.1 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
DAFTAR ISI 2
EDITORIAL
3
SURAT PEMBACA
22
Penanganan Kelompok Rentan
Kekurangan Bukan Berarti Kepasrahan 4
MONITOR
24
LIPUTAN UTAMA
KATA MEREKA Disabilitas Masih Butuh Perhatian
Aksesibilitas Masih Setengah-setengah
30
OPINI
10
DIFABEL: Mereka yang Terlupakan
Aksesibilitas Fasilitas Publik Bagi Kaum DIfable
14
Antara Difable atau Disable?
Yogyakarta
16
Pendidikan Inklusi: Sebuah Harapan
19
WAWANCARA
38
RESENSI Inklusi dan Semangat Akademik
Dr. SUWARJO: Ciptakan Group yang Positif
Diterbitkan Diterbitkan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia Yogyakarta PENANGGUNG JAWAB: Eko Prasetyo | Pemimpin Redaksi: M. Syafi’ie | EDITOR: Puguh Windrawan | REPORTER: Intan Pratiwi, Moh. Fuad Hasan, Catarina Ekowati, La Arpani | KONTRIBUTOR: Akbar Setiawan | DESAIN: Djoko Supriyanto. ALAMAT REDAKSI/TATAUSAHA: Jeruk Legi RT. 13 RW. 35, Gang Bakung no. 157A, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, 55198. Tel. 0274-452032, Fax. 0274452158. www.pusham-uii.ac.id | Email:
[email protected]
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
M
enjadi tak sempurna bukanlah sebuah pilihan. Nampak seperti sebuah hukuman. Saat orang lain memiliki anggota tubuh yang lengkap, maka munculnya ‘ketidaklengkapan’ akan menimbulkan anggapan lain. Mereka dianggap berbeda, dianggap sebagai minoritas yang tak butuh perhatian. Seperti sebuah fragmen yang terpecah dari cerita, yang berusaha dilupakan keberadaannya. Inilah realitas yang terjadi. Banyak fasilitas yang seharusnya mereka bisa nikmati, tetapi karena ada faktor ‘ketidaklengkapan’ itu, membuat fasilitas tersebut seolah hilang lenyap tak berbekas. Kita mengenalnya dengan sebutan; disabel. Mereka nyata dan ada di tengah-tengah kita. Bukan sekedar karangan cerita sebagai pengantar tidur. Ada yang tuna rungu wicara, tuna daksa, tuna netra, dan yang lain. Meskipun begitu, mereka tidak berbeda dengan kita yang ‘lengkap’ dan ‘sempurna’. Kita makan nasi, begitupun dengan mereka. Kita butuh teman, merekapun butuh bersosialisasi. Tak ada yang beda. Kalaupun berbeda mungkin hanya caranya, dan itu sama sekali tak membuat kita dan mereka menjadi ada jarak. Ada baiknya memang perhatian lebih ditujukan kepada para disabilitas ini. Setidaknya, fasilitas umum yang seringkali dipergunakan, juga bisa dipergunakan oleh mereka. Stasiun, rumah sakit, bank, dan pusat perbelanjaan, lebih nyaman apabila dilengkapi dengan fasilitas untuk para disabilitas. Selain untuk menyamaratakan hak, juga sesuai dengan peraturan yang memang mengamanatkannya. Kepedulian dan perhatian adalah kata kunci dalam hal ini. Setidaknya, pemerintah harus menjadi pelopor
○
Bukan Pilihan Untuk Menjadi Tidak Sempurna
○
○
○
○
“
PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012
2.
dalam usaha menyeimbangkan hak para disabilitas. Bukan berlebihan apabila hal ini digaungkan. Bagaimanapun juga, fasilitas yang ada dalam ranah publik menjadi tanggungjawab pemerintah, baik pusat maupun daerah. Misalnya saja pada halte Trans Jogja. Ada jarak yang cukup jauh antara halte dengan bus yang berhenti. Jarak atau celah itulah yang menyulitkan para tuna netra. Itu hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak fasilitas yang tidak ramah kepada para disabilitas. Tentunya masih banyak yang lain. Bicara soal pemenuhan hak disabilitas, memang bukanlah perkara mudah. Meski bukan berarti tidak bisa dilakukan. Ini soal bagaimana pemerintah untuk lebih bisa mengejawantahkan peraturan ke dalam ranah praksis. Soal aturan bahwa hak disabilitas harus dipenuhi sudah tertuang secara jelas, termasuk dalam lingkungan perguruan tinggi. Menyangkut soal fasilitas memang menjadi tugas sah pemerintah dan tidak ada perdebatan menyangkut itu. Lain halnya masalah persepsi. Ini masalah bagaimana kita memandang disabilitas. Masalah persepsi bukan menjadi bagian pemerintah, akan tetap lebih kepada individu, ada pada masing-masing orang. Tentu saja ada bermacam ragam sudut pandang. Akan tetapi kita harus tahu, bahwa tidak ada satu orang pun yang mau untuk menjadi ‘cacat’. Jika boleh meminta, semua orang ingin dilahirkan sehat, sempurna, dan tak ada kekurangan satupun. .
○
○
○
○
○
○
○
○
○
SURAT PEMBACA .3 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
KEKURANGAN BUKAN BERARTI SEBUAH KEPASRAHAN PADA DASARNYA SEMUA MANUSIA YANG BERAKAL TIDAK INGIN TERLAHIR DENGAN SEBUAH KECACATAN FISIK SERTA TUMBUH DALAM KEADAAN LEMAH AKAL. Namun kenyataan itu harus diterima dan dirasakan oleh orang-orang yang berkebutuhan khusus. Terkadang mereka bertanya-tanya didalam hati mereka, “mengapa kami harus terlahir dalam keadaan seperti ini?” dan adakalanya orang tua mereka merasa malu dengan kondisi mereka, mereka menganggap bahwa kondisi difabilitas (berkebutuhan khusus) adalah aib dan lemah serta tidak harus melanjutkan impian mereka. Miris rasanya jika keadaan seperti ini terjadi dinegara kita yang memiliki undang-undang sebagai dasar hukum yang memberikan hak yang sama bagi semua orang!. Semua ini patut dijadikan bahan renungan bagi orang-orang yang merasa bangga atas kesempurnaan fisik yang dimilikinya, jangan sampai sikap acuh tak acuh serta cuek muncul terhadap pada kaum difabel. Perlu kita perhatikan bahwa tuhan selalu menciptakan sesuatu dengan berpasangpasangan, ada siang ada malam, ada bintang ada bulan dan ada kekurang ada kelebihan. Hal ini perlu disadari oleh pemerintah negara Indonesia ini karna negara ini adalah negara dengan keragaman tipe manusia serta suku menusia. Alangkah sombongnya jika pemerintah Republik Indonesia ini membeda-bedakan antara warga yang satu dengan warga yang lain dengan tidak segera merealisasikan undang-undang yang menjamin hak pendidikan bagi kaum difabel, padahal Tuhan selalu menganggap semua manusia itu sama tanpa membeda-bedakan sedikitpun. Jika negara ini ingin makmur dan maju, maka
penjaminan kesamaan hak dan kewajiban bagi semua kalangan harus dipenuhi karna ciri negara yang maju adalah sebuah kemampuan untuk mengorganisir kebutuhan warganya. Jika kita memperhatikan kondisi diluar sana, akan tampak segelintiran dari kaum difabel berjalan disudud kota terlebih lagi di Yogyakarta dengan berbekal radio tape yang mereka gendong didada mereka untuk mencari uang demi mendapatkan sesuap nasi serta tak banyak juga diantara mereka menjadi korban penipuan sekaligus kejahatan kaum awas (orang normal). Sedangkan disisi lain masih banyak orang tua yang tabu untuk menyekolahkan anaknya dalam kondisi defabel. Padahal mereka (kaum difabel) juga manusia yang layak mendapatkan haknya untuk memperoleh mimpi, pekerjaan serta pendidikan yang sebagaimana mestinya dirasakan oleh orang-orang pada umunya. Dengan adanya sikap negatif dari para orang tua yang tidak mendukung kaum difabel untuk berkarir dan meraih cita-citanya, maka secara tidak langsung akan membunuh karakter serta secara psikologis akan menghancurkan jiwa mereka dan kelak mereka akan memberontak dan memberikan perlawanan dengan sikap yang negatif pula. Ketika kita selaku orang “normal”, maka jangan pernah menganggap rendah orang berkebutuhan khusus karna dibalik kekurangan mereka, terdapat sebuah kelebihan berupa sebuah potensi dengan persentase lebih dari orang-orang pada umumnya. Seharusnya kita sebagai orang yang berada di sekeliling kaum difabel, hendaknya membantu sekaligus memotifasi mereka sebab dibalik kekurangan mereka ada suatu kemampuan lebih yang bisa membanggakan orang di sekitarnya hingga paradigma yang menganggap bahwa kekurangan berujung pada sebuah kepasrahan akan hilang dan berganti menjadi kekurangan berujung pada sebuah semangat untuk menjadi lebih dari biasanya karna kita semua adalah mahluk yang mulia disisi Allah. MUHAMMAD AKBAR SATRIAWAN Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaraan Islam, Fakultas Da’wah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012
4. ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Oleh INTAN PRATIWI
Akse sibili TA S MASIHSETENGAH-SETENGAH
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
I ○
○
○
○
○
○
○
○
LIPUTAN UTAMA .5 ○
su tentang aksesibilitas bagi masyarakat difabel memang masih menjadi isu yang terus digalakan. Pemenuhan hak yang semula sering dielu-elukan oleh birokrasi hingga detik ini memang masih dipertanyakan realisasinya. Hal ini menjadi kontras, karena birokrasi selalu mengkambinghitamkan minimnya anggaran untuk pemenuhan hak para difabel ini. Padahal, seperti kita ketahui bersama. Sudah berapa banyak kasus korupsi yang terungkap, yang semestinya dana tersebut bisa dialihkan ke aspek yang lebih penting. Misalnya, pemenuhan hak bagi masyarakat difabel.
“
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Contoh yang terlihat jelas adalah di bulan Desember ini. Pelantikan Gubernur Yogyakarta akan dihadiri langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menelan biaya Rp. 1,6 Milyar. Hanya untuk sebuah pengesahan. Padahal, gedung pemerintahan di Yogyakarta masih jauh dari standart aksesible. Apabila dana sebanyak itu dialokasikan untuk pemenuhan hak masyarakat difabel, maka akan bisa menghasilkan banyak manfaat. Hal inilah yang menjadi catatan penting bagi pemerintah yang sudah sekian lama menjanjikan aksesibilitas bagi masyarakat difabel. Pada perjalanannya, kebutuhan aksesibilitas bagi masyarakat difabel bahkan sudah dijamin oleh undang-undang. Hal ini tercantum pada Undang-Undang Dasar 1945, UU No. 4 tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM; juga Surat Edaran Menteri Sosial RI Nomor: A/A-50/VI-04/MS; Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI No. SE/09/ M.PAN/3/2004; Surat Edaran
“
○
Sudah berapa banyak kasus korupsi yang terungkap, yang semestinya dana tersebut bisa dialihkan ke aspek yang lebih penting. Misalnya, pemenuhan hak bagi masyarakat difabel.
PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012
6. ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
“
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Mirisnya, saat undangundang dibuat untuk mengatur dan menjamin hak masyarakat difabel, tidak dibarengi oleh sanksi jelas bagi para pelanggar undangundang ini.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional RI No. 3064/M.PPN/05/2006 Tentang Perencanaan Pembangunan yang Memberi Aksesibilitas bagi Penyandang Cacat. Namun, pada implementasinya masih banyak aspek yang tidak ramah bagi masyarakat difabel. Bentuk aksesibilitas bisa dibagi menjadi dua bagian. Aksesibilitas dalam bentuk fisik. Juga, aksesibilitas dalam bentuk pelayanan atau jasa. Mirisnya, saat undang-undang dibuat untuk mengatur dan menjamin hak masyarakat difabel, tidak dibarengi oleh sanksi jelas bagi para pelanggar undang-undang ini. Minimnya askesibilitas bagi masyarakat difabel dirasakan langsung oleh Agus Ariyanto, Ketua Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gergatin) Cabang Yogyakarta. Ia mengatakan, aksesibilitas khususnya di kota Yogyakarta masih kurang. Khususnya bagi mereka penyandang tuna rungu. Komunikasi yang sulit membuat beberapa kawan-kawan tuna rungu harus dibuat pusing oleh pelayanan pemerintah. Kali ini pengalaman dialami langsung oleh Agus. Saat ia harus bertransaksi di bank. Ia kesulitan saat menunggu antrian. Hanya bank pusat saja yang mempunyai fasilitas berupa visual. Di beberapa cabang, tidak didukung dengan fasilitas ini. “Contohnya, pada saat saya bermaksud untuk ambil uang di bank cabang Wirobrajan. Saya sudah menunggu hingga satu jam, belum dipanggil-panggil juga,” katanya. Lantas ia menanyakan pada petugas teller. Ia malah dimarahi. Petugas beralasan sudah memanggilnya berkali-kali. Lantas Agus mengatakan bahwa ia tuna rungu. Petugaspun paham, namun Agus sudah keburu patah arang. “Saat itu juga saya langsung menarik semua uang saya, lalu saya pindahkan ke bank lain,” sambungnya. Agus menjelaskan, bagi tuna rungu seperti dirinya, sudah sepantasnya ada bantuan teks visual di setiap bank. Selain pada pelayanan bank, Agus sangat menyesali sikap administratif Dinas Sosial sehubungan dengan keberlangsungan organisasinya. Padahal, Gergatin sendiri adalah organisasi yang dibawahi langsung oleh Dinas Sosial Provinsi DIY. Agus mengeluhkan sikap birokrasi yang berbelit-belit. Setiap pergantian pengurus Gergatin, maka pada saat itu surat-surat harus diperbaruhi ulang ke Dinas Sosial. Namun, hal ini menjadi sulit saat petugas menjelaskan secara tergesa-gesa. Juga, kawan-kawan harus disibukan dengan memenuhi kelengkapan surat yang seabrek.
○
○
○
○
○
○
LIPUTAN UTAMA .7 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Undang-undang No. 25 Tahun 2009 Tentang pelayanan Publik, pada pasal 4 menyatakan bahwa azas pelayanan publik diantaranya kesamaan hak, persamaan perlakuan, dan pelayanan yang menyediakan fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan. Undang-undang ini sudah menjelaskan bahwa aksesibilitas adalah semua orang. Undangundang ini pun mengamanatkan kepada pemerintah, agar melakukan perbaikan baik segi layanan juga fasilitas. Pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 30 Tahun 2006, pasal 3 ayat (1) dan (2) Bagian kesatu pun sudah menyatakannya dengan sangat jelas. Dalam merencanakan, dan melaksanakan pembangunan bangunan gedung dan lingkungan, harus dilengkapi dengan penyediaan fasilitas dan aksesibilitas. Setiap orang atau badan termasuk instansi pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib memenuhi persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas yang diatur dalam Peraturan ini. Namun, ternyata hal ini tidak dilakukan secara baik oleh pemerintah. Pada segi fisik, masih banyak kantor pemerintah, juga layanan transportasi yang tidak askesible. Sebut saja Trans Jogja, yang semula pada awal pembentukannya akan menjadi alat transportasi yang universal, juga masih terdapat banyak kekurangan dan fasilitas yang tidak aksesible. Nurul Saadah Andriani, Koordinator Badan Pengurus Sentra Advokasi Perempuan Difable dan
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Anak (SAPDA) menjelaskan, pada prakteknya Trans Jogja tidak aksesible. Misalkan pada haltenya, ram yang tersedia ketinggiannya bisa mencapai 30-35 derajat. Padahal, tinggi ideal ram adalah 7 derajat. Maka, kawan-kawan tuna daksa akan kesulitan mengakses hal tersebut. “Belum lagi kalau ram yang dipintu masuk itu mepet sekali dengan pohon atau taman jalan. Meskipun ada ram sekalipun, bagaimana kawan-kawan tuna daksa mau mengakses kalau untuk lewat saja sulit.” Paparnya.
Selain itu, hal yang sepele pun sempat membawa seorang kawan tuna netra bernama Wuri Septiani harus mengalami kecelakaan di halte transjogja. Sebagai mahasiswa, ia salah satu pengguna setia jasa transportasi Transjogja ini, namun, suatu hari, karena datangnya bis tidak mepet dengan bibir halte tempat masuk penumpang kedalam bus, Wuri
harus terperosok kebawah, karena celah yang ditimbulkan oleh bis dan bibir halte kira kira mencapai 50 cm. Celah ini, tidak hanya mempersulit kawan-kawan tuna netra saja, kawan tuna daksa yang harus memakai kursi roda juga akan kesusahan melewati celah ini. Hingga, kursi roda harus diangkat agar bisa masuk kedalam bis. Selain masalah tarnsportasi,
PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012
8. ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
gedung-gedung pemerintah yang berhubungan pelayanan publik pun masih minim di Yogyakarta. Gedung-gedung pemerintah, sepeti kantor DPRD, kantor Gubernur, Kantor kepolisian, hingga beberapa rumah sakit di Yogyakarta tidak memiliki standart aksesible bagi masyarakat difable. Pada rumah sakit misalnya, salah satu rumah sakit di daerah kota yogyakarta tidak memiliki fasilitas aksesible. Fasilitas bagi para difable hanya sebatas RAM. Lebih lanjut Nurul mengeluhkan masalah pelayanan. Hanya untuk meminjam sebuah kursi roda di RSUD tersebut, harus melalui proses yang panjang dan berbelit belit. Agus Ariyanto juga mengeluhkan fasilitas yang ada di jalan raya. Banyak dari beberapa temannya memang berhasil mendapatkan Surat Izin Mengemudi kendaraan roda dua. Meski begitu, masalah tetap terjadi. Saat beberapa traffic light di Yogyakarta mengalami kerusakan. Maka, kawan tuna rungu tidak mampu mendapatkan pertanda kapan harus berhenti. Kapan harus jalan. Juga dengan tuna netra. Agus mengatakan, hanya sebagian jalan yang memiliki aksesibilitas. Guiding Block yang sangat membantu bagi masyarakat tuna nutra hanya ada di beberapa tempat, seperti malioboro, taman pintar, atau tempat wisata. Hal ini menjadi kesulitan bagi mereka
“
Pada hakekatnya, aksesibilitas yang dimaksud adalah kemudahan yang disediakan bagi semua orang termasuk penyandang cacat dan lansia guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
sebagai pendatang dari daerah lain. “Beberapa teman, yang baru saja datang ke jogja. Baik untuk kuliah, atau berwisata. Seringkali kesulitan dalam mengakses jalan. Selain faktor belum hapal medan. Mereka, juga minim petunjuk, missal peta wisata yang timbul. Atau guiding block yang belum ada di seluruh tempat,” paparnya. Dari segi aspek fasilitas, memang tidak banyak bangunan atau bahkan jalan yang aksesible. Baru sebagian wilayah tertentu yang menyediakan fasilitas yang aksesible. Dalam hal ini, aksesible tidak hanya mencakup ram saja. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 30 Tahun 2006 sudah menjelaskan secara rigid, bahwa bangunan yang universal tidak hanya akan diakses oleh para masyarakat difabel saja. Tetapi, juga bagi para lansia juga ibu hamil. Pada hakekatnya, aksesibilitas yang dimaksud adalah kemudahan yang disediakan bagi semua orang termasuk penyandang cacat dan lansia guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Harry Kurniawan, Staff Central Universal Design For Diffable UGM mengatakan, selama ini konsep aksesibilitas di paradigma masyarakat umum hanya sebatas untuk para masyarakat difabel. Padahal tidak hanya itu. Manfaat sebuah konstruksi bangunan yang universal dan aksesible sesungguhnya mampu memudahkan semua orang. Sehingga, paradigma bahwa aksesibilitas hanya untuk para difabel, mengurungkan sebagian orang, bahkan pemerintah untuk membuat sebuah gedung atau jalan yang askesible. Harry Kurniawan, pada tulisannya pada Kompas, Minggu 28 Maret 2010 menyatakan bahwa...”dalam memahami aksesibilitas terdapat terminologi aksesibilitas, yaitu mindset (pola pikir), mobilitas (transportasi), lingkungan, dan
○
○
○
○
○
○
LIPUTAN UTAMA .9 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
bangunan. Pola pikir menjadi sangat penting karena dari sini kesepakatan-kesepakatan, benturan-benturan, maupun toleransi muncul. Pola pikir yang sama tentang kota yang aksesibel memberikan banyak peluang untuk menciptakan kondisi fisik dan sosial yang aksesibel. Siapa yang bisa didefinisikan sebagai penghuni kota penting untuk memulai pola pikir ini karena sejauh ini kota memang masih diperuntukkan bagi sebagian orang. Bagi anak-anak, kota masih sebuah ancaman. Bagi orang tua, kota adalah sebuah kurungan. Untuk pengguna kursi roda dan tunanetra, kota bagaikan wahana halang rintang dan uji nyali. Masih ada ibu-ibu hamil, teman-teman tunarungu, dan kelompok lainnya yang harus ‘berjuang’ di kotanya. Pola pikir bahwa semua orang mempunyai hak yang sama harus dibangun dan disebarluaskan. Instrumen-instrumen seperti sekolah-sekolah inklusif, pendidikan dini aksesibilitas, sosialisasi aksesibilitas, latihan simulasi, pameran-pameran, ataupun seminar-seminar harus ditingkatkan serta diperluas jangkauannya untuk menyebarkan dan menanamkan pola pikir ini.” Aksesibilitas sendiri mengandung 4 Asas yang tertuang dalam Peraturan Mentri PU No. 30 Tahun 2006. Pertama; keselamatan, yaitu setiap bangunan
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
yang bersifat umum dalam suatu lingkungan terbangun, harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang. Kedua; kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan. Ketiga; kegunaan, yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan. Keempat; kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Faktanya adalah, segala peraturan yang telah diupayakan oleh pemerintah memang belum sepenuhnya mampu terimplementasi dengan baik. Hal ini jelas dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor mendasar adalah kesadaran para pelaku kebijakan. Masyarakat difabel adalah masyarakat Indonesia yang juga berhak mendapatkan fasilitas yang sama. Stigma bahwa masyarakat difabel adalah bagian dari sebagian kecil masyarakat. Maka fasilitas yang seharusnya diperuntukan universal, masih menagnut asas mayoritas. Selain itu, pada pelaksanaan. Tidak banyak pelaku kebijakan memahami rules juga pedoman yang ada.
10. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
D
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
ifabel adalah kependekan istilah different abilities people (orang dengan kemampuan yang berbeda). Dengan begitu, masyarakat pada umumnya diajak untuk merekonstruksi nilai-nilai yang berbeda. Semula memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan. Pemahamannya kemudian diubah, menjadi pemahaman sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula. Ada dua penamaan istilah ‘difable’ dan ‘disable’. Dalam istilah ini, ada ketidaksepakatan, karena penggunaan istilah ini muncul dari perbedaan pemahaman sudut pandang. Difabel merupakan singkatan dari kata bahasa Inggris, Different Ability People, yang artinya orang yang berbeda kemampuan. Istilah difabel didasarkan pada realitas, bahwa setiap manusia diciptakan berbeda dan tidak menutup kesempatan untuk masuk dalam masyarakat. Pemahaman difable ini “menghilangkan” pemaknaan negatif dari kecacatan, sehingga memungkinkan semua orang terlibat dalam kegiatan masyarakat dengan cara mereka masing-masing. Istilah yang ke dua, disable atau dengan istilah lain disability, merupakan suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktifitas atau kegiatan tertentu, sebagaimana layaknya orang normal akibat ketidakmampuan fisik.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Perbedaan penggunaan istilah difable dan disable berangkat dari sudut pandang yang berbeda dalam setiap kelompok. Istilah disable lebih pada ketidaksempurnaan bagian fisik, sehingga tidak mampu melaksanakan aktifitas secara normal. Sedangkan istilah difable mencakup seluruh aspek, tetapi melihatnya hanya sebagai sebuah perbedaan semata dan menerima cara bertindak yang berbeda tersebut. Walaupun demikian, kedua istilah ini telah memberikan sudut pandang yang lebih ramah terhadap kelompok difable dibandingkan dengan penggunaan istilah penderita cacat atau penyandang cacat. Dengan pendekatan filosofi Jawa, sandang adalah baju. Itu biasa mencerminkan sosok yang menjadi ukuran, mulai dari sosial, ekonomi, dan budaya. Semua bisa di lihat dari sandangannya. “Cacat kok jadi sandangan,” terang Purwanti, selaku Office Program Sasana Integrasi Advokasi Difabel (SIGAP). Wanita yang akrab dipanggil Ipung ini mengatakan akhirnya muncul istilah ‘cacat vs normal’, sehingga kekurangan menjadi tidak semuanya, tidak mampu, dapat perlakuan lebih. Jadi pengakuan difabel tidak di terima sebagai manusia secara utuh. “Istilah penderita atau penyandang cacat cenderung membangun anggapan bahwa kecacatan adalah suatu beban. Penderitaan tersebut dijadikan stigma negatif dalam masyarakat yang menutup kesempatan bagi kelompok difable untuk ikut berpartisipasi dalam masyarakat,” ujarnya serius. Berangkat dari pemahaman di
○
○
○
○
○
○
LIPUTAN UTAMA .11 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Oleh MOH. FUAD HASAN
DIFABEL: MEREKA YANG TERLUPAKAN atas, masyarakat diharapkan tidak lagi memandang para difabel sebagai manusia yang hanya memiliki kekurangan dan ketidakmampuan. Setidaknya memperlakukan difabel, sebagaimana layaknya manusia umumnya, dan mempunyai potensi maupun sikap positif terhadap lingkungannya. Secara hakiki, kaum difabel mempunyai hak-hak dasar dan kebebasan yang di miliki semua orang. Hak untuk di perlakukan secara adil dan setara, bermartabat
yang sama, jaminan rasa aman dan terlindungi dari sakit, mendapatkan kehidupan yang baik, serta terlibat dalam komunitas atau kegiatan kemasyarakatan. REALITAS DIFABEL Berbagai peraturan yang mengatur tentang keberadaan para difabel, antara lain : - Resolusi PBB No. 48/96 Tahun 1993 pada peraturan no. 5 tentang peraturan aksesibilitas. - Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang mengatakan, setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan - Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa - UU No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat - UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
12. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
- UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung - Peraturan Pemerintah (perpem) No. 43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. - Keputusan Menteri Pelayanan Umum (Kepmen PU) No. 441/KPTS/ 1998 Tentang Persyaratan Teknis Bangunan Gedung. - Keputusan menteri pelayanan Umum (Kepmen PU) No. 468/KPTS/ 1998 tentang persyaratan teknis aksesibilitas pada bangunan umum dan lingkungan. - Keputusan menteri perhubungan no KM (peputusan menteri) 71 tahun 1999 tentang aksesibilitas bagi penyandang cacat dan orang sakit pada sarana dan prasarana perhubungan - Peraturan menteri pekerjaan umum nomer 30/PRT/M/2006 tentang pedoman teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan. - Uu nasional tahun 2011 tentang - Perda No 7 tahun 2009 tentang perlengkapan difabel. - Peraturandaerah kota yogyayakarta tahun 2011 tentang bangunan gedung. - Peraturan daerah tentang penyandang disabilitas no 4 tahun 2011 Secara lahiriah, perundangan dan peraturan tersebut hingga saat ini belum terealisasikan secara memadai. “Alasan yang sering digunakan dan cukup klasik adalah tidak tersedianya anggaran untuk membangun fasilitas dan aksesibilitas bagi difabel,” ujar Ignas Triyono, analis masalah Kementerian Kanwil HAM Yogyakarta. Dia menambahkan, sejauh ini selalu melakukan pendampingan terkait dengan aksesibilitas yang ada di wilayah Jogja. Bahwa undang undang disabilitas sudah di tetapkan tanggal 12 mei 2012 kemaren, 15 mei 2014 akan di tindak lanjuti selang dua tahun berikutnya. Risna utami aktifis penggerak roda kemanusiaan, dan bagian dari tim pembuat perda “saat ini selesai di undangkan, realisaasinya dua tahun kemudian”. FASILITAS PUBLIK Jalan raya yang belum ada jalur penyeberangan menjadi bagian dari keresahan kaum difabel. “Takut saat mau nyebrang di sekitar Jalan Solo dekat Amplas, naik motornya kenceng-kenceng,” terang Akbar Setiawan, mahasiswa UIN Jogja, difabel tunanetra. Ia menambahkan, saat pergi ke pusat perbelanjaan, ia harus mengajak teman, sebagai sarana untuk mencarikan barang yang diinginkan. Ia juga mengeluhkan fasilitas umum seperti stasiun, yang tidak ada penunjuk jalan dengan braile untuk tunanetra. Sementara bagi Eko Wahyudi, mahasiswa Fakultas Tarbiyah UIN Jogja, yang juga seorang difabel tunanetra mengeluhkan layanan umum yang lain. Masyarakat juga kurang tertib, misalnya parkir di jalan yang sering dilintasi oleh difabel tunanetra. Lubang-lubang yang belum ditutup, dan itu membahayakan. “Takut melintas terperosok ke
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
lobang,” kata Eko. Di lain sisi, Ipung menegaskan bahwa sejauh yang ia temui, fasilitas umum yang aksesibel adalah Stasiun Tugu dengan Stasiun Balapan Solo. “Itu hasil dari kebijakan presiden di era Gus Dur. Setelah lengser, proyek aksesibility tidak berlanjut,” katanya. Ipung menjelaskan, di bandara, kaum difabel harus memberikan pernyataan surat dari dokter bahwa penumpang pesawat adalah mendereta sakit. Harus tandatangani di atas materai. Surat tersebut berisikan, jika terjadi apa-apa pada penumpang, maka pihak maskapai penerbangan tidak bertanggung jawab, karena dianggap ketika naik pesawat dalam kondisi sakit. “Ini pelanggaran HAM, masih Kursi roda di anggap barang seperti barang lainnya. Jika rusak, maka itu tanggung jawab penumpang,” ujarnya. Lain halnya dengan aksesibilitas non fisik, seperti pendidikan. Andayani, Wakil Direktur Pusat Layanan Difabel (PSLD) UIN mengatakan bahwa harus ada pendidikan inklusi. Menurutnya, penerapan pendidikan inklusi adalah pendidikan yang mengacu pada sebuah sistem atau lingkungan pembelajaran. Ia harus mampu mengadopsi semua kebutuhan anak tanpa terkecuali. “Dengan inklusi bisa dimunculkan sebagai solusi atas termarjinalkannya berjuta anak dari pendidikan karena latar belakang gender, agama, etnik, budaya, bahasa, kemampuan fisik, dan intelektual (difabilitas), kondisi sosial dan ekonomi,” katanya. PENANGANAN DIFABEL Polisi sebagai pengayom masyrakat, itu tidak bisa kita pungkiri. Terbukti kinerja yang telah dilakukannya, seperti mengatur lalulintas, menjaga keamanan di saat even-even besar yang memungkinkan itu banyak yang akan
○
○
○
○
○
○
LIPUTAN UTAMA .13 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Polresta Yogyakarta, belum pernah mengeluarkan SIM untuk kaum difabel. Belum ada motor yang diuji kelayakannya. Meski begitu, ia setuju jika kaum difabel harus di beri ruang khusus untuk melakukan mobilitas.
datang pada acara tersebut, seperti konser musik, karnaval, dan sebaginya. Itu semua wujud dari keterlibatan dari kepolisisan dan pengamanan acara demi kelancara acara, dengan harapan bisa terselenggara dan berjalan dengan baik. Di tengah rumitnya birokrasi kepolisian, berbagai pos surat di kepolisisan agar bisa sampai pada nara sumber dan bisa melakukan wawancara pada pihak yang terkait. Tahapan pertama ita disuruh kasih surat ke SIUM, selang 3 hari baru konfirmasi surat. Setelah itu masih pencatatan surat masuk lagi di bagian administrasi personal. Spesifaksinya untuk konfirmasi surat pengantar wawancara masih di tunda lagi, dengan alasan masih nunggu tindak lanjut dari pimpinan.selang 2 hari berikutnya ambil surat yang sudah di setujui
“
○
dari pimpinan. Bagi saya itu ribet, mesti kesana kemari ngurus administrasi. Padahal sekarang era digital kenapa tidak langsung terhubung ke pimpinan, padahal terlihat setiap pimpinan banyak staff, sesuai dengan jobdesk yang di kehendaki pimpinan. Terlalu banyak orang yang di kantor, jadi stafnya di banyakin kali. Intermezzo Difabel tidak serta merta semuanya tidak bisa mengendarai motor. Masih ada difabel yang bisa menjalankannya. Seperti difabel tuda daksa, tuna rungu dan tuna wicara. Mereka masih bisa mengendarai motor dengan kreatifitas masing-masing. Tuna daksa berkendara motor dengan motor yang dimodifikasi sendiri dengan menambah roda di bagian belakang. Itu dilakukan bentuk dari kemandirian yang dilakukan kaum difabel. Kecacatan tidak menjadi
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
hambatan untuk melakukan mobilitas. Namun berbeda dalam pembuatan Sim, yang notabene pengakuan berkendara untuk orang difabel. “Jogja belum pernah mengeluarkan SIM D. karena UU dengan SIM D memang belum jelas dan pasti. karena belum ada motor yang sudah di uji kelayakannya” jelas Bambang S. Wibowo kasatlantas POLRESTA. “Sekarang saya sudah mempunyai SIM D. Namun untuk mendapatkan SIM D penuh perjuangan dengan ngeyel,” kata Ipung. Tapi sejauh ini, SIM D sebatas bentuk untuk membedakan dengan SIM A, SIM B, dan SIM C, karena di dalamnya tidak menunjukkan kategorisasi SIM difabel, semua di sama ratakan. Padahal kaum difabel itu tidak sama, baik itu tuna wicara maupun tuna daksa. Sejauh ini, Bambang S. Wibowo, Kasatlantas Polresta Yogyakarta, belum pernah mengeluarkan SIM untuk kaum difabel. Belum ada motor yang diuji kelayakannya. Meski begitu, ia setuju jika kaum difabel harus di beri ruang khusus untuk melakukan mobilitas. “Bagaimanapun juga, kaum difabel itu tidak bisa berperilaku seperti layaknya orang normal. Bisa-bisa tidak diperkenankan untuk naik motor, karena keterbatasannya,” tambah Bambang.
14. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
M
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Oleh INTAN PRATIWI anusia hakekatnya terlahir sebagai makhluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan. Namun, ditengah kesempurnaan ciptaan tersebut Tuhan yang maha berkehendak tidak memberikan kesempurnaan-Nya pada setiap manusia. Maka, hadirlah mereka para manusia yang harus kehilangan sebagian kemampuannya. Keberadaan kaum difabel ini menjadi perhatian tersendiri. Masyarakat difabel ini tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga ada diseluruh belahan dunia lain. Mereka juga manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Namun,kenyataanya, seringkali hak dan kewajiban mereka masih terpinggirkan karena stigma yang ada di masyarakat. Stigma yang timbul di mata masyarakat bahwa difabel adalah kaum yang cacat. Kenyataan ini memang tidak dielakan. Tetapi, ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa anggapan cacat ini menghasilkan streotipe masyarakat. Sehingga, masyarakat difabel dianggap tidak bisa mandiri. Hal ini yang menjadi perdebatan beberapa pihak, status penyandang cacat oleh beberapa NGO yang bergerak dibidang advokasi difabel menyingkirkan kata penyandang cacat ini disematkan kepada masyarakat difabel. Seperti apa yang dilansir dalam Difable News yang dimotori oleh Sentra Advokasi Perempuan Difable Anak (SAPDA). Mereka menyatakan bahwa penggunaan kata ‘difable’ atau ‘disable’ masih menjadi perdebatan. Ketidaksepakatan penggunaan istilah ini
Antara Difable atau
DISABLE?
○
○
○
○
○
○
LIPUTAN UTAMA .15 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
muncul dari perbedaan pemahaman sudut pandang. Difabel merupakan singkatan dari kata bahasa Inggris, Different Ability People yang artinya Orang yang Berbeda Kemampuan. Istilah difabel didasarkan pada realitas, setiap manusia diciptakan berbeda dan tidak menutup kesempatan untuk masuk dalam masyarakat. Pemahaman difabel menghilangkan pemaknaan negatif dari kecacatan sehingga memungkinkan semua orang terlibat dalam kegiatan masyarakat dengan cara mereka masing-masing. Penggunaan istilah yang lain, yakni disable. Berdasarkan istilah ‘disability’ merupakan suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktifitas atau kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal akibat ketidakmampuan fisik. Nurul Saadah Andriani, Ketua SAPDA menjelaskan, setiap masyarakat difabel adalah manusia normal yang tidak ingin disingkirkan eksistensinya. Penyingkiran kata penyandang cacat bagi para difabel ini dimaksudkan untuk menghilangkan streotipe masyarakat umum, bahwa para difabel ini tidak mandiri, atau pun malah tidak produktif. Nurul menyampaikan, sebenarnya banyak diantara para difabel memiliki prestasi dan kelebihan yang tidak dimiliki oleh masyarakat umum biasa. Ditengah keterbatasan yang harus dialami oleh masyarakat difabel, sesungguhnya mereka juga ingin menunjukan dirinya bahwa dirinya tidak selalu harus dikasihani. “Analoginya begini, kita sama sama berjalan. Bedanya, Anda memakai dua kaki, sedangkan saya, memakai satu tongkat. Pada hakikatnya apa yang kita lakukan adalah sama. Sama sama berjalan. Namun, cara saya yang berbeda dengan kebanyakan orang. Pemahaman ini yang seharusnya bisa ada di mindset masyarakat. Kita hanya berbeda cara dalam melakukan aktivitas,” papar Nurul. Perbedaan penggunaan istilah ‘difable’ dan ‘disable’ berangkat dari sudut pandang
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
yang berbeda dalam setiap kelompok. Istilah disable lebih mengarah pada perbedaan karena adanya ketidaksempurnaan bagian fisik, sehingga tidak mampu melaksanakan aktifitas secara normal. Sedangkan istilah difable mencakup seluruh aspek, tetapi melihatnya hanya sebagai sebuah perbedaan semata dan menerima cara bertindak yang berbeda. Walaupun demikian, kedua istilah ini telah memberikan sudut pandang yang lebih ramah terhadap kelompok difabel dibandingkan dengan penggunaan istilah penderita cacat atau penyandang cacat. Istilah penderita atau penyandang cacat cenderung membangun anggapan bahwa kecacatan adalah suatu beban. Penderitaan tersebut dijadikan stigma negatif dalam masyarakat yang menutup kesempatan bagi kelompok difable untuk ikut berpartisipasi dalam masyarakat. Nurul juga menegaskan, minimnya aksesibilitas bagi para difabel ini didasari penuh oleh kurangnya pengetahuan masyarakat tentang isu ini. Pengetahuan yang tidak cukup membuat rasa peka, juga toleransi terhadap masyarakat difabel ini tidak muncul. Maka, sosialisasi dan pendekatan bahwa masyarakat difabel juga manusia yang mampu berperan dalam dunia sosial masih harus terus digalakan.
Istilah disable lebih mengarah pada perbedaan karena adanya ketidaksempurnaan bagian fisik, sehingga tidak mampu melaksanakan aktifitas secara normal. Sedangkan istilah difable mencakup seluruh aspek.
“
○
○
○
16. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
PENDIDIKAN INKLUSI: Sebuah Harapan Oleh MOH. FUAD HASAN
Di sektor pendidikan yang tertuang dalam UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan hak setiap warga negara untuk memperolah pendidikan sesuai dengan jenjang, jalur, satuan, bakat, minat, dan kemampuannya tanpa diskriminasi. Dengan kata lain, dalam sektor pendidikan formal seharusnya tidak ada lagi sekat sosial yang membedakan para difabel dengan masyarakat umum.
O
rang tua bisa mendaftarkan anak difabel mereka ke sekolah umum.UU No. 4 Tahun 1997 pasal 12 mewajibkan lembagalembaga pendidikan umum menerima para difabel sebagai siswa.Kewajiban seperti inilah yang disebut sebagai model inklusi.Model inklusi adalah peluang bagi terjadinya interaksi sosial antara para difabel dan masyarakat pada umumnya. Sayangnya, belum banyak difabel yang mengakses sekolah model inklusi akibat minimnya informasi mengenai sekolah inklusi, ketiadaan biaya, infrastruktur yang kurang mendukung serta kondisi kultural budaya yang cenderung ‘menyembunyikan’ anak difabel karena dianggap sebagai aib. Mau masuk sekolah ada aturan, ketika mau daftar persyaratannya ada yang diskriminatif, di situ tertulis untuk calon siswa baru harus sehat jasmani dan rohani. Peraturan
○
○
○
○
○
○
LIPUTAN UTAMA .17 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
seperti itu jelas mendiskreditkan para difabel. Disitujelas terdapat pelanggaran yang memang tersistematis. “SMU 8 solo adalah salah satu sekolah disolo yang sudah menerapkan pendidikan inklusi. Untuk sampai kesana mesti melewati jalan berkelok-kelok dan naik. Namun disana masih pilah pilih tingkat kedifabelannya. Kalau masih bisa di tangani oleh guru dengan mudah, maka dia akan menerimanya, begitu sebaliknya” terang ipung. Kaum difabel sebagian menstigma dirinya sendiri, terlebih kaum perempuan, dengan kondisicacat, miskin). karena dia berfikir bahwa nanti dia sebagai ibu rumah tangga. Diperlakukan diskriminasi dan mudah menjadi sasaran tindakan kriminal. *** Terbentuknya Pendidikan yang inklusi, maka Semua anak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bernutu dan tidak didiskriminasikan. Semua anak mempunyai kemampuan untuk mengituki pelajaran tanpa melihat kelainan dan kecepatan. Perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi semua anak. Sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merespon dari kebutuhan pembelajaran yang berbeda. Membangun kesadaran dan consensus pentingnya pedidikan influsi sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yg diskriminatif. Melimbatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan local, memgumpulkan infomasi Semua anak pada setiap sistrit dan mengidintifikasi alas an mengapa mereka tdk sekolah. mengindenfikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, social, dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran. Melibatkan masyarakat dalam melakukan perecanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak. Ada semacam pelatihan ketrampilan untutuk tuna daksa yang masih bisa di organisir. “Sejauh ini terbentuk yayasan center worksop, yang menmpung karya difabel yang bisa di jual.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Sampai mengelas topi baja perang amerika, sistetem perumahan” kata ipung. Perlunya pendidikan iklusi maupun masyarakat inklusi. “ Kalau difabel di kumpulkan jadi satu maka tidak akan bisa mandiri karena dia akan terjun ke masyarakat ”. Berkaca ke negara Jepang, ada biro yang memang menangani kaum difabel. Di sektor pekerjaan Tuna grahita dipekerjakan memasang skrup, meamsukkan baju ke plastik. Namun sejauh ini di negara Indonesia sangat berbeda jauh, “para kaum difabel yang cacat sebagai target sasarannya dinas sosial, semuanya persoalan difabel di larikan kesana. Seperti halnya persoalan kesehatan misalkan sakit darah tinggi, gagal ginjal, demam apa mesti ke dinas sosial” tanya ipung. KURIKULUM DI DIFABEL Di tingkatan difable, kurikulum menjadi persoalan karena lebih cendrung pada kurikulum skill ketrampilan. Untuk tuna netra di arahkan pada pengenalan saraf yang nantinya akan menjadi tukang pijit. Tuna daksa lebih di larikan ke pertukangan , tidak yang lain (akademis, keilmuan). Berbeda dengan yang normal. Karena lebih bias untuk belajar materi kimia, biologi, fisika dan lain. Temen-temen difabel sejak sekolah dasar luar biasa (SDLB) yang tunanetra adalah lebih mengarah ke tukang pijat, karena di situ di kenalkan namanya saraf. Sejauh ini yang tidak mau mengambil resiko, Akhirnya guru-guru cuci tangan, karena mengambil pada titik aman dan tidak merepatkan sekolah itu sendiri, Tenaga pendidik belum bisa mencakup pada tementemen difabel. Karena pendidikan inklusi belum bisa merambah di setiap sekolah. Istilah kurikulumnya blm dapat Maka muncullah pandangan gebyok uyah (di pukul rata). Dimana proses belajar mengajar di sekolah lebih memihak pada siswa yang normal (tidak cacat), kaum difabel belum dapat ruang. Menerapkan sekolah inklusi, artinya menerima semua lini. Akan terasa humanis sekali ketika semua sekolah mau menerimanya. Mentaritardasi menjadi Semangat temen2 difabel. SDLB, SMPLB, SMU . kurikulum tidak mampu menjadi dasar untuk menjadi sekolah yang lebih lanjut. Karena kurikulum yang diajarkan tidak mampu menjadi dasar untuk menunjang sekolah berikutnya. Yang salah bukan difabel namun sistem sekolah yang telah di bangun. Ini menjadi merupak sebuah problem yang terbentuk oleh sistem , dan itu memang bukan pada difabelnya.
○
○
○
○
18. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
JALAN UMUM & RAMBU-RAMBU
HARUS AKSES
BAGI KAUM
DIFABEL Jalan umum dengan rambu-rambunya adalah satu yang fundamental bagi setiap orang. Termasuk bagi mereka yang menyandang difabilitas. Entah itu tuna netra, tuna daksa, tuna rungu, dan beberapa lainnya. Kaum difabel juga membutuhkan jalan yang mereka dapat pahami dan dapat mereka gunakan. Saat ini, Indonesia masih problematik dengan jalananan yang akses itu. Jalanan masih belum universal desain, dan melanggar hak-hak kaum difabel. Berikut adalah wawancara Pledoi dengan Risna Utami, Ketua Konsorsium Nasional Difabel. Oleh: M. Syafi’ie
Apakah kaum difabel menganggap ada problem di jalan umum saat ini ? Ya pasti ada. Persoalan jalan umum salah satunya lampu merah yang sampai sekarang masih belum ada petunjuknya yang bisa dijadikan pegangan bagi kaum difabel. Saya sangat khawatir, kalau ada teman-teman yang memakai kursi roda di jalan raya kemudian mau
menyebrang, pasti mereka kesulitan sekali. Soalnya pemerintah saat ini belum ada tanda-tanda menyediakan jalanan yang akses bagi difabel. Desain lalu lintas di jalan umum saat ini belum akses.
Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menyediakan jalanan yang akses bagi difabel?
○
○
○
○
○
WAWANCARA .19 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Menurut saya yang dibutuhkan itu say need, yaitu tanda untuk menyeberang. Itu kaitannya dengan teknologi, disitu ada tombol dan jika ditekan itu akan berwarna putih. Ketika tombol dipencet dan berwarna putih semua kendaraan harus berhenti, dan semua kaum difabel itu menyeberang. Kaum difabel disana dihormati dan dipenuhi hak-haknya di jalan umum. Di Indonesia, itu belum dilakukan, yaitu membuat rambu–rambu atau tanda yang bisa digunakan untuk semua jenis kaum difabel : tuna rungu, tuna netra, tuna daksa, dan lainnya. Rambu dan tanda-tanda itu berfungsi untuk melayani secara khusus para kelompok rentan, para kaum difabel dan termasuk untuk kaum lansia. Disitu ada suaranya juga. Bisa dikatakan rambu-rambu dan jalan umum disana sudah universal desain, bisa diakses oleh semua manusia.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Mengapa di negara lain seperti Amerika, aksesebilitas bisa terpenuhi? Ya. Kalau di Amerika itu sudah ada standar aturannya, itu terhimpun dalam aturan american civility of act. Disitu tinggal dilihat di section disability dan say need. Disitu cukup jelas standar-standar yang harus dipenuhi oleh pemerintah di jalan umum. Negara bagian tinggal mengadopsi saja untuk diterapkan di negaranya masing-masing. Disana sudah universal desain di semua negara bagian, bagi siapa yang melanggar terhadap aturan itu tentu akan mendapatkan sanksi yang berat. Terus disana juga ada document disability. Dimana setiap kaum difabel diidentifikasi setiap disabilitasnya, dan dokumen itu nanti digantungkan di mobil. Itu menjadi tanda bagi polisi untuk memberikan parkir sesuai kekhusasannya kepada kaum difabel. Kalau ketentuan penempatan itu dilanggar, nanti dikenakan sanksi juga. Kaum difabel disana bisa beraktifitas seperti manusia pada umumnya. Mereka tidak terkendala ketika di jalanan dan menaiki mobil. Soalnya jalanan sudah akses, parkir akses dan mobil juga terdesain akses.
Kalau anda membayangkan polisi dan rambu-rambu di Indonesia bagaimana? Tergantung daerahnya. Daerah seperti Solo dan Yogyakarta, polisi relatif ramah kepada penyandang difabel. Itu sikap polisi. Tapi untuk sistemnya, semisal rambu-rambu, pemerintah
○
○
○
○
○
○
○
20. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Indonesia belum membuatnya. Rambu belum ada suara, belum ada tombol, belum ada tanda khusus, belum ada ram dan tidak desain universal. Jadi saya katakan, jalan umum saat ini belum akses.
Ada hal positif lain? Ya ada. Kendaraan disana ada standar kecepatan sehingga tidak membahayakan bagi para pejalan, termasuk kaum difabel. Pengawasan lewat satelit, kalau melebihi standar nanti akan terkena denda. Jadi bisa dilihat dari satelit, kalau anda melakukan pelanggaran nanti hari, tanggal, jam, dan berapa detailnya nanti akan jelas. Suratnya akan diantar ke rumah yang bersangkutan
Peran polisi bagi difabel disana bagus ya? Betul. Disana, polisi sangat menjadi sahabat kaum difabel. Artinya, polisi benar-benar yang mengendalikikan transportasi publik. Polisi yang bisa melindungi dan mengatur lalulintas. Contoh, ketika saya menunggu bus, dan tidak datang- datang, saya kedinginan, lalu teman saya bilang kepada polisi kalau saya kedinginan. Tanpa butuh waktu lama, saya dibawa ke dekat toko dan polisi bilang kepada pemilik tokonya ‘tolong perempuan ini dibawa ke tokomu, dia kedinginan’. Sama pemilik toko, saya dibawa kedalam. Polisi itu juga menelpon putugas transpotasi, baik kereta maupun kendaraan
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
umum untuk datang dengan alasan ada penumpang difabel yang sudah lama menunggu. Tidak lama, busnya langsung datang dan kita itu cuma berdua : saya dan teman. Sebelum berangkat kendaraan dicek betul, dipasangkan sabuk pengamannya, dan yang tuna netra, sebelum duduk dikursinya, kendaraan tidak boleh jalan. Ini juga terkait dengan ketertiban. Setiap transportasi yang diutamakan adalah kaum difabel dulu. Difabel dipersilahkan masuk terlebih dahulu, setelah itu baru yang lain. Sopir disitu menunggu dan melayani. Sopir kendaraan umum disitu sama dengan polisi : melindungi dan menjaga.
Mengapa Polisi dan Sopir disana positif dalam kinerjanya? Ya. Polisi benar membantu dan melindungi masyarakat. Apalagi seperti kaum difabel, polisi benarbenar membantu dan tidak pernah mengkompasi. Sopir juga sama, melayani dengan baik. Sebab, jika tidak mereka akan dikenakan sanksi atau scores sehingga mereka takut akan kehilangan pekerjaannya. Jadi, disana hukum memang melindungi masyarakatnya, dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya, termasuk bagi aparat dan petugas transportasi umum. Apalagi melenggar terhadap hak-hak kaum difabel, besar sanksinya. Saya tidak tahu mengapa tersistem seperti itu. Menurut saya, seperti yang bisa melakukan itu ialah Presiden dan Kongres Disability. Karena itu, saya terinspirasi untuk membuat itu di Jogja. Masuk ke Gubenur dan mendorong pemenuhan ruang publik yang akses bagi kaum difabel.
Secara kultural apakah masih terjadi diskriminasi? Ya. Masih terjadi diskriminasi terhadap difabel. Memang perlu ada pendidikan masyarakat bagaimana memberlakukan kaum difabel, dan bagaimana mereka mestinya menggunakan jalan umum. Makanya, perlu pemerintah mengumpulkan warganya dan memberkan pengarahan-pengarahan. Dan pelayan publik juga perlu ditraining seperti, sopir dan polisi. Kaum difabel perlu dilibatkan disitu, sehingga pejabat publik itu mendengar terhadap persoalan-persoalan yang dikeluhkan. Masalahnya, kaum difabel dijalanan sering dilanggar, ada penumpang tuna nerta atau yang memakai kursi roda menuggu bus berkali-kali, tapi busnya tidak mau berhenti. Karena para tukang bus itu
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
tidak mau repot ngurusi para pengguna kursi roda, tuna netra, dan tuna rungu misalnya. Bahkan, pengalaman pernah pemakai kursi roda, dihitung dengan rodanya. Itukan tidak manusiawi.
Pelayanan transportasi umum masih problematik? Ya. Karena mereka tidak mau repot. Saya juga pernah naik kereta api, tapi petugasnya membiarkan saya dan tidak bertanya apa-apa. Pernah, waktu itu saya mau naik, tapi tidak ada yang bantuin. Hanya satu penumpang dan satu penjaganya. Saya heran, kok tidak ada dari petugas kereta api yang bertanggung jawab terhadap penumpangnya, apalagi kaum difabel yang memang butuh bantuan. Seharusnya, dari petugas kereta api ada yang menangani untuk orang-orang difabel. Biasanya ada tanda dan informasi bagi difabel untuk masuk di satu ruangan dan ketika naik kereta api itu ada petugas khusnya yang menagani itu.
Berangkat dari problem itu, apa yang anda usulkan untuk memperbaiki itu semua? Menurut saya, Presiden harus menjadi vocal point pengarusutamaan pemenuhan hakhak penyandang disable. Presiden harus mengutamakan programprogram disability rights bagi setiap Kementerian. Jadi pembagian tugasnya jelas bagaimana hak-hak penyadang difablitas itu dipenuhi. Karena kalau yang mengarahkan dari pucuknya, maka otomatis program di bawah akan terbangun sistematis. Presiden harus membuat
○
○
○
○
○
○
○
“ ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
WAWANCARA .21 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Setiap transportasi yang diutamakan adalah kaum difabel dulu. Difabel dipersilahkan masuk terlebih dahulu, setelah itu baru yang lain. Sopir disitu menunggu dan melayani. Sopir kendaraan umum disitu sama dengan polisi: melindungi dan menjaga.
“
○
gebrakan sehingga kaum difabel tidak selalu terdiskriminasi dan tidak dapat merasakan hak-haknya. Ketika kuliah di Amerika, saya sudah merasakan dampaknya. Sebagai orang Indonesia, saya benar-benar disediakan fasilitas yang sesuai dengan difabilitas saya. Hukuman bagi kampus yang tidak akses disana juga besar sekali. Jadi, berangat dari sistem semua pelayanan yang akses disana terpenuhi. Saya di Yogyakarta juga berharap ada sistem yang direncanakan, dan sekarang kita sudah punya Peraturan Daerah tentang itu. Dengan dukungan Gubernur, semoga hak-hak kaum difabel terhadap ruang publik yang akses dapat terpenuhi ke depan.
22. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
PENANGANAN KELOMPOK RENTAN; Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh LA ARPANI
Keseriusan negara dalam penanganan kelompok rentan (kaum difabel) di Indonesia harus diakui masih jauh dari harapan. Asumsi ini paling tidak bisa di lihat dari tingginya angka kekerasan kepada k.elompok tersebut. Pada medio 2009 hingga februari 2010, terdapat 136 kasus kekerasan dengan jumlah korban perempuan sebanyak 211 orang (Kedaulatan Rakyat, 9 Maret 2010) Adapun dari beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan di atas yang paling dominan adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Fakta kekerasan yang sama juga disampaikan Kanit Idik V, Ana Rochayati, Satreskrim Polresta Yogyakarta.”Kasus kekerasan
terhadap perempuan setiap tahunnya selalu ada, terakhir Januari-Desember 2011, terdapat 51 kasus kasus kekerasan terhadap perempuan. Termasuk kekerasan terhadap anak,” katanya. Meskipun ada catatan lain. Sampai dengan Juli 2012, terjadi indikasi penurunan dengan persentase 11 kasus. Perlu dicatat, bahwa terkait dengan hal ini, ada sederet regulasi sangat jelas. Mulai dari Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Ada juga Peraturan Pemerintah No. 04 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan. Selain itu, dilengkapi juga dengan Instruksi Presiden No. 09 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Kemudian ada juga Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 01 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Harus diakui, sistem hukum saat ini belum bisa melindungi perempuan. Kekerasan terhadap perempuan masih terus ditemukan. Selain itu justru ada kriminalisasi terhadap korban kekerasan, yang seharusnya dilindungi. Hal yang sama juga di sampaikan oleh Ratna Barota Munti, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). Ia menjelaskannya melalui siaran pers yang di terbitkan Jaringan Kerja Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan (Jaker PKTP), pada 31 Mei 2012 yang lalu.
○
○
○
○
○
○
MONITOR .23 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Ia mengatakan, kecenderungan hukum saat ini menunjukan perempuan korban kekerasanlah yang justru di kriminalisasi, diproses bahkan ditahan sebagai tersangka. “Meskipun berbagai undang-undang sudah dikeluarkan, namun nyatanya belum efektif,” ujarnya. Ketentuan yang selama ini diterapkan terkesan tidak punya efek apa-apa. Hal ini juga disetujui oleh Ana Rochayati, “Kekerasan terhadap perempuan mulai dari tahun 1998 sampai saat ini, persentasenya sangat meningkat. Modusnya beragam, tapi yang paling menonjol yaitu kekerasan dalam rumah tangga,” katanya. Menurut Ana Rochayati, ini lebih dimotivasi oleh persoalan ekonomi. Juga terkait dengan munculnya istilah Pria Idaman Lain (PIL) atau Wanita Idaman Lain (WIL). Pentingnya pelibatan banyak pihak dalam hal penanganan kekerasan terhadap perempuan ini kembali di sampaikan Ana Rochayati. “Sebagai tindakan preventif, Polresta Yogyakarta membangun mitrakerja di luar Kepolisian. Seperti kerja sama dengan pihak Pemkot dan LSM,” katanya. Dengan membangun kerja sama seperti itu, harapannya akan meredam aksi kekerasan terhadap perempuan. Penting juga pelibatan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan bila perlu tokoh adat sebagai bentuk kontrol sosial. Kekerasan yang sama tidak hanya terjadi pada perempuan, akan tetapi juga terjadi pada anak. Anak-anak semestinya dilindungi dan diberikan hak-haknya. Faktanya, mereka justru dikerdilkan. Dari berbagai penelitian kekerasan terhadap anak, terjadi pada berbagai kebudayaan dengan cara dan bentuknya. Konon, kekerasan adalah bagian penting dari manusia. Meminjam istilah Thomas Hobbes (15881679), yang menyebut manusia sebagai mahluk yang dipenuhi dorongan-dorongan irasional, anarkis, saling iri, dan membenci sehingga menjadi jahat, kasar buas, dan pendek pikir. Meskipun hal ini disangkal oleh Jean Jaques Rousseau (1712-1778), yang berdalih bahwa manusia pada dasarnya adalah ciptaan yang polos, mencintai diri secara spontan serta tidak egois. Menurut Rousseau, rantai peradabanlah yang telah membentuk manusia menjadi ‘binatang’ seperti sekarang. Pada beberapa kebudayaan, masih menyamakan persepsi antara disiplin dan kekerasan. Belum terbedakan antara sanksi dan hukuman fisik-psikis. Masih terdapat indikasi ketidakjelasan perbedaan antara mengajar dan menghajar. Disebutkan untuk mengajar anak, namun di lakukan dengan cara menghajar. Dikatakan agar anak disiplin, namun dilakukan penuh kebencian, dendam dan kekerasan. Perselisihan antara orang tua, korban pelam-
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
piasan seringkali anak-anak. Banyak orang tua yang menganggap kekerasan pada anak sebagai hal yang wajar. Tetapi mereka justru tidak pernah terpikirkan akan dampak dari tindakan tersebut. Padahal, kecenderungan berpikir dan bertindak anak sangat ditentukan oleh lingkungan. Ketika seorang anak besar dalam lingkungan yang ramah, maka akan mempengaruhi sikap dan perlakuan anak itu. Sebaliknya, ketika anak besar dalam lingkungan keluarga yang brutal, maka sikap dan karakter anak itu juga akan turut brutal. MENELISIK PERAN KEPOLISIAN Putih hitamnya kinerja Kepolisian dalam menjalankan fungsi dan perannya, sangat dipengaruhi latar belakang pendidikan para personilnya. Jika kemudian muncul tindakan kekerasan yang dilakukan oknum Kepolisian. Ini artinya, ada sistem pendidikan di dalam Kepolisian yang juga harus dibenahi. Terkait fungsi dan tugas Kepolisian, sejatinya seorang Polisi tidak hanya melaksanakan tugas yang ditetapkan oleh negara atau tugas yang ditentukan oleh pimpinan. Polisi juga di tuntut melaksanakan tugas-tugas di luar dari itu. Seperti, bagaimana Polisi merespon setiap gejolak sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ironisnya, ada berbagai masalah sosial belum tertangani secara maksimal. Meski memang harus diakui bahwa fungsi Kepolisian adalah pelindung dan pengayom. Aiptu Bambang Sutrisno, Kasi Humas Polsek Kotagede, mengakui bahwa fungsi itu belum berjalan secara maksimal. “Polri selalu membenahi diri untuk lebih meningkatkan kerja kepolisian untuk mencapai kesempurnaan. Kalau sempurna saya yakin belum, masih perlu perbaikan yang jelas kita berupaya sebaik mungkin untuk meningkatkan kualitas dalam hal perlindungan, pengaman dan pengayom kepada masyarakat,” katanya. Hal yang sama diakui oleh Agung Marsono, Kadis Humas Polsek Piyungan. “Sampai sekarang di Kepolisian, fungsi pengaman, pelindung dan pengayom itu belum terwujud sepenuhnya,” kata Agung. Bagaimanapun juga, Kinerja Kepolisian sangat ditentukan oleh sumber daya manusianya. Artinya, kalau sumber daya manusianya masih di bawah standar, maka kinerjanya juga tak maksimal. Kaitanya dengan peningkatan sumber daya, tentunya harus ada pendidikan khusus di Kepolisian, baik yang sifatnya formal maupun non formal.
24. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
S
○
○
○
○
aya bertemu dengan Nurul Saadah Andriani di kantor Sentra Advokasi Perempuan Dan Anak (SAPDA), yang terletak di daerah Wirobrajan, Yogyakarta. Ia adalah tuna daksa. Meski begitu, Nurul sering mengadvokasi mereka yang berkebutuhan khusus, atau sering disebut disabilitas. Terutama menyangkut berbagai masalah hukum yang melilit mereka. Ketika saya menanyakan terkait pelayanan dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah terhadap para disabilitas, ia mengeluhkan banyak hal. Banyak fasilitas, khususnya di DIY, yang masih belum memperhatikan kenyamanan penggunaan para disabilitas. Fasilitas-fasilitas publik dibangun hanya memperhatikan kenyamanan warga yang tidak berkebutuhan khusus, sehingga terkesan masih ada diskriminasi.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
DISABILITAS Masih Butuh Perhatian Oleh CATARINA EKOWATI
Dimulai dari fasilitas Trans Jogja beserta shelter atau yang biasa disebut halte. Halte-halte yang dibangun memang sudah dilengkapi dengan ram. Akan tetapi ram tersebut rata-rata hanya ada di satu sisi halte. Kemudian jika dilihat dari kemiringan ram itu sendiri, hampir 45 derajad sehingga sangat curam. Padahal kemiringan ram yang normal adalah sekitar 7 derajad. Hal itu akan sangat menyulitkan bagi mereka yang menggunakan kursi roda. Dapat dibayangkan, kursi roda akan melaju cukup kencang ketika turun melalui ram tersebut. Mereka juga merasa sangat kesulitan juga ketika naik karena ram sangat tinggi. Selain kemiringannya, masih ada masalah lagi dengan pembangunan halte-halte tersebut. Hampir di setiap halte Trans Jogja yang dibangun, mepet dengan pohon atau tiang listrik, ataupun taman-taman kota. Dapat dipastikan, ketika para pengguna kursi roda turun melalui ram yang kemiringannya cukup signifikan, akan langsung menghantam pohon atau tiang listrik, jika tidak benar-benar mengontrol laju kursi rodanya. Kemudian ketika dilihat dari bus, ada juga hal yang menjadi permasalahan bagi para disabilitas. Bus Trans Jogja tidak dilengkapi dengan magnet, sehingga jika sopir tidak cukup
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
“
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Rata-rata rumah sakit hanya menyediakan tangga. Kalaupun ada lift, khusus untuk pasien di rumah sakit itu dan bukan untuk pengunjung. Kemudian dilihat dari fasilitas kamar mandi, juga kurang memperhatikan kebutuhan para disabilitas. Dari segi ukuran yang sempit, membuat kursi roda tidak dapat masuk ke toilet, sehingga pengguna kursi roda harus turun dari kusi roda dan merangkak ke dalam kamar mandi.
KATA MEREKA .25 ○
“
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
ahli saat berhenti di halte, maka bus tidak bisa mepet dengan halte. Ada celah antara halte dengan bus yang relatif panjang, mungkin bisa sampai 20-30 cm. Hal tersebut juga akan menyulitkan. “Pernah sampai kejadian, seorang tuna netra yang terjun bebas dan terjepit di celah antara bus dan halte,” kata Nurul. Hal itu juga dirasakan oleh pengguna kursi roda dan tongkat saat menyeberangi celah tersebut. Kelemahan halte dan bus Trans Jogja tersebut baru dilihat dari salah satu disability, yaitu tuna daksa. Jika dilihat dari perspektif tuna netra, ada juga kelemahan yang cukup mencolok. “Pemberitahuan posisi bus saat sedang berjalan, misalnya sudah sampai di halte mana atau akan transit di halte mana, yang itu hanya dilakukan oleh petugas di dalam bus Trans Jogja,” kata Nurul. Sehingga, ketika petugas tersebut mungkin merasa lelah, posisi-posisi tersebut tidak diberitahukan. Selain itu juga tidak ada pemberitahuan mengenai jalur bus menuju kemana. Hal tersebut menyulitkan para tuna netra. Padahal sebenarnya, pada waktu pembuatan konsep halte Trans Jogja, para disabilitas juga dilibatkan. Pada kenyataannya, pembangunannya masih belum sesuai dengan kebutuhan mereka. Nurul juga memberikan contoh lain, yaitu menyangkut pelayanan dan fasilitas di rumah sakit. Tidak semua rumah sakit pemerintah di DIY dilengkapi dengan ram. Kalaupun dilengkapi, hanya ada di pintu masuk dan pintu keluar. Untuk akses di dalam rumah sakit masih belum diperhatikan. Misalnya, ketika mereka harus berjalan dari satu klinik menuju klinik lain, yang terkadang tidak berada dalam satu lantai. Rata-rata rumah sakit hanya menyediakan tangga. Kalaupun ada lift, khusus untuk pasien di rumah sakit itu dan bukan untuk pengunjung. Kemudian dilihat dari fasilitas kamar mandi, juga kurang memperhatikan kebutuhan para disabilitas. Dari segi ukuran yang sempit, membuat kursi roda tidak dapat masuk ke toilet, sehingga pengguna kursi roda harus turun dari kusi roda dan merangkak ke dalam kamar mandi. Kloset yang tersedia, tidak semua kloset duduk. Itu juga menyulitkan para penyandang tuna daksa. Dari segi pelayanan, dirasakan kurang memperhatikan kebutuhan, terutama untuk mereka yang menyandang tuna netra dan tuna rungu wicara. Dalam hal pemanggilan giliran pasien, seharusnya disediakan dengan dua media, yaitu tertulis dan
“
26. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Gedung tidak dilengkapi dengan ram, maka ia kemudian turun dari kursi roda dan merangkak masuk ke dalam kantor. Di dalam kantor, ternyata ia mendapat pelayanan yang sangat bagus. Saat akan pulang, Walikota sendiri yang membantu mengantarkan sampai depan gedung, di mana kursi rodanya ditinggalkan. Tidak lama setelah kejadian itu, dibangun ram di kantor Walikota Yogyakarta. dipanggil secara lisan. Dengan begitu, para tuna netra dapat mengetahui apabila tiba gilirannya dengan mendengarkan. Sedangkan para tuna rungu wicara dapan melihat nomor urutan di papan tulisan. Selain itu, seharusmnya juga ada petugas yang mengecek di ruang tunggu pasien, sehingga mereka akan mengetahui jika ada pasien yang membutuhkan pelayanan khusus. Sementara, yang terjadi di rumah sakit di DIY adalah, petugas hanya memanggil urutan secara lisan dengan tidak memperhatikan kebutuhan pasien lain. Hal tersebut juga sangat menyulitkan para disabilitas. “Salah satu rumah sakit pemerintah yang bisa dikatakan aksesibel adalah Sardjito. Akan tetapi, itu juga tidak di semua ruangan. Bahkan untuk meminjam kursi roda saja harus meninggalkan KTP dan
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
prosedurnya juga sangat rumit,” ujar Nurul. Jika kita melihat gedung-gedung pemerintahan, khususnya di wilayah DIY, hanya beberapa gedung pemerintahan yang dilengkapi dengan ram. Ada beberapa yang menurut Nurul bisa aksesibel untuk para disabilitas, yaitu DPRD Provinsi dan Kantor Walikota Yogyakarta. Di DPRD Kota, sebenarnya sudah dibuat akses akan tetapi ram yang dibangun cukup curam. Salah satu contoh fasilitas dan pelayanan yang dirasa cukup memperhatikan disabilitas, menurut Nurul adalah Kantor Walikota Yogyakarta. Pernah ia mengalami kejadian saat berada Kantor Walikota Yogyakarta, yang belum dilengkapi dengan ram. Nurul mengantarkan seorang teman ke sana untuk mengurus suatu hal. Temannya adalah seorang pengguna kursi roda. Gedung tidak dilengkapi dengan ram, maka ia kemudian turun dari kursi roda dan merangkak masuk ke dalam kantor. Di dalam kantor, ternyata ia mendapat pelayanan yang sangat bagus. Ia dibantu oleh petugas. Saat urusan sudah selesai dan akan pulang, Walikota sendiri yang membantu mengantarkan sampai depan gedung, di mana kursi rodanya ditinggalkan. Tidak lama setelah kejadian itu, dibangun ram di kantor Walikota Yogyakarta. Dari segi pelayanan pemerintah, bisa dilihat dari salah satu contoh ketika para disabilitas memelukan Kartu Kuning dan segala macamnya. Masih banyak petugas yang belum
○
○
○
○
○
○
KATA MEREKA .27 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
paham, bagaimana menangani masalah disabilitas itu sendiri. Selain itu, masih terlihat sulitnya para disabilitas mencari pekerjaan. Padahal sudah ada aturan, bahwa setiap perusahaan setidaknya menerima disabilitas bekerja di perusahaan tersebut. Setidaknya 1% dari jumlah karyawan. Tetapi permasalahannya, aturan tersebut tidak memuat sanksi yang tegas ketika suatu perusahaan menolak mempekerjakan para disabilitas. Jadinya, menurut Nurul, tidak ada dasar yang kuat untuk bisa menuntut perusahaan tersebut. Dari segi pendidikan, juga terdapat beberapa kekurangan. Sebagai contoh, salah satu kampus di wilayah DIY yang dikatakan kampus inklusif. Fasilitas dan pelayanan yang diberikan kepada para disabilitas masih kurang. Ram hanya disediakan di arena masjid, sedangkan di gedung-gedung perkuliahan tidak ada. Padahal, antara gedung satu dengan gedung lainnya terpisah cukup jauh. Di samping itu, tenaga pendidik yang tersedia juga tidak semuanya paham, bagaimana cara menyampaikan materi kepada mahasiswa yang memiliki kebutuhan khusus. Selain itu, kita juga bisa melihat dari sistem penerimaan siswa baru yang sekarang dilakukan secara on line. Hal itu juga membuat disabilitas, terutama tuna netra tidak dapat melakukannya sendiri. Belum lagi adanya aturan dari sekolah-sekolah tertentu yang mensyaratkan siswanya tidak boleh menderita cacat fisik. Dari segi pendidikan ini, Nurul juga pernah mengalami kejadian yang kurang mengakomodir kebutuhan disabilitas. Pada waktu itu, ia bermaksud memindahkan sekolah anaknya yang masih duduk di bangku SD ke salah satu SD negeri di wilayah Kota Yogyakarta. Ketika ia menemui kepala sekolah, ia katakan bahwa sebenarnya memang kursi di kelas tersebut masih ada. Dari kuota maksimal 26 kursi baru, terisi 23 kursi. Kemudian ia mengatakan, bahwa berarti anaknya bisa bersekolah di sekolah tersebut. Sang kepala sekolah mengiyakan. Akan tetapi, ketika kemudian Nurul menanyakan kapan anaknya bisa mulai sekolah, kepala sekolah mengatakan, harus ada wawancara terlebih dahulu. Juga perlu untuk membicarakan kepada wali kelas yang bersangkutan. Akhirnya, Nurul meminta untuk bertemu dengan wali kelas untuk membicarakan segala sesuatunya. Tanpa diduga, kepala sekolah langsung berkata, “Tetapi kami tidak menye-
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
diakan fasilitas untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus”. Hal itu tersebut spontan membuat. Sebenarnya anak Nurul adalah seorang anak yang tidak berkebutuhan khusus. Kepala sekolah berkata demikian, hanya karena melihat keadaan Nurul yang menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan, tanpa melihat atau menanyakan keadaan anaknya. Dari kejadian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan. Belum ada tempat pendidikan yang memperhatikan kebutuhankebutuhan para disabilitas. Padahal di Wilayah Kota Yogyakarta, sudah ada SK Walikota untuk mendorong sekolah-sekolah menjadi inklusif. Pada kenyataannya, SK tersebut belum direalisasikan. Seandainya ada sekolah yang memang menerima siswa disabilitas, semua biaya juga dibebankan kepada orang tua. Biaya untuk pembelian peralatan-peralatan yang dibutuhkan, hingga biaya guru khusus yang mampu mengajar siswa tersebut juga dibebankan kepada orang tua wali murid. BAGAIMANA PERLINDUNGAN HUKUMNYA?
Berbeda cerita lagi, ketika melihat dari sisi perlindungan hukum bagi disabilitas. Banyak diantara mereka yang menjadi korban, baik dari pelecehan fisik bahkan pelecehan seksual. Ketika permasalahan-permasalahan tersebut dibawa ke ranah hukum, banyak kendala yang dialami. Kebanyakan dari kasus-kasus disabilitas yang dilaporkan berhenti di tengah jalan, atau bahkan yang
28. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
lebih parah, diabaikan. Kalaupun ada kasus yang bisa selesai prosesnya di pengadilan, tidak terlepas dari peran pihak keluarga yang memang memahami apa dan bagaimana yang dimaksud oleh korban yang termasuk disabilitas. Selain itu, juga ada bantuan dari donatur yang mau membiayai seluruh keperluan yang dibutuhkan, misalnya seorang penerjemah, tes DNA dan lain sebagainya. Menurut aparat penegak hukum, keterangan dari para disabilitas kurang dapat dipertanggung jawabkan, meskipun sebenarnya mereka mengatakan yang sesungguhnya. Menurut Nurul, pada dasarnya hal tersebut terjadi karena belum ada penegak hukum yang mapu memahami atau mampu berkomunikasi dengan para disabilitas. Untuk mendapatkan informasi masih dirasa sangat sulit. Menurut Nurul, jika dilihat dari segi undang-undang yang berlaku saat ini, masih terkesan ada diskriminasi. Sebagai contoh, pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Salah satu pasalnya mengatakan, seorang suami diperbolehkan untuk berpoligami ataupun menceraikan istrinya, ketika istri mengalami atau menderita cacat. Tidak ada perlindungan bagi para ‘penyandang cacat’. Khususnya bagi wanita. Kemudian menyangkut permasalahan delik aduan dan delik biasa. Ketika
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
kasus yang dialami para disabilitas merupakan delik aduan, maka saat mereka mengadukan kasus tersebut, terkadang tidak dianggap bahwa mereka benar-benar mengerti dengan apa yang terjadi (dalam kasus Tuna Netra, Tuna Rungu Wicara, dan keterbelakangan mental). Tempat-tempat wisata dan tempat perbelanjaan di wilayah DIY juga masih belum dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan yang memperhatikan kebutuhan para disabilitas. Tetapi ada beberapa tempat yang diketahui Nurul, yang mempunyai ram, yang bisa dikatakan cukup bagus, yaitu di arena Taman Pintar dan Kraton Yogyakarta. Nurul melihat ada ram yang dibangun dengan kemiringan yang tidak terlalu curam. Satu hal lagi yang diceritakan oleh Nurul adalah mengenai kenyamanan para disabilitas di jalan raya. Masih belum ada lajur-lajur khusus yang diperuntukkan bagi mereka. Banyak resiko yang akan terjadi, ketika para disabilitas menggunakan jalan raya. DISABILITAS BUKAN GILA
Mengapa para disabilitas kurang diperhatikan kebutuhannya? Nurul beranggapan, hal tersebut dikarenakan bahwa masih banyak dari masyarakat yang beranggapan bahwa disabilitas sama dengan gila. Mereka menganggap wajar saja, ketika banyak perlakuan yang kurang baik kepada mereka. Selain itu, dari pemerintah sendiri kemungkinan masih beranggapan, bahwa pada dasarnya memang seorang disabilitas membutuhkan orang lain yang selalu mendampingi dalam setiap kegiatannya. Padahal, jika mereka mau menanyakan lebih jauh kepada para disabilitas, hampir semua dari mereka sebenarnya sangat ingin mandiri. Tak ingin menggantungkan hidupnya pada orang lain. “Sebenarnya mereka sama saja dengan orang normal. Hanya saja cara yang mereka gunakan berbeda dan mereka membutuhkan sarana prasarana yang juga berbeda,” kata Nurul. Sebagai contoh, seorang pengguna kursi roda atau tongkat. Mereka masih dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Sama halnya dengan manusia normal. Hanya saja, yang membedakan mereka yang normal berjalan menggunakan kakinya, sedangkan seorang tuna daksa berjalan menggunakan kursi roda atau membutuhkan tongkat untuk berjalan. Contoh lain, seseorang yang tidak memiliki tangan.
○
○
○
○
○
○
KATA MEREKA .29 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Ketika makan, mereka menggunakan kakinya. Sedangkan orang normal menggunakan tangannya. Keduanya sama-sama memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Seorang tuna netra mengetahui keadaan sekitarnya menggunakan insting-nya atau mungkin dengan merabanya. Sedangkan orang normal menggunakan mata untuk dapat melihat di sekitarnya. Seorang tuna rungu wicara menyampaikan informasi dengan bahasa isyarat, sedangkan orang normal menggunakan suaranya. Selain itu, menurut Nurul, masih ada alasan lain yang mungkin membuat kurang diperhatikannya kebutuhan para disabilitas. Semua itu terkait dengan pembiayaan. Untuk membangun tempat-tempat yang dapat digunakan para disabilitas, membutuhkan dana yang lebih banyak. Sementara jumlah penggunanya tidak sebanyak orang umum. Padahal sebenarnya, jumlah disabilitas di wilayah DIY cukup signifikan. Berdasarkan pendataan di tahun 2007, ada sekitar 42 ribu orang di tingkatan Provinsi DIY. Sedangkan pada tahun 2010, ada sekitar 36 ribu orang. Untuk tingkatan kotamadya, ada sekitar 3 ribu orang, dan yang paling banyak adalah di Kabupaten Gunung Kidul. Jumlahnya sekitar 11 ribu orang. Itu bukan jumlah yang sedikit yang bisa didiskriminasikan, atau tidak diperhatikan kebutuhannya. Mereka juga masyarakat, warga negara yang membutuhkan kenyamanan penggunaan fasilitas dan juga pelayanan yang baik dari peme-
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
rintah. Sebenarnya jika pembangunan fasilitas umum lebih memperhatikan kebutuhan-kebutuhan khusus para disabilitas, bukan hanya para disabilitas saja yang dapat menikmatinya. Sebagai contoh, ketika gedung dilengkapi dengan ram, selain para disabilitas ibu-ibu hamil, manula, dan anak-anak juga akan lebih aman jika menggunakan ram daripada menggunakan tangga. Untuk masalah kamar mandi juga demikian. “Dengan menambah ukuran luas kamar mandi setengah meter saja, pengguna baik orang normal maupun disabilitas dapat merasakan lebih nyaman, daripada ketika kamar mandi dibangun sangat sempit,” kata Nurul. Itu hanya beberapa contoh kecil yang seharusnya dapat mulai dipikirkan oleh pemerintah mulai saat ini. Tidak ada salahnya jika harus mengeluarkan budget yang sedikit lebih banyak, tetapi hasilnya dapat dinikmati oleh banyak orang bukan hanya untuk para disabilitas. Ada juga permasalahan terkait kewenangan. Kewenangan tentang siapa atau departemen apa yang bertanggung jawab dengan aksesbilitas para kaum difable. Padahal sebenarnya, hal tersebut tidak perlu diperdebatkan lagi. Memang sudah seharusnya semua departemen pemerintahan saling berkoordinasi dan saling mendukung satu sama lain untuk mewujudkan kesejahteraan para disability itu sendiri. Memang masih banyak sekali kelemahan-kelemahan dari fasilitas umum maupun pelayanan pemerintah dilihat dari sudut pandang disabilitas. Akan tetapi, menurut Nurul, khusus untuk wilayah DIY, ada harapan pemenuhan kebutuhan para disabilitas untuk ke depannya. Hal itu dikarenakan pada tahun 2012 ini sudah ada pembuatan perda, terkait perlindungan dan pemenuhan hak para disabilitas. Pembuatan perda melibatkan wakil dari disabilitas. Sehingga dapat dikatakan, aspirasi disabilitas tertuang dalam peraturan tersebut. Perda tersebut akan berlaku 2 tahun mendatang, dengan alasan butuh persiapan dari pemerintah untuk memenuhi semuanya. Selain dibuat perda, di DIY juga akan dibentuk pergub. Ini menjadi harapan baru bagi para disabilitas untuk bisa hidup mandiri tanpa bergantung kepada orang lain lagi.
30. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
P
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
enyandang disabilitas, juga dikenal sebagai penyandang difable yang notabene singkatan dari bahasa Inggris different ability people atau diferently abled people, yaitu orang-orang yang berbeda kemampuan. Istilah lainnya ialah differently able, yang secara harfiah berarti sesuatu yang berbeda atau yang memiliki kekurangan. Dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities, penyandang difable dituliskan sebagai penyandang disabilitas, yaitu mereka yang memiliki penderitaan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana interaksi dengan berbagai hambatan dapat menyulitkan partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan lainnya. Dalam konvensi internasional tentang disabilitas dimana Indonesia saat ini telah meratifikasiknya disebutkan berbagai hak yang harus dipenuhi negara pihak bagi penyandang disabilitas, diantaranya ialah hak untuk hidup, perlndungan
○
○
○
○
○
○
OPINI .31 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Aksesibilitas Fasilitas Publik Bagi Kaum Difable Yogyakarta: SEBUAH PENGAKUAN KORBAN oleh: M. SYAFI’IE | Anggota Konsorsium Nasional Difable (KONAS)
dalam situasi yang penuh resiko dan darurat, pengakuan yang setara di depan hukum, hak untuk bebas dan aman, bebas dari rasa sakit dan perlakuan yang kejam, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan pelecehan, penghormatan terhadap privasi, bebas untuk hidup mandiri, hak untuk mengakses mobilitas personal, akses informasi, penghormatan untuk memiliki rumah dan keluarga, berpartisipasi dalam kehidupan publik dan politik, kebebasan berekpresi, serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya lainnya seperti hak atas pendidikan, kesehatan, rehabilitasi dan habilitasi, dan hak atas pekerjaan. Jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang difabel tersebut seiring dengan meningkatnya kuantitas penyandang difabilitas di dunia. Data Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan bahwa kecacatan telah menimpa sekitar 15% dari total penduduk di Negara-
negara dunia. sedangkan di Indonesia, penyandang disabilitas diperkirakan mencapai 36. 150. 000 orang; sekitar 15% dari jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 yang penduduknya mencapai 241 juta jiwa. Sebelumnya, tahun 2004 penyandang disabilitas Indonesia diperkirakan sebanyak 1. 480. 000 dengan rincian : fisik 162. 800 (11%), tunanetra 192. 400 (13%), tuna rungu 503. 200 (34%), mental dan intelektual 348. 800 (26%), dan orang yang pernah mengalami penyakit kronis (kusta dan tuberklosis) 236. 800 (16%). Jumlah angka ini diperkirakan jumlah penyandang disabilitas yang tinggal dengan keluarga atau masyarakat, dan belum termasuk mereka yang tinggal di panti asuhan. POTRET AKSESIBILITAS FISIK Penyandang difabilitas di Yogyakarta sangat beragam,
32. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
kelompok difable yang paling bersentuhan dengan aksesibilitas fisik pelayanan publik ialah para tuna daksa, tuna netra, tuna rungu dan tuna grahita. Bagi panyandang difabilitas tuna daksa, mereka membutuhkan ruang publik yang ada ramp dengan kemiringan 1 : 12 antara tinggi dan alas, pintu dengan lebar 90 cm, toilet yang sesuai dengan kursi roda, serta telepon umum yang rendah. Bagi tuna netra, yang paling dibutuhkan ialah sistem audio, seperti talking lift, arsitektur yang memilki braile di handel tangga, warning block di jalan umum, braile di keybord, titik handphone, dan lainnya. Bagi tunu rungu yang dibutuhkan ialah visualnya, seperti bel peringatan kebakaran, ada lampu yang kedapkedip, bahasa isyarat dan running text. Sedangkan bagi tuna grahita yang diutamakan ialah keselamatan, maka yang dibutuhkan ialah pembuatan bangunan yang tidak memiliki sudut lancip, tetapi dibuat dengan sudut tumpul. Di Yogyakarta, aksesiblitas fisik relatif berjalan progresif. Harry Kurniawan salah seorang peneliti Center for Universal Design and Diffabilities (CIUDD) UGM mengatakan bahwa aksesibilitas bagi penyandang difabilitas di Yogyakarta progresifitasnya berjalan, tetapi tidak signifikan dan belum terintegrasi. Di jalan Malioboro sudah dipasang guiding block, Giwangan akses tapi tidak maksimal, demikian juga Jogja Expo Center (JEC). Di sektor swasta seperti Ambarukmo Plaza sudah akses, dan beberapa hotel sudah akses tetapi belum keseluruhan. Beberapa tempat itu sudah ada upaya pemenuhan aksesebilitas tetapi belum optimal. Semisal di halte bus trans Jogja, sudah ada ram-nya, tetapi standar kemiringannya masih bermasalah. Standar kemiringannya yang sudah layak itu 1 : 12, atau 1 : 14, tetapi di beberapa tempat tidak memenuhi standar itu. Bahkan di beberapa tempat ramp-nya ada tetapi langsung membentur kayu. Demikian juga kita bisa lihat di hotel, sebagian tempat sudah ada rampnya, tetapi masih bermasalah karena toiletnya tidak memenuhi standar sehingga sulit diakses penyandang tuna daksa. Secara keseluruhan, pemenuhan aksesiblitas bangunan fisik di Yogyakarta masih dengan catatan. Di level perencanaan beberapa bangunan fisik sudah baik, tetapi di level pelaksanaan dan pengawasannya lemah sekali. Mungkin itu sifat dari proyek yang cenderung terburu-buru dan koordinasi lintas kedinasan sangat lemah. Dampaknya ialah bangunan yang satu akses dan yang lain tidak, semuanya berjalan serba parsial. Di satu tempat di dalam gedung bangunan sudah akses, tetapi di tempat yang lain di gedung yang sama tidak akses Sedangkan di sektor swasta sebenarnya lebih mudah untuk mendirikan bangunan yang aksesible. Pertama, karena mereka harus memikirkan market di pasar. Kedua, mereka terikat dengan idzin mendirikan bangunan (IMB), dimana pasca IMB biasanya ada idzin kelayakan guna. Disini pemerintah seharusnya menegakkan peraturan, yaitu memastikan bangunan-bangunan swasta berstandar universal desain, akses bagi semua orang, termasuk bagi mereka yang disable. Hal senada diungkap oleh Nuning Suryaningsih, Direktur Ciqal dan penyandang tuna daksa. Menurutnya, di Yogyakarta hanya beberapa kabupaten kota yang memiliki komitmen terhadap aksesebilitas bagi penyandang disable. Di daerah kota Yogyakarta, walaupun belum memiliki peraturan yang secara
○
○
○
○
○
○
OPINI .33 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
spesifik melindungi penyandang disable, tetapi karena komitmen walikotanya (red : Hery Zudianto) yang kuat, beberapa tempat di lingkungan Pemkot sudah aksesiblitas, walaupun masih ada beberapa catatan soal standar aksesibilitasnya. Di Sleman, pemerintahnya sudah mempunyai Perda No. 11 tahun 2002 tentang Fasilitas Umum. Peraturan daerah ini sesungguhnya memunculkan harapan banyak, karena peraturan ini disusun dengan melibatkan banyak tokoh, salah satunya Bapak Setyadi mewakili dari penyandang disabilitas. Tapi peraturan ini sampai saat ini belum optimal dilaksanakan. Implementasinya bisa dikatakan tidak ada. Sampai saat ini, bangunanbangunan publik di pemerintahan Sleman yang relatif akses bisa dihitung jari, hanya DPRD Sleman, Masjid Agung, Pendopo dan tidak permanen ramp-nya, serta di kantor Bappeda. Di tempat yang lain belum. Di kantor-kantor pemerintahan Gunung Kidul dan Kulonprogo terlihat masih belum akses bagi penyandang difabilitas. Di kantor pemerintahan Bantul, hanya di kantor pendoponya yang sudah ada ramp, tetapi di tempat-tempat pelayanan publik yang lain masih belum ada. Ramp di pendopo Bantul itupun atas dorongan dari NGO Ciqal yang pada waktu itu berbarengan dengan acara penyandang disabilitas. Ini problem, karena inisiatif tidak muncul dari pemerintah sendiri. Demikian juga di kantor pemerintahan Provinsi DIY. Beberapa tempat sudah ada ramp-nya, tetapi pemasangannya tidak layak karena tidak sesuai dengan standar. Di gedung DPRD DIY dan beberapa kantor di kepatihan sudah ada ramp-nya, tetapi tidak layak karena memakai kayu dan curam. Semestinya bukan kayu, karena itu licin dan bisa membahayakan. Apalagi, tidak ada karet di atasnya. Nuning mengatakan, dirinya pernah jatuh terjungkal di salah satu kantor pemerintahan DIY karena tangganya yang tidak akses. Karena itu, ia
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
“
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
aksesibilitas bagi penyandang difabilitas di Yogyakarta progresifitasnya berjalan, tetapi tidak signifikan dan belum terintegrasi.
“
○
sangat menyesali bila kantor-kantor publik tidak akses bagi penyandang difabilitas. Kondisi memprihatinkan lainnya ialah kantor Dinas Sosial yang biasa menjadi tempat pertemuan penyandang disabilitas. Saat ini, pertemuannya biasa dilakukan di lantai dua. Setiap ada pertemuan, pasti para penyandang tuna daksa digotong untuk naik ke lantai atas. Padahal menurut Nuning, sudah ada perbandingan di Dinas Sosial Bali, pertemuannya juga di lantai dua, tetapi Dinas Sosial Bali membuatkan ramp, dan itu didesain dengan standar yang layak bagi para disable. Nuning menambahkan, di sektor swasta khususnya hotel, sudah ada beberapa tempat
○
○
○
○
34. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
beritadaerah.com
○
yang akses, seperti hotel Brongto, hotel Abadi, hotel MM UGM dan beberapa hotel lainnya. Walaupun di beberapa hotel itu belum keseluruhan akses. Di hotel Abadi dan MM UGM sudah ada ramp-nya, tetapi masih bermasalah dengan kamar mandinya. Sedangkan di hotel Brongto, ramp-nya juga masih belum permanen. Problem aksesibilitas lainnya juga terjadi di gedung rumah sakit. Biasanya, tempat pendaftaran pasien itu terlampu tinggi dan tidak dijangkau oleh penyandang difabilitas. Berbeda dengan counter bandara, dimana disitu sudah disediakan meja yang besar dan yang kecil. Secara umum, pemenuhan aksesibilitas bagi penyandang difabilitas di kantor pemerintahan dan swasta di Yogyakarta masih memprihatinkan. Tidak semua tempat akses, masih parsial antara satu tempat dengan lainnya, politicall will pemerintah yang terlihat rendah, serta minimnya pelibatan penyandang difabilitas dalam perumusan kebijakan. Dampaknya menurut Nuning sangat menyakitkan; setiap ada pembangunan fisik pasti meninggalkan diskriminasi bagi penyandang difabilitas. Padahal, sudah ada aturan yang respect bagi disable, tetapi selalu diingkari oleh pemegang kebijakan. Soeharto, Manajer Program Disability Legal Info SIGAP dan seorang Tuna Netra juga menyatakan bahwa problem serius pemangku kebijakan di pemerintahan Yogyakarta ialah tidak komitmennya pemerintah untuk menegakkan peraturan. Terkait standar aksesiblitas bangunan sesungguhnya telah diatur di beberapa peraturan, seperti Permen PU No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan dan Lingkungan, UU RI No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, dan beberapa lainnya, tetapi sampai saat ini bisa dicek beberapa bangunan yang baru masih belum ada perubahan signifikan. Beberapa tempat yang masih belum aksesible itu semisal terminal Giwangan; lantai atas maupun bawah belum akses, perkantoran-perkantoran publik masih belum akses secara total; di lantai bawah beberapa akses tapi
○
○
○
○
○
OPINI .35 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
untuk ke lantai dua masih belum akses, padahal bangunan itu semestinya sudah universal desain. Demikian juga halte Yogyakarta ramp-nya terlalu curam dan beberapa tempat ternyata ramp-nya membentur pohon. Kondisi menyedihkan juga terjadi di bangunan fisik seperti UGM, UNY dan beberapa kampus lainnya, rata-rata ruang publik lembaga pendidikan masih belum akses. Sedangkan di sektor swasta seperti beberapa hotel sudah akses, tetapi juga masih belum akses secara keseluruhan. Tempat perbelanjaan yang akses itu Ambarukmo Plaza, tempat lainnya belum. Demikian tempat-tempat wisata, rata-rata masih belum akses. Namun demikian, Soeharto tetap mengapresiasi pemerintahan Yogyakarta. Menurutnya, sudah ada inisiatif pemerintah semisal membuatkan ramp, membuat Perda, dan lain-lain, tetapi perlu ditingkatkan sehingga bisa maksimal. Menurut Seoharto, yang diperlukan pemerintahan Yogyakarta saat ini ialah komitmen terhadap penegakan hukum yang sudah dibuat. Keluhan senada juga diungkap oleh Bagus Ariyanto, seorang Tuna Rungu dan ketua Gergatin Provinsi DIY. Menurutnya, pelayanan publik di Yogyakarta masih belum akses bagi tuna rungu. Di stasiun kereta api Yogyakarta masih belum ada running text penjelasan soal pemberangkatan. Tuna rungu seringkali kebingungan ketika kereta datang, dan mau berangkat : kemana tujuan, jam berapa berangkat dan dimana gerbong tempat duduk. Demikian juga di halte transjogja. Di halte trans jogja belum ada monitor yang memperterang pemberangkatan, tempat turun dan ataupun pelayanan bahasa isyarat. Situasi serupa juga berlangsung di angkutan umum lainnya seperti bus dan taksi. Menurut Bagus, hanya Bandara yang relatif akses, di sana sudah ada running text soal pemberangkatan dan tujuan, sampai saat ini dirinya belum pernah naik
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
trans Jogja karena baginya cenderung menyesatkan. Situasi menyedihkan juga terjadi di ruang publik lainnya seperti rumah sakit, baik negeri ataupun swasta. Banyak dokter yang tidak memahami penyandang tuna rungu, kadang ketika berbicara menggunakan masker sehingga perintahnya tidak jelas, dan mayoritas tidak paham bahasa isyarat. Di rumah sakit banyak pasien penyandang tuna rungu yang salah paham terhadap perintah dokter, dan tidak mematuhi terhadap anjuran-anjuran yang dberikan seperti minum obat, makanan-makanan yang harus dihindari dan lainnya. Kejadian diskriminasi lainnya, ia alami ketika berada di Bank BPD di Yogyakarta. Dirinya dipanggil berkali-kali tetapi karena tidak ada running text dan tidak mendengar ia tidak tahu, akhirnya setelah beberapa lama, ia bertanya dan ternyata sudah dipanggil. Ia maju, bukan pelayanan yang baik yang ia terima, tetapi ejekan dan anjuran untuk menabung di tempat Bank yang lain. Akhirnya ia tidak jadi menabung, dan berhenti jadi nasabah Bank BPD DIY. Hal serupa biasa komunitas tuna rungu alami di kantor-kantor pemerintahan. Semuanya menurut Bagus masih belum akses bagi tuna rungu, karena tidak ada running text, tidak ada monitor dan tidak ada penjelasan dalam bahasa isyarat. Komunitas tuna rungu juga tiidak bisa mengakses bahasa informasi televisi. Terdiskriminasi di sekolahsekolah karena bahasa guru yang tidak akses dan seringkali dibedakan oleh teman-temannya. Mereka juga mengalami problem ketika membuat SIM : sangat sulit dan biasanya tidak diidzinkan. Persoalan serupa juga biasa terjadi sektor-sektor swasta. Bangunannya juga masih banyak yang belum ada running text, monitor dan pelayanan dalam bahasa isyarat. Di hotel-hotel, bus, taksi dan beberapa lainnya, rata-rata masih belum bisa diakses oleh penyandang tuna rungu. walaupun menurut Bagus, sektor swasta lebih mudah untuk melayani, tetapi problematikanya selalu tidak hilang. Karena itu, dampak pelayanan publik yang masih diskriminatif, penyandang tuna rungu di Yogyakartta khususnya tidak biasa bergaul, hanya tinggal di rumah, tidak memahami perkembangan informasi, tidak paham akan hak-haknya, dan terisolasi secara sosial karena kalaupun berkumpul hanya dengan komunitasnya. Menurut Setyadi, Direktur Driya Manunggal dan seorang tuna netra, pemenuhan aksesibilitas fisik bagi penyandang disabilitas sangat berkaitan erat dengan hak hidup seorang dan sekelompok orang manusia. Tidak dipenuhinya ruang publik yang akses bagi penyandang disabilitas sama halnya memenjara mereka, mengasingkan mereka, dan menutup hak-hak mereka untuk hidup sejahtera dan mengakses hak-hak yang lain. Hak hidup kaum difable jelas dilanggar oleh pemerintah. Di Yogyakarta pemenuhan aksesibilitas bagi penyandang difable masih sangat lemah : dipenuhi tetapi tidak seluruhnya. Sebagian jalan sudah akses tapi tidak seluruhnya, ada guiding block tapi belum ada aturannya, jalur kereta api sedikit akses tapi tidak sepenuhnya, dan
36. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
“
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Peristiwa lainnya yang Nuning rasakan ialah ketika di sebuah Bandara, dirinya ditinggalkan sendiri oleh pelayan maskapai. Dirinya sebagai tuna daksa, ditinggal sendiri dan tidak dilayani sampai pesawatnya mau berangkat.
“
ada trans jogja tapi ramp-nya tidak memenuhi standar kelayakan. Aksesiblitas di bidang mobilitas di Yogyakarta masih sangat lemah. Bagi tuna netra, architecture publik yang menggunakan braille juga tidak banyak. Banyak ruang publik yang tidak akses bagi penyandang tuna netra. Termasuk bacaan-bacaan yang ada. Karena itu , Setyadi mengaku sedang menggarap peta dengan menggunakan braille, karena peta penting bagi anak-anak tuna netra. Berangkat dari kegelisahan itu, Setyadi mendesak untuk diciptakannya mikanisme complain. Setiap bentuk-bentuk pelanggaran yang ada dalam ruang publik, khususnya bagi penyandang difabilitas harus didorong untuk diselesaikan secara adil dan benar. Karena itu, lembaga seperti Ombudsman seharusnya difungsikan dalam hal ini, walaupun Setyadi sadari bahwa Ombudsman selama ini tidak begitu banyak berfungsi dan tergarap bagi pemenuhan hak-hak penyandang difablitas. Kantor Ombudsman sendiri menurutnya belum akses bagi para penyandang difabilitas.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Problem Ombudsman sebagai lembaga pengaduan pelayanan publik, masih sama dengan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Tapi, Setyadi mengatakan, betapapun lemahnya Ombudsman, lembaga ini perlu difungsikan dan aliansi masyarakat sipil khususnya komunitas penyandang difabilitas perlu mengawal bagaimana pemenuhan pelayanan publik yang adil dan non diskriminasi itu semestinya diberikan. Keberadaan instrumen hukum dan pelayanan publik tidak cukup, tetapi harus diawasi dan selalu dikawal oleh masyarakat sipil. Hal senada juga diungkap oleh Soeharto dan Nuning. Menurut keduanya, selama ini complain yang biasa dilakukan penyandang disable ialah langsung kepada penyelenggara proyek dan pemerintah, tetapi selama itu pula tidak ada respon yang positif dari pemerintah. Hal itu, bisa dicek ketika complain ketika pembangunan teriminal Giwangan dan bus trans Jogja. Semuanya berjalan buntu tanpa perbaikan. Karena itu, keduanya juga merekomendasikan tentang pentingnya dibuat mikanisme complain dan dibentuk lembaga yang menangani keluhan pelanggaran terhadap persoalan-persoalan penyandang difbilitas. Itu penting untuk memperbaiki pelanggaran yang selama ini terus terjadi. POTRET AKSESIBILITAS NON FISIK Pemaknaan aksesibilitas non fisik disini ialah menjangkaunya para penyandang difabilitas terhadap pelayan publik yang sifatnya seperti bahasa pelayanan, sikap dan kualitas penerimaan. Aksesibilitas non fisik ini juga sangat fundamental bagi penyandang difable, karena selain fasilitas publik yang semestinya akses, tetapi juga kualitas pelayanan yang harus dijangkau dan dipahami oleh para penyandang difable. Bagus ketua DPD Gergatin Provinsi DIY mengatakan, problem yang melekat bagi tuna rungu itu ialah tidak bisa mendengar.
○
○
○
○
○
○
OPINI .37 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Karena itu, satu-satunya bahasa universal bagi tuna rungu itu ialah bahasa isyarat, termasuk di dalamnya bahasa bibir. Ruang publik semestinya menghadirkan bahasa isyarat, seperti televisi, seminar, traffic lights dan pelayanan publik lainnya. Bahasa isyarat itu substansi, apalagi sebagian besar tuna rungu itu tidak bisa berbicara lisan, hanya sebagian kecil yang bisa berbicara lisan. Di Yogyakarta, pelayanan publik baik di sektor pemerintahan dan swasta, ratarata petugasnya tidak mengerti bahasa penyandang tuna rungu. Di tempat-tempat itu juga belum disediakan para penterjemah bahasa penyandang tuna rungu, sehingga sangat menyulitkan komunikasi dan kesepahaman bersama. Situasi itu bisa ditemui di rumah sakit, kantor-kantor pemerintahan, di hotel-hotel, mal-mal, dan lainnya. Semuanya masih mendiskriminasi para penyandang tuna rungu. Banyak yang masih belum akses. Menurut Bagus, dirinya tidak tidak tahu kemana akan mengadukan soal-soal pelayanan publik yang diskriminatif itu. Hal serupa diceritakan Nuning Suryaningsih. Dirinya seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak ramah dari petugas pelayanan publik. Mereka seringkali curiga ketika memakai kursi roda, dan seringkali sikapnya melecehkan. Situasi yang sama juga biasa ia rasakan ketika bepergian, orang-orang di sekitarnya biasa tidak menyapa kecuali dirinya menyapa terlebih dulu. Nuning rasakan, orang-orang pada umumnya masih memberlakukannya sebagai manusia yang berbeda, dan kurang bersahabat. Peristiwa lainnya yang ia rasakan ialah ketika di sebuah Bandara, dirinya ditinggalkan sendiri oleh pelayan maskapai. Dirinya sebagai tuna daksa, ditinggal sendiri dan tidak dilayani sampai pesawatnya mau berangkat. Nuning sangat kecewa, karena dirinya menyadari bahwa tidak mungkin ia naik sendiri ke pesawat, dalam kondisi
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
dirinya yang bergantung pada kursi roda. Demikian juga, temannya Nuning seorang tuna netra, temannya tidak dilayani di bandara dan ditinggal seorang diri sehingga sempat kebingungan sendiiri. Temannya yang tuna netra, juga bermasalah ketika naik bus dan kereta api. Karena keduanya juga masih belum akses. Menurut Nuning, di beberapa tempat pelayanan publik, salah satunya di bandara, sampai saat ini belum ada pendataan yang mendasarkan pada kebutuhan khusus para penyandangan difabilitas. Sehingga, mereka kurang, bahkan tidak dilayani sebagaimana kebutuhan khususnya. Padahal, pencatatan itu penting mengingat para penyandang difabilitas itu beragam, dan membutuhkan pelayanan-pelayanan yang berbeda-beda pula sesuai kekhusannya. Situasi serupa juga dipertegas oleh Soeharto. Menurutnya, aksesibilitas non fisik bagi para penyandang difabilitas baik sektor pemerintahan dan swasta belum dipenuhi, khususnya bagi para penyandang tuna rungu. Di tempat-tempat pelayanan publik masih belum ada interpreter, dan belum ada petugas yang khusus mengerti tentang bahasa isyarat. Sehingga posisi mereka sangat terpojok, dipaksa untuk memenjara diri, dan dilanggar hak-hak dasarnya. Berangkat dari penuturan dan gugatan di atas, maka selayaknya pemerintah daerah Yogyakarta segera merekonstruksi dan memperbaiki fasilitas publik sehingga akses dan tidak melanggar hak-hak khusus para penyandang difabilitas. Kaum difable adalah komunitas rentan, yang keberadaannya telah dijamin konsitusi untuk dipenuhi hak khususnya. Pemerintah harus sudah mempersiapkan konsep fasilitas publik yang universal desain, satu konsep fasilitas publik yang dapat diakses oleh semua manusia sesuai dengan kebutuhankebutuhan khusus yang melekat pada dirinya. Di antara fasilitas publik itu tentu ialah jalan umum dan rambu-rambu lalu lintas. Sudah semestinya pemerintah daerah, bekerjasama dengan Kepolisian dan Dinas Pekerjaan Umum untuk mendesain rambu-rambu lalu lintas dan jalan umum yang akses bagi kaum difable. Bagi tuna daksa semestinya dipersiapkan jalan umum yang ada ram dengan standar yang layak, bagi tuna netra semestinya dipersiapkan tulisan braile di lampu merah dan jalan umum sehingga mereka mengerti tentang kegunaan jalan umum, dan bagi tuna rungu semestinya disediakan bahasa isyarat dan tanda gambar yang dapat dimengerti oleh para tuna rungu. Saat ini, kita tahu bahwa jalan umum dan rambu-rambu lalu lintas masih jauh dari akses, dan hak kaum difable masih dilanggar sistemik. Karena itu, pemerintah harus bertanggungjawab dan segera memperbaiki kekeliruannya.
38. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Inklusi & Semangat Akademik Oleh AKBAR SETIAWAN Mahasiswa Tunanetra Jurusan KPI Fakultas Dakwah UIN SUKA
Pendidikan merupakan salah satu sarana bagi setiap orang untuk membentuk kepribadian, mengembangkan potensi diri, serta memperkaya pengetahuan dari berbagai segi keilmuan yang ada. Tujuannya untuk menciptakan generasi penerus yang memiliki kecakapan serta kemampuan yang bisa diandalkan oleh masyarakat di sekitarnya. Dewasa ini, seiring dengan perkembangan zaman, mulai banyak kalangan yang menyadari akan pentingnya pendidikan bagi orang-orang yang memiliki kebutuhan khusus.
T
erlebih lagi dengan adanya penjaminan terhadap hak azasi manusia di setiap negara. Jaminan itu dalam muncul dalam bentuk undang-undang serta peraturan pemerintah yang lain. Jaminan adanya kesetaraan bagi semua kalangan. Berawal dari kesadaran serta adanya dukungan dari semua kalangan yang perduli akan kebutuhan dan pendidikan bagi orang-orang yang berkebutuhan khusus. Muali dari anggota organisasi yang ada di PBB, serta undang-undang yang mendukung memunculkan ide atau gagasan untuk membentuk perguruan tinggi yang bersifat inklusif. Ditandai dengan sarana yang aksesibel bagi semua kalangan, terlebih lagi para penyandang cacat (disabilitas). Dengan demikian, muncullah wacana inklusi pada perguruan tinggi. Hal ini mengingat akan pentingnya pendidikan di semua jenjang bagi semua anak, terlebih lagi yang memiliki kebutuhan kusus. Adanya wacana inklusi pada perguruan tinggi ini membutuhkan sebuah metode yang efektif dan
○
○
○
○
○
○
RESENSI .39 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
efisien, supaya terwujud suatu sistem inklusi yang tidak tumpang tindih. Buku yang disusun oleh Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD) UIN Sunan Kalijaga ini, memberikan gambaran yang jelas bagi para akademisi kampus. Baik itu bagi dosen, maupun mahasiswa yang juga menjadi masyarakat kampus bersama dengan staf, sekaligus para pejabat tertinggi di kampus tersebut. Di dalam buku ini, dijelaskan secara gamblang tentang realitas terhadap wacana inklusi di seluruh dunia. Dicantumkan pula realitas kondisi para mahasiswa difabel di seluruh dunia, yang juga banyak mengalami kesulitan untuk menerima materi kuliah dosen. Proses mobilitas mereka di kampus juga mengalami kendala, mengingat masih banyaknya fasilitas di kampus yang belum aksesibel bagi para mahasiswa difabel tersebut. Pada bab I buku ini, dijelaskan mengenai definisi inklusi, dasar-dasar hukum mengenai wacana Inklusi, baik itu nasional maupun internasional sekaligus dasar-dasar Islam mengenai difabilitas. Kemudian pada bab II dan bab III, dijelaskan mengenai pembelajaran dan pelayanan terkait dengan segala informasi yang ada di kampus bagi para mahasiswa difabel yang berkuliah di kampus, yang mewacanakan kebijakan inklusi didalamnya. Tak lepas dari itu, dalam buku ini juga dijelaskan langkah-langkah apa yang harus di tempuh seorang dosen jika di kelasnya terdapat mahasiswa difabel. Pada hakikatnya, mahasiswa difabel juga memiliki hak yang sama dengan mahasiswa pada umumnya dalam menjalani pendidikan, terlebih lagi pada pendidikan tinggi. Pada buku ini juga diterangkan cara untuk melayani mahasiswa difabel, baik dalam permasalahan administrasi, KKN maupun KKL/PKL, yang bisa membantu mereka, sekaligus para panitia pelaksana KKN maupun PKL untuk menempatkan para mahasiswa difabel pada tempat yang semestinya. KEUNGGULAN BUKU Dalam kaitannya dengan permasalahan inklusi pada perguruan tinggi, buku ini telah memberikan sebuah gambaran yang sangat mendetail mengenai permasalahan wacana kebijaksn inklusi. Disertai dengan segala macam tantangan yang harus dihadapi untuk memperjuangkan kebijakan tersebut. Terlebih lagi dalam konteks Indonesia, yang telah memiliki undang-undang yang terkait kebijakan inklusi pada perguruan tinggi. Meski harus diakui, belum ada realisasinya.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
“
Dicantumkan pula realitas kondisi para mahasiswa difabel di seluruh dunia, yang juga banyak mengalami kesulitan untuk menerima materi kuliah dosen. Proses mobilitas mereka di kampus juga mengalami kendala, mengingat masih banyaknya fasilitas di kampus yang belum aksesibel bagi para mahasiswa difabel tersebut.
“
○
JUDUL PENYUSUN PENERBIT TEBAL
Inklusi Pada Pendidikan Tinggi Ro’fah, MA, Ph. D, Andayani, S. IP, MSW, Muhrisun Afandi, MSW PUSAT STUDI DAN LAYANAN (PSLD) UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 63 Halaman
40. PLEDOI JULI - AGUSTUS 2012 ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
PSLD UIN Sunan Kalijaga sebagai penerbit sekaligus penyusun buku ini patut diberi penghargaan. Pasalnya, mereka telah melakukan riset serta pengkajian yang sangat mendalam terkait dengan penerbitannya. Bagaimanapun juga, untuk mewujudkan terciptanya suasana kampus yang ramah difabel, haruslah disampaikan dengan sebuah panduan yang bisa menjadi acuan. Tujuannya untuk dapat membantu memenuhi kebutuhan mahasiswa difabel, sesuai dengan tingkat kedifabelannya masing-masing. Kehadiran buku ini bisa menjadi pedoman bagi kampus yang di dalamnya terdapat mahasiswa difabel. Buku ibni juga banyak menerangkan realitas yang berkaitan mengenai keberadaan kaum difabel, dasar-dasar yang menjadi acuan mengenai kebijakan inklusi, dasar hukum kajian interaksi dan interkoneksi dengan Islam tentang difabel, sekaligus pelayanan serta cara mengemas suasana belajar di kelas bagi mahasiswa difabel. Buku ini bisa memberikan petunjuk bagi dosen dan masyarakat kampus mengenai apa dan bagaimana serta mengapa harus ada konsep dan istilah inklusi. Selain itu, keunggulan buku ini semakin terlihat dengan adanya pemaparan terkait dengan istilah-istilah serta metode-metode dan alat bantu yang dapat di sediakan bagi kampus inklusi. KEKURANGAN BUKU Semua karya tentu saja tidak ada yang sempurna. Dalam buku ini terdapat beberapa kerancuan kalimat, terutama pada bab I. Hal itu dapat membingungkan pembaca. Seharusnya, jika memakai referensi berupa buku terjemahan, perlu ada sebuah koreksi dan pelurusan pada kalimat yang merupakan terjemahan dari buku asing tersebut. Di samping itu, juga ada kesalahan pengetikan kata. Seperti kata ‘dekade’ yang di ketik menjadi ‘decade’ serta kata ‘hadits’ yang ada sedikit kesalahan penulisan menjadi ‘hadith’ yang banyak terdapat pada bab I pada buku ini. Dengan demikian, perlulah ada sebuah ketelitian yang tajam dalam menyusun sebuah buku pedoman. Terlebih lagi dengan buku yang menjadi pedoman utama dalam mendukung dan membantu pelaksanaan kebijakan inklusi. INTISARI BUKU • Adanya sebuah permasalahan difabilitas pada seseorang mahasiswa, tidak seharusnya membuat mahasiswa tersebut termarjinalisasikan oleh mahasiswa lain. Harusah ada perhatian khusus guna memberikan stimulus untuk membangkitkan semangat serta partisipasinya di perguruan tinggi.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
• Adanya wacana sistem pendidikan inklusi yang mampu membantu mahasiswa difabel dalam menghadapi proses belajar serta bisa memberikan pelayanan terbaik bagi mereka. • Dicanangkannya wacana sistem inklusi, seyogyanya bisa lebih membuat dosen lebih memperhatikan para penyandang difabilitas yang ada di kelasnya, guna memudahkan mereka menerima materi kuliah yang disampaikan dalam perkuliahan. • Undang-undang yang mengatur sistem inklusi pada perguruan tinggi hendaknya sesegera mungkin direalisasikan, guna mewudutkan generasi yang cerdas, tenpa memandang kecacatan fisik.
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○