MAKALAH HUKUM ADAT Tanah Adat di Desa Tenganan, Bali
Oleh : Didik Sugianto
(134704009)
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN PMP-KN PROGRAM STUDI ILMU HUKUM 2014
Kata Pengantar Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya. Kami sangat bersyukur sekali dengan terselesaikannya makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak lepas dari tuntunan dan bantuan teman-teman sekalian. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Kami juga menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun kami telah berupaya untuk menyajikan yang terbaik kepada pembaca. Oleh karena itu, kiranya kami menerima saran, masukan, serta perbaikan guna menyempurnakan makalah ini lebih baik lagi. Disini kami akan mendeskripsikan tentang desa adat Tenganan. Serta mendeskripsikan tentang tanah adat desa Tenganan. Kami berharap semoga makalah ini bisa berguna di kemudian hari, sebagai bahan referensi, ataupun sebagai pengetahuan yang perlu untuk dipelajari. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca, masyarakat pada umumnya, mahasiswa pada khususnya.
Surabaya, 25 Oktober 2014
Didik Sugianto
DAFTAR ISI Kata pengantar…………………………………………………………… Daftar isi ………………………………………………………………….... BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………. 1.2 Rumusan Masalah………………………………………… 1.3 Tujuan Makalah…………………………………………… 1.4 Manfaat Penulisan…………………………………….. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Tanah Adat Desa Tenganan………………………. 2.2 Status Tanah Adat Desa Tenganan………………. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ………………………………………………………… 3.2 Saran………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Desa tenganan atau dikenal dengan tenganan pegringsingan merupakan salah satu dari sejumlah desa adat yang ada di Bali. Pola kehidupan masyarakatnya mencerminkan kebudayaan dan adat istiadat, berbeda dengan desa-desa di Bali lainya, karena desa tenganan dikembangkan sebagai salah satu obyek wisata budaya. Lokasi desa Tenganan terletak di Kecamatan Manggis kabupaten Karangasem. Sebagai obyek wisata budaya, desa Tenganan memiliki keunikan dan kekhasan yang menarik untuk dilihat dan dipahami. Dari sistem kemasyarakatan yang dikembangkan, bahwa masyarakat Desa Tenganan terdiri dari penduduk asli desa setempat. Hal ini disebabkan karena sistem perkawinan yang dianut adalah sistem parental dimana perempuan dan laki-laki dalam keluarga memiliki derajat yang sama dan berhak menjadi ahli waris. Masyarakat setempat terikat dalam awig-awig (hukum adat) yang mengharuskan pernikahan dilakukan dengan sesama warga Desa Tenganan, karena apabila dilanggar maka warga tersebut tidak diperbolehkan menjadi krama (warga) desa, artinya bahwa ia harus keluar dari Desa Tenganan. Daya tarik lain yang dimiliki Desa Tenganan adalah tradisi ritual Mekaré-karé atau yang lebih dikenal dengan “perang pandan”. Mekaré-karé merupakan bagian puncak dari prosesi rangkaian upacara Ngusaba Sambah yang digelar pada setiap Bulan Juni yang berlangsung selama 30 hari. Selama 1 bulan itu, Mekaré-karé berlangsung sebanyak 2-4 kali dan setiap kali digelar akan dihaturkan sesajen kepada para leluhur. Mekaré-karé atau “perang pandan” diikuti para lelaki dari usia anak-anak sampai orang-orang tua. Sesuai namanya, maka sarana yang dipergunakan adalah daun pandan yang dipotong-potong sepanjang ±30 cm sebagai senjata dan tameng yang berfungsi untuk menangkis serangan lawan dari geretan duri pandan. Luka yang diakibatkan oleh geretan duri pandan akan dibalur dengan penawar yang dibuat dari ramuan umbi-umbian, seperti laos, kunyit, dan lain-lain. Mekaré-karé pada hakekatnya sama maknanya dengan upacara tabuh rah yang lazim dilakukan oleh umat Hindu di Bali ketika melangsungkan upacara keagamaan. Dalam upacara Mekaré-karé selalu diiringi dengan tetabuhan khas Desa Tenganan, yaitu gamelan selonding. Keunikan lain yang dimiliki oleh Desa Tenganan yang tidak dimiliki oleh daerah lainya di Bali bahkan di Indonesia adalah kerajinan tenun double ikat kain Gringsing. Kata Gringsing itu sendiri berasal dari kata “gering” yang berarti sakit atau musibah, dan “sing” yang artinya tidak, maka secara keseluruhan gringsing diartikan sebagai penolak bala. Proses pembuatan kain gringsing sangatlah unik dan memerlukan waktu yang
lama ( sampai 3 tahun ), sehingga keberadaannya menjadi langka dan harganya cukup mahal.Kain gringsing wajib dimiliki oleh warga Desa Tenganan. Ada keunikan lainya yaitu mengenai tanah adat desa Tenganan hampir semua tanah didesa Tenganan milik adat, tapi masih ada hak-hak ulayat masyarakat desa Tenganan. Obyek dari hak ulayat antara lain: a. Tanah b. Air (perairan misalnya: sungai,danau,) c. Tumbuh-tumbuhan d. Binatang yang hidup liar. Hak ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak dari pada persekutuan atas tanah yang didiami, sedangkan pelaksanaanya dilakukan oleh persekutuan itu sendiri. Dalam masyarakat desa Tenganan juga ada hak perseorangan atas tanah, tapi dibatasi. Dari segi yuridis hukum adat desa Tenganan tetap diakui Negara, seperti tercantum dalam UUD 1945 pasal 18B ayat 2 “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-undang” Dan untuk tanah adat tercantum dalam UUPA pasal 3 dan 5.
1.2 Rumusan Masalah 1. Mendekripsikan tentang tanah adat desa Tenganan? 2. Status tanah adat dalam hukum nasional?
1.3 Tujuan Penulisan Dengan maksud mengetahui dan memahami tentang tanah adat didesa Tenganan, status tanah adat dalam hukum nasional.
1.4 Manfaat Penulisan Dengan maksud mengetahui dan memahami tentang tanah adat didesa Tenganan, memahami status tanah adat desa tenganan dalam hukum nasional.
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Tanah adat didesa Tenganan Desa Tenganan memiliki wilayah yang luas yaitu 917,2 hektare, sebagian besar digunakan untuk persawahan seluas 255 hektare, dan 583 hektare untuk lahan kering, lainya untuk permukiman, pekuburan. Didesa Tenganan, tanah adat milik persekutuan adat, masing-masing dibagi menjadi tanah milik adat, tanah milik pribadi, dan tanah milik organisasi, yang semuanya tetap dibawah naungan adat. Lahan itu ada yang garap sendiri, tetapi umumya digarap oleh orang luar warga tenganan hanya menerima hasilnya, untuk pembagian hasil antara pemilik dan penggarap sawah yaitu dibagi sama warga Tenganan hanya diperkenankan untuk tinggal dan memanfaatkan lahan atau tanah, jika ingin membuat rumah atau mengambil hasil hutan akan terlebih dahulu melapor ke kepala adat desa Tenganan, dan mellalui rapat akan diputuskan, Didesa Tenganan permukiman terdiri atas tiga banjar, yaitu banjar barat, banjar tengah, banjar timur. Desa Tenganan juga mempunyai aturan adat yang disebut awiq-awiq, semua peraturan terdapat di awig-awig juga mengenai tanah, jika ada masalah tentang tanah akan diselesaikan secara musyawarah tetapi menggunakan acuan awig-awig, jika ada orang melakukan kesalahan hak kepemilikan atas tanah dicabut, tetapi masih menjadi warga adat desa Tenganan. Jika ada orang menikah , orang yang melakukan pernikahan tersebut akan diberikan oleh adat tanah untuk ditempati dan mendirikan bangunan untuk tempat tinggal bukan sebagai hak milik hanya hak guna pakai, karena jika masih bertempat tinggal bersama mertuan tidak diperbolehkan, satu pekarangan harus milik dari 1 kepala keluarga tidak boleh lebih. Untuk transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah adat desa Tenganan. Didesa Tenganan tidak diperbolehkan menjual tanah meskipun sudah mempunyai sertifikat karena tanah milik adat dan tanah adat tidak boleh digadaikan, jika digadaikan pemilik tanah wajib membayar denda sebesar apa yang diberikan penggadai kepemilik tanah, tanah yang digadaikan akan diambil oleh adat. Untuk hal-hal yang dilarang berhubungan dengan tanah adat adalah tidak diperbolehkan menebang pohon sembarangan, meskipun milik kita sendiri boleh ditebang asal mati, mati pun harus izin ke kepala adat dan kepala adat akan melakukan musyawarah dengan perangkat adat lainya dan melakukan verifikasi langsung kepohon yang akan ditebang. Boleh menebang pohon yang hidup asal pohon itu tiga sejajar, orang yang baru nikah diperbolehkan menebang pohon yaitu sebanyak empat pohon hanya digunakan untuk pembuatan rumah dan tidak boleh dijual,
saknsinya jika pohon dijual yaitu denda dua kali lipat harga kayu, dan kayu akan diambil sebagai milik adat. Masyarakat desa Tenganan boleh mengambil buah-buahan asal buah itu jatuh dari pohonya langsung, tapi ada pengacualian buah yang tidak boleh diambil yaitu: buah durian, buah kemiri, buah kluak, jiak ada masyarakat desa Tenganan yang memetik bahkan mengambilnya buah tersebut akan dikenakan sanksi yaitu berupa denda sebesar 25 kg beras. Tanah adat desa Tenganan sebagian sudah mempunyai setifikat tapi yang diutamakan yang bersertifikat tanah yang berbatasan langsung dengan desa lain, agar jelas mengenai batas-batas tanah desa Tenganan, untuk sertifikat atas nama masing-masing masyarakat adat tetapi naungan masih dalam adat dan tidak boleh dijual, umumnya tanah yang bersertifikat yaitu tegalan karena berbatasan dengan desa lain. Dalam hal pembayaran pajak, pajak merupakan pendapatan Negara dan semua warga Negara wajib membayar pajak, masyarakat desa tenganan juga membayar pajak untuk tanah dan juga mempunyai SPPT, tetapi bukan sebai pemilik tanah kepemilikan tanah masih dalam naungan adat. Pembagian tanah adat di desa tenganan yaitu digunakan sebagai sawah,hutan,pekuburan, dan permukiman masyarakat adat, untuk hutan sendiri, hutan dikuasai adat semuanya yang ada didalam hutan milik adat, memang hutan adat termasuk milik Negara tetapi barada dalam masyarakat hukum adat. Seperti tercantum dalam Undang-undang nomor.41 tahun 1999 tentang kehutanan pasal 1 ayat 6. “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Untuk perbuatan yang tidak diperbolehkan dalam hukum adat desa Tenganan seperti tidak boleh menebang pohon sembarangan sebenarnya bisa diterapkan di hukum nasional, tapi kenyataanya belum bisa maksimal seperti hukum adat, hukum adat merupakan hukum yang mempunyai sanksi yang sangat tegas, diindonesia peraturan tentang pelarangan menebang pohon atau hutan masih kurang, sanksinya pun kurang maksimal. Sebenarnya hukum nasional sudah membuat peraturan tentang pelarangan penebangan hutan atau pohon sembarangan yaitu terdapat pada Undang-undang nomor.41 tahu 1999 tentang kehutanan dan Undang-undang nomor.18 tahun 2013 tentang pencegahan dan perusakan hutan, tapi Undang-undang ini tidak efektif faktanya masih banyak penebangan hutan secara liar dan pengerusakan hutan, pengerusakan hutan dan penebangan pohon juga mengakibatkan dampak langsung pada kehidupan masyarakat, padahal isi dari Undang-undang nomor.18 tahun 2013 sudah jelas seperti yang tercantum dalam pasal 12: Pasal 12 Setiap orang dilarang: a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan;
b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah; d. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin; e. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan; f. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; g. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; h. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar; i. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara; j. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara; k. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar; l. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; dan/atau m. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. Karena hutan sendiri sebagai paru-paru bumi dan harus dilestarikan banyak terjadi bencana seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan yang semuanya ulah manusia sendiri, bahkan PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) menjadikan desa adat Tenganan sebagai contoh untuk pelestarian alam sebagai langkah pencegahan global warming. Seharusnya hukum adat desa Tenganan bisa menjadi contoh untuk hukum nasional, meskipun sanksi dari hukum adat sangat tegas tetapi masih eksis, karena tingginya perhatian yang diberikan oleh desa adat tenganan terhadap masyarakat adatnya dan tingginya keadilan yang diberikan oleh adat terhadap masyarakat dibandingkan dengan hukum nasional.
2.1 Status Tanah Adat Desa Tenganan Untuk masalah status sebenarnya hukum adat sudah diakui dalam hukum nasional tercantum dalam UUD 1945 pasal 18B ayat 2. “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-undang. Dalam hal ini hukum adat bersifat luas seperti hukum perkawinan adat, hukum tata Negara adat, hukum tanah adat,waris adat,pidana adat. Didesa Tenganan sendiri menerapkan hukum adat yang semuanya menjadi undang-undang bagi masyarakat desa tenganan. Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggota persekutuan berlangsung secara tertulis. Selain itu dalam melakukan tindakan untuk menggunakan tanah adat , harus terlebih dahulu diketahui atau meminta izin kepala adat. Dengan demikian sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih tetap milik anggota persekutuan hukum, yang mempunyai hak untukmengolahnya tanpa ada pihak yang melarang. Tanah adat juga sudah diakui didalam Undang-undang Pokok Agraria, Termasuk tanah adat desa Tenganan. Kedudukan hak ulayat dalam Undang-undang Pokok Agraria 1. terdapat pada pasal 3 dan pasal 4 2. eksistensi hak ulayat diakui sepanjang masih ada. Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria “ dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataanya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi”. Pasal 5 Undang-undang pokok agraria “ hukum agraia yang berlaku atas bumi dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia sert dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Pengakuan hak ulayat juga dilakukan oleh kementrian agaria melalui peraturan mentri agraria (keputusan badan pertanahan nasional nomor.5 tahu 1999 tentang pedoman penyelesaian hak ulayat masyarakat hukum adat)
Tujuan keputusan ini adalah untuk melaksanakan urusan pertanahan dalam kaitanya dengan hak ulayat yang masih ada didaerah tersebut. Kriteria adanya hak ulayat (pasal 2 peraturan mentri agraria/ keputusan badan pertanahan nasional nomor.5 tahun 1999) 1. adanya masyarakat adat tertentu 2. adanya hak ulayat yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil keperluan hidup masyarakat hukum adat 3. adanya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat. Dalam banyak peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif dan fleksibel ketika dihadapkan dengan masyarakat modern seperti ini. Sehingga dalam hukum agraria nasional hukum adat dijadikan juga sebagai landasannya. Hukum agraria pada masa penjajahan Hindia Belanda bersifat dualistis, yaitu hukum agraria barat, dan hukum adat bangsa Indonesia. Hukum agraria barat berlaku bagi orang-orang Belanda, orang eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, sedang hukum agraria adat berlaku bagi golongan bumi putera (penduduk asli). Undang-undang no. 5 tahun 1960 adalah undang-undang yang dibuat bangsa Indonesia dikeluarkan setelah Indonesia merdeka. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa hukum agraria nasional didasarkan kepada hukum adat. Penegasan itu dapat dijumpai dalam Pasal 56 Undang-undang Pokok Agraria. Ketentuan hukum adat itu tidak tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Contoh dalam hubungan dengan pelaksanaan hak ulayat. Sekalipun penguasa-penguasa adat mempunyai kewenangan untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah hak ulayat dalam wilayahnya, namun kewenangan itu tidak boleh menghalangi program pemerintah untuk mencapai kemakmuran rakyat, misalnya pembukaan tanah secara besar-besaran untuk areal perkebunan atau untuk pemindahan penduduk. Untuk menciptakan hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh Indonesia, dibuat dalam bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tentu saja, tujuannya adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.
BAB III PENUTUP 3.1 kesimpulan a. Tanah adat desa Tenganan memang memiliki wilayah yang cukup luas dan tanah itu dibagi menjadi tanah sebagai permukiman, hutan, sawah, pekuburan. Dan dalam tanah tersebut ada hak ulayat masyarakat adat desa Tenganan dan Negara mengakui hak ulayat masyarakat adat, semua tanah di desa Tenganan milik adat, ada juga yang milik pribadi, milik organisasi yang semuanya masih dalam naungan adat. PBB bahkan menjadikan desa adat Tenganan menjadi contoh pencegahan global warming, melalui peraturan yang sangat tegas bahwa semua masyarkat desa adat tersebut tidak diperbolehkan mengambil pohon, menebang pohon, menjual kayu, itu yang seharusnya menjadi contoh untuk Negara Indonesia agar tidak terjadi global warming dan bencana alam, di Indonesia sendiri masih banyak penebangan pohon secara illegal, memang sudah ada undang-undang yang mengatur tentang hutan, tapi sanksinya masih kurang. b. Dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang berlaku di Indonesia menunjukkan adanya suatu nuansa kehidupan atau fungsi sosial dari tanah, terlebih lagi dalam pembagian tanah persekutuan dan tanah perseorangan atau individu. Juga dapat dilihat bagaimana pembagian hak-hak atau pengaturan hak-hak atas tanah adat menunjukkan adanya upaya untuk menertibkan pemakaian tanah adat sehingga benar-benar menjamin keadilan. Di sinilah kedudukan peran pemerintah selaku penguasa untuk menetapkan suatu teknis pendaftaran tanah adat untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam bidang agraria. Hukum tanah adat di Indonesia telah mengalami perkembangan dalam berbagai hal, karena ini disesuaikan dengan adanya perkembangan zaman, tepat keberadaannya masih tetap dipandang kuat oleh para masyarakat. Begitu juga dengan tanah adat yang ada didesa Tenganan sudah merupakan bagian dari diri mereka dan tetap dipertahankan kelestariannya jika ada pihak-pihak yang ingin merusaknya. Memang, setelah perkembangan zaman ditambah lagi setelah berlakunya UUPA, hukum tanah adat masih tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Hukum tanah adat yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa dengan adanya tanah persekutuan dan tanah perseorangan menunjukkan
bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang serupa diatur dalam UUPA.
3.2 Saran Bagi pemerintah: Untuk bahan kajian untuk membuat undang-undang dari hukum adat desa Tenganan dan mengakui hak ulayat masyarakat adat jika hak ulayat itu masih ada dan tidak bertentangan dengan prinsip Negara Indonesia. Bagi masyarakat: Ikut serta dalam menanamkan nilai-nilai moral dan sosial dari hukum adat.
Daftar pustaka Wignjodipoero, soerojo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Toko Gunung Agung. 1967