MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 3/PUU-XV/2017 PERKARA NOMOR 30/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 53/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR73/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 60/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 70/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 71/PUU-XIV/2016
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH DAN UNDANGUNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTAGN PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA PENGUCAPAN PUTUSAN DAN KETETAPAN
JAKARTA, RABU, 19 JULI 2017
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 3/PUU-XV/2017 PERKARA NOMOR 30/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 53/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 73/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 60/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 70/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 71/PUU-XIV/2016 PERIHAL
-
Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah [Lampiran I huruf DD angka 5] terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
-
Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah [Lampiran Angka I huruf A Nomor 1] terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
-
Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-UNdang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung [Pasal 6B ayat (2), Pasal 7 huruf a, angka 4 dan angka 6, Pasal 7 huruf b, angka 1 frasa angka 4, angka 2, dan angka 3] dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tengan Mahkamah Konsitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi [Pasal 4 ayat (3), Pasal 22] terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
-
-
Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-UNdang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi [Pasal 22] terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi [Pasal 6 huruf c dan Pasal 11 huruf a] terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang [Pasal 70 ayat (3)] terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi undang-Undang [Pasal 7 ayat (2) huruf g] terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
PEMOHON 1. Suhaelah, Reni Setiawati, Susi Marfia (Pemohon Perkara 3/PUU-XV/2017). 2. Basuki Tjahaja Purnama (Pemohon Perkara 60/PUU-XIV/2016). 3. Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) atau Pusat Kajian Masalah 4. 5. 6. 7.
Strategis Universitas Indonesia (Pemohon Perkara 73/PUU-XIV/2016). Muh. Samanhudi Anwar (Pemohon Perkara 30/PUU-XIV/2016). Binsar M Gultom dan Lilik Mulyadi (Pemohon Perkara 53/PUU-XIV/2016). Tonin Tachta Singarimbun (Pemohon Perkara 70/PUU-XIV/2016) Rusli Habibie (Pemohon Perkara 71/PUU-XIV/2016).
i
ACARA Pengucapan Putusan dan Ketetapan Rabu, 19 Juli 2017, Pukul 09.39-12.46 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Arief Hidayat Anwar Usman Aswanto Maria Farida Indrati Wahiduddin Adams Suhartoyo Manahan MP Sitompul I Dewa Gede Palguna
Hani Adhani Mardian Wibowo Fadzlun Budi SN Wilma Silalahi Achmad Edi Subiyanto Yunita Rhamadani Syukri Asy’ari
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti
ii
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 30/PUU-XIV/2016: 1. 2. 3. 4.
Juari Aan Eko Widiarto Haru Permadi Bambang Arjuno
B. Pemohon Perkara Nomor 53/PUU-XIV/2016: 1. Binsar M Gultom 2. Lilik Mulyadi 3. Melky Sidek C. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 71/PUU-XIV/2016: 1. 2. 3. 4. 5.
Heru Widodo Aan Sukirman Meike Camaru Supriyadi Adi Dimas Pradana
D. Pemohon Perkara Nomor 73/PUU-XIV/2016: 1. Tjip Ismail 2. Dian Puji Simatupang E. Pemerintah 1. Hotman Sitorus 2. Ninik Hariwanti F. DPR: 1. Agus Trimorowulan G. Pihak Terkait Perkara Nomor 71/PUU-XIV/2016: 1. Ridwan Darmawan H. Pihak Terkait Perkara Nomor 60/PUU-XIV/2016: 1. Habiburokhman 2. Krist Ibnu T 3. Ali Lubis I. Pihak Terkait Perkara Nomor 53/PUU-XIV/2016: 1. Jimmy Maruli 2. Andi Julia Cakrawala 3. Joko M S iii
SIDANG DIBUKA PUKUL 09.39 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim, Sidang Pengucapan Ketetapan dan Putusan dalam Perkara Nomor 3 Tahun 2017, 30, 53, 73, 60, 70, dan 71/PUU-XIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X
Saya cek kehadirannya, Pemohon Perkara Nomor 3 Tahun 2017 tidak hadir. Perkara nomor 30? 2.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XIV/2016: AAN EKO WIDIARTO
NOMOR
30/PUU-
NOMOR
53/PUU-
PERKARA
73/PUU-
Perkara Nomor 30 hadir, Yang Mulia. 3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, Perkara Nomor 53?
4.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: BINSAR M GULTOM
PERKARA
Hadir, Yang Mulia. 5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, Perkara Nomor 73?
6.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: TJIP ISMAIL
NOMOR
Kami hadir, Yang Mulia. 7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Perkara Nomor 60, belum hadir ya, tidak hadir. Perkara Nomor 70 Tahun 2016 juga tidak hadir. Yang terakhir, Perkara Nomor 71.
1
8.
KUASA HUKUM PEMOHON XIV/2016: HERU WIDODO
NOMOR
PERKARA
71/PUU-
Hadir, Yang Mulia. 9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Dari DPR?
10.
DPR: AGUS TRIMOROWULAN Hadir, Yang Mulia.
11.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dari Pemerintah?
12.
PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS Pemerintah hadir, Yang Mulia.
13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Kemudian ada Pihak Terkait dari Perkara Nomor 53 ya?
14.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PERKARA NOMOR 53/PUUXIV/2016: Hadir, Yang Mulia.
15.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Semuanya Nomor 53 ini?
16.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PERKARA NOMOR 53/PUUXIV/2016: JIMMY MARULI Dari Mahkamah Agung.
17.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Mahkamah Agung ya?
2
18.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PERKARA NOMOR 53/PUUXIV/2016: JIMMY MARULI Ya.
19.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Itu Pak Habiburokhman Pihak Terkait Perkara Nomor berapa itu?
20.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PERKARA NOMOR 60/PUUXIV/2016: HABIBUROKHMAN Nomor 60, Yang Mulia.
21.
KETUA: ARIEF HIDAYAT 60 ya.
22.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PERKARA NOMOR 60/PUUXIV/2016: HABIBUROKHMAN Cuti petahana yang diajukan Pak Ahok.
23.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Ada lagi Pihak Terkait dari?
24.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PERKARA NOMOR 71/PUUXIV/2016: Ya, Yang Mulia, saya dari Perkara Nomor 71, Yang Mulia.
25.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Nomor 71 ya.
26.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PERKARA NOMOR 71/PUUXIV/2016: Ya, baik.
3
27.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Masih ada yang belum anu … perkara … Pak Habiburokhman dengan teman-temannya ya?
28.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PERKARA NOMOR 60/PUUXIV/2016: HABIBUROKHMAN Dalam kuasa hukum saya, Yang Mulia.
29.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik, terima kasih. Kita mulai dengan pengucapan ketetapan. KETETAPAN Nomor 3/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Menimbang :
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 7 Desember 2016 dari Suhaelah, S.H., MBA., dan kawan-kawan yang telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 3/PUU-XV/2017 pada tanggal 6 Januari 2017 perihal Permohonan Pengujian Lampiran Angka I huruf DD Nomor 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. bahwa terhadap permohonan Nomor 3/PUUXV/2017 tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan: 1. Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 5/TAP.MK/2017, bertanggal 6 Januari 2017, tentang Pembentukan Panel Hakim untuk memeriksa permohonan Nomor 3/PUU-XV/2017; 2. Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 6 dan seterusnya, bertanggal 10 Januari 2017, tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk Pemeriksaan Pendahuluan;
4
c. bahwa pada tanggal 2 Februari 2017, Mahkamah telah melaksanakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan untuk memeriksa perbaikan permohonan, para Pemohon mengubah posisinya menjadi kuasa bersamasama dengan Amiruddin Rahman, S.H., Rina Nurrinawati, S.E., dan Novi Mulyati, S.T. dari Ahmad Tibyani, S.E., M.Si., Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Pemerintah Kabupaten Sukabumi, yang selanjutnya Ahmad Tibyani, S.E., M.Si., bertindak sebagai Pemohon Prinsipal dalam permohonan a quo; d. bahwa pada tanggal 17 Mei 2017, Mahkamah telah selesai melaksanakan sidang pleno Pemeriksaan Persidangan terakhir terhadap permohonan a quo dan saat ini sedang dalam tahap pengambilan putusan; e. bahwa dalam tahap pengambilan putusan sebagaimana dimaksud pada huruf d, pada tanggal 13 Juni 2017 Mahkamah menerima surat dari Pemohon tanpa tanggal tertulis bulan Mei 2017 perihal Penarikan Kembali Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945 (Perkara Nomor 3/PUUXV/2017) yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pemohon mengajukan permohonan pencabutan perkara atau penarikan kembali Permohonan Nomor 3 dan seterusnya pada tahun 2017 tersebut; f. bahwa berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, ”Pemohon dapat menarik kembali
Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”, dan ”Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”;
g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, terhadap permohonan pencabutan atau penarikan kembali tersebut, Rapat Pleno
5
Permusyawaratan Hakim pada hari Senin, tanggal 10 Juli 2017, telah menetapkan permohonan penarikan kembali permohonan Nomor 3/PUU-XV/2017 beralasan menurut hukum; Mengingat :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; 3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; MENETAPKAN:
1. Mengabulkan permohonan penarikan kembali permohonan Pemohon; 2. Menyatakan permohonan Nomor 3/PUU-XV/2017 perihal pengujian konstitusionalitas Lampiran Angka I huruf DD Nomor 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditarik kembali; 3. Menyatakan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali Permohonan Pengujian konstitusionalitas Lampiran Angka I huruf DD Nomor 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan mengembalikan berkas permohonan kepada Pemohon. KETUK PALU 1X Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Maria Farida Indrati, Suhartoyo, 6
Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, Manahan MP Sitompul, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal sepuluh, bulan Juli, tahun dua ribu tujuh belas, dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal sembilan belas, bulan Juli, tahun dua ribu tujuh belas, selesai diucapkan pukul 09.49 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Aswanto, Maria Farida Indrati, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, Manahan M.P Sitompul, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Hani Adhani sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Presiden atau yang mewakili dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, tanpa dihadiri Pemohon atau kuasanya. Berikutnya Putusan Nomor 30. PUTUSAN Nomor 30/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: PEMERINTAH KOTA BLITAR, yang dalam hal ini diwakili oleh: Nama : Muh. Samanhudi Anwar Jabatan : Walikota Blitar Masa Jabatan 2016 - 2021 Berdasarkan Surat Kuasa bertanggal 29 Maret 2016 memberi kuasa kepada Juari, S.H., M.Si., dan kawan-kawan yang kesemuanya adalah advokat dan konsultan Hukum pada Kantor Advokat Drs. Bambang Arjuno, S.H. & Rekan, berkedudukan di Jalan Madura, Perum Griya Rama Blok A1/7, Kuningan-Blitar, Jawa Timur, baik bersama-sama atau sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------- Pemohon; [1.2] Membaca permohonan Pemohon; Mendengar keterangan Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan Presiden; Mendengar dan membaca keterangan saksi dan ahli Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur; 7
Mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI); Memeriksa bukti-bukti Pemohon; Membaca kesimpulan Pemohon. Bagian duduk perkara dan seterusnya dianggap telah dibacakan. 30.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Pokok Permohonan [3.9] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Lampiran UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Angka I huruf A Nomor 1 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18A ayat (1), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945; [3.10] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang telah diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-26, yang selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara. Di samping itu, Pemohon juga mengajukan 3 (tiga) orang ahli dan 5 (lima) orang saksi yang didengar keterangannya di bawah sumpah pada Sidang Pleno tanggal 17 Mei 2016 dan tanggal 30 Mei 2016 (sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.11] Menimbang bahwa Presiden yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Dalam Negeri telah memberikan keterangan lisan pada Sidang Pleno tanggal 2 Mei 2016 dan telah menyerahkan keterangan tertulis ke Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi tanggal 3 Juni 2016 (sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.12] Menimbang bahwa Pemberi Keterangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menyampaikan keterangan lisan dan telah menyerahkan keterangan tertulis pada Sidang Pleno tanggal 30 Mei 2016 (sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.13] Menimbang bahwa Pihak Terkait Persatuan Guru Republik Indonesia telah menyampaikan keterangan lisan dan telah menyerahkan keterangan tertulis pada Sidang Pleno tanggal 30 Mei 2016 (sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, bukti surat/tulisan Pemohon, keterangan ahli Pemohon, keterangan saksi Pemohon, keterangan tertulis Presiden, keterangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan
8
Persatuan Guru Republik Indonesia, dan kesimpulan tertulis Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.14.1] Bahwa Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang. Kemudian, dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Selanjutnya, dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 ditegaskan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat; [3.14.2] Bahwa, dalam hubungannya dengan permohonan a quo, berkenaan dengan pengelompokan Urusan Pemerintahan, Pasal 9 UU Pemda menyatakan:
(1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum; (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota; (4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah; (5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Kemudian, dalam Pasal 10 ayat (1) UU Pemda dinyatakan bahwa urusan pemerintahan absolut meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. [3.14.3] Bahwa berdasarkan uraian pada sub-paragraf [3.14.2] di atas telah terang bahwa yang menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah adalah Urusan Pemerintahan konkuren, yaitu urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun
9
urusan pemerintahan absolut adalah sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan urusan pemerintahan umum menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Sementara itu, urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib adalah urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua daerah (vide Pasal 1 angka 14 UU Pemda). Urusan Pemerintahan Wajib tersebut terdiri atas Urusan Pemerintahan wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar [vide Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda]. Adapun Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi: a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d. perumahan rakyat dan kawasan pemukiman; e. ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan f. sosial. Adapun yang dimaksud dengan Pelayanan Dasar adalah pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara (vide Pasal 1 angka 16 UU Pemda). Sedangkan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi: a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; c. pangan; d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan Desa; h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i. perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi, usaha kecil, dan menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olah raga; n. statistik; o. persandian; p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r. kearsipan. 10
Sementara itu, Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah, yang meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata; c. pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f. perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi. [vide Pasal 12 UU Pemda]. Dengan demikian, pendidikan adalah bagian dari urusan pemerintahan konkuren yang tergolong ke dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar yang oleh Undang-Undang a quo diberi pengertian sebagai Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua Daerah yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar [vide Pasal 11 ayat (3) UU Pemda]. Daerah yang dimaksud di sini dapat berarti Daerah provinsi atau Daerah kabupaten/kota. [3.14.4] Bahwa, berdasarkan uraian pada sub-paragraf [3.14.3] di atas, yang menjadi persoalan selanjutnya adalah apa yang dijadikan kriteria bahwa suatu urusan pemerintahan konkuren kewenangannya akan diberikan kepada Daerah (baik daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota) atau akan tetap dipegang oleh Pemerintah Pusat. Terhadap persoalan ini, UU Pemda menyatakan bahwa prinsip yang dijadikan dasar adalah prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Adapun yang dimaksud dengan: a. “prinsip akuntabilitas” adalah penanggung jawab penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan; b. “prinsip efisiensi” adalah penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan ditentukan berdasarkan tingkat perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh; c. “prinsip eksternalitas” adalah penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan; 11
d. “prinsip kepentingan strategis nasional” adalah penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan ditentukan berdasarkan pertimbangan dalam rangka menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, menjaga kedaulatan negara, implementasi hubungan luar negeri, pencapaian program strategis nasional dan pertimbangan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. [vide Pasal 13 ayat (1) juncto Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU Pemda]. Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, kemudian ditentukan kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi, dan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota sebagai berikut: Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional. Sementara itu, Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi. Adapun Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota;
12
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota. [vide Pasal 13 UU Pemda]. [3.14.5] Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dilihat dari perspektif Urusan Pemerintahan, UU Pemda menempatkan pendidikan dalam klasifikasi Urusan Pemerintahan Konkuren yang kewenangannya dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota yang didasarkan atas prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional yang merupakan kebijakan dari pembentuk undang-undang yang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu apabila berdasarkan keempat prinsip tersebut pembentuk undang-undang berpendapat bahwa pendidikan menengah lebih tepat diserahkan kepada Daerah Provinsi, maka hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Namun, yang menjadi persoalan kemudian adalah bahwa pada saat diundangkan dan diberlakukannya UU Pemda ini masih berlaku pula Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301, selanjutnya disebut UU Sisdiknas). Pasal 50 ayat (5) UU Sisdiknas menyatakan:
“... (5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”.
Dengan demikian seolah-olah terdapat dua norma Undang-Undang yang memuat pengaturan secara berbeda terhadap objek yang sama. Terhadap persoalan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: a. Bab XXVIII (Ketentuan Penutup), Pasal 407 UU Pemda menyatakan, “Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan Daerah wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini”.
13
b. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) menyatakan, “(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Jika ketentuan Pasal 407 UU Pemda di atas dihubungkan dengan ketentuan Pasal 7 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka ketentuan dalam Pasal 407 UU Pemda di atas berlaku pula terhadap UU Sisdiknas, dalam hal ini Pasal 50 ayat (5) UU Sisdiknas, sepanjang menyangkut kewenangan yang langsung berkaitan dengan Daerah, baik Daerah provinsi maupun Daerah kabupaten/kota, sehingga harus mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya dengan UU Pemda. Hal ini sejalan dengan asas hukum lex posteriore derogat legi priori (peraturan yang lahir belakangan diutamakan/ mengalahkan peraturan sederajat yang terdahulu). Ketentuan Pasal 407 UU Pemda tersebut juga berlaku terhadap seluruh peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sehingga seluruh peraturan perundangundangan di bawah Undang-Undang itupun harus menyesuaikan diri dengan UU Pemda, dalam hal ini sepanjang berkenaan dengan pendidikan. Hal ini sejalan dengan asas hukum lex superiore derogat legi inferiori (peraturan yang lebih tinggi diutamakan/mengalahkan peraturan yang lebih rendah). [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum; [3.16] Menimbang bahwa dengan mengingat kedudukannya sebagai ahli tatkala permohonan a quo masih dalam proses persidangan, Hakim Konstitusi Saldi Isra tidak menggunakan haknya dalam pengambilan putusan;
14
31.
KETUA: ARIEF HIDAYAT KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo; [4.3] Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; AMAR PUTUSAN Mengadili, Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. KETUK PALU 1X Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, Suhartoyo, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, di mana satu orang hakim konstitusi yaitu Saldi Isra tidak memberikan pendapatnya, pada hari Kamis, tanggal lima belas, bulan Juni, tahun dua ribu tujuh belas dan hari Selasa, tanggal sebelas, bulan Juli, tahun dua ribu tujuh belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal sembilan belas, bulan Juli, tahun dua ribu tujuh belas, selesai diucapkan pukul 10.08 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, Suhartoyo, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Wilma Silalahi sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya dan Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait/kuasanya. Berikutnya Perkara Nomor 53.
15
PUTUSAN Nomor 53/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: 1.
Nama
:
Nama 2
:
Dr. Binsar M. Gultom, M.H. .
Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.
Selanjutnya disebut sebagai -------------------------- Para Pemohon; [1.2] Membaca permohonan para Pemohon; Mendengar keterangan para Pemohon; Mendengar dan membaca Keterangan Presiden; Mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait Mahkamah Agung; Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon; Mendengar keterangan ahli Presiden; Memeriksa bukti-bukti para Pemohon; Membaca kesimpulan para Pemohon dan Presiden; 32.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum dianggap dibacakan. Pokok Permohonan [3.8] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 6B ayat (2), Pasal 7 huruf a butir 4 dan butir 6 serta Pasal 7 huruf b butir 1 angka 4, butir 2 dan butir 3 UU 3/2009 serta Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 22 UU MK yang menyatakan: Pasal 6B ayat (2) UU 3/2009:
“Selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon hakim agung juga berasal dari nonkarier”. Pasal 7 huruf a butir 4 dan butir 6 serta huruf b butir 1 angka 4, butir 2 dan butir 3 UU 3/2009:
16
“Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, calon hakim agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B harus memenuhi syarat: a. hakim karier: 1. ...; 2. ...; 3. ...; 4. berusia sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun; 5. ...; 6. berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi; dan 7. .... b. nonkarier: 1. memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1, angka 2, angka 4, dan angka 5; 2. berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 (dua puluh) tahun; 3. berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; dan 4. ...” Pasal 4 ayat (3) UU MK:
“Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi”. Pasal 22 UU MK:
“Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”.
terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat 1 dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Menurut para Pemohon, persyaratan calon hakim agung dari nonkarier jika dibandingkan dengan calon dari karier sebagaimana diatur pada Pasal 7 huruf b butir 1 angka 4, butir 2 dan butir 3 UU MA bersifat diskriminatif karena di dalam norma tersebut tidak diatur mengenai syarat keahlian khusus di bidang hukum tertentu. Selain itu syarat usia calon hakim agung dari non-karier, yakni berusia minimal 45 tahun dengan pengalaman di bidang hukum paling sedikit 20 tahun tanpa dirinci keahlian khusus di bidang hukum tertentu berpotensi menutup karier para Pemohon dan juga merusak pengkaderan hakim agung di Mahkamah Agung sekaligus berpotensi mengintervensi independensi badan peradilan yang dijamin oleh UUD 1945. Kemudian terhadap ketentuan Pasal 7 huruf a butir 4 dan butir 6 UU 3/2009 yang 17
mensyaratkan calon dari hakim karier harus berusia minimal 45 tahun, berpengalaman menjadi hakim minimal 20 tahun, termasuk paling sedikit 3 tahun menjadi hakim tinggi, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa tersebut tidak dimaknai berusia minimal 55 tahun dan berpengalaman menjadi hakim minimal selama 20 tahun, termasuk pernah menjadi hakim tinggi, serta memiliki pendidikan bergelar minimal Magister Hukum. Terkait dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 22 UU MK, menurut para Pemohon, pembatasan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi selama 2 tahun dan 6 bulan serta masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya satu kali masa jabatan berikutnya akan merugikan hak konstitusional para Pemohon jika kelak diusulkan oleh Mahkamah Agung sebagai hakim konstitusi dan berpotensi merusak sistem pengkaderan hakim konstitusi sekaligus menghambat karier dan masa depan para hakim konstitusi dari unsur Mahkamah Agung, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. [3.9] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, membaca keterangan Presiden, dan Mahkamah Agung, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, mendengar keterangan ahli para Pemohon dan Presiden, serta membaca kesimpulan para Pemohon dan Presiden sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.9.1] Bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting bagi negara Indonesia sebagai suatu negara hukum. Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman menurut Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sebagai bentuk implementasi Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 18
25 UUD 1945, penjabaran terkait dengan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka diatur di dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UndangUndang tentang Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan lainnya, serta Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, termasuk ketentuan mengenai hakim, hakim agung, dan hakim konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman; [3.9.2] Bahwa Pasal 6B ayat (2) UU 3/2009 menyatakan, “Selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon hakim agung juga berasal dari non-karier”. Apabila ditelusuri dari sejarah perkembangan proses pengisian Hakim Agung, dibukanya kesempatan calon Hakim Agung melalui jalur yang bukan berasal dari hakim karier (yaitu calon Hakim Agung dari jalur non-karier) merupakan bagian dan sekaligus kelanjutan dari desain besar (grand design) reformasi mendasar pemegang kekuasaan kehakiman, khususnya reformasi di Mahkamah Agung. Penjelasan Pasal 6B ayat (1) UU 3/2009 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang
berasal dari hakim karier” adalah “calon hakim agung yang berstatus aktif sebagai hakim pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang dicalonkan oleh Mahkamah Agung”. Sementara itu, Penjelasan Pasal 6B ayat (2) UU 3/2009 menyatakan, “yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang juga berasal dari nonkarier” adalah “calon hakim agung yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan”. Perihal keduanya,
penyebutan “karier” dan “non-karier” dalam UU 3/2009 merupakan istilah atau terminologi yang digunakan dalam proses pengajuan atau seleksi calon Hakim Agung. Menurut Mahkamah, pembedaan asal calon dalam proses seleksi ditujukan untuk memberikan kesempatan terhadap calon Hakim Agung yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Perluasan kesempatan dalam proses perekrutan calon Hakim Agung tersebut di antaranya dimaksudkan guna memperkaya calon sehingga tidak hanya terbuka bagi mereka yang sejak semula telah berkarier sebagai hakim di jenjang pengadilan di bawah Mahkamah Agung. Oleh karena penyebutan karier dan/atau non-karier hanya untuk pintu masuk pada proses pencalonan sehingga pengelompokan yang didasarkan pada penyebutan tersebut hilang atau tidak lagi digunakan setelah calon terpilih dan diambil sumpah sebagai Hakim Agung. 19
Menghilangkan penyebutan tersebut penting untuk menghindari kemungkinan pengelompokan Hakim Agung berdasarkan pintu masuk yang disediakan UndangUndang setelah calon terpilih dan diambil sumpahnya sebagai Hakim Agung. [3.9.3] Bahwa apabila dibaca Ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 5/2004 tentang Perubahan Pertama Atas UU 14/1985, kesempatan diangkat menjadi Hakim Agung dari jalur bukan hakim karier (non-karier) terikat/tunduk pada frasa “apabila dibutuhkan”. Dalam hal ini, UU 5/2004 sama sekali tidak mengatur dan menjelaskan kondisi atau persyaratan latar belakang kekhususan atau keahlian bidang hukum yang diperlukan untuk memenuhi frasa “apabila dibutuhkan” tersebut. Bahkan, ketika UU 14/1985 diubah untuk kedua kalinya dengan UU 3/2009 para pembentuk undang-undang pun tidak memberikan pengaturan atau penjelasan ihwal kondisi apakah yang seharusnya diperlukan untuk memenuhi frasa “apabila dibutuhkan” tersebut. Dengan membaca perkembangan sejarah pengaturan kemungkinan pengangkatan Hakim Agung yang berasal dari jalur non-karier tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa frasa “apabila dibutuhkan” tersebut menunjukkan fleksibilitas pembentuk undang-undang terhadap kebutuhan calon yang berasal dari jalur non-karier yang sangat mungkin berbeda dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, apabila latar belakang kekhususan bidang hukum yang diperlukan tersebut dirumuskan secara jelas dalam Undang-Undang, fleksibilitasnya menjadi kehilangan makna dan sangat mungkin tidak mampu menjawab kebutuhan perekrutan calon Hakim Agung dari jalur nonkarier di Mahkamah Agung. Bahwa dengan adanya proses pengisian Hakim Agung sebagaimana diatur Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden’; dan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung…”, frasa “apabila dibutuhkan” termasuk wilayah Komisi Yudisial untuk memberikan pembatasan atas kebutuhan Hakim Agung yang dalam setiap proses perekrutan calon Hakim Agung dari jalur non-karier. Kebutuhan dimaksud harus mempedomani daftar 20
kebutuhan dari Mahkamah Agung. Bagaimanapun, dalam posisi sebagai pemakai (user) Hakim Agung, Mahkamah Agung tentu lebih memahami setiap kebutuhan dalam pengisian Hakim Agung terutama dari jalur non-karier. Bahwa dengan tidak dicantumkannya norma dan ayat bagi calon dari jalur “non-karier” secara rinci di bidang hukum tertentu, seperti ahli di bidang hukum money laundering, perpajakan, perbankan, hukum bisnis, hukum lingkungan, dan atau hukum Hak Asasi Manusia dan lainlain sebagaimana didalilkan para Pemohon merupakan persoalan atau masalah konstitusional adalah tidak tepat. Sebagai salah satu jalur alternatif dan dengan maksud menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hakim dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung, memberi batasan secara rinci dengan maksud menjelaskan frasa “apabila dibutuhkan” baik dengan melalui perumusan norma hukum oleh pembentuk undang-undang maupun melalui pemberian pemaknaan baru melalui putusan Mahkamah Konstitusi akan mendegradasi dan sekaligus membatasi maksud dan makna hakiki frasa “apabila dibutuhkan” tersebut; Bahwa meskipun menentukan secara rinci latar belakang pengetahuan hukum seperti ahli bidang hukum money laundering, perpajakan, perbankan, hukum bisnis, hukum lingkungan, dan/atau hukum Hak Asasi Manusia dan lainlain yang harus dimiliki oleh calon Hakim Agung yang berasal dari jalur non-karier tidak perlu dinyatakan secara eksplisit, tidak berarti menambahkan frasa yang lebih umum tidak diperlukan. Dalam hal ini, penambahan frasa “bidang hukum tertentu” menjadi penting dengan maksud membedakan calon Hakim Agung dari jalur karier dengan calon Hakim Agung dari jalur non-karier. Dengan demikian, permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan frasa “apabila dibutuhkan” beralasan untuk sebagian yaitu sepanjang frasa tersebut tidak dimaknai “keahlian di bidang hukum tertentu” namun tidak perlu merinci secara jelas dan ketat bidang hukum yang diperlukan bagi calon Hakim Agung dari jalur nonkarier sehingga nantinya pada saat pengisian calon hakim dari jalur non-karier, Mahkamah Agung harus menentukan latar belakang keahlian bidang hukum tertentu sesuai dengan kebutuhan Mahkamah Agung yang disampaikan kepada Komisi Yudisial. Hal demikian juga harus menjadi dasar penolakan atau penerimaan calon Hakim Agung oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 21
[3.9.4] Bahwa Pasal 7 huruf b butir 1 angka 4, butir 2 dan butir 3 UU 3/2009 menyatakan bahwa calon Hakim Agung yang berasal dari jalur “non-karier” dengan persyaratan: berusia minimal 45 tahun dan berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum minimal 20 tahun dan bergelar doktor ilmu hukum. Sebagian persyaratan sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 huruf b UU 3/2009 telah diperbarui apabila dibandingkan dengan UU 5/2004. Sebelumnya, Pasal 7 ayat (2) huruf b dan huruf c UU 5/2004 menyatakan bahwa persyaratan bagi calon Hakim Agung non-karier adalah: berpengalaman dalam profesi/bidang hukum dan/atau akademisi hukum sekurang-kurangnya 25 tahun; berijazah magister dalam ilmu hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum. Perubahan melalui UU 3/2009 dilakukan pada dua sisi. Di satu sisi, lamanya waktu berpengalaman dalam bidang hukum dari persyaratan awal 25 tahun diubah menjadi 20 tahun. Sementara itu, di sisi lain, dari sisi jenjang pendidikan persyaratan diperberat. Pendidikan yang awal minimal berijazah magister dalam ilmu hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian di bidang hukum dinaikkan atau ditingkatkan menjadi minimal doktor (S3) dalam bidang hukum. Bahwa perubahan persyaratan di atas, terutama pendidikan menurut Mahkamah, lebih dikarenakan pertimbangan bahwa Hakim Agung yang direkrut dari jalur non-karier harus mampu memberikan sumbangan argumentasi berbasis akademik di dalam putusanputusan Mahkamah Agung. Sebagai jenjang pengadilan yang lebih menilai terhadap penerapan hukum (judex juris) atas putusan pengadilan di tingkat pertama dan/atau tingkat banding, Hakim Agung lebih melakukan peran dalam penemuan hukum sehingga pertimbangan hukum putusannya memiliki kewibawaan doktriner secara akademik. Karena itu, pilihan perekrutan calon hakim agung dengan syarat pendidikan S3 (doktor bidang hukum) yang dari jalur non-karier juga dimaksudkan memperkaya pengalaman praktik yang dimiliki oleh hakim agung dari jalur karier. Bahwa perbedaan persyaratan calon Hakim Agung yang berasal dari jalur karier dengan calon Hakim Agung yang berasal dari jalur non-karier bukanlah perlakuan yang diskriminatif karena tidak setiap perlakuan yang berbeda serta-merta berarti diskriminasi. 22
Dalam hal ini, Mahkamah telah berkali-kali menegaskan pendiriannya di antaranya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 028-029/PUU-IV/2006, bertanggal 12 April 2007, yang dalam pertimbangannya antara lain menyatakan bahwa diskriminasi harus diartikan sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama (religion), ras (race), warna kulit (color), jenis kelamin (sex), bahasa (language), pandangan politik (political opinion). Begitu pula, Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “diskriminasi adalah setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”. Dengan
mendasarkan pada kedua sumber hukum itu, masalah yang diajukan oleh para Pemohon bukanlah soal diskriminasi, melainkan membedakan sesuatu yang sudah berbeda sedari awalnya. Bahwa karena pintu masuk dan latar belakang yang berbeda antara calon Hakim Agung yang berasal dari hakim karier dengan calon yang berasal dari non-karier, sehingga adil bila persyaratan untuk menjadi calon hakim agung antara calon hakim agung dari hakim karier dengan calon hakim agung dari jalur non-karier pengaturannya berbeda pula. Sesuai dengan Pasal 25 UUD 1945, perbedaan persyaratan tersebut dimungkinkan sejauh dan sepanjang diatur oleh UndangUndang. Justru menjadi tidak adil apabila calon hakim agung dari jalur hakim karier dengan calon hakim agung yang berasal dari non-karier yang pintu masuk dan latar belakangnya tidak sama atau berbeda diperlakukan sama persyaratannya. Bahwa ihwal usia, pengalaman, dan jenjang pendidikan untuk mengajukan diri dan/atau diajukan sebagai calon Hakim Agung bukanlah persoalan atau isu konstitusional. Sebagai hukum dasar yang mengatur desain besar relasi atau hubungan antarlembaga negara, UUD 1945 hanya memberi fokus 23
bagaimana proses pengisian Hakim Agung. Sementara itu, hal ihwal yang berhubungan dengan usia, pengalaman, dan jenjang pendidikan adalah materi muatan Undang-Undang. Dalam hal ini, Pasal 25 UUD 1945 menyatakan, “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”. Dengan demikian, persyaratan batas usia minimal 45 tahun bagi calon Hakim Agung (baik dari jalur karier maupun non-karier) tidaklah dapat dikatakan bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional) karena batasan usia tersebut ditentukan oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan ketentuan Pasal 25 UUD 1945 ihwal syarat untuk menjadi hakim ditetapkan dengan Undang-Undang. Selain itu, batasan usia tersebut tentu saja memberikan kesempatan pengajuan calon Hakim Agung dengan batas usia yang lebih muda. Kemungkinan tersebut berlaku bagi calon yang berasal dari jalur hakim karier atau dari jalur non-karier. Berdasarkan pertimbangan di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 6B ayat (2) dan Pasal 7 huruf b butir 1 angka 4 butir 2 dan butir 3 UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua UU 14/1985 tentang Mahkamah Agung bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika frasa
“berusia minimal 45 tahun, berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum minimal 20 tahun dan berijazah Doktor Ilmu Hukum”, dalam norma UndangUndang a quo tidak dimaknai: “(1) berusia minimal 55 Tahun, (2) berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum minimal 25 tahun, memiliki pendidikan gelar minimal Doktor Ilmu Hukum”, menurut Mahkamah adalah tidak beralasan menurut hukum. 33.
HAKIM ANGGOTA: SALDI ISRA [3.9.5] Bahwa berkenaan permohonan selanjutnya adalah permohonan pengujian Pasal 7 huruf a angka 4 dan angka 6 UU 3/2009 yang menyatakan, “berusia sekurangkurangnya 45 tahun, berpengalaman paling sedikit 20 tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit tiga tahun menjadi Hakim Tinggi”. Ketentuan a quo sepanjang frasa “termasuk paling sedikit tiga tahun menjadi Hakim Tinggi” secara proporsional memang berat untuk dipenuhi oleh calon Hakim Agung yang berasal dari jalur hakim 24
karier. Meskipun demikian, tidaklah tepat menghilangkan sama sekali syarat pernah menjadi hakim tinggi guna membuktikan bahwa calon dari jalur karier memiliki jenjang karier di lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Sebelum diajukan sebagai calon dari jalur karier, persyaratan pernah menjadi hakim pada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding menjadi keniscayaan. Namun persyaratan “termasuk paling sedikit tiga tahun menjadi Hakim Tinggi” menurut penalaran yang wajar mengakibatkan hakim karier baru akan memperoleh kesempatan untuk diajukan menjadi calon Hakim Agung setelah berusia di atas 55 tahun. Merujuk bentangan fakta selama ini, kemungkinan diajukan sebagai calon Hakim Agung bagi hakim karier menjadi lebih sulit disebabkan adanya syarat tiga tahun sebagai Hakim Tinggi. Sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon persyaratan tersebut sekaligus berpotensi menutup karier dan masa depan para hakim karier pada umumnya untuk menjadi Hakim Agung. Setelah mengikuti pola dan jenjang hakim karier sebagaimana yang terjadi selama ini, persyaratan “termasuk paling sedikit tiga tahun menjadi Hakim Tinggi” batasan umur minimal 45 tahun akan menjadi sesuatu yang utopis bagi hakim karier. Dalam batas penalaran yang wajar, selama dan sejauh syarat “tiga tahun menjadi hakim tinggi” dipertahankan, tidak akan pernah terjadi calon Hakim Agung dari jalur karier berada atau sedikit lebih tua dari usia 45 tahun tersebut. Paling tidak, dengan menghapus syarat “termasuk paling sedikit tiga tahun menjadi Hakim Tinggi” kian terbuka kemungkinan untuk mengajukan calon Hakim Agung yang berasal dari jalur karier dengan batas usia tidak terlalu jauh berjarak dengan syarat usia minimal 45 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf a angka 4 dan angka 6 UU 3/2009, atau paling tidak lebih muda dibandingkan dengan pengalaman selama ini. Bahwa untuk memungkinkan diajukan calon Hakim Agung dari hakim karier dengan usia yang lebih muda dan sekaligus guna memenuhi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengenai pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dengan tetap meniscayakan persyaratan pernah menjadi hakim pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding, maka syarat “paling sedikit tiga tahun menjadi Hakim Tinggi” bagi calon Hakim 25
Agung dari jalur hakim karier menurut Mahkamah meskipun memberi kepastian hukum namun kurang mempertimbangkan asas kesebandingan sehingga mereduksi prinsip keadilan, lebih-lebih bagi hakim karier yang memiliki prestasi dan integritas tinggi, dan karenanya Pasal 7 huruf a angka 6 UU 3/2009 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat yakni sepanjang tidak dimaknai “pernah menjadi hakim tinggi”. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, permohonan para Pemohon berkenaan dengan Pasal 7 huruf a angka 6 UU 3/2009 sepanjang frasa "termasuk pernah tiga tahun menjadi hakim tinggi” adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. [3.9.6] Bahwa permohonan para Pemohon selanjutnya adalah berkenaan Pasal 4 ayat (3) UU MK yang menyatakan bahwa “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi”. Ihwal masa jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi tidak ada relevansinya untuk dikaitkan dengan prinsip kemandirian atau independensi kekuasaan kehakiman. Dengan komposisi Hakim Konstitusi yang berjumlah sembilan orang, dalam hal teknis judisial, jabatan Ketua Mahkamah Kontitusi sebetulnya lebih hanya sebagai ketua majelis. Independensi pengadilan, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, ada pada dan ditentukan oleh independensi masing-masing Hakim Konstitusi. Ketua Mahkamah Konstitusi tidak memiliki otoritas apapun yang dapat mempengaruhi putusan Mahkamah. Bahkan tidak jarang Ketua Mahkamah Konstitusi memiliki pandangan berbeda (dissenting opinion) dalam memutus perkara. Karena itu, tidaklah beralasan membandingkan masa jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi dengan masa jabatan Ketua Mahkamah Agung. Bahkan, bila dirujuk UU MK, penentuan masa jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi menjadi wilayah pembentuk undang-undang. Artinya, kalau hendak menjadikan masa jabatan tersebut lebih pendek (misalnya dua tahun) atau lebih panjang (misalnya lima tahun) atau dengan durasi masa jabatan yang berbeda dibandingkan yang berlaku sekarang, pembentuk undang-undanglah yang dapat mengubahnya melalui revisi atau perubahan UU MK.
26
Bahwa selain itu, dalam posisi para Pemohon sebagai hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, pembatasan masa jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi terlalu jauh untuk dapat dikatakan ada sangkut-pautnya dengan kerugian hak konstitusional para Pemohon dalam pengertian sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK. Selain itu dalam batas penalaran yang wajar tidak dapat dipastikan akan terjadi bahwa para Pemohon akan menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi sehingga ketentuan a quo dianggap merugikan hak konstitusional para Pemohon. Andaipun dalam hal masa jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi ini dianggap dapat merugikan hak konstitusional suatu pihak, quod non, maka pihak dimaksud adalah Hakim Konstitusi. Dikarenakan memerlukan banyak persyaratan, pentahapan dan proses menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, para Pemohon terlalu jauh untuk dapat memenuhi frasa “setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi”. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tidak terdapat kerugian hak konstitusional apapun bagi para Pemohon dengan berlakunya Pasal 4 ayat (3) UU MK dan oleh karenanya para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan Pasal a quo. Andaipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan terhadap Pasal a quo, masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi adalah legal policy pembentuk undang-undang. [3.9.7] Bahwa permohonan para Pemohon selanjutnya adalah berkenaan Pasal 22 UU MK yang menyatakan bahwa, “masa jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi dibatasi
selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”. Pengaturan ihwal
masa jabatan Hakim Konstitusi tersebut diatur dalam undang-undang karena konstitusi (UUD 1945) tidak mengatur masalah ini. Bagi sebuah negara hukum yang demokratis, upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pokok bahasan utama yang tidak pernah selesai diwacanakan dan diperdebatkan. Merujuk pada Rekomendasi Kyiv tentang Judicial Independence in Eastern Europe, South Caucasus and Central Asia (2010) yang menyatakan, “Judicial
independence is an indispensable element of the right to due process, the rule of law and democracy”. Kebutuhan akan independensi ini juga dikemukakan dalam The
27
Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002). Begitu pula di dalam kasus Findlay vs Inggris, Pengadilan Hak
Asasi Manusia Eropa membuat acuan dalam menentukan kriteria independensi sebuah pengadilan. Dalam hal ini, pengadilan dinilai independen bila memenuhi beberapa kondisi, pertama, bagaimana penunjukan hakim dan masa kerjanya (to the manner of the appointment of its members and their term of office); kedua, adanya jaminan untuk tidak terpengaruh tekanan; dan, ketiga, apakah pengadilan tersebut tampil secara independen (whether the body presents an appearance of independence). Jauh sebelum pendapat di atas, Alexander Hamilton dalam Federalist Paper 78 menguraikan tiga hal penting pengisian hakim yang mesti diatur terkait kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu: pertama, pola pengisian jabatan hakim (the mode of appointing the judges); kedua, masa jabatan hakim (the tenure by which they are to hold their places); dan, ketiga, pembagian kewenangan lembaga peradilan dalam lingkungan pengadilan yang berbeda, dan hubungan antar lembaga-lembaga tersebut (the partition of the
judiciary authority between different courts, and their relations to each other) (Risalah Sidang Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013, 9/01-2014). Dengan demikian,
independensi kekuasaan kehakiman tidak semata-mata ditentukan oleh masa jabatan melainkan yang lebih fundamental adalah proses pengisian jabatan hakim yang akan melaksanakan kekuasaan kehakiman tersebut. Dalam hubungan ini, meskipun tidak terdapat model tunggal (single model) yang dapat diberlakukan untuk semua sistem kekuasaan kehakiman, proses seleksi dalam pengisian jabatan hakim itu memainkan peran penting dalam mewujudkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebab hal itu akan memengaruhi keyakinan dan kepercayaan publik kepada pengadilan, sebagaimana pernyataan klasik John Marshall, mantan Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, “Apa yang membuat kita percaya kepada hakim-hakim kita? Independensinya dalam melaksanakan jabatan dan cara penunjukannya” (What is it that makes us trust our judges? Their independence in office and manner of appoinment). [3.9.8] Bahwa Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang
anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah
28
Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden”. Meski UUD 1945 menyebut tiga
lembaga tersebut hal demikian tidak berarti Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden memiliki kewenangan absolut untuk menentukan calon hakim Konstitusi. Karena itu, dengan mengacu pada Pasal 25 UUD 1945, Pasal 19 UU MK menyatakan bahwa pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Proses demikian sebagaimana diatur Pasal 20 ayat (2) UU MK bertujuan agar proses pengisian berlangsung secara objektif dan akuntabel. Bahwa sekalipun terdapat berbagai model atau variasi untuk mewujudkan amanat Pasal 19 dan Pasal 20 ayat (2) UU MK, ketiga lembaga pengusul telah melakukan perbaikan mekanisme seleksi sebelum mengajukan calon Hakim Konstitusi. Namun demikian, demi meningkatkan objektivitas dan akuntabilitas, ketiga lembaga harus berupaya memperbaiki mekanisme seleksi sehingga akhirnya proses yang dilakukan masing-masing lembaga dilakukan dengan standar dan mekanisme yang tidak jauh berbeda. Sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu, memperbaiki proses seleksi memberikan peranan penting dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka di Mahkamah Konstitusi dan sekaligus meningkatkan keyakinan publik atau kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi. Di tengah upaya terus-menerus memperbaiki proses seleksi guna mewujudkan objektivitas dan akuntabilitas tersebut, persoalan elementer lain yang menjadi perhatian luas adalah hal ihwal periodesasi masa jabatan Hakim Konstitusi. Sebagaimana diketahui, Pasal 24C UUD 1945 sama sekali tidak mengatur perihal masa jabatan dan periodesasi menjadi Hakim Konstitusi. Masa jabatan dan periodesasi tersebut diatur dalam Pasal 22 UU MK yang menyatakan bahwa “Masa jabatan hakim konstitusi
selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya”. Dari ketentuan
tersebut, bilamana digunakan dua kali, masa jabatan hakim konstitusi paling lama 10 tahun. Bahwa sebagaimana rujukan teoretik yang dikemukakan sebelumnya, ihwal independensi dan/atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman di antaranya ditentukan oleh proses seleksi (the manner of the appointment or the mode of appointing judges) dan masa jabatan (term of office or the tenure judges). Sekalipun secara teori proses 29
seleksi dan lama waktu (masa jabatan) hakim termasuk Hakim Konstitusi acap-kali dipisahkan, namun di dalam praktik keduanya berkelindan dan tidak mungkin dipisahkan secara tegas. Merujuk pengalaman beberapa negara yang melibatkan lembaga-lembaga politik, proses seleksi Hakim Konstitusi cenderung agak lebih politis. Misalnya, di Jerman, Hakim Konstitusi (Bundesverfassungsgerichtshof) diseleksi parlemen yaitu setengah oleh majelis tinggi (Bundesrat) dan setengah lagi dipilih oleh majelis rendah (Bundestag). Dengan kecenderungan begitu, banyak negara menentukan masa jabatan Hakim Konstitusi lebih panjang dan hanya untuk satu periode atau tidak mengenal periodesasi [lihat table 1]. Dengan hanya satu periode dan masa jabatan lebih lama, persentuhan dengan lembaga politik yang terlibat dalam proses seleksi hanya akan berlangsung satu kali. Dari data yang tersedia pada tabel tersebut, masa jabatan Hakim Konstitusi Indonesia merupakan masa jabatan paling singkat dan dengan terbukanya kesempatan dua periode masa jabatan tersebut dimungkinkan hanya 10 tahun. Bahwa bila model dua kali periode dengan masa jabatan yang lebih pendek diterapkan, Hakim Konstitusi yang berkeinginan dipilih kembali menjadi hakim pada periode kedua dikhawatirkan akan terganggu independensi dan konsistensinya namun hal itu tidak serta-merta berarti bahwa masa jabatan lima tahun adalah inkonstitusional. Karena itu, masa jabatan (tenure of office) Hakim Konstitusi sebaiknya hanya satu periode dengan tenggat waktu lebih lama. Namun demikian, sekalipun pemikiran menjadikan satu periode dengan masa bakti yang jauh lebih lama bagi Hakim Konstitusi memiliki dasar argumentasi dan dasar perbandingan yang kuat demi menjaga independensi dan konsistensi hakim dan sekaligus menjaga independensi atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman, perubahan melalui putusan Mahkamah Konstitusi menjadi tidak tepat. Alasan paling mendasar sampai pada kesimpulan tersebut adalah berlakunya asas hukum yang universal (general principle) bahwa hakim (termasuk Hakim Konstitusi) tidak dapat mengadili suatu perkara yang berkaitan dengan kepentingan dirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa). Dalam hal mana apabila diputuskan menjadi satu periode dengan masa jabatan lebih lama (7 atau 9 atau 11 tahun) atau menjadi dengan masa jabatan 30
70 tahun atau seumur hidup tentu saja akan memberi keuntungan langsung bagi Hakim Konstitusi yang memutuskan perkara ini. Dikarenakan gagasan mengubah masa jabatan hakim konstitusi menjadi lebih lama dan cukup satu periode berkorelasi dengan upaya mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman, Mahkamah menyerahkan hal ihwal ini kepada pembentuk undang-undang. Bahwa faktanya Mahkamah pernah memutus perkara yang berkait dengan hakim konstitusi namun persoalan atau isu dalam putusan tersebut tidaklah berkait dengan kepentingan pribadi hakim konstitusi sebagaimana halnya dengan perkara a quo melainkan berkenaan dengan persoalan hubungan hukum antar lembaga negara atau persoalan ketatanegaraan pada umumnya. Berdasarkan pertimbangan di atas, meskipun Mahkamah berpendapat bahwa masa jabatan hakim konstitusi akan lebih baik apapila ditentukan satu periode dengan durasi waktu yang lebih lama dibandingkan yang berlaku sekarang, hal demikian tidaklah berarti bahwa ketentuan masa jabatan lima tahun yang berlaku saat ini bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Selain itu, dikarenakan alasan hakim (termasuk Hakim Konstitusi) tidak dapat mengadili suatu perkara yang berkaitan langsung dengan kepentingan dirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa), permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum. [3.10] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian, sedangkan sebagian lainnya para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum. 34.
KETUA: ARIEF HIDAYAT KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan para Pemohon; [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo sepanjang mengenai Pasal 6B ayat (2), Pasal 7 huruf a butir 4 dan butir 6, Pasal 7 huruf b butir 1 angka 4, butir 2 dan butir 3 UU 3/2009 serta Pasal 22 UU MK;
31
[4.3] Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo sepanjang mengenai Pasal 4 ayat (3) UU MK dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut; [4.4] Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; 2. Menyatakan Pasal 7 huruf b butir 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai berijazah
doktor dan magister di bidang hukum dengan keahlian di bidang hukum tertentu dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
3. Menyatakan Pasal 7 huruf a angka 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk pernah menjadi hakim tinggi”;
32
4. Menyatakan permohonan para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) tidak dapat diterima. 5. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. 6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia. KETUK PALU 1X Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, Saldi Isra, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, dan I Dewa Gede Palguna, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal enam, bulan Juni, tahun dua ribu tujuh belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal sembilan belas, bulan Juli, tahun dua ribu tujuh belas, selesai diucapkan pukul 10.49 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, Saldi Isra, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, dan I Dewa Gede Palguna, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Achmad Edi Subiyanto sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, Pihak Terkait/kuasanya, serta dihadiri Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. Berikutnya Putusan Nomor 73. Karena Nomor 73 berkait dengan Putusan Nomor 53 sehingga dibaca terlebih dahulu. Untuk Perkara Nomor 60, 70, dan 71, yang berikutnya. PUTUSAN Nomor 73/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 33
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: 1. Nama : Dr. Tjip Ismail, S.H., MBA., M.M. 2. Nama : Dr. Dian Puji N. Simatupang, S.H., M.H. 3. Nama : Dr. Machfud Sidik, M.Sc 4. Nama : Drs. R.M. Sigid Edi Sutomo 5. Nama : Dr. Darminto Hartono, S.H., L.LM. Selanjutnya disebut sebagai --------------------------------- Pemohon; [1.2] Membaca permohonan Pemohon; Mendengar keterangan Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan Presiden; Mendengar dan membaca keterangan ahli Pemohon; Memeriksa bukti-bukti Pemohon; Membaca kesimpulan Pemohon. Bagian duduk perkara dan selanjutnya dianggap telah dibacakan. 35.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 22 dan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 34
[Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316 dan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226 (selanjutnya disebut UU MK)] terhadap UUD 1945. Dengan demikian, terhadap hal tersebut, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UndangUndang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.4] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusanputusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: a, b, c, d, e, dianggap dibacakan. [3.5] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan sebagai sebuah kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama, yang bergerak dalam penelitian, pengkajian dan penerapan kebijakan strategis/The Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSS-UI) yang mempunyai kegiatan melakukan pemantauan dan pengkajian terhadap dampak dari sebuah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, yang kemudian disajikan dalam bentuk 35
rekomendasi kepada pemerintah (policy recommendation), sehingga relevan dengan pengujian ini. Bahwa salah satu pemantauan dan pengkajian tersebut adalah terkait dengan kedudukan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, sehingga tidak dapat dibatasi dengan masa dan periodeisasi jabatan yang berpotensi melampaui hakikat kekuasaan kehakiman yang merdeka. Menurut Pemohon, Hakim Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka, sehingga pembatasan atas masa dan periodeisasi jabatan yang merupakan teknis administrasi peradilan berpotensi menciptakan keraguan seseorang yang mempunyai kapasitas terbaik bagi bangsa dalam memangku jabatan hakim Mahkamah Konstitusi. Karena pembatasan masa dan waktu periodeisasi jabatan menjadikan pelaksanaan tugas tidak maksimal hingga tidak dapat memberikan kemampuan dan pemikiran terbaiknya bagi terwujudnya negara hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pemohon juga mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya Pasal 22 dan Pasal 4 ayat (3) UU MK terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; [3.6] Menimbang bahwa berdasarkan dalil Pemohon tersebut dan bukti yang diajukan [vide bukti P-1] adalah benar bahwa Pemohon sebagai kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (perkumpulan), yang bergerak dalam penelitian, pengkajian, dan penerapan kebijakan strategis (CSS-UI) hak konstitusionalnya dijamin oleh UUD 1945. Akan tetapi, dengan membaca akta pendirian dan SK Rektor Universitas Indonesia Nomor 2116/SK/R/UI/2011, bertanggal 19 Oktober 2011, Mahkamah tidak menemukan relevansi antara latar belakang maupun tujuan pembentukan CSS-UI dihubungkan dengan pokok permohonan. Terlebih lagi, Pemohon tidak melampirkan bukti Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga CSS-UI yang memungkinkan Mahkamah untuk mempertimbangkan ada atau tidaknya kepentingan hukum Pemohon yang berkaitan dengan norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, Mahkamah tidak menemukan kerugian hak konstitusional Pemohon baik secara langsung maupun tidak langsung oleh berlakunya norma Undang-Undang dalam permohonan a quo. Oleh karena Pemohon tidak dapat secara jelas dan meyakinkan bahwa dirinya memenuhi kualifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, sebagai kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 22 dan Pasal 4 ayat (3) UU MK, dan kerugian tersebut bersifat spesifik dan aktual, atau 36
setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi akibat dan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi, maka Mahkamah menilai Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo; [3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo namun karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo maka pokok permohonan tidak dipertimbangkan; 36.
KETUA: ARIEF HIDAYAT
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; [4.2] Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo; [4.3] Pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
KETUK PALU 1X Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Aswanto, Wahiduddin Adams, Manahan M.P Sitompul, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal enam, bulan Juni, tahun dua ribu tujuh belas dan hari Selasa, tanggal delapan belas, bulan Juli, tahun dua ribu tujuh belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno 37
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal sembilan belas, bulan Juli, tahun dua ribu tujuh belas, selesai diucapkan pukul 11.00 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Aswanto, Wahiduddin Adams, Manahan M.P Sitompul, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Fadzlun Budi SN sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. Berikutnya Putusan Nomor 60. PUTUSAN Nomor 60/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: Nama : Ir. Basuki Tjahaja Purnama, M.M.; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------------- Pemohon; [1.2] Membaca permohonan Pemohon; Mendengar keterangan Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan Presiden; Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat; Mendengar keterangan Pihak Terkait; Mendengar dan membaca keterangan ahli Pemohon, Presiden, dan Pihak Terkait; Memeriksa bukti-bukti Pemohon dan Pihak Terkait; Membaca kesimpulan Pemohon dan Presiden; Bagian duduk perkara dan selanjutnya dianggap telah dibacakan.
38
37.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Pokok Permohonan [3.9] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan agar Pasal 70 ayat (3) huruf a UU 10/2016 yang menyatakan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, yaitu: Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dianggap dibacakan. [3.10] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon mendalilkan dirugikan oleh ketentuan Pasal 70 ayat (3) huruf a UU 10/2016, karena ketentuan tersebut mewajibkan Pemohon sebagai Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang mencalonkan kembali pada Pemilihan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017, untuk cuti selama masa kampanye. Kewajiban cuti demikian menurut Pemohon mengakibatkan Pemohon sebagai Gubernur dikurangi haknya untuk bekerja menuntaskan amanat rakyat hasil pemilihan langsung, yaitu memastikan program unggulan DKI Jakarta terlaksana antara lain terkait aspek penganggaran yang prosesnya berlangsung selama masa kampanye. Kewajiban cuti bagi petahana menurut Pemohon juga menimbulkan potensi masalah akibat tidak jelasnya ketentuan mengenai siapa pihak yang harus bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur terutama kewenangan menandatangani Perda APBD, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota (Permendagri 74/2016). Menurut Pemohon, kerugian konstitusional demikian tidak akan terjadi apabila ketentuan cuti selama masa kampanye yang diatur Pasal 70 ayat (3) huruf a UU 10/2016 ditafsirkan sebagai bersifat opsional atau pilihan untuk mengikuti atau tidak mengikuti kampanye. [3.11] Menimbang bahwa masalah utama yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah mengenai konstitusionalitas ketentuan yang mewajibkan cuti bagi petahana yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah pada pemilihan umum berikutnya di daerah yang sama. Selanjutnya, permasalahan konstitusional demikian dikaitkan dengan pertanggungjawaban petahana atas pelaksanaan tugas dan kewenangan kepala daerah, dalam hal ini Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, oleh Plt Gubernur. [3.11.1] Bahwa Pasal 70 ayat (3) huruf a yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon adalah ketentuan yang dirumuskan di dalam UU 10/2016. Konsiderans 39
“Mengingat” UU 10/2016 pada angka 1 menyebut antara lain Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebagai salah satu dasar hukumnya. Pasal 18 ayat (4) tersebut berada di dalam Bab VI Pemerintahan Daerah. Dengan demikian berarti pemilihan kepala daerah tunduk pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sehingga pengaturan pemilihan kepala daerah dapat saja tidak sama dengan pengaturan pemilihan umum untuk anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD. [3.11.2] Bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan, dianggap dibacakan. Lebih lanjut Pasal 18 yang terdiri dari tujuh ayat, serta Bab VI secara keseluruhan yang terdiri atas tiga pasal, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B tidak mengatur mengenai cuti bagi petahana yang mencalonkan lagi pada pemilihan kepala daerah berikutnya. [3.12] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur pemilihan kepala pemerintah daerah dilakukan secara demokratis, Mahkamah pernah mempertimbangkan dalam Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, bertanggal 22 Maret 2005, bahwa pemilihan secara demokratis dapat dimaknai sebagai pemilihan langsung maupun pemilihan tidak langsung. Tentu saja dengan syarat ketat bahwa kedua bentuk pemilihan tersebut, serta semua varian di antara keduanya, termasuk tata cara/teknis pelaksanaannya, harus sesuai dengan prinsip-prinsip atau asas-asas demokrasi yang merujuk pada asas-asas Pemilu pada umumnya. Dengan kata lain ketika pembentuk undang-undang memutuskan kepala daerah dipilih secara langsung pun, menurut Mahkamah tetap melekat kewajiban agar pemilihan demikian dilaksanakan secara demokratis. Salah satu syarat pemilihan kepala daerah yang demokratis menurut Mahkamah adalah adanya kesetaraan antarpeserta atau kontestan pemilihan kepala daerah. [3.13] Menimbang bahwa kesetaraan antarpeserta atau antarkontestan tentu tidak dimaknai harus setara dalam semua hal, karena masing-masing kontestan Pilkada memang memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam hal ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Negara tidak boleh memaksakan semua kontestan untuk setara dalam semua bidang, melainkan justru harus menghargai perbedaan-perbedaan demikian. Hal yang dapat negara lakukan untuk mendudukkan para kontestan dalam posisi yang setara adalah dalam konteks melepaskan semua bentuk relasi antara negara dengan para kontestan jika relasi demikian dapat berakibat diuntungkannya kontestan tertentu. 40
Dengan kata lain, rumusan norma dalam Undang-Undang haruslah mencerminkan netralitas negara terhadap para kontestan atau kandidat dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Netralitas negara di hadapan semua kontestan pemilihan kepala daerah, menurut Mahkamah merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, dan seterusnya dianggap dibacakan. Dalam hubungannya dengan perkara a quo, negara tidak dapat melarang warga negara untuk menjadi kepala daerah, termasuk di dalamnya hak seorang kepala daerah atau mantan kepala daerah mencalonkan diri kembali menjadi kepala daerah untuk kedua kalinya. Seiring dengan hak warga negara untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, terutama bagi petahana, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam batas penalaran yang wajar fasilitas yang melekat pada jabatannya harus dilepaskan dari petahana yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Hal demikian menurut Mahkamah adalah wujud netralitas negara atau Pemerintah dalam kontestasi kepala daerah. Namun tentu saja melepaskan fasilitas negara ini tidak dalam konteks bahwa kepala daerah yang hendak mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah berikutnya (petahana) harus mundur atau melepaskan jabatannya terlebih dulu (vide Putusan Nomor 17 dan seterusnya). Melepaskan fasilitas negara sebagai bentuk netralitas tersebut menurut Mahkamah, dalam perkara a quo, sudah cukup ketika diwujudkan dalam bentuk kewajiban cuti bagi petahana. [3.14] Menimbang bahwa Mahkamah tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan petahana yang tidak cuti sudah pasti akan menyalahgunakan jabatan dan/atau kekuasaannya sebagai kepala daerah untuk memenangkan dirinya dalam pemilihan kepala daerah yang akan dia ikuti. Meskipun kasus penyelewengan jabatan demikian memang banyak terjadi, namun menurut Mahkamah, hukum tidak boleh melakukan generalisasi dengan berasumsi semua petahana pasti akan menyelewengkan jabatan hanya karena ada petahana lain yang menyelewengkan jabatannya. Tetapi di sisi lain hukum juga tidak boleh menutup mata pada adanya kasus-kasus penyelewengan jabatan oleh petahana dalam pemilihan kepala daerah. Hukum tidak hanya mengatur hal-hal yang telah atau sedang terjadi, namun harus juga dimanfaatkan untuk mengatur hal-hal yang mungkin dapat terjadi, setidaknya sebagai bentuk antisipasi agar tidak timbul kerugian bagi masyarakat. Menurut Mahkamah, adanya norma hukum yang tegas memisahkan antara seorang kepala daerah yang sedang menjabat 41
dengan seorang kepala daerah yang sedang cuti (petahana) dimaksudkan untuk memberikan kesetaraan perlakuan antara calon yang merupakan petahana dan calon yang bukan petahana, terutama adanya kekhawatiran penyalahgunaan pengaruh dan fasilitas yang melekat pada jabatan calon yang merupakan petahana. [3.15] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 70 ayat (3) huruf a UU 10/2016 mengenai kewajiban cuti selama kampanye bagi petahana, menurut Mahkamah harus dipahami lebih sebagai bentuk antisipasi pembentuk undang-undang agar tidak ada penyalahgunaan jabatan kepala daerah oleh petahana dibanding sebagai upaya mengurangi masa jabatan kepala daerah. Kedua hal demikian memang saling bertentangan, yaitu cuti kepala daerah akan menjauhkan risiko penyalahgunaan jabatan petahana namun berakibat berkurangnya masa jabatan kepala daerah, sementara jika tidak diwajibkan cuti maka petahana akan terlindungi haknya untuk menjabat secara penuh/utuh namun membuka potensi penyalahgunaan jabatan yang berakibat ketidaksetaraan antarkontestan dalam pemilihan kepala daerah, mencederai netralitas negara, serta pada akhirnya merugikan pihak lain baik sesama kontestan maupun masyarakat pemilih yang berhak menikmati pemilihan kepala daerah yang berkualitas. [3.16] Menimbang bahwa suatu norma hukum, sebaik dan seideal apapun dirumuskan dalam berbagai Undang-Undang, menurut Mahkamah tetap sulit menjamin perilaku manusia akan bersesuaian dengan tujuan Undang-Undang, terutama karena masyarakat bersifat dinamis dan terus berkembang seturut perkembangan ilmu dan teknologi, sementara hukum relatif statis. Untuk itu Mahkamah meyakini bahwa hukum harus selalu memperbarui diri dan didesain futuristik (visioner) sebagai sarana untuk mengkondisikan terciptanya masyarakat yang ideal sesuai dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Di sisi lain, kewajiban cuti bagi petahana sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat (3) huruf a UU 10/2016 tersebut harus pula menjadi perhatian, terutama bagi pembentuk undang-undang, agar potensi kerugian hak petahana sebagai kepala daerah dapat diminimalisir terutama ketika kewajiban cuti bersinggungan dengan tahap-tahap penting program kerja kepala daerah bersangkutan. Selain itu juga harus menjadi pemahaman semua pihak bahwa seorang kepala daerah ketika memulai jabatannya hingga lima tahun ke depan, tidaklah berarti sejak awal menjabat hingga akhir jabatan hanya menjalankan kebijakan yang disusunnya sendiri. Seorang kepala daerah pada tahun pertama
42
jabatannya akan meneruskan berbagai kebijakan kepala daerah sebelumnya, antara lain terkait APBD. [3.17] Menimbang bahwa hal mengenai pertanggungjawaban kepala daerah juga harus menjadi perhatian pembentuk undang-undang, seharusnya program yang tidak terlaksana atau terhambat karena menjalani masa cuti secara rasional bukanlah menjadi tanggung jawab petahana. Oleh karena itu, segala bentuk pertanggungjawaban program yang tidak terlaksana selama menjalani masa cuti tidak boleh dibebankan kepada petahana. Mahkamah penting menegaskan hal tersebut untuk menghindari kemungkinan terganggunya pelaksanaan program pada masa cuti dijadikan alasan untuk menyerang bahkan mendeligitimasi calon kepala daerah petahana. [3.18] Menimbang bahwa kendatipun cuti dalam masa kampanye bagi petahana menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan UUD 1945, namun demikian dengan pengaturan yang ada saat ini, seorang petahana yang mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah maka terdapat rentang waktu 4 (empat) sampai dengan 6 (enam) bulan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah harus diisi oleh Pelaksana Tugas (Plt) kepala daerah akibat ditinggalkan cuti. Apabila hal demikian dikaitkan dengan rencana pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak untuk seluruh Indonesia maka pengaturan cuti pada masa kampanye tersebut akan mengakibatkan semua kepala daerah yang mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah, jabatannya akan diisi oleh Plt Kepala Daerah. Artinya akan terdapat banyak sekali jabatan gubernur, bupati, dan walikota yang dilaksanakan oleh Plt. Jika Plt Gubernur misalnya diambil dari pejabat eselon I di Kementerian Dalam Negeri berarti harus disediakan 34 pejabat eselon I untuk menjadi Plt Gubernur selama 4 sampai 6 bulan. Dalam batas penalaran yang wajar, selama menjadi Plt Gubernur, pejabat yang ditunjuk menjadi Plt tersebut tidak akan mampu menjalankan tugasnya secara optimal karena harus berbagi fokus dengan jabatan definitifnya di Kementerian Dalam Negeri. Demikian pula yang akan terjadi di tingkat kabupaten/kota. Keadaan demikian sudah pasti berdampak pada jalannya pemerintahan sehari-hari, baik di Pusat maupun di Daerah. Apabila dikembalikan kepada tujuan dimasukkannya ketentuan cuti a quo, yaitu mencegah calon kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah petahana menyalahgunakan fasilitas yang melekat pada jabatannya, maka sesungguhnya yang dibutuhkan adalah bagaimana merumuskan pengaturan mengenai pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan itu. Ketentuan tentang cuti hanyalah salah satu dari mekanisme dimaksud. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, walaupun pengaturan tentang 43
cuti merupakan legal policy pembentuk undang-undang, untuk kebutuhan pengaturan ke depan pembentuk undang-undang perlu secara sungguh-sungguh menimbang kembali pengaturan mengenai cuti pada masa kampanye bagi petahana. [3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Pasal 70 ayat (3) huruf a UU 10/2016 yang mewajibkan cuti di luar tanggungan negara bagi petahana selama masa kampanye tidak bertentangan dengan UUD 1945. 38.
KETUA: ARIEF HIDAYAT KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; [4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo; [4.3] Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), d a n Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); AMAR PUTUSAN Mengadili, Menolak permohonan Pemohon. KETUK PALU 1X Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Manahan MP Sitompul, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal tujuh belas, bulan Juli, tahun dua ribu tujuh belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka 44
untuk umum pada hari Rabu, tanggal sembilan belas, bulan Juli, tahun dua ribu tujuh belas, selesai diucapkan pada pukul 11.18 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi ... delapan Hakim Konstitusi tersebut ditambah Arief Hidayat, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait/kuasanya, tanpa dihadiri Pemohon/Kuasanya. Berikutnya Putusan Nomor 70. PUTUSAN Nomor 70/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: Nama
:
Tonin Tachta Singarimbun
Selanjutnya disebut sebagai --------------------------------- Pemohon; [1.2] Membaca permohonan Pemohon; Mendengar keterangan Pemohon; Memeriksa bukti-bukti Pemohon; Bagian duduk perkara dan seterusnya dianggap telah dibacakan. 39.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah cukup jelas, sehingga dengan berdasar pada ketentuan Pasal 54 UU MK, Mahkamah tidak memandang perlu untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK. [3.8] Menimbang bahwa Pemohon menganggap dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 6 huruf c dan Pasal 11 huruf a UU 30/2002 yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945; Untuk menguatkan dalilnya, Pemohon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-7,
45
yang telah disahkan dalam persidangan tanggal 4 Oktober 2016, sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara; [3.9] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 6 huruf c dan Pasal 11 huruf a UU 30/2002 dengan argumentasi sebagai berikut: 1, 2, 3, 4, 5, dan 6, dianggap dibacakan. [3.10] Menimbang, setelah memeriksa dengan saksama dalil Pemohon di atas beserta bukti-bukti yang diajukan, maka persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah benar Pasal 6 huruf c dan Pasal 11 huruf a UU 30/2002 bertentangan dengan UUD 1945 karena menyebabkan adanya tafsir yang salah mengenai frasa “aparat penegak hukum” dan frasa “penyelenggara negara”. Terhadap dalil tersebut Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.10.1] Bahwa Pasal 11 UU 30/2002 telah mengatur bahwa pelaksanaan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK dibatasi pada kualifikasi perkara yaitu, pertama, melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; kedua, mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat; ketiga, menyangkut kerugian negara paling sedikit 1 milliar rupiah. Dengan kata lain, tidak semua perkara korupsi dapat diselidik, disidik dan dituntut oleh KPK, kecuali yang termasuk dalam kualifikasi subjek, objek dan sifatnya yang mendapat perhatian publik sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU 30/2002 di atas; [3.10.2] Bahwa korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999) dijelaskan oleh 13 pasal yang terbagi dalam beberapa kelompok di antaranya seperti kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Terdapat setidaknya 30 bentuk korupsi yang diatur dalam UU 31/1999. Semua bentuk korupsi yang dikualifikasi oleh UU 31/1999 tidak membatasi subjek pelaku kejahatannya hanya pada profesi aparat penegak hukum dan penyelenggara negara, namun mencakup berbagai profesi. Karena korupsi sebagai sebuah tindak pidana/kriminal tidak hanya berpotensi dilakukan oleh profesi dan jabatan tertentu, namun pelakunya dapat berasal dari berbagai lapisan masyarakat, yang oleh
46
karenanya maka sasaran pemberantasannya juga kepada seluruh lapisan masyarakat. [3.10.3] Bahwa dari berbagai bentuk korupsi yang ditentukan dalam UU 31/1999 tidak semuanya menjadi kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Karena kewenangan KPK dibatasi oleh Pasal 11 UU 30/2002, namun terhadap perkara yang tidak termasuk dalam kualifikasi yang diatur Pasal 11 UU 30/2002 bukan berarti tidak merupakan tindak pidana korupsi, apalagi sampai bisa terbebas dari jeratan hukum, sebab penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. [3.10.4] Bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon yang memohon agar profesi advokat tidak dikategorikan sebagai “aparat penegak hukum” yang diatur dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002 menurut Mahkamah aturan mengenai advokat harus merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal 5 ayat (1) UU Advokat menyatakan bahwa advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundangundangan. Hal ini telah pula ditegaskan oleh Mahkamah dalam putusan sebelumnya yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 84/PUU-XIII/2015, tanggal 7 Desember 2015, pada paragraf [3.15], yang pada intinya menegaskan bahwa advokat adalah bagian dari penegak hukum selain polisi, jaksa dan hakim yang memiliki kedudukan dan peran signifikan dalam menentukan kualitas hukum Indonesia, sehingga layak untuk diatur keberadaannya secara khusus seperti penegak hukum lainnya. Dengan demikian, Advokat sebagai penegak hukum mempunyai kedudukan yang setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Meskipun membela kepentingan klien, namun oleh karena kedudukan advokat sebagai penegak hukum maka langkah hukum yang ditempuh advokat harus tetap berdasarkan hukum dan perundang-undangan. Terlebih lagi, dalam konteks integrated criminal justice system, di mana advokat merupakan bagian di dalamnya, integritas penegak hukum merupakan kunci dari keberhasilan dan kewibawaan penegakan hukum. Oleh karena itu, perlakuan terhadap advokat yang terlibat tindak pidana korupsi haruslah sama dengan penegak hukum lainnya.
47
[3.10.5] Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut Mahkamah berpendapat frasa “aparat penegak hukum” dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Advokat selaku penegak hukum justru harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk UU 30/2002. Menurut Mahkamah Pasal 11 huruf a UU 30/2002 tidak menghalangi atau melanggar hak konstitusional Pemohon yang Pemohon dalilkan sebagai dasar pengujian, sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. [3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon yang memohon agar jabatan Panitera Pengganti tidak dikategorikan sebagai “penyelenggara negara” sebagaimana diatur dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002, Mahkamah berpendapat oleh karena Pemohon adalah advokat maka tidak terdapat relevansi bagi Pemohon untuk mempersoalkan kerugian hak konstitusional Panitera Pengganti sebagaimana didalilkan dalam permohonan a quo, sehingga sepanjang berkenaan dengan Panitera Pengganti dalam kaitannya dengan frasa “penyelenggara negara” dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002, Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum. [3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 6 huruf c UU 30/2002, menurut Mahkamah, meskipun dalam hal ini Pemohon memiliki kedudukan hukum, namun dalil Pemohon menjadi kabur, karena di satu sisi Pemohon meminta agar Mahkamah menafsirkan Pasal 11 huruf a UU 30/2002, namun di sisi lain Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan Pasal 6 huruf c UU 30/2002, padahal Pasal 11 huruf a UU 30/2002 adalah pasal yang menjelaskan lebih lanjut kewenangan KPK yang diatur dalam Pasal 6 huruf c UU 30/2002. Dalam hal ini, Pasal 6 huruf c UU 30/2002 merupakan dasar kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Meskipun KPK bukan lembaga yang secara eksplisit diberikan kewenangan oleh UUD 1945, hal itu tidak serta-merta berarti kewenangan KPK yang diberikan oleh Undang-Undang menjadi bertentangan dengan UUD 1945; Kewenangan KPK berdasarkan Pasal 6 huruf c UU 30/2002 adalah untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan termasuk terhadap aparat penegak hukum. Oleh karena advokat adalah penegak hukum sebagaimana secara jelas dinyatakan dalam UU Advokat dan ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 84/PUU-XIII/2015, tanggal 7 Desember 2015, maka ketika ada advokat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, KPK yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki, menyidik serta melakukan penuntutan dalam tindak pidana 48
korupsi, berwenang pula melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap advokat; Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut, serta dikaitkan dengan dalil Pemohon, Mahkamah berpendapat tidak terdapat pertentangan antara norma Pasal 6 huruf c UU 30/2002 dengan UUD 1945. Dalam hal ini Mahkamah melihat dalil Pemohon lebih merupakan upaya atau keinginan Pemohon yang tidak ingin diperiksa oleh KPK. Jika pun benar dalil Pemohon bahwa KPK tidak berhak memeriksa advokat, quod non, bukan berarti Pemohon tidak dapat diperiksa, karena Kepolisian dan Kejaksaan juga dapat memeriksa Pemohon karena kedua institusi dimaksud juga berwenang menyelidiki, menyidik, dan melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 11 huruf a UU 30/2002 yang berkaitan dengan frasa “aparat penegak hukum” tidak beralasan menurut hukum, sementara berkenaan dengan Pasal 11 huruf a UU 30/2002 yang berkaitan dengan frasa “penyelenggara negara” Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, sedangkan permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 6 huruf c UU 30/2002 adalah kabur. 40.
KETUA: ARIEF HIDAYAT
[4.1] [4.2]
[4.3]
[4.4] [4.5]
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian frasa “aparat penegak hukum” dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002 dan pengujian Pasal 6 huruf c UU 30/2002; Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian frasa “penyelenggara negara” dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002 sehingga pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut; Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum sepanjang mengenai pengujian frasa “aparat penegak hukum” dalam Pasal 11 huruf a UU 30/2002; Pokok permohonan sepanjang berkenaan dengan pengujian Pasal 6 huruf c UU 30/2002 adalah kabur; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang49
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Menolak Permohonan Pemohon sepanjang mengenai pengujian frasa “aparat penegak hukum” dalam Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250); 2. Permohonan Pemohon sepanjang mengenai pengujian frasa “penyelenggara negara” dalam Pasal 11 huruf a dan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) tidak dapat diterima. KETUK PALU 1X Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Manahan M.P Sitompul, Aswanto, Wahiduddin Adams, Patrialis Akbar, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu tanggal lima, bulan Oktober, tahun dua ribu enam belas dan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh tujuh Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal sebelas, bulan Juli, tahun dua ribu tujuh belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal sembilan belas, bulan Juli, tahun dua ribu tujuh belas, selesai diucapkan pukul 11.33 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Manahan M.P Sitompul, Aswanto, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, dan Suhartoyo, masingmasing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita 50
Rhamadani sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Presiden atau yang mewakili dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, tanpa dihadiri Pemohon. Yang terakhir ini keputusannya sangat panjang, mohon bersabar. Kurang-lebih ada 50 halaman yang harus dibacakan. Yang bisa dianggap dibacakan, tolong dianggap dibacakan ini Para Yang Mulia. PUTUSAN Nomor 71/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian UndangUndang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: Nama
:
Drs. Hi. Rusli Habibie, MAP
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 9 Agustus 2016, memberi kuasa kepada Heru Widodo, S.H., M.Hum., dan kawankawan para Advokat pada kantor Heru Widodo Law Office (“HWL”) yang beralamat di Menteng Square Tower A Lantai 3 AO12, Jalan Matraman Raya Kav. Nomor 30-E, Pegangsaan, Menteng, Jakarta, 10320, bertindak secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------------Pemohon; [1.2] Membaca permohonan Pemohon; Mendengar keterangan Pemohon; Mendengar keterangan Presiden; Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat; Mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait H. Indrawanto Hasan; Mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Fanly Katily; Mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait Hana Hasanah Fadel dan Tonny S Junus; Mendengar dan membaca keterangan ahli Pemohon;
51
Mendengar dan membaca keterangan ahli Pihak Terkait H. Indrawanto Hasan; bagian duduk perkara dan selanjutnya … saya ulangi. Membaca keterangan ahli Pihak Terkait Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Fanly Katily; Mendengar dan membaca keterangan ahli Pihak Terkait Hana Hasanah Fadel dan Tonny S Junus; Memeriksa bukti-bukti surat/tertulis Pemohon; Memeriksa bukti-bukti surat/tertulis Pihak Terkait Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi; Membaca kesimpulan Pemohon; kesimpulan Pihak Terkait dan membaca pula Pihak Terkait Hana Hasanah Fadel dan Tonny S Junus; bagian duduk perkara dan selanjutnya telah dibacakan. 41.
HAKIM ANGGOTA: MANAHAN MP SITOMPUL Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu: a, b, c, d, dianggap dibacakan. Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu: a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; paragraf [3.4] dianggap dibacakan. [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon sebagai berikut: 1. Bahwa ketentuan yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 7 ayat (2) huruf g, Pasal 163 ayat (7) dan ayat (8), serta Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada, yang rumusannya masing-masing berbunyi sebagai berikut: 52
[3.6]
[3.7]
Pokok [3.8]
Pasal 7 ayat (2) huruf g: dianggap dibacakan. Pasal 163 ayat (7) dan ayat (8): dianggap dibacakan. Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8): dianggap dibacakan. Angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, angka 6, angka 7, dianggap dibacakan Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pada paragraf [3.5] di atas, sepanjang berkenaan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf g dan Pasal 163 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo. Adapun terhadap keberlakuan Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada, karena norma Undang-Undang a quo berkenaan dengan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota, sehingga tidak ada relevansinya dengan kepentingan hukum Pemohon yang hendak mencalonkan diri sebagai calon gubernur, Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian terhadap Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada. Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Permohonan Menimbang bahwa permohonan a quo adalah menguji Pasal 7 ayat (2) huruf g, Pasal 163 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 dengan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Bahwa pemilihan kepala daerah adalah bagian dari proses demokrasi yang memberi kedaulatan penuh kepada rakyat untuk memilih langsung pemimpin daerahnya namun bukan berarti seseorang yang pernah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak boleh berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah karena hal itu dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; 2. Bahwa larangan mencalonkan diri sebagai kepala daerah karena pernah dihukum dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun atau lebih sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42 Tahun 2015, telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur 53
3.
4.
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; Bahwa, berdasarkan uraian pada angka 2, Pemohon masih dapat mencalonkan diri kembali untuk menjadi kepala daerah (gubernur) meskipun sedang menghadapi permasalahan hukum dituntut berdasarkan Pasal 317 KUHP di Pengadilan Negeri Gorontalo dengan tuntutan pidana karena ancaman hukumannya kurang dari 5 (lima) tahun. Namun, ketentuan demikian telah diubah oleh pembentuk Undang-Undang melalui Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada dengan rumusan, “tidak pernah sebagai terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”;
Bahwa syarat menjadi kandidat untuk menduduki jabatan publik bagi kandidat yang berstatus terpidana, menurut Pemohon, telah dimuat dalam berbagai Undang-Undang dengan norma yang menyatakan, “tidak pernah dijatuhi
pidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”, meskipun 5.
formulasinya tidak sama; Bahwa Pemohon juga mengutip pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1417/PUU-V/2007 yang pada intinya menyatakan bahwa terhadap syarat “tidak pernah dijatuhi pidana dengan
pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”, yaitu pertama, dikecualikan untuk tindak pidana yang bersifat kealpaan ringan (culpa levis) dan tindak pidana karena alasan perbedaan pandangan politik; kedua, dalam pengisian jabatan publik, persyaratan demikian tidak dapat demikian saja dirumuskan dengan menggunakan rumusan norma yang bersifat umum melainkan harus diperhatikan yaitu: (1) harus dibedakan antara jabatan publik yang dipilih (elected officials) dan jabatan publik yang diangkat (appointed officials), (2) jabatan publik di bidang eksekutif yang lebih bersifat melayani dan jabatan publik di bidang legislatif yang bersifat menyalurkan aspirasi rakyat, (3) jabatan publik yang karena tugasnya membutuhkan kepercayaan yang
54
6.
7.
8.
9.
sangat tinggi, seperti hakim dan aparat penegak hukum lainnya, dan pejabat yang mengelola keuangan negara; Bahwa Pemohon juga merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-17/PUU-I/2003 di mana, menurut Pemohon, dalam pemilihan umum berlaku prinsip universal bahwa peniadaan hak pilih itu hanya karena pertimbangan ketidakcakapan, misalnya karena faktor usia (masih di bawah umur) dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility), misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; Bahwa, menurut Pemohon, dengan merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, berkait dengan syarat bagi terpidana untuk menjadi calon dalam pemilihan umum, Mahkamah telah menyatakan bahwa Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 inkonstitusional bersyarat, yaitu sepanjang tidak dipenuhi syarat-syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang; Bahwa, berkait dengan angka 7 di atas, menurut Pemohon, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 dalam pengujian Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 telah bergeser pendiriannya berkenaan dengan calon yang berstatus sebagai terpidana menjadi lebih sederhana yaitu dengan menyatakan bahwa pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara jujur dan terbuka mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; Bahwa, menurut Pemohon, pembentuk Undang-Undang melalui Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang a quo di satu sisi mencoba mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2009 tetapi pada sisi lain menghapus frasa “karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan penjara 5 (lima) tahun atau lebih” sehingga bunyi ketentuan a quo menjadi “tidak pernah
55
sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”. Menurut Pemohon, penghapusan frasa “karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang semula terdapat dalam Pasal
10.
11.
7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (atau dan sejumlah Undang-Undang lainnya) telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena frasa “tidak pernah sebagai terpidana” dalam norma Undang-Undang yang sedang diuji ini menjadi luas tanpa batas, mencakup seluruh tindak pidana, apa pun ancaman pidananya; Bahwa meskipun berdasarkan Pasal 1 ayat (1) huruf f, huruf f1, dan huruf f2 Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2016 Pemohon dimungkinkan mendaftarkan diri menjadi calon kepala daerah karena tidak menjalani pidana di dalam penjara, menurut Pemohon, norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian tetap menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, dengan menyandang status terpidana, apabila Pemohon ternyata terpilih, kemenangan tersebut akan “dirampas” oleh berlakunya Pasal 163 ayat (7) dan ayat (8) serta Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada, sehingga perjuangan Pemohon untuk terpilih sebagai kepala daerah menjadi sia-sia. Keadaan demikian, menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum; Bahwa meskipun dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut masih terdapat frasa “…atau bagi mantan
terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” namun dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut dikatakan, “Yang dimaksud dengan ‘mantan terpidana’ adalah orang yang sudah tidak ada hubungan baik teknis (pidana) maupun administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang hukum dan hak asasi manusia, kecuali mantan terpidana bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak”. Dengan demikian, frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” mempunyai akibat hukum yang luas, yaitu mencakup seluruh tindak pidana ringan sampai tindak pidana berat, yang berpotensi disalahgunakan dengan motif persaingan politik untuk
56
12.
13.
14.
42.
menjegal seseorang hanya atas dasar tuduhan tindak pidana ringan; Bahwa pemberlakuan syarat yang berbeda-beda dari pemilukada serentak (sic!) 2015 ke Pemilukada serentak (sic!) 2017, menurut Pemohon, selain bertentangan dengan prinsip kepastian hukum juga menunjukkan adanya perbedaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan antara pemilihan sebelumnya dan pemilihan 2017, sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Bahwa, menurut Pemohon, norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada menimbulkan ketidaksinkronan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, demikian pula norma Pasal 163 ayat (7) dan ayat (8) serta Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada tidak sinkron dengan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pemberhentian kepala daerah; Bahwa berdasarkan seluruh argumentasi di atas, Pemohon berpendapat, norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI
[3.9] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti surat yang diajukan serta keterangan ahli dari Pemohon, keterangan Presiden, keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, keterangan Pihak Terkait beserta bukti-bukti surat yang diajukan serta keterangan ahli dari Pihak Terkait (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara), permasalahan yang menjadi isu konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah benar bahwa berlakunya Pasal 7 ayat (2) huruf g, serta Pasal 163 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? Terhadap permasalahan tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: 1. Bahwa pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah (gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota), sebagaimana berkali-kali telah ditegaskan dalam putusan Mahkamah, adalah bagian dari proses demokrasi yang pada prinsipnya harus memberi ruang selebar-lebarnya bagi setiap warga negara yang 57
telah memenuhi syarat untuk berperan-serta dan menggunakan hak politiknya dalam proses itu, dalam hal ini khususnya hak pilihnya (baik hak pilih aktif maupun pasif). Hak tersebut adalah bagian dari hak-hak sipil dan politik yang sekaligus telah menjadi bagian dari hak konstitusional sehingga penghormatan, perlindungan, dan pemenuhannya dijamin oleh Konstitusi. Meskipun secara konstitusional dimungkinkan dilakukan pembatasan terhadap hak tersebut melalui Undang-Undang, pembatasan demikian telah pula ditentukan substansi, tujuan, dan caranya oleh Konstitusi sendiri yaitu bahwa pembatasan itu dilakukan semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945]. Pengaturan dalam konstitusi tersebut merupakan bagian dari kehidupan bernegara yang hendak diwujudkan oleh gagasan negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang berdasar atas hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, yang merupakan salah satu gagasan fundamental yang menjiwai UUD 1945. Oleh sebab itu, UU Pilkada maupun Undang-Undang yang berkenaan dengan pemilihan umum, pertama-tama haruslah bertolak dari semangat untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak politik warga negara, utamanya hak pilih. Namun demikian, pendapat ini tidak dimaksudkan untuk dan karenanya tidak boleh ditafsirkan secara a contrario sebagai larangan untuk melakukan pembatasan terhadap hak-hak tersebut. Pembatasan terhadap suatu hak, termasuk yang tergolong hak konstitusional sekalipun, sesungguhnya merupakan hal yang bersifat inheren dari hak itu sendiri. Sebab, secara konsepsional, dalam setiap hak akan selalu melekat adanya kewajiban, setidak-tidaknya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan hak itu. Melekatnya kewajiban dalam setiap hak dengan sendirinya (ipso facto) berarti pembatasan terhadap hak tersebut. Oleh sebab itulah, sebelum merumuskan substansi, tujuan, dan cara melakukan pembatasan itu, UUD 1945 mendahuluinya dengan pernyataan, “Setiap orang wajib menghormati hak
asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Sehingga,
58
2.
3.
apabila norma dalam Pasal 28J UUD 1945 itu dikonstruksikan maka koherensinya adalah sebagai berikut: Pertama, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, pengakuan terhadap hak asasi setiap orang melekatkan kewajiban pada orang yang bersangkutan untuk menghormati hak asasi yang sama yang dimiliki oleh orang lain; Kedua, bahwa oleh karena itu, dalam masyarakat yang demokratis, adanya pembatasan terhadap hak asasi dimaksud menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan; Ketiga, bahwa pembatasan terhadap hak asasi manusia dalam masyarakat yang demokratis dimaksud, tujuannya adalah semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil; Keempat, bahwa substansi atau pertimbangan yang digunakan dalam memenuhi tuntutan yang adil tersebut adalah moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum; Kelima, bahwa pembatasan itu hanya dapat dilakukan dengan Undang-Undang. Bahwa substansi norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah berkenaan atau bersangkut-paut dengan pembatasan hak asasi yang telah diterima sebagai hak konstitusional, sehingga Mahkamah dalam mempertimbangkan argumentasi yang dibangun oleh Pemohon dalam dalil-dalilnya akan bertolak dari konstruksi pembatasan yang secara konstitusional dirumuskan dalam Pasal 28J UUD 1945. Bahwa terhadap dalil Pemohon perihal inkonstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang mempersyaratkan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota “tidak pernah sebagai terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”, Mahkamah berpendapat
bahwa terhadap norma yang memuat pembatasan serupa Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, yaitu: a. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUUV/2007 dalam pengujian Pasal 6 huruf t UndangUndang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 16 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang 59
Mahkamah Konstitusi, Pasal 7 ayat (2) huruf d UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Pasal 13 huruf g Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang kesemuanya memuat norma yang mengandung persyaratan, “tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Amar
putusan Mahkamah saat itu meskipun menolak permohonan Pemohon namun menyatakan bahwa persyaratan sebagaimana tertuang dalam norma Undang-Undang yang diuji itu konstitusional bersyarat. Artinya, norma Undang-Undang tersebut adalah konstitusional namun dipersyaratkan yaitu sepanjang diartikan tidak mencakup tindak pidana karena kealpaan ringan (culpa levis) dan tindak pidana karena alasan politik tertentu serta dengan mempertimbangkan sifat jabatan tertentu yang memerlukan persyaratan berbeda. Pertimbangan Mahkamah menyatakan norma Undang-Undang dimaksud konstitusional bersyarat dengan amar putusan menolak permohonan, antara lain, adalah karena Mahkamah memberi kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk merumuskannya sehingga tercipta harmonisasi perundang-undangan baik secara internal maupun horizontal sesama Undang-Undang [vide pertimbangan hukum Putusan 14-17/PUU-V/2007 tersebut dinyatakan antara lain paragraf [3.14] dan seterusnya dianggap dibacakan. Dari pertimbangan hukum putusan tersebut terdapat beberapa hal penting yang disimpulkan sebagai pendirian Mahkamah pada saat itu, yaitu: 1) Bahwa syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” bagi seseorang yang hendak menduduki jabatan publik adalah penting sebagai suatu standar moral namun syarat tersebut tidak boleh memasukkan ke dalamnya tindak pidana karena kealpaan ringan (culpa levis) dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya
60
mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; 2) Bahwa pemberlakuan syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” tersebut, di samping disertai pembatasan
sebagaimana disebutkan pada angka 1) di atas, juga tidak dapat diberlakukan secara umum terhadap semua jabatan publik melainkan harus memperhatikan sifat dan cara pengisian jabatan publik tersebut sehingga harus dibedakan antara: (a) jabatan publik yang dipilih (elected officials) dengan jabatan publik yang diangkat (appointed officials); (b) jabatan publik di bidang eksekutif yang lebih bersifat melayani dengan jabatan publik di bidang legislatif yang bersifat menyalurkan aspirasi rakyat; (c) jabatan publik yang karena tugasnya membutuhkan tingkat kepercayaan yang sangat tinggi, seperti hakim dan aparat penegak hukum lainnya serta pejabat yang mengelola keuangan negara dengan jabatanjabatan lainnya. b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 dalam pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang normanya memuat syarat
“tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” bagi seseorang yang hendak mencalonkan diri
sebagai anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, serta calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Putusan Mahkamah ini dalam amarnya menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); 61
(ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Salah satu alasan Mahkamah sehingga memandang penting menjatuhkan putusan dengan amar demikian adalah agar pembentuk undang-undang segera meninjau kembali semua Undang-Undang sepanjang yang berkaitan dengan hak pilih mantan terpidana dalam pemilihan jabatan publik sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007 sebagaimana dijelaskan pada huruf a di atas, sehingga Mahkamah memandang perlu untuk memberikan dorongan dengan cara menyatakan norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 itu inkonstitusional bersyarat dengan maksud agar pembentuk undangundang menjadi lebih bersungguh-sunggguh untuk meninjau kembali semua peraturan perundangundangan sepanjang berkaitan dengan hak pilih mantan terpidana agar disesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tersebut. Pada bagian lain dari pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tersebut Mahkamah menyatakan, antara lain: paragraf [3.18] dan seterusnya dianggap dibacakan. Apabila Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUUVII/2009 diperbandingkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/ PUU-V/2007 sesungguhnya terdapat semangat yang sama dalam kedua putusan tersebut dalam kaitannya dengan pengisian jabatan publik yang dipilih, di mana kedua putusan itu menekankan bahwa untuk jabatan publik yang dipilih tidak bisa begitu saja diberlakukan syarat “tidak pernah
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Bedanya, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 lebih menegaskan bahwa untuk jabatan publik yang dipilih syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara 62
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” tidak berlaku lagi jika seorang mantan
terpidana telah melewati jangka waktu lima tahun sejak yang bersangkutan selesai menjalani pidananya atau ia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana dan sepanjang yang bersangkutan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang. c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 dalam pengujian Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pada intinya kedua norma yang dimohonkan pengujian tersebut memuat norma yang berisi persyaratan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” bagi seseorang yang
mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Substansi norma yang dimohonkan pengujian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 tidak berbeda dengan substansi norma yang dimohonkan pengujian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu menyatakan bahwa Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Adapun terhadap Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Mahkamah menyatakan bahwa norma Undang-Undang a quo bertentangan dengan
63
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jika Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIII/2015 di atas diperbandingkan dengan putusan sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, terlihat adanya sedikit perubahan atau pergeseran dalam pendirian Mahkamah. Terlepas dari adanya pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga orang Hakim Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 tersebut, yang sudah diterima sebagai praktik yang berlaku umum dalam dunia peradilan saat ini, terjadinya perubahan dalam pendirian Mahkamah tersebut adalah wajar sepanjang alasan yang mendasari (ratio decidendi) diambilnya putusan dimaksud dijelaskan dalam pertimbangan hukum putusan yang bersangkutan. Bahkan, di negara-negara yang menganut prinsip stare decisis pun, yang pada dasarnya sangat ketat berpegang pada putusan sebelumnya (atau putusan pengadilan yang lebih tinggi) seperti yang terjadi di Mahkamah Agung Amerika Serikat, perubahan pendirian demikian sering terjadi sepanjang terdapat alasan yang kuat yang mendasari terjadinya perubahan demikian. Dalam hubungannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015, alasan tersebut dijelaskan dalam pertimbangan hukum putusan dimaksud, antara lain, sebagai berikut: paragraf [3.11.2] dianggap dibacakan.
[3.11.7] Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai Pasal 7 huruf g UU 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitusional) sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana; [3.12] Menimbang mengenai Pasal 45 ayat (2) huruf k UU 8/2015 yang didalilkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah, oleh karena ketentuan Pasal 45 ayat (2) huruf k berkait erat dengan ketentuan Pasal 7 huruf g yang sudah dipertimbangan oleh Mahkamah di atas maka ketentuan Pasal 45 ayat (2) huruf k menjadi tidak relevan lagi dijadikan sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh calon kepala daerah. Oleh karenanya dalil Pemohon mengenai Pasal 45 ayat (2) huruf k UU 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 beralasan menurut hukum; 64
43.
HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO
4. Bahwa dengan memperhatikan ketiga putusan Mahkamah sebagaimana diuraikan pada angka 3 di atas, Mahkamah sesungguhnya telah secara tegas menyatakan bahwa sepanjang berkenaan dengan jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected officials), pembebanan syarat yang substansinya sebagaimana termuat dalam rumusan kalimat atau frasa “tidak pernah dijatuhi
pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” adalah bertentangan dengan Konstitusi jika
persyaratan demikian diberlakukan begitu saja tanpa pembatasan kepada mantan terpidana, dalam hal ini tanpa mempertimbangkan bahwa seorang mantan terpidana yang hendak mencalonkan diri untuk mengisi jabatan publik itu telah menyatakan secara terbuka dan jujur kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Putusan Mahkamah demikian telah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan dan tidak keluar dari semangat yang terkandung dalam Pasal 28J UUD 1945, sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan pada angka 1 di atas. Dengan mempelajari secara saksama pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan-putusannya sebagaimana disebutkan pada angka 3 di atas, Mahkamah menegaskan bahwa, dalam masyarakat yang demokratis, pembatasan terhadap hak asasi manusia adalah dibenarkan dan konstitusional. Pembatasan demikian juga berlaku dalam menentukan persyaratan bagi pengisian jabatan-jabatan publik. Mahkamah juga menegaskan pentingnya suatu standar moral tertentu dalam pengisian jabatan-jabatan publik tersebut dan pada saat yang sama Mahkamah menegaskan pula bahwa syarat “tidak pernah dijatuhi pidana dengan ancaman pidana tertentu” adalah suatu standar moral yang penting dan diperlukan dalam proses atau mekanisme pengisian jabatan-jabatan publik itu, namun Mahkamah juga menegaskan bahwa persyaratan demikian tidak dapat diberlakukan begitu saja sebagai ketentuan umum yang diberlakukan bagi seluruh jabatan publik mengingat adanya perbedaan sifat atau karakter dari jabatan-jabatan publik tersebut. Oleh sebab itu, sejalan dengan prinsip akuntabilitas peradilan yang mengharuskan hakim atau pengadilan menjelaskan alasan diambilnya suatu putusan, Mahkamah telah dengan cermat menjelaskan alasan-alasan 65
dimaksud sebelum tiba pada penjatuhan putusannya sebagaimana dituangkan dalam amar putusan yang bersangkutan. 5. Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, in casu Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, adalah berkenaan dengan pengisian jabatan publik yang dipilih. Norma Undang-Undang a quo berbunyi, “Calon
Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: … g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Berbeda dengan rumusan dalam norma Undang-Undang sebelumnya yang telah dimohonkan pengujian dan diputus oleh Mahkamah sebagaimana diuraikan pada angka 3 di atas, norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak memuat ancaman pidana minimum yang dijadikan sebagai pijakan, sehingga secara tekstual norma Undang-Undang a quo mencakup semua jenis tindak pidana, baik pelanggaran maupun kejahatan, dan semua jenis pidana, baik pidana pokok (mulai dari pidana denda, pidana percobaan, pidana kurungan, pidana penjara) maupun pidana tambahan. Dengan kata lain, dalam konteks KUHP, frasa “tidak pernah sebagai terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” mencakup baik tindak pidana yang
diatur dalam Buku I maupun Buku II KUHP dan semua jenis pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP dan tindak pidana yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP, sepanjang sudah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Jika benar demikian maksud pembentuk undang-undang, dengan bertolak dari putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, hal itu tentu tidak dapat dibenarkan secara konstitusional. 6. Bahwa, memperhatikan keadaan sebagaimana diuraikan pada angka 5 di atas, serta dengan mempertimbangkan bahwa norma Undang-Undang a quo adalah berkenaan dengan syarat bagi jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, persoalan yang timbul kemudian adalah: apabila frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada 66
tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka secara a contrario berarti tidak ada pembatasan sama sekali sehingga setiap orang boleh mencalonkan diri sebagai gubernur, wakil gubenur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota meskipun orang yang bersangkutan terbukti sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penalaran demikian tentu saja sama sekali tidak dapat diterima dan sekaligus akan bertentangan dengan pertimbangan Mahkamah sebagaimana ditegaskan dalam putusan-putusan sebelumnya bagaimanapun standar moral tertentu dibutuhkan dalam pengisian jabatanjabatan publik yang klasifikasinya bermacam-macam. Selain itu, akibat lebih jauh jika penalaran demikian diikuti, maka frasa berikutnya dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut yang menyatakan, “atau bagi mantan terpidana telah
secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” menjadi tidak ada
maknanya. Memperhatikan keadaan sebagaimana diuraikan di atas, karena telah terang bahwa menentukan norma yang berlaku umum berupa syarat “tidak pernah sebagai terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” bagi pengisian jabatan publik, lebih-
lebih untuk jabatan publik yang pengisiannya melalui pemilihan, tidak dapat dibenarkan secara konstitusional, sementara di lain pihak syarat yang mencerminkan standar moral tertentu tetap dibutuhkan untuk pengisian jabatanjabatan publik, termasuk jabatan publik yang pengisiannya melalui pemilihan maka pertanyaannya kemudian, bagaimana Mahkamah harus menafsirkan norma Undang-Undang yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada itu guna menilai konstitusionalitasnya sedemikian rupa sehingga, di satu pihak, Mahkamah tetap melaksanakan fungsinya sebagai pengawal konstitusi yang harus melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan, di pihak lain, tanpa melampaui batas-batas jati dirinya sebagaimana termaktub dalam kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dalam melaksanakan fungsi itu. Dalam kasus a quo, tidak terdapat jalan lain kecuali mendasarkan pendapatnya pada pertimbangan Mahkamah dalam putusan sebelumnya terhadap norma Undang-Undang yang dirumuskan oleh pembentuk Undang-Undang sendiri, dalam hal ini Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIII/2015. Dengan dasar pemikiran dan pertimbangan demikian, Mahkamah berkeyakinan bahwa frasa “tidak pernah
sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
67
memperoleh kekuatan hukum tetap”
adalah bertentangan
dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai “tidak pernah sebagai
terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali karena melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa” sedangkan frasa “atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada
tersebut tetap berlaku. Dengan demikian, dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada adalah beralasan menurut hukum. 7. Bahwa, terhadap dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 163 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada, Mahkamah berpendapat bahwa substansi norma Undang-Undang a quo berbeda dengan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada namun keduanya berkaitan. Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada adalah berkenaan dengan syarat seseorang untuk dapat dicalonkan sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota, sedangkan Pasal 163 ayat (7) UU Pilkada adalah mengatur tentang seseorang yang telah terpilih menjadi gubernur atau menjadi wakil gubernur namun pada saat pelantikan ditetapkan sebagai terdakwa, sementara Pasal 163 ayat (8) UU Pilkada mengatur tentang seseorang yang telah terpilih sebagai gubernur atau wakil gubernur namun pada saat pelantikan ditetapkan sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 163 ayat (7) dan ayat (8) dianggap dibacakan. Sepanjang menyangkut Pasal 163 ayat (7) UU Pilkada, kendatipun dalam keterangan Presiden tidak secara spesifik dijelaskan logika yang melandasi perumusan norma dimaksud melainkan hanya menyatakan bahwa rumusan norma Pasal 163 ayat (7) dan ayat (8) serta Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada adalah guna memberikan jaminan bahwa Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota tidak sebagai terdakwa atau terpidana [vide keterangan Presiden, khususnya angka 14], namun dengan memperhatikan secara saksama rumusan norma a quo, logika yang dapat dipahami 68
dari rumusan norma tersebut adalah bahwa seseorang yang pada saat mencalonkan diri sebagai calon gubernur atau calon wakil gubernur belum berstatus sebagai terdakwa namun dalam rentang waktu terhitung sejak orang yang bersangkutan ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur sampai dengan diumumkannya hasil pemilihan yang disusul dengan penetapan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih ternyata orang yang bersangkutan ditetapkan sebagai terdakwa, sehingga timbul keadaan dilematis: apakah orang bersangkutan harus tetap dilantik sebagai gubernur atau wakil gubernur terpilih atau tidak? Dilematisnya karena, di satu pihak, orang yang bersangkutan ternyata terpilih sebagai gubernur atau wakil gubernur, yang berarti bahwa sesuai dengan kaidah demokrasi, pilihan rakyat harus dihormati; namun, di lain pihak, yang bersangkutan ternyata ditetapkan sebagai terdakwa sehingga di sini timbul persoalan karena sesuai dengan prinsip praduga tidak bersalah, seseorang yang berstatus sebagai terdakwa belum tentu bersalah meskipun juga terdapat kemungkinan bahwa ia bersalah. Dengan kata lain, seseorang yang menyandang status terdakwa berada di antara kemungkinan tidak bersalah dan bersalah, sehingga terdapat kebutuhan hukum untuk memberikan kesempatan kepada orang yang bersangkutan untuk membela diri di hadapan hakim atau pengadilan. Oleh karena itu, jalan keluar yang ditempuh oleh pembentuk Undang-Undang dalam mengatasi suasana dilematis itu adalah dengan tetap melantik orang yang bersangkutan sebagai gubernur atau wakil gubernur dan pada saat yang sama diberhentikan sementara. Dengan demikian, dengan rumusan sebagaimana tersurat dalam norma Pasal 163 ayat (7) UU Pilkada tersebut, tuntutan untuk mengindahkan kaidah demokrasi terpenuhi dan pada saat yang sama tuntutan untuk menghormati prinsip negara hukum juga terpenuhi. Mengingat tidak adanya keterangan yang spesifik yang bersifat empirik dari pembentuk undangundang perihal latar belakang lahirnya rumusan Pasal 163 ayat (7) UU Pilkada, maka mengkonstruksikan logika rumusan norma Undang-Undang dimaksud sebagaimana diuraikan di atas, secara kaidah akademik, lebih dapat diterima daripada menduga-duga bahwa rumusan demikian lahir karena adanya pengalaman empirik di mana ada seorang kepala daerah yang dilantik dalam keadaan berstatus sebagai terdakwa sehingga menimbulkan kritik dari sejumlah kalangan, meskipun, sebagai fakta empirik, adanya kenyataan demikian tidak mungkin diabaikan atau diingkari, terlepas dari persoalan apakah kenyataan empirik demikian turut menjadi pertimbangan atau 69
tidak tatkala pembentuk Undang-Undang merumuskan norma Undang-Undang dimaksud. 44.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA
8. Bahwa, lebih lanjut berkenaan dengan pemberhentian sementara, Mahkamah telah secara panjang lebar dan komprehensif menguraikan pertimbangannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam putusan tersebut, Mahkamah menyatakan, antara lain: selanjutnya dianggap dibacakan. Langsung ke halaman 196. Pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005 tanggal 29 Maret 2006 di atas ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUUX/2012 tanggal 28 Maret 2013 juga dalam pengujian UndangUndang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya dalam pertimbangan hukum yang terdapat dalam paragraf [3.15.4]. Lebih jauh, masih dalam kaitan pemberhentian sementara, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIII/2015 dan Nomor 40/PUU-XIII/2015 tanggal 31 Mei 2016 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penegasan keberadaan pemberhentian sementara sebagai sanksi administratif ditekankan kembali. Dalam pertimbangan hukum putusan dimaksud Mahkamah menyatakan, antara lain: dianggap dibacakan. Berdasarkan pertimbangan di atas, dalam konteks sebagai sanksi administratif, terhadap alasan pemberhentian sementara seorang calon Gunernur dan/atau calon Wakil Gubernur terpilih karena saat pelantikan ditetapkan sebagai terdakwa, sebagaimana diatur dalam Pasal 163 ayat (7) UU Pilkada, Mahkamah tidak menemukan adanya pertentangan dengan gagasan negara hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 ayat (3) maupun dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Namun, oleh karena Mahkamah sudah mempertimbangkan bahwa frasa “tidak pernah sebagai
terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” sebagai syarat untuk
menjadi calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur adalah inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak
pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
70
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa,
maka status terdakwa sebagai alasan pemberhentian sementara terhadap calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur terpilih sebagaimana diatur dalam Pasal 163 ayat (7) pun harus didasarkan pada dakwaan bahwa yang bersangkutan didakwa melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”. Sebab, tidaklah dapat diterima oleh penalaran yang wajar bahwa kalau hanya untuk menjadi calon gubernur atau wakil gubernur saja dipersyaratkan tidak boleh berstatus terpidana karena melakukan perbuatan pidana sebagaimana diuraikan di atas sementara ketika calon gubernur dan/atau wakil gubernur tersebut terpilih tidak dapat diberhentikan sementara padahal didakwa melakukan tindak pidana. Namun demikian, masih dalam kaitan dengan pertimbangan di atas, hal yang juga patut dipertimbangkan lebih jauh oleh Mahkamah adalah bagaimanakah dengan tindak pidana lain yang meskipun ancaman pidananya kurang dari lima tahun tetapi sifat jahat atau sifat tercela yang terkandung dalam tindak pidana itu sesungguhnya sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, negara, dan kemanusiaan, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia? Apakah terdakwa pelaku tindak pidana demikian secara hukum tidak dapat diberhentikan sementara sebagai gubernur atau wakil gubernur semata-mata karena ancaman pidana bagi tindak pidana itu kurang dari lima tahun? Tindak pidana korupsi, terlepas dari ancaman pidana yang diberlakukan bagi pelakunya, oleh hukum nasional maupun hukum internasional telah dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa. Sebab, perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang
71
sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kofi Annan, mantan Sekjen PBB, dalam kata pengantarnya menyambut kelahiran Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) menyatakan korupsi sebagai wabah berbahaya yang daya rusaknya luar biasa terhadap masyarakat yang bahkan dapat merongrong demokrasi dan negara hukum yang bermuara pada pelanggaran terhadap hak asasi manusia, mendistorsi pasar, mengikis kualitas hidup, dan memungkinkan bertumbuh suburnya kejahatan terorganisasi, terorisme, dan ancaman lainnya terhadap keamanan manusia. Hal yang sama juga ditegaskan dalam Pembukaan (Preamble) United Nations Convention Against Corruption. Sementara itu, sifat jahat dan tercela dari tindak pidana terorisme, yang saat ini telah menjadi kejahatan internasional terorganisasi, bukan saja terletak pada akibat dari perbuatan teror itu berupa jatuhnya korban jiwa dari orang-orang tak berdosa tanpa pandang bulu (indiscriminate), efek ketakutan yang meluas pada masyarakat, dan kerugian harta benda yang membuat kejahatan terorisme berdampak luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, bahkan hubungan internasional tetapi juga bahayanya terhadap keamanan dan perdamaian dunia dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Oleh karena itu, tindak pidana terorisme adalah ancaman serius bukan hanya terhadap masyarakat melainkan juga terhadap keselamatan bangsa, negara, dan sekaligus kemanusiaan. Adapun tindak pidana makar dalam pengertian perbuatan yang secara melawan hukum bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah tanpa melalui cara-cara yang demokratis, yang harus dibedakan dengan mereka yang mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang memerintah, sudah pasti bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi. Karena itu, tindak pidana makar, terlepas dari kualifikasi jenis-jenis perbuatan yang tergolong ke dalamnya dan ancaman pidana yang diberlakukan terhadap perbuatan itu, adalah pengingkaran terhadap negara hukum dan demokrasi. Selanjutnya, kejahatan terhadap keamanan negara, apa pun bentuknya sepanjang dirumuskan tegas dalam hukum positif dan norma dalam hukum positif dimaksud diyakini tidak 72
bertentangan dengan UUD 1945, kejahatan demikian juga tidaklah dapat diterima, baik oleh gagasan negara hukum maupun demokrasi. Sebab, ancaman ditujukan kepada negara yang dengan sendirinya juga berarti ancaman terhadap kelangsungan tertib sosial. Begitu pula halnya dengan perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab, sulit untuk menemukan argumentasi konstitusional bahwa perbuatan demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan memahami secara saksama Pembukaan UUD 1945 alinea keempat akan ditemukan pemahaman bahwa UUD 1945 adalah hukum dasar bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan demikian bagaimana mungkin menyatakan perbuatan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai perbuatan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, dalam hubungan ini, Mahkamah penting menegaskan bahwa kata “perbuatan” dimaksud harus dipahami sebagai tindak pidana sehingga penegakannya pun harus tunduk pada penegakan norma hukum pidana. Oleh karena itu, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, kata “terdakwa” dalam Pasal 163 ayat (7) UU Pilkada adalah bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “terdakwa karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau karena melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau tindak pidana karena melakukan perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”.
Dengan demikian dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 163 ayat (7) UU Pilkada beralasan menurut hukum untuk sebagian. Bahwa, sementara itu, perihal dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 163 ayat (8) UU Pilkada yang oleh Pemohon dikaitkan dengan keberadaan Pasal 83 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Mahkamah berpendapat dasar pemikiran yang melandasi rumusan dalam norma Undang-Undang a quo berbeda dengan dasar pemikiran yang melandasi rumusan norma Undang-Undang dalam Pasal 83 UU Pemda. Pasal 163 73
ayat (8) UU Pilkada adalah berkenaan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang sebelum menjabat/dilantik sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur, oleh karena itu norma a quo dimasukkan ke dalam ketentuan yang berkait dengan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, sedangkan Pasal 83 UU Pemda mengatur tentang tindak pidana yang terjadi ketika orang yang bersangkutan sudah dan sedang menjabat sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur. Dengan kata lain, kualifikasi orang dan kualifikasi perbuatan yang menjadi objek pengaturan Pasal 163 ayat (8) UU Pilkada berbeda dengan kualifikasi orang dan kualifikasi perbuatan yang menjadi objek pengaturan Pasal 83 UU Pemda. Oleh sebab itu, dalil Pemohon yang menggunakan Pasal 83 UU Pemda turut sebagai tolok ukur pengujian konstitusionalitas Pasal 163 ayat (8) UU Pilkada dengan alasan sinkronisasi adalah tidak relevan. Argumentasi yang didasarkan atas alasan sinkronisasi baru akan dan dapat dijadikan pertimbangan oleh Mahkamah dalam menilai konstitusionalitas suatu norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian apabila norma Undang-Undang itu mengatur suatu objek dan/atau keadaan yang kualifikasinya sama namun dirumuskan secara berbeda atau bahkan bertentangan, baik dalam satu Undang-Undang maupun dalam dua atau lebih Undang-Undang yang berlainan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Dengan demikian, dalam konteks permohonan a quo, alasan sinkronisasi tidaklah tepat digunakan sebagai dasar pengujian sehingga harus dikesampingkan oleh Mahkamah, sebab Pasal 163 ayat (8) UU Pilkada dan Pasal 83 UU Pemda mengatur objek yang kualifikasinya berbeda. 9. Bahwa, selain pertimbangan sebagaimana diuraikan pada angka 8 di atas, dalam menilai konstitusionalitas Pasal 163 ayat (8) UU Pilkada dalam permohonan a quo juga harus dipisahkan dari kasus konkrit yang dihadapi Pemohon. Pertimbangan berkait dengan kasus konkrit tersebut hanya bermanfaat bagi Mahkamah (dan karena itu hanya akan dipertimbangkan) oleh Mahkamah dalam menilai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan a quo, bukan dalam mempertimbangkan konstitusionalitas norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Sebab, permohonan a quo bukan perkara permohonan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) di mana Mahkamah, hingga saat ini, tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara demikian. Permohonan a quo adalah permohonan pengujian Undang-Undang. Sebagai permohonan pengujian 74
Undang-Undang yang bersifat abstrak (abstract judicial review) apa pun nanti putusan yang akan dijatuhkan oleh Mahkamah, putusan itu akan berlaku umum (erga omnes), bukan hanya terhadap diri Pemohon. Oleh sebab itu, argumentasi Pemohon yang digunakan untuk mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 163 ayat (8) yang diturunkan atau bertolak dari logika atau penalaran pengaduan konstitusional juga harus dikesampingkan oleh Mahkamah. 10. Bahwa dengan berpegang pada pertimbangan sebagaimana diuraikan pada angka 8 dan angka 9 di atas, isu konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah pemberhentian terhadap seorang Gubernur dan/atau Wakil Gubernur terpilih yang pada saat pelantikannya berstatus sebagai terpidana bertentangan dengan UUD 1945 karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip negara hukum, tidak sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, dan tidak sesuai dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebagaimana didalilkan Pemohon. Terhadap isu konstitusional tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: a. Bahwa sepanjang berkait dengan gagasan negara hukum, oleh karena dalil Pemohon sangat sumir dan tidak secara jelas atau spesifik menunjuk substansi apa atau mana dalam gagasan negara hukum dimaksud yang dijadikan landasan argumentasi maka Mahkamah pun menjadi tidak mungkin memberi pertimbangan secara spesifik guna menjawab dalil demikian. Namun, jika maksud Pemohon bahwa dalil demikian ditempatkan dalam kaitannya dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 maka pertimbangan hukum Mahkamah dalam pembuktian konstitusionalitas norma Undang-Undang a quo yang berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan sendirinya telah menjawab persoalan ada tidaknya pertentangan dengan gagasan negara hukum dalam UUD 1945 yang hendak melindungi hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut; b. Bahwa yang menjadi persoalan kemudian adalah, apakah norma dalam Pasal 163 ayat (8) UU Pilkada berkaitan dengan syarat untuk menjadi calon gubernur, khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 75
Pilkada. Dalam hal ini, sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun kedua norma Undang-Undang ini mengatur kondisi yang berbeda namun ada kaitannya. Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada adalah mengatur syarat mengenai seseorang yang hendak mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota, sedangkan Pasal 163 ayat (8) UU Pilkada adalah mengatur tentang calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur yang telah terpilih sebagai gubernur dan/atau wakil gubernur. Kondisi yang diatur dalam Pasal 163 ayat (8) UU Pilkada adalah bahwa seseorang telah terpilih menjadi gubernur dan/atau wakil gubenur (yang artinya telah melewati ketentuan persyaratan menjadi calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur, termasuk syarat yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g yang konstitusionalitasnya telah dipertimbangkan oleh Mahkamah) namun ternyata pada saat dilantik dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengertian “pada saat pelantikan” dalam ketentuan a quo tidaklah berarti bahwa ditetapkannya seseorang menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap itu tepat pada saat orang yang bersangkutan dilantik menjadi gubernur dan/atau wakil gubernur melainkan dalam rentang waktu antara terpilihnya orang yang bersangkutan sebagai gubernur dan/atau wakil gubernur hingga saat tanggal pelantikan. Hal yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah pengertian “terpidana” itu meliputi atau mencakup semua jenis pidana dan semua jenis tindak pidana. Dalam hal ini, pertimbangan Mahkamah ketika mempertimbangkan konstitusionalitas Pasal 163 ayat (7) UU Pilkada berlaku pula bagi pertimbangan perihal konstitusionalitas Pasal 163 ayat (8) UU Pilkada. Sebab, penalaran atau dasar pemikiran yang melandasi materi muatan keduanya adalah paralel. Bedanya, dalam hal Pasal 163 ayat (7), dakwaan melakukan tindak pidana (yang oleh Mahkamah telah dimaknai sebagaimana diuraikan pada angka 8 di atas) dijadikan dasar untuk memberhentikan sementara seorang calon gubernur atau wakil gubernur terpilih, yang artinya orang bersangkutan belum tentu terbukti bersalah, sedangkan dalam hal Pasal 163 ayat (8) UU Pilkada, seorang calon gubernur atau wakil gubernur terpilih telah terbukti bersalah karena melakukan tindak 76
pidana sebagaimana yang didakwakan itu, sehingga orang yang bersangkutan diberhentikan sebagai gubernur atau sebagai wakil gubernur. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, kata “terpidana” dalam Pasal 163 ayat (8) adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat yaitu sepanjang tidak dimaknai “terpidana karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau karena melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau tindak pidana karena melakukan perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”.
Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 163 ayat (8) UU Pilkada adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. 11. Bahwa perihal dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada, oleh karena Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian norma Undang-Undang a quo sebagaimana telah ditegaskan pada paragraf [3.6] di atas maka pokok permohonan berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada tidak akan dipertimbangkan oleh Mahkamah. [3.10] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. [3.11] Menimbang bahwa dikarenakan kedudukannya sebagai ahli ketika permohonan a quo diperiksa dalam proses persidangan, Hakim Konstitusi Saldi Isra tidak menggunakan haknya untuk berpendapat dalam pengambilan putusan a quo. 45.
KETUA: ARIEF HIDAYAT KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; 77
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum mengajukan permohonan a quo untuk sebagian; [4.3] Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 2. Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” dalam norma Undang-Undang a quo tidak dimaknai “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”. Sehingga Pasal a quo selengkapnya adalah “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana
78
kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”; 3. Menyatakan Pasal 163 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang kata “terdakwa” tidak dimaknai “terdakwa karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau karena melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau tindak pidana karena melakukan perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”.
4. Menyatakan Pasal 163 ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang kata “terpidana” dalam norma Undang-Undang a quo tidak dimaknai “terpidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau karena melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana
79
makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau tindak pidana karena melakukan perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”. 5. Menyatakan permohonan Pemohon terhadap Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) tidak dapat diterima; 6. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; 7. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. KETUK PALU 1X
Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, Manahan M.P Sitompul, Aswanto, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, di mana satu orang Hakim Konstitusi (Saldi Isra) tidak memberikan pendapatnya, pada hari Kamis, tanggal tiga belas, bulan Juli, tahun dua ribu tujuh belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal sembilan belas, bulan Juli, tahun dua ribu tujuh belas, selesai diucapkan pukul 12.48 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, Manahan M.P Sitompul, Aswanto, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Syukri Asy’ari sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
80
Demikian para pihak Pemohon, DPR, dan Presiden. Seluruh ketetapan dan keputusan telah dibacakan. Salinan putusan dapat diterima di lantai 4 gedung Mahkamah Konstitusi setelah sidang ini berakhir. Sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12:46 WIB Jakarta, 19 Juli 2017 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Yohana Citra Permatasari NIP. 19820529 200604 2 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
81