DIMENSI PEKERJA INFORMAL SULAWESI BARAT Ra. Leisa Triana 1, Soman Wisnu Darma 2 ABSTRAKSI Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pekerja sektor informal dan melihat hubungan antara pendidikan dan jam kerja pekerja informal baik di perdesaan maupun di perkotaan di Provinsi Sulawesi Barat. Data yang digunakan adalah data Sakernas Agustus 2011-2013. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat karakteristik pekerja dan Uji Chi Square digunakan untuk melihat hubungan antara pendidikan dan jam kerja pekerja informal. Hasil yang didapatkan adalah 1) sebagian besar tenaga kerja di Sulawesi Barat bekerja di sector informal. Sektor pertanian merupakan penyerap terbesar, disusul sector perdagangan, transportasi dan industry. Mayoritas memiliki pendidikan sekolah dasar atau lebih rendah lagi dan bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu dan mayoritas pekerja informal
bermukim di daerah pedesaan; 2) ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan jumlah jam kerja pekerja sector informal Sulawesi Barat bersifat nyata baik di perkotaan maupun di perdesaan.
PENDAHULUAN Sektor informal merupakan bagian penting dari kehidupan ekonomi, sosial dan politik di sebagian besar Negara termasuk di Indonesia. Sektor ini berperan dalam menyerap sebagian besar tenaga kerja (Richardson, 1984). Sifat pekerjaannya yang mudah dimasuki tanpa kualifikasi tertentu atau easy to entry menjadikan peluang untuk mendapatkan pekerjaaan di sektor informal cukup besar. Berdasarkan data BPS, lebih dari setengah total pekerja di Sulawesi Barat adalah pekerja informal. Pada kondisi Februari 2014, jumlah pekerja informal sebanyak 411,3 ribu orang atau hampir 70 persen terhadap total pekerja. Pekerja informal di Indonesia paling banyak diserap di daerah perdesaan yaitu 66,99 persen dari total pekerja informal (BPS, 2013). Pekerja sektor informal selama ini distigmakan sebagai pekerja dengan tingkat produktivitas yang rendah, karena cenderung masih menggunakan alat-alat tradisional, jam kerja yang sedikit dengan tingkat pendidikan serta keterampilan yang relatif rendah. Stigma tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan kesejahteraan pekerja sector informal.
1 2
Fungsional Statistisi Muda BPS Provinsi Sulawesi Barat Kepala Bidang Sosial BPS Provinsi Sulawesi Barat
Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja sektor informal di Sulawesi barat, maka dipandang perlu untuk mengetahui karakteristik pekerja informal di Sulawesi barat baik di perdesaan maupun di perkotaan dari sisi tingkat pendidikan pekerja dan jam kerja. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk, mendapatkan gambaran tentang pendidikan dan jam kerja pekerja sektor informal serta melihat adakah hubungan antara pendidikan dan jam kerja pada sektor informal baik di perdesaan maupun di perkotaan.
TINJAUAN PUSTAKA 1.
Pekerja Sektor informal Merujuk pada Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan No. 13/2003, pekerja informal
mengacu pada orang yang bekerja tanpa relasi kerja, yang berarti tidak ada perjanjian yang mengatur elemen-elemen kerja, upah dan kekuasaan. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi secara umum mendefinisikan sektor informal sebagai semua bisnis komersial dan non-komersial (atau aktivitas ekonomi) yang tidak terdaftar, yang tidak memiliki struktur organisasi formal dan secara umum memiliki ciri-ciri: dimiliki oleh keluarga, kegiatan berskala kecil, padat karya, menggunakan teknologi yang diadaptasi dan bergantung pada sumber daya lokal. Konferensi Internasional Statistisi Tenaga Kerja ke-17 (dalam BPS, 2013) mendefinisikan pekerja sektor informal sebagai ‘karyawan dengan hubungan kerja yang tidak tercakup dalam perundang-undangan atau dalam praktiknya, tidak tunduk pada undangundang tenaga kerja, pajak, pendapatan, perlindungan social atau hak tertentu untuk jaminan kerja tertentu (pemberitahuan pemecatan sebelumnya, pembayaran yang buruk, dibayar tahunan atau ijin sakit, dll)” Dalam menghitung pekerja informal, BPS melakukan pendekatan khusus dalam menentukan penduduk yang bekerja di sektor formal/informal yaitu berdasarkan status pekerjaan dalam pekerjaan utama dan Jenis Pekerjaan/Jabatan (BPS, 2013). Menurut statusnya, pekerja dikategorikan menjadi tujuh: 1) berusaha sendiri; 2) berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar; 3) Berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar; 4) buruh/Karyawan/pegawai; 5) Pekerja bebas di Pertanian; 6) Pekerja bebas di Non Pertanian; 7) Pekerja keluarga/tak dibayar. Kategori 3 dan 4 umumnya mengacu pada pekerja di sektor formal, sementara kategori lainnya adalah sektor informal. Dari jenis pekerjaan utama, BPS telah menetapkan 10 kategori antara lain:
1) tenaga profesional; 2) tenaga kepemimpinan; 3) pejabat pelaksana dan tata usaha; 4) tenaga penjualan; 5) tenaga usaha jasa 6) tenaga usaha pertanian, peternakan, kehutanan, nelayan dan pemburu; 7) tenaga produksi dan terkait; 8) tenaga operasional; 9) pekerja kasar; 10) lain-lain. Tabel 1. Tabulasi Silang Batasan Kegiatan Informal Berdasarkan Status Pekerjaan dan Jenis Pekerjaan Utama Jenis Pekerjaan Utama Pejabat Tenaga Tenaga Tenaga Tenaga Tenaga Pelaksana Tenaga Tenaga Pekerja Status Pekerjaan Profesi- KepemimUsaha OperasiUsaha Produksi Kasar dan Tata Penjualan onal Pertanian onal pinan Jasa Usaha (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (1) Berusaha Sendiri F F F INF INF INF INF INF INF Berusaha Dibantu Buruh tidak Tetap/Buruh tak F F F F F INF F F F dibayar Berusaha Dibantu Buruh F F F F F F F F F Tetap/Buruh dibayar Buruh/Karyawan/Pegawai F F F F F F F F F Pekerja Bebas di Pertanian F F F INF INF INF INF INF INF Pekerja Bebas di Non F F F INF INF INF INF INF INF Pertanian Pekerja Keluarga/tak INF INF INF INF INF INF INF INF INF Dibayar Ket: F = Forma l
Lainnya (11) INF
F F INF INF INF
INF=Informa l
Sumber: BPS, 2013
2.
Jam Kerja Jam kerja merupakan waktu yang digunakan pekerja untuk kegiatan yang
menghasilkan pendapatan. Lamanya waktu bekerja berimplikasi pada meningkatnya produktivitas yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan. Namun lamanya waktu bekerja juga berdampak pada kesehatan pekerja karena semakin memperpanjang alokasi waktu kerja bagi pekerja sektor informal. Di kalangan pekerja sektor informal upaya peningkatan kesejahteraannya sering kali diiringi dengan menurunnya tingkat produktivitas pekerja. Hal tersebut dikarenakan, jumlah pendapatan pekerja sektor informal sangat tergantung dengan modal usaha. Semakin besar modal yang dikeluarkan maka akan semakin panjang curah waktu kerja yang dikeluarkan. Jumlah minimum jam kerja dalam seminggu beberapa Negara biasanya menggunakan batas 35 jam. Pekerja yang jam kerjanya kurang dari 35 jam dalam seminggu dikategorikan sebagai pekerja paruh waktu.
Dalam penelitian ini jam kerja dikelompokan menjadi 5
kelompok yaitu, antara 1 dan 7 jam kerja perminggu; antara 8 dan 14 jam; antara 15 dan 24 jam; antara 25 dan 34 jam dan 35 jam keatas. Untuk pekerja yang yang sedang cuti atau sedang tidak bekerja tidak dimasukkan dalam penelitian ini.
3.
Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu yang penting untuk menilai
kemampuan suatu daerah/wilayah untuk bersaing dangan sukses di pasar dunia dan tidak menutup kemungkinan membuat efesiensi penggunaan kemajuan teknologi yang cepat. Kualitas pekerja sektor informal terlihat dari tingkat pendidikan yang menjadi salah satu indicator kualitas penduduk. Tingkat pendidikan dianalogkan untuk melihat tingkat keahlian tenaga kerja. Dalam penelitian ini digunakan tingkat pendidikan yang didasarkan pendidikan terakhir yang ditamatkan pekerja sektor informal baik di sekolah formal maupun non formal (BPS, 2012). Pendidikan ini dikelompokkan menjadi empat tingkat pendidikan yaitu tingkat sekolah dasar kebawah (termasuk yang tidak/belum pernah bersekolah), tingkat SMP, Tingkat SMA dan tingkat Perguruan tinggi.
METODOLOGI PENELITIAN 3.2 Data Data yang digunakan adalah hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2011 dan 2013 yang diterbitkan secara resmi Badan Pusat Statistik (BPS). 3.1 Metode Analisis Studi ini menggunakan metode analisis deskriptif serta tabel kontingensi (crosstab) terhadap pekerja di sektor informal di Sulawesi Barat dalam periode 2011-2013 dengan menggunakan data primer. Analisis dilakukan terhadap jumlah, persentase, pertambahan bersih serta pertumbuhan rata-rata tahunan pekerja sektor informal selama periode 2011– 2013. Kajian ini difokuskan pada analisis pekerja informal menurut tingkat pendidikan dan menurut jumlah jam kerja. Masing-masing dirinci menurut daerah perdesaan dan perkotaan. Metode pengujian Chi Square digunakan untuk menganalisis adakah hubungan antara tingkat pendidikan dan jumlah jam kerja pada pekerja sektor informal menurut daerah perkotaan dan perdesaan dengan hipotesis sbb: H0 :
Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dan jam kerja pada pekerja sector informal
H1 :
Ada hubungan antara tingkat pendidikan dan jam kerja pada pekerja sector informal
Statistik Uji : χ2 = � Dimana :
𝑖𝑗
(𝑂𝑖𝑗−𝐸𝑖𝑗) Oij
Oij = frekuensi pengamatan dalam baris ke-i dan kolom ke-j (dalam sel ij), Eij = frekuensi yang diharapkan dalam baris ke-i dan kolom ke-j (dalam sel ij)
PEMBAHASAN 4.1 Jumlah Pekerja di Sektor Informal
Pada Tabel 2 terlihat bahwa selama periode 2011-2013 terjadi peningkatan jumlah penduduk yang bekerja di Sulawesi barat. Peningkatan ini tidak terjadi di sector informal bahkan jumlah penduduk yang bekerja di sector informal mengalami penurunan sebesar 9.599 orang pada tahun 2013 dibandingkan pada tahun 2011 dengan laju penurunan sebesar 2,59 persen. Pembangunan yang dilakukan di Sulawesi Barat telah mendorong terjadinya proses ini karena dari hasil penelitian empiris di berbagai Negara, termasuk Negara sedang berkembang, seiring dengan pertumbuhan ekonomi terjadi peningkatan kontribusi kegiatan formal di satu pihak dan menurunnya kegiatan non formal di lain pihak (Anwar, 1997). Namun, walaupun terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada penyerapan tenaga kerja di sektor formal namun penyerapan tenaga kerja di sector informal tetap mendominasi total tenaga kerja yang bekerja yaitu lebih dari 60 persen. Tabel 2. Pekerja Sektor Informal Sulawesi Barat, 2011-2013
Kategori Pekerja
2011
2013
(1)
(2)
(3)
Informal Perdesaan
322.038
314.618
Informal Perkotaan
56.011
53.832
Informal Laki-laki
225.035
228.028
Informal Perempuan
153.014
140.422
Pekerja Informal
378.049
368.450
Pekerja Total
544.557
545.438
69.42
67.55
% Pekerja informal
Sumber: BPS, diolah Mayoritas pekerja informal Sulawesi Barat bermukim di daerah pedesaan. Hanya sekitar 15 persen yang bekerja di sektor informal yang bermukim di daerah perkotaan. Di sisi lain, pekerja informal didominasi oleh laki-laki yang jumlahnya 1,6 kali lipat dibandingkan jumlah pekerja informal perempuan. Dibandingkan tahun 2011, pekerja informal laki-laki meningkat sebanyak 2.993 orang, sementara pekerja informal perempuan mengalami penurunan sebanyak 12.592 orang.
4.2 Pekerjaan Utama di Sektor Informal
Berdasarkan lapangan pekerjaan utama,. hampir 80 persen pekerja informal Sulawesi Barat bekerja di sektor pertanian. Sektor yang menyerap pekerja informal selanjutnya adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel yang meyerap sekitar 41.966 orang di tahun 2013. Kemudian sektor transportasi dan industri. Walaupun sektor pertanian masih merupakan penyerap pekerja informal tertinggi tetapi pada tabel diatas terlihat adanya penurunan jumlah pekerja di sektor tersebut dari tahun 2011-2013 sekitar 6.720 orang. Fenomena ini terjadi juga pada sector industri, konstruksi dan sektor lainnya. Sementara, peningkatan penyerapan pekerja informal terjadi di sektor perdagangan sebanyak 3.272 orang, sektor transportasi sebanyak 1.103 orang dan sektor jasa kemasyarakatan sebanyak 154 orang. Terjadi pergeseran pilihan pekerja informal atau transformasi dalam struktur ketenagakerjaan menurut lapangan pekerjaan selama 2011-2013 dari sektor pertanian, industri, dan konstruksi menjadi sektor perdagangan, transportasi dan jasa kemasyarakatan. Tabel 3. Pekerja Informal Sulawesi Barat Menurut Sektor Tahun 2011, 2013 Lapangan Pekerjaan Utama
2011
2013
2011
2013
(6)
(7)
26,301
299,711
292,991
6,787
1,996
11,952
8,783
1,938
4,496
1,386
7,363
5,882
25,060
13,634
26,106
15,860
38,694
41,966
Transportasi
5,672
5,509
6,638
5,646
11,181
12,284
Jasa Kemasyarakatan
3,362
2,121
3,276
2,361
5,483
5,637
Lainnya *)
2,984
681
625
282
3,665
907
Desa
Kota
Desa
Kota
(2)
(3)
(4)
(5)
270,840
28,871
266,690
Industri
8,695
3,257
Konstruksi
5,425
Perdagangan
(1) Pertanian
Catatan: *) Sektor Pertambangan , Listrik Gas dan Air, dan Keuangan Sumber : BPS, diolah
Sektor pertanian di Sulawesi Barat menyerap pekerja informal terbesar baik di perkotaaan maupun di perdesaan, sehingga pola penyebaran pekerja informal menurut sektor antar perdesaan dan perkotaan hampir sama. Hal ini tidak seirama dengan penelitian suhail (2009) yang menyatakan bahwa pekerja informal di wilayah perkotaan di Indonesia paling banyak diserap di sektor perdagangan, restoran dan hotel. Hal ini dimungkinkan karena jumlah penduduk Indonesia yang paling padat adalah Pulau Jawa dan daerah perkotaan paling banyak berada di Pulau Jawa. Sementara penyerapan pekerja sektor informal di Sulawesi Barat yang jumlahnya hampir sama antara perdesaan dan perkotaan adalah sektor transportasi, ini menunjukkan adanya proses akumulasi dari meningkatkan kuantitas dan
kualitas dari pekerja, tingkat keterampilan dan penguasaan teknologi para pekerja, sehingga mengubah keunggulan komparatif dalam memproduksi barang dan jasa. Apabila hal ini didukung dengan semakin baiknya kondisi sarana dan prasarana baik transportasi maupun komunikasi akan meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat karena skala usaha akan semakin besar dan biaya distribusi semakin rendah. 4.3 Pekerja Informal Berdasarkan Jam Kerja, Tingkat Pendidikan di Desa-Kota
Tabel 4 menunjukkan pekerja dalam sektor informal berdasarkan kota-desa. jam kerja dan tingkat pendidikan di tahun 2011 dan 2013. Tabel 2. menunjukkan bahwa pada tahun 2013, dari 368.450 pekerja di sektor informal, 314.618 pekerja (85,4 persen) bermukim di daerah pedesaan. Dari seluruh pekerja informal yang bermukim di daerah pedesaan tersebut, sekitar 226.111 pekerja (71,87 persen) hanya memiliki pendidikan sekolah dasar atau lebih rendah lagi. Jika dibandingkan dengan daerah perkotaan, hanya sekitar 58 persen. Untuk yang berpendidikan tinggi, pekerja informal dengan ijazah SMA atau di atasnya di daerah pedesaan adalah sekitar 44.225 orang (12 persen dari total pekerja informal). Tabel 4. Pekerja di Sektor Informal oleh Kota-Desa, Jam Kerja dan Tingkat Pendidikan, 2011 dan 2013 2013 2011 Persentase Persentase Desa Kota Desa Kota Kota Desa Kota Desa (7) (8) (9) (2) (3) (4) (5) (6) (1) Jam Kerja (jam) 6,541 12.34 14.52 2,805 8.52 7.08 34,172 1-7 22,377 27.93 19.55 23.31 27.73 77,366 8,810 8-14 61,217 10,983 24.82 95,282 12,565 34.40 27.89 15-24 99,163 9,830 37.75 7,994 16.62 17.74 9,304 21.83 23.49 46,042 25-34 57,338 252,862 35,910 91.29 79.70 <35 240,095 32,922 91.41 83.11 8.71 20.30 8.59 16.89 24,133 9,149 35+ 22,567 6,690 86.90 13.10 276,995 45,059 86.01 13.99 Jumlah 262,662 39,612 Tingkat Pendidikan SD SMP SMA PT Jumlah
232,480 57,414 28,510 3,634 322,038
32,333 11,370 10,790 1,518 56,011
72.19 17.83 8.85 1.13 85.18
57.73 20.30 19.26 2.71 14.82
226,111 44,282 41,809 2,416 314,618
31,589 8,423 12,107 1,713 53,832
71.87 14.07 13.29 0.77 85.39
58.68 15.65 22.49 3.18 14.61
Sumber BPS, diolah *) Catatan : Jumlah jam kerja tidak termasuk pekerja yang sedang cuti
Pada periode 2011-2013 terjadi peningkatan pencapaian tingkat pendidikan pekerja sektor informal. Jumlah pekerja sektor informal yang memiliki pendidikan SMP dan SD atau lebih rendah lagi menurun dan penurunan ini diiringi dengan peningkatan jumlah pekerja sektor informal yang memiliki pendidikan SMA atau diatasnya baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Ini menunjukkan ada peningkatan pendidikan bagi pekerja informal di
Sulawesi Barat. Fenomena ini merupakan proses akumulasi dalam ketenagakerjaan yaitu kenaikan yang berlainan mengenai tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan pekerja informal sebagai suatu proses yang mengiringi pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Barat. Sementara, dari sisi jumlah jam kerja pekerja informal di pedesaan 91,29 persen bekerja dibawah 35 jam dalam seminggu berarti kurang dari 10 persen yang bekerja diatas jam kerja normal. Bila dibandingkan dengan persentase pekerja informal yang bekerja di atas jam kerja normal di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan yaitu 20,30 persen. Hubungan antara jam kerja dan tingkat pendidikan Pekerja informal di perkotaan dengan tingkat pendidikan yang berbeda ternyata mempunyai pola sebaran jam kerja yang sama yaitu mayoritas bekerja dengan jumlah jam kerja di bawah 35 jam dalam seminggu, berarti tidak lebih dari 5 jam sehari. Jumlah jam kerja yang paling banyak dilakukan oleh pekerja informal di perkotaan dalam seminggu adalah 15-24 jam atau sekitar 2-3,5 jam per hari selama 7 hari kecuali yang berpendidikan tinggi mayoritas 4-5 jam sehari. Sementara pekerja informal yang berpendidikan SMP lebih banyak yang bekerja di atas 35 jam per minggu atau lebih dari 5 jam sehari. Tabel 5. Persentase Pekerja Informal berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jam Kerja di Wilayah Kota, Desa Tahun 2013 Perkotaan Tingkat Pendidikan (1)
SD SMP SMA PT Sulbar Pedesaan Tingkat Pendidikan SD SMP SMA PT Sulbar Sumber : BPS, diolah
Jam Kerja (jam) 15-24 25-34
1-7
8-14
(2)
(3)
13.2 16.6 16.1 19.6 14.5
19.2 16.6 25.2 0.0 19.6
29.6 22.7 27.2 21.9 27.9
17.9 17.5 13.7 46.3 17.7
80.0 73.4 82.4 87.9 79.7
20.0 26.6 17.6 12.1 20.3
11.3 14.4 15.4 18.8 12.3
28.2 29.1 26.1 14.4 27.9
35.0 34.3 31.9 16.9 34.4
17.4 12.2 15.2 49.9 16.6
91.9 90.0 88.5 100.0 91.3
8.1 10.0 11.5 0.0 8.7
(4)
(5)
<35
35+
(6)
(7)
Secara umum sebaran jumlah jam kerja di tiap tingkat pendidikan pekerja informal di perdesaan hampir sama dengan perkotaan, mayoritas bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu, yang membedakan adalah jumlah dari pekerja informal di tiap tingkat pendidikan lebih banyak dibandingkan di perkotaan. Berdasarkan data tersebut diatas dilakukan analisis data katagorik dengan menggunakan uji independensi pearson Chi square guna melihat ada atau tidaknya hubungan antara jam kerja dengan tingkat pendidikan dari pekerja informal di Sulawesi barat. Tabel 7. Chi-Square Tests
Daerah Tempat Tinggal 1. Perkotaan
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
a
12
.000
1569.409
12
.000
Linear-by-Linear Association
51.181
1
.000
N of Valid Cases
45059 b
12
.000
3489.823
12
.000
.028
1
.868
Pearson Chi-Square
1508.890
Likelihood Ratio
2. Pedesaan
df
Pearson Chi-Square
3735.816
Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
276995
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 182.62. b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 181.74.
Dari hasil uji Chi square didapatkan nilai P-value untuk pearson Chi-Square sebesar 0.000 baik untuk wilayah perkotaan maupun pedesaan yang berarti signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan jumlah jam kerja pekerja sektor informal baik di perkotaan maupun di perdesaan di Sulawesi Barat. Hasil ini berbeda dengan penelitian Dewi (2012) yang menyatakan bahwa secara signifikan tidak ada hubungan (heteroskedastisitas) antara jumlah jam kerja dengan tingkat pendidikan pada pedagang perempuan di pasar badung yang objeknya juga merupakan pekerja di sektor informal. KESIMPULAN 1. Selama periode 2011-2013, tenaga kerja di sektor informal mendominasi total tenaga kerja Sulawesi Barat dan mayoritas pekerja informal bermukim di daerah pedesaan. Sektor pertanian merupakan penyerap terbesar pekerja informal, disusul sector perdagangan, transportasi dan industry. Pekerja informal Sulawesi barat mayoritas memiliki pendidikan
sekolah dasar atau lebih rendah lagi. Secara umum jumlah jam kerja di tiap tingkat
pendidikan pekerja informal di perdesaan hampir sama dengan perkotaan, mayoritas bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu, yang membedakan adalah jumlah dari pekerja informal di tiap tingkat pendidikan lebih banyak dibandingkan di perkotaan. 2. Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan jumlah jam kerja pekerja sector informal baik di perkotaan maupun di perdesaan di Sulawesi Barat. SARAN 1. Terjadinya tansformasi struktur tenaga kerja informal di Sulawesi Barat dari sektor pertanian bergeser ke sector transportasi dan jasa sebagai akibat akumulasi dari peningkatan kualitas dari pekerja, tingkat keterampilan dan penguasaan teknologi dan peningkatan pencapaian pendidikan diharapkan pemerintah mampu membina, mengarahkan dan memberikan peluang munculnya ide-ide kreatif yang diharapkan tumbuh dari masyarakat yang kualitas pendidikannya semakin baik ataupun pemerintah dapat membuat sebuah program pemberdayaan ekonomi perdesaan guna menumbuhkan jiwa usaha di masyarakat sehingga produktivitas tenaga kerja informal meningkat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang dimulai dari sektor pertanian membutuhkan sektor industri yang mendukung dan didukung sektor pertanian. Untuk itu sebaiknya dilakukan pengembangan sektor industry pengolahan hasil pertanian ataupun pendukung pertanian dengan skala yang cukup besar yang mengakomodir banyak industri mikro dan kecil, guna memicu pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan merata. 3. Hasil pertanian merupakan potensi yang harus dikembangkan, tidak hanya dijual dalam bentuk bahan mentah tetapi diperlukan kreatifitas yang ditumbuhkan dalam masyarakat untuk mengolah bahan mentah tersebut. Misalnya dengan menciptakan makanan khas produksi Sulawesi Barat varian baru. Untuk itu pemerintah perlu mengundang ahli teknologi pangan untuk menciptakan diversifikasi produksi pangan. 4. Untuk mendukung hal tersebut diatas diperlukan pula pasar-pasar baru guna menyalurkan hasil produksi baik itu hasil pertanian berbentuk bahan mentah maupun produk olahan. Pembangunan infrastruktur pasar dan jalan yang dapat diakses masyarakat dengan mudah dan bagus diperlukan untuk mempercepat pengembangan ekonomi wilayah. Infrastruktur ini dapat memangkas tingginya ongkos produksi. Selain diperlukan pula penyampaian informasi mengenai produk Sulawesi Barat kepada konsumen baik didalam maupun diluar wilayah Provinsi Sulawesi Barat.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, Moh. Arsjad. 1997. Transformasi Ketenagakerjaan Menurut Jenis Pekerjaan di Indinesia, 1985-1995. Dalam Anwar, Moh. Arsjad, Aris Ananta dan Ari Kuncoro (Editor), Widjojo Nitisastro 70 Tahun, Pembangunan Nasional: Teori, Kebijakan, Dan Pelaksanaan. Depok: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, hal. 951-974. Bappenas. 2009. Peran Sector Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Bappenas. 2003. Studi Profil Pekerja Di Sektor Informal Dan Arah Kebijakan Ke Depan. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2013. Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Mei 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2012. Pedoman Pencacah Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Dewi, Putu Maritini. 2012. Partisipasi Tenaga Kerja Perempuan dalam Meningkatkan Pendapatan Perempuan. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan vol. 5 no. 2. Gasperz, Vincent. 1992. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan 2. Bandung: Tarsito. International Labour Office. 2003. General Report. Report I Seventeenth International Conference of Labour Statisticians. ILO: Geneva Nazara, Suahasil. 2010. Ekonomi Informal di Indonesia: Ukuran, Komposisi dan Evolusi. ILO: Jakarta. Richardson, H. 1984. The Role of The Urban Informal Sector: An Overview, di dalam Regional Development Dialogue, Vol.5, No. 2 Hal. 3-40. Soewartoyo. 2010. Pekerja Sektor Informal : Pemberdayaan dan Peningkatan Kesejahteraan. Riset Terapan. Jakarta: Pusat Pengembangan Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Wahyuni, Daru. 2005. Peran Sektor Informal Dalam Menanggulangi Masalah Pengangguran Di Indonesia. Jurnal Economia, Volume I Nomor I, Agustus 2005.