PERANG ATJEH 1873 – 1927 M
Oleh: Hasan Muhammad Tiro
Disalin Ulang Sebagaimana Aslinya dan Dengan Ejaan Yang Disempurnakan Oleh:
Haekal Afifa
Kepada Ibuku
Pendahuluan Sebagaimana halnya daerah Aceh adalah satu bagian yang tak terpisahkan dari Negara Republik Indonesia maka demikian pulalah sejarahnya pun merupakan satu bagian yang tak terpisah dari sejarah Indonesia, demi semboyan kita satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air. Untuk menjamin kelanjutan tekad ini sebaikbaiknya tidak saja harus kita perjuangkan dalam lapanngan pengertian politik tetapi juga dalam segala lapangan kebudayaan bangsa! Disinilah terletak tanggung jawab yang besar atas pundak seluruh pemimpin-pemimpin, pendidik dan terutama penulis-penulis sejarah kita! Tanggung jawab untuk menjelmakan jiwa “kesatuan” dari seluruh daerah, baik dalam pengertian politik maupun dalam pengertian sejarah dan kebudayaan. Pengemblengan yang harmonis dari seluruh anasir tubuh yang merupakan kesatuan kita, inilah yang menjadi sumber kekuatan kita terutama dalam menghadapi masa-masa yang akan datang! Dalam hubungan ini penulis-penulis sejarah kitalah yang akan memegang peranan yang terpenting. Mereka mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang berat,
untuk menjelmakan satu sejarah buat satu bangsa Indonesia! Untuk ini, perlu supaya tiap-tiap daerah kita dikenal dengan arti yang seluas-luasnya. Risalah ini kita tulis untuk menambah saling mengerti dan saling teladan-meneladani diantara kita, karena hingga kini boleh dikatakan belum ada satu bukupun yang ditulis tentang Aceh dan Perang Aceh dalam bahasa kita, untuk kepentingan perjuangan kita. Tetapi telah berpuluh-puluh buku ditulis oleh Belanda untuk kepentingan Belanda dan disiarkan ditengahtengah kita yang memberi gambaran yang salah, tidak benar dan tidak adil tentang daerah Aceh dan penduduknya dengan maksud untuk mengadu-dombakan kita dan membenarkan tindakannya memperkosa kemerdekaan Aceh, kubu yang terakhir dari benteng bangsa Indonesia. Untuk menutupi maksudnya yang nista, dipermulaan perang, dari mulut Belanda berhamburan kata-kata “Bajak Laut, perampok pantai, penyamun orang, pencuri kapal dagang, dsb”. (Zeeroof, strandroof, menschenroof, plundering van handelsschepen, enz. enz) yang ditujukan terhadap rakyat Aceh. Tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan dan omong kosong belaka yang dibikin-bikin oleh Belanda sendiri untuk menghalalkan
perang kolonialnya sebagai mana akan kita buktikan nanti. Setelah puluhan tahun berperang dan tenyata Belanda tidak sanggup menundukkan Aceh semudah yang disangkanya karena menghadapi perlawanan rakyat yang segigih-gigihnya, dari mulut Belanda berhamburan pulalah tuduhan-tuduhan: “Haus darah, fanatik, dsb” (Bloeddorsting, fanatieker enz.enz) terhadap rakyat Aceh. Sungguh ganjil dan tak dapat dimengerti kalau Belanda yang datang mendarat ke Aceh dengan membawa “pedang” dan “api” lalu menuduh rakyat Aceh “haus darah”, padahal Belanda lah yang datang ke Aceh untuk menumpahkan darah karena bangsa Belanda memang bansga “haus darah”! Belanda menuduh rakyat Aceh “Fanatik” sebabnya ialah: Karena rakyat Aceh mencintai kemerdekaannya Karena rakyat Aceh tidak sudi dijajahnya Karena rakyat Aceh sebagai kata Belanda sendiri “berjuang laksana singa” (vochten als leeuwen1) mempertahankan kemerdekaannya,
1
Zentgraaff: “Atjeh”, p.20
Karena rakyat Aceh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaannya hanya memilih sala satu diantara dua alternative: menang atau mati. Inilah sebabnya Belanda mengecap rakyat Aceh fanatik. Sungguh suatu paradoks! Andainya “cinta kepada kemerdekaan bangsa dan tanah air serta menyerahkan jiwa raga untuk mempertahankannya” ini yang di namakan fanatik, maka sesungguhnya seluruh bangsa yang sopan adalah “fanatik” dan harus “fanatik”. Masih banyak lagi isapan-isapan jempolnya yang disiarkan oleh Belanda untuk menghitamkan Aceh dan menghalalkan perang kolonialnya yang tak perlu kita bicarakan disini karena hanya bersifat pembicaraan yang rendah belaka dan memang tak dapat diterima oleh siapapun yang berpikir sehat. Sebagaimana telah kita terangkan Aceh lah benteng kemerdekaan yang terakhir dari bangsa Indonesia, karena hanya daerah Aceh lah satu-satunya daerah kita yang sanggup mempertahankan kemerdekaannya sampai pada saat yang paling akhir, lama setelah seluruh Indonesia sudah dijajah oleh Belanda. Demikian juga perang Aceh adalah perang yang dipaksakan oleh Belanda kepada satu negara
Indonesia yang merdeka dan berdaulat, jadi bukan hanya satu pemberontakan saja. Dalam perang Aceh yang berjalan sampai setengah abad itu, bangsa kita telah menulis satu riwayat kepahlawanan yang gilang-gemilang yang jarang tolak bandingnya di dunia dengan darah dan jiwa mereka, sejarah kepahlawanan yang mengagumkan kawan dan lawan, sejarah kepahlawanan “die den trots van elk volk zouden uitmaken2” – “yang patut menjadi kebanggaan sesuatu bangsa” seperti kata Zentgraff! Dalam rangkaian riwayat perjuangan mati-matian itu banyak contoh dan teladan yang dapat kita ambil terutama dalam memupuk semangat pengorbanan dan tanggung jawab kita kepada sejarah. Sejarah telah mencatat bagaimana nenek-nenek dan bapak-bapak kita dahulu dalam perang mempertahankan daerah merdeka yang terakhir dari bumi Indonesia, mereka telah menyerahkan harta bendanya, tenaga dan pikirannya, paling akhir jiwa raganya; mereka benarbenar berjuang sampai ketitik darah yang penghabisan dengan arti yang sesungguh-sungguhnya.
2
Zentgraaff: “Atjeh”, p.1
Para pemimpin hidup bersama-sama rakyat dan merekapun mati bersama-sama rakyat pula. Pada waktu Belanda dapat menduduki seluruh Aceh hampir seorang pemimpinpun tak ada lagi yang hidup, semua mereka lebih suka memilih mati sebagai pahlawan dari pada hidup dalam penjajahan! Banyak, sungguh banyak teladan dan pengalaman yang dapat di ambil dari Perang Aceh, baik oleh pemimpin maupun oleh rakyat, terutama dalam menghadapi Belanda musuh pusaka kita! Dalam pada itu, kita merasakan juga, dilihat dari sudut kebangsaan sesungguhnya tidaklah tepat kita bangsa Indonesia menamakan peperangan Belanda-Aceh itu sebagai suatu “Perang Aceh”, setidak-tidaknya kita harus menamakan peperangan itu “Peperangan BelandaAceh”, tetapi mengingat pendapat umum disini yang sudah lazim menamakan “Perang Aceh” terhadap “Peperangan Belanda-Aceh” itu (tentu saja dari pengaruh lecture-lecture musuh), maka untuk memudahkan pengertian umum terhadap isi dan maksud risalah ini, kita pakailah buat sementara nama darurat ini. Dalam risalah ini kita mencoba menggambarkan perjalanan “Peperangan Belanda-Aceh” itu dengan seringkas-ringkasnya, walaupun sesungguhnya sebagai kata E.S De Klerck “It would carry us, too far afield, if
we tried to outline the Atjeh war even in the most concise manner3” – Kita akan dibawa terlalu jauh –berlebar panjang- jika kita mencoba meringkaskan riwayat Perang Aceh walaupun secara yang amat singkat” Kemudian, pada tempatnya pula, disini kita mengucapkan terimakasih kepada Tuan H. Abubakar atas bantuan-bantuannya. Demikianlah, semoga maksud kita tercapai. Jogja, April 1948 Hasan Muhammad Tiro
3
E.S.De Klerck: “History of the Netherland East Indies” Jilid II, p.349
Sejarah Lama sebelum 500 M. Kerajaan Aceh sudah berdiri di Sumatera Utara. Sebagai satu negara merdeka dan berdaulat, Kerajaan Aceh mempunyai perhubungan dengan negara-negara sekitarnya baik hubungan diplomatik maupun hubungan dagang misalnya dengan Jepang, Tiongkok, India, Mesir, Arab, Turki, Persi, Siam dll, negara di Asia Tenggara. Geografis kedudukan Aceh memang mempunyai syarat-syarat yang cukup untuk menjadi negara dagang (Handelstaat) yang maju dan karena itu tidaklah mengherankan jika dari dahulu kala pelabuhanpelabuhannya penuh dengan kapal-kapal dagang dari berbagai bangsa. Sekalian pedagang atau pelancong ke Asia Timur tentulah tak boleh tidak akan memerlukan datang atau singgah di pelabuhan-pelabuhan Aceh dan tidak sedikit pula dari mereka yang mencantumkan keadaan Kerajaan Aceh dalam bukunya. Berturut-turut El Idrisi (± 1154 M), Qazwini (± 1270 M), Marco Polo (± 1345), Friar Odorico (± 1323 M), Ibnu Batutah (± 1345 M), Nicolo Conti (± 1432 M), Beaulieu (± 1621 M), Willeam Dampier, dsb, menguraikan keagungan dan kejayaan Kerajaan Aceh dari abad ke abad.
Pada abad ke 13 M, orang Aceh sudah memeluk Islam dan sebagai dikatakan oleh Kreamer: “Les Atchinois sont musulmans jusqu’ala moelle. L’Islam fait partie de leur substance vivante4” (Orang Aceh adalah Islam sampai ke tulang sumsumnya. Islam telah merupakan sebagian dari zat hidup mereka). Oleh karena itu tidak mengherankan jika Aceh dengan segera telah menjadi Negara Islam dengan pemerintahannya yang demokratis dan ber-trias politica. Raja-raja dipilih dan tidak mempunyai kekuasaan yang mutlak, kekuasaan Perencana (Legislative) dipegang oleh para cerdik pandai; sedang kekuasaan Kehakiman berada dalam tangan seorang Hakim Tertinggi yang memakai gelar “Teungku Kali Rabbon Djale” (Hakim Allah Yang Maha Esa) yang pembantu-pembantunya yang bergelar “Teungku Kali Malikon Ade” (Hakim Raja Keadilan). Dengan datangnya abad ke 16 M yang membawa kebangunan perkapalan dikalangan bangsa Eropa dan antara lain mengakibatkan tambah ramainya Selat Malaka, hal ini dilapangan perdagangan memberi keuntungan, dan dilapangan politik memberi kedudukan yang international bagi Kerajaan Aceh. William Dampier menceritakan tentang Wakilwakil dagang Asing yang berada di Aceh seperti Inggris, 4
G.H.Bousquet: “Introduction a l’etude de I’Islam Indonesien” p.158
Belanda, Denmark, Portugis, Spanyol, Tiongkok, Italia dan lain sebagainya. Dikatakannya “The anchorange was rarely without ten or fifteen sail of different nations5” – pelabuhan Aceh jarang waktu itu dengan tak ada kapal dagang 10 atau 15 dari berbagai-bagai bangsa, yang membawa dan mengangkut bermacam-macam barang dagangan. Encyclopaedia Britannica mengatakan bahwa emaslah yang sangat menarik perhatian para pedagang dari berbagai bangsa untuk datang ke Aceh. “No place in the East unless Japan, was so abundantly supplied with gold6” – “tak ada satu tempatpun di Timur kecuali Jepang yang begitu melimpah dengan emas”. Demikianlah dikatakan selanjutnya. Tak dapat disangkal lagi bahwa banyaknya emas dalam sesuatu negara adalah sebagai tanda kekayaan dan kemakmurannya. Emas yang melimpah di Kerajaan Aceh waktu itu bukan saja hasil dari tambangtambangnya tetapi juga yang mengalir dari luar negeri sebagai hasil dari perdagangan negara yang kuat. Demikian juga dengan hubungan diplomatik dengan luar negeri berjalan dengan sebaik-baiknya,
5 6
The Encyclopaedia Britannica, p.145 Ibid
bukan saja dengan negara-negara Asia tetapi juga dengan negara-negara Eropa. Sir James Lancarster, Commondore Inggris membawa surat untuk Sultan Aceh dari Ratu Elizabeth yang diterima dengan baik oleh Sultan Alauddin Syah yang menjadi raja di Aceh waktu itu. King James I dari Inggris juga telah melakukan perhubungan surat menyurat dengan Sultan Iskandar Muda pada tahun 1613 M. Sidi Muhammad, Duta Aceh di Perancis, seorang putera Aceh asli berasal dari Pidie dan mendapat pendidikan di Paris, membawa surat-surat dari Raja Perancis Louis Philippe untuk Raja Aceh yang bertanggal a.I. “Palais Imperial des Tuileries, le deuxieme jour du mois de janvier de I’an de grace Mil Huit cent quarante trois” (Istana Kerajaan, Tuileries, hari kedua dari bulan Januari tahun 1843 M) dengan ditanda tangani oleh Louis Philippe sendiri dan Menteri Luar Negeri Perancis, Guizot. Hubungan surat menyurat telah berlaku juga antara Raja Napoleon III dengan Raja-raja Aceh. Perlu juga disebut Cesar Moreno Duta Italia di Aceh sejak tahun 1859 – 1867 M yang telah banyak memberi bantuan kepada Aceh waktu pecah perang dengan Belanda, dengan penerangan-penerangannya di
Eropa dan Amerika yang menyatakan kebenaran Aceh dan kecurangan Belanda. Hubungan dengan negara-negara Eropa yang lainpun berjalan dengan baik seperti Denmark, Spanyol, dsb. Kecuali dengan Portugis karena bangsa ini senantiasa berniat jahat terhadap Aceh. Pada pertengahan abad ke 16 M setelah diizinkan kepada mereka untuk membuka kantor dagangnnya di Pase yaitu tahun 1521 M, lalu dengan cara yang tidak jujur bangsa Portugis hendak merampas dan menjajah daerah tersebut, sehingga terpaksalah Kerajaan Aceh pada tahun 1542 M menyapu bersih mereka dari sana. Setelah itu bangsa Portugis terus menerus memusuhi Aceh dengan menduduki daerahnya ataupun menghasut rakyat supaya berontak kepada pemerintah pusat di Kutaraja. Untuk membasmi tindakan durjana dari bangsa Portugis ini yang mengacau di Semenanjung Malaka, pada tahun 1615 M Sultan Iskandar Muda mengirimkan armadanya yang terdiri dari 500 kapal yang 100 buah diantaranya “greater than eny then used in Europe” – lebih besar dari yang pernah dipakai waktu itu di Eropa. Begitulah dikatakan oleh The Encyclopaedia Britannica7.
7
The Encyclopaedia Britannica, Jilid I, p.145
Pada waktu itulah Aceh berada dipuncak kejayaannya, ialah masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607 M – 1636 M). Dalam Mayers groszes Konversations Lexikon diterangkan: “Anfang des 17 Jahrh, als das Anfang des 16. Jahrh” beggrundete Rech Atschin aus seiner Hohe stand, erstreckte sich sein Gebiet jangs der Westkuste Sumatras bis Benkulen und jangs der Oskuste bis Kampar wahrend ein Teil der angrenzenden Binnen lander und der Halbinsel Malakka ihm Tribut zahlte8” (Pada permulaan abad ke 17, tatkala Kerajaan Aceh yang dibangunkan pada permulaan abad ke 16 berada di puncak kedudukannya, daerahnya pun meluas sepanjang pantai Barat Sumatera sampai ke Bengkulen dan sepanjang pantai Timur Sumatera sampai ke Kampar, sedang sebagian dari daerah pedalaman yang berbatasan dengan itu dan semenanjung Malaka membayar upeti kepadanya).
Perhubungan Dengan Belanda Pada 24 Juni 1599 M datanglah Cournelis de Houtman ke Aceh. Inilah perhubungan yang pertama 8
Meyers grosses Konversations Lexikon, Jilid II, p.63
dengan bangsa Belanda, pada waktu itu sudah terjadi suatu insiden disebabkan oleh orang-orang Portugis yang memang telah lama bermusuh dengan bangsa Belanda dalam lapangan perdagangan. Dari pihak Pemerintah Kerajaan Aceh sebagai tuan rumah waktu itu juga telah dikeluarkan penjelasan atas terjadinya insiden tersebut dipelabuhannya dan diharapkan agar hal itu dihabiskan sehingga itu saja, supaya segala pihak yang bersangkutan dapat terus-menerus mempergunakan pelabuhanpelabuhan Kerajaan Aceh yang dibuka kepada segala bangsa untuk berdagang. Dalam pada itu sesungguhnya sejak bertambah ramainya Selat Malaka dilayari oleh kapal-kapal dagang bangsa Eropa yang berlomba-lomba mencari keuntungan ke Timur, suasana perdagangan diperairan ini menjadi tidak tenteram lagi disebabkan oleh perlombaan dan perebutan keuntungan diantara bangsa-bangsa itu sendiri yang seringkali mengakibatkan terjadinya serangmenyerang dan rampas-merampas sesama mereka. Jika hal-hal yang demikian telah terjadi maka yang harus dipertanggung jawabkan bukanlah negara-negara Timur yang berkuasa disekitar daerah itu seperti Aceh dsb, tetapi bangsa-bangsa pedagang itu sendirilah yang bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatannya sendiri; “the rivalries between those nations themselves, were destructive of sound trade” – perlombaan diantara bangsa-bangsa itu sendirilah yang menghancurkan
suasana perdagangan yang tenteramn – demikianlah dikatakan oleh The Encyclopaedia Britannica9. Selanjutnya dikatakannya, walaupun suasanan demikian, suasana yang penuh dengan kemungkinankemungkinnan intervensi, tetapi perdagangan Kerajaan Aceh tetap berlangsung dengan kokoh. Bagaimanapun juga bangsa-bangsa Barat itu bermusuhan satu sama lainnya, pihak diplomat-diplomat Kerajaan Aceh tetap memandang sama keapda mereka dengan tidak membeda-bedakan kebangsaannya. Memang tidak sedikit diantara mereka yang berusaha untuk menarik Kerajaan Aceh berpihak kepadanya dan mendesak supaya meninggalkan pendirian neutralite nya, dan tidak jarang pula dengan mengadakan provokasi-provokasi. Tetapi desakan-desakan dan provokasi-provokasi itu tidak pernah menggoyangkan diplomat-diplomat Aceh dari dasar pendiriannya karena mereka sadar benar bahwa negaranya mempunyai kedudukan yang amat baik dan strategis dalam evenwichtspolitiek! Dengan Belandapun Kerajaan Aceh seringkali mengadakan perjanjian-perjanjian persahabatan serta memberikan kepada mereka kesempatan-kesempatan berniaga di pelabuhan-pelabuhan Aceh bahkan lebih dari 9
The Encyclopaedia Britannica, Jilid I, p.145
itu dengan memberikan keistimewaan-keistimewaan perdagangan kepadanya, seperti perjanjian tentang perdagangan timah di Perak (Malaya) pada tahun 1650 M dan lain sebagainya. Tetapi rupanya Belanda sungguh-sungguh satu bangsa yang tidak tahu membalas budi. Disatu pihak ia membuat perjanjian-perjanjian persahabatan dengan Aceh dan mengenyam hasil-hasilnya, sedang dipihak lain ia mengadakan tindakan-tindakan “verdeelheid te wekkend tusschen Atjeh en de onderworpenstaten10” – memecah belah Aceh dengan daerah takluknya. Dan kemudian supaya daerah-daerah itu dapat dijajahnya. Sepanjang abad ke-16 M, abad ke-17 M, abad ke18 M dan 19 M, dengan mempergunakan segala akal licik dam tipu daya Belanda berusaha dengan sekuatkuatnya menjalankan politik “memecah dan menjajah” terhadap daerah-daerah Kerajaan Aceh di Timur dan di Barat Sumatera. Semua itu telah diperbuat oleh Belanda dengan tidak mengindahkan “Perjanjian Persahabatan” (Treaty of Friendship) yang telah ditanda tanganinya dengan Aceh bahkan yang telah diperbaharuinya beberapa kali! Sebagai akibat dari pada tindakan-tindakan Belanda itu berturut-turut seluruh daerah Kerajaan Aceh, di barat Pulau Sumatera dari Bengkulen sampai Singkel, 10
Beknopte Encyclopaedie van Nederlandsch Oost-Indie, p.21
di timur Sumatera dari Indragiri sampai Besitang telah jatuh menjadi korban! Siapakah yang masih ragu-ragu bahwa dengan tindakannya itu tidak berarti Belanda telah menginjakinjak “Perjanjian Persahabatan” nya dengan Aceh? Siapakah yang masih ragu-ragu bahwa dengan tindakannya itu tidak berarti Belanda telah melanggar kedaulatan Kerajaan Aceh? Siapakan yang masih ragu-ragu bahwa dengan tindakannya itu tidak berarti Belanda telah menjalankan agresi, telah menjalankan “Perang” terhadap Kerajaan Aceh? Memang dengan demikian Belanda sudah menjalankan perang terhadap Aceh. Tetapi sebagaimana Belanda bangsa yang licik, perang yang dijalankannya itupun adalah secara licik pula yaitu perang dengan tiada memakai pemakluman! Sungguhpun sudah sedemikian Kerajaan Aceh masih memperlihatkan goodwill nya dan menyatakan bersedia mengadakan perundingan-perundingan dengan Belanda untuk memperbaiki perhubungan asal saja Belanda benar-benar menepati segala perjanjian yang ditanda tanganinya.
Dengan demikian ditahun 1857 M, ditanda tanganilah persetujuan damai antara Belanda dengan Kerajaan Aceh yang diiringi pula dengan perjanjianperjanjian perdagangan yang lain. Tetapi rupanya Belanda sungguh-sungguh bangsa kawanan perampok yang tidak tahu menepati janji, karena belum kering tinta perjanjian yang ditanda tanganinya, Belanda telah membuat pula tindakantindakan yang menginjak-injak perjanjian tersebut dengan terus-menerus menggerakkan usaha “Devide ut Impera” – nya untuk menjajah Aceh. Dengan diam-diam atau terang-terangan Belanda terus berusaha dengan taktik ‘secrete besoignes’ untuk menarik pembesar-pembesar Sumatera yang dibawah Mahkota Kerajaan Aceh kebawah “perlindungan” (sic!) – nya (“om de Sumatraanche landsgrooten van de croone van Atschin tot de bescherming van de Compagnie te trecken11”) Tetapi bagaimanapun juga sebagai diakui oleh Belanda sendiri “De Maleiers verkozen echter veelal Atjeh……boven de “bescherming” der Compagnie12” – orang-orang Melayu lebih suka memilih Aceh…….dari pada “perlindungan” Kompeni itu.
11 12
Encyclopaedie van Nederlandsch Oost-Indie, Jilid I, p.76 Ibid
Pada waktu itu Kerajaan Aceh tak dapat sabar lagi, perkataan “peace at any price” tak ada dalam kamus Aceh; pada tahun 1865 M berangkatlah Tentara Aceh ke Sumatera Timur untuk memerdekakan kembali daerah itu dari cengkraman Belanda. Ekspedisi ini berhasil memerdekakan kembali sebagian daerah Sumatera Timur. Dalam pada itu sesungguhnya tenaga Kerajaan Aceh telah banyak susut sejak wafatnya Sultan Iskandar Muda. Mungkin karena Aceh sesudahnya berturut-turut diperintahkan oleh Raja-Raja perempuan sampai tiga kali yang lambat laun membawa kepada kelemahan pemerintahan. Pada penghabisan abad ke 19 M, boleh dikatakan praktis seluruh Indonesia sudah menjadi tanah koloni bangsa-bangsa Imperialis Barat seperti Belanda, Inggris, atau Portugis, hanya Acehlah satu-satunnya yang masih tetap merdeka dan berdaulat. Belandapun tahu bahwa anasir-anasir kelemahan sudah mulai menyelinap dalam tubuh Kerajaan Aceh yang sangat dimusuhinya sebab selama sejarah pernjajahan dimulai, kekuasaan Aceh selalu merupakan satu ancaman besar bagi Belanda.
“Atjeh de achillesbiel van ons koloniaal bestaan!13” (Aceh tempat yang menyakitkan hati dan memalukan dalam pengertian penjajahan kita) Kata E.S de Klerck. Tetapi sesungguhnya Aceh tidaklah selemah yang disangkakan oleh Belanda. Tetaplah sudah niat Belanda untuk memperkosa kemerdekaan Kerajaan Aceh supaya seluruh Indonesia sempurna dibawah telapak kakinya. Tetapi sebagai dunia tahu dan Belandapun tahu sesungguhnya tak ada alasan baginya untuk menyerang Aceh, sebaliknya Aceh lah yang cukup mempunyai alasan untuk memusuhinya. Berkali-kali sudah Belanda mendesak, menggertak dan mengancam Kerajaan Aceh supaya menerima kedaulatan Belanda atas dirinya – de aanvaarding van Nederlands souvereiniteit14 – karena inilah yang sebenarnya yang dikehendaki Belanda tetapi gertakan dan ancaman itu sia-sia belaka. Oleh karena itu untuk menghalalkan perang kolonialnya Belanda lalu membikin-bikin alasan untuk mengabur mata dunia.
13 14
E.S.De Klerck: “De Atjeh Oorlog”, Jilid I, p.205 Ibid, p.442
Dituduhnyalah rakyat Aceh “Bajak Laut” yang katanya merampas kapal-kapal dagangnya “sekian” buah di tempat “ini” dan “sekian” buah pula di tempat “itu”. Bahkan kapalnya yang bernama Dolfiin yang terbakar ditengah-tengah lautan Hindia karena kelalaian anak buahnya sendiri, kapal inipun katanya dirampok oleh “bajak laut” Aceh dan muatannya yang telah tenggelam ditengah-tengah samudera, itu dihitung oleh Belanda sudah dibawa ke Kutaraja. Untuk menambah interressant kepada cerita-cerita yang dikarangnya itu Belanda membubuhi pula bumbu-bumbu yang lain dengan mengatakan bahwa tidak sedikit pula kapal-kapal Inggris, Perancis, Tionghoa, dll yang turut menjadi korban “bajak laut” Aceh. Padahal, bangsa-bangsa yang bersangkutan itu sendiri tidak menerangkan apa-apa yang digembar-gemborkan oleh Belanda, sedang diantara mereka sejak ratusan tahun telah mempunyai hubungan dagang dan diplomatik dengan Kerajaan Aceh. Dibelakang sudah kita sebutkan William Dampier mengatakan bahwa tiap-tiap hari dipelabuhan Aceh paling sedikit ada berlabuh 15 atau 10 kapal-kapal dagang Asing mengangkut atau membawa barangbarang ke pelabuhan Aceh. Andainya lautan Aceh merupakan satu lautan tempat “bajak laut” bersarang sebagai yang dituduhkan Belanda tentulah kapal-kapal
asing tidak akan datang ke pelabuhan-pelabuhan Aceh tetapi akan menjauhkan diri sejauh-jauhnya! Sebaliknya! Belandalah yang sebenarnya yang menjalankan perbuatan-perbuatan bajak laut diperairan Selat Malaka sehingga saudagar-saudagar Tionghoa, Malaya dan India berkali-kali memajukan protes sekeras-kerasnya dengan perantaraan pemerintah mereka masing-masing terhadap Belanda yang merampok kapalkapal dagang mereka yang menuju pelabuhan-pelabuhan Aceh yang aman! Tidak cukup dengan itu, Belanda mengarang pula lakon-lakon yang lain, dituduhnya orang Aceh pembunuh yang kejam yang telah membunuh orang Belanda ditempat “ini” dan ditempat “itu” banyaknya “sekian” dan tidak pula ia menambahkan “orang-orang Tionghuapun dimana-diman sudah menjadi korban”. Memang pandai Belanda memutar balik kenyataan; rakyat Aceh yang mempertahankan kemerdekaannya dituduhlah pembunuh padahal Belanda sendirilah yang pembunuh yang memang sengaja datang mendarat ke daerah-daerah Kerajaan Aceh untuk membunuh. Untuk mengelabui mata dunia Belanda membawabawa pula nama bangsa Tionghoa, pada hal sepanjang masa belum pernah ada konflik antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Tiongkok, jangankan pembunuhan terhadap bangsa Tionghoa. Sejak berabad-abad Aceh
dengan Tiongkok sudah berhubungan baik dan sering tukar menukar duta. Ditahun 1406 M. 1415 M, da 1431 M berturut-turut Duta Besar Tiongkok Cheng Ho mengadakan kunjungan silaturrahmi ke Aceh. Demikian pula sekretaris-sekretarisnya Ma Huan dan kemudian Fe Hsin sudah menjalani hampir seluruh Kerajaan Aceh. Bahkan William Dampier menceritakan bahwa di Kutaraja sendiri ada kediaman yang khusus disediakan untuk saudagar-saudagar Tionghoa dan lain-lain bangsa Asing yang berkunjung ke Aceh. Disanalah diam berates-ratus saudagar-saudagar Tionghoa dengan sentosa.
Perang Aceh Dengan memakai alasan-alasan yang dibikin-bikin itu pada tanggal 26 Maret 1873 M. Belandapun lalu mengumumkan perang kepada Kerajaan Aceh, katanya untuk membasmi “zeeroof, standroof, menschenroof, plundering van handelsschepen, enz, enz” Tetapi sebenarnya Belanda tidak dapat mengelabui mata dunia internasional semudah mengelabui mata sebagian orang-orang kita di Ambon, di Manado dan di Jawa (Mudah-mudahan tidak akan terulang lagi dalam zaman kesadaran nasional ini) sehingga sebahagian mereka dapat dipergunakan olehnya untuk menjadi serdadunya dalam penyerangan terhadap Aceh.
Dunia yang sadar memandang tidak mempunyai alasan untuk membenarkan perbuatan Belanda yang terang-terangan memperkosa kemerdekaan Aceh itu. Kaum progressif diseluruh dunia terutama di Malaya, India, Arabia, Eropa dan Amerika mencela habis-habisan terhadap tindakan Belanda yang licik itu. Surat Kabar “I’Italie” di Italia dalam tajuk rencananya mengupas kecurangan-kecurangan Belanda terhadap Aceh dan kepalsuan “casus belli” yang dikemukakannya serta dianjurkannya supaya masyarakat dan pemerintah Italia bahkan seluruh dunia memberikan bantuan kepada Kerajaan Aceh. Di negeri Inggris, The Encyclopaedia Britannica menulis: “Doubtless there was provocation for the Sultan of Achin had not kept to understanding that he was to guarantee immunity from piracy to foreign traders; but the necessity for war was greatly doubted even in Holland15” (Tidak syak lagi bahwa tuduhan yang menyatakan Sultan Aceh tidak mengindahkan persetujuan tentang jaminannya terhadap keselamatan pedagang-pedagang Asing dari gangguan adalah provokasi belaka; bahkan 15
The Encyclopaedia Britannica, Jilid I, p.145
keharusan untuk berperang itu adalah sangat diraguragukan pun dinegeri Belanda sendiri) Pada tanggal 27 Maret Belanda mulai melepaskan tembakan-tembakan ke pantai Aceh dan pada tanggal 5 April Belanda mendaratkan 3800 orang serdadunnya di Ulee Lheue (5 km dari Kutaraja) dengan dikepalai oleh Jenderal Kohler. Pada waktu itu panggilan tanah air sudah tiba memanggil putera-putera Aceh untuk mempertahankan kedaulatan negaranya yang hendak di injak-injak oleh musuh yang congkak. Seluruh rakyat Aceh dengan tidak ragu-ragu menghunus rencongnya maju menyerbu ke kemedan perang mempersembahkan jiwa raga untuk kemerdekaan bangsa! Dengan tidak menghitung korban yang harus diberikan rakyat Aceh bertempur mati-matian melawan musuh sehingga dalam tempo 18 hari yakni pada tanggal 23 April tentara kolonial Belanda dapat disapu bersih dari daratan Aceh. Jenderalnya mati terbunuh dan serdadu-serdadunya yang luka-luka yang masih dapat melarikan diri naik ke kapalnya dan kembali ke Batavia. Pemerintah Belanda yang telah menghitung 1001 kelemahan buat Aceh, tidak menyangka mereka akan mendapat kekalahan besar yang sangat memalukan itu apalagi ditambah dengan ejekan-ejekan dunia internasional! Dan bukankah juga Raffles telah
memperingatkan Belanda jangan mengganggu-ganggu Aceh, karena Aceh “hornest nest” – Sarang Tawon (eumpung geumoto!) katanya. Sembilan bulan kemudian yaknni pada bulan Desember 1873 M Belanda yang sudah terbakar jantungnya oleh nafsu penjajahan mengirimkan tentaranya lagi untuk menyerang Aceh. Pada tanggal 9 mendaratlah 8000 serdadu colonial Belanda dengan dikepalai oleh Jenderal Van Swieten dan Jenderal Van Spijck disebelah timur muara Krueng Aceh, kira-kira 5 Km dari Kutaraja. Tentara dan rakyat Aceh walaupun dengan alat-alat yang serba kurang dan sederhana berjuang dengan gagah perkasa membela tanah tumpah darah dari perkosaan sipenjajah! Perang Aceh adalah satu perang total dengan artinya yang sesungguhnya yang pernah dikenal sejarah. Orang tua, pemuda, anak-anak, wanita, semua turut mengambil bagian dalam perjuangan mati-matian ini. Dengan melangkahi ribuan mayat serdaduserdadunya akhirnya pada tanggal 6 Januari 1874 Belanda dapat menduduki Pante Pirak, sebelah utara Kutaraja. Ini berarti Belanda dalam 1 bulan, hanya dapat maju ± 4 Km. Pertempuran sengit tiada berhentihentinya siang malam. Pada tanggal 12 Januari Belanda
berhasil menduduki Kuta Gunongan yang berarti hanya dapat maju ± 750 m setelah bertempur 1 minggu. Dari Kuta Gunongan ke Istana Kerajaan Aceh jaraknya hanya ± 100 m lagi tetapi sungguhpun demikian Belanda tidak dapat mendudukinya. Setelah pertempuran mati-matian yang berjalan 12 hari 12 malam, pada tanggal 24 Januari barulah Belanda berhasil merebut istana sesudah dikosongkan. Pada waktu itu, Belanda mulai insaf dengan siapa dia berhadapan dan dari gelagat perang yang sudah dialaminya yang sudah berjalan 1 ½ bulan itu Belanda sudah mendapat kesan mungkin perang ini akan berlarutlarut dan berjalan lama. Untu mengelabui mata dunia internasional terutama untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan intervensi yang sewaktu-waktu mungkin terjadi mengingat kedudukan internasional dari Kerajaan Aceh waktu itu dan juga untuk meninggikan semangat diri sendiri yang sudah merosot. Jenderal Van Swieten dengan tergesa-gesa pada tanggal 31 Januari 1873 M mengeluarkan satu proklamasi yang menyatakan bahwa Kerajaan Aceh semenjak itu sudah menjadi jajahan Belanda. Padahal Van Swieten dan serdadu-serdadu kolonialnya hanya baru menduduki 25 Km persegi tanah Aceh. Tidak lebih!
Pada tanggal 12 Februari Jenderal Van Swieten terpaksa mengulangi lagi mengumumkan proklamasi palsunya itu karena rupa-rupanya proklamasinya yang pertama tidak dipercayai orang diluar negeri dan sebenarnya proklamasinya yang keduapun menerima nasib yang sedemikian. Beberapa hari sesudah Kutaraja diduduki Belanda, Sultan Alauddin Mahmud Sjah yang menjadi Raja waktu itu mangkat disebabkan penyakit Kolera. Kemangkatan Baginda tidak membawa suatu perubahan apapun terhadap jalannya peperangan karena tiap-tiap rakyat Aceh, laki-laki, perempuan, tua-muda, mereka sadar bahwa sebagai orang Islam mereka wajib hidup merdeka dan wajib mempertahankan tanah airnya dengan mengorbankan apapun jua. Demikianlah keadaan yang sesungguhnya dan hal ini tiada tersembunyi bagi siapapun yang mengetahui keadaan sebenarnya di Aceh. Zentgraaff (seorang pengarang Belanda) mengakui hal ini dan mengatakan: “De waarheid is dat de Atjehers mannen en vrouwen in het algemeen schitterend hebben gevochten voor wat zij zagen al shun national of religious ideal. Er is onder die
strijders een zeer groottaantal mannen en vrouwen die den trots van elk volk zouden uitmaken16” (Suatu kebenaran ialah bahwa pada umumnya orangorang Aceh laki-laki, perempuan berjuang amat baiknya untuk sesuatu yang dipandangnya sebagai cita-cita kebangsaan atau keagamaannya. Dalam kalangan orangorang perjuangan ini terdapat jumlah yang besar sekali laki-laki dan perempuan yang menjadikan kebanggan bagi sesuatu bangsa) Oleh sebab itu kemangkatan Sultan tidaklah melemahkan perlawanan rakyat terhadap musuh karena masing-masing rakyat mempunyai rasa tanggung jawab yang penuh terhadap Allah SWT dan tanah air kampung halaman. Walaupun Kutaraja sudah jatuh dan istana Sultan sudah diduduki Belanda, tetapi diluar kota telah sial sedia puluhan ribu laskar Aceh, dibawah pimpinan Pemimpin Besar Teungku Chik di Tiro yang setiap saat siap sedia untuk mengusir penjajah dari daratan Aceh. Serbuan dan serangan-serangan terus-menerus dilakukan terhadap kedudukan-kedudukan Belanda. Pada tahun 1874 M dalam 5 bulan saja Belanda sudah kehilangan 28 Opsir tinggi dan 1024 orang serdadunya.
16
Zentgraaff: “Atjeh”, p.1
Pada permulaan tahun 1875 M dalam bulan Februari saja 150 Opsir Belanda dengan 280 serdadunya menjadi korban. Jumlah kerugian Belanda dalam tahun 1875 M yang mati 957 orang yang lumpuh 5150 orang. Dalam pada itu, tentara Aceh yang dikepalai oleh Teungku Chik di Tiro makin bertambah-tambah besar juga sedang Belanda sudah terkurung di Kutaraja dan sekitarnya dengan tak dapat maju setapakpun. Pada tahun 1876 M Belanda kehilangan 7600 orang serdadunya sedang 20% dari persenjataanya dihancurkan. Oleh karena menghadapi hal-hal yang demikian Jenderal Van Swieten yang ditahun yang lalu sudah memproklamirkan bahwa seluruh Aceh sudah dikuasainya menjadi putus asa dan dengan segera ia minta berhenti dan diganti oleh Jenderal Van Pel. Jenderal Van Pel yang merasakan kegentingan suasanabagi Belanda waktu itu mengatakan: “The proclamation of direct rule over Atjeh proper had been a mistaken idea; there could be no question of conquest for the time being, the standing army in Atjeh being depleted by the heavy losses suffered and the consequent large drainage of forces17” 17
E.S.De Klerck: “History of the Netherland East Indies” Jilid II, p.325
(Pernyataan – Proklamasi – tentang langsung terjajahnya Aceh sungguh-sungguh adalah cita-cita yang salah belaka; Sebenarnya soal menang taka da pada waktu ini. Keadaan serdadu di Aceh sepi oleh karena menderita kekalahan hebat dan akibatnya kemusnahan kekuatan yang besar) Tiada berapa kemudian Van Pel menemui ajalnya di Kutaraja. Kedudukan serdadu colonial Belanda makin sehari makin bertambah ruwet. Jenderal-Jenderal Belanda silih berganti diangkat dan diperhentikan karena tidak sanggup lagi memegang pimpinan. Van Pel diganti oleh Jenderal Van Lansberg. Jenderal Van Lansberg diperhentikan diganti dengan Jenderal Van Kerchem. Jenderal ini diperhentikan lagi dan diganti oleh Jenderal Diamond. Ini hanya dalam tempo 1 tahun dalam waktu 1876 M. Pada tahun 1877 M pimpinan tentara Belanda diganti lagi oleh Jenderal Van der Heijden. Waktu itu serdadu Belanda yang bertempur sudah mencapai jumlah 11.000 yaitu untuk menghadapi satu front yang panjangnya tidak sampai 30 Km! Tindakan yang pertama-tama dari Van der Heijden ialah memperkuat “Tutup Larang” (Blokkade) terhadap pelabuhan-pelabuhan Aceh. Tetapi ditahun 1878 M Van der Heijden terpaksa membatalkan niat jahatnya itu
karena saudagar-saudagar ditanah Melayu dan India mengadakan protes keras terhadap tindakan Belanda yaitu untuk menghadapi satu front yang panjangnya tidak sampai 30 Km! Tindakan yang pertama-tama dari Van der Heijden ialah memperkuat “Tutup Larang” (Blokkade) terhadap pelabuhan-pelabuhan Aceh. Tetapi ditahun 1878 M Van der Heijden terpaksa membatalkan niat jahatnya itu karena saudagar-saudagar ditanah Melayu dan India mengadakan protes keras terhadap tindakan Belanda yang sangat merugikan dunia internasional itu. Inipun satu bukti pula bahwa apa yang dinamakan Belanda “zeeroof, strandroof, enz, enz” terhadap Aceh adalah omong kosong belaka. Di tahun-tahun yang berikutnya dari sehari ke sehari kedudukan Belanda makin terdesak, Teungku Chik di Tiro dan pemimpin-pemimpin Aceh yang lain sudah membuat renana-rencana untuk sewaktu-waktu mengadakan aksi serentak dan serangan umum untuk mengusir Belanda dari tanah Aceh. Teungku Chik di Tiro mengirim surat kepada pimpinan tentara Belanda di Kutaraja menyuruh pilih salah satu diantara dua: diusir dengan hina dina dari tanah Aceh, atau tetap tinggal ditanah Aceh tetapi harus memeluk Islam. Yang belakangan ini karena menurut Islam persatuan dalam agama mengatasi perbedaan
kebangsaan dan jika Belanda sudah menjadi orang Islam, konsekwensinya ialah mereka harus tunduk pada pemerintah Islam yang berwajib disitu, di Aceh ialah pemerintah Aceh. Pada waktu itu semangat serdadu Belanda sudah patah sama sekali. Pemerintah Belanda sudah mulai yakin bahwa mereka tidak akan dapat menundukkan Aceh dengan kekerasan. Jenderal Van der Heijden dipaksa meletakkan jabatannya oleh pemerintah Belanda dan sebagai penggantinya yang diberi tugas untuk menjalankan “Politik Damai” terhadap Aceh diangkat Pruijs van der Hoeven dengan diberi pangkat “Gubernur Aceh dan Daerah Takluknya” yaitu beberapa buah “Desa” disekitar Kutaraja!! Tetapi rakyat Aceh “volk dat voor zijn onafhankelijkheid vocht18” – rakyat yang berjuang untuk kemerdekaannya – sebagai kata Van Sluijs, tidaklah meminta lagu-lagu yang merdu dari Belanda, yang dipintakan oleh rakyat Aceh ialah supaya; Belanda pergi dari Aceh! Tidak lebih dan tidak kurang! Itulah hanya satu dan itulah semuanya.
18
Joh. Langhout: “Vijftiq jaren Economische Staatkunde in Atjeh”, kata pengantar, oleh Van Sluijs
Pada waktu itu tentara Aceh sudah mulai mengadakan serbuan umum terhadap tiap-tiap kedudukan Belanda rencana membersihkan tanah Aceh dari serdadu kolonial Belanda sudah mulai dijalankan! Pruijs van der Hoeven, Gubernur Belanda di “Aceh dan Daerah Takluknya” itu merasa kehilangan akal dan tak dapat berbuat suatu apapun selain minta berhenti. Pada bulan Maret 1883 M iapun diganti oleh Laging Tobias yang baru saja menginjakkan kakinya di Kutaraja sudah berteriak; “de toestand in Atjeh zeer ongunstig was” – suasana di Aceh buruk sekali!” Dengan tidak pakai “tedeng aling-aling” lagi Laging Tobias menganjurkan supaya pemerintah Belanda memilih salah satu diantara: menjatuhkan diri dalam satu benteng yang kuat, kalau sanggup supaya mengadakan serangan-serangan baru, kalau tidak supaya Kerajaan Aceh segera diakui kembali! Laging Tobias mengatakan: “Reeds zeer kort na mijn optreden als gouverneur van Atjeh kreeg ik de overtuiging dat onze toestand in Atjeh bijna geheel hopeloos was19” (Baru saja saya menjadi Gubernur Aceh (baca: beberapa desa di Aceh) saya mendapat keyakinan bahwa 19
P.F.Laging Tobias: “Het Herstell van het Sultanaat in Atjeh”
kedudukan kita di Aceh hampir seluruhnya tidak ada harapan) Laging Tobias mengucapkan demikian di tahun 1884 M, jadi 10 tahun sesudah “Proklamasi” Van Swieten! Dalam saat akhir-akhir ini Belanda menghadapi suasana yang amat buruk, sewaktu-waktu mereka mungkin akan terusir sama sekali dari tanah Aceh. Kemungkina-kemungkinan mengadakkan seranganserangan baru terhadap Aceh sudah sangat tipis bahkan dalam keadaan waktu sudah sangat mustahil sebab serdadu-serdadu kolonial Belanda semangatnya sudah padam untuk menghadapi tentara Aceh, karena sudah 11 tahun berperang dengan kerugian puluhan ribu serdadu mati dan lumpuh sedang mereka setapakpun tak dapat maju, masih di Kutaraja dan sekitarnya juga; 11 tahun peperangan, suatu masa yang tidak sedikit, suatu masa yang sudah cukup untuk merusakkan jiwa dan mematahkan semangat apalagi semangat serdadu upahan! Dalam pada itu Tentara Aceh sudah beraksi menyerang Belanda secara besar-besaran siang malam di seluruh front, dengan mendapat kemenangan yang gilang-gemilang dan Panglima-panglima Aceh sudah yakin bahwa saat terusirnya Belanda dari tanah Aceh sudahlah dekat!
Laging Tobias segera minta berhenti, ia digantikan oleh Demmeni. Dalam sejarah perang Aceh, sesudah kehancuran Jenderal Kohler dan tentaranya tak ada suatu saat yang lebih genting bagi Belanda dari semenjak tahun 1884 M dan seterusnya, yaitu waktu Tentara Aceh mulai mengadakan serangan pembersihan terhadap Belanda! Pada waktu itu Belanda terpaksa meninggalkan segala siasat menyerang bahkan kekuatannya yang ada dikumpulkan di Kutaraja dan sekitarnya yang digabungkan dalam satu benteng yang dinamakan Belanda “Geconcentraarde Linie” untuk mempertahankan dirinya. Betapa hebatnya serangan-serangan yang dilancarkan oleh Tentara Aceh terhadap Belanda dapat kita kira-kirakan jika Belanda telah memperkuat bentengnya itu sedemikian rupa sehingga merupakan semacam Maginot Linie dan antara satu pos dengan pos yang lain dihubungkan dengan rel kereta api baja untuk memudahkan pengangkutan serdadu-serdadunya. Benteng itu lebarnya 1000 m dan mengelilingi kedudukan Belanda. Namun demikian tidak jarang benteng-benteng itu silih berganti dengan Tentara Aceh dan tidak sedikit pula yang mereka hancur leburkan. Belanda mempertahankan dirinya mati-matian karena pada waktu itu meskipun Belanda sudah
meninggalkan angan-angan untuk menaklukkan Aceh tetapi mereka sudah insaf bahwa tiap-tiap pengusiran terhadap mereka dari Aceh adalah merupakan suatu noda dan malu yang tiada terhingga bagi bangsa dan pemerintahnya. Perang Aceh sudah merupakan suatu “affaire d’honneur” bagi Belanda. Oleh sebab itu kepada serdadunya yang berada di Aceh diperintahkan bertahan bagaimanapun juga kesudahannya. Sedang patriotpatriot Aceh tidak berhenti-hentinya siang malam menyerbu dan menyerang benteng-benteng kolonial itu. Demikianlah situasi perang Aceh pada waktu itu, Belanda terus-menerus bersembunyi dalam “geconcertreerde linie”nya sejak tahun 1884, 1885, 1886, 1887, 1888, 1889, 1890, 1891, 1892, 1893, 1894, 1895, 1895. Sedang Jenderal-jenderalnya silih berganti diangkat dan diperhentikan karena dianggap tidak cakap. Demmeni diganti oleh Jenderal Van Teijn. Van Teijn diganti lagi dengan Pompe van Meerdervoort, dan ia diganti lagi dengan Deyckerhooff, Jenderal Deyckerhooff diperhentikan dan diganti sendiri ileg Legercommandant Tentara Hindia Belanda Jenderal Vetter….dan tentera Belanda terus bersembunyi juga! Dengan takdir Allah pada tahun 1891 M Pemimpin Besar Teungku Chik di Tiro (nama beliau yang asli Teungku Sjech Muhammad Saman Tiro) yang mengepalai seluruh Angkatan Perang Aceh meninggal dunia. Kewafatan beliau mengakibatkan kelemahan
pimpinan Angkatan Perang walaupun pimpinan seterusnya tetap dipegang oleh putera beliau Teungku Muhammad Amin Tiro. Pihak Belanda menerima berita kewafatan Pimpinan Besar yang amat berpengaruh itu sebagai satu kabar baik bagi mereka, dari negeri Belanda segera dikirim seorang ahli ke Aceh yaitu Dr. C. Snouck Hurgronje untuk mempelajari dan memberi jawaban atas pertanyaan yang disoalkan kepadanya oleh pemerintah Belanda yakni: “Hoe na Teungku Tiro’s dood de gezindheid was der geestelijke partij in’t algemeen en in welke richting zij zou trachten invloed uit te oefenen op Keumala20” (Bagaimana niat partai agama pada umumnya setelah Teungku di Tiro meninggal dan kearah mana mereka berusaha menjalankan pengaruhnya di Keumala (tempat kediaman keluarga Sultan Aceh sesudah pindah dari Kutaraja) Pada tahun 1892 M Dr. C. Snouck Hurgonje mengeluarkan karangannya yang berkepala “Verslag omtrent den religious politieken toestand in Atjeh” (Laporan mengenai keadaan politik agama di Aceh), yang kemudian menjelma menjadi buku “De Atjehers” yang sangat masyhur itu yang isinya sebagian besar yang 20
Encyclopaedie van Nederlandsch Oost-Indie, Jilid I, p.81
mengenai adat istiadat boleh dikatakan benar tetapi yang berkenaan dengan politik tidak seluruhnya benar dan berbau kolonialisme karena Dr. C. Snouck Hurgronje sendiri adalah hamba sahayanya kolonialisme! Kelemahan front Aceh bertambah lagi ketika pada tahun 1892 M seorang pimpinan yang bernama Teuku Umar (Teuku Meulaboh) belot dan memihak kepada Belanda. Semua hal-hal ini memberi harapan-harapan baru bagi Belanda apalagi selama ini mereka sudah mendapat pula bantuan-bantuan baru bahkan pemerintahan kolonial Belanda di Jawa sudah membentuk bermacammacam pasukan istimewa untuk dikirim ke Aceh seperti pasukan “Marechausse, Colonne matjan” dsb. Pada tahun 1896 setelah mendapat bantuan 5000 serdadu dari Jawa, mulailah Belanda keluar dari “geconcentreerde linie” nya sesudah 12 tahun terusmenerus bersembunyi dissana dan mulailah ia mengatur searngan-serangan baru dengan mempergunakan factorfaktor objektif dan sub-objektif dari suasana itu. Ditahun ini Belanda mengadakan serangan besarbesaran terhadap benteng “Kuta Aneuk Galong” yaitu Markas Besar Angkatan Perang Aceh waktu itu yang jauhnya ± 14 Km dari Kutaraja. Zentgraaff dalam bukunya menggambarkan kedahsyatan pertempuran ini, antara lain sebagai berikut:
“De Atjehers vachten als leeuwen; sammigen stortten zich liever in de bradende barakken dan zich over te geven. Het was een bitter “hand – to- hand fighting21” (Orang Aceh berperang laksana singa; beberapa diantara mereka lebih suka gugur diasrama yang sedang terbakar dari pada menyerah. Pertempuran ini sungguh-sungguh perkelahian mati-matian) Dalam pertempuran ini Teungku Chik Muhammad Amin Tiro Panglima Tertinggi Angkatan Perang Aceh gugur sebagai pahlawan bersama-sama anak buahnya. Beliau segera diganti oleh saudara-saudaranya Teungku Chik Buket Tiro, Teungku Mahjiddin Tiro dan Teungku Lambada. Pada tahun itu juga Teuku Umar yang tadi telah memihak kepada musuh sadar kembali akan panggilan tanah airnya dan kembali lagi bertempur melawan Belanda bersama-sama bangsanya sehingga akhirnya beliaupun syahid sebagai pahlawan bangsa ditahun 1899 M. Pada tahun-tahun berikutnya medan pertempuran sudah meluas pula ke Aceh Utara dan Aceh Barat, Pada waktu itu sejarah sudah menunjukkan tahun 1900 M dimana di seluruh dunia orang sedang berusaha 21
Zentgraaff: “Atjeh”, p.20
menjalankan usaha-usaha mengekalkan perdamaian dunia dan menjauhi segala jalan-jalan yang menyebabkan peperangan dan penyembelihan antara sesame manusia, bahkan di Den Haag pulalah telah dilangsungkan “Kongres Perdamaian” sedunia yang dihadiri oleh seratusan negara yang melahirkan “International Court of Arbitration” yaitu tahun 1899, tahun dimana Belanda terus menerus melakukan penyembelihan terhadap rakyat Aceh sebab mereka tidak mau dijajahnya; tahun dimana Belanda telah menembak mati pahlawan kita Teuku Umar. Memang! Dihadapan mata internasional Belanda seakan-akan menjelmakan dirinya sebagai satu wanita cantik jelita yang selalu hanya merindukan aman sentosa, tetapi pada hakikatnya Belanda adalah setan yang telah mencelakakan nasib 70 milliun umat manusia di Asia Tenggara. Pada waktu itu Belanda sedang asyik-asyiknya mengexploiteer, memeras dan mengisab seluruh makhluk dan alam Indonesia……. Sedang di Aceh, dentuman meriam, letusan peluru, terus menerus menggetar angkasa. Tiap-tiap jengkal tanah yang di duduki Belanda harus dibayarnya dengan harga yang setinggi-tingginya karena patriot-patriot Aceh tidak kenal tawar menawar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, senjata tidak akan diletakkan selama hayat masih dikandung badan.
Pada tahun 1903 M Sultan Alauddin Muhammad Dawod Sjah, Teuku Panglima Polem, Tuwanku Radja Keumala, Tuwanku Mahmud, dll keluarga Sultan terpaksa menyerah. Tetapi hal ini tiada membawa akibat suatu apapun kepada jalanya peperangan karena Teungku-Teungku di Tiro yang sejak dari dahulu sudah mengambil pertanggungan jawab dan pimpinan perang harus terus menerus mengatur perlawanan dengan tidak menghitung korban yang harus diberikan. Pada tahun 1906 M Pemerintah Kolonial Belanda mencoba mendesar keluarga Sultan seperti Tuwanku Radja Keumala, Tuwanku Mahmud, dan Teuku Panglima Polem supaya mengirim surat membujuk Teungku-Teungku di Tiro dan Panglima-panglimanya supaya sudi berdamai dengan Belanda dengan menerangkan janji-janji yang muluk-muluk yang telah dijanjikan oleh Belanda untuk beliau. Tidak lupa pula diterangkan bahwa negara-negara Islam yang lainpun juga semua telah membuat perdamaian dengan negerinegeri Barat seperti Marokko dengan Perancis, Mesir, India dan tanah Melayu dengan Inggris, dsb. Janji Belanda yang muluk-muluk yang disampaikan kepada beliau dengan perantaraan keluarga Sultan tidak menarik hati Teungku Chik Mahjiddin Tiro yang pada waktu itu memegang pimpinan, beliau mengerti sungguh apa artinya janji-janji Belanda itu.
Memang surat yang disampaikan oleh keluarga Sultan itu dibaca oleh Teungku-Teungku di Tiro dan panglima-panglimanya serta dipermusyawaratkan, tetapi kata Zentgraaff: “Niemand hunner was genegeh den strijd op te geven zij wilden vechten tot het einde, en met hen zoogeschieden naar Alla’s wil22” – tak ada seorangpun diantara mereka yang sudi menyerah, mereka hendak bertempur sampai kesudahan dan mereka menyerahkan dirinya kepada apa yang akan terjadi menurut kehendak Allah” Lebih dari itu, Teungku-Teungku di Tiro bersemboyan “Tidak sudi melihat muka sipenjajah!” Dalam pada itu terjadinya peperangan JepangRusia ditahun 1904-1905 M yang membawa kemenangan gilang gemilang bagi Jepang mengilhamkan kesadaran dalam kalbu bangsa-bangsa Asia bahwa bangsa Barat juga dapat dikalahkan oleh bangsa-bangsa Timur. Peristiwa itu memperbesar rasa kepercayaan pada diri sendiri dikalangan rakyat Aceh untuk tetap meneruskan perjuangannya. Pada waktu itu pertempuran makin menjadi-jadi lagi pucuk pimpinan serdadu Belanda Jenderal Van Heutz segera diganti oleh Jenderal Van der Wijck.
22
Zentgraaff: “Atjeh”, p.28
Pada tahun-tahun berikutnya suasana makin bertambah buruk lagi bagi Belanda, pertempuran terus menerus bernyala-nyala bahkan di daerah-daerah yang sudah dikuasai oleh Belanda, lebih-lebih di Aceh Timur Teungku di Paya Bakong dan Pang Nanggroe mendapat kemenangan yang besar yang sangat merugikan Belanda. Pada tahun 1907 M, karena menghadapi suasana yang demikian Van der Wijck minta berhenti dan diganti oleh Jenderal Van Daalen dengan program antara lain: 1. Membunuh sekalian Ulama 2. Mengadakan pengajaran rakyat (Volksonderwijs) yang bertujuan melenyapkan pengaruh didikan Islam. (Salahkanlah rakyat Aceh jika mereka bersemboyan berjuang untuk agama dan tanah air!) Diantara Jenderal-jenderal Belanda yang memimpin perang kolonial di Aceh, Van Daalen inilah yang paling kejam dan bengis. Ia menyangka bahwa dengan kekejaman dan kebengisan yang diperlihatkannya ia akan dapat mematahkan perlawan rakyat Aceh. Tetapi ia keliru sebab semangat rakyat Aceh dengan kekejamannya itu bukan patah melainkan semakin bernyala-nyala. Pada tahun 1908 M ia dipaksa meletakkan jabatannya oleh pemerintahnya dan diganti oleh Jenderal Swart.
Dalam pada itu pertempuran terus menerus terjadi, darah terus menerus mengalir membasahi bumi, sedang semua Pemimpin-pemimpin Aceh tetap tekadnya, bulat niatnya, berjuang sampai titik darah yang penghabisan! Satu demi satu mereka syahid sebagai pahlawan yang diiringi dan dituruti oleh teman seperjuangannya sehingga pada tahun 1927 M setelah Teuku Tjut Ali panglima yang terakhir gugur, pertempuran-pertempuran besar sudah berhenti, waktu itu Aceh oleh Belanda sudah dapat diduduki, tetapi Aceh sudah sunyi sepi, para pemimpin tercinta sudah pergi, mereka semua telah memilih mati sebagai pahlawan dari pada hidup dalam jajahan! Dalam pertempuran-pertempuran antara tahun 1890 M sampai tahun 1914 M Belanda kehilangan 7707 Opsir dan serdadunya. Belanda sudah dapat menduduki Aceh, setelah berperang setengah abad, tetapi sebagai kata Dr. Julius Jacobs: “iedere duimbreedte gronds, die door ons op Noord – Sumatra – werd veroverd, is dedrenkt met het bloed23” – tiap selebar ibu jari tanah yang kita rebut di Sumatera Utara adalah berlumuran darah. Apakah Aceh sudah tunduk?
23
Dr.J.Jacobs: “Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh” Jilid I, p.373
Belum pernah! Walaupun sesudahnya tahun 1927 M pertempuran besar-besaran sudah tidak ada lagi, tetapi setiap tahun pertempuran-pertempuran selalu terjadi disana-sini. Sejarah pemerintahan Belanda di Aceh sejak tahun 1927 M sampai saat pecahnya perang Pasifik adalah sejarah pemberontakan yang tiada berkeputusan. Walaupun pada lahirnya peperangan sudah berhenti tetapi pada hakikatnya jiwa Aceh tidak pernah tunduk kepada Belanda. Hal ini tidak tersembunyi kepada siapa yang mengetahui keadaan sebenarnya di daerah Aceh bahkan Belanda sendiri juga mengetahui dan mengakui. Zentgraaff dalam bukunya mengatakan: “dat bet Atjehsche volk zich nimmer gebeel zal neerleggen bij onze over beersebing24” – bahwa rakyat Aceh tidak pernah akan tunduk seluruhnya kepada pemerintahan kita.
Kesudahan Pemerintahan Belanda Peristiwa pecahnya perang Pasifik merupakan saat yang dinanti-nantikan oleh rakyat Aceh untuk mengusir Belanda kembali. Sebelum Jepang menduduki Indonesia diseluruh Aceh sudah terjadi pemberontakan hebat, rakyat Aceh bertempur merebut kemerdekaannya 24
Zentgraaff: “Atjeh”.
kembali sehingga serdadu Belanda terpaksa lari ke gunung-gunung untuk memperlindungi dirinya dan dengan demikian tammatlah sudah riwayat penjajahan Belanda di Aceh.
Zaman Jepang Jepang datang, dengan janji akan menjamin kemerdekaan Aceh. Setelah beberapa bulan ternyata ia mealpakan janjinya, bahkan melakukan perbuatanperbuatan yang tidak berbeda dengan Belanda; rakyat Aceh segera mengatur pemberontakan yang meletus dengan hebatnya pertama di Buloh Blang Ara, Lhokseumawe, tahun 1943 M kemudian diiringi di Jeunib, Bireuen tahun 1944 dan 1945 M.
Indonesia Merdeka Waktu Jepang menyerah dan proklamasi Indonesia Merdeka mendengung, dengan tidak menghitung korban yang harus diberikan, rakyat Aceh telah menyerbu serdadu-serdadu Jepang untuk merampas senjatanya, guna alat mempertahankan kemerdekaan sampai akhir zaman. Pada penghabisan tahun 1945 dan permulaan tahun 1946 M di Aceh telah terjadi suatu revolusi sosial (bukan revolusi sosialis!) yang berhasil dengan baik dan semenjak itu dapatlah didirikan satu pemerintahan
Republik Indonesia yang demokratis dan kuat untuk daerah Aceh. Dewasa ini dibawah naungan panji-panji Sang Saka “Merah Putih”, apa yang seabad yang lalu ditulis oleh The Encyclopaedia Britannica, telah hidup dan menjelma kembali dihadapan kita, bahwa rakyat Aceh “every man is a soldier25” – setiap orang adalah tentara!” dalam perjuangan membela kemerdekaannya.
Para Pemimpin Teungku Chik di Tiro Diantara Pemimpin yang terbesar memegang peranannya dalam Perang Aceh ialah Teungku Chik di Tiro dan keluarganya. Tiro ialah tempat kediaman mereka suatu tempat di daerah Pidie (Aceh Utara). Sejak zaman dahulu Tiro merupakan pusat pengetahuan dan kebudayaan Aceh serta mempunyai kedudukan yang tersendiri dalam lingkungan Kerajaan Aceh sebagai satu daerah immuniteit dengan gelaran “Tiro Darussalam wal Aman”. Yang tertua diantara Teungku-Teungku di Tiro dan yang menjadi kepala famili, inilah yang digelarkan “Teungku Chik di Tiro”.
25
The Encyclopaedia Britannica, Jilid I, p.144
Pada waktu perang Aceh mulai berkobar Teungku Sjech Saman Tiro dengan ditunjang oleh Ayahandanya Teungku Chik Muhammad Amin Tiro segera tampil kemuka memimpin peperangan melawan penjajahan Belanda. Setelah ayahandanya wafat beberapa tahun kemudian maka Teungku Sjech Saman Tirolah yang mengganti kedudukan ayahandanya sebagai “Teungku Chik di Tiro”. Dibelakang telah kita bayangkan secara sepintas lalu sepak terjang belaiu dalam perang mati-matian itu. Zentgraaff mengatakan bahwa beliaulah buat Belanda “de gevaarlijkste en invloedrijkste26” (yang paling berbahaya dan paling berpengaruh). Dr. C. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa beliaulah “de leider bij uitnemendheid27” (Pemimpin yang sangat utama sekali). Sebagai telah kita bayangkan dibelakang sesudah beliau wafat pimpinan peperangan diteruskan oleh putera-puteranya; Teungku Muhammad Amin Tiro, Teungku Mahjiddin Tiro, Teungku Buket Tiro dan Teungku Lambada dengan ditunjang oleh seluruh keluarga dan pembantu—embantunya seperti; Teungku M. Tahir Cot Plieng, Habib Teupin Wan, Teungku Hasjim, Teuku Geudong (anak Teuku Umar), Teuku Rayek Nanta, Teungku di Tanoh Mirah, Teungku di 26 27
Zentgraaff: “Atjeh”, p.8 Dr.C.Snouck Hurgronje: “De Atjehers”, Jilid. I, p.185
Klibeuet, Teungku di Cot Cicem (penyelenggara tentara Teungku Chik di Tiro yang ulung), Teungku di Reubee, Teungku Ulee Tutue, Teungku Muda Syam dan banyak yang lain-lainya lagi yang masing-masing merekapun sebenarnya merupakan pemimpin-pemimpin besar yang berpengaruh pula. Mengenai perjuangan Teungku Chik di Tiro antara lain Zentgraaff mengatakan: “Er is gene Atjehsche familie geweest dia zooveel involoed op den krijg heft uitgeoefend als die der Tiro – oelama’s, en evenmin was er eene die zoo “to the bitter end” het verzet heft volgehouden. Zij is het object gewest van eene serie krijgstochten welke tot de interessanste behooren van de historie van dezer krijg, en de stof voor een epos konden leveren28” (Tak ada satu famili Aceh pun yang begitu besar pengaruhnya terhadap Perang Aceh sebagai pengaruhnya family Ulama-ulama di Tiro dan demikian pula tak ada yang begitu “sampai pada kesudahan yang pahitpahitnya” meneruskan perlawanan. Merekalah yang menjadi tujuan rangkaian pertempuran yang termasuk pertempuran terpenting dalam sejarah peperangan ini dan dapat memberikan bahan-bahan bagi penciptaan syair-syair kepahlawanan)
28
Zentgraaff: “Atjeh”, p.8
Berturut-turut satu demi satu Teungku-Teungku di Tiro dan keluarganya gugur sebagai pahlawan dalam memimpin perang pembelaan tanah air, yang segera diganti pula oleh yang lain dengan tabah meneruskan perlawanan. “Vrijwel allen kozen den dood boven de onderwerping, en zij vielemn allen als sjahid29” (Semua mereka lebih suka memilih mati dari pada menyerah, dan sekalian mereka telah gugur sebagai syuhada). Demikianlah antara lain kata Zentgraaff. Riwayat kejatuhan masing-masing mereka sesungguhnya merupakan sejarah kepahlawanan yang tersendiri pula yang tak dapat kita terangkan satu persatu dalam risalah ini. Pada tahun 1911 M hanya tinggal satu lagi cucu Teungku Chik di Tiro yang masih hidup, yaitu Teungku Chik Maat Tiro, putera dari Teungku Muhammad Amin Tiro yang syahid ditahun 1896 M sedang yang lain-lain telah sama gugur dalam melakukan kewajiban terhadap agama, nusa dan bangsa! Teungku Chik Maat Tiro seorang pemuda yang baru berusia 16 tahun yang menurut cerita Schimitd (Seorang opsir Belanda yang pernah melihatnya), beliau seorang pemuda yang rupawan, cakap dan gagah.
29
Zentgraaff: “Atjeh”, p.25
Pada waktu itu pemerintah Belanda yang sekejamkejamnya itu rupanya masih merasa “kasihan” juga untuk membasmi sampai jiwa yang paling akhir dari keturunan pahlawan-pahlawan Tiro yang telah memperlihatkan kesetiaannya pada tanah airnya sampai kepada batas yang sejauh-jauhnya itu. Pemerintah kolonial Belanda dengan bermacam-macam jalan serta janji yang muluk-muluk mencoba membujuk pahlawan muda sebatang kara itu, agar ia suka meletakkan senjatanya. Tetapi Teungku Chik Maat Tiro sebagai kata Schmitd adalah “zoon van zijn vader” (putera ayahnya) juga dalam semangat dan cita-cita perjuangannya. Ia juga lebih suka gugur sebagai pahlawan dari pada hidup dalam penjajahan! Dan beliaupun menemui syahidnya dalam suatu pertempuran diakhir tahun 1911 M. Dengan demikian habislah sudah keluarga Tiro yang sudah dewasa. Zentgraaff setelah menerangkan perjuangan Teungku Chik di Tiro dalam Perang Aceh mengatakan: “Er was zooveel bloed der Tiro Familie vergoten….30” – Darah famili Tiro terlalu banyak ditumpahkan. Demikian besarnya pengaruh Teungku Chik di Tiro dalam perang Aceh sehingga kalangan Belanda yang berpendapat: “Met het sneuvelen der Tiro Teungkoe’s kon de Atjeh oorlog als geeindigd worden 30
Zentgraaff: “Atjeh”, p.41
beschouwd31” (Dengan gugurnya Teungku-Teungku di Tiro, Perang Aceh dapat dipandang sudah berakhir….). Pang Nanggroe Pemimpin lain yang juga memegang peranan yang besar dalam Perang Aceh terutama diwaktu yang terakhir ialah Pang Nanggroe. Pang singkatan dari perkataan Panglima. Sebagai ditunjukkan oleh namanya Pang Nanggroe memang lebih banyak bersifat Panglima dari Pemimpin. Beliau pengatur siasat perang gerilya yang ulung, Jenderal yang cakap dan licin. Zentgraaff mengatakan: “In zijn sort, hij een Napoleon32” (Menurut jenisnya dan dengan mengingat perbedaan tingkatan, ia adalah sebangsa Napoleon) Gerakan Pang Nanggroe yang terhebat ialah dalam perang gerilya sejak tahun 1905 M dan seterusnya, dengan bantuan dan tunjangan teman seperjuangannya seperti Pang Lateh, Teungku di Paya Bakong, dan lain sebagainya. Sebagai pemimpin-pemimpin Aceh yang lain, Pang Nanggroe dan pembantu-pembantunya pun tidak kenal tawar menawar dalam perang mempertahankan kemerdekaan. Pada bulan September 1910 M dalam suatu pertempuran hebat gugurlah Pang Nanggroe. 31 32
J.Jongejan: “Land en volk van Atjeh”, p.349 Zentgraaff: “Atjeh”, p.101
Teuku Umar Salah seorang diantara Pemimpin-pemimpin Perang Aceh yang sering disebut terutama oleh pihak Belanda, ialah Teuku Umar. Walaupun kita akui sebagai kata Dr. C. Snouck Hurgronje ‘Teuku Umar….. zij vormen niet de ziel van het verzet en jagen andere doeleinden na dan den heiligen oorlog, doelenden die zij desnoods ook met onze hulp zouden willen bereiken33” (Teuku Umar… ia tidaklah merupakan jiwa dari pahlawan dan ia mengejar suatu tujuan yang lain sesudah perang sabil, tujuan yang kalau perlu dengan pertolongan kita juga dapat dicapai) dan memang hal ini pernah menyebabkan Teuku Umar pada suatu waktu berpihak kepada Belanda yang sangat merugikan perjuangan bangsanya tetapi akhirnya Teuku Umar insaf kembali dan sekali lagi bersama-sama bangsanya bertempur melawan Belanda hingga titik darahnya yang penghabisan dan pada tahun 1899 M gugurlah beliau sebagai pahlawan bangsa disuatu pertempuran hebat dekat kota Meulaboh. Teungku di Mata Ie Nama beliau yang sebenarnya adalah Teungku Muhammad Chatib. Beliau berpengaruh besar terutama di Aceh Timur. J. Jongejans mengatakan beliau adalah 33
Dr.C.Snouck Hurgronje: “De Atjehers” Jilid I, p.195
seorang “geboren leider34” (orang yang sudah membawa sifat pemimpin sejak ia dilahirkan). Beliau termasuk pemimpin-pemimpin yang terakhir dari Perang Aceh dan sebagai teman seperjuangannya beliaupun tahu bagaimana harusnya mati sebagai pahlawan. Beliau gugur pada tahun 1917 M sedang pengikut-pengikutnya terus menerus melanjutkan perjuangannya. Pada tahun 1937 M – 20 tahun kemudian! – barulah mereka dapat ditangkap oleh Belanda dengan mempergunakan tipuan. Teungku di Barat Salah seorang diantara pemimpin yang terakhir dari Perang Aceh termasuk pula Teungku di Barat yaitu menantu Teungku di Mata Ie; beliau yang termasuk bergerak di Aceh Timur. Gerakan beliau yang terhebat ialah mulai tahun 1903 M sampai tahun 1912 M dimana beliau gugur. Teuku Tjut Ali Teuku Tjut Ali adalah panglima Perang Aceh yang terakhir. Walaupun sesudah tahun 1915 M sebagian besar tanah Aceh sudah dapat dikuasai oleh Belanda tetapi bahagian-bahagian yang tak dapat dikuasainya masih tetap ada terutama di Aceh Tengah dan Selatan. Pada tahun 1924 M Belanda memulai lagi usahanya secara besar-besaran untuk menguasai daerah yang tetap 34
J.Jongejans: ‘Land en volk van Atjeh”, p.306
dipertahankan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang berpengalaman seperti Imeum Sabi, Teungku Puteh dan yang terutama oleh Teuku Tjut Ali. Dengan demikian menghebatlah lagi peperangan terutama di Aceh Selatan sepanjang tahun 1924, 1925, 1926, dan 1927 yang memakan korban serdadu Belanda tidak terkira banyaknya. Pada tahun 1927 gugurlah Teuku Tjut Ali pahlawan Aceh yang terakhir! Tahun ini dapat dianggap sebagai tahun penghabisan Peperangan Belanda – Aceh, walaupun serangan-serangan gerilya tidak pernah dihentikan terhadap Belanda oleh rakyat Aceh sampai-sampai akhirnya Belanda terusir kembali dari Aceh. Masih banyak lagi pemimpin-pemimpin Aceh yang lain yang telah mempersembahkan jiwa raganya untuk membela kemerdekaan bangsa dan tanah air yang tak dapat kita sebut namanya satu-persatu dalam risalah yang sekecil ini dan sesungguhnya nama-nama mereka yang telah kita sebutkan hanya sebagai contoh dan gambaran belaka dari para pemimpin Aceh besar-kecil yang semua mereka baik yang tersebut namanya atau tidak adalah para pemimpin sejati yang mengetahui harga “merdeka” dan “kemerdekaan”! Dalam bukunya, Zentgraaff bertanya:
“Is ere en volk op deze aarde, dat de ondergang dezer heroieke figuren niet met diepe vereering zou schrijven in het boek zijner historie?35” (adakah terdapat suatu bangsa diatas dunia ini yang tidak menulis keguguran para pemimpin – pahlawan ini dalam buku sejarahnya dengan rasa kehormatan yang sedalamdalamnya?)
35
Zentgraaff: “Atjeh”, p.100
Para Wanita “Sejarah Aceh mengenal “grandes dames” – perempuan-perempuan besar – yang memegang peranan yang penting dalam politik, maupun dalam peperangan, kadang-kadang sebagai Sultan, dan kadang-kadang sebagai isteri dari orang-orang yang berpengaruh. Disana ada pemimpin-pemimpin wanita yang menyamai Semiramis, da nada pula yang menyamai Katharina II Kaisar wanita Rusia. Wanita Aceh tidak pernah raguragu untuk mempertaruhkan jiwa raganya dalam mempertahankan apa yang dipandangnya sebagai soal kebangsaan dan keagamaannya”. “Keberanian dan kesatriaan wanita Aceh melebihi segala wanita yang lain, lebih-lebih dalam mempertahankan cita-cita kebangsaan serta keagamaannya dan ia dibelakang layar atau secara terang-terangan adalah pemimpin perlawanan”. “Ia turut memberi keputusan dan berkorban dalam pertempuran senjata; ia tidak pernah menakut-nakuti suaminya bahkan ia turut bersama-sama dalam peperangan dan pengembaraan sepanjang hutan rimba belantara, suatu penghidupan yang penuh penderitaan, kekurangan dan malapetaka, senantiasa menghadapi kemungkinan-kemungkinan penyerangan dalam sekejab mata oleh pasukan-pasukan Belanda yang mengikuti”.
“Ia rela menerima hidup dalam kancah peperangan ini dan melahirkan puteranya disana, kadang-kadang diantara dua penyerbuan musuh, senantiasa dalam suasanan yang sangat menekan. Kemudian ia berjalan lagi dengan pasukannya”. “Ia berperang bersama-sama suaminya, kadangkadang disampingnya, bahkan juga dimukanya dan dalam tangannya yang kecil itu klewang dan Rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya”. “Perempuan Aceh berjuang untuk “Keadilan” (Sabilillah), ia menolak tiap-tiap kompromi; ia tidak mungkir dari karakternya dan hanya mengenal alternatif; membunuh musuh atau terbunuh”. “Opsir kita yang baik-baik menceritakan tentang mereka dengan penuh keheranan dan kehormatan”. Demikianlah antara lain tulis Zentgraaff tentang “De Atjehsche Vrouwen36”. Tak perlu diterangkan lagi bahwa sejarah Aceh telah banyak mengenal “I’eternel feminism” bahkan beberapa Sultan-sultan wanita yang cerdik-cendikia telah pernah memerintah Kerajaan Aceh seperti Sultanah Safiatuddin (1614 – 1675 M), Sultanah Nakiatuddin
36
Zentgraaff: “Atjeh”, p.63, 78.
(1675 – 1678 M), Sultanah Inayat Zakiatuddin Sjah (1678 – 1688 M), dan Kamalat Sjah (1688 – 1699 M). Waktu Perang Aceh dengan Belanda berkobar peranan yang dipegang oleh para wanita semakin nyata dan cemerlang, sehingga tidaklah berlebih-lebihan jika Zentgraaff telah mengatakan bahwa para wanitalah “de leidster van het verzet37” (Pemimpin perlawanan). Kalau tadi kita menyebut nama beberapa pahlawan yang telah gugur, maka dapatlah dipastikan bahwa disamping mereka, bersama-sama bahkan juga lebih dahulu dari mereka, telah gugur pula para wanita – pahlawan, isterinya….. Jika dibawah ini kita akan menyebutkan beberapa nama dari para wanita pahlawan, yang kita maksudkan hanyalah sekedar contoh belaka. Potjut Asiah “Saya yakin taka da suatu contoh yang lebih menawankan hati tentang apa yang bisa dikerjakan oleh wanita Aceh dalam peperangan, yang menggambarkan perasaannya yang tiada terdamaikan serta penghinaannya kepada musuh, dari peristiwa gugurnya isteri Teungku Chik Mahjiddin Tiro (Potjut Asiah) pada
37
Zentgraaff: “Atjeh”, p.63
akhir tahun 1910 M”. Demikianlah antara lain tulis Zentgraaff38. Dalam suatu pertempuran dalam rimba belantara disekitar Tangse, Potjut Asiah yang turut berperang bersama-sama dengan suaminya mendapat luka-luka berat, tubuh beliau dikenai peluru-peluru serdadu kolonial Belanda, sehingga beliau rebah ke bumi dan jatuh ke tangan musuh. Opsir-opsir Belanda yang menyaksikan peristiwa itu menyatakan walaupun menanggung kesakitan yang begitu hebat, Potjut Asiah tidak pernah mengeluh bahkan wajahnya menggambarkan rasa kebanggaan dan dengan tenang beliau menunggu ajalnya. Waktu itu Schimidt, commandant tentara Belanda datang kedekatnya dan ia meminta dengan hormat kepada beliau supaya diizinkan buat membalut lukalukanya. Dengan menggelengkan kepalanya beliau menjawab; “Bek ka mat kee kaphee budok” (Jangan kamu pegang aku kafir kusta). Demikianlah beliau lebih suka memilih syahid dari pada menerima pertolongan sipenjajah!
38
Zentgraaff: “Atjeh”, p.63
Potjut Nyak Din Setelah suaminya (Teuku Umar) gugur, Tjut (singkatan dari Potjut) Nyak Din terus menerus melanjutkan peperangan, walaupun terpaksa hidup dalam hutan rimba belantara yang penuh dengan kesukaran dan penderitaan. Oleh karena tuanya beliau tidak dapat melihat lagi, tetapi namun demikian semangatnya tak kunjung padam. Kadang-kadang berbulan-bulan lamanya beliau tiada pernah mendapat sepiring nasi dan untuk mempertahankan hidup terpaksa memakan batang-batang pisang hutan yang direbus dan dalam pada itu serdadu-serdadu kolonial Belanda tiada berhenti-hentinya memburu dan mengejar beliau dari satu tempat persembunyiaan ke tempat persembunyian yang lain. 6 tahun lamanya Tjut Nyak Din mengalami hidup demikian, tetapi semangat beliau tetap membaja untuk meneruskan perlawanan. Kesengsaraan yang di deritai oleh Tjut Nyak Din mempengaruhi pikiran orang banyak yang sangat mengasihi beliau sehingga ada beberapa orang datang kepada pemerintahan Belanda meminta supaya menjamin keselamatan beliau jika beliau meletakkan senjata. Pemerintah Belanda menyetujui syarat-syarat ini. Ketika hal itu disampaikan kepada beliau, Tjut Nyak Din seorang tua yang sesungguhnya tiada berdaya
lagi, yang sudah hilang penglihatannya, yang sudah kurus kering lantaran penderitaan dan kesengsaraan, beliau menyatakan tiada dapat menerima menyerah kepada sipenjajah dengan syarat apapun juga; dengan marah beliau mencabut rencongnya seraya ditusuknya kepada orang yang membuka rahasia tempat persembunyian itu, karena beliau menyangka ia hendak berkhianat. Beliau meneruskan perlawanan sampai nafasnya yang penghabisan! Potjut Meutia Setelah suaminya yang pertama Teuku Chik Muhammad ditembak mati oleh Belanda, Potjut Meutia kawin dengan Pang Nanggroe untuk sama-sama meneruskan perjuangan. Seluruh riwayat perjuangan Pang Nanggroe yang telah kita sebutkan tak dapat dipisahkan dari perjuangan isterinya Tjut Meutia. Potjut Meutia lah yang menjadi pendorong dan pembantu utama bagi Pang Nanggroe. Setelah Pang Nanggroe gugur Potjut Meutia dengan tabah meneruskan perjuangan. Beliau bukan saja seorang organisator wanita yang ulung tetapi bila sampai saatnya juga beliau sanggup memimpin pertempuran. Pada tahun 1909 M Potjut Meutia gugur dalam suatu pertempuran mati-matian.
Isteri Teungku di Barat “Salah seorang dari puteri-puteri yang gagah perwira yang patut kita nyanyikan dalam syair ialah isteri Teungku di Barat” demikian kata Dr. Prijono dalam bukunya39. Isteri Teungku di Barat berjuang bersama-sama suaminya Teungku di Barat yang telah kita sebutkan. Dalam suatu pertempuran di tahun 1912 M mereka terkepung oleh musuh diantara batu-batu karang dalam rimba raya. Ketika tangan kanan Teungku di Barat kena peluru musuh dengan segera beliau memberikan senapannya kepada isterinya yang berada disampingnya sedang beliau sendiri menghunus Rencong dengan tangan kirinya. Ketika itu juga puteri pahlawan ini dengan senapan ditangan menempatkan dirinya dimuka suaminya meneruskan perlawanan….. Sehingga akhirnya datanglah sebutir peluru menembusi dada suaminya dan kedua merekapun syahidlah… Zentgraaff mengatakan: “Vrouwen als deze waren er bij honderden, wellicht duizenden, en zij hebben eerbied gewekt ook bij onze mannen40” (Disana para wanita yang seperti ini berates-ratus, barangkali juga beribu-ribu, mereka 39 40
Dr.Prijono: “Ichtisar Perdjuangan Umat Islam Indonesia”, p.5 Zentgraaff: “Atjeh”, p.65
menggerakkan rasa penghormatan juga dari orang-orang kita – Belanda). Seterusnya dikatakannya: “Het is niet doenlijk, ook maar eene vluchtige opsomming te geven van aandeel der Atjehsche vroumen in den krijg, ik wil alleen maar zeggen dat ieder volk, ook het onze, er trotsch op zou kunnen zijn indien het kon wijzen op daden van dijn vrouwen welke die der Atjehsche evenaren41” (Sebenarnya tidak dapat dikerjakan biarpun menyebut satu-persatu dengan cepat untuk menggambarkan peranan para wanita Aceh dalam peperangan. Saya hanya hendak mengatakan bahwa tiap-tiap bangsa, juga bangsa kita (Belanda) akan merasa bangga jika dapat menunjukkan perbuatan para wanitanya yang menyamai perbuatan para wanita Aceh).
Sifat Perang Aceh Seperti telah kita terangkan Perang Aceh adalah suatu peperangan yang dipaksakan oleh imperialis Belanda kepada Kerajaan Aceh yang merdeka dan berdaulat.
41
Zentgraaff: “Atjeh”, p.75
Di pihak rakyat Aceh peperangan ini merupakan perang mempertahankan hak, keadilan dan kebenaran, sebaliknya di pihak Belanda adalah perang kolonial dan penjajahan. Rakyat Aceh digerakkan oleh rasa kesucian, keagamaan dan peri kemanusiaan, sebaliknya Belanda digerakkan oleh kerakusan, kelobaan dan kebinatangan. Oleh karena itu peperangan rakyat Aceh adalah “Perang Suci” Perang fi Sabilillah, yang untuknya agama Islam memerintahkan sekalian pemeluknya dengan tiada terkecuali untuk menyerahkan segala apa yang ada padanya hatta jiwa raga. Dengan keimanan kepada Allah Yang Maha Kuasa, keyakinan kepada hak dan keadilan inilah rakyat Aceh telah berjuang dengan segala tenaga yang ada padanya sampai titik darah yang paling penghabisan. Dalam Perang Aceh para pemimpinlah yang telah menggembleng semangat rakyat. Mereka bukan hanya pandai berbicara tetapi juga pandai bekerja. Mereka berdiri dimuka rakyat tidak saja waktu suka, tetapi juga waktu duka, bukan hanya waktu aman, tetapi juga waktu peperangan, bahkan mereka bersedia mati lebih dahulu untuk memperlihatkan kepada rakyatnya bagaimana harusnya mati sebagai pahlawan! Oleh karena pimpinan yang tidak ragu-ragu dan tegas ini rakyatpun tetap tekatnya, bulat niatnya untuk mengikuti jejak pemimpin-pemimpinnya!
Dan baik diketahui pula sebagian besar dari pemimpin-pemimpin Aceh mereka bukan saja cakap mempergunakan pedang dan senapan, tetapi juga cakap mempergunakan pena dan kalam, sebagian besar mereka dapat menghimpunkan kecakapan sebagai panglima dengan kecakapan sebagai pujangga. Tidak sedikit bukubuku, syair-syair dan sajak-sajak yang dikarang oleh mereka untuk menggelorakan semangat rakyat, sehingga jika peperangan sepanjang revolusi Perancis mengenal “La Marseillaise” nya, peperangan kemerdekaan Amerika mengenal “Common sense” nya, maka Perang Acehpun mempunyai “Hikayat Prang Sabi”nya. Pertama-tama “Hikayat Prang Sabi” ditulis oleh Teungku Chik di Tiro dan kemudian diiringi pula oleh buah pena Panglima – pujangga yang lain-lain seperti Teungku Sjech Djalaluddin, Teungku di Kutakarang, Teungku di Pante Kulu dan lain sebagainya, termasuk juga para pujangga – pahlawan wanita. Hikayat-hikayat perang ini ditulis dengan jiwa dan rasa bahasa yang memuncak yang dapat menggelorakan semangat siapa yang membaca atau mendengarnya untuk meneruskan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Betapa besarnya pengaruh “Hikayat-Hikayat Prang Sabi” ini terhadap rakyat Aceh dapat dimengerti jika diketahui bahwa seseorang yang baru membaca atau mendengarnya pastilah akan siap sedia menyerahkan
jiwa raganya untuk membela kehormatan bangsa dan agama walaupun seorang dirinya! Zentgraaff mengatakan: “menig jong man zette de eerste schreden op het oorlogspad onder den machtigen indruk dier lectuur op sijn emotioneele ziel42” (banyak pemuda meletakkan langka pertama ke medan perang dibawah pengaruh nyang amat besar dari buku-bku ini atas perasaannya yang mudah tersinggung). Buku-buku ini bagi Belanda merupakan momok yang sangat ditakutinya sehingga siapa saja yang diketahui menyimpan “zeer gevaarlijke lectuur43” (bacaan yang amat berbahaya) ini (bagi Belanda!) sudah cukup untuk menyebabkan pembuangan ke Papua atau ke Nusakembangan. Dalam pada itu didikan Islamlah yang menjadi sumber semangat dan ketabahan rakyat Aceh untuk mempertahankan kemerdekaannya sebagai kata Prof. G.H.Bosquet: “s’explique en grande partie par I’influence du facteur religieux44” (kenyataan ini buat sebagian besar adalah oleh pengaruh anasir agama) yaitu agama Islam, dan tidak mengherankan jika kemudian 42
Zentgraaff: “Atjeh”, p.244 Ibid 44 G.H.Bosquet: “Introduction a l’etude de I’Islam Indonesien”, p.157 43
Belanda berusaha dengan sekuat tenaganya “untuk melepaskan pengaruh didikan Islam” di Aceh (tot neutraliseering van den invloed der Mohammedaansche opveoding45) sebagaimana yang sudah lebih dahulu dijalankan di daerah-daerah Indonesia yang lainnya yang sudah dijajahnya. Tetapi rakyat Aceh mengerti dan mereka memboycot sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda dengan mengadakan perguruan-perguruan sendiri.
45
Beknope Encyclopaedia van Nederlandsch Oost-Indie, p.23
Penutup Bukanlah maksud kita akan memaparkan sejarah Peperangan Belanda – Aceh dengan lengkap dalam risalah ini, karena memang sebagai kata E.S.De Klerck, Perang Belanda – Aceh “still waiting for its historian46” (masih sedang menunggu ahli sejarahnya); yang kita maksud hanyalah sekedar tinjauan selayang pandang sebagai bacaan sementara sebelum terbitnya buku sejarah Peperangan Belanda – Aceh yang lengkap. Segala yang telah kita kemukakan dalam risalah ini adalah suatu kenyataan sejarah, suatu “fait accompli” yang diakui oleh kawan dan lawan. Nyatalah sudah bahwa sampai pada permulaan abad ke XX masih ada bahagian tanah air Indonesia yang masih tetap mempertahankan kemerdekaannya. Oleh sebab itu sungguh tidak benar, tidak adil dan memperkosa sejarah serta menghina diri sendiri kalau ada bangsa kita yang dengan mutlak mengatakan bahwa Indonesia sudah tiga ratus lima puluh tahun dijajah Belanda. Kita akui memang ada bahagian-bahagian tanah air kita yang sampai mengalami nasib yang demikian tetapi bagaimanapun juga hal ini tetap bersifat local dan tak dapat dimutlakkan demikian saja, jika kita
46
E.S.De Klerck: “History of the Netherland East Indies” Jilid II, p.359
tidak hendak mengingkari sejarah yang telah ditulis oleh pahlawan-pahlawan kita dengan jiwa dan darah mereka! Akibat dari peperangan yang menghabiskan beberapa keturunan itu sampai dewasa ini masih dideritai oleh daerah Aceh terutama berupa kemunduran dalam dunia pengajaran. Tetapi kita yakin bilamana rakyat Aceh telah dapat memperlihatkan tenaga yang luar biasa dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang begitu lama, pasti dalam lapangan pembangunan mereka akan lebih sanggup memperlihatkan tenaga yang berlipat ganda dengan karakter-karakter mereka yang dapat menjadi jaminan. Dr. J.J.Fahrenfort mengatakan:
dan
J.
Brummelkamp
“Men ken aan de Atjehers meer zelfvertrounwen durf en ondernemingsgeest toe dan aan de meeste Indische volke, zood’t ze in de toekompst misschien nog een belangrijke rol zullen spelen47” (Orang dapat mengharapkan dari orang Aceh lebih banyak sifat percaya pada diri sendiri, berani dan mempunyai jiwa pembangunan dari kebanyakan bangsa-bangsa Indonesia yang lain, sehingga mereka dimasa yang akan datang barangkali akan memainkan rol yang penting)
47
Dr.J.J.Fahrenfort en J.Brummelkamp: “Land en Volkenkunde”, p.153
Residen Van Langen mengatakan rakyat Aceh “behept met grooten onafbankelijkbeidszin48” (mempunyai semangat merdeka yang besar). Oleh sebab itu “Schoone met zijn zoo flink volk49” (Aceh yang permai dengan rakyatnya yang gagah perwira) sebagai kata Gubernur Belanda Van Sluys tentulah akan segera bangkit kembali untuk menjadi salah satu sendi negara Republik Indonesia. Dewasa ini daerah Aceh dipimpin oleh para pemimpin yang dilahirkan dan dididik oleh masa “Sturm und Drang” itu seperti Teungku M. Daud Beureu-eh, Teungku Hasballah Indrapuri, Teungku Abdullah Lam U, Teungku Abdul Wahab, Teungku M. Nur el Ibrahimy, Teungku Umar Tiro, Teungku Abdurrahman Peusangan, Teuku M. Amin, Teungku Zamzamy Yahya, Teungku Ismail Jakub, Teungku Husin al Mudjahid, Teungku Hasan Kreungkale, dls. Dengan dibentengi oleh para pemuda angkatan baru. Kini usaha pembangunan dalam segala lapangan sedang berjalan dengan sehebat-hebatnya dan sedang direncanakan pula pembangunan satu “Iskandar Muda University” yang besar dan lengkap. Mudah-mudahan dapat terjelma dalam waktu yang sesingkat-singkatnya! 48
A. Kruisheer: “Atjeh 1896”, p.252 Joh Langout: “Vijftiq jaren Economische Staatkunde in Atjeh”, kata pengantar, oleh Van Sluijs 49
Perlu kita terangkan risalah ini adalah beberapa fragmenta dari buku sejarah Aceh yang lengkap yang sedang kita susun. Untuk menutup risalah ini rasanya tak ada perkataan yang lebih tepat dari ucapan Paul de Groot yang mengatakan: “The Independence of Indonesia cannot be neglected nor crushed. Waging a second Achehnese war in order to crushed the people, will et last fail” (Kemerdekaan Indonesia tak bisa diabaikan dan dihancurkan. Maksud mengadakan Perang Aceh yang kedua untuk menundukkan mereka akan berakhir dengan sia-sia)