PERFORMA BOBOT BADAN STARTER DAN GROWER HASIL SILANG BALIK (BACKCROSS) ANTARA ITIK PEKIN ALABIO (PA) DAN ALABIO PEKIN (AP) DENGAN TETUANYA
SKRIPSI SILVI ARIFANI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN
SILVI ARIFANI. D14080308. 2012. Performa Bobot Badan Hasil Silang Balik (Backcross) antara Itik Pekin Alabio (PA) dan Alabio Pekin (AP) dengan Tetuanya.Skripsi.Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M. Rur. Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. L. Hardi Prasetyo, M. Agr. Persilangan itik lokal dengan itik non lokal telah banyak dilakukan sebelumnya.Selain untuk meningkatkan mutu genetik itik lokal, juga untuk meningkatkan produksi dari itik itu sendiri.Namun belum banyak dilakukannya silang balik (backcross) dengan galur tetuanya.Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan silang balik (backcross) antara itik petelur yakni alabio dan itik pedaging yakni Pekin dengan tujuan untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan dalam hal ini bobot badan.Silang balik merupakan salah satu metode dengan menyilangkan kembali anak dengansalah satu tetuanya dalam rangka mencapai keturunan yang mirip dengan tetuanya. Penelitian ini menggunakan itik Alabio Pekin (AP) dan Pekin Alabio (PA) yang sebelumnya telah dikoleksi di Balai Penelitian Ternak Ciawi. Itik AP dan PA di backcross dengan tetua jantan Pekin dan Alabio yang kemudian dihasilkan keturunan berupa itik AAP, APA dan itik PAP. Hal yang diamati adalah bobot badan starter dan grower, pengaruh maternal, titik infleksi, proporsi darah serta konsumsi dan konversi ransum.Data yang diperoleh dianalisis statistik yakni dengan uji regresi serta Anova. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot badan itik AAP dan APA baik pada fase starter hingga growertidak berbeda nyata.Hal ini menunjukkan bahwa tidak ditemukan pengaruh maternal terhadap bobot badan yang dihasilkan.Berbeda dengan konversi ransum, induk AP diduga memberikan pengaruh yang nyata meningkatkan efisiensi pakan itik AAP.Itik PAP memiliki nilai koefisien regresi (b) yang lebih besardibandingkan itik AAP dan APA.Hal ini menunjukkan bahwa proporsi darah tetua Pekin yakni sebesar 75% yang terdapat pada itik PAP mempengaruhi tingginya bobot badan PAP tiap minggu. Titik infleksi ketiga jenis itik adalah sama yakni minggu ke-5, namun bobot badan ketika mencapai titik infleksi yang dimiliki itik PAP lebih besar dibandingkan kedua jenis itik lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa galur tetua Pekin menghasilkan keturunan backcross dengan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tetua Alabio. Selain itu, itik PAP memiliki konversi ransum yang lebih rendah.Oleh karena itu, dapat diduga bahwa itik ini lebih efisien dalam mengkonversi pakan dibandingkan itik AAP dan APA.Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa galur tetua Pekin membawa sifat-sifat yang diinginkan yang dapat diturunkan kepada keturunannya hasil silang balik.Oleh karena itu tetua Pekin dapat dijadikan indukan yang baik untuk selanjutnya menghasilkan produksi yakni bobot badan. Kata-kata kunci: itik AAP, APA, PAP, pertumbuhan, pengaruh maternal, proporsi darah
ABSTRACT
Starter and Grower Body Weight Performance of The Back crossed of Pekin Alabio (PA) and Alabio Pekin (AP) Ducks to Their Parental Line Arifani, S., R. R. Noor and L. H. Prasetyo Backcrossis amethodof selectionby crossingbackthe progenywith oneof its parent linein order to produceoffsprings that similar to their parents. The purpose of this study was to evaluate thematernal effect of the live weight and feed convertion. Alabioduckshadpreviouslycrossed withPekin ducksinBalai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Twelve Alabio Alabio Pekin (AAP), 17 Alabio Pekin Alabio(APA) and 28 Pekin Alabio Pekin (PAP) had been randomly selected and evaluated. The body weight and growth curve of PAP show the best result when compared to the others. The PAP has the smallest value of feed convertion and it indicates that PAP ducks are more efficient in converting feed into meat. The maternal effect didn’t affectbody weight of AAP, butaffectedthe feed convertion of AAP and APA. Keywords:ducks, backcross, maternal effect, growth
PERFORMA BOBOT BADAN STARTER DAN GROWER HASIL SILANG BALIK (BACKCROSS) ANTARA ITIK PEKIN ALABIO (PA) DAN ALABIO PEKIN (AP) DENGAN TETUANYA
SILVI ARIFANI D14080308
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul
: Performa Bobot Badan Starter dan Grower Hasil Silang Balik (Backcross) antara Itik Pekin Alabio (PA) dan Alabio Pekin (AP) dengan Tetuanya
Nama : Silvi Arifani NIM
: D14080308
Menyetujui, Pembimbing Utama,
(Prof. Dr. Ir. Ronny R. N., MRur.Sc.) NIP.19610210 198603 1 003
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. L.H. Prasetyo, M.Agr.) NIP. 19510917 197901 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr,Sc. ) NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian : 28Mei 2012
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Oktober 1990 di Jakarta.Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Zulnasri Johan dan Ibu Atma Budi. Penulis mengawali pendidikan taman kanak-kanak pada tahun 1993 di Taman Kanak-kanak Muhammadiyah hingga tahun 1995. Pendidikan dasar dimulai penulis pada tahun 1995 di Sekolah Dasar 01 Pagi Pondok Kopi Jakarta dan diselesaikan pada tahun 2002.Penulis melanjutkan sekolah lanjutan tingkat pertama pada tahun 2002 hingga tahun 2005 di Sekolah Menengah Pertama Negeri 139 Jakarta.Penulis memulai pendidikan menengah atas pada tahun 2005 di Sekolah Menengah Atas Negeri 71 Jakarta dan diselesaikan pada tahun 2008. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Peguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Penulis aktif dalam beberapa kegiatan lomba, kepanitiaan maupun organisasi.Penulis mendapatkan juara 2 lomba cerpen yang diadakan Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2008.Penulis juga telah menerbitkan beberapa cerpen pada beberapa majalah di Indonesia. Penulis aktif dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Departemen (BEM-D) dan menjabat sebagai sekretaris departemen Informasi dan Komunikasi (Infokom), periode 2009-2010. Penulis juga aktif dalam organisasi Majalah Pangan bernama EMULSI yang merupakan ikatan dari Departemen Teknologi Ilmu Pangan, Departemen Ilmu Gizi, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan dan Departemen Teknologi Hasil Perairan. Penulis aktif dalam Organisasi EMULSI sebagai fotografer periode 2009-2010 dan sebagai kartunis periode 20102011.Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Balai Embrio Transfer (BET) Bogor, Jawa Barat pada tahun 2010.Penulis berkesempatan menjadi penerima beasiswa BBM (Bantuan Belajar Mahasiswa) pada tahun 2011-2012.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrabbil’alamiin. Puji dan syukur yang tiada habisnya Penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia, rizki dan nikmat yang telah diberikan sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Performa Bobot Badan Hasil Silang balik antara Itik Pekin Alabio (PA) dan Alabio Pekin (AP) dengan Tetuanya”. Skripsi ini merupakan hasil penelitian pengukuran bobot badan di Balai Penelitian Ternak Ciawi untuk mengetahui bagaimana performans keturunan dari itik yang telah disilangkan balik.Penulis berharap skripsi ini dapat memberi informasi mengenai pertumbuhan itik dan dapat dijadikan referensi yang baik dalam pengembangan ternak itik di Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam penulisan skripsi ini.Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak sekali terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna.Oleh karena itu, Penulis memohon maaf bilamana masih terdapat kesalahan dalam penulisan skripsi ini.Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang peternakan.
Bogor, Juni 2012
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..................................................................................................
i
ABSTRACT .....................................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP .........................................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xi
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
Latar Belakang ..................................................................................... Tujuan ..................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
3
Ternak Itik.............................................................................................. 3 Itik Alabio ............................................................................................ 4 6 Itik Pekin ................................................................................................ Pertumbuhan ........................................................................................ 7 Bobot badan ........................................................................................... 8 Titik Infleksi ........................................................................................ 8 Silang Balik (Backcross) ..................................................................... 9 Proporsi darah ........................................................................................ 9 Pengaruh Maternal ................................................................................. 10 MATERI DAN METODE ...............................................................................
12
Waktu dan Tempat ................................................................................. Materi ...................................................................................................
12 12
Ternak dan Pakan ...................................................................... Kandang dan Peralatan ............................................................
12 13
Prosedur ................................................................................................. 13 Sistem Perkawinan ................................................................... Ransum .................................................................................... Metode Pengukuran Peubah Fenotipik ....................................
13 14 14
Rancangan dan Analisis Data ................................................................
14
Peubah yang diamati ................................................................ Perhitungan Standar Deviasi ....................................................
14 14
Analisis Regresi Model Kurva Pertumbuhan Itik ....................
15
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
16
Laju Pertumbuhan .................................................................................. Konversi Ransum ...................................................................................
16 20
KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................................
23
Kesimpulan .......................................................................................... Saran ....................................................................................................
23 23
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................
24
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
25
LAMPIRAN .....................................................................................................
29
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Bobot StandarItik Pekin ....................................................................
6
2. Persentase Pewarisan oleh Dua Bangsa Secara Berturut-turut Terhadap Keturunan Hasil Persilangan .............................................
10
3. Total Konsumsi Ransum dan Konversi Ransum Selama 16 Minggu Itik AAP, APA dan Itik PAP .............................................................
21
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Gambar Itik Alabio .............................................................................
5
2. Gambar Itik Pekin ...............................................................................
6
3. Skema Persilangan Balik (backcross)Itik PA dan AP dengan Tetuanya ............................................................................................
12
4. Grafik Bobot Badan (BB)Itik AAP, APA dan Itik PAP.....................
17
5. Grafik Pertambahan BobotBadan (PBB) itik AAP, APA dan Itik PAP .............................................................................................
19
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9. 10. 11.
Halaman
Diagram Sebar (Scatter Plot) Bobot Badan Itik AAP Pada Fase Starter...................................................................................................
30
Diagram Sebar (Scatter Plot) Bobot Badan Itik AAP Pada Fase Grower...................................................................................................
30
Diagram Sebar (Scatter Plot) Bobot Badan Itik APA Pada Fase Starter...................................................................................................
31
Diagram Sebar (Scatter Plot) Bobot Badan Itik APA Pada Fase Grower...................................................................................................
31
Diagram Sebar (Scatter Plot) Bobot Badan Itik PAP Pada Fase Starter...................................................................................................
32
Diagram Sebar (Scatter Plot) Bobot Badan Itik PAP Pada Fase Grower...................................................................................................
32
Persamaan Regresi antara Umur dan Bobot badan itik AAP, APA, dan PAP pada Periode Starter, Grower dan 16 Minggu...................................................................................................
33
F hitung dan P value Hasil Pengujian Bobot badan Itik AAP dan APA pada umur 1 Hari sampai 16 Minggu.........................................
34
Contoh Perhitungan Pendugaan Konversi Ransum Itik AAP pada Periode Starter.....................................................................................
35
Contoh Perhitungan Pendugaan Konversi Ransum Itik AAP selama 16minggu............................................................................................
35
Gambar Perkembangan Itik ..................................................................
36
a) b) c) d) e) f) 12.
Itik PAP Umur 6 Hari ............................................................... Itik AAP Umur 8 Hari .............................................................. Itik PAP Umur 10Minggu ....................................................... Itik PAP Umur 12 Minggu ....................................................... Itik AAP Umur 12 Minggu ....................................................... Itik APA Umur 12 Minggu .......................................................
36 36 36 36 37 37
Contoh Penimbangan Itik.....................................................................
37
a) Penimbangan pada Fase Starter .............................................. b) Penimbangan pada Fase Grower .............................................
37 37
PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi itik di Indonesia semakin berkembangnamun perkembangan ini tidak diikuti dengan produksidari daging itik yang dihasilkan. Konsumsi daging itik di Indonesia semakin meningkat dan menyebabkan tingginya permintaan akan daging itik. Itik lokal di Indonesia merupakan itik jenis petelur, sehingga perlu disilangkan dengan itik non lokal yakni pedaging, guna mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan dalam hal ini adalah bobot badan. Penelitian inimenggunakan itik lokal Alabioselain dikarenakan dikenal sebagai itik petelur yang memiliki produksi telur yang tinggi, juga dapat dimanfaatkan dagingnya. Daging itik Alabio sering dimanfaatkan sebagai konsumsi masyarakat Indonesia.Di sisi lain, penggunaan itik Pekin sebagai itik yang disilangkan dengan Alabio dikarenakan itik yang berasal dari daratan China ini selain memiliki daya adaptasi yang tinggi, itik pedaging ini juga terkenal dengan produksi telur tinggi sepanjang tahunnya. Metode persilangan yang digunakan dalam menyilangkanitik petelurAlabio dengan itik pedaging yakni Pekin adalah metode silang balik (backcross).Menurut Suryo(2008), backcross ialah perkawinan antara individu F1 dengan induk betina atau jantan. Silang balik merupakan salah satu metode dengan menyilangkan kembali anak dengansalah satu tetuanya dalam rangka mencapai keturunan yang mirip dengan tetuanya. Persilangan akan menurunkan sejumlah proporsi darah pada keturunan. Pada Grading Up, keturunan hasil silangan pertama disilangkan kembali dengan salah satu tetua yang memiliki keunggulan secara terus menerus hingga hasil produksinya mendekati salah satu produksi tetuanya. Proporsi darah tetua akan semakin meningkat seiring dengan persilangan yang dilakukan (Brahmantio dan Raharjo, 2005). Balai Penelitian Ternak Ciawi telah menyilangkan itik Pekin dengan Alabio yang kemudian didapatkan data hasil persilangan berupa Pekin Alabio (PA) dan AlabioPekin (AP).Dalam penelitian ini keturunan dari persilangan pertama (F1) yakni PA dan AP disilangkan dengan masing-masing tetua yakni Alabio dan Pekin untuk mendapatkan sifat yang diinginkan yang didapat dari masing-masing tetua
terutama sifat kuantitatif berupa performa bobot badan itik.Bobot badan dapat dipengaruhi secara langsung oleh genetik dan efek maternal maupun faktor lingkungan (Bihan-Duval et al., 2001; Koerhuis dan Thompson, 1997; Velleman et al., 2003).Persilangan resiprok pada babi menunjukkan bahwa efek maternal penting untuk laju pertumbuhan pasca sapih dan komposisi karkas (Ahlschwede dan Robison, 1971).Pengetahuan mengenai korelasi genetik antara pengaruh langsung dan pengaruh maternal pada pertumbuhan daging anak sangat penting
dalam
mendesain program breeding yang tepat (Chapman, 1985). Pertumbuhan pada ternak dapat diartikan sebagai pertumbuhan dalam bobot badan sampai dewasa kelamin. Menurut Lawrence (1980), pertumbuhan merupakan kenaikan dalam ukuran, maka terjadi pula perubahan bobot tubuh sehingga pertumbuhannya sering dikaitkan dengan berat hidup. Davies menjelaskan definisi pertumbuhan secara mudah yakni “perubahan dalam ukuran” dimana dapat diukur sebagai panjang, volume atau berat.Masa hidup hewan dapat dibagi menjadi masa percepatan dan perlambatan pertumbuhan.Umumnya masa percepatan terjadi sebelum ternak mengalami pubertas (dewasa kelamin) yang kemudian setelahnya terjadi perlambatan (Susanti, 2003).Laju pertumbuhan ternak dapat diamati pada kurva pertumbuhan pada fase starter dan grower.Pengamatan pada kedua fase ini dilakukan untuk mengetahui pada fase manakah terjadi titik infleksi.Lasley (1978) menjelaskan titik kurva pertumbuhan, sebagai tempat bertemunya percepatan pertumbuhan dengan perlambatan dinamakan titik infleksi. Parameter yang diperhatikan dalam penelitian ini adalah bobot badan itik pada periode starter (1 hari – 8 minggu) serta periode grower (8 – 16 minggu). Periode starter merupakan periode dimana itik sedang mengalami pertumbuhan yang pesat, dan periode grower merupakan masa itik mengalami perkembangan anatomis dan fisiologis pada anggota tubuhnya. Oleh karena itu,
perlu diperhatikan
pertumbuhan itik yang disilangkan tersebut. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi muncul tidaknya efek maternal terhadap bobot badan yang dihasilkan. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui titik infleksi dari kurva pertumbuhan itik.Selain itu, untuk mengetahui proporsi darah yang diturunkan pada keturunan hasil backcross.
TINJAUAN PUSTAKA Ternak Itik Ternak itik merupakan ternak unggas penghasil telur yang cukup potensial di samping ayam. Kelebihan ternak itik adalah lebih tahan dibandingkan dengan ayam ras sehingga dalam pemeliharaannya pun mudah dan tidak banyak mengandung resiko. Populasi itik di Indonesia memang tidak sebanyak populasi ayam. Pada tahun 2011, populasi ayam Kampung sudah mencapai sekitar 274,8 juta ekor. Ayam pedaging mencapai populasi tertinggi yakni 1,041 juta ekor, sedangkan ayam petelur populasinya sebesar 110,3 juta ekor. Sementara itu, populasi itik pada tahun yang sama hanya sekitar 49,3 juta ekor (Direktorat Jendral Peternakan, 2012). Rose (1997) menggambarkan taksonomi itik sebagai berikut : Kingdom
: Animalia,
Filum
: Chordata,
kelas
: Aves,
ordo
: Anseriformes,
famili
: Anatidae,
genus
: Anas, Carina, Anser
spesies
: Anas platyrhynchos (domestic ducs) Carina moschata (Muscovy duck)
Itik merupakan jenis unggas air (waterfowl) karena unggas ini suka berenang di perairan. Menurut Wasito dan Rohaeni (1994), ternak itik mempunyai kelebihan dibanding ternak unggas lain. Kelebihan tersebut yaitu: a. Itik mampu mempertahankan produksi lebih lama dibanding ayam sehingga dapat mengurangi biaya penggantian itik setiap tahunnya. b. Pada sistem pemeliharaan sederhana, itik mampu berproduksi dengan baik (itik gembala yang dipelihara di sawah dengan kandang sederhana dari bambu dan sebagian ditutup atap jerami mampu berproduksi dengan baik). c. Angka kematian (mortalitas) itik pada umumnya kecil, sehingga itik dikenal sebagai unggas yang tahan terhadap penyakit. d. Itik bertelur pada pagi hari sehingga pengumpulan telur hanya dilakukan satu kali. Waktu kosong pada siang dan sore hari dapat digunakan peternak untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain.
e. Itik dapat memanfaatkan pakan berkualitas rendah. Apabila pakan ini diberikan ke unggas lain maka kemungkinan unggas tersebut tidak mampu berproduksi. f. Produksi telur asin hanya dapat dibuat dari telur itik. Sementara itu daging itik juga sangat populer di beberapa tempat seperti di Kalimantan dan Bali. Itik Alabio Terdapat beberapa jenis itik domestik yang banyak dikembangkan di Indonesia. Jenis itik terbagi menjadi beberapa tipe yakni itik pedaging, petelur dan itik ornamental atau hias. Itik Alabio (Anas platyrhynchos borneo) merupakan itik petelur asli Indonesia. Itik ini berasal dan berkembang pesat di daerah Kalimantan Selatan, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Itik ini dinamakan itik Alabio karena itik yang berasal dari Amuntai - Kalimantan Selatan ini banyak dipasarkan di Kecamatan Alabio (Windhyarti 2003). Namun menurut Suharno dan Amri (2002), sebenarnya yang menghasilkan itik itu bukanlah Kecamatan Alabio, melainkan Desa Mamar Tegalsari. Di desa ini banyak terdapat pembibit-pembibit itik. Namun demikian, karena pemasarannya banyak dilakukan di Alabio maka nama Alabio lebih melekat sebagai nama itik ini. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2006) mengkarakteristikkan itik Alabio sebagai berikut: a. Postur tubuh agak miring dibandingkan dengan itik jenis lain. b. Warna bulu cenderung agak cerah, dari cokelat muda sampai abu-abu dengan bercak cokelat sampai kehitaman yang semakin ke punggung semakin gelap. c. Warna paruh dan kaki kekuningan. d. Perbedaan jenis kelamin, dapat dilihat dari warna bulunya. Itik jantan berbulu abu-abu kehitaman dan pada ujung ekor terdapat bulu yang melengkung keatas, sedangkan warna bulu itik betina cokelat muda keabu-abuan dengan ujung bulu sayap, ekor, dada, leher dan kepala sedikit kehitaman. Srigandono (1986) menambahkan, telur itik Alabio mempunyai ciri-ciri berwarna hijau keabu-abuan serta kerabang agak tebal. Selain itu, itik Alabio berjalan agak membungkuk.
Itik Alabio merupakan jenis itik yang banyak dikembangkan dikarenakan produksi telurnya yang tinggi dan dapat dimanfaatkan dagingnya. Keunggulan itik Alabio selain mempunyai daya tahan tubuh yang cukup kuat terhadap penyakit (sehingga berumur panjang), tingkat produksi telurnya bervariasi yakni itik Alabio yang dipelihara secara tradisional (digembalakan) menghasilkan telur 130 butir/ tahun). Bila dipelihara secara intensif dapat berproduksi antara 200-250 butir telur/tahun. Menurut Gunawan et al. (1994), berat telur rata-rata itik Alabio sekitar 65-70 g/butir.
Gambar 1. Itik Alabio Saat dewasa bobot badan itik jantan dapat mencapai 1,75 kg dan bobot badan betina dapat mencapai 1,6 kg (Suharno dan Setiawan, 2001). Menurut Wasito dan Rohaeni (1994), masa dewasa itik Alabio betina adalah pada umur enam bulan dengan masa betelur 8-10 bulan per tahun dan dapat mencapai umur 4,5 tahun, setelah itu itik Alabio di afkir. Itik Pekin Itik Pekin merupakan ternak yang telah dikenal sejak 200 tahun yang lalu di daerah dataran Cina. Menurut Samosir (1983), itik ini merupakan tipe pedaging yang banyak dikenal dan disebut green duck serta sangat prolific (subur). Itik Pekin memiliki kepala yang besar dan lebar dengan paruh yang pendek, lebar dan ujungnya berwarna kuning akan tetapi ada yang berwarna putih. Leher itik Pekin gemuk, pendek dan tegak. Dada itik Pekin besar, agak melengkung dan membusung dengan badan yang lebar jika dilihat dari belakang (Samosir, 1983). Ekor itik Pekin
mengembang dengan baik dan pada bagian ujungnya mengarah keatas, itik jantan memiliki dua atau tiga bulu bergulung pada bagian atas.
Gambar 2. Itik Pekin Karakterisitik itik Pekin tidak berbeda dengan itik Aylesbury dengan bulu cerah yang seragam, yakni kekuningan, kuning jernih, krem atau putih. Paruh, kaki dan telapak kaki itik ini berwarna oranye cerah dan mata berwarna biru gelap (McArdle, 1961). Menurut Samosir (1983), pada itik jantan ditemukan bulu-bulu leher tengah yang agak panjang, sedangkan di atas kepala kadang-kadang ditemukan bulu-bulu seperti jambul. Di Amerika Serikat, itik dapat disamakan sebagai broiler pada ayam. Itik ini menghasilkan karkas yang sangat baik dan daging itik Pekin tumbuh sangat cepat. Tabel 1. Bobot Standar Itik Pekin Jenis
Berat
Jantan dewasa
9 lbs (4,086 kg)
Betina dewasa
8 lbs (3,632 kg)
Jantan muda
8 lbs (3,632 kg)
Betina muda
7 lbs (3,178 kg)
Sumber : Samosir (1983).
Menurut Setioko et al. (2004), bobot itik Pekin jantan dewasa berkisar 4,0 – 5,0 kg/ekor, sedangkan bobot itik Pekin betina berkisar 2,5 – 3,0 kg/ ekor.
Suparyanto (2006) menjelaskan itik Pekin yang disilangkan dengan itik Alabio memiliki bobot hidup saat akan dipotong sebesar 2,1 kg, sedangkan bobot hidup itik Pekin yang disilangkan Mojosari sebesar 1,9 kg. Itik Pekin selain memiliki bobot yang besar juga lebih ekonomis. Wiederhold dan Pingel (1997) mengatakan, bahwa bobot komersial itik Pekin terjadi lebih cepat yakni berkisar pada rentang umur 5 minggu. Pertumbuhan Pertumbuhan pada ternak dapat diartikan sebagai pertumbuhan dalam bobot badan sampai dewasa kelamin. Menurut Lawrence (1980), pertumbuhan merupakan kenaikan dalam ukuran, maka terjadi pula perubahan bobot tubuh sehingga pertumbuhannya sering dikaitkan dengan berat hidup. Davies (1982) menjelaskan definisi pertumbuhan secara mudah yakni “perubahan dalam ukuran” dimana dapat diukur sebagai panjang, volume atau berat. Pertumbuhan pada hewan adalah gabungan dari pertumbuhan bagian-bagian komponen tubuh. Hal ini dikarenakan komponen-komponen tubuh hewan tumbuh pada laju yang berbeda. Kurva pertumbuhan dari suatu makhluk hidup umumnya berbentuk sigmoid. Kurva pertumbuhan sigmoidal terbentuk karena umur tidak menyebabkan peningkatan berat tubuh, tapi memberi kesempatan kepada ternak untuk tumbuh, mencapai dewasa dan berinteraksi dengan lingkungan (Williams,1982). Pertumbuhan mulanya berlangsung sangat cepat (akselerasi) kemudian menurun dan cenderung konstan. Setioko et al. (2004) dalam penelitiannya menjelaskan kemampuan dan keragaan produksi itik Pekin Alabio (PA) sangat ditentukan oleh keragaan pertumbuhan awal pada periode starter. Umumnya pada saat memasuki fase gower, slope pertumbuhan menunjukkan linear negatif. Soeparno (1992) menjelaskan pada persamaan Gompertz, logaritma kadar laju pertumbuhan spesifik terhadap waktu atau umur bisa menghasilkan slope linear negatif. Kadar laju pertumbuhan spesifik dapat dinyatakan sebagai perbandingan antara spesies konstan dengan umur (Swatland, 1984). Setelah terjadi deselerasi atau penurunan kecepatan pertumbuhan kenaikkan berat tubuh akan didominasi oleh peningkatan deposisi lemak yang terjadi kira-kira sepertiga dari berat akhir (Prescott, 1976).
Bobot Badan Dalam pemeliharaan sebuah peternakan, bobot badan merupakan salah satu sifat kuantitatif yang sangat diperhatikan. Bobot badan merupakan sifat yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Selain bobot badan, sifat kuantitatif yang dapat diukur pada itik adalah produksi telur, puncak produksi telur, bobot tetas, dewasa kelamin, bobot badan dewasa serta beberapa sifat lain yang kesemuanya menentukan produktivitas. Bobot badan dapat dipengaruhi secara langsung oleh genetik dan efek maternal maupun faktor lingkungan (Bihan-Duval et al., 2001; Koerhuis dan Thompson, 1997; Velleman et al., 2003). Sifat kuantitatif dikontrol oleh banyak pasangan gen yang aksinya bersifat aditif. Biasanya hubungan antar alel yang paling umum adalah kodominan atau dominan tidak penuh (Noor, 2010). Selain itu, lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap sifat kuantitatif. Hal ini dapat dilihat berdasarkan penelitian Susanti et al. (1998) yang menggunakan populasi lapangan serta Brahmantio dan Prasetyo (2001) yang menggunakan populasi seleksi dalam memperoleh rataan bobot badan. Bobot badan itik Mojosari umur sehari (bobot DOD) yang diperoleh Susanti et al. (1998) nyata lebih rendah daripada itik Alabio, sedangkan rataan bobot badan dod yang diperoleh Brahmantio dan Prasetyo (2001) menunjukkan bahwa itik Alabio lebih tinggi dibandingkan itik Mojosari. Titik Infleksi Laju pertumbuhan pada makhluk hidup memiliki dua fase yakni fase akselerasi (meningkat) dan fase deselerasi. Saat fase akselerasi pertumbuhan pada ternak terus meningkat dengan cepat dan ketika memasuki fase deselerasi kecepatan pertumbuhan menurun dan cenderung konstan. Umumnya masa percepatan terjadi sebelum ternak mengalami pubertas (dewasa kelamin) yang kemudian setelahnya terjadi perlambatan (Susanti, 2003). Titik pertemuan pada fase akselerasi dan deselerasi dinamakan titik infleksi. Lasley (1978) menjelaskan titik kurva pertumbuhan,
sebagai
tempat
bertemunya
kecepatan
pertumbuhan
dengan
perlambatan dinamakan titik infleksi. Selama pertumbuhan dan perkembangan, bagian-bagian dan komponen tubuh mengalami perubahan. Jaringan-jaringan tubuh mengalami pertumbuhan yang berbeda dan mencapai pertumbuhan maksimal dengan kecepatan yang berbeda pula (Soeparno,1992). Brody (1964) menjelaskan bahwa
fungsi dari titik infleksi selama ini dijadikan dasar untuk mengukur optimalisasi pertumbuhan juga merupakan ukuran tingkat efisiensi usaha yang dicapai. Penelitian yang dilakukan Christiandrianto (1991) menemukan bahwa itik Alabio memiliki titik infleksi pada minggu keempat. Sedangkan Indradjaja (1986) menyatakan, bobot badan itik Tegal terus meningkat sampai minggu kelima, setelahnya pertambahannya mengecil. Silang Balik (Backcross) Persilangan merupakan salah satu cara selain seleksi dalam memperbaiki mutu genetik ternak. Noor (2010) menyatakan terdapat banyak jenis persilangan yang dapat diaplikasikan pada ternak yakni, persilangan resprokal, silang balik (backcross), dan lain-lain. Silang balik adalah perkawinan antara individu F1 dengan induknya betina atau jantan (Suryo, 2008). Vogel (2009) menambahkan pemuliaan backcross memungkinkan peternak untuk mentransfer suatu sifat yang diinginkan seperti transgen dari satu varietas (induk donor, DP) ke dalam dasar genetik dari tetua berulang (RP). Silang balik dapat meningkatkan sifat-sifat genetik yang diinginkan misalnya bobot badan dan bobot telur. Menurut Hardjosubroto (2001), maksud dari silang balik adalah untuk memperoleh komposisi gen oleh salah satu tetuanya agar di dalam keturunannya lebih besar dari komposisi gen tetua lainnya. Hasil penelitian Susanti et al. (1998) menunjukkan rataan pertambahan bobot badan itik Mojosari Alabio (MA) hasil silang balik lebih tinggi dibandingkan galur murninya (AA dan MM). Proporsi Darah Proporsi darah merupakan persentase darah yang diturunkan kepada keturunannya. Dalam perkawinan biasa yakni misalnya antara ternak bangsa P dengan ternak bangsa Q, maka hasil silangannya akan mempunyai komposisi darah (½ P; ½ Q). Dalam perkawinan silang balik, hasil silangan ini dikawinkan kembali dengan bangsa P sehingga akan dihasilkan keturunan dengan komposisi atau proporsi darah (¾ P; ¼ Q). Grading Up pada ternak, dilakukan dengan cara keturunan hasil silangan pertama disilangkan kembali dengan salah satu tetua yang memiliki keunggulan secara terus menerus hingga hasil produksinya mendekati salah satu produksi
tetuanya. Proporsi darah tetua akan semakin meningkat seiring dengan persilangan yang dilakukan (Brahmantio dan Raharjo, 2005). Lasley (1978) menjelaskan, keturunan dari silang balik (backcross) yang pertama akan memiliki sekitar 75% gen dari salah satu tetua dan 25% dari tetuanya yang lain. Tabel 2. Persentase Pewarisan oleh Dua Bangsa Secara Berturut-turut Terhadap Keturunan Hasil Persilangan Generasi Bangsa Jantan Persentase dari Tiap Bangsa Terhadap Anak 1
Bangsa 2
50% bangsa 1 50% bangsa 2
2
Bangsa 1
75% bangsa 1 25% bangsa 2
3
Bangsa 2
37,5% bangsa1 62,5% bangsa 2
4
Bangsa 1
68,7% bangsa 1 31,3% bangsa 2
5
Bangsa 2
34,4% bangsa 1 65,6% bangsa 2
6
Bangsa 1
67,2% bangsa 1 32,8% bangsa 2
7
Bangsa 2
33,6% bangsa 1 66,4% bangsa 2
8
Bangsa 1
66,8% bangsa 1 33,2% bangsa 2
9
Bangsa 2
33,4% bangsa 1 66,6% bangsa 2
10
Bangsa 1
66,7% bangsa 1 33,3% bangsa 2
Sumber : Lasley (1978)
Pengaruh Maternal (Maternal Effect) Dalam suatu persilangan terdapat sebuah konsep bahwa masing-masing tetua yang disilangkan menyumbangkan setengah sifat kepada keturunan atau generasi yang berikutnya (terkecuali sex-linked genes dalam keturunan seks heterogametic).
Sering dikatakan bahwa tetua jantan menurunkan lebih dari satu setengah sifat dibandingkan induk. Pernyataan-pernyataan ini tidak bertentangan ketika ditafsirkan dalam konteks yang tepat. Kontribusi dari setiap tetua jantan ke generasi keturunan berikutnya lebih baik dibandingkan kontribusi dari setiap satu induk, karena dengan perkawinan poligami tiap-tiap tetua jantan memiliki lebih banyak menurunkan sifat ke keturunan dibandingkan induk (Chapman, 1985). Suatu penelitian dapat menggambarkan secara akurat kontribusi tetua jantan dan induk terhadap generasi keturunan berikutnya dan penelitian yang lain menggambarkan secara akurat terhadap genotipee individu, namun tidak secara akurat menggambarkan efek hubungan dari tetua jantan dan induk terhadap fenotipe individu bagi banyak sifat. Pada unggas juga, induk sering memiliki dampak yang lebih besar pada fenotipe keturunannya daripada tetua jantan tersebut. Fenomena dimana induk memberikan dampak yang lebih besar disebut "efek maternal". Chapman (1985) mendefinisikan efek maternal sebagai pengaruh, kontribusi atau dampak pada fenotipe dari sebuah individu yang disebabkan langsung oleh fenotipe induknya. Bobot badan dapat dipengaruhi secara langsung oleh genetik dan efek maternal maupun faktor lingkungan (Bihan-Duval et al., 2001; Koerhuis and Thompson, 1997; Velleman et al., 2003). Efek maternal pada fenotipe keturunan dapat disebabkan oleh perbedaan genetik atau perbedaan lingkungan antar induk, atau dapat juga disebabkan oleh interaksi genetik dan lingkungan. Jadi, efek maternal memiliki nilai heritabilitas, repeatabilitas dan korelasi genetik dengan ciri-ciri lain yang menarik dalam produksi ternak. Efek maternal dapat muncul pada saat pembuahan, selama kehamilan atau selama menyusui. Efek ini juga mungkin dapat muncul melalui berbagai mekanisme biologis (Chapman, 1985). Furr dan Nelson (1964) meneliti pada sapi dan Warren dan Renbarger (1963) meneliti pada domba, bahwa perbedaan bobot sapih dipengaruhi oleh perbedaan produksi susu antar induk. Lax dan Brown (1967) mengindikasikan, bahwa perbedaan umur maternal mempengaruhi karakter produksi wool pada domba. Persilangan resiprok pada babi menunjukkan bahwa efek maternal penting untuk laju pertumbuhan pasca sapih dan komposisi karkas (Ahlschwede dan Robison, 1971).
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Kegiatan penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, dimulai dari bulan Agustus 2011 sampai dengan Desember 2011. Pengamatan penetasan telur, pemeliharaan DOD sampai grower serta pengukuran bobot dilakukan di kandang itik Balai Penelitian Ternak (Balitnak), Ciawi. Sementara pengolahan data dilakukan di IPB, Dramaga Bogor. Materi Ternak dan Pakan Populasi dasar (P0) yang digunakan adalah itik Alabio dan itik Pekin dengan umur sekitar 4 bulan (menjelang bertelur) yang sudah dikoleksi di Balai Penelitian Ternak sejak tahun 2010. Hasil persilangan yang didapatkan yakni PA betina dan AP betina dikawinkan secara backcross seperti tercantum pada Gambar 3. Sebanyak delapan ekor itik PA disilang balik dengan dua ekor jantan Alabio. Itik AP betina yang diperoleh, sebanyak empat ekor betina AP di silang balik dengan satu jantan Pekin dan sebanyak enam belas ekor betina AP di silang balik dengan empat ekor jantan Itik Alabio.
PA ♀
Generasi F1
Generasi F2
AA ♂
X
PA ♀
APA
AP ♀
PP ♂X
X
PAP
APX♀
X
AA ♂
AAP
Gambar 3. Skema Persilangan Balik (Backcross) Itik PA dan AP dengan Tetuanya. Jenis pakan yang diberikan untuk kedua jenis itik adalah sama sesuai standar yang biasa diberikan di Balitnak, yaitu pakan yang dibuat sendiri komposisinya. Itik
AP dan PA diberi pakan sebanyak 250 gram per ekor per hari. Air minum diberikan secara ad libitum. Kandang dan Peralatan a. Kandang starter Kandang starter adalah kandang yang digunakan untuk pemeliharaan itik umur 1 hari sampai 4 minggu dengan kapasitas sampai dengan 20 ekor. Setelah berumur 4 minggu, itik di pindahkan ke kandang grower. Bahan kandang dari kawat yang dilengkapi dengan alat pemanas listrik, tempat pakan dari kayu dan tempat minum dari plastik. b. Kandang grower Kandang grower adalah kandang yang digunakan untuk pemeliharaan itik umur 4 minggu sampai 18 minggu sebelum itik dipindahkan ke kandang individu. Itik diberi nomor pada sayapnya (wing band) untuk memudahkan pencatatan dan penimbangan, karena pengamatan dilakukan pada masing-masing individu itik. Alas kandang berbahan semen dan diberi sekam, kandang juga dilengkapi tempat pakan dari kayu dan tempat minum. c. Peralatan Peralatan yang digunakan berupa, tempat pakan, tempat minum, egg tray untuk pengkoleksian telur sebelum dimasukkan kedalam mesin tetas, timbangan manual, mesin tetas (hatchery), lampu, timbangan telur Mettle 210 dan alat-alat lain yang dibutuhkan. Prosedur Sistem Perkawinan Sistem perkawinan untuk menghasilkan keturunan populasi F1 dilakukan dengan IB (Inseminasi Buatan). Selanjutnya dicatat nomor pejantan dan nomor induknya, sehingga akan diketahui bapak dan induk dari masing-masing individu keturunan F1 tersebut. Sistem perkawinan ini telah dilakukan sebelumnya oleh Balai Penelitian Ternak Ciawi. Selanjutnya keturunan F1 disilangkan balik (backcross) dengan sistem IB untuk mendapatkan generasi/keturunan F2. Kemudian dicatat dan diberi penomoran pada keturunan F2.
Ransum Ransum yang diberikan merupakan ransum komersial terdiri dari 2 macam yaitu ransum starter (1 hari – 8 minggu) dan ransum grower (8-16 minggu). Susunan ransum dan kandungan gizi yang digunakan disesuaikan dengan rekomendasi Balai Penelitian Ternak yakni ransum starter terdiri dari 18-20% protein dengan energi metabolis 3100 kkal/kg, Ca sebesar 0,60-1% dan P tersedia sebesar 0,60%. Ransum yang diberikan untuk itik grower terdiri dari 14-15% protein dengan energi metabolis 2300 kkal/kg serta Ca 0,60-1% dan P tersedia sebesar 0,60%. Metode Pengukuran Peubah Fenotipeik 1. Bobot badan starter diperoleh melalui penimbangan pada saat itik menetas. 2. Bobot badan starter ditimbang setiap minggunya dan diakumulasikan untuk diperoleh bobot badan itik selama periode starter (1 hari – 8 minggu). 3. Bobot badan grower diperoleh melalui penimbangan pada saat itik berumur 8 – 16 minggu. 4.
Bobot badan grower ditimbang setiap dua minggu karena pertambahan bobot badan pada fase ini umumnya tidak signifikan. Bobot yang diperoleh kemudian diakumulasikan Rancangan dan Analisis Data
Peubah yang Diamati Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap peubah fenotipeik itik. Peubah fenotipeik yang diamati adalah bobot badan pertama menetas (DOD), bobot starter serta bobot badan grower. Disamping itu, dilakukan pengamatan pada peubah lain yang berkorelasi dengan bobot badan yakni konsumsi pakan dan konversi pakan. Perhitungan Standar Deviasi Perhitungan dengan standar deviasi dilakukan pada bobot tetas (DOD) itik AAP, APA dan PAP. Perhitungan ini ditujukan untuk mengetahui besarnya penyebaran dari data yang diperoleh.
Keterangan : Xi = Data ke-i = nilai rata-rata sampel n = banyaknya data Analisis Regresi Model Kurva Pertumbuhan Itik Kurva pertumbuhan itik berbentuk sigmoid (S), sehingga dalam pengolahan datanya dilakukan dengan pengujian regresi non linear. Model geometri merupakan model regresi non linear yang hampir sama dengan model eksponensial, karena dapat dikembalikan pada model linear dengan jalan melakukan pengambilan logaritma pada persamaannya (Irianto, 2004). Pengujian dengan persamaan regresi non linear ditujukan untuk mengetahui besarnya slope kurva pertumbuhan itik sehingga dapat dibandingkan dengan slope kurva pertumbuhan itik yang lain. Persamaan model geometri dinyatakan dalam rumus: Ŷ = aXb Keterangan : Ŷ X a b
= Variabel terikat (bobot badan itik) = Variabel bebas (umur itik) = konstanta = Koefisien arah regresi/ kemiringan garis regresi
Namun pada itik tertentu kurva pertumbuhan pada fase grower tidak berbentuk linear dan pada pengamatan salah satu itik memiliki kurva parabola, sehingga dalam pengujiannya menggunakan uji regresi parabola (polinomial) yang dinyatakan dalam rumus: Ŷ = a +bX +cX2 Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Minitab 14. Hasil yang diperoleh kemudian dilakukan uji anova (uji beda nyata). Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap karena pemberian pakan serta lingkungan ternak dikandangkan adalah sama. Yij = µ + Gi + εij Keterangan : Yij = nilai pengamatan bobot badan/FCR pada genotipe ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum Pi = Pengaruh genotipe itik ke-i εij = Pengaruh galat percobaan terhadap genotipe itik ke-i pada ulangan ke-j.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Laju pertumbuhan Setioko et al. (2004) dalam penelitiannya menjelaskan kemampuan dan keragaan produksi itik Pekin Alabio (PA) sangat ditentukan oleh keragaan pertumbuhan awal pada periode starter. Bobot badan saat menetas (DOD) itik AAP rata-rata sebesar 44,94 ± 4,48 g/ekor, sedangkan itik APA sebesar 44,01 ± 6,01 g/ekor dan itik PAP sebesar 45,55 ± 3,90 g/ekor. Bobot tetas ketiga jenis itik masih lebih besar bila dibandingkan dengan bobot tetas tetuanya yakni Alabio, sebesar 39,12 ± 1,94 g, dan masih lebih rendah bila dibandingkan dengan bobot tetas itik Pekin 57,08 ± 1,49 g (Setioko et al., 2002). Hasil pengamatan pertumbuhan bobot badan itik hasil backcross pada masa starter (1 hari - 8 minggu) tercantum pada Gambar 4. Berdasarkan gambar terlihat bahwa garis pertumbuhan berbentuk sigmoid (tidak linear), sehingga untuk mengetahui perbedaannya dilakukan uji regresi non linear geometrik. Itik AAP memiliki persamaan regresi Y= 30,060,9750 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 94,5%, itik APA Y = 30,830,9790 dengan R2 sebesar 95,4%, dan itik PAP Y = 30,131,074 dengan R2 sebesar 95,1%. Gambar 4 menunjukkan kurva pertumbuhan itik AAP berhimpitan dengan itik APA. Persamaan regresi antara kedua jenis itik memiliki nilai koefisien regresi (b) yang hampir sama. Selain itu, berdasakan uji statistik pada saat itik DOD hingga minggu ke-8 tidak berbeda nyata (P>0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa itik AAP dan APA pada fase starter memiliki pertumbuhan yang tidak berbeda. Persamaan regresi dengan koefisien regresi (b) yang terbesar dimiliki oleh itik PAP. Menurut Supranto (2000), nilai b adalah kemiringan dari garis regresi yakni kenaikkan atau penurunan Y untuk setiap pengaruh X terhadap Y jika X naik satu unit. Berdasarkan hal tersebut maka setiap peningkatan satu-satuan umur akan menghasilkan peningkatan bobot badan itik PAP sebesar 1,074 gram. Selain itu, Gambar 4 menunjukkan bahwa grafik bobot badan itik PAP pada masa starter cenderung lebih besar tiap minggunya dibandingkan AAP dan APA. Hal ini dapat diduga karena itik PAP merupakan hasil persilangan balik dengan tetua Pekin
sehingga proporsi darah Pekin lebih besar yakni sebesar 75%. Lasley (1978) menjelaskan, keturunan dari silang balik (backcross) yang pertama akan memiliki sekitar 75% gen dari salah satu tetua dan 25% dari tetuanya yang lain.
Gambar 4. Grafik Bobot Badan (BB) Itik AAP, APA dan Itik PAP Selama 16 Minggu Keterangan : AAP [Alabio Alabio Pekin]; APA [Alabio Pekin Alabio]; PAP [Pekin Alabio Pekin].
Grafik bobot badan pada fase grower ketiga jenis itik dapat diamati pada Gambar 4. Soeparno (1992) menjelaskan pada persamaan Gompertz, logaritma kadar laju pertumbuhan spesifik terhadap waktu atau umur bisa menghasilkan slope linear negatif. Kadar laju pertumbuhan spesifik dapat dinyatakan sebagai perbandingan antara spesies konstan dengan umur (Swatland, 1984). Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa grafik itik AAP dan APA dan itik PAP berbentuk non linear yang dibuktikan pada diagram sebar yang dapat dilihat pada Lampiran 2, 4 dan Lampiran 6. Hal ini dikarenakan pada beberapa bangsa, slope pertumbuhan fase grower dapat menunjukkan tidak linear. Oleh karena itu pengujian regresi itik AAP dan APA dilakukan dengan regresi geometrik dan itik PAP dengan uji regresi parabola. Itik AAP pada fase grower memiliki persamaan regresi Y = 2535,13-0,02560 dengan R2 sebesar 93,6%, itik APA memiliki persamaan regresi Y = 2027,68X-0,05834 dengan R2 sebesar 84.8% dan itik PAP memiliki persamaan regresi Y = 1341 + 39,05X 0,2047X2 dengan R2 sebesar 89,8%.
Persamaan regresi dan koefisien regresi (b) itik AAP dan APA menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Selain itu uji statistik menegaskan bahwa itik AAP dan APA pada masa grower tidak berbeda nyata (P>0,05). Sedangkan kurva pertumbuhan PAP pada fase grower jauh di atas itik AAP dan APA. Berdasarkan kurva pertumbuhan ketiga jenis itik sejak DOD hingga umur 16 minggu (Gambar 4), terlihat bahwa kurva pertumbuhan berbentuk sigmoid. Kurva pertumbuhan sigmoidal terbentuk karena umur tidak menyebabkan peningkatan berat tubuh, tapi memberi kesempatan kepada ternak untuk tumbuh, mencapai dewasa dan berinteraksi dengan lingkungan (Williams, 1982). Berdasarkan uji regresi geometrik, itik AAP memiliki persamaan regresi Y= 34,75X0,9061 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 94,5%, itik APA memiliki persamaan regresi Y= 36,31X0,9008 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 94,8% dan itik PAP memiliki persamaan regresi Y= 33,37X1,029 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 95,8%. Kurva pertumbuhan itik AAP dan APA berdasarkan Gambar 4 saling berhimpitan. Koefisien regresi (b) yang dimiliki itik AAP dan itik APA tidak terlalu berbeda, selain itu, uji statistik menunjukkan sejak DOD hingga berumur 16 minggu kedua itik tidak berbeda nyata (P>0,05). Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa, efek maternal tidak mempengaruhi bobot badan itik. Chapman (1985) mendefinisikan efek maternal sebagai pengaruh, kontribusi atau dampak pada fenotipe dari suatu individu yang disebabkan langsung oleh fenotipe induknya. Efek maternal pada fenotipe keturunan dapat disebabkan oleh perbedaan genetik atau perbedaan lingkungan antar induk, atau dapat juga disebabkan oleh interaksi antara genetik dan lingkungan. Namun pada kedua jenis itik hasil backcross ini tidak ditemukan efek maternal. Hal ini menunjukkan bahwa induk AP dan PA adalah sama, yakni tidak memberikan pengaruh atau kontribusi terhadap bobot badan keturunannya. Itik PAP memiliki kurva pertumbuhan tertinggi hingga umur 16 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi darah tetua Pekin yakni sebesar 75% yang terdapat pada itik PAP mempengaruhi tingginya bobot badan PAP tiap minggu. Davies (1982) menjelaskan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi tubuh ternak yakni nutrisi, genotipe, jenis kelamin, hormon dan kastrasi. Berdasarkan genotipe, ternak bangsa besar akan memiliki bobot lahir lebih besar,
tumbuh lebih cepat setiap umur berapapun, dan akan mencapai dewasa kelamin pada umur yang lebih tua. Itik Pekin merupakan itik dari bangsa besar dibandingkan dengan itik Alabio. Hal inilah yang menjelaskan mengapa bobot badan itik PAP masih terus meningkat dibandingkan itik AAP dan APA. Masa hidup hewan dapat dibagi menjadi masa percepatan dan perlambatan pertumbuhan. Lasley (1978) menjelaskan titik kurva pertumbuhan, sebagai tempat bertemunya percepatan pertumbuhan dengan perlambatan dinamakan titik infleksi. Selama pertumbuhan dan perkembangan, bagian-bagian dan komponen tubuh mengalami perubahan. Jaringan-jaringan tubuh mengalami pertumbuhan yang berbeda dan mencapai pertumbuhan maksimal dengan kecepatan yang berbeda pula (Soeparno, 1992). Gambar 5 menunjukkan bahwa, ketiga jenis itik memiliki titik infleksi yang sama yakni pada minggu ke-5. Kurva PBB itik AAP, APA dan PAP mengalami akselerasi (meningkat) pada saat baru menetas hingga minggu ke-5, sesudahnya terjadi deselerasi (menurun). Hal ini sesuai menurut Susanti (2003), yang menyatakan umumnya masa percepatan terjadi sebelum ternak mengalami pubertas (dewasa kelamin) yang kemudian setelahnya terjadi perlambatan.
Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Badan (PBB) Itik AAP, APA dan Itik PAP. Itik PAP mencapai titik infleksi pada minggu yang sama, namun dengan bobot badan yang jauh lebih tinggi dibandingkan itik AAP dan itik APA. Hal ini
menunjukkan bahwa tetua jantan Pekin menghasilkan keturunan backcross dengan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tetua Alabio. Christiandrianto (1991) menemukan titik infleksi itik Alabio baik jantan dan betina pada minggu ke-4 dengan dengan bobot badan 514 gram dan betina 344 gram. Bila dibandingkan dengan tetua jantan Alabio, hasil silang balik menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik karena walaupun titik infleksi yang dicapai lebih lama seminggu, namun bobot badan yang dimiliki itik AAP dan APA jauh lebih besar. Selain itu, bila dibandingkan dengan penelitian Indradjaja (1986) yang menemukan itik tegal mencapai titik infleksi pada minggu minggu ke-5, itik AAP dan APA dan PAP menunjukkan hasil yang lebih baik. Hal ini dilihat dari titik infleksi yang dicapai itik AAP, APA dan PAP pada minggu ke-5 dengan rataan bobot badan yang lebih tinggi yakni masing-masing 1102,27 gram, 1121 gram dan 1533,40 gram dibandingkan dengan bobot badan itik Tegal dalam penelitian Indradjaja yakni sekitar 700-750 gram. Hal ini menunjukkan bahwa hasil backcross itik AP dan PA dengan tetuanya bila dibandingkan dengan itik bangsa lain menghasilkan pertumbuhan yang lebih optimal. Brody (1964) menjelaskan bahwa fungsi dari titik infleksi selama ini dijadikan dasar untuk mengukur optimalisasi pertumbuhan juga merupakan ukuran tingkat efisiensi usaha yang dicapai. Konversi ransum Total konsumsi ransum dan konversi ransum disajikan pada Tabel 4. Total konsumsi ransum adalah banyaknya ransum yang dikonsumsi tiap ekor itik selama pemeliharaan. Tabel 4 menunjukkan itik PAP pada saat berumur 8 minggu memiliki nilai FCR sebesar 2,77, yang artinya untuk memperoleh bobot badan sebesar 1 kg, dibutuhkan pakan sebanyak 2,77 kg. Trisna et al. (2008) menemukan nilai FCR itik Pekin berkisar 2,67 – 2,88, sedangkan Pingel (2011) menyatakan bahwa besarnya konversi ransum itik Pekin berumur 4-7 minggu sebesar 2,88. Hal ini membuktikan bahwa itik PAP memiliki kemampuan mengkonversi pakan seefisien tetua murninya yakni itik Pekin. Sedangkan nilai FCR paling tinggi saat berumur 8 minggu dimiliki oleh itik APA (4,22), yang artinya bila dibandingkan dengan kedua jenis itik lain, itik ini diduga paling tidak efisien dalam mengubah pakan menjadi daging. Tabel 4 menjelaskan bahwa konsumsi ransum total itik AAP hingga berumur 16 minggu adalah 13.908,7 g dan itik APA 18.731,05 g. Disamping itu, konversi
ransum kedua jenis itik berbeda yakni pada itik AAP sebesar 8,01 dan itik APA sebesar 10,12. .Berdasarkan hal tersebut, dapat diduga induk AP dan PA memberikan pengaruh maternal terhadap konversi ransum keturunannya yakni itik AAP dan APA. Induk AP diduga menurunkan sifat yang diinginkan yakni menurunkan besarnya nilai konversi ransum atau dengan kata lain meningkatkan efisiensi pakan. Hal ini dikarenakan, besarnya konversi ransum itik AAP pada fase starter masih lebih rendah yakni 3,35 bila dibandingkan dengan penelitian Subhan et al. (2010), yang menemukan nilai FCR itik Alabio umur 8 minggu sebesar 3,75. Tabel 4. Total Konsumsi Ransum dan Konversi Ransum Selama 16 Minggu Itik AAP, APA dan Itik PAP Peubah Jenis itik1 AAP
APA
PAP
Konsumsi ransum total 8 minggu (gram/ekor)
5.712,88
7.318,3
7.607,21
Konversi ransum (FCR) 8 minggu
3,35
4,22
2,77
Konsumsi ransum total 16 minggu (gram/ekor)
13.908,37
18731,05
19.339,13
Konversi ransum (FCR) 16 minggu
8,01
10,12
6,28
1
Jenis itik AAP [A♂ x AP♀]; APA [A♂ x PA♂]; PAP [P♂ x AP♀]
Selama fase pemeliharaan Itik PAP mengkonsumsi pakan lebih banyak dibandingkan kedua jenis itik lain, namun bobot badan serta PBB yang dihasilkan lebih tinggi. Selain itu, itik PAP memiliki nilai FCR paling rendah Bila dilihat pada saat itik berumur 16 minggu atau mencapai fase grower itik PAP memiliki nilai FCR yang lebih rendah dibandingkan itik AAP dan APA. Hal ini menunjukkan bahwa itik PAP diduga lebih efisien dalam mengkonversi pakan dibandingkan kedua jenis itik lain. Konversi ransum selama selama 16 minggu memiliki nilai yang sangat tinggi yang dimana dalam hal ini terjadi penurunan efisiensi pakan. Hal ini dikarenakan, ketika itik mencapai fase deselerasi, pakan yang dikonsumsi tidak lagi seefisien seperti pada saat fase starter, karena pada saat fase deselerasi, pembentukkan tulang, daging serta organ tubuh telah maksimal dan konsumsi energi sebagian diakumulasikan atau disimpan dalam bentuk lemak. Setelah terjadi deselerasi atau
penurunan kecepatan pertumbuhan (seperti yang ditunjukkan pada kurva sigmoidal), kenaikkan berat tubuh akan didominasi oleh peningkatan deposisi lemak yang terjadi kira-kira sepertiga dari berat akhir (Prescott, 1976).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Efek maternal antara itik AAP dan APA tidak mempengaruhi pertumbuhan (bobot badan) itik, namun diduga memberikan pengaruh terhadap konversi ransum. Titik infleksi ketiga jenis itik adalah sama yakni pada minggu ke-5 dengan bobot badan tertinggi dimiliki oleh PAP. Proporsi darah itik Pekin yang besar pada itik PAP menghasilkan bobot badan yang tinggi. Selain itu, itik PAP memiliki PBB yang tinggi dan diduga memiliki konversi ransum paling efisien dibanding itik AAP dan APA. Galur Pekin dapat dijadikan indukan yang baik karena dapat menurunkan sifat-sifat yang diinginkan terhadap keturunannya.
Saran Perlunya data plasma nutfah Pekin sehingga dapat digunakan untuk menghitung nilai heritabilitas dari masing-masing itik hasil silang balik. Selain itu, diperlukan itik Pekin berkualitas baik dalam jumlah yang cukup sehingga saat penampungan semen tidak terkendala kurang semen untuk diinseminasikan. Tidak terdapat ulangan dalam penghitungan konsumsi dan konversi itik, oleh karena itu, pada masa pemeliharaan itik fase grower, sebaiknya itik dikandangkan secara individu agar didapat perhitungan konsumsi serta konversi ransum yang lebih valid.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada yang maha Esa Allah SWT karena atas berkah dan rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibunda tercinta Ibu Hajjah Atma Budi yang telah memberikan dukungan, semangat serta kasih sayang yang tiada habis kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ketiga kakak kandung Penulis yang telah membantu, memberi masukkan dan selalu berada di sisi penulis selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Penulis haturkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M. Rur. Sc. selaku pembimbing utama, serta Bapak Dr. Ir. L. Hardi Prasetyo, M. Agr. selaku pembimbing anggota yang dengan sabar dan tanpa lelah memberi banyak bantuan dan bimbingan selama pembuatan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada bapak M. Sriduresta, S.Pt M.Sc selaku dosen penguji seminar yang telah banyak memberi saran dan masukkan dalam seminar. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Triana Susanti yang berbaik hati berkenan membiarkan penulis dan tim ikut penelitian yang sedang dijalani sehingga menghasilkan skripsi ini. Penulis haturkan banyak terima kasih kepada Bapak/Ibu peneliti, staf dan pekerja di Balai Penelitian Ternak Ciawi yang telah membimbing Penulis dalam melakukan penelitian. Terima kasih kepada teman tim penelitian Pandu Permatasari serta Achdyawan Wenda atas kerja sama dan semangat yang telah diberikan kepada Penulis selama melakukan penelitian hingga pengerjaan skripsi. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Rijal, seluruh teman-teman IPTP angkatan 45, Gigih, Cumy, teman-teman penghuni kosan nabila serta teman-teman lainnya yang telah banyak membantu Penulis. Penulis tidak akan berhasil menyelesaikan skripsi tanpa bantuan dan dukungan kalian semua.
Bogor, Juni 2012
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Ahlschwede, W. T. & O. W., Robison. 1971. Maternal effects on weights and backfat of swine. J. Anim. Sci. 33: 1206-1211. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). 2006. Pemeliharaan Terpadu Tiktok dengan Padi. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Brosur No 01, Jakarta. Bihan-Duval, E. L., C. Berri, E. Baeza, N. Millet & C. Beaumont, 2001. Estimation of the genetic parameters of meat characteristics and of their genetic correlations with growth and body composition in an experimental broiler line. Poult. Sci. 80: 839-843. Brahmantiyo, B & L. H. Prasetyo. 2001. Pengaruh bangsa itik Alabio dan Mojosari terhadap performans reproduksi. Prosiding Lokakarya Unggas Air. Pengembangan Agribisnis Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru. Kerjasama Institut Pertanian Bogor, Balai Penelitian Ternak. Bogor dan Yayasan Kehati. 73-78. Brahmantiyo, B & Y. C Raharjo. 2005. Pengembangan pembibitan kelinci di pedesaan dalam menunjang potensi dan prospek agribisnis kelinci. Prosiding Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci, Pusat Penelitian Pengembangan Peternakan, Bogor. Brody, S. 1964. Bioenergetics and Growth. Hofner Publishing Company, Inc., New York. Christiandrianto, P. 1991. Pertumbuhan dan perkembangan ukuran-ukuran tubuh relatif terhadap bobot potong itik Alabio. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Chapman, A. B. 1985. General and Quantitative Genetics. Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam-New York-Tokyo. Davies, L. 1982. Nutrition and Growth Manual. Australian Universities. International Development Program, Sydney. Direktorat Jendral Peternakan. 2012. Statistik Peternakan. Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta Furr, R. D. & A. B., Nelson. 1964. Effect of level of supplemental winter feed on calf weight and on milk production of fall-calving range beef cows. J. Anim. Sci. 23: 775-781. Gunawan, B., P. Edianingsih, H. Martojo & Komarudin. 1994. Produktivitas dan keragaman fenotipeik itik Alabio pada system pemeliharaan intensif. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan, Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian. Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal: 597-603.
Hardjosubroto, W. 2001. Genetika Hewan. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Irianto, A. 2004. Statistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Kencana, Jakarta. Indradjaja. 1986. Pengaruh umur terhadap performans itik Tegal betina sampai umur delapan minggu. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Koerhuis, A. N. M. & R. Thompson, 1997. Models to estimate maternal effects for juvenile body weight in broiler chickens. Genet. Sel. Evol. 29: 225-249. Lasley, J. F. 1978. Genetics of Livestock Improvement. Third Ed. Prentice Hall of India Private Ltd, New Delhi. Lawrence, T. L. J. 1980. Growth in Animal. Redwood Burn Lmd. Trobridge and Eshe. Butterwort, London. Lax, J. & G. H., Brown. 1967. The effects of inbreeding, maternal handicap and range in ageon 10 fleece and body characteristic in Meriono rams. Aust. J. Agric. Res. 18: 689-706 McArdle, A. A. 1961. Poultry Management and Production, Agricultural and Livestok Series. Angus and Robertson, Sydney. Noor, R. R. 2010. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta. Pingel. H. 2011. Results of selection for breast muscle percentage and feed conversion ratio in Pekin Ducks. Biotechnology in Animal Husbandry. Institute for Animal Husbandry, Belgrade – Zemun. Prescott, J. H. D. 1976. Beef cattle production in developing countries. Proceedings. Central For Tropical Veterinary Medicine, Edinburgh University. 21: 58-78. Rose S. P. 1997. Principles of Poultry Science. CAB International, Wallingford. U.K. Samosir D. J. 1983. Ilmu Ternak Itik. PT. Gramedia, Jakarta. Setioko, A. R., L. H. Prasetyo, B. Brahmantiyo & M. Purba. 2002. Koleksi dan karakterisasi sifat-sifat beberapa jenis itik. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Setioko, A. R., L. H. Prasetyo, D. A. Kusumaningrum, & S. Sopiyana. 2004. Daya tetas dan konerja pertumbuhan itik Pekin x Alabio (PA) sebagai induk itik pedaging. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan. Bogor. Soeparno. 1992. Ilmu Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Srigandono, B. 1986. Ilmu Unggas Air. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Subhan, A., T. Yuwanta, J. Hp. Sidadolog & E. S. Rohaeni. 2010. Pengaruh kombinasi sagu kukus (Metroxylon Spp) dan tepung keong mas (Pmacea Spp) sebagai pengganti jagung kuning terhadap penampilan itik jantan Alabio, Mojosari dan MA. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Bogor. Suharno, B. & K. Amri. 2002. Beternak Itik Secara Intensif. Penebar Swadaya, Jakarta. Suharno, B. & T. Setiawan. 2001. Beternak Itik Petelur di Kandang Baterai. Penebar Swadaya, Jakarta. Suparyanto, A. 2006. Karakteristik ukuran karkas itik genotype Pekin x Alabio dan Pekin x Mojosari. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usaha Ternak Unggas Berdayasaing. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Supranto, J. 2000. Statistik: Teori dan Aplikasi Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta. Suryo. 2008. Genetika. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Susanti T., L. H Prasetyo, Y. C. Raharjo, & W. K. Sejati. 1998. Pertumbuhan galur persilangan timbal balik itik Alabio dan Mojosari. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Optimasi sumberdaya lokal dalam rekayasa teknologi peternakan dan veteriner untuk efisiensi usaha pasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Susanti T. 2003. Strategi pembibitan itik Alabio dan itik Mojosari. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Swatland, H. J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Trisna, A., Roeswandy, M. A. Hutasoit. 2008. Penggunaan tepung biji markisa terhadap pertumbuhan itik Peking Umur 1 – 56 hari. Jurnal Agribisnis Peternakan. 4: 1 – 5. Warren, E. P. & R. E. Renbarger. 1963. Some factors affecting milk yield of ewes and growth of lambs. J. Anim. Sci. 22: 866. Wasito & E. S., Rohaeni. 1994. Beternak Itik Alabio. PT Kanisius, Yogyakarta. Wiederhold, S. & H. Pingel. 1997. Growth of breast and leg muscle of waterfowl. Proceeding 11th European Symposium on Waterfowl, Nantes (France), September 8-10: 541-547 Windhyarti, S., 2003. Beternak Itik Tanpa Air. Penebar Swadaya, Jakarta. Williams, I. H. 1982. A course Manual in Nutrition and Growth. Editor H. L. Davies. Australian Vice-Chamcellors committee, Melbourne.
Vellemen, S. G., J. Anderson & K. E. Nestor, 2003. Possible maternal inheritance of breast muscle morphology in turkeys at sixteen weeks of age. Poult. Sci. 82: 1479-1484. Vogel K. E. 2009. Backcross breeding. Methods Mol Biol. 526:161-9.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Diagram Sebar (Scatter Plot) Bobot Badan Itik AAP Pada Fase Starter
Lampiran 2. Diagram Sebar (Scatter Plot) Bobot Badan Itik AAP Pada Fase Grower
Lampiran 3. Diagram Sebar (Scatter Plot) Bobot Badan Itik APA Pada Fase Starter
Lampiran 4. Diagram Sebar (Scatter Plot) Bobot Badan Itik APA Pada Fase Grower
Lampiran 5. Diagram Sebar (Scatter Plot) Bobot Badan Itik PAP Pada Fase Starter
Lampiran 6. Diagram Sebar (Scatter Plot) Bobot Badan Itik PAP Pada Fase Starter
Lampiran 7. Persamaan Regresi antara Umur dan Bobot Badan itik AAP, APA, dan PAP pada Periode Starter, Grower dan 16 Minggu Itik
Periode
Persamaan regresi
R2
P value
AAP
APA
Starter
Log Y = log 1,478 + (0,9750) log X
94,5%
0,000
Grower
Log Y = log 3,307 – (0,02560) log X
93,6%
0,032
Selama 16 minggu
Log Y = log 1,541 + (0,9061) log X
94,5%
0,000
Starter
Log Y = log 1,489 + (0,9790) log X
95,4%
0,000
Grower
Log Y = log 3,404 – (0,05834) log X
84,8%
0,079
Log Y = 1,560 + (0,9008) log X
94,8%
0,000
Starter
Log Y = log 1.479 + (1.074) log X
95,1%
0,000
Grower
Y = 1341 + 39.05Xi – 0,2047Xj2
89,8%
0,319
Log Y = log 1,560 + (1,029) log X
95,8%
0,000
Selama 16 minggu PAP
Selama 16 minggu
Lampiran 8. F Hitung dan P value Hasil Pengujian Bobot Badan Itik AAP dan APA pada Umur 1 Hari sampai 16 Minggu Pembanding AAP vs APA
Bobot badan umur (minggu) DOD
F hitung
P value
0,18
0,675
1
1,97
0,174
2
0,11
0,744
3
1,31
0,263
4
0,12
0,736
5
0,09
0,769
6
0,61
0,441
7
0,02
0,885
8
0,65
0,429
10
2,50
0,127
12
3,17
0,088
14
3,37
0,079
16
2,30
0,143
Lampiran 9.
Contoh Perhitungan Pendugaan Konversi Ransum Itik AAP pada Periode Starter
Konversi Ransum (itik ke-1)
= ∑ pakan kumulatif selama 8 minggu BB umur 8 minggu – BB umur DOD = 5712,88 1747,34 = 3,27
Lampiran 10. Contoh Perhitungan Pendugaan Konversi Ransum Itik AAP selama 16 Minggu Konversi Ransum (itik ke-1)
= ∑ pakan kumulatif selama 16 minggu BB umur 16 minggu – BB umur DOD = 13.908,97 1669,34 = 8,33
Lampiran 11. Gambar Perkembangan Itik
a). Itik PAP Umur 6 Hari
b). Itik AAP Umur 8 Hari
Itik PAP
c). Itik PAP Umur 10 Minggu
d). Itik PAP Umur 12 Minggu
e). Itik AAP Umur 12 Minggu
f). Itik APA Umur 12 Minggu
Lampiran 12. Contoh Penimbangan Itik
a). Penimbangan pada Fase Starter
b). Penimbangan pada Fase Grower