Tujuan pembelajaran:
X PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
Memahami proses-proses perencanaan, pengelolaan dan monitoring keberhasilan program konservasi pada kawasan konservasi, terutama Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Keseluruhan proses mencakup: seleksi calon kawasan, penetapan, penentuan zonasi, identifikasi para pihak (stakeholder) yang terlibat, rencana pengelolaan, badan pengelola dan pemilihan strategi monitoring untuk mengukur keberhasilan program konservasi. Hasil monitoring merupakan alat ukur bagi sistem pengelolaan adaptif.
Sampai saat ini kita sudah mempelajari secara singkat beberapa aspek dari laut kita, keterkaitannya dengan pengambilan (penangkapan) sumber daya ikan, dan peranan Kawasan Konservasi Perairan sebagai pendamping dari sistem pengelolaan perikanan tangkap yang sudah berkembang sampai saat ini. Bagian yang akan kita pelajari selanjutnya ialah Bab terakhir dari buku ini – suatu bagian tersendiri yang membahas seluruh aspek perencanaan dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan secara menyeluruh. Sebelum itu, ada baiknya kalau kita melakukan penyegaran, refreshment, pada hal-hal yang sudah kita selesaikan pada bagian sebelumnya, sebagai berikut: •
Mengenal laut sebagai bagian integral dari planet bumi – laut dipengaruhi oleh aktifitas yang terjadi di darat. Namun sebaliknya, kehidupan di darat juga dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi di laut. Setiap perubahan yang terjadi di laut pada akhirnya akan berdampak pada manusia yang tinggal di darat;
•
Biodiversity, Keanekaragaman hayati di laut – laut menampung kehidupan dari berbagai spesies yang sangat beragam, terutama laut wilayan tropis seperti Indonesia. Sebagian besar wilayah laut Indonesia telah diidentifikasi oleh berbagai ahli kelautan sebagai “Coral Triangle”, pusat keanekaragaman sumber daya hayati laut dunia. “Coral Triangle” ialah wilayah yang mempunyai spesies karang penyusun terumbu lebih dari 500 jenis atau spesies. Kondisi ini menempatkan Indonesia dalam posisi penting secara global terkait dengan keanekaragaman hayati laut.
•
Threats, ancaman – laut di wilayah pusat keanekaragaman hayati, “Coral Triangle”, mengalami ancaman serius, baik dari ancaman yang terjadi secara global maupun ancaman
341
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
lokal. Asidifikasi, intensitas badai, banjir dan peningkatan suhu permukaan air laut sudah nyata dirasakan dan mengancam kelangsungan sumber daya hayati di laut. Bleaching dan erosi terumbu ialah dua dampak paling dominan dari ancaman global. Sedangkan penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif ialah dua ancaman lokal yang paling dominan akan mempengaruhi habitat dan sumber daya laut, terutama di dalam wilayah “Coral Triangle”. •
Mengenal perikanan laut: alat tangkap dan jenis ikan hasil tangkap – walaupun sangat beragam, alat tangkap ikan di Indonesia bisa dibedakan paling tidak dalam 10 kelompok, beberapa diantaranya sangat efektif dan menyebabkan kerusakan habitat sekaligus penangkapan berlebih (over-fishing). Indonesia mungkin merupakan satu-satunya negara yang memiliki perikanan dengan komposisi spesies ikan hasil tangkap yang paling beragam. Temuan FishBase menunjukkan total jumlah spesies yang tertangkap di Indonesia mencapai 3.240 jenis. Sebagian besar diantaranya bukan termasuk kelompok ekonomis penting.
•
Perikanan tangkap dan Kawasan Konservasi Perairan – pendekatan dalam pengelolaan perikanan laut sangat menyulitkan untuk mempertahakan stok sumber daya pada kondisi lestari. Sebagian besar perikanan di Indonesia sudah mengalami tangkap lebih (over-fishing). Kawasan Konservasi Perairan bisa digunakan sebagai pendekatan tambahan untuk memperbaiki kondisi perukanan yang sedang mengalami degradasi. Spill-over dan ekspor larva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan memperbaiki perikanan tangkap. Hal ini dilakukan dengan mencadangkan sebagian habitat penting di laut sebagai wilayah larang-ambil atau No-Take Zone.
•
Kategori Kawasan Konservasi Perairan – paling tidak terdapat 6 (enam) kategori Kawasan Konservasi Perairan yang umum dikenal secara global. Perbedaan kategori terjadi karena perbedaan dalam fokus atau tujuan utama pembentukan kawasan. Tipe Kawasan Konservasi Perairan yang bertujuan (utama) untuk melindungi dan pemanfaatan berlanjut dari perikanan termasuk dalam kategori VI (protected area with sustainable use of natural resources). Namun apapun kategori kawasan konservasi, sedikit atau banyak dia akan memberikan kontribusi pada tujuan lainnya, seperti perlindungan keanekaragaman hayati, perbaikan habitat, penelitian ataupun eko-wisata.
•
RoadMap Kawasan Konservasi Perairan – Indonesia mempunyai pengalaman panjang dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi, termasuk di laut. Pada periode prapenjajahan, wilayah nusantara sudah mengembangkan beberapa kawasan konservasi berbasis masyarakat. Sasi laut, awig-awig, nyale atau panglima laot ialah beberapa contoh yang bisa disebutkan. Pada periode kolonialisasi, pengembangan kawasan konservasi lebih banyak dilakukan melalui kerja sama antara penguasa lokal (Dewan Raja-Raja) dengan Pemerintah Hindia Belanda. Pada masa kemerdekaan, inisiatif Kawasan Konservasi Perairan terutama dilakukan melalui survei intensif yang dilakukan oleh IUCN/WWF program dengan pemerintah. Survei menghasilkan atlas sumber daya kelautan (marine data atlas) dan rekomendasi calon kawasan konservasi yang sangat komprehensif. Pada masa reformasi setelah tahun 1998, insiatif pengembangan kawasan konservasi berkembang pesat dari berbagai komponen dan institusi;
•
Zonasi Kawasan Konservasi Perairan – tujuan penetapan Kawasan Konservasi Perairan tertuang melalui zonasi. Zonasi menjadi penentu dalam menetapkan kategori kawasan menurut klasifikasi internasional (IUCN). Jenis zona pada dasarnya bisa dibedakan menjadi 4 (empat) bentuk, ialah: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan terbatas, dan zona lain
342
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
sesuai dengan keperluan namun sejalan dengan tujuan penetapan kawasan. Zona inti umumnya setara dengan wilayah dengan kunjungan terbatas (No-Go Zone), sedangkan zona rimba ialah wilayah larang-ambil atau No-Take Zone. Zona perikanan berkelanjutan ialah salah satu wilayah yang ditujukan untuk memantau dampak kawasan konservasi (terutama perairan) pada perikanan tangkap; •
Hukum dan kebijakan Kawasan Konservasi Perairan – tonggak pengembangan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia secara formal dimulai sejak tahun 1958 ketika pemerintah berpartisipasi dalam adopsi konvensi Jenewa – Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas. Kedudukan Kawasan Konservasi Perairan di dalam hukum formal mulai jelas ketika pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 dan meratifikasi UNCBD melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1994. Namun perkembangan peraturan selanjutnya membuat kategori Kawasan Konservasi Perairan tidak konsisten. Beberapa peraturan formal saling tumpang tindih (overlap) dan memunculkan nomenklatur kawasan konservasi yang beragam. Pemerintah bersama pihak terkait harus segera melakukan harmonisasi peraturan agar tidak menyulitkan pengelola kawasan pada tingkat lapang.
Pada bab akhir ini, kita akan membahas Kawasan Konservasi Perairan secara menyeluruh, dari ide awal, seleksi dan penetapan, zonasi, rencana pengelolaan, badan pengelola, monitoring keberhasilan program dan pengelolaan adaptif.
10.1 Kaw asan Konservasi Perairan: Suatu Kebutuhan Saat ini, Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang efektif, sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan (sustainable fisheries) sangat mendesak dibutuhkan. Ada beberapa alasan untuk segera menerapkan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan secara efektif. Alasan pertama ialah ancaman pada sumber daya hayati laut yang bisa berdampak buruk pada ekonomi masyarakat pesisir. Alasan kedua ialah usaha untuk menjadikan sumber daya alam hayati sebagai milik bersama. Sedangkan alasan yang terakhir ialah adanya peluang peran kelembagaan dan peraturan yang lebih mengakomodasi kepentingan bersama. Masing-masing alasan dibahas secara tersendiri sebagai berikut.
10.1.1 Perikanan Mengalam i Tangkap Lebih Hasil studi oleh peneliti perikanan menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah pengelolaan perikanan (WPP) di Indonesia sudah mengalami tangkap penuh (fully exploited) maupun tangkap lebih (over-exploited) (lihat juga bab V tentang perikanan dan Kawasan Konservasi Perairan) – perikanan skala kecil yang beroperasi di pantai terus mengalami penurunan biomass hasil tangkap. Catatan nelayan dari berbagai daerah (recall period 20 tahun) menunjukkan penurunan hasil tangkapan mereka. Konflik antar nelayan lokal meningkat dalam mengambil peluang memanfaatkan sumber daya yang tersisa. Perikanan tuna. (pelagic oceanic) di wilayah Samudera Hindia diduga kuat mengalami penurunan hasil tangkap-per-satuan-usaha. Rekomendasi Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan (KomNas KaJisKan) meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melakukan moratorium penangkapan pada wilayah pengelolaan perikanan Laut Banda. Jika kondisi
343
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
ini terus dibiarkan, sangat dikhawatirkan kita akan segera kehilangan salah satu sumber mata pencaharian masyarakat pesisir dari usaha penangkapan ikan. Kevin L. Rhodes, ialah pegiat konservasi dan ahli perikanan dari Universitas Hawai yang beberapa kali berkunjung ke Indonesia dan menelusuri tempat-tempat pemijahan ikan karang. Pada suatu pertemuan dia mengatakan bahwa Indonesia seharusnya mempunyai banyak tempat-tempat pemijahan ikan karang (Spawning Aggregation Sites). Namun kenyataan, sedikit sekali lokasi yang bisa dia konfirmasi sebagai tempat pemijahan yang potensial. Bagi usaha perikanan, hal ini sangat berbahaya karena bisa menyebabkan recruitment over-fishing – ikan karang bisa menghilang secara mendadak tanpa kita sadari. Sistem pengelolaan perikanan spesies-tunggal memerlukan data dengan tingkat akurasi yang tinggi untuk bisa ditransformasi kedalam bentuk Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB). Data ini sering kali tidak tersedia dari lapang, atau jika tersedia, tidak menunjukkan kondisi riil di lapang. Karakteristik wilayah Indonesia: dengan lebih dari 17.000 pulau yang tersebar di wilayah nusantara, beragam alat tangkap dan berbagai jenis ikan hasil tangkap, membuat model spesies-tunggal terlalu sulit untuk diinterpretasi. Sementara itu stok sumber daya terus menurun dan nelayan berpindah ke tempat yang lebih jauh untuk mencari ikan yang tersisa. Kemampuan sumber daya, biaya dan lembaga tidak memungkinkan untuk melakukan inspeksi pada seluruh wilayah perairan Indonesia yang luasnya mencapai ± 3,1 juta km2 , tidak termasuk Zona Ekonomi Eksklusif. Akibatnya, seluruh peraturan perikanan tangkap hanya menjadi peraturan di atas kertas, tidak mempunyai kekuatan hukum pada tingkat lapang. Sementara itu, pemerintah terus mengembangkan sistem subsidi bagi perikanan tangkap untuk mendapatkan yang tersisa, yang sebenarnya sudah tidak ekonomis lagi untuk diambil saat ini. Kawasan Konservasi Perairan (KKP) harusnya bisa kita gunakan sebagai alat untuk membalikkan (reverse) dari penangkapan berlebih menjadi sistem usaha penangkapan yang berkelanjutan.
10.1.2 Degradasi Habitat Penting Bagi Perikanan Laporan resiko kerusakan Terumbu Karang di Asia Tenggara oleh World Resource Institute (WRI) menghasilkan temuan bahwa lebih dari 50% Terumbu Karang kita sudah mengalami kerusakan pada tingkat sedang, tinggi, maupun sangat tinggi. Hutan Bakau di wilayah pesisir juga mengalami nasib yang tidak berbeda. Penelusuran melalui Google Earth, bisa dengan cepat kita buktikan terjadinya kerusakan pada hutan Bakau tersebut, terutama di wilayah Pesisir Utara Jawa dan Selat Madura. Sumber daya habitat, seperti umumnya sumber daya hayati mempunyai kemampuan untuk pulih, namun sangat tergantung dari cakupan (scope) wilayah yang mengalami degradasi dan tingkat keparahan (severity) dari kerusakan pada scope. Jika tingkat keparahan tinggi dan terjadi pada wilayah yang sangat luas bisa saja dia tidak mampu untuk melakukan pemulihan (reversible). Bahkan jika ya, kita harus menunggu dalam waktu yang sangat lama sampai dia bisa pulih, dibandingkan dengan waktu yang kita butuhkan untuk merusaknya. Sebelum hal ini terjadi, atau sebelum terlambat, harus ada usaha bersama untuk paling tidak mempertahakan beberapa habitat yang penting bagi perikanan. Konservasi kawasan ialah alat yang tepat untuk mengatasi hal ini.
344
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
10.1.3 Kom itmen Kepada Ketentuan Global (Biodiversity) Pada Bab IX sudah kita diskusikan bahwa pemerintah Indonesia mempunyai komitmen yang mengikat kita secara hukum, untuk mengembangkan sistem kawasan konservasi termasuk konservasi perairan. Komitmen ini berlaku sejak pemerintah meratifikasi UNCBD melalui UU No. 5 tahun 1994. UU No. 5 tahun 1990 (PP No. 68n tahun 1998) dan UU No. 31 tahun 2004 (PP No. 60 tahun 2007) secara nasional juga mengikat kita untuk mengembangkan Kawasan Konservasi Perairan untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya perikanan. Ketentuan nasional ini, sebagian merupakan ekspresi dari komitmen untuk memenuhi ketentuan dan prinsip-prinsip global dalam implementasi konservasi keanekaragaman hayati.
10.1.4 Mempertahankan Habitat Asli yang Tersisa Saat ini, mungkin kita tidak punya lagi habitat asli yang tersisa di Indonesia. Habitat tersebut sangat diperlukan untuk mengetahui perbedaan respons perubahan yang terjadi pada habitat alami dengan habitat yang sudah mengalami tekanan oleh manusia. Sebagai contoh, besarnya daya dukung alami terumbu karang untuk menghasilkan biomass dalam satu ha hamparan, tidak akan kita ketahui kalau tidak ada terumbu karang yang masih asli yang bisa dipertahankan. Herman Cesar, dalam tulisannya tentang terumbu karang di Indonesia yang dibuat pada tahun 1996 menyatakan bahwa terumbu karang yang sehat mampu mendukung produksi ikan setara 10 – 20 ton km-2 (tahun)-1. Nilai ini tidak menunjukkan kondisi yang sebenarnya selama titik acuan pada habitat terumbu karang yang asli tidak diketahui. Kawasan konservasi mempunyai kategori yang berbeda sesuai dengan tujuan atau fungsi utamanya. Beberapa kawasan konservasi bisa berfungsi untuk mempertahankan ekosistem atau habitat asli bagi perikanan. Jenis lainnya berfungsi untuk mempertahankan pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya perikanan. Kategori pertama lebih banyak berfungsi sebagai penelitian dan pendidikan, sedangkan ketagori kedua lebih ditujukan pada manfaat ekonomi langsung bagi pengguna.
10.1.5 Peninggalan Kepada Generasi Berikut Pelibatan stakeholder ialah topik diskusi yang selalu hangat, bahkan cenderung panas terutama dalam era reformasi seperti saat ini. Semakin tinggi intensitas untuk pelibatan stakeholder atau para pihak, akan semakin banyak pula para pihak yang merasa belum terwakili. Setiap kelompok, sekecil apapun, akan selalu meminta pendapatnya untuk diakomodasi. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya di laut, kita tidak pernah melibatkan para pihak dari seseorang yang akan lahir 20 tahun dari sekarang – suara dari para pihak yang diam. Diantara para pihak tersebut, sebagian ialah cucu kita yang akan menuntut hak kepada kita secara komunal. Jika hal ini ditanyakan dalam diskusi stakeholder, peserta diskusi sering tersenyum dan suara generasi mendatang tidak pernah terwakili. Hampir setiap dokumen politis, bahkan dokumen operasional pun memuat istilah “Pemanfaatan Sumber daya Secara Berkelanjutan”. Namun anehnya, istilah tersebut tidak pernah dibuat terukur atau tangible. Pada akhirnya setiap orang akan menyertakan kata “pemanfaatan berkelanjutan” pada dokumen-dokumen penting dan setelah itu dokumen selesai. Pemanfaatan berkelanjutan ialah ekspresi dari tuntutan para pihak yang yang akan lahir 20 tahun dari sekarang, 345
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
seperti disebutkan di atas. Kita tidak bisa mengabaikan tuntutan tersebut dengan alasan mereka belum terlibat dalam diskusi stakeholder. Masyarakat dan pemerintah Indonesia harus bisa merubah pandangan ini. Generasi mendatang mempunyai hak yang sama untuk menikmati apa yang bisa kita lihat dan nikmati sekarang. Kesempatan itu bisa kita lakukan melalui konservasi. Pada kondisi sumber daya seperti saat ini, konservasi akan selalu bermanfaat bagi generasi sekarang maupun generasi 20 tahun dari sekarang dan seterusnya. Jadi usaha konservasi ialah bentuk peninggalan kepada generasi berikut.
10.1.6 Sum ber daya Milik Bersam a, Bukan Milik Umum Masyarakat di negara kita, seperti juga kebanyakan masyarakat dunia, masih berpandangan bahwa laut dengan segala isinya ialah milik umum. Setiap orang mempunyai kesempatan yang sama, kalau mau, untuk melakukan apa saja pada laut. Pandangan lama ini harus segera kita tinggalkan, paling tidak untuk masyarakat Indonesia. Laut Indonesia mempunyai terumbu karang yang terluas di dunia (sekitar 48.000 km2 ). Terumbu karang menjadi sumber penghidupan dan mata pencaharian nelayan. Kalkulasi yang dilakukan Y.J. Sadovy mendapatkan bahwa total nilai impor ikan karang hidup ke Hongkong mencapai 486 juta USD pada tahun 2002 (dari total impor dunia yang mencapai 810 juta USD). Sebagian besar dari ikan tersebut berasal atau diambil dari wilayah terumbu karang di Indonesia. Terumbu karang ialah lingkungan yang sangat sensitif. Kerusakan pada terumbu karang akan menurunkan kemampuannya menyediakan sumber daya (ikan) secara berkelanjutan. Jika kita tetap berpandangan bahwa laut atau terumbu karang ialah milik umum, setiap orang akan menggunakan kesempatan untuk mengambil ikan karang, melupakan dampak yang akan terjadi setelah ikan karang berkurang dan terkuras. Sumber daya milik kita bersama, bukan milik umum – perlindungan atau konservasi terhadap habitat di laut ialah terutama untuk mempertahankan agar kita bisa memanfaatan sumber daya tersebut secara berkelanjutan. Pemerintah yang bertindak sebagai wali dari sumber daya harus mempunyai kekuatan untuk mengatur pemanfaatan tersebut, dan setiap orang harus memiliki tanggung jawab yang sama untuk mematuhi aturan yang ditetapkan. Setiap orang yang merusak terumbu karang atau mengambil ikan karang secara berlebihan, atau mengambil ikan karang pada wilayah larang-ambil, sebagian atau sepenuhnya bisa dikatakan sebagai mengambil milik orang lain. Ketika mengambil ikan karang, dia tidak pernah berbagi hak kepada orang lain untuk juga bisa mengambil ikan tersebut. Sebaliknya, sebagai milik bersama, nelayan akan merasa mempunyai keharusan untuk menyisakan sumber daya bagi orang lain. Dengan cara yang sama, pemerintah juga mempunyai kewajiban besar menjadi wali dan mengatur pemanfaatan dari milik kita bersama. Hanya dengan Revolusi Kultural seperti inilah kita bisa mempertahankan kekayaan sumber daya hayati kita bersama secara berkelanjutan.
10.1.7 Peraturan dan Kelembagaan yang Mendukung Saat ini, paling tidak ada tiga kerangka hukum yang bisa digunakan sebagai dasar pengembangan Kawasan Konservasi Perairan. Kerangka peraturan yang pertama ialah UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi keanekaragaman sumber daya hayati dan ekosistemnya, yang didukung oleh PP No. 68 tahun 1998. Peraturan kedua ialah UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan diikuti dengan PP No. 60 tahun 2007. Peraturan ketiga ialah UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya diperjelas melalui 346
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
PerMen Kelautan dan Perikanan No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dari ketiga peraturan ini, seharusnya Indonesia sudah bisa menunjukkan contoh pengelolaan kawasan konservasi yang efektif.
Gambar 10.1. Jenis ikan hasil tangkap yang dulu termasuk kategori hasil samping, sekarang mempunyai nilai ekonomis untuk dijual di Tempat Pelelangan Ikan, karena tidak ada lagi yang tersisa (Foto oleh Setyohadi – diambil dari Desa Gelondong Gede, Tuban – Jawa Timur). Pengelola Kawasan Konservasi Perairan bisa dilakukan oleh kombinasi dua Kementerian dan Pemerintah Daerah. Sampai saat ini, beberapa Kawasan Konservasi Perairan sudah dikelola oleh Kementerian Kehutanan (DitJen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam). Kementerian Kelautan dan Perikanan mengelola kawasan konservasi terutama dengan tujuan perikanan berkelanjutan (walaupun belum ada contoh yang sudah efektif). Melalui UU No. 32 tahun 2004, Pemerintah Daerah juga bisa mengelola Kawasan Konservasi Perairan yang berada didalam wilayah kewenangannya (4 mil untuk Pemerintah Kabupaten / Kota Madya dan 12 mil untuk Pemerintah Propinsi).
10.1.8 Bonus dari Eko-w isata Bagi kepentingan perikanan, Kawasan Konservasi Perairan ialah strategi untuk mempertahakan perikanan tangkap secara berkelanjutan dan menghindari kemungkinan terkurasnya sumber daya ikan. Jika hal ini bisa dilakukan dengan efektif, kawasan konservasi sangat 347
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
berpeluang untuk mendapat bonus dari eko-wisata bahari. Eko-wisata bahari bisa didefinisikan sebagai suatu perjalanan bertanggung jawab ke kawasan konservasi untuk mendapat pembelajaran yang unik dan pengalaman yang berkualitas tinggi (high-end experience). Untuk mendapat kesempatan ini, wisatawan mau membayar harga yang lebih tinggi karena mendapatkan pengalaman yang belum tentu bisa didapat oleh orang kebanyakan (melakukan kunjungan ke tempat yang tidak istimewa). Pengunjung Taman Nasional Galapagos di Equador harus membayar karcis masuk (entrance fee) senilai 100 USD (setara sekitar Rp. 860.000). Survei “willingness to pay” yang pernah dilakukan di Taman Nasional Komodo menunjukkan bahwa wisatawan mau membayar karcis masuk sampai 50 USD per kunjungan. Taman Nasional Bunaken sudah lama menerapkan tiket masuk setara Rp. 75.000 atau melalui pin yang berharga Rp. 150.000. Keberhasilan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan akan memberikan dampak dalam dua bentuk, ialah: pertama, tumbuhnya peluang ekonomi baru sebagai bonus dari keberhasilan konservasi; kedua, manfaat ekonomi akan lebih banyak diterima oleh masyarakat lokal sesuai dengan prinsip pengembangan eko-wisata.
10.2 Seleksi Kaw asan Konservasi Seleksi calon kawasan ialah satu dari sekian banyak elemen dalam proses pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan secara keseluruhan. Kawasan konservasi ditujukan untuk mencapai satu atau beberapa tujuan utama dari pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Oleh karena itu, sistem Kawasan Konservasi Perairan seharusnya menjadi bagian integral dari rencana pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu. Rencana pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa dibuat secara terpisah dari tujuan yang lebih besar. Oleh karena itu, seleksi calan Kawasan Konservasi Perairan harus memperhatikan rencana pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Jika memungkinkan, seleksi calon kawasan konservasi lebih baik dilakukan secara nasional dibandingkan dengan sistem yang terpisah secara individu. Paling tidak, dia dilakukan pada wilayah regional tertentu atau satuan bentang laut yang lebih kecil. Dengan sistem ini, lebih memungkinkan untuk menyusun kawasan konservasi melalui jejaring yang akan berdampak lebih baik dibandingkan kawasan yang terpisah secara individu. Seleksi calon kawasan juga menghargai inisiatif lokal. Dalam implementasi, kawasan yang berasal dari inisiatif lokal umumnya akan mendapat dukungan yang lebih kuat. Oleh karena itu, sistem nasional juga memperhatikan inisiatif yang berkembang dari pemerintah atau masyarakat lokal. Kategori kawasan bisa dibedakan berdasarkan fungsi dan tujuan utama pengelolaan. Inisiatif lokal ini kemungkinan termasuk dalam salah satu kategori yang dibutuhkan dalam sistem nasional. Ringkasnya, seleksi calon kawasan harus mempertimbangkan tiga hal pokok, ialah: keberadaan sistem pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terintegrasi dalam suatu wilayah; seleksi calon kawasan sebaiknya menggunakan sistem nasional atau unit regional maupun kesatuan unit bentang alam tertentu; dan mempertimbangkan atau menghargai insiatif lokal.
10.2.1 Mulai dari yang Sudah Ada Seleksi calon kawasan tidak mulai dari kertas kosong, harus mulai dari kawasan konservasi yang sudah ada dan dikelola dengan baik. Seleksi calon kawasan baru diambil dari lokasi dengan jarak tertentu dari kawasan yang sudah dibangun. Kawasan yang sudah ada memiliki karakteristik, 348
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
tipe habitat, spesies maupun jenis pemanfaatan tertentu. mempertimbangkan karakteristik kawasan yang sudah ada tersebut.
Seleksi
calon
selanjutnya
Kawasan konservasi sebaiknya dibuat tersebar, namun masing-masing harus bisa dihubungkan satu sama lainnya dalam sistem jejaring (MPA network). Kawasan konservasi yang mengumpul atau terkonsentrasi pada suatu wilayah akan menurunkan wilayah perairan untuk penangkapan sehingga berdampak negatif bagi usaha perikanan tangkap. Kawasan konservasi yang memusat juga kurang baik dalam menyebar faktor resiko. Jika terjadi kerusakan karena faktor alami atau faktor yang tidak bisa dikendalikan oleh pengelola, kita bisa kehilangan sebagian besar Kawasan Konservasi Perairan. Sebaliknya, sistem tata letak yang tersebar akan menurunkan resiko tersebut.
10.2.2 Gunakan Inform asi yang Sudah Tersedia Seleksi calon Kawasan Konservasi Perairan di wilayah Indonesia bukan pekerjaan yang rumit dan memerlukan bantuan ilmiah yang terlalu tinggi. Sebagai wilayah yang terletak pada pusat keanekaragaman hayati laut, “Coral Triangle”, hampir semua wilayah perairan laut Indonesia bisa dikatakan sebagai calon kawasan yang istimewa. Tidak ada alasan untuk tidak mengembangkan kawasan konservasi karena kurangnya informasi ilmiah yang tersedia. Sementara itu, sumber daya hayati laut terus mendapat ancaman dan mengalami degradasi sesuai dengan perkembangan waktu. Sering tidak kita sadari bahwa informasi ilmiah yang ada sudah cukup dan bisa digunakan sebagai informasi awal untuk melakukan seleksi calon kawasan. Marine Data Atlas dan rekomendasi yang dibuat oleh R. Salm dan M. Halim pada tahun 1984 mungkin lebih dari cukup untuk bahkan melakukan seleksi calon kawasan konservasi berdasarkan skala prioritas (lihat kembali Tabel 7.3 pada bab terdahulu). Belum lagi beberapa hasil penelitian lain yang dilakukan kemudian pada hampir seluruh wilayah Indonesia, walaupun secara terpisah dan terpusat pada area yang lebih sempit. Hampir semua informasi tersebut sudah dibuat tersedia melalui situs-situs yang terkait dengan konservasi.
10.2.3 Prinsip Dasar Dalam Seleksi Dalam proses seleksi calon kawasan, Rodney Salm, peneliti yang sering berkunjung ke Indonesia, menyarankan 3 (tiga) prinsip dasar yang perlu diperhatikan, ialah: •
•
349
Prinsip pertama, kebutuhan, prioritas dan kemampuan mengelola kawasan akan menuntun tujuan dan cakupan (jumlah) Kawasan Konservasi Perairan – suatu wilayah Kabupaten merencanakan untuk menetapkan 10 Kawasan Konservasi Perairan dalam waktu relatif singkat. Pada saat ini, kabupaten tersebut tidak mempunyai cukup staf dan sumber daya yang trampil untuk mengelola kawasan. Akibatnya, 10 Kawasan Konservasi Perairan yang baru ditetapkan menjadi tidak efektif dan hanya berfungsi sebagai “paper park”. Pada kondisi seperti ini, pemerintah harusnya bisa membuat prioritas agar pengelolaan kawasan bisa efektif; Perinsip kedua, tujuan penetapan Kawasan Konservasi Perairan menjadi dasar dalam proses seleksi. Sistem Kawasan Konservasi Perairan memerlukan pernyataan tujuan yang jelas dan terfokus. Sebagai contoh, suatu kawasan konservasi dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi ikan tertentu yang menjadi target penangkapan. Pada kasus ini, kita harus memilih jenis habitat yang menjadi tempat pemijahan ikan tersebut, tempat membesarkan Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
larva dan habitat lain yang tersedia untuk memenuhi seluruh siklus hidup ikan target, sebelum akhirnya bisa ditangkap (sebagian) oleh nelayan; Prinsip ketiga, cakupan program Kawasan Konservasi Perairan (nasional, propinsi, kabupaten, jumlah dan ukuran) menjadi pembatas dalam proses seleksi. Perencana harus membuat batasan dari program kawasan yang mampu dicakup dalam program. Umumnya, batas wilayah cakupan berada dalam satuan ekologi dibandingkan satuan administrasi, seperti propinsi atau kabupaten;
•
Setiap wilayah mempunyai karakteristik parameter sosial, ekonomi, politik dan lingkungan tersendiri – tidak ada satu sistem yang bisa berlaku untuk semua daerah di Indonesia. Oleh karena itu kriteria seleksi tidak harus bersifat baku dan dipaksakan pada semua wilayah. Namun panduan kriteria selalu diperlukan sebagai langkah awal untuk selanjutnya dilakukan modifikasi berdasarkan situasi lokal.
10.2.4 Kriteria Seleksi Adanya peluang, tekanan politis maupun tekanan masyarakat umumnya menjadi faktor utama dalam menentukan suatu kawasan. Pada kondisi seperti ini, kriteria seleksi menjadi menjadi tidak penting lagi. Penerapan kriteria lebih banyak ditujukan dalam pemilihan kategori kawasan dan kriteria dalam zonasi. Beberapa Kawasan Konservasi Perairan yang ditetapkan belakangan di Indonesia mungkin lebih banyak terjadi karena faktor peluang dibandingkan dengan perencanaan secara matang pada tingkat nasional. Berikut adalah beberapa kriteria yang bisa dipertimbangkan dalam seleksi calon Kawasan Konservasi Perairan. (1) Kriteria Sosial Manfaat sosial bisa dikaji dalam beberapa bentuk sebagai berikut: 1) Penerimaan secara sosial (social acceptance): menunjukkan tingkat jaminan dukungan dari masyarakat lokal. Setiap usaha harus dibuat untuk mendapat dukungan masyarakat lokal. Wilayah yang sudah dilindungi melalui aturan tradisi setempat harus ditegakkan kembali, dan wilayah tersebut mendapat prioritas yang lebih tinggi. Penunjukkan kawasan konservasi secara resmi mungkin masih dibutuhkan, bahkan pada kondisi dukungan masyarakat yang cukup tinggi, untuk menjamin pengakuan pemerintah terhadap wilayah tersebut. Sebagai contoh, Daerah Perlindungan Laut Blongko dikuatkan oleh Wakil Bupati dan Ketua BAPPEDA Kabupaten Minahasa; 2) Kesehatan masyarakat: Pembentukan kawasan perlindungan laut bisa ditujukan untuk mengurangi polusi dan berkembangnya agen-agen penyakit yang mempengaruhi kesehatan masyarakat. Pemberian status kawasan konservasi pada wilayah yang terkontaminasi, seperti daerah yang didominasi oleh kerang-kerangan atau wilayah pantai untuk mandi, bisa menjadi faktor pendorong menurunnya polusi karena sumber pencemar bisa teridentifikasi dan usaha pengendalian terhadap pencemar bisa menjadi bagian dari rencana pengelolaan di lokasi 3) Rekreasi: tingkatan dimana suatu wilayah digunakan, atau sebaiknya digunakan untuk rekreasi oleh penduduk sekitarnya. Tempat-tempat dimana masyarakat lokal bisa memanfaatkan, untuk kesenangan, dan belajar tentang lingkungan alami mereka, sebaiknya mendapat prioritas lebih tinggi dalam kriteria ini. 350
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
4) Budaya: lokasi yang mempunyai nilai religius, sejarah, seni, atau nilai budaya lainnya. Lingkungan alami yang mengandung ciri khas atau keunikan budaya yang penting harus mendapat nilai yang lebih tinggi, karena manfaat dukungan dari masyarakat setempat, dan perlindungan mereka akan membantu mempertahankan integritas dari ekosistem di sekitarnya. 5) Keindahan: suatu bentang laut yang mempunyai pemandangan alam sangat indah. Lingkungan alam yang juga mengandung ciri khas pemandangan alam mendapat nilai yang lebih tinggi, karena penjagaan terhadap pemandangan alam seperti itu sering kali memerlukan pemeliharaan secara integral dari wilayah ekosistem pantai atau laut di sekitarnya. Namun, jika keragaman spesies dan nilai konservasi biologis dari wilayah tersebut rendah, area tersebut hanya mendapat nilai tinggi untuk rekreasi dan pariwisata. 6) Konflik kepentingan: batas dimana kawasan konservasi akan mempengaruhi aktifitas masyarakat setempat. Jika suatu wilayah digunakan untuk tujuan rekreasi misalnya, lokasi yang dipilih sebaiknya bukan daerah penangkapan ikan yang utama dan hanya beberapa nelayan saja yang tergantung pada wilayah tersebut. Dalam beberapa kasus, minimalisasi konflik bisa dilakukan melalui penerapan zonasi secara hati-hati. 7) Keselamatan: tingkat keselamatan bagi masyarakat dari arus yang kuat, ombak, rintangan bawah air, gelombang, dan hal-hal berbahaya lainnya. Karakteristik wilayah seperti itu sebaiknya dihindari untuk ditetapkan sebagai wilayah pariwisata atau lokasi yang akan mendapat kunjungan masyarakat. Perencana harus mengutamakan keselamatan dalam aktifitas yang dilakukan. 8) Pencapaian lokasi/Aksesibilitas: kemudahan untuk mencapai lokasi melalui dukungan sarana transportasi. Kawasan yang digunakan oleh pengunjung seperti, siswa sekolah, peneliti, dan nelayan harus bisa dicapai dengan mudah. Semakin mudah mencapai lokasi, semakin tinggi nilainya, namun tingkat pemanfaatan akan semakin tinggi. Hal ini membuka peluang kemungkinan munculnya konflik kepentingan, serta semakin tingginya dampak dari pengguna. Kemudahan mencapai lokasi mendapat nilai yang tinggi pada kawasan konservasi dengan tujuan utama pertimbangan sosial, tidak begitu tinggi kalau untuk kepentingan ekonomi, dan nilainya rendah untuk pertimbangan ekologi (lihat di bawah) 9) Penelitian dan pendidikan: kondisi dimana suatu wilayah mewakili berbagai karakteristik ekologi dan berfungsi untuk penelitian serta penerapan metodologi ilmiah. Wilayah yang dengan jelas menunjukkan perbedaan tipe habitat dan hubungan ekologis serta mempunyai ukuran yang cukup besar, akan sangat bermanfaat untuk konservasi dan pembelajaran (seperti praktek lapang atau tempat-tempat pusat studi), dan mendapat nilai yang lebih tinggi untuk dipilih. 10) Penyadaran masyarakat: tingkatan dimana monitoring, penelitian, pendidikan, atau pelatihan di dalam suatu kawasan memberi sumbangan yang nyata terhadap pengetahuan dan penghargaan terhadap nilai lingkungan serta tujuan konservasi. Wilayah-wilayah yang bisa menjadi kombinasi antara kegiatan untuk memonitor pencemaran dengan pendidikan sebaiknya mendapat nilai yang lebih tinggi. 11) Konflik dan keharmonisan: tingkatan dimana suatu kawasan bisa membantu memecahkan konflik/pertikaian antara nilai sumber daya alam dengan kegiatan manusia, atau tingkatan dimana kecocokan atau keharmonisan diantara keduanya bisa ditingkatkan. Jika suatu wilayah bisa digunakan sebagai contoh dalam penyelesaian konflik di lingkungan tersebut, 351
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
dia harus dipertimbangkan untuk mendapat nilai yang lebih tinggi. Kawasan konservasi yang telah membuktikan manfaat, nilai, atau metode perlindungan atau pengawetan sumber daya alam seharusnya mendapat nilai yang lebih tinggi. 12) Batu mulai (benchmark): kondisi dimana suatu wilayah berfungsi sebagai ‘lokasi kontrol’ untuk penelitian ilmiah, ialah suatu lokasi (cukup besar) yang tidak terganggu, prosesproses alami bisa berlangsung tanpa manipulasi dan bisa digunakan untuk mengukur adanya perubahan di tempat lain. Wilayah batu mulai merupakan komponen yang esensial bagi program monitoring ekologi, dan seharusnya mendapat nilai yang lebih tinggi. Contoh penerapan: suatu wilayah akan dibuat menjadi tempat rekreasi memerlukan kriteria 1-3 dan 6-8, dan masing-masing point tersebut harus mempunyai skor yang tinggi. Dalam proses analisis atau seleksi, mungkin tidak perlu untuk mempertimbangkan kriteria 4 dan 9-12. Sebaliknya, wilayah yang difokuskan untuk konservasi cagar budaya, harus memasukkan kriteria 1 dan 4, dengan 3, 7 dan 8 juga perlu jika kemudahan mencapai lokasi serta pemanfaatan sebagai tempat rekreasi juga manjadi salah satu tujuan.
(2) Kriteria Ekonomi Manfaat ekonomi bisa dikaji dari hal-hal sebagai berikut: 1) Nilai penting suatu spesies: kondisi dimana spesies tertentu yang bernilai ekonomis penting sangat tergantung dari daerah tersebut untuk kelengkapan siklus hidupnya. Terumbu Karang, estuaria, bakau, dasar berpasir dan padang lamun misalnya, mungkin menjadi habitat kritis untuk memijah, istirahat, bernaung, atau mencari makan bagi spesies tertentu dan hal ini menjadi modal bagi perikanan setempat dan wilayah di sekitarnya. Habitat-habitat tersebut memerlukan bentuk pengelolaan untuk mendukung keberlanjutan stok yang tereksploitasi; 2) Nilai penting bagi perikanan tangkap: jumlah nelayan yang tergantung pada sumber daya tersebut dan besarnya hasil perikanan tangkap. Semakin tinggi ketergantungan nelayan kepada wilayah tersebut, dan semakin tinggi hasil tangkapan ikan, semakin penting artinya untuk mengelola wilayah tersebut dengan benar dan menjamin hasil yang berkelanjutan. 3) Karakteristik ancaman: kondisi dimana perubahan pola pemanfaatan akan mengancam kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Habitat bisa terancam secara langsung oleh kegiatan yang merusak, seperti penangkapan ikan dengan peledak dan/atau pukat harimau dasar, atau pengambilan sumber daya secara berlebihan. Wilayah-wilayah yang diambil oleh masyarakat setempat secara tradisional sangat penting untuk dikelola. Jumlah nelayan pada daerah penangkapan ini kemungkinan akan meningkat, membuat tekanan berlebih pada stok ikan dan habitat. Bahkan jika jumlah nelayan tidak berubah, metode penangkapan tradisional kemungkinan akan diganti dengan alat lain yang menghasilkan lebih banyak ikan per satuan usaha (contoh yang ekstrem ialah penggunaan alat peledak). Stok beberapa jenis ikan mungkin tidak mampu bertahan karena berkurangnya populasi induk. Dengan cara ini spesies secara keseluruhan menghilang dari daerah penangkapan atau menjadi sangat jarang. 4) Manfaat ekonomi: kondisi dimana perlindungan akan mempengaruhi ekonomi setempat dalam jangka panjang. Pada awalnya, beberapa kawasan konservasi akan menyebabkan pengaruh kerugian akonomi jangka pendek. Wilayah-wilayah yang sudah memberikan 352
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
pengaruh positif mendapat nilai yang lebih tinggi (sebagai contoh, untuk melindungi tempat mencari makan ikan-ikan yang bernilai komersial tinggi atau wilayah-wilayah yang mempunyai nilai rekreasional) 5) Pariwisata: nilai pariwisata dari suatu wilayah, baik yang masih potensial maupun yang sudah berkembang. Wilayah-wilayah yang dipinjamkan untuk membentuk pariwisata yang sejalan dengan tujuan konservasi mendapat nilai yang lebih tinggi. Contoh penerapan: suatu wilayah yang ditunjuk untuk mendukung perikanan tangkap perlu memasukkan kriteria 1-4, sementara untuk tujuan pariwisata harus memasukkan kriteria 2-5.
(3) Kriteria Ekologi Nilai ekosistem dan spesies yang terdapat di dalamnya bisa dikaji dari hal-hal sebagai berikut:
1) Keanekaragaman hayati: variasi atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas, dan spesies. Wilayah dengan keragaman tertinggi mendapat nilai lebih tinggi. Namun, kriteria ini kurang tepat untuk ekosistem yang sederhana, seperti misalnya komunitas pionir atau komunitas yang sudah klimaks, atau wilayah yang mendapat tekanan dari kekuatan yang merugikan, seperti misalnya pantai yang terbuka terhadap energi gelombang tinggi;
2) Kealamian (naturalness): kurangnya gangguan atau degradasi. Sistem yang rusak akan mempunyai manfaat yang rendah bagi perikanan atau pariwisata, dan hanya akan memberikan kontribusi biologis yang relatif rendah. Semakin tinggi nilai kealamian-nya harus mendapat nilai yang lebih tinggi. Jika tujuan kita untuk menyimpan habitat yang sudah rusak, tingkat kerusakan yang lebih tinggi tentu saja akan mendapat nilai yang tinggi.
3) Ketergantungan (dependency): kondisi dimana suatu spesies tergantung pada wilayah, atau tingkat dimana ekosistem tergantung pada proses ekologi yang terjadi di dalam wilayah tersebut. Jika suatu wilayah merupakan tempat yang sangat kritis bagi lebih dari satu spesies atau proses, atau terhadap spesies atau ekosistem yang bernilai tinggi, dia mendapat nilai yang lebih tinggi.
4) Keterwakilan (representativeness): tingkat dimana suatu wilayah mewakili tipe habitat, proses ekologi, komunitas biologis, penampakan geologi atau karakteristik alami. Jika suatu habitat tertentu yang khas belum dilindungi, dia mendapat nilai yang lebih tinggi. Sebuah skema klasifikasi biogeografi ekosistem pantai dan laut sangat baik untuk menerapkan kriteria ini.
5) Keunikan: apakah wilayah tersebut merupakan tempat ‘satu-satunya’. Habitat dari spesies endemik atau spesies yang hampir punah hanya terdapat pada wilayah tertentu. Kepentingan keunikan bisa melewati batas negara, dengan pertimbangan kondisi regional dan internasional. Untuk menjaga agar pengaruh pengunjung tetap rendah, aktifitas pariwisata bisa dilarang, namun penelitian dan pendidikan terbatas bisa diijinkan. Lokasi yang unik harus mendapat nilai yang tinggi.
6) Integritas: kondisi dimana wilayah tersebut merupakan sebuah unit fungsional – secara keseluruhan merupakan ekologi yang bertahan secara mandiri dan efektif. Semakin suatu wilayah mengandung proses-proses ekologi yang mandiri, semakin tinggi kemungkinan
353
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
nilai tersebut bisa dilindungi secara efektif, dan dengan demikian area seperti ini mendapat nilai yang semakin tinggi.
7) Produktifitas: kondisi dimana proses produktif di dalam wilayah tersebut memberikan manfaat kepada spesies atau manusia.Wilayah produktif yang memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan ekosistem mendapat nilai yang lebih tinggi. Pengecualian adalah eutrofikasi yang menyebabkan dampak negatif.
8) Sifat mudah terancam (vulnerable): Wilayah yang mudah terdegradasi karena pengaruh kejadian alami atau aktifitas manusia. Komunitas biotik yang terkait erat dengan habitat pesisir mungkin mempunyai toleransi perubahan kondisi lingkungan yang sempit (ditentukan oleh suhu air, kadar garam, kekeruhan, atau kedalaman). Komunitas tersebut bisa rusak dari tekanan secara alami seperti badai atau lainnya yang menentukan tingkat perkembangan komunitas tersebut. Tekanan lainnya (seperti pencemaran limbah rumah tangga atau industri, kadar garam, kekeruhan karena kesalahan pengelolaan badan air) bisa menentukan apakah wilayah tersebut rusak total atau sebagian, atau tidak bisa pulih dari tekanan alami atau bahkan mengalami rusak total Contoh penerapan: jika tujuan kita adalah untuk melakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati, kriteria 1-5 menjadi sangat penting, sementara faktor-faktor pada kriteria 6 dan 8 akan mentukan aktifitas pengelolaan.
(4) Kriteria Regional Kontribusi suatu area terhadap konservasi sumber daya yang dimanfaatkan secara bersama dan terhadap jejaring Kawasan Konservasi Perairan yang terkait secara regional, tergantung dari beberapa hal sebagai berikut:
1) Arti penting secara regional: tingkat dimana wilayah mewakili karakteristik regional, baik dalam bentuk karakteristik alami, proses ekologi, atau sebagai tempat dengan tampilan budaya. Peran wilayah dalam memberikan nutrient atau penyubur, material, atau mendukung spesies (terutama spesies bermigrasi) didalam wilayah regional, secara keseluruhan harus dievaluasi. Baik proses ekologi maupun sumber daya alam sering kali terbagi berdasarkan negara, sehingga wilayah yang memberikan kontribusi terhadap pemeliharaan ekosistem spesies yang ada di luar wilayah negaranya mendapat nilai yang lebih tinggi.
2) Arti penting secara subregional: tingkat dimana wilayah bisa mengisi kekosongan jarak jejaring Kawasan Konservasi Perairan dari sisi perspektif subregional. Kontribusi ini bisa dikaji dengan membandingkan distribusi Kawasan Konservasi Perairan dengan karakteristik subregional. Jika suatu wilayah dengan karakteristik tertentu dilindungi pada suatu subregional tertentu, tipe tersebut harus juga dilindungi pada subregional yang lain. Contoh penerapan: kriteria 1 sangat penting dalam pengembangan kolaborasi regional untuk konservasi terhadap sumber daya yang dimanfaatkan secara bersama, dan menjadi faktor penentu dalam seleksi lokasi komponen Kawasan Konservasi Perairan.
354
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
(5) Kriteria Pragmatis Kelayakan dan penentuan waktu yang tepat untuk penetapan Kawasan Konservasi Perairan bisa dikaji dari hal-hal sebagai berikut:
1) Kemendesakan/keadaan mendesak (urgency): tingkat dimana kita harus mengambil langkah yang segera, kalau tidak nilai yang ada di dalam wilayah tersebut akan berubah atau hilang. Rendahnya nilai kemendesakan tidak harus mendapat nilai lebih rendah, karena sering kali penetapan kawasan lebih strategis dilakukan ketika belum terjadi ancaman, sehingga membutuhkan biaya (pengorbanan) yang relatif kecil;
2) Ukuran: habitat mana dan seberapa besar (ukuran) suatu habitat dibutuhkan untuk dimasukkan dalam kawasan konservasi. Ukuran merupakan faktor yang sangat penting dalam merancang kawasan konservasi. Hal ini sering dilupakan yang mengakibatkan degradasi cukup parah, bahkan kerusakan total dari kawasan konservasi. Kawasan konservasi harus cukup besar untuk berfungsi sebagai unit ekologi agar mendapat nilai yang tinggi.
3) Besarnya ancaman: ancaman yang sudah terjadi maupun yang masih potensial dari kegiatan pemanfaatan secara langsung maupun yang sedang berkembang. Semakin jauh kawasan dari sumber potensi pencemar (seperti pelabuhan besar, deposit minyak, atau mulut sungai), maka semakin tinggi prospek spesies atau komunitas akan bertahan. Namun, jika suatu habitat penting mendapat ancaman yang serius, mungkin penting juga untuk menerapkan rencana pengelolaan, untuk menurunkan ancaman pada tingkat yang bisa diterima atau ditoleransi.
4) Efektifitas: kelayakan untuk melaksanakan program pengelolaan. Lokasi yang memenuhi banyak kriteria, namun tidak bisa dikelola dengan tepat (misalkan dimonitor, didiawasi dan dipertahankan) tidak akan bermanfaat banyak. Nilai yang lebih tinggi bisa diberikan kepada lokasi yang bisa/memungkinkan untuk dikelola.
5) Peluang/kesempatan: tingkat dimana kondisi yang ada atau aksi tindak sudah akan dijalankan atau sudah mendapat dukungan di tingkat lapang sehingga memerlukan aksi lebih lanjut. Perluasan terhadap kawasan konservasi yang sudah ditetapkan mendapat nilai yang lebih tinggi.
6) Ketersediaan: kondisi dimana wilayah yang ada bisa diambil alih atau bisa dikelola dengan baik berdasarkan persetujuan dengan pihak pemilik. Masalah kepemilikan lahan jarang terjadi pada wilayah laut. Pantai juga sering kali merupakan milik (kewenangan) dari pemerintah pusat atau propinsi. Dengan demikian mengambil alih kepemilikan perairan, lahan basah, dan sempadan pantai mungkin tidak perlu dilakukan. Namun, lahan atau pulau di sekitarnya mungkin dimiliki oleh perseorangan atau disewakan. Umumnya, untuk menjamin kontrol secara berkelanjutan dari wilayah seperti ini, kepemilikan atau hak sewa perlu dibeli dari pemilik perseorangan saat itu. Wilayah yang menjadi milik (kewenangan) negara atau pemerintah mendapat nilai yang lebih tinggi.
7) Kemampuan pemulihan/restorasi: kondisi dimana suatu wilayah bisa kembali ke dalam bentuk alami seperti kondisi sebelumnya. Wilayah yang bisa meningkatkan produktifitas atau nilai dari proses atau spesies yang penting mendapat nilai lebih tinggi.
355
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
Contoh penerapan: pada tingkat lapang, kriteria nomor 1, 3, 5 dan 6 sering merupakan faktor penentu dalam seleksi dan penentuan lokasi. Kriteria 2-4, 6, dan 7 sering menjadi parameter dalam menurunkan nilai dari suatu lokasi tertentu. Walaupun bermanfaat, berbagai kriteria tersebut di atas lebih banyak bersifat intuitif, menggunakan perasaan. Manfaat yang paling tinggi adalah kriteria ini memberikan peluang bagi kita untuk menetapkan apa yang sudah kita ketahui dan untuk membangun sebuah kasus dalam pengusulan seleksi lokasi atau rencana zonasi. Aplikasi dan kuantifikasi kriteria secara tegas biasanya tidak berlaku pada wilayah dengan penduduk yang masih jarang. Dia penting pada wilayah dekat dengan pusat penduduk dan masyarakat nelayan dimana pemanfaatan yang ada saat ini diganti atau dimodifikasi menjadi tujuan baru yang lebih sesuai.
10.2.5 Contoh dari PHKA Pemerintah Indonesia (PHKA) menggunakan beberapa kriteria yang mempunyai kemiripan dengan ketentuan tersebut di atas dalam proses seleksi calon kawasan konservasi, sebagai berikut: • • • • • • • •
Diversity – keanekaragaman hayati, dalam bentuk variasi kekayaan ekosistem, habitat dan spesies; Naturalness – keaslian, gangguan atau tingkat degradasi relatif rendah, atau sebaliknya, integritas lingkungan alamiah masih relatif tinggi; Representativeness, keterwakilan, tingkatan suatu lokasi bisa mewakili tipe habitat, proses ekologi dan komunitas biologi Uniqueness – keunikan, wilayah yang secara biologis atau fisik mempunyai ciri dengan keunikan tertentu Rareness – kelangkaan, habitat yang spesifik atau spesies langka Size – ukuran, harus cukup besar sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai unit ekologi Accessibility – terjangkau, kawasan yang ditujukan untuk mengakomodasi kepentingan pengunjung wisata, pelajar (mahasiswa), peneliti, nelayan harus terjangkau; Effectiveness – keefektifan, feasibilitas untuk implementasi aktifitas pengelolaan cukup tinggi
10.3 Proses Penetapan Kaw asan Proses penetapan kawasan sering kali membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dari tata waktu yang dijadwalkan sebelumnya. Pengalaman setiap kawasan akan berbeda antara kawasan satu dengan yang lainnya. Kondisi pilitik, dukungan dari masyarakat dan kebutuhan bersama merupakan kombinasi faktor yang sulit untuk diramalkan dan ditentukan dalam tata waktu penetapan. Fish Habitat Area (FHA) di Negara Bagian Queensland Australia, hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 18 bulan. Hal ini terjadi karena dukungan masyarakat dan kebutuhan akan kawasan. Sebagian besar masyarakat pengguna ialah pemancing rekreasi. Di dalam wilayah FHA, kegiatan memancing tidak dilarang menurut aturan pengelolaan. Pada kondisi seperti ini, deklarasi FHA akan cepat mendapat dukungan dari masyarakat pengguna. Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat membutuhkan waktu sekitar 4 (empat) tahun sampai proses penetapan. Kawasan Nusa Penida di Bali bahkan membutuhkan waktu sampai 7 (tujuh) tahun sebelum ditunjuk oleh Bupati sebagai Kawasan Konservasi Perairan. Secara 356
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
keseluruhan proses-proses persiapan terdiri dari: identifikasi stakeholder (para pihak), training tentang manfaat kawasan konservasi, pembentukan panitia pengarah, training panitia pengarah, pembuatan rencana sosialisasi, implementasi sosialisasi, penelusuran hukum dan kebijakan serta penunjukan melalui Peraturan Bupati (mengambil pembelajaran dari KKP Nusa Penida Bali). Oleh karena itu, pengalaman dari suatu lokasi tidak bisa dijadikan acuan untuk diterapkan pada lokasi yang lain. Masing-masing lokasi kawasan mempunyai karakteristik tersediri yang berbeda dengan lokasi lainnya. Pada kondisi di Indonesia saat ini, proses penetapan Kawasan Konservasi Perairan sebaiknya memperhatikan paling tidak 4 (empat) hal sebagai berikut: ketentuan hukum formal yang akan digunakan sebagai dasar; pelibatan para pihak dalam proses penetapan; pengakuan dan dukungan dari sebagian besar pengguna, dan dokumentasi semua proses penetapan.
10.3.1 Ketentuan Hukum Formal Seperti telah kita diskusikan pada bab terdahulu, sistem kawasan konservasi bisa didekati dari beberapa peraturan formal yang berbeda. Pemilihan peraturan yang akan digunakan sebagai dasar penentapan akan menentukan nomenklatur atau penamaan kawasan konservasi. Jika menggunakan peraturan dari Kementerian Kehutanan, nama yang dipilih ialah salah satu kategori dari Kawasan Suaka Alam (KSA) atau Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Sebaliknya, ketentuan menurut UU No. 31 tahun 2004 menggunakan nomenklatur Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Sedangkan suatu kawasan yang akan ditetapkan melalui mekanisme lokal (menggunakan UU No. 32 tahun 2004) bisa menggunakan kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) atau Daerah Perlindungan Laut (DPL).
10.3.2 Pelibatan Stakeholder Kawasan Konservasi Perairan pada dasarnya harus dikenal oleh masyarakat nelayan. Kelompok nelayanlah yang paling banyak bersinggungan dan terkena dampak dari konsekuensi implementasi kawasan konservasi. Oleh karena itu, sebelum penetapan, rencana kawasan konservasi harus sudah dibicarakan pada pertemuan nelayan. Namun rencana ini tidak bisa dibicarakan langsung dalam proses diskusi secara terbuka. Pelibatan harus dilakukan secara bertahap melalui perwakilan kelompok. Perwakilan kelompok harus mendapat penjelasan (melalui training atau lokakarya) tentang manfaat kawasan dan dampaknya bagi sebagian besar nelayan. Strategi ini ditujukan untuk menghindari penolakan oleh masyarakat karena ide dasar dari kawasan belum disadari.
10.3.3 Pengakuan Berbagai Pihak Sampai saat ini, ada beberapa ketentuan hukum tentang Kawasan Konservasi Perairan yang berbeda – UU No. 5 tahun 1990, UU No. 31 tahun 2004, UU No. 27 tahun 2007 dan UU No. 32 tahun 2004. Kawasan Konservasi Perairan yang akan dibentuk kemungkinan harus memilih salah satu dari ketentuan hukum di atas. Namun harus diusahakan agar rencana kawasan mendapat pengakuan dari instansi yang berbeda. Bahkan jika diperlukan, sistem yang dibuat menjadi bagian integral dari sistem yang dikembangkan oleh berbagai instansi pemerintah – Kawasan Konservasi Perairan Nusa 357
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
Penida ditunjuk melalui Peraturan Bupati Klungkung No. 12 tahun 2010. Kawasan ini menggunakan dasar hukum UU No. 31 tahun 2004 dan UU No. 32 tahun 2004. Namun Tim yang menyiapkan kawasan berasal dari berbagai instansi pemerintah, termasuk Balai Konservasi Sumber daya Alam (BKSDA) Bali. BKSDA ialah instansi yang berada di bawah PHKA dan Kementerian Kehutanan. Ketentuan peraturan pada sistem kawasan yang dikelola Kementerian Kehutanan ialah UU No. 5 tahun 1990, berbeda dengan peraturan yang digunakan untuk penetapan kawasan konservasi Nusa Penida.
10.3.4 Dokumentasi Semua tahapan, dari awal sampai penetapan harus dibuat dokumentasi secara lengkap dan tertulis. Oleh karena itu, proses pengajuan kawasan harus dikawal oleh salah satu instansi atau kelompok, atau panitia kerja untuk membuat dokumentasi semua proses yang terjadi. Pada tingkat lapang, pekerjaan ini bisa dilakukan melalui koordinasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), terutama yang bekerja dalam bidang konservasi kawasan. Akhir-akhir ini, sebagian besar inisiatif pembentukan kawasan konservasi di Indonesia lebih banyak dikawal oleh LSM yang bekerja dengan masyarakat pada tingkat lapang. Mereka lebih mudah untuk melakukan pengorganisasian masyarakat dalam kegiatan training, lokakarya maupun pertemuan sosialisasi. Pemerintah lebih banyak bertindak sebagai penentu dalam proses akhir ketika kawasan akan ditetapkan. Penetapan Kawasan Konservasi Laut Berau dikawal oleh berbagai komponen LSM secara bersama. Mereka membentuk Sekretariat Bersama dan menamakan sebagai Program Bersama. Komponen LSM ada yang berskala lokal (Kabupaten), nasional maupun internasional. KKLD Raja Ampat terutama dikawal oleh Conservation International (CI) dan The Nature Conservancy (TNC). Pengusulan Kawasan Konservasi Perairan Laut Sawu terutama dikawal oleh WWF dan TNC. Sedangkan Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida dilakukan oleh Panitia Kerja yang diinisiasi oleh Coral Triangle Center (CTC).
10.3.5 Contoh pem belajaran dari PHKA Contoh proses penetapan kawasan konservasi yang sudah ada saat ini ialah sistem yang dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan, melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Sistem ini dikembangkan sebelum era reformasi (Gambar 10.2) dan pelibatan masyarakat dilakukan melalui perwakilan Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati) dan Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Sistem ini dimulai dari konsultasi dua arah antara PHKA di pusat dengan Pemerintah di daerah (BAPPEDA, Gubernur dan/atau Bupati). Konsultasi ini menghasilkan usulan calon kawasan. Selanjutnya, kantor wilayah regional PHKA melakukan konsultasi lebih detail dengan Pemerintah Daerah (melalui BAPPEDA) tentang rencana penetapan. Pada tahap akhir dilakukan konsultasi tiga pihak antara Pemerintah Daerah, PHKA dan Kantor Wilayah regional, seperti BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam). Pada rencana yang paling matang, akhirnya Gubernur membuat rekomendasi kepada Kementerian Kehutanan. Kementerian Kehutanan membuat disposisi kepada BAPLAN (Badan Planologi) dan SubDirektorat Konservasi Kawasan untuk menyelesaikan peta tata batas kawasan yang akan ditetapkan. Peta dan laporan detail dari calon kawasan disampaikan kepada Biro Hukum untuk penyusunan peraturan penetapan. Draft Surat Keputusan atau Peraturan 358
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
Menteri disampaikan kembali kepada Kementerian Kehutanan untuk ditanda tangani. Pada saat ditanda tangani, secara formal suatu kawasan konservasi disebut sudah ditetapkan. Secara sepintas, sistem ini dirasakan kurang mengakomodasi pelibatan dan partisipasi masyarakat lokal. Pada era reformasi sistem ini dianggap kurang sesuai untuk diterapkan. Sebenarnya, persepsi tersebut kurang tepat. Pelibatan masyarakat lokal sangat dimungkinkan melalui BAPPEDA yang selalu melakukan MUSRENBANG (Musyawarah Rencana Pengembangan) di tingkat desa dan kecamatan. Rapat yang biasanya dilakukan setiap bulan Februari ini bisa digunakan sebagai media untuk mengakomodasi pelibatan masyarakat terkait dengan rencana penetapan kawasan konservasi.
Gambar 10.2. Proses panjang penetapan Kawasan Konservasi Perairan berdasarkan sistem yang dikembangkan oleh PHKA (Sumber: Alder et al., 1994).
10.4 Tata Batas dan Zonasi Batas terluar suatu Kawasan Konservasi Perairan biasanya diukur dengan dua cara. Cara pertama dan detail ialah dengan menentukan titik koordinat melalui GPS (Geographical Positioning System). Sistem ini dibutuhkan untuk penyelesaian peta yang akan dicantumkan pada surat 359
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
penetapan kawasan. Metode kedua ialah dengan memilih tanda-tanda alam di lapang yang mudah dikenali, tanpa menggunakan alat bantu seperti tersebut di atas. Tanda-tanda alam ini bisa berupa taka (karang), pulau kecil atau tanda lainnya. Jika memungkinkan tanda batas dibuat secara permanen, seperti pemasangan pelampung. Pengalaman lapang menunjukkan bahwa pelampung sering tidak efektif karena tidak berusia lama. Langkah yang sangat penting setelah penetapan kawasan ialah menyelesaikan zonasi, sebagai bagian dari rencana pengelolaan kawasan. Zonasi ialah usaha untuk membagi seluruh kawasan ke dalam ruang-ruang untuk peruntukan berbeda sesuai dengan fungsi dan tujuan pembentukan kawasan konservasi. Proses penyusunan zonasi pada dasarnya terdiri dari 4 (empat) langkah utama, ialah: penentuan tujuan kawasan, penentuan parameter yang mendukung tujuan kawasan, penggunaan teknik zonasi dan negosiasi atau kompromi dengan para pihak, terutama pengguna kawasan.
10.4.1 Tentukan Tujuan Pem bentukan Kaw asan Tujuan penetapan awalnya bisa dibedakan atas tiga kategori, ialah: (1) perlindungan habitat atau spesies yang sudah langka (keanekaragaman hayati), (2) pemanfaatan berkelanjutan, dan (3) perlindungan bentang alam dengan kombinasi pemanfaatan secara tradisional. Dari ketiga tujuan ini, selanjutnya bisa dijabarkan beberapa tujuan yang lebih detail, seperti: eko-wisata, penelitian nonekstraktif, pendidikan, perikanan tangkap, perlindungan budaya dan spiritual, dan pemanfatan secara terbatas oleh masyarakat lokal. Pada Bab VIII kita sudah diskusikan bahwa tujuan penetapan kawasan akhirnya akan menentukan kategori kawasan dan yang diekspresikan di dalam zonasi.
10.4.2 Prioritas Parameter yang Mendukung Tujuan Pengelolaan Tujuan penetapan kawasan akan menentukan wilayah prioritas yang akan dipilih untuk mendapat perlindungan yang lebih ketat. Sebagai contoh, suatu Kawasan Konservasi Perairan ditujukan untuk melindungi perikanan tangkap. Dari tujuan ini, prioritas habitat yang penting untuk perikanan antara lain ialah kombinasi dari berikut: terumbu karang, hutan bakau, padang lamun, substrat dasar berpasir, substrat dasar berlumpur dan lokasi pemijahan ikan. Hasil penelusuran melalui Fish Base (Froese & Pauly, 2011) mendapatkan bahwa lebih dari 68% ikan hasil tangkap nelayan di Indonesia, sebagian atau seluruh hidupnya tergantung dari habitat terumbu karang. Ikanikan ini dikatakan termasuk dalam kategori reef associated. Jika ingin mempertahankan keberlajutan perikanan komersial di Indonesia, habitat terumbu karang ialah komponen utama yang mendapat prioritas tinggi untuk dilindungi. Dengan cara yang sama, bisa didapat bahwa bakau dan padang lamun ialah dua jenis habitat yang penting bagi perikanan komersial. Bahkan tempat-tempat pemijahan ikan (SAPGs, Spawning Aggregation Sites) termasuk lokasi yang mutlak harus dilindungi karena perannya sebagai pendukung perikanan tangkap. Langkah selanjutnya ialah memberikan prioritas atau nilai penting dari masing-masing parameter. Misalkan, lokasi SPAG diberi skor = 9, terumbu karang = 6, hutan bakau = 3 dan padang lamun = 1. Pada kasus tertentu, lokasi pemijahan ikan bisa disebut sebagai lock-in factor. Artinya, setiap lokasi perkawinan ikan, akan langsung mendapat perlindungan paling ketat. Ada beberapa faktor lain yang bisa mendapat skor negatif. Misalkan daerah penangkapan ikan, sebanyak mungkin untuk tidak dipilih, karena peluangnya sangat besar untuk ditolak oleh masyarakat sebagai kawasan 360
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
yang dilindungi. Sebagai contoh, daerah penangkapan ikan mendapat skor = -2. Hal ini memberikan indikasi bahwa kita sejauh mungkin tidak akan memilih wilayah yang menjadi tempat penangkapan ikan untuk dijadikan wilayah penting yang dilindungi.
10.4.3 Teknik Tumpang Susun (Over-Lay Technique) Metode tumpang susun ialah salah satu teknik paling sederhana namun mudah, sebagai salah satu strategi untuk memilih wilayah prioritas didalam kawasan dengan tingkat perlindungan yang lebih tinggi. Metode lain yang berkembang belakangan, dengan bantuan perangkat lunak yang lebih modern juga menggunakan prinsip dasar dari teknik tumpang susun. Misalkan suatu wilayah perairan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Wilayah tersebut (di dalam peta) dibagi menjadi grid atau kotak-kotak, masing-masing berukuran sama. Masing-masing kotak kita sebut sebagai unit perencanaan (UP) – unit perencanaan ialah satuan wilayah terkecil dari suatu Kawasan Konservasi Perairan (Gambar 10.3 – bagian kiri). Pada peta dengan unit perencanaan (grid), dimasukkan data spasial (peta) dari masing-masing habitat atau spesies yang menjadi parameter terpilih. Masing-masing dilakukan secara tumpang susun (overlay technique). Suatu unit perencanaan bisa mengandung beberapa nilai habitat penting sekaligus. Sementara unit perencanaan lain bisa saja tidak mengandung habitat yang penting sama sekali. Masing-masing habitat mempunyai nilai penting berdasarkan skor yang diberikan oleh perencana. Sebagai contoh teknik tumpang susun disajikan pada Gambar 10.3 – zonasi atau seleksi prioritas wilayah yang akan dipilih untuk dilindungi ditentukan secara bersama oleh informasi lokasi pemijahan ikan (SPAGs) dengan nilai skor = 8, terumbu karang (skor = 4), dan bakau (skor = 1). Pemilihan lokasi prioritas yang berdekatan dengan pemukiman akan menyulitkan karena menutup akses masyarakat pada perairan di sekitarnya. Oleh karena itu keberadaan penduduk diberi skor = 4. Artinya, wilayah dekat dengan lokasi penduduk cenderung tidak dipilih sebagai prioritas wilayah untuk dilindungi. Pemilihan daerah penangkapan (fishing ground) juga berdampak negatif pada penolakan nelayan sehingga diberi nilai = -1. Jika dalam satu unit perencanaan mempunyai semua ke-lima parameter yang menjadi pertimbangan, maka jumlah nilai pada unit perencanaan itu menjadi = 7. Jika semua nilai dari masing-masing unit perencanaan dijumlahkan, kita bisa mendapat nilai rata-rata dengan membagi total nilai pada unit perencanaan dibagi dengan jumlah unit perencanaan. Misalkan diambil ketentuan, setiap unit perencanaan yang mempunyai nilai akumulatif lebih besar dari nilai rata-rata diputuskan bahwa wilayah tersebut ialah daerah prioritas untuk mendapat perlindungan yang lebih tinggi (wilayah larang-ambil). Jika semua nilai pada setiap unit perencanaan kita evaluasi, maka masing-masing unit perencanaan yang prioritas untuk dipilih sebagai wilayah larang-ambil ialah seperti disajikan pada Gambar 10.4.
361
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
Gambar 10.3. Metode tumpang susun untuk menentukan pentingnya suatu wilayah terpilih sebagai prioritas area untuk dilindungi, misalkan sebagai wilayah larang-ambil (Gambar dibuat oleh Muhammad Barmawi sebagai materi training Kawasan Konservasi Perairan).
Gambar 10.4. Daerah (unit perencanaan) yang berwarna merah ialah lokasi prioritas untuk dipilih sebagai wilayah yang dilindungi (wilayah larang-ambil).
10.4.4 Softw are MARXAN Metode tumpang susun sangat baik dan mudah dilakukan pada wilayah yang relatif kecil dengan unit perencanaan tidak terlalu banyak. Sebagai contoh ialah seleksi wilayah larang-ambil dari suatu Kawasan Konservasi Perairan pada skala desa dengan luas kawasan maksimal sekitar 200 ha. Kenyataannya, luas Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia sangat bervariasi. Taman Nasional Teluk Cendrawasih misalnya, mempunyai luas total perairan ± 1.453.500 ha. Pada kondisi seperti ini, metode tumpang susun memerlukan alat bantu tambahan, kalau tidak, proses seleksi akan sangat rumit dan memerlukan waktu yang sangat lama. MARXAN (Marine Spatially Explicit Annealing) ialah suatu perangkat lunak yang bisa digunakan untuk menghitung dan memilih prioritas area untuk dijadikan wilayah larang-ambil. MARXAN merupakan perkembangan dari SPEXAN (Spatially Explicit Annealing) yang sudah berkembang lebih dulu untuk kawasan konservasi di darat. Teknik dan perangkat lunak ini 362
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan
dikembangkan pertama kali oleh Ian R. Ball dari University of Adelaide, Australia, dibantu oleh Hugh Possingham (University of Queensland). Prinsip dasar dalam MARXAN pada dasarnya sama dengan teknik tumpang susun tersebut di atas. Proses tumpang susun dilakukan melalui digitasi peta dengan program ArcView GIS (geographical Information System). Gambar 10.5. Ialah hasil analisis yang dilakukan dengan program MARXAN untuk memilih prioritas area pada Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida Bali, sebagai wilayah larang ambil. Luas total Kawasan Konservasi Perairan mencapai 20.000 ha. Jenis parameter yang digunakan sebagai data input ialah terumbu karang, bakau dan padang lamun – ketiga paremeter ini, pada program MARXAN disebut conservation features. Pemilihan prioritas area untuk wilayah larangambil dilakukan pada 4 (empat) tingkat skenario yang berbeda. Skenario pertama ialah wilayah larang-ambil diseleksi dari 60% total habitat yang penting untuk perikanan. Skenario kedua ialah 40%, selanjutnya 30% dan skenarion keempat ditentukan pada 20% luas total masing-masing habitat. Warna pink pada Gambar 10.5 menunjukkan lokasi terbaik yang dipilih oleh program MARXAN untuk dijadikan wilayah larang-ambil. Luas Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida mencapai ± 20.000 ha. Luas unit perencanaan masing-masing ialah 5 ha. Dengan demikian, jumlah total unit perencanaan di dalam kawasan mencapai 4.000 unit. Tergantung dari kemampuan komputer, running program MARXAN pada wilayah ini umumnya bisa dilakukan dalam beberapa menit saja. Semakin kecil ukuran dalam unit perencanaan, akan semakin detail wilayah yang didapat. Namun hal ini akan memerlukan jumlah unit perencanaan yang semakin banyak. Pada kondisi seperti ini, dibutuhkan kemampuan komputer yang lebih tinggi. Kalau tidak, running program bisa membutuhkan waktu lama (> 30 menit). Program MARXAN sudah banyak digunakan di Indonesia dalam proses zonasi suatu Kawasan Konservasi Perairan – zonasi dalam wilayah Taman Nasional Wakatobi diselesaikan dengan bantuan program ini, dan rencana zonasi sudah ditetapkan dan menjadi bagian tak terpisahkan dari Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RP 25TN).
Gambar 10.5. Hasil analisis seleksi prioritas wilayah larang-ambil pada Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida, Bali dengan menggunakan perangkat lunak MARXAN (ditunjukkan dengan warna pink pada gambar). Seleksi dilakukan pada 4 (skenarion) skenario: wilayah larang-ambil 60%; 40%; 30% dan 20% (Running Program dilakukan oleh Arief Darmawan).
363
Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan