PERBEDAAN MOTIVASI BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA ANTARA YANG MENGGUNAKAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING DAN DISCOVERY LEARNING DENGAN PENDEKATAN SCIENTIFIC (Penelitian pada Konsep Pencemaran Lingkungan di Kelas VII SMP Negeri 12 Tasikmalaya) (The Differences of Learning Motivation and Students Ability in Critical Thinking Betwen Student that Use Problem Based Learning and Discovery Learning Models with Scientific Approach) Ai Ade Rahmayanti, Purwati Kuswarini, Hj. Sri Wardani Program Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup Program Pascasarjana Universitas Siliwangi Tasikmalaya Jl. Siliwangi No. 24 Kota Tasikmalaya e-mail:
[email protected] ABSTRACT The purpose of this research were to know the differences of learning motivation and the students ability in critical thinking betwen students taught by problem based learning and students thaught by discovery learning with scientific approach in concept of polution environment at 7th grade public yunior high school 12 Tasikmalaya. The research used quasi experiment method. Population of this research all of class on 7th grade public yunior high school 12 Tasikmalaya which consist of 401 students. The sample that used in this research consist of 2 classes selected by randomly in each class. Furthermore, istrumen that used in this research was learning motivation scale likert model, consist of 35 questions and 15 essay of critical thinking ability questions. Furthermore, the technique of analize data in this research was used t-test. The result of this research showed that the students which used problem based learning with scientific approach has difference in their learning motivation and critical thinking ability than the students that used discovery learning with scientific approach in concept of polution environment at 7th grade public yunior high school 12 Tasikmalaya. The average score of learning motivation obtained by students that used discovery learning was 121,15 higer than average score of learning motivation obtained by students that used problem based learning which obtained 114,98. Furthermore, the average score of students ability in critical thinking obtained by students that used discovery learning was 34,26 better than average score obtained by students that used problem based learning which obtained 30,95. Keywords : learning motivation, critical thinking, problem based learning, discovery learning, scientific approach
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan motivasi belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa antara yang menggunakan model problem based learning dan discovery learning dengan pendekatan scientific pada konsep pencemaran lingkungan di kelas VII SMP Negeri 12 Tasikmalaya. Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas VII SMP Negeri 12 Tasikmalaya dengan jumlah siswa 401 orang. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak dua kelas yang diambil secara acak menurut kelas. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala motivasi belajar model Likert yang terdiri dari 35 pertanyaan dan tes kemampuan berpikir kritis berbentuk uraian sebanyak 15 soal. Teknik analisis data menggunakan uji-t. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada perbedaan motivasi belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa antara yang menggunakan model problem based learning dan discovery learning dengan pendekatan scientific pada konsep pencemaran lingkungan di kelas VII SMP Negeri 12 Tasikmalaya. Motivasi belajar siswa pada pembelajaran discovery learning yang memperoleh nilai rata-rata sebesar 121,15 lebih tinggi daripada motivasi belajar siswa pada pembelajaran problem based learning yang memperoleh rata-rata sebesar 114,98. Kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran discovery learning yang memperoleh nilai rata-rata sebesar 34,26 lebih baik daripada kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran problem based learning yang memperoleh nilai rata-rata sebesar 30,95. Kata kunci : motivasi belajar, kemampuan berpikir kritis, problem based learning, discovery learning, pendekatan scientific PENDAHULUAN Pendidikan IPA adalah cabang ilmu yang mengkaji tentang alam semesta serta segala interaksi yang terjadi di dalamnya. IPA lebih menitikberatkan pada pengembangkan kemampuan berpikir melalui proses penemuan, dan memiliki tujuan agar siswa dapat memahami proses dan produk sains, bersikap ilmiah, menjadi insan yang bermoral, dan memahami lingkungan, serta dapat mengelolanya dengan baik. Dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan diri dan menjalankan fungsinya sebagai khalifah di bumi. Penerapan pembelajaran IPA pada kenyataannya menghadapi berbagai masalah. Siswa tidak mengetahui tujuan dan alasan mereka melakukan suatu pembelajaran. Motivasi siswa untuk mempelajari IPA sangatlah kurang, mereka menganggap pelajaran IPA sebagai mata pelajaran yang sulit untuk dipahami. Hal ini sesuai dengan hasil studi Riswanti, Iis (2013) yang menyatakan bahwa
hambatan dalam mempelajari IPA bersumber pada kurangnya motivasi siswa dalam mempelajarinya. Anggapan siswa tentang IPA sebagai pelajaran yang sulit untuk dipahami, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan motivasi belajar siswa rendah. Hal ini tentu tidak sesuai dengan harapan, karena apabila motivasi belajar siswa rendah dapat menyebabkan tidak tercapainya keberhasilan pembelajaran. Berdasarkan hasil observasi pembelajaran IPA di kelas VII SMP Negeri 12 Tasikmalaya terungkap bahwa siswa tidak begitu terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Siswa sebagai objek belajar, sehingga pembelajaran yang berlangsung cenderung bersifat transfer pengetahuan. Selain itu, proses pembelajarannya kurang mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kerja ilmiah melalui observasi langsung terhadap lingkungan. Proses belajar mengajar lebih menitikberatkan pada kemampuan siswa untuk mengahapal atau mengingat informasi, tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diperoleh dihubungkan dengan berbagai disiplin ilmu. Hasil studi pendahuluan Muhidin, Endin (2014) terhadap siswa kelas IX SMP Negeri 1 Saketi Kabupaten Pandeglang menunjukan bahwa sebagian besar kemampuan pembelajaran IPA masih rendah. Hal ini merupakan dampak dari aktivitas pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa masih menggunakan model pembelajaran konvensional, sehingga aktivitas guru dan siswa dikelas terlihat monoton. Selain itu guru kurang memfasilitasi dalam mengolah kemampuan yang dimiliki siswa, terutama kecakapan berpikir. Dampak lain yang terlihat adalah rendahnya kemampuan siswa dalam mengkaitkan antara pemahaman konsep dengan kemampuan berpikir kritis. Seiring dengan perkembangan sains dan teknologi, perlu dipersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Institusi pendidikan harus mempersiapkan generasi muda yang kreatif, memiliki kemampuan memecahkan masalah, serta memiliki kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis perlu dimiliki siswa, karena dapat membantu siswa untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari, membantu membuat keputusan yang tepat, sistematis, dan logis, serta siswa dapat membangun sendiri pengetahuan yang di dapat dari
pengalaman proses belajar. Sesuai dengan pandangan Ennis (Costa, Arthur L., 1985:54) berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif dan masuk akal atau berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan apa yang harus dilakukan. Disisi lain Eggen, Paul dan Don Kauchak (2012: 119) menyatakan bahwa berpikir kritis adalah kemampuan untuk membuat dan melakukan asesmen terhadap kesimpulan yang didasarkan pada bukti. Menurut Ennis, Robert H.
(Costa, Arthur L., 1985:54-55) terdapat dua
belas indikator berpikir kritis yang dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu sebagai berikur: (1) memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification) dengan indikator memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi dan menantang; (2) membangun kemampuan dasar (basic support) indikator mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber, dan mengobservasi dan mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi; (3) menyimpulkan (inference) indikator mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi, membuat dan menentukan nilai pertimbangan yang bermanfaat; (4) membuat penjelasan lebih lanjut
(advance
classification)
indikator
mengidentifikasi
istilah
dan
mempertimbangkan definisi, mengindetifikasi asumsi (5) strategi dan taktik (strategies and tactics) indikator memutuskan suatu tindakan, dan berinteraksi dengan orang lain. Dari uraian tersebut, jelaslah perlu dikembangkan pola pembelajaran yang dirancang untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Model pembelajaran yang diduga cocok diterapkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah dengan menerapkan model pembelajaran problem based learning. Problem based learning berorientasi pada keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar. Esensi problem based learning menurut Arends, Richard I. (2008:41) adalah memberikan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada siswa, yang berfungsi sebagai landasan untuk investigasi dan penyelidikan. Barrows, Howard (Amir, M. Taufiq, 2009:21) menjelaskan lebih jauh bahwa
problem based learning adalah
kurikulum yang didalamnya di rancang masalah-masalah, yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan penting, mahir dalam memecahkan masalah, memiliki
strategi
belajar
sendiri,
dapat
berpartisipasi
dalam
tim,
serta
proses
pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah, atau menghadapi tantangan dalam kehidupan. Selain model problem based learning, pembelajaran yang potensial melatih kemampuan berpikir kritis adalah discovery learning. Discovery learning merupakan model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam model pembelajaran ini. Arends, Richard I. (2008:48) menyatakan bahwa discovery learning lebih menekankan pada pengalaman belajar aktif yang berpusat pada siswa, siswa menemukan ide-idenya sendiri dan mengambil maknanya sendiri. Discovery learning lebih menekankan kepada aktivitas siswa untuk mencari pemahaman tentang materi yang dipelajari, menganalisis materi tersebut, dan mengkontruksinya sehingga terbentuk pengetahuan yang lebih lama diingat oleh siswa. Selain itu dengan discovery learning akan menumbuhkan rasa senang dan bangga karena siswa berhasil dalam proses menemukan pengetahuannya sendiri (Dahar, Ratna Wilis, 2011:80). Salah satu konsep dalam mata pelajaran IPA adalah konsep pencemaran lingkungan yang pada penelitian ini dijadikan sebagai materi kajian. Pemilihan topik ini karena konsep pencemaran lingkungan sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, dan siswa sudah tidak asing lagi dengan konsep pencemaran lingkungan yang mengandung berbagai konflik yang menarik untuk dipecahkan. Konsep pencemaran lingkungan memberikan tantangan bagi siswa untuk mencari solusi yang tepat dan bijak dalam setiap pemecahan masalahnya. Dari konsep ini siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri serta memecahkan masalah secara kritis terhadap setiap masalah yang dihadapi. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan motivasi belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa antara yang menggunakan model problem based learning dan discovery learning dengan pendekatan scientific pada konsep pencemaran lingkungan di kelas VII SMP Negeri 12 Tasikmalaya.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi experimental). Populasi penelitiannya adalah seluruh kelas VII SMP Negeri 12 Tasikmalaya tahun pelajaran 2014/2015 yang terdiri dari sepuluh kelas dengan jumlah siswa 401 orang. Dua kelas diambil secara acak sebagai sampel, kelas eksperimen 1 menggunakan model problem based learning dan eksperimen 2 menggunakan model discovery learning. Terpilih kelas VII B dengan jumlah siswa 40 orang sebagai kelas eksperimen 1 dan kelas VII E dengan jumlah siswa 39 orang sebagai kelas eksperimen 2. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah skala motivasi belajar siswa dan soal tes kemampuan berpikir kritis siswa yang diberikan diakhir setelah semua proses pembelajaran selesai. Ada tiga perlakuan dalam teknik analisis data yaitu statistika deskriptif, uji persyaratan analisis, dan uji hipotesis. Untuk uji hipotesis menggunakan uji perbedaan ratarata dengan uji-t. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbedaan Motivasi Belajar Siswa antara yang Menggunakan Model Problem Based Learning dan Discovery Learning dengan Pendekatan Scientific Berdasarkan data hasil penelitian, terlihat bahwa rata-rata motivasi yang menggunakan model discovery learning sebesar 121,15 (80,77% dari skor ideal yaitu 150), lebih tinggi dari rata-rata motivasi yang menggunakan model discovery learning sebesar 114,98 (76,65 % dari skor ideal yaitu 150). Hal ini menunjukan bahwa ada perbedaan motivasi belajar siswa antara yang menggunakan model problem based learning dan discovery learning dengan pendekatan scientific pada konsep pencemaran lingkungan di kelas VII SMP Negeri 12 Tasikmalaya. Untuk melihat apakah perbedaannya signifikan atau tidak dilanjutkan dengan uji statistik menggunakan uji t. Uji persyaratan analisis berkaitan dengan syarat-syarat dalam pengujian hipotesis. Uji normalitas motivasi belajar siswa di kelas eksperimen 1 diperoleh nilai sig yaitu 0,200, sedangkan di kelas eksperimen 2 diperoleh nilai sig 0,165. Nilai probabilitas (sig.) lebih besar dari taraf signifikansi α = 0,05, maka data
motivasi belajar siswa kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Uji homogenitas varians diperoleh nilai sig yaitu 0,690. Nilai probabilitas (sig.) lebih besar dari taraf signifikansi α = 0,05, maka kedua varians homogen. Uji hipotesis dengan menggunakan uji t diperoleh nilai Sig. (2-tailed) 0,019 < α = 0,05, artinya ada perbedaan motivasi belajar siswa antara yang menggunakan model problem based learning dan discovery learning dengan pendekatan scientific pada konsep pencemaran lingkungan di kelas VII SMP Negeri 12 Tasikmalaya. Motivasi belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan model discovery learning lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran problem based learning, hal ini karena model pembelajaran discovery learning membuat siswa terlibat langsung dalam kegiatan pembelajaran, mereka diarahkan untuk mencari informasi dan memperoleh pemahaman tentang hasil temuannya. Selain itu dengan pembelajaran discovery learning dapat mendorong siswa aktif dalam diskusi, dan memotivasi siswa untuk bersaing dengan kelompok lain.
Hasil
temuan ini sesuai dengan indikator motivasi belajar menurut Weinstein (Eggen, Paul dan Don Kauchak, 2012:67) yang menyatakan bahwa siswa yang termotivasi untuk belajar memiliki sikap-sikap sebagai berikut: mengolah informasi secara mendalam dan aktif dalam pengalaman belajar di kelas, gigih dalam tugas-tugas yang sulit, serta memiliki sikap lebih positif terhadap pembelajaran. Motivasi belajar siswa dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu faktor pendorong yang bersumber dari dalam diri siswa, berupa minat, keingintahuan, atau kesadaran siswa akan pentingnya pembelajaran yang dilaksanakan. Berdasarkan hasil penelitian Risnawati, Iis (2013:47) motivasi intrinsik merupakan salah satu kunci dalam memotivasi siswa untuk belajar. Pernyataan tersebut, dapat dijadikan dasar untuk menjelaskan faktor penyebab rendahnya motivasi belajar siswa pada pembelajaran yang menggunakan model problem based learning. Pada kegiatan pembelajaran problem based learning, terlihat siswa kurang antusias mengikuti pembelajaran. Kurang antusiasnya siswa ketika siswa merespon suatu masalah dan mencari solusi atas permasalahan tersebut membuat suasana pembelajaran kurang kondusif.
Perbedaan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa antara yang Menggunakan Model Problem Based Learning dan Discovery Learning dengan Pendekatan Scientific Berdasarkan data hasil penelitian, terlihat bahwa rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa yang menggunakan model discovery learning sebesar 34,26 (76,13% dari skor ideal yaitu 45), lebih baik dari rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa yang menggunakan model discovery learning sebesar 30,95 (68,78% dari skor ideal yaitu 45). Selain itu, bisa dikatakan ada perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa antara yang menggunakan model problem based learning dan discovery learning dengan pendekatan scientific pada konsep pencemaran lingkungan di kelas VII SMP Negeri 12 Tasikmalaya. Untuk melihat apakah perbedaannya signifikan atau tidak dilanjutkan dengan uji statistik menggunakan uji perbedaan dua rata-rata yaitu uji-t. Uji persyaratan analisis berkaitan dengan syarat-syarat dalam pengujian hipotesis. Uji normalitas kemampuan berpikir kritis siswa di kelas eksperimen 1 diperoleh nilai sig yaitu 0,066, sedangkan di kelas eksperimen 2 diperoleh nilai sig 0,200. Nilai probabilitas (sig.) lebih besar dari taraf signifikansi α = 0,05, maka data kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Uji homogenitas varians diperoleh nilai sig sebesar 0,061 > α = 0,05, maka kedua varians homogen. Uji hipotesis dengan menggunakan uji t diperoleh nilai Sig. (2-tailed) 0,029 < α = 0,05, artinya ada perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa antara yang menggunakan model problem based learning dan discovery learning dengan pendekatan scientific pada konsep pencemaran lingkungan di kelas VII SMP Negeri 12 Tasikmalaya. Dalam pembelajaran discovery learning siswa diberikan pengalaman belajar langsung. Model pembelajaran ini lebih menekankan pada proses penemuan dan peran aktif siswa dalam proses pembelajaran. Siswa dilatih untuk memiliki
kemampuan
menganalisis
pengetahuan
yang
diterima,
mengkomunikasikan atau menjelaskan keterkaitan antara prediksi dan hasil observasi pada orang lain, memberikan penilaian yang objektif, serta dapat
memahami konsep suatu disiplin ilmu dan menghubungkannya dengan berbagai disiplin ilmu yang lain. Hal ini seperti disebutkan oleh Dahar, Ratna Wilis (2011:80) bahwa kelebihan discovery learning, di antaranya: meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir bebas, melatih keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah, membangkitkan keingintahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan jawaban-jawaban, serta melatih siswa untuk menganalisis informasi, tidak hanya menerima saja. Selain itu hasil penelitian sejalan dengan temuan Aryanti, Ari (2015:118) Siswa yang memperoleh model pembelajaran penemuan terbimbing mempunyai peningkatan kemampuan berpikir kritis yang lebih baik dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah, namun perbedaan itu tidak terlalu jauh. Hal ini karena dalam tahap pembelajaran kedua model pembelajaran mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama mengkontruksi pemikiran siswa dalam menyelesaikan masalah. Adapun adanya sedikit perbedaan, karena kelas yang belajar dengan pembelajaran penemuan terbimbing lebih aktif dan dinamis dalam pembelajaran, terutama pada kegiatan inti yang merupakan penerapan dari model pembelajaran penemuan terbimbing yang dimulai dari pemberian rangsangan sampai menarik kesimpulan. Model pembelajaran discovery learning memiliki sintaks yang mampu melatih kemampuan berpikir kritis siswa, dimulai dari tahap pemberian rangsangan,
identifikasi
masalah,
pengumpulan
data,
pengolahan
data,
pembuktian, dan penarikan kesimpulan. Pada tahap pemberian rangsangan siswa dilatih dalam mengidentifikasi fenomena yang terjadi dalam kehidupan seharihari. Hal ini dapat membangkitkan rasa ingin tahu siswa, mengembangkan kemampuan siswa dalam membuat pertanyaan terkait suatu fenomena, serta memberikan tantangan bagi siswa untuk mencari solusi yang tepat dan bijak dalam pemecahan masalahnya. Kemudian dalam tahap pengumpulan data siswa melakukan eksperimen, kegiatan ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari dan mengumpulkan informasi, serta membangun ide-ide kreatif mereka dalam mengaitkan hasil temuan dengan berbagai konsep disiplin ilmu. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa: 1) melalui pembelajaran dengan discovery learning siswa terlibat langsung dalam proses
pencarian konsep, sehingga pembelajaran tidak monoton dan tidak menimbulkan efek jenuh; 2) memberikan kesempatan pada siswa menemukan fakta-fakta, membangun konsep, dan pengetahuan secara mandiri; 3) siswa diberikan kesempatan untuk dapat belajar bertukar pikiran dengan temannya saat proses diskusi dan saling melengkapi satu sama lain sehingga dapat menciptakan interaksi yang baik antar siswa; 4) menumbuhkan sikap toleransi dan kebebasan dalam belajar; 5) menumbuhkan sikap percaya diri pada siswa tentang apa yang mereka temukan sebagai hasil mereka sendiri Selain itu berdasarkan temuan dilapangan terdapat juga beberapa kelemahan pada saat pembelajaran discovery learning ini, di antaranya: 1) siswa mengalami kesulitan dalam mengaitkan konsep yang dipelajari dengan berbagai disiplin ilmu; 2) discovery learning membutuhkan penguasaan informasi yang lebih cepat, dan tidak diberikan dalam bentuk final, tidak semua siswa mampu melakukan penemuan, dan siswa yang memiliki kemampuan kurang apabila gagal dalam proses penemuan mereka cenderung menyerah; 3) waktu yang diberikan sangatlah terbatas, sehingga siswa tidak diberi peluang untuk mencari lebih jauh lagi dengan bertanya atau mengajukan pendapat. Pada pembelajaran problem based learning siswa mengalami kesulitan pada saat guru menugaskan mereka untuk menuliskan pertanyaan terkait fenomena yang berhubungan dengan materi pembelajaran yang dipelajari. Dalam hal ini peran guru sebagai fasilitator dan motivator sangatlah diperlukan. Guru mengarahkan siswa dalam mengidentifikasi masalah, merumuskan pertanyaan, dan melakukan penyelidikan, sehingga secara perlahan kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Tetapi pada kegiatan diskusi kelas hambatan mulai terlihat lagi, ada beberapa siswa yang kurang aktif dan hanya mengandalkan temannya dalam mengerjakan tugas kelompok. Selain itu siswa kesulitan menghubungkan hasil percobaan yang telah dilakukan dengan konsep-konsep yang ada dalam sumber belajar. Berdasarkan temuan Ardianto, Didit (2014:118) Aktivitas-aktivitas dalam pembelajaran problem based learning meskipun berkontribusi positif terhadap kemampuan berpikir kritis siswa, tetapi kemampuan siswa dalam melaksanakan pembelajaran setiap tahapnya
masih kurang maksimal. Sehingga hal ini berpengaruh terhadap rendahnya kemampuan berpikir siswa. Kemampuan berpikir siswa pada pembelajaran problem based learning kurang dari skor maksimal ideal, disebabkan karena soal yang diberikan adalah soal yang tidak rutin dengan tingkat kesukaran pada kategori sukar dan alokasi waktu yang digunakan dirasa kurang. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran problem based learning disebabkan karena siswa kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal yang berhubungan dengan berpikir kritis. Siswa kesulitan dalam memberikan alasan terhadap sesuatu hal, menyimpulkan suatu konsep, dan menjelaskan keterkaitan antara data yang ditemukan dengan konsep yang dipelajari. Selama pembelajaran tidak semua siswa berani mencoba memecahkan masalah, mereka mengaggap masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan. Selain itu keterbatasan waktu pembelajaran dan jumlah siswa yang terlalu banyak menyebabkan suasana pembelajaran kurang kondusif. Kemampuan berpikir kritis ini tidak dapat muncul begitu saja sehingga harus dibiasakan melalui rangsangan dan latihan. Temuan ini sejalan dengan pandangan
Aristole
(Aryanti,
Ari,
2015:61)
yang
menyatakan
bahwa
pembentukan sikap atau pengetahuan seseorang tidak dapat berkembang secara spontan, akan tetapi melalui proses yang panjang, baik secara individu maupun secara kelompok.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data, dapat diperoleh simpulan sebagai berikut : 1. Ada perbedaan motivasi belajar siswa antara yang menggunakan model problem based learning dan discovery learning dengan pendekatan scientific pada konsep pencemaran lingkungan di kelas VII SMP Negeri 12 Tasikmalaya. 2. Ada perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa antara yang menggunakan model problem based learning dan discovery learning dengan pendekatan
scientific pada konsep pencemaran lingkungan di kelas VII SMP Negeri 12 Tasikmalaya. Pembelajaran problem based learning dan discovery learning, hendaknya terus dikembangkan di lapangan dan dijadikan sebagai alternatif pilihan guru dalam menggali kemampuan berpikir kritis siswa dan memotivasi siswa untuk aktif dalam pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Amir, M. Taufiq. (2009). Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based learning:Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Ardianto, Didit. (2014). Implementasi Pembelajaran IPA Terpadu Tema Fluida dengan Model Guided Discovery dan Problem Based Learning untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa SMP. Tesis pada PPs UPI. Bandung. Tidak diterbitkan. Arends, Richard I. (2008). Learning to Teach-Belajar untuk Mengajar Edisi Ketujuh Buku Satu. Terjemahan Soetjipto, Helly Prajitno dan Sri Mulyani Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Aryanti, Ari. (2015). Perbandingan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dan Kemandirian Belajar antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pembelajaran Penemuan Terbimbing. Tesis pada PPs UPI. Bandung. Tidak diterbitkan. Costa, Arthur L. (1985). Developing Minds: A Resources Book for Teaching Thinking. Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development. Dahar, Ratna Wilis (2011). Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga. Eggen,
Paul dan Don Kauchak (2012). Strtategic and Models for Teacher:Teaching Content and Thinking Skills. Terjemahan Satrio Wahono. Jakarta: Indeks.
Muhidin, Endin. (2014). Implementasi Problem Based Learning (PBL) pada Tema Krisis Sumber Energi Listrik untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif Siswa Kelas IX. Tesis pada PPs UPI. Bandung. Tidak diterbitkan. Risnawati, Iis (2013) Model Pembelajaran Berbasis Fenomena pada materi Pencemaran Air untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMP. Tesis pada PPs UPI. Bandung. Tidak diterbitkan.