Memastikan Status Tanah Adat dan Hutan Adat di Tanah Batak
Ilustrasi oleh Moh Dzikri Hendika Sangat menarik mencermati seruan para perantau (orang Batak yang tinggal di luar Tanah Batak) yang mengajak (baca: mengingatkan) masyarakat Batak yang tinggal di bona pasogit (kampung halaman) agar tidak menjual tanahnya, dan agar sebaiknya menyewakan saja. Seruan ini diposting di facebook oleh para perantau dari Jogjakarta, menyusul kemudian dari Jakarta. Ada penegasan dari seruan ini, bagaimana agar masyarakat Batak yang tinggal di kampung tidak ragu dan tidak perlu takut. Alasannya cukup meyakinkan bahwa masyarakat (adat) Batak sudah lebih dulu ada di daerah ini, jauh sebelum negara yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ada.
Seruan ini muncul sebagai respons atas adanya rencana pembangunan parawisata di Kawasan Danau Toba, yang tentunya akan membutuhkan tanah dalam jumlah besar. Baik untuk pembangunan infrastruktur jalan, bandara, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya. Juga disebut-sebut untuk pembangunan hotel-resort, dan untuk perkantoran Badan yang dibentuk pemerintah pusat yang nantinya akan bertugas untuk mengelola pembangunan di Kawasan Danau Toba. Kepada Badan ini, untuk tahap awal akan diserahkan hak pengelolaan tanah seluas 500 hektar. Tentang rencana pembangunan ini dapat kita lihat di Perpres No.81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya dan Perpres No.49/2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Parawisata Danau Toba, yang ditandatangani Presiden Jokowi, 1 Juni 2016 yang lalu. Patut diapresiasi munculnya kepedulian sebesar ini dari para perantau terhadap kampung halaman. Meski kemudian muncul tanya dan kegelisahan: masih adakah tanah-tanah adat yang dimiliki masyarakat Batak saat ini? Lantas tanah adat yang mana yang dimaksud dalam seruan tersebut agar tidak dijual dan agar sebaiknya disewakan saja? Tanda tanya dan kegelisahan ini tentunya bukan tanpa alasan. Mengingat selama ini, sangat sulit menyelesaikan konflikkonflik pertanahan yang muncul sebagai akibat kehadiran pembangunan dan investor-industri di Tanah Batak. Hal ini tentunya berdasarkan pengalaman kami di Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), selama 32 tahun dalam mengadvokasi kasus-kasus pertanahan di Tanah Batak. Salah satu kasus (konflik) yang sangat mengemuka dalam tujuh tahun terakhir ini dan masih berlangsung hingga saat ini adalah Konflik Pandumaan-Sipituhuta vs PT Toba Pulp Lestari. Di mana tombak haminjon (hutan kemenyan-hutan adat) masyarakat adat dua desa yang berada di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, diklaim oleh pihak perusahaan pulp yang bernama PT Toba Pulp Lestari (TPL) sebagai areal konsesinya. Padahal, masyarakat adat dua desa ini sudah mengusahai
(memiliki) hutan adat tersebut secara turun-temurun sejak beratus-ratus tahun yang lalu, sudah 14 generasi. Namun tibatiba, pada 2009, pihak TPL melakukan penebangan atas pohonpohon kemenyan dan kayu-kayu alam yang berada di hutan tersebut. Tidak rela hutan adat mereka “dirampas” karena merupakan tempat (sumber) utama mereka mencari nafkah dan juga merupakan peninggalan leluhur mereka, mereka pun berjuang mempertahankan wilayah adat tersebut. Namun, tujuh tahun sudah mereka berjuang, hingga saat ini sangat sulit untuk memperoleh penyelesaian atas kasus (konflik) ini. Pihak pemerintah kabupaten, yang meskipun mayoritas orang Batak, tidak memiliki keberanian untuk mendukung dan menyatakan bahwa tombak haminjon tersebut adalah tanah adat atau hutan adat masyarakat Pandumaan-Sipituhuta. Meskipun berulangkali sudah didesak agar pemerintah kabupaten menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) atau paling tidak Surat Keputusan (SK) Bupati, yang menyatakan bahwa tombak haminjon tersebut statusnya adalah tanah atau hutan adat, tapi sampai saat ini tidak juga ada Perda atau SK dimaksud. Tuntutan akan adanya Perda (atau SK) ini berdasarkan ketentuan UU Kehutanan No. 41/1999. Bukan itu saja, pihak pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, selalu menawarkan opsi-opsi penyelesaian konflik yang pada intinya menempatkan masyarakat adat (Batak) sebagai bukan pemilik, tetapi sebagai pihak yang menguasai dan mengusahai tanah negara (kawasan hutan negara). Sehingga opsi-opsi penyelesaian yang ditawarkan pemerintah adalah Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa, dan konsep Kemitraan. Artinya, opsi-opsi ini menyatakan bahwa status tanah atau hutan yang diklaim masyarakat selama ini sebagai tanah adat atau hutan adat mereka adalah tanah negara atau hutan negara (kawasan hutan negara). Dengan kata lain, tanah adat atau hutan adat belum diakui secara tegas oleh negara. Sehingga dalam hal ini masyarakat hanya dimungkinkan mengajukan permohonan kepada negara untuk mengusahai atau
mengambil hasil dari hutan tersebut, dan untuk jangka waktu tertentu. Ironisnya lagi, Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa “Hutan adat bukan hutan Negara,” tidak serta merta dapat diimplementasikan di lapangan. Lagi-lagi masih dituntut adanya berbagai syarat pembuktian atas keberadaan masyarakat adat yang tentunya berkaitan dengan keberadaan hutan adat tersebut. Artinya, harus ada Perda tentang pengakuan hak-hak masyarakat adat tersebut. Beralihnya tanah adat menjadi hutan negara Saya ingin mengajak kita menoleh sejenak ke belakang. Bagaimana proses beralihnya status kepemilikan tanah-tanah adat dan yang namanya tombak atau harangan (hutan adat) menjadi Kawasan Hutan Negara di Tanah Batak, yang selanjutnya menjadi konsesi perusahaan seperti PT Toba Pulp Lestari. Pada jaman pendudukan Belanda di tahun 1940-an, sebagian hutan-hutan adat yang bernama tombak atau harangan itu rupanya telah ditata-batas, yang dikenal sebagai Register. Pemahaman masyarakat Batak, Register ini dimaksudkan oleh Belanda pada masa itu adalah bertujuan untuk melindungi fungsi hutan. Dengan Register ini diharapkan hutan-hutan adat tersebut tidak sembarang ditebang atau dirusak, karena akan berdampak terhadap lingkungan. Bukan peralihan status kepemilikan. Sekali lagi, bukan peralihan status kepemilikan. Namun kemudian oleh negara (pemerintah) mengklaim hutan-hutan yang disebut Register ini sebagai Kawasan Hutan Negara. Lalu, pada tahun 1970-an, tepatnya tahun 1976, berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) muncul program reboisasi dan penghijauan yang bertujuan untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis. Kedua istilah ini, baik penghijauan maupun reboisasi, definisi atau pengertiannya hampir sama. Namun sesungguhnya ada perbedaan pada keduanya, menyangkut sasaran lokasi dan kesesuaian jenis tanaman yang ditanam pada masing-masing
lokasi kegiatan. Reboisasi, yang disebut sebagai rehabilitasi kawasan hutan dimaksudkan untuk menghutankan kembali kawasan hutan (lindung). Kegiatan penanaman pohon dilakukan di area hutan negara dan di area lain sesuai rencana tata guna lahan yang diperuntukkan sebagai hutan (negara). Sehingga penanaman pohon dilakukan di hutan bekas tebangan, lahan-lahan kosong, dan di wilayah daerah aliran sungai (DAS). Sementara penghijauan, merupakan kegiatan penanaman pada lahan kosong di luar kawasan hutan, terutama pada tanah milik rakyat. Areal-areal ini ditanami dengan tanaman keras, misalnya jenis pohon hutan, pohon buah, tanaman perkebunan, tanaman pakan ternak, dan lainnya. Meski masyarakat Batak kurang jelas memahami kedua istilah atau program ini, namun pada masa itu tidak sedikit tanahtanah adat yang terkena oleh program ini. Ada yang dengan sukarela menyerahkan tanahnya untuk ditanami, tanpa perjanjian atau surat penyerahan, tentunya setelah terlebih dahulu didekati oleh dinas-dinas terkait dengan dalih perluasan kawasan hutan maupun untuk menjaga ketersediaan air. Namun ada juga yang diserahkan dengan surat penyerahan atau surat perjanjian. Pada umumnya, pada surat perjanjian yang kami temukan, yang masih dimiliki masyarakat, disebutkan batas waktu penggunaan tanah tersebut. Misalnya, ada yang menyebutkan dalam waktu 30 tahun, dan setelah itu tanah akan kembali kepada masyarakat. Ada juga surat perjanjian yang menyebutkan bahwa apabila dikemudian hari tanah tersebut dibutuhkan masyarakat, baik karena alasan pertambahan penduduk maupun karena kekurangan lahan pertanian, maka tanah tersebut dapat diminta kembali. Kemudian, pada 1980-an muncul istilah Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Dengan adanya TGHK ini maka terjadi perluasan kawasan hutan. Lalu, muncul SK Menhut No.44/2005 tentang penunjukan kawasan hutan di Sumatera Utara. Sehingga perkampungan-perkampungan, dan termasuk areal-areal
perkantoran pun menjadi kawasan hutan negara. Berdasarkan hal-hal di atas, maka tanah-tanah adat pun beralih atau berpindah tangan menjadi kawasan hutan negara. Berdasarkan hal itu pula lah, negara (Kementerian Kehutanan) memberikan konsesi kepada perusahaan yang bernama PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL). Meskipun ketika meminta atau menggunakan tanah-tanah adat tersebut dalam perjanjian disebutkan bahwa dalam waktu 30 tahun tanah akan kembali, pada kenyataannya tanah-tanah tersebut tidak pernah kembali kepada masyarakat. Bahkan kemudian, tanah-tanah tersebut sudah menjadi konsesi perusahaan. Seperti kita ketahui, perusahaan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) ini mengantongi ijin SK MENHUT No: SK.493/Kpts-II/1992 dengan periode ijin mulai 1 Juni 1992 hingga 31 Mei 2035 (43 tahun). Luas areal pengusahaan 269.060 ha, di mana areal kerjanya tersebar di 11 Kabupaten. SK ini kemudian di-addendum dengan SK.351/Menhut‐ II/2004 sehubungan adanya perubahan nama pada anggal 28 September 2004. Kemudian, ijin konsesi TPL direvisi oleh Menteri Kehutanan pada 28 Februari 2011 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK-IUPPHK-HT) No. 58/MENHUT-II/2011 menjadi seluas 188,055 Ha, yang berada di 12 kabupaten, yaitu (i) Simalungun, 18,275 ha; (ii) Asahan, 2,153 ha; (iii) Toba Samosir, 12.076 ha; (iv) Samosir, 20.452 ha; (v) Dairi, 3.811 ha; (vi) Tapanuli Utara, 44.011 ha; (vii) Tapanuli Selatan, (viii) Tapanuli Tengah, 2.837 ha; (ix) Pakpak Bharat, 2.258 ha; (x) Padang Lawas Utara, 13.438 ha; (xi) Humbang Hasundutan, 53.279 ha; dan (xii) Pemko Padang Sidempuan, 1.609 ha. Ironisnya, masyarakat di Tanah Batak selama ini tidak menyadari bahwa tanah adat mereka sudah berubah menjadi kawasan hutan negara, dan sudah pula menjadi konsesi perusahaan. Mereka masih sangat yakin bahwa tanah-tanah dan hutan tersebut adalah tanah adat dan hutan adat mereka. Mereka meyakini bahwa tanah-tanah, hutan, dan perkampungan tersebut
adalah hak asal-usul mereka, hak asal-usul marga-marga, yang disebut dengan bona ni pasogit. Sehingga ketika perusahaan yang bernama TPL ini mulai hadir (beraktivitas) di lahan-lahan tersebut, mereka pun tersentak dan melakukan perlawanan. Namun sekuat apa pun mereka berjuang, mempertahankan hak-hak adat sesuai dengan hak-hak konstitusionalnya, sangat sulit membuahkan hasil. Secara de facto di beberapa tempat masyarakat masih bisa mengusahai lahan tersebut karena kuatnya perlawanan atau perjuangan mereka. Namun secara de jure belum ada kepastian akan status kepemilikan mereka atas tanah atau hutan adat tersebut. Hingga saat ini, mereka masih menunggu adanya kebijakan, UU atau Perda, bahkan SK, yang mengakomodir dan mengakui keberadaan mereka sebagai masyarakat adat beserta hak-haknya. Masih adakah tanah adat dan hutan adat? Berangkat dari timbulnya berbagai konflik pertanahan selama ini, dan sulitnya penyelesaian atas berbagai konflik tersebut, adalah menjadi relevan mempertanyakan kejelasan (kepastian) keberadaan tanah-tanah adat dan hutan adat di Tanah Batak. Masih adakah tanah-tanah adat atau hutan adat dimaksud? Saya juga akan mengajak kita kembali melihat sekilas bagaimana proses penguasaan tanah oleh PT Inti Indorayon Utama (PT IIU) yang saat ini berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Sekitar 33 tahun yang lalu, tepatnya 26 April 1983, perusahaan ini hadir di Sosor Ladang, Kecamatan Porsea (sekarang Parmaksian), Kabupaten Tapanuli Utara (sekarang Tobasa). Kemudian, pada 31 Oktober 1984, permohonan lokasi pabrik yang diajukan perusahaan ini dikabulkan oleh Gubernur Sumatera Utara waktu itu (Kaharuddin Nasution) seluas 200 ha. Maka melalui Pemerintah Daerah Tapanuli Utara, diadakan musyawarah dengan sejumlah pemuka masyarakat dan tokoh adat. Hasilnya, 225 hektar tanah yang dulunya sebagai tempat penggembalaan
ternak masyarakat beberapa desa, diserahkan kepada Indorayon secara adat Batak dengan istilah pago-pago atau ingot-ingot. Sebagai tanda pertama ganti rugi dinyatakan sebesar Rp.12.500/hektar atau Rp.125/meter persegi. Penyerahan tanah waktu itu dinyatakan selama 30 tahun. Melihat proses ini, tentunya muncul pertanyaan, kalau pada masa itu masyarakat menerima pago-pago atau ingot-ingot, yang oleh pemerintah (negara) menyebutnya dengan istilah gantirugi, bukankah dalam hal ini sudah terjadi manipulasi (hukum) adat? Di mana pada proses peralihan tanah adat ini digunakan aturan adat atau kebiasaan yang tidak pada tempatnya. Dalam adat Batak, istilah pago-pago biasanya diberikan atau digunakan kepada pihak ketiga. Di mana ketika berlangsung upacara adat atau transaksi jual-beli, maka akan diberikan sejumlah uang kepada orang-orang yang hadir menyaksikan upacara atau transaksi tersebut, yang disebut sebagai uang saksi, demikian juga halnya ingot-ingot. Sehingga menjadi pertanyaan, kalau pihak Indorayon memberikan uang saksi kepada masyarakat pemilik tanah, lantas siapa penerima uang jualbeli? Bukankah ini menunjukkan bahwa saat itu masyarakat tidak dianggap sebagai pemilik tanah yang sah? Kemudian, berdasarkan keterangan masyarakat, tidak semua desa pemilik tanah yang 225 ha tersebut menerima ganti-rugi, pagopago atau piso-piso tersebut. Masyarakat dari Desa Lumban Sitorus misalnya, tidak (belum) menerima apa pun dari perusahaan ini. Itulah sebabnya dalam dua tahun terakhir ini mereka semakin gencar menuntut pengembalian tanahnya yang sudah 30-an tahun dipakai pihak TPL secara gratis. Sekitar 50an hektar tanah adat mereka, dipakai TPL sebagai lokasi pabrik dan pembibitan, tanpa adanya proses jual-beli (ganti-rugi), tanpa pago-pago atau ingot-ingot. Namun, sejak tahun 1985 mereka berjuang, belum juga berhasil menuntut pengembalian tanah adat mereka. Bahkan tahun lalu, salah seorang dari mereka, Sammas Sitorus, dikriminalisasi pihak perusahaan ini, yang oleh PN Balige divonnis bebas murni pada Senin, 25
Januari 2016 lalu. Dalam perjuangan masyarakat adat Lumban Sitorus selama ini, pihak TPL selalu berdalih bahwa pihaknya sudah memberikan ganti-rugi tanah tersebut kepada pemerintah. Pemerintah juga selalu berkelit dan malah mengatakan supaya kasus ini dibawa saja ke pengadilan. Dari contoh kasus-kasus di atas, menjadi sangat penting memperjelas (memastikan) keberadaan tanah-tanah adat dan hutan adat di Tanah Batak. Apalagi dengan adanya Perpres No.81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya, dan Perpres No.49/2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Parawisata Danau Toba. Demikian halnya dengan Perda No.1/1990 tentang Penataan Kawasan Danau Toba, yang meskipun disebut mati suri tapi hingga kini belum dicabut. Mendesak adanya Perda tentang pengakuan hak-hak masyarakat adat, minimal Surat Keputusan Bupati, menjadi sangat penting dan prioritas dilakukan. Jika tidak, maka ke depan, konflik pertanahan di daerah ini akan meningkat dan akan sulit terselesaikan. Parapat, 21 Juni 2016