Wirausaha, Aktivis Kampung,
dan Ibu Rumah Tangga
LIHAT.CO.ID
VOL 2 EDISI 4 APRIL - JUNI 2014
Suami Rumah Tangga Liputan Utama
Kartini dari Dangiang Liputan Utama
Perempuan
di Sarang Masalah
Kekerasan fisik, satu di antara masalah yang dihadapi kaum perempuan Indonesia saat ini. Sejumlah data menyebut kekerasan fisik, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, hingga kekerasan dalam pacaran masih jadi momok.
N
urohman hanya bisa geleng kepala. Ketua Rukun Tetangga 04 Kelurahan Duren Mekar Bojongsari, Depok, Jawa Barat, ini baru saja membaca berita tentang Erwiana Sulistyaningsih di sebuah media online Jumat awal Mei. “Sangat menyedihkan,” katanya kepada Kabar Kampoeng. Erwiana, tenaga kerja Indonesia asal Ngawi, Jawa Timur, yang bekerja di Hong Kong. Selama delapan bulan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT), ia mengaku sering dipukuli dan disiksa majikan. Kadang menggunakan gantungan baju atau apa saja yang ada di depan mata sang majikan. Selama tujuh bulan bekerja ia juga harus membayar potongan agen. Perempuan yang diberangkatkan 13 Mei 2013 ini menceritakan. Setiap hari ia bekerja 21 jam. Hanya tiga jam waktu istirahat yang dibolehkan.
Nurhidayat
Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) 2013 yang disusun Komisi Nasional Perempuan menyuguhkan data yang bikin merinding. Ada 279.760 kasus yang dilaporkan dan ditangani lembaga yang berdiri 15 Oktober 1998 ini. Dalam sehari, 766 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi. Angka tersebut naik dari tahun sebelumnya yang membukukan 216.156 kasus.
Seluruh badannya sering sakit dan lemah. Ia jarang makan. Kekerasan fisik, satu di antara masalah yang dihadapi kaum perempuan Indonesia saat ini. Sejumlah data menyebut kekerasan fisik, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, hingga kekerasan dalam pacaran masih jadi momok. Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) 2013 yang disusun Komisi Nasional Perempuan menyuguhkan data yang bikin merinding. Ada 279.760 kasus yang dilaporkan dan ditangani lembaga yang berdiri 15 Oktober 1998 ini. Dalam sehari, 766 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi. Angka tersebut naik dari tahun sebelumnya yang membukukan 216.156 kasus. Sebagian besar kasus kekerasan itu dialami perempuan di wilayah individu, seperti dalam rumah tangga. Misalnya dalam bentuk
Layanan Publik Buruk, Ke Mana Mengadu Layanan Publik
Anak-anak Kita yang Terancam Kolom
Aku Bukan Cina Cemen Remaja
Kampoeng Bijak Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan KH. Abdurrahman Wahid
Selain pendidikan,
masalah yang dihapi pekerja perempuan juga masih jadi pekerjaan rumah. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat, jumlah penempatan TKI ada 2013 mencapai 512.168 orang, formal dan informal. Tahun sebelumnya, kelahirannya. Selain pendidikan, masalah yang dihadapi pekerja perempuan juga masih jadi pekerjaan rumah. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat jumlah penempatan TKI ada 2013 mencapai 512.168 orang, formal dan informal. Tahun sebelumnya, jumlahnya 494.609 orang. Apa masalahnya? International Labour Organization (ILO) menemukan kesenjangan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan. Selisih sampai 19 %. Data itu diperoleh untuk tahun 2013.
Perempuan memperoleh upah ratarata 81% dari upah laki-laki meskipun memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman yang sama. Ketimpangan semacam ini dirasakan Rohima, koordinator Sekolah Perempuan Pondok Bambu. Menurut perempuan kelahiran 6 juli 1975 itu, banyak pekerja rumah tangga perempuan yang masih menerima gaji minim yang tak setimpal dengan jam kerja mereka. “Makanya kami bekali mereka para pekerja agar berani mendapatkan haknya,” ucap Rohima kepada Kabar Kampoeng. Sekolah Perempuan Pondok
jumlahnya 494.609 orang. Bambu, komunitas yang dibentuk untuk memperkuat pendidikan perempuan di Kelurahan Pondok Bambu. Mereka juga ikut menyorot kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di lingkungannya. Tentu tak hanya kisah pahit yang dialami kartini-kartini hari ini. Banyak perempuan-perempuan sukses dan gerakan perempuan yang menginspirasi. Salah satunya datang dari Garut. Esih Susilawati (39) menjadi Kepala Desa Dangiang, Cilawu, kabupaten Garut, Jawa Barat. Ia berhasil menyisihkan lima calon lain yang semuanya laki-laki. Kisah Majlis Taklim Al-Madaniah juga menarik diikuti. Lembaga pendidikan keagamaan yang berdiri pada 1790 ini juga mengembangkan gerakan penyadaran bagi anggotanya yang kebanyakan perempuan. Majlis taklim yang bergerak dibidang pendidikan agama, sosial, dan pemberdayaan ekonomi itu terus memberikan dorongan melalui pemahaman agama. Majlis taklim melatih anggotanya mengerti keuangan keluarga dan koperasi (Budi/Fhay/Agustina/Siti). []
maha-aly.sukorejo.com
kekerasan rumah tangga dan poligami. “Ini tantangan kaum perempuan. Saya akan dampingi dan layani warga kapanpun. Ini adalah bentuk pengabdian saya kepada warga,” janji Nurohman. Menurut KH Husein Muhammad, Komisioner Komnas Perempuan, salah satu biang kerok meningkatnya kekerasan terhadap perempuan adalah karena belum adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan. Perempuan masih dianggap rendah dalam pekerjaan, pendidikan, dan peran sosial. Ditambah budaya yang masih menganggap perempuan lebih rendah dari laki-laki. Untuk mengatasi kekerasan, Indonesia punya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. “Praktiknya masih belum maksimal,” kata KH. Husein kepada Kabar Kampoeng via sambungan telpon, awal Mei lalu. Masalah lainnya, katanya, hambatan karena ketiadaan informasi. Masyarakat banyak tak tahu ke mana melapor dan dukungan apa saja yang dapat diperoleh bagi perempuan yang mengalami tindak kekerasan. Karena itu, sejak 2005 dibentuk Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR) di Komnas HAM. “Kami berharap korban tak sungkan untuk melapor,” imbaunya lagi. Pendidikan, masalah lain yang masih dihadapi kaum perempuan. Pendidikan hingga ke jenjang tertinggi belum merata dirasakan kaum perempuan di negeri ini. Belum lagi masalah peran ganda yang mesti mereka pikul. Selain bekerja di luar rumah perempuan-perempuan juga mengurus rumah tangga. “Yang lebih berbahaya kaum perempuan sendiri menikmati hal ini terjadi, padahal Kartini memperjuangkan hak pendidikan bagi perempuan,” Kata Asep Rustam Kepala Desa Cidahu, Sukabumi, kepada Kabar Kampoeng. Pendidikan bukan perkara baru. Lebih dari seratus tahun Kartini, perempuan priyayi asal Jawa Tengah, giat menyuarakannya. Sikap dan perjuangannya tergambar dengan jelas dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku berisi kumpulan suratsuratnya. Perjuangan ini diabadikan Indonesia dengan menjadi 21 April sebagai Hari Kartini. Itu hari
BIN SANUSIE
Liputan Utama
2
Suami Rumah Tangga Fenomena para suami yang menggantikan isteri mengurus rumah tangga belakangan ini makin gampang ditemui. Khususnya di kota-kota besar. Bagi sebagian suami, menggantikan peran isteri ini bukan perkara mudah Agustina & Faizah
Kontan.balik.papan.or.id
T
angan lelaki berkulit gelap itu masih menyisakan basah saat Kabar Kampoeng bersalaman. Pagi itu (25/04), pukul setengah sepuluh, ia baru usai mencuci piring. Ini pekerjaan rutin Soimun (37 tahun) saban pagi, selain mencuci pakaian, setrika, dan merapikan baju. “Saya juga yang menjenguk anak-anak di kampung,” terang lelaki asal Sukabumi ini, saat berbincang di halaman rumah kontrakannya di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sejak isterinya bekerja sebagai buruh pabrik tahun 2000, Soimun mengerjakan pekerjaan yang
biasa dilakukan istrinya di rumah. Marshinah (36), isterinya, bekerja sebagai tukang jahit –sering disebut operator sewing—di PT. Olympic Garment International. Perusahaan di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Tanjung Priok, Jakarta Utara, ini memperkerjakan ribuan buruh perempuan. Karena kerepotan mengurus, anak-anak dititipkan di kampung halaman mereka di Cilacap, Jawa Tengah. Musrihatun (14), anak pertama, dititipkan saat usianya tiga tahun. Sedang yang kedua, Anastasya (5) dititipkan tak lama setelah lahir. Marshinah, bahkan tak sempat menyusui Anastasya. Sebelum banting setir menjadi
pedagang lele, Soimun adalah sopir di PT. Bogasari sejak 1992. Dengan modal pas-pasan, Soimun menyewa sebuah ruko kecil dekat rumah dan berjualan setiap pukul 16.00 hingga berganti tanggal. Fenomena para suami yang menggantikan isteri mengurus rumah tangga belakangan ini makin gampang ditemui. Khususnya di kota-kota besar. Data Komisi Nasional Perempuan menyebut, 90 persen buruh dari total 80 ribu orang di Jakarta adalah perempuan. Itu artinya, buruh perempuan 72 ribu. Laki-laki hanya delapan ribu. Perempuan juga yang paling banyak bekerja sebagai TKI. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memampang, dari total 512.168 TKI pada 2013 70 persen diisi perempuan. Saat ini ada 6,5 juta tersebar di 114 negara. Salah satu penyumbang TKI perempuan terbesar adalah kabupaten Indramayu. Di sini, menurut pengalaman Mukti Ali, Project Officer Kajian Kitab Kuning Rumah Kitab, tak banyak perempuan dijumpai. “Saya sempat bertanya, kemana perempuan-perempuan di desa ini? Ternyata perempuannya banyak yang menjadi TKW (tenaga kerja wanita) di luar negeri,” kata lelaki kelahiran Cirebon itu kepada Kabar Kampoeng (25/04). Banyaknya jumlah pekerja perempuan saat ini bukan tanpa sebab. Bagi perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan banyak karyawan, pekerja perempuan dinilai lebih gampang diatur.
Penilaian itu diamini Soimun. “Perempuan dalam bekerja dianggap lebih sportif, disiplin, masih lemah, dan tidak banyak protes kepada atasannya,” tandasnya. Soal itu, Jumisih angkat bicara. Kepada media akhir Oktober, Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik ini menyatakan banyak buruh perempuan bekerja melebihi jam kerja dan tak dapat uang lembur. Itu, terangnya, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di beleid ini, jam kerja normal dipatok delapan jam. Di beberapa negara seperti Arab Saudi, sikap diskriminatif terhadap perempuan berdampak pada maraknya kekerasan terhadap TKI perempuan. BNP2TKI menyatakan, pada 2010 ada 5.495 kasus kekerasan. Bentuknya perbudakan seks hingga eksploitasi tenaga kerja. Tantangan Bagi sebagian suami, menggantikan peran isteri ini bukan perkara mudah. Salah satunya perasaan tak enak dengan tetangga kanan kiri. Sebagian masyarakat masih banyak beranggapan suami adalah kepala keluarga yang mencari nafkah. Penghasilan suami yang lebih rendah dibanding isteri seolah menunjukan kualitas lelaki yang kurang. “Masih ada kultur masyarakat yang beranggapan perempuan adalah pelengkap laki-laki bukan menjadi pendamping atau bagian penting dalam menciptakan peradaban yang lebih baik,” kata Asep Rustam Kepala Desa Cidahu, Sukabumi kepada Kabar Kampoeng awal Mei lalu. Dampak psikologis tak hanya dirasakan suami. Begitupun isteri. Rodiah, misalnya. Perempuan 36 tahun yang menjadi buruh pabrik tekstil PT. Jaya Abadi Garmindo itu mengaku tak enak dan merasa bersalah lantaran tak mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi apa mau dikata. Kebutuhan ekonomi mendesaknya untuk bekerja. Penghasilan suami sebagai tukang ojek tak tentu. Sebagai buruh pabrik, Rodiah saban bulan membawa pulang gaji di atas dua juta rupiah. Perempuan yang tinggal di kelurahan Duren Mekar RT 04/05, Bojong Sari, ini juga mengaku mulanya tak diizinkan suami bekerja. “Tapi Alhamdulillah akhirnya diizinkan,” terangnya kepada Kabar Kampoeng di rumahnya akhir April lalu Tantangan lain yang dihadapi para
Jumisih, Ketua Buruh Lintas Pabrik
3
Di beberapa negara seperti Arab Saudi, sikap diskriminatif terhadap perempuan, berdampak pada maraknya kekerasan terhadap TKI perempuan. ibu pekerja adalah kedekatan dengan anak-anak. Anak-anak yang ibunya bekerja, lebih dekat dengan bapak. Ini juga terjadi dengan Bapak yang kurang dekat dengan anak lantaran sibuk bekerja. Soimun mengakui, sejak isterinya bekerja anak-anak lebih dekat dengan dirinya. “Mereka sering minta saya pulang, jangan ibunya yang mengunjungi mereka. Kalau lagi ngumpul ibunya sering dicuekin. Kurang deket sama ibunya,” kisahnya. Tapi, bagi Sherly (41) hal itu tak begitu ia rasakan. Meski Olivia, anak kedua mereka yang berusia 11 tahun, lebih banyak menghabiskan waktu dengan sang ayah, tapi buruh jahit di PT. Good Guys mengaku masih tetap akrab dengan dirinya. Suami Sherly, Suwarno (46 tahun) buruh bangunan. Kepada Kabar Kampoeng yang ditemui di rumahnya di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Sherly berterus terang ingin juga hanya menjadi ibu rumah tangga. Apalagi ia bisa merasakan sang suami tampak minder dengan dirinya. “Jika penghasilan suami saya lebih besar darinya, saya akan berhenti sebagai buruh pabrik,” katanya (24/04). Berbagi Peran Kepercayaan dan berbagi peran antar suami-isteri memang hal penting membangun rumah tangga. Isteri yang bekerja dan suami di rumah, kata Rodiah, tak berarti mengambil alih peran suami. “Itu cara kita saling mengisi kekurangan dan kelebihan masing-masing,” terangnya. Sebab, meski penghasilan cukup tapi tak ada kepercayaan dan kesiapan berbagi peran bukan jaminan keluarga akan harmonis. Kasus yang mencuat di Indramayu menunjukkan, tak sedikit uang kiriman dari isteri yang bekerja di luar negeri dihabiskan di meja judi dan kegiatan foya-foya atau menikah lagi. Potret ini diangkat dalam lagu panturaan yang ngehit saat ini: “Rong Taun Kiriman Entok”. Artinya, dua tahun kiriman habis. Lagu ini mengisahkan kelakuan suami-suami dari isteri TKW yang berfoya-foya menghabiskan uang kiriman bulanan (Budi/Nurhidayat). []
BURUHLINTASPABRIK.COM
Liputan Utama
Liputan Utama
4
Khadijah Masa Kini dari Pasar Sandang Tegalgubug Pandangan perempuan dekat dengan kasur, dapur, dan sumur tak jadi pemandangan di Tegalgubug. Mereka justru pemegang dan pengatur keuangan, mengendalikan usaha, dan jitu melihat tren pasar.
FOTO: RADAR CIREBON.COM
FOTO: RADAR CIREBON.COM
P
ertengahan Maret silam. Jarum jam menunjukkan pukul setengah delapan malam. Pasar ini masih ramai. Dari pintu gerbang, ibu-ibu pedagang sibuk luar biasa. Seorang ibu mengukur kain lalu memotongnya sesuai permintaan pelanggan. Di lorong lain seorang perempuan merapikan baju dagangan. Yang lain memegang kalkulator. Mereka sebagian bertapih tapi tak nampak repot. Tak ubahnya kaum ibu, kaum bapak berpeci putih dan bersarung hilir mudik. Mereka mengangkat dagangan ke segenap tempat. Bernama Pasar Sandang Tegalgubug, pasar terletak di sisi jalur utara pantai utara –dikenal dengan pantura— Cirebon Jawa Barat. Jalur ini penghubung JakartaJawa Tengah. Pasar ini amat strategis bagi para pelanggan dan pebisnis pakaian. Pasar yang berdiri sejak 1914 ini luasnya mencapai 30 hektar. Buka saban Sabtu dan Selasa, pagi hingga malam. Dulu, pasar hanya buka pada Sabtu dengan durasi sama. Di pasar ini ada tiga kelompok pedagang. Pertama kelemprakan. Barang dagangan dijajakan di atas balai sederhana yang terbuat dari kayu. Jika barang dijajakan di ruangan bertembok ukuran setengah badan ia masuk kelompok kedua: los. Tempat jualan seukuran toko disebut kios. Ini kelompok ketiga. Kebanyakan diminati para pedagang mapan bermodal tinggi. Kelemprakan biasanya disukai pedagang bermodal cekak dan los diminati pedagang menengah. Seperti pasar-pasar pada umumnya, di sini juga ada pembagian tugas para pedagang. Ada sing ning guri (yang berada di depan) dan sing ning ngarep (yang berada di belakang). Istilah ini menunjuk arti yang lebih dari sekedar tempat. Ia menunjukan keunggulan kelompok yang satu dengan lainnya. Biasanya menunjuk kompetisi. Tapi di pasar ini juga beredar
ungkapan unik ini. “Kapa wong wadon sing ning arep dagangane payu/ laris, tapi kapa lanang sing ning arep ora patian payu,” terang Mimi (65), pedagang Pasar Sandang Tegalgubug kepada Kabar Kampoeng. Artinya, kalau seorang perempuan yang berada
di depan maka dagangannya laku tetapi kalau lelaki yang ada di depan kurang begitu laku. Kesimpulannya, jika perempuan yang berjualan (di depan) pasti akan lebih laris dibandingkan lelaki. Ungkapan ini menunjukkan, perempuan dinilai punya keterampilan lebih. Dalam pencarian barang dagangan, perempuanperempuan pasa ini dikenal gesit dan pintar menawar harga kepada para bos pabrik atau pedagang berbasis grosiran. Pabrik tekstil yang biasa mereka garap biasanya di sekitar Bandung dan Tangerang, termasuk toko grosir nasional. Bahan-bahan yang dicari kain dan pakaian jadi. Bukan Hanya Kasur, Dapur, Sumur Pandangan bahwa perempuan dekat dengan kasur, dapur, dan sumur tak jadi pemandangan di Tegalgubug. Mereka justru pemegang dan pengatur keuangan, mengendalikan usaha, dan jitu melihat tren pasar. Suami-suami mereka bekerjasama mengatur barang dagangan bersama karyawannya, membantu pelanggan memilih barang, dan kerja sejenis
lainnya. Tak ada persaingan di sini. Istri tidak sungkan membantu tugas suaminya. Karenanya, posisi sing ning guri dan sing ning ngarep lebih banyak bermakna praktis. Ia berarti kerja sama di antara dua pihak agar perdagangan berjalan lancar dan menguntungkan. Bahkan berkembang pandangan, jika ekonomi diurus suami atau laki-laki. Uang habis dipakai menikah lagi (wayuh) jadi cerita umum. Perempuan-perempuan mandiri dari Pasar Sandang Tegalgubug tak tumbuh begitu saja. Lingkungan membentuk mereka. Belajar usaha dan kemandirian ekonomi sudah ditanamkan sejak belia. Saat tumbuh remaja, orang tua mereka diajak berdagang di pasar. Anak yang lain diajari menjahit dan mendesain baju. Mereka juga belajar cara mengobras, membuat rumah kancing, dan melipat kain. Ibu yang menjual pakaian jadi mengajarkan ini. Ibu-ibu di kampung ini sering juga menasihati bujangnya: “Aja kang kaya pedaringan bolong ( Jangan mencari istri yang seperti bakul nasi bolong),” begitu mereka berpesan. Pedaringan simbol perempuan yang menampung dan mengatur keuangan. Pedaringan bolong tamsil bagi perempuan boros dan tak bisa mengatur keuangan. Wejangan ini menunjukan kesadaran mengenai istri ideal menurut mereka. Istri ideal bagi mereka mengatur keuangan dan mengembangkan usaha serta tidak boros. Kriteria lain juga ada. Misalnya, baik sikapnya. Masyarakat Santri Masyarakat Tegalgubug berlatar belakang Nahdlatul Ulama. Mereka akrab dengan kehidupan pesantren, ulama, dan kitab kuning. Tak heran jika pakaian mereka unik. Perempuan berkerudung dengan gaya “jadul” (zaman dulu). Meski begitu sebagian banyak pula yang mengenakan jilbab dan gamis. Di pesantren, kemandirian merupakan nilai yang ditanamkan kiai. Santri harus mengurus dirinya
sendiri. Mencuci, memasak, dan segenap kegiatan harian lainnya dilakukan sendiri. Santri lelaki dan perempuan tak ada beda. Jadi, boleh jadi para suami tak punya beban psikologis saat dituntut mengerjakan pekerjaan rumah. Tak ada pekerjaan yang berjenis kelamin. Meski NU dikenal kaum sarungan yang tradisional, tak berarti mereka ketinggalan zaman. Sebagai pedagang mereka tak canggung menggunakan bank, giro, kartu kredit, dan cek dalam jual beli. Mereka juga biasa mengucapkan Selamat Natal kepada mitra bisnis mereka yang kebanyakan warga Tionghoa. Para pedagang ini tidak jarang menerima parsel berupa kue dan sirup. Juga dodol Cina, semacam kue keranjang yang sering muncul ketika Imlek. Demikian pula ketika Idul Fitri tiba. Selaku manager dengan omset ratusan juta rupiah, sekaligus ibu rumah tangga, ini juga dilalui. Pada titik tertentu, mereka mengalami dilema. Yakni, ihwal yang memimpin dan yang dipimpin. Teorinya, lelaki memimpin tetapi kenyataan berkata lain. Hukum ekonomi mengajarkan kepada mereka tentang cara-cara berbisnis yang menggunakan persuasi dan taktik. Perempuan lebih unggul dalam kedua soal ini. Mereka pun akhirnya “memimpin” tanpa canggung. Akan tetapi patut digarisbawahi bahwa ungkapan dan pengakuan akan kelebihan perempuan tidak selalu berarti urusan menang dan kalah. Mereka tidak lantas menjadi arogan lantaran piawai menjalankan roda ekonomi lalu menindas suami. Perempuan Tegalgubug justru mengikuti cara idola mereka: Khadijah. Khadijah adalah saudagar terkemuka di Mekkah pada zamannya sekaligus istri salehah yang menghormati dan menghargai Nabi Muhammad sebagai suami di sepanjang hayat. Para pedagang perempuan Tegalgubug tak ubahnya Khadijah masa kini []
Mukti Ali
Kiat
KONSULTASI KELUARGA
5
Kiat Mengurangi Stres Nurhidayat
M
asalah memang satu hal yang tak bisa lepas dari kehidupan manusia. Jika masalah tersebut dirasa menekan, menganggu, dan mengancam, stres tak bisa dihindarkan. Stres biasanya disebabkan tingginya tuntutan pada seseorang, diantaranya tuntutan pekerjaan. Tuntutan ini biasanya membuat aktivitas yang terarah pada pencapaian tujuan digangggu atau dipersukar, tapi tak dihalang-halangi. Peristiwa ini biasanya disertai rasa was-was, yang pada akhirnya menciptakan ketegangan, tekanan batin, dan konflik batin. Selain menjadi tekanan pikiran, stres dapat membuat emosional seseorang semakin kurang terkontrol. Biasanya itu membuat kestabilan tubuh jadi kacau. Sebagai makhluk yang tentu saja tak lepas dari masalah, kita bisa mengggunakan cara mengurangi stres. Berikut bebeberapa kiat sederhana mengurangi stres berlebihan: 1. Luangkan Waktu untuk Bersantai. Sesibuk apapun kegiatan kita, hendaknya bersantai sejenak demi tercapainya tujuan kita. Manjakanlah sejenak pikiran agar terhidar dari stres. Rilekskan seluruh anggota tubuh agar otot dan urat syaraf tak terlalu tegang. 2. Berlibur. Rutinitas sehari-hari kadang dirasa-rasa membosankan. Untuk keluar dari rasa bosan solusi yang tepat adalah liburan. Penyegaran akan memberi warna baru dalam jiwa kita. Biasanya orang setelah liburan akan muncul semangat baru. 3. Berbagi Masalah dengan Orang Lain. Salah satu penyebab seseorang stres adalah masalah. Apabila kita merasa tak mampu memecahkan masalah dengan sendiri, cobalah berbagi de ngan teman. Dengan demikian tekanan dalam hati terasa lebih ringan. 4. Hiburan. Penatnya pekerjaan hendaknya diimbangi dengan hiburan. Sebab, hiburan bisa membantu meringankan pikiran kita. Kadang kita membutuhkan hal-hal yang membuat kita tertawa. Selera humor atau ber-
Stres biasanya disebabkan tingginya tuntutan pada seseorang, diantaranya tuntutan pekerjaan. Tuntutan ini biasanya membuat aktivitas yang terarah pada pencapaian tujuan digangggu atau dipersukar, tapi tak dihalang-halangi. bagi cerita lucu-lucu dengan teman-teman tentu perlu dijaga untuk menghibur diri. 5. Berolahraga. Selain membantu melancarkan peredaran darah, olahraga juga bisa dijadikan sarana untuk melupakan sejenak masalahmasalah yang sedang kita hadapi. Aktivitas fisik dapat meringankan dan mencegah stres, apalagi olahraga dilakukan dengan teratur selain fisik sehat pikiran pun sehat. 6. Berpikir positif. Tuhan menurunkan segala sesuatunya dengan berpasang-pasangan. Ada baik, ada buruk. Ada bagus, ada jelek. Dan dari keduanya memiliki fungsinya masing-masing. Begitupun dengan berbagai hal yang kita alami. Cobalah melihat dari sisi positif. Karena sesuatu yang bersifat baik, biasanya buahnya pun akan baik. 7. Mendekatkan Diri Kepada Tuhan. Selalu pasrah dan ikhlas dalam hal apapun akan membuat pikiran lebih lega. Mendekatkan diri pada-Nya, berdoa dan selalu mensyukuri segala karunia-Nya. Ini sangat berpengaruh besar dalam kehidupan kita
Pengasuh
Atik Muayati Aktivis Perempuan NU & Pendiri Sekolah Alternatif Pelangi Nusantara
Pentingnya Pendidikan Karakter bagi Anak Kita
Pertanyaan: Nama saya Ibu Nina (bukan nama yang sebenarnya), seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak. Saya gelisah dengan masalah sosial dan moralitas anak-anak sekarang. Saya juga khawatir dengan mereka yang semakin lama berubah perilakunya, apalagi ketika menginjak remaja. Dulu ketika mereka masih kecil selalu menurut jika diberitahu, tapi kini tidak. Mereka malah lebih senang mendengarkan temannya. Sebenarnya sudah lama sekali saya ingin menyampaikan perasaan yang terpendam dalam hati membuat saya selalu bertanya namun sulit menemukan jawaban yang tepat. Saya sudah diskusikan ini dengan teman-teman di sekolah anak saya dan hasilnya sangat bertentangan dengan pemahaman saya. Mohon kiranya ada sharing yang bisa menjadi masukan bagi saya, bahkan mungkin juga bagi pembaca lainnya yang mempunyai masalah yang sama. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih. Nina, Jakarta Jawaban: Pertanyaan ibu sungguh sangat luar biasa dan menggugah para orang tua yang kebetulan mempunyai masalah sama. Masalah perilaku atau karakter anak ini merupakan masalah nasional. Seringkali kita melihat dan mendengar kabar di koran dan televisi tentang beragam perilaku anak yang tidak bermoral. Ini adalah tugas kita bersama sebagai orang tua, masyarakat, lembaga pendidikan, dan pemerintah. Kita tentu ingin memberikan pendidikan terbaik untuk masa depan mereka namun banyak orang tua yang salah dalam mendidik anaknya. Selama ini orientasi kita hanya untuk mencapai nilai tinggi bahkan sempurna di lingkup akademiknya saja, terutama dalam menempuh Ujian Nasional. Orang tua secara sadar mendesain kehidupan anaknya seperti memasukkan ke sekolah atau tempat bimbingan belajar yang dianggap bagus agar lulus. Namun faktor non-akademik seperti pendidikan karakter yang lebih memfokuskan pada perubahan perilaku dan bisa mengantar anak kepada kesuksesan justru terabaikan. Ibu Nina, secara umum ada dua aspek yang akan saya bahas terkait dengan pertanyaan ibu. Pertama, aspek emosi anak. Penyebab anak lebih mudah dipengaruhi, menurut, dan berkomitmen kuat dengan temannya adalah adanya perasaan diterima. Banyak anak tidak suka mendengar perintah orang tua karena mereka pada umumnya cenderung mendikte sehingga anak merasa menjadi pribadi yang “tidak penting”. Maka sebagai orang tua diperlukan beberapa hal untuk memperbaiki komunikasi dengan anak seperti di bawah ini: 1. Gunakan kata “minta” saat membutuhkan anak melakukan sesuatu. Dengan menggunakan kata ini artinya kita menghargai anak 2. Pastikan selalu menatap mata anak saat berkomunikasi dengannya karena mata menunjukkan keseriusan dan penghargaan kita terhadap lawan bicara. Dengan menatap matanya, anak merasa penting dan diakui 3. Jadilah pendengar yang baik jika anak sedang berbicara. Dengan cara ini, anak sudah merasa orang tuanya adalah orang yang mau mengerti dirinya walaupun kita belum memberi solusi atas persoalannya 4. Cintai anak dengan cara dia mencintai. Kita yang lebih mengerti anak kita sehingga tahu bagaimana cara anak kita memperlakukan seseorang dengan rasa sayang kepada orang di sekitarnya seperti adik, ayah, ibu, nenek, saudara sepupu ataupun temannya. Perhatikan, misalnya, apakah dia memberi perhatian lebih atau dia suka memberi hadiah. Ini senjata pamungkas orang tua. Dengan cara yang sama kita belajar mencintai dia dengan caranya, bukan dengan cara kita Kedua, aspek mekanisme pikiran manusia. Pikiran manusia selalu memproses informasi yang dominan. Artinya, pikiran manusia tidak mengenal kata tidak, jangan atau kalimat negatif lainnya. Pikiran tidak bisa memproses instruksi seperti ini. Sekarang mari introspeksi bagaimana cara kita berkomunikasi dengan anak. Lebih banyak menggunakan larangan yang akhirnya dilanggar oleh anak, bukan? Kini tentunya kita tahu bagaimana menggunakan aturan berkomunikasi yang baik. Jangan lupa selalu meng gunakan kalimat yang positif supaya anak merasa dihargai. Semoga tips di atas bisa membantu. Selamat mencoba. pertanyaan konsultasi agama kirim via 0815 981 9841 [e]
[email protected]
Layanan Publik Buruk,
Layanan Publik
menggunakan kapal tradisional. Menanggapi kasus Rohayati, Kepala RSUD Kepulauan Seribu Muhammad Helmi berdalih, sebetulnya hari itu ada seorang dokter jaga. “Mungkin pasien itu mau berobat di poliklinik umum. Makanya, petugas bilang tidak ada dokter,” terangnya. “Apabila masyarakat aktif melapor, tentu akan mempercepat Kabar Kampoeng berusaha meng peningkatan kualitas layanan publik di Indonesia. Namun apabila hubungi Kepala Suku Dinas (Sudin) sebaliknya, masyarakat kurang aktif, maka saluran-saluran Kesehatan Kepulauan Seribu Nyotersebut akan menjadi sia-sia belaka.” man Suhartanu melalui selulernya, namun tak tejawab. Sebelumnya kepada M. Subhi Azhari media, ia beralasan dokter yang bertugas saat hari libur hanya berkewajiban melayani pasien UGD (Unit Gawat Darurat) maupun rawat inap. Sedangkan Rohayati hanya mengalami pembengkakan biasa. “Karena itu, kami minta dia kembali pulang,” katanya seperti dikutip sejumlah media. Buruknya kualitas pelayanan publik seperti yang dialami Mansur dan Rohayati hanya contoh kecil. Ini baru dari satu layanan: kesehatan. Layanan primer yang menyangkut hak-hak dasar seperti pembuatan kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan akte Kelahiran, juga masih dirasakan sulit. Tak sedikit warga yang mengeluh, ua jam menunggu antri- Kelurahan Pulau Panggang, Kecamat mereka meski merogoh uang sebagai an, dokter anak yang piket an Kepulauan Seribu Utara, Kepu- pelicin. Padahal, aturannya gratis. “Sehari itu di Rumah Sakit lauan Seribu, DKI Jakarta, ini batal suai dengan Undang-Undang Nomor Umum Daerah (RSUD) memeriksakan pembengkakan di 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Depok, Jawa Barat, belum juga da- bagian dada kirinya di RSUD Kepu- Kependudukan, semua itu dibiayai tang. Lantaran tak sabar dan khawatir lauan Seribu. anggaran negara,” kata Menteri Dadengan kondisi anaknya, Mansur (buOleh petugas jaga, Rohayati malah kan nama sebenarnya) memutuskan diminta pulang. “Tak ada dokter kare mencari rumah sakit swasta terdekat. na tanggal merah,” kata petugas jaga Akhir April, Mansur datang pukul seperti ditirukan Rohayati seperti di09.30. Ketika itu pasien yang antri kutip sejumlah media. sudah puluhan orang. Lelaki ini dapat Rohayati sendiri bingung, me nomor antrian besar. “Saya kapok ber- ngapa tak ada dokter di hari libur. obat ke RSUD. Siapa yang mau tang- Padahal warga yang sakit butuh perogung jawab kalau pasien kenapa-kena- batan. “Kalau begini, kasihan warga. pa sementara dokternya telat melulu,” Apalagi, dari Kepulauan Seribu, jauh keluhnya kepada Kabar Kampoeng. kalau harus ke darat ( Jakarta, Red),” Lain lagi kisah Rohayati (20 ta- terangnya lagi. Pulau Panggang-Jahun). Pertengahan April silam, Warga karta ditempuh dua hingga tiga jam
lam Negeri Gamawan Fauzi kepada wartawan awal Februari kepada. “Tak boleh lagi ada pungutan,” tambahnya. Sebut saja Tamrin dan Taslim (bukan nama sebenarnya). Keduanya warga Kelurahan Pulau Tidung, Ke pulauan Seribu. Untuk mengurus kartu keluarga dan KTP isterinya, Tamrin (25 tahun) mesti mengeluarkan uang hingga Rp 350 ribu. Isteri Tamrin ber-KTP dengan domisili Jakarta Timur. Ia juga bi ngung jika harus bolak-balik pulauJakarta. Seorang petugas Kantor Kependudukan dan Pencatatan Sipil berinisial I yang berkantor di Kelurahan Pulau Tidung, menjanjikan akan “membantu” mengurus KTP dan KK. Syaratnya memberi sejumlah uang. “Mulanya saya diminta uang Rp 200 ribu. Tapi belakangan minta tambah Rp 150 ribu,” katanya kepada Kabar Kampoeng via sambungan telpon, pertengahan Mei. Pengalaman serupa juga dialami Taslim. Warga pulau Tidung berusia 21 tahun itu juga mengaku dimintai petugas berinisial I Rp 300 ribu untuk mengurus KTP. “Sampai sekarang belum saya ambil. Belum punya uang,” terang lelaki yang bekerja sebaga tena ga jasa olahraga air di Pulau Tidung itu kepada Kabar Kampoeng. Oknum Dukcapil berinisial I berterus terang mengaku menerima uang dari Tamrin. “Itu uang transport
mampu bukan perkara gampang. Di kampungnya masih berk embang penilaian jika p e r e m p u a n tak cocok jadi pemimpin. Bukan kodrat p e re m p u a n . Begitu yang biasa dikatakan. Perempuan lebih pas jadi ibu rumah tangga. Toh, tantangan itu bisa dilalui. Masyarakat percaya perempuan bisa memimpin. Saat mencalonkan Esih menawarkan visi ini. Dangiang harus menjadi desa yang kondusif, cukup sandang pangan, dan berkah. Di desa yang di-
huni 3.310 jiwa ini, isteri dari seorang wiraswasta itu menancapkan prioritas. Salah satunya mengembangkan kapasitas dan melibatkan keterlibat an perempuan. Caranya, melibatkan mereka dalam pelatihan dan pendidik an yang menjadi program-program pemerintah. Bisa pula lewat kerjasama dengan organisasi lain seperti Serikat Petani Pasundan (SPP). Organisasi serikat petani ini dideklarasikan di Garut, 24 Januari 2000. Esih sadar tantangan dan masalah yang dihadapi kaumnya di Dangiang tak mudah. Dari perkara rumah tangga, akses terhadap pendidikan formal maupun non formal dan kemandirian ekonomi. “Masalah ini bisa diatasi dengan cara ‘dari pintu ke pintu’.” Di Dangiang, jumlah penduduk perem-
Kemana Mengadu?
D
Kartini dari Dangiang
Sebagai pemimpin perempuan, perempuan kelahiran 01 Maret 1975 ini punya mimpi: seperti kartini yang mencintai rakyatnya dan amanah Siti Halimah & ASEP erempuan asal Desa Dangi k o n t r i b u t o r ang, Cilawu, Garut, Jawa Kabar Kampoeng Barat ini tak menyangka Garut, ibu dua berhasil meyisihkan lima anak ini meng calon lain. Kelimanya laki-laki: Adin aku bukan berasal dari kalangan berKusnaidin, Dede Ian, Cucu Supar- punya dan bermodal jumbo. Saat mendan, Ade Tatang, dan Sunarya Wi- calonkan, Esih bekerja sebagai petani. jaya. Pada pemilihan Kepala Desa Ini profesi yang sama dengan kedua Dangiang Februari 2008, Esih Susila- orang tuanya. “Modal saya dorongan wati (39) meraup 775 suara dari total keluarga, organisasi, dan kepercayaan 2500 pemilih. Esih didapuk kepala masyarakat,” terangnya akhir April. Sebagai perempuan, esih sadar. desa periode 2008-2014. Meyakinkan masyarakat kalau dirinya Kepada Siti Halimah dan Asep,
P
RSUD Kepulauan Seribu di Pulau Pramuka Foto : pulauseribu.net SITI HALIMAH
6
7 Budi Santoso, komisioner Ombudsman RI
Lembaga dan Situs Online Pengaduan Sejumlah lembaga pengawas dan penerima aduan pelayanan publik mencatat, jumlah aduan terkait layanan publik yang mereka tangani terbilang tak sedikit. Layanan Penga duan dan Aspirasi Online Rakyat (LAPOR!) misalnya mencatat, hingga Maret 2014 rata-rata 1000 orang melaporkan keluhan mereka. LAPOR
merupakan layanan online yang dibuat Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (disingkat UKP4). Model aduan ini cikal bakal sistem aspirasi dan pengaduan masyarakat yang terpadu secara nasional. Begitupun dengan Ombudsman. Lembaga negara yang berdiri atas amanat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesias ini setiap harinya menerima banyak laporan mengenai layanan dan dugaan pelanggaran. Macam-macam aduannya. “Visi kami adalah mewujudkan Pelayanan Publik Prima yang menyejahterakan dan berkeadilan bagi Seluruh rakyat Indonesia,” jelas Budi Santoso salah seorang komisioner di gedung Ombudsman Republik Indonesia di Jalan Kuni ngan Jakarta Selatan, pertengahan April. Setiap laporan yang masuk ke Ombudsman akan ditindaklanjuti. Sejumlah rekomendasi yang dikeluarkan lembaga ini dipatuhi lembaga dan instansi yang diadukan. “Laporan-laporan yang masuk pasti kita proses selama identitas pelapor dan kasusnya jelas,” kata Ahmad Sobirin staf Ombudsman RI. Selain Ombudsman dan LAPOR, Portal Satu Layanan (satulayanan.net) juga menyediakan saluran pengaduan. Portal ini hasil kolaborasi antara pemerintah yang dimotori Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan dibantu beberapa instansi lainnya, BUMN, akademisi, sektor swasta, hingga para relawan. Bisa juga ke pengaduan@postel. go.id yang disediakan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi. Dengan adanya berbagai saluran pengaduan ini, Budi berharap masyarakat aktif melapor. Dengan begitu kasus-kasus buruknya layanan publik bisa ditekan. “Apabila masyarakat aktif melapor, tentu akan mempercepat peningkatan kualitas layanan publik di Indonesia. Namun apabila sebaliknya, masyarakat kurang aktif, maka saluran-saluran tersebut akan menjadi siasia belaka” terang Budi Santoso. (AMDJ) []
puan 1762 orang. Kebanyakan mereka bertani. Secara umum strategi pembangunan desa yang Esih kembangkan diorientasikan pada pembangunan dan pengembangan segala bidang. Diawali dengan membangun kesadaran dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Bersama masyarakat menganalisis potensi dan kendala yang dihadapi. Berbatasan dengan Desa Margalaksan di utara dan Gunung Cikurai di selatan, Dangiang ini memiliki sawah teknis seluas 32 Haktar, tadah hujan 30 haktar, 4,5 hektar beruapa pekarangan. Sepanjang empat tahun kepimpinannya, Esih menyadari sejumlah tantangan dihadapi. Salah satunya meng atasi konflik tanah. Selama delapan
bulan, tak sedikit petani di kampungnya tak bisa bertani. Belum lagi tantangan peningkatan kualitas birokrasi dan program pengentasan kemiskinan. “Masih banyak yang perlu dilakukan,” terangnya. Di tengah tantangan itu, Esih boleh berbangga dengan beberapa capaian. Di antaranya sejumlah dalam Rencana Program Jangka Menengah Desa (RPJMDes) disetujui Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Selain itu, ia berhasil menyokong berdirinya koperasi simpan pinjam khusus perempuan pada 2006. Sekarang, jumlah anggota koperasi hampir 50 orang. Keterlibatan perempuan dalam pemerintah desa di bawah kepemimpinan Esih makin banyak. Sebagai pemimpin perempuan, perempuan kelahiran 01 Maret 1975 ini punya mimpi: se perti kartini yang mencintai rakyatnya dan amanah (Asep)
untuk bolak-balik. Saya tidak minta,” kilahnya. Ia juga membantah mematok angka untuk warga pulau yang ingin mengurus administrasi kependudukan. Dikonfirmasi, Lurah Pulau Tidung M. Husnul Fauji mengaku belum menerima informasi tersebut. Namun, tindakan meminta uang itu jelas dianggap tindakan yang keliru dan tidak benar. Berdasarkan peraturan perundang-undangan biayabiaya tersebut gratis. Lurah Husnul sendiri belum bisa menjanjikan sanksi apa yang dijatuhkan terhadap oknum jika terbukti melanggar. Apalagi, Kata Lurah Husnul, oknum tersebut tidak berada di bawahnya. “Saya akan koordinasi dengan Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil,” ungkapnya pertengahan Mei. Husnul juga menyampaikan masalah yang dihadapi dalam pembuatan administrasi online di pulau yang berpenduduk lebih dari empat ribu jiwa itu. “Di sini sinyal tidak stabil,” terangnya.
KONSULTASI AGAMA
SOLOPOS.COM
Layanan Publik
Pengasuh Mukti Ali, Lc Program Officer Kajian Kitab Kuning Rumah Kitab
Hukum Menyebar Kebencian dan Tuduhan Sesat Pertanyaan: Bagaimana pandangan Islam mengenai tindakan penyebaran kebencian terhadap satu agama dan pengkafiran terhadap sesama pemeluk agama, termasuk melakukan kekerasan terhadap orang atau kelempok lain? Fikih Kurniawan, Mahasiswi Jurusan Tafsir-Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jawaban: alam pandangan Islam, penyebaran kebencian, apapun alasannya, tidak diperkenankan. Islam adalah agama damai dan memerintahkan selalu menyebar perdamaian di antara umat manusia, apapun agamanya, bahkan kepada semesta alam, (rahmatan lil‘alamin). Islam seakar kata dengan kata as-silm atau assalâm yang mengandung arti selamat dan damai. Seseorang atau golongan tertentu, yang dengan alasan hendak menegakan amar ma’ruf nahi munkar, justru menyebarkan kebencian dan kekerasan, jelas bukan tindakan tepat. Amar ma’ruf (memerintah kebaikan) harus dengan cara-cara baik (ma’ruf). Begitupun dengan nahi munkar (mencegah kemungkaran), juga harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak munkar. Penyebaran kebencian, fitnah, dan kekerasan, kita tahu, bukan termasuk tindakan yang baik (ma’ruf). Ini termasuk kemungkaran yang tidak boleh dilakukan. Bahkan, menurut Imam Al-Ghazali (ulama asal Persia yang dijuluki pembela Islam, hujjatul Islam) jika dengan tindakan amar ma’ruf dan nahi munkar justru menimbulkan fitnah (kerusakan), kerusuhan dan perpecahan bangsa maka tindakan tersebut diharamkan. Menurut Imam al-Ghazali disebut dengan yuhayyiju’ as-syar, menimbulkan keburukan. Pelaku amar ma’ruf dan nahi munkar mesti memenuhi syarat. Di antaranya berilmu dan mengerti duduk persoalan sosial. Tidak boleh orang yang tidak berilmu, hanya karena menggunakan baju Arab, lantas serampangan melakukannnya. Ini dijelaskan Imam Fahruddin ar-Razi (Ulama asal Iran penulis kitab Tafsir al-Kabir). Jika seseorang tidak punya kapasitas keilmuan yang mumpuni (jahil) sering kali bukan mengembalikan pada kebenaran tapi justru pada kesalahan (bathil), memerintahkan perkara munkar dan melarang perkara ma’ruf. Mereka juga bisa jadi hanya tahu hukum-hukum versi mazhabnya sendiri dan tidak mengetahui mazhab lainnya. Dengan keterbatasan ilmu ini akhirnya mereka melarang sesuatu yang bukan munkar. Menyikapi kemunkaran oleh orang yang tidak berilmu, kata Imam ar-Razi bisa jadi malah menyikapi sesuatu yang seharusnya dilakukan lemah-lembut dengan kekerasan. Ma’ruf dan munkar dalam lintas mazhab bersifat relatif. Sehingga tidak diperkenankan melakukan amar ma’ruf dan nahi muknar kepada mazhab lain, disebabkan ada perbedaan yang harus dihormati dan dihargai. Perbedaan adalah rahmat. Bukan tindakan tepat juga, niat berdakwah justru dengan cara menyebarkan kebencian dan kekerasan. Sebab dalam al-Quran (QS: An-Nahl [16]: ayat 125) jelas dikatakan dakwah harus bertahap: mengajak dengan ilmu pengetahuan (hikmah), nasihat yang baik dan berdialog dengan baik sembari mengajukan argumentasi yang matang. Tidak dibenarkan berdakwah dengan selain dari ketiga poin tersebut
D
pertanyaan konsultasi agama kirim via 0815 981 9841
[e]
[email protected]
Kolom
8 Kartini Masih Bersedih
J
ika Kartini hidup saat ini, mungkin ia masih bersedih. Perjuangannya memuliakan hak-hak perempuan belum benar-benar berhasil. Pendidikan kaum perempuan di negeri ini masih belum merata. Memang sebagian pendidikan perempuan sekarang ini sudah jauh lebih baik. Perempuan sudah mengisi pucuk-pucuk jabatan, di pemerintahan maupun swatas. Mulai dari lurah hingga presiden. Tapi, ketimpangan pendidikan antara pusat dan daerah, apalagi pelosok, masih menganga. Itu satu hal. Hal lain yang masih jadi momok bagi kaum perempuan adalah perkara kekerasan dan pelecehan seksual. Termasuk juga ketimpangan gaji antara laki-laki dan perempuan. Padahal tugas dan posisinya sama. Bagi sebagian perusahaan yang diskriminatif memandang perempuan, mereka bisa lebih mudah dikendalikan. Jadi, gaji rendah juga tak masalah. Dengan logika macam ini, buruh-buruh pabrik di kota-kota besar diisi pekerja perempuan. Fenomena ini melahirkan tantangan baru: bergesernya peran kepala keluarga. Bagi isteri yang bekerja, maka suamilah yang menggantikan tugas isteri. Ini bukan perkara mudah bagi kebanyakan suami. Pandangan diskriminatif atas perempuan masih banyak dijumpai. Bagaimanapun suami adalah pemimpin dan kepala keluarga. Jika isteri punya pekerjaan lebih tinggi, suami jadi tercoreng dan minder. Masalah-masalah ini banyak melahirkan konflik dalam rumah tangga. Masalah-masalah ini harus diatasi, setidaknya dari dua jalur: struktural dan kultural. Struktural maksudnya, harus ada upaya negara dengan berbagai perangkatnya untuk mengurangi masalah perempuan. Penegakan hukum bagi pelaku kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan harus berjalan. Perusahaan-perusahaan yang memberi gaji tak adil antara laki-laki dan perempuan harus ditegur dan meminta me reka memberlakukan sistem yang tidak diskriminatif. Kultural maksudnya, harus ada caracara budaya, termasuk pendekatan agama, yang dilakukan masyarakat, khususnya para tokoh agama dan pemuka masyarakat. Memberi pendidikan agar masyarakat tak berpikir dan bertindak diskriminatif bagi perempuan. Lakilaki dan perempuan diciptakan dengan potensi yang sama. Yang membedakan hanya jenis kelamin. Kita harus berupaya agar kartini tak lagi bersedih
Anak-anak Kita yang Terancam Ufi Ulfiah Penulis aktif di PP. Lakpesdam NU, Ibu dari seorang puteri
A
da anak diperkosa. Kita pasti tidak dapat mene rimanya. Perkosaan salah satu kejahatan seksual yang dampaknya sangat besar. Selain merusak fisik, ia membahayakan psikis atau kejiwaan. Kekerasan seksual pada anak, barangkali kita akan menganggapnya gila, adalah tindakan di luar batas kemanusiaan. Terkutuk. Tapi lihat angka kekerasan seksual pada anak. Tahun 2013 saja tercatat 1.620 kasus dari total 2.792 kekerasan. Menjadi 3.023 kasus pada 2014. Ini data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Mengagetkan memang, tapi itulah fakta. Angka pastinya akan lebih dari itu. KPAI punya keterbatasan. Banyak masyarakat enggan melapor. Apalagi anak-anak individu yang masih sangat polos. Mereka tidak atau belum mengerti apa yang dialaminya. Seorang anak berinisial AK (6 tahun) mengalami kekerasan seksual lebih dari satu kali. AK siswa salah satu sekolah internasional di Jakarta. Ia sekarang tertular herpes, penyakit kelamin berbahaya. Di Pontianak Kalimantan Barat, anak perempuan berusia 3 tahun diperkosa ayah kandungnya. Di Jakarta Timur, bayi perempuan berusia 9 bulan meninggal karena diperkosa. Ternyata kekerasan seksual pada anak merata terjadi di berbagai wilayah Indonesia seperti Jakarta Selatan, Depok, Tangerang, Pelalawan, Aceh Tenggara, Nagan Raya Aceh, Banda Aceh, Medan, dan Kutai Kartanegara. Yang menyedihkan, kekerasan seksual ternyata terjadi di tempattempat yang justru seharusnya memberi rasa aman: rumah, sekolah, dan ruang pemeriksaan pasien. Pelaku tidak hanya dilakukan orang yang tidak dikenal. Pelaku justru berasal dari dari orang-orang dekat dan dipercaya: keluarga, guru, dokter, teman, dan bahkan aparat pemerintah seperti polisi. Ini menandakan, anak-anak terancam dan berada di posisi sangat rentan di hampir semua wilayah sosial. Kasus kekerasan seksual pada anak
ini boleh dikatakan sebagai darurat bencana. Penanganannya sudah seharusnya menjadi prioritas agenda secara nasional. Mari Peduli Kekerasan Seksual pada Anak Jangan takut mulai mengajarkan pengetahuan tentang seksualitas dan kekerasan seksual pada anak. Ini sangat penting diketahui orang tua dan anak. Melalui pengetahuan, kita dapat mengantisipasi, peduli, dan tahu cara penanganannya jika terjadi kasus ini. Seksualitas merujuk pada seks, alat kelamin, ciri-ciri fisik biologis, yang mendefinisikan manusia sebagai perempuan atau laki-laki. Lazimnya perempuan berciri vagina dan laki-laki berpenis. Tapi tidak sedikit yang ber anggapan, seksualitas selalu merujuk aktivitas seks. Jenis kelamin ini terdiri dari lakilaki, perempuan, atau interseks (sese orang yang memiliki karakteristik kelamin laki-laki dan perempuan). Jika dulu jenis kelamin hanya ditentukan oleh alat kelamin (vagina atau penis), sekarang tidak lagi. Sejalan dengan perkembangan pengetahuan, kromosom dan gen bisa digunakan membantu menentukan jenis kelamin. Gen, unit terkecil dari materi genetika. Benda ini menentukan sifat-sifat seseorang, golongan darah, warna kulit, warna rambut, dan lainnya. Jadi, seksualitas bukan hanya sebatas jenis kelamin. Seksualitas dapat dipahami juga sebagai salah satu aspek dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan alat kelaminn. Seksualitas dialami dan diungkapkan dalam pikiran, khayalan, gairah, sikap, perilaku, perbuatan, peran, dan hubungan. Dengan pengertian ini, seksualitas bermakna lebih luas daripada seks. Lalu apa itu kekerasan seksual pada anak? Kekerasan seksual pada anak adalah apabila seseorang menjadikan anak untuk mendapatkan kenikmatan seksual. Kekerasan tersebut tidak ha nya sebatas hubungan seks atau alat kelamin saja. Maknanya bisa sangat sa ngat luas. Misalnya penetrasi langsung kepada anak baik melalui alat kelamin atau mulut; memaksa, merayu anak melakukan aktivitas seksual kepada
Jangan takut mulai mengajarkan pengetahuan tentang seksualitas dan kekerasan seksual pada anak. anak seperti menyentuh, meraba hingga memperkosa; melakukan aktivitas seks di depan anak secara sengaja atau tidak melindungi dan mencegah anak dalam aktivitas seksual baik secara langsung maupun yang terdapat dalam media; membuat, mendistribusikan, dan menampilkan gambar yang memperlihatkan adegan anak-anak dalam pose dan tindakan yang tidak patut; dan memperlihatkan gambar yang menunjukkan aktivitas seksual kepada anak. Mengatasi Kekerasan Seksual Bagaimana mengatasinya? Sebagai bagian dari masyarakat, kita bisa berkontribusi dengan cara memberikan pengetahuan kepada anak tentang seksualitas dan kekerasan seksual. Bisa juga memberi dukungan kepada korban. Misalnya seperti yang terjadi di Tangerang. Orang tua korban yang melapor polisi namun tidak mendapatkan respons, lalu mendatangai peran KPAI. KPAI melaporkan kasus itu ke polisi dan mendesak kasus tersebut diselesaikan. Saat ini pelaku ditangkap dan kasusnya akan masuk pengadilan. Inisiatif warga di sekitar korban juga sangat penting. Insiatif mereka terkait penanganan kasus dan penegakan hukum akan menumbuhkan rasa percaya diri korban dan keluarganya untuk melihat kekerasan seksual pada anak sebagai kejahatan. Kenapa demikian? Kekerasan seksual pada sebagian masyarakat masih dianggap aib, apalagi jika pelaku keluarga terdekat. Masyarakat harus menyadari, pelaku adalah penjahat yang harus didakwa dan dihukum. Seluruh aparat penegak hukum dan lembagalembaga yang mengurusi anak perlu melakukan penanggulangan kasus ini serta memberikan perlindungan dalam semua lingkup sosial secara massif
DEWAN REDAKSI : Yenny Zannuba Wahid, Annita Hayatunnufus, Ahmad Suaedy, Rumadi, Khotimun Sutanti, Ahmad Waidl, M. Subhi Azhari, Badrus Samsul Fata PEMIMPIN UMUM Gamal Ferdhi PEMIMPIN REDAKSI Alamsyah M. Dja’far STAF REDAKSI Muayati, Mukti Ali, Lucia Wenehen, Nurhidayat, Agustina, Faizah Nahria EDITOR BAHASA Nurun Nisa, KONTRIBUTOR Rohima, Ciptaningsih (Jakarta), Fahrizal (Depok), Siti Halimah (Sukabumi), Budi Ardiansyah Lukman (Garut) SEKRETARIS REDAKSI Siti Kholisoh KEUANGAN Sri Handayani UMUM Risma DISTRIBUSI Trsino FOTOGRAFER Faizah Nahria KARTUNIS Bin Sanusi DESAIN DAN TATA LETAK Imron Rosadi PENERRBIT The Wahid Institute
- Ford Foundation - KIAS Alamat Redaksi : Jl. Taman Amir Hamzah No. 8 Jakarta – 10320 Indonesia. Email:
[email protected] Telpon +62 21-3928233, 3145671, Fax : +62 21-3928250, SMS: 08159819841
Suara Kampoeng |Karikatur
9
Suara Kampoeng
Tajam dan detail dalam membahas beritaberitanya. ;) Fauzan,
[email protected] Tetap memberikan figure tokoh yang inspiratif untuk para pembaca.. Zhia,
[email protected] Baik dan kuat dalam menentukan kosep. Rachma,
[email protected] perbanyak seperti contoh tokoh-tokoh yang sederhana dan penuh dedikasi. Arfa,
[email protected] Pembelajaran Para Ibu Kabar Kampoeng menjadi media alternatif menarik di tengah arus perkembangan media saat ini. Berita dan sudut pandang langsung dari sumbernya memberikan nilai istimewa khususnya bagi saya pembaca. Saat ini marak sekali kasus-kasus kekerasan khusunya kekerasan seksual pada anak yang semakin hari semakin mengkhawatirkan jadi bisa jadi pelajaran bagi para ibu. Indah Rastika Sari, Aktivis Anak, Jakarta Pusat
Inspirasi
10 Koperasi Cinta Damai WI
K
eberadaan Koperasi Cinta Damai di Panggulan adalah untuk memberdayakan masyarakat. Karena itu, harus ada semangat dari masyarakat sendiri untuk berubah. Tanpa adanya semangat dari dalam, bantuan sebesar apapun akan percuma. “Abah saya, Gus Dur selalu mengajarkan semangat kepada kita. Asal ada
semangat, setinggi apapun citacita pasti akan terwujud. Demikian halnya dalam ekonomi. Tanpa ada semangat dari warga, pemberdayaan ekonomi yang dilakukan The Wahid Insitute di Panggulan ini akan percuma,” kata Yenny Wahid dalam acara pelatihan Pengelolaan dan Peningkatan Pendapatan Keluarga yang diselenggark an KOCIDA The Wahid Insitute dan The Body Shop, Sabtu (19/4). “Gus Dur itu mampu sekolah tinggi di Iraq dan Mesir, bukan karena keluarganya kaya. Tapi karena semangat untuk mencari ilmu dan ingin memberikan manfaat kepada umat. Dia sekolah karena beasiswa. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dia mau bekerja sebagai tukang cuci bahkan tukang batu,” cerita Yenny Wahid dihadapan ibu-ibu anggota Kocida. Bahkan yang lebih hebat lagi, tutur Yenny, adalah Ibu dari Gus Dur. Dia har-
Kunjungan Tokoh Muda Muslim Australia
Budaya dan Bola untuk Keragaman
D
i banyak negara, minoritas muslim masih menghadapi masalah. Termasuk minoritas muslim di Australia. Pengungsi jadi isu besar di negeri Kanguru itu. Sebagian besar pengungsi berasal dari negara berpenduduk mayoritas muslim. Muslim di sini juga masih menghadapi tantangan beradaptasi dengan budaya yang berbeda dari negeri asal mereka. Perlakukan diskriminasi dan kesalahpahaman terha dap terhadap muslim masih dijumpai. Untuk mengatasinya, Nur Shkembi mengambil pendekatan seni dan budaya. Direktur Seni Museum Islam Australia ini mengembangkan program kunjun-
gan ke museum. Program ditujukan bagi siswa-siswi Australia dengan beragam latar belakang agama. “Tak sedikit mereka kaget, bahwa ternyata orang-orang suci mereka sama. Misalnya Musa atau Ibrahim,” kata Nur berbagi kisah Jum’at pagi (9/5) di kantor the Wahid Institute, Jakarta. Di museum yang dikelolanya, nama-nama atdi bahasa Inggris. Misal Moses untuk Musa, dan Abraham untuk Ibrahim. Lain lagi dengan Kashif Bound. Lewat permainan bola, koordinator Program Multikultul di AFL Victoria itu ingin mengajak kaum migran dan pengungsi mengakui perbedaan dan menjadi war-
pada anggota-anggotanya. Kalau kope rasi lainya hanya memberikan pinjam, tapi tidak pernah mau tahu bagaimana kondisi ekonomi anggotanya. Istilahnya, tidak ada misi pemberdayaanya,” ungkap Muna. Yenny menambahkan bahwa keberadaan Kocida ini sangat membantu untuk mengembangkan usahanya. Jika dulunya ia hanya berjualan oncom di dua toko, tambahan modal dari Kocida, mampu mengembangkan usahanya sekarang. Bu Zubaida bisa menitipkan barang daganganya di lima toko. Yenny Wahid berharap bahwa usaha yang dilakukan oleh ibu-ibu bisa semakin maju. Kocida sendiri akan berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan pelatihan pengembangan usaha itu. “kalau modal uang kan terbatas. Apa yang bisa diberikan Kocida adalah modal pengetahuan dan ketrampilan,” tuturnya. Yenny pun berharap kelak, di panggulan akan ada usaha bersama yang mampu mengangkat ekonomi sekaligus citra masayarakat Panggulan. Karena itulah, dalam sesi tersebut, Yenny Wahid juga melakukan pemetaan terhadap usaha bersama yang mungkin dilakukan oleh ibu-ibu anggota Kocida. (KCD)
ga Australia. Caranya bisa mendorong mereka menjadi pemain, pendukung, dan relawan football. Ini salah satu program yang dikembangkan organisasi persatuan sepak bola milik pemerintah itu. “Kami ingin football jadi kendaraan yang menjembatani jarak antara warga Australia yang beragam dan mempromosikan penerimaan ke dalam masyarakat Australia yang lebih luas,” begitu pernyataan yang terpampang dalam website resmi www.aflvic.com.au Kashif dan Nur dua dari lima orang tokoh muda muslim Autralia yang berkunjung Jumat pagi (9/5) ke kantor the Wahid Institute di Jalan Pegangsaan Jakarta Pusat. Kegiatan ini merupakan program Pertukaran Pemuda Muslim antara Australia dan Indonesia. Program yang dimulai sejak 2002 ini disponsori Lembaga Australia-Indonesia (AII)
atas inisiatif Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia. Kepada tamu yang datang, Direktur Eksekutif WI Anita Wahid juga berbagi pengalaman. Salah satunya tentang tantangan yang dihadapi kelompok minoritas. “Minoritas tak hanya dari luar muslim, tapi juga dalam internal Islam sendiri,” terangnya. Untuk mengatasi tantangan-tantangan itu, terang Anita, WI mengembangkan sejumlah program. Di antraranya melalui kegiatan ekonomi. “Dalam riset kita, kasus-kasus intoleransi terjadi di daerah dengan tingkat kemiskinan cukup tinggi,” tandas Anita. WI juga mengembangkan sejumlah pelatihan untuk tokoh-tokoh agama muda. (AMDJ)
perbuatan. Terbitnya buku ini juga didasari pandangan yang menghubungkan pesan tren dengan peristiwa kekerasan dan terorisme. Sebagian pelaku terorisme jebolan pesantren. Beberapa pesantren bahkan disinyalir mengajarkan emoh menghormat bendera. “Penelitian lembaga ini yang diangkat dalam buku ini
justru menunjukkan sebaliknya,” kata Lanny Octavia, Direktur Program Rumah KitaB. Rumah KitaB –akronim dari Rumah Kita Bersama—didirikan sejumlah alumni pesantren pada 2005. Lembaga ini mengemban visi menggerakkan tradisi pesantren untuk penguatan institusi pesantren. [MA]
Rumah Kitab
RUMAH KITAB
KOCIDA
Yenny Wahid Motivasi Ibu-Ibu Panggulan Depok
us mengihdupi lima anaknya pasca-Kiai Wahid Hasyim meninggal di usia yang sangat muda. “Mbah saya itu orang yang luar biasa, sebagai orang desa yang dibawa ke Jakarta, terus ditinggal mati suaminya dia harus berjuang keras menghidupi anak-anaknya. Dia tidak pernah malu untuk berjualan beras, meski berasal dari keluarga yang terpandang,” cerita Yenny. Karena itulah, Yenny Wahid berpesan kepada ibu-ibu agar tetap semangat untuk maju. Meski Panggulan sendiri merupakan daerah miskin, bukan suatu yang mustahil jika masyarakatnya maju. Kemiskinan tidak menjadi halangan seseorang untuk maju. Inilah yang menjadi tujuan dasar dari keberadaan Kocida. Sementara itu, Muna, salah satu anggota Kocida mengaku merasa senang bisa bergabung dengan Kocida. Selain dia bisa meningkatkan pendapatan keluarga karena usahanya yang berkembang setelah mendapat tambahan modal dari Kocida. Dia juga juga merasa senang, karena dia bisa mendapat ilmu baru untuk berwirausaha. “Di sini memang bayak koperasi dan simpan pinjam, namun hanya Kocida yang memberikan ilmu dan pelatihan ke-
Bahan Ajar Berbasis Tradisi Pesantren
R
umah Kitab menyelenggarakan sosialisasi buku Kumpulan Bahan Ajar Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren di Cirebon, Februari 2014. menghadirkan sejumlah pembicara dari kalangan pesantren: Prof. KH. Chozin Nasuha, KH. Imam Aziz, KH. Marzuki Wahid, dan KH. Abdurrahman Nawi. Kata Prof. KH. Chozin, semua kyai sebetulnya punya tradisi sama meski berbeda guru dan tempat. Setiap kiai memiliki benang merah satu dengan lainnya, meski tak pernah mengadakan konferensi, berdiskusi atau bahkan belum pernah bertemu. “Benang merah yang mengikat dan menyeragamkan tradisi para kiai adalah kitab kuning,” terang pengasuh Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon ini. Kitab kuning yang dibaca para kiai di berbagai pesantren sama. Kitab-kitab itu me-
muat nilai luhur. KH. Imam Aziz lebih menekankan pendidikan yang terintegrasi. Yang perlu dipikirkan bagi pendidikan pesantren adalah lingkungan material siswa seper ti rumah, sekolah, dan kantor selain lingkungan yang berhubungan dengan sistem, seperti politik dan pendidikan. “Pendidikan karakter tak bisa dipisahpisahkan antara individu dan lingkungan sosialnya,” tandasnya. Bagaimanapun, terang Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini, santri tetap akan menghadapi kehidupan dui luar pesantren. Senada dengan Imam Aziz, KH. Marzuki Wahid menekankan penting internalisasi nilai pesantren dalam kehidup an sehari-hari. Apalagi saat ini bangsa Indonesia menurutnya tengah mengha dapi krisis keteladanan. Itu, katanya, dampak inkonsistensi antara kata dan
2013 diterbitkan buku Konsultasi Maya: 40 Tanya Jawab Agama karya Pimpinan Pondok Pesantren Qothrotul Falah. Dalam sambutannya, pihak penerbit Pustaka Qi Falah menyatakan, pada masa kini pesantren melebarkan sayap dakwahnya. “Jika selama ini pesantren hanya berdakwah melalui mimbar, kini harus mulai melebarkan sayap dengan berdakwah melalui lembar dan layar. Lembar maksudnya dengan membuat karya buku dan layar melalui film,” jelas Pemimpin Pustaka Qi Falah, Nurul H. Maarif. Hal sama disampaikan Pimpinan Pesantren Qothrotul Falah, KH. Achmad Syatibi Hambali. Menurutnya, santrisantri harus memiliki kemampuan yang baik dalam bidang tulis-menulis. “Saya memang nggak bisa menulis. Tapi anak-anak saya, para santri, tentu saja tidak boleh seperti saya. Mereka harus pandai menulis, sehingga ilmunya bisa
tersebar lebih luas lagi,” ujarnya. Di dalam buku ini, para santri belia ini mencoba memotret realitas sosial yang terjadi di kalangan mereka sendiri. “Persoalan utama yang menjadi sorotan adalah perilaku negatif di kalangan remaja,” ujar M. Eman Sulaeman, santri yang menulis artikel Hantu Narkoba. Misalnya, mereka mencoba menyoroti perilaku berpacaran secara bebas, berbusana yang tidak sesuai kaidah agama, perilaku konsumtif narkoba, penurunan relijiusitas, kekerasan atau tawuran, merokok, dan sebagainya. “Ini fakta yang ada. Insya Allah kami tidak hanya mengritisi persoalan itu, namun mencoba mencari solusinya,” ujar Hayatun Nufus, santri yang menulis artikel Penurunan Relijiusitas Remaja. Kehadiran buku ini diharapkan akan menjadi pemicu bagi kreatifitas santri khususnya dan remaja umumnya untuk lebih giat lagi dalam belajar dan menulis. Masa remaja adalah masa yang terlalu sayang untuk disia-siakan begitu saja. “Saya rela kesempatan hura-hura di masa muda saya hilang untuk tujuan meraih masa depan yang terbaik,” ujar Cahyati, santri yang menulis artikel Mendekati Ilahi Melalui Seni. Inilah sedikit sumbangsih aktivis Tripleng Ing Community (Triping.Com) untuk rekan-rekan remajanya. Triple Ing itu sendiri kependekan dari reading, writing dan speaking. “Ini forum kecil yang anggotanya diwajibkan untuk membaca, menulis dan berbicara. Tentu saja dengan keuletan ilmiah dan referensi yang memadai,” jelas Pembina Triple Ing Communitu, Nurul H. Maarif. “Melalui forum ini, kami ingin membibit santri yang intelek dalam arti sesungguhnya,” sambungnya.[Nurul huda maarif]
Indah sedang memediasi kasus pengungsi Ahmadiyah di Transito, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tujuh teman lainnya ada yang berperan sebagai pejabat Dinas Pendidikan, aktivis perempuan, dan pemantau. Siang itu, 47 pemuda-pemudi peserta Youth Adventure and Youth Leaders Forum dibagi lima kelompok dengan masing-masing kasus yang ditangani. Setiap kelompok didampingi seorang fasilitator dari the Wahid Institute. Saya suka cara WI memberi materi. Apalagi menggunakan metode role play. Lebih menarik ,“ kata Edi Fadhil salah seorang peserta kepadawahidinstitute.org. Sebelum berain peran, peserta diajak bermain dan menonton film. Film yang ditonton Apa itu Islam karya sineas muda Hanung Bramantiyo dan Satu Alamat yang dibuat santri dan menang dalam Festival Film Santri 2013. Sedang permainan yang disajikan berupa permainan memadamkan lilin. Peserta dibagi ke dalam dua kelompok dan masing-masing kelompok membentuk lingkaran. Setiap kelompok memilih seorang pemimpin kelompok. Duduk di tengah lingkaran, sang pemimpin memandu kelompoknya menyusun strategi mematikan lilin. Waktu yang diberi panitia, 15 menit. Bekalnya, isolasi dan 5 lembar kertas HVS. GMB mendesain Youth Adventure menjadi aktivitas menantang bagi para peserta yang datang dari ber-
bagai provinsi. Agama dan keyakinan mereka juga beragam. Leaders, begitu mereka disebut, ditantang melakukan perjalanan dari Jogjakarta ke Jakarta. Di perjalanan mereka yang dibagi dalam beberapa kelompok diwajibkan singgah di dua kota yang ditentukan. Sayangnya, bekal mereka dibatasi. Sepanjang perjalanan ini, mereka hanya mengantongi 300 ribu per kelompok. Di kota pertama, leaders akan menjalani Ziarah Pengemis. Selama 24 jam mereka mesti bertahan hidup dengan modal yang diberikan, bahkan harus bisa berbagi kepada orang lain. Tak putus asa, kelompok-kelompok ini lalu mangamen, menjual pakaian. Di kota kedua inilah, hasil dari aksi bertahan itu, mereka menggelar Ziarah Penderma (Giving Back). Leaders wajib berbagi kepada orang lain dengan uang yang mereka hasilkan. Pemberian tak boleh dengan uang. Harus berbentuk barang. Sebagian kelompok menyumbang buku dan alat tulis kantor ke sekolah-sekolah terpencil. Ada pula yang mengajar anak jalanan. GMB resmi berdiri pada 4 Juli 2012 di Aceh. Penggagasnya, Azwar Hasan salah seorang alumni Pertukaran Pemuda Antarnegara ke Australia. Gerakan ini punya visi bagaimana mendorong dan mengarusutamakan sikap mental dan perilaku memberi dan berbagi (giving back values). “Apa yang bisa saya lakukan untuk membuat diri saya, keluarga saya, lingkungan saya, masyarakat dan bangsa saya menjadi lebih baik,” kata Azwar. (Agustina & Alam)
Santri Qothrotul Falah Luncurkan Buku Perdananya
S
antri Pondok Pesantren Qothrotul Falah Cikulur Lebak Banten yang tergabung dalam Halqah Santri Triple Ing Community (Triping.Com) meluncurkan buku perdananya, Selasa, 13 Mei 2014, di Masjid Agung al-A’raf Rangkasbitung Lebak, Banten. Hadir sebagai peserta, antara lain, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kab. Lebak yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Qothrotul Falah, KH. Achmad Syatibi Hambali, unsur Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Lebak, unsur kepala SMP/MTs/SMA/MA Kab. Lebak, OKP, perwakilan pesantren, para santri, pelajar dan sebagainya. Buku bunga rampai yang diberi judul Renungan Santri: Esai-esai Seputar Problematika Remaja ini ditulis oleh 14 santri Kelas XI dan XII SMA Qothrotul Falah. Buku yang diterbitkan pada April 2014 ini menjadi produk kedua Pustaka Qi Falah, setelah sebelumnya pada
Youth Adventure and Youth Leaders Forum GMB
Mereka yang Siap Berbagi
I
ndah Rastika Sari tak bisa menutupi kesedihannya. Kepada lelaki di depannya, perempuan muda itu menceritakan betapa sulit hidup di pengungsian. Anaknya tak bisa sekolah. Kartu keluarga sebagai identitas dan syarat masuk sekolah hangus bersama rumahnya yang dibakar massa puluhan tahun silam. Ia dan ratusan orang lainnya dituding sesat. Mereka diintimidasi dan mendapat kekerasan. Di pengungsian, sanitasi dan fasilitas hidup seadanya. Mereka tinggal digedung dengan kamar yang disekat bekasbekas spanduk. “Tolonglah kami Pak. Mohon pemerintah bisa member solusi agar anak kami bisa sekolah,” pintanya memelas. Si lelaki menyimak. “Kami akan cari jalan keluar,” tandasnya memberi harapan. Beberapa yang lain juga ikut menyimak obrolan itu. Indah bukan pengungsi. Perempuan asal Aceh ini tengah bermain peran di sesi “Menyikapi Keberagaman di Indonesia dan Dimana Peran Saya,” Kamis siang awal Februari (6/2). Kegiatan berlangsung di Wisma Soegondo Djojopoespito Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga (PPPON) Cibubur, Jakarta Timur. Indah salah seorang peserta Youth Adventure and Youth Leaders Forum yang digelar Gerakan Mari Berbagi (GMB). Bersama teman kelompoknya,
The Islah Centre
11
Resolusi Konflik Bukan Sekadar Masalah Keamanan
ISLAH CENTRE
Even
M
enghadirkan sejumlah nara sumber, seminar Selasa siang (18/03) di aula the Wahid Institute ini menyorot isu resolusi konflik menuju pemilu damai. Alissa Wahid, salah seorang pembicara, mengkhawatirkan praktik politik pragmatis dan hanya memikirkan kekuasaan. Mereka bahkan tunduk pada tekanan kelompok tertentu dan berusaha mengangkat isu yang bisa memicu diskriminasi dan kekerasan. “Saya menemukan fakta, kelompok kepentingan di Jawa Timur sampai mengatakan kalau tak mengusir orang Syiah dari Sampang maka tak akan mendapat dukungan,” kata pute ri sulung Gus Dur yang juga Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian ini. Karena itu, ia mendorong pemerintah memetakan daerah rawan konflik sebagai tindakan pencegahan. Cara ini menjadi salah satu manajemen konflik dalam pemilu. Manajemen itu, katanya, bukan sekadar keamanan tapi juga menyentuh hak konstitusional warga negara. Menguatnya potensi konflik juga diendus KH Imam Aziz. Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini harusnya mengembangkan pendekatan beragama terhadap daerah-daerah konflik. Sayangnya, pendekatan Jakarta menurutnya jus tru menggunakan cara seperti tahun 1960-an. “Kita mengetahui banyak orang-orang Papua yang saat ini ditahan oleh Jakarta yang notabene adalah tahanan politik, namun karena pintarnya orang Jakarta mereka dijadikan sebagai tahanan kriminal. Ini akan menjadi bara yang luar biasa,” terang penggerak Syarikat, lembaga yang mengembangkan rekonsiliasi kekerasan 65 ini. Cara yang dilakukan Presiden Keempat RI KH Abdurrahman Wahid, menurut Imam Aziz, justru berbeda. Kiai yang akrab disapa Gus Dur itu berhasi menarik simpati warga Papua. Pendekatan yang dilakukan nonmiliteristik. Di akhir diskusi yang dipandu Mukti Ali juga menekankan pentingnya melakukan beragam pendekatan seperti budaya, HAM, dan mempertimbangkan hak kewarganegaraan rakyatnya. Diskusi ini diselenggarakan The Ishlah Center (TIC), lembaga yang mengembangkan perdamaian dan rekonsiliasi[MN-MA]
Suratku ISTIMEWA
12
Maryatun, Dua Tahun Kami Menunggu Rohman
S
aat tulisan ini saya buat, anak kami Nanang Wahyudi (16 tahun) sudah patah arang pergi sekolah. Sejak 2012, ia mogok sekolah. “Saya akan sekolah lagi kalau ibu pulang,” katanya. Maryatun Istikah (38 tahun), isteri saya, berangkat ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab pada Juni 2010. Putus kontak sejak 2013, hingga kini kami belum tahu kapan ia bisa kembali ke Tanah Air. Seperti kebanyakan tenaga kerja perempuan, di kampung, Maryatun sehari-hari menjadi ibu rumah tangga. Kami tinggal Kampung Noreh RT.04/08 Wonosekar, Karangawen, Demak , Jawa Tengah. Untuk mengubah nasib, Maryatun ingin menjadi TKW. Dari dokumen perusahaan pengirim, PT Almina Indah, Maryatun saat itu akan bekerja sebagai pekerja rumah tangga di rumah Khaled Musabbeh Khasibba Abdulla. Masa kontrak dua tahun. Majikan Maryatun itu tinggal di PO BOX 0 PER No 1333383 Al-Ain. Sepanjang 2010-2011, komunikasi kami dan keluarga berjalan lancar. Majikannya mau memberikan seluler Maryatun yang biasanya ditahan. Biasanya, seluler pekerja rumah tangga ditahan majikan di Arab Saudi. Dari komunikasi itu pula, saya tahu Maryatun mengalami tekanan batin dan penyiksaan. Tak jarang ia mengdapat ancaman. Pernah Maryatun mengatakan, “Saya sudah tak kuat lagi diperlakukan begini,” katanya waktu itu. Maryatun juga pernah menyampaikan keinginan
pulang ke kampung kepada majikan. “Kalau mau pulang minta suamimu membaya 7000 dinar,” kata majikan seperti ditirukan Maryatun. Uang itu setara dengan Rp 20 juta. Saya benar-benar kehilangan kontak sejak Mei 2012. Bulan ini keluarga putus kontak. Maryatun tak bisa dihubungi dan tak pernah menghubungi keluarga. Nomor telpon yang dituju berbunyi tapi tak diangkat-diangkat. Suatu kali, Maryatun pernah becerita, ia pernah kabur dari rumah majikan dan ditangkap polisi. Ia lalu dikembalikan ke majikan. Si Majikan ketika itu mengancam jika Maryatun cari masalah, ia akan diserahkan ke polisi. Pada November 2012, kami mengadu ke perusahaan pengirim TKW. Perusahaan kemudian meminta keluarga menunggu informasi selanjutnya. Seorang staf perusahaan, mengatatakan juga agar keluarga menghubungi kembali ke perusahaan. Tiga-empat bulan, tak ada kabar memuaskan bagaimana kondisi Maryatun. Karena tak juga mendapat kabar dari Maryatun, awal 2013 kami menghubungi nomor telpon Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Arab Saudi. Nomor itu diperoleh dari buku panduan yang diberikan salah seorang warga yang isterinya juga menjadi TKI. Oleh KBRI Arab Saudi, keluarga diminta menghubung KBRI di Abu Dhabi. Akhirnya keluarga menghubungi KBRI Abu Dhabi dan mengadukan persoalan yang dihadapi Maryatun. Pihak KBRI juga berusaha
menghubungi nomor telpon yang dipegang majikan Maryatun. Tapi, tak pernah diangkat. Pihak KBRI mencatat pengaduan dan berjanji akan menghubungi majikan dan meminta Maryatun menghubungi keluarga. Ada kabar gembira pada pertengahan Februari 2013. Maryatun menghubungi saya. Sayangnya, pembicaraan hanya berlangsung 5 menit. Maryatun mengatakan, ia belum bisa kembali ke kampung. Alasannya majikan baru pulang dari luar kota. Jika akan kembali, Maryatun berjanji akan memberi kabar. Empat-enam bulan setelah obrolan itu keluarga menunggu, kapan Maryati kembali. Keluarga panik dan berusaha mencari kabar. Saya menghubungi KBRI lagi dan mengadukan kasusnya. KBRI juga sudah mencoba menghubungi majikan, tapi tak pernah diangkat. Oleh KBRI, saya disarankan mengadu ke Badan Nasional Penempatan dan Perindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Masih di bulan Februari, saya juga mengadukan kasus isteri saya ke BNP2TKI Semarang. Petugas yang ditemui mengatakan, data Maryatun tak terdaftar di sana. Keluarga lalu mengadu dan meminta data ke perusahaan. Saya meminta perusahaan ikut bertanggung jawab dan membantu agar Maryatun pulang ke Indonesia. Mengurus masalah ini dengan perusahaan, saya kesal. Saya merasa perusahaan tak jelas bagaimana memulangkan isteri saya. “Kalau begini caranya, kapan isteri
“Saya sudah tak kuat lagi diperlakukan begini,” katanya waktu itu. saya bisa pulang,” kata saya kepada staf perusahaan. Pertengahan 2013, saya kembali melapor kasus ini ke BNP2TKI Pusat. Anehnya, saat ditanya perkembangan kasus isterinya, BNP2TKI Pusat menyatakan laporan itu tak ada. Saya diminta membuat pengaduan baru. Awal Desember saya membuat aduan baru. Januari akhir 2014, salah seorang keluarga kembali menghubungi BNP2TKI dan menanyakan perkembangan laporan. Petugas mengatakan, laporan sudah dikirim ke KBRI Abu Dhabi. Keluarga juga meghubungi KBRI dan menanyakan laporan tersebut. Petugas KBRI mengatakan, laporan sudah masuk dan akan ditindak lanjuti. Saat dihubungi kembali, petugas KBRI menyatakan jika majikan sudah berhasil dihubungi dan majikan berjanji pada Minggu 9 Maret 2014, Maryatun akan menghungi keluarga yang ada di Indonesia. Ditunggu hingga sekarang, Maryatun tak pernah menghubungi keluarga
Remaja
Aku Bukan Cina Cemen
13
“Tapi saya ini warga negara Indonesia. Saya ingin berbuat untuk kemajuan negeri tercinta Indonesia”.
U
sia bocah perempuan itu masih belia saat tragedi laknat ini meletus: Mei 1998. Bulan itu neraka untuk etnis Tionghoa, khususnya perempuan. Etnis berjumlah sekitar 5 persen dari total penduduk Indonesia ini dianggap biang kerok keterpurukan ekonomi Indonesia. Mereka lantas jadi sasaran amuk massa. Komisi Nasional Perempuan, lembaga negara yang memperjuangkan hak-hak perempuan, mencatat. Kekerasan terhadap perempuan, khususnya dari etnis Tionghoa, berjumlah 52 kasus pemerkosaan, 14 pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 penyerangan seksual, dan 9 pelecehan seksual. Komnas Perempuan juga membukukan data korban meninggal terbakar dari beberapa versi. Tenaga Relawan Kemanusiaan (TRK) misalnya mencatat 1.250 orang meninggal. Polri dan KODAM lebih sedikit, 463 korban. Pemda DKI Jakarta mencatat 288 orang. Beruntung, Kartika –bocah perempuan itu—dan keluarganya lolos dari maut. Saat itu usianya baru enam tahun. Ia duduk di kelas satu sekolah dasar. “Kami tak bisa kemana-mana. Hanya berdiam diri di rumah. Pihak gereja membantu kami dengan datang mengantarkan sembako. Sebab kami tak bisa pergi kemana-mana,” kenang perempuan yang akrab dipanggil Loushi ini getir. Tapi hidup sebagai etnis Tionghoa masih dirasakannya tak mudah setelah tragedi yang disorot tajam dalam dan luar negeri itu. Tragedi ini jadi dosa masa lalu yang terus disoal sejumlah pihak untuk dibongkar. Selama di sekolah dasar, Loushi sering diejek teman-temannya. “Apa lu? Cina cemen! Cemen! Cemen!” ejek teman-temannya seperti ditirukan. Ia sendiri heran, mengapa ia selalu diejek. Teman Tionghoanya dari Cina Benteng tak pernah diejek. Cina Benteng tak lain merujuk pada orang-orang Tionghoa yang tinggal di sebuah benteng peninggalan Belanda di pinggir sungai Cisadane di Tangerang. “Lama kelamaan aku baru tahu, akulah yang paling berbeda. Kulitku lebih putih dari yang lainnya dan aku menggambarkan identitas Cina.”
Agustina ISTIMEWA
Atas. Kartika sedang mengajar murid-muridnya belajar Bahasa Mandarin di ruang perpustakaan Museum mandiri, Kota Tua. Bawah. Kartika sedang memeriksa tulisan Kanji yang ditulis salah satu muridnya.
Pengalaman itu dirasakan begitu pahit dan pasti tak akan ia lupakan. Meki begitu Kartika termasuk orang yang kuat dan pantang menyerah. Ia tetap bersekolah hingga lulus. Salah seorang yang membuatnya kuat adalah teman sekelasnya, Fitriani. Fitriani muslim. Ia mau berteman dengan Kartika dan tak ikut-ikut mengucilkan. Sejak kelas dua, Kartika bersekolah di salah satu sekolah dasar di Jakarta. Sekolah yang mayoritas siswanya muslim itu dipilih karena terletak tak jauh dari tempat tinggalnya. Keadaan sulit tak berubah saat ia
melanjutkan ke sekolah menengah pertama. Bukan hanya itu, selain ejekan dan pengucilan karena Cina, Kartika juga dijuluki “si juling”. Mata Kartika memang tak normal. Beruntung lewat sebuah operasi, matanya saat itu bisa kembali normal. Biaya operasi diambil dari tabungan ibunya. Situasi dirasakan mulai berubah saat Kartika belajar di perguruan tinggi. Kartika mengambil pendidikan sarjana strata satu di dua kampus. Jurusan Sastra Mandarin Universitas Bunda Mulia dan Sastra Korea Institute Wesley Jakarta. Diskriminasi dan ejekan itu
berkurang jauh. Motivasi sang ibu yang membuat Kartika mengambil kuliah di dua kampus. Ke depan persaingan kerja makin ketat dan ia harus punya skill yang lebih jika ingin berhasil bersaing. Itu nasihat ibunya. Bagi Kartika, ibunya sosok hebat. Ia amat mendukung pendidikannya. Padahal ibunya hanya kerja serabutan, menjahit dan bekerja di rumah majikan. Sejak kecil, ia sudah kehilangan sang ayah. Dan sosok sang ayah digantikan ibu. Sang kakak, Cici, juga perempuan yang juga sangat berpengaruh dalam hidupnya. Tiga perempuan itu kini hidup dalam rumah sederhana yang saling memberikan cinta dan dukungan satu sama lain. Kartika kini jadi guru saya dalam kelas bahasa Mandarin di Mandarin Klub. Komunitas ini belajar saban Sabtu di Museum Mandiri, di lokasi Kota Tua di Jakarta Barat. Kartika pengajar relawan di klub yang dibentuk sejak 10 Juni 2012. Sabtu awal Mei lalu, di Kota Tua itu kami berbagi kisah tentang kisahnya . Sebagai guru Mandarin, Kartika tak dibayar. Bahkan harus merogoh kocek untuk ongkos perjalanan pulang pergi dan tentu saja waktu. “Tak setiap orang mendapatkan kesempatan untuk belajar. Kursus Mandarin mahal dan tak setiap orang punya uang untuk membayar. Saya mau mengajar dengan gratis, supaya setiap orang yang mau belajar bisa datang ke museum untuk belajar,” jawab Kartika saat saya tanya mengapa mau mengajar Mandarin. Ia juga menambahkan, semangat mengajar juga dipompa dari dorongan orang tuanya. Pengalaman pahit diejek dan didiskriminasi karena Cina membuatnya tak patah semangat untuk bebagi. Saat ini Kartika juga aktif di komunitas menulis Cakrawala Writing Community dan komunitas anak-anak muda yang ingin berbagi untuk orang lain, Gerakan Mari Berbagi. Di dua komunitas itu saya juga aktif. Kartika tak dendam pada keadaan dan teman-temannya yang dulu mengejek dan mengucilkannya. Ia memang Cina. “Tapi saya ini warga negara Indonesia. Saya ingin berbuat untuk kemajuan negeri tercinta Indonesia”
Jangan Panggil Aku
14
Kart ini
B
agaimana kalau ku ceritakan bahwa hatiku pernah karam di dasar Mahakam. Sebuah sungai di Kalimantan yang membawa pergi semua rasa cintaku dua tahun lalu. Sebab cinta kami terlarang di tanah perjanjian. Ah, betapa perihnya waktu itu, kehilanganmu telah mengiris semua nadiku. Jiwaku cacat tak lagi sempurna. “Santi! Ayo pulang! Hari sudah sore,” aku melihat ke arah suara itu. Sosok tubuh mungil tergopohgopoh mendatangiku. Jidatnya masih menyisakan beberapa titik kerigat. Aku merasakan nafasnya tersengal-sengal. “Kenapa begitu buru-buru? Senja masih memberi ruang untuk kita bersantai di tepian ini,” kataku tak beranjak. Lalu Dinda menarik lenganku dan aku pun terseok-seok mengikuti langkahnya. “Tunggu! Kita masih belum tahu kapan akan kembali ke sini. Ada yang harus kulakukan. ”Aku segera berputar-putar mengelilingi pohon demi pohon di sepanjang tepian sungai Mahakam. Aku terus mencari sebuah pohon yang sudah lama ada dalam imajinasiku. Pohon yang menyisakan kenangan dua tahun lalu. Tak peduli Dinda terus menatapku penuh kebingungan melihat tingkahku yang tak seperti biasanya. “Apa yang kau cari? Orangorang melihat kita. Lebih tepatnya memperhatikanmu yang seperti orang gila. Kumohon berhentilah. Kita harus kembali sekarang. Malam ini juga kita harus sampai di Balikpapan mengejar pesawat ke Jakarta. Aku tak mau ambil resiko,” Dinda terus mengoceh sementara aku sibuk mencari pohon itu. “Aku menemukannya. Dinda, aku menemukannya,” aku berteriak kegirangan karena yakin itulah pohon yang kumaksud. Aku mencari-cari sesuatu di dalam tasku yang bisa ku gunakan menggali tanah. Sebuah mistar dalam kotak pensilku. Bagus, itu bisa berfungsi untuk menggali sebuah lubang. “Hentikan, apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?” Dinda masih bertanya dan aku mengabaikannya. Tanah itu membentuk lubang dan mistarku menyentuh sebuah benda. Botol kaca, itulah benda yang sudah lama ingin kutemukan. Benda sejarah yang menceritakan masa laluku. Ada dua kertas di dalamnya. Satu kertas berisi tulisanku dan satu lagi tulisan tangan lelaki yang pernah kucintai. Seperti janji bumi mengitari matahari, maka seperti itu janjiku
akan mengikatmu ke dalam kehidupanku. Kita akan mengarungi samudera baru, menjemput tepian dan kehidupan. Berpeganglah dengan erat pada tali cintaku. Aku akan membawamu menuju surga itu. Ah kata-kata itu sudah lama sekali. “Apa tidak ada gadis lain. Sampai kamu ingin menikahinya? Carilah gadis Aceh yang memiliki semangat seperti pahlawan Cut Nyak Dien,” aku mendekatkan telingaku ke arah pintu dapur. Ibunya Arifin sama sekali tak ingin menemuiku. Padahal aku datang jauh-jauh berkunjung ke rumahnya. “Bu, dia memiliki semangat seorang pahlawan Kartini, sebagaimana namanya. Dia memiliki akhlak baik dan berjuang untuk pendidikan anak-anak Indonesia. Dia habiskan waktunya di kegiatan-kegiatan sosial untuk anak-anak yang tinggal di tempat terpencil. Percayalah, dialah gadis yang baik untukku,” Arifin berusaha membelaku di hadapan ibunya. Sementara jantungku sudah tak karuan. Namaku Susanti Kartini dan hanya Arifin yang memanggilku dengan sebutan Kartini. Sementara orang-orang di sekelilingku yang lainnya memanggilku Santi. Arifin bilang, aku pantas dipanggil Kartini. Perempuan tegar yang selalu berjuang untuk orang lain. Baginya jiwaku setegar karang. Tapi kini, aku merasa kehilangan ketegaran jiwaku. Suara ibunya dari balik dinding dapur itu telah menyapu seluruh semangat hidupku. Aku tak sanggup berada lebih lama di rumah ini. Seharusnya Arifin mengakhiri perdebatan dengan ibunya. Dengan kaki yang mulai lemas, aku bangun dari kursi. Kupandangi beberapa foto yang dipajang di dinding kayu ruang tamunya. Fotofoto itu meceritakan perkawinan kakak-kakaknya dalam balutan pakaian tradisional yang megah. Aku membayangkan diriku akan mengenakan pakaian yang sama dengan mereka pada saat menikah nanti. Tapi, sepertinya mimpiku itu terlalu berlebihan dan hanya anganangan. Hatiku terasa perih seketika. Arifin menghampiriku dan menggenggam tanganku. Aku paham, ini bukan saatnya menjelaskan apa-apa. Saatnya kembali ke kampung halamanku di pulau Jawa. Dua bulan berlalu semenjak kunjunganku ke rumahnya. Arifin mendatangi rumahku dan membawakan sesuatu yang tak pernah ku sangka-sangka.
“Surprise! Aku punya hadiah untukmu,” Arifin menyerahkan selembar amplop yang berwarna putih ke tanganku. “Tiket ke Kalimantan? Apa maksudnya?” aku heran tiba-tiba dia membelikanku tiket ke Kalimantan. “Kamu bilang bahwa kamu ingin merayakan ulang tahunmu di sungai Mahakam di atas Taxi Air. Aku sudah menyiapkan semuanya,”
Sastra
“Jangan panggil aku KARTINI karena Kartini itu hanya milikmu bukan milikku! Dan Jangan Panggil Aku KARTINI!" Spring festival Ting Shao Kuang
katanya sambil mengedipkan matanya padaku. Aku sangat bahagia memiliki seorang lelaki yang mencintaiku seperti dia. Aku ingat hari itu, mungkin sekitar dua bulan lalu. Saat aku sedang menonton sebuah acara di televisi yang menceritakan keindahan sungai Mahakam, maka tiba-tiba aku berceletuk ingin ke sana di hari ulang tahunku. Ternyata Arifin masih mengingat itu semua. Itu adalah ulang tahun terindah dalam hidupku. Menghabiskan waktu dengannya, kami mengitari sungai Mahakam dengan Taxi Air. Di bawah sinar rembulan dalam malam penuh bintang, candle light dinner di tepi Mahakam, itulah kenangan terindahku. Sekaligus kenangan yang terakhir dan mengakhiri semua kisahku dengannya. “Ibuku sudah menyiapkan seorang gadis untukku. Gadis Tanah Rencong. Ibuku masih trauma dengan semua orang yang tidak berdarah Aceh. Konflik yang menghilangkan nyawa ayah dan saudara-saudaranya yang lain telah meninggalkan luka di hatinya. Aku mohon, maafkan aku dan ibuku,” dia tidak berani menatap mataku ketika menceritakan ini. Seharusnya tak ada air mata di hari yang paling indah ini. Tapi sepertinya memang sungai duka tak bisa dibendung dari mataku. Bukan hal yang mudah merajut cinta untuk bertahun-tahun lamanya. Tiba-tiba, kehilangan oleh luka masa lalu yang mengiris-ngiris negeriku dan berdampak pada hubungan cintaku. Aku mengeluarkan dua lembar kertas, dua pulpen dan satu botol kaca dari dalam tasku. Tadinya aku ingin kami menulis impian kami
tentang masa depan dan memasukkan ke botol kaca untuk di tanam di tepian Mahakam. Sepertinya kini bukan lagi tentang impian masa depan tetapi tentang cinta kami yang terpenggal dalam kegelapan Mahakam. “Tulislah sesuatu untukku. Kita masukkan ke botol ini dan kita tanam di bawah pohon itu, suatu saat aku akan kembali untuk mengambilnya,”, Arifin mengikuti intruksiku dengan baik dan kami menanamnya di bawah pohon itu. Itulah hari terakhir aku menggenggam tangannya dan melepaskannya untuk bersama orang lain dan kali terakhir bertemu dengannya. Dinda menangis mendengar semua tuturan kisahku. Aku membuka surat di dalam botol itu. Surat yang tak pernah kami baca. Aku tak tahu apa yang dituliskan Arifin untukku begitupun Arifin yang tidak pernah tahu apa yang aku tuliskan untuknya. “Dear Kartiniku, Sampai kapanpun kau akan tetap menjadi Kartiniku, pahlawan hatiku. Sebagaimana kau habiskan waktu untuk mencintai negeri ini dan berjuang untuk pendidikan anak-anak negeri melalui kegiatankegiatan sosialmu, maka sebanyak itu juga aku mencintaimu. Aku memilih Cut, karena aku tidak ingin menyakitimu seumur hidupku. Sebab kau harus menanggung luka dari semua derita masa lalu yang bukan salahmu. Kartini yang ku sayangi. Maafkan aku dan ibu. Jadilah Kartini untuk negeri ini sebagai mana mimpimu” Aku membuka surat yang satunya lagi. “Jangan pernah panggil aku Kartini lagi. Sebab aku sosok tak berdaya. Bahkan tak bisa memperjuangkan cintaku dengamu. Jangan panggil aku KARTINI karena Kartini itu hanya milikmu bukan milikku! Dan Jangan Panggil Aku KARTINI!” Agustina, anggota Cakrawala Writing Community
Profil
15
S
Wirausaha Setelah berkeluarga, hidup saya mungkin bisa dibilang sedikit membaik. Sedikit. Sedikit lega bernapas. Pengalaman masa kecil menyemangati saya bekerja giat dan berusaha mandiri. Ada keinginan kuat agar hidup ini dan anak-anak kelak jauh lebih baik. Tahun 2005 saya mulai mencoba usaha. Berdagang kue kering. Soal berdagang, guru saya adalah kakar ipar saya. Ia yang pertama kali berjualan kue keliling dan mengajarkan saya bagaimana berjualan. Saya tertarik ikut lantas mencoba-coba. Akhirnya bisa seperti sekarang ini. Hanya saya sangat sedih, kakak dan guru saya itu ternyata lebih cepat dipanggil tuhan. Lantaran kelelahan, ia meninggal. Sejak itu, usaha berdagang kue saya lanjutkan. Pelajaran penting yang bisa saya catat: memulai usaha butuh keberanian dan keinginan yang kuat. Tanpa itu keinginan hanya akan jadi keluh kesah. Lalu apa modal saya berdagang saya waktu itu? Itu tadi, keberanian dan kemauan. Saya tak keluarkan uang untuk mengambil kue-kue dari pemilik. Modalnya kepercayaan si pemilik. Macam-macam jenis kue yang saya jajakan. Dari dodol cina, kue garing, gatros, rengginang, dan dodol kam-
Wirausaha, Aktivis Kampung,
dan Ibu Rumah Tangga
Kisah ini tentu kisah yang belum selesai. Saya masih terus bekerja dan bergiat untuk meraih hidup yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain
Munah VISNA VULOVIK
aya Munah, 44 tahun. Lahir di Kampung Sasak Depok, Jawa Barat. Masa kecil saya terbilang getir. Kehidupan keluarga pas-pasan. Pekerjaan ibu waktu itu hanya tukang urut keliling. Jika ada tetangga hajatan membantu masak-masak di dapur. Bapak tukang pangkas rambut. Hidup kami makin berat saat ibu menghadapi kenyataan yang tak pernah diinginkan perempuan di manapun: dimadu. Sejak itu Bapak jarang pulang. Meski terlihat tegar, saya tahu batin Ibu tertekan. Demi bisa bertahan dan menghidupi anak-anak, ibu bekerja giat. Mungkin, ibu berpikir keras bagaimana anak-anak bisa berubah nasib. Tak seperti dirinya. Hidup miskin. Tapi apa dikata, ekonomi keluarga masih sulit. Untuk meraih pendidikan lebih tinggi, tak ubahnya nglindur alias mengigau. Pendidikan saya hanya harus selesai di sekolah dasar. Lebih dari itu tak mampu.
BERBAGI PENGALAMAN. Munah Berbagi pengalaman dalam forum Kocida Wahid Institute
pung Panggulan. Saya ingat, waktu itu uang mukanya sekitar sejuta rupiah. Sebagai strategi menggaet pelanggan, ini kiat yang jamak dilakukan pedagang. Memberi hadiah ke pelanggan jelang lebaran. Harapannya, pelanggan merasa lebih dekat dan lancar belanja. Ini saya lakukan. Hadiah itu saya beli dari uang tabungan hasil berjualan. Suami saya, Musa, alhamdulillah, juga mendukung usaha saya. Suami juga berdagang sayuran. Jadi kami bahu membahu mencari nafkah. “Yang penting urusan rumah tangga tidak terlantar, saya boleh keliling untuk menjajakan dagangan saya,” begitu kata suami saya. Alhamdulillah dari berdagang ini saya bisa menambahkan pemasukan keluarga dan membesarkan dua anak kami: Marhenah (kini 21 tahun) dan Hermansyah (kini 15 tahun).
“Saya ingin usaha saya berkembang lebih besar dan sukses. Karena itu ketika gagal saya selalu berusaha bangkit kembali”. pung. Kue yang tak laku bisa dikembalikan. Kue-kue itu saya jajakan dari rumah ke rumah. Keuntungan sekilo dodol cina, lima ribu perak. Setiap hari, uang hasil berjualan rata-rata Rp 50 ribu. Lama kelamaan, alhamdulillah, dari usaha ini saya mampu menabung. Saya punya modal membeli barang dagangan secara tunai. Berjualan Pakaian Dari berjualan kue, saya mencoba peruntungan baru: menjual pakaian. Moto saya sederhana saja. “Saya ingin usaha saya berkembang lebih besar dan sukses. Karena itu ketika gagal saya selalu berusaha bangkit kembali”. Pada 2006, beruntung sekali saya mendapat tambahan modal dari kegiatan reriungan (perkumpulan) di Panggulan. Usaha pakaian ini mulai saya tekuni ketika sudah mulai kenalan tukang pakaian. Di perkumpulan arisan keluarga, saya dipercaya menjadi bendahara. Suatu ketika perkumpulan arisan memutuskan membeli seragam pengurus. Sebagai penanggung jawab penyediaan seragam saya akhirnya memilih seragam di salah satu pedagang pakaian. Setelah itu jadi langganan. Saya juga sempat dipercaya mengkoordinir pembelian seragam perayaan maulid untuk tiga mushalla di kam-
Aktif di Kegiatan Sosial Selain berdagang, saya ber usaha aktif di kegiatan sosial. Saya kader Pos yandu di Kampung Sasak Panjang. Ini kampung kelahiran saya. Setelah pindah ke Pengasinan, saya juga diminta untuk menjadi kader posyandu. Karena kegiatan ini bukan hal baru, saya menerima tawaran tersebut. Sebagai kader posyandu, saya diberi honor 200 ribu rupiah pertahun. Tak seberapa memang. Tapi bagi saya ini pengabdian. Saya berusaha ikhlas. Saya ingin berbagi. Sebab saya merasakan bagaimana rasanya hidup susah dengan pendidikan seadanya. Kampung Pengasinan ini salah satu desa yang boleh dikatakan tertinggal. Siapa tahu kehadiran saya di sini bisa lebih bermanfaat. Saat Koperasi Cinta Damai (Kocida) berdiri, saya juga dipercaya menjadi Ketua Kelompok Tabungan. Entah mengapa, saya dipercaya. Tapi, menurut teman-teman sesama anggota saya sudah punya pengalaman dan sering jadi tempat curhat (curahan hati). Komunitas ini dirintis the Wahid Institute Jakarta. WI didirikan mantan presiden Republik Indonesia keempat, KH. Abdurrahman Wahid. Kini, dipimpin puteri keduanya, Yenny Zannuba Wahid. Misi mulia Kocida, mengembangkan ekonomi perempuan di sektor Usaha Kecil Menengah (UKM). Dengan Kocida, ibu-ibu di Panggulan bisa menab-
ung dan mendapatkan modal mengembangkan usaha. Di samping itu, juga ada berbagai pendampingan dan pelatihan. Salah satunya temtang kewirausahaan. Sebagai ketua, saya tak bosan-bosan memotivasi dan berbagi pengalaman untuk lebih mandiri. Kepada saya, ibu-ibu seringkali berkeluh kesah soal ekonomi. Pengasilan suami mereka masih belum mencukupi untuk menutupi kehidupan sehari-hari. Biaya sekolah mahal. Lain waktu curhat soal biaya untuk ujian, keluarga sakit, dan lain-lain. Beruntung dana Bantuan Operasional Sekolah di lingkunga sekolah negeri cukup untuk anak-anak di sini. Untuk Sekolah Menengah Pertama, setiap siswa mendapat Rp 500 ribu pertahun. Jadi pendidikan anak-anak di sini relatif tidak jadi beban untuk kami yang pas-pasan. Dengan Kocida, saya berharap mere ka tergerak untuk bergabung dan bersama-sama berwirausaha agar sedikit ba nyak mengatasi masalah itu. Beruntung cicilan saya di Kocida saat ini sudah lunas. Selain mencicil biaya pokok, saya juga menabung. “Kalau saya hutang terus, berarti penghasilan saya tidak tambah dong. Bukankah modal hutang itu harus mampu menghasilkan keuntungan untuk ditabung?” begitu pikir saya. Saya juga berharap ibu-ibu anggota Kocida lainnya bisa memulai usaha dan menabung. Sebab bagi saya, bertambahnya penghasilan dan taraf hidup bisa di ukur saat mereka mampu lepas dari jerat hutang dan mampu menabung mulai harian, mingguan, bulanan hingga tahunan. Kisah ini tentu kisah yang belum selesai. Saya masih terus bekerja dan bergiat untuk meraih hidup yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain [] (Siti Kholishoh/Visna Vulovik)
Esai Foto
16
pelatihan Pengelolaan dan Peningkatan Pendapatan Keluarga KOPERASI CINTA DAMAI (KOCIDA) The Wahid Insitute, PANGGULAN DEPOK, (19/4). KERJASAMA KOCIDA The Body Shop,
IKLAN