BAB V POLIGAMI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN TURKI DAN TUNISIA
A. Undang-undang Keluarga Muslim Turki tentang Poligami 1. Kondisi Sosial-Politik yang Melatari Lahirnya Perundangan Poligami Turki Sebelum berdirinya Republik Turki 1923, keberadaan Islam dalam Kerajaan Usmani tidak pernah terpisahkan. Islam tetap eksis atau memainkan peran penting dalam setiap kehidupan masyarakat muslim sebagai sebuah panduan makna yang jika diinterprestasikan dalam setiap kehidupan pribadi mereka, kehidupan umumnya, sekarang dan masalah-masalah yang akan datang nantinya dalam setiap kehidupan. Perlu ditekankan disini bahwa pada awalnya Islam bukanlah agama satu-satunya di imperium Usmaniyah, pada tahun 1884 Muslim hanya 41,39% dari
seluruh
penduduknya.
Namun,
presentasi
ini
berubah
karena
berkurangnya wilayah kekuasaan dan gelombang migrasi hingga akhirnya tahun 1897 populasi muslim di wilayah ini menjadi 74%.1 Dari data tersebut dapat kita simpulkan bahwa Turki merupakan negara yang berkembang secara sadar menjadi negara Islam dan mayoritas penduduknya memiliki loyalitas tinggi terhadap Islam. Sejarah berbicara bahwa imperium Usmaniyah memiliki kekuasaan di Eropa Timur yang meluas sampai pintu gerbang kota Wina. Maka orang 1
Abdullahi Ahmed Al-Naim, Islam dan Negara Sekular, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), hlm. 345.
115
Usmaniyah sejak awal telah memiliki kontak langsung dengan Eropa. Sampai abad 17 M kerajaan Usmani senantiasa mengalami kemenangan dalam peperangan melawan Eropa, tetapi mulai abad 18 M keadaan berbalik kerajaan Usmani mulai mengalami kekalahan.2 Di sisi lain beberapa hal yang berpengaruh terhadap pemihakan pembentukan negara sekuler Turki era Usmani adalah: pertama, ketidakmampuan tokoh-tokoh agama Usmani mengartikulasikan sebuah oposisi Muslim yang efektif, dengan fakta proses hancurnya Jennisari (pasukan khusus) dan lemahnya posisi ulama pada tahun 1826. Kedua, elite militer dan birokrat Usmani tidak sebanding dengan perwakilan kelas borjuis Muslim, hal ini disebabkan oleh warisan tradisi dominasi negara terhadap masyarakat dan sebagian karena penetrasi ekonomi Eropa terhadap imperium Usmani.3 Dari keadaan ini maka mulai diadakan pembaruan (modernisasi) di kerajaan Usmani pada abad 19 M, dimulai dari bidang pranata sosial (militer dan kepemerintahan), dan berkembang pada bidang lainnya. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa proyek sekulerisasi yang terjadi di Turki, bukan hanya pada masa Mustafa Kemal Attaturk namun sudah dimulai sejak zaman Daulah Usmaniyah terutama ketika Sultan Selim III (1789-1807) dan Mahmud II (1807- 1839) memegang pemerintahan.
2
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan Pustaka, 1995), Cet-2, hlm. 3.
3
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 86.
116
Modus perkembangan sekulerisasi dan kecenderungan terhadap Barat yang dilaksanakan di Turki terkait beberapa hal antara lain:4
Dimulai dengan kebijaksanaan Utmaniyah untuk melihat ke Barat baik untuk ekspansi maupun hubungan perdagangan dan kultural.5
Kekalahan tentara Uthmaniyah oleh Austria dan Rusia menimbulkan realisasi pengakuan atas superior Barat dalam persenjataan dan teknik perang.
Dimulainya era pembaharuan pembaratan Turki/ pengorganisasian ulang (era Tanzimat), dengan mengambil alih institusi-institusi Barat untuk merubah pola kebudayaan Turki. Pembaharuan Barat diterapkan di luar yuridiksi Syari’ah,6 situasi ini berlanjut hingga rezim Kemalis.
Bangkitnya nasionalisme Turki yang dipelopori prinsipnya oleh Ziya Gokalph, 7 dan rupanya sebagai pencetus negara nasional sekular di Turki. Sebagai respon terhadap tekanan ekternal dan internal, imperium
Usmani mengadakan reformasi dan modernisasi besar-besaran antara lain: Pertama, diprakarsai Ibrahim Mutafarriqa8 ia memperkenalkan percetakan ke masyarakat Turki dan hal ini mendapat kecaman dari ulama karena dianggap 4
Mukti Ali, Islam dan Sekulerisme di Turki Modern, (Jakarta: Djambatan, 1994),
hlm. 13. 5
Hal ini berkembang pada abad 15 M manakala Usmaniyah berkembang menjadi imperium yang kuat setelah menaklukkan Konstatinopel (1453) 6
Yaitu kodifikasi syari’ah dengan mengkombinasikan prinsip-prinsip hukum Islam dengan sistem pengaturan ala Barat. 7
Ahli sosiologi dan penyair serta anggota gerakan Turki Muda. Ia juga sebagai guru besar sosiologi di Universitas Istanbul.
117
bid’ah. Kedua, pada masa Tanzimat (1839-1876) timbul pemimpin-pemimpin yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Barat seperti Ziya Gokalph (18751924) yang membawa paham fatalisme yang memisahkan antara ibadah dan muamalah, Ahmad Razi (1859-1930) yang membawa paham positivisme August Comte. Dan juga perubahan pokok pergeseran mekanisme sistem kekuasaan negara, seperti pergeseran pola rekruitmen pegawai yang dulunya direkrut dari keluaran medresse (sekolah agama) beralih merekrut calon pegawai baru yang terdidik dalam ilmu administrasi pemerintahan.9 Dilanjutkan dengan penghapusan pasukan khusus (janissaries), pembubaran tarekat Bekhtashi, regulasi pajak langsung, hingga undangundang anti diskriminasi sipil (penghapusan status dzimmi bagi non Muslim 1856), mengadopsi beberapa hukum Eropa (hukum dagang 1850, hukum pidana 1851, hukum acara 1880). Ketiga, pendirian sekolah kedokteran (1827), Akademi Militer (1834,1846) karena ilmu-ilmu ini dari Eropa, maka Saffet Passa (1814-1883) menekankan perlunya Turki menerapkan seluruh budaya Eropa kemudian mereformasi sistem pendidikan tradisional dan membuka madrasah modern pada tahun 1914. Sekulerisasi dan modernisasi ini dilanjutkan Mustofa Kemal Attaturk. 10 Setelah berhasil merebut kekuasaan pada tahun 1923, mesin
8
Ia adalah kaum terpelajar barat Turki, bekas tawanan Hongaria, dan pengarang buku-buku ilmu pengetahuan seperti ilmu alam, ilmu politik, ilmu bumi, dan ilmu militer. Ia merupakan pelopor pembaharuan (modernisasi) pada masa Imperium Usmani. 9
Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 192. Presiden pertama republik Turki, dimana Turki diproklamasikan oleh Dewan Nasional Agung pada 29 Oktober 1923. 10
118
sekulerisasi mulai disulut dan tersebar dalam seluruh aspek kehidupan. Attaturk melakukan de-islamisasi11 secara besar-besaran lewat 6 anak panah yaitu: 1. Prinsip republikanisme bahwa negara Turki modern menerapkan sistem demokrasi parlementer yang dipimpin oleh seorang presiden bukan kekhalifahan. 2. Nasionalisme bahwa bukan agama atau madhab tertentu yang menentukan kewarganegaran. 3. Prinsip kenegaraan dimana pemerintah berkuasa penuh dalam pengelolaan ekonomi dan berhak intervensi demi kepentingan rakyat. 4. Prinsip populisme yang dimaknai sebagai perlindungan hak asasi manusia dan kesetaraan di hadapan hukum. 5. Prinsip sekulerisme. 6. Prinsip revolusionisme. Dari enam sila ini, sekulerisme adalah yang paling berpengaruh. Ideologi baru yang diimplementasikan oleh Attaturk tentang sekulerisasi Turki memang terkenal radikal diantaranya: a. Pembubaran sistem kekhalifahan pada tanggal 1 November 1922. b. Pembubaran pengadilan agama (1924) dan pesantren-pesantren. c. Penutupan sekolah-sekolah Islam tradisional (madrasah). d. Penghapusan
institusi-institusi
keagamaan
yang
ada
dalam
pemerintahan. 11
Penghilangan harkat Islam, contoh: berusaha merusak ajaran Islam dari dalam dengan menggerogoti nilai-nilai Islam.
119
e. Pembubaran sejumlah tarekat-tarekat sufi. f. Pelarangan pemakaian tutup kepala khas Dinasti Uthmani bagi lakilaki dan menghalangi perempuan untuk memakai kerudung. g. Pengadopsian kalender Gregorian sebagai satu-satunya kalender resmi. h. Pengadopsian hukum sipil model barat (Swiss), hukum pidana model barat (Italia), hukum perdata model barat (Jerman) yang menggantikan undang-undang syari’ah Islam. i. Pelarangan poligami. j. Pelarangan penggunaan huruf Arab untuk bahasa Turki dan diganti dengan huruf latin. k. Pelarangan adzan dengan menggunakan bahasa arab. Usaha
Attaturk
mensekulerkan
Turki
lebih
dimotivasi
oleh
pragmatisme dan keinginan menghilangkan model negara dinasti dan penghapusan syari’ah sebagai alasan intervensi terhadap urusan dalam negri Turki, dan merupakan langkah penting bagi Turki agar bisa menjadi negara yang benar-benar independen. Ia bahkan menganggap reformasi yang dilakukannya sebagai upaya untuk memisahkan agama dari politik yang kotor. Usaha Attaturk ini dilaksanakan oleh para pendukungnya dengan membimbing, mendidik, bahkan jika perlu memaksa masyarakat Turki menjadi masyarakat yang sekular dan modern. Proyek Attaturk pada intinya bertujuan mencabut islam dari akar-akarnya dan menjadikan bangsa Turki
120
menjadi bangsa Barat12 bahkan melampaui peradaban Barat.13 Namun sebagai ideologi negara sekulerisme Turki dinilai oleh banyak pengamat gagal mencapai tujuannya. Dikarenakan banyak juga masyarakat yang menentang ideologi ini, dan tidak terpengaruh oleh upaya sekulerisasi. Diantara tokoh/ulama Turki yang menentang sekulerisme adalah Badiuzzaman Said Nursi, menurutnya cara memodernisasikan masyarakat bukan dengan sekulerisme. Ia menyarankan pemerintah untuk merubah visinya dengan mencari dukungan mayoritas masyarakat (dengan tidak menghapus syari’at Islam), memberikan kebebasan dalam beragama tanpa intervensi, dan menjadikan agama Islam landasan utama perjuangan bukan sekulerisasi.14 Dari hal ini dapat kita pahami bahwa sekulerisasi ini tidak bisa dijalankan pada masyarakat Islam. Karena sejatinya Islam tidak sama dengan Kristen yang nota bene dianut oleh masyarakat Eropa. Keadaan yang terjadi pasca Attaturk adalah kebangkitan kembali Islam di Turki, Islam dengan gerakan diam-diam namun pasti mulai bangkit melawan kekuatan sekular dan berusaha merebut kembali tampuk kekuasaan dari tangan mereka. 15 Diantara gerakan yang dapat kita baca adalah Partai Demokrat Republik Turki mulai memperkenalkan kembali pelajaran agama 12
Alasan ia meniru Barat karena Attaturk beranggapan bahwa bangsa Turki sesungguhnya berada dalam rumpun Eropa sehingga wajar jika harus menjadi seperti Eropa. 13
Wilfred Cantwell Smith, Islam dalam Sejarah Modern, ( Jakarta: Yayasan Penerbitan Franklin New York, 1964), hlm. 245. 14
Harvey Cox, The Secular City, (New York: The Macmillan Company, 1966) dalam M. Asror Yusuf, Persinggungan Islam dan Barat, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), hlm. 145. 15
Amin Abdullah, Studi Agama, hlm. 195.
121
yang bebas dipilih oleh siswa sekolah (1950), membuka sekolah-sekolah untuk melatih imam dan da’i (26 sekolah), mendirikan Fakultas Teologi di Universitas Ankara di Istanbul, Konya dan Izmir (1949), pembangunan masjid-masjid yang megah dan indah, azan dikumndangkan kembali dengan bahasa Arab (1950), semakin meningkatnya jama’ah haji Turki. 16 Juga kesediaan Turki menjadi tuan rumah konferensi Puncak Organisasi Konferensi Islam (badan yang membahas soal penanggalan Islam), hal ini merupakan usaha baru untuk mendekati dunia Muslim. Tanpa harus berpihak pada model reformis Attaturk, kita dapat memberi catatan bahwa experimen Attaturk memang meningkatkan nilai-nilai positif bagi umat Islam di Turki dalam menumbuhkan kepercayaan diri bangsa yang merdeka dan punya andil dalam merubah atau menggeser pola berpikir tradisional. Perubahan itu nyata, jika kita membandingkannya dengan negaranegara Timur tengah yang lain. Namun, tetap gerakan Attaturk ini memiliki kekurangan yang pokok yaitu Kemalism tidak memahami kultur peranan yang diperankan Islam bagi orang Turki di dalam proses pembentukan kepribadian mereka. Dari rentetan kejadian ini dapat kita pahami Islam Resurgence memang mewarnai masyarakat Islam Turki, kearah mana kebangkitan itu menuju masih harus ditunggu. Tetapi hal ini dapat kita simpulkan bahwa semangat orang-orang Turki modern untuk menjadi suatu bangsa yang modern dan demokratis, selalu disertai dengan kesadarannya yang mendalam 16
Tahun 1950 berjumlah 9000 jama’ah dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 1988 berjumlah 120.000 jama’ah haji. Jumlah terbesar di dunia. M.Asror Yusuf, Persinggungan Islam dan Barat, hlm. 156.
122
tentang watak dan ideal keTurki-an dan keislaman. Jadi kesan umum bahwa bergabungnya Turki dengan peradaban Barat adalah dalam konflik hubungannya dengan bangsa-bangsa Muslim, terbukti salah. Pola-pola Islam dan Turki tampak menonjol di kebudayaan Turki, sekalipun pengaruh kebudayaan Barat juga tampak, bangsa Turki selalu sadar dengan identitas kulturalnya. Turki, sebagaimana dikemukakan sebelumnya adalah negara pertama yang melarang poligami secara mutlak, dengan lahirnya Undang-undang Sipil tahun 1926. Adapun aturan poligami pada undang-undang sebelumnya, yaitu undang-undang tentang hak-hak keluarga (The Ottoman Law of Family Rights) tahun 1917, suami boleh berpoligami dengan syarat harus dapat berlaku adil kepada istrinya. Tetapi seorang istri berhak membuat taklik talak pada waktu akad nikah bahwa suaminya tidak akan menikah lagi. Kalau suaminya melanggar taklik talah tersebut, maka istri berhak meminta cerai. Dengan demikian, pada prinsipnya undang-undang Turki tahun 1917 membolehkan poligami dengan syarat dapat berlaku adil terhadap istriistrinya. Dan istri berhak menetapkan dalam taklik talak bahwa poligami dapat menjadi alasan perceraian.17 Walaupun pengaruh-pengaruh Barat yang dialami semenjak kurang lebih pada ke 19 telah membantu untuk melaksanakan keengganan atau
17
Article 38 Text of the Ottonom Law of Family Right, 1917, yang berbunyi “Ketika seorang strri melakukan perjanjian dengan suaminya, bahwa suaminya tidak akan menikah lagi dengan wanita lain, Jika suaminya tersebut ternyata melakukan pernikahan lagi, maka istrinya atau istri yang kedua tersebut dapat diterjadinya cegah daripada terjadinya perceraian, pernikahan tersebut sah dan mempunyai kekuatan hukum”
123
keemohan terhadap institusi poligami diantara masyarakat muslim yang menengah di Turki, ternyata hal tersebut telah mengalami kegagalan pada strata masyarakat muslim di tingkat bawah yang mana mereka tetap eksis dalam hak wewenang penuh dalam melaksanakan institusi poligami.18 Mayoritas masyarakat Turki juga tetap yakin bahwa mereka adalah muslim. Di kalangan penguasa pun sebagian besar menegaskan bahwa mereka tidak menolak Islam. Mereka hanya mengikuti Barat bahwa agama adalah masalah individu dan Tuhan, bukan sistem hukum yang harus dilaksanakan oleh negara; dan jelas tidak diragukan bahwa masyarakat awam (gross root) tidak begitu memahami perbedaan-perbedaan semacam itu.19 Perkiraan jumlah praktik perkawinan poligami dalam masyarakat pada abad ini berkisar antara 10% dan 20%, dan sebagai alasan ketiga untuk kebolehan poligami adalah adanya wasiat bagi para janda untuk menikah lagi bagi yang ditinggal mati para suaminya.20 Kepercayaan bahwa istri harus semaksimal mungkin memuaskan hasrat nafsu seksual suami-suami mereka dan membuktikan kepada mereka
18
Paul J. Magnarella, Tradition dan Change in a Turkish Town, (Canbridge: Massachussets), hlm. 108. 19
Selain itu mereka tidak ingin mengalami kesulitan dan mengeluarkan biaya bepergian jauh untuk mendapatkan surat-surat keterangan kesehatan dan memenuhi persyaratan-persyaratan perkawinan menurut hokum sipil, lihat Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi, hlm. 12. 20
Sesuai dengan studi yang dilaksanakan oleh Menteri Keadilan Turki pada Tahun 1942, bahwsannya praktik perkawinan poligami tersebut mencakup dua orang istri dan adanya dua alas an yang paling penting yang diberikan oleh para pelaku praktik poligami, yakni bahwa poligami tersebut untuk membantu sesame kaum wanita dan adanya kekhawatiran adanya kemandulan terhadap istri, Karena itulah hasil penelitian tentang angka kemandulan pada waktu itu dan melanda hampir rakyat Turki secara berkesinambungan, Paul J. Magnarella, Tradition dan Change, hlm. 109.
124
dengan adanya anak-anak adalah fenomena umum kehidupan di Turki, seiring dengan pertumbuhan dunia. Secara umum, poligami saat ini di Turki sudah jarang dilakukan dan hal tersebut dianggap sebagai perilaku yang tidak menguntungkan bagi masyarakat kota. Praktik perkawinan poligami tidak diakui secara hukum sebelum diadopsinya hukum sipil baru, menurut pengakuan yang sudah dimaklumi bahwa walaupun setelah hukum baru muncul, beberapa elemen masyarakat secara diam-diam melaksanakannya dan masyarakatpun mensetujuinya. Akan tetapi, akhir-akhir ini praktik perkawinan monogami adalah norma perkawinan yang sudah ideal dalam kehidupan masyarakat di Turki.21 Hal ini tidak dapat kita lepaskan dari konsep hukum yang ada di negara Turki tersebut. Turki tampil sangat berbeda dengan negara-negara muslim lainnya. Syari’ah Turki sudah dinyatakan tidak berlaku lagi, sejauh menyangkut masalah peradilan, dan dalam bidang hubungan-hubungan keluarga. Pada saat dimulainya revolusi, pemerintahan Ataturk memang menyatakan akan memberlakukan undang-undang baru bersumber pada warisan Islam Turki, tetapi setelah kegagalan komite legislatif maka Ataturk kehabisan kesabarannya. Pada saat yang membingungkan inilah mereka mengambil ketetapan hukum yang berasal dari Barat. Dan Attaturk yakin, bahwa kondisinya sangat mendesak untuk menyusun kodifikasi-kodifikasi hukum yang murni dan asli dari Turki, sehingga mendorong pemerintah untuk secara drastik mengambil alih hampir secara utuh peraturan-peraturan 21
Paul J. Magnarella, Tradition dan Change, hlm. 127
125
hukum Eropa. Karena itulah tahun 1926 Hukum Swiss ditetapkan sebagai Hukum Keluarga, dalam bidang Hukum Keluarga inilah, monogami ditetapkan sebagai pengganti poligami dan perceraian atas ketetapan hakim berdasarkan alasan-alasan tertentu, yang sama-sama bagi suami atau istri yang berperkara ditetapkan sebagai pengganti talak yang dijatuhkan secara sepihak oleh atau yang dijatuhkan atas kesepakatan bersama kedua suami istri yang bersangkutan.22 Ketentuan poligami undang-undang Turki 1926 menetapkan tidak seorangpun boleh menikah lagi kecuali ia dapat membuktikan bahwa pernikahannya yang lama telah bubar oleh kematian atau perceraian atau oleh keputusan hukum, dan bahwa perkawinan yang kedua dinyatakan secara tidak sah oleh pengadilan dengan alasan orang tersebut telah hidup bersuami istri.23 Pembolehan poligami yang ditujukan Al Qur’an atas berbagai kondisi yang melingkupinya, kemudian secara sukarela ditinggalkan kaum Muslim Turki.24 Hukum yang berhubungan dengan perkawinan, keluarga dan kewarisan yang terdapat dalam The Civil Code 1926 yang dalam masalah belakangan telah mengalami beberapa perubahan sampai dengan tahun1956.25
22
J. N. D Anderson, Hukum Islam, hlm. 105-106.
23
Article 8 dari Text of The Turkish Family ( Marriage and Divorce) Law, 1951 (Cyprus), Berbunyi “ Dialrang bagi seorang untuk menikah lagi kecuali membuktikan bahwa bentuk perkawinannya terdahuu sudah dinyatakan batal atau tidak sah atau telah lepas pernikahannya karena perceraian, kematian atau sebab-sebab lainnya” 24
Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (Bombay: N.M,TRIPATHI PVT.LTD,1972), hlm. 21. 25
Perubahan yang terjadi atas The Civil Code Tahun 1926 tersebut adalah sebagai berikut: amandemen pertama pada tahun 1933, tahun 1938, tahun 1945, tahun 1950, dan
126
Kemudian disebutkan juga dengan berbagai materi perubahan undang-undang tersebut bahwa terdapatnya ketentuan tentang larangan keras poligami dan diberikan sanksi hukuman bagi yang melakukannya, tetapi tidak dikenakan pembatalan dari perkawinan poligami jika pada waktu pernikahan pertama pada saat itu juga berakhir. Poligami tidak dapat diterima pada abad ke-20 ini dan tidak dapat dipahami seseorang yang mempunyai pandangan dan prinsip yang sehat. Kebolehan poligami menurut Al Qur’an tidak dimaksudkan untuk diperlakukan disemua tempat dan waktu.26 Selain itu juga sering terjadi, badan legislatif dipaksa mengakui pendapat (yang berkembang dimasyarakat) tersebut dengan mengeluarkan aturan-aturan hukum yang merupakan perkawinan-perkawinan “tidak formal” ini, dan bahkan mengaturnya perkawinan-perkawinan tersebut bersifat monogamik.27 Perubahan terbaru ini dapat dilihat dalam lapangan hukum keluarga di Turki, perubahan-perubahan tersebut menyangkut substansi dan bentuk hukum syari’ah itu dan manifestasi eksternal dari perubahan mendasar menyangkut esensi filsafat Islam. Turki yang pada tahun 1920-an meninggalkan sama sekali hukum untuk mendukung Undang-Undang Perdata
terakhir tahun 1956, Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Time Press, 1987), hlm. 265. 26
Noel J Coulson, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, alih bahasa: Fuad Zein, (Yogyakarta: Navila, 2001), hlm. 127-128. 27
Noel J Coulson, Konflik, hlm. 107, keterangan yang sama juga dikutip Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi.
127
Swiss. Sementara negara-negara di Timur Tengah mengikuti jalan reformasi hukum dengan cara evolusi dengan revolusi. Proses adaptasi syari’ah terhadap keadaan kehidupan modern adalah percobaan. Doktrin syari’ah yang dilakukan oleh penguasa dengan kompetensi pengadilan syari’ah melalui berbagai perlengkapan prosedural bagi mereka untuk menerapkan berbagai doktrin dari mazhab yang lain. Perubahan dalam hukum sekarang diterima sebagai sesuatu yang sangat logis dan cukup diperlukan sekali, dan hal ini tidak semata-mata sebagai penyimpangan kebutuhan dari patokan ideal yang tidak dapat berubah.28 2. Alasan Larangan Poligami di Turki Jikalau dicermati bahwa alasan praktik pelarangan perkawinan poligami yang umumnya diakui di Eropa, ternyata di lain pihak tidak dapat menutupi aibnya yang membolehkan pelacuran. Dalam Islam terjadi kesepakatan bersama secara sah jika mengambil istri kedua dan menerima pertanggungjawaban yang sah pula dalam pernikahan. Sedangkan Model Eropa, mereka memilih cara yang tidak terpuji dan tidak bertanggung jawab, yakni melakukan hubungan seks dengan para wanita secara bebas dan tanpa ikatan nikah yang sah, namun dengan hanya memberikan imbalan berupa sejumlah uang kepada mereka, ataupun akhir-akhir ini jika dicermati bahwa hubungan yang dilakukan tersebut adalah hubungan yang dilakukan dengan suka sama suka. Hal tersebut yang mengilhami Barat untuk mengatakan
28
Noel J Coulson, Konflik , hlm. 125-126.
128
bahwa poligami adalah praktik yang tidak dapat ditoleransi dalam pandangan mereka di abad ke-20 ini.29 Sekulerisasi Turki dalam menyemangati pembaharuan hukum yang melaksanakan adalah benar-benar hasrat untuk mengadopsi norma-norma dan nilai kebudayaan Barat, dan klaim atas reinterpretasi Al Qur’an adalah semata-mata alat untuk mencapai tujuan yang dipertimbangkan sebelumnya. Mengijinkan tujuan-tujuan untuk merumuskan hukum adalah kontradiksi langsung terhadap prinsip dasar yang bagi masyarakat Islam adalah dalam rangka menyesuaikan dengan hukum. Oleh karena itu, ini merupakan suatu proses yang akhirnya merusak akar iman sendiri. Apabila ditelaah lebih jauh, esensi ketentuan hukum dalam Islam sangat jelas, bahwa kebolehan poligami yang dilakukan adalah kebolehan bersyarat. Ini juga memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat mendesak dan disertai tanggunjawab yang berat bagi laki-laki yang melakukannya. Sementara di Barat, dengan poligami justru telah menimbulkan kerusakan moral yang lebih merajalela. Dalam doktrin mengenai hakekat hukum Islam ketika berhadapan dengan masyarakat setempat, nilai-nilai hukum tersebut harus sesuai dengan standar-standar moral dan mengedepankan kemaslahatan. Dalam teori, syari’ah selalu bersifat egaliter dan merupakan aturan yang komprehensif menyangkut tingkah laku yang meliputi setiap aspek kehidupan manusia dan mengatur hubungan individu dengan masyarakat dan dengan hati nuraninya sendiri atas dasar yang sama dari ketentuan-ketentuan Tuhan, dan 29
John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-Masalah, terj. Machnun Husein, cet. V, (PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.378-379.
129
telah mengandung arti tidak lagi digunakannya standar
moralitas dalam
pelaksanaan ketentuan hukumnya, dan seolah-olah bahwa standar tingkah laku yang seharusnya dipatuhi, dengan munculnya deru sekulerisasi memisahkan lapangan hukum dengan nilai-nilai etika yang seniscayanya juga doktrin. Dengan kata lain, standar tingkah laku tersebut sekarang ini berada diluar wewenang-wewenang hukum dan hal yang seperti ini telah dipraktikkan oleh pengadilan-pengadilan di Barat.30 Dengan pendekatan yang sama pula telah menimbulkan retriksi terhadap praktik poligami. Bagaimana perkawinan poligami yang diterapkan adalah tidak dibagikan hak perlakuan adil bagi istri-istrinya. Pembentukan kitab undang-undang dalam keluarga modern yang saat ini gencar dilakukan, telah menempatkan penegasan secara keseluruhan atas perintah Al Qur’an yang merupakan suatu kewajiban hukum yang tegas yang mengikat seorang sumai dengan syarat yang cukup ketat dalam poligami. Alasan yang cukup jelas diajukan dalam hal ini adalah bahwa dalam kondisi masyarakat sekarang ini, persamaan perlakuan sampai pada kepuasan bersama antara istri-istri dalam praktik adalah tidak mungkin; dengan kegagalan syarat inilah, maka yang tergantung padanya dengan sendirinya niscaya hilang. Berdasarkan alasan ini hukum di Barat menyatakan dengan tegas bahwa poligami dilarang.
30
Padahal pada umumnya, dalam deru pembaruan yang dilakukan pada awal abad ke-20 ini dalam bidang Hukum Keluarga kontemporer menandakan telah terjadi kebangkitan nasionalisme hukum. Noel J. Coulson, Conflik, hlm. 113-118.
130
B. Undang-Undang Keluarga Muslim Tunisia tentang Poligami 1. Kondisi Sosial-Politik yang Melatari Lahirnya Perundangan Poligami Secara Historis, Tunisia bermula dari Dinasti Hafsid yang berdiri pada tahun 1230 dan kemudian menjadi bagian kerajaan Turki Usmani pada tahun 1574.31 Pada pertengahan abad ke-19 kondisi ekonomi dalam negeri Tunisia mengalami kemunduran, sementara di Eropa mengalami kemajuan, sehingga para penguasa Tunisia mencoba melakukan perubahab melalui modernisasi di berbagai bidang. Ahmad Bey (1837-1855) misalnya, mendirikan sekolah politeknik pada tahun 1838 dengan mengundang ahli-ahli Eropa guna melatih satu korps infantry baru dan mengumumkan secara resmi satu konstitusi yang menjamin keamanan bagi warga Negara, persamaan dalam urusan perpajakan, kebebasan beragama, dan pengadilan gabungan Eropa-Tunisia. Tidak kalah pentingnya lagi apa yang dilakukan oleh Khayr al-Din antara tahun 1873-1877, ia berusaha memperkecil anggaran belanja publik, memperkecil kebocoran dalam pengumpulan pajak, dan mereformasi administrasi agama. Membantu mendirikan Sadiq College pada tahun 1875 untuk melatih para pegawai pemerintah dan menunjuk para supervisor baru untuk masjid Zaituna. Perbaikan ini juga meliputi pendirian percetakan untuk memproduksi buku-buku teks dan naskah-naskah khazanah klasik hukum Islam bagi pelajar-pelajar Sadiq College.32 Program reformasi ini secara keseluruhan didasarkan pada prinsip 31
John L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, terj. Eva Y.N, dkk (Bandung: Mizan, 2001), IV: 57. 32
John L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford, hlm. 228-229.
131
bahwasannya pemerintahan yang baik merupakan landasan bagi vitalitas sosial dan ekonomi demi terciptanya pemerintahan yang efektif guna melindungi kepentingan umum. Khayr al-Din menyerukan keadilan politik sebagai landasan bagi persamaan antara warga Eropa dan warga Muslim. Ia beralasan bahwa kekuasaan Bey harus dibatasi oleh ulama yang berfungsi sebagai sebuah parlemen. Oleh karena itu, secara politik dukungan dari ulama sangat dibutuhkan dalam upaya reformasi ini.33 Pada awalnya pihak ulama tidak menentang aspek-aspek teknik program reformasi, seperti reformasi dalam bidang telegraph, namun dalam perkembangannya, ternyata berdampak terasingnya mereka dari reformasi tersebut. Akibatnya, Khayr al-Din diberhentikan dari jabatannya pada tahun 1877. Gerakan reformasi Tunisia selanjutnya mengikuti pola-pola reformasi sebagaimana yang berlaku di Mesir dan imperium Usmani. 34 Namun Demikian, reformasi yang mereka lakukan hanya sekedar membatasi diri dalam mengkonsolidasikan kekuasaan negara.35 Bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Turki Usmani, Tunisia mengalami krisis nasional terus menerus hingga akhirnya runtuhlah kedaulatan Tunisia pada masa pemerintahan Muhammad ash-Shidiq (1859-
33
John L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford.
34
Berawal dari adanya perang besar antara Usmani dan Habsburg pada abad enambelas melatarbelakangi terjadinya penaklukan Usmani terhadap Aljazair pada tahun 1529 sedangkan Tunisia direbut pada tahun 1874. Rezim Usmani menjadikan Tunisia sebagai sebuah propinsi bgi imperium mereka dan mengasramakan 4000 pasukan Jennisari di Tunis yang direkrut di Anatolia, dengan diperkuat oleh tentara pembelot Kristen Italia, Spanyol, dan Provence. Ibid., hlm. 606. 35
John L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford, hlm. 229.
132
1882). Setelah itu, Tunisia menjadi bagian persemaaakmuran Perancis yang berlangsung sampai tahun 1956. Pada tahun 1881 Perancis menduduki dan menguasai Tunisia. Setelah menduduki Tunisia, pemerintah Perancis akhirnya turut campur dalam sistem pendidikan Muslim Tunisia. Pada tahun 1898, Perancis melakukan reformasi terhadap lembaga pendidikan masjid Zaituna dengan memasukan mata pelajaran modern dan metode-metode pedagogis. Akan tetapi, pihak ulama menentang campur tangan Perancis dalam bidang pelajaran hukum Islam.36 Dari tahun 1880-an hingga 1930-an bermunculan para pemimpin Tunisia, baik yang berlatarbelakang ulama maupun birokrat, Pada umumnya mereka menerima kekuasaan Perancis di Tunisia dan berkonsentrasi pada bidang pendidikan dan budaya. Pada tahun 1888 para alumni perguruan Zaituna dan Sadiqqi membentuk surat kabar mingguan al-Hadira yang bertujuan mengulas peristiwa Eropa dan peristiwa dunia, serta mendiskusikan isu-isu politik, ekonomi.dan satra. Elit ini juga yang mempelopori terbentuknya sekolah Khalduniah pada tahun 1896 guna melengkapi pendidikan Zaituna dengan menerapkan pendidikan modern. Tidaklah mengherankan jika kemudian dari sekolah Muslim modern dan juga dari sekolah-sekolah Perancis melahirkan The Young Tunisians yang memiliki semangat tinggi guna memajukan Tunisia.37 Melalui persentuhan dan pengaruh Arab Timur, terutama ide-ide dari
36
John L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford, hlm. 231.
37
John L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford, hlm. 232.
133
ajaran Jamaludin al-Afgani, Abduh, dan Partai Nasionalis Mesir, mereka menyokong modernosasi dan westernisasi masyarakat Tunisia, serta mendukung kebangkitan kultur dan sair Arab, sejarah, geografi, dan teori-teori sosial. Terilhami oleh nilai-nilai Salafiyah, mereka menyerukan reformasi hukum dan pendidikan Muslim serta administrasi wakaf. The Young Tunisians sangat memberikan oerhatian terhadap reformasi hukum Islam dan penddikan kesastraan Arab. Ekspresi politik The Young Tunisians baru muncul bersamaan dengan pendirian jurnak The Tunisian pada tahun 1907. Kalangan liberal yang seculer-minded dan reformer Salafiyah mengembangkan kepekaan politik nasional di bawah gejolak revolusi Rusia, ajaran Woodrow Wilson tentang pengendalian diri, gerakan Wafd di Mesir, dan pembentukan parlemen terpilih di Tripolitania. 38 Hingga tahun 1920 kalangan nasionalis menginginkan persamaan hak, kebebasan pers, dan berorganisasi. Pada tahun 1920, Abdul Aziz al-Tha’alibi, seorang jurnalis dan reformer Arab menjadi pemimpin juru bicara Partai Destour. Partai ini banyak didominasi oleh alumni Zaituna yang beridentitas Muslim-Arab konservatif. Habib Bourguiba dan Mahmud Materi merupakan sosok yang banyak memberikan corak politik yang berbeda dengan kelompok konservatif, sehingga membuat Partai Destour lebih aspiratif, militant, terorganisir, dan secara ideologis lebih terpadu untuk menentang Perancis.39
38
John L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford.
39
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial, hlm. 233.
134
Melalui kongres Partai Destour pada tahun 1932, Bourguiba menuntut kemerdekaan Tunisia dan menawarkan perjanjian persahabatan untuk menjamin kepenyingan Perancis. Maka, pada tahun 1934, Bourguiba dan kelompoknya mengambil alih pimpinan partai dan membuat Partai NeoDestour dengan Materi sebagai presiden dan Bourguiba sebagai sekretaris jenderalnya. Akhirnya, pada tahun 1955, pemerintah Perancis mengakui otonomi Tunisia. Ini terjadi dikarenakan setidaknya oleh 2 hal. Pertama, pemberontakan yang terjadi di Tunisia semakin meningkat. Hal ini terlihat, semua lapisan masyarakat mendukung agar Tunisia merdeka, baik dari kalangan petani, feminis, maupun perkumpulan buruh. Ditambah, Bourguiba kembali memimpin kolaborasi Neo-Destour dengan beberapa perkumpulan buruh dan kelompoklainnya. Kedua, adanya tekanan diplomasi PBB, yang berjuang pada tanggal 20 Maret 1956 protektorat Perancis di Tunisia dihapus. Dengan demikian, Tunisia menjadi negara merdeka.40 Setelah terbentuknya Negara Tunisia, Negara tersebut kemudian mengadakan pemilihan presiden yang pada akhirnya menempatkan kebijakan ekonomi baik kapitalisisme liberal maupun sosialis. Akan tetapi, kebijakan itu tidak didasari oleh ideologi yang jelas dan kontrol yang cukup dari pemerintah dalam implementasinya, sehingga kebijakan tersebut tidak bisa berjalan dengan semestinya. Di samping itu, rezim Bourguiba berusaha mensekulerkan masyarakat Tunisia secara drastis seperti halnya yang terjadi di Turki pada masa Mustafa
40
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial, hlm. 234-235.
135
Kamal at-Tarturk. Dia melakukan gebrakan yang dinilai controversial, seperti membuat sebuah peradilan sekuler, kitab hokum perorangan yang melarang poligami dan memasukan perkawinan serta perceraian ke peradilan sipil. Puasa Ramadhan dikecam sebagai penghambat produktivitas. Dengan menegaskan fatwa bahwa pembangunan ekonomi adalah sebuah jihad. Oleh karena itu, puasa boleh ditangguhkan untuk sementara waktu. Bahkan, rezim ini mendukung persamaan hak laki-laki dan wanita. Emansipasi wanita ini terlihat dalam partisipasi mereka di berbagai tempat kerja, seperti di kantor, pabrik, pelayanan kesehatan, pengajar dan lain sebagainya.41 Meskipun
pemerintah
telah
membuat
kebijakan
modernisasi
sekularisai demi kemajuan Tunisia, namun belum sepenuhnya diterima masyarakat. Karena kecewa akibat tidak adanya kesempatan ekonomis dan akibat tidak adanya sifat kepecayaan pada elit politik yang berlangsung sejak 1960-an, maka kalangan mahasiswa dan intelektual Tunisia menekankan identitas Arab dan Muslim mereka daripada identitas Tunisia-Perancis. 42 Kalangan intelektual muda memberikan tekanan yang lebih besar kepada sosialisme dan demokrasi sebagai perlawanan terhadap kapitalisme, perusahaan asing, dan pengaruh Eropa. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah dinilai telah mengakibatkan peran Islam di Tunisia modern berkurang. Islam diposisikan subordinat di mata negara sekuler, sehingga perannya dalam memengaruhi masyarakat menjadi terbatas. Meskipun konstitusi menyatakan bahwa Islam 41
Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford, hlm. 58.
42
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial, hlm. 236-237.
136
adalah agama negara Tunisia, tetapi bertolak belakang dengan realitas di lapangan. Pengadilan Syari’ah dihapus, pemerintah menyiapkan khutbah yang harus disampaikan di masjid-masjid. Undang-Undng Personal Status didasarkan pada penafsiran liberal atas hokum Islam, dan pendidikan agama disekularisasi
dengan
didirikannya
sebuah
fakultas
teologi
untuk
menggantikan masjid Zaituna sebagai pusat pengajaran islam.43 Meskipun kebijakan-kebijakan sekuler memperoleh dukungan dari pemerintah, namun tiga metode praktik Islam masih tetap berperan penting dalam Negara dan masyarakat Tunisia. Pertama, praktik-praktik tradisional termasuk partisipasi dalam tarekat-tarekat. Kedua, perilaku yang dipengaruhi oleh gerakan Salafiyah dan ideology Ikhwanul Muslimin, Mesir. Ketiga, perilaku keagamaan rasional yang member tempat terdepan terhadap akal dalam penafsiran teks-teks suci.44 Namun upaya sekularisasi di Tunisia dalam perjalanannya mendapat penolakan dan terjadi penentangan.Penentangan muncul dari kalangan revivalis yang menilai Negara sekuler yang ditawarkan oleh Bourquiba mengalami kegagalan dalam mewujudkan janjinya akan kemajuan dan mobilitas sosio-politik.Radikalisasi politisasi muncul di Tunisia pada akhir 1970-an yang dipimpin oleh Rasyid al-Ghannousyi, yang pada awalnya, gerakan ini hanya sekadar lebih mengedepankan gerakan moral keagamaan. Ada tiga faktor penyebab munculnya radikalisasi dan politisasi gerakan Islamis di Tunisia. Pertama, pengenalan siswa-siwa sekolah 43
Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford, hlm. 59.
44
Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford.
137
menengah Islam militan pada pemikiran Marxis begitu mereka memulai pendidikan di tingkat Universitas. Kedua, konflik antara pemerintah Tunisia dan federasi buruh. Ketiga, pengaruh revolusi Iran 1978-1979. Merasa disesatkan dan diasingkan, gerakan ini mengubah sebuah kelompok yang pada dasarnya apolitis menjadi sebuah organisasi aktivis, 45 dengan menamakan dirinya Mouvement de la Tendance Islamique, disingkat MTI (Gerakan Kecenderungan Islam) pada tahun 1981, dan berubah pada 1988 menjadi Hizb al- Nahdhah (Partai Kebangkitan). Pada tahun 1987, tampak kepresidenan Tunisia berganti dari Habib Bourguiba (1956-1987) kepada rezim Zine el Abidine Ben Ali. Dalam upaya meredam,
mengkooptasi
atau
menyatukan
oposisi
Islam,
ben
Ali
mengeluarkan berbagai kebijakan yang ditujukan untuk memberikan peran lebih besar pada Islam dalam sendi kehidupan Tunisia agar dianggap sebagai pelindung Islam. Azan dan Sholat pun disiarkan di telepvisi, tanggal Hijriyah di atas dokumen-dokumen resmi, dan Zaitunah diberi status sebagai sebuah Universitas. Menghidupkan kembali Komite Pemerhati Urusan-urusan Agama.46 Namun upaya tersebut ternyata tidak mampu menarik basis dukungan dari kalangan oposisi Islam, sehingga pada akhirnya Ben Ali mengambil langkah tegas berupa pembersihan terhadap tentara dan polisi yang berafiliasi
45
Perubahan ini dilakukan guna memenuhi tuntutan pemerintah agar setiap partai tidak menyandang kata “Islam” dalam partainya. Ibid.; John L. Esposito dan John O. Voll, Makers of Contemporary Islam (New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 91. 46
Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford, hlm. 104
138
dengan gerakan Islam, menangkap ratusan orang yang dianggap melawan pemerintah. Setelah pemilihan daerah 1989, al-Nahdhah kembali ditolak status hukumnya, Ghannusyipun mengasingkan diri ke Paris, dan wakilnya, Abd alFattah Muru’, mengambil alih kepemimpinan partai. Ketegangan antara pemerintah dan oposisi Islam terus meningkat dan mengalami puncaknya pada awal 1993, pemerintah memerangi habis-habisan terhadap oposisi Islam, sehingga al-Nahdhah menjadi hancur secara efektif di seluruh daerah Tunisia. Lahirnya Undang-undang larangan poligami secara mutlak tidak lepas dari konteks sosio-politik yang melatar belakanginya. Secara umum, lahirnya UU Keluarga Tunisia pada tahun 1956, termasuk UU yang mengatur tent ang poligami tidak lepas dari pengaruh gerakan reformasi yang dilakukan oleh pemikir Muslim Tunisia disebabkan adanya pengaruh dari pemikiran Barat. Hal ini berawal dari adanya kontak sosial- budaya antara Tunisia dan Prancis, antara tahun 1885-1912, tidak kurang dari 3000 anak tunisia dikirim belajar ke Paris. Sebaliknya, orang-orang Perancis melakukan kolonialisasi di Tunisia.47 Pada tahun 1906 tercatat 34.000 orang Prancis tinggal di Tunisia dan angka
itu
melonjak
menjadi
144.000
pda
tahun
1945.
Mereka
memperkenalkan pertanian dan pendidikan modern kepada masyarakat Tunisia. Dipihak lain, orang Tunisia yang belajar ke Paris setelah kembali mereka melakukan pembaruan pendidikan melalui Zaituna dan Sadiqi College yang kemudian melahirkan Khalduniyyah college. 48 Organisasi terakhir ini
47
M. Atho Muzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: antara Tradisi dan Liberasi, cet. I (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1980, hlm. 112.
139
dalam perkembangan sejarah pembaruan di Tunisia menjadi pusat gerakan yang disebut The "Young Tunisians" Sejak tahun 1883 sampai abad pertengahan abad ke-20, Tunisia masih dibawah dominasi politik Perancis. Selama periode ini, budaya hukum Tunisia mengalami pembaratan yang semakin meluas. Hukum civil, kriminal, komersial dan prosedural yang di buat di Tunisia sampai tahu 1956 sebagian besar merepleksikan prinsip-prinsip perundangan dan hukum civil Prancis. Setelah merdeka pada tahn 1956, negara Tunisia melalui konstitusinya mengumumkan bahwa pada tahun 1957 negara itu menjadi Republik demokrat telah terbentuk. Kondisi ini merupakan langkah awal akan perumusan Undang-undang nasional yang secara umum memodifikasi beberapa hukum-hukum sebelum kemerdekaan dan mengambil beberapa hukum baru, baik hukum civil maupun kriminal, termasuk hukum keluarga.49 Pada tahun 1956 presiden Habib Bourguiba menetapkan undangundang keluarga, yang dinamakan Code of Personal Status/ Majallat al-Ahwal asy-Syakhsiyyah no 66 Tahun 1956 sebagai hukum keluarga nasional. Dalam undang-undang itu menyatakan bahwa poligami dilarang secara mutlak dan menghukum yang melanggar aturan tersebut. Bahkan pada tahun 1964, perilku poligami bukan saja dapat dikenakan hukuman, tetapi juga dinyatakan bahwa perkawinan tidak sah.50
49
Tahir Mahmood, Statutes of Personal Law in Islamic Countries: History, Texts and Analysis, Edisi Revisi II (New Delhi: ALR, 1995), hlm. 42-43. 50
Dawoud El Alami dan Doreen Hinchliffe, Islamic Marriage an Divorce Laws of the Arab World (London: The Hague, Boston: Kluwer Law International, 1996), hlm. 173;
140
Pada tanggal 10 Agustus 1956 yang disiarkan keseluruh penjuru Tunisia, Habib Bourquiba menjelaskan bahwa larangan poligami adalah satu pembaruan yang sudah lama menjadi tuntutan. Poligami merupakan bentuk perkawinan yang tidak mungkin diizinkan pada abad ke-20 dan tidak mungkin dilakukan oleh orang yang mempunyai pikiran benar. Ia berpendapat bahwa hukum itu sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip Islam manapun. Kebolehan poligami dalam al-Qur'an tidak dimaksudkan untuk diberlakukan di semua tempat dan waktu.51 Keluarga adalah tonggak (pondasi) masyarakat dan keluarga dapat berhasil dengan baik hanya dengan dasar saling menghormati dan menghargai diantara pasangan. Salah satu upaya untuk saling menghormati dan menghargai ini adalah dengan nikah secara monogami. Karena monogami bukan hanya ingin mengangkat harkat dan martabat wanita, tetapi lebih dari itu, untuk menciptakan saling menghormati dan menghargai diantara pasangan sebagai usaha maksimal untuk melahirkan anak-anak yang baik.52 Dilarangnya poligami secara mutlak di Tunisia didasarkan juga pada fakta yang ada di lapangan. Praktik poligami yang dilakukan oleh sebagian pelaku poligami yang benar-benar dapat belaku adil terhadap istri-istrinya dan dapat menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Dengan
Carolin Fluehr-Lobban, Islamic Society in Practice (Florida: University Press of Florida, 1994), hlm. 120. 51
Noel J. Coulson, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, terj. Fuad Zein (Yogyakarta: Navila, 2001), hlm. 127. 52
Norman Anderson, Law Reform in the Muslim World (London: The Athlone Press, 1976), hlm. 63.
141
demikian, praktik poligami yang ada tersebut tidak sejalan dengan syarat yang diharuskan al-Qur'an. Berdasarkan fakta inilah kemudian dirumuskan sebuah aturan formal yang bertujuan melarang praktik poligami di Tunisia,53 maka lahirlah Undang-undang Keluarga (Code of Personal Status No. 66 Tahun 1956) yang ditetapkan pada tahun 1957 oleh presiden Habib Bourguiba.54 Dalam perkambangan sejarahnya, Undang-undang Keluarga Tunisia mengalami beberapa kali perubahan, yakni dari UU No. 70 Tahun 1958, Hukum No. 77 Tahun 1959, UU No. 61 Tahun 1961, UU No. 1 dan 17 Tahun 1964, UU No. 49 Tahun 1966, dan UU No. 7 Tahun 1981. Walaupun beberapa kali mengalami amandemen, pasal yang mengatur tentang poligami secara substansi tidak berubah. Aturan Poligami dalam Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia diatur dalam pasal 18, UU no. 7 Tahun 1981, menyatakan bahwa; (i) poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau membayar denda 240.000 malims atau dengan kedua-duanya. (ii) siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957 tertanggal 4 muharam 1377 (1 Agustus 1957) berkenaan tentang peraturan tentang status sipil dan bagi seseorang yang melakukan kontrak nikah kedua sementara ia masih dalam status nikah dengan istri pertama, maka akan dikenakan hukuman yang sama. (iii) siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman menurut ketentuan yang resmi, ia bsa juga dikenakan hukuman yang sama. 53
Khoiruddin Nasution, “Perdebatan Sekitar status Poligami: Ditinjau dari Perspektif Syari’ah Islam”, dalam Musawa, Vol. I No. I, Maret 2002, hlm. 78. 54
J.N.D. Anderson, The Tunisian Law of Personal Status, dalam International and Comparative Law Quartely, 7 April 1985, hlm. 267, Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Leiden- Jakarta: INIS,2002), hlm. 121.
142
55
(iv) Pasal 53 tentang hukum pidana tidak diterapkan dalam pasal ini.55
Dengan melihat undang-undanng Tunisia ini, maka secara formal terdapat aturan yang dinilai dapat menekan adaya kesewenang-wenangan pihak suami terhadap istrinya. Hal ini dikarenakan dalam aturan perundangudangan tersebut mengandung sanksi tegas. Jika suami yang tetap bersikeras melakukan poligami padahal masa perkawinannya dengan istri pertama belum cerai, maka ia akan dihukum dengan kurungan penjara satu tahun atau denda 240.000 miliams atau kedua-duanya secara sekaligus. Reformasi hukuman yang dilakukan Tunisia berupa melakukan kesetaraan hak antara laki-laki dan Wanita. Dalam Undang-Undang Keluarga Tunisia, status wanita disejajarkan dengan laki-laki. Meskipun secara eksplisit The Code of Personal Status tidak merujuk pada teks suci Islam, tetapi secara implisit menunjukkan, ajaran-ajaran Islam berperan islam berperan besar terhadap pembentukkanya. Pemerintah tuisia tampaknya berusaha melakukan pembaruan fase baru islam dengan melakukan ijtihad yang tampak berbeda dengan negara-negara Muslim lainnya. Usaha tersebut untuk menciptakan kesetaraan jender dalam wilayah perkawinan. Sebagian pengamat menganggap bahwa ada motifasi politis dari pemerintahan Tunisia memberlakukan undang-undang yang sangt progresif tersebut. 56 Setidaknya untuk membendung gerak lawan-lawan politik dari islam garis keras. Sebab, dengan mengutip pendapatnya Zakia Bouaziz selaku 55
Tahir Mahmood, Status of Peronal Law, hlm. 173.
56
Tontowi,”Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontemporer” dalam Mukaddimah, No. 19 Th. IX (2005), hlm. 354.
143
Direktur CREDIF tunisia, sebuah lembaga pemerintahan dibawah kementerian urusan wanita dan keluarga, Zuhdi mahmood menjelaskan bahwa cara terbaik untuk membendung gerakan islam garis keras di tunisia
adalah dengan
memberdayakan kaum wanita. Tetapi, lebih dari sekedar motifasi politik, pemerintah Tunisia memiliki komitmen dalam melakukan Revormasi diberbagai bidang terhadap pembelaan dan pemberdayaan kaum wanita.57 2. Alasan Larangan Poligami di Tunisia Dengan melihat kondisi sosio-politik yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang poligami di Tunisia, maka dapat ditemukan alasan mendasar mengapa poligami itu dilarang.hal ini disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor kondisi sosial dalam masyarakat. Praktik poligami yang dilakukan oleh sebagian pelaku masyarakat Tunisia pada umumnya tanpa sengaja membuat pihak istri dan anak-anak terugikan. Tidak ada pelaku poligami yang benarbenar dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya dan dapat menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, karena itu, praktik poligami tidak sejalan dengan syarat yang diharuskamn Al- Qur'an. Sementara itu, alasan yang digunakan oleh pemerintah Tunisia dalam pelarangan poligami tersebut ada dua. Pertama, bahwa pada masa modern sekarang masyarakat telah menjadi masyarakat yang berbudaya. Karena itu, institusi perbudakan dan poligami dilarang, sebab kedua institusi ini hanya boleh pada masa perkembangan. Kedua, sutat An-nisa (4): 3, yang menetapkan bahwa syarat mutlak seorang suami boleh poligami adalah jika 57
Zuhdi Mahmood, Undang-undang Keluarga Islam: Konsep dan Pelaksanaannya di Malaysia (Kuala Lumpur: Karya Abazie, 1972), hlm. 112.
144
dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya sedangkan fakta sejarah membuktikan hanya Nabi yang dapat berlaku adil terhadap istri-strinya.58 Konteks dari alasan larangan poligami diatas barang kali negara Tunisia berusaha menjelaskan kepada masyarakat bahwa pembaruan yang dilakukan sesuai dan sejalan dengan ajaran islam,59 tidak seperti Turki yang mengadopsi sistem hukum Eropa (Swiss).60 Lebih dari itu, dasar pertimbangan menyusun UU bukan hanya dasar konsep murni, tetapi sudah di padukan dengan fakta yang terjadi dilapangan, ternyata praktik polgami yang ada di Tunisia pelakunya tidak dapat berlaku adil. Karena itu, dirumuskanlah sebuah aturan formal yang bertujuan melarang paktik poligami. Maka pada tahun 1957, ditetapkan Code of Personal Status No.66 Tahun 1956 yang melarang poligami secara mutlak oleh presiden Habib Bourguiba. Terlihat jelas bahwa perumusan dan penetapan UU Keluarga tentang larangan praktik poligami tidak lepas dari andil besar dari presiden pertama Tunisia, Habib Bourguiba. Melalui kekuasaan politik yang di pegangnya, ia berusaha
melakukan
pembaharuan
yang
begitu
signifikan
terhadap
pembentukan Code of Personal Status Tunisia yang mengarah pada persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan wanita di depan hukum. Hal
58
Norman Anderson, Law Reform, hlm. 110.
59
Hal ini terlihat dari alas an atau tujuan pembaruan hokum keluarga Tunisia, yang salah satu diantaranya adalah untuk menyatukan pandangan masyarakat yang beragam berdasarkan pandangan mazhab popular dengan tetap mendasarkan pada prinsip-prinsip Syari’at islam. J.N.D. Anderson, The Tunisian Law of Personal Status, dalam International and Comparative Law Quartely, 7 April 1985, hlm. 264-265. 60
Abdullah Ahmed An-Na’im (ed), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed Book Ltd, 2002), hlm. 27; J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, terj. Machnun Husein, (Surabaya: CV. Amarpress, 1991), hlm.50.
145
ini terlihan pada tanggal 10 Agustus 1956 yang di siarkan ke seluruh penjuru Tunisia, Habib Bourguiba menjelaskan bahwa larangan poligami adalah satu pembaruan yang sudah lama menjadi tuntutan. Poligami merupakan bentuk perkawinan yang tidak mungkin di izinkan pada abad ke-20 dan tidak mungkin di lakukan oleh seorang yang mempunyai pikiran benar. Ia berpendapat bahwa hukum itu sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip Islam manapun. Kebolehan poligami menurut al-Qur'an tidak di maksudkan untuk di berlakukan di semua tempat dan waktu.61 Berdasarkaan pasal 18 Code of Personal Status No. 66 Tahun 1956 yang melarang poligami secara mutlak, maka secara formal terdapat aturn yang di nilai dapat menekan adanya kesewenang-wenangan suami terhadap istri. Hal ini di karenakan dalam aturan perundang-undangan tersebut mengandung sanksi tegas. Jika suami tetap bersikeras melakukan poligami padahal masa perkawinannya denngan istri pertama belum cerai, maka ia akan di hukum dengan kurungan penjara selama satu tahu atau denda 240.000 malims dan bisa juga dikenakan kedua-duanya sekaligus. Bahkan aturan tersebut berlaku bagi seluruh warga Tunisia, tanpa adanya pemisahan antara warga Muslim maupun non Muslim. Karena itu, Undang-undang Keluarga Tunisia bersifat nasional, berlaku bagi seluruh warga tanpa pembedaan agama, meskipun penduduknya mayoritas beragama Islam.62 Banyak kalangan berpendapat bahwa secara umum materi UU Hukum Keluarga Tunisia merupakan aturan hukum yang menempatkan wanita sejajar 61
Noel J. Coulson, Konflik, hlm. 127.
62
J.N.D. Anderson, Hukum Islam, hlm. 106.
146
dengan kaum laki-laki. Aturan hukum yang di rumuskan tersebut dinilai emansipatoris dan tida bias jender serta di anggap telah melangkah lebih jauh dari konsep fiqh klasik terutama sekali dalam hal aturan poligami. Hal inilah yang membedakanya dengan negara Muslim lain yang pada satu sisi juga melarang praktik poligami namun bentuk pelarangannya hanya sebatas mempersulit izin berpoligami. Sedangkan negara Tunisia secara tegas melarang praktik poligami. Jika merujuk pada sejarah perkembangan hukum keluarga Tunisia, dapat dilihat bahwa benih-benih akan penegakan emansipasi dan kesetaraan wanita dalam berbagai bidang, termasuk dalam wilayah perkawinan pada umumnya tidak lepas dari pengaruh arus pemikiran Muslim Tunisia yang menginginkan
adanya
perubahan
mendasar
terhadap
aturan
hukum
perkawinan. Mereka menilai perlu adanya reformasi yang mengarah pada kesetaraan antara laki-laki dan wanita, seperti yang dilancarkan feminis Muslim Tunisia, Tahir al-Haddad. Ketika Tunisia memperoleh kemerdekaan, barulah transformasi perubahan akan adanya persamaan hak yang sama bagi semua warga di depan hukum. Dengan kata lain, realisasi ini baru mengemuka setelah Tunisia lepas dari protektorat Perancis dengan membuat Code of Personal Status yang mengakomodir persamaan hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki (suami) dan wanita (istri) dalam wilayah perkawinan. Reformsi tersebut baru berjalan pada era Habib Bourguiba, selalu presiden
147
Tunisia terpilih yang menginginkan negaranya harus selaras dengan arus perubahan dan modernisasi.63 Meskipun Tunisia mayoritas penduduknya bermazhabkan Maliki dan sebagiannya bermazhabkan Hanafi, namun karena terjadi kontaak budaya dan pengaruh institusi hukum Eropa, khususnya Perancis, maka secara tidak langsung turut berperan dalam mempengaruhi sistem pemikiran hukum yang berkembang di Tunisia ketika merumuskan sebuah aturan hukum. Sebab, berdasarkan sejarah perkembangan hukum di Tunisia sebelum merdeka, sistem hukum protektorat Perancis cukup dominan berpengaruh dan banyak pemikir-pemikir Tunisia yang berpendidikan Barat (Perancis), sehingga tak mengherankan jika dalam memahami hukum Islam cenderung liberal, termasuk persoalan poligami. Penafsiran yang liberal terhadap persoalan poligami ini terlihat ketika menafsirkan ayat tentang poligami bukan hanya berdasarkan pada surat anNisa (4): 3 semata, tetapi menghubungkannya dengan ayat sesudahnya, anNisa (4): 129, yang di artikan sebagai ketidakmampuan manusia berlaku adil kecuali Nabi. Disamping juga membenturkannya dengan kondisi sosiologis di lapangan yang ternyata praktik poligai banyak menyengsarakan pihak istri,
63
Musthafa as-Siba’i berpendapat bahwa diterbitkannya UU yang melarang poligami di Tunisia disebabkan para pemimpin disana telah terpengaruh pendidikan barat dan mereka menganggap UU tersebut merupakan langkah maju dalam usaha membebaskan kaum wanita meski mendapat reaksi keras dari sebagian masyarakat Tunisia. Musthafa as-Siba’I, Wanita di antara Hukum Islam dan Perundang-undangan, terj. Chadidjah Nasution (Jakarta: Bulan Bintang, t.t), hlm. 155.
148
sehingga tujuan dari perkawinan tidak terwujud. Berdasarkan argumentasi inilah, maka kemudian dirumuskan sebuah aturan formal yang melarang poligami secara mutlaak. Berdasarkan upaya progresif pemerintah Tunisia dalam membela kaum wanita diatas, David Pear menilai bahwa Tunisia tetap melandaskan penetapan larangan poligami pada al-Qur'an, karena Tunisia ingin modern tetapi tetap ingin berada pada koridor agama. Dengan demikian Tunisia adalah negara Muslim ketiga setelah Turki dan Druze Lebanon yng melarang poligami secara mutlak.64 Secara filosofis, tujuan diberlakukannya larangan poligami dalam perundang-undangan Tunisia memiliki tujuan yang baik, yaitu demi terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah dalam masyarakat Tunisia. Hal ni sebagai problem solving terhadap banyaknya praktik poligami di masyarakat Tunisia yang menyengsarakan pihak istri dan anak-anak, sehingga tujuan dari perkawinan tidak terwujud. Bahwa secara yuridis, undang-undang tersebut memberlakukan sanksi yang tegas terhadap suami yang tetap nekat melakukan praktik poligami dengan hukuman satu tahun penjara atau membayar denda sebesar 24.000 malims, bahkan kedua-duanya. Hal ini membuktikan keseriusan pemerintah Tunisia dalam menggangkat harkat dan martabat hak-hak wanita di depan hukum. Namun secara sosiologis, aturan tersebut tidak sejalan dengan cita-cita hukum. Meskipun negara Tunisia terbilang negara yang melangkah jauh 64
David Pearl dan Werner Menski, Muslim Family Law, edisi ke-3 (London: Sweet & Maxwell, 1998), hlm. 242.
149
dalam melakukan pembaruan hukum keluarga dengan melarang poligami secara mutlak, tetapi dari segi penerapan/aplikasi di lapangan dirasa belum maksimal. Sebab, berdasarkan hasil penetian yang dilakukan oleh Fati Ziai di Maroko, Aljazair, dan Tunisia menyimpulkan, bahwa ternyata lembaga peradilan Tunisia lebih konsisten memberlakukan hukum tradisional dari pada hukum modern yang lebih melindungi hak-hak kaum wanita.65. Salah satu penyebab tidak efektifnya pemberlakuan aturan tesebut adalah reformasi yang dilakukan oleh pemerintah Tunisia lebih banyak berangkat dari atas ke bawah ( top down), bukan dari kesadarn seluruh masyarakat yang menggiginkan adanya perubahan dalam pemberlakuan hukun Islam menjadi hukum positif. Inisiatif perubahan banyak di pegang oleh pemerintah, sehingga peran serta masyarakat tidak begitu dominan, termasuk reformasi dalam bidang hukum keluarga berupa larangan poligmi. Banyak yang menentang gerakan pembaruan yang dilakukan oleh pemeintah karena dinilai keluar dari ketentua-ketentuan hukum Islam. Diantara aktivis organisasi Islam yang menentang pembaruan pemerintah tersebut adalah Ittihajah al-Isami ,yang kemudian berubah menjadi al-Nahda , sebuah partai politik yang garis besar tujuan perjuanganya adalah penerapan ekonomi dan pembangunan di Tunisia harus memasukan nilai-nilai religius. Mereka sangat menentang reformasi yang dilakukan oleh Habib Bourguiba dan penerusnya, Ben-Ali , terutama dalam Code of Personal Status yang mereka anggap 65
Fati Ziai,”Personal Status Codes and Women’s Right in the Maghreb, “ dalam Mahnaz Afkhami dan Erika Friedl, Muslim Women and the Politics of Participation: Implementing the Beijing Platform ( Syracuse University Press, 1997), hlm. 78; Khoiruddin Nasution, Status Wanita, hlm. 269.
150
sebagai pembaruan yang tidak sesai dengan syariat Islam. Bahkan mereka menyerukan untuk kembali kepada aturan hukum Islam yang membolehkan poligami.66 Penolakan terhadap pembaruan hukum yang dilakukan pemerintah merupakan bukti masih adanya dikotomi dan kesalahpahaman di masyarakat yag menggangap bahwa hukum Islam yang menjadi undang-undang bukanlah hukum yang sama seperti yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh, sehimgga tidak perlu di taati. Meskipun sebenarnya materi undang-undang itu sendiri bersumber dari prinsip-prinsip hukum Islam, pendapat para imam mazhab yang ada dalam kitab-kitab fiqh, yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman , tetapi prosedurnya saja yang berbeda berupa penggunaan bahasa hukum/undang-undang dalam pembuatantya dan berlaku bagi semua orang. Disamping sebagai upaya unifikasi hukum yang berbeda dalam masyarakat Tunisia guna menyatukan dua mazhab yang ada disana, yakni penganut mazhab Maliki dan Hanafi. Agar hukum atau undang-undang berjalan efektif di masyarakat, upaya sosialisasi dari berbagai kalangan yang terkait menjadi sangat penting. Karena itu, upaya memahamkan masyarakat bahwa positivisasi hukum Islam adalah langkah penting dalam upaya unifikasi hukum dan secara materil bersumber dari hukum Islam perlu disosialisasikan secara maksimal. Dengan demikian, dalam pembuatan undang-undang bukan hanya berdasarkan pada aspek
66
Carolin Fluehr-Lobban, Islamic Society, hlm. 122-123.
151
filosofis dan yuridis saja, tetapi secara sosiologis peraturan perundang undangan tersebut juga mesti berlaku di masyarakat. Dengan demikian, pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan bukan hanya berdasakan inisiatif dari pemerintah saja, tapi juga harus melibatkan peran serta masyarakat lebih luas. Tujuamya adalah agar dalam pelaksanaanya murni berdasakan kesadaran masyarakat, bukan karena keterpaksaan, termasuk aturan larangan poligami di Tunisia.
C. Relevansi dan Kontribusi Pelarangan Poligami di Turki dan Tunisia terhadap Pengembangan Hukum Keluarga Muslim Kontemporer yang Egaliter Kata relevansi berasal dari kata relevan yang berarti kait mengait, bersangkut paut, atau berguna secara langsung. 67 Penggunaan kata relevan disini dimaksudkan untuk mencari sangkut paut dan berguna secara langsung serta adanya keterkaitan antara pembaruan yang dilakukan Turki dan Tunisia dengan pengembangan hokum dalam memahami poligami dalam Islam secara komprehensif guna pembentukan keluarga Muslim dewasa ini yang mengarah pada larangan poligami namun tetap merujuk pada prinsip-prinsip Syari’at Islam. Terdapat keterkaitan dan korelasi positif yang ada dalam pembaruan yang dilakukan Turki dan Tunisia dengan adanya pergeseran dari sebagian Negara-negara Muslim dewasa ini kearah pembentukan hokum keluarga yang 67
J.S. Badudu, Sutan Mohammad Zein , Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 1151.
152
lebih mengedepankan persamaan derajat, hak dan kewajiban yang setara didepan hukum. Melalui pembaruan hukum yang dilakukan Turki dan Tunisia dalam pembentukan aturan pelarangan poligami dapat dijadikan pedoman dalam melakukan pembaruan dinegara-negara muslim lainnya. Meskipun dalam pelaksanaannya terdapat pro-kontra dalam masyarakat. Sebab, setiap ada usaha pembaruan hukum keluarga yang selama ini dianggap mapan banyak yang mensikapinya secara a priori dan rasa curiga, bahkan penolakan sebagian umat islam terhadap gagasan pembaruan dalam hokum islam, seperti yang terjadi di Indonesia. Ada sebagian kalangan akademik, seperti dimotori oleh Musdah Mulia berusaha melakikan counter legal draf KHI yang menilai bahwa KHI yang ada selama ini asih bias gender. Dalam rancangan KHI baru tersebut mengarah kepada pelarangan poligami secara mutlak seperti yang terjadi di Turki dan Tunisia. sebab, dalam pasal 3, ayat (1) draf KHI yang baru menyatakan bahwa azaz perkawinan adalah monogami, dan ayat (2) bebunyi perkawinan yang dilakukan diluar azaz sebagaimana pada ayat (1) dinyatakan batal secara hukum. Seabagian besar masyarakat islam tidak setuju dan menolak rancangan KHI tersebut karena dinilai bertentangan dengan syari’at islam. Kasus yang terjadi di Indonesia diatas merupakan salah satu contoh fakta tantangan bagi sejumlah Negara-negara muslim lain yang ingin melakukan pembaruan terhadap hukum keluarga, terutama persoalan poligami. Padahal al-Qur’an sendiri telah memberikan prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai etis
153
bagi seseorang dalam menetapkan suatu hukum dan begitu pula dalam penerapannya di lapangan. Pada prinsipnya, al-Qur’an memproklamirkan bahwa perkawinan dalam Islam adalah mengarah pada perkawinan monogami. Namun dalam kenyataannya, sangat tergantung kondisi sosio-kultural masyarakat setempat. Dibolehkannya poligami merupakan problem solving yang sifatnya kasuistik sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah anak yatimketika itu dari kemungkinan terjelek yang ada, dengan membolehkan wali menikahi meeka, maksimal empat dengan syarat tertentu yang harus dipenuhi, yakni dapat berlaku adil. Dengan adanya perundang-undangan pelarangan poligami yang digunakan Turki dan Tunisia serta semangat yang dibawa oleh al-Qur’an, maka ada beberapa hal yang mesti dielaborasi lebih lanjut untuk memahami poligami secara lengkap. Pertama, perlu memahami misi dasar Al-Qur’an mengenai perkawinan. Agar dapat memahami misi dasar ini dengan baik, diperlukan kajian yang mendalam mengenai kondisi masyarakat Arab sebelum Islam datang dan masa pewahyuan Al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pada masa pra Islam, menikahi banyak istri merupakan sesuatu hal yang biasa dilakukan ketika itu. Kondisi demikian disebabkan status wanita masih dipandang rendah sehingga tidak mengherankan mereka dapat diwariskan kepada laki-laki lain. Bahkan kebiasaan mengubur anak perempuanpun merupakan hal yang wajar. Kebiasaan inilah yang dihapus oleh Islam, namun dilakukan secara gradual atau pelan-pelan, termasuk masalah
154
poligami. Islam membolehkan poligami sebagai jawaban terhadap kasus perilaku sejumlah wali yang mengniaya anak yatim yang berada dalam perwalian mereka, berupa menahan aatau tidak mengembalikan harta anak yatim tersebut ketika telah beranjak dewasa. Padahal ketika anak yatim tersebut dewasa, maka para wali harus mengembalikannya kepada merekaa. Guna mengatasi persoalan tersebut, islam membolehkan menikahi anak yatim tersebut dengan syarat harus berlaku adil dan dibatasi hanya boleh empat orang istri. Kedua perlu adanya pembedaan antara nass normatif-idealistikuniversal dengan nass kasuistik-praktis-temporal. Pembedaan ini penting dilakukan guna menghindari terjadinya generalisasi pemahaman terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang sifatnya kasuistik dengan ayatayat yang mengandung prinsip-prinsip universal dan berlaku sepanjang masa. Ketiga, dalam menafsirkan ayat tentang poligami tidak cukup hanya dengan memahami satu atau beberapa nass yang berdiri sendiri kemudian mengambil keseluruhan yang berkaitan dengan masalah poligami secara menyatu dan menjadi satu kesatuan utuh. Setelah itu, harus dihubungkan dengan seluruh nass yang berhubungan dengan perkawinan dan dilanjutkan dengan menghubungkan kesimpulan tersebut dengan missi dasar atau spirit yang diamanatkan oleh Al-Qur’an. Adapun ,pembahasan terhadap seluruh nass tersebut harus disertakan pula mengenai asbab an-nuzul maupun asbab al-wurud nya sebagai asbab nuzul mikoro dan kondisi masyarakat arab pra islam dan masa pewahyuan sebagai asbab an- nuzul makro.
155
Setelah memahami status poligami melalui penelusuran seluruh nass yang berbicaara tentang poligami lengkap denga sebab turunnya dan bagimana kondisi wanita pra islam. Shingga menghasilkan kesimpulan bahwa poligami yang dilkukan ketika itu adalah disebabkan adanya tuntutan tertentu. Kesimpulan ini kemudian harus dihubungkan dengan dasar, prinsip dan tujuan dari sebuah relasi dengan keluarga dan nass-nass yang berkaitan dengan perkawinan, minimal nass-nass tentang istilah, status dan tujuan perkawinan. Hal ini dilakukan sebagai implikasi memahami Al-Qur’an secara holistic agar ditemukan prinsip perkawinan menurut ajaran agama islam. Melalui cara seperti ini diharapkan dapat menemukan pesan transformasi social al-Qur’an mengeni poligami untuk penguatan, kemandirian,pembebasan, dan keadilan bagi wanita. Setidaknya ada tiga landasan yang menjadi prinsip dasar kesetaraan relasi laki-laki dan wanita. Pertama, laki-laki dan wanita diciptakan dari entitas (nafs) yang sama sebagaimana diamanatkan an-Nisa (40): 1, sehingga kedudukan mereka sama dan sejajar, yang membedakan hanyalah kualitas taqwanya. Kedua, laki-laki dan wanita sama-sama dituntut untuk mewujudkan kehidupan yang baik dengan melakukan hal-hal yang positif seperti yang dinyatakan an-Nahl (16): 97. Untuk tujuan ini, diharapkan diantara mereka saling tolong menolong, bahu membahu satu sama lain. Ketiga, laki-laki dan wanita memiliki hak yang sma untuk memperoleh balasan yang layak atas kerja yang mereka lakukan seperti dinyatakan aal-Ahzab(33): 35. Ketiga prinsip ini merupakan sesuatu yang mendasar dalam syari’at, sesuatu yang
156
tidak bias diganggu gugat atau dikalahkan oleh sesuatu hal lain yang sifatnya parsial. Semua produk hukum dalam masyarakat harus merujuk pada prinsip keadilan dan kesetaraan termasuk masalah poligami. Sementara nass yang berkaiatan dengan prkawinan sebagai acuan dalam memandang persoalan poligami adalah berkaitan dengan prinsipprinsip relasi laki-laki(suami) dan wanita (istri) dalam kaitan keluarga. Relasi ini dalam al-Qur’an disebut sebagai ikatan pasangan (jawaz), yang satu adalah pasangan yang setara bagi yang lain, suami terhadap istri dan istri bagi suami. Relasi setara antara suami-istri ini disimpulkan berdasar pada istilah yang digunakan dalam memaknai pernikahan. Terdapat minimal dua istilah yang digunakan berkaitan dengan pernikahan. Dalam al-Qur’an dan hadis, perkawinan disebut nikah yang berarti berhimpun(domu). Sebutan lain untuk pernikahan adalah zaujun yang berarti pasangan. Maksud zauj atau zawaj disini adalah tazwiij yang terambil dari kata zawwaja- yuzawwiju- tazwiijan 68 yang berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, menyertai, dan memperistri. Sementara itu, kata zawjun dalam berbagai bentuknya terulang dalam al-Qur’an tidak kurang dari 80 kali. Adapun kata nikah dalam berbagai bentuknya ditemukan 23 kali. Berdasarkan kedua istilah ini dapat dikatakan bahwa, kata zawaj memberikan kesan bahwa suami jika hanya sendiri belum lengkap, begitu pula sebaliknya,
68
Ahmad, Warson Munawwir, Kamus Al-munawwir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), hlm. 630.
157
sehingga ada saling melengkapi satu sama lain.69 Dari kedua istilah ini yang digunakan dalam perkawinan memunculkan sebuah pemahaman bahwa terdapat kemitraan dan kesejajaran antara suami-istri. Ikatan pasangan ini dinyatakan al-Qur’an sebagai sesuatu perjanjian yang kokoh. Karena itu, kedudukan akad nikah menurut Islam dipandang sebagai ikatan yang kuat (mitsaqan ghaliza). Kata mitsaqan galizan dalam alQur’an dapat ditemukan hanya dalam tiga tempat, yakni surah al-Ahzab(33): 7; an-Nisa (4): 21; an-Nisa (4): 154. Pada surah al-Ahzab(33): 7, kata misaqan galizan digunakan untuk menunjukan perjanjian Allah dengan sejumlah Nabi. Sementara pad an-Nisa(4): 21 digunakan untuk menunjukan perjanjian perkawinan(nikah). Sementara surah an-Nisa (4): 154 misaqan galizan digunakan untuk menunjukan perjanjian Allah dengan orang Yahudi. Berdasarkan ungkapan-ungkapan tersebut diatas secra tidak langsung dapat disimpulkan
bahwa
kesucian
ikatan
perkawinan
antara
suami-istri
diumpamakan dengan kesucian hubungan Allah dengan para Nabi atau RasulNya. Berkaitan dengan tujuan perkawinan, ada tiga tujuan umum dari perkawinan yang dimanatkan al-Qur’an. Pertama, sarana produksi berupa untuk mengembangbiakkan umat manusia di muka bumi. Hal ini dapat ditemikan misalnya dalam surah al-Shura (42):11, ar-Rum (30):21, al-Tariq (86):6-7, dan an-Nisa (4): 1. Kedua, sebagai pemenuhan kebutuhan seksual, yang dapat dilihat dalam surah al-Ma’arij (70): 29-31, al-Mu’minun (23):5-7, 69
Khoiruddin Nasution, Status Wanita, hlm. 310; Lihat pula dalam al-Musawa, “Perdebatan Sekitar Status Poligami”, hlm. 82.
158
AL-Baqarah (2): 187 dan 223 serta an-Nur (24): 33. Ketiga adalah memperoleh ketenangan, cinta, dan kasih syang, yang misalnya dapat dilihat dalam surah ar-Rum (30): 21. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan adalah ikatan atau hubungan yang suci antar dua pasangan yang saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain. Hal ini bertujuan untuk meneruskan generasi, sama-sama memenuhi hubungan seksual, yang pada akhirnya menciptakan sebuah keluarga yang tentaram, penuh kasih sayang. Bukan saja semata-mata bagi kedua pasangan, tetapi juga dirasakan oleh anak-anak mereka. Adanya perubahan social juga merupakan factor penting turut mempengaruhi terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan system perkawinan di Negara-negara Muslim. Apalagi dewasa ini, dibelahan dunia telah mengalami pergeseran, banyak wanita yang tidak memerlukan lagi dukungan financial dari laki-laki dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Anggapan lama bahwa hanya laki-laki yang mampu bekerja, melaksanakan pekerjaan
atau
pekerja
yang
paling
produktif,
tidak
lagi
diterima.Produktivitassesungguhnya diukur dari sejumlah factor, dan jenis kelamin hanya merupakan satu dari banyak aspek produktivitas. Jadi, poligami tidak lagi merupakan satu solusi sederhana untuk menyelesaikan karumitan persoalan ekonomi.70 Alasan mandul dan pemenuhan biologis sering dijadikan legitimasi bagi laki-laki (suami) untuk berpoligami. Padahal alasan tersebut merupakan 70
Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al-Qu’an, terj. Yaziar Radianti (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), hlm. 113.
159
sesuatu hal yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an.71 Keinginan memiliki anak merupakan sesuatu yang alamiah. Meskipun pasangan suami istri mandul, tidak berarti suami–istri itu tidak bisa memelihara dan membesarkan anakanak. Begitu pula al-Qur’an tidak memproklamirkan bahwa pemenuhan biologis suami yang tidak dapat dipenuhi dengan seorang istri, ia sebaliknya beristri dua. Dari perspektif kepuasan tentunya poligami lebuh menguntungkan pihak laki-laki (suami) dan banya merugikan pihak wanita (istri) yang dimadu. Bahkan poligami memiliki beberapa dampak negative, di antaranya; 1) poligami
dapat
menimbulkan
kecemburuan
diantara
para
istri,
2)
menimbulkan rasa kekhawatiran istri kalau-kalu suami tidak bisa bersikap bijaksana dan berlaku adil, 3) anak-anak yang dilahirkan dan ibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya perkelahian, permusuhan dan saling cemburu, terakhir 4) kekacauan dalam bidang ekonomi. Memang bisa saja pada awalnya suami memiliki kemampuan untuk berpoligami, namun bukan mustahil suatu saat akan mengalami kebangkrutan, maka yang akan menjadi korban adalah anak-anak dan istri-istrinya. Pada dasarnya Islam menjamin keakuan (self) dan kehormatan wanita. Namun kurang diakuinya eksistensi dan kehormatan wanita disebabkan pada saat itu jumlah wanita lebih banya nelebihi jumlah laki-laki akibat peperangan, sehingga banya kaum laki-laki yang meninggal. Akibatnya eksistensi dan kehormatan wanita kurang terjaga. Kondisi demikian
71
Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al-Qu’an, hlm. 113-114.
160
mengakibatkan poligami dibolehkan, namun dilakukan secara terbatas dan merupakan hal yang tidak dapat dihindari pada tahap awal perkembangan masyarakat mu’minin.72 Namun demikian, poligami merupakan tahapan perkembangan transisional yang pada akhirnya membawa kearah kesetaraan antara laki-laki dan wanita secara penuh. Karena aspek keadilan dan keseimbangan bukan semata bersifat materi tetapi juga mencakup keadilan immateri, berupa kasih sayang, perhatian, dan cinta. Berdasarkan hal ini maka prinsip murni perkawinan dalam Islam menurut Mahmud Muhammad toha adalah monigami, perkawinan antara satu laki-laki dengan satu wanita, tanpa perceraian.73 Menurut Musda Mulia, monogami merupakan salah satu dari prinsip yang menjadi acuan dalam membangun keluarga sejahtera. Disamping terpenuhinya prinsip-prinsip yang lain, seperti; 1) prinsip kesetaraan jender (gender equlity), yaitu kesamaan kondisi bagi wanita dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam segala aspek kehidupan; 2) prinsip keadilan jender, yaitusuatu kondisi yang menjamin perlakuan adail terhadap wanita dan laki-laki. Maksud adil di sini tidaklah mesti berarti tugas dan tanggung jawab keduanya persis sama, namun dibagi berdasarkan kesepakatan bersama; 3) prinsip mawadah warahmah, yakni sebuah keluarga dibangun berdasarkan 72
Mahmud Muhammad Taha, Syari’ah Demokratik, terj. Nur Rachman, (Surabaya: Lembaga Studi Aagama dan Demokrasi, 1996), hlm. 204-205. 73
Mahmud Muhammad Taha, Syari’ah Demokratik.
161
rasa cinta, dan kasih sayang diantara anggota keluarga, terutama suami istri; 4) prinsip saling melindungi dan saling melengkapi, karena sebagai manusia tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena itu, masing-masing pihak dari suami- istri harus saling melindungi dan saling melengkapi satu sama lain.74 Lies Marcoes mengungkapkan, bahwa banyak para istri yang mengeluhkan sikap suaminya yang terkadang menikah lagi tanpa seizinnya. Hal ini mengakibatkan ia tidak pernah percaya lagi pada suaminya. Ketidaktenangan dalam berumah tangga juga bukan hanya dialami oleh istri pertama dari suaminya tersebut dan menganggap dirinya sebagai orang yang teklah merebut suami orang. Bahkan kondisi demikian juga berdampak terjadinya persaingan di antara para istri untuk saling berebut mengambil hati suaminya agar tetap disayang. Tdak jarang saling menjelek-jelekkan dan menggunakan cara-cara yang tidak fair di antara mereka, seperti menyebarkan fitnah, sementara yang bersangkutan tidak pernah diberi kesempatan untuk menjelaskannya. Kondisi demikian, ungkap Lies Marcoes, dimana seorang istri mengalami apa yang disebut sebagai proses ketidakberdayaan yang mengarah pada pembunuhan karakter melalui praktik poligami. Meskipun sebenarnya istilah pembunuhan karakter muncul dalam konteks politik. Seseorang merasa difitnah dan dihabisi dengan cara yang tidak sportif namun hal ini bisa juga dikaitkan dalam kasus poligami. Dalam konteks poligami, pembunuhan 74
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pemburu Keagamaan (Jakarta: Mizan, 2005), hlm. 228-230.
162
karakter terjadi ketika praktik poligami itu membinasakan kemanusiaan korban. Mereka benar-benar dibut kehilangan daya, kehilangan harga diri, kehilangan logika, dan mengalami dehumanisasi.75 Cerai merupakan jalan keluaryang biasa ditempuholeh para istri yang memiliki kekuatan keyakinan atas perkawinan yang mereka anggap tidak bisa dipertahankan lagi. Selain berkaitan dengan harga diri dan financial yang lebih mandiri, Perceraian juga diambil karena adanya dorongan dari kerabat, teman, dan anak-anak. Akan tetapi tidak sedikit yang pada akhirnya tetap mempertahankan perkawinannya meskipun setiap hari merasakan hidup seperti di neraka. Alasan yang paling banyak terjadi dilapangan, ungkap lies Marcoes adalah karena adanya ketergantungan ekonomi pada suami. Karena alas an itu, perkawinan poligami dengan sangat terpaksa diterima sebagai bentuk ketidakberdayaan dan kepasrahan. Namun begitu, bukan berarti mereka tidak berupaya. Salah satunya adalah dengan meyakinkan diri sendiri bahwa permaduan tidak pernah ada. Dengan begitu, meski secar de facto ada dalam perkawinan poligami, kehadiran istri kedua dan seterusnya tidak pernah diakui atau diterima. Begitulah mekanisme psikologis dibangun oleh istri pertama untuk hidup dalam perkawinan poligami yang sebenarnya tak pernah dia terima.76 Harus diakui bahwa tindakan poligami bukan hanya berasal dari motifmotif individual dari dalam diri seseorang, tetapi juga didukung oleh norma-
75
76
Lies Marcoes Natsir, Poligami , hlm. Xxxvi-xxxix Lies Marcoes Natsir, Poligami, hlm. xIix-I.
163
norma dan nilai-nilai di luar dirinya. Motif internal seperti ingin memenuhi hasrat seksual, status social tertentu di masyarakat, dan lain sebagainya yang tidak akan terwujud bila tanpa didukung oleh norma-norma dan nilai-nilai yang telah melembaga dalam masyarakat dan pada akhirnya membudaya. Budaya ini dikonstruksi oleh manusia dan pada tahap berikutnya memengaruhi pemaknaan subjektif manusia. Menanggapi persoalan ini Peter L. Berger menjelaskan bahwa terbentuknya pemahaman akan nilai-nilai dalam masyarakat terjadi melalui proses dialektik fundamental dari masyarakat yang terjadi melalui tiga momentum, yakni eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.77 Pada tahap eksternalisasi ini dijelaskan bahwa budaya masyarakat yang membenarkan praktik poligami tidak muncul begitu saja. Budaya seperti ini dibentuk oleh aktivitas-aktivitas individu. Dibenarkannya praktik poligami tidak lepas dari ajaran-ajaran dan konsep-konsep kitan klasik tentang poligami. Dalam kitab-kitab klasik, poligami dibolehkan secara mutlak dan boleh dilakukan kapan saja tanpa harus diatur oleh pihak lain. Norma inilah yang dieksternalisasikan oleh individu dan legalitas praktik poligami tersebut kemudian diterima serta diakui secara kolektif oleh masyarakat. Adanya pengakuan dari masyarakat ini pada akhirnya memperoleh status objektif atau mengalami objetivasi. Norma ini seakan terpisah dari pembuatnya, berdiri sendiri sebagai fakta objektif.
77
Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 4-5.
164
Pada tahap berikutnya adalah peyerapan norma-norma yang telah terobjektivasi kedalam kesadaran subjektif individu atau yang diistilahkan Berger sebagai internalisasi. Individu dalam tahap ini dibentuk dan dikendalikan oleh norma-norma yang telah melembaga. Norma-norma ini kemudian menentukan struktur subjektif kesadaran individual karena individu menyerap makna-maknanya dan menjadikannya sebagai keyakinan dalam dirinya. Namun jika ternyata dalam tataran praktik poligami banyak menyengsarakan pihak istri dan anak-anak, maka diperlukan aturan formil yang dapat menekan dan meminimalisir dampaknya di masyarakat secara bertahap. Di samping merubah pemahaman masyarakat selama ini yang banyak dikonstruksi oleh konsep-konsep kitab fiqh dengan berusaha merekonstruksinya sesuai dengan perkembangan jaman. Sebab, fakta yang terjadi di masyarakat menunjukkan, kondisi wanita yang dimadu pada umumnya sering mengalami ketidakadilan dari suami mereka, sehingga jauh dari konsep keluarga sakinah mawadah dan rahmah. Dengan demikian, sudah sewajarnya perlu aturan yang tegas dalam menangani persoalan poligami. Pemerintah memiliki kewenangan dalam menata hokum di masyarakat agar tidak terjadi diskriminasi dan ketidakadilan bagi warganya. Turki dan Tunisia meripakan contoh Negara yang berani melakukan pembaruan dalam bidang hokum keluarga dengan melarang praktik poligami secara mutlak. Berdasarkan alasan di atas, dapat disebutkan bahwa dalam mengkaji poligami perlu pemaduan metodologis dan empiris yaitu bentuk penelitian
165
hokum yang tidak hanya mencari norma-norma hukum di dalam teks-teks belaka tetapi juga di dalam kehidupan manusia dan parilaku masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, maka akan terlihat interaksi dialektika antara empiris dan ideologis. Kebijaksanaan dari yang transcendental (wahyu) tidak bisa menafikan atau mengabaikan fakta empiris. Konsepsi al-Qur’an tidaklah semata-mata dogmatis dengan mengabaikan realitas empiris yang cenderung dinamis. Ketika merujuk pada realitas empiris, orang harus berpikir bahwa ideology adalah transenden, sementara realitas empiris adalah subjek perubahan dalam suatu masyarakat. Dalam menyikapi hal ini, Asghar Ali berpendapat bahwa teks-teks religious mempunyai dua dimensi yaitu nilai normative dan nilai kontekstual. Sebuah kitab suci mengindikasikan tujuan yang seharusnya dan semestinya, tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris sebagaimana adanya. Akibatnya, terjadi dialektika antara keduanya dan tuntutan kitab suci dapat diterima dalam sebuah masyarakat yang konkret dan dalam kondisi-kondisi yang konkret pula. Disamping itu, norma transendetal juga ditunjukkan sebagai sebuah norma utuh yang harus selalu diaplikasikan dalam berbagai bentuk realitas empiris yang selalu berubah dengan tetap berpijak pada nilainilai yang diperintahkan oleh syari’at Islam78. Dengan demikian, pembaruan hukum keluarga di Turki dan Tunisia, terutama dalam hal pelarangan poligami dapat dijadikan sebagai kontribusi 78
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Asseqaf, (Yogyakarta:LSPPA, 2000), hlm. 18.
166
positif
terhadap
pembaruan
hokum
dinegara-negara
Mu sl i m
yang
menginginkan terbentuknya hokum keluarga yang lepas dari bias jender, terciptanya relasi yang setara antara laki-laki dan wanita dalam perkawinan, baik dari segi hak maupun kewajiban mereka masing-masing.Meskipun juga harus memerhatikan konteks sosio-kultural masyarakat setempat agar dapat berjalan dengan baik dan dapat diterima oleh semua pihak.
D. Telaah Perbandingan Status Hukum Poligami Pencariran sebuah identitas hukum pada abad ke-20 di dunia Islam dan krisis-krisis yang dihubungkan dengan perumusan ulang, baik teori maupun konsep, dari hukum mewakili tahapan sejarah yang paling akhir, dimana kecenderungan-kecenderungan humanistik dan positivis telah berbenturan dengan perintah-perintah wahyu. Bentrokan ini belum pernah terjadi sebelumnya. Perbenturan malapetaka yang memiliki pengaruh kuat tersebut memunculkan landasan intelektual dan struktural bagi sistem hukum Islam tradisional.79 Hal inilah yang melandasi terjadi reformasi hukum Islam pada abad 19-an dan yang dimaksudkan untuk menjangkau dan menjawab tantangan zaman agar tetap responsif dan tidak anakronistik. Motivasi dan usaha ini timbul dilatarbelakangi oleh faktor eksternal dan internal. Bagaimanapun kedua hal ini mendorong lahirnya reformasi, setidaknya bisa dilihat pada dua
79
Wael B. Hallaq. Sejarah Teori Hukum Islam, Pengantar untuk Usul Fiqh Mazhab Sunni, terj. Usdaningrat dan Abdul Haris bin Wahid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 379.
167
hal, yaitu adanya perubahan fatwa hukum masa ke masa dan intervensi kebijakan politik suatu negara atau substansi hukum. Inilah kiranya yang cukup melandasai Turki untuk melaksanakan reformasi umumnya, termasuk hukum keluarga dengan mengadopsi hukum Barat setelah kebutuhan Kerajaan Usmani, walaupun pada awalnya pemerintah Turki mendasarkan hukum perdatanya pada mazhab Hanafi (Majallah al-Ahkam al-Adhiya) yang telah dipersiapkan sejak tahun 1876, namun didalamnya tidak terdapa aturan tentang hukum keluarga. Aturan hukm yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian dirintis pada tahun 1915.80 Penjiplakan mentah-mentah pandangan Barat dalam persoalan poligami di Turki selain karena kegagalan komisi yang dibentuk Ataturk saat itu, juga karena perasaan rendah diri dan pengadopsian hukum tanpa pertimbangan yang lebih jauh kedepan, dan hal tersebut seiring dengan deru sekurelisasi yang ada. Sebenarnya poligami bukan perbuatan yang harus dicaci oleh siapapun dan penghapusan poligami di Barat juga bukan membuktikan keberhasilannya yang patut di contoh oleh negara-negara lain, khusunya negeri-negeri muslim.81 Sejauh ini juga, tampaknya gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Turki ke dalam ranah hukum keluarga tidak menunjukkan adanya gerakan 80
Wael B. Hallaq. Sejarah Teori Hukum Islam, .hlm. 27.
81
Pelarangan poligami di Turki dengan ketentuan Undang-Undang Sipil Tahun 1926 tidak lain adalah prosesi penjiplakan tidak dikenalnya lembaga poligami di Barat dan materi undang –undang dalam bidang Hukum Keluarga Turki adalah materi hukum sekuler. Jadi terabaikannya standar etika dalam rumusan undang-undang yang berlaku di Barat dengan konsepsi hukum barat, secara otomatis jugaditerapkan di Turki, Telaah mendalam tentang perbedaan konsepsi antara hukum Barat dan konsepsi hokum Islam ini, J. N. D Anderson, Hukum Islam, hlm. 33.
168
atau penguatnya wacana pijakan yang progesif oleh keberadaan dan jiwa psikologis masyarakat. Dengan kata lain, gerakan feminisme yang ada tidak menunjukkan identifikasi jauh dalam mendorong terciptanya reformasi hukum keluarga. Perkembangan politik yang ada dengan kebijakan pemerintah yang berkuasa sangat dominan dalam peletakan reformasi hukum, termasuk hukum keluarga, walaupun sebelum adopsi peraturan Perundang-undangan dari Swiss, nilai hukum Islam diterapkan dan menjadi ketentuan yang hidup dan melembaga struktural dan kultural bagi seluruh masyarakat Turki. Jikalau dicermati lebih jauh tentang apa yang telah terjadi di Turki, maka dikatakan bahwa Turki telah menjadi murid Eropa dalam hal peradaban, akan tetapi juga mandiri dari segi kebudayaannya. Dengan melihat implikasinya pada masalah hukum yang merupakan dasar terbentuknya sebuah negara, situasi saat itu terbagi dua: untuk meningkatkan perasaan moral pada satu sisi dari segi budaya dan lainnya hal tersebut tetap berlandaskan
pada
pengetahuan
modern.
Hal
ini
mempunya
dua
keistimewaan, yang dapat ditemukan, juga merupakan karakteristik daripada institusi keluarga.82 Begitu pula di Tunisiadengan melihat kondisi social politik yang mengitari lahirnya undang-undang Perkawinan Tunisia yang melarang poligami secara mutlak, tidak lepas dari liberalisme pemikiran yang berkembang disana. Implikasinya, dalam menafsirkan ayat-ayat hukum cenderung liberal dan hal ini juga berlaku terhadap interprestasi nass tentang 82
Berkes, Niyazy, (ed), Turkish Nationalism, hlm. 34.
169
poligami. Hal ini diakui oleh David Pear, bahwa nagara Tunisia berusaha melaukan pembaruan hokum dengan cara memberikan penafsiran yang sama sekali baru terhadap nass poligami atau dalam istilah Tahir Mahmood, Tunisia cenderung menggunakan extra-doctrinal reform, 83 yaitu pembaruan hokum dengan cara memberikan penafsiran yang sama sekali baru terhadap nass yang ada. Metode extra-doctrinal reform merupakan upaya untuk menemukan hokum suatu peristiwa tanpa terikat pada pendapat yang sudah ada, tetapi melakikn ijtihad secara mandiri dengan menggunakan metode-metode penemuan hokum isam yang ada. Dengaan kata lain, metode ini berusaha melakukan penafsiran yang sama sekali baru tanpa harus merujuk pada pendapat para imam Mazhab yang ada dalam kitab-kitab fiqh, sehingga cencerung mengarah pada penafsiran yang liberal. Meskipun begitu, dalam melakukan penafsiran tersebut tidak lepas dari prinsip-prinsip Syari’at Islam. Secara implisit, penggunaan teori penafsiran yang sama sekali baru tersebut terlihat dari alasan yang di kemukakan dalam pelarangan praktik poligami di Tunisia. Dalam memahami persoalan poligami,pemikir Muslim Tunisia bukan hanya mendasarkan pada an-Nisa (4): 3, tetapi juga menghubungkannya dengan ayat sesudahnya, an-Nisa (4): 129,bahwa seseorang tidak mungkin berlaku adil secara sama dari segi keadilan kasih sayang atau cinta diantara istri-istrinya. Sedangkan dalam sejarahnya, hanya 83
Pelarangan poligami di Tunisia dianggap sebagai penafsiran baru terhadap nass tentang poligami dan bukan dianggap sebagai penyimpangan dari hokum Islam, Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. LTD, 1972), hlm. 269; lihat pula dalam M. Atho Muzhar, Membaca gelombang Ijtihad, hlm. 177; Anderson, law reform, hlm. 110.
170
Nabi saja yang bisa melakukanya. Apalagi dalam praktiknya di lapangan menunjukan bahwa banyak suami yang melakukan poligami tidak bersikap adil terhadap para istri dan anak-anaknya,sehingga berakibat terjadinya kehancuran dalam rumah tangga. Kondisi demikian, tentunya tidak sejalan dengan tujuan , perkawinan sebagaimana diamanatkan oleh ar-Rum (30): 21. Dengan demikian, terdapat perluasan konsep adil sebagai syarat agar dapat berpoligami. Maka adil bikan hanya sekedar dalam hal materi tapi juga ada dalam hal cinta dan kasih sayang terhadap istri. Interpretasi yang dilakukan oleh pemikir Muslim Tunisia tersebut berimplikasi bahwa prinsip perkawinan dalam islam adalah monogami. Hal ini diakui oleh Habib Bourguiba sebagai pembaruan yang musti dilakukan terhadap persolan poligami yang dianggap tidak sesuai lagi pada masyarakat berperadapan seperti sekarang ini. Sementara itu, teori interpretasi nass ini berkaitan erat dengan teori maslahat. Seperti yang melatari asumsi pembaruan dengan reinterpretasi nass poligami ini adalah realisasi dari pembentukan hokum syar’i berupa kemaslahatan. Kemaslahatan yang ingin dituju dalam Code Personal Status Tunisia pada pasal 18 adalah perwujudnya keluarga yang sakinah , mawaddah, rahmah. 84 Sementara keluarga merupakaan tonggak (pondasi) masyarakat dan dapat bejalan dengan baik hanya dengan dasar saling menghormati serta menghargai diantara pasangan. Salah satu upaya untuk 84
Para ahli hukum Tunisia melakukan reinterpretasi terhadap nass poligami sesuai dengan tuntutan masyarakat dan sebagai respon serta solusi terhadap realitas masyarakat Tunisia ketika itu yang bnyak melakukan praktik poligami dan umumnya mereka gagal dalam berlaku adil terhadap para istri.
171
saling menghormati
dan
menghargai
ini adalah dengan nikah secara
monogami. Disamping sebagai usaha maksimal untuk melahirkan anak-anak yang baik. Penerapan teori maslahat dalam menginterpretasi nass tentang poligami oleh Negara Tunisia diatas tentunya juga memertimbangkan dampak negatif yang diakibatkan praktik poligami yang terjadi dalam masyarakat tidak sejalan dengan konsep keadilan. Meskipun secara ekonomi , poligami dapat di terapkan dengan memberikan kebutuhan materi diantara para istri dan anakanak secara sama dan merata. 85 Namun dalam membina keluarga yang harmonis,terjalinya kasaih sayang diantara mereka sangat sulit di terapkan dan pada umumnya jauh dari harapan. Kondisi demikian pada akhirnya berdampak negative terhadap kondisi jiwa para istri dan perkembangan mental anak-anak. Sebab, secara psikologis, poligami membuat para istri yang lain mersa kurang di perhatikan sepenuhnya oleh suami dan dapat menimbulkan kecemburuan diantara mereka. Begitu pula perhatian terhadap anak- anak menjadi berkurang. 86 Karena itu, ungkap Habib Bourguiba, sangat sulit membentuk sebuah keluarga yang ideal melalui poligami. Untuk mengantisipasi dampak 85
Meskipun dalam konteks masyarakat modern dewasa ini, adil dalam hal materi belum tentu dapat ditrapkan oleh semua pelaku poligami apalagi dalam hal cinta dan kasih sayang disebabkan bebn hidup semakin berat. Suami dengan seorang istri dan anak-anak hampir tidak dapat mengawasi mereka dan menunaikan tugasnya sebagai seorang suami, apalagi jika berpoligami. Dengan demikian, menikah secara monogami mengurangi beban hidup yang semakin hari makin berat. Musthafa as-Siba’I, Wanita di antara Hukum, hlm. 157. 86
Tak mengherankan jika ada wanita yang dengan terpaksa menerima perkawinan poligami meskipun secara financial mereka cukup mandiri dan tentunya tidak sesuai dengan keinginannya sebagai istri yang sangat menginginkan suamia yang sepenuh hati mencintainya. Bahkan poligami dapat mengakibatkan self depreciation. Lies Marcoes Nastsir, Poligami dan Pembunuh Karakter Perempuan”, dalam pengantar editor buku karya Faqihudin Abdul Kodir, Memilih Monogami: Pembacaan atas al-Qur’an dan Hadis Nabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm.Iii-Iiii.
172
yang lebih luas, maka perlu di buat aturan hokum yang tegas berupa larangan poligami sebagai upaya menekan dampak negatif tersebut.87 Dengan demikian, tentunya praktik poligami sangat bertolak belakang dan sangat sulit dalam menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah ,dan rahmah. Demi membangun sebuah Negara menjadi kuat dan guna menciptakan generasi yang baik, keluarga merupakan fondasiya. Karena itu,Tunisia berusaha mewujudkan dengan melarang poligami secara mutlak. Dalam menetapkan aturan larangan tersebut, Tunisia melakukan reinterpretasi nass yang sama sekali baru terhadap nass poligami dengan merumuskan kesimpulan bahwa asas perkawinan dalam islam adalah monogami.
87
Di samping itu, menurut Bourguiba, keluarga adalah tonggak (pondasi) masyarakat dan keluarga dapat berhasil dengan baik hanya dengan dasar saling menghormati dan menghargai diantara pasangan. Salah satu upaya untuk saling menghormati dan menghargai antara pasangan sebagai usaha maksimal untuk melahirkan anak-anak yang baik. Anderson, Law Reform, hlm. 63.
173