Edisi maret-april 2013 KPPOD Membangun Indonesia dari Daerah www.kppod.org
Kesejahteraan Buruh dan Daya Saing Perusahaan
B
eberapa tahun belakangan ini, kinerja perekonomian Indonesia banyak mendapatkan pujian. Dengan pertumbuhan 6,3%, tertinggi kedua setelah Cina, tahun 2012 produk domestik bruto Indonesia mencapai Rp 8.241,86 triliun. Pemerintah juga boleh berbangga karena demi membantu perekonomian global, Indonesia mampu membeli obligasi IMF senilai 1 miliar dollar AS (Rp 9,4 triliun). Demi memacu pertumbuhan ekonomi dan menarik investor asing, pemerintah senang mempromosikan upah murah pekerja sebagai keunggulan komparatif di pasar global. Menarik investor memang keharusan, mengingat penduduk miskin di Indonesia mencapai 28.594.600, atau 11,6% dari penduduk, dan tingkat pengangguran mencapai 6,14% atau 7.244.956 orang (BPS: 2012). Namun apakah upah buruh murah masih patut untuk dħadikan bahan promosi untuk menarik investor? Nasib buruh kita masih memprihatinkan. Dari 112,8 juta orang yang bekerja (per Februari 2012), baru 42,1 juta orang bekerja di sektor formal dan 70,7 juta orang masih di sektor informal yang minim perlindungan sosial dengan upah rendah. Setiap tangal 1 Mei, buruh sedunia termasuk di Indonesia, memperingati hari buruh disertai tuntutan kesejahteraan dan perubahan kebħakan perburuhan melalui aksi demonstrasi. Ini menandakan pemerintah masih kurang memperhatikan nasib buruh. Isu aktual yang selalu didengungkan adalah upah buruh, karena upah adalah pangkal menuju kesejahteraan. Namun tampaknya upah minimum buruh di Indonesia tidak memungkinkan untuk sejahtera. Dalam menetapkan UMP/K, belum semua daerah menyesuaikan dengan kebutuhan hidup layak (KHL). Meski UMP/K telah ditetapkan, namun praktiknya belum semua perusahaan mematuhi. Upaya penegakan hukum adalah tugas pemerintah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan memaksa, sementara buruh hanya bisa menekan melalui aksi-aksinya. Satu pertanyaan yang sulit dħawab adalah, “Bisakah buruh menjadi sejahtera?” Hidup berkecukupan tanpa menghawatirkan masa depan tampaknya masih sebatas anganangan bagi sebagian besar buruh di Indonesia. Bagi mereka yang bekerja selama 8 jam hanya mendapat upah sesuai UMP, dan jika ingin lebih harus bekerja lembur. Bagi pekerja kontrak, pemutusan kontrak kerja selalu menghantui. Bagi yang sudah berumahtangga, harus bergelut dengan kebutuhan anak istri, biaya sekolah, kesehatan, dan sebagainya. Faktanya belum semua perusahaan yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan buruh. Mensejahterakan buruh bukanlah perkara mudah ditengah persoalan yang menghimpit perusahaan. Pengusaha harus bersiasat menekan biaya demi menjaga daya saing. Tidak kurang dari 55,5 juta pekerja kita hanya berpendidikan SD atau lebih rendah, hal yang mengakibatkan produktivitas buruh di Indonesia dinilai rendah. Pemerintah harus serius mengatasi masalah ini agar kompetensi pekerja dapat memenuhi kebutuhan pasar kerja dan memperoleh upah layak. Disamping persoalan produktivitas, lemahnya daya saing perusahaan di Indonesia juga disebabkan oleh inseęsiensi - biaya logistik, pungutan ilegal, birokrasi lambat, dan lainnya. Pemerintah harus serius menuntaskan pekerjaan rumahnya, seperti penyediaan infrastruktur, pungutan liar, birokrasi lamban, kepastian hukum, dan jaminan pasokan energi, yang merupakan kendala utama peningkatan daya saing. Jika masalah ini teratasi, tentu daya saing produk Indonesia meningkat sehingga pengusaha bisa membayar remunerasi buruh jauh lebih baik dari sekarang. Saat buruh hidup lebih sejahtera, konsumsi akan meningkat, dan perusahaan akan meningkatkan produksinya, dan penerimaan negara dari pajak akan meingkat untuk membiayai pembangunan.
EDITORIAL Ketenagakerjaan dan Peran Pemda DAFTAR ISI Artikel ......................................... 3 Review Regulasi .......................... 7 Dari Daerah .............................. 10 Opini .......................................... 13 Laporan Diskusi Publik ........... 18 Agenda KPPOD........................ 20 Seputar Otonomi ...................... 21 Sekilas KPPOD ......................... 22
Susunan Redaksi Pemimpin Redaksi: Robert Endi Jaweng Redaktur Pelaksana: Ig. Sigit Murwito Staě Redaksi: Sri Mulyati Boedi Rheza Elizabeth Karlinda Illinia Ayudhia Riyadi Distribusi: Regina Retno Budiastuti Kurniawaty Septiani Agus Salim Tata Letak: Rizqiah D Winantyo
Alamat Redaksi: Permata Kuningan Building 10th Fl. Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur Setiabudi Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53 Fax : +62 21 8378 0643 www.kppod.org http://perda.kppod.org http://pustaka.kppod.org
2
KPPODBrief edisi ini hadir dengan topik yang selalu memancing polemik sengit dalam kehidupan politik dan ekonomi kita: ketenagakerjaan. Sejak jaman kolonial hingga Indonesia menginjak usia merdekanya menjelang 70 tahun, polemik itu bertahan dan boleh jadi akan senantiasa menjadi masalah permanen. Tentu ada beragam dimensi dan perspektif dalam membaca isu ketenagakerjaan. Pada dimensi politik, isu ketenagakerjaan bukanlah isu teknis tetapi bertransformasi dan menggumpal sebagai isu gerakan, isu politik itu sendiri. Pada dimensi ekonomi, rasionalitas teknokratik dalam hitung-hitungan upah buruh selalu menyisakan trade-oě antara orientasi kesejahteraan buruh dengan sisi pertimbangan produktivitas. Gampang untuk diujar, namun sulit sekali mencari titik akur antara segitiga hubungan upah, kesejahteraan dan produktivitas. Edisi ini hendak hadir dengan angle isu, dari sisi aktor: peran Pemda. Di sana bergabung antara pembacaan menurut dimensi politik dan ekonomi. Semangat utama yang menyirati berbagai tulisan dalam edisi ini adalah seruan untuk Pemda menyadari tanggung jawabnya untuk—meminjam nomenklatur desentralisasi--mengurus bidang ketenagakerjaan. Selama ini Pemda terkesan hanya menjadi pihak yang mengatur dan bahkan menyalahkan pihak pekerja/buruh atau pun pelaku usaha, padahal tanggung jawabnya jelas mendasar. Pemda, melalui instrumen regulasi (Perda), ęskal (APBD) dan aneka program jelas memegang tanggung jawab konstitusional atas kehidupan Warganya. Mandat itu membawa keterikatan bagi Pemerintah/Pemda dalam menjamin hak hidup layak bagi warganya, bahkan ketika keterbatasan kapasitas menghantui mereka untuk menuai kewajiban tersebut. Berdasar mandat Konstitusi tersebut, sejumlah regulasi di era otonomi mengatur jabaran kewajiban dan domain tugas level pemerintahan di tingkat lokal tersebut. UU No.32 tahun 2004 memasukan isu ketenagakerjaan sebagai urusan wajib daerah. Sementara PP No.38 Tahun 2007 merinci urusan wajib tersebut ke dalam sejumlah deskripsi tugas: dari kebħakan hingga pengendalian dalam hal pembinaan hubungan industrial, jaminan sosial tenaga kerja, penempatan tenaga kerja dalam dan luar negeri hingga fasilitasi peningkatan produktivitas tenaga kerja. Bahkan, lebih makro lagi adalah menjamin terciptanya iklim berusaha yang kondusif agar mesin ekonomi berputar tenang dan produktif. Semua itu jelas jauh dari sekedar tugas rutin menetapkan (baca: menaikkan) upah minimum setiap tahunnya. Namun, bagaimana realisasi dari mandat wajib tersebut? Berbagai tulisan dalam edisi KPPODBrief ini hendak mengangkat problem dan tantangan yang ada, sekaligus apresiasi atas sejumlah pencapaian yang ada. Kepada semua realitas itu, mari kita berkaca, utamanya pihak Pemda sendiri, untuk bisa terus memperbarui komitmen dan meningkatkan kapasitas guna menenuai mandat utamanya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di daerahnya. Selamat membaca.
Artikel
Instrumen Non-Upah sebagai Jalan Lain Peningkatan Kesejahteraan Buruh: Potret Lemahnya Komitmen Kebħakan Pemda Oleh: Boedi Rheza Peneliti KPPOD
S
ebagai salah satu Negara yang termasuk di dalam jajaran Negara-negara dengan tingkat perekonomian yang cukup maju, Indonesia masih memiliki permasalahan yang cukup krusial untuk diatasi yaitu kemiskinan. Di Tahun 2012 terdapat sekitar 12% penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan, dengan standar pendapatan kurang dari 1 dollar US perhari (BPS, 2012). Sementara menurut Bank Dunia, dengan standar penduduk miskin adalah penduduk dengan pendapatan kurang dari 2 dollar US perhari, jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih besar lagi yaitu mencapai 50% dari penduduk. Dengan permasalahan kemiskinan yang cukup tinggi, diperlukan suatu pemecahan yaitu penciptaan lapangan kerja. Penciptaan lapangan kerja merupakan tanggung jawab Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Penciptaan lapangan kerja dapat terwujud melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif. Dengan iklim investasi yang kondusif, maka investor akan menanamkan modalnya dan tercipta lapangan pekerjaan
Namun penciptaan iklim investasi kondusif ini masih dihadang oleh beberapa masalah, dari aspek ketenagakerjaan, seperti tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah dan masih terjadinya konĚik ketenagakerjaan. Serial studi KPPOD sejak tahun 2001 menemukan kendala iklim investasi di daerah yang hingga kini belum terselesaikan adalah persoalan ketenagakerjaan. Studi KPPOD juga menemukan bahwa tingkat produktivitas tenaga kerja yang tersebar di wilayah kabupaten, masih rendah, sementara biaya tenaga kerja semakin meningkat (KPPOD: 2006). Patut disadari, tingkat produktivitas tenaga kerja merupakan salah satu factor bagi penciptaan iklim investasi di daerah. Di sisi lain, konĚik ketenagakerjaan yang masih terjadi. KonĚik ketenagakerjaan kebanyakan berpangkal pada tuntutan peningkatan kesejahteraan buruh melalui peningkatan KHL dan upah minimum. Yang menjadi persoalan adalah dalam menyuarakan aspirasinya, para buruh cenderung bertindak anarkis serta tidak mematuhi prosedur yang berlaku. Unjuk rasa buruh yang disertai tindakan yang anarkis juga disebabkan lemahnya penegakan hukum dari aparat. Inti persoalan konĚik ketenagakerjaan selama ini adalah kesejahteraan buruh yang masih rendah. Namun apakah kesejahteraan buruh hanya menjadi tanggungjawab pelaku usaha saja? Lantas dimana tanggung jawab negara (pemda) untuk peningkatan kesejahteraan buruh? Negara (Daerah) juga harus bertanggungjawab atas kesejahteraan buruh. Untuk menjawab permasalahan tersebut, dan mengidentiękasi peran Pemda dalam meningkatkan kesejahteraan buruh, dilakukan penelitian terhadap peran pemda dalam mensejahterakan buruh. Penelitian ini dilakukan dengan studi kasus di dua lokasi dan tinjauan regulasi ketenagakerjaan terhadap perda ketenagakerjaan di 28 daerah. Dua daerah yang dħadikan studi kasus adalah Kota Batam dan Kota
Surabaya. Kota Batam terpilih karena sebagai salah satu sebagai salah satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Indonesia yang memberlakukan kebħakan insentif pajak khusus untuk mendorong realisasi investasi sektor riil, terutama industri export oriented. Sedangkan Kota Surabaya terpilih karena kuatnya gerakan buruh dalam menyuarakan tuntutan mereka lewat berbagai bentuk unjuk rasa sehingga diharapkan melalui studi ini dapat diidentiękasi akar permasalahan ketenagakerjaan dari perspektif serikat buruh. Instrumen Perbaikan Kesejahteraan Hidup Buruh Secara garis besar ada dua instrumen yang bisa digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan buruh yaitu, instrumen upah dan non upah. Instrumen upah sudah sangat jelas menggambarkan mekanisme reward yang diterima buruh setelah menyelesaikan pekerjaannya. Salah satu bentuk dari instrumen upah ini adalah Upah Minimum yang ditetapkan di setiap daerah. Kebħakan upah minimum pada hakekatnya lebih dilandasi pokok pikiran guna memenuhi hak asasi buruh untuk menerima upah dan untuk hidup layak sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Sebenarnya, pemahaman terhadap penetapan upah minimum yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai keharusan perusahaan adalah untuk membayar upah sekurangkurangnya sama dengan ketetapan upah minimum kepada buruh yang paling rendah tingkatannya. Penetapan upah minimum dipandang sebagai sarana atau instrumen kebħaksanaan sesuai untuk mencapai kepantasan hubungan kerja. Sementara instrumen non upah adalah instrumen - instrumen yang tidak berbentuk upah namun lebih kepada memberikan jaminan-jaminan sosial kepada tenaga kerja. Salah satu contoh instrumen non upah adalah penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Secara garis besar, SJSN ini meliputi dua program
3
Artikel utama, yakni Program Jaminan Kesehatan Nasional dan Program Jaminan Kesejahteraan Nasional. Program jaminan kesehatan nasional digelar berdasarkan prinsip ekuitas, yaitu kesamaan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan asuransi sosial. Program ini dikelola oleh BPJS dan mulai diberlakukan sejak 2014. Untuk mendukung program ini diberlakukan sistem iuran yang di kenakan pada perusahaan atau tenaker sedangkan bagi yang tidak mampu, iuran akan dibayarkan oleh pemerintah. Program jaminan kesejahteraan nasional meliputi jaminan kecelakaan, jaminan hari tua, jaminan pension, dan jaminan kematian. Kebħakan Pemda terkait Ketenagakerjaan Peningkatan kesejahteraan Buruh, tidak hanya merupakan kewajiban pengusaha, namun juga kewajiban Pemda. Dengan meningkatnya Salah satunya melalui instrumen non-upah. Tujuan dari instrumen non upah ini adalah untuk redistribusi pendapatan dan solidaritas sosial di masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, dapat diterapkan melalui pembuatan perda ketenagakerjaan yang memuat instrumen non upah tersebut. Realisasi peran Pemda dalam upaya pembangunan infrastuktur sosial untuk peningkatan produktivitas serta penyelenggaraan instrument non-upah bagi tenaga kerja membutuhkan panduan pelaksanaan dan legitimasi yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) ketenagakerjaan. Ironisnya, belum semua daerah memiliki Perda yang khusus mengatur tentang ketenagakerjaan. Bahkan, substansi yang diatur dalam Perda ketenagakerjaan di daerah juga belum memuat aturan tentang peran dan tanggung jawab Pemda dalam penyelenggaraan instrument nonupah untuk peningkatan kesejahteraan hidup tenaga kerja. Diagram I. Instrumen perbaikan kesejahteraan hidup buruh Instrumen Perbaikan Kesejahteraan Hidup Buruh Instrumen Upah
Instrumen Non Upah Pemenuhan Aspek Jaminan Sosial
Pangan
Layanan Kesehatan
Sandang dan Perumahan
Pendidikan Usaha dan Kerja
Hanya sedikit Pemda yang mengatur instrument pengupahan Daerah umumnya tidak mengatur detail mekanisme pemberian upah maupun komponen non upah yang harus diberikan oleh perusahaan, karena hal tersebut langsung mengacu pada ketentuan pusat. Peran Pemda
4
dalam instrumen pengupahan ini dapat diterapkan melalui penetapan Perda mengenai pengupahan. Dalam hal ini kewajiban penyusunan struktur dan skala upah bagi perusahaan adalah hal yang bisa dilakukan oleh Pemda sebagai upaya untuk memberikan kerangka legal dalam penetapan upah di tingkat perusahaan. Review terhadap Perda di 28 daerah memperlihatkan, hanya tiga daerah, yakni Yogyakarta, Pasuruhan, dan Karawang, yang memiliki perda mengenai pengaturan upah tenaga kerja. Perda Kota Yogyakarta No 13 tahun 2009 tentang penyelenggaraan tenaga kerja sebagai contohnya, mengatur mengenai perlindungan pengupahan dan kewajiban penyusunan struktur dan skala upah bagi perusahaan. Apabila perda ini diterapkan dengan baik, dan diikuti daerah lain, tentunya problem terkait pengupahan bisa diminimalisir. Instrumen Non-Upah masih kurang digunakan untuk Peningkatan Kesejahteraan Pekerja Peningkatan kesejahteraan hidup pekerja tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan instrumen upah yang dibayarkan pelaku usaha kepada para pekerja saja, tetapi juga perlu didukung oleh peran pemerintah secara aktif melalui berbagai instrumen non upah. Penyelenggaraan instrumen non upah ini seyogyanya menjadi tanggung jawab dari Pemda disertai dengan adanya dukungan dari pelaku usaha. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, maka setidaknya terdapat empat program dan fasilitas instrumen non-upah yang menjadi tanggung jawab Pemda dalam penyelenggaraan instrument non-upah sebagai upaya lain peningkatan kesejahteraan hidup buruh, seperti program pelatihan tenaga kerja, program penyelenggaraan usaha swasta. Peran Pemda dalam penyelenggaraan instrumen non-upah untuk peningkatan kesejahteraan tenaga kerja masih minim. Ironisnya, sejauh ini keterlibatan pemerintah dalam melaksanakan instrumen-instrumen non upah masih sangat kurang. Dalam pelaksanaannya, program-program tersebut tidak berjalan dengan efektif karena ketiadaan regulasi berlandaskan hukum yang secara jelas mengatur pelaksanaan instrumen-instrumen non upah tersebut. Dengan kata lain, perbaikan kesejahteraan pekerja selama ini hanya bertumpu pada instrumen upah yang dibebankan kepada pihak pelaku usaha. Kondisi ini terjadi pada dua kota yang menjadi fokus penelitian dalam studi ini, yaitu Kota Batam dan Surabaya. Kebanyakan Perda mengatur tentang retribusi pelayanan perizinan Berdasarkan hasil identiękasi terhadap perda ketenagakerjaan di 28 daerah, diketahui bahwa umumnya hanya mengatur pelayanan administrasi perizinan dan masih bersifat pungutan, seperti seperti pelayanan
Artikel perizinan penempatan tenaga kerja, penyelenggaraan bursa kerja, wajib lapor ketenagakerjaan, penyimpangan waktu kerja, pengawasan pemakaian mesin, pesawat, instalasi dan bahan. Sebagian besar perda yang mengatur berbagai pungutan atas pelayanan dan perħinan tersebut memiliki kebermasalahan dalam kejelasan standar prosedur, biaya dan waktu pelayanan. Hal ini menyebabkan banyak bermunculan problem ketenagakerjaan dan pengaturan perlindungan pengupahan dan kewajiban penyusunan struktur dan skala upah bagi perusahaan. Tidak hanya itu cukup banyak Perda tentang pelatihan tenaga kerja seperti penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja yang dapat dilakukan oleh Pemda maupun swasta namun lebih mengatur pungutan-pungutan untuk pendirian balai latihan kerja dan kewajiban perusahaan untuk melakukan pelatihan. Kebħakan proteksionis ketenagakerjaan melanggar kesatuan wilayah ekonomi Intervensi Pemda dalam hal ketenagakerjaan tidak langsung pada mekanisme penentuan upah, namun lebih pada penciptaan kesempatan kerja melalui upaya proteksionisme tenaga kerja. Dalam upaya mengurangi pengangguran di daerahnya, beberapa Pemda menerapkan kebħakan yang mewajibkan setiap perusahaan yang menjalankan perusahaan di daerah tersebut untuk menggunakan tenaga kerja lokal disekitar perusahaan tersebut. Contoh proteksi kepada tenaga kerja daerah adalah yang dilakukan oleh Kota Cimahi, melalui Perda Kota Cimahi No. 6 Tahun 2010 tentang penyelenggaraan ketenagakerjaan. Perda ini mengatur bahwa setiap perusahaan memiliki kewajiban memberikan prioritas bagi tenaga kerja lokal untuk bekerja dengan tetap memperhatikan kemampuan yang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut. Sebenarnya, perda yang mewajibkan perusahaan untuk memprioritaskan tenaga kerja lokal untuk diperkerjakan merupakan bentuk pelanggaran terhadap amanat yang terkandung di dalam pasal 4 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam pasal tersebut, dinyatakan bahwa seluruh warga Negara Indonesia berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan di seluruh wilayah Indonesia. Adanya Perda yang memprioritaskan tenaga kerja lokal untuk diperkerjakan pada akhirnya membatasi kesempatan bagi tenaga kerja dari luar daerah untuk memperoleh suatu pekerjaan di daerah tersebut. Namun ada pula upaya pemda untuk perlindungan kepada tenaga kerja yang memiliki kebutuhan khusus. Sebagai contoh adalah kebħakan Pemda Kota Cilegon dalam Perda Kota Cilegon No. 6 Tahun 2005 tentang retribusi pelayanan bidang ketenagakerjaan. Perda tersebut mewajibkan kepada perusahaan untuk menerima tenaga kerja yang memiliki keterbatasan kemampuan (disabilities) minimal 1 orang diantara
100 orang yang memenuhi kualiękasi. Dengan Perda tersebut Pemda mengupayakan terciptanya keadilan bagi semua masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan termasuk bagi tenaga kerja yang memiliki keterbatasan kemampuan Peran Pemda dalam Hubungan Industrial Peran Pemda melalui Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) sangat diperlukan dalam upaya mencapai kesepakatan untuk mengatasi perselisihan hubungan industri antara pihak pekerja dan pelaku usaha. Perselisihan atau perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat buruh terjadi karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perselisihan antar serikat pekerja (SP)/buruh dalam satu perusahaan. Keempat perselisihan yang telah disebutkan sebelumnya, memiliki alur penyelesaian yang berbedabeda karena dilihat dari jenis perselisahan dan akibat yang ditimbulkan oleh masing-masing perselisihan. Tetapi pada prinsipnya semua jenis perselisihan harus diselesaikan terlebih dahulu melalui musyawarah/ secara bipartid. Pemda diharapkan dapat menjadi mediator yang adil dan netral untuk memimpin negosiasi antara pihak pekerja dan pelaku usaha dalam menghadapi perselisihan yang terjadi. Kemampuan Pemda sebagai mediator untuk mengakomodasi dua kepentingan yang bertolak belakang antara pihak pekerja dan pelaku usaha sangat penting untuk menjamin timbulnya keadilan dan kepastian hukum bagi kedua belah pihak. Keberhasilan Pemda dalam memimpin mediasi akan menciptakan rasa aman sehingga akan berdampak pada penciptaan iklim usaha yang kondusif. Hal ini penting sebagai salah satu wujud upaya untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja dengan tetap memperhatikan daya saing dan kemampuan ekonomi pelaku usaha. Sayangnya, terkait dengan Perda hubungan industrial, lebih banyak ditemukan pengaturan tentang pengawasan norma kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan terhadap tenaga kerja wanita. Namun kebanyakan perda tersebut justru memuat pungutan yang membebani pelaku usaha. Salah satu contoh baik kebħakan Pemda dalam mengatur hubungan industrial adalah Perda Kota Cimahi No.6 Tahun 2010 adanya aturan yang tegas dalam mengatur hubungan lembaga kerjasama tripartite dan dewan pengupahan, serta adanya survei yang dilakukan secara tripartite 4 kali dalam setahun untuk menetapkan nilai KHL. Upaya untuk memaksimalkan lembaga tripartite tersebut dapat dilakukan dengan adanya komunikasi yang terjalin secara terus menerus dan pelibatan dari semua pihak terkait untuk mendiskusikan berbagai permasalahan terkait ketenagakerjaan termasuk didalamnya mekanisme penetapan upah dan non upah yang sesuai dengan kesepakatan bersama antara semua pihak terkait
5
Artikel melalui mekanisme hubungan tripartite. Peran pemda dalam meningkatkan produktivitas Tenaker masih kecil Dalam upaya peningkatan produktivitas pekerja, diperlukan komitmen dan peran aktif Pemda untuk menyelenggarakan berbagai jenis program pelatihan yang dibutuhkan. Peningkatan produktivitas pekerja sangat penting untuk dilakukan sebagai upaya perbaikan eęsiensi dan efektivitas kegiatan produksi. Tingkat produktivitas pekerja dipengaruhi oleh keterampilan sesuai dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya. Faktanya, bursa pasar tenaga kerja di Indonesia saat ini masih didominasi oleh para pencari kerja lulusan SLTA yang notabene masih minim dalam hal keterampilan dan keahlian yang dimiliki. Ironisnya, sejauh ini Pemda kurang memberikan perhatian yang besar terhadap realisasi pembangunan infrastruktur sosial melalui penyelengaraan pelatihan bagi para pencari kerja. Sebagai contoh, Pemkot Batam melalui Disnaker masih belum memprioritaskan anggaran yang memadai bagi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan untuk para pencari kerja, sebagaimana yang terlihat pada tabel berikut ini. NO.
NAMA KEGIATAN
REALISASI (Rp)
1.
Peningkatan Pelayanan Administrasi Perkantoran
364.221.428
2.
Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur
131.165.000
3.
Peningkatan Kualitas dan Disiplin Aparatur
48.937.750
4.
Pelatihan dan peningkatan keterampilan Tenaga Kerja
71.426.000
5.
Operasional Dewan Pengupahan Kota dan LKS Tripartut
79.951.000
6.
Operasional penyelesaian Hubungan Industrial
36.814.000
7.
Monitoring dan Evaluasi TK
70.037.000
JUMLAH
802.552.178
Pelatihan tenaga kerja cukup penting untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Penyelenggara pelatihan ini dapat dari pemda maupun swasta. Di banyak daerah, pelatihan tenaga kerja ini, sering kali diadakan oleh perusahaan. Padahal penyediaan pelatihan tenaker merupakan salah satu kewajiban Pemda untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja. Ini semakin menunjukkan adanya pengalihan tanggung jawab dari Pemda kepada perusahaan. Dari sisi regulasi, cukup banyak Perda ketenagakerjaan yang mengatur tentang pelatihan bagi tenaga kerja. Namun, kebanyakan pengaturan dalam perda-perda tersebut lebih menitikberatkan pada besarnya pungutan yang harus dibayarkan pengusaha untuk memperoleh izin penyelenggaraan pelatihan, pengesahan sertiękasi latihan keterampilan dan uji keterampilan kejuruan. Tentunya hal ini kontraproduktif
6
terhadap upaya peningkatan produktivitas tenaga kerja. Semestinya aturan yang ada harus memberikan insentif kepada pelaku usaha yang mau melakukan pelatihan ketenagakerjaan. Penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja, khususnya yang belum bekerja, semestinya menjadi tanggung jawab Pemda, yang dalam pelaksanannya bisa saja bekerjasama dengan pelaku usaha dalam Perda Kabupaten Mojokerto Nomor 4 Tahun 2009, dicantumkan bahwa pelatihan kerja akan dilaksanakan oleh DLKD (Dewan Latihan Kerja Daerah) yang terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha dan pekerja. Namun, ternyata biaya penyelenggaraan latihan oleh DLKD ini dibebankan kepada pihak perusahaan. Hal ini mengindikasikan terjadinya pengalihan tanggung jawab Pemda terhadap pihak pelaku usaha. Catatan Penutup Meskipun masih sedikit daerah yang membuat kerangka regulasi untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, namun ada beberapa daerah sudah membuat Perda ketenagakerjaan yang mengatur tentang komponen upah dan non-upah dalam upaya menjamin terciptanya kesejahteraan bagi para pekerja. Keberadaan perda tersebut mereĚeksikan komitmen Pemda terhadap upaya mewujudkan jaminan kesejahteraan PERSEN pekerja. Namun, aturan yang dibuat perlu (%) mempertimbangkan karakteristik dari masing45.38 masing perusahaan yang ada di daerah tersebut, seperti kemampuan ęnansial, sektor 16.34 ekonomi dan skala usaha yang berbeda-beda 6.1 antara perusahaan yang satu dengan lainnya. 8.9 Aturan lanjutan juga diperlukan untuk mengatur fasilitas-fasilitas kesejahteraan yang 9.96 disediakan perusahaan-perusahaan dengan 4.58 karakteristik khusus. Studi ini juga menunjukkan bahwa sejauh 8.72 ini, perda ketenagakerjaan yang dibuat daerah 100% belum mengatur secara tegas pola kemitraan antara pemda, perusahaan, dan tenaga kerja/serikat pekerja. Sementara disisi lain komitmen Pem da masih rendah dalam upaya peningkatan produktivitas buruh. Terkait hal ini dirasakan perlu adanya kebħakan daerah yang mengatur secara tegas besarnya alokasi anggaran untuk program-program peningkatan produktivitas pekerja.. Yang terakhir, perlu adanya peraturan ketenagakerjaan yang dapat memberikan kejelasan mengenai pembagian porsi tanggung jawab Pemda dan pelaku usaha dalam meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dalam bentuk instrument non-upah. Penyediaan instrumen non-upah dalam bentuk bantuan sosial di berbagai aspek merupakan sebuah bentuk investasi sosial yang menguntungkan dalam jangka panjang yang dilandasi oleh dua pilar utama, yakni redistribusi pendapatan dan solidaritas sosial. ---o0o---
Review Regulasi
Review Regulasi: Perda Kab. Pasuruan No. 22 Tahun 2012 tentang Sistem Penyelenggaraan Ketenagakerjaan di Kabupaten Pasuruan Oleh: Sri Mulyati Peneliti KPPOD
K
abupaten Pasuruan dikenal sebagai salah satu kawasan perindustrian, daerah pertanian dan perikanan, serta tempat tujuan wisata yang memiliki aneka jenis potensi bisnis cukup menjanjikan bagi para penduduknya. Dengan luas wilayah 147.401,50 (3,13% luas Propinsi Jawa Timur), penduduk Kab. Pasuruan tercatat 1.510.261 jiwa (laki-laki 747.376 jiwa dan perempuan 762.885 jiwa (2010 BPS)). Artinya kepadatan penduduk Pasuruhan mencapai 1.024,59 jiwa/km2.
Dokumentasi KPPOD
Kondisi penduduk menurut mata pencaharian terdiri dari: pertanian (33,98%), industri pengolahan (24,69%), listrik, gas dan air (0,41%) perdagangan, hotel dan restoran (17,79%) pertambangan dan galian (0,38%). Bangunan (5,21%), keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (0,33%), pengangkutan dan komunikasi (6,66%) serta jasa (10,55%). Berdasarkan data, penduduk Kab. Pasuruan cukup banyak yang bergantung dari sektor industri pengolahan (24,69%), hal tersebut menunjukkan bahwa permasalahan perburuhan menjadi salah satu isu penting yang harus diperhatikan oleh Pemda setempat dalam upayanya meningkatkan perekonomian daerah dan mensejahterakan masyarakat. Melihat pentingnya isu perburuhan ini, Kab. Pasuruan memberikan kebħakan khusus melalui penetapan Peraturan Daerah No. 22 Tahun 2012 tentang Sistem Penyelenggaraan Ketenagakerjaan di Kabupaten Pasuruan. Secara garis besar Perda ini mengatur segala
aspek terkait pelayanan ketenagakerjaan termasuk di dalamnya hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pekerja/ buruh, pengusaha dan Pemerintah daerah (Pemda). RINGKASAN ISI PERDA Pembentukan Perda ini ditujukan sebagai upaya pengaturan ketenagakerjaan yang menyeluruh dan komprehensif yang mencakup pembangunan sumber daya manusia peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja dan pembinaan hubungan industrial serta perlindungan tenaga kerja. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa sistem penyelenggaraan ketenagakerjaan di Kab. Pasuruan bertujuan: a) terwujudnya perencanaan tenaga kerja; b) terwujudnya sistem pelatihan kerja nasional di Daerah; c) terwujudnya kebħakan produktivitas kerja; d) terwujudnya penyediaan dan pendayagunaan
7
Review Regulasi tenaga kerja; e) terwujudnya perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan terwujudnya harmonisasi antara pekerja, pengusaha dan pemerintah. ANALISIS ISI Perda merespon kebutuhan pengusaha dan tenaga kerja Perda ini memberikan hal positif dan pembelajaran penting bagi daerah lain dalam upaya meminimalisir konĚik ketenagakerjaan. Materi yang diatur dalam Perda ini telah mengacu pada ketentuan perundnag-undangan yang berlaku. Sejumlah peraturan perundang-undangan pusat yang menjadi konsideran pembentukan Perda ini adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, UU no. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah terkait perlindungan tenaga kerja termasuk upah dan pelatihan tenaga kerja. Selama ini penerapan perda terkait penyelenggaraan ketenagakerjaan di beberapa daerah umumnya lebih didominasi oleh pengaturan yang bersifat pungutan, namun perda ini telah mengatur upaya-upaya perlindungan ketenagakerjaan yang lebih komprehensif. Perda ini mengatur perlindungan bagi tenaga kerja di Kab. Pasuruan melalui tersedianya kesempatan bagi pekerja/buruh untuk mendapatkan pekerjaan dan meningkatkan kompetensi kerja dengan mengikuti berbagai pelatihan kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan. Prioritas kepada tenaga kerja lokal sebagai upaya minimalisasi angka pengangguran Terkait dengan kesempatan kerja, perda ini menjamin bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri dan mendapatkan jabatan sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat dan kemampuan dengan memperhatikan harkat dan martabat, hak asasi dan perlindungan hukum (Psl. 19). Hal yang menarik dalam perlindungan ketenagakerjaan lainnya adalah berupa kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan kesempatan terhadap tenaga kerja lokal dengan lebih mengutamakan warga sekitar sesuai dengan kebutuhan perusahaan tanpa mengesampingkan standar kompetensi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan . Untuk itu maka dalam merekrut tenaga kerja, perusahaan tetap berkoordinasi dengan SKPD terkait secara terbuka dan transparan (Psl.26). Ketentuan untuk memprioritaskan tenaga kerja yang berada di sekitar perusahaan sebagai upaya untuk mengurangi angka pengangguran yang mencapai 36.828 orang (Dinsosnakertrans, 2011). Di satu sisi upaya proteksi terhadap tenaga kerja lokal ini terkadang menuai protes dari pengusaha karena dinilai menghambat hak perusahaan (asas free internal trade) untuk mendapatkan tenaga kerja yang
8
sesuai dengan keinginan dan kualiękasi perusahaan namun di sisi lain, kebħakan proteksi ini merupakan salah satu upaya Pemda untuk melindungi tenaga kerja lokalnya dan sekaligus sebagai upaya untuk mengurangi pengangguran sepanjang tetap mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku (tidak menetapkan kuota tertentu) dan tetap menyesuaikan dengan kualiękasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan. Bagi perusahaan, salah satu keuntungan yang didapat dari perusahaan dengan kebħakan ini adalah tersedianya kebutuhan tenaga kerja yang dekat dengan tempat produksi memberikan kemudahan dan biaya murah dibandingkan harus mencari di luar daerah sehingga operasionalisasi menjadi lebih efektif dan eęsien. Kewajiban penetapan struktur skala upah oleh perusahaan sebagai jaminan perlindungan upah yang adil bagi tenaga kerja/buruh Jaminan untuk mendapatkan upah yang adil, terlihat dari ketentuan dalam perda yang mengatur bahwa setiap pekerja/buruh berhak mendapatkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sesuai dengan ketentuan perundangundangan dan mewajibkan pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi (Psl.38). Dengan adanya ketentuan tersebut bagi perusahaan mempunyai dasar hukum jelas ketika menetapkan struktur skala upah. Sedangkan bagi pekerja/buruh adanya struktur skala upah yang jelas dari perusahaan, akan medatangkan rasa aman dalam bekerja dan kepastian hukum yang pasti akan diberlakukannya suatu kebħakan. Bila ketentuan tersebut, dilaksanakan oleh perusahaan secara konsisten, maka tentunya akan dapat meminimalisir perselisihan yang bersumber dari ketidakpuasan akan penetapan upah pekerja. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa pasal dalam Perda ini yang perlu diberikan perhatian khusus, salah satunya adalah ketentuan yang tertuang dalam Pasal 32 ayat 1 butir d. Dalam pasal tersebut, tercantum kewajiban bagi perusahaan penyedia jasa tenaga kerja untuk menyetorkan uang kepada bank Pemerintah dalam bentuk deposito sebesar Rp 250.000.000,00 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh izin operasional. Ketentuan ini berpotensi menimbulkan penyelewengan karena ketiadaan kejelasan keperluan dana tersebut. Selain itu, kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan berbagai bentuk perlindungan (pasal 33 ayat 2 butir a) dan menyediakan fasilitas kesejahteraan bagi tenaga kerja juga berpotensi menghambat pengembangan dunia usaha, terutama sektor UMKM. Hal ini disebabkan karena tidak adanya aturan mengenai kriteria skala usaha perusahaan yang diwajibkan untuk menyediakan berbagai bentuk perlindungan dan fasilitas kesejahteraan bagi tenaga kerja tersebut. Kemitraan sejajar antara perusahaan dan pekerja Pandangan bahwa perusahaan dan pekerja/
Review Regulasi buruh sebagai mitra kerja yang sejajar merupakan sesuatu yang harus terus diupayakan perwujudannya, tercermin dalam muatan materi yang diatur dalam perda ini. Sehingga, apabila terjadi konĚik antar pihak, harus diselesaikan dalam kerangka hubungan yang sejajar dan adil. Hubungan antar keduanya tidak dapat dipisahkan karena memiliki hubungan erat yang saling membutuhkan. Ketentuan mengenai hubungan industrial, yang diatur dalam perda ini dapat meminimalisir konĚik ketenagakerjaan. Kewajiban untuk membentuk dan mengoptimalkan Lembaga Tripartit dan Dewan Pengupahan yang diatur dalam perda ini memberi kerangka aturan main dalam upaya-upaya penyelesaian konĚik antar pihak. Selain Lembaga Kerjasama Tripartit Kabupaten, Perda ini membentuk juga Lembaga Kerjasama Tripartit sektoral (LKTS) yang dilaksanakan oleh Bupati selaku ketuanya. Adapun jumlah anggota LKTS tersebut diatur maksimal 8 orang, yang terdiri dari Ketua, Sekretaris dan anggota yang mewakili unsur Pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/ serikat buruh (Psl. 45). Adapun terkait perselisihan hubungan industrial, pemogokan kerja, PHK, dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan. Dalam perda ini, Pemda juga mewajibkan pengusaha untuk menyediakan fasilitas kesejahteraan buruh/pekerja, seperti penyediaan fasilitas ibadah dan menjamin setiap pekerja/buruh berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, hygiene perusahaan, lingkungan kerja, kesusilaan, pemeliharaan moril kerja, serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan nilai-nilai agama dan sebagaimana diatur dalam perundangundangan ketenagakerjaan (Psl.33). Tinjauan terhadap perda ini juga perlu diberikan terutama pada ketentuan yang mengatur tentang besaran prosentase kenaikan upah minimum bagi pekerja yang sudah menikah atau berkeluarga dan/ atau sudah memiliki masa kerja 1 tahun (pasal 37 ayat 4) dan prosentase besaran penggantian
perumahan serta pengobatan dan perawatan dalam perhitungan uang penggantian hak (pasal 54 ayat 4 butir c). Penetapan besaran prosentase yang diatur dalam Perda berpotensi menimbulkan beban biaya tinggi, terutama bagi perusahaan-perusahaan skala UMKM dengan kemampuan ęnansial terbatas. Oleh karena itu, sebaiknya besaran prosentase ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan ęnasial masing-masing perusahaan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan dengan pekerja yang diatur dalam perjanjian kerja bersama (PKB). Penutup Dengan berbagai ketentuan yang diatur dalam perda ini diharapkan dapat memenuhi harapan Pekerja/buruh akan adanya pemenuhan hak-hak pekerja sesuai dengan ketentuan Perundangundangan. Dengan perda ini ada kepastian aturan dalam bekerja tanpa harus dihantui adanya PHK sepihak, atau adanya ketentuan upah yang tidak jelas dan merugikan pekerja/buruh. Begitu pula dengan perusahaan yang mengharapkan adanya peningkatan produktivitas seiring dengan adanya kenaikan skala upah. Diantara sejumlah ketentuan penyelenggaraan ketenagakerjaan di daerah yang selalu menuntut adanya pungutan baik kepada pengusaha maupun tenaga kerja, Perda Kab. Pasuruan No. 22 Tahun 2012 dapat memberikan pembelajaran bersama kepada daerah lain bahwa penciptaan kondisi yang sehat dalam bekerja lebih diutamakan melalui adanya pengaturan yang jelas dan tegas akan semua kebħakan terkait ketenagakerjaan. Adanya sosialisasi kebħakan secara terus menerus kepada pekerja/buruh dan pengusaha dalam wadah lembaga kerjasama tripartit sektoral dapat menjadi salah satu upaya memberikan pemahaman bersama kepada semua pihak atas kebħakan yang diterapkan oleh Pemda. Dengan begitu diharapkan masing-masing pihak dapat mengetahui dan melaksanakan peran dan tanggungjawabnya sesuai ketentuan yang berlaku. --o0o--
Saat ini KPPOD memiliki koleksi sekitar 20.000 Perda dalam versi elektronik menyangkut topik ekonomi/investasi di daerah (Pajak, Retribusi, Perijinan, dll). Untuk melihat daftar koleksi tersebut, silahkan akses http://perda.kppod.org. Bagi individu/korporasi/organisasi yang akan memesan koleksi kami, dapat menelusuri prosedur dan syarat pemesanan yang tertera pada menu layanan submenu pemesanan perda.
Terima kasih Bagian Keperpustakaan
9
Dari Daerah
Peran Pemda dalam Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja di Kota Batam Oleh: Elizabeth Karlinda Peneliti KPPOD
S
e b a g a i salah satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Indonesia, Kota Batam merupakan daerah yang ditujukan menjadi tempat penanaman investasi baik asing maupun domestik. Hal ini menjadi kesempatan besar bagi Pemkot Batam untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Batam mengingat penanaman modal tentunya akan menyerap banyak tenaga kerja. Namun hal ini tidaklah semudah membalik telapak tangan, mengingat ada sejumlah permasalahan yang dihadapi daerah dalam menarik investasi.
Sumber: Satu Negeri.Com
Serial studi KPPOD sejak tahun 2001 menemukan kendala iklim investasi di daerah yang hingga kini belum terselesaikan adalah persoalan ketenagakerjaan. Studi KPPOD juga menemukan bahwa tingkat produktivitas tenaga kerja yang tersebar di wilayah kabupaten, masih rendah, sementara biaya tenaga kerja semakin meningkat (KPPOD, 2006). Permasalahan tersebut, ternyata juga dihadapi oleh Kota Batam, sebagai daerah yang perekonomian berbasis industry dengan jumlah tenaga kerja yang bersar. Penyebab utama berbagai konĚik ketenagakerjaan yang saat ini marak terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia adalah kesejahteraan buruh yang masih rendah. Namun, apakah kesejahteraan buruh hanya menjadi tangggung jawab pelaku usaha? Lantas, dimana tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan buruh? Persoalan ketenagakerjaan meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan investasi Pertumbuhan ekonomi Kota Batam dari tahun 2007 hingga 2011 meningkat sebesar 30 persen dengan pertumbuhan investasi sebesar 13 persen. Sektor yang
10
paling berkontribusi dalam pembentukan PDRB di tahun 2011 adalah industri pengolahan (58%) dan perdagangan, hotel dan restoran (28%). Hal tersebut menunjukkan bahwa perekonomian Kota Batam didominasi oleh sektor sekunder dan tersier dan nilainya pun terus meningkat. Dominasi ini juga terlihat dari jumlah perusahaan di wilayah tersebut. Sebesar 60 persen perusahaan yang ada bergerak di sektor industri, perdagangan dan perhotelan dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 208.571 (66% dari jumlah total tenaga kerja). Dengan jumlah tenaga kerja mencapai 319.054 orang, data Disnaker menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2011 telah terjadi 170 kasus perselisihan hubungan industrial (PHI) yang dilaporkan ke Disnaker Kota Batam. Jumlah tenaga kerja yang terlibat pada kasus tersebut pun cukup banyak yakni 714 orang. Namun, jumlah anggaran yang dialokasikan untuk penyelesaian kasus tersebut hanya Rp 36 juta. Artinya, rata-rata setiap kasus mendapatkan anggaran sebesar Rp 210.000. Hal ini sangat disayangkan mengingat sedikitanya anggaran untuk penyelesaian kasus dapat mempersulit Disnaker untuk menyelesaikan kasus tersebut. Jika
Dari Daerah kasus PHI tersebut sulit diselesaikan, akibatnya iklim berusaha di Kota Batam menjadi kurang kondusif. Upah belum dapat mensejahterakan pekerja mendorong penurunan produktivitas Sesuai dengan pasal 89 ayat (2) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, nilai UMK yang ditetapkan mengacu pada hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL) dimana nilai tersebut ditetapkan di atas atau paling tidak sama dengan nilai KHL. Namun, pada praktiknya dari tahun 2007 hingga 2011, UMK Batam ditetapkan di bawah nilai KHL hasil survei. Penetapan UMK di atas nilai KHL baru terjadi pada tahun 2012 dan 2013. Melalui perjuangan yang cukup panjang diiringi dengan aksi-aksi unjuk rasa dari para buruh, maka UMK Batam tahun 2012 ditetapkan sebesar Rp 1.402.000,00 di atas hasil surver KHL sebesar Rp 1.302.992. Begitu pula di tahun 2013, UMK ditetapkan sebesar Rp 2.040.000,00 lebih tinggi 7,37 persen dari KHL-nya. Selama ini, besarnya upah sesuai UMK yang diterima buruh sulit untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Mereka pun sulit bekerja optimal dan produktif jika kebutuhan dasar hidup tidak tercukupi sehingga mereka bekerja dalam keadaan tidak senang. Untuk menyiasatinya, mereka mengulur-ulur waktu pekerjaan sehingga tugas tersebut dikerjakan diluar jam kantor (lembur) agar mendapat uang tambahan. Kondisi ini memperlihatkan produktivitas buruh masih rendah. Penetapan UMK Batam 2013 meningkat 43 persen dari tahun sebelumnya. Namun, menurut para buruh di daerah tersebut peningkatan upah yang cukup besar tersebut tidak serta merta memperbaiki kesejahteraan hidup para buruh. Hal ini terjadi karena sebelum pemberlakuan kenaikan UMK, harga-harga barang kebutuhan pokok terus mengalami kenaikan, karena tidak ada upaya pemerintah untuk mengendalikan harga-harga di pasar sehingga harga tersebut dibiarkan terus melambung tinggi. Dengan demikian, meskipun kenaikan UMK tinggi, daya beli buruh tidak meningkat sehingga kesejahteraan buruh pun belum meningkat. Belum ada peraturan daerah yang mengatur mengenai pengupahan UMK diberikan kepada para pekeja lajang yang baru bekerja kurang dari enam bulan di suatu perusahaan. Jika nominal UMK meningkat, maka pekerja lain yang telah bekerja lebih dari enam bulan juga menginginkan kenaikan upah. Inilah yang dikenal dengan istilah upah sundulan. Jika UMK meningkat tanpa diikuti dengan kenaikan upah pekerja lain yang masa kerjanya lebih lama, maka hal ini akan menimbulkan kecemburuan antar pekerja dalam perusahaan tersebut. Akibatnya, produktivitas pekerja lain akan sulit ditingkatkan. Kekisruhan terkait penentuan upah sundulan ini tidak pelu terjadi jika setiap perusahaan telah menetapkan struktur dan skala upah buruh, sebagaimana yang diamanatkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) No.49 Tahun 2004. Ironisnya, hampir seluruh perusahaan di Kota Batam belum mempunyai struktur dan skala upah yang mengatur besarnya kenaikan upah bagi para pekerja dengan karakteristik yang berbeda, baik dari posisi kerja (job desk), tingkat pendidikan, pengalaman maupun masa kerja. Tidak hanya itu, pada praktiknya sangat jarang perusahaan berunding dengan serikat buruhnya mengenai kenaikan upah sundulan ini. Penetapan struktur dan skala upah berbeda-beda antar perusahaan tergantung pada sektor usaha dan
karakteristik produk yang dihasilkannya. Meskipun demikian, perlu adanya regulasi khusus dari pemda yang dapat dijadikan acuan dan panduan dalam penetapan struktur dan skala usaha tersebut. Sanksi tegas berupa pemberian denda maupun pencabutan izin usaha juga pelu diterapkan bagi perusahaan yang belum memiliki struktur dan skala upah dengan demikian, diharapkan pihak pengusaha memiliki kesadaan tinggi mengenai pentingnya hal tersebut sebagai acuan penetapan besaran kenaikan upah sundulan. Pembangunan rusunawa oleh Pemda sebagai upaya peningkatan kesejahteraan buruh Dalam upaya peningkatan kesejahteraan buruh, pemkot Batam bekerja sama dengan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) membangun rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Pembangunan rusunawa ini sebagai upaya untuk menurunkan biaya transportasi buruh sehingga diharapkan buruh tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk transportasi dan biaya tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Berdasarkan hasil inventarisasi Kemenpera yang dilaksanakan tahun 2005-2011, di Kota Batam terdapat empat twin block (TB) yang telah diserahkan kepada penghuni yakni di Muka Kuning dan Tanjung Ucang Batam. Namun, pembangunan rusunawa ini dinilai belum efektif oleh para buruh. Mereka kecewa karena bangunan tersebut bukan hak milik pribadi. Selama ini yang mereka butuhkan bukan rumah sewa, melainkan rumah susun sederhana milik (rusunami). Dengan bangunan yang bersertiękat hak milik, kesejahteraan buruh di masa mendatang lebih terjamin. Komitmen Pemda untuk meningkatkan produktivitas pekerja. Pemda juga berkewajiban untuk terlibat dalam upaya peningkatan produktivitas tenaga kerja di daerah. Hal ini membutuhkan komitmen dan peran aktif Pemda untuk menyelenggarakan berbagai program pelatihan. Sayangnya, sejauh ini belum ada perhatian yang besar dai pemda terkait program pelatihan tersebut. Dengan keterbatasan anggaran disnaker, dimana pada tahun 2011 hanya 8,9 persen yang diberikan untuk pelatihan dan peningkatan keterampilan tenaga kerja, program pelatihan tersebut belum sepenuhnya efektif. Selain hanya diselenggarakan selama satu minggu, bentuk pelatihan yang diselenggarakan pun hanya sebatas pelatihan umum, seperti pelatihan las dasar, montir, dan kewirausahaan. Keterbatasan waktu penyelenggaraan pelatihan tersebut menyebabkan transfer pengetahuan yang diberikan kurang optimal. Keterbatasan anggaran, menyulitkan pemda untuk penyelenggaraan program pelatihan untuk meningkatkan keahlian dan produktivitas para pekerja. Sebagai alternatif solusinya, pemda akan memungut retribusi IMTA (Izin Memperkerjakan Tenaga Asing) dimana hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan berbagai program peningkatan produktivitas. Tiap perusahaan yang memperkerjaan tenaga asing, wajib membayar US$ 100 per tenaga kerja. Izin yang baru mulai diberlakukan pada tahun 2013, ditargetkan hasil retribusi yang tekumpul pada tahun ini sebesar Rp 20 Milyar. Menurut Kepala Disnaker Kota Batam, pemberlakuan IMTA ini, ditujukan untuk mengurangi tenaga kerja asing sehingga investasi yang masuk lebih
11
Dari Daerah banyak menyerap tenaga kerja lokal, bukan asing. Hasil IMTA pun digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing pekerja lokal. Dalam upaya peningkatan produktivitas pekerja melalui kebħakan IMTA, Disnaker Batam sedang berupaya untuk mendorong sistem sertiękasi keahlian kerja. Meskipun di tingkat nasional sudah ada Badan Nasional Sertiękasi Profesi (BNSP), namun masih banyak kegiatan yang belum dipublikasikan secara menyeluruh dan belum menyentuh hingga tingkat daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan lembaga pelatihan bersertiękasi khusus untuk melahirkan para pekerja bersertiękasi dimana keahliannya diakui dalam pasar tenaga kerja lokal maupun internasional. Dengan sertiękat yang dimiliki setiap pekerja, pekerja diharapkan dibayar sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Program peningkatan produktivitas tenaga kerja tersebut merupakan salah satu bentuk dorongan dari Disnaker. Disamping mendorong dari pihak pekerja, Disnaker juga mendorong pihak perusahaan agar untuk melakukan program peningkatan produktivitas tenaga kerja. Oleh karena itu, kedepan para pengusaha pun didorong untuk merekrut para pekerja yang telah bersertiękasi tersebut. Program peningkatan kesejahteraan pekerja oleh perusahaan Beberapa program pernah diselenggarakan oleh perusahaan. Misalnya, program beasiswa untuk anak para buruh. Namun, beasiswa tersebut hanya diberikan kepada para buruh yang memiliki upah di bawah Rp 1.000.000. Padahal saat itu, UMK Batam sudah mencapai
12
Rp 1.500.000 sehingga tidak ada anak buruh yang menerima beasiswa tersebut. Selain itu, pada tahun 2011 juga pernah dibentuk koperasi buruh dengan skala besar untuk menjual berbagai kebutuhan hidup para buruh dengan harga yang murah. Namun dalam pelaksanaannya, koperasi tersebut tidak bejalan dengan baik mengingat para pengurusnya adalah perwakilan buruh dan pengusaha, dimana mereka memiliki pekerjaan utama.Akibatnya, mereka sulit membagi waktu antara pekerajaan utama dengan mengurus koperasi yang akhirnya pengelolaan koperasi tidak berjalan dengan optimal dan koperasi tersebut harus ditutup. Catatan Akhir Hingga saat ini, program-program yang diselenggarakan dalam rangka peningkatan kesejahteraan buruh, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun perusahaan, belum menyentuh substansi permasalahan yang dialami oleh buruh. Oleh karena itu, perlu adanya aturan baku yang mengatur hubungan antara pemerintah, perusahaan dan buruh agar terjadi sinergisasi kebħakan. Keberhasilan upaya peningkatan kesejahteraan buruh pun bergantung pada Pemda dalam membuat program yang efektif sehingga tercipta sinergi yang baik antara Pemda, pelaku usaha dan buruh. Sinergi yang baik antar pihak yang terkait dapat memberikan jaminan perlindungan serta kesejahteraan bagi para buruh sehingga produktivitas diharapkan dapat meningkat. --o0o--
Opini
Ketenagakerjaan di Era Otonomi: Kritik atas Disfungsi Pemda dalam Melaksanakan Urusan Daerah Oleh: Robert Endi Jaweng Direktur Eksekutif KPPOD
M
andat UUD 1945 prihal tanggung jawab konstitusional Negara atas kehidupan Warganya membawa keterikatan bagi Pemerintah/Pemda dalam menjamin hak hidup layak setiap orang di negeri ini. Instrumen utama guna memastikan jaminan hidup layak tersebut, antara lain, berupa ketersediaan lapangan kerja dan akses terbuka bagi warga untuk bekerja atau memasuki pasar kerja. Implikasi mandat wajib ini pada gilirannya menempatkan Negara sebagai subjek hukum yang bertanggung jawab atas masalah ketenagakerjaan, baik yang melibatkan pihak swasta sebagai penyedia lapangan kerja maupun lapangan kerja yang disiapkan Negara sendiri.
Sumber : hĴp://www.memobee.com
Perspektif hak asasi tersebut memiliki pendasaran ęlosięs yang kuat. Menyitir konstatasi Jeremmy Bentham--sekedar menukil satu nama yang meletakan fondasi perspektif hak dasar ini-- Pemerintah memangku tanggung jawab untuk menjamin the welfare of their citizens, yang dalam topik bahasan KPPODBrief ini berarti pekerjaan dilihat sebagai sebagai instrumen penyejahteraan dan membuka akses keadilan inklusif bagi segenap warga negara. Pemda, lewat instrumen regulasi (Perda), ęskal (APBD) dan aneka program (PPUS, dll.), tidak saja dituntut untuk berperan sebagai institusi alternatif tatkala warga negara belum mampu menyantuni dirinya atau hanya menjadi substitusi ketika pasar (pelaku usaha) terbukti gagal bekerja (market failure) menyediakan lapangan kerja atau menyejahterakan buruh/tenaga kerjanya, tetapi memang dalam dirinya Negara itu menjadi pihak yang sesejatinya bertanggung jawab guna menjamin terpenuhinya hak hidup layak warga sebagai esensi makna keadilan. Pertanyaan yang hendak diulas kemudian adalah: bagaimana Pemda melihat tanggung jawab
konstitusional tersebut? Benarkan mereka menyadari dan berkomtimen untuk menenuai mandat wajibnya, atau justru menggeser mandat tersebut menjadi beban pelaku usaha, seolah ikhtiar penyediaan lapangan kerja memang sejatinya kewajiban sektor bisnis? Lebih spesięk lagi dalam konteks desentralisasi, sejauh mana Pemda memenuhi uraian-tugas yang menjadi domain urusan daerah seperti digariskan UU No.32/2004 dan PP No.38/2007? Guna menjawab sebagian pertanyaan tersebut, bahasan tulisan ini akan mengangkat pola kebermasalahan maupun capaian di daerah dengan merujuk berbagai hasil studi maupun pencermatan lapanagan penulis sendiri. Urusan Wajib, Pengingkaran Negara Kerangka regulasi pokok yang mengatur prihal otonomi daerah, yakni UU No.32 Tahun 2004, menepatkan bidang ketenagakerjaan sebagai salah satu urusan wajib Pemda. Hal ini jelas logis jika mengingat arahan konstitusi di atas yang menempatkan soal kerja/ lapangan kerja menjadi masalah sentral di mana Pemda sebagai bagian pranata pemerintahan bertanggung
13
Opini Tabel 1: Perencanaan hingga Pembinaan Ketenagakerjaan
No.
Pokok Urusan
Rincian tugas
1
Perencanaan/ Kebħakan
1. Penanggungjawab urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kebħakan pusat dan provinsi, penetapan kebħakan daerah, pembinaan dan pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 3. Perencanaan tenaga kerja daerah kabupaten/kota, pembinaan perencanaan tenaga kerja mikro pada instansi/ tingkat perusahaan, pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
2
Pelatihan Produktivitas Tenaga Kerja
1. 2. 3. 4.
3
Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri
1. Penyebarluasan informasi pasar kerja dan pendaĞaran pencari kerja (pencaker) dan lowongan kerja. 2. Penyusunan, pengolahan dan penganalisisan data pencaker dan data lowongan kerja skala kabupaten/kota. 3. Pemberian pelayanan informasi pasar kerja, bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala kabupaten/kota. 4. Fasilitasi penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala kabupaten/kota. 5. Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/ kota.
4
Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri
1. Pelaksanaan penyuluhan, pendaĞaran dan seleksi calon TKI di wilayah kabupaten/kota. 2. Pengawasan pelaksanaan rekrutmen calon TKI di wilayah kabupaten/kota. 3. Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah kabupaten/kota. 4. Penerbitan rekomendasi izin pendirian kantor cabang PPTKIS di wilayah kabupaten/kota.
5
Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
1. Penerbitan dan pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan pendaĞaran perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. 2. Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan di wilayah kabupaten/kota. 3. Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala kabupaten/ kota. 4. Penyusunan dan pengusulan formasi serta melakukan pembinaan mediator, konsiliator, arbiter di wilayah kabupaten/kota. 5. Bimbingan aplikasi pengupahan di perusahaan skala kabupaten/kota. 6. Penyusunan dan pengusulan penetapan upah minimum kabupaten/kota kepada gubernur. 7. Pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja di wilayah kabupaten/kota. 8. Pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan di perusahaan skala kabupaten/kota. 9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala kabupaten/kota. 10. Veriękasi keanggotaan Serikat Pekerja/Buruh skala kabupaten/kota. 11. Pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala kabupaten/kota dan melaporkannya kepada provinsi. 12. Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembagalembaga ketenagakerjaan kabupaten/kota berdasarkan hasil veriękasi.
6
Pembinaan Ketenagakerjaan
1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 2. Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 3. Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/ kota. 4. Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap perusahaan dan pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. 5. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota. 6. Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala kabupaten/kota. Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala kabupaten/kota. Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah kabupaten/kota. Penyelenggaraan perizinan/ pendaĞaran lembaga pelatihan serta pengesahan kontrak/perjajian magang dalam negeri. 5. Koordinasi pelaksanaan sertiękasi kompetensi dan akreditasi lembaga pelatihan kerja skala kabupaten/kota
(Cuplikan sejumlah Urusan Pemda Kab/Kota menurut PP No.38/2007)
14
Opini jawab mewujudkannya. Pada tingkat instrumentasi kebħakan, UU tersebut diterjemahkan lebih operasional lewat PP No.38 Tahun 2007 yang mengatur pembagian urusan Pusat dan Daerah, termasuk dalam hal ketenagakerjaan yang dibagi antarlevel pemerintahan (Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota). Khusus yang menjadi domain Pemda Kabupaten/ Kota, irisan sebagian urusan yang dibagi oleh beleid penting dalam tata desentralisasi tersebut dapat diringkas dalam tabel berikut. Melihat deskripsi tugas di atas, secara legal-formal sesungguhnya masalah tenaga kerja dan faktor pengaruh inti bagi penciptaan kesempatan kerja berada pada tangan Pemda. Meskipun dalam praktiknya penyediaan lapangan kerja hampir mutlak dilakukan pihak swasta, Pemda memegang peran secara langsung maupun tak langsung bagi terbukanya pasar kerja, produktifnya tenaga kerja, meningkatnya kesejahteraan tenaga kerja, dst. Melalui instrumen kebħakan (regulasi, ęskal) dan program yang dimilikinya, Pemda berkesempatan mengkapitalisasi segala modal dan sumber daya tersebut bagi misi perbaikan kondisi hidup layak warganya, termasuk efek-ganda yang berpengaruh atas angkatan kerja yang belum terserap dunia kerja atau pun yang tidak dalam usia produktif. Namun, alih-alih bekerja dalam logika wajar demikian, tendensi umum di banyak daerah justru memunculkan tipologi masalah yang menunjukan gerak kontras dalam realitas faktualnya. Pada sebagian kasus, Pemda bahkan memerankan diri sebagai faktor negatif bagi pencapaian misi yang diamanat Konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Halaman-halaman selanjutnya dalam rubrik ini akan berisi daĞar masalah yang secara langsung maupun tak langsung mengarahkan hulu sebabnya ke pihak Pemda, di mana sebagian besarnya justru kontradiktif dengan atau paling tidak mendistorsi tugas-tugas sebagaimana yang ditampilkan dalam Tabel 1 di atas. Pertama, pada tataran makro, laju penciptaan lapangan kerja adalah fungsi dari bergerak dan tumbuhnya suatu perekonomian. Tidak ada suatu lapangan kerja, terutama di sektor formal, yang bisa tercipta tanpa ada pertambahan nilai yang dihasilkan dari suatu tingkat pertumbuhan ekonomi. Sebagian ahli mencatat, dalam standar normal, suatu pertumbuhan yang berkualitas diperkirakan akan membawa dampak bagi terbukanya kesempatan kerja baru untuk 200 hingga 300 ribu tenaga kerja. Suatu pertumbuhan berkualitas, atau sering juga disebut pertumbuhan cum pemeraatan, selain terjadi karena pengaruh faktor konsumsi masyarakat atau belanja pemerintah tapi terutama pula didorong investasi swasta yang jauh lebih banyak membawa input ke dalam mesin produksi. Dalam konteks itu, tak banyak pilihan lain bagi pemda kecuali mendorong ekonomi berputar, dengan investasi sebagai titik tumpu. Bukan pemda yang bertugas berinvestasi, apalagi bagi daerah yang belanja modalnya jauh lebih rendah dari belanja birokrasi, namun pelaku usaha swasta atau BUMN/D. Tugas pemda adalah menjamin iklim berusaha yang kondusif, membuka segala sumbatan, serta menghadirkan
lingkungan yang nyaman bagi semua orang untuk berproduksi secara optimal. Sejauh mana pemda mampu membenah sisi kebħakan dan tata kelola bagi layanan dunia usaha akan menentukan daya saing daerahnya dalam hal menarik investasi (realisasi) maupun mengembangkan usaha yang sudah ada (existing investment). Inilah peran kepemerintahan yang kian terasa krusial di era perekonomian modern dewasa ini. Jika bertolak dari cara pandang di atas, kecenderungan umum yang terjadi adalah Pemda tidak sepenuhnya menyadari dan berkomitmen untuk menata aspek kepemerintahannya bagi penciptaan lingkungan usaha yang kondusif. Studi TKED yang sudah dipublikasi secara luas oleh KPPOD (2011) atau studi-studi terkait lainnya menunjukan kebermasalahan serius pada ketersediaan dan kualitas berbagai prasyarat pembentuk lingkungan usaha: dari tata kelola infrastruktur ęsik hingga kapasitas birokrasi itu sendiri dalam membuat regulasi usaha dan mendesain kelembagaan yang efektif bagi pelayanan investasi. Deregulasi dan debirokratisasi belum berjalan baik, sementara program nyata bagi pengembangan usaha belum mengalirkan dampak signiękan bagi peningkatan produktivitas. Tantangan utama berusaha di negeri ini masih belum beranjak dari problem ineęsiensi dan korupsi yang tinggi, menggenapi masalah mendasar lainnya terkait dinamika ekternal regional/global. Kedua, berkenan masalah ketenagakerjaan, lemahnya komitmen dan kapasitas Pemda dalam menjamin lingkungan berusaha ditandai kontribusi yang rendah dalam merealisaikan berbagai tugas yang digariskan sebagai domain urusan daerah di atas. Boleh jadi, pemda bahkan tidak menyadari adanya tugas wajib tersebut, setidaknya jika melihat kecenderungan mereka yang selalu melempar tangung jawab pemenuhannya kepada pihak swasta, mencari kambing hitam jika terjadi persoalan, seolah Pemda berdiri sebagai pihak “luar” dalam konstruksi hubungan tenaga kerja dan perusahaan atau berlagak sebagai pahlawan yang mencoba menengahi para pihak bertikai sembari menangguk keuntungan politik dengan mamainkan sentimen keberpihakan dan dinamika lapangan yang ada. Mari kita lihat, misalnya, tugas generik pemda sebagai “penanggungjawab urusan pemerin-tahan bidang ketenagakerjaan”. Tanggung jawab yang diamanatkan PP No.38 Tahun 2007 tersebut membawa pemda kepada keterikatan akan kewajiban untuk menjamin terbukanya lapangan kerja lewat kehadiran investasi, memadainya produktivitas tenaga kerja untuk bisa memenuhi standar tuntutan pekerjaan terkait, serta meningkatnya kesejahteraan para pekerja. Tentu saja tak realistis untuk membayangkan Pemda mengerjakan dan memnuhi sendiri semua kewajiban tersebut, namun tetap saja tanggung jawab akhir berpulang kepada pemda. Di sinilah tantangannya: mengintrodusir kebħakan yang tepat untuk mendorong pelaku usaha bisa berusaha dengan tenang, tenaga kerja mampu bekerja secara produktif, menjamin kesejahteraan tenaga kerja baik lewat instrumen upah (peran pelaku
15
Opini usaha) maupun non-upah (peran pelaku usaha dan pemda). Dalam kenyataan, bagaimana perwujudan tugas generik tersebut? Peningkatan produktivitas nyaris hanya menjadi urusan perusahaan dan pekerja itu sendiri. Program pengembangan usaha yang disediakan Pemda dalam bentuk pelatihan tenaga kerja tidak berjalan optimal dan irrelevan dengan jenis kebutuhan dunia kerja. Selain itu, sebagaimana temuan TKED 2011, program yang sejatinya lebih dibutuhkan oleh skala usaha mikro-kecil-menengah itu justru “salah sasaran” lantaran banyak dimanfaatkan skala usaha besar. Banyak pula pemda yang justru tidak memiliki program peningkatan produktivitas yang jelas, tidak memiliki kelembagaan Balai Latihan Kerja (BLK), tidak memiliki aloksi dana khusus bagi diklat persiapan bagi masyarakat agar siap memasuki pasar kerja. Lebih celaka lagi, alih-alih memfasilitasi program pengembangan usaha bagi peningkatan produktivitas warga agar siap memasuki pasar kerja atau memperkuat kapasitas dan daya saingnya, sebagian Pemda justru menjadikan program yang dilakukan Swasata sebagai lahan pungutan. Di Kota Pekan-baru, misalnya, lewat Perda No.4 Tahun 2002 mengenakan pungutan yang wajib dibayar pelaku usaha sebagai dana peningkatan kualitas tenaga kerja sebesar Rp 500.000 per orang setiap kali perusahaan melakukan kontrak pengadaan tenaga kerja. Hal ini disinsentif bagi perusahaan, sekaligus potensial menimbulkan pungutan tambahan jika perusahaan tersebut sudah menyeleng-garakan sendiri program terkait. Studi KPPOD 2013 juga menemukan cukup banyak daerah yang memiliki Perda yang mengatur tentang pelatihan bagi tenaga kerja. Namun, kebanyakan regulasi tersebut menitikberatkan pada besaran pungutan yang dibayarkan pengusaha untuk memperoleh izin penyelenggaraan pelatihan, pengesahan sertiękasi latihan keterampilan, atau uji keterampilan kejuruan. Dalam Perda Kabupaten Mojokerto No. 4 Tahun 2009, misalnya, diatur bahwa pelatihan kerja akan dilaksanakan Dewan Latihan Kerja Daerah (DLKD) yang terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha dan pekerja. Namun, ternyata biaya penyelenggaraan latihan ini dibebankan kepada pihak perusahaan--suatu wujud pengalihan tanggung jawab Pemda terhadap pihak pelaku usaha, bahkan tak sejalan dengan semangat hubungan industrial yang baik. Ketiga, kasus yang banyak memantik polemik dan sering disertai unjuk rasa buruh adalah prihal upah, utamanya upah minimum. Di negeri ini, sebagiaman pula di sebagian negara lainnya, upah bukan hasil mekanisme pasar tetapi ditetapkan Pemerintah. Konsepnya, penetapan suatu tingkatan upah didasarkan kepada sejumlah fungsi, antara lain, untuk menjamin kehidupan ayak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang, dan menjadi instrumen insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas pekerja. Di sini, jelas telihat segitiga hubungan antara upah, produktivitas, kesejahteraan. Namun, dalam praktikya variabel produktivitas “dimakan” oleh dominasi pertimbangan kesejahteraan sebagaimana tercermin dalam indikator
16
kebutuhan hidup layak (KHL), termasuk guna merespon pengaruh yang disebabkan kenaikan harga barang di pasar (Bappenas, 2010: 61). Tentu saja tidak seorang pun pengusaha yang tidak bahagia jika upah minimum bisa menjadi faktor meningkatkan taraf hidup pekerja sesuai dengan kebutuhannya. Buruh yang sejahtera niscaya menjadi rahmat bagi semua anak bangsa, tak kecuali pelaku usaha. Namun, dari sudut peran Pemda, proses penetapan upah itu tk mencerminkan keseimbangan peran Negara dalam meletakan secara tepat kebħakan penetapan dmaksud. Selain kritik atas substansi dan pehitungan upah (diulas pada rubrik lain dalam KPPODBrief ini), masalah yang tidak kalah penting adalah soal kerangka waktu penetapan upah yang harus dilakukan setiap tahun, cara yang ditempuh pekerja yang tak jarang anarkis dalam mendesakan tuntutan mereka, serta sikap Kepala Daerah yang amat politis dalam menetapkan upah yang tak jarang berbeda dari rekomendasi dari Dewan Pengupahan Daerah. Jika merujuk tugas yang digariskan PP No.38 Tahun 207 di atas, jelas Pemda belum sepenuhnya menaati tugas melaksanakan isi kebħakan pusat dalam proses penetapan kebħakan di daerahnya, termasuk kebħakan penetapan upah dengan merujuk Keppres No.107 Tahun 2004. Keempat, dalam hal peningkatan kesejahteraan, selain problem seputar penetapan upah tadi, soal yang tak kalah seriusnya datang dari pemenuhan instrumen nonupah. Jika upah sepenuhnya berada dalam tanggungan pelaku usaha, pemda memiliki kewajiban hukum untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja melalui instrumen non-upah. Untuk menjalankan tanggung jawab tesebut, Pemda memliki instrumen regulasi dan ęskal, atau pun diskresi mengembangkan program kreatif melalui kerja sama dengan pihak ketiga lainnya. Kategori non-upah ini menurut PP No.38 Tahun 2007 maupun UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah berupa kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja, yang mesti dibaca sebagai bentuk minimal yang wajib diperhatikan Pemda. Faktanya, jaminan sosial itu kembali dibebankan kepada para pelaku usaha, sementara Pemda sudah merasa sukses menenuai kewajibannya jika sudah membuat Perda sebagai payung hukum. Bahkan, seperti diulas pada rubrik lain, studi KPPOD mengenai instrumen non-upah menunjukan hanya sedikit Pemda yang bisa disebut sebagai contoh baik dalam penyediaan kerangka regulasi. Bahkan, alih-alih mengatur jaminan sosial, keberadan regulasi tersebut hanya menjadi instrumen pungutan. Melalui Perda No.13 Tahun 2003 dan SK Bupati No.04-05 Tahun 2004, Pemda Kabupaten Serang mengatur ausransi kecelakaan di luar jam kerja/ hubungan kerja. Selain kritik atas defenisi jam kerja dan katgeori hubungan kerja (bandingkan dengan UU No.13 Tahun 2013), paket regulasi tersebut mengatur sebagian premi asuransi (sebesar 25%) sebagai sumber pendapatan asli (PAD) bagi Pemda bersangkutan. Kelima, terkait penempatan tenaga kerja dalam negeri yang berimplikasi diskriminasi terhadap para “pendatang”. Proteksionisme tenaga kerja lokal dan
Opini penetapan kuota pemakaian tenaga kerja dari luar daerah yang boleh bekerja di perusahaan setempat sepintas mencerminkan rasa tanggung jawab Pemda dalam memberikan perlindungan atas tenaga kerja dan jaminan pekerjaan yang diutamakan bagi warganya. Kita bisa pula membaca arah kebħakan demikian sebagai wujud upaya menanggulangi eksternalitas negatif dari permasalahan ketenagakerjaan yang bukan tidak mungkin rentan/beresiko secara sosial-politik lantaran tidak digunakannya penduduk setempat dalam formasi karyawan di kantor atau pabrik—suatu fenomena yang sering pula terjadi di banyak lokasi. Namun, sebagaimana terlihat dalam kasus yang dominan terjadi di kabupaten/kota di Propinsi Riau maupun secara sporadis di belahan wilayah lainnya, proteksionisme tersebut justru mengarah kepada diskriminasi lantaran porsi pelrindungan berlebihan tersebut telah menghambat hak dasar rakyat untuk bergerak menacari sumber penghidupan di mana pun di seantero negeri ini. Asas terbuka dalam pasar kerja dalam kerangka kesatuan wilayah ekonomi nasional, di mana ada jaminan kesamaan kesempatan dan perlakuaan jelas dicederai jika sejak proses seleksi dan promosi sudah dikenakan batasan putera daerah dan segala kategori subyektif lainnya tanpa mengindahkan syarat komptensi yang tentu menjadi standar kerja (produktivitas, dll) pada sisi kepentingan pelaku usaha. Kelima, terkait penempatan tenaga kerja luar negeri yang diamanatkan sebagai irisan tugas daerah, jelas terlihat rendahnya perhatian Pemda setempat. Boleh jadi mereka menempatkan tugas tersebut sebagai urusan nasional lantaran terkait dengan dimensi internasional. Padahal PP No.38 Tahun 2007 menggariskan sebagian tugas terkait ke Kabupaten/Kota: (1) pelaksanaan penyuluhan, pendaĞaran dan seleksi calon TKI di wilayah kabupaten/kota; pengawasan pelaksanaan rekrutmen calon TKI di wilayah kabupaten/kota; (3) fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah kabupaten/kota; serta (4) penerbitan rekomendasi izin pendirian kantor cabang PPTKIS di wilayah kabupaten/kota. Kita mencatat, proses penempatan tenaga kerja itu sendiri tidak semata soal ujungnya prihal penempatan di luar negeri atau ketika sesorang itu menjadi buruh migran tetapi melwati rangkaian panjanag di dalam negeri. Bahkan, sebagaimana ditulis dalam Catatan Kebħakan SMERU (2012), BNP2TKI menilai bahwa sekitar 80% masalah yang dialami TKI itu terjadi di dalam negeri. Masalah pendataan calon TKI hingga penipuan oleh perusahaan jasa penyalur jelas bermula dan banyak terjadi desa-desa. Demikian pula, masalah penyiapan kapasitas jelas berada dalam tanggung jawab pembinaan Pemda, setidaknya memantau proses persiapan yang diselenggarakan pihak penyalur. Sebaliknya, pada sisi lain, pemda jelas berkepentingan terhadap tanaga kerja luar negeri ini lantaran devisa yang dikirim ke daerah asal mereka jelas besar: di Kabupaten Blitar saat ini rasio remitansinya terhadap PDRB adalah 6,3% bahkan mencapai 24,3% di Kabupaten Lombok Barat (Bachtiar, 2001).
Maslaah maupun potensi di atas belum sepenuhnya menyadarkan Pemda untuk mengambil langkah kebħakan yang signiękan bagi penataan administrasi, persiapan/pelatihan keahlian hingga perlindungan atas berbagai praktik curang perusahaan jasa penyalur. SMERU mencatat, dari penilaian atas 127 Perda di 155 Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan ketenagakerjaan luar negeri, sebanyak 121 Perda (95%) justru menitikbertakan pengaturan pada sisi pungutan (retribusi): sejak pendaĞaran sebagai calon TKI dan pengurusan rekomendasi bagi keprleuan pembatan paspor. Semua ini bertentangan dengan Pasal 38 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 maupun wujud pengabaian atas mandat PP No.38 Tahun 207. Pada sisi lain--meski hanya ditemukan pada 6 Perda (5%)-- apresiasi jelas patut diberikan kepada 3 kabupaten (Jember, Lombok Timur dan Cianjur) yang tidak mengatur pungutan tetapi berfokus kepada pengaturan perlindungan dan prosedur penempatan. Catatan Akhir Tulisan ini memang hadir dalam semangat untuk menyadarkan pemda dari politik pembiaran mereka atas pemenuhan tugas wajibnya dalam urusan ketenagakerjaan. Negara mesti berimbang menjaga dinamika pengurusan bidang strategis tersebut lantaran tak kalah banyak pula urusan yang sesungguhnya menjadi domain pemerintah/Pemda. Mengawasi pelaku usaha dalam memenuhi kewajibannya adalah tugas wajib Pemda, seperti halnya wajib bagi mereka untuk memberi jaminan dan pelrindungan maksinal bagi buruh. Namun, kencang bersuara dan tegas menjatuhkan sanksi kepada pihak lain harus diimbangi dengan komitmen dan kemampuan mereka dalam memenuhi irisan urusan yang menjadi bagian tugasnya. Kita menyadari bahwa negara memiliki keterbatasan, termasuk dalam soal kapasitas ęskal, untuk menjalankan segala amanat yang ada. Justru dalam situasi terbatas demikian mestinya muncul tantangan untuk kreatif dalam mencari terobosan kebħakan, termasuk menggandeng pihak ketiga, bahkan dalam konteks hubungan industrial menjalin kolaborasi dengan pengusaha dan pekerja, melakukan upaya sinerjis bersama. Selaksa upaya inovatif mesti dħajaki ketika Negara sendiri tidak mampu atau pun tak cukup ahli menjalankan sendiri pemenuhan kewajibannya. Semua itu hanya akan bisa dimulai jika pemda terlebih dahulu menyadari kewajiban mereka, memahami mandat yang digariskan berbagai peraturan perundang-undangan, tidak mamainkan poilitik pembiaran sebagaimana yang ada selama ini. Semua itu juga bisa terwujud jika pemda membebaskan diri dari cara kerja rejim pungutan yang alih-alih memberikan perlindungan kepada pekerja dan mendorong iklim usaha yang kondusif agar perusahaan bekerja produktif justru mengenakan pungutan atas segala sesuatu yang berhubungan dengan pemda, bahkan termasuk atas tugas yang menjadi kewajiban Negara itu sendiri. Berbagai peta masalah di atas menjadi petunjuk jalan ke mana arah pencarian solusi ke depan. --o0o--
17
Laporan Diskusi Publik
“Instrumen Non-Upah sebagai Jalan Lain Peningkatan Kesejahteraan Buruh:
Potret Lemahnya Komitmen Kebħakan Pemda” Oleh: Rizqiah Darmawiasih Peneliti KPPOD
T
emuan dari studi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukan Pemerintah daerah kurang peduli terhadap upaya peningkatan kesejahteraan buruh hal ini ditunjukan dengan banyaknya Perda yang mengatur retribusi dan perizinan, mengatur mengenai berbagai pungutan atas pelayanan dan perħinan di bidang ketenagakerjaan daerah namun, kebanyakan tidak ada kejelasan standar prosedur, biaya dan waktu pelayanan. Hal ini menarik untuk didiskusikan dalam suatu forum publik. Berangkat dari hasil temuan tersebut KPPOD Menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Instrumen Non-Upah sebagai jalan lain peningkatan Kesejahteraan Buruh: Potret Lemahnya Komitmen Kebħakan Pemda”. Acara yang dilaksanakan pada Hari senin, 18 Maret 2013 bertempat di ruang ATC Apindo ini dihadiri oleh 41 peserta yang berasal dari berbagai kalangan, baik Pemerintah pusat (BAPPENAS, Kemenakertrans, Kemenperindag), Pelaku Usaha (Apindo), Lembaga donor (SEADI-USAID), serta Media Massa.
Dokumentasi KPPOD
Diskusi Publik yang berlangsung selama 2 jam ini di awali dengan pemaparan hasil studi KPPOD mengenai Instrumen Non-Upah sebagai jalan lain peningkatan kesejahteraan buruh: Potret lemahnya komitmen kebħakan Perda. Hasil studi KPPOD di presentasikan oleh Illinia Ayudhia Riyadi yang mewakili tim peneliti KPPOD. Kemudian, DR. H. Hasanuddin Rachman MIM menyampaikan presentasi berjudul “Sinkronisasi Kebħakan Daerah Terkait Upah dan NonUpah Instrumen Kesejahteraan Pekerja Improvement”. Kemudian dilanjutkan dengan presentasi oleh Ir. Dinarsitus, MBA yang menjelaskan tentang topik yang sama namun berdasarkan titik pandang pemerintah. Setelah mendengar presentasi dari tiga pembicara, agenda dilanjutkan dengan diskusi terbuka yang melibatkan penonton.
18
Berdasarkan hasil identiękasi tim KPPOD terhadap beberapa perda ketenagakerjaan, diketahui bahwa kebħakan/regulasi terkait ketenagakerjaan yang ada di daerah umumnya hanya mengatur pelayanan administrasi perizinan dan masih bersifat pungutan. Daerah umumnya tidak mengatur detail mekanisme pemberian upah maupun komponen non upah yang harus diberikan oleh perusahaan, karena hal tersebut langsung mengacu pada ketentuan pusat. Peraturan ketenagakerjaan yang dibuat daerah lebih mengatur perizinan dan kewajiban yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan. Hasil identiękasi terhadap beberapa perda juga menunjukkan bahwa sejauh ini, perda ketenagakerjaan yang dibuat daerah belum mengatur secara tegas pola kemitraan antara pemda, perusahaan, dan tenaga
Laporan Diskusi Publik kerja/serikat pekerja. Masih maraknya aksi buruh di beberapa daerah menunjukkan pola kemitraan antara Pemda, perusahaan dan tenaga kerja yang diwadahi dalam hubungan tripartite masih belum berjalan secara optimal dan belum mampu meminimalisir konĚik ketenagakerjaan yang terjadi tersebut. Salah satu peran Pemda sebagai regulator mampu membuat kebħakan daerah yang dapat menjadi acuan dan landasan hukum kuat untuk menghasilkan solusi tepat ketika ada konĚik yang terjadi antara pihak perusahaan dengan tenaga kerja. Hal ini didukung dengan pernyataan dari DR. H. Hasanuddin Rachman MIM yang merupakan perwakilan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia, beliau menyampaikan bahwa tercapainya fungsi kerjasama tripartit yang sehat dalam kaitannya dengan standarstandar perburuhan didasarkan pada keyakinan bahwa hal tersebut didukung oleh dialog yang bersifat analog pada tingkat nasional dan memuat suatu ketentuan dengan tujuan spesięk, yaitu membentuk lembagalembaga guna memastikan dilakukannya konsultasi antara wakil-wakil pemerintah, pengusaha dan pekerja. LKS Tripartit itu sendiri adalah lembaga konsultasi dan komunikasi antara wakil-wakil pemerintah, pengusaha dan pekerja untuk memecahkan masalah-masalah bersama dalam bidang ketenagakerjaan, lembaga ini didirikan di tingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten atau Kotamadya.
Bapak Yudi perwakilan dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia mempertanyakan apakah kenaikan upah buruh formal sangat berpengaruh dengan buruh informal , hal ini dħawab oleh Illinia sebagai perwakilan dari tim peneliti KPPOD bahwa Pemerintah harus menciptakan iklim agar pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, terutama oleh penduduk miskin. Oleh karena itu, kebħakan dan
program yang memihak orang miskin perlu difokuskan kepada sektor ekonomi riil (misalnya; pertanian, perikanan, manufaktur, usaha kecil menengah), terutama di sektor informal yang menjadi tulang punggung orang miskin. Penciptaan iklim investasi yang kondusif juga penting sebagai insentif untuk menarik aliran modal ke suatu daerah dalam rangka penciptaan lapangan kerja yang diharapakan mampu menyerap tenaga kerja baru dalam jumlah besar. Hal ini merupakan sebuah langkah penting untuk mengurangi angka pengangguran secara signiękan di suatu daerah. Menurut Illinia perlu adanya pemberlakuan kebħakan pengupahan berdasarkan mekanisme proęt sharing (bagi hasil) keuntungan antara pengusaha dengan pekerja. Untuk merealisasikan hal tersebut, pemerintah daerah harus berperan aktif untuk mendorong adanya transparansi keuangan dari pihak pelaku usaha. Adanya transparansi dalam hal pelaporan kondisi ęnansial perusahaan akan memudahkan proses bagi hasil yang terjadi pihak pelaku usaha dan pekerja. Besarnya prosentase bagi hasil dapat ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan antara kedua belah pihak dengan melibatkan Pemda sebagai mediator. Hal ini juga diperjelas oleh Ditjen PHI dan Jamsos yang sangat mengapresiasi hasil Penelitian Tim Peneliti KPPOD mengenai sinkronisasi Kebħakan Daerah Terkait Instrumen Upah dan Non- Upah dalam rangka Peningkatan Kesejahteraan Buruh. Dalam UndangUndang No. 13 Tahun 2013 telah diatur bahwa kebħakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh meliputi: Upah Minimun, Upah kerja lembur, Upah tidak masuk kerja Karena berhalangan, upah tidak masuk kerja Karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, bentuk dan cara pembayaran upah, denda dan potongan upah, hal-hal yang diperhitungkan dengan upah dan lain sebagainya. Guna pelaksanaan penetapan upah minimum telah diatur melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun 1999 Jo Keputusan Menteri No. 226 Tahun 2000 tentang Upah Minimum dan Peraturan Menteri No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Filosoę penetapan Upah Minimum adalah sebagai jaring pengaman (Safety Net) agar upah tidak merosot sampai pada level terendah yang dapat mempengaruhi produktiętas pekerja/buruh. Setelah berlakunya Otonomi Daerah penetapan Upah Minimum menjadi kewenangan Gubernur. Berlakunya Kepres No. 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan sangat strategis untuk dimanfaatkan daerah-daerah sebagai salah satu instrumen penyusunan kebħakan pengupahan, mengingat bahwa tugas dewan pengupahan yang diatur Kepres tersebut adalah dalam rangka memberikan saran pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka: penetapan Upah Minimum/Upah Minimum Sektoral, penerapan sistem pengupahan Provinsi atau Kabupaten/Kota dan Penyiapan bahan perumusan pengembangan system Pengupahan Nasional. Selain pemberlakuan Kepres No. 107 Tahun 2004 tersebut, bahwa insrumen lain yang dapat dimanfaatkan dalam rangka peningkatan kesejahteraan perkerja/buruh adalah melalui Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama sebagai sarana untuk merundingkan dan menyepakati pengaturan pengupahan yang berlaku di perusahaan. --o0o--
19
Agenda KPPOD
Kegiatan KPPOD Terkini
D
engan menggunakan pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi publik), KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata kelola ekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah. Saat ini, KPPOD bekerjasama dengan lembaga beberapa donor sedang melaksanakan beberapa kegiatan sebagai berikut
1. Penguatan Kapasitas dan Ekspose Publik KPPOD dalam Meningkatkan Advokasi Perbaikan Tata Kelola Ekonomi di Indonesia
Program ini merupkan kerjasama KPPOD dengan SEADI (Support for Economic Analysis Development in Indonesia)-USAID. Kegiatan berlangsung dari bulan Juni 2012 hingga Juni 2013 ini terdiri dari beberapa kegiatan utama, yakni Penelitian Tematik dari untuk memperdalam temuan hasil penelitian TKED, penguatan kapasitas pemerintah daerah melalui pelatihan penyusunan perda, forum bisnis, serta publikasi. Studi Tematik: Empat topik studi tematik merupakan pendalaman dari studi Tata Kelola Ekonomi Daerah yang telah dilakukan KPPOD sebelumnya. Hingga saat ini, ada tiga topik yang telah selesai dikerjakan oleh KPPOD. Topik pertama terkait dengan hubungan antara korupsi, belanja pemerintah daerah di sektor infrastruktur dan kualitas infrastruktur daerah. Topik kedua terkait peraturan daerah khusunya di sektor perikanan tangkap. Topik ketiga (dalam proses ęnalisasi) terkait dengan isu buruh. Lokalatih untuk Peningkatan Kapasitas Pemda dalam Pembuatan Peraturan Daerah: Kegiatan ini telah dilaksanakan pada 29-31 Desember 2013 di Hotel Grand Cemara, Jakarta Pusat. Lokalatih tersebut mengangkat tema ‘Penguatan Kapasitas Pemda dan DPRD dalam Pembuatan Perda’ dalam pelatihan tersebut dihadiri oleh beberapa perwakilan Pemerintah daerah, yaitu dari Bangka, Pontianak, Majene, Sukabumi, Kolaka, Tanggerang selatan, Lampung Selatan, Padang Pariaman, Batang, Banjar dan Jambi. Bisnis Forum: Kegiatan ini direncanakan dilaksanakan pada akhir bulan Juni 2013. Bisnis forum merupakan kegiatan yang mempertemukan antara beberapa Pemda dengan investor potensial. Pemerintah diberi kesempatan untuk mempresentasikan potensi investasi daerahnya dihadapan forum bisnis. 2. Penguatan Iklim Investasi bagi Peningkatan Rantai Nilai Usaha Kakao Program ini mencoba mengangkat komoditas kakao dengan alasan kakao sebagai komoditas utama ekspor Indonesia sekaligus komoditas yang menjadi program
20
pemerintah pusat (Kementerian Pertanian) melalui Gernas Pro Kakao. Program dilaksanakan di dua daerah, Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat. Pada bulan November 2012, telah dilakukan kick oě meeting dan penelitian awal (need assessment) di dua daerah tersebut. Selanjutnya, pada tanggal 5 Februari 2013 telah diadakan Focus Group Discussion (FGD) di Sikka dan tanggal 14 februari 2013 di Majene, yang dihadiri oleh perwakilan petani, Dinas kehutanan dan perkebunan, pengepul besar, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Akademisi, Perusahaan Agro food, dan Unit Pengolahan Hasil dan seluruh stakeholder terkait. 3. Survei Pembobotan Prosedur (Area, Bidang, dan Indikator) pembentuk Indeks Good Governence Provinsi di Indonesia 2013. Program ini merupakan kerjasama KPPOD dengan Kemitraan. Tujuan kegiatan ini adalah merumuskan pembobotan prosedur pembentuk Indeks Good Governence Provinsi di Indonesia. Dalam program ini KPPOD melakukan wawancara kepada pihak pemerintah pusat,, Ombudsman, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Akademisi, juga Pemerintah daerahyang diwakilkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat, Bappeda Banten, Lembaga Swadaya Masyarakat, juga media massa dan pelaku usaha. 4. Penyusunan Instrumen needs assessment guna mendorong penerapan prinsip integritas dalam penyelenggaraan proses barang/jasa. Kegiatan ini ditujukan untuk merumuskan prinsip-prinsip integritas yang sesuai dengan kondisi di Indonesia dan mengembangkan model insentif apa yang dapat mendorong pelaku usaha untuk menginternalisasi prinsip-prinsi integritas tersebut dalam penyelenggaraan, pengadaan barang/jasa. Pelaksanaan needs assessment ini dilakukan melalui FGD di 5 Propinsi yaitu DIY, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. ***
Seputar Otonomi
Ikhtisar Otonomi Maret-April 2013 Sanksi Penundaan DAU untuk Daerah Pemerintah pusat menyampaikan keputusan untuk menunda pencairan dana alokasi umum (DAU) kepada 17 kab/kota yang terlambat mengesahkan APBD 2013. Namun, menurut Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Endi Jaweng, sanksi berupa penundaan DAU itu terlalu berat bagi daerah. Pasalnya, DAU merupakan instrumen yang sangat penting bagi pembangunan. Artinya, yang merasakan dampak sanksi adalah masyarakat. Padahal, elite birokrasi dan DPRD adalah penyebab utamanya. Seharusnya sanksi lebih spesięk kepada pihak yang bertanggung jawab atas keterlambatan. Misalnya dengan penundaan gaji atau bahkan sampai pemotongan gaji pejabat pemda dan DPRD. Mencermati daerah yang terkena sanksi baik tahun ini maupun tahun sebelumnya adalah daerah tertinggal. Artinya, daerah tersebut membutuhkan fasilitas dan pengawasan yang lebih intensif dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Penyebab keterlambatan bisa disebabkan kombinasi rendahnya kompetensi birokrasi daerah, tarik-ulur kepentingan politik antara eksekutif dan legislatif, serta keterlibatan DPRD membahas APBD sampai satuan tiga. Satuan tiga artinya, sampai jenis kegiatan, besarnya anggaran, dan lokasi program. Padahal DPRD seharusnya cukup membahas soal pokok-pokok umum dan program saja. Rendahnya kompetensi birokrasi, antara lain tampak dari kenyataan bahwa biro hukum dan badan keuangaan daerah tidak semuanya diisi oleh personil yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan keuangan publik secara utuh.
Pilkada secara serentak Panitia Kerja RUU Pemilihan Kepala Daerah Komisi II DPR dan Pemerintah sepakat pilkada dilaksanakan serentak. Waktu pelaksanaan pilkada serentak, paling tidak terdapat dua usulan, yakni pertama dengan pola pengelompokan dan kedua dengan penyelenggaraan bersamaan dengan pemilu presiden. Dengan pola pengelompokan, pilkada akan dibagi menjadi dua waktu pelaksanaan, tahun 2015 dan 2018. Pilkada serentak 2015 diusulkan diikuti 279 daerah, yakni daerah yang seharusnya melaksanakan pilkada pada 20132015. Adapun pilkada serentak 2018 diikuti 244 daerah yang seharusnya menyelenggarakan pilkada pada 2016-2018. Selanjutnya pilkada dilakukan setiap lima tahun setelah 2015 dan lima tahun setelah 2018 dan seterusnya. Pilihan kedua, pilkada serentak dimulai 2019. Penyelenggaraan pilkada dilakukan bersamaan dengan pemilu presiden sehingga disebut pemilu eksekutif yang dilaksanakan setelah pemilu legislatif.
Dinasti politik/ kekerabatan politik Sirkulasi elite dalam konteks pergantian kepemimpinan politik adalah salah satu syarat bagi terwujudnya iklim demokrasi yang sehat. Fenomena dinasti politik dinilai berpotensi menghambat jalannya
sirkulasi politik terbuka dan partisipatif. Hal ini khususnya terekam dalam pilkada langsung. Petahana kepala daerah cenderung berupaya mempertahankan kekuasaan dengan melimpahkan dukungan kepada kerabatnya dalam pilkada. Data hasil kontestasi politik di tingkat lokal mencatat, tidak sedikit kerabat petahana sukses memenanginya. Gejala ini dinilai publik cukup mengkhawatirkan karena memicu praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk mencegah dinasti politik tersebut, pemerintah telah mewacanakan dalam RUU Pemda yang menyebutkan, kerabat kepala daerah dilarang maju dalam pilkada sebelum ada jeda satu periode jabatan (5 tahun) sejak kerabatnya yang menjadi kepala daerah lengser. Usulan pembatasan ini disambut baik oleh masyarakat, bahkan sepakat jika pembatasan diperluas dalam satu wilayah provinsi. Artinya, selain dilarang maju dalam pilkada di daerah yang dipimpin kerabatnya yang akan lengser, kerabat kepala daerah sekaligus dilarang maju dalam pilkada daerah lain di provinsi yang sama. Fenomena ini menunjukkan bahwa fungsi partai politik masih lemah, termasuk dalam hal rekrutmen politik. Demokrasi elektoral menjadikan partai politik hanya berorientasi memenangkan calon dalam pilkada. Akibatnya, pilkada tak ubahnya ajang pertarungan popularitas semata, bukan pertarungan integritas dan kapabilitas calon.
Kesejahteraan buruh Pemerintah daerah (pemda) kurang peduli terhadap peningkatan kesejahteraan buruh melalui instrumen non-upah. Kebanyakan peraturan daerah (perda) masih terjebak pada rezim pungutan, baik yang mengatur retribusi maupun perizinan terkait ketenagakerjaan yang justru membebani pengusaha. Perda tersebut cenderung mengalihkan tanggung jawab dalam peningkatan kualitas dan produktivitas buruh. Seperti halnya perda di beberapa daerah lebih banyak mengatur pungutan untuk pendirian balai latihan kerja dan kewajiban perusahaan melakukan pelatihan tenaga kerja. Komitmen pemda dalam peningkatan produktivitas buruh juga sangat rendah. Rendahnya alokasi anggaran pemda untuk kegiatan pelatihan dan peningkatan keterampilan tenaga kerja merupakan salah satu bukti. Peningkatan kesejahteraan buruh tak semata menjadi tanggung jawab pengusaha. Negara dalam hal ini pemda, punya tanggung jawab atas kesejahteraan buruh. Sebagai contoh, Prov. Yogyakarta dan Kab. Karawang yang memiliki perda pengaturan upah tenaga kerja, seperti di DIY yang mengatur perlindungan pengupahan serta kewajiban penyusunan struktur dan skala upah bagi perusahaan. Bila pemda lain mencontoh perda tersebut dan juga perda yang mengatur hubungan industrial dengan baik, maka dipastikan iklim investasi di daerah akan bertumbuh. Karena dengan meningkatnya kesejahteraan buruh maka rakyat miskin akan berkurang. --- o0o ---
21
SEKILAS KPPOD Sebagai tindak lanjut hasil Seminar Nasional “Menyelamatkan Otonomi Daerah” yang diselenggarakan KPEN (Komite Pemulihan Ekonomi Nasional), CSIS (Center for Strategic and International Studies) dan LPEM-FEUI (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) pada tanggal 7 Desember 2000, para penyelenggara secara intensif membahas dan menyepakati pembentukan suatu lembaga independen pemantauan pelaksanaan otonomi daerah yang di kemudian hari bernama Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Dalam perkembangannya, sejumlah institusi lain ikut bergabung melalui kesertaan para ęgur pimpinannya sebagai unsur pendiri: Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya, The Jakarta Post, Bisnis Indonesia, dan Suara Pembaruan. Melihat latar belakang institusi pendiri tersebut, dapat dikatakan kelahiran KPPOD merupakan hasil eksperimentasi kerjasama dunia bisnis, akademik, dan media massa sebagai tiga pilar penting dalam formasi sosial di Indonesia dewasa ini. Sebagai dasar pemikiran yang menyemangati kerja-kerja profesionalnya, KPPOD memaknai desentralisasi dan otonomi daerah sebagai kebħakan yang bertujuan mengubah struktur tata kelola pemerintahan dari sentralisme menjadi terdesentralisasi, sekaligus menggeser pola pembangunan yang didominasi negara menuju kesempatan yang lebih terbuka bagi masyarakat dan dunia usaha. Maka pada setiap kebħakan pemerintah haruslah tercermin suatu komitmen nyata untuk mendorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan daerah. Mengalir pada pilihan wilayah isu, KPPOD menaruh fokus sentral pemantauannya pada segala hal terkait kebħakan dan pelayanan publik di bidang ekonomi dan kebħakan desentralisasi/otonomi daerah secara umum. Dengan menggunakan pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi publik), KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata kelola ekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah. --o0o--
WILAYAH ISU KPPOD PEMBANGUNAN EKONOMI
TATA KELOLA EKONOMI DAERAH
1.
TATA KELOLA KEUANGAN DAERAH
Reformasi Regulasi Usaha:
Mendorong deregulasi melalui upaya rasionalisasi jumlah dan atau jenis Perijinan usaha maupun pungutan (pajak/retribusi) di daerah.
2.
Reformasi Birokrasi Perijinan:
Mendorong debirokratisasi melalui upaya efisiensi business process (pengurusan) perijinan lewat kelembagaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah.
3.
Desentralisasi dan Manajemen Fiskal:
Studi dan advokasi kebijakan desentralisasi fiskal yang mendukung kemandirian daerah dan kualitas tata kelola keuangan di daerah (APBD) yang pro-prtumbuhan ekonomi dan kesejahteraan publik.
4.
Isu-isu Strategis Otda lainnya:
Pemekaran daerah, kerja sama antar-daerah, rencana pembangunan daerah, pemilihan kepala daerah, dsb.
22
perbaikan
Tarif Pemasangan Iklan di KPPODBrief Terbit 1 kali tiap 2 bulan, dengan jumlah 2000 eksemplar dan didistribusikan ke Gebernur, Bupati, Walikota seluruh Indonesia, Pemerintah Pusat, Asosiasi Bisnis, Kedutaan Besar, NGO, Perguruan Tinggi dll
Biaya iklan l l l l l
Full color cover depan dalam satu halaman Rp. 7.500.000,Full color cover belakang luar satu halaman Rp. 5.500.000,Full color cover belakang dalam satu halaman Rp. 4.000.000,One color cover satu halaman isi Rp. 3.500.000,One color cover setengah halaman isi Rp. 2.000.000,-
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Regional Autonomy Watch Permata Kuningan Building 10th Fl. Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur Setiabudi, Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53, Fax : +62 21 8378 0643 http://www.kppod.org, http://perda.kppod.org, http://pustaka.kppod.org