu merupakan suatu pekerjaan berat di bidang pertanian, sebagaimana terungkap dalam bahasa Makassarnya, appa’jekoaji battala. Sedang untuk jama-jamang baine tugasnya adalah pekerjaan yang ringan-ringan. Misalnya di bidang pertanian kalau laki-laki membajak, maka perempuan bertugas membagi benih, memotong padi dan lain sebagainya. Termasuk pula di dalamnya usaha mencari nafkah seharihari merupakan jama-jamang battala bagi kaum laki-laki. Namun nafkah yang diperoleh itu setelah tiba di rumah, menjadi tugas perempuan atau sang isteri untuk menjaga dan mengelolanya secara baik. Demikian halnya dengan suami isteri 66
dalam suatu rumah tangga. Mereka masingmasing mempunyai tugas dan pembagian kerja. Seorang suami selain sebagai pimpinan dan kepala keluarga, juga berkewajiban untuk mencari nafkah sehari-hari dan ini merupakan jama-jamang bura’ne sebagaimana disebutkan di atas. Sedangkan seorang istri mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan kegiatan rumah tangganya dengan mengurus suami dan merawat anak-anaknya. Kedudukan dan fungsi seorang perempuan (istri) pada orang Makassar mempunyai tempat dan kehormatan yang tinggi, karrena itu ia sangat dilindungi oleh kaum lelaki (suami). Sebab perempuan merupakan simbol daripada siri’ itu sendiri. Dalam menyelenggarakan otonomi urusan rumah tangganya, maka setiap keluarga baru mempunyai kecenderungan untuk memilih tempat yang baru (neolokal), yakni lepas dari kediaman kerabat suami maupun istri. Namun demikian di kalangan keluarga dari kedua belah pihak, masing-masing berusaha menarik untuk berdiam di lingkungannya sebagai tanda rasa kecintaan terhadap kedua pengantin baru tersebut. Di samping itu ada pula secara bilokal, yaitu pengantin baru pada masa-masa tertentu tinggal pada keluarga suami dan pada masa lain tinggal di kediaman keluarga istri. Perkawinan melalui Assuro (peminangan) Sebenarnya tidak semua suku bangsa dalam sistem perkawinannya harus dengan melakukan peminangan terlebih dahulu. Sebahagian ada yang melaksanakannya, namun sebagian lainnya lagi seperti di daerah Lampung, Kalimantan, dan Bali dalam melangsungkan suatu perkawinan tanpa melalui peminangan terlebih dahulu. Kendatipun ada peminangan dan diterima, namun tidak berarti sekaligus dilangsungkan perkawinan akan tetapi dilakukan pertunangan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan sebagai persetujuan kedua belah pihak, di mana mereka satu sama lain berjanji mengadakan perkawinan (Suprayogo, 1982:56). Suatu perkawinan dengan melalui peminangan pada masyarakat suku Makassar dianggap sebagai cara perkawinan yang paling ideal. Karena dilakukan sesuai dengan tata cara adat yang dijunjung bersama. Meminang yang
Annyala dalam Perkawinan Adat... Nur Alam Saleh
terkadang juga disebut dengan istilah melamar dan dalam bahasa Makassarnya disebut assuro. Melamar atau assuro ini merupakan awal pertemuan bernegosiasi dalam rangka untuk membicarakan kehendak mengadakan suatu perkawinan, antara pihak keluarga laki-laki terhadap pihak keluarga perempuan. Pada bentuk perkawinan dengan cara peminangan ini, dapat dilakukan oleh semua lapisan. Berlaku bagi orangorang dari golongan bangsawan maupun untuk masyarakat biasa. Namun mereka yang berasal dari golongan bangsawan, biasanya agak lebih semarak dibandingkan dengan warga masyarakat lain pada umumnya, karena dilaksanakan juga upacara-upacara adat tertentu. Diterima dan ditolaknya suatu peminangan oleh pihak keluarga perempuan tergantung pada beberapa faktor. Adapun faktor-faktor yang dimaksud itu diantaranya adalah faktor kasiratangngang atau kesepadanan, baik itu ditinjau dari segi kedudukan sosial ekonominya terutama dari segi kebangsawanannya. Menurut Lathief (2014:39) bahwa hubungan perkawinan berdasarkan kasiratangngang, bukan hanya terbatas dalam lingkungan keluarga atau kerabat saja, melainkan lebih luas namun tetap dalam kedudukan sejajar dan serasi. Kendatipun demikian, sekarang ini sudah ada kecenderungan terjadinya suatu perubahan dalam masyarakat Makassar sesuai dengan perkembangan zaman, di mana seorang laki-laki walaupun bukan dari kalangan bangsawan namun memiliki gelar kesarjanaan atau seorang pengusaha dapat diterima oleh pihak keluarga perempuan. Dalam suatu peminangan yang juga perlu diperhatikan adalah cara bertutur kata dengan kata-kata yang sopan, serta kalimat-kalimat yang mengandung kata-kata kiasan (semacam pantun). Jadi tidak langsung pada permasalahan. Seperti dikemukakan Bantang (2008:18-19) bahwa kebiasaan suku Makassar, pihak laki-laki yang datang melamar perempuan. Pada lamaran tersebut dipilih orang tua yang arif bijaksana, pandai bersilat kata, mengetahui adat sopan santun, disegani dan pandai membalas kelong (pantun) dari pihak perempuan. Sebagai contoh pembukaan kata kelong pada saat meminang/ melamar sebagai berikut;
Niaka anne mammempo (Kamilah datang menghadap) Angngerang kasi-asiku (Membawa kemisikinanku) Saba’ nania’na (Sebab adanya hajat) Hajjakku lakupabattu (Ingin kusampaikan) Kamase-mase kuerang (Kesederhanaan kami bawa) Ta’dongko ri mangkok kebo (Kutaruh dimangkuk putih) Naki’ minasa (Kami berharap) Nipaempo kalabbirang (di dudukkan pada adat)
Karena itu orang yang ditunjuk sebagai duta untuk meminang atau melamar seorang gadis, selain memiliki kharisma dan wibawa juga harus pandai bertutur kata dengan kemampuan bahasa daerah yang fasih dan luwes. Sebab bila salah dalam menunjuk orang untuk melamar, dapat mengakibatkan kegagalan fatal dan pinangan ditolak. Apabila pinangan ditolak maka dapat dicoba kembali dengan merubah “formasi” baru. Setelah ada kesepakatan dalam peminangan tersebut, selain kedua calon pengantin disahkan dan dinyatakan telah akbayuang (bertunangan), di mana mereka sudah saling terikat dengan perjanjian untuk kawin. Namun masih harus mengikuti beberapa prosesi lanjutan. Seperti negosiasi doe panaik/balanja, penetuan hari dan sebagainya yang berhubungan dengan upacara perkawinan. Selama menanti waktu hari berlangsungnya upacara perkawinan, maka kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan yang telah resmi bertunangan itu harus saling menjaga diri masing-masing. Keduanya tidak diizinkan untuk saling berhubungan. Seandainya keduanya mencoba melanggar tata krama adat yang telah ditetapkan, maka perbuatan itu dianggap sebagai siri terhadap keluarga perempuan. Karena itu pihak calon pengantin perempuan setelah dipinang dan appa’nassa (pengukuhan yang disepakati bersama) dilakukan, maka sang gadis sudah harus masuk “karantina” alias dipingit. Hal seperti ini sudah agak kurang dijumpai lagi terutama bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar, apalagi kebanyakan dari
67
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 61—75 mereka itu telah berpendidikan tinggi. Sehubungan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, perkawinan degan cara peminangan ini adalah suatu cara adat untuk menjamin terciptanya keluarga yang diterima secara umum, baik dalam lingkungan keluarga maupun pada masyarakat lainnya. Pada orangorang Makassar sebelum assuro atau meminang dilakukan, terlebih dahulu diadakan peninjauan keadaan calon istri yang akan dipinang, dalam istilah bahasa Makassarnya accini rorong. Setelah resmi diterima pinangannya dilanjutkan dengan kegiatan annyikko kana dan appa’nassa. Dan sebagai puncak acara dari tahap-tahap tersebut adalah a’mata gau pa’buntingang. Bagi keluarga bangsawan yang hartawan, bila menyelenggarakan suatu pesta perkawinan atau a’gau-gau dalam bahasa Makassarnya, dilaksanakan semeriah mungkin dengan mengundang semua kerabat dan handaitaulan untuk menyaksikan dan turut memberikan doa restunya terhadap kedua mempelai. Bahkan menurut informasi bahwa pada masa lalu suatu pesta perkawinan adat, terkadang berlangsung selama empat puluh hari berturut-turut siang dan malam. Tentunya hal ini hanya dapat dilaksanakan dari kalangan raja-raja dan bangsawan yang hartawan. Pada masa sekarang ini penyelenggaraan pesta perkawinan hanya berlangsung satu hari saja terutama dari kalangan masyarakat biasa. Itupun dilaksanakan secara sederhana tanpa mengurangi makna dari upacara itu sendiri. Sedang dari kalangan bangsawan dan orang-orang berpunya, masih ada sebagian kecil dari mereka menyelenggerakan sampai tujuh hari berturut-turut. Sekilas apa yang telah digambarkan di atas tampaknya menimbulkan suatu pemborosan dan berlebih-lebihan, namun tidak demikian halnya bila kita menyimak pengertian dan tujuan dari suatu perkawinan. Perkawinan itu merupakan suatu peristiwa yang turut melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang, tanggung jawab keluarga, kaum kerabat dan bahkan meminta kesaksian dari anggota masyarakat (Sani, 1989:1). Oleh karena itulah sehingga suatu perkawinan sedapat mungkin diselenggarakan secara normatif menurut adat istiadat yang berlaku dan dilaksanakan secara benar pula sesuai dengan ketentuan masyarakat setempat. 68
Perkawinan resmi dengan cara melalui peminangan lainnya yang dapat dijumpai pada masyarakat Makassar, adalah perkawinan ulang. Memang perkawinan ulang ini tidak terlalu lazim dilaksanakan, disamping karena kasus-kasus yang demikian itu tidak terlalu sering terjadi, juga biasanya hanya diselenggarakan dalam lingkungan keluarga dan kerabat dekat. Terjadinya perkawinan ulang ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya karena perceraian, salah satu pasangan suami istri meninggal dunia, dan istri hamil akibat hubungan gelap sebelum menikah. Pada perkawinan ulang itu, pelaksanaannya diselenggarakan secara sederhana, apalagi bagi mereka yang telah mempunyai anak. Seperti kasus yang dialami Dg. Mannya seorang petani berputra satu, kepada penulis mengemukakan bahwa dirinya melakukan perkawinan ulang dengan Badariah setelah terjadi perceraian beberapa tahun lalu. Pihak keluarga Dg. Mannya menempuh cara ini, karena kesalahpahaman dari pihaknya. Untuk menghubungkan kedua insan yang telah bercerai itu, dalam proses perkawinan ulangnya dicarilah waktu atau hari yang baik untuk menikah. Di samping itu, peranan kedua belah pihak keluarga memberikan bimbingan maupun nasihatnasihatnya, betapa pentingnya menjaga kerukunan hidup berkeluarga. Lain pula halnya yang dialami oleh Mappatunru seorang guru Sekolah Dasar (SD). Lelaki berusia sekitar 38 tahun itu, kembali kawin ulang bukan karena bercerai, melainkan ditinggal mati oleh istrinya. Menurutnya, dalam melangsungkan perkawinannya diselenggarakan secara sederhana, apalagi ia telah mempunyai anak dari hasil perkawinan pertamanya. Biasanya dalam kasus seperti tersebut di atas, ada juga yang mengawini adik iparnya sendiri, dengan pertimbangan anak-anak yang masih kecil. Sementara itu kawin ulang disebabkan si istri terlebih dahulu hamil akibat hubungan gelap sebelum nikah, maka setelah anak tersebut lahir mereka (suami istri) harus kawin/menikah ulang. Hal ini dimaksudkan selain untuk memenuhi norma-norma adat yang berlaku, juga agar anak yang lahir itu mempunyai ikatan hubungan dengan ayahnya, Rachmah (1984:51). Kendatipun kawin ulang tersebut merupakan tuntutan adat, namun
Annyala dalam Perkawinan Adat... Nur Alam Saleh
kasus serupa itu sudah jarang ditemukan pada masa sekarang ini. Menurut Dg. Tompo seorang Imam lingkungan Pa’bangngiang di mana penulis melakukan penelitian, mengemukakan kalaupun ada kawin ulang seperti kasus tersebut di atas, maka biasanya diselenggarakan secara diamdiam hanya diketahui pada kalangan keluarga dekat saja. Perkawinan dengan Cara Annyala Annyala merupakan satu bentuk perkawinan yang dilakukan di luar aturan adat yang berlaku pada masyarakat suku Makassar. Annyala adalah sebuah istilah yang dari bahasa Makassar, yang berarti bersalah. Melakukan perbuatan salah terhadap suatu perkawinan yaang dianggap baik dan dijunjung tinggi masyarakat, yakni seharusnya melalaui cara peminangan. Istilah lain dari kata annyala ini, dikenal pula dengan istilah silariang (kawin lari atau minggat). Pelakunya disebut tu-mannyala dan keluarga yang dibawa lari atau minggat anak gadisnya disebut tu-masiri’. Perbuatan si pelaku (tu-mannyala) itu, mengakibatkan kerabat wanita merasa dipermalukan (nipakassiri’). Harga diri kerabat telah dianggap jatuh dimata masyarakat, sehingga untuk mengembalikan harga diri di tengah-tengah masyarakat, maka tu-masiri’ berkewajiban untuk appaenteng siri’ (menengakkan harga diri) keluarganya, dengan jalan mencari tu-mannyala. Bila ditemukan lelaki yang membawa lari/ minggat anak gadisnya, pihak kerabat wanita akan membunuhnya sebagai pembela kebenaran dan menegakkan martabat keluarga. Chabot dalam Millar (2009:38) menulis tentang orang-orang Makassar di akhir tahun 1940an, menjelaskan bahwa persentuhan, meski cuma sekilas, antara perempuan muda yang belum menikah dengan seorang laki-laki, jika kedapatan, menjadikan kerabat lelaki si perempuan itu menderita siri’. Jika saudara lakilaki perempuan itu, akan sampai hati menikam perempuan dan laki-laki itu. Bila tidak, mereka akan kehilangan harga diri. Seorang perempuan yang berada dalam situasi yang bisa membuat kerabat laki-lakinya terhina siri’,dengan demikian berada dalam ancaman bahaya, dah harus kabur untuk menikah diam-diam dengan laki-laki yang kedapatan melakukan hubungan terlarang
dengannya. Pelarian ini merupakan bentuk kawin lari yang disebut silariang. Lebih lanjut Chabot dalam Mangemba (1956:117) bahwa kebanyakan dari pembunuhan yang terjadinya dengan bertikam-tikaman, ialah disebabkan oleh soal malu” atau dipermalukan”, maka soal malu atau dipermalukan itu kebanyakan pula terjadi oleh pengaruh yang dalam bahasa Makassar dinamakan silariang dan dalam bahasa Belanda disebut schking. Mangemba (1956:119) juga mengisahakan bahwa pada sekitar tahun lima puluhan merupakan suatu kehormatan bagi si tumasiri, apabila dapat membunuh tumannyala pada saat berpapasan dijalan maupun pada suatu tempat keramaian umum. Masyarakat pun ketika itu memakluminya sebagai tau na paentengi siri’na. Karena itu, satu pasang kekasih yang melakukan annyala atau kawin lari selain dianggap appakasirik (ia mendatangkan malu), juga dinilai tau tena bua’buana nitallasi, (orang tidak berguna untuk diberi hidup). Seorang Errington (1977:43) menilai bahwa orang yang kehilangan siri’nya disebut mate siri, dan bagi masyarakat orang yang semacam itu tidak ubahnya seperti bangkai hidup. Orang yang kehilangan siri‘nya karena sesuatu peristiwa tertentu akan melakukan jallo (amuk) hingga tewas. Jallo seperti inilah disebut napaentengi siri’na, artinya dengan perbuatan tersebut sehingga harga dirinya dapat ditegakkan kembali, dan dia mati dalam keadaan sebagai manusia. Dalam pandangan orang-orang di sekitarnya dianggap mati terhormat, sebagaimana mereka katakan, mati untuk menjaga siri’ adalah mate ri gollai, mate ri santangngi, maksudnya matinya seperti diberi gula dan santan, atau artinya mati untuk sesuatu yang berguna. Apabila suatu ketika seorang tumannyala secara kebetulan berjumpa dengan tumasiri’nya di suatu tempat ataukah di perjalanan, akan tetapi ada orang lain yang mengetahui kasus annyala tersebut terhadap keduanya, maka iapun menyampaikan nasehat kepada si tumannyala agar segera meninggalkan tempat tersebut, dengan mengatakan lariko siri’na taua (kamu harus lari karena ada tumassiri). Mengetahui hal tersebut si tumannyala dengan serta merta meninggalkan tempat dan melarikan diri untuk menghindari bertemu dengan tumasiri’na. Perbuatan yang 69
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 61—75 dilakukan tumannyala tersebut, dinilai sebagai sikap terpuji karena dianggap orang yang tahu adat, tahu menghormati lawannya, sebagaimana yang terungkap dalam bahasa Makassar; tunaasseng kalenna sala orang yang tahu dirinya bersalah. Untuk menghindari terjadinya hal tersebut di atas, maka seorang tu-mannyala bila melihat atau bertemu salah seorang keluarga tu-masiri’, segera mencari perlindungan dengan cara masuk ke dalam/pekarangan rumah seorang imam desa/ kadi atau pemuka masyarakat. Dengan demikian maka terhindarlah ia dari ancaman pembunuhan untuk sementara waktu. Suatu peristiwa annyala sangat memerlukan keterlibatan seorang imam desa ataupun kelurahan. Karena biasanya orang yang melakukan annyala ini, pertama-tama pergi ke rumah imam. Selain sebagai tempat perlindungan, sekaligus mengurus segala sesuatunya yang menyangkut pernikahannya. Setelah mengorek beberapa keterangan dari tu-mannyala baik mengenai alasan sehingga minggat, barang-barang yang dibawanya serta informasi-informasi lainnya, maka selanjutnya imam akan menghubungi dan memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan akan persoalan yang dihadapinya, sekaligus memintakan kerelaannya untuk memberi perwalian terhadap pernikahan anaknya itu. Sebenarnya mereka yang annyala dan lari/pergi ke rumah imam terdiri dari beberapa macam, yaitu yang disebut silariang, nilariang, dan erangkale. Ketiganya ini masuk dalam kategori annyala. Penyebab terjadinya annyala atau kawin lari ini, sebagaimana dikemukakan Hilman (1990:34) dikarenakan; (1) Syarat-syarat pembayaran, pembiayaan dan upacara perkawinan yang diminta pihak gadis tidak dapat dipenuhi pihak bujang; (2) Gadis belum diizinkan oleh orang tuanya untuk bersuami tetapi dikarenakan keadaan gadis bertindak sendiri; (3) Orang tua atau keluarga gadis menolak lamaran pihak bujang, lalu bertindak sendiri: (4) Gadis yang telah dipertunangankan dengan seorang pemuda, yang tidak disukai oleh si gadis; dan (5) Gadis dan bujang telah berbuat yang bertentangan dengan hukum adat dan hukum agama (misalnya si gadis sudah hamil, dan sebagainya). Demikian halnya dengan terjadinya annyala atau kawin lari yang dilakukan oleh orang 70
Makassar. Terjadinya silariang karena adanya kesepakatan bersama antara sang pemuda dan pemudi untuk lari/pergi bersama ke rumah imam (penghulu) agar dinikahkan. Alasan mereka minggat dari rumahnya disebabkan sang pemudi dipaksa oleh orang tuanya untuk kawin dengan pemuda bukan pilihannya. Sedang pemudi ini sudah mempunyai tambatan hati dengan seorang pemuda yang sangat mencintai kekasihnya itu, sementara tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi tuntutan pihak keluarga pacarnya. Penyebab karena adanya perbedaan tingkatan derajat dan mereka menyadari walaupun sang pemuda datang melamar, pasti tidak akan diterima juga oleh pihak keluarga perempuan. Penyebab lainnya adalah dikarenakan doe panaik (uang belanja perkawinan) terlalu tinggi berikut permintaan sunrang/mahar perkawinan tak terjangkau keluarga pihak pemuda. Dapat juga terjadi karena pihak keluarga atau orang tua si gadis tidak menyukai pihak keluarga pemuda, baik terhadap calon menantunya maupun calon besannya. Untuk penolakan lamaran dari pihak keluarga pemuda secara halus, maka pihak keluarga si gadis menaikkan nilai doe panaik dan sunrang yang cukup tinggi untuk dijadikan alasan penolakan. Nilariang adalah bentuk perkawinan annyala di mana seorang laki-laki secara paksa membawa perempuan idamannya ke rumah imam atau kadi untuk dinikahkan. Adapun penyebab terjadinya kasus nilariang tersebut, karena pinangan ditolak sehingga dianggap sebagai suatu penghinaan dan si pemuda nekad membawa lari gadis pinangannya itu. Adanya penghinaan langsung dari gadis yang bersangkutan kepada laki-laki yang menatapnya suatu ketika. Penyebab lainnya adalah pinangan ditolak oleh pihak keluarga gadis sedang mereka dalam hubungan kasiratang. Bagi orang Makassar penolakan pinangan dianggap sebagai suatu penghinaan besar, akhirnya sang pemuda nekad dan memperlihatkan kekuatannya untuk dapat menutupi aib yang terjadi pada keluarganya. Masalah lainnya adalah penghinaan langsung dari gadis yang bersangkutan, misalnya si gadis meludah tanda benci sewaktu dipandang oleh si lelaki. Bentuk annyala lainnya adalah erangkale bilamana seorang perempuan pergi sendiri
Annyala dalam Perkawinan Adat... Nur Alam Saleh
ke rumah imam dan meminta untuk dinikahi/ dikawinkan dengan seorang laki-laki tertentu yang ditunjuknya. Biasanya hal tersebut terjadi karena si perempuan tersebut telah hamil akibat hubungan gelap dengan seorang laki-laki, sehingga tidak ada jalan lain kecuali lari ke imam. Ingin menghindari terjadinya kawin paksa dan ada juga dikarenakan sang gadis mendapat gunaguna atau pangngissengang. Bila terjadi semacam kasus erangkale ini, maka seorang imam desa mempunyai dua tugas sekaligus. Tugas pertama harus menghubungi keluarga pihak perempuan, dan yang kedua harus pula menghubungi lakilaki yang ditunjuk oleh perempuan erangkale itu. Kalau laki-laki yang dimaksudkan itu mau mengakui dan bersedia untuk mengawininya maka tidak ada persoalan. Akan tetapi sebaliknya apabila si laki-laki tersebut mangkir dan tidak bersedia untuk mengawininya karena ia tidak merasa pernah mengganggu atau berhubungan dengan yang bersangkutan. Bila menemukan kasus tersebut di atas, maka seorang imam harus berupaya untuk menyadarkan laki-laki agar menuruti tuntutan perempuan erangkale itu. Di samping itu ia juga harus berusaha memberikan pengertian kepada keluarga pihak perempuan. Demikian pula bila si perempuan erangkale itu diketahui telah hamil apalagi sudah tampak, sedangkan laki-laki yang menghamilinya tetap mangkir dan tidak bersedia untuk menikahinya, maka jalan yang ditempuh oleh imam desa tersebut adalah meminta persetujuan keluarga perempuan yang mencarikan laki-laki sebagai pengganti, yang dalam bahasa Makassarnya disebut dengan istilah pattongko siri’ yang artinya penutup malu. Sedang perempuan yang erangkale tadi disebut dengan annyala kalotoro yang artinya kawin lari kering atau kawin tanpa pasangan. Apabila imam sudah mendapatkan lakilaki pengganti seperti yang disebutkan di atas, maka setelah mendapatkan izin perwalian dari yang berhak memberikan maka dilakukanlah ijab kabul perkawinan. Peristiwa semacam ini biasanya berlangsung di rumah imam. Kendatipun mereka telah dinikahkan bahkan mendapat perwalian, namun tidak berarti kedua pasangan suami istri yang baru diresmikan itu, dianggap selesai persoalannya dan dapat kembali ke pihak
keluarga. Khusus perempuan erangkale walaupun telah dinikahi dengan orang lain sebagai pattongko siri’, tetapi dianggap sebagai tu-mannyala selama ia belum minta maaf dan dinyatakan diampuni pihak orang tua dan keluarga lainnya. Sedang pihak laki-laki yang dijadikan sebagai pattongko siri’ itu, lepas dari ancaman pembunuhan pihak keluarga perempuan. Baik silariang, nilariang maupun erangkale walaupun sudah memperoleh perwalian yang diwakilkan kepada imam untuk dinikahkan, sehingga resmilah mereka menjadi suami istri, namun jiwanya senantiasa terancam. Sampai kapan jiwa-jiwa mereka terancam dari pembunuhan oleh pihak tu-masiri’, ini semua tergantung apakah tu-mannyala sudah datang appala a’bajik (minta damai) lalu diterima maafnya dan dinyatakan diampuni oleh segenap keluarga tu-masiri’, serta memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan pihak orang tua perempuan. Resiko bagi mereka yang melakukan annyala ini cukup berat sanksinya dan tidak mudah untuk diselesaikan. Selain kedua tu-mannyala tersebut sewaktu-waktu jiwanya senantiasa terancam, juga hubungan kedua keluarga terutama dari pihak perempuan maupun laki-laki menjadi putus sejak terjadi peristiwa annyala itu. Kendatipun sebelumnya kedua keluarga tersebut terjalin hubungan yang akrab dan mesra, namun dengan adanya kasus itu maka keluarga pihak perempuan akan memutuskan hubungan dengan keluarga pihak laki-laki yang bersangkutan. Karena itu, orang Makassar menyebut bahwa orang yang melakukan perbuatan annyala (kawin lari) kakinya tidak panjang melangkah. Maksudnya bahwa selama belum dinyatakan dimaafkan oleh si tumasiri, maka si tumannyala tidak berani berkeliaran sesuka hati, khawatir akan dibunuh oleh tu masiri’nya manakala tiba-tiba saja bertemu. Sebagai contoh kasus yang pernah terjadi di daerah Kabupaten Gowa, salah seorang informan (tumannyala) mengisahkan, bahwa dirinya kalau tidak salah ingat kawin sudah sejak empat puluhan tahun yang lalu dan sudah bercucu. Dahulu, waktu kawinnya dengan cara annyala (kawin lari) dan sejak itu berstatus sebagai tumannyala’. Meskipun telah sekian lama menjadi tumannyala, belum berhasil dimaafkan oleh tu masirinya. 71
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 61—75 Berulang kali dalam hidupnya bertemu dengan tumassiri’nya, tetapi biasanya ia selalu menghindar dan lari ke rumah orang yang dekat dengan tempat di mana ia bertemu dengan tumassiri’nya itu. Tetapi suatu ketika dirinya menemui nasib sial, tidak menduga sebelumnya bertemu dengan salah seorang tumassiri’nya itu dan berusaha membunuhnya, dengan melemparkan batu yang tepat mengenai kepalanya. Si Tumasiri mengira yang dirinya sudah meninggal, karena melihat dirinya sudah tidak bergerak lagi. Untung anaknya yang sudah dewasa berada di tempat tidak jauh dari peristiwa itu, lalu dihampiri dan langsung dibawanya pulang. Setelah dirawat ayahnya masih bernafas, dan selanjutnya masih hidup setelah kemudian mendapat pertolongan dari petugas kesehatan setempat. Appala Bajik Sejak terjadinya peristiwa kedua belah pihak saling menahan diri dan komunikasi dua arah yang selama ini terjalin mesra sudah tidak harmonis lagi dan menjurus ke arah antipati, sehingga akhirnya dapat menimbulkan rasa solidaritas dari masing-masing pihak untuk mengambil sikap yang sama. Karena itu selama kedua pasangan tu-mannyala itu belum datang untuk meminta maaf atau appala bajik (meminta damai) kepada orang tua dan segenap keluarganya, sehingga secara resmi dinyatakan diterima permintaannya itu, maka selama itu mereka masih dalam status terancam. Masalahnya adalah untuk memperoleh pemberian maaf itu tidak semudah yang diperkirakan. Menurut Mangemba (1956:122) bahwa sebelum mange appalak bajik (pergi meminta damai) itu dilaksanakan, terlebih dahulu kerengganan yang terjadi selama itu, dapat diredakan dengan jalan memenuhi sejumlah tuntutan yang dinamai pammappana ciduka (pemotong bagi yang runcing) pammokkolinna taranga (menumpulkan yang tajam), yakni membayar sala’ (denda) sebanyak satu tahil dan mas kawin dari perempuan yang dilarikan itu. Untuk mengurus permintaan maaf ini tidak boleh dilakukan oleh yang bersangkutan sendiri, melainkan harus melalui orang-orang tertentu yang memiliki wibawa dan kharisma atau tokoh masyarakat yang disegani. Namun itu bukan merupakan jaminan untuk diterimanya kembali 72
oleh keluarganya. Karena terkadang ada juga pemberian maaf itu sering diulur-ulur oleh pihak keluarga tu-masiri’, bahkan sampai bertahuntahun lamanya barulah mereka itu diberikan maaf. Beberapa faktor sehingga terjadi penundaan pelaksanaan a’bajik itu, di aantaranya belum adanya kesepakatan bersama dari pihak keluarga perempuan (tu-masiri’). Kendatipun kedua orang tua sang perempuan sudah setuju untuk memaafkannya, biasanya kedua orang tua akan menunda upaya memenuhi permintaan anaknya, sambil menunggu kesepakatan dari keluarga dekat lainnya. Sehingga dengan demikian berarti dalam menerima kembali tu-mannyala harus melalui pertimbangan keluarga yang lain. Keharusan mengikutsertakan keluarga ataupun kerabat, maka otomatis turut pula memperlambat diterimanya a’bajik oleh keluarganya. Faktor lainnya sehingga terjadi penundaan a’bajik itu, yaitu berkaitan dengan masalah jumlah uang yang harus dibayarkan, disesuaikan dengan cara peminangan. Besarnya jumlah uang yang diminta oleh pihak keluarga tu-masiri’ itu, merupakan lambang harga diri dari kerabat mereka. Namun demikian terkadang pula ada penentuan besarnya uang yang diminta itu terlalu tinggi, sehingga pihak tu-mannyala tidak mempunyai kemampuan untuk membayarnya. Lagipula upacara a’bajik baru bisa dilakukan bila sejumlah uang yang telah diputuskan dan ditetapkan itu dibayarkan secara tunai. Bila beberapa persyaratan tersebut di atas dapat dipenuhi termasuk kerelaan dan restu kedua orang tua bersama kerabat keluarganya, maka dapatlah dilakukan upacara a’bajik dalam rangka penerimaan permintaan maaf dari tu-mannyala di satu pihak dan pemberian ampunan dari tu-masiri dipihak lain. Tetapi sebaliknya bila sejumlah persyaratan tersebut belum dapat dipenuhi oleh yang bersangkutan (tu-mannyala), maka akibatnya a’bajik yang merupakan dambaan setiap tu-mannyala terpaksa sirna dan harus mengalami penundaan sampai terpenuhinya ketentuan yang dikehendaki oleh orang tua dan kerabat keluarga pihak perempuan. Dalam pelaksanaan upacara a’bajik ini, biasanya diselenggarakan secara sederhana saja, dengan hanya mengundang semua kerabat keluarga perempuan serta beberapa tetangga
Annyala dalam Perkawinan Adat... Nur Alam Saleh
terdekat. Inti pelaksanaan dari upacara ini adalah penerimaan kembali tu-mannyala serta penyampaian permintaan maaf dari tu-mannyala di satu pihak dan pemberian ampunan di lain pihak. Pada hari yang telah ditentukan rombongan tu-mannyala datang ke rumah tu-masiri’, biasanya dilaksanakan di rumah orang tua perempuan itu sendiri. Sementara itu segenap keluarga tu-masiri’ telah berkumpul menantikan kedatangannya. Kedatangan tu-mannyala terutama si istri tetap memperlihatkan rasa malu yang mendalam terhadap keluarganya. Hal ini dapat dilihat pada cara berpakaian, yakni dengan menutup sekujur badannya dengan kain sarung atau abombo dalam bahasa Makassarnya. Setelah tu-mannyala tersebut diterima kembali sebagai keluarga yang sah menurut adat, dilanjutkan dengan berjabat tangan kepada semua keluarga yang hadir, terutama kepada kedua orang tua appala popporo (meminta maaf) atas tindakannya berbuat salah (annyala), yang membuat martabat keluarga menjadi tercoreng. Dengan selesainya upacara a’bajik itu diselenggarakan, berarti selesai pulalah drama ketegangan akan mengancam pembunuhan yang sewaktu-waktu mengintai dirinya sebagai tu-mannyala. Memang konsekuensi annyala tersebut cukup berat bakal dihadapi, karena nyawa taruhannya selama mereka tidak datang a’bajik (berbaik kembali). Bahkan terkadang banyak peristiwa annyala, sampai bertahun-tahun dan ada yang sudah menjadi kakek dari beberapa orang cucu belum juga mendapatkan jalan melakukan a’bajik. Selama belum mendapatkan ampunan, maka si tu-mannyala harus senantiasa mawas diri untuk tidak berkeliaran pada tempat-tempat yang memungkinkan akan dapat bertemu dengan tu-masiri’nya, yang mengakibatkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Kendatipun sanksi yang akan diberikan kepada tu-mannyala itu cukup berat, karena mereka diancam akan dibunuh kalau ditemukan, namun pada masyarakat suku Makassar mempunyai ketentuan adat menyangkut tentang annyala (kawin lari) , yang harus dipatuhi dan dimengerti secara turun temurun. Karena itulah walaupun secara tidak tertulis, adat melarang untuk berusaha mencari tu-mannyala atau pelaku kawin lari tersebut. Oleh sebab tu-masiri’, baik orang tuanya maupun keluarga lainnya tidak berambisi untuk
mencari dimana tu-mannyala berada. Seandainya diketahui tempatnya, maka yang bersangkutan (tu-masiri’) tidak akan datang ke tempat tersebut, untuk selanjutnya membunuhnya. Bahkan biasanya tu-masiri’ justru menghindari untuk tidak pergi ke tempat itu lagi. Sementara itu sejumlah mantan tu-mannyala menilai bahwa dengan melakukan kawin lari itu, berarti dia berada pada pihak yang salah. Karena itu seandainya mereka dianiaya oleh tu-masiri’nya, maka tidak akan membalasnya, lebih baik menghindari dengan cara bersembunyi atau cara apa saja, asalkan tidak bertemu dengan tu-masiri’nya, ujar Majid menceritakan pengalamannya ketika kawin lari tiga puluh tiga tahun silam, sembari menambahkan sebagai orang yang bersalah, maka kita harus tahu dirilah dan memahami perasaan mereka (tu-masiri’). Dan satu-satunya jalan terbaik adalah berusaha mendapat pengampunan maaf atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Demikian pula halnya bila secara kebetulan si tu-mannyala suatu ketika berada pada sebuah rumah sedang bertamu, namun tiba-tiba datang pula saat itu tu-masiri’nya ke rumah tersebut, maka pada kesempatan yang demikian itu tidak dibenarkan si tu-masiri untuk melakukan pengniayaan terhadap tu-mannyalanya. Beberapa ketentuan adat lainnya yang harus dipatuhi adalah seorang tu-masiri’ tidak dibenarkan menganiaya apalagi mengancam membunuh tumannyala-nya, apalagi telah berada dalam suatu rumah maupun pekarangan seorang pemuka masyarakat atau setidak-tidaknya telah sempat membuang penutup kepala atau songkok kalau ia lelaki dan daster (baju) kalau perempuan ke dalam pekarangan salah seorang pemuka masyarakat. Begitu juga kalau ia sedang melakukan pekerjaan, baik di sawah, di ladang maupun di kebun, maka ia tidak dapat diganggu lagi, Rachmah (1984:22). Terlepas dari apa yang telah dikemukakan di atas, semuanya bergantung pada masyarakat itu sendiri. Secara formal maka berdasarkan pada hukum yang berlaku dengan melakukan suatu pembunuhan, baik di jalan atau di mana saja tetap akan di anggap perbuatan yang melanggar hukum. Pelakunya akan mendapat hukuman penjara yang dijatuhkan oleh pihak pengadilan. Namun 73
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 61—75 seiring dengan waktu kasus-kasus berkaitan dengan annyala, baik silariang, nilariang maupun erangkale sudah jarang terdengar lagi apabila dibandingkan dengan keadaan sampai pada tahuntahun 1970 an. PENUTUP Kehidupan rumah tangga orang Makassar senantiasa dilandasi dengan falsafah hidup siri’ na pacce. Karena itu keberadaan siri’ na pace harus ditegakkan oleh kedua pasangan suami istri. Dalam lontarak dikemukakan bahwa barulah sempurna kehidupan suami istri apabila kedua belah pihak saling menjaga siri’, malu dari semua perbuatan yang mengakibatkan appakasiri’ membuat malu. Oleh karena itu, para orang tua maupun kerabat dari kalangan orang Makassar cukup selektif dalam mencarikan jodoh atau pasangan hidup untuk anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan. Sebuah perkawinan sangat erat hubungan dengan masalah siri’. Siri inilah yang menjadi tolak ukur dalam sebuah proses perkawinan adat Makassar. Perkawinan adat Makassar idealnya dengan melalui sistem asasuro (peminangan) dan sistem annyala (kawin lari). Perkawinan dengan melalui cara peminangan terdiri atas beberapa tahap, yakni diawali dengan accini rorong maksudnya mengadakan penyelidikan tentang keberadaan perempuan yang akan dilamar, selanjutnya a’jangang-jangang yaitu mempertanyakan tentang status perempuan yang bersangkutan, apakah sudah terikat atau belum. Bila belum dilanjutkanlah peminangan, yang dalam istilah Makassarnya assuro. Seandainya lamaran diterima masuk ketahap berikutnya dilakukan appa’nassa, yakni membicarakan segala sesuatunya menyangkut hari pelaksanaan pesta perkawinan. Perkawinan yang dianggap tercela, karena melanggar adat masyarakat setempat, yaitu melakukan perkawinan annyala (kawin lari) yang sanksinya cukup berat. Karena itu orang yang melakukan perkawinan yang menyalahi aturan atau adat diistilahkan tumannyala dan orang yang dipermalukan terutama dari pihak keluarga si gadis disebut tumasiri. Annyala ini 74
dapat dibedakan atas tiga cara, yaitu silariang, nilariang dan erangkale. Ketiga cara tersebut diistilahkan juga sebagai annyala, karena di anggap telah melakukan sebuah kesalahan dalam adat, karena telah mempermalukan diri sendiri dan keluarga. Sehingga dampak yang ditimbulkan dari perbuatan itu, adalah rasa malu yang merupakan taruhan harga diri atau biasa diistilahkan siri’. Tradisi annyala yang selalu dibayang-bayangi dengan pembunuhan itu, dapat diselesaikan dengan appala bajik, yakni semacam perdamaian kepada orang tua, keluarga besar dan kerabat si gadis yang telah di bawah lari (annyala). DAFTAR PUSTAKA Ahimsa Putra, Heddy Shri. 1988. Minawang Hubungan Patron Klien Di Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Gadjah mada University Press. Ali, Jacub dan Siradz, Umar. 1998. Perubahan Nilai Upacara Tradisional Pada Masyarakat Pendukungnya di Daerah Nusa Tenggara Barat0DWDUDP3DVL¿N Bantang, Sirajuddin. 2008. Sastra Makassar. 0DNDVVDU3XVWDND5HÀHNVL Budiono, Herusutoto. 2011. Mitologi Jawa. Yogyakarta: Oncor Semesta Ilmu. Errington, S, 1977. ”Siri, Darah dan Kekuasaan politik di dalam Kerajaan Luwu Zaman Dahulu”, dalam Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan th.I (2) September. Hilman, Hadikusomo. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: CV. Mandar Maju. Lathief, Halilintar. 2014. Orang Makassar. Yogyakarta: Padat Daya. Mangemba, H.D. 1956. Kenallah Sulawersi Selatan. Jakarta: Timun Mas. Meinarno, A.Eko, Bambang Widianto & Rizka Halida. 2011. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat, Pandangan Antropologi dan Sosiologi. Jakarta: Salemba Humanika. Millar, Susan Bolyard. 2009. Perkawinan Bugis; Refleksi Status Sosial dan Budaya di Baliknya. Makassar: Penerbit Ininnawa.
Annyala dalam Perkawinan Adat... Nur Alam Saleh
Rachmah, dkk. 1984. 0RQRJUD¿ .HEXGD\DDQ Makassar di Sulawesi Selatan. Ujungpandang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. Sani, Yamin. dkk. 1989. Arti Lambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin Dalam Menanamkan Nilai-Nilai Budaya Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nialai-Nilai Budaya. Saleh, Nur Alam, 1994. Appabontingeng ri tana Ugi, Buletin Triwualan Sawerigading (Media Informasi Sejarah dan Nilai Buadaya Sulsel) Nomor; Perdana, Oktober – Desember. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujungpandang
Sapada, Andi Nurhani. 1985. Tata Rias Pengantin dan Tata Cara Adat Perkawinan Bugis Makassar. Ujung Pandang. Sudiyat, Imam. 2000. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty. Suprayogo, Imam. 1981-1982. Warisan Budaya Karaeng Galesong, Laporan Penelitian. Ujungpandang: PLPIIS-UH, Tahalele, Min Gio Vannis, 2013. “Kawin Lari (Suatu Kajian Sosio-Antropologis Adat Suku sasak)”. (Tesis). Salatiga: Fakultas Teologi Magister Agama Universitas Kristen Satya Wacana. Wahid, Sugira. 2010. Manusia Makassar. 0DNDVVDU3XVWDND5HÀHNVL
75