PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP ADAT SILSILAH TOLAKI KUKUAHA TERHADAP PENGUASAAN TANAH SECARA ADAT DI KABUPATEN KONAWE Legal Aspect of Proportional Representation System on Indonesian Legislative Elections
Djohar Arifin, oleh H. Aminuddin Salle dan H. Abrar Saleng
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan : (1) untuk menganalisis penerapan prinsip-prinsip adat silsilah tolaki kukuaha terhadap penguasaan tanah secara adat; (2) untuk menganalisis pengaruh penguasaan tanah secara adat dalam pembangunan; (3) untuk menganalisis akibat hukum yang timbul dalam penguasaan tanah secara adat. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe utamanya pada instansi Badan Pertanahan Nasional yang bertugas mengurus persoalan tanah, instansi pemerintah daerah Kabupaten Konawe, terhadap lembaga-lembaga adat (Latkom) suku bangsa tolaki dengan teknik pendekatan melalui penelitian empiris sosiologis yang di mulai dari hal-hal yang bersifat induktif menuju ke halhal yang bersifat deduktif untuk menemukan asas-asas hukum, norma-norma hukum, nilai-nilai hukum terhadap penguasaan tanah secara adat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan prinsip-prinsip adat silsilah kukuaha tolaki terhadap penguasaan tanah hingga saat ini masih ada karena warga masyarakat tolaki masih berpegang teguh dengan kebiasaan atau tradisi yang telah lama mengakar, tumbuh, berkembang dan dipertahankan melalui konsep pemilikan tanah adat. Pengaruh penguasaan tanah secara adat terhadap pembangunan dewasa ini sering menimbulkan permasalahan sehingga selalu menghambat pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Konawe. Sehingga akibat hukum yang ditimbulkan dengan adanya penguasaan tanah secara adat adalah munculnya berbagai kasus tanah yang tidak ada titik penyelesaiannya. Kata Kunci : Adat Tolaki Kukuaha, Penguasaan Tanah
ABSTRACT This study aims: (1) to analyze the application of principles of customary pedigree Tolaki kukuaha of customary land tenure, (2) to analyze the influence of customary land tenure in development, (3) to analyze the legal consequences arising under customary land tenure. The research was conducted in Konawe mainly on the National Land Agency agency in charge of land issues, local government agencies Konawe, against traditional institutions (Latkom) Tolaki tribes with technical approach through empirical sociological research at the start of things is inductive go to things that are deductive reasoning to discover the principles of law, legal norms, values, laws against customary land tenure. The results showed that application of customary principles of genealogy kukuaha Tolaki of land tenure are still there because Tolaki citizens still cling to the customs or traditions that have long been rooted, grow, develop and be maintained through the concept of customary land ownership. Effect of customary land tenure to the development today often cause problems so always hamper the implementation of development in Konawe. So the legal consequences posed by the existence of customary land tenure is the emergence of various land cases there is no point of completion.
Keywords : Indigenous Tolaki Kukuaha, Land Tenure
1
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bermula dari sejarah kehidupan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, dapat di ketahui bahwa proses timbulnya penguasaan tanah terjadi secara evolusi yang ditandai dengan tingkat keeratan hubungan manusia dengan tanah. Hal ini terbukti bahwa peranan tanah itu sendiri bukan hanya dibutuhkan dikala manusia masih hidup, tetapi untuk matipun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luasnya tanah yang dikuasai oleh manusia terbatas sekali, sedangkan jumlah yang berhajat terhadap tanah senantiasa bertambah. Selain bertambah banyaknya jumlah manusia yang memerlukan tanah untuk tempat perumahan, juga kemajuan dan perkembangan ekonomi, sosial budaya, dan teknologi menghendaki pula tersedianya tanah yang banyak. Keadaan ini bisa berubah seiring dengan munculnya orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai bangsawan dan merampas tanah-tanah milik rakyat (Feodalisme). Dalam dua dekade belakangan ini telah mengalami perubahan sistem penguasaan tanah yang semula dikuasai secara adat telah berubah menjadi penguasaan secara individual. Hal ini ditandai adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat sehingga Pemerintah daerah telah menggalakan segala usaha, mengenai pemanfaatan tanah yang dikuasai secara adat, dengan cara melakukan pemanfaatan tanah-tanah terlantar dengan tujuan untuk menghindari penguasaan tanah yang tidak digunakan sebagaimana mestinya, sebagaimana yang dikehendaki oleh Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945. Bilamana konsep ini tidak berjalan secara baik, maka boleh jadi penguasaan tanah tetap dimonopoli oleh kaum yang mengaku keturunan bangsawan sebagai penguasa tanah adat, sehingga akan berdampak terhadap proses pelaksanaan pembangunan yang digalakan oleh pemerintah. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang dapat di kemukakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah penerapan prinsip-prinsip adat silsilah “Kukuaha” Tolaki terhadap penguasaan tanah secara adat ? 2. Bagaimanakah pengaruhnya penguasaan tanah secara adat dalam pembangunan ? 3.Akibat hukum apakah yang timbul dalam penguasaan tanah secara adat ? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah seagai berikut : 1. Untuk menganalisis penerapan prinsip-prinsip adat silsilah “Kukuaha” Tolaki terhadap penguasaan tanah secara adat. 2. untuk menganalisis pengaruh penguasaan tanah secara adat dalam pembangunan. 3. Untuk menganalisis akibat hukum yang timbul dalam penguasaan tanah secara adat. D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah : 1. Sebagai informasi awal bagi masyarakat khususnya yang masih mempertahankan penguasaan tanah secara adat. 2. Sebagai informasi dan masukan kepada pihak Pemerintah dalam mengambil kebijakan yang sehubungan dengan penguasaan tanah secara adat demi kepentingan pembangunan. 3. Sebagai bahan masukan yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum Keagrariaan.
2
TINJAUAN PUSTAKA A. Penguasaan Dan Pemilikan Tanah 1. Pengertian Tanah Yang di maksud dengan tanah, pada dasarnya hanya permukaan bumi, yang merupakan sebagian dari bumi. Budi Harsono memberikan pengertian tanah sebagai berikut: “ Dalam Hukum Tanah kata sebutan “tanah” dirangkai dalam arti Yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA”. Adapun pengertian tanah sendiri menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA ditegaskan sebagai berikut : “ Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 12 di tentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. 2. Pengertian Penggunaan Dan Penguasaan Tanah Pada Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengenai bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi di kuasai oleh Negara sebagai organisasi Kekuasaan seluruh rakyat Indonesia. Pengertian kata dikuasai dalam penjelasan Pasal tersebut bukanlah berarti dimiliki, akan tetapi dalam kerangka pengertian yang memberi wewenang untuk : (1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan Bumi; (2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan Bumi; (3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum mengenai Bumi. Jadi hak menguasai oleh Negara tersebut berlaku terhadap bumi yang sudah ada haknya maupun yang belum ada haknya. Pengertian hak menguasai dari Negara mengandung arti tentang perlunya peran aktif dari pemerintah dalam mengatur penguasaan tanah sehingga pemanfataan tanah dapat ditujukan kearah pencapaian tujuan nasional. Maksud dari pengertian kata “dipergunakan” itu adalah suatu pernyataan yang termasuk di dalamnya perkataan “dikuasai”, sehingga jika tidak ditafsirkan demikian maka Negara dalam arti “menggunakan tanah” berarti Negara menguasai pemakaian tanah saja, sedangkan kata “digunakan” mengandung pengertian penggunaan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat bukan untuk Negara itu sendiri. 3. Konsep Penguasaan Dan Pemilikan Tanah Konsep penguasaan tanah adalah pendudukan secara fisik atau secara faktual yaitu mementingkan kenyataan pada suatu saat. Penguasaan mensyaratkan adanya fakta penguasaan yang nyata terhadap suatu benda, dan adanya keinginan yang kuat untuk menggunakan atau memanfaatkan kekuasaan yang ada bagi dirinya. Oleh karena penguasaan bersifat faktual, maka ukuran untuk memberikan perlindungan hukum pun bersifat faktual pula. Jadi walaupun penguasaan harus diatur namun ia harus ditunjukkan dengan kenyataannya, bukan dengan hukumnya. Pada saat itu ia tidak memerlukan legitimasi lain, kecuali bahwa barang itu ada ditangannya. Penguasaan atas tanah melahirkan hubungan hukum antara pihak yang menguasai dengan tanah yang dikuasainya. Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak menguasai tanah oleh negara. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat. Hubungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah.
3
Perbedaan antara hak milik dengan penguasaan adalah bahwa milik itu merupakan suatu klaim yang dapat dipaksakan oleh masyarakat atau negara, adat, kesepakatan atau hukum. Jadi perbedaan antara penguasaan dan pemilikan adalah bahwa pada penguasaan lebih menekankan pada kenyataan, yaitu secara de fakto yang merupakan sebuah klaim dari suatu tindakan. Sedangkan pemilikan adalah sekumpulan hak yang membolehkan seseorang untuk menggunakan, mengatur dan menikmati sesuatu benda termasuk hak untuk memberikan sesuatu, berarti pemilikan lebih menekankan pada hukum. Secara tegas perbedaan antara penguasaan dalam arti penguasaan fisik dengan pemilikan dalam arti kepunyaan atau kepemilikan adalah bahwa penguasaan melibatkan pendudukan secara fisik, adanya niat untuk menguasai yang dapat diperoleh tanpa alas hak. Sedangkan kepemilikan harus dapat dibuktikan sebagai suatu hak, sehingga pengalihan hak kepemilikan harus dilakukan dengan alas hak, seperti jual beli, tukar menukar, pemberian atau hibah, tidak sekedar serah terima penguasaan. 4. Teori Hak Milik a. Teori hukum kodrat, yang menyebutkan bahwa hak milik privat adalah hak kodrati yang langsung timbul dari kepribadian manusia, untuk dapat hidup dan melanjutkan keturunannya, manusia perlu menguasai benda-benda yang ada di dunia termasuk tanah. b. Teori hukum kodrat modern dari Hugo Grotius (1583 – 1648) mengatakan bahwa hukum kodrat adalah tuntutan akal budi yang tepat dan menunjukkan tindakan sejauh mana sesuai dengan hakikat rasional yang mempunyai kualitas keniscayaan moral. c. Accupation theory adalah mereka yang pertama menduduki tanah yang tidak ada pemiliknya, menjadi pemilik tanah itu dan karena ia mempunyai hak untuk menurunkan atau mewariskan tanah itu kepada ahli warisnya. d.
Contract theory adalah sikap masyarakat yang membiarkan pengambilan tanah secara terang-terangan atau diam-diam, sehingga dapat dikatakan telah ada persetujuan antara mereka untuk mengatur soal hak atas tanah. e. Creation Theory adalah hak milik privat atas tanah diperoleh karena hasil kerja dengan cara membuka dan mengusahakan tanah ( dalam UUPA disebut sebagai hak membuka tanah ).
B. Hak-Hak Penguasaan Tanah Menurut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Dalam pasal 16 ayat (1) UUPA mengatur tentang hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah: a) hak milik ; b) hak guna usaha ; c) hak guna bangunan ; d) hak pakai ; e) hak sewa ; f) hak membuka tanah ; g) hak memungut hasil hutan ; h) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undangundang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. C. Hak-Hak Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat Penguasaan tanah sebelum berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai berikut : a). Hak Ulayat Hak ulayat merupakan rangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Sehubungan di atas Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum dalam lingkungan Hak Ulayat tidak ada tanah sebagai “Res Nullius” umumnya batas wilayah Hak Ulayat masyarakat hukum territorial tidak dapat ditentukan secara pasti. Adapun hak milik menurut hukum adat dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu ; (1) Hak milik perseorangan yang turun-temurun ; (2) Hak milik Komunal. Perbedaan antara hak milik perorangan dan hak milik komunal menurut pemerintah dahulu hanya terletak dalam pemegang hak saja. Sebab isinya sama apabila yang memegang hak milik itu perorangan, hak
4
itu disebut hak-hak perorangan yang turun-temurun, sedangkan jika yang memegang hak itu persekutuan hukum seperti desa dan sebagainya, hak itu dinamakan hak milik komunal. Konsepsi hukum adat ialah komunalitas, dalam artian memungkinkan penguasaan tanah oleh perorangan yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Komunalitas menunjukan adanya hak bersama atas tanah, yang dalam hukum adat dikenal dengan hak ulayat masyarakat hukum adat. D. Wilayah Pemukiman Kabupaten Konawe Kabupaten Konawe yang berpenduduk mayoritas orang Tolaki memiliki wilayah yang cukup luas dimana permukaan wilayah Kabupaten Konawe ditandai oleh gunung-gunung dan lembah daratan yang luas, yang ditutupi hutan lebat tetapi juga belukar dan alang-alang akibat perladangan liar oleh penduduk. Pada hampir seluruh wilayah Kabupaten Konawe mengalir sungai-sungai yang bermuara pada kali Konaweeha. Sebenarnya wilayah pemukiman Kabupaten Konawe, merupakan bekas penguasaan pusat kerajaan Konawe yang hingga sekarang masih sangat berpengaruh terhadap penguasaan tanah sebagaimana halnya pada masa sebelum runtuhnya pemerintahan Kerajaan Konawe. E. Silsilah (Kukuaha) Tolaki Dan Perkembangannya Istilah kukuaha atau disebut silsilah suku bangsa Tolaki pada zaman dahulu kala belum dikenal seperti sekarang, bahkan dalam penyusunannya pula belum sistematis karena dikala itu kehidupan masyarakat tolaki masih bersifat primitif dan tidak mengenal bahasa tulisan. Tetapi dalam perkembangannya telah banyak mengalami perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Silsilah kukuaha Tolaki yang dikenal, mulai tumbuh dan berkembang sejak dimasa pemerintahan raja Tebawo/Rebi yang diakui kalangan suku bangsa Tolaki sebagai ahli hukum adat. Adapun sumber informasi diperolehnya silsilah kukuaha tolaki sebagaimana yang pernah ditulis H. Nurdin Abdullah (Silsilah Tolaki “ Kukuaha” 2009 : 182) menyebut ada 4 (empat) sumber informasi, yaitu : 1. Pekuku totaenango, artinya silsilah tolaki dialunkan dalam bentuk nyanyian pada saat-saat tertentu seperti pesta adat dimalam hari, karena waktu itu belum ada media elektronik selaku sarana hiburan rakyat; 2. Pekuku tenango, artinya penceritaan kembali apa yang pernah didengar dari cerita rakyat secara turun temurun tentang silsilah tolaki ; 3. Pekuku Tula-tula, artinya dilakukan pada saat-saat tertentu sewaktu orang-orang tua pemuka adat berkumpul untuk didengarkan bagaimana pemahaman mengenai silsilah tolaki dan saling mencocokan susunannya mulai dahulu kala sampai sekarang terutama bagi pemuka adat masyarakat tolaki yang menguasai dan membahas Pekuku Tula-tula; 4. Pekuku Mbinekuku, artinya silsilah tolaki sudah ditelusuri atau dicari-cari dari kalangan keluarga, kampung-kampung atau desa, Kecamatan dan Kabupaten/kota, bahkan diluar Wilayah Konawe dan Mekongga, di dalam negeri maupun di luar negeri. F.
Hubungan Silsilah Tolaki Dengan Penguasaan Dan Pemilikan Tanah Sejarah awal kehidupan manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang dimulai dari Nabi Adam dan Siti Hawa telah melahirkan keturunan yang berkembang selaku generasi yang menguasai alam semesta. Sesungguhnya hubungan antara silsilah kukuaha tolaki dengan penguasaan tanah secara adat merupakan konsep dasar yang harus diangkat melalui penguasaan hak ulayat atau tanah adat, dalam tingkatan tertinggi yang mengadung dua unsur yaitu hukum keperdataan dan hukum publik. Unsur hukum keperdataan, artinya mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama para anggota masyarakatnya. Sedangkan unsur hukum publik, artinya mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah bersama ( hak ulayat ).
5
METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang dipilih dalam penulisan ini adalah terfokus dalam wilayah Kabupaten Konawe utamanya instansi badan pertanahan nasional yang bertugas mengurus persoalan tanah, instansi pemerintah daerah Kabupaten Konawe. Selain itu dalam pengumpulan data ini penulis juga melakukan penelitian terhadap lembaga adat (latkom) suku bangsa Tolaki. Pemilihan tempat tersebut dengan alasan bahwa penulis adalah suku asli Tolaki lahir di Unaaha Kabupaten Konawe sehingga sedikit banyak sudah ada pengetahuan adanya penguasaan tanah secara adat di daerah tersebut. Disamping pula telah banyak mendengar informasi mengenai adanya penguasaan tanah secara adat yang didasarkan oleh kekuasaan orang-orang keturunan bangsawan yang masih ingin mempertahankan sifat-sifat feodalisme di masa pemerintahan kerajaan Konawe. B. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan teknik wawancara dan sistem angket terhadap para responden yang terdiri dari; 5 (lima) orang seksi pendaftaran tanah badan pertanahan nasional Kabupaten Konawe, 3 (tiga) orang aparat pemerintah daerah Kabupaten Konawe, 7 (tujuh) orang yang mewakili tokoh adat Tolaki sekabupaten Konawe, 5 (lima) orang dari kerabat/famili terdekat penulis yang sering dilibatkan menangani persoalan tanah hak adat di kabupaten Konawe. C. Jenis Dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang diguanakan penulis dalam penelitian ini ada 2 (dua) macam, yaitu ; 1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung oleh penulis dalam melakukan penelitian lapangan melalui teknik wawancara dan sistem angket terhadap para responden yang telah ditetapkan dan dipilih untuk diwawancarai, dan hasil data yang diperoleh akan dianalisa sesuai validitasnya sehingga dapat menghasilkan data akurat untuk selanjutnya dituangkan dalam bentuk penulisan tesis ini. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung dengan penelitian lapangan. Data sekunder ini diperoleh dari : 1) bahan hukum primer, 2) bahan hukum sekunder, 3) bahan-bahan tersier. D. Analisisa Data Data primer maupun Data sekunder yang diperoleh dari penelitian lapangan tersebut kemudian dikumpulkan dan diseleksi sesuai validitasnya lalu kemudian diklasifikasikan dan di identifikasikan untuk dianalisis dalam rangka memperoleh kesimpulan yang benar sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam tesis ini. Adapun metode yang dipergunakan dalam menganalisis data ini adalah metode kualitatif, yang dimaksud dengan metode kualitatif adalah suatu metode analisis data yang mengelompokan dan menyelidiki data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannnya, kemudian dihubungkan dengan teoriteori yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.
6
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penerapan Prinsip-prinsip Adat Silsilah Kukuaha Tolaki Terhadap Penguasaan Tanah Secara Adat di Kabupaten Konawe Prinsip-prinsip dasar yang ada pada hukum adat tolaki, salah satu diantaranya adalah penguasaan dan pemilikan tanah. Penguasaan tanah adat yang didasarkan pada silsilah dan tempat kediaman leluhur berkembang secara terus menerus hingga kini tetap ada dan diakui oleh masyarakat adat tolaki. Di atas tanah-tanah adat biasanya terdapat kuburan leluhur yang sudah berabad-abad lamanya bahkan ada sebagian masyarakat dari generasi keturunan mereka yang meninggal tetap memilih tempat penguburannya disekitar kediaman tanah leluhur mereka. Suku tolaki membagi hak atas tanah adat yang dapat dipunyai oleh pribadi kodrati ( hanu dowo ) dan hak dapat dipunyai oleh pribadi hukum (hanuno toono dadio atau hanuno o’kambo), yang disebut hak ulayat (common property). Jadi hak-hak atas tanah adat dapat dibagi atas 2 (dua) jenis, yaitu: 1. Hak persekutuan hukum atas tanah yang disebut hanuno o’kambo atau hanuno toono dadio (milik kampung, milik orang banyak). 2. Hak perorangan atas tanah menurut adat tolaki adalah suatu hak yang pada asasnya hanya diberikan kepada warga persekutuan hukum secara perorangan ( mbumbu kambo, mbumbu poiaha), atas sebidang tanah dalam lingkungan persekutuan hukum ( oaso kambo) yang bersangkutan. Hak-hak atas tanah milik adat tolaki, yaitu : 1) Hak milik (hanu dowo) yang memberikan kepada pendukung haknya (pemiliknya) yang disebut ombuno atau mbumbu hapo-hapo atau mbumbu wuta, yakni kebebasan mempergunakan dan menikmati dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum adat (sarano wonua) artinya dengan hak itu ia melakukan segala macam transaksi (perbuatan hukum) atas tanahnya itu, misalnya untuk meminjamkannya kepada orang lain yang disebut mesarungge, menjual lepas meolike dan sebagainya. 2) Hak menikmati, yaitu hak satu-satunya yang dipunyai oleh seseorang yang bukan warga persekutuan hukum dimana tanah bersangkutan berlokasi, artinya bagi orang yang bukan penduduk setempat atau bukan keturunan dari kampung itu (toono suere) ia boleh saja menguasai tetapi dengan catatan harus ada izin dari persekutuan hukum (toono motuoono o’kambo) untuk membuka atau mengolah dan mengambil atau menikmati hasil-hasilnya selama setahun atau lebih. 3) Hak wenang pilih atau hak mendahului (tetembele’esu) yaitu pemberian kewenangan pendudukan hak untuk memilih lebih dahulu sesuatu dan memberikan keutamaan (prioritas) baginya dibandingkan dengan pihak-pihak lainya. 4) Hak pungut hasil karena jabatan, yaitu suatu hak atas tanah yang dipunyai oleh kepala persekutuan (puutobu, tono motuo, anakia) menurut prinsip hukum adat tolaki hak ini bersifat terbatas karena hanya dimiliki oleh kepala persekutuan hukum tingkat pusat (kerajaan) dan tingkat gabungan dari beberapa sub persekutuan hukum (otobu) yang disebut puutobu. 5) Hak pakai (mombake/mosaru), hak ini adalah hak atas tanah yang diberikan kepada seseorang untuk digunakan dalam suatu golongan (wutano suere ndono) misalnya tanah pusaka (wuta inembue) yang penerimaannya adalah salah seorang anggota golongan itu. Hak ini disebut wuta pinesarungako yang dapat dipakai oleh yang diberi sampai yang memberi belum membutuhkannya. 6) Hak gadai (pinepoindi ngako) adalah hak seseorang atas tanah orang lain selama tanah itu belum ditebus kembali. 7) Tanah wakaf (wuta pombowehino toono) adalah tanah yang diserahkan untuk kepentingan suatu badan keagamaan atau badan sosial.
7
B. Pengaruh Penguasaan Tanah Secara Adat Dalam Pembangunan di Kabupaten Konawe Sebagaimana sudah sering kita dengar dan ketahui bersama bahwa permasalahan pokok yang dihadapi dalam peningkatan pembangunan yang dihadapi adalah di bidang pertanahan. Hal ini karena terbatasnya tanah dibanding dengan kebutuhan akan tanah yang semakin meningkat. Kebutuhan akan tanah sejajar dengan peningkatan pembangunan yang telah dimulai sejak repelita pertama dan akan terus meningkat dalam kurun waktu pembangunan jangka panjang. Peningkatan pembangunan tidak saja diperlukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang jumlahnya semakin bertambah, tetapi juga untuk memenuhi tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik yang merupakan dampak positif dari keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan. Kelengkapan prasarana tersebut telah menyebabkan terjadinya kecenderungan para investor untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan industri dan jasa pada wilayah tersebut sehingga menimbulkan benturan kepentingan penggunaan dan penguasaan tanah. Kesenjangan antara persediaan dan kebutuhan akan tanah baik dari segi luasnya maupun kemampuan tanah seperti ketidak jelasan klasifikasi batas-batas tanah adat pada wilayahwilayah tertentu dalam daerah kabupaten Konawe, mengakibatkan banyak persoalan tanah yang muncul, misalnya tumpang tindihnya perutukan tanah, sengketa tanah yang berkepanjangan, penggarapan tanah secara tidak sah, spekulasi tanah dan calo-calo tanah, serta masih banyak permasalahan lagi. Dilihat dari sisi penguasaan tanah secara adat berdasarkan silsilah kukuaha Tolaki, maka hamparan tanah luas dan kosong akan mudah dinilai sebagai tanah negara bebas yang tidak ada pemiliknya. Tetapi jika mempelajari / memahami silsilah kukuaha Tolaki, tanah-tanah yang seolah-olah tidak ada empuhnya milik adalah tanah penguasan adat karena sejak kekuasaan pemerintahan kerajaan Konawe dahulu yang dipusatkan di Unaaha ( sekarang menjadi ibu kota kabupaten Konawe), masing-masing dari keturunan leluhur telah ditetapkan kedudukan dan kekuasaannya untuk mengatur wilayahnya sekaligus menjadi pemilik tanah. Karena itu bila tanah-tanah adat akan diubah penggunaannya, maka terlebih dahulu harus menghubungi keturunan leluhur yang sah sebagai penguasa tanah adat. Jika tidak demikian maka akan menjadi persoalan yang berkepanjangan, sehingga tidak jarang terjadi bilamana pemerintah daerah membutuhkan tanah untuk keperluan pembangunan, ia harus berhadapan dengan masyarakat adat yang pada akhirnya muncullah kasus-kasus tanah yang tidak dapat terselesaikan. C.
Akibat Hukum Yang Timbul Terhadap Pengusaan Tanah Secara Adat Di Kabupaten Konawe Kebutuhan akan tanah untuk kepentingan pembangunan terus meningkat, dan permasalahan tanah yang dihadapi semakin rumit terutama bersumber dari penguasaan tanah secara adat serta adanya pertumbuhan penduduk, baik yang langsung secara alamiah (kelahiran) maupun pertumbuhan akibat urbanisasi membawa dampak yang cukup serius bagi pemerintah daerah Kabupaten Konawe dalam usaha pengadaan tanah. Pada umumnya setiap lokasi tanah yang direncanakan pemerintah daerah untuk peruntukan pembangunan selalu di hambat kasus-kasus tanah yang diklaim masyarakat bahwa tanah tersebut adalah dikuasai secara adat yang telah berlangsung turun temurun dan merupakan hak milik sebagai harta warisan leluhur. Faktor penyebab terjadinya sengketa tanah, antara lain : 1. Karena tidak jelasnya data fisik tentang batas-batas suatu bidang tanah yang dikuasai secara adat. 2. Karena tidak jelasnya data yuridis tentang pemegang hak. Dalam realitasnya batas-batas penguasaan tanah adat menurut masyarakat tolaki dibuat tidak secara permanen sehingga mudah dicabut atau musnah secara alami. Akibatnya suatu saat akan berbeda batas tanah yang sesungguhnya. Tidak jelasnya batas tanah adat ini sering kali memicu timbulnya etikat buruk dari pihak lain untuk menggeser batas dengan tujuan untuk memperluas tanah yang dikuasainya, maka sengketa tanahpun tak dapat terhindarkan. Kondisi tersebut juga sering dijadikan sebagai ajang
8
spekulasi oleh pihak lain untuk mengklaim bahwa tanah adat tersebut adalah miliknya, sehingga masalah hukumpun tidak dapat dihindarkan.
PENUTUP A. Kesimpulan 1. Bahwa penerapan prinsip-prinsip adat silsilah kukuaha tolaki terhadap penguasaan tanah hingga saat ini masih ada, karena warga masyarakat tolaki masih berpegang teguh dengan kebiasaan atau tradisi yang telah lama mengakar, tumbuh, berkembang dan dipertahankan melalui konsep pemilikan tanah adat. 2. Pengaruh penguasaan tanah secara adat terhadap pembangunan dewasa ini, sering menimbulkan permasalahan yang berkepanjangan karena tidak dicapainya titik temu antara pihak pengguna tanah dan pihak pemilik tanah adat sehingga persoalan penggunaan tanah selalu menjadi hambatan serius dalam pelaksanaan pembangunan. 3. Akibat hukum yang ditimbulkan terhadap penguasaan tanah adat adalah munculnya berbagai kasus tanah yang tidak terselesaikan, sehingga kepentingan penggunaan tanah terhambat oleh adanya kasus-kasus tanah yang dipertahankan warga masyarakat setempat sebagai tanah adat dengan tidak bisa dirubah penggunaannya selain oleh pemilik tanah adat itu sendiri. B. Saran-Saran 1. Diharapkan kepada warga masyarakat adat tolaki yang memiliki tanah adat yang begitu luas untuk segera mendaftarkan dan memohonkan pengukuhan hak tanah adat supaya mempunyai bukti yuridis yang kuat untuk lebih menjamin kepastian hukum di atas tanah adat tersebut. 2. Untuk menjamin kepastian hukum suatu bidang tanah, maka pemasangan patok permanen sebagai tanda batas tanah adat harus dilakukan karena sejak dahulu batas-batas tanah adat hanya mengandalkan petunjuk (potiso) berupa gunung, bukit, pohon besar, sungai, yang semuanya itu tidak pasti dan jelas batas tanah adat yang dimaksud. 3. Diharapkan kepada warga masyarakat adat tolaki yang memiliki dan menguasai tanah secara adat agar lebih memperjelas data yuridis tentang haknya serta memperjelas data fisik tentang batas-batas suatu bidang tanah yang dikuasai secara adat demi memperkecil munculnya kasuskasus tanah yang selama ini menjadi persoalan akibat ketidak jelasan dari dua faktor tersebut di atas.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrauf Tarimana dan Muslimin Su’ud, 1986. Kepemimpinan Tradisional Tolaki (membupulei Wonua), Balai Penelitian Unhalu, Kendari.
………………………, 1993. Kebudayaan Tolaki, Balai Pustaka, Jakarta. ………………………,1998. Gagasan Perubahan Nama Kabupaten Kendari, Makalah disajikan dalam seminar perubahan nama Kabupaten Kendari menjadi Kabupaten Konawe, pada rapat paripurna DPRD Kabupaten Kendari, di Unaaha. Ali Achmad Chomzah, 2001. Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) jilit 1, Prestasi Pustaka, Jakarta. ………………………., 2002. Hkum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Sertifikat dan Permasalahannya, Prestasi Pustaka, Jakarta.
9
……………………….., 2002. Hukum Pertanahan, Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah, Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, Prestasi Pustaka, Jakarta. A.P. Parlindungan, 1994. Konversi Hak-hak Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung. Asrul Tawulo, 1987. Stratifikasi Sosial dan Struktur Pemerintahan Menurut Adat Tolaki Konawe Kabupaten Konawe, Kabupaten Kendari, Balai Penelitian Unhalu, Kendari. Boedi Harsono, 1999. Hukum Pertanahan Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Djambatan, Jakarta. …………………, 2000. Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta. Bushar Muhammad, 1988. Asas-asas Hukum Adat (Suatu Pengantar), Pradnya paramita, Jakarta. Halim A.Ridwan, 1983. Pencegahan Penyelesaian Sengketa Pekarangan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Husen A. Chalik, Dkk, 1977. Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Tenggara, Depdikbud, Kendari. Imam Sudiyat, 1981. Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta. Jhon Salindeho, 1993. Masaala Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta. K. Wantjik Saleh, 1977. Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta. Maria S. W. Sumardjono, 2000. Kebijakan Tanah Antara Regulasi dan Implementasi, Cetakan 1, Kompas, Jakarta. …………………………………., 2007. Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi WNA dan Badan Hukum Asing, Kompas, Jakarta. Muslimin Su’ud, 1992. Peranan Kepemimpinan Kebudayaan Adat Kalosara Dalam Pembinaan Tertib Sosial dan Tertib Hukum Untuk Meningkatkan Partisifasi Masyarakat Terhadap Pembangunan Masyarakat Pedesaan di Kabupaten Daerah Tingkat II Kendari, Balai Penelitian Unhalu, Kendari. …………………., dan Alibas Yusuf, 1989. Pranata Kepemimpinan Tusa Wuta Dalam Sistem Pertanian Masyarakat Tolaki Kabupaten Kendari, Balai Penelitian Unhalu, Kendari. Notonegoro, 1990. Agrarian Reform di Phlipina dan Perbandingannya dengan Land Reform di Indonesia, CV. Mandar Maju Bandung. Nurbansyah Katjasungkana, 1983. Lembaga Pembebasan Tanah Dalam Tinjauan Hukum dan Sosial, LBM, Jakarta. …………………………………, 1991. Land Reform di Indonesia Suatu Perbandingan, CV. Mandar Maj, Bandung. Nurhasan Ismail, 2007. Perkembangan Hukum Pertanahan, Huma, Yokyakarta. Rustam E. Tamburaka dan Eddy A. Mokodompit, 1998. Perubahan Nama Kabupaten Kendari Menjadi Kabupaten Konawe, Makalah Disajikan Dalam Seminar Perubahan Nama Kabupaten Kendari Menjadi Kabupaten konawe, pada Rapat Paripurna DPRD Kabupaten konawe, di Unaaha.
10
Soni Harsono, 1994. Aspek pertanahan dan Tata Ruang Dalam Pembangunan, Seminar Nasioanal Atas Kerjasama Fakultas Hukum UGM dan Menteri Agraria/BPN, Yokyakarta. Soerjono Soekamto dan Sri Mamuji, 1985. Penelitian Hukum Normatik Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta. Soerjono Wigjodipuro, 1985. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, PT. Gunung Agung, Jakarta. …………………………, 1979. Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka Pembangunan, Alumni, Bandung. Soetikjo Imam, 1990. Politik Agraria Nasional, Gajahmadah University Press, Yokyakarta. Soepomo, 1993. Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta. Taneko, Suleman B, 1981. Dasar-dasar Hukum dan Ilmu Adat, Gunung Agung, Jakarta. Teer Haar, 1980. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta. Van Dijk, 1963. Pengantar Hukum Adat Indonesia, Sumur, Bandung.
11