Perang Salib I (1096–1099 M) Dari Seruan Paus Urbanus hingga Kejatuhan Yerusalem
F. Irawan
Edisi 9 | Juli 2017
ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS).LKS merupakan sebuahlembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegahsegalabentuk kezaliman.Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses olehsemua elemen masyarakat.Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekianbanyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media iniberusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakatagar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakangagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yanglegal.Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masingpenulis.
——————
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,kirimkan e-mail ke:
[email protected]. Seluruh laporan kami bisa didownload diwww.syamina.org
Daftar Isi Executive Summary _____________________________________________________ 1 Latar Belakang Perang Salib I _____________________________________________ 4 Propaganda dan Deklarasi Perang Paus Urbanus II _____________________________ 6 Mobilisasi Kekuatan Perang Crusaders _____________________________________ 15 Penaklukan Anatolia ___________________________________________________ 19 Kejahatan Perang dalam Penaklukan Yerusalem ______________________________ 25 Kesimpulan __________________________________________________________ 29 Daftar Pustaka________________________________________________________30
01
Executive Summary
Executive Summary
Perang Salib adalah serangkaian perang yang berlangsung di Asia Kecil (Anatolia) dan Syam antara 1095 sampai dengan 1291 M, yang mana bangsabangsa Eropa terlibat menggunakan propaganda perang ekspedisi keagamaan. Latar belakang dari Perang Salib adalah Perang Arab-Bizantium selama berabadabad dan kekalahan telak yang belum lama sebelumnya dialami pasukan Bizantium oleh Turki Seljuk di Manzikert pada 1071 M. Penakluk Norman Robert Guiscard, yang menaklukan sejumlah wilayah Bizantium, semakin menambah permasalahan Kekaisaran Bizantium. Dalam upaya mengatasi kedua bahaya ini, Kaisar Bizantium, Alexios I, berusaha menyatukan bangsa-bangsa Kristen melawan musuh bersama, meminta bantuan Barat, dan pada gilirannya Paus Urbanus II menyeru para pemimpin Barat untuk melancarkan Perang Salib I. Tujuan utamanya untuk merebut kembali Tanah Suci sehingga memulihkan akses kaum Nasrani menuju tempat-tempat suci di dan dekat Yerusalem. Pasukan Salib terdiri atas satuan militer Kristen dari seluruh Eropa Barat, dan tidak berada di bawah komando tunggal. Rangkaian utama Perang Salib, terutama melawan Muslim di Syam. Beberapa ratus ribu orang menjadi tentara salib—karena lambang mereka adalah salib—dengan mengucapkan sumpah; Kepausan memberi mereka indulgensi penuh. Banyak tentara Salib berasal dari Prancis dan menyebut diri sebagai "orang Frank", yang menjadi istilah umum di kalangan Muslim. Orang Eropa sejak lama menyebut penghuni Tanah Suci sebagai Saracen dan mereka terus menggunakan istilah ini dalam artian buruk selama Perang Salib. Perang Salib memberikan pengaruh politik, ekonomi, dan sosial yang besar di Eropa Barat. Konflik ini mengakibatkan melemahnya Kekaisaran Kristen Bizantium, yang beberapa abad kemudian ditaklukkan oleh Turki Muslim. Reconquista, periode panjang peperangan di Spanyol dan Portugal (Iberia), di mana pasukan Kristen
02
Executive Summary
merebut kembali semenanjung di dari Muslim, sangat berkaitan dengan Perang Salib. Setelah bangsa Norman menetap di Prancis dan menaklukkan Inggris, baik Prancis dan Inggris, serta Kekaisaran Romawi Suci, lebih kuat dibanding pada masa Charlemagne. Para raja dan ratu mereka mulai berpikir, seperti yang dulu pernah terpikir oleh Charlemagne,untuk menaklukkan seluruh Mediterania dan mendirikan kembali Kekaisaran Romawi kuno. Secara khusus, mereka ingin merebut Yerusalem, kota Yesus Kristus, dari tangan Daulah Fathimiyah yang menguasainya. Pada 1095 M Paus Urbanus II berpidato di Clermont di Prancis selatan, di mana ia menyeru orang-orang untuk mengangkat senjata dan berperang untuk membebaskan Yerusalem dari kekuasaan Fathimiyah. Orang-orang begitu bersemangat, bahkan anak-anak dan orang tua juga ingin ikut pergi. Saking bersemangatnya, beberapa kelompok berangkat ke Yerusalem sebelum kelompok utama diorganisasi. Mereka meyakini bahwa Tuhan akan meruntuhkan Tembok Yerusalem begitu mereka tiba di sana. Jadi, pikiran mereka tidak perlu bertempur atau membawa senjata. Beberapa dari mereka bahkan tak membawa uang sedikit pun. Sebagian besar kelompok kemudian mendapati bahwa berkelana dan bertempur itu lebih sulit dari dugaan mereka, dan sebagian besar di antara mereka akhirnya meninggal dalam perjalanan. Satu kelompok memutuskan bahwa terlalu sulit untuk pergi ke Yerusalem dan memerangi Fathimiyah, dan lebih memilih untuk berhenti di Jerman untuk memerangi Yahudi. Ribuan orang Yahudi dirampok dan dibunuh oleh Crusaders hanya karena mereka bukan orang Kristen. Pada akhirnya pada musim gugur 1096, pasukan salib utama berangkat ke Yerusalem. Mereka menggunakan rute yang berbeda-beda, sebagian pergi lewat darat dan sebagian lewat laut, menuju Konstantinopel. Di sana Kaisar Alexios cukup terkejut melihat mereka dan tidak terlalu senang. Dia sempat takut pasukan itu akan menyerang kekaisarannya, tapi akhirnya ia mengirim mereka menuju Yerusalem.
03
Executive Summary
Fathimiyah tidak terlalu waspada karena mereka mengira bahwa yang datang adalah pasukan kecil Romawi dari Konstantinopel yang hanya ingin bertempur sedikit di Suriah. Pasukan Salib tiba di Yerusalem pada Mei 1098. Mereka terkejut melihat betapa beradabnya kota itu, dengan adanya masjid Kubah Batu, pemandian air panas, dan kedokteran Islam yang maju. Pasukan Salib membuat banyak kesalahan dan kejahatan dalam peperangan mereka. Namun, Fathimiyah sedang bertempur juga melawan Seljuk sehingga mereka tak mampu mempertahankan Yerusalem dengan baik. Pasukan Salib pun berhasil merebut Yerusalem serta beberapa kota penting lainnya di pesisir Mediterania. Kemudian orang-orang Frank menetap sana sebagai raja-raja kecil di negara baru mereka. Banyak orang Eropa yang pergi bolak-balik Eropa-Timur Tengah, mempelajari matematika dan pengobatan dari para ilmuwan Islam, serta membawa makanan baru, seperti gula, ke Eropa. Dengan demikian, Perang Salib I merupakan suatu kesuksesan bagi orang Eropa dan kemunduran bukan hanya bagi Fathimiyah, tetapi juga Muslimin pada umumnya.
04
Latar Belakang Perang Salib I
Latar Belakang Perang Salib I
Pada umumnya asal mula perang-perang Salib, dan khususnya Perang Salib I, diperdebatkan secara luas di kalangan sejarawan. Perang-Perang Salib paling sering dikaitkan dengan situasi sosial dan politik di Eropa pada abad ke-11, timbulnya suatu gerakan reformasi di dalam kepausan, juga konfrontasi keagamaan dan politik antara kekristenan dan Islam di Eropa dan Timur Tengah. Kekristenan telah menyebar di seluruh Eropa, Afrika, dan Timur Tengah pada Abad Kuno Akhir, tetapi pada awal abad ke-8 kekuasaan kaum Kristen di Eropa dan Anatolia menjadi terbatas setelah berbagai penaklukan oleh kaum Muslimin. Khilafah Umawiyah telah menaklukkan Suriah, Mesir, dan Afrika Utara dari Kekaisaran Bizantium yang didominasi kaum Kristen, serta Hispania dari Kerajaan Visigoth.1 Di Afrika Utara, Khilafah Umawiyah kemudian runtuh dan sejumlah kerajaan Muslim yang lebih kecil bermunculan, misalnya Aghlabiyah yang menyerang Italia pada abad ke-9. Pisa, Genoa, dan Kepangeranan Catalunya (Katalonia) mulai bertempur melawan berbagai kerajaan Muslim agar dapat menguasai Cekungan Mediterania, ditunjukkan dengan kampanye Mahdiyah pada tahun 1087 serta pertempuran di Mallorca dan Sardinia.2 Pada dasarnya, antara tahun 1096 dan 1011, bangsa Yunani Bizantium mengalami Perang Salib ini setibanya di Konstantinopel dalam tiga gelombang terpisah. Pada awal musim panas tahun 1096, kelompok besar pertama yang sulit dikendalikan tiba di pinggiran Konstantinopel. Gelombang ini dikabarkan tidak disiplin dan tidak memiliki perlengkapan layaknya suatu pasukan sebagaimana
1
Tyerman, Christopher (2006), God's War: A New History of the Crusades, Cambridge: Belknap Press of Harvard University Press, hlm. 51–54. 2 H .E. J. Cowdrey (1977), "The Mahdia Campaign of 1087", The English Historical Review 92, pp. 1–29.
05
Latar Belakang Perang Salib I
dicatat dalam Perang Salib Rakyat. Kelompok pertama ini sering disebut sebagai Perang Salib Rakyat atau Petani, dipimpin oleh Peter sang Pertapa dan Gautier Sans-Avoir serta tidak mengetahui ataupun menghormati keinginan-keinginan Kaisar Bizantium Alexios I Komnenos. Gelombang kedua juga tidak berada di bawah komando sang Kaisar dan terdiri dari sejumlah pasukan dengan para komandan mereka masing-masing. Secara keseluruhan, kelompok ini dan gelombang pertama diperkirakan berjumlah 60.000.3 Gelombang kedua dipimpin oleh Hugues I, Comte Vermandois, saudara Raja Philippe I dari Prancis. Selain itu dalam gelombang kedua juga ada Raymond IV, Comte Toulouse, dan pasukan dari Provença. "Adalah gelombang kedua para tentara salib ini yang kemudian melintasi Asia Kecil, merebut Antiokhia pada tahun 1098 dan akhirnya merebut Yerusalem pada tanggal 15 Juli 1099." Gelombang ketiga, yang mana terdiri atas kontingen-kontingen dari Lombardia, Prancis, dan Bavaria, tiba di Yerusalem pada awal musim panas tahun 1101.4 Perang Salib I (1095–1099 M) merupakan yang pertama dari sejumlah Perang Salib yang berupaya untuk merebut Tanah Suci, disahkan oleh Paus Urbanus II pada tahun 1095. Perang ini dimulai sebagai suatu peziarahan yang meluas dalam Kekristenan Barat dan berakhir sebagai suatu ekspedisi militer oleh bangsa Eropa Katolik Roma untuk mendapatkan kembali Tanah Suci yang diambil dalam penaklukan Muslimin atas Syam (632–661). Pada akhirnya menyebabkan direbutnya kembali Yerusalem pada tahun 1099.
3
Hindley, Geoffrey (2004). The Crusades: Islam and Christianity in the Struggle for World Supremacy. Carrol & Graf. 4 Harris, Jonathan (2006), "Byzantium and the Crusades", London: Hambledon Continuum, hlm. 53–55.
06
/Propaganda da dan Deklarasi Perang Paus Urbanus II
Propaganda dan Deklarasi Perang Paus Urbanus II
Perang Salib I dimaklumkan pada tanggal 27 November 1095 oleh Paus Urbanus II dengan tujuan utama menanggapi suatu permohonan dari Kaisar Bizantium Alexios I Komnenos, yang mana mengajukan permintaan agar para relawan dari Barat datang untuk membantunya menghalau kaum Turki Seljuk dari Anatolia. Suatu tujuan tambahan segera menjadi sasaran utama, yaitu penaklukan kembali oleh kaum Kristen atas Baitul Maqdis (kota suci Yerusalem dan Tanah Suci) serta membebaskan kaum Kristen Timur dari kekuasaan kaum Muslimin. Sejatinya gagasan penyerbuan ke wilayah Islam sudah mengemuka sebelum Pauss Urbanus II. Paus Sylvester II pernah menyeru dunia Kristen untuk menyelamatkan tanah suci Palestina dari tangan umat Islam. Paus Gregorius VII juga pernah berteriak lantang, “Sungguh, “Sungguh, melibatkan kehidupanku dalam bahaya demi membebaskan tempat-tempat tempat sucii lebih aku utamakan dari pada menguasai seluruh dunia.” dunia. 5 Tetapi, gagasan penyerbuan tersebut menemukan momentumnya pada saat Urbanus II naik tahta kepausan. Setelah seluruh kekuatan Eropa terkonsolidasi, Urbanus II mulai melakukan propaganda untuk menggerakkan menggerakkan kekuatan Eropa merebut kembali wilayah yang pernah dikuasai Kristen Romawi. Pada bulan Maret 1095 Paus Urbanus yang memimpin pertemuan Piacenza menyodorkan proposal penyelamatan Bizantium dari penetrasi kekuatan Islam. Tetapi, Urbanus menyarankan agar aga pelaksanaan proyek ini ditunda hingga dilakukan pertemuan yang lebih besar untuk membahas penyerbuan militer ke Dunia Islam.6
5
William J. Durant, Qiṣṣat al-Haḍārah, 15:14. Ibid.
6
07
/Propaganda dan Deklarasi Perang Paus Urbanus II
Keputusan Urbanus merupakan langkah taktis dan stratejik untuk memastikan kemenangan pihak Kristen dalam Perang Salib. Sebab, tanpa persiapan matang yang dapat memastikan kemenangan, Perang Salib hanya akan jadi bumerang bagi Gereja Romawi dan meruntuhkan kewibawaannya. Jika Perang Salib gagal maka obsesi dunia Kristen yang besar, kuat, dan bersatu di bawah kepemimpinan Gereja Romawi hanya akan menjadi angan-angan belaka. Setelah pertemuan Piacenza hingga bulan Oktober 1095, Paus Urbanus melakukan lawatan ke Italia Utara dan Prancis Selatan untuk menjajaki respons para tokoh tentang Perang Salib. Pada bulan November 1095 sebuah pertemuan besar digelar di Clermont. Ribuan orang dari berbagai daerah di Prancis berbondong-bondong menghadiri pertemuan ini. Dinginnya bulan November tidak menghalangi mereka untuk mendengarkan pidato Paus. Mereka mendirikan kemah-kemah di ruang terbuka. Di tengah lautan manusia, Paus Urbanus menyampaikan pidatonya dalam bahasa Prancis. “Wahai rakyat Frank! Rakyat Tuhan yang tercinta dan terpilih! Telah datang kabar memilukan dari Palestina dan Konstantinopel, bahwa suatu bangsa terlaknat yang jauh dari Tuhan telah merampas negara tersebut, negara umat Kristen. mereka hancurkan negara itu dengan perampokan dan pembakaran. Mereka bawa para tawanan ke negara mereka. Dan sebagian lain mereka bunuh dengan disiksa secara sadis. Mereka hancurkan gereja-gereja setelah sebelumnya mereka kotori dan mereka nodai. Mereka taklukkan Kerajaan Yunani (Bizantium—edt) dan mereka rampas wilayahnya yang sebegitu luasnya hingga seorang musafir tidak akan selesai mengelilingi wilayah itu dalam waktu dua bulan penuh.”7 Pertama-tama pidato di atas menciptakan common enemy (musuh bersama) bagi Kristen Barat dengan melakukan dua kali penyebutankelompok yang berkonotasi baik dan buruk. Pertama, kalimat “rakyat Tuhan yang tercinta dan terpilih”.Penyebutan ini digunakan untuk menimbulkan rasa bangga bagi
7
Ibid, 15:12.
08
/Propaganda dan Deklarasi Perang Paus Urbanus II
komunikan. Kedua, kalimat “bangsa terlaknat yang jauh dari Tuhan”. Penyebutan ini digunakanuntuk menimbulkan rasa benci dan antipati terhadap obyek. Dengan dua penyebutan ini terciptalah garis demarkasi yang tegas antara “kita”, orang baik, dengan “mereka”, orang jahat, yang menjadi musuh bersama. Selanjutnya pidato tersebut melakukan tebang pilih fakta untuk menguatkan kesan kejahatan dan kebrutalan musuh bersama. Bahwa di suatu periode sejarah, penguasa muslim pernah menghancurkan gereja Makam Suci (Holy Spulchre) adalah fakta. Pada tahun 1010, Al-Hakimu bi Amrillah, penguasa Daulah Fathimiyah yang berhaluan Syiah, menghancurkan Gereja Makam Suci. Tetapi, ada fakta lain yang berbanding terbalik. Di bawah kepemimpinan Azh-Zhahir, penerus Al-Hakim, Gereja Makam Suci dibangun kembali. Durant menggambarkan bangunan baru Gereja Makam Suci sebagai “… bangunan luas yang bisa menampung 8000 (delapan ribu) orang. Pembangunannya melibatkan teknik dan kecerdasan tertinggi yang ada pada saat itu. Interiornya dihiasi tenunan sutera yang bersulam benang Emas. Di dalamnya terdapat gambar Al-Masih yang sedang menunggang keledai.”8 Bisa jadi benar bahwa para peziarah Makam Suci dari Eropa mendapat gangguan keamanan dari penguasa Seljuk. Tetapi, fakta lain menunjukkan bahwa selama Palestina berada di bawah kekuasaan Islam, umat Kristiani yang berdomisili maupun yang berkunjung untuk melaksanakan ritual haji mendapat perlakuan yang baik. Bahkan, Durant menyebut, perlakuan buruk dari penguasa Islam hanyalah pengecualian.9 Tebang pilih fakta di atas dikombinasikan dengan isu pencaplokan wilayah Kristen Bizantium oleh pasukan Islam telah menanamkan kesan bahwa bangsa Eropa adalah bangsa yang teraniaya. Kesan ini memberikan legitimasi bagi kemungkinan tindakan perang yang akan diambil bangsa Eropa terhadap umat Islam.
8
Ibid. Ibid, 15:11.
9
09
/Propaganda dan Deklarasi Perang Paus Urbanus II
Sejatinya isu pencaplokan bukan hal baru. Sudah sejak abad ke-7 Kekaisaran Romawi terus menerus kehilangan wilayahnya akibatjihad yang dilancarkan pasukan Islam. Yerusalem pun sudah berada di bawah kekuasaan khilafah Islamiyah sejak masa kepemimpinan Umar bin Al-Khatthab. Karenanya, Claude Cohen menyebut Perang Salib adalah respons terlambat atas gerakan perluasan Islam.10 Bahkan, jika ditarik lebih ke belakang, maka caplok-mencaplok sudah terjadi sejak sebelum Islam, ketika dua negara adidaya, Romawi di barat dan Persia di timur, saling bertukar kemenangan dalam serangkaian peperangan. Jadi, jika selama ini tiga isu di atas—yaitu penghancuran gereja, gangguan keamanan, dan pencaplokan wilayah—umumnya disebut para sejarawan sebagai penyebab meletusnya Perang Salib maka sejatinya ketiga hal tersebut hanyalah peristiwa-peristiwa biasa terkait keputusan politik dan tindakan militer yang mendahului Perang Salib. Yang membedakan ketiga peristiwa tersebut dari peristiwa lain adalah kemasannya dalam bentuk propaganda yang berhasil melarutkan suasana emosional masyarakat Eropa dan memobilisasi dukungan massa untuk melakukan penyerangan dalam skala massif ke Yerusalem. Setelah menyampaikan kondisi kezaliman yang dialami umat Kristiani, Paus Urbanus melanjutkan propagandanya dengan mengatakan: “Di atas pundak siapakah tanggung jawab pembalasan atas kezalimankezaliman ini dan tanggung jawab merebut kembali tanah-tanah ini, jika bukan di atas pundak kalian: kalian, hai orang-orang yang mendapat keistimewaan dari Tuhan lebih dari kaum lain berupa kemenangan di dalam peperangan, keberanian besar dan kemampuan mengalahkan orang-orang yang menghadang kalian? Jadikanlah perjalanan pendahulu kalian sebagai peneguh hati kalian: kemenangan Charlemagne dan kemenangan raja-raja lain kalian. Bulatkan tekadmu untuk menuju Makam Suci Al-Masih, Tuhan kita dan Juru Selamat kita: makam yang
10
Claude Cohen, Al-Sharq wa al-Gharb Zamana al-Hurūb al-Shalibiyyah, terj., Ahmad alShayh, (Cairo: Sīna li al-Nashr, 1995), hlm. 25.
10
/Propaganda dan Deklarasi Perang Paus Urbanus II
sekarang dikuasai bangsa najis, dan tempat-tempat suci lain yang telah ternodai dan terkotori.”11 Bagian pertama dari paragraf di atas merupakan persuasi yang menyentuh kesadaran. Mereka, para komunikan, diidentifikasi sebagai orang-orang hebat yang dapat mengalahkan siapa saja dalam peperangan. Jika mereka terzalimi, maka hanya merekalah yang dapat membalas kezaliman tersebut. Persuasi itu dikuatkan dengan meminjam nama tokoh untuk diasosiasikan dengan orang-orang yang bersedia mengikuti ajakan perang Paus Urbanus II. Dengan kata lain, orang-orang yang bersedia mengikuti Perang Salib akan diidentifikasi sebagai orang-orang hebat seperti Charlemagne. Di
bagian
akhir
paragraf
Urbanus
mengidentifikasi
perang
yang
dipropagandakannya sebagai perang suci dengan menyebut hal-hal sakral bagi komunikan, yaitu Makam Suci dan Al-Masih. Kedua hal sakral ini dihadaphadapkan dengan para musuh yang disebut sebagai najis dan telah mengkotori tempat-tempat suci komunikan. Sumber lain menyebutkan bahwa Paus Urbanus mengklaim perintah Perang Salib adalah perintah Tuhan; bukan perintah Urbanus. Fulcher, mengutip khotbah Urbanus, menyebutkan: “… saya, bukan, melainkan Tuhan, bukan saya, mendorong kalian, wahai tentara Almasih, apapun derajat sosialnya, para ksatria maupun pejalan kaki, kaya ataupun miskin, untuk bergegas memusnahkan bangsa hina ini (Turki Islam – penulis) dari tanah kita dan memberikan pertolongan kepada penduduk Kristen sebelum terlambat.”12 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Perang Salib pertama-tama dan terutama digerakkan oleh propaganda Paus Urbanus II yang merepresentasikan
11
William J. Durant, Qiṣṣat al-Haḍārah, 15:12. Fulcher of Chartes, Tārīkh al-Ḥamlah ila al-Quds, terj., Ziyad Jamil al-‘Asali, (Amman: Dār al-Shurūq, 1990), hlm. 38.
12
11
/Propaganda dan Deklarasi Perang Paus Urbanus II
Gereja Romawi Barat dan diidentifikasi sebagai perang suci atau perang demi agama. Namun demikian, tidak semua orang dapat digerakkan menuju medan perang yang sangat berat hanya dengan menyulut kemarahan dan mengobarkan semangat saja tanpa ada iming-iming duniawi maupun ukhrawi. Orang-orang yang boleh jadi bisa tergerak tanpa iming-iming adalah para tokoh agama. Tetapi, perang ini memerlukan sumber daya manusia dan sumber dana yang melimpah. Apalagi Urbanus, sebagaimana dituturkan Jonathan Riley, tidak menghendaki para tokoh agama ikut andil dalam Perang Salib.13 Karena itu, tidak mengherankan jika Urbanus menyebutkan iming-iming dengan mengatakan: “Janganlah harta dan keluarga menghalangi kalian. Sebab, tanah yang kalian tempati, yang dikelilingi laut dan pegunungan, terlalu sempit untuk menampung seluruh penduduknya dan nyaris tak dapat memberikan kehidupan yang baik untuk kalian. Dan karena itulah kalian saling membunuh, memangsa dan berperang. Banyak dari kalian yang mati karena perang saudara. Bersihkan hati kalian dari kotornya kedengkian! Hentikan permusuhan di antara kalian! Ambillah jalan kalian menuju Makam Suci dan rebutlah tanah itu dari bangsa najis dan kotor! Milikilah tanah itu! Sesungguhnya, Yerusalem adalah tanah yang tiada berbanding buahbuahnya. Ia adalah surga kemewahan. Sungguh, kota terbesar yang terletak di jantung dunia telah menjerit meminta tolong kalian untuk diselamatkan. Lakukanlah perjalanan ini dengan gembira dan penuh semangat, maka kalian akan terbebas dari dosa-dosa kalian. Yakinlah bahwa kalian akan mendapatkan kemuliaan yang tiada fana di Kerajaan Langit.”14 Ada tiga iming-iming yang ditawarkan Urbanus.
13
Jonathan Riley-Smith, The First Crusade and the Idea of Crusading (Al-Ḥamlah alṢalībiyyah al-Ūlā wa Fikrat al-Ḥurūb al-Ṣalībiyyah), terj., Dr. Muhammad Fathi al-Shā’ir, Kairo: Al-Hai`ah al-‘Āmmah li al-Kitāb, 1999, hlm.55. 14 William J. Durant, Qiṣṣat al-Haḍārah, 15:15-16.
12
/Propaganda dan Deklarasi Perang Paus Urbanus II
Pertama, jaminan keselamatan untuk harta dan keluarga yang ditinggalkan. Lebih detail Durant menjelaskan: “Urbanus mengambil tanggung jawab untuk membebaskan segala belenggu yang menghalangi pasukan Salib untuk bergabung dengan para pejuang. Kebijakan ini tidak mendapatkan perlawanan berarti dari kaum bangsawan dan tuan tanah yang mungkin saja dirugikan. Urbanus membebaskan budak-budak tuan tanah dari kewajiban kepada tuannya selama masa perang. Semua pasukan Salib diberi dispensasi untuk berperkara di pengadilan gereja, bukan di pengadilan feodal. Urbanus menjamin, selama kepergian mereka gereja akan menjaga keselamatan harta benda mereka.”15 Kedua, kemakmuran di tanah baru, yaitu Yerusalem. Janji kedua ini bisa jadi merupakan respons atas kemelaratan akibat epidemi yang melanda beberapa wilayah Eropa. Baker mengatakan: “Kelaparan dan wabah yang melanda tanah air mereka telah mendorong terjadinya eksodus ke timur untuk mengakhiri kesulitan-kesulitan. Tahun 1094 terjadi epidemi di Flanderen (sekarang masuk wilayah Belgia) dan meluas hingga ke Bohemia (sekarang masuk wilayah Ceko). Tahun 1095 kelaparan melanda Lorraine. Karena itu tidaklah mengherankan jika terjadi gelombang pengungsian ke timur….”16 Ketiga, iming-iming yang bersifat spiritual, yaitu pengampunan dosa dan kebahagiaan di hari kiamat. Paus Urbanus II memandang Perang Salib sebagai sebuah penebusan dosa sesuai dengan indulgensi atau surat pengampunan yang diberikan gereja.17 Tentang iming-iming spirituil, Fulcher menceritakan, “…
15
Ibid, 15:16. Ernest Barker, Al-Ḥurūb al-Ṣalībiyyah, hlm. 22. 17 Jonathan Riley-Smith, Al-Ḥamlah al-Ṣalībiyyah, hlm. 50. 16
13
/Propaganda dan Deklarasi Perang Paus Urbanus II
sesungguhnya Al-Masih memerintahkan hal berikut: setiap orang yang bepergian ke sana (Yerusalem) akan diampuni segala dosanya…”18 Ketiga iming-iming ini menjelaskan bahwa Paus Urbanus II membidik berbagai kalangan dari berbagai lapis sosial. Urbanus membidik kalangan raja, bangsawan, kaum feodal dan para ksatria yang gemar berperang demi memperebutkan tanah; kaum papa dan orang-orang lemah yang akan tergiur dengan kebebasan dan kemakmuran; dan mayoritas masyarakat Eropa yang secara psikologis akan merasa terkurangi atau bahkan hilang sama sekali beban dosa dan kesalahan mereka di dunia berkat endulgensi yang diberikan bagi mereka yang turut serta dalam perang Salib. Propaganda Urbanus telah menanamkan keyakinan bahwa Perang Salib bukan sekedar perbuatan yang mendatangkan “rida Tuhan”, tetapi juga merupakan jalan keselamatan (jalan Salib); suatu jalan yang selama ini dianggap menjadi monopoli kaum agamawan.19 Khotbah Urbanus disambut para hadirin dengan teriakan, “Dieu li volt (Itu kehendak Tuhan)!” Gagasan Perang Salib menggelinding ke seluruh penjuru Eropa bagai bola salju yang semakin lama semakin membesar. Dalam masa sembilan bulan, Paus Urbanus II mengunjungi Montpellier, Bordeux, Tolouse, Nimes, dan beberapa daerah lain untuk mengampanyekan Perang Salib. Urbanus juga mengirim utusan untuk kampanye yang sama ke Genoa, Venezia, Bologna, Pisa, dan Milan. Berbagai golongan masyarakat bergabung di bawah panji Perang Salib dengan beragam motivasi. Mereka tergiur dengan berbagai iming-iming yang ditawarkan Urbanus. Sebagian tertarik menjadi martir Perang Salib dengan harapan mendapat ampunan atas segala dosanya. Para budak tuan tanah berharap dapat terbebas dari kungkungan tuan feodal. Para pembayar pajak berharap mendapat pembebasan. Orang-orang yang terlilit utang tergiur dengan janji penundaan. Para
18
Fulcher of Chartes, Tārīkh al-Ḥamlah ila al-Quds, hlm. 38. Jonathan Riley- Smith, Al-Ḥamlah al-Ṣalībiyyah, hlm. 56.
19
14
/Propaganda dan Deklarasi Perang Paus Urbanus II
tahanan berharap dapat menghirup udara bebas dengan mengikuti Perang Salib. Para terhukum mati berharap mendapatkan kehidupannya, jika mereka bersedia mengabdi di Palestina sepanjang hidupnya. Kaum miskin berharap terlepas dari penderitaan kemiskinan yang dialaminya. Kaum pedagang berharap dapat memperluas wilayah pemasarannya. Bahkan, orang-orang lemah yang tidak tertarik dengan dunia perang pun bergabung dengan ekspedisi militer Salib karena takut sanksi sosial dan tuduhan sebagai penakut.20 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa propaganda Urbanus berhasil memobilisasi berbagai lapisan masyarakat Eropa dengan beragam kepentingan untuk bergabung dalam Perang Salib.Terbukti bahwa narasi ideologis yang kuat dan bernuansa akidah bisa menjadi faktor kunci dalam mobilisasi perang.
20
William J. Durant, Qiṣṣat al-Haḍārah, 15:18.
15
/Mobilisasi Kekuatan Perang Crusaders C
Mobilisasi Kekuatan Perang Crusaders
Paus Urbanus II bertindak segera dan melangsungkan suatu Perang Salib dengan tujuan mengamankan akses menuju tempat-tempat tempat suci. Sejarawan Paul Everett Pierson mengatakan kalau ia juga "berharap bahwa jika para tentara salib membantu Gereja Timur dengan mengalahkan bangsa Turk, Gereja akan bersatu kembali di bawah kepemimpinannya."21 Karena a terinsiprasi oleh khotbah Paus Urbanus II, Peter sang Pertapa memimpin sebanyak 20.000 orang, sebagian besar petani, menuju Tanah Suci tak lama setelah Paskah tahun 1096.22 Ketika mereka tiba di Jerman pada musim semi tahun 1096, unit-unit unit tentara salib memulai emulai pembantaian Rhineland di kota Speyer, Worms, Mainz, dan Cologne, kendati ada upaya-upaya upaya upaya dari para uskup Katolik untuk melindungi orang-orang orang orang Yahudi. Para pemimpin utamanya di antaranya Emicho dan Peter sang Pertapa. Aktivitas anti-Yahudi anti ini memiliki kisaran yang luas, mulai dari kekerasan spontan secara terbatas sampai dengan serangan militer skala penuh terhadap komunitas-komunitas komunitas Yahudi di Mainz dan Cologne.23 Hal ini merupakan peristiwa besar pertama terkait kekerasan anti anti-Yahudi di Eropa, dan dikutip oleh kaum Zionis pada abad ke-19 ke 19 sebagai kebutuhan akan suatu negara Yahudi.24 Ketika kelompok tersebut sampai di Kekaisaran Bizantium, Kaisar Alexius mendesak mereka agar menunggu para bangsawan Barat, tetapi mereka bersikeras
21
Paul Everett Pierson Pierson. 2009. The Dynamics of Christian Mission Mission. WCIU Press. hlm. 103. Geoffrey Hindley. 2004. The Crusades: Islam and Christianity in the Struggle for World Supremacy.. Carrol & Graf. hlm. 20–21. 23 Robert Chazan. Chazan 1996. European Jewry and the First Crusade. Crusade University of California Press. hlm.. 60. 24 Corliss Slack. Slack 2013. Historical Dictionary of the Crusades. Scarecrow Press. hlm. 108– 109. 22
16
/Mobilisasi Kekuatan Perang Crusaders
untuk melanjutkan dan jatuh dalam suatu penyergapan oleh bangsa Turk di luar kota Nicea, di mana hanya sekitar 3.000 orang yang berhasil meloloskan diri.25 Bala tentara Salib yang resmi berangkat dari Prancis dan Italia pada bulan Agustus dan September 1096. Sejumlah besar pasukan tersebut dibagi menjadi empat bagian, yang mana melakukan perjalanan secara terpisah menuju Konstantinopel.26 Jika memperhitungkan orang-orang selain pejuang, pasukan Barat mungkin berjumlah sebanyak 100 ribu orang.27 Para pasukan tersebut melakukan perjalanan ke arah timur lewat jalan darat menuju Konstantinopel, di mana mereka menerima sambutan kehati-hatian dari Kaisar Bizantium.28 Pasukan utamanya, kebanyakan terdiri dari kesatria Norman dan Prancis di bawah kepemimpinan para baron, berjanji untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang hilang kepada kekaisaran tersebut dan mereka berbaris menuju selatan melalui Anatolia.29 Para pemimpin Perang Salib I ini, misalnya Godefroy of Bouillon, Robert Curthose, Hugues I of Vermandois, Baudouin of Boulogne, Tancred of Hauteville, Raymond IV of Toulouse, Bohemond of Taranto, Robert II of Flandria, dan Étienne, Comte Blois. Raja Prancis dan Heinrich IV, Kaisar Romawi Suci, saat itu sedang dalam konflik dengan Paus dan tidak ikut berpartisipasi.30 Bala tentara Salib awalnya berperang melawan bangsa Turki dalam Pengepungan Antiokhia yang berlangsung cukup lama, dimulai sejak bulan
25
Geoffrey Hindley. 2004. The Crusades: Islam and Christianity in the Struggle for World Supremacy. Carrol & Graf. hlm. 23. 26 Geoffrey Hindley. 2004. The Crusades: Islam and Christianity in the Struggle for World Supremacy. Carrol & Graf. hlm. 27–30. 27 Geoffrey Hindley. 2004. The Crusades: Islam and Christianity in the Struggle for World Supremacy. Carrol & Graf. hlm. 30–31. 28 Christopher Tyerman. 2006. God's War: A New History of the Crusades. Belknap Press. hlm. 106–110. 29 Jonathan Riley-Smith. 2005. The Crusades: A Short History (Second ed.). Yale University Press. hlm. 32–36. 30 Geoffrey Hindley. 2004. The Crusades: Islam and Christianity in the Struggle for World Supremacy. Carrol & Graf. hlm. 25–26.
17
/Mobilisasi Kekuatan Perang Crusaders
Oktober 1097 dan berakhir Juni 1098. Ketika mereka memasuki Antiokhia, para tentara salib membantai penduduk Muslim dan menjarah kota tersebut. Namun, sejumlah besar pasukan Muslim yang dipimpin oleh Kerboga segera mengepung para tentara salib, yang saat itu berada di dalam Antiokhia. Bohemond dari Taranto berhasil menghimpun kembali para tentara salib itu dan mengalahkan Kerboga pada tanggal 28 Juni.31 Bohemond dan pasukannya tetap memegang kendali atas kota tersebut, kendati telah berjanji mengembalikannya kepada Alexios. Sebagian besar bala tentara salib yang tersisa itu bergerak menuju selatan, berpindah dari satu kota ke kota lainnya di sepanjang pesisir tersebut, dan akhirnya tiba di Yerusalem pada tanggal 7 Juni 1099 dengan hanya sebagian kecil dari kekuatan asli mereka.32 Kaum Yahudi dan Muslimin berjuang bersama-sama untuk mempertahankan Yerusalem dalam menghadapi invasi kaum Franka itu, tetapi para tentara Salib berhasil masuk ke dalam kota tersebut pada tanggal 15 Juli 1099. Mereka mulai melakukan pembantaian penduduk sipil Muslim dan Yahudi, serta menjarah atau menghancurkan masjid-masjid atau kota itu sendiri.33 Dalam Historia Francorum qui ceperunt Iherusalem karyanya, Raymond D'Aguilers meninggikan tindakantindakan yang mana akan dianggap sebagai kekejaman dari sudut pandang modern. Sebagai akibat dari Perang Salib I tercipta empat negara tentara Salib (crusader’s states) yaitu: Kerajaan Yerusalem, County Tripoli, Kepangeranan Antiokhia, dan County Edessa.34 Pada suatu tingkatan populer, Perang Salib I dianggap melepaskan gelombang amarah Katolik yang emosional, yang
31
Christopher Tyerman. 2006. God's War: A New History of the Crusades. Belknap Press. hlm. 143–146. 32 Christopher Tyerman. 2006. God's War: A New History of the Crusades. Belknap Press. hlm. 146–153. 33 Christopher Tyerman. 2006. God's War: A New History of the Crusades. Belknap Press. hlm. 156–158. 34 Jonathan Riley-Smith. 2005. The Crusades: A Short History (Second ed.). Yale University Press. hlm. 50–51.
18
/Mobilisasi Kekuatan Perang Crusaders
diungkapkan dalam pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang mengiringi perang-perang Salib tersebut35 dan perlakuan kejam atas kaum Kristen Ortodoks "skismatik" dari timur.36
35
Jonathan Riley-Smith. 2005. The Crusades: A Short History (Second ed.). Yale University Press. hlm. 23–24. 36 Christopher Tyerman. 2006. God's War: A New History of the Crusades. Belknap Press. hlm. 192–194.
19
/Penaklukan Anatolia
Penaklukan Anatolia
Di pinggiran barat Eropa dan dalam menghadapi ekspansi kaum Muslimin, Reconquista di Semenanjung Iberia masih terus berlangsung pada abad ke-11; hal ini sesekali merupakan isu ideologis, sebagaimana dibuktikan oleh Kodeks Vigilanus yang disusun pada tahun 881. Pada abad ke-11 semakin banyak ksatria dari luar, kebanyakan dari Prancis, yang datang ke Iberia untuk membantu kaum Kristen dalam upaya-upaya mereka. Sesaat menjelang Perang Salib I, Paus Urbanus II telah mendorong kaum Kristen Iberia agar merebut kembali Tarragona dengan menggunakan banyak retorika dan simbolisme yang sama seperti yang digunakan kemudian untuk berkhotbah mengenai perang salib kepada orang-orang Eropa. Jantung Eropa Barat dipandang telah dilakukan stabilisasi setelah Kristenisasi bangsa Hongaria, Viking, dan Saxon sampai akhir abad ke-10. Namun, pemecahan Kekaisaran Karoling menimbulkan suatu kelas prajurit seluruhnya yang kini hanya sedikit melakukan sesuatu selain saling bertengkar sendiri. Kekerasan acak yang dilakukan oleh kelas kesatria ini secara teratur dikutuk oleh gereja tersebut, dan untuk menanggapinya dibuat penetapan “Perdamaian dan Gencatan Senjata Demi Tuhan” (Peace and Truce of God) untuk melarang pertempuran pada hari-hari tertentu sepanjang tahun. Pada saat yang sama, kepausan yang berorientasi pada pembaharuan itu terlibat konflik dengan para Kaisar Romawi Suci, sehingga mengakibatkan Kontroversi Penobatan. Para Paus, seperti Paus Gregorius VII, membenarkan peperangan berikutnya untuk melawan para pedukung kaisar dalam aspek teologis. Kemudian hal ini menjadi dapat diterima bagi sang Paus untuk memanfaatkan para kesatria atas nama dunia Kristen, bukan hanya terhadap musuh-musuh politik Kepausan tersebut, tetapi juga terhadap Andalusia, atau, secara teoretis, terhadap Dinasti Seljuk di timur. Di sebelah timur Eropa terdapat Kekaisaran Bizantium, terdiri dari kaum Kristen yang telah lama menggunakan suatu ritus Ortodoks tersendiri; Gereja Ortodoks Timur dan Katolik Roma telah mengalami perpecahan sejak tahun 1054. Para
20
/Penaklukan Anatolia
sejarawan berpendapat bahwa keinginan untuk memaksakan otoritas Gereja Roma di wilayah timur mungkin menjadi salah satu tujuan perang salib ini, kendati Urbanus II—yang mana mengawali Perang Salib I—tidak pernah menyebut tujuan demikian dalam surat-suratnya mengenai praktik Perang Salib. Bangsa Turki Seljuk saat itu telah mengambil alih hampir seluruh Anatolia setelah kekalahan Bizantium dalam Pertempuran Manzikert tahun 1071. Bagaimanapun penaklukan mereka dilakukan satu demi satu dan dipimpin oleh para panglima perang semi-independen, bukan oleh sang sultan. Suatu keruntuhan yang dramatis atas posisi kekaisaran pada malam menjelang Konsili Clermont membawa Bizantium menuju ambang kehancuran. Pada pertengahan tahun 1090-an, wilayah Kekaisaran Bizantium utamanya hanya sebatas Eropa bagian Balkan dan pinggiran barat laut Anatolia; mereka menghadapi musuh-musuhnya dari bangsa Norman di barat serta bangsa Turki di timur. Sebagai tanggapan atas kekalahan di Manzikert dan berbagai kehilangan selanjutnya yang dialami Bizantium di Anatolia pada tahun 1074, Paus Gregorius VII memanggil milites Christi ("para prajurit Kristus") agar pergi untuk membantu Bizantium. Panggilan ini kebanyakan diabaikan dan bahkan ditentang. Alasannya adalah walaupun kekalahan di Manzikert mengejutkan, tetapi hanya memiliki arti penting yang terbatas dan tidak menyebabkan kesulitan-kesulitan besar bagi Kekaisaran Bizantium, setidaknya dalam jangka pendek. Sampai kedatangan para tentara salib, kaum Bizantium terus berjuang melawan orang Seljuk dan dinasti Turki lainnya demi penguasaan atas Anatolia dan Suriah. Orang Seljuk, yang mana merupakan kaum Muslim Sunni yang ortodoks, sebelumnya memerintah Kesultanan Seljuk Raya, namun saat berlangsungnya Perang Salib I telah terbagi-bagi menjadi beberapa negara kecil setelah wafatnya Malik Syah I pada tahun 1092. Malik-Shah digantikan oleh Kılıç Arslan I di Kesultanan Rum di Anatolia, dan di Suriah oleh Tutuş I—yang kemudian wafat pada tahun 1095—saudaranya. Para putra Tutuş, yaitu Fahrülmülk Rıdvan dan Dukak berturut-turut mewarisi Aleppo dan Damaskus; mereka selanjutnya membagi-bagi Suriah di antara para amir yang saling bermusuhan, serta Kürboğa, atabeg dari Mosul.
21
/Penaklukan Anatolia
Mesir dan banyak daerah Palestina berada dalam kendali Daulah Fathimiyah, negara berhaluan Syiah, yang mana wilayahnya lebih kecil secara signifikan sejak kedatangan orang Seljuk. Peperangan antara Fatimiyah dan Seljuk menyebabkan gangguan yang sangat besar bagi kaum Kristen setempat dan para peziarah dari Barat. Daulah Fathimiyah, yang secara nominal di bawah kepemimpinan Khalifah AlMusta'li, tapi dalam praktiknya dikendalikan oleh Wazir Al-Afdhal Syahansyah, telah kehilangan Yerusalem karena direbut Kesultanan Seljuk pada tahun 1073 (kendati beberapa catatan yang lebih lama menyebutkan tahun 1076). Mereka merebutnya kembali pada tahun 1098 dari Dinasti Artuqid, suatu suku bangsa Turki Seljuk yang lebih kecil, sesaat sebelum kedatangan para tentara Salib. Ekpedisi Salib pertama yang diwarnai pembantaian dan penjarahan tidak berhasil menguasai sejengkalpun wilayah Islam.Keadaan berbalik ketika ekspedisi militer Salib kedua yang lebih terorganisir dan berpengalaman tiba di Konstantinopel.Ekspedisi militer kedua mulai meninggalkan Eropa Barat pada pertengahan Agustus 1096, sesuai jadwal yang telah ditentukan Paus Urbanus. Nama-nama besar bangsawan dan tokoh Eropa Barat tergabung dalam Ekspedisi militer kedua, di antaranya: Huge of Vermandois, saudara kandung raja Prancis, Godfrey of Bouillon, Baldwin, saudara Godfrey, Bohemond of Taranto, Tancred, keponakan Bohemond, Raymond of St. Gilles, Adhemar, duta Paus Urbanus dalam Perang Salib, Count Robert of Flanders, Duke Robert of Normandy dan Count Stephen of Blois. Di antara nama-nama tersebut tidak terdapat nama raja-raja Eropa Barat, seperti Raja Prancis Philip I, Raja Inggris William II, danRaja Jerman Henry IV. Saat itu mereka sedang menjalani hukuman ekskomunikasi dari Gereja. Tetapi banyak bangsawan Eropa Barat begabung dengan Ekspedisi militer kedua yang mayoritas berasal dari Prancis. Karena itu, ekspedisi militer kedua sering disebut sebagai “petualangan Prancis” dan perang Salib I disebut sebagai perang Prancis.Sebab, Urbanus, propagandis Perang Salib, adalah orang Prancis; khutbah pertama dilaksanakan di Prancis; dan mayoritas pasukan Salib berasal dari Prancis.
22
/Penaklukan Anatolia
Ekspedisi kedua tiba di Konstantinopel secara bergelombang antara bulan November 1096 sampai dengan Mei 1097 melalui jalan yang berbeda.Mereka sepakat untuk tunduk di bawah komando raja Bizantium, Alexius Comnenus, kecuali Raymond.Mereka juga berjanji mengembalikan bekas wilayah Bizantium yang kini dikuasai Turki kepada Alexios, jika berhasil merebutnya.Dimulai pada Bulan April 1907 pasukan Salib menyeberangi selat Bosporus menuju pantai Asia. Dan pada awal Juni 1907 seluruh pasukan Salib sudah berada di depan kota Nicea. Fulcher memperkirakan jumlah pasukan Salib saat itu mencapai 600 ribu tentara.Perkiraan Urbanus lebih kecil dari itu, yaitu 300 ribu tentara. Nicea menjadi kota pertama yang dikuasai pasukan Salib. Pasukan Salib mendapatkan kemenangan pertamanya atas pasukan Turki Islam pada awal juli 1097 dalam pertempuran Dorylaeum.Kemudian secara berutrut-turut mereka menyusuri Akshehir, Konya dan Ereghli untuk mematahkan pertahanan Turki yang mencoba menghadang laju mereka.Di Konya, legiun Baldwin dan Tancred berpisah dari pasukan utama menuju tenggara untuk melanjutkan penaklukan di Adan, Torsus, Cilicia, dan Iskenderun (Alexandretta).Setelah penaklukan Iskanderun, mereka bergerak menuju Edessa. Sementara itu pasukan utama bergerak ke arah timur laut menuju Caesarea, kemudian kembali ke arah selatan menuju Antiokia.Jalur perjalanan pasukan utama berpotongan dengan jalur perjalanan Pasukan Baldwin dan Tancred di Marash.Tancred bergabung dengan pasukan utama menuju Antiokia, sementara Baldwin melanjutkan perjalanan ke Edessa dan menaklukkannya pada tanggal 10 Maret 1097.Di bawah kekuasaan Baldwin, Edessa menjadi keemiran pertama pasukan Salib. Pasukan utama sampai di Antiokia pada 21 Oktober 1097 dan mengepungnya hingga 3 Juni 1098.Setelah terkepung selama 8 bulan akhirnya Antiokia jatuh ke tangan pasukan Salib.Tiga hari setelah kemengan pasukan Salib, bala bantuan pasukan Islam dari Mosul di bawah pimpinan Karboga datang.Mereka mengepung tentara Salib yang berada di dalam benteng Antiokia.Pengepungan ini berlangsung hingga tanggal 28 Juni dan berujung pada pertempuran antara dua pasukan yang dimenangkan pasukan Salib.
23
/Penaklukan Anatolia
Perselisihan antar pemimpin pasukan Salib mulai muncul ketika Tancred dan Baldwin sama-sama ingin membangun kekuasaan di Torsus.Barker menyebutkan bahwa Tancred bergabung dengan pasukan utama setelah diusir Baldwin dari Torsus.William of Tyre menceritakan bahwa Tancred telah sampai di Torsus dan mengibarkan benderanya sebelum Baldwin datang.Tetapi Baldwin tidak terima dan menuntut agar bendera Tancred diturunkan.Perselisihan keduanya nyaris memicu perang saudara. Menurut William, Tancred lebih memilih mengalah untuk menghindari perang dan meninggalkan Torsus. Perselisihan kembali terjadi pasca penaklukan Antiokia.Seperti kesepakatan semula seharusnya benteng Antiokia menjadi milik Alexius.Tetapi Bohemond mengklaim bahwa dialah yang paling berhak atas benteng tersebut, sebab Alexius desersi ketika pasukan Salib dikepung di dalam benteng Antiokhia.Raymond menolak dan bersikukuh bahwa Antiokia milik Alexius sesuai perjanjian.Perselisihan ini berlangsung beberapa bulan.Akhirnya pada bulan Nopember Raymond meninggalkan Antiokhia menuju Ma’arrat Nu’man.Tetapi, pasukan Raymond masih menduduki dua wilayah di Antiokhia.Bohemond baru dapat mengusir pasukan Raymond dari wilayah Antiokia pada Januari 1099. Ambisi Baldwin untuk menguasai Edessa menjadi tanda tanya besar. Sebab, Edessa bukanlah jalur menuju Palestina. Sangat mungkin bahwa Baldwin memang telah melupakan tujuan utama pasukan Salib, yaitu merebut kembali Palestina dari tangan penguasa muslim. Dengan kata lain penaklukan Edessa adalah kepentingan kekuasaan sebagian pemimpin pasukan Salib, bukan bagian dari rencana ekspedisi Salib. Demikian pula perselisihan Bohemond dengan Raymond menunjukkan bahwa motif kekuasaan telah merasuki pikiran para pemimpin pasukan Salib.Bahkan bisa jadi sejak awal mereka memiliki agenda tersendiri di luar agenda yang dipropagandakan Urbanus.Mereka tidak bermaksud membantu Bizantium mengembalikan bekas wilayahnya yang dikuasai Turki Islam, melainkan ingin membangun kekuasaanya sendiri di timur. Tanda tanya lebih besar patut diajukan terkait, siapakah panglima tentara Salib? Berdasarkan kesepakatan di Konstantinopel seharusnya Alexios yang
24
/Penaklukan Anatolia
memegang tongkat komando.Tetapi, atas perintah siapakah, Tancred dan Baldwin menyempal dari pasukan utama menuju wilayah yang bukan merupakan jalur perjalanan ke Palestina? Pasukan Salib memang tidak memiliki pimpinan tertinggi. Mereka adalah gabungan resimen atau legiun yang masin-masing dipimpin oleh seorang ksatria atau tuan tanah yang telah terbiasa berperang demi sejengkal tanah. Kaum agamawan Kristen menggambarkan Perang Salib sebagai kerjasama tanpa pemimpin yang digerakkan oleh Roh Kudus dalam satu barisan bersama.Faktanya, mereka tidak digerakkan oleh Roh Kudus, melaikan oleh ambisi kekuasaan. Jika ekspedisi pertama diwarnai pembantaian dan penjarahan seusai dengan justifikasi Urbanus, maka awal perjalan ekspedisi kedua menjelaskan adanya motifmotif kekuasaan yang memang menjadi salah satu iming-iming yang ditawarkan Urbanus.
25
Kejahatan Perang dalam Penaklukan Yerusalem
Kejahatan Perang dalam Penaklukan Yerusalem
Konflik politik antara Bohemond dan Raymond membuat para serdadu Salib muak dan bosan. Mereka menuntut agar pasukan Salib segera melanjutkan perjalanan menuju Palestina, seperti tujuan semula. Menurut William Tyre, bisa jadi tuntutan mereka dilandasi kekhawatiran akan keselamatan nyawa mereka akibat epidemi lepra yang menyerang Antiokia dan telah merenggut banyak korban, di antaranya kematian Adhemar. Para serdadu yang marah menghancurkan benteng Ma’arrat Nu’man yang menjadi basis kekuatan Raymond. Mereka juga mengancam akan melakukan revolusi di Antiokia, Pusat kekuasaan Bohemond. Pada Januari 1098 Raymond meninggalkan Ma’aart Nu’man diikuti Robert Normandy dan Tancred. Bulan Februari Godfrey dan Robert Flanders turut bergabung. Hanya Bohemond dan Baldwin yang tidak bergabung. Mereka berdua menunggui kerajaan barunya di Edessa dan Antiokia. Pasukan Salib telah berkumpul di Arqah pada akhir Maret 1099. Kemudian mereka bergerak melewati Shur, Yafa dan sampai di Ramallah pada 3 Juni 1099. Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Juni 1099 pasukan Salib telah mengepung benteng Yerusalem. Sebelumnya, Betlehem telah jatuh di tangan Tancred. Setelah pengepungan berlangsung lebih dari satu bulan, Yerusalem jatuh ke tangan pasukan Salib pada tanggal 15 Juli 1099. Keberingasan pasukan Salib tersaji kembali saat mereka memasuki Yerusalem. Secara ringkas Barker menggambarkan keberingasan itu dengan menyebutkan bahwa pasukan Salib melakukan pembantaian mengerikan terhadap warga sipil. Dan manusia beserta kudanya berjalan dalam genangan darah.Durant, mengutip Raymond, salah seorang saksi mata, menggambarkan keberingasan itu secara detail dengan mengatakan: “Kami melihat hal-hal yang menakjubkan. Kepala-kepala orang Islam dipenggal. Sebagian dibunuh dengan hunjaman anak panah. Sebagian lain dipaksa naik ke puncak benteng, atau disiksa berhari-hari lalu dibakar. Tumpukan kepala, tangan dan kaki berserakan di jalan-jalan. Setiap orang yang berjalan di atas kudanya akan berjalan di atas tumpukan tubuh manusia dan kuda… Perempuan-
26
Kejahatan Perang dalam Penaklukan Yerusalem
perempuan dibunuh dengan pedang dan tombak. Bayi-bayi ditarik kakinya dari putting ibunya…70.000 (tujuh puluh ribu) umat Islam yang masih tersisa di kota dibantai. Orang-orang Yahudi yang masih hidup digiring ke sinagog lalu dibakar hidup-hidup.”37 Pembantaian terhadap warga sipil Yerusalem tidak dilakukan secara sporadis, melainkan sebuah tindakan terorganisir yang dilakukan para pemimpin bersama pasukannya. William Tyre menceritakan: “Godfrey bersama pasukannya menyisir kota sembari menghunus pedang dan membunuh siapa saja penduduk kota yang mereka temui tanpa memandang usia dan kondisi. Di semua tempat terjadi pembantaian mengerikan. Di setiap sudut terdapat banyak kepala yang terpenggal, sehingga sulit melewati jalan manapun kecuali harus berjalan di atas tumpukan jasad orang-orang yang terbunuh. Para pemimpin bergerak menuju pusat kota melalui jalan yang berbeda sambil melakukan aksi pembantain yang tidak mungkin diceritakan. orang-orang yang haus darah musuh meniru tindakan para pemimpin. Mereka tidak memiliki tujuan selain melakukan penghancuran. Bukan hanya Godfrey, tetapi Raymond, Tancred, dan pemimpin lain juga melakukan hal yang sama. Raymond dan pemimpin lain yang menyerbu Yerusalem dari arah Gunung Zion memasuki kota sedikit lebih terlambat melalui gerbang selatan. Mereka berpencar menuju pusat kota. Orang-orang yang selamat dari pembantaian Godfrey dan pasukannya dihadang kelompok Raymond dan dibantai seperti pembantaian yang dilakukan Godfrey. Dan orang-orang yang mencoba berlindung di masjid bertemu dengan kelompok Tancred. mereka dihabisi dengan cara yang sama. Para pemimpin lain dari pasukan Salib yang melihat banyak orang berlari ke arah masjid segera mengejar mereka. Sekelompok pasukan kavaleri dan infanteri memasuki masjid dan menyembelih orang-orang yang berlindung di sana seperti menyembelih kambing. Mereka melakukan pembantaian tanpa sedikit pun
37
William James Durant, Qiṣṣat al-Haḍārah, 15:25.
27
Kejahatan Perang dalam Penaklukan Yerusalem
rasa belas kasihan, hingga seluruh tempat tergenang darah para korban pembantaian.38 Kebiadaban pasukan Salib terus berlanjut. Mereka memburu orang-orang yang masih tersisa dan bersembunyi di rumah-rumah. Jika ditemukan, orang-orang itu akan diseret keluar dan disembelih di hadapan umum, seperti menyembelih kambing. Perempuan dan anak-anak tidak luput dari keganasan pasukan Salib. Sebagian dari mereka dipenggal dan sebagian lain dilempar dari tempat yang tinggi. Mereka juga menjarah rumah-rumah penduduk dengan keyakinan bahwa harta yang berhasil mereka kuasai menjadi miliknya, meskipun berasal dari warga sipil.”39 William Tyre membenarkan tindakan pembantaian terhadap warga sipil dengan mengatakan: “Itu adalah keputusan adil Tuhan yang dikenakan kepada orang-orang yang telah mengotori tempat suci Almasih dengan simbol-simbol khurafat dan menutup tempat itu bagi rakyat Almasih yang beriman. Karenanya, mereka harus menebus kesalahannya dengan kematian, hingga seluruh tempat suci itu tergenang darah korban.”40 Dengan nada bangga Fulcher menceritakan pembantaian itu dengan mengatakan: “Raymond dan pasukannya, yaitu orang-orang yang mengepung dari arah lain tidak mengetahui apa yang terjadi (kemenangan pasukan Salib – Penulis) hingga melihat orang-orang Timur (penduduk Yerusalem – penulis) melompat dari pagar kota. Begitu mengetahui hal tersebut, mereka segera berhamburan memasuki kota dan bergabung dengan koleganya mengejar dan menyembelih musuh-musuh jahat mereka tanpa henti… orang-orang yang naik ke menara kuil Sulaiman dipanah hingga jatuh tersungkur. Hampir sepuluh ribu kepala dipenggal di kuil itu.
38
William of Tyre, al-Ḥurūb al-Ṣalībiyyah, 2:126–127. William of Tyre, al-Ḥurūb al-Ṣalībiyyah, 2:125. 40 William of Tyre, al-Ḥurūb al-Ṣalībiyyah, 2:127. 39
28
Kejahatan Perang dalam Penaklukan Yerusalem
Kalau kamu berada di sana kakimu akan berlumuran darah sampai mata kaki. Apa yang ingin aku katakan? Tak seorang pun tersisa, mereka tidak memberi ampun kepada perempuan dan anak-anak.”41 Sekali lagi, justifikasi kekerasan yang diberikan Urbanus telah melahirkan sadisme dalam penaklukan Yerusalem. Bukan hanya umat Islam yang menjadi korban, tetapi juga orang-orang Yahudi. William Tyre, penulis sejarah Perang Salib yang lahir tahun 1130, bahkan membenarkan kebiadaban dan sadisme itu dengan mengatasnamakan Tuhan. Kita tidak tahu, apakah akibat yang demikian terbayang dalam benak Paus Urbanus II, yang mana terdapat justifikasi kekerasan dan kejahatan perang ketika tentara Salib membunuh lawannya dalam bentuk pembantaian warga sipil secara sadis, kejam dan biadab.
41
Fulcher of Chartes, Tārīkh al-Ḥamlah ila al-Quds, hlm. 75.
29
Kesimpulan
Kesimpulan
Setelah Perang Salib I berlangsung yang kedua, perang salib yang kurang berhasil dan disebut Perang Salib 1101, di mana bangsa Turki yang dipimpin oleh Kilij Arslan I mengalahkan para tentara Salib dalam tiga pertempuran terpisah.42 Perang Salib II kemudian dilanjutkan dengan Perang Salib III sampai IX. Peristiwa ini juga merupakan langkah besar menuju pembukaan kembali perdagangan internasional sejak jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat. Karena Perang Salib I utamanya berkaitan dengan Baitul Maqdis atau Yerusalem, kota yang tidak berada di bawah kekuasaan kaum Kristen selama 461 tahun, dan bala tentara salib menolak untuk mengembalikan tanah tersebut ke dalam kendali Kekaisaran Bizantium. Perang Salib didorong oleh sebab-sebab utama menjadi faktor pendorong yang penting, yang meliputi motif agama, motif politik, motif sosial, dan motif ekonomi. Pada mulanya, Perang Salib, khususnya yang pertama, merupakan pengejawantahan dalam bentuk tindakan yang dilakuka oleh orang-orang Kristen Eropa untuk merespons sebab kejatuhan Tanah Suci atau Yerusalem ke tangan orang-orang Islam. Namun, dalam perkembangannya, mulai masuk motif-motif nonagama, yang mengakibatkan orang-orang Eropa terjebak dalam perselisihan internal. Hal ini tampak dalam penindasan yang dilakukan oleh orang-orang Katolik terhadap penganut Kristen Ortodoks dan Yahudi. Sejarah juga mencatat bahwa kejahatan perang (war crime) menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Perang Salib. Para tentara Salib menjadi aktor pelakunya dan bentuk-bentuk kejatahatan perang mereka tercatat dalam sejarah dan diakui oleh kalangan Barat. Dengan demikian, menjadi tidak mengherankan ketika spirit Perang Salib masih diusung sampai sekarang, saat itu pula tindakan bayang-
42
Norman Housley. 2006. Contesting the Crusades. Blackwell Publishing. hlm. 42.
30
Kesimpulan
bayang kejahatan perang mungkin dianggap sebagai sesuatu yang tak terelakkan (unevitable).
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Al-Usairi. 2004. Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX. Jakarta: Akbar Media. Christopher Tyerman. 2006. God's War: A New History of the Crusades. Belknap Press. Geoffrey Hindley. 2004. The Crusades: Islam and Christianity in the Struggle for World Supremacy. Carrol & Graf. Jonathan Riley-Smith. 1999. The First Crusade and the Idea of Crusading (Al-Ḥamlah al-Ṣalībiyyah al-Ūlā wa Fikrat al-Ḥurūb al-Ṣalībiyyah), terj., Dr. Muhammad Fathi alShā’ir, Kairo: Al-Hai`ah al-‘Āmmah li al-Kitāb. Jonathan Riley-Smith. 2005. The Crusades: A Short History (Second ed.). Yale University Press. Moch Najib Buchori. 2013. “Propaganda Paus Urbanus II: Sejarah Perang Salib dalam Perspektif Penulis Barat” dalam https://mazinov.wordpress.com/2013/03/29/propaganda-paus-urbanus-ii-sejarahperang-salib-dalam-perspektif-penulis-barat/ Norman Housley. 2006. Contesting the Crusades. Blackwell Publishing. Peter Frankopan. 2012. The First Crusade: The Call from the East. Cambridge: Harvard University Press. Simon Sebag Montefiore. 2016. Jerusalem: The Bioghraphy. Cetakan XI. Jakarta: Pustaka Alvabet. Sami Al-Maghluts. 2009. Atlas Perang Salib. Jakarta: Almahira. William of Tyre, Al-Ḥurūb al-Ṣalībiyyah (Terj. Historia dalam bahasa Arab).