Perekonomian Indonesia: Beberapa Telaah Kontemporer
Penulis
: Rian Hilmawan dan Syaiful Anwar
Cetakan
: Pertama, Januari 2012
Ukuran Buku
: 19 cm x 24 cm
Jumlah Halaman
: x + 113
Desain Cover
: Rian
Sumber Gambar Cover
:www.google.co.id
Penerbit
: LPFE Universitas Borneo Tarakan
Hak Cipta © 2012 Pada Penulis Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam, atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penulis.
ISBN : 978-602-97561-0-4
RIAN HILMAWAN
PENERBIT: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan
SYAIFUL ANWAR
Untuk istri dan anakku, dan para mahasiswa (Syaiful Anwar)
Buat Abah dan Ibu (Rian Hilmawan)
Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa mencurahkan ilmu pengetahuan kepada hamba – hambanya yang menggelutinya. Membaca buku “PEREKONOMIAN Indonesia : Beberapa Telaah Kontemporer” karya pemikiran Rian Hilmawan dan Syaiful Anwar, ada beberapa hal pokok penting yang perlu saya kemukakan dalam pengantar buku ini. Pertama, saya dapat menebak ke arah mana pemikiran tentang penelaahan kontemporer ini yakni benar-benar pro rakyat. Tak dapat disangkal, bahwa masyarakat di berbagai belahan dunia, atau negara sebagai representasi institusional secara keseluruhan, telah memasuki suatu medan globalisasi yang dicirikan salah satunya melalui perdagangan bebas. Berbagai kesepakatan, jalinan kerja sama, perjanjian multilateral, berbagai kelompok negara maju dan berkembang, penyatuan mata uang, dan lain-lain, merupakan suatu wujud dari lintas batas geografis-regional menuju pada kepentingan ekonomi internasional yang tak terhindarkan, demikian juga yang terjadi di Indonesia. Buku ini sangat membantu dan bermanfaat untuk para pembaca sebagai referensi yang memberikan informasi mengenai kondisi perekonomian yang berkembang di tengah masyarakat. Terutama ke hal – hal yang bersifat ke-kinian sehingga mengundang seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kalangan untuk mengkritisi agar pemerintah tidak melempem seiring dengan tekanan politis yang pragmatis untuk melengkapi masukan kepada pemerintah. Kedua, pada isi buku ini mengajak pemerintah mencurahkan pemikirannya melalui kebijakan sebagai realisasi adanya perhatian khusus untuk solusi terbaik bagi isu-isu kompetisi dan krisis global dalam sendi-sendi perekonomian
khususnya di Indonesia tanpa merugikan masyarakat, bahkan justru membantu masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan hidupnya, terutama bagi masyarakat tertinggal (pro-rakyat). Meskipun kemiskinan tetap menjadi masalah yang signifikan di Indonesia yang akan terus menjadi ancaman di masa depan, setidaknya dapat menstimulus penduduk yang berada di bawah standar hidup keluar dari jebakan kemiskinan yang multidimensional. Kebijakan untuk memperbaiki iklim investasi menjadi sangat penting terlebih dalam menghadapi perekonomian global yang dinamis dan tidak menentu. Perbaikan kualitas human capital bangsa, serta alih teknologi ekstensif dan intensif menuju produktivitas dan efisiensi perekonomian yang tinggi harus terus diupayakan agar menjadi semangat dari tiap kebijakan nasional, regional maupun sektoral. Buku ini layak dibaca oleh semua pihak yang berkepentingan, meskipun tidak menutup kemungkinan mengundang debatable dan kebenarannya tidak berhenti di sini sehingga perlu diuji kembali kebenarannya. Sebagai akhir catatan saya, kita tidak terlalu berlebihan mengharapkan pemikiran dari penulis gambaran disain yang terinci karena semua itu tergantung keterlibatan kita semua. Pembaca buku ini, diharapkan secara konseptual dan komprehensif dapat mengembangkan pemikiran kritis dan kreatif sehingga dapat menyimak perekonomian Indonesia yang diharapkan berguna oleh berbagai elemen masyarakat. Sebagai penutup dari pengantar buku ini, saya mengharapkan saudara Rian Hilmawan dan Syaiful Anwar untuk tetap berkiprah dan mengembangkan ilmunya serta kami ucapkan terima kasih kepada penulis atas karyanya sebagai sumbangsih atas pemikiran-pemikiran ilmiah untuk memperkaya referensi ilmu pengetahuan dalam bidang ekonomi dalam konteks Indonesia.
Samarinda, November 2011 Prof. Dr. H. Zamruddin Hasid, SE., SU.
Kata Pengantar Penulis
ALHAMDULILLAH, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala limpahan rahmat dan karunianya yaitu ilmu, iman, dan kesehatan, sehingga akhirnya buku ini dapat diwujudkan dan diterbitkan. Buku Perekonomian Indonesia: Beberapa Telaah Kontemporer ini berisikan diskusi kritis atas fenomena aktual yang terjadi di dekade terakhir perjalanan ekonomi bangsa. Fenomena ini merujuk kondisi kekinian, yang disertai data-data terbaru. Tidak semua permasalahan disampaikan, sebab isu perekonomian Indonesia sangat luas, sehingga perlu dibatasi untuk beberapa topik aktual atau barangkali layak untuk dielaborasi. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada kawan-kawan di Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Mulawarman dan FE Universitas Borneo Tarakan (UBT) atas motivasi dan dorongannya. Kepada Rektor Unmul Prof. Dr. Zamruddin Hasid, SU yang telah berkenan menyempatkan waktu, di tengah kesibukannya, untuk membuat kata sambutan pengantar buku ini, kami ucapkan beribu terima kasih. Kepada Rektor UBT Prof. Dr. Abdul Jabarsyah, M.Sc atas dukungan dan motivasi kepada penulis. Kepada Prof. Rusmilawati, Prof. Dr. Eny Rochaeda, Prof. Dr. Muhammad Saleh, Dr. Priyagus, Dr. Siti Amalia, Aji Sofyan Effendi, SE, M.Si di FE Universitas Mulawarman, terima kasih atas ilmu, bimbingan, dan bantuannya selama ini. Juga kepada para dosen di Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya, khususnya Prof. Dr. Munawar Ismail atas ilmu pengetahuan dan pengalaman berharga yang didapatkan penulis. Akhirnya, meskipun buku ini sangatlah jauh dari sempurna, semoga buku ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan kita. Amin. Indonesia, 2 Desember 2011 Penulis
Daftar Isi KATA PENGANTAR ..................................................................................... DAFTAR ISI ....................................................................................................
v ix
TOPIK 1. Perekonomian Indonesia: Optimisme di Tengah Tantangan Global ............................................................................................
1
A. Prolog ..................................................................................................... B. Tantangan Indonesia di Tengah Situasi Global ..................................... C. Dua Sisi Mata Uang: Menjadi Pemain Domestik atau Pemain Global..................................................................................................... D. Daya Saing yang Memburuk, Sampai Kapan? ...................................... E. Keunggulan Produk Dalam Negeri = Kredibilitas Bangsa .................... F. MP3EI : Sebuah Harapan atau Nestapa? ............................................... G. Epilog .....................................................................................................
9 11 14 16 19
TOPIK 2. Meneropong Problem Ketenagakerjaan: Mendeteksi Eksistensi Sektor Informal ..............................................................................
21
A. B. C. D. E. F.
Prolog ..................................................................................................... Paradoks Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran ............................ Momok Masalah: Tekanan Sisi Penawaran Tenaga Kerja .................... Sektor Informal dan Eksistensinya ........................................................ Sektor Informal dan Realitas Ekonomi Rakyat ..................................... Eksistensi Sektor Informal: Dilema Kesejahteraan dan Rintangan Politik ..................................................................................................... G. Quo Vadis Perlindungan Sosial Sektor Informal? ................................. H. Epilog .....................................................................................................
1 3
21 21 25 27 32 35 38 43
TOPIK 3. Kemiskinan di Indonesia: Problem, Tantangan, dan Kebijakan ......................................................................................................... A. B. C. D. E. F.
47
Prolog ..................................................................................................... Perkembangan dan Situasi Kemiskinan (1996 – 2010) ......................... Ketimpangan dan Distribusi Pendapatan ............................................... Determinan Kunci dan Strategi Pengentasan Kemiskinan .................... Peluang (Opportunities) dan Kendala (Constraint) yang Dihadapi ...... Epilog .....................................................................................................
47 48 53 58 66 70
TOPIK 4. Perdagangan Bebas: Implikasi ACFTA, Kinerja, dan Problem Daya Saing ........................................................................................
73
A. Prolog ..................................................................................................... B. Indonesia dan ACFTA, Latar Belakang? ............................................... C. Era ACFTA: Konsekuensi Kebijakan dan Fakta Kinerja Perdagangan ........................................................................................... D. Implikasi dan Evaluasi Pemerintah terhadap ACFTA: Sebuah Pelajaran................................................................................................. E. Kemerosotan Daya Saing: Faktor yang Melemahkan ........................... F. Epilog ..................................................................................................... TOPIK 5. Ekonomi Politik Indonesia 1997 – 2003: Krisis dan Reformasi .......................................................................................................... A. B. C. D. E. F.
73 73 77 83 86 90
93
Prolog ..................................................................................................... 93 Flash Back Ekonomi Era Orde Baru ..................................................... 94 Krisis Keuangan Asia dan Intervensi IMF ............................................ 98 Reformasi Ekonomi: Catatan dan Kecacatan ........................................ 103 Reformasi dan Hikmah Dari Negara Lain ............................................. 107 Epilog ..................................................................................................... 110
Perekonomian Indonesia: Optimisme di Tengah Tantangan Global
TOPIK
1
A. Prolog Membahas gambaran perekonomian Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah, karena kompleksitas dan dimensinya yang luas. Meskipun demikian, paling tidak kita dapat memilah demarkasi perjalanan perekonomian bangsa ini ke dalam tiga ruang: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Pembangunan ekonomi di masa Orde Baru, memang meninggalkan prestasi yang tidak dapat dilupakan. Dari negara yang dihantam krisis politik, kesenjangan sosial, dan hiperinflasi pada era Orde Lama, menjadi salah satu negara yang masuk East Asian Miracle, karena pertumbuhan ekonominya yang luar biasa. Sayangnya, krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997 – 1998, dengan begitu mudahnya memporak-porandakan sendi perekonomian yang telah dibangun era Orde Baru selama 32 tahun.1 Banyak argumen yang muncul untuk menjelaskan keadaan ini. Misalnya, akibat kelemahan pengawasan sistem keuangan dan manajemen utang negara. Namun secara prinsip, akar masalah ini ialah akibat pola pembangunan era Orde Baru yang terlampau sentralistik, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi (high of growth), tanpa menghiraukan sisi equity (pemerataan).2 Dengan harapan bahwa hasil pertumbuhan ekonomi tersebut akan secara otomatis mengalir pada daerah di sekitarnya hingga lapisan masyarakat di bawahnya (trickle down effect). Sehingga seluruh lapisan masyarakat secara bertahap akan mendapatkan manfaat dari efek pertumbuhan ekonomi tersebut. 1
Pembahasan mengenai krisis ekonomi Indonesia tahun 1997 – 1998, dibahas secara mendalam pada BAB 5: Ekonomi Politik Indonesia 1997 – 2003: Krisis dan Reformasi 2 Lebih lengkap dapat dibaca: The East Asian Miracle: Four Lesson for Development Policy (http://www.nber.org/chapters/c11011.pdf)
Pola demikian justru memunculkan ketidakmerataan pembangunan di Indonesia yang merupakan negara kepulauan (NKRI). Pulau Jawa, sebagai pusat bisnis dan pemerintahan, menjadi jauh lebih maju dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Padahal daerah-daerah yang tertinggal, seperti Papua dan Kalimantan, mempunyai kekayaan sumber daya alam yang cukup melimpah yang selama ini berperan penting menyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar bagi negara. Inilah yang melemahkan fondasi ekonomi. Lebih dari 30 tahun proses pembangunan berlangsung (1967 – 1997), sejak Pelita I dilaksanakan, efek menetes (trickle down effect) yang diimani itu sangat kecil dirasakan. Bahkan, hingga tahun 1980 sampai dengan krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997, Indonesia memang menikmati laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi tingkat ketimpangan ekonomi dan kemiskinan pada akhirnya juga semakin luar biasa. Papua Barat dan Papua misalnya, hingga tahun 2010 ini, masih merupakan daerah dengan persentase kemiskinan terbesar di Indonesia yaitu 34,88 % dan 36,8 % (Data Strategis BPS, 2010). Dampak negatif dari sentralisasi ini juga menimbulkan praktik pengelolaan negara yang lambat laun membudayakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di level pemerintahan dan bisnis. Hal inilah yang membuat proses pembangunan dan kegiatan perekonomian menjadi semakin tidak sehat. Penetrasi kekuasaan dalam pengelolaan negara pada akhirnya berkembang menjadi suatu kolaborasi kolusif antara elit pejabat dan pemodal, yang melahirkan banyak kebijakan atau regulasi yang merugikan negara dan rakyat3. Praktik birokrasi demikian, membuat kualitas pemerintah dalam mencapai akselerasi pembangunan yang berkualitas, adil, dan berorientasi kepada kesejahteraan rakyat menjadi lamban. Sehingga patut kita maklumi mengapa 3
Pada periode panjang pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998), telah lahir banyak Undang-Undang yang memberikan jalan bagi penguasaan kepentingan asing terhadap lahan dan sumber daya alam kita. Regulasi seperti UU Penanaman Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967) dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan adalah sedikit contoh. Dampak dari regulasi itulah yang menimbulkan jalan masuk bagi kepemilikan asing terhadap sumber daya ekonomi strategis seperti hasil migas, tambang, dan perkebunan.
upaya serius terhadap perwujudan good and clean governance dalam tata kelola pemerintahan menjadi kata kunci dalam menyelesaikan problem ini.
B. Tantangan Indonesia di Tengah Situasi Global Pengalaman di masa lalu, pada era Orde Baru, memberikan banyak hikmah bagi pemerintah dan masyarakat dalam menyukseskan pembangunan negaranya. Usai transisi kekuasaan Orde Baru ke reformasi pada Mei 1998, yang merupakan efek turbulensi politik akibat krisis ekonomi tahun 1997 – 1998, perekonomian Indonesia kini berangsur membaik. Peraga 1.1. Pertumbuhan PDB Indonesia Sebelum dan Sesudah Krisis Ekonomi Tahun 1997 - 1998
Sumber: Basri (2008)
Sepanjang tahun 2002 – 2007, yang ditandai pergantian kepemimpinan hingga 4 kali, perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata 4,9 % (lihat peraga 1.1). Gambaran ini menunjukkan iklim kegiatan ekonomi sudah sangat baik usai terjerembab ke level minus 13,6 % pada saat krisis ekonomi tahun 1998 terjadi. Meskipun memang jika kita lihat pada peraga 1.1, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat sebelum krisis 1998 lebih tinggi dibandingkan sesudah krisis 1998. Hingga tahun 2010, pertumbuhan ekonomi (PDB) mencapai 6,1%. Sementara jika kita lihat variabel ekonomi makro
lainnya seperti laju inflasi, pengangguran terbuka, dan penduduk di bawah garis kemiskinan menunjukkan angka yang semakin menurun.4 Tabel 1.1. Indikator Makroekonomi Indonesia Tahun 2000 - 2009
Sumber: Yustika (2010)
Peraga 1.2. Perkembangan Indikator Ekonomi Makro Indonesia 2004 – 2011
4
Pada bagian selanjutnya dalam pembahasan buku ini akan diuraikan tinjauan kritis seputar perkembangan variabel makro ekonomi yang menjadi target pemerintah. Misalnya apakah peningkatan pertumbuhan ekonomi berkorelasi positif dengan kesejahteraan rakyat. Apakah pertumbuhan ekonomi merupakan formula ampuh memecahkan problem kemiskinan. Juga apakah pertumbuhan ekonomi sudah cukup inklusif dalam menciptakan lapangan pekerjaan.
Tabel 1.2. PDB Indonesia Tahun 2004 – 2011
Sumber: Bappenas, 2011 (dikutip dari presentasi Menteri PPN/Bappenas, 2011)
Indonesia rupanya telah berguru dari krisis ekonomi yang terjadi di masa lalu. Kita bisa melihat, ketika krisis keuangan melanda Amerika Serikat (AS) dan menghantam perekonomian dunia pada pertengahan tahun 2008, perekonomian Indonesia tetap tumbuh pada tren yang positif 6,1 % (lihat Peraga 1.2). Ini menjadi suatu hal yang ajaib, sekaligus aneh, mengingat negara tetangga di wilayah Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan negara semaju Singapura, justru mengalami pertumbuhan negatif. Apakah negara kita sudah memiliki sistem yang menjamin keamanan dari dampak eksternal asing? Apa yang membuat Indonesia bisa sebaik itu pertumbuhannya? Mengapa dampak krisis global di Indonesia paling minimal? Jawabannya ternyata sederhana. Karena ketergantungan ekonomi kita kepada pasar dunia terbilang belum begitu besar. Ekspor misalnya, porsinya masih kecil. Sehingga dampaknya terhadap perekonomian juga kecil. Tentu saja ini juga lebih akibat faktor keberuntungan (luck). Kita sebenarnya ingin meningkatkan ekspor, akan tetapi jika dilihat dari volume perdagangan, sebenarnya ekspor kita cukup kuat, yang jatuh sebetulnya adalah harga barang-
barang (komoditas) ekspor kita di pasar internasional. Dalam hal ini daya saing barang produk kita kalah dengan produk sejenis dari negara tetangga. Sehingga penetrasi produk kita tidak terlampau banyak ke luar negeri dilihat secara volume. Tabel 1.3. Negara-negara Tujuan Ekspor Terbesar Negara Pertumbuhan Kontribusi (%) (%) Tiongkok 56,19 5,65 India 49,31 3,66 AS 22,89 2,43 Jepang 15,10 1,92 Belanda 75,48 1,91 Singapura 25,31 1,91 Malaysia 28,5 1,70 Korsel 13,3 0,72 Thailand 42,7 1,41 Taiwan 30,9 0,77 Sumber: Kemendag, 2011 (dikutip Jawa Pos, Senin, 24/10/2011)
Jika melihat negara-negara tujuan ekspor Indonesia, hingga tahun 2011 (lihat Tabel 1.2), kontribusi ekspor kita ke negara-negara tujuan masih sangat kecil yaitu hanya 5,65 persen (Cina), 3,66 % (India), 2,43 % (AS), dan 1,92 % (Jepang). Sementara untuk wilayah ASEAN sendiri, Indonesia hanya menyumbang 1,91 persen (Singapura), Malaysia hanya 1,70 %, dan Thailand hanya 1,40 %. Bahkan untuk wilayah Uni-Eropa pangsa ekspor terbesar kita hanya ke Belanda dengan kontribusi 1,91 %. Minimnya porsi kontribusi ekspor Indonesia ini sebenarnya memang tidak begitu membahayakan ekonomi domestik ketika terjadi gejolak eksternal dalam jangka pendek. Tetapi apabila gejolak eksternal itu berkepanjangan, misalnya krisis ekonomi yang melanda negara-negara tujuan (pasar utama) tersebut dalam waktu yang relatif lama, maka perekonomian domestik pada akhirnya juga akan ikut memburuk, meskipun porsi ekspor kita kecil. Keadaan ini patut diwaspadai, mengingat frekuensi krisis di negara mitra tidak bisa dikendalikan (faktor eksogen).
Tabel 1.4. Ekspor Non-migas Indonesia (USD Juta) Tujuan ASEAN - Singapura - Malaysia - Thailand UNI-EROPA - Jerman - Perancis - Inggris - Cina - Jepang - Amerika Serikat
Agustus 2011 2.730,0 1.094,8 650,0 394,0 1.936,7 276,0 109,0 155,0 1.908,7 1.493,0 1.385,3
September 2011 2.691,1 916,4 740,4 382,6 1.393,4 211,8 102,2 133,0 2.081,1 1.691,7 1.185
Sumber: BPS RI (Dikutip dari Jawa Pos, Rabu, 2 November 2011)
Hal ini bisa kita lihat dari efek krisis ekonomi global di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa, yang hingga akhir 2011, belum menunjukkan perkembangan memulih.5 Implikasinya, ekspor domestik Indonesia juga mulai menurun. Data BPS mencatat per September 2011, ekspor non-migas ke negara-negara Uni-Eropa jeblok USD 543,3 juta. Ini tidak lain akibat efek krisis global yang berkepanjangan (lihat Tabel 1.3). Pertanyaannya, kalau ekspor kita kecil dan semakin berpotensi menurun apabila ekonomi dunia tidak kunjung membaik, lantas faktor apa yang mendorong pertumbuhan ekonomi bisa tetap positif? Jawabannya adalah konsumsi domestik (rumah tangga, pemerintah, dan swasta) kita yang mencapai 64% dari PDB (produk domestik bruto)6. Indonesia memiliki pasar domestik yang sangat besar. Didukung masyarakatnya yang memang 5
Kian memburuknya perekonomian di AS dan negara Eropa dapat dilihat dari rasio hutang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio negara Eropa seperti Yunani (165,5%); Spanyol (67,4%); Italia (121,1%) adalah yang terparah. Sementara AS (100%) dan Jepang (233,1%). Adapun Indonesia hingga tahun 2011 ini masih sehat dengan rasio 25,2 %. Lihat di: Ekonomi Indonesia Belum Terpengaruh Krisis Global. www.suarapembaruan.co.id 6 Porsi 64 persen konsumsi domestik di Indonesia lebih tinggi dari negara Cina yang berkisar di level 30 persen. Baca: Ekonomi Masih Ditopang Konsumsi, Jawa Pos, Sabtu 1 Januari 2011.
konsumtif, gemar belanja. Bahkan jika pemerintah tidak bekerja keras pun, sebenarnya pertumbuhan ekonomi bisa saja mencapai 3,5%. Itu hanya dari konsumsi rumah tangga saja. Namun demikian, bukan berarti dampak krisis global sama sekali tidak membahayakan perekonomian domestik. Karena kita juga merupakan pemain di pasar global, meskipun pemain kecil (small economy), maka tetap akan ada sektor ekonomi yang terpukul pada saat krisis. Sektor industri manufaktur domestik adalah sektor yang mengalami pukulan telak di saat krisis dunia. Hal ini bisa dengan mudah kita baca, mengingat industri manufaktur domestik merupakan industri yang bahan bakunya masih kental dengan muatan impor (import content) yang kebanyakan mengimpornya dari negara-negara maju di AS, Eropa, dan Asia (Jepang). Artinya segala kegiatan produksinya amat sangat dipengaruhi oleh harga dan nilai tukar. Gejala menurunnya industri manufaktur domestik ini bisa kita lihat dari sisi PPN (pajak pertambahan nilai) domestik yang menunjukkan transaksi barang. PPN itu ada dua yaitu PPN impor dan domestik. Data BPS beberapa edisi 2008 - 2010, menunjukkan bahwa PPN impor kita 90 persen isinya untuk pembelian mesin dan bahan baku. Jadi, kita patut senang jika angka impor PPN ini naik. Mengapa? Karena itu pertanda bahwa ekonomi kita tumbuh. Karena perusahaan-perusahaan mulai membeli bahan baku dan mesin, artinya mereka memproduksi, artinya ada lapangan kerja baru yang tersedia. Tidak mungkin perusahaan membeli bahan baku hanya untuk disimpan (stok). Masalahnya pada saat krisis global melanda, PPN impor ini turun tajam. Ini menandakan bahwa ekonomi mengalami perlambatan, dan dengan sendirinya memperlihatkan gejala deindustrialisasi (penurunan produksi industri). Berbeda di sisi lain, tingginya konsumsi rumah tangga di Indonesia menjadi magnet bagi perusahaan asing berekspansi untuk berinvestasi. Pada medio awal 2011, misalnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat peningkatan PMA (penanaman modal asing) dari perusahaan besar berdatangan. Di antaranya Panasonic, Honda Motor, Mercedez Benz, LG, dan
masih banyak lainnya. 7 Sementara sektor yang paling aman terkena dampak krisis sangatlah gampang ditebak, yaitu sektor yang tidak ekspor dan impor. Biasanya adalah industri makanan dan minuman dan juga sektor jasa-jasa (nontradable sector).
C. Dua Sisi Mata Uang: Menjadi Pemain Domestik atau Pemain Global? Singkat cerita, ekonomi kita sebenarnya berorientasi ke dalam (inward looking), alias bergantung oleh perekonomian domestik (konsumsi domestik). Berbeda dengan negara lain yang berorientasi keluar (outward looking), seperti Cina atau AS sehingga rentan dengan perubahan eksternal. Pola inward looking ini membantu kita lolos dari tsunami krisis global beberapa tahun terakhir. Dengan kata lain, sebuah negara yang ekonominya berorientasi domestik, maka dampak krisis akan sangat kecil. Boleh dikatakan aman. Pertanyaan yang menarik untuk diajukan adalah, kalau begitu mengapa kita ikut globalisasi, mengapa harus mengekspor? Mengapa kita mau ikut perdagangan bebas? Seharusnya kebijakan ekonomi kita domestic oriented saja. Apakah argumen itu sepenuhnya benar? Memang, ada kecenderungan negara yang ada sekarang, melakukan reorientasi strategi ekspor. Di mana perekonomian diarahkan ke pasar domestik, yang bertujuan untuk menjaga stabilitas pertumbuhan. Data World Bank dan OECD misalnya, menyebutkan negara di Amerika Latin, seperti Venezuela dan Brazil sebagai bukti. Strategi pembangunan yang berorientasi ekspor memang sangat rentan bagi negara berkembang. Terlebih, bila mitra dagangnya adalah negara-negara besar yang sangat beresiko mengalami gejolak krisis. Jika perekonomian di negara besar (AS, Eropa, Asia) itu kolaps, gelombangnya juga akan menghantam perekonomian negara mitranya seketika. Karenanya, strategi yang berorientasi ekspor untuk memacu pertumbuhan ekonomi di negara berkembang sebaiknya tidak bersifat berkelanjutan. Strategi tersebut harus kondisional dan momentum. Misalnya, ketika gelagat krisis 7
Baca: Ekonomi Masih Ditopang Konsumsi, Jawa Pos, Sabtu 1 Januari 2011.
global terjadi, perlu dilakukan reorientasi strategi ekspor dengan memperkuat penetrasi ke pasar domestik dan memindahkan mitra dagang ekspor ke negaranegara yang tidak rentan terkena imbas krisis. Mungkin cara demikian perlu dilakukan Indonesia, dalam menyikapi ketidakpastian perekonomian dunia saat ini. Berkaitan dengan strategi tersebut tentu memiliki dampak. Misalnya, apabila krisis global mereda dan ekonomi global mulai tumbuh dan membaik, apakah perekonomian Indonesia akan ikut terbantu? Jawabannya adalah tidak. Karena kita bukan bagian dari global. Kita hanya pemain kecil (small player), negara berkembang dengan porsi ekspor kecil. Artinya ini dua sisi mata uang. Kita bisa memilih: apakah ingin menjadi pemain kecil atau pemain besar? Apakah orientasi kita inward looking atau outward looking? Tentu saja semua pilihan memiliki konsekuensi masing-masing. Sebagai pemain kecil, ketika ekonomi global membaik, kita tidak mendapat manfaat ekonomi (baca: keuntungan/surplus) yang banyak. Ekonomi kita memang tumbuh, tapi sangat kecil. Pemain besar seperti Singapura misalnya, tahun 2010 saja, pertumbuhannya mencapai 13,8 persen, sementara Indonesia cuma 6,1 persen di tahun yang sama. Bahkan negara-negara di kawasan Asia lainnya seperti Cina dan India bisa tumbuh di atas 9 persen pada tahun 2010. Jadi sebenarnya sekarang adalah bagaimana caranya kita menyusun strategi untuk memperkuat perekonomian domestik, namun sekaligus juga mendukung dan meningkatkan ekspor kita. Strategi kondisional dalam ekspor kita perlu ditunjang oleh kebijakan penguatan produk dan daya saing. Menjadi pemain global yang bermain di ranah perdagangan dunia, memang tidak semudah menjual produk di pasar domestik. Ada standarisasi di sana, yang mengikuti kaidah (aturan main) di masing-masing negara. Sehingga kualitas produk mutlak harus baik dan kompetitif. Sebab, semua negara juga melakukan hal yang serupa. Dalam pasar dunia, barang dan jasa yang ditransaksikan dipengaruhi oleh dua faktor penting: kualitas dan harga. Di sinilah kebijakan pemerintah yang jeli dibutuhkan dalam meningkatkan iklim bisnis dan produktivitas ekonomi
domestik. Sayangnya hingga saat ini produk lokal kita masih mengalami sejumlah kendala yang kian membuat kualitas dan daya saing memburuk.
D. Daya Saing yang Memburuk, Sampai Kapan? Apa yang menyebabkan daya saing produk kita tidak kompetitif di pasar internasional? Karena mahalnya biaya produksi dan ongkos transportasi (logistik), sehingga menyebabkan harga barang kita kalah murah dengan negara lain. Berdasarkan data The Global Competitiveness Report 2011 – 2012, yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF), menempatkan posisi daya saing Indonesia pada peringkat 46 tahun 2011, padahal tahun sebelumnya menempati posisi 44 dari 139 negara yang disurvei. Indonesia kalah jauh dengan Singapura dan Malaysia. Di wilayah ASEAN kita hanya lebih baik dari Vietnam dan Filipina yang notabene merupakan negara kecil. Penurunan daya saing di Indonesia mencerminkan kondisi yang rawan, mengingat di saat negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia mengalami kemajuan yang pesat, Indonesia justru mengalami kemunduran.8 Tabel 1.5. Peringkat Daya Saing Beberapa Negara ASEAN Tahun 2011 Negara Singapura Malaysia Thailand Indonesia Vietnam Filipina
Peringkat 2011 2 21 39 46 65 75
Skor 5.63 5,08 4,52 4,38 4,24 4,08
Peringkat 2010 3 26 38 44 59 85
Perubahan 1 5 -1 -2 -6 10
Sumber: Bappenas (2011)
Seperti yang diutarakan sebelumnya, terdapat dua hal yang menjadi penyebab utama lemahnya daya saing negara kita dalam survei WEF tersebut. 8
Menurut Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu, daya saing Indonesia tidak turun. Jatuhnya peringkat daya saing dari 44 ke 46 karena bertambahnya jumlah sampel sebanyak tiga negara dari sebelumnya 139 negara menjadi 142 negara (baca: Tanggapan Mendag Soal Turunnya Daya Saing. www.vivanews.com). Meskipun demikian jika kita lihat, daya saing Indonesia kalah telak dari Malaysia.
Yaitu suku bunga perbankan yang sangat tinggi dan kondisi infrastruktur yang buruk. Menurut ekonomi WEF, Thierry Geiger, bahwa sektor infrastruktur menyumbang dampak paling besar. Kondisi pelabuhan, jalan raya, dan rel kereta api dinilai sangat memprihatinkan. Belum lagi jalan tol, pasokan listrik, ketenagakerjaan, dan fasilitas teknologi informasi yang serba terbatas. (www.vivanews.com) Karena keterbatasan akses, infrastruktur yang buruk (bahkan nihil di beberapa daerah), yang mengakibatkan tingginya biaya produksi dan logistik. Ilustrasi harga semen di Nabire, Papua Barat, misalnya bisa mencapai Rp 1 juta/sak. Bahkan harga bensin di sana, konon mencapai Rp 50 ribu/liter. Tentang produk impor kita juga cukup mahal. Waktu yang dibutuhkan kapal masuk ke pelabuhan itu 81,9 jam, jadi sekitar 3,5 hari. Waktu efektif untuk menaikkan dan menurunkan barang 36 jam, sekitar 1,5 hari. Totalnya sekitar 5 hari. Bayangkan jika barangnya adalah non-durable goods, alias barang yang tidak tahan lama, seperti buah, sayur, udang. Akibatnya produk kita menjadi tidak layak jual, lantas siapa yang berkenan melakukan impor dengan resiko demikian. Perdagangan menjadi sangat tidak efisien. Jika mengacu data terbaru, Bank Dunia pada bulan Oktober 2011 lalu telah mempublikasikan laporan Doing Business 2012. Hasilnya masih menempatkan Indonesia pada posisi buncit. Peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia berada di posisi 129. Bahkan di kawasan Asia Tenggara sendiri, Indonesia masih kalah dengan Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Indonesia cuma bisa menang dari Filipina yang menempati posisi 136. Dalam Laporan Doing Business 2012 itu disebutkan tiga hal yang berkontribusi memperburuk kualitas berbisnis dan produktivitas produksi di Indonesia yaitu: (i) akses listrik yang sulit didapatkan; (ii) perizinan lahan (properti); (iii) dan kemudahan mendapatkan pembiayaan (kredit)9. Pada akhirnya kesemua permasalahan ini bermuara pada bagaimana keseriusan 9
Sektor perbankan di Indonesia lebih cenderung mengutamakan pembiayaan kredit konsumtif dibandingkan kredit produktif, seperti kredit untuk proyek infrastruktur yang bersifat jangka panjang. Kredit konsumtif dipandang lebih memberi banyak keuntungan dengan resiko kecil.
pemerintah dapat menyelesaikan problem infrastruktur, baik infrastruktur fisik (jalan, listrik, pelabuhan), maupun infrastruktur non-fisik (aspek kelembagaan: perbankan, lembaga perizinan pemerintah). Kata kuncinya: percepatan pembangunan dan pembenahan infrastruktur. Ini penting dalam rangka menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi dan menunjang aktivitas ekonomi berjalan lebih efisien. Indonesia tidak bisa bergantung hanya pada konsumsi domestik dan pengeluaran pemerintah (stimulus fiskal). Kita membutuhkan infrastruktur yang baik, sehingga daya saing produk kita semakin meningkat dan kontribusi ekspor ke depan semakin besar. Tabel 1.6. Peringkat Kemudahan Berbisnis Negara di Kawasan Asia Tenggara Berdasarkan Laporan Doing Business 2012 Negara Singapura Thailand Malaysia Brunei Vietnam Indonesia Filipina
Posisi 1 17 18 83 98 129 136
Sumber: International Finance Corporation (IFC), 2012
Peraga 1.3. Kompilasi Belenggu yang Menghambat Kemajuan Indonesia
-
•Infrastruktur yang Terbatas •Birokrasi yang Belum Efisien •Suku bunga perbankan yang tinggi
•Biaya logistik yang mahal •Masalah pungutan tidak resmi (korupsi)
E. Keunggulan Produk Dalam Negeri = Kredibilitas Bangsa Negara kita secara komparatif memiliki banyak keunggulan. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar (potensi pasar yang luar biasa) dan kekayaan hasil alam seperti migas, agribisnis, agroindustri, dan bahan baku setengah jadi yang sulit disaingi negara-negara lain baik di level ASEAN maupun dunia. Hingga tahun 2011, sektor ekonomi seperti industri makanan minuman, otomotif, besi baja dan logam masih mendongkrak pertumbuhan industri. Sektor tersebut tidak terlalu terpengaruh oleh perlambatan ekonomi yang terjadi selama periode 2009 – 2011, akibat krisis ekonomi yang terjadi di Eropa dan AS. Jika ditelisik lebih rinci, ada banyak produk dalam negeri yang punya kemampuan bersaing secara internasional. Kijang Innova, misalnya, bisa dikatakan produksi nasional. Karburator mobil mewah Mercedes Benz, ternyata buatan Probolinggo, Jawa Timur. Kemudian Polytron, Maspion, dan aneka produk hasil industri kreatif yang beberapa tahun terakhir ini patut diperhitungkan eksistensinya di level internasional. Varian dari industri kreatif ini misalnya kesenian, kerajinan tangan (handycraft), fashion, musik, dan produk hasil kreatifitas lainnya yang memiliki keunikan dan ciri khas budaya Indonesia.10 Produk seperti ini jika diekspor akan memiliki nilai tambah yang besar bagi perekonomian. Selama ini Indonesia lebih dominan mengeskpor hasil produk bahan mentah seperti batu bara, kelapa sawit (CPO), dan hasil pertanian, yang nilai tambahnya kecil dan bersifat eksploitatif. Di samping produk lokal, ada sekitar 20 perusahaan yang memiliki keunggulan bersaing dengan perusahaan dunia. Berdasarkan hasil Survei majalah Warta Ekonomi tentang “perusahaan idaman 2010”. Beberapa dari mereka adalah Pertamina, Astra International, Telkom, Bank Central Asia, Uniliver Indonesia, Garuda Indonesia, Indosat, Bank Mandiri, PT. Bakrie & Brothers, Telkomsel, Kalbe Farma, PT. Indofood Sukses Makmur, PT. Yamaha Indonesia Motor, PT. IBM Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, dan PT. Adira Dinamika. Beberapa nama perusahaan tersebut juga berhasil 10
Kontribusi sektor fashion terhadap total ekspor 5%, terhadap sektor industri kreatif 54,8% (Baca: Kerajinan Tangan & Fesyen Penggerak Roda Ekspor, Kamis 24 November 2011, www.okezone.com
membukukan nilai kapitalisasi terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 201111 (lihat Tabel 1.7). Tabel 1.7. Peringkat Perusahaan Tbk di Indonesia yang Mencatat Nilai Kapitalisasi Pasar Saham Terbesar di BEI Perusahaan PT. Astra International Tbk PT. Bank Central Asia Tbk PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk PT. HM. Sampoerna Tbk PT. Unilever Tbk PT. Gudang Garam Tbk PT. United Tractors Tbk PT. Bank Negara Indonesia Tbk
Nilai Kapitalisasi (Rp) 279,33 triliun 197,70 triliun 165,16 triliun 164,85 triliun 149,18 triliun 138,72 triliun 119,40 triliun 112,75 triliun 91,76 triliun 74,31 triliun
Sumber: www.kompas.com
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam mengakselerasi performa daya saing produk dalam negeri kita. Pertama, perlu adanya iklim yang mendukung, misalnya menyangkut iklim perpajakan, perbankan dan juga infrastruktur. Kita lihat kondisi yang dihadapi pengusaha Indonesia. Pajak misalnya, Pemerintah belum memberikan insentif kepada pengusaha seperti pengurangan atau penghapusan PPN, sehingga berdampak kepada harga jual. Belum lagi bunga bank yang masih tinggi, sementara di negara pesaing mungkin di bawah 5 %. Selanjutnya biaya listrik, transportasi, dan biaya logistik di pelabuhan yang tinggi, sehingga turut menyumbang “melempemnya” daya saing kita di pasar internasional. Problem demikian sangat berdampak terhadap kualitas iklim bisnis yang tidak kondusif.
11
Nilai kapitalisasi yang besar di BEI menunjukkan bahwa saham perusahaan tersebut sangat diminati investor baik yang berasal dari dalam negeri maupun asing. Meskipun kapitalisasi pasar saham tidak ada kaitannya langsung dengan kinerja sektor riil, namun ini menunjukkan brand perusahaan tersebut sudah mendunia.
Kedua, sikap fiskal (memberikan insentif kepada pengusaha lokal). Industri baja di Cina misalnya, marjinnya jauh di bawah marjin perusahaan baja di dunia, seperti Amerika, Eropa, dan India. Itu berarti BUMN yang ada di Cina dibantu pemerintahnya. Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan di sana sengaja diminta untuk tidak usah terlalu untung asalkan bisa menguasai pangsa pasar (market share) yang lebih di negara-negara lain. Untuk menutupi sementara, biaya produksi akan dibantu pemerintah. Kita lihat saja sekarang bagaimana barang Cina menguasai pasar di dunia. Indonesia bahkan masuk dalam negara tujuan utama penetrasi produk mereka. Dan kini sudah kita rasakan sendiri membanjirnya produk Cina yang dijual di Indonesia. Ketiga, dalam dunia kompetisi usaha saat ini sangat diperlukan kepemimpinan yang berani dan kepercayaan pada produk dalam negeri. Kepercayaan dapat ditunjukkan dengan mensosialisasikan dan menggunakan produk lokal. Efek dari kepercayaan akan menumbuhkan kredibilitas bahwa bangsa kita memiliki produk yang unggul. Jika Korea Selatan memiliki Samsung, Jepang dengan Toyota, atau AS dengan Apple dan Microsoft. Maka kita harus percaya dengan Garuda, Telkom, Polytron, Maspion, dan produk dari UMKM yang beraneka ragam jenisnya. Kita harus percaya dengan produk lokal. Dan untuk menciptakan kondisi demikian, perlu ada komitmen bersama, untuk mengampanyekannya. Kementerian Perdagangan harus menyadari pentingnya sosialisasi atau bahkan kewajiban menggunakan produk lokal. Misalnya dalam aktivitas pengadaan barang/jasa pemerintah.
F. MP3EI : Sebuah Harapan atau Nestapa? Menangkap besarnya harapan elemen masyarakat agar pemerintah membuat suatu terobosan dalam rangka mempercepat pembangunan dan pemeratannya di daerah-daerah dijawab. Pada akhir bulan Mei 2011 lalu, pemerintah meluncurkan Rencana Induk Pembangunan Berbasis Wilayah atau lebih dikenal dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2025. Apa yang bisa kita cermati dari langkah tersebut?
Dalam MP3EI 2011 – 2025, ada tiga strategi besar yang ingin dicapai. Pertama, mengembangkan enam koridor ekonomi Indonesia yang meliputi Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan PapuaMaluku. Kedua, menguatkan hubungan nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara internasional. Dan ketiga, mempercepat kualitas SDM dan IPTEK untuk membawa peningkatan nilai tambah bagi setiap koridor ekonomi yang akan berdampak terhadap akselerasi dan penetrasi produk kita di dunia internasional. Tabel 1.8. Dampak Multiplier MP3EI 2011 – 2025 Terhadap Perekonomian Indonesia Sektor
Investasi (Rp)
Industri Infrastruktur
2.225 triliun 1.551,4 triliun
Koridor Sumatera Barat Jawa Kalimantan Sulawesi Bali dan Nusa Tenggara Maluku dan Papua
Kebutuhan Tenaga Kerja (orang) 4.731.770 4.975.400
Kebutuhan Tenaga Kerja (orang) Sektor Industri Infrastruktur 579.973 942.300 340.938 2.553.800 1.742.550 450.800 460.940 220.000 144.851 155.600 1.462.518 654.500
Sumber: Kajian Bappenas, 2011
Salah satu yang dicanangkan dalam MP3EI ini ialah meresmikan 17 proyek infrastruktur bernilai Rp 190 triliun. Proyek ini disinyalir dapat memberikan dampak multiplier berupa penciptaan lapangan kerja sekitar 8 juta orang sebagai efek dari prioritas pembangunan di enam koridor ekonomi Indonesia di mana masing-masing pulau saat ini diarahkan kepada spesialisasi dan potensinya masing-masing (lihat Tabel 1.8). Penciptaan lapangan kerja ini
didorong oleh sektor industri (bisa menampung 4,7 juta orang) dan infrastruktur (4,9 juta orang).12 Ke-17 proyek infrastruktur ini tersebar di beberapa daerah seperti Kalimantan misalnya menjadi sentra produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional (lihat grafis). Kemudian Sumatera Utara; Jawa Barat; dan mayoritas lainnya di Indonesia Timur. Ini langkah yang bagus dari pemerintah, meskipun boleh dibilang agak terlambat. Kita ketahui bersama, tidak meratanya kualitas infrastruktur selama ini turut menciptakan ketimpangan pembangunan yang parah, khususnya di wilayah Indonesia Timur. Selain itu, buruknya infrastruktur juga menyumbang ekonomi biaya tinggi bagi lingkungan dunia usaha. Yang menyebabkan daya saing kita dalam produksi barang dan jasa selalu kalah dari negara lain. Ini menjadi jawaban mengapa ketika Malaysia dan Singapura meraup banyak keuntungan dari perdagangan bebas, seperti ACFTA (ASEAN China Free Trade Area), kita sendiri justru tidak mendapat banyak manfaat dari keterbukaan pasar global. Total anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan infrastruktur hingga 2014 sebesar Rp 755 triliun. Hampir separuh APBN kita sekarang. Separuh dari anggaran infrastruktur itu akan diambil dari kas pemerintah, sisanya akan dibiayai proyek kerja sama (joint sharing) antara swasta dan pemerintah. Anggaran itu akan digunakan untuk membangun jalan, rel kereta api, pelabuhan, hingga proyek pengembangan energi dan kelistrikan. Sekali lagi ini adalah langkah yang bagus, karena inilah sebenarnya problem utama keterpurukan bangsa kita, selain aspek kelembagaan tentunya. Memang, perlu dana yang sangat besar untuk pembangunan infrastruktur. Apalagi selama ini baik APBN dan APBD lebih banyak terserap ke anggaran rutin (belanja pegawai) dan hanya sedikit yang tersisa untuk anggaran pembangunan. Mengingat masih sulitnya mengharapkan pembiayaan perbankan domestik bagi proyek infrastruktur, alternatif untuk melakukan pinjaman, misalnya dari lembaga dunia seperti Bank Dunia memang bisa 12
Sebagaimana disampaikan Direktur Tenaga Kerja & Kesempatan Kerja Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rahma Iryanti. http://www.neraca.co.id tanggal 26 Oktober 2011
dipilih. Hanya saja, diperlukan pengelolaan yang profesional dan cerdas dari pemerintah sehingga resiko penyelewengan tidak lagi terjadi seperti apa yang pernah dialami pada masa-masa silam. Selain itu, keterlibatan swasta nasional juga sangat diperlukan untuk mengakselerasi capaian. Setidaknya perusahaan negara (BUMN) bisa menggelontorkan dana sebesar Rp 836 triliun untuk penanaman modal di koridor ekonomi yang ditetapkan. Adapun dari swasta domestik murni, seperti yang disampaikan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Suryo Bambang Sulisto, di beberapa media lokal, bahwa pengusaha berkomitmen melakukan investasi untuk Capex (capital expenditure/belanja modal) sebesar Rp 1.350 triliun. Nilai itu bahkan bisa jauh lebih tinggi jika ada kepastian hukum dan stabilitas politik semakin terjaga di Indonesia. Jadi konteks kelembagaan dan infrastruktur ini adalah komplementer, di mana satu faktor menunjang faktor yang lain.
G. Epilog Di sinilah kiranya pemerintah wajib bekerja keras memperbaiki perangkat kelembagaan yang ada. Regulasi seperti perizinan usaha, kepastian biaya berbisnis, dan kepastian hukum (khususnya menyangkut sistem industrial 13) sangat erat kaitannya dengan kesuksesan daya saing ekonomi (utamanya produk lokal kita) dan ditunjang dengan keberhasilan MP3EI. Terkait dengan MP3EI, pemerintah memang sudah menerbitkan Perpres pembentukan Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI), di mana Presiden turun tangan langsung sebagai ketuanya. Kita berharap keterlibatan presiden ini tidak melempem seiring dengan tekanan politis yang pragmatis di negeri ini. Pemerintah pusat dan daerah harus menjalin koordinasi yang baik di mana apa yang dicanangkan dalam MP3EI 2011 – 2025 ini harus terus diawasi dan dijaga keberlanjutannya. Kita kerap 13
Sistem industrial menyangkut perundangan tentang ketenagakerjaan. Berupa Undang-undang Ketenagakerjaan, UU Serikat Kerja, UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan UU tentang Jamsostek.
mewah dalam berencana, tetapi dalam realisasinya tidak konsisten dan kerap tak tuntas. Apalagi ada istilah ganti pemerintah, ganti kebijakan. Ganti presiden, ganti kabinet, ganti perencanaan. Pada akhirnya, rakyat, elemen pers, LSM, aktivis pemuda, juga mahasiswa, harus menjadi aktor yang aktif untuk mengkritisi anomali ini. REFERENSI Bappenas. Perencanaan Pembangunan Nasional. Presentasi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Disampaikan pada Materi Kuliah Umum Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 12 September 2011. Basri, Faisal. 2008. Catatan Satu Dekade Krisis: Transformasi, Masalah Struktural, dan Harapan Ekonomi Indonesia. Penerbit Erlangga, Jakarta. BPS. 2011. Data Strategis BPS. Edisi Agustus 2011. BPS. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Edisi Agustus 2011. Darwanto, Herry. 2011. Analisis Peringkat Daya Saing Indonesia 2008 – 2011. Bappenas, Jakarta 7 Oktober 2011. http://www.kompas.com/news/read/2011/11/02/06423281/inilah.saham.saham .berkapitalisasi.terbesar.di.BEI http://www.neraca.co.id/2011/10/26/mp3ei-bisa-serap-8-juta-tenaga-kerja/ http://www.vivanews.com Ismanto, Ignasius. Korporatisme, Patrimonialisme dan Internasionalisasi Kapital: Isyu Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Analisis CSIS No. 01 tahun XXVIII/1999. Krisis Eropa Perlambat Ekspor. Jawa Pos, Rabu 2 November 2011. Pasar Ekspor Lesu Meluas. Jawa Pos, Senin 24 Oktober 2011. Suryahadi, Asep., Daniel Suryadharma, dan Sudarno Sumarto. 2006. Economic Growth and Poverty Reduction in Indonesia: The Effects of Location and Sectoral Components of Growth. SMERU Working Paper, August 2006. Tambunan, Tulus. 2003. Perekonomian Indonesia. Penerbit Ghalia, Jakarta. Tambunan, Tulus. Daya Saing Indonesia dalam Menarik Investasi Asing. Makalah disampaikan dalam Seminar Bank Indonesia, Rabu 19 Desember 2007. Yustika, Ahmad Erani. 2010. Kebijakan Reformasi dan Kerapuhan Kelembagaan Ekonomi: Ikhtiar Meluruskan Arah Perekonomian Nasional. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ekonomi Kelembagaan Pada Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Disampaikan Pada Rapat Senat Terbuka Universitas Brawijaya, Malang 30 Desember 2010.
TOPIK
Kemiskinan di Indonesia: Problem, Tantangan, dan Kebijakan
3
A. Prolog KEMISKINAN masih merupakan ancaman besar terhadap kualitas pembangunan Indonesia. Mengapa? Pertama, dari sisi kuantitas. Berdasarkan data BPS per Maret 2010, masih ada 31,02 juta penduduk yang masuk kategori miskin, yakni mereka yang belum dapat memenuhi kebutuhan minimal 2100 kalori per kapita per hari (Ikhsan, 2010; Suryahadi, 2010; BPS, 2011). Kedua, menyangkut masalah penduduk yang tergolong rentan menjadi miskin. Dua dari sepuluh orang Indonesia rentan terhadap kemiskinan (Ikhsan, 2010). Goncangan eksternal yang tak terduga seperti bencana dan musibah alam yang belakangan ini kerap terjadi dapat dengan mudah membuat orang yang tadinya tidak miskin menjadi miskin. Ketiga, menyangkut dimensi kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia memiliki dimensi yang jamak, bukan sekedar diukur berdasarkan kesenjangan konsumsi (pengeluaran konsumsi/monetary poverty). Perluasan definisi kemiskinan yang mencakup dimensi kebutuhan dasar hidup lain termasuk akses terhadap pelayanan umum mengubah potret kemiskinan (Ikhsan, 2010). Ciri kemiskinan di Indonesia juga memiliki heterogenitas yang tinggi baik dilihat dari penyebab kemiskinan sendiri maupun lokasinya. Jumlah penduduk miskin pun sangat heterogen dan berbeda-beda penyebabnya. Ada daerah yang tingkat kemiskinannya sudah sangat minimum – seperti Jakarta – tetapi masih banyak daerah dimana porsi penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum 2.100 kalori per hari masih sangat besar –
seperti Papua dan NTT. Penyebabnya pun sangat beragam. Sebagian karena faktor endowment seperti rendahnya pendidikan atau persoalan keterisolasian. Tulisan ini akan fokus membahas tentang perkembangan dan situasi kemiskinan di Indonesia. Kemudian juga akan menyajikan determinan kunci dan strategi pemerintah dalam menyelesaikan problem tua dan klasik ini. Terakhir akan disampaikan peluang dan kendala yang patut menjadi perhatian bersama baik pemerintah maupun kalangan swasta.
B. Perkembangan dan Situasi Kemiskinan (1996 – 2010) Perkembangan jumlah penduduk miskin dapat dilacak dari beberapa terbitan BPS (2010). Selama tahun 1996 – 2009, perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin tampak berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun pada periode 2000-2005 (lihat Tabel 1). Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta (17,47 persen) pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta (23,43 persen) pada tahun 1999. Pada periode 19992002 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 9,57 juta, yaitu dari 47,97 juta (23,43 persen) pada tahun 1999 menjadi 38,40 juta (18,20 persen) pada tahun 2002. Penurunan jumlah penduduk miskin juga terjadi pada periode 2002-2005 sebesar 3,3 juta, yaitu dari 38,40 juta (18,20 persen) pada tahun 2002 menjadi 35,10 juta (15,97 persen) pada tahun 2005. Akan tetapi pada periode 20052006 terjadi pertambahan jumlah penduduk miskin sebesar 4,20 juta, yaitu dari 35,10 juta pada tahun 2005 menjadi 39,30 juta pada tahun 2006. Hal ini disebabkan efek kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM kala itu. Akibatnya memicu kenaikan harga beras dan komoditas primer lainnya yang notabene sangat signifikan pengaruhnya kepada rakyat banyak. Namun, jumlah penduduk miskin kembali mengalami peningkatan signifikan pada tahun 2006 menjadi 14,49 juta. Penurunan jumlah yang drastis ini memang agak mengherankan.
Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan juga tidak mengalami perubahan berarti. Sebagian besar (63,41 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Namun, kembali mengalami penurunan yang cukup besar berangsur-angsur pada tahun 2007 hingga 2009 menjadi 11,91 juta. Pada tahun 2010, data menunjukkan bahwa angka kemiskinan kembali turun tipis menjadi 13,32%, dan hasilnya jumlah orang miskin mencapai 31,02 juta penduduk. Tabel 3.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah Kota dan Desa Tahun 1996 - 2010 Tahun
Jumlah Penduduk Miskin (Juta)
Persentase Penduduk Miskin
Kota
Desa
Kota+Desa
Kota
Desa
Kota+Desa
1996
9.42
24.59
34.01
13.39
19.78
17.47
1998
17.60
31.90
49.50
21.92
25.72
24.23
1999
15.64
32.33
47.97
19.41
26.03
23.43
2000
12.30
26.40
38.70
14.60
22.38
19.14
2001
8.60
29.30
37.90
9.76
24.84
18.41
2002
13.30
25.10
38.40
14.46
21.10
18.20
2003
12.20
25.10
37.30
13.57
20.23
17.42
2004
11.40
24.80
36.20
12.13
20.11
16.66
2005
12.40
22.70
35.10
11.68
19.98
15.97
2006
14.49
24.81
39.30
13.47
21.81
17.75
2007
13.56
23.61
37.17
12.52
20.37
16.58
2008
12.77
22.19
34.96
11.65
18.93
15.42
2009
11.91
20.62
32.53
10.72
17.35
14.15
2010
11.10 19.93 31.02 9.87 16.56 Sumber: Data Strategis BPS, 2010 (diolah)
13.33
Tren penurunan angka kemiskinan ini memang harus diapresiasi. Namun, kalau kita kaji dengan lebih kritis, patut diingat, standar apa yang dimaksud penduduk miskin ini? Garis kemiskinan yang selama ini ditetapkan BPS berdasarkan pengeluaran kebutuhan dasar (untuk makanan dan non-makanan)
selama ini rupanya berbeda, jika dibandingkan dengan standar garis kemiskinan yang dipunyai World Bank. Ini terjadi karena adanya perbedaan definisi dan kriteria. Berdasarkan kriteria BPS, penduduk dikategorikan miskin apabila memiliki pengeluaran perkapita Rp 211.726/bulan atau sekitar 7.000 per hari. Sementara World Bank menggunakan kategori penghasilan 2 dollar US per hari atau sekitar Rp 522.000/bulan. Peraga 3.1. Tren Kemiskinan Versi Indonesia dan World Bank
Sumber: World Bank, 2011; BPS, 2011; Sudjatmiko (2011)
Pada peraga 3.1. di atas kita dapat menarik pemahaman: Pertama, terdapat perbedaan yang jauh antara tren kemiskinan versi pemerintah (BPS) yang menggunakan standar garis kemiskinan nasional dengan standar 2 Dollar US dari World Bank. Kedua, perbedaan tren kemiskinan: versi pemerintah cenderung menurun, versi World Bank, cenderung stagnan. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah standar kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia terlalu rendah? Sebagai perbandingan saja, Upah Minimum Provinsi (UMP) di Jawa Tengah yang merupakan basis penduduk miskin adalah Rp 675.000/bulan. Dengan begitu kita bisa melihat bahwa standar garis kemiskinan di Indonesia bisa jadi terlalu rendah.
Untuk membuktikannya, kita bisa lihat perhitungan selisih antara % miskin versi pemerintah dengan versi World Bank (Tabel 3.2), tampak bahwa di antara negara-negara di kawasan ASEAN, Indonesia cuma menang dari Laos. Jika kita perlebar ruang lingkup kawasan di Asia (non-ASEAN), Indonesia cuma menang dari India. Bahkan Indonesia masih kalah dengan negara-negara di Afrika seperti Ethiopia. Gambaran ini merupakan fakta bahwa standar garis kemiskinan pemerintah begitu rendah, relatif terhadap negaranegara lain di dunia. Tabel 3.2. Perbandingan % Kemiskinan Menurut Versi Pemerintah di Beberapa Negara dan World Bank
Kawasan
ASEAN
Asia diluar wilayah ASEAN Amerika Selatan
Afrika
Negara
% Kemiskinan Menurut Versi
Selisih %
Pemerintah
2 US Dollar
Indonesia Thailand Filipina Malaysia Vietnam Cambodia Laos Cina India Pakistan Yaman
17.80 9.60 25.10 5.10 12.30 31.00 26.00 2.80 25.00 24.00 45.20
60.00 11.50 45.00 7.80 48.40 57.80 76.80 36.30 75.60 60.30 46.60
-42.20 -1.90 -19.90 -2.70 -36.10 -26.80 -50.80 -33.50 -50.60 -36.30 -1.40
Brazil Argentina Venezuela Mesir Ethiopia Nigeria Afrika Selatan
26.00 12.70 37.90 20.00 38.70 70.00
12.70 7.30 10.20 18.50 77.60 83.90
13.30 5.40 27.70 1.50 -38.90 -13.90
50.00
42.90
7.10
Sambungan dari Tabel 3.2 Albania Moldova Eropa Turki Rumania
25.00 29.50 17.11
7.90 11.50 8.20
17.10 18.00 8.91
25.00
4.10
20.90
Sumber: UNDP, 2010 (Dikutip dari Sudjatmiko, 2011).
BPS selama ini juga memproksi “garis kemiskinan” itu semata dikaitkan dengan pendapatan orang miskin. Padahal, kemiskinan ini tentu saja harus dilihat dari dimensi yang lebih luas (multidimesional), dan tidak hanya pendapatan semata. Riset OPHI dan UNDP tahun 2010 tentang Multidimensional Poverty Index (MPI) Tahun 2010 bisa kita jadikan tolak ukur untuk melihat kemiskinan secara menyeluruh. MPI memasukkan dimensi pendidikan, kesehatan, dan standar hidup. Pendidikan diproksi dari persentase anak yang mendaftar sekolah dan lama mereka bersekolah. Kesehatan diproksi dari angka kematian anak dan kondisi gizi. Sementara standar hidup memasukkan akses listrik, sanitasi, air bersih, lantai rumah, bahan bakar memasak, dan aset keluarga. Peraga 3.2. Indeks Kemiskinan Multidimensional Versi UNDP
Sumber: Oxford Poverty & Human Development Initiative, 2010 (dikutip dari Sudjatmiko, 2011)
Hasil riset ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah melakukan reformasi pasca tahun 1998, kemiskinan Indonesia masih merupakan yang terparah ke-3 di Asia Tenggara, setelah Kamboja dan Laos. Kemiskinan Indonesia bahkan lebih buruk dari: Myanmar (junta militer), Vietnam (komunis yang baru membuka diri), Philipina (demokrasi berdarah) dan, Thailand (konflik politik yang berkepanjangan) (lihat peraga 3.2). Meskipun telah ada kemajuan yang signifikan dalam mengurangi kemiskinan dari aspek moneter (pendapatan), Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan negara tetangga (Malaysia, Thailand) dalam mengurangi dimensi lain dari kemiskinan. Temuan ini paralel dengan studi Suryahadi, et.al. (2010), bahwa meskipun kemajuan dalam penanggulangan kemiskinan tampak terlihat selama empat dekade terakhir (1976 – 2009), Indonesia sebenarnya masih terkendala dengan tingginya tingkat kemiskinan multidimensi dan problem kerentanan (vulnerability).
C. Ketimpangan dan Distribusi Pendapatan Kalau kita melihat data perkembangan kemiskinan sebelumnya, tampak walaupun persentase kemiskinan turun, tapi persentase jumlah orang miskin di perdesaan justru meningkat (dari 63,35% pada 2009 menjadi 64,23% pada 2010). Fakta ini merupakan pukulan telak bagi pemerintah, sebab pembangunan (ekonomi) justru semakin memarginalkan warga pedesaan. Masalah ketimpangan kemiskinan sebenarnya merupakan pukulan telak bagi kinerja pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang notabena merupakan implikasi dari kebijakan pemerintah. Ketimpangan antara perdesaan dan perkotaan juga semakin jelas, kalau kita melihat Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di perdesaan yang masih tinggi dibandingkan di perkotaan. Indeks P1 dan Indeks P2 di daerah perdesaan masih tetap lebih tinggi daripada perkotaan, sama seperti tahun 2009. Pada Maret 2010, nilai Indeks P1 untuk perkotaan hanya 1,57 sementara di daerah perdesaan mencapai 2,80. Nilai Indeks P2 untuk perkotaan hanya 0,40 sementara di daerah perdesaan
mencapai 0,75. Dapat disimpulkan bahwa tingkat kemiskinan di daerah perdesaan kian memburuk dari daerah perkotaan. Tabel 3.3. Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Keparahan Kemiskinan
Sumber: BPS, 2010
Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) adalah ukuran yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Studi Suryahadi, et.al. (2010), menemukan selama tahun 1976 – 2009, telah terjadi pelebaran kesenjangan kemiskinan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Hal ini bisa disimak berdasarkan kesenjangan (gap) kemiskinan multidimensional. Tabel memperlihatkan bahwa indikator sanitasi, pendidikan kepala rumah tangga, dan akses air bersih menempati ranking 3 besar dengan kesenjangan (gap) tertinggi antara desa dan kota. Adapun kemiskinan pendapatan ternyata kesenjangannya paling kecil.
Tabel 3.4. Kesenjangan Perdesaan dan Perkotaan dalam Kaitannya dengan Kemiskinan Dimensional dan Kekurangan (Deprivation) Indikator
Definisi
Kurangnya sanitasi (toilet)
Persentase penduduk yang tinggal di rumah tanpa toilet yang tepat Persentase penduduk yang tinggal di rumah tangga di mana HHH tidak menyelesaikan 9 tahun pendidikan dasar Persentase penduduk yang hidup di rumah tangga tanpa akses yang tepat untuk sumber yang bersih dan dilindungi air minum Persentase penduduk yang tinggal di rumah tangga yang muda (18-24 tahun) tidak menyelesaikan 9 tahun pendidikan dasar Persentase penduduk yang hidup di rumah berlantaikan tanah
Rendahnya pendidikan kepala rumah tangga Kurangnya akses ke air bersih Rendah pendidikan pemuda
Lantai yang higienis Kemiskinan Pendapatan
Persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan resmi
Desa (%) 50,42
Kota (%) 15,05
Gap (%) 35,37
83,65
50,47
33,18
56,53
30,55
25,98
40,70
15,97
24,73
15,79
5,03
10,76
17,35
10,72
6,63
Sumber: Suryahadi, et.al. (2010)
Fenomena menarik tentang kesenjangan kemiskinan di desa dan kota ini dapat kita lihat jika kita breakdown lebih luas ruang lingkupnya menjadi antarprovinsi. Pada Tabel 3.5. tergambar bahwa persentase kesenjangan juga terjadi antara provinsi yang berada di wilayah Timur dan Barat. Papua misalnya, memiliki persentase kesenjangan penduduk miskin terbesar di Indonesia (36,8%). Bandingkan dengan provinsi di wilayah Barat seperti Jawa Barat (11,27); Banten (7,16), dan DKI Jakarta (3,48). Tingginya perbedaan angka kemiskinan antar provinsi seperti antara Jakarta dan Papua, merupakan bukti bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan seharusnya berbeda di setiap
wilayah. Dengan kata lain kebijakan yang diambil tidak bisa disamaratakan dengan wilayah yang lain. Tabel 3.5. Persentase Penduduk Miskin di Kota dan Desa Berdasarkan Propinsi di Indonesia Tahun 2010 Propinsi Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku
Persentase Penduduk Miskin (%) Kota Desa Kota+Desa 14.65 23.54 20.98 11.34 11.29 11.31 6.84 10.88 9.50 7.17 10.15 8.65 11.80 6.67 8.34 16.73 14.67 15.47 18.75 18.05 18.3 14.30 20.65 18.94 4.39 8.45 6.51 7.87 8.24 8.05 3.48 3.48 9.43 13.88 11.27 14.33 18.66 16.56 13.98 21.95 16.83 10.58 19.74 15.26 4.99 10.44 7.16 4.04 6.02 4.88 28.16 16.78 21.55 13.57 25.1 23.03 6.31 10.06 9.02 4.03 8.19 6.77 4.54 5.69 5.21 4.02 13.66 7.66 7.75 10.14 9.10 9.82 20.26 18.07 4.70 14.88 11.6 4.10 20.92 17.05 6.29 30.89 23.19 9.7 15.52 13.58 10.2 33.94 27.74
Sambungan dari Tabel 3.5 Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
2.66 5.73 5.55 9.87
12.28 43.48 46.02 16.56
9.42 34.88 36.8 13.33
Sumber: BPS, 2010
Terakhir yang tidak dapat dikesampingkan ialah distribusi pendapatan di Indonesia. Menyimak angka koefisien Gini1, yang mengukur distribusi pendapatan sepanjang 2002 – 2007, agaknya tampak terus mengalami peningkatan. Ini menandakan ketimpangan kesejahteraan semakin melebar, atau dengan kata lain yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin melarat. Secara teoritis memburuknya distribusi pendapatan diakibatkan oleh beberapa hal (Ikhsan, 2008): (i) karakteristik pertumbuhan ekonomi; (ii) distribusi kepemilikan aset; (iii) tidak meratanya akses terhadap faktor produksi; (iv) kebijakan pemerintah yang tidak membantu pemerataan pendapatan, bahkan cenderung memperburuk distribusi pendapatan.
Peraga 3.3. Koefisien Gini Indonesia, Periode 2002 - 2007 Sumber: World Bank, 2007 (Gambar dikutip dari Basri (2009))
1
Koefisien Gini merupakan indikator utama yang digunakan Bank Dunia untuk mengukur ketimpangan kesejahteraan penduduk. Angka koefisien gini berkisar antara 0 sampai 1. Di bawah 0,4 = baik, 0.4-0.5 = sedang, di atas 0.5 = buruk
Tabel 3.6. Koefisien Gini Indonesia, Tahun 1996 - 2010
Sumber: World Bank, 2011
Koefisien Gini Indonesia untuk trennya sepanjang 1996 – 2010 tampak terus mengalami peningkatan (lihat Tabel 3.6), baik tingkat nasional (nominal dan riil), perkotaan, dan perdesaan. Koefisien Gini di perkotaan lebih besar (0,37) dibandingkan perdesaan (0,31). Hanya saya jika dilihat dari pertambahan besarannya, distribusi pendapatan di perkotaan cenderung lebih timpang dibandingkan di perkotaan. Gejala ini menunjukkan buruknya distribusi pendapatan di kota, di mana mayoritas penduduk yang berdiam di kota hanya menerima bagian pendapatan yang sedikit, dan sisanya menumpuk pada minoritas penduduk di wilayah perkotaan. Kondisi ini potensial menggiring semakin meluasnya fenomena kemiskinan struktural di Indonesia.
D. Determinan Kunci dan Strategi Pengentasan Kemiskinan Menurunnya jumlah penduduk miskin di Indonesia (versi BPS/pemerintah), misalnya selama kurun waktu 2007 ke 2009, disebabkan beberapa faktor kunci. Seberapa jauh faktor itu berperan? Kemudian strategi apa yang dilakukan dalam rangka memaksimalkan faktor kunci itu terhadap upaya pengentasan kemiskinan (poverty reduction)? Berikut akan diuraikan masing-masing: Stabilitas Inflasi dan Harga Pangan Inflasi yang relatif stabil, khususnya rata-rata harga beras nasional (yang merupakan komoditi paling penting bagi penduduk miskin) lebih rendah dari laju inflasi umum, serta rata-rata upah riil harian buruh tani dan buruh bangunan naik, merupakan faktor pertama yang membantu menurunkan kemiskinan di Indonesia.
Peraga 3.4. Porsi Alokasi Pengeluaran Rumah Tangga Miskin
Sumber: World Bank, 2011
Kalau kita lihat pada peraga 3.4, tampak bahwa beras merupakan komoditi terbesar yang dibelanjakan rumah tangga miskin. Ini juga sesuai dengan, misalnya studi SMERU, yang mencatat bahwa program raskin (beras untuk kelompok miskin) merupakah kebijakan yang paling efektif dalam membantu cashflow jangka pendek kelompok miskin. Namun begitu, gejolak eksternal seperti harga pangan (naiknya harga beras) sangat riskan menimbulkan efek bertambahnya kembali penduduk miskin. Harga beras di sini sangat berperan dalam mempengaruhi kondisi kehidupan kelompok miskin, di mana sekitar 60 – 65 persen pengeluaran makanan kelompok miskin berasal dari beras. Gejolak harga pangan yang cukup besar dapat menyebabkan peningkatan angka kemiskinan, bahkan pada saat terjadi pertumbuhan ekonomi yang kuat, seperti pada tahun 2006 (World Bank dan LPEM dalam Ikhsan, 2003; Suryahadi, 2010; Suman, 2011). Meskipun begitu, inflasi masih lebih dianggap sebagai masalah umum semata dan jarang dikaitkan dengan faktor pemicu kemiskinan. Padahal, sebagaimana telah terbukti dalam masa pasca-krisis khususnya pada periode 1999-2004 – saat laju pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 3-4% per tahun – penurunan tingkat kemiskinan sebesar 8 poin persentase, dari 24% (1999)
menjadi 16% (2004), lebih disebabkan karena tingkat inflasi yang berhasil dikendalikan terutama harga kelompok barang yang sensitif terhadap keranjang (bundle) konsumsi rumah tangga miskin seperti beras. Pertumbuhan Ekonomi (Necessary but not sufficient; Eksklusif Versus Inklusif) Pertumbuhan ekonomi masih merupakan determinan penting yang diyakini dapat membantu mengurangi kemiskinan. Studi Siregar dan Wahyuniarti (2007) menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan, namun magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar. Permasalahan kemiskinan tidak dapat dipecahkan hanya dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi semata dengan mengharapkan terjadinya efek menetes ke bawah (trickle down effect). Pertumbuhan ekonomi memang merupakan syarat keharusan (necessary condition) untuk mengurangi kemiskinan, tetapi itu belum cukup. Syarat kecukupannya (sufficient condition) ialah, misalnya: laju inflasi serta laju populasi penduduk yang terkendali; industrialisasi pertanian/perdesaan yang tepat; akumulasi modal manusia yang relatif cepat, harus dipenuhi pula. Tabel 3.7. Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, dan Pengangguran Terbuka di Indonesia (1998 – 2009)
Tahun 1998 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Pertumbuhan Ekonomi (%) 0.79 4.92 3.44 3.66 3.99 4.49 5.03 5,5
Kemiskinan (%) 24.23 19.14 18.41 18.20 17.42 16.66 15.97 17.75
Pengangguran (Juta orang) 5.05 5.86 8.00 9.13 10.3 10.83 11.19 10,58
Sambungan dari Tabel 3.7 2007 6,3 2008 6,0 4,6 2009 6,1 2010
16.58 19.14 18.41
10,11 9,39 8,96 8,32
Sumber: BPS, 2010
Dalam hal ini peranan segenap stakeholder sangatlah penting untuk menjaga stabilitas perekonomian. Namun masih banyak hambatan yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia untuk menuju ke arah itu, misalnya: kondisi infrastruktur perekonomian (seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan listrik), tingginya angka pengangguran (kisaran 8-9%), rentannya terjadi inflasi yang disebabkan oleh ketidakstabilan harga energi dunia, belum optimalnya kedatangan investasi asing langsung (FDI) ke Indonesia, belum optimalnya peranan APBN sebagai stimulus ekonomi (belum ekspansif), serta sistem ekonomi Indonesia yang sangat mudah dipengaruhi oleh situasi perekonomian global. Kalau dilihat pada Tabel 3.7, meningkatnya pertumbuhan ekonomi memang berpengaruh terhadap penurunan kemiskinan, akan tetapi persentase perubahannya (magnitude) kecil. Kalau kita sandingkan antara pertumbuhan dan jumlah pengangguran, tampak adanya paradoks, di mana pertumbuhan ekonomi memperlihatkan gerak yang searah dengan angka pengangguran. Seharusnya semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, pengangguran menurun. Hal ini mengindikasikan belum berkualitasnya pertumbuhan ekonomi dari sudut pandang pasar tenaga kerja. Dengan pemahaman sederhana dapat dikatakan bahwa orang yang menganggur pasti lebih mudah terjerembab ke area miskin, daripada orang yang tidak menganggur. Data yang ada juga menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin pada tahun 1996 dan 2006 ternyata relatif sama. Ini memperlihatkan tidak banyaknya perubahan kondisi kesejahteraan di Indonesia. Fakta ini menjelaskan bahwa karakteristik pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum memberikan manfaat maksimal dalam penciptaan lapangan
kerja formal, yang akhirnya menyebabkan penduduk miskin bekerja pada lapangan informal untuk mempertahankan kelangsungan hidup (survival). Anomali yang kental dapat kita saksikan dari tidak berkualitasnya pertumbuhan ekonomi dalam menyerap tenaga kerja. Apalagi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Gejala ini semakin diperparah dengan banyaknya PHK akibat menurunnya peran sektor manufaktur yang selama ini menyerap banyak tenaga kerja.2 Pada akhirnya masyarakat masuk ke wilayah pekerjaan informal sebagai cara menapaki kerasnya hidup. Apa saja lapangan kerja informal itu? Mereka menjadi tukang cuci, kuli, tukang parkir, dan sejenisnya. Tak pelak, porsi sektor informal terhadap perekonomian Indonesia meningkat menjadi sekitar 70% (Basri, 2009). Ini bukanlah suatu hal yang membanggakan, mengingat besarnya porsi sektor informal terhadap sektor formal dalam perekonomian menandakan tidak bekerjanya peran sektor riil. Para pekerja di sektor informal, umumnya memperoleh pendapatan di bawah standar Upah Minimum Regional (UMR), sehingga pendapatan yang dimiliki hanya mampu sebatas untuk mencukupi kebutuhan primer atau jauh daripada layak. Apalagi jika dilihat dari pendapatan riil rata-rata yang terus merosot seiring kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok setiap tahunnya (Basri, 2009). Penduduk miskin yang mayoritas bekerja di sektor informal juga tidak mendapatkan tunjangan kesejahteraan apapun. Baik dalam wujud, tunjangan kesehatan, asuransi keselamatan kerja, atau uang pensiun. Sehingga ketika mereka sakit, para pelaku sektor informal ini harus menyisihkan sebagian dari pendapatannya yang sudah sedikit itu untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan. Bahkan jika mereka tidak memiliki pendapatan yang mencukupi untuk berobat, mereka harus pasrah dengan keadaan. Ciri pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan ke depan bukan lagi pertumbuhan ekonomi yang eksklusif melainkan pertumbuhan ekonomi yang 2
Basri (2009), menjelaskan bahwa peran sektor manufaktur terhadap PDB sepanjang tahun 2004 ke 2008 terus mengalami penurunan. Hal ini mengakibatkan sektor ini kian sulit menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Lebih lengkap dapat dibaca di Catatan Satu Dekade Krisis, Transformasi, Masalah Struktural, dan Harapan Ekonomi Indonesia, hal. 79-80.
inklusif. Pada tahun 2011 dan tahun-tahun mendatang, persoalan Indonesia bukan hanya pada upaya memacu laju pertumbuhan ekonomi, tapi juga ikhtiar untuk membuat laju pertumbuhan ekonomi lebih berkeadilan, lebih merata, lebih inklusif (inclusive growth). Selama sepuluh tahun terakhir, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 5,2%. Tapi, angka kemiskinan dan pengangguran tetap tinggi akibat pertumbuhan ekonomi yang terlalu eksklusif. Hanya sebagian penduduk negeri ini yang menikmati pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi eksklusif versus inklusif akan menjadi bahan eksplorasi bagi para pengambil kebijakan di sektor publik maupun swasta di tahun-tahun mendatang. Bagaimanapun, pertumbuhan ekonomi tetap menjadi variabel kunci dalam pengentasan kemiskinan. Beberapa strategi yang dilakukan ialah membantu masyarakat miskin memetik manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang terdiri dari beberapa unsur (Alatas, 2011; World Bank, 2011). Pertama, penting untuk memelihara stabilitas makroekonomi: kuncinya adalah inflasi rendah dan nilai tukar yang stabil dan kompetitif. Kedua, adalah meningkatkan kemampuan (kapabilitas) masyarakat miskin, agar bisa maksimal memetik manfaat dari berbagai kesempatan yang muncul di depan mereka, melalui agricultural extension, dan menjaga keberlanjutan investasi pendidikan formal dan nonformal bagi anak-anak mereka. Ketiga, masyarakat miskin patut dihubungkan agar mendapat akses yang maksimal untuk meraih manfaat dari pertumbuhan. Misalnya mendekatkan mereka kepada akses terhadap jalan, telekomunikasi, pembiayaan usaha dan pekerjaan di sektor formal. Dengan hampir dua pertiga kepala keluarga miskin masih bekerja di sektor pertanian, memacu kemampuan sektor pertanian tetap mutlak bagi upaya pengentasan kemiskinan secara menyeluruh. Pemenuhan Akses Kebutuhan Dasar Pemenuhan akses kebutuhan dasar merupakan faktor utama yang membantu penduduk miskin keluar dari jebakan kemiskinan. Akses seperti sanitasi, air bersih, listrik, jalan, dan pendidikan adalah beberapa indikator dari kebutuhan
dasar, yang selama ini memang menjadi tolak ukur kemiskinan multidimensional. Penelitian Sida (1996) menunjukkan tingginya korelasi kemiskinan dengan kurangnya akses orang miskin terhadap pelbagai pelayanan dasar hidup seperti kondisi sanitasi, akses air bersih, kesehatan, transportasi, dan pendidikan. Sementara studi World Bank (2011) mengindikasikan bahwa perbaikan infrastuktur di desa, khususnya pembangunan jalan sangat berperan dalam membantu orang miskin keluar dari kemiskinannya. Studi World Bank (2006; 2011) juga memperlihatkan bahwa infrastuktur di daerah pedesaan memerlukan lebih banyak perhatian karena hanya 48 persen orang miskin di desa yang memiliki akses terhadap air bersih sementara akses orang miskin di kota mencapai 78 persen. Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki ciri keragaman antar daerah yang kompleks di mana kebanyakan dicerminkan oleh perbedaan dalam akses terhadap layanan, yang pada akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan dalam pencapaian indikator pembangunan manusia di berbagai daerah. Dengan demikian, membuat layanan yang mengoptimalkan akses kebutuhan dasar yang bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci dalam menangani masalah kemiskinan dalam konteks keragaman antar daerah. Jaring Pengaman Sosial Bagi Rumah Tangga Miskin Pemerintah kini telah melakukan berbagai program yang ditujukan untuk memprioritaskan bantuan bagi yang termiskin dari kaum miskin dan kelompok-kelompok yang sangat terpinggirkan. Program tersebut terangkum dengan nama Jaring Pengaman Nasional (JPS). JPS berfungsi melindungi mata pencaharian kaum miskin dan mendekati miskin, meneruskan usaha pengentasan kemiskinan bila terjadi goncangan ekonomi maupun bencana alam, dan membantu antar generasi untuk keluar dari jurang kemiskinan serta meningkatkan peran mereka di dalam pergerakan sosial. Program JPS sudah diluncurkan pada pertengahan 1998 untuk mengurangi dampak sosial dari krisis dan sekarang menjadi program besar pengurangan kemiskinan di negara
ini. Dalam perjalanannya, program JPS ini semakin disempurnakan dengan mempertimbangkan evaluasi terhadap keefektifan sasaran dan dampaknya. Program-program JPS terdiri dari: Subsidi beras untuk rakyat miskin (Raskin, Beras Miskin), Program Jaminan Kesejahteraan Masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Beasiswa untuk Siswa Miskin dan program-program kesejahteraan sosial lain dengan ukuran yang lebih kecil yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial. Pada tahun 2005, Indonesia mulai menerapkan skema transfer dana tunai tanpa syarat (unconditional cash transfer) atau yang lebih dikenal dengan Bantuan Langsung Tunai/BLT untuk pertama kalinya. Skema ini waktu itu merupakan kompensasi atas subsidi BBM, yang secara teknis dilakukan dengan memberikan uang tunai kepada yang paling miskin, miskin dan hampir miskin dari rumah tangga sasaran. Implikasinya, pendapatan dari rumah tangga termiskin yang menerima BLT meningkat 1,3 kali dibandingkan non-penerima (Hatta dan Sarkawi, 2011). BLT dapat dilihat sebagai tolok ukur baru bagi Indonesia sebagai mekanisme shockbreaker untuk orang miskin yang terkena krisis. Pada tahun 2007, pemerintah Indonesia mulai uji coba dari program transfer tunai bersyarat yang dikenal sebagai Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini diberikan kepada keluarga miskin dengan seleksi tertentu tergantung pada perhatian mereka terhadap pendidikan anak-anak mereka dan kesehatan. Dengan program ini, perempuan di masyarakat memperoleh akses ke sumber daya baru, dalam bentuk uang tunai tambahan. Program transfer tunai bersyarat direncanakan menjadi dasar pengembangan sistem jaminan sosial di masa depan (Hatta dan Sarkawi, 2011). Implikasi PKH ini meningkatkan konsumsi bagi rumah tangga yang paling miskin sambil mengupayakan berjalannya investasi pada pendidikan anak-anak dan kesehatan bagi masa depan keluarga miskin.
Dampak dari pemberlakuan JPS ini setidaknya berguna sebagai salah satu strategi menurunkan tingkat kemiskinan dari 23,4% pada tahun 1999 menjadi 13,3% pada tahun 2010, tetapi jumlah penduduk miskin lebih dari dua kali lipat jika mempertimbangkan kelompok yang rentan menjadi miskin (Suryahadi, et.al., 2010).
E. Peluang (Opportunities) dan Kendala (Constraint) yang Dihadapi Ada faktor yang menguntungkan yang memberikan peluang (opportunities) untuk mempercepat pengentasan kemiskinan di masa depan, tetapi pada saat yang sama ada kendala (constraint) yang perlu ditangani secara efektif. Apa saja peluang dan momentum yang dapat dimanfaatkan, serta kendala apa yang dihadapi, berikut akan diuraikan masing-masing: Peluang dalam Mempercepat Pengurangan Kemiskinan Pemerintah Daerah di Era Desentralisasi Secara konseptual, sistem desentralisasi memungkinkan pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui kebijakan publik yang dibuat oleh mereka sendiri. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkuat modal manusia melalui investasi di bidang kesehatan dan pendidikan serta meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat miskin melalui "ekonomi kerakyatan", yang berkorelasi dengan tujuan otonomi daerah. Telah menjadi konsensus bahwa kebijakan otonomi daerah jika benar diterapkan bisa menjadi katalis bagi terciptanya pemerintahan yang baik yang didasarkan pada demokrasi prinsip-prinsip dan partisipasi (Affandi, 2011). Namun tampaknya, dalam praktek misi mulia ini belum dilakukan seperti yang direncanakan, dan ini dapat dilihat dalam alokasi anggaran yang memprioritaskan kepentingan birokrat (lebih banyak untuk tunjangan dan belanja pegawai yang tidak perlu dibandingkan untuk kepentingan pemenuhan akses dasar warga miskin). Hasil temuan studi Elmi (2005) juga menunjukkan bahwa selama pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tahun
2000 – 2004 pengalokasian dana APBD oleh Pemda Kalimantan belum fokus pada kegiatan penanggulangan kemiskinan penduduk karena sebagian besar dana tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan birokrasi daerah. Sementara studi Affandi (2011) menemukan pada tahun anggaran (T.A) 2008, anggaran yang dialokasikan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat Rp 2,6 miliar untuk pembelian mobil dinas dan Rp 780 juta untuk pembelian sepeda motor resmi. Selain itu, ada peningkatan besaran dalam alokasi anggaran untuk kabupaten parlemen (DPRD) dari Rp 2 miliar (setara dengan Rp 3,8 juta/bulan untuk setiap DPRD anggota) pada T.A 2006 untuk Rp 3,4 miliar (setara dengan Rp 6,4 juta per bulan untuk setiap anggota DPRD) dalam T.A 2008. Dengan kondisi demikian, pertanyaan besarnya ialah apakah pemerintahan yang baik ada kaitannya dengan pencapaian indikator keberhasilan pembangunan pada umumnya, dan secara khusus, indikator mengenai dimensidimensi kemiskinan? Studi Turkewitz (2002) dalam Affandi (2011) menemukan hubungan yang kuat antara karakteristik rezim pemerintah dan indikator pembangunan. Temuan utama dari studi ini didasarkan pada bukti empiris di beberapa negara, yaitu: Pertama, pemerintah yang lebih efektif berhubungan dengan semakin rendahnya tingkat kematian bayi di negara itu. Kedua, semakin rendah tingkat korupsi di birokrasi, semakin tinggi keaksaraan tingkat orang dewasa di negara itu. Ketiga, sistem hukum dan ketertiban yang lebih baik di suatu negara, memiliki hubungan dengan semakin rendah angka kematian bayi di negara itu. Keempat, sedikit peraturan yang diciptakan oleh pemerintah, semakin tinggi pendapatan per kapita kapita di negara itu. Efek Ekspansi dari Globalisasi Ekonomi Globalisasi setidaknya membawa ekspansi ekonomi dan pertumbuhan yang cepat ke negara-negara berkembang (Dollar dan Kraay, 2001; Henderson, 2005; Winters, 2001; dalam Suryahadi, et.al., 2010). Didampingi oleh investasi yang ditargetkan dalam pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, reformasi perdagangan di Indonesia membawa manfaat kepada orang miskin (Lucas dan Timmer, 2005; dalam Suryahadi, et.al., 2010). Liberalisasi perdagangan di
Indonesia telah memberikan kontribusi terhadap penurunan pekerja anak melalui pengurangan kemiskinan (Kis Katos dan Sparrow, 2009; dalam Suryahadi, et.al., 2010). Untuk memastikan globalisasi membawa manfaat bagi orang miskin, beberapa kebijakan pelengkap harus diletakkan di tempatnya, termasuk investasi dalam modal manusia dan infrastruktur, akses kredit dan bantuan teknis, dan jaring pengaman sosial (Harrison, 2006; dalam Suryahadi, et.al., 2010). Bonus Demografi Generasi ledakan bayi (baby booming) pertama terjadi pada tahun 1960-an 1970-an karena tingginya kesuburan dan angka kematian rendah pada tahun 1950. Program Keluarga Berencana (KB) selama tahun 1970-an 1990-an mengakibatkan penurunan dalam proporsi populasi yang berada di bawah 15 tahun (U-15). Akibatnya, Indonesia mendapatkan keuntungan dividen demografis (bonus demografi), di mana penduduk usia kerja atau produktif mencapai dua kali dari populasi saat ini pada tahun 2020 - 2030 (Adioetomo, 2005) dalam Suryahadi, et.al. (2010). Indonesia perlu mempercepat upaya untuk memanfaatkan tenaga kerja di sektor produksi untuk mengurangi kemiskinan Adopsi terhadap Pendekatan Pembangunan Partisipatif Demokratisasi membuka pintu bagi masyarakat, misalnya masyarakat miskin, untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Musyarawah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) baik di level nasional maupun daerah, merupakan sebuah forum konsultasi multi-stakeholder yang melibatkan aktor negara dan non-negara untuk menyuarakan aspirasi dan kebutuhan mereka. Meskipun memang seringkali efektivitas Musrenbang agak terbatas karena: tidak adanya komitmen pemerintah daerah dan dukungan untuk pembangunan partisipatif, dan peran terbatas masyarakat sipil (USAID dan LGSP, 2008). Cara lain untuk masyarakat miskin untuk berpartisipasi lebih aktif dalam program-program pembangunan adalah melalui program pemberdayaan masyarakat (PNPM Mandiri)
Komitmen Dunia Global untuk Pengentasan Kemiskinan Dukungan yang meningkat dari masyarakat internasional untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) merupakan momentum bagi Indonesia dalam melakukan upaya pengurangan kemiskinan. Kendala dalam Mempercepat Pengurangan Kemiskinan Lemahnya Kemampuan Manusia Rendahnya akses terhadap pelayanan dasar menghambat kaum miskin untuk keluar dari kemiskinan dan menyebabkan orang miskin dapat dengan mudah jatuh ke dalam kemiskinan. Akses yang rendah baik bagi yang miskin dan hampir miskin terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan adalah karena kendala di kedua sisi penawaran dan sisi permintaan; kendala suplai infrastruktur, dan jangkauan layanan. Hambatan permintaan adalah kurangnya kapasitas keuangan dan biaya kesempatan yang tinggi dalam mengakses layanan. Selain itu, miskin juga menghadapi masalah kurangnya akses terhadap sanitasi dan air bersih Kurang Memadainya Perlindungan Sosial Selalu ada beberapa kelompok yang tertinggal dari proses pembangunan. Hal ini penting untuk mengembangkan perlindungan sosial untuk mempertahankan standar hidup rakyat. Upaya pengurangan kemiskinan seharusnya tidak hanya bertujuan untuk mengurangi orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, tetapi juga orang-orang yang rentan untuk jatuh ke dalam kemiskinan. Salah satu isu penting untuk memastikan efektifitas program perlindungan sosial ialah menargetkan jumlah penerima manfaat secara tepat sasaran.
F. Epilog Kemiskinan akan tetap menjadi masalah besar di Indonesia dan akan terus menjadi ancaman di masa depan karena:
1. Standar garis kemiskinan yang digunakan pemerintah masih sangat rendah relatif terhadap negara-negara lain. Sehingga meskipun problem kemiskinan dapat diturunkan secara angka, akan tetapi kualitasnya masih sangat buruk dalam hal perbaikan standar hidup. 2. Indonesia masih terjerat pada kemiskinan multidimensi, sehingga diperlukan penanganan yang lebih dari sekadar memperbaiki kesejahteraan penduduk miskin dalam aspek moneter. Pemerintah wajib untuk terus memonitor efektifitas dan keberlanjutan program seperti JPS dalam rangka menstimulus kemampuan penduduk miskin keluar dari jebakan kemiskinan yang multidimensional. 3. Akan selalu ada beberapa kelompok dalam masyarakat yang tertinggal dari proses pertumbuhan ekonomi. Untuk itu yang dibutuhkan ke depan ialah pertumbuhan ekonomi yang inklusif, bukan pertumbuhan ekonomi yang eksklusif. 4. Sebagai negara berkembang, Indonesia dengan karakteristik wilayah kepulauan yang tersebar menyebabkan cara menanggulangi kemiskinan menjadi jauh lebih rumit, membuat kemiskinan menjadi lebih kompleks dan lebih sulit untuk memecahkan; 5. Pemerintah harus memanfaatkan peluang dan momentum yang ada dari perkembangan dunia saat ini untuk membuat pengentasan kemiskinan lebih cepat terlaksana di masa depan. Beberapa kendala yang menghambat upaya pengentasan kemiskinan sesegera mungkin harus diantisipasi sehingga tidak mengganggu kelancaran program pengentasan kemiskinan.
REFERENSI Affandi, Dean Y. 2011. The Case of Decentralized Government in Indonesia: its Impact to National Poverty Reduction Effort. The Habibie Center. PostScript. Vol. VIII, No. 2: 6 – 11, Maret – April. Diakses 22 Juni 2011. URL: www.habibiecenter.or.id/download/PostScript%20Mar-Apr%202011.pdf Alatas, Vivi. 2011. Tantangan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia: Tinjauan Permasalahan dan Kebijakan. Makalah Disampaikan dalam Diskusi Publik Freedom Institute, “Kemiskinan: Statistik, Kebijakan, dan Kenyataan”. 28 April 2011. URL: http://www.freedom-institute.org/id/index.php?page=index&id=622 Basri, Faisal. 2009. Catatan Satu Dekade Krisis: Transformasi, Masalah Struktural, dan Harapan Ekonomi Indonesia. Penerbit Erlangga, Jakarta. BPS. 2011. Data Strategis BPS. Edisi Agustus 2011. BPS. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Edisi Agustus 2011. Elmi, Bachrul. 2005. Studi Penanggulangan Kemiskinan (Poverty Reduction) di Propinsi Kalimantan Selatan. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 9 No. 3: 29-40. Hatta, Zulkarnain A. and Djuni Thamrin Sarkawi. 2011. The Poverty Situation in Indonesia: Challenges and Progress of the Marginalized Group. Asian Social Work and Policy Review. Volume 5 No. 2: 92 – 106, Juni 2011. Diakses 22 Juni 2011. URL: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1753-1411.2011.00051.x/pdf. http://arsipberita.com/show/data-pemerintah-soal-kemiskinan-tidak-sesuai-kenyataan224405.htmlhttp://arsipberita.com/show/data-pemerintah-soal-kemiskinan-tidaksesuai-kenyataan-224405.html. Data Pemerintah Soal Kemiskinan Tidak Sesuai Kenyataan. 13 Mei 2011. http://wartapedia.com/nasional/statistik/1761-bps--angka-kemiskinan-terus-menurun.html. BPS: Angka Kemiskinan Terus Menurun. 17 Februari 2011. http://www.investor.co.id/home/wajah-ekonomi-2011-pertumbuhan-eksklusif-vspertumbuhan-inklusif/1825. Wajah Ekonomi 2011, Pertumbuhan Eksklusif vs Pertumbuhan Inklusif. Ikhsan, Mohamad. 2003. Kemiskinan dan Harga Beras. LPEM-FEUI. Working Paper No. 3/2003. http://www.lpem.org
ii
Ikhsan, Mohamad. 2008. Mengoptimalkan Pengeluaran Pemerintah untuk Memperbaiki Distribusi Pendapatan di Indonesia. LPEM-FEUI. Working Paper No. 16/2008. http://www.lpem.org Ikhsan,
Mohamad. Kebijakan Ekonomi Makro Khususnya Stabilisasi Harga dan Penanggulangan Kemiskinan. Pidato Pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta, 27 November 2010. Tidak Dipublikasikan.
Oxford Poverty & Human Development Initiative. 2010. http://www.ophi.org/uk Sida. 1996. Promoting Sustainable Livelihoods. Stockholm: Swedish International Cooperation Development Agency. Siregar dan Wahyuniarti. 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. http://www.pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/PROS_2008_MAK3.pdf Diakses tanggal 19 Juni 2011. Sudjatmiko, Budiman. 2011. Kemiskinan Sebagai Ancaman Masa Depan Indonesia. Makalah Disampaikan dalam Diskusi Publik Freedom Institute, “Kemiskinan: Statistik, Kebijakan, dan Kenyataan”. 28 April 2011. URL: http://www.freedominstitute.org/id/index.php?page=index&id=622 Suman, Agus. Kemiskinan Karena Harga Pangan, Agenda Mendesak ASEAN. Jawa Pos, Rabu 11 Mei 2011. Suman, Agus. Patogen Ketidakmerataan. Jawa Pos, Rabu 26 Mei 2011. Suryahadi, et.al., 2010. Accelerating Poverty and Vulnerability Reduction: Trends, Opportunities, and Constraints. Working Papers, SMERU Research Institute. Jakarta, November 2010. http://www.smeru.or.id/.../povertyvulnerabilityreduction/povertyvulnerabilityreducti on.pdf Diakses 18 Juni 2011. The World Bank. 2006. Making the New Indonesia work for the poor. Diakses 22 Juni 2011. URL: http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/.../Overview_standalone_en.pdf The World Bank. 2011. Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia Mengulangi Tahun 2008? Diakses 18 Juni 2011. URL: http://www.wds.worldbank.org/.../601520revised0110I-EQ1Mar20111bahasa.pdf Yustika, Ahmad Erani. Kemiskinan dan Dualisme Ekonomi. Jawa Pos, 13 Juli 2010. Diakses 22 Juni 2011. URL: http://ahmaderani.com/kemiskinan-dan-dualisme-ekonomi.html