PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENGAWASAN PEMOTONGAN TERNAK DAN PENANGANAN DAGING SERTA HASIL IKUTANNYA DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II BADUNG
Menimbang
:
a. bahwa kesehatan masyarakat Veteriner mempunyai peranan penting dalam mencegah penularan penyakit zoonasa dan pengamanan Produksi bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan lainnya untuk kesehatan masyarakat; b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas maka untuk melindungi kesehatan masyarakat yang menggunakan daging dan bahan asal hewan sebagai bahan konsumsi dan juga dalam upaya meningkatkan
pelayanan
kepada
masyarakat
dalam
rangka
penyediaan daging/bahan asal hewan yang memenuhi persyaratan kesehatan, maka dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengawasan Pemotongan Ternak, dan penanganan daging serta hasil ikutannya di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung.
Mengingat
:
1. Undang – Undang Nomor 12 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 57; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1288 );
2. Undang-Undangan Nomor 6 Tahun 1967 tentang ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2824 );
2 3. Undang – Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah – Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah – Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
4. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok – Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3027); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3120);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 28);
7. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha;
8. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan;
9. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992, tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta hasil ikutannya;
10.Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 1993 tentang Bentuk Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah Perubahan;
11.Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemotongan Ternak Potong (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 1977 Seri D Nomor 3).
3 Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung.
MEMUTUSKAN
Menetapkan
:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG TENTANG PENGAWASAN PEMOTONGAN TERNAK DAN PENANGANAN DAGING SERTA HASIL IKUTANNYA DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
a. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung. b. Bupati Kepala Daerah adalah Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung. c. Dinas Peternakan adalah Dinas Peternakan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung. d. Ternak Potong adalah Hewan untuk keperluan dipotong yaitu sapi, kerbau, kambing, domba, babi, ayam, dan hewan lainnya yang dagingnya lazim dikonsumsi. e. Rumah Potong Hewan (RPH) adalah bangunan atau komplek bangunan
yang
permanen
dengan
sarana
sarananya
yang
dipergunakan untuk kegiatan pemotongan ternak yang ditetapkan oleh Bupati Kepala Daerah. f. Tempat Penampungan Ternak adalah bangunan atau komplek bangunan untuk menampung ternak sebelum dipotong.
4 g. Pemotongan Ternak adalah kegiatan yang menghasilhan daging yang terdiri dari pemeriksaan ante mortem, penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post mortem. h. Pemotongan Darurat adalah pemotongan ternak yang terpaksa harus segera dilakukan baik didalam maupun diluar rumah potong hewan karena sesuatu hal yang membahayakan jiwa ternak itu sendiri , manusia dan lingkungannya atau karena kecelakaan, hewan mengamuk atau buas.
i. Daging adalah bagian-bagian dari ternak yang telah dipotong termasuk isi rongga perut dan dada yang lazim dimakan manusia.
j. Karkas adalah bagian dari hewan potong yang disembelih setelah kepala dan kaki dipisahkan, dikuliti serta isi rongga perut dan dada dikeluarkan. k. Daging Dingin adalah daging yang didinginkan dengan suhu antara 00 (nol derajat) sampai 40 (empat derajat) celcius. l. Daging Beku adalah daging yang dibekukan dengan suhu sekurangkurangnya minus 100 (sepuluh derajat) celcius. m. Daging Giling adalah daging yang telah mengalami proses penggilingan. n. Daging Olahan adalah daging yang telah mengalami proses pengolahan kecuali dikalengkan. o. Hasil Ikutan Ternak adalah hasil samping dari pemotongan hewan potong yang berupa darah, kulit, bulu, lemak, tulak, tanduk, dan kuku.
p. Pemeriksaan ante mortem adalah pelaksanaan pemeriksaan dan atau pengujian sebelum ternak dipotong.
q. Pemeriksaan post mortem adalah pelaksanaan pemeriksaan dan atau pengujian setelah ternak dipotong.
5 r. Usaha
Pemotongan Ternak
adalah
kegiatan-kegiatan
yang
dilakukan oleh perorangan dan atau badan yang melaksanakan pemotongan ternak dirumah potong hewan milik sendiri, atau milik pihak lain atau menjual jasa pemotongan ternak.
s. Pengusaha Daging adalah seseorang atau badan yang usahanya meliputi kegiatan menghasilkan daging, menyimpan daging, pengecer daging.
t. Pengusaha Pemasok Daging adalah seseorang atau badan yang usahanya memasukkan daging kewilayahKabupaten Daerah Tingkat II Badung.
u. Pengusaha Penggilingan Daging adalah seseorang atau badan yang usahanya menyelenggarakan penggilingan daging.
v. Penyimpangan daging adalah kegiatan penyimpanan daging untuk keperluan persediaan daging di wilayah Kabupaten Dati II Badung.
w. Petugas pemeriksa yang berwenang adalah Dokter Hewan pemerintah yang ditunjuk oleh menteri berdasarkan pasal 14 PP No. 22 Tahun 1983 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner yang bertugas melakukan pemeriksaan ante mortem dan post mortem di RPH/tempat pemotongan hewan di wilayah tertentu atau petugas tehnis yang ditunjuk untuk melakukan pekerjaan diatas dan dibawah pengawasan serta tanggung jawab Dokter Hewan sebagaimana dimaksud diatas.
x. Pemeriksaan ulang adalah pemeriksaan terhadap daging yang harus dilengkapi dengan dokumen sesuai ketentuan yang berlaku yang dilakukan oleh petugas pemeriksa yang berwenang ditempat yang ditentukan oleh Bupati Kepala Daerah.
y. Ijin pemotongan ternak dan Penjualan daging serta hasil ikutanya adalah ijin yang dikeluarkan oleh Bupati Kepala Daerah atau pejabat lain yang diberikan wewenang mengeluarkan ijin yang memberikan hak untuk melaksanakan kegiatannya.
6 z. Tempat
penjualan daging
adalah
tempat
dimana
usaha
penjualan dilakukan di los-los dalam pasar yang telah ditetapkan dan kios penjualan yang didirikan sendiri diluar tempat yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
BAB II
PENGUSAHAAN PEMOTONGAN TERNAK
Pasal 2 (1) Setiap pemotongan ternak di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung harus mendapat ijin dari Bupati Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Prosedur Permohonan untuk memperoleh ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan sesuai dengan Peraturan yang berlaku.
(3) Untuk dapat memperoleh ijin pemotongan ternak harus dengan mengajukan permohonan bermaterai secukupnya kepada Bupati Kepala Daerah, yang tembusannya disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan Kabupaten dengan menyebutkan antara lain :
a. Nama lengkap, alamat dan keperluan permohonan. b. Lokasi tempat pemotongan/penjualan dengan surat keterangan kepala Rumah Pemotongan Hewan. c. Pernyataan tertulis bersedia mematuhi aturan yang berlaku. d. Jenis kegiatan/jenis hewan yang dipotong. e. Melampirkan bukti diri (KTP), pas photo. f. Melampirkan surat keterangan dokter pemerintah. g. Dan lain-lain yang dipandang perlu.
7 BAB III TATA CARA DAN TEMPAT PEMOTONGAN TERNAK
Pasal 3 (1) Tata Cara pemotongan ternak dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Hewan yang telah disembelih harus segera diperiksa oleh petugas pemeriksa daging.
(3) Daging yang diperiksa dan ternyata tidak baik/tidak memenuhi syarat hygeine untuk dikonsumsi harus dimusnahkan menurut petunjuk petugas pemeriksa daging.
Pasal 4
Daging yang didapat dari sapi, babi, kerbau atau kuda yang baru dipotong, harus disimpan dulu dirumah pemotongan ( ruang pelayuan) kecuali dalam hal dimaksud dalam pasal 11 ayat 2 Peraturan Daerah ini.
Pasal 5
(1) Bagian-bagian ternak setelah selesai pemotongan harus segera dilakukan pemeriksaan post mortem oleh petugas pemeriksa yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (2) Petugas Pemeriksa yang berwenang mempunyai wewenang untuk mengiris, membuang seperlunya bagi bagian-bagian daging yang tidak layak untuk dikonsumsi, mengambil bagian-bagian daging dan atau menyita untuk keperluan pemeriksaan lebih lanjut, serta memerintahkan
pemusnahan
diedarkan/dikonsumsi.
daging
yang
dilarang
untuk
8 Pasal 6
Apabila saat pemeriksaan atau pengujian dijumpai kelainan, maka petugas pemeriksa yang berwenang dapat mengambil tindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 7 (1) Daging yang telah diperiksa dan dinyatakan sehat oleh petugas pemeriksa yang berwenang harus dibubuhi tanda cap yang bentuk, warna, ukuran dan bahannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Karkas harus ditiriskan terlebih dahulu, dan karkas yang dikeluarkan dari rumah pemotongan hewan dapat berbentuk utuh, separuh atau bagian bagian.
Pasal 8 Tata cara pemeriksaan ante mortem dan post mortem dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 9 Petugas Pemeriksa, berwenang melakukan pemeriksaan terhadap daging yang beredar diluar Rumah Pemotongan Hewan.
BAB IV
PEMERIKSAAN PEMOTONGAN TERNAK
Pasal 10
(1) Setiap ternak yang belum dipotong diistirahatkan sekurangkurangnya 12 jam sebelum saat pemotongan dan dilakukan pemeriksaan ante mortem oleh petugas pemeriksa yang berwenang.
9 (2) Ternak yang telah diperiksa untuk dipotong harus dipisahkan dari ternak lainnya.
(3) Pemotongan ternak harus dilakukan tidak boleh lebih dari 24 jam sesudah diperiksa dan disetujui oleh petugas pemeriksa yang berwenang kecuali dalam pemotongan darurat.
Pasal 11 (1) Setiap pemotongan ternak yang dilakukan harus dilakukan di rumah pemotongan hewan dan atau ditempat lain yang ditetapkan oleh Bupati Kepala Daerah, kecuali untuk keperluan peribadatan atau upacara adat.
(2) Dalam hal pemotongan ternak yang dilakukan untuk peribadatan atau upacara-upacara adat pelaksanaannya harus dilaporkan kepada Bupati Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
(3) Pemotongan darurat dapat dilakukan diruang pemotongan darurat pada rumah, pemotongan hewan atau ditempat lain.
(4) Kecuali para petugas dan pihak yang berkepentingan, setiap orang yang memasuki kawasan rumah pemotongan hewan harus mendapat ijin dari Bupati Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
(5) Tata tertib dalam kawasan Rumah Pemotongan hewan dan standar pemotongan ditetapkan oleh Bupati Kepala Daerah.
Pasal 12
Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan harus sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
10 BAB V
TATA CARA PENANGANAN, PENGANGKUTAN DAN PENJUALAN HASIL PEMOTONGAN TERNAK
Pasal 13 (1) Pengangkutan daging di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung harus menggunakan angkutan khusunya yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Angkutan khusus untuk mengangkut daging harus memiliki izin dari Bupati Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk.
(3) Angkutan khusus untuk mengangkut daging babi harus dibedakan dengan angkutan untuk daging lainnya.
Pasal 14
Pengangkutan daging dengan angkutan khusus harus memenuhi ketentuan :
a.
Mempergunakan angkutan khusus daging.
b.
Melalui jalan yang sesingkat-singkatnya.
c.
Dilengkapi dengan surat keterangan kesehatan dan asal daging.
Pasal 15 (1) Setiap pengusaha daging dan hasil ikutannya harus mempunyai izin dari Bupati Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Prosedur Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, ditetapkan oleh Bupati Kepala Daerah.
11 (3) Prosedur untuk memperoleh izin tersebut diatas sesuai dengan pasal 2 ayat (3) Peraturan Daerah ini.
Pasal 16 Setiap penyimpanan, pengangkutan, penggilingan dan penjualan daging babi harus dipisahkan secara nyata dengan daging lainnya.
Pasal 17
(1) Daging yang dijual hanya dipotong-potong diatas meja, bangku atau alat lainnya yang dilapisi dengan bahan aluminium atau dibuat dari bahan yang tidak dapat tembus oleh barang cair dan mudah dibersihkan.
(2) Daging yang dijual keliling atau yang dipasarkan ditempat-tempat penjualan daging harus dilindungi terhadap kotoran, debu, sinar matahari, air hujan, lalat, dan sebagainya.
(3) Dasar/alat lantai tempat penjualan/pengeceran harus lebih tinggi dari lantai sekitarnya dengan tinggi minimal 50 cm, bersih dan memperhatikan kesehatan.
(4) Tempat penjualan daging dingin dan beku hanya dapat dilakukan ditempat tertentu atas izin Bupati Kepala Daerah.
(5) Tempat penjualan daging babi harus terpisah dengan tempat penjualan daging lainnya.
Pasal 18
Semua penjual daging diwajibkan memberi kesempatan pada petugas pemeriksa daging untuk memeriksa daging untuk memeriksa daging di tempat penjualan atau sewaktu daging dibawa.
12
BAB VI RETRIBUSI PEMOTONGAN TERNAK
Pasal 20
(1) Pelayanan Pengawasan Pemotongan ternak, penanganan daging dan hasil ikutannya sesuai dengan peraturan daerah ini, dikenakan Retribusi sebagai berikut :
a.
Retribusi Rumah Potong 1. Sapi, Kerbau, Kuda ...................................Rp. 6.000 / ekor 2. Babi, Kambing, Domba..............................Rp. 3.500 / ekor
b.
Biaya Pemeriksaan ante mortem 1. Sapi, Kerbau, ............................................Rp.
200 / ekor
2. Babi, Kambing, Domba..............................Rp.
150 / ekor
3. Ayam potong, itik untuk pemotongan lokal/dikirim keluar daerah.........................Rp.
c.
d.
e.
25 / ekor
Biaya Pemeriksaan post mortem 1. Sapi, Kerbau...............................................Rp.
500 / ekor
2. Babi,Kambing,Domba.................................Rp.
300 / ekor
3. Ayam Potong..............................................Rp.
50 / ekor
Retribusi Angkutan Daging 1. Sapi, Kerbau, Kuda ...................................Rp.
700 / ekor
2. Babi, Kambing, Domba..............................Rp.
500 / ekor
Retribusi Sewa Kandang 1. Sapi, Kerbau, Kuda ...................................Rp.
300 / ekor/ hari
2. Babi, Kambing, Domba............................ Rp.
200 / ekor/ hari
f.
Retribusi Pemeriksaan hasil bahan asal hewan - Kulit kering/garraman................................Rp. - Tulang,Bulu,Lemak
Rp.
50/lbr 5/kg
13 g.
Retribusi Pemeriksaan ulang,daging bahan asal hewan dari luar Kabupaten Daerah Tingkat II Badung...............................................................Rp.
h.
100/kg
Ijin Pemotongan ternak, penanganan dan hasil ikutannya 1. Ijin pemotongan ternak - Sapi, Kerbau, Kuda............................Rp. 60.000/3 Th - Babi, Kambing, Domba......................Rp. 45.000/3 Th - Unggas................................................Rp. 30.000/3 Th
2. Ijin Pengusaha Daging - Penjual/Pengecer daging......................Rp. 60.000/3 Th - Pasar Swalayan ...............................Rp. 50.000/3 Th
3. Ijin penampungan,penggaraman pengeringan kulit, Tulang, Bulu, lemak.......................Rp. 60.000/3 Th
4. Ijin angkutan daging................................Rp. 30.000/3 Th
(2) Retribusi dimaksud ayat (1) Pasal ini tidak termasuk ongkos potong.
(3) Besarnya ongkos potong sebagaimana dimaksud ayat (2) pasal ini dan cara pembayarannya kepada tukang potong akan ditetapkan dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah
Pasal 21
Bupati Kepala Daerah menunjuk dan menetapkan Kepala Dinas Peternakan/Dokter Hewan untuk bertanggung jawab didalam dan diluar rumah pemotongan hewan sepanjang mengenai kesehatan ternak potong, kesehatan daging dan bahan asal hewan serta teknis pemotongannya.
14 Pasal 22
(1) Penunjukan Petugas Pungut Retribusi ditetapkan Keputusan Bupati Kepala Daerah.
(2) Petugas Pungut Retribusi wajib menyetor uang hasil pungutannya ke Kas Daerah Tingkat II Badung dengan tata cara sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Petugas Pungut Retribusi diberi uang perangsang 5 %
(4) Pemungutan Retribusi dilaksanakan dengan memberi tanda lunas pembayaran berupa karcis kepada wajib retribusi.
Pasal 23
Ahli yang melakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap kesehatan ternak potong, kesehatan daging dan hasil ikutannya diberikan jasa pemerisaan sebesarnya Retribusi pemeriksaan sebagaimana dimaksud pasal 20 ayat (1) Peraturan Daerah ini.
BAB VII LARANGAN-LARANGAN DAN PEMBATALAN PERIJINAN
Pasal 24
Daging yang akan dijual tidak boleh diubah dari wujud keadaan semula
Pasal 25
Dilarang menjual/mengedarkan, menyimpan, mengolah daging dan atau bagian-bagian lainnya seperti :
a.
Daging gelap.
b.
Daging selundupan.
15 c.
Tidak
memenuhi
syarat-syarat
kesehatan
dan
tidak
layak
dikonsumsi
Pasal 26
Dilarang membuang bagian-bagian ternak yang telah dipotong sebelum diadakan pemeriksaan post mortem.
Pasal 27
Dilarang :
a.
membawa daging ke luar dari Rumah Pemotongan Hewan dan atau dari tempat lain yang ditunjuk untuk itu sebelum daging diperiksa dan dicap oleh petugas pemeriksa daging.
b.
membawa daging yang akan dijual dengan tidak diberi tutup.
c.
membawa daging yang telah di potong-potong dengan tempat yang disebelah dalamnya tidak dilapisi dengan bahan aluminium atau bahan laiinya yang memenuhi syarat yang dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan.
Pasal 28
(1) Surat ijin sesuai Bab II pasal 2 ayat (1) dan Bab V pasal 15 ayat (1) Peraturan Daerah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi :
a.
Jika pemegang surat ijin atau pembantunya melanggar ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini yang menurut pemberi ijin pelanggarannya sangat tidak terpuji.
b.
Jika sesudah surat ijin diberikan terdapat kejadian yang dapat menjadi sebab untuk mencabut ijin dimaksud kepada yang bersangkutan.
16 c.
Ijin
dibatalkan
jika pemilik ijin tidak aktif lagi dan selama
kurun waktu 6 (enam) bulan berturut-turut pemegang ijin tidak melakukan usahanya dan tidak melaporkan alasan yang ada, tanpa pemberian ganti rugi.
d.
Ijin tidak berlaku jika pemegang ijin tersebut telah meninggal dunia.
(2) Dengan Pembatalan ijin dimaksud, maka yang bersangkutan tidak diperbolehkan lagi menjalankan usahanya.
Pasal 29
(1) Jangka waktu berlakunya ijin sesuai pasal 2, 13 ayat (2) dan 15 Peraturan Daerah ini adalah selama 3 (tiga) tahun terhitung sejak ijin dikeluarkan.
(2) Kepada pemegang ijin tersebut ayat (1) pasal ini setiap tahun diwajibkan melaksanakan daftar ulang.
BAB VIII PENGAWASAN
Pasal 30
Pengawasan terhadap Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Bupati Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
17 BAB IX KETENTUAN PIDANA
Pasal 31
(1) Barang siapa melanggar ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Daerah ini, diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
(2) Tindak Pidana dimaksud ayat (1) Pasal ini adalah Pelanggaran.
BAB X KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 32
(1) Selain Pejabat penyidik umum yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidikan atas pelanggaran tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dapat juga dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilingkungan Pemerintah Daerah yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan para penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) berwenang :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c. Menyuruh berhasil seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penyitaan benda dan atau surat;
18 e. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum tersangka ataau keluarganya;
i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang dapat
dipertanggung jawabkan.
Pasal 33
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah.
BAB XI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini maka Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 7 Tahun 1988 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan dan Fasilitas lainnya dinyatakan tidak berlaku lagi.
19
BAB XII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung.
Ditetapkan di :
Denpasar
Pada Tanggal :
15 Desember 1994
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG
BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II BADUNG
KETUA, T.T.D.
T.T.D.
I KETUT GARGA
I.G.B. ALIT PUTRA
Disahkan oleh : Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali dengan Keputusan Tanggal 8 Mei 1995 Nomor 187 Tahun 1995
Diundangkan Dalam Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung. Nomor Seri
: 42 : B
Tanggal Nomor
: 22 Juni 1995 : 2
Sekretaris Wilayah/Daerah Tk. II Badung T.T.D Drs. Ida Bagus Yudara Pidada Pembina Tk. I Nip. 010045843
20
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENGAWASAN PEMOTONGAN TERNAK DAN PENANGANAN DAGING SERTA HASIL IKUTANNYA DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG
I.
UMUM : Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Oleh karena itu kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan yang penting dalam mencegah penularan penyakit kepada manusia baik melalui hewan maupun bahan makanan asal hewan atau bahan asal hewan lainnya, dan ikut serta memelihara dan mengamankan produksi bahan makanan asal hewan dari pencemaran dan kerusakan akibat penanganan yang kurang higenis. Pengawasan pemotongan dan penganan daging serta hasil ikutannya antara lain dimaksudkan untuk melindungi konsumen-konsumen/masyarakat dari bahaya yang dapat mengganggu kesehatan (foodborne disease) akibat menggunakan daging dan bahan asal hewan baik untuk dipakai atau dimakan, melindungi dan menjamin ketentraman batin masyarakat dari kemungkinan-kemungkinan penularan zoonosa yang sumbernya berasal dari hewan.
Berkenaan dengan hal-hal tersebut diatas, terutama dalam upaya melindungi konsumen/masyarakat di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, maka diperlukan adanya Peraturan Daerah yang mengatur tentang Pengawasan Pemotongan Ternak dan Penanganan Daging serta hasil Ikutannya.
II.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Huruf a s/d c
: Cukup Jelas
Huruf d
: Yang dimaksud hewan lainnya antara lain Rusa, Kelinci, Babi Hutan.
21 Huruf e s/d h
: Cukup Jelas
Huruf i
: yang dimaksud lazim disini adalah daging-daging yang : a. Tidak mengandung penyakit b. Tidak mengalami pembusukan c. Tidak kotor d. Tidak menjijikan
Huruf j s/d m
: Cukup Jelas
Huruf n
: Yang dimaksud pengolahan daging antara lain pembuatan bakso, sosis, abon, dendeng, daging asap,daging panggang.
Huruf o s/d r
: Cukup Jelas
Huruf s
: Perorangan atau badan dalam hal ini adalah para pemilik kegiatan pemotongan ternak.
Huruf r s/d z
Pasal 2 (3) huruf g
: Cukup Jelas
: Yang dimaksud dan lain-lain yang dipandang perlu adalah selain syarat-syarat yang ada, mungkin dari pihak pemberi ijin
memerlukan
persyaratan
tambahan yang
perlu
dilengkapi misalnya : HO, HGU/Lokasi, PIL ( Penyajian Informasi
Lingkungan
)
pemasangan
instalasi
dan
peralatan, ijin tenaga kerja asing dan lain-lain.
Pasal 3
: Cukup Jelas
Pasal 4 s/d 20
: Cukup Jelas
Pasal 21
: Yang dimaksud dalam pasal ini adalah bahwa Kepala Dinas Peternakan bertanggung jawab baik didalam maupun diluar Rumah Pemotongan hewan terhadap keberadaan dan kelancaran kegiatan Rumah Pemotongan Hewan.
Pasal 22
: Cukup Jelas
Pasal 23
: yang dimaksud adalah 25% dari Retribusi pemeriksaan sebagaimana pasal 20 ayat (1) Peraturan Daerah ini.
22 Pasal 24
: yang dimaksud dengan diubah dari wujud keadaan semula misalnya dipompa dengan air, di cat, diulas dengan darah atau cara lainnya.
Pasal 25 s/d 27
Pasal 28
:
Cukup Jelas.
: yang dimaksud dalam pasal ini adalah jika yang bersangkutan telah beberapa kali melakukan pelanggaran dan sudah mendapat teguran lisan/tulisan antara lain : melaksanakan pemotongan dan pelaporan pemotongan yang
tidak
sesuai
dengan
kenyataan;
diketahui
melaksanakan kegiatan yang bertentangan dengan maksud pasal 17, 18, 24, 25, dan 27 Peraturan Daerah ini.
Pasal 29/35
: Cukup Jelas