PERBANDINGAN KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIK PESERTA DIDIK ANTARA YANG MENGGUNAKAN MODEL DISCOVERY LEARNING DAN PROBLEM BASED LEARNING (Penelitian terhadap Peserta Didik Kelas VIII SMP Negeri 1 Banjar Tahun Pelajaran 2014/2015)
Rika Kartika e-mail:
[email protected] Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi Tasikmalaya Jl. Siliwangi No. 24 Kota Tasikmalaya ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan generalisasi matematik peserta didik yang lebih baik antara yang menggunakan model discovery learning dan problem based learning, serta mengetahui sikap peserta didik terhadap penggunaan model discovery learning dan problem based learning dalam pembelajaran matematika. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Populasi penelitiannya seluruh peserta didik kelas VIII SMPN 1 Banjar tahun pelajaran 2014/2015 sebanyak 8 kelas dengan jumlah peserta didik seluruhnya 278 orang. Dua kelas diambil secara acak menurut kelas sebagai sampel. Kelas eksperimen I menggunakan model discovery learning dan kelas eksperimen II menggunakan model problem based learning. Terpilih kelas VIII-C sebagai kelas eksperimen I dengan jumlah peserta didik 32 orang dan kelas VIII-F sebagai kelas eksperimen II dengan jumlah peserta didik 34 orang. Instrumen yang digunakan berupa soal tes kemampuan generalisasi matematik dan angket skala sikap model Likert. Teknik analisis data menggunakan uji perbedaan dua rata-rata. Berdasarkan hasil penelitian, pengolahan data, analisis data, dan pengujian hipotesis maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan generalisasi matematik peserta didik yang pembelajarannya menggunakan model discovery learning lebih baik daripada kemampuan generalisasi matematik peserta didik yang pembelajarannya menggunakan model problem based learning. Sikap peserta didik positif terhadap penggunaan model discovery learning dan problem based learning. Kata Kunci
: Model Discovery Learning, Model Problem Based Learning, Kemampuan Generalisasi Matematik dan Sikap Peserta Didik. ABSTRACT
This research aims to knowing generalization ability which is better between use of discovery learning and problem based learning model, as well as knowing students attitude towards the use of discovery learning and problem based learning model in mathematics learning process. This research uses experiment methods. The population is all of students at grade VIII SMPN 1 Banjar in academic year 2014/2015 consist of 8
1
classes with 278 students. As sample two classes are taken by using random sampling based on the class. Experiment class I uses discovery learning model and experiment class II uses problem based learning model. Class VIII-C is selected as experiment class I with 32 students, and class VIII-F as experiment class II with 34 students. Instrument used are test of mathematics generalization ability and questionnaire attitude scale of Likert model. Technique of analising the data uses difference two average test. Based on the results of data processing, data analisiling and hypothesis testing, it can be concluded that mathematics generalization ability of student which their learning use discovery learning model is batter than students who use problem based learning model. Positive students attitude towards the use of discovery learning and problem based learning model. Key Words
: Discovery Learning Model, Problem Based Learning Model, Mathematics Generalization Ability, and Students Attitude.
PENDAHULUAN Pembelajaran merupakan suatu proses pengembangan potensi dan pembangunan karakter setiap peserta didik sebagai hasil dari perpaduan antara pendidikan yang berlangsung di sekolah, keluarga dan masyarakat. Proses tersebut memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dalam hal sikap, pengetahuan, dan keterampilan, Kurikulum 2013 mengubah pola pembelajaran dari teacher center menjadi student center. Pembelajaran menekankan pada keaktifan peserta didik dalam menemukan sendiri konsep atau materi. Untuk mencapai hal tersebut peserta didik harus mempunyai keterampilan tinggi yang melibatkan pemikiran kritis, sistematis, logis, untuk menghasilkan generalisasi dan kemampuan bekerja sama yang efektif. Dengan demikian bahwa kurikulum mengisyaratkan pentingnya kemampuan generalisasi dalam pembelajaran matematika. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian Mulyanti, Astri (2013) terhadap peserta didik kelas VII salah satu SMP di Tasikmalaya melaporkan hasil nilai postes kelas eksperimen terhadap kemampuan generalisasi dari sampel sebanyak 40 orang peserta didik, 10% atau 4 orang peserta didik telah mencapai KKM 75 dan 90% atau 36 orang peserta didik masih berada di bawah KKM 75. Dari kondisi ini kita dapat menyimpulkan bahwa kemampuan matematik peserta didik khususnya di tingkat SMP masih tergolong kategori rendah. Pada umumnya pembelajaran yang dikembangkan oleh guru selama ini kurang mendukung berkembangnya kemampuan bernalar peserta didik. Penggunaan model 2
pembelajaran matematika yang kurang mendorong peserta didik untuk menggunakan nalarnya dalam belajar sehingga peserta didik tidak terlatih untuk mampu mengkontruksi sendiri pengetahuannya sampai mampu menyimpulkan konsep-konsep atau rumus-rumus matematik. Peserta didik cenderung menerima pengetahuan dalam bentuk yang sudah jadi sehingga pengetahuan lebih bersifat hafalan. Selain itu, peserta didik umumnya diberikan latihan-latihan yang ada di buku paket dan LKS, yang kebanyakan soal-soalnya merupakan soal-soal rutin. Soal-soal yang diberikan tidak menarik dan menantang sehingga peserta didik menjadi tidak bersemangat dalam belajar matematika. Pembelajaran menjadi membosankan, jenuh, dan tidak menarik. Dampaknya sikap peserta didik dalam pembelajaran matematika cenderung menjadi negatif. Situasi ini dapat berdampak pada rendahnya hasil belajar peserta didik. Kemampuan
generalisasi
ini
sangat
dibutuhkan
peserta
didik
dalam
pembelajaran matematika. Baroody (Afgani D., Jarnawi, 2011:4.9) mengemukakan : Keuntungan apabila anak diperkenalkan dengan penalaran salah satunya adalah secara khusus dalam matematika, anak harus memahami bahwa pembuktian logis atau penalaran deduktif (generalisasi) memainkan peranan yang penting, mereka harus menyadari bahwa intuisi merupakan dasar untuk kemampuan tingkat tinggi dalam matematika dan juga ilmu pengetahuan lainnya. Sumarmo, Utari (2013:349) menyatakan “Generalisasi adalah penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati”. Tahapan generalisasi menurut Mason (Hermanto, Redi, 2012:16-17) : Proses kemampuan generalisasi terdiri dari 4 tahap, yaitu : 1) perseption of generality (mengenal sebuah pola); 2) expression of generality (mampu menguraikan sebuah aturan atau pola, baik secara numerik maupun verbal); 3) symbolic expression of generality (menghasilkan sebuah aturan atau pola baru); dan 4) manipulation of generality (mampu menerapkan aturan atau pola dari berbagai persoalan). Menyikapi hal tersebut di atas, guru hendaknya memilih model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuan bernalarnya sehingga peserta didik dapat menemukan dan menyimpulkan sendiri konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika serta banyak melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajarannya. Menurut Wilcox (Hosnan, M., 2014:281) : Dalam model discovery learning atau pembelajaran dengan penemuan, peserta didik didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka
3
sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong peserta didik untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Melalui model discovery learning peserta didik diajak untuk secara aktif mengkontruksi konsep-konsep keilmuannya melalui rangsangan dengan pemberian masalah, pengamatan atau identifikasi data, mengolah data, sampai mampu membuat kesimpulan. Peserta didik terlibat aktif dalam pengetahuan yang mendorong dan menantang terjadinya diskusi dengan guru atau peserta didik lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahman, Risqi dan Samsul Maarif (2014) menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan analogi matematik peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan metode discovery lebih baik daripada peserta didik yang memperoleh metode pembelajaran dengan metode ekspositori. Berdasarkan hal tersebut, model discovery learning atau penemuan dapat meningkatkan kemampuan penalaran (analogi dan generalisasi) peserta didik. Selain model discovery learning, model problem based learning juga merupakan salah satu
model pembelajaran
dapat
menjadi
alternatif dalam
mengembangkan kemampuan generalisasi. Menurut Hosnan, M. (2014:295) “Model problem based learning adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran peserta didik pada masalah autentik sehingga peserta didik dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inquiry”. Dengan demikian, peserta didik akan lebih tertantang untuk mempelajari matematika, terlibat aktif dalam pembelajaran sehingga diharapkan dapat menimbulkan respon peserta didik yang positif. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arulan, Dera Dewi (2013) menyimpulkan bahwa adanya pengaruh positif penggunaan model problem based lterhadap kemampuan penalaran matematik peserta didik dan sikap peserta didik terhadap penggunaan model problem based learning menunjukkan sikap yang positif. Berdasarkan pendapat tersebut, model problem based learning memungkinkan keterlibatan seluruh peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran sehingga memberi dampak yang positif terhadap kualitas interaksi, komunikasi, penalaran (generalisasi) dan pemecahan masalah. Dengan dimilikinya kemampuan generalisasi matematik dan sikap peserta didik yang positif, diharapkan berdampak pada pengembangan dan peningkatan hasil belajar 4
matematika peserta didik. Penggunaan model pembelajaran discovery learning dan problem based learning diyakini dapat meningkatkan kemampuan generalisasi matematik dan sikap positif peserta didik terhadap pembelajaran matematika. Indikator sikap yang akan diteliti adalah sikap peserta didik terhadap pelajaran matematika, sikap peserta didik terhadap soal-soal generalisasi matematik, dan sikap peserta didik terhadap pembelajaran matematika yang menggunakan model discovery learning dan problem based learning. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan generalisasi matematik peserta didik yang lebih baik antara yang menggunakan model discovery learning dibandingkan dengan model problem based learning, serta mengetahui sikap peserta didik terhadap penggunaan model discovery learning dan problem based learning dalam pembelajaran matematika.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen karena dalam penelitian ini menerapkan model discovery learning dan problem based learning dalam pembelajaran matematika dan melihat perbandingan hasil kemampuan generalisasi matematik peserta didik. Selain itu juga melihat bagaimana sikap peserta didik pada penggunaan model discovery learning dan problem based learning dalam pembelajaran matematika. Populasi penelitiannya adalah seluruh peserta didik kelas VIII SMP Negeri 1 Banjar pada tahun pelajaran 2014/2015 sebanyak 8 kelas. Dua kelas diambil secara acak sebagai sampel, Kelas eksperimen I menggunakan model discovery learning dan kelas eksperimen II menggunakan model problem based learning. Terpilih kelas VIII-C sebagai kelas eksperimen I dengan jumlah peserta didik 32 orang dan kelas VIII-F sebagai kelas eksperimen II dengan jumlah peserta didik 34 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan cara melaksanakan tes kemampuan generalisasi matematik dan menyebar angket sikap. Instrumen yang digunakan adalah soal tes kemampuan generalisasi matematik peserta didik dan skala sikap model Likert yang diberikan diakhir setelah semua proses pembelajaran selesai. Soal tes kemampuan generalisasi matematik digunakan untuk
5
mengukur
kemampuan
generalisasi
matematik
peserta
didik
antara
yang
pembelajarannya menggunakan model discovery learning dan problem based learning. Skala sikap digunakan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap penggunaan model discovery learning dan problem based learning. Ada tiga perlakuan dalam teknik analisis data yaitu statistik deskriptif, uji persyaratan analisis, dan uji hipotesis. Untuk uji hipotesis menggunakan uji perbedaan rata-rata dengan uji-t.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Berdasarkan perhitungan skor akhir tes kemampuan generalisasi matematik peserta didik di kelas eksperimen I yang pembelajarannya menggunakan model discovery learning diperoleh skor terkecil adalah 8, skor terbesar adalah 24 dengan skor rata-rata 17,5. Berdasarkan Permendikbud Nomor 104 Tahun 2014 ketuntasan belajar peserta didik ditetapkan dengan skor rerata 2,51 atau setara dengan B-. Nilai tertinggi berada pada rentang nilai 3,51 - 3,84 atau setara dengan A- yaitu sebanyak 4 orang. Sehingga jumlah peserta didik yang memperoleh predikat Sangat Baik sebanyak 4 orang. Peserta didik yang memperoleh predikat Baik sebanyak 19 orang diantaranya 9 orang kategori B+, 3 orang kategori B dan 7 orang kategori B-. Peserta didik yang memperoleh kategori Cukup sebanyak 7 orang. 4 orang kategori C+, 2 orang kategori C dan 1 orang kategori C-. Nilai terendah berada pada rentang nilai 1,18 – 1,50 atau setara dengan D+ sebanyak 2 orang dengan predikat Kurang. Pembelajaran yang dilaksanakan di kelas eksperimen II adalah pembelajaran dengan model problem based learning. Nilai tertinggi berada pada rentang nilai 3,51 3,84 atau setara dengan A- yaitu sebanyak 1 orang dengan predikat Sangat Baik. Peserta didik yang memperoleh predikat Baik sebanyak 17 orang, 4 orang kategori B+, 4 orang kategori B dan 9 orang kategori B-. Peserta didik yang memperoleh kategori Cukup sebanyak 14 orang diantaranya 6 orang kategori C+, 5 orang kategori C dan 3 orang kategori C-. Sementara nilai terendah berada pada rentang nilai 1,00 – 1,17 atau sebanyak 1 orang. Sehingga peserta didik yang mendapat predikat Kurang adalah 2 orang, 1 orang kategori D+ dan 1 orang kategori D.
6
Berdasarkan data hasil penelitian, rata-rata skor tes kemampuan generalisasi matematik peserta didik untuk kelas eksperimen I sebesar 17,50 (70% dari skor ideal 25) atau setara dengan nilai 2,80 (B-) termasuk kategori Baik lebih baik daripada ratarata skor tes kemampuan generalisasi matematik kelas eksperimen II sebesar 15,21 (60,84% dari skor ideal 25) atau setara dengan nilai 2,43 (C+) termasuk kategori Cukup. Terdapat selisih rata-rata 2,29 atau 9,16% dari skor ideal 25. Ini menunjukkan bahwa kemampuan generalisasi matematik peserta didik yang menggunakan model discovery learning lebih baik daripada yang menggunakan model problem based learrning. Sebaran distribusi skor kemampuan generalisasi matematik peserta didik pada kelas eksperimen I yang pembelajarannya menggunakan model discovery learning disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Distribusi Skor Kemampuan Generalisasi Matematik Peserta Didik Kelas Eksperimen I No
Indikator Generalisasi
Skor Maks
No Soal
Rata-rata Skor
Persentase (%)
Soal
Soal
1
2a
0,88
1
perseption of generality (mengenal sebuah pola)
1
3a
0,94
94
expression of generality (mampu menguraikan sebuah aturan atau pola, baik secara numerik maupun verbal)
2
1a
1,19
59,5
2
2b
1,84
2
3b
1,81
90,5
3
1b
1,13
37,67
3
2c
2,56
3
3c
2,31
77
4
2d
2,25
56,25
4
3d
2,59
2
3
4
Symbolic Ekspression of Generality (menghasilkan sebuah aturan dan pola umum) Manipulation of Generality (mampu menerapkan aturan/ pola dari berbagai persoalan)
Indkator
88 0,91
1,61
2
91
92
85,33
2,42
Rata-rata
Indikator
80,5
66,67
60,5 64,75 74,67
7
Berdasarkan data pada Tabel 1 dari rata-rata skor tes kemampuan generalisasi matematik peserta didik kelas eksperimen I sebesar 74,67% peserta didik mampu menyelesaikan soal tes kemampuan generalisasi matematik. Sebaran distribusi skor kemampuan generalisasi matematik peserta didik pada kelas eksperimen II yang pembelajarannya menggunakan model problem based learning disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Distribusi Skor Kemampuan Generalisasi Matematik Peserta Didik Kelas Eksperimen II No
1
2
3
4
Skor Maks
No Soal
Rata-rata Skor
Persentase (%)
Soal
Soal
perseption of generality (mengenal sebuah pola)
1
2a
0,97
1
3a
1
100
expression of generality (mampu menguraikan sebuah aturan atau pola, baik secara numerik maupun verbal)
2
1a
1,5
75
2
2b
1,85
2
3b
1,91
95,5
3
1b
1,32
44
3
2c
2,03
3
3c
2,06
68,67
4
2d
1
25
Indikator Generalisasi
Symbolic Ekspression of Generality (menghasilkan sebuah aturan dan pola umum)
Manipulation of Generality (mampu menerapkan aturan/ pola dari berbagai persoalan)
Indikator
97 0,99
1,75
1,8
99
92,5
67,67
1,28 4
3d
1,56
Indikator
87,5
60
32 39
Rata-rata
69,63
Berdasarkan data pada Tabel 2 ternyata dari rata-rata skor tes kemampuan generalisasi matematik peserta didik kelas eksperimen II sebesar 69,63% peserta didik mampu menyelesaikan soal tes kemampuan generalisasi matematik. Dari Tabel 1 dan 2 dapat dilihat perbandingan daya serap kemampuan generalisasi matematik peserta didik melalui pembelajaran model discovery learning pada kelas eksperimen I dan model problem based learning pada kelas eksperimen II dilihat dari masing-masing indikator kemampuan generalisasi. Indikator perseption of 8
generality (mengenal sebuah pola) daya serap peserta didik kelas eksperimen I adalah 91% lebih rendah daripada kelas eksperimen II yaitu 99% dengan selisih 8%. Analisis indikator expression of generality (mampu menguraikan sebuah aturan atau pola, baik secara numerik maupun verbal) untuk kelas eksperimen I diperoleh daya serap peserta didik yaitu 80,5% sementara daya serap peserta didik kelas ekserimen II adalah 87,5% lebih tinggi dari pada kelas eksperimen I dengan selisih 7%. Indikator ketiga adalah symbolic ekspression of generality (menghasilkan sebuah aturan dan pola umum). Untuk kelas eksperimen I daya serap peserta didik sebesar 66,67% lebih tinggi daripada kelas eskperimen II yang memperoleh daya serap 60%. Daya serap peserta didik untuk indikator manipulation of generality untuk kelas eksperimen I adalah 60,5% sedangkan kelas eksperimen II hanya 32%. 28,5% lebih rendah dari kelas eksperimen I. Hal ini merupakan salah satu bukti kemampuan penalaran matematik peserta didik yang menggunakan model discovery learning lebih baik daripada problem based learning. Untuk melihat apakah perbedaannya signifikan atau tidak dilanjutkan dengan uji statistik menggunakan uji perbedaan dua rata-rata yaitu uji-t. Uji persyaratan analisis berkaitan dengan syarat-syarat daampengujian hipotesis. Uji normalitas distribusi kelas eksperimen I menghasilkan nilai chi kuadrat yaitu Dengan taraf nyata
.
2 2 diperoleh hitung = 4,57 < daftar = 11,34 artinya sampel
berasal dari populasi berdistribusi normal. Uji normalitas pada kelas eksperimen II menghasilkan nilai chikuadrat
. Dengan
2 diperoleh hitung =
2 < daftar =
11,34 maka sampel berasal dari populasi berdistribusi normal. Uji homogenitas varians diperoleh Fhitung=1,34. Dengan db1 = 31, db2 = 33, dan taraf nyata
diperoleh
Fhitung = 1,34 < F0,01(31/33) = 2,31, artinya kedua varians homogen. Uji hipotesis dengan menggunakan uji perbedaan dua rata-rata yaitu diperoleh
t hitung 3,44 .
untuk
= 1% diperoleh t0,99(71) = 2,39. t hitung 3,44 > t0,99(71) =
2,39, artinya kemampuan generalisasi matematik peserta didik yang menggunakan model discovery learning lebih baik daripada kemampuan generalisasi matematik peserta didik yang menggunakan model problem based learning.
9
Pembahasan Pembelajaran yang dilaksanakan pada kelas ekserimen I adalah pembelajaran matematika dengan model discovery learning atau pembelajaran penemuan. Langkahlangkah operasional dalam pelaksanaan model discovery learning meliputi tahap stimulation
(stimulasi/pemberian
rangsangan),
problem
statement
(pernyataan/identifikasi masalah), data collection (pengumpulan data), data processing (pengolahan data); verification (pembuktian), dan generalization (menarik kesimpulan/ generalisasi). Pada tahap pertama yaitu stimulation (pemberian rangsangan) peneliti memberikan contoh masalah yang berkaitan dengan lingkaran. Secara bersama-sama peneliti dan peserta didik mengamati masalah tersebut. Peneliti memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk nememukan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan lingkaran. Hal ini bertujuan untuk merangsang peserta didik untuk menggunakan nalarnya dalam mengungkapkan apa yang mereka ketahui sejauh ini berkaitan dengan konsep lingkaran. Tahap yang kedua yaitu problem statement (identifikasi masalah). Pada tahap ini peneliti memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan bahan ajar. Selanjutnya peserta didik merumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara) atas pertanyaan yang diajukan dalam bahan ajar. Tahap ketiga yaitu data collection (pengumpulan data). Dalam proses pembelajarannya peserta didik dituntun untuk mencari dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang materi yang dipelajari untuk membuktikan hipotesisnya. Informasi dapat diperoleh dengan cara membuka literatur atau buku sumber lainnya yang relevan jika konstruksi dalam bahan ajar yang disajikan kurang jelas. Tahap selanjutnya adalah data processing (pengolahan data). Pada tahap keempat ini peserta didik diberi kesempatan untuk mengolah data yang diperoleh melalui diskusi, hasil membaca, atau kegiatan lainnya yang diperoleh pada proses data collection. Peserta didik mulai menemukan pola, aturan atau konsep dari informasi yang diperolehnya pada tahap sebelumnya. Peserta didik mengolah pola tersebut menjadi konsep dasar terkait materi yang sedang dipelajari. Pada pertemuan di awal peserta didik masih kesulitan dalam kegiatan mengolah data. Namun pada pertemuan selanjutnya mereka sudah terbiasa dan semakin terampil dalam mengolah data. Hal tersebut terbukti dengan rata-rata keterampilan peserta didik dalam
10
menyelesaikan masalah sebesar 3,33 atau setara dengan B+ dengan predikat Baik. Konsep yang mereka temukan sendiri akan lebih meningkatkan pemahaman peserta didik sehingga mereka lebih paham dan tidak mudah lupa. Dengan situasi seperti ini maka setiap peserta didik bersama-sama menemukan dan menyelesaikan masalah pada materi yang diberikan. Hal ini sesuai dengan teori belajar Brunner (Ruseffendi, E.T., 2006 : 151) yang menyatakan : Cara yang paling baik bagi anak untuk belajar konsep, dalil dan lain-lain, dalam matematika ialah dengan melakukan penyusunan representasinya. Pada langkahlangkah permulaan belajar konsep, pengertian akan lebih melekat bila kegiatan yang menunjukkan representasi konsep itu dilakukan oleh siswa sendiri. Selanjutnya tahap kelima yaitu verification (pembuktian). Perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas, sedangkan kelompok yang tidak terpilih mencermati dan memberikan tanggapan terhadap apa yang dipresentasikan. Perwakilan
tiap
kelompok
yang
terpilih
dengan
tanpa
ragu-ragu
langsung
mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Keaktifan peserta didik juga terlihat apabila ada jawaban atau kesimpulan yang berbeda. Hal ini terbukti dengan rata-rata penilaian sikap peserta didik selama pembelajaran yaitu 3,21 atau setara dengan B+ dengan predikat Baik. Tahap yang terakhir adalah generalization (generalisasi/menarik kesimpulan). Peneliti mengadakan tanya jawab dengan peserta didik dan bersama-sama menarik kesimpulan dari apa yang dipresentasikan. Setelah peserta didik memahami konsep, kegiatan selanjutnya peserta didik diberikan lembar kerja peserta didik (LKPD) untuk dikerjakan sebagai latihan. Melalui soal-soal pada LKPD, peserta didik mampu mengaplikasikan konsep yang didapat dalam melatih kemampuan generalisasi matematiknya. Pada tahap ini, seluruh aspek kemampuan generalisasi matematik dapat dikembangkan melalui soal-soal yang diberikan. Pembelajaran yang dilaksanakan di kelas eksperimen II adalah pembelajaran model problem based learning. Problem based learning adalah pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstuan sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Terdapat lima fase operasional yakni : fase 1, orientasi peserta didik pada masalah; fase 2, mengorgnisasikan peserta didik; fase 3, membimbing penyelidikan individu dan kelompok; fase 4, mengembangkan dan menyajikan hasil karya; fase 5, menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
11
Fase 1 orientasi peserta didik pada masalah, peneliti terlebih dahulu menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan selama pembelajaran berlangsung serta menjelaskan bagaimana peneliti akan mengevaluasi proses pembelajaran. Peneliti menginformasikan kepada peserta didik bahwa tujuan utama pengajaran tidak untuk mempelajari sejumlah informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidi masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi peserta didik yang mandiri. Fase 2 mengorganisasikan peserta didik untuk belajar. Peserta didik berkumpul dengan kelompoknya untuk saing berinteraksi dan bekerjasama dalam menyelesaikan bahan ajar dan LKPD. Dilanjutkan pada fase 3 membimbing penyelidikan individu dan kelompok. Setiap kelompok membaca, mengamati, dan mendiskusikan bahan ajar yang diberikan. Peserta didik mulai bekerja secara aktif dan antusias. Pembelajaran dengan model PBL ini cenderung sulit diaplikasian pada peserta didik. Peserta didik harus memiliki bekal konsep yang kuat yang telah diperoleh sebelumnya. Pada tahap ini pemberian scaffolding sangat membantu peserta didik dalam menyelesaikan permasalahan. Hal ini sesuai dengan teori belajar Bruner yang menggunakan konsep scaffolding untuk membantu peserta didik menuntaskan masalah melalui bantuan guru, teman atau orang lain yang memilki kemampuan lebih. Selanjutnya fase 4 mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Perwakilan kelompok mempresentasikan bahan ajar di depan kelas, kemudian kelompok lain menanggapinya sehingga terjadi interaksi antara penyaji dan peserta didik lain.. Berdasarkan hasil penilaian sikap, rata-rata sikap peserta didik selama proses pembelajaran adalah 3,19 atau setara dengan B+ dengan kategori Baik. Setelah peserta didik memahami konsep yang sudah ditemukan dalam bahan ajar, kegiatan selanjutnya adalah mengerjakan LKPD. Berdasarkan hasil penilaian diperoleh rata-rata ketermpilan peserta didik untuk kelas eksperimen II sebesar 3,31 atau setara dengan B+ dengan predikat Baik. Fase 5 menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Peneliti mengklarifikasikan jawaban LKPD peserta didik. Peserta didik secara bersamasama menyimpulkan materi dari seluruh rangkaian proses pembelajaran dan dberikan tugas individu untuk melatih soal-soal generalisasi matematik sebagai latihan mandiri untuk dikerjakan di rumah. Tes kemampuan generalisasi matematik diberikan kepada peserta didik kelas eksperimen I dan II setelah satu kompetensi dasar selesai disampaikan. Soal tes terdiri
12
dari 10 butir soal yang mewakili setiap indikatornya. Analisis indikator kemampuan generalisasi meliputi: perseption of generality (mengenal sebuah pola) dengan skor maksimal 1 diwakili oleh soal nomor 2a, dan 3a; analisis indikator expression of generality (mampu menguraikan sebuah aturan atau pola, baik secara numerik maupun verbal) dengan skor maksimal 2 diwakili oleh soal nomor 1a, 2b, dan 3b; analisis indikator symbolic ekspression of generality (menghasilkan sebuah aturan dan pola umum) diwakili oleh nomor 1b, 2c, dan 3c dengan skor maksimal 3; analisis indikator manipulation of generality (mampu menerapkan aturan/ pola dari berbagai persoalan) dengan skor maksimal 4 diwakili oleh soal nomor 2d dan 3d. Berdasarkan hasil analisis skor tes kemampuan generalisasi matematik peserta didik di kelas eksperimen I dan II pada Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dilihat keberhasilan peserta didik dalam menguasai soal-soal generalisasi pada setiap indikator kemampuan generalisasi matematik. Daya serap peserta didik untuk indikator perseption of generality (mengenal sebuah pola) kelas eksperimen I sebesar 91% sedangkan kelas eksperimen II sebesar 99%. Indikator expression of generality (mampu menguraikan sebuah aturan atau pola, baik secara numerik maupun verbal) penguasaan soal tes atau daya serap peserta didik kelas eksperimen I sebesar 80,5% sedangkan kelas eksperimen II sebesar 87,5%. Daya serap peserta didik pada indikator perseption of generality dan expression of generality dikatakan tinggi pada kedua eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa model discovery learning dan problem based learning mampu mengembangkan kemampuan generalisasi peserta didik khususnya pada indikator perseption of generality dan expression of generality. Indikator ketiga adalah symbolic ekspression of generality yaitu menghasilkan sebuah aturan dan pola umum. Untuk kelas eksperimen I diperoleh rata-rata skor 2 (66,67% dari skor maksimal 3) lebih tinggi daripada kelas eskperimen II yang hanya memperoleh rata-rata skor 1,8 (60% dari skor maksimum 3). Artinya peserta didik kelas eksperimen I yang menggunakan model discovery learning lebih unggul menguasai soal-soal generalisasi matematik pada indikator symbolic ekspression of generality daripada kelas eksperimen II dengan selisih 6,67%. Hal ini terjadi karena dalam proses pembelajaran model discovery learning adanya tahap generalization yang lebih melatih peserta didik dalam membuat generalisasi atau menarik kesimpulan dan menemukan konsep atau rumus umum berdasarkan informasi atau data yang disajikan. Peserta didik
13
lebih terlatih dalam menginterpretasikan fakta-fakta yang ada dan dapat menghasilkan sebuah aturan atau pola umum secara numerik. Sedangkan pada model problem based learning, kemampuan generalisasi untuk indikator symbolic ekspression of generality lebih melatih peserta didik pada menginterpretasikan fakta-fakta dan membuat simpulan secara verbal atau lisan. Proses ini dapat terlatih pada fase 5 : analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah. Peserta didik menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan keterampilan menemukan solusi atau pemecahan dari pengetahuan yang mereka gunakan. Pada fase ini peserta didik dilatih untuk membuat generalisasi atau kesimpulan dari hasil merekonstruksi pemikiran atau pengetahuan dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan pembelajaran. Proses generalisasi yang terjadi pada proses ini adalah menggeneralisasikan atau menguraikan secara verbal sebuah solusi pemecahan masalah setelah melakukan proses analisis data. Peserta didik tidak terlalu terlatih dalam menghasilkan sebuah rumus atau konsep secara numerik. Oleh karena itu daya serap peserta didik kelas eksperimen I yang pembelajarannya menggunakan model discovery learning jauh lebih unggul daripada peserta didik kelas eksperimen II yang pembelajarannya menggunakan model problem based learning pada indikator symbolic ekspression of generality. Indikator selanjutnya adalah manipulation of generality yaitu peserta didik mampu menerapkan aturan atau pola dari berbagai persoalan. Peserta didik mampu menguasai soal pada indikator ini jika mereka mampu menyelesaikan soal pada indikator symbolic ekspression of generality (menghasilkan sebuah aturan dan pola umum). Oleh karena itu, pada indikator yang terakhir ini persentase kemampuan peserta didik dalam menguasai soal cenderung lebih rendah. Hal ini terlihat dari rata-rata skor tes untuk indikator manipulation of generality untuk kelas eksperimen I adalah 2,42 atau setara dengan 60,5% dari skor maksimal 4. Sementara kelas eksperimen II hanya memperoleh rata-rata skor 1,28 (32% dari skor maksimal 4) 28,5% lebih rendah dari kelas eksperimen II. Pada indikator manipulation of generality peserta didik kelas eksperimen I lebih menguasai soal dengan selisih yang sangat jauh dibandingkan dengan peserta didik kelas eksperimen II yang menggunakan model problem based learning yakni sebesar 28,5%. Dari analisis skor tes kemampuan generalisasi matematik peserta didik dan sebarannya kita dapat melihat bahwa model discovery learning dan problem based
14
learning sama-sama memiliki peranan terhadap peningkatan kemampuan generalisasi matematik peserta didik. Namun, secara keseluruhan kemampuan generalisasi matematik peserta didik kelas eksperimen I yang pembelajarannya mengggunakan model discovery learning lebih baik dibandingkan kelas eksperimen II yang pembelajarannya mengggunakan model problem based learning. Hal ini juga didukung dari perolehan persentase jumlah peserta didik yang lulus KKM (2,51 atau B-) pada kelas eksperimen I yang menggunakan model discovery learning jumlah peserta didik yang tuntas dalam pembelajaran sebanyak 23 orang atau setara dengan 71,88%, sedangkan pada kelas eksperimen II yang menggunakan model problem based learning jumlah peserta didik yang tuntas dalam pembelajaran hanya sebanyak 18 orang atau setara dengan 52,93%. Persentase peserta didik yang lulus KKM pada kelas eksperimen I lebih banyak daripada kelas eksperimen II dengan selisih 18,95%. Dalam pelaksanaannya, melalui model discovery learning mampu membuat peserta didik berpartisipasi aktif, mengembangkan kemampuan bernalar dan pola pikir matematik peserta didik, dapat menstimulus peserta didik, menyusun pengetahuannya, mendorong untuk menformulasikan masalah, sampai mampu menemukan dan menyimpulkan konsep atau rumus umum matematik. Berbeda dengan model discovery learning, model problem based learning menyajikan masalah kontekstual untuk merangsang peserta didik belajar. Masalah diberikan kepada peserta didik sebelum peserta didik mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan masalah yang harus dipecahkan. Kondisi ini diharapkan mampu menambah keterampilan peserta diidk dalam pencapaian materi pembelajaran. Sehingga pada model probem based learning tujuan pembelajaran lebih menekankan pada bagaimana peserta didik menemukan dan menyimpulkan penyelesaian dari masalah yang diberikan. Dengan demikian, bedasarkan hasil analisis, pengolahan data dan pengujian hipotesis menunjukan bahwa kemampuan generalisasi matematik peserta didik yang menggunakan model discovery learning lebih baik daripada kemampuan generalisasi matematik peserta didik yang menggunakan model problem based learning. Hasil dari analisis data angket sikap peserta didik, berikut pembahasan hasil penelitian mengenai semua aspek angket sikap dalam penelitian ini. Sikap peserta didik di kelas eksperimen I yang pembelajarannya menggunakan model discovery learning
15
untuk indikator sikap peserta didik terhadap pelajaran matematika diperoleh rata-rata skor sikap 3,37 lebih besar dari skor netralnya 2,61. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik bersikap positif terhadap pelajaran matematika setelah digunakan pembelajaran dengan model discovery learning. Indikator sikap peserta didik terhadap peserta didik terhadap soal-soal generalisasi matematik menunjukkan sikap yang positif dengan ratarata skor sikap 3,50 lebih besar dibandingkan dengan skor netralnya 2,83. Hal tersebut terlihat dari minat peserta didik yang tertarik dengan soal-soal generalisasi yang diberikan dan menunjukkan kemampuan berpikirnya dengan menguasai soal-soal generalisasi matematik serta adanya kesungguhan dalam menyelesaikan soal-soal generalisasi matematik. Selanjutnya indikator sikap peserta didik terhadap pembelajaran dengan model discovery learning juga menunjukkan sikap yang positif dengan skor rata-rata sikap 3,67 lebih besar dari skor netralnya 3,00. Sikap peserta didik yang positif ini ditunjukkan dengan sikap aktif peserta didik selama pembelajaran berlangsung, antusias peserta didik dengan situasi pembelajaran yang baru, sehingga menumbuhkan rasa senang dan semangat dalam belajar. Berdasarkan respon peserta didik dapat diketahui bahwa sikap peserta didik terhadap penggunaan model discovery learning secara keseluruhan menunjukkan sikap positif dengan rata-rata skor keseluruhan 3,49 lebih dari rata-rata skor netral 2,79. Artinya peserta didik menerima dan menyukai pembelajaran dengan model discovery learning. Sikap peserta didik terhadap penggunaan model problem based laerning berdasarkan respon peserta didik kelas eksperimen II untuk indikator sikap peserta didik terhadap pelajaran matematika menunjukkan sikap yang positif dengan rata-rata skor sikap 3,59 dibandingkan dengan skor netral 3,00. Hal tersebut dibuktikan dengan keseriusan peserta didik dalam belajar dan kesungguhan peserta didik dalam mengikuti pembelajaran matematika. Indikator sikap peserta didik terhadap peserta didik terhadap soal-soal generalisasi matematik menunjukkan sikap yang positif dengan rata-rata skor sikap 3,19 lebih besar dibandingkan dengan skor netralnya 2,89. Hal tersebut berarti peserta didik tertarik dengan soal-soal generalisasi yang diberikan dan menunjukkan kemampuan berpikirnya dengan menguasai soal-soal generalisasi matematik serta adanya
kesungguhan
dalam
menyelesaikan
soal-soal
generalisasi
matematik.
Selanjutnya indikator sikap peserta didik terhadap pembelajaran dengan model problem based learning juga menunjukkan sikap yang positif dengan skor rata-rata sikap 4,04
16
lebih besar dari skor netralnya 3,00. Sikap peserta didik yang positif ini ditunjukkan dengan sikap aktif peserta didik selama pembelajaran berlangsung, antusias peserta didik dengan situasi pembelajaran berbasis masalah yang menyajikan masalah kontekstual di awal pembelajaran sebagai cara untuk menumbuhkan bernalar peserta didik, sehingga menumbuhkan rasa senang dan semangat dalam belajar. Berdasarkan respon peserta didik dapat diketahui bahwa sikap peserta didik secara keseluruhan terhadap penggunaan model problem based learning dalam pembelajaran matematika menunjukan sikap positif dengan rata-rata skor keseluruhan 3,65 lebih dari rata-rata skor netral 3,02. Artinya peserta didik menerima dan menyukai pembelajaran matematika dengan model problem based learning.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, pengolahan dan analisis data, serta pengujian hipotesis dapat disimpulan bahwa kemampuan generalisasi matematik peserta didik yang menggunakan model discovery learning lebih baik daripada kemampuan generalisasi matematik peserta didik yang menggunakan model problem based learning dan sikap peserta didik positif terhadap pembelajaran matematika yang menggunakan model discovery learning dan problem based learning. Saran Berdasarkan simpulan hasil penelitian, peneliti menyarankan model discovery learning dan problem based learning hendaknya terus dikembangkan di lapangan dan dijadikan sebagai alternatif pilihan guru dalam pembelajaran matematika sehari-hari. Hal ini dikarenakan pembelajaran tersebut dapat meningkatkan kemampuan generalisasi matematis peserta didik, melibatkan aktivitas peserta didik secara optimal, memfasilitasi peserta didik menemukan dan membangun pengetahuannya sendiri, melatih keterampilan menyelesaikan masalah, serta menciptakan suasana pembelajaran lebih kondusif. Bagi pihak sekolah perlu memperhatikan sarana dan prasarana penunjang kegiatan pembelajaran seperti LCD proyektor, sehingga dapat digunakan guru dalam mengaplikasikan pembelajaran secara optimal. Kepada peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian yang berbeda, misalnya pada tingkat sekolah menengah atas dengan materi dan populasi penelitian yang lebih banyak lagi. Selain itu perlu diteliti
17
bagaimana perbandingan model discovery learning dan problem based learning terhadap kemampuan daya matematik yang lain seperti kemampuan berpikir kreatif, berpikir kritis, pemecahan masalah, analogi dan representasi matematik.
DAFTAR PUSTAKA Afgani D., Jarnawi (2011). Analisis Kurikulum Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka. Ar, Erman S. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA. Azwar, Saifuddin (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. C., Asri Budiningsih (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta Dahar, Ratna Wilis (2011). Teori-teori Belajar & Pembelajaran. Bandung: Erlangga. Hosnan, M. (2014). Pendekatan Scientifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia. Kemendikbud (2013). Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: BPSDMPK Kemendikbud. Kosasih, E. (2014). Strategi Belajar dan Pembelajaran Implementasi Kurikulum 2013. Bandung:YRAMA WIDYA. Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Rusman (2013). Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Sumarno, Utari (2013). Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya. Bandung: JPM FPMIPA UPI. Trianto (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Surabaya : Prestasi Pustaka.
18